Uji materi ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap UUD 1945 ...
Relevan terhadap 4 lainnya
sehingga diharapkan daerah akan dapat mengoptimalkan kegiatan pemungutan pajak di daerahnya masing-masing. Kebijakan perpajakan dalam konteks desentralisasi fiskal yang menjadi penanda penting bagi demokrasi adalah dengan adanya taxing power sharing (pembagian wewenang perpajakan) yang di dalamnya terdiri dari aspek expenditure assignment dan revenue assignment dengan tujuan utama adalah untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Pembagian wewenang perpajakan secara substantif mengandung makna dan tujuan sebagai bentuk fiscal power sharing untuk membangun kemandirian daerah dalam hal fiskal, karena sisi paling penting dalam revenue assignment adalah kewenangan perpajakan. Taxing power sharing (pembagian wewenang perpajakan) tersebut dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih maksimal bagi daerah dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan kepada pusat. Oleh karenanya, desentralisasi fiskal dibarengi dengan adanya pergeseran taxing power (kekuasaan perpajakan) dari pemerintah nasional ke daerah, karena kebijakan desentralisasi fiskal tidak hanya terkait dengan masalah kewenangan penggunaan anggaran (belanja daerah) semata, melainkan juga mencakup revenue assignment (kewenangan penerimaan), terutama taxing power (kewenangan perpajakan). Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah merupakan pendapatan asli daerah dan seharusnya menjadi sumber pendanaan utama bagi pemberlangsungan pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah, serta meminimalkan ketergantungan daerah kepada pusat. Oleh karena itu, pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah pada umumnya adalah pajak-pajak yang data dan informasinya mudah diperoleh, pajak yang objeknya relatif tetap atau mobilitasnya rendah, serta pajak yang tidak terdapat permasalahan terkait perbatasan ( no cross boundary ). Jenis Pajak Daerah yang telah ditetapkan di dalam UU 28/2009 adalah Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Bahwa penerbitan UU 28/2009 yang merupakan pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 yang diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan langkah yang strategis dan monumental
• Desentralisasi berarti memindahkan fungsi fiskal, politik, dan administrasi dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Dalam wujud yang dapat berbeda-beda, tergantung pada seberapa besar pemerintah daerah yang bersangkutan mendapat kebebasan untuk menjalankan fungsinya. • Implementasi desentralisasi fiskal, tidak saja menjadi persoalan bagi negara yang baru merdeka atau sedang berkembang, tapi juga bagi negara-negara maju sekali pun. Pendekatan dan derajat masalah yang dihadapi serta orientasi kebijakan yang ditempuh masing-masing negara, dalam rangka mereformasi struktur hubungan tingkat pemerintahannya yang lebih serasi, terutama negara-negara yang telah melakukan yang disebut dengan keadaan postwar estate . Sementara negara-negara yang berkembang, mengarahkan desentralisasi untuk mengatasi kemelut tata kelola yang tidak efektif dan tidak efisien. • Fiskal diharapkan dapat meningkatakan efisensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, memberikan pelayanan yang lebih baik, peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang akan mendorong semakin baiknya dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Fungsi pemerintah yang dirasakan oleh pemerintahan daerah dapat dilaksanakan dan dicapai secara berhasil, guna dan berdayaguna berdasarkan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan urusannya, yang kita kenal dengan money follow function . • Proses desentralisasi perpajakan dan transfer ketika pemerintahan yang lebih rendah merupakan unsur penting dalam reformasi fiskal, di negara maju maupun di negara yang berkembang. Pemerintah Pusat sering gagal meningkatkan efisiensi fiskal. Karena Pemerintah Pusat seringkali mengabaikan permintaan setempat dalam hal budaya, lingkungan, kekayaan, sumber daya alam, dan sebagainya. Mendekatkan fungsi pemerintahan masyarakat seharusnya akan meningkatkan akuntabilitas dalam pemberian pelayanan yang juga meningkatkan efisiensi dalam alokasi dengan menutup celah antara pengeluaran dengan pendapatan. • Prinsip-prinsip keadilan perpajakan, sebagaimana dikemukakan oleh banyak ahli, termasuk Smith dengan Stiglits, pada dasarnya dapat dilihat dari empat aspek, yaitu kejujuran ( fairness ), kemudian yang paling dikenal
dapat disamakan begitu saja dengan orang-orang yang melakukan permainan lainnya yang daya pikul/kemampuan untuk membayarnya ( ability to pay ) lebih rendah/lebih kecil. Hal yang demikian menurut Pemerintah juga telah sejalan dengan fungsi pajak, yaitu untuk menjalankan fungsi budgeter (sumber pembiayaan penyelenggaran pemerintahan) dan sebagai regulator. Dalam hal ini, pajak dapat menjadi instrumen paling tepat dalam mengatasi konflik kepentingan antara kelompok kaya dan kaum miskin. Selain itu juga dikarenakan bahwa pajak merupakan alat untuk memastikan terjadinya peran-peran dasar pemerintah berupa peran alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Pajak telah diletakkan oleh pemerintah sebagai sumber penerimaan sekaligus sumber pembiayaan pelayanan kepada masyarakat, sehingga fungsi lain pajak adalah sebagai instrumen pemerintah untuk menjalankan distribusi (pemerataan), seperti halnya hasil pajak yang digunakan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang lemah secara ekonomi. Hal yang demikian menurut Pemerintah juga telah sesuai dengan prinsip kebersamaan dan asas kekeluargaan perekonomian Indonesia. Pajak hiburan atas permainan golf sebagai pajak daerah telah sesuai dengan prinsip pajak daerah yang bersifat lokal, yaitu bahwa yang menjadi objek pajak tersebut terdapat pada suatu daerah tertentu dan bersifat “ immobile” . Pemungutan pajak hiburan atas permainan golf bersifat “ local ” karena lokasi kegiatan dimana pajak dipungut bersifat tetap dan berada pada suatu wilayah tertentu. Karakteritsik ini sesuai dengan prinsip dan kriteria pajak daerah sehingga pengelompokan pajak permainan golf sebagai pajak daerah kabupaten/kota sudah tepat. Selain itu, faktor utama yang menjadi alasan bahwa permainan golf dikategorikan sebagai objek pajak hiburan adalah karena atas permainan golf tersebut dipungut bayaran . Dalam meningkatkan desentralisasi fiskal dan demokratisasi perpajakan, maka salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memperluas basis pajak daerah. Oleh karenanya, penetapan permainan golf sebagai objek pajak daerah (pajak hiburan) tersebut merupakan salah satu kebijakan dari perluasan basis pajak daerah dimaksud, yang dilakukan dengan pertimbangan bahwa kemampuan untuk membayar ( ability to pay ) dari penanggung pajak sangat memadai. Selain itu, penetapan permainan golf sebagai objek pajak daerah (pajak hiburan) juga dimaksudkan untuk meningkatkan local taxing power dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemerintah
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum.
Uji Materiil atas Pasal 4 ayat (1) UU No.12 tahun 1985 tentang PBB
Relevan terhadap
yang simultan, yaitu secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public investment. Selain fungsi tersebut di atas, pajak juga memiliki fungsi: 1. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, Pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 2. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Di samping itu 90 (sembilan puluh) persen penerimaan PBB nasional didistribusikan kembali kepada provinsi dan kabupaten/kota sebagai pendapatan daerah. Sebagai sumber utama pendapatan negara, pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam menjalankan tugas-tugas negara seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, pengadaan infrastruktur dan sebagainya. Lebih lanjut penerimaan pajak juga digunakan untuk mengatur pertumbuhan ekonomi misalnya melalui pemberian keringanan pajak bagi investor yang akan menanamkan modal, pengenaan bea masuk yang tinggi atas barang impor dalam rangka melindungi produksi dalam negeri. Berkaitan dengan kebijakan stabilitas ekonomi makro, dilakukan dengan penggunaan uang pajak yang efektif dan efisien. Di sisi lain, dalam rangka menjalankan pemerataan pendapatan, uang pajak digunakan untuk dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). d. Landasan Hukum Pemungutan Pajak Dasar pemungutan pajak di Indonesia adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, secara konstitusional negara diberikan kewenangan untuk melaksanakan pemungutan pajak dengan Undang-Undang. Kewenangan atributif tersebut tercantum dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan
Uji materiil terhadap Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK 94/PMK.04/2016 ttg pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibu ...
Relevan terhadap
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau penyalur yang wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 23 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d wajib menyelenggarakan pembukuan;
Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah pengusaha pabrik skala kecil, penyalur skala kecil yang wajib memiliki izin, dan pengusaha tempat penjualan eceran yang wajib memiliki izin;
Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat;
...” ( vide Bukti P-6) 12. Bahwa hal itu dikarenakan, materi mengenai kewajiban, secara sistematika di atau dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai yang merupakan bagian dari Sub BAB VI mengenai kewajiban pencatatan dan pembukuan bagi subjek yang diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Cukai yaitu hanya pengusaha atau pihak yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Cukai;
Bahwa kriteria sebagai Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Cukai telah diatur secara tegas dan jelas dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Cukai yang menyatakan bahwa yang dimaksud Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan, halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya, yang dipergunakan untuk menghasilkan Barang Kena Cukai dan/atau untuk mengemas Barang Kena Cukai dalam kemasan untuk penjualan eceran dan terkait kriteria Subjek dari Pabrik tersebut harus merujuk kepada batasan mengenai Objek Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa dengan demikian secara gramatikal dan sistematika perundang-undangan penerapan Pasal 16 Undang-Undang Cukai tersebut hanya dikenakan terhadap subjek atau objek yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 24 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Cukai, yaitu pabrik yang menghasilkan Barang Kena Cukai dalam diantaranya untuk produk tembakau iris harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai;
Bahwa terkait dengan kewajiban pelaporan dan pembukuan sebagaimana diatur dalam ayat 2 dan ayat 3 Pasal 16 Undang- Undang Cukai, harus dan hanya bisa dikaitkan dengan subjek yang dikategorikan Pabrik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 yang memproduksi Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Cukai yaitu barang yang telah selesai dibuat sesuai dengan batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Cukai;
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, penafsiran dan penerapan termasuk pembuatan peraturan pelaksana atas ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai menurut Pemohon seharusnya adalah sebagai berikut:
Bahwa secara konstruksi, subjek dan objek yang dikenakan oleh Pasal 16 Undang-Undang Cukai ini harus tetap mengacu pada kriteria-kriteria Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai yaitu hanya atas objek barang tembakau yaitu produk Hasil Tembakau untuk dipakai yang selesai dibuat dan akan dijual kepada konsumen akhir atau konsumen Perokok ( vide Bukti P-6);
Bahwa karena Pasal 16 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Cukai ini berkaitan dengan “fasilitas” atau pengecualian atas kewajiban dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, maka secara prinsip seharusnya kriteria objek dari subjek yang diatur dalam aturan pelaksana tersebut tetap harus tunduk kepada norma sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cukai, yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai, dimana Pengusaha yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai dalam kondisi tertentu mendapat “keringanan” untuk tidak melakukan pelaporan dan pembukuan ( vide Bukti P-6); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 25 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 17. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Cukai khususnya yang berkenaan dengan kewajiban pembukuan dan pelaporan tersebut hanya diterapkan dan berlaku apabila objek yang diproduksi oleh suatu perusahaan masuk dalam kriteria Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa dengan adanya Peraturan Pelaksana yang memperoleh “delegasi” dari ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Cukai ini, seharusnya mengatur pada tataran sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Cukai saja, yaitu hanya sebatas pada penetapan syarat dan kondisi yang dapat diterima terkait dengan “pengecualian” tersebut, tanpa mengubah atau menambahkan norma baru yang telah secara tegas dan jelas diatur dalam Undang-Undang Cukai dalam hal ini adalah Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa dengan demikian, dari uraian Pemohon tersebut telah terbukti bahwa Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 Tahun 2016 telah bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi yaitu dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat 1, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai Undang-Undang Cukai;
Bahwa tiba-tiba dengan PMK Nomor 94 Tahun 2016, Menteri Keuangan telah memperluas batasan objek cukai atau kriteria yang menjadi “Barang Kena Cukai” yang sudah diatur dengan Undang-Undang Cukai, sehingga Pemohon menilai dan karenanya harus berpendapat bahwa telah terjadi “Penambahan” atas suatu barang menjadi Barang Kena Cukai “secara tidak sah” yang diberikan melalui Peraturan Perundang-undangan yang derajat atau tingkatannya di bawah Undang-Undang (dalam hal ini Undang-Undang Cukai). Maka di samping telah bertentangan dengan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Cukai, terkait dengan penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 Tahun 2016, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 sepanjang yang menyangkut batasan atau kriteria “selesai dibuat ” adalah:
Tidak sesuai dengan “asas kelembagaan” (Pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang tepat) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (b) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( vide bukti P-7). Karena seharusnya penetapan batasan “selesai dibuat” yang mempunyai akibat hukum adanya penentuan objek barang kena cukai yang baru diatur oleh Undang-Undang Cukai, sehingga DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bisa ikut menyetujui adanya penambahan Objek Cukai;
Tidak sesuai dengan “asas kesesuaian” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, karena dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarkinya, karena itu seharusnya penentuan batasan “selesai dibuat” untuk barang berupa TIS diatur dalam undang-undang bukan dengan Peraturan Menteri Keuangan;
Tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf (f) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena rumusannya sama atau tumpang tindih dengan batasan “selesai dibuat” sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan Penjelasan dari Undang-Undang Cukai. Akibatnya batasan “baru” yang dinyatakan dalam PMK Nomor 94 Tahun 2016 bisa membebani serta mempunyai implikasi hukum yang luas termasuk menyebabkan adanya “pemajakan” (dalam hal ini berupa cukai) secara berganda dan yang lebih membebankan akan menyebabkan subjek-subjek baru yang akan dibebankan kewajiban secara finansial atau setidak- tidaknya sehubungan dengan kewajiban administratif yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 berkaitan dengan barang cukai, seperti laporan dan kepemilikan NPPBKC yang sebenarnya tidak diatur dalam Undang-Undang Cukai seperti petani-petani yang melakukan perajangan tembakau. Keadaan ini tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum di kemudian hari dan karenanya harus dihentikan;
Bahwa Pemohon juga berpendapat sesuai dengan jiwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 a quo dan sesuai dengan prinsip lex superiori derograt lex inferiori seharusnya PMK Nomor 94 Tahun 2016 yang merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Cukai khususnya Pasal 16 ayat (2) juncto Pasal 16 ayat (7) tidak boleh menciptakan norma baru yang memperluas ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Cukai;
Bahwa menurut Ajaran Teori Norma Hukum Berjenjang yang antara lain diintrodusir oleh Hans Kelsen yang dikenal dengan nama “ Stufenbau des Recht ” antara lain dapat dikatakan bahwa Norma Hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan dan keabsahan hukum dari Norma Hukum yang lebih tinggi. Itu sebabnya Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang;
Bahwa Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan sebagai berikut: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; Dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang- undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”; Dengan kata lain, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut memang dijiwai oleh asas Lex Superiori derograt lex inferiori . Bahwa dengan melihat kepada aturan tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 PMK Nomor 94 Tahun 2016 kedudukannya lebih rendah dari UU Cukai ( vide bukti P-7);
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan PMK Nomor 94 Tahun 2016 mengenai batasan “selesai dibuat” tersebut juga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang menjadi landasan dari kebijakan pokok tentang arah dan tujuan perubahan Undang-Undang KUP menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana tersebut dalam angka (4) dari Penjelasan Umum Undang-Undang KUP yang pada akhirnya bisa merugikan keadilan bagi Wajib Pajak (Bukti P-13);
Bahwa mengenai munculnya batasan baru terkait dengan makna selesai dibuat untuk barang berupa tembakau iris menjadi “selesai dirajang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 tahun 2016 sebenarnya bukan didasarkan pada kewenangan atributif. Tidak ada amanat dari Undang-Undang Cukai agar Menteri Keuangan membuat peraturan pelaksanaan yang memberi batasan baru terkait dengan kapan suatu barang dapat dikenakan atau dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai atau kapan batasan mengenai barang tembakau “selesai dibuat” tersebut. Dengan demikian menurut Pemohon pembentukan aturan pelaksanaan yang tidak diamanatkan oleh undang-undangnya seperti halnya penambahan batasan makna “selesai dibuat” untuk barang berupa tembakau iris a quo seharusnya didasarkan pada doelmatigheid yang jelas yang sangat diperlukan dan harus juga didasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik. Undang-Undang Cukai khususnya Pasal 3 ayat (1) juncto Pasal 4 ayat (1) sudah mengatur secara rinci mengenai batasan “selesai dibuat” dan tidak perlu adanya pengaturan batasan lain yang justru menimbulkan multi tafsir yang dapat menyebabkan abuse of power dari Dirjen Bea Cukai dan bisa menyebabkan komplikasi administrasi cukai yang pada akhirnya merugikan rakyat khususnya Wajib Pajak, sehingga kurang sesuai dengan asas keadilan dan kepastian hukum;
Bahwa Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 yang isinya menyatakan: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 “Pasal 3:
....
. Barang Kena Cukai yang yang selesai dibuat wajib diberitahukan sebagaimana diatur dalam ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
..
..
untuk hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya....,”;
Bahwa terkait dengan ketentuan tersebut secara umum, dalil atau argumen hukum yang sama ( mutatis mutandis ) masalah yang terkait dengan Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 berlaku untuk ketentuan dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 ini;
Bahwa, kami akan menambahkan dalil secara khusus, adanya pertentangan antara Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Cukai khususnya dikarenakan adanya pelebaran makna dari Subjek yang seharusnya memiliki kewajiban administrasi fiskal finasial terkait dengan cukai bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan produk tembakau;
Bahwa secara umum, kegiatan usaha tembakau terdiri dari: (i). Budidaya Tembakau; (ii). Tata Niaga Tembakau; (iii). Pemrosesan Daun tembakau; dan (iv) Pabrik Hasil tembakau yang melibatkan subjek perorangan atau badan usaha baik petani maupun pengusaha;
Bahwa dalam hal ini secara faktual atas produk tembakau tersebut lazim suatu subjek termasuk petani melakukan kegiatan yang tidak hanya satu yaitu terdiri dari budidaya, pemrosesan dan tata niaga;
Bahwa salah satu yang lazim dilakukan oleh petani dan badan usaha adalah melakukan pemrosesan berupa perajangan oleh karena itu dengan adanya perluasan kualifikasi Barang Kena Cukai yang Telah Selesai Dibuat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 dan Pasal 3 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 maka akan merugikan Pemohon dan para petani yang harus menanggung beban administrasi dan finansial lebih dari yang seharusnya. Hal ini akan semakin menyulitkan para petani di tengah semakin derasnya arus masuk tembakau impor yang membuat harga tembakau semakin jatuh;
Bahwa terkait dengan hal tersebut Undang-Undang Cukai telah secara jelas mengatur pihak mana saja yang dapat dikategorikan sebagai subjek yang dianggap sebagai pihak yang memproduksi Barang Kena Cukai dan diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai sebagai berikut: Kriteria Pabrik Yang Wajib Memiliki NPPBKC Sesuai Pasal 14 ayat (1) UU Cukai No. Pengaturan Dalam UU Cukai Terkait Dengan Kewajiban NPPBKC Syarat Menurut UU Cukai Hasil dari Petani dan Badan Usaha Yang menjual Untuk Bahan Baku Kesimpulan 1 Kriteria Pabrik Berdasarkan Pasal 1 angka (2) UU Cukai Pabrik yang menghasilkan Barang Kena Cukai Hanya akan menjadi BKC apabila memenuhi kriteria produk berdasarkan Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 3 ayat (1) UU Cukai Sepanjang produknya tidak memenuhi kriteria dalam Pasal 4 ayat(1) jo Pasal 3 ayat (1) UU Cukai bukan merupakan Pabrik 2 Kriteria Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Cukai dan penjelasannya yang termasuk BKC Produksi BKC adalah tembakau iris yaitu tembakau yang dirajang untuk dipakai Tembakau yang dihasilkan bukan untuk dipakai Hasil pemrosesan tembakau dari Petani dan badan usaha yang tujuannya penjualan untuk digunakan sebagai bahan baku bukan merupakan BKC sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Cukai dan penjelasannya. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 3 Terkait dengan saat pengenaan cukai sesuai Pasal 3 ayat (1) dan penjelasannya Dikenakan pada saat barang selesai dibuat dengan tujuan untuk dipakai Hasil tembakau yang ditujukan untuk bahan baku pasti tidak untuk dipakai tapi sebagai bahan baku rokok untuk pabrik yang lain Saat Terutang untuk cukai tidak akan pernah terjadi Kesimpulannya Petani dan Badan Usaha Yang menjual hasil pemprosesan tembakau untuk keperluan bahan baku Pemohon Hak Uji Materiil tidak memenuhi kriteria sebagai Pabrik yang harus memiliki izin (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai) berdasarkan Pasal 14 ayat 1 UU Cukai - Bahwa jelas sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai juncto Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) hanya untuk orang atau badan usaha yang menjual hasil tembakau untuk dipakai selesai dibuat sehinga hasil tembakau yang belum siap dipakai, termasuk yang dirajang, yang dijual untuk bahan baku tidak memenuhi kriteria produk tembakau sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai karena bukan merupakan produk Hasil Tembakau untuk dipakai yang selesai dibuat dan tidak dijual kepada konsumen akhir atau konsumen Perokok; - Bahwa dengan demikian secara Subjektif, secara tegas pihak yang menjual hasil tembakau untuk bahan baku tidak memenuhi kriteria sebagai Pabrik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 4 angka 1 juncto Pasal 3 Angka 1 Undang-Undang Cukai; - Namun demikian, dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 diatur bahwa, untuk subjek hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya, diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai; - Bahwa dengan demikian, ketentuan tersebut jelas bertentangan dangan maksud dari dibuatnya peraturan pelaksana terkait dengan ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai karena: (i). Secara eksplisit dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai dinyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya diperuntukan bagi subjek yang memenuhi kriteria dalam Pasal 14 ayat (1); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 32 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (ii). Bahwa terkait dengan subjek tersebut kriteria menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Cukai; (iii) Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Cukai tidak semua pihak yang melakukan usaha tembakau masuk dalam kriteria Pabrik yang mempunyai kewajiban memiliki izin sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai; (iv). Bahwa secara tegas dan jelas Undang-Undang Cukai mengatur bahwa orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha menjual hasil tembakau untuk bahan baku, tidak termasuk kategori Pabrik yang diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai; (v). Bahwa namun demikian, dalam PMK Nomor 94 Tahun 2016 khususnya dalam Pasal 3 ayat 2 huruf (d) diatur secara meluas dan bertentangan dengan Undang-Undang Cukai terkait dengan adanya kewajiban pemberitahuan bagi subjek atau pihak yang menurut Undang-Undang Cukai tidak termasuk dalam kriteria dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai; (v). Bahwa secara konstruksi disamping menimbulkan norma baru yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, secara konstruksi pembuatan Pasal tersebut menjadi tidak logis, karena seharusnya justru PMK tersebut mengatur kewajiban administrasi dengan batasan yang jelas berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, namun pada kenyataannya dengan adanya ketentuan dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 ini berpotensi untuk menyebabkan pihak yang seharusnya tidak wajib memiliki izin berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai menjadi wajib memiliki izin; - Bahwa dengan demikian, dari uraian Pemohon tersebut telah terbukti bahwa Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai; - Bahwa dengan terbuktinya adanya pertentangan Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016, maka permohonan ini mendesak untuk diputuskan karena selain Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 33 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 akan menimbulkan kerugian yang besar pada Pemohon dan para petani tembakau di seluruh Indonesia juga akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
Kesimpulan Bahwa sehubungan dengan uraian tersebut di atas, menurut Pemohon dapat disimpulkan secara sah dan menyakinkan ketentuan mengenai batasan “selesai dibuat” untuk barang berupa tembakau iris sebagaimana tersebut pada Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat telah terbukti:
Bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Pembentukan peraturan/ketentuan mengenai “selesai dibuat” dan ketentuan mengenai “tembakau iris yang digunakan sebagai bahan baku” a quo tidak memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Bahwa oleh karenanya, mohon kepada Majelis Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara Hak Uji Materil a quo untuk memutuskan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat dan dengan menggunakan alasan, dalil atau pertimbangan hukum yang sama ( mutatis mutandis ) juga menyatakan karenanya tidak sah dan tidak berlaku sepanjang mengenai batasan “barang selesai dibuat” yang diatur dalam pasal-pasal terkait PMK Nomor 94 Tahun 2016, yaitu: Pasal 3 angka 2 huruf (d); Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya Pemohon mohon kepada Ketua Mahkamah Agung berkenan memeriksa permohonan keberatan dan memutuskan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/ PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/ PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan prosedur pembentukannya tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku yaitu: - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (“Undang- Undang Cukai”) khususnya Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai; dan Tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut sebagai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam: - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Menyatakan Peraturan Perundang-undangan tersebut di bawah ini: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan tidak berlaku umum;
Memerintahkan Peraturan Peraturan Perundang-undangan tersebut dibawah ini: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; Untuk dicabut;
Menyatakan penafsiran Tembakau Iris yang merupakan Barang Kena Cukai dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai untuk dinikmati oleh konsumen akhir, tanpa mengindahkan bahan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya sehingga tembakau iris yang belum siap dipakai bukan merupakan Barang Kena Cukai; atau Apabila Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) ; Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti berupa:
Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat (Bukti P-1);
Fotokopi Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (Bukti P-2);
Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945 (Bukti P-3);
Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Bukti P-4);
Fotokopi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (Bukti P-5);
Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Bukti P-6);
Fotokopi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Bukti P-7);
Fotokopi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Bukti P-8);
Fotokopi Laporan Hasil Audit Nomor LHA-45/BC.62/IP/2016 tanggal 12 Februari 2016 (Bukti P-9);
Fotokopi Surat Tagihan Nomor: S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 tentang Penetapan atas Sanksi Administrasi Berupa Denda (Bukti P-10);
Fotokopi Pemohon mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada tanggal 10 Maret 2016 Nomor 097/SDHN/III/2016 (Bukti P- 11);
Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP- 03/BC.06/2016 tanggal 11 Mei 2016 tentang Penetapan atas Keberatan PT Sadhana (Pemohon) Terhadap Penetapan yang Dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai Dalam Surat Tagihan Nomor S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 (Bukti P-12); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 13. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Bukti P-13);
Fotokopi Akta Pendirian PT Sadhana (Bukti P-14); Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 10 Juli 2017 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 46/PER- PSG/VII/46 P/HUM/2017, tanggal 10 Juli 2017; Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawaban tertulis pada tanggal 31 Juli 2017, yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut: POKOK PERMOHONAN Bahwa alasan Keberatan Uji Materiil yang diajukan oleh Pemohon, pada intinya menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat (untuk selanjutnya disebut “PMK 94/2016”), dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (untuk selanjutnya disebut “Undang-Undang Cukai”), dan tidak sesuai dengan tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Bahwa selain itu, di dalam permohonannya Pemohon juga mengemukakan alasan-alasan permohonan sebagai berikut:
Bahwa posisi hukum Pemohon, sebagaimana halnya dengan petani-petani tembakau yang melakukan kegiatan perajangan khususnya yang menjual hasil tembakaunya kepada Pemohon, tidak termasuk ke dalam kriteria sebagai pelaku usaha atau subjek yang memproduksi Barang Kena Cukai;
Bahwa ketentuan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK 94/2016 telah memperluas kriteria subjek yang diwajibkan untuk memberitahukan barang kena cukai berupa Tembakau Iris, yang tidak diatur dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 14, Pasal 16 Undang- Undang Cukai;
Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK 94/2016 tersebut, Pemohon dianggap sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 subjek yang memproduksi Barang Kena Cukai, yang mengakibatkan Pemohon mempunyai kewajiban administrasi danmenanggung beban fiskal; LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN PMK 94/2016 Bahwa sebelum menyampaikan tanggapan atas hal-hal diluar pokok permohonan dan menanggapi dalil-dalil lainnya, Termohon menganggap perlu untuk menyampaikan hal-hal terkait latar belakang pembentukan PMK 94/2016 dan pengaturan mengenai pemberitahuan barang kena cukai, khususnya terkait tembakau iris, yang diatur dalam PMK 94/2016, diantaranya sebagai berikut:
Bahwa dapat Termohon sampaikan, cukai merupakan salah satu pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Undang-Undang Cukai);
Bahwa tujuan kebijakan pengenaan cukai selalu mengacu pada filosofi pengenaan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Cukai, yaitu: “Pasal 2 (1) Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik:
konsumsinya perlu dikendalikan;
peredarannya perlu diawasi;
pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau
pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini;
Barang-barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai barang kena cukai”;
Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai, salah satu Barang Kena Cukai yang memiliki sifat atau karakteristik sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Cukai yaitu Hasil Tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya;
Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai, definisi dari Tembakau Iris adalah adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah jelas dan tegas mengatur bahwa Tembakau Iris adalah Barang Kena Cukai yang memiliki unsur sebagai berikut:
Hasil Tembakau;
Dibuat dari Daun Tembakau yang dirajang;
Untuk dipakai;
Tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya;
Bahwa dapat Termohon tegaskan, unsur Tembakau Iris dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai sama persis dengan unsur Tembakau Iris dalam Pasal 1 angka 7 PMK 94/2016 sebagaimana tertera pada tabel berikut: Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Cukai Pasal 1 angka 7 PMK 94/2016 Yang dimaksud dengan tembakau iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Tembakau iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya;
Bahwa sejalan dengan pengaturan kriteria barang-barang yang dapat dikenai cukai, Undang-Undang Cukai juga mengatur peristiwa yang menyebabkan barang tersebut terutang pajak cukai, yakni mengatur secara khusus peristiwa saat pengenaan cukai mulai diberlakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa dapat Termohon jelaskan, apabila ketentuan peristiwa yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai tersebut telah terpenuhi, maka atas barang tersebut telah terutang cukai dan terhadapnya telah melekat hak-hak negara;
Bahwa atas melekatnya hak-hak negara pada sebuah barang kena cukai maka berdasarkan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib untuk melakukan pengawasan terhadap barang kena cukai tersebut dan Pengusaha Pabrik juga wajib memberitahukan secara berkala kepada kepala kantor (Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 10. Bahwa penegasan saat pengenaan cukai terhadap suatu barang yang ditetapkan sebagai Barang Kena Cukai menjadi sangat penting, karena sejak saat itulah secara yuridis telah timbul utang cukai sehingga perlu dilakukan pengawasan terhadap barang tersebut sebab terhadapnya telah melekat hak-hak negara dan merupakan titik awal proses pengawasan cukai, pelunasan cukai, fasilitas cukai, penagihan cukai, pengembalian hingga jangka waktu yaitu kadaluwarsanya pungutan cukai;
Bahwa terkait dengan pengaturan Cukai terhadap Tembakau Iris, ketentuan Pasal 3 Ayat 2 huruf d PMK 94/2016 mengatur lebih lanjut tentang kewajiban pemberitahuan Tembakau Iris sebagai barang kena cukai selesai dibuat, dimana ketentuan tersebut sesuai dan sejalan dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai sebagai berikut: Norma UU Cukai PMK 94/2016 Pengaturan Mengenai Berlakunya Pengenaan Cukai atas Barang Kena Cukai Pasal 3 ayat (1) yakni mengatur : Pengenaan Cukai untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia dikenakan pada saat selesai dibuat. Penjelasannya: Untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia, saat pengenaan cukai adalah pada saat selesai dibuat sehingga saat itulah terhadap barang tersebut dilakukan pengawasan. Yang dimaksud dengan "barang selesai dibuat" adalah saat proses pembuatan barang itu selesai dengan tujuan untuk dipakai. Pasal 2 ayat (1) yakni mengatur: Pengenaan Cukai mulai berlaku untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia pada saat selesai dibuat Pasal 2 ayat (2) yakni mengatur: Barang Kena Cukai selesai dibuat yaitu saat proses pembuatan barang dimaksud selesai dengan tujuan untuk dipakai.. Dapat disimpulkan bahwa pengaturan pengenaan Cukai atas Barang Kena Cukai Yang Selesai Dibuat pada PMK 94/2016 telah sejalan dengan pengaturan pada UU Cukai; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Kewajiban pemberitahuan Tembakau Iris sebagai BKC yang selesai dibuat secara berkala Pasal 16 ayat (3) yakni mengatur: “Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat” Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Cukai: “Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Pasal 1 angka 7 mengatur sebagai berikut: “Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Pasal 3 ayat (1) yakni mengatur: “Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat” Pasal 2 ayat (3) yakni mengatur: “saat proses pembuatan barang kena cukai selesai dengan tujuan untuk dipakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk barang kena cukai berupa:
hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengelolaan daun tembakau telah selesai dirajang, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya”; Pasal 3 ayat (2) yakni mengatur: “Barang kena cukai yang selesai dibuat yang wajib diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 berikut:
Untuk hasil tembakau berupa tembakau iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai dalam hal hasil tembakau berupa Tembakau Iris dimaksud telah dikemas”; Dapat disimpulkan bahwa pengaturan atas kewajiban pemberitahuan Tembakau Iris sebagai Barang Kena Cukai serta unsur-unsur Tembakau Iris di PMK 94/2016 telah sejalan dengan pengaturan pada UU Cukai; Bahwa berdasarkan perbandingan di atas, terhadap daun tembakau yang dirajang, dengan tujuan untuk dipakai, baik dipakai untuk langsung dikonsumsi oleh pengguna akhir (misalnya untuk susur, shag tobacco ) maupun dipakai sebagai bahan baku/penolong untuk pembuatan hasil tembakau lainnya (misalnya sigaret) sudah dikategorikan sebagai Tembakau Iris tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya;
Bahwa tanggung jawab atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia berada pada Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan, dan untuk atas Barang Kena Cukai yang diimpor berada pada Importir atau pihak-pihak lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 13. Bahwa sebagai penanggung jawab Barang Kena Cukai, pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai ataupun penyalur diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, terkecuali terhadap pengusaha pabrik skala kecil dan penyalur skala kecil, pengusaha tempat penjualan eceran tidak diwajibkan untuk melakukan pembukuan tetapi wajib untuk memiliki izin dan wajib untuk melakukan pencatatan. Kewajiban untuk melakukan pencatatan ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan dalam memenuhi ketentuan Undang-Undang Cukai ini dengan tetap menjamin pengamanan hak-hak negara;
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan tersebut, Pasal 14 Undang- Undang Cukai juga mewajibkan kepada setiap pihak yang menjalankan kegiatan menghasilkan produk Barang Kena Cukai untuk memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai dari Menteri Keuangan;
Bahwa selanjutnya, ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Cukai mewajibkan kepada setiap pihak yang menjalankan kegiatan menghasilkan produk Barang Kena Cukai untuk menyelenggarakan pembukuan. Dalam hal ini, khusus untuk Pengusaha Pabrik wajib pula untuk memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang Barang Kena Cukai yang selesai dibuat sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Cukai;
Bahwa ketentuan yang mengatur tentang kewajiban untuk melaksanakan pencatatan dan kewajiban pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat dalam Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Cukai tidak terlepas dari norma titik awal timbulnya kewajiban tersebut bagi entitas penghasil produk Barang Kena Cukai;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, kewajiban administrasi berupa perizinan, pencatatan, pembukuan, dan pemberitahuan atas Barang Kena Cukai tidak serta merta menimbulkan kewajiban untuk membayar pungutan Cukai bagi pihak yang memiliki kewajiban administrasi tersebut;
Bahwa terdapat fasilitas cukai berupa pengecualian atas pungutan cukai terhadap Barang Kena Cukai yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
Pelaporan Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara.
Uji materiil terhadap PP 33 tahun 2014 ttg jenis dan tarif atas PNBP yg berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehut ...
Relevan terhadap
Ayat 1 : Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
keadilan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 134 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 135 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Penjelasan Pasal 6 Huruf g : Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 maka pada pokoknya dijelaskan bahwa dalam melakukan penyelenggaraan rehabilitasi hutan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif. Berpedoman pada ketentuan aquo maka penyelenggaraan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH oleh Termohon I dan Termohon II melalui perumusan dan pembuatan kebijakan dan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sepatutnya dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif dan juga harus mematuhi norma dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d dan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pembentukan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 tidak melalui pendekatan partisipatif dan juga bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas keadilan dan asas kejelasan rumusan. Hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut:
. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan mencantumkan secara tegas mengenai rehabilitasi hutan didalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan) dan sebaliknya tidak pernah mengatur secara tegas mengenai adanya norma Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 135 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 136 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kewajiban penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3). Oleh karena itu, maka materi dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sebagai norma pelaksana dari Undang-Undang tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan Undang-Undang ( in casu UU Nomor 41 Tahun 1999 sebagai UU Sektoral yang mengatur secara khusus atau lex specialis tentang Kehutanan) sebagai norma yang lebih tinggi hierarkinya;
. Berdasarkan batasan wilayah maka kegiatan rehabilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut sepatutnya direlasikan dan dipahami dengan ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 sehingga rehabilitasi yang dilakukan oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH hanya untuk penggunaan kawasan hutan yang menimbulkan kerusakan hutan secara limitatif, yaitu terbatas hanya untuk kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (dalam area IPPKH) yang timbul kerusakan sebagai akibat dari digunakan untuk kepentingan pertambangan. Sebaliknya dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 –menciptakan rumusan norma baru – berupa dimasukkannya norma kewajiban rehabilitasi DAS diluar area IPPKH – yang tidak pernah diatur dan bertentangan serta berbeda dengan esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3);
. Perumusan dan pemberlakuan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 136 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 137 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 pertambangan melalui Pemohon I dan Pemohon II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH. konsekuensi dari adanya pengenaan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tersebut – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah menimbulkan tambahan beban finansial ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Adanya tambahan beban tersebut – berupa kewajiban penanaman dalam rangka rehabiltasi DAS dan adanya multi pungutan yang salah satunya bersifat imajiner dan liar yang bernama PNBP – tentunya menimbulkan biaya operasional tambahan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang berakibat menimbulkan kerugian yang sangat signifikan sehingga berpotensi dapat mengganggu keberlanjutan/kelanjutan kegiatan usaha bagi pelaku usaha pemegang IPPKH. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka Pembentukan Dan Penyusunan Peraturan Pemerintah Tentang Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi DAS (vide Bukti P-10G, Bukti P-10H, Bukti P-10I, Bukti P-10J, Bukti P-10K, Bukti P-10L dan Bukti P-10M).
. Dimunculkannya rumusan norma baru tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – merupakan rumusan yang tidak jelas karena secara hierarki dan jenis serta materi muatan, rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tidak pernah diatur dan juga tidak pernah dicantumkan secara tegas (eksplisit) dalam rumusan norma dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3,) sehingga menimbulkan intepretasi yang berbeda dan bertentang dengan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 137 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 138 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3 uu Nomor 41 Tahun 1999; Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut diatas maka pencantuman dan pemberlakuan norma kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Pemerintah merupakan bentuk penyelundupan norma yang mengingkari dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3), ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 dan ketentuan Pasal 5 huruf c,huruf d dan huruf f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011; Oleh karena itu, ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 Dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 sangat beralasan secara hukum untuk dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum; V. PETITUM PERMOHONAN. Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang dikemukakan di atas oleh Para Pemohon, maka Para Pemohon memohon kepada Yang Terhormat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia casu quo Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo , agar berkenan kiranya untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon I dan Pemohon II (Para Pemohon) untuk seluruhnya;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 138 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 139 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang- Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Huruf b dan Huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Bertentangan Dengan Peraturan Perundang- Undangan Yang Lebih Tinggi Yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Huruf b Angka 1, Pasal 19 Ayat (1) Huruf c dan Huruf d, Pasal 22 Huruf d, Huruf e, Huruf q Angka 4 dan Angka 7, Huruf r Angka 4 dan Angka 5, dan Pasal 47 Ayat (1) Huruf a dan Ayat (2) Huruf b dan Huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang- Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 139 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 140 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Huruf a dan Huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 140 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 141 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 huruf a dan ayat (2) huruf b dann huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Memerintahkan kepada Termohon I ( in casu Presiden Republik Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3; Dan Ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Termasuk Ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Memerintahkan kepada Termohon II ( in casu Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republk Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 141 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 142 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/ Kum.1/11/2016;
Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara;
Menghukum Termohon I dan Termohon II untuk membayar biaya perkara. ATAU, Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya ( Ex Aequo Et Bono ). Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti, yaitu sebagai berikut: No. Kode KETERANGAN 1. P-1A Akta Pernyataan Keputusan Rapat Musyawarah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association) Nomor 7 tertanggal 6 Mei 2015; P-1B Kartu Tanda Penduduk Nomor 3171061705790002 atas nama Pandu Patria Sjahrir P-1C Akta Pernyatan Keputusan Rapat Badan Pengurus Perkumpulan Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association) Nomor 39 tertanggal 22 Desember 2016 P-1D Kartu Tanda Penduduk Nomor 3276020109650010 atas nama Maringan M.I.H. Hutabarat.
P-2A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Pener i maan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1 , Angka 2, Angka 3 yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 16 Me i 2014 - vide Ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) termasuk Lampiran Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 Peraturan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 142 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 143 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 20 1 4 P-2B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 201 0 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 - vide Ketentuan Pasal 21 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b P-2C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomo r 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 - vide Ketentuan Pasal 6 ayat 2 huruf b, Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c 3. P-3A Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan berikut lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P . 50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Te n tan g Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2016 - vide Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huru f b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c P-3B Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Beriku t Lampiran Angka Romawi I Sampai Dengan Lampiran Angka Romawi VIII yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 22 November 2016 vide Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) , Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) , Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) 4. P-4A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 - vide Pasal 23A P-4B Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) P-4C Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman - vide Pasal 20 Ayat (2) Huruf b dan ketentuan Pasa i 20 Ayat (3) P-4D Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31A Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) P-4E Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil - vide Pasal 1 ayat (1) 5. P-5A Akta Anggaran Dasar APBI-ICMA Asosiasi Pertambanga n Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association ) N omor 01 tanggal 22 Maret 2007 yang dibuat oleh dan dihadapan Notar i s Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 143 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 144 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ratih Gondo Kusumo, S.H. P-5B Akta Pernyataan Keputusan Musyawarah Anggota A sos i as i Pertambangan Batubara Indonesia ( APBI-ICMA) I ndonesian C oa l Mining Association Nomor 20 tanggal 22 Juni 2009 6. P-6A Akta Perubahan Akta Pendir i an Perkumpu l an A sosia si Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining A ssoc i ation ) N o m o r 1 7 t anggal 17 Juni 2011 yang dibuat o l eh dan dihadapa n Nota ri s Ratih Gondokusumo Siswono, S . H. P-6B Akta Anggaran Rumah Tangga Asosiasi Pertambangan In do n esia ( Indonesian Mining Association) Nomor 1 8 tangga l 1 7 Juni 2011 yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Ratih Gondokusumo Siswono, S.H .;
P-7 Undang-Undang Nomor 1 2 T ahun 20 11 t en t ang Pemben t uka n Peratu r an Perundang - undangan - vide Pasa l 3 , Pasa l 5 H u ruf c da n Huruf d , dan Penje l asan Pasal 5 Hur u f c da n Huruf d, Ketentua n Pasa l 6 Aya t (1) Hur u f g dan Penjelasan P asa l 6 A y a t (1) H uruf g , d a n P asa l 1 2.
P-8 Peraturan Menteri L i ngkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia P.27/Menlhk/Setjen/Keu-1/2/2016 Tahun 2016 tentang Pedoman Tata Cara Pengurusan Piutang Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ("PERMEN LHK RI Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Keu- 1/212016 "). 9. P-9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 88/PMK . 06/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK . 06/2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK . 06/2016 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1 28/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara.
P-10A P-10B P-10C Surat Nomor 187/APBI-ICMA/V/2007, tertanggal 23 Mei 2007 perihal PNBP Kehutanan Surat Nomor 549/APBI-ICMA/XII/2012, tertanggal 18 Desember 2012, perihal RPP Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Penggunaan Kawasan Hutan; Surat Nomor 040/API/IMA/IV/2014 dan Nomor 138/APBI- I CMA/IV/2014, tertanggal 22 April 2014, perihal Tanggapan API-IMA dan APBI-ICMA Terhadap Rencana Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 144 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 145 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10D P-10E P-10F P-10G P-10H P-10I P-10J P-10K P-10L Surat Nomor 330/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 26 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Diluar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 331/APBI-ICMA/VIII/2014, tertanggal 27 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 019/APBI-ICMA/III/2015 dan Nomor 056/API- IMA/III/2015 tertanggal 31 Maret 2015 Tentang Permohonan Peninjauan Kembali PP Nomor 24 Tahun 2010 dan PP Nomor 33 Tahun 2014; Surat Nomor 349/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 28 Agustus 2014 Perihal Permohonan Pembatalan Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Jenis Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Sektor Kehutanan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/V/2015, tertanggal 25 Mei 2015 , Perihal Permohonan Peninjauan Kembali Peraturan Menteri Kehutanan No.P.16/Menhut-II tanggal 20 Maret 2014 dan No.P.87/Menhut- II/2014 tanggal 29 September 2014; Surat Nomor 035/APBI-ICMA/VI/2015, tertanggal 26 Juni 2015 , Perihal Masukan Terhadap Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan hutan; Surat Nomor 001/APBI-ICMA/I/2016, tertanggal 11 J anuar i 2016, Perihal Permohonan Pembahasan Kembali Revisi Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/IX/2016, tertanggal 7 September 2016 , Perihal Tanggapan Terhadap Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. No.P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang 'I Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan ("Permenlhk P.50/2016”) Surat Nomor 146/API/IMA/XII/2016, Nomor 037/APBI-ICMA/XII/2014 , Tertanggal 19 Desember 2016, Perihal Permohonan Dukungan Penye!esaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 145 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 146 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10M Surat Nomor 006/API-IMA/II/2017 dan Nomor 017/APBI- ICMA/II/2017, tertanggal 27 Februari 2017, Perihal Permohonan Dukungan Penyelesaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi DAS Bagi Pemegang IPPKH .
P-11A P-11B P-11C P-11D Artikel Online - Royalti Naik, Perusahaan Batu Bara Terancam Bangkrut Dipublikasikan tanggal 1 Juli 2015 Sumber : https: //ekbis.sindonews.com/read/1019004/34/royalti-naik- perusahaan-batu-bara-terancam-bangkrut- 1435744806 Artikel Online - Terdampak Krisis Global, Perusahaan Tambang Tutup Dipublikasikan tanggal11 Febuari 2016 Sumber : http: //www.borneonews.co.id/berita/28470-terdampak- krisis- global-perusahaan-tambang-tutup Artikel Online - Batubara Terjun Royalti Turun Dipublikasi tanggal 09 Agustus 2015 Sumber : http: //www.gresnews.com/berita/ekonomi/9098-batubara- terjun-royalti-turun/3/ Artikel Online - Tambang Batu Bara, Awal Kloter Gulung Tikar Dipublikasikan tanggal 29 Febuar i 2016 Sumber : http: //majalahpeluang.com/tambangbatu-bara-awal- Kloter-gulung-tikar/ 12. P-12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak - vide Pasal 2 Ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) , Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Penjelasan Pasal 3 Aya t (1) dan Aya t (2). 13 P-13 Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan - vide Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 42 Ayat (2) dan Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2). Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 25 April 2017 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 31/PER- PSG/IV/31 P/HUM/2017 , Tanggal 25 April 2017 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Para Termohon telah mengajukan jawaban tanggal 21 Juni 2017, yang pada pokoknya sebagai berikut; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 146 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 147 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 I. POKOK-POKOK PERMOHONAN PEMOHON A. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH Bahwa pada intinya Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam PP a quo yang menyangkut:
Ketentuan yang berkaitan dengan Pembayaran PNBP dalam PP a quo (PP 33/2014, PP 24/2010, dan PP 105/2015):
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjampakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011.
Pasal a quo juga bertentangan dengan UU 41/1999 yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU 41/1999 tidak pernah mengatur pengenaan PNBP kepada pelaku usaha di bidang pertambangan selaku pemegang IPPKH (Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjampakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomi terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 147 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 148 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2. Ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, bertentangan dengan bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Kehutanan dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011, karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). B. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN MENTERI Bahwa Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam Permen a quo yaitu sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK 50/2016 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, UU PNBP, UU Kehutanan, dan UU 12/2011;
Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permenlhk 89/2016yang dianggap bertentangan dengan UU Kehutanan dan UU 12/2011. Menurut Para Pemohon pada intinya menganggap kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)di luar areal IPPKH bagi pemegang IPPKH dalam ketentuan Permen a quo harus berpedoman pada UU Kehutanan, sehingga ketentuan a quo bertentangan dengan UU Kehutanan dan juga UU 12/2011. Sehingga Para Pemohon mohon agar PP a quo dan Permen a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku untuk umum. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 148 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 149 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berkenaan dengan legal standing ( persona standi in judicio ) dan kepentingan hukum Para Pemohon dalam perkara aquo , Termohon menyampaikan penjelasan sebagai berikut: PARA PEMOHON TIDAK MEMPUNYAI KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) UNTUK MENGUJI KETENTUAN PASAL 1 AYAT (2), AYAT (3) DAN (5) DAN LAMPIRAN PP 33 TAHUN 2014, PASAL 21 AYAT (1) HURUF aPP 24TAHUN 2010, PASAL 6 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1 DAN PASAL 15 AYAT (1) HURUF B PP 105/2015 DAN PASAL 5 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1, PASAL 19 AYAT (1) HURUF d, PASAL 22 HURUF e DAN r ANGKA 4, PASAL 47 AYAT (1) HURUF a DAN AYAT (2) HURUF c PERMEN LHK 50/2016; PASAL 15 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), PASAL 28 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), DAN AYAT (4), PASAL 30 AYAT (1) DAN AYAT (2), PASAL 38, PASAL 39 AYAT (1) DAN AYAT (2) PERMENLHK 89/2016 Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang...” Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, berbunyi: “Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang”. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan uji materiil hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tepat dan adanya kerugian langsung yang diderita oleh pihak-pihak tersebut,dan benar- benar diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut. Menurut Termohon, Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum didasarkan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 149 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 150 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1. Bahwa dalam permohonannya Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik/jelas kedudukan hukumnya apakah sebagai “kelompok masyarakat atau perorangan” sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.
Apabila menyimak pernyataan Para Pemohon ( vide halaman 1 Permohonan Para Pemohon), yang menyatakan bahwa Para Pemohon adalah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association (APBI-ICMA) dan Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesian Mining Association (API-IMA) yang didirikan berdasarkan akta notaris dan dalam Permohonan ini diwakili oleh Ketuanya, maka menurut Termohon, pernyataan tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai status kedudukan hukum Para Pemohon, apakah kedudukan Para Pemohon sebagai sebuah asosiasi atau organisasi, apakah asosiasi atau organisasi tesebut telah terdaftar sebagai suatu badan hukum atau tidak, apakah badan hukum tersebut berbentuk perkumpulan atau berbentuk yayasan, dan apakah badan hukum tersebut telah disahkan menurut hukum oleh pihak Kementerian Hukum dan HAM RI. Hal-hal tersebutlah yang tidak terurai/dijelaskan oleh Para Pemohon dalam permohonannya, sehingga menimbulkan ketidakjelasan permohonan.
Menurut Termohon, terkait dengan adanya kerugian langsung yang diderita oleh Para Pemohon yang diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut, Termohon sama sekali tidak melihat adanya kerugian tersebut. Hal ini didasarkan pada pernyataan Para Pemohon dalam permohonannya ( vide angka 10 halaman 7 permohonan Para Pemohon), yang menyatakan “berlakunya ketentuan - ketentuan a quo dan Permen a quo telah merugikan hak anggota-anggota Para Pemohon khususnya terkait dengan beban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)”. Menurut Termohon kerugian yang dialami tersebut bukan merupakan kerugian yang diderita Para Pemohon melainkan anggapan kerugian dari anggota-anggota Para Pemohon. Mekanisme yang dimiliki oleh Para Pemohon untuk menyelesaikan suatu persoalan/permasalahan-permasalahan, termasuk masalah Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 150 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 151 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)yang dihadapi anggota-anggota Para Pemohon, adalah dengan cara “memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan serta komunikasi dan konsultasi dengan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah industri pertambangan batubara ” bukan dengan cara mengajukan judicial review. Hal ini merujuk pada pernyataan Para Pemohon mengenai maksud dan tujuan didirikannya Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesia Mining Association yang dibentuk tanggal 26 Januari 1988 ( vide angka 9 halaman 7 permohonan Para Pemohon) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association yang dibentuk tanggal 22 Maret 2007 ( vide angka 8 halaman 6 permohonan Para Pemohon) yaitu: membantu Pemerintah di dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk menggalakkan perkembangan industri pertambangan dan untuk memanfaatkan keterangan-keterangan yang tidak bersifat rahasia dan tidak merupakan hak milik guna memajukan eksplorasi penambangan, pemurnian hasil-hasil tambang serta aspek-aspek yang bertalian dengan metalurgi di Indonesia, memberikan saran-saran untuk industri pertambangan di Indonesia dan meningkatkan kesadaran dan pengertian atas masalah-masalah penting (kritis) yang menyangkut industri pertambangan seutuhnya, memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan, menyebarkan secara luas keterangan mengenai kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah kepada-anggota dan menyebar-luaskan citra positif mengenai usaha pertambangan kepada khalayak umum. Didalam anggaran dasar Para Pemohon tidak tercantum pasal yang menyatakan bahwa Para Pemohon mewakili kepentingan anggotanya didalam maupun diluar pengadilan, sehingga jika terdapat kerugian oleh para anggota Pemohon terkait berlakunya suatu ketentuan maka yang seharusnya mengajukan gugatan hukum/permohonan uji materi ke pengadilan adalah anggota-anggota Para Pemohon yang kepentingannya dirugikan, mengingat tidak semua perusahaan pertambangan menjadi anggota Para Pemohon. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 151 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 152 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Bahwa Para Pemohon pernah mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) huruf a dan Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, dan telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan putusan No. 16P/HUM/2015 pada tanggal 8 Desember 2015 dengan amar putusan permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (NO)( vide Bukti T-1). Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan permohonan HUM atas perkara tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas, adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Agung menyatakan Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dan karenanya permohonan Para Pemohon wajib dinyatakan tidak dapat diterima ( NIET ONVANKELIJK VERKLAARD) . III. LATAR BELAKANG TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH A QUO DAN PERATURAN MENTERI A QUO Sebelum Termohon memberikan tanggapan atas permohonan Para Pemohon, Termohon akan menyampaikan landasan filosofi sebagai berikut:
Latar Belakang Terbitnya Norma Kewajiban Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan Sebagaimana Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Pasal 6 Ayat (2) Huruf b Angka 1 dan Pasal 15 Ayat (1) Huruf B, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 sertaPasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Peraturan Menteri LHK Nomor 50/2016; Bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 152 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 153 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Maha Esa. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat. Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dengan luasan yang cukup dan dijaga agar daya dukungnya tetap lestari. Pembangunan kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang tidak terpisahkan sehingga harus selaras dengan dinamika pembangunan nasional. Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 153 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 154 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 hutan tersebut dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Salah satu kegiatan penggunaan kawasan hutan diluar kegiatan kehutanan adalah kegiatan pertambangan melalui pinjam pakai kawasan hutan. Pada prinsipnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Bahwa para pelaku usaha telah diberikan kesempatan untuk mengambil keuntungan atas sumber daya alam (hutan) yang seharusnya menjadi kekuasaan dari negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat,sehingga negara harus memperoleh kompensasi atas hilangnya sumber daya alam tersebut untuk dikembalikan kepada masyarakat. Salah satu bentuk kompensasi tersebut adalah membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak kepada Negara. Untuk mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak guna menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kementerian Kehutanan telah memiliki tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Namun untuk pengendalian penggunaan kawasan hutan guna menunjang pembangunan di luar kegiatan kehutanan serta untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 154 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 155 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, perlu mengenakan tarif terhadap seluruh area penggunaan kawasan hutan dan mengatur kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Pemerintah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 menjadi penting ( conditio sine qua non ) karena dikeluarkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Latar Belakang Terbitnya Kewajiban Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagaimana diatur dalam Permen LHK 89/2016 a. Hutan adalah kekayaan negara yang rentan (daya dukung dan daya tampung terbatas), yang dapat dimanfaatkan tidak melebihi kemampuannya, sehingga harus dikembalikan kondisinya pada kondisi semula. Aktivitas penambangan mengeksploitasi secara besar sumber daya hutan yang ada, sehingga mustahil untuk mengembalikan sumber daya hutan sama persis seperti kondisi semula. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 155 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 156 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 b. Jika sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tidak dapat dikembalikan seperti kondisi semula, maka Pemerintah wajib mengatur lebih lanjut secara optimal untuk mengurangi dampak- dampak yang ditimbulkannya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mewajibkan pemegang IPPKH untuk melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi DAS.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (yang selanjutnya disingkat RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan.
Dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Pasal 5 ayat 2 huruf b angka 1 PermenLHK No. 50/2015,disebutkan bahwa setiap penggunaan kawasan hutan/pemegang IPPKH wajib melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi. Reklamasi dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi areal yang dilakukan eksploitasi agar pulih kembali (tidak mungkin pulih kembali seperti kondisi semula). Mengingat kegiatan reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat memulihkan kembali hutan pada kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi. Selain itu rehabilitasi DAS diluar areal izin dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali pada areal izin serta untuk mengganti kerusakan lingkungan pada area sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH tersebut. Sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 156 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 157 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 contoh pada area IPPKH tambang emas limbah pengolahannya akan mencemari tidak hanya pada lokasi izin akan tetapi sampai di luar areal izinnya. Akibat penambangan terhadap hutan telah menimbulkan dampak sebagai berikut:
Kerusakan struktur hutan yang menyebabkan hilangnya kemampuan hutan untuk mempertahankan fungsi dan stabilitas hutan.
Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, karena terjadi peluang kepunahan beberapa jenis terutama jenis yang langka.
Kerusakan bentang lahan dan rusaknya fungsi hidroorologis akibat banyaknya lubang-lubang galian bekas tambang yang ditinggalkan menjadi kolam-kolam.
Hilangnya top soil yang menyebabkan hilangnya kesuburan tanah bahkan sampai kebatuan induk. Pengembalian kesuburan tanah diperlukan puluhan bahkan tahunan.
Meningkatnya suhu udara disekitar-sekitar.
Terjadinya pencemaran air.
Terjadinya kerusakan ekosistem. Sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM ( vide bukti T-3) Penanaman rehabilitasi DAS merupakan salah satu kewajiban pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) baik pemegang IPPKH tambang maupun non tambang. IPPKH untuk kegiatan pertambangan mengubah bentang alam, mengubah hutan alam menjadi hutan tanaman sehingga mengakibatkan keanekaragaman hayati di Indonesia berkurang, sedangkan IPPKH untuk kegiatan non pertambangan tidak mengubah bentang alam. Kegiatan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk pertambangan pada umumnya menimbulkan kerusakan kawasan hutan lebih besar dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk non pertambangan. Berdasarkan data bulan Mei tahun 2017 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 717 IPPKH yang berkewajiban melakukan penanaman rehabilitasi DAS terdiri atas 573 IPPKH Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 157 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 158 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 untuk kegiatan pertambangan dan 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan. Dari 573 IPPKH untuk kegiatan pertambangan, 52 IPPKH telah melakukan penanaman dan dari 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan, 10 IPPKH telah melakukan penanaman.Alangkah tidak adilnya jika pemegang IPPPKH untuk pertambangan yang telah melakukan kerusakan lebih besar justru tidak mau melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS ( vide bukti T-.2). Bahwa penerbitan ketentuan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo sudah memperhatikan aspek sosiologis dan yuridis sebagaimana dimaksud UU No. 12/2011, yaitu:
Aspek Sosiologis Bahwa penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS merupakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung perlindungan sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (vide penjelasan umum PP Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan). Dalam konteks pengelolaan DAS, apabila terjadi kerusakan pada suatu tempat akan berpengaruh pada tempat yang lain dalam suatu daerah aliran sungai. Dengan demikian, kegiatan IPPKH pertambangan dalam satu DAS pada suatu tempat akan berpengaruh di tempat yang lain. Apabila terjadi kerusakan di areal pertambangan, areal di luar areal pertambangan juga akan ikut rusak, sehingga perlu dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi.
Aspek Yuridis Bahwa kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo merupakan pelaksanaan atas peraturan diatasnya yaitu UU No. 41/1999 yaitu: Pasal 45 Ayat (1), (2), dan (4): Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 158 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 159 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian ketentuan dalam objek permohonan a quo yang mewajibkan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS bagi Pemegang IPPKH yang dilakukan diluar areal IPPKH secara hukum tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. IV. JAWABAN TERMOHON TERHADAP POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 (halaman 16). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 159 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 160 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 a. Bahwa UU PNBP sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, telah mengatur Penerimaan Negara Bukan Pajak ke dalam beberapa kelompok jenis PNBP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PNBP. Untuk mengantisipasi adanya potensi dari Penerimaan Negara yang bisa menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka selain jenis kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PNBP, juga diatur mengenai jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak lainnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa UU PNBP dibentuk pada tahun 1997, sedangkan potensi jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum dapat teridentifikasi sangatlah banyak, dan mengingat penetapan tarif perlu mengikuti perubahan ekonomi yang sangat dinamis, sehingga perlu penyesuaian dan tidak mungkin semua diatur dalam Undang-Undang, oleh karena itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa adapun jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah juga harus dikemukakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk dibahas dan disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PNBP).
Dalam Hukum Tata Negara, dikenal adanya teori “ Delegatie van Recht Geven” yaitu delegasi yang diberikan oleh perundang- undangan. Bahwa delegasi tersebut dimungkinkan dalam Undang-Undang disebabkan undang-undang tidak mungkin mengatur segala hal secara terperinci termasuk jenis dan tarif penerimaan bukan pajak. Dengan demikian, diperlukan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang masih Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 160 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 161 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 bersifat umum dalam Undang-Undang ke dalam peraturan lain yang bersifat turunannya.
Selanjutnya Pemerintah memiliki tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, sedangkan undang-undang tidak mungkin mengatur secara terperinci hal tersebut, sehingga Pemerintah diberikan kebebasan bertindak ( freies ermessen ), dengan ketentuan kebebasan bertindak tersebut harus sesuai dengan undang-undang dan AUPB. Oleh karena itu undang-undang memberikan delegasi kepada pemerintah, untuk membentuk peraturan pelaksananya.
Berkaitan dengan Diskresi secara umum juga bisa dilakukan tidak hanya karena diskresi semata-mata tetapi diberi dasar oleh undang-undang ( delagatie van recht geven ). Artinya undang- undang sendiri yang memberikan pendelegasian tersebut, dalam hal ini UU PNBP telah memberikan pendelegasian untuk menetapkan jenis dan tarif PNBP melalui peraturan pemerintah, yakni melalui PP 33/2014.
Bahwa mencermati ketentuan sebagaimana disebutkan diatas, PNBP sebagaimana dimaksud dalam PP 33/2014 merupakan jenis PNBP dari pemanfaatan sumber daya alam ( vide Pasal 2 ayat (1) huruf b). Bahwa Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP telah mengatur pendelegasian secara tegas, bahwa jenis dan tarif atas jenis PNBP dalam kelompok penerimaan negara bukan pajak atas pemanfaatan sumber daya alam ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian PP 33/2014 tidak melanggar hierarki peraturan perundang- undangan.
Bahwa kewenangan untuk menetapkan tarif dalam bentuk Peraturan Pemerintah telah sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Sebagaimana diketahui bahwa “materi muatan Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya” yang artinya bahwa Peraturan Pemerintah adalah melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 161 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 162 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Undang-Undang yang bersangkutan ( vide Pasal 12 UU 12/2011).
Bahwa hal tersebut sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segerasupaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi.” j. Bahwa pengaturan jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan pengaturan yang bersifat teknis sebagai pelaksanaan UU PNBP yang materi muatannya bersifat umum, dan hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf c UU 12/2011 yang mengatur asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Sehingga apabila pengaturan jenis dan tarif PNBPdiatur dalam Undang-Undang maka menjadi tidak sesuai dengan materi muatan Undang-Undang yang bersifat umum.
Bahwa sesuai dengan konsideran menimbang huruf b PP No. 33 Tahun 2014 menyatakan bahwa “ ... untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (2) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak....”. Berdasarkan hal tersebut jenis dan tarif Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 162 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 163 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP sebagaimana diatur dalam PP No.33 Tahun 2014 adalah untuk melaksanakan pengaturan yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP. Sebagai pengaturan lebih lanjut dari apa yang didelegasikan UU, pengaturan jenis dan tarif PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dalam PP a quo telah sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa pengaturan jenis dan tarif PNBP berupa penggunaan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah a quo , telah sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung RI No. 62 P/HUM/2013 (halaman 56 alinea terakhir s/d halaman 59), yang pada intinya menyatakan pada prinsipnya setiap pungutan yang bersifat memaksa oleh negara termasuk PNBP ditetapkan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah vide Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap pengaturan jenis dan tarif PNBP yang merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang seharusnya diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan Peraturan Pemerintah dianggap bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 adalah tidak benar dan tidak beralasan.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa Pasal a quo juga bertentangan dengan UU Kehutanan yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU Kehutanan tidak pernah mengatur pengenaan PNBP oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (Ijin Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 163 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 164 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam pakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomis terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan (halaman 28). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah undang-undang yang mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan teknis kehutanan, serta memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan UU yang mengatur khusus mengenai penentuan jenis dan tarif PNBP ( lex spesialis ) adalah UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sehingga untuk pengaturan jenis dan tarif PNBP dibidang kehutanan tunduk pada UU No. 20/1997. Dengan demikian, UU 41/1999 bukanlah ketentuan mengatur mengenai PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan seperti yang di dalilkan Para Pemohon.
Bahwa kelompok PNBP yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan/dalam ketentuan PP 33/2014 a quo, termasuk dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PNBP yaitu kelompok penerimaan negara bukan pajak meliputi penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU PNBP diatur bahwa Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 164 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 165 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 d. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP diatur bahwa Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud padaayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yangmenetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penerbitan PP No. 33 Tahun 2014, PP Nomor 24 Tahun 2010, dan PP Nomor 105 Tahun 2015 serta PermenLHK No. 50/2016 khususnya yang mengatur mengenai kewajiban pembayaran PNBP kepada Negara adalah sudah tepat dan benar.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai kawasan hutan telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatifdari adanya pengenaan PNBP tersebut . Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (halaman 31). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan konsultasi publik dan pembahasan yang dilakukan beberapa kali dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 165 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 166 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI) sampai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 membuktikan bahwa Pemohon turut terlibat atau ikut serta dalam pembahasan penyempurnaan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan dan menyepakati kenaikan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3. Berdasarkan hal tersebut diatas, justru menunjukkan bahwa Para Pemohon tidak konsisten dalam menanggapi permasalahan yang ada sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional dari Para Pemohon.
Bahwa filosofi Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan adalah pengganti lahan kompensasi . Lahan kompensasi untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) komersil pada wilayah yang mempunyai hutan < 30% adalah ratio 1 : 2 berdasarkan luas total area IPPKH sehingga Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dikenakan terhadap seluruh areal IPPKH.
Negara telah memberikan hak kepada pemegang IPPKH terhadap seluruh area Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan-nya, sehingga negara harus mendapat kompensasi atas “ opportunity lose ” seluruh area IPPKH yang diberikan tersebut.
Apabila area pengembangan/area penyangga tidak digunakan maka keuntungan yang diperoleh adalah tidak diperlukan reklamasi dan hanya dikenakan 1 x tarif (biaya lebih rendah daripada 4 x tarif), sedang jika area tersebut digunakan, maka Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 166 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 167 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib direklamasi dan juga dikenakan tarif PNBP 4 x tarif (biaya tinggi).
Pada kenyataan banyak pelaku usaha tidak mengusahakan atau mengerjakan seluruh areal yang diberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sebagai contoh berdasarkan data yang ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdapat beberapa perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal yaitu:
PT. Indexim Coalindo Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 837/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 dengan luas areal kerja 5.732,72 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini belum terdapat kegiatan (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2016) ( vide bukti T- 4a).
PT. Batubara Duaribu Abadi Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK.681/Menhut-II/2009 tanggal 16 Oktober 2009 dengan luas areal kerja 1.4832,98 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 224,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2013) ( vide bukti T- 4b).
PT. Karimun Granite Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 172/Menhut-II/2013 tanggal 21 Maret 2013 dengan luas areal kerja 1.834,47 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 157,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2015) ( vide bukti T- 4c.).
Apabila yang dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan hanya area terganggu saja, maka Negara mengalami kerugian antara lain :
Negara tidak mendapatkan kompensasi atas area pengembangan/area penyangga; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 167 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 168 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2) Negara tidak dapat memberikan area pengembangan/area penyangga kepada pihak lain yang ingin menggunakan area tersebut.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai tidak mencerminkan dan bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan (halaman 43). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan RI pada kriteria L3 seharusnya mempunyai faktor pengali tertinggi dalam rumus Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan, karena L3 mempunyai dampak kerusakan lingkungan terparah dari semua kriteria area penggunaan kawasan hutan.
Menurut Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan) PP No. 2 Tahun 2008 sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini akibat adanya peningkatan nilai-nilai yang terkandung dalam kawasan hutan, adanya nilai inflasi dan kenaikan dampak kerusakan lingkungan, nilai intrinsik sumber daya hutan yang hilang akibat dari penggunaan kawasan hutan sebesar ± Rp. 85 Juta/Ha/Tahun.
Berdasarkan konsultasi publik yang diselenggarakan pada tanggal 2 Oktober 2012 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 168 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 169 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI). Adapun hasil konsultasi publik tersebut salah satunya adalah pada prinsipnya seluruh peserta rapatsepakat untuk menaikkan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3.
Pembahasan tanggal Pada tanggal 30 Oktober 2012 yang dipimpin oleh Sekretaris Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Kerja Regulasi KP3EI menghasilkan kesimpulan antara lain seluruh peserta rapat sependapat dengan rencana kenaikan tarif 30% karena tarif PNBP yang berlaku saat ini masih tergolong rendah sehingga sudah saatnya perlu disesuaikan dengan nilai inflasi yang ada.
Selain itu penyesuaian terhadap rumus pengali PNBP PKH yang semula kriteria L3 hanya dikenakan 2 kali tarif berubah menjadi 7 kali tarifdilakukan juga karena mempertimbangkan bahwa kriteria L3 merupakan area yang terkena dampak paling parah dan secara teknis tidak dapat direklamasi bahkan bisa dikatakan merupakan wilayah lost land. f. Perubahan formula tersebut juga telah memperhatikan 3 aspek yaitu:
Aspek kepastian Pengusaha : ketentuan kenaikan tarif yang jelas memberi kepastian para pengusaha untuk memperhitungkan kelayakan usahanya. Dengan pembayaran PNBP tersebut, pengusaha dapat secara pasti menjalankan usahanya. Pemerintah : ketentuan kenaikan tarif dengan kriteria yang jelas memberi kepastian penghitungan rencana dan target PNBP Masyarakat : kenaikan tarif ini memberi kepastian pada masyarakat bahwa setiap penggunaan kawasan hutan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 169 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 170 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 disertai dengan kompensasi PNBP dengan nilai yang layak akan digunakan untuk program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui mekanisme APBN.
Aspek keadilan Pengusaha : aspek keadilan dapat dilihat dari kenaikan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan kelompok pengusahaan dan kriteria penggunaan kawasan hutan. Ketentuan besaran tarif berdasarkan pendekatan Cost Plus yaitu pengusaha membayar lebih besar karena manfaat ekonomi yang diperoleh pengusaha juga lebih besar atau dalam rangka pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk melindungi kelestarian lingkungan/alam/sumber daya hutan. Pemerintah : kenaikan tarif dan perluasan objek PNBP adalah sebagai ganti kompensasi dari oppurtuni lost yang telah diberikan kepada pengusaha. Kenaikan hanya ± 30% dan kenaikan koofisien L3 menjadi 7x karena adanya punishment terhadap dampak kerusakan parah yang ditimbulkan dan negara harus mendapat kompensasi untuk itu untuk memperbaiki dan memelihara L3. Masyarakat : kenaikan tarif dan kenaikan koofisien memberikan rasa keadilan kepada masyarakat karena masyarakat mendapat kompensasi atas program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui pemanfaatan PNBP.
Aspek manfaat Kenaikan tarif ini bermanfaat untuk kepastian berusaha, keadilan bagi Pemerintah dan masyarakat.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan : Ketentuan yang berkaitan dengan Kewajiban Penanaman dalam Rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 170 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 171 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Permen LHK 50/2016 dan Permenlhk 89/2016bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU 41/1999 dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa ketentuan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” Penjelasan: Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan b. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya hal. 131 berpendapat bahwa materi muatan PP adalah keseluruhan materi muatan Undang-undang yang dilimpahkan kepadanya, atau dengan perkataan lain materi muatan PP adalah sama dengan materi muatan Undang-undang sebatas pada yang dilimpahkan kepadanya.
Ketentuan Pasal 45 UU No. 41 Tahun 1999 mengatur:
Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 171 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 172 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah . Bahwa jika dilihat dari materi muatan dalam ketentuan Pasal 21 PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015 dimaksud, ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 jo. Pasal 38 UU 41/1999. Suatu Undang-Undang memuat peraturan yang bersifat umum, abstrak dan tidak mengatur semua hal secara terperinci. Oleh karena PP sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 38 UU 41/1999 menjabarkan ketentuan lebih lanjut mengenai pola reklamasi dan atau rehabilitasi yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian apabila ditinjau dari hierarki perundang- undangan, maka dikeluarkan PP 24/2010 jo. PP 105/2015 tidak bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan.
Bahwa selanjutnya PP juga tidak dapat mengatur semua hal terutama peristiwa konkret yang terjadi sehingga PP juga memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa konkret tersebut serta untuk memenuhi kepentingan atau untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
Berdasarkan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 172 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 173 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang- Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Penjelasan: Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa menurut Dr. Ridwan, SH. M.Hum. dalam bukunya Diskresi dan Tanggung jawab Pemerintah hal. 155 berpendapat secara umum diskresi dan peraturan kebijakan dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat yang berupa legalitas ( legality ) dan rasionalitas ( rationality ) yang meliputi pertimbangan yang relevan ( relevan consideration ), kejujuran dan keterbukaan, tujuan yang layak ( proper purpose ), dan konsistensi ( consistency ). Dengan demikian atas dasar diskresi yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada Pemerintah, maka Pemerintah cq. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan peraturan mengenai pola reklamasi dan rehabilitasi yang telah diatur dalam PP tersebut melalui Permen LHK RI No. 50 Tahun 2016, Permen LHK RI 89/2016 untuk mengatur lebih rinci terkait reklamasi dan rehabilitasi DAS kawasan hutan yang digunakan kegiatan pertambangan. Sebagaimana telah Termohon jelaskan diatas bahwa kegiatan pertambangan pada areal IPPKH telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang tidak hanya dirasakan disekitar lokasi tambang saja tetapi juga dirasakan ditempat lain (areal terdampak). Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 173 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 174 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Akibat penambangan pada areal IPPKH terhadap kawasan hutan menimbulkan:
Kerusakan struktur hutan yang menyebabkan hilangnya kemampuan hutan untuk mempertahankan fungsi dan stabilitas hutan.
Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, karena terjadi peluang kepunahan beberapa jenis terutama jenis yang langka.
Kerusakan bentang lahan dan rusaknya fungsi hidroorologis akibat banyaknya lubang-lubang galian bekas tambang yang ditinggalkan menjadi kolam-kolam.
Hilangnya top soil yang menyebabkan hilangnya kesuburan tanah bahkan sampai kebatuan induk. Pengembalian kesuburan tanah diperlukan puluhan bahkan tahunan.
Meningkatnya suhu udara disekitar-sekitar.
Terjadinya pencemaran air.
Terjadinya kerusakan ekosistem. Bahwa setiap pemegang IPPKH wajib melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi. Reklamasi dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi areal yang dilakukan eksploitasi agar pulih kembali (padahal sebenarnya tidak mungkin pulih kembali seperti kondisi semula karena kerusakan yang ditimbulkan). Atas dasar pemikiran bahwa reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat mengembalikan hutan pada kemampuan dan atau kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi. Hal ini dilakukan agar kerusakan lingkungan secara makro tidak semakin bertambah. Sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM ( vide bukti T-3). V. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan fakta hukum yang telah disampaikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Terkait dengan kewajiban pemegang IPPKH membayar PNBP penggunaan kawasan hutan, reklamasi, dan melakukan penanaman dalam rangka rehabiltasi DAS tersebut, dapat Termohon sampaikan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 174 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 175 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 a. Mengingat penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tersebut, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang, maka perluada kompensasi kepada Negara berupa lahan untuk dijadikan kawasan hutan (lahan kompensasi). Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan tersebut, sebelum berlakunya:
PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan;
PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP 105 Tahun 2015; baik yang berada dalam kawasan yang hutan yang luasnya di atas 30 % atau dibawah 30%, pemegang IPPKH pertambangan dikenakan kewajiban menyediakan lahan kompensasi yang dijadikan kawasan hutan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, sebagaimana telah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 64/Menhut-II/2006.
Dengan pertimbangan lahan kompensasi sulit diperoleh, maka berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, khususnya untuk di wilayah provinsi yang kawasan hutan yang luasnya di atas 30%, kewajiban pemegang IPPKH pertambangan menyediakan lahan kompensasi diganti dengan PNBP, sedangkan untuk di wilayah provinsi yang kawasan hutan yang luasnya di bawah 30%, tetap dikenakan kewajiban menyediakan lahan kompensasi.
Dengan pertimbangan pemegang IPPKH pertambangan di wilayah provinsi luas kawasan hutannya di atas 30% yang hanya berkewajiban membayar PNBP, belum memberikan penghargaan nilai manfaat hutan yang hilang atas kegiatan pertambangan maka pemegang IPPKH selain membayar PNBP ditambah dengan kewajiban melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 175 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 176 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 yang dilakukan di luar areal kerja IPPKH, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e PP No. 24/2010, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PP No. 105/2015, Permen LHK No. 50/2016 dan Permen LHK No. 89/ 2016.
Bahwa PP No. 33/2014:
Tidak mengandung semangat diskriminasi yangmembedakan penerapan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan;
Tidak merugikan dan mengabaikan hak-hak warga negara;
Tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam menentukan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan;
tidak mengabaikan kepastian hukum.
Bahwa apabila ketentuan aquo dibatalkan oleh Mahkamah Agung dapat menimbulkan:
Ketidakpastian hukum terhadap penerapan Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan b. Hilangnya nilai intrinsik sumber daya hutan yang hilang akibat dari penggunaan kawasan hutan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) beserta Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c PP 105/2015, Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, dan huruf r angka 4 dan angka 5, serta Pasal 47 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf b dan huruf c Permen LHK 50/2016, Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), beserta Lampiran Angka I sampai dengan Angka VIII Permen LHK 89/2016 tidak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 176 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 177 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 bertentangan dengan UUD 1945, UU PNBP,UU Kehutanan, dan UU 12/2011. VI. PETITUM Berdasarkan seluruh uraian dan penjelasan di atas, Termohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan keberatan Uji Materiil a quo, dapat memberikan putusan dengan amar sebagai berikut:
Menerima Jawaban Termohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) ;
Menyatakan Menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya, atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), beserta Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan, Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, dan huruf r angka 4 dan angka 5, serta Pasal 47 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf b dan huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), beserta Lampiran Angka I sampai dengan Angka VIII Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 177 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 178 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai tidak bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak,Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Atau dalam hal Yang Mulia Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti, yaitu sebagai berikut: NO KODE BUKTI NAMA BUKTI KETERANGAN 1. T-1 Putusan Mahkam a h Agung RI No . 16P /HUM/2015, tanggal 8 Desember 2015 Para Pemohon pernah mengajukan uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 dan dinyatakan permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (NO).
T-2 Data Pemegang IPPKH yang berkewajiban melakukan penanaman rehabilitasi DAS bulan Mei tahun 2017 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dari 573 IPPKH untuk kegiatan pertambangan, 52 IPPKH telah melakukan penanaman dan dari 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan, 10 IPPKH telah melakukan penanaman.
T-3 Pendapat Ahli Prof. Dr . Ir.Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM Kegiatan reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat memulihkan kembali hutan pada kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi . Selain itu rehabilitasi DAS diluar areal izin dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali pada areal izin serta untuk mengganti kerusakan lingkungan pada area sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH tersebut .
T-4a PT. Indexim Coalindo Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut Contoh perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 178 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 179 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 No.SK.837/Menhut- II/2014 tanggal 29 September 2014.
T-4b PT. Batubara Duaribu Abadi Pemegang IPKKH berdasarkan SK Menhut No.SK.681/Menhut- II/2009. Contoh perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal.
T-4c PT. Karimun Granite Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK.172/Menhut- II/2013 tanggal 21 Maret 2013 Contoh perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal. PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil adalah:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan, Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1, Angka 2 dan Angka 3;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 179 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 180 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daeran Aliran Sungai Berikut Lampiran Angka Romawi I Sampai Dengan Lampiran Angka Romawi VIII; Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Para Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal permohonan hak uji materiil, yaitu apakah Objek Permohonan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Undang- Undang dan apakah Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan hak uji materiil; Kewenangan Mahkamah Agung Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Pasal 20 ayat 2 huruf b UU 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan dalam permohonan a-quo adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf d dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri adalah termasuk jenis peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, oleh karenanya Mahkamah Agung berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a-quo ; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 180 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 181 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 31A ayat (2) huruf c Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa permohonan pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang- Undang hanya dapat dilakukan oleh badan hukum publik atau badan hukum privat yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang; Menimbang, bahwa Para Pemohon, yaitu Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI ICMA) dan Asosiasi Pertambangan Indonesia ( API-IMA ) adalah asosiasi atau perkumpulan perusahaan pertambangan yang berbentuk badan hukum privat yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM sebagai badan hukum, yang merasa dirugikan akibat terbitnya objek permohonan; Menimbang, bahwa merujuk pada beberapa putusan Mahkamah Agung tentang pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ( Putusan No. 54 P/HUM/2013, Putusan No.62 P/HUM/2013, dan Putusan Nomor 11 P/HUM/2014) untuk dapat memenuhi syarat adanya unsur kerugian hak Para Pemohon, dipertimbangkan sebagai berikut:
Adanya hak Pemohon yang diberikan oleh suatu peraturan perundang- undangan: Bahwa Para Pemohon adalah asosiasi atau perkumpulan perusahaan pertambangan yang secara resmi telah mengajukan permohonan, untuk mempunyai kepentingan, atau mengelola kepentingan dalam hak pertambangan di wilayah Indonesia dan yang kepentingannya dalam hak- hak demikian telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia atau telah mendapat ijin dari Pemerintah Republik Indonesia (vide Pasal 10 huruf c dan Pasal 14 Anggaran Dasar APBI-ICMA No.01 tanggal 22 Maret 2007 dan Pasal 9 ayat 1 huruf a, Pasal 20 Perubahan Akta Pendirian Perkumpulan API-IMA Nomor 17 tanggal 17 Juni 2011);
Hak tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian: Bahwa dalam permohonan a-quo hak yang dianggap dirugikan oleh Para Pemohon adalah hak perusahaan pertambangan selaku pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang oleh objek permohonan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 181 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 182 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 diberikan beban tambahan berupa PNBP di luar kawasan yang nyata telah timbul kerusakan dan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar areal IPPKH;
Kerugian harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi: Bahwa kerugian yang dialami Para Pemohon dalam hal ini pelaku industri pertambangan pemegang IPPKH adalah bertambahnya beban ekonomi akibat adanya berbagai macam pungutan yang harus dibayarkan oleh perusahaan dan bertambahnya kewajiban pemegang IPPKH dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH;
Adanya hubungan sebab akibat ( casual Verband ) antara kerugian dimaksud dan berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian: Bahwa berlakunya peraturan perundang-undangan yang menjadi objek permohonan menyebabkan perusahaan pertambangan pemegang IPPKH yang merupakan anggota asosiasi harus menanggung tambahan beban keuangan untuk membayar PNBP di luar kawasan yang nyata telah timbul kerusakan dan tambahan beban berupa penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar areal IPPKH;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian seperti yang dimaksud tidak akan terjadi: Bahwa dengan dikabulkannya permohonan a-quo , maka perusahaan pertambangan pemegang IPPKH tidak perlu mengeluarkan tambahan biaya untuk membayar PNBP di luar kawasan yang nyata telah timbul kerusakan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar areal IPPKH; Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut dihubungkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi terkait unsur adanya kerugian hak Para Pemohon, Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa Para Pemohon sebagai badan hukum privat dalam kapasitasnya mewakili kepentingan para perusahaan pertambangan dapat membuktikan unsur kerugian haknya yang bersifat spesifik dan aktual serta terdapat hubungan sebab akibat secara langsung antara kerugian yang dimaksud dengan berlakunya objek permohonan, karenanya cukup alasan hukum untuk Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 182 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 183 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 menyatakan Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan a-quo ; Menimbang, bahwa karena permohonan terhadap objek hak uji materiil diajukan oleh Para Pemohon yang mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) maka permohonan a quo secara formal dapat diterima; Pokok Permohonan Menimbang, bahwa dari alasan keberatan Para Pemohon yang kemudian dibantah oleh Para Termohon dalam jawabannya, dihubungkan dengan bukti- bukti yang diajukan oleh Para Pemohon dan Para Termohon, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Para Pemohon tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut: - Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak disebutkan bahwa tarif atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang atau peraturan pemerintah. - Bahwa dengan demikian Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 diterbitkan berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 ( delegatie van recht geven ) dalam rangka mengoptimalkan penerimaan PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan untuk menunjang pembangunan, karenanya dalil para Pemohon yang mendalilkan penetapan PNPB harus dengan undang-undang tidak dapat dibenarkan; - Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa Penggunaan kawasan hutan bekas areal pertambangan wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan oleh pemerintah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) di luar areal Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan pada areal sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH. Dengan demikian Pemerintah berdasarkan ketentuan tersebut diberi kewenangan atributif untuk mengatur lebih lanjut bagaimana pola pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan di sekitar areal IPPKH yang dituangkan melalui peraturan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 183 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 184 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 pemerintah. Dengan demikian ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.89/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2016 yang mengatur tentang rehabilitasi hutan di luar IPPKH dan rehabilitasi DAS di luar IPPKH tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi; - Bahwa merujuk pada uraian pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerbitan objek permohonan tidak melanggar hierarki peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut terbukti bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu: UUD 1 9 45 , Undang - Unda n g No mor 20 T a h un 1997 T entang Penerimaan N e g a ra B uka n Paja k , Undang - Undang No mor 41 Tahun 19 99 T en t ang Ke hu tan an da n Unda n g- U ndang N om or 1 2 Tahun 20 1 1 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- un dangan , karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon harus ditolak, dan selanjutnya sebagai pihak yang kalah Para Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; MENGADILI, Menolak permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon:
ASOSIASI PERTAMBANGAN BATUBARA INDONESIA 2. ASOSIASI PERTAMBANGAN INDONESIA ; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 184 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 185 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Menghukum Para Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis , tanggal 20 Juli 2017, oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, S.H., M.H. dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Joko A. Sugianto, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak. Anggota Majelis: Ketua Majelis, ttd/. Is Sudaryono, S.H. M.H. ttd/. Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum. ttd/. Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., MS Panitera Pengganti, ttd/. Joko A. Sugianto, S.H Biaya – biaya :
M e t e r a i…………….. Rp. 6.000,00 2. R e d a k s i……………. Rp. 5.000,00 3. Administrasi HUM…..... Rp. 989.000,00 Jumlah...…… Rp. 1.000.000,00 Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG R.I.
n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara (H. ASHADI, S.H.) NIP. 19540924 198403 1 001 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 185
Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2016.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.
Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.
Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan _penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan; _ 2) Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dari ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 dapat ditegaskan bahwa penetapan tarif retribusi jasa umum harus didasarkan pada biaya penyediaan jasa dalam hal biaya operasional, pemeliharaan, bunga dan biaya modal, dan biaya tersebut hanya untuk menutupi sebagian biaya saja. Lebih jauh daripada itu, penetapan tarif juga harus didasarkan pada kemampuan masyarakat (jika tarif retribusi dikenakan kepada masyarakat), aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas Iayanan retribusi. Dus penerimaan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan retribusi.
Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 teranglah sudah bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi nantinya harus murni didasarkan pada biaya jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 8 pengawasan dalam rangka pengendalian menara agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan umum (Pasal 124). Biaya-biaya itu khususnya menyangkut biaya operasional dengan catatan bahwa penetapan tarif tidak untuk menutupi semua biaya pengawasan yang terkait dengan penyediaan jasa pengawasan dan pengendalian menara, tetapi hanya untuk sebagian biaya saja. Penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya akan digunakan untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah 9. Bahwa dalam praktiknya, penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi ternyata tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 karena terbentur oleh penafsiran yang diberikan di dalam Penjelasan Pasal 124, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." Di dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut secara terang-terangan dinyatakan bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sulit ditentukan karena bersifat pengawasan dan pengendalian, sehingga dengan alasan untuk memudahkan penghitungan dalam menetapkan tarif digunakanlah batasan paling tinggi 2% dari NJOP;
Bahwa dalam penentuan jenis dan tarif retribusi daerah secara teoritis harus mempertimbangkan kriteria-kriteria retribusi daerah yang baik yang berlaku secara umum. Retribusi daerah yang baik sebagaimana dikemukakan oleh Richard M. Bird (Richard M. Bird, " Subnational Revenues: Realities and Prospect ", Paper yang disampaikan pada _Intergovernmental Fiscal Relations and Local Financial Management: _ World Bank , 2000) memiliki kriteria, yaitu:
Mudah dikelola secara administrasi oleh pemerintah daerah ( easy to administer locally );
Dipungut utamanya dari penduduk lokal ( imposed mainly on local Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 9 resident );
Tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi ( high cost economics );
Tidak menimbulkan masalah harmonisasi atau kompetisi antar pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat 11. Bahwa dampak dari Penjelasan Pasal 124 tersebut akhimya membuat ketentuan penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian. Dalam praktiknya, pemerintah daerah langsung menetapkan tarif sebesar 2% dari NJOP. Hal ini tentu bertentangan dengan hakekat dari retribusi jasa umum itu sendiri. Akibatnya ketentuan penetapan tarif yang diatur di Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 tidak digunakan, bahkan diabaikan oleh pemerintah daerah. Seharusnya, besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi. Sampai saat ini, setidaknya sudah terdapat 158 (seratus limapuluh delapan) Pemerintah Kabupaten/Kota yang Perda tentang Penetapan Tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi-nya langsung mematok tarif 2 (dua) persen dari NJOP (vide bukti P-1);
Bahwa Penjelasan Pasal 124 pada dasarnya telah benar sepanjang frase kalimat " ...besarnya retribusi dikaitkan dengan jasa pengawasan dan pengendalian serta frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi... ". Namun pemerintah daerah tidak mengkaitkannya dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian, melainkan langsung mematok tarif 2% dari NJOP karena terdapat frase kalimat " Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan.. ". Dengan alasan sulit dan untuk memudahkan penghitungan itulah kemudian pemerintah daerah menafsirkannya seolah-olah memang tidak mungkin menggunakan pendekatan frekuensi pengawasan dan pengendalian, jadi langsung saja dipatok 2% dari NJOP.
Bahwa penetapan tarif menara telekomunikasi yang didasarkan pada 2% dari NJOP berakibat beban ekonomi tinggi ( high cost economics ) yang akan berdampak negatif bagi investasi daerah. Sebab dengan menggunakan ketentuan 2% dari NJOP biaya yang harus dikeluarkan untuk 1 (satu) menara telekomunikasi mencapai di atas angka Rp Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 10 10.000.000,-, (sepuluh juta rupiah) di antaranya Ciamis, Bangli, Dairi Surabaya, Bantul dan Karangasem (vide bukti P.2), bahkan terdapat beberapa daerah yang tarifnya di atas Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) diantaranya Demak, Makassar, DKI Jakarta dan Batam (vide bukti P.3); Padahal jika menggunakan ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 yang didasarkan pada biaya pengawasan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi untuk 1 (satu) menara tidak lebih dari + Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) saja. Perhitungan penetapan tarif dimaksud dapat Pemohon simulasikan sebagai ilustrasi sebagai berikut: Perhitungan Tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Berbasis Biaya Pengawasan yang dilakukan Pemerintah Daerah Deskripsi Biaya (Rp) Satuan Banyak Jumlah Bulan (Rp) Keterangan Honorarium Petugas Pengawas 3.000.000 Bulanan /orang 2 orang 6.000.000 1 bulan = 22 hari kerja 1 tim terdiri dari 2 orang Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Alat tulis kantor 1.000.000 Bulanan/tim 1 1.000.000 Total biaya pengeluaran per tim per bulan 11.400.000 Deskripsi Kapasitas Pengawasan per Tim/hari Jumlah hari kerja per bulan Kapasitas Pengawasan per tim/bulan Retribusi pengendalian menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 3 menara 22 66 menara = 11.400.000/66 = Rp.172.728/menara/bulan atau Rp.2.0072.728/menara/tahun Dari ilustrasi tersebut dapat diketahui bahwasanya biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi, item atau komponennya tetap dapat diperhitungkan, item tersebut yaitu biaya honorarium petugas pengawas (bisa didasarkan pada Upah Minimum Regional), transportasi dan uang makan (didasarkan pada angka kewajaran} serta alat tulis kantor (juga didasarkan pada kebutuhan yang wajar). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 11 14. Bahwa akibat timbulnya Penjelasan Pasal 124 UU Nomor 28 Tahun 2009, maka menimbulkan biaya ekonomi tinggi atas penjelasan tersebut, yang disimulasikan sebagai berikut: Jika diasumsikan bahwa NJOP Menara adalah Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), maka nilai Retribusi Pengendalian Menara yang harus dibayarkan adalah 2% x NJOP = Rp.20.000.000, /menara/tahun. Jika menggunakan perhitungan biaya Iayanan yang sebesar Rp.2.072.728.- (dua juta tujuh puluah dua ribu tujuh ratus dua puluh delapan rupiah)/ menara/tahun, maka potensi kerugian per menara adalah Rp. 17.927.272,- (tujuh belas juta sembilan ratus dua puluh tujuh dua ratus tujuh puluh dua rupiah)/menara/tahun.
Bahwa dengan adanya biaya ekonomi tinggi dalam retribusi pengendalian menara telekomunikasi faktanya telah mempersulit penyedia sarana prasarana telekomunikasi (penyedia menara dan operator seluler) termasuk Pemohon untuk mewujudkan biaya telekomunikasi yang murah dan terjangkau, padahal komunikasi merupakan salah satu hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Dan itulah kenapa retribusi pengendalian menara dimasukkan ke dalam kategori retribusi jasa umum (bukan jasa usaha) karena tujuan utamanya memang untuk pemenuhan kepentingan umum di bidang komunikasi. Bahwa bagaimanapun Pemohon merupakan badan hukum yang oleh negara diakui sebagai salah satu penyelenggara pemenuhan kepentingan umum (pemenuhan hak dasar rakyat di bidang komunikasi), dan apa yang dilakukan oleh Pemohon secara langsung ikut membantu kewajiban negara dalam pemenuhan hak dasar warga negara dimaksud. Oleh karena biaya ekonomi tinggi akibat penafsiran yang diberikan Penjelasan Pasal 124 telah berakibat Pasal 124 menjadi bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 16. Bahwa penerapan 2% (dua persen) dari NJOP dalam penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi juga tidak memberikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 perlindungan dan keadilan hukum bagi Pemohon karena seharusnya tetap didasarkan pada kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian, sehingga penafsiran yang diberikan Penjelasan Pasal 124 inkonsisten dengan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 UU Nomor 28 Tahun 2009 dan berakibat Pasal 124 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 17. Bahwa jika didasarkan pada ketentuan yang tertuang di dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada di batang tubuh;
Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
Tidak mengulangi uraian kata istilah frasa atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan atau 5) Tidak memuat rumusan pendelegasian.
Bahwa Penjelasan Pasal 124 justru membuat ketidakjelasan norma yang terkandung di Pasal 124, di satu sisi seolah-olah penetapan tarif retribusi tetap mengacu pada biaya pengawasan dan pengendalian, namun di sisi lain biaya pengawasan dan pengendalian dinyatakan sulit dilakukan sehingga digunakan batasan tarif tertinggi 2 (dua) persen dari NJOP. Padahal biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi terbukti tidaklah sulit karena Pemohon terbukti dapat mengurai dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 mensimulasikannya dalam rumusan yang jelas, tegas dan benar-benar mengacu kepada biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang telah Pemohon tuangkan pada poin 11. Oleh karena itu Penjelasan Pasal 124 pada dasarnya tidak dapat digunakan lagi sebagai tafsiran resmi norma yang terkandung di Pasal 124 karena bunyi dari penjelasan Pasal 124 justru mengaburkan dan membuat ketidakjelasan norma bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang diatur di Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161;
Bahwa ketidakjelasan norma yang terkandung pada Penjelasan Pasal 124 telah mengakibatkan beban ekonomi tinggi sehingga pelaksanaan Pasal 124 menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagai hak dasar sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD 1945 dan bertentangan dengan hak-hak Pemohon untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD 1945;
Bahwa agar Penjelasan Pasal 124 memberikan kejelasan norma sehingga penetapan tarif retribusi pengendalian menara benar-benar menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada kebutuhan biaya dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang diatur pada Pasal 152 dan Pasal 161 (ketentuan pasal yang mengatur mengenai pedoman penetapan tarif retribusi), maka yang awalnya Penjelasan Pasal 124 berbunyi: “ Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari niiai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut. ” Harus diubah sebagai berikut: " Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi ." Dan berdasarkan Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa Penjelasan dapat disertai contoh, untuk memberikan kepastian hukum dalam penetapan tarif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 maka simulasi yang telah Pemohon contohkan dimohonkan kepada Mahkamah untuk dijadikan sebagai bagian dari Penjelasan Pasal 124, sehingga bunyi Penjelasan Pasal 124 berbunyi sebagai berikut: Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi. Kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian dapat dijabarkan dalam formula penghitungan sebagai berikut: Deskripsi Biaya (Rp) Satuan Banyak Jumlah Bulan (Rp) Keterangan Honorarium Petugas Pengawas 3.000.000 Bulanan/ orang 2 orang 6.000.000 1 bulan = 22 hari kerja 1 tim terdiri dari 2 orang Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Alat tulis kantor 1.000.000 Bulanan/tim 1 1.000.000 Total biaya pengeluaran per tim per bulan 11.400.000 Deskripsi Kapasitas Pengawasan per Tim/hari Jumlah hari kerja per bulan Kapasitas Pengawasan per tim/bulan Retribusi pengendalian menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 3 menara 22 66 menara = 11.400.000/66 = Rp.172.728/menara/bulan atau Rp.2.0072.728/menara/tahun 21. Bahwa dengan diubahnya Penjelasan Pasal 124 dengan perubahan sebagaimana yang Pemohon sampaikan pada poin 17 semata-mata agar Pasal 124 memiliki tafsir resmi yang bersifat konstitusional, tidak lagi melanggar hak-hak dasar rakyat di bidang komunikasi sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD 1945 dan juga melanggar hak-hak Pemohon dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD 1945; IV. PETITUM Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak berkekuatan hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28F UUD 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah konstitusional diubah dengan frase kalimat: Penetapan tarif Retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi. Kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian dapat dijabarkan dalam contoh formula penghitungan sebagai berikut: Deskripsi Biaya (Rp) Satuan Banyak Jumlah Bulan (Rp) Keterangan Honorarium Petugas Pengawas 3.000.000 Bulanan/ orang 2 orang 6.000.000 1 bulan = 22 hari kerja 1 tim terdiri dari 2 orang Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000 Alat tulis kantor 1.000.000 Bulanan/tim 1 1.000.000 Total biaya pengeluaran per tim per bulan 11.400.000 Deskripsi Kapasitas Pengawasan per Tim/hari Jumlah hari kerja per bulan Kapasitas Pengawasan per tim/bulan Retribusi pengendalian menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 3 menara 22 66 menara = 11.400.000/66 = Rp.172.728/menara/bulan atau Rp.2.0072.728/menara/tahun 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-6.8 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Salinan Akta Notaris Nomor 01, tanggal 29 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 Agustus 2013, Akta Perseroan terbatas PT. Kame Komunikasi Indonesia;
Bukti P-2 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-55326.AH.01.01.Tahun 2013, tanggal 31 Oktober 2013.
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
Bukti P-5.1 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.2 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.3 : Fotokopi Peraturan Walikota Samarinda Nomor 23 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.4 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Temanggung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.5 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.6 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Surabata tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.7 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 31 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendali Menara Telekomunikasi di Kabupaten Bangli; Bukti P-5.8 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendali Menara Telekomunikasi; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 Bukti P-5.9 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 18 tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.10 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.11 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.12 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.13 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.14 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Tmur Nomor 23 Tahun 2011 tentang Penataan, Pembangunan, Pengoperasian, dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kabupaten Lampung Timur; Bukti P-5.15 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Nomor ... Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum. Bukti P-5.16 : Fotokopi Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 02 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.17 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.18 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.19 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 14 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.20 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.21 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.22 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor 4 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.23 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 7 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah; Bukti P-5.24 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah pada Bidang Perhubungan Komunikasi dan Informatika Bukti P-5.25 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 09 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.26 : Fotokopi Peraturan Daerah kota Batam Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.27 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.28 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.29 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 13 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian dan Pengawasan Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.30 : Fotokopi Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Retribusi Daerah; Bukti P-5.31 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.32 : Fotokopi Peraturan Daerah Kapaten Karangasem Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.33 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 20 tahun 2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.34 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Singkawang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Menara Bersama Telekomunikasi, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Menara Telekomunikasi dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.35 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 19 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.36 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 07 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi di Kabupaten Purbalingga; Bukti P-5.37 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan Nomor 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.38 : Fotokopi Qanun Kabupaten Aceh Singkil Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengawasan dan Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-5.39 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.40 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 11 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.41 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.42 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.43 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.44 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.45 : Fotokopi Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; Bukti P-5.46 : Fotokopi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah; Bukti P-5.47 : Fotokopi Peraturan Daerah Kabupaten Mukomuko Nomor 29 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi;
Bukti P-6.1 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Kabupaten Bantul Nomor 555/789 tanggal 6 November 2013, kepada provider telekomunikasi, perihal Keringanan RPM 2013; Bukti P-6.2 : Fotokopi Surat Ketetapan retribusi Daerah Pengendalian Menara Telekomunikasi Kota Batam; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 Bukti P-6.3 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Komunikasi Informatika Pemerintah Kabupaten Demak, Nomor 555/4553/2013 tanggal 12 September 2013, perihal Surat Pemberitahuan Keringanan Retribusi Daerah Menara Telekomunikasi; Bukti P-6.4 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Ciamis Nomor 555/1010/Dishub.06, tanggal 10 Juli 2013 perihal Penetapan retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-6.5 : Fotokopi Surat Pengantar Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kabupaten Karangasem Nomor 045.2/338/DKI, tanggal 28 Juni 2013; Bukti P-6.6 : Fotokopi Surat Ketetapan Retribusi Daerah Pengendalian Menara Telekomunikasi Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Surabaya, tanggal 30 Oktober 2013; Bukti P-6.7 : Fotokopi Surat Dinas Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kota Makassar Nomor 555/933/Diskom/ III/2013, tanggal 7 Maret 2013, perihal Tagihan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; Bukti P-6.8 : Fotokopi Surat Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Pemerintah Kabupaten Dairi Nomor 1616/ BU/DPKD/2012, tanggal 18 September 2012, perihal Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Tahun 2012; Selain itu, Pemohon juga mengajukan seorang ahli bernama Dr. Moh. Khusaini, S.E., M.SI., M.A., yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 2 Oktober 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: PENGANTAR Bahwa Pajak dan Retribusi Daerah merupakan kebijakan desentralisasi fiskal Pemerintah (Pusat) yang ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah ( Taxing power ) dan kapasitas fiskal daerah ( Fiscal Capacity ) untuk menjalankan setiap urusan yang dilimpahkan kepada daerah. Oleh karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 itu Pemerintah Daerah diberikan kewenangan memungut pajak dan pungutan memaksa lainnya (retribusi dan Iain-Iain PAD yang sah) sebagai bagian dari pendapatan asli daerah. Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-Undang, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-Undang yang baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Pada dasarnya UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan Undang-Undang ini, yaitu:
Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang ( Closed-List ).
Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang- Undang.
Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi. TINJAUAN TEORI DAN REGULASI Perbedaan Pajak dan Retribusi Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak merupakan pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai bentuk kontribusi warga terhadap negara, tentu memiliki sanksi tersendiri ketika seseorang tidak membayarkannya atau terlambat untuk membayarnya. Sementara itu, Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Jadi retribusi merupakan pungutan yang tidak wajib, tentu akan berbeda dengan pajak. Hal tersebut nampak pada tidak adanya sanksi atas tindakan tidak membayar retribusi, hanya saja bagi pihak yang tidak membayar tidak akan mendapatkan jasa sebagaimana yang membayarnya. Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Ciri-ciri retribusi daerah:
Retribusi dipungut oleh pemerintah daerah 2. Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis bagi yang menikmati pelayanan 3. Adanya kontraprestasi yang secara langsung dapat ditunjuk 4. Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang mengunakan/mengenyam jasa-jasa yang disiapkan negara. Kriteria Efektivitas Retribusi Daerah: Untuk menilai tingkat keefektivitasan dari pemungutan retribusi daerah ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi yaitu:
Kecukupan dan elastisitas, elastisitas retribusi harus responsif kepada pertumbuhan penduduk dan pendapatan, selain itu juga tergantung pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 ketersediaan modal untuk memenuhi pertumbuhan penduduk.
Keadilan, dalam pemungutan retribusi daerah harus berdasarkan asas keadilan, yaitu disesuaikan dengan kemampuan dan manfaat yang diterima.
Kemampuan administrasi, dalam hal ini retribusi mudah ditaksir dan dipungut. Mudah ditaksir karena pertanggungjawaban didasarkan atas tingkat konsumsi yang dapat diukur. Mudah dipungut sebab penduduk hanya mendapatkan apa yang mereka bayar, jika tidak dibayar maka pelayanan dihentikan. Jenis-jenis Retribusi Daerah Retribusi daerah menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah retribusi daerah dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: A. Retribusi Jasa Umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, retribusi jasa umum ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini:
Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa usaha atau perizinan tertentu.
Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi.
Jasa tersebut memberikan manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum.
Jasa tersebut iayak untuk dikenakan retribusi.
Retribusi tersebut tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya.
Retribusi tersebut dapat dipungut secara efektif dan efisien serta merupakan satu sumber pendapatan daerah yang potensial.
Pemungutan retribusi memungkinkanpenyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan atau kualitas pelayanan yang lebih baik. Adapun jenis retribusi jasa umum adalah sebagai berikut [Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang 28 Tahun 2009]:
Retribusi pelayanan kesehatan 2. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan 3. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 sipil 4. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat 5. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum 6. Retribusi pelayanan pasar 7. Retribusi pengujian kendaraan bermotor 8. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran 9. Retribusi penggantian biaya cetak peta 10. Retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus 11. Retribusi pengolahan limbah cair 12. Retribusi pelayanan tera/tera uiang 13. Retribusi pelayanan pendidikan 14. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi Terkait dengan Retribusi pengendalian menara telekomunikasi, dimana Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum. B. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oieh sektor swasta. Kriteria retribusi jasa usaha adalah:
Bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau retribusi perizinan tertentu.
Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogianya disediakan oleh sektor swasta, tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/ dikuasai oleh pemerintah daerah. Jenis-jenis retribusi jasa usaha adalah sebagai berikut (Pasal 127 Undang- Undang 28 Tahun 2009):
Retribusi pemakaian kekayaan daerah 2. Retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan 3. Retribusi tempat pelelangan 4. Retribusi terminal 5. Retribusi tempat khusus parkir 6. Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 7. Retribusi rumah potong hewan 8. Retribusi pelayanan kepelabuhanan 9. Retribusi tempat rekreasi dan oiahraga 10. Retribusi penyeberangan di air 11. Retribusi penjualan produksi usaha daerah C. Retribusi Perizinan Tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang. penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Kriteria retribusi perizinan tertentu antara lain:
Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi.
Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum.
Biaya yang menjadi beban pemerintah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga Iayak dibiayai dari perizinan tertentu. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu adalah sebagai berikut (Pasal 141 Undang-Undang 28 Tahun 2009):
Retribusi izin mendirikan bangunan 2. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol 3. Retribusi izin gangguan 4. Retribusi izin trayek 5. Retribusi izin usaha perikanan Tata Cara Perhitungan Retribusi Daerah Besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perizinan tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif retribusi dengan tingkat penggunaan jasa. Dengan demikian, besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan tarif retribusi dan tingkat penggunaan jasa.
Tingkat Penggunaan Jasa, Tingkat Penggunaan Jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas penggunaan jasa sebagai dasar alokasi beban biaya yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 dipikul daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan, misalnya beberapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kali/berapa jam parkir kendaraan, dan sebagainya. Akan tetapi, ada pula penggunaan jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur. Dalam hal ini tingkat penggunaan jasa mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus tertentu yang didasarkan atas luas tanah, luas lantai bangunan, jumlah tingkat bangunan, dan rencana penggunaan bangunan.
Tarif Retribusi Daerah, Tarif Retribusi Daerah adalah niiai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi daerah yang terutang. Tarif dapat ditentukan seragam atau dapat diadakan perbedaan mengenai golongan tarif sesuai dengan sasaran dan tarif tertentu, misalnya perbedaan Retribusi Tempat Rekreasi antara anak dan dewasa. Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah berkaitan dengan objek retribusi yang bersangkutan.
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Daerah, Tarif retribusi daerah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang berbeda antar golongan retribusi daerah. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah ditentukan sebagai berikut:
Tarif retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan.
Tarif retribusi jasa usaha ditetapkan berdasarkan pada tujuan utama untuk memperoleh keuntungan yang Iayak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa yang bersangkutan diselenggarakan oleh swasta.
Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seiuruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan dilapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Prinsip dasar untuk mengenakan retribusi biasanya didasarkan pada total cost dari pelayanan pelayanan yang disediakan. Akan tetapi akibat adanya perbedaan-perbedaan tingkat pembiayaan mengakibatkan tarif retribusi tetap dibawah tingkat biaya ( full cost ) ada 4 alasan utama mengapa hal ini terjadi:
Apabila suatu pelayanan pada dasarnya merupakan suatu public good yang disediakan karena keuntungan kolektifnya, tetapi retribusi dikenakan untuk mendisiplinkan konsumsi. Misalnya retribusi air minum.
Apabila suatu pelayanan merupakan bagian dari swasta dan sebagian lagi merupakan good public . Misalnya tarif kereta api atau bis disubsidi guna mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum dibandingkan angkutan swasta, guna mengurangi kemacetan.
Pelayanan seluruhnya merupakan private good yang dapat disubsidi jika hal ini merupakan permintaan terbanyak dan penguasa enggan menghadapi masyarakat dengan full cost . Misalnya fasilitas rekreasidari koiam renang.
Private good yang dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia dan group- group berpenghasiian rendah. Misalnya perumahan untuk tunawisma. Prinsip Dasar dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Besarnya retribusi daerah yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung dari perkalian antara tarif dan tingkat penggunaan jasa dengan rumus sebagai berikut: RETRIBUSI TERUTANG= TINGKAT PENGGUNAAN JASA x TARIF RETRIBUSI Tarif Retribusi (TR) adalah niiai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang terutang. Tarif Retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi. Pasal 151 ayat (1) UU 28/2009 menyatakan "Besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi". Cara mengukur tingkat penggunaan jasa Dalam implementasinya, mengukur tingkat penggunaan jasa ini banyak menimbulkan masalah, misalnya adanya perbedaan antara daerah satu dengan daerah lain tentang cara mengukur tingkat penggunaan jasa pada Perda tentang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 retribusi daerah, dimana jenis objek retribusi sama. Banyaknya perda tentang retribusi yang hasil dari pengukuran tingkat penggunaan jasa tidak dapat dikaitkan (tidak ada korelasi) dalam penghitungan besaran retribusi daerah yang terutang. Banyaknya perda tentang retribusi yang hasil dari pengukuran tingkat penggunaan jasa tidak dikuantitatifkan (ada nilai angkanya). Tingkat penggunaan jasa adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang ditanggung pemerintah daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah. Rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mencerminkan beban yang dipikul oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut (relevan). Sebelum mengukur TPJ, langkah pertama adalah menentukan dasar TPJ. Dalam menentukan dasar TPJ, kita cari dulu kaitan atau korelasi antara TPJ dengan objek retribusi. contoh "Retribusi Pertunjukan", hal-hal apa saja yang ada korelasi dengan Pertunjukan selain hari? Bisa jam, nama, umur, jenis kelamin dan sebagainya. Untuk memudahkan memahami bagaimana menentukan dasar TPJ selain hari (pada contoh Tiket), lihat ilustrasi di bawah ini: Hari Tarif Senin – Jumat Rp. 20.000,- Sabtu dan Minggu Rp. 30.000,- Dalam contoh tiket Pertunjukan di atas, Tingkat Penggunaan Jasa (TPJ) didasarkan pada hari yaitu hari Senin-Jumat dan Sabtu-Minggu. Tetapi dapat juga didasarkan pada umur yaitu anak dan dewasa. Dalam mengukur TPJ ada 2 metode, yaitu dalam bilangan/angka yang biasa disebut dengan indeks/koefisien dan prosentase. Untuk memudahkan dalam mengukur TPJ lihat ilustrasi di bawah ini dengan dasar TPJ hari, untuk mempersamakan persepsi kita pakai kata indeks atau persen dalam mengukur TPJ: Hari Indeks Persen Senin-Jumat 0.75 75% Sabtu dan Minggu 1 100% Tabel di atas merupakan contoh dalam mengukur TPJ, sedang niiai indeks dan prosentase hanyalah sebuah contoh tanpa didasari pendalaman lebih lanjut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 Paling tidak contoh diatas sudah dapat menggambarkan bagaimana cara mengukur TPJ, bahwa TPJ ada nilainya. PEMBAHASAN DAN ANALISIS TERKAIT RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI Permasalahan yang muncul dalam penjelasan Pasal 124 adalah sebagai berikut: Pada dasarnya hakekat retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Jadi retribusi merupakan pungutan yang dapat dipaksakan hanya kepada orang pribadi atau badan yang mendapatkan pelayanan saja. Sehingga jelas di sini harus ada hubungan timbal balik dan keterkaitan yang jelas antara besarnya pembayaran retribusi dengan pelayanan yang diberikan pemerintah. Misalnya, Retribusi sampah, maka pihak pembayar retribusi sampah akan mendapatkan pelayanan berupa pengambilan sampah. Tentunya besarnya tarif retribusi sampah akan terkait langsung dengan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah atas penyelenggaraan pelayanan pengambilan sampah. Bahwa Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28.Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara lengkap menyatakan, " Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum ." Oleh karena itu ketentuan Pasal 124 tersebut memiliki makna bahwa ditetapkannya menara telekomunikasi sebagai objek retribusi karena adanya pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan umum sehingga diperlukan pelayanan pemerintah yang bersifat pengawasan ( monitoring ), pengendalian dari pemerintah daerah agar sesuai dengan kepentingan umum. Dalam hal tata cara perhitungan dan penetapan tarif retribusi, UU Nomor 28 Tahun 2009 telah mengaturnya secara khusus di Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. [3.11] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P- 6, yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 25 Agustus 2014; [3.12] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil permohonannya Pemohon mengajukan seorang ahli, Dr. Moh. Khusaini, S.E., M.SI., M.A., yang didengarkan keterangannya di persidangan Mahkamah pada tanggal 2 Oktober 2014; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden yang pada pokoknya menerangkan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 memberikan kepastian hukum, karena dengan adanya penetapan tarif maksimum 2% dari NJOP PBB justru memberikan kejelasan terhadap seluruh rakyat Indonesia, sehingga memudahkan dalam penghitungan bagi masyarakat, dan memudahkan untuk menetapkan tarif dalam batasan maksimum bagi pemerintahan daerah. Selain itu Presiden juga mengajukan seorang ahli, Drs. Budi Sitepu, M.A., yang didengarkan keterangannya pada persidangan Mahkamah tanggal 2 Oktober 2014; [3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 November 2014, yang pada pokoknya menerangkan bahwa Penjelasan Pasal 124 dimaksudkan untuk memberikan kemudahan penghitungan dengan tidak mengabaikan ketentuan bahwa penghitungan retribusi terhadap pengendalian menara telekomunikasi harus dikaitkan dengan biaya pengawasan dan pengendalian; [3.15] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, keterangan dari Presiden, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh Pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis Pemohon dan Presiden sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Pendapat Mahkamah [3.16] Menimbang bahwa Pasal 23A UUD 1945 menentukan bahwa, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang ”. Ketentuan a quo mensyaratkan pengaturan mengenai pengenaan pajak haruslah berbentuk Undang-Undang, yaitu jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden, sehingga negara dalam mengenakan pungutan kepada rakyatnya tidak dapat sewenang-wenang, namun harus melibatkan wakil rakyat. Dengan demikian, undang-undang perpajakan merupakan kesepakatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 antara negara dan rakyat terkait dengan pengenaan pajak. Selanjutnya Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 juga mengakui adanya hak milik pribadi yang tidak boleh diambil dengan cara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan adanya ketentuan Pasal 23A dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, pajak dan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban kenegaraan saja tetapi juga dipandang sebagai pengambilan sebagian harta milik rakyat oleh negara yang tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, pemungutan pajak harus berdasarkan prinsip pemungutan pajak ( fiscal justice ) yang meliputi kepastian hukum ( certainty ), keadilan ( equality ), kemudahan ( convenience ), dan efisien ( eficiency ); [3.17] Menimbang bahwa pajak dan pungutan lainnya adalah sumber penerimaan negara yang sangat besar yang digunakan untuk membiayai pembangunan, serta mewujudkan tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Untuk mencapai tujuan pajak yang lebih merata dan berkeadilan, maka semangat otonomi daerah sebagaimana diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 telah melimpahkan kewenangan memungut pajak kepada daerah. Tujuannya agar masing-masing daerah dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya sesuai karakteristik di setiap daerah. Dalam hal-hal tertentu, pelaksanaan otonomi daerah telah mengubah sistem administrasi pemerintahan dan perpajakan yang semula bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Oleh karena itu, penerapan kebijakan otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi perpajakan diharapkan akan dapat membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah; Salah satu kewenangan yang telah dilimpahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi perpajakan di antaranya berkaitan dengan kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah merupakan langkah strategis dalam upaya memberikan kewenangan yang lebih luas dan bertanggung jawab kepada daerah di bidang perpajakan daerah ( local taxing empowerment ), tujuannya untuk mewujudkan kemandirian daerah di segala segi kehidupan; Salah satu sumber pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah adalah dari retribusi. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 badan (vide Pasal 1 angka 64 UU 28/2009). Dengan ditetapkannya UU 28/2009 terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah yang tujuannya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sekaligus meningkatkan kemandirian daerah. Perluasan objek retribusi daerah dilakukan dengan menambah jenis retribusi baru bagi kabupaten/kota, salah satunya adalah retribusi pengendalian menara telekomunikasi; [3.18] Menimbang bahwa komunikasi adalah kebutuhan yang sangat penting bagi manusia sebagai bentuk interaksi terhadap sesama dalam menjalankan kehidupan. Terhadap kebutuhan komunikasi ini, Pasal 28F UUD 1945 telah menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta untuk mencari, memperoleh, memilliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada. Dengan demikian, menurut Mahkamah, hak untuk berkomunikasi adalah hak konstitusional yang dimiliki setiap orang. Teknologi komunikasi yang berkembang saat ini memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk saling terhubung satu sama lain, dan saling berkomunikasi meskipun dari jarak yang berjauhan. Telekomunikasi menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat, bahkan mempengaruhi segi kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan juga hukum; Menara telekomunikasi merupakan infrastruktur pendukung yang utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi, yang keberadaannya memerlukan ketersediaan lahan, bangunan, dan ruang udara. Menurut Mahkamah, keberadaan menara telekomunikasi di sisi lain juga dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar menara telekomunikasi. Dampak negatif yang potensial terjadi akibat tidak terkendalinya pembangunan menara telekomunikasi adalah menara telekomunikasi secara signifikan dapat menimbulkan gangguan keamanaan lingkungan, mengancam kesehatan masyarakat akibat paparan radiasi gelombang, dan merusak estetika lingkungan di sekitar menara. Mahkamah berpendapat bahwa untuk meminimalisasi dampak negatif dari tidak terkendalinya pembangunan menara telekomunikasi, langkah pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi adalah tepat. Salah satu caranya adalah dengan memperluas objek retribusi daerah hingga mencakup pengawasan dan pengendaliannya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 Retribusi sebagaimana juga pajak dan pungutan lainnya dapat memiliki fungsi budgeter dan fungsi reguleren . Retribusi berfungsi budgeter akan memberikan pemasukan bagi kas daerah untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan daerah. Di sisi lain, retribusi berfungsi reguleren dapat menjadi alat pengatur masyarakat, salah satunya untuk meminimalisasi dampak negatif yang muncul, yang dalam skala lebih luas dapat menimbulkan eksternalitas negatif bagi sekitarnya, dalam hal ini retribusi sebagaimana pajak dan pungutan lainnya dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mengurangi dampak buruk dari rokok dengan meningkatkan cukai rokok, mengurangi tingkat polusi kendaraan dengan pajak kendaraan bermotor, melindungi petani dalam negeri dengan pajak impor atau bea masuk. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi memiliki fungsi reguleren untuk mengendalikan jumlah menara telekomunikasi yang semakin banyak, dan meminimalisasi dampak negatif baik bagi kesehatan masyarakat sekitar, keamanan lingkungan, dan tata ruang perkotaan; [3.19] Menimbang bahwa retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah karena adanya fasilitas atau pelayanan yang nyata diberikan oleh pemerintah daerah. Dalam hal retribusi pengendalian menara telekomunikasi, objek retribusinya adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum (vide Pasal 124 UU 28/2009), sehingga Wajib Retribusi yang membayar retribusi akan mendapatkan layanan atas pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi. Untuk itu, dilakukan pengendalian dan pengawasan agar tetap sesuai dengan tata ruang, tidak mengganggu keamanan lingkungan, dan tidak memberikan dampak buruk bagi kepentingan umum yang lebih luas. Dengan kalimat lain, ada layanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang dinikmati oleh Wajib Retribusi; Menurut Mahkamah, sebagaimana hakikat retribusi, maka retribusi haruslah dapat diperhitungkan, memiliki ukuran yang jelas atas tarif yang akan dikenakan. Jika perhitungan retribusi tidak jelas maka beban retribusi bisa jadi akan dialihkan kepada konsumen. Hal demikian menurut Mahkamah akan menimbulkan ketidakpastian hukum, apalagi jika dikaitkan dengan tujuan retribusi untuk mengendalikan pembangunan menara telekomunikasi. Dengan pengalihan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 beban retribusi maka pengenaan retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak akan membuat pembangunan menara telekomunikasi terkendali; Terhadap keberatan Pemohon atas penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP, Mahkamah memahami bahwa di satu sisi penetapan tarif maksimal bertujuan agar tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak berlebihan dan memberatkan penyedia menara dan penyelenggara telekomunikasi, namun di sisi lain, jika penerapannya di setiap daerah adalah sama, tanpa memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian, maka akan menimbulkan ketidakadilan. Ketentuan batas maksimal 2% dari NJOP yang menyebabkan pemerintah daerah mematok harga tertinggi yaitu 2% dari NJOP tanpa perhitungan yang jelas merupakan ketentuan yang tidak memenuhi rasa keadilan. Karena akibat patokan harga maksimal yang menyebabkan hampir di setiap daerah menggunakan batas maksimal untuk memberlakukan pengenaan tarif yaitu 2% bagi setiap daerah dengan karakteristik yang sesungguhnya berbeda adalah hal yang tidak adil. Karena memperlakukan dengan sama terhadap hal yang berbeda adalah diskriminatif, sebagaimana juga memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama; Batas maksimal 2% bukan hanya ditujukan agar besaran retribusi tidak terlalu tinggi, namun memang diakui karena adanya kesulitan penghitungan. Dalam pengenaan pajak, hal yang tidak bisa dihitung, dan penerapannya akan sulit seharusnya tidak menjadi sebuah objek pungutan, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagai konsekuensi dari kebijakan yang telah diambil, Pemerintah seharusnya dapat menemukan formula yang tepat untuk menetapkan tarif retribusi. Formula demikian dapat diatur dalam peraturan yang lebih teknis. Adanya kesulitan dalam menghitung besaran retribusi yang mengakibatkan ketidakjelasan dalam penentuan tarif menjadikan penetapan tarif maksimal hanya bertujuan untuk mengambil jalan pintas, menurut Mahkamah adalah tindakan yang tidak adil; Meskipun menurut Mahkamah penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase ataupun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya ( open public policy ), namun kepastian hukum yang adil tetap harus diperhatikan. Karena pengenaan pungutan baik retribusi, pajak atau pungutan lainnya harus memperhatikan prinsip Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 pemungutan pajak ( fiscal justice ) yang meliputi kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan efisiensi. Pengenaan tarif retribusi yang memberikan batas maksimal 2% dari NJOP tanpa disertai dengan sistem penghitungan yang jelas justru tidak memberikan kepastian hukum yang akan menyebabkan ketidakadilan dalam penerapannya. Kepastian hukum dalam mengenakan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif, dan waktu pembayarannya. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 menegaskan bahwa tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan penghitungannya, karena itulah ditentukan presentase 2% sebagai batas maksimal penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Menurut Mahkamah, penjelasan demikian menggambarkan tidak terpenuhinya prinsip pemungutan pajak baik prinsip kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan efisiensi, padahal Pemerintah dalam memperluas objek baik pajak maupun retribusi seharusnya mempertimbangkan prinsip-prinsip pemungutan pajak, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ketidakjelasan dalam penghitungan dan kesulitan penentuan tarif. Dengan demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.20] Menimbang bahwa, dari sisi pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik, penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma, karena penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang- undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru mengatur norma yang menentukan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yaitu “paling tinggi 2% dari NJOP”. Selain itu, norma yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru membuat ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 124 UU 28/2009, sebagian besar pemerintah daerah justru mematok tarif 2% dari NJOP, tanpa menghitung dengan jelas berapa sesungguhnya tarif retribusi yang layak dikenakan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut [vide Pasal 152 UU 28/2009]. Dengan demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. [3.21] Menimbang bahwa oleh karena penetapan tarif maksimal retribusi pengendalian menara telekomunikasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka Pemerintah harus segera membuat formulasi/rumus penghitungan yang jelas terhadap tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang sesuai dengan layanan atas pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi yang telah diterima oleh wajib retribusi, juga dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut, sehingga tujuan pengendalian menara telekomunikasi untuk meminimalisasi eksternalitas negatif dapat tercapai. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 151 ayat (3) dan ayat (4) UU 28/2009, apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, dan rumus dimaksud harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut; [3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 telah bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh tujuh Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, Anwar Usman, Muhammad Alim, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tujuh belas, bulan November, tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh enam , bulan Mei, tahun dua ribu lima belas , Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 selesai diucapkan pukul 12.42 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, Patrialis Akbar, Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Presiden/yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat/yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Wahiduddin Adams ttd. Maria Farida Indrati ttd. Aswanto ttd. Patrialis Akbar ttd. Suhartoyo ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Manahan M.P Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Yunita Rhamadani Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
(1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. (2) Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dari ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 dapat ditegaskan bahwa penetapan tarif retribusi jasa umum harus didasarkan pada biaya penyediaan jasa dalam hal biaya operasional, pemeliharaan, bunga dan biaya modal. Dan biaya tersebut hanya untuk menutupi sebagian biaya saja. Lebih jauh daripada itu, penetapan tarif juga harus didasarkan pada kemampuan masyarakat (jika tarif retribusi dikenakan kepada masyarakat), aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas layanan retribusi. Penerimaan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan retribusi. Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 teranglah sudah bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi seharusnya didasarkan pada biaya jasa pengawasan dalam rangka pengawasan dan pengendalian menara agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan.dan kepentingan umum (Pasal 124). Biaya-biaya itu khususnya menyangkut biaya operasional dengan catatan bahwa penetapan tarif tidak untuk menutupi semua biaya pengawasan yang terkait dengan penyediaan jasa pengawasan dan pengendalian menara, tetapi hanya untuk sebagian biaya saja. Penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya akan digunakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Bahwa dalam praktiknya, penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi ternyata tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 karena terbentur oleh penafsiran yang diberikan di dalam Penjelasan Pasal 124, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari niiai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." Di dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut secara terang-terangan dinyatakan bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sulit ditentukan karena bersifat pengawasan dan pengendalian, sehingga dengan alasan untuk memudahkan penghitungan dalam menetapkan tarif digunakanlah batasan paling tinggi 2% dari NJOP; oleh karena itu Penjelasan Pasal 124 tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161. Seharusnya besarnya retribusi pengendalian menara telekomunikasi tetap berdasarkan pada biaya atas jasa pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan seharusnya dapat dihitung berdasarkan pada rumus dan kriteria tertentu. (misalnya, menghitung besarnya retribusi pada IMB walaupun agak sulit tetapi dapat dilakukan, tetapi mengapa untuk retribusi Pengendalian menara tidak dilakukan). Disamping itu, Penjelasan Pasal 124 tersebut di atas bertentangan dengan syarat dan prisip retribusi yakni bersifat bukan pajak. Karena dengan menggunakan formula 2% dari NJOP tersebut menyebabkan retibusi Pengendalian menara bersifat seperti pajak, berapapun biaya pelayanan yang diberikan tetap harus membayar 2% dari NJOP (artinya besarnya retribusi tidak terkait dengan pelayanan yang diberikan). Oleh karena itu seharusnya ketentuan yang ada dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut menjelaskan tentang bagaimana pemerintah daerah melakukan pengawasan dan pengendalian atas menara telekomunikasi sehingga dapat di taksir besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi ( high-cost economy ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 15 September 2014 dan telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Oktober 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa Pemohon adalah penyedia jasa di bidang telekomunikasi yang menganggap Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengandung ketidakjelasan norma dan justru mengaburkan bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang terkandung dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD.
Bahwa menurut Pemohon, dampak dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD membuat ketentuan penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana diatur dalam Pasal 151, 152, dan Pasal 161 UU PDRD, karena dalam praktiknya pemerintah daerah melalui peraturan daerah mengenai penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi langsung menetapkan tarif sebesar 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menara telekomunikasi.
Bahwa Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan keberlakuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat penyedia menara untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Akibatnya retribusi menara telekomunikasi secara tidak langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu Pemohon harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasi dalam permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;
Hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi RI sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 3. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Sehubungan dengan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Menurut Pemerintah, Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD adalah tidak berdasar sama sekali , karena pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review saat ini adalah merupakan keberatan Pemohon terhadap pengenaan tarif retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, sehingga hal ini bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma;
Bahwa terhadap keberatan Pemohon tersebut, UU PDRD memberikan kesempatan bagi Pemohon agar dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 162 UU PDRD;
Bahwa terhadap keberatan Pemohon atas penerapan tarif retribusi menara telekomunikasi yang menurut Pemohon secara serta merta ditetapkan oleh beberapa peraturan daerah sebesar 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan norma ini sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 F UUD 1945 yang digunakan sebagai batu uji constitutional review saat ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Selain itu, apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut Pemerintah, dalil-dalil kerugian yang disampaikan Pemohon lebih bersifat spekulatif, prematur, dan tidak relevan. Sementara Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa jika kerugian yang didalilkan bersifat potensial, maka kerugian tersebut harus dipastikan akan terjadi berdasarkan penalaran yang wajar. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing ) dan adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PEMOHON Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis mengenai materi pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU PDRD, sebagai berikut: Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi para warganya sebagai sarana untuk ikut serta dalam pembiayaan penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional. UUD 1945 telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kehidupan bernegara. Hal ini ditegaskan dengan diaturnya perpajakan dalam konstitusi, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 yaitu Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Dalam penyusunan undang-undang bidang perpajakan sebagaimana amanat Pasal 23A UUD 1945, pembuat Undang-Undang juga mempertimbangkan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang menganut asas otonom dan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memerlukan sumber dana yang cukup besar untuk menyelenggarakan pemerintahannya dan pelayanan kepada masyarakat. Sumber dana dimaksud memegang peranan penting guna mendukung kelangsungan pemerintahan dan masyarakat itu sendiri. Sumber dana tersebut dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama dalam berbagai bentuk diantaranya adalah pajak dan retribusi. Penerapan kebijakan otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan dapat membantu Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mendukung pembiayaan berbagai urusan dan kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah, di antaranya berkaitan dengan kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagaimana diketahui bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah dalam mendorong peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah, melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan membangun hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang lebih ideal, kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah diarahkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penguatan local taxing power , peningkatan efektifitas pengawasan, dan perbaikan pengelolaan pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagai salah satu bagian dari upaya perbaikan terus menerus, UU PDRD paling tidak memperbaiki 3 (tiga) hal pokok, yaitu penyempurnaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan ( local taxing empowerment ) dan retribusi daerah, serta peningkatan efektivitas pengawasan. Ketiga hal tersebut berjalan secara bersamaan, sehingga upaya peningkatan PAD dilakukan dengan konsisten terhadap prinsip-prinsip perpajakan dan retribusi yang baik dan tepat. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis pungutan yang dikenakan pemerintah daerah kepada masyarakat di samping pajak. Retribusi bersama- sama dengan pajak digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Retribusi daerah dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan retribusi yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Penggolongan retribusi tersebut dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam pelaksanaannya, sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah. Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Salah satu jenis Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut:
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengandung ketidakjelasan norma dan justru mengaburkan bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang terkandung dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD, Pemerintah berpendapat: Bahwa dalam hal penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang termasuk dalam kelompok retribusi jasa umum, penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi harus sejalan dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang diatur dalam Pasal 152 UU PDRD, yang didasarkan pada kebijakan daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Untuk mencapai sasaran dimaksud, penerapan tarif retribusi jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 umum dimaksudkan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan. Tarif retribusi juga ditetapkan dalam rangka meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah diberi diskresi penetapan tarif yang dituangkan dalam peraturan daerah mengenai pungutan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, namun harus tetap sesuai dengan tata cara penghitungan retribusi yang diatur dalam ketentuan Pasal 151 UU PDRD. Dengan demikian apabila Penjelasan Pasal 124 UU PDRD diubah sebagaimana petitum permohonan Pemohon, dikhawatirkan Pemerintah dianggap telah memberi ruang yang berlebih bagi pemerintah daerah dalam menetapkan tarif retribusi, sehingga Pemerintah memandang perlu mengatur batas maksimum tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang ditetapkan pemerintah daerah dalam peraturan daerah.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon, yang menganggap dampak dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD membuat ketentuan penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana diatur dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD, karena dalam praktiknya pemerintah daerah melalui peraturan daerah mengenai penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi langsung menetapkan tarif sebesar 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menara telekomunikasi, Pemerintah berpendapat: Dalam rangka untuk melindungi masyarakat dari beban yang berlebihan perlu diatur batasan maksimum tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi. Apabila batasan maksimum 2% (dua persen) yang diatur dalam Penjelasan Pasal 124 UU PDRD dihapus sebagaimana permohonan Pemohon, maka tidak akan ada lagi batasan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan tarif. Hal tersebut dapat berdampak munculnya kesewenang-wenangan pemerintah daerah dalam menentukan tarif yang justru dapat merugikan masyarakat. __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 Pada prinsipnya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada Wajib Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi adalah pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian. Namun pada praktiknya, penghitungan biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pengawasan dan pengendalian dimaksud sulit ditentukan. Untuk itu, demi kepastian hukum dan guna mempermudah penghitungan, UU PDRD mengatur bahwa besaran tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah adalah paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa permasalahan penetapan tarif paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi bukan terletak pada Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, namun terkait dengan implementasi norma oleh pemerintah daerah yang dituangkan dalam peraturan daerah masing-masing. Oleh karena itu, terhadap anggapan Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tersebut adalah tidak berdasar sama sekali , karena pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review saat ini adalah merupakan keberatan Pemohon terhadap pengenaan tarif retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, sehingga hal ini bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma. Bahwa terhadap keberatan Pemohon tersebut, UU PDRD memberikan kesempatan bagi Pemohon agar dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 162 UU PDRD.
Terhadap dalil Pemohon yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan keberlakuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat penyedia menara untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Akibatnya retribusi menara telekomunikasi secara tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, Pemerintah berpendapat: Bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji dalam permohonan a quo oleh Pemohon pada hakekatnya memberikan suatu hak konstitusional bagi setiap orang yang berupa hak pengakuan di hadapan hukum, hak jaminan di hadapan hukum, hak perlindungan hukum, hak kepastian hukum, serta hak perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pemerintah berpendapat, bahwa dengan adanya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengenai Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi justru memberikan kejelasan tentang adanya kepastian hukum terhadap seluruh rakyat Indonesia, karena dengan penetapan tarif maksimum 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi mempermudah penghitungan bagi masyarakat dan memberikan batasan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan tarif dalam batas maksimum. Pemerintah juga berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945, karena Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa dengan penerapan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tersebut hak konstitusional Pemohon dan masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dirugikan. Justru dengan penerapan tarif maksimum 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi tersebut, hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak dirugikan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Sejalan dengan hal tersebut, maka petitum permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum, karena Penjelasan Pasal 124 UU PDRD justru memperjelas tentang adanya kepastian hukum. Oleh karena itu, Pemerintah menyatakan tidak ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan; dan
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain itu, Presiden mengajukan seorang Ahli bernama Drs. Budi Sitepu M.A., yang didengarkan keterangannya di persidangan Mahkamah pada tanggal 2 Oktober 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. PRINSIP UMUM RETRIBUSI DAERAH 1. Pengertian Pengertian mengenai retribusi daerah diatur dalam Pasal 1 angka 64 UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut: “ Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa ataupemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. ” Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang harus dipahami dalam suatu retribusi daerah, yaitu:
Retribusi daerah dipungut berdasarkan Undang-Undang (sesuai Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 23A UUD 1945) yang pelaksanaannya di daerah diatur dengan peraturan daerah.
Pembayar retribusi daerah mendapat imbalan langsung berupa pelayanan yang menyebabkan fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh orang atau pribadi atau badan.
Penerimaan retribusi daerah digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
Prinsip dan Kriteria Retribusi Daerah a. Suatu retribusi daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum seperti keadilan ( equity ), kepastian ( certainty ), kemudahan ( convenience ), dan efisiensi ( efficiency ).
Penetapan suatu jenis retribusi daerah (yang masuk dalam kelompok retribusi jasa umum) perlu memperhatikan beberapa kriteria, antara lain: • bersifat bukan pajak. • jasa tersebut merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. • Jasa memberi manfaat khusus bagi pembayar retribusi daerah, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum. • jasa hanya diberikan kepada pembayar retribusi. • tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya. • dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu pendapatan daerah yang potensial. • pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Tarif Retribusi Daerah Retribusi daerah dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Prinsip dan sasaran penetapan tarif untuk masing-masing kelompok retribusi tersebut berbeda satu dengan lainnya, yaitu:
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi jasa umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Apabila suatu daerah memiliki kemampuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 fiskal yang memadai, penyediaan jasa untuk jenis Iayanan tertentu dapat tidak dikenakan retribusi.
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk meperoleh keuntungan yang Iayak. Dalam hal ini, jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah pada dasarnya dapat juga disediakan oleh pihak swasta, sehingga penetapan tarif jasa yang disediakan pemerintah daerah akan bersaing dengan harga jasa yang sama yang disediakan oleh pihak swasta.
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seiuruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Untuk jenis Iayanan ini, penetapan tarif ditujukan untuk menutup biaya-biaya yang dikeluarkan dalam penyediaan jasa yang bersangkutan ( cost-recovery ) termasuk biaya pengawasannya. Penetapan besarnya tarif untuk masing-masing jenis retribusi daerah sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintahan daerah dengan mengacu pada prinsip dan sasaran penetapan tarif di atas dan diatur dalam peraturan daerah. Dalam hal ini, pemerintahan daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan tarif retribusi daerah sesuai kebijakan daerah, seperti untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyediaan jasa yang bersangkutan dan membantu golongan masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dengan demikian, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi dapat berbeda menurut jenis pelayanan jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna jasa. B. RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DAN PENETAPAN TARIFNYA 1. Pendahuluan Gagasan penetapan retribusi pengendalian menara telekomunikasi muncul ketika berbagai pihak menyampaikan pandangan dan usulannya kepada DPR terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti dari UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 Dinamika yang berkembang saat pembahasan RUU tersebut di DPR adalah adanya keluhan dari industri telekomunikasi atas terjadinya berbagai pungutan di daerah terhadap keberadaan menara telekomunikasiyang dipandang tidak memiliki dasar hukum jelas. Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000, sejumlah Perda bermasalah masih ditemui di daerah karena prinsip yang dianut dalam Undang-Undang tersebut bersifat “ open-list ”, artinya daerah dapat menetapkan Perda tentang retribusi daerah tanpa menunggu persetujuan dari Pemerintah. Dalam rangka menertibkan berbagai pungutan daerah, Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengubah prinsip pemungutan retribusi daerah dari yang bersifat 'open-list' menjadi 'closed-list . Dengan prinsip 'closed-list' , daerah hanya boleh memungut retribusi daerah sesuai jenis retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang. Langkah ini dipandang dapat mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai pungutan daerah yang menjadi kewajibannya.
Kondisi yang dihadapi Seiring dengan pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia, pembangunan menara telekomunikasi oleh perusahaan berkembang pesat guna mendukung kelancaran komunikasi. Pendirian menara telekomunikasi tersebut tidak dapat dikendalikan oleh daerah karena kewenangan perijinan serta pemungutan pajak dan bukan pajak dilakukan oleh pusat. Dari segi estetika, tumbuhnya menara telekomunikasi yang tidak sesuai ketentuan tata ruang telah menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah mana menara tersebut didirikan. Berbagai pendapatan dan reaksi muncul atas kondisi tersebut, antara lain:
Sebagian masyarakat di daerah memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi hanya menimbulkan kerusakan lingkungan dan tidak memberikan manfaat, sehingga acapkali terjadi gangguan keamanan terhadap keberadaan menara.
Sebagian Pemerintah daerah juga memandang bahwa tumbuhnya industri telekomunikasi tidak memberikan kontribusi bagi pembangunan di daerah. Keberadaan menara justru dianggap merusak lingkungan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 sementara daerah tidak mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan telekomunikasi (yang acapkali dipublikasikan mendapatkan keuntungan cukup besar). Hampir semua pungutan yang terkait dengan operasi telekomunikasi dilakukan oleh pusat, baik dalam bentuk pajak penghasilan, pajak pertambahan niiai, maupun penerimaan negara bukan pajak. Pemerintah daerah menuntut agar sebagian dari pungutan tersebut diberikan kepada daerah, baik dalam bentuk bagi hasil ataupun dengan menambah jenis pungutan daerah yang baru.
Pelaku bisnis telekomunikasi memandang bahwa mereka telah memenuhi semua kewajiban finansial atas operasional telekomunikasi kepada pemerintah. Pelaku bisnis menuntut agar pemerintah turut serta dalam mengamankan aset-aset yang mereka gunakan di daerah dalam operasional telekomunikasi (seperti menara telekomunikasi) agar mereka tidak mengalami kerugian, yang pada akhimya akan mengurangi pembayaran pajak dan bukan pajak. Mereka juga memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi turut memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah karena komunikasi antar masyarakat di daerah dan antar daerah menjadi lebih lancar.
Para akademisi melihat bahwa pertumbuhan industri telekomunikasi memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan daerah. Namun, kepada daerah perlu dialokasikan sejumlah dana yang diperoleh dari industri telekomunikasi untuk digunakan membiayai pelayanan terhadap keberadaan menara telekomunikasi di daerah seperti: pengaturan ruang untuk pendirian menara telekomunikasi, pengendalian dan pengamanan menara telekomunikasi dari potensi gangguan kamtibmas, serta menata pembangunan menara telekomunikasi yang sesuai dengan kondisi daerah.
Para anggota DPR juga memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi perlu dikendalikan oleh pemerintah daerah agar keberadaannya tidak merusak lingkungan. Guna menjamin kelancaran komunikasi, keberadaan menara telekomunikasi perlu diatur dan diamankan dari gangguan kamtibmas. Berbagai opsi dapat dipertimbangkan untuk membantu daerah membiayai fungsi pelayanan tersebut seperti bagi hasil pungutan pusat, menambah jenis pajak daerah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 baru (pajak telepon), retribusi daerah baru, atau piggy-bank dari jenis pajak pusat.
Pemerintah pada dasarnya sependapat dan mendukung upaya pengamanan menara telekomunikasi dalam rangka meningkatkan kualitas komunikasi masyarakat, termasuk perlunya pengendalian pembangunan menara telekomunikasi untuk mencegah kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, berbagai opsi yang ada dikaji dengan melibatkan berbagai pihak, seperti akademisi (antara Iain yang tergabung dalam Tim Asistensi Menteri Keuangan bidang Desentralisasi Fiskal- TADF), Asosiasi Telekomunikasi Seiuruh Indonesia (ATSI), pemerintah daerah, dan instansi pusat terkait.
Solusi Yang Diambil Dari diskusi yang dilakukan atas kajian terhadap berbagai opsi yang ada, Panitia Kerja RUU PDRD menyepakati hal-hal sebagai berikut:
Kepada daerah perlu diberikan tambahan jenis pungutan daerah yang hasilnya digunakan untuk membiayai pelayanan pengendalian menara telekomunikasi. Tambahan jenis retribusi daerah yang baru merupakan pilihan yang lebih baik dibanding dengan timbulnya kerawanan terhadap keberadaan menara telekomunikasi atau timbulnya berbagai jenis pungutan daerah yang tidak didasarkan pada peraturan perundang- undangan.
Pemungutan retribusi daerah harus disertai pelayanan kepada pembayar retribusi daerah, antara lain dengan mengoptimalkan pengawasan dan pengendalian atas menara telekomunikasi yang ada di daerah.
Untuk kepastian hukum, Perda pungutan daerah harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang, baik menyangkut objek, subyek, maupun tarifnya. Hal ini diselaraskan dengan karakteristik UU PDRD yang sedang dirumuskan, yang bersifat closed-list .
Perumusan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Berdasarkan kesepakatan tersebut, dirumuskan suatu retribusi daerah tambahan dengan penjelasan sebagai berikut:
Jenis pungutan baru tersebut diberi nama "Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi" dan digolongkan kedalam kelompok "retribusi jasa umum" (Pasal 110 dan Pasal 124 UU 28/2009) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 b. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi daerah lainnya, penetapan tarif reribusi daerah diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan daerah yang diatur dalam Perda. Namun, untuk memberikan kepastian hukum serta untuk mencegah terjadinya pungutan retribusi yang berlebihan, maka dalam Undang-Undang ditetapkan secara spesifik tarif maksimum retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang dapat dipungut oleh daerah, yaitu 2% dari NJOP PBB-P2 menara telekomunikasi (Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009).
Penetapan tarif maksimum ditujukan untuk menghindarkan pengenaan retribusi daerah yang memberatkan masyarakat, mengingat cara penghitungan biaya penyediaan jasa, pengendalian, dan pengawasan yang menjadi dasar penetapan tariff retribusi sulit diketahui kewajarannya.
Batas maksimum tarif retribusi sebesar 2% dari NJOP didasarkan atas estimasi besaran pungutan yang selama ini dibayar oleh industri telekomunikasi kepada daerah (pungutan berdasarkan Perda atau Sumbangan Pihak Ketiga atau bentuk pungutan lainnya). Nilai ini dengan mudah dapat diketahuimelalui data pungutan PBB-P2 atas menara telekomunikasi yang dilakukan oleh daerah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi salah prinsip-prinsip retribusi daerah, berupa kepastian, kemudahan, dan efisiensi. Kesimpulan dan Pendapat: Berdasarkan prinsip-prinsip retribusi daerah, mekanisme perumusan jenis dan tarif retribusi, serta keselarasan dengan karakteristik Undang-Undang pajak daerah dan retribusi daerah, kami menyimpulkan bahwa pengaturan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasiyang ditetapkan dalam Penjelasan Pasal 124 UU Nomor 28 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan ketentuan umum di bidang retribusi daerah. Kami berpendapat bahwa rumusan yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 124 UU tersebut sudah baik dan tidak perlu diubah. Adapun pertimbangan atas pendapat ini adalah:
Sesuai dengan prinsip-prinsip retribusi daerah. Rumusan dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 memberikan kepastian, kemudahan, dan efisiensi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 a) Dengan adanya tarif maksimum, terdapat kepastian mengenai jumlah retribusi menara telekomunikasi yang harus dibayar oleh masyarakat. Pemerintahan daerah tidak dapat dengan sewenang-wenang menetapkan tarif retribusi dengan menggunakan formula yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Data mengenai NJOP mudah diperoleh, yakni menggunakan pembayaran PBB-P2 menara telekomunikasi sebagai referensi. b) Formula penghitungan tarif yang sederhana (2% dari NJOP) akan meningkatkan efisiensi pemungutan retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Dalam hal ini, daerah dapat secara langsung menerapkan tarif maksimum dengan mencantumkannya dalam Perda mengenai retribusi daerah.
Meningkatkan partisipasi masyarakat. Dengan referensi yang mudah diperoleh dan cara penghitungan yang sederhana maka masyarakat dapat menghitung sendiri tarif retribusi yang harus dibayar.
Memberikan hak masyarakat. Melalui kemudahan penghitungan, masyarakat memiliki peluang untuk mengajukan keberatan apabila retribusi yang dipungut melampaui tarif maksimum. Pasal 162 UU Nomor 28 Tahun 2009 memberikan kesempatan bagi wajib retribusi untuk mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwaiklan Rakyat menyampaikan keterangan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 November 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
Pengujian Materiil Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 Penjelasan Pasal 124 secara keseluruhan berbunyi: “Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tariff retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengenda/ian menara telekomunikasi tersebut" Pemohon beranggapan ketentuan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa ketidakjelasan norma yang terkandung pada Penjelasan Pasal 124 telah mengakibatkan beban ekonomi tinggi sehingga pelaksanaan Pasal 124 menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan hak-hak atas komunikasi sebagai hak dasar sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD NRI 1945 dan bertentangan dengan hak-hak Pemohon untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur Pasal 28D UUD NRI 1945;
Bahwa agar Penjelasan Pasal 124 memberikan kejelasan norma sehingga penetapan tarif retribusi pengendalian menara benar-benar menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada kebutuhan biaya dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang diatur pada Pasal 152 dan Pasal 161 (ketentuan pasal yang mengatur mengenai pedoman penetapan tarif retribusi), maka yang awalnya Penjelasan Pasal 124 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 berbunyi: “Mengingat tingkat pengunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi yang besamya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.” Harus diubah sebagai berikut: “ Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi ” 3. Bahwa dengan diubahnya Penjelasan Pasal 124 dengan perubahan sebagaimana yang Pemohon sampaikan semata-mata agar Pasal 124 memiliki tafsir resmi yang bersifat konstitusional, tidak lagi melanggar hak- hak dasar rakyat di bidang komunikasi sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD NRI 1945 dan juga tidak melanggar hak-hak Pemohon dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD NRI 1945; C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil Pemhon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa, “ Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara. ” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk "hak konstitusional". Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan :
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian UU a quo , maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pihak Pemohon. Menanggapi permohonan Pemohon a quo , DPR berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- 111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
Pengujian atas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap permohonan pengujian Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa tujuan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 124 adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah sebagimana tergambar dalam konsiderans menimbang Undang-Undang a quo bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Tiap-tiap daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan yang diatur dalam undang- undang;
Bahwa untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor- impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru.
Bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mendukung reformasi desentralisasi. Dengan ciri-ciri bahwa memberdayakan Pemerintah Daerah melalui penelitian otonomi daerah dengan akuntabilitas yang tinggi. Dalam UndangUndang ini, dianut openlis menjadi closelis. Artinya, selain diberikan diskresi, daerah juga dibatasi di dalam memungut daerah yang hanya boleh dipungut berdasarkan yang tercantum di undang-undang tersebut. Undang-Undang a quo memberikan ruang untuk menggali sumbersumber pendapatan daerah yang memenuhi kriteria-kriteria yang ditentukan.
Bahwa retribusi pengendalian menara telekomunikasi merupakan salah satu objek retribusi jasa umum. Berdasarkan Pasal 108 Undang-Undang a quo , objek retribusi jasa terbagi menjadi tiga bagian, yakni retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan perizinan tertentu. Selanjutnya menurut Pasal 109 Undang-Undang a quo , objek Retribusi Jasa Umum merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Sadan. Meskipun demikian, Undang Undang a quo membuka kemungkinan bahwa 14 (empat belas) jenis Retribusi Jasa Umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
Bahwa menurut Pasal 124 Undang-Undang a quo , objek retribusi pengendalian menara telekomunikasi adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum.
Bahwa penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo yang selengkapnya berbunyi: “ Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut ”, dimaksudkan guna menjelaskan bahwa pada kenyataannya terdapat kesulitan untuk menentukan tingkat penggunaan jasa yang bersifat pengawasan dan pengendalian sehingga untuk melindungi subjek dan/atau wajib retribusi jasa umum dit tapkan angka maksimal dalam pengenaan tarif retribusi, agar pihak Pemerintah Daerah sebagai penyedia layanan tidak semena-mena menetapkan tarif retribusi jasa umum tersebut.
Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo , nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi pada dasarnya merupakan jalan keluar agar kesulitan sebagaimana dimaksud pada huruf f dapat diatasi. Penetapan angka maksimal 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi tetap harus dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut, sehingga Pemerintah Daerah seharusnya tetap memperhatikan penghitungan riil biaya frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi dan tidak langsung mengenakan tarif maksimal atau 2% (dua persen) tanpa dasar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 penghitungan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, DPR berpendapat bahwa penjelasan Pasal 124 dimaksUdkan guna memberikan kemudahan penghitungan dengan tidak mengabaikan ketentuan bahwa penghitungan retribusi terhadap pengendalian menara telekomunikasi harus dikaitkan dengan biaya pengawasan dan pengendalian, namun dalam penetapannya tidak boleh melebihi 2% dari nilai jual objek pajak agar melindungi para subjek dan/atau wajib retribusi dari pengenaan tarif yang semena-mena. Demikian keterangan DPR RI kami sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili Perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan yang disampaikan oleh Pemohon yang diterima Kepaniteraan tanggal 9 Oktober 2014 dan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Oktober 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049, selanjutnya disebut UU 28/2009) terhadap Pasal 28D dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo . Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon __ adalah untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah badan hukum privat berbentuk perseroan terbatas yang berdasarkan akta pendiriannya (vide bukti P-2) bergerak di bidang telekomunikasi dan informasi. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 potensial akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menghambat penyedia menara telekomunikasi untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi (Pasal 28F UUD 1945). Akibatnya, retribusi menara telekomunikasi secara tidak langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana yang dijamin Pasal 28F UUD 1945; [3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum, serta dalil Pemohon yang merasa dirugikan akibat ketidakpastian hukum dalam penentuan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang ditimbulkan oleh Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009, menurut Mahkamah, prima facie Pemohon mempunyai hak konstitusional karena dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga terdapat kemungkinan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon __ dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan sebagaimana dimaksud oleh Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 yang selengkapnya menyatakan, "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." yang menurut Pemohon penjelasan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan: