Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...
Mekanisme Pengelolaan Hibah.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat K/L adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.
Pendapatan Hibah adalah setiap penerimaan Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri, yang atas pendapatan hibah tersebut, pemerintah mendapat manfaat secara langsung yang digunakan untuk mendukung tugas dan fungsi K/L, atau diteruskan kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah.
Pendapatan Hibah Langsung adalah hibah yang diterima langsung oleh K/L, dan/atau pencairan dananya dilaksanakan tidak melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang pengesahannya dilakukan oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran yang disahkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Pemberi Hibah adalah pihak yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri yang memberikan hibah kepada Pemerintah Pusat.
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat CaLK adalah bagian yang tak terpisahkan dari laporan keuangan yang menyajikan informasi tentang penjelasan pos-pos laporan keuangan dalam rangka pengungkapan yang memadai.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah Menteri Keuangan.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan pada tingkat Pusat, dan Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara pada tingkat Daerah.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kewenangan selaku Kuasa BUN Daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang yang selanjutnya disingkat DJPU adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertindak sebagai Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Pengelola Hibah.
Rekening Hibah adalah rekening pemerintah lainnya yang dibuka oleh K/L dalam rangka pengelolaan hibah langsung dalam bentuk uang.
Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan hibah langsung dan/atau belanja yang bersumber dari hibah langsung.
Surat Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SPHL adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk mengesahkan Pendapatan Hibah Langsung dan/atau belanja yang bersumber dari hibah langsung.
Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo Pendapatan Hibah Langsung kepada Pemberi Hibah.
Surat Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP3HL adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk mengesahkan pengembalian hibah langsung kepada Pemberi Hibah.
Berita Acara Serah Terima yang selanjutnya disingkat BAST adalah dokumen serah terima barang/jasa sebagai bukti penyerahan dan peralihan hak/kepemilikan atas barang/jasa/surat berharga dari Pemberi Hibah kepada penerima hibah.
Surat Pernyataan Telah Menerima Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SPTMHL adalah surat pernyataan tanggung jawab penuh atas Pendapatan Hibah Langsung dan/atau belanja yang bersumber dari hibah langsung/ belanja barang untuk pencatatan persediaan dari hibah, belanja modal untuk pencatatan aset tetap/aset lainnya dari hibah, dan pengeluaran pembiayaan untuk pencatatan surat berharga dari hibah.
Surat Perintah Pengesahan Pendapatan Hibah Langsung Bentuk Barang/Jasa/Surat Berharga yang selanjutnya disingkat SP3HL-BJS adalah surat yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk diajukan pengesahan Pendapatan Hibah Langsung bentuk barang/jasa/surat berharga ke DJPU.
Memo Pencatatan Hibah Langsung Bentuk Barang/Jasa/Surat Berharga yang selanjutnya disingkat MPHL-BJS adalah surat yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencatat/membukukan Pendapatan Hibah Langsung bentuk barang/jasa/surat berharga dan belanja barang untuk pencatatan persediaan dari hibah/belanja modal untuk pencatatan aset tetap/aset lainnya dari hibah/pengeluaran pembiayaan untuk pencatatanan surat berharga dari hibah.
Persetujuan Memo Pencatatan Hibah Langsung Bentuk Barang/Jasa/Surat Berharga yang selanjutnya disebut Persetujuan MPHL-BJS adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN Daerah sebagai persetujuan untuk mencatat Pendapatan Hibah Langsung bentuk barang/jasa/surat berharga dan belanja barang untuk pencatatan persediaan dari hibah, belanja modal untuk pencatatan aset tetap/aset lainnya dari hibah, dan pengeluaran pembiayaan untuk pencatatan surat berharga dari hibah.
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disingkat SPTJM adalah surat pernyataan yang dibuat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran yang menyatakan bertanggungjawab penuh atas pengelolaan seluruh Pendapatan Hibah Langsung/ pengembalian Pendapatan Hibah Langsung dan belanja yang bersumber dari hibah langsung/belanja barang untuk pencatatan persediaan dari hibah/belanja modal untuk pencatatan aset tetap/aset lainnya dari hibah/ pengeluaran pembiayaan untuk pencatatan surat berharga dari hibah.
Investasi Pemerintah
Relevan terhadap
Kewenangan pengelolaan Investasi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 meliputi kewenangan regulasi, supervisi, dan operasional.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan regulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:
merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Investasi Pemerintah;
menetapkan kriteria pemenuhan perjanjian dalam pelaksanaan Investasi Pemerintah; dan
menetapkan tata cara pembayaran kewajiban yang timbul dari proyek penyediaan Investasi Pemerintah dalam hal terdapat __ penggantian atas hak kekayaan intelektual, pembayaran subsidi, dan kegagalan pemenuhan Perjanjian Investasi.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:
melakukan kajian kelayakan dan memberikan rekomendasi atas pelaksanaan Investasi Pemerintah;
memonitor pelaksanaan Investasi Pemerintah yang terkait dengan dukungan pemerintah;
mengevaluasi secara berkesinambungan mengenai pembiayaan dan keuntungan atas pelaksanaan Investasi Pemerintah dalam jangka waktu tertentu; dan
melakukan koordinasi dengan instansi terkait khususnya sehubungan dengan Investasi Langsung dalam penyediaan infrastruktur dan bidang lainnya, termasuk apabila terjadi kegagalan pemenuhan kerjasama.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:
mengelola Rekening Induk Dana Investasi;
meneliti dan menyetujui atau menolak usulan permintaan dana Investasi Pemerintah dari Badan Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing;
mengusulkan rencana kebutuhan dana Investasi Pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
menempatkan dana atau barang dalam rangka Investasi Pemerintah;
melakukan Perjanjian Investasi dengan Badan Usaha terkait dengan penempatan dana Investasi Pemerintah;
melakukan pengendalian atas pengelolaan risiko terhadap pelaksanaan Investasi Pemerintah;
mengusulkan rekomendasi atas pelaksanaan Investasi Pemerintah;
mewakili dan melaksanakan kewajiban serta menerima hak pemerintah yang diatur dalam Perjanjian Investasi;
menyusun dan menandatangani Perjanjian Investasi;
mengusulkan perubahan Perjanjian Investasi;
melakukan tindakan untuk dan atas nama pemerintah apabila terjadi sengketa atau perselisihan dalam pelaksanaan Perjanjian Investasi;
melaksanakan Investasi Pemerintah dan Divestasinya; dan
apabila diperlukan, dapat mengangkat dan memberhentikan Penasihat Investasi.
Uji materiil Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
membayar kepada Citibank, yang selanjutnya dijadikan dasar bagi Citibank untuk mematikan dan menutup akses Pemohon untuk mengajukan kredit guna mengembangkan usahanya karena Pemohon dilaporkan dan dicantumkan dalam SID BI dengan Kolektibilitas Macet, padahal secara yuridis Citibank dan/atau perusahaan lainnya yang berbentuk badan usaha privat tidak berhak untuk memungut pajak dalam bentuk apapun juga; 98. Bahwa Pasal 6 UU Bea Meterai telah merugikan hak-hak dan kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” , dikarenakan hal-hal sebagai berikut: a. Bahwa materi Pasal 6 UU Bea Meterai dianggap tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum (nietrechtzekerheids) maupun proses hukum yang adil (due process of law) , khususnya perlakuan yang sama di muka hukum (equality under the law) maupun persamaan hak di muka hukum (equalitiy before the law) , sehingga sulit bagi Pemohon untuk memperoleh dana kredit dari lembaga bank dan non bank baik nasional maupun internasional guna menjalankan haknya sebagaimana layaknya pengusaha yang selalu membutuhkan dukungan dana dari perbankan karena Pemohon telah dilaporkan Citibank dan dicantumkan dalam SID BI dengan Kolektibilitas Macet atas tunggakan macet pajak, quad non ; b. Bahwa materi Pasal 6 UU Bea Meterai telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena Citibank dan/atau perusahaan lainnya yang berbentuk badan hukum privat dapat menjadi badan hukum publik dan/atau Negara sebagai pemungut dan penagih pajak cq pajak negara cq pajak pusat kepada Pemohon dan/atau masyarakat lainnya, padahal yang berhak untuk memungut pajak kepada masyarakat berdasarkan Undang-Undang hanyalah negara ; c. Bahwa materi Pasal 6 UU Bea Meterai juga tidak dapat memberikan jaminan dan perlindungan hukum kepada Pemohon karena seharusnya yang berhak untuk memungut pajak kepada masyarakat berdasarkan Undang-Undang hanyalah negara, namun ternyata Citibank dan/atau perusahaan lainnya yang bukan Negara tetapi dapat bertindak sebagai negara untuk memungut,
Uji Materiil atas Pasal 160 ayat (2) huruf c UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda, Pasal 11 ayat (2) huruf c UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keua ...
Relevan terhadap
maupun warganya, maka segala sesuatunya harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 23A UUD 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang“ . Dalam rangka menjalankan amanat Pasal 23A UUD 1945 dan mewujudkan salah satu tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum maka diperlukan sumber pembiayaan yang berkesinambungan, dengan sumber utama pembiayaan berasal dari penerimaan pajak. Sehubungan dengan hal tersebut kemudian Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah menyusun dan mengesahkan serangkaian Undang-Undang Perpajakan, di antaranya adalah Undang-Undang PPh (UU 36/2008), yang sebelumnya pemungutan pajak di Indonesia antara lain dilakukan dengan menggunakan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944. Seiring dengan reformasi perpajakan tahun 1983, Ordonansi tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Salah satu perubahan yang mendasar adalah perubahan prinsip pemenuhan kewajiban perpajakan dari menghitung pajak oleh pemerintah ( official assessment ) menjadi menghitung pajak sendiri ( self assessment ). Sejalan perkembangan sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan serta mengikuti dinamika perubahan ekonomi global, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang di dalam Pasal 2 ayat (1) menentukan subjek pajak adalah: a. 1. orang pribadi; 2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; b. badan; dan c. bentuk usaha tetap. Dengan demikian pajak yang dikenakan pada orang pribadi dan badan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945; Selanjutnya mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah guna melaksanakan otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 18
Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Relevan terhadap 2 lainnya
LPEI wajib menetapkan kriteria peminjam yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit kantor akuntan publik termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian laporan keuangan tersebut. (2) Kewajiban peminjam untuk menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian antara LPEI dan peminjam.
Kualitas Aktiva Produktif dari peminjam yang tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan dinilai paling tinggi kurang lancar. Paragraf 2 Pembiayaan Pasal 16 (1) Kualitas Pembiayaan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai berikut:
prospek usaha;
kinerja ( performance ) peminjam; dan
kemampuan membayar. (2) Penilaian terhadap prospek usaha meliputi komponen- komponen sebagai berikut:
potensi pertumbuhan usaha;
kondisi pasar dan posisi peminjam dalam persaingan;
kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
dukungan dari grup atau afiliasi; dan
upaya yang dilakukan peminjam dalam rangka memelihara lingkungan hidup. (3) Penilaian terhadap kinerja peminjam meliputi komponen- komponen sebagai berikut:
perolehan laba;
struktur permodalan;
arus kas; dan
sensitivitas terhadap risiko pasar. (4) Penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
ketepatan pembayaran pokok dan bunga, atau margin/bagi hasil/ fee untuk kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah;
ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan peminjam;
kelengkapan dokumentasi Pembiayaan;
kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan;
kesesuaian penggunaan dana; dan
kewajaran sumber pembayaran kewajiban. (5) Penilaian kualitas Pembiayaan ditetapkan menjadi:
Lancar;
Dalam Perhatian Khusus;
Kurang Lancar;
Diragukan; atau
Macet. (6) Pedoman penilaian kualitas pembiayaan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 17 (1) Penilaian faktor kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf a untuk Pembiayaan dengan Akad Mudharabah dan Akad Musyarakah mengacu pada ketepatan pembayaran angsuran pokok dan/atau pencapaian rasio antara Realisasi Pendapatan (RP) dengan Proyeksi Pendapatan (PP). (2) Penghitungan RP dan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan rata-rata akumulasi selama periode Pembiayaan berdasarkan analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk nasabah. (3) LPEI dapat mengubah PP berdasarkan kesepakatan dengan nasabah apabila terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, bisnis, pasar dan politik yang mempengaruhi usaha nasabah. (4) RP dan PP merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian Pembiayaan dengan Akad Mudharabah dan Akad Musyarakah. Paragraf 3 Surat Berharga Pasal 18 (1) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat berharga, termasuk surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah, yang diterbitkan oleh:
Pemerintah;
Bank Indonesia;
pemerintah negara donor; atau
lembaga keuangan multilateral; ditetapkan Lancar.
Pemerintah negara donor dan lembaga keuangan multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi ( investment grade ).
Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat berharga selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan memiliki kualitas Lancar sepanjang memenuhi persyaratan:
aktif diperdagangkan di bursa efek;
terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
kupon, imbalan atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan
belum jatuh tempo.
Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat berharga, termasuk surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah, yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) huruf a dan/atau huruf b atau surat berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan sebagai berikut:
Lancar, apabila:
termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi ( investment grade );
kupon, atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan
belum jatuh tempo.
Kurang Lancar, apabila:
termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi ( investment grade );
terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain yang sejenis, bagi hasil/marjin/ fee ; dan
belum jatuh tempo, atau 1. memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah kategori yang layak untuk investasi ( investment grade );
tidak terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain yang sejenis; dan
belum jatuh tempo. c. Macet, apabila Surat Berharga tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b. (5) Kategori yang layak untuk investasi ( investment grade ) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada peringkat surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir. Paragraf 4 Penempatan Dalam Bentuk Simpanan Pasal 19 (1) Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan rupiah atau valuta asing pada Bank Indonesia ditetapkan Lancar.
Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan pada bank dalam dan/atau luar negeri ditetapkan sebagai berikut:
Lancar, apabila:
bank penerima penempatan memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga.
Kurang Lancar, apabila:
bank penerima penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 5 (lima) hari kerja.
Macet, apabila:
bank penerima penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku;
bank penerima penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan khusus ( special surveillance ) atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha;
bank penerima penempatan ditetapkan sebagai bank dalam likuidasi; dan/atau
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga lebih dari 5 (lima) hari kerja.
Dalam hal anggota Dewan Direktur menjalani pemeriksaan dalam perkara tindak pidana kejahatan sebagai tersangka/terdakwa yang mengakibatkan terganggunya kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, yang bersangkutan wajib mengajukan permintaan untuk non aktif kepada Menteri. __ (2) Dalam hal permintaan untuk non aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan, Menteri dapat memutuskan status non aktif kepada yang bersangkutan. (3) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang direktur non aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Dewan Direktur __ menunjuk anggota Dewan Direktur lainnya untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut. (4) Anggota Dewan Direktur yang berstatus non aktif dapat diaktifkan kembali oleh Menteri dalam hal proses pemeriksaan sudah selesai dan tidak mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas. BAB III KEGIATAN USAHA Pasal 6 (1) Kegiatan usaha LPEI meliputi:
Pembiayaan;
Penjaminan;
Asuransi; dan
Jasa konsultasi.
Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
Pembiayaan bagi hasil dengan Akad Mudharabah , Akad Musyarakah , atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
Pembiayaan dengan Akad Murabahah , Akad Salam , Akad Istishna’ , atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
Pembiayaan dengan Akad Qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
Pembiayaan penyewaan dengan Akad Ijarah , Akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik , atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
penerimaan kuasa dalam rangka pengambilalihan hutang piutang atau kegiatan lain dengan Akad Hawalah , Akad Wakalah , atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan/atau
Penjaminan dengan Akad Kafalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. (4) Dalam melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, LPEI wajib:
membuka unit kerja khusus;
mengalokasikan modal tersendiri;
melakukan pembukuan secara terpisah;
menunjuk Dewan Pengawas Syariah; dan
tunduk pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
LPEI wajib mengajukan klaim pencairan agunan tunai paling lama 5 (lima) hari kerja setelah peminjam wanprestasi (event of default) berdasarkan penetapan LPEI. __ Paragraf 10 Pembiayaan dan Penempatan Dana kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah dan Daerah Tertentu Pasal 28 Penetapan kualitas hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk:
Pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah; dan
Pembiayaan dan penempatan dana kepada peminjam dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri. Bagian Ketiga Aktiva Non Produktif Paragraf 1 Umum Pasal 29 Aktiva Non Produktif meliputi AYDA, Rekening Antar Kantor, dan Suspense Account . Paragraf 2 AYDA Pasal 30 (1) LPEI wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA.
LPEI wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA. (3) Pada saat pengambilalihan agunan, LPEI wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net realizable value. (4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh penilai eksternal . (5) Penilai eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah perusahaan penilai yang memenuhi syarat:
tidak merupakan pihak terkait dengan peminjam LPEI;
melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang;
menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan
tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang.
Kepelabuhanan.
Relevan terhadap
Pembangunan terminal khusus dilakukan oleh pengelola berdasarkan izin dari Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan yang harus dilengkapi dengan persyaratan:
administrasi;
teknis kepelabuhanan;
keselamatan dan keamanan pelayaran; dan
kelestarian lingkungan. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
akte pendirian perusahaan;
izin usaha pokok dari instansi terkait; ditjen Peraturan Perundang-undangan c. Nomor Pokok Wajib Pajak;
bukti penguasaan tanah;
bukti kemampuan finansial;
proposal rencana tahapan kegiatan pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang; dan
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan terdekat. (4) Persyaratan teknis kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
gambar hidrografi, topografi, dan ringkasan laporan hasil survei mengenai pasang surut dan arus;
tata letak dermaga;
perhitungan dan gambar konstruksi bangunan pokok;
hasil survei kondisi tanah;
hasil kajian keselamatan pelayaran termasuk alur- pelayaran dan kolam pelabuhan;
batas-batas rencana wilayah daratan dan perairan dilengkapi titik koordinat geografis serta rencana induk terminal khusus yang akan ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
kajian lingkungan. (5) Persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
alur-pelayaran;
kolam pelabuhan;
rencana penempatan Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran;
rencana arus kunjungan kapal. (6) Persyaratan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d berupa studi lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Pasal 118 (1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pembangunan Terminal Khusus dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah persyaratan dilengkapi. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan izin pembangunan terminal khusus. Pasal 119 Dalam melaksanakan pembangunan terminal khusus, pengelola wajib:
melaksanakan pekerjaan pembangunan terminal khusus sesuai dengan jadwal yang ditetapkan;
bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan terminal khusus yang bersangkutan;
melaksanakan pekerjaan pembangunan paling lama 1 (satu) tahun sejak izin pembangunan diterbitkan;
melaporkan kegiatan pembangunan terminal khusus secara berkala kepada penyelenggara pelabuhan terdekat; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 120 (1) Pengoperasian terminal khusus dilakukan setelah diperolehnya izin dari Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari pengelola setelah memenuhi persyaratan:
pembangunan terminal khusus telah selesai dilaksanakan sesuai dengan izin pembangunan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1);
keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran;
laporan pelaksanaan kajian lingkungan;
memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 122...
tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan sertifikasi. Pasal 121 (1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pengoperasian terminal khusus dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah persyaratan dilengkapi. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan izin pengoperasian terminal khusus. Pasal 121 (1) Izin pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dan Pasal 111.
Permohonan perpanjangan izin pengoperasian terminal khusus diajukan oleh pengelola kepada Menteri dengan melampirkan bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Menteri dapat memberikan atau menolak permohonan perpanjangan izin pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 122 Pengelola yang telah mendapatkan izin pengoperasian wajib:
bertanggung jawab sepenuhnya atas pengoperasian terminal khusus yang bersangkutan;
melaporkan kegiatan operasional setiap bulan kepada pemberi izin;
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran serta kelestarian lingkungan; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya. Pasal 123 (1) Penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum tidak dapat dilakukan kecuali dalam keadaan darurat dengan izin Menteri. (2) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
terjadi bencana alam atau peristiwa alam lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya pelabuhan; atau
pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat pelabuhan dan belum tersedia moda transportasi lain yang memadai atau pelabuhan terdekat tidak dapat melayani permintaan jasa kepelabuhanan oleh karena keterbatasan kemampuan fasilitas yang tersedia sehingga menghambat kelancaran arus barang. (3) Izin penggunaan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila fasilitas yang terdapat di terminal khusus tersebut dapat menjamin keselamatan pelayaran dan pelaksanaan pelayanan jasa kepelabuhanan. (4) Penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum hanya bersifat sementara, dan apabila pelabuhan telah dapat berfungsi untuk melayani kepentingan umum, izin penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum dicabut. (5) Penggunaan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan kerjasama antara penyelenggara pelabuhan dengan pengelola. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 124 (1) Pengoperasian terminal khusus dilakukan sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. (2) Pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditingkatkan secara terus menerus selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1(satu) hari atau selama waktu tertentu sesuai kebutuhan. (3) Peningkatan pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
adanya peningkatan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang; dan
tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran, kepelabuhanan, dan lalu lintas angkutan laut. Pasal 125 (1) Menteri dapat menetapkan peningkatan pelayanan operasional terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) berdasarkan usulan dari pengelola. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
kesiapan kondisi alur;
kesiapan pelayanan pemanduan bagi perairan terminal khusus yang sudah ditetapkan sebagai perairan wajib pandu;
kesiapan fasilitas terminal khusus;
kesiapan gudang dan/atau fasilitas lain di luar terminal khusus;
kesiapan keamanan dan ketertiban;
kesiapan sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan;
kesiapan tenaga kerja bongkar muat dan naik turun penumpang atau kendaraan;
kesiapan sarana transportasi darat; dan
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan terdekat. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 126 Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan izin yang telah diberikan:
dapat diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota;
dikembalikan seperti keadaan semula;
diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain; atau
dijadikan pelabuhan. Pasal 127 (1) Izin operasi terminal khusus hanya dapat dialihkan apabila usaha pokoknya dialihkan kepada pihak lain. (2) Pengalihan izin operasi terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri. (3) Dalam hal terjadi perubahan data pada izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola paling lama 3 (tiga) bulan setelah terjadinya perubahan wajib melaporkan kepada Menteri untuk dilakukan penyesuaian. Pasal 128 (1) Terminal khusus yang diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dapat berubah statusnya menjadi pelabuhan setelah memenuhi persyaratan:
sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
layak secara ekonomis dan teknis operasional;
membentuk atau mendirikan Badan Usaha Pelabuhan;
mendapat konsesi dari Otoritas Pelabuhan;
keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran; dan
kelestarian lingkungan. (2) Dalam hal terminal khusus berubah status menjadi pelabuhan yang diusahakan secara komersial, tanah daratan dan/atau perairan, fasilitas penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang dikuasai dan dimiliki oleh pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara dan diatur oleh Otoritas Pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Pemberian konsesi dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara Otoritas Pelabuhan dan pengelola. Pasal 129 Terminal khusus yang diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. Pasal 130 (1) Izin pengoperasian terminal khusus dapat dicabut apabila pemegang izin:
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122; atau
menggunakan terminal khusus untuk melayani kepentingan umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1). (2) Pencabutan izin pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin terminal khusus tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, izin pengoperasian terminal khusus dicabut. Pasal 131 Izin pengoperasian terminal khusus dicabut tanpa melalui proses peringatan, apabila pengelola terminal khusus yang bersangkutan:
melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara; atau
memperoleh izin pengoperasian terminal khusus dengan cara tidak sah. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 132 (1) Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan operasional terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. (2) Fungsi keselamatan di terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. Pasal 133 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara penetapan lokasi, pemberian izin pembangunan dan izin operasi, penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum, peningkatan kemampuan pengoperasian, perubahan status menjadi pelabuhan, prosedur pencabutan izin terminal khusus, penyerahan terminal khusus diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Pasal 134 (1) Untuk menunjang kegiatan tertentu di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal untuk kepentingan sendiri. (2) Pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dilakukan sebagai satu kesatuan dalam penyelenggaraan pelabuhan. Pasal 135 (1) Pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan pengelolaan dari:
Menteri bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan utama dan pengumpul;
gubernur bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan pengumpan regional; dan ditjen Peraturan Perundang-undangan c. bupati/walikota bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan pengumpan lokal. (2) Persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setelah memenuhi persyaratan:
data perusahaan yang meliputi akte perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan izin usaha pokok;
bukti kerjasama dengan penyelenggara pelabuhan;
gambar tata letak lokasi terminal untuk kepentingan sendiri dengan skala yang memadai, gambar konstruksi dermaga, dan koordinat geografis letak dermaga untuk kepentingan sendiri;
bukti penguasaan tanah;
proposal terminal untuk kepentingan sendiri;
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan setempat;
berita acara hasil peninjauan lokasi oleh tim teknis terpadu; dan
studi lingkungan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 136 (1) Untuk mendapatkan persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri, pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Persetujuan atau penolakan permohonan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubenur, atau bupati/walikota paling lama 30 (tiga puluh) __ hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Penolakan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai alasan penolakan. Pasal 137 Pengelola terminal untuk kepentingan sendiri wajib menyediakan ruangan dan sarana kerja yang memadai untuk kelancaran kegiatan pemerintahan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 138 (1) Terminal untuk kepentingan sendiri hanya dapat dioperasikan untuk kegiatan:
lalu lintas kapal atau naik turun penumpang atau bongkar muat barang berupa bahan baku, hasil produksi, dan peralatan penunjang produksi untuk kepentingan sendiri; dan
pemerintahan, penelitian, pendidikan dan pelatihan, dan sosial. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dibuktikan dengan dokumen penumpang dan/atau dokumen muatan barang. Pasal 139 (1) Penggunaan terminal untuk kepentingan sendiri selain untuk melayani kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan umum setelah mendapat konsesi dari penyelenggara pelabuhan. (2) Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
kemampuan dermaga dan fasilitas lainnya yang ada untuk memenuhi permintaan jasa kepelabuhanan;
rencana kegiatan yang dinilai dari segi keamanan, ketertiban dan keselamatan pelayaran dengan rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan setempat;
upaya peningkatan pelayanan kepada pengguna jasa kepelabuhanan;
pungutan tarif jasa kepelabuhan dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan yang bersangkutan; dan
memberlakukan ketentuan sistem dan prosedur pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang bersangkutan. Pasal 140 Dalam hal terjadi bencana alam atau peristiwa lainnya yang mengakibatkan tidak berfungsinya terminal, pengelola terminal untuk kepentingan sendiri wajib memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan untuk kepentingan umum dengan ketentuan:
pengoperasian dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. hak dan kewajiban pengelola terminal untuk kepentingan sendiri harus terlindungi;
pelayanan jasa kepelabuhanan diberlakukan ketentuan pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan; dan
pungutan tarif jasa kepelabuhanan diberlakukan oleh penyelenggara pelabuhan. Pasal 141 Pengelola terminal untuk kepentingan sendiri dalam melaksanakan pengelolaan dermaga wajib:
bertanggung jawab sepenuhnya atas dampak yang ditimbulkan selama pembangunan dan pengoperasian terminal untuk kepentingan sendiri yang bersangkutan;
melaporkan kegiatan operasional terminal untuk kepentingan sendiri kepada penyelenggara pelabuhan laut secara berkala; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepelabuhanan, lalu lintas angkutan di perairan, keselamatan pelayaran, pengerukan dan reklamasi, serta pengelolaan lingkungan; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya. Pasal 142 (1) Persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dicabut apabila pengelola:
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141;
menggunakan terminal untuk kepentingan sendiri untuk melayani kepentingan umum tanpa konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2). (2) Pencabutan persetujuan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengelola terminal untuk kepentingan sendiri tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dicabut. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 143 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII PENARIFAN Pasal 144 Setiap pelayanan jasa kepelabuhanan dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang diberikan. Pasal 145 Besaran tarif pelayanan jasa kepelabuhanan ditetapkan berdasarkan:
kepentingan pelayanan umum;
peningkatan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan;
kepentingan pengguna jasa;
peningkatan kelancaran pelayanan jasa;
pengembalian biaya; dan
pengembangan usaha. Pasal 146 (1) Tarif penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Menteri. (2) Tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan ditetapkan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif yang ditetapkan oleh Menteri dan merupakan pendapatan Badan Usaha Pelabuhan. (3) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan secara tidak komersial oleh Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah dan merupakan penerimaan daerah. Pasal 147 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif jasa kepelabuhanan, mekanisme penetapan tarif yang terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan dan jasa kepelabuhanan serta tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII PELABUHAN DAN TERMINAL KHUSUS YANG TERBUKA BAGI PERDAGANGAN LUAR NEGERI Pasal 148 (1) Untuk menunjang kelancaran perdagangan luar negeri pelabuhan utama dan terminal khusus tertentu dapat ditetapkan sebagai pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas pertimbangan:
pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional;
kepentingan perdagangan internasional;
kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional;
posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran internasional;
Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang diwujudkan dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
fasilitas pelabuhan;
keamanan dan kedaulatan negara; dan
kepentingan nasional lainnya. Pasal 149 (1) Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atas usulan penyelenggara pelabuhan utama setelah memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi:
aspek ekonomi; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan
jenis komoditas khusus. Pasal 150 (1) Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atas usulan penyelenggara pengelola terminal khusus setelah memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi:
aspek administrasi;
aspek ekonomi;
aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan
jenis komoditas khusus. Pasal 151 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dan Pasal 150, Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan penetapan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan dan pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. Pasal 152 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX SISTEM INFORMASI PELABUHAN Pasal 153 (1) Sistem informasi pelabuhan mencakup pengumpulan, pengelolaan, penganalisaan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi pelabuhan untuk:
mendukung operasional pelabuhan;
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan
mendukung perumusan kebijakan di bidang kepelabuhanan. (2) Sistem informasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
Menteri untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat nasional;
gubernur untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat provinsi; dan
bupati/walikota untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat kabupaten/kota. (3) Pemerintah daerah menyelenggarakan sistem informasi pelabuhan sesuai dengan kewenangannya berdasarkan pedoman dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 154 Sistem informasi pelabuhan paling sedikit memuat:
kedalaman alur dan kolam pelabuhan;
kapasitas dan kondisi fasilitas pelabuhan;
arus peti kemas, barang, dan penumpang di pelabuhan;
arus lalu lintas kapal di pelabuhan;
kinerja pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan f. operator terminal di pelabuhan;
tarif jasa kepelabuhanan; dan
Rencana Induk Pelabuhan dan/atau rencana pembangunan pelabuhan. Pasal 155 Badan Usaha Pelabuhan menyampaikan laporan bulanan kegiatan terminal kepada Otoritas Pelabuhan setiap bulan paling lambat pada tanggal 5 (lima) bulan berikutnya. Pasal 156 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 meliputi:
arus kunjungan kapal;
arus bongkar muat peti kemas dan barang;
arus penumpang;
kinerja operasional; dan
kinerja peralatan dan fasilitas. Pasal 157 Otoritas Pelabuhan mengevaluasi laporan bulanan yang disampaikan oleh Badan Usaha Pelabuhan untuk dijadikan sebagai bahan penyusunan sistem informasi pelabuhan dan disampaikan kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur. Pasal 158 Unit Penyelenggara Pelabuhan wajib menyampaikan informasi kepada Menteri yang memuat paling sedikit mengenai:
kedalaman kolam pelabuhan;
arus kunjungan kapal;
arus bongkar muat peti kemas dan barang;
arus penumpang;
kinerja operasional;
kinerja peralatan dan fasilitas;
kedalaman alur; dan
perkembangan jumlah Badan Usaha Pelabuhan yang mengoperasikan terminal. Pasal 159 Menteri berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 mengolah data dan informasi untuk dijadikan sebagai bahan informasi pelabuhan kepada masyarakat. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 160 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengolahan dan laporan serta penyusunan sistem informasi pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 161 Pengelola kawasan industri yang memerlukan fasilitas pelabuhan wajib menyediakan lahan yang dialokasikan untuk kegiatan kepelabuhanan. Pasal 162 (1) Penyelenggaraan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang diusahakan secara komersial harus memenuhi ketentuan:
kegiatan pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan dilaksanakan oleh Otoritas Pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan;
kegiatan pemerintahan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Syahbandar; dan
kegiatan pengusahaan dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan yang mengusahakan pelabuhan laut untuk melayani angkutan penyeberangan. (2) Penyelenggara pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang belum diusahakan secara komersial dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Pemerintah, Unit Pelaksana Teknis pemerintah provinsi, atau Unit Pelaksana Teknis pemerintah kabupaten/kota. Pasal 163 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Menteri. ditjen Peraturan Perundang-undangan BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 164 (1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan pelabuhan tetap menyelenggarakan kegiatan pengusahaan di pelabuhan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. (2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dimaksud . BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 165 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai kepelabuhanan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 166 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 167 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. ditjen Peraturan Perundang-undangan ditjen Peraturan Perundang-undangan Untuk... P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN I. UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan nasional, dan memperkukuh ketahanan nasional. Pembinaan pelabuhan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Aspek pengaturan mencakup perumusan dan penentuan kebijakan umum maupun teknis operasional. Aspek pengendalian mencakup pemberian pengarahan bimbingan dalam pembangunan dan pengoperasian pelabuhan. Sedangkan aspek pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan kepelabuhanan. Pembinaan kepelabuhanan dilakukan dalam satu kesatuan Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang ditujukan untuk mewujudkan kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan pelayaran dalam pelayanan jasa kepelabuhanan, menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha, mendorong profesionalisme pelaku ekonomi di pelabuhan, mengakomodasi teknologi angkutan, serta meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing dengan tetap mengutamakan pelayanan kepentingan umum. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam penyelenggaran pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara proporsional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Untuk kepentingan tersebut di atas maka dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai Rencana Induk Pelabuhan Nasional, penetapan lokasi, rencana induk pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan, penyelenggaran kegiatan di pelabuhan, perizinan pembangunan dan pengoperasian pelabuhan atau terminal, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri, penarifan, pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan sistem informasi pelabuhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional memuat lokasi pelabuhan yang sudah ada maupun lokasi pelabuhan yang direncanakan akan dibangun. Ayat (2) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (3) Menteri yang terkait dengan kepelabuhanan antara lain, menteri yang membidangi urusan lingkungan hidup, perikanan, perindustrian, pertambangan, dan perdagangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Perubahan kondisi lingkungan strategis akibat bencana adalah berubahnya perencanaan pemanfaatan kawasan yang memerlukan fasilitas pelabuhan akibat bencana. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Letak wilayah administratif memuat nama desa/kelurahan atau sebutan lain, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri manufaktur yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki Izin Usaha Industri. Huruf k Fasilitas umum lainnya antara lain tempat peribadatan, tempat rekreasi, olah raga, jalur hijau, dan kesehatan. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas . Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Keadaan darurat antara lain kapal terbakar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat tidak tetap antara lain kegiatan kehutanan dan pertambangan yang diselenggarakan oleh instansi yang berwenang dalam rangka mencegah pembalakan liar ( illegal logging ) dan penambangan liar ( illegal minning ) yang ke luar masuk melalui pelabuhan. Pasal 38 Ayat (1) Kegiatan pengaturan meliputi penetapan kebijakan di bidang kepelabuhanan. Kebijakan di bidang kepelabuhanan merupakan kebijakan umum dan teknis kepelabuhanan yang meliputi penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur serta perizinan di bidang kepelabuhanan. Kegiatan pembinaan dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan guna mewujudkan tatanan kepelabuhanan nasional yang diarahkan untuk:
memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, dan nyaman;
meningkatkan penyelenggaraan kegiatan kepelabuhanan;
mengembangkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan serta keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menjamin tersedianya alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang memadai;
mencegah dan menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kegiatan kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf d... Kegiatan pengendalian meliputi pemberian arahan, bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat pengguna jasa kepelabuhanan, pendidikan dan pelatihan serta sertifikasi, dan perizinan di bidang kepelabuhanan serta petunjuk dalam melaksanakan pembangunan, operasional dan pengembangan pelabuhan. Kegiatan pengawasan meliputi:
pemantauan dan penilaian terhadap kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan; dan
tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jaringan jalan adalah jalan akses (acces road) ke terminal. Huruf c Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf d Keamanan dan ketertiban secara umum di pelabuhan dijamin oleh Otoritas Pelabuhan yang dilakukan secara terpadu dan untuk itu dapat dibentuk satuan pengaman oleh Otoritas Pelabuhan, namun untuk masing-masing terminal menjadi tanggung jawab Badan Usaha Pelabuhan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kondisi tertentu adalah terjadinya sesuatu yang dapat menghambat pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan yang harus segera dilakukan pemulihan dan tidak dapat menunggu pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sehingga diperlukan tindakan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan atau pengelola Terminal Untuk Kepentingan Sendiri seizin Otoritas Pelabuhan. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (4) Kondisi tertentu adalah anggaran pemerintah pada tahun anggaran berjalan tidak tersedia untuk pemeliharaan penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Peraturan pemerintah tersendiri adalah peraturan pemerintah yang mengatur mengenai kenavigasian. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jasa terkait dengan kepelabuhanan adalah kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan antara lain perkantoran, fasilitas pariwisata dan perhotelan, instalasi air bersih, listrik dan telekomunikasi, jaringan air limbah dan sampah, pelayanan bunker, dan tempat tunggu kendaraan bermotor. __ Pasal 69 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Keikutsertaan Badan Usaha Pelabuhan menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang menyangkut angkutan di perairan adalah hanya terbatas di tambatan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sanksi adalah pengakhiran perjanjian dalam hal Badan Usaha Pelabuhan tidak melaksanakan kewajibannya termasuk kewajiban memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan sesuai standar kinerja pelayanan yang ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kerjasama pemanfaatan adalah pengoperasian fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan oleh Badan Usaha Pelabuhan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyewaan lahan, penyewaan gudang, dan/atau penyewaan penumpukan adalah pemanfaatan lahan tanah pelabuhan, fasilitas gudang dan fasilitas penumpukan oleh Badan Usaha Pelabuhan, Badan Usaha lainnya atau perorangan dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 98... Pasal 88 Ayat (1) Sisi darat antara lain berupa gudang, gedung, dan lapangan penumpukan. Ayat (2) Sisi perairan antara lain berupa dermaga, fasilitas tambat, reklamasi, dan talud. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (1) Pengoperasian pelabuhan dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan fasilitas dan sumber daya manusia operasional sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 98 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Kondisi alur antara lain kedalaman, pasang surut, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran . Huruf b Cukup jelas. Huruf c Fasilitas pelabuhan antara lain lampu penerangan, dermaga, gudang, dan lapangan penumpukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan yaitu petugas instansi pemerintah pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, kekarantinaan, kepabeanan dan keimigrasian. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Melaporkan kegiatan operasional dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi . Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang perpajakan serta bea dan cukai. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Kegiatan tertentu adalah kegiatan untuk menunjang kegiatan usaha pokok yang tidak terlayani oleh pelabuhan terdekat dengan kegiatan usahanya karena sifat barang atau kegiatannya memerlukan pelayanan khusus atau karena lokasinya jauh dari pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (2) Huruf a Ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat yaitu bahwa pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan pengoperasian terminal khusus dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan terdekat dan pengawasan serta pelaksanaan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 111 Huruf a Badan usaha adalah badan hukum Indonesia yang didirikan berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia, termasuk anak perusahaan sesuai dengan usaha pokok yang sejenis dan pemasok bahan baku dan peralatan penunjang produksi untuk keperluan badan usaha yang bersangkutan. Kegiatan usaha pokok antara lain pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, serta sosial. Huruf b Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. __ Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, sosial, perpajakan, serta bea dan cukai. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kondisi alur antara lain kedalaman perairan, pasang surut, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Fasilitas terminal khusus antara lain lampu penerangan, dermaga, gudang, dan lapangan penumpukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan yaitu petugas instansi pemerintah pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, kekarantinaan, kepabeanan dan keimigrasian. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 132 Ayat (1) Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan operasional terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat dalam kaitan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pengelola terminal khusus antara lain menyangkut penggunaan perairan, pelayanan pandu, pelayanan jasa kepelabuhanan yang dilakukan untuk melayani pihak ketiga karena kegiatan- kegiatan tersebut merupakan kewenangan dari Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Ayat (1) Kegiatan tertentu meliputi pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, serta sosial. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 135 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Bukti kerjasama dapat berupa kerjasama pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Fasilitas lainnya antara lain peralatan bongkar muat, gudang, akses jalan masuk, dan sumber daya manusia yang menangani. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 140 Bencana alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. ditjen Peraturan Perundang-undangan Peristiwa lainnya dapat berupa bencana non-alam antara lain gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit serta berupa bencana sosial yang antara lain konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat dan teror. Pasal 141 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. __ Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, sosial, perpajakan, serta bea dan cukai. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 148 Ayat (1) Terminal khusus tertentu adalah terminal khusus yang dibangun dan dioperasikan untuk menunjang kegiatan usaha yang hasil produksinya untuk diekspor. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Dalam menyampaikan laporan, Badan Usaha Pelabuhan dapat menggunakan teknologi informasi yang tersedia ( e-portnet ). Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penentuan waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu yang cukup bagi Pemerintah merencanakan pengembangan pelabuhan dan Badan Usaha Milik Negara. Untuk keperluan pengembangan tersebut atas perintah Menteri dilakukan:
evaluasi aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan; dan
audit secara menyeluruh terhadap aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara” adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1991, tetap menyelenggarakan kegiatan usaha di pelabuhan yang meliputi:
kegiatan yang diatur dalam Pasal 90 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
penyediaan kolam pelabuhan sesuai dengan peruntukannya berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pelayanan jasa pemanduan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
penyediaan dan pengusahaan tanah sesuai kebutuhan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. ditjen Peraturan Perundang-undangan ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pengujian UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap UUD Negara RI 1945 ...
Relevan terhadap
Ayat (1) : Untuk memperoleh penetapan sebagai Kawasan Pabean, Pengelola Pelabuhan Laut, Bandar Udara atau Tempat Lain mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah melalui Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 G. Surat Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai (KWBC) Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Penindakan dan Penyidikan, Direktur Perencanaan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai (PPKC), dan Kepala Pusat Kepatuhan Internal (PUSKI) Nomor S-70/BC/2014 tanggal 30 Januari 2014 hal Keberadaan Kawasan Pabean Terkait Pemenuhan Kewajiban Pabean menyatakan:
“Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa: pemenuhan kewajiban pabean dianggap sah apabila:
dilakukan di kantor pabean;
ii. kantor pabean tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan iii. penerimaan atas pungutan negara disetorkan ke kas negara b. keberadaan Kawasan Pabean dimaksudkan untuk memudahkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam melakukan pelayanan dan pengawasan kepabeanan, sehingga sahnya pemenuhan kewajiban pabean tidak tergantung adanya kawasan pabean”. H. Angka 2, angka 5, dan angka 6 Surat Plh. Direktur PPKC kepada Kakanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor S-441/BC.8/2015 tanggal 21 Mei 2015 hal Penegasan Kewajiban Pabean di Perbatasan Darat Kalimantan Bagian Barat menyatakan: Angka 2 : Kawasan perbatasan darat antar negara yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi merupakan simpul utama transportasi/perdagangan wilayah (domestik) dan internasional, termasuk kegiatan perdagangan impor dan ekspor yang di dalamnya terdapat kewajiban pabean Angka 5 : Kewajiban pabean sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam UU Kepabeanan, termasuk di antaranya pengajuan pemberitahuan pabean, pemeriksaan dokumen, pemeriksaan fisik barang, pembongkaran, penimbunan, dan pemungutan fiskal Angka 6 : Sesuai dengan Pasal 5 UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Kantor Pabean merupakan tempat pemenuhan kewajiban pabean atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean baik melalui pelabuhan laut, Bandar udara termasuk pos lintas batas Negara;
Bahwa pada sekira bulan Agustus 2014 Pemohon dikejutkan dengan dikenakannya Perkara Tindak Pidana Korupsi terhadap dirinya, yang selanjutnya diketahui bahwa dasar persangkaan Tindak Pidana Korupsi a quo adalah adanya kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong dengan menggunakan dokumen PIB, yang menurut penafsiran aparat Penegak Hukum (POLRI dhi. Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, Kejaksaan dhi. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat) bahwa Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang berada dibawah Wilayah Pengawasan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong tidak berhak melakukan kegiatan ekspor-impor, dikarenakan para aparat penegak hukum memahami Penjelasan Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan hanya sebatas pada “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai”, dengan mengesampingkan frasa “ dan menetapkan kantor pabean” .
Bahwa Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong Kabupaten Sanggau Propinsi Kalimantan Barat adalah Kantor yang berada dibawah Direktorat Jenderal dan Bea Cukai yang bertugas untuk terpenuhinya dan/atau dilaksanakannya semua kegiatan dibidang kepabeanan dan dikenal dengan sebutan “Kantor Pabean” sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa wilayah kerja “Kantor Pabean” Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong Kabupaten Sanggau Propinsi Kalimantan Barat meliputi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong yang sejak tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 1995 sudah melakukan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB.
Bahwa ketika para aparat Penegak Hukum tidak hati-hati dalam melakukan penafsiran atas penjelasan dalam pasal suatu Undang-undang, dikarenakan Penjelasan pasal suatu Undang-Undang memang tidak begitu detil, yang berakibat terampasnya kemerdekaan seseorang, maka hal demikian ini merugikan hak konstitusional Pemohon serta mengakibatkan terlanggarnya Asas Kepastian Hukum.
Bahwa berdasar pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Asas-asas umum penyelenggaraan Negara meliputi: (vide bukti tambahan P-21) 1. Asas Kepastian Hukum;
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
Asas Kepentingan Umum;
Asas Keterbukaan;
Asas Proporsionalitas;
Asas Profesionalitas; dan
Asas Akuntabilitas Bahwa berdasar Penjelasan Pasal 3 Angka 1 tentang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, yang dimaksud dengan "Asas Kepastian Hukum" adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Bahwa dengan ini Pemohon merasa dirugikan ketika dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak mengatur secara tegas terkait kawasan pabean dan kantor pabean sehingga menimbulkan pemaknaan dan atau penafsiran, khususnya oleh para aparat penegak hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang dialami oleh Pemohon.
Bahwa dalam perkara tindak pidana korupsi Nomor 02/Pid.Sus/TP.Korupsi/ 2015/Pn.Ptk para aparat penegak hukum mengadili Pemohon telah melakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 perbuatan tindak pidana korupsi berdasar pada Penafsiran Subjektif atas suatu penjelasan pasal dalam undang-undang, tanpa mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan yang ada maka Asas Kepastian Hukum pun seakan telah MATI.
Bahwa aparat penegak hukum seakan-akan mengabaikan fakta bahwa PPLB Entikong adalah masuk dalam wilayah kerja KPPBC Entikong, dimana KPPBC Entikong adalah Kantor Pabean yang sejak lahirnya Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan telah melakukan kegiatan Importasi dengan menggunakan dokumen PIB.
Bahwa sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, “ Untuk Pelaksanaan dan Pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, Kantor Pabean, dan pos pengawas pabean ”. Penjelasan: Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. 22. Bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terkait Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean, tidak secara tegas menjelaskan tugas dan fungsi kantor pabean, sehingga mengakibatkan akan banyaknya pemaknaan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 atau penafsiran terkait kawasan pabean atau kantor pabean yang berhak untuk kemudian melakukan kegiatan ekspor impor. __ 23. Bahwa ketika tidak ada batasan dan atau pengertian yang tegas kawasan pabean atau kantor pabean yang berhak melakukan kegiatan ekspor impor sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, hal ini kemudian sangat merugikan hak konstitusional Pemohon yang bertugas selaku Kepala Sie kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong yang meliputi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong.
Bahwa pada faktanya KKPBC Entikong (kantor pabean) meliputi PPLB entikong sudah sejak tahun 1995 sejak Undang-Undang Nomor 10 tentang Kepabeanan lahir sudah melaksanakan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB, dalam artian sebenarnya Kantor Pabean juga sah untuk melakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB.
Bahwa kemudian pada faktanya juga aparat penegak hukum berpendapat yang berhak melakukan kegiatan ekspor impor hanyalah kawasan pabean dengan dasar pengertian “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai” 26. Bahwa kerugian Konsitusional pemohon jelas muncul ketika dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ” Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean”, tidak dimaknai sebagai satu kesatuan klausa, dimana yang berhak melakukan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang serta pengamanan keuangan Negara hanyalah kawasan pabean, dimana ada frasa kantor pabean dalam kalimat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 terakhir yang seharusnya dimaknai juga Kantor Pabean juga mempunyai tugas dan fungsi untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan Negara.
Bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini dirasakan kurang detil dan menimbulkan multitafsir sehingga kemudian menjadikannya bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari Pengelolaan Keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”, karena sangat merugikan Pemohon, dimana Pemohon sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya selaku Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong periode September 2008 sampai Maret 2011 memiliki kewajiban melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong untuk dapat dilakukannya pemungutan Bea Masuk (BM), PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan PDRI (Pajak Dalam Rangka Impor) dari kegiatan ekspor-impor yang terjadi di PPLB Entikong guna memenuhi APBN untuk membiayai belanja pegawai dan belanja pembangunan di seluruh Indonesia, namun dikarenakan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tidak secara detil menegaskan terkait dimanakah sah nya untuk melakukan kegiatan ekpor impor tersebut, sehingga tugas dan fungsi Pemohon di kantor pabean dalam melakukan kegiatan ekpor impor juga dianggap tidak sah dan atau melanggar hukum.
Bahwa selanjutnya Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini kemudian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” , hal ini dapat dilihat ketika Bahwa Pemohon selaku Kepala Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong periode September 2008 sampai Maret 2011 yang telah bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong guna dilakukannya pemungutan BM, PNBP, dan PDRI untuk memenuhi APBN, seyogianya mendapatkan perlakuan yang adil dan layak, namun hal ini kemudian menjadi bertolak belakang dimana yang didapat pemohon adalah penghukuman terhadap dirinya, dikarenakan tugas dan fungsi yang telah dilakukan Pemohon sebagai kepala sie kepabeanan dan cukai di KPPC Entikong meliputi PPLB Entikong dianggap melanggar hukum, dikarenakan tidak ada penegasan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa ketika Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak dimaknai dengan sempurna, maka mengakibatkan ketika menerapkan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan “ Penetapan kawasan pabean, Kantor Pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri” juga menjadi tidak lengkap.
Bahwa hal perkara tindak pidana korupsi yang dikenakan pada Pemohon berdasar pada Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 10 tahun 1995 Tentang Kepabeanan, dimana aparat penegak hukum mendasarkan bahwa PPLB entikong di bawah KPPBC Entikong adalah kawasa pabean, namun dikarenakan belum ada penetapan dari menteri keuangan, maka segala kegiatan ekpor impor yang dilakukan oleh PPLB Entikong dibawah KPPBC Entikong menjadi tidak sah.
Bahwa ketika kembali lagi mengkaji Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ketika memang tiak dimaknai secara mendalam yang akan muncul adalah hanya kawasan pabean yang berhak Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan Negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 padahal dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tersebut juga terdapat frasa “dan menetapkan kantor pabean”, dengan demikian sebenarnya kantor pabean juga bertugas untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan Negara. Namun dikarenakan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tersebut tidak secara tegas menjelaskan dimanakah kegiatan ekspor impor dapat dilakukan, dikawasan pabean atau di kantor pabean, maka hal ini yang kemudian menjadikan munculnya berbagai pemaknaan dan/atau penafsiran (multitafsir) atas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa dalam pemeriksaan dipersidangan Perkara Tindak Perkara Korupsi Nomor 02/Pid.Sus/TP.Korupsi/2015/Pn.Ptk pun telah dihadirkan ahli terkait legalitas PPLB Entikong dibawah KPPBC Entikong bisa melakukan kegiatan ekspor - impor, adapun keterangan ahli adalah sebagai berikut: - Dwiyono Widodo (Kasi Impor DJBC), menerangkan bahwa bisa dilakukan impor di PPLB Entikong, dasarnya Pasal 1 Permendag Nomor 36 tahun 1995, yaitu (perdagangan lintas batas tradisional dan luar negeri), penetapan Menkeu untuk Kantor KPPBC Entikong, penugasan Pegawai Skep Menkeu untuk Kepala Kantor dan Skep Dirjen Bea dan Cukai untuk Pejabat yang lain, job description /tupoksi pegawai sesuai PMK Nomor 87 Tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja Kemenkeu, dan ada penerimaan negara yang masuk ke Kas Negara, impor barang di Entikong ada 3, yaitu barang penumpang, lintas batas dan cargo umum, syarat- syarat sebagai importir SIUP, TDP, NPWP dan NIK, kriteria importasi dinyatakan sah, yaitu diajukan ke kantor Bea dan Cukai dasar pasal 5 ayat 1 UU Kepabeanan, tidak ada Tempat Penimbunan Sementara (TPS) bisa dilakukan importasi, alasannya TPS untuk menimbun, kalau di Entikong tidak ada penimbunan untuk apa ada TPS, ada dokumen (PIB, CD, dan KILB) dan dibayar BM, penetapan BM dasarnya adalah Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), penerimaan negara BM, PPN, dan PPh, di KPPBC Entikong ada PIB dengan jalur hijau (contoh impor listrik oleh PT. PLN), selain KPPBC Entikong ada kantor lain yang bisa dilakukan impor Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 meskipun belum ada penetapan kawasan pabean, pabean Entikong berarti kawasan pabean Entikong, surat tugas dari Direktur Teknis Kepabeanan, JPU Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UUK “untuk ... kawasan pabean dan pos pengawasan pabean (tanpa kantor pabean)”, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUK di KPPBC Entikong sudah sesuai karena barang sudah diajukan PIB, ditunjukkan contoh PIB (importir, pembayaran SSPCP ke loket, petugas siapa aja, SSPCP tanggal sama dengan PIB tanggal 24 Nop 2010 diterima Kasi Perbendaharaan Bonny Yulianto, penyetoran tidak ada masalah, yang penting pembayaran), di UU Kepabeanan tidak dikenal broker atau ekspedisi - Chatibul Umam (Kasi TPS DJBC), menerangkan bahwa bisa dilakukan impor di PPLB Entikong, bisa dilakukan proses importasi tanpa TPS karena TPS diperlukan apabila barang tidak langsung dikeluarkan, kalau langsung keluar berarti tidak diperlukan TPS, perbedaan Entikong dengan tempat lain (kalau pelabuhan besar perlu proses lebih lanjut), selain KPPBC Entikong ada 10 lebih Kantor BC yang bisa dilakukan impor meskipun belum ada penetapan kawasan pabean Atapupu, Jambi, Cilacap, dan Purwokerto, PMK dan Perdirjen tentang Penetapan Kawasan Pabean oleh Kakanwil berdasarkan permohonan Pengelola PPLB lebih dahulu, BC tidak bisa menetapkan kawasan pabean tanpa ada permohonan, persyaratan surat ijin usaha, bukti penguasaan lahan, NPWP, penunujukan sebagai lalu lintas barang dan denah lokasi - Prof. Zudan Arif Fakhrulloh (Staf Ahli Mendagri dan Ahli Hukum Administrasi), menerangkan bahwa diatur di Permendagri Nomor 18/2007 yaitu tradisional/PLB di bawah Bupati untuk Pas dan internasional/PPLB di bawah Gubernur untuk Pas/Paspor dan Ekspor-Impor, sampai saat ini tidak ada larangan dari Gubernur dimana UU Nomor 10/1995 ada BC yang menerima pemberitahuan pabean dan pungutan BM, tetapi yang mempunyai kewenangan satuan adalah instansinya, peran serta BNPP memfasilitasi CIQS: pembangunan besar-besaran sehingga lalu lintas ekspor-impor tidak terganggu karena diyakini ekspor-impor sudah berjalan, permohonan Pengelola PPLB/Gubernur belum ada sampai sekarang (sebagai Kantor sudah diberi kewenangan atributif sudah bisa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 melaksanakan kewenangannya), pejabat yang bertindak dengan ada skep, tupoksi, prosedur impor dijalankan, out put BM/PDRI ada dan sudah dilakukan pemeriksaan instansi vertikal dengan hasil tidak ada penyimpangan berarti tindakannya dilindungi oleh UU. Semua kantor BC diberikan target (pengakuan institusi untuk mendapat pungutan), negara menggarong berarti mengembalikan pembayarannya dan dokumennya dianggap batal, hasil inspektorat dilihat sebagai referensi, Pasal 15-21 UU Nomor 30/2014 kewenangan/prosedur/substansi benar dilindungi hukum (aparat yang jujur), Kantor Pabean unsur sentral di lintas batas sesuai konvensi internasional dan PPLB memberi manfaat dan dampak ekonomi buat masyarakat sekitar;
Bahwa dalam pemeriksaan di persidangan perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor 02/Pid.Sus/TP.Korupsi/2015/Pn.Ptk juga menghadirkan saksi fakta yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
M. Tomi (Kasi Penindakan dan Penyidikan KPPBC Entikong periode September 2008 s.d. Juli 2009), menerangkan bahwa kegiatan ekspor- impor bisa lewat PPLB Entikong, dasarnya pasal 2 dan 5 UU Kepabeanan, tupoksi berdasarkan permenkeu, ada kegiatan penyidikan pelanggaran kepabeanan dan cukai dengan hasil P-21, dibenarkan melakukan penyidikan dan tidak ada larangan, semua importir sudah mempunyai ijin, yaitu SRP dari Bea dan Cukai, API dari Perdagangan, NPWP dari Pajak, tidak mengenal broker, mengetahui bukti PIB Nomor 50 tgl 8 Apr 2009, Abang Mulyadi pengawas pemeriksa, sudah ditandatangani dan stempel importir, PIB Nomor 52 tgl 13 Apr 2009, Dikki pengawas pemeriksa, pengajuan PIB sudah ditandatangani importir, mengetahui sosialisasi Permendag Nomor 56 tahun 2008 dengan hasil pembatasan barang impor tertentu dan untuk KILB tidak berlaku, tidak ada pemberitahuan dari importir kalau perusahaan dipinjam, ada laporan penegahan berupa 15 harian ke kanwil dan kantor pusat.
Wahid Ali Graha (Kasi Penindakan dan Penyidikan KPPBC Entikong periode Agustus 2009 s.d. Oktober 2010), menerangkan bahwa kegiatan ekspor-impor bisa melewati PPLB Entikong, dasarnya Pasal 2 dan Pasal 5 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 10 Tahun 1995 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 tentang Kepabeanan, tupoksi berdasarkan permenkeu, ada kegiatan penyidikan pelanggaran kepabeanan dan cukai dengan hasil P-21, dibenarkan melakukan penyidikan dan tidak ada larangan, semua importir sudah mempunyai ijin, yaitu SRP dari Bea dan Cukai, API dari Perdagangan, NPWP dari Pajak, tidak mengenal broker, mengetahui bukti PIB tanggal 8 Sep 2009 PT. SGB, tanggal PIB dan tanggal tanda tangan importir sama, ditandatangani dan stempel importir, bukan lartas, tidak ada laporan petugas di lapangan kalau ada barang lartas, pengajuan PIB sudah ditandatangani importir, tidak ada pemberitahuan dari importir kalau perusahaan dipinjam, ada penegahan sabu-sabu Mei 2010 dengan info untuk atensi WNI wanita dengan paspor dari luar Kalbar, ada laporan penegahan berupa 15 harian ke kanwil dan kantor pusat.
Kliping berita media massa tentang PPLB Entikong sebagai transaksi ekspor - impor:
Kalbarsatu.com tanggal 6 Desember 2014 dengan judul “PLB Entikong bisa transaksi Ekspor - Impor” intinya Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemendag RI, Partogi Pangaribuan mengatakan berdasarkan SK Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 1995, perdagangan lintas batas di PLB Entikong dan Badau bisa melakukan transaksi ekspor-impor.
Bahwa Kapolda Kalimantan Barat menyatakan di surat kabar Pontianak Post tanggal 8 Mei 2015 pada artikel dengan judul "Lindungi Masyarakat dari Barang Selundupan" bahwa “Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong sejatinya bukan sebagai jalur lalu lintas barang ekspor-impor. Jika selama ini masyarakat menganggap Permendag Nomor 36/KP/III/95 tentang Perdagangan Lintas Batas Melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Propinsi Kalimantan Barat sebagai peraturan yang mengatur perdagangan ekspor-impor, maka anggapan tersebut dinilai salah”;
Bahwa dari uraian-uraian tersebut di atas, jelaslah kalau terdapat perbedaan penafsiran yang sangat tajam terhadap Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dikarenakan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tidak secara tegas menjelaskan fungsi pokok kantor pabean secara rinci dan ketiadaan Penjelasan pada Pasal 5 ayat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 (4) tentang penetapan kawasan pabean, kantor pabean dan pos pengawasan pabean.
Bahwa dikarenakan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak secara jelas menegaskan terkait batasan fungsi dan tugas kantor pabean, maka hak ini juga berdampak penafsiran yang beragam atas Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa potensi Kerugian Konstitusional yang lebih besar lagi akan dialami oleh Direktorat Jenderal Bea - Cukai dan Kementerian Keuangan pada khususnya serta Negara Republik Indonesia pada umumnya apabila ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ditafsirkan menjadi Kawasan Pabean mutlak untuk lalu lintas ekspor-impor, sehingga karena sampai saat ini PPLB Entikong belum ada penetapan sebagai Kawasan Pabean oleh Menteri Keuangan maka di PPLB Entikong tidak boleh ada kegiatan impor dengan menggunakan PIB sama sekali, yaitu :
ada lebih dari 10 (sepuluh) KPPBC di seluruh Indonesia, antara lain KPPBC Atapupu, Jambi, Cilacap, dan Purwokerto dengan situasi dan kondisi yang sama persis seperti KPPBC Entikong (belum ada penetapan sebagai Kawasan Pabean dari Menteri Keuangan tetapi sudah dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan dokumen PIB) yang berakibat kegiatan impor dengan PIB yang selama ini sudah berjalan dengan baik disana, menjadi tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Dokumen-dokumen PIB yang telah didaftarkan di KPPBC Entikong periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM), bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011 tembusan ke Kanwil DJBC Kalbagbar dan Kantor Pusat DJBC, kemudian lembar ke-2 PIB tersebut dikirim ke Biro Pusat Statistik (BPS) untuk data statistik impor dan lembar ke-3 PIB tersebut dikirim ke Bank Indonesia (BI) untuk data devisa impor ke Indonesia menjadi tidak sah;
Pejabat-pejabat KPPBC Entikong lainnya periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM), bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011, yang telah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 melakukan pelayanan, pengawasan dan pemungutan BM/PDRI/PNBP terhadap importasi dengan menggunakan PIB di PPLB Entikong (karena keputusan Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM), sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai diambil secara prosedural bersama-sama dengan pejabat KPPBC Entikong yang lain berdasarkan arahan Kepala KPPBC Entikong sesuai proses pelayanan/pengawasan barang impor), menjadi bersalah juga;
Pihak-pihak Importir periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM) bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011 yang telah melakukan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB melalui PPLB Entikong menjadi bersalah juga;
Hasil pungutan kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB yang telah didaftarkan ke KPPBC Entikong periode Pemohon (Iwan Jaya, S.H, MM) bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011, berupa BM dan PNBP yang menjadi penerimaan DJBC dan PDRI berupa PPN Impor dan PPh Impor yang menjadi penerimaan DJP, harus dikembalikan oleh Negara kepada importir-importir yang telah membayarnya;
Pejabat Inspektorat II, Inspektorat Jenderal Kemenkeu yang pada tanggal 8 s.d. 22 Desember 2010 telah melakukan audit compliance terhadap KPPBC Entikong termasuk dokumen importasi dengan menggunakan dokumen PIB, dengan hasil tidak ada penyimpangan di KPPBC Entikong, menjadi bersalah juga;
Pejabat-pejabat DJBC dan Kemenkeu yang tidak pernah melarang dan malahan yang ada mengharuskan untuk dilakukannya kegiatan importasi dengan menggunakan dokumen PIB di PPLB Entikong oleh KPPBC Entikong periode Pemohon (Iwan Jaya, SH., MM) bertugas, yaitu September 2008 s.d. Maret 2011, menjadi bersalah juga; Bahwa dasar permohonan Pemohon untuk mengajukan uji Undang-Undang untuk Menegaskan Penafsiran atas penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang telah Pemohon uraikan tersebut di atas adalah berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 28D ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 IV. Petitum Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berkenan untuk memeriksa Permohonan Pemohon dan memutuskan sebagai berikut:
Mengabulkan Permohonan Pengujian Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan mengandung multitafsir dan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan tafsir konstitusional terhadap Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dengan menyatakan: Konstitusional Bersyarat ( conditionally constitutional ) pada masing-masing penjelasan ayatnya: Penjelasan Pasal 5 ayat (3) menjadi berbunyi: Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat-tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban pabean. Penunjukkan pos pengawasan pabean diperlukan untuk membantu pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan pabean. __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Penjelasan Pasal 5 ayat (4) menjadi berbunyi: Penetapan kawasan pabean dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan pabean sambil menunggu penyelesaian pabeannya. Prosedur penyelesaian kewajiban pabean dapat dilakukan ditempat-tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean atau ditempat lain asalkan ditempat tersebut dapat dilakukan pengawasan pabean. Penetapan kantor pabean bertujuan untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban pabean. Penetapan pos pengawasan pabean diperlukan sebagai tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan dan pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean. 4. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-15, dan Bukti P-18 sampai Bukti P-21 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan;
Bukti P-3 : Fotokopi Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 36/KP/III/95 tanggal 13 Maret 1995 tentang Perdagangan Lintas Batas Melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Provinsi Kalimantan Barat;
Bukti P-4 : Fotokopi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2007 tentang Standarisasi Sarana, Prasarana dan Pelayanan Lintas Batas Antar Negara;
Bukti P-5 : Fotokopi Surat Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan tembusan Presiden Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 dan Wakil Presiden Nomor 135.4/2141/SJ tanggal 28 April 2015 hal Penyelesaian Masalah PPLB Entikong;
Bukti P-6.1 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.04/2007 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara;
Bukti P-6.2 : Fotokopi Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor P- 20/BC/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara;
Bukti P-7 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Bea dan Cukai kepada Kepala Kanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Penindakan dan Penyidikan, Direktur PPKC, dan Kepala PUSKI Nomor S- 70/BC/2014 tanggal 30 Januari 2014 hal Keberadaan Kawasan Pabean Terkait Pemenuhan Kewajiban Pabean;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Plh. Direktur PPKC kepada Kakanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat tembusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor S-441/BC.8/2015 tanggal 21 Mei 2015 hal Penegasan Kewajiban Pabean di Perbatasan Darat Kalimantan Bagian Barat;
Bukti P-9.1 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.01/2008 tanggal 11 Juni 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai KPPBC Tipe A4 Entikong;
Bukti P-9.2 : Fotokopi Peraturan Menterti Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai KPPBC Tipe A3 Entikong;
Bukti P-9.3 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2011 tanggal 18 Agustus 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Nomor 74/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Keputusan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 Dirjen BC Nomor Kep-106/BC/2011 tanggal 15 September 2011 sebagai KPPBC TMP C Entikong;
Bukti P-10 : Fotokopi Importir-importir yang telah dilakukan pelayanan dan pengawasan oleh KPPBC Entikong serta sudah mempunyai persyaratan dari berbagai instansi terkait untuk bisa melaksanakan impor dengan menggunakan PIB di PPLB Entikong (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM, Nomor 166-171 CV. Rigo Mandiri, CV. Raga Jaya, dan PT. SGB);
Bukti P-11 : Fotokopi Modul Penerimaan Online dari Direktorat PPKC, DJBC ada target penerimaan Bea Masuk KPPBC Entikong setiap tahun untuk memenuhi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM Pledoi Penasehat Hukum, yaitu Bukti PH V-2 s.d. V-5);
Bukti P-12 : Fotokopi Laporan Akuntabiltas Kinerja Instansi Pemerintah TA 2009 KPPBC Tipe A3 Entikong yang ditandatangani pada tanggal 1 Februari 2010 oleh H. Langen Projo selaku oleh Kepala Kantor (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM, Pledoi Penasehat Hukum, yaitu Bukti PH V- 1);
Bukti P-13 : Fotokopi Laporan Hasil Audit Compliance oleh Inspektorat II, Inspektorat Jenderal, Kemenkeu pada KPPBC Tipe A3 Entikong (Barang Bukti di Berkas Perkara Iwan Jaya, SH, MM, Pledoi Penasehat Hukum, yaitu Bukti PH VI-2);
Bukti P-14 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk a/n. Iwan Jaya (Pemohon Prinsipal) (Nomor KTP. 3175062907750018 18) Bukti P-15 : Fotokopi Kartu Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan a/n. Iwan Jaya (NIP.
.
Bukti P-18 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.01/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009 tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai.
Bukti P-19.1 : Fotokopi Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor KEP-126/BC/UP.2/1997 tanggal 24 Maret 1997 dan menjabat sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong;
Bukti P-19.2 : Fotokopi Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor 91/BC/UP.9/2008 tanggal 26 Agustus 2008 tentang Mutasi Para Pejabat Eselon IV di Lingkungan DJBC sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Tipe Madya Entikong;
Bukti P-19.3 : Fotokopi Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor 48/BC/UP.9/2009 tanggal 16 Juli 2009 tentang Mutasi Para Pejabat Eselon IV di Lingkungan DJBC sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Tipe Madya Entikong;
Bukti P-20 : Fotokopi Surat Penyelesaian PIB (Pemberitahuan Impor Barang) PT. PLN Persero;
Bukti P-21 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selain itu, Pemohon mengajukan dua orang ahli yang menyampaikan keterangan secara lisan dan tertulis pada sidang tanggal 9 November 2015, yang pada pokoknya sebagai berikut.
Dr. Ridwan, S.H., M.Hum. Ahli adalah pengajar pada Fakultas Hukum UII Yogyakarta. Tindakan menetapkan ( beschikken ) terhadap kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dituangkan dalam bentuk keputusan tata usaha negara ( beschikking ) yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang Yang Dibawa Oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman, yang dimaksud Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) adalah tempat yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 ditunjuk pada perbatasan wilayah negara untuk memberitahukan dan menyelesaikan kewajiban pabean terhadap barang yang dibawa oleh pelintas batas. Keberadaan PPLB ditetapkan berdasarkan kesepakatan RI dengan negara tetangga. PPLB paling sedikit terdapat unsur bea dan cukai, imigrasi, karantina, dan keamanan, yang menyelenggarakan pelayanan di bidang keimigrasian, kepabeanan, karantina, keamanan, dan administrasi pengelolaan, dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Salah satu PPLB adalah PPLB Entikong yang secara struktural atau kelembagaan merupakan unit pelaksana atau bagian dari Kantor Pabean Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. PPLB Entikong adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kantor Pabean Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang- Undang kepada organ pemerintahan. Dalam atribusi penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan itu sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan hanya ada pelimpahan wewenang. Tanggaung jawab yuridis dalam hal ini berada pada penerima delegasi ( delegataris ) dan bukan pada pemberi delegasi ( delegans ). Mandat terjadi ketiga organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Dalam hal ini tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat ( mandans ) dan bukan pada penerima mandat ( mandataris ). PPLB adalah mandataris yang bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat ( mandans ), sehingga tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 Secara kelembagaan PPLB memiliki kedudukan sebagai unit kerja dari kantor pabean, maka keberadaannya tidak memerlukan penetapan Menteri Keuangan. Penetapan demikian diperlukan oleh kantor pabean. Anggapan bahwa PPLB memerlukan penetapan menteri keuangan adalah anggapan uang menyalahi kaidah dalam UU dan menyalahi norma hukum administrasi, karena UU jelas mengatur bahwa yang membutuhkan penetapan ( beschikken ) dari menteri yang dituangkan dalam bentuk keputusan TUN yakni kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. Masalah muncul ketika Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan memiliki penjelasan. Menurut UU 12/2011 penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi, sehingga penjelasan hanya memuat uraian mengenai frasa, kata, kalimat, atau padanan kata atau istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Kalimat “dan menetapkan adanya kantor pabean” dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) merupakan norma yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perbuatan hukum ( rechtshandeling ) dalam bentuk keputusan ( beschikken ) yaitu keputusan tentang penetapan kawasan pabean atau kantor pabean. Hal demikian secara keilmuan salah karena fungsi penjelasan bukan menetapkan norma. Rumusan Pasal 5 ayat (3) telah jelas dan tegas serta tidak mengandung norma samar (vague norm ), sehingga tidak memerlukan adanya penjelasan. Penjelasan itu tidak boleh menyimpangi ketentuan dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan Pasal 5 ayat (3) akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena masyarakat tidak bisa membedakan mana yang bisa dijadikan dasar hukum, apakah batang tubuh atau keseluruhan bunyi peraturan tersebut. Hal demikian bertentangan dengan asas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 kepastian hukum ( rechtszakerheid beginsel ) yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) sudah jelas, hal yang menjadi masalah adalah penjelasannya. Penjelasan Pasal 5 ayat (3) sesungguhnya tidak diperlukan karena mengandung masalah-masalah hukum. Jika penjelasan suatu UU nyata-nyata mengandung masalah, maka sudah dengan sendirinya penjelasan tersebut tidak berlaku. Kekeliruan penegak hukum bukan pada pemahaman apakah PPLB Entikong membutuhkan penetapan menteri, melainkan karena tidak memahami mekanisme pelimpahan wewenang atau pelaksanaan tugas di dalam lingkup pemerintahan, yaitu tentang atribusi, delegasi, dan mandat. Jika penegak hukum menafsirkan bahwa PPLB harus mendapatkan pengesahan Menteri Keuangan, maka konsekuensi hukumnya adalah semua kegiatan yang telah dan sedang berlangsung di setiap PPLB harus dianggap tidak memiliki keabsahan ( onrechtmatig ) dan perolehan negara dari sektor ini (pungutan bea masuk, PNPB, PDRI, dsb) harus pula dianggap illegal ( onwetmatig ). Untuk memahami delegasi atau mandat harus terlebih dahulu memahami struktur organisasi pemerintahan. Kekeliruan dalam memahami struktur organisasi akan menyebabkan kekeliruan dalam menerapkan apakah suatu tindakan merupakan delegasi atau mandat. Perlu ada ketentuan bahwa kawasan pabean lebih merujuk pada sifat fisik, sementara kantor adalah untuk administrasi.
Drs. Ahmad Dimyati, M.M. Ahli adalah PNS Widyaiswara pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan. Fungsi kawasan pabean dan kantor pabean telah dijelaskan dalam Pasal 1 butir 3 dan butir 4 UU 17/2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan satu kesatuan dengan pasal-pasal lain. Kawasan pabean ditetapkan untuk keperluan pelayanan, kelancaran lalu lintas barang, dan pengawasan. Kawasan pabean merupakan sarana untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 memudahkan penyelesaian kewajiban pabean, barang dibongkar di kawasan pabean sambil menunggu penyelesaian impornya. Hal ini dapat memudahkan penyelesaian kewajiban pabean. Namun demikian keberadaan kawasan pabean tidak mutlak. Pembongkaran dan penimbunan barang dapat juga dilakukan di tempat lain dengan izin pabean. Pasal 10A ayat (1) mengatur bahwa barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) tidak secara tegas menjelaskan dimana pemenuhan kewajiban pabean dapat dilakukan, apakah di kawasan pabean atau di kantor pabean. Hal demikian memunculkan berbagai pemaknaan (multitafsir) atas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU 17/2006. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) dijelaskan tujuan penetapan kawasan pabean, yaitu “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean ”. Namun penetapan kantor pabean tidak dijelaskan tujuannya, sehingga dapat ditafsirkan tujuan penetapan kawasan pabean sama dengan tujuan penetapan kantor pabean. Pasal 5 ayat (4) UU 17/2006 mengatur bahwa penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh menteri. Penjelasan Pasal 5 ayat (4) hanya menyatakan cukup jelas. Tidak adanya penjelasan dapat menimbulkan penafsiran bahwa jika kawasan pabean belum ditetapkan oleh menteri, maka kegiatan impor atau ekspor adalah tidak sah. Penjelasan Pasal 5 ayat (4) diperlukan untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda yang dapat merugikan aparat pabean dalam menjalankan tugasnya. Penetapan kawasan pabean bertujuan untuk memudahkan pengawasan pabean sambil menunggu penyelesaian kewajiban pabeannya. Prosedur penyelesaian kewajiban pabean dapat dilakukan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 tempat-tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean atau di tempat lain asalkan di tempat tersebut dapat dilakukan pengawasan pabean. Ahli menyimpulkan bahwa:
Pemenuhan kewajiban pabean dianggap sah apabila dilakukan di kantor pabean, yang mana kantor pabean tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Keberadaan kawasan pabean dimaksudkan untuk memudahkan Dirjen Bea dan Cukai dalam melakukan pelayanan dan pengawasan kepabeanan, sehingga sahnya pemenuhan kewajiban pabean tidak tergantung adanya kawasan pabean.
Kurang jelasnya penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan tidak adanya penjelasan Pasal 5 ayat (4) dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda, sehingga pelaksanaan tugas-tugas yang dilakukan aparat pabean berdasarkan Undang-Undang menjadi ilegal dan pungutan yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang yang dilakukan di tempat- tempat yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean menjadi tidak sah. Dalam kasus kawasan lintas batas Entikong, semua barang dari luar negeri, dalam hal ini dari Malaysia, masuknya lewat KLB Entikong agar tidak lewat sembarang tempat. Menurut Undang-Undang walaupun belum ditetapkan, namun tetap sah pengajuan PIB dan pembayaran biaya masuknya untuk kepentingan negara. Perlu menetapkan apa fungsi kantor pabean agar tidak terjadi salah pengertian dengan fungsi dari kawasan pabean. Kantor pabean adalah tempat menyelesaikan kewajiban pabean, sedangkan kawasan pabean adalah sarana saja, yaitu tempat lalu lintas keluar masuk barang impor dan ekspor. Menurut UU Kepabeanan semua barang yang masuk kawasan pabean dianggap sebagai barang impor yang harus disertai dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) dan terutang biaya masuk. Kawasan pabean gunanya adalah untuk lalu lintas barang. Karena barang dari luar daerah pabean masuk ke dalam daerah pabean, maka tidak boleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 di sembarang tempat untuk melakukan pembongkaran. Jika dilakukan pembongkaran di sembarang tempat akan dikenai pasal pidana penyelundupan. PPLB Entikong belum ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai kawasan pabean, namun hal demikian tidak menjadikan tidak sah pungutan biaya masuk penyelesaian kewajiban pabean. Di luar Jawa banyak PPLB terutama di muara-muara sungai. Di tempat dimaksud tidak ada kegiatan ekspor-impor namun dalam rangka pengawasan, Bea dan Cukai mendirikan pos di sana. Semua kantor pabean maupun pos pengawasan pabean sudah ditetapkan oleh Menteri. Kawasan pabean belum semua ditetapkan oleh Menteri karena persyaratan untuk menetapkan kawasan pabean tersebut harus ada usulan dari pengelola tempat tersebut, dalam hal ini misalnya pos lalu lintas di lintas batas Entikong. Bongkar muat barang harus dilakukan di kawasan pabean. Penetapan kawasan pabean ini dilakukan oleh menteri. Barang tidak boleh dikeluarkan dari kawasan pabean sebelum ada ijin dari pihak Bea dan Cukai. Bisa saja ada kawasan yang belum ditetapkan oleh Menkeu sebagai kawasan pabean, namun tetap boleh dilakukan kegiatan pabean, misalnya tempat khusus untuk bongkar muat impor sapi karena hal demikian tidak dapat dilakukan di pelabuhan pada umumnya. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan __ secara __ lisan dalam persidangan tanggal 28 Oktober 2015, serta menyampaikan keterangan tertulis masing-masing tanpa tanggal, bulan Oktober 2015 yang diterima ddalam Persidangan Mahkamah tanggal 28 Oktober 2015, yang pada pokoknya sebagai berikut. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Sehubungan dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Pemerintah berpendapat: Bahwa Pemerintah perlu menyampaikan keterkaitan kepentingan Pemohon dengan keberlakuan norma dari ketentuan a quo , karena menurut Pemerintah atas permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon sejatinya bukanlah permasalahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 konstitusionalitas norma hukum atau constitutional review melainkan masalah penerapan norma hukum yang sesungguhnya apa yang tejadi dalam perkara yang dihadapi oleh Pemohon adalah murni dari kewenangan Penegak Hukum yang mendasari dakwaannya bukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang a quo namun didasarkan dari pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana yang didakwakan. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan atas keberlakuan Penjelasan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo . Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat, Pemohon dalam permohonan inf tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Keterangan Pemerintah Atas Materi Permohonan Yang Dimohonkan Untuk Diuji Sebelum Pemerintah memberikan keterangannya atas materi pokok permohonan Pemohon yang diuji, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut: Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Tahun 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Bahwa dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu pengaturan yang lebih jelas dalam pelaksanaan kepabeanan. Perkembangan yang cepat dalam dunia perdagangan terutama dalam bidang perdagangan interasional menuntut suatu negara untuk membuat suatu peraturan yang mengatur mengenai perdagangan internasional khususnya dalam bidang Kepabeanan. Seperti halnya pengaturan mengenai bea masuk anti dumping, pengendalian impor atau ekspor barang yang sangat dibutuhkan agar kegiatan lalu lintas barang dalam suatu negara dapat berjalan dengan balk sehingga tidak akan mengganggu perekonomian negara tersebut. Atas dasar hal tersebut maka peraturan mengenai bidang Kepabeanan sangat diperlukan oleh suatu Negara dalam menjaga sistem perekonomian nasional dan kegiatan perdagangan intemasionalnya. Selain hal-hal tersebut di atas, peraturan mengenai kepabeanan juga sangat diperlukan untuk mengamankan pendapatan keuangan negara, mengingat pendapatan negara yang berasal dari. bidang kepabeanan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penerimaan negara. Bahwa untuk mencapai dari tujuan berbangsa dan bemegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan alinea IV UUD 1945 Negara telah membentuk Pemerintahan yang mempunyai kekuasaan dalam pengelolaan keuangan Negara. Pemerintah dalam menjalankan salah satu kekuasaannya tersebut telah menunjuk Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Pengelolaan keuangan Negara yang dibentuk secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai amanat dari Pasal 23C UUD 1945 mengatur mengenai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan Negara yang diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab. Kementerian Keuangan selaku kuasa Bendahara Umum Negara melakukan pengelolaan keuangan Negara di bidang lalu lintas barang masuk dan keluar wilayah Republik Indonesia dengan menunjuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai unsur pelaksana tugas pokok Kementerian Keuangan dalam bidang Kepabeanan dan Cukai. Selanjutnya dalam menjalankan tugasnya terhadap pengamanan hak negara berwenang mengambil tindakan yang diperlukan terhadap barang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 74 UU Kepabeanan. Adapun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai fungsi dan misi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Kepabeanan yaitu sebagai:
Trade Facilitator atau pemberian fasilitas perdagangan dimana tujuan yang diharapkan agar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu menjamin kelancaran arus barang, menekan biaya tinggi berkaitan dengan proses penyelesaian barang ekspor dan impor, dan sekaligus mampu menciptakan iklim perdagangan intemasional yang kondusif guna mendukung perekonomian nasional;
Industrial Assistance atau dukungan terhadap industri dalam negeri, dimana tujuan yang ingin dicapai agar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu mendukung industri dalam negeri melalui pemberian berbagai fasilitas dan kemudahan kepabeanan, memberikan perlindungan dan membantu peningkatan daya saing industri melalui pencegahan masuknya barang-barang illega/trade, serta membantu peningkatan daya saing produksi dalam negeri.
Revenue Collector atau pemungutan penerimaan Negara, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus mampu mengoptimalkan segala upaya untuk memberikan kontribusi penerimaan Negara dan melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kebocoran penerimaan negara, terutama yang berkaitan dengan penerimaan dari pajak lalu lintas barang;
Community Protector atau perlindungan masyarakat, pelaksanaan fungsi ini bertujuan supaya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu mencegah dan mengawasi masuknya barang-barang yang dapat merusak mental, moral dan kesehatan masyarakat. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Bahwa UU Kepabeanan mengatur mengenai pemenuhan kewajiban pabean termasuk di dalamnya kewajiban atas pajak lalu lintas barang masuk dan keluar sesuai dengan amanat dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, oleh karenanya dibentuklah Undang-Undang Kepabeanan sebagai salah satu bagian dari sistem pengelolaan keuangan Negara di Indonesia. Bahwa seiring dengan perkembangan peraturan di bidang kepabeanan dan untuk mengantisipasi adanya pelanggaran dalam bidang kepabeanan, peraturan kepabeanan yang telah ada semenjak diberlakukannya Indische Tarief Wet (Undang-Undang Tarif Indonesia) Staatsblad 1873 Nomor 35, diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dengan adanya Undang-Undang Kepabeanan yang baru diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam dunia usaha. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berfungsi sebagai fasilitator perdagangan harus dapat membuat suatu aturan hukum yang mampu mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat guna memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih balk dan lebih cepat. Untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh Undang- Undang tersebut di atas, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki instansi vertikal yang salah satunya adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong yang merupakan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe Madya Pabean C di bawah Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Barat yang terletak di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Bagian Barat. Kantor Entikong tersebut telah melakukan pelayanan Kepabeanan kepada pengguna jasa berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. Hal ini diperkuat dengan adanya Border Trade Agreement (BTA) tahun 1970 tentang perjanjian perdagangan lintas batas antara Indonesia-Malaysia yang menyatakan rnasyarakat sekitar Lintas Batas bisa berbelanja ke Malaysia maksimal 600 ringgit per orang/per bulan dengan menggunakan Kartu Identitas Lintas Batas (KILB). Pelaksanaan pelayanan Kepabeanan juga didukung dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 1995 yang menyatakan pada intinya di Entikong terdapat dua jalur perdagangan, yaitu jalur perdagangan tradisional menggunakan Kartu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 Identitas Lintas Batas (KILB) dan jalur perdagangan modern menggunakan tata niaga impor dan ekspor yang berlaku. Pemerintah perlu menyampaikan keterkaitan kepentingan Pemohon dengan keberlakuan norma dari ketentuan a quo , karena menurut Pemerintah atas permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon sejatinya bukanlah permasalahan konstitusionalitas norma hukum atau constitusional review melainkan masalah penerapan norma hukum yang sesungguhnya apa yang tejadi dalam perkara yang dihadapi oleh Pemohon adalah murni dari kewenangan Penegak Hukum yang mendasari dakwaannya bukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang a quo namun didasarkan dari pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana yang didakwakan. Berdasarkah uraian di atas, Pemerinlah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan atas keberlakuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo . Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Oleh Karena itu, Pemerintah berpendapat, Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelljk verklaard ). Namun demikian Pemerihtah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Sehubungan dengan materi permohonan yang diajukan untuk diuji, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangannya sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Bahwa pengertian dari kawasan pabean berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sedangkan pengertian Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajibah pabean. Selanjutnya pengertian Pos Pengawasan Pabean sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5 adalah tempat yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor. Bahwa terkait dengan pengertian “pemenuhan kewajiban pabean” berdasarkan PasaI 1 angka 6 didefinisikan sebagai semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam undang- undang kepabeanan. Kewajiban pabean tersebut dibagi dalam dua besaran yaitu kewajiban bersifat administratif dan kewajiban bersifat fisik. Dasar pemenuhan kewajiban bersifat administrasi adalah sebagai berikut:
pemberitahuan pabean adalah kewajiban dalam bentuk administrasi, sebagaimana Pasal 1 angka 7 UU Kepabeanan “ Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang dlbuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam undang- undang ini (Kepabeanan) ”;
Pelayanan atas kewajiban bersifat administrasi berupa penyampaian pemberitahuan pabean, dilakukan di kantor pabean, sesuai Pasal 5A ayat (2) UU Kepabeanan yang menyatakan bahwa “ Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean ”. Dasar pemenuhan kewajiban bersifat fisik adalah sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 10A ayat (1) UU Kepabeanan, “ barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. ” Bahwa keberadaan kawasan pabean dalam pemenuhan kewajiban pabean tidak mutlak ada sebagaimana disebutkan pada Pasal 10A ayat (1) tersebut yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 memuat frasa “tempat lain”, yang mengandung arti terdapat tempat lain untuk dilakukan pemenuhan kewajiban pabean. Undang-Undang Kepabeanan juga mengatur tentang jenis pemeriksaan pabean yang meliputi pemeriksaan dokumen (administrasi) dan pemeriksaan fisik sebagaimana Pasal 3 ayat (2) UU Kepabeanan “ Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. ” Dengan demikian berdasarkan sifaf pemenuhan kewajiban pabean, fungsi kantor pabean adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban bersifat administratif, sedangkan fungsi kawasan pabean atau tempat lain adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban bersifat fisik. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Kepabeanan yang menyatakan, “ Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di Kantor Pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean. ” Adapun berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan menyatakan: “ Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu-lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, undang- undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bead an cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. ” Berdasarkan ketentuan di atas pemenuhan kewajiban pabean ada di kantor pabean. Oleh karena itu dalam rangka pemenuhan kewajiban pabean tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menetapkan adanya Kantor Pabean (dhi. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai). Sedangkan keberadaan Kawasan Pabean atau tempat lain, dan Pos Pengawasan Pabean merupakan pendukung dalam proses pemenuhan kewajiban pabean. Dengan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan a quo jelas tidak multitafsir karena baik dari substansi maupun penjelasannya sudah menunjukkan secara tegas bahwa pemenuhan kewajiban pabean di Kantor Pabean. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas disimpulkan bahwa dalam proses impor dan ekspor, syarat utama dalam pemenuhan kewajiban kepabeanan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 adalah Kantor Pabean. Sedangkan Kawasan Pabean merapakan kelengkapan dalam memudahkan pelayanan dan pengawasan yang tidak mutlak ada dalam pemenuhan kewajiban pabean. Sehubungan dengan petitum Pemohon yang menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan tafsir konstitusional terhadap Penjelasan Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo dengan menyatakan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) pada masing-masing penjelasan ayatnya, Pemerintah berpendapat bahwa:
Berdasarkan teknik penyusunan dalam Lampiran II butir 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. OIeh Karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud, selanjutnya dalam Lampiran II butir 177 Undang-Undang Namor 12 Tahun 2011 yang menyatakan penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014 yang berpendapat sebagai berikut: “ dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma, karena penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi Pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. ” Dengan demikian berdasarkan ketentuan di atas, terhadap petitum pemohon menurut Pemerintah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengubah penjelasan dalam Ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo sesuai yang permintaan Pemohon. Hal ini didasarkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 kepada persyaratan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemohon wajib _menguraikan dengan jelas bahwa: _ b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau baglan undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” 3. Ketentuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepabeanan justru sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, oleh karena itu Pemerintah tidak sependapat dengan Pemohon untuk merubah atau menambahkan penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepabeanan, karena penjelasan pasal tersebut sudah jelas. Sedangkan masalah yang dihadapi oleh Pemohon sejatinya bukanlah permasalahan konstitusional norma hukum, melainkan masalah implementasi norma hukum (permasalahan hukum pidana) yang dialami Pemohon. Tanggapan/Jawaban Pemerintah Terhadap Keterangan Ahli Pemohon Dan Hakim Mahkamah Konstitusi Dengan memperhatikan secara cermat keterangan para ahli pemohon dan pertanyaan Mahkamah Konstitusi dalam persidangan, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut: A. Bahwa terhadap keterangan ahli pemohon yang menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) bertentangan dengan ketentuan Pasal-Pasal yang ada dalam UUD 1945, Pemerintah berpendapat:
Berdasarkan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penjelasan hanya berfungsi sebagai tafsir resmi pembentukan Peraturan perundang- undangan atas norma tertentu sehingga penjelasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Selanjutnya penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat sebuah norma baru.
Bahwa penjelasan ketentuan a quo sudah sejalan dengan norma batang tubuh yang mengatur pemenuhan kewajiban pabean yang terdapat dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean ditetapkan oleh Menteri. B. Bahwa terhadap pertanyaan Hakim Patrialis Akbar, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Mengenai Pos Pengawasan, memang ada perbedaan terminologi antara Pos Pengawasan dengan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang ada di Entikong ini, bahwa pengertian Pos Pengawasan Pabean sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5 Undang-Undang a quo . Biasanya Pos Pengawasan ada di muara-muara yang kecil-kecil, sehingga fungsinya hanya untuk mengawasi berbeda dengan terminologi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang terminologinya dibuat oleh Pemerintah Pusat berdasarkan hasil perjanjian Border Trade Agreement (BTA) tahun 1970 antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia didukung dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 1995. Oleh karena itu, berdasarkan Permen tersebut Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong merupakan bagian dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Entikong. Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai struktur organisasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Surat keputusannya akan menetapkan struktur organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang terdiri dari Kantor Pusat Bea dan Cukai, Kantor Wilayah Bea dan Cukai, Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, serta Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai diikuti dengan kedudukan, tugas, dan fungsi dari masing-masing kantor tersebut. Dalam penetapan kantor- kantor pabean tersebut Kementerian Keuangan selalu melakukan koordinasi dan persetujuan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Selanjutnya, dalam penempatan pegawai bea dan cukai selalu merujuk pada kantor bea dan cukai tujuan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang penugasan pegawai yang antara lain mencantumkan identitas pegawai, jabatan, kantor tempat bertugas. Penetapan dalam rangka penugasan pegawai dalam jabatan tersebut dengan mempertimbangkan pemenuhan kualifikasi teknis dan administrasi pegawai yang bersangkutan. Sehingga tidak mungkin ada pegawai bea dan cukai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 ditempatkan yang tidak ada kantornya seperti yang tertuang dalam surat keputusan mutasi bagi setiap pegawai Bea Cukai selalu diberikan keterangan tempat dan jabatannya di dalam Surat Keputusan tersebut. Sehingga dengan penunjukan pegawai di tempat tersebut sudah sesuai dengan kewenangan Undang-Undang Kepabeanan. Kesimpulan Terhadap Materi/Muatan Permohonan Pemohon Yang Diuji Berdasarkan keterangan dan argumen di atas, pemerintah berkesimpulan bahwa sesungguhnya pendapat para ahli pemohon lebih mencerminkan adanya usu|an untuk mengubah penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang a quo sesuai dengan yang diinginkan oleh Pemohon, sehingga usulan untuk mengubah penjelasan tersebut bukanlah sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Jikapun penjelasan pasal a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, ketentuan a quo tidak mengubah makna atau menghilangkan sama sekali substansi dari ketentuan norma batang tubuhnya. Petitum Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal _standing); _ 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvantkelijk verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak bertentangan dengan Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. [2.4] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 November 2015, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.2] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661), sehingga Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.3] dan [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, periode September 2008 sampai dengan Maret 2011. Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan karena adanya Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006. Adanya Penjelasan ketentuan a quo mengakibatkan Pemohon disangka/didakwa/dituntut/diputus oleh aparat penegak hukum telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. [3.7] Menimbang bahwa kedudukan Pemohon dalam kapasitasnya sebagai perseorangan warga negara, pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai KPPBC Entikong, telah dibuktikan dengan identitas diri berupa fotokopi kartu tanda penduduk (KTP), fotokopi Kartu Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai, serta fotokopi Surat Keputusan Dirjen Bea dan Cukai (vide bukti P-14, bukti P-15, bukti P-19.1, bukti P-19.2, dan bukti P-19.3). Bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon, menurut Mahkamah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) berupa timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon, yaitu Pemohon dikenai sangkaan/dakwaan/tuntutan melawan hukum karena tindakannya melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong yang belum ditetapkan sebagai kawasan pabean dan/atau kantor pabean oleh Menteri Keuangan. Kerugian konstitusional demikian memiliki kemungkinan untuk tidak lagi terjadi seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon (vide petitum pada permohonan). Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo . [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional yang ditimbulkan oleh penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (4) UU 17/2006. Pemohon dikenai sangkaan/dakwaan/tuntutan melawan hukum karena tindakannya melakukan pelayanan terhadap kegiatan ekspor-impor di PPLB Entikong, yang mana PPLB Entikong bukan merupakan kawasan pabean dan/atau kantor pabean, serta belum ditetapkan oleh Menteri. Menurut Pemohon, PPLB Entikong sejak tahun 1995 hingga saat Pemohon bertugas di sana, telah dipergunakan untuk melakukan pemenuhan kewajiban pabean. Tindakan Kepolisian dan Kejaksaan yang menafsirkan bahwa di PPLB Entikong tidak dapat dilakukan pemenuhan kewajiban pabean telah mengakibatkan kerugian bagi Pemohon. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.10] Menimbang bahwa meskipun yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon hanya Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006, namun menurut Mahkamah penjelasan kedua ayat tersebut terkait dengan keseluruhan konstruksi/rumusan ketentuan Pasal 5 dan Penjelasan sebagai berikut: “ (1) Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean. (2) Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. (3) Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. (4) Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri. ” Adapun Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 mengatur bahwa: “ Ayat (1) Dilihat dari keadaan geografis Negara Republik Indonesia yang demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang pantai untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang dikeluarkan dari daerah pabean memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban pabean hanya dapat dilakukan di kantor pabean. Penegasan bahwa pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai kantor pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini. Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat untuk memenuhi kewajiban pabean seperti penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk telah dibatasi dengan penunjukan kantor pabean yang disesuaikan dengan kebutuhan perdagangan. Pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean dapat diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan kepentingan perdagangan dan perekonomian, atau apabila dengan cara tersebut kewajiban pabean dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah. Pemberian kemudahan berupa pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean tersebut bersifat sementara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan keuangan negara, Undang-Undang ini menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. Ayat (4) Cukup Jelas. ” Bahwa setelah mencermati Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 dimaksud, dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa inti permasalahan yang dialami Pemohon adalah adanya penjelasan yang menyatakan bahwa di pos pengawasan pabean tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean [vide Penjelasan ayat (3)]. Pokok permasalahan demikian menurut Pemohon telah merugikan hak konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. [3.11] Menimbang bahwa teknik penyusunan Penjelasan Undang-Undang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya pada Lampiran II angka 176, 177, dan 178. Ketentuan tersebut mengatur sebagai berikut: “ 176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. 178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang- undangan. ” Dari ketentuan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa bagian penjelasan suatu Undang-Undang muncul dalam konteks bahwa ketentuan dalam batang tubuh Undang-Undang dimaksud tidak cukup mudah dipahami, bahkan memiliki kemungkinan menimbulkan penafsiran yang berbeda dengan yang dikehendaki oleh batang tubuh Undang-Undang. Penjelasan suatu Undang- Undang harus dibaca setelah membaca batang tubuh Undang-Undang dimaksud. Artinya setelah batang tubuh suatu Undang-Undang dibaca namun tidak ditemukan kejelasan makna atau arti, maka pembacaan dapat diteruskan pada bagian penjelasan Undang-Undang. Dengan demikian, seandainya suatu norma dalam batang tubuh Undang-Undang telah memiliki kejelasan makna/arti maka bagian penjelasan Undang-Undang tidak lagi cukup signifikan untuk dibaca. [3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon terutama mengenai penafsiran atas istilah “pos pengawasan pabean”, dalam kaitannya dengan pemenuhan kewajiban pabean, Mahkamah menilai ketentuan atau pengaturan pos pengawasan pabean pada Pasal 5 telah cukup jelas, terutama mengenai kewenangan pelayanan pabean. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo telah jelas menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. Rumusan Pasal 5 ayat (1) demikian telah jelas menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban pabean hanya dapat dilakukan di dua jenis tempat, yaitu a) kantor pabean; dan b) tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. Dari ketentuan demikian dapat dikatakan bahwa di tempat-tempat selain kantor pabean tidak dapat dilakukan pemenuhan kewajiban pabean sepanjang tempat lain tersebut tidak secara hukum dinyatakan disamakan dengan kantor pabean. Pos pengawasan pabean menurut Pasal 5 ayat (3) tidak sama dengan kantor pabean. Jika pos pengawasan pabean oleh pembentuk Undang-Undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 disamakan dengan kantor pabean, maka rumusan Pasal 5 ayat (3) tentu tidak akan memerinci atau membedakan adanya tiga entitas berupa kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. Pasal 5 ayat (3) menegaskan keberadaan pos pengawasan pabean dengan menyatakan bahwa “ Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean ”. Ayat (3) tersebut mengatur mengenai dan/atau membedakan antara organ yang melakukan “pelaksanaan” dan organ yang melakukan “pengawasan” pemenuhan kewajiban pabean. Jika Pasal 5 ayat (3) dihubungkan dengan ayat (1) Mahkamah menemukan dua kelompok organ, yaitu a) organ pelaksana pemenuhan kewajiban pabean, yang terdiri dari “kantor pabean” dan “tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean”; kemudian b) organ yang melakukan “pengawasan” yaitu “pos pengawasan pabean”. Dari ketentuan tersebut telah jelas bagi Mahkamah bahwa pos pengawasan pabean adalah tempat untuk mengawasi pemenuhan kewajiban pabean, dan bukan merupakan tempat untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban pabean, kecuali jika pos pengawasan pabean tersebut secara hukum telah disamakan dengan kantor pabean. [3.13] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (3), Mahkamah justru menemukan bahwa penjelasan dimaksud semakin menguatkan maksud norma Pasal 5 ayat (3) juncto ayat (1), yaitu pada pos pengawasan pabean tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. Mahkamah tidak menemukan adanya ketidakjelasan makna pada bagian penjelasan jika bagian penjelasan dimaksud dibaca setelah membaca Pasal 5 secara keseluruhan. [3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan telah mengalami perlakuan berbeda, yaitu dianggap melakukan tindakan/perbuatan pidana karena telah melaksanakan pelayanan pemenuhan kewajiban pabean di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, sementara menurut Pemohon praktik yang sama telah dilakukan sejak lama oleh para pejabat pendahulu, dengan landasan berbagai peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang, namun tidak pernah dipermasalahkan oleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 penegak hukum. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma Undang-Undang, melainkan merupakan permasalahan implementasi atau penerapan norma suatu Undang-Undang, dan karenanya Mahkamah tidak berwenang untuk mengadilinya. [3.15] Menimbang bahwa pengujian konstitusionalitas membutuhkan adanya dasar pengujian untuk menilai norma suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dasar pengujian tersebut berupa norma hukum yang terkandung di dalam UUD 1945. Dasar pengujian yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara ini adalah Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan untuk mendalilkan hak konstitusionalnya yang dirugikan oleh ketentuan yang dimohonkan pengujian. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23A UUD 1945 pada pokoknya mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta mengatur mengenai hak negara untuk memungut pajak atau pungutan lainnya. Adapun Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 melindungi hak konstitusional warga negara untuk bekerja, mendapat imbalan, serta memperoleh perlakuan adil dan layak, dalam hubungan kerja. Ketentuan-ketentuan UUD 1945 yang diajukan oleh Pemohon sebagai dasar pengujian tersebut, menurut Mahkamah tidak tepat dipergunakan untuk menilai konstitusionalitas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah terbatas/spesifik mengenai keberadaan pos pengawasan pabean atau tempat lain yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kewajiban pabean. Hal demikian menurut Mahkamah jelas tidak memiliki korelasi dengan hak konstitusional Pemohon untuk bekerja, karena kedudukan Pemohon sebagai PNS di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah membuktikan bahwa Pemohon tidak terhambat untuk memiliki pekerjaan. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon mengenai pertentangan antara Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR P U T U S AN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan MP Sitompul, Patrialis Akbar, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh tiga, bulan Mei tahun dua ribu enam belas , dan hari Senin, tanggal dua puluh enam, bulan September, tahun dua ribu enam belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh sembilan, bulan September, tahun dua ribu enam belas , selesai diucapkan pada pukul 10.37 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 selaku Ketua merangkap Anggota, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan MP Sitompul, Patrialis Akbar, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Presiden atau yang mewakili dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, tanpa dihadiri Pemohon/Kuasanya. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Aswanto ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Patrialis Akbar ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id