JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 560 hasil yang relevan dengan "kepatuhan pajak dalam industri manufaktur "
Dalam 0.015 detik
Thumbnail
Tidak Berlaku
PEMBAYARAN | PAJAK PENGHASILAN
PP 3 TAHUN 1994

Pembayaran Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah atau Tanah dan Bangunan. ...

  • Ditetapkan: 02 Mar 1994
  • Diundangkan: 02 Mar 1994

Relevan terhadap

MenimbangTutup
a.

bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan merupakan objek Pajak Penghasilan;

b.

bahwa Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan di luar kegiatan usaha pokoknya, wajib membayar Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dalam tahun berjalan;

c.

bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak memenuhi kewajiban tersebut, dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan dengan Peraturan Pemerintah;

Pasal 4Tutup

Ayat (1) Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan yang dilakukan Wajib Pajak kepada pihak lain bukan Pemerintah, wajib dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Ayat (2) Untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya, maka Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) hanya diperbolehkan untuk menandatangani akte pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan tersebut apabila kepadanya dibuktikan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan telah membayar sendiri PPh yang terutang. Pembuktian tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menyerahkan foto kopi Surat Setoran Pajak (SSP) serta dengan menunjukkan asli Surat Setoran Pajak dimaksud. Ketentuan mengenai penandatanganan akte tersebut tidak berlaku atas pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)… Ayat (4) Agar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dengan baik maka dalam laporan bulanan PPAT dicantumkan pula jumlah akte yang belum ditandatangani karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersebut.

Thumbnail
Tidak Berlaku
PEMBAYARAN | TANAH DAN BANGUNAN
PP 48 TAHUN 1994

Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

  • Ditetapkan: 27 Des 1994
  • Diundangkan: 27 Des 1994

Relevan terhadap

MenimbangTutup
a.

bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan merupakan Objek Pajak Penghasilan;

b.

bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan wajib melunasi Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut;

c.

bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah;

Pasal 2Tutup

Ayat (1) Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan kepada pihak lain selain pemerintah, wajib dilakukan sendiri oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan dalam hal penjualan lelang Pajak Penghasilan yang terutang disetorkan oleh Pejabat Lelang atas nama orang pribadi atau badan yang hartanya dilelang. Ayat (2) Untuk meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban pajaknya, maka pejabat yang berwenang hanya diperbolehkan untuk menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut apabila kepadanya dibuktikan bahwa orang pribadi atau badan yang bersangkutan telah membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang. Pembuktian dilakukan oleh orang pribadi atau badan tersebut dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak serta dengan menunjukkan asli Surat Setoran Pajak dimaksud. Ketentuan mengenai pembuktian tersebut tidak berlaku atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 3…

Thumbnail
BUDIDAYA TANAMAN | SISTEM
UU 12 TAHUN 1992

Sistem Budidaya Tanaman.

  • Ditetapkan: 30 Apr 1992
  • Diundangkan: 30 Apr 1992

Relevan terhadap

Pasal 66Tutup

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 April 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1992 TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN UMUM Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan alam hayati, air, iklim, dan kondisi tanah yang memberikan sumber kehidupan kepada bangsa, terutama di bidang pertanian dan sekaligus merupakan salah satu modal dasar bagi pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien, dan tangguh, serta bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, peternak, dan nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor, mendukung pembangunan daerah, dan mengintensifkan kegiatan transmigrasi. Arah pembangunan pertanian sedemikian ini akan memperkokoh landasan bidang ekonomi dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Sistem budidaya tanaman sebagai bagian dari pertanian pada hakekatnya adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui kegiatan manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Oleh karena itu sistem budidaya tanaman akan dikembangkan dengan berasaskan manfaat, lestari, dan berkelanjutan. Pengembangan budidaya tanaman diarahkan secara bijaksana, dengan memperhatikan kemampuan dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta menggunakan teknologi tepat dengan tujuan untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas Pemerintah menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman yang disesuaikan dengan tahapan rencana pembangunan nasional, menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman, mengatur produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan kepentingan nasional, dan menciptakan kondisi yang menunjang peranserta masyarakat, dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Dengan semakin ketatnya persaingan dalam era globalisasi, maka pengembangan budidaya tanaman harus diarahkan pula pada upaya memanfaatkan keunggulan komparatif produk tanaman yang dimiliki dengan penerapan prinsip keterpaduan kegiatan budidaya tanaman dengan industri pengolahan, industri manufaktur, dan pemasarannya. Dengan arah tersebut, maka nilai tambah produksi pertanian akan dinikmati pula oleh petani sebagai produsen. Dalam kondisi perkembangan yang demikian, posisi petani dalam keseluruhan sistem budidaya tanaman menjadi sangat sentral dan strategis. Posisi sentral dan strategis dimaksud hanya dapat bermanfaat apabila Pemerintah senantiasa berupaya untuk melaksanakan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan kualitas sumberdaya manusia terutama masyarakat petani. Pengembangan budidaya tanaman hanya dapat dicapai secara optimal apabila di dalam pelaksanaannya digunakan teknologi tepat yakni yang sesuai dengan daya dukung sumberdaya alam Indonesia yang beriklim tropis. Oleh karena itu upaya untuk menemukan dan menciptakan teknologi budidaya tanaman secara tepat melalui penelitian (research and development) perlu digalakkan. Dalam rangka memberikan pelayanan kepada petani, Pemerintah melakukan penelitian serta membina dan mendorong masyarakat terutama dunia usaha untuk ikut berperanserta dalam penelitian dan pengembangan budidaya tanaman, baik yang bersifat rekayasa teknologi, rekayasa sosial ekonomi, maupun rekayasa sosial budaya. Teknologi tepat yang telah ditemukan perlu disebarluaskan kepada masyarakat, khususnya para petani, agar mereka dapat memanfaatkannya. Penyebarluasan tersebut dilakukan baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah seperti penyuluhan, pelatihan, dan lain-lain. Dalam hubungan ini Pemerintah menyelenggarakan pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah yang dalam pelaksanaannya mengikutsertakan masyarakat. Pengikutsertaan peran masyarakat tidak saja diperlukan dalam penyebarluasan teknologi tepat, tetapi juga dalam pemberian pelayanan informasi yang menjadi kewajiban Pemerintah, meliputi antara lain informasi pasar, profil komoditas, penanaman modal, promosi komoditas, serta prakiraan cuaca dan iklim yang mendukung pengembangan budidaya tanaman. Lahan bagi budidaya tanaman merupakan salah satu faktor produksi utama. Dilain pihak tersedianya lahan sebagai petanaman untuk budidaya tanaman semakin terbatas, baik karena tekanan yang ditimbulkan oleh bertambahnya jumlah penduduk maupun meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan oleh sektor lain. Oleh karena itu penggunaan lahan untuk keperluan budidaya tanaman harus dilakukan secara efektif dan efisien serta dengan memperhatikan terpeliharanya kemampuan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan. Masalah yang timbul adalah terjadinya perubahan peruntukan atau konversi lahan budidaya tanaman menjadi lahan untuk keperluan bukan budidaya tanaman. Masalah tersebut dapat mengancam lahan budidaya tanaman terutama untuk penghasil pangan yang pada gilirannya dapat mempengaruhi ambang batas tingkat produksi secara nasional. Oleh karena itu maka apabila terjadi perubahan tata ruang yang mengakibatkan perubahan lahan budidaya tanaman guna keperluan lain di luar budidaya tanaman, perlu secara arif dan cermat mempertimbangkan ketersediaan lahan usaha budidaya tanaman. Benih tanaman, sebagai sarana produksi utama dalam budidaya tanaman perlu dijaga mutunya, sehingga mampu menghasilkan produksi dan mutu hasil sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu perlu diselenggarakan kegiatan pengumpulan plasma nutfah dan pemuliaan tanaman maupun kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya untuk menemukan jenis baru serta varietas unggul. Untuk mendorong terlaksananya hal tersebut maka kepada para penemunya dapat diberikan penghargaan oleh Pemerintah serta pemberian hak untuk memberi nama pada temuannya. Penghargaan tersebut dapat pula diberikan kepada para pemilik tanaman yang tanamannya memiliki keunggulan tertentu. Apabila di dalam negeri belum terdapat varietas unggul tertentu, maka Pemerintah untuk sementara dapat mengintroduksi varietas unggul tersebut dari luar negeri. Untuk menjamin bahwa varietas baru hasil pemuliaan tanaman maupun introduksi dari luar negeri benar-benar unggul, maka sebelum diedarkan perlu diadakan pengujian untuk kemudian apabila hasilnya memenuhi persyaratan yang ditentukan, Pemerintah melepas varietas tersebut untuk dapat diedarkan. Suatu varietas yang telah dilepas, benihnya dinyatakan sebagai benih bina, dalam pengertian produksi dan peredarannya perlu diatur dan diawasi. Mekanisme pengawasan dan pembinaan yang efektif untuk dapat menjamin benih bermutu, adalah melalui sertifikasi benih. Sertifikasi benih ini dapat dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta. Benih yang lulus sertifikasi merupakan benih yang telah dijamin mutunya baik mutu genetis, fisiologis, maupun fisik dan dapat diedarkan. Untuk menjamin bahwa benih yang diedarkan benar-benar bermutu dan dalam rangka mempermudah pengawasan mutu benih, maka benih yang lulus sertifikasi apabila akan diedarkan wajib diberi label. Hasil pemuliaan sebelum dilepas oleh Pemerintah dilarang untuk dikembangkan dan/atau diedarkan. Sarana produksi budidaya tanaman yang lain seperti pupuk, pestisida, alat dan mesin budidaya tanaman perlu terjamin efektivitasnya dan aman dalam penggunaannya baik terhadap manusia maupun lingkungan hidup. Khusus bagi pestisida, karena merupakan bahan berbahaya dan beracun, jika telah dinyatakan dilarang atau telah rusak atau tidak memenuhi standar mutu atau tidak terdaftar harus dimusnahkan. Perlindungan tanaman merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan. Kegiatan tersebut meliputi pencegahan masuknya, pengendalian dan eradikasi organisme pengganggu tumbuhan. Pelaksanaan perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah. Dalam hal terjadi eksplosi serangan organisme pengganggu tumbuhan, Pemerintah bertanggung jawab untuk menanggulanginya bersama masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut kesemuanya bertujuan untuk mengamankan tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan yang tujuan akhirnya menyelamatkan produksi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu masyarakat diharapkan berperanserta untuk melaporkan terjadinya serangan organisme pengganggu tumbuhan pada tanaman di wilayahnya, terutama yang sifatnya eksplosi dan sekaligus berusaha untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan tersebut. Mengingat bahwa dalam hal-hal tertentu kegiatan perlindungan tanaman menggunakan pestisida maka harus memperhatikan keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Usaha budidaya tanaman memerlukan lahan yang sesuai untuk budidaya tanaman yang bersangkutan. Di samping itu, pengembangan usaha budidaya tanaman harus disesuaikan dengan sasaran produksi nasional dan/atau permintaan pasar, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Usaha budidaya tanaman berskala besar memerlukan lahan yang luas dan produksinya akan sangat berpengaruh terhadap produksi budidaya tanaman secara nasional. Oleh karena itu untuk mempermudah pengawasan dan pengendalian pelaksanaan usaha budidaya tanaman berskala besar, mekanisme yang paling baik adalah melalui perizinan. Perizinan yang diberikan harus melalui pertimbangan yang cermat terhadap berbagai aspek seperti aspek ekonomi, sosial budaya, sumberdaya alam, lingkungan hidup, dan kepentingan strategis lainnya. Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta memperluas pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, Pemerintah mengambil langkah-langkah yang mendorong tumbuhnya kerjasama yang saling menguntungkan antara usaha berskala kecil dengan yang berskala besar. Dengan demikian, akan terbuka peluang bagi masyarakat petani dan usaha berskala kecil untuk turut serta dalam pemilikan dan pengelolaan usaha budidaya tanaman berskala besar. Penanganan panen dan pascapanen sebagai salah satu tahapan kegiatan dalam budidaya tanaman yang meliputi kegiatan pemungutan hasil, pembersihan, pengupasan, sortasi, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan transportasi hasil produksi perlu diatur sedemikian rupa, sehingga dapat lebih meningkatkan mutu, menekan tingkat kehilangan,memperpanjang daya simpan, meningkatkan dayaguna, dan meningkatkan nilai tambah hasil budidaya tanaman. Dengan materi seperti yang dikemukakan di atas disusunlah Undang-undang ini dengan tujuan untuk memberikan landasan hukum bagi sistem budidaya tanaman. PASAL DEMI PASAL

Thumbnail
Tidak Berlaku
KEUANGAN | PERIMBANGAN
UU 25 TAHUN 1999

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

  • Ditetapkan: 17 Mei 1999
  • Diundangkan: 17 Mei 1999
Thumbnail
Tidak Berlaku
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK | BIDANG ANGGARAN
PP 22 TAHUN 1997

Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.

  • Ditetapkan: 07 Jul 1997
  • Diundangkan: 07 Jul 1997
Thumbnail
Tidak Berlaku
PAJAK PENGASILAN | JUAL BELI
PP 27 TAHUN 1996

Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau ...

  • Ditetapkan: 16 Apr 1996
Thumbnail
Tidak Berlaku
PAJAK PENGHASILAN | TAHUN BERJALAN
PP 47 TAHUN 1994

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

  • Ditetapkan: 27 Des 1994
  • Diundangkan: 27 Des 1994

Relevan terhadap

Pasal 11Tutup

Ayat (1) Berdasarkan ketentuan ini, sisa pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud kecuali harta berupa bangunan dan harta tidak berwujud sebelum tahun pajak 1995 yang boleh disusutkan atau diamortisasi adalah apabila harta tersebut masih dimiliki pada awal tahun pajak 1995 dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Untuk menghitung besarnya penyusutan atau amortisasi untuk tahun pajak 1995 atas sisa pengeluaran tersebut, maka sisa masa manfaat harta tersebut tanpa memperhatikan jenisnya merupakan titik tolak untuk menentukan harta tersebut ke dalam kelompok harta sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (6) atau Pasal 11A ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Contoh: … Contoh: Mesin yang digunakan dalam usaha industri yang menurut peraturan termasuk dalam Golongan I telah digunakan selama 2 (dua) tahun, sisa manfaat mesin tersebut adalah 2 (dua) tahun. Apabila berdasarkan ketentuan baru mesin tersebut termasuk dalam Kelompok 1 yang masa manfaatnya 4 tahun, maka untuk penghitungan penyusutan dimasukkan dalam kelompok harta yang mempunyai masa manfaat sesuai sisa manfaat harta tersebut, yaitu masuk dalam Kelompok 1. Apabila tidak termasuk dalam masa manfaat yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (6) atau Pasal 11A ayat (2), maka dimasukkan dalam kelompok harta yang masa manfaatnya terdekat dengan sisa masa manfaat harta tersebut. Dalam hal sisa masa manfaat harta berada di tengah-tengah antara kelompok harta yang satu dengan yang lain, maka Wajib Pajak boleh memilih untuk menentukan kelompok harta tersebut, misalnya apabila sisa masa manfaat harta 6 (enam) tahun, maka Wajib Pajak boleh memilih Kelompok 1 atau Kelompok 2. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Penyusutan atas harta berupa bangunan baik permanen maupun tidak permanen dilakukan dengan cara meneruskan penyusutan yang telah dilakukan dalam tahun-tahun sebelum tahun pajak 1995 dengan memperhatikan harga (nilai) perolehan dan sisa manfaat harta tersebut. Contoh : Harga perolehan bangunan = Rp 2.000.000.000,00 Telah disusutkan s/d tahun pajak 1994 selama 10 tahun: 10 x 5% x Rp 2.000.000.000,00 = Rp 1.000.000.000,00 Nilai sisa buku pada 1 Januari 1995 = Rp 1.000.000.000,00 Penyusutan… Penyusutan dalam tahun pajak 1995 dan tahun-tahun pajak selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama dengan tahun-tahun pajak sebelum tahun pajak 1995 yaitu sebesar 5% x Rp 2.000.000.000,00 = Rp 100.000.000,00.

Thumbnail
PAJAK PENGHASILAN
UU 7 TAHUN 1983

Pajak Penghasilan

  • Ditetapkan: 31 Des 1983
  • Diundangkan: 31 Des 1983
  • Konsolidasi

Relevan terhadap

Pasal 36Tutup
(1)

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.

(2)

Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 50 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UMUM 1. Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat(2) sistem dan peraturan perundang- undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan undang-undang.

2.

Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan Bangsa mampu membiayai pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagi beban pembangunan antara golongan berpendapatan tinggi dan golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.

3.

Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila.

4.

Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan), dan Tarip Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami, serta mematuhinya.

5.

Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai undang-undang, yaitu :

a.

Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan.

b.

Ordonansi...

b.

Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam Ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut.

c.

Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen Royalti 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, dan royalti, yang wajib dipotong oleh orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen, dan royalti yang bersangkutan.

d.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutan oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun(MPS- Akhir).

6.

Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur:

a.

semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam undang-undang ini b. ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. Struktur tarif disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarif pajak. Tarif... Tarif untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarif untuk badan, dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah dari pada tarif lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut:

a.

sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas.

b.

keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh.

c.

meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarif marginal tertinggi hanya 35%(tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

d.

mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak. PASAL DEMI PASAL

Pasal 14Tutup

Ayat (1) dan ayat (2) Pada hakekatnya untuk dapat memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dengan sebaik-baiknya diperlukan adanya pembukuan, Undang-undang bermaksud mendorong semua Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, namun disadari pula bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan itu. Wajib Pajak yang diizinkan untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, lengkap meliputi Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah kurang dari Rp. 60.000.000,- setahun. Untuk mereka ini perlu adanya suatu cara yang terbuka dan adil, disamping perlunya pembinaan agar supaya mereka kemudian dapat dan mampu menyelenggarakan pembukuan. Norma... Norma Penghitungan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai sebagai cara untuk menentukan peredaran bruto atau penerimaan bruto dan yang pada akhirnya untuk menentukan penghasilan netto. Pada dasarnya Norma Penghitungan ini hanya dipergunakan untuk penghitungan atau penentuan penghasilan netto dalam hal : - tidak adanya dasar penghitungan lain yang lebih baik, yaitu pembukuan, - pembukuan Wajib Pajak ternyata diselenggarakan tidak benar. Adapun wujud Norma Penghitungan itu ialah suatu persentase atau angka perbandingan lainnya yang disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian yaug cermat sehingga - sederhana, - terperinci menurut kelompok jenis usaha, - dibedakan dalam beberapa klasifikasi kota/tempat, - dibedakan untuk Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,- dengan yang lebih dari Rp. 60.000.000,-, - tingkat persentase atau angka perbandingan yang tidak jauh dari kewajaran, namun dapat mendorong Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan. Dengan demikian Norma Penghitungan adalah merupakan alat yang dipergunakan dalam keadaan terpaksa, karena tidak adanya pegangan lain, namun masih tetap dapat dipertanggungjawabkan kesederhanaan, keterbukaan, dan kewajarannya. Norma Penghitungan sangat membantu wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan netto yang harus dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan. Oleh karena Wajib Pajak akan menetapkan sendiri pajaknya, maka adanya patokan untuk menghitung berapa penghasilan yang diumumkan terlebih dahulu, akan sangat berguna. Hanya apabila terbukti bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak berdasarkan data yang benar, dengan menerapkan Norma Penghitungan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan. Norma Penghitungan yang bersifat terbuka itu selain untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban bagi Wajib Pajak, juga sekaligus untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang Administrasi Perpajakan dengan menaksir besarnya penghasilan yang kurang berdasar. Norma Penghitungan dimaksud dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan itu harus memuat:

a.

kaitan-kaitan yang harus dipergunakan untuk menentukan besarnya : - peredaran (jumlah karyawan, jumlah meja bagi usaha rumah makan, jumlah mesin bagi usaha industri, jumlah kamar bagi usaha hotel dan lain-lain); - penghasilan bruto jumlah pembelian bahan, jumlah gaji karyawan, dan lain-lain); - penghasilan netto jumlah pengeluaran nyata atau tingkat biaya hidup dan lain-lain);

b.

pokok-pokok cara yang harus diperhatikan dalam menyusun Norma Penghitungan;

c.

cara-cara menyempurnakan Norma Penghitungan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan untuk memilih menghitung, penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap menyelenggarakan pembukuan. Dalam hal Wajib Pajak tersebut ternyata tidak menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan netto dihitung dengan Norma Penghitungan dan pajak yang dihasilkan dari penghitungan tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan, sebagaimana diatur dalam ayat (7). Dengan... Dengan ketentuan ini, Wajib Pajak dirangsang untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar, dan lengkap. Oleh karena itu Norma Penghitungan perlu disusun sebaik-baiknya dengan memperhatikan perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien. Bagi Wajib Pajak yang jujur yang dalam usahanya tidak berhasil memperoleh penghasilan seperti perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien, penggunaan Norma Penghitungan dapat merugikannya. Untuk menghindari diterapkan Norma Penghitungan yang dapat merugikannya tersebut, Wajib Pajak dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar, dan lengkap, sehingga penghitungan pajaknya didasarkan atas keadaan yang sebenarnya sesuai dengan pembukuannya. Ayat (5) Wajib Pajak yang memilih untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, dengan sendirinya harus dapat menunjukkan bahwa jumlah peredaran dari usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)yang dapat dibuktikan dari catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto, yang diselenggarakannya. Ayat (6) Menurut ketentuan ini, penghasilan netto dihitung berdasarkan Norma Penghitungan terhadap Wajib Pajak yang :

a.

mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan, akan tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang;

b.

mempunyai kewajiban menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran bruto atau penerimaan brutonya, akan tetapi tidak menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diwajibkan;

c.

tidak bersedia memperlihatkan buku, catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak. Perlu... Perlu ditegaskan, yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan adalah Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dan Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun akan tetapi memilih atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Ayat (7) Pajak penghasilan yang dihasilkan dari penghasilan netto yang dihitung dengan menerapkan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun. 1983 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 4Tutup

Dalam undang-undang ini dianut pengertian penghasilan yang luas, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh seseorang atau badan merupakan ukuran yang terbaik mengenai kemampuan seseorang atau badan untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan Pemerintah guna membiayai kegiatan-kegiatannya baik yang rutin, maupun untuk pembangunan. Ini merupakan salah satu sifat dari sistem Pajak Penghasilan ini yang bertujuan untuk memeratakan beban pembangunan. Setiap tambahan kemampuan ekonomis, dari manapun datangnya, merupakan tambahan kemampuan untuk ikut memikul biaya kegiatan Pemerintah. Pengertian penghasilan dalam undang-undang ini tidak terikat lagi pada ada tidaknya sumber-sumber penghasilan tertentu seperti yang dianut oleh undang- undang lama. Penghasilan itu dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, dapat dikelompokkan menjadi: - penghasilan dari pekerjaan, yaitu pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti penghasilan dari praktek dokter, notaris, akuntan publik, aktuaris (ahli matematika asuransi jiwa), pengacara, dan sebagainya; - penghasilan dari kegiatan usaha, yaitu kegiatan melalui sarana perusahaan; - penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa harta gerak, seperti bunga, dividen, royalti, maupun penghasilan dari modal berupa harta tak gerak, sewa rumah, dan sebagainya; juga termasuk dalam kelompok penghasilan dari modal ini adalah penghasilan dari harta yang dikerjakan sendiri, misalnya penghasilan yang diperoleh dari pengerjaan sebidang, tanah, keuntungan penjualan harta atau hak yang, tidak dipakai dalam melakukan kegiatan usaha; - penghasilan lain-lain, seperti menang lotere, pembebasan hutang, dan lain-lain penghasilan yang tidak termasuk dalam kelompok lain. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung, yang selanjutnya dipakai untuk memperoleh harta yang tidak terpakai habis sebagai konsumsi dalam satu tahun. Walaupun penghasilan itu dapat dikelompokkan, namun pengertian penghasilan tidak terbatas pada yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan tertentu. Contoh-contoh yang disebut dalam undang-undang ini sekedar untuk memperjelas tentang pengertian penghasilan yang luas, dan tidak terbatas pada apa yang disebutkan oleh undang-undang ini. Ayat (1) Huruf a Semua imbalan atau pembayaran dari pekerjaan dalam hubungan kerja yang dapat berupa upah, gaji, dan sebagainya, termasuk Premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja. Pemberian gaji dalam bentuk natura tidak dimasukkan dalam pengertian penghasilan bagi penerima, seperti misalnya perumahan(kecuali di daerah terpencil, yang tidak tersedia rumah yang disewakan), kendaraan bermotor, dan sebagainya. Bagi pihak pemberi kerja, pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat(1) huruf d. Huruf b Honorarium yang dibayarkan kepada artis, olahragawan, pemberi ceramah seperti pada seminar-seminar internasional. Hadiah undian mencakup juga pengertian hadiah yang diberikan tanpa diundi. Huruf c Yang dimaksud dengan laba bruto usaha adalah penghasilan bruto yang diperoleh dari usaha. Laba bruto usaha ditambah penghasilan bruto lainnya sama dengan jumlah penghasilan bruto seluruhnya. Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan perlu dilaporkan laba bruto usaha dan pengurangan yang diperbolehkan oleh undang-undang ini. Jadi... Jadi tidak dimaksudkan, bahwa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan hanya dilaporkan penghasilan kena pajak. Penambahan penghasilan lain-lain dan pengurangan biaya lain-lain terhadap laba netto dari usaha mencerminkan adanya apa yang disebut dalam dunia perpajakan sebagai kompensasi horizontal. Baik laba netto usaha maupun penghasilan lain-lain setelah di kurangi biaya yang bersangkutan dapat menjadi negatif. Kompensasi horizontal semacam itu diperbolehkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Huruf d Apabila seorang Wajib Pajak menjual harta lebih dari harga sisa buku atau harga/nilai perolehan pada saat penjualan, maka selisih harga tersebut merupakan penghasilan. Jika harta yang dijual itu bukan merupakan harta perusahaan dan telah dimiliki sebelum berlakunya undang-undang ini, penghasilan yang diperoleh adalah selisih antara harga penjualan dengan nilai jual pada saat undang-undang ini berlaku. Demikian pula apabila sebuah badan usaha menjual kekayaan kepada pemegang saham misalnya berupa mobil dengan harga sebesar harga sisa buku Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)sedangkan di pasar harganya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), maka selisih sebesar Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah) merupakan penghasilan bagi badan usaha tersebut dan bagi pemegang saham yang membeli itu, Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah) merupakan penghasilan. Huruf e Pengembalian pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya pada saat menghitung penghasilan kena pajak, misalnya Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang setelah ditetapkan kembali ternyata kelebihan bayar, maka kelebihan bayar tersebut adalah penghasilan. Huruf f... Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, baik yang dijanjikan maupun tidak. Huruf g Ketentuan ini mengatur tentang pengertian penghasilan berupa dividen, yaitu bagian keuntungan yang diterima oleh para pemegang saham atau pemegang polis asuransi. Nama apapun yang diberikan atau dalam bentuk apa bagian keuntungan itu diterima tidak menjadi pertimbangan. Termasuk dalam pengertian dividen adalah :

1)

pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;

2)

pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetorkan;

3)

pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan;

4)

pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan;

5)

apa yang diterima atau diperoleh karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan, yang melebihi jumlah setoran sahamnya;

6)

pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang telah disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;

7)

pembayaran atas tanda-tanda laba, termasuk apa yang diterima sebagai penebusan tanda- tanda tersebut;

8)

laba dari obligasi yang ikut serta dalam pembagian laba;

9)

pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Perlu... Perlu ditegaskan disini, bahwa dari apa yang disebut pada angka 1 sampai dengan angka 9 di atas dapat disimpulkan, bahwa pengertian dividen atau pembagian keuntungan perusahaan mencakup pengertian yang luas, yaitu setiap pembagian keuntungan perusahaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, Dalam praktek sering dijumpai pembagian/pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dengan pengalihan harta perusahaan kepada pemegang saham atau peserta dengan penggantian harga di bawah harga pasar. Selisih antara harga pasar dengan harga yang dibayar oleh pemegang saham adalah merupakan pembayaran dividen secara terselubung (lihat penjelasan ayat (1) huruf d). Contoh : Suatu harta PT A berupa mobil yang mempunyai harga sisa buku sebesar Rp. 1.000.000,- sedangkan harga pasar sebesar Rp. 5.000.000,- .Mobil tersebut dialihkan kepada pemegang saham B dengan penggantian sebesar harga sisa buku, yaitu Rp. 1.000.000,-. Di sini terdapat pembayaran dividen secara terselubung sebesar Rp. 4.000.000,-.Berdasarkan ketentuan ini PT A harus memotong Pajak Penghasilan sebesar 15% x Rp. 4.000.000,- = Rp. 600.000,-. Dalam pengertian dividen ini termasuk pula bagian keuntungan yang diterima oleh pengurus dari anggota koperasi.Pada tingkat koperasi, Sisa Hasil Usaha koperasi yang semata-mata berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan anggota tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, bagi pengurus dari anggota koperasi, pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi yang diterimanya merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Apabila pembayaran dari pengembalian Sisa Hasil Usaha yang diterima oleh masing-masing pengurus dan anggota koperasi tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak maka pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi tersebut tidak terkena pajak. Huruf h... Huruf h Yang dimaksud disini adalah pembayaran royalti atau apapun namanya sehubungan dengan penggunaan hak seperti: hak paten/oktroi, lisensi, merek dagang, pola atau model, rencana, rahasia perusahaan, cara pengerjaan, hak pengarang dan hak cipta mengenai sesuatu karya dibidang kesenian atau ilmiah, termasuk karya film sinematografi. Pada dasarnya pembayaran royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu pembayaran atas penggunaan:

1)

hak atas harta tak berwujud: hak pengarang, paten merek dagang, formula atau rahasia perusahaan;

2)

hak atas harta berwujud: hak atas alat- alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan:

3)

jasa: pemberian informasi yang diperlukan mengenai usaha dan investasi pada umumnya, pengalaman di bidang industri, perniagaan dan ilmu pengetahuan pada khususnya; yang dimaksudkan dengan informasi di sini adalah informasi yang belum diungkapkan secara terbuka. Huruf i Ketentuan ini mengatur penghasilan uang sewa yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta, baik harta gerak misalnya sewa pemakaian mobil dan sebagainya maupun penggunaan harta tak gerak, misalnya sewa rumah. Huruf j Contoh : Tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berkala. Huruf k Pembebasan hutang oleh pihak yang berpiutang- merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berhutang. Ayat (2)... Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1) huruf f pasal ini bunga merupakan Obyek Pajak. Tabungan masyarakat merupakan pula sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan. Dengan Peraturan Pemerintah, terhadap bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dapat dibebaskan dari pengenaan pajak dengan memperhatikan perkembangan moneter serta pelaksanaan pembangunan. Ayat (3) Huruf a Harta hibahan atau bantuan yang diterima yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak termasuk penghasilan. Ini sebagai imbangan dari Pasal 9 ayat (1) huruf f yang mengatur bahwa harta hibahan atau bantuan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan pihak pemberi. Huruf b Warisan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima ahli waris tidak merupakan Obyek Pajak, walaupun warisan itu jumlahnya besar. Warisan sebagai Subyek Pajak, baru dikenakan pajak apabila warisan tersebut memberikan penghasilan, misalnya sewa yang diterima dari rumah warisan. Huruf c Pembayaran oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis misalnya karena kecelakaan, kerugian atau karena meninggalnya tertanggung, demikian juga penerimaan pembayaran bea siswa dari perusahaan asuransi tidak merupakan penghasilan. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c ditentukan, bahwa premi asuransi jiwa, kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, kecuali premi tersebut di tanggung oleh pemberi kerja. Huruf d... Huruf d Bila seorang pemberi kerja yang merupakan Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang ini memberi kenikmatan berupa natura kepada karyawan atau orang lain yang ada hubungan pekerjaan, maka kenikmatan tersebut tidak dianggap sebagai penghasilan bagi pihak penerima.Yang dimaksud dengan kenikmatan dalam bentuk natura ialah suatu tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh tidak dalam bentuk uang seperti kenikmatan mempergunakan mobil perusahaan dengan cuma- cuma, kenikmatan mendiami rumah yang disewa oleh perusahaan atau rumah milik perusahaan, pemberian beras dengan cuma-cuma, dan sebagainya. Bagi pihak pemberi kerja jumlah tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya. Kenikmatan pemakaian rumah yang diberikan oleh Pemerintah kepada pegawai Pemerintah, Pejabat Negara dan Pejabat Lembaga Pemerintah non Departemen lainnya, tidak merupakan penghasilan bagi pihak yang bersangkutan. Dalam pengertian Pemerintah termasuk Perusahaan Jawatan. Apabila yang memberi kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang ini, maka kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pihak yang menerima. Contoh: Seorang pegawai bangsa Indonesia yang bekerja di salah satu perwakilan diplomatik, memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan Diplomatik tersebut atau kenikmatan- kenikmatan lainnya, maka kenikmatan-kenikmatan tersebut harus dimasukkan sebagai penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan tidak merupakan Subyek Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong pembayaran oleh pemberi kerja kepada pegawai atau karyawannya dilakukan dalam bentuk uang, sehingga dengan demikian mempermudah pengenaan pajaknya. Huruf e Seseorang yang mengalihkan harta atau anggota persekutuan firma, perseroan komanditer, kongsi yang mengalihkan harta persekutuan untuk mendirikan Perseroan Terbatas dengan pembayaran berupa saham (inbreng). maka keuntungan berupa selisih antara harga sisa buku dengan nilai jual harta tersebut, tidak merupakan penghasilan, apabila setelah terjadinya pengalihan, pihak yang mengalihkan harta atau pihak-pihak yang mengalihkan harta secara bersama-sama, memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari seluruh nilai saham disetor dari Perseroan Terbatas yang menerima pengalihan. Syarat 90% (Sembilan puluh persen) tersebut harus dipenuhi pada saat terjadinya pengalihan yang bersangkutan. Huruf f Harta yang dialihkan kepada perseroan, persekutuan atau badan-badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal tidak dikenakan pajak pada saat pengalihan kepada perseroan itu, melainkan di kemudian hari, apabila harta itu dijual atau dialihkan lagi: Oleh karena itu penilaian harta tersebut ketika perseroan menerima pengalihan harus sama dengan harga sisa buku pada saat pengalihan. Huruf g Dividen yang diperoleh atau diterima oleh perseroan dalam negeri dari perseroan lain, tidak dianggap sebagai penghasilan, apabila perseroan yang menerima tersebut tidak sekedar membungakan uang yang sedang tidak dipakai, melainkan pada dasarnya bersifat kekal dan kedua perseroan tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan jalur usaha. Dividen sebagai hasil pembungaan uang, sementara uang itu tidak terpakai, dikenakan pajak. Contoh : Contoh : PT A pabrik tekstil, PT B pabrik benang tenun. Antara PT A dan PT B ada hubungan ekonomis dalam jalur usahanya. PT A memiliki 25%(dua puluh lima persen) dari saham yang disetor PT B, maka dividen yang diterima atau diperoleh PT A dari PT B tidak termasuk dalam pengertian penghasilan. Apabila badan yang menerima atau memperoleh dividen memiliki saham 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari nilai saham yang disetor, sedangkan kedua badan tersebut tidak mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya, maka dividen yang, diterima atau diperoleh tidak termasuk dalam pengecualian sebagai Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini. Contoh : PT X pabrik tekstil. PT Y pabrik minuman. PT X memiliki 25% (dua puluh lima persen)dari saham yang disetor dari PT Y. Antara PT X dan PT Y tidak terdapat hubungan ekonomis dalam jalur usahanya. Oleh karena itu, dividen yang diterima atau diperoleh PT X dari PT Y tidak dikecualikan sebagai Obyek Pajak. Dengan perkataan lain, dividen yang diterima atau diperoleh PT X dari PT Y merupakan Obyek Pajak. Huruf h Iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pembentukannya telah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan, baik yang dibayar secara berkala dan yang dibayar sekaligus oleh pemberi kerja maupun oleh Wajib Pajak sendiri tidak termasuk penghasilan yang dikenakan pajak. Huruf i Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum adalah kegiatan usaha yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1)

kegiatan...

1)

kegiatan usaha harus semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan;

2)

kegiatan usaha harus semata-mata bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum;

3)

kegiatan usaha ini tidak mempunyai tujuan mencari laba. Laba yayasan yang tidak termasuk pengertian penghasilan adalah tidak lain daripada kelebihan hasil usaha yang terjadi karena realisasi penerimaan melebihi realisasi biaya yang dikeluarkan dalam tahun pajak yang bersangkutan. Laba ini tidak termasuk dalam pengertian Obyek Pajak menurut undang-undang ini, sepanjang laba tersebut semata-mata merupakan kelebihan hasil usaha sebagai diuraikan di atas, yang telah diperhitungkan untuk melakukan kegiatan sosial yayasan atau perkumpulan tersebut. Apabila pembayaran balas jasa yang diterima cukup tinggi sehingga kelebihan itu dibagikan kepada pengurus yayasan maka kegiatan yayasan itu tidak lagi semata-mata untuk kepentingan umum dan kelebihan tersebut merupakan bagian penghasilan yang dikenakan pajak. Huruf j Penghasilan yayasan dari modal yang ditanam di luar kegiatan yang semata-mata untuk kepentingan umum yang digunakan untuk membiayai kegiatan sosial yayasan, tidak merupakan Obyek Pajak. Misalnya suatu yayasan atau wakaf dalam membiayai kegiatan sosialnya menerima sumbangan. Kelebihan sumbangan yang diterima dari keperluan biaya kegiatan tersebut ditanam di luar kegiatan sosialnya. Hasil yang diperoleh dari penanaman modal ini sepanjang dipergunakan untuk membiayai kegiatan sosialnya, tidak merupakan Obyek Pajak. Huruf k... Huruf k Pembagian keuntungan yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan, tidak merupakan Obyek Pajak. Namun, undang-undang memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengenakan Pajak Penghasilan atas pembagian keuntungan tersebut di atas jika ketentuan ini disalahgunakan, sehingga dapat merugikan Keuangan Negara.

Thumbnail
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH | BARANG DAN JASA
UU 8 TAHUN 1983

Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

  • Ditetapkan: 31 Des 1983
  • Diundangkan: 31 Des 1983
  • Konsolidasi
Thumbnail
LALU LINTAS | DEVISA
UU 32 TAHUN 1964

Peraturan Lalu Lintas Devisa

  • Ditetapkan: 28 Des 1964
  • Diundangkan: 28 Des 1964

Relevan terhadap

Pasal 11Tutup
(1)

Bank devisa yang telah membeli valuta asing seperti termaksud dalam pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 ayat (3) berkewajiban untuk menyerahkannya kepada Bank Indonesia.

(2)

Penggantian nilai lawan dalam Rupiah untuk devisa yang diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI. IMPOR BARANG DAN PENERIMAAN JASA DARI LUAR NEGERI ATAS BEBAN DANA DEVISA. Pasal 12. Impor barang dari luar negeri atas beban Dana Devisa hanya boleh diadakan jikalau untuk itu telah dikeluarkan izin umum atau khusus oleh Pimpinan Biro dengan syarat yang ditentukan olehnya. Pasal 13.

(1)

Barangsiapa telah mendapat izin untuk impor seperti dimaksud dalam pasal 12 berkewajiban untuk menutup kontrak-valuta dengan bank devisa untuk jumlah yang disediakan oleh Biro untuk impor barang tersebut dan harus berbunyi dalam valuta yang sama jenisnya serta menyebutkan jangka waktu pembayaran seperti telah ditentukan oleh Biro.

(2)

Pada waktu pemasukan barang dari luar negeri importir diwajibkan untuk menyampaikan kepada pejabat Bea dan Cukai setempat di mana barang impor akan dimasukkan suatu pemberitahuan tentang pemasukan barang yang bentuknya ditetapkan oleh Biro. Pemberitahuan itu harus disusun sesederhana mungkin dan disampaikan dengan disertai izin sebagaimana termaksud dalam ayat (1). Pasal 14.

(1)

Pengeluaran devisa lainnya daripada yang termaksud dalam pasal 12 atas beban Dana Devisa Negara hanya boleh dilakukan berdasarkan izin umum atau khusus yang dikeluarkan oleh Biro.

(2)

Perjanjian-perjanjian yang akan mengakibatkan beban atas Dana Devisa harus disetujui lebih dahulu oleh Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia. Jika persetujuan tidak diberikan kewajiban membayar hanya dapat dipenuhi dari devisa yang dimaksudkan dalam Bab VII. BAB VII. PENGUASAAN DEVISA YANG TIDAK DIHARUSKAN UNTUK LANGSUNG DISERAHKAN KEPADA DANA DEVISA. Pasal 15. Segala sesuatu yang bertalian dengan penggunaan, pembebanan dan pemindahan hak atas devisa yang tidak diharuskan untuk langsung diserahkan kepada Dana Devisa menurut pasal 11 diatur berdasarkan rencana penggunaan devisa dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII. KEWAJIBAN MENDAFTAR DAN MENYIMPAN EFFEK. Pasal 16.

(1)

Warga-negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berkewajiban untuk menyimpan dalam simpanan terbuka effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, yang dimilikinya pada waktu peraturan ini mulai berlaku dan yang diperolehnya sesudah waktu itu, pada bank devisa Pemerintah atau pada korespondennya di luar negeri atas nama bank devisa Pemerintah bersangkutan. Penyimpanan ini harus dilakukan dalam batas waktu enam bulan sesudah peraturan ini berlaku atau tiga bulan sesudah effek diperolehnya.

(2)

Kewajiban tersebut dalam ayat (1) berlaku pula untuk warga- negara asing dan badan hukum asing untuk:

a.

effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah;

b.

effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, sekedar dimiliki sebelum Undang-undang ini berlaku.

(3)

Bank tersebut dalam ayat (1) berkewajiban untuk mendaftarkan effek yang disimpan padanya menurut petunjuk Pimpinan Biro, dengan ketentuan bahwa effek yang diajukan untuk disimpan setelah lewatnya jangka waktu yang ditetapkan diatas, hanya dapat didaftarkan dengan izin Biro.

(4)

Dalam menjalankan ketentuan dalam ayat (1) ditentukan bahwa effek yang dikeluarkan sebelum 29 Desember 1949 oleh badan hukum di Indonesia baik yang berwarga-negara Indonesia maupun asing, dianggap sebagai effek yang harus disimpan dalam simpanan terbuka.

(5)

Biro berwenang untuk menentukan bilamana effek yang telah disimpan dapat dikembalikan kepada yang berhak. BAB IX. LARANGAN. Pasal 17.

(1)

Impor dan ekspor mata uang Rupiah dilarang terkecuali dengan izin Pimpinan Biro.

(2)

Ekspor dari benda yang berikut: emas uang kertas asing, effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, dilarang terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.

(3)

Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat membatasi jumlah uang kertas asing yang dapat diimpor.

(4)

Effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada rupiah dilarang diekspor oleh warga-negara Indonesia, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro. Warga-negara asing atau badan hukum asing, dilarang untuk membeli dan memperoleh dengan cara dan dalam bentuk apapun juga effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.

(6)

Warga-negara asing atau badan hukum asing dilarang untuk mengekspor effek termaksud dalam pasal 16 sub (2) (b), terkecuali dengan izin dari Biro.

(7)

Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat menentukan, bahwa warga-negara asing atau badan hukum asing tertentu dilarang untuk memperoleh kredit dari bank atau mengadakan pinjaman, termasuk mengeluarkan obligasi, saham, tanda pinjaman jangka panjang lainnya dan tanda pinjaman jangka pendek yang berbunyi dalam mata uang rupiah. BAB X. KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA DEVISA DAN HUKUM ACARA PIDANA DEVISA. Pasal 18. Terkecuali jika suatu perbuatan dengan nyata dalam Undang- undang ini disebut kejahatan atau pelanggaran pidana, semua perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya dipandang sebagai pelanggaran administratip, yang hanya dikenakan denda administratip atau pidana administratip lain menurut ketentuan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan. Denda ini setinggi-tingginya berjumlah dua puluh lima juta rupiah. Pasal 19.

(1)

Dewan mempunyai hak interpretasi yang tertinggi tentang Undang-undang ini dan tentang peraturan yang didasarkan atasnya.

(2)

Dewan berwenang mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung agar terhadap sesuatu tindak pidana berdasarkan Undang-undang ini tidak akan dilakukan penuntutan. Usul tersebut disertai dengan alasan-alasan.

(3)

Jaksa dan Hakim dalam menjalankan tugas kewajibannya berdasarkan Undang-undang Pokok Kejaksaan dan Undang- undang Pokok Kekuasaan Kehakiman wajib mengingat pada ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2). Pasal 20.

(1)

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat (6) maka pelanggaran pasal, 7, 8, 9, 10, 11, 16 dan 17 yang dibuat dengan sengaja dan dapat berakibat kerugian untuk negara yang meliputi jumlah yang besarnya lebih dari nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing untuk tiap perbuatan, dinyatakan sebagai kejahatan.

(2)

Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya tidak melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing, maka pelanggar itu dikenakan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya sepuluh juta rupiah.

(3)

Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing maka pelanggar itu diberi pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya seratusjuta rupiah.

(4)

Barang terhadap mana perbuatan tersebut dalam ayat (2) dan (3) dilakukan dapat dirampas untuk Negara.

(5)

Jika kerugian yang tersebut dalam ayat (1) tidak melampaui nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing, maka perbuatan itu dinyatakan pelanggaran administratip.

(6)

Jikalau pelanggaran pasal 7, 8, dan 9 berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun bersifat tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor, maka pelanggaran itu dipandang pelanggaran administratip.

(7)

Jika tindak pidana dilakukan tidak dengan sengaja, maka pidana tertingginya ditetapkan sepertiga dari pidana tertinggi apabila dengan sengaja. Pasal 21. Pelanggaran pasal 12 dan 13 dinyatakan sebagai pelanggaran administratip. Pasal 22.

(1)

Barangsiapa setelah mendapat perintah seperti termaksud dalam pasal 6 sub a dengan sengaja tidak memenuhi perintah itu tanpa alasan yang sah ataupun dengan sengaja menyampaikan keterangan yang tidak benar dalam memenuhi perintah itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.

(2)

Perbuatan ini merupakan kejahatan. Pasal 23.

(1)

Barangsiapa karena jabatannya atau pekerjaannya tersangkut dalam penyelenggaraan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya wajib merahasiakan semua yang diketahuinya karena jabatan atau pekerjaan itu, kecuali jika ia harus memberikan keterangan justru karena jabatan atau pekerjaan itu terhadap pihak ketiga.

(2)

Kewajiban ini berlaku pula untuk para ahli yang berhubung dengan penyelenggaraan Undang-undang dan peraturan yang didasarkan atasnya diminta memberikan nasehatnya atau yang diserahi melakukan sesuatu pekerjaan. Pasal 24.

(1)

Barangsiapa dengan sengaja melanggar kewajiban untuk merahasiakan sebagaimana termaksud dalam pasal 23 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.

(2)

Perbuatan tersebut di atas merupakan kejahatan. Pasal 25.

(1)

Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata-tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.

(2)

Suatu tindak pidana dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.

(3)

Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus, atau jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa kemuka hakim.

(4)

Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor. Pasal 26.

(1)

Untuk penyidikan tindak pidana yang tersebut dalam Undang- undang ini disamping pegawai-pegawai yang pada umumnya diberi tugas menyidik tindak pidana, ditunjuk pula:

a.

pegawai Bea dan Cukai, b. pegawai Biro yang ditunjuk oleh Dewan.

(2)

Pegawai penyidik tersebut di atas sewaktu-waktu berwenang untuk melakukan penyitaan, begitu juga untuk menuntut penyerahan supaya dapat disita daripada segala barang yang dapat dipakai untuk mendapatkan kebenaran atau yang dapat diperintahkan untuk dirampas, dimusnahkan atau dirusakkan supaya tidak dapat dipakai lagi.

(3)

Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk menuntut pemeriksaan segala surat yang dianggap perlu untuk diperiksa guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.

(4)

Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk memasuki semua tempat yang dianggap perlu guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya. Mereka berkuasa untuk menyuruh agar dikawani oleh orang-orang tertentu yang mereka tunjuk. Jika dianggap perlu mereka memasuki tempat-tempat tersebut dengan bantuan polisi. Pasal 27.

(1)

Biro berwenang untuk memerintahkan penyerahan barang atau effek, yang diperoleh dengan jalan melanggar Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya atau dengan mana, ataupun tentang mana perbuatan itu telah dilakukan, atau yang merupakan pokok perbuatan sedemikian, dari yang melanggar, baik perseorangan maupun badan hukum.

(2)

Perintah ini dalam hal tindak pidana hanya dapat diberikan, jikalau diputuskan bahwa tidak akan diadakan tuntutan. Perintah termaksud diberikan dengan surat perintah tercatat.

(3)

Jikalau dalam batas waktu tiga bulan perintah ini tidak dipenuhi, maka Biro dapat menetapkan jumlah paksaan dalam mata uang rupiah yang harus dibayarkan kepadanya dalam batas waktu yang ditetapkan olehnya.

(4)

Jumlah paksaan yang tersebut dalam ayat (3) di atas dan denda administratip yang tersebut dalam pasal 18 dapat dipungut dengan surat paksa, yang dikeluarkan atas nama Pimpinan Biro dan dapat dilaksanakan menurut ketentuan mengenai surat paksa dalam Peraturan Pajak Berkohir. BAB XI. KETENTUAN LAIN. Pasal 28. Tiap perjanjian yang diadakan dengan melanggar Undang- undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya adalah batal dalam arti yang dipakai dalam Kitab Undang-undang Perdata. Pasal 29.

(1)

Dewan berwenang untuk mengeluarkan peraturan mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini yang dianggapnya perlu untuk mencapai maksud dan tujuan Undang-undang ini. Peraturan termaksud dalam ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Pasal 30. Dalam menjalankan Undang-undang ini, Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk- petunjuk Dewan dapat:

a.

mengeluarkan peraturan khusus untuk Perwakilan diplomatik dan konsuler asing dan Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan-badan International semacam itu berikut pegawai-pegawainya yang berstatus diplomatik atau konsuler.

b.

mewajibkan warga-negara asing dan badan hukum asing tertentu yang diizinkan untuk berusaha di Indonesia untuk menyerahkan valuta asing ke dalam "Dana Devisa Negara" dalam menjalankan usahanya. Pasal 31.

(1)

Surat permohonan untuk mendapat izin berdasarkan Undang- undang ini atau peraturan pelaksanaannya dan juga surat izinnya adalah bebas dari ber meterai.

(2)

Kalau satu dari dua pihak dalam melakukan sesuatu perbuatan telah mendapat izin atau pembebasan, maka pihak yang kedua tidak perlu meminta lagi izin atau pembebasan.

(3)

Dari semua ketentuan Undang-undang ini Dewan dapat memberikan pembebasan secara khusus atau umum dan dalam kedua hal dapat dietapkan syarat-syarat tertentu.

(4)

Dewan dapat mendelegasikan wewenang ini kepada Ketua Dewan atau salah seorang anggotanya. Pasal 32. PERATURAN PERALIHAN.

(1)

Pada hari mulai berlakunya Undang-undang ini:

a.

Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dilebur sebagai badan hukum dan segala aktiva dan pasivanya beralih kepada Biro;

b.

Segala aktiva dan pasiva "Dana Devisen" dijadikan Dana Devisa. Hubungan kerja antara Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dan para pegawainya diambil-alih oleh Biro.

(2)

Jikalau untuk sesuatu hal menurut Undang-undang ini diharuskan adanya suatu izin atau dari sesuatu kewajiban dapat diberikan pembebasan, maka izin atau pembebasan yang telah diberikan berdasarkan Deviezen-verordening 1940 dianggap sebagai berdasarkan Undang-undang ini.

(3)

Segala peraturan pelaksanaan dari Deviezen-ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 sekedar mengatur lebih lanjut hal-hal yang ditentukan dalam Undang-undang ini tetap berlaku pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, sampai ditarik kembali.

(4)

Penggunaan, pembebasan dan pemindahan hak atas valuta asing termaksud dalam Pengumuman Pimpinan L.A.A. P.L.N. No. 3 tanggal 27 Mei 1963 dan S.K.B. Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan dan Urusan Bank Sentral No. No. IE/IU/KB/32/12/SKB jo Kep. 26/UBS/64 dan Kep. 35/UBS/ No. Kep. 21/UBS/64 64 diperkenankan sampai pengumuman dan peraturan ini ditarik kembali.

(5)

Terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut Devizen- ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 merupakan tindak pidana dan tidak lagi demikian halnya menurut Undang- undang ini, berlaku peraturan yang tersebut terakhir.

(6)

Bank Swasta yang telah ditunjuk sebagai bank devisa menjalankan funksinya selama masa peralihan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 33.

(1)

Pasal 1 ayat 1e sub f dari Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang No. 7 Drt tahun 1955) dihapuskan dan diganti hingga berbunyi sebagai berikut: "Pasal 7, 8 dan 9 dari Undang-undang No. 32 tahun 1964 tentang "Peraturan Lalu-Lintas Devisa 1964", terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor".

(2)

Undang-undang No. 4 Prp tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 91). dan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1964 (Lembaran-Negara tahun 1964 No. 2) ditarik kembali. Pasal 34. PERATURAN PENUTUP. Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Devisa 1964 dan mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUKARNO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964. SEKRETARIS NEGARA, MOHD. ICHSAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN LALU-LINTAS DEVISA. I. UMUM.

1.

Rezim devisa yang hingga kini berlaku di tanah air kita mulai diadakan pada pertengahan tahun 1940 oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan dikeluarkannya Deviezen-Ordonantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205, sebagaimana telah dirobah dan ditambah) serta Deviezen-Verordening 1940 (Staatsblad 1940 No. 291, sebagaimana telah dirobah dan ditambah), pengalaman selama lebih dari 20 tahun menunjukkan bahwa kedua peraturan ini merupakan suatu sumber rintangan-rintangan terhadap kelancaran dan perkembangan lalu-lintas perdagangan dan lalu-lintas pembayaran antara Indonesia dan luar negeri yang sangat merugikan dan menghambat pembangunan Negara.

2.

Deviezen-Ordonantie dan Deviezen-Verordening pada hakekatnya menetapkan cara dan sistim untuk menguasai seluruh penghasilan devisa serta seluruh kekayaan devisa dari pada penduduk devisa. Cara dan sistim ini memuncak pada pengusaaan dari segala usaha, segala kegiatan dan segla hubungan disegala lapangan. yang dapat menimbulkan konsekwensi-konsekwensi finansiil terhadap luar negeri, dalam segala bentuknya dan segala detailnya.

3.

Meskipun cita-cita untuk menguasai seluruh penghasilan devisa untuk Negara pada hakekatnya dan pada akhirnya sesuai dengan cita-cita Sosialisme Indonesia, namun sistim dan cara dari pada Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening, yang bersifat tidak konkrit dan berbelit-belit, telah menciptakan, khususnya bagi masyarakat yang bergerak di lapangan perdagangan internasional, suatu suasana yang penuh dengan perasaan takut dan kekhawatiran. Jelaslah bahwa suasana demikian melemahkan penggerakan potensi dan kekuatan Rakyat, khususnya mematikan inisiatip dari pihak produsen-produsen dan pengusaha-pengusaha kita dari kegiatan-kegiatan yang justru merupakan sumber-sumber bagi Negara untuk memupuk kekayaan devisa.

4.

Salah satu tekhinik yang dipakai dalam Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening yang tidak dapat dipertahankan adalah pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu: - golongan "penduduk-devisa" dan - golongan "bukan penduduk-devisa". Oleh karena penarikan garis oleh Diviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening dilakukan dengan tidak memandang kebangsaan atau kewarganegaraan, maka sesama warganegara, baik Indonesia maupun asing, dapat digolongkan sebagai "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa". Dengan demikian "Deviezen-ordonnnatie menjalankan penguasaan terhadap segala hubungan-hubungan keuangan antara "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa", sehingga juga untuk transaksi-transaksi yang semata-mata bergerak di dalam negeri dan tidak menyangkut soal-soal devisa biarpun dilakukan antara warga negara Indonesia harus dimintakan izin terlebih dahulu dari pembesar-pembesar devisa, jika salah satu pihak merupakan "bukan penduduk devisa". Pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu golongan "penduduk-devisa" dan golongan "bukan penduduk Devisa" sudah terang merupakan rintangan untuk menciptakan ekonomi nasional yang sehat. Oleh karena itu dalam kehendak kita untuk menyusun ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis perlu pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan dihapuskan. Untuk mencapai maksud itu perlu diambil kewarganegaraan sebagai kriterium, agar supaya kepentingan nasional dapat diperhatikan sepenuhnya dalam lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri.

5.

Selanjutnya sifat yang amat kaku dari Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening sangat menghambat kelancaran dalam melaksanakan hubungan finansiil antara Indonesia dan luar negeri. Sifat yang amat kaku ini yang pada hakekatnya melarang segala- galanya, terkecuali jika diizinkan secara khusus atau umum, telah menimbulkan keharusan penetapan peraturan-peraturan penyelenggaraan yang jumlahnya demikian besarnya, sehingga keseluruhan ketetapan-ketetapan yang dikenal sebagai "peraturan-peraturan devisa" menjadi sangat kompleks dan sangat ruwet. Banyaknya dan berbelit-belitnya peraturan devisa itu dan kesimpangsiuran dalam interpretasi daripada peraturan-peraturan itu telah merupakan sumber rintangan-rintangan yang sangat menghambat kelancaran dalam pembangunan Negara dibidang perekonomian.

6.

Dalam menghadapi masalah ekonomi, kita sadar bahwa sisa-sisa kelonial dan sisa feodal dan demikian pula sifat-sifat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan dunia luar masih juga memberikan rintangan dalam pertumbuhan kearah sosialisme Indonesia. Dalam Deklarasi Ekonomi secara jelas dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Dalam melanjutkan pertumbuhan-pertumbuhan di bidang sosial dan ekonomi, maka kita harus bertitik-pangkal pada modal yang sudah kita miliki ialah:

a.

Aktivitas ekonomi Indonesia dewasa ini kurang lebih 80% sudah berada di tangan bangsa Indonesia. Dalam tahun 1950 boleh dikatakan aktivitas ekonomi di Indonesia sebagian terbesar masih dikuasai oleh bangsa asing, sehingga baik Pemerintah maupun rakyat, tidak dapat mengadakan perencanaan secara pokok bagi pertumbuhan ekonomi secara revolusioner.

b.

Pada waktu-waktu belakangan ini Pemerintah sudah mulai dapat secara aktif aktivitas ekonominya dalam arti konsepsionil, organisatoris dan strukturil.

c.

Meskipun demikian kita belum dapat berkembang secara mendalam oleh karena perhatian Pemerintah dan kekuatan rakyat masih dititik-beratkan kepada penyusunan alat-alat Revolusi yang baru pada waktu sekarang ini dapat dikatakan lengkap. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa baru sekarang kita dapat menggerakkan segala usaha dan perhatian rakyat dan Pemerintah untuk menanggulangi persoalan ekonomi secara konsepsionil, organisatoris dan strukturil dalam arti keseluruhannya.

7.

Oleh karena itu maka diperlukan suatu approach yang lebih realistis dan ketentuan-ketentuan yang tegas dan sederhana dalam mengatur lalu-lintas devisa antara Indonesia dan luar negeri, dengan memegang teguh pada prinsip- prinsip reasionalisasi selaras pula dengan prinsip-prinsip demokrasi nasional. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa di samping pengusaan devisa dengan jalan mengharuskan penytorannya dalam Dana Devisa dapat juga dipakai pengusasaan dengan menetapkan cara pemakaiannya, suatu cara yang dalam keadaan tertentu dapat berjalan dengan lebih effisen.

8.

Rasionalisasi berarti pula bahwa pengawasan harus ditujukan kepada sumber devisa yang terpenting. Bagi Negara kita, lalu-lintas perdagangan merupakan komponen yang terpenting; lebih dari 90% dari volume lalu-lintas pembayaran dengan luar negeri merupakan lalu-lintas perdagangan. Berhubung dengan itu pengawasan lalu-lintas pembayaran berarti terutama pengawasan terhadap lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri. Dalam hubungan ini harus diawasi bahwa penerimaan devisa dari ekspor yang harus diterima oleh Negara. memang mengalir ke dalam kas Negara untuk merupakan Dana Devisa. Jumlah yang harus diterima ini harus ditentukan secara konkrit oleh Negara, supaya baik yang berwajib menyerahkan devisa (eksportir) maupun badan-badan pengawasa Pemerintah yang bersangkutan secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban itu. Syak- wasangka dari pihak badan-badan pengawas di atas atapun perasaan khawatir akan menyalahi peraturan-peraturan dari pihak ekspotir, dengan demikian dapat ditiadakan.

9.

Pengeluaran devisa atas beban Dana Devisa untuk impor hanya dapat dilakukan menurut cara dan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam hubungan ini baik Pemerintah maupun badan Pemerintah yang ditugaskan harus menetapkan secara konkrit nilai yang dipandang layak olehnya bagi barang-barang yang diizinkan untuk dibeli dari luar negari.

10.

Pengawasan terhadap penerimaan devisa dibidang jasa dapat dibatasi pada pos-pos yang terpenting saja. Pada umumnya dapat ditentukan bahwa devisa yang diterima dibidang jasa harus diserahkan kepada Negara, jika penerimaan devisa itu secara langsung dimungkinkan karena adanya peralatan atau fasilitas-fasilitas yang dimiliki atau dikurangi oleh perusahaan perkapalan asing. Penerimaan devisa oleh perseorangan berdasarkan jasa individual tidak perlu diawasi.

11.

Pengawasan harus dilakukan terhadap pengeluaran devisa untuk jasa atas beban Dana Devisa, karena layak atau tidak layak pengeluaran itu seperti juga hanya dengan impor barang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah dengan mengingat keperluan akan jasa itu dalam rangka kepentingan Negara dipelbagai bidang.

12.

Pengawasan terhadap lalu-lintas modal perlu diadakan untuk menghindarkan pemindahan (pelarian) modal keluar negeri. Pemindahan modal keluar negeri dapat dilakukan dalam bentuk investasi dana-dana di luar negeri oleh warganegara Indonesia.

13.

Pendirian bahwa penerimaan devisa Negara meliputi jumlah-jumlah yang memang secara konkrit diwajibkan oleh Pemerintah untuk diserahkan kepada Dana Devisa, berarti bahwa pemilikan devisa tidak lagi terbatas pada Negara saja. Di samping devisa yang merupakan Dana Devisa terdapat pula devisa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, baik warga-negara Indonesia maupun warganegara asing, yang tidak diharuskan untuk diserahkan langsung kepada Dana Devisa. Dalam pada itu perlu pula diadakan penertiban tentang cara penggunaan devisa yang termaksud dan penguasaannya oleh Negara letak pada cara pemakaiannya seperti telah dinyatakan di atas sub 7.

14.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perinsip- prinsip yang dianut dalam Undang-undang ini fundamental sangat berlainan dengan prinsip-prinsip yang diletakkan dalam Deviezen- ordonnatie dan Deviezen-verordening. Sebagai konsekwensi yang logis pada pertentangan ini maka banyak hal-hal yang dalam Deviezen-ordonnantie dan Deviezen-verordening merupakan larangan kini harus ditinggalkan. Dengan demikian, dalam sistim lalu-lintas devisa baru banyak perbuatan yang dengan sengaja tidak dilarang atau diharuskan memakai izin, misalnya: memiliki devisa, memiliki emas, mewakili warganegara Indonesia yang tidak menjadi "penduduk-devisa", mempunyai rekening bank di luar negeri, mengadakan perjanjian dengan "bukan penduduk-devisa", menerima undangan dari "bukan penduduk-devisa" untuk berkunjung ke luar negeri.

15.

Berhubung dengan uraian di atas berbagai perbuatan yang dahulu semuanya merupakan tindak pidana kini untuk sebagian dapat dikesampingkan, hal mana akan menciptakan suatu suasana yang sehat guna perkembangan ekonomi nasional kita. Sebagian lain dari perbuatan yang dahulu dipandang bersifat pidana kini dianggap sebagai pelanggaran administratip, terkecuali jika pelanggaran itu dengan nyata mengakibatkan kerugian terhadap Negara.

16.

Perlu ditegaskan, bahwa peraturan ini mewujudkan struktur dari pada lalu- lintas devisa antara Indonesia dengan luar negeri, yang merupakan suatu landasan untuk suatu politik devisa Pemerintah.

17.

Akhirnya perlu dijelaskan bahwa ketentuan dalam Undang- undang ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan termaktub dalam perjanjian karya antara perusahan-perusahaan minyak Negara dan perusahaan-perusahaan minyak asing, yang telah disahkan dengan Undang-undang. II.PASAL DEMI PASAL Pasal 1 sub 1 dan 2. Cukup jelas. Pasal 1 sub 3. Yang dimaksudkan dengan mata uang emas ialah mata uang emas yang menurut Undang-undang Keuangan yang berlaku di negara yang bersangkutan merupakan uang emas yang sah; Jika tidak, maka barang yang berupa mata uang emas masuk golongan barang pakai atau barang perhiasan. Pasal 1 sub 4. Dengan sengaja bermacam-macam uang asing yang tidak dipakai untuk pembayaran internasional tidak dipandang devisa seperti juga halnya dengan mata uang asing logam bukan emas. Pasal 1 sub 5 s/d 8. Cukup jelas. Pasal 1 sub 9. Arti ekspor dalam kalimat kesatu diperluas dalam kalimat kedua. Pemerintah akan mengadakan tindakan-tindakan agar pengluasan ini tidak menimbulkan ekses-ekses dalam pelaksanaannya. Pasal 2. Yang dapat dikuasai oleh Negara Republik Indonesia dengan sendirinya hanya devisa yang ada hubungannya dengan Negara atau rakyat kita. Jadi misalnya uang US. $ yang dipegang oleh orang Amerika di negaranya dari usahanya di sana, atau uang US. $ yang merupakan hasil ekspor dari Sudan, adalah di luar penguasaan negara kita. Inilah yang dimaksudkan dengan perumusan "yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia". Siapa yang mengusahakan, bangsa asing atau bangsa Indonesia, untuk ini tidak dibedakan. Ke dalam batas-batasnya mana yang dikuasai dirumuskan dengan lebih teliti dalam pasal-pasal selanjutnya. Harus diinsafi, bahwa "penguasaan" tidak perlu senantiasa bersifat "pemilikan". Bahkan dalam banyak hal penguasaan secara pengaturan pemakaiannya adalah lebih efisien dari pada pemilikan, dengan effek sosial yang sama. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Dianggap perlu, bahwa pemupukan devisa negara yang diperlukan guna pemeliharaan ekonomi masyarakat, peninggian tingkat hidup rakyat serta pembangunan Negara ditugaskan kepada instansi yang tinggi. Dalam hal ini tugas itu diberikan kepada Dewan yang terdiri dari Menteri-menteri, diketuai oleh Perdana Menteri/Wakil-wakil Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Kompartemen Keuangan sebagai Wakil- Ketua. Pada permulaan dalam masa transisi ini barangkali belum mungkin untuk menetapkan dan mentaati suatu Anggaran Devisa yang rigid, akan tetapi kita harus berusaha keras untuk mencapai taraf itu. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Jika terhadap suatu bank diperintahkan diadakannya penyelidikan oleh satu atau beberapa orang ahli atau badan, maka diindahkan ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Prp tahun 1960. Pasal 7 ayat (1) dan (2). Dengan pasal ini ditentukan secara konkrit harga yang dikehendaki oleh Negara dalam ekspor barang dari Indonesia. Dengan penetapan demikian eksportir dapat mengetahui dengan jelas berapa besarnya jumlah devisa yang ia harus serahkan kepada Dana Devisa, sebaliknya Pemerintah secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban eksportir. Dengan cara penetapan harga demikian eskpor akan diperlancar karena tidak tergantung lagi pada perumusan yang abstrak "de ter plaatse van levering geldende marktwaarde" seperti ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) dari Deviezen-verordening dahulu. Pasal 8. Cukup jelas. Pasal 9. Dokumen-dokumen yang dimaksudkan di sini adalah antara lain: Konosemen, wesel, paktur. Pasal 10. Lihat penjelasan Umum. Pasal 11. Cukup jelas. Pasal 12. Pelaksanaan impor atas beban Dana Devisa diatur menurut rencana impor yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi yang urgent dalam rangka penetapan Anggaran Devisa untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri dibidang ekonomi. Pasal 13. Cukup jelas. Pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Dalam Peraturan Pemerintah diatur cara-cara penguasaan yang lain dari pemasukan dalam Dana Devisa. Penguasaan ditujukan pada pemakaiannya dan meliputi juga overprice, discount, komisi dan sebagainya. Pasal 16. Kewajiban ini telah ada dalam Devizen-verordening 1940. Barangsiapa telah memenuhi kewajiban ini berdasarkan peraturan lama tidak perlu mengulanginya. Pasal 17. Izin ini dapat berupa peraturan umum yang memperkenankan impor dan ekspor Rupiah dalam batas-batas tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya untuk memungkinkan melakukan pembayaran-pembayaran pada waktu masuk diwilayah Indonesia. Izin ini dapat bersifat khusus atau insidentil. Pasal 18. Ini yang disebut suatu "Banket-norm". Sebelum dirumuskan persis apa perbuatannya yang terlarang atau diharuskan, telah dinyatakan dapat dipidana. Tidak dibedakan juga apakah peraturan-peraturan itu bersifat penting dan essensiil ataukah hanya bersifat detail dan administratip saja, misalnya berapa lembar dari suatu formulir harus dibuat dan sebagainya. Semua itu dapat dipindana. Dalam sistim baru dinyatakan dengan jelas tindak mana yang diancam dengan pidana dan dipandang "strafwaardig". Jika tidak dinyatakan bahwa suatu tindak bersifat pidana, maka tindak itu masuk lapangan hukum administratip cq perdata. Pasal 19. Sebagian besar dari hukum devisa merupakan hukum administratip yang dilaksanakan di luar pengadilan pidana dan perdata. Dalam keadaan demikian dirasakan perlu bahwa interpretasi tertinggi dalam soal-soal devisa berada di tangan Dewan yang mempunyai tanggung-jawab dalam bidang tersebut dan juga berada dalam posisi yang terbaik untuk mempertimbangkan seluruh aspek finansiil, moneter dan ekonomi dari perundang- undangan devisa. Ada kemungkinan bahwa suatu tindak pidana dalam lapangan devisa oleh fihak kejaksaan diberi arti yang berlebih-lebihan, jauh di luar proporsi kalau ditinjau dalam hubungan neraca pembayaran dan lalu-lintas pembayaran luar negeri seluruhnya. Dewan dan alat-alatnya berada dalam posisi untuk meninjau hubungan dan "scope" ini dengan lebih saksama. Juga ada kemungkinan bahwa dengan dihukumnya suatu perbuatan timbul akibat-akibat lain dalam masyarakat (perdagangan) yang lebih merugikan bagi devisa Negara, sehingga menuntut berarti lebih merugikan dari pada tidak menuntut. Oleh karena itu kepada Dewan diberi wewenang untuk dalam hal-hal yang demikian mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk tidak menuntut. Pasal 20. Sesuai dengan sistim yang dijelaskan di atas mengenai pasal 18 maka dalam pasal 20 s/d 24 ditetapkan dengan teliti tindak mana yang dipandang tindak pidana, yaitu tindak yang paling merugikan saja untuk Negara dan masyarakat. Yang terpenting ialah yang biasa disebut smokkel (penyelundupan) dalam ekspor. Yaitu mengangkut barang keluar Indonesia dari peredaran dengan tidak menghiraukan pasal-pasal 7, 8, dan 9 sehingga hasil devisanya sama sekali tidak dapat dikuasai oleh Negara. Kalau ini dilakukan dengan sengaja sedang kerugian yang dapat diderita oleh Negara besarnya melebihi suatu jumlah valuta asing yang merupakan nilai lawan 8886.71 gram emas murni, yaitu pada dewasa ini misalnya US$ 10.000, DM. 40.000 atau pada umumnya Nilai Transaksi Rupiah (devisa) 2.500.000,-, pidana penjara 10 tahun, atau denda Rp. 100.juta. Kalau jumlahnya sama dengan nilai lawan 88,8671 gram emas murni (devisa ini Nilai Trasaksi Rupiah 25.000,-) ke bawah, maka tindaknya dipandang administratip. Jika semua peraturan ekspor ditaati tetapi ekspornya sebagian atau seluruhnya tidak dilangsungkan atau suatu jangka waktu tidak ditepati, tindak ini hanya merupakan pelanggaran administratip oleh karena barang ekspornya tidak hilang dan masih tersedia untuk diekspor lagi. Pelanggaran dalam pemberian jasa ke luar negeri, hanya mungkin kalau Dewan telah menetapkan jasa-jasa mana yang taripnya harus dibayar dalam devisa dan sampai mana hasilnya harus diserahkan kepada Dana Devisa. Dalam hal ini dapat dicatat bahwa industri jasa-jasa kita belum begitu berkembang sehingga dapat menghasilkan jumlah- jumlah devisa yang besar. Pasal 21. Dalam hal impor, soalnya adalah berlainan. Kalau ekspor smokkel yang berhasil berarti kehilangan devisa untuk Negara, maka impor secara selundup tidak membebani Dana Devisa, sebab tanpa izin tidak mungkin (diam-diam) devisa dikeluarkan dari Dana Devisa. Maka dari itu pelanggaran pasal 12 hanya merupakan pelanggaran administratip. Jika peraturan-peraturan Bea dan Cukai yang diselundupi dalam peraturan-peraturan itu sendiri telah cukup peraturan- peraturan pidana yang menjaganya. Pasal 22. Cukup jelas. Pasal 23. Cukup jelas. Pasal 24. Cukup jelas. Pasal 25. Peraturan-peraturan ini mengenai soal pertanggungan-jawab jika suatu tindak dilakukan oleh suatu badan hukum. Pada umumnya peraturan-peraturan ini sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Undang-undang tindak pidana ekonomi (Undang- undang No. 7 Drt tahun 1955). Pasal 26. Cukup jelas. Pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28. Mengadakan perjanjian atau membuat kontrak yang tidak atau belum disetujui oleh Menteri Urusan Bank Sentral cq Biro cq. Bank Indonesia tidak dengan sendirinya merupakan tindak pidana. Akibatnya bahwa dalam perkara perdata perjanjian itu akan diabaikan oleh hakim dan juga bahwa Dana Devisa dan Negara tidak terikat oleh Perjanjian semacam itu. Pasal 29. Cukup jelas. Pasal 30. Cukup jelas. Pasal 31. Ayat 1 : Cukup jelas. Ayat 2 : Cukup jelas. Selainnya dari itu perlu dicatat bahwa perbuatan-perbuatan yang membutuhkan izin adalah jauh lebih sedikit dari pada menurut Deviezen- ordonantie. Ayat 3: Pembebasan umum dapat berbentuk peraturan khusus yang menyimpang dari Undang-undang ini. Misalnya untuk pengeluaran atau pemasukan barang pindahan, barang hadiah dan sebagainya. Sekalipun formilnya juga merupakan ekspor dan impor Dewan dapat mengeluarkan peraturan khusus yang merupakan pembebasan- pembebasan. Ayat 4. Dalam prakteknya delegasi ini akan dilakukan kepada Menteri Urusan Bank Sentral yang dapat mendelegasikan lagi kepada Bank Indonesia dan/atau Biro. Pasal 32 s/d 34. Cukup jelas. Mengetahui : Sekretaris Negara, MOHD. ICHSAN.

  • 1
  • ...
  • 54
  • 55
  • 56