Tarif Layanan Badan Layanan Umum Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri pada Kementrian Perindustrian. ...
Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum.
Pengujian UU Nomor 17/2003
Relevan terhadap
dapat dikategorikan merugikan keuangan negara sehingga dituduh melakukan korupsi sebagaimana diketahui bahwa setiap kegiatan bisnis pasti akan memiliki risiko yang besar; • Atas ketakutan dan keraguan-keraguan dalam pengambilan keputusan bisnis ( business judgement ), maka semua keputusan bisnis akan selalu kami konsultasikan dan meminta pendapat dari berbagai pihak. Baik pihak kejaksaan, BPKP, konsultan keuangan, dan konsultan hukum. Terkadang kami meminta pendapat lebih dari satu konsultan sebagai second opinion . Dengan sistem pengambilan keputusan seperti ini, maka sudah dipastikan dalam pengambilan keputusan bisnis ( business judgement ) membutuhkan waktu yang relatif lama serta menimbulkan biaya yang cukup tinggi ( high cost ), sedangkan dalam dunia usaha, agar tidak kehilangan momentum bisnis, Direksi diminta untuk mengambil keputusan bisnis ( business judgement ) yang cepat dan tepat; • Kementerian BUMN telah menerbitkan peraturan Menteri BUMN Nomor /01/MBU/2011 tentang Penetapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara. Ketentuan ini menjadi pagar bagi Direksi dalam pengelolaan BUMN haruslah memenuhi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibility , independensi, dan fairness ; . • Saat ini sebagai gambaran prosentase luas lahan milik BUMN Perkebunan terus mengalami penurunan sesuai dengan tabel yang ada. Kita melihat bahwa perkebunan rakyat sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 2009 terus meningkat menjadi dari 26% menjadi 44%. Sedangkan BUMN Perkebunan, sejak tahun 1990 yang luasnya 33% turun tahun 2009 sampai dengan sekarang hanya 8%. Swasta 41% meningkat menjadi 48%. Menurunnya prosentase penguasaan lahan oleh BUMN Perkebunan ini, dikarenakan Direksi BUMN Perkebunan dalam mengambil keputusan pengembangan lahan tidak secepat dan seagresif direksi perusahaan swasta lainnya. Salah satu penyebabnya adalah ketakutan dan keragu- raguan apabila keputusan pengembangan lahan tersebut dapat menimbulkan kerugian keuangan negara dan pada akhirnya bermuara pada tuduhan-tuduhan lainnya; • Ketentuan Pasal 2 huruf i Undang-Undang Keuangan Negara menyatakan “Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 meliputi, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan cara menggunakan presentasi dan pendidikan oleh pemerintah.” Ketentuan Pasal 2 huruf i Undang- Undang Keuangan Negara telah memberikan kepastian dan dapat merugikan perusahaan sebagai perusahaan mitra perusahaan inti dalam pembangunan kebun plasma. Sebagaimana diketahui bahwa Kementerian Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Permentan, OT 140/2/207 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan mewajibkan kepada seluruh perusahaan perkebunan Indonesia untuk membangun kebun plasma. Selanjutnya, sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33/Permentan/OT140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan, pola pembangunan kebun plasma melalui program revitalisasi pembiayaannya melalui kredit perbankan dan subsidi bunga dari pemerintah. Untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, saat ini PTPN IV sedang dan akan membangun kebun plasma di Kabupaten Madina, Kabupaten Padang Lawas dan beberapa kabupaten di Provinsi Aceh. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 huruf i Undang-Undang Keuangan Negara, maka status kebun plasma yang dibiayai melalui program revitalisasi merupakan keuangan negara karena adanya subsidi bunga dari pemerintah; • Melekatnya keuangan negara pada kebun plasma, jelas akan merugikan PTPN IV sebagai penjamin kredit karena apabila terjadi kredit macet, kebun plasma tidak dapat diserahkan kepada kreditur untuk membayar utang sehingga risiko pembangunan kebun plasma sebagai akibat tidak mampu membayar kredit menjadi tanggung jawab dan kerugian PTPN IV. Selain itu, kerja sama pembentukan perusahaan patungan industri hilir untuk mengurangi ketergantungan PTPN IV atas harga CPO, maka direksi mengambil kebijakan dalam pengembangan industri hilir berbahan baku CPO. Mengingat keterbatasan SDM dan pengalaman dalam bidang pelaksanaan produk, maka untuk pengembangan industri hilir, PTPN IV mengundang perusahaan swasta untuk melakukan kerja sama ( joint venture ). Perusahaan swasta bersedia bekerja sama dengan PTPN IV dengan syarat PTPN IV harus menjadi pemegang saham minoritas. Mereka takut kalau PTPN IV menjadi pemegang saham mayoritas, maka neraca keuangan anak perusahaan terkonsolidasi ke PTPN IV, sehingga Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
bernegara. Adanya penambahan beban belanja negara dalam rangka penyelamatan perusahaan negara adalah dalam rangka menjaga agar kemakmuran rakyat melalui pelayanan publik tetap terjaga kesinambungannya yang keputusannya adalah telah disetujui sebelumnya oleh perwakilan rakyat; Terkait dengan distribusi risiko atas kekayaan negara yang dipisahkan mendapat perlindungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku maupun berdasarkan doktrin-doktrin yang berlaku dalam pengelolaan suatu perseroan baik bagi direksi perseroan maupun bagi perseroan sebagai badan hukum privat; Dalam hal terdapat kerugian pada perusahaan negara atau daerah namun sepanjang kerugian tersebut terjadi dalam pengambilan keputusan sesuai rule and regulation , sesuai tata kelola perusahaan yang baik, maka hal tersebut tidak boleh dianggap sebagai tindakan sengaja yang setara dengan melakukan financial fraud, kecuali kemudian dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam hal ini yang perlu dicatat adalah bahwa kerugian tersebut terjadi dalam kapasitas selaku individu bukan sebagai otoritas yang akan menyebabkan menjadikan kerugian negara; Ada pun mengenai pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pihak pengelola kekayaan yang diperoleh dengan atau patut diduga berasal dari fasilitas yang diberikan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf i Undang- Undang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa ruang lingkup keuangan negara mencakup kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang “diberikan Pemerintah” dirugikan oleh pengaturan ini, Pemerintah berpandangan bahwa pendapat tersebut keliru. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa yang dimaksud oleh pengaturan dalam Pasal 2 huruf i tersebut di atas sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud pada huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan Pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara atau lembaga, atau perusahaan negara/daerah tidak diartikan bahwa kekayaan tersebut merupakan kekayaan negara yang oleh karenanya dimiliki oleh negara dan/atau dikelola oleh negara akan tetapi yang dimaksud adalah governance yang dipergunakan dalam pengelolaan pihak tersebut harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, alasan Pemohon yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu Serta Pengali ...
Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Ata ...
Sistem Akuntansi Belanja Subsidi.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1 Sistem Akuntansi Belanja Subsidi yang selanjutnya disebut SA BS adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan atas transaksi belanja subsidi. 2 Sistem Akuntansi Belanja Lain-Lain yang selanjutnya disebut SA BL adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan atas transaksi belanja lain-lain. 3 Belanja Subsidi adalah pengeluaran pemerintah yang diberikan kepada perusahaan/lembaga tertentu yang bertujuan untuk membantu biaya produksi agar harga jual produk/jasa yang dihasilkan dapat dijangkau oleh masyarakat. 4 Belanja Lain-Lain adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah. 5 Kementerian Negara/Lembaga adalah Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah non Kementerian Negara/Lembaga Negara. 6 Pihak Lain adalah instansi/unit organisasi di luar Kementerian Negara/Lembaga dan berbadan hukum yang menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN dan bukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai entitas Pemerintah Daerah, dan karenanya wajib menyelenggarakan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) sesuai ketentuan yang berlaku. 7 Entitas Akuntansi adalah unit pemerintah Pengguna Anggaran yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan. 8 Entitas Pelaporan adalah unit pemerintah yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. 9 Unit Akuntansi Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut UA BUN adalah unit akuntansi pada Kementerian Keuangan, yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat UAP BUN dan sekaligus melakukan penggabungan laporan keuangan sekuruh UAP BUN. 10 Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Belanja Subsidi yang selanjutnya disebut UAP BUN BS adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAPPA BUN PBS. 11 Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Belanja Lain-Lain yang selanjutnya disebut UAP BUN BL adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAPPA BUN PBL. 12 Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Pengguna Belanja Subsidi yang selanjutnya disebut UAPPA BUN PBS adalah Unit Akuntansi pada Kementerian Negara/Lembaga/Pihak Lain yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAPPA E1 BUN PBS yang berada di bawahnya. 13 Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Pengguna Belanja Lain-Lain yang selanjutnya disebut UAPPA BUN PBL adalah Unit Akuntansi pada Kementerian Negara/Lembaga/Pihak Lain yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAPPA E1 BUN PBL yang berada di bawahnya. 14 Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Tingkat Eselon I Bendahara Umum Negara Pengguna Belanja Subsidi yang selanjutnya disebut UAPPA-EI BUN PBS adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Negara/Lembaga/Pihak Lain yang membidangi kesekretariatan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN PBS yang berada di bawahnya. 15 Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Tingkat Eselon I Bendahara Umum Negara Pengguna Belanja Lain-Lain yang selanjutnya disebut UAPPA-EI BUN PBL adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Negara/Lembaga/Pihak Lain yang membidangi kesekretariatan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN PBL yang berada di bawahnya. 16 Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Pengguna Belanja Subsidi yang selanjutnya disebut UAKPA BUN PBS adalah unit akuntansi instansi yang melakukan akuntansi dan pelaporan keuangan pada tingkat satuan kerja Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengguna Belanja Subsidi. 17 Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Pengguna Belanja Belanja Lain-Lain yang selanjutnya disebut UAKPA BUN PBL adalah unit akuntansi instansi yang melakukan akuntansi dan pelaporan keuangan pada tingkat satuan kerja Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengguna Belanja Lain-Lain. 18 Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, utang, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. 19 Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer surplus/defisit dan pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode. 20 Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca dan Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai. 21 Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 22 Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dan disahkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. 23 Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh PA/Kuasa PA/Pejabat Penandatangan SPM untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan. 24 Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 25 Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data berupa Compact Disc, USB Flash Disc, atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya. 26 Reviu adalah prosedur penyelusuran angka-angka dalam Laporan Keuangan, permintaan keterangan, dan analitik yang harus menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawasan Internal untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. 27 Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama. 28 Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi. 29 Standar Akuntansi Pemerintahan adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah.
Tarif Layanan Badan Layanan Umum Universitas Sebelas Maret pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. ...
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank.
Relevan terhadap
LKNB wajib melakukan verifikasi yang lebih ketat ( enhanced customer due diligence ) terhadap calon Nasabah dan Beneficial Owner yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi terhadap praktik pencucian uang dan/atau risiko tinggi terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme.
Tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilihat dari:
latar belakang atau profil calon __ Nasabah dan Beneficial Owner yang termasuk Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persons) atau Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customer) ;
bidang usaha yang termasuk Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk _Business); _ c. negara atau teritorial asal Nasabah, domisili Nasabah, atau dilakukannya transaksi yang termasuk Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries) ; dan/atau
pihak-pihak yang tercantum dalam daftar nama-nama teroris; sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 14 Verifikasi yang lebih ketat ( enhanced customer due diligence ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut:
verifikasi informasi calon Nasabah atau Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis informasi yang terkait, tidak hanya didasarkan pada informasi yang diberikan oleh calon Nasabah tersebut;
verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon Nasabah atau Beneficial Owner dimaksud dengan pihak ketiga; dan
Customer due diligence secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait. Pasal 15 (1) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau Nasabah LKNB lain di dalam negeri, LKNB cukup menerima pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap calon Nasabah tersebut telah dilakukan verifikasi dan identifikasi atas dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. __ (2) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau Nasabah LKNB lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang sekurang-kurangnya setara dengan Peraturan Menteri Keuangan ini, LKNB cukup menerima pernyataan tertulis bahwa bank atau LKNB lain di luar negeri tersebut telah memperoleh dokumen pendukung pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan telah melakukan verifikasi dan identifikasi atas dokumen dimaksud.
Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau Nasabah LKNB lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang lebih longgar dari Peraturan Menteri Keuangan ini, LKNB tetap wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini. __ Pasal 16 LKNB dilarang melakukan Perikatan dengan calon Nasabah sebelum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 atau Pasal 9 atau Pasal 12 atau Pasal 13 ayat (1). Pasal 17 LKNB yang akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari anggota direksi atau pengurus LKNB. Pasal 18 Persetujuan pembukaan Perikatan __ hanya __ dapat dilakukan setelah LKNB meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen calon Nasabah serta mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat memungkinkan Nasabah melakukan kegiatan pencucian uang dan/atau Pendanaan Kegiatan Terorisme. Pasal 19 (1) LKNB melakukan pengujian untuk mengetahui latar belakang dan tujuan dari transaksi yang tidak wajar. (2) Transaksi yang tidak wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain namun tidak terbatas pada :
transaksi yang tidak biasa dalam jumlah besar;
transaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan ekonomi yang jelas;
transaksi yang diduga akan digunakan untuk melakukan perbuatan melanggar hukum; dan/atau
transaksi yang tidak sesuai dengan pola aktifitas Rekening. (3) LKNB wajib mendokumentasikan transaksi yang tidak wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diduga sebagai transaksi yang mencurigakan, LKNB wajib melaporkan hal tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Sektor Industri Tertentu Tahun Anggaran 2016.