Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus ...
Perubahan atas Pearturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.02/2015 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Angg ...
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan Dafta ...
Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Standar, Uji, dan Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...
Pengujian UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah ...
Relevan terhadap
Untuk menjadi Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Asosiasi Konsultan Pajak harus memenuhi persyaratan dan menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak . (2) Persyaratan untuk menjadi Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
berbentuk badan hukum sesuai dengan peraturan perundang- undangan;
memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ;
mempunyai susunan pengurus yang telah disahkan oleh rapat anggota;
memiliki program pengembangan profesional berkelanjutan ;
memiliki kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak;
memiliki Dewan Kehormatan yang berfungsi untuk mengawasi, memeriksa dan menyelesaikan dugaan pelanggaran kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak oleh anggota asosiasi. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dan harus dilampiri dengan:
akta notaris yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
susunan pengurus pusat dan cabang yang telah disahkan oleh rapat anggota;
daftar anggota dan fotokopi Kartu Izin Praktik anggota yang masih berlaku;
program pengembangan profesional berkelanjutan; dan
kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak.
Atas permohonan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar. (5) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar dalam hal Asosiasi Konsultan Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. Pasal 20 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 (1) Asosiasi Konsultan Pajak yang telah mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) berwenang:
menyelenggarakan kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan dan menerbitkan daftar realisasi kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan bagi anggotanya;
membentuk dewan kehormatan yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap Konsultan Pajak yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik Konsultan Pajak dan/atau standar profesi Konsultan Pajak;
menyampaikan usulan pengenaan sanksi dalam hal Konsultan Pajak yang diperiksa dinyatakan bersalah melanggar kode etik Konsultan Pajak dan/atau standar profesi Konsultan Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
menerbitkan surat keputusan mengenai keanggotaan Asosiasi Konsultan Pajak dan kartu tanda anggota Asosiasi Konsultan Pajak.
Asosiasi Konsultan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat laporan keuangan setiap tahun .
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya. Pasal 21 (1) Asosiasi Konsultan Pajak yang akan diberikan wewenang untuk menunjuk anggotanya untuk menjadi anggota komite pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf d serta untuk mengusulkan struktur organisasi dan anggota komite pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), diusulkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Menteri Keuangan.
Dalam rangka pengusulan Asosiasi Konsultan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan tata kelola organisasi yang baik dan jumlah keanggotaan dari Asosiasi Konsultan Pajak.
Atas usulan Direktur Jenderal Pajak, Menteri Keuangan menetapkan 1 (satu) Asosiasi Konsultan Pajak yang diberikan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Tata kelola organisasi yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, Asosiasi Konsultan Pajak adalah:
Sebagai wadah Konsultan Pajak yang telah mendapatkan izin praktek sesuai dengan ketentuan;
Berbadan hukum yang resmi dengan AD dan ART;
Memiliki Kode Etik dan Standar Profesi;
Bertanggungjawab atas pengawasan pelaksanaan tugas dengan penerapan Kode etik dan Standar Profesi Konsultan Pajak, dan pengusulan sanksi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 pelanggaran kepada Direktorat Jenderal Pajak (bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Pajak);
Mengadministrasikan keanggotaan para anggota asosiasi;
Menerbitkan Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik. Keberadaan asosiasi/organisasi Konsultan Pajak pada prinsipnya adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan Negara antara lain:
Masyarakat dapat memperoleh informasi tentang konsultan pajak yang berkualitas memenuhi standar sesuai dengan keperluan masyarakat;
Negara akan memperoleh calon konsultan pajak yang memenuhi kriteria kemampuan perpajakan tertentu karena ada kewajiban asosiasi untuk menyelenggarakan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak;
Negara dan Masyarakat dapat memanfaatkan Konsultan Pajak yang bertanggung jawab dan tertib melaksanakan hak dan kewajibannya;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang profesional dan mempunyai tingkat kompetensi yang selalu mengikuti perkembangan masalah perpajakan;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang bertanggung jawab atas tugasnya, merahasiakan data/informasi yang harus dirahasiakan;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang dalam pelaksanaan tugasnya bebas dari konflik kepentingan;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang berperilaku sopan, santun, objektif, jujur dan dapat dipercaya; dan
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang bekerja tanpa melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Dengan demikian, keberadaan Asosiasi Konsultan Pajak adalah agar di masyarakat tersedia Konsultan Pajak yang memenuhi standar yang diperlukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah; IV. KONSULTAN PAJAK DALAM PRAKTEK Untuk menyediakan “pihak” yang dapat membantu Wajib Pajak dan bermanfaat bagi Negara, maka dalam prakteknya dapat dicerminkan dalam:
Ruang Lingkup Pekerjaan Konsultan Pajak;
Hak dan Kewajiban Seorang Konsultan Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 3. Tanggung Jawab Hukum seorang Konsultan Pajak;
Syarat menjadi Konsultan Pajak. Berdasarkan definisi “Konsultan Pajak” yang berbunyi: “Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”, ruang lingkup pekerjaan Konsultan Pajak meliputi pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pendaftaran Wajib Pajak;
bimbingan dan/atau pengisian SPT;
pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam pemeriksaan pajak;
pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam proses keberatan;
pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam proses Banding; dan
pemanfaatan hak dan pelaksanaan kewajiban perpajakan lainnya, seperti permohonan fasilitas perpajakan, permohonan Surat Keterangan Bebas, Permohonan Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dan lain sebagainya; Sedangkan Hak dan Kewajiban seorang Konsultan Pajak antara lain:
Konsultan Pajak berhak untuk memberikan jasa konsultasi di bidang perpajakan sesuai dengan batasan tingkat keahliannya.
Konsultan Pajak wajib memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Konsultan Pajak wajib mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada standar profesi Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak;
Konsultan Pajak wajib mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan profesional berkelanjutan;
Konsultan Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan Konsultan Pajak; dan
Konsultan Pajak wajib memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama dan alamat rumah dan kantor. Tanggung Jawab Hukum seorang Konsultan Pajak dipisahkan menjadi 2 (dua), yakni sebagai Konsultan Pajak dan sebagai Kuasa Wajib Pajak. Sebagai Konsultan Pajak, wajib bertanggung jawab: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 a. memenuhi ketentuan syarat formal untuk menjadi Konsultan Pajak;
mematuhi kewajiban administratif sebagai Konsultan Pajak, seperti menyampaikan SPT tepat waktu, menyampaikan Laporan Tahunan, memperpanjang ijin praktek Konsultan Pajak dan lain sebagainya.
mematuhi ketentuan yang diatur oleh Asosiasi.
menguasai ketentuan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan tingkatan sertifikatnya; dan
Mematuhi segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai “Kuasa” Wajib Pajak:
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain;
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa hanya mempunyai hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan Wajib Pajak sesuai dengan surat kuasa khusus;
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakannya:
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan; atau
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya. V. KESIMPULAN 1. Pasal 32 ayat (3) UU KUP adalah pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 adalah merupakan pelaksanaan amanat Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 4. Norma sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) adalah merupakan pelaksanaan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya dalam Undang–Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 adalah merupakan ketentuan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena diperintah oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni UU KUP;
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pada saat ini pihak yang dapat menjadi “kuasa” Wajib Pajak hanya meliputi:
Konsultan Pajak, dan b. Karyawan Wajib Pajak, yang memenuhi kriteria tertentu.
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak. Yurisdiksi pemajakan Indonesia tersurat dalam Pasal 23A UUD 1945 dan atas kuasa Pasal tersebut dibentuklah UU Perpajakan. Secara teoretis, sepanjang terdapat tax connecting factor antara subjek dan/atau objek pajak sebagaimana diatur dengan UU, kewenangan negara memajaki subjek dan objek di wilayahnya tidak terbatas, kecuali konstitusi atau hukum internasional menentukan lain (Knechtle, 1979; De Leon, 1993; dan Rohatgi, 2005). Paska booming minyak pada dekade 1980an, Indonesia mengalihkan sumber penerimaan negara dari migas yang tidak elastis dan prospektif, ke pajak yang lebih elastis, dinamis dan fleksibel terhadap kondisi ekonomi. Mengantisipasi kesulitan administrasi mengelola dan mengawasi jutaan subjek dan objek pajak seiring dengan kemajuan ekonomi negara, agar administrasi pajak lebih efektif dan efisien, pada 1984 Indonesia mengganti sistem pajak konvensional official assessment berdasar compulsory compliance ( government centered activities ) menjadi sistem pajak modern self assessment berdasar voluntary compliance ( taxpayer centered activities ). Untuk mengatasi ketidak cukupan jumlah pegawai pada saat itu, maka administrasi perpajakan harus bertransformasi dari manual konvesional menjadi computerized IT based tax administration online basis dengan daring sistem; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 Barry Larking (2005) menyebut self assessment sebagai sistem pajak yang mewajibkan WP menghitung sendiri utang pajak berdasar UU dan melaporkan dasar pengenaan pajak, melampirkan hitungan pajak terutang dan melunasinya. Secara teori sistem assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem pemungutan pajak modern paling efektif dan efisien, karena kebanyakan kegiatan pemajakan menjadi inisiasi WP. Mereka disebut patuh pajak jika melapor objek dan menghitung pajak terutang dengan benar, lengkap dan melunasi pajak tepat waktu (Alink & Kommer). Kepatuhan WP termasuk: (i) mendaftarkan diri guna peroleh NPWP/PKP, (ii) menyampaikan SPT yang diisi dengan benar dan lengkap, dan (iii) melunasi pajak tepat waktu. Fiscal Blueprints Komisi Eropa 2007 (Alink&Kommer) menyebut voluntary compliance sebagai bagian dari strategi model kepatuhan WP, dan unsur efisiensi administrasi pajak. Plumley AH (Alink & Kommer) menyebut beberapa manfaat voluntary compliance, seperti: (a) pajak dibayar tepat waktu; (b) penerimaan dari enforcement dibayar segera; (c) penerimaan terlindungi dan lebih bayar dikembalikan lewat proses efisien; dan (d) pembayaran sesuai kewajiban sebenarnya. Sistem self assessment meminta WP menghitung sendiri pajak terutang berdasar UU, membayar dan melaporkannya. Jika menemukan bukti utang pajak tidk benar dalam SPT, DJP dapat me re-assessment, dengan asumsi bawah kebanyakan WP berniat baik memenuhi kewajiban. Jika tidak terdapat bukti ketidak benaran SPT dan sampai waktu tertentu tidak ada penerbitan ketetapan pajak maka utang pajak yang dilaporkan dalam SPT dianggap benar dan demi hukum telah final. Prinsip fairness - public trust in tax administration (Thuronyi, 1996) menuntut agar proses __ re-assessment transparan sehingga temuan dalam pemeriksaan dikomunikasikan pada WP. Sementara itu, agar sistem self assessment efektif, DJP harus: (i) membuat WP memahami aturan dan mampu menghitung pajak dengan benar, sadar dan insyaf, berkemauan dan jujur serta transparan melaksanakan kewajiban, (ii) membuat sistem dan suasana WP mudah, murah mematuhi ketentuan, namun tidak ada pilihan lain kecuali patuh, (iii) mengawasi dan meningkatkan kepatuhan dengan basis IT, seperti otomasi administrasi pajak dan e-data matching dengan data pihak ketiga, (iv) memelihara dan menegakkan kesadaran, dan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan, (v) mengelola data Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 base secara valid, komprehensif dan terintegratif serta mampu mengakses data pihak ketiga secara meluas guna deteksi dini ketidakpatuhan; Secara administratif, sistem self assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem perpajakan modern, paling efektif dan efisien karena mempercayakan hampir semua inisiasi kegiatan pemajakan pada WP. Rochmat Soemitro (1998), Rizal Palil (2010) dan Benno Torgler (2005, dari Alink & Kommer) menyebut beberapa asumsi dasar self assessment bagi WP: (i) berpengetahuan pajak, (ii) sadar pajak, (iii) beriktikad baik dan jujur, (iv) berhasrat bayar pajak, (v) berdisiplin pajak, (vi) moral atau etika pajak, dan (vii) berkemauan membayar pajak. Inisiasi awal kegiatan perpajakan seperti perolehan NPWP dan penghitungan dan pembayaran pajak sepenuhnya berasal dari WP dengan asumsi: (i) WP pelaku transaksi dan penerima objek pajak dan basis pemajakan lainnya, (ii) menguasai data, informasi dan keterangan lengkap objek pajak, (iii) mengerti, memahami dan mampu melaksanakan ketentuan pajak, (iv) mampu menghitung pajak dengan benar dan lengkap, (v) menyadari pentingnya membayar pajak, dan (vi) dengan jujur bersedia memenuhi kewajiban pajak. Karena begitu sentralnya inisiatif WP itu, rasanya tidak mudah walaupun UU Pajak telah mewajibkan pembukuan pada WP Badan dan pengusaha orang pribadi tertentu, dan menyediakan norma penghitungan penghasilan neto bagi WP lainnya agar mereka dapat memenuhi kewajiban self assessment, tanpa hadirnya profesional pajak sebagai penunjang berfungsi efektif dan efisiennya sistem perpajakan (Thuronyi & Fanistanendael, 1996). Profesional merujuk pada seseorang yang mempunyai profesi tertentu (Fidel, 2014, Konsultan Pajak). Profesi merupakan pekerjaan profesional berlandaskan ilmu pengetahuan berdasar proses belajar mengajar, pelatihan dan penguasaan pengetahuan khusus serta pengalaman. Suatu profesi biasanya mempunyai asosiasi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi bidang profesi tersebut. Misalnya, Konsultan, Lawyer, Dokter, Akuntan, Notaris, dan Pengacara; The Encylopedia of Americana menyebut profesi sebagai suatu jabatan ( occupation ) atau pekerjaan ( vocation ) yang benar-benar dipersiapkan sungguh- sungguh melalui pendidikan spesialisasi intelektual. Beberapa ciri prinsip profesi (Fidel, 2014) termasuk: (i) suatu bidang terpelajar dari ilmu pengetahuan yang meliputi perangkat sikap yang diterapkan ketika memberikan jasa layanan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 berbayar, (ii) standar keberhasilan yang diukur dengan pelaksanaan layanan masyarakat berdasar kecakapan teknis tinggi yang didukung oleh pendidikan formal khusus, dan (iii) landasan kerja ideal, dan pengawasan pekerjaan praktisi melalui lembaga asosiasi dan kode etik. Dalam jasa penunjang sistem perpajakan, terdapat konsultan pajak. Konsultan pajak merupakan sebutan profesi bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan konsultan pajak sebagaimana diatur dalam PMK misalnya 111/PMK.03/2014. Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UU KUP menyebut konsultan pajak sebagai setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jasa perpajakan yang diberikan Konsultan Pajak, menurut Fidel (2014) berupa konsultasi perpajakan, pengurusan, perwakilan, pendampingan, membela dalam penyidikan dan pengadilan pajak, jasa hukum perpajakan dan jasa perbantuan lainnya dalam ruang lingkup perpajakan; Sistem self assessment berdasar voluntary compliance , kurang berfungsi efektif efisien tanpa partisipasi aktif profesional pajak. Karena dalam dunia bisnis yang kompetitif saat ini, kebanyakan pengusaha dan investor tidak punya cukup waktu berurusan dengan perpajakan, sedangkan para karyawan kebanyakan kurang familiar dengan bahasa ketentuan perpajakan yang dinamis rentan perubahan, konsultan pajak amat diperlukan untuk menambah pengetahuan, meningkatkan kesadaran dan kejujuran, hasrat dan kemauan membayar pajak, sehingga WP mampu melaksanakan kewajiban pepajakan yang kompleks tepat waktu. Dengan memberi konsultasi, konsultan pajak telah menyelesaikan kepentingan publik yang strategis untuk kepentingan pemerintah dan publik. Karena itu, pemerintah harus melindungi dan menumbuh suburkan peranan konsultan sebagai mitra kerja kantor pajak. Dalam rangka menumbuh kembangkan profesi jasa penunjang sistem perpajakan ini, Pasal 9 PMK 111/PMK.03/2014 membuka 3 jalur sertifikasi konsultan pajak, yaitu: (i) jalur pendidikan melalui program Strata 1 Prodi Perpajakan dan dan program D-IV Perpajakan, (ii) jalur USKP, dan (iii) jalur penyetaraan sertifikasi pensiunan. Dengan demikian, siapa saja yang berminat menjadi profesioal pemberi jasa penunjang sistem perpajakan berkesempatan meraihnya. Karena mendapat imbalan dari WP, maka berbeda dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 petugas pajak yang hanya loyal kepada negara, profesional penyedia jasa penunjang sistem pajak lebih membela kepentingan WP agar hanya membayar pajak sejumlah semestinya. Karena itu, fungsi utama regulasi jasa penunjang sistem perpajakan termasuk menyeimbangkan loyalitas profesional penyedia jasa pada sistem pajak yang adil dan membela kepentingan WP. Regulasi juga harus melindungi kepentingan konsumen jasa perpajakan dari profesional yang tidak kompeten dan beritikad kurang baik. Selain itu, regulasi juga harus tidak cenderung melindungi kepentingan ekonomis profesional secara tidak proporsional atau sebaliknya justru mempersulit dan menghambat berfungsi efektif dan efisiennya profesi tersebut; Sistem self assessment berdasar voluntary compliance mempercayakan inisiatif kegiatan perpajakan bermula dari WP dan sampai sekarang merupakan hal yang tidak mudah bagi WP negara berkembang. Sistem ini mulai berlaku tahun 1984 mengganti sistem official assessment berdasar compulsary compliance dengan inisiatif kegiatan pemajakan berawal dari kantor pajak. Begitu penting peran praktisya pihak yang memahami masalah perpajakan membantu WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya sehingga sistem pajak berjalan baik dan berfungsi efektif dan efisien. Karena tidak mudah memahami bahasa UU Pajak terutama menyangkut transaksi global, maka sejak UU 6/1983 pembuat UU memberikan kelonggaran dan kesempatan kepada WP guna minta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Kelonggaran tersebut tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP, yang menyatakan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penjelasan Pasal 32 ayat (3) menyebut bahwa kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus WP untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan WP. Bantuan yang dapat diminta pada kuasa yang memahami masalah perpajakan tersebut meliputi pelaksanan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak WP yang ditentukan dalam peraturan perpajakan; Secara umum, terdapat 3 pendekatan pengaturan profesional pajak (Victor Thuronyi, 1996): (i) full regulation (seperti Austria, China, Jerman, dan Jepang). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 Pemberlakuan monopoli praktik jasa pajak (sama sperti lawyer memonopoli jasa hukum) atau dibagi dengan lawyer dan akuntan, (ii) partial regulation (seperti Amerika dan Australia) tidak memberikan monopoli pelaku jasa perpajakan, tetapi membatasinya dengan sistem listing dan anggota perkumpulan profesi dengan kerangka pengaturan maju, dan (iii) no regulation (kebanyakan negara) tanpa pengaturan khusus memberikan kesempatan pemberi jasa perpajakan yang tidak bebas dengan profesi yang diatur seperti lawyer dan akuntan. Dari tiga pendekatan pengaturan inipun, detilnya berbeda antar negara. Model regulasi penuh (Jerman), UU Konsultan Pajak secara komprehensif mengatur pemberian jasa perpajakan. Pasal 2 menyatakan bahwa jasa perpajakan secara komersial hanya boleh dilakukan mereka yang dibolehkan UU, yaitu mereka yang kompeten melakukannya seperti Konsultan Pajak terdaftar, lawyer, akuntan dan pihak lain dalam keadaan amat terbatas dapat memberikan jasa perpajakan. Model regulasi parsial (Amerika). Ada pengaturan pemberian jasa perpajakan, namun tidak komprehensif, bahkan orang tanpa diklat profesi boleh beri jasa perpajakan seperti menyusun SPT, asal tidak terkait hukum. Setiap pemberi jasa pengisi SPT harus mengungkap identitasnya dan menandatangani serta menanggung sanksi salah ngisi. Layanan jasa berurusan ke kantor pajak terbatas oleh pengacara, kantor akuntan publik, atau konsultan pajak terdaftar. Urusan ke pengadilan pajak dapat diwakili pengacara atau profesi lain yang terdaftar di pengadilan. Australia hanya mengijinkan lawyer dan konsultan pajak untuk menyiapkan SPT berimbalan. Jika akuntan ingin memberi jasa penyiapan SPT harus menjadi konsultan pajak. Model tanpa regulasi , di berbagai negara, seperti Belgia, Italia, Portugal dan Inggris, pemberian jasa konsultasi pajak dan pengisian SPT tidak dibatasi hanya boleh dilakukan profesi tertentu. Wakil ke kantor pajak juga tidak dibatasi pada suatu profesi karena tidak ada persyaratan formal dan prosedural seperti di pengadilan; Tidak seperti negara penganut regulasi penuh atau parsial profesi penunjang sistem perpajakan, UU KUP mengikuti jalannya sendiri. Yaitu regulasi minimalis hanya menyebut bahwa WP dapat (berhak) menunjuk seorang kuasa tanpa pengaturan lebih lanjut. Dalam pengaturan lebih lanjut, Penjelasan menyebut batasan seperti kuasa itu adalah pihak yang memahami masalah perpajakan. Sementara itu, pengertian kuasa sebagai orang yang menerima kuasa khusus Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 dari WP untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari WP sesuai dengan ketentuan perpajakan baru muncul dalam Penjelasan UU 28/2007. Karena pihak yang memahami masalah perpajakan sebagai profesi penunjang sistem perpajakan hanya berfungsi membantu WP melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya, dalam Pasal 32 tidak disebut konsekwensi hukum dari pemanfaatan kuasa itu. Thuronyi dan Fanistendael (1996) lebih lanjut menyatakan bahwa negara berkembang penganut regulasi minimalis profesi penunjang sistem pajak, umumnya berada pada kondisi: (i) profesi penunjang perpajakan, seperti konsultan pajak jumlahnya masih sedikit, (ii) perpajakan belum menjadi program studi di berbagai fakultas di perguruan tinggi, seperti hukum, ekonomi bisnis, administrasi, dan fakultas lainnya, (iii) fakta pendidikan profesi dan vokasi perpajakan belum meluas, dan (iv) belum majunya administrasi perpajakan, seperti daring sistem, langkanya konsultan pajak, penerapan pembatasan administrasi WP melalui PTKP dan omset minimum PKP menjadikan belum waktunya mengatur profesi penunjang sistem perpajakan secara detil dalam UU yang kurang fleksibel. Akibatnya, negara penganut regulasi minimal, seperti China, Polandia, Slovakia, dan Indonesia memilih pengaturan persyaratan, dan tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban kuasa WP dalam aturan lebih rendah dari UU yang akan ditentukan berdasar perkembangan situasi dan kondisi perpajakan ; Berdasar pertimbangan tersebut maka dimunculkan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) dalam UU 28/2007. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menyatakan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan PMK. Sesuai dengan teori minimal regulasi tersebut, maka pengaturan dalam UU KUP cukup disebut bahwa WP berhak menunjuk kuasa, yaitu pihak lain yang menguasai masalah perpajakan. Selanjutnya regulasi rincinya akan diatur dalam peraturan di bawah UU (PMK) sesuai perkembangan situasi dan kondisi sistem perpajakan dan perkembangan profesi penunjang sistem perpajakan. Adapun berbagai jenis profesi yang dapat memberikan jasa profesional perpajakan di beberapa negara (Thuronyi dan Fanistendael, 1996) nampak sbb: No Negara Jenis profesional – kuasa WP Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 1 Australia Akuntan, Lawyer, Agen Pajak 2 Belgia Akuntan, Lawyer, Notaris, Agen Pajak 3 Canada Akuntan, Lawyer 4 Perancis Akuntan, Tax Lawyer, Notaris 5 Jerman Konsultan Pajak, Lawyer, Akuntan, Auditor 6 Nederland Akuntan, Tax Lawyer, Lawyer, Notaris, Auditor 7 Italia Tax advisor/Konsultan pajak, Lawyer, Notaris 8 Spanyol Akuntan, Lawyer, Sarjana Bisnis 9 Inggris Akuntan, Konsultan Pajak, Praktisi Pajak, Lawyer 10 Amerika Serikat Akuntan, Lawyer, Agen, Pengacara, dan lainnya 11 Jepang Akuntan Pajak 12 Indonesia Konsultan Pajak, sebelum 1984 ada Kantor Administrasi Pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mendelegasikan ketentuan tentang persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa diatur dengan atau berdasar Peraturan Menteri Keuangan, karena hal itu tidak diatur dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP. Pemohon menganggap ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan ayat (1), yaitu hak persamaan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, karena sebagai profesional advokat Pemohon tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari WP. Sebetulnya ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya memuat norma pendelegasian pengaturan lebih lanjut secara teknis mengenai persyaratan seorang penerima kuasa khusus serta pelaksanaan hak dan kewajibanWP oleh kuasa khusus dimaksud. Karena dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP pendelegasian tersebut belum diatur maka dimunculkan Pasal 32 ayat (3a) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 yang mengatur pendelegasian dimaksud. Sesuai dengan kondisi sistem perpajakan, sistem pendidikan perpajakan, dan kondisi Konsultan Pajak yang dihadapi saat ini, dari beberapa alternatif regulasi profesi jasa penunjang perpajkan ( full regulated , partial regulated , no regulation , dan minimal regulation ), UU KUP memilih yang terakhir sehingga dilakukan pendelegasian regulasi kepada Menteri Keuangan agar lebih fleksibel sesuai situasi dan kondisi; Pemahaman ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP harus dihubungkan dengan batang tubuh dan Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP. Sementara batang tubuh Pasal 32 ayat (3) menyatakan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, Penjelasan antara lain menyebut bahwa kuasa adalah pihak yang memahami masalah perpajakan sehingga , untuk dan atas namanya, dapat membantu pelaksanaan hak dan kewajiban formal dan material WP . Jika kuasa sebagai pihak yang memahami masalah perpajakan yang mampu membantu WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat disamakan dengan profesional penunjang berfungsinya sistem perpajkan berdasar self assessment yang efektif dan efisien maka rambu-rambu dari pengaturan regulasinya adalah seperti yang dibahas di muka. Yaitu, antara lain regulasi jasa penunjang sistem perpajakan harus harus melindungi kepentingan konsumen jasa perpajakan dari profesional yang tidak kompeten dan beritikad kurang baik . Selain itu, regulasi juga harus tidak cenderung melindungi kepentingan ekonomis profesional secara tidak proporsional atau sebaliknya justru mempersulit dan menghambat berfungsi efektif dan efisiennya profesi tersebut; Karena Pasal 32 ayat (3a) UU KUP berisi norma pendelegasian pengaturan lebih lanjut pendekatan regulasi minimalis profesional pemberi jasa penunjang sistem perpajakan itu sudah sesuai dengan kelaziman praktik ketentuan perpajakan di beberapa negara dengan paham sejenis, keberadaan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP merupakan pendelegasian pengaturan yang adanya merupakan keharusan. Karena itu, tidak dapat secara otomatis dianggap Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (2) dan ayat (1) UUD 1945; Sebagai profesi, adalah merupakan kelaziman yang berterima umum, bahwa untuk dianggap kompeten memberikan jasa profesional di bidang perpajakan siapa saja yang berminat untuk menempuh proses sertifikasi Brevet Perpajakan, misalnya melalui jalur USKP sehingga setelah lulus yang bersangkutan dianggap kompeten untuk memberikan jasa perpajakan dan setelah mendapat ijin dapat dengan resmi dan syah menjadi kuasa Wajib Pajak. [2.4] Menimbang bahwa Pemohon dan Presiden menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada tanggal 21 November 2017 dan 22 November 2017 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999), selanjutnya disebut UU KUP, terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, yang rumusannya masing-masing berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 (3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan _Menteri Keuangan; _ (4)... 2. Bahwa Pemohon, Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H., C.L.A, adalah perseorangan warga negara Indonesia dan pembayar pajak (vide bukti P-4) yang berprofesi sebagai advokat, pengacara, kurator, legal auditor , dan mediator;
Pemohon sebagai advokat dan pengacara juga memiliki sertifikasi tambahan seperti kurator, legal auditor , dan surat izin menjadi kuasa hukum di pengadilan pajak (vide bukti P-8) serta memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal pajak berdasarkan bukti sertifikat brevet A-B (vide bukti P-14);
Bahwa Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP telah merugikan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakibatkan adanya kewenangan mutlak Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa;
Bahwa Pemohon ditunjuk oleh Klien Pemohon untuk mendampingi, memberi nasihat, dan/atau mewakili Wajib Pajak, dan tetap terikat pada kewenangan Menteri Keuangan. Hal ini mengakibatkan Pemohon sebagai Kuasa Hukum tidak dapat menjalankan pekerjaan dan telah kehilangan hak untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban kuasa, karena adanya kewenangan Menteri Keuangan;
Bahwa kewenangan Menteri Keuangan tersebut telah diterapkan dalam praktik bantuan hukum kepada Wajib Pajak dan Pemohon telah diijinkan untuk memberikan bantuan hukum di pengadilan pajak (vide bukti P-8), namun telah ditolak oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul Yogyakarta untuk mendampingi Klien dengan alasan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014, tanggal 18 Desember 2014 (selanjutnya disebut PMK 229/2014). Peraturan Menteri Keuangan ini terbit dengan merujuk pada Pasal 32 ayat (3a) UU KUP;
Bahwa Pasal 2 PMK 229/2014 menyatakan: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 (1) Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak orang pribadi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak;
Dalam hal pelaksanaan kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan melalui sistem administrasi yang terintegrasi dalam sistem di Direktorat Jenderal Pajak atau tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dianggap telah melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan sendiri;
Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
konsultan pajak; dan
karyawan Wajib Pajak.
Bahwa penolakan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul terhadap Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukan seorang konsultan pajak menandakan petugas kantor Pelayanan Pajak Bantul tidak memahami hak-hak konstitusional Pemohon dan profesi Pemohon sebagai advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Penolakan tersebut didasarkan PMK 229/2014, namun dalam prakteknya banyak orang yang bukan konsultan pajak juga mengurus masalah pajak di KPP Bantul, bahkan Petugas KPP Bantul selalu menawarkan penyelesaian damai ke pihak-pihak yang mengurus pajak dengan mengiming- imingi agar jumlah pajak yang disetor ke Kas Negara dapat dikurangi agar selisih pembayaran diberikan kepada Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul;
Bahwa penolakan Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukanlah konsultan pajak dilakukan secara diskriminatif karena di lain kesempatan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul dapat menerima pihak lain yang bukan konsultan pajak untuk mengurus masalah-masalah pajak. Penolakan tersebut tidak dalam rangka menjalankan tugas profesinya tetapi semata-mata demi kepentingan dan keuntungan pribadi; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 Berdasarkan uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya sebagaimana diuraikan di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya perihal inkonstitusionalitas Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, Pemohon secara aktual telah ditolak oleh Petugas KPP Bantul ketika sedang menjalankan profesinya sebagai Kuasa seseorang dalam perkara perpajakan, di mana penolakan tersebut secara aktual pula didasari oleh keberlakuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP. Dengan demikian anggapan Pemohon perihal kerugian hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah benar di mana secara kausalitas hal itu terjadi karena keberadaan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP sehingga apabila permohonan a quo dikabulkan maka kerugian tersebut tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa apabila diringkas, uraian dalil Pemohon perihal inkonstitusionalnya Pasal 32 ayat (3a) UU KUP pada pokoknya adalah sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak yang bersifat memaksa, tidak dapat dipungkiri atau dihindari akan timbul permasalahan atau sengketa di bidang perpajakan. Adanya kekuasaan dan kepentingan bagi instansi yang mengeluarkan keputusan di bidang perpajakan tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, atau berpotensi menghilangkan unsur kedaulatan rakyat, sementara di sisi lain, Wajib Pajak tidak memiliki pengetahuan tentang hukum perpajakan. Sehingga potensi terjadinya rasa ketidakadilan bagi Wajib Pajak akibat tindakan pemerintah di dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan harus diselesaikan melalui suatu lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak manapun yang khusus menangani sengketa/perkara pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 2. Bahwa dalam kenyataan sehari-hari permohonan Wajib Pajak dan petugas pelaksana dari pemerintah tidak sepenuhnya mengetahui seluruh peraturan perpajakan yang mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian di pihak Wajib Pajak. Untuk mewujudkan perlindungan kedaulatan rakyat, negara perlu melindungi dan menjamin agar pelaksanaan hak dan kewajiban Pemohon/Wajib Pajak dapat terlaksana dengan baik yaitu dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk kuasa, didampingi atau diwakili Kuasa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Hak untuk menunjuk Kuasa bagi Wajib Pajak dapat dilihat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang merupakan wujud pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum dan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang mengakui, menjamin, dan melindungi hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak;
Bahwa peran dan fungsi Kuasa dalam mewakili Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan memiliki peran penting untuk melindungi dan menjaga keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Kuasa juga memberikan jasa konsultasi perpajakan (konsultan pajak), sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan masyarakat Wajib Pajak dalam memahami dan menyadarkan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, peranan dan fungsi Kuasa tersebut juga membantu Pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan pajak;
Bahwa Kuasa juga diharapkan untuk mencari dan menegakkan hak-hak Wajib Pajak, karena Kuasa yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang perpajakan diharapkan dapat mewakili dan melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa untuk mencari dan menegakkan keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga kuasa juga memiliki peran dan fungsi untuk mendampingi atau memberikan nasihat kepada Wajib Pajak atas hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga hak Wajib Pajak tidak dikurangi atau ditiadakan oleh Pemerintah atau Pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang perpajakan dan pelaksanaan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 5. Bahwa dengan adanya peranan penting dari kuasa hukum tersebut, menurut Pemohon jelaslah bahwa kuasa pajak haruslah mandiri, bebas atau independen dalam melaksanakan kuasa demi melindungi hak dan kepentingan pemberi kuasa, terhadap pihak manapun termasuk pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana tugas penerima atau pemungutan pajak;
Bahwa ketentuan yang diuji Pemohon tersebut memberikan kewenangan mutlak/absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak;
Pemberian kewenangan yang absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon berarti, Menteri Keuangan berkedudukan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Menteri Keuangan telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk membatasi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada Kuasa dengan cara memberi Menteri Keuangan kewenangan untuk membuat dan menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa dalam menerima dan menjalankan kedaulatan Pemohon. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut, telah mengakibatkan tidak terlaksananya kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban Pemohon melalui Kuasa;
Bahwa dalam sistem peradilan Indonesia, diakui keberadaan kuasa hukum yang memiliki profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan peran dalam pelaksanaan peradilan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. Pemohon dalam perkara a quo membandingkan kuasa hukum Wajib Pajak dengan profesi kuasa hukum yang diakui dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu advokat yang diatur dalam UU Advokat;
Bahwa fungsi dan peran profesi advokat dengan kuasa Wajib Pajak/ Konsultan pajak dalam pelaksanaan peradilan adalah sama yaitu bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa dan memberikan nasihat hukum tentang perkara yang dihadapi. Konsultan Pajak hanya khusus untuk beracara di Pengadilan Pajak, sementara Advokat dapat melaksanakan kuasanya untuk setiap lembaga peradilan apapun termasuk sengketa atau permasalahan hukum yang belum dibawa ke badan-badan peradilan. Posisi atau kedudukan, peran, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 dan fungsi Kuasa Wajib Pajak dan Advokat di hadapan persidangan pengadilan adalah sama yaitu memberikan pendampingan, bantuan hukum atau nasehat hukum mewakili Pemberi Kuasa atas perkara yang dihadapi Wajib Pajak, serta menjalankan kuasa yang diberikan oleh Pemberi Kuasa;
Bahwa atas kesamaan fungsi dan peran profesi Advokat dengan Konsultan Pajak selaku Kuasa Hukum dalam pelaksanaan profesinya baik di dalam maupun di luar peradilan, maka kedudukan Kuasa atau profesi Konsultan Pajak haruslah sama dengan kedudukan Advokat dalam sistem hukum Indonesia. Dengan memperhatikan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Advokat dalam peradilan, berbeda dengan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Advokat, sehingga tidak terdapat suatu unsur atau norma yang memberikan kewenangan kepada pihak manapun atau instansi pemerintahan seperti Menteri Hukum dan HAM, instansi penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian untuk menentukan persyaratan menjadi Kuasa Hukum/Advokat. Hal ini berbanding terbalik dengan profesi Konsultan Pajak/Kuasa Hukum Wajib Pajak, karena undang-undang yang dimohonkan untuk diuji materiil ini memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan sebagai Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Padahal Kuasa Hukum/Konsultan Pajak dan Menteri Keuangan adalah para pihak yang berperkara atau bersengketa di Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Pengadilan Pajak. [3.8] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-16b tanpa P-9, serta 1 (satu) orang ahli yang telah didengar keterangannya dalam persidangan dan/atau telah dibaca keterangan tertulisnya (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara). Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 21 November 2017. [3.9] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 Kepaniteraan pada tanggal 16 Oktober 2017, serta 3 (tiga) orang ahli yang telah didengar keterangannya dalam persidangan dan/atau telah dibaca keterangan tertulisnya (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara). Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 November 2017. [3.10] Menimbang bahwa setelah membaca dengan cermat permohonan Pemohon dan keterangan Pemohon dalam persidangan, serta memeriksa bukti- bukti yang diajukan, terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.10.1] Bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak secara spesifik memberikan argumentasi tentang pertentangan norma yang termuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan secara panjang lebar mengenai hak Wajib Pajak untuk menunjuk kuasa serta kaitannya dengan profesi Pemohon sebagai advokat yang oleh UU Advokat diberi kewenangan untuk memberi bantuan hukum, termasuk menjadi kuasa dalam sengketa perpajakan. Pemohon hanya secara sumir mendalilkan bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dengan PMK 229/2014 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak memberikan argumentasi yang secara spesifik berkenaan dengan dalil ini (Perbaikan permohonan hal. 12). Dengan memperhatikan secara saksama uraian Pemohon tampak jelas bahwa yang menjadi pokok keberatan Pemohon sesungguhnya adalah keberadaan dan keberlakuan PMK 229/2014 yang merupakan delegasi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang telah menyebabkan Pemohon ditolak menjadi kuasa wajib pajak oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul padahal Pemohon telah memiliki sertifikat Brevet A-B. Atas dasar itu, Pemohon kemudian tiba pada penalaran bahwa Menteri Keuangan memiliki kewenangan absolut sehingga seolah-olah berada di atas kedaulatan rakyat. Lagi pula, Pemohon sendiri menyatakan dalam permohonannya bahwa ada pihak lain yang bukan konsultan pajak namun dapat mengurus masalah-masalah pajak (vide perbaikan permohonan Halaman 21), sehingga memberi kesan bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon adalah persoalan penerapan undang-undang. [3.10.2] Bahwa, namun demikian, jika dibaca rasionalitas dan konteks keseluruhan dalil Pemohon, Mahkamah memahami bahwa substansi yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sesungguhnya dipersoalkan oleh Pemohon adalah masalah pendelegasian kewenangan oleh undang-undang, in casu Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Peraturan Menteri, sehingga persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, apakah pendelegasian kewenangan demikian bertentangan dengan UUD 1945, khususnya sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011). Terhadap persoalan konstitusional tersebut Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa dalam menjalankan pemerintahan negara, diperlukan pemerintahan yang berdaulat dan memiliki kewenangan secara hukum. Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan adalah diturunkan dari kewenangan tersebut. Sumber kewenangan dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar;
Bahwa, sebagaimana disinggung pada angka 1 di atas, salah satu sumber kewenangan adalah diperoleh dari pendelegasian kewenangan perundang- undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid), yaitu pendelegasian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian demikian dibutuhkan karena walaupun dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diharapkan dapat dirumuskan ketentuan-ketentuan yang dapat langsung menyelesaikan permasalahan, namun demikian acapkali diperlukan adanya pelimpahan (pendelegasian) peraturan perundang-undangan. Hal itu disebabkan peraturan yang lebih tinggi biasanya hanya mengatur ketentuan yang sangat umum (garis besar) sehingga pengaturan yang lebih konkret didelegasikan kepada peraturan yang lebih rendah secara berjenjang sesuai hierarkinya. Pendelegasian suatu peraturan perundang-undangan pada dasarnya dilakukan secara berjenjang sesuai dengan hierarki yang berlaku, misalnya dari Undang-Undang ke Peraturan Pemerintah atau dari Peraturan Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 ke Peraturan Presiden. Pendelegasian Undang-Undang ke Peraturan Menteri seharusnya tidak terjadi dalam sistem pemerintahan Presidensial oleh karena pendelegasian tersebut meloncati dua peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang secara konstitusional seharusnya didelegasikan ke Peraturan Pemerintah sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya” . Namun, masalah pendelegasian tersebut diatur secara agak berbeda dalam UU 12/2011 yang berlaku saat ini, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011. Pedoman angka 211 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan, “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari undang- undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif”. Dengan demikian, terlepas dari persoalan apakah secara doktriner dalam sistem pemerintahan Presidensial dapat dibenarkan adanya pendelegasian kewenangan mengatur langsung dari Undang-Undang kepada Peraturan Menteri, menurut hukum positif yang berlaku pada saat ini ( in casu UU 12/2011) pendelegasian kewenangan demikian dimungkinkan sepanjang hal itu berkenaan dengan pengaturan yang bersifat teknis-administratif. Dengan kata lain, secara a contrario , pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang langsung kepada Peraturan Menteri tidak dibenarkan jika materi muatannya berkenaan dengan hal-hal yang menurut hierarki peraturan perundang-undangan bukan merupakan materi muatan Peraturan Menteri;
Bahwa substansi yang diatur dalam UU 12/2011 terkait dengan pendelegasian kewenangan merupakan bagian dari sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang harus selalu menjadi acuan. Kepatuhan terhadap sistem peraturan perundang-undang dimaksud merupakan bagian dari upaya untuk memastikan bahwa setiap norma yang dibentuk memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara yang dikenai aturan dimaksud. Dalam konteks ini, untuk menilai keabsahan pendelegasian wewenang dari undang-undang kepada peraturan perundang-undangan lainnya, maka sistem pendelegasian kewenangan yang terdapat dalam UU 12/2011 tidak dapat dikesampingkan, dalam arti tidak dipertimbangkan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 sepanjang norma yang relevan yang termuat di dalamnya tidak dimohonkan pengujian;
Bahwa pada saat yang sama, pembatasan delegasi kewenangan dari undang- undang kepada menteri juga berhubungan dengan materi muatan undang- undang ditentukan secara eksplisit dalam UU 12/2011. Dalam kaitan ini, terhadap hal-hal yang terkait dengan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945 yang merupakan pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan atau pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara harus diatur dalam undang-undang. Karena itu, hanya hal-hal yang bersifat teknis- administratif dari pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan, pencabutan, atau perluasan hak itu saja yang dapat didelegasikan pengaturannya kepada menteri atau pejabat setingkat menteri. Dalam arti demikian, hal-hal yang bersifat pembatasan hak dan kewajiban yang belum diatur dalam undang-undang tidak dapat didelegasikan melalui sebuah Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana atau peraturan teknis.
Bahwa dalam kaitannya dengan delegasi kewenangan dari UU KUP kepada menteri dalam permohonan a quo , keberadaan norma tersebut berhubungan dengan sejarah dan semangat perumusan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 6/1983). Melalui ketentuan tersebut, pembentuk undang-undang sesungguhnya membuka ruang bagi setiap orang atau badan hukum Wajib Pajak untuk dikuasakan oleh seorang kuasa dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Pada saat pertama kali dirumuskan dan dimuat dalam UU 6/1983, dalam Pasal 32 ayat (3) dinyatakan bahwa Orang atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam penjelasan ketentuan tersebut diterangkan bahwa norma dimaksud adalah untuk memberikan kelonggaran dari kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan orang lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Sesuai dengan ketentuan itu, hadirnya seorang kuasa dalam rangka membantu wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban diperkenankan. Pada saat yang sama, Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang a quo secara implisit juga mengakui hak seseorang untuk menunjuk seorang kuasa guna membantunya menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Hanya saja, orang yang bertindak sebagai kuasa tersebut disyaratkan haruslah orang yang memahami masalah perpajakan. Pada saat UU 6/1983 diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 9/1994), norma Pasal 32 ayat (3) UU 9/1994 juga ikut diubah, namun substansi yang dimuat di dalamnya tetap sama dengan substansi yang terdapat dalam UU 6/1983, di mana hak dan kesempatan Wajib Pajak untuk didampingi kuasanya tetap diakui. Penambahan ayat dalam Pasal 32 terjadi saat berlakunya Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyisipkan satu ayat diantara ayat (3) dan ayat (4), yakni ayat (3a) yang menyatakan, “ Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan ”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3a) hanya menyatakan cukup jelas. Rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan.
Bahwa ketika UU 6/1983 diubah untuk ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan. Norma tersebut berbunyi, “ Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan ”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP diterangkan kembali mengenai bentuk bantuan yang dapat diberikan dan siapa yang dimaksud dengan kuasa. Di mana, orang yang dapat menjadi kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan adalah setiap orang yang memahami masalah perpajakan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 Undang-Undang a quo hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak, yaitu orang yang memahami masalah perpajakan. Dalam hal ini, Undang-Undang tidak mengatur lebih jauh kriteria orang yang dapat bertindak sebagai kuasa. Undang-undang juga tidak mengatur apa standar pemahaman masalah perpajakan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak. Undang-undang juga tidak mengatur bagaimana seorang kuasa menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa. Lebih jauh, Undang-undang juga tidak mengatur status kuasa Wajib Pajak sebagai profesi yang mandiri dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pengaturan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa tersebut, dalam UU KUP diadopsi satu norma baru berupa delegasi pengaturan terkait persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa kepada Peraturan Menteri. Hal itu dimuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan rumusan berbunyi, “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” yang menjadi objek permohonan dalam perkara a quo . Masalahnya, apakah pendelegasian tersebut telah memenuhi syarat bentuk hukum dan substansi kewenangan yang didelegasikan dapat dikatakan bersesuaian dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat bergantung pada maksud dengan kata “ persyaratan ” dan frasa “ pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa ”.
Bahwa dalam keterangannya, pemerintah mengemukakan, salah satu alasan sosiologis pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak adalah karena faktor sulitnya melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasehat atau konsultan perpajakan. Hal itu terjadi karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan. Atas dasar itu, diperlukan seorang penasehat perpajakan/orang yang memahami masalah perpajakan menjadi Kuasa Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, keberadaan konsultan pajak sebagai kuasa menjadi penting bagi kepentingan publik pembayar pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 Lebih jauh, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menjelaskan pengaturan mengenai persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan ketentuan bersifat teknis sehingga didelegasikan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan. Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan: apakah dapat diterima bahwa persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan hal yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya dapat didelegasikan kepada sebuah peraturan pelaksana, in casu Peraturan Menteri.
Bahwa dari keterangan Pemerintah dan DPR dimaksud dapat dipahami pada satu sisi pengakuan terhadap hak Wajib Pajak untuk didampingi oleh seorang kuasa merupakan perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak ( tax payer ), sedangkan di sisi lain, persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa diposisikan sebagai hal yang bersifat teknis administratif. Apabila ditelaah lebih jauh, sesungguhnya telah terdapat contradictio in terminis dari penjelasan tersebut, terutama dengan memosisikan pengaturan terkait persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa sebagai sesuatu yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri. Dalam hal ini, apabila pengaturan tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak, semestinya materi pengaturannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada Menteri. Sebab, Menteri merupakan pihak yang melaksanakan Undang- Undang Perpajakan yang dalam praktik sangat mungkin “berhadapan” dengan Wajib Pajak dan/atau Kuasa Wajib Pajak. Bagaimana mungkin kepentingan hukum Wajib Pajak akan dapat terlindungi bilamana Kuasa Wajib Pajak diatur dan dibatasi melalui Peraturan Menteri yang tidak menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak secara bebas dan mandiri.
Bahwa selanjutnya, dibentuknya UU KUP memang merupakan perintah UUD 1945, di mana dalam Pasal 23A UUD 1945 dinyatakan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dalam konteks itu, UU KUP mengatur hal-hal yang bersifat memaksa bagi warga negara yang memenuhi syarat, dalam hal ini pajak. Pajak merupakan kewajiban yang mesti dibayarkan oleh warga negara, di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 mana apabila tidak dipenuhi, maka sanksi hukum dapat dikenakan kepada yang bersangkutan. Sekalipun pajak merupakan sesuatu yang bersifat memaksa, di mana negara melalui Kementerian Keuangan dapat memaksa agar warga negara yang memenuhi kewajibannya, namun sifat memaksa pajak tidak serta-merta menghilangkan hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum, kejelasan proses pemungutan pajak, dan hak untuk dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami perpajakan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Hak untuk didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan merupakan salah satu sarana bagi Wajib Pajak untuk dapat melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhindar dari potensi penyalahgunaan wewenang. Hak tersebut akan betul-betul dapat dilindungi apabila orang atau pihak yang menjadi kuasa untuk mewakili atau mendampingi Wajib Pajak adalah orang yang bebas dan mandiri dalam menjalankan profesinya sebagai Kuasa Wajib Pajak, bukan orang yang berada di bawah tekanan atau dalam posisi tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kuasa.
Bahwa oleh karena kewajiban membayar pajak tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk dapat dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan, maka pengaturan mengenai Kuasa Wajib Pajak haruslah dapat menjamin bahwa yang bertindak sebagai kuasa adalah orang yang memahami perpajakan dan dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak. Demi untuk menjamin agar hak dan kewajiban Wajib Pajak terlaksana secara baik dan dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasa yang menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak, maka hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak tidak dapat diposisikan hanya sekedar hal yang bersifat teknis administratif. Persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Terlaksana atau tidaknya hak dan kewajiban sesuai aturan serta adanya kepastian hukum yang adil bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya akan sangat bergantung pada bagaimana pengaturan terkait dengan hak Wajib Pajak untuk dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasanya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 Oleh karena itu, hal tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat teknis administratif, melainkan lebih bersifat substantif karena berhubungan dengan pembatasan hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sehingga seharusnya materi tersebut diatur dalam undang- undang. Dalam hal ini, Undang-Undang harus mengatur secara jelas mengenai persyaratan bagi orang yang akan bertindak sebagai Kuasa Wajib Pajak, baik syarat administratif maupun syarat kompetensi. Pada saat yang sama, undang-undang juga harus mengatur dan menjamin bahwa Kuasa Wajib Pajak harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara bebas dan mandiri. Pengaturan tersebut akan menjadi instrumen hukum untuk melindungi dan menjamin bahwa hak dan kewajiban Wajib Pajak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhindar dari kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dan ketidakpastian hukum. [3.11] Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang bertumpu pada UU 12/2011, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.10] di atas, adalah dikarenakan undang-undang itulah yang memuat pengaturan lebih lanjut tentang pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan dan tidak menjadi objek permohonan a quo . Sehingga, sesuai dengan prinsip presumption of constitutionality yang berlaku dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang dan prinsip bahwa hakim atau pengadilan adalah zittende magistratur, maka UU 12/2011 khususnya Lampiran II Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 harus dianggap konstitusional sampai terbukti bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijatuhkan atas dasar adanya permohonan untuk itu. Prinsip zittende magistratur menghalangi Mahkamah untuk secara aktif menguji konstitusionalitas suatu undang-undang jika undang-undang yang bersangkutan tidak dimohonkan pengujian. Namun demikian, prinsip zittende magistratur tidak menghalangi Mahkamah untuk mengesampingkan keberlakuan suatu Undang-Undang apabila ternyata norma undang-undang yang bersangkutan telah ternyata menghalangi kewenangan Mahkamah dalam menjalankan fungsi constitutional review- nya. Pengesampingan demikian dibenarkan berdasarkan doktrin hukum tata negara dan tidak bertentangan dengan ajaran pemisahan kekuasaan, sebab Mahkamah tidak menguji konstitusionalitas norma undang- undang yang tidak dimohonkan pengujiannya, melainkan Mahkamah hanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 memutuskan untuk tidak menerapkannya. Artinya, norma Undang-Undang tersebut, baik teks maupun isi atau materi muatannya, tetap ada dan berlaku selama belum ada permohonan yang menguji konstitusionalitasnya dan belum ada Putusan Mahkamah berkenaan dengan hal itu. Hal ini pernah dipraktikkan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004. [3.12] Menimbang bahwa kendatipun Pemohon tidak memohonkan pengujian UU 12/2011 (terutama dalam hal ini Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011) dan kendatipun titik berat Permohonan Pemohon adalah terletak pada substansi pendelegasian dari undang-undang kepada Peraturan Menteri, in casu PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa, sesuai dengan sistem Pemerintahan Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah secara doktriner tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan tingkatan atau hierarkinya. Dengan demikian, dalam konteks Permohonan a quo , sesuai dengan pertimbangan pada sub-paragraf [3.10.2] di atas, tanpa perlu mengesampingkan keberlakuan Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011 dan tanpa harus menilai kasus konkret yang dialami Pemohon khususnya berkenaan dengan pemberlakuan PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa memang terdapat kebutuhan untuk mengatur lebih tegas pendelegasian wewenang teknis-administratif “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Menteri Keuangan. Sesuai dengan sifatnya sebagai delegasi yang bersifat teknis-administratif maka, di satu pihak, pengaturan demikian tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak wajib pajak dalam memberi kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak- haknya sebagai wajib pajak dan menurut undang-undang absah untuk menerima kuasa demikian serta, di lain pihak, tidak menghambat atau mengurangi kewenangan negara untuk memungut pajak yang diturunkan dari UUD 1945. Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis-administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih ( over capacity of Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 power ) kepada Menteri Keuangan melainkan hanya untuk mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan undang-undang. Oleh karena itu, ada atau tidak ada kasus konkret sebagaimana dialami Pemohon, pendelegasian kewenangan mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas materi muatan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, yaitu sepanjang frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis- administratif, yaitu sepanjang tidak membatasi hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Menyatakan frasa “ pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa ” dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara.
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua belas, bulan April, tahun dua ribu delapan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh enam, bulan April, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 tahun dua ribu delapan belas , selesai diucapkan pukul 15.21 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Arief Hidayat ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Uji materiil terhadap PP 33 tahun 2014 ttg jenis dan tarif atas PNBP yg berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehut ...
Relevan terhadap
Ayat 1 : Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
keadilan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 134 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 135 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Penjelasan Pasal 6 Huruf g : Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 maka pada pokoknya dijelaskan bahwa dalam melakukan penyelenggaraan rehabilitasi hutan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif. Berpedoman pada ketentuan aquo maka penyelenggaraan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH oleh Termohon I dan Termohon II melalui perumusan dan pembuatan kebijakan dan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sepatutnya dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif dan juga harus mematuhi norma dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d dan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pembentukan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 tidak melalui pendekatan partisipatif dan juga bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas keadilan dan asas kejelasan rumusan. Hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut:
. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan mencantumkan secara tegas mengenai rehabilitasi hutan didalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan) dan sebaliknya tidak pernah mengatur secara tegas mengenai adanya norma Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 135 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 136 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kewajiban penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3). Oleh karena itu, maka materi dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sebagai norma pelaksana dari Undang-Undang tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan Undang-Undang ( in casu UU Nomor 41 Tahun 1999 sebagai UU Sektoral yang mengatur secara khusus atau lex specialis tentang Kehutanan) sebagai norma yang lebih tinggi hierarkinya;
. Berdasarkan batasan wilayah maka kegiatan rehabilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut sepatutnya direlasikan dan dipahami dengan ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 sehingga rehabilitasi yang dilakukan oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH hanya untuk penggunaan kawasan hutan yang menimbulkan kerusakan hutan secara limitatif, yaitu terbatas hanya untuk kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (dalam area IPPKH) yang timbul kerusakan sebagai akibat dari digunakan untuk kepentingan pertambangan. Sebaliknya dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 –menciptakan rumusan norma baru – berupa dimasukkannya norma kewajiban rehabilitasi DAS diluar area IPPKH – yang tidak pernah diatur dan bertentangan serta berbeda dengan esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3);
. Perumusan dan pemberlakuan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 136 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 137 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 pertambangan melalui Pemohon I dan Pemohon II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH. konsekuensi dari adanya pengenaan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tersebut – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah menimbulkan tambahan beban finansial ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Adanya tambahan beban tersebut – berupa kewajiban penanaman dalam rangka rehabiltasi DAS dan adanya multi pungutan yang salah satunya bersifat imajiner dan liar yang bernama PNBP – tentunya menimbulkan biaya operasional tambahan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang berakibat menimbulkan kerugian yang sangat signifikan sehingga berpotensi dapat mengganggu keberlanjutan/kelanjutan kegiatan usaha bagi pelaku usaha pemegang IPPKH. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka Pembentukan Dan Penyusunan Peraturan Pemerintah Tentang Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi DAS (vide Bukti P-10G, Bukti P-10H, Bukti P-10I, Bukti P-10J, Bukti P-10K, Bukti P-10L dan Bukti P-10M).
. Dimunculkannya rumusan norma baru tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – merupakan rumusan yang tidak jelas karena secara hierarki dan jenis serta materi muatan, rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tidak pernah diatur dan juga tidak pernah dicantumkan secara tegas (eksplisit) dalam rumusan norma dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3,) sehingga menimbulkan intepretasi yang berbeda dan bertentang dengan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 137 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 138 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3 uu Nomor 41 Tahun 1999; Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut diatas maka pencantuman dan pemberlakuan norma kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Pemerintah merupakan bentuk penyelundupan norma yang mengingkari dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3), ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 dan ketentuan Pasal 5 huruf c,huruf d dan huruf f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011; Oleh karena itu, ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 Dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 sangat beralasan secara hukum untuk dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum; V. PETITUM PERMOHONAN. Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang dikemukakan di atas oleh Para Pemohon, maka Para Pemohon memohon kepada Yang Terhormat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia casu quo Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo , agar berkenan kiranya untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon I dan Pemohon II (Para Pemohon) untuk seluruhnya;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 138 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 139 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang- Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Huruf b dan Huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Bertentangan Dengan Peraturan Perundang- Undangan Yang Lebih Tinggi Yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Huruf b Angka 1, Pasal 19 Ayat (1) Huruf c dan Huruf d, Pasal 22 Huruf d, Huruf e, Huruf q Angka 4 dan Angka 7, Huruf r Angka 4 dan Angka 5, dan Pasal 47 Ayat (1) Huruf a dan Ayat (2) Huruf b dan Huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang- Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 139 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 140 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Huruf a dan Huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 140 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 141 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 huruf a dan ayat (2) huruf b dann huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Memerintahkan kepada Termohon I ( in casu Presiden Republik Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3; Dan Ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Termasuk Ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Memerintahkan kepada Termohon II ( in casu Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republk Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 141 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 142 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/ Kum.1/11/2016;
Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara;
Menghukum Termohon I dan Termohon II untuk membayar biaya perkara. ATAU, Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya ( Ex Aequo Et Bono ). Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti, yaitu sebagai berikut: No. Kode KETERANGAN 1. P-1A Akta Pernyataan Keputusan Rapat Musyawarah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association) Nomor 7 tertanggal 6 Mei 2015; P-1B Kartu Tanda Penduduk Nomor 3171061705790002 atas nama Pandu Patria Sjahrir P-1C Akta Pernyatan Keputusan Rapat Badan Pengurus Perkumpulan Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association) Nomor 39 tertanggal 22 Desember 2016 P-1D Kartu Tanda Penduduk Nomor 3276020109650010 atas nama Maringan M.I.H. Hutabarat.
P-2A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Pener i maan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1 , Angka 2, Angka 3 yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 16 Me i 2014 - vide Ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) termasuk Lampiran Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 Peraturan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 142 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 143 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 20 1 4 P-2B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 201 0 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 - vide Ketentuan Pasal 21 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b P-2C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomo r 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 - vide Ketentuan Pasal 6 ayat 2 huruf b, Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c 3. P-3A Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan berikut lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P . 50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Te n tan g Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2016 - vide Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huru f b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c P-3B Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Beriku t Lampiran Angka Romawi I Sampai Dengan Lampiran Angka Romawi VIII yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 22 November 2016 vide Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) , Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) , Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) 4. P-4A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 - vide Pasal 23A P-4B Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) P-4C Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman - vide Pasal 20 Ayat (2) Huruf b dan ketentuan Pasa i 20 Ayat (3) P-4D Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31A Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) P-4E Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil - vide Pasal 1 ayat (1) 5. P-5A Akta Anggaran Dasar APBI-ICMA Asosiasi Pertambanga n Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association ) N omor 01 tanggal 22 Maret 2007 yang dibuat oleh dan dihadapan Notar i s Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 143 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 144 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ratih Gondo Kusumo, S.H. P-5B Akta Pernyataan Keputusan Musyawarah Anggota A sos i as i Pertambangan Batubara Indonesia ( APBI-ICMA) I ndonesian C oa l Mining Association Nomor 20 tanggal 22 Juni 2009 6. P-6A Akta Perubahan Akta Pendir i an Perkumpu l an A sosia si Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining A ssoc i ation ) N o m o r 1 7 t anggal 17 Juni 2011 yang dibuat o l eh dan dihadapa n Nota ri s Ratih Gondokusumo Siswono, S . H. P-6B Akta Anggaran Rumah Tangga Asosiasi Pertambangan In do n esia ( Indonesian Mining Association) Nomor 1 8 tangga l 1 7 Juni 2011 yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Ratih Gondokusumo Siswono, S.H .;
P-7 Undang-Undang Nomor 1 2 T ahun 20 11 t en t ang Pemben t uka n Peratu r an Perundang - undangan - vide Pasa l 3 , Pasa l 5 H u ruf c da n Huruf d , dan Penje l asan Pasal 5 Hur u f c da n Huruf d, Ketentua n Pasa l 6 Aya t (1) Hur u f g dan Penjelasan P asa l 6 A y a t (1) H uruf g , d a n P asa l 1 2.
P-8 Peraturan Menteri L i ngkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia P.27/Menlhk/Setjen/Keu-1/2/2016 Tahun 2016 tentang Pedoman Tata Cara Pengurusan Piutang Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ("PERMEN LHK RI Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Keu- 1/212016 "). 9. P-9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 88/PMK . 06/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK . 06/2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK . 06/2016 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1 28/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara.
P-10A P-10B P-10C Surat Nomor 187/APBI-ICMA/V/2007, tertanggal 23 Mei 2007 perihal PNBP Kehutanan Surat Nomor 549/APBI-ICMA/XII/2012, tertanggal 18 Desember 2012, perihal RPP Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Penggunaan Kawasan Hutan; Surat Nomor 040/API/IMA/IV/2014 dan Nomor 138/APBI- I CMA/IV/2014, tertanggal 22 April 2014, perihal Tanggapan API-IMA dan APBI-ICMA Terhadap Rencana Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 144 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 145 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10D P-10E P-10F P-10G P-10H P-10I P-10J P-10K P-10L Surat Nomor 330/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 26 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Diluar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 331/APBI-ICMA/VIII/2014, tertanggal 27 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 019/APBI-ICMA/III/2015 dan Nomor 056/API- IMA/III/2015 tertanggal 31 Maret 2015 Tentang Permohonan Peninjauan Kembali PP Nomor 24 Tahun 2010 dan PP Nomor 33 Tahun 2014; Surat Nomor 349/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 28 Agustus 2014 Perihal Permohonan Pembatalan Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Jenis Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Sektor Kehutanan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/V/2015, tertanggal 25 Mei 2015 , Perihal Permohonan Peninjauan Kembali Peraturan Menteri Kehutanan No.P.16/Menhut-II tanggal 20 Maret 2014 dan No.P.87/Menhut- II/2014 tanggal 29 September 2014; Surat Nomor 035/APBI-ICMA/VI/2015, tertanggal 26 Juni 2015 , Perihal Masukan Terhadap Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan hutan; Surat Nomor 001/APBI-ICMA/I/2016, tertanggal 11 J anuar i 2016, Perihal Permohonan Pembahasan Kembali Revisi Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/IX/2016, tertanggal 7 September 2016 , Perihal Tanggapan Terhadap Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. No.P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang 'I Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan ("Permenlhk P.50/2016”) Surat Nomor 146/API/IMA/XII/2016, Nomor 037/APBI-ICMA/XII/2014 , Tertanggal 19 Desember 2016, Perihal Permohonan Dukungan Penye!esaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 145 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 146 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10M Surat Nomor 006/API-IMA/II/2017 dan Nomor 017/APBI- ICMA/II/2017, tertanggal 27 Februari 2017, Perihal Permohonan Dukungan Penyelesaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi DAS Bagi Pemegang IPPKH .
P-11A P-11B P-11C P-11D Artikel Online - Royalti Naik, Perusahaan Batu Bara Terancam Bangkrut Dipublikasikan tanggal 1 Juli 2015 Sumber : https: //ekbis.sindonews.com/read/1019004/34/royalti-naik- perusahaan-batu-bara-terancam-bangkrut- 1435744806 Artikel Online - Terdampak Krisis Global, Perusahaan Tambang Tutup Dipublikasikan tanggal11 Febuari 2016 Sumber : http: //www.borneonews.co.id/berita/28470-terdampak- krisis- global-perusahaan-tambang-tutup Artikel Online - Batubara Terjun Royalti Turun Dipublikasi tanggal 09 Agustus 2015 Sumber : http: //www.gresnews.com/berita/ekonomi/9098-batubara- terjun-royalti-turun/3/ Artikel Online - Tambang Batu Bara, Awal Kloter Gulung Tikar Dipublikasikan tanggal 29 Febuar i 2016 Sumber : http: //majalahpeluang.com/tambangbatu-bara-awal- Kloter-gulung-tikar/ 12. P-12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak - vide Pasal 2 Ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) , Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Penjelasan Pasal 3 Aya t (1) dan Aya t (2). 13 P-13 Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan - vide Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 42 Ayat (2) dan Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2). Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 25 April 2017 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 31/PER- PSG/IV/31 P/HUM/2017 , Tanggal 25 April 2017 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Para Termohon telah mengajukan jawaban tanggal 21 Juni 2017, yang pada pokoknya sebagai berikut; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 146 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 147 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 I. POKOK-POKOK PERMOHONAN PEMOHON A. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH Bahwa pada intinya Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam PP a quo yang menyangkut:
Ketentuan yang berkaitan dengan Pembayaran PNBP dalam PP a quo (PP 33/2014, PP 24/2010, dan PP 105/2015):
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjampakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011.
Pasal a quo juga bertentangan dengan UU 41/1999 yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU 41/1999 tidak pernah mengatur pengenaan PNBP kepada pelaku usaha di bidang pertambangan selaku pemegang IPPKH (Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjampakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomi terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 147 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 148 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2. Ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, bertentangan dengan bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Kehutanan dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011, karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). B. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN MENTERI Bahwa Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam Permen a quo yaitu sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK 50/2016 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, UU PNBP, UU Kehutanan, dan UU 12/2011;
Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permenlhk 89/2016yang dianggap bertentangan dengan UU Kehutanan dan UU 12/2011. Menurut Para Pemohon pada intinya menganggap kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)di luar areal IPPKH bagi pemegang IPPKH dalam ketentuan Permen a quo harus berpedoman pada UU Kehutanan, sehingga ketentuan a quo bertentangan dengan UU Kehutanan dan juga UU 12/2011. Sehingga Para Pemohon mohon agar PP a quo dan Permen a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku untuk umum. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 148 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 149 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berkenaan dengan legal standing ( persona standi in judicio ) dan kepentingan hukum Para Pemohon dalam perkara aquo , Termohon menyampaikan penjelasan sebagai berikut: PARA PEMOHON TIDAK MEMPUNYAI KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) UNTUK MENGUJI KETENTUAN PASAL 1 AYAT (2), AYAT (3) DAN (5) DAN LAMPIRAN PP 33 TAHUN 2014, PASAL 21 AYAT (1) HURUF aPP 24TAHUN 2010, PASAL 6 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1 DAN PASAL 15 AYAT (1) HURUF B PP 105/2015 DAN PASAL 5 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1, PASAL 19 AYAT (1) HURUF d, PASAL 22 HURUF e DAN r ANGKA 4, PASAL 47 AYAT (1) HURUF a DAN AYAT (2) HURUF c PERMEN LHK 50/2016; PASAL 15 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), PASAL 28 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), DAN AYAT (4), PASAL 30 AYAT (1) DAN AYAT (2), PASAL 38, PASAL 39 AYAT (1) DAN AYAT (2) PERMENLHK 89/2016 Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang...” Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, berbunyi: “Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang”. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan uji materiil hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tepat dan adanya kerugian langsung yang diderita oleh pihak-pihak tersebut,dan benar- benar diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut. Menurut Termohon, Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum didasarkan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 149 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 150 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1. Bahwa dalam permohonannya Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik/jelas kedudukan hukumnya apakah sebagai “kelompok masyarakat atau perorangan” sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.
Apabila menyimak pernyataan Para Pemohon ( vide halaman 1 Permohonan Para Pemohon), yang menyatakan bahwa Para Pemohon adalah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association (APBI-ICMA) dan Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesian Mining Association (API-IMA) yang didirikan berdasarkan akta notaris dan dalam Permohonan ini diwakili oleh Ketuanya, maka menurut Termohon, pernyataan tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai status kedudukan hukum Para Pemohon, apakah kedudukan Para Pemohon sebagai sebuah asosiasi atau organisasi, apakah asosiasi atau organisasi tesebut telah terdaftar sebagai suatu badan hukum atau tidak, apakah badan hukum tersebut berbentuk perkumpulan atau berbentuk yayasan, dan apakah badan hukum tersebut telah disahkan menurut hukum oleh pihak Kementerian Hukum dan HAM RI. Hal-hal tersebutlah yang tidak terurai/dijelaskan oleh Para Pemohon dalam permohonannya, sehingga menimbulkan ketidakjelasan permohonan.
Menurut Termohon, terkait dengan adanya kerugian langsung yang diderita oleh Para Pemohon yang diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut, Termohon sama sekali tidak melihat adanya kerugian tersebut. Hal ini didasarkan pada pernyataan Para Pemohon dalam permohonannya ( vide angka 10 halaman 7 permohonan Para Pemohon), yang menyatakan “berlakunya ketentuan - ketentuan a quo dan Permen a quo telah merugikan hak anggota-anggota Para Pemohon khususnya terkait dengan beban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)”. Menurut Termohon kerugian yang dialami tersebut bukan merupakan kerugian yang diderita Para Pemohon melainkan anggapan kerugian dari anggota-anggota Para Pemohon. Mekanisme yang dimiliki oleh Para Pemohon untuk menyelesaikan suatu persoalan/permasalahan-permasalahan, termasuk masalah Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 150 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 151 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)yang dihadapi anggota-anggota Para Pemohon, adalah dengan cara “memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan serta komunikasi dan konsultasi dengan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah industri pertambangan batubara ” bukan dengan cara mengajukan judicial review. Hal ini merujuk pada pernyataan Para Pemohon mengenai maksud dan tujuan didirikannya Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesia Mining Association yang dibentuk tanggal 26 Januari 1988 ( vide angka 9 halaman 7 permohonan Para Pemohon) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association yang dibentuk tanggal 22 Maret 2007 ( vide angka 8 halaman 6 permohonan Para Pemohon) yaitu: membantu Pemerintah di dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk menggalakkan perkembangan industri pertambangan dan untuk memanfaatkan keterangan-keterangan yang tidak bersifat rahasia dan tidak merupakan hak milik guna memajukan eksplorasi penambangan, pemurnian hasil-hasil tambang serta aspek-aspek yang bertalian dengan metalurgi di Indonesia, memberikan saran-saran untuk industri pertambangan di Indonesia dan meningkatkan kesadaran dan pengertian atas masalah-masalah penting (kritis) yang menyangkut industri pertambangan seutuhnya, memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan, menyebarkan secara luas keterangan mengenai kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah kepada-anggota dan menyebar-luaskan citra positif mengenai usaha pertambangan kepada khalayak umum. Didalam anggaran dasar Para Pemohon tidak tercantum pasal yang menyatakan bahwa Para Pemohon mewakili kepentingan anggotanya didalam maupun diluar pengadilan, sehingga jika terdapat kerugian oleh para anggota Pemohon terkait berlakunya suatu ketentuan maka yang seharusnya mengajukan gugatan hukum/permohonan uji materi ke pengadilan adalah anggota-anggota Para Pemohon yang kepentingannya dirugikan, mengingat tidak semua perusahaan pertambangan menjadi anggota Para Pemohon. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 151 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 152 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Bahwa Para Pemohon pernah mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) huruf a dan Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, dan telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan putusan No. 16P/HUM/2015 pada tanggal 8 Desember 2015 dengan amar putusan permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (NO)( vide Bukti T-1). Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan permohonan HUM atas perkara tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas, adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Agung menyatakan Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dan karenanya permohonan Para Pemohon wajib dinyatakan tidak dapat diterima ( NIET ONVANKELIJK VERKLAARD) . III. LATAR BELAKANG TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH A QUO DAN PERATURAN MENTERI A QUO Sebelum Termohon memberikan tanggapan atas permohonan Para Pemohon, Termohon akan menyampaikan landasan filosofi sebagai berikut:
Latar Belakang Terbitnya Norma Kewajiban Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan Sebagaimana Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Pasal 6 Ayat (2) Huruf b Angka 1 dan Pasal 15 Ayat (1) Huruf B, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 sertaPasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Peraturan Menteri LHK Nomor 50/2016; Bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 152 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 153 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Maha Esa. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat. Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dengan luasan yang cukup dan dijaga agar daya dukungnya tetap lestari. Pembangunan kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang tidak terpisahkan sehingga harus selaras dengan dinamika pembangunan nasional. Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 153 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 154 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 hutan tersebut dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Salah satu kegiatan penggunaan kawasan hutan diluar kegiatan kehutanan adalah kegiatan pertambangan melalui pinjam pakai kawasan hutan. Pada prinsipnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Bahwa para pelaku usaha telah diberikan kesempatan untuk mengambil keuntungan atas sumber daya alam (hutan) yang seharusnya menjadi kekuasaan dari negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat,sehingga negara harus memperoleh kompensasi atas hilangnya sumber daya alam tersebut untuk dikembalikan kepada masyarakat. Salah satu bentuk kompensasi tersebut adalah membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak kepada Negara. Untuk mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak guna menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kementerian Kehutanan telah memiliki tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Namun untuk pengendalian penggunaan kawasan hutan guna menunjang pembangunan di luar kegiatan kehutanan serta untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 154 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 155 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, perlu mengenakan tarif terhadap seluruh area penggunaan kawasan hutan dan mengatur kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Pemerintah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 menjadi penting ( conditio sine qua non ) karena dikeluarkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Latar Belakang Terbitnya Kewajiban Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagaimana diatur dalam Permen LHK 89/2016 a. Hutan adalah kekayaan negara yang rentan (daya dukung dan daya tampung terbatas), yang dapat dimanfaatkan tidak melebihi kemampuannya, sehingga harus dikembalikan kondisinya pada kondisi semula. Aktivitas penambangan mengeksploitasi secara besar sumber daya hutan yang ada, sehingga mustahil untuk mengembalikan sumber daya hutan sama persis seperti kondisi semula. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 155 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 156 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 b. Jika sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tidak dapat dikembalikan seperti kondisi semula, maka Pemerintah wajib mengatur lebih lanjut secara optimal untuk mengurangi dampak- dampak yang ditimbulkannya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mewajibkan pemegang IPPKH untuk melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi DAS.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (yang selanjutnya disingkat RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan.
Dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Pasal 5 ayat 2 huruf b angka 1 PermenLHK No. 50/2015,disebutkan bahwa setiap penggunaan kawasan hutan/pemegang IPPKH wajib melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi. Reklamasi dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi areal yang dilakukan eksploitasi agar pulih kembali (tidak mungkin pulih kembali seperti kondisi semula). Mengingat kegiatan reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat memulihkan kembali hutan pada kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi. Selain itu rehabilitasi DAS diluar areal izin dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali pada areal izin serta untuk mengganti kerusakan lingkungan pada area sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH tersebut. Sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 156 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 157 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 contoh pada area IPPKH tambang emas limbah pengolahannya akan mencemari tidak hanya pada lokasi izin akan tetapi sampai di luar areal izinnya. Akibat penambangan terhadap hutan telah menimbulkan dampak sebagai berikut:
Kerusakan struktur hutan yang menyebabkan hilangnya kemampuan hutan untuk mempertahankan fungsi dan stabilitas hutan.
Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, karena terjadi peluang kepunahan beberapa jenis terutama jenis yang langka.
Kerusakan bentang lahan dan rusaknya fungsi hidroorologis akibat banyaknya lubang-lubang galian bekas tambang yang ditinggalkan menjadi kolam-kolam.
Hilangnya top soil yang menyebabkan hilangnya kesuburan tanah bahkan sampai kebatuan induk. Pengembalian kesuburan tanah diperlukan puluhan bahkan tahunan.
Meningkatnya suhu udara disekitar-sekitar.
Terjadinya pencemaran air.
Terjadinya kerusakan ekosistem. Sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM ( vide bukti T-3) Penanaman rehabilitasi DAS merupakan salah satu kewajiban pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) baik pemegang IPPKH tambang maupun non tambang. IPPKH untuk kegiatan pertambangan mengubah bentang alam, mengubah hutan alam menjadi hutan tanaman sehingga mengakibatkan keanekaragaman hayati di Indonesia berkurang, sedangkan IPPKH untuk kegiatan non pertambangan tidak mengubah bentang alam. Kegiatan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk pertambangan pada umumnya menimbulkan kerusakan kawasan hutan lebih besar dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk non pertambangan. Berdasarkan data bulan Mei tahun 2017 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 717 IPPKH yang berkewajiban melakukan penanaman rehabilitasi DAS terdiri atas 573 IPPKH Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 157 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 158 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 untuk kegiatan pertambangan dan 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan. Dari 573 IPPKH untuk kegiatan pertambangan, 52 IPPKH telah melakukan penanaman dan dari 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan, 10 IPPKH telah melakukan penanaman.Alangkah tidak adilnya jika pemegang IPPPKH untuk pertambangan yang telah melakukan kerusakan lebih besar justru tidak mau melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS ( vide bukti T-.2). Bahwa penerbitan ketentuan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo sudah memperhatikan aspek sosiologis dan yuridis sebagaimana dimaksud UU No. 12/2011, yaitu:
Aspek Sosiologis Bahwa penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS merupakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung perlindungan sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (vide penjelasan umum PP Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan). Dalam konteks pengelolaan DAS, apabila terjadi kerusakan pada suatu tempat akan berpengaruh pada tempat yang lain dalam suatu daerah aliran sungai. Dengan demikian, kegiatan IPPKH pertambangan dalam satu DAS pada suatu tempat akan berpengaruh di tempat yang lain. Apabila terjadi kerusakan di areal pertambangan, areal di luar areal pertambangan juga akan ikut rusak, sehingga perlu dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi.
Aspek Yuridis Bahwa kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo merupakan pelaksanaan atas peraturan diatasnya yaitu UU No. 41/1999 yaitu: Pasal 45 Ayat (1), (2), dan (4): Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 158 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 159 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian ketentuan dalam objek permohonan a quo yang mewajibkan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS bagi Pemegang IPPKH yang dilakukan diluar areal IPPKH secara hukum tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. IV. JAWABAN TERMOHON TERHADAP POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 (halaman 16). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 159 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 160 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 a. Bahwa UU PNBP sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, telah mengatur Penerimaan Negara Bukan Pajak ke dalam beberapa kelompok jenis PNBP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PNBP. Untuk mengantisipasi adanya potensi dari Penerimaan Negara yang bisa menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka selain jenis kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PNBP, juga diatur mengenai jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak lainnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa UU PNBP dibentuk pada tahun 1997, sedangkan potensi jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum dapat teridentifikasi sangatlah banyak, dan mengingat penetapan tarif perlu mengikuti perubahan ekonomi yang sangat dinamis, sehingga perlu penyesuaian dan tidak mungkin semua diatur dalam Undang-Undang, oleh karena itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa adapun jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah juga harus dikemukakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk dibahas dan disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PNBP).
Dalam Hukum Tata Negara, dikenal adanya teori “ Delegatie van Recht Geven” yaitu delegasi yang diberikan oleh perundang- undangan. Bahwa delegasi tersebut dimungkinkan dalam Undang-Undang disebabkan undang-undang tidak mungkin mengatur segala hal secara terperinci termasuk jenis dan tarif penerimaan bukan pajak. Dengan demikian, diperlukan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang masih Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 160 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 161 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 bersifat umum dalam Undang-Undang ke dalam peraturan lain yang bersifat turunannya.
Selanjutnya Pemerintah memiliki tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, sedangkan undang-undang tidak mungkin mengatur secara terperinci hal tersebut, sehingga Pemerintah diberikan kebebasan bertindak ( freies ermessen ), dengan ketentuan kebebasan bertindak tersebut harus sesuai dengan undang-undang dan AUPB. Oleh karena itu undang-undang memberikan delegasi kepada pemerintah, untuk membentuk peraturan pelaksananya.
Berkaitan dengan Diskresi secara umum juga bisa dilakukan tidak hanya karena diskresi semata-mata tetapi diberi dasar oleh undang-undang ( delagatie van recht geven ). Artinya undang- undang sendiri yang memberikan pendelegasian tersebut, dalam hal ini UU PNBP telah memberikan pendelegasian untuk menetapkan jenis dan tarif PNBP melalui peraturan pemerintah, yakni melalui PP 33/2014.
Bahwa mencermati ketentuan sebagaimana disebutkan diatas, PNBP sebagaimana dimaksud dalam PP 33/2014 merupakan jenis PNBP dari pemanfaatan sumber daya alam ( vide Pasal 2 ayat (1) huruf b). Bahwa Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP telah mengatur pendelegasian secara tegas, bahwa jenis dan tarif atas jenis PNBP dalam kelompok penerimaan negara bukan pajak atas pemanfaatan sumber daya alam ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian PP 33/2014 tidak melanggar hierarki peraturan perundang- undangan.
Bahwa kewenangan untuk menetapkan tarif dalam bentuk Peraturan Pemerintah telah sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Sebagaimana diketahui bahwa “materi muatan Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya” yang artinya bahwa Peraturan Pemerintah adalah melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 161 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 162 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Undang-Undang yang bersangkutan ( vide Pasal 12 UU 12/2011).
Bahwa hal tersebut sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segerasupaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi.” j. Bahwa pengaturan jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan pengaturan yang bersifat teknis sebagai pelaksanaan UU PNBP yang materi muatannya bersifat umum, dan hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf c UU 12/2011 yang mengatur asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Sehingga apabila pengaturan jenis dan tarif PNBPdiatur dalam Undang-Undang maka menjadi tidak sesuai dengan materi muatan Undang-Undang yang bersifat umum.
Bahwa sesuai dengan konsideran menimbang huruf b PP No. 33 Tahun 2014 menyatakan bahwa “ ... untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (2) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak....”. Berdasarkan hal tersebut jenis dan tarif Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 162 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 163 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP sebagaimana diatur dalam PP No.33 Tahun 2014 adalah untuk melaksanakan pengaturan yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP. Sebagai pengaturan lebih lanjut dari apa yang didelegasikan UU, pengaturan jenis dan tarif PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dalam PP a quo telah sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa pengaturan jenis dan tarif PNBP berupa penggunaan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah a quo , telah sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung RI No. 62 P/HUM/2013 (halaman 56 alinea terakhir s/d halaman 59), yang pada intinya menyatakan pada prinsipnya setiap pungutan yang bersifat memaksa oleh negara termasuk PNBP ditetapkan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah vide Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap pengaturan jenis dan tarif PNBP yang merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang seharusnya diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan Peraturan Pemerintah dianggap bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 adalah tidak benar dan tidak beralasan.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa Pasal a quo juga bertentangan dengan UU Kehutanan yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU Kehutanan tidak pernah mengatur pengenaan PNBP oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (Ijin Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 163 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 164 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam pakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomis terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan (halaman 28). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah undang-undang yang mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan teknis kehutanan, serta memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan UU yang mengatur khusus mengenai penentuan jenis dan tarif PNBP ( lex spesialis ) adalah UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sehingga untuk pengaturan jenis dan tarif PNBP dibidang kehutanan tunduk pada UU No. 20/1997. Dengan demikian, UU 41/1999 bukanlah ketentuan mengatur mengenai PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan seperti yang di dalilkan Para Pemohon.
Bahwa kelompok PNBP yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan/dalam ketentuan PP 33/2014 a quo, termasuk dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PNBP yaitu kelompok penerimaan negara bukan pajak meliputi penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU PNBP diatur bahwa Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 164 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 165 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 d. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP diatur bahwa Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud padaayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yangmenetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penerbitan PP No. 33 Tahun 2014, PP Nomor 24 Tahun 2010, dan PP Nomor 105 Tahun 2015 serta PermenLHK No. 50/2016 khususnya yang mengatur mengenai kewajiban pembayaran PNBP kepada Negara adalah sudah tepat dan benar.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai kawasan hutan telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatifdari adanya pengenaan PNBP tersebut . Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (halaman 31). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan konsultasi publik dan pembahasan yang dilakukan beberapa kali dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 165 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 166 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI) sampai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 membuktikan bahwa Pemohon turut terlibat atau ikut serta dalam pembahasan penyempurnaan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan dan menyepakati kenaikan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3. Berdasarkan hal tersebut diatas, justru menunjukkan bahwa Para Pemohon tidak konsisten dalam menanggapi permasalahan yang ada sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional dari Para Pemohon.
Bahwa filosofi Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan adalah pengganti lahan kompensasi . Lahan kompensasi untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) komersil pada wilayah yang mempunyai hutan < 30% adalah ratio 1 : 2 berdasarkan luas total area IPPKH sehingga Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dikenakan terhadap seluruh areal IPPKH.
Negara telah memberikan hak kepada pemegang IPPKH terhadap seluruh area Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan-nya, sehingga negara harus mendapat kompensasi atas “ opportunity lose ” seluruh area IPPKH yang diberikan tersebut.
Apabila area pengembangan/area penyangga tidak digunakan maka keuntungan yang diperoleh adalah tidak diperlukan reklamasi dan hanya dikenakan 1 x tarif (biaya lebih rendah daripada 4 x tarif), sedang jika area tersebut digunakan, maka Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 166 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 167 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib direklamasi dan juga dikenakan tarif PNBP 4 x tarif (biaya tinggi).
Pada kenyataan banyak pelaku usaha tidak mengusahakan atau mengerjakan seluruh areal yang diberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sebagai contoh berdasarkan data yang ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdapat beberapa perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal yaitu:
PT. Indexim Coalindo Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 837/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 dengan luas areal kerja 5.732,72 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini belum terdapat kegiatan (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2016) ( vide bukti T- 4a).
PT. Batubara Duaribu Abadi Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK.681/Menhut-II/2009 tanggal 16 Oktober 2009 dengan luas areal kerja 1.4832,98 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 224,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2013) ( vide bukti T- 4b).
PT. Karimun Granite Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 172/Menhut-II/2013 tanggal 21 Maret 2013 dengan luas areal kerja 1.834,47 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 157,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2015) ( vide bukti T- 4c.).
Apabila yang dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan hanya area terganggu saja, maka Negara mengalami kerugian antara lain :
Negara tidak mendapatkan kompensasi atas area pengembangan/area penyangga; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 167 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 168 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2) Negara tidak dapat memberikan area pengembangan/area penyangga kepada pihak lain yang ingin menggunakan area tersebut.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai tidak mencerminkan dan bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan (halaman 43). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan RI pada kriteria L3 seharusnya mempunyai faktor pengali tertinggi dalam rumus Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan, karena L3 mempunyai dampak kerusakan lingkungan terparah dari semua kriteria area penggunaan kawasan hutan.
Menurut Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan) PP No. 2 Tahun 2008 sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini akibat adanya peningkatan nilai-nilai yang terkandung dalam kawasan hutan, adanya nilai inflasi dan kenaikan dampak kerusakan lingkungan, nilai intrinsik sumber daya hutan yang hilang akibat dari penggunaan kawasan hutan sebesar ± Rp. 85 Juta/Ha/Tahun.
Berdasarkan konsultasi publik yang diselenggarakan pada tanggal 2 Oktober 2012 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 168 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 169 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI). Adapun hasil konsultasi publik tersebut salah satunya adalah pada prinsipnya seluruh peserta rapatsepakat untuk menaikkan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3.
Pembahasan tanggal Pada tanggal 30 Oktober 2012 yang dipimpin oleh Sekretaris Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Kerja Regulasi KP3EI menghasilkan kesimpulan antara lain seluruh peserta rapat sependapat dengan rencana kenaikan tarif 30% karena tarif PNBP yang berlaku saat ini masih tergolong rendah sehingga sudah saatnya perlu disesuaikan dengan nilai inflasi yang ada.
Selain itu penyesuaian terhadap rumus pengali PNBP PKH yang semula kriteria L3 hanya dikenakan 2 kali tarif berubah menjadi 7 kali tarifdilakukan juga karena mempertimbangkan bahwa kriteria L3 merupakan area yang terkena dampak paling parah dan secara teknis tidak dapat direklamasi bahkan bisa dikatakan merupakan wilayah lost land. f. Perubahan formula tersebut juga telah memperhatikan 3 aspek yaitu:
Aspek kepastian Pengusaha : ketentuan kenaikan tarif yang jelas memberi kepastian para pengusaha untuk memperhitungkan kelayakan usahanya. Dengan pembayaran PNBP tersebut, pengusaha dapat secara pasti menjalankan usahanya. Pemerintah : ketentuan kenaikan tarif dengan kriteria yang jelas memberi kepastian penghitungan rencana dan target PNBP Masyarakat : kenaikan tarif ini memberi kepastian pada masyarakat bahwa setiap penggunaan kawasan hutan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 169 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 170 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 disertai dengan kompensasi PNBP dengan nilai yang layak akan digunakan untuk program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui mekanisme APBN.
Aspek keadilan Pengusaha : aspek keadilan dapat dilihat dari kenaikan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan kelompok pengusahaan dan kriteria penggunaan kawasan hutan. Ketentuan besaran tarif berdasarkan pendekatan Cost Plus yaitu pengusaha membayar lebih besar karena manfaat ekonomi yang diperoleh pengusaha juga lebih besar atau dalam rangka pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk melindungi kelestarian lingkungan/alam/sumber daya hutan. Pemerintah : kenaikan tarif dan perluasan objek PNBP adalah sebagai ganti kompensasi dari oppurtuni lost yang telah diberikan kepada pengusaha. Kenaikan hanya ± 30% dan kenaikan koofisien L3 menjadi 7x karena adanya punishment terhadap dampak kerusakan parah yang ditimbulkan dan negara harus mendapat kompensasi untuk itu untuk memperbaiki dan memelihara L3. Masyarakat : kenaikan tarif dan kenaikan koofisien memberikan rasa keadilan kepada masyarakat karena masyarakat mendapat kompensasi atas program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui pemanfaatan PNBP.
Aspek manfaat Kenaikan tarif ini bermanfaat untuk kepastian berusaha, keadilan bagi Pemerintah dan masyarakat.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan : Ketentuan yang berkaitan dengan Kewajiban Penanaman dalam Rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 170 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 171 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Permen LHK 50/2016 dan Permenlhk 89/2016bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU 41/1999 dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa ketentuan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” Penjelasan: Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan b. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya hal. 131 berpendapat bahwa materi muatan PP adalah keseluruhan materi muatan Undang-undang yang dilimpahkan kepadanya, atau dengan perkataan lain materi muatan PP adalah sama dengan materi muatan Undang-undang sebatas pada yang dilimpahkan kepadanya.
Ketentuan Pasal 45 UU No. 41 Tahun 1999 mengatur:
Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 171 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 172 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah . Bahwa jika dilihat dari materi muatan dalam ketentuan Pasal 21 PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015 dimaksud, ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 jo. Pasal 38 UU 41/1999. Suatu Undang-Undang memuat peraturan yang bersifat umum, abstrak dan tidak mengatur semua hal secara terperinci. Oleh karena PP sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 38 UU 41/1999 menjabarkan ketentuan lebih lanjut mengenai pola reklamasi dan atau rehabilitasi yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian apabila ditinjau dari hierarki perundang- undangan, maka dikeluarkan PP 24/2010 jo. PP 105/2015 tidak bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan.
Bahwa selanjutnya PP juga tidak dapat mengatur semua hal terutama peristiwa konkret yang terjadi sehingga PP juga memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa konkret tersebut serta untuk memenuhi kepentingan atau untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
Berdasarkan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur:
Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Transfer Ke Daerah yang Penggunaannya Sudah Ditentukan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.