Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.
Relevan terhadap
Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) terdiri dari: Formatted: Bullets and Numbering a. Penerimaan sumber daya alam;
Bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara;
Penerimaan negara bukan pajak lainnya; dan
Pendapatan BLU.
Penerimaan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp173.496.521.477.000,00 (seratus tujuh puluh tiga triliun empat ratus sembilan puluh enam miliar lima ratus dua puluh satu juta empat ratus tujuh puluh tujuh ribu rupiah), terdiri dari:
Penerimaan sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi (SDA Migas) sebesar Rp162.123.070.000.000,00 (seratus enam puluh dua triliun seratus dua puluh tiga miliar tujuh puluh juta rupiah), dengan ketentuan: (i) Penerimaan SDA Migas tersebut memperhitungkan cost recovery sebesar US$11.050.750.000,00 (sebelas miliar lima puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat), naik dari besaran tahun 2008 sebesar US$10.473.000.000,00 (sepuluh miliar empat ratus tujuh puluh tiga juta dolar Amerika Serikat), yang disebabkan oleh kenaikan lifting gas on stream Exxon dan Tangguh, serta swap Conoco dan Chevron. (ii) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditugaskan untuk melakukan audit atas kewajaran unsur biaya dalam cost recovery sejak tahun 1997, dan apabila terdapat temuan ketidakwajaran, maka BPK wajib melaporkan estimasi besaran kerugian negara yang timbul, termasuk kerugian daerah dalam kerangka bagi hasil, dan disampaikan dalam Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester I Tahun Anggaran 2009 untuk dapat ditindaklanjuti. (iii) Pemerintah ditugaskan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang cost recovery, yang antara lain memuat:
Unsur biaya yang dapat dikategorikan dan diperhitungkan sebagai unsur cost recovery .
Standar atau norma universal yang diberlakukan terhadap kewajaran unsur biaya dalam perhitungan beban pajak dan cost recovery . Formatted: Bullets and Numbering Formatted: Bullets and Numbering 3. Standar tersebut tidak hanya berpedoman pada Exhibit Contract , namun juga disesuaikan dengan standar pembebanan yang berlaku umum sebagaimana dimaksud pada butir (2).
Cost recovery senantiasa harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sehingga acuan cost recovery dalam Exhibit Contract perlu ditinjau kembali.
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah tersebut dilakukan efektif mulai 1 Januari 2009. (iv) Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) ditugaskan untuk memperkuat pengawasan dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor migas.
Penerimaan sumber daya alam nonminyak bumi dan gas bumi (SDA Nonmigas) sebesar Rp11.373.451.477.000,00 (sebelas triliun tiga ratus tujuh puluh tiga miliar empat ratus lima puluh satu juta empat ratus tujuh puluh tujuh ribu rupiah).
Bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp30.794.000.000.000,00 (tiga puluh triliun tujuh ratus sembilan puluh empat miliar rupiah).
Penerimaan negara bukan pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp49.210.801.248.000,00 (empat puluh sembilan triliun dua ratus sepuluh miliar delapan ratus satu juta dua ratus empat puluh delapan ribu rupiah).
Pendapatan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d direncanakan sebesar Rp5.442.235.797.000,00 (lima triliun empat ratus empat puluh dua miliar dua ratus tiga puluh lima juta tujuh ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah). Formatted: Bullets and Numbering (6) Penunjukan Gelora Bung Karno dan Kompleks Kemayoran sebagai Badan Layanan Umum dalam rangka optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat ditinjau kembali sesuai peraturan perundang-undangan, dalam hal ini terhadap sebagian aset yang dikelola oleh Badan Layanan Umum Gelora Bung Karno dan sebagian atau seluruh aset yang dikelola Badan Layanan Umum Kompleks Kemayoran akan ditetapkan sebagai Penyertaan Modal Negara dalam suatu Badan Usaha Milik Negara.
Rincian penerimaan negara bukan pajak Tahun Anggaran 2009 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) adalah sebagaimana tercantum dalam penjelasan ayat ini.
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
Pendapatan negara dan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.
Pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai, dan pajak lainnya. Formatted: Bullets and Numbering Formatted: Bullets and Numbering 4. Pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan bea keluar.
Penerimaan negara bukan pajak adalah semua penerimaan yang diterima negara dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara (BUMN), penerimaan negara bukan pajak lainnya, serta pendapatan badan layanan umum (BLU).
Cost recovery adalah pengembalian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan (recoverable cost) oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan menggunakan hasil produksi minyak bumi dan gas bumi (migas) sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku.
Penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan oleh pihak swasta dalam negeri dan pemerintah daerah serta sumbangan oleh pihak swasta dan pemerintah luar negeri, yang tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus, dialokasikan untuk mendanai kegiatan tertentu.
Belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah.
Belanja pemerintah pusat menurut organisasi adalah belanja pemerintah pusat yang dialokasikan kepada kementerian negara/lembaga, sesuai dengan program- program Rencana Kerja Pemerintah yang akan dijalankan.
Belanja pemerintah pusat menurut fungsi adalah belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata dan budaya, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial.
Belanja pemerintah pusat menurut jenis adalah belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Formatted: Bullets and Numbering 12. Belanja pegawai adalah belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk membiayai kompensasi dalam bentuk uang atau barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah pusat, pensiunan, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pejabat negara, baik yang bertugas di dalam negeri maupun di luar negeri, sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
Belanja barang adalah belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk membiayai pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa, baik yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat serta belanja perjalanan.
Belanja modal adalah belanja pemerintah pusat yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik lainnya.
Pembayaran bunga utang adalah belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk membayar kewajiban atas penggunaan pokok utang (principal outstanding) , baik utang dalam negeri maupun luar negeri, yang dihitung berdasarkan ketentuan dan persyaratan untuk utang outstanding dan tambahan utang baru, termasuk untuk biaya terkait dengan pengelolaan utang.
Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada bahan bakar minyak dan tenaga listrik, sehingga harga jualnya terjangkau masyarakat yang membutuhkan.
Belanja hibah adalah belanja pemerintah pusat dalam bentuk uang, barang, atau jasa dari Pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Pemerintah Negara lain, atau lembaga/organisasi internasional yang tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus. Formatted: Bullets and Numbering 19. Bantuan sosial adalah semua pengeluaran negara dalam bentuk transfer uang/barang yang diberikan kepada masyarakat melalui kementerian negara/lembaga, guna melindungi dari terjadinya berbagai risiko sosial.
Belanja lain-lain adalah semua pengeluaran atau belanja pemerintah pusat yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis belanja sebagaimana dimaksud pada angka 12 (dua belas) sampai dengan angka 19 (sembilan belas), dan dana cadangan umum.
Transfer ke daerah adalah pengeluaran negara dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan penyesuaian, serta hibah ke daerah.
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dana bagi hasil, selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dana alokasi umum, selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Formatted: Bullets and Numbering 25. Dana alokasi khusus, selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dana Penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dan membantu mendukung percepatan pembangunan di daerah .
Hibah ke daerah adalah dana yang bersumber dari APBN dalam bentuk rupiah, serta pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) yang diterushibahkan ke daerah, yang tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus, dan dialokasikan untuk mendanai kegiatan tertentu.
Sisa lebih pembiayaan anggaran, selanjutnya disingkat SILPA, adalah selisih lebih realisasi pembiayaan atas realisasi defisit anggaran yang terjadi.
Pembiayaan defisit anggaran adalah semua jenis pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit anggaran negara dalam APBN.
Pembiayaan dalam negeri adalah semua penerimaan pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri yang terdiri dari hasil privatisasi, hasil pengelolaan aset, surat berharga negara, dan pengeluaran pembiayaan yang terdiri dari dana investasi pemerintah, dan dana bergulir. Formatted: Bullets and Numbering 32. Privatisasi adalah penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Surat berharga negara, selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Surat utang negara, selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam matauang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
Surat berharga syariah negara, selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam matauang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Dana Investasi Pemerintah adalah dukungan Pemerintah dalam bentuk kompensasi finansial dan/atau kompensasi dalam bentuk lain yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha.
Restrukturisasi BUMN adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN, yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.
Pembiayaan luar negeri neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek, dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.
Pinjaman program adalah pinjaman yang diterima dalam bentuk tunai (cash financing) yang pencairannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati kedua belah pihak seperti matriks kebijakan ( policy matrix) atau dilaksanakannya kegiatan tertentu. Formatted: Bullets and Numbering 40. Pinjaman proyek adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dan berdasarkan Undang-Undang ini.
Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Persentase anggaran pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara.
Tahun anggaran 2009 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2009.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 23 ayat (1) dan (2), Pasal 31 ayat (4), dan Pasal 33 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988); Formatted: Bullets and Numbering 7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); Formatted: Bullets and Numbering 16. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); Formatted: Bullets and Numbering 24. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884);
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Pedoman Layanan Informasi Publik oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kementerian Keuangan dan Perangkat Pejabat Pengelola Informasi dan D ...
Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah Menteri Keuangan.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah Kuasa BUN Pusat dan Kuasa BUN di Daerah.
Kuasa BUN Pusat adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Kuasa BUN di Daerah adalah Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.
Kementerian Negara/Lembaga adalah Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara.
Satuan Kerja adalah unit instansi vertikal di bawah/ di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga dan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mengelola dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, termasuk Badan Layanan Umum.
Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Rekening adalah Rekening milik Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja yang dibuka pada bank umum/kantor pos dalam bentuk giro dan/atau deposito, yang dapat didebit dan/atau dikredit dalam rangka pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.
Rekening Penerimaan adalah Rekening giro pemerintah pada bank umum/kantor pos yang dipergunakan untuk menampung uang pendapatan Negara dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.
Rekening Pengeluaran adalah Rekening giro pemerintah pada bank umum/kantor pos yang dipergunakan untuk menampung uang bagi keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja, termasuk didalamnya Rekening bendahara pengeluaran pembantu.
Rekening Lainnya adalah Rekening giro dan/atau deposito pada bank umum/kantor pos yang dipergunakan untuk menampung uang yang tidak dapat ditampung pada Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran berdasarkan tugas dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.
Rekening Pengelolaan Kas BLU adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro dan/atau deposito milik BLU untuk penempatan idle cash pada bank umum yang terkait dengan pengelolaan kas BLU.
Rekening Operasional BLU adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan atau membayar seluruh pengeluaran BLU yang dananya bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) BLU pada bank umum.
Rekening Dana Kelolaan adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung dana yang tidak dapat dimasukkan ke dalam Rekening Operasional BLU dan Rekening Pengelolaan Kas BLU pada bank umum, untuk menampung dana antara lain:
Dana bergulir; dan/atau ; b. Dana yang belum menjadi hak BLU.
Rekening Penyaluran Dana Bantuan Sosial adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dibuka oleh Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja untuk menyalurkan dana bantuan sosial kepada penerima bantuan sosial melalui bank/pos penyalur.
Rekening Penampungan Dana Hibah Langsung adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dibuka oleh Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja dalam rangka pengelolaan hibah langsung dalam bentuk uang.
Rekening Penampungan Sementara adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dipergunakan untuk menampung penerimaan sementara untuk tujuan tertentu.
Rekening Penampungan Dana Jaminan adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dipergunakan untuk menampung dana jaminan pihak ketiga yang nantinya akan dikembalikan lagi kepada yang berhak.
Rekening Penampungan Dana Titipan adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dipergunakan untuk menampung dana titipan apabila terjadi kasus hukum yang mengharuskan untuk dilakukan sitaan dana.
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang selanjutnya disebut Perwakilan RI adalah Perwakilan Diplomatik dan Perwakilan Konsuler Republik Indonesia yang secara resmi mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan Pemerintah Republik Indonesia secara keseluruhan di negara penerima atau pada organisasi internasional.
Rekening Rutin dalam bentuk Valuta Dolar Amerika adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik Perwakilan RI untuk menampung pengiriman remise/uang persediaan dari Pusat ke Perwakilan dengan tujuan membiayai kegiatan operasional kegiatan perwakilan.
Rekening Rutin dalam bentuk Valuta Setempat adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik Perwakilan RI di luar negeri yang dipergunakan untuk Perwakilan RI yang tidak menggunakan mata uang Dolar Amerika dalam melaksanakan transaksi keuangan.
Rekening Kas Besi dalam Valuta Dolar Amerika adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik Perwakilan RI di luar negeri yang dipergunakan untuk menyimpan dana cadangan di Perwakilan RI terhadap berjaga-jaga atau keadaan yang mungkin timbul karena keterlambatan remise.
Rekening Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam Valuta Dolar Amerika adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik Perwakilan RI di luar negeri yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan negara yang merupakan Rekening antara sebelum disetor ke Bendahara Penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pusat, yang selanjutnya disetor ke Kas Negara.
Rekening Antara dalam Valuta Dolar Amerika adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro yang diperlukan oleh beberapa Perwakilan RI di luar negeri yang mendapat kesulitan untuk membuka Rekening di negara akreditasi.
Rekening Dana Titipan di Luar Negeri adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro valuta Dolar Amerika atau Valuta Setempat milik Perwakilan RI yang dipergunakan untuk menampung dana yang tidak termasuk pada Rekening lainnya pada Perwakilan RI.
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, untuk menampung seluruh Penerimaan Negara dan membayar seluruh Pengeluaran Negara.
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Kantor Pos adalah unit pelaksana teknis penyedia layanan jasa pos dan giro serta layanan pihak ketiga lainnya.
Kuasa Pengguna Anggaran, yang selanjutnya disingkat KPA, adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggungjawab penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja yang bersangkutan.
Treasury Notional Pooling yang selanjutnya disingkat TNP, adalah sistem yang digunakan untuk mengetahui posisi saldo konsolidasi dari seluruh Rekening Pengeluaran, Rekening Penerimaan, dan Rekening Lainnya milik Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja yang terdapat pada seluruh kantor cabang Bank Umum/badan lainnya yang bersangkutan tanpa harus melakukan perpindahan dana antar Rekening.
Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS. (2) LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan hukum. 10. Berkaitan dengan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 menentukan bahwa terdapat 5 (lima) syarat untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD _1945; _ b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Permohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu _Undang-Undang yang diuji; _ c. kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang _menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; _ d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian _dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; _ e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 11. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang ini dan adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 telah terpenuhi sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pemohon berdasarkan Pasal 4 UU LPS mempunyai fungsi sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id a) Menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan b) Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Dalam menjalankan fungsinya untuk menjamin nasabah penyimpan, Pemohon mempunyai tugas untuk: (a) merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan; dan (b) melaksanakan penjaminan simpanan.
Sedangkan dalam menjalankan fungsinya untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, Pemohon mempunyai tugas sebagai berikut:
Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan;
Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan
Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Dalam rangka menjalankan tugasnya melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU LPS Pemohon juga diberikan kewenangan antara lain sebagai berikut:
Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan;
Menjual dan/atau mengalihkan aset Bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Secara lebih spesifik lagi, berdasarkan Pasal 30, Pasal 38, dan Pasal 42 UU LPS, Pemohon mempunyai kewajiban untuk menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu yang ditentukan, termasuk tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal pada tahun terakhir (tahun ke-5 pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun ke-6 pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 17. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah Negara hukum. Dalam konteks Negara hukum dan dalam konteks penguatan fungsi dan kewenangan LPS dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem perbankan dan penjaminan simpanan nasabah, Pemohon juga dijamin hak konstitusionalnya untuk untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan fungsi Pemohon sebagai lembaga yang turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan. Hak konstitusional Pemohon ini diatur secara tegas dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mempunyai hak konstitusional untuk memperoieh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya yang telah diberikan oleh hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas. Hak konstitusional tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Namun demikian, hak-hak konstitusional Pemohon tersebut di atas dilanggar atau setidaknya menjadi terhambat oleh adanya ketentuan- ketentuan dalam UU Pasar Modal dan UU LPS sebagaimana diuraikan di bawah ini:
Kerugian konstitusional terkait dengan Pasal 45 UU Pasar Modal Pasal 45 UU Pasar Modal, khususnya frasa “ atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanyaf”. Pada ketentuan tersebut, frasa “atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dapat dimaknai secara sempit, yaitu bahwa yang dimaksud dengan pihak tersebut semata-mata hanyalah pihak yang diberikan wewenang oleh pemegang rekening/efek (pemegang saham) berdasarkan perjanjian pemberian kuasa. Pemaknaan/penafsiran yang sekedar merujuk kepada adanya pemberian kuasa dimaksud mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya berdasarkan UU LPS untuk menjual seluruh saham Bank Gagal, termasuk saham milik pemegang saham lama pada Bank Gagal yang sahamnya diperjualbelikan di bursa, menjadi terhambat atau terhalangi tanpa adanya surat kuasa dari pemegang efek atau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id pemegang saham lama. Padahal berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU LPS, Pemohon telah diwajibkan untuk menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan, termasuk saham milik pemegang saham lama yang diperjuabelikan di bursa (saham publik). Dengan demikian, frasa “ atau pihak yang diberikan wewenang untuk bertindak atas namanya” secara aktual maupun potensial merugikan Pemohon.
Kerugian konstitusional terkait Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS khususnya frasa "sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ berdasarkan penalaran yang sederhana juga berpotensi merugikan Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya serta dalam rangka memperjuangkan hak secara kolektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini karena disatu sisi berdasarkan UU LPS Pemohon diberikan hak dan wewenang untuk mendapatkan dokumen atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank, bahkan berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank, akan tetapi dengan adanya frasa “ sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” mengakibatkan Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya menjadi terhambat bahkan berpotensi dianggap melakukan tindak pidana kejahatan perbankan karena terdapat aspek pidana terkait pelanggaran terhadap rahasia bank.
Kerugian Konstitusional terkait Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS Dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS pada pokoknya dinyatakan apabila tingkat pengembalian yang optimal tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu yang ditentukan termasuk perpanjangannya, maka Pemohon wajib menjual saham Bank Gagal tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal pada 1 (satu) tahun berikutnya (yaitu tahun ke-5 pada Bank Gagal yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tidak berdampak sistemik atau tahun ke-6 pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Dalam hal ini, yang dimaksud tingkat pengembalian yang optimal adalah paling sedikit sebesar nilai Penyertaan Modal Sementara (PMS) yang dikeluarkan oleh Pemohon. Persoalannya, apabila pada tahun ke-5 atau tahun ke-6 Pemohon tetap melaksanakan penjualan tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal, maka berdasarkan penalaran yang wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dihadapi oleh Pemohon, yaitu Pemohon dapat dianggap telah merugikan keuangan negara. Sedangkan disisi lain, berdasarkan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, pada tahun ke-5 atau ke-6 Pemohon justru wajib menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa perlu memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Hal ini mengakibatkan hak konstitusional Pomohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjadi terlanggar. Oleh karena itu, apabila tidak dimaknai dengan benar maka ketentuan yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS secara aktual ataupun potensial berdasarkan penalaran sederhana atau wajar dapat merugikan Pemohon. Berkenaan dengan kerugian konstitusional tersebut di atas, di bawah ini Pemohon kutip pernyataan dari beberapa narasumber yang membuktikan adanya perbedaan pendapat sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon. Pro Kontra Nama Hadi Poernomo, Ketua BPK. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana Anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP Jaksa Ahmad Burhanudin Waktu 04 April 2014 03 Oktober 2013 26 Desember 2013 20 Maret 2014 Pendapat Menurut Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, dalam menjual Bank Mutiara, sebaiknya tetap mengacu pada Undang-Undang Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, divestasi Bank Mutiara tidak bisa dilandaskan UU No 13/2003 tentang Keuangan Negara Langkah-langkah yang akan dilakukan harus dilakukan di antaranya berkonsultasi terlebih dahulu ke Presiden terkait rencana LPS berasal dari aset negara sehingga kekayaan LPS merupakan aset negara sebagaimana Pasal 81 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id No 24 tahun 2004, tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 42. "Kita kembali ke UU LPS Pasal 42 yang jelas bahwa sampai tahun kelima harus sesuai dengan harga talangan. Setelah kelima dijual berapapun juga," katanya di Gedung BPK, Jakarta, Jumat (4/4). dan UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, melainkan penjualan bank dalam penanganan LPS harus berlandaskan UU LPS. "Dalam pandangan saya, hal ini terjadi karena adanya ketentuan dari satu undang-undang dan undang-undang lain yang saling bertentangan. Bicara LPS, itu semua pihak harus konsentrasi ke undang-undang LPS dan tinggalkan ego sektoral dari UU yang biasa mereka pakai," tegasnya dalam LPS Seminar 2013 dengan topik Peran LPS Dalam Penyelamatan Bank Gagal di Jakarta, Rabu (2/10). Kekayaan LPS juga seharusnya dipisah dari keuangan negara sehingga bila terjadi kerugian negara, maka negara tidak dapat dibebani atas kerugian tersebut seperti halnya diberlakukan pada BUMN. Hikmahanto mengatakan, harus dihindari pandangan bahwa jika tahun depan LPS gagal menjual Mutiara di harga Rp 6,7 triliun itu berarti merugikan negara. tersebut. Pasalnya, Lembaga Penjamin Simpanan bertanggungjawab terhadap Presiden dalam hal ini Presiden SBY. "Hal yang perlu dibicarakan dengan Presiden adalah mengenai batas waktu yang telah dilampaui untuk menjual Bank mutiara dengan harga sesuai dengan PMS yang diterimanya," ujar Anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP saat berbincang dengan SOROT news.com, Kamis (26/12/2013). Dijelaskan Dolfie, Bank Mutiara sudah menerima penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp. 6,7 Triliun ditambah Rp.1,25 Triliun. Oleh karena itu Bank Mutiara harus dijual minimal Rp.7,95 Triliun. ”Batas waktu penjualan kalau sesuai UU adalah 5 tahun sejak pertama kali di tangani LPS tahun 2008. Oleh karena itu tahun ini adalah batas akhir," tandasnya. ”Sesudahnya LPS dapat menjual dengan harga optimal. Jangan sampai harga optimal adalah harga obral. Apalagi BPK telah menyatakan adanya kerugian keuangan negara dalam mem- bailout bank mutiara. Kalau penjualannya di bawah harga, tentang LPS,” kata jaksa Ahmad Burhanudin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (20/3/2014). Jaksa memaparkan, saat itu telah jatuh tempo pelunasan FPJP. Bank Century pun sampai dengan 4 Februari 2009 telah menerima dana PMS sebesar Rp. 5,797 triliun. Kemudian, Bank Century melunasi FPJP sebesar Rp. 689,394 miliar dan bunganya sebesar Rp. 16,8 miliar sehingga total Rp. 706,194 miliar. ”Perhitungan kerugian negara adalah nyata dan pasti jumlahnya yaitu berdasarkan perhitungan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan,” lanjut jaksa. Sementara itu, pihak Budi Mulya menilai PMS masih terdapat di Bank Century yang saat ini bernama Bank Mutiara dan dikuasai oleh LPS. Dengan demikian, seharusnya belum dapat dipastikan perhitungan kerugian negaranya. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id maka kerugian negara akan bertambah banyak," tambahnya. Sumber http: //www.akt ual.co/hukum/1 65753ketua- bpk-sesuai-uu- Ips-mutiara- bisa-dijual-di- bawah- bailout - century http: //www.suarapem baruan.com/ekonomi danbisnis/lps-jangan- gentar-tangani- divestasi- mutiara/42886 http: //www.sorotne ws.com/berita/print/ dpr-meminta-lps- konsultasi- ke.5889.html http: //nasional.kom pas.com/read/2014 /03/20/1636361/Ini. Penjelasan.Jaksa.s oal.Kerugian.Negar a.Rp.7.4.Triliun.dal am.Kasus.Century.
Kerugian konstitusional terkait Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UULPS Pengaturan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan pegakuan, jaminan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya. Hal ini karena adanya kata “dapat” __ pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS mengakibatkan Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum untuk memperoieh pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Sedangkan di sisi lain, berdasarkan Pasal 4 UU LPS Pemohon mempunyai tugas yang sangat penting, yaitu turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan dimana sewaktu-waktu memerlukan bantuan pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Selain itu, pengaturan Pasal 85 ayat (3) UU LPS telah mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi Pemohon untuk memperoieh Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas. Hal ini karena berdasarkan Pasal 85 ayat (3) UU LPS, yang perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah hanya mengenai tingkat Iikuiditas. Sedangkan ketentuan tersebut justru mengacu kepada Pasal 85 ayat (2) UU LPS yang mengatur mengenai pinjaman Pemerintah kepada Pemohon apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk memperoleh Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Pemohon dalam hal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya.
Berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar telah merugikan Berdasarkan penjelasan di atas, ketentuan-ketentuan yang hendak diuji dalam permohonan Pengujian Undang-Undang ini secara aktual maupun potensial hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Adanya kerugian-kerugian konstitusional di atas secara langsung diakibatkan oleh adanya ketentuan-ketentuan yang hendak diuji dalam permohonan Pengujian Undang-Undang ini. Dengan demikian, terdapat hubungan sebab akibat (kausalitas) antara kerugian (baik aktual maupun potensial) yang dialami Pemohon dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Oleh karena itu, permohonan Pengujian Undang-Undang ini dimohonkan Pemohon kepada Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi agar kerugian konstitusional dimaksud tidak akan terjadi.
Berdasarkan uraian di atas terbukti bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) yang sah untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang ini, dan karenanya permohonan pengujian ini sudah sepatutnya dapat diterima untuk selanjutnnya pokok permasalahannya diperiksa dan diputus oleh Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi. III. Alasan-Alasan Permohonan III.A. Latar Belakang Pembentukan LPS 23. Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas sistem perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 (enam belas) bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat ( blanket Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id guarantee ). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee dimaksud memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Latar belakang pembentukan LPS tersebut pada dasarnya dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, yang dilaksanakan melalui 2 (dua) fungsi, yaitu menjamin simpanan nasabah bank serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Dalam rangka turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, Pemohon diberikan tugas dan kewenangan untuk menangani Bank Gagal, baik Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik maupun Bank Gagal yang berdampak sistemik dengan atau tanpa penyertaan dari pemegang saham lama.
Dalam konteks penanganan Bank Gagal ini, terutama Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon oleh Undang-Undang telah diberikan kewenangan untuk mengambilalih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, sekaligus juga mempunyai kewajiban untuk pada waktu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tertentu menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan.
Namun demikian, terdapat ketentuan-ketentuan yang secara aktual maupun potensial berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya permohonan Pengujian Undang-Undang ini terhadap ketentuan- ketentuan dimaksud guna menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, termasuk dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan fungsi Pemohon yang diatur dalam UU LPS. III.B. Pemohon Berhak Memajukan Diri Guna Memperjuangkan Haknya Secara Kolektif Untuk Membangun Masyarakat, Bangsa, dan Negara, Serta Mendapatkan Pengakuan, Jaminan, Perlindungan dan Kepastian Hukum Yang Adil Dalam Negara Hukum Republik Indonesia 32. Sejak adanya perubahan terhadap UUD 1945, terdapat perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.Perubahan tersebut antara lain konsepsi negara hukum atau Rechtsstaat yang sebelumnya hanya dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 angka 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsepsi negara hukum, maka hukum ditempatkan sebagai panglima (supremasi hukum) dalam dinamika kehidupan bernegara.
Selain itu, perubahan lainnya berupa adanya penghormatan yang lebih tegas terhadap hak-hak asasi manusia termasuk hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta hak untuk memajukan diri untuk memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara;
Sebagai konsekuensi yuridis atas hal di atas, setiap orang termasuk badan hukum juga mempunyai hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” 35. Lebih lanjut, sebagai konsekuensi yuridis Indonesia sebagai negara hukum, maka setiap orang termasuk badan hukum mempunyai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum.” 36. Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat hak konstitusional bagi setiap orang termasuk Pemohon sebagai badan hukum untuk mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Penghormatan atas hak-hak konstitusional Pemohon tersebut di atas sangat penting bagi Pemohon dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan dalam rangka memberikan jaminan atas simpanan penyimpan serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan, Undang- Undang telah memberikan tugas kepada Pemohon antara lainuntuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal yang berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik, dengan atau tanpa melibatkan pemegang saham lama.
Dalam rangka penanganan dan penyeiamatan Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon diberikan kewenangan oleh hukum untuk mengambilalih dan menjalankan segala kewenangan RUPS serta menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Fungsi, tugas dan kewenangan tersebut di atas telah diberikan secara langsung oleh Undang-Undang dan karenanya Pemohon mempunyai hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan serta kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya. Selain itu, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemohon juga mempunyai hak konstitusional untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara sesuai fungsi, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Pemohon khususnya dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
Namun demikian, terdapat ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yangmenghambat dan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Hal ini karena ketentuan-ketentuan tersebut telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum atau hilangnya jaminan hukum serta menghambat Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan permohonan untuk menguji ketentuan-ketentuan dalam UU Pasar Modal dan UU LPS yang dinilai telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon dimaksud.
Dengan demikian perlu kami tegaskan kembali bahwa dalam hal ini permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh Pemohon adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, khususnya ketententuan-ketentuan tertentu yang ada dalam UU Pasar Modal dan UU LPS yang dinilai telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas, kewenangan serta kewajibannya. Ketentuan- ketentuan dimaksud adalah Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5) Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. III.C. Pasal 45 UU Pasar Modal Khususnya Frasa ”atau pihak yang diberikan wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 43. Kami mohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia menguji Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” karena frasa dalam ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU LPS, dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal, Pemohon secara hukum telah diberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id kewenangan untuk mengambilalih segala hak dan wewenang pemegang saham pada Bank Gagal yang diselamatkan. Pasal 6 ayat (2) UU LPS kami kutip sebagai berikut: “LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal _dengan kewenangan: _ a. Mengambilalih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang _RUPS; _ b. Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang _diselamatkan; _ c. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan _dengan pihak ketiga yang merugikan Bank; dan _ d. Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.” 45. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 40 huruf a dan Pasal 41 ayat (1) UU LPS, dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon oleh hukum diberikan kewenangan untuk mengambilalih segala hak dan kewenangan RUPS, kepemilikan pada Bank Gagal termasuk melakukan pengalihan kepemilikan bank. Ketentuan-ketentuan tersebut kami kutip sebagai berikut: Pasal 40 huruf a UU LPS menyatakan: “Terhitung sejak LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, maka berdasarkan _Undang-undang ini: _ a. LPS mengambilalih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada Bank dimaksud.” Pasal 41 ayat (1) UU LPS menyatakan: "Setelah LPS mengambilalih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada Bank tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, LPS dapat melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. ” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 26 UU LPS menyatakan: ”Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenang sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 25, LPS dapat melakukan tindakan sebagai berikut: _ a. Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset _milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank; _ _b. Melakukan penyertaan modal sementara; _ c. Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan Nasabah _Debitur dan/atau kewajiban tanpa persetujuan Nasabah Kreditur; _ _d. Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain; _ _e. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; _ _f. Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan _ g. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank.” 46. Selanjutnya, secara lebih spesifik lagi, berdasarkan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS, undang-undang telah memberikan kewajiban kepada Pemohon untuk menjual seluruh saham pada Bank Gagal yang diselamatkan. Ketentuan-ketentuan tersebut kami kutip sebagai berikut: Pasal 30 ayat (1) UU LPS: ”LPS wajib menjualseluruh saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.” Pasal 38 ayat (1) UULPS: ”LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a.” Pasal 42 ayat (1) UU LPS: ”LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 39." 47. Dengan adanya frasa “ wajib menjual seluruh saham Bank ” dalam ketentuan-ketentuan di atas telah jelas bahwa Pemohon telah diberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tugas dan karenanya harus menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan, baik saham milik Pemohon yang berasal dari penyertaan modal maupun saham milik pemegang saham lama pada Bank Gagal yang diselamatkan.
Fungsi, tugas, kewenangan, dan kewajiban Pemohon tersebut tidak bertentangan dengan prinsip hak milik pribadi karena dalam konteks penanganan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, Pemohon baru melaksanakan tugasnya apabila telah ada berbagai persyaratan yang dipenuhi oleh Bank Gagal yang hendak diselamatkan, antara lain berupa surat pernyataan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menyerahkan segala hak dan kewenangannya kepada Pemohon. Apabila persyaratan tersebut telah dipenuhi, maka Pemohon melakukan tindakan- tindakan penyelamatan Bank Gagal.
Sedangkan dalam konteks menangani Bank Gagal yang berdampak sistemik, kewenangan Pemohon untuk mengambilalih segala hak dan kewenangan pemegang saham maupun RUPS diberikan secara langsung oleh Undang-Undang terkait tugas Pemohon untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas ssistem perbankan. Dalam hal demikian, maka apabila pada saat penanganan Bank Gagal diserahkan kepada Pemohon ekuitas dari Bank tersebut bernilai negatif atau nol, maka pemegang saham lama tidak memperoleh hak apapun atas hasil penjualan. Sedangkan apabila pada saat diserahkan kepada Pemohon ekuitas bank bernilai positif, maka pemegang saham lama mempunyai hak atas hasil penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan Pemohon. Dengan demikian, segela tindakan pengambilalihan hak dan kewenangan yang dilakukan oleh Pemohon sama sekali tidak melanggar hak milik pribadi dan bahkan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU LPS, dinyatakan bahwa LPS dapat menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan seperti halnya sebagai pemilik.
Berkaitan dengan hal di atas, tidak ada pengecualian dalam penerapan ketentuan tersebut. Artinya kewajiban atau kewenangan Pemohon untuk menjual seluruh saham Bank Gagal tersebut dapat diterapkan baik terhadap saham Bank Gagal yang berbentuk perseroan tertutup maupun saham Bank Gagal yang berbentuk perseroan terbuka yang saham- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id sahamnya tercatat di bursa.
Namun demikian, dalam Pasal 45 UU Pasar Modal terdapat frasa yang dapat menghambat atau menghalangi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk menjual seluruh saham pada Bank Gagal, khususnya saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa. Ketentuan Pasal 45 UU Pasar Modal secara lengkap kami kutip sebagai berikut: “Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang rekening atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya ”.
Frasa ”pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dalam Pasal 45 UU Pasar Modal dapat dimaknai secara sempit oleh pihak tertentu termasuk Kustodian dengan menyatakan bahwa Kustodian hanya dapat mengeluarkan efek (saham) yang tercatat pada rekening efek apabila terdapat perintah/persetujuan tertulis dari pemegang rekening/pemegang saham atau pihak yang telah diberikan kuasa oleh pemegang rekening berdasarkan surat pemberian kuasa (kuasanya).
Dengan demikian, apabila pemegang efek/pemegang saham lama tidak memberikan surat kuasa kepada Pemohon untuk mengeluarkan efek tersebut, maka Kustodian tidak dapat mengeluarkan saham/efek tersebut sekalipun terdapat permintaan dari pihak lain ( in casu Pemohon) yang telah diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang untuk menjual saham/efek tersebut.
Potensi adanya penafsiran yang sempit di atas dapat menghambat tugas dan kewenangan Pemohon pada saat Pemohon hendak menjual seluruh saham Bank Gagal sebagaimana diamanatkan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 (1) UU LPS. Hal ini dapat mengakibatkan Pemohon tidak dapat menjual saham milik pemegang saham lama yang sahamnya tercatat di bursa karena Kustodian mungkin tidak akan bersedia mengeluarkan efek/saham tersebut apabila Pemohon tidak dapat menunjukan telah adanya surat kuasa dari pemegang saham lama kepada Pemohon. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 55. Frasa “ atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya ” seharusnya dimaknai secara lebih luas, yaitu yang dimaksud "pihak" dalam ketentuan tersebut bukan hanya pihak yang diberikan kuasa berdasarkan perjanjian pemberian kuasa dari pemegang efek/pemegang saham kepada kuasanya, melainkan juga termasuk pihak yang diberikan kewenangan secara langsung oleh Undang-Undang tanpa memerlukan adanya surat kuasa dari pemegang rekening/pemegang efek/pemegang saham lama.
Kekhawatiran terhadap adanya penafsiran yang sempit di atas faktanya tidak hanya bersifat potensial, melainkan sudah bersifat aktual pada saat Pemohon menangani PT Bank Mutiara, Tbk (dahulu PT Bank Century, Tbk). Pada saat itu, Pemohon berdasarkan suratnya No. S-139/KE/VIII tanggal 1 Agustus 2013 perihal Penjualan Saham PT Bank Mutiara, Tbk telah meminta Kustodian, yaitu PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) untuk membantu proses penjualan saham PT. Bank Mutiara, Tbk dengan cara membalik nama dari pemegang saham lama kepada calon investor/calon pembeli.
Namun demikian, pada saat itu KSEI berdasarkan surat tanggapannya Nomor KSEI-2498/DIR/0813 tanggal 16 Agustus 2013 menyatakan bahwa apabila Pemohon hendak menjual atau mengalihkan kepemilikan efek/ saham yang tersimpan di KSEI, Pemohon harus melaksanakan mekanisme dan prosedur peralihan kepemilikan saham sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU Pasar Modal. Dengan demikian, berdasarkan tanggapan tersebut Pemohon disyaratkan terlebih dahulu harus mendapatkan perintah/persetujuan dari pemegang efek (pemegang saham lama) atau kuasanya apabila hendak mengeluarkan saham. Dengan demikian, apabila tidak ada perintah secara tertulis dari pemegang saham lama atau kuasanya, maka KSEI tidak dapat memenuhi permintaan Pemohon untuk mengeluarkan atau membalik nama kepemilikan saham dari pemegang saham lama kepada calon investor/ pembeli sehingga Pemohon tidak dapat menjual saham Bank Gagal yang sahamnya diperjualbelikan di bursa.
Adanya tangggapan dari KSEI di atas menunjukkan bahwa KSEI tidak memandang Pemohon sebagai pihak yang telah diberikan kewenangan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id berdasarkan Undang-Undang guna memerintahkan KSEI untuk mengeluarkan saham dimaksud. Hal ini karena KSEI secara sempit telah memaknai bahwa yang dimaksud dengan frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas __ namanya” semata-mata __ adalah pihak yang diberikan surat pemberian kuasa oleh pemegang saham/pemegang rekening. Padahal kewenangan Pemohon untuk menjual saham pada Bank Gagal, termasuk saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa, telah diberikan secara langsung oleh Undang-Undang sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Berdasarkan penjelasan di atas, Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ” atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang. Hal ini karena apabila tidak dimaknai demikian maka penafsiran atas ketentuan tersebut telah dan dapat menghambat atau menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk menjual atau mengalihkan saham tersebut dalam rangka Pemohon menjalankan tugas dan kewenangannya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara melalui penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan. Selain itu, Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dalam Pasal 45 UU Pasar Modal bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang.Hal ini karena apabila ketentuan tersebut dimaknai secara sempit akan mengakibatkan Pemohon tidak dapat menjual atau mengalihkan saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa karena Kustodian tidak bersedia mengeluarkan efek atau saham tersebut Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tanpa adanya surat kuasa dari pemegang efek/pemegang saham lama kepada Pemohon.
Oleh karena itu, selanjutnya kami mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk menyatakan Pasal 45 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya pada frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” __ tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang. III.D Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS Khususnya Frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” Bertentangan Dengan Pasal Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 61. Pemohon mohon Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap frasa “sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam __ Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS karena frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), yang dimaksud dengan Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Dalam UU LPS terdapat banyak ketentuan yang menunjukkan bahwa Pemohon mempunyai hak untuk memperoleh dokumen, data atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank. Ketentuan- ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut: Pasal 8 ayat (1) UU LPS: “Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 9 UU LPS menyatakan: “Sebagai peserta Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, _setiap Bank wajib: _ e. memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan.” Pasal 16 ayat (2) UU LPS: ”LPS berhak memperoieh data Nasabah Penyimpan dan informasi lain yang diperlukan per tanggal pencabutan izin usaha dari LPP dan/atau bank dalam rangka penghitungan dan pembayaran klaim Penjaminan”. 64. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemohon secara nyata telah dikecualikan dari prinsip kerahasiaan bank karena faktanya Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya mempunyai hak untuk mendapatkan data, informasi atau dokumen yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank.
Selain itu, berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) Pemohon diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bank dalam rangka menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Pasal 42 UU OJK sebagai berikut: “Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”. 66. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, secara hukum Pemohon telah diberikan hak untuk mendapatkan data, dokumen, atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank. Namun demikian, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS terdapat frasa “sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS sebagai berikut: “Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal _5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: _ d. mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 67. Frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” tersebut dengan jelas melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya menjadi terabaikan. Dengan adanya frasa tersebut, Pemohon dan pihak lain yang memberikan informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank setiap saat dapat menghadapi dugaan pelanggaran tindak pidana karena dalam UU Perbankan terdapat sanksi pidana bagi pihak yang telah melanggar kerahasiaan perbankan.
Selain itu, frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS juga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Hal ini karena frasa tersebut mengakibatkan hak Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan kedudukan Pemohon sebagai Lembaga Penjamin Simpanan menjadi terabaikan atau terhambat.
Berdasarkan uraian di atas, Pemohon mohon Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pengujian Undang- Undang ini dengan menyatakan frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ dalam Pasal 6 ayat (1) UU LPS telah melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. III.E. Pengaturan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS Bertentangan Dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 70. Pemohon mohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitsi Yang Mulia menguji Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS karena ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di bawah ini. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 71. Pasal 30 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 72. Pasal 38 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 73. Pasal 42 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 74. Berdasarkan ketentuan di atas, Pemohon tidak memiliki pilihan lain selain wajib menjual saham Bank Gagal yang diselamatkan pada tahun terakhir, yaitu tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Yang dimaksud dengan tingkat pengembalian yang optimal adalah paling sedikit sebesar seluruh Penempatan Modal Sementara (PMS) yang dikeluarkan oleh Pemohon.
Penjualan pada tahun ke-5 atau ke-6 tersebut dilakukan apabila Pemohon tidak dapat menjual saham Bank Gagal minimal sesuai dengan tingkat pengembalian yang optimal dalam jangka waktu yang ditentukan beserta perpanjangannya sesuai yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (4) UU LPS. Jangka waktu untuk menjual saham Bank Gagal dengan memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal masing-masing selama 4 (empat) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tahun (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) dan 5 (lima) tahun (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Apabila dalam jangka waktu tersebut saham Bank Gagal tidak dapat dijual dengan memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal, maka pada tahun ke- 5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik), Pemohon menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal.
Adanya mekanisme penjualan di atas berkaitan dengan latar belakang Pemohon dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal bersifat sementara, sehingga dalam batas waktu tertentu Pemohon harus menjual seluruh saham Bank Gagal kepada calon investor tanpa perlu memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Tujuan pemohon untuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal juga bukan dalam rangka mencari keuntungan, melainkan semata-mata untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan melalui penyelamatan Bank Gagal, terutama Bank Gagal yang berdampak sistemik yang dapat merusak stabilitas sistem perbankan nasional.
Selain itu, apabila kepemilikan atas saham Bank Gagal tidak segera dilepaskan, maka Bank Gagal tersebut secara terus menerus akan membebani Pemohon serta tidak dapat dikeluarkan statusnya sebagai Bank Gagal dalam penanganan Pemohon. Oleh karena itu, dalam batas waktu tertentu atau pada tahun terakhir Pemohon menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal.
Namun demikian, persoalannya berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang dapat dialami Pemohon apabila nilai penjualan saham pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) berada di bawah tingkat pengembalian yang optimal (di bawah nilai PMS). Hal ini dapat saja terjadi sekalipun Pemohon telah menjual saham Bank Gagal tersebut secara terbuka dan transparan sesuai yang diamanatkan Pasal 30 ayat (2), Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (2) UU LPS. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 79. Berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar potensi adanya permasalahan hukum sangat mungkin terjadi karena hal tersebut mengakibatkan terdapat selisih kurang antara nilai PMS dengan hasil penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan. Oleh karena itu, apabila Pemohon terpaksa menjual saham Bank Gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai PMS, maka Pemohon dianggap telah merugikan keuangan negara sehingga lebih lanjut berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dihadapi oleh Pemohon.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dialami oleh Pemohon apabila Pemohon pada tahun ke- 5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) menjual saham Bank Gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai PMS, yaitu Pemohon dianggap telah merugikan keuangan negara.
Berkaitan dengan hal di atas, nilai PMS yang dikeluarkan oleh Pemohon tidak dapat begitu saja dijadikan sebagai patokan dalam menentukan nilai harga penjualan saham Bank Gagal. Hal ini karena nilai PMS pada dasarnya merupakan biaya ( cost ) yang harus dikeluarkan untuk melakukan penanganan dan penyelamatan Bank Gagal.
Fakta bahwa nilai PMS merupakan biaya adalah sesuai dengan Pasal 27, Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 41 ayat (2) UU LPS yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 27 UU LPS: “Seluruh biaya __ penyeiamatan bank yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank” Pasal 37 ayat (2) UU LPS: “Biaya penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank”. Pasal 41 ayat (2) UU LPS: “Seluruh biaya __ penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 83. Berdasarkan ketentuan di atas telah jelas bahwa penempatan modal sementara (PMS) merupakan biaya (cost) yang harus dikeluarkan oleh Pemohon dalam melakukan penyelamatkan dan penanganan Bank Gagal. Karena berdasarkan ketentuan tersebut nilai PMS merupakan biaya, maka apabila terdapat selisih kurang antara nilai PMS dengan nilai harga penjualan saham Bank Gagal, maka selisih tersebut juga harus dipandang sebagai biaya dan tidak dapat dipandang sebagai kerugian.
Selain itu, nilai harga penjualan saham Bank Gagal juga dipengaruhi atau tunduk pada mekanisme harga pasar ( benchmark ) pada saat dilakukan penjualan. Nilai penjualan saham Bank Gagal juga sangat bergantung atas penawaran harga terbaik ( best price ) yang disampaikan para calon investor/pembeli pada saat tender penjualan saham Bank Gagal. Kedua hal tersebut sepenuhnya berada di luar kendali Pemohon.
Lebih lanjut, penempatan modal sementara yang dilakukan LPS juga bukan bertujuan untuk mencari keuntungan ( non-profit oriented ), melainkan semata-mata untuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal dengan tujuan yang lebih penting, yaitu dalam rangka memelihara stabilitas sistem perbankan, sesuai dengan amanat Pasal 4 dan Pasal 5 UU LPS.
Namun demikian, berdasarkan penalaran yang wajar tetap terdapat potensi adanya permasalahan hukum di kemudian hari terhadap Pemohon apabila Pemohon menjual harga saham Bank Gagal pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) di bawah tingkat pengembalian yang optimal.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, kami mohon Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut. III.F. Pasal 85 ayat (2) dan (3) UU LPS Bertentangan Dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 89. Kami mohon Majelis Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS karena ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan penjelasan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS menyatakan: ”(2). Dalam hal LPS mengalami kesulitan Iikuiditas, LPS dapat memperoieh pinjaman dari Pemerintah. (3). Ketentuan mengenai tingkat Iikuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” 91. Dengan adanya kata ” dapat” maka dapat ditafsirkan bahwa tidak ada jaminan atau kepastian bagi Pemohon akan mendapatkan pinjaman dari Pemerintah pada saat Pemohon sedang mengalami kesulitan likuditas. Hal ini karena sifat pemberian pinjaman tersebut dapat dipandang bersifat optional.
Lebih lanjut, dalam Pasal 85 ayat (3) UU LPS juga tidak ada kejelasan/kepastian apakah Pemerintah akan membuat Peraturan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemerintah untuk mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena ketentuan tersebut hanya mengacu kepada tingkat Iikuiditas.
Sedangkan di sisi lain, Pemohon merupakan badan hukum publik yang menjalankan fungsi pemerintahan di bidang penjaminan dana nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Selain itu, Pemohon juga bertanggung jawab terhadap Presiden. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 2 dan Pasal 4 UU LPS.
Secara lebih spesifik, dalam rangka turut aktif dalam memelihara sistem perbankan, Pemohon mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik maupun penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 5 UU LPS.
Dengan demikian telah jelas bahwa status, kedudukan dan tugas dan fungsi Pemohon adalah dalam rangka menjalankan tugas dan kebijakan Pemerintah. Oleh karena itu, apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas dan mengajukan permintaan pinjaman dari Pemerintah, maka sudah seharusnya Pemerintah wajib memberikan pinjaman kepada Pemohon, dimana tata cara pemberian pinjamannya perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Perlu adanya kepastian dalam pemberian pinjaman dari Pemerintah tersebut karena dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya Pemohon dapat saja mengalami kekurangan Iikuiditas sewaktu-waktu akibat proses penyelesaian dan/atau penanganan Bank Gagal. Sedangkan di sisi lain, Pemohon mempunyai tugas yang sangat penting untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas perbankan sehingga Pemohon harus memastikan tersedianya Iikuiditas yang cukup dalam rangka menjalankan fungsi dan tugas tersebut.
Apabila terdapat permasalahan Iikuiditas pada Pemohon yang tidak dapat diatasi secara cepat,maka hal demikian dapat menjadi penghambat Pemohon untuk menjalankan tugas dan kewenangannya, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas sistem perbankan nasional. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 98. Perlunya LPS mendapatkan bantuan Iikuiditas dari Pemerintah tersebut sudah dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (3) UU LPS yang menyatakan dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan Iikuiditas atau modal dan cadangan penjaminan tidak cukup untuk membiayai penanganan Bank Gagal, Komite Koordinasi memutuskan bentuk bantuan dana bagi LPS termasuk tambahan modal.
Namun demikian, dengan adanya kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk mendapatkan pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas. Oleh karena itu, kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, kami mohon kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Selain itu, ketentuan Pasal 85 ayat (3) UU LPS juga telah melanggar Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dapat mengakibatkan tidak akan pernah ada Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena yang diamanatkan dalam ketentuan tersebut hanya mengenai tingkat likuiditas. Sedangkan di sisi lain ketentuan tersebut justru merujuk pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS yang mengatur mengenai pemberian pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas.
Oleh karena itu, kami mohon Majelis Hakim Yang Mulia Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas.
Lebih lanjut, sebagai konseksuensinya, Pemohon mohon Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas. IV. Permohonan Pemeriksaan Prioritas 103. Pemohon dengan ini mengajukan permohonan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar sekiranya memberikan prioritas untuk segera memeriksa dan memutus Permohonan ini dalam waktu yang sesegera mungkin sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku di Mahkamah Konstitusi.
Perlunya permohonan pengujian ini agar segera diperiksa dan diputus supaya segera adanya kepastian hukum bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan kewenangannya, termasuk guna menangani Bank Gagal baik yang tidak berdampak sistemik maupun berdampak sistemik.
Selain itu, pelaksanaan tugas, kewajiban dan kewenangan Pemohon juga akan dapat berjalan secara lebih efektif dan efisien apabila Mahkamah Konstitusi telah adanya kepastian dari Mahkamah Konstitusi mengenai hal-hal yang diajukan untuk diuji di hadapan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, kami mohon agar Majelis Yang Mulia Mahkamah Konstitusi dapat segera memeriksa dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini.
Sebagai informasi, pada tanggal 21 Maret 2014, Pemohon juga telah menyampaikan surat Nomor 0388/01/28/14 Perihal Permohonan Pemeriksaan Prioritas Perkara Nomor 27/PUU-XII/2014 yang telah disampaikan melalui kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dan telah diterima pada tanggal 21 Maret 2014, permohonan mana yang secara khusus berkenaan dengan permohonan pemeriksaan prioritas dimaksud. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id V. Petitum Berdasarkan uraian tersebut di atas dan bukti-bukti yang kami lampirkan, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk berkenan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini dengan amar putusan sebagai berikut: Primair 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namana” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang;
Menyatakan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang- Undang;
Menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum Lembaga Penjamin Simpanan secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum Lembaga Penjamin Simpanan secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Menyatakan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya kata ”dapat” pada ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya kata ”dapat” pada ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan likuiditas; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 11. Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat likuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Subsidair Bilamana setelah dengan seksama memeriksa Permohonan ini Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 dan bukti P-9, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 7. Bukti P-8 : Fotokopi Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 2013 tertanggal 12 Desember 2013;
Bukti P-9 : Fotokopi Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP- 050/DK/X/2013 tentang Perubahan Keputusan Dewan Komisioner Nomor 009/DK-LPS/VII/2006 tentang Tugas dan Wewenang Kepala Eksekutif untuk Melaksanakan Kegiatan Operasional tertanggal 31 Oktober 2013; Selain itu Pemohon juga mengajukan 3 (tiga) ahli yang menyampaikan keterangan secara lisan pada sidang tanggal 1 September 2014, yang pada pokoknya sebagai berikut.
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. LPS harus merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Sedangkan yang berdampak sistemik, LPS wajib untuk melaksanakan penanganan bank gagal tersebut. LPS adalah badan hukum yang dibuat oleh negara untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan demi stabilitas sistem keuangan berdasarkan apa yang telah diputuskan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Pasal 44 UU 21/2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan ditentukan bahwa untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota yang terdiri dari Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai selaku anggota. Begitu keputusan penyelamatan bank diambil, maka LPS terikat dengan keputusan tersebut tanpa dapat melakukan perlawanan [vide Pasal 45 ayat (5) UU OJK]. Dalam konteks penyelamatan perbankan, LPS bukanlah lembaga yang dapat melakukan langkah pilihan untuk melakukan penyelamatan atau tidak, meskipun boleh jadi telah tahu bahwa bank tersebut tidak sehat dan tidak dapat dipertahankan. Adalah tidak tepat secara hukum jika lembaga yang dibuat khusus untuk melakukan penyelamatan, namun tidak dapat menolak untuk melakukan penyelamatan, dan dalam kerja penyelamatan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 tersebut sangat mungkin mengeluarkan biaya-biaya penyelamatan yang karena tanpa perlindungan hukum maka dapat dianggap merugikan keuangan negara. Terdapat ketentuan bahwa bank gagal yang telah ditangani oleh LPS, wajib dijual pada batasan waktu tertentu, yaitu tahun yang ditentukan oleh UU LPS. Dalam tahapan pertama, harus berupa pengembalian secara optimal nilai uang berdasarkan penyertaan modal sementara yang diberikan oleh LPS. Jika dalam batas waktu tahun tertentu tidak bisa, maka dapat diperpanjang beberapa kali hingga batasan waktu yang ditentukan dapat dijual pada nilai penawaran tertinggi yang ada. Ketentuan seperti ini cukup aneh karena menempatkan LPS pada posisi tidak menguntungkan di hadapan pihak yang akan melakukan pembelian. Ketentuan seperti ini membuat LPS hampir dapat dipastikan selalu merugi oleh sikap pembeli yang akan menunggu hingga batas akhir penjualan untuk dapat membeli dengan harga yang terendah. Sikap pasar akan sangat mungkin menunggu hingga batas akhir penjualan, sehingga dapat membeli dengan harga yang sangat jauh dari nilai optimal. Ketentuan tersebut mengakibatkan posisi LPS tidak berimbang di hadapan para pembeli, apalagi tidak ada pula aturan yang dapat melindungi LPS dari kemungkinan tuduhan melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara, karena keuangan LPS juga berasal dari uang negara (vide Pasal 81). Model penjualan berbatas seperti yang diatur dalam pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon, sesungguhnya selama ini potensial mendatangkan kerugian keuangan negara. Dalam pembuatan peraturan perundangundangan, terdapat asas-asas yang penting untuk diperhatikan, antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara. Pasal-pasal yang diujikan telah menempatkan ketidakseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan bangsa dan negara yang diwakili LPS. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 Tindakan LPS dalam penyelamatan bank adalah menggunakan uang negara dan uang publik dalam premi yang dibayarkan oleh nasabah. Karena itu pasal-pasal yang dapat menyebabkan kerugian bagi LPS sebenarnya juga dapat menyebabkan kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang mereka bayarkan kepada LPS. Terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang dimintakan pengujian, yaitu:
pasal-pasal mengenai penjualan tersebut haruslah dibatalkan secara keseluruhan, dengan disertai tafsiran MK untuk menutup kemungkinan kevakuman aturan hukum mengenai mekanisme penjualan yang lebih berimbang, dan dapat menutup potensi kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang ada di LPS.
pasal-pasal tersebut tidak dibatalkan namun MK menentukan poin-poin yang harus dilakukan oleh LPS dalam meminimalisasi kemungkinan kerugian negara dan publik akibat pasal yang berpotensi merugikan tersebut. Ketika ada suatu hal yang dilanggar, misalnya tidak melakukan secara terbuka, tidak melakukan secara transparan, tidak memperlakukan sama semua penawaran, maka hal demikian dapat dianggap bagian dari intensi, dan karenanya dapat dipidana. Namun jika alat ukurnya dipenuhi, misalnya terbuka, transparan, memberikan kesempatan yang sama, dan alat ukur lain yang biasanya ada dalam hukum bisnis, maka tindakan demikian dianggap tindakan yang benar secara hukum.
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Pengertian keuangan negara dapat ditemukan dalam UU 31/1992 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 7 memberikan batasan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pasal 2 UU 17/2003 menyatakan bahwa keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 tersebut meliputi:
Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan, dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.
Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
Penerimaan negara.
Pengeluaran negara.
Penerimaan daerah.
Pengeluaran daerah.
Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri, atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
Kekayaan pihak lain yang dikelola dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pasal 6 ayat (1) UU BPK mengatur bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Dari ketiga Undang-Undang tersebut terdapat dua definisi tentang keuangan negara yang di dalamnya memasukkan kekayaan negara yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 dipisahkan sebagai bagian dari keuangan negara. Namun kedua definisi itu tidak memberikan batasan pengertian yang sama atau tolok ukur yang sama tentang apa yang merupakan unsur-unsur dari keuangan negara. UU 31/1999 juncto UU 20/2001 memberikan batasan pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, sedangkan UU 17/2003 juncto UU 15/2006 memberikan batasan pengertian keuangan negara lebih sempit, yaitu sebagai hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Dari sudut pandang hukum perdata, hukum bisnis merupakan objek hukum, sedangkan wujud dan unsurnya adalah hak dan kewajiban. Dari sudut pandang hukum bisnis, dia adalah subjek hukum. Subjek hukum adalah penyandang hak dan kewajiban. Badan hukum ( recht persoon atau legal body ) dalam teori hukum adalah subjek hukum di samping orang ( natuurlijk persoon ). Sedangkan harta kekayaan, zat, atau aset adalah segala sesuatu atau objek yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh suatu subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban itu. UU 31/1999 juncto UU 20/2001 mengartikan keuangan negara dari sudut pandang objeknya, sedangkan UU 17/2003 dan UU 15/2006 mengartikan keuangan negara dari sudut subjeknya. Dari sini jika masing-masing yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang tersebut tidak menggunakan kriteria atau pendekatan atau tolok ukur yang sama, dapat dipastikan dalam pelaksanaannya akan menimbulkan permasalahan. Definisi kerugian negara dalam tindak pidana korupsi justru tidak ditemukan dalam UU Tipikor, namun dapat ditemukan di UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 15/2006 tentang BPK. Dalam Pasal 1 angka 22 dan Pasal 1 angka 15 kedua Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kerugian uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Pengertian kerugian negara dalam UU Tipikor selalu merujuk kepada definisi kedua Undang-Undang tersebut. Berdasarkan Pasal 30 ayat (5) UU 24/2004 tentang LPS, untuk bank gagal yang tidak berdampak sistemik, ditentukan bahwa dalam hal tingkat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu satu tahun berikutnya. Menurut ahli, tahun yang dimaksud adalah tahun kelima. Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS menentukan bahwa dalam hal tingkat pengembalian yang optimal, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yaitu pada tahun kelima, maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat-ayat sebelumnya [yaitu ayat (2) dan ayat (3)] dalam jangka waktu satu tahun berikutnya. Tahun yang dimaksud adalah tahun keenam. Dari Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, dapat diketahui bahwa LPS mempunyai kewajiban untuk menjual saham yang berada dalam penanganannya, baik bank gagal yang tidak berdampak sistemik maupun bank gagal yang berdampak sistemik. Jika merujuk kepada Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, memang tidak ada kata wajib pada pasal tersebut. Apabila ketentuan ayat (5) tersebut dikaitkan dengan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS, maka perbuatan hukum melakukan penjualan pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa harus mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh LPS. Oleh karena itu, meskipun tidak ada kata wajib dalam ketentuan Pasal 42 ayat (5), namun kaidah tersebut harus diartikan bahwa LPS wajib menjual saham tersebut jika ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS telah dipenuhi. Ratio legis -nya bahwa LPS dalam penanganan atau penyelamatan bank gagal adalah tidak untuk maksud dan tujuan menguasai atau memiliki saham bank tersebut selamanya. Oleh sebab itu penempatan modal tersebut hanya bersifat temporer. Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, perbuatan hukum LPS menjual saham bank di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 penyertaan modal sementara adalah perbuatan hukum yang sah, yang dilindungi oleh UU LPS dan tidak dapat dikategorikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang dapat dikenai ancaman UU Tipikor. Jika dikaitkan dengan pengertian keuangan negara dan kerugian negara sebagaimana diatur di dalam UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, serta UU BPK, maka terdapat uang negara di LPS sebagai badan hukum publik, sebagai modal awal LPS yang diambil dari aset negara yang dipisahkan. Pasal 81 ayat (2) UU LPS mengatakan, Kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan.” Dari Pasal 2 ayat (1) UU LPS diketahui bahwa LPS didirikan atau dibentuk berdasarkan UU LPS, maka LPS adalah badan hukum yang didirikan oleh penguasa atau atas dasar kekuasaan umum, dalam hal ini pemerintah atau negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata, pemerintah yang menjalankan kekuasaan hukum dapat mendirikan perkumpulan atau suatu badan hukum untuk suatu tujuan tertentu. Dalam teori hukum, aset yang dipisahkan merupakan ciri utama dari suatu badan hukum. Aset yang dipisahkan yang dijadikan modal awal suatu badan hukum, termasuk di sini adalah modal awal LPS, secara hukum harus diakui sebagai aset LPS sebagai badan hukum. Tidak tepat jika aset tersebut diklaim atau dikategorikan sebagai bagian dari aset negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, UU BPK, atau undang-undang publik lainnya. Terdapat ketidakharmonisan antara UU LPS di satu pihak berhadapan dengan UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, dan UU BPK di pihak lain. Terdapat kegamangan pimpinan LPS jika harus melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, yaitu manakala penjualan saham bank gagal tersebut yang sudah dapat dipastikan akan terjadi di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai, di sisi lain akan dapat diartikan oleh aparat penegak hukum dengan menggunakan tolok ukur Undang-Undang lain, sebagai merugikan keuangan negara, yang ujungnya berpotensi dikenai UU Tipikor. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Doktrin hukum memberikan solusi terhadap ketidakharmonisan norma. Adagium lex specialis derogat legi generalis dan adagium lex posterior derogat legi priori dapat dipergunakan sebagai rujukan mencari jalan keluar atas ketidakharmonisan norma. Dalam risalah rapat proses pembahasan RUU LPS di DPR, terdapat keterangan bahwa UU LPS adalah hukum khusus. Jika pimpinan LPS membuat keputusan untuk menjual saham bank sebagai pelaksanaan Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS, yang sudah pasti berpotensi mengakibatkan kekurangan uang jika dibandingkan dengan modal awal atau penyertaan sementara awal pada saat menangani bank gagal, hal demikian tidak dapat dikualifikasikan atau dikategorikan sebagai kerugian negara. Rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sangat luas dan abstrak, sehingga memberikan ruang gerak yang luas bahkan cenderung eksesif. Penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa unsur melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yang berarti bahwa perbuatan yang dituduhkan tidak harus melanggar peraturan perundang-undangan. Perbuatan tersebut dikatakan melawan hukum kalau perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Kesimpulannya, jika pimpinan LPS melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 UU LPS, perbuatan hukum tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum yang tidak benar jika kemudian dimaknai secara berbeda menurut ketentuan undang-undang lain yang dapat dikualifikasikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang akhirnya akan dapat dikenai ketentuan UU Tipikor. Ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 apabila tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan LPS pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan tindakan yang sah menurut hukum. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 Dari perspektif hukum bisnis, kriteria sah adalah jika Pimpinan LPS sudah memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (5), Pasal 38, dan Pasal 42. Jika Pimpinan LPS menjual murah, tetapi ada intensi di dalamnya seperti menerima suap atau ada deal tertentu dengan calon investor, jelas hal demikian tidak sah.
Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum. Terdapat konflik norma antara UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Keuangan Negara di satu sisi, dengan UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN di sisi lain, khususnya berkaitan dengan terminologi keuangan negara. Konflik norma tersebut memberikan dampak adanya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan suatu Undang-Undang. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Ketigapuluh perbuatan tersebut dapat dibagi ke dalam tujuh kategori yang salah satu kategorinya adalah korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara (vide Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang a quo ). Apabila ketujuh kategori tersebut diperas lagi, maka sebenarnya inti tindak pidana korupsi adalah suatu penyuapan ( bribery ). Bila suatu perbuatan menjalankan tugas sebagai elemen negara atau pemerintah, terdapat penyuapan di dalamnya, maka tidak lain dan tidak bukan perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi. Kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi adalah suatu kerugian keuangan yang dialami negara akibat adanya penyuapan ( bribery ) dalam menjalankan tugas oleh instrumen negara atau pemerintah tersebut. Tidak setiap kerugian keuangan negara adalah tindak pidana korupsi, karena sangat mungkin bahwa kerugian keuangan negara tersebut diakibatkan suatu perbuatan yang secara murni masuk dalam ranah hukum perdata atau administrasi. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memuat dan mengatur hal-hal atau keadaan-keadaan yang mana telah terjadi kerugian negara namun bukan diakibatkan oleh suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, maka cukuplah dilakukan upaya hukum berupa gugatan perdata dengan tujuan utama mengembalikan kerugian keuangan negara. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Kerugian keuangan negara yang terjadi akibat suatu perbuatan pidana, tidak serta-merta merupakan tindak pidana korupsi. Beberapa undang- undang mengenal kerugian keuangan negara, tetapi tidak termasuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Antara lain, UU Pokok Ketentuan Perpajakan dan UU Perbankan. Apabila pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik, atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik, LPS secara transparan dan terbuka menjual saham bank gagal tersebut di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat penyertaan modal sementara, perbuatan demikian dapat dikualifikasikan sebagai kebijakan bisnis yang tentunya tidak terlepas dari adanya risiko bisnis. Skala kesalahan ( culpability scale ) dari Cooter dan Ullen yang dikutip Romli Atmasasmita, dipergunakan ahli sebagai parameter untuk menilai apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau tidak. Dalam skala tersebut, perbuatan pelaku bisnis ditempatkan di antara careful blameless dan negligent blameless dengan presumsi bahwa skala careful blameless berada di bawah negligent blameless , dan skala negligent blameless berada di bawah skala intentional blameless . Jika pelaku bisnis melampaui batas skala negligent blameless , maka yang bersangkutan telah memasuki lingkup batas yang disebut criminal wrongs , sehingga dapat dipidana. Adapun jika perbuatan pelaku bisnis masih dalam batas civil wrongs , maka terhadap yang bersangkutan masih dapat diterapkan penegakan hukum perdata ataupun administrasi. Hanya perbuatan yang telah melampaui batas ( cross-border ), kategori fault (kesalahan), dan memasuki kategori guilt (kesengajaan), ahli istilahkan dengan intention , yang dapat dijatuhi sanksi pidana. Jika hanya memenuhi parameter sebagai fault , maka cukup diberikan sanksi perdata atau peringatan tertulis. Tindakan penjualan yang dilakukan oleh LPS pada tahun kelima atau keenam, dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum dalam rangka melaksanakan kewajiban LPS yang tegas-tegas diatur dalam UU. Jadi terlihat dengan jelas adanya kewajiban hukum LPS untuk melakukan penjualan saham bank (vide Pasal 30, Pasal 38, Pasal 42 UU LPS). Adanya Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 kata wajib pada Pasal 30 ayat (1) tersebut membuat LPS tidak memiliki pilihan selain melaksanakan kewajiban untuk menjual seluruh saham bank gagal dan dalam batas waktu yang telah ditentukan UU LPS tanpa perlu memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal. LPS atau Pimpinan LPS tidak dapat dituntut atas perbuatan hukum yang dilakukannya karena apa yang dilakukan tersebut adalah perintah undang- undang, sehingga tidak ada sifat melawan hukumnya. Dengan kata lain, tindakan penjualan pada tahun kelima atau tahun keenam tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal yang dilakukan oleh LPS atau Pimpinan LPS merupakan tindakan yang sah. Subjek hukum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang, yaitu orang perseorangan, termasuk di dalamnya adalah korporasi. Adapun korporasi sendiri didefinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Melaksanakan perintah undang-undang sebagai alasan penghapus pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHP, memorie van Toelichting menjelaskan pasal tersebut sebagai berikut, yaitu tidaklah bertindak setiap orang yang menggunakan haknya untuk melakukan suatu perbuatan, yakni telah melakukan suatu berdasarkan perbuatan tertentu untuk menerapkan peraturan. Ketentuan Pasal 50 KUHP merupakan pertentangan antara dua kewajiban hukum, artinya perbuatan tersebut di satu sisi menaati peraturan, namun di sisi lain perbuatan tersebut melanggar peraturan yang lain. Oleh karena itu, untuk melaksanakan perintah Undang-Undang digunakan lesser evils principle atau teori tingkat kejahatan yang lebih ringan. Dengan demikian, melaksanakan perintah Undang-Undang merupakan dasar alasan pembenar yang menghapus elemen melawan hukumnya suatu perbuatan. Dalam melaksanakan perintah Undang-Undang, prinsip yang dipakai adalah subsidiaritas dan proporsionalitas. Prinsip subsidiaritas adalah melaksanakan peraturan undang-undang dan mewajibkan pelaku berbuat demikian. Prinsip proporsionalitas, yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum, maka kewajiban hukum yang lebih besarlah yang diutamakan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang- undang adalah karakter dari pelaku, yaitu apakah pelaku selalu melaksanakan tugas-tugas dengan itikad baik atau sebaliknya. Contoh melaksanakan perintah Undang-Undang adalah ketika seorang juru sita yang dalam rangka mengosongkan rumah menaruh barang-barang yang disitanya di jalan. Hal ini bertentangan dengan peraturan yang melarang menaruh barang-barang di jalan, akan tetapi perbuatan juru sita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam hal ini mengosongkan rumah, berdasarkan putusan pengadilan. Berdasarkan teori-teori di atas, disimpulkan bahwa seseorang atau badan hukum tidak dapat dituntut apabila melaksanakan tindakan yang diperintahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentunya menggambarkan tiada niat jahat dalam melakukan tugas tersebut. Dalam hukum pidana, niat jahat ( mens rea ) merupakan salah satu unsur mutlak untuk menentukan adanya suatu kesalahan pada diri pelaku perbuatan pidana. Dengan tiadanya kesalahan, maka tiada pindana di dalamnya ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, LPS atau Pimpinan LPS tidak dapat dituntut atau dengan kata lain tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila apa yang dilakukan tersebut adalah demi melaksanakan perintah undang-undang, dalam hal ini UU LPS. Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan LPS pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum LPS secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut. Orang yang telah melaksanakan perintah Undang-Undang sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Undang-Undang tersebut termasuk parameternya, dia tidak dapat dituntut secara pidana. Untuk mengukur apakah seseorang memiliki intensi atau tidak, hal demikian tidak mungkin terlepas dari kasus konkret. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Ketika seorang pejabat telah bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang, maka dia memiliki kekebalan dalam pengertian tidak dapat dituntut. (atas pertanyaan Majelis) Dalam kasus Syahril Sabirin, Hakim menilai terdapat intensi sehingga Syahril Sabirin sebagai Gubernur BI dianggap mendapat intervensi. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan __ secara __ lisan dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 dan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 15 September 2015, sebagai berikut. I. Sesuai dengan tembusan surat kuasa hukum Pemohon kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 0849/04/28/06/14 tanggal 13 Juni 2014 ( copy terlampir) bahwa LPS bermaksud mencabut sebagian materi pengujian sehingga yang tetap dimohonkan pengujiannya adalah terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS. II. Sesuai dengan hasil persidangan di Mahkamah Konstitusi tanggal 1 September 2014, Majelis Hakim telah menetapkan bahwa permohonan Pemohon tersebut di atas telah dicatat secara resmi sehingga yang dimohonkan pengujiannya hanya Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5). Oleh karena itu, dalam Keterangan Presiden ini kami hanya memberikan keterangan sekaligus kesimpulan terkait dengan pasal yang dimohonkan pengujiannya sebagai berikut: A. Bahwa dalam permohonannya, Pemohon pada pokoknya keberatan atas ketentuan dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Lembaga Penjamin Simpanan mengenai penjualan seluruh saham bank gagal dengan nilai penjualan paling sedikit sebesar Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS. B. Ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 ayat (5), ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Pasal 36 ayat (5), ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Pasal 42 ayat (5) UU LPS, ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Terhadap permohonan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah mendukungnya karena telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengenai substansi permohonannya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. C. Bahwa menurut Pemohon, adanya pengaturan mengenai penjualan seluruh saham Bank Gagal dengan nilai penjualan paling sedikit sebesar Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS, yang terdapat dalam beberapa pasal tersebut di atas, dianggap telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu hak untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum, sebagai lembaga yang tugas, fungsi dan kewajibannya antara lain:
Menjamin dan melaksanakan simpanan nasabah penyimpan;
Turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan;
Merumuskan dan menetapkan kebijakan penjaminan;
Menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, Pemohon menganggap beberapa ketentuan tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. D. Bahwa menurut Pemohon, pelanggaran hak konstitusional tersebut didasarkan atas penalaran yang wajar, yakni apabila penjualan saham tersebut dilakukan tanpa memperhatikan nilai PMS yang telah dikeluarkan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 oleh Pemohon, maka Pemohon khawatir tindakan penjualan dimaksud dianggap telah merugikan keuangan negara. E. Terhadap upaya permohonan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah mendukungnya karena telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengenai substansi permohonannya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. III. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah mendukung langkah yang ditempuh oleh Pemohon khususnya terkait dengan pengujian terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, sehingga tidak Iagi ada kekhawatiran bagi LPS dalam penjualan saham dimaksud, dan menyerahkan keputusannya kepada Mahkamah Konstitusi. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan __ secara __ tertulis tanpa tanggal bulan September 2014, sebagai berikut.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohin sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terkait dengan kedudukan hukum ( Iegal standing ) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.
Pokok Pengujian UU LPS Terhadap permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 Undang LPS serta Pasal 45 Undang-Undang Pasar Modal, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa terkait dalil Pemohon menyangkut Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang- Undang LPS sepanjang frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” yang dianggap menimbulkan hambatan bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang LPS dan berpotensi akan menghadapi permasalahan hukum karena terdapat sanksi pidana dalam Undang-Undang Perbankan terhadap pihak- pihak yang melanggar kerahasiaan Bank, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa prinsip kerahasiaan bank harus dipegang teguh oleh siapa saja demi menjaga kepercayaan nasabah karena bisnis perbankan pada dasarnya merupakan bisnis kepercayaan. Namun demikian tidak ada hukum tanpa pengecualian. Dalam berbagai peraturan perundang- undangan yang didalamnya terdapat ketentuan mengenai kerahasiaan hampir selalu terdapat pengecualian-pengecualian, tidak terkecuali di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) itu sendiri. Tentu saja dalam UU Perbankan tidak menyebut secara tertulis LPS sebagai pihak yang dapat dikecualikan dalam hal kerahasiaan bank, yang dapat dipahami karena UU Perbankan ada sebelum lahirnya LPS. Jika ditarik kembali kepada UU LPS [Pasal 6 ayat (1) huruf d] maka sesungguhnya celah dalam UU Perbankan tersebut dengan sendirinya dapat ditutupi. Selain Pasal 6 ayat (1) huruf d, keberwenangan dalam mendapatkan data-data perbankan juga telah diberikan dalam Pasal 16 ayat (2) UU LPS bahwa LPS berhak memperoleh data Nasabah Penyimpan dan informasi lain yang diperlukan per tanggal pencabutan izin usaha dari LPP dan/atau bank dalam rangka perhitungan dan pembayaran klaim Penjaminan.
Adapun mengenai frasa ” sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank ” seharusnya dipahami dalam konteks bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, sebuah lembaga juga harus tunduk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan tidak boleh melakukan ” abuse of power ” atau menyalahgunakan wewenang. Rambu-rambu tentang bagaimana memperoleh data-data perbankan yang diperlukan dalam konteks terkait pelaksanaan tugas dan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 wewenang lembaga tertentu dan bagaimana penggunaannya telah diatur dalam UU Perbankan secara komprehensif. Dari ketentuan dalam UU Perbankan tersebut dapat dipahami bahwa kerahasiaan bank hakekatnya dapat buka/dikecualikan jika diperlukan untuk kepentingan pelaksanaan tugas pihak-pihak terkait yang berwenang. Bagaimana LPS memperoleh data-data perbankan juga sesungguhnya telah diatur dalam penjelasan dari Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS itu sendiri yang menyatakan ”data dan Iaporan dapat diperoleh langsung dari bank atau dari LPP yang isi dan mekanismenya diatur dalam nota kesepakatan antara LPS dan LPP”. Artinya LPS dalam memperoleh data-data perbankan tetap berada dalam koridor yang diatur UU Perbankan maupun UU LPS itu sendiri. Demikian pula terkait kerahasiaan data jika merujuk kepada risalah pembahasan UU LPS dikatakan bahwa kepentingan LPS menyangkut data nasabah penyimpan, data kesehatan bank, bukan bersifat data individual. Lagi pula LPS juga harus mendapat persetujuan dari LPP (sebagai otoritas berwenang mengawasi perbankan) berdasarkan nota kesepakatan yang dibuat dengan LPS. Oleh karenanya, maka kekhawatiran Pemohon akan terkena sanksi pidana karena melanggar kerahasiaan bank dalam UU Perbankan sesungguhnya tidak beralasan.
Bahwa terkait Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS sepanjang frasa ”..., maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya”, yang dianggap Pemohon menimbulkan potensi adanya permasalahan hukum di kemudian hari terhadap Pemohon apabila Pemohon menjual harga saham Bank Gagal pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) di bawah tingkat pengembalian yang optimal yang dikaitkan dengan adanya hambatan karena berlakunya Pasal 45 UU Pasar modal sepanjang frasa ”pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya”. Terhadap dalil Pemohon ini dapat dijelaskan bahwa sesungguhnya LPS dengan undang-undang organiknya telah diberi dasar hukum yang kuat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. LPS diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk melakukan tindakan- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 tindakan yang dianggap perlu termasuk di antaranya dalam penyelesaian dan penanganan Bank Gagal yang tercantum di dalam Pasal 6 ayat (2) UU LPS, berupa:
mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan;
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank; dan
menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewaiiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Adapun terkait Pasal 45 UU Pasar Modal sesungguhnya pasal tersebut dapat dipahami sebagai norma umum yang berlaku dalam pasar modal. Perintah tertulis dari pemegang rekening atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas nama pemegang rekening diperlukan karena hakekatnya efek yang disimpan atau dicatat pada rekening efek bukan merupakan harta kustodian. Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang LPS (khususnya dalam melaksanakan tugasnya mengusahakan tingkat pengembalian yang optimal dengan menjual saham bank), LPS dengan kewenangannya yang diberikan undang-undang dengan sendirinya dapat mengenyampingkan mekanisme yang berlaku umum sebagaimana terdapat dalam Pasal 45 UU Pasar Modal. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan pertanggungjawaban pemegang saham bank yang bermasalah yang harus ditangani oleh LPS. Karena tugas LPS yang utama ketika terjadi penutupan bank, selain membayar penjaminan adalah mengembalikan dana peminjaman, sehingga LPS dalam hal ini diberi kewenangan untuk menggantikan kedudukan RUPS agar dapat menjual asset bank yang bersangkutan. Jika tidak demikian, maka tujuan dari dibentuknya LPS sebagai bagian dari sistem untuk mendukung terciptanya perbankan yang sehat dan stabil, akan sulit tercapai. Oleh karenanya. keberadaan Pasal 45 UU Pasar Modal dan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, bukan lah sesuatu hal yang harus dipertentangkan. UU LPS yang bersifat lebih khusus dalam hal-hal yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 belum diatur dalam UU Pasar Modal dan terbentuk lebih akhir, sesungguhnya dapat dilihat sebagai ketentuan pelengkap dari yang sudah ada sebelumnya.
Bahwa terkait dalil Pemohon terhadap Pasal 85 ayat (2) sepanjang kata ”dapat”, ditafsirkan oleh Pemohon bahwa tidak ada jaminan atau kepastian bagi Pemohon akan mendapatkan pinjaman dari Pemerintah pada saat Pemohon sedang mengalami kesulitan likuiditas. Demikian pula terhadap Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang LPS yang dianggap Pemohon tidak memberikan kepastian apakah Pemerintah akan membuat Peraturan Pemerintah untuk mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena ketentuan tersebut hanya mengacu kepada tingkat likuiditas, sedangkan ketentuan mengenai perlunya pembuatan Peraturan Pemerintah justru mengacu kepada Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang LPS. Terhadap dalil Pemohon sepanjang mengenai kata ”dapat” dalam Pasal 85 ayat (2) dapat diberikan penjelasan bahwa sesungguhnya kata ”dapat” dimaksudkan sebagai bentuk fakultatif yang kejadiannya digantungkan kepada ada atau tidaknya kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya tindakan tertentu, dalam hal ini pemberian pinjaman Pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditas LPS. Dengan kata Iain, pinjaman dari Pemerintah dapat diberikan jika diperlukan untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Terhadap Pasal 85 ayat (3) tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari Pasal 85 ayat (2) dimana mengenai tingkat likuiditas dari LPS ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya, ukuran atau parameter LPS dianggap mengalami kesulitan likuiditas mengacu kepada tingkat likuiditas LPS yang ditetapkan Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 10 September 2014 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 September 2014, dan Presiden menyampaikan kesimpulan tanpa tanggal yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 September 2014, yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendirian; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608, selanjutnya disebut UU Pasar Modal), Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963, selanjutnya disebut UU LPS) yang menyatakan: UU Pasar Modal Pasal 45 : “Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang rekening atau Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya,” khususnya __ frasa “ atau Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya.” UU LPS Pasal 6 ayat (1) huruf d : “ Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang _sebagai berikut:
.. d. mendapatkan data simpanan_ nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank, ” khususnya frasa “ sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pasal 30 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 38 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 42 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 85 ayat (2) : “ Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah, ” khususnya kata “ dapat ”. Pasal 85 ayat (3) : “ Ketentuan mengenai tingkat likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. ” terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yang menyatakan: Pasal 1 ayat (3) : “ Negara Indonnesia adalah negara hukum. ” Pasal 28C ayat (2) : “ Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. ” Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” . Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan __ _a quo; _ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), dan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut: [3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai badan hukum publik bernama Lembaga Penjamin Simpanan, yang diwakili oleh Kepala Eksekutif bernama Kartika Wirjoatmodjo, yang hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), dan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. Menurut Pemohon pasal dan/atau ayat dimaksud menghambat pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangan Pemohon untuk menjual seluruh saham Bank Gagal, bahkan pasal dan/atau ayat tersebut menimbulkan potensi Pemohon dianggap melakukan tindak pidana kejahatan serta merugikan keuangan negara. [3.9] Menimbang bahwa kedudukan Pemohon sebagai Lembaga Penjamin Simpanan, yang dalam perkara pengujian Undang-Undang ini diwakili oleh Kepala Eksekutif, telah dibuktikan dengan Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 2013, bertanggal 12 Desember 2013 dan Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP- 050/DK/X/2013 tentang Perubahan Keputusan Dewan Komisioner Nomor 009/DK- LPS/VII/2006 tentang Tugas dan Wewenang Kepala Eksekutif Untuk Melaksanakan Kegiatan Operasional, bertanggal 31 Oktober 2013 (vide bukti P-8 dan bukti P-9 ). Menurut Mahkamah, pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) berupa potensi timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon. Potensi kerugian konstitusional demikian dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 Pendapat Mahkamah [3.11] Menimbang bahwa Kepaniteraan Mahkamah telah menerima Surat Nomor 0849/04/28/06/14 perihal “Perkara No. 27/PUU-XII/2014”, bertanggal 13 Juni 2014, dari Pemohon yang pada pokoknya mencabut sebagian pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, yaitu Pasal 45 UU Pasar Modal, Pasal 6 ayat (1), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. Adapun Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS tetap dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya. Pencabutan atau penarikan sebagian permohonan dimaksud ditegaskan kembali oleh Pemohon di hadapan sidang pleno pemeriksaan pada tanggal 1 September 2014; [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pencabutan/penarikan sebagian permohonan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menyatakan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 45 UU Pasar Modal, Pasal 6 ayat (1), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS terhadap UUD1945 telah ditarik kembali. Sebagai konsekuensi hukum dari penarikan/pencabutan tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU MK, Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas pasal-pasal dimaksud terhadap UUD 1945; Pokok Permohonan [3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap permohonan pengujian konstitusional yang diajukan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut. Pasal 30 ayat (5) UU LPS [3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 30 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang tidak berdampak sistemik, pada tahun kelima tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Adapun menurut Pasal 30 ayat (3), Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 42 ayat (3) UU LPS, tingkat pengembalian optimal adalah sebesar minimal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 seluruh penempatan modal sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh Pemohon. Sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil Pemohon tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa secara hukum LPS adalah badan hukum independen yang memiliki fungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan [vide Pasal 4 UU LPS]. Untuk menjalankan fungsi tersebut, LPS memiliki tugas yang salah satunya adalah melaksanakan penanganan Bank Gagal, baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik [vide Pasal 5 ayat (2) UU LPS]. [3.14.1] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, makna/arti Pasal 30 ayat (5) UU LPS tidak dapat dilepaskan dari makna/arti Pasal 30 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU LPS, yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut: Pasal 30 ayat (1) : “ LPS wajib menjual seluruh saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ”. Pasal 30 ayat (2) : “ Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. ” Pasal 30 ayat (3) : “ Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. ” Pasal 30 ayat (4) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun. ” Pasal 30 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” [3.14.2] Menimbang bahwa dari rangkaian ketentuan Pasal 30 UU LPS serta pasal dan/atau ayat lain dalam UU LPS yang terkait dengan Pasal 30 tersebut, Mahkamah menemukan adanya ketentuan bahwa dalam hal penyelamatan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, LPS memiliki kewajiban untuk mengelola Bank Gagal tersebut dan kemudian wajib menjual saham Bank Gagal tersebut maksimal dalam waktu 5 (lima) tahun sejak RUPS bank bersangkutan menyerahkan segala hak dan wewenangnya kepada LPS. Jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun tersebut merupakan akumulasi dari jangka waktu selama 2 (dua tahun) yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1); ditambah jangka waktu perpanjangan selama 1 (satu) tahun kali 2 (dua) yang diatur dalam Pasal 30 ayat (4); dan ditambah selama 1 (satu) tahun lagi yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5) UU LPS. Bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (5) UU LPS menurut Mahkamah memang menunjukkan adanya kewajiban bagi LPS untuk menjual saham Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik tersebut selambat-lambatnya pada tahun kelima meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. Dengan perkataan lain, ketentuan tersebut memerintahkan LPS untuk menjual saham Bank Gagal, yang tidak berdampak sistemik tersebut, meskipun terdapat potensi kerugian bagi LPS, yaitu kerugian, dalam arti nilai jual saham Bank Gagal tidak sepadan dengan nilai Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS dalam pengelolaan Bank Gagal tersebut. [3.14.3] Menimbang bahwa menurut Pemohon, seandainya terjadi kerugian atau selisih kurang antara nilai Penempatan Modal Sementara (PMS) dengan hasil penjualan saham Bank Gagal, Pemohon akan potensial dianggap merugikan keuangan negara, karena modal sementara yang ditempatkan Pemohon pada Bank Gagal tersebut adalah uang negara dan kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan [vide Pasal 81 ayat (2) UU LPS]. Dengan mengingat adanya potensi bagi Pemohon untuk dianggap merugikan keuangan negara sebagaimana diuraikan di atas maka Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 30 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh LPS pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik tanpa memperhatikan tingkat pengembalian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan yang karena itu tidak dapat dituntut di muka hukum. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa tindakan penjualan saham Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik oleh LPS di tahun kelima, meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, tidak dapat dimaknai lain selain sebagai perintah UU LPS, terutama Pasal 30 ayat (5). Menurut Mahkamah rumusan makna Pasal 30 ayat (5) telah sangat jelas dan tidak dapat dimaknai atau ditafsirkan lain selain sebagai perintah kepada LPS untuk melaksanakan penjualan saham bank dan atas dasar perintah Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, meskipun nilai jual Bank Gagal tersebut tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal. Mahkamah menilai bahwa UU LPS merupakan Undang-Undang yang memerintahkan kepada LPS untuk menjual aset Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik sehingga apabila hal itu dilakukan meskipun dengan harga yang tidak optimal tidak dapat digolongkan merugikan keuangan negara. Oleh karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, sepanjang telah memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 30 ayat (2) UU LPS, yaitu penjualan dilakukan secara terbuka dan transparan. Makna ketentuan Pasal 30 ayat (5) menurut Mahkamah telah menjamin dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum bagi LPS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, sehingga keberadaan norma pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 38 ayat (5) UU LPS [3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 38 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik dengan penyetoran modal oleh pemegang saham, pada tahun keenam tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Menurut Pemohon, sebagaimana halnya dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) UU LPS, ketentuan Pasal 38 ayat (5) memunculkan potensi bahwa Pemohon akan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 dianggap merugikan keuangan negara ketika nilai penjualan Bank Gagal dimaksud kurang dari tingkat pengembalian optimal yang dikehendaki oleh UU LPS. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat pengaturan penjualan Bank Gagal yang berdampak sistemik, dalam kaitannya dengan tingkat pengembalian yang optimal dan jangka waktu penanganan Bank Gagal tersebut oleh LPS, yang diatur dalam Pasal 38 ayat (5) UU LPS, memiliki kesamaan substansi dengan pengaturan penjualan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5) UU LPS, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada paragraf [3.14.1] sampai dengan paragraf [3.14.3] . Dengan demikian, menurut Mahkamah substansi pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14.3] berlaku mutatis mutandis bagi pertimbangan hukum pengujian konstitusionalitas Pasal 38 ayat (5) UU LPS. Mahkamah menegaskan bahwa tindakan penjualan saham Bank Gagal yang berdampak sistemik oleh LPS di tahun keenam, meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, tidak dapat dimaknai lain selain sebagai perintah Undang-Undang, yaitu Pasal 38 ayat (5) UU LPS. Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, meskipun nilai jual Bank Gagal tersebut tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, selama penjualan dimaksud dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU LPS. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menilai ketentuan Pasal 38 ayat (5) UU LPS tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan pengujian konstitusionalitas pasal a quo tidak beralasan menurut hukum. Pasal 42 ayat (5) UU LPS [3.16] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 42 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, pada tahun keenam tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Menurut Pemohon, sebagaimana halnya dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS, ketentuan Pasal 42 ayat (5) memunculkan potensi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 bahwa Pemohon akan dianggap merugikan keuangan negara ketika nilai penjualan Bank Gagal dimaksud kurang dari tingkat pengembalian optimal yang dikehendaki oleh UU LPS. Substansi permohonan Pemohon mengenai Pasal 42 ayat (5) UU LPS menurut Mahkamah sama dengan substansi permohonan Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Terkait dengan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang a quo , tingkat pengembalian optimal yang dimaksud adalah tingkat pengembalian optimal yang diatur dalam Pasal 42 ayat (3) UU LPS. Oleh karena secara substansi permohonan tersebut memiliki kesamaan maka menurut Mahkamah pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14.3] berlaku mutatis mutandis bagi pertimbangan hukum pengujian konstitusionalitas Pasal 42 ayat (5) UU LPS. Tindakan LPS pada tahun keenam menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, meskipun nilai jualnya tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, menurut Mahkamah tindakan tersebut adalah perintah Undang-Undang, yaitu perintah Pasal 42 ayat (5) UU LPS. Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 42 ayat (5) UU LPS tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon mengenai pasal a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, serta fakta bahwa pemaknaan atas Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, ternyata sesuai, sama atau tidak berbeda dengan makna Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, sehingga menurut Mahkamah tidak diperlukan pemaknaan baru atas pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya tersebut. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 Dengan demikian Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS yang dimohonkan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR P UTU S AN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal delapan belas bulan November tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan bulan Januari tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pada pukul 16.04 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Patrialis Akbar ttd. Wahiduddin Adams ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
PUU Nomor 11/2011 tentang Perubahan Atas UU 10/2010 tentang APBN TA 2011
Relevan terhadap
penciptaan dan perluasan lapangan kerja (pro-job), diantaranya melalui pemberian insentif pajak guna meningkatkan investasi dan ekspor, serta meningkatkan belanja modal untuk pembangunan infrastruktur. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka Pemerintah telah membuktikan bahwa program-program pembangunan yang telah disusun dan dibiayai dengan menggunakan UU APBN-P Tahun 2011 merupakan salah satu usaha Negara untuk dapat menjalankan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan masyarakat lemah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. G. Penjelasan Pemerintah atas pendapat Para Pemohon yang menyatakan Pasal 27 ayat (8) dan Pasal 27 ayat (11) UU APBN-P Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 Dalam permohonannya, Para Pemohon juga menyampaikan bahwa dalam ketentuan Pasal 27 ayat (8) dan ayat (11) UU APBN-P 2011 terdapat istilah Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) yang bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 karena tidak adil dan tidak selaras berdasarkan peraturan perundang- undangan lainnya karena istilah tersebut tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Perimbangan Keuangan), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda), dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Dengan demikian pencantuman DPID dan DPPID dalam UU APBN-P 2011 selain bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 juga membuka potensi terjadinya penyalahgunaan anggaran yang mengakibatkan tidak terpenuhinya amanat konstitusi demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terhadap pendapat para Pemohon dimaksud, dengan ini Pemerintah menyampaikan penjelasan sebagai berikut. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utamanya adalah perimbangan keuangan yang dalam instrumen penganggaran dinamakan dengan Anggaran Transfer ke Daerah, yang bersama dengan Belanja Pemerintah Pusat
Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas dalam Tahun Anggaran 2006 Kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun/Tunjangan ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
Pegawai Negeri adalah Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
Pejabat Negara adalah :
Presiden dan Wakil Presiden;
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Ketua, Wakil Ketua,dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, serta Hakim Konstitusi;
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung;
Hakim pada Badan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Hakim yang dipekerjakan untuk tugas peradilan (yustisi);
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Pajak;
Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial;
Menteri, dan Jabatan yang setingkat Menteri;
Kepala perwakilan Republik Indoensia yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
Gubernur dan Wakil Gubernur; dan
Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota.
Penerima pensiun adalah :
Pensiunan Pegawai Negeri;
Pensiunan Pejabat Negara;
Penerima pensiun Janda/Duda/Anak dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b;
Penerima pensiun Orang Tua dari Pegawai Negeri Sipil yang tewas;
Penerima tunjangan adalah :
Penerima Tunjangan Veteran;
Penerima Tunjangan Kehormatan Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat;
Penerima Tunjangan Penghargaan Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan;
Penerima Tunjangan Janda/Duda dari Penerima Tunjangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
Penerima Tunjangan bekas Tentara Koninklijk Nederland Indonesisch Leger/Koninklijk Marine (KNIL/KM);
Penerima Tunjangan Anak Yatim/Piatu Anggota TNI/POLRI;
Penerima Tunjangan Anggota TNI/POLRI bagi yang diberhentikan dengan hormat yang masa dinas keprajuritannya antara 5 (lima) tahun sampai dengan kurang dari 15 (lima belas) tahun;
Penerima Tunjangan bersifat pensiun TNI/POLRI bagi yang diberhentikan dengan hormat yang masa dinas keprajuritannya antara 15 (lima belas) tahun sampai dengan kurang dari 20 (duapuluh) tahun;
Penerima Tunjangan Orang Tua bagi Anggota TNI/POLRI yang gugur;dan j. Penerima Tunjangan Cacad.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.05/2015 tentang Pedoman Penyusunan dan Penyampaian Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga ...
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pengujian UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan [Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), (7), Pasal 17 ayat (2), huruf a, c, d ...
Relevan terhadap
ayat (1) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840,000,00 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dgn penghasilan suami 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840.000,00 4 Tambahan untuk setiap tanggungan 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 Dengan memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan 88 amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan delegasi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan permasalahan implementasi suatu Undang-Undang (dalam hal ini Undang-Undang a quo ), yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu konstitusionalitas. Bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Pasal 14 ayat (1) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak dibutuhkan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena itu perlu diberikan kemudahan melalui mekanisme lain yang tidak didasarkan pada pembukuan yaitu melalui penerapan norma penghitungan penghasilan netto. Pasal 14 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 mengamanatkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuat Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan. Dalam menentukan besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Direktur Jenderal Pajak harus mendasarkan pada hasil penelitian, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Untuk lebih mencerminkan tingkat kewajaran dari kondisi usaha Wajib Pajak, besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Netto perlu dilakukan penyempurnaan secara terus menerus. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000. (Bukti Pemt.42) 4. Pasal 14 ayat (7) Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 89 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. (Bukti Pemt. 2e) Berdasarkan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008 Menteri Keuangan dapat melakukan penyesuaian batasan peredaran bruto sebesar Rp 4.800.000.000,00 di atas dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 17 ayat (2) Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebesar 30% (tiga puluh persen) dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penurunan tarif ini dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan DPR pada saat pembahasan dalam rangka menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 17 ayat (2) huruf a Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 28% mulai tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25% yang telah diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a UU PPh Tahun 2008. Bahwa norma Pasal 17 ayat (2) huruf a sama sekali tidak mengatur mengenai pelimpahan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai besarnya tarif ataupun hal lain terkait dengan pasal tersebut. Oleh karena itu sudah sepatutnya Majelis mengesampingkan pengujian terhadap pasal dimaksud.
Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d Pengenaan pajak atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanat Pasal 17 ayat (2) huruf c besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen tersebut diberikan batasan paling tinggi 10% dan bersifat final. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tersebut telah mengatur besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen sebesar 10% (Bukti Pemt.43) . Tarif sebesar 10% tersebut tidak melebihi batas tarif tertinggi yang ditentukan oleh Undang- Undang. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa peraturan pemerintah tersebut tidak menambah berat beban Wajib Pajak.
Pasal 17 ayat (3) 90 Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 adalah sebesar sebagai berikut: Tabel 4 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif s.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp 250.000.000,00 s.d.Rp 500.000.000,00 25% Di atas Rp 500.000.000,00 30% (Untuk Wajib Pajak Badan tidak terdapat adanya lapisan penghasilan kena pajak) Bahwa besarnya lapisan penghasilan kena pajak tersebut berdasarkan Pasal 17 ayat (3) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang didasarkan pada kondisi perkembangan perekonomian antara lain tingkat inflasi.
Pasal 17 ayat (7) Penetapan tarif tersendiri atas jenis-jenis penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dibatasi tidak melebihi tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yaitu sebesar 30% dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan yaitu sebesar 28%. Dalam ketentuan Pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menetapkan besarnya tarif tersendiri berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2). Meskipun demikian Pemerintah dalam melaksanakan kewenangan menetapkan besarnya tarif tersendiri untuk Pasal 4 ayat (2) harus memenuhi syarat sebagai berikut: 91 1. Tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Dengan mempertimbangkan aspek kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Pasal 19 ayat (2) Menteri Keuangan berdasarkan Pasal ini diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) dengan mempertimbangkan:
Perkembangan harga yang mencolok; atau
Perubahan kebijakan di bidang moneter, yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan, sehingga mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Namun demikian, Menteri Keuangan dalam menetapkan besarnya tarif pajak tersendiri atas penilaian kembali aktiva tetap dibatasi yaitu tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Pasal 21 ayat (5) Pada prinsipnya pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dipotong pajak berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh Tahun 2008. Namun demikian dalam rangka kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang-Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas 92 Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. • Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994. (Bukti Pemt. 44) b. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. • Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009. (Bukti Pemt. 45) 12. Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, sudah sewajarnya terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih tinggi dikenakan pajak lebih dibandingkan dengan yang mempunyai kemampuan ekonomis lebih rendah. Dengan dasar pemikiran tersebut, berdasarkan Pasal ini Menteri Keuangan diberikan wewenang:
Menetapkan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah, baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.
Menetapkan dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak dari penjualan barang sebagaimana dimaksud pada angka 1. Namun demikian, dalam melaksanakan wewenang tersebut Menteri Keuangan harus mempertimbangkan, antara lain:
Penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
Prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) adalah sebagai berikut: • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 (Bukti Pemt. 46) ; dan • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 stdtd Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008. (Bukti Pemt.47 ) 13. Pasal 25 ayat (8) 93 Berdasarkan pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengatur pengenaan pajak atas orang pribadi yang bertolak ke luar negeri. Pengenaan pajak tersebut adalah dalam rangka mendorong partisipasi setiap Warga Negara untuk ikut membiayai pembangunan melalui pembayaran pajak. Dengan demikian sudah selayaknya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak. Walaupun demikian dengan Peraturan Pemerintah diatur mengenai Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri yang dikecualikan dari kewajiban membayar pajak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan antara lain pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri dan pekerja yang akan berangkat ke luar negeri. Pemungutan Fiskal Luar Negeri bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang yang memenuhi ketentuan akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 25 ayat (8) adalah sebagai berikut: • Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 (Bukti Pemt.48 ) ; • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-51/PJ/2008 (Bukti Pemt.49 ) ; dan • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2008 stdtd PER-14/PJ/2009. (Bukti Pemt. 50) VII. Penjelasan Mengenai Pokok Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Bahwa terhadap ketentuan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Pemohon dalam positanya mendalilkan, bahwa pasal-pasal dalam undang- undang a quo bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun dalam petitumnya Pemohon meminta agar pasal-pasal dalam undang-undang a quo dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Disitu terlihat 94 adanya inkonsistensi antara posita dengan petitum yang tertuang dalam surat permohonan Pemohon. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal-pasal dalam undang-undang a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum yang adil kepada setiap Wajib Pajak. Pasal-Pasal a quo justru dimaksudkan untuk memberi kejelasan dan kepastian hukum sehingga setiap Wajib Pajak akan terhindar dari perlakuan sewenang-wenang. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dalam surat Permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa pasal-pasal aquo dapat mengancam kehormatan, martabat, dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal aquo memberikan pendelegasian wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR. Pasal-Pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada tiap Wajib Pajak. Itu berarti perlindungan tiap Wajib Pajak dari perlakuan sewenang- wenang dari aparat Pemerintah. Itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Dalam bagian posita surat permohonannya Pemohon menyatakan, bahwa Peraturan Pemerintah 131 Tahun 2000 tidak adil dan tidak sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila,“ karena andaikata yang membayar bunga tersebut “orang kaya” maka seharusnya (sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008) dikenakan dengan tarif pajak 35 %, tetapi kenyataannya tetap dikenakan pajak dengan tarif 20 %.” (Lihat Surat Permohonan halaman 11). Pernyataan Pemohon ini menjadi tidak jelas, apakah Pemohon sedang mengajukan 95 pengujian peraturan pemerintah terhadap UUD 1945 atau peraturan pemerintah terhadap Undang-Undang, yang keduanya jelas diluar kompetensi Mahkamah Konstitusi. Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 itu melanggar Pasal 28G ayat 1. Padahal sebagaimana di atas telah dikemukakan, bahwa pasal- pasal a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap Wajib Pajak, yaitu kepastian hukum yang adil sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Itu berarti tidak melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan pula, bahwa pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28H ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapapun.” Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan, dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pasal-pasal dalam undang-undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang Wajib Pajak mempunyai hak milik, atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang-wenang. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo sekali lagi, justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh UUD 1945 yang merupakan dasar hukum bagi negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada Wajib Pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada Wajib Pajak yang didasarkan kepada Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik Wajib Pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo, justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap Wajib Pajak. Karena itu pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. 96 2. Terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 4 ayat (2) _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh _koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian; _ c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima _oleh perusahaan modal ventura; _ d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah _dan/atau bangunan; dan _ e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” Pasal 17 ayat (7) “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” . Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan pengenaan pajak secara final terhadap penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, karena menurut Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan sebagai berikut: _“Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ _a) UUD 1945; _ _b) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; _ 97 _c) Peraturan Pemerintah; _ _d) Peraturan Presiden; dan _ e) Peraturan Daerah.” __ Sebagaimana diketahui bahwa dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, peraturan tertinggi di bawah UUD 1945 selalu berbentuk Undang-Undang, dimana yang berwenang membentuk Undang-Undang adalah DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden. Apabila ketentuan dalam Undang-Undang masih belum cukup dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternatif syarat, yaitu:
Adanya perintah yang tegas mengenai subyek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau
Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari Undang- Undang atau lembaga pembentuk Undang-Undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi; Ketiga persyaratan tersebut bersifat alternatif dan salah satunya harus ada dalam rangka pemberian delegasi kewenangan pengaturan (rule-making power). Lembaga pelaksana Undang-Undang, baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh Undang-Undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu (Bukti Pemt.
13d) . Di Indonesia sendiri, dewasa ini, ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Juga ada Peraturan Menteri dan bahkan masih banyak Peraturan Direktur Jenderal yang masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang masih disebut sebagai Surat Keputusan, seperti Keputusan Dirjen Bea Cukai, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan sebagainya. Sudah menjadi konvensi ketatanegaraan di Indonesia bahwa berbagai Undang- Undang yang mengatur pajak dan pungutan lain itu memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, seperti: 98 1. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang a quo yang memberi delegasi kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah, berkaitan dengan pajak bersifat final atas a.penghasilan berupa deposito;
Penghasilan berupa hadiah undian;
Penghasilan dari transaksi saham;
..dst;
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7); dst, sebagaimana didalilkan Pemohon. Pendelegasian wewenang oleh Undang-Undang kepada pemerintah, yakni Presiden, Menteri-Menteri dari suatu departemen untuk membuat suatu peraturan atau norma umum adalah suatu praktek pemerintahan yang sudah lazim dan diterima sebagai sebuah konvensi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal itu, ahli hukum Tata Negara Hans Kelsen menyatakan pendapatnya sebagai berikut : “ Kadang-kadang pembentukan norma-norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih. Sejumlah konstitusi memberikan wewenang pembuatan norma-norma umum kepada otoritas adminstratif tertentu, seperti kepala negara (presiden) atau menteri kabinet, guna menjabarkan ketentuan Undang-Undang. Norma-norma umum semacam ini, yang tidak dikeluarkan oleh organ legislatif melainkan oleh organ lain atas dasar norma-norma umum yang dikeluarkan oleh legislatif disebut peraturan atau ordonansi. Menurut sejumlah konstitusi, organ-organ administratif tertentu----- terutama kepala negara (presiden) atau menteri kabinet sebagai pimpinan departemen pemerintahan tertentu----- di bawah keadaan-keadaan luar biasa, diberi wewenang membuat norma-norma umum untuk mengatur masalah- masalah yang biasanya diatur oleh organ legislatif melalui Undang-Undang .” Sejalan dengan pemikiran itu maka norma hukum yang lebih tinggi dapat menentukan:
Organ dan prosedur pembuatan norma hukum yang lebih rendah;
Substansi norma hukum yang lebih rendah. Dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi dengan proses pembuatan Undang-Undang, ahli konstitusi CF. Strong menyatakan sebagai berikut: “Bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi 99 proses Undang-Undang biasa untuk mengembangkan konstitusi itu dalam aturan- aturan yang sudah disiapkan.” (Bukti Pemt. 52) Dengan demikian sebuah konstitusi menggariskan prinsip umum yang mendasari hubungan hak dan kewajiban antara negara, yaitu pemerintah, dengan rakyat, berkenaan dengan pajak dan pungutan lain. Prinsip umum ini kemudian dikembangkan melalui proses pembuatan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya. Pasal 23A UUD 1945, sesungguhnya meletakkan prinsip umum, yaitu “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang .” Itu bermakna, bahwa pemerintah selaku pihak yang mewakili negara dapat mengenakan pajak dan pungutan lain kepada rakyat atas dasar Undang-Undang. Atas dasar prinsip umum itulah Pemerintah dan DPR menyetujui berbagai Undang-Undang Pajak dan pungutan lainnya. Selanjutnya atas dasar Undang-Undang tersebut dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan untuk tujuan menjalankan amanah yang tertuang dalam norma Undang-Undang Pajak dan pungutan lain itu. Bahwa norma hukum yang tertuang dalam Undang-Undang dapat didelegasikan pelaksanaannya kepada peraturan-peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada Undang-Undang, baik secara implisit maupun eksplisit dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatur sebagai berikut: “ _Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ a. _UUD 1945; _ b. _Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; _ c. _Peraturan Pemerintah; _ d. _Peraturan Presiden; _ e. Peraturan Daerah.” Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, 100 lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7), kedua ketentuan tersebut memuat secara tegas bentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan muatan materi yang diatur sehingga memenuhi syarat pendelegasian. Berkaitan dengan muatan materi yang didelegasikan berupa penentuan tarif termasuk tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000, Pemerintah berpendapat bahwa, penentuan tarif tersebut tidak terlepas dan berdiri sendiri dari pengaturan dalam Undang-Undang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, tarif yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tersebut terikat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) yaitu tidak diperkenankan lebih tinggi dari tarif tertinggi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1). Berdasarkan penjelasan di atas, sudah jelas bahwa Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap pengujian Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang berbunyi “ Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR ” Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pelimpahan kewenangan menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR merupakan amanat/perintah yang tegas dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 itu sendiri merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR sebagai wakil rakyat, sehingga Pelimpahan kewenangan untuk menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan adalah sudah sepengetahuan dan sudah mendapat persetujuan DPR. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga kedudukan Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dilaksanakan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan 101 harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang dinamis. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepatnya. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, apabila sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan bagi Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak. Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Baik UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 maupun UU PPh Tahun 2008 menetapkan batasan jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak atau dikenal dengan istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagai pengurang penghasilan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar. Adapun ketentuan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 7 baik dalam Pasal 7 UU PPh Tahun 1983, Pasal 7 UU PPh Tahun 2000 maupun Pasal 7 UU PPh Tahun 2008. Untuk memperoleh gambaran yang objektif mengenai ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam rumusan Pasal 7 baik dalam UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008, di bawah ini disajikan tabel: Tabel 5 Perbandingan Rumusan Pasal 7 UU PPh Tahun1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 102 (1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan sebesar:
Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pada tabel tersebut di atas, materi yang diatur dalam ketiga rumusan tersebut pada prinsipnya adalah mengatur hal yang sama, yaitu mengatur mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ( vide ayat (1)) , ketentuan bahwa penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah kondisi pada awal tahun pajak ( vide ayat (2)) , dan ketentuan bahwa besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak pada dasarnya dapat disesuaikan dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan ( vide ayat (3)) . Dapat disampaikan pula bahwa Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan telah 2 (dua) kali mengubah besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk 103 disesuaikan dengan perkembangan kehidupan sosial, politik dan ekonomi serta sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, yaitu melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Menurut Pemerintah, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 lebih besar dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 2000, baik secara sendiri- sendiri maupun secara keseluruhan. Hal ini dapat digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 6 Penghasilan Tidak Kena Pajak Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 Dan UU PPh Tahun 2008 No Keterangan UU PPh 2000 UU PPh 2008 Pasal 7 ayat (1) KMK No. 564/KMK.03/ 2004 %) PMK No. 137/PMK.03/ 2005 %) Pasal 7 ayat (1) %) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2 4.320.000 13.200.000 206 14.400.000 9 17.160.000 19 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami 2.880.000 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 Jumlah 1+2+3 7.200.000 25.200.000 250 27.600.000 10 33.000.000 20 4 Tambahan untuk setiap tanggungan (paling banyak 3 orang) 1.440.000 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2+3+4 8.640.000 26.400.000 205 28.800.000 9 34.320.000 19 Keterangan: *) kenaikan (kolom 4:
**) kenaikan (kolom 6:
***) kenaikan (kolom 8:
104 Menurut tabel tersebut di atas, dapat dilihat adanya kenaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak sejak diberlakukannya UU PPh Tahun 2000 sampai dengan UU PPh Tahun 2008, dengan uraian sebagai berikut:
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp 2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp 12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/ 2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin meningkat menjadi Rp1.320.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 per orang, berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 per orang, dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 105 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang meningkat menjadi Rp1.320.000,00 per orang. Dengan memperhatikan fakta-fakta tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan kewenangan atributif kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Perlu kami sampaikan pula bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Terhadap Pasal 14 Ayat (1) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ” dan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, diperlukan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi tersebut, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Bagi Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. 106 Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Netto sangat membantu bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan Netto. Norma Penghitungan disusun berdasarkan hasil penelitian, kondisi ekonomi, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Sebagaimana diketahui bahwa perubahan perekonomian global pada saat ini begitu cepat, seperti krisis ekonomi dan moneter yang melanda negara-negara maju yang dampaknya juga dirasakan oleh negara-negara berkembang. Untuk merespon perkembangan perekonomian yang begitu cepat diperlukan pengaturan sesegera mungkin. Sebagai contoh, apabila terjadi perubahan ekonomi yang begitu cepat, sedangkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan batas peredaran bruto yang ada sudah tidak sesuai dengan keadaan perekonomian dan kemampuan Wajib Pajak, maka diperlukan pengaturan sesegera mungkin agar pembebanan pajak kepada masyarakat tidak turut menambah kesulitan hidup rakyat banyak khususnya Wajib Pajak. Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas bukan merupakan kewajiban, hal ini hanya suatu pilihan. Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi merasa dirugikan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto maka dapat memilih alternatif lain yaitu dengan menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi untuk menentukan penghasilan Netto. Pelimpahan kewenangan untuk menyesuaikan Norma Penghitungan Penghasilan Netto oleh Direktur Jenderal Pajak dan penyesuaian besarnya batas peredaran bruto dengan Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat dan perintah tegas UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 17 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ”; 107 Pasal 17 Ayat (2a) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun 2010 ”; Pasal 17 Ayat (2c) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final ’; dan Pasal 17 Ayat (2d) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 bertujuan untuk mengurangi beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, pembahasan perubahan tarif tersebut dikemukakan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam rangka penyusunan RAPBN. Jadi walaupun perubahan tarif tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah, DPR sebagai wakil rakyat tetap ikut serta untuk membahasnya. Pelimpahan wewenang pengaturan perubahan atau penurunan tarif kepada Peraturan Pemerintah diperbolehkan karena hal tersebut merupakan amanat/perintah dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga ketentuan dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ”, Pemerintah berpendapat bahwa penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan tingkat inflasi setiap tahunnya. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepat. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, perlu kiranya respon yang cepat dari pemerintah untuk pengaturan pajak agar bisa dihindari potensi kerugian pajak. Oleh karena itu sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk 108 mengatur lebih lanjut penyesuaian lapisan Penghasilan Kena Pajak. Kebijakan pemerintah mengenai lapisan Penghasilan Kena Pajak, selama ini memberikan banyak kemudahan-kemudahan bagi Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tarif tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menghapus lapisan tarif 10%, sehingga lapisan tarif berkurang dari 5 (lima) menjadi menjadi 4 (empat) lapisan serta memperluas lapisan penghasilan kena pajak ( income bracket ) yang semula lapisan tertinggi di atas Rp 200.000.000,00 menjadi di atas Rp 500.000.000,00, untuk lapisan terendah yang semula Rp 0,00 s.d. Rp 25.000.000,00 menjadi Rp 0,00 s.d. Rp 50.000.000,00. Lebih rinci mengenai perubahan tarif tersebut tampak pada tabel sebagai berikut: Tabel 7 Perbandingan Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi antara UU PPh Tahun 2000 dengan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang PPh Tahun 2000 Undang-Undang PPh Tahun 2008 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif S.d Rp 25.000.000,00 5% S.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 10% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp100.000.000,00 s.d.Rp200.000.000,00 25% Di atas Rp250.000.000,00 s.d.Rp500.000.000,00 25% Di atas Rp200.000.000,00 35% Di atas Rp500.000.000,00 30% Dari tabel tersebut di atas, perubahan lapisan penghasilan kena pajak dan tarif dalam UU PPh Tahun 2008 banyak memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. Hal ini baru ditinjau dari sudut tarif dan lapisan penghasilan kena pajak, masih banyak lagi kemudahan bagi Wajib Pajak, antara lain:
Kenaikan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak;
Penurunan Tarif Dividen;
Penambahan batasan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan;
Pembebasan pembayaran Fiskal Luar Negeri; dan
Penetapan angsuran untuk pengusaha tertentu. 109 Pelimpahan kewenangan pengaturan penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak kepada Keputusan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sedangkan UU PPh Tahun 2008 merupakan amanat atau perintah langsung dari UUD 1945. Jadi Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan untuk menetapkan tarif pajak tersendiri atas selisih penilaian aktiva tetap ini bertujuan untuk mengantisipasi perubahan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter yang dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban biaya yang kurang wajar. Jadi penerbitan Peraturan Menteri Keuangan ini bertujuan untuk melindungi Wajib Pajak dari beban pajak yang melebihi kemampuan Wajib Pajak dan Pelimpahan kewenangan pengaturan tarif tersendiri terhadap selisih revaluasi aset kepada Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008 yang sudah melalui pembahasan dengan DPR sebagai representasi warga negara. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksana atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Oleh karena itu Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 21 Ayat (5) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud 110 pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah bertujuan untuk kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang- Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. Dengan pertimbangan bahwa pemotongan tersebut akan mengurangi gaji, upah, uang pensiun, dan sebagainya yang diterima atau diperoleh para Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya, sedangkan pada umumnya penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah tersebut belum mencapai suatu tingkat yang memadai, maka pemerintah selaku pemberi kerja memandang perlu untuk menanggung Pajak Penghasilan yang terutang oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan pensiunan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau pensiunan yang diterima secara tetap yang dananya dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Oleh karena itu Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif pajak penghasilan agar manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum. 111 Jadi pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Lembaga pelaksana undang-undang baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh undang-undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap Pasal 22 Ayat (1) huruf c UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah ” dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Pelimpahan kewenangan pengaturan pemungutan pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat sebagai pembayaran di muka, yang diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan di akhir tahun. Jadi bukan bukan PPh final. Ini hanya metode how to collect taxes through others (withholding system) . Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sehingga Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 112 10.Terhadap Pasal 25 Ayat (8) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “ Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak keluar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pengenaan Fiskal Luar Negeri terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Fiskal Luar Negeri tersebut, diatur juga pengecualian pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang bertolak ke luar negeri diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang memiliki NPWP dibebaskan dari kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri demikian pula pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri tidak diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan. Hal tersebut berlaku pula bagi pekerja yang akan berangkat ke luar negeri juga dibebaskan dari Fiskal Luar Negeri asalkan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan. Pemungutan Fiskal Luar Negeri juga bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Fiskal luar negeri bukan jenis pajak bersifat final. Perlu disampaikan juga bahwa menurut Pasal 25 ayat (8) huruf a UU PPh Tahun 2008, pengenaan Fiskal Luar Negeri hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Secara keseluruhan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah mengenai pelimpahan wewenang pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan 113 Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pada prinsipnya pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut diperbolehkan karena merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Selain itu Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Jadi Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . Selanjutnya mengenai pokok permohonan pengujian materiil terhadap 15 norma UU PPh Tahun 2008 mengenai pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya. Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pemungutan pajak yang berlandaskan peraturan perundang-undangan, serta sesuai dengan kemampuan Wajib Pajak dan keadaan perekonomian bangsa Indonesia, diperlukan pembuatan pengaturan pemungutan pajak yang cepat dan sesederhana mungkin. Pembuatan pengaturan melalui Undang-Undang dirasa akan memakan waktu lama sehingga diperlukan fleksibilitas pengaturan yang tinggi agar dapat mengakomodir kepentingan pengamanan penerimaan negara dari pajak. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk menerapkan prinsip efisiensi dalam pembuatan aturan-aturan yang menjadi landasan pemungutan pajak. Efisiensi dalam pembuatan aturan di bidang perpajakan menyangkut beberapa aspek antara lain aspek prosedur, biaya, sumber daya, dan kegunaan.
Prosedur Pembuatan Untuk membuat suatu Undang-Undang dibutuhkan prosedur yang panjang dan melalui proses yang melibatkan berbagai pihak baik dari eksekutif maupun legislatif. Proses yang panjang dari pembuatan suatu Undang-Undang yang tidak mampu mengakomodir perubahan dalam masyarakat tentu berdampak negatif pada banyak hal termasuk rasa keadilan dalam masyarakat terkait pembebanan pajak. Di sisi Pemerintah, ketidakselarasan tersebut berdampak pada kepentingan penerimaan negara yang pada akhirnya mempengaruhi kepentingan nasional dalam hal 114 pembiayaan belanja negara. Tidak demikian halnya dengan pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang tidak terlalu membutuhkan proses yang panjang dan tidak terlalu menuntut keterlibatan banyak pihak. Pemilihan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan terlepas dari muatan atau isi pengaturan, dapat dikatakan mengedepankan efisiensi dalam prosedur pembuatannya dan terpenuhinya rasa keadilan bagi Wajib Pajak. Namun demikian, pertimbangan efisiensi tidak diharapkan berubah bentuk menjadi kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, untuk dapat menjalankan prinsip efisiensi ini, diperlukan koridor dari Undang-Undang itu sendiri sebagai batasan terhadap kewenangan yang diberikan.
Biaya Pengukuran pada biaya biasanya berbanding lurus dengan prosedur pembuatan. Semakin pendek prosedur yang dilewati maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan sehingga efisiensi dari biaya akan dapat diperoleh. Biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dapat dikatakan akan lebih sedikit dibanding biaya yang diperlukan dalam pembuatan sebuah Undang-Undang.
Sumber Daya Prinsip efisiensi mengedepankan pemanfataan sumber daya minimal dengan pencapaian tujuan yang optimal. Dalam pembuatan peraturan perpajakan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak kebutuhan sumber daya diharapkan tidak sebesar kebutuhan dalam pembuatan Undang-Undang.
Kegunaan Suatu peraturan perundang-undangan haruslah memiliki kegunaan atau manfaat. Salah satu kegunaan suatu peraturan pemungutan pajak adalah memberikan legitimasi secara hukum kepada otoritas perpajakan dalam melakukan pemungutan pajak. Jenis atau bentuk pengaturan tidak menjadi masalah sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterapkan dan memiliki manfaat yang diharapkan. Perkembangan aktivitas ekonomi yang sangat cepat, dapat menimbulkan potensi kehilangan sumber penerimaan pajak. Untuk itu diperlukan pengaturan secepat mungkin yang akan mengakomodasi perkembangan ekonomi, menutup celah 115 penghindaran pemajakan, dan yang terpenting mengamankan penerimaan negara yang menampung kepentingan rakyat banyak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gustav Radbruch yang menguraikan adanya tiga unsur dalam pembentukan hukum yaitu: filosofi (keadilan), sosiologis (kemanfaatan), dan yuridis (kepastian hukum). Radbruch berpendapat bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi lagi suatu peraturan hukum memiliki validitas. Selain prinsip efisiensi di atas, prinsip lain yang mendukung pendelegasian wewenang dalam pengaturan pemungutan pajak adalah diterapkannya asas kesederhanaan, baik dari struktur tarif maupun tata cara pemungutannya. Melalui penerapan prinsip efisiensi dan kesederhaan maka biaya pemungutan bagi administrasi perpajakan dan juga biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak dapat ditekan. Hal ini berdampak positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dan pada akhirnya kepada penerimaan dari pajak itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah, pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya diperbolehkan dengan alasan fleksibilitas dengan memperhatikan efisiensi dan kesederhaan sepanjang pengaturan tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir dan tidak secara nyata dilarang oleh UUD 1945 . VIII.Dampak Seandainya Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Dikabulkan. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas Pemerintah kembali menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, sebab tidak benar telah ada ketidakpastian hukum sehubungan dengan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan lebih lanjut UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang tersebut merupakan persetujuan bersama pembuat undang-undang yaitu DPR sebagai wakil rakyat dan Pemerintah, melalui Undang-Undang yang secara 116 tegas mengamanatkan untuk membuat peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008. Sebaliknya, apabila permohonan pengujian pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan Pemohon dikabulkan dengan menyatakan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka hal tersebut justru akan menimbulkan dampak buruk berupa:
Bila pasal-asal a quo dalam UU PPh Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas, yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi peraturan pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak untuk mengenakan pajak kepada para Wajib Pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan essensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia, utamanya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” b. Pasal 28A : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” c. Pasal 28C ayat (1) : “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. ” d. Pasal 28D ayat (2) : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” e. Pasal 28H ayat (1) : 117 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3) : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” g. Pasal 28 I ayat (3) : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28 I ayat (4) : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” __ Selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: (Bukti Pemt. 53) 1. Pasal 6 : Hak atas pekerjaan;
Pasal 7 : Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan;
Pasal 8 : Hak-hak serikat pekerja;
Pasal 9 : Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial;
Pasal 10 : Hak-hak keluarga;
Pasal 11 : Hak atas standar kehidupan yang layak;
Pasal 12 : Hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental;
Pasal 13-14 : Hak atas Pendidikan;
Pasal 15 : Hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Pasal 15 KIHESB tersebut di atas, negara, yakni pemerintah, merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, melaksanakan penegakan dan 118 pemenuhan Hak Asasi Manusia, yaitu dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum, seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya. Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat. Uraian panjang tersebut di atas membawa kita pada suatu pengertian, bahwa pasal- pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Lebih dari 30 (tiga puluh) peraturan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008, ratusan peraturan pelaksanaan perundang-undangan pajak lainnya (PPN dan PPn BM, PBB, BPHTB dan Bea Meterai) dan ratusan peraturan daerah yang mengatur pungutan yang bersifat memaksa, harus dicabut dan diatur kembali dalam bentuk pasal-pasal di dalam Undang-Undang, hanya untuk memenuhi keinginan Pemohon, agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Berdasarkan analisa perhitungan penerimaan negara, apabila permohonan pengujian materiil UU PPh Tahun 2008 dikabulkan, maka diperkirakan negara akan berpotensi kehilangan penerimaan kurang lebih sebesar Rp 69 Triliun (Enam Puluh Sembilan Triliun Rupiah) untuk Tahun Pajak 2010 (Bukti Pemt. 54) hanya untuk Pajak Penghasilan saja. Hal ini akan menghambat laju pembangunan dan menghalangi terwujudnya tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dana sebesar Rp 69 Triliun apabila dipergunakan untuk kepentingan rakyat dapat dipergunakan:
Untuk membangun sekolah dasar inpres sebanyak 53.076 sekolah dasar inpres, b. Untuk membangun jalan beraspal sepanjang 138.000 km, c. Untuk membangun Puskesmas didaerah terpencil sebanyak 92.000 puskesmas. (Bukti Pemt. 55) 119 IX. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dan untuk selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, (legal standing). 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1),Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). __ [2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalinya, Pemerintah telah mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-55 sebagai berikut:
Bukti Pemt-1 : Fotokopi UUD 1945 beserta Amandemen;
Pasal 23;
Pasal 23A;
Pasal 23B;
Pasal 23C;
Pasal 23D;
Pasal 24A ayat (1);
Pasal 24C ayat (1);
Pasal 28D ayat (1);
Pasal 28G ayat (1);
Pasal 28 H ayat (4).
Bukti Pemt-2 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 120 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Pasal 2 ayat (1);
Pasal 4 ayat (2) c. Pasal 7 ayat (3), d. Pasal 14 ayat (1), d. Pasal 14 ayat (2), e. Pasal 14 ayat (7), f. Pasal 17 ayat (2), g. Pasal 17 ayat (2) huruf a, h. Pasal 17 ayat (2) huruf c, i. Pasal 17 ayat (2) huruf d, j. Pasal 17 ayat (3), k. Pasal 17 ayat (7), l. Pasal 19 ayat (2), m. Pasal 20 ayat (2), n. Pasal 21 ayat (5), o. Pasal 22 ayat (1c), p. Pasal 22 ayat (2), q. Pasal 25 ayat (8) 3. Bukti Pemt-3 :
Pasal 10 ayat (1);
Pasal 51 ayat (1) 4. Bukti Pemt-4 : Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009:
Pasal 1, angka 1;
Pasal 38;
Pasal 39A;
Pasal 39;
Pasal 40;
Pasal 41 A;
Pasal 41 B;
Pasal 41 C;
Pasal 43.
Bukti Pemt-5 : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 6. Bukti Pemt-6 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 7. Bukti Pemt-7 : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 1994 8. Bukti Pemt-8 : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 9. Bukti Pemt-9 : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 121 10. Bukti Pemt-10 : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai 11. ^Bukti Pemt-11 : Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia 12. ^Bukti Pemt-12 : Prof.Dr.Maria Farida Indrati S.,S.H.,M.H., dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan”, Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-5, Tahun 2007:
Hal 18 “Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya atau lingkungannya.”;
Hal 20 Hans kelsen dalam bukunya “ General Theory Of Law and States ”, New York, Russel and Russel, menyatakan bahwa ada dua system norma yaitu norma yang static ( nomostatics ) dan norma yang dinamik ( nomodynamics );
Hal 35-37 DWP Ruiter dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, peraturan perundang undangan atau wet in materiele zin mengandung tiga unsur… d. Hal 215-232 Fungsi dari pelaksanaan peraturan perundang- undangan… 13. Bukti Pemt-13 : Prof.Dr.Jimly Asshidiqie, buku perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekjen & kepaniteraan MK Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama Tahun 2006:
Hal 32 Jeremy Bentham dan John Austin, misalnya Hal 33 122 b. Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., dalam buku “Perihal Undang-Undang Di Indonesia”, c. hal 377 “kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada....” d. hal 381 ”Apabila Undang-Undang dirasakan belum cukup mengatur, dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan dengan memperhatikan tiga syarat alternativ yaitu: …” e. hal 396 “…pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternativ syarat: …” 14. ^Bukti Pemt-14 : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
Pasal 7 ayat 1, b. Pasal 7 ayat 4 15. ^Bukti Pemt-15 : Nasakah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2000, Buku VII, Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Tahun 2008. Hal 39- 113 16. ^Bukti Pemt-16 : Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (ed), Kebijakan Fiskal, Pemikiran, konsep dan Implementasi, (Kompas, 2004) hal 130 17. Bukti Pemt-17 : Kebijakan Ekonomi Publik Di Indonesia Subtansi dan Urgensi, kumpulan Tulisan Dr. Guritno Mangkoesoebroto, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994 Hal 107 18. Bukti Pemt-18 : Nota Keuangan dan APBN 2000, Departemen Keuangan RI 19. Bukti Pemt-19 : Laporan Penerimaan Pajak DJPBn dan APBN-P Tahun 123 20. ^Bukti Pemt-20 : R.santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, Refika Aditama, Bandung, 2003:
Hal 2, “pengertian pajak menurut Prof.DR.PJA.Adriani sebagaimana dikutip oleh R.Santoso Brotodihardjo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara........” b. Hal 3 “ Leroy Baeulieu, dalam bukunya traite de la science des Finances . Tahun 1906... “ c. Hal 5 “Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak berdasarkan asas gotong royong,Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964, sebagaimana dikutip oleh R.santoso Brotodihardjo, “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang........” d. hal 212 “Pajak mempunyai dua fungsi yaitu.... “ 21. ^Bukti Pemt-21 : IBFD international Tax Glossary yang diterbitkan oleh IBFD tahun 2005 Hal 393 “pajak didefinisikan sebagai “a government levy which is not....” 22. Bukti Pemt-22 : H.Bohari,S.H., Pengantar Hukum Pajak. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001 :
Hal 41 ”Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations b. Hal 42 ”W.J de langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda .......yang menyebutkan 7 asas pokok perpajakan sebagai berikut : 124 c. Hal 43 ”Dalam literatur yang sama Adolf Wagner mempunyai dimensi yang lain dalam memandang asas pemungutan pajak.......empat postulat untuk terpenuhinya prinsip pemungutan pajak yang ideal yaitu....“ 23. ^Bukti Pemt-23 : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara :
Pasal 1 angka 1;
Pasal 2 huruf a;
Pasal 3 ayat (1);
Pasal 6;
Pasal 8;
Pasal 11 ayat (3);
^Bukti Pemt-24 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank .Indonesia;
Bukti Pemt-25 : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
^Bukti Pemt-26 : Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa Bunga Obligasi;
Bukti Pemt-27 : Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas hadiah undian;
Bukti Pemt-28 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 395/PJ/2001 tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah dan penghargaan;
Bukti Pemt-29 : Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-30 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-31 : Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang 125 Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di Bursa;
^Bukti Pemt-32 : Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 stdd PP Nomor 71 Tahun 2008 (perubahan ketiga) tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
^Bukti Pemt-33 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 (perubahan kedua) tentang pelaksanaan pembayaran dan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-34 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/ 2009 tentang pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-35 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/ 2009 tentang tata cara pemberian pengecualian dari kewajiban pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas .penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan 36. ^Bukti Pemt-36 : Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2008 stdd PP No 40 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 37. Bukti Pemt-37 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 126 38. Bukti Pemt-38 : Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 tentang pembayaran pajak atas penghasilan dari persewaan Tanah dan/atau Bangunan 39. ^Bukti Pemt-39 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebgaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 tentang pelaksanaan pembayaran dan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan 40. ^Bukti Pemt-40 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 41. ^Bukti Pemt-41 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 42. ^Bukti Pemt-42 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang dapat menghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan 43. Bukti Pemt-43 : Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas deviden yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri 44. Bukti Pemt-44 : Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah 45. Bukti Pemt-45 : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus 46. Bukti Pemt-46 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 127 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah 47. ^Bukti Pemt-47 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya 48. ^Bukti Pemt-48 : Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri Yang bertolak ke luar negeri 49. ^Bukti Pemt-49 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 51/PJ/2008 tentang tata cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Anggota Keluarga 50. ^Bukti Pemt-50 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 53/PJ/2008 sebagaimana telah diubah dengan PER-14/PJ/2009 tentang tata cara pembayaran, pengecualian pembayaran dan pengelolaan administrasi Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan bertolak ke Luar Negeri 51. Bukti Pemt-51 : Hans Kelsen, teori umum tentang hukum dan negara. Nusamedia dan nuansa, Bandung,2006 Hal 187-191 : “Kadang kadang pembentukan norma norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih....” 52. Bukti Pemt-52 : CF Strong, Konstitusi konstitusi politik modern kajian tentang sejarah dan bentuk bentuk konstitusi Dunia, Nusamedia dan nuansa, Bandung, 2004,Hal 91 : “dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi.......menyatakan sebagai berikut : bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi 53. Bukti Pemt-53 : Kovenan Internasional Hak – Hak ekonomi, sosial, dan 128 budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on economic Social and Cultural Rights :
Pasal 6 ;
Pasal 7;
Pasal 8;
Pasal 9;
Pasal 10;
Pasal 11;
Pasal 12;
Pasal 13;
Pasal 14;
Pasal 15.
^Bukti Pemt-54 : Realisasi Penerimaan Tahun 2007-2008, Estimasi Penerimaan Tahun 2009, dan Potensial Loss Penerimaan Pajak Tahun 2010 Terkait Permohonan Uji Materiil Undang-Undang PPh Tahun 2008 55. ^Bukti Pemt-55 : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang pedoman teknis pembangunan gedung Negara Selain itu, untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan 5 (lima) orang ahli yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 12 Januari 2010 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis sebagai berikut: Keterangan Ahli Pemerintah 1. Ahli Pemerintah Prof.DR. Philipus. M. Hadjon, S.H., LL.M. Ø Bahwa intinya adalah pajak dan semua pungutan yang sifatnya memaksa oleh negara harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai pendelegasian itu ada dua istilah hukum yang digunakan; “dengan” atau “berdasarkan”; Ø Bahwa rumusan yang ada di dalam Pasal 23A itu mengenai pajak; Ø Bahwa dari sudut pandang hukum tata negara pajak di situ pertama-tama adalah menyangkut objek pajak; Ø Bahwa apa saja yang bisa dikenakan pajak oleh negara, intinya dari Pasal 23A tadi; Ø Bahwa titik tolak dari sana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk diatur dengan Undang-Undang ialah objek pajak; 129 Ø Bahwa mengenai objek pajak itu sendiri sejak awal termasuk Undang-Undang taat apa yang bisa dipungut pajak itu ditetapkan oleh Undang-Undang termasuk pajak daerah pun harus ditetapkan dengan Undang-Undang tidak bisa daerah menentukan sendiri apa yang menjadi pajak daerah; Ø Bahwa perlu dicermati dulu dari ketentuan Pasal 23A mengenai pendelegasian wewenang; Ø Bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila kaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) pendelegasian di sini ini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1); Ø Bahwa yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam hukum tata negara dan hukum administrasi kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan disreksi; Ø Bahwa bagi yang berwenang dalam bidang ini punya pilihan untuk berkaitan dengan tarif. Tapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD; Ø Bahwa yang dipermasalahkan oleh Pemohon juga PP Nomor 131 Tahun 2000; Ø Bahwa yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UUD adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Kalau persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD; Ø Bahwa menyangkut Pasal 7 ayat (3), apakah penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak tidak dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak berada dalam ranah teknik, dan di sisi lain bukan delegasi blanko karena harus dikonsultasikan dengan DPR ini satu yang sifatnya imperatif mengenai kewenangan; Ø Bahwa menyangkut Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (7) rasio legis delegasi kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) adalah Pendelegasian kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) di satu sisi merupakan hal teknis dan di sisi lain mengantisipasi kondisi yang berubah-ubah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (2), ayat (2) huruf a, ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d. Pertanyaannya apakah pendelegasian kewenangan penurunan tarif itu 130 inkonstitusional? Rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang adalah pajak adalah perampasan atas kekayaan pribadi. Kekayaan pribadi merupakan hak kodrat jadi sifatnya _nalienable right; _ Ø Bahwa untuk kepentingan publik hak bisa kodrat dirampas hanya dengan persetujuan rakyat. Instrumen hukum dalam hukum tata negara adalah Undang- Undang. Dalam pasal-pasal ini tarif tertinggi telah ditetapkan oleh Undang-Undang sehingga delegasi kepada peraturan pemerintah untuk penurunan tarif pajak ini tidak bertentangan dengan rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang, dan Pasal 23A itu sebetulnya mengenai objek pajaknya yang paling utama; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (3) ketentuan Pasal 17 ayat (3) bertentangan rasio legis pengaturan pajak harus dengan Undang-Undang besarnya penghasilan kena pajak hal teknis, oleh karena itu delegasi kewenangan tidaklah inkonstitusional; Ø Bahwa Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (5) menyangkut pasal ini perkecualian adalah penetapan tarif pajak inkonstitusional? Ini juga prinsipnya sama pendelegasian kewenangan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5) bukan delegasi blanko karena dibatasi dengan ketentuan, dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (2) “sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi,” Pasal 21 ayat (5) kecuali ditetapkan lain dengan peraturan pemerintah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (2) adalah karakteristik wewenang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e; Ø Bahwa Pasal 22 ayat (1), dari ketentuan ini dapat mencirikan adanya wewenang diskresi. Diskresi mengandung makna ada pilihan choice dalam penggunaan wewenang; Ø Bahwa rasio legis ketentuan a quo adalah peran serta masyarakat dalam mengumpulkan pajak dan bukan menyangkut PPh final; Ø Bahwa kewenangan adalah konsep hukum publik, kewenangan DPR lahir secara atribusi, wewenang DPR itu diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Ø Bahwa DPR itu wakil rakyat tapi janganlah dirumuskan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat, ini analogis sesat. Rakyat itu mempunyai hak dan kewajiban bukan kewenangan sehingga kalau bicara soal wewenang memutus tidak pada rakyat dalam konteks pajak, Undang-Undang Pajak. Wewenang memutus itu ada pada DPR jadi tidak bisa dikatakan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat; Ø Bahwa Pasal 25 ayat (8) apa rasio legis pasal ini? Pasal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya; 131 Ø Bahwa berdasarkan analisi yang dilakukan materi muatan pasal-pasal Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang diajukan permohonan uji materil Perkara Nomor 128/PUU-VII/2009 tidaklah inkonstitusional;
Ahli Pemerintah Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø Bahwa pelimpahan wewenang melalui Undang-Undang kepada pemerintah, Menteri Keuangan dan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam menentukan tarif, menentukan lapisan penghasilan kena pajak untuk dikenakan tarif dan penetuan pajak fiskal bagi orang yang tidak memiliki NPWP dan penentuan norma yang ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Pajak; Ø Bahwa tinjauan hukum dalam rangka konsepsional sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan adalah tinjauan terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal yang diajukan pengujian; Ø Bahwa terhadap tindakan hukum sebagai sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia itu mengacu kepada TAP MPRS Nomor 20 Tahun 1966 yang kemudian dikukuhkan dengan TAP MPR Nomor 5 Tahun 1973 pada waktu itu masih ditentukan mulai dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, Keputusan MPR, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah baru peraturan pelaksanaan termasuk instruksi Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan lainnya; Ø Bahwa hal itu kemudian diperbaiki beberapa kali dengan Putusan MPR sehingga terakhir dengan Keputusan MPR Nomor 3 Tahun 2000 dimana urutannya menjadi Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, undang-undang dan atau setara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah; Ø Bahwa dengan direvisi Undang-Undang Dasar 1945 khusunya Pasal 2 dimana struktur, fungsi dan kewenangan MPR berubah maka Ketetapan MPR tidak menjadi sumber hukum lagi sehingga urutannya Undang-Undang Dasar, undang-undang sekaligus memang dengan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang baru Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah; Ø Bahwa tata urutan tersebut kalau dikaji atau ditinjau dengan pendekatan hukum ini secara teori berjenjang yang dikemukakan oleh Kelsen dan ditindak lanjuti oleh Hansnafiaski {sic} dimana menyebut sebagai urutan itu adalah sebagai staat fundamental norm sebagai dasar-dasar pokok, dimana oleh Kelsen sebenarnya 132 grundnorm sebagai asas yang disebut sebenarnya Hamid Atamimi adalah Pancasila itu sebagai grund fundamental staat grundnorm tetapi oleh Hans Kelsen dipisahkan antara staat fundamental norm dengan staat grund gescheit sebagai Undang- Undang Dasar; Ø Bahwa kalau dikaitkan dengan staat fundamental norm sebagai pembukaan UUD 1945 staat gescheit sebagai UUD baru formale gescheit sebagai Undang-Undang dan sebagai peraturan pelaksanaannya ini yang berlaku, yang disebutnya sebagai urutan yang berjenjang yang berlaku ketentuan yang lebih rendah harus mengacu dan tidak bertentangan dengan ketentuan atau Undang-Undang yang lebih tinggi; Ø Bahwa dengan demikian yang diatur dalam tata norma hukum, sumber hukum dan tata perundang-undangan sudah sejalan dengan teori yang berlaku tersebut; Ø Bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR, Pasal 20 UUD 1945 mengatakan DPR sebagai hak budgetnya sebagai legislator sebagai pembuat Undang-Undang, maka kewenangan DPR untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang tentu sudah mengkaji segala dampak dan segala kemungkinan, sehingga ditetapkan ada pendelegasian tersebut, ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2); Ø Bahwa oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dalam Undang-Undang kepada pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah kepada Menteri Keuangan sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia; Ø Bahwa pelimpahan wewenang diberikan kepada pemerintah melalui peraturan pemerintah atau Menteri Keuangan atau Direktur Pajak dikatakan bertentangan dengan Pasal 23A; Ø Bahwa Pasal 23A bagian dari pada hal-hal mengenai keuangan yang diatur dalam UUD. Hal-hal yang mengenai UUD itu ada 5 pasal, Pasal 23 mengenai APBN dan Pasal 23A mengenai Pajak untuk negara sedangkan Pasal 23B dalam macam harga dan mata uang ditetapkan dalam Undang-Undang, lalu Pasal 23C hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, lalu Pasal 23D mengenai negara memiliki bank sesuai kedudukannya diatur dengan Undang- Undang; Ø Bahwa dari seluruh hal-hal yang mengenai keuangan yang diatur dengan UUD seluruhnya diatur dengan Undang-Undang; 133 Ø Bahwa dalam pelaksanaanya Pasal 23 tersebut dan Pasal 73 juga ada pelimpahan kepada Menteri Keuangan atau kepada pemerintah. Pasal 23 yaitu mengenai APBN disebutkan Pasal 8 ayat (2) dalam Undang-Undang APBN Tahun 2005. Rincian lebih lanjut dalam anggaran belanja pemerintah pusat sebagaimana Pasal 7 diatur dengan Keputusan Presiden. Dalam APBN 2010 Nomor 40 tahun 2009 Pasal 10 ayat (3) juga pengaturan lebih lanjut dari di DIPA sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh presiden. Pasal 9 ayat (2) menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian dan perimbangan DAU diatur oleh Menteri Keuangan. Jadi dalam hal ini dalam Pasal 23 juga semua ada pendelegasian yang diatur melalui Undang-Undang; Ø Bahwa Pasal 23B dan Pasal 23D mengenai mata uang juga di situ disebutkan mata uang itu harus bagaimana nominalnya atau bagaimana materilnya, bagaimana nilainya intrisiknya; Ø Bahwa dengan demikian maka pengaturan pada Pasal 23A yaitu pajak diatur dengan Undang-Undang adalah juga sejalan dengan pasal Undang-Undang yang diatur dalam tata urutan tersebut; Ø Bahwa pelaksanaan Pasal 23C, jelas di situ adalah hal-hal lain untuk mengatur mengenai keuangan negara diatur Undang-Undang. Mengenai keuangan negara termasuk pemungutan pajak semuanya dan sebagainya, dimana dalam Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Keuangan Negara, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 mengenai Keuangan Negara menyebut presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolanya dan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dan kekuasaan yang dimaksud dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara; Ø Bahwa Pasal 8 disebut dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pengelolaan fiskal tersebut Menteri Keuangan melakukan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang dan Pasal 9, Menteri pemimpin lembaga sebagai pengguna anggaran atau kementrian negara dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke kas negara. Jadi di situ juga ada pendelegasian baik kepada pemerintah, baik kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 17 UUD 1945 menyebut Pasal 4 ayat (1) Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 dan Pasal 5 ayat 134 (2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dan Pasal 17 ayat (1) Presiden dibantu oleh Menteri Keuangan; Ø Bahwa pengeluaran Peraturan Pemerintah dalam mengatur melaksanakan Undang- Undang adalah sejalan dengan Pasal 4, Pasal 5 UUD 1945 tersebut, dengan demikian tentu tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dimaksud oleh Pemohon; Ø Bahwa terkait dengan Pasal 23A, pasal-pasal yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon, khusunya mengenai penentuan tarif final atau tarif pajak; Ø Bahwa pada dasarnya tarif pajak itu ditentukan dengan Undang-Undang, yaitu Pasal 17 ayat (1) sudah jelas menurut kelipatan pajaknya, hanya memang dalam pengurangan ditentukan pajak itu akan diturunkan pajaknya yang sekarang maksimum 30% menjadi 25%. Penurunan itu yang didelegasikan kepada pemerintah sehingga tarif yang diharapkan bukan semakin naik pasti semakin turun, jadi semakin rendah, artinya beban pajak yang ditentukan kepada masyarakat akibat kewenangan yang diberikan kepada pemerintah tidak akan menambah beban pajak. Jadi kerugian nyata atau kerugian aktual tidak akan terjadi atas kewenangan dari pemerintah tersebut; Ø Bahwa Penentuan lapisan tarif juga sama di berikan kewenangan kepada pemerintah pusat lapisan tarif, dalam arti menikmati tarif yang lebih rendah dengan PKB yang lebih besar. Artinya akan mengurangi pajak bagi wajib pajak bukan menambah beban pajak; Ø Bahwa pajak fiskal luar negeri atau bagi orang pergi keluar negeri yang tidak memiliki nomor pokok diberikan pajak, itu adalah alternatif artinya apabila masyarakat menganggap dengan kena fiskal itu karena kewajiban maka sebenarnya sesuai ketentuan semua orang harus mendaftarkan diri,dengan mendaftarkan diri otomatis memang tidak akan kena fiskal luar negeri; Ø Bahwa sedangkan pemberian wewenang norma juga itu adalah alternatif, artinya bagi orang yang memilih alternatif tidak menyelenggarakan pembukuan maka tidak bisa dihitung penghasilan Nettonya, maka harus dibuatkan norma. Oleh karena itu apabila dengan diberikan kewenangan kepada pemerintah atau Dirjen Pajak menentukan norma Pemohon atau wajib pajak merasa dirugikan, maka akan mengikuti alternatif melaksanakan, menyelenggarakan pembukuan. Dimana pada prinsipnya Pasal 28 mengatakan seluruh wajib menyelenggarakan pembukuan, 135 tetapi karena memang bagi wajib pajak yang golongan kecil dianggap melaksanakan pembukuan dengan membutuhkan biaya maka diberikan alternatif boleh tidak menyelenggarakan pembukuan maka ditetapkan norma; Ø Bahwa norma tersebut bermacam-macam banyak sekali, untuk jenis pajak antara dokter spesialis dengan yang bukan spesialis normanya berbeda. Izin usaha yang satu dengan yang lain normanya berbeda. Berbeda harga pokok berbeda bahan mentah, berbeda pemilikan modal, berbeda treatment- nya maka normanya akan berbeda; Ø Bahwa kalau norma itu diatur dengan Undang-Undang bisa dikatakan bagaimana Undang-Undang harus berubah. Dengan pertimbangan itu maka diberikan pendelegasian kepada pemerintah tetapi apabila dengan wewenang yang diberikan didelegasikan norma itu kepada Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak atau Pemohon merasa dirugikan maka bisa mengambil alternatif dengan cara menyelenggarakan pembukuan. Karena pada prinsipnya seluruh wajib pajak menyelenggarakan pembukuan. Dengan menyelenggarakan pembukuan tentu tidak ada kerugian materil, tentu ada kerugian norma;
Ahli Pemerintah Prof. DR. Gunadi, M.SC. Ak. Ø Bahwa yuridiksi itu merupakan atribut dari kedaulatan, dan negara yang berdaulat mempunyai yusdiksi termasuk juridiksi pemajakan sehubungan dengan orang atau objek yang berada di wilayahnya; Ø Bahwa di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Indonesia menyuratkan yuridiksi pemajakan dalam konstitusinya. Sedangkan beberapa negara lain termasuk Inggris tidak. Walaupun demikian ketentuan pajak di Inggris juga mendasarkan pada prinsip legalitas dengan berpedoman pada yuridiksi no tax _without representation; _ Ø Bahwa sesuai dengan asas legalitas tersebut maka tidak ada pembayaran pajak atau beban lainnya tanpa adanya persetujuan berupa Undang-Undang oleh parlemen; Ø Bahwa prinsip tersebut merupakan salah satu pilar mekanisme sistem demokrasi dalam arti persetujuan yang diberikan para wakil pembayar pajak dalam parlemen dianggap sebagai garansi demokrasi atas pemajakan yang dipungut pemerintah; Ø Bahwa Undang-Undang Perpajakan merupakan peraturan yang sering mengalami perubahan karena mengikuti realita kehidupan ekonomi dan sosial serta lingkungan 136 termasuk sistem dan metode serta kebijakan pemajakan yang dinamis dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Walaupun dalam negara demokrasi ada doktrin pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan sesuai dengan asas legalitas, perpajakan harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa salah satu hal yang paling membingungkan yang dihadapi eksekutif dan legislatif adalah seberapa detail ketentuan yang harus diatur dalam Undang-Undang dan bagaimana distribusi kewenangan penyusunan perpajakan antara legislatif dan eksekutif; Ø Bahwa penerapan atas pertanyaan ini dapat berbeda untuk tiap negara tergantung kepada tradisi, kebiasaan, konstitusi, hukum administrasi praktik hukum tiap negara dan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak yang telah disetujui lembaga legislatif negara dimaksud. Kadangkala ketentuan dasar pengatur legalitas delegasi kewenangan, menyusun ketentuan perpajakan dapat bersifat elastis; Ø Bahwa membuat peraturan berbagai masalah yang memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak. Walaupun pada umumnya Undang-Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat memberikan peraturan pelaksanaan; Ø Bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dantata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø Bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukan adanya suatu ketidakpastian atau indefiniteness atau kekurang lengkapan dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intensive policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang. Dan proses demikian disebut flying in the general cost. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø Bahwa yurisdiksi pemajakan Indonesia disuratkan pada Pasal 23A UUD 1945 yagn berbunyi “p ajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara _diatur dengan undang-undang.”; _ Ø Bahwa __ dengan merujuk pada asas legalitas dalam UUD 1945 tersebut, disusunlah Undang-Undang Perpajakan termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai dasar hukum pemungutan pajak penghasilan 137 yang sampai sekarang sudah empat kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; Ø Bahwa sebagaimana terjadi di semua hampir negara pemungut pajak dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 serta beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan itu sendiri atau praktik ketatanegaran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun semangat flying in the general cost terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak dalam masalah-masalah yang mungkin timbul, maka terdapat delegasi pengaturan dalam Undang-Undang kepada peraturan pemerintah Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak; Ø Bahwa secara konstitusional berdasarkan Pasal 5 ayat (2) untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, pemerintah diberi wewenang untuk membuat peraturan berdasarkan perintah dalam Undang-Undang. Karena itu pelimpahan wewenang pengaturan lebih lanjut pelaksanaan pajak penghasilan dalam UU PPh 2008 adalah pengaturan yang merupakan kebijakan delegasi kewenangan yang diinginkan atau intentional policy oleh para pembentuk Undang- Undang melalui prosedur dan proses yang valid dan _legitimate; _ Ø Bahwa melalui prosedur dan proses legislatif yang valid dan legitimate karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Undang-Undang telah dibahas dan dapat persetujuan dari Pemerintah dan DPR sebagai representasi dari rakyat termasuk para pembayar pajak, walaupun dari segi materi suatu pengaturan pendelegasian tidak dapat mengubah materi yang ada dalam Undang-Undang, yang dijalankannya peraturan pemerintah adalah sarana yang disediakan UUD 1945 untuk menjalankan atau mengatur lebih lanjut atas satu atau beberapa ketentuan Undang-Undang; Ø Bahwa garis-garis besar ketentuan tersebut diatur di dalam Undang-Undang yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Namun, rinciannya atau garis kecilnya dibentuk oleh Pemerintah berdasar garis besar tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi, yang telah menyetujui garis besarnya; Ø Bahwa dalam bahasa Pasal 23 UUD 1945 DPR sebagai representasi rakyat termasuk para pembayar pajak yang semua di sini terutama yang membayar PBB bersama Pemerintah telah melaksanakan ketentuan Pasal 23 UUD 1945 yaitu yang mengatur pungutan pajak penghasilan dengan Undang-Undang, yang antara lain telah terjadi pengaturan mengenai subjek, objek, tarif, sanksi, dan pungutan pajak 138 paling kurang dalam garis-garis besar, termasuk pelimpahan pengaturan pelaksanaan garis-garis besar tersebut di dalam peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa pengaturan berdasarkan pendelegasian demikian sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan dalam praktik ketatanegaraan maupun Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan; Ø Bahwa pendelegasian peraturan tersebut dapat dibenarkan berdasarkan pemikiran dalam menjalankan tata pemerintahan negara pengaturan tidak cukup hanya dengan Undang-Undang saja namun Undang-Undang dapat mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7) Undang-undang merupakan kebijakan tertulis dan bersifat makro, umum, dan mendasar karena itu UU PPh dapat mewujudkan arah dan pelaksanaan kebijakan pemajakan atas suatu kategori penghasilan di Indonesia. Berdasar strukturnya terdapat tiga tipe pemajakan atas penghasilan yaitu global, unitary atau synthetic income tax systems yaitu memajaki semua kategori penghasilan dari berbagai sumber dari satu formula tarif dengan schedular atau analytical income tax systems yaitu memajaki berbagai kategori penghasilan dari berbagai sumber dengan berbagai formula tarif yang berbeda dengan maksud pembedaan beban pemajakan atas capital atau passive income yang umumnya lebih berat dibandingkan dengan active income termasuk penghasilan dari kekaryaan dan dual sticks atau composite audit income tax _systems; _ Ø Bahwa definisi objek pajak atau penghasilan secara umum paling kurang terdapat dua konsep yaitu recent concept , konsep pertambahan kemampuan ekonomis yang komprehensif sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Yang kedua adalah source concept , ini konsep kanalisasi kategori penghasilan. Menurut beberapa sumber secara limitatif sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 huruf b ayat (1) Ordonansi Pajak Penghasilan 1944; Ø Bahwa di dalam UU PPh ini sekaligus ingin menerapkan dua konsep tadi, yaitu pemajakan secara global dan pemajakan secara scheduler , yaitu jenis-jenis penghasilan dikenakan satu formula tarif. Karena di dalam UU PPh ini dimunculkan Pasal 4 ayat (2) sehingga dengan demikian Pasal 4 ayat (2) ini merupakan suatu legal policy dan sekaligus internal policy daripada pembuat Undang-Undang untuk merumuskan sistem perpajakan tersebut; 139 Ø Bahwa aplikasi dari semangat flying the general cost ini terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak atas beberapa kategori objek pajak dan masalah lain besaran tarif pajak maka dimunculkan sekaligus delegasi peraturan kepada Peraturan Pemerintah dalam Pasal 17 ayat (7) yang garis-garis besarnya tarif ini ada dirumuskan di situ dengan ketentuan maksimal adalah sebesar tarif menurut Pasal 31 yaitu 30% orang pribadi dan 20% wajib pajak badan; Ø Bahwa sehubungan dengan validitas hukum terdapat tiga elemen yang harus dijelaskan. Yang pertama adalah justice atau keadilan, yang kedua legal , yang ketiga adalah ekspediansi atau kegunaan atau kemanfaatan; Ø Bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk peraturan pemerintah ini sekurang-kurangnya, berdasarkan prinsip ekspediensi yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid. Walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan; Ø Bahwa dikatakan belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan karena di dalam teori ada dua keadilan yaitu horisontal dan vertikal, walupun secara vertical lequited dapat diperdebatkan karena schedule tax system memang tujuannya adalah untuk memberikan sesuatu pembedaan pemajakan antara capital income termasuk bunga deposito dengan active income termasuk penghasilan dari jasa kekayaan; Ø Bahwa system final tax system pemajakakan dengan tarif tunggal sepadan dan final agar mudah dan sederhana memang sengaja mengesampingkan kompleksitas tarif progresif sebagai pewujudan dari prinsip vertical equaty , namun dari sisi horisontal equaty dan efisiensi of tax system ini schedule dengan tax system bagaimana diperkenalkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh,secara rasional dapat diterima; Ø Bahwa sehubungan dengan ketentuan di Pasal 4 ayat (2) huruf e yang menyebutkan penghasilan tertentu itu lainnya nampak pendelegasian itu bukannya tanpa batas; Ø Bahwa sebetulnya kepastian hukum dan terbatasnya ketentuan flying in the general cost dalam ayat tersebut dapat pada kata tertentu yang harus dibaca merujuk pada beberapa kriteria kategori penghasilan, yang dapat menjadi sasaran scheduler final _income tax system; _ 140 Ø Bahwa __ beberapa kriteria yang merupakan garis-garis besar ini ada di dalam penjelasan mengenai pajak penghasilan dapat mendorong investasi atas masyarakat; Ø Bahwa kesederhanaan pemungutan pajak atas penghasilan; Ø Bahwa efisiensi pemungutan pajak yaitu murahnya biaya administrasi dan kepatuhan pajak; Ø Bahwa pemerataan dalam pemungutan pajak dari semua wajib pajak penghasilan; Ø Bahwa terdapat pengaruh perkembangan ekonomi dan moneter dari pemajakan sebagaimana dimaksud. Dengan demikian hanya kategori penghasilan yang paling kurang memenuhi kelima syarat tersebut yang dibenarkan untuk dijadikan kategori penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh; Ø Bahwa kategori penghasilan selain yang memenuhi persyaratan 5 tadi harus dimasukan dalam kelompok kategori penghasilan komprehensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang menjadi sasaran dari _unitary tax system; _ Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) pemberian kelonggaran personal berupa pembebasan sejumlah penghasilan dari pengenaan pajak yang dihubungkan dengan wajib pajak dalam Pasal 7 UU PPh, yang dalam disebut sebagai penghasilan tidak kena pajak ini menunjukan karakteristik daripada penghasilan orang pribadi sebagai pajak obyektif personal; Ø Bahwa ada beberapa fungsi daripada P3P yang pertama adalah membebaskan kelompok small hard to tax income dari __ sistem PPh secara tidak langsung. Yang kedua efisiensi perpajakan dengan mengecualikan mereka dari pengenaan PPh dan NPWP serta serta menyampaikan SPT dan yang ketiga sistem pajak penghasilan membebaskan sebagian penghasilan sebesar dari semua wajib pajak orang pribadi dengan dari pengenaan pajak. Karena besaran PTKP akan mempengaruhi jumlah pajak yang terhutang bagi sebagian dan mengurangi penerimaan dan anggaran belanja negara sebesar penerimaan pajak dari sebagian yang lain, maka untuk kepastian hukum besaran nominal jumlah inisial TKP diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh; Ø Bahwa sedangkan perubahannya ini karena menyangkut bidang tugas dari Menteri Keuangan ini maka didelegasikan pada Menteri keuangan dan sekaligus dasar policy dari pembuat Undang-Undang untuk kesalahan tersebut. Namun garis-garis besarnya juga diatur di dalam Undang-Undang yaitu; yang pertama setelah konsultasi dengan DPR karena akan mempengaruhi jumlah penerimaan pajak dan 141 penerimaannegara, yang kedua mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter dan ketiga perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya; Ø Bahwa istilah perkembangan harga setiap tahunnya. Sepertinya membuka peluang besaran PTKP yang terjadi adalah perubahan kenaikan PTKP. Kenaikan PTKP ini akan mengurangi beban pajak, bukan menambah beban pajak masyarakat sehingga pengaturan kepada Menteri Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa mengenai Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) ini menyangkut norma penghasilan dapat disampaikan norma penghasilan ini adalah merupakan standar assesment {sic} yaitu tuntunan pada wajib pajak yang belum mampu untuk melaksanakan kewajiban pembukuan untuk melakukan kewajiban perpajakan dengan baik sesuai dengan prinsip self assesment. Dan ini karena namanya standar self assesment terkait. Jadi kemudahan kepada wajib pajak untuk tidak menggunakan pembukuan tapi harus menyelenggarakan catatan; Ø Bahwa dari catatan ini dirasa belum cukup memberikan suatu data dan informasi untuk menghitung penghasilan Netto kena pajak. Oleh karena itu penghasilan Netto kena pajaknya dihitung berdasarkan norma penghasilan, jadi sifatnya norma penghasilan ini memberikan satu kemudahan kepada wajib pajak; Ø Bahwa apa yang berlaku di sini adalah bukannya suatu pemajakan yang optimal tapi suatu adalah the theory of the second best . Jadi kalau tidak bisa terjadi pemajakan yang optimal maka dicarikan suatu kebijakan yang sub optimal, yaitu dengan pemberian norma penghitungan. Sehingga dengan demikian prinsip keadilan ini akan dikesampingkan. Jadi kalau wajib pajak ingin dapatkan keadilan yang penuh maka jangan memakai norma tetapi kembali kepada sistem yang pokok pada main row yaitu mengadakan pembukuan dan menghitung penghasilan kena pajaknya berdasarkan actual income menurut pembukuan. Dengan demikian akan tercapai adalah adanya suatu kesepakatan; Ø Bahwa karena norma ini setiap tahun perlu ada suatu perubahan sesuai dengan perubahan dan sebagainya, ini agak bersifat teknis maka kewenangan untuk mengadakan perubahan didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak dan ini juga sudah sesuai dengan kaidah pembuatan Undang-Undang karena sudah secara bersama-sama disetujui antara Pemerintah dan DPR dalam membuat Undang- Undang; 142 Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 19 ayat (2) ini merupakan suatu policy yang akan ditempuh oleh perpajakan apabila terjadi suatu devaluasi atau suatu summary. Jadi suatu inflasi yang jumlahnya cukup besar. Untuk menghadapai hal yang sebenarnya ini didelegasikan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan bidang pemerintahannya. Ini yang dilakukan sesuai dengan derevaluasi perketat dan indeksasi bea dan penghasilan; Ø Bahwa tarifnya sekaligus diberikan kepada wewenang kepada Menteri Keuangan, ini merupakan suatu intens policy dari para legislator dan di sini diberikan suatu garis-garis besar atau suatu kriteria yaitu tarifnya tersendiri tidak melebihi pajak tertinggi sebagaimana di maksud Pasal 19; Ø Bahwa di dalam teori ini akan terdapat suatu gejala tingkat inflasi ini akan menyebabkan keuntungan dari guidance ini __ akan menyebabkan suatu pembuncitan atau bouncing effect ini maka harus dihilangkan pembuncitan ini dengan suatu indeksasi; Ø Bahwa pendelegasian yang diberikan Menteri Keuangan itu kecenderungannya akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak sekaligus tarifnya juga dikurangkan untuk mengurangi over take action dari adanya suatu inflasi; Ø Bahwa delegasi pengaturan dalam Pasal 19 ayat (2) UU PPh ini sejalan dengan memberikan garis-garis besar yang jelas dan berpotensi pajak masyarakat; Ø Bahwa selain pengaturan tersebut legitimate juga dapat dikatakan tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena justru akan meringankan beban pajak masyarakat; Ø Bahwa dalam Pasal 25 ayat (8) ini sifatnya sanksi policy karena ini berlaku sampai dengan akhir tahun 2010 dan ini merupakan cara lain di dalam sistem perpajakan; Ø Bahwa pajak atas penghasilan berdasarkan prinsip ability to pay bisa diukur juga selain dari penghasilan juga dari expediture. Jadi di sini Pasal 25 ayat (8) itu memperkenalkan suatu sistem pemajakan berdasarkan _expediture; _ Ø Bahwa hakekatnya pajak ini bersifat optional karena dapat dihindari apabila yang berpergian dimaksud mendaftarkan diri untuk ber-NPWP. Dengan demikian ketentuan ini berpotensi tidak menimbulkan beban pajak sehingga bukan kompetensi Pasal 23A UUD 1945; Ø Bahwa seandainya yang bersangkutan dengan berbagai alasan kurang suka berurusan dengan NPWP sehingga suka membayar beban pajak secara sistematis menurut Pasal 24 ayat (1) mengenai Pajak ini bukan merupakan beban final tetapi 143 sebagai angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan,yang menurut Pasal 28 ayat (1) huruf e dapat dikreditkan dengan utang pajak yang bersangkutan dalam tahun pajak tersebut; Ø Bahwa dengan demikian pembayaran pajak menurut Pasal 25 ayat (8) merupakan bagian dari pungutan pajak penghasilan yang diatur dalam UU PPh Tahun 2008 atas kuasa Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa betapa kurang mudahnya untuk mengalami peraturan perundang-undang pajak sehingga sedikit orang dapat memahami peraturan perpajakan tetapi banyak orang mengetahui apa yang kurang benar dengan peraturan perpajakan;
Ahli Pemerintah Abdul Hakim Garuda Nusantara. S.H., LL.M. Ø Bahwa dalam surat permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa, pasal-pasal a quo dapat mengancam kehormatan, martabat dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1), padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal a quo memberikan delegasi wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR-RI; Ø Bahwa pasal-pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada setiap wajib pajak, itu berarti perlindungan tiap wajib pajak dari perlakuan sewenang-wenang dari aparat pemerintah, itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28D ayat (1). Dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Ø Bahwa Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa hak-hak Pemohon sebagaimana tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) dilanggar; Ø Bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang wajib pajak mempunyai hak milik atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang- wenang. Pasal-Pasal a quo sekali lagi justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo , yang merupakan dasar hukum bagi 144 negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada wajib pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada wajib pajak yang didasarkan kepada undang- undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik wajib pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap wajib pajak. Karena itu Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan oleh MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Dirjen Pajak untuk mengenakan pajak kepada para wajib pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti, jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan esensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia utamanya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; Ø Bahwa berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” b. Pasal 28C ayat (1): “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” c. Pasal 28D ayat (2): “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” d. Pasal 27 (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 145 e. Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.” g. Pasal 28I ayat (3): “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28I ayat (4): “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”; Ø Bahwa selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005; Ø Bahwa berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: - Hak atas pekerjaan, hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, hak-hak serikat pekerjaan, hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial, hak-hak keluarga, hak atas standar kehidupan yang layak, hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak atas Pendidikan, hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Ø Bahwa dalam kutipan Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, negara, yakni pemerintah merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakan dan pemenuhan HAM, yaitu dalam hal ini hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; Ø Bahwa pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya; Ø Bahwa Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat; 146 Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak yang hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Pemerintah Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø Bahwa Pemohon mengajukan empat pasal dari UUD 1945, yaitu Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4); Ø Bahwa berkenaan dengan Pasal 23A teori-teori pajak sangat menunjang pasal ini karena pada intinya pajak itu sumber pembangunan untuk Pemerintah. Jadi dengan upaya paksa pemerintah dibolehkan untuk memungut pajak karena tanpa pajak tidak akan ada finance untuk public goods dan service seperti penerangan jalan maupun kebersihan secara umum; Ø Bahwa pemungutan pajak pada intinya bergantung pada pendapatan, jadi tidak mungkin orang yang tidak punya pendapatan akan dipajaki dan orang yang mempunyai pendapatan dengan tingkat pendapatan tertentu baru bisa dipajaki. Sedangkan Pasal 28D ayat (1) itu mengenai jaminan perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Perpajakan itu sudah ada jaminan perlindungan hukum bagi setiap warga negara; Ø Bahwa Pasal 28G ayat (1) itu intinya adalah hak atas rasa aman. Kalau ditelusuri hak atas aman itu sangat erat kaitannya dengan konsep-konsep yang tercantum dalam Undang-Undang Pidana khususnya KUHP dan sepuluh hak atas rasa aman yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Jadi di situ kaitannya adalah ketentuan-ketentuan pidana bagaimana seseorang rasa amannya terganggu karena ada ancaman pembunuhan, ada ancaman penganiayaan, ada ancaman kesusilaan, ada pencemaran nama baik, dan seterusnya. Jadi tidak ada kaitannya dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perpajakan; Ø Bahwa pajak itu masuk dalam kaitannya dengan hukum publik. Yang sangat menarik di situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif dan eksekutif selalu bekerja sama, dalam arti tidak 147 ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang bisa dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif menerbitkan undang-undang dengan materi dengan membentuk Undang-Undang dengan penciptaan hukum sedangkan eksekutif bisa menteri dengan materi dan menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; Ø Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 memberikan delegasi untuk mengatur lebih lanjut Undang-Undang Perpajakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Dirjen Pajak. Dari 15 pasal-pasal itu baru tujuh ada peraturan pelaksanaannya. Kemudian dari 15 itu juga, dua seharusnya tidak dimasukan dalam pengujian yaitu Pasal 17 ayat (2a) karena tidak mengatur lebih lanjut. Sedangkan Pasal 7 ayat (3) pernah dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada 20 Mei 2009; Ø Bahwa delegasi peraturan ada 19 (sembilan belas) ketentuan ternyata dari 19 (sembilan belas) ketentuan baru 4 (empat) PP yang terbit. Dan selanjutnya dapat mencermati Pasal 4 ayat (2), karena dari 15 pasal yang diajukan pengujian ini yang paling penting adalah Pasal 4 ayat (2) karena ini erat kaitannya dengan legal standing Pemohon. Apakah Pemohon melampirkan;
Penghasilan berupa bunga deposito tabungan, obligasi dan b. Surat utang negara, penghasilan berupa hadiah undian, c. Penghasilan dari transaksi saham dan seterusnya sampai d. Jadi legal standing Pemohon dapat terlihat titik tumpunya pada Pasal 4 ayat (2); Ø Bahwa delegasi peraturan berikutnya adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan meliputi 31 ketentuan dan baru diterbitkan dua. Sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2); Ø Bahwa pemerintah sebetulnya masih malas mengatur lebih lanjut, demikian juga delegasi peraturan menyebut Direktur Jenderal Pajak meliputi delapan ketentuan, baru terbit satu yaitu berdasarkan Pasal 14 ayat (1); Ø Bahwa dari seluruh peraturan pelaksana yang terbit, itu pun setelah dicermati lagi separuh atau sebagian besar terbit bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, artinya peraturan yang lahir lebih lama lagi; Ø Bahwa delegasi kewenangan itu memang penting sekali dalam pelaksanaan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan; 148 Ø Bahwa ada pleksibiliti, peraturan yang dibuat pemerintah lebih luwes dibanding peraturan yang dibuat badan legislatif. Kemudian juga ada time Phrasal {sic} pemerintah perlu segera melaksanakan berbagai urusan pemerintahan; Ø Bahwa dalam hukum pajak inilah sebenarnya diantara berbagai cabang hukum administrasi negara, maka hukum pajak adalah keterwakilan yang paling ke depan karena dia mencerminkan un an codified branch and civil law system. Karena akan terasa sekali dalam hukum pajak itu kebertingkatan atau hierarkis peraturan itu bisa diterapkan; [2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.6] Menimbang bahwa Pemerintah telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi dipersidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini. 149 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo ialah menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893, selanjutnya disebut UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83) terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut; Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; 150 [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) UU 36/2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) [3.5] Menimbang bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (Bukti P-3) yang juga adalah seorang akademikus (Bukti P-4) yang dikenakan beban kewajiban membayar pajak penghasilan sebagaimana yang diatur dalam UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83 Pemohon merasa sangat berkepentingan dan dirugikan hak konstitusionalnya oleh sejumlah materi/muatan dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo karena: • Pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk deposito yang diatur dalam PP Nomor 131 Tahun 2000; • Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan sesuatu yang salah karena UU Pajak Penghasilan bertentangan dengan UUD 1945; • Pelimpahan pengaturan itu menyebabkan Pemohon tidak dapat menentukan atau mengatur sendiri (melalui DPR) mengenai pajak; • Jika ini dikabulkan maka warga negara tidak akan dirugikan; [3.6] Bahwa pasal-pasal a quo karena didelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka sangat merugikan Pemohon, yaitu hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 telah dilanggar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ). 151 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon: a. Pasal 4 ayat (2) _”Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ _a. penghasilan berupa bunga deposito ...; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian ...; _ _c. penghasilan dari transaksi saham ...; _ _d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta ...; dan _ _e. penghasilan tertentu lainnya; _ yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” __ b. Pasal 17 ayat (7) __ ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” c. Pasal 7 ayat (3) __ ”Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.” d. Pasal 14 ayat (1) __ ”Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan Netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” e. Pasal 14 ayat (7) __ ”Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.” f. Pasal 17 ayat (2) __ ”Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” __ __ 152 g. Pasal 17 ayat (2) huruf a __ ”Menurunkan tarif pajak tertinggi menjadi paling rendah 25% dengan Peraturan Pemerintah.” h. Pasal 17 ayat (2) huruf c __ ”Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.” i. Pasal 17 ayat (2) huruf d: __ ”Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.” j. Pasal 17 ayat (3): ”Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.” k. Pasal 19 ayat (2): ”Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).” l. Pasal 21 ayat (5): ”Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.” m. Pasal 22 ayat (1) huruf c: ”Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.” n. Pasal 22 ayat (2): ”Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” __ __ __ 153 o. Pasal 25 ayat (8): ”Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal-pasal tersebut di atas telah menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon karena: • Penetapan pajak harus dengan Undang-Undang bukan dengan peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak); • Tidak memenuhi unsur materi pajak, karena peraturan di bawah Undang- Undang tidak dapat menetapkan subjek, objek, beban dan sanksi pajak; • Pengenaan pajak tanpa persetujuan DPR adalah perampokan, karenanya harus diatur dalam Undang-Undang; • PP 131/2000 tidak adil karena tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin; • Pangaturan tarif pajak dengan PP tidak menjamin kepastian hukum yang adil; Pasal-pasal tersebut di atas bertentangan dengan UUD 1945: • Pasal 23A __ ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur _dengan Undang-Undang”; _ • Pasal 28D ayat (1) ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” ; • Pasal 28G ayat (1) __ ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat _sesuatu yang merupakan hak asasi”; _ • Pasal 28H ayat (4) __ ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak _boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”; _ __ 154 [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-5) dan dua orang ahli, yaitu Drs. Abi Kusno, M.M. dan Prof. Dr. Mohammad Zein yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Ahli Drs. Abi Kusno, MM. Ø bahwa berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-Undang. Tetapi memang secara eksplisit tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara penetapannya. Masalah yang dihadapi sekarang, Undang-Undang Pajak yang berlaku adalah Undang- Undang yang terbaru tahun 2008 yang memberikan pendelegasian wewenang yang sangat besar kepada Pemerintah untuk menetapkan tarif pajak, subjek pajak dan objek pajak, karena kewenangan ini sangat luas diberikan kepada Pemerintah, inilah yang dapat menimbulkan kerugian seperti yang disebutkan oleh Pemohon;
Ahli Prof. Dr. Mohammad Zein Ø bahwa keadilan dalam perpajakan itu adalah masalah pertimbangan nilai (value judgement), sehingga tidaklah mungkin untuk melakukan suatu scientific validity terhadap keadilan. Dalam Undang-Undang Perpajakan terlihat lebih banyak diatur oleh Pemerintah, karena DPR seolah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur segala sesuatunya. Pengaturan itu, karena keadaan, tidak disertai rambu- rambu yang jelas. Hal yang dianggap kurang adil adalah pajak penghasilan yang final, seolah-olah wajib pajak hilang haknya untuk menghitung pajak berdasarkan pembukuannya. Hal ini tidak dipersoalkan apakah wajib pajak memperoleh laba atau rugi, tetap saja harus bayar pajak. Bahwa wajib pajak kehilangan haknya untuk melakukan pengkreditan pajak-pajak yang dibayarkan terlebih dahulu; [3.9] Menimbang bahwa Pemerintah menyadari bahwa yang akan diuji adalah terbatas pada apakah suatu Undang-Undang, sebagian atau seluruhnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak; khususnya apabila pengujian yang dimohonkan adalah pengujian isi atau muatan Undang-Undang, atau yang disebut sebagai pengujian materiil, seperti permohonan pengujian yang sedang diajukan oleh Pemohon. 155 Rumusan Undang-Undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka dan garis besar kebijakan yang bersifat mendasar dalam menjalankan roda dan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pengaturan yang lebih lanjut dari suatu kebijakan dalam Undang-Undang diatur oleh Pemerintah atau lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya dalam bentuk peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Namun karena kewenangan legislatif itu pada intinya ada di tangan rakyat yang berdaulat maka kewenangan untuk membentuk peraturan pelaksana Undang-Undang juga harus dipahami berasal dari rakyat. Untuk itu Pemerintah dan lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya tidak menetapkan sesuatu peraturan perundang-undangan apapun kecuali atas dasar perintah atau delegasi kewenangan mengatur yang diberikan oleh DPR melalui Undang-Undang. Dapat dipahami bersama UU 36/2008 juga dibuat oleh DPR yang merupakan representasi dari seluruh warga negara bersama dengan Pemerintah yang telah menyepakati adanya pendelegasian kewenangan atributif kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang termasuk melalui pasal-pasal yang saat ini diajukan pengujian materinya; UU 36/2008 juga sama sekali tidak memuat suatu larangan ataupun pengurangan hak dari wakil-wakil Pemohon di DPR untuk mengatur mengenai pajak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan apabila Pemohon menyatakan bahwa pasal- pasal UU 36/2008 yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu pelimpahan wewenang lebih lanjut oleh UU 36/2008 in casu tentang pengaturan perpajakan adalah norma yang merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak dapat diuji kecuali dalam pembahasannya terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku atau semena-mena ( detournement de pouvoir ); [3.10] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemerintah mengajukan Ahli yang memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut: 156 1. Ahli Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. Ø bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan diskresi. Bagi yang berwenang dalam bidang ini mempunyai pilihan untuk menentukan isi yang berkaitan dengan tarif, akan tetapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945, sedangkan yang dipermasalahkan oleh Pemohon terhadap PP Nomor 131 Tahun 2000, dalam hal ini yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD 1945;
Ahli Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR. Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa DPR mempunyai hak budget dan mempunyai hak legislasi, atau sebagai pembentuk Undang-Undang. Pelaksanaan kewenangan DPR untuk membentuk Undang-Undang tentu sudah didasarkan pada kajian atas segala dampak dan kemungkinan, sehingga dilaksanakanlah pendelegasian tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ( sic ). Oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dari Undang-Undang kepada Pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;
Ahli Prof. Dr. Gunadi, M.Sc. Ak. Ø bahwa pembuatan peraturan untuk berbagai masalah memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak, walaupun pada umumnya Undang- 157 Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat membuat peraturan pelaksanaan; Ø bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dan tata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukkan adanya suatu ketidakpastian ( indefiniteness ) atau kekuranglengkapan ( incompleteness ) dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intentional policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang dan proses demikian disebut flying in the general clause. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk Peraturan Pemerintah ini sekurang-kurangnya berdasarkan prinsip ekspediensi, yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan, serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid, walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan;
Ahli Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. Ø bahwa bila pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak, dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak. Hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia, yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø bahwa hukum pajak itu masuk dalam kelompok hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal yang sangat menarik, di 158 situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) selalu bekerja sama, dalam arti tidak ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang dapat dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif membentuk Undang-Undang dengan menciptakan hukum baru, sedangkan eksekutif, misalnya menteri, dapat menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; [3.11] Menimbang bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan menguji Peraturan Pemerintah. Oleh karena permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap Peraturan Pemerintah maka permohonan Pemohon yang berkenaan dengan Peraturan Pemerintah tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi; Pendapat Mahkamah [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa dan menilai bukti-bukti surat serta keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah serta kesimpulan Pemohon dan Pemerintah yang diterima Mahkamah, maka Mahkamah akan mempertimbangkan dua isu hukum yaitu: • Apakah pendelegasian wewenang penetapan pajak oleh Undang-Undang kepada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum; • Apakah kerugian konstitusional Pemohon diakibatkan oleh bentuk peraturannya yang bukan Undang-Undang ataukah karena substansi peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang; [3.13] Menimbang bahwa sebelum menjawab dua isu pokok tersebut di atas Mahkamah akan mengemukakan tugas dan kewajiban negara kesejahteraan ( welfare state ) atau negara hukum materiil serta dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat. Bahwa fungsi hukum dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 159 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ”; Terdapat dua hal penting dalam kutipan tersebut di atas, yaitu prinsip ‘ the rule of law ’ dan prinsip ‘fungsi hukum’ ( legal function ). Masalahnya adalah bagaimana dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, kedua prinsip tersebut dapat berjalan seimbang, artinya dalam masyarakat yang serba kompleks ini prinsip the rule of law tetap menjadi landasan dalam upaya mencapai tujuan negara yang harus memenuhi kepentingan umum secara efisien, cepat dan pantas ( sensibly ). The welfare and regulatory state is state commited to programs, government is a problem solver, as well as the guardian of law. Kenyataannya, semakin negara dapat memenuhi tuntutan ( demands) masyarakat semakin bertambah pula tuntutan masyarakat yang acap kali tidak seimbang dengan kemampuan negara untuk memenuhinya ( state action creates expectation, demands increase faster than the systems’s ability to meet them ). Harapan masyarakat tumbuh secara konstan. Pola pertumbuhan ekspektasi masyarakat seperti halnya pola pertumbuhan kepentingan sangat sulit berubah, hal ini seringkali menuju pada situasi keadaan kritis sehingga ‘ modern welfare state is ungovernable’ . Meningkatnya harapan masyarakat secara eksesif tidak selalu dapat dipenuhi oleh negara, seiring pula dengan tidak selalu tersedianya kebutuhan negara akan peraturan perundang-undangan sebagai sarana dan landasan pemenuhan tuntutan masyarakat tersebut. Seringkali lahir suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah mendahului lahirnya Undang-Undang, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah lahir lebih dahulu dari Undang-Undang tentang Hak Milik. Padahal baik ketentuan pembebasan tanah maupun pengadaan tanah seringkali menyangkut hak milik atas tanah yang seharusnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria. Hal itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah ( delegated regulations ), maka tercapainya tujuan ( doelmatigheid ) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan 160 dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum; [3.14] Menimbang bahwa ketentuan hukum dalam Peraturan Pemerintah harus tetap memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, antara lain tidak boleh melanggar asas keterbukaan, kepastian hukum, dan keadilan. Bahwa kerugian yang Pemohon alami dengan diberikannya kewenangan oleh UU 36/2008 kepada Pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak adalah karena Pemohon sebagai warga negara (melalui DPR) tidak dapat menentukan pengaturan atas pajak sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945 tidak beralasan hukum. Pembuatan Peraturan Pemerintah pun tidak lepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemohon sendiri sebagai warga negara tidak dapat langsung menentukan pajaknya, karena yang mempunyai wewenang legislasi adalah Dewan Perwakilan Rakyat; [3.15] Menimbang bahwa atas dasar pemikiran demikian, maka Mahkamah menilai: __ [3.15.1] Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum. [3.15.2] Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada 161 suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh ketentuan yang lebih rendah yang otoriter ( nucleus of norms, be surrounded by corona of highly oppressive norms, imposed upon the people as a whole). Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu ( press censorship ). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review , sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil ( judicial review ) kepada Mahkamah Agung; [3.16] Menimbang pula bahwa Mahkamah sependapat dengan ahli Philipus M Hadjon yang menyatakan bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan adalah suatu diskresi. Bagi Pemerintah yang memperoleh kewenangan untuk memilih kebijakan yang berkaitan dengan tarif melalui delegasi, akan tetapi bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945. Dengan demikian pasal-pasal yang diujikan konstitusionalitasnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28G ayat (1) sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan penilaian hukum pada paragraf [3.12] dan paragraf [3.15] , maka menurut Mahkamah dalil Pemohon tidak beralasan hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) ; 162 [4.3] Dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, M. Arsyad Sanusi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota pada hari Rabu tanggal tiga bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal sebelas bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ina Zuchriyah Tjando sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd M. Akil Mochtar 163 ttd. Maria Farida Indrati ttd Muhammad Alim ttd Harjono ttd tt Ahmad Fadlil Sumadi ttd Hamdan Zoelva Panitera Pengganti ttd Ina Zuchriyah Tjando