Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. ...
Relevan terhadap
Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang berasal dari:
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Minyak dan Gas Bumi berupa:
jasa pendidikan dan pelatihan sektor migas hulu, hilir, dan penunjang tidak termasuk biaya akomodasi, jasa pengujian laboratorium, jasa laboratorium bengkel, transportasi, dan/atau mobilisasi peralatan;
jasa pelayanan keahlian dan jasa pengujian laboratorium dan laboratorium bengkel tidak termasuk biaya akomodasi, transportasi, dan mobilisasi peralatan. b. Perguruan Tinggi Kedinasan Akademi Minyak dan Gas Bumi berupa penelitian dan pengabdian masyarakat tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi;
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mineral dan Batubara berupa jasa peralatan pendidikan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan;
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Geologi berupa jasa peralatan pendidikan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan;
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi berupa:
jasa pendidikan dan pelatihan tidak termasuk biaya akomodasi, transportasi, jasa laboratorium, dan mobilisasi peralatan; dan
jasa peralatan pendidikan dan pelatihan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan;
Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah berupa jasa peralatan pendidikan dan pelatihan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan.
Biaya akomodasi, jasa laboratorium, jasa pengujian laboratorium, dan/atau jasa laboratorium bengkel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pelayanan di dalam dan di luar Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi dan Sumber Daya Mineral dibebankan kepada wajib bayar.
Biaya transportasi dan mobilisasi peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pelayanan yang dilaksanakan di luar kantor Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi dan Sumber Daya Mineral dibebankan kepada wajib bayar.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2008 tentang Pedoman dan Pentahapan dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia ...
Uji materiil atas pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahu ...
Relevan terhadap
Uji Materi Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28 angka 3 dan 10 Lampiran UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ...
Relevan terhadap
Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas. 2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut , baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini.” e. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak "Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." f. Pasal 6 Lampiran Undang-undang Nomor 9 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan;
Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. 285 2) Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata. Terhadap norma yang tercantum dalam beberapa peraturan perundang- undangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian dalam beberapa putusannya, antara lain sebagai berikut:
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, sebagai berikut: “… bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan; ” b. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 , sebagai berikut: “Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan kenyataan bahwa norma tersebut kerap digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kemudian juga telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, maka secara politik hukum norma tersebut dapat diterima untuk dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya norma tersebut pun, pihak-pihak terkait memang seharusnya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu keberadaan norma tersebut tidak menghilangkan prinsip equality before the law. 286 5) Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Norma yang Diuji Konstitusionalitasnya Sebelum masuk kepada pokok pembahasan, terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa terkait dengan norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “ UU 2/2020 ”) sampai saat ini masih menjadi isu di masyarakat. Meskipun demikian, pada dasarnya seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 tentu dibuat dengan berbagai pertimbangan dan assessment sebagai bentuk upaya penyelamatan masyarakat dalam situasi Pandemi Covid-19, khususnya di bidang keuangan negara agar dapat diimplementasikan dengan baik. Adapun yang menjadi objek pengujian, norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam UU 2/2020 dapat dikatakan hampir sebagian besar dari pasal-pasal UU 2/2020. Apabila dikelompokkan berdasarkan topik, maka secara umum norma UU 2/2020 yang diuji konstitusionalitasnya meliputi perlindungan hukum dan kepastian hukum terkait:
Ruang lingkup pengaturan;
Keuangan Daerah;
Perpajakan dan Kepabeanan;
Perubahan Postur Anggaran; dan
Kebijakan keuangan lainnya yang merupakan materi muatan UU 2/2020. Alasan Permohonan Judicial Review __ yang diajukan terhadap UU 2/2020 ini pada dasarnya lebih kepada judicial review terhadap konstitusionalitas materi muatan UU 2/2020 yang dianggap tidak mencerminkan kondisi Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid-19 sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “ UUD 1945 ”) dan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Terkait dengan materi keterangan yang akan disampaikan Ahli, pada dasarnya merupakan materi yang seyogianya telah dikuasai oleh Majelis Hakim 287 Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Kemudian, sebelum masuk kepada pokok- pokok keterangan yang akan disampaikan dalam kapasitas ahli di bidang hukum tata negara, perlu dikemukakan bahwa Covid-19 yang dinyatakan secara resmi oleh World Health Organization (WHO) sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020 yang lalu, tentu merupakan kondisi yang tidak mudah bagi semua pihak, tidak hanya bagi Indonesia, namun juga bagi negara-negara di belahan dunia lainnya. Sebagai penyelenggara negara yang diberikan amanat oleh konstitusi untuk melindungi hak-hak warga negara, terutama dalam menghadapi masa Pandemi Covid-19, negara wajib mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambil tentu dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, terkait langkah-langkah yang diambil oleh negara sebagai bentuk tindakan pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19 akan mencerminkan tanggung jawab negara dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Tentu tindakan pemerintah tersebut harus ditelaah dari beberapa aspek: A. Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa ( extraordinary ). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: " Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. ” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 52 Tahun 1960. 288 Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid-19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. B. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU- VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 289 Tentu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “ Keadaan bahaya yang menimbulkan _kegentingan yang memaksa, yaitu:
ancaman yang membahayakan_ _(dangerous threat);
kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); _ dan (3) keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia. ” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “ hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak-tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu. ” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang- undang darurat yakni:
keadaan mendesak;
keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;
untuk mengatasi keadaan dan kesulitan- kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;
tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan
hanya berlaku selama keadaan bahaya. Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; 290 d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi . Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan . Terhadap imunitas dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas . Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tentu juga tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi . Kebijakan Keuangan Negara dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni:
Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “ PSME ” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 291 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? 1. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:
Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:
penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:
penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak 292 lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali:
Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand ? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.
Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces.
Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid-19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah ada rambu- rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:
Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan
Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011. 293 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “ UU Ketenagakerjaan ”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut:
mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur;
mengurangi shift ;
membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak.
Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 294 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar 295 mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. ” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang-undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang- undang. Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang- undang dengan rumusan “… diatur dalam undang-undang…” dan “… diatur dengan undang-undang. ” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Nomor 012-016- 019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “diatur dalam undang-undang (geregeld in de wet), tidak identik dengan diatur dengan undang-undang (geregeld bij de wet).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi- fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang ( in de wet ), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.” Sementara itu, frasa “dengan undang- 296 undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri. ” Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy , perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/ Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang.” 2 37-39/PUU-VIII/2010 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang.” 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden 297 sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang-undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir ( fallacy ) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial “Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.” 6 . 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang- undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan ( legal policy ) pembuat undang-undang yang menentukannya.” Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang- Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang- undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo .” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah “Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya ( open public policy ). Mahkamah Konstitusi memberikan catatan meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran.” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open 298 legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;
tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan
bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan.
Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/ Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/ kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan . Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “ Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai 299 pengganti undang-undang”, hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang.
Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang (transfer of power). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan (the power of rule making atau law making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi (delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations) , maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut 300 merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co- Operation and Development yakni:
netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, dimana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid- 19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang- undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang- Undang tersebut, seperti:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ e. penghasilan 301 tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang MENOLAK permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas 302 merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo. Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang . Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 5. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang-undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut, Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan .” 303 dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “ Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik” . Artinya, secara a contrario , imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. ” Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara.
Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan.
Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa 304 akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor , maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara . Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” Pasal 3 UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan. kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara “ Kerugian Negara / Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Dari ketentuan-ketentuan dalam UU Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara tersebut, terkait “kerugian negara” selalu diikuti dengan frasa “secara melawan hukum atau sebagai akibat perbuatan melawan hukum”. Frasa tersebut mengandung pengertian bahwa “kerugian negara” dikategorikan sebagai melanggar UU Tipikor dan melanggar UU Perbendaharaan Negara hanya apabila ada unsur perbuatan/tindakan yang melawan hukum. Jadi unsur perbuatan/tindakan yang melawan hukum merupakan unsur yang harus ada apabila kerugian negara tersebut dikualifikasi sebagai Tipikor. Artinya, tidak 305 semuanya “kerugian negara” dinyatakan sebagai Tipikor, bisa jadi hanya merupakan pelanggaran administratif yang seharusnya bisa ditempuhnya penyelesaian melalui jalur administrasi untuk pemulihan kerugian negara tersebut. Dari pasal-pasal tersebut, dipahami pula bahwa perbuatan “merugikan keuangan negara” haruslah merupakan implikasi dari perbuatan melawan hukum yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi serta penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Artinya, pasal ini tidak menutup kemungkinan adanya suatu tuntutan hukum jika perbuatan melawan hukum dapat dibuktikan. Terkait kerugian negara juga ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, “ UU LPS merupakan undang-undang yang memerintahkan kepada LPS untuk menjual aset Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik sehingga apabila hal itu dilakukan meskipun dengan harga yang tidak optimal tidak dapat digolongkan merugikan keuangan negara. ” Lebih lanjut, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan menyatakan, “ Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara . ” Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tidak semua kerugian atau selisih kurang secara otomatis dikualifikasi sebagai kerugian negara sebagaimana kerugian negara yang dimaksud dalam UU Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara. Selama biaya-biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka biaya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kerugian negara dan tidak dapat menjadi unsur tindak pidana korupsi. Namun sebaliknya, ketika biaya untuk melaksanakan berbagai kebijakan tersebut dilakukan secara melawan hukum , terdapat unsur objektif (actus reus) yaitu ada perbuatan yang secara nyata dan 306 pasti jumlahnya telah menimbulkan kerugian negara, dan terdapat unsur subjektif yaitu adanya mens rea/ niat jahat secara melawan hukum dari Pejabat terkait biaya- biaya yang dikeluarkan tersebut, maka yang demikian dikategorikan melanggar UU Tipikor maupun UU Perbendaharaan Negara. Sebagaimana konsep open legal policy yang telah dijabarkan sebelumnya, hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 telah lazim juga digunakan dalam berbagai undang-undang, diantaranya Pasal 50 KUHAP, Pasal 41 KUP, dan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak. Artinya, perlindungan hukum bagi pejabat pemerintahan dalam menjalankan kewenangannya, dari segi legal drafting bukanlah merupakan substansi baru dalam perancangan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal yang dipermasalahkan adalah apakah ketentuan serupa dapat dimuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, maka perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019 disebutkan bahwa, “ materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang- Undang .” Oleh karena itu, jika dalam berbagai undang-undang dibenarkan untuk mengatur pemberian imunitas kepada pelaksana undang-undang, maka demikian halnya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Kemudian, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, apabila menguji konstitusionalitas materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, saat ini sudah tidak relevan lagi karena sudah ditetapkan menjadi UU 2/2020 oleh DPR. Jika diperhatikan, ketentuan Pasal 27 UU 2/2020 tersebut tidaklah mengatur imunitas yang bersifat absolut . Terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi yaitu iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kedua hal ini merupakan syarat yang dapat dipergunakan oleh penegak hukum untuk menilai apakah pengambilan kebijakan dan/atau pelaksanaannya dapat dituntut atau tidak. Menurut Arsul Sani, jika penegak hukum meyakini bahwa prinsip iktikad baik tidak terpenuhi dan juga ditemukan keadaan melanggar hukum , maka proses hukum tetap dijalankan meski ada pasal imunitas dalam undang-undang terkait. Oleh karena itu, imunitas hukum tidak serta merta menyebabkan imun terhadap tuntutan hukum. 307 Begitu pula terkait dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 yang menyatakan bahwa UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan dan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, perlu dipahami bahwa lahirnya ketentuan ini merupakah respon terhadap krisis yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Hal ini juga telah ditekankan dalam Pasal 27 ayat (1) dimana biaya yang dikeluarkan bertujuan untuk menyelamatkan negara dari krisis. Oleh karena itu, memahami bunyi Pasal 27 ayat (3) semestinya tidak dilakukan secara parsial, namun harus komprehensif dan kontekstual. Bahwa pembatasan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara telah diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 51 tahun 2009, yang menyebutkan: “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan , berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan tersebut, adalah berdasar jika kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh KSSK atau pejabat pemerintahan lainnya dalam melaksanakan amanat UU 2/2020 bukanlah merupakan objek sengketa tata usaha negara dengan tetap memperhatikan bahwa kebijakan atau keputusan yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M. Pandemi Covid 19 Melumpuhkan Ekonomi Dunia Pandemi Covid 19 telah menyebar ke 207 negara yang menimbulkan dampak kematian yang besar dan permasalahan perekonomian yang merata di seluruh dunia. Upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19 menyebabkan banyak negara membatasi mobilitas masyarakat, sehingga menimbulkan gangguan pada perekonomian. Hal ini mendorong terjadinya penurunan pendapatan, pelemahan daya beli dan pemutusan hubungan kerja. Untuk memitigasi dampak Covid-19 berbagai negara mengkombinasikan berbagai kebijakan baik kebijakan sosial, fiskal maupun moneter, dan lainnya. Stimulus ekonomi yang sangat besar digelontorkan berbagai negara untuk mencegah krisis Kesehatan menjadi krisis ekonomi dan keuangan. Stimulus fiskal dan moneter yang ekstensif telah dikeluarkan oleh sekitar 308 193 negara yang fokus pada peningkatan anggaran kesehatan, bantuan bagi rumah tangga, jaminan sosial , bantuan kepada sektor yang terdampak, baik berupa penundaan pajak atau penjaminan pinjaman. Menurut Financial Stability Board respons kebijakan yang ditempuh berbagai otoritas baik di negara maju dan berkembang relatif sama. Hal yang membedakan lebih pada besaran dukungan dari Pemeritah, Di negara berkembang dukungan pemerintah sebesar 5,5 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan negara maju sebesar 20% dari PDB. Dampak Pandemi Covid-19 Bagi Perekonomian Domestik Untuk mencegah penyebaran Covid-19 banyak negara termasuk Indonesia melakukan pembatasan mobilitas masyarakat yang menimbulkan gangguan pada perekonomian. Hal ini mendorong terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan pendapatan, menurunnya daya beli dan banyaknya pemutusan hubungan kerja. Sejalan dengan itu, perekonomian Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan yang tajam dan banyak perusahaan yang gulung tikar. Dalam situasi seperti ini perkara Penundaan Kewajiban Membayar dan Kepailitan meningkat. Ini terlihat dari naiknya perkara PLPU dan Kepailitan di Pengadilan Niaga, Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar. Untuk itu diperlukan respons kebijakan yang komprehensif untuk memitigasi dampak Pandemi Covid-19 terhadap stabilitas ekonomi dan sistem keuangan. Risiko Yang dihadapi Bank dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya Pandemik Covid-19 memberikan tekanan pada sektor jasa keuangan, khususnya bank. Sebagai sumber utama penyedia dana untuk kegiatan ekonomi, terdapat kebutuhan untuk menjaga ketahanan bank dari risiko-risiko yang mungkin timbul di tengah situasi pandemik yang tidak menentu seperti saat ini. Setidaknya terdapat tiga jenis risiko yang dapat disebabkan oleh situasi pandemik Covid-19. Pertama , risiko kredit, yaitu berupa kesulitan debitur memenuhi kewajibannya kepada perbankan, khususnya dari sektor Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Kedua , risiko pasar, yaitu perubahan nilai dari aset lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelemahan yield instrumen keuangan dan pelemahan nilai tukar dan Ketiga , risiko likuiditas, yaitu tekanan terhadap likuiditas yang timbul akibat pelaksanaan restrukturisasi kredit/pembiayaan yang terdampak pandemik Covid-19. Untuk mengantisipasi risiko-risiko tersebut, maka diperlukan kebijakan 309 yang bersifat antisipatif, yang bertujuan untuk menopang fundamental sektor riil/informal dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Disamping itu, diperlukan juga penguatan kewenangan lembaga-lembaga di sektor keuangan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi darurat akibat Pandemi Covid-19. Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan Sistem Keuangan adalah sistem yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan dan infrastruktur keuangan, termasuk system pembayaran yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktifitas perekonomian nasional. Peranan sistem keuangan dalam perekonomian sangatlah penting. Setidaknya ada tiga peranan penting dari sistem keuangan. Pertama, peranan sebagai perantara keuangan ( financial intermediary ), Kedua sebagai pelaku utama dalam system pembayaran dan Ketiga, sebagai sarana untuk melaksanakan kebijakan moneter. Pertama, peranan sebagai sebagai Perantara Keuangan , terutama yang dilakukan bank dapat diibaratkan dengan peran jantung dalam tubuh manusia. Kalau jantung mensuplai darah ke seluruh jaringan tubuh manusia, maka bank mensuplai likuiditas ke dalam seluruh kegiatan perekonomian. Dengan adanya dana yang disalurkan ke dalam seluruh kegiatan masyarakat, maka terjadilah kegiatan investasi dan produksi yang membuka lapangan kerja yang menghasilkan barang dan jasa. Inilah yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan terbukanya lapangan kerja, maka diharapkan akan mengurangi pengangguran dan mengurangi kriminalitas, sekaligus memberikan penghasilan kepada para pekerja yang pada gilirannya juga akan membayar pajak kepada negara atas penghasilan yang diterima. Begitu juga dengan perusahaan yang berproduksi menghasilkan barang dan jasa yang akan memperoleh keuntungan dan akan membayar pajak juga kepada negara. Dengan demikian, kegiatan bernegara juga dapat berjalan dengan adanya penerimaan negara dan kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa akan tersedia dengan baik. Kedua, peranan sebagai pelaku utama Sistem Pembayaran, baik yang bersifat tunai dan non tunai. Pembayaran non tunai baik yang menggunakan warkat, kartu, elektronik dan virtual, kliring dan Real Time Gross Settlement (RTGS). Sistem pembayaran yang dilakukan oleh sistem keuangan meliputi pembayaran di dalam dan luar negeri dan kegiatan lainnya baik di pasar barang dan jasa, pasar uang, 310 pasar modal, pasar komoditi dan pasar tenaga kerja. Dengan adanya kegiatan pembayaran yang cepat, aman dan efisien, maka kegiatan perekonomian, kegiatan perdagangan dll juga akan berjalan lancar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Ketiga, peranan sebagai sarana dalam transmisi kebijakan moneter , terutama dalam rangka menjaga stabilitas nilai rupiah, baik yang berkaitan dengan harga ( price stability ) dan nilai tukar. Dengan adanya kestabilan nilai rupiah, maka tingkat inflasi rendah dan tidak merugikan masyarakat. Selain itu, kebijakan moneter juga dapat terlaksana melalui sistem keuangan apabila sistem keuangan itu sehat dan stabil, yang dapat bekerja dengan efisien dan efektif. Kestabilan Nilai Rupiah untuk mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional tersebutlah yang diamanatkan oleh UU No. 2 Tahun 2020. Kesemuanya itu menunjang Stabilitas Sistem Keuangan yang efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan luar negeri. Dampak Instabilitas Sistem Keuangan Menurut Bank Indonesia, apabila Sistem Keuangan tidak stabil dan tidak berjalan secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sistem Keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk menyelamatkannya. Pelajaran berharga pernah dialami Indonesia ketika terjadi krisis keuangan pada tahun 1998, di mana waktu itu biaya krisis sangat signifikan. Pada waktu itu biaya yang dikeluarkan Pemerintah adalah sekitar Rp640 triliun (enam ratus empat puluh triliun rupiah) untuk melakukan rekapitalisasi perbankan dan memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang kesulitan likuiditas. Stabilitas Sistem Keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan. Selain itu, diperlukan waktu yang lama untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik kepada Sitem Keuangan. Krisis tahun 1998 membuktikan bahwa, secara umum, dampak instabilitas pada Sistem Keuangan adalah sebagai berikut; Pertama, transmisi kebijakan moneter tidak berjalan normal, sehingga, kebijakan moneter menjadi tidak efektif. Kedua , Fungsi, intermediasi industri jasa keuangan terutama perbankan tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena ada alokasi dana yang tidak tepat dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Ketiga , ketidakpercayaan 311 sektor publik pada sistem keuangan mendorong investor/kreditur untuk menarik dana. Akibatnya, timbul masalah likuiditas. Keempat, sangat mahalnya biaya untuk menyelamatkan sistem keuangan jika terjadi krisis yang sistemik. Oleh karena itu, upaya untuk menghindari atau mengurangi risiko kemungkinan terjadinya ketidak stabilan sistem keuangan sangatlah diperlukan untuk menghindari kerugian yang begitu besar. Pentingnya pengaturan Stabilitas Sistem Keuangan dalam UU Nomor 2/2020 Setidaknya ada tiga manfaat dari diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 2020. Pertama , untuk memberikan dasar hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat dan aparatur negara. Khusus untuk aparatur negara, dasar hukum ini diperlukan untuk memperkuat kewenangannya dengan berbagai kewenangan yang luar biasa ( extra ordinary ) dalam menghadapi Pandemi Covid-19. Kedua , untuk memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah pemerintah dalam penyelamatan kesehatan masyarakat dan perekonomian negara. Ketiga untuk memberikan perlindungan hukum bagi aparatur negara dalam pelaksanaan tugasnya. Mengingat Pandemi Covid-19, selain merupakan ancaman bagi manusia, juga menyebabkan risiko ketidakstabilan dan ancaman terhadap perekonomian nasional dan sistem keuangan, sehingga perlu mitigasi bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan sebagai kordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). KSSK menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian (Vide: Pasal 4 UU UU PPSK). UU No. 2 Tahun 2020 antara lain dalam Pasal 14 sampai Pasal 26 mengatur langkah-langkah luar biasa ( extra ordinary ) dan penguatan Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan KSSK, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Untuk menjaga stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi darurat akibat Pandemi Covid-19, UU Nomor 2 Tahun 2002 memberikan legitimasi dan landasan hukum bagi pemerintah dan otoritas terkait untuk mengambil Langkah-langkah yang cepat dan akuntabel. Peraturan perundang- 312 undangan yang ada dirasa masih belum memadai untuk menjaga stabilitas Sistem Keuangan akibat Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pengaturan ini perlu sebagai dasar dari peraturan pelaksanaan atau kebijakan yang dilakukan oleh masing- masing instansi/lembaga. Dalam rangka melaksanakan UU Nomor 2 Tahun 2002 Kementerian Keuangan, BI, OJK, LPS dan dunia usaha bersinergi untuk mendorong kredit dan pembiayaan ke sektor-sektor prioritas. Hal ini sejalan dengan Paket Kebijakan Terpadu KSSK untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi yang diputuskan pada 1 Februari 2021 yang mencakup:
Kebijakan insentif fiskal serta dukungan belanja pemerintah dan pembiayaan.
Stimulus moneter, kebijakan makro prudensial, akomodatif dan digitalisasi system pembayaran.
Kebijakan prudensial sektor keuangan.
Kebijakan penjaminan simpanan. (Siaran Pers Bersama Kementerian Keuangan, BI dan OJK, 1 April 2021, Website Bank Indonesia dan Kemenkeu diakses 3 April 2021). Sementara itu, Kementerian Keuangan telah melakukan kebijakan antara lain berupa peningkatan anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) sebanyak 22 persen menjadi Rp699,43 triliun rupiah, yang antara lain menyasar dukungan sosial sebesar Rp157,43 triliun, dukungan UMKM dan korporasi sebesar Rp184,83 triliun, insentif usaha sebesar Rp58,46 triliun dan Rp124,44 triliun unyuk dukungan program prioritas. Kemudian Kebijakan BI tetap diarahkan untuk:
Mendorong pemulihan ekonomi, termasuk pembiayaan kepada dunia usaha.
Menurunkan suku bunga kebijakan sebanyak enam kali sejak tahun 2020 sebesar 15- bps menjadi 3,5% bps.
Melakukan injeksi likuditas yang besar.
Mendorong transparansi suku bunga dasar kredit.
Memperkuat kebijakan Ratio Intermediasi Makroprudensial (RIM/RIMS) 6. Memberlakukan secara bertahap disinsentif berupa giro RIM/RIMS dengan mengurangi giro wajib minimum untuk mendorong pembiayaan kredit/pembiayaan kepada perbankan. 313 OJK telah mengambil kebijakan antara lain:
Kebijakan stimulus yang bertujuan agar sektor jasa keuangan tetap kokoh dan sektor riil dapat bangkit kembali dengan berbagai kemudahan, antara lain akan bertambah restrukturisasi kredit dan pembiayaan.
Orkestrasi kebijakan OJK bersama Kementerian Keuangan dan BI telah membuat stabilitas Sistem Keuangan terutama perbankan terus terjaga.
Pada tahun 2021 (Januari-Maret), OJK telah mengeluarkan telah mengeluarkan 7 POJK dan 10 SEOJK kepada industri jasa keuangan dalam rangka memperkuat industri jasa keuangan dan mempercepat Pemilihan Ekonomi Nasional. Lembaga Penjamin Simpanan mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain:
Penurunan suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah dan valuta asing, 2. Kebijakan relaksasi denda keterlambatan pembayaran premi, serta 3. Kebijakan relaksasi penyampaian laporan. UU Nomor 2 Tahun 2020 melahirkan beberapa peraturan pelaksanaan, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 19 Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Kewenangan LPS menurut UU Nomor 2 Tahun 2020 antara lain:
Penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia 2. Penerbitan Surat Hutang, 3. Pinjaman kepada pihak lain dan 4. Pinjaman kepada pemerintah dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas pada waktu menangani bank gagal. Hal ini juga diatur dalam UU LPS. Pinjaman ini merupakan opsi terakhir setelah diupayakan sumber lain terlebih dahulu. Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk mengantisipasi risiko-risiko tersebut diatas tercermin dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18 Tahun 314 2020 tentang Perintah Tertulis untuk Penanganan Permasalahan Bank. POJK ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilaliham, integrasi dan/atau konversi (P3IK). Hal ini sejalan dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dan Pasal 49 UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. Perintah untuk melakukan atau menerima P3IK bertujuan untuk menjaga ketahanan Bank yang menghadapi permasalahan keuangan yang dapat mengganggu kelangsungan usaha dan tidak mampu menghadapi tekanan yang sedangkan terjadi dan tidak mampunyai Pemegang Saham Pengendali untuk melakukan upaya penguatan Bank. Kebijakan tersebut adalah contoh dari kebijakan yang bersifat antisipatif, yang bertujuan untuk menjaga ketahanan Bank sebagai sumber penyedia dana dan pelaku utama dalam sistem pembayaran. Apabila Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tidak memandatkan kebijakan tersebut, tentunya OJK akan kesulitan dalam melindungi ketahanan bank yang mengalami permasalahan karena tidak ada dasar hukum yang cukup kuat untuk mendasari kebijakan P3IK tersebut. Perlindungan Hukum bagi Pengambil Kebijakan Kemudian, perlu juga dipahami bahwa tidak mudah untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis, khususnya terkait penanganan permasalahan bank. Terlebih lagi, kebijakan tersebut diambil di masa pandemi, yang tentunya menempatkan si pembuat kebijakan dalam tekanan yang lebih besar dari situasi normal. Untuk itu, guna memastikan si pembuat kebijakan dapat membuat keputusan yang tepat dan independen, maka diperlukan jaminan perlindungan terhadap si pembuat kebijakan untuk terbebas dari tuntutan yang mungkin timbul dikemudian hari atas keputusan yang dibuatnya. Lebih lanjut terkait landasan hukum dari pandangan ini akan dijabarkan sebagai berikut: a) Imunitas yang Terkandung Dalam Rumusan Pasal 27 ayat (2) adalah Wajar dan Sesuai Dengan Teori-Teori dalam Hukum Pidana Apabila diperhatikan poin-poin permohonan yang diajukan oleh para pemohon, dapat dilihat bahwa terdapat suatu kekhawatiran bahwa ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) seolah menjadikan pihak-pihak yang disebut dalam 315 Pasal tersebut menjadi kebal dari jerat hukum tindak pidana korupsi. Pandangan ini tidaklah tepat. Apabila diperhatikan dengan cermat rumusan ketentuan Pasal 27 ayat (2) tersebut, dapat dipahami bahwa hanya tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas yang didasarkan pada itikad baik lah yang dilindungi oleh Undang-Undang. Perlindungan atas perbuatan yang dilakukan dalam rangka menjalankan tugas dan dengan itikad baik merupakan hal yang lazim dalam konteks hukum pidana. Perlindungan yang diberikan kepada pihak yang menjalankan tugas atau melakukan suatu tindakan dengan itikad baik bukanlah hal yang baru dalam hukum Indonesia, khususnya hukum pidana. Terkait perlindungan kepada pihak yang melaksanakan tugas diatur dalam Pasal 50 dan 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka 133 Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan melalui sidang virtual pada tanggal 8 Oktober 2020 dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Keterangan Pendahuluan ( Opening Statement) Sehubungan dengan adanya 7 (tujuh) permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (selanjutnya disebut UU 2/2020 ) terhadap UUD 1945 , yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49, dan 75/PUU-XVIII/2020, perkenankanlah kami selaku kuasa Presiden menyampaikan keterangan atas Permohonan Pengujian UU 2/2020. Pada kesempatan ini, yang akan kami sampaikan secara lisan adalah pokok-pokok atau ringkasan Keterangan Presiden yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dengan Keterangan Presiden yang lengkap dan menyeluruh yang kami sampaikan dalam bentuk tertulis. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ( founding fathers ) telah menentukan salah satu tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, Negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya. Negara harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan 134 keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini, telah secara nyata menimbulkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bahkan telah merenggut nyawa rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi yang tidak dapat ditentukan berakhirnya, secara nyata telah menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman tersebut. Legal Standing Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomian masyarakat. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan 135 konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Latar Belakang Penerbitan Perpu 1/2020 Sebelum memberikan keterangan atas UU 2/2020, perlu Pemerintah sampaikan mengenai latar belakang penerbitan Perppu 1/2020. Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di kota Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat, ganas dan luas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret 2020 meliputi 205 negara dengan hampir 1 juta kasus penularan dan lebih dari 47 ribu kematian. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran kemudian terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial jumlah pasien Covid-19 telah menimbulkan krisis bidang kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial yang berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown ), hingga yang bersifat pembatasan sosial secara terbatas ( physical distancing ). Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid- 19, mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial yang menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,3% menjadi kontraksi -3%. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia saat itu, diperkirakan mencapai 9 triliun dolar Amerika, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar negara-negara berkembang, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini 136 vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi extraordinary tersebut mendorong berbagai negara untuk melakukan langkah luar biasa dalam menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara- negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia), kebijakan moneter longgar berupa penurunan suku bunga, memompa likuiditas- quantitative easing , serta melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh dibawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang diatas 5%. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar Amerika dan mengalami depresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan perusahaan. Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonomian dan sistem keuangan, Pemerintah dan otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah extraordinary secara cepat dan signifikan. Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksud memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setelah melakukan konsultasi dengan beberapa lembaga negara dan mempertimbangkan secara seksama berbagai masukan yang diperoleh, Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa tersebut adalah Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. 137 Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang keuangan negara maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya penyebaran Covid-19. Memperhatikan bahwa terhadap 7 permohonan ini, hampir seluruh pasal dalam Lampiran UU 2/2020 dimohonkan pengujian, Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan Para Pemohon yaitu:
perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan _controlling; _ (2) pengujian formil;
ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan;
kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), perpajakan dan kepabeanan, penerbitan SUN dan/atau SBSN, penyesuaian mandatory spending , penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah (5) pelaksanaan kebijakan keuangan negara;
kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK;
perlindungan hukum;
harmonisasi UU 2/2020 dengan UU terdampak. Meskipun kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksanaan Pasal 22 UUD 1945, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 melalui pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang, maka kebijakan dalam UU 2/2020 telah mendapatkan persetujuan DPR. Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. 138 Pembentukan UU 2/2020 Secara Formil Telah Sesuai Dengan UUD 1945 Dalam Rangka Pemberian Kepastian Hukum Atas Langkah Kedaruratan Dalam Perpu Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan. Memperhatikan dampak pandemi Covid-19 yang extraordinary , Pemerintah menyadari pentingnya persetujuan DPR segera diperoleh untuk kepastian keberlanjutan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19. Penanganan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional memerlukan biaya sangat besar yang tidak tercukupi apabila menggunakan alokasi sesuai APBN TA 2020. Selain itu, diperlukan langkah-langkah extraordinary yang belum diatur kewenangannya dalam undang-undang yang ada. Hal tersebut diperlukan sebagai landasan pemberian dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha dalam rangka penyelamatan kesehatan masyarakat, perekonomian, dan stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pada tanggal 1 April 2020, Pemerintah telah menyampaikan RUU tentang penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Bahwa pembahasan atas RUU yang disampaikan Pemerintah dilakukan oleh DPR pada masa persidangan yang sama tidak melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah telah meneliti tidak ada larangan untuk melakukan pembahasan pengesahan Perppu dalam masa persidangan yang sama dengan saat pengajuan RUU oleh Pemerintah. Dilaksanakannya pembahasan RUU dalam masa persidangan yang sama (masa persidangan ke-3), menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga menyadari tindakan-tindakan untuk penyelamatan perekonomian nasional harus segera dan secara berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah. Untuk memberikan kepastian hukum, setelah melalui proses pembahasan sesuai tahapan pembentukan undang-undang, pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan pengesahan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Bahwa dengan demikian, proses persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah memenuhi formalitas pengesahan Perppu sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. 139 Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Tidak Hanya Untuk Penanganan Covid-19 Namun Juga Bersifat Antisipatif ( Forward Looking ) Untuk Mengatasi Ancaman Dampak Covid-19 Di dalam konsiderans Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan bahwa pandemi Covid- 19 telah menimbulkan efek domino terhadap perlambatan perekonomian. Apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan secara cepat dan tepat atas perlambatan tersebut, secara pasti akan terjadi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 didesain tidak hanya ditujukan untuk penanganan Covid-19 melainkan juga tindakan antisipatif ( forward looking ) untuk menangani efek domino yang ditimbulkan yaitu ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi maupun krisis di sektor keuangan, Lampiran UU 2/2020 juga harus memberi legitimasi bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya Covid-19. Dengan legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, meskipun dalam beberapa ketentuan terdapat batasan waktu, seperti batasan pelebaran defisit sampai dengan tahun 2020, namun secara utuh, tidak dapat diberikan batasan jangka waktu keberlakuan UU 2/2020 seperti UU Pengampunan Pajak misalnya. Keberlanjutan UU 2/200 ini diperlukan dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. 140 Peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini menjadi bukti ketidakpastian yang harus dihadapi. Beberapa Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghambat penyebaran Covid- 19. Harapan perbaikan pertumbuhan perekonomian menjadi positif di Kuartal III 2020 dari pertumbuhan -5,32% di Kuartal II 2020 diprediksi sangat sulit terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah bulan September lalu, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Pelebaran Defisit Menjadi Pilihan Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Sebagai Respon Atas Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Belanja Negara Secara Signifikan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, untuk menghadapi ancaman perekonomian nasional, Pemerintah memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan negara agar penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Fleksibilitas tersebut tidak dapat dilakukan apabila Pemerintah hanya berdasar pada ketentuan Undang-Undang yang telah ada sebelum pandemi Covid-19. Salah satu fleksibilitas yang diperlukan oleh Pemerintah adalah terkait dengan penyesuaian besaran defisit anggaran. Pada UU Keuangan Negara, diatur bahwa defisit anggaran dibatasi sebesar 3% dari PDB. Batasan maksimal defisit anggaran sesuai ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh Pemerintah karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan pada pendapatan negara sekaligus peningkatan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran. Kewenangan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3% tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal itu 141 ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati, dengan tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas dan transparansi. Untuk itu, Lampiran UU 2/2020 memberi pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan TA 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka pembiayaan defisit maksimal 60% dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa meskipun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, namun Pemerintah akan melakukan pembahasan penetapan besaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 dengan DPR melalui mekanisme RAPBN. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga esensi persetujuan DPR sesuai Pasal 23 UUD 1945 pada pembahasan APBN tahun mendatang. Dalam proses penyusunan UU APBN TA 2021, Pemerintah bersama DPR telah menyetujui d efisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Pada APBN 2020, Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34% PDB yang ditetapkan melalui Perpres 72 Tahun 2020. Besaran defisit tersebut telah mengakomodir biaya penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai berikut: No. Program Anggaran Realisasi 1. Kesehatan 87,55 T 21,92 T 25% 2. Perlindungan Sosial 203,91 T 157,03 T 77% 3. Insentif Usaha 120,61 T 28,07 T 23,3% 4. UMKM 123,47 T 81,85 T 66,3% 5. Pembiayaan Korporasi 53,6 T 0 0 6. Sektoral dan Pemda 106,05 T 26,61 T 25,1% Total 695,2 T 315,48 T 45,4% Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk perlindungan sosial untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat. Diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM 142 dan insentif usaha, dan dukungan anggaran untuk sektoral dan Pemda. Besaran anggaran program kesehatan meski bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk mendukung biaya penanganan Covid-19 (pembelian alat kesehatan seperti APD, Rapid Test, Reagen, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan), subsidi Iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak serta bea masuk untuk alat kesehatan. Sedangkan anggaran perlindungan sosial digunakan untuk mendukung pelaksanaan Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, Program Bantuan Sosial Sembako Jabodetabek, Program Bantuan Sosial Tunai, Program Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Program insentif usaha ditujukan untuk menjaga keberlanjutan aktivitas usaha masyarakat dalam bentuk pemberian insentif perpajakan. Dalam mendukung UMKM, Pemerintah telah melaksanakan beberapa program diantaranya yaitu pemberian subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Program pembiayaan korporasi antara lain dilaksanakan melalui pemberian penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN. Program sektoral K/L dan Pemda diantaranya digunakan untuk mendukung program padat karya, pemberian Dana Insentif Daerah untuk pemulihan ekonomi, pariwisata dan pemberian Dana Alokasi Khusus Fisik. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Sebagai rangkaian program PEN untuk terus menggerakkan perekonomian yang sedang mengalami perlambatan, Pemerintah memandang perlu melakukan upaya- upaya mendorong ekspansi kredit dan penurunan suku bunga kredit perbankan. Untuk itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kapasitas pendanaan telah melakukan penempatan dana per 30 September 2020 sebesar Rp61,7 triliun dengan rincian pada Bank Himbara sebesar Rp47,5 triliun, pada 7 BPD sebesar 143 11,2 triliun, dan pada 3 bank syariah sebesar 3 triliun. Selain itu, Pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur salah satu BUMN Pembiayaan, telah memberikan pinjaman kepada 5 Pemerintah Daerah dengan total komitmen sebesar Rp6,8 triliun (DKI Jakarta senilai Rp3,265 triliun, Jawa Barat senilai Rp1,812 triliun, Banten senilai Rp 851,77 miliar, Sulawesi Utara senilai Rp723,7 miliar, dan Kabupaten Ponorogo senilai Rp200 miliar). Pinjaman tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program-program PEN di daerah masing-masing. Kebijakan Penurunan Tarif Perpajakan Sebagai Insentif Untuk Menjaga Kesehatan Keuangan Perusahaan di Masa Pandemi Covid-19 Dalam UU 2/2020 telah ditetapkan kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai insentif/dukungan Pemerintah menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam masa pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 hampir menyentuh semua sektor usaha. Dalam perspektif tersebut, insentif perpajakan sangat relevan diberikan ke semua sektor usaha tidak hanya yang bergerak di bidang riset dan pengembangan terkait Covid-19 sebagaimana yang diinginkan Para Pemohon. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Pemungutan PMSE Merupakan Upaya Pemerintah Untuk Mengoptimalkan Penerimaan Negara Di Tengah Pandemi Covid-19 Serta Menciptakan Kesetaraan Bagi Pelaku Usaha Dalam Negeri Maupun Luar Negeri Penurunan pendapatan negara secara signifikan akibat pandemi Covid-19 di satu sisi dan adanya akselerasi transformasi digital di sisi lain telah menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan penetapan pajak dari sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam UU 2/202020. Basis pajak dari transaksi digital menjadi sangat penting pada saat penerimaan negara menurun sehingga Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar 144 negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Lampiran UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi pengenaan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Pertimbangan serupa juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, pemberian atribusi merupakan bentuk kebijakan pembentuk undang-undang ( legal policy ) sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan UUD 1945. Pemberian wewenang atribusi menetapkan tarif pajak bukanlah hal baru. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan. Dengan demikian, pengaturan mengenai besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana yang dipahami oleh Para Pemohon. Pengaturan Pembebasan Bea Masuk Oleh Menteri Keuangan Merupakan Pelaksanaan Wewenang Atribusi Yang Bertujuan Menjamin Ketersediaan Alat Kesehatan Untuk Penanganan Covid-19 Untuk menjamin ketersediaan barang impor yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah perlu memiliki fleksibilitas dalam pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan atau keringanan bea masuk. Pasal 10 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan wewenang atribusi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perubahan jenis barang yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan yang secara limitatif ditetapkan dalam UU Kepabeanan. Pemberian 145 wewenang atribusi dalam UU 2/2020 ini sejalan dengan prinsip hukum administrasi negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan di tengah adanya kondisi kegentingan memaksa. Selain itu, pemberian wewenang atribusi yang ditetapkan dalam produk hukum UU 2/2020 mempunyai kedudukan yang setara dengan UU Kepabeanan. Dalam pelaksanaannya, Menteri Keuangan selaku penerima wewenang atribusi dalam pemberian fasilitas kepabeanan tidak akan semena-mena menyalahgunakan kewenangan dimaksud. Menteri Keuangan melalui PMK 34/PMK.04/2020 jo. PMK 83/PMK.04/2020 hanya memberikan fasilitas kepabeanan untuk impor barang keperluan penanganan Covid-19. Sesuai Lampiran PMK tersebut, jenis-jenis barang yang diberikan fasilitas adalah test kit dan reagen laboratorium , virus transfer media , obat dan vitamin, peralatan medis, dan alat pelindung diri. Dengan demikian prinsip pemberian fasilitas secara limitatif tetap terjaga. Penerbitan SUN dan/atau SBSN Yang Dapat Dibeli Oleh BI Bertujuan Untuk Menjaga Kesinambungan Fiskal Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Sesuai Dengan Fungsi BI Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan negara menurun cukup drastic sedangkan anggaran belanja harus ditingkatkan sehingga pelebaran defisit tak terhindarkan. Untuk pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah perlu menerbitkan SUN dan/atau SBSN berjangka panjang. Pemberian kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana merupakan salah satu upaya gotong royong organ negara ( burden sharing ) untuk menjaga kesinambungan fiskal dalam rangka mencegah terjadinya krisis ekonomi. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dimaksud berupa pembayaran kupon atas SUN dan atau SBSN yang dibeli oleh BI, sesuai tabel berikut: No. Penggunaan Nilai (Rp) Burden Sharing Mekanisme Penerbitan 1. Public Goods 397,56T Ditanggung BI seluruhnya sebesar BI reverse repo rate Private Placement 2. Non-Public Goods 177,03T Ditanggung Pemerintah Mekanisme 146 ▪ UMKM 123,46T sebesar BI reverse repo 3 bulan dikurangi 1%, sisanya ditanggung BI market (lelang, Green Shoe Option, Private Placement ) ▪ Korporasi 53,57T 3. Non-Public Goods Lainnya 328,87T Ditanggung Pemerintah seluruhnya sebesar market rate Di samping pengaturan norma pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI telah dibahas terlebih dahulu sebelum ditetapkan dalam Lampiran UU 2/2020, dengan penetapan secara bersama besaran kupon sebagai burden sharing jelas terlihat bahwa baik dalam perumusan norma maupun implementasinya, independensi BI tetap terjaga. Secara best practices , kebijakan bank sentral untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan juga diimplementasikan oleh negara-negara lain termasuk negara anggota G20. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Tidak Menghapuskan Dana Desa dari APBN 2020 dan Tahun-tahun Mendatang Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur mengenai penyesuaian atas pemenuhan belanja wajib ( mandatory spending ), antara lain penyesuaian pemenuhan anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa dimaksudkan agar Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan 147 refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Sebagai bentuk harmonisasi antara ketentuan penyesuaian mandatory spending dalam UU 2/2020 dan UU Desa, ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku ( vide Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020). Tidak berlakunya ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa sama sekali tidak menghapuskan anggaran Dana Desa dari APBN TA 2020 dan tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Pemerintah tetap memegang komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi di desa melalui Dana Desa yang diprioritaskan untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Perekonomian pedesaan yang kuat merupakan pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sehingga Pemerintah akan terus mendukung pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Penggunaan Dana Abadi Tidak Bertentangan Dengan Kewajiban Negara Memenuhi Hak Atas Pendidikan Pembiayaan APBN di masa Pandemi Covid-19 membutuhkan sumber pendanaan yang cepat dan efisien. Dengan kebutuhan tersebut, Pasal 2 ayat (1) huruf e UU 2/2020 mengatur pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih, dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi pada BUMN sebagai sumber pendanaan APBN. Penggunaan dana abadi pendidikan tidak akan bertentangan dengan kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan karena:
hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19;
sampai saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan dana abadi pendidikan sebagai sumber pendanaan APBN;
apabila dipergunakan, akan menjadi investasi dana abadi pendidikan melalui pembelian SUN dan/atau SBSN yang akan mendapatkan return , bukan sebagai belanja Pemerintah. 148 Pengaturan Refocusing Dan Realokasi Anggaran Melalui Permendagri Tidak Bertentangan Dengan Prinsip Otonomi Daerah Sebagai wujud integrasi kebijakan nasional dan kebijakan daerah, Pasal 3 ayat (1) UU 2/2020 mengatur Pemda melakukan refocusing dan realokasi anggaran daerah dengan prioritas penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya sesuai kondisi masing-masing daerah. Pada kondisi pandemi Covid-19, kecepatan dan ketepatan dalam penyesuaian anggaran daerah menjadi sangat penting. Untuk itu, Pasal 3 ayat (2) UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur mengenai refocusing dan realokasi penggunaan APBD sebagai pedoman bagi seluruh Pemda. Dengan adanya pedoman ini, Pemda dapat segera melakukan penyesuaian anggarannya secara mandiri. Dengan demikian pemberian kewenangan kepada Mendagri tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 8 UU Pemda sebagai pembina dan pengawas pemerintahan daerah, bukan merupakan intervensi Pemerintah Pusat sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Penetapan Rekening Akun Khusus Belanja Covid-19 dan Penetapan Perpres Rincian APBN Sebagai Wujud Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 membutuhkan uang negara yang sangat besar dalam kurun waktu yang singkat. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, Pasal 12 Lampiran UU 2/2020 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan kebijakan keuangan negara dilakukan dengan tata kelola yang baik. Dalam implementasi tata kelola anggaran terkait Covid-19, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2020. Hal ini untuk menjamin seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dipantau dan dievaluasi penggunaannya. Selain itu, dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, Pemerintah bekerja sama dengan aparat penegak hukum meliputi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK untuk melakukan pendampingan Kementerian/Lembaga. Sebagai bentuk transparansi publik, Pemerintah secara rutin menyampaikan perkembangan pelaksanaan kebijakan melalui press conference dan rapat pembahasan dengan DPR. Hal tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk terus menerus melaksanakan 149 seluruh kebijakan keuangan yang ditetapkan dalam UU 2/2020 memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan taat peraturan. Dengan demikian, pada dasarnya UU 2/2020 telah sangat memperhatikan harapan Para Pemohon sebagai warga masyarakat. Mempertimbangkan situasi extraordinary akibat pandemi Covid-19, Pasal 12 ayat (2) UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi bagi Presiden untuk menetapkan perubahan postur sekaligus rincian APBN melalui Perpres. UU 2/2020 pada dasarnya telah menetapkan kebijakan pelebaran defisit APBN TA 2020 sampai dengan APBN TA 2022. Penetapan ini dilakukan sebagai langkah extraordinary penanganan kegentingan memaksa pandemi Covid-19 berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 sekaligus untuk menyesuaikan kebijakan dalam UU APBN TA 2020 yang merupakan pelaksanaan Pasal 23 UUD 1945. Dengan demikian, penetapan pelebaran defisit dalam Lampiran UU 2/2020 sebagai pedoman penyesuaian UU APBN TA 2020 dapat disetarakan dengan UU Perubahan APBN dalam situasi kegentingan memaksa. Amanat perubahan postur dalam Perpres didasarkan situasi yang tidak memungkinkan penetapan melalui proses secara normal. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa penetapan postur APBN dalam Perpres hanya dilakukan untuk TA 2020. Untuk TA 2021 dan tahun-tahun berikutnya, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada kondisi normal sehingga Pemerintah sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Kewenangan LPS Sesuai UU 2/2020 Merupakan Penegasan Kewenangan Yang Telah Diberikan Oleh Undang-undang Terdahulu Untuk Penanganan Kesulitan Likuiditas LPS Dalam Menyelamatkan Bank Gagal dan Menghindarkan Negara Dari Krisis Ekonomi Sebagaimana telah Pemerintah sampaikan, dampak pandemi Covid-19 telah secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Selain itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, perlu memperkuat landasan hukum bagi LPS dalam melakukan tindakan antisipasi 150 penanganan permasalahan bank dan resolusi bank gagal baik bank sistemik maupun bank selain bank sistemik. Sampai saat ini, stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Namun perlu melakukan kebijakan antisipatif ( forward looking ) dengan menegaskan kembali sumber-sumber pendanaan yang dapat diperoleh LPS untuk menjaga kecukupan likuiditasnya ( vide Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020). Salah satu sumber pendanaan LPS adalah melakukan melakukan pinjaman kepada pihak lain dan/atau Pemerintah yang juga telah diatur dalam Undang-Undang terdahulu yaitu UU LPS, UU OJK, dan UU PPKSK. Pinjaman kepada pihak lain dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Hal ini juga sesuai dengan best practice yang dijalankan di negara-negara lain yang memiliki lembaga resolusi perbankan. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Pemberian pinjaman kepada LPS dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPR dalam APBN kecuali untuk APBN TA 2020 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Persyaratan persetujuan DPR hanya diberlakukan untuk pinjaman kepada Pemerintah karena bersumber dari APBN dan tidak dipersyaratkan untuk pinjaman LPS kepada pihak lain sebagaimana juga diatur dalam UU terdahulu. Sampai saat ini, LPS masih memiliki kecukupan likuiditas. Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Kebijakan ini merupakan langkah antisipatif ( forward looking ) untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah yang akan dilaksanakan apabila terjadi pemburukan perekonomian yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa program penjaminan dimaksud bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). 151 Perintah Tertulis OJK Sebagai Instrumen Menjaga Keberlangsungan Lembaga Keuangan Dalam Rangka Meningkatkan Resiliensi Sistem Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) yang telah diatur dalam UU OJK dan UU PPKSK. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis OJK tersebut, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengancam stabilitas sistem keuangan maka ancaman sanksi diperberat dibandingkan sanksi dalam UU OJK. Pemberian sanksi dimaksud merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum yang harus dijaga oleh OJK selaku lembaga pengawas jasa keuangan, bukan kesewenang-wenangan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Perlindungan Hukum Dalam UU 2/2020 Sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi Pengambil Kebijakan Dalam Bertindak Sesuai Kewenangannya Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan 152 memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Teori imunitas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara, dengan demikian tidak mengherankan ketentuan serupa merupakan hal yang precedented . Di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP, Pasal 48 UU PPKSK, Pasal 22 UU Pengampunan Pajak, Pasal 45 UU Bank Indonesia, Pasal 36A ayat (5) UU KUP, Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 224 ayat (1) UU MD3, Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 26 UU BPK mengatur pemberian perlindungan hukum serupa. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking 153 Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 bukan merupakan kerugian negara didasarkan pada pertimbangan antisipatif antara lain adanya kondisi bahwa biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan penyelamatan perbankan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan tidak sepenuhnya ter- recovery . Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan wewenang para pelaksana UU 2/2020 dilandaskan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sangat beralasan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam keuangan negara yang menjadi pedoman bagi pemeriksa baik BPK maupun APH bahwa terjadinya kerugian negara harus dikaitkan dengan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal tersebut mengadopsi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Pemberian Kepastian Norma Hukum Melalui Harmonisasi Keberlakuan Norma UU Yang Terdampak Norma dalam UU 2/2020 Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau penyesuaian undang-undang terdahulu dalam rangka penanganan pandemi Covid- 19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Dengan demikian, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai 154 dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan sewenang-wenang sesuai dalil Para Pemohon. Sebelum mengakhiri Keterangan Presiden ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan fakta-fakta perbaikan kondisi perekonomian di Kuartal II 2020 sebagai implikasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah berdasarkan kebijakan dalam UU 2/2020. Beberapa indikator sektoral telah bergerak ke arah positif pada bulan Juni 2020. Membaiknya perdagangan internasional telah mendorong kinerja perpajakan. Pada sektor riil, konsumsi masyarakat mengalami rebound namun masih lemah. Selain itu, degup ekonomi pada bidang konstruksi mulai naik serta produksi dalam negeri mulai tumbuh. Cadangan devisa juga meningkat didukung dengan penerbitan SBN Valas. Aktivitas ekspor impor juga menunjukkan tren membaik dengan potensi ekspor ke Tiongkok yang mulai tumbuh. Pada sektor moneter dan keuangan, yield SBN kembali ke kondisi awal tahun 2020, likuiditas perbankan terjaga serta inflasi dalam kondisi terkendali. Implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional yang efektif telah menjadi penggerak utama dari pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih mempercepat pemulihan ekonomi, Pemerintah juga telah menerbitkan program baru yaitu pemberian insentif bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta/bulan. Mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2020 yang terkontraksi (minus) 5,32 persen serta realisasi data perekonomian dan sektor keuangan hingga akhir Kuartal III 2020, optimisme terhadap magnitude perbaikan di paruh kedua tahun 2020 perlu sedikit disesuaikan. Dalam hal ini, kendati masih diyakini bahwa kondisi Kuartal III 2020 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya namun besaran tingkat recovery diperkirakan tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah akan tetap terus antisipatif dan adaptif terhadap perkembangan yang ada termasuk ketidakpastian yang masih akan dihadapi. Dalam hal ini, langkah extraordinary yang koordinatif antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga 155 keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan terus dikalibrasi sesuai dengan perkembangan terkini dan diimplementasikan tanpa keraguan karena telah memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU 2/2020. Sebagaimana filsuf berkebangsaan Italia, Cicero, katakan, “ Salus populi suprema lex esto ”, bagi Pemerintah saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara . Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima. Keterangan Presiden I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon pada pokoknya adalah: Gambar 1: Matriks Pengujian UU 2/2020 156 Adapun batu uji yang digunakan oleh Para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: Gambar 2 : Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan Para Pemohon II. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. 157 Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Terhadap legal standing Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020, Pemerintah sampaikan bahwa Para Pihak dalam perkara dimaksud adalah pihak- pihak yang sama dengan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang telah dilakukan pencabutan sesuai Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Para Pemohon dalam perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 sama dengan perkara Nomor 51/PUU- XVIII/2020, hal ini diakui oleh Para Pemohon pada sidang pendahuluan tanggal 15 Juli 2020. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Amar Ketetapan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, Para Pemohon seharusnya tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo . Iii. Keterangan Pemerintah Terhadap Materi Yang Dimohonkan A. Latar Belakang Penerbitan UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai 158 pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home , work from home , dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa 159 likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar 160 yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perppu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perppu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perppu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan 161 untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perppu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perppu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. 162 B. Bantahan Dalil-Dalil Para Pemohon 1. Keterangan Presiden Atas Uji Formil UU 2/2020 Dalam permohonannya, Para Pemohon dalam perkara Nomor 37 dan 45/PUU- XVIII/2020 menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara formil karena pembahasan dan penetapannya tidak pada masa sidang berikutnya. Dalil Pemohon tersebut didasarkan pada penafsiran bahwa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “masa sidang yang berikutnya”. Terhadap dalil Para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang mengadopsi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. ” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 disebutkan “ Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. ” c. Berdasarkan ketentuan Pasal 221 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR), masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 Peraturan Tata Tertib DPR, masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan di dalam gedung DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat penggunaan frasa yang berbeda antara UUD 1945, UU 12/2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR, mengenai norma waktu Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Frasa “Persidangan Yang Berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 sebagai masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Di samping itu, frasa “Masa Sidang Pertama” tidak ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Frasa yang digunakan dalam Peraturan Tata Tertib DPR adalah “Masa Persidangan” yang terdiri dari “Masa Sidang” dan “Masa Reses”. 163 Selanjutnya, tahun sidang dibagi dalam 4 masa persidangan (bukan “masa sidang”) yang dimulai tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Sesuai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masa sidang pertama yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 52 merujuk pada penghitungan norma waktu pemberian persetujuan DPR yaitu setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden, sehingga tidak dapat dimaknai merujuk pada masa persidangan pertama dari 4 masa persidangan dalam 1 tahun masa sidang yang waktunya adalah di bulan Agustus. Selain itu, dalam konteks kegentingan yang memaksa/ state of emergency terbitnya Perppu, frasa “masa sidang pertama” lebih tepat dimaknai sebagai masa persidangan terdekat/tercepat setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden. Prof. Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi/Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, FHUI) menyatakan Perppu jangka waktunya terbatas (sementara), sehingga secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, maka setelah Perppu 1/2020 diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR pada tanggal 1 April 2020. Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional mengakibatkan diperlukannya dana yang besar untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha. Perppu 1/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Pelaksanaan kebijakan Perppu 1/2020 sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 maupun ancaman terhadap perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang menyertainya memerlukan pengeluaran yang sangat besar dan berkelanjutan. Kebijakan extraordinary melalui Perppu 1/2020 yang diputuskan oleh Presiden dalam situasi kegentingan memaksa sebagai implementasi hak subjektif Presiden sesuai mandat konstitusi membutuhkan kepastian yang segera untuk keberlanjutan dalam pelaksanaannya sehingga perlu segera mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. 164 Respon DPR yang secara cepat dalam proses pembahasan dan persetujuan Perppu 1/2020 merupakan wujud kesamaan pandangan wakil rakyat atas kondisi kegentingan memaksa yang harus diambil Pemerintah dan untuk memberikan kepastian keberlanjutan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Perppu 1/2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk penyelamatan masyarakat dan negara di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR tersebut merupakan wujud penyelamatan rakyat sebagaimana adagium “Salus Populi Suprema Lex Esto” dari Cicero yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebagai respon atas situasi kegentingan memaksa dan dengan tujuan perlindungan kepada rakyat dan Negara dalam situasi extraordinary , maka persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020, menurut Pemerintah perlu diapresiasi dan menunjukan ketaatan kepada hukum dan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memenuhi kuorum karena dilakukan melalui rapat virtual dan tidak dilakukan voting , dapat Pemerintah sampaikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3), kuorum rapat DPR terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi.
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Kehadiran secara virtual Anggota DPR dalam Rapat Paripurna tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap kebijakan physical distancing sebagai protokol pencegahan Covid-19 dalam situasi extraordinary dan telah menjadi proses bisnis dalam era new normal di seluruh lembaga/institusi/masyarakat. 165 Dengan demikian, kehadiran secara virtual harus diperlakukan sama dengan kehadiran secara fisik sehingga sekali tidak mengurangi esensi dari pemenuhan kuorum. Dalam kehadiran secara virtual, para Anggota DPR tetap dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sebagai forum tertinggi persetujuan pengesahan Perpu 1/2020 telah memenuhi kuorum sebagaimana dipersyaratkan UU MD3.
Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 terdapat 1 fraksi yang tidak menyetujui, sedangkan 8 fraksi lainnya menyatakan menyetujui. Dengan demikian, karena hanya 1 fraksi yang tidak menyetujui, Ketua DPR menyatakan penetapan Perppu menjadi UU melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor 5/DPR RI/III/2019-2020 tanggal 12 Mei 2020. Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan pembahasan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 harus melibatkan DPD, dapat Pemerintah sampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu cukup mendapat persetujuan DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, kewenangan untuk memberikan persetujuan atas Perppu ada pada DPR. Namun demikian, baik dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 maupun UU 2/2020, Pemerintah tetap melaksanakan konsultasi dengan DPD. Terhadap pengujian formil yang diajukan Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020, perlu Pemerintah sampaikan bahwa pengujian formil dimaksud telah melewati tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari untuk mengajukan pengujian formil sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tenggat waktu pengajuan pengujian formil undang-undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang disahkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI.
Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan Para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil Para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam 166 Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020.
Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif ( forward looking ) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. 167 Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan. Selain itu, terhadap dalil Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta UU 2/2020 perlu ada batas waktu berlakunya yaitu sepanjang masa darurat penanganan Covid-19 atau sampai dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut oleh Presiden maka dapat Pemerintah sampaikan bahwa Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk penanganan Covid-19 beserta efek domino yang ditimbulkan terhadap perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan. Tingkat kedalaman efek domino yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tidak dapat diukur secara pasti seiring dengan ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Bahwa dengan ketidakpastian pandemi Covid-19, UU 2/2020 telah mengantisipasi hal tersebut untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi yang sangat tergantung kepada kedalaman dampak pemburukan ekonomi yang terjadi namun dalam ketentuan tertentu ada batas waktu berlakunya. Dengan demikian, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. 168 Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas akhir berlakunya Perppu. Namun demikian, terkait dengan hal ini dapat Pemerintah sampaikan bahwa secara substansi, kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dibatasi untuk penanganan pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, namun pada prinsipnya Pemerintah secara konsisten menjaga akuntabilitas pelaksanaan anggaran antara lain tercermin dalam penetapan pelebaran defisit. Meskipun terdapat fleksibilitas pelebaran defisit, namun mulai tahun anggaran 2021 Pemerintah akan menyampaikan UU APBN yang di dalamnya juga dibahas mengenai defisit sehingga besaran pelebaran defisit akan ditentukan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, keberlakuan UU 2/2020 tidak memiliki jangka waktu dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Ketidakpastian tersebut terbukti dengan masih adanya peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini sehingga sebagian Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Harapan perbaikan perekonomian di Kuartal III 2020 dari -5,32% di Kuartal II 2020 menjadi positif diprediksi tidak mungkin terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang 169 ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Namun demikian, terdapat ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 yang dibatasi masa keberlakuannya, seperti:
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 Lampiran UU 2/2020 yang mengatur mengenai pelebaran defisit APBN; __ b. Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan mengacu pada penetapan periode kahar akibat pandemi Covid-19;
Kebijakan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 bertujuan untuk mengatasi permasalahan pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19. Penetapan berakhirnya kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19 tersebut ditetapkan oleh KSSK sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perppu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden 170 sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama , kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. 171 Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha 172 Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB).
Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.
Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. 173 c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp 695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp 123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp 106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp 53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp 120,61 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: Gambar 3 : Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional 174 Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian 175 realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan ( sustainability ) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid- 19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam 176 ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback .
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pengaturan insentif pajak harus diikuti dengan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)”, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pengaturan terkait ketenagakerjaan terutama terkait PHK telah diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan. Adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh pihak. Selain itu, atas dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 harus ditambahkan frasa “ paling tinggi ” sesuai dengan sektor usaha tertentu, perlu Pemerintah sampaikan bahwa apabila mengikuti logika Pemohon dimaksud, maka dibutuhkan pengaturan mengenai kriteria Wajib Pajak dan batas-batas ( range ) 177 besaran tarif PPh yang akan dikenakan. Di samping itu, dalam implementasinya akan sulit untuk menentukan bidang-bidang usaha wajib pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan, karena secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral. Dengan demikian, penambahan frasa “ paling tinggi ” yang didalilkan Pemohon akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam implementasi pemajakannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 juga berpendapat jika seharusnya pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b memberikan insentif pajak secara maksimal kepada badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19. Terhadap dalil tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pemberian insentif penurunan PPh badan diberikan kepada seluruh dunia usaha karena tidak dapat dipungkiri jika dampak akibat Covid- 19 dialami oleh semua sektor usaha. Beberapa kebijakan Pemerintah antara lain pembatasan sosial ( social/physical distancing ), pembatasan perjalanan, karantina wilayah, bekerja dari rumah ( work from home ) dan tetap tinggal di rumah ( stay at home ) telah berdampak pada menurunnya aktivitas perekonomian dan merosotnya pertumbuhan bisnis di segala bidang. Oleh karena itu, tarif yang bersifat tunggal, berlaku umum dan universal untuk seluruh wajib pajak badan dalam negeri dan BUT dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid- 19, Pemerintah telah memberikan fasilitas tambahan yaitu fasilitas pembebasan kepabeanan. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home , maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya 178 belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan MK Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud , perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai 179 konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence) , (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan , dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. 180 Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business- to-Business ( B2B ), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business- to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment. 5) Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 : Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineering, design, etc) Recording Media + Manual installment Express Consignment / imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T Handphone Software In gadget Express Consignment / import for home use Imported separately/ electronic Transmission Online 44,75 T 181 Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah (loopholes) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. Berikutnya terkait dengan dalil Para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perppu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut: 182 1) Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.
Lebih lanjut, Para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: a) akan menutup celah pengaturan ( loopholes ) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha ( level of playing field ) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan ( fairness ) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi 183 berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka __ kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian 184 kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum.” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang ( opened legal policy ) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. 185 Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru ( precedented ), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, Para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena Para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di masa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk 186 tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang- barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid- 19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan 187 dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena- mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter- fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: " Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran 188 obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Diantara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. 189 Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan 190 perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian 191 SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods . SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk non-public goods korporasi sebesar Rp53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate . __ Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5 : Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia 192 Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat” . Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan peraturan-perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:
Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: 193 a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. Dengan adanya ketentuan last resort , memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.
Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). 194 Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh Para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan 195 dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary . Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. 196 5) Penggunaan Dana Abadi Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalilnya menyatakan Pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19 sehingga bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan. Terkait hal tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 UU 2/2020 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, Pemerintah berwenang untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan . Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan sumber- sumber lain yang ada. Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan sumber pembiayaan dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19. Dalam hal akan digunakan, maka penggunaan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 dilakukan dengan cara private placement melalui pembelian surat berharga negara. Dengan demikian, dana abadi dan akumulasi dana tersebut tidak akan digunakan sebagai belanja namun lebih kepada investasi melalui pembelian SBN/SBSN tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekhawatiran Pemohon mengenai penggunaan dana abadi yang bertentangan dengan esensi dari dana pendidikan itu sendiri tidak perlu lagi dipermasalahkan, dikarenakan dana abadi masih tetap utuh dan tidak digunakan sebagai belanja.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan 197 menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas- luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi 198 untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/ refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing , perubahan 199 alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. Terhadap dalil Pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelaksanaan kebijakan keuangan negara tidak menggunakan rekening khusus, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam tata kelola penganggaran, Pemerintah telah menetapkan 200 akun khusus belanja Covid-19 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 43 Tahun 2020 sehingga seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dilakukan monitoring penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Selain itu, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga telah menerbitkan rekening khusus untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan Program PEN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan PMK Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kebijakan- kebijakan di bidang keuangan negara. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada 201 Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil Para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 202 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas ( vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);
melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan 203 solvabilitas ( vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN);
melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal ( vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 11 UU LPS). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan Bank, baik itu Bank Sistemik maupun Bank Selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat 204 dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis (vide Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK). Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif 205 pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:
Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “ Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding , dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” 206 For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan.
Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent . 207 Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 s.d. Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal , sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU- XII/2014 yang menyatakan bahwa: “ Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama 208 penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary . Selain dapat 209 memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau 210 tindakan pengawasan OJK ( vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang P3IK Bank Umum). Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk 211 penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan frasa “ bukan merupakan kerugian negara ” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya 212 dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances , dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum . Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 ( check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. 213 Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh:
Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;
Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer , masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. 214 Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary . Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru ( precedented ) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain: 215 a. Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK);
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa diantara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: 216 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” diubah menjadi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum.” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “ kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud. ” Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi 217 ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila Para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” . Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. 218 Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan
tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 219 Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya” . Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana ( actus reus ) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/ mens rea ).
Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea ), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang 220 dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions , FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee , perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: 221 “ Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith.” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk ( mens rea ) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan ( vide pasal 222 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus . Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai 223 wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi UU 2/2020 Dengan UU Terdampak Lahirnya Lampiran UU 2/2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau memerlukan penyesuaian dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Oleh karena itu, terhadap norma- norma yang dilakukan penyesuaian dalam Lampiran UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan yang sewenang-wenang ( constitutional dictatorship ) sesuai dalil Para Pemohon. Berdasarkan teori peraturan perundang-undangan, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 berlaku sebagai ketentuan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan yang dikesampingkan. Hal tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk melakukan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary untuk melakukan penanganan permasalahan Covid-19 secara cepat dan penanganan dampaknya yang luar biasa terhadap ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan, tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada undang-undang 224 yang ada sebelum UU 2/2020 yang memang kurang memadai untuk penanganan kepentingan tersebut. Pernyataan Para Pemohon yang menyampaikan bahwa Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 menimbulkan kesewenang-wenangan dan constitutional dictatorship adalah pernyataan yang tidak benar dan sangat berlebihan. Pemohon telah salah menafsirkan constitutional dictatorship sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Dalam ilmu hukum konstitusi, constitutional dictatorship merupakan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional, "No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake" . Lampiran UU 2/2020 diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa sebagaimana fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, dan merupakan instrumen hukum yang diberikan kepada Presiden untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan menerbitkan Perppu. Filosofi constitutional dictatorship yang tersirat pada Pasal 22 UUD 1945 dalam konteks kedaruratan merupakan wujud nyata kehadiran Pemerintah dalam mengatasi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19 dan bukan merupakan makna negatif sebagai penyelewengan kekuasaan. Dengan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pendapat subjektif Presiden mengenai perlunya penerbitan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa telah disetujui DPR sebagai lembaga wakil rakyat. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). 225 Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain itu, Presiden telah mengajukan 3 (tiga) ahli yakni Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum., yang telah di dengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 29 April 2021. Pemerintah juga telah menyerahkan keterangan tertulis ahli lainya yakni Chandra M. Hamzah, S.H., Prof. Denny Indrayana, SH., LL.M., Ph.D., dan Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 Juni 2021 , yang masing-masing memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Pendahuluan. Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hukum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing-masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan- hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan 226 negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency). Paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid -19 Adalah Keadaan Bahaya Yang Mengancam Dunia. Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang-wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, 227 dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemik yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemic tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemic. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu 228 keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000 (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggeris, Irlandia, Jerman, Perancis Spanyol dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan 229 untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan social, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industry perhotelan, industry pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hokum yang berlaku sebagaimana diatur 230 dalam konstitusi. Konstitusi – sebagaimana disebut diatas – sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan – kekuasaan atau kewenangan yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit – semacam undang-undang- tertanggal 13 September 1939 No. 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hukum tatanegara biasa menjadi hukum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer . Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang- undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu 231 Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktek Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relatif stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan – meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat- 232 syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang- undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, output nya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat . Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di media sosial. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid 19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan covid-19 sebagaimana telah disebut diatas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya , karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hokum yang innovative untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hukum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa 233 tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation. Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations”. Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hokum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hokum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan ( keberlakuannya ) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency . Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat 234 dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:
sifatnya yang sementara _(temporary character); _ 2. pengakuan akan sifat khusus (exceptional) dari keadaan darurat _; _ 3. pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus , yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan 235 hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut. B. State of Siege. Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “ dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku 236 state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege. Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu:
Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang- undang kepada eksekutif; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri-menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan.
C. Martial Law -Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law, yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang- undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa. Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi 237 beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 Ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hokum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan (meta-rule) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hukum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta - rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi: “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States…” 238 Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hukum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argument kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review. Tahun 1980, Gubernur-gubernur Negara Bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai 239 akibatnya Congres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Mongomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa. Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrument mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of exigencies ( keadaan genting) __ ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur- prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “ Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, 240 maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu. Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pengertian hal ihkwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “ kegentingan memaksa”, yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemic yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. 241 Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “ untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi-Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaccine tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga 242 negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat , maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman dibawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999, masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal (state of normalcy ) Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis, yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal? __ Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional 243 dictatorship, memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu. Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point, Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun `1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu nomor 23 tahun 1959 yang didasakan pada Pasal 12 dan 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sipil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang” dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perppu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis dan harus memuat pengawasan dari lembaga judisial. Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan: “bila negara dalam emergency law, maka perlu _diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan ketentuan:
_ Providing for legislative and judicial oversight for the executive, 2. Limiting exceptional measures to those strictly necessary, 3. Ensuring that such powers endure only for the duration of outbreak. Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight. Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta….”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa deficit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. HukumTata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga 244 berubah emergency law (staatsnoodrecht) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland, dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “limited state of emergency” , dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara -HukumAdministrasi Negara bisa menemukan istilah, ump HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights) sampai Pasal 360 (provision as financial emergency) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress. Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 Juncto Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam Judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi undang-undang nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 245 (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklasifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak;
Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan
Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perpu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu 246 tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemic Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum defisit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan
Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. 247 f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum defisit. Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perpu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemic Covid- 19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemic Covid-19. i). Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah. 248 1) Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid- 19. i) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perppu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. j) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahaan ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan 2) Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. k) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN; 249 3) Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkue tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana;
Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan
Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis 250 yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi merumuskan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat 2 adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Mahfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “juristerij ”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 251 memberikan kekebalan hukum tidak tepat, karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang-undangan. Mahfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu Yang Tidak Dikenal Perbedaannya. Kami menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”, yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang-undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT Nomor 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hukum formil maupun 252 hukum materiil. Pembatasan waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak. Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang- undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hukum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, 253 yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara serta eksistensinya. Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang-undang , terutama karena kewenangan legislative merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang-Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu , yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hukum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hukum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan) , maka Perpu jenis kewenangan darurat (emergency power) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hukum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir . Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis , yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules . 254 Kesimpulan. Berdasarkan seluruh uraian diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini:
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut;
Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan sosial ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis di segala bidang yang mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi; 255 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah.
Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M. Ec ▪ Ahli menyampaikan paparan mengenai peran APBN dalam pemulihan ekonomi. Isu yang dibahas ada tiga hal. Yang pertama adalah bagaimana dampak Covid-19 bagi perekonomian dunia? Kemudian yang kedua adalah bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia? Dan yang ketiga, mengapa fiskal stimulus atau pelebaran defisit itu dibutuhkan untuk mengatasi situasi ini. ▪ Bahwa bagaimana penyebaran Covid-19 terus mengalami eskalasi kenaikan masih tinggi secara global dan juga terjadi di Indonesia. Jika ahli menggunakan angka maka setiap hari berubah, per 14 Februari, 109.400.000 orang yang terkena dampak dari Covid-19 di 218 negara. Dengan tingkat kematian 2.300.00 orang. ▪ Bahwa dari sini saja kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di dalam pandemi ini adalah sesuatu yang luar biasa, tingkat kematian yang luar biasa, jumlah infected cases atau mereka yang tertular yang jumlahnya luar biasa dan kasus ini terus meningkat. ▪ Bahwa jika mengikuti berita pada beberapa waktu terakhir ini kita mulai melihat bahwa gelombang ketiga terjadi di India. Dimana kasus dari infected cases meningkat begitu tajam. Hal yang sama terjadi juga di beberapa negara Eropa dan bahkan di dalam beberapa hari terakhir kita mulai melihat di beberapa negara tetangga kita seperti Filipina, Malaysia, Thailand bahwa peningkatan kasus terjadi. Kita berharap bahwa mudah-mudahan gelombang ketiga tidak terjadi di Indonesia, tetapi kita harus tetap waspada. ▪ Bahwa akibat dari Pandemi Covid-19 ini, maka pemerintah berbagai negara harus mengambil tindakan yang di luar normal atau di luar kebiasaan. Mengapa itu harus dilakukan? Karena cara untuk mengatasi pandemi adalah meminta agar orang menghindari kerumunan, menghindari aktifitas, atau menjaga jarak. Yang kita kenal di sini dengan nama pada waktu bulan Maret 256 tahun lalu adalah PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar). Di berbagai negara lain ini dijalankan dalam bentuk yang disebut sebagai lockdown . ▪ Bahwa Implikasi dari lockdown adalah meminta orang untuk tinggal di rumah. Padahal kita tahu esensi dari aktifitas ekonomi adalah aktifitas pasar dan pasar per definisi adalah tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa, baik secara fisik maupun secara virtual. Tetapi di dalam kasus ini karena orang diminta untuk tidak berinteraksi, maka aktifitas pasar kolaps di seluruh dunia. Kecuali yang bisa dilakukan secara virtual. Itu sebabnya, pada pagi hari ini pun kita melakukan sidang secara virtual. ▪ Bahwa yang menarik untuk diamati adalah dengan dampak yang sebegitu besar ternyata Indonesia relatif mampu, saya mengatakan relatif karena kontraksi ekonomi tetap terjadi, relatif mampu menghadapi situasi pandemi ini di dalam konteks ekonomi dengan lumayan. Karena apa? Karena kinerja kita tidak sebaik Vietnam yang membukukan pertumbuhan positif 2,9% di tahun 2020, atau seperti Tiongkok yang punya pertumbuhan positif 2,3%, atau Korea Selatan yang -,1%. ▪ Bahwa pertumbuhan kita tahun lalu negatif 2,1%. Kita mengalami kontraksi 2,1%. Tetapi kalau kita melihat bahwa 2,1% ini relatif lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Rusia, Amerika, Jerman, Malaysia, Singapura, dan sebagainya. Bahwa yang dilakukan di sini, yang pertama adalah karena Indonesia tidak melakukan lockdown secara ketat seperti yang dilakukan di beberapa negara. Kecuali di dalam kasus Tiongkok dan Vietnam, mereka melakukan lockdown secara ketat dan mampu mengatasi pandemi dalam waktu singkat. Di dalam kasus kita, kita melakukan PSBB, tidak seketat di negara lain, tetapi pandeminya agak berlangsung lama. Nah, sekarang kita bisa melihat bahwa misalnya Singapura dengan pengetatan yang dilakukan, recovery ekonominya mungkin relatif lebih cepat. Tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa tahun 2020, kinerja kita sebetulnya relatif lumayan. ▪ Pertanyaannya adalah apa yang menjelaskan ini, ya, selain tadi faktor mengenai penerapan PSBB? Penjelasannya adalah kebijakan atau respons dari pemerintah, salah satunya melalui fiskal stimulus. ▪ Bahwa pertanyaan paling penting adalah bagaimana dampak Covid ini terhadap Indonesia? Ahli mencoba menggunakan data untuk membandingkan kondisi pra-Covid dengan kondisi Covid. Jadi, sebagai batas Januari 2020 257 sebelum Covid terjadi, Ahli anggap sebagai kondisi pra-Covid, dimana basisnya Ahli nyatakan sebagai 100. Jika angkanya di bawah 100, berarti kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. Tetapi bila angkanya di atas 100, maka kondisi Covidnya lebih baik dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. ▪ Siapa yang paling terpukul akibat dari pandemi Covid? mereka adalah sektor informal. Pendapatan mereka turun 30%. Bagaimana dengan wirausaha? Pendapatannya turun 15%. Sedangkan pekerja tetap dengan gaji atau pekerja dengan gaji tetap, hampir tidak terdampak, kecuali kalau mereka kehilangan pekerjaan. ▪ Bahwa yang terpukul paling berat adalah mereka yang berada di sektor informal. Siapa itu yang berada di sektor informal? Kelompok yang rentan, pendapatan menengah bawah, perempuan, dan anak-anak. Itulah sebabnya di berbagai media pada waktu pendemi mulai terjadi, Ahli mengatakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan bantuan langsung tunai atau cash transfer. Karena di dalam kondisi ini, kita tidak mungkin memberikan pekerjaan karena PSBB ( lockdown ). Yang bisa dilakukan adalah mengompensasi ketika orang tinggal di rumah (people are paid to stay at home). Apa akibatnya? Tingkat pengangguran terbuka, naik dari 5,28% menjadi 7,07%. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19%. Ahli ingin menyatakan satu hal di sini, Pengangguran di Indonesia, itu adalah barang mewah. Hanya orang kaya yang bisa menganggur. Kalau orang itu miskin, maka dia harus bekerja, bekerja apa saja. Bila tidak, dia tidak bisa makan. Maka Ahli bisa mengatakan, walaupun pengangguran terbukanya naik hanya dari 5,28% kepada 7,07%, tetapi sebetulnya dampak riilnya mungkin jauh lebih besar. Karena orang yang miskin kalau dia tidak ada pendapatan, dia akan meninggal. Maka, yang dia lakukan adalah pekerjaan apa saja, asal bisa hidup. Akibatnya, datanya tidak ada di sini. ▪ Bahwa sektor informal itu meningkat karena orang itu bekerja apa saja, istilahnya poor to be unemployed . Jadi, angka kita 7,07% itu masih dalam relatif sebetulnya angka yang sangat konservatif karena definisi yang kita punya. Angka kemiskinan yang 10,19% sedikit-banyak, hal tersebut terbantu karena program dari BLT atau cash transfer dan perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah. 258 ▪ Bahwa rasio dari tabungan terhadap pendapatan untuk kelompok yang pengeluaraannya di bawah Rp.4.000.000,00 mengalami penurunan. Ini memperkuat argumen Ahli bahwa yang terukur dengan pandemi adalah kelompok menengah bawah. ▪ Bahwa yang menarik adalah melihat kelompok pendapatan di atas Rp.5.000.000,00, rasio dari tabungan terhadap total pendapatannya meningkat. Kelompok menengah atas atau kelompok atas justru tabungannya meningkat. Mengapa ini terjadi? Karena di dalam porsi konsumsi, orang ketika pendapatannya rendah, dia akan fokus membelanjakan pendapatannya pada kebutuhan pokok (essential goods), sedangkan meraka yang relatif kaya, porsi dari makanan itu relatif rendah. Karena orang kalau dia makan tiga kali sehari, bukan berarti kalau kemudian dia menjadi kaya, dia makan 12 kali sehari. ▪ Bahwa di dalam pandemi menengah atas hanya membelanjakan kebutuhan esensialnya karena dia tidak membutuhkan jas, dia tidak membutuhkan pakaian kantor karena dia bekerja di rumah, dia tidak membutuhkan tas kantor, akibatnya tabungannya meningkat. Jadi, kita bisa melihat, bahwa dampak dari pandemi ini adalah akan munculnya ketimpangan pendapatan. ▪ Bahwa dari segi pertumbuhan PDB, sebetulnya Indonesia sudah mencapai titik pertumbuhan terendah pada triwulan II tahun 2020 ketika pertumbuhan kita minus 5,3%. Setelah itu, masih mengalami kontraksi, tetapi kontraksinya lebih kecil, minus 3,49%, minus 2,19%. Perkiraan Ahli adalah di dalam triwulan I 2021 kita mungkin masih mengalami kontraksi minus 0,5% dan baru akan positif pada triwulan II tahun 2021. ▪ Bahwa pertanyaannya adalah mengapa Indonesia mampu melalukan pembalikan atau turneral pada triwulan III. Jadi, triwulan II terburuk, kemudian triwulan III meningkat? Bahwa seluruh komponen di dalam produk domestik bruto mengalami pertumbuhan negatif, konsumsi rumah tangga, investasi ekspor-impor, kecuali konsumsi pemerintah pada triwulan III. Kita bisa melihat di sini bahwa konsumsi pemerintah mengalami peningkatan. Inilah yang menjelaskan mengapa ekonomi kita bisa mengalami turneral. Jadi, dari grafik ini Ahli mengatakan bahwa fiskal stimulus yang dilakukan pemerintah telah memberikan dampak sedikitnya memitigasi dampak dari pandemi ini. Inilah alasan mengapa fiskal stimulus perlu dilakukan. 259 ▪ Bahwa baik kelompok pendapatan atas, menengah, maupun bawah, di dalam frekuensi belanja sudah kembali di atas normal dan ini kondisinya membaik setelah triwulan III tahun 2020. Jadi, kembali lagi efek dari bantuan sosial dari fiskal stimulus itu memberikan dampak Frekuensi belanja sudah kembali normal. ▪ Bahwa Ahli bicara frekuensi. Artinya, orang sering belanja, tetapi yang dibelanjakan nilainya sedikit. Bahwa yang nilai belanjanya sudah di atas normal, 100 adalah kondisi pra-Covid, di atas kondisi normal, itu adalah kelompok menengah bawah. Kenapa? Karena mereka harus mengonsumsi essential goods, makanan, aktivitas sehari-hari. Tetapi belanja dari kelompok menengah atas atau kelompok atas itu masih di bawah kondisi prapandemi. Mengapa itu terjadi? Di dalam kelompok menengah bawah, mereka mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Ini yang mendorong pendapatannya mengalami peningkatan, spending-nya mengalami peningkatan. ▪ Bagaimana dengan kelompok menengah atas? Mereka tidak dapat bantuan sosial, tetapi mereka punya tabungan. Tapi mengapa konsumsinya hal tersebut tidak kembali kepada kondisi prapandemi? Penjelasannya sederhana, porsi terbesar dari kelompok atas, adalah traveling, hal tersebut adalah entertainment, lecteur, kita bisa mengecek di sosial media, di Intagram, di Facebook, di mana-mana bahwa ciri dari identitas dari kelas menengah atas adalah perjalanannya, entah ke luar negeri atau makan di restoran, aktivitas itu tidak bisa dilakukan sekarang. Itu yang menjelaskan bahwa belanja dari kelas menengah atas masih di bawah normal. ▪ Bahwa yang terjadi program dari stimulus fiskal berhasil mendorong belanja dari kelompok menengah bawah, tetapi tidak menengah atas. Dan masuk akal karena belanja atau konsumsi menengah atas akan tergantung dari kemamupuan pemerintah mengatasi pandemi karena konsumsi mereka itu berkaitan dengan mobilitas, traveling, entertainment, lecteur yang aktivitasnya terganggu, misalnya seperti bioskop, café, dan segala macam akibat pandemi. ▪ Apa yang akan terjadi jika kemudian aktivitas ekonomi mengalami penurunan dengan kontraksi yang terjadi? Logikanya sederhana, jika aktivitas ekonomi menurun, maka return, atau imbal, atau balas jasa dari aktivitas sektor itu juga akan mengalami pertumbuhan negatif. Perusahaan mengalami kerugian. Kalau perusahaan mengalami kerugian, maka dia berisiko tidak bisa 260 membayar kreditnya kepada perbankan. Maka meningkatlah yang disebut sebagai non-performing loan . Di dalam konteks ini, OJK melakukan kebijakan dengan merelaksasi dimana kalau kolektibilitasnya satu dan dua tidak dianggap sebagai NPL. Tapi kebijakan ini suatu hari akan berakhir. Ketika tahun 2020 akan berakhir, kita akan melihat mengenai risiko dari kredit macet yang riil pada tahun depan. Karena direksasinya berakhir, pada saat itu kalau sektor perbankan, tidak mendapatkan support, maka ada risiko stabilitas sektor keuangan dan ciri dari sektor keuangan adalah dia bergerak berbadasarkan yang disebut sebagai animal spirit. Jika orang khawatir bahwa satu bank mengalami persoalan, maka kemudian ada risiko kekhawatiran bahwa terjadi rush dan segala macam tergantung dari interconnected -nya. Ahli tidak akan bicara terlalu jauh, tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa risiko di sektor keuangan itu ada, di dalam respons kebijakan apa yang dilakukan? Pemerintah dengan dengan dikeluarkan perppu tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 memfokuskan kepada tiga hal. Yang pertama adalah alokasi belanja untuk kesehatan. Yang kedua adalah alokasi belanja untuk bantuan sosial. Yang ketiga adalah dukungan untuk UMKM karena seperti yang Ahli katakan tadi sektor informal UMKM terpukul. Ini yang kemudian dimunculkan di dalam program yang disebut sebagai program N. Ini adalah bagian dari fiskal stimulus, akibat dari kebijakan yang dilakukan untuk menambah alokasi belanja di dalam sektor kesehatan di dalam perlindungan sosial, memberikan BLT dan segala macam, restrukturisasi di dalam UMKM. ▪ Bahwa ahli belum bicara mengenai tahun 2021 dimana bantuannya diperluas kepada korporasi dan segala macam, maka defisitnya itu harus yang bisa, mau tidak mau akan terjadi melampaui batas defisit 3% yang dinyatakan di dalam undang-undang. Oleh sebab itu, jika pemerintah tetap menetapkan defisitnya hanya 3% pada tahun 2020, maka tidak ada ruang bagi pemerintah untuk melakukan fiskal stimulus. ▪ Bahwa kita bisa membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada fiskal stimulus, maka pembalikan ekonomi atau economic turneral tidak akan terjadi pada triwulan ketiga. Mungkin pada saat ini, kita akan berada dalam situasi yang lebih parah. Karena itu, Ahli mengatakan bahwa di dalam situasi yang genting seperti itu, maka batas defisit 3% harus diperlebar. Ahli ingin menunjukkan 261 bahwa hal ini perlu dilakukan untuk menolong kelompok menengah ke bawah, untuk belanja kesehatan, dan juga UMKM. ▪ Bahwa pemulihan ekonomi di sini totalnya Rp579,78 triliun realisasinya 83,4%. Bahwa yang paling besar itu adalah bantuan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM Rp112,4 triliun, dan kemudian diikuti oleh kesehatan, pembiayaan korporasi realisasinya Rp60,7 triliun, belum terlalu meningkat insentif dunia usaha. Ekspansi belanja perlindungan sosial secara tunai termasuk PKH, insentif kartu praperja, bansos tunai, sembako, pengeluaran konsumsi pemerintah termasuk bantuan UMKM, belanja pegawai, belanja barang operasional, bantuan pemerintah, dan belanja modal termasuk pembangun sarpras kesehatan, pengadaan tanah PSN, dan pengadaan peralatan hankam, dan pembangunan irigasi. ▪ Bahwa Indonesia adalah negara bukan produsen vaksin. Kemampuan Indonesia memulihkan ekonomi akan sangat tergantung dari kemampuan kita mengatasi pandemi. Karena porsi terbesar dari belanja masyarakat adalah yang menengah atas. Menengah atas tidak mau belanja selama pandeminya masih ada. Mereka tidak ada mobilitas. Karena itu, solusinya hanya dua hal kita mengembalikan mobilitas. Caranya adalah satu, dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Kedua, vaksin. ▪ Bahwa jika kita memiliki disiplin seperti yang ada di China, Vietnam, Singapura, maka mungkin role dari vaksin tidak sepenting yang kita hadapi sekarang. Lihat bagaimana negara seperti Australia proses vaksinnya relatif lambat karena mereka mempu membuat kasusnya sangat kecil, Singapura zero cases sekarang, proses vaksinnya bisa lambat. Tetapi dalam kasus di Indonesia protokol kesehatan enforcement-nya masih sangat sulit, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada vaksin. Di dalam konteks vaksin, Indonesia adalah 10 besar negara dengan vaksin tertinggi, di antara negara non-produsen, kita empat besar. ▪ Bahwa ada persoalan sekarang karena ada risiko dari gelombang ketiga, maka semua negara mengatakan mereka tidak lagi mau mengekspor vaksinnya karena untuk mengantisipasi kebutuhan domestiknya. Di dalam konteks ini, maka ada persoalan, kalau persediaan vaksin terbatas, maka pemulihan ekonomi juga akan terbatas. Karena itulah role dari fiskal stimulus menjadi sangat penting untuk memastikan, untuk men-secure bahwa vaksinnya ada. 262 ▪ Bahwa Ahli menunjukkan kalau berbicara mengenai fiskal defisit, sebetulnya angka 6,1%, buat Indonesia hal tersebut relatif kecil, dibandingkan dengan Filipina 7,6%, China apalagi bila dibandingkan dengan Australia 10,6%, Singapura 13,9%, dan Amerika 15,2% dari GDP. ▪ Bahwa ahli sebagai ekonom, seringkali mengadakan semacam webinar dengan investor. Pertanyaan mereka yang selalu muncul adalah apakah Anda yakin cukup 6,1%? Karena yang dibutuhkan adalah stimulus di dalam skala yang masif. Lima dari fiscal policy . Di seluruh dunia pada tahun 2020 adalah whatever it takes , lakukan apapun yang harus dilakukan agar penyelamatan nyawa dan penyelamatan ekonomi bisa terjadi. ▪ Bahwa Joe Biden dengan programnya mengeluarkan US$1,9 triliun, Singapura dengan program fiskal stimulusnya, Indonesia 6,1% relatif kecil. ▪ Bahwa pertanyaannya adalah mengapa kita perlu ekspansi fiskal? Ini adalah sesuatu yang dilakukan secara teknis, sebuah simulasi di dalam modeling. ▪ Bahwa ada dua pilihan di sini, apakah pemerintah pertama kali harus mendorong produksi investasi? Karena logikanya kalau produksi berjalan, investasi naik, kemudian perusahaan akan hire tenaga kerja, orang dapat income , kemudian bisa belanja. Atau yang harus diberikan pertama adalah mendorong konsumsi. Dikasih uang orang belanja, kemudian ada belanja, ada permintaan, maka ketika ada permintaan, perusahaan merespons. ▪ Bahwa dari simulasi yang Ahli lakukan, jika investasi dinaikkan, maka konsumsi rumah tangga itu akan naik. Tetapi bila orang diberikan uang dalam bentuk cash transfer, maka diapun melakukan belanja, maka investasi akan merespons. ▪ Bahwa tingkat bunga dari Bank Indonesia sudah diturunkan, mungkin terendah di dalam sejarah kita, tetapi investasi tidak naik. Mengapa investasi tidak naik? Jadi sudah dapat kredit, tetapi tidak diambil. Mengapa ini dilakukan oleh perusahaan? Mereka mengatakan, “Untuk apa saya ambil uangnya kalau yang beli barang saya enggak ada.” Saya produksi barang dan berakhir sebagai stok. Stok itu adalah cost . Saya butuh gudang, saya butuh apa-apa, yang beli enggak ada. Akibatnya yang menjelaskan kenapa pertumbuhan kredit mengalami penurunan karena permintaannya tidak ada. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan di dalam pemulihan ekonomi itu adalah fiskal stimulus sebagai pengungkit. Caranya dengan memperluas BLT kelas 263 menengah bawah. Bahkan Ahli mengatakan bahwa perluasannya harus lebih besar lagi sebetulnya. Kita enggak tidak bicara mengenai 600.000 tetapi mungkin kita harus bicara dengan angka yang relatif sedikit lebih tinggi walaupun harus selalu berada di bawah upah minimum. Karena kalau BLT-nya sebesar upah minimum, maka orang tidak kerja, dia hanya akan tinggal di rumah menjadi pemalas. Tetapi mungkin bisa diperluas. ▪ Bahwa yang kedua adalah program kesehatan. Kita hanya bisa mengatasi pandemi kalau vaksin gratis. Mungkin kita harus bicara mengenai PCR yang mungkin masih relatif mahal, ini yang harus kita pikirkan. Kalau permintaan sudah ada, baru kita bicara mengenai penjaminan kredit, program yang dilakukan oleh pemerintah sekarang, subsidi bunga, dan sebagainya.
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum. ▪ Pertama, Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. ▪ Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra- ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sehubungan dengan Perppu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan 264 pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang- Undang. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. ▪ Kewenangan pembentukan Perpu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter objektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parameter objektif untuk penggunaan kewenangan diskresi konstitusional tersebut pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU-VII/2009, yang terdiri dari:
. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. ▪ Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “martial law” atau “emergency legislation ”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “martial law”, “emergency law”, atau “emergency legislation” . 265 ▪ Perpu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal. 355). Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perpu sebagai landasan hukum. ▪ S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension ) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perpu sebagai landasan hukum. ▪ Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah 266 diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perpu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. ▪ Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrehct ), kewenangan diskresi juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. ▪ Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi obyek permohonan pengujian dari para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah 267 untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), 268 kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 ▪ Kedua, wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (vide Pasal 1 ayat 3), Pemerintah diberikan wewenang untuk (vide Pasal 2 ayat (1)):
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to giving reasons ) 269 pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocussing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. ▪ Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres Nomor 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan 270 postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. ▪ Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:
. Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur) ;
. Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). ▪ Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam 271 kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. ▪ Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat ▪ Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid-19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. ▪ Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 272 memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. ▪ Lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. ▪ Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid- 19 diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. ▪ Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah- langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat- obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah 273 penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. ▪ Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. ▪ Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). ▪ Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama , menyangkut obyeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua , menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank 274 Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga , dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat , dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor- aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU Nomor 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. ▪ Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. ▪ Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid- 19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar RP 13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah 275 mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp. 53 triliun. ▪ Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. ▪ Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp 765 triliun (dengan kurs Rp 17 ribu). Mereka mengatakan ada € 2 miliar atau sekitar Rp 34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. ▪ Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. ▪ Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada 276 Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan. Pemaknaan Kerugian Negara Dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, 277 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Terhadap ketentuan tersebut, dapat Ahli sampaikan bahwa rumusan seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bukanlah hal baru. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“ UU Krisis Sistem Keuangan ”) memiliki kemiripan dalam rumusan pasalnya, sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan : “Cukup jelas” Frasa “kerugian negara” setidaknya ditemukan dalam 3 (tiga) undang-undang lainnya, yaitu:
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara (“ UU Perbendaharaan Negara ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 3. Bagian I Umum Penjelasan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU Tipikor ”), sebagai berikut: Paragraf kedua : “Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.” Dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK, dalam pengertian frasa “kerugian negara/daerah”, sudah terkandung unsur “perbuatan melawan hukum”, sudah terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. 278 Sedangkan pada UU Tipikor, dalam pengertian frasa “kerugian negara” belum terkandung unsur “melawan hukum”, belum terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Perbuatan korupsi-nya yang mengandung unsur melawan hukum, bukan kerugian negaranya. Selain dapat disimpulkan berdasarkan Bagian I Penjelasan Umum Atas UU Tipikor sebagaimana telah dikutip pada butir 3 di atas, hal ini juga dapat dilihat dalam rumusan delik pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dalam UU Tipikor adalah ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum ”. Sedangkan, kerugian negara adalah sebagai akibat dari perbuatan (melawan hukum) dimaksud. Jadi, dalam sudut pandang UU Tipikor, “kerugian negara” yang disebabkan perbuatan korupsi (melawan hukum) saja yang merupakan suatu tindak pidana. Konsekuensinya, terdapat dua kategorisasi kerugian negara, sebagaimana diagram sebagai berikut: Apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU Tipikor, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum, maka hal tersebut bukan tindak pidana (korupsi) . Kerugian Negara Akibat Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Akibat Perbuatan Menurut Hukum Bukan Tindak Pidana 279 Sedangkan, apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut bukan kerugian negara . Kewenangan BPK/BPKP Untuk Memeriksa Adanya Kerugian Negara Dalam Pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 Terkait dengan frasa ‘’kerugian negara’’, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”), Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 10 UU BPK : “(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pasal 11 UU BPK: “BPK dapat memberikan:
pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;
pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau
keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah .” Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“ Perpres BPKP ”), Badan 280 Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 3 Perpres BPKP “a....
... c.... d.... e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah , pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; ” Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan BPK dan BPKP terkait dengan kerugian negara sebagaimana dapat dibaca pada halaman 53 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 sebagai berikut: “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya; ” Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tidak menghilangkan kewenangan BPK/BPKP terkait dengan kerugian negara. Oleh karena itu, BPK/BPKP tetap dapat memeriksa adanya kerugian negara dalam pelaksanaan UU 2/2020. Due Process of Law Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Terkait Pelaksanaan Kebijakan Sesuai Lampiran UU 2/2020 Pengertian yang dianut UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara maupun yang dianut UU Tipikor, ada persamaan diantara ketiganya yaitu adanya unsur ‘’melawan hukum’’. Apabila terpenuhi semua unsur-unsurnya, termasuk unsur ‘’melawan hukum’’, maka terhadap pelakunya tetap dapat diminta pertanggungjawaban melalui proses hukum. 281 Terkait Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang berbunyi sebagai berikut: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagaimana batasan itikad baik dalam prinsip hukum pidana? Dalam hukum pidana materiil di Indonesia tidak banyak pasal yang menyebutkan tentang “itikad baik”, begitu pula referensi terhadapnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan pidana lebih banyak mengatur tentang:
perbuatan/tindak pidana (unsur objektif/fisik yaitu actus reus ), dan b. sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Frasa “itikad baik” ditemukan dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“ KUHPidana ”), sebagai berikut: “ Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Pasal 51 ayat (2) KUHPidana ini terdapat dalam KUHPidana Bab III Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan Pidana. Seseorang dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila pelaku, ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Pasal 119 KUHPidana “Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesiu, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara” Pasal 187 bis KUHPidana “Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia bahan-bahan, benda-benda atau perkakas-perkakas yang diketahui atau selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang 282 membahayakan nyawa orang atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Pasal 393 KUHPidana “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya , bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Pasal 480 KUHPidana “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.” Dalam delik-delik di atas, dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila seseorang yang mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan. Khusus untuk Pasal 480 ke-1 KUHP, Mahkamah Agung telah menerbitkan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2/Yur/Pid/2018 dan 3/Yur/Pid/2018 dimana Mahkamah Agung secara konsisten menganggap bahwa tindakan- tindakan yang dikategorikan sebagai “ diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” adalah:
apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/standar.
apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki itikad baik apabila ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat 283 menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 mengatur perlindungan hukum kepada pihak tertentu. Apakah dalam suatu peraturan perundang- undangan diperbolehkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertentu? Apakah ketentuan tersebut menghilangkan prinsip equality before the law , khususnya dalam penerapan hukum pidana? Norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan. Tercatat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung norma serupa, sebagai berikut:
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serbagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (“ UU MD3 ”) Pasal 57:
Anggota MPR mempunyai hak imunitas. 2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpa ...
Pengujian Materiil dan Formil Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2 ...
Relevan terhadap
Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas. 2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini.” e. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak "Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." f. Pasal 6 Lampiran Undang-undang Nomor 9 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan;
Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai 251 entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata. Terhadap norma yang tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian dalam beberapa putusannya, antara lain sebagai berikut:
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, sebagai berikut: __ “… bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan; ” b. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 , sebagai berikut: __ “Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan kenyataan bahwa norma tersebut kerap digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kemudian juga telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, maka secara politik hukum norma tersebut dapat diterima untuk dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya norma tersebut pun, pihak-pihak terkait memang seharusnya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu keberadaan norma tersebut tidak menghilangkan prinsip equality before the law. Norma yang Diuji Konstitusionalitasnya Sebelum masuk kepada pokok pembahasan, terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa terkait dengan norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 252 Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang (selanjutnya disebut “UU 2/2020”) sampai saat ini masih menjadi isu di masyarakat. Meskipun demikian, pada dasarnya seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 tentu dibuat dengan berbagai pertimbangan dan assessment sebagai bentuk upaya penyelamatan masyarakat dalam situasi Pandemi Covid-19, khususnya di bidang keuangan negara agar dapat diimplementasikan dengan baik. Adapun yang menjadi objek pengujian, norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam UU 2/2020 dapat dikatakan hampir sebagian besar dari pasal-pasal UU 2/2020. Apabila dikelompokkan berdasarkan topik, maka secara umum norma UU 2/2020 yang diuji konstitusionalitasnya meliputi perlindungan hukum dan kepastian hukum terkait:
Ruang lingkup pengaturan;
Keuangan Daerah;
Perpajakan dan Kepabeanan;
Perubahan Postur Anggaran; dan
Kebijakan keuangan lainnya yang merupakan materi muatan UU 2/2020. Alasan Permohonan Judicial Review yang diajukan terhadap UU 2/2020 ini pada dasarnya lebih kepada judicial review terhadap konstitusionalitas materi muatan UU 2/2020 yang dianggap tidak mencerminkan kondisi Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid-19 sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”) dan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Terkait dengan materi keterangan yang akan disampaikan Ahli, pada dasarnya merupakan materi yang seyogianya telah dikuasai oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Kemudian, sebelum masuk kepada pokok-pokok keterangan yang akan disampaikan dalam kapasitas ahli di bidang hukum tata negara, perlu dikemukakan bahwa Covid-19 yang dinyatakan secara resmi oleh World Health Organization (WHO) sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020 yang lalu, tentu merupakan kondisi yang tidak mudah bagi semua pihak, tidak hanya bagi Indonesia, 253 namun juga bagi negara-negara di belahan dunia lainnya. Sebagai penyelenggara negara yang diberikan amanat oleh konstitusi untuk melindungi hak-hak warga negara, terutama dalam menghadapi masa Pandemi Covid-19, negara wajib mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambil tentu dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, terkait langkah-langkah yang diambil oleh negara sebagai bentuk tindakan pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19 akan mencerminkan tanggung jawab negara dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Tentu tindakan pemerintah tersebut harus ditelaah dari beberapa aspek: A. Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa ( extraordinary ). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: " Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. ” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. ” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960. Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 254 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang- undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid- 19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. B. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Tentu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan 255 antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “ Keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang _memaksa, yaitu:
ancaman yang membahayakan (dangerous threat);
_ _kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); dan
keterbatasan waktu_ (limited time) yang tersedia. ” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “ hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak- tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu. ” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang-undang darurat yakni:
keadaan mendesak;
keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;
untuk mengatasi keadaan dan kesulitan- kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;
tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan
hanya berlaku selama keadaan bahaya. Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi. Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan. Terhadap imunitas 256 dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas. Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tentu juga tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi. Kebijakan Keuangan Negara dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni:
Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “PSME” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? 257 1. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:
Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:
penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:
penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. 258 Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali:
Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand ? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.
Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces.
Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid-19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah ada rambu- rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:
Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan
Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011. 259 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “UU Ketenagakerjaan”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut:
mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur;
mengurangi shift ;
membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak. 260 2. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. 261 Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. ” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang-undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang- undang. Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang- undang dengan rumusan “… diatur dalam undang-undang…” dan “… diatur dengan undang-undang. ” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Nomor 012-016- 019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “ diatur dalam undang-undang ( geregeld in de wet ), tidak identik dengan diatur dengan undang-undang ( geregeld bij de wet ).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “ Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang 262 membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi- fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang (in de wet), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya. ” Sementara itu, frasa “ dengan undang- undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri.” Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy , perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/ Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. ” 2 37-39/PUU-VIII/2010 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. ” 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang 263 (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang-undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir (fallacy) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial “ Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. ” 6 . 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “ Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang- undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang yang menentukannya. ” 7 30-74/PUU-XII/2014 Pengujian Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “ Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang- Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang-undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo. ” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang “ Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya (open public 264 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah policy) . Mahkamah Konstitusi memberikan catatan meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran. ” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;
tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan
bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan.
Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/ Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/ kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; 265 2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “ Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang.
Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang (transfer of power). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan (the power of rule making atau law making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi (delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua 266 negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations) , maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co- Operation and Development yakni:
netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, d mana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid- 19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat 267 uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang- undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang- Undang tersebut, seperti:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang MENOLAK permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan 268 operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “ Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo. Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang. Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 5. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang-undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan 269 dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut, Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “ Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ” dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “ Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. ” Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara. 270 (2) Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan.
Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor, maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 271 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara… ”
ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar 98 Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan dan menyerahkan keterangan tertulis yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Keterangan Pendahuluan ( Opening Statement) Sehubungan dengan adanya 7 (tujuh) permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (selanjutnya disebut UU 2/2020) terhadap UUD 1945, yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49, dan 75/PUU-XVIII/2020, perkenankanlah kami selaku kuasa Presiden menyampaikan keterangan atas Permohonan Pengujian UU 2/2020. Pada kesempatan ini, yang akan kami sampaikan secara lisan adalah pokok-pokok atau ringkasan Keterangan Presiden yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dengan Keterangan Presiden yang lengkap dan menyeluruh yang kami sampaikan dalam bentuk tertulis. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ( founding fathers ) telah menentukan salah satu tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, Negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya. Negara harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk 99 ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini, telah secara nyata menimbulkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bahkan telah merenggut nyawa rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi yang tidak dapat ditentukan berakhirnya, secara nyata telah menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman tersebut. Legal Standing Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomian masyarakat. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. 100 Latar Belakang Penerbitan Perppu 1/2020 Sebelum memberikan keterangan atas UU 2/2020, perlu Pemerintah sampaikan mengenai latar belakang penerbitan Perppu 1/2020. Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di kota Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat, ganas dan luas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret 2020 meliputi 205 negara dengan hampir 1 juta kasus penularan dan lebih dari 47 ribu kematian. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran kemudian terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial jumlah pasien Covid-19 telah menimbulkan krisis bidang kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial yang berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown ), hingga yang bersifat pembatasan sosial secara terbatas ( physical distancing ). Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid- 19, mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial yang menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,3% menjadi kontraksi -3%. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia saat itu, diperkirakan mencapai 9 triliun dolar Amerika, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar negara-negara berkembang, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan 101 menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi extraordinary tersebut mendorong berbagai negara untuk melakukan langkah luar biasa dalam menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara- negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia), kebijakan moneter longgar berupa penurunan suku bunga, memompa likuiditas- quantitative easing , serta melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar Amerika dan mengalami depresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan perusahaan. Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonomian dan sistem keuangan, Pemerintah dan otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah extraordinary secara cepat dan signifikan. Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksud memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setelah melakukan konsultasi dengan beberapa lembaga negara dan mempertimbangkan secara seksama berbagai masukan yang diperoleh, Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa tersebut adalah Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang 102 keuangan negara maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya penyebaran Covid-19. Memperhatikan bahwa terhadap 7 permohonan ini, hampir seluruh pasal dalam Lampiran UU 2/2020 dimohonkan pengujian, Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan Para Pemohon yaitu:
perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan _controlling; _ (2) pengujian formil;
ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan;
kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), perpajakan dan kepabeanan, penerbitan SUN dan/atau SBSN, penyesuaian mandatory spending , penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah (5) pelaksanaan kebijakan keuangan negara;
kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK;
perlindungan hukum;
harmonisasi UU 2/2020 dengan UU terdampak. Meskipun kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksanaan Pasal 22 UUD 1945, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 melalui pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang, maka kebijakan dalam UU 2/2020 telah mendapatkan persetujuan DPR. Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Pembentukan UU 2/2020 Secara Formil Telah Sesuai Dengan UUD 1945 Dalam Rangka Pemberian Kepastian Hukum Atas Langkah Kedaruratan Dalam Perppu Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan. Memperhatikan dampak pandemi Covid-19 yang extraordinary , Pemerintah menyadari pentingnya persetujuan DPR segera 103 diperoleh untuk kepastian keberlanjutan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19. Penanganan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional memerlukan biaya sangat besar yang tidak tercukupi apabila menggunakan alokasi sesuai APBN TA 2020. Selain itu, diperlukan langkah-langkah extraordinary yang belum diatur kewenangannya dalam undang-undang yang ada. Hal tersebut diperlukan sebagai landasan pemberian dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha dalam rangka penyelamatan kesehatan masyarakat, perekonomian, dan stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pada tanggal 1 April 2020, Pemerintah telah menyampaikan RUU tentang penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Bahwa pembahasan atas RUU yang disampaikan Pemerintah dilakukan oleh DPR pada masa persidangan yang sama tidak melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah telah meneliti tidak ada larangan untuk melakukan pembahasan pengesahan Perppu dalam masa persidangan yang sama dengan saat pengajuan RUU oleh Pemerintah. Dilaksanakannya pembahasan RUU dalam masa persidangan yang sama (masa persidangan ke-3), menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga menyadari tindakan-tindakan untuk penyelamatan perekonomian nasional harus segera dan secara berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah. Untuk memberikan kepastian hukum, setelah melalui proses pembahasan sesuai tahapan pembentukan undang-undang, pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan pengesahan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Bahwa dengan demikian, proses persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah memenuhi formalitas pengesahan Perppu sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Tidak Hanya Untuk Penanganan Covid-19 Namun Juga Bersifat Antisipatif ( Forward Looking ) Untuk Mengatasi Ancaman Dampak Covid-19 Di dalam konsiderans Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan bahwa pandemi Covid- 19 telah menimbulkan efek domino terhadap perlambatan perekonomian. Apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan secara cepat dan tepat atas perlambatan tersebut, secara pasti akan terjadi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 didesain tidak hanya ditujukan untuk penanganan Covid-19 melainkan juga tindakan antisipatif ( forward looking ) 104 untuk menangani efek domino yang ditimbulkan yaitu ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi maupun krisis di sektor keuangan, Lampiran UU 2/2020 juga harus memberi legitimasi bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya Covid-19. Dengan legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, meskipun dalam beberapa ketentuan terdapat batasan waktu, seperti batasan pelebaran defisit sampai dengan tahun 2020, namun secara utuh, tidak dapat diberikan batasan jangka waktu keberlakuan UU 2/2020 seperti UU Pengampunan Pajak misalnya. Keberlanjutan UU 2/200 ini diperlukan dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini menjadi bukti ketidakpastian yang harus dihadapi. Beberapa Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghambat penyebaran Covid- 19. Harapan perbaikan pertumbuhan perekonomian menjadi positif di Kuartal III 2020 dari pertumbuhan -5,32% di Kuartal II 2020 diprediksi sangat sulit terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah bulan September lalu, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. 105 Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Pelebaran Defisit Menjadi Pilihan Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Sebagai Respon Atas Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Belanja Negara Secara Signifikan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, untuk menghadapi ancaman perekonomian nasional, Pemerintah memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan negara agar penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Fleksibilitas tersebut tidak dapat dilakukan apabila Pemerintah hanya berdasar pada ketentuan Undang-Undang yang telah ada sebelum pandemi Covid-19. Salah satu fleksibilitas yang diperlukan oleh Pemerintah adalah terkait dengan penyesuaian besaran defisit anggaran. Pada UU Keuangan Negara, diatur bahwa defisit anggaran dibatasi sebesar 3% dari PDB. Batasan maksimal defisit anggaran sesuai ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh Pemerintah karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan pada pendapatan negara sekaligus peningkatan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran. Kewenangan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3% tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal itu ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati, dengan tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas, dan transparansi. Untuk itu, Lampiran UU 2/2020 memberi pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan TA 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka pembiayaan defisit maksimal 60% dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa meskipun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, namun Pemerintah akan 106 melakukan pembahasan penetapan besaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 dengan DPR melalui mekanisme RAPBN. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga esensi persetujuan DPR sesuai Pasal 23 UUD 1945 pada pembahasan APBN tahun mendatang. Dalam proses penyusunan UU APBN TA 2021, Pemerintah bersama DPR telah menyetujui d efisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Pada APBN 2020, Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34% PDB yang ditetapkan melalui Perpres 72 Tahun 2020. Besaran defisit tersebut telah mengakomodir biaya penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai berikut: No. Program Anggaran Realisasi 1. Kesehatan 87,55 T 21,92 T 25% 2. Perlindungan Sosial 203,91 T 157,03 T 77% 3. Insentif Usaha 120,61 T 28,07 T 23,3% 4. UMKM 123,47 T 81,85 T 66,3% 5. Pembiayaan Korporasi 53,6 T 0 0 6. Sektoral dan Pemda 106,05 T 26,61 T 25,1% Total 695,2 T 315,48 T 45,4% Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk perlindungan sosial untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat. Diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM dan insentif usaha, dan dukungan anggaran untuk sektoral dan Pemda. Besaran anggaran program kesehatan meski bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk mendukung biaya penanganan Covid-19 (pembelian alat kesehatan seperti APD, Rapid Test, Reagen, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan), subsidi Iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak serta bea masuk untuk alat kesehatan. Sedangkan anggaran perlindungan sosial digunakan untuk mendukung pelaksanaan Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, Program Bantuan Sosial Sembako Jabodetabek, Program Bantuan Sosial Tunai, Program Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Program 107 insentif usaha ditujukan untuk menjaga keberlanjutan aktivitas usaha masyarakat dalam bentuk pemberian insentif perpajakan. Dalam mendukung UMKM, Pemerintah telah melaksanakan beberapa program di antaranya yaitu pemberian subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Program pembiayaan korporasi antara lain dilaksanakan melalui pemberian penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN. Program sektoral K/L dan Pemda diantaranya digunakan untuk mendukung program padat karya, pemberian Dana Insentif Daerah untuk pemulihan ekonomi, pariwisata dan pemberian Dana Alokasi Khusus Fisik. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Sebagai rangkaian program PEN untuk terus menggerakkan perekonomian yang sedang mengalami perlambatan, Pemerintah memandang perlu melakukan upaya- upaya mendorong ekspansi kredit dan penurunan suku bunga kredit perbankan. Untuk itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kapasitas pendanaan telah melakukan penempatan dana per 30 September 2020 sebesar Rp61,7 triliun dengan rincian pada Bank Himbara sebesar Rp47,5 triliun, pada 7 BPD sebesar 11,2 triliun, dan pada 3 bank syariah sebesar 3 triliun. Selain itu, Pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur salah satu BUMN Pembiayaan, telah memberikan pinjaman kepada 5 Pemerintah Daerah dengan total komitmen sebesar Rp6,8 triliun (DKI Jakarta senilai Rp3,265 triliun, Jawa Barat senilai Rp1,812 triliun, Banten senilai Rp 851,77 miliar, Sulawesi Utara senilai Rp723,7 miliar, dan Kabupaten Ponorogo senilai Rp200 miliar). Pinjaman tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program-program PEN di daerah masing-masing. 108 Kebijakan Penurunan Tarif Perpajakan Sebagai Insentif Untuk Menjaga Kesehatan Keuangan Perusahaan di Masa Pandemi Covid-19 Dalam UU 2/2020 telah ditetapkan kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai insentif/dukungan Pemerintah menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam masa pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 hampir menyentuh semua sektor usaha. Dalam perspektif tersebut, insentif perpajakan sangat relevan diberikan ke semua sektor usaha tidak hanya yang bergerak di bidang riset dan pengembangan terkait Covid-19 sebagaimana yang diinginkan Para Pemohon. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Pemungutan PMSE Merupakan Upaya Pemerintah Untuk Mengoptimalkan Penerimaan Negara Di Tengah Pandemi Covid-19 Serta Menciptakan Kesetaraan Bagi Pelaku Usaha Dalam Negeri Maupun Luar Negeri Penurunan pendapatan negara secara signifikan akibat pandemi Covid-19 di satu sisi dan adanya akselerasi transformasi digital di sisi lain telah menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan penetapan pajak dari sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam UU 2/202020. Basis pajak dari transaksi digital menjadi sangat penting pada saat penerimaan negara menurun sehingga Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam 109 Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Lampiran UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi pengenaan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Pertimbangan serupa juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, pemberian atribusi merupakan bentuk kebijakan pembentuk undang-undang ( legal policy ) sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan UUD 1945. Pemberian wewenang atribusi menetapkan tarif pajak bukanlah hal baru. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan. Dengan demikian, pengaturan mengenai besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana yang dipahami oleh Para Pemohon. Pengaturan Pembebasan Bea Masuk Oleh Menteri Keuangan Merupakan Pelaksanaan Wewenang Atribusi Yang Bertujuan Menjamin Ketersediaan Alat Kesehatan Untuk Penanganan Covid-19 Untuk menjamin ketersediaan barang impor yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah perlu memiliki fleksibilitas dalam pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan atau keringanan bea masuk. Pasal 10 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan wewenang atribusi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perubahan jenis barang yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan yang secara limitatif ditetapkan dalam UU Kepabeanan. Pemberian wewenang atribusi dalam UU 2/2020 ini sejalan dengan prinsip hukum administrasi negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan di tengah adanya kondisi kegentingan memaksa. Selain itu, pemberian wewenang atribusi yang ditetapkan dalam produk hukum UU 2/2020 mempunyai kedudukan yang setara dengan UU Kepabeanan. Dalam pelaksanaannya, Menteri Keuangan selaku penerima wewenang atribusi dalam pemberian fasilitas kepabeanan tidak akan semena-mena menyalahgunakan kewenangan dimaksud. Menteri Keuangan melalui PMK 34/PMK.04/2020 jo. PMK 83/PMK.04/2020 hanya memberikan fasilitas kepabeanan untuk impor barang 110 keperluan penanganan Covid-19. Sesuai Lampiran PMK tersebut, jenis-jenis barang yang diberikan fasilitas adalah test kit dan reagen laboratorium , virus transfer media , obat dan vitamin, peralatan medis, dan alat pelindung diri. Dengan demikian, prinsip pemberian fasilitas secara limitatif tetap terjaga. Penerbitan SUN dan/atau SBSN Yang Dapat Dibeli Oleh BI Bertujuan Untuk Menjaga Kesinambungan Fiskal Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Sesuai Dengan Fungsi BI Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan negara menurun cukup drastic sedangkan anggaran belanja harus ditingkatkan sehingga pelebaran defisit tak terhindarkan. Untuk pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah perlu menerbitkan SUN dan/atau SBSN berjangka panjang. Pemberian kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana merupakan salah satu upaya gotong royong organ negara ( burden sharing ) untuk menjaga kesinambungan fiskal dalam rangka mencegah terjadinya krisis ekonomi. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dimaksud berupa pembayaran kupon atas SUN dan atau SBSN yang dibeli oleh BI, sesuai tabel berikut: No. Penggunaan Nilai (Rp) Burden Sharing Mekanisme Penerbitan 1. Public Goods 397,56T Ditanggung BI seluruhnya sebesar BI reverse repo rate Private Placement 2. Non-Public Goods 177,03T Ditanggung Pemerintah sebesar BI reverse repo 3 bulan dikurangi 1%, sisanya ditanggung BI Mekanisme market (lelang, Green Shoe Option, Private Placement ) - UMKM 123,46T - Korporasi 53,57T 3. Non-Public Goods Lainnya 328,87T Ditanggung Pemerintah seluruhnya sebesar market rate Di samping pengaturan norma pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI telah dibahas terlebih dahulu sebelum ditetapkan dalam Lampiran UU 2/2020, dengan penetapan 111 secara bersama besaran kupon sebagai burden sharing jelas terlihat bahwa baik dalam perumusan norma maupun implementasinya, independensi BI tetap terjaga. Secara best practices , kebijakan bank sentral untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan juga diimplementasikan oleh negara-negara lain termasuk negara anggota G20. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Tidak Menghapuskan Dana Desa dari APBN 2020 dan Tahun-tahun Mendatang Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur mengenai penyesuaian atas pemenuhan belanja wajib ( mandatory spending ), antara lain penyesuaian pemenuhan anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa dimaksudkan agar Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Sebagai bentuk harmonisasi antara ketentuan penyesuaian mandatory spending dalam UU 2/2020 dan UU Desa, ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku ( vide Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020). Tidak berlakunya ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa sama sekali tidak menghapuskan anggaran Dana Desa dari APBN TA 2020 dan tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. 112 Pemerintah tetap memegang komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi di desa melalui Dana Desa yang diprioritaskan untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Perekonomian pedesaan yang kuat merupakan pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sehingga Pemerintah akan terus mendukung pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Penggunaan Dana Abadi Tidak Bertentangan Dengan Kewajiban Negara Memenuhi Hak Atas Pendidikan Pembiayaan APBN di masa Pandemi Covid-19 membutuhkan sumber pendanaan yang cepat dan efisien. Dengan kebutuhan tersebut, Pasal 2 ayat (1) huruf e UU 2/2020 mengatur pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih, dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi pada BUMN sebagai sumber pendanaan APBN. Penggunaan dana abadi pendidikan tidak akan bertentangan dengan kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan karena:
hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19;
sampai saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan dana abadi pendidikan sebagai sumber pendanaan APBN;
apabila dipergunakan, akan menjadi investasi dana abadi pendidikan melalui pembelian SUN dan/atau SBSN yang akan mendapatkan return , bukan sebagai belanja Pemerintah. Pengaturan Refocusing Dan Realokasi Anggaran Melalui Permendagri Tidak Bertentangan Dengan Prinsip Otonomi Daerah Sebagai wujud integrasi kebijakan nasional dan kebijakan daerah, Pasal 3 ayat (1) UU 2/2020 mengatur Pemda melakukan refocusing dan realokasi anggaran daerah dengan prioritas penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya sesuai kondisi masing-masing daerah. Pada kondisi pandemi Covid-19, kecepatan dan ketepatan dalam penyesuaian anggaran daerah menjadi sangat penting. Untuk itu, Pasal 3 ayat (2) UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur mengenai refocusing dan realokasi penggunaan APBD sebagai pedoman bagi seluruh Pemda. Dengan adanya pedoman ini, Pemda dapat segera melakukan penyesuaian anggarannya secara mandiri. 113 Dengan demikian pemberian kewenangan kepada Mendagri tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 8 UU Pemda sebagai pembina dan pengawas pemerintahan daerah, bukan merupakan intervensi Pemerintah Pusat sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Penetapan Rekening Akun Khusus Belanja Covid-19 dan Penetapan Perpres Rincian APBN Sebagai Wujud Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 membutuhkan uang negara yang sangat besar dalam kurun waktu yang singkat. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, Pasal 12 Lampiran UU 2/2020 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan kebijakan keuangan negara dilakukan dengan tata kelola yang baik. Dalam implementasi tata kelola anggaran terkait Covid-19, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2020. Hal ini untuk menjamin seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dipantau dan dievaluasi penggunaannya. Selain itu, dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, Pemerintah bekerja sama dengan aparat penegak hukum meliputi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK untuk melakukan pendampingan Kementerian/Lembaga. Sebagai bentuk transparansi publik, Pemerintah secara rutin menyampaikan perkembangan pelaksanaan kebijakan melalui press conference dan rapat pembahasan dengan DPR. Hal tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk terus menerus melaksanakan seluruh kebijakan keuangan yang ditetapkan dalam UU 2/2020 memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan taat peraturan. Dengan demikian, pada dasarnya UU 2/2020 telah sangat memperhatikan harapan Para Pemohon sebagai warga masyarakat. Mempertimbangkan situasi extraordinary akibat pandemi Covid-19, Pasal 12 ayat (2) UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi bagi Presiden untuk menetapkan perubahan postur sekaligus rincian APBN melalui Perpres. UU 2/2020 pada dasarnya telah menetapkan kebijakan pelebaran defisit APBN TA 2020 sampai dengan APBN TA 2022. Penetapan ini dilakukan sebagai langkah extraordinary penanganan kegentingan memaksa pandemi Covid-19 berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 sekaligus untuk menyesuaikan kebijakan dalam UU APBN TA 2020 yang 114 merupakan pelaksanaan Pasal 23 UUD 1945. Dengan demikian, penetapan pelebaran defisit dalam Lampiran UU 2/2020 sebagai pedoman penyesuaian UU APBN TA 2020 dapat disetarakan dengan UU Perubahan APBN dalam situasi kegentingan memaksa. Amanat perubahan postur dalam Perpres didasarkan situasi yang tidak memungkinkan penetapan melalui proses secara normal. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa penetapan postur APBN dalam Perpres hanya dilakukan untuk TA 2020. Untuk TA 2021 dan tahun-tahun berikutnya, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada kondisi normal sehingga Pemerintah sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Kewenangan LPS Sesuai UU 2/2020 Merupakan Penegasan Kewenangan Yang Telah Diberikan Oleh Undang-undang Terdahulu Untuk Penanganan Kesulitan Likuiditas LPS Dalam Menyelamatkan Bank Gagal dan Menghindarkan Negara Dari Krisis Ekonomi Sebagaimana telah Pemerintah sampaikan, dampak pandemi Covid-19 telah secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Selain itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, perlu memperkuat landasan hukum bagi LPS dalam melakukan tindakan antisipasi penanganan permasalahan bank dan resolusi bank gagal baik bank sistemik maupun bank selain bank sistemik. Sampai saat ini, stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Namun perlu melakukan kebijakan antisipatif ( forward looking ) dengan menegaskan kembali sumber-sumber pendanaan yang dapat diperoleh LPS untuk menjaga kecukupan likuiditasnya ( vide Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020). Salah satu sumber pendanaan LPS adalah melakukan melakukan pinjaman kepada pihak lain dan/atau Pemerintah yang juga telah diatur dalam Undang-Undang terdahulu yaitu UU LPS, UU OJK, dan UU PPKSK. Pinjaman kepada pihak lain dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif 115 pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Hal ini juga sesuai dengan best practice yang dijalankan di negara-negara lain yang memiliki lembaga resolusi perbankan. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Pemberian pinjaman kepada LPS dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPR dalam APBN kecuali untuk APBN TA 2020 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Persyaratan persetujuan DPR hanya diberlakukan untuk pinjaman kepada Pemerintah karena bersumber dari APBN dan tidak dipersyaratkan untuk pinjaman LPS kepada pihak lain sebagaimana juga diatur dalam UU terdahulu. Sampai saat ini, LPS masih memiliki kecukupan likuiditas. Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Kebijakan ini merupakan langkah antisipatif ( forward looking ) untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah yang akan dilaksanakan apabila terjadi pemburukan perekonomian yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa program penjaminan dimaksud bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Perintah Tertulis OJK Sebagai Instrumen Menjaga Keberlangsungan Lembaga Keuangan Dalam Rangka Meningkatkan Resiliensi Sistem Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) yang telah diatur dalam UU OJK dan UU PPKSK. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa 116 keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis OJK tersebut, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengancam stabilitas sistem keuangan maka ancaman sanksi diperberat dibandingkan sanksi dalam UU OJK. Pemberian sanksi dimaksud merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum yang harus dijaga oleh OJK selaku lembaga pengawas jasa keuangan, bukan kesewenang-wenangan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Perlindungan Hukum Dalam UU 2/2020 Sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi Pengambil Kebijakan Dalam Bertindak Sesuai Kewenangannya Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Teori imunitas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara, dengan demikian tidak mengherankan ketentuan serupa merupakan hal yang precedented . Di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP, Pasal 48 UU PPKSK, Pasal 22 UU Pengampunan Pajak, Pasal 45 UU Bank Indonesia, Pasal 36A ayat (5) UU KUP, Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 224 ayat 117 (1) UU MD3, Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 26 UU BPK mengatur pemberian perlindungan hukum serupa. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 bukan merupakan kerugian negara didasarkan pada pertimbangan antisipatif antara lain adanya kondisi bahwa biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan penyelamatan perbankan untuk menjaga 118 stabilitas sistem keuangan tidak sepenuhnya ter- recovery . Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan wewenang para pelaksana UU 2/2020 dilandaskan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sangat beralasan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam keuangan negara yang menjadi pedoman bagi pemeriksa baik BPK maupun APH bahwa terjadinya kerugian negara harus dikaitkan dengan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal tersebut mengadopsi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Pemberian Kepastian Norma Hukum Melalui Harmonisasi Keberlakuan Norma UU yang Terdampak Norma dalam UU 2/2020 Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau penyesuaian undang-undang terdahulu dalam rangka penanganan pandemi Covid- 19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Dengan demikian, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan sewenang-wenang sesuai dalil Para Pemohon. Sebelum mengakhiri Keterangan Presiden ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan fakta-fakta perbaikan kondisi perekonomian di Kuartal II 2020 119 sebagai implikasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah berdasarkan kebijakan dalam UU 2/2020. Beberapa indikator sektoral telah bergerak ke arah positif pada bulan Juni 2020. Membaiknya perdagangan internasional telah mendorong kinerja perpajakan. Pada sektor riil, konsumsi masyarakat mengalami rebound namun masih lemah. Selain itu, degup ekonomi pada bidang konstruksi mulai naik serta produksi dalam negeri mulai tumbuh. Cadangan devisa juga meningkat didukung dengan penerbitan SBN Valas. Aktivitas ekspor impor juga menunjukkan tren membaik dengan potensi ekspor ke Tiongkok yang mulai tumbuh. Pada sektor moneter dan keuangan, yield SBN kembali ke kondisi awal tahun 2020, likuiditas perbankan terjaga serta inflasi dalam kondisi terkendali. Implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional yang efektif telah menjadi penggerak utama dari pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih mempercepat pemulihan ekonomi, Pemerintah juga telah menerbitkan program baru yaitu pemberian insentif bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta/bulan. Mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2020 yang terkontraksi (minus) 5,32 persen serta realisasi data perekonomian dan sektor keuangan hingga akhir Kuartal III 2020, optimisme terhadap magnitude perbaikan di paruh kedua tahun 2020 perlu sedikit disesuaikan. Dalam hal ini, kendati masih diyakini bahwa kondisi Kuartal III 2020 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya namun besaran tingkat recovery diperkirakan tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah akan tetap terus antisipatif dan adaptif terhadap perkembangan yang ada termasuk ketidakpastian yang masih akan dihadapi. Dalam hal ini, langkah extraordinary yang koordinatif antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan terus dikalibrasi sesuai dengan perkembangan terkini dan diimplementasikan tanpa keraguan karena telah memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU 2/2020. Sebagaimana filsuf berkebangsaan Italia, Cicero, katakan, “ Salus populi suprema lex esto ”, bagi Pemerintah saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang 120 memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima. Keterangan Presiden I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon pada pokoknya adalah: Gambar 1 : Matriks Pengujian UU 2/2020 Adapun batu uji yang digunakan oleh Para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: 121 Gambar 2 : Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan Para Pemohon II. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk 122 mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Terhadap legal standing Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020, Pemerintah sampaikan bahwa Para Pihak dalam perkara dimaksud adalah pihak- pihak yang sama dengan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang telah dilakukan pencabutan sesuai Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Para Pemohon dalam perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 sama dengan perkara Nomor 51/PUU- XVIII/2020, hal ini diakui oleh Para Pemohon pada sidang pendahuluan tanggal 15 Juli 2020. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Amar Ketetapan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, Para Pemohon seharusnya tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo . III. Keterangan Pemerintah Terhadap Materi Yang Dimohonkan A. Latar Belakang Penerbitan UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home , work from home , dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan 123 kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar 124 keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perppu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan 125 di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perppu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perppu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perppu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani 126 permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perppu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. B. Bantahan Dalil-Dalil Para Pemohon 1. Keterangan Presiden Atas Uji Formil UU 2/2020 Dalam permohonannya, Para Pemohon dalam Perkara Nomor 37 dan 45/PUU- XVIII/2020 menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara formil karena pembahasan dan penetapannya tidak pada masa sidang berikutnya. Dalil Pemohon tersebut didasarkan pada penafsiran bahwa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “masa sidang yang berikutnya”. Terhadap dalil Para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. 127 b. Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang mengadopsi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. ” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 disebutkan “ Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ditetapkan. ” c. Berdasarkan ketentuan Pasal 221 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR), masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 Peraturan Tata Tertib DPR, masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan di dalam gedung DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat penggunaan frasa yang berbeda antara UUD 1945, UU 12/2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR, mengenai norma waktu Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Frasa “Persidangan Yang Berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 sebagai masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Di samping itu, frasa “Masa Sidang Pertama” tidak ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Frasa yang digunakan dalam Peraturan Tata Tertib DPR adalah “Masa Persidangan” yang terdiri dari “Masa Sidang” dan “Masa Reses”. Selanjutnya, tahun sidang dibagi dalam 4 masa persidangan (bukan “masa sidang”) yang dimulai tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Sesuai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masa sidang pertama yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 52 merujuk pada penghitungan norma waktu pemberian persetujuan DPR yaitu setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden, sehingga tidak dapat dimaknai merujuk pada masa persidangan pertama dari 4 masa persidangan dalam 1 tahun masa sidang yang waktunya adalah di bulan Agustus. Selain itu, dalam konteks kegentingan yang memaksa/ state of emergency terbitnya Perppu, frasa “masa sidang pertama” lebih tepat dimaknai sebagai masa persidangan terdekat/tercepat setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden. Prof. Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. (Mantan Hakim Mahkamah 128 Konstitusi/Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, FHUI) menyatakan Perppu jangka waktunya terbatas (sementara), sehingga secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, maka setelah Perppu 1/2020 diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR pada tanggal 1 April 2020. Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional mengakibatkan diperlukannya dana yang besar untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha. Perppu 1/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Pelaksanaan kebijakan Perppu 1/2020 sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 maupun ancaman terhadap perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang menyertainya memerlukan pengeluaran yang sangat besar dan berkelanjutan. Kebijakan extraordinary melalui Perppu 1/2020 yang diputuskan oleh Presiden dalam situasi kegentingan memaksa sebagai implementasi hak subjektif Presiden sesuai mandat konstitusi membutuhkan kepastian yang segera untuk keberlanjutan dalam pelaksanaannya sehingga perlu segera mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Respon DPR yang secara cepat dalam proses pembahasan dan persetujuan Perppu 1/2020 merupakan wujud kesamaan pandangan wakil rakyat atas kondisi kegentingan memaksa yang harus diambil Pemerintah dan untuk memberikan kepastian keberlanjutan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Perppu 1/2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk penyelamatan masyarakat dan negara di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR tersebut merupakan wujud penyelamatan rakyat sebagaimana adagium “Salus Populi Suprema Lex Esto” dari Cicero yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebagai respon atas situasi kegentingan memaksa dan dengan tujuan perlindungan kepada rakyat dan Negara dalam situasi extraordinary , maka 129 persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020, menurut Pemerintah perlu diapresiasi dan menunjukan ketaatan kepada hukum dan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memenuhi kuorum karena dilakukan melalui rapat virtual dan tidak dilakukan voting , dapat Pemerintah sampaikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3), kuorum rapat DPR terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi.
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Kehadiran secara virtual Anggota DPR dalam Rapat Paripurna tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap kebijakan physical distancing sebagai protokol pencegahan Covid-19 dalam situasi extraordinary dan telah menjadi proses bisnis dalam era new normal di seluruh lembaga/institusi/masyarakat. Dengan demikian, kehadiran secara virtual harus diperlakukan sama dengan kehadiran secara fisik sehingga sekali tidak mengurangi esensi dari pemenuhan kuorum. Dalam kehadiran secara virtual, para Anggota DPR tetap dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sebagai forum tertinggi persetujuan pengesahan Perpu 1/2020 telah memenuhi kuorum sebagaimana dipersyaratkan UU MD3.
Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 terdapat 1 fraksi yang tidak menyetujui, sedangkan 8 fraksi lainnya menyatakan menyetujui. Dengan demikian, karena hanya 1 fraksi yang tidak menyetujui, Ketua DPR menyatakan penetapan Perppu menjadi UU melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor 5/DPR RI/III/2019-2020 tanggal 12 Mei 2020. 130 Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan pembahasan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 harus melibatkan DPD, dapat Pemerintah sampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu cukup mendapat persetujuan DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, kewenangan untuk memberikan persetujuan atas Perppu ada pada DPR. Namun demikian, baik dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 maupun UU 2/2020, Pemerintah tetap melaksanakan konsultasi dengan DPD. Terhadap pengujian formil yang diajukan Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020, perlu Pemerintah sampaikan bahwa pengujian formil dimaksud telah melewati tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari untuk mengajukan pengujian formil sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tenggat waktu pengajuan pengujian formil undang-undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang disahkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI.
Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan Para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil Para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020. 131 a. Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif ( forward looking ) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional 132 dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan. Selain itu, terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta UU 2/2020 perlu ada batas waktu berlakunya yaitu sepanjang masa darurat penanganan Covid-19 atau sampai dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut oleh Presiden maka dapat Pemerintah sampaikan bahwa Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk penanganan Covid-19 beserta efek domino yang ditimbulkan terhadap perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan. Tingkat kedalaman efek domino yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tidak dapat diukur secara pasti seiring dengan ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Bahwa dengan ketidakpastian pandemi Covid-19, UU 2/2020 telah mengantisipasi hal tersebut untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi yang sangat tergantung kepada kedalaman dampak pemburukan ekonomi yang terjadi namun dalam ketentuan tertentu ada batas waktu berlakunya. Dengan demikian, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas akhir berlakunya Perppu. Namun demikian, terkait dengan hal ini dapat Pemerintah sampaikan bahwa secara substansi, kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dibatasi untuk penanganan pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, namun pada prinsipnya Pemerintah secara konsisten menjaga akuntabilitas pelaksanaan anggaran antara lain tercermin dalam penetapan pelebaran defisit. Meskipun terdapat fleksibilitas pelebaran defisit, namun mulai tahun anggaran 2021 Pemerintah akan menyampaikan UU APBN yang di dalamnya 133 juga dibahas mengenai defisit sehingga besaran pelebaran defisit akan ditentukan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, keberlakuan UU 2/2020 tidak memiliki jangka waktu dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Ketidakpastian tersebut terbukti dengan masih adanya peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini sehingga sebagian Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Harapan perbaikan perekonomian di Kuartal III 2020 dari -5,32% di Kuartal II 2020 menjadi positif diprediksi tidak mungkin terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Namun demikian, terdapat ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 yang dibatasi masa keberlakuannya, seperti:
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 Lampiran UU 2/2020 yang mengatur mengenai pelebaran defisit APBN; __ b. Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan mengacu pada penetapan periode kahar akibat pandemi Covid-19;
Kebijakan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 bertujuan untuk mengatasi permasalahan pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19. Penetapan berakhirnya 134 kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19 tersebut ditetapkan oleh KSSK sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perppu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan 135 secara bertahap. Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut: 136 1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan 137 bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB).
Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.
Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) 138 dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp 695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp 123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp 106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp 53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp 120,61 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: Gambar 3 : Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian 139 tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan ( sustainability ) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid- 19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu 140 penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback .
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pengaturan insentif pajak harus diikuti dengan frasa “dan larangan 141 pemutusan hubungan kerja (PHK)”, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pengaturan terkait ketenagakerjaan terutama terkait PHK telah diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan. Adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh pihak. Selain itu, atas dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 harus ditambahkan frasa “ paling tinggi ” sesuai dengan sektor usaha tertentu, perlu Pemerintah sampaikan bahwa apabila mengikuti logika Pemohon dimaksud, maka dibutuhkan pengaturan mengenai kriteria Wajib Pajak dan batas-batas ( range ) besaran tarif PPh yang akan dikenakan. Di samping itu, dalam implementasinya akan sulit untuk menentukan bidang-bidang usaha wajib pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan, karena secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral. Dengan demikian, penambahan frasa “ paling tinggi ” yang didalilkan Pemohon akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam implementasi pemajakannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pemohon Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 juga berpendapat jika seharusnya pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b memberikan insentif pajak secara maksimal kepada badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19. Terhadap dalil tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pemberian insentif penurunan PPh badan diberikan kepada seluruh dunia usaha karena tidak dapat dipungkiri jika dampak akibat Covid- 19 dialami oleh semua sektor usaha. Beberapa kebijakan Pemerintah antara lain pembatasan sosial ( social/physical distancing ), pembatasan perjalanan, karantina wilayah, bekerja dari rumah ( work from home ) dan tetap tinggal di rumah ( stay at home ) telah berdampak pada menurunnya aktivitas perekonomian dan merosotnya pertumbuhan bisnis di segala bidang. Oleh karena itu, tarif yang bersifat tunggal, berlaku umum dan universal untuk seluruh wajib pajak badan dalam negeri dan BUT dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid- 142 19, Pemerintah telah memberikan fasilitas tambahan yaitu fasilitas pembebasan kepabeanan. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home , maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan MK Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud , perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. 143 Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence) , (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan , dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan 144 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business- to-Business ( B2B ), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business- to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment. 145 5) Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 : Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineering , design, etc) Recording Media + Manual installmen t Express Consignment / imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T Handphone Software In gadget Express Consignment / import for home use Imported separately/ electronic Transmissio n Online 44,75 T Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun 146 pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah (loopholes) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. Berikutnya terkait dengan dalil Para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perppu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.
Lebih lanjut, Para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. 147 3) Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: a) akan menutup celah pengaturan ( loopholes ) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha ( level of playing field ) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan ( fairness ) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka __ kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. 148 c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “ Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum .” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE 149 dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang ( opened legal policy ) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru ( precedented ), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan 150 besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, Para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena Para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di masa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) 151 UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang- barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid- 19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena- mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan 152 menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter- fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: "Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan 153 dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Di antara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara 154 kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. 155 Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods . SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk 156 non-public goods korporasi sebesar Rp53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate . __ Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5 : Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat”. Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian 157 SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan peraturan-perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:
Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. 158 Dengan adanya ketentuan last resort , memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.
Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). 159 Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh Para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary . Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka 160 sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Penggunaan Dana Abadi Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalilnya menyatakan Pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19 sehingga bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan. Terkait hal tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 UU 2/2020 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, Pemerintah berwenang untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan. 161 Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan sumber- sumber lain yang ada. Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan sumber pembiayaan dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19. Dalam hal akan digunakan, maka penggunaan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 dilakukan dengan cara private placement melalui pembelian surat berharga negara. Dengan demikian, dana abadi dan akumulasi dana tersebut tidak akan digunakan sebagai belanja namun lebih kepada investasi melalui pembelian SBN/SBSN tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekhawatiran Pemohon mengenai penggunaan dana abadi yang bertentangan dengan esensi dari dana pendidikan itu sendiri tidak perlu lagi dipermasalahkan, dikarenakan dana abadi masih tetap utuh dan tidak digunakan sebagai belanja.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas- luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. 162 Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/ refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. 163 Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan 164 ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. Terhadap dalil Pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelaksanaan kebijakan keuangan negara tidak menggunakan rekening khusus, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam tata kelola penganggaran, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 43 Tahun 2020 sehingga seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dilakukan monitoring penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Selain itu, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga telah menerbitkan rekening khusus untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan Program PEN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan PMK Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi 165 Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kebijakan- kebijakan di bidang keuangan negara. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi 166 agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil Para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan 167 memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas ( vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);
melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan solvabilitas ( vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN);
melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal ( vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 11 UU LPS). 168 Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan Bank, baik itu Bank Sistemik maupun Bank Selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi 169 dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis (vide Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK). Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. 170 Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:
Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding , dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan. 171 2) Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent . Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. 172 Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal, sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU- XII/2014 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. 173 Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary . Selain dapat memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek 174 penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo . Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau tindakan pengawasan OJK ( vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang P3IK Bank Umum). Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh 175 Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. 176 Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) jo . Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan frasa “ bukan merupakan kerugian negara ” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances , dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): 177 “ Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “ Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 ( check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh: 178 a. Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;
Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer , masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik 179 mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary . Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru ( precedented ) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK); 180 c. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa di antara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: “ Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan .” 181 diubah menjadi: “ Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan .” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam Perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “ hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum. ” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “ kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud. ” Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi 182 ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila Para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” . Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. 183 Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan
tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 184 Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya” . Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana ( actus reus ) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/ mens rea ).
Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea ), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang 185 dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions , FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee , perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: 186 “Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith. ” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk ( mens rea ) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan ( vide pasal 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 187 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus . Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai 188 wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi UU 2/2020 Dengan UU Terdampak Lahirnya Lampiran UU 2/2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau memerlukan penyesuaian dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Oleh karena itu, terhadap norma- norma yang dilakukan penyesuaian dalam Lampiran UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan yang sewenang-wenang ( constitutional dictatorship ) sesuai dalil Para Pemohon. Berdasarkan teori peraturan perundang-undangan, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 berlaku sebagai ketentuan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan yang dikesampingkan. Hal tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk melakukan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary untuk melakukan penanganan permasalahan Covid-19 secara cepat dan penanganan dampaknya yang luar biasa terhadap ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan, tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada undang-undang 189 yang ada sebelum UU 2/2020 yang memang kurang memadai untuk penanganan kepentingan tersebut. Pernyataan Para Pemohon yang menyampaikan bahwa Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 menimbulkan kesewenang-wenangan dan constitutional dictatorship adalah pernyataan yang tidak benar dan sangat berlebihan. Pemohon telah salah menafsirkan constitutional dictatorship sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Dalam ilmu hukum konstitusi, constitutional dictatorship merupakan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional, "No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake" . Lampiran UU 2/2020 diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa sebagaimana fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, dan merupakan instrumen hukum yang diberikan kepada Presiden untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan menerbitkan Perppu. Filosofi constitutional dictatorship yang tersirat pada Pasal 22 UUD 1945 dalam konteks kedaruratan merupakan wujud nyata kehadiran Pemerintah dalam mengatasi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19 dan bukan merupakan makna negatif sebagai penyelewengan kekuasaan. Dengan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pendapat subjektif Presiden mengenai perlunya penerbitan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa telah disetujui DPR sebagai lembaga wakil rakyat. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). 190 Selain itu, Presiden mengajukan 6 (enam) orang ahli. Tiga ahli telah didengar keterangannya di depan persidangan dan juga menyerahkan keterangan tertulis, yakni Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec., dan Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. Adapun tiga ahli lainnya, hanya memberikan keterangan tertulis, yakni Chandra M. Hamzah, S.H., Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., dan Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M . Masing-masing ahli memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Pendahuluan Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hokum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing-masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan- hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. 191 Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency). Paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid -19 Adalah Keadaan Bahaya yang Mengancam Dunia Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang- wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat 192 kondisi pandemik yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemi tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara . Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negatif terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan 193 nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax . Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000,- (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggris, Irlandia, Jerman, Perancis, Spanyol, dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan 194 darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan social, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industry perhotelan, industry pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hokum yang berlaku sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konstitusi – sebagaimana disebut diatas– sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan – kekuasaan atau kewenangan yang mungkin 195 dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit – semacam undang-undang- tertanggal 13 September 1939 No. 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hukum tatanegara biasa menjadi hukum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer. Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang-undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan 196 SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktik Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relative stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan – meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat- syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang- 197 undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, outputnya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat. Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di media social. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid 19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan covid-19 sebagaimana telah disebut diatas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya, karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hokum yang innovative untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hokum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara 198 tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations”. Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hokum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hokum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan ( keberlakuannya ) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat 199 dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:
_sifatnya yang sementara (temporary character); _ 2. _pengakuan akan sifat khusus (exceptional) dari keadaan darurat; _ 3. pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus, yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hokum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropah, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropah dan 200 hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut. B. State of Siege Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hokum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “ dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku 201 state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege. Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu:
Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang- undang kepada eksekutif; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri-menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan.
C. Martial Law -Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law , yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang- undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi 202 beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 Ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hokum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan (meta-rule) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hokum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta - rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi: “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States…” 203 Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hokum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argument kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review. Tahun 1980, gubernur-gubernur negara bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai akibatnya 204 Congres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Montgomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of exigencies ( keadaan genting) __ ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur- prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “ Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, 205 maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pengertian hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikwal kegentingan yang memaksa” yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “ kegentingan memaksa”, yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemic yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. 206 Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “ untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “ kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi- Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaccine tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar !945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga 207 negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat, maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman dibawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999,masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sesungguhnya Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa “pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal (state of normalcy ? Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis, yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal? Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional 208 dictatorship , memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point, Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun `1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu nomor 23 tahun 1959 yang didasakan pada Pasal 12 dan 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sispil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang”. Dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perppu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis. Dan harus memuat pengawasan dari Lembaga judicial. Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan : “bila negara dalam emergency law, maka perlu diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan _ketentuan:
Providing for legislative and judicial oversight for the executive, 2._ Limiting exceptional measures to those strictly necessary, 3. Ensuring that such powers endures only for the duration of outbreak. Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight. Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta ”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa deficit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. HukumTata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga 209 berubah emergency law (staatsnoodrecht ) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland, dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “limited state of emergency” , dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-HukumAdministrasi Negara bisa menemukan istilah, ump HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights) sampai Pasal 360 ( provision as financial emergency ) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress . Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 Jo . Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam Judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo . Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi Undang-Undang nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, 210 (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklassifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak;
Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan
Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perppu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN 211 yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum deficit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan
Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) jo . Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. 212 f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum deficit. Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp. 405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemic Covid- 19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemic Covid-19. i) Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah. 213 1) Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid- 19. j) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perppu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. k) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahaqn ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan 2) Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. l) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN; 214 3) Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkue tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana;
Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan
Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak iterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis 215 yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi merumuskan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium __ atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat (2) adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Machfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “ juristerij ”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 216 memberikan kekebalan hukum tidak tepat,karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang-undangan. Machfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu yang Tidak Dikenal Perbedaannya Kami menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu No. 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”,yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang- undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT No. 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hokum formil maupun hokum materiil. Pembatasan 217 waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak.Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya ? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang-undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hokum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara 218 serta eksistensinya . Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang- undang, terutama karena kewenangan legislatif merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang- Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu, yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hokum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hokum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan), maka Perpu jenis kewenangan darurat (emergency power) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hokum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir. Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis , yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules . Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini: 219 1. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut;
Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan sosial ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis disegala bidang yang mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus 220 Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah.
Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec. • Ahli menyampaikan paparan mengenai peran APBN dalam pemulihan ekonomi. Isu yang dibahas ada tiga hal. Pertama adalah bagaimana dampak Covid-19 bagi perekonomian dunia? Kedua adalah bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia? Ketiga , mengapa fiskal stimulus atau pelebaran defisit itu dibutuhkan untuk mengatasi situasi ini. • Bahwa bagaimana penyebaran Covid-19 terus mengalami eskalasi kenaikan masih tinggi secara global dan juga terjadi di Indonesia. Jika Ahli menggunakan angka maka setiap hari berubah, per 14 Februari, 109.400.000 orang yang terkena dampak dari Covid-19 di 218 negara. Dengan tingkat kematian 2.300.00 orang. • Bahwa dari sini saja kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di dalam pandemi ini adalah sesuatu yang luar biasa, tingkat kematian yang luar biasa, jumlah infected cases atau mereka yang tertular yang jumlahnya luar biasa dan kasus ini terus meningkat. • Bahwa jika mengikuti berita pada beberapa waktu terakhir ini kita mulai melihat bahwa gelombang ketiga terjadi di India. Di mana kasus dari i nfected cases meningkat begitu tajam. Hal yang sama terjadi juga di beberapa negara Eropa dan bahkan di dalam beberapa hari terakhir kita mulai melihat di beberapa negara tetangga kita seperti Filipina, Malaysia, Thailand bahwa peningkatan kasus terjadi. Kita berharap bahwa mudah-mudahan gelombang ketiga tidak terjadi di Indonesia, tetapi kita harus tetap waspada. • Bahwa akibat dari Pandemi Covid-19 ini, maka pemerintah berbagai negara harus mengambil tindakan yang di luar normal atau di luar kebiasaan. Mengapa itu harus dilakukan? Karena cara untuk mengatasi pandemi adalah meminta agar orang menghindari kerumunan, menghindari aktifitas, atau menjaga jarak. Yang kita kenal di sini dengan nama pada waktu bulan Maret tahun lalu adalah PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar). Di berbagai negara lain ini dijalankan dalam bentuk yang disebut sebagai lockdown . • Bahwa implikasi dari lockdown adalah meminta orang untuk tinggal di rumah. Padahal kita tahu esensi dari aktifitas ekonomi adalah aktifitas pasar 221 dan pasar per definisi adalah tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa, baik secara fisik maupun secara virtual. Tetapi di dalam kasus ini karena orang diminta untuk tidak berinteraksi, maka aktifitas pasar kolaps di seluruh dunia. Kecuali yang bisa dilakukan secara virtual. Itu sebabnya, pada pagi hari ini pun kita melakukan sidang secara virtual. • Bahwa yang menarik untuk diamati adalah dengan dampak yang sebegitu besar ternyata Indonesia relatif mampu, saya mengatakan relatif karena kontraksi ekonomi tetap terjadi, relatif mampu menghadapi situasi pandemi ini di dalam konteks ekonomi dengan lumayan. Karena apa? Karena kinerja kita tidak sebaik Vietnam yang membukukan pertumbuhan positif 2,9% di tahun 2020, atau seperti Tiongkok yang punya pertumbuhan positif 2,3%, atau Korea Selatan yang -,1%. • Bahwa pertumbuhan kita tahun lalu negatif 2,1%. Kita mengalami kontraksi 2,1%. Tetapi kalau kita melihat bahwa 2,1% ini relatif lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Rusia, Amerika, Jerman, Malaysia, Singapura, dan sebagainya. Bahwa yang dilakukan di sini, yang pertama adalah karena Indonesia tidak melakukan lockdown secara ketat seperti yang dilakukan di beberapa negara. Kecuali di dalam kasus Tiongkok dan Vietnam, mereka melakukan lockdown secara ketat dan mampu mengatasi pandemi dalam waktu singkat. Di dalam kasus kita, kita melakukan PSBB, tidak seketat di negara lain, tetapi pandeminya agak berlangsung lama. Nah, sekarang kita bisa melihat bahwa misalnya Singapura dengan pengetatan yang dilakukan, recovery ekonominya mungkin relatif lebih cepat. Tetapi Ahli mengatakan bahwa tahun 2020, kinerja kita sebetulnya relatif lumayan. • Pertanyaannya adalah apa yang menjelaskan ini, ya, selain tadi faktor mengenai penerapan PSBB? Penjelasannya adalah kebijakan atau respons dari pemerintah, salah satunya melalui fiskal stimulus. • Bahwa pertanyaan paling penting adalah bagaimana dampak Covid ini terhadap Indonesia? Ahli mencoba menggunakan data untuk membandingkan kondisi pra-Covid dengan kondisi Covid. Jadi, sebagai batas Januari 2020 sebelum Covid terjadi, Ahli anggap sebagai kondisi pra- Covid, dimana basisnya Ahli nyatakan sebagai 100. Jika angkanya di bawah 100, berarti kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. 222 Tetapi bila angkanya di atas 100, maka kondisi Covidnya lebih baik dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. • Siapa yang paling terpukul akibat dari pandemi Covid? mereka adalah sektor informal. Pendapatan mereka turun 30%. Bagaimana dengan wirausaha? Pendapatannya turun 15%. Sedangkan pekerja tetap dengan gaji atau pekerja dengan gaji tetap, hampir tidak terdampak, kecuali kalau mereka kehilangan pekerjaan. • Bahwa yang terpukul paling berat adalah mereka yang berada di sektor informal. Siapa itu yang berada di sektor informal? Kelompok yang rentan, pendapatan menengah bawah, perempuan, dan anak-anak. Itulah sebabnya di berbagai media pada waktu pendemi mulai terjadi, Ahli mengatakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan bantuan langsung tunai atau cash transfer. Karena di dalam kondisi ini, kita tidak mungkin memberikan pekerjaan karena PSBB ( lockdown ). Yang bisa dilakukan adalah mengompensasi ketika orang tinggal di rumah ( people are paid to stay at home ). Apa akibatnya? Tingkat pengangguran terbuka, naik dari 5,28% menjadi 7,07%. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19%. Ahli ingin menyatakan satu hal di sini, Pengangguran di Indonesia, itu adalah barang mewah. Hanya orang kaya yang bisa menganggur. Kalau orang itu miskin, maka dia harus bekerja, bekerja apa saja. Bila tidak, dia tidak bisa makan. Maka Ahli bisa mengatakan, walaupun pengangguran terbukanya naik hanya dari 5,28% kepada 7,07%, tetapi sebetulnya dampak riilnya mungkin jauh lebih besar. Karena orang yang miskin kalau dia tidak ada pendapatan, dia akan meninggal. Maka, yang dia lakukan adalah pekerjaan apa saja, asal bisa hidup. Akibatnya, datanya tidak ada di sini. • Bahwa sektor informal itu meningkat karena orang itu bekerja apa saja, istilahnya poor to be unemployed . Jadi, angka kita 7,07% itu masih dalam relatif sebetulnya angka yang sangat konservatif karena definisi yang kita punya. Angka kemiskinan yang 10,19% sedikit-banyak, hal tersebut terbantu karena program dari BLT atau cash transfer dan perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah. • Bahwa rasio dari tabungan terhadap pendapatan untuk kelompok yang pengeluaraannya di bawah Rp4.000.000,00 mengalami penurunan. Ini 223 memperkuat argumen Ahli bahwa yang terukur dengan pandemi adalah kelompok menengah bawah. • Bahwa yang menarik adalah melihat kelompok pendapatan di atas Rp5.000.000,00, rasio dari tabungan terhadap total pendapatannya meningkat. Kelompok menengah atas atau kelompok atas justru tabungannya meningkat. Mengapa ini terjadi? Karena di dalam porsi konsumsi, orang ketika pendapatannya rendah, dia akan fokus membelanjakan pendapatannya pada kebutuhan pokok ( essential goods ), sedangkan meraka yang relatif kaya, porsi dari makanan itu relatif rendah. Karena orang kalau dia makan tiga kali sehari, bukan berarti kalau kemudian dia menjadi kaya, dia makan 12 kali sehari. • Bahwa di dalam pandemi menengah atas hanya membelanjakan kebutuhan esensialnya karena dia tidak membutuhkan jas, dia tidak membutuhkan pakaian kantor karena dia bekerja di rumah, dia tidak membutuhkan tas kantor, akibatnya tabungannya meningkat. Jadi, kita bisa melihat, bahwa dampak dari pandemi ini adalah akan munculnya ketimpangan pendapatan. • Bahwa dari segi pertumbuhan PDB, sebetulnya Indonesia sudah mencapai titik pertumbuhan terendah pada triwulan II tahun 2020 ketika pertumbuhan kita minus 5,3%. Setelah itu, masih mengalami kontraksi, tetapi kontraksinya lebih kecil, minus 3,49%, minus 2,19%. Perkiraan Ahli adalah di dalam triwulan I 2021 kita mungkin masih mengalami kontraksi minus 0,5%. Dan baru akan positif pada triwulan II tahun 2021. • Bahwa pertanyaannya adalah mengapa Indonesia mampu melalukan pembalikan atau turneral pada triwulan III. Jadi, triwulan II terburuk, kemudian triwulan III meningkat? Bahwa seluruh komponen di dalam produk domestik bruto mengalami pertumbuhan negatif, konsumsi rumah tangga, investasi ekspor-impor, kecuali konsumsi pemerintah pada triwulan III. Kita bisa melihat di sini bahwa konsumsi pemerintah mengalami peningkatan. Inilah yang menjelaskan mengapa ekonomi kita bisa mengalami turneral. Jadi, dari grafik ini Ahli mengatakan bahwa fiskal stimulus yang dilakukan pemerintah telah memberikan dampak sedikitnya memitigasi dampak dari pandemi ini. Inilah alasan mengapa fiskal stimulus perlu dilakukan. • Bahwa baik kelompok pendapatan atas, menengah, maupun bawah, di dalam frekuensi belanja sudah kembali di atas normal. Dan ini kondisinya 224 membaik setelah triwulan III tahun 2020. Jadi, kembali lagi efek dari bantuan sosial dari fiskal stimulus itu memberikan dampak frekuensi belanja sudah kembali normal. • Bahwa Ahli bicara frekuensi. Artinya, orang sering belanja, tetapi yang dibelanjakan nilainya sedikit. Bahwa yang nilai belanjanya sudah di atas normal, 100 adalah kondisi pra-Covid, di atas kondisi normal, itu adalah kelompok menengah bawah. Kenapa? Karena mereka harus mengonsumsi essential goods, makanan, aktivitas sehari-hari. Tetapi belanja dari kelompok menengah atas atau kelompok atas itu masih di bawah kondisi prapandemi. Mengapa itu terjadi? Di dalam kelompok menengah bawah, mereka mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Ini yang mendorong pendapatannya mengalami peningkatan, spending -nya mengalami peningkatan. • Bagaimana dengan kelompok menengah atas? Mereka tidak dapat bantuan sosial, tetapi mereka punya tabungan. Tapi mengapa konsumsinya hal tersebut tidak kembali kepada kondisi prapandemi? Penjelasannya sederhana, porsi terbesar dari kelompok atas, adalah traveling, hal tersebut adalah entertainment, lecteur, kita bisa mengecek di sosial media, di Intagram, di Facebook, di mana-mana bahwa ciri dari identitas dari kelas menengah atas adalah perjalanannya, entah ke luar negeri atau makan di restoran, aktivitas itu tidak bisa dilakukan sekarang. Itu yang menjelaskan bahwa belanja dari kelas menengah atas masih di bawah normal. • Bahwa yang terjadi program dari stimulus viskal berhasil mendorong belanja dari kelompok menengah bawah, tetapi tidak menengah atas. Dan masuk akal karena belanja atau konsumsi menengah atas akan tergantung dari kemamupuan pemerintah mengatasi pandemi karena konsumsi mereka itu berkaitan dengan mobilitas, traveling , entertainment , lecteur yang aktivitasnya terganggu, misalnya seperti bioskop, café, dan segala macam akibat pandemi. • Apa yang akan terjadi jika kemudian aktivitas ekonomi mengalami penurunan dengan kontraksi yang terjadi? Logikanya sederhana, jika aktivitas ekonomi menurun, maka return, atau imbal, atau balas jasa dari aktivitas sektor itu juga akan mengalami pertumbuhan negatif. Perusahaan mengalami kerugian. Kalau perusahaan mengalami kerugian, maka dia 225 berisiko tidak bisa membayar kreditnya kepada perbankan. Maka meningkatlah yang disebut sebagai non-performing loan. Di dalam konteks ini, OJK melakukan kebijakan dengan merelaksasi dimana kalau kolektibilitasnya satu dan dua tidak dianggap sebagai NPL. Tapi kebijakan ini suatu hari akan berakhir. Ketika tahun 2020 akan berakhir, kita akan melihat mengenai risiko dari kredit macet yang riil pada tahun depan. Karena direksasinya berakhir, pada saat itu kalau sektor perbankan, tidak mendapatkan support, maka ada risiko stabilitas sektor keuangan dan ciri dari sektor keuangan adalah dia bergerak berbadasarkan yang disebut sebagai animal spirit. Jika orang khawatir bahwa satu bank mengalami persoalan, maka kemudian ada risiko kekhawatiran bahwa terjadi rush dan segala macam tergantung dari interconnected-nya. Ahli tidak akan bicara terlalu jauh, tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa risiko di sektor keuangan itu ada, di dalam respons kebijakan apa yang dilakukan? Pemerintah dengan dengan dikeluarkan perppu tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 memfokuskan kepada tiga hal. Yang pertama adalah alokasi belanja untuk kesehatan. Yang kedua adalah alokasi belanja untuk bantuan sosial. Yang ketiga adalah dukungan untuk UMKM karena seperti yang Ahli katakan tadi sektor informal UMKM terpukul. Ini yang kemudian dimunculkan di dalam program yang disebut sebagai program N. Ini adalah bagian dari fiskal stimulus, akibat dari kebijakan yang dilakukan untuk menambah alokasi belanja di dalam sektor kesehatan di dalam perlindungan sosial, memberikan BLT dan segala macam, restrukturisasi di dalam UMKM. • Bahwa Ahli belum bicara mengenai tahun 2021 dimana bantuannya diperluas kepada korporasi dan segala macam, maka defisitnya itu harus yang bisa, mau tidak mau akan terjadi melampaui batas defisit 3% yang dinyatakan di dalam undang-undang. Oleh sebab itu, jika pemerintah tetap menetapkan defisitnya hanya 3% pada tahun 2020, maka tidak ada ruang bagi pemerintah untuk melakukan fiskal stimulus. • Bahwa kita bisa membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada fiskal stimulus, maka pembalikan ekonomi atau economic turneral tidak akan terjadi pada triwulan ketiga. Mungkin pada saat ini, kita akan berada dalam situasi yang lebih parah. Karena itu, Ahli mengatakan bahwa di dalam situasi 226 yang genting seperti itu, maka batas defisit 3% harus diperlebar. Ahli ingin menunjukkan bahwa hal ini perlu dilakukan untuk menolong kelompok menengah ke bawah, untuk belanja kesehatan, dan juga UMKM. • Bahwa pemulihan ekonomi di sini totalnya Rp579,78 triliun realisasinya 83,4%. Bahwa yang paling besar itu adalah bantuan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM Rp112,4 triliun, dan kemudian diikuti oleh kesehatan, pembiayaan korporasi realisasinya Rp60,7 triliun, belum terlalu meningkat insentif dunia usaha. Ekspansi belanja perlindungan sosial secara tunai termasuk PKH, insentif kartu praperja, bansos tunai, sembako, pengeluaran konsumsi pemerintah termasuk bantuan UMKM, belanja pegawai, belanja barang operasional, bantuan pemerintah, dan belanja modal termasuk pembangun sarpras kesehatan, pengadaan tanah PSN, dan pengadaan peralatan hankam, dan pembangunan irigasi. • Bahwa Indonesia adalah negara bukan produsen vaksin. Kemampuan Indonesia memulihkan ekonomi akan sangat tergantung dari kemampuan kita mengatasi pandemi. Karena porsi terbesar dari belanja masyarakat adalah yang menengah atas. Menengah atas tidak mau belanja selama pandeminya masih ada. Mereka tidak ada mobilitas. Karena itu, solusinya hanya dua hal kita mengembalikan mobilitas. Caranya adalah satu, dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Kedua, vaksin. • Bahwa jika kita memiliki disiplin seperti yang ada di China, Vietnam, Singapura, maka mungkin role dari vaksin tidak sepenting yang kita hadapi sekarang. Lihat bagaimana negara seperti Australia proses vaksinnya relatif lambat karena mereka mempu membuat kasusnya sangat kecil, Singapura zero cases sekarang, proses vaksinnya bisa lambat. Tetapi dalam kasus di Indonesia protokol kesehatan enforcement-nya masih sangat sulit, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada vaksin. Di dalam konteks vaksin, Indonesia adalah 10 besar negara dengan vaksin tertinggi, di antara negara non-produsen, kita empat besar. • Bahwa ada persoalan sekarang karena ada risiko dari gelombang ketiga, maka semua negara mengatakan mereka tidak lagi mau mengekspor vaksinnya karena untuk mengantisipasi kebutuhan domestiknya. Di dalam konteks ini, maka ada persoalan, kalau persediaan vaksin terbatas, maka pemulihan ekonomi juga akan terbatas. Karena itulah role dari fiskal stimulus 227 menjadi sangat penting untuk memastikan, untuk men-secure bahwa vaksinnya ada. • Bahwa Ahli menunjukkan kalau berbicara mengenai fiskal defisit, sebetulnya angka 6,1%, buat Indonesia hal tersebut relatif kecil, dibandingkan dengan Filipina 7,6%, China apalagi bila dibandingkan dengan Australia 10,6%, Singapura 13,9%, dan Amerika 15,2% dari GDP. • Ahli sebagai ekonom, seringkali mengadakan semacam webinar dengan investor. Pertanyaan mereka yang selalu muncul adalah apakah Anda yakin cukup 6,1%? Karena yang dibutuhkan adalah stimulus di dalam skala yang masif. Lima dari fiscal policy . Di seluruh dunia pada tahun 2020 adalah whatever it takes, lakukan apapun yang harus dilakukan agar penyelamatan nyawa dan penyelamatan ekonomi bisa terjadi. • Bahwa Joe Biden dengan programnya mengeluarkan US$1,9 triliun, Singapura dengan program fiskal stimulusnya, Indonesia 6,1% relatif kecil. • Bahwa pertanyaannya adalah mengapa kita perlu ekspansi fiskal? Ini adalah sesuatu yang dilakukan secara teknis, sebuah simulasi di dalam modeling. • Bahwa ada dua pilihan di sini, apakah pemerintah pertama kali harus mendorong produksi investasi? Karena logikanya kalau produksi berjalan, investasi naik, kemudian perusahaan akan hire tenaga kerja, orang dapat income , kemudian bisa belanja. Atau yang harus diberikan pertama adalah mendorong konsumsi. Dikasih uang orang belanja, kemudian ada belanja, ada permintaan, maka ketika ada permintaan, perusahaan merespons. • Bahwa dari simulasi yang Ahli lakukan, jika investasi dinaikkan, maka konsumsi rumah tangga itu akan naik. Tetapi bila orang diberikan uang dalam bentuk cash transfer , maka diapun melakukan belanja, maka investasi akan merespons. • Bahwa tingkat bunga dari Bank Indonesia sudah diturunkan, mungkin terendah di dalam sejarah kita, tetapi investasi tidak naik. Mengapa investasi tidak naik? Jadi sudah dapat kredit, tetapi tidak diambil. Mengapa ini dilakukan oleh perusahaan? Mereka mengatakan, “Untuk apa saya ambil uangnya kalau yang beli barang saya enggak ada.” Saya produksi barang dan berakhir sebagai stok. Stok itu adalah cost . Saya butuh gudang, saya butuh apa-apa, yang beli enggak ada. Akibatnya yang menjelaskan kenapa pertumbuhan kredit mengalami penurunan karena permintaannya tidak ada. 228 Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan di dalam pemulihan ekonomi itu adalah fiskal stimulus sebagai pengungkit. Caranya dengan memperluas BLT kelas menengah bawah. Bahkan Ahli mengatakan bahwa perluasannya harus lebih besar lagi sebetulnya. Kita enggak tidak bicara mengenai 600.000 tetapi mungkin kita harus bicara dengan angka yang relatif sedikit lebih tinggi walaupun harus selalu berada di bawah upah minimum. Karena kalau BLT-nya sebesar upah minimum, maka orang tidak kerja, dia hanya akan tinggal di rumah menjadi pemalas. Tetapi mungkin bisa diperluas. • Bahwa yang kedua adalah program kesehatan. Kita hanya bisa mengatasi pandemi kalau vaksin gratis. Mungkin kita harus bicara mengenai PCR yang mungkin masih relatif mahal, ini yang harus kita pikirkan. Kalau permintaan sudah ada, baru kita bicara mengenai penjaminan kredit, program yang dilakukan oleh pemerintah sekarang, subsidi bunga, dan sebagainya.
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. Sehubungan dengan permohonan Pengujian UU No. 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perkenankan Ahli mengemukakan hal-hal berikut sesuai dengan latar belakang keilmuan yang Ahli miliki. Semoga keterangan yang Ahli sampaikan bisa menjadi sumbangan pemikiran yang kiranya - jika diperlukan - bisa menjadi masukan dalam persidangan ini. Keterangan Ahli yang penulis sampaikan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian sesuai dengan permintaan Keterangan Ahli yang disampaikan kepada Ahli melalui Surat Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan RI No. S- 212/SJ.4/2020 tertanggal 03 Desember 2020 perihal Permohonan Sebagai Ahli Pemerintah Dalam Rangka Pengujian UU No. 2 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:
. Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu;
. Wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi 229 akibat pandemi Covid-19; dan
. Penjelasan perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pertama, Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra-ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sehubungan dengan Perppu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah melalui UU No. 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. 230 Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parameter obyektif untuk penggunaan kewenangan diskresi konstitusional tersebut pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 138/PUU-VII/2009, yang terdiri dari:
. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “martial law” atau “emergency legislation”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama- sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “ martial law ”, “ emergency law ”, atau “ emergency legislation ”. Perppu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat 231 diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal. 355). Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension ) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perppu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrehct ), kewenangan diskresi juga diatur dalam UU 232 No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Pasal 22 ayat (2) UU No 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 yang menjadi objek permohonan pengujian dari para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU No. 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu 233 dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). 234 Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Kedua, wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU No. 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (vide Pasal 1 ayat 3), Pemerintah diberikan wewenang untuk (vide Pasal 2 ayat (1)):
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to giving reasons ) 235 atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocussing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres No. 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam 236 rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:
. Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur) ;
. Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres No. 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. 237 Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid-19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 238 pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres No. 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid-19 diatur dalam UU No. 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah-langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat-obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. 239 Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama, menyangkut obyeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya 240 menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat, dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor-aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu No. 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU No. 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid-19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar RP 13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp. 53 triliun. 241 Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp 765 triliun (dengan kurs Rp 17 ribu). Mereka mengatakan ada € 2 miliar atau sekitar Rp 34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang 242 didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres No. 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya.
Chandra M. Hamzah, S.H. Pemaknaan Kerugian Negara Dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya 243 ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Terhadap ketentuan tersebut, dapat Ahli sampaikan bahwa rumusan seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bukanlah hal baru. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU Krisis Sistem Keuangan”) memiliki kemiripan dalam rumusan pasalnya, sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan : “Cukup jelas” Frasa “kerugian negara” setidaknya ditemukan dalam 3 (tiga) undang-undang lainnya, yaitu:
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 3. Bagian I Umum Penjelasan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), sebagai berikut: Paragraf kedua: “Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.” Dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK, dalam pengertian frasa “kerugian negara/daerah”, sudah terkandung unsur “perbuatan melawan hukum”, sudah terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. 244 Sedangkan pada UU Tipikor, dalam pengertian frasa “kerugian negara” belum terkandung unsur “melawan hukum”, belum terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Perbuatan korupsi-nya yang mengandung unsur melawan hukum, bukan kerugian negaranya. Selain dapat disimpulkan berdasarkan Bagian I Penjelasan Umum Atas UU Tipikor sebagaimana telah dikutip pada butir 3 di atas, hal ini juga dapat dilihat dalam rumusan delik pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dalam UU Tipikor adalah ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum”. Sedangkan, kerugian negara adalah sebagai akibat dari perbuatan (melawan hukum) dimaksud. Jadi, dalam sudut pandang UU Tipikor, “kerugian negara” yang disebabkan perbuatan korupsi (melawan hukum) saja yang merupakan suatu tindak pidana. Konsekuensinya, terdapat dua kategorisasi kerugian negara, sebagaimana diagram sebagai berikut: Apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU Tipikor, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum, maka hal tersebut bukan tindak pidana (korupsi). Sedangkan, apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah Kerugian Negara Akibat Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Akibat Perbuatan Menurut Hukum Bukan Tindak Pidana 245 dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut bukan kerugian negara. Kewenangan BPK/BPKP Untuk Memeriksa Adanya Kerugian Negara Dalam Pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 Terkait dengan frasa ‘’kerugian negara’’, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”), Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 10 UU BPK : “(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pasal 11 UU BPK: “BPK dapat memberikan:
pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;
pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau
keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.” 246 Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“Perpres BPKP”), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 3 Perpres BPKP “a....
... c.... d.... e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; ” Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan BPK dan BPKP terkait dengan kerugian negara sebagaimana dapat dibaca pada halaman 53 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 sebagai berikut: “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya; ” Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tidak menghilangkan kewenangan BPK/BPKP terkait dengan kerugian negara. Oleh karena itu, BPK/BPKP tetap dapat memeriksa adanya kerugian negara dalam pelaksanaan UU 2/2020. Due Process of Law Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Terkait Pelaksanaan Kebijakan Sesuai Lampiran UU 2/2020 Pengertian yang dianut UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara maupun yang dianut UU Tipikor, ada persamaan diantara ketiganya yaitu adanya unsur ‘’melawan hukum’’. Apabila terpenuhi semua unsur-unsurnya, termasuk unsur ‘’melawan hukum’’, maka terhadap pelakunya tetap dapat diminta pertanggungjawaban melalui proses hukum. 247 Terkait Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang berbunyi sebagai berikut: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagaimana batasan itikad baik dalam prinsip hukum pidana? Dalam hukum pidana materiil di Indonesia tidak banyak pasal yang menyebutkan tentang “itikad baik”, begitu pula referensi terhadapnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan pidana lebih banyak mengatur tentang:
perbuatan/tindak pidana (unsur objektif/fisik yaitu actus reus ), dan b. sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Frasa “itikad baik” ditemukan dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHPidana”), sebagai berikut: “ Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Pasal 51 ayat (2) KUHPidana ini terdapat dalam KUHPidana Bab III Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan Pidana. Seseorang dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila pelaku, ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Pasal 119 KUHPidana “Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesiu, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara” Pasal 187 bis KUHPidana “Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia bahan-bahan, benda-benda atau perkakas-perkakas yang diketahui atau 248 selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang membahayakan nyawa orang atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Pasal 393 KUHPidana “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Pasal 480 KUHPidana “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.” Dalam delik-delik di atas, dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila seseorang yang mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan. Khusus untuk Pasal 480 ke-1 KUHP, Mahkamah Agung telah menerbitkan yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 2/Yur/Pid/2018 dan 3/Yur/Pid/2018 dimana Mahkamah Agung secara konsisten menganggap bahwa tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai “ diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” adalah:
apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/standar.
apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah. 249 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki itikad baik apabila ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 mengatur perlindungan hukum kepada pihak tertentu. Apakah dalam suatu peraturan perundang-undangan diperbolehkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertentu? Apakah ketentuan tersebut menghilangkan prinsip equality before the law , khususnya dalam penerapan hukum pidana? Norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan. Tercatat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung norma serupa, sebagai berikut:
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang- undangan dan/atau Kode Etik Advokat.” c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serbagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (“UU MD3”) Pasal 57:
Anggota MPR mempunyai hak imunitas. 2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
Pengujian Formil dan Pengujian Materiil Lampiran UU 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Perpu 1/2020 Menjadi Undang-Undang [Ps 1, Ps 2 ayat (1) huruf ...
Relevan terhadap
Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas. 2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan 276 “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini.” e. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak "Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." f. Pasal 6 Lampiran Undang-undang Nomor 9 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan;
Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata. Terhadap norma yang tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian dalam beberapa putusannya, antara lain sebagai berikut:
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, sebagai berikut: “… bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan; ” 277 b. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016, sebagai berikut: “Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan kenyataan bahwa norma tersebut kerap digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kemudian juga telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, maka secara politik hukum norma tersebut dapat diterima untuk dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya norma tersebut pun, pihak-pihak terkait memang seharusnya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu keberadaan norma tersebut tidak menghilangkan prinsip equality before the law . F. Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Terkait dengan materi keterangan yang akan disampaikan Ahli, pada dasarnya merupakan materi yang seyogianya telah dikuasai oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Kemudian, sebelum masuk kepada pokok-pokok keterangan yang akan disampaikan dalam kapasitas ahli di bidang hukum tata negara, perlu dikemukakan bahwa Covid-19 yang dinyatakan secara resmi oleh World Health Organization (WHO) sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020 yang lalu, tentu merupakan kondisi yang tidak mudah bagi semua pihak, tidak hanya bagi Indonesia, namun juga bagi negara-negara di belahan dunia lainnya. Sebagai penyelenggara negara yang diberikan amanat oleh konstitusi untuk melindungi hak-hak warga negara, terutama dalam menghadapi masa Pandemi Covid-19, negara wajib mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambil tentu dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, terkait langkah-langkah yang diambil oleh negara sebagai bentuk tindakan pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19 akan mencerminkan 278 tanggung jawab negara dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Tentu tindakan pemerintah tersebut harus ditelaah dari beberapa aspek: Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa (extraordinary). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960. Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang- undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid- 19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting 279 dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Tentu, Mahkamah Konstitusi dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “Keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
ancaman yang membahayakan (dangerous threat);
kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); dan
keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. 280 Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak- tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu.” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang-undang darurat yakni:
keadaan mendesak;
keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;
untuk mengatasi keadaan dan kesulitan- kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;
tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan
hanya berlaku selama keadaan bahaya. Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi. Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan. Terhadap imunitas dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas. Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tentu juga 281 tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi. Kebijakan Keuangan Negara Dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni:
Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “PSME” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:
Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi: 282 a. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:
penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali: 283 1. Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.
Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces.
Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid-19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah ada rambu- rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:
Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan
Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “UU Ketenagakerjaan”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut: 284 a. mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur;
mengurangi shift;
membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan 285 b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang 286 spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang-undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang- undang. Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang- undang dengan rumusan “…diatur dalam undang-undang…” dan “…diatur dengan undang-undang.” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Nomor 012-016- 019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “diatur dalam undang-undang ( geregeld in de wet ), tidak identik dengan diatur dengan undang-undang ( geregeld bij de wet ).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi- fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang ( in de wet ), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.” Sementara itu, frasa “dengan undang- undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri.” Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy, perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/ Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang.” 287 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang.” 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang-undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir (fallacy) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial “Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.” 6 . 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang- undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang yang menentukannya.” 288 Pengujian Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang- Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang- undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo.” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah “Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya (open public policy). Mahkamah Konstitusi memberikan catatan meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran.” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;
tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan
bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan. Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/ Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/ kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur 289 kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang. Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making atau law making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk 290 mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah ( delegated regulations ), maka tercapainya tujuan ( doelmatigheid ) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co- Operation and Development yakni:
netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, dimana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid- 19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat 291 terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang- undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang- Undang tersebut, seperti:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang MENOLAK permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan 292 UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo. Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang. Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang-undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan 293 dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut, Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi.” Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara.
Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan. 294 (3) Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor, maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara. 295 Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”
ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberikan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 Oktober 2020 dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: 163 I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon pada pokoknya adalah: Gambar 1: Matriks Pengujian UU 2/2020 Adapun batu uji yang digunakan oleh para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: Gambar 2: Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan para Pemohon 164 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LATAR BELAKANG PENERBITAN UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. 165 Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat (total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home, work from home, dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate 166 terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity 167 untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perpu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perpu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perpu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perpu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. 168 Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perpu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perpu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perpu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perpu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perpu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. 169 B. BANTAHAN DALIL-DALIL PARA PEMOHON Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020.
Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja 170 untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif (forward looking) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan 171 pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perpu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 172 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah; 173 4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB). 174 2) Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.
Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp 695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp 123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp 106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp 53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp 120,61 175 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: Gambar 3: Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai 176 Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan (sustainability) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid- 19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR 177 PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback.
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home, maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka 178 pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan MK Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan (fairness) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud, perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang 179 seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence), (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan, dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat 180 dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business- to-Business (B2B), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business- to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment.
Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T 181 Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineerin g, design, etc) Recording Media + Manual installment Express Consignment / imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T Handphone Software In gadget Express Consignment / import for home use Imported separately/ electronic Transmission Online 44,75 T Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah ( loopholes ) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses 182 legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. Berikutnya terkait dengan dalil para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perpu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.
Lebih lanjut, para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: 183 a) akan menutup celah pengaturan (loopholes) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha (level of playing field) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan (fairness) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. 184 Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum.” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya 185 merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang (opened legal policy) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru (precedented), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di masa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri 186 Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang- barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. 187 Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid- 19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena- mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter- fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: "Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation 188 between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Diantara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: 189 “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) 190 UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. 191 Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods. SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk non-public goods korporasi sebesar Rp53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate. Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5: Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia 192 Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat”. Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan 193 peraturan-perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:
Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable; dan d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. Dengan adanya ketentuan last resort, memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.
Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 194 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp 71,2 T dan Rp 72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. 195 Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang 196 membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas- luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu 197 diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. 198 Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga 199 diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 200 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 201 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas (vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);
melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan 202 solvabilitas (vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN);
melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal (vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 11 UU LPS). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan Bank, baik itu Bank Sistemik maupun Bank Selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat 203 dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis (vide Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK). Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif 204 pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:
Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding, dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds 205 usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan.
Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent. Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. 206 Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 s.d. Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal, sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU- XII/2014 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” 207 Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary. Selain dapat memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, 208 program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri (trade finance). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) juncto Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau tindakan pengawasan OJK (vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang 209 P3IK Bank Umum). Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk 210 penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang. 211 d. Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances, dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 (check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian 212 negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh:
Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;
Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer, masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. 213 Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary. Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat 214 yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru (precedented) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK);
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat 215 diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa diantara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” diubah menjadi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum.” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara 216 a contrario , imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud.” Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. 217 Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. 218 Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan
tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana 219 (actus reus) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/mens rea).
Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions, FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” 220 Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee, perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: “Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith.” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. 221 Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk (mens rea) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan (vide pasal 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus. Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang 222 optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian, apabila Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Untuk memperkuat keterangannya, Presiden mengajukan 3 orang Ahli yang keterangannya didengarkan dalam persidangan tanggal 29 April 2021, yaitu Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., dan Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum serta 3 orang Ahli yang keterangannya diajukan secara tertulis kepada Mahkamah dan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 Juni 2021, yaitu Chandra M. Hamzah, S.H., Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., dan Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M, yang keterangan- keterangannya adalah sebagai berikut: 223 A. Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Pendahuluan Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang – tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hukum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing- masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan- hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy ). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan 224 kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency ). paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid -19 Adalah Keadaan Bahaya Yang Mengancam Dunia Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang-wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemi yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan 225 Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemi tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negative terhadap demokrasi dan rule of law . Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara a quo , maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu 226 pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000 (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggeris, Irlandia, Jerman, Perancis Spanyol dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan social, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industri perhotelan, industri pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, 227 yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “ Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures ”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konstitusi – sebagaimana disebut diatas – sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan – kekuasaan atau kewenangan yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, 228 maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg ) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit – semacam undang-undang- tertanggal 13 September 1939 No. 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hukum tatanegara biasa menjadi hukum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer. Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang-undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan 229 yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktek Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy ) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relative stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan – meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat- syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang- undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy ) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, outputnya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat. Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi 230 menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di media sosial. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid 19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemi, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan covid-19 sebagaimana telah disebut diatas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya, karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hukum yang innovative untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hukum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation __ Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations ”. 231 Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hukum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hukum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan (keberlakuannya) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:
sifatnya yang sementara ( temporary character );
pengakuan akan sifat khusus ( exceptional ) dari keadaan darurat;
pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus, yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, 232 sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemi tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negatif terhadap demokrasi dan rule of law . Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut 233 B. State of Siege Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege . Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu: 234 1. Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang- undang kepada eksekutif; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri-menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan. E. Martial Law -Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law , yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa. Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 Ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan 235 khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan ( meta-rule ) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hukum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta-rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi: “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States...” Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hukum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara 236 Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argument kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review. Tahun 1980, Gubernur-gubernur Negara Bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai akibatnya Congres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Mongomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrument mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting 237 dalam state of exigencies (keadaan genting) ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur- prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pengertian hal ihkwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan Mahlamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu :
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; 238 2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “kegentingan memaksa”, yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemi yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi- Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaksin tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat 239 untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar !945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat, maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman dibawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999, masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 240 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa “ pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis ) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal ( state of normalcy ) Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis , yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal ? Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional dictatorship , memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point , Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun 1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu Nomor 23 tahun 1959 yang didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sispil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang”. Dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perppu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi 241 fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis. Dan harus memuat pengawasan dari Lembaga judicial . Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan: “bila negara dalam emergency law , maka perlu diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan ketentuan:
Providing for legislative and judicial oversight for the executive , 2. Limiting exceptional measures to those strictly necessary , 3. Ensuring that such powers endures only for the duration of outbreak . Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight . Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta ”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa defisit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. Hukum Tata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga berubah emergency law ( staatsnoodrecht ) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland , dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “ limited state of emergency ”, dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara bisa menemukan istilah, HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights ) sampai Pasal 360 ( provision as financial emergency ) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress . 242 Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 juncto Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam Judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo . Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi undang-undang nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perpu ini.” Pemberlakukan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi :
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklassifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut : a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak; 243 2) Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan
Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perpu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat- surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum deficit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan 244 5) Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum deficit. Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp. 405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan 245 4) Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemi Covid-19. i) Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid- 19. j) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perpu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. 246 k) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahan ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan 2) Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. l) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkue tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana;
Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan
Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin 247 implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak iterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi merumuskan unsur melawan hukum, 248 merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat 2 adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Machfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “ juristerij ”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 memberikan kekebalan hukum tidak tepat, karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang-undangan. Machfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu Yang Tidak Dikenal Perbedaannya Ahli menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada 249 persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu No. 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”, yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang-undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT Nomor 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hukum formil maupun hukum materiil. Pembatasan waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak. Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan 250 pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang-undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hukum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara serta eksistensinya. Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang- undang, terutama karena kewenangan legislative merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang- Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu, yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hukum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hukum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan), maka Perpu jenis kewenangan 251 darurat ( emergency power ) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hukum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir. Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis, yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules. Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini :
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut;
Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan social ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis disegala bidang yang 252 mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah. C. Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M. Ec Tiga hal yang akan disampaikan oleh ahli, antara lain mengenai isu bagaimana dampak Covid-10 bagi perekonomian dunia, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dan mengapa fiskal stimulus atau pelebaran defisit dibutuhkan dalam rangka mengatasi situasi saat ini. Bahwa pandemi Covid-19 yang telah terjadi saat ini menyebabkan pemerintah dari berbagai negara mengambil tindakan yang sifatnya diluar kebiasaan, hal tersebut bertujuan agar infected cases yang sebelumnya meningkat dapat diturunkan dengan cara membuat masyarakat menghindari aktifitas yang dapat menimbulkan kerumunan dan menjaga jarak. Berbagai negara menjalankan 253 kebijakan berupa lockdown sedangkan Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan lockdown yang diterapkan terutama dibanyak negara bertujuan agar masyarakat tinggal di rumah, sehingga menimbulkan dampak bagi aktifitas- aktifitas perekonomian negara tersebut terhenti sementara yang kemudian secara menyebabkan guncangan ekonomi secara global karena seluruh aktifitas perekonomian terhenti secara total kecuali kegiatan yang dapat dilakukan secara virtual. Semnetara itu, menurut Ahli dampak tersebut tidak begitu besar dialami oleh Indonesia yang mengambil kebijakan berbeda, ekonomi Indonesia relatif atau lumayan mampu bertahan menghadapi situasi pandemi saat ini dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia 2,1% ditahun 2020 walaupun tidak sebaik Vietnam dimana pertumbuhan ekonominya 2,9% di tahun 2020 atau pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar 2,3 ditahun 2020 atau pertumbuhan ekonomi Korea Selatan -1% ditahun 2020. Kondisi tersebut relatif lebih baik dibanding dengan yang terjadi di Rusia, Amerika Serikat, Jerman dan Malaysia yang mengalami perlambatan dalam pemulihan ekonominya, kecuali Tiongkok dan Vietnam dimana pemulihan ekonominya relatif lebih cepat. Kondisi perekonomian Indonesia yang terjadi saat ini disebabkan salah satunya oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diambil oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu kebijakan Pemerintah yang memberikan stimulus fiscal juga mempengaruhi kondisi perekonomian pada saat pandemi covid-19. Pandemi Covid-19 memberikan dampak terhadap sektor ekonomi formal maupun sektor ekomoni informal, bahkan justru sektor informal yang mengalami dampak paling buruk dimana pendapatan sektor informal turun 30% dan pendapatan wirausaha turun 15%, sedangkan pekerja teta patau pekerja dengan gaji tetap hampir tidak terdampak kecuali bagi pekerja yang kehilangan mata pekerjaannya. Sektor informal merupakan kelompok rentan yang terdiri dari masyarakat berpendapatan menengah bawah, perempuan dan anak-anak. Selanjutnya, grafik berikutnya dapat memperlihatkan bahwa tingkat pengangguran selama pandemi Covid-19 berlangsung naik dari 5,28% menjadi 7,07%, kemudian tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19% dan masyarakat pada golongan ini terbantu dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai dan perlindungan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, Namun perlu 254 diketahui bahwa angka tersebut secara riil mungkin jauh lebih besar. Kemudian, melalui grafik yang menggambarkan tabungan masyarakat di Indonesia terlihat bahwa kelompok yang pendapatannya di atas Rp. 5.000.000 justru mengalami peningkatan, hal ini disebabkan masyarakat pada kelompok tersebut hanya membelanjakan pendapatannya pada kebutuhan pokok saja, sehingga melalui grafik tersebut dapat terlihat bahwa terjadi ketimpangan pendapatan selama pandemi covid-19. Indonesia mencapai titik pertumbukan terendah pada triwulan II tahun 2020 yaitu -5,3% dengan kontraksi antara -3,39% sampai dengan -2,19%. Namun pada triwulan III mengalami pembalikan dimana terjadi peningkatan pada komponen konsumsi pemerintah Selain konsumsi pemerintah, konsumsi masyarakat baik kelompok pendapatan atas, menengan maupun bahwa sudah kembali di atas normal, sehingga dengan demikian stimulus fiskal yang diberikan oleh pemerintah memitigasi dampak dari pandemi. Aktivitas konsumsi masyarakat tersebut tentunya berdampak bagi sektor keuangan baik mikro maupun makro, dalam hal ini mempengaruhi performa pembayaran kredit dari pelaku usaha kepada perbankan jika pertumbukan konsumsi masyarakat negatif maka menimbulkan situasi gagal bayar bagi pelaku usaha. Terhadap hal tersebut OJK melakukan kebijakan relaksasi kredit tetapi kebijakan ini diberlakukan hanya sampai dengan tahun 2020. Pemerintah mengatasi kondisi pada sektor keuangan tersebut dengan mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 dengan memfokuskan pada 3 hal, yaitu alokasi belanja kesehatan, alokasi belanja untuk bantuan sosial dan alokasi belanja untuk dukungan UMKN. Kebijakan fiskal tersebut dilakukan selama tahun 2020, untuk tahun 2021 tentu masih dapat dilakukan jika defisit mencapai 3% pada akhir tahun 2020. Kemampuan Indonesia untuk memulihkan Indonesia dimana berbagai usaha sebagaimana telah disampaikan sebelumnya sudah dilakukan bergantung pada kemampuan mengatasi pandemi covid-19 itu sendiri. Hal tersebut dilakukan dikarenakan faktor terbesar yang menggerakan perekonomian adalah belanja masyarakat dimana jika pandemi covid-19 masih ada maka sudah tentu masyarakat khususnya kelompok menengah dan menengah atas tidak akan berbelanja, oleh karena itu pemerintah tidak dapat menghentikan mobilitas masyarakat, satu-satunya cara adalah penerapan protokol kesehatan dengan ketat sebagaimana yang 255 dilakukan di China, Vietnam dan Singapura yang melakukan kegiatan perekonomian dengan protokol kesehatan secara ketat juga vaksinasi masyarakat secara masif. Sehingga dapat dikatakan ketersediaan vaksin pun mempengaruhi pemulihan perekonomian yang sedang dilakukan. Persoalan yang kemudian hadir saat ini adalah resiko dari gelombang ketiga dimana seluruh negara tidak mau mengekspor vaksi yang mereka produksi dengan alasan untuk pemenuhan vaksin dalam negerinya, keterpenuhan vaksin bagi Indonesia ini tentu mempengaruhi usaha pemulihan ekonomi ketika menghadapi gelombang ketiga pandemi. Kebijakan stimulus fiskal menjadi sangat penting bagi Pemerintah untuk menjaga ketersedian vaksin pada saat menghadapi gelombang ketiga, dan besarannya harus dilakukan secara masif dimana menurut ahli 6,1% cukup untuk menyelamatkan nyawa dan ekonomi Indonesia. Menurut ahli, setidaknya ada dua pilihan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, pertama adalah Pemerintah harus mendorong produksi investasi, hal tersebut dilakukan dengan logika jika produksi berjalan maka investasi akan naik lalu perusahaan tentu akan mempekerjakan orang lebih yang kemudian memberikan pendapatan bagi masyarakat terdampak dan selanjutnya mendorong konsumsi masyarakat. Kedua adalah program kesehatan, menurut ahli pemberian vaksin secara gratis dan menurunkan tarif PCR merupakan langkah yang harus dilakukan Pemerintah untuk mengatasi pandemi. Demikan keterangan ahli pada persidangan pada hari ini. D. Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum Keterangan Ahli yang Ahli sampaikan terdiri dari 3 (tiga) bagian sesuai dengan permintaan Keterangan Ahli yang disampaikan kepada Ahli melalui Surat Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan RI Nomor S-212/SJ.4/2020 tertanggal 03 Desember 2020 perihal Permohonan Sebagai Ahli Pemerintah Dalam Rangka Pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:
. Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perpu;
. Wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19; dan
. Penjelasan perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pertama , Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perpu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk 256 dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra- ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sehubungan dengan Perpu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. parameter obyektif untuk penggunaan kewenangan diskresi konstitusional tersebut 257 pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU- VII/2009, yang terdiri dari:
. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “martial law” atau “emergency legislation”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “ martial law ”, “ emergency law ”, atau “ emergency legislation ”. Perpu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal.
. Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena 258 peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perppu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum (algemene wet bestuursrehct), kewenangan diskresi juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Pasal 22 ayat (2) UU No 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi obyek permohonan pengujian dari 259 para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian materiil yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, 260 huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020) Kedua , wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (vide Pasal 1 ayat 3), Pemerintah diberikan wewenang untuk (vide Pasal 2 ayat (1)):
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU- VII/2009. kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan (the principle of carefullness), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan (the principle of motivation), kebijaksanaan (sapientia), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) (the duty to giving reasons) 261 melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocussing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres Nomor 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. 262 Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:
. Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur);
. Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) 263 bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid- 19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 264 masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid-19 diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah-langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat-obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. 265 Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid- 19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama, menyangkut obyeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat, dalam mengatasi 266 dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor-aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU Nomor 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid-19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar RP 13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp. 53 triliun. Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. 267 Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp 765 triliun (dengan kurs Rp 17 ribu). Mereka mengatakan ada € 2 miliar atau sekitar Rp 34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang 268 setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah- langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. E. Chandra M. Hamzah, S.H. PEMAKNAAN KERUGIAN NEGARA Dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Terhadap ketentuan tersebut, dapat Ahli sampaikan bahwa rumusan seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bukanlah hal baru. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU Krisis Sistem Keuangan”) memiliki kemiripan dalam rumusan pasalnya, sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik 269 bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan: “Cukup jelas” Frasa “kerugian negara” setidaknya ditemukan dalam 3 (tiga) undang-undang lainnya, yaitu:
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 3. Bagian I Umum Penjelasan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), sebagai berikut: paragraf kedua: “Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.” Dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK, dalam pengertian frasa “kerugian negara/daerah”, sudah terkandung unsur “perbuatan melawan hukum”, sudah terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Sedangkan pada UU Tipikor, dalam pengertian frasa “kerugian negara” belum terkandung unsur “melawan hukum”, belum terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Perbuatan korupsi-nya yang mengandung unsur melawan hukum, bukan kerugian negaranya. Selain dapat disimpulkan berdasarkan Bagian I Penjelasan Umum Atas UU Tipikor sebagaimana telah dikutip pada butir 3 di atas, hal ini juga dapat dilihat dalam rumusan delik pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat 270 merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dalam UU Tipikor adalah ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum”. Sedangkan, kerugian negara adalah sebagai akibat dari perbuatan (melawan hukum) dimaksud. Jadi, dalam sudut pandang UU Tipikor, “kerugian negara” yang disebabkan perbuatan korupsi (melawan hukum) saja yang merupakan suatu tindak pidana. Konsekuensinya, terdapat dua kategorisasi kerugian negara, sebagaimana diagram sebagai berikut: Apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU Tipikor, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum, maka hal tersebut bukan tindak pidana (korupsi). Sedangkan, apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut bukan kerugian negara. Kewenangan BPK/BPKP Untuk Memeriksa Adanya Kerugian Negara Dalam Pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 Terkait dengan frasa ‘’kerugian negara’’, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”), Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut: Kerugian Negara Akibat Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Akibat Perbuatan Menurut Hukum Bukan Tindak Pidana 271 Pasal 10 UU BPK: “(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pasal 11 UU BPK: “BPK dapat memberikan:
pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;
pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau
keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.” Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“Perpres BPKP”), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, memiliki kewenangan sebagai berikut:
... c.... d.... e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; ” 272 Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan BPK dan BPKP terkait dengan kerugian negara sebagaimana dapat dibaca pada halaman 53 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 sebagai berikut: “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya; ” Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tidak menghilangkan kewenangan BPK/BPKP terkait dengan kerugian negara. Oleh karena itu, BPK/BPKP tetap dapat memeriksa adanya kerugian negara dalam pelaksanaan UU 2/2020. Due Process of Law Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Terkait Pelaksanaan Kebijakan Sesuai Lampiran UU 2/2020 Pengertian yang dianut UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara maupun yang dianut UU Tipikor, ada persamaan diantara ketiganya yaitu adanya unsur ‘’melawan hukum’’. Apabila terpenuhi semua unsur-unsurnya, termasuk unsur ‘’melawan hukum’’, maka terhadap pelakunya tetap dapat diminta pertanggungjawaban melalui proses hukum. Terkait Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang berbunyi sebagai berikut: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagaimana batasan itikad baik dalam prinsip hukum pidana? Dalam hukum pidana materiil di Indonesia tidak banyak pasal yang menyebutkan tentang “itikad baik”, begitu pula referensi terhadapnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan pidana lebih banyak mengatur tentang:
perbuatan/tindak pidana (unsur objektif/fisik yaitu actus reus ), dan 273 b. sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana (unsur subjektif/mental yaitu mens rea). Frasa “itikad baik” ditemukan dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHPidana”), sebagai berikut: “Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Pasal 51 ayat (2) KUHPidana ini terdapat dalam KUHPidana Bab III Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan Pidana. Seseorang dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila pelaku, ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea). Pasal 119 KUHPidana “Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesiu, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara” Pasal 187 bis KUHPidana “Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia bahan-bahan, benda-benda atau perkakas-perkakas yang diketahui atau selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang membahayakan nyawa orang atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Pasal 393 KUHPidana “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Pasal 480 KUHPidana 274 “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.” Dalam delik-delik di atas, dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila seseorang yang mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan. Khusus untuk Pasal 480 ke-1 KUHP, Mahkamah Agung telah menerbitkan yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 2/Yur/Pid/2018 dan 3/Yur/Pid/2018 dimana Mahkamah Agung secara konsisten menganggap bahwa tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai “diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” adalah:
apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/standar.
apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki itikad baik apabila ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea). Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 mengatur perlindungan hukum kepada pihak tertentu. Apakah dalam suatu peraturan perundang-undangan diperbolehkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertentu? Apakah ketentuan tersebut menghilangkan prinsip equality before the law, khususnya dalam penerapan hukum pidana? Norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan. Tercatat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung norma serupa, sebagai berikut:
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum 275 “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang- undangan dan/atau Kode Etik Advokat.” c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serbagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (“UU MD3”) Pasal 57:
Anggota MPR mempunyai hak imunitas. 2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
Pengujian Formil dan Materiil (Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan ...
Relevan terhadap
Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas. 2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut , baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini.” e. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak "Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." f. Pasal 6 Lampiran Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan;
Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai 315 entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata. Terhadap norma yang tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian dalam beberapa putusannya, antara lain sebagai berikut:
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, sebagai berikut: “… bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan; ” b. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 , sebagai berikut: “Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan kenyataan bahwa norma tersebut kerap digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kemudian juga telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, maka secara politik hukum norma tersebut dapat diterima untuk dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya norma tersebut pun, pihak-pihak terkait memang seharusnya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu keberadaan norma tersebut tidak menghilangkan prinsip equality before the law .
Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D A. Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa 316 ( extraordinary ). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960. Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang- undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid- 19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. B. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- 317 VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang- Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Tentu dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “Keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
ancaman yang membahayakan ( dangerous threat );
kebutuhan yang mengharuskan ( reasonable necessity ); dan
keterbatasan waktu ( limited time ) yang tersedia.” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak- tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu.” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang-undang darurat yakni:
keadaan mendesak;
keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;
untuk mengatasi keadaan dan kesulitan- kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;
tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan
hanya berlaku selama keadaan bahaya. 318 Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi . Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan . Terhadap imunitas dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas . Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tentu juga tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi . Kebijakan Keuangan Negara dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni: 319 1. Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “ PSME ” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? 1. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:
Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:
penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. 320 Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:
penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali:
Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand ? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.
Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces. 321 4. Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid-19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah ada rambu- rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:
Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan
Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “ UU Ketenagakerjaan ”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut:
mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur;
mengurangi shift ;
membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; 322 g. tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak.
Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap 323 yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang-undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang- undang. Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang- 324 undang dengan rumusan “…diatur dalam undang-undang…” dan “…diatur dengan undang-undang.” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Nomor 012-016- 019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “diatur dalam undang-undang (geregeld in de wet), tidak identik dengan diatur dengan undang-undang ( geregeld bij de wet ).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi- fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang (in de wet), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.” Sementara itu, frasa “dengan undang- undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri.” __ Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy , perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. ” 2 37-39/PUU-VIII/2010 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang- undang. ” 325 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang- undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir (fallacy) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial “ Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. ” 6 . 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “ Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang-undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang yang menentukannya. ” 7 30-74/PUU-XII/2014 Pengujian Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “ Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang-Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang-undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang- undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo. ” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah “ Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya (open public policy) . Mahkamah Konstitusi memberikan catatan 326 meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran. ” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;
tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan
bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan.
Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/ Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan 327 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan . Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, __ hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang.
Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang (transfer of power). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan (the power of rule making atau law making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi (delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan 328 tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations) , maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co- Operation and Development yakni:
netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, dimana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid- 19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan 329 ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang- undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang- Undang tersebut, seperti:
Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi Nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang Menolak permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas 330 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo . Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang . Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 5. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang-undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut, Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai 331 dengan ketentuan peraturan perundang- undangan .” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “ Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan . ” dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “ Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik” . Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. ” Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara.
Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan.
Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk 332 tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor , maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara . Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “ Setiap orang yang secara melawan hukum __ melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara… ”
ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka 168 Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan secara daring pada tanggal 8 Oktober 2020 dan menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Oktober 2020 yang pada pokoknya mengemukakan hal- hal sebagai berikut: KETERANGAN PENDAHULUAN ( OPENING STATEMENT) PRESIDEN Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ( founding fathers ) telah menentukan salah satu tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya. Negara harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. 169 Pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini, telah secara nyata menimbulkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bahkan telah merenggut nyawa rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi yang tidak dapat ditentukan berakhirnya, secara nyata telah menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman tersebut. Legal Standing para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomian masyarakat. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak pada saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Latar Belakang Penerbitan Perppu 1/2020 Sebelum memberikan keterangan atas UU 2/2020, perlu Pemerintah sampaikan mengenai latar belakang penerbitan Perppu 1/2020. Penyakit akibat virus Covid-19 170 yang muncul sejak Desember 2019 di kota Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat, ganas dan luas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret 2020 meliputi 205 negara dengan hampir 1 juta kasus penularan dan lebih dari 47 ribu kematian. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran kemudian terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial jumlah pasien Covid-19 telah menimbulkan krisis bidang kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial yang berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown ), hingga yang bersifat pembatasan sosial secara terbatas ( physical distancing ). Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid- 19, mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial yang menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,3% menjadi kontraksi -3%. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia saat itu, diperkirakan mencapai 9 triliun dolar Amerika, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar negara-negara berkembang, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi extraordinary tersebut mendorong berbagai negara untuk melakukan langkah luar biasa dalam menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara- negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika melakukan kebijakan 171 ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai di atas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia), kebijakan moneter longgar berupa penurunan suku bunga, memompa likuiditas- quantitative easing , serta melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh dibawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar Amerika dan mengalami depresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan perusahaan. Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonomian dan sistem keuangan, Pemerintah dan otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah extraordinary secara cepat dan signifikan. Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksud memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setelah melakukan konsultasi dengan beberapa lembaga negara dan mempertimbangkan secara seksama berbagai masukan yang diperoleh, Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa tersebut adalah Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang keuangan negara maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya penyebaran Covid-19. Memperhatikan bahwa terhadap 7 permohonan ini, hampir seluruh pasal dalam Lampiran UU 2/2020 dimohonkan pengujian, Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan para 172 Pemohon yaitu:
perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan _controlling; _ (2) pengujian formil;
ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan;
kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), perpajakan dan kepabeanan, penerbitan SUN dan/atau SBSN, penyesuaian mandatory spending , penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah (5) pelaksanaan kebijakan keuangan negara;
kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK;
perlindungan hukum;
harmonisasi UU 2/2020 dengan UU terdampak. Persetujuan DPR Sebagai Fungsi Budgeting Dan Controlling Telah Terpenuhi Meskipun kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksanaan Pasal 22 UUD 1945, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 melalui pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang, maka kebijakan dalam UU 2/2020 telah mendapatkan persetujuan DPR. Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Pembentukan UU 2/2020 Secara Formil Telah Sesuai Dengan UUD 1945 Dalam Rangka Pemberian Kepastian Hukum Atas Langkah Kedaruratan Dalam Perppu Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan. Memperhatikan dampak pandemi Covid-19 yang extraordinary , Pemerintah menyadari pentingnya persetujuan DPR segera diperoleh untuk kepastian keberlanjutan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19. Penanganan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional memerlukan biaya sangat besar yang tidak tercukupi apabila menggunakan alokasi sesuai APBN TA 2020. Selain itu, diperlukan langkah-langkah extraordinary yang belum diatur kewenangannya dalam undang-undang yang ada. Hal tersebut diperlukan sebagai landasan pemberian dukungan pada bidang kesehatan, 173 perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha dalam rangka penyelamatan kesehatan masyarakat, perekonomian, dan stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pada tanggal 1 April 2020, Pemerintah telah menyampaikan RUU tentang penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR. Bahwa pembahasan atas RUU yang disampaikan Pemerintah dilakukan oleh DPR pada masa persidangan yang sama tidak melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah telah meneliti tidak ada larangan untuk melakukan pembahasan pengesahan Perppu dalam masa persidangan yang sama dengan saat pengajuan RUU oleh Pemerintah. Dilaksanakannya pembahasan RUU dalam masa persidangan yang sama (masa persidangan ke-3), menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga menyadari tindakan-tindakan untuk penyelamatan perekonomian nasional harus segera dan secara berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah. Untuk memberikan kepastian hukum, setelah melalui proses pembahasan sesuai tahapan pembentukan undang-undang, pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan pengesahan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Bahwa dengan demikian, proses persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah memenuhi formalitas pengesahan Perppu sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Tidak Hanya Untuk Penanganan Covid-19 Namun Juga Bersifat Antisipatif ( Forward Looking ) Untuk Mengatasi Ancaman Dampak Covid-19 Di dalam konsiderans Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan efek domino terhadap perlambatan perekonomian. Apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan secara cepat dan tepat atas perlambatan tersebut, secara pasti akan terjadi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 didesain tidak hanya ditujukan untuk penanganan Covid-19 melainkan juga tindakan antisipatif ( forward looking ) untuk menangani efek domino yang ditimbulkan yaitu ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi maupun krisis di sektor keuangan, Lampiran UU 2/2020 juga harus memberi legitimasi bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya Covid-19. 174 Dengan legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, meskipun dalam beberapa ketentuan terdapat batasan waktu, seperti batasan pelebaran defisit sampai dengan tahun 2020, namun secara utuh, tidak dapat diberikan batasan jangka waktu keberlakuan UU 2/2020 seperti UU Pengampunan Pajak misalnya. Keberlanjutan UU 2/200 ini diperlukan dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini menjadi bukti ketidakpastian yang harus dihadapi. Beberapa Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghambat penyebaran Covid-19. Harapan perbaikan pertumbuhan perekonomian menjadi positif di Kuartal III 2020 dari pertumbuhan -5,32% di Kuartal II 2020 diprediksi sangat sulit terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah bulan September lalu, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Pelebaran Defisit Menjadi Pilihan Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Sebagai Respon Atas Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Belanja Negara Secara Signifikan 175 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, untuk menghadapi ancaman perekonomian nasional, Pemerintah memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan negara agar penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Fleksibilitas tersebut tidak dapat dilakukan apabila Pemerintah hanya berdasar pada ketentuan Undang-Undang yang telah ada sebelum pandemi Covid-19. Salah satu fleksibilitas yang diperlukan oleh Pemerintah adalah terkait dengan penyesuaian besaran defisit anggaran. Pada UU Keuangan Negara, diatur bahwa defisit anggaran dibatasi sebesar 3% dari PDB. Batasan maksimal defisit anggaran sesuai ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh Pemerintah karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan pada pendapatan negara sekaligus peningkatan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran. Kewenangan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3% tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal itu ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati, dengan tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas dan transparansi. Untuk itu, Lampiran UU 2/2020 memberi pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan TA 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka pembiayaan defisit maksimal 60% dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa meskipun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, namun Pemerintah akan melakukan pembahasan penetapan besaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 dengan DPR melalui mekanisme RAPBN. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga esensi persetujuan DPR sesuai Pasal 23 UUD 1945 pada pembahasan APBN tahun mendatang. Dalam proses penyusunan UU APBN TA 2021, Pemerintah bersama DPR telah menyetujui d efisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Pada APBN 2020, Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34% PDB yang ditetapkan melalui Perpres 72 Tahun 2020. Besaran defisit tersebut telah 176 mengakomodir biaya penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai berikut: No. Program Anggaran Realisasi 1. Kesehatan 87,55 T 21,92 T 25% 2. Perlindungan Sosial 203,91 T 157,03 T 77% 3. Insentif Usaha 120,61 T 28,07 T 23,3% 4. UMKM 123,47 T 81,85 T 66,3% 5. Pembiayaan Korporasi 53,6 T 0 0 6. Sektoral dan Pemda 106,05 T 26,61 T 25,1% Total 695,2 T 315,48 T 45,4% Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk perlindungan sosial untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat. Diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM dan insentif usaha, dan dukungan anggaran untuk sektoral dan Pemda. Besaran anggaran program kesehatan meski bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk mendukung biaya penanganan Covid-19 (pembelian alat kesehatan seperti APD, Rapid Test, Reagen, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan), subsidi Iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak serta bea masuk untuk alat kesehatan. Sedangkan anggaran perlindungan sosial digunakan untuk mendukung pelaksanaan Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, Program Bantuan Sosial Sembako Jabodetabek, Program Bantuan Sosial Tunai, Program Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Program insentif usaha ditujukan untuk menjaga keberlanjutan aktivitas usaha masyarakat dalam bentuk pemberian insentif perpajakan. Dalam mendukung UMKM, Pemerintah telah melaksanakan beberapa program diantaranya yaitu pemberian subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Program pembiayaan korporasi antara lain dilaksanakan melalui pemberian penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN. Program sektoral K/L dan Pemda diantaranya digunakan untuk mendukung program padat 177 karya, pemberian Dana Insentif Daerah untuk pemulihan ekonomi, pariwisata dan pemberian Dana Alokasi Khusus Fisik. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Sebagai rangkaian program PEN untuk terus menggerakkan perekonomian yang sedang mengalami perlambatan, Pemerintah memandang perlu melakukan upaya- upaya mendorong ekspansi kredit dan penurunan suku bunga kredit perbankan. Untuk itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kapasitas pendanaan telah melakukan penempatan dana per 30 September 2020 sebesar Rp61,7 triliun dengan rincian pada Bank Himbara sebesar Rp47,5 triliun, pada 7 BPD sebesar 11,2 triliun, dan pada 3 bank syariah sebesar 3 triliun. Selain itu, Pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur salah satu BUMN Pembiayaan, telah memberikan pinjaman kepada 5 Pemerintah Daerah dengan total komitmen sebesar Rp6,8 triliun (DKI Jakarta senilai Rp3,265 triliun, Jawa Barat senilai Rp1,812 triliun, Banten senilai Rp 851,77 miliar, Sulawesi Utara senilai Rp723,7 miliar, dan Kabupaten Ponorogo senilai Rp200 miliar). Pinjaman tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program-program PEN di daerah masing-masing. Kebijakan Penurunan Tarif Perpajakan Sebagai Insentif Untuk Menjaga Kesehatan Keuangan Perusahaan di Masa Pandemi Covid-19 Dalam UU 2/2020 telah ditetapkan kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai insentif/dukungan Pemerintah menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam masa pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 hampir menyentuh semua sektor usaha. Dalam perspektif tersebut, insentif perpajakan sangat relevan diberikan ke semua sektor usaha tidak hanya yang bergerak di bidang riset dan pengembangan terkait Covid-19 sebagaimana yang diinginkan para Pemohon. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. 178 Pemungutan PMSE Merupakan Upaya Pemerintah Untuk Mengoptimalkan Penerimaan Negara Di Tengah Pandemi Covid-19 Serta Menciptakan Kesetaraan Bagi Pelaku Usaha Dalam Negeri Maupun Luar Negeri Penurunan pendapatan negara secara signifikan akibat pandemi Covid-19 di satu sisi dan adanya akselerasi transformasi digital di sisi lain telah menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan penetapan pajak dari sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam UU 2/202020. Basis pajak dari transaksi digital menjadi sangat penting pada saat penerimaan negara menurun sehingga Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Selain menjadi sumber pendapatan negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat di atasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Lampiran UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi pengenaan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Pertimbangan serupa juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, pemberian atribusi merupakan bentuk kebijakan pembentuk undang-undang ( legal policy ) sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan UUD 1945. Pemberian wewenang atribusi menetapkan tarif pajak bukanlah hal baru. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan. Dengan demikian, 179 pengaturan mengenai besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana yang dipahami oleh para Pemohon. Pengaturan Pembebasan Bea Masuk Oleh Menteri Keuangan Merupakan Pelaksanaan Wewenang Atribusi Yang Bertujuan Menjamin Ketersediaan Alat Kesehatan Untuk Penanganan Covid-19 Untuk menjamin ketersediaan barang impor yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah perlu memiliki fleksibilitas dalam pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan atau keringanan bea masuk. Pasal 10 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan wewenang atribusi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perubahan jenis barang yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan yang secara limitatif ditetapkan dalam UU Kepabeanan. Pemberian wewenang atribusi dalam UU 2/2020 ini sejalan dengan prinsip hukum administrasi negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan di tengah adanya kondisi kegentingan memaksa. Selain itu, pemberian wewenang atribusi yang ditetapkan dalam produk hukum UU 2/2020 mempunyai kedudukan yang setara dengan UU Kepabeanan. Dalam pelaksanaannya, Menteri Keuangan selaku penerima wewenang atribusi dalam pemberian fasilitas kepabeanan tidak akan semena-mena menyalahgunakan kewenangan dimaksud. Menteri Keuangan melalui PMK 34/PMK.04/2020 juncto PMK 83/PMK.04/2020 hanya memberikan fasilitas kepabeanan untuk impor barang keperluan penanganan Covid-19. Sesuai Lampiran PMK tersebut, jenis-jenis barang yang diberikan fasilitas adalah test kit dan reagen laboratorium , virus transfer media , obat dan vitamin, peralatan medis, dan alat pelindung diri. Dengan demikian prinsip pemberian fasilitas secara limitatif tetap terjaga. Penerbitan SUN dan/atau SBSN Yang Dapat Dibeli Oleh BI Bertujuan Untuk Menjaga Kesinambungan Fiskal Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Sesuai Dengan Fungsi BI Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan negara menurun cukup drastic sedangkan anggaran belanja harus ditingkatkan sehingga pelebaran defisit tak terhindarkan. Untuk pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah perlu menerbitkan SUN dan/atau SBSN berjangka panjang. Pemberian kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar 180 perdana merupakan salah satu upaya gotong royong organ negara ( burden sharing ) untuk menjaga kesinambungan fiskal dalam rangka mencegah terjadinya krisis ekonomi. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dimaksud berupa pembayaran kupon atas SUN dan atau SBSN yang dibeli oleh BI, sesuai tabel berikut: No. Penggunaan Nilai (Rp) Burden Sharing Mekanisme Penerbitan 1. Public Goods 397,56T Ditanggung BI seluruhnya sebesar BI reverse repo rate Private Placement 2. Non-Public Goods 177,03T Ditanggung Pemerintah sebesar BI reverse repo 3 bulan dikurangi 1%, sisanya ditanggung BI Mekanisme market (lelang, Green Shoe Option, Private Placement ) - UMKM 123,46T - Korporasi 53,57T 3. Non-Public Goods Lainnya 328,87T Ditanggung Pemerintah seluruhnya sebesar market rate Di samping pengaturan norma pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI telah dibahas terlebih dahulu sebelum ditetapkan dalam Lampiran UU 2/2020, dengan penetapan secara bersama besaran kupon sebagai burden sharing jelas terlihat bahwa baik dalam perumusan norma maupun implementasinya, independensi BI tetap terjaga. Secara best practices , kebijakan bank sentral untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan juga diimplementasikan oleh negara-negara lain termasuk negara anggota G20. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam 181 rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Tidak Menghapuskan Dana Desa dari APBN 2020 dan Tahun-Tahun Mendatang Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur mengenai penyesuaian atas pemenuhan belanja wajib ( mandatory spending ), antara lain penyesuaian pemenuhan anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa dimaksudkan agar Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Sebagai bentuk harmonisasi antara ketentuan penyesuaian mandatory spending dalam UU 2/2020 dan UU Desa, ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku (vide Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020). Tidak berlakunya ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa sama sekali tidak menghapuskan anggaran Dana Desa dari APBN TA 2020 dan tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Pemerintah tetap memegang komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi di desa melalui Dana Desa yang diprioritaskan untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Perekonomian pedesaan yang kuat merupakan pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sehingga Pemerintah akan terus mendukung pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Penggunaan Dana Abadi Tidak Bertentangan Dengan Kewajiban Negara Memenuhi Hak Atas Pendidikan Pembiayaan APBN di masa Pandemi Covid-19 membutuhkan sumber pendanaan yang cepat dan efisien. Dengan kebutuhan tersebut, Pasal 2 ayat (1) huruf e UU 2/2020 mengatur pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih, dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta 182 memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi pada BUMN sebagai sumber pendanaan APBN. Penggunaan dana abadi pendidikan tidak akan bertentangan dengan kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan karena:
hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19;
sampai saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan dana abadi pendidikan sebagai sumber pendanaan APBN;
apabila dipergunakan, akan menjadi investasi dana abadi pendidikan melalui pembelian SUN dan/atau SBSN yang akan mendapatkan return , bukan sebagai belanja Pemerintah. Pengaturan Refocusing Dan Realokasi Anggaran Melalui Permendagri Tidak Bertentangan Dengan Prinsip Otonomi Daerah Sebagai wujud integrasi kebijakan nasional dan kebijakan daerah, Pasal 3 ayat (1) UU 2/2020 mengatur Pemda melakukan refocusing dan realokasi anggaran daerah dengan prioritas penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya sesuai kondisi masing-masing daerah. Pada kondisi pandemi Covid-19, kecepatan dan ketepatan dalam penyesuaian anggaran daerah menjadi sangat penting. Untuk itu, Pasal 3 ayat (2) UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur mengenai refocusing dan realokasi penggunaan APBD sebagai pedoman bagi seluruh Pemda. Dengan adanya pedoman ini, Pemda dapat segera melakukan penyesuaian anggarannya secara mandiri. Dengan demikian pemberian kewenangan kepada Mendagri tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 8 UU Pemda sebagai pembina dan pengawas pemerintahan daerah, bukan merupakan intervensi Pemerintah Pusat sebagaimana pemahaman para Pemohon. Penetapan Rekening Akun Khusus Belanja Covid-19 dan Penetapan Perpres Rincian APBN Sebagai Wujud Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 membutuhkan uang negara yang sangat besar dalam kurun waktu yang singkat. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, Pasal 12 Lampiran UU 2/2020 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan kebijakan keuangan negara dilakukan dengan tata kelola yang baik. Dalam implementasi tata kelola anggaran terkait Covid-19, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 dalam Pasal 183 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2020. Hal ini untuk menjamin seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dipantau dan dievaluasi penggunaannya. Selain itu, dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, Pemerintah bekerja sama dengan aparat penegak hukum meliputi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK untuk melakukan pendampingan Kementerian/Lembaga. Sebagai bentuk transparansi publik, Pemerintah secara rutin menyampaikan perkembangan pelaksanaan kebijakan melalui press conference dan rapat pembahasan dengan DPR. Hal tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk terus menerus melaksanakan seluruh kebijakan keuangan yang ditetapkan dalam UU 2/2020 memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan taat peraturan. Dengan demikian, pada dasarnya UU 2/2020 telah sangat memperhatikan harapan Para Pemohon sebagai warga masyarakat. Mempertimbangkan situasi extraordinary akibat pandemi Covid-19, Pasal 12 ayat (2) UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi bagi Presiden untuk menetapkan perubahan postur sekaligus rincian APBN melalui Perpres. UU 2/2020 pada dasarnya telah menetapkan kebijakan pelebaran defisit APBN TA 2020 sampai dengan APBN TA 2022. Penetapan ini dilakukan sebagai langkah extraordinary penanganan kegentingan memaksa pandemi Covid-19 berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 sekaligus untuk menyesuaikan kebijakan dalam UU APBN TA 2020 yang merupakan pelaksanaan Pasal 23 UUD 1945. Dengan demikian, penetapan pelebaran defisit dalam Lampiran UU 2/2020 sebagai pedoman penyesuaian UU APBN TA 2020 dapat disetarakan dengan UU Perubahan APBN dalam situasi kegentingan memaksa. Amanat perubahan postur dalam Perpres didasarkan situasi yang tidak memungkinkan penetapan melalui proses secara normal. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa penetapan postur APBN dalam Perpres hanya dilakukan untuk TA 2020. Untuk TA 2021 dan tahun-tahun berikutnya, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada kondisi normal sehingga Pemerintah sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Kewenangan LPS Sesuai UU 2/2020 Merupakan Penegasan Kewenangan Yang Telah Diberikan Oleh Undang-undang Terdahulu Untuk Penanganan Kesulitan Likuiditas LPS Dalam Menyelamatkan Bank Gagal dan Menghindarkan Negara Dari Krisis Ekonomi 184 Sebagaimana telah Pemerintah sampaikan, dampak pandemi Covid-19 telah secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Selain itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, perlu memperkuat landasan hukum bagi LPS dalam melakukan tindakan antisipasi penanganan permasalahan bank dan resolusi bank gagal baik bank sistemik maupun bank selain bank sistemik. Sampai saat ini, stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Namun perlu melakukan kebijakan antisipatif ( forward looking ) dengan menegaskan kembali sumber-sumber pendanaan yang dapat diperoleh LPS untuk menjaga kecukupan likuiditasnya [vide __ Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020]. Salah satu sumber pendanaan LPS adalah melakukan melakukan pinjaman kepada pihak lain dan/atau Pemerintah yang juga telah diatur dalam Undang-Undang terdahulu yaitu UU LPS, UU OJK, dan UU PPKSK. Pinjaman kepada pihak lain dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Hal ini juga sesuai dengan best practice yang dijalankan di negara-negara lain yang memiliki lembaga resolusi perbankan. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Pemberian pinjaman kepada LPS dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPR dalam APBN kecuali untuk APBN TA 2020 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Persyaratan persetujuan DPR hanya diberlakukan untuk pinjaman kepada Pemerintah karena bersumber dari APBN dan tidak dipersyaratkan untuk pinjaman LPS kepada pihak lain sebagaimana juga diatur dalam UU terdahulu. Sampai saat ini, LPS masih memiliki kecukupan likuiditas. Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan 185 simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Kebijakan ini merupakan langkah antisipatif ( forward looking ) untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah yang akan dilaksanakan apabila terjadi pemburukan perekonomian yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa program penjaminan dimaksud bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Perintah Tertulis OJK Sebagai Instrumen Menjaga Keberlangsungan Lembaga Keuangan Dalam Rangka Meningkatkan Resiliensi Sistem Keuangan Pasal 23 ayat (1) juncto Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) yang telah diatur dalam UU OJK dan UU PPKSK. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis OJK tersebut, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengancam stabilitas sistem keuangan maka ancaman sanksi diperberat dibandingkan sanksi dalam UU OJK. Pemberian sanksi dimaksud merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum yang harus dijaga oleh OJK selaku lembaga pengawas jasa keuangan, bukan kesewenang-wenangan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Perlindungan Hukum Dalam UU 2/2020 Sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi Pengambil Kebijakan Dalam Bertindak Sesuai Kewenangannya Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas 186 terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Teori imunitas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara, dengan demikian tidak mengherankan ketentuan serupa merupakan hal yang precedented . Di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP, Pasal 48 UU PPKSK, Pasal 22 UU Pengampunan Pajak, Pasal 45 UU Bank Indonesia, Pasal 36A ayat (5) UU KUP, Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 224 ayat (1) UU MD3, Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 26 UU BPK mengatur pemberian perlindungan hukum serupa. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: 187 “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 bukan merupakan kerugian negara didasarkan pada pertimbangan antisipatif antara lain adanya kondisi bahwa biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan penyelamatan perbankan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan tidak sepenuhnya ter- recovery . Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan wewenang para pelaksana UU 2/2020 dilandaskan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sangat beralasan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam keuangan negara yang menjadi pedoman bagi pemeriksa baik BPK maupun APH bahwa terjadinya kerugian negara harus dikaitkan dengan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal tersebut mengadopsi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Pemberian Kepastian Norma Hukum Melalui Harmonisasi Keberlakuan Norma UU Yang Terdampak Norma dalam UU 2/2020 Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau penyesuaian undang-undang terdahulu dalam rangka penanganan pandemi Covid- 19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Dengan demikian, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan 188 penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan sewenang-wenang sesuai dalil Para Pemohon. Sebelum mengakhiri Keterangan Presiden ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan fakta-fakta perbaikan kondisi perekonomian di Kuartal II 2020 sebagai implikasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah berdasarkan kebijakan dalam UU 2/2020. Beberapa indikator sektoral telah bergerak ke arah positif pada bulan Juni 2020. Membaiknya perdagangan internasional telah mendorong kinerja perpajakan. Pada sektor riil, konsumsi masyarakat mengalami rebound namun masih lemah. Selain itu, degup ekonomi pada bidang konstruksi mulai naik serta produksi dalam negeri mulai tumbuh. Cadangan devisa juga meningkat didukung dengan penerbitan SBN Valas. Aktivitas ekspor impor juga menunjukkan tren membaik dengan potensi ekspor ke Tiongkok yang mulai tumbuh. Pada sektor moneter dan keuangan, yield SBN kembali ke kondisi awal tahun 2020, likuiditas perbankan terjaga serta inflasi dalam kondisi terkendali. Implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional yang efektif telah menjadi penggerak utama dari pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih mempercepat pemulihan ekonomi, Pemerintah juga telah menerbitkan program baru yaitu pemberian insentif bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta/bulan. Mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2020 yang terkontraksi (minus) 5,32 persen serta realisasi data perekonomian dan sektor keuangan hingga akhir Kuartal III 2020, optimisme terhadap magnitude perbaikan di paruh kedua tahun 2020 perlu sedikit disesuaikan. Dalam hal ini, kendati masih diyakini bahwa kondisi Kuartal III 2020 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya namun besaran tingkat recovery diperkirakan tidak setinggi perkiraan sebelumnya. 189 Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah akan tetap terus antisipatif dan adaptif terhadap perkembangan yang ada termasuk ketidakpastian yang masih akan dihadapi. Dalam hal ini, langkah extraordinary yang koordinatif antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan terus dikalibrasi sesuai dengan perkembangan terkini dan diimplementasikan tanpa keraguan karena telah memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU 2/2020. Sebagaimana filsuf berkebangsaan Italia, Cicero, katakan, “ Salus populi suprema lex esto ”, bagi Pemerintah saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara . Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima. KETERANGAN TERTULIS PRESIDEN I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon pada pokoknya adalah: 190 Gambar 1: Matriks Pengujian UU 2/2020 Adapun batu uji yang digunakan oleh para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: Gambar 2: Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan para Pemohon II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon 191 yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Terhadap legal standing para Pemohon perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020, Pemerintah sampaikan bahwa para pihak dalam perkara dimaksud adalah pihak- pihak yang sama dengan perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang telah dilakukan pencabutan sesuai Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon dalam perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 sama dengan perkara Nomor 51/PUU- XVIII/2020, hal ini diakui oleh para Pemohon pada sidang pendahuluan tanggal 15 Juli 2020. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Amar Ketetapan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, para Pemohon seharusnya tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo . 192 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LATAR BELAKANG PENERBITAN UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home , work from home , dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan 193 menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi 194 extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perppu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perppu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perppu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran 195 defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp 695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perppu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perppu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan 196 memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. B. BANTAHAN DALIL-DALIL PARA PEMOHON 1. Keterangan Presiden Atas Uji Formil UU 2/2020 Dalam permohonannya, para Pemohon dalam perkara Nomor 37 dan Nomor 45/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara formil karena pembahasan dan penetapannya tidak pada masa sidang berikutnya. Dalil Pemohon tersebut didasarkan pada penafsiran bahwa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “masa sidang yang berikutnya”. Terhadap dalil Para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang mengadopsi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 disebutkan “Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. ” c. Berdasarkan ketentuan Pasal 221 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR), masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 Peraturan Tata Tertib DPR, masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan di dalam gedung DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat penggunaan frasa yang berbeda antara UUD 1945, UU 12/2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR, mengenai norma waktu 197 Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Frasa “Persidangan Yang Berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 sebagai masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Di samping itu, frasa “Masa Sidang Pertama” tidak ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Frasa yang digunakan dalam Peraturan Tata Tertib DPR adalah “Masa Persidangan” yang terdiri dari “Masa Sidang” dan “Masa Reses”. Selanjutnya, tahun sidang dibagi dalam 4 masa persidangan (bukan “masa sidang”) yang dimulai tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Sesuai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masa sidang pertama yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 52 merujuk pada penghitungan norma waktu pemberian persetujuan DPR yaitu setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden, sehingga tidak dapat dimaknai merujuk pada masa persidangan pertama dari 4 masa persidangan dalam 1 tahun masa sidang yang waktunya adalah di bulan Agustus. Selain itu, dalam konteks kegentingan yang memaksa/ state of emergency terbitnya Perppu, frasa “masa sidang pertama” lebih tepat dimaknai sebagai masa persidangan terdekat/tercepat setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden. Prof. Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi/Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, FHUI) menyatakan Perppu jangka waktunya terbatas (sementara), sehingga secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, maka setelah Perppu 1/2020 diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR pada tanggal 1 April 2020. Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional mengakibatkan diperlukannya dana yang besar untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha. Perppu 1/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Pelaksanaan kebijakan Perppu 1/2020 sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 maupun ancaman terhadap perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang menyertainya memerlukan pengeluaran yang sangat besar dan 198 berkelanjutan. Kebijakan extraordinary melalui Perppu 1/2020 yang diputuskan oleh Presiden dalam situasi kegentingan memaksa sebagai implementasi hak subjektif Presiden sesuai mandat konstitusi membutuhkan kepastian yang segera untuk keberlanjutan dalam pelaksanaannya sehingga perlu segera mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Respon DPR yang secara cepat dalam proses pembahasan dan persetujuan Perppu 1/2020 merupakan wujud kesamaan pandangan wakil rakyat atas kondisi kegentingan memaksa yang harus diambil Pemerintah dan untuk memberikan kepastian keberlanjutan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Perppu 1/2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk penyelamatan masyarakat dan negara di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR tersebut merupakan wujud penyelamatan rakyat sebagaimana adagium “Salus Populi Suprema Lex Esto” dari Cicero yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebagai respon atas situasi kegentingan memaksa dan dengan tujuan perlindungan kepada rakyat dan Negara dalam situasi extraordinary , maka persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020, menurut Pemerintah perlu diapresiasi dan menunjukan ketaatan kepada hukum dan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memenuhi kuorum karena dilakukan melalui rapat virtual dan tidak dilakukan voting , dapat Pemerintah sampaikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3), kuorum rapat DPR terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi.
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 199 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Kehadiran secara virtual Anggota DPR dalam Rapat Paripurna tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap kebijakan physical distancing sebagai protokol pencegahan Covid-19 dalam situasi extraordinary dan telah menjadi proses bisnis dalam era new normal di seluruh lembaga/institusi/masyarakat. Dengan demikian, kehadiran secara virtual harus diperlakukan sama dengan kehadiran secara fisik sehingga sekali tidak mengurangi esensi dari pemenuhan kuorum. Dalam kehadiran secara virtual, para Anggota DPR tetap dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sebagai forum tertinggi persetujuan pengesahan Perpu 1/2020 telah memenuhi kuorum sebagaimana dipersyaratkan UU MD3.
Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 terdapat 1 fraksi yang tidak menyetujui, sedangkan 8 fraksi lainnya menyatakan menyetujui. Dengan demikian, karena hanya 1 fraksi yang tidak menyetujui, Ketua DPR menyatakan penetapan Perppu menjadi UU melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor 5/DPR RI/III/2019-2020 tanggal 12 Mei 2020. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan pembahasan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 harus melibatkan DPD, dapat Pemerintah sampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu cukup mendapat persetujuan DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, kewenangan untuk memberikan persetujuan atas Perppu ada pada DPR. Namun demikian, baik dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 maupun UU 2/2020, Pemerintah tetap melaksanakan konsultasi dengan DPD. Terhadap pengujian formil yang diajukan para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020, perlu Pemerintah sampaikan bahwa pengujian formil dimaksud telah melewati tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari untuk mengajukan pengujian formil sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tenggat waktu pengajuan pengujian formil undang-undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang disahkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI. 200 2. Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020.
Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan huruf b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta 201 pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif ( forward looking ) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan. Selain itu, terhadap dalil para Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta UU 2/2020 perlu ada batas waktu berlakunya yaitu sepanjang masa darurat penanganan Covid-19 atau sampai dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut oleh Presiden maka dapat Pemerintah sampaikan bahwa Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk penanganan Covid-19 beserta efek domino yang ditimbulkan terhadap perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan. Tingkat kedalaman efek domino yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tidak dapat diukur secara pasti seiring dengan ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Bahwa dengan ketidakpastian pandemi Covid-19, UU 2/2020 telah mengantisipasi hal tersebut untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi yang sangat tergantung kepada kedalaman dampak 202 pemburukan ekonomi yang terjadi namun dalam ketentuan tertentu ada batas waktu berlakunya. Dengan demikian, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas akhir berlakunya Perppu. Namun demikian, terkait dengan hal ini dapat Pemerintah sampaikan bahwa secara substansi, kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dibatasi untuk penanganan pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, namun pada prinsipnya Pemerintah secara konsisten menjaga akuntabilitas pelaksanaan anggaran antara lain tercermin dalam penetapan pelebaran defisit. Meskipun terdapat fleksibilitas pelebaran defisit, namun mulai tahun anggaran 2021 Pemerintah akan menyampaikan UU APBN yang di dalamnya juga dibahas mengenai defisit sehingga besaran pelebaran defisit akan ditentukan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, keberlakuan UU 2/2020 tidak memiliki jangka waktu dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Ketidakpastian tersebut terbukti dengan masih adanya peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini sehingga sebagian Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Harapan perbaikan perekonomian di Kuartal III 2020 dari -5,32% di Kuartal II 2020 menjadi positif diprediksi tidak mungkin terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan 203 langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Namun demikian, terdapat ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 yang dibatasi masa keberlakuannya, seperti:
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 Lampiran UU 2/2020 yang mengatur mengenai pelebaran defisit APBN; __ b. Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan mengacu pada penetapan periode kahar akibat pandemi Covid-19;
Kebijakan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 bertujuan untuk mengatasi permasalahan pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19. Penetapan berakhirnya kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19 tersebut ditetapkan oleh KSSK sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja 204 untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perppu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama , kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. 205 Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional; 206 6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB).
Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.
Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. 207 c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp120,61 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: 208 Gambar 3 : Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 209 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan ( sustainability ) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid-19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui 210 kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback .
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pengaturan insentif pajak harus diikuti dengan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)”, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pengaturan terkait ketenagakerjaan terutama terkait PHK telah diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan. Adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh pihak. Selain itu, atas dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 harus ditambahkan frasa “ paling tinggi ” sesuai dengan sektor usaha tertentu, perlu Pemerintah sampaikan bahwa apabila mengikuti logika Pemohon dimaksud, maka dibutuhkan pengaturan mengenai kriteria Wajib Pajak dan batas-batas ( range ) 211 besaran tarif PPh yang akan dikenakan. Di samping itu, dalam implementasinya akan sulit untuk menentukan bidang-bidang usaha wajib pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan, karena secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral. Dengan demikian, penambahan frasa “ paling tinggi ” yang didalilkan Pemohon akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam implementasi pemajakannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 juga berpendapat jika seharusnya pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b memberikan insentif pajak secara maksimal kepada badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19. Terhadap dalil tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pemberian insentif penurunan PPh badan diberikan kepada seluruh dunia usaha karena tidak dapat dipungkiri jika dampak akibat Covid- 19 dialami oleh semua sektor usaha. Beberapa kebijakan Pemerintah antara lain pembatasan sosial ( social/physical distancing ), pembatasan perjalanan, karantina wilayah, bekerja dari rumah ( work from home ) dan tetap tinggal di rumah ( stay at home ) telah berdampak pada menurunnya aktivitas perekonomian dan merosotnya pertumbuhan bisnis di segala bidang. Oleh karena itu, tarif yang bersifat tunggal, berlaku umum dan universal untuk seluruh wajib pajak badan dalam negeri dan BUT dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid- 19, Pemerintah telah memberikan fasilitas tambahan yaitu fasilitas pembebasan kepabeanan. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home , maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE 212 dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud , perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai 213 konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence) , (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan , dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha 214 di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business- to-Business ( B2B ), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business- to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment. 5) Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineerin g, design, etc) Recording Media + Manual installment Express Consignment/ imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T 215 Handphon e Software In gadget Express Consignment/ import for home use Imported separately/ electronic Transmission Online 44,75 T Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah (loopholes) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. 216 Berikutnya terkait dengan dalil para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perppu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.
Lebih lanjut, para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: a) akan menutup celah pengaturan ( loopholes ) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; 217 c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha ( level of playing field ) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan ( fairness ) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka __ kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa 218 Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum.” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang ( opened legal policy ) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi 219 landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru ( precedented ), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di maesa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa 220 Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang- barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid- 19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan 221 dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena- mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter- fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: "Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, 222 termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Diantara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, 223 Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. 224 Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 juncto Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI 225 diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods . SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk non-public goods korporasi sebesar Rp 53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp 328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate . __ Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5: Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. 226 Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat” . Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan peraturan- perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:
Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan 227 d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. Dengan adanya ketentuan last resort , memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.
Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp 72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. 228 Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “ Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “ alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. 229 Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary . Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Penggunaan Dana Abadi Para Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalilnya menyatakan Pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan 230 untuk penanganan Covid-19 sehingga bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan. Terkait hal tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 UU 2/2020 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, Pemerintah berwenang untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan . Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan sumber- sumber lain yang ada. Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan sumber pembiayaan dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19. Dalam hal akan digunakan, maka penggunaan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 dilakukan dengan cara private placement melalui pembelian surat berharga negara. Dengan demikian, dana abadi dan akumulasi dana tersebut tidak akan digunakan sebagai belanja namun lebih kepada investasi melalui pembelian SBN/SBSN tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekhawatiran Pemohon mengenai penggunaan dana abadi yang bertentangan dengan esensi dari dana pendidikan itu sendiri tidak perlu lagi dipermasalahkan, dikarenakan dana abadi masih tetap utuh dan tidak digunakan sebagai belanja.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas- luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah 231 dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. 232 Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/ refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19. 233 7) Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. Terhadap dalil Pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelaksanaan kebijakan keuangan negara tidak menggunakan rekening khusus, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam tata kelola penganggaran, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 43 Tahun 2020 sehingga seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dilakukan monitoring penggunaan anggaran 234 penanganan Covid-19. Selain itu, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga telah menerbitkan rekening khusus untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan Program PEN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan PMK Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kebijakan- kebijakan di bidang keuangan negara. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau 235 rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil Para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar 236 tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas (vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);
melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan solvabilitas (vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN); 237 3) melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal (vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (vide __ Pasal 11 UU LPS). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan bank, baik itu Bank Sistemik maupun bank selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. 238 Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis [vide Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK]. Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk 239 melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:
Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding , dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds 240 usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan.
Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent . Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan 241 kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 s.d. Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal , sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU- XII/2014 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan 242 dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary . Selain dapat memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. 243 Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) juncto Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau tindakan pengawasan OJK [vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang P3IK Bank Umum]. Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun 244 melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri 245 perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances , dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut: 246 1) Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum . Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 ( check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh: 247 a. Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;
Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer , masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik 248 mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary . Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru ( precedented ) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK); 249 c. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa diantara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: 250 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” diubah menjadi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum.” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario , imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud.” 251 Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “ segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan 252 dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan 253 b. tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana ( actus reus ) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/ mens rea ).
Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea ), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang 254 dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions , FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee , perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: 255 “Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith. ” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai dengan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk ( mens rea ) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan (vide Pasal 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 256 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus . Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 257 Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi UU 2/2020 Dengan UU Terdampak Lahirnya Lampiran UU 2/2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau memerlukan penyesuaian dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Oleh karena itu, terhadap norma- norma yang dilakukan penyesuaian dalam Lampiran UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan yang sewenang-wenang ( constitutional dictatorship ) sesuai dalil para Pemohon. Berdasarkan teori peraturan perundang-undangan, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 berlaku sebagai ketentuan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan yang dikesampingkan. Hal tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk melakukan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary untuk melakukan penanganan permasalahan Covid-19 secara cepat dan penanganan dampaknya yang luar biasa terhadap ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan, tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada undang-undang yang ada sebelum UU 2/2020 yang memang kurang memadai untuk penanganan kepentingan tersebut. 258 Pernyataan Para Pemohon yang menyampaikan bahwa Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 menimbulkan kesewenang-wenangan dan constitutional dictatorship adalah pernyataan yang tidak benar dan sangat berlebihan. Pemohon telah salah menafsirkan constitutional dictatorship sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Dalam ilmu hukum konstitusi, constitutional dictatorship merupakan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional, "No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake" . Lampiran UU 2/2020 diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa sebagaimana fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, dan merupakan instrumen hukum yang diberikan kepada Presiden untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan menerbitkan Perppu. Filosofi constitutional dictatorship yang tersirat pada Pasal 22 UUD 1945 dalam konteks kedaruratan merupakan wujud nyata kehadiran Pemerintah dalam mengatasi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19 dan bukan merupakan makna negatif sebagai penyelewengan kekuasaan. Dengan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pendapat subjektif Presiden mengenai perlunya penerbitan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa telah disetujui DPR sebagai lembaga wakil rakyat. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: • Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan; • Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing ); • Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Selain itu, Presiden juga mengajukan 3 (tiga) orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan secara daring tanggal 29 April 2021 dan menyerahkan keterangan tertulis dari 3 (tiga) orang ahli yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut. 259 1. Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang – tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hokum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing-masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan- hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan 260 warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency). Paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid -19 Adalah Keadaan Bahaya Yang Mengancam Dunia Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang- wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemik yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen 261 untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemic tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropah, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemik. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negatif terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan judicial review Perppu tersebut dalam perkara a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax . Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa 262 dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000, (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggeris, Irlandia, Jerman, Perancis Spanyol dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan sosial, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industri perhotelan, industri pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, 263 sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konstitusi sebagaimana disebut di atas sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan kekuasaan atau kewenangan yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 264 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit -semacam undang-undang tertanggal 13 September 1939 Nomor 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hokum tatanegara biasa menjadi hokum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer . Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang-undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, 265 menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktek Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relative stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat- syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang- undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, outputnya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat . Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di 266 media social. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid-19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan Covid-19 sebagaimana telah disebut diatas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya , karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hukum yang innovatif untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hokum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations”. Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang 267 terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hokum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hukum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan ( keberlakuannya ) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:
sifatnya yang sementara ( temporary character );
pengakuan akan sifat khusus ( exceptional ) dari keadaan darurat;
pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus, yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. 268 Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hokum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropah, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaraan kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut. __ 269 B. State of Siege Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hokum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege. Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. 270 Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu:
Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang- undang kepada eksekutif; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri- menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan. C. Martial Law-Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law , yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan 271 khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan (meta-rule) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hukum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta - rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi: “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States…” Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hokum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara 272 Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argument kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “ Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. __ Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review . Tahun 1980, Gubernur-gubernur Negara Bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai akibatnya Kongres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Mongomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting 273 dalam state of exigencies ( keadaan genting) __ ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur- prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. __ Pengertian hal ihkwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; 274 2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “kegentingan memaksa”, __ yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemic yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi-Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaccine tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat 275 untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat , maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman di bawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999, masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah didasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 276 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa “pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal (state of normalcy ) Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis, yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal? __ Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional dictatorship , memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu. Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point , Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun `1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu nomor 23 tahun 1959 yang didasakan pada Pasal 12 dan 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sispil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang”. Dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perpu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi 277 fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis. Dan harus memuat pengawasan dari Lembaga judicial. Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan: “ bila negara dalam emergency law, maka perlu diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan ketentuan _:
_ Providing for legislative and judicial oversight for the executive, 2. Limiting exceptional measures to those strictly necessary, 3. Ensuring that such powersendures only for the duration of outbreak. Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight. Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta ”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa deficit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. Hukum Tata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga berubah emergency law (staatsnoodrecht ) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland, dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “limited state of emergency” , dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara bisa menemukan istilah, ump HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights) sampai Pasal 360 ( provision as financial emergency ) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress . 278 Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 juncto Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo . Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklasifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang. 279 1) Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak;
Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan
Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perppu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemic Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum deficit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR; 280 4) Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan
Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum deficit. Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp. 405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB); 281 3) Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang Kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemik Covid- 19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemik Covid-19. i) Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid- 19. 282 j) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perppu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. k) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahaqn ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan 2) Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. l) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkeu tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana; 283 5) Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan
Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan sosial, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat Pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara 284 pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak pidana korupsi merumuskan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat (2) adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Machfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “juristerij”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 memberikan kekebalan hukum tidak tepat, karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang-undangan. Machfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang 285 berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu Yang Tidak Dikenal Perbedaannya. Kami menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”, yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang-undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT Nomor 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hokum formil maupun hokum materiil. Pembatasan waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak. Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa 286 sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang- undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang-Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hokum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara serta eksistensinya. Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang-undang , terutama karena kewenangan legislative merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang-Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal 287 Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu , yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hokum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hukum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan) , maka Perpu jenis kewenangan darurat ( emergency power ) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hokum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir . Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis , yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules. Kesimpulan. Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut; 288 3. Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan social ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis disegala bidang yang mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah.
Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec. • Paparan terkait dengan peran APBN dalam pemulihan ekonomi. • Isu yang dibahas terkait dengan tiga hal yaitu pertama, bagaimana dampak Covid-19 bagi perekonomian dunia? Kedua, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia? Ketiga, menjawab pertanyaan mengapa fiscal stimulus atau pelebaran deficit itu dibutuhkan untuk mengatasi situasi ini? 289 • Sesuatu yang terjadi dalam kondisi pandemic ini adalah hal yang luar biasa, tingkat kematian yang luar biasa, jumlah infected cases atau yang tertular yang jumlahnya luar biasa dan terus meningkat. • Akibat dari Covid-19 ini maka pemerintah berbagai negara harus mengambil tindakan yang di luar normal atau kebiasaan. Mengapa hal tersebut harus dilakukan? Hal ini dikarenakan untuk mengatasi pandemic, cara mengatasinya adalah meminta agar orang menghindari kerumunan, menghindari aktivitas atau menjaga jarak atau yang di negara kita dikenal dengan istilah Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). • Implikasi dari PSBB ini adalah meminta orang untuk tinggal di rumah. Padahal kita tahu esensi dari aktivitas ekonomi adalah aktifitas pasar dan pasar per definisi adalah tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa, baik secara fisik maupun secara virtual. Tetapi dalam kasus ini karena orang diminta untuk tidak berinteraksi, maka aktifitas pasar kolaps di seluruh dunia, kecuali yang bisa dilakukan secara virtual. • Indonesia relative mampu menghadapi dampak yang sebegitu besar, dikatakan relative karena memang tetap terjadi kontraksi ekonomi. Indonesia tidak sebaik Vietnam yang membukukan pertumbuhan positif 2,9% di tahun 2020 atau seperti Tiongkok yang punya pertumbuhan positif 2,3% atau Korea Selatan yang -1%. Sedangkan Indonesia tahun lalu mengalami pertumbuhan negative 2,1%, meskipun demikian masih lebih baik daripada Rusia, Amerika, Jerman, Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak menerapkan lockdown secara ketat seperti yang dilakukan beberapa negara. • Pertanyaan penting adalah bagaimana dampak Covid-19 ini terhadap Indonesia? Ahli akan menggunakan data dengan membandingkan kondisi pra Covid dengan kondisi Covid. Ahli menerangkan penjelasannya dengan menggunakan diagram. • Terdapat 3 kelompok pendapatan yaitu pekerja dengan gaji tetap, wirausaha dan sektor informal. Golongan yang paling terdampak akibat covid ini adalah sector informal, pendapatan mereka turun 30%. Sedangkan wirausaha pendapatannya turun 8%, sedangkan pekerja dengan gaji tetap cenderung tidak terdampak kecuali mereka yang kehilangan pekerjaan. • Kelompok dari sektor informal ini adalah kelompok yang rentan, pendapatan menengah kebawah, perempuan dan anak-anak.oleh karena itu menurut Ahli 290 hal yang utama harus dilakukan oleh Pemerintah adalah memberikan bantuan tunai atau cash transfer yaitu mengkompensasi ketika orang tinggal di rumah. • Akibat dari pandemi ini adalah tingkat pengangguran terbuka naik dari 5,28% menjadi 7,07%. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19%, meskipun angka ini bersifat relative karena di Indonesia ini orang yang menganggur itu akan bekerja apa saja demi mempertahankan kehidupan sehingga datanya tidak terdapat disini. Selain itu, hal ini dibuktikan dengan rasio tabungan terhadap total pendapatan untuk kelompok pengeluaran. Kelompok menengah bawah cenderung membelanjakan tabungannya untuk biaya konsumsi, sedangkan kelompok menengah atas justru tabungannya meningkat karena golongan menengah atas hanya membelanjakan kebutuhan esensialnya, sehingga akan munculnya ketimpangan pendapatan. • Dari segi pertumbuhan PDB, Indonesia sudah mencapai titik pertumbuhan terendah pada triwulan II Tahun 2020 yaitu minus 5,3% dan selanjutnya Indonesia masih mengalami konstraksi namun lebih kecil yaitu 3,49% sehingga perkiraan ahli pada triwulan I 2021 kita mungkin masih mengalami kontraksi minus 0,5% dan baru akan positif pada triwulan II tahun 2021. • Apabila kelompok pendapatan menengah mendapatkan bantuan social dari pemerintah, akan menimbulkan peningkatan belanja mereka, sedangkan golongan menengah atas tidak mendapatkan bantuan pemerintah namun mereka memiliki tabungan. Program dari stimulus viskal berhasil mendorong belanja dari kelompok menengah bawah tetapi tidak menengah atas, karena kelompok menangah atas akan tergantung dari kemampuan pemerintah mengatasi pandemic karena konsumsi mereka itu berkaitan dengan mobilitas, traveling, entertainment dan lain sebagainya. • Apa yang akan terjadi jika kemudian aktivitas ekonomi mengalami penurunan dengan kontraksi yang terjadi? Logika sederhana jika aktivitas ekonomi menurun, maka return atau balas jasa dari aktivitas sektor itu juga akan mengalami pertumbuhan negatif, perusahaan mengalami kerugian. Jika perusahaan mengalami kerugian, maka dia berisiko tidak bisa membayar kreditnya kepada perbankan, maka meningkatlah yang disebut sebagai non- performing loan. 291 • Perppu yang menjadi UU 2/2020 ini memfokuskan kepada tiga hal, pertama, adalah alokasi belanja untuk kesehatan, kedua, adalah alokasi belanja untuk bantuan social, dan ketiga, adalah dukungan untuk UMKM karena ini adalah bagian dari stimulus akibat dari kebijakan yang dilakukan untuk menambah alokasi belanja di dalam sector kesehatan di dalam perlindungan sosial, memberikan BLT dan segala macam, restrukturisasi di dalam UMKM ini. • Dapat dibayangkan jika tidak ada fiscal stimulus maka pembalikan ekonomi atau economic turneral tidak akan terjadi pada triwulan ketiga, mungkin saat ini kita akan berada di dalam situasi yang lebih parah, sehingga ahli mengatakan bahwa dalam situasi yang genting seperti sekarang, maka batas deficit 3% harus diperlebar dengan tujuan untuk menolong kelompok menengah ke bawah, untuk belanja kesehatan, dan UMKM. • Bahwa pemulihan ekonomi di sini totalnya Rp579,78 triliun realisasinya 83,4%. Bahwa yang paling besar itu adalah bantuan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM Rp112,4 triliun, dan kemudian diikuti oleh kesehatan, pembiayaan korporasi realisasinya Rp60,7 triliun, belum terlalu meningkat insentif dunia usaha. Ekspansi belanja perlindungan sosial secara tunai termasuk PKH, insentif kartu praperja, bansos tunai, sembako, pengeluaran konsumsi pemerintah termasuk bantuan UMKM, belanja pegawai, belanja barang operasional, bantuan pemerintah, dan belanja modal termasuk pembangun sarpras kesehatan, pengadaan tanah PSN, dan pengadaan peralatan hankam, dan pembangunan irigasi. • Indonesia adalah negara bukan produsen vaksin. Kemampuan Indonesia memulihkan ekonomi akan sangat tergantung dari kemampuan kita mengatasi pandemi. Karena porsi terbesar dari belanja masyarakat adalah yang menengah atas. Menengah atas tidak mau belanja selama pandeminya masih ada. Mereka tidak ada mobilitas. Karena itu, solusinya hanya dua hal kita mengembalikan mobilitas. Caranya adalah satu, dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Kedua, vaksin. • Jika Indonesia memiliki disiplin seperti yang ada di China, Vietnam, Singapura, maka mungkin role dari vaksin tidak sepenting yang kita hadapi sekarang. Lihat bagaimana negara seperti Australia proses vaksinnya relatif lambat karena mereka mempu membuat kasusnya sangat kecil, Singapura zero cases sekarang, proses vaksinnya bisa lambat. Tetapi dalam kasus di 292 Indonesia protokol kesehatan enforcement-nya masih sangat sulit, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada vaksin. Di dalam konteks vaksin, Indonesia adalah 10 besar negara dengan vaksin tertinggi, di antara negara non-produsen, kita empat besar. • Terdapat persoalan saat ini karena ada risiko dari gelombang ketiga, maka semua negara mengatakan mereka tidak lagi mau mengekspor vaksinnya karena untuk mengantisipasi kebutuhan domestiknya. Di dalam konteks ini, maka ada persoalan, kalau persediaan vaksin terbatas, maka pemulihan ekonomi juga akan terbatas. Karena itulah role dari fiskal stimulus menjadi sangat penting untuk memastikan, untuk men-secure bahwa vaksinnya ada. • Ahli menunjukkan jika berbicara mengenai fiskal defisit, sebetulnya angka 6,1%, buat Indonesia hal tersebut relatif kecil, dibandingkan dengan Filipina 7,6%, China apalagi bila dibandingkan dengan Australia 10,6%, Singapura 13,9%, dan Amerika 15,2% dari GDP. • Indonesia hanya bisa mengatasi pandemi kalau vaksin gratis. Mungkin kita harus bicara mengenai PCR yang mungkin masih relatif mahal, ini yang harus kita pikirkan. Kalau permintaan sudah ada, baru kita bicara mengenai penjaminan kredit, program yang dilakukan oleh pemerintah sekarang, subsidi bunga, dan sebagainya 3. Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum • Keterangan Ahli yang penulis sampaikan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian sesuai dengan permintaan Keterangan Ahli yang disampaikan kepada ahli melalui Surat Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan RI No. S-212/SJ.4/2020 tertanggal 03 Desember 2020 perihal Permohonan Sebagai Ahli Pemerintah Dalam Rangka Pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:
. Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu;
. Wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19; dan (3). Penjelasan perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. • Pertama, Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian 293 hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. • Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra- ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sehubungan dengan Perppu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. • Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parameter obyektif untuk penggunaan 294 kewenangan diskresi konstitusional tersebut pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU-VII/2009, yang terdiri dari:
. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. • Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “ martial law ” atau “ emergency legislation ”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama- sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “martial law”, “ emergency law ”, atau “ emergency legislation ”. • Perppu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal. 355). Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. 295 • S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension ) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. • Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perppu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. • Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrehct ), kewenangan diskresi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. 296 • Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi obyek permohonan pengujian dari para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (Covid-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan 297 pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). 298 Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 • Kedua, wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU No. 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan [vide Pasal 1 ayat (3)], Pemerintah diberikan wewenang untuk [vide Pasal 2 ayat (1)]:
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to giving reasons ) 299 atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (Covid-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocussing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. • Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres No. 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 300 dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. • Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:
. Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur) ;
. Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). • Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres No. 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. 301 Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat • Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid- 19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. • Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 302 pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. • Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. • Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) . Keppres No. 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid-19 diatur dalam UU No. 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. • Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah-langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat-obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. 303 • Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. • Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). • Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama, menyangkut objeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran 304 anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat, dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor- aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu No. 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU No. 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. • Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. • Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid- 19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar Rp13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp53 triliun. • Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. 305 Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. • Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp765 triliun (dengan kurs Rp17 ribu). Mereka mengatakan ada €2 miliar atau sekitar Rp34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. • Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. • Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas 306 pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres No. 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. Selain itu, Pemerintah juga mengajukan 3 (tiga) keterangan tertulis ahli tambahan yang bernama Chandra Hamzah S.H., Prof. Denny Indrayana S.H., LL.M., Ph.D., dan Yunus Husein S.H., LL.M., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 3 Juni 2021, yang pada pokoknya menjelaskan sebagai berikut : Pemaknaan Kerugian Negara Dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di 307 bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Terhadap ketentuan tersebut, dapat Ahli sampaikan bahwa rumusan seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bukanlah hal baru. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“ UU Krisis Sistem Keuangan ”) memiliki kemiripan dalam rumusan pasalnya, sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan : “Cukup jelas” Frasa “kerugian negara” setidaknya ditemukan dalam 3 (tiga) undang-undang lainnya, yaitu:
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“ UU Perbendaharaan Negara ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 3. Bagian I Umum Penjelasan Atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU Tipikor ”), sebagai berikut: Paragraf kedua : “Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.” 308 Dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK, dalam pengertian frasa “kerugian negara/daerah”, sudah terkandung unsur “perbuatan melawan hukum”, sudah terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Sedangkan pada UU Tipikor, dalam pengertian frasa “kerugian negara” belum terkandung unsur “melawan hukum”, belum terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Perbuatan korupsi-nya yang mengandung unsur melawan hukum, bukan kerugian negaranya. Selain dapat disimpulkan berdasarkan Bagian I Penjelasan Umum Atas UU Tipikor sebagaimana telah dikutip pada butir 3 di atas, hal ini juga dapat dilihat dalam rumusan delik Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dalam UU Tipikor adalah ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum ”. Sedangkan, kerugian negara adalah sebagai akibat dari perbuatan (melawan hukum) dimaksud. Jadi, dalam sudut pandang UU Tipikor, “kerugian negara” yang disebabkan perbuatan korupsi (melawan hukum) saja yang merupakan suatu tindak pidana. Konsekuensinya, terdapat dua kategorisasi kerugian negara, sebagaimana diagram sebagai berikut: Apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU Tipikor, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum, maka hal tersebut bukan tindak pidana (korupsi) . Kerugian Negara Akibat Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Akibat Perbuatan Menurut Hukum Bukan Tindak Pidana 309 Sedangkan, apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut bukan kerugian negara . Kewenangan BPK/BPKP Untuk Memeriksa Adanya Kerugian Negara Dalam Pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 Terkait dengan frasa ‘’kerugian negara’’, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”), Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 10 UU BPK : “(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pasal 11 UU BPK: “BPK dapat memberikan:
pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;
pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau
keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah .” 310 Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“ Perpres BPKP ”), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 3 Perpres BPKP “a....
... c.... d.... e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah , pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; ” Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan BPK dan BPKP terkait dengan kerugian negara sebagaimana dapat dibaca pada halaman 53 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 sebagai berikut: “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya; ” Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tidak menghilangkan kewenangan BPK/BPKP terkait dengan kerugian negara. Oleh karena itu, BPK/BPKP tetap dapat memeriksa adanya kerugian negara dalam pelaksanaan UU 2/2020. Due Process of Law Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Terkait Pelaksanaan Kebijakan Sesuai Lampiran UU 2/2020 Pengertian yang dianut UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara maupun yang dianut UU Tipikor, ada persamaan diantara ketiganya yaitu adanya unsur ‘’melawan hukum’’. Apabila terpenuhi semua unsur-unsurnya, termasuk unsur ‘’melawan hukum’’, maka terhadap pelakunya tetap dapat diminta pertanggungjawaban melalui proses hukum. 311 Terkait Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang berbunyi sebagai berikut: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagaimana batasan itikad baik dalam prinsip hukum pidana? Dalam hukum pidana materiil di Indonesia tidak banyak pasal yang menyebutkan tentang “itikad baik”, begitu pula referensi terhadapnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan pidana lebih banyak mengatur tentang:
perbuatan/tindak pidana (unsur objektif/fisik yaitu actus reus ), dan b. sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Frasa “itikad baik” ditemukan dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“ KUHPidana ”), sebagai berikut: “ Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Pasal 51 ayat (2) KUHPidana ini terdapat dalam KUHPidana Bab III Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan Pidana. Seseorang dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila pelaku, ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Pasal 119 KUHPidana “Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesiu, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara” Pasal 187 bis KUHPidana “Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia bahan-bahan, benda-benda atau perkakas-perkakas yang diketahui atau selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang membahayakan nyawa orang atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana 312 penjara paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Pasal 393 KUHPidana “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya , bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Pasal 480 KUHPidana “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.” Dalam delik-delik di atas, dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila seseorang yang mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan. Khusus untuk Pasal 480 ke-1 KUHP, Mahkamah Agung telah menerbitkan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2/Yur/Pid/2018 dan Nomor 3/Yur/Pid/2018 dimana Mahkamah Agung secara konsisten menganggap bahwa tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai “diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” __ adalah:
apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/standar.
apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki itikad baik apabila ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). 313 Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 mengatur perlindungan hukum kepada pihak tertentu. Apakah dalam suatu peraturan perundang- undangan diperbolehkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertentu? Apakah ketentuan tersebut menghilangkan prinsip equality before the law , khususnya dalam penerapan hukum pidana? Norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan. Tercatat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung norma serupa, sebagai berikut:
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.” c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serbagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (“ UU MD3 ”) Pasal 57:
Anggota MPR mempunyai hak imunitas. 2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
Uji Materi Pasal 77 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN terhadap UUD 1945
Relevan terhadap
1. Terhadap materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang- _Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali; _ 2. Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitasnya yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. 13. Bahwa sebelumnya terhadap Pasal 77 UU BUMN 19/2003 pernah diajukan Uji Materiil yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008. Berdasarkan hal tersebut, maka Pemohon terlebih dahulu akan menguraikan apakah materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang Pasal 77 UU BUMN 19/2003 telah diperiksa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 dan Pemohon akan menjelaskan perbedaan Uji Materiil 6 Pemohon dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 sebagai berikut: Permohonan Uji Materiil dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 Bahwa Pemohon dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008 meminta: “ Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1 angka 11 angka 12 serta bagian BAB VII Restrukturisasi dan Privatisasi yang terdiri dari Pasal 72 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 80 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Alasan Pemohon dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008 menyatakan Pasal 77 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang- _Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada pokoknya menyatakan: _ “Pemohon menolak privatisasi dan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 ini adalah ketentuan pemanis dan penggembira saja karena kelak ketentuan peraturan perundang-undangan mengizinkan dilakukan privatisasi” Bahwa Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima; Bahwa dengan Permohonan Pemohon Nomor 58/PUU-VI/2008 dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, maka materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 belum pernah diperiksa dan di putus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka Pasal 77 UU BUMN 19/2003 dapat dimohonkan kembali untuk dilakukan uji materiil pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui Permohonan a quo ; Bahwa selanjutnya dalam permohonan a quo, Pemohon hanya melakukan pengujian terhadap norma Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003; Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan uji materiil Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 terhadap Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 7 sebagaimana akan dijabarkan oleh Pemohon di bawah pada bagian Legal Standing Pemohon; Bahwa Pemohon dalam Permohonan a quo memiliki alasan-alasan hukum yang berbeda, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN inkonstitusional dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang __ larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. Bahwa pada dasarnya Pemohon tidak menolak privatisasi sebagaimana didalilkan Pemohon sebelumnya dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008. Bahwa dalam permohonan a quo yang dipermasalahkan pemohon adalah dapat tidaknya dilakukan privatisasi terhadap “ Persero dan Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero” yang bergerak disektor tertentu yang berkaitan dengan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c UU BUMN 19/2003 dan bergerak di bidang usaha sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf d UU BUMN 19/2003; __ 14. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 belum pernah diperiksa dan di putus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga permohonan a quo tidaklah bersifat ne bis in idem terhadap permohonan sebelumnya (Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008). Bahwa selain tidak bersifat ne bis in idem, dalam Permohonan a quo baik Pemohonnya, alasan, subtansi maupun pokok permohonan (petitum) berbeda, dengan demikian permohonan a quo sudah sepatutnya diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN HUKUM PEMOHON 1. Bahwa dalam hukum acara perdata yang berlaku, dinyatakan hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja, yaitu orang yang merasa hak- haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan (asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum atau zonder belang geen rechttingen ), artinya “hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja”, yaitu orang yang merasa hak-haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan; 8 2. Bahwa dalam perkembangannya, ternyata ketentuan dan atau asas tersebut tidak berlaku mutlak berkaitan dengan diakuinya hak orang atau lembaga tertentu untuk mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan, dengan mengatasnamakan kepentingan publik, yang dalam doktrin hukum universal dikenal sebagai Organization Standing (Legal Standing) ;
Doktrin Organization Standing ( Legal Standing ) ternyata tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Mahkamah Agung RI, Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-undang Jasa Konstruksi dan doktrin Organization Standing ( Legal Standing ) juga telah menjadi preseden tetap dalam praktek peradilan di Indonesia;
Bahwa walaupun begitu, tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik. Akan tetapi, hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundangan maupun yurisprudensi, yaitu berbentuk badan hukum atau kelompok masyarakat dan organisasi tersebut telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji. c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. b. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan tidak lagi terjadi. 9 6. Bahwa Pemohon adalah Serikat Pekerja yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003, tertanggal 9 April 2003; ( Vide Bukti P-1);
Bahwa Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (selanjutnya disebut FSPPB) diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts-06MUNAS- VI/FSPPB/2018. Bahwa Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). ( Vide Bukti P-2 ) yang menyatakan: Pasal 18 ayat (3) “Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan” 8. Bahwa Pemohon merupakan perwakilan dari Lembaga atau Badan atau Organisasi yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para Pekerja PT Pertamina (Persero) dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero);
Bahwa bentuk dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu dalam Pasal 3 Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015 disebutkan: “ FSPBB berbentuk FEDERASI yang menghimpun dan terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan PERTAMINA termasuk Anak Perusahaan yang memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. 10. Bahwa tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan- kegiatan penegakan hak-hak pekerja sangat jelas dapat dilihat dalam tugas pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015, yaitu: 1) Untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan _anggota beserta keluarganya; _ 10 2) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta _keluarganya; dan _ 3) Menjaga kelangsungan Bisnis dan eksistensi perusahaan. 4) Memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional. 11. Bahwa dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN 19/2003) hanya mengatur secara tegas mengenai larangan Perusahaan Persero untuk di Privatisasi yaitu Perusahaan Persero yang bidang usahanya disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003;
Bahwa faktanya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut hanya berbentuk Perseroan Terbatas biasa, sehingga tidak terikat pada ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003. Hal tersebut tentunya membuka peluang/berpotensi dapat diprivatisasinya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut, padahal Anak Perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha Induk Perusahaannya yang notabene Induk Perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003;
Bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan Perusahaan Persero sebagaimana dimaksud dalam UU BUMN 19/2003. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri BUMN selaku RUPS tanggal 24 November 2016 tentang Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina yang dinyatakan pada akta No. 27 tanggal 19 Desember 2016 dinyatakan, bahwa PT Pertamina Persero memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggaraan usaha energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan, serta kegiatan lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan tersebut serta pengembangan optimalisasi sumber daya yang dimiliki perusahaan;
Bahwa dengan demikian PT Pertamina Persero termasuk dalam Perusahaan Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 yaitu: 11 c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. 15. Bahwa saat ini PT Pertamina Persero telah memiliki Anak-Anak Perusahaan yang menunjang kegiatan usaha PT Pertamina Persero sebagai induk Perusahaannya di bidang energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan;
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik Persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 menyebabkan celah hukum dan ketidakpastian hukum untuk dilakukannya privatisasi/pelepasan seluruh saham ke pihak perorangan/swasta terhadap Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang bergerak di bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d sehingga Pemohon dirugikan Hak Konstitusionalnya yaitu:
Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan Energi Nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah di atur dalam anggaran dasar FSPPB.
Berpotensi nyata Sumber Daya Alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja Pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 karena Negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam.
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT. Pertamina Persero maupun Anak-Anak Perusahaannya akibat potensi nyata terjadinya privatisasi dan/atau pelepasan seluruh saham anak- 12 anak perusahaan ke pihak perorangan/swasta. Bahwa seharusnya anak perusahaan persero yang bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan Masyarakat dilarang untuk di privatisasi.
Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahan PT. Pertamina Persero kepada pihak swasta/perorangan.
Kualitas hidup dan kesejahteraan para pekerja pada Perusahaan Grup PT. Pertamina Persero dan/atau BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT. Pertamina Persero/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh Negara.
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada Pihak Swasta/Perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam pasal 163 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/ pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahaan. Bahwa hal tersebut di atas tentunya merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab bagi Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota dan atau pekerja, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya, menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi Perusahaan dan memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB);
Bahwa terkait dengan tujuan pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 angka (3) Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke-Lima Tahun 2011, maka Pemohon sangat berkepentingan untuk mengajukan Uji Materil ke Mahkamah Konstitusi 13 sebagai akibat dari adanya ketidakpastian hukum dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bahwa selama ini secara nyata, Pemohon telah pula memperjuangkan kepentingan hukumnya sebagaimana dinyatakan dalam AD/ART baik itu melalui gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial terkait hak dan kepentingan para Pekerja yang menjadi anggotanya, termasuk pula telah pernah mengajukan gugatan Judicial Review tentang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor: 37/PUU-IX/2011 dan gugatan Judicial Review Tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 65/PUU-X/2012;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN Bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara inkonstitusional dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. A. Pasal 77 huruf c dan huruf d Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. 14 1. Bahwa Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 2. Bahwa sesuai dengan konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang- Undang Minyak dan Gas dan Undang-Undang Ketenagalistrikan menafsirkan mengenai “hak menguasai negara/HMN” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid) , melakukan pengaturan (regelendaad) , melakukan pengurusan (bestuurdaad) , melakukan pengelolaan (beheersdaad) , dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
Bahwa salah satu fungsi dari Hak Menguasai Negara adalah pengelolaan, yang mana fungsi pengelolaan tersebut dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, hal tersebut sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa: “ Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung badan usaha milik negara, termasuk di dalamnya badan usaha milik daerah atau badan hukum milik negara/daerah sebagai instrumen kelembagaan di mana pemerintah mendayagunakan kekuasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas kekayaan alam atas bumi, air, dan kekayaan alam benar-benar digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; ” 4. Bahwa sebagai bentuk implementasi Hak Menguasai Negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 19 Juni 2003 15 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 70 Tahun 2003;
Bahwa filosofi dibentuknya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 adalah menjaga supaya Negara tidak kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan (beheersdaad) terhadap Cabang-Cabang Produksi yang penting bagi Negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
Bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN yang tercantum dalam Pasal 2 UU BUMN 19/2003 adalah:
Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional b. Mengejar keuntungan;
Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Bahwa di dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 Negara telah mengatur mengenai Persero yang tidak dapat di privatisasi yaitu: a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. 8. Bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU BUMN 19/2003 adalah: 16 “ BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.” 9. Bahwa selanjutnya yang dimaksud dengan Privatisasi berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU BUMN 19/2003 adalah: “penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya , kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.” 10. Bahwa sejalan dengan berjalannya waktu, persaingan usaha dalam bidang perekonomian global semakin ketat, untuk itu Pemerintah Republik Indonesia memiliki strategi untuk menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan Badan Usaha Milik Negara yaitu dengan membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/ Holding Company . Bahwa dengan demikian saat ini Persero yang dilarang untuk di privatisasi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 telah berkembang menjadi sebuah Perusahaan Grup/ Holding Company bukan hanya sekedar sebuah Perusahaan Perseroan tunggal, Perusahaan-Perusahaan Persero pada saat ini telah memiliki anak-anak perusahaan bahkan cucu perusahaan (Perusahaan milik PT. Persero) ; __ 11. Bahwa Perusahaan Grup/ Holding Company menurut pendapat ahli dapat diartikan sebagai berikut: Menurut Raajimakers, perusahaan kelompok atau group company secara umum dapat diberi pengertian sebagai suatu susunan dari perusahaan- perusahaan yang secara yuridis tetap mandiri dan yang satu dengan yang lain merupakan suatu kesatuan ekonomi yang dipimpin oleh suatu perusahaan induk. Menurut Prof. Emmy Pangaribuan, S.H. perusahaan grup/konsern adalah suatu gabungan atau susunan dari perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri, yang terkait satu dengan yang lain begitu erat sehingga membentuk suatu kesatuan ekonomi yang tunduk pada suatu pimpinan dari suatu perusahaan induk sebagai sentral. Menurut Ray August, holding company adalah perusahaan yang dimiliki oleh induk perusahaan atau beberapa induk perusahaan yang bertugas untuk mengawasi, mengoordinasi, dan mengendalikan kegiatan usaha anak-anak perusahaannya. __ 17 12. Bahwa berdasarkan pengertian mengenai Perusahaan Grup dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, perusahaan grup/ holding company /konsern merupakan suatu gabungan dari perusahaan- perusahaan yang masing- masing mandiri secara yuridis, memiliki hubungan yang erat, memiliki hubungan ekonomi antara yang satu dengan yang lain, dimana induk perusahaan mengawasi, mengoordinasi, dan mengendalikan kegiatan usaha anak-anak perusahaannya;
Bahwa pengertian Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-03/MBU/2012 Tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara yaitu: “ Anak Perusahaan BUMN, yang selanjutnya disebut Anak Perusahaan adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.” Bahwa dengan demikian Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero, melainkan Perseroan Terbatas biasa;
Bahwa apabila melihat penjelasan dalam Pasal 2A ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas disebutkan bahwa: “ Anak Perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) _diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut: _ a. Mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan _pelayanan umum; dan/atau _ b. Mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN. __ __ __ 18 Penjelasan Pasal 2A ayat (7) Yang termasuk dalam perlakukan yang sama dalam kebijakan khusus negara da/atau pemerintah antara lain terkait dengan proses dan bentuk perizinan, hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintah yang melibatkan BUMN. __ 15. Bahwa untuk memberi gambaran kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pemohon akan memberikan ilustrasi mengenai pembentukan holding dan subholding yang terjadi pada PT. Pertamina Persero dengan uraian-uraian sebagai berikut:
1 Bahwa Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina, menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SK- 198/MBU/06/2020 tanggal 12 Juni 2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina. Melalui SK tersebut diatas ditetapkan beberapa hal yakni; Mengubah nomenklatur jabatan anggota- anggota Direksi Perusahaan Perseroan Persero) PT Pertamina. Delapan direktur dalam organisasi pertamina sebelumnya dibubarkan, selanjutnya digabungkan ke dalam tiga direktorat yakni direktur penunjang bisnis, Direktur Logistik dan lnfrastruktur, serta Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha 2.1 Bahwa Kebijakan Menteri BUMN tersebut ditindaklanjuti berdasarkan SK Direktur Utama Pertamina nomor Kpts- 18/C00000/2020-S0 yang salah satu keputusanya adalah membentuk dan menetapkan sub Holding anak perusahaan PT pertamina Persero yang terdiri dari 1) sub holding upstream ; yang akan digambarkan sebagai berikut: 19 atau lebih sederhananya seperti bagian di bawah ini 3.1 Bahwa Dari dua bagan di atas terlihat bahwa yang dijadikan Sub Holding adalah Seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran, jadi core business Pertamina menjadi Anak Perusahaan Pertamina. Bahwa saat ini struktur Perusahaan Grup PT. Pertamina (Persero) dapat digambarkan sebagai berikut sebagai berikut. 20 21 4.1 Bahwa apabila melihat Struktur Perusahaan Grup PT Pertamina (PERSERO), anak-anak perusahaan PT Pertamina (PERSERO) yaitu PT Pertamina EP, PT Pertamina Hulu Energi, PT. Pertamina Geothermal Energy, PT Pertamina Drilling, PT PGN, dsb melakukan pengelolaan sumber daya alam, dimana kegiatan usaha tersebut merupakan kegiatan usaha yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003.
Bahwa berdasarkan ilustrasi pada PT Pertamina (Persero) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak perusahaan dari perusahaan persero yang berbentuk Perseroan Terbatas biasa oleh Pemerintah Republik Indonesia terbukti diberikan izin untuk melaksanakan pelayanan umum dan/atau pengelolaan sumber daya alam, dimana kegiatan usaha tersebut merupakan kegiatan usaha yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 yaitu:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu _yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi 17. Bahwa pembentukan Perusahaan Grup/ Holding Company pada dasarnya dilakukan sebagai strategi untuk menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan Badan Usaha Milik Negara;
Bahwa hal tersebut di atas hanya dapat dilakukan apabila Induk Perusahaan yaitu PT Persero menguasai seluruh/sebagian besar saham dari anak-anak perusahaannya/Perusahaan milik PT Persero tersebut, sehingga Induk Perusahaan yaitu PT Persero sebagai implementasi Negara mampu untuk melakukan pengelolaan terhadap Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan milik Persero yang bidang usahanya mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara;
Bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 secara limitatif hanya mengatur secara tegas Persero yang tidak dapat di privatisasi, namun tidak mengatur secara tegas mengenai Perusahaan Milik 22 Persero/Anak Perusahaan Persero yang memiliki kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003;
Bahwa apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya Privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan dari Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero, melainkan Perseroan Terbatas biasa. Anak Perusahaan persero tidak diatur pada UU BUMN 19/2003;
Bahwa privatisasi PT Pertamina (Persero) melalui anak perusahaanya dengan terlebih dahulu membentuk sub holding dan mengalihkan core business /bisnis inti pertamina dari hulu ke hilir kepada sub holding akan menghambat usaha PT Pertamina persero untuk mendapatkan prioritas dalam memperoleh usaha kerja sesuai Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan ayat 4 Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT. Pertamina (Persero) sepanjang saham PT. Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. ayat 5 PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan. 22. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, PT Pertamina (Persero) seharusnya tidak diperbolehkan untuk melepaskan saham ke publik/swasta/perorangan, sebab apabila sahamnya tidak seratus persen milik negara maka PT. 23 Pertamina Persero tidak akan bisa lagi untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu;
Bahwa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang- cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa hal tersebut telah sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam putusannya yang menyatakan:
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 36/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Wilayah Kerja-Wilayah Kerja migas hanya boleh dikelola oleh BUMN sebagai wujud penguasaan negara. Hal ini merupakan perwujudan dari amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 di mana negara melalui Pemerintah dan DPR, berkuasa untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola dan mengawasi. Mahkamah Konstitusi menegaskan, khusus untuk aspek pengelolaan, penguasaan negara tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui BUMN.
Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 69 P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa pemberian pengelolaan wilayah kerja Migas yang akan berakhir kontrak kerjasamanya, BUMN sebagai perwujudan penguasaan negara in casu PT Pertamina (Persero) harus didahulukan ( voorerecht ) sepenuhnya untuk mengelola sumber daya energi Migas tersebut;
Bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu: 24 a. Bagian menimbang huruf b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan : “ bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan _kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; _ b. Daftar Lampiran Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Bidang Usaha yang terbuka dan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal disebutkan bahwa “Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral masuk dalam kategori terbuka dengan persyaratan” bukan bidang usaha yang terbuka. Bahwa minyak dan gas bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dalam peraturan perundang-undangan telah dikuatkan dengan penafsiran dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 36/PUU-X/2012 tersebut di atas;
Bahwa dengan demikian seharusnya PT Pertamina Persero maupun anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT Pertamina (Persero) tidak dapat di privatisasi karena mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yaitu minyak dan gas;
Bahwa sebagaimana telah Pemohon jelaskan sebelumnya di atas, saat ini seluruh Bisnis Inti (core business) Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran telah dilimpahkan kepada Sub Holding/ anak perusahaan dari PT Pertamina Persero yang notabene anak perusahaan PT Pertamina Persero tersebut hanya berbentu Perseroan Terbatas biasa, bukan PT Persero, selain itu dapat disimpulkan pula bahwa Bisnis Inti (core bisnis) PT Pertamina tersebut telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh badan usaha yang berbeda yang tentunya ini adalah UNBUNDLING PERTAMINA. Dengan terpecahnya sistem integrasi Pertamina karena sektor intinya menjadi 25 Anak Perusahaan maka berpotensi menyebabkan masalah-masalah yang akan timbul dari tidak terintegrasinya pengelolaan minyak dan gas bumi;
Bahwa masalah-masalah yang akan timbul dengan dilakukannya unbundling pada Badan Usaha Milik Negara/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak diantaranya adalah:
Potensi nyata untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagai besar saham anak-anak perusahaan BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak kepada pihak swasta/perorangan (Privatisasi). Bahwa hal tersebut tentunya berpotensi menghilangkan Hak Menguasai Negara untuk melakukan pengelolaan langsung terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara.
Potensi nyata menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha pada badan usaha yang berbeda. Bahwa masalah-masalah tersebut tentunya akan membuat BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi terpuruk dan sangat berpotensi menyebabkan Negara Kehilangan Hak Menguasai yaitu kewenangan untuk melakukan pengelolaan _(beheersdaad); _ __ 28. Bahwa sebenarnya Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara yang berkaitan dengan pilihan bundling ataukah unbundling dalam penyediaan listrik di Indonesia. Pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa Sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;
Bahwa selain itu Pembentukan sub holding anak perusahaan persero maupun unbundling inilah yang mejadi celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk anak-anak perusahaan Persero termasuk namun 26 tidak terbatas pada anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero untuk dilakukan privatisasi, karena dengan terbentuknya sub holding dan/atau unbundling maka terbukalah peluang dari anak-anak perusahaan/perusahaan milik Persero untuk melantai di bursa, sebagaimana yang telah terjadi dengan Perusahaan Gas Negara (PGN);
Bukan tanpa dasar, terbukti dengan secara terbuka Menteri Badan Usaha Milik Negara (Erick Thohir) melalui berbagai media menyatakan target khusus yang dibebankan pada jajaran direksi baru Pertamina yakni satu atau dua anak usaha Pertamina harus mampu melakukan Initial Public Offering (IPO) dalam dua tahun ke depan;
Bahwa pelepasan saham anak perusahaan PT Pertamian persero sama halnya dengan perdagangan organ tubuh manusia. Bahwa bila di ilustrasikan dengan utuh terhadap Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 ibarat seekor sapi betina yang dilarang di jual untuk menjaga dan menjamin pasokan susu bagi pemiliknya, tentunya sapi itu harus sehat dan utuh agar bisa menghasilkan susu dan sapi itu haruslah tetap milik si empunya sapi agar susunya bisa dinikmati yang punya sapi. Namun bila dikaitkan dengan pembentukan sub hoding PT Pertamina, si sapi itu di potong-potong di mana sebagian organ tubuhnya di jual ke orang lain;
Bahwa siasat pelepasan saham kepada swasta/perorangan terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero dapat diibaratkan halnya dengan pencuri sepeda motor yang kemudian menjual terpisah bagian- bagian dari motor tersebut kepada orang lain. Bahwa mencuri dan menjual motor curian kepada orang lain merupakan tindak pidana, namun untuk menyiasatinya agar tidak ketahuan maka pencuri tersebut menjual terpisah bagian-bagian dari sepeda motor tersebut hingga habis tidak tersisa;
Bahwa menurut hemat Pemohon anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero seharusnya diperlakukan sama dengan Induk Perusahaannya yaitu PT Persero, sebab antara Induk Perusahaannya yaitu PT Persero dengan anak-anak perusahaannya/Perusahaan milik Persero sama-sama memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 27 sehingga seharusnya baik Induk Perusahaan (PT Persero) maupun anak-anak perusahaanya/Perusahaan milik PT Persero tidak dapat diprivatisasi;
Bahwa dengan demikian akibat seluruh dan/atau sebagian besar saham Anak-Anak Perusahaan/perusahaan milik PT Persero dimiliki oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon dan Negara yaitu, berpotensi nyata menyebabkan Negara tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan (beheersdaad) terhadap anak perusahaan/perusahaan milik Persero yang memiliki bidang usaha mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara, hal tersebut disebabkan karena sebagian besar saham/seluruh saham Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan Persero telah dimiliki oleh swasta dan/atau perorangan;
Bahwa yang menjadi keberatan Pemohon sehingga Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero adalah apabila anak-anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan d dapat di privatisasi dengan melepas saham ke publik/swasta/perorangan;
Bahwa dengan demikian apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero , maka __ tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan;
Bahwa terhadap penerapan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik berpotensi 28 menyebabkan kerugian yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan (beheersdaad) yang menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola c abang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang . Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; B. Pasal 77 huruf c dan huruf d Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero.
Bahwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 39. Bahwa prinsip sebesar-besarnya kemakmuran rakyat telah mendapatkan penafsiran dari Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 3/PUU- VIII/2010 tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah membuat tolak ukur pengelolaan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, antara lain: _1. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; _ _2. Tingkat kemerataan sumber daya alam bagi rakyat; _ 3. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya _alam; _ 4. Penghormatan terhadap hak rakyat yang bersifat turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. 40. Bahwa tujuan utama dibentuknya BUMN adalah untuk mencari keuntungan dan menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi bagi 29 sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tersirat dalam Pasal 2 UU BUMN 19/2003;
Bahwa selain itu tujuan awal dibentuknya PT. Pertamina Persero dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Negara yaitu: Pasal 5 “Tudjuan Perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minjak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnja untuk sebesar-besar kemakmuran Rakjat dan Negara serta mentjiptakan Ketahanan Nasional.” 42. Bahwa selain itu berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi menyatakan; “dalam rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” .
Bahwa untuk memberi gambaran kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pemohon akan memberikan ilustrasi mengenai proses bisnis Pertamina yakni pengolahan energy utamanya Migas dari hulu ke hilir hingga dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia yang selama ini dilaksanakan oleh Perusahaan Grup/ Holding PT. Pertamina Persero sebagai berikut: A. Bisnis pertamina terintegrasi hulu ke hilir 30 Secara sederhana, proses bisnis Pertamina dapat dilihat pada gambar berikut: Kedudukan/bisnis Pertamina yang secara terintegrasi dapat menjamin security of supply dalam penyediaan pemenuhan energy negeri yang menopang ketahanan energy. Dengan integrasi bisnis hulu ke hilir, maka jalur koordinasi perusahaan menjadi sangat jelas dan gamblang dalam satu kesatuan PT Pertamina (Persero) sebagai representative Negara. Kedudukan/bisnis Pertamina yang secara terintegrasi dapat menjamin security of supply dalam penyediaan pemenuhan energi negeri yang menopang ketahanan energi. Dengan integrasi bisnis hulu ke hilir, maka jalur koordinasi perusahaan menjadi sangat jelas dan gamblang dalam satu kesatuan PT Pertamina (Persero) sebagai representative Negara. Adapun secara ringkas beginilah penjesalan masing-masing proses bisnis tersebut: 31 a. Hulu / Eksplorasi / Upstream Proses penyediaan energi terutama migas dimulai dari penyediaan minyak mentah yang akan diolah menjadi produk jadi maupun antara. Minyak mentah tersebut menjadi bahan baku dalam penyediaan produk tersebut. Proses penyediaan minyak mentah dalam perut bumi Indonesia dimulai dengan tahapan eksplorasi. Tahapan ini adalah pencarian minyak Bumi melalui suatu kajian panjang yang melibatkan beberapa bidang kajian kebumian dan ilmu eksak. Untuk kajian dasar, riset dilakukan oleh para geologis, yaitu orang-orang yang menguasai ilmu kebumian yang mencari lokasi hidrokarbon/minyak dan gas yang dapat diproduksi. Tahapan-tahapannya adalah: • Survey – Penilaian – Development : Menemukan volume hidrokarbon baru dengan demikian menggantikan volume yang sedang diproduksi atau dengan kata lain adalah proses penemuan ladang minyak baru hingga tahapan layak dan dapat diproduksi termasuk penyediaan sarana dan fasilitas produksi (pompa angguk, pemisahan impurities dan air, pipanisasi dan pertangkian). • Produksi: Setelah sebuah area yang sudah dinyatakan layak produksi dari hasil survey dan kajian. Dalam proses produksi tersebut, minyak dalam perut bumi “diangkat” dari sumur ke permukaan melalui fasilitas pengangkatan yang kemudian melalui proses pemisahan dari impurities dan air sehingga didapatkan minyak bumi yang sesuai spesifikasi migas yang ditampung ke dalam Tangki. • Distribusi Migas Setelah tahapan penyimpanan dalam tangki tersebut, maka dilakukan pendistribusian minyak mentah tersebut ke proses pengolahan melalu media transportasi. Adapun media pendistribusian ke kilang/pengolahan dapat melalui pipanisasi dan atau kapal tangker. Lokasi dari ekplorasi dan produksi minyak mentah dapat di daratan ( onshore ) atau laut lepas ( offshore ). Adapun pemenuhan minyak mentah Indonesia berasal dari Domestik maupun impor. Gambaran porsi produksi Minyak Mentah domestik sbb: 32 o 56.7% produksi Pertamina menjadi porsi perusahaan o 52.55% dari total produksi hulu diolah di kilang Pertamina b. Pengolahan/Kilang/ Refinery Kilang minyak adalah pabrik/fasilitas industri yang mengolah minyak mentah menjadi produk petroleum yang bisa langsung digunakan maupun produk-produk lain yang menjadi bahan baku bagi industri petrokimia. Adapun kebutuhan pengolahan Minyak mentah yang diolah di Kilang Pertamina berasal dari Domestik (baik Penugasan Pemerintah atau 3 ^rd Party) sebesar 56% dan Import sebesar 44%. (data tahun 2016) PT Pertamina (Persero) memiliki terdapat 6 kilang/Refinery Minyak dan Petrokimia yaitu:
Refinery Unit – II Dumai 2) Refinery Unit – III Plaju 3) Refinery Unit – IV Cilacap 33 4) Refinery Unit – V Balikpapan 5) Refinery Unit – VI Balongan 6) Refinery Unit – VII Sorong Serta beberapa kilang lain yaitu Cepu, Mundu, dan TPPI Tuban. Setelah melalui tahapan eksplorasi di Upstream, minyak __ mentah disalurkan baik via pipa maupun kapal tangker ke kilang-kilang yang dimiliki Pertamina. Minyak mentah tersebut diolah melalui beberapa tahapan yaitu pemisahan berdasarkan titik didih, pemisahaan secara konversi, dan pemisahan terhadap impurities sehingga dihasilkan produk jadi yang bisa langsung dipakai atau produk antara yang menjadi bahan baku industry petrokimia. Adapun produk tersebut diantaranya Solar, Premium, Pertamax, Pertalite, Dexlite, avtur, kerosene, LPG, serta produk Petrokimia seperti Propylene, Aspal, Lube Base (pelumas), Paraxylene, Benzene, dsb. Semua produk tersebut akan ditampung terlebih dahulu dalam tangki sebelum disalurkan ke costumer (baik Industri maupun end user /masyarakat).
Pemasaran/ Marketing & Trading Proses bisnis integrasi Pertamina selanjutnya adalah Pemasaran/ Marketing & Trading . Setelah minyak mentah/ crude oil diolah menjadi produk jadi di kilang Pertamina, maka dilakukan tahapan selanjutnya yaitu penyaluran kepada pelanggan baik industry maupun masyarakat. Proses tersebut dilakukan oleh fungsi Pemasaran. Produk dari kilang akan disalurkan ke Pemasaran melalui Depot BBM dan LPG atau langsung ke Industri melalui perpipaan maupun kapal tangker. Produk jadi tersebut akan ditambung di depot-depot seluruh seantero Indonesia dari Sabang sampai Merauke. 34 ALUR DISTRIBUSI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DAN LPG Berdasarkan alur distribusi BBM dan LPG tersebut Pertamina memastikan ketersediaan BBM dan LPG seluruh Indonesia via darat, laut, dan udara. Adapun total kebutuhan produk BBM dan LPG secara konsolidasi sebesar 60% berasal dari Kilang Sendiri dan 40% berasal dari impor. (data tahun 2016).
Distribusi/Transportasi & Perkapalan Proses bisnis Pertamina yang tidak kalah penting adalah jaminan tersampainya minyak mentah dari Eksplorasi & Produksi maupun Impor menuju Kilang Pertamina serta tersalurkannya produk kilang ke Pemasaran yang kemudian didistribusikan ke Industri dan end user . Keunggulannya proses integrasi bisnis Pertamina dari Hulu ke Hilir adalah jaminan tersebut dikelola oleh Negara yang diwakili oleh Pertamina termasuk proses distribusinya. Peran perkapalan/ shipping Pertamina inilah yang sangat penting. Dengan geografis Indonesia yang 70%nya adalah perairan, maka peran perkapalan sangat besar dalam proses distribusi. Shipping sangat berperan dalam supply chain Pertamina. Peran kapal dalam menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya sangat berdampak besar terhadap aktivitas perekonomian Indonesia. Hal yang tidak kalah penting, kapal berperan menstimulus pertumbuhan ekonomi 35 daerah tertinggal sehingga mampu memperkecil adanya gap antara kawasan berkembang dengan kawasan tertinggal Seperti yang tergambar pada gambar di atas terlihat bahwa transportasi via kapal dimulai dari proses hulu/ upstream sampai dengan ke depot- depot Pertamina. Sejatinya lingkup kerja Shipping sangatlah kompleks, namun apabila disederhanakan dapat mencakup beberapa aspek sebagai berikut: o Luasnya wilayah operasi distribusi energi yang dilayani terbentang dari Sabang sampai Merauke. Bahkan sejak 2015, Shipping mendapat amanah dalam pengangkutan kargo impor FOB dari wilayah Regional maupun Internasional. o Kapal yang dioperasikan cukup banyak dan beragam ukuran. Sampai dengan akhir 2015, Shipping mengoperasikan lebih dari 200 kapal mulai dari ukuran 1000 DWT sampai dengan 300.000 DWT. o Karakteristik pelabuhan yang berbeda sehingga beragam kendala dan hambatan yang dihadapi akan berbeda untuk masing-masing pelabuhan. Tercatat saat ini terdapat lebih dari 100 pelabuhan khusus 36 (pelsus) yang terletak di ratusan pulau di seluruh pelosok tanah air baik di kilang, depot, maupun sumur minyak. o Besarnya volum dan jenis kargo yang diangkut, dimana setiap kargo memiliki karakteristik dan penanganan yang berbeda. Kargo yang diangkut meliputi: minyak mentah, premium, kerosene, solar, avtur, avigas, pertamax, pertamax plus, LPG, lube base, paraxylene, asphalt, fame, sampai minyak bakar. o Kondisi perairan yang meliputi laut dan sungai. Seringkali pengangkutan yang melewati sungai tidak bisa diprediksi karena adanya luapan, banjir, maupun surut yang mengharuskan kapal menunggu agar bisa kembali berlayar. Selain itu terdapat beberapa rute dengan berbagi peringatan karena adanya indikasi perompakan, pencurian sampai separatism. o Tuntutan operasional akibat minimnya infrastruktur yang mengakibatkan kapal harus dapat dioperasikan sebagai tanki timbun atau floating storage serta kegiatan Ship to Ship transfer. Selain dengan kapal, pendistribusian produk BBM dan LPG di daratan melalui perpipaan dan mobil-mobil tangki yang menghubungkan tiap-tiap wilayah Indonesia mulai dari kota sampai daerah terpencil.
Bahwa sebelumnya seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran sebagaimana disebutkan di atas dikelola langsung oleh PT Pertamina Persero sebagai Holding sedangkan anak- anak perusahaan berperan membantu proses bisnis tersebut, namun saat ini seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran telah dilakukan secara terpisah ( Unbundling ) oleh badan usaha yang berbeda dengan membentuk Sub Holding;
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai undbundling Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara yang berkaitan dengan pilihan bundling ataukah unbundling dalam penyediaan listrik di Indonesia. Pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan secara keseluruhan. Pokok permohonan para Pemohon dalam perkara tersebut pada 37 dasarnya menyangkut kompetisi dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dilakukan secara terpisah ( unbundling ) oleh badan usaha yang berbeda. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan ( unbundling system ) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;
Bahwa selain itu dengan dibentuknya Perusahaan Grup BUMN/ Holding BUMN dan/atau unbundling tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero yang bidang usahanya mengelola sumber daya alam tersebut, seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan, apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero;
Bahwa sama seperti halnya dalam ketenagalistrikan, PT Pertamina Persero yang mengelola sumber daya alam minyak dan gas bumi cepat atau lambat akan berbagi kekuasaan dengan swasta dalam seluruh rantai usaha mereka. Mulai dari hulu, pengolahan, ritel, hingga pasar keuangan. Bahwa Hal tersebut jelas sangat berdampak bagi masyarakat luas, yang mana apabila Pertamina menjadi perusahaan go public dengan mekanisme IPO, maka berpotensi dikuasainya asset negara oleh Swasta (Swastanisasi). Dampak secara gamblang, apakah penentuan harga BBM dan LPG akan seperti sekarang dimana penentuannya murni untuk kepentingan Negara? Tentu berpotensi juga mendengarkan suara 38 sang pemilik saham lainnya dalam Perusahaan nantinya yang menuntut Perusahaan untuk untung-seuntungnya tanpa memikirkan kemampuan daya beli masyarakat. Harga berpotensi naik dan tentunya berdampak pada sektor kehidupan lainnya;
Bahwa selain itu seharusnya seluruh keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero dari hasil mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam Negara diberikan seluruhnya kepada Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun akibat adanya potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero maka keuntungan dari anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero menjadi tidak sepenuhnya diberikan kepada Negara tetapi diberikan juga untuk pihak swasta/perorangan yang memiliki saham pada anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero;
Bahkan yang paling mengkhawatirkan akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan, sehingga hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perorangan;
Bahwa seharusnya Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya “DIKUASAI OLEH NEGARA” untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” __ 51. Bahwa c abang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak boleh dikuasai dan/atau dikelola oleh pihak swasta maupun perorangan untuk keuntungan dan _kemakmuran pihak swasta maupun orang perorangan; _ 52. Bahwa logika sederhana terhadap penerapan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik 39 Negara adalah adanya potensi kerugian yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, akan menyebabkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. IV. PETITUM Berdasarkan urain diatas dapat disimpulkan bahwa Bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero karena berpotensi mengakibatkan negara kehilangan hak menguasai negara yaitu mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam diperuntukan tidak sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat; DALAM POKOK PERKARA 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan dan video yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-39 sebagai berikut: 40 1. Bukti P-1 : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003 tanggal 9 April 2003; ,2. Bukti P-2 : Fotokopi Keputusan Musyawarah Nasional Nomor: Kpts- 04/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Perubahan Ke-Tujuh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB);
Bukti P-3 : Fotokopi Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts- 06/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Penetapan Presiden FSPPB Periode 2018-2021;
Bukti P-4 : Fotokopi Surat Keputusan Nomor 001/KU.FSPPB/IV/2018 Tentang Susunan Pengurus Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Periode 2018 – 2021;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I sampai dengan Amandemen IV);
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara;
Bukti P-8 : Fotokopi Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara;
Bukti P-9 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dam Perseroan Terbatas;
Bukti P-10 : Fotokopi Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Selaku Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina Nomor SK- 198/MBU/06/2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina, tanggal 12 Juni 2020;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Keputusan Direksi Pertamina (PERSERO) Nomor Kpts-18/C00000/2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (PERSERO), tanggal 12 Juni 2020; 41 12. Bukti P-12 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU- VI/2008;
Bukti P-13 : Hasil cetak berita dengan judul “Dirut Pertamina Bantah Soal Isu Privatisasi Lewat Subholding Migas.” https: //tirto.id/dirut-pertamina-bantah-soal-isu-privatisasi- lewat-subholding-migas-fMhi diunduh pada tanggal 13 Juli 2020;
Bukti P-14 : Hasil cetak berita dengan judul “Rencana Dan Target IPO Anak Usaha Pertamina Yang Ditolak DPR.” https: //katadata.co.id/berita/2020/06/30/rencana-dan- target-ipo-anak-usaha-pertamina-yang-ditolak-dpr diunduh pada tanggal 13 Juli 2020;
Bukti P-15 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
Bukri P-16 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 69 P/HUM/2018 mengenai Permohonan Hak Uji Materiil terhadap: “Pasal 2 Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak Dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya”;
Bukti P-17 : Fotokopi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal;
Bukti P-18 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
Bukti P-19 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi;
Bukti P-20 : Fotokopi Kajian Hukum terhadap Rencana Restrukturisasi Pertamina dan IPO oleh Sub-Holding Pertamina tanggal 16 Juni 2020 yang dibuat oleh Melli Darsa & Co.;
Bukti P-21 : Hasil cetak berita pada halaman Tribun News dengan judul “Fraksi PKS DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang IPO Subholding Pertamina”; 42 Sumber: https: //www.tribunnews.com/nasional/2020/08/06/fraksi- pks-dpr-minta-pemerintah-kaji-ulang-ipo-subholding- pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-22 : Hasil cetak berita pada halaman Kompas.com dengan judul “Soal IPO Anak Perusahaan, Ini Alasannya Kata Dirut Pertamina”. Sumber: https: //money.kompas.com/read/2020/07/27/090800226/s oal-ipo-anak-perusahaan-ini-alasannya-kata-dirut- pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-23 : Hasil cetak berita pada halaman CNBC Indonesia dengan judul “Erick Minta IPO 2 Anak Usaha, Begini Bocoran Pertamina”. Sumber: https: //www.cnbcindonesia.com/market/20200630071548 -17-168927/erick-minta-ipo-2-anak-usaha-begini- bocoran-pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-24 : Hasil cetak berita pada halaman iNews.id dengan judul: “Pertamina akan Privatisasi 2 Anak Usaha” Sumber: https: //www.inews.id/finance/bisnis/pertamina-akan- privatisasi-2-anak-usaha Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-25 : Hasil cetak berita pada halaman Opini Indonesia dengan judul: “Melawan Rencana Initial Public Offering (IPO) Anak Usaha Pertamina (1)”Sumber: https: //opiniindonesia.com/2020/07/09/melawan-rencana- ipo-anak-usaha-pertamina-1/ Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-26 : Hasil cetak berita pada halaman Kontan.co.id dengan judul: “Pengamat: IPO Pertamina Bakal Berdampak Pada Kemampuan Subsidi dan Inti Bisnis” 43 Sumber: https: //industri.kontan.co.id/news/pengamat-ipo- pertamina-bakal-berdampak-pada-kemampuan-subsidi- dan-inti-bisnis Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-27 : Hasil cetak berita pada halaman Republika.co.id dengan judul: “Serikat Pekerja dan Pengamat Tanggapi Rencana IPO Pertamina” Sumber: https: //republika.co.id/berita/qf63qo320/serikat-pekerja- dan-pengamat-tanggapi-rencana-ipo-pertamina Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-28 : Hasil cetak berita pada halaman Sindo News dengan judul: “Rocky Gerung: IPO Subholding Pertamina Ibarat Perdagangan Organ Tubuh” Sumber: https: //nasional.sindonews.com/read/135408/12/rocky- gerung-ipo-subholding-pertamina-ibarat-perdagangan- organ-tubuh-1597594124 Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-29A : Video dari Akun YouTube “Bensin Kita”, dipublikasi pada tanggal 13 Juni 2020 dengan judul: “Target Menteri BUMN Usai Merombak Struktur Direksi PT. Pertamina”. Sumber: https: //www.youtube.com/watch?v=fvag6W__ms0 Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020; Bukti P-29B : Video dari Akun Youtube CNN Indonesia yang dipublikasikan Pada 10 Maret 2019 dengan judul: “IPO 9 Anak Usaha BUMN”. Sumber: https: //www.youtube.com/watch?v=ILk6OcAZ-Rs Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-30 : Hasil cetak Berita pada halaman Tribun News dengan judul: “Pengamat Nilai IPO Pertamina Berpengaruh pada Kemampuan Subsidi dan Inti Bisnis” 44 Sumber: https: //www.tribunnews.com/bisnis/2020/08/16/pengamat -nilai-ipo-pertamina-berpengaruh-pada-kemampuan- subsidi-dan-inti-bisnis?page=2 Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-31 : Fotokopi Surat Keputusan No. Kpts-29/C00000/2016-S0 tentang Proses Bisnis Pertamina, tertanggal 2 Agustus 2016;
Bukti P-32 : Hasil cetak Berita pada halaman Tirto.id dengan judul: “Kemelut Saham Garuda Indonesia yang Masih Terpuruk Sejak IPO”. Sumber: https: //tirto.id/kemelut-saham-garuda-indonesia-yang- masih-terpuruk-sejak-ipo-em51 Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-33 : Hasil cetak Berita pada halaman Bisnis.com dengan judul: “Usai PHK 677 Karyawan, Saham Indosat (ISAT) Anjlok”. Sumber: https: //market.bisnis.com/read/20200217/7/1202260/usai- phk-677-karyawan-saham-indosat-isat- anjlok#: ~: text=Saham%20Indosat%20sempat%20jeblos %205,level%20Rp1.985%20per%20saham.&text=Bisnis. com%2C%20JAKARTA%20%2D%20Saham,17%2F2%2 F2020 ). Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-34 : Hasil cetak Berita pada halaman website Bigalpha.id dengan judul: “Saham KRAS, Kian Jauh Tinggalkan Harga IPO”. Sumber: https: //bigalpha.id/news/saham-kras-kian-jauh-tinggalkan- harga-ipo Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-35 : Hasil cetak Artikel pada halaman Hukum Online dengan judul: “MK: Praktik Unbundling Penyediaan Listrik Harus Dikontrol Negara”. 45 Sumber: https: //www.hukumonline.com/berita/baca/lt58523f42c82 60/mk--praktik-iunbundling-i-penyediaan-listrik-harus- dikontrol-negara/ Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-36 : Fotokopi Jurnal Konstitusi dengan judul “Inkonstitusional Sistem Unbundling dalam Usaha Penyediaan Listrik” yang dituliskan oleh Jefri Porkonanta Tarigan Sumber: https: //media.neliti.com/media/publications/238262- inkonstitusionalitas-sistem-unbundling-d-450a4d64.pdf Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020.
Bukti P-37 : Hasil cetak Berita pada halaman Berita Satu dengan judul: “PGN: Kebijakan “Unbundling” Dorong Kenaikan Harga Gas”. https: //www.beritasatu.com/ekonomi/138872-pgn- kebijakan-unbundling-dorong-kenaikan-harga-gas Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-38 : Fotokopi Keterangan Ahli Gunawan dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Miik Negara di Mahkamah Konstitusi;
Bukti P-39 : Fotokopi Keterangan Ahli Marwan Batubara tentang Menyoal Rencana IPO Sub-Holding Pertamina. Selain itu untuk mendukung permohonannya Pemohon juga mengajukan dua orang ahli bernama Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H., dan Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc. yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 23 November 2020 dan 14 Desember 2020, serta saksi bernama drg. Ugan Gandar yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 22 April 2021. Pemohon juga menyampaikan keterangan tertulis ahli Gunawan dan Dr. Marwan Batubara yang dijadikan bukti (bukti P-38 dan bukti P-39) dan keterangan tertulis saksi Ir. Faisal Yusra SH., MM., QIA., CFrA yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 46 Ahli Pemohon 1. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H. A. DASAR HUKUM 1. Surat dari Advokat dan Asisten Advokat Janses E. Sihaloho, S.H., dan Imelda, S.H., berkantor pada SIHALOHO & CO. LAW FIRM yang berkedudukan hukum (domisili) di Gedung Menara Hijau, 5 ^th __ Floor Suite 501B, Jalan M.T. Haryono __ Kav. 33 Jakarta Selatan 12770, selaku kuasa hukum Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), tanggal surat 06 Oktober 2020 Perihal Daftar Pertanyaan Terkait dengan Pengujian Materiil Pasal 77 huruf c dan d Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD 1945. 2. Surat Penugasan Ketua Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Nomor 017/PUSHEP-FHUH/X/22020 Tertanggal 14 Oktober 2020. __ B. PETA KASUS Bahwa berdasarkan surat dari Advokat dan Asisten Advokat Janses E. Sihaloho, S.H., dan Imelda, S.H., berkantor pada SIHALOHO & CO. LAW FIRM yang berkedudukan hukum (domisili) di Gedung Menara Hijau, 5 ^th Floor Suite 501B, Jalan M.T. Haryono Kav. 33 Jakarta Selatan 12770, selaku kuasa hukum Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), tanggal surat 06 Oktober 2020 Perihal Daftar Pertanyaan Terkait dengan Pengujian Materiil Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD 1945, maka dapat dikemukakan garis besar peta kasus dalam kaitannya dengan Uji Materi Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD-1945 adalah sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal 12 Juni 2020 Pertamina melakukan restrukturisasi Holding dengan disertai pembentukan subholding-subholding.
Bahwa sebelum pembentukan subholding pada tanggal 12 Juni 2020, Struktur Organisasi perusahaan PT. Pertamina (Persero) terdiri dari 10 Direktorat yaitu:
Direktorat Hulu;
Direktorat Pengolahan; 47 c. Direktorat Pemasaran Korporat;
Direktorat Pemasaran Retail;
Direktorat Keuangan;
Direktorat SDM;
Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur;
Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia;
Direktorat Perancanaan Investasi dan Manajemen Risiko;
Direktorat Manajemen Aset. Dengan demikian, sebelum pembentukan Sub-holding pada tanggal 12 Juni 2020 maka Struktur Direksi yang berada dalam lingkup PT. Pertamina (Persero) adalah sebanyak 11 orang, termasuk Direktur Utama.
Dengan dilakukannya restrukturisasi Organisasi dan/kelembagaan PT. Pertamina (Persero) menjadi Holding Pertamina yang disertai dengan pembentukan Subholding-Subholding pada tanggal 12 Juni 2020, maka struktur Organisasi/Kelembagaan Badan Hukum PT. Pertamina (Persero) sejak terbentuknya Holding Pertamina telah berkonsekuensi terjadinya perubahan struktur Direktorat yang ada pada PT. Pertamina (Persero) yang semula terdiriri dari 10 Direktorat diperkecil menjadi 5 Direktorat saja yaitu:
Direktorat Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha.
Direktorat Keuangan.
Direktorat Sumber Daya Manusia.
Direktorat Logistik & Infrastruktur.
Direktorat Penunjang Bisnis. Dengan demikian, setelah dibentuknya Holding Pertamina maka jumlah Direksi yang berada dalam lingkup PT. Pertamina (Persero) menjadi 6 orang termasuk Direktur Utama.
Adapun Subholding-Subholding baru yang dibentuk bersamaan dengan dilakukannya restrukturisasi Holding Pertamina adalah sebagai berikut:
PT. Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Hulu (Upstream). PHE akan menjadi induk dari PT. Pertamina EP (PEP), PT. Pertamina EP Cepu (PEPC), PT. Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT. Pertamina Hulu Rokan (PHR). 48 b. PT. Patra Niaga (Patra Niaga) sebagai Subholding Pemasaran ( Commercial & Trading ). Patra Niaga akan menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 3 __ Direktorat di Holding lama ( Direktorat Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur).
PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) sebagai Subholding Kilang dan Petrokimia ( Refinery & Petrochemical ). KPI akan menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 2 Direktorat di Holding Pertamina sebelumnya yaitu Direktorat Pengolahan dan Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia.
PT. Pertamina Power Indonesia (PPI) sebagai subholding Listrik dan Energi Baru & Terbarukan ( Power & New and Renewable Energy ). Yang akan masuk menjadi anak perusahaan dari PPI adalah PT. Pertamina Geothermal Energi (PGE).
PT. Perusahaan Gas Negara sebagai Subholding Gas ( ikut diumumkan sebagai Subholding Gas meskipun lebih dahulu sudah terbentuk sebagai Subholding Gas ). Bahwa pembentukan Subholding-Subholding menurut pertimbangan pihak Pemerintah dan Direksi PT. Pertamina (Persero) dimaksudkan untuk tujuan yang sebagai berikut:
Membangun organisasi yang lean, agile and efficient (ramping, lincah dan efisien).
Meningkatkan o perational excellence , meningkatkan daya saing, mengembangkan kapabilitas best-in-class dalam industrinya.
Mempercepat pengembangan bisnis saat ini dan bisnis baru.
Meningkatkan fleksibilitas partnership dan pendanaan.
Memperbaharui organisasi, talenta dan mindset selaras dengan sebuah perusahaan energi world-class .
Memenuhi mandat lokomotif pengembangan sosial guna mencapai kedaulatan energi. Praktis dengan struktur organisasi Holding Pertamina yang baru ini maka PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami perubahan sangat fundamental dari Operation Holding menjadi Investment Holding yang sama sekali tanpa melakukan kegiatan operasi apapun. 49 Konsultan yang dipercaya oleh PT. Pertamina (Persero) dalam proses pendirian Holding Pertamina dan pembentukan Subholding-Subholding yang berada dalam struktur Holding Pertamina adalah PricewaterhouseCoopers (PwC), sebuah Konsultan Management/Akuntan Publik Amerika. Untuk pembuatan kajian hukum maka kajian tersebut dibuat oleh Melli Darsa & Co., Advocates and Legal Consultants Indonesia yang berafiliasi dengan PwC. PwC terlibat sejak persiapan hingga proses pembentukan subholding, bahkan masih terlibat dalam proses sosialiasi dan pengorganisasian subholding hingga sekarang ini. C. ISU HUKUM Berdasarkan peta kasus serta akibat hukum dan bisnis yang dimungkinkan dari pembentukan Subholding-Subholding Pertamina sebagaimana diuraikan diatas, maka issu hukum yang perlu untuk dicermati dalam kaitannya dengan uji materi Pasal 77 huruf c dan huruf d dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bagaimanakah hakikat dan prinsip “Dikuasai Negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 apabila dikaitkan dengan tujuan PT Pertamina (Persero) sebagai Perusahaan BUMN? 2. Apakah hakikat yang mendasari diberlakukannya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bila dikaitkan dengan kedudukan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang mengelola sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk sebesar-besarnya kemamumaran rakyat sebagaimana yang diamanahkan di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 4. Apakah pembentukan subholding-subholding yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) tersebut sesuai dan sejalan dengan amanah UUD 1945 yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945? 50 D. PENDAPAT HUKUM/KETERANGAN AHLI D.1 Hakikat Prinsip “Dikuasai Negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikaitkan dengan tujuan PT Pertamina (Persero) sebagai Perusahaan BUMN Tafsir terhadap prinsip “penguasaan oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 pertama kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 001-021- 022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan a quo , frasa “dikuasai oleh negara” diterjemahkan melalui uraian sebagai berikut: “Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang undang dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazimnya di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan 51 sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, pengertian “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara untuk mengatur perekonomian saja. Dengan demikian, baik pandangan yang mengartikan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak oleh Mahkamah. Argumentasi tersebut menunjukkan bahwa pengertian dalam frasa “penguasaan oleh negara” merupakan konsepsi hukum publik. Konsepsi ini terkait dengan prinsip daulat rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Bila, pengertian “dikuasai oleh negara” hanya dimaknai sebagai kepemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, terlebih lagi “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap frasa ini. Lebih lanjut, berikut penjelasan MK terhadap prinsip penguasaan oleh negara. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan Tindakan pengurusan (bestuursdaad),pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk __ tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perkembangan selanjutnya terkait dengan prinsip “penguasaan oleh negara” dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi merumuskan bahwa untuk mewujudkan tujuan penguasaan negara yaitu “sebesar- besarya kemakmuran rakyat”, jika keempat bentuk penguasaan oleh negara tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, maka harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 52 Menurut Mahkamah Konstitusi, bentuk “penguasaan oleh negara” diberi peringkat berdasarkan kemampuan negara menghadirkan kemakmuran rakyat. Peringkat pertama dan yang paling penting dari bentuk penguasaan oleh negara adalah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan guna mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun peringkat terakhir dari bentuk penguasaan negara adalah negara melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan. Dari konstruksi pemaknaan secara berjenjang tersebut, memperlihatkan upaya Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 secara komprehensif, sehingga tujuan penguasaan negara, “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dapat termanifestasikan dengan baik. Dalam kaitannya dengan tujuan PT. Pertamina (Persero) sebagai perusahaan BUMN, maka dapat dikatakan bahwa prinsip “penguasaan negara” dalam peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam minyak dan gas bumi (serta sumber daya energi lainnya) dilakukan dan/atau diwakili oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara. Agar pengelolaan minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya dapat memberikan konstribusi bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanahkan di dalam UUD-1945 dan sesuai dengan tafsir prinsip “penguasaan negara” atas sumber daya alam yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, maka pengelolaan minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai wakil negara dalam kapasitas negara sebagai Iure Gestionis (negara sebagai entrepreneur ) haruslah diarahkan untuk memberikan pendapatan yang optimal bagi negara dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu mengupayakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Pada hakikatnya pendirian PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara secara konstitusional merupakan perwujudan dari pelaksanaan fungsi negara dalam pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengelolaan sumber daya alam di bidang minyak dan gas bumi serta sumber energi lainnya, maka PT. Pertamina (Persero) harus dapat menjadi “ agent of development” di satu sisi, dan di sisi lain 53 juga harus menjadi “ agent of profit ” bagi negara. Hal ini sesuai dengan tujuan pendirian badan usaha milik negara dalam bentuk persero yang di atur di dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang menegaskan sebagai berikut: _Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah: _ a. menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing _kuat; _ b. mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan tujuan pendirian Badan Usaha Milik Negara dalam bentuk Persero sebagaimana yang ditegaskan di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, maka sebagai konsekuensi logis adalah PT. Pertamina (Persero) dituntut untuk dapat memberikan konstribusi keuntungan yang maksimal sebagai salah satu sumber pendapatan Negara. Untuk itu, setiap kebijakan yang dilakukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) yang berpotensi untuk mengurangi dan/atau menghilangkan keuntungan yang dapat diperoleh PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN merupakan kebijakan yang bertentangan dengan amanah konstitusi (UUD-1945) dan melanggar prinsip “penguasaan negara” atas sumber daya alam sesuai dengan tafsir yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Demikian pula kebijakan Direksi PT. Pertamina (Persero) yang menghilangkan dan/atau mengurangi otoritas dan/atau posisi dominan negara dalam menentukan arah kebijakan dalam proses pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya merupakan suatu kebijakan yang bertentangan dengan UUD-1945. D.2 Hakikat yang Terkandung di dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara bila dikaitkan dengan kedudukan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur sebagai berikut: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan _dan keamanan negara; _ 54 c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Hakikat yang terkandung di dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang- Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dikemukakan di atas menurut pendapat ahli merupakan pelembagaan kembali adanya kehendak negara untuk menjabarkan prinsip “dikuasai negara” yang terdapat pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD-1945 terhadap pengelolaan negara atas sumber daya alam. Dalam kaitan ini, negara menyadari bahwa Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, serta Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, sejatinya merupakan penjabaran dari adanya fungsi dan peran negara untuk merealisasikan prinsip “penguasaan negara” terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana yang diamanahkan di dalam UUD-1945. Untuk itulah BUMN dalam bentuk Persero yang menjalankan kegiatan yang termasuk dalam muatan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dilarang untuk diprivatisasi, karena negara hendak menjalankan amanah untuk mewujudkan prinsip “penguasaan negara” demi untuk mencapai sebesar- besar kemakmuran rakyat. Adanya larangan untuk melakukan privatisasi terhadap Persero tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, menurut pendapat ahli mengandung maksud agar Persero yang menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN tersebut dapat melakukan pengelolaan sumber daya alam sepenunya secara optimal agar dapat memberikan konstribusi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, Persero tersebut dituntut untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam secara efisien dan efektif untuk memperoleh keuntungan optimal yang dimungkinkan dalam pengelolaan sumber daya alam yang pada analisis akhir akan berkonstribusi untuk meningkatkan pendapatan negara. 55 PT. Pertamina (Persero) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) yang menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, secara mutatis mutandis merupakan Persero yang tidak dapat dilakukan privatisasi. Oleh karena itu, dalam menjalankan kegiatannya dituntut untuk mendapatkan keuntungan sehingga kebijakan yang dilakukan oleh Direksi haruslah diarahkan pada kebijakan yang mendorong terjadinya maksimalisasi produksi untuk meningkatkan keuntungan perusahaan yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sebagai konsekuensi dari adanya tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan sebagaimana yang diatur di __ dalam Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, maka kebijakan Direksi PT. Pertamina (Persero) yang membangun dan/atau mendirikan Subholding-Subholding Pertamina dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) yang secara kelembagaan menjadi badan hukum yang terpisah dari PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN, maka kebijakan tersebut berpotensi mengurangi dan/atau menghilangkan keuntungan bagi PT. Pertamina (Persero) sebagai representasi negara dalam menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat, dan sekaligus mengurangi posisi “penguasaan negara” atas pengelolaan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. D.3 Perlindungan Hukum terhadap PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang Mengelola Sumber Daya Alam yang Menguasai Hajat Hidup Orang Banyak Di dalam Pembukaan UUD-1945 ditegaskan bahwa salah satu tujuan dari pembentukan Negara Republik Indonesia adalah “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpa darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum” . Tujuan ini mengharuskan negara yang diwakili oleh __ pemerintah harus menyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat serta melakukan penguasaan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang. 56 Oleh karena minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka cabang produksi minyak dan gas bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara. Untuk itu, pengelolaan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara menjadi sangat krusial dan strategis, sehingga negara wajib untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi yang diselenggarakan oleh PT. Pertamina (Persero). Kedudukan PT. Pertamina (Persero) dalam pengusahaan dan/atau pengelolaan minyak dan gas bumi pada hakikatnya adalah perwujudan dari adanya peran negara sebagai “entrepreneur” yang menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan tujuan negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, berdasarkan tafsir tentang prinsip “penguasaan negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD-1945 yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, maka makna penguasaan negara tersebut harus lebih diutamakan pada Tindakan negara dalam melakukan pengelolaan untuk mewujudkan kemakmuran dan/atau kesejahteraan rakyat. Bung Hatta dalam beberapa buku dan pidatonya mengemukakan bahwa bangunan ekonomi Indonesia diformasikan seperti Piramida yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) pelaku utama ekonomi Indonesia yaitu: Negara, Swasta, dan Koperasi. Menurutnya, Negara membangun dari atas ke bawah, Koperasi membangun dari bawah ke atas, sedangkan Swasta melakukan pembangunan di medan pertengahan. Negara dalam melakukan pembangunan ekonomi dapat diwakilkan kepada BUMN dan BUMD dan melakukan pembangunan untuk bidang- bidang ekonomi yang besar-besar, khususnya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena kedudukan BUMN merupakan wakil negara dalam kapasitasnya sebagai “ Iure Gestionis ” atau negara sebagai pelaku bisnis (sesuai dengan fungsi dan peran negara sebagai “ entrepreneur” berdasarkan Mix Economic Theory yang dikemukakan oleh Wolfgang Friedman), maka kedudukan PT. Pertamina (Persero) sebagai salah satu BUMN yang menyelenggarakan pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi wajib untuk mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Perlakuan khusus tersebut termanifestasikan dalam bentuk ketentuan hukum tentang adanya larangan untuk melakukan privatisasi terhadap Persero yang mengelola sumber daya alam tertentu. 57 Perlakuan khusus ( special treatment ) Pemerintah atas PT. Pertamina (Persero) merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemerintah agar cabang produksi yang dikelola dan/atau dijalankan oleh PT. Pertamina (Persero) dapat secara maksimal memberikan konstribusi pendapat yang optimal bagi negara sehingga Pemerintah dapat merealisasikan amanat untuk mensejahterakan rakyat sesuai dengan UUD-1945. Untuk itu, negara harus mempertahankan posisi dominan yang dimilikinya dalam mengarahkan kebijakan direksi PT. Pertamina (Persero). Menurut pandangan ahli, salah satu wujud dari upaya mempertahankan posisi dominan negara sesuai dengan prinsip “penguasaan negara atas sumber daya alam” berdasarkan UUD-1945 adalah menjaga dan mempertahankan keutuhan pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi secara terintegrasi yang selama ini dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero), serta mencegah terjadinya praktik pemecahan/pemisahan pengelolaan minyak dan gas bumi ( unbundling ) sehingga pengelolaan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) tidak lagi secara terintegrasi dan membuka ruang bagi timbulnya kerugian dan/atau berkurangnya pendapatan negara yang diperoleh dari keuntungan PT. Pertamina (Persero). D.4 Pembentukan Subhold ing-Subholding yang Dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) Tidak Sejalan dengan Amanah UUD 1945 dan Hakikat Prinsip Penguasaan Negara yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD-1945 Jimly Asshiddiqie menjelaskan terdapat 12 prinsip pokok negara hukum, yang salah satunya adalah negara hukum berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat ), sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: “Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita- cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar „rule-driven‟, melainkan tetap „mission driven‟, tetapi „mission driven‟ yang tetap didasarkan atas aturan.” 58 (sumber: http: //www.jimly.com/pemikiran/view/11 ) Berkaitan dengan Negara Kesejahteraan, maka menurut Bagir Manan selain menjaga keamanan dan ketertiban juga sebagai pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan ciri Negara hukum kesejahteraan menurut Bachsan Mustafa adalah:
Corak Negara adalah Welfare State yaitu Negara yang mengutamakan kepentingan rakyat;
Negara ikut campur dalam semua lapangan kehidupan masyarakat;
Ekonomi liberal telah diganti dengan sistem ekonomi yang lebih dipimpin oleh pemerintah pusat tugas dari welfare state yaitu menyelenggarakan kepentingan umum;
Tugas Negara adalah menjaga keamanan dalam arti luas, yaitu keamanan di segala lapangan kehidupan masyarakat Jika kita melihat substansi yang terkandung di dalam Pembukaan UUD-1945 dan Batang Tubuhnya, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai Negara Hukum yang bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan negara dalam memajukan kesejahteraan umum, maka menurut hukum internasional negara memiliki kedaulatan permanen terhadap sumber daya alamnya ( permanent sovereignty over natural resources ). Masyarakat Internasional mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan permanen terhadap sumberdaya alamnya. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Nomor 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962, secara tegas memberikan kedaulatan permanen terhadap negara atas sumberdaya alamnya. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diamanatkan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh karena kedudukan “pengelolaan minyak dan gas bumi” sebagai wujud dari peran negara dalam pengusahaan atas sumber daya alam, maka hal tersebut 59 menjadi salah satu atribut kedaulatan negara ( permanent sovereignty over natural resources ), maka secara mutatis mutandis sesuai dengan hakikat dari suatu __ kedaulatan negara, pengelolaan minyak dan gas bumi tersebut menjadi bersifat tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi . Sehingga pengelolaannya __ oleh PT. Pertamina (Persero) harus dilakukan secara terintegrasi mulai dari sector hulu hingga hilir agar hakikat kedaulatan negara terhadap sumber daya alamnya tetap terjaga dan negara dapat dengan mudah mengarahkan kebijakan BUMN kearah penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Kebijakan Direksi yang telah melakukan pembentukan Subholding Hulu yaitu dengan memposisikan PT PHE menjadi Holding (Induk Perusahaan) dari PT. Pertamina EP (PEP), PT Pertamina EP Cepu (PEPC), PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), yang selama ini posisi PEP, PEPC, PHI dan PHR langsung dibawah Direktur Hulu Pertamina sehingga secara langsung berada dalam pengendalian langsung dari PT Pertamina (Persero), kini pembentukan Sub-Holding PT PHE telah memutus posisi dominan dan/atau pengendalian secara langsung PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN terhadap PT Pertamina EP (PEP), PT Pertamina EP Cepu (PEPC), PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang telah menjadi anak perusahaan dari PT PHE. Struktur Subholding PHE seperti ini membuka peluang terjadinya go public ( initial public offering-IPO ) atas anak-anak perusahaan tersebut. Praktik pembentukan Subholding ini jelas menjadi strategi untuk menghindarkan larangan privatisasi PT. Pertamina (Persero) sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Demikian pula pembentukan Subholding Refinery & Petrochemical PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan Subholding Pemasaran PT Pertamina Patra Niaga (Patra Niaga), telah mendudukan PT KPI sebagai Subholding Kilang dan PT Patra Niaga sebagai Subholding pemasaran dan trading yang dulunya dijalankan oleh Direktorat Pengolahan dan Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia dari PT Pertamina (Persero). Hal ini berpotensi menimbulkan kerawanan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi yang diamanahkan negara kepada PT. Pertamina (Persero) sebagai representasi negara dalam menjalankan fungsi negara sebagai “ enterpreneur ” untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD-1945. 60 Pembentukan Patra Niaga sebagai Subholding Pemasaran ( Commercial & Trading ) yang menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 3 Direktorat __ dalam struktur organisasi PT Pertamina (Persero) yaitu Direktorat Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur, yang sebelumnya berasal dari 1 Direktorat yang bernama Direktorat Pemasaran & Niaga secara praktis telah menghilangkan fungsi “penguasaan negara” atas pengelolaan sektor hilir minyak dan gas bumi yang selama ini berada dalam struktur PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN sehingga negara masih dapat melakukan kontrol secara langsung terhadap kebijakan bisnis retail atas minyak dan gas bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Potensi kerawanan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi yang dapat menimbulkan kesulitan bagi negara ke depannya dapat dikemukakan contoh sebagai berikut: Subholding Refinery & Petrochemical (KPI) menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Subholding Commercial & Trading/Pemasaran yaitu PT Patra Niaga yang tentunya harus menjual BBM dengan harga pasar. Oleh karena PT KPI dikenakan pajak penjualan maka tidak mungkin PT KPI menjual produk dibawah harga keekonomian sehingga akan berpengaruh juga pada harga jual BBM yang dijual oleh PT Patra Niaga kepada masyarakat sebagai konsekuensi bisnis yang harus mengambil keuntungan. Kondisi tersebut membuka peluang bagi PT Patra Niaga untuk melakukan Impor BBM supaya dapat harga lebih murah, dari pada membeli ke PT KPI dengan harga mahal. Demikian pula jika harga crude oil produk Subholding Hulu (PT PHE) mahal maka PT KPI tidak akan membeli crude oil ke PT PHE atau anak perusahaannya, cukup impor saja crude yang lebih murah yang dapat mengakibatkan kilang milik PT KPI yang jadi asset terbesar PT Pertamina (Persero) selama ini menjadi nganggur dan tidak dapat berproduksi. Selain itu, PT KPI terbebani pembangunan proyek kilang yang luar biasa besarnya (cost center) sehingga berkonsekuensi pada kinerja keuangan PT KPI yang dapat dipastikan mengalami kesulitan sehingga keinginan untuk membangun kemitraan dan/atau kerja sama dalam pembangunan kilang akan mengalami hambatan. Sangat berbeda jikalau produksi dan pemasaran masih berada dalam satu body/entitas seperti dulu di Holding PT Pertamina (Persero) maka akan lebih mudah untuk mencari mitra kerja sama dalam proses pembangunan kilang. Dengan demikian pembentukan subholding Pertamina ini sangat jelas mempermainkan masa depan 61 PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang berada dalam pengendalian langsung oleh negara. Sehubungan dengan substansi Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menegaskan hanya Perusahaan Persero saja yang tidak dapat privatisasi (dalam hal ini hanya PT. Pertamina (Persero) saja yang tidak dapat diprivatisasi), sedangkan pasal tersebut tidak mengatur larangan privatisasi terhadap anak perusahaan (subholding- subholding Pertamina yang berbentuk Perseroan Terbatas dan bukan BUMN Persero) maka jelaslah pembentukan Subholding-Subholding yang dilakukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
Negara kehilangan status BUMN pada Subholding dan anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai Persero atau BUMN sehingga membuka peluang untuk melakukan initial public offering ( go public ) karena tidak dilarang berdasarkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Dengan status hukum bukan sebagai Persero (BUMN) karena sahamnya tidak lagi dimiliki oleh Negara, maka Subholding dan anak-anak perusahaan yang dibentuk tidak lagi berada dalam kekuasaan dan kontrol negara secara langsung, sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi kehilangan kompetensinya untuk melakukan pemeriksaan terhadap Subholding dan anak- anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai BUMN.
Dengan tidak adanya saham negara pada Subholding dan anak-anak perusahaannya yang dibentuk maka pengelolaan minyak dan gas bumi sebagai cabang produksi yang penting bagi negara menjadi tidak sepenuhnya berada dalam kekuasaan negara (negara kehilangan control langsung). Hal ini tidak sesuai dengan amanat yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan menjadikan kedaulatan energi nasional menjadi terancam.
Pembentukan Subholding dan anak-anak perusahaan menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN, karena Subholding dan Anak-Anak Perusahaan yang dibentuk sebenarnya merupakan praktik “Unbundling” terhadap PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang secara konstitusional diamanahkan untuk menjalankan 62 fungsi “enterpreneur” dari negara dalam kapasitas sebagai negara hukum yang bertanaggungjawab untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Dengan adanya pembentukan Subholding dan anak-anak perusahaan maka berkonsekuensi pada kualitas hidup dan kesejahteraan bagi Pegawai atau karyawan PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin karena negara menjadi kehilangan kontrol langsung atas Subholding dan anak-anak perusahannya sebagai konsekuensi negara tidak lagi sebagai pemegang saham pada Subholding dan anak-anak perusahaannya.
Sumber daya minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat berpotensi tidak terwujud, karena dengan pembentukan Subholding beserta anak-anak perusahaan dari Subholding Pertamina maka minyak dan gas bumi menjadi dikelola oleh Subholding dan anak-anak perusahaan yang tidak berstatus sebagai Persero (BUMN). Hal ini telah meniadakan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah sebagai penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. 7. Bahwa penerapan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara berpotensi meniadakan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah sebagai penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, __ serta berpotensi menimbulkan kerugian __ yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila frasa “ Persero” tidak diartikan sebagai keseluruhan entity perusahaan yaitu “Persero beserta Anak Perusahaan Persero” sehingga dapat menyebabkan Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat __ yang tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. E . PENUTUP Demikian pokok-pokok pikiran ini dibuat untuk memenuhi permintaan kuasa hukum pemohon uji materi Pasal 77 hurut c dan huruf d Undang-Undang 63 Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Semoga pokok-pokok pikiran ini dapat menjadi bahan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Semoha Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk menegakkan amanah UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc. Acuan konstitusi dari tata kelola migas berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dari sisi hulu bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya cadangan minyak dan gas yang ada di perut bumi harus dikuasai negara dan dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi hilir, cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ahli berpendapat sektor migas ini sangat penting, sehingga diatur oleh Konstitusi dari hulu sampai hilir, karena kekayaan alam lainnya tidak ada yang diatur dari hulu sampai hilir. Karena itu struktur pengelolaannya harus dalam struktur teori ekonomi mikro sebagai bentuk monopoli alamiah. Monopoli alamiah jauh lebih efisien daripada bentuk struktur persaingan pasar. Hal ini karena yang hendak dipenuhi adalah adalah kebutuhan bahan bakar minyak seluruh rakyat Indonesia, sehingga skalanya sangat besar. Berbeda dengan air yang bersifat renewable , tapi minyak nonrenewable , sehingga harus dikuasai negara dari hulu ke hilir. Selain itu juga harus ada pengaturan mengenai cadangan minyak di perut bumi yang dimiliki oleh negara. Sektor hulu artinya mencari dan menghasilkan minyak mendah, mengeksplorasi, dan eksploitasi. Lalu minyak mentah dialirkan ke kilang minyak, untuk diubah menyadi BBM, untuk selanjutnya dialirkan dan diangkut sampai ke SPBU, sampai ke konsumen akhir. Oleh karena itu makna Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) ini harus terintegrasi, menyatu di bawah satu perusahaan dari hulu sampai hilir, sehingga memperkecil biaya. Jika penguasaan minyak dalam satu perusahaan dari hulu ke hilir maka akan mudah untuk melakukan proses dari hulu ke hilir. Sedangkan jika perusahaan minya unbundling , berbeda perusahaan, dari hulu sampai ke hilir maka dari hulu ke hilir 64 harus ada trust action cost , atau biaya antar segmen, berapa harga minyak mentah dan sebagainya. Dengan perusahaan minyak yang terintegrasi maka tidak ada biaya segmen hulu dan hilir, sehingga perusahaan negara yang mengelola migas statusnya menjadi natural monopoly . Di mana natural monopoly sangat efisien sehingga memaksimumkan pengelolaan migas sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam rangka menglola migas bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, negara harus membentuk perusahaan negara, sehingga penguasaan migas ada di tangan pemerintah. Pertamina yang terintegrasi secara vertical dan economies of skill sangat besar, apapun statusnya holding, subholdinng, atau cucu perusahaan, tetapi mengelola hulu-hilir sesuai amanah konstitusi sehingga menjadi natural monopoly . Konsep monopoli demikian bukan berarti perusahaan asing dan nasional tidak boleh masuk berinvestasi dan berkontrak dengan pertamina. Namun Pertamina mewakili negara memegang kuasa pertambangan. Dengan konsep ini seluruh Indonesia yang berhak menambang migas hanya negara. Investor bisa datang membawa dana untuk mencari minyak tapi dia berkontrak dengan perusahan negara yaitu Pertamina. Diakui di dunia bahwa Indonesia sebagai negara paling efisien dalam menarik investasi migas dan ditiru oleh banyak negara. Namun sejak UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas disahkan atas desakan IMF, sistem yang telah ada menjadi rusak. Kuasa pertambangan dari Pertamina dipindahkan ke pemerintah/ESDM. Lalu pemerintah yang berkontrak dengan investor. Pemerintah menjadi sejajar menempatkan diri dengan perusahaan asing dan swasta nasional. Punya hak dankewajiban yang sama dalam kontrak. Izin untuk implementasi dan contradicted sharing contract oleh para kontraktor izinnya diurus sendiri-sendiri. Akibatnya setelah UU Migas disahkan, investasi eksplorasi anjlok, tidak ada penimbun cadangan baru. Produksi hanya mengandalkan lapangan tua dari gudang ke gudang. UU Migas selama 20 tahun telah menyebabkan industry migas nasional menjadi terpuruk. Pertamina tidak lagi dihargai di dunia migas internasional. Sebelum UU Migas disahkan Pertamina yang memegang kuasa pertambangan tidak membutuhkan uang satu sen pun dari APBN, pembiayaan untuk membangun LNG Plant di Arun dan LNG Plant di Bontang dibiayai oleh bank karena memang pertamina dipercaya. 65 Pertamina meskipun dalam bentuk PT (Persero) tetap diberikan tugas oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional. Namun menurut ahli alasan privatisasi agar Pertamina bisa mendapat sumber pendanaan adalah alasan yang tidak tepat karena Pertamina bisa membuat sumber pendanaan dengan dana mulus dari bank-bank internasional jika pertamina memegang kuasa pertambangan. Privatisasi anak perusahaan Pertamina adalah salah Langkah, karena walaupun statusnya subholding namun tetap dia mencari dan memproduksi minyak mentah kekayaan perut bumi yang seharusnya dikuasai negara untuk memenuhi kebutuhan BBM. Jika ada kepemilikan saham oleh siapa pun dalam bentuk anak perusahaan tetapi substansinya adalah mengusahakan hulu sampai hilir migas maka berpotensi mengurangi penerimaan negara yang berasal dari keuntungan perusahaan minyak sehingga menyebabkan tidak tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi natural monopoly akan dirusak jika Pertamina substansi pekerjaan usahanya diprivatisasi baik hulu, tengah maupun hilir. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya Pertamina sebagai natural monopoly . Karena itu status monopoli alamiah Pertamina dalam mengelola kekayaan hulu sampai ke cabang produksi penting BBM tidak boleh dijual tidak boleh diprivatisasi. Ahli menghimbau pemerintah untuk tidak menjual asset negara dalam bentuk saham-saham yang perusasahaan yang mengelola kekayaan migas dari hulu sampai hilir. Larangan terhadap privatisasi untuk perusahaan yang mengurus migas nasional, larangan dua-duanya, baik dalam status sebagai PT Persero ataupun sebagai anak perusahaan atau sebagau induk persudahaan. Ahli melihat pemerintah memiliki strategi untuk meloloskan privatisasinya dengan mengubah PT Persero yang ada itu, dengan anak perusahaan, jadi holding menjadi subholding. Menurut ahli hal ini tidak benar karena pada akhirnya akan memprivatisasi kegiatan dari hulu sampai ke hilir industry migas nasional yang menurut Konstitusi seharusnya dikuasai oleh negara. Menurut Ahli jika Pertamina diprivatisasi siapa yang akan memenuhi keutuhan BBM masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Jika Pertamina diprivatisasi maka stakeholder pemilik perusahaan akan keberatan jika ada kerugian yang terjadi seperti BBM satu harga seperti yang saat ini diterapkan. Monopoli alami yang terjadi sebelum UU migas di sektor hulu adalah dengan tetap mengundang investor, namun tetap melalui Pertamina sebagai pemegang 66 kuasa pertambangan. Sedangkan di sisi hilir pemerintah mengeluarkan kebijakan harga meskipun siapapun bisa membuka SPBU. Harga BBM adalah kewenangan pemerintah bukan Pertamina. Jika ada perbaikan UU, Ahli menyarankan agar dihidupkan lagi kuasa pertambangan, karena sistem perijinan tidak perlu berbelit-belit. Kembalikan kuasa pertambangan ke tangan Pertamina, BP Migas yang sekarang menjadi SKK Migas. Ahli setuju dilakukan IPO sepanjang niatnya baik, jadi perusahaan tidak dijual tapi IPO, tetap ada kewajiban-kewajiban perusahaan IPO yang harus dilakukan, mengeluarkan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan pasar modal. Hal ini justru bisa menghindari Pertamina dari ajang korupsi.
Gunawan Pertamina (Persero) adalah perwujudan dari pengertian pengelolaan secara langsung dari penguasaan negara dalam cabang produksi minyak dan gas sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi. Disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 36/PUU-X/2012 bahwa: Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menimbang bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara, jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. 67 Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Dari pengertian pengelolaan secara langsung sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, yang perlu digarisbawahi yaitu: Pertama , tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai __ instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi. Kedua . Kepemilikan saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut __ cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga . bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling __ penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Keempat . Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil __ dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. PT Pertamina (Persero) adalah bentuk dari pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas dalam pengelolaan cabang produksi minyak dan gas bumi PT Pertamina (Persero) dalam kenyataan sejarah dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di Indonesia, bergerak dalam 68 usaha minyak dan gas bumi sejak eksplorasi, dan eksploitasi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, hingga penjualan atau niaga. Pertamina dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1968 tentang Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Nasional (P.N. Pertamina). Pertamina merupakan peleburan dari Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia dan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 kemudian memberikan landasan kerja baru guna meningkatkan kemampuan dan menjamin usaha-usaha lebih lanjut bagi Pertamina. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pertamina menjadi Perseroan. Berdasarkan Pasal 72 (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), restrukturisasi perusahaan BUMN dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional. Adapun salah satu tujuan restrukturisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 72 (2) d UU BUMN adalah memudahkan pelaksanaan privatisasi. Pasal 77 UU BUMN telah memberikan batasan BUMN yang tidak dapat diprivatisasi. Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi Pertamina (Persero) adalah BUMN yang memenuhi kriteria tidak dapat diprivatisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU BUMN. Pertama , Pertamina (Persero), bergerak di sektor usaha minyak dan gas bumi __ yang memiliki kaitan dengan pertahanan dan keamanan negara; 69 Kedua , Pertamina (Persero) bergerak di sektor tertentu yaitu minyak dan gas __ bumi, yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan pertambangan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yaitu jaminan dari pemerintah dalam hal ketersediaan dan jaminan harga minyak dan gas bumi yang tidak berdasarkan mekanisme pasar; Ketiga , Pertamina (Persero) bergerak di bidang usaha sumber daya alam __ minyak dan gas bumi yang secara tegas berdasarkan UU Migas harus di bawah Penguasaan Negara melalui pengelolaan secara langsung. Pertamina (Persero) bergerak dari hulu dan hilir usaha minyak dan gas bumi secara terintegrasi. Oleh karenanya pembatasan privatisasi tidak hanya di BUMN Persero, tapi juga di anak perusahaan persero yang bergerak di hulu dan hilir usaha minyak dan gas bumi. Sebagai BUMN, Pertamina (Persero), bergerak secara terintegrasi dari hulu ke hilir usaha minyak dan gas bumi, hal tersebut mempersyaratkan bahwa pembentukan holding dan sub holding Pertamina (Persero) tidak boleh menjadikan usaha minyak dan gas bumi yang dilakukan Pertamina (Persero) menjadi sistem usaha minyak dan gas bumi yang terpisah sehingga potensial menghambat tujuan dari penguasaan negara atas minyak dan gas bumi. Oleh karenanya pembatasan privatisasi tidak hanya di BUMN Persero, tapi juga di anak perusahaan persero. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Undang-Undang Ketenagalistrikan (Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dalam pengujian UU No. 20 Tahun 2002 dan Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dalam pengujian UU No. 30 Tahun 2009) menolak sistem unbundling dalam usaha ketenagalistrikan dan kaitannya dengan Perusahaan Listrik Negara (Pesero) sebagai BUMN. Dalam kasus usaha minyak dan gas bumi, serta kaitannya dengan Pertamina (Persero), bahwa upaya restrukturisasi Pertamina (Persero) melalui pembentukan holding dan subholding haruslah dicegah menjadi praktik unbundling dalam usaha minyak dan gas bumi. Pertamina lahir sebagai perusahaan negara dari peleburan perusahan-perusahan minyak nasional, sehingga menjadi ironi sejarah bila restrukturisasi Pertamina (Persero) justru malah melemahkan peran negara dan memecah Pertamina. 70 4. Dr. Marwan Batubara Pada prinsipnya kami mendukung upaya FSPPB melakukan JR terhadap Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 kepada MK. JR terhadap ketentuan UU tersebut perlu dan mendesak dilakukan terutama karena Pasal 77 huruf c dan UU BUMN No.19/2003 tidak cukup komprehensif menjelaskan bahwa anak-anak dan cucu perusahaan Pertamina termasuk dalam kategori badan usaha dalam lingkup sebuah BUMN yang dilarang diprivatisasi sesuai konstitusi. Di sisi lain, rencana privatsiasi anak-anak usaha Pertamina telah dinyatakan secara terbuka, baik oleh Menteri BUMN Erick Thohir maupun Dirut Pertamina Nicke Widyawati (12/6/2020). Rencana tesebut akan dijalankan oleh pemerintah dengan sangat confident, terutama karena yakin dapat memanfaatkan celah hukum yang “tersedia” dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003. Keyakinan bahkan semakin bertambah dengan menjadikan privatisasi PGN dan Elnusa sebagai rujukan. Padahal menurut hemat kami baik induk, anak maupun cucu perusahaan sebuah BUMN yang menjalankan fungsi penguasaan negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai Pasal 33 UUD 1945, merupakan satu kesatuan usaha yang tidak boleh diprivatisasi. Karena itu, upaya optimal perlu dilakukan agar ketentuan Pasal 77 huruf c dan d tersebut dapat diperjelas dan dirubah sedemikian rupa oleh MK, sehingga tidak menjadi multi tafsir dan diselewengkan oleh penyelenggara negara yang sangat bernafsu melakukan privatisasi anak-anak usaha Pertamina. MK perlu segera membuat keputusan agar rencana IPO oleh pemerintah yang melanggar konstitusi dan merugikan rakyat tersebut dapat segera dicegah dan dihentikan. Hal-hal yang menjadi argumentasi kita sebagai anak bangsa untuk menghambat rencana privatisasi tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan berikut.
Ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 Dikaitkan dengan PT Pertamina Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 berbunyi sebagai berikut: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ 71 (c). Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat; _ (d). Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi . Menurut Pasal 33 UUD 1945 Pertamina merupakan BUMN yang mendapat mandat dari negara untuk menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam (SDA), termasuk minyak, gas dan panas bumi, guna memperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dua aspek penting dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 adalah:
penguasaan negara, dan dengan penguasaan negara tersebut akan dicapai:
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejak berdirinya Pertamina pada Agustus 1968 dan diperkuat pula dengan dibentuknya UU No. 8/1971, bangsa dan pemerintah Indonesia sudah mengenal fungsi dan peran Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang mengelola bisnis sektor hilir minyak dan gas (migas) guna melayani kebutuhan publik atau masyarakat. Pada saat yang sama, Pertamina menjalankan pula fungsi dan peran sisi hulu migas guna mengeksploitasi SDA migas milik negara, agar bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai fungsi dan peran sebagai pengelola usaha hilir migas, maka tak dapat disangkal Pertamina merupakan organ negara berupa BUMN yang bertugas melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, sesuai Pasal 77 huruf c di atas, sangat jelas ditetapkan bahwa Pertamina tidak dapat diprivatisasi karena fungsinya menjalankan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, yakni kepentingan untuk memenuhi kebutuhan minyak/BBM dan gas. Pada sisi hulu, Pertamina berperan pula mengelola bisnis berupa kegiatan eksploitasi SDA migas negara. Tujuannya adalah agar dengan pengelolaan tersebut diperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 77 huruf (d) UU BUMN No.19/2003 dengan gamblang menyatakan BUMN-lah yang menjalankan kegiatan usaha di bidang SDA tersebut dan dilarang untuk diprivatisasi. Ada dua aspek konstitusional yang sangat penting dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN No.19/2003 yang mendesak diklarifikasi, yaitu kegiatan berkaitan 72 dengan a) kepentingan masyarakat dan b) kegiatan usaha SDA. Kedua aspek usaha tersebut memperoleh jaminan dan perlindungan khusus dalam konstitusi untuk dijalankan secara khusus pula tanpa boleh diprivatisasi. Artinya, sepanjang menyangkut kegiatan kepentingan masyarakat dan kegiatan pengelolaan SDA, maka hanya BUMN yang 100% sahamnya dimiliki negara-lah yang berhak melakukannya. Sepanjang objek dalam kedua kegiatan usaha di atas masih utuh berada dalam satu kesatuan usaha Pertamina sebagai induk, maka kami meyakini Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN No.19/2003 tidak bermasalah secara konstitusional. Namun jika sebagian dari objek kegiatan tersebut dipisahkan dari Pertamina untuk dijalankan oleh subjek badan usaha lain, maka Pasal 77 huruf c dan d harus dilengkapi dengan penjelasan atau dirubah sedemikian rupa agar tidak terjadi multi tafsir yang berujung pada pelanggaran terhadap konstitusi. Orientasi dan objek penting yang mendapat jaminan konstitusi untuk dikelola 100% oleh BUMN (artinya tidak boleh diprivatisasi) sebagai subjek adalah kegiatan kepentingan masyarakat dan kegiatan eksploitasi SDA. Subjek pengelola dan kedua objek kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Sepanjang menyangkut dua kegiatan kepentingan masyarakat dan eksploitasi SDA, maka pengelolanya hanyalah BUMN yang 100% sahamnya dimiliki nagara. Jika salah satu dari objek kegiatan tersebut melibatkan subjek yang bukan BUMN, maka dapat dinyatakan telah terjadi pelanggaran terhadap konstitusi, Pasal 33 UUD 1945. Sejalan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, demi optimasi dan efektivitas manajemen pengelolaan bisnis, Pertamina bisa saja melakukan perubahan organisasi, termasuk membentuk sejumlah sub-holding atau anak-anak usaha. Selama ini pun Pertamina telah memiliki puluhan anak-anak dan cucu-cucu usaha. Namun, perubahan dan pembentukan sub-holding tersebut harusnya bukan direkayasa dan dimaksudkan untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya rencana privatisasi. Apalagi jika hal tersebut dijalankan karena adanya motif perburuan rente dan dominasi oligarki pengusas-pengusaha. Karena itu, dapat dirangkum 2 hal penting. Pertama berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BMUN No. 19/2003 yang berlaku saat ini, karena subjek pelaku dan objek kegiatan dijamin oleh konstitusi sebagai satu kesatuan yang utuh, maka privatisasi anak atau cucu usaha tidak boleh dilakukan, karena 73 melanggar konstitusi. Kedua, guna mencegah moral hazard dan terjadinya privatisasi melalui IPO anak atau cucu usaha, maka MK dituntut untuk segera merubah atau memberi penjelasan tambahan atas Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No. 19/2003, guna melidungi dan mengamankan kepentingan rakyat memperoleh manfaat tersbesar dari kegiatan usaha yang dikelola oleh Pertamina.
Pembentukan Holding dan Subholding untuk Privatisasi Seperti diuraikan di atas, guna mencapai efisiensi, optimasi dan efektivitas sebagai induk Holding BUMN Migas, Pertamina dapat saja melakukan perubahan organisasi dan aksi-aksi korporasi, termasuk melakukan konsolidasi bisnis, divestasi, sinergi, strategic partnership , dan lain-lain. Dalam hal ini, langkah pembentukan sub-holding dan privatisasi dapat saja perlu dilakukan. Namun, sepanjang menyangkut core business yang merupakan bagian utama dari rantai bisnis Pertamina, aksi-aksi korporasi tersebut tetap dan harus berpegang kepada konstitusi. Pembentukan berbagai sub-holding dapat didukung guna mencapai target-target manajemen korporasi, tapi tidak untuk memenuhi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang ingin mendapat keuntungan bisnis dari rantai bisnis Pertamina melalui proses privatisasi atau IPO. Jika tujuan pembentukan sub-holding dilakukan untuk melapangkan jalan bagi terjadinya privatisasi anak-anak usaha Pertamina, terutama pada sektor kegiatan yang menyangkut kepentingan publik dan pengelolaan SDA, maka kami menyatakan penolakan. Alasan terpenting penolakan karena migas adalah sektor strategis menyangkut hidup rayat yang harus dikuasai negara melalui pengelolaan oleh BUMN seperti diuraikan pada Bagian 1 di atas. Hal ini bukan saja telah menjadi tekad dan amanat pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/2012 dan No. 85/2013. Alasan lain adalah bahwa para investor asing dan pengusaha liberal-kapitalis sangat berminat memperoleh manfaat besar dari sejumlah mata rantai bisnis sektor migas yang menguntungkan. Untuk itu, bekerjasama dengan oknum-oknum penguasa oligarkis, mereka biasanya menyiapkan kebijakan, aturan dan upaya sedemikian rupa, sehingga sebagian saham dari mata rantai bisnis yang menguntungkan tersebut dapat dikuasai. Caranya adalah melalui skema IPO seperti telah dicanangkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir untuk dapat terwujud dalam 2 tahun ke depan. 74 Kesimpulannya, sepanjang dilakukan untuk perbaikan pengeloaan dan peningkatan kinerja bisnis korporasi, kami dapat menerima pembentukan sub- holding oleh Pertamina. Namun, jika pembentukan sub-holding tersebut terutama dimaksudkan untuk membuka jalan bagi terwujudnya privatisasi anak-anak usaha yang eksistensinya diatur dan dijamin oleh Pasal 33 UUD 1945, maka kami dengan tegas menyatakan penolakan.
Perlindungan hukum terhadap Pertamina dalam Mengelola SDA Sesuai Pasal 33 UDD 1945 Pengaruh dan intervensi penguasa dan pihak asing sangat menentukan dalam pengelolaan sektor migas dan energi di Indonesia. Hal ini salah satunya dapat ditelusuri dari pembentukan perundang-undangan sektor tersebut sejak Indonesia merdeka hingga sekarang. Pengaruh tersebut tentu saja dirasakan dampaknya oleh Pertamina. Padahal agar Pertamina dapat mengelola sektor migas sesuai konstitusi, maka UU Migas baru harus segera ditetapkan. Salah satu peraturan yang dapat dianggap konsisten dengan Pasal 33 UUD 1945 adalah UU No. 8/1971 tentang Pertambangan Migas Negara. Namun karena adanya penyelewengan oleh oknum-oknum penyelenggara negara pada era orde baru, UU yang sudah baik tersebut tidak berjalan optimal. Di sisi lain, karena kuatnya kepentingan asing untuk dapat mengambil manfaat dari sektor migas nasional, UU No. 8/1971 merupakan salah satu dari sejumlah UU yang harus direvisi sebagai syarat dikucurkannya pinjaman IMF dan BD kepada pemerintah Indonesia menghadapi krisis moneter 1997-1998. Maka lahirlah UU Migas No. 22/2001 yang berisi ketentuan liberal dan pro swasta/asing dan tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945. Setelah Indonesia bebas dari kewajiban utang kepada IMF dan BD, terbuka kesempatan untuk melakukan revisi terhadap UU Migas No. 22/2001. Revisi ini menjadi semakin mendesak setelah ditetapkannya Putusan MK No. 36/2012 atas Judicial Review UU Migas No. 22/2001 pada awal 2012. Di sisi lain, sebelumnya sebagai salah satu rekomendasi Pansus BBM DPR RI (periode 2004-2009) adalah UU Migas pun harus direvisi. Karena itu, DPR pun telah menyiapkan draft RUU Migas pada tahun 2009. Ternyata setelah lebih dari 10 tahun, UU Migas baru pengganti UU No. 22/2001 tak kunjung ditetapkan. DPR sebagai initiator RUU Migas dan juga pemerintah, tidak 75 merasa penting untuk segera menyelesaikan RUU tersebut. Penyelenggara negara merasa telah cukup nyaman untuk tetap menggunakan UU Migas yang merupakan produk pro swasta/asing dan pro oligarki tersebut. Penyelenggara negara pun tidak merasa penting untuk melindungi Pertamina sebagai pengemban tugas konstitusional pengelolaan migas nasional melalui pembentukan UU Migas baru tersebut. Artinya, sebagai salah satu landasan hukum yang akan melindungi Pertamina menjalankan pengelolaan migas sesuai Pasal 33 UUD 1945 tampaknya justru terkendala oleh sikap DPR dan pemerintah yang lebih memilih kondisi status quo . Dengan demikian, agenda-agenda oligarkis yang bernuansa moral hazard dapat berjalan seperti biasa tanpa hambatan. Cara atau mekanisme lain yang dapat dilakukan untuk melindungi Pertamina mengemban tugas konstitusionalnya adalah dengan melakukan perbaikan dan meningkatkan penerapan prinsip good corporate governance (GCG). Seperti disampaikan oleh Erick Thohir pada 12 Juni 2020, IPO diperlukan untuk meraih governance yang lebih baik. Kata Erick, Pertamina perlu IPO-kan 1-2 sub-holding sebagai bagian dari transparansi dan kejelasan akuntabilitas. Namun kami yakin IPO bukan satu-satunya jalan untuk meraih GCG. Banyak cara meningkatkan GCG di Pertamina tanpa harus IPO. Salah satu yang terpenting adalah menjadikan Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). NPLC adalah pola dimana Pertamina menjadi perusahan terdaftar di bursa (BEI), namun tidak ada (1% pun) saham yang dijual. Dengan terdaftar di BEI, Pertamina menjadi perusahaan terbuka yang diawasi publik, namun pemilikan negara di Pertamina tetap 100%. Sehingga, BUMN dapat dikelola sesuai konstitusi, saham 100% milik negara, dan tanpa prospek negara menjadi minoritas seperti halnya terjadi pada privatisasi PT Indosat. Salah satu aspek penting dalam GCG adalah bagaimana mengendalikan dan mencegah intervensi pejabat pemerintah terhadap BUMN sebagaimana terjadi selama ini. Faktanya, selama ini Pertamina telah menjadi korban kebijakan pemerintah yang merugikan keuangan korporasi, misalnya terkait harga untuk kebijakan harga crude domestic , penerapan signature bonus Blok Rokan, kebijakan harga BBM, kebijakan subsids LPG 3kg, dan lain-lain. Terkait crude domestik, signature bonus dan lapangan migas luar negeri, Pertamina harus mengeluarkan dana bernilai triliun Rp, sebagai beban biaya operasi 76 “tambahan”. Sedangkan terkait harga BBM, sejak April 2017 hingga Desember 2019, Pertamina harus menanggung beban public service obligation (PSO) lebih dahulu sekitar Rp 95 triliun yang hingga Mei 2020 belum dilunasi. Akibat beban PSO, kondisi keuangan dan cash flow perusahaan terganggu, sehingga Pertamina harus menerbitkan obligasi. Akibat kebijakan pemerintah yang melanggar UU dan prinsip GCG di atas, minimal Pertamina harus menanggung beban:
biaya “tambahan” puluhan triliun Rp dan, (2) beban bunga obligasi akibat tugas PSO yang nilainya juga puluhan triliun Rp. Beban kerugian tersebut bisa bertambah jika credit rating Pertamina turun akibat pemerintah melanggar GCG. Bahkan Pertamina bisa mengalami gagal bayar atau default atas utang jatuh tempo tahun 2020 ini, jika pemerintah tidak segera melunasi piutang Pertamina tersebut. Artinya, yang lebih mendesak dilakukan adalah penegakan GCG oleh pajabat pemerintah dibanding IPO untuk perbaikan GCG. Terbukti, karena pejabat pemerintah bermasalah, meskipun telah menjadi perusahaan terbuka (telah IPO), GCG tetap dilanggar seperti pada kasus Laporan Keuangan Garuda 2018-2019, kasus Krakatau Steel atau kasus Jiwasraya. Seperti diungkap manajemen Pertamina pada RDPU dengan Komisi VII DPR (29/6/2020), Pertamina perlu melakukan IPO karena membutuhkan dana yang sangat besar. Namun di sisi lain, uraian di atas menunjukkan bahwa keuangan Pertamina bermasalah akibat kebijakan intervensi dan kesewenang-wenangan pemerintah. Artinya, jika akhirnya IPO terlaksana, maka salah sebab tergadainya sebagian saham milik negara di Pertamina adalah sikap pemerintah yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah, serta sekaligus melanggar UU yang berlaku dan prinsip-prinsip GCG. Jika kita kembali merujuk pernyataan Erick Thohir, maka IPO bukanlah cara yang tepat untuk meraih transparansi dan akuntabilitas. Bahkan melakukan IPO saja seperti diuraikan pada Bagian 1 dan Bagian 2 di atas, sudah merupakan pelanggaran konstitusi. Tetapi yang paling relevan dan mendesak untuk perbaikan GCG adalah menertibkan dan mengendalikan pejabat tertinggi di istana negara dan sejumlah menteri di beberapa kementrian yang justru membuat kebijakan bermasalah dan melanggar aturan, sehingga secara faktual telah merugikan negara 77 dan keuangan korporasi. Sejalan dengan itu, Erick pun perlu segera menjadikan Pertamina (juga PLN) sebagai non-listed public company . Sebagai rangkuman dapat dinyatakan bahwa guna melindungi Pertamina menjalankan tugas-tugasnya mengelola sektor migas nasional sesuai Pasal 33 UUD 1945, maka langkah terpenting dan mendesak adalah meminta pemerintah membuat kebijakan terhadap Pertamina yang pro rakyat, konsisten dengan peraturan, mematuhi prinsip-prinsip GCG, dan menghilangkan sikap otoriter semau gue yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah bagi kepentingan politik dan oligarki kekuasaan. Selanjutnya, DPR dan Pemerintah harus segera menuntaskan pembentukan UU Migas baru yang telah direncanakan sejak 2009 yang lalu, dimana salah aspek penting dalam UU baru tersebut adalah jaminan pengelolaan migas harus sesuai prinsip penguasaan negara sesuai konstitusi. Dalam hal ini UU Migas baru tersebut harus bersifat khusus, lex specialist terhadap Pertamina. Terakhir, karena mendesaknya aspek GCG, pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan khusus tentang peran dan fungsi Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). Prinsip-prinsip NPLC tersebut, kelak dapat pula dituangkan dalam UU Migas baru.
Rencana Unbundling Bisnis Pertamina Kami memahami secara umum ada beberapa tujuan sebuah perusahaan melakukan IPO, seperti: a) mendapatkan akses pendanaan murah, b) akses dana jangka panjang, c) memperoleh citra yang baik, d) meningkatkan nilai perusahaan dan e) memperoleh insentif pajak. Namun untuk itu, mata rantai dalam rantai bisnis atau anak usaha yang paling menguntungkanlah ( cream de la cream ) yang biasanya dijual terlebih dahulu. Jika dilihat dari sisi lain, seandainya profitabiitas dan prospek bisnis anak usaha yang akan dijual tersebut tidak jelas, tentu tidak akan ada investor yang berminat. Sebaliknya, dengan melepas atau “mempreteli” satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN/Pertamina sesuai skenario kapitalis-liberal, atau dikenal juga dengan istilah unbundling, maka lambat laun sebagian besar anak-anak usaha Pertamina yang profitable akan terjual. Sehingga Pertamina kelak hanya akan “menikmati” bisnis ampas yang kurang menguntungkan atau malah merugikan. Sedangkan keuntungan terbesar dari mata rantai bisnisnya kelak akan lebih dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal. 78 Padahal jika semua mata rantai dalam lini bisnisnya berjalan utuh secara “bundled”, maka seluruh keuntungan bisnis Pertamina akan dinikmati semua rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, Pertamina dapat pula melakukan fungsi- fungsi strategis negara secara optimal, terutama melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen. Dalam hal ini Pertamina dapat membangun infrastruktur dan menyediakan pelayanan ke seluruh wilayah negara guna mengurangi kesenjangan menuju pemerataan berkeadilan. Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro-asing pro-kapitalis- liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU asing/swasta berbisnis di kota-kota besar di Indonesia, sementara Pertamina wajib menyediakan BBM hingga pelosok negeri dengan beban biaya sangat besar. Dengan bisnisnya dibiarkan digerogoti asing, maka kemampuan Pertamina melakukan cross subsidy semakin berkurang, sehingga sebagian dana untuk penyediaan pelayanan tersebut malah harus ditanggung APBN. Kami tidak anti modal asing dan dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana/modal. Namun jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi, serta mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai “kualitatif”, maka hal tersebut harus ditolak. Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan proses IPO ikut diperhitungkan, maka keuntungan “kuantitatif” akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO pun justru akan sirna. Tegaknya kedaulatan, berjalannya konstitusi, terjaganya ketahanan energi dan meratanya pembangunan melalui cross-subsidy oleh BUMN yang dikelola tanpa IPO, tidak layak diperbandingkan dengan keuntungan akses dana murah yang diperoleh dari melakukan IPO. Keuntungan nilai dana murah yang diperoleh dari IPO sangat minim jika dibandingkan dengan besarnya manfaat strategis yang diperoleh jika BUMN dikelola sesuai konstitusi tanpa IPO. Salah faktor yang sangat merugikan adalah bahwa dengan IPO, profit yang dapat diraih akan berkurang sesuai berapa persen besar saham yang dijual. Faktor lain, sebagai pelaksana tugas perintisan dan pembangunan daerah, lambat laun BUMN akan kehilangan kemampuan cross-subsidy karena anak-anak usaha yang menguntungkan ( cream de la cream ) akan segera dijual, sehingga menyisakan anak-anak usaha yang kurang profitable . 79 Saksi Pemohon 1. drg. Ugan Gandar Bahwa PT. Pertamina (Persero) mendapatkan keistimewaan dari Negara untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu melalui penunjukan langsung. Bahwa syarat untuk mendapatkan wilayah kerja tersebut, salah satunya yang terpenting adalah saham PT. Pertamina ( Persero) harus 100% dimiliki oleh Negara. Bahwa apabila saham PT. Pertamina (Persero) tidak lagi 100% dimiliki oleh negara karena dilakukan Initial Public Offering (IPO), maka akan menghambat usaha PT Pertamina (Persero) untuk memperoleh wilayah kerja terbuka tertentu, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan: Ayat 4 Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT. Pertamina (Persero) sepanjang saham PT. Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. __ Ayat 5 PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan. __ Bahwa dengan PT. Pertamina ( Persero) menjadi prioritas untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu karena sahamnya 100% dimiliki oleh Negara, maka sudah seharusnya anak perusahaan PT. Pertamina Persero/Perusahaan Milik PT. Pertamina ( Persero ) yang ditunjuk Pertamina untuk mengelola wilayah kerja terbuka tertentu tersebut sahamnya harus 100% milik PT. Pertamina ( Persero) atau dengan kata lain harus tetap 100% dikuasai oleh Negara. Bahwa sudah sepatutnya Negara mengontrol 100% wilayah kerja yang dikelola oleh PT. Pertamina ( Persero ) maupun anak perusahaan/perusahaan milik PT. Pertamina ( Persero ) hasil dari penunjukkan langsung pada wilayah kerja tersebut. Bahwa hal tersebut tentunya berbeda apabila yang dijual hanyalah Participating Interest (PI) atas suatu ladang minyak dan gas hasil tunjuk langsung ke Pertamina, hal tersebut diperbolehkan dan sudah lazim dilakukan karena yang berkurang hanya 80 Partisipasing Interest-nya saja, bukan porsi kepemilikan saham dalam PT. Pertamina (Persero) maupun anak perusahaan milik PT. Pertamina Persero. Bahwa Saham perusahaan pengelola wilayah kerja hulu migas yang boleh dijual ke bursa itu hanya perusahaan yang mendapatkan wilayah kerja dari BP Migas / SKK Migas melalui prinsip-prinsip komersial /persaingan bebas.
KENAPA BISNIS PERTAMINA HARUS TERINTEGRASI Pertamina (Persero) adalah Perusahaan saat ini bisnisnya meliputi usahan minyak dari hulu sampai ke Hilir. Ada beberapa hal pentingnya kenapa Bisnis Pertamina ini harus terintegrasi dan tidak terpecah pecah. Antara lain:
Jika suatu saat ada krisis yang mengakibatkan harga minyak mentah jatuh maka jika pertamina ini menjadi satu kesatuan utuh maka akan sangat membantu untuk saling menutupi kerugian yang terjadi antar lini bisnis. Bisnis hulu rugi tetapi bisnis hilir untung sehingga saling menutupi.
Begitupun juga sebaliknya jika harga Crude naik dan karena kebijakan pemerintah yang tidak ingin rakyat indonesia semakin terbebani sehingga harga BBM harus ditahan tidak boleh naik maka Bisnis Hilir yang rugi tetapi bisnis Hulu yang untung. Sehingga bisa saling menutupi.
Akan sangat merugikan keuangan negara karena potensi jika Harga ICP lebih tinggi dibandingkan harga MOPS maka Refinery Pertamina (jika sudah IPO) tentunya akan memilih membeli Produk yang lebih murah.
Jika semua lini bisnis terpecah pecah seperti Hulu, Shipping, Pengolahan dan Pemasaran terpecah pecah dan saham sudah dikuasi oleh Swasta. Maka yang terjadi adalah setiap entitas tidak peduli dengan entitas lain. Hal ini akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan penyaluran energi ke pelosok negeri. Karena semuanya akan berusaha mengambil profit Contoh :
Dari Pemasaran akan berusaha hanya akan melayani daerah daerah yang dianggap profitable. Untuk daerah 3T yang secara feasibility tidak masuk tidak akan dilayani. Sehingga rawan mengakibatkan kerusuhan karena langkanya BBM. Atau tersedia BBM dengan harga yang cukup tinggi 2. Dari pemasaran hanya akan mengambil supply BBM dari supplier yang murah. Jika harga COGS Refinery yang sudah IPO lebih mahal dari 81 harga MOPS untuk landed Cost nya maka tentu produk Refinery akan ditinggalkan oleh Pertamina. Dan hal ini bisa mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi Refinery. Bisa Collaps. Dan Chain efeknya tentu akan sangat Besar. Bisnis Kilang Tutup, PHK Masal, Rekanan Bangkrut, dan Pengangguran massive akan terjadi.
Dari sisi refinery tentunya juga akan begitu hanya akan mencari Supplier Crude yang murah dan menguntungkan. Jika harga ICP lebih mahal dibandingkan harga Crude di pasaran luar negeri dan perhitungan landed cost sampai di Refinery lebih murah tentunya Crude Dalam negeri jadi tidak terserap dan pendapatan negara menjadi berkurang.
Dari sisi Perkapalan. Jika lini ini terpisah dan berdiri sendiri maka tentunya akan berusaha sebesar besarnya dan kurang mau take risk. Di cuaca yang sangat buruk dan diujung negeri ada lokasi yang BBM kritis karena Sense of Nasionalitynya sudah berkurang maka Bisnis Perkapalan hanya akan mementingkan dirinya sendiri. Jadi bodo amat sama krisis energi di Ujung negeri. Yang penting bisnis lancar.
Dan yang paling paling bahaya adalah seperti chart berikut : Dengan kondisi diatas maka Hulu akan ambil Profit , Shipping ambil Profit, Refinery ambil Profit Maka yang terjadi adalah harga BBM dari Customer akan sangat mahal, Belum lagi adanya Tax disetiap Transaksi BBM karena sudah beda entitas. Yang akan terjadi nanti bisa seperti ini Dengan kondisi diatas sudah terlihat siapa yang diuntungkan dan siapa yang akan dirugikan sehingga implementasi dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar tidak dapat direalisasikan dan hanya konteks semata. Singapore (minyak jadi) Minyak jadi Shippin g Pemasaran Hulu Pengolahan Shippin g Shippin g Pemasaran 82 2. PERTAMINA TIDAK TERINTEGRASI APAKAH BERDAMPAK DENGANIMPLEMENTASI DARI PASAL 33 UNDANG – UNDANG DASAR 1945 Atas apa yang telah diuraikan diatas maka secara langsung dan tidak langsung akan berdampak kepada tujuan dari implementasi Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 dimana salah satu isi dari pasal tersebut yaitu cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan Bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak akan pernah tercapai sehingga cita-cita dari “the Founding Fathers” akan menjadi mimpi dan tidak pernah terealisasi. Dilain sisi dengan dibentuknya Pertamina sebagai salah satu BUMN memiliki tujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan dari perkembangan zaman dimana pelayanan (service) serta kemajuan tekhnologi Informasi yang serba digital harus diselaraskan dan diimplementasi guna bisa bersaing 3. PERTAMINA (HOLDING DAN SUBHOLDING) BERENCANA AKAN DIMILIKI OLEH SWASTA BAGAIMANA DENGAN KEDAULATAN DAN KETAHANAN ENERGI Kedaulatan dan ketahanan merupakan kunci penting dalam sebuah negara. Kemampuan bangsa untuk menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaan serta memastikan jaminan ketersediaan energi merupakan arti dari kedaulatan dan selaras dengan tujuan berdirinya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana kepemilikan saham masih dimiliki oleh negara yaitu Pertamina. Bilamana kepemilikan atas saham dari holding maupun sub holding Pertamina dialihkan atau dimiliki oleh swasta maka patut diduga kemampuan negara yang diwakili oleh Kementerian BUMN atau ESDM sebagai pemegang saham dalam membuat sebuah kebijakan akan tidak semata – mata berorientasi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tetapi akan berpotensi terjadinya intervensi dari pemegang saham lain atau swasta.Seperti diketahui bersama kebijakan 1 harga BBM yang saat ini terjadi karena kepemilikan sahamnya masih 100% negara dan belum dibentuknya holding dan subholding Pertamina. Dibentuknya holding dan subholding Pertamina bisa kemungkinan kebijakan 1 harga BBM akan ditiadakan atau dicabut dimana pemilik saham bukan seluruhnya negara melainkan ada kepemilikan swasta , sedangkan kita ketahui bersama bila kepemilikan saham 83 dimiliki pihak swasta atas saham subholding Pertamina patut diduga hanya menginginkan keuntungan semata, sehingga yang dirugikan adalah rakyat.
Ir. Faisal Yusra SH., MM., QIA., CFrA Minyak dan Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat maupun fasa gas, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Di dalam definisi ini terkandung makna Minyak dan Gas Bumi (Migas) adalah proses yang menyeluruh mencakup kegiatan hulu dan hilir secara terintegrasi untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal. Dalam konteks Indonesia, optimalisasi pengelolaan migas akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sehingga wajib dikuasai oleh negara sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3). Pengelolaan bisnis migas yang seimbang antara pengelolaan sektor hulu dan hilir migas menjadi kebijakan strategis yang diimplementasikan oleh berbagai perusahaan migas besar dunia. Merger/penggabungan perusahaan migas dunia seperti BP dan AMOCO, Total, Fina dan Elf, Exxon dengan Mobil, maupun Conoco dan Philips adalah dalam rangka mencapai tujuan optimalisasi keuntungan bisnis dengan menyeimbangkan volume/kapasitas bisnis Hulu dan Hilir Perusahaan. Dalam hal harga minyak mentah dunia turun, maka sektor hilirnya dioptimalkan produksinya sebagai sektor yang menghasilkan kentungan perusahaan. Pada situasi ini, akan menimbulkan permasalahan kinerja bagi perusahaan yang hanya bergerak di sektor hulu saja. Demikian pula sebaliknya, ketika harga minyak mentah naik tinggi, maka perusahaan akan bertahan karena sektor hulu akan menjadi tulang punggung dalam menghasilkan revenue maupun keuntungan. Pada situasi ini, akan menimbulkan permasalahan kinerja bagi perusahaan yang hanya bergerak di sektor hilir saja. Dengan penguasaan dan pengelolaan hulu migas Pertamina sekitar 200 – 300 ribu barrel per hari yang amat timpang dengan penguasaan dan pengelolaan sektor hilir sekitar 1.6 – 1.7 juta barrel per hari, maka pemisahan (unbundling) 84 pengelolaan sektor hulu dan hilir Pertamina menjadi entitas bisnis perusahaan yang berdiri sendiri maka akan menimbulkan potensi masalah kinerja bisnis bagi Pertamina, dan pada gilirannya akan mengganggu kontribusinya sebagai penghasil devisa strategis bagi negara. Ketika harga minyak mentah dunia naik sangat tinggi, biaya operasi perusahaan sektor hilir akan mengalami tekanan karena adanya berbagai situasi seperti kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan harga atau menetapkan harga tidak dengan nilai keekonomian, sementara sektor hulu tidak dapat membantu dalam bentuk subsidi silang karena sudah menjadi entitas bisnis yang terpisah dan berdiri sendiri. Karakteristik bisnis yang terintegrasi (bundling) sektor hulu dan hilir telah disusun menjadi suatu proses bisnis yang dijadikan pedoman pengelolaan bisnis dengan menegaskan di dalam SK Direksi Pertamina Nomor Kpts.-29/C00000/2016- S0 tanggl 2 Agustus 2016 bahwa pengelolaan sektor hulu (explore, exploit, and produce hydrocarbone, and geothermal) dan sektor hilir (refine and produce fuel, nonfuel, an new & renewable energi, market dan sell produce and service) adalah bisnis inti (core processes) yang tentunya wajib dikelola sendiri dalam satu entitas bisnis. Di dalam surat keputusan tersebut juga diatur tentang kegiatan penunjang (support) yang dikategorikan dalam dua fungsi proses yaitu proses kritikal dan proses pendukung. Penyusunan proses bisnis disusun dengan memperhatikan best practise dari American Productivity and Quality Center (APQC) dan disesuaikan dengan karateristik bisnis Pertamina yang mencakup bisnis minyak, gas, geothermal serta energi baru dan terbarukan. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep penguasaan dimaksud dimaknai dengan dimiliki atau dikuasai, dikelola dan dikendalikan secara oleh negara melalui perusahaan milik negara yakni Pertamina sehingga negara dapat memberikan penugasan apapun termasuk pelayanan penyediaan BBM dengan harga terjangkau dalam rangka memberikan kemakmuran bagi rakyat. Dengan adanya penugasan tersebut dan Pertamina yang 100% sahamnya dimiliki negara maka negara memberikan keistimewaan (privilage) seperti yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (4) yang 85 berbunyi: Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemarnpuan teknis dan keuangan PT Pertamina (Persero) dan sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. Dalam hal perusahaan pengelolaan migas Pertamina tidak lagi 100% milik negara maka keistimewaan yang ada akan dicabut maka semua proses akan berjalan sebagai bisnis swasta murni dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian bisnis. Demikian pula dalam hal pengelolaan bisnis migas Indonesia diselenggarakan oleh entitas bisnis yang terpisah-pisah (hulu dan hilir) dalam bentuk masing-masing perseroan terbatas maka akan menimbulkan kesulitan dalam pengaturan penyediaan BBM dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat karena tidak adanya mekanisme subsidi silang seperti yang dapat dilakukan oleh perusahaan yang terintegrasi. Program BBM Satu Harga dulunya diawali dengan adanya keuntungan Pertamina yang didominasi oleh keuntungan sektor hulu yang disisihkan dan menjadi kompensasi harga BBM di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal yang disamakan dengan Pulau Jawa. Oleh karena sektor hulu dan hilir Pertamina di dalam satu pengelolaan keuangan di PT Pertamina (Persero) tentunya pengurangan pendapatan akibat BBM Satu Harga tidak menjadikan kondisi keuangan perusahaan menjadi buruk. Lain halnya apabila setiap bisnis migas Pertamina dalam bentuk perusahaan yang berdiri sendiri dan tidak 100% milik negara tentunya kebijakan subsidi silang dimaksud tidak dapat dilakukan dan perusahaan yang mengelolanya (Pemasaran/Ritail/Sektor Hilir) tidak akan bersedia menanggung kerugian sebagai kinerja perusahaan. Dengan demikian, program BBM Satu Harga tentunya akan terganggu. Bila hal ini terjadi, maka amanat penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan bagi rakyat Indonesia tidak akan tercapai. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan bertanggal 8 Juni 2021 86 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 10 Juni 2021 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU BUMN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon __ mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan _dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemohon menyatakan kerugian konstitusionalnya yang pada intinya adalah:
Bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN membuka peluang/berpotensi dapat diprivatisasinya anak perusahaan dari perusahaan persero tersebut yang hanya berbentuk perseroan terbatas biasa, padahal anak perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha induk perusahaannya yang notabene induk perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN ( vide Perbaikan Permohonan hal. 9).
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN. Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya yaitu ( vide Perbaikan Permohonan hal. 11): 87 a. Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan energi nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah diatur dalam anggaran dasar FSPPB.
Berpotensi nyata sumber daya alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam.
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT. Pertamina Persero maupun anak-anak perusahaannya akibat potensi terjadinya privatisasi, yang seharusnya dilarang untuk di privatisasi karena bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan masyarakat.
Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahaan PT Pertamina Persero kepada pihak swasta/perorangan.
Kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai perusahaan grup PT Pertamina Persero/BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh negara.
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada pihak swasta/perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam Pasal 163 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/pengusaha 88 melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap peekrja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahaan. Bahwa Pemohon dalam petitumnya memohon sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Persero;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Jika yang mulia Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki pandangan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). II. KETERANGAN DPR A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR berpandangan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dinyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. DPR menerangkan bahwa Pasal a quo justru telah mencerminkan pemenuhan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena adanya larangan bagi persero untuk dapat diprivatisasi, salah satunya adalah persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam. Larangan tersebut menunjukkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran 89 rakyat. Selain itu ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur terkait dengan hak konstitusional, melainkan mengatur mengenai kewajiban negara dalam menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan untuk cabang-cabang produksi yang penting tersebut dikuasai oleh negara. Oleh karena itu tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak tepat untuk dijadikan batu uji dalam Permohonan a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Terkait dengan doktrin organizational legal standing yang didalilkan oleh Pemohon, DPR berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan anggotanya untuk beracara di pengadilan, khususnya di pengadilan Mahkamah Konstitusi. Bahwa ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya dan ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyatakan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial. Berdasarkan ketentuan- ketentuan tersebut, maka organizational legal standing yang diberikan kepada Pemohon sebagai federasi serikat pekerja adalah terkait dengan penyelesaian perselisihan industrial, termasuk untuk beracara di pengadilan hubungan industrial, dan bukan untuk mengajukan Permohonan a quo di Mahkamah Konstitusi yang sama sekali tidak berkaitan dengan perselisihan hubungan industrial. Selain itu DPR menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terkait dengan anak 90 perusahaan BUMN memang tidak tunduk pada ketentuan dalam UU BUMN melainkan tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, hal tersebut dikarenakan saham untuk anak perusahaan BUMN merupakan milik BUMN dan bukan milik negara karena pada hakekatnya penyertaan modal tersebut merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, berbeda dengan induk perusahaannya yang merupakan BUMN. Berdasarkan uraian tersebut, maka ketentuan Pasal UU a quo sama sekali tidak melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Pemohon mendalilkan mengalami kerugian yang pada intinya ketentuan Pasal a quo yang tidak mengatur terkait dengan anak perusahaan persero membuka peluang bagi anak perusahaan untuk diprivatisasi sehingga akan menghilangkan kekuasaan negara untuk menguasai sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR menerangkan bahwa Pemohon adalah federasi serikat pekerja yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para pekerja PT Pertamina (Persero) dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero) ( vide Perbaikan Permohonan hal. 9). Oleh karenanya seharusnya Pemohon dalam Permohonan a quo menguraikan adanya kerugian konstitusional yang dialami langsung oleh pekerja PT Pertamina (Persero) untuk kemudian menjadi dasar diajukannya Permohonan a quo . Namun dalam permohonannya, Pemohon hanya menguraikan kekhawatirannya terhadap hilangnya hak menguasai negara dalam melakukan pengelolaan yang menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tanpa mencerminkan adanya kerugian yang ditimbulkan dari berlakunya Pasal a quo terhadap kesejahteraan pekerja. 91 Oleh karena tidak ada pertautan langsung antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan tugas dan peranan Pemohon untuk melaksanakan kegiatan penegakan hak-hak pekerja PT Pertamina (Persero), maka sudah dapat dipastikan tidak ada satupun kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, berlakunya ketentuan Pasal a quo sama sekali tidak menimbulkan kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik, aktual, maupun potensial. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon tidak memiliki hubungan sebab-akibat dengan ketentuan Pasal a quo UU BUMN.
Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apa pun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kepentingan hukum Pemohon, DPR memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU- XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: 92 ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). __ Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan penjelasannya, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Selain itu, Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, sehingga sudah sepatutnya Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok perkara karenanya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Sesuai dengan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN yang menyatakan: “ Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN harus dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan yang meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan. Privatisasi bukan semata-mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran 93 sekaligus, termasuk didalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. Dengan dilakukannya privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang karena sebagaimana dinyatakan di atas, negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral dimana BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya. ” 2. Bahwa memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang diatur lebih rinci dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 merupakan tugas konstitusional bagi seluruh komponen bangsa. Khususnya ayat (2) dan ayat (3) yang membangun logika bernegara yaitu negara melakukan penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga berdasarkan hal tersebut dirasa perlu untuk meningkatkan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui regulasi sektoral maupun kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Bahwa konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 01- 021-022/PUU-I/2003 mengenai pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 dan 02/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi, tanggal 1 Desember 2004, yang memaknai bahwa penguasaan negara tersebut adalah sesuatu yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata.
Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi 94 holding (induk). Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang pada intinya menyatakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan dan demi efisiensi BUMN sebagai holding company dapat berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD. Oleh karenanya __ pembentukan holding company adalah salah satu bentuk penguatan BUMN dengan bersinergi dengan BUMN lainnya, sehingga tidak lagi membebani APBN. Namun demikian, pembentukan holding tetap harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah ( vide Pasal 2A jo. Pasal 3 PP 44/2005 jo. PP 72/2016) C. KETERANGAN DPR TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan bahwa anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT. Persero seharusnya diperlakukan sama dengan Induk Perusahaannya yaitu PT. Persero, sebab antara induk perusahaannya dengan anak-anak perusahaannya/perusahaan milik Persero sama-sama memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal a quo sehingga seharusnya sama- sama tidak dapat diprivatisasi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 25 poin 33). Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut:
Bahwa merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN yang mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya Pasal 1 angka 2 UU BUMN mendefinisikan Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu 95 persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Sedangkan definisi anak perusahaan BUMN dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Nomor 122 Tahun 2011 tentang Tim Kebijakan Privatisasi BUMN dan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per- 03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara. Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.
Terlebih lagi dalam Pasal 4 ayat (2) UU BUMN menyatakan bahwa setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sedangkan pendirian anak perusahaan BUMN yang merupakan perseroan terbatas tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) dan tidak ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat perbedaan fundamental terkait dengan kepemilikan saham, kendali perseroan, dan pendirian perseroan antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa BUMN dan anak perusahaan BUMN tidak dapat dipersamakan dan dalil Pemohon yang menyatakan seharusnya baik induk perusahaan maupun anak perusahan yang memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo harus diperlakukan sama adalah tidak beralasan menurut hukum.
In casu dalam Perkara a quo, saham PT Pertamina (Persero) dimiliki oleh Negara, sedangkan saham Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) merupakan saham milik PT Pertamina (Persero). Perbedaan subyek pemilik saham tersebut mengakibatkan perbedaan pemberlakuan hukum antara BUMN 96 Persero (dalam hal ini PT Pertamina (Persero)) dengan Anak Perusahaannya, yaitu untuk Persero berlaku ketentuan mengenai BUMN dan Perseroan Terbatas sedangkan untuk Anak Perusahaannya berlaku ketentuan mengenai Perseroan Terbatas.
Penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN juga terlihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materril Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019, dimana dalam pertimbangan hukum Majelis halaman 1936 menyatakan sebagai berikut: “Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN.” 2. Terhadap dalil Pemohon yang mengutip ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016) dan menyimpulkan bahwa anak-anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) yang meskipun berbentuk perseroan terbatas, namun diberikan izin untuk melaksanakan pelayanan umum dan/atau pengelolaan sumber daya alam, sehingga anak perusahaan BUMN tersebut dapat diperlakukan sama dengan BUMN ( vide Perbaikan Permohonan hal. 20), DPR memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan Penjelasan Umum UU BUMN menyatakan peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN harus dilakukan melalui restrukturisasi dan privatisasi. Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi holding (induk).
Bahwa PP 72/2016 merupakan ketentuan untuk mendukung salah satu strategi Pemerintah dalam pembentukan perusahaan induk 97 BUMN, yaitu dengan melakukan Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pergeseran saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya.
Pada sektor migas, pembentukan holding dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina (selanjutnya disebut PP 6/2018) dimana Negara melakukan pengalihan ( inbreng ) saham dari PT. Perusahaan Gas Negara (Persero), Tbk. ke PT. Pertamina (Persero). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka status PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. berubah dari persero menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada UU PT ( vide Pasal 4 huruf a PP 6/2018).
Dengan terjadinya pengalihan ( inbreng ) saham tersebut, PT. Pertamina (Persero) melakukan restrukturisasi anak perusahaan dengan pengelompokan anak perusahaan ( sub-holding ) pada enam bidang, yaitu:
PT Pertamina Hulu Energi sebegai Sub-Holding Upstream ;
PT Kilang Pertamina Internasional sebagai Sub-Holding Refinery & Petrochemical ;
PT Pertamina Patra Niaga sebagai Sub-Holding Commercial & Trading ;
PT Pertamina Power Indonesia sebagai Sub-Holding Power, New & Renewable Energy ;
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sebagai Sub-Holding Gas; dan 6) PT Pertamina International Shipping sebagai Shipping Company .
Setelah dilakukannya restrukturisasi tersebut maka PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk. yang sebelumnya merupakan BUMN berubah menjadi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan perusahaan sub-holding atau anak perusahaan lainnya. Namun meskipun demikian, PT Perusahaan 98 Gas Negara, Tbk. memilki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan sub-holding lainnya berdasarkan PP 6/2018 jo . PP 72/2016, yaitu:
Negara melakukan kontrol terhadap PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. dengan kepemilikan saham Seri A Dwi Warna (Pasal 3 PP 6/2018) dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar ( vide Pasal 2A ayat (2) dan Penjelasannya PP 72/2016).
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sebagai anak perusahaan BUMN diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut: (Pasal 2A ayat (7) dan Penjelasannya PP 72/2016) a) mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau b) mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN, antara lain terkait dengan proses dan bentuk perizinan, hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintahan yang melibatkan BUMN.
Berdasarkan uraian di atas, maka dari keenam anak perusahaan atau sub-holding PT Pertamina (Persero), perlakuan yang sama dengan BUMN hanya diberikan kepada PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. dan perlakuan yang sama tersebut tidak termasuk larangan privatisasi sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon tidak dapat menjadikan ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016 dan Penjelasannya sebagai dasar bahwa seluruh anak perusahaan Persero diperlakukan sama dengan Persero terkait dengan larangan privatisasi dalam ketentuan Pasal a quo . Menyamakan hal yang berbeda dan membedakan hal yang sama adalah sama saja dengan ketidakadilan. Mengutip pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa: “ Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” 99 Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57). 3. Terkait dalil Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa pembentukan sub-holding anak perusahaan persero merupakan celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk anak-anak perusahaan persero termasuk namun tidak terbatas pada anak-anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) untuk dilakukan privatisasi melalui initial public offering (IPO) ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), DPR menerangkan sebagai berikut:
Privatisasi dalam praktiknya memang dimungkinkan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap memperhatikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk dapat melakukan privatisasi. Privatisasi sendiri bertujuan untuk dapat mengoptimalkan produktifitas dan efisiensi dari suatu BUMN. Namun peraturan perundang-undangan juga mengatur pengecualian terhadap persero yang tidak dapat diprivatisasi, dan cara serta prosedur privatisasi. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak perusahaan BUMN tidaklah tunduk pada ketentuan dalam UU BUMN, sehingga memang privatisasi terhadap anak perusahaan BUMN dimungkinkan terjadi karena pada prinsipnya bisnis inti perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam harus tetap berada pada induknya dan tidak dikendalikan oleh anak perusahaan. Sehingga anggapan Pemohon yang menyatakan apabila anak perusahaan PT Pertamina (Persero) akan menjadi perusahaan go public melalui mekanisme IPO maka akan berpotensi dikuasainya aset negara oleh swasta adalah tidak tepat. Karena peraturan perundang-undangan sudah mengatur secara jelas terkait dengan persero yang dapat dan tidak dapat diprivatisasi. 100 b. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR pada tanggal 22 Juni 2020 yang menyampaikan bahwa rencana pelepasan sebagian saham anak usaha melalui mekanisme IPO bukan upaya privatisasi. Hal itu karena IPO dilakukan oleh anak perusahaan Pertamina sehingga hanya berdampak pada pengelolaan aset. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa pengelolaan aset yang dimaksud adalah aset dalam Wilayah Kerja (WK) minyak dan gas tetap dimiliki oleh negara namun yang diserahkan adalah hak pengelolaan. Setelah jangka waktu pengelolaan WK yang disepakati selesai, aset itu akan dikembalikan ke negara.
Bahwa kepemilikan negara di Pertamina tidak akan berkurang dalam IPO tersebut. Hal itu karena yang menggelar IPO adalah anak usaha atau sub-holding . Rencana IPO sub-holding , dinilai tidak melanggar aturan, karena yang diatur dalam UU BUMN adalah Pertamina sebagai induknya, begitu juga di UU PT bahwa aksi korporasi IPO adalah hal wajar dan jamak dilakukan oleh badan usaha, termasuk BUMN, misalnya PT Waskita Beton serta PT Presisi yang juga go public . Beberapa anak perusahaan Pertamina pun sudah go public sejak lama, seperti PT Elnusa, Tbk., PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia, Tbk., bahkan salah satu sub- holding Pertamina yaitu PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sudah go public . Rencana IPO sub-holding Pertamina justru sesuai dengan kebutuhan Pertamina sebagai holding , karena BUMN itu harus mengembangkan perusahaan.
Adapun terkait dengan rencana PT Pertamina (Persero) untuk melakukan divestasi saham pada 2 (dua) anak perusahaannya melalui IPO, hal tersebut tentu bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Terlebih dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan yang melarang BUMN untuk melakukan divestasi saham pada anak perusahaan BUMN. 101 e. Bahwa IPO akan mendatangkan keuntungan yaitu adanya transparansi dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk ikut membeli saham BUMN, termasuk investor asing. Pihak manajemen perusahaan harus melakukan full disclosure atas kinerja yang telah dilakukannya agar masyarakat mengetahui dan dapat mengambil kebijakan berkaitan dengan kepemilikannya atas perusahaan tersebut dan nantinya akan berpengaruh terhadap harga saham yang bersangkutan. ( vide Indra Bastian. 2002. Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi . Jakarta, hal.172- 173) 4. Terhadap dalil Pemohon yang menganggap penerapan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) karena menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26), DPR memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan sesuatu yang lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, dimana tercakup pula pengertian kepemilikan publik rakyat secara kolektif. Dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “...pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.” 102 b. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menguraikan bahwa kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD NRI Tahun 1945 dengan memberikan mandat kepada negara untuk melakukan 5 (lima) hal, yaitu:
mengadakan kebijakan ( beleid );
tindakan pengurusan ( bestuursdaad ) dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan, lisensi, dan konsesi;
pengaturan ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah;
pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN; dan
pengawasan ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar- besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Berdasarkan uraian mengenai konsepsi “dikuasai oleh negara” di atas, maka meskipun pemaknaan Pasal a quo tidak mencakup anak perusahaan Persero, hal tersebut tidak mengurangi kelima fungsi negara dalam menguasai cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Terlebih dalam fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) yang dikhawatirkan Pemohon akan hilang dengan dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan Persero, perlu DPR tegaskan bahwa jikapun terdapat penjualan saham anak perusahaan Persero, maka saham yang dijual tersebut merupakan milik Persero dan bukan milik Negara. Sedangkan Mahkamah Konstitusi telah menguraikan bahwa fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham di dalam BUMN, bukan saham di dalam anak perusahaan BUMN. Oleh karena itu pemaknaan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 103 yang tidak mencakup anak perusahaan Persero tidak akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN”.
Jikapun Pemohon merujuk anak perusahaan Persero kepada PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. yang sebelumnya merupakan BUMN, DPR menjelaskan bahwa Negara masih memiliki saham dwiwarna dengan hak istimewa yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Hak istimewa tersebut menyebabkan Negara masih memiliki kontrol terhadap PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. meskipun telah tidak lagi berstatus sebagai BUMN ( vide Pasal 3 PP 6/2018). Hal ini selaras dengan pendapat Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penguasaan negara dalam arti privat tidak mutlak selalu harus 100% asalkan Negara tetap menjadi penentu kebijakan dalam dalam badan usaha yang bersangkutan. Dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “...penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak” 5. Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak dapat diprivatisasi, DPR menerangkan sebagai berikut:
Bahwa definisi dari privatisasi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN adalah “Penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai dari perusahaan, memperbesar manfaat bagi 104 negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat”. Adapun maksud privatisasi adalah memperluas kepemilikan masyarakat atas persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan persero yang berdaya saing dan menumbuhkan iklim usaha ekonomi makro dan kapasitas pasar. Bahwa tujuan dari privatisasi itu sendiri adalah dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Bahwa BUMN merupakan kepanjangan tangan dari negara dalam menjalankan sebagian dari fungsi negara untuk mencapai tujuan negara, salah satunya yaitu memajukan kesejahteraan umum. Dari perspektif permodalan, sebagian atau seluruh modal BUMN berasal dari keuangan negara maka BUMN tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai badan hukum privat. Sedangkan arti dari privatisasi itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu proses pengalihan kepemilikan yang semula milik umum (publik) menjadi milik pribadi (privat). Berdasarkan hal tersebut maka yang diprivatisasi adalah yang semula perusahaan publik, yaitu BUMN, menjadi privat atau dimiliki sebagian oleh swasta.
Bahwa istilah privatisasi tidak dapat digunakan untuk pengalihan kepemilikan saham anak perusahaan BUMN karena anak perusahan BUMN sejak semula sudah bersifat privat dengan modal yang tidak berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan melainkan berasal dari kekayaan BUMN induknya. Sehingga jika Pemohon mendalilkan untuk anak perusahaan BUMN dimasukan pemaknaannya ke dalam Pasal a quo adalah tidak tepat karena pasal tersebut memang ditujukan untuk perusahaan publik yaitu BUMN, dan bukan ditujukan untuk anak perusahaan BUMN yang berstatus sebagai perseroan terbatas (perusahaan privat). 105 d. Bahwa ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN menyatakan bahwa persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria industri/sektor usahanya kompetitif yang kemudian dijelaskan bahwa sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu (yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi) dan kegiatan usaha hilir (yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga) dapat dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, koperasi usaha kecil, dan badan usaha swasta. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sektor kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN dan bahkan terbuka untuk dilaksanakan oleh badan usaha swasta.
Bahwa hal tersebut juga diperkuat oleh pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Migas pada halaman 110 dan halaman 111 butir 3.17 Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 yang pada intinya menurut Mahkamah __ Pasal 9 UU Migas dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU BUMN, terhadap BUMN/Persero yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk dipertahankan dan BUMN/Persero yang melaksanakan penugasan Pemerintah, tetap dapat melakukan pemisahan sebagian asetnya untuk dijadikan anak perusahaan, dan selanjutnya anak perusahaan tersebut dapat dilakukan penjualan sahamnya. Jelas bahwa UU BUMN telah membolehkan BUMN Persero yang bergerak di bidang usaha yang penting bagi Negara, untuk membentuk anak perusahaan yang selanjutnya saham dapat dijual. Bagaimana nilai suatu anak perusahaan bagi induknya, merupakan suatu hal yang dari waktu ke waktu berpotensi berubah, sesuai dengan kajian usaha terhadap anak perusahaan. Sehingga, sangat tidak logis apabila suatu 106 BUMN yang mengemban peran Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 wajib mempertahankan seluruh anak perusahaannya, apabila berdasarkan perkembangan zaman perlu melakukan restrukturisasi anak-anak perusahaannya termasuk dengan penjualan saham anak-anak perusahaan.
Meskipun dalam permohonannya Pemohon menyatakan terdapat perbedaan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon dengan uji materiil yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 sehingga tidak bersifat nebis in idem , DPR menerangkan bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 tersebut tegas bahwa Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 77 tidaklah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dimana privatisasi itu sendiri memang tidak dilarang sepanjang berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan hal tersebut. Terlebih lagi ketentuan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 tidaklah menolak privatisasi sepanjang privatisasi tersebut tidak meniadakan penguasaan negara c.q Pemerintah, oleh karena itu maka Mahkamah tidak boleh terjebak dengan menerima dan mengabulkan pengujian norma dari sebuah undang-undang apabila akan berakibat berubahnya pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya tanpa adanya argumen yang kuat untuk mengubah pendirian mahkamah.
Bahwa terkait dengan uraian argumentasi Pemohon (Posita), Pemohon tidak konsisten dalam memberikan dasar uraian kerugian yang sedang dialami atau kerugian yang berpotensi dialami oleh Pemohon. Dalam awal uraian permohonannya, Pemohon menguraikan mengenai adanya potensi pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja pada anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero), tetapi uraian tersebut tidak diperkuat dengan argumentasi yang dibangun lebih lanjut, sedangkan dalam uraian selanjutnya Pemohon malah lebih banyak menguraikan mengenai potensi hilangnya hak menguasai negara yang sama sekali tidak dikaitkan dengan potensi pemutusan hubungan kerja, berkurangnya kualitas hidup, dan kesejahteraan pekerja pada anak 107 perusahaan PT Pertamina (Persero) yang sedang diperjuangkan oleh Pemohon sebagai federasi serikat pekerja. C. RISALAH UU BUMN 1. Keterangan Menteri Badan Usaha Milik Negara Mewakili Pemerintah Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara (Jakarta, 2 Juli 2002) (pdf. hlm. 143. Page 121) ..... Untuk kedepan, program privatisasi perlu diarahkan dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham BUMN dan perlu dilandaskan pada suatu Undang-Undang yaitu dimasukan dalam Undang-Undang BUMN. Privatisasi juga dilaksanakan dengan pertimbangan strategis bahwa asas kemanfaatan lebih diutamakan dari pada asas kepemilikan. Dalam kenyataannya, Persero yang telah diprivatisasi memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada Persero yang belum diprivatisasi, baik dalam bentuk pembayaran pajak kepada negara, deviden maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Dengan dilakukan privatisasi Persero, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara menjadi berkurang atau hilang, negara tetap memegang kendali melalui regulasi sektoral. __ Sidang Dewan yang terhormat, __ Dalam Undang-Undang ini tidak dilakukan pembahasan khusus mengenai makna Pasal 33 UUD 1945 dimana ditentukan antara lain adanya penguasaan kekayaan alam yang akan dimanfaarkan setinggi- tingginya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun penguasaan tidak harus selalu berarti hanya sebagai pemilikan, tetapi juga termasuk di dalamnya penguasaan melalui regulasi. Pada dasarnya kegiatan BUMN maupun badan usaha milik swasta adalah sama yaitu dalam upaya mengoptimalkan manfaat sumber daya yang kita miliki bagi kepentingan rakyat banyak. Namun demikian penafsiran terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan MPR. 2. Jawaban Pemerintah Atas Pemandangan Umum DPR-RI Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara, Tanggal 18 November 2002 (pdf hlm 273, Page 212) .......... 14. menanggapi pertanyaan mengenai program dan kebijakan pemerintah agar masyarakat dalam negeri memperoleh kesempatan lebih besar untuk memiliki saham BUMN dan syarat-syarat apa saja yang ditentukan dan harus dijamin perusahaan asing pembeli saham BUMN bagi terciptanya peningkatan kinerja, nilai tambah dan peningkatan manfaat BUMN tanpa adanya PHK dan kenaikan harga _barang dan jasa dikemudian hari, kiranya dapat kami sampaikan bahwa: _ 108 a. kami sependapat bahwa masyarakat/invenstor dalam negeri harus diberikan kesempatan yang lebih besar untuk ikut serta dalam kepemilikan saham BUMN. Namun karena IPO bersifat terbuka, maka siapa saja termasuk investor asing dapat membeli saham BUMN. Disamping itu, apabila kapasitas pasar dalam negeri tidak dapat menampung, maka diundanglah invenstor asing, karena selain alasan daya serap pasar, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang terikat dalam berbagai kesepakatan seperti GATT, WTO, dan AFTA, tidak dapat melakukan proteksi atau diskriminasi terhadap invenstor asing. b. sebagaimana telah kami kemukan bahwa privatisasi BUMN, baik melaui IPO maupun Strategic Sales dilaksanakan secara terbuka. Dalam hal privatisasi melalui strategic sales dilakukan melaui tender terbuka (open bidding) disertai dengan persyaratan tertentu yang harus dimiliki/dipenuhi oleh strategic partner, seperti modal, teknologi dan expertise. Dalam kenyataannya, hal-hal yang stategis tersebut yang diperlukan oleh perusahaan, kebetulan dimiliki oleh investor asing. __ Disamping itu, dalam rangka mengamankan kepentingan Pemerintah di masa yang akan datang. Maka untuk itu perlu dilakukan hal-hal yang sifatnya melindungi kepentingan pemerintah (ring fencing). Pemerintah harus tetap juga memperhatikan perlindungan terhadap kepentingan karyawan dan stakeholders lainnya maupun hal-hal yang berkaitan dengan transfer of technology. Hal-hal tersebut biasanya dicantumkan dalam shareholders agreement dan atau share and purchase agreement. Dengan privatisasi terbukti bahwa kinerja perusahaan meningkat, kontribusi perusahaan terhadap negara seperti pajak dan dividen pun meningkat, demikiran pula kesejahteraan karyawan, daya serap terhadap terhadap tenaga kerja meningkat setelah diprivatisasi. Peningkatan kinerja tersebut karena perusahaan dikelola secara efisien dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance benar-benar diterapkan sehingga dengan demikian, privatisasi dapat dirasakan manfaat oleh seluruh masyarakat. 3. Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pakar Ekonomi Prof. Dr. Didik J. Rachbini, Drs. Revrisond Baswir SE. MBA, dan Faisal Basri, SE, MA. Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang tanggal 13 Juni 2002 (Pdf hlm 568, Page 426) Pakar (Revrison Baswir) ........ Bagi saya memang begini kalau saya mencoba belajar yang saya gali habis-habisan itu adalah antara lain tulisan-tulisannya Bung Hatta, sebagaimana beliau dulu mencoba menjabarkan Pasal 33 ayat 1,2,3 109 dan seterusnya gitu, dan memang dari penjelasan-penjelasan Bung Hatta dan hampir semua artikel Beliau. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara tidak berarti negara itu sendiri berusaha, berkali-kali di tegaskan, tidak berarti negara itu sendiri terjun ke dalam dunia bisnis tidak gitu, yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara itu adalah negara mengatur, adapun operasi kegiatannya dapat diserahkan kepada badan lain, bisa berbentuk swasta bisa berbentuk BUMN, jadi BUMN itu hanya soal kepemilikan saham bukan soal apakah itu negara yang berbisnis gitu, ga harus begitu. Jadi, sahamnya di miliki seperti tadi dijelaskan oleh Mas Didik ya, sahamnya di miliki oleh negara tetapi dia di pisahkan dari pemerintahan ya, dipisahkan dari pemerintahan lalu di kelola secara independen bahkan dalam satu BUMN pun yang itu bisa dilakukan gitu, andaikata misalnya dilakukan kontrakting out dalam pengelolaan manajemen, manajemennya di serahkan ke swasta sahamnya tetap di miliki oleh negara gitu, dan saya sebeneranya kalau bicara mengenai pengelolaan BUMN dalam konteks Undang-Undang BUMN mungkin tidak secara langsung berkaitan dengan usulan privatisasi ya tapi BUMN secara keseluruhan. 4. Rapat Kerja Senin 14 April 2003 Pukul 11.10 Anggota Fraksi Reformasi (Ir.Afni Achmad) (hal. 804 pdf, hal. 217 file rapat) “Saya mendukung pernyataan Pak Barliana tadi, tetapi saya ingatkan bahwa inipun terkait nanti kepada proses Privatisasi Pak. Jadi Kalimat- kalimat “menguasai dan dimiliki” itu nanti akan turun di dalam proses pembahasan tentang Privatisasi. Apa artinya, artinya berarti kita sudah sepakat yang kita katakana BUMN adalah yang dimiliki secara penuh atau yang sebagaian besar kita miliki. Oleh sebab itu berarti yang hanya pemilikan kita kecil itu sama sekali tidak berkuasa dalam konteks kepemilikan. Oleh sebab itu mari kita hubugan dengan Pasal 33 “menguasai hajat hidup orang banyak”ini proses Pak di dalam Privatisasi tadi. Jadi ini hati- hati konteks kepemilikan dan penguasaan di dalam saham dan konteks semangat Pasal 33 soal hajat hidup orang banyak.” 5. Rapat Panja Selasa 15 April 2003 Pukul 11.10 Anggota Fraksi Partai Golkar (H. Ariady Achmad, B.Ac) (hal. 1062 pdf, hal. 476 file rapat) “F-PG ini ada tiga poin yang secara substansi sampaikan perubahannya itu pada.” __ __ __ 110 _“Persero yang tidak boleh diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bergerak dalam industry pengolahan sumber daya alam yang produknya merupakan hajat hidup orang banyak dan terkait langsung dengan perekonomian nasional b. Persero yang dinyatakan sehat dan berkinerja baik serta sedang memberikan kontribusi yang nyata pada penerimaan negara.” III. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya, Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 12 Oktober 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 11 Desember 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN menurut Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya 111 diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero dengan alasan sebagai berikut:
Apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/ perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Telah terjadi unbundling Pertamina karena seluruh bisnis inti ( core business ) dari hulu ke hilir, dari eksplorasi hingga pemasaran, telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh sub holding /anak perusahaan yang berbeda- beda dari PT Pertamina (Persero) yang merupakan Perseroan Terbatas Biasa. Unbundling pada BUMN yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berpotensi untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN tersebut kepada swasta/perorangan (privatisasi) di mana hal tersebut berpotensi menghilangkan hak menguasai negara. Selain itu, berpotensi juga menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha badan usaha yang berbeda. 112 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK telah jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif, yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dalam perkara a quo ini, ijinkan Pemerintah memberikan tanggapan terhadap kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon yaitu bahwa menurut Pemerintah, 113 Pemohon dalam hal ini tidak dalam posisi dirugikan, dikurangi, atau setidak- tidaknya dihalang-halangi hak konstitusionalnya dengan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN dengan alasan sebagai berikut:
Tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN dengan alasan sebagai berikut:
Pemohon mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 pada intinya mengatur hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan hak menguasai negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Tetapi Pemohon dalam permohonan a quo mendalilkan bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon karena keberlakuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bahwa perusahaan Pemohon yang merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero (BUMN) yang bergerak di usaha pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi (selanjutnya disebut migas) terancam diprivatisasi. Sedangkan Pemohon berharap dengan dimasukkannya perusahaan Pemohon yang merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero ke dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN akan mengakibatkan perusahaan Pemohon tidak dapat dilakukan privatisasi.
Bentuk penguasaan negara dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 diamanatkan agar dilakukan melalui penguasaan negara secara langsung atau dengan cara membentuk BUMN. Sedangkan Pemohon dalam permohonannya justru berusaha menambah norma yang pada intinya menjadikan perusahaan Pemohon yang merupakan Perseroan Terbatas (karena merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero) menjadi diperlakukan sama dengan BUMN dalam hal tidak dapat diprivatisasi. Hal ini menunjukkan bahwa fokus atau kekhawatiran utama yang didalilkan oleh Pemohon adalah “agar Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tidak 114 dapat diprivatisasi” dan bukan pada usaha melindungi hak menguasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945.
Antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak mempunyai hubungan sebab akibat ( causal verband ) karena ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 mengamanatkan hak menguasai ada di tangan negara yang kemudian diimplementasikan ke dalam pembentukan BUMN, sedangkan perusahaan Pemohon bukanlah BUMN karena merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang tunduk pada pengaturan mengenai Perseroan Terbatas.
Kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak bersifat spesifik dengan alasan bahwa di satu sisi Pemohon menggunakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 dalam mendasarkan hak konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dianggap akan meniadakan hak menguasai negara, namun dalam permohonannya berulang kali Pemohon menyampaikan bahwa dirinya khawatir perusahaan tempat dirinya bekerja diprivatisasi. Sehingga patut dipertanyakan apakah kerugian Pemohon terkait dengan potensi ketiadaan hak menguasai negara atau kekhawatiran perusahaan Pemohon akan diprivatisasi? 4. Terkait dengan kerugian Pemohon dalam mendapatkan kualitas hidup dan kesejahteraan Pemohon atas berlakunya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN, hal tersebut hanyalah merupakan dalil kerugian Pemohon yang tidak berdasar, dengan alasan sebagai berikut:
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak diperuntukkan untuk menjamin kualitas hidup dan kesejahteraan Pemohon. Bahwa Pemohon tidak menjadikan sebagai batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”, sehingga tidak relevan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN menyebabkan kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai Perusahaan Grup PT Pertamina (Persero)/BUMN beserta keluarganya akan tidak 115 terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh Negara.
Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang menyatakan: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”.
Kelangsungan bisnis dan eksistensi PT Pertamina (Persero) tidak terancam. Penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus didasarkan pada perhitungan/kajian bisnis yang bertujuan meningkatkan kemampuan/kinerja dan nilai perusahaan, dalam hal ini anak perusahaan, yang pada akhirnya mendukung kinerja PT Pertamina (Persero). Penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perseroan terbatas dan peraturan perundang- undangan lainnya termasuk di bidang ketenagakerjaan.
Penjualan saham anak perusahaan tidak menyebabkan kemakmuran hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran swasta/perorangan. Kemakmuran harus diartikan secara luas, tidak terbatas pada keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam hal ini Anak Perusahaan dan PT Pertamina (Persero) saja, namun kemakmuran yang dirasakan oleh masyarakat melalui antara lain penerimaan pajak, ketersediaan barang dan jasa di bidang migas. Seandainya dilakukan penjualan saham anak perusahaan yang telah melalui perhitungan/kajian bisnis yang bertujuan meningkatkan kemampuan/kinerja dan nilai anak perusahaan serta mendukung kinerja PT Pertamina (Persero), maka kegiatan PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kemakmuran bagi karyawan dan masyarakat, bukan hanya swasta atau perorangan. 116 5. Dalam menguraikan kerugian terhadap hak konstitusionalnya di atas, Pemohon hanya mendasarinya dengan kekhawatiran dan asumsi yang tidak berdasar. Meskipun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK salah satunya adalah “ kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi ”, namun bukan berarti syarat kerugian tersebut dapat terpenuhi dengan mendasarkannya hanya pada kekhawatiran dan asumsi yang tak berdasar. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Nomor: 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan beralasan dan sudah sepatutnyalah jika Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). __ Namun demikian Pemerintah dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa perkara a quo untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak. III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis UU BUMN sebagai berikut: 117 Sesuai dengan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN yang menyatakan: “ Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN harus dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan yang meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan. Privatisasi bukan semata- mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk didalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. Dengan dilakukannya privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang karena sebagaimana dinyatakan di atas, negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral dimana BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya. ” Berdasarkan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN tersebut di atas, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas BUMN, dapat dilakukan restrukturisasi dan privatisasi. Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi holding (induk). Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan sebagai berikut: “ Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola 118 usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”. ” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka pembentukan holding company adalah salah satu bentuk penguatan BUMN, khususnya dalam rangka melaksanakan penugasan yang diberikan oleh Pemerintah kepada BUMN selaku agen pembangunan ( agent of development), dimana penguatan BUMN tersebut dapat mempergunakan potensi BUMN lain dengan bersinergi, sehingga tidak lagi membebani APBN. Mengingat untuk pembentukan holding merupakan pengalihan saham milik negara pada BUMN lain (kekayaan negara yang sudah dipisahkan), sehingga tidak lagi membebani APBN atau tidak ada lagi pemisahan kekayaan negara dari APBN, maka untuk melakukan pembentukan holding tidak lagi dilakukan melalui mekanisme APBN. Namun demikian, pembentukan holding tetap harus melalui kajian Pemerintah dan ditetapkan melalui PP (Pasal 2A, Pasal 3 PP 44/2005 jo . PP 72/2016). Sedangkan privatisasi semata-mata bukan dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan alat dan cara pembenahan BUMN dengan kepesertaan modal mitra strategis atau investor lainnya, termasuk investor finansial, manajemen dan/atau karyawan BUMN. Namun demikian tidak semua BUMN dapat diprivatisasi. Privatisasi menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) diartikan sebagai penjualan saham persero baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. 119 BUMN yang akan diprivatisasi haruslah dipastikan tidak termasuk dalam BUMN yang dilarang privatisasinya oleh ketentuan peraturan perundangan-undangan sektoral, (yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMN yang bersangkutan). Peraturan perundang- undangan sektoral tersebut tentunya ditetapkan berdasarkan kewenangan Pemerintah (Menteri Teknis/Sektoral dalam hal berbentuk PP atau Peraturan Menteri), atau berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR selaku pembuat Undang-Undang. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Menteri BUMN tidak dapat dengan semena-mena menetapkan privatisasi suatu BUMN. Pasal 77 UU BUMN mengatur bahwa: “ _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. ” Sehubungan dengan dalil Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut:
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: 120 Privatisasi Tidak Dilakukan Terhadap Anak Perusahaan a. Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero . Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang menyatakan: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”. Mengenai definisi dari Persero dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU BUMN yang menyatakan: “ Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan .” Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan BUMN Persero karena seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara, sedangkan anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah BUMN Persero, karena paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya tidak dimiliki oleh Negara. Saham PT Pertamina (Persero) dimiliki oleh Negara, sedangkan saham Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) merupakan saham milik PT Pertamina (Persero). Perbedaan subyek pemilik saham tersebut mengakibatkan perbedaan pemberlakuan hukum antara BUMN Persero (dalam hal ini PT Pertamina (Persero)) dengan Anak Perusahaannya, yaitu untuk Persero berlaku ketentuan mengenai BUMN dan Perseroan Terbatas sedangkan untuk Anak Perusahaannya berlaku ketentuan mengenai Perseroan Terbatas. Pemohon juga telah menyadari bahwa anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah BUMN Persero. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penjualan saham BUMN Persero disebut privatisasi yang tunduk dalam ketentuan UU BUMN dan 121 Perseroan Terbatas, sedangkan penjualan saham anak perusahaannya tunduk pada ketentuan di bidang perseroan terbatas. Penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukan merupakan BUMN juga dapat dilihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materiil Nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019, dimana dalam pertimbangan hukum Majelis halaman 1936 menyatakan sebagai berikut: Bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi tersebut maka untuk dapat mengetahui apakah Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri merupakan BUMN atau bukan salah satunya adalah dengan cara mengetahui komposisi modal _atau saham dari kedua bank tersebut; _ Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki _oleh BUMN; _ Pelaksanaan Penguasaan Negara Tidak Dilakukan oleh Anak Perusahaan BUMN/Persero a. Penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting oleh negara dilakukan oleh negara dan/atau BUMN, bukan oleh anak perusahaan .
Penguasaan cabang-cabang yang penting oleh Negara, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) yang pada intinya menyatakan bahwa sektor migas sebagai sumber daya alam strategis dikuasasi oleh negara, diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana. 122 Konstitusionalitas ketentuan dimaksud juga telah dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan majelis pada halaman 223 dan 224 butir 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU- I/2003 yang menyatakan: “ Pemohon mendalilkan bahwa pengertian Kuasa Pertambangan dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang hanya mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sementara kegiatan pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan bahan bakar minyak tidak termasuk di dalamnya, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, untuk menilai ada tidaknya penguasaan oleh negara, pasal dimaksud tidak dapat dinilai secara berdiri sendiri melainkan harus dihubungkan dengan pasal-pasal lain secara sistematis. Pasal 1 angka 5 undang- undang a quo yang berbunyi, “Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi”, hanyalah memberikan pengertian tentang Kuasa Pertambangan dan sama sekali belum menggambarkan implementasi pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945. Lagipula, dalam hubungannya dengan minyak dan gas bumi, yang juga harus dinilai adalah bahwa tujuan penguasaan oleh negara itu, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukanlah untuk penguasaan an sich melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam memeriksa dalil Pemohon ini, Mahkamah harus mempertimbangkan secara sistematis konteks pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud tatkala diimplementasikan dalam pasal- pasal lain dari undang-undang a quo. Jika pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Pasal 6 ayat (1), (2), dan Pasal 7 ayat (1) _tampak jelas hal-hal sebagai berikut: _ - _bahwa minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara; _ - penyelenggara penguasaan oleh negara dimaksud adalah _Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan; _ - Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha _Hulu di bidang minyak dan gas bumi (Pasal 1 angka 23); _ - Pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi (Kegiatan Usaha Hulu) dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama, yaitu Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan 123 hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran _rakyat (Pasal 1 angka 19); _ - Kontrak Kerja Sama dimaksud, paling sedikit harus memuat persyaratan: (a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan (yaitu titik penjualan minyak atau gas bumi); (b) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c) modal dan risiko ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud “pengendalian manajemen operasi” menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) adalah pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan, serta pengawasan _terhadap realisasi dari rencana tersebut; _ - Pelaksanaan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga (Kegiatan Usaha Hilir) dilaksanakan _dengan Izin Usaha; _ Uraian di atas menunjukkan bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan karenanya harus ditolak .” 2) Penguasaan cabang-cabang yang penting oleh BUMN, hal ini sesuai dengan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Nomor 36/PUU-X/2012 “Posisi BUMN [3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan 124 dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas. Dengan demikian, anggapan Pemohon bahwa BUMN harus bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil _Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum;
”_ BUMN/Persero Yang Dapat Diprivatisasi dan BUMN/Persero Yang Tidak Dapat Diprivatisasi a. Bahwa salah satu titik berat permohonan Pemohon menurut Pemerintah adalah pada dapat atau tidaknya suatu BUMN diprivatisasi. Untuk memahami dan membedakan mana BUMN yang dapat diprivatisasi dan mana BUMN yang tidak dapat diprivatisasi, Pemerintah merasa perlu untuk menjelaskan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 77 UU BUMN yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 76 (1) Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya _memenuhi kriteria: _ _a. industri/sektor usahanya kompetitif; atau _ b. industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. (2) Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi. Penjelasan ayat (1) Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya. __ 125 Pasal 77 _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh _BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu _yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi. b. Dari ketentuan tersebut, maka sangat jelas bahwa UU BUMN telah memahami pentingnya penguasaan negara melalui BUMN untuk melaksanakan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan: Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. c. Untuk itu, BUMN/Persero yang dapat diprivatisasi haruslah BUMN/Persero yang industri/sektor usahanya kompetitif atau industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. Industri/sektor usaha kompetitif adalah yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta, atau dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya. 126 d. Penafsiran atas sektor mana yang wajib untuk mempertahankan keberadaan BUMN di dalamnya, diserahkan kepada peraturan perundang-undangan sektoral itu sendiri. Hal itu didasari pemahaman bahwa tidak semua sektor usaha merupakan sektor yang strategis untuk dikuasai oleh Negara melalui BUMN, dan dari waktu ke waktu senantiasa terjadi perubahan. Di samping itu, dipahami pula kepentingan negara untuk mempertahankan BUMN yang melaksanakan penugasan Pemerintah. Hal ini terlihat sangat tegas diatur dalam Pasal 77 UU BUMN e. Bahwa karena Pasal 76 ayat (1) UU BUMN merujuk kepada Undang- Undang sektoral, maka Pemerintah dalam hal ini akan merujuk pada UU Migas sesuai dengan sektor usaha dari perusahaan Pemohon bekerja. Berikut ini ketentuan UU Migas yang menjadi rujukan Pemerintah: Pasal 1 angka 17 dan angka 18 UU Migas _Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: _ 17. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara _Kesatuan Republik Indonesia; _ 18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan _perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia; _ Pasal 5 UU Migas _Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas: _ _1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup: _ _a. Eksplorasi; _ b. Eksploitasi. _2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup: _ _a. Pengolahan; _ _b. Pengangkutan; _ _c. Penyimpanan; _ d. Niaga. 127 Pasal 9 UU Migas (1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan _oleh: _ _a. badan usaha milik negara; _ _b. badan usaha milik daerah; _ _c. koperasi; _ d. badan usaha swasta. (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu. f. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 9 UU Migas di atas, kegiatan usaha migas bukan merupakan sektor usaha yang semata-mata dikhususkan untuk BUMN saja, sehingga sektor usaha migas termasuk ke dalam sektor usaha kompetitif sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN beserta penjelasannya, karena ada badan usaha lainnya yang dapat ikut serta melaksanakannya.
Bahwa hal tersebut juga diperkuat oleh pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Migas pada halaman 110 dan halaman 111 butir 3.17 Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 sebagai berikut: [3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas. Dengan demikian, anggapan Pemohon 128 bahwa BUMN harus bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum. Terhadap anak perusahaan BUMN/Persero dapat dilakukan penjualan saham h. Sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU BUMN, terhadap BUMN/Persero yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk dipertahankan dan BUMN/Persero yang melaksanakan penugasan Pemerintah, tetap dapat melakukan pemisahan sebagian asetnya untuk dijadikan anak perusahaan, dan selanjutnya anak perusahaan tersebut dapat dilakukan penjualan sahamnya. Jelas bahwa UU BUMN telah membolehkan BUMN Persero yang bergerak di bidang usaha yang penting bagi Negara, untuk membentuk anak perusahaan yang selanjutnya saham dapat dijual. Selanjutnya, dapat kami sampaikan pula bahwa PT Pertamina (Persero) memiliki anak perusahaan yang sebelumnya merupakan BUMN, yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk (“PT PGN Tbk”). Negara masih memiliki saham seri A dwiwarna pada PT PGN Tbk. Berdasarkan Pasal 2A ayat (7) PP No.72 Tahun 2016, terhadap PT PGN Tbk masih terdapat perlakuan khusus, yaitu masih dapat diberikan penugasan oleh pemerintah dan mengelola sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN. Di samping itu, PT Pertamina (Persero) memiliki anak perusahaan:
yang berasal dari pemisahan unit/aset PT Pertamina (Persero), 2) yang didirikan untuk melaksanakan tugas yang berdasarkan ketentuan harus dilaksanakan oleh entitas usaha tersendiri.
yang merupakan perusahaan baru lainnya yang didirikan untuk mendukung usaha PT Pertamina (Persero). Bagaimana nilai suatu anak perusahaan bagi induknya, merupakan suatu hal yang dari waktu ke waktu berpotensi berubah, sesuai dengan kajian usaha terhadap anak perusahaan . Sehingga, sangat tidak logis apabila suatu BUMN yang mengemban peran Pasal 33 UUD 1945 wajib 129 mempertahankan seluruh anak perusahaannya, apabila berdasarkan perkembangan zaman perlu melakukan restrukturisasi anak-anak perusahaannya termasuk dengan penjualan saham anak-anak perusahaan. Dalam sejarahnya, PT Pertamina (Persero) pernah melakukan penjualan saham anak perusahaannya, yaitu PT Elnusa, pada tahun 2008 melalui IPO. Setelah melakukan IPO terjadi peningkatan revenue selama 3 tahun berturut-turut sampai tahun 2011. Kemudian pada periode tahun 2011 – 2019 Elnusa tetap mampu membukukan pertumbuhan pendapatan dari Rp. 4.7 trilliun hingga Rp. 8.3 Trilliun dengan Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compound Annual Growth Rate/CAGR) sebesar 7.5%. Bahkan dalam situasi ekonomi makro yang tidak stabil akibat pandemi di tahun 2020, PT Elnusa, Tbk masih mampu membagikan deviden kepada pemegang saham.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa BUMN/Persero yang merupakan induk dari perusahaan tempat Pemohon bekerja pada dasarnya merupakan BUMN yang bergerak dalam industri/usaha yang kompetitif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN. Sehingga menjadi tidak relevan lagi ketika Pemohon menginginkan tambahan norma ke dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN namun pada kenyataannya dirinya masuk dalam cakupan ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN. Dengan demikian, dapat Pemerintah simpulkan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak dapat dan tidak diperlukan untuk diberlakukan terhadap penjualan saham anak perusahaan.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara 130 sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
PT Pertamina (Persero) adalah BUMN yang 100% (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh Negara. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, maka tidak terdapat kendala dari sudut kepemilikan negara pada PT Pertamina (Persero) untuk mengajukan permohonan wilayah kerja kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ketidakberlakuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak ada sangkut pautnya dengan syarat yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004.
Bahwa apabila PT Pertamina (Persero) mendapatkan wilayah kerja berdasarkan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, dan dalam perjalanannya PT Pertamina (Persero) melakukan penjualan saham anak perusahaannya, hal ini tidak dapat dikatakan mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak boleh dibagi-bagi kepada swasta/perorangan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Penguasaan terhadap usaha migas dilakukan oleh Negara secara langsung dan dilakukan melalui BUMN, dalam hal ini PT Pertamina (Persero). Selanjutnya, Pasal 9 UU Migas dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 pada intinya menyatakan bahwa dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN mendapat perlakuan diutamakan sebagai wujud penguasaan Negara dalam bidang migas. Di samping itu, apabila dilakukan penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero), maka harus dilakukan berdasarkan kajian untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero). Berdasarkan penjelasan tersebut Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak dapat diberlakukan terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dengan maksud menghalangi partisipasi swasta/perorangan. UU BUMN 131 menyerahkan sepenuhnya pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam suatu bidang usaha untuk diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur bidang usaha tersebut.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan telah terjadi unbundling Pertamina karena seluruh bisnis inti ( core business ) dari hulu ke hilir, dari eksplorasi hingga pemasaran, telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh sub holding /anak perusahaan yang berbeda-beda dari PT Pertamina (Persero) yang merupakan Perseroan Terbatas Biasa. Unbundling pada BUMN yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berpotensi untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN tersebut kepada swasta/perorangan (privatisasi) dimana hal tersebut berpotensi menghilangkan hak menguasai negara. Selain itu, berpotensi juga menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha badan usaha yang berbeda, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Pemerintah memahami konsepsi penguasaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945, dan telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, khususnya dalam Pertimbangan Majelis Hakim butir 2 halaman 223 dan 224 yang telah kami sampaikan di atas, yang pada intinya menyatakan “ bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu ”.
Bahwa yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) adalah melakukan restrukturisasi melalui pembentukan anak perusahaan sebagai sub holding , yaitu: Gas Subholding (PT PGN Tbk), Upstream Subholding (PT Pertamina Hulu Energi), Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina International), Power & NRE Subholding (PT Pertamina Power Indonesia), dan Commercial & Trading Subholding (PT Patra Niaga). Di samping itu, bisnis perkapalan akan dijalankan PT Pertamina International Shipping. Restrukturisasi ini bertujuan menjadi untuk meningkatkan efektivitas perusahaan. 132 PT Pertamina (Persero) apabila melakukan penjualan saham pada anak perusahaan, dalam hal ini subholding yang merupakan pendukung core business -nya, maka harus dilakukan berdasarkan kajian untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero) dalam pelaksanaan kegiatan usaha pengelolaan migas.
Bahwa mengenai penguasaan Negara di bidang migas, kembali kami menegaskan bahwa hal tersebut dilakukan secara langsung oleh Negara dan dilakukan oleh Negara melalui BUMN, dalam hal ini oleh PT Pertamina (Persero), bukan dilakukan melalui anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa Pasal 9 UU Migas dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 pada intinya menyatakan bahwa dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN mendapat perlakuan diutamakan sebagai wujud penguasaan Negara dalam bidang migas. Berdasarkan penjelasan tersebut, Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak dapat diberlakukan terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dengan maksud menghalangi partisipasi swasta/perorangan. UU BUMN menyerahkan sepenuhnya pengaturan mengenai partisipasi masyarakat atau penguasaan negara dalam suatu bidang usaha untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha tersebut. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian ( constitusional review ) ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: __ 1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ); 133 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, atau dalam hal Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). KETERANGAN TAMBAHAN PRESIDEN I. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.
Terkait dengan salah satu kriteria Persero yang dapat diprivatisasi yaitu “industri atau sektor usahanya kompetitif” dan keterangan Pemerintah yang menyatakan Pemohon bekerja pada Perseroan yang kompetitif, mohon dijelaskan apakah sisi kompetitinya ada di induk perusahaan atau di anak perusahaan? Karena Pemohon dalam permohonannya mewakili pederasi. Penjelasan/Tanggapan:
Mengenai Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN yang menyatakan Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria industri/sektor usahanya kompetitif, dapat kami sampaikan bahwa sesuai dengan Penjelasan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN dinyatakan: “Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perunsang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya.” b. Selanjutnya, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) menyatakan: 134 “(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasl 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh:
Badan usaha milik negara;
Badan udaha milik daerah;
Koperasi;
Badan usaha swasta.” Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN dan Pasal 9 ayat (1) UU Migas, maka sisi kompetitifnya berada baik pada induk perusahaan maupun anak perusahaan, karena dalam industri/sektor usaha tersebut undang-undang sektoral telah membuka kesempatan kepada badan usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha bersama-sama dengan BUMN. Namun demikian, Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN merupakan ketentuan yang hanya berlaku terhadap Persero.
Mengenai Federasi, mohon dijelaskan federasi apakah di level serikat yang mewakili setiap anak perusahaan atau di level sekumpulan anak perusahaan yang membentuk serikat yang kemudian di atasnya ada federasi? Penjelasan/Tanggapan: Federasi Serikar Pekerja Pertamina Bersatu pada dasarnya bukanlah wadah organisasi yang secara langsung menaungi pekerja PT Pertamina (Persero) dan perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero), melainkan wadah yang menaungi serikat-serikat para pekerja, sehingga tidak memiliki hubungan hukum secara langsung dengan para pekerja. Para pekerja memiliki hubungan hukum secara langsung dengan serikat pekerja (yang merupakan anggota FSPPB/Pemohon) bukan dengan FSPPB itu sendiri. Selain itu, dalam perkara ini Pemohon menyampaikan permohonan uji materiil terhadap Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang tidak berlaku bagi anak perusahaan, sehingga timbul kekhawatiran anak perusahaan PT Pertamina (Persero) diprivatisasi. Dengan demikian, menurut Pemerintah Pemohon mencoba mengklaim mewakili kepentingan pekerja dari perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero), yaitu adanya kekhawatiran terjadinya privatisasi terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Mengenai legal standing Pemohon, seperti telah kami sampaikan dalam Keterangan Presiden dalam siding tanggal 14 Oktober 2020 bahwa kerugian 135 konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon menggunakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 dalam mendasarkan hak konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dianggap akan meniadakan hak menguasai negara, namun dalam permohonannya berulang kali Pemohon menyampaikan bahwa dirinya khawatir anak perusahaan PT Pertamina (Persero) diprivatisasi. Sehingga patut dipertanyakan apakah kerugian Pemohon terkait dengan potensi ketiadaan hak menguasai negara atau kekhawatiran anak perusahaan PT Pertamina (Persero) akan diprivatisasi. Apabila kekhawatiran privatisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dalam perkara ini dimohonkan bukan oleh pegawai/karyawan anak perusahaan yang bersangkutan atau yang mewakilinya, maka legal standing Pemohon sudah seharusnya dipertanyakan, Selanjutnya, terkait hal ini kami menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk mempertimbangkan dan memutuskan. II. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Arief Hidayat, S.H., M.S. Ada perbedaan penguasaan negara kepada perusahaan induk dan penguasaan negara terhadap anak perusahaan. Mohon dijelaskan dalam kasus-kasus atau dalam contoh-contoh bagaimana negara menguasai anak-anak perusahaan yang ada pada BUMN di Indonesia. Penjelasan/Tanggapan Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001- 021-022/PUU-I/2003 halaman 334 menyatakan: “Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas, maka dengan demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan Tindakan pengurusan ( bestuurdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoundensdaad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan ( bestuursdaad ) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut 136 fasilitas perizinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( concessie ). Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.” Berdasarkan pertimbangan tersebut:
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( concessive );
Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah;
Fungsi regulasi oleh Pemerintah (eksekutif);
Fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dan
Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasasi hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dapat disimpulkan bahwa terhadap anak perusahaan BUMN, penguasaan negara dalam sektor usaha tetap dilakukan oleh negara melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), fungsi pengaturan ( regelandaad ), fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthodensdaad ). Fungsi-fungsi ini dilakukan antara lain melalui peraturan perundang-undangan, perizinan dan pengawasan langsung oleh Lembaga dan/atau otoritas negara. Hal ini juga telah disampaikan 137 oleh Pihak Terkait, PT Pertamina (Persero) dalam keterangannya tanggal 9 November 2020 pada angka 37 yaitu bahwa dalam sektor penguasaan migas, SKK MIgas melakukan regulasi dan pengawasan pengelolaan usaha migas walaupun badan usaha regulasi dan pengawasan pengelolaan usaha migas walaupun badan usaha yang melakukan usaha di bidang migas adalah BUMN, anak perusahaan BUMN, BUMD, koperasi, dan badan usaha swasta, sehingga penguasaan negara tetap dapat dilakukan. Bahwa fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) tidak dapat dilakukan secara langsung oleh negara kepada anak perusahaan PT Pertaminan (Persero), mengingat pemilikan saham pada anak perusahaan dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) secara langsung, bukan oleh negara. Terhadap anak perusahaan BUMN, kepentingan Pemerintah dilakukan melalui BUMN induknya yang dilakukan dengan tunduk sepenuhnya pada mekanisme hukum korporasi. Sesuai dengan mekanisme korporasi, Menteri BUMN sebagai wakil Pemerintah selaku RUPS/Pemegang Saham BUMN Persero, memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap rencana Direksi BUMN Persero untuk melakukan restrukturisasi anak perusahaan BUMN Persero. Kewenangan tersebut diatur dalam anggaran dasar BUMN Persero yang mewajibkan adanya persetujuan RUPS antara lain terhadap tindakan:
Mendirikan anak perusahaan;
Melakukan penyertaan modal pada perseroan lain;
Melepaskan penyertaan pada anak perusahaan;
Melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran anak perusahaan. Di samping itu, terhadap BUMN yang dijadikan anak perusahaan BUMN lain (misalnya PT PGN Tbk., PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukti Asam Tbk, PT Timah Tbk, PT Perkebunan Nusantara I, II, IV s.d. XIV), Pemerintah masih melakukan penguasaan secara langsung atas saham minoritas yang memiliki hak istimewa (dalam anggaran dasar disebut saham minoritas yang memiliki hak istimewa (dalam anggaran dasar disebut saham seri A dwi warna). Hak istimewa tersebut 138 diatur dalam anggaran dasar anak perusahaan eks BUMN tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pasal 2A ayat (2) dan Penjelasannya yang menyatakan:
Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga Sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar. Penjelasan Pasal 2A ayat (2): “Yang dimaksud dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar antara lain hak untuk menyetujui:
Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris;
Perubahan anggaran dasar;
Perubahan struktur kepemilikan saham;
Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain.” Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, khususnya Pasal 2A tersebut di atas, Mahkamah Agung telah memberikan Putusan Nomor 21P/HUM/2017 atas permohonan judicial review yang diajukan oleh Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Yayasan Re-Ide Indonesia, Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., Dr. Suparji, S.H., M.H., dan Dr. M. Alfan Alfian, M. Dalam Putusannya tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa holdingisasi tidaklah sama dengan privatisasi karena privatisasi bertujuan salah satunya adalah memperluas kepemilikan masyarakat, namun dalam holdingisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (2) kepemilikan saham mayoritas masih di tangan negara melalui BUMN induk dan dalam prakteknya holdingisasi beberapa BUMN pernah dilakukan pemerintah terhadap beberapa BUMN yang sejenis. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami tegaskan bahwa terhadap anak perusahaan BUMN, penguasaan negara dalam sektor usaha tetap dilakukan oleh Negara melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), fungsi pengaturan ( regelendaad ), fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Sedangkan penguasaan melalui pengelolaan ( beheersdaad ) terhadap anak 139 perusahaan BUMN tidak lagi dilakukan secara mutlak, namun dilakukan melalui mekanisme korporasi, tang tetap memperhatikan eksistensi anak perusahaan tersebut. III. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA.
Apa kriteria sebuah anak perusahaan yang karena perkembangan jaman perlu dilakukan restrukturisasi atau perlu melakukan langkah lain? 2. Apakah di anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) telah diklasifikasikan menurut cabang-cabang produksi yang penting? Sehingga berdasarkan pengklasifikasian tersebut dapat dipilih pilihan kebijakan yang dapat diambil. Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah disampaikan dalam keterangan sebelumnya, pada saat ini PT Pertamina (Persero) melakukan restrukturisasi melalui pembentukan anak perusahaan sebagai subholding , yaitu: Gas Subholding (PT PGN Tbk), Upstream Subholding (PT Pertamina Hulu Energi), Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina International), Power & NRE Subholding (PT Pertamina Power Indonesia), dan Commercial & Trading Subholding (PT Patra Niaga). Di samping itu, pembentukan subholding tersebut juga dilakukan untuk memfokuskan pengelolaan terhadap perusahaan-perusahaan yang didirikan khusus untuk memenuhi amanah peraturan perundang-undangan di bidang migas yang mengatur kegiatan tertentu harus dilakukan oleh suatu entitas usaha tersendiri. Bahwa PT Pertamina (Persero) berkepentingan untuk menjaga eksistensi anak- anak perusahaannya. Seiring dengan perkembangan dalam kegiatan usaha masing-masing subholding sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero), tidak tertutup kemungkinan diperlukan restrukturisasi perusahaan. Restrukturisasi tersebut harus dilandaskan pada kajian bahwa restrukturisasi dilakukan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan. Dengan peningjatan kinerja anak perusahaan tersebut, diharapkan pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero) dalam pelaksanaan kegiatan usaha pengelolaan migas. Restrukturusisasi ini dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang 140 Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT). Beberapa hal yang tentunya menjadi pertimbangan sebuah perusahaan melakukan restrukturisasi antara lain dikarenakan adanya tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang-undang (misalnya restrukturisasi anak perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainya. Dapat kami tambahkan bahwa berdasarkan ketentuan anggaran dasar PT Pertamina (Persero), penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus dimuat dalam RKAP yang disahkan oleh Menteri BUMN selaku Rapat Umum Pemegang Saham. Dengan demikian, restrukturisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tersebut didasarkan atas kajian bisnis yang matang yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero). Dapat kami tambahkan juga bahwa Kementerian BUMN mengelompokkan BUMN berdasarkan kegiatan usahanya. Selanjutnya, masing-masing BUMN memiliki anak-anak perusahaan yang kegiatan usahanya mendukung BUMN induknya. Sebagai contoh, pada tahun 2011 PT Pelayaran Bahtera Adhiguna direstrukturisasi menjadi anak perusahaan PT PLN (Persero). Hal ini dimaksudkan untuk mendukung kinerja PT PLN (Persero) melalui transportasi batubara sebagai salah satu sumber energi yang digunakan oleh PT PLN (Persero) serta sekaligus mempertahankan kelangsungan bisnis PT Pelayaran Bahtera Adhiguna. IV. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM. Agar dapat disediakan data akurat mengenai apakah ada anak Persero atau anak perusahaan yang sahamnya 100% (serratus persen) atau lebih dari 50% (lima puluh persen) dimiliki oleh swasta? Apabila Pertamina saja harus 100% 141 (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh negara untuk mendapatkan penambahan wilayah kerja berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, bagaimana dengan anak perusahaan? Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah kami sampaikan dalam Keterangan Presiden sebelumnya, bahwa terhadap PT Elnusa, anak perusahaan PT Pertamina (Persero), telah dilakukan penjualan saham. Dapat kami informasikan bahwa saat ini PT Pertamina (Persero) memiliki saham sebesar 41,10% dan Dana Pensiun Pertamina memiliki 14,9% dan sisanya sebesar 44% dimiliki oleh publik. PT Elnusa bergerak di bidang jasa hulu migas dan melakukan investasi saham pada anak perusahaan dan perusahaan joint venture baik di industri migas hulu maupun hilir. PT Elnusa Tbk berdasarkan laporan keuangan 3 tahun terakhir yang telah diaudit memperoleh keuntungan dan memberikan deviden kepada PT Pertamina (Persero) (pemilik 41,1% saham) sebagai berikut: TB 2017 TB 2018 TB 2019 Dividen ELSA (juta IDR) 37.701 69.078 89.119 Laba Bersih ELSA (juta IDR) 247.140 276.314 356.474 Dividen Payout Ratio 15% 25% 25% Dividen yang diterima Pertamina (saham 41,1%) (dalam juta IDR) 15.236 28.391 36.628 Beberapa data mengenai anak perusahaan BUMN lain yang dilakukan penjualan saham: PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), penjualan (divestasi) sahamnya dimulai tahun 2001. Saat ini kepemilikan sahamnya adalah PT Telkom (Persero) sebesar 65% dan Singtel sebesar 35%. 142 TB 2015 (Rp miliar) TB 2016 (Rp miliar) TB 2017 (Rp miliar) TB 2018 (Rp miliar) TB 2019 (Rp miliar) Laba 22.338 28.194 30.395 25.536 25.798 Dividen 20.104 26.785 28.875 24.259 25.153 PT Wika Beton Tbk., penjualan sahamnya melalui pasar modal (IPO) dilakukan bulan April 2014. Saat ini susunan kepemilikan sahamnya adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., sebesar 60%, Koperasi Karya Mitra Satya (KKMS) sebesar 5,9%, Yayasan Wijaya Karya sebesar 0,99%, dan publik sebesar 33,11%. (Rp miliar) TB 2011 TB 2012 TB 2013 TB 2014 TB 2015 TB 2016 TB 2018 TB 2019 TB 2020 Laba 144,42 179,37 241,21 322,4 171,78 282,15 340,46 486,64 510,71 Dividen 36,83 50,55 62,63 20 98,56 52,19 81,72 101,14 145,92 PT PP Properti, Tbk, penjualan sahamnya melalui pasar modal (IPO) dilakukan semester I 2015. Saat ini susunan kepemilikan sahamnya adalah PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk sebesar 64,96%, YKPP sebesar 0,06%, dan publik sebesar 34,98%. TB 2014 TB 2015 TB 2016 TB 2017 TB 2018 TB 2019 Laba 106.120 300.325 365.382 444.679 471.257 342.695 Dividen - 60.065 73.076 88.935 94.251 34.269 Mengenai penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara, dapat kami sampaikan Kembali bahwa penguasaan negara melalui fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham negara pada BUMN atau Badan Hukum Milik Negara, bukan pemilikan saham BUMN pada anak perusahaan. Hal ini sesuai dengan Pertimbangan 143 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 halaman 334 yang menyatakan: “… fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak perusahaan bukan salah satu bentuk penguasaan negara dalam fungsi pengelolaan ( beheersdaad ). Penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara tertap dilakukan melalui fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Namun demikian, Pemerintah tetap berusaha melakukan penguasaan terhadap anak-anak perusahaan BUMN melalui mekanisme korporasi, yaitu berdasarkan ketentuan anggaran dasar BUMN induknya dan anggaran dasar anak perusahaan yang terdapat saham seri A dwiwarna, termasuk memperhatikan eksistensi anak-anak perusahaan tersebut. Terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) restrukturisasi akan dilakukan apabila berdasarkan kajian terdapat tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang-undang (misalnya restrukturisasi anak perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainnya. Pemerintah tetap akan memperhatikan kelangsungan anak-anak perusahaan melalui mekanisme korporasi sebagaimana telah kami sampaikan di atas, yaitu:
Berdasarkan ketentuan anggaran dasar BUMN induknya yang antara lain mengatur kewajiban mendapatkan persetujuan RUPS untuk melakukan:
Mendirikan anak perusahaan;
Melakukan penyertaan modal pada perseroan lain; 144 3) Melepaskan penyertaan pada anak perusahaan;
Melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran anak perusahaan.
Anggaran dasar anak perusahaan yang terdapat seri A dwiwarna, yang mengatur hak istimewa Pemegang Saham seri A dwiwarna untuk menyetujui:
Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris;
Perubahan anggaran dasar;
Perubahan struktur kepemilikan saham;
Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain.” Mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), khususnya Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5);
Penawaran Wilayah Kerja kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dilakukan oleh Menteri.
Dalam pelaksanaan penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri melakukan koordinasi dengan Badan Pelaksana.
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan permohona kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja.
Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permojhonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT Pertamina (Persero) dan sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% (seratur per serratus) dimiliki oleh negara.
PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan.” Pada dasarnya proses penunjukan untuk wilayah kerja dilakukan melalui seleksi/pelelangan yang terbuka bagi seluruh badan usaha migas. Namun demikian, berdasarkan ketentuan PP 35/2004, diatur perlakuan khusus bagi PT Pertamina (Persero) untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka melalui penunjukan langsung. Ketentuan khusus tersebut tidak berlaku terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero), sehingga dalam mendapatkan wilayah kerja, anak 145 perusahaan tersebut mempunyai mekanisme yang sama dengan badan usaha lainnya (BUMD, koperasi dan swasta). Apabila dilakukan penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero), hal tersebut tidak mengubah mekanisme perolehan wilayah kerja oleh anak perusahaan yang bersangkutan. V. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams., S.H., M.A. Mohon agar ditambahkan dalam keterangan tambahan mengenai petitum yang dimonta oleh Pemohon yaitu ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d diberi persyaratan mengikat sepanjanng larangan provatisasi diberlakukan secara limitative terhadap Persero dan tidak diberlakukan terhadap perusahaan milik persero. Dalam positanya Pemohon menyatakan kekhawatiran akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan, artinya perusahaan milik PT (persero) yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas secara seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan, sehingga hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perseorangan. Penjelasan/Tanggapan:
Mengenai kekhawatiran akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan, artinya perusahaan milik PT Pertamina (Persero) yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas secara seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan: Dapat kami sampaikan Kembali bahwa sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 halaman 334, pada intinya menyatakan penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara dilakukan melalui pemilikan saham pada BUMN/BHMN sebagai fungsi pengelolaan ( beheersdaad ), melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), dan/atau pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Dalam hal migas sebagaimana diatur dalam UU Migas, penguasaan negara dalam bidang migas dilakukan melalui: 146 - Penyelenggaraan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambahan sesuai Pasal 4 ayat (2) UU MIgas. - Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM sesuai Pasal 8 ayat (4) UU Migas. - Pengusahaan oleh badan usaha milik negara bersama-sama dengan badan usaha lainnya sesuai Pasal 9 UU Migas. Dapat kami sampaikan Kembali bahwa terhdap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero), restrukturisasi akan dilakukan apabila berdasarkan kajina terdapat tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang- undang (misalnya restrukturisasi anak perusahana yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainya. Dengan demikian, walaupun terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak lagi memenuhi kriteria definisi penguasaan negara )beheersdaad) sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 halaman 334, namun demikian Pemerintah tetap melakukan penguasaan melalui mekasnisme korporasi, dan apabila dilakukan restrukturisasi maka harus berdasarkan kajian untuk meningkatkan konerja anak peprusahaan itu sendiri dan/atau PT Pertamina (Persero).
Mengenai kekhawatiran hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perorangan: Bahwa kinerja anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dimaksudkan untuk menunjang kinerja PT Pertamina (Persero). Apabila suatu saat terjadi restrukturisasi anak perusahaan, maka restrukturusisasi tersebut harus memberikan kontribusi bagi anak perusahaan itu sendiri, dan juga bagi PT Pertamina (Persero). Bahwa apabila suatu saat restrukturisasi dilakukan melalui penjualan saham anak perusahaan, maka penjualan saham anak 147 perusahaan tersebut juga harus berdasarkan kajian bahwa penjualan saham itu akan meningkatkan kinerja anak perusahaan dan kinerja PT Pertamina (Persero) meningkat, maka pengelolaan usaha-usaha tersebut akan dinikmati oleh negara, PT Pertamina (Persero), anak perusahaan itu sendiri, karyawan, investor/mitra, swasta, dan seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut, serta masyarakat yang menikmati barang/jasanya. Sebagaimana telah kami sampaikan mengenai kinerja PT Elnusa Tbk., berdasarkan laporan keuangan 3 tahun terakhir telah memperoleh keuntungan dan memberikan dividen kepada PT Pertamina (Persero) (pemilik 41,1% saham) sebagai berikut: TB 2017 TB 2018 TB 2019 Dividen ELSA (juta IDR) 37.701 69.078 89.119 Laba Bersih ELSA (juta IDR) 247.140 276.314 356.474 Dividen Payout Ratio 15% 25% 25% Dividen yang diterima Pertamina (saham 41,1%) (dalam juta IDR) 15.236 28.391 36.628 Dengan demikian, apabila dilakukan restrukturisasi anak-anak perusahaan, hasilnya diharapkan untuk dapat dinikmati oleh negara, PT Pertamina (Persero), anak perusahaan itu sendiri, karyawan, investor/mitra, swasta, dan seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut, serta masyarakat yang menikmati barang/jasanya. VI. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum.
Mohon agar diperjelas apa yang dimaksud dengan Persero yang bergerak di sektor tertentu? Apakah kriterianya? Sektor-sektor mana yang dimaksud dengan sektor tertentu itu? Apakah itu terkait dengan penguasaaan sebesar- 148 besarnya tadi atau ada kriteria lain yang kemudian oleh pemerintah diberi tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu pula di situ? Penjelasan/Tanggapan: Pasal 77 huruf c UU BUMN menyatakan: “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertenti yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; ” Bahwa salah satu maksud dan tujuan Persero adalah mengejar keuntungan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN. Namun demikian, dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN dinyatakan: “Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.” Persero yang diberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, inilah yang tidak dapat diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c UU BUMN. Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) dalam Pasal 9 huruf c dan Penjelasannya dinyatakan:
Uji Materi Pasal 28 ayat (8) lampiran UU Nomor 2 tahun 2020Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan ...
Relevan terhadap
ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan Keterangan Pendahuluan ( Opening statement ) yang disampaikan dalam persidangan Mahkamah tanggal 8 Oktober 2020 yang keterangan tertulisnya diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 Oktober 2020 disertai keterangan tertulis Presiden, yang pada pokoknya sebagai berikut: OPENING STATEMENT PRESIDEN Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ( founding fathers ) telah menentukan salah satu tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari 115 tujuan dimaksud, Negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya. Negara harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini, telah secara nyata menimbulkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bahkan telah merenggut nyawa rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi yang tidak dapat ditentukan berakhirnya, secara nyata telah menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman tersebut. Legal Standing para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomian masyarakat. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya 116 kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Latar Belakang Penerbitan Perppu 1/2020 Sebelum memberikan keterangan atas UU 2/2020, perlu Pemerintah sampaikan mengenai latar belakang penerbitan Perppu 1/2020. Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di Kota Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat, ganas dan luas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret 2020 meliputi 205 negara dengan hampir 1 juta kasus penularan dan lebih dari 47 ribu kematian. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran kemudian terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial jumlah pasien Covid-19 telah menimbulkan krisis bidang kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial yang berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown ), hingga yang bersifat pembatasan sosial secara terbatas ( physical distancing ). Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid- 19, mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial yang menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,3% menjadi kontraksi -3%. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia saat itu, diperkirakan mencapai 9 triliun dolar Amerika, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar negara-negara berkembang, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. 117 Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi extraordinary tersebut mendorong berbagai negara untuk melakukan langkah luar biasa dalam menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara- negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia), kebijakan moneter longgar berupa penurunan suku bunga, memompa likuiditas- quantitative easing , serta melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh dibawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang diatas 5%. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar Amerika dan mengalami depresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan perusahaan. Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonomian dan sistem keuangan, Pemerintah dan otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah extraordinary secara cepat dan signifikan. Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksud memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setelah melakukan konsultasi 118 dengan beberapa lembaga negara dan mempertimbangkan secara seksama berbagai masukan yang diperoleh, Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa tersebut adalah Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang keuangan negara maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya penyebaran Covid-19. Memperhatikan bahwa terhadap 7 permohonan ini, hampir seluruh pasal dalam Lampiran UU 2/2020 dimohonkan pengujian, Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan para Pemohon yaitu:
perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan _controlling; _ (2) pengujian formil;
ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan;
kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), perpajakan dan kepabeanan, penerbitan SUN dan/atau SBSN, penyesuaian mandatory spending , penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah (5) pelaksanaan kebijakan keuangan negara;
kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK;
perlindungan hukum;
harmonisasi UU 2/2020 dengan UU terdampak. Persetujuan DPR Sebagai Fungsi Budgeting Dan Controlling Telah Terpenuhi Meskipun kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksanaan Pasal 22 UUD 1945, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 melalui pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang, maka kebijakan dalam UU 2/2020 telah mendapatkan persetujuan DPR. Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD 1945 dan memberikan 119 kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Pembentukan UU 2/2020 Secara Formil Telah Sesuai Dengan UUD 1945 Dalam Rangka Pemberian Kepastian Hukum Atas Langkah Kedaruratan Dalam Perppu Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan. Memperhatikan dampak pandemi Covid-19 yang extraordinary , Pemerintah menyadari pentingnya persetujuan DPR segera diperoleh untuk kepastian keberlanjutan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19. Penanganan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional memerlukan biaya sangat besar yang tidak tercukupi apabila menggunakan alokasi sesuai APBN TA 2020. Selain itu, diperlukan langkah-langkah extraordinary yang belum diatur kewenangannya dalam undang-undang yang ada. Hal tersebut diperlukan sebagai landasan pemberian dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha dalam rangka penyelamatan kesehatan masyarakat, perekonomian, dan stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pada tanggal 1 April 2020, Pemerintah telah menyampaikan RUU tentang penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Bahwa pembahasan atas RUU yang disampaikan Pemerintah dilakukan oleh DPR pada masa persidangan yang sama tidak melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah telah meneliti tidak ada larangan untuk melakukan pembahasan pengesahan Perppu dalam masa persidangan yang sama dengan saat pengajuan RUU oleh Pemerintah. Dilaksanakannya pembahasan RUU dalam masa persidangan yang sama (masa persidangan ke-3), menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga menyadari tindakan-tindakan untuk penyelamatan perekonomian nasional harus segera dan secara berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah. Untuk memberikan kepastian hukum, setelah melalui proses pembahasan sesuai tahapan pembentukan undang-undang, pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan pengesahan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Bahwa dengan demikian, proses persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah memenuhi formalitas pengesahan Perppu sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. 120 Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Tidak Hanya Untuk Penanganan Covid-19 Namun Juga Bersifat Antisipatif ( Forward Looking ) Untuk Mengatasi Ancaman Dampak Covid-19 Di dalam konsiderans Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan efek domino terhadap perlambatan perekonomian. Apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan secara cepat dan tepat atas perlambatan tersebut, secara pasti akan terjadi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 didesain tidak hanya ditujukan untuk penanganan Covid-19 melainkan juga tindakan antisipatif ( forward looking ) untuk menangani efek domino yang ditimbulkan yaitu ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi maupun krisis di sektor keuangan, Lampiran UU 2/2020 juga harus memberi legitimasi bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya Covid-19. Dengan legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, meskipun dalam beberapa ketentuan terdapat batasan waktu, seperti batasan pelebaran defisit sampai dengan tahun 2020, namun secara utuh, tidak dapat diberikan batasan jangka waktu keberlakuan UU 2/2020 seperti UU Pengampunan Pajak misalnya. Keberlanjutan UU 2/200 ini diperlukan dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini menjadi bukti ketidakpastian yang harus dihadapi. Beberapa Pemerintah Daerah kembali melakukan 121 Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghambat penyebaran Covid-19. Harapan perbaikan pertumbuhan perekonomian menjadi positif di Kuartal III 2020 dari pertumbuhan -5,32% di Kuartal II 2020 diprediksi sangat sulit terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah bulan September lalu, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Pelebaran Defisit Menjadi Pilihan Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Sebagai Respon Atas Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Belanja Negara Secara Signifikan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, untuk menghadapi ancaman perekonomian nasional, Pemerintah memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan negara agar penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Fleksibilitas tersebut tidak dapat dilakukan apabila Pemerintah hanya berdasar pada ketentuan Undang-Undang yang telah ada sebelum pandemi Covid-19. Salah satu fleksibilitas yang diperlukan oleh Pemerintah adalah terkait dengan penyesuaian besaran defisit anggaran. Pada UU Keuangan Negara, diatur bahwa defisit anggaran dibatasi sebesar 3% dari PDB. Batasan maksimal defisit anggaran sesuai ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh Pemerintah karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan pada pendapatan negara sekaligus peningkatan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran. Kewenangan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3% tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal itu ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan 122 fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati, dengan tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas dan transparansi. Untuk itu, Lampiran UU 2/2020 memberi pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan TA 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka pembiayaan defisit maksimal 60% dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa meskipun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, namun Pemerintah akan melakukan pembahasan penetapan besaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 dengan DPR melalui mekanisme RAPBN. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga esensi persetujuan DPR sesuai Pasal 23 UUD 1945 pada pembahasan APBN tahun mendatang. Dalam proses penyusunan UU APBN TA 2021, Pemerintah bersama DPR telah menyetujui d efisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Pada APBN 2020, Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34% PDB yang ditetapkan melalui Perpres 72 Tahun 2020. Besaran defisit tersebut telah mengakomodir biaya penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai berikut: No. Program Anggaran Realisasi 1. Kesehatan 87,55 T 21,92 T 25% 2. Perlindungan Sosial 203,91 T 157,03 T 77% 3. Insentif Usaha 120,61 T 28,07 T 23,3% 4. UMKM 123,47 T 81,85 T 66,3% 5. Pembiayaan Korporasi 53,6 T 0 0 6. Sektoral dan Pemda 106,05 T 26,61 T 25,1% Total 695,2 T 315,48 T 45,4% Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk perlindungan sosial untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat. Diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM dan insentif usaha, dan dukungan anggaran untuk sektoral dan Pemda. Besaran anggaran program kesehatan meski bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk mendukung biaya penanganan Covid-19 (pembelian alat 123 kesehatan seperti APD, Rapid Test, Reagen, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan), subsidi Iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak serta bea masuk untuk alat kesehatan. Sedangkan anggaran perlindungan sosial digunakan untuk mendukung pelaksanaan Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, Program Bantuan Sosial Sembako Jabodetabek, Program Bantuan Sosial Tunai, Program Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Program insentif usaha ditujukan untuk menjaga keberlanjutan aktivitas usaha masyarakat dalam bentuk pemberian insentif perpajakan. Dalam mendukung UMKM, Pemerintah telah melaksanakan beberapa program diantaranya yaitu pemberian subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Program pembiayaan korporasi antara lain dilaksanakan melalui pemberian penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN. Program sektoral K/L dan Pemda diantaranya digunakan untuk mendukung program padat karya, pemberian Dana Insentif Daerah untuk pemulihan ekonomi, pariwisata dan pemberian Dana Alokasi Khusus Fisik. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Sebagai rangkaian program PEN untuk terus menggerakkan perekonomian yang sedang mengalami perlambatan, Pemerintah memandang perlu melakukan upaya- upaya mendorong ekspansi kredit dan penurunan suku bunga kredit perbankan. Untuk itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kapasitas pendanaan telah melakukan penempatan dana per 30 September 2020 sebesar Rp61,7 triliun dengan rincian pada Bank Himbara sebesar Rp47,5 triliun, pada 7 BPD sebesar 11,2 triliun, dan pada 3 bank syariah sebesar 3 triliun. Selain itu, Pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur salah satu BUMN Pembiayaan, telah memberikan 124 pinjaman kepada 5 Pemerintah Daerah dengan total komitmen sebesar Rp6,8 triliun (DKI Jakarta senilai Rp3,265 triliun, Jawa Barat senilai Rp1,812 triliun, Banten senilai Rp851,77 miliar, Sulawesi Utara senilai Rp723,7 miliar, dan Kabupaten Ponorogo senilai Rp200 miliar). Pinjaman tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program-program PEN di daerah masing-masing. Kebijakan Penurunan Tarif Perpajakan Sebagai Insentif Untuk Menjaga Kesehatan Keuangan Perusahaan di Masa Pandemi Covid-19 Dalam UU 2/2020 telah ditetapkan kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai insentif/dukungan Pemerintah menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam masa pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 hampir menyentuh semua sektor usaha. Dalam perspektif tersebut, insentif perpajakan sangat relevan diberikan ke semua sektor usaha tidak hanya yang bergerak di bidang riset dan pengembangan terkait Covid-19 sebagaimana yang diinginkan Para Pemohon. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Pemungutan PMSE Merupakan Upaya Pemerintah Untuk Mengoptimalkan Penerimaan Negara Di Tengah Pandemi Covid-19 Serta Menciptakan Kesetaraan Bagi Pelaku Usaha Dalam Negeri Maupun Luar Negeri Penurunan pendapatan negara secara signifikan akibat pandemi Covid-19 di satu sisi dan adanya akselerasi transformasi digital di sisi lain telah menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan penetapan pajak dari sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam UU 2/202020. Basis pajak dari transaksi digital menjadi sangat penting pada saat penerimaan negara menurun sehingga Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar 125 negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Lampiran UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi pengenaan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Pertimbangan serupa juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, pemberian atribusi merupakan bentuk kebijakan pembentuk undang-undang ( legal policy ) sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan UUD 1945. Pemberian wewenang atribusi menetapkan tarif pajak bukanlah hal baru. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan. Dengan demikian, pengaturan mengenai besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana yang dipahami oleh para Pemohon. Pengaturan Pembebasan Bea Masuk Oleh Menteri Keuangan Merupakan Pelaksanaan Wewenang Atribusi Yang Bertujuan Menjamin Ketersediaan Alat Kesehatan Untuk Penanganan Covid-19 Untuk menjamin ketersediaan barang impor yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah perlu memiliki fleksibilitas dalam pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan atau keringanan bea masuk. Pasal 10 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan wewenang atribusi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perubahan jenis barang yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan yang secara limitatif ditetapkan dalam UU Kepabeanan. Pemberian 126 wewenang atribusi dalam UU 2/2020 ini sejalan dengan prinsip hukum administrasi negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan di tengah adanya kondisi kegentingan memaksa. Selain itu, pemberian wewenang atribusi yang ditetapkan dalam produk hukum UU 2/2020 mempunyai kedudukan yang setara dengan UU Kepabeanan. Dalam pelaksanaannya, Menteri Keuangan selaku penerima wewenang atribusi dalam pemberian fasilitas kepabeanan tidak akan semena-mena menyalahgunakan kewenangan dimaksud. Menteri Keuangan melalui PMK 34/PMK.04/2020 juncto PMK 83/PMK.04/2020 hanya memberikan fasilitas kepabeanan untuk impor barang keperluan penanganan Covid-19. Sesuai Lampiran PMK tersebut, jenis-jenis barang yang diberikan fasilitas adalah test kit dan reagen laboratorium , virus transfer media , obat dan vitamin, peralatan medis, dan alat pelindung diri. Dengan demikian prinsip pemberian fasilitas secara limitatif tetap terjaga. Penerbitan SUN dan/atau SBSN Yang Dapat Dibeli Oleh BI Bertujuan Untuk Menjaga Kesinambungan Fiskal Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Sesuai Dengan Fungsi BI Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan negara menurun cukup drastic sedangkan anggaran belanja harus ditingkatkan sehingga pelebaran defisit tak terhindarkan. Untuk pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah perlu menerbitkan SUN dan/atau SBSN berjangka panjang. Pemberian kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana merupakan salah satu upaya gotong royong organ negara ( burden sharing ) untuk menjaga kesinambungan fiskal dalam rangka mencegah terjadinya krisis ekonomi. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dimaksud berupa pembayaran kupon atas SUN dan atau SBSN yang dibeli oleh BI, sesuai tabel berikut: No. Penggunaan Nilai (Rp) Burden Sharing Mekanisme Penerbitan 1. Public Goods 397,56T Ditanggung BI seluruhnya sebesar BI reverse repo rate Private Placement 2. Non-Public Goods 177,03T Ditanggung Pemerintah Mekanisme 127 - UMKM 123,46T sebesar BI reverse repo 3 bulan dikurangi 1%, sisanya ditanggung BI market (lelang, Green Shoe Option, Private Placement ) - Korporasi 53,57T 3. Non-Public Goods Lainnya 328,87T Ditanggung Pemerintah seluruhnya sebesar market rate Di samping pengaturan norma pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI telah dibahas terlebih dahulu sebelum ditetapkan dalam Lampiran UU 2/2020, dengan penetapan secara bersama besaran kupon sebagai burden sharing jelas terlihat bahwa baik dalam perumusan norma maupun implementasinya, independensi BI tetap terjaga. Secara best practices , kebijakan bank sentral untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan juga diimplementasikan oleh negara-negara lain termasuk negara anggota G20. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Tidak Menghapuskan Dana Desa dari APBN 2020 dan Tahun-tahun Mendatang Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur mengenai penyesuaian atas pemenuhan belanja wajib ( mandatory spending ), antara lain penyesuaian pemenuhan anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa dimaksudkan agar Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. 128 Sebagai bentuk harmonisasi antara ketentuan penyesuaian mandatory spending dalam UU 2/2020 dan UU Desa, ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku ( vide Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020). Tidak berlakunya ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa sama sekali tidak menghapuskan anggaran Dana Desa dari APBN TA 2020 dan tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipahami para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Pemerintah tetap memegang komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi di desa melalui Dana Desa yang diprioritaskan untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Perekonomian pedesaan yang kuat merupakan pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sehingga Pemerintah akan terus mendukung pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Penggunaan Dana Abadi Tidak Bertentangan Dengan Kewajiban Negara Memenuhi Hak Atas Pendidikan Pembiayaan APBN di masa Pandemi Covid-19 membutuhkan sumber pendanaan yang cepat dan efisien. Dengan kebutuhan tersebut, Pasal 2 ayat (1) huruf e UU 2/2020 mengatur pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih, dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi pada BUMN sebagai sumber pendanaan APBN. Penggunaan dana abadi pendidikan tidak akan bertentangan dengan kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan karena:
hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19;
sampai saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan dana abadi pendidikan sebagai sumber pendanaan APBN;
apabila dipergunakan, akan menjadi investasi dana abadi pendidikan melalui pembelian SUN dan/atau SBSN yang akan mendapatkan return , bukan sebagai belanja Pemerintah. Pengaturan Refocusing Dan Realokasi Anggaran Melalui Permendagri Tidak Bertentangan Dengan Prinsip Otonomi Daerah Sebagai wujud integrasi kebijakan nasional dan kebijakan daerah, Pasal 3 ayat (1) UU 2/2020 mengatur Pemda melakukan refocusing dan realokasi anggaran daerah dengan prioritas penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya 129 sesuai kondisi masing-masing daerah. Pada kondisi pandemi Covid-19, kecepatan dan ketepatan dalam penyesuaian anggaran daerah menjadi sangat penting. Untuk itu, Pasal 3 ayat (2) UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur mengenai refocusing dan realokasi penggunaan APBD sebagai pedoman bagi seluruh Pemda. Dengan adanya pedoman ini, Pemda dapat segera melakukan penyesuaian anggarannya secara mandiri. Dengan demikian pemberian kewenangan kepada Mendagri tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 8 UU Pemda sebagai pembina dan pengawas pemerintahan daerah, bukan merupakan intervensi Pemerintah Pusat sebagaimana pemahaman para Pemohon. Penetapan Rekening Akun Khusus Belanja Covid-19 dan Penetapan Perpres Rincian APBN Sebagai Wujud Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 membutuhkan uang negara yang sangat besar dalam kurun waktu yang singkat. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, Pasal 12 Lampiran UU 2/2020 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan kebijakan keuangan negara dilakukan dengan tata kelola yang baik. Dalam implementasi tata kelola anggaran terkait Covid-19, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2020. Hal ini untuk menjamin seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dipantau dan dievaluasi penggunaannya. Selain itu, dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, Pemerintah bekerja sama dengan aparat penegak hukum meliputi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK untuk melakukan pendampingan Kementerian/Lembaga. Sebagai bentuk transparansi publik, Pemerintah secara rutin menyampaikan perkembangan pelaksanaan kebijakan melalui press conference dan rapat pembahasan dengan DPR. Hal tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk terus menerus melaksanakan seluruh kebijakan keuangan yang ditetapkan dalam UU 2/2020 memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan taat peraturan. Dengan demikian, pada dasarnya UU 2/2020 telah sangat memperhatikan harapan para Pemohon sebagai warga masyarakat. 130 Mempertimbangkan situasi extraordinary akibat pandemi Covid-19, Pasal 12 ayat (2) UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi bagi Presiden untuk menetapkan perubahan postur sekaligus rincian APBN melalui Perpres. UU 2/2020 pada dasarnya telah menetapkan kebijakan pelebaran defisit APBN TA 2020 sampai dengan APBN TA 2022. Penetapan ini dilakukan sebagai langkah extraordinary penanganan kegentingan memaksa pandemi Covid-19 berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 sekaligus untuk menyesuaikan kebijakan dalam UU APBN TA 2020 yang merupakan pelaksanaan Pasal 23 UUD 1945. Dengan demikian, penetapan pelebaran defisit dalam Lampiran UU 2/2020 sebagai pedoman penyesuaian UU APBN TA 2020 dapat disetarakan dengan UU Perubahan APBN dalam situasi kegentingan memaksa. Amanat perubahan postur dalam Perpres didasarkan situasi yang tidak memungkinkan penetapan melalui proses secara normal. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa penetapan postur APBN dalam Perpres hanya dilakukan untuk TA 2020. Untuk TA 2021 dan tahun-tahun berikutnya, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada kondisi normal sehingga Pemerintah sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Kewenangan LPS Sesuai UU 2/2020 Merupakan Penegasan Kewenangan Yang Telah Diberikan Oleh Undang-undang Terdahulu Untuk Penanganan Kesulitan Likuiditas LPS Dalam Menyelamatkan Bank Gagal dan Menghindarkan Negara Dari Krisis Ekonomi Sebagaimana telah Pemerintah sampaikan, dampak pandemi Covid-19 telah secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Selain itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, perlu memperkuat landasan hukum bagi LPS dalam melakukan tindakan antisipasi penanganan permasalahan bank dan resolusi bank gagal baik bank sistemik maupun bank selain bank sistemik. Sampai saat ini, stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Namun perlu melakukan kebijakan antisipatif ( forward looking ) dengan menegaskan kembali sumber-sumber pendanaan yang dapat diperoleh LPS untuk menjaga kecukupan likuiditasnya ( vide Pasal 20 ayat (1) huruf b 131 Lampiran UU 2/2020). Salah satu sumber pendanaan LPS adalah melakukan melakukan pinjaman kepada pihak lain dan/atau Pemerintah yang juga telah diatur dalam undang-undang terdahulu yaitu UU LPS, UU OJK, dan UU PPKSK. Pinjaman kepada pihak lain dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Hal ini juga sesuai dengan best practice yang dijalankan di negara-negara lain yang memiliki lembaga resolusi perbankan. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Pemberian pinjaman kepada LPS dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPR dalam APBN kecuali untuk APBN TA 2020 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Persyaratan persetujuan DPR hanya diberlakukan untuk pinjaman kepada Pemerintah karena bersumber dari APBN dan tidak dipersyaratkan untuk pinjaman LPS kepada pihak lain sebagaimana juga diatur dalam UU terdahulu. Sampai saat ini, LPS masih memiliki kecukupan likuiditas. Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Kebijakan ini merupakan langkah antisipatif ( forward looking ) untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah yang akan dilaksanakan apabila terjadi pemburukan perekonomian yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa program penjaminan dimaksud bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Perintah Tertulis OJK Sebagai Instrumen Menjaga Keberlangsungan Lembaga Keuangan Dalam Rangka Meningkatkan Resiliensi Sistem Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau 132 konversi (P3IK) yang telah diatur dalam UU OJK dan UU PPKSK. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis OJK tersebut, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengancam stabilitas sistem keuangan maka ancaman sanksi diperberat dibandingkan sanksi dalam UU OJK. Pemberian sanksi dimaksud merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum yang harus dijaga oleh OJK selaku lembaga pengawas jasa keuangan, bukan kesewenang-wenangan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Perlindungan Hukum Dalam UU 2/2020 Sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi Pengambil Kebijakan Dalam Bertindak Sesuai Kewenangannya Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Teori imunitas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara, dengan 133 demikian tidak mengherankan ketentuan serupa merupakan hal yang precedented . Di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP, Pasal 48 UU PPKSK, Pasal 22 UU Pengampunan Pajak, Pasal 45 UU Bank Indonesia, Pasal 36A ayat (5) UU KUP, Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 224 ayat (1) UU MD3, Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 26 UU BPK mengatur pemberian perlindungan hukum serupa. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga mendapatkan hasil yang optimal. 134 Pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 bukan merupakan kerugian negara didasarkan pada pertimbangan antisipatif antara lain adanya kondisi bahwa biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan penyelamatan perbankan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan tidak sepenuhnya ter- recovery . Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan wewenang para pelaksana UU 2/2020 dilandaskan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sangat beralasan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam keuangan negara yang menjadi pedoman bagi pemeriksa baik BPK maupun APH bahwa terjadinya kerugian negara harus dikaitkan dengan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal tersebut mengadopsi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Pemberian Kepastian Norma Hukum Melalui Harmonisasi Keberlakuan Norma UU Yang Terdampak Norma dalam UU 2/2020 Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau penyesuaian undang-undang terdahulu dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Dengan demikian, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. 135 Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan sewenang-wenang sesuai dalil para Pemohon. Sebelum mengakhiri Keterangan Presiden ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan fakta-fakta perbaikan kondisi perekonomian di Kuartal II 2020 sebagai implikasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah berdasarkan kebijakan dalam UU 2/2020. Beberapa indikator sektoral telah bergerak ke arah positif pada bulan Juni 2020. Membaiknya perdagangan internasional telah mendorong kinerja perpajakan. Pada sektor riil, konsumsi masyarakat mengalami rebound namun masih lemah. Selain itu, degup ekonomi pada bidang konstruksi mulai naik serta produksi dalam negeri mulai tumbuh. Cadangan devisa juga meningkat didukung dengan penerbitan SBN Valas. Aktivitas ekspor impor juga menunjukkan tren membaik dengan potensi ekspor ke Tiongkok yang mulai tumbuh. Pada sektor moneter dan keuangan, yield SBN kembali ke kondisi awal tahun 2020, likuiditas perbankan terjaga serta inflasi dalam kondisi terkendali. Implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional yang efektif telah menjadi penggerak utama dari pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih mempercepat pemulihan ekonomi, Pemerintah juga telah menerbitkan program baru yaitu pemberian insentif bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta/bulan. Mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2020 yang terkontraksi (minus) 5,32 persen serta realisasi data perekonomian dan sektor keuangan hingga akhir Kuartal III 2020, optimisme terhadap magnitude perbaikan di paruh kedua tahun 2020 perlu sedikit disesuaikan. Dalam hal ini, kendati masih diyakini bahwa kondisi Kuartal III 2020 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya namun besaran tingkat recovery diperkirakan tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah akan tetap terus antisipatif dan adaptif terhadap perkembangan yang ada termasuk ketidakpastian yang masih akan dihadapi. Dalam hal ini, langkah extraordinary yang koordinatif antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan terus dikalibrasi sesuai dengan perkembangan terkini dan diimplementasikan tanpa keraguan karena telah memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU 2/2020. Sebagaimana filsuf berkebangsaan Italia, Cicero, 136 katakan, “ Salus populi suprema lex esto ”, bagi Pemerintah saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara . Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima. KETERANGAN TERTULIS PRESIDEN I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon pada pokoknya adalah: Gambar 1: Matriks Pengujian UU 2/2020 Adapun batu uji yang digunakan oleh para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: 137 Gambar 2 : Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan Para Pemohon II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) 138 syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Terhadap legal standing para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020, Pemerintah sampaikan bahwa para pihak dalam perkara dimaksud adalah pihak-pihak yang sama dengan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang telah dilakukan pencabutan sesuai Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon dalam perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 sama dengan perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020, hal ini diakui oleh para Pemohon pada sidang pendahuluan tanggal 15 Juli 2020. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Amar Ketetapan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, para Pemohon seharusnya tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo . III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LATAR BELAKANG PENERBITAN UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 139 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home , work from home , dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa (extraordinary) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate terhadap dampak 140 pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari- Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah 141 memberikan dasar yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perppu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perppu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perppu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak 142 diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perppu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perppu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. 143 Dengan disetujuinya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. B. BANTAHAN DALIL-DALIL PARA PEMOHON 1. Keterangan Presiden Atas Uji Formil UU 2/2020 Dalam permohonannya, para Pemohon dalam perkara Nomor 37 dan 45/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara formil karena pembahasan dan penetapannya tidak pada masa sidang berikutnya. Dalil Pemohon tersebut didasarkan pada penafsiran bahwa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “masa sidang yang berikutnya”. Terhadap dalil para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang mengadopsi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 disebutkan “Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. ” c. Berdasarkan ketentuan Pasal 221 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR), masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Sesuai dengan 144 ketentuan Pasal 1 angka 13 Peraturan Tata Tertib DPR, masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan di dalam gedung DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat penggunaan frasa yang berbeda antara UUD 1945, UU 12/2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR, mengenai norma waktu Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Frasa “Persidangan Yang Berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 sebagai masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Di samping itu, frasa “Masa Sidang Pertama” tidak ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Frasa yang digunakan dalam Peraturan Tata Tertib DPR adalah “Masa Persidangan” yang terdiri dari “Masa Sidang” dan “Masa Reses”. Selanjutnya, tahun sidang dibagi dalam 4 masa persidangan (bukan “masa sidang”) yang dimulai tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Sesuai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masa sidang pertama yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 52 merujuk pada penghitungan norma waktu pemberian persetujuan DPR yaitu setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden, sehingga tidak dapat dimaknai merujuk pada masa persidangan pertama dari 4 masa persidangan dalam 1 tahun masa sidang yang waktunya adalah di bulan Agustus. Selain itu, dalam konteks kegentingan yang memaksa/ state of emergency terbitnya Perppu, frasa “masa sidang pertama” lebih tepat dimaknai sebagai masa persidangan terdekat/tercepat setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden. Prof. Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi/Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, FHUI) menyatakan Perppu jangka waktunya terbatas (sementara), sehingga secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, maka setelah Perppu 1/2020 diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR pada tanggal 1 April 2020. 145 Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional mengakibatkan diperlukannya dana yang besar untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha. Perppu 1/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber- sumber pembiayaan. Pelaksanaan kebijakan Perppu 1/2020 sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 maupun ancaman terhadap perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang menyertainya memerlukan pengeluaran yang sangat besar dan berkelanjutan. Kebijakan extraordinary melalui Perppu 1/2020 yang diputuskan oleh Presiden dalam situasi kegentingan memaksa sebagai implementasi hak subjektif Presiden sesuai mandat konstitusi membutuhkan kepastian yang segera untuk keberlanjutan dalam pelaksanaannya sehingga perlu segera mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Respon DPR yang secara cepat dalam proses pembahasan dan persetujuan Perppu 1/2020 merupakan wujud kesamaan pandangan wakil rakyat atas kondisi kegentingan memaksa yang harus diambil Pemerintah dan untuk memberikan kepastian keberlanjutan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Perppu 1/2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk penyelamatan masyarakat dan negara di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR tersebut merupakan wujud penyelamatan rakyat sebagaimana adagium “Salus Populi Suprema Lex Esto” dari Cicero yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebagai respon atas situasi kegentingan memaksa dan dengan tujuan perlindungan kepada rakyat dan Negara dalam situasi extraordinary , maka persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020, menurut Pemerintah perlu diapresiasi dan menunjukan ketaatan kepada hukum dan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang 146 memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memenuhi kuorum karena dilakukan melalui rapat virtual dan tidak dilakukan voting , dapat Pemerintah sampaikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3), kuorum rapat DPR terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi.
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Kehadiran secara virtual Anggota DPR dalam Rapat Paripurna tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap kebijakan physical distancing sebagai protokol pencegahan Covid-19 dalam situasi extraordinary dan telah menjadi proses bisnis dalam era new normal di seluruh lembaga/institusi/masyarakat. Dengan demikian, kehadiran secara virtual harus diperlakukan sama dengan kehadiran secara fisik sehingga sekali tidak mengurangi esensi dari pemenuhan kuorum. Dalam kehadiran secara virtual, para Anggota DPR tetap dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sebagai forum tertinggi persetujuan pengesahan Perpu 1/2020 telah memenuhi kuorum sebagaimana dipersyaratkan UU MD3.
Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 terdapat 1 fraksi yang tidak menyetujui, sedangkan 8 fraksi lainnya menyatakan menyetujui. Dengan demikian, karena hanya 1 fraksi yang tidak menyetujui, Ketua DPR menyatakan penetapan Perppu menjadi UU melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor 5/DPR RI/III/2019-2020 tanggal 12 Mei 2020. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan pembahasan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 harus melibatkan DPD, dapat Pemerintah sampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu cukup mendapat persetujuan DPR. Sesuai dengan 147 ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, kewenangan untuk memberikan persetujuan atas Perppu ada pada DPR. Namun demikian, baik dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 maupun UU 2/2020, Pemerintah tetap melaksanakan konsultasi dengan DPD. Terhadap pengujian formil yang diajukan para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020, perlu Pemerintah sampaikan bahwa pengujian formil dimaksud telah melewati tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari untuk mengajukan pengujian formil sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tenggat waktu pengajuan pengujian formil undang- undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang disahkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI.
Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020. 148 a. Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif ( forward looking ) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah 149 dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan. Selain itu, terhadap dalil para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta UU 2/2020 perlu ada batas waktu berlakunya yaitu sepanjang masa darurat penanganan Covid-19 atau sampai dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut oleh Presiden maka dapat Pemerintah sampaikan bahwa Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk penanganan Covid-19 beserta efek domino yang ditimbulkan terhadap perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan. Tingkat kedalaman efek domino yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tidak dapat diukur secara pasti seiring dengan ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Bahwa dengan ketidakpastian pandemi Covid-19, UU 2/2020 telah mengantisipasi hal tersebut untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi yang sangat tergantung kepada kedalaman dampak pemburukan ekonomi yang terjadi namun dalam ketentuan tertentu ada batas waktu berlakunya. Dengan demikian, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas akhir berlakunya Perppu. Namun demikian, terkait dengan hal ini dapat Pemerintah sampaikan bahwa secara substansi, kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dibatasi untuk penanganan pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, namun pada 150 prinsipnya Pemerintah secara konsisten menjaga akuntabilitas pelaksanaan anggaran antara lain tercermin dalam penetapan pelebaran defisit. Meskipun terdapat fleksibilitas pelebaran defisit, namun mulai tahun anggaran 2021 Pemerintah akan menyampaikan UU APBN yang di dalamnya juga dibahas mengenai defisit sehingga besaran pelebaran defisit akan ditentukan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, keberlakuan UU 2/2020 tidak memiliki jangka waktu dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Ketidakpastian tersebut terbukti dengan masih adanya peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini sehingga sebagian Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Harapan perbaikan perekonomian di Kuartal III 2020 dari -5,32% di Kuartal II 2020 menjadi positif diprediksi tidak mungkin terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah- langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Namun demikian, terdapat ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 yang dibatasi masa keberlakuannya, seperti: 151 a. Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 Lampiran UU 2/2020 yang mengatur mengenai pelebaran defisit APBN; __ b. Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan mengacu pada penetapan periode kahar akibat pandemi Covid-19;
Kebijakan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 bertujuan untuk mengatasi permasalahan pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19. Penetapan berakhirnya kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19 tersebut ditetapkan oleh KSSK sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid- 19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perppu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka 152 pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama , kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. 153 Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional; 154 5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB).
Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN. 155 3) Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp 123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp 106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp 53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp 120,61 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: 156 Gambar 3 : Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program-program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. 157 Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan ( sustainability ) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid-19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR PT Permodalan 158 Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback .
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pengaturan insentif pajak harus diikuti dengan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)”, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pengaturan terkait ketenagakerjaan terutama terkait PHK telah diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan. Adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan 159 penyesuaian tarif PPh Badan akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh pihak. Selain itu, atas dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 harus ditambahkan frasa “ paling tinggi ” sesuai dengan sektor usaha tertentu, perlu Pemerintah sampaikan bahwa apabila mengikuti logika Pemohon dimaksud, maka dibutuhkan pengaturan mengenai kriteria Wajib Pajak dan batas-batas ( range ) besaran tarif PPh yang akan dikenakan. Di samping itu, dalam implementasinya akan sulit untuk menentukan bidang- bidang usaha wajib pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan, karena secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral. Dengan demikian, penambahan frasa “ paling tinggi ” yang didalilkan Pemohon akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam implementasi pemajakannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 juga berpendapat jika seharusnya pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b memberikan insentif pajak secara maksimal kepada badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19. Terhadap dalil tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pemberian insentif penurunan PPh badan diberikan kepada seluruh dunia usaha karena tidak dapat dipungkiri jika dampak akibat Covid-19 dialami oleh semua sektor usaha. Beberapa kebijakan Pemerintah antara lain pembatasan sosial ( social/physical distancing ), pembatasan perjalanan, karantina wilayah, bekerja dari rumah ( work from home ) dan tetap tinggal di rumah ( stay at home ) telah berdampak pada menurunnya aktivitas perekonomian dan merosotnya pertumbuhan bisnis di segala bidang. Oleh karena itu, tarif yang bersifat tunggal, berlaku umum dan universal untuk seluruh wajib pajak badan dalam negeri dan BUT dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19, Pemerintah telah memberikan fasilitas tambahan yaitu fasilitas pembebasan kepabeanan. 160 b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home , maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud , perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. 161 Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence) , (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan , dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. 162 Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business-to-Business ( B2B ), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang 163 sifatnya Business-to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment. 5) Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 : Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineering, design, etc) Recording Media + Manual installment Express Consignment / imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T Handphone Software In gadget Express Consignment / import for home use Imported separately/ electronic Transmission Online 44,75 T Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. 164 Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah (loopholes) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. Berikutnya terkait dengan dalil para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perppu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional. 165 2) Lebih lanjut, para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: a) akan menutup celah pengaturan ( loopholes ) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha ( level of playing field ) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan ( fairness ) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, 166 India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka __ kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan ( the power of rulemaking ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. 167 Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah ( delegated regulations ), maka tercapainya tujuan ( doelmatigheid ) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum.” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang ( opened legal policy ) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi landasan hukum yang lebih 168 rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru ( precedented ), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di masa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. 169 Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang-barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. 170 Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid-19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena-mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter-fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: "Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent 171 with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Diantara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. 172 Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang 173 perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN 174 dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non- public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods . SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk non-public goods korporasi sebesar Rp53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN 175 dan/atau SBSN sebesar Rp328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate . __ Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5 : Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat” . Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. 176 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan peraturan-perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:
Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. Dengan adanya ketentuan last resort , memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi. 177 4) Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 178 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary . Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan 179 Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Penggunaan Dana Abadi Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalilnya menyatakan Pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19 sehingga bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan. Terkait hal tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 UU 2/2020 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, Pemerintah berwenang untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan . 180 Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan sumber-sumber lain yang ada. Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan sumber pembiayaan dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19. Dalam hal akan digunakan, maka penggunaan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 dilakukan dengan cara private placement melalui pembelian surat berharga negara. Dengan demikian, dana abadi dan akumulasi dana tersebut tidak akan digunakan sebagai belanja namun lebih kepada investasi melalui pembelian SBN/SBSN tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekhawatiran Pemohon mengenai penggunaan dana abadi yang bertentangan dengan esensi dari dana pendidikan itu sendiri tidak perlu lagi dipermasalahkan, dikarenakan dana abadi masih tetap utuh dan tidak digunakan sebagai belanja.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. 181 Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman 182 tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/ refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19. 183 7) Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. Terhadap dalil Pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelaksanaan kebijakan keuangan negara tidak menggunakan rekening 184 khusus, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam tata kelola penganggaran, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid- 19 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 43 Tahun 2020 sehingga seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dilakukan monitoring penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Selain itu, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga telah menerbitkan rekening khusus untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan Program PEN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan PMK Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan di bidang keuangan negara. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden 185 yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. c) Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor 186 keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing- masing lembaga dan diputuskan dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. 187 Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas ( vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);
melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan solvabilitas ( vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN);
melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal ( vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 11 UU LPS). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. 188 Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan Bank, baik itu Bank Sistemik maupun Bank Selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis (vide Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK). Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN 189 yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:
Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: 190 “Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding , dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan.
Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran 191 UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid- 19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent. Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 s.d. Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal , 192 sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. 193 3) Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary . Selain dapat memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) juncto Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai 194 Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang- undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau tindakan pengawasan OJK ( vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang P3IK Bank Umum). Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau 195 integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan 196 perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances , dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” 197 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 ( check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh:
Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak; 198 b. Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank- bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer , masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang 199 menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary . Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru ( precedented ) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 200 b. Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK);
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa di antara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU- XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: 201 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” diubah menjadi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum.” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa itikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario , imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang- Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud.” 202 Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” . Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya 203 siapapun yang berhadapan dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca 204 secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan
tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana ( actus reus ) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/ mens rea ). 205 2. Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea ), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions , FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” 206 Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee , perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: “Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith. ” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan 207 yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk ( mens rea ) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan ( vide pasal 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus . Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. 208 Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi UU 2/2020 Dengan UU Terdampak Lahirnya Lampiran UU 2/2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau memerlukan penyesuaian dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Oleh karena itu, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam Lampiran UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid- 19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma 209 dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan yang sewenang- wenang ( constitutional dictatorship ) sesuai dalil para Pemohon. Berdasarkan teori peraturan perundang-undangan, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 berlaku sebagai ketentuan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan yang dikesampingkan. Hal tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk melakukan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary untuk melakukan penanganan permasalahan Covid-19 secara cepat dan penanganan dampaknya yang luar biasa terhadap ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan, tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada undang-undang yang ada sebelum UU 2/2020 yang memang kurang memadai untuk penanganan kepentingan tersebut. Pernyataan para Pemohon yang menyampaikan bahwa Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 menimbulkan kesewenang-wenangan dan constitutional dictatorship adalah pernyataan yang tidak benar dan sangat berlebihan. Pemohon telah salah menafsirkan constitutional dictatorship sebagai tindakan kesewenang- wenangan. Dalam ilmu hukum konstitusi, constitutional dictatorship merupakan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional, "No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake" . Lampiran UU 2/2020 diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa sebagaimana fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, dan merupakan instrumen hukum yang diberikan kepada Presiden untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan menerbitkan Perppu. Filosofi constitutional dictatorship yang tersirat pada Pasal 22 UUD 1945 dalam konteks kedaruratan merupakan wujud nyata kehadiran Pemerintah dalam mengatasi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19 dan bukan merupakan makna negatif sebagai penyelewengan kekuasaan. Dengan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pendapat subjektif Presiden mengenai perlunya penerbitan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa telah disetujui DPR sebagai lembaga wakil rakyat. 210 IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain itu, Presiden telah mengajukan 3 (tiga) orang ahli bernama Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., dan Dr. W. Riawan Tjandra S.H., M.Hum., yang keterangan tertulisnya diterima oleh Kepaniteraan pada 26 April 2020 dan didengar keterangannya dalam persidangan Mahkamah pada 29 April 2021. Pemerintah juga mengajukan 3 (tiga) keterangan tertulis ahli tambahan yang bernama Prof. Denny Indrayana S.H., LL.M., Ph.D., Chandra Hamzah S.H., dan Yunus Husein S.H., LL.M., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 3 Juni 2021, yang pada pokoknya menjelaskan sebagai berikut: AHLI PEMERINTAH YANG DIDENGARKAN KETERANGANNYA DALAM PERSIDANGAN Pendahuluan. Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang – tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari 211 yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hukum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing-masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan-hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar 212 biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency). Paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid-19 Adalah Keadaan Bahaya Yang Mengancam Dunia Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perppu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang-wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perppu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perppu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemik yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa 213 persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemik. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negatif terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perppu tersebut dalam perkara a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mengetahui suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya, bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax . Pandemi Covid-19 sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi 214 normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan sampai saat Perppu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaksin atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaksin pertama di atas 20.000,- (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggris, Irlandia, Jerman, Perancis Spanyol dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu- sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogyanya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan sosial, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industri perhotelan, industri pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu 215 tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures” [Bruce Ackerman. The Emergency Constitution , Yale Law Journal, Vol. 113 -2004]. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konstitusi sebagaimana disebut di atas sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan kekuasaan atau kewenangan yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. 216 Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit – semacam undang-undang- tertanggal 13 September 1939 No. 32 (Stb 1939- 5820 dan mulai berlaku 15 April 1940 [Wirjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Peberbit Dian Rakyat, 1983, hlm. 69]. Undang- Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh) [Wirjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Peberbit Dian Rakyat, 1983, hlm. 69]. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hukum tatanegara biasa menjadi hukum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer . Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang-undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu 217 dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang- undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perppu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktek Perppu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilematis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy) Perppu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perppu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relatif stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu 218 bukan keadaan yang diatur undang-undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, outputnya bukan Perppu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat . Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di media social. Perppu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid-19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan Covid-19 sebagaimana telah disebut di atas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya , karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat- akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hukum yang inovatif untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hukum dan norma 219 yang biasa (?), mengandung arti bahwa tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation __ Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations”. Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hukum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hukum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan ( keberlakuannya ) Sebagian [Oren Gros and Fionnuala Ni Aolain, Law in Times of Crisis, Emergency Power in Teory and Practice, Cambridge University Press, 2006, hlm. 17, dengan mengutip Eric Eosner and Adrian Vermeule]. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam 220 sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah [Oren Gros and Fionnuala Ni Aolain, Law in Times of Crisis, Emergency Power in Teory and Practice, Cambridge University Press, 2006, hlm. 18]:
Sifatnya yang sementara ( temporary character );
Pengakuan akan sifat khusus ( exceptional ) dari keadaan darurat;
Pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus, yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
Pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya- upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemic [Voaindonesia.com, diunduh tanggal 25 April 2020]. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter 221 dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negatif terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perppu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perppu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut __ B. State of Siege Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege [Untuk memahami pengertian state of siege tersebut adalah: a situation in which governments limit people’s freedom to enter or leave city, town or building .(...satu keadaan di mana pemerintah membatasi kebebasan warga untuk memasuki atau meninggalkan kota atau rumah, karena keadaan tertentu yang memerlukan tindakan pelaksanaan aturan yang ditetapkan], yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan 222 langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat [Oren Gros and Fionnuala Ni Aolain, Law in Times of Crisis, hlm. 17]. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “ dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wilayah negara di mana berlaku state of siege. Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu:
Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang-undang kepada eksekutif; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri-menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan 223 kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan. C. Martial Law -Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law, yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang- undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa. Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian [Jimly Assidiqie menyebut state of emergency itu dalam Bahasa yang berbeda dalam 27 istilah, yang semua merujuk pada emergency, state of siege dan keadaan bahaya, dan 224 terakhir keadaan kegentingan yang memaksa. Lihat Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, 2007, hlm. 7-8]. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan (meta-rule) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hukum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru [Oreon Gross and Fionnuala, hlm. 46-47]. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta - rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2 ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi : “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States…” Pada tahun 1792, Congress membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, 225 tetapi negara bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hukum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing- masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argumen kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review [Edwin Meese III et.al The Heritage Guide to The Constitution,Regnery Publishing, 2005, hlm. 200]. Tahun 1980, Gubernur-gubernur Negara Bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai akibatnya Congres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Montgomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian 226 ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of exigencies (keadaan genting) __ ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur-prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “ Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perppu Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY 227 mengeluarkan Perppu terbanyak, dengan jumlah Perppu [Daniel Yusmic Foekh, __ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Suatu Kajian Dari Perspektif Hukum Tata Negara Normal dan Hukum Tata Negara Darurat, Disertasi 2011]. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pengertian hal ihkwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perppu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “ kegentingan memaksa”, yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemic yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang 228 memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “ untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi-Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaksin tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi Covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perppu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga negara sebenarnya berada dalam 229 keadaan bahaya atau darurat , maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman di bawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan sebelum Perubahan Tahun 1999, masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa “pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perppu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal (state of normalcy ). Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perppu sebagai law in time of crisis, yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan 230 normal? __ Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional dictatorship, memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perppu Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point , Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun 1945 sampai tahun 2020 Perppu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perppu Nomor 23 Tahun 1959 yang didasakan pada Pasal 12 dan Pasal 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sipil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang”. Dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perppu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perppu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan Pasal 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis. Dan harus memuat pengawasan dari lembaga judisial. Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perppu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan: “bila negara dalam emergency law, maka perlu diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan ketentuan _:
Providing for legislative and judicial oversight for the executive, 2._ Limiting exceptional measures to those strictly necessary, 3. Ensuring that such powers endure only for the duration of outbreak. Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight . Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta… ”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa defisit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar 231 konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. Hukum Tata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga berubah emergency law ( staatsnoodrecht ) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland, dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “limited state of emergency” , dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara bisa menemukan istilah, ump HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN Darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights ) sampai Pasal 360 ( provision as financial emergency ) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui Congress . Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 juncto Perppu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam judicial review yang diajukan terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 adalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo . Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang- 232 Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklasifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak;
Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan
Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi 233 administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perppu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemic Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum deficit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan
Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 234 Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum deficit. Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp. 405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah defisit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestik bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan 235 4) Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemic Covid-19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemic Covid-19. i) Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covid-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid-19. j) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan 236 Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perppu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. k) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahan ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan
Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. l) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkeu tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana; 237 5) Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target _berupa angka yang ditentukan; dan _ 6) Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2) [Blucer Wellington Rajagukguk, Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Dan Implikasi Hukumnya Terhadap Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan, Tesis 2021, hlm. 122-131]. Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak iterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis yang membutuhkan gerakan cepat 238 dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat Pasal 27 ayat (1) Perppu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perppu 1/2020 tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi merumuskan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat (2) adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perppu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam 239 noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Machfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “juristerij”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 memberikan kekebalan hukum tidak tepat,karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang- undangan. Machfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti konkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perppu Yang Tidak Dikenal Perbedaannya Kami menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perppu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang- Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) yang mewajibkan Perppu disampaikan kepada DPR pada persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perppu tidak disetujui sehingga Perppu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perppu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. 240 Memang Perppu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”, yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang-undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perppu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT Nomor 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hukum formil maupun hukum materiil [Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, 2006, hlm. 154]. Pembatasan waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perppu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perppu merupakan time frame bahwa Perppu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak.Persoalan, bagaimana jikalau Perppu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perppu yang tidak diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perppu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perppu yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perppu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perppu itu harus disahkan menjadi undang-undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perppu 241 tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perppu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perppu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perppu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perppu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang-Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hukum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara serta eksistensinya. Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang-undang , terutama karena kewenangan legislatif merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang-Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perppu , yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hukum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perppu tidak memiliki kekuatan hukum lagi (meskipun pendapat tersebut masih 242 perlu diperdebatkan) , maka Perppu jenis kewenangan darurat ( emergency power ) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hukum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir . Perppu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perppu in sui generis , yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules . Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perppu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perppu yang tidak disetujui harus dicabut;
Bahwa Perppu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perppu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perppu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang 243 timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan sosial ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis disegala bidang yang mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perppu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perppu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang;
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah.
Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., - Ahli menyampaikan paparan mengenai peran APBN dalam pemulihan ekonomi. Isu yang dibahas ada tiga hal. Yang pertama adalah bagaimana dampak Covid-19 bagi perekonomian dunia? Yang kedua adalah bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia? Dan yang ketiga, mengapa stimulus fiskal atau pelebaran defisit itu dibutuhkan untuk mengatasi situasi ini. - Bahwa penyebaran Covid-19 terus mengalami eskalasi kenaikan secara global dan juga di Indonesia. Per 14 Februari, 109.400.000 orang yang 244 terkena dampak dari Covid-19 di 218 negara. Dengan tingkat kematian 2.300.00 orang. - Bahwa akibat dari Pandemi Covid-19, maka pemerintah berbagai negara harus mengambil tindakan yang di luar normal atau di luar kebiasaan. Karena cara untuk mengatasi pandemi adalah meminta agar orang menghindari kerumunan, menghindari aktifitas, atau menjaga jarak. Yang disebut sebagai PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar), sedangkan di berbagai negara lain ini dijalankan dalam bentuk lockdown . - Bahwa Implikasi dari lockdown adalah meminta orang untuk tinggal di rumah. Padahal kita tahu esensi dari aktifitas ekonomi adalah aktifitas pasar dan pasar adalah tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa, baik secara fisik maupun secara virtual. Tetapi di dalam kasus ini karena orang diminta untuk tidak berinteraksi, maka aktifitas pasar kolaps di seluruh dunia, kecuali yang bisa dilakukan secara virtual. - Bahwa yang menarik untuk diamati adalah dengan dampak yang sebegitu besar ternyata Indonesia relatif mampu, mampu menghadapi situasi pandemi ini dalam konteks ekonomi dengan cukup baik. Meskipun kinerja Indonesia tidak sebaik Vietnam yang membukukan pertumbuhan positif 2,9% di tahun 2020, atau seperti Tiongkok yang punya pertumbuhan positif 2,3%, atau Korea Selatan yang -,1%. - Bahwa pertumbuhan Indonesia tahun lalu negatif 2,1%. Kita mengalami kontraksi 2,1%. Tetapi relatif lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Rusia, Amerika, Jerman, Malaysia, Singapura, dan sebagainya. Bahwa hal ini karena Indonesia tidak melakukan lockdown secara ketat seperti yang dilakukan di beberapa negara. Kecuali di dalam kasus Tiongkok dan Vietnam, mereka melakukan lockdown secara ketat dan mampu mengatasi pandemi dalam waktu singkat. Di Indonesia tidak seketat di negara lain, tetapi pandeminya berlangsung cukup lama. Saat ini kita bisa melihat Singapura dengan pengetatan yang dilakukan, recovery ekonominya relatif lebih cepat; - Bahwa pertanyaan paling penting adalah bagaimana dampak Covid ini terhadap Indonesia? Ahli mencoba menggunakan data untuk membandingkan kondisi pra-Covid dengan kondisi Covid. Jadi, sebagai batas Januari 2020 sebelum Covid terjadi, Ahli anggap sebagai kondisi pra- Covid, di mana basisnya adalah 100. Jika angkanya di bawah 100, berarti 245 kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. Tetapi bila angkanya di atas 100, maka kondisi Covidnya lebih baik dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. - Bahwa yang paling terpukul akibat dari pandemi Covid adalah sektor informal. Pendapatan mereka turun 30%. Sedangkan sektor wirausaha pendapatannya turun 15%. Untuk pekerja tetap dengan gaji tetap hampir tidak terdampak, kecuali jika mereka kehilangan pekerjaan. - Bahwa yang paling berat terpukul adalah mereka yang berada di sektor informal. Yaitu kelompok yang rentan, pendapatan menengah bawah, perempuan, dan anak-anak. Itulah sebabnya pada waktu pendemi mulai terjadi menurut Ahli langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan bantuan langsung tunai atau cash transfer . Karena pada kondisi ini kita tidak mungkin memberikan pekerjaan karena PSBB ( lockdown ). Yang bisa dilakukan adalah mengompensasi ketika orang tinggal di rumah ( people are paid to stay at home ). Akibatnya tingkat pengangguran terbuka, naik dari 5,28% menjadi 7,07%. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19%. Menurut Ahli pengangguran di Indonesia adalah barang mewah. Hanya orang kaya yang bisa menganggur. Sedangkan orang miskin harus bekerja. Jika tidak, dia tidak bisa makan. Maka menurut Ahli walaupun pengangguran terbuka naik dari 5,28% menjadi 7,07%, tetapi sebetulnya dampak riilnya mungkin jauh lebih besar. Karena orang yang miskin kalau dia tidak ada pendapatan, dia akan meninggal. Maka, yang dia lakukan adalah melakukan pekerjaan apa saja asal bisa hidup. - Bahwa sektor informal meningkat karena orang bekerja apa saja, istilahnya poor to be unemployed . Jadi, angka Indonesia sebesar 7,07% itu masih sangat konservatif karena angka kemiskinan yang 10,19% sedikit-banyak terbantu karena program dari BLT atau cash transfer dan perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah. - Bahwa rasio dari tabungan terhadap pendapatan untuk kelompok yang pengeluaraannya di bawah Rp4.000.000,00 mengalami penurunan. Ini memperkuat argumen Ahli bahwa yang terukur dengan pandemi adalah kelompok menengah bawah. - Bahwa yang menarik adalah melihat kelompok pendapatan di atas Rp5.000.000,00, rasio dari tabungan terhadap total pendapatannya 246 meningkat. Kelompok menengah atas justru tabungannya meningkat. Hal ini terjadi karena di dalam porsi konsumsi, orang ketika pendapatannya rendah, dia akan fokus membelanjakan pendapatannya pada kebutuhan pokok ( essential goods ), sedangkan mereka yang relatif kaya, porsi dari makanan itu relatif rendah. Karena orang makan tiga kali sehari, bukan berarti jika dia menjadi kaya maka dia akan makan 12 kali sehari. - Bahwa di dalam masa pandemi, kalangan menengah atas hanya membelanjakan kebutuhan esensialnya karena dia bekerja di rumah, akibatnya tabungannya meningkat. Jadi, kita bisa melihat, bahwa dampak dari pandemi ini adalah akan munculnya ketimpangan pendapatan. - Bahwa dari segi pertumbuhan PDB, sebetulnya Indonesia sudah mencapai titik pertumbuhan terendah pada triwulan II tahun 2020 ketika pertumbuhan kita minus 5,3%. Setelah itu, masih mengalami kontraksi, tetapi kontraksinya lebih kecil, minus 3,49%, minus 2,19%. Perkiraan Ahli adalah di dalam triwulan I tahun 2021 kita mungkin masih mengalami kontraksi minus 0,5%. Dan baru akan positif pada triwulan II tahun 2021. - Bahwa pertanyaannya adalah mengapa Indonesia mampu melalukan pembalikan atau turneral pada triwulan III. Jadi, triwulan II terburuk, kemudian triwulan III meningkat? Bahwa seluruh komponen di dalam produk domestik bruto mengalami pertumbuhan negatif, konsumsi rumah tangga, investasi ekspor-impor, kecuali konsumsi pemerintah pada triwulan III. Konsumsi pemerintah mengalami peningkatan. Inilah yang menjelaskan mengapa ekonomi kita bisa mengalami turneral . Stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah telah memberikan dampak sedikitnya memitigasi dampak dari pandemi ini. Inilah alasan mengapa stimulus fiskal perlu dilakukan. - Bahwa baik kelompok pendapatan atas, menengah, maupun bawah, di dalam frekuensi belanja sudah kembali di atas normal. Dan ini kondisinya membaik setelah triwulan III tahun 2020. Jadi, kembali lagi efek dari bantuan sosial dari stimulus fiskal itu memberikan dampak frekuensi belanja sudah kembali normal. - Bahwa yang nilai belanjanya sudah di atas normal, yaitu 100 adalah kondisi pra-Covid, di atas kondisi normal, itu adalah kelompok menengah bawah. Hal ini karena mereka harus mengonsumsi essential goods , makanan, aktivitas sehari-hari. Tetapi belanja dari kelompok menengah atas atau kelompok atas 247 itu masih di bawah kondisi pra-pandemi. Hal itu terjadi karena di dalam kelompok menengah bawah, mereka mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Ini yang mendorong pendapatannya mengalami peningkatan, spending -nya mengalami peningkatan. - Bahwa pada kalangan menengah atas mereka tidak dapat bantuan sosial, tetapi mereka punya tabungan. Tapi konsumsinya tidak kembali kepada kondisi pra-pandemi karena porsi terbesar dari kelompok atas, adalah traveling , hal tersebut adalah entertainment , leisure . Itu yang menjelaskan bahwa belanja dari kelas menengah atas masih di bawah normal. - Bahwa yang terjadi program dari stimulus fiskal berhasil mendorong belanja dari kelompok menengah bawah, tetapi tidak menengah atas. Dan masuk akal karena belanja atau konsumsi menengah atas akan tergantung dari kemamupuan pemerintah mengatasi pandemi karena konsumsi mereka itu berkaitan dengan mobilitas, traveling, entertainment, leisure yang aktivitasnya terganggu. - Bahwa yang akan terjadi jika aktivitas ekonomi mengalami penurunan sebagai akibat kontraksi ekonomi yaitu akan terjadi return , atau imbal, atau balas jasa dari aktivitas sektor itu juga akan mengalami pertumbuhan negatif. Jika perusahaan mengalami kerugian, maka dia berisiko tidak bisa membayar kreditnya kepada perbankan, maka non-performing loan akan meningkat. Di dalam konteks ini, OJK melakukan kebijakan dengan merelaksasi di mana jika kolektibilitasnya satu dan dua tidak dianggap sebagai NPL. Tapi kebijakan ini suatu hari akan berakhir. Saat tahun 2020 berakhir, kita akan melihat risiko dari kredit macet yang riil pada tahun berikutnya. Karena direlaksasinya berakhir, pada saat itu kalau sektor perbankan tidak mendapatkan dukungan, maka ada risiko stabilitas sektor keuangan. Ciri dari sektor keuangan adalah dia bergerak berbadasarkan animal spirit . Jika orang khawatir bahwa satu bank mengalami persoalan, maka kemudian ada risiko kekhawatiran akan terjadi rush . Menurut Ahli risiko di sektor keuangan itu ada, namun respons kebijakan yang dilakukan Pemerintah adalah dengan dikeluarkannya Perpu Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang memfokuskan kepada tiga hal. Yang pertama adalah alokasi belanja untuk kesehatan. Yang kedua adalah alokasi belanja untuk bantuan sosial. Yang ketiga adalah dukungan untuk UMKM, karena 248 sektor informal UMKM terpukul. Ini adalah bagian dari stimulus fiskal, akibat dari kebijakan yang dilakukan untuk menambah alokasi belanja di dalam sektor kesehatan di dalam perlindungan sosial, memberikan BLT dan segala macam, restrukturisasi di dalam UMKM. - Bahwa pada tahun 2021 di mana bantuannya diperluas kepada korporasi maka defisit yang terjadi akan melampaui batas defisit 3% yang dinyatakan di dalam undang-undang. Oleh sebab itu, jika pemerintah tetap menetapkan defisitnya hanya 3% pada tahun 2020, maka tidak ada ruang bagi pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal. - Bahwa jika tidak ada stimulus fiskal maka akan terjadi pembalikan ekonomi atau economic turneral . Menurut ahli yang terjadi adalah pada saat ini, Indonesia akan berada dalam situasi yang lebih parah. Karena itu, menurut Ahli di dalam situasi yang genting seperti itu, maka batas defisit 3% harus diperlebar. Hal ini perlu dilakukan untuk menolong kelompok menengah ke bawah, untuk belanja kesehatan, dan juga UMKM. - Bahwa total pemulihan ekonomi sebesar Rp579,78 triliun realisasinya 83,4%. Bahwa yang paling besar itu adalah bantuan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM Rp112,4 triliun, dan kemudian diikuti oleh kesehatan, pembiayaan korporasi realisasinya Rp60,7 triliun, belum terlalu meningkat insentif dunia usaha. Ekspansi belanja perlindungan sosial secara tunai termasuk PKH, insentif kartu prakerja, bansos tunai, sembako, pengeluaran konsumsi pemerintah termasuk bantuan UMKM, belanja pegawai, belanja barang operasional, bantuan pemerintah, dan belanja modal termasuk pembangun sarana prasarana kesehatan, pengadaan tanah PSN, dan pengadaan peralatan hankam, dan pembangunan irigasi. - Bahwa Indonesia bukan merupakan negara produsen vaksin. Kemampuan Indonesia memulihkan ekonomi akan sangat tergantung dari kemampuan kita mengatasi pandemi. Karena porsi terbesar dari belanja masyarakat adalah menengah atas namun selama pandemi menengah atas tidak berbelanja, mereka tidak ada mobilitas. Karena itu, solusinya hanya dua hal kita mengembalikan mobilitas. Caranya adalah yang pertama dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat, yang kedua vaksin. - Bahwa jika kita memiliki disiplin seperti yang ada di China, Vietnam, Singapura, maka mungkin role dari vaksin tidak sepenting yang kita hadapi 249 sekarang. Lihat bagaimana negara seperti Australia proses vaksinnya relatif lambat karena mereka mempu membuat kasusnya sangat kecil, Singapura zero cases sekarang, proses vaksinnya bisa lambat. Tetapi dalam kasus di Indonesia protokol kesehatan enforcement -nya masih sangat sulit, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada vaksin. Di dalam konteks vaksin, Indonesia adalah 10 besar negara dengan vaksin tertinggi, di antara negara non-produsen, kita empat besar. - Bahwa ada persoalan sekarang karena ada risiko dari gelombang ketiga, maka semua negara mengatakan mereka tidak lagi mau mengekspor vaksinnya karena untuk mengantisipasi kebutuhan domestiknya. Di dalam konteks ini, maka ada persoalan, kalau persediaan vaksin terbatas, maka pemulihan ekonomi juga akan terbatas. Karena itulah role dari stimulus fiskal menjadi sangat penting untuk memastikan, untuk men- secure bahwa vaksinnya ada. - Bahwa menurut Ahli kalau berbicara mengenai fiskal defisit, sebetulnya angka 6,1%, untuk Indonesia relatif kecil, dibandingkan dengan Filipina 7,6%, Australia 10,6%, Singapura 13,9%, dan Amerika 15,2% dari GDP. - Bahwa dibutuhkan stimulus fiskal dalam skala yang masif. Di seluruh dunia pada tahun 2020 yang terjadi adalah whatever it takes , lakukan apapun yang harus dilakukan agar penyelamatan nyawa dan penyelamatan ekonomi bisa terjadi. - Bahwa menurut Ahli pertanyaannya adalah mengapa kita perlu ekspansi fiskal? Ada dua pilihan yaitu apakah pemerintah terlebih dahulu harus mendorong produksi investasi? Karena logikanya kalau produksi berjalan, investasi naik, kemudian perusahaan akan membutuhkan tenaga kerja, orang dapat income , kemudian bisa berbelanja. Atau yang harus pertama harus dilakukan adalah mendorong konsumsi. Orang mendapat uang untuk belanja, kemudian ada belanja, ada permintaan, maka ketika ada permintaan, perusahaan merespons. - Bahwa dari simulasi yang Ahli lakukan, jika investasi dinaikkan, maka konsumsi rumah tangga itu akan naik. Tetapi bila orang diberikan uang dalam bentuk cash transfer , maka diapun melakukan belanja, maka investasi akan merespons. 250 - Bahwa tingkat bunga dari Bank Indonesia sudah diturunkan, mungkin terendah di dalam sejarah Indonesia, tetapi investasi tidak naik. Karena bagi perusahaan untuk apa perusahaan mengambil uangnya jika yang akan membeli barang produksinya tidak ada. Seseorang memproduksi barang dan berakhir sebagai stok. Stok itu adalah cost akan dibutuhkan gudang. Akibatnya yang menjelaskan kenapa pertumbuhan kredit mengalami penurunan karena permintaannya tidak ada. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan di dalam pemulihan ekonomi itu adalah stimulus fiskal sebagai pengungkit. Caranya dengan memperluas BLT kelas menengah bawah. Bahkan Ahli mengatakan bahwa perluasannya harus lebih besar lagi sebetulnya. Jika BLT-nya sebesar upah minimum, maka orang tidak kerja, dia hanya akan tinggal di rumah menjadi pemalas 3. Dr. W. Riawan Tjandra S.H., M.Hum. Keterangan Ahli yang penulis sampaikan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian sesuai dengan permintaan Keterangan Ahli yang disampaikan kepada Ahli melalui Surat Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan RI Nomor S- 212/SJ.4/2020 tertanggal 03 Desember 2020 perihal Permohonan Sebagai Ahli Pemerintah Dalam Rangka Pengujian UU No. 2 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:
. Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu;
. Wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19; dan
. Penjelasan perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pertama, Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan 251 ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra-ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sehubungan dengan Perppu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parameter obyektif untuk penggunaan kewenangan diskresi konstitusional tersebut pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yang terdiri dari:
Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat 252 ini ada; dan
Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “ martial law ” atau “ emergency legislation ”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama- sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “ martial law ”, “ emergency law ”, atau “ emergency legislation ”. Perppu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya [Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal. 355]. Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension ) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat 253 keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perppu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrehct ), kewenangan diskresi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU No. 2 254 Tahun 2020 yang menjadi obyek permohonan pengujian dari para Pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU No. 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID- 19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam 255 Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Kedua, wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU No. 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to giving reasons ) 256 kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (vide Pasal 1 ayat 3), Pemerintah diberikan wewenang untuk (vide Pasal 2 ayat (1)):
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar-program;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocussing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
257 melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres No. 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);
Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:
Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur );
Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU 258 No. 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres No. 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid-19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 259 berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah (rechtsmatig) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara memprioritaskan kemanfaatan umum (doelmatigheid) yang diperoleh bagi masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres No. 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid- 19 diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. 260 Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah- langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat-obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah penerimaan negara baik dari pajak ( tax income ) maupun non pajak ( non tax income ) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). 261 Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama, menyangkut obyeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat, dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid- 19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor-aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu No. 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU No. 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. 262 Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid-19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar RP 13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp. 53 triliun. Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp765 triliun (dengan kurs Rp 17 ribu). Mereka mengatakan ada € 2 miliar atau sekitar Rp34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi 263 kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres No. 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Dan ketiga, berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. 264 4. Prof. Denny Indrayana S.H., LL.M., Ph.D. Norma Yang Diuji Konstitusionalitasnya Sebelum masuk kepada pokok pembahasan, terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa terkait dengan norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “ UU 2/2020 ”) sampai saat ini masih menjadi isu di masyarakat. Meskipun demikian, pada dasarnya seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 tentu dibuat dengan berbagai pertimbangan dan assessment sebagai bentuk upaya penyelamatan masyarakat dalam situasi Pandemi Covid-19, khususnya di bidang keuangan negara agar dapat diimplementasikan dengan baik. Adapun yang menjadi objek pengujian, norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam UU 2/2020 dapat dikatakan hampir sebagian besar dari pasal-pasal UU 2/2020. Apabila dikelompokkan berdasarkan topik, maka secara umum norma UU 2/2020 yang diuji konstitusionalitasnya meliputi perlindungan hukum dan kepastian hukum terkait:
Ruang lingkup pengaturan;
Keuangan Daerah;
Perpajakan dan Kepabeanan;
Perubahan Postur Anggaran; dan
Kebijakan keuangan lainnya yang merupakan materi muatan UU 2/2020. Alasan Permohonan Judicial Review yang diajukan terhadap UU 2/2020 ini pada dasarnya lebih kepada judicial review terhadap konstitusionalitas materi muatan UU 2/2020 yang dianggap tidak mencerminkan kondisi Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid-19 sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “ UUD 1945 ”) dan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon. 265 Terkait dengan materi keterangan yang akan disampaikan Ahli, pada dasarnya merupakan materi yang seyogianya telah dikuasai oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Kemudian, sebelum masuk kepada pokok- pokok keterangan yang akan disampaikan dalam kapasitas ahli di bidang hukum tata negara, perlu dikemukakan bahwa Covid-19 yang dinyatakan secara resmi oleh World Health Organization (WHO) sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020 yang lalu, tentu merupakan kondisi yang tidak mudah bagi semua pihak, tidak hanya bagi Indonesia, namun juga bagi negara-negara di belahan dunia lainnya. Sebagai penyelenggara negara yang diberikan amanat oleh konstitusi untuk melindungi hak-hak warga negara, terutama dalam menghadapi masa Pandemi Covid-19, negara wajib mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambil tentu dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, terkait langkah-langkah yang diambil oleh negara sebagai bentuk tindakan pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19 akan mencerminkan tanggung jawab negara dalam menanggulangi Pandemi Covid- 19 di Indonesia. Tentu tindakan pemerintah tersebut harus ditelaah dari beberapa aspek: A. Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa ( extraordinary ). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang.” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 266 Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960. Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid-19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. B. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa [vide Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009], yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan 267 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Tentu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “Keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:
ancaman yang membahayakan (dangerous threat);
kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); dan (3) keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak-tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu.” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang-undang darurat yakni:
keadaan mendesak;
keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;
untuk mengatasi keadaan dan kesulitan-kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;
tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan
hanya berlaku selama keadaan bahaya. Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; 268 b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid- 19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi . Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan . Terhadap imunitas dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas . Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tentu juga tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi . Kebijakan Keuangan Negara dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni:
Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 269 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “ PSME ” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? 1. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:
Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:
penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:
penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” 270 Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali:
Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand ? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.
Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces.
Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid-19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah 271 ada rambu-rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:
Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan
Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “ UU Ketenagakerjaan ”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut:
mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur;
mengurangi shift ;
membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; 272 h. memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak.
Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi:
Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan 273 usaha tetap yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. ” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang-undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang- undang. 274 Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang- undang dengan rumusan “… diatur dalam undang-undang…” dan “… diatur dengan undang-undang. ” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “ diatur dalam undang-undang ( geregeld in de wet ), tidak identik dengan diatur dengan undang- undang ( geregeld bij de wet ).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “ Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi-fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang (in de wet), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya. ” [Vide Disenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, hlm. 292]. Sementara itu, frasa “ dengan undang-undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri.” [Vide Disenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, hlm. 293]. __ Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy , perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/ Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. ” 2 37-39/PUU-VIII/2010 terkait Pengujian Undang-Undang “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk 275 Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. ” 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang-undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir (fallacy) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial “ Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. ” 6 . 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “ Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang- undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang yang menentukannya. ” 7 30-74/PUU-XII/2014 “ Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang- Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan 276 Pengujian Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang- undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo. ” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah “ Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya (open public policy) . Mahkamah Konstitusi memberikan catatan meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran. ” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;
tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan
bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan.
Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/ kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. 277 Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan . Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, __ hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang.
Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang (transfer of power). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan (the power of rulemaking atau law making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi (delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang- Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan 278 untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang- undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations) , maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum [Vide Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU- VII/2009 hal. 159]. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co- Operation and Development yakni:
netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, dimana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. 279 Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid-19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang- undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, seperti:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang MENOLAK permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: 280 “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo. Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang . Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 281 5. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang-undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut: Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “ Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan . ” dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “ Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik” . Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. ” 282 Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara.
Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan.
Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara 283 Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor , maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara . Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “ Setiap orang yang secara melawan hukum __ melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara… ”