Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Pandemi global Covid-19 yang juga melanda Indonesia tidak saja menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga membawa implikasi bagi perekonomian nasional. Langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat dan upaya penyebaran pandemi, sekaligus penyelematan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan telah dilakukan Pemerintah. Seberapa besar dampak pandemi COVID -19 terhadap ekonomi dan apa yang telah dilakukan pemerintah? KESEHATAN MASYARAKAT SEBAGAI P i l a r E k o n o m i N a s i o n a l India 1,9% tiongkok 1,2% 1,2% indonesia 0,5% 2,5% korea selatan -1,2% 0,8% singapura -3,5% 10,9% Malaysia 10% australia 10,9% amerika serikat -6,1% 10,5% brazil -5,3% kanada 6,0% inggris -6,5% jerman -7% spanyol -8% 0,7% arab saudi 2,7% italia 1,4% perancis 2% Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Akibat COVID -19 (Beberapa Negara) Dukungan Fiskal Negara-Negara di Dunia untuk Penanganan Covid-19 (Beberapa Negara) keterangan Kebijakan Stimulus RI dalam menangani dampak pandemi Covid-19 Stimulus 1: Belanja untuk memperkuat perekonomian domestik melalui program: Percepatan pencairan belanja modal Percepatan pencairan belanja Bantuan Sosial Transfer ke daerah dan dana desa Perluasan kartu sembako Insentif sektor pariwisata Stimulus 2: Menjaga Daya Beli Masyarakat dan Kemudahan ekspor impor PPh pasal 21 pekerja sektor industri pengolahan yang penghasilan maks Rp200 juta ditanggung pemerintah 100% PPh pasal 22 impor 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30% kepada 19 sektor tertentu Restitusi PPN dipercepat bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Non fiskal: berbagai fasilitas keluar masuk barang supaya lebih mudah Stimulus lanjutan: Sektor Kesehatan: intervensi untuk penanganan COVID-19 dan subsidi iuran BPJS Tambahan Jaring Pengaman Sosial: penambahan penyaluran PKH, Bansos, Kartu Pra Kerja, subsisid tarif listrik, program jaring pengaman sosial lainnya Dukungan industri berupa perluasan insentif pajak untuk PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, bea masuk DTP, stimulus KUR Dukungan untuk dunia usaha berupa pembiayaan untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional termasuk untuk Ultra Mikro 4 pokok kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam rangka pencegahan/penanganan pencegahan/penanganan Covid-19: Penyesuaian Alokasi TKDD Refocusing TKDD agar digunakan untuk penanganan COVID-19 Relaksasi penyaluran TKDD Refocusing belanja APBD agar fokus pada penanganan COVID-19 Infografik MEDIAKEUANGAN 16 17 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @zemyherda: Menurut saya untuk saat ini pemerintah baiknya fokus pada sektor dunia usaha karena stimulus yang diberikan belum cukup untuk mengembalikan iklim usaha sehat. @atri.widi: Dunia usaha karena jika ekonomi Indonesia kuat, Indonesia akan maju dan bisa pulih dari pandemi ini @sasmitanarax: Bidang kesehatan, karena saat ini tantangan utamanya adalah bagaimana wabah ini bisa ditekan penyebarannya hingga seluruh aktivitas bisa berjalan kembali Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Menurut Anda, sektor mana yang harusnya menjadi prioritas utama pemerintah dalam usaha menangani pandemi ini? a. Bidang Kesehatan b. Jaminan Keamanan Sosial c. Dunia Usaha 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Rahayu Puspasari Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu Perjuangan Meredam Pandemi D EJAVU! Seabad yang silam, tepatnya tahun 1918 sampai dengan 1921, dunia pernah diserang wabah influenza bernama flu Spanyol dikarenakan serangan terbesarnya terjadi di Madrid. Pada saat itu, tak ada negara yang luput dari serangannya termasuk Indonesia. Penularannya yang sangat cepat dan luas berakibat pada jumlah korban amat tinggi. Korban berjatuhan begitu masif sementara jumlah tenaga medis dan jumlah sarana kesehatan tak sebanding. Banyaknya pasien gawat membuat sekolah dan bangunan lainnya disulap menjadi rumah sakit darurat. Belum lagi sistem perawatan kesehatan yang berbeda antara si miskin dan si kaya. Pekerja harian pun mulai kehilangan penghasilan. Pengangguran meledak. Sukarelawan merebak. Ekonomi terpuruk. Tunggu dulu, ini gambaran tahun 1920 atau Maret 2020? Kenapa begitu sama? Begitulah siklus pandemi. Krisis kesehatan berubah menjadi krisis kemanusiaan karena korban berjatuhan. Manusia harus mengurangi interaksi untuk mencegah penyebaran. Akibatnya roda ekonomi berhenti. Pandemi flu COVID-19 yang sedang mengguncang dunia ini juga telah mengacaukan keadaan global termasuk situasi ekonominya. Laporan IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia akan mengalami minus hingga 3persen di 2020 akibat COVID-19 sementara lembaga lain menggunakan asumsi yang berbeda. Beragam proyeksi ini muncul karena tak ada yang dapat memperkirakan dengan pasti kapan krisis ini akan berakhir. Langkah mencegah terjadinya krisis ekonomi pun dilakukan secara cepat dan masif. Presiden Joko Widodo telah menegaskan agar pemerintah melakukan realokasi anggaran ke 3 fokus utama: bidang kesehatan, perlindungan sosial atau jaring pengamanan sosial, dan insentif ekonomi bagi dunia usaha. Berbagai payung hukum terbit seperti Perppu dan aturan turunannya untuk menjalankan program ini. Pemerintah bersama KSSK mengumumkan kondisi stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun potensi risiko dari makin meluasnya dampak penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan perlu terus diantisipasi. Berbagai bantuan sosial dan stimulus fiskal disiapkan menghadapi tekanan dan khususnya membantu masyarakat miskin dan rentang miskin, serta menyelamatkan UMKM. Dejavu pandemi seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Namun kebijakan dan langkah-langkah penyelamatan ekonomi dan keuangan adalah keniscayaan. Sampai di manakah perjuangan? Dapatkan jawaban mengenai upaya dan ikhitiar pemerintah yang tak kenal lelah di edisi ini. Selamat membaca!
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu TANGKAS MENANGGULANGI KEDARURATAN 21 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 C OVID-19 yang belum kunjung usai tidak hanya mengorbankan kesehatan masyarakat tapi juga kian berdampak pada ekonomi. Di tengah kecamuk pandemi, pemerintah terus mengadaptasi kebijakan dengan kebutuhan kondisi terkini. Kecepatan pemenuhan anggaran penanganan COVID-19 ini menjadi sebuah keharusan agar pandemi segera terbasmi dari negeri. Simak wawancara Media Keuangan dengan Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Kunta 1 Tahun 2020 memberikan fleksibilitas pada pemerintah untuk melakukan berbagai macam kebijakan atau pengelolaan alokasi anggaran supaya bisa cepat bergerak, seperti realokasi dan refocusing belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, termasuk tambahan anggaran yang difokuskan ke tiga hal kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan dunia usaha. Hal tersebut, juga didukung dengan kemungkinan untuk melakukan relaksasi defisit juga. Kita juga melakukan monitoring dan evaluasi berkala secara intensif sehingga kebutuhan di tiga fokus tadi bisa terpenuhi. Koordinasi dengan BI, OJK, dan LPS juga terus dilakukan untuk menjaga kestabilan sektor keuangan. Kebijakan anggaran apa saja yang diambil untuk mendukung sektor kesehatan dalam upaya percepatan penanganan COVID-19? Yang pertama, adalah pembentukan gugus tugas Covid-19 yang didukung pendanaan sekitar Rp3,1 triliun dari pemanfaatan cadangan APBN, yang dimanfaatkan untuk penanganan Kesehatan di masa awal darurat pandemic Covid-19. Selanjutnya, kita memberikan stimulus fiskal berupa tambahan belanja kesehatan Rp75 triliun (dari total stimulus tahap 3 sebesar Rp405 triliun) yang difokuskan pada belanja penanganan Kesehatan (antara lain peralatan, sarpras Kesehatan, dan biaya penggantian klaim perawatan pasien positif Covid-19), insentif dan santunan kematian bagi tenaga medis, dan bantuan iuran peserta BPJS Kesehatan untuk segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) Kelas 3. Lalu kita juga lakukan kebijakan realokasi dan refocusing anggaran K/L dan pemda. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan terus memantau perkembangan revisi anggaran K/L untuk penanganan COVID-19 serta pelaksanaan anggarannya. Selain itu, kita juga memberikan insentif fiskal berupa fasilitas perpajakan, khususnya untuk pengadaan peralatan kesehatan dan obat-obatan. Dengan dukungan tersebut, sekarang sudah banyak industri dalam negeri yang bisa memproduksi Alat Pelindung Diri (APD), bahkan ada juga yang bisa memproduksi ventilator pernafasan. Upaya apa yang dilakukan untuk memastikan kecukupan anggaran penanganan COVID-19? Pemerintah akan terus memantau kebutuhan anggaran, dikaitkan dengan proyeksi berapa lama pandemi ini akan terjadi. Semakin lama, dan semakin banyak korban, tentunya akan dibutuhkan lebih banyak anggaran. Sumber pendanaan ini utamanya dari pendapatan dan pembiayaan, serta realokasi dan refocusing anggaran K/L dan TKDD. Pemerintah melalui koordinasi dengan stakeholder terkait akan terus melakukan pemetaan kebutuhan anggaran penanganan Covid-19, dan memperkuat perencanaan dan keakuratan kebijakan kesehatan. Di samping itu, pemerintah akan terus mendorong refocusing anggaran K/L untuk mendukung sektor kesehatan, mengingat apabila pandemi berlangsung lebih lama, maka kegiatan K/L tidak dapat berjalan, dan anggarannya dapat direalokasi untuk mendukung intervensi kesehatan. Berapa total anggaran yang diperoleh setelah refocusing dari K/L dan pemda? Dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya, telah dilakukan kebijakan penghematan anggaran, baik belanja K/L maupun transfer ke daerah dan dana desa. Untuk penghematannya total K/L sekitar Rp145-an triliun dan untuk pemda sekitar Rp94 triliun. Uang ini digunakan sebagai salah satu sumber dana pemberian stimulus yang berfokus ke tiga hal di awal tadi. Penghematan tersebut di luar kebijakan refocusing anggaran K/L dan Pemda untuk mendukung penanganan Kesehatan. Apakah ke depan akan ada peningkatan anggaran kesehatan? Sejak 2019, rasio anggaran kesehatan terhadap APBN sebenarnya sudah lebih dari 5 persen, karena kita meng cover Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), prasarana dan sarana kesehatan, termasuk dana-dana yang di transfer ke daerah. Jadi fokusnya bukan ke persentasenya harus sekian tapi lebih kepada program apa yang mau dijalankan, lalu output dan outcome apa yang mau dituju. Tentu Covid-19 ini menjadi baseline dalam persiapan anggaran kesehatan ke depan. Misal dalam pemenuhan fasilitas kesehatan dan perbaikan JKN, baik dari segi layanan maupun sistemnya. Bagaimana dengan fokus alokasi anggaran kesehatan ke depan? Ke depan anggaran kesehatan difokuskan untuk reformasi kesehatan. Pertama, mempercepat pemulihan dampak Covid-19 melalui peningkatan dan pemerataan fasilitas kesehatan, peralatan kesehatan, dan tenaga kesehatan, serta koordinasi dengan pemda, BUMN/BUMD, dan swasta. Kedua, penguatan sistem kesehatan, baik supply maupun demand. Ketiga, penguatan health security preparedness melalui penguatan kesiapan pencegahan, deteksi, dan respons penyakit, penguatan health emergency framework, dan sistem kesehatan yang terintegrasi. Apa harapan Bapak untuk implementasi kebijakan penanganan pandemi dan ketahanan APBN? Pertama, harapan saya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, serta seluruh lapisan masyarakat terus berlanjut, termasuk sharing the pain dengan pemda itu penting. Gugus tugas penanganan pandemi sebagai implementasi kebijakan satu pintu juga penting dilanjutkan. Kemudian kita juga ingin mendukung dunia usaha untuk kesehatan, sehingga kebutuhan alat kesehatan dan farmasi dalam negeri dapat kita penuhi sendiri. Yang terakhir, dengan adanya pandemi ini seluruh sector kehidupan akan melakukan penyesuaian (yang biasa disebut new normal). Mekanisme bekerja, bentuk interaksi dalam masyarakat, dan sebagainya akan menyesuaikan. Termasuk dalam hal pengelolaan APBN. Seharusnya APBN kita dengan new normal yang kita jalani saat ini, menjadi baseline yang efektif dan efisien dalam proses recovery dan reformasi kebijakan fiskal di tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya. Wibawa Dasa Nugraha, mengenai optimalisasi anggaran kesehatan untuk atasi kedaruratan. Bagaimana APBN kita memprioritaskan kesehatan masyarakat selama ini? Anggaran Kesehatan dan anggaran Pendidikan menjadi concern Pemerintah selama ini, untuk meningkatkan kualitas SDM. Sejak 2016, Pemerintah menjaga alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN, karena kesehatan berdampak langsung ke future income orang. Kalau orang sehat, dia akan semakin produktif. Secara tidak langsung, ini juga merupakan investasi Pemerintah di bidang SDM. Dengan adanya pandemi COVID-19 bagaimana prioritas sektor kesehatan dikaitkan dengan ekonomi? Pandemi ini menimbulkan krisis kesehatan lalu berdampak ke krisis ekonomi dan akhirnya bisa berdampak ke krisis keuangan. Karena pandemik ini belum ada obatnya, maka dilakukan pembatasan- pembatasan, seperti physical distancing, work from home, dan PSBB. Maka yang paling terdampak pertama kali dari pandemi ini adalah sektor riil atau informal. Sehingga menimbulkan krisis ekonomi, kalau hal ini tidak segera diatasi akan berakibat pada krisis keuangan. Dengan kata lain, kesehatan, ekonomi dan keuangan ini saling mempengaruhi, tidak dapat dipisahkan. Untuk merespons kondisi tersebut, saat ini Pemerintah memberi stimulus fiscal tahap 3 yang berfokus pada sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan pada dunia usaha. Dengan demikian, bukan hanya kesehatan masyarakat yang tertangani, tetapi masyarakat miskin, rentan miskin, serta dunia usaha yang sosial ekonominya terdampak COVID-19 juga bisa tetap hidup. Sehingga selama masa pandemi, kebutuhan pokok setidaknya dapat terpenuhi, daya beli terjaga dan saat pandemi berakhir, kita bisa segera bangkit kembali. Apa strategi yang dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan yang begitu dinamis di masa darurat ini? Saat ini semuanya berubah serba cepat dan kita harus siap untuk mengantisipasinya. Jangan sampai telat karena risiko kedepannya sangat tinggi. Adanya Perppu Nomor
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 1 lainnya
Opini Teks Rahma Aziza Fitriana, pegawai Balai Diklat Keuangan Denpasar *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Kebijakan New Normal yang Dipilih Pemerintah MENGATASI KESALAHPAHAMAN K ebijakan new normal yang dipilih pemerintah menuai pro kontra. Banyak pihak beranggapan bahwa kebijakan ini diambil terlalu dini mengingat jumlah kasus penderita virus COVID-19 di Indonesia belum menunjukkan penurunan. Masyarakat beranggapan bahwa kebijakan new normal tidak berpihak pada keselamatan masyarakat. Lantas, benarkah hal tersebut? Dalam penulisan opini ini, penulis membagikan kuisioner sebagai penilitan awal kepada 40 responden. Responden tersebut merupakan WNI yang tersebar di berbagai daerah. Sebanyak 57,5% responden berusia 18-25 tahun dan sisanya diatas 25 tahun. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 77,5% responden beranggapan kebijakan new normal yang dilakukan pemerintah lebih berpihak pada aspek ekonomi ketimbang keselamatan jiwa. Hasil ini sesuai dengan isu yang beredar di masyarakat bahwasanya pemerintah lebih mementingkan sisi ekonomi yang mengalami krisis akibat pandemi ketimbang keselamatan masyarakat. Proyeksi pertumbuhan ekonomi sebelum COVID-19 berada di angka 5,3%. Akan tetapi, setelah terjadi pandemi, proyeksi itu ada di angka 2,3% untuk skenario berat dan -0,4% untuk skenario sangat berat. Pertumbuhan ekonomi yang turun drastis menjadi penyebab pemutusan hubungan kerja besar-besaran dan meningkatnya jumlah pengangguran. Akibatnya, jumlah masyarakat miskin semakin bertambah. Potensi dampak sosial yang terjadi akibat COVID-19 menunjukkan angka yang fantastis. Diperkirakan jumlah kemiskinan akan bertambah sebesar 1,89 juta orang pada skenario berat dan 4,86 juta orang pada skenario sangat berat. Jumlah penganguran pun akan naik sebesar 2,92 juta orang pada skenario berat dan 5,23 juta orang pada skenario sangat berat. Pemerintah selaku pembuat kebijakan melakukan langkah extraordinary untuk menangani pandemi ini. Dana sebesar Rp 695,2 triliun yang dilokasikan untuk mengatasi COVID-19 adalah bukti keseriusan pemerintah. Dana tersebut didistribusikan melalui kebijakan kesehatan, social safety net, dukungan industri, dan Program Pemulihan Ekonomi (PEN). Kita telah melihat berbagai upaya pemerintah untuk mengatasi pandemi ini baik dari segi kesehatan maupun dari segi perekonomian. Akan tetapi, apakah data-data terkait proyeksi pertumbuhan ekonomi, kenaikan jumlah pengangguran dan kemiskinan, serta dana yang dikeluarkan pemerintah untuk berbagai aspek sampai ke masyarakat? Sebanyak 62,5% responden tidak mengetahui jumlah kenaikan angka pengangguran dan kemiskinan yang terjadi akibat COVID-19. Artinya, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui berapa angka pasti kenaikan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui berapa jumlah orang miskin baru yang timbul akibat pandemi ini. Hal tersebut mendorong terjadinya penyepelean masalah ekonomi dalam benak masyarakat. Sebanyak 72,5% responden tidak mengetahui nominal yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi pandemi COVID-19. Ketidaktahuan masyarakat mendorong terjadinya asumsi bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani masalah ini. Padahal, jika kita cermati data-data di atas, pemerintah telah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit untuk berbagai aspek. Timbul pertanyaan, mengapa data-data di atas tidak sampai ke masyarakat? Apakah pemerintah tidak mensosialisasikan kebijakan- kebijakan yang dilakukan selama pandemi? Sebanyak 80% responden beranggapan bahwa pemerintah tidak memberikan informasi yang jelas terkait kebijakan-kebijakan yang dilakukan selama pandemi. Padahal, apabila kita cermati bersama, pemerintah telah menginformasikan kebijakan-kebijakan yang dilakukan melalui berbagai media, utamanya media sosial instagram. Melalui akun media sosial @ kemenkeuri, pemerintah telah membuka data-data di atas. Mulai dari proyeksi pertumbuhan ekonomi, jumlah kenaikan pengangguran dan kemiskinan, belanja dan pendapatan negara, sampai program-program yang pemerintah canangkan untuk mengatasi pandemi ini. Kebijakan new normal yang dipilih pemerintah pun tidak serta merta membebaskan kegiatan masyarakat secara keseluruhan. Ada tahapan atau fase-fase yang disesuaikan dengan tingkat kesiapan dalam mematuhi syarat yang dikedepankan. Evaluasi terhadap pelaksanaan new normal pada setiap fase juga dilakukan. Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah mengutamakan aspek keselamatan jiwa dan aspek ekonomi secara berdampingan. Tidak bisa dipungkiri, ada pelonjakan jumlah kasus COVID-19 saat pemerintah melakukan kebijakan new normal di sebagian daerah. Hal ini menjadi masukan bagi pemerintah agar secara aktif melibatkan masyarakat untuk mengutamakan aspek keselamatan jiwa dan ekonomi secara berdampingan. Pemerintah diharapkan tidak bosan memberikan informasi keadaan real yang terjadi agar masyarakat teredukasi dengan baik. Demikian halnya masyarakat diharapkan dapat berinisiatif mencari data dan fakta yang telah dibuka oleh pemerintah guna mengetahui keadaan real yang tengah dihadapi negara ini. Masyarakat juga diharapkan dapat menyaring informasi dengan baik sehingga mampu mengambil kesimpulan secara bijak. Ilustrasi A. Wirananda
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @achintyameswari: Nomor 3, karena dengan terbatasnya ruang gerak kita beberapa bulan terakhir, pandemi menunjukkan bahwa shifting ke teknologi digital makin tak terelakkan jika tak ingin makin tertinggal. Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Presiden Joko Widodo dalam pidato penyampaian Nota Keuangan beberapa waktu yang lalu menyebutkan kebijakan APBN 2021 diarahkan untuk: 1. percepatan pemulihan ekonomi nasional 2. reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas, inovasi, daya saing 3. percepatan transformasi ekonomi menuju era digital 4. pemanfaatan dan antisipasi perubahan demografi Jika menjadi Menteri Keuangan, program mana yang akan Anda beri alokasi anggaran terbanyak dan mengapa? @mike_adty: 1. Percepatan PEN karena belum ada kepastian kapan pandemi berakhir. Perlu percepatan dan berlangsungnya kesinambungan program ini untuk mengurangi dampak ekonomi dan imbasnya bagi masyarakat. 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 156 / SEPTEMBER 2020 Rahayu Puspasari Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu Pilih Mitra Distribusi Anda! Informasi lebih lanjut: www.kemenkeu.go.id/sukukritel djpprkemenkeu @DJPPRKemenkeu DJPPRKemenkeu DJPPRKemenkeu Imbal hasil (fixed rate) 6,05% p.a. Masa Penawaran 28 Agt - 23 Sep 2020 Dapat diperdagangkan Rp Minimum Pemesanan Rp1 juta #InvestasiRakyatPenuhManfaat SR013 SUKUK RITEL SERI Cintai Negeri dengan Investasi Menggandeng Optimisme dan Realitas B agaimana hawa pagi di sekitarmu? Beberapa waktu terakhir, udara dingin sering menusuk badan ketika dini hari menjelang. Puncak musim kemarau nampaknya sudah ada di depan mata. BMKG menuturkan hawa dingin yang terasa saat tengah malam dan bahkan terasa lebih dingin lagi menjelang pagi adalah fenomena penanda puncak musim kemarau tiba. Namun BMKG juga memprediksi puncak kemarau baru akan terjadi di awal September dan udara dingin akan kembali terasa. Itu adalah sebuah prediksi. Dari perkara prediksi cuaca, kita beralih ke prediksi ekonomi di tahun depan. Meski pandemi masih belum berhenti, pemerintah tetap fokus mempersiapkan diri menghadapi tahun 2021 yang sudah di depan mata. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo melalui pidatonya telah menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 pada sidang tahunan MPR/DPR. Nota Keuangan dan RAPBN 2021 berisi prediksi atau asumsi dan target pemerintah yang akan menjadi acuan pelaksanaan berbagai program pemerintah dan pengelolaan keuangan negara di tahun depan. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menegaskan beberapa program yang menjadi fokus pemerintah untuk tahun 2021 mendatang. Program- program tersebut antara lain percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19; reformasi struktural; percepatan transformasi ekonomi menuju era digital; serta pemanfaatan dan antisipasi perubahan demografi. Sama halnya dengan ketidakpastian perubahan suhu cuaca antara siang dan malam yang akhir-akhir ini bisa sangat drastis terjadi, RAPBN 2021 ini juga disusun dengan mengantisipasi ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia di tahun depan. Meski di tengah situasi yang serba tidak pasti, penyusunan RAPBN 2021 mengusung semangat optimisme namun tetap realistis. Optimisme dan realitas sama-sama diusung dan dituangkan dalam RAPBN 2021. Optimisme tersebut salah satunya terlihat dari asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipatok tumbuh mencapai 4,5 persen - 5,5 persen di tahun depan. Namun demikian, program percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19 tetap terus dilakukan. Nota Keuangan dan RAPBN 2021 adalah dokumen milik bersama, tidak hanya milik Kementerian Keuangan maupun pemerintah saja. Publik atau masyarakat juga diharapkan dapat turut memberikan masukan sekaligus pengawasan dalam pelaksaannya nanti. Di edisi ini, pembaca dapat memperoleh info lebih detil mengenai isi dari RAPBN 2021. Semoga pengalaman pandemi COVID-19 di tahun ini justru menjadi momentum untuk melakukan perbaikan dan reformasi di berbagai bidang sehingga cita-cita bangsa yaitu mewujudkan Indonesia Maju dapat segera tercapai. Selamat membaca!
idak ada satu ahli di negara mana pun yang mengetahui dengan pasti bagaimana perkembangan virus ini ke depan. Tidak ada yang tahu pasti apakah akan ada obat yang bisa menyembuhkan. Tidak ada yang tahu pasti kapan vaksin untuk penyakit ini bisa ditemukan. Sementara kebijakan pengganggaran di tahun 2021 melalui RAPBN 2021 tak bisa lepas dari persoalan dan dinamika yang terjadi di tahun ini. Akan tetapi, pemerintah berupaya optimis dan tetap realistis dalam menentukan program-program tahun depan. Dono Widiatmoko, Senior Lecture University of Derby, Inggris menyampaikan bahwa ilmu pengetahuan mengenai virus dan penyakit ini masih amat terbatas. “Ilmu kita mengenai COVID-19 di seluruh dunia sama titik nolnya, di bulan Desember. Sampai sekarang belum ada evidence yang jelas. Bisa jadi saat ini belum ada evidence kita tertular dua kali, tapi kita tidak tahu kedepannya,” terangnya. Saat ditanya negara mana yang bisa menjadi panutan dalam penanganan pandemi, pria yang mengajar Health Economic ini menjelaskan bahwa ada kelebihan dan kekurangan dari strategi tiap negara menghadapi COVID-19. “Penanganan COVID-19 siapa yang paling benar di dunia ini, tak ada yang tahu. Contohnya New Zealand dengan Swedia, keduanya negara maju. Sementara penanganan COVID-19 keduanya berbeda 180 derajat. New Zealand full lockdown sementara Swedia tidak sebab mereka penganut herd immunity, tapi orang-orang tua dijaga. Namun, di sisi lain, New Zealand ekonominya mati, Swedia ekonominya jalan, tapi angka kematiannya tinggi. Nah, tergantung kita mau contoh yang mana,” jelasnya. Memulihkan ekonomi dari gempuran pandemi Di tengah ketidakpastian ekonomi, berbagai strategi dan kebijakan dikeluarkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Onny Widjanarko, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, berpendapat ada beberapa kebijakan baik yang telah dan akan dilakukan yang perlu diakselerasi sehingga ekonomi Indonesia dapat pulih lebih cepat. “Penanganan COVID-19 perlu dipercepat sehingga aktivitas sosial meningkat dan berimplikasi pada peningkatan aktivitas transaksi ekonomi. Sektor-sektor ekonomi yang dapat berjalan dengan protokol kesehatan perlu dibuka. Perlu percepatan penyerapan anggaran dengan jumlah besar dan inklusif. Selain itu, restrukturisasai kredit terutama UMKM dan perluasan pemanfaatan digital juga merupakan pilihan yang tepat,” tutur Onny. Hal senada juga disampaikan oleh Ralph Van Doorn, Senior Economist World Bank. Menurutnya, bangkitnya ekonomi di tengah ketidakpastian dapat dilakukan dengan menciptakan situasi yang kondusif bagi investasi, perdagangan dan inovasi dan meningkatkan kemampuan para pekerja melalui program Kartu Prakerja. Ia juga menambahkan bahwa upaya Indonesia untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur perlu dilanjutkan sebab hal tersebut merupakan strategi kunci dalam pemulihan ekonomi paskapandemi. Selain itu, meratakan kurva utang juga perlu dilakukan sebab pembayaran bunga yang meningkat akan mengurangi ruang fiskal. Melonggarkan PSBB, membuka ekonomi Dengan pelonggaran PSBB, kegiatan ekonomi mulai bergerak dan berdampak positif. Namun di sisi lain, hal ini berisiko menurunkan status kewaspadaan terhadap COVID-19. Menurut Ralph banyak negara, termasuk Indonesia, telah menghadapi trade- off antara memperlambat penyebaran COVID-19 dan mempertahankan aktivitas ekonomi. Melalui kebijakan yang tepat, ada peluang untuk bergerak dengan aman menuju New Normal . “Ada beberapa langkah konkret bagi Indonesia agar bisa mendapatkan peluang terbaik dalam membuka kembali perekonomian. Pemerintah harus fokus dalam memperluas kapasitas laboratorium pengujian, mengintegrasikan sistem informasi untuk pengawasan, mengumpulkan data dengan baik sehingga tingkat pandemi dapat diukur lebih akurat, memastikan ketersediaan dan kesiapan layanan kesehatan termasuk produksi dan distribusi vaksin COVID-19,” tambahnya. Sementara itu, Dono menyatakan bahwa efektivitas PSBB juga diragukan. Ia melakukan penelitian evaluasi PSBB dari beberapa variabel seperti google mobility report , ojek online dan jumlah polutan udara di Jakarta. “PSBB pasti ada pengaruhnya tapi besar atau kecilnya tergantung. Ada beberapa daerah yang sukses seperti Pekalongan, Malang, dan Banyumas, tapi sekarang bocor juga. Mengapa? Sebab, kita butuh menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dengan kesehatan. Maka kita perlu mengakomodasi ekonomi berjalan dengan tetap menjaga prinsip pencegahan penularan penyakit,” tuturnya. Alokasi anggaran untuk pandemi Ralph menilai langkah yang diambil Pemerintah Indonesia untuk mengakselerasi belanja produktif di sektor kesehatan, bantuan sosial dan dukungan terhadap industri dianggap tepat. “Bantuan sosial penting agar masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan pendapat tidak jatuh dalam jurang kemiskinan. Sebab, tanpa program tersebut, kami memprediksi sebanyak 5,5 -8 juta masyarakat Indonesia akan masuk ke dalam garis kemiskinan. Namun, penting agar program tersebut diberikan tepat sasaran. Data memperlihatkan bahwa penyaluran program PKH dan Kartu Sembako sudah sesuai, tetapi efektivitas penyaluran BLT Desa dan Kartu Pra Kerja masih perlu ditingkatkan terutama menghilangkan aspek-aspek yang memperlambat pencairan,” jelasnya. Membahas mengenai alokasi anggaran, Dono menyampaikan perspektifnya bahwa selama ini mayoritas anggaran kesehatan sebaiknya tak hanya dialokasikan pada anggaran kuratif saja namun juga perlunya fokus pada program preventif dan promotif. “Seharusnya yang menjadi prioritas adalah anggaran preventif dan promotif sebab penyakit ini (COVID-19) fokusnya adalah disiplin agar kita lebih sehat dan bisa lebih imun. Saat ini, akibat COVID-19 ada beberapa masalah kesehatan yang terabaikan dan itu yang terkait dengan pencegahan seperti pre-natal care dan imunisasi dengan tutupnya posyandu. Maka, saya mohon agar semua yang ada urusannya dengan investasi manusia di masa depan diproteksi”, ujar Dono. Proyeksi kondisi ekonomi ke depan Jika terjadi gelombang kedua COVID-19 di Indonesia, Ralph memperkirakan ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi yang lebih dalam dari ekonomi global sebesar 7,8 persen pada tahun 2020 dibandingkan dengan skenario dasar World Bank yaitu kontraksi 5 persen. “Jika ada gelombang kedua dan diikuti pembatasan mobilitas skala besar di kuartal III dan IV maka diprediksi ekonomi Indonesia akan berkontraksi sebanyak 2 persen pada tahun 2020. Selain itu, efek yang lebih terasa adalah hilangnya pendapatan dari konsumsi dan investasi,” paparnya. Sementara itu, Onny menyatakan optimismenya bahwa ekonomi Indonesia dapat tetap terjaga dan dipertahankan untuk tumbuh positif di tengah pandemi. “Pemerintah sudah bertekad dan all out agar negara kita tidak mengalami pertumbuhan negatif di sisa kuartal tahun 2020 ini. Ditambah lagi dengan melihat tema APBN 2021 yakni Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi. RAPBN 2021 disusun saat kondisi ekonomi global dan domestik mengalami tekanan dan tantangan luar biasa. Menurut kami, kebijakan yang diambil sudah pas,” ujarnya. Tak dipungkiri lagi, tahun 2020 menjadi tahun yang penuh gejolak. Namun demikian, Pemerintah terus memahat optimisme salah satunya melalui APBN 2021 yang didisain sebagai instrumen percepatan pemulihan ekonomi paskapandemi. Apa saja strategi pemerintah tahun depan, simak di laporan utama berikutnya. 11 MEDIAKEUANGAN 10 VOL. XV / NO. 156 / SEPTEMBER 2020 "...pada intinya kita perlu menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dengan kesehatan." Pemerintah mengakselerasi belanja produktif dalam rangka memberikan stimulus kepada perekonomian Foto Tino Adi P Dono Widiatmoko Senior Lecture University of Derby
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
DPR). Dari berbagai instrumen itu, nanti akan kita dorong, termasuk reformasi kelembagaannya, sehingga bisa fokus dan sangat valid ,” katanya menjelaskan. Terdapat beberapa target indikator yang ingin diraih Indonesia melalui penyusunan dan implementasi RIRN 2017- 2045. Pertama, dari sisi rasio anggaran riset. Kontribusi swasta terhadap belanja riset diharapkan bisa mendekati 75 persen, sedangkan kontribusi pemerintah baik pusat dan daerah diharapkan berada di kisaran 25 persen. Saat ini diketahui, sebanyak 86 persen belanja riset masih didominasi oleh pemerintah. Sementara sisanya sebesar 14 persen berasal dari swasta dan universitas. Tidak hanya itu, RIRN juga menargetkan total belanja riset Indonesia bisa mencapai 1,68 persen dari PDB pada 2025 mendatang, naik dibandingkan belanja saat ini yang hanya sebesar 0,25 persen dari PDB. Kedua, dari sisi SDM. RIRN mematok target rasio kandidat SDM IPTEK terhadap jumlah penduduk Indonesia. Pada 2025 diharapkan terdapat 3.200 orang per 1 juta penduduk, serta 8.600 orang per 1 juta penduduk pada 2045. RIRN menyebutkan, kecukupan jumlah SDM ini perlu dipenuhi agar kontribusi riset bisa berperan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebab, mereka berpotensi menjadi pelaku ekonomi yang berbasis IPTEK di masa depan. Ketiga, terkait produktivitas periset. Pada 2025 pemerintah menargetkan dari setiap 100 periset, terdapat sedikitnya 8 publikasi internasional bereputasi, serta 22 publikasi internasional bereputasi per 100 periset pada 2045. Untuk mencapai itu semua, pemerintah perlu membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset. Selain terkait kelembagaan riset, pemerintah menjalankan sejumlah strategi guna menumbuhsuburkan kegiatan riset. Mulai dari peningkatan kerjasama riset dengan industri, pemberlakuan pengurangan pajak hingga tiga kali lipat bagi perusahaan yang bersedia mengalokasikan anggarannya untuk kegiatan riset ( triple tax deduction ), serta pemberian insentif bagi industri yang melakukan hilirisasi produk-produk hasil riset. Selain itu, guna memunculkan tunas periset baru, pemerintah mendorong peneliti muda di bangku sekolah untuk terlibat dalam banyak kegiatan penelitian. Dimyati juga menuturkan, pemerintah tengah menyiapkan program sertifikasi bagi masyarakat peneliti, yang bukan dari lembaga penelitian, untuk dapat disetarakan. Dana abadi untuk kegiatan riset Sejumlah strategi yang hendak dilakukan guna membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset tidak lepas dari kebutuhan anggaran. Sebagaimana diketahui, saat ini, anggaran riset Indonesia ( Gross of Expenditure on Research and Development , GERD) baru mencapai 0,25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah terus mengupayakan yang terbaik guna meningkatkan anggaran riset menuju jumlah idealnya. Salah satunya melalui dana abadi riset. “Ide dana abadi riset bahwa di dalam anggaran pendidikan kita sebesar 20 persen dari APBN, perlu adanya pemihakan kepada penelitian. Jadi mulai tahun 2019 dialokasikan (dana abadi riset) sekitar Rp1 triliun,” ungkap Menkeu. Dana abadi riset ini menjadi salah satu terobosan pemerintah guna mengatasi keterbatasan anggaran riset. Di luar dana abadi riset, pemerintah pada 2019 telah mengalokasikan anggaran penelitian sebesar Rp35,7 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, sebesar Rp33,8 triliun pada 2018 dan sebesar Rp24,9 triliun pada 2016. Selanjutnya pada 2020, pemerintah kembali mengaloaksikan dana abadi riset. Kali ini, besarannya hingga lima kali lipat dana abadi riset tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp5 triliun. Dengan demikian, total dana abadi riset Indonesia saat ini nyaris mencapai Rp6 triliun. Menristek Bambang Brodjonegoro menyampaikan, nantinya penggunaan dana abadi tersebut ditujukan terutama untuk kegiatan riset dan inovasi yang mendukung tiga hal. Pertama, peningkatan pada nilai tambah sumber daya alam. Kedua, peningkatan substitusi impor dengan produk sama, tapi bernilai tambah atau berharga lebih murah dan mudah didapat. Ketiga, berguna bagi kebutuhan masyarakat, khususnya UMKM dengan teknologi yang tepat guna. Sementara itu, dia menyebutkan, dana abadi riset ditujukan kepada peneliti, perekayasa, atau inovator yang diharapkan menghasilkan produk yang memberikan nilai dan dampak yang besar untuk pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi. “Serta penggunaannya akan melewati sistem seleksi yang sangat ketat sehingga benar-benar menghasilkan program yang tepat dan baik,” katanya. Kuatkan koordinasi lembaga riset Sebagaimana diketahui, pengelolaan anggaran riset (selain dana abadi riset) selama ini tersebar di 52 kementerian dan Lembaga (K/L). Dari total 52 K/L tersebut, sebanyak tujuh lembaga dedikatif untuk riset (BPPT, LIPI, Bapeten, LAPAN), sedangkan 45 lainnya merupakan kementerian yang memiliki kegiatan penelitian dan pengembangan. Itu sebabnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati begitu menyoroti pentingnya pemanfaatan anggaran riset secara optimal. Jika (dana riset) dikelola oleh K/L yang mindset -nya hanya birokratis dan bukan dalam rangka menyelesaikan masalah atau meng- adress suatu isu, maka anggaran (riset) yang besar tidak mencerminkan kemampuan dan kualitas untuk bisa menghasilkan riset,” sebutnya. Sehubungan dengan itu Dimyati menyebutkan, dari sekian banyak institusi yang melakukan riset, tidak jarang riset yang dihasilkan saling bertumpang tindih. “(Bahkan), kadang-kadang riset itu betul-betul copy paste dengan riset yang diadakan di litbang K/L. Jadi tidak satu framework ,” ungkapnya. Itu sebabnya, pemerintah membangun Badan RIset dan Inovasi Nasional (BRIN). Badan ini merupakan amanah Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2019. Fungsi utama BRIN ialah untuk mengintegrasikan segala kegiatan riset, mulai dari perencanaan, program, anggaran, serta sumber daya secara terpadu. Dengan demikian, segala kegiatan riset baik yang ada di perguruan tinggi, lembaga pnelitian dan pengembangan baik pusat maupun daerah, serta di sejumlah kementerian, tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan. “Hal terpenting adalah menghindarkan dari berbagai tumpang tindih pelaksanaan kegiatan riset, serta menghindarkan inefisiensi penggunaan sumber daya, khususnya anggaran yang relatif masih kecil, namun difokuskan pada kegiatan riset yang dapat memberikan nilai dan dampak yang luas bagi masyarakat bangsa dan negara, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan dating,” jelas Menristek. Nantinya segala program dan anggaran riset sepenuhnya berada di bawah pengawasan BRIN. “Meski demikian, lembaga- lembaga (riset) yang saat ini ada, diharapkan masih tetap eksis. Namun dengan penyesuaian organisasi yang sejalan dengan tugas-tugas yang akan diberikan setelah dikoordinasikan oleh BRIN”, harapnya. 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 KemenristekDIKTI: Rp2,84 triliun KKP: Rp2,37 triliun Kementan: Rp2,13 triliun Kementerian ESDM : Rp1,63 triliun Kemendikbud Rp1,49 triliun Kemenhan Rp1,43 triliun Kemenkes Rp1,27 triliun LIPI Rp1,18 triliun Kemenhub Rp1,05 triliun BPPT Rp0,98 triliun Batan Rp0,81 triliun Kemenag Rp0,79 triliun Lapan Rp0,78 triliun Kemensos Rp0,63 triliun Kemenperin Rp0,59 triliun Kemen PU & Pera Rp0,57 triliun Kemenlu Rp0,48 triliun Kemen LHK Rp0,33 triliun Lemhannas Rp0,31 triliun Kemenkeu Rp0,29 triliun 2016 2017 2018 2019 47 MEDIAKEUANGAN 46 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020
enyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan amanat Undang-Undang Dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 (dan amandemen) menjamin hak tiap warga negara untuk mendapat akses pendidikan. Kewajiban pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan lebih jauh diatur dalam ayat ke-4 yang mengharuskan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Sejak diamanatkan satu dasawarsa silam dalam amandemen UUD 1945, akumulasi porsi anggaran di bidang pendidikan yang tak pernah kurang dari 20 persen itu telah menyentuh angka Rp4.000 triliun. Alokasi untuk anggaran pendidikan saat ini bertenger di urutan teratas sebagai belanja negara paling besar dalam APBN. Untuk tahun 2019, total anggaran di sektor tersebut mencapai Rp508,1 triliun. Setiap tahun alokasinya memiliki tren yang terus meningkat. Dalam RAPBN 2020 angkanya naik menjadi Rp505,8 triliun. Alokasi anggaran pendidikan dengan nilai yang besar tersebut memang tidak langsung dikucurkan ke kementerian/ lembaga terkait (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Sekitar 60 persen akan disalurkan melalui dana alokasi khusus (DAK) nonfisik ke daerah. Penggunaan DAK nonfisik diantaranya untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan tunjangan profesi guru. Desentralisasi dan otonomi daerah, termasuk dalam pengelolaan anggaran pendidikan, merupakan gagasan yang ditawarkan Kemenkeu dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Dengan skema tersebut, Menkeu menitipkan harapan agar pengelolaan anggaran pendidikan bisa lebih dioptimalkan lagi. Pada salah satu acara dalam rangkaian Konferensi Pendidikan Indonesia (30/11) yang dihadirinya, Menkeu berpesan tentang pentingnya langkah nyata dalam penggunaan anggaran pendidikan agar berkontribusi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Akses kunci sukses Kunta Wibawa, Direktur PAPBN Direktorat Jenderal Anggaran menuturkan bahwa porsi anggaran pendidikan utamanya akan digunakan untuk mendukung fokus pemerintah dalam membuka luas akses pendidikan. Sebuah pekerjaan rumah yang paling berat memang untuk menyelenggarakan pendidikan secara merata, mengingat tantangan kondisi geografis yang dimiliki oleh Indonesia. Harapannya, tak ada lagi warga negara yang terhalang kesempatannya mendapat layanan dari fasilitas pendidikan. ”Makanya lebih pada upaya untuk menambah fasilitas sekolah yang terjangkau. Sekolahnya gratis. Lalu, orang mau datang ke sana (untuk belajar),” jelas Kunta. Kesuksesan program pembangunan akses pendidikan oleh pemerintah kepada masyarakat dapat diukur dengan menggunakan angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). Menurut rilis resmi Kemendikbud 2018/2019 capaian APK Indonesia untuk jenjang SD, SMP, dan SMA, masing- masing 103,54 persen, 100,8 persen, dan 88,55 persen. Sementara untuk capaian APM, masing-masing sebesar 91,96 persen, 75,64 persen, dan 67,29 persen. Capaian APK dan APM Indonesia tersebut cukup mengecewakan, karena menunjukkan penurunan persentase di tiap kenaikan jenjang pendidikan. Meski belum menggembirakan, berdasarkan data bank dunia, rasio APK dasar dan menengah Indonesia setara dengan kebanyakan negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dengan fokus pemerintah yang ingin segera menghadirkan layanan pendidikan secara merata di seluruh wilayah Indoensia, gap tersebut akan segera tertutup. Memantaskan kualitas pendidikan Memasuki dekade baru, pada 2020 ini pemerintah akan mengerucutkan konsentrasi pengembangan pendidikan dengan menitikberatkan ke akselerasi kualitas. Tentu, itu sejalan dengan rencana besar nasional, menuju Indonesia Emas 2045. Pendidikan berkualitas akan menghasilkan SDM yang berdaya saing tinggi. Harapannya, tak hanya unggul secara nasional tapi juga mendunia. Berbicara tentang peningkatan kualitas, pasti erat kaitannya dengan tiga unsur utama yang diperhatikan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Tiga unsur tersebut meliputi guru, murid dan kurikulum. Untuk itu, dalam anggaran pendidikan juga dialokasikan dana untuk meningkatkan kesejahteraan guru, pemberian fasilitas bagi murid untuk mengakses pengetahuan, dan penyusunan kurikulum yang tepat sesuai kebutuhan. Agar anggaran tersebut dapat diukur dengan baik efektifitas penggunaannya, Pemerintah pun selalu melakukan pengawasan ketat. Salah satu metode evaluasinya disebut public expenditure review . “Kita lihat, evaluasi, dan diskusikan dengan Bappenas, Kemendikbud, Kementerian Agama, Kemenristekdikti, termasuk Ditjen Perimbangan Keuangan. Kita membuat rekomendasi- rekomendasi perbaikan seperti apa,” jelas Kunta Wibawa. Beragam tantangan di lapangan Praktisi sekaligus pengamat pendidikan, Najelaa Shihab, cukup mengapresiasi sejumlah kebijakan pemerintah, utamanya dalam mendorong akses pendidikan. Najeela melihat pemerintah telah cukup memberi perhatiannya pada masalah ketimpangan kesempatan pendidikan, khususnya untuk anak-anak yang kurang beruntung, baik dari segi geografis maupun status ekonomi dan sosial. ”Wilayah 3T semakin diperhatikan, dan Kartu Indonesia Pintar juga menjadi salah satu solusi untuk membantu anak Indonesia tetap bersekolah. Selain itu, kesempatan anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk bisa mengakses pendidikan yang berkualitas juga diharapkan meningkat dengan kebijakan penerimaan peserta didik baru berbasis zonasi,” terangnya. Namun memang harus diakui masalah yang ada di lapangan tidak semudah apa yang tersaji dalam data. Bagaimanapun tiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Masalah- masalah kecil dalam pelaksanaan pendidikan di tiap daerah akan menggelinding seperti bola salju jika tidak diperhatikan dan ditemukan solusinya. Nani Rahakbaw, Kepala SMP Negeri 1 Tual, menyampaikan komentarnya terkait biaya operasional sekolah di tempatnya memimpin. Ia menggambarkan dengan kebutuhan biaya fotokopi untuk bahan ujian tengah semester (UTS). “Fotokopi di Tual per lembar 500 rupiah,“ ia melanjutkan, ”Saat UTS fotokopinya bisa jutaan. Kalau di Jawa seribu rupiah bisa dapat banyak, di sini baru dapat dua lembar.” Frederik S, Kepala SD Negeri Inpres 68 Sorong, menceritakan bagaimana sekolah yang dipimpinnya menjadi terfavorit di Sorong. Hal itu tentu saja membuat wali murid berbondong- Pemerintah Pusat 33 MEDIAKEUANGAN 32 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020
sekolah bergengsi tersebut. Tapi sayang, kebijakan terbaru mengharuskan sekolah menerapkan sistem zonasi. “Ada yang dari gunung, semua ingin mendaftar ke sini karena ingin anaknya dapat pendidikan terbaik,” ujarnya. Untuk itu, ia menitip harapan agar kebijakan tertentu tidak harus diterapkan secara nasional. “Harus dilihat keadaan di lapangan, karena kondisi tiap daerah itu bisa jadi berbeda,” jelas Frederik. Meski ada kendala di beberapa sisi, ada hal lain yang sangat mereka apresiasi. Salah satunya Program Indonesia Pintar (PIP). Nani merasa program ini sangat membantu. “Dulu sebelum PIP, siswa bukan malas sekolah. Dia malu, mungkin sepatunya rusak, bajunya sudah kuning”, katanya. Ia melanjutkan, dengan adanya PIP, siswa yang sempat enggan ke sekolah jadi lebih bersemangat. “Bisa beli buku, pakai pakaian yang layak itu bisa memberikan semangat buat dia,” ujarnya. Tak berhenti di situ, Nani juga merasakan dampak PIP berdampak pada efektivitas kegiatan belajar mengajar dari sisi guru. Menurutnya, para guru di sekolahnya jadi lebih mudah dalam menyampaikan pelajaran karena siswa telah terfasilitasi. Perbaikan ini tentu sebuah kabar baik bagi Indonesia yang sedang fokus membangun generasi masa depannya. Angin perubahan pembelajaran Sejak Oktober lalu, Nadiem Anwar Makarim telah menjadi buah bibir. Kali ini bukan lagi tentang gebrakannya memimpin perusahaan unicorn di bidang transportasi online . Tapi karena ia terpilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Di periode awal kepemimpinannya ini Ia tidak ingin banyak mengumbar janji. Ia memilih untuk lebih banyak mendengar dan mempelajari. Mendengar dari para staf di Kemendikbud. Berdiskusi dengan para pakar pendidikan yang datang dengan berlapis gagasan. Serta berkoordinasi dengan institusi pemerintahan lain, termasuk Kementerian Keuangan. Baru-baru ini Nadiem menjadi tajuk utama berbagai media massa. Nadiem menawarkan empat pokok kebijakan baru yang diberi nama Merdeka Belajar yang disampaikannya dalam Rapat Koordinasi Kepala Dinas Pendidikan Seluruh Indonesia. Empat poin utama dalam kebijakan tersebut meliputi ujian sekolah berstandar nasional (USBN), ujian nasional (UN), rencana pelaksanan pembelajaran (RPP), dan peraturan penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi. Saat kebijakan baru tersebut diterapkan nantinya akan ada perubahan mekanisme pelaksanaan keempat pokok di atas. Dalam pelaksanaan USBN, pada 2020 akan dimulai penerapan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian tersebut nantinya digunakan untuk menilai kompetensi masing-masing siswa. Bentuk penilaiannya dikembalikan sesuai kebijakan tiap sekolah, bisa berupa tes tertulis atau penilaian komprehensif lainnya. ”Guru dan sekolah lebih merdeka menilai hasil belajar siswa. Anggaran USBN dapat dialihkan untuk pengembangan kapasitas guru dan sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,” jelas Mendikbud. Sementara itu, arah kebijakan UN akan dimulai di tahun 2021. UN 2020 merupakan pelaksanaan terakhir tes nasional tersebut. Penggantinya, akan diselenggarakan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang dilakukan di tengah jenjang sekolah. Tujuannya adalah feedback agar sekolah tahu sektor apa saja yang harus dibenahi. Selain itu, siswa dapat meningkatkan prestasi atau memperbaiki kekurangannya di sisa masa studinya. Sedangkan untuk penyusunan RPP, Kemdikbud berencana akan memangkas beberapa komponen. Nantinya, para guru diberi kebebasan memilih, membuat, menggunakan dan mengembangkan format RPP. Satu yang pasti, RPP tersebut memuat tiga komponen berupa tujuan, kegiatan dan asesmen pembelajaran. Terakhir terkait PPDB, Kemendikbud akan menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen. Sisa 30 persen diberikan untuk jalur prestasi atau dapat disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Pijar merdeka belajar Komitmen pemerintah dalam menjamin amanat undang-undang tentang penyelenggaraan pendidikan tidak perlu diragukan. Ada halangan bukan berarti menghambat jalan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan di seluruh penjuru nusantara. Tiap hal yang dihadapi dalam prosesnya menjadi pembelajaran untuk terus berbenah. Tahun 2045 memang masih terasa jauh di depan. Tapi jika terlena, kita tak akan mampu meraihnya. Untuk itu kita harus terus mengejar visi Indonesia Emas yang telah dicanangkan. Mengutip pernyataan Nadiem saat menutup pidatonya pada Hari Guru Nasional, “Apa pun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya secara serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti akan bergerak.” Masih menurut Nadiem, merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir yang dimulai dari guru. Tanpa terjadi esensi kemerdekaan tersebut di level guru tak akan dapat ditularkan ke murid. Dalam esensi kemerdekaan tersebut, tentu saja bukan hanya guru yang bergerak. Tapi dari guru sebagai pemberi layanan langsung kepada siswa, hingga pemerintah pusat harus mampu bergerak serentak. Agar merdeka belajar dapat tercapai di Indonesia. Agar dari kemerdekaan tersebut dapat lahir SDM Indonesia yang lebih matang dan berkualitas. Foto Resha Aditya P 35 MEDIAKEUANGAN 34 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 Menkeu berpesan tentang pentingnya langkah nyata dalam penggunaan anggaran pendidikan agar berkontribusi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Restorasi Pukau Maninjau Gedung Danadyaksa Cikini Jl. Cikini Raya no. 91 A-D Menteng Telp/Faks. (021) 3846474 E-mail. lpdp@depkeu.go.id Twitter/Instagram. @LPDP_RI Facebook. LPDP Kementerian Keuangan RI Youtube. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan LPDP RI 43 MEDIAKEUANGAN 42 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020 Teks CS. Purwowidhu Foto Dok. Pribadi Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, M.S MEDIAKEUANGAN 42 M enyusuri Kelok 44 dari arah Bukittinggi, eloknya Danau Maninjau memanjakan mata. Perbukitan hijau berlarik di satu sisi dan hamparan sawah dengan pohon kelapa menari-nari di sisi lainnya, memeluk erat danau vulkanik itu. Berlokasi di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, danau yang terbentang seluas 95 km ^2 itu merupakan danau terbesar ke-11 di Indonesia. Danau ini tidak hanya menyuguhkan kesejukan embun pagi berselimutkan kabut bak istana di atas awan tetapi juga kesyahduan atmosfer senja tatkala mentari beringsut tenggelam di balik apitan bukit di sisi danau. Laiklah bila presiden pertama RI, Soekarno menggambarkan pesona Maninjau dalam sebait pantun “ Jika makan pinang, makanlah sirih hijau. Jangan ke Ranah Minang, kalau tak mampir ke Maninjau .” Sayang beribu sayang, tahun berselang pencemaran Danau Maninjau kian kritis. Kematian ikan secara masal kerap terjadi. Ihwal tersebut mengusik Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, M.S., Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Bung Hatta, Padang, untuk turun tangan bersama tim riset yang dibentuknya dalam upaya mengembalikan kilau Maninjau yang pendanaan risetnya didukung oleh LPDP. Perlu restorasi Danau Maninjau memiliki beragam fungsi, tidak hanya sebagai penyedia bahan baku dan sumber air, destinasi wisata dan sumber pembangkit listrik, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan ekologis, keanekaragaman hayati dan spesies langka. Masyarakat sekitar pun tak luput menjadikannya sebagai sumber pendapatan melalui pemanfaatan danau sebagai tempat budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA). Hafrijal mengungkapkan Danau Maninjau yang sering disebut sebagai ‘ginjal bumi’ merupakan ekosistem yang sangat unik karena peran pentingnya dalam pengentasan polusi air akibat aktivitas manusia. “Danau Maninjau berperan penting dalam konservasi air, pengendalian banjir dan kekeringan, degradasi akibat polusi, dan menjaga dari perubahan iklim,” paparnya. Namun, Hafrijal menyayangkan fungsi tersebut kini mulai pudar satu persatu sehingga dirinya dan tim bersama pemerintah Kabupaten Agam pun bertekad merestorasi Danau Maninjau. Melalui pendanaan Rispro Implementatif LPDP tahun 2015, Hafrijal dan tim merancang model pengelolaan kawasan Danau Maninjau untuk ketahanan ekonomi masyarakat berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dapat diterapkan oleh segenap pemangku kepentingan di kawasan Danau Maninjau. Save Danau Maninjau Hasil riset yang dilakukan Hafrijal dan tim membuktikan 93 persen beban pencemaran air Danau Maninjau bersumber dari aktivitas budidaya ikan KJA, sementara 7 persen berasal dari limbah penduduk, pertanian dan deterjen. Sebagai solusi, Hafrijal dan tim bersama pemkab Agam menyusun program Save Danau Maninjau. Lima di antara sepuluh program prioritas tersebut yakni (1) pengendalian pertambahan KJA untuk budidaya ikan, termasuk implementasi budidaya ikan KJA ramah lingkungan; (2) membersihkan permukaan air danau dari sampah dan bangkai keramba; (3) mengelola kualitas air danau atau menurunkan status baku mutu air; (4) fasilitasi mata pencarian petani ikan KJA ke lahan darat di lingkar Danau Maninjau; dan (5) penguatan regulasi untuk kelestarian Danau Maninjau. Seluruh program tersebut diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kelestarian Danau Maninjau dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati Agam Nomor 30 Tahun 2017 tentang Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung Ramah Lingkungan. “Peraturan tersebut merupakan salah satu luaran dari hasil riset kami,” pungkasnya. Memberdayakan kearifan lokal Sebagai putra Minang, Hafrijal menjunjung berbagai kearifan lokal yang dilegasikan oleh leluhur ranah Minang. Ia paham betul mengenai pentingnya menghargai budaya lokal bahwa kebijakan sebaik apapun tak dapat diimplementasikan dengan lancar jika ada gap yang dibangun dengan masyarakat setempat. Bukan hanya para Wali Nagari (Kepala Desa) yang digandeng untuk mengimplementasikan hasil riset, melainkan juga petani KJA baik berkelompok maupun personal turut diikutsertakan. “Tidak ada hambatan berarti, kami memakai pepatah orang minang, ‘ berjenjang naik, bertangga turun’ dan ‘ mendahulukan selangkah tokoh masyarakat,” imbuh pria paruh baya yang telah menghasilkan sejumlah karya dan prestasi di bidang perikanan dan kelautan itu. Masyarakat, terutama petani pembudidaya ikan, ungkap Hafrijal, menyambut baik percontohan teknologi budidaya ikan ramah lingkungan. “Mereka meminjamkan keramba jaring apung, boat , menyediakan lahan sawah untuk budidaya ikan dengan sistem Mina Padi ,” tambahnya. Hafrijal berpendapat, sifat masyarakat di lingkar Danau Maninjau adalah melihat dan menunggu, jika metode yang diimplementasikan berhasil maka mereka akan mengikutinya. Seiring berjalannya waktu, implementasi hasil riset yang dilakukan Hafrijal dan tim mulai menunjukkan capaian. Jumlah KJA pada tahun 2015 sebanyak 20.608 petak, papar Hafrijal, secara bertahap sudah mulai berkurang 17.596 petak pada tahun 2019 dan yang diisi dengan ikan sekitar 60 persen (10.557 petak). Ikan nila budidaya yang mati tidak lagi dibuang ke danau, melainkan diberikan kepada ikan lele dumbo dan patin yang dipelihara berdampingan dengan ikan nila. Sementara itu pakan ikan yang terbuang ke badan air sudah mulai berkurang dengan adanya alat yang dapat mengurangi pakan ikan terbuang. “Metode ini adalah salah satu teknologi yang diimplementasikan dari hasil riset kami,” jelasnya. Harapan masih ada Telah dimahfumi bersama bahwa aktivitas KJA memberikan dampak negatif terhadap air danau. Meski pemkab Agam melalui Perda Kab. Agam 5/2014 telah berupaya meminimalisir dampak dengan menetapkan jumlah KJA yang diperbolehkan sesuai daya dukung perairan danau sebanyak 1500 unit setara dengan 6000 petak (lubang), akan tetapi kenyataan bahwa sekarang sumber pendapatan masyarakat secara umum di lingkar Danau Maninjau berasal dari aktivitas KJA tak dapat dipungkiri. Oleh sebab itu, Hafrijal berpendapat hendaknya pemerintah berhati-hati dalam mengambil langkah kebijakan terkait KJA. Perlu dipertimbangkan mata pencarian alternatif di lahan darat bagi masyarakat selain menjadi petani budidaya ikan KJA. “Sumber mata pencarian alternatif inilah yang sedang kami coba usahakan di lahan darat, misalnya beternak ikan lele di kolam terpal dan lainnya di bidang pertanian dan peternakan,” tambahnya lagi. “Kiranya pemerintah menyiapkan regulasi berbasis hasil riset, termasuk hasil riset kami dan memperhatikan kearifan lokal,” harapnya. Regulasi yang harus dituntaskan adalah Perda tata ruang kawasan Danau Maninjau yang dapat secara bersama-sama dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan. “Kalau masyarakat diajak dan dilibatkan, saya pikir tidak ada sesuatu yang menjadi halangan untuk perbaikan tata kelola Danau Maninjau di masa yang akan datang,” pungkasnya. Hafrijal juga tak lupa menyemangati periset lainnya yang didanai LPDP untuk melakukan riset yang berdaya saing sehingga dapat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
BOS Kinerja diberikan kepada daerah sejak tahun 2019. Dana BOS Afirmasi dialokasikan untuk mendukung operasional rutin bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang berada di daerah tertinggal. Tujuannya untuk mengejar ketertinggalan kualitas dan kualitas layanan publik. Sementara itu, dana BOS Kinerja diberikan untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan layanan pendidikan dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sekolah penerima dana BOS saat ini diverifikasi oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk kemudian ditetapkan Kemdikbud melalui Surat Keputusan (SK). Kebijakan ini dilakukan untuk meminimalkan kesalahan data penerima sehingga dapat diterima sekolah yang benar-benar membutuhkan. Batas akhir pengambilan data dilakukan sekali per tahun setiap tanggal 31 Agustus untuk mencegah keterlambatan APBD-Perubahan. Penyaluran dan Penggunaan Dana BOS Penyaluran BOS Reguler diberikan berdasarkan capaian kinerja penyerapan berupa laporan realisasi penggunaan Opini Dana BOS Disalurkan Langsung ke Sekolah belajar yang memberikan fleksibilitas dan otonomi lebih besar bagi para kepala sekolah sehingga dana BOS dapat digunakan sesuai kebutuhan sekolah termasuk biaya operasional. Namun demikian, sekolah harus tetap memperhatikan ketentuan pengelolaan dana BOS Reguler di sekolah yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Alokasi Dana BOS Alokasi DAK Non Fisik BOS dalam APBN tahun 2020 naik sebesar 63,5 persen menjadi Rp54,32 triliun. Peningkatan ini disebabkan oleh perubahan besaran unit cost. Perubahan besaran unit cost untuk SD/MI dari sebelumnya Rp800.000 menjadi Rp900.000 per siswa, untuk SMP/ MTS dari sebelumnya Rp1 juta menjadi Rp1,1 juta per siswa, untuk SMA dari 1,4 juta menjadi Rp1,5 juta per siswa dan untuk SMK dari Rp1,4 juta menjadi Rp1,6 juta per siswa. Sementara itu, untuk Pendidikan Khusus tetap sama yaitu sebesar Rp2 juta per siswa. Dana BOS Afirmasi dan dana melalui aplikasi penggunaan dana BOS yang dikelola oleh Kemdikbud. Selanjutnya, Kemdikbud menyampaikan rekomendasi penyaluran dana BOS Reguler kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Untuk penyaluran tahap I, rekomendasi paling lambat disampaikan bulan Juli dan untuk penyaluran tahap III, rekomendasi paling lambat disampaikan di minggu kedua bulan Desember. Apabila sampai batas waktu yang ditetapkan rekomendasi tidak diterima maka penyaluran Dana BOS Reguler tidak dapat dilakukan. Penggunaan dana BOS Reguler mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler. Sekolah memiliki kewenangan menentukan alokasi penggunaan dana BOS Reguler sesuai prioritas kebutuhan dengan memperhatikan prinsip manajemen berbasis sekolah. Perencanaan pengelolaan dana BOS mengacu pada hasil evaluasi diri sekolah. Alokasi dana BOS Reguler hanya digunakan untuk meningkatkan layanan pendidikan tanpa intervensi atau pemotongan dari pihak manapun. Penggunaannya juga harus didasarkan pada kesepakatan dan keputusan bersama antara tim BOS sekolah, guru, dan komite sekolah yang dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan dan disertai dengan tanda tangan. Dana BOS juga dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru-guru honorer dan tenaga kependidikan yang telah berdedikasi selama ini. Guru honorer yang dapat dibiayai dari dana BOS ini adalah guru yang statusnya sudah lama dan memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Dana BOS bisa dialokasikan untuk guru honorer maksimal 50 persen dari yang diterimanya (sebelumnya hanya maksimal 15 persen untuk guru honorer di sekolah negeri dan 30 persen di sekolah swasta). Kebijakan baru lainnya adalah tidak ada alokasi dana Ilustrasi Dimach Putra Teks Irfan Sofi Analis Keuangan Pusat dan Daerah, DJPK *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. BOS maksimal maupun minimal untuk pembelian buku dan alat multimedia dari yang sebelumnya dibatasi sebesar 20 persen. Pemberian fleksibilitas penggunaan dana BOS ini harus diikuti dengan pelaporan penggunaan yang lebih transparan dan akuntabel. Selain itu, Pemerintah tetap melakukan pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan sebab jumlah anggaran cukup besar dengan jumlah penerima yang banyak. Kebijakan alokasi, penyaluran, dan penggunaan yang baru untuk Dana BOS diharapkan mampu untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Dengan kualitas pendidikan yang baik diharapkan terbentuk Sumber Daya Manusia yang unggul dan mampu bersaing di kancah internasional. MediaKeuangan 36 P emerintah melalui Kementerian Keuangan telah menyalurkan DAK Non Fisik untuk Biaya Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2020 tahap pertama sebesar Rp9,8 triliun langsung dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Sekolah. BOS tahap pertama ini disalurkan langsung ke 136.579 sekolah yang berhak tanpa melalui RKUD Pemerintah Provinsi. Skema penyaluran langsung ini bertujuan memangkas birokrasi dan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/ PMK.07/2020. Penyaluran langsung ini hanya untuk BOS Reguler dan dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama sebesar 30% dari pagu alokasi disalurkan paling cepat bulan Januari. Penyaluran tahap kedua sebesar 40 persen dilakukan paling cepat bulan April dan tahap ketiga sebesar 30 persen dilakukan paling cepat bulan September. Sementara itu, untuk BOS Afirmasi dan Bos Kinerja disalurkan sekaligus paling cepat bulan April dari RKUN ke RKUD. Perubahan skema baru ini juga mendukung program merdeka