JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 562 hasil yang relevan dengan "kepatuhan pajak dalam industri manufaktur "
Dalam 0.009 detik
Thumbnail
HUKUM UMUM
Warta BPHN Tahun Ke V Edisi XXIII September - Desember 2018

BPHN

  • Diterbitkan: 01 Sep 2018

Relevan terhadap

Halaman 17Tutup

Berita cerdas hukum MENKUMHAM RESMIKAN 14 DESA SADAR HUKUM DI BALI Bali, BPHN.go.id – Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H. Laoly meresmikan 14 Desa Sadar Hukum di Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan – Bali, Rabu (8/8). Didampingi oleh Kepala Badan Pembinaan Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih dan Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Bambang Rantam Sariwanto, menteri    menyerahkan piagam, medali, dan prasati kepada perwakilan desa terpilih. “Saya ucapkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada Gubernur Bali  beserta jajarannya yang selama ini memberikan dukungan serta fasilitas kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali sehingga memudahkan pelaksanaan tugas dan fungsinya,” kata Yasonna dalam sambutannya. Yasonna mengungkapkan rasa bangga bertemu langsung dengan Bupati Badung dan Bupati Taba­ nan, Camat serta Kepala Desa/ Lurah, lantaran berhasil mencapai prestasi dalam memasyarakatkan hukum di wilayahnya. Ia menyadari, tidak mudah bagi sebuah desa dalam mencapai predikat Desa/ Kelurahan Sadar Hukum karena harus memenuhi sejumlah kriteria dan syarat yang sangat ketat. Terlebih untuk penilain tahun ini, terdapat perbedaan dari segi persyaratan dan indikator yang lebih komprehensif sesuai dengan perkembangan zaman. Merujuk Surat Edaran (SE) Kepala BPHN Nomor PHN-05.HN.04.04 Tahun 2017, diatur empat dimensi penilaian antara lain dimensi akses informasi hukum, dimenasi implementasi hukum, dimensi akses keadilan, serta dimenasi demokrasi dan regulasi. “Peresmian Desa/Kelurahan Sadar Hukum yang telah diraih ini diharapkan menjadi percontohan bagi desa atau kelurahan yang lain. Sementara, bagi Desa/kelurahan yang telah ditetapkan diharapkan dapat mempertahankan prestasi karena setiap tahun akan dievaluasi untuk diketahui sejauh mana kriteria penetapan sebagai Desa Sadar Hukum tetap terpenuhi,” kata Yasonna. Penetapan Desa Sadar Hukum merupakan salah satu upaya dalam rangka menguatkan keberadaan Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam perubahan UUD 1945. Wujud negara hukum akan sangat terlihat dari tingkat kepatuhan terhadap hukum yang menjadi kunci terciptanya kehidupan bernegara yang aman, tertib  dan damai. Pada kenyataannya, tidak setiap orang mengetahui hukum sehingga perlu disebarluaskan agar masyarakat yang memahami hukum semakin bertambah. Salah satu upaya menyebar­ luaskan hukum kepada masyarakat, kata Yasonna, yakni dengan mela­ kukan pembinaan hukum ber­ kelanjutan terhadap kelompok Keluarga Sadar Hukum (Kelompok Kadarkum). Kementerian Hukum dan HAM, dalam hal ini BPHN serta Kantor Wilayah Hukum dan HAM terus mengupayakan pertumbuhan Desa/Kelurahan Sadar Hukum. Namun, Yasonna mengaskan bah­ wa pertumbuhan tersebut tidak sekedar mengejar kuantitas melain­ kan kualitas secara nyata yang diselaraskan dengan tuntutan zaman termasuk dalam menghadapi industri 4.0. “Kami berharap kerjasama dengan pihak terkait dapat semakin ditingkatkan sehingga pada tahun berikutnya secara bertahap semakin banyak desa atau kelurahan yang dapat diresmikan sebagai Desa/ Kelurahan Sadar Hukum, yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat karena kehidupannya lebih aman dan tertib. Terlebih lagi bagi kawasan Bali yang dikenal dunia sebagai kawasan wisata, tertatanya kehidupan yang aman dan tertib akan menjadi daya tarik bagi peningkatan pariwisata di Bali,” pungkasnya. Sebagai informasi, 14 Desa/ Kelurahan Sadar Hukum yang diresmikan di Kabupaten Badung, yakni Desa Bongkasa Pertiwi, Desa Kutuh, Desa Ungasan, Kelurahan Tanjung Benoa, Kelurahan Kuta, Kelurahan Kedonganan, Kelurahan Seminyak, Kelurahan Kerobokan Kaja, Kelurahan Tuban dan Kelurahan Kerobokan Kelod. Sementara untuk Kabupaten Tabanan, yakni Desa Kesiut, Desa Tangguntiti, Desa Belimbing, serta Desa Jati Luwih.

Thumbnail
HUKUM UMUM
Media Keuangan Juli 2020 - Menjaga Sinambung Hayat Desa

Biro KLI Kementerian Keuangan

  • Diterbitkan: 01 Jul 2020

Relevan terhadap

Halaman 21Tutup

Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda

  • 1
  • ...
  • 56
  • 57