Pedoman Layanan Informasi Publik oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kementerian Keuangan dan Perangkat Pejabat Pengelola Informasi dan D ...
Sistem Akuntansi Hibah.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat K/L adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.
Sistem Akuntansi Hibah yang selanjutnya disebut SIKUBAH adalah serangkaian prosedur manual dan terkomputerisasi meliputi pengumpulan data, pengakuan, pencatatan, pengikhtisaran, serta pelaporan posisi dan operasi hibah pemerintah.
Pendapatan Hibah adalah hibah yang diterima oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri, yang atas Pendapatan Hibah tersebut, Pemerintah mendapat manfaat secara langsung yang digunakan untuk mendukung tugas dan fungsi K/L atau diteruskan kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah.
Belanja Hibah adalah setiap pengeluaran Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, jasa dan/atau surat berharga kepada Pemerintah Daerah, pemerintah lainnya atau perusahaan daerah, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus.
Pendapatan Hibah Langsung adalah hibah yang diterima langsung oleh K/L, dan/atau pencairan dananya dilaksanakan tidak melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, sehingga pengesahannya harus dilakukan oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dan disahkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Pemberi Hibah adalah pihak yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri yang memberikan hibah kepada Pemerintah Pusat.
Laporan Realisasi Anggaran adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing- masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode.
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat CaLK adalah bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan yang menyajikan informasi tentang penjelasan pos-pos laporan keuangan dalam rangka pengungkapan yang memadai.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah Menteri Keuangan.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan pada tingkat pusat, dan Kepala Kantor Pelayananan Perbendaharaan Negara pada tingkat daerah.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kewenangan selaku Kuasa BUN Daerah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat SA-BUN adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku BUN.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelola Hibah yang selanjutnya disebut UAKPA BUN Pengelola Hibah adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat satuan kerja di bawah Bagian Anggaran BUN untuk transaksi Pendapatan Hibah dan/atau Belanja Hibah.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Pengelola Hibah yang selanjutnya disebut UA-PBUN Pengelola Hibah adalah unit akuntansi pembantu BUN yang melakukan kegiatan penggabungan pelaporan keuangan unit akuntansi tingkat pengguna anggaran untuk transaksi Pendapatan Hibah dan/atau Belanja Hibah.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang yang selanjutnya disingkat DJPU adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertindak sebagai UAP-BUN Pengelola Hibah.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/sub sistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.
Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam laporan keuangan, permintaan keterangan, dan analitik yang harus menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Internal Pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Rekening Hibah adalah rekening pemerintah lainnya yang dibuka oleh K/L dalam rangka pengelolaan hibah langsung dalam bentuk uang.
Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh Pengguna Angaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan Pendapatan Hibah Langsung dan/atau belanja yang bersumber dari hibah langsung.
Surat Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SPHL adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN Daerah untuk mengesahkan Pendapatan Hibah Langsung dan/atau belanja yang bersumber dari hibah langsung.
Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo Pendapatan Hibah Langsung kepada Pemberi Hibah.
Surat Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP3HL adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN Daerah untuk mengesahkan pengembalian Pendapatan Hibah Langsung kepada Pemberi Hibah.
Berita Acara Serah Terima yang selanjutnya disingkat BAST adalah dokumen serah terima barang/jasa sebagai bukti penyerahan dan peralihan hak/kepemilikan atas barang/jasa/surat berharga dari Pemberi Hibah kepada penerima hibah.
Surat Pernyataan Telah Menerima Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SPTMHL adalah surat pernyataan tanggung jawab penuh atas Pendapatan Hibah Langsung dan/atau belanja yang bersumber dari hibah langsung atau belanja barang untuk pencatatan persediaan dari hibah atau belanja modal untuk pencatatan aset tetap/aset lainnya dari hibah atau pengeluaran pembiayaan untuk pencatatan surat berharga dari hibah.
Surat Perintah Pengesahan Pendapatan Hibah Langsung Bentuk Barang/Jasa/Surat Berharga yang selanjutnya disingkat SP3HL-BJS adalah surat yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk diajukan pengesahan Pendapatan Hibah Langsung dalam bentuk barang/jasa/surat berharga ke DJPU.
Memo Pencatatan Hibah Langsung Bentuk Barang/Jasa/Surat Berharga yang selanjutnya disingkat MPHL-BJS adalah surat yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencatat/membukukan Pendapatan Hibah Langsung dalam bentuk barang/jasa/surat berharga dan belanja barang untuk pencatatan persediaan dari hibah atau belanja modal untuk pencatatan aset tetap/aset lainnya dari hibah atau pengeluaran pembiayaan untuk pencatatan surat berharga dari hibah.
Persetujuan Memo Pencatatan Hibah Langsung Bentuk Barang/Jasa/Surat Berharga yang selanjutnya disebut Persetujuan MPHL-BJS adalah surat yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN Daerah sebagai persetujuan untuk mencatat Pendapatan Hibah Langsung bentuk barang/jasa/surat berharga dan belanja barang untuk pencatatan persediaan dari hibah atau belanja modal untuk pencatatan aset tetap/aset lainnya dari hibah atau pengeluaran pembiayaan untuk pencatatan surat berharga dari hibah.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data berupa Compact Disc , USB Flash Disk , atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya.
Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Pupuk.
Relevan terhadap
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
Undang–Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5075) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 69; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5132);
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4556);
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418);
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2005 tentang Pengelolaan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 134/KMK.05/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.05/2007 tentang Tata Cara Pencairan Dana Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Melalui Rekening Kas Umum Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain pada Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2010; Memperhatikan :
Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-183/MBU/2003 tentang Komponen Harga Pokok Penjualan Pupuk Bersubsidi;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 03/M-DAG/PER/2/2006 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/ PER/2/2009;
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/ SR.130/11/2009 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2010 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32/Permentan/SR.130/4/2010;
Pengujian UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan [Pasal 1 angka 3, Pasal 6 huruf a, Pasal 64 huruf a, Pasal 76, Pasal 86, dan Pasal 86 huruf a] ...
Relevan terhadap
kejahatan lintas negara, hanya dapat dilakukan berdasarkan bukti permulaan dari instansi yang berwenang dalam hal ini TNI/Polri, untuk selanjutnya hasil penindakan atas barang tersebut diserahkan kepada TNI/Polri untuk diproses lebih lanjut. Hal yang demikian dalam prakteknya sudah sering dilaksanakan oleh Polri dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sebagai contoh kasus penindakan terhadap importasi shabu-shabu atau ekstasi yang terjadi di bandar udara internasional, hal tersebut merupakan kerjasama Polri dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menggali informasi dan setelah dilakukan penindakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, proses penanganan kasus selanjutnya diserahkan kepada Polri sebagai institusi yang berwenang dalam melakukan penyidikan kasus narkotika. Secara implisit ketentuan dari Pasal 64A ayat (1), dan ayat (2) UU Kepabeanan adalah bertujuan agar usaha pertahanan dan keamanan negara yang ditangani oleh instansi yang berwenang dalam hal ini adalah TNI/Polri menjadi akan lebih terbantu dengan adanya dukungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap barang yang berdasarkan bukti permulaan diduga terkait dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak mempunyai kewenangan dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, melainkan lebih kepada upaya kerjasama lintas sektoral dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendukung TNI/Polri dalam usaha menjaga pertahanan dan keamanan negara, dengan tetap mengacu pada tugas pokoknya yakni sebagai instansi kepabeanan yang mengawasi lalu lintas barang masuk dan keluar daerah pabean Indonesia. Dimana pelaksanaan Pasal 64A ayat (1) dan ayat (2) tersebut, dilakukan berdasarkan koordinasi, informasi dan bukti permulaan yang bersumber dari pihak TNI/Polri, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang. Dengan demikian dapat disimpulkan kembali bahwa ketentuan Pasal 64A ayat (1) dan ayat (2) UU Kepabeanan tidak bertentangan dengan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945. b) Pertentangan Pasal 64A ayat (1), dan ayat (2) UU Kepabeanan dengan legalitas.org
d. Dalam rangka mempercepat arus barang dan dokumen impor maupun ekspor, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak memeriksa semua barang dan dokumen impor maupun ekspor pada saat barang tersebut berada dalam kawasan pabean (on clearance), melainkan pemeriksaan dapat dilakukan setelah barang keluar dari kawasan pabean melalui audit kepabeanan, sehingga kegiatan pemeriksaan tersebut tidak mengganggu arus barang dan dokumen. Audit kepabeanan dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen resiko, keberhasilan pelaksanaan audit kepabeanan akan membantu memperkuat penegakan hukum dan memberikan dukungan dan kepercayaan akan pelaksanaan pemberian fasilitas dalam perdagangan dan juga penyederhanaan prosedur proses pengeluaran barang. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas-tugasnya di bidang kepabeanan dan cukai, melakukan audit kepabeanan untuk mengamankan hak-hak negara dan menghilangkan hambatan- hambatan yang dirasakan oleh dunia industri, seperti biaya ekonomi tinggi, adanya distorsi dalam kelancaran arus barang impor di pelabuhan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka ketentuan mengenai Audit Kepabeanan diatur dalam UU Kepabeanan yang pengaturannya ada dalam ketentuan Pasal 86 ayat (1), ayat (1a), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 86A. Dalam Permohonan pengujian yang diajukan, Pemohon berpendapat bahwa Pasal 86 ayat (1), ayat (1a), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 86A UU Kepabeanan telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi bahwa Pasal 86 dan Pasal 86A UU Kepabeanan telah menimbulkan duplikasi pengaturan bagi para pelaku usaha termasuk Pemohon, karena sistem audit juga dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sehingga membuat beban kewajiban yang dipikul oleh pelaku usaha termasuk Pemohon semakin bertambah. Dalam hal ini Pemohon telah mencampuradukkan antara sistem audit di Direktorat Jenderal Pajak dengan sistem audit yang ada di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bahwa walau kedua instansi tersebut menjalankan sebagian tugas Departemen Keuangan dalam hal ini sebagai pengelola keuangan negara, namun antara keduanya memiliki ruang lingkup pekerjaan yang berbeda. Direktorat legalitas.org
Pengujian UU No. 36 Thn 2008 ttg Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 Ttg Pajak Penghasilan [Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, & d, Pasal 9 ayat ( ...
Relevan terhadap
a) cadangan piutang tak tertagih untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; b) cadangan untuk bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; c) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; d) cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan e) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri. e. Mempermudah syarat untuk membiayakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih Melalui perubahan UU PPh ini, syarat untuk membiayakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dipermudah menjadi: 1) telah dibiayakan dalam laporan laba rugi komersial; 2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau ada perjanjian tertulis dengan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau ada pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan. 4) Syarat nomor 3 tidak berlaku bagi piutang debitur kecil yang dihapuskan. 2. Kemudahan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Bagi Wajib Pajak Badan yang masuk kategori usaha mikro, kecil dan menengah diberikan insentif berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif PPh Badan yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00. Apabila dibandingkan dengan Undang- Undang lama, aturan ini memberikan rasa keadilan yang lebih besar karena membedakan tarif pajak berdasarkan skala usaha Wajib Pajak. Lebih lanjut dalam perubahan UU PPh ini, pembebasan utang untuk debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan; b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Di ubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991; c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan; d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Bahwa perubahan terhadap UU PPh Tahun 2000 sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi yang semakin pesat sebagai hasil pembangunan nasional dan efek globalisasi, serta reformasi di berbagai bidang, sehingga dipandang perlu untuk dilakukan perubahan UU PPh guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional. Perubahan UU PPh dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Bahwa arah dan tujuan penyempurnaan UU PPh adalah sebagai berikut: a. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak; b. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; c. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; d. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan; e. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan f. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
Pengujian UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah [Pasal 14 huruf e dan huruf f] ...
Relevan terhadap
• Eksploitasi sumber daya alam tidak meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan, serta terjadi pengabaian hak-hak dasar masyarakat Kalimantan Timur; • UU 33/2004 belum mencerminkan keseimbangan dan keadilan dalam pembagian hasil pengolahan sumber daya alam antara Pusat dan Daerah serta baru mencerminkan keadilan distributif, bukan keadilan partisipatif, __ karena daerah hanya menerima data final dari Kementerian Keuangan; • Prosentase 15,5% (lima belas koma lima persen) tidak secara utuh, sehingga mengakibatkan terjadinya kekurangan dalam pembiayaan pembangunan karena tidak imbangnya antara kecilnya prosentase pembagian dan pemberian kewenangan/urusan yang cukup besar kepada daerah (tidak sesuai dengan prinsip money follows function ); • Eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, seperti erosi dan pendangkalan sungai serta kerusakan jalan yang mengakibatkan pula terganggunya permukiman dan sistem distribusi ekonomi masyarakat; • Adanya pemberlakuan secara berbeda dalam dana bagi hasil minyak bumi dan gas antara Aceh, Papua dan daerah lain, sehingga tidak sesuai dengan susunan perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan tidak sesuai dengan kesatuan ekonomi nasional. [3.9] Menimbang bahwa terhadap masing-masing para Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut: • Bahwa terkait dengan Pemohon I sampai dengan Pemohon V menurut Mahkamah dapat dikategorikan sebagai kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama memiliki hak konstitusional yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, yang menurutnya terjadi kesenjangan dan pengabaian hak-hak dasar masyarakat Kalimatan Timur, sehingga terdapat hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dengan berlakunya pasal a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon I sampai dengan Pemohon V memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; • Bahwa selanjutnya terkait dengan Pemohon VI sampai dengan Pemohon IX,
kemakmuran rakyat. Dan dengan adanya perlakuan berbeda terhadap dana bagi hasil Migas antara Aceh dan Papua tidak mencerminkan adanya kesatuan ekonomi nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mencerminkan kegiatan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Hal tersebut menimbulkan terjadinya desentralisasi asimetrik ( asymetric decentralization ) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan hal tersebut jelas merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, muncul berbagai protes ketidaksetujuan atas isi Undang-Undang tersebut. Protes terutama diajukan oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti NAD, Riau, dan Kalimantan Timur (Kaltim). Mereka sangat tidak setuju dengan ketetapan dalam hal alokasi dana perimbangan (DAU, DAK, Dana Bagi Hasil), dan menghendaki adanya revisi terhadap undang-undang tersebut. Jika dilihat dari komposisi penerimaan dari ketiga daerah yang kaya sumber alam tersebut, dana bagi hasil merupakan komponen terbesar yang mengisi lebih dari 50 persen pundi-pundi daerah (lihat Tabel 3). Apalagi daerah Kalimantan Timur dan Riau yang sangat terkenal dengan hasil Migas memiliki persentase dana bagi hasil yang hampir mencapai 60 persen dari total penerimaan daerah. Ini jelas amat kontras dengan provinsi lain di Indonesia di mana porsi bagi hasil/total penerimaan hanya 13,69%. Mayoritas provinsi di Indonesia masih mengandalkan DAU sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah sebesar rata-rata 60,86%. Tabel 3. Perbandingan Komposisi Penerimaan Daerah, 2006 NAD* Riau Kaltim Indonesia PAD/Total Penerimaan Daerah 5.5 12.29 17.76 16.63 Dana Perimbangan/Total penerimaan 56.20 83.96 78.07 79.33 Dana Bagi Hasil/Total Penerimaan 52.60 58.78 59.79 13.69 DAU/Total Penerimaan 3.60 22.00 15.12 60.86 DAK/Total Penerimaan 0.00 3.17 3.17 4.78 DAU+DAK/Total Penerimaan 3.60 25.17 18.29 82.74
Tata Cara Penarikan Pinjaman dalam Negeri.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang masa berlakunya dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berkenaan.
Pinjaman Dalam Negeri, selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu sesuai dengan masa berlakunya.
Pemberi Pinjaman Dalam Negeri, selanjutnya disebut Pemberi PDN adalah Badan Usaha Milik Negara, Pemerintah Daerah, dan Perusahaan Daerah yang memberi pinjaman kepada Pemerintah.
Naskah Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri, selanjutnya disebut Naskah Perjanjian PDN adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang dipersamakan yang memuat kesepakatan mengenai PDN antara Pemerintah dengan Pemberi PDN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran dan disahkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan yang memperoleh kewenangan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.
Pengguna Anggaran, selanjutnya disingkat PA adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Anggaran, selanjutnya disebut Kuasa PA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.
Surat Perintah Membayar, selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana, selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara kepada Bank Operasional/Kantor Pos dan Giro untuk memindahbukukan sejumlah uang dari Kas Negara ke rekening pihak yang ditunjuk dalam SPM.
Bank Operasional I, selanjutnya disingkat BO I adalah bank operasional mitra kerja Kuasa Bendahara Umum Negara di daerah yang menyalurkan dana APBN untuk pengeluaran belanja non gaji bulanan (termasuk kekurangan gaji dan gaji susulan), uang persediaan, dan dana pihak ketiga.
Pembayaran Langsung, selanjutnya disingkat PL adalah penarikan dana yang dilakukan oleh KPPN yang ditunjuk atas permintaan PA/Kuasa PA dengan cara mengajukan Aplikasi Penarikan Dana kepada Pemberi PDN untuk membayar langsung kepada rekanan/pihak lain.
Letter of Credit, selanjutnya disingkat L/C adalah janji tertulis dari bank penerbit L/C ( issuing bank ) untuk membayar kepada eksportir ( beneficiary ) sepanjang memenuhi persyaratan L/C.
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Rekening Khusus, selanjutnya disebut Reksus adalah rekening yang dibuka oleh Menteri Keuangan pada Bank Indonesia atau Bank, yang menampung sementara dana pinjaman dalam negeri tertentu berupa initial deposit untuk kebutuhan pembiayaan kegiatan selama periode tertentu dan setelah digunakan diisi kembali dengan mengajukan penggantian ( replenishment ) kepada Pemberi PDN.
Rekening Kas Umum Negara, selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada Bank Indonesia.
Pembiayaan Pendahuluan (Pre-Financing), selanjutnya disingkat PP adalah pembayaran yang dilakukan oleh Pemberi PDN untuk penggantian dana yang dilakukan terlebih dahulu melalui RKUN.
Aplikasi Penarikan Dana, selanjutnya disingkat APD adalah surat permintaan pencairan pinjaman kepada Pemberi PDN.
Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana, selanjutnya disingkat SPP-APD adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/Kuasa PA sebagai dasar bagi KPPN untuk mengajukan permintaan pembayaran kepada Pemberi PDN.
Surat Permintaan Penerbitan Surat Kuasa Membayar atas beban rekening untuk L/C, __ selanjutnya disingkat SPP-SKM-R L/C adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/Kuasa PA sebagai dasar bagi KPPN untuk menerbitkan Surat Kuasa Membayar atas beban rekening untuk L/C . 22. Surat Kuasa Membayar atas beban rekening untuk L/C, selanjutnya disingkat SKM-R L/C adalah surat kuasa dari Menteri Keuangan kepada Bank Indonesia untuk melakukan pembayaran realisasi L/C atas beban Rekening L/C.
Rekening L/C adalah rekening yang dibuka oleh Menteri Keuangan pada Bank Indonesia atau bank milik Pemerintah untuk menampung dana PDN untuk pembiayaan kegiatan pengadaan barang dan jasa melalui penerbitan L/C.
Surat Perintah Pembukuan/Pengesahan, selanjutnya disingkat SP3 adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara, yang fungsinya dipersamakan sebagaimana SPM/SP2D kepada Bank Indonesia dan PA/Kuasa PA untuk dibukukan/disahkan sebagai penerimaan dan pengeluaran dalam APBN atas realisasi penarikan PDN melalui PL dan L/C.
Tata Cara Penyediaan, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Beras Pemerintah. ...
Relevan terhadap
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5167);
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) BULOG (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 8) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 142);
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4556);
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010;
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun Standar;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/ 2008 tentang Tata Cara Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lain- Lain Pada Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Atas Beban Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara; Memperhatikan :
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan;
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan Beras yang Dikelola oleh Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim;
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22/M-DAG/ PER/10/2005 tentang Penggunaan Cadangan Beras Pemerintah Untuk Pengendalian Gejolak Harga;
Peraturan Menteri Sosial Nomor 29/HUK/2006 tentang Pelaksanaan Penggunaan Cadangan Beras Pemerintah Untuk Penanggulangan Keadaan Darurat ( emergency relief ) dan Penanganan Pasca Bencana;
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 03 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah untuk Bantuan Sosial;
Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor KEP-46/M.EKON/ 08/2005 dan 34/KEP/MENKO/KESRA/ VIII/2005 tentang Pedoman Umum Koordinasi Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah;
Uji Materiil atas Pasal 4 ayat (1) UU No.12 tahun 1985 tentang PBB
Relevan terhadap
semua termasuk para pemohon uji materi) melalui undang-undang, membagi beban pembiayaan antara lain pada penerimaan perpajakan (seperti PPh, PPN & PPnBM, Bea Masuk, Cukai, PBB, dan penerimaan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan) dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP (seperti pungutan penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam termasuk perikanan laut, penerimaan dari pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah dan penerimaan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan PNBP). Baik undang-undang perpajakan, termasuk UU PBB, maupun UU PNBP yang telah disetujui DPR disusun berdasar kuasa jurisdiksi fiskal yang secara konstitusional tersurat dalam Pasal 2A (semula Pasal 23 ayat (2)) UUD 1945. Yurisdiksi (Starke G, 1989) merupakan substansi/atribut dari kedaulatan negara. Bebas dari pengaruh internal maupun external, negara yang berdaulat berwenang mengatur subjek (orang), objek (barang, peristiwa, dan kejadian) dalam wilayah kedaulatannya. Yurisdiksi pajak meliputi 3 (tiga) unsur, yaitu (1) regulasi (menyusun Undang-Undang Perpajakan), (2) penerimaan (minta sebagian penghasilan dan/atau kekayaan warga masyarakat untuk keperluan negara, dan (3) pelaksanaan/ enforcement undang-undang serta administrasi penerimaan (Rohatgi, 2005; dan Knechtle, 1979). Berdasar teori kedaulatan negara, dalam cakupan yurisdiksi fiskal tidak ada batasan atas hak pemajakan suatu negara sepanjang ada tax connecting faktor antara negara dan pembayar pajak serta diatur dalam undang-undang, walaupun mungkin secara administrasi dan teritorial tidak mudah melaksanakan dan mengenforcenya (Rohatgi, 2005). Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan usaha perikanan laut dan PBB bidang usaha perikanan laut serta PNBP pungutan perikanan laut merupakan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara dan karena itu masing-masing diatur dengan undang-undang dan peraturan perundang- undangan sehingga secara legalitas formal telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Adapun mengenai pendefinisian norma ^ - norma seperti wajib pajak/ wajib bayar, obyek pajak/pungutan, kenapa dalam pengertian bumi termasuk laut wilayah Indonesia, dan tarif serta sanksi dan sebagainya yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan perpajakan/PNBP telah mendapat persetujuan dari rakyat termasuk para wajib pajak atau pembayar PNBP melalui para wakilnya di DPR dan sesuai dengan Teori Kedaulatan Yurisdiksi
sumber penerimaan negara untuk pembiayaan pembangunan dalam rangka untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD 1945. __ Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sedangkan pungutan (PNBP) menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan pajak. Berdasarkan uraian tersebut, menurut Mahkamah terdapat perbedaan mendasar antara pajak dan pungutan. Masyarakat yang membayar pajak tidak mendapat jasa timbal balik secara langsung dari negara, sedangkan masyarakat yang membayar pungutan mendapat timbal balik yang langsung dari negara; [3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon a quo , permasalahan hukum yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar para Pemohon telah dikenai beban pajak/pungutan berganda atas objek yang sama berupa hasil produksi usaha perikanan atau PBB Laut. Sebelum memberi pendapat mengenai dalil permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mengutip beberapa pasal dalam UU PBB dan UU Perikanan, sebagai berikut; 1. Undang-Undang PBB • Pasal 1: (1) Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya; (2) Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan; • Pasal 2: (1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah bumi dan/atau bangunan. • Pasal 3: (1) Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Obyek Pajak yang:
Tata Cara Pembayaran Jasa Bank dalam Rangka Penatausahaan Penerusan Pinjaman Luar Negeri.
Relevan terhadap
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN JASA BANK DALAM RANGKA PENATAUSAHAAN PENERUSAN PINJAMAN LUAR NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Bank Penata Usaha adalah bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menatausahakan penerusan pinjaman luar negeri. 2. Jasa Bank Penata Usaha, selanjutnya disebut Jasa Bank, adalah sejumlah imbalan yang diterima Bank Penata Usaha atas aktivitas penatausahaan penerusan pinjaman luar negeri.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, selanjutnya disingkat DIPA, adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh menteri negara/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran dan disahkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang berfungsi sebagai dasar pelaksanaan pembiayaan kegiatan serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi Pemerintah. 4. Pengguna Anggaran, selanjutnya disingkat PA, adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. 5. Kuasa Pengguna Anggaran, selanjutnya disingkat KPA, adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya. 6. Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban belanja negara. 7. Surat Perintah Membayar, selanjutnya disingkat SPM, adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan SPM untuk dan atas nama PA kepada Bendahara Umum Negara atau kuasanya, berdasarkan SPP untuk melakukan pembayaran sejumlah uang kepada pihak dan atas beban anggaran yang ditunjuk dalam SPP berkenaan. 8. Surat Permintaan Pembayaran, selanjutnya disingkat SPP, adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen yang berisi permintaan kepada Pejabat Penanda Tangan SPM untuk menerbitkan SPM sejumlah uang atas beban bagian anggaran yang dikuasainya untuk untung pihak yang ditunjuk dan sesuai syarat-syarat yang ditentukan dalam dokumen perikatan yang menjadi dasar penerbitan SPP berkenaan.
Pejabat Penanda Tangan SPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas SPP dan menerbitkan SPM.
Rekening Kas Umum Negara, selanjutnya disebut Rekening KUN, adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat, selanjutnya disebut Kuasa BUN Pusat, adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan/Direktur Pengelolaan Kas Negara/Kepala Subdirektorat Kas Umum Negara yang berwenang menandatangani surat-surat pencairan dana atas beban Rekening KUN. 12. Surat Perintah Pencairan Dana, selanjutnya disingkat SP2D, adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPM.