Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
Fokus Para Deposan (“D1” dan “Dn”) memberi otorisasi kepada Tabung Haji dengan dokumen wakalah untuk menginvestasikan simpanannya. Tabung Haji memobilisasi tabungan dan menginvestasikannya dalam beberapa proyek industri seperti pertanian, komersial, dan real estate dan proyek lainnya sesuai dengan prinsip syariah. Tabung Haji juga memberikan pembiayaan untuk mendanai pengusaha muslim dan usaha kecil dengan beberapa akad seperti musyarakah , mudarabah , ijarah , murabahah , qardhul hasan , dan bai bithaman ajil . Manfaat yang diperoleh dari hasil investasi digunakan untuk membiayai calon jemaah haji mulai dari persiapan sampai dengan kembali lagi ke negaranya. Setelah dipotong pajak, biaya administrasi dan biaya penyelenggaraan haji, keuntungan yang diperoleh dari investasi ini akan dibagikan kepada para deposan dalam bentuk bonus tahunan. Dengan melihat pengalaman dari negara lain dalam pengelolaan dana haji, ke depan, dana haji Indonesia dapat dikelola dengan lebih baik dan memberikan manfaat yang lebih bagi kemaslahatan umat. Untuk itu, peran serta seluruh pihak yang terlibat dalam ekosistem penyelenggaraan ibadah haji sangat diperlukaan. Empat aspek utama yang harus diperhatikan terkait dengan ekosistem penyelenggaraan haji meliputi kebijakan ( policy ), keuangan ( finance ), industri halal ( halal industry ) dan sumber daya manusia ( human resources ). Empat aspek ini harus dikoordinasikan antar kementerian dan lembaga serta pihak terkait lainnya, agar dapat memberikan dampak positif bagi pemberdayaan ekonomi.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Laporan Utama MENYELAMATKAN MANUSIA DARI PANDEMI Masa pandemi COVID-19 belum jua terlewati. Dampaknya begitu besar, baik di sisi kesehatan maupun sosial ekonomi. Agar tak terimbas kian dalam, diterbitkan serangkaian kebijakan extraordinary. Anggaran negara diprioritaskan pada tiga hal: kesehatan masyarakat, jaring pengaman sosial, dan perlindungan dunia usaha. Sebab, fokus utama pemerintah adalah menyelamatkan berbagai sisi dari manusia. Teks Reni Saptati D.I MEDIAKEUANGAN 12 K ebijakan perpajakan diarahkan untuk mendukung penanggulangan COVID-19. Demikian dituturkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama. Secara responsif, Kementerian Keuangan memberikan sejumlah insentif perpajakan, bahkan ketika pandemi baru merebak. “Pertama, insentif kepada pelayanan kesehatan. Yang kedua, terkait jaring pengaman sosial, kita mendukung upaya peningkatan daya beli masyarakat. Ketiga, dukungan kepada kegiatan usaha supaya mereka bisa menjaga UMKM untuk masa pajak April hingga September 2020. “Kenapa tidak dinolkan? Karena kita menjaga kepatuhan. Skemanya ditanggung pemerintah, tetapi mereka ada kewajiban tetap mencatat,” tegas Hestu. Sosialiasi kebijakan ini dilakukan antara lain melalui email blast kepada sekitar 2,1 juta pelaku UMKM. Dalam konteks mendukung dunia usaha, Hestu menyatakan pemerintah telah menurunkan PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2020. “Kita langsung bergerak supaya dampak penurunan tarif langsung efektif di tahun ini,” ungkapnya. Oleh sebab itu, sejak April hingga Desember, tarif PPh Badan yang diterapkan sudah di besaran 22 persen. Tak hanya itu, PMK 44/2020 juga hadir memberi insentif bagi hampir seluruh sektor usaha. Aturan tersebut menyebutkan kebijakan PPh 21 ditanggung pemerintah untuk 1.062 bidang industri, pembebasan PPh 22 impor untuk 431 bidang industri, pengurangan angsuran PPh 25 sebesar 30 persen untuk 846 bidang industri, dan restitusi PPN dipercepat untuk 431 bidang industri. Seluruhnya berlaku sejak April hingga September 2020. “Mengapa enam bulan? Insentif fiskal tidak berjalan sendiri. Kita sinkronkan dengan skema besar penanganan COVID-19 yang diterapkan sekitar enam bulan dulu.” Dukung produksi hand sanitizer Kelangkaan hand sanitizer dan disinfektan sudah terjadi sejak bulan Maret, bahkan sebelumnya. Padahal keduanya dibutuhkan dalam jumlah sangat banyak dan cepat. ”Kementerian Keuangan dalam hal ini DJBC segera merespons dengan memperluas subjek yang mendapat fasilitas pembebasan etil alkohol,” ungkap Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan keberlangsungan hidupnya dalam kondisi sulit ini,” terang pria yang meraih gelar Master of Bussiness Taxation dari University of Southern California tersebut. Namun demikian, Hestu menekankan pentingnya menjaga kepatuhan wajib pajak selama periode pemberian insentif. “Jangan kemudian muncul euforia lupakan dulu pajak lantaran kegiatan usaha melemah. Kita harus tetap menjaga tingkat kepatuhan masyarakat dan pengusaha wajib pajak.” Beragam insentif pajak Sejak awal April beragam insentif dilahirkan, sebagian termuat dalam PMK 28/2020. “PMK 28 merupakan insentif perpajakan untuk sektor kesehatan,” ungkap Hestu. Dari segi subjek, ada tiga pihak yang diberi insentif, yaitu instansi pemerintah, rumah sakit rujukan, dan pihak lain yang ditunjuk oleh instansi pemerintah atau rumah sakit tadi untuk mendukung penanganan COVID-19. Dari segi objek, barang yang dimaksud ialah obat, vaksin, peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, APD, perawatan untuk pasien, dan pendukung lainnya. “Ada juga jasa untuk penanganan COVID-19, misalnya jasa sewa tempat bagi pasien isolasi,” tambah Hestu. Atas barang dan jasa tersebut, diberikan pembebasan PPh 22 impor dan PPN-nya, pembebasan PPh 22, pembebasan PPh 21, serta pembebasan PPh 23. “Kita juga ada PMK yang bersama Ditjen Bea Cukai, yaitu PMK 34/2020. Pajak dalam rangka impor tidak dipungut dulu karena dibutuhkan kecepatan atas pengadaan barang- barang yang dalam kondisi normal juga diperlukan tapi tidak sebanyak sekarang,” ujar Hestu. Dunia UMKM tak luput dari perhatian. Pemerintah menanggung PPh final 0,5 persen bagi pelaku Kementerian Keuangan memberikan sejumlah insentif perpajakan, bahkan ketika pandemi baru merebak salah satunya fasilitas pembebasan etil alkohol untuk pembuatan hand sanitizer Foto Ilustrasi KemenkeuRI Teks Reni Saptati D.I 13 MEDIAKEUANGAN 12 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020
Opini Pembasmi Pandemi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Riza Almanfaluthi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda INSENTIF PAJAK B ermula dari Wuhan pada akhir Desember 2019, Corona Virus Disease (COVID-19) menyebar ke seluruh penjuru mata angin dan belum usai sampai ditulisnya artikel ini pada awal Mei 2020. Lebih dari 3,7 juta orang di seluruh dunia terinfeksi dan tak kurang dari 258 ribu orang di antaranya meninggal dunia. Tentu saja wabah global ini memukul pertumbuhan ekonomi dunia. IMF memprediksikan pertumbuhan ekonomi menjadi negatif. The Economist Intelligence Unit memperkirakan skenario terburuk sampai pada -2,2persen. Indonesia pun tidak luput dari bencana global ini, yang apabila dampaknya tidak ditangani dengan serius akan mengakibatkan kerusakan sangat parah di setiap lini kehidupan, terutama untuk masyarakat miskin dan rentan miskin yang kehilangan penghasilannya. Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta (Senin, 20/04/2020) sampai mengutarakan kemendesakan situasi dan tindakan yang harus dilakukan oleh Kementerian terkait seperti Kementerian Sosial dan Kementerian Keuangan. Intinya, Presiden meminta agar bantuan sosial harus segera turun pada pekan ketiga April 2020 tersebut. Keterlibatan Kementerian Keuangan dalam bantuan sosial itu tak lepas dari perannya sebagai bendahara negara yang mengalokasikasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk mencegah krisis ekonomi dan keuangan. Angka tersebut antara lain digunakan untuk intervensi penanggulangan melalui insentif tenaga medis dan belanja penanganan kesehatan sebesar Rp75 triliun, program jaring pengaman sosial masyarakat sebesar Rp110 triliun, sektor industri melalui insentif perpajakan dan stimulus Kredit usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp70,1 triliun, dan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun. Cahaya di ujung terowongan Yang menarik dari senarai di atas adalah dinamika insentif pajak yang secara beruntun diterbitkan oleh Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/ PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona dan PMK Nomor 28/ PMK.03/2020 tentang Pemberian Fasilitas terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019. Bahkan kebijakan terkini adalah PMK Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang memberikan perluasan insentif pajak dan mencabut PMK Nomor 23/PMK.03/2020 karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan. Ketiga PMK ini sejatinya merupakan bentuk respons cepat Kementerian Keuangan atas telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019 (COVID-19) __ dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. PMK 44/2020 menyebutkan ada lima fasilitas pajak yang disediakan pemerintah selama 6 bulan berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja berpenghasilan bruto tidak lebih dari Rp200 juta, PPh Final UMKM DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30persen, dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipercepat. PMK 44/2020 ini memperbanyak sektor usaha yang mendapatkan insentif. Contohnya insentif PPh Pasal 21 DTP yang pemberiannya diperluas kepada 1062 sektor usaha. Masyarakat mengakses situs web pajak.go.id untuk mendapatkan insentif itu secara daring. Kelima insentif pajak ini bisa diibaratkan seperti cahaya di ujung terowongan. Kita ingin daya beli masyarakat dapat dipertahankan melalui tambahan penghasilan bagi para pekerja dan UMKM, laju impor ajeg buat industri karena adanya stimulus, stabilitas ekonomi dalam negeri dapat terjaga, ekspor dapat meningkat, dan manajemen kas lebih optimal. Memperkuat garis depan Dibandingkan PMK 44/2020 yang insentif pajaknya lebih menitikberatkan pada pemulihan sektor terdampak, maka insentif pajak dalam PMK 28/2020 lebih difokuskan untuk memperkuat garis depan di medan juang pembasmian COVID-19. Hakikinya agar barang dan jasa yang dibutuhkan dalam penanganan wabah mudah diperoleh dan tersedia dengan cepat. Kita sadari bahwa pemenuhannya berkejaran dengan waktu. Tidak boleh main-main dan lambat karena ini menyangkut nyawa 270 juta rakyat Indonesia. Barang- barang itu seperti obat-obatan, vaksin, peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, peralatan pelindung diri, peralatan untuk perawatan pasien. Sedangkan jasa seperti jasa konstruksi, konsultasi, teknik, manajemen, persewaan, dan jasa pendukung lainnya. Insentif pajak dalam PMK 28/2020 ini juga lebih variatif, yaitu PPN Tidak Dipungut atas impor barang, PPN DTP atas jasa dari luar daerah pabean, PPN DTP atas penyerahan barang di dalam daerah pabean, dan pembebasan PPN atas impor barang yang digunakan untuk pemanfaatan jasa. Yang lainnya adalah insentif pajak berupa pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 22 Impor serta pembebasan pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Insentif ini diberikan selama 6 (enam) masa pajak mulai April sampai dengan September 2020. Tidak perlu lama karena kita semua juga ingin wabah ini segera berakhir agar kita bisa membangun dan menata kembali negeri ini.
17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Pandemi global Covid-19 yang juga melanda Indonesia tidak saja menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga membawa implikasi bagi perekonomian nasional. Langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat dan upaya penyebaran pandemi, sekaligus penyelematan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan telah dilakukan Pemerintah. Seberapa besar dampak pandemi COVID -19 terhadap ekonomi dan apa yang telah dilakukan pemerintah? KESEHATAN MASYARAKAT SEBAGAI P i l a r E k o n o m i N a s i o n a l India 1,9% tiongkok 1,2% 1,2% indonesia 0,5% 2,5% korea selatan -1,2% 0,8% singapura -3,5% 10,9% Malaysia 10% australia 10,9% amerika serikat -6,1% 10,5% brazil -5,3% kanada 6,0% inggris -6,5% jerman -7% spanyol -8% 0,7% arab saudi 2,7% italia 1,4% perancis 2% Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Akibat COVID -19 (Beberapa Negara) Dukungan Fiskal Negara-Negara di Dunia untuk Penanganan Covid-19 (Beberapa Negara) keterangan Kebijakan Stimulus RI dalam menangani dampak pandemi Covid-19 Stimulus 1: Belanja untuk memperkuat perekonomian domestik melalui program: Percepatan pencairan belanja modal Percepatan pencairan belanja Bantuan Sosial Transfer ke daerah dan dana desa Perluasan kartu sembako Insentif sektor pariwisata Stimulus 2: Menjaga Daya Beli Masyarakat dan Kemudahan ekspor impor PPh pasal 21 pekerja sektor industri pengolahan yang penghasilan maks Rp200 juta ditanggung pemerintah 100% PPh pasal 22 impor 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30% kepada 19 sektor tertentu Restitusi PPN dipercepat bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Non fiskal: berbagai fasilitas keluar masuk barang supaya lebih mudah Stimulus lanjutan: Sektor Kesehatan: intervensi untuk penanganan COVID-19 dan subsidi iuran BPJS Tambahan Jaring Pengaman Sosial: penambahan penyaluran PKH, Bansos, Kartu Pra Kerja, subsisid tarif listrik, program jaring pengaman sosial lainnya Dukungan industri berupa perluasan insentif pajak untuk PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, bea masuk DTP, stimulus KUR Dukungan untuk dunia usaha berupa pembiayaan untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional termasuk untuk Ultra Mikro 4 pokok kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam rangka pencegahan/penanganan pencegahan/penanganan Covid-19: Penyesuaian Alokasi TKDD Refocusing TKDD agar digunakan untuk penanganan COVID-19 Relaksasi penyaluran TKDD Refocusing belanja APBD agar fokus pada penanganan COVID-19 Infografik MEDIAKEUANGAN 16 17 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Kolom Ekonom Ilustrasi Dimach Putra I ndonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang perekonomiannya masih bisa tumbuh relatif tinggi di tahun 2019. Perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen pada kuartal ketiga 2019, tatkala negara-negara lain di dunia mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok yang pada tahun lalu masih tumbuh 6,6 persen, pada 2019 ini mengalami penurunan. Pada kuartal ketiga 2019, Tiongkok hanya tumbuh 6,0 persen. Pelambatan juga terjadi di India, salah satu negara sumber pertumbuhan baru. Tahun lalu, India mampu tumbuh 6,8 persen. Tahun ini terus melorot bahkan di kuartal ketiga 2019 hanya mampu tumbuh 4,5 persen. Beberapa negara di dunia bahkan telah mengalami resesi atau tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut. Tahun 2019 memang bukan tahun yang mudah bagi perekonomian dunia. Hidayat Amir Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Tumbuh dalam Tekanan Berbagai tekanan dan gejolak yang terjadi membuat ekonomi dunia mengalami perlambatan yang cukup dalam, bahkan menjadi yang terburuk sejak krisis keuangan global pada 2009. Menurut proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,6 persen di 2018 menjadi 3,0 persen untuk tahun ini. Pertumbuhan volume perdagangan bahkan diperkirakan hanya tumbuh 1,1 persen di 2019, atau turun signifikan jika dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 3,6 persen. nyata apa yang sesungguhnya hanyalah metode. Refleksi Husserl itu dapat dijadikan ilham untuk melihat rasio pajak lebih dalam. Di balik rasio pajak, terdapat berbagai soal yang tak serta-merta kelihatan dalam angka. Itulah mengapa rasio pajak bukanlah satu-satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, meski secara indikatif berguna untuk mengenali gejala inefektivitas pemungutan pajak sejak dini. Ada empat faktor yang dapat menjelaskan sebab PDB Indonesia tidak berkorelasi positif dengan kinerja perpajakan, khususnya rasio pajak. Pertama, tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Program amnesti pajak sebagai bagian dari reformasi perpajakan nampaknya baru membantu menambah basis pajak baru dan belum meningkatkan rasio pajak. Meski tingkat kepatuhan pajak terus meningkat dari tahun 2015 sebesar 60 persen menjadi 71,1 persen di tahun 2018, namun angka tersebut masih tergolong rendah. Selain itu, tingkat kepatuhan tersebut pun masih terbatas pada kepatuhan yang sifatnya formal yakni menyampaikan SPT dan belum mempertimbangkan kepatuhan material yang melibatkan kebenaran isi SPT. Kedua, tingginya hard-to-tax sector , khususnya usaha rintisan atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor pertanian/perkebunan/perikanan yang berkontribusi cukup besar terhadap PDB. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, komposisi UMKM mencapai 59,2 juta unit dari total 60,01 juta unit usaha di Indonesia. Di satu sisi, UMKM menjadi penyumbang PDB terbesar namun di sisi lain kepatuhan dan literasi yang masih sangat rendah menjadi tantangan bagi pemerintah dalam memungut pajak. Dalam konteks itu, kebijakan penurunan tarif pajak UMKM sudah tepat dan layak diapresiasi, demi memperluas basis pajak dari sektor ini. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yang mewajibkan para pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha, harus dapat dimanfaatkan untuk mulai membangun basis data yang akurat dari sektor ini. Ketiga, pesatnya perkembangan ekonomi digital tidak diiringi dengan modernisasi perangkat teknologi informasi perpajakan, SDM yang mumpuni, serta regulasi. Akibatnya, potensi pajak sektor ini menjadi sulit ditangkap. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia. Pada 2016, tercatat nilai transaksi dari sektor ekonomi digital sebesar USD5,6 miliar. Dalam konteks ini, kebijakan pajak e-commerce sudah tepat demi menjamin keadilan dalam pengenaan pajak. Namun demikian, disharmoni antar-regulasi seperti penurunan tarif pajak UMKM di satu pihak dan kewajiban pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha di lain pihak selalu perlu diantisipasi. Keempat, maraknya praktik penghindaran pajak. Data-data dari tax amnesty, Swiss Leaks, Panama Papers, Paradise Papers , dan sebagainya mencerminkan banyaknya warga negara Indonesia yang berupaya menghindari pajak. Program tax amnesty pun menjadi solusi tepat di tengah kondisi tersebut. Tidak hanya meningkatkan kepatuhan, program ini juga menjadi momentum yang baik untuk mulai membangun tax culture yang sehat. Selanjutnya tax amnesty harus diikuti dengan langkah penegakan hukum yang tegas. Kendati rasio pajak bukan satu- satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, mendongkrak rasio pajak tetaplah salah satu tugas penting negara. Tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan merata hanya dapat dicapai dengan level penerimaan pajak yang optimal yang dapat mengakselerasi pembangunan. Searah dengan itu, upaya-upaya pemerintah dari sisi regulasi untuk mendongkrak rasio pajak perlu terus didukung: reinventing policy , kenaikan PTKP, tax amnesty , konfirmasi status WP, UU AEOI, Pembaruan Sistem Informasi, pemeriksaan pajak, percepatan restitusi, penurunan tarif WP UMKM, dan CRS AEOI. Semua itu tak lain adalah upaya meningkatkan rasio pajak dan basis pajak, juga secara serentak mendorong kepatuhan. Ibarat cermin, rasio pajak dapat dijadikan salah satu sarana untuk berkaca, tanpa kita harus menganggap bayangan cermin itu sebagai kenyataan sesungguhnya. Perbaikan selayaknya diarahkan pada kenyataan, bukan bayangannya. Kita sudah berada di jalur yang tepat, jangan sampai kereta perubahan ini berjalan terlampau lambat!
DPR). Dari berbagai instrumen itu, nanti akan kita dorong, termasuk reformasi kelembagaannya, sehingga bisa fokus dan sangat valid ,” katanya menjelaskan. Terdapat beberapa target indikator yang ingin diraih Indonesia melalui penyusunan dan implementasi RIRN 2017- 2045. Pertama, dari sisi rasio anggaran riset. Kontribusi swasta terhadap belanja riset diharapkan bisa mendekati 75 persen, sedangkan kontribusi pemerintah baik pusat dan daerah diharapkan berada di kisaran 25 persen. Saat ini diketahui, sebanyak 86 persen belanja riset masih didominasi oleh pemerintah. Sementara sisanya sebesar 14 persen berasal dari swasta dan universitas. Tidak hanya itu, RIRN juga menargetkan total belanja riset Indonesia bisa mencapai 1,68 persen dari PDB pada 2025 mendatang, naik dibandingkan belanja saat ini yang hanya sebesar 0,25 persen dari PDB. Kedua, dari sisi SDM. RIRN mematok target rasio kandidat SDM IPTEK terhadap jumlah penduduk Indonesia. Pada 2025 diharapkan terdapat 3.200 orang per 1 juta penduduk, serta 8.600 orang per 1 juta penduduk pada 2045. RIRN menyebutkan, kecukupan jumlah SDM ini perlu dipenuhi agar kontribusi riset bisa berperan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebab, mereka berpotensi menjadi pelaku ekonomi yang berbasis IPTEK di masa depan. Ketiga, terkait produktivitas periset. Pada 2025 pemerintah menargetkan dari setiap 100 periset, terdapat sedikitnya 8 publikasi internasional bereputasi, serta 22 publikasi internasional bereputasi per 100 periset pada 2045. Untuk mencapai itu semua, pemerintah perlu membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset. Selain terkait kelembagaan riset, pemerintah menjalankan sejumlah strategi guna menumbuhsuburkan kegiatan riset. Mulai dari peningkatan kerjasama riset dengan industri, pemberlakuan pengurangan pajak hingga tiga kali lipat bagi perusahaan yang bersedia mengalokasikan anggarannya untuk kegiatan riset ( triple tax deduction ), serta pemberian insentif bagi industri yang melakukan hilirisasi produk-produk hasil riset. Selain itu, guna memunculkan tunas periset baru, pemerintah mendorong peneliti muda di bangku sekolah untuk terlibat dalam banyak kegiatan penelitian. Dimyati juga menuturkan, pemerintah tengah menyiapkan program sertifikasi bagi masyarakat peneliti, yang bukan dari lembaga penelitian, untuk dapat disetarakan. Dana abadi untuk kegiatan riset Sejumlah strategi yang hendak dilakukan guna membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset tidak lepas dari kebutuhan anggaran. Sebagaimana diketahui, saat ini, anggaran riset Indonesia ( Gross of Expenditure on Research and Development , GERD) baru mencapai 0,25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah terus mengupayakan yang terbaik guna meningkatkan anggaran riset menuju jumlah idealnya. Salah satunya melalui dana abadi riset. “Ide dana abadi riset bahwa di dalam anggaran pendidikan kita sebesar 20 persen dari APBN, perlu adanya pemihakan kepada penelitian. Jadi mulai tahun 2019 dialokasikan (dana abadi riset) sekitar Rp1 triliun,” ungkap Menkeu. Dana abadi riset ini menjadi salah satu terobosan pemerintah guna mengatasi keterbatasan anggaran riset. Di luar dana abadi riset, pemerintah pada 2019 telah mengalokasikan anggaran penelitian sebesar Rp35,7 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, sebesar Rp33,8 triliun pada 2018 dan sebesar Rp24,9 triliun pada 2016. Selanjutnya pada 2020, pemerintah kembali mengaloaksikan dana abadi riset. Kali ini, besarannya hingga lima kali lipat dana abadi riset tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp5 triliun. Dengan demikian, total dana abadi riset Indonesia saat ini nyaris mencapai Rp6 triliun. Menristek Bambang Brodjonegoro menyampaikan, nantinya penggunaan dana abadi tersebut ditujukan terutama untuk kegiatan riset dan inovasi yang mendukung tiga hal. Pertama, peningkatan pada nilai tambah sumber daya alam. Kedua, peningkatan substitusi impor dengan produk sama, tapi bernilai tambah atau berharga lebih murah dan mudah didapat. Ketiga, berguna bagi kebutuhan masyarakat, khususnya UMKM dengan teknologi yang tepat guna. Sementara itu, dia menyebutkan, dana abadi riset ditujukan kepada peneliti, perekayasa, atau inovator yang diharapkan menghasilkan produk yang memberikan nilai dan dampak yang besar untuk pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi. “Serta penggunaannya akan melewati sistem seleksi yang sangat ketat sehingga benar-benar menghasilkan program yang tepat dan baik,” katanya. Kuatkan koordinasi lembaga riset Sebagaimana diketahui, pengelolaan anggaran riset (selain dana abadi riset) selama ini tersebar di 52 kementerian dan Lembaga (K/L). Dari total 52 K/L tersebut, sebanyak tujuh lembaga dedikatif untuk riset (BPPT, LIPI, Bapeten, LAPAN), sedangkan 45 lainnya merupakan kementerian yang memiliki kegiatan penelitian dan pengembangan. Itu sebabnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati begitu menyoroti pentingnya pemanfaatan anggaran riset secara optimal. Jika (dana riset) dikelola oleh K/L yang mindset -nya hanya birokratis dan bukan dalam rangka menyelesaikan masalah atau meng- adress suatu isu, maka anggaran (riset) yang besar tidak mencerminkan kemampuan dan kualitas untuk bisa menghasilkan riset,” sebutnya. Sehubungan dengan itu Dimyati menyebutkan, dari sekian banyak institusi yang melakukan riset, tidak jarang riset yang dihasilkan saling bertumpang tindih. “(Bahkan), kadang-kadang riset itu betul-betul copy paste dengan riset yang diadakan di litbang K/L. Jadi tidak satu framework ,” ungkapnya. Itu sebabnya, pemerintah membangun Badan RIset dan Inovasi Nasional (BRIN). Badan ini merupakan amanah Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2019. Fungsi utama BRIN ialah untuk mengintegrasikan segala kegiatan riset, mulai dari perencanaan, program, anggaran, serta sumber daya secara terpadu. Dengan demikian, segala kegiatan riset baik yang ada di perguruan tinggi, lembaga pnelitian dan pengembangan baik pusat maupun daerah, serta di sejumlah kementerian, tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan. “Hal terpenting adalah menghindarkan dari berbagai tumpang tindih pelaksanaan kegiatan riset, serta menghindarkan inefisiensi penggunaan sumber daya, khususnya anggaran yang relatif masih kecil, namun difokuskan pada kegiatan riset yang dapat memberikan nilai dan dampak yang luas bagi masyarakat bangsa dan negara, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan dating,” jelas Menristek. Nantinya segala program dan anggaran riset sepenuhnya berada di bawah pengawasan BRIN. “Meski demikian, lembaga- lembaga (riset) yang saat ini ada, diharapkan masih tetap eksis. Namun dengan penyesuaian organisasi yang sejalan dengan tugas-tugas yang akan diberikan setelah dikoordinasikan oleh BRIN”, harapnya. 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 KemenristekDIKTI: Rp2,84 triliun KKP: Rp2,37 triliun Kementan: Rp2,13 triliun Kementerian ESDM : Rp1,63 triliun Kemendikbud Rp1,49 triliun Kemenhan Rp1,43 triliun Kemenkes Rp1,27 triliun LIPI Rp1,18 triliun Kemenhub Rp1,05 triliun BPPT Rp0,98 triliun Batan Rp0,81 triliun Kemenag Rp0,79 triliun Lapan Rp0,78 triliun Kemensos Rp0,63 triliun Kemenperin Rp0,59 triliun Kemen PU & Pera Rp0,57 triliun Kemenlu Rp0,48 triliun Kemen LHK Rp0,33 triliun Lemhannas Rp0,31 triliun Kemenkeu Rp0,29 triliun 2016 2017 2018 2019 47 MEDIAKEUANGAN 46 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
sebagai daerah kontributor tertinggi untuk realisasi investasi. Pemda Jabar juga berhasil mencatat persentase tertinggi realisasi investasi penanaman modal asing (PMA), sebesar 19,1 persen. Bumi Pasundan juga berkontribusi besar untuk menambah PDB nasional sebesar 24,4 persen di sektor industri manufaktur. Di bidang ekspor, Jabar juga memimpin sebagai daerah dengan kinerja ekspor nasional. Produk komoditas yang diunggulkan Jabar antara lain dari industri mesin, mekanik, dan elektronik, serta industri tekstil. ”Di Jawa Barat kami juga memiliki industri di bidang kendaraan, pesawat terbang dan perlengkapannya yang menyumbang 16,25 persen dari komposisi komoditas ekspor Jawa Barat,” beber Moh. Arifin Soedjayana, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, merinci. Sebagai industri khas yang hanya ada di Jawa Barat, bahkan satu-satunya di Asia Tenggara, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) memiliki peran dalam menambah angka kinerja ekspor Jabar. Sepanjang 2019 lalu, PTDI berhasil merampungkan pesanan 1 unit pesawat CN235 untuk Angkatan Darat Nepal dan 2 unit pesawat NC212i untuk MOAC Thailand. Meski secara kuantitas produk yang dihasilkan tergolong kecil, namun nominal yang dihasilkan cukup menjanjikan. Sebagai contoh, nilai kontrak dari tiga pesawat tersebut kurang lebih mencapai US$ 55 juta. Untuk memenuhi permintaan tersebut PTDI menjalin kerja sama dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor (LPEI), special mission vehicle di bawah Kemenkeu, melalui national interest account (NIA). Bantuan yang didapat berupa pembiayaan melalui skema buyer’s credit dan working capital untuk negara-negara yang dibidik oleh Perusahaan dalam kaitannya untuk peningkatan ekspor. Industri penerbangan memiliki tantangan unik yang menuntut pemain dalam industri ini terus berbenah. Dari sisi eksternal upaya peningkatan ekspor, perusahaan plat merah ini terus menyesuaikan adanya perkembangan teknologi dan pasar. Untuk itu solusinya adalah membina kerjasama strategis dengan industri penerbangan terkemuka terkemuka di dunia. Tujuannya agar dapat meningkatkan kemampuan teknologi melalui peran sebagai global supply chain. ”Sehingga technology readiness level (TRL) dan manufacturing readiness level (MRL) PTDI dapat mencapai level yang diakui di seluruh dunia” ungkap Elfien Guntoro, Direktur Utama PTDI. Nasionalisme Sebiji Cokelat Ekspor Satu lagi kisah sukses upaya peningkatan ekspor secara holistik yang melibatkan kerjasama banyak pihak datang dari Bali. Desa Nusasari di Kabupaten Jembrana baru saja ditetapkan sebagai Desa Kakao Devisa, sebuah pilot project yang diinisiasi oleh LPEI. Perjalanan panjang desa ini hingga sukses menjadi percontohan pengolahan kakao dimulai tahun 2010. Keberhasilan desa ini tak lepas dari hadirnya pendampingan dari Yayasan Kalimajari. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut berfokus pada pemberdayaan masyarakat melalui dua komoditas spesifik yaitu kakao dan rumput laut. Tujuan mereka adalah meningkatkan potensi produk kakao di Desa Nusasari. ”Saat itu Pemda Jembrana mengizinkan kami dengan cara menghidupkan kembali Koperasi Kerta Samaya Samaniya (KSS), yang saat itu sudah terbengkalai,” ungkap IGA Agung Widiastuti, Direktur Yayasan Kalimajari. Pendekatan mereka awalnya sempat ditolak komunitas petani lokal yang sudah tidak percaya dengan Koperasi KSS yang mereka aktifkan kembali. Tapi widi dan timnya tak menyerah dalam memperkenalkan perubahan yang akan mereka buat. Beberapa poin penting yang mereka perkenalkan kepada petani lokal adalah mengubah komoditas kakao menjadi organik, berkesinambungan dan menambah value produk yang dijual menjadi fermented beans. Dengan langkah tersebut, akan meningkatkan harga jual produk. Keunggulan lain dari biji kakao fermentasi adalah pencantuman asal (origin) dari produk tersebut ketika dijual dan diolah di seluruh dunia. Perkenalan KSS dan Kalimajari dengan LPEI dimulai di 2012. Bantuan yang diberikan LPEI adalah penyediaan pelatihan dan penyediaan sarana-prasarana koperasi, yang berfokus untuk peningkatan kapasitas koperasi dan para anggotanya. Tonggak sejarah produk biji kakao hasil dari petani di Nusasari dikenal internasional terjadi pada 2014. Saat itu KSS bersiap melakukan rencana ekspor pertama mereka di tahun berikutnya. Sebagai tindak lanjut serius, KSS meminta bantuan berupa training penguatan ekspor dari LPEI. Pendampingan Yayasan Kalimajari kepada para petani yang tergabung di Koperasi KSS memang menitikberatkan pada kesinambungan. Oleh karena itu, proposal bantuan yang mereka ajukan ke LPEI lebih banyak berbentuk permohonan penyediaan pelatihan. Bagi anggota, ilmu yang diperoleh dari pelatihan akan dijadikan bekal untuk pengembangan kualitas produk biji kakao fermentasi Jembrana. Sementara itu, untuk pengelola koperasi dan yayasan pelatihan tersebut berperan dalam peningkatan kompetensi pendampingan tak hanya ke anggota, tapi juga ke pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan. Upaya bersama ini terus dilakukan untuk menjamin kelestarian biji kakao fermentasi agar tetap menjadi komoditas utama di Jembrana. ”Dan tentunya, memastikan merah putih tetap dikenal, meski dari sebiji coklat dari Jembrana.” pungkasnya. 19 MediaKeuangan 18 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Gerak Bersama Lambungkan Indonesia Teks Dimach Putra Laporan Utama Foto Anas Nur Huda Di tahun 2019 PTDI diantaranya berhasil merampungkan pesanan satu unit pesawat CN235 untuk Nepal. MediaKeuangan 18 A kselerasi investasi dan peningkatan ekspor telah lama menjadi prioritas nasional dalam menyeimbangkan neraca transaksi berjalan. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah pusat untuk mendukung upaya tersebut akan banyak bersentuhan dengan wewenang pemerintah daerah (Pemda). Perlu usaha serius dari Pemda untuk terus berlomba-lomba menambah daya tarik agar daerahnya dilirik para investor untuk membuka usaha di sana. Selain itu, kesiapan pelaku usaha harus terus didorong agar produknya memiliki daya saing sebagai komoditas ekspor. Belajar dari Jabar Di tingkat nasional, Jawa Barat (Jabar) berhasil menorehkan persentase tertinggi terkait investasi. Provinsi yang dipimpin Ridwan Kamil ini mencatat
berupa peningkatan aktivitas perekonomian dapat dirasakan dalam jangka waktu menengah dan panjang. Dalam kesempatan berbeda, Direktur Riset CORE, Piter Abdullah Redjalam menilai wajar langkah pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi sebagai penyumbang terbesar kedua dan ketiga PDB nasional. Apalagi pada saat yang bersamaan, dalam dua tahun terakhir kinerja ekspor dan investasi tak begitu menggembirakan. Namun demikian, Piter menekankan perlunya menempatkan insentif fiskal dalam konteks strategi besar untuk memperbaiki struktur ekonomi agar tidak lagi bergantung pada komoditas. “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya,” ujarnya. Paradigma baru Insentif fiskal yang diberikan pemerintah beragam jenisnya. Secara garis besar, terang Rofyanto, insentif tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, fasilitas yang bersifat sektoral, antara lain tax holiday, tax allowance, investment allowance, fasilitas PPN tidak dipungut, dan pembebasan bea masuk. Fasilitas ini ditargetkan untuk sektor- sektor tertentu, misalnya tax bersama seirama. Berbenah butuh keuletan dan kesabaran. Apalagi jika banyak persoalan menumpuk sekian lama, mulai dari sisi perizinan, prosedur, hingga implementasi di lapangan. Beragam regulasi yang menghambat harus segera dirapikan. Untuk memancing masuknya investasi baru dan mendorong aktivitas dunia usaha, pemerintah memasang strategi pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal memang akan berpengaruh negatif bagi penerimaan perpajakan karena memunculkan belanja perpajakan ( tax loss ). Akan tetapi, pemberian insentif diharapkan dapat melambungkan penerimaan perpajakan karena basis perpajakan yang semakin besar akibat peningkatan aktivitas perekonomian. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Rofyanto menuturkan, sejak tahun 2018 Kementerian Keuangan telah melaporkan besarnya belanja perpajakan sebagai bentuk transparansi fiskal. Pada tahun itu, diestimasi besar belanja perpajakan mencapai Rp221,1 triliun atau sekitar 1,49 persen Produk Domestik Bruto (PDB). “Perlu disadari bahwa dampak langsung dan dampak tidak langsung dari insentif perpajakan memiliki perbedaan waktu atau time lag ,” jelas Rofyanto. Dampak langsung dapat dirasakan pada sistem perpajakan berupa penurunan pajak yang dikumpulkan, holiday untuk penanaman modal industri pionir. Kedua, fasilitas yang bersifat spatial (kawasan), misalnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan tempat penimbunan berikat. Di dalam kawasan tersebut, sarana dan prasarana untuk pengembangan industri diintegrasikan, termasuk pemberian fasilitas perpajakan. Pemberian fasilitas spasial ini diharapkan mampu menciptakan kantong-kantong ekonomi baru. “Dalam tahun 2019, pemerintah juga memperkenalkan jenis insentif baru, yaitu fasilitas super deduction tax yang merupakan activity-based incentive dan banyak diadopsi oleh negara-negara maju,” tambah Rofyanto. Insentif ini diberikan terhadap kegiatan vokasi dan R&D oleh Wajib Pajak (WP). Swasta didorong untuk turut aktif T iga puluh tiga perusahaan hengkang dari Tiongkok akibat perang dagang. Tiada satu pun berlabuh di Indonesia. Mereka lebih melirik negeri tetangga: Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Mengapa? Rumput tetangga lebih hijau bukan fatamorgana. Nyatanya, kita memang perlu berbenah diri. Namun, memacu investasi tak seringan membalik telapak tangan. Pembenahan tata kelola investasi perlu sinergi serta menyeluruh. Pusat dan daerah harus bergerak 13 MediaKeuangan 12 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Laporan Utama “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya" Piter Abdullah Redjalam Direktur Riset Center of Reform on Economic CORE Indonesia Teks Reni Saptati D.I, Laporan Utama Foto Anas Nur Huda Pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi. Berbenah Pacu Investasi
Opini Masa Depan Batu Bara dan Energi Terbarukan Ilustrasi A. Wirananda *Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja Teks Ragimun dan Imran Rosjadi Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MediaKeuangan 40 D iprediksi, nasib batu bara akan semakin sulit bersaing dengan energi terbarukan jika tidak ada inovasi dan peningkatan nilai tambah ( value added ). Dengan kata lain, tidak dilakukan hilirisasi ( downstreaming ). Apalagi ke depan, pengembangan energi bersih, seperti energi baru dan terbarukan (EBT) semakin masif dan efisien. Di masa mendatang, pengusaha batu bara ditantang untuk terus melakukan berbagai inovasi dan pengembangan produk batu bara. Di lain pihak, timbul pertanyaan, apakah pemerintah sudah secara maksimal mendorong berbagai bentuk program hilirisasi batu bara. Memang beberapa regulasi pemerintah telah digulirkan, salah satunya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang di dalamnya menetapkan antara lain mengenai target bauran energi nasional. Pada tahun 2025 ditargetkan peran EBT paling sedikit 20% dan peran batubara minimal 30%. Sementara pada tahun 2050 ditargetkan peran EBT melampaui batu bara, yakni paling sedikit 31%, sedangkan peran batubara minimal 25%. Perkembangan EBT yang makin pesat tentu membuat harga keekonomian EBT akan semakin kompetitif dibanding batu bara. Di sisi lain, penentangan para aktivis lingkungan terhadap efek polusi akibat penggunaan batu bara juga semakin mengemuka. Tak ayal, lambat laun kondisi ini akan terus menggeser peran batu bara sebagai sumber energi yang murah dan menjadikan batu bara bak buah simalakama. Di satu pihak, harganya terus menurun, dikonsumsi sekaligus ditentang dunia, dan bila tidak diproduksi maka potensi batu bara yang besar tidak dapat dioptimalkan. Akan tetapi, jika dilakukan hilirisasi, terdapat risiko bisnis yang cukup tinggi, baik dari segi teknis, regulasi, dan pasar. Biaya investasi yang diperlukan pun cukup besar, begitu pula dengan pembiayaannya harus bankable . Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, termasuk batu bara. Potensi kandungan sumber daya batu bara diperkirakan sangat besar, yakni mencapai 151 miliar ton dan cadangan batu bara sebesar 39 miliar ton. Kendati demikian, cadangan batu bara ini diperkirakan akan habis dalam 70 tahun yang akan datang (bila rasio cadangan dan produksi batu bara 4: 1). Oleh sebab itu, seyogianya pengelolaan batu bara dilakukan dengan baik dan bijak agar dapat memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat. Salah satu solusi agar pemerintah dapat terus mendorong pemanfaatan batu bara adalah melalui hilirisasi. Hilirisasi batu bara dapat memberikan sumbangan untuk peningkatan penerimaan negara, baik penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Saat ini, kontribusi penambangan batu bara sebelum dilakukan hilirisasi terbilang relatif tinggi terhadap PNBP. Pada tahun 2018 saja, PNBP batu bara mencapai lebih dari 21,85 triliun Rupiah. Dalam jangka pendek, pemberian insentif fiskal sebagai pendorong hilirisasi batu bara memang akan mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak dan bukan pajak. Akan tetapi, dalam jangka panjang diharapkan akan meningkatkan perekonomian dan manfaat sosial lainnya. Berdasarkan hasil simulasi yang pernah dilakukan, Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah atau lokasi hilirisasi diperkirakan meningkat 3 kali lipat. Sementara, untuk pajak dan PNBP rata-rata naik 3 kali lipat. Penyerapan tenaga kerja pun berpotensi mencapai lebih dari 5000 pekerja. Hilirisasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan pada saat ini adalah gasifikasi batu bara, yakni sebuah proses di mana bahan bakar karbon mentah dioksidasi untuk menghasilkan produk bahan bakar gas lainnya. Gasifikasi sudah diminati oleh perusahaan BUMN tambang, misalnya PT Bukit Asam (PT BA) yang berencana menggandeng beberapa perusahaan user melalui joint investment, seperti PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia dan PT Candra Asri. Penggunaan teknologi produksi batu bara menjadi gas berupa Dymethil Ether (DME), urea dan polyphropylen e (PP) saat ini bukan masalah. Beberapa negara lain telah melakukan hal serupa, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Namun demikian, biaya produksi yang masih sangat tinggi menjadi kendala sehingga membutuhkan investasi yang relatif besar, dapat mencapai lebih dari 3.446 miliar Dollar. Dibutuhkan dukungan segala pihak agar hilirisasi gasifikasi dapat berjalan lancar. Pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, dan penurunan atau pengurangan royalti khusus. Perbankan pun ikut beperan serta dalam memberikan kredit investasi apabila proyek ini dinilai layak secara finansial. Selain itu, diperlukan juga kebijakan pengaturan atau penetapan harga beli DME untuk LPG oleh PT Pertamina yang tidak mengikuti fluktuasi harga komoditas. Dengan demikian, proyek industri bukan hanya bankable dan dapat berjalan, melainkan juga berkelanjutan sehingga program gasifikasi batu bara dapat bermanfaat untuk kepentingan industri strategis nasional, pasokan gas dalam negeri, penghematan devisa, dan pemanfaatan batu bara kalori rendah ( low rank) . Seluruh pemangku kepentingan perlu duduk bersama guna mencari solusi terbaik agar nantinya batu bara tidak lagi menjadi masalah, melainkan menjadi produk yang membawa berkah dan maslahah.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Teks Muhammad Sutartib, Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Perlukah Pungutan atas Karbon? SETELAH RATIFIKASI PARIS AGREEMENT, Ilustrasi Dimach Putra P emanasan global menimbulkan dampak berbahaya bagi kehidupan seperti terjadinya kabut asap, naiknya permukaan air laut, krisis air bersih, hingga munculnya wabah penyakit. Perubahan iklim berupa pemanasan global ini biasanya dikaitkan dengan emisi gas karbondioksida (CO2) atau dikenal dengan sebutan emisi karbon tanpa diimbangi konversi atau penyerapan kembali gas karbondioksida untuk diubah menjadi gas oksigen misalnya melalui proses fotosintesis dengan bantuan pohon atau tanaman berdaun hijau. Para ahli sepakat bahwa kontribusi utama dari emisi karbon utamanya disebabkan konsumsi sumber energi yang berbahan dasar fosil seperti gas alam, minyak bumi serta batu bara. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention on Climate Change yang di dalamnya memuat kewajiban pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca untuk membatasi kenaikan suhu rata- rata global di bawah 2 ^o C hingga 1.5 ^o C dari tingkat suhu pra industrialisasi maka perlu strategi khusus untuk mengelola energi yang pemakaiannya mengeluarkan emisi karbon, terutama energi yang memakai bahan bakar fosil. Salah satu implementasi dari Paris Agreement yang dilaksanakan oleh berbagai negara karena dianggap paling powerful untuk memenuhi ketentuan konvensi tersebut adalah melalui pengenaan pungutan atas emisi karbondioksida atau pajak karbon ( carbon tax ) untuk setiap kegiatan yang meninggalkan jejak karbon ( carbon finger print ). Cara memungut pajak karbon ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya, pabrik yang kegiatannya meninggalkan jejak karbon diwajibkan membuat laporan jumlah emisi karbon secara berkala dan dengan dasar inilah maka besarnya pajak karbon dapat dibayarkan. Ada jenis pajak karbon yang lebih mudah cara memungutnya karena barangnya kasat mata dan mudah mengelolanya seperti mengenakan pajak karbon pada bahan bakar fosil atau batu bara dengan memakai skema proxy karena pada prinsipnya kita bisa menghitung berapa gram karbondioksida yang terbuang ke udara apabila kita membakar sejumlah bahan bakar minyak per liter atau batu bara per kilogram. Besarnya tarif pajak karbon untuk minyak bumi bisa dikenakan untuk setiap liternya, sedangkan untuk batu bara setiap kilogramnya. Pungutan karbon atas benda berwujud dan kasat mata Apabila kita akan menerapkan pungutan atas karbon dalam bentuk pajak, saat ini belum diadopsi dengan Undang- Undang Perpajakan, tetapi apabila menggunakan mekanisme cukai secara filosofi lebih tepat sebab pungutan atas karbon ini pada dasarnya merupakan pigouvian tax atau corrective tax yang secara tersirat tercakup dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, namun pada saat ini Undang-Undang Cukai hanya menyangkut barang yang kasat mata. Dengan demikian, untuk barang-barang yang wujudnya jelas, pungutan karbon dapat dilakukan melalui cukai tanpa perlu membuat undang-undang baru, melainkan dengan peraturan pemerintah setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan rakyat. Apa itu cukai? Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini, yang meliputi barang-barang yang: (a) konsumsinya perlu dikendalikan; (b) peredarannya perlu diawasi; (c) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau (d) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Pada prinsipnya semua barang yang memiliki sifat dan karakteristik di atas, baik hanya memenuhi salah satu sifat dan karakteristik atau memenuhi keempat sifat dan karakteristik tersebut secara akumulatif dapat dikenakan cukai. Dengan demikian emisi karbon pun dapat dikenakan cukai karena memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pungutan karbon atas benda berwujud ini bisa juga diterapkan melalui mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), namun kelemahan dari mekanisme ini biasanya terletak pada penegakan hukumnya apabila terjadi pelanggaran. Pungutan karbon atas kegiatan yang meninggalkan jejak karbon Pungutan karbon atas kegiatan yang menimbulkan emisi karbon, misalnya kegiatan di pabrik semen, pabrik keramik, industri pertambangan, dll. belum bisa diterapkan dengan mekanisme pajak atau cukai karena belum diakomodasi oleh undang- undang. Sementara, penghitungan emisi karbon dalam kegiatan-kegiatan industri dapat dilakukan dengan mengandalkan penghitungan mass and energy balance secara berkala untuk penentuan basis pemungutannya. Yang perlu didiskusikan selanjutnya adalah instansi mana yang mengampu tugas tersebut sekaligus bertanggung jawab terhadap pemungutan maupun auditnya. Sementara itu, nilai pungutan yang diperoleh atas karbon dapat dimasukkan ke dalam PNBP. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pungutan atas emisi gas karbondioksida merupakan salah satu solusi yang powerful untuk memenuhi ketentuan Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim. Pungutan karbon atas barang yang konsumsinya akan menimbulkan emisi karbon dan wujud barangnya kasat mata bisa memakai mekanisme cukai. Sedangkan, pungutan karbon atas industri atau kegiatan yang menimbulkan jejak karbon bisa menggunakan mekanisme PNBP, tetapi harus ada kejelasan institusi mana yang akan bertanggung jawab dalam mengaudit emisi karbon tersebut.
Opini Perdagangan Internasional dan Kebijakan Fiskal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Subagio Effendii, pegawai Tugas Belajar di University of Technology Sydney, MEDIAKEUANGAN 40 W abah pandemi COVID-19, selain menciptakan krisis kesehatan global, telah menimbulkan disrupsi yang masif pada tatanan perdagangan internasional. Dari sisi penawaran (supply), upaya lockdown dan working from home mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas produksi (labor shortage). Upaya ini juga mengharuskan pemerintah untuk menutup pelabuhan air dan udara yang menghambat distribusi barang antarnegara. Laporan International Air Transport Association menunjukan penurunan kuantitas transportasi kargo internasional sampai dengan bulan Maret 2020 sebesar 23 persen secara year-on-year dengan estimasi kerugian mencapai US$1,6 miliar. Lebih lanjut, kebijakan negara untuk menerapkan pembatasan ekspor __ (export restrictions) demi melindungi pasokan domestik turut menambah kompleksitas permasalahan. World Trade Organization (WTO) mencatat 80 negara, termasuk di dalamnya negara- negara yang menjadi ‘lumbung’ pangan dunia, seperti Rusia, Vietnam, dan Argentina, serta otoritas kepabeanan telah menerapkan export restrictions atas perlengkapan medis, bahan pangan, dan kertas toilet. Dari sisi permintaan ( demand ) , perubahan preferensi konsumsi akibat COVID-19 menyebabkan mismatch antara permintaan dan penawaran. Untuk makanan, misalnya, studi terbaru dari Food and Agriculture Organization menemukan peningkatan minat konsumen terhadap produk makanan yang memiliki cangkang atau kulit serta dikemas dengan rapat. Bahkan, konsumen di beberapa negara tidak segan untuk menolak produk makanan yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, upaya lockdown mengharuskan pemerintah untuk menutup pasar tradisional sehingga membatasi akses konsumen terhadap bahan pangan yang mengakibatkan peningkatan food waste. Permasalahan ganda pada supply dan demand menyebabkan penurunan kuantitas perdagangan internasional secara signifikan. WTO mengestimasi penurunan perdagangan tahun ini mencapai 13 persen hingga 32 persen (setara US$8 triliun) terutama di sektor jasa komersial dan barang dengan supply chain yang kompleks. Di samping itu, secara fundamental, disrupsi ini juga membuat premis comparative advantage (David Ricardo, 1817) yang menjadi fondasi ekonomi pasar dan perdagangan internasional menjadi diragukan validitasnya. Premis klasik yang berargumen bahwa social welfare akan optimal jika negara melakukan spesialisasi dengan memproduksi barang yang memiliki opportunity cost terendah sesuai ketersediaan faktor produksi serta membeli kebutuhan lainnya di pasar internasional, nampaknya hanya absah bila mekanisme perdagangan internasional tidak terdisrupsi. Sebaliknya, dalam kondisi terjadi supply and demand shocks , semua negara akan berusaha memproduksi seluruh kebutuhannya di dalam negeri dan sedapat mungkin membatasi ekspor produknya ke luar negeri. Beberapa negara berkembang di Afrika dan Amerika Latin bahkan telah mengadopsi konsep Food Sovereignty and Solidarity yang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk menentukan pilihan produksi dan konsumsi pangan yang terbaik termasuk penerapan sistem agrikultur yang sesuai dengan sumber daya dan kearifan lokal. Dalam konsep ini, bahan pangan ditempatkan sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan, bukan komoditas komersial sehingga terbebas dari semua ketentuan ekonomi pasar dan perdagangan internasional. Indonesia telah mengadopsi konsepsi kedaulatan pangan dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan namun belum diterapkan secara holistik. Disrupsi perdagangan internasional juga membuat upaya untuk menjaga daya beli masyarakat di masa resesi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan. Badan Pusat Statistik mencatat total impor minyak bumi, beras, gandum, daging, dan kedelai pada tahun 2019 masing- masing mencapai 40.926; 444; 10.692; 262; dan 2.670 ribu ton. Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan, jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’ penanganan pandemi menjadi semakin tinggi. Oleh karenanya, pemerintah perlu segera melakukan langkah strategis untuk memitigasi dampak disrupsi perdagangan sekaligus mencegah krisis kesehatan berkembang menjadi krisis pangan. Dari perspektif kebijakan fiskal, pemerintah telah berupaya mendorong peningkatan pasokan pangan domestik dengan memasukkan industri pertanian, pengolahan bahan pangan, perdagangan, dan jasa penunjang pertanian dalam daftar penerima insentif pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan DISRUPSI Nomor 44/PMK.03/2020. Kelompok petani skala kecil juga mendapatkan fasilitas penundaan angsuran pokok dan subsidi bunga atas pinjaman usaha selama enam bulan. Upaya selanjutnya, otoritas fiskal dapat merelaksasi pungutan bea masuk serta pajak impor lainnya atas produk esensial dan menggunakan instrumen kebijakan fiskal, setelah berkoordinasi dengan otoritas perdagangan, sebagai bargaining chips untuk mengafirmasi komitmen para mitra dagang di kawasan, terutama negara-negara produsen bahan pangan seperti Australia, Thailand, Vietnam, dan Myanmar, untuk tetap memberikan akses pasar dan tidak melakukan export restrictions di masa pandemi. Ilustrasi A. Wirananda
BPHN
Relevan terhadap
Berita cerdas hukum MENKUMHAM RESMIKAN 14 DESA SADAR HUKUM DI BALI Bali, BPHN.go.id – Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly meresmikan 14 Desa Sadar Hukum di Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan – Bali, Rabu (8/8). Didampingi oleh Kepala Badan Pembinaan Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih dan Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Bambang Rantam Sariwanto, menteri menyerahkan piagam, medali, dan prasati kepada perwakilan desa terpilih. “Saya ucapkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada Gubernur Bali beserta jajarannya yang selama ini memberikan dukungan serta fasilitas kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali sehingga memudahkan pelaksanaan tugas dan fungsinya,” kata Yasonna dalam sambutannya. Yasonna mengungkapkan rasa bangga bertemu langsung dengan Bupati Badung dan Bupati Taba nan, Camat serta Kepala Desa/ Lurah, lantaran berhasil mencapai prestasi dalam memasyarakatkan hukum di wilayahnya. Ia menyadari, tidak mudah bagi sebuah desa dalam mencapai predikat Desa/ Kelurahan Sadar Hukum karena harus memenuhi sejumlah kriteria dan syarat yang sangat ketat. Terlebih untuk penilain tahun ini, terdapat perbedaan dari segi persyaratan dan indikator yang lebih komprehensif sesuai dengan perkembangan zaman. Merujuk Surat Edaran (SE) Kepala BPHN Nomor PHN-05.HN.04.04 Tahun 2017, diatur empat dimensi penilaian antara lain dimensi akses informasi hukum, dimenasi implementasi hukum, dimensi akses keadilan, serta dimenasi demokrasi dan regulasi. “Peresmian Desa/Kelurahan Sadar Hukum yang telah diraih ini diharapkan menjadi percontohan bagi desa atau kelurahan yang lain. Sementara, bagi Desa/kelurahan yang telah ditetapkan diharapkan dapat mempertahankan prestasi karena setiap tahun akan dievaluasi untuk diketahui sejauh mana kriteria penetapan sebagai Desa Sadar Hukum tetap terpenuhi,” kata Yasonna. Penetapan Desa Sadar Hukum merupakan salah satu upaya dalam rangka menguatkan keberadaan Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam perubahan UUD 1945. Wujud negara hukum akan sangat terlihat dari tingkat kepatuhan terhadap hukum yang menjadi kunci terciptanya kehidupan bernegara yang aman, tertib dan damai. Pada kenyataannya, tidak setiap orang mengetahui hukum sehingga perlu disebarluaskan agar masyarakat yang memahami hukum semakin bertambah. Salah satu upaya menyebar luaskan hukum kepada masyarakat, kata Yasonna, yakni dengan mela kukan pembinaan hukum ber kelanjutan terhadap kelompok Keluarga Sadar Hukum (Kelompok Kadarkum). Kementerian Hukum dan HAM, dalam hal ini BPHN serta Kantor Wilayah Hukum dan HAM terus mengupayakan pertumbuhan Desa/Kelurahan Sadar Hukum. Namun, Yasonna mengaskan bah wa pertumbuhan tersebut tidak sekedar mengejar kuantitas melain kan kualitas secara nyata yang diselaraskan dengan tuntutan zaman termasuk dalam menghadapi industri 4.0. “Kami berharap kerjasama dengan pihak terkait dapat semakin ditingkatkan sehingga pada tahun berikutnya secara bertahap semakin banyak desa atau kelurahan yang dapat diresmikan sebagai Desa/ Kelurahan Sadar Hukum, yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat karena kehidupannya lebih aman dan tertib. Terlebih lagi bagi kawasan Bali yang dikenal dunia sebagai kawasan wisata, tertatanya kehidupan yang aman dan tertib akan menjadi daya tarik bagi peningkatan pariwisata di Bali,” pungkasnya. Sebagai informasi, 14 Desa/ Kelurahan Sadar Hukum yang diresmikan di Kabupaten Badung, yakni Desa Bongkasa Pertiwi, Desa Kutuh, Desa Ungasan, Kelurahan Tanjung Benoa, Kelurahan Kuta, Kelurahan Kedonganan, Kelurahan Seminyak, Kelurahan Kerobokan Kaja, Kelurahan Tuban dan Kelurahan Kerobokan Kelod. Sementara untuk Kabupaten Tabanan, yakni Desa Kesiut, Desa Tangguntiti, Desa Belimbing, serta Desa Jati Luwih.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda