Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai
Relevan terhadap
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku terhitung 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 April 2016 DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- HERU PAMBUDI TATA KERJA PENYELESAIAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI DENGAN PIB A. PIB YANG DISAMPAIKAN MELALUI SISTEM PDE KEPABEANAN I. PENDAFTARAN PIB 1. Importir atau PPJK mengisi dan membuat PIB dalam bentuk data elektronik dan menyampaikan data PIB ke Kantor Pabean secara elektronik.
SKP menerima data PIB dan melakukan penelitian ada atau tidaknya pemblokiran importir dan PPJK:
nomor dan tanggal BC 1.1 Inward atau pos BC 1.2 Inward , nomor pos dan sub pos BC 1.1, dan kode gudang TPS _; _ b. kelengkapan pengisian data PIB selain huruf a;
nomor dan tanggal dokumen pengangkutan (B/L, AWB, house B/L, house AWB, dll) tidak berulang;
kode dan nilai tukar valuta asing ada dalam data NDPBM;
pos tarif tercantum dalam BTKI;
Nomor Pokok PPJK (NP PPJK) dan jaminan yang dipertaruhkan oleh PPJK, dalam hal pengurusan PIB dikuasakan kepada PPJK; dan
Kesesuaian data PIB dengan data BC 1.1 Inward atau BC 1.2 Inward dan kode gudang TPS, meliputi: - nomor dan tanggal penerbitan dokumen pengangkutan (B/L, AWB, House B/L, House AWB, dll); - nomor dan tanggal BC 1.1, nomor pos dan/atau sub pos BC 1.1; dan - jumlah kemasan; - nomor dan ukuran kontainer, dalam hal menggunakan kontainer; dan - kode gudang TPS, dalam hal TPS telah terhubung dengan sistem TPS Online.
Dalam hal pengisian data PIB sebagaimana dimaksud pada butir 2.2. huruf b LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-16/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI sampai dengan huruf f tidak sesuai:
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada butir 2.2. huruf b sampai dengan huruf f telah sesuai:
Importir melakukan:
Apabila sampai dengan:
5 (lima) hari sejak tanggal pengajuan PIB importir belum melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal PIB mewajibkan pembayaran atau pembayaran dan penyerahan jaminan; atau b. 14 (empat belas) hari sejak tanggal aju importir belum menyerahkan jaminan atas bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal PIB hanya mewajibkan penyerahan jaminan, SKP menerbitkan respons penolakan.
Dalam hal importir telah menyampaikan data nomor dan tanggal BC 1.1 atau BC 1.2 Inward , pos dan/atau sub pos BC 1.1, SKP melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada butir 2.2 huruf a dan huruf g.
Dalam hal importir telah melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor dan/atau menyerahkan jaminan, SKP melakukan penelitian pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan atas barang impor berdasarkan pos tarif dan/atau uraian jumlah dan jenis barang yang diberitahukan dalam PIB.
1.1. Importir menerima respons NPBL.
1.2. Importir menyampaikan dokumen yang dipersyaratkan ke Kantor Pabean.
1.3. SKP atau Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan melakukan penelitian terhadap dokumen yang dipersyaratkan.
1.3.1. Dalam hal penelitian dilakukan oleh Pejabat dan hasil penelitian menunjukkan dokumen yang dipersyaratkan telah sesuai, Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan merekam hasil penelitian dan dokumen yang dipersyaratkan ke dalam SKP.
1.3.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan dokumen yang dipersyaratkan telah sesuai dan:
impor dilakukan oleh AEO atau Mitra Utama Kepabeanan; atau
data sebagaimana dimaksud pada butir 2.2. huruf a dan huruf g sesuai, dalam hal impor dilakukan oleh selain AEO dan Mitra Utama Kepabeanan, SKP memberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor.
1.3.3. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan dokumen yang dipersyaratkan belum sesuai, SKP atau Pejabat yang menangani penelitian pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan melalui SKP memberitahukan kembali kepada importir.
2.1. impor dilakukan oleh AEO atau Mitra Utama Kepabeanan; atau
2.2. hasil penelitian data sebagaimana dimaksud pada butir 2.2. huruf a dan huruf g sesuai, apabila impor dilakukan oleh selain AEO dan Mitra Utama Kepabeanan, SKP memberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor.
3.1. meneruskan data PIB kepada Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan untuk dilakukan penelitian pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan, dalam hal impor dilakukan oleh selain AEO dan Mitra Utama Kepabeanan.
3.1.1. Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan merekam hasil penelitian ke dalam SKP.
3.1.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan:
barang impor tidak wajib memenuhi ketentuan larangan/pembatasan atau ketentuan larangan/pembatasan telah dipenuhi; dan
data sebagaimana dimaksud pada butir 2.2. huruf a dan huruf g sesuai, SKP memberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor.
3.1.3. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan barang impor wajib memenuhi ketentuan larangan/pembatasan, dan persyaratannya belum dipenuhi:
Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan merekam hasil penelitiannya ke dalam SKP.
SKP menerbitkan NPBL dengan tembusan kepada unit pengawasan. (selanjutnya dilakukan proses sebagaimana dimaksud pada butir 8.1.1 s.d. 8.1.3.3) 8.3.2. meneliti pemberitahuan larangan/pembatasan dalam PIB dalam hal impor dilakukan oleh AEO dan Mitra Utama Kepabeanan.
3.2.1. Dalam hal importir memberitahukan bahwa:
telah memenuhi ketentuan larangan/pembatasan; atau b. barang tidak wajib memenuhi ketentuan larangan/pembatasan, SKP memberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor.
3.2.2. Dalam hal importir memberitahukan bahwa ketentuan larangan/pembatasan belum dipenuhi, SKP menerbitkan NPBL. (selanjutnya dilakukan proses sebagaimana dimaksud pada butir 8.1.1 s.d. 8.1.3.3) II. PEMERIKSAAN PABEAN SEBELUM PENGELUARAN BARANG IMPOR A. Pengeluaran barang impor ditetapkan melalui Jalur Hijau:
SKP mengirim respons SPPB kepada Importir.
Importir atau PPJK menerima respons SPPB dan mencetaknya untuk pengeluaran barang dari kawasan pabean. B. Pengeluaran barang impor ditetapkan melalui Jalur Kuning:
SKP mengirim respons Surat Pemberitahuan Jalur Kuning (SPJK) kepada Importir atau PPJK.
Importir atau PPJK menerima respons SPJK.
Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penelitian terhadap data PIB dan/atau dokumen pelengkap pabean.
Pejabat pemeriksa dokumen dapat mengirim respons melalui SKP berupa permintaan tambahan keterangan dalam rangka penelitian tarif dan nilai pabean.
Dalam hal hasil penelitian menemukan indikasi adanya perbedaan jumlah, jenis dan/atau pelanggaran, Pejabat pemeriksa dokumen memberitahukan hal tersebut kepada unit pengawasan melalui SKP untuk dilakukan pemeriksaan fisik melalui mekanisme NHI.
2.1. Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penetapan tarif dan nilai pabean.
2.2. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean menunjukkan bahwa barang impor merupakan barang larangan atau pembatasan dan belum memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan, Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan Surat Penetapan Barang Larangan/Pembatasan (SPBL) yang berfungsi sebagai pemberitahuan dan penetapan tarif.
2.3. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran:
2.3.1. Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan:
SPTNP dan mengirimkan respons SPTNP serta kode billing kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani penagihan, untuk BM dan PDRI yang wajib dibayar; dan/atau b. SPPJ dan mengirimkan respons SPPJ kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani jaminan, untuk BM dan PDRI yang mendapatkan penundaan.
2.3.2. Importir :
membayar kekurangan pembayaran sesuai dengan SPTNP beserta kode billing dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan.
2.4. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean menunjukkan bahwa barang impor bukan merupakan barang larangan atau pembatasan, atau telah memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan dan:
2.4.1. tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran; atau
2.4.2. mengakibatkan kekurangan pembayaran:
barang diimpor oleh importir dengan katagori risiko rendah dan tidak mendapatkan persetujuan penundaan bea masuk; atau
importir:
telah melunasi kekurangan pembayaran berdasarkan SPTNP dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan, SKP menerbitkan SPPB.
Dalam hal tidak ditemukan indikasi adanya perbedaan jumlah, jenis dan/atau pelanggaran, dilakukan langkah-langkah sesuai dengan butir 5.2.1 s.d. 5.2.4.2. C. Pengeluaran barang impor ditetapkan melalui Jalur Merah:
SKP mengirim respons Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM) kepada Importir atau PPJK dan Pengusaha TPS untuk penyiapan barang.
Importir menerima respons SPJM dan menyampaikan pemberitahuan kesiapan barang kepada Pejabat pelayanan pabean paling lambat pada pukul 12.00 pada hari atau hari kerja berikutnya setelah tanggal SPJM.
Apabila Importir tidak menyerahkan dokumen pelengkap pabean dan memberitahukan kesiapan barang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada butir 2, Pejabat yang menangani pelayanan pabean menyampaikan pemberitahuan kepada pengusaha TPS untuk menyiapkan pelaksanaan pemeriksaan fisik.
Pengusaha TPS menerima pemberitahuan butir 3 dan menyiapkan pelaksanaan pemeriksaan fisik.
Dalam hal dokumen pelengkap pabean telah diterima dan/atau Pengusaha TPS menyatakan kesiapan pemeriksaan fisik, dilakukan langkah sebagai berikut:
Barang yang diimpor oleh importir berisiko rendah yang terkena pemeriksaan acak;
barang sejenis yang terdiri dari satu pos dalam PIB;
barang yang dimuat dalam peti kemas berpendingin ( refrigerated _container); _ d. barang yang berdasarkan analisis intelijen ditetapkan untuk diperiksa melalui pemindai peti kemas _; _ e. barang peka udara; atau
barang lainnya yang berdasarkan pertimbangan Pejabat Bea dan Cukai dapat dilakukan pemeriksaan melalui pemindai peti kemas, sesuai tata cara sebagai berikut:
2.1. Pejabat yang menangani pelayanan pabean menerbitkan Instruksi Pemeriksaan Fisik melalui Pemindai Peti Kemas . 5.2.2. Importir menyiapkan peti kemas untuk dilakukan pemeriksaan fisik melalui pemindai peti kemas.
2.3. Pejabat pemindai peti kemas melakukan pemindaian Barang Impor dan melakukan penelitian hasil cetak pemindaian.
2.4. Pejabat pemindai peti kemas menuliskan kesimpulan pada Laporan Hasil Analisa Tampilan (LHAT) dan merekamnya ke dalam SKP, kemudian menyampaikannya kepada Pejabat yang menangani pelayanan pabean.
2.5. Dalam hal Pejabat pemindai peti kemas menyimpulkan untuk dilakukan pemeriksaan fisik barang, Pejabat yang menangani pelayanan pabean menunjuk Pejabat pemeriksa fisik dan menerbitkan Instruksi Pemeriksaan.
2.6. Dalam hal Pejabat pemindai peti kemas menyimpulkan tidak perlu pemeriksaan fisik barang, Pejabat yang menangani pelayanan pabean meneruskan PIB dan dokumen pelengkap pabean, dan LHAT kepada Pejabat pemeriksa dokumen untuk dilakukan penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean.
instruksi pemeriksaan;
invoice/packing list atau hasil cetak PIB; __ dan c. LHAT dan hasil cetak pemindaian, dalam hal dilakukan pemeriksaan melalui pemindai peti kemas yang disimpulkan untuk dilakukan pemeriksaan fisik barang.
Dalam hal hasil pemeriksaan fisik dan/atau laboratorium kedapatan tidak sesuai, Pejabat pemeriksa dokumen dapat meneruskan kepada unit pengawasan.
tidak dilakukan penelitian lanjutan (6.1.); atau
tidak ada respons dari unit pengawasan dalam waktu yang ditentukan butir 6.1., Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penelitian tarif dan nilai pabean, serta pemenuhan ketentuan tentang larangan/pembatasan.
Dalam hal hasil pemeriksaan fisik dan hasil uji laboratorium (jika dilakukan uji laboratorium) menunjukkan kesesuaian dengan pemberitahuan, Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penelitian tarif dan nilai pabean, serta pemenuhan ketentuan tentang larangan/pembatasan.
Berdasarkan penelitian tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada butir 5.2.6, butir 6.2, dan butir 7:
1.1. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran:
1.1.1. Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan:
SPTNP dan mengirimkan respons SPTNP serta kode billing kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani penagihan, untuk BM dan PDRI yang wajib dibayar; dan/atau b. SPPJ dan mengirimkan respons SPPJ kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani jaminan, untuk BM dan PDRI yang mendapatkan penundaan.
1.1.2. Importir :
membayar kekurangan pembayaran sesuai dengan SPTNP beserta kode billing dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan.
1.2. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean menunjukkan bahwa barang impor bukan merupakan barang larangan atau pembatasan, atau telah memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan dan:
1.2.1. tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran; atau
1.2.2. mengakibatkan kekurangan pembayaran:
barang diimpor oleh importir dengan katagori risiko rendah dan tidak mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
importir:
telah melunasi kekurangan pembayaran berdasarkan SPTNP dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan, SKP menerbitkan SPPB. III. PENGELUARAN BARANG IMPOR A. Untuk TPS yang telah menerapkan sistem Pintu Otomatis TPS 1. Pengusaha TPS menerima data SPPB/SPPF dari SKP melalui sistem Pintu Otomatis TPS.
Importir menyerahkan SPPB/SPPF dan dokumen terkait pengambilan barang kepada Pengusaha TPS.
Pengusaha TPS dapat memberikan persetujuan pengambilan barang oleh importir untuk dikeluarkan dari TPS dalam hal dokumen butir 2 sesuai dengan data SPPB/SPPF dari SKP.
Pengusaha TPS menyampaikan kepada Pejabat yang mengawasi TPS apabila dokumen butir 2 tidak sesuai dengan data dari SKP.
Importir mengeluarkan barang impor dari TPS tanpa diberikan catatan oleh Pejabat yang mengawasi TPS.
Pengusaha TPS menyampaikan realisasi pengeluaran barang ke SKP. B. Untuk TPS yang belum menerapkan sistem Pintu Otomatis TPS 1. Importir menyerahkan SPPB/SPPF kepada Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
Pejabat mengawasi pengeluaran barang dari kawasan pabean atau TPS oleh importir berdasarkan SPPB atau berdasarkan SPPF untuk MITA Kepabeanan.
Importir menerima SPPB/SPPF yang diberikan catatan oleh Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
Importir mengeluarkan Barang Impor dari Kawasan Pabean.
Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang merekam realisasi pengeluaran barang ke SKP. IV. PASCA PERSETUJUAN PENGELUARAN BARANG A. Dalam hal pengeluaran barang impor ditetapkan melalui jalur Hijau:
Pejabat pemeriksa dokumen mengirimkan respons kepada importir berupa permintaan dokumen pelengkap pabean dalam hal sangat diperlukan untuk penelitian tarif dan nilai pabean;
Importir menyampaikan dokumen pelengkap pabean kepada pejabat pemeriksa dokumen dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah tanggal permintaan dokumen pelengkap pabean;
Pejabat pemeriksa dokumen meneliti dan menetapkan tarif dan nilai pabean dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran PIB, dan:
menerbitkan SPTNP dan kode billing dan/atau SPPJ dalam hal penelitian mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan PDRI; atau
menerbitkan rekomendasi penelitian ulang dan/atau audit kepabeanan dalam hal penelitian mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan PDRI setelah melebihi 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran PIB;
Importir menerima respons SPTNP beserta kode billing dan/atau SPPJ :
melunasinya dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal SPTNP, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada pejabat yang menangani penagihan dan/atau menyesuaikan jaminan dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan.
Dalam hal barang impor termasuk dalam pos tarif yang dikenai ketentuan larangan/pembatasan, Pejabat pemeriksa dokumen meneruskan data PIB kepada unit pengawasan, untuk diproses lebih lanjut. B. Dalam hal pengeluaran barang impor dilakukan oleh AEO atau Mitra Utama Kepabeanan, Importir melakukan kegiatan sebagai berikut:
Dalam hal memanfaatkan fasilitas pembayaran berkala, AEO dan MITA Kepabeanan melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan PDRI dengan menggunakan kode billing yang diterbitkan SKP.
Dalam hal AEO dan MITA Kepabeanan tidak menyampaikan nomor dan tanggal BC 1.1, nomor pos atau subpos sebelum mendapatkan SPPB, AEO dan MITA Kepabeanan menyampaikan nomor dan tanggal BC 1.1, nomor pos atau subpos paling lambat 7 (tujuh) hari sejak pengeluaran barang.
Terhadap barang yang dikeluarkan dengan SPPF oleh AEO atau MITA Kepabeanan dilakukan penyelesaian berikut:
5.1. Dalam hal hasil pemeriksaan fisik kedapatan sesuai, SKP menerbitkan SPPB.
5.2. Dalam hal hasil pemeriksaan fisik kedapatan tidak sesuai, Pejabat pemeriksa fisik mengirim LHP dan BAP Fisik kepada Pejabat pemeriksa dokumen untuk dilakukan penyelesaian sesuai dengan tahapan pada penyelesaian pengeluaran barang impor yang ditetapkan jalur merah butir 5.6. sampai dengan C. SKP melakukan penutupan Pos atau Subpos BC 1.1 yang tercantum dalam PIB yang telah mendapatkan SPPB. V. PERTUKARAN DATA PIB YANG DISAMPAIKAN MELALUI PORTAL INSW 1. Importir mengisi dan membuat PIB:
Portal INSW melakukan penelitian pemenuhan ketentuan larangan dan pembatasan atas barang impor yang diberitahukan.
Dalam hal berdasarkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada butir 2, menunjukkan bahwa ketentuan larangan dan pembatasan telah dipenuhi, Portal INSW menyampaikan status pemenuhan ketentuan larangan dan pembatasan atas PIB yang telah diajukan ke SKP di Kantor Pabean untuk diproses lebih lanjut.
Dalam hal penelitian ketentuan larangan dan pembatasan tidak dapat dilakukan oleh Portal INSW, Portal INSW menyampaikan ke SKP di Kantor Pabean bahwa perlu dilakukan penelitian pemenuhan ketentuan larangan dan pembatasan oleh Pejabat.
3.1. SKP menyampaikan hasil penelitian Pejabat sebagaimana dimaksud ke Portal INSW.
3.2. Portal INSW meneruskan PIB ke SKP untuk diproses lebih lanjut. VI. FORMULIR Pada hasil cetak SPPB, SPPF, SPJK, SPJM, NPBL, dan SPBL dicantumkan keterangan “Formulir ini dicetak secara otomatis oleh sistem komputer dan tidak memerlukan nama, tanda tangan pejabat, dan cap dinas”. B. PIB YANG DISAMPAIKAN MELALUI MEDIA PENYIMPAN DATA ELEKTRONIK I. PENDAFTARAN PIB 1. Importir atau PPJK mengisi dan membuat PIB dalam bentuk data elektronik dan menyimpannya dalam media penyimpan data.
Importir menyampaikan ke Kantor Pabean PIB dalam rangkap 3 (tiga), media penyimpan data elektronik, dokumen pelengkap pabean, surat keputusan pembebasan/keringanan/penundaan BM dan/atau PDRI, dokumen pemesanan pita cukai untuk BKC yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai, dan izin/rekomendasi dari instansi terkait.
Pejabat penerima dokumen pada Kantor Pabean menerima berkas PIB, lalu memeriksa kesesuaian hasil cetak PIB dengan data dalam media penyimpan data elektronik.
Pejabat penerima dokumen mengunggah ( upload) data dari media penyimpan data ke SKP Kantor Pabean, kemudian mengembalikan media penyimpan data elektronik kepada importir.
SKP menerima data PIB dan melakukan penelitian ada atau tidaknya pemblokiran importir dan PPJK:
nomor dan tanggal BC 1.1 Inward atau BC 1.2 Inward , nomor pos dan sub pos BC 1.1 atau pos _; _ b. kelengkapan pengisian data PIB selain huruf a;
nomor dan tanggal dokumen pengangkutan (B/L, AWB, house B/L, house AWB, dll) tidak berulang;
kode dan nilai tukar valuta asing ada dalam data NDPBM;
pos tarif tercantum dalam BTKI;
Nomor Pokok PPJK (NP PPJK) dan jaminan yang dipertaruhkan oleh PPJK, dalam hal pengurusan PIB dikuasakan kepada PPJK; dan
Kesesuaian data PIB dengan data BC 1.1 Inward atau BC 1.2 Inward meliputi: - nomor dan tanggal penerbitan dokumen pengangkutan (B/L, AWB, House B/L, House AWB, dll); - nomor dan tanggal BC 1.1, nomor pos dan/atau sub pos BC 1.1; dan - jumlah kemasan; dan - nomor dan ukuran kontainer, dalam hal menggunakan kontainer.
Dalam hal pengisian data PIB sebagaimana dimaksud pada butir 5.2. huruf b sampai dengan huruf f tidak sesuai:
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada butir 5.2. huruf b sampai dengan huruf f telah sesuai:
Importir melakukan:
5 (lima) hari sejak tanggal pengajuan PIB importir belum melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal PIB mewajibkan pembayaran atau pembayaran dan penyerahan jaminan; atau b. 14 (empat belas) hari sejak tanggal aju importir belum menyerahkan jaminan atas bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal PIB hanya mewajibkan penyerahan jaminan, SKP mencetak respons penolakan.
Dalam hal importir telah menyampaikan data nomor dan tanggal BC 1.1 Inward atau BC 1.2 Inward , pos dan/atau sub pos BC 1.1, SKP melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada butir 5.2 huruf a dan huruf g.
Dalam hal importir telah melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor dan/atau menyerahkan jaminan, SKP melakukan penelitian pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan atas barang impor berdasarkan pos tarif dan/atau uraian jumlah dan jenis barang yang diberitahukan dalam PIB.
1.1. Importir menerima respons NPBL.
1.2. Importir menyampaikan dokumen yang dipersyaratkan ke Kantor Pabean secara manual.
1.3. Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan melakukan penelitian terhadap dokumen yang dipersyaratkan.
1.3.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan dokumen yang dipersyaratkan telah sesuai, Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan merekam hasil penelitian dan dokumen yang dipersyaratkan ke dalam SKP.
1.3.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan dokumen yang dipersyaratkan telah sesuai dan:
impor dilakukan oleh AEO atau Mitra Utama Kepabeanan; atau
data sebagaimana dimaksud pada butir 5.2. huruf a dan huruf g sesuai, apabila impor dilakukan oleh selain AEO dan Mitra Utama Kepabeanan, SKP memberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor.
1.3.3. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan dokumen yang dipersyaratkan belum sesuai, Pejabat yang menangani penelitian pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan melalui SKP memberitahukan kembali kepada importir.
2.1. impor dilakukan oleh AEO atau Mitra Utama Kepabeanan; atau
2.2. hasil penelitian data sebagaimana dimaksud pada butir 5.2. huruf a dan huruf g sesuai, apabila impor dilakukan oleh selain AEO dan Mitra Utama Kepabeanan, SKP memberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor.
3.1. meneruskan data PIB kepada Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan untuk dilakukan penelitian pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan, apabila impor dilakukan oleh selain AEO dan Mitra Utama Kepabeanan.
3.1.1. Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan merekam hasil penelitian ke dalam SKP.
3.1.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan:
barang impor tidak wajib memenuhi ketentuan larangan/pembatasan atau ketentuan larangan/pembatasan telah dipenuhi; dan
data sebagaimana dimaksud pada butir 5.2. huruf a, dan huruf g sesuai, SKP memberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor.
3.1.3. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan barang impor wajib memenuhi ketentuan larangan/pembatasan, dan persyaratannya belum dipenuhi:
Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan merekam hasil penelitiannya ke dalam SKP.
SKP menerbitkan NPBL dengan tembusan kepada unit pengawasan. (selanjutnya dilakukan proses sebagaimana dimaksud pada butir 11.1.1 s.d. 11.1.3.3) 11.3.2. meneliti pemberitahuan larangan/pembatasan dalam PIB apabila impor dilakukan oleh AEO dan Mitra Utama Kepabeanan.
3.2.1. Dalam hal importir memberitahukan bahwa:
telah memenuhi ketentuan larangan/pembatasan; atau b. barang tidak wajib memenuhi ketentuan larangan/pembatasan, SKP memberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB dan menetapkan jalur pengeluaran barang impor.
3.2.2. Dalam hal importir memberitahukan bahwa ketentuan larangan/pembatasan belum dipenuhi, SKP menerbitkan NPBL. (selanjutnya dilakukan proses sebagaimana dimaksud pada butir 11.1.1 s.d. 11.1.3.3) II. PEMERIKSAAN PABEAN SEBELUM PENGELUARAN BARANG IMPOR A. Pengeluaran barang impor ditetapkan melalui Jalur Hijau:
SKP mencetak respons SPPB.
Pejabat menyerahkan respons SPPB kepada Importir atau PPJK.
Importir atau PPJK menerima respons SPPB untuk pengeluaran barang dari kawasan pabean. B. Pengeluaran barang impor ditetapkan melalui Jalur Kuning:
SKP mencetak respons Surat Pemberitahuan Jalur Kuning (SPJK).
Pejabat menyerahkan respons SPJK kepada Importir atau PPJK.
Importir atau PPJK menerima respons SPJK.
Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penelitian terhadap data PIB dan/atau dokumen pelengkap pabean.
Pejabat pemeriksa dokumen dapat mencetak respons melalui SKP berupa permintaan tambahan keterangan dalam rangka penelitian tarif dan nilai pabean.
Dalam hal hasil penelitian menemukan indikasi adanya perbedaan jumlah, jenis dan/atau pelanggaran, Pejabat pemeriksa dokumen memberitahukan hal tersebut kepada unit pengawasan melalui SKP untuk dilakukan pemeriksaan fisik melalui mekanisme NHI.
2.1. Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penetapan tarif dan nilai pabean.
2.2. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean menunjukkan bahwa barang impor merupakan barang larangan atau pembatasan dan belum memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan, Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan SPBL yang berfungsi sebagai pemberitahuan dan penetapan tarif.
2.3. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran:
2.3.1. Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan:
SPTNP dan mengirimkan SPTNP serta kode billing kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani penagihan, untuk BM dan PDRI yang wajib dibayar; dan/atau
SPPJ dan mengirimkan SPPJ kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani jaminan, untuk BM dan PDRI yang mendapatkan penundaan.
2.3.2. Importir :
membayar kekurangan pembayaran sesuai dengan SPTNP beserta kode billing dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan.
2.4. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean menunjukkan bahwa barang impor bukan merupakan barang larangan atau pembatasan, atau telah memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan dan:
2.4.1. tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran; atau
2.4.2. mengakibatkan kekurangan pembayaran:
barang diimpor oleh importir dengan katagori risiko rendah dan tidak mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
importir:
telah melunasi kekurangan pembayaran berdasarkan SPTNP dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan, SKP menerbitkan SPPB.
Dalam hal tidak ditemukan indikasi adanya perbedaan jumlah, jenis dan/atau pelanggaran, dilakukan langkah-langkah sesuai dengan butir 6.2.1 s.d.
2.4.2. C. Pengeluaran barang impor ditetapkan melalui Jalur Merah:
SKP mencetak respons Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM).
Pejabat menyerahkan respons SPJM kepada Importir atau PPJK dan Pengusaha TPS untuk penyiapan barang.
Importir atau PPJK menerima respons SPJM dan menyampaikan pemberitahuan kesiapan barang kepada Pejabat pelayanan pabean paling lama pada pukul 12.00 pada hari atau hari kerja berikutnya setelah tanggal SPJM.
Apabila Importir tidak menyerahkan dokumen pelengkap pabean dan memberitahukan kesiapan barang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada butir 3, Pejabat yang menangani pelayanan pabean menyampaikan pemberitahuan kepada pengusaha TPS untuk menyiapkan pelaksanaan pemeriksaan fisik.
Pengusaha TPS menerima pemberitahuan butir 4 dan menyiapkan pelaksanaan pemeriksaan fisik.
Dalam hal dokumen pelengkap pabean telah diterima atau Pengusaha TPS menyatakan kesiapan barang diperiksa, dilakukan langkah sebagai berikut:
Barang yang diimpor oleh importir berisiko rendah yang terkena pemeriksaan acak;
barang sejenis yang terdiri dari satu pos dalam PIB;
barang yang dimuat dalam peti kemas berpendingin ( refrigerated container ) _; _ d. barang yang berdasarkan analisa intelijen ditetapkan untuk diperiksa melalui pemindai peti kemas _; _ e. barang peka udara; atau
barang lainnya yang berdasarkan pertimbangan Pejabat Bea dan Cukai dapat dilakukan pemeriksaan melalui pemindai peti kemas, sesuai tata cara sebagai berikut:
2.1. Pejabat yang menangani pelayanan pabean menerbitkan Instruksi Pemeriksaan Fisik melalui Pemindai Peti Kemas . 6.2.2. Importir menyiapkan peti kemas untuk dilakukan pemeriksaan fisik melalui pemindai peti kemas.
2.3. Pejabat pemindai peti kemas melakukan pemindaian Barang Impor dan melakukan penelitian hasil cetak pemindaian.
2.4. Pejabat pemindai peti kemas menuliskan kesimpulan pada Laporan Hasil Analisa Tampilan (LHAT) dan merekamnya ke dalam SKP, kemudian menyampaikannya kepada Pejabat yang menangani pelayanan pabean.
2.5. Dalam hal Pejabat pemindai peti kemas menyimpulkan untuk dilakukan pemeriksaan fisik barang, Pejabat yang menangani pelayanan pabean menunjuk Pejabat pemeriksa fisik dan menerbitkan Instruksi Pemeriksaan.
2.6. Dalam hal Pejabat pemindai peti kemas menyimpulkan tidak perlu pemeriksaan fisik barang, Pejabat yang menangani pelayanan pabean meneruskan PIB dan dokumen pelengkap pabean, dan LHAT kepada Pejabat pemeriksa dokumen untuk dilakukan penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean.
instruksi pemeriksaan;
invoice/packing list atau hasil cetak PIB; __ dan c. LHAT dan hasil cetak pemindaian, dalam hal dilakukan pemeriksaan melalui pemindai peti kemas yang disimpulkan untuk dilakukan pemeriksaan fisik barang.
Dalam hal hasil pemeriksaan fisik dan/atau laboratorium kedapatan tidak sesuai, Pejabat pemeriksa dokumen dapat meneruskan kepada unit pengawasan.
tidak dilakukan penelitian lanjutan (7.1); atau
tidak ada respons dari unit pengawasan dalam waktu yang ditentukan butir 7.1, Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penelitian tarif dan nilai pabean, serta pemenuhan ketentuan tentang larangan/pembatasan.
Dalam hal hasil pemeriksaan fisik dan hasil uji laboratorium (jika dilakukan uji laboratorium) menunjukkan kesesuaian dengan pemberitahuan, Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penelitian tarif dan nilai pabean, serta pemenuhan ketentuan tentang larangan/pembatasan.
Berdasarkan penelitian tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada butir 6.2.6, butir 7.2, dan butir 8:
1.1. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran:
1.1.1. Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan SPTNP dan kode billing dan/atau SPPJ, dan mengirimkan kepada Importir atau PPJK, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani penagihan.
1.1.2. Importir :
membayar kekurangan pembayaran sesuai dengan SPTNP beserta kode billing dan/atau menyesuaikan jaminan dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau b. menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan.
1.2. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean menunjukkan bahwa barang impor bukan merupakan barang larangan atau pembatasan, atau telah memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan dan:
1.2.1. tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran; atau
1.2.2. mengakibatkan kekurangan pembayaran:
barang diimpor oleh importir dengan katagori risiko rendah dan tidak mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
importir:
telah melunasi kekurangan pembayaran berdasarkan SPTNP dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan, SKP menerbitkan SPPB. III. PENGELUARAN BARANG IMPOR 1. Importir menyerahkan SPPB/SPPF kepada Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
Pejabat mengawasi pengeluaran barang dari kawasan pabean atau TPS oleh importir berdasarkan SPPB atau berdasarkan SPPF untuk MITA Kepabeanan.
Importir menerima SPPB/SPPF yang diberikan catatan oleh Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
Importir mengeluarkan Barang Impor dari Kawasan Pabean.
Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang merekam realisasi pengeluaran barang ke SKP. IV. PASCA PERSETUJUAN PENGELUARAN BARANG A. Dalam hal pengeluaran barang impor ditetapkan melalui jalur Hijau:
Pejabat pemeriksa dokumen mengirimkan respons kepada importir berupa permintaan dokumen pelengkap pabean dalam hal sangat diperlukan untuk penelitian tarif dan nilai pabean;
Importir menyampaikan dokumen pelengkap pabean kepada pejabat pemeriksa dokumen dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah tanggal permintaan dokumen pelengkap pabean;
Pejabat pemeriksa dokumen meneliti dan menetapkan tarif dan nilai pabean dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran PIB, dan:
menerbitkan SPTNP dan kode billing dan/atau SPPJ dalam hal penelitian mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan PDRI; atau
menerbitkan rekomendasi penelitian ulang dan/atau audit kepabeanan dalam hal penelitian mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan PDRI setelah melebihi 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran PIB;
Importir menerima respons SPTNP beserta kode billing dan/atau SPPJ dan:
melunasinya dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal SPTNP, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada pejabat yang menangani penagihan, dan/atau menyesuaikan jaminan dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan.
Dalam hal barang impor termasuk dalam pos tarif yang dikenai ketentuan larangan/pembatasan, Pejabat pemeriksa dokumen meneruskan data PIB kepada unit pengawasan, untuk diproses lebih lanjut. B. Dalam hal pengeluaran barang impor dilakukan oleh AEO atau Mitra Utama Kepabeanan, Importir melakukan kegiatan sebagai berikut:
Dalam hal memanfaatkan fasilitas pembayaran berkala, AEO dan MITA Kepabeanan melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan PDRI dengan menggunakan kode billing yang diterbitkan SKP.
Dalam hal AEO dan MITA Kepabeanan tidak menyampaikan nomor dan tanggal BC 1.1, nomor pos atau subpos sebelum mendapatkan SPPB, AEO dan MITA Kepabeanan menyampaikan nomor dan tanggal BC 1.1, nomor pos atau subpos paling lambat 7 (tujuh) hari sejak pengeluaran barang.
Terhadap barang yang dikeluarkan dengan SPPF oleh AEO atau MITA Kepabeanan dilakukan penyelesaian berikut:
5.1. Dalam hal hasil pemeriksaan fisik kedapatan sesuai, SKP menerbitkan SPPB.
5.2. Dalam hal hasil pemeriksaan fisik kedapatan tidak sesuai, Pejabat pemeriksa fisik mengirim LHP dan BAP Fisik kepada Pejabat pemeriksa dokumen untuk dilakukan penyelesaian sesuai dengan tahapan pada penyelesaian pengeluaran barang impor yang ditetapkan jalur merah butir 6.6. sampai dengan C. SKP melakukan penutupan Pos atau Subpos BC 1.1 yang tercantum dalam PIB yang telah mendapatkan SPPB. V. FORMULIR Pada hasil cetak SPPB, SPPF, SPJK, SPJM, NPBL, dan SPBL dicantumkan keterangan “Formulir ini dicetak secara otomatis oleh sistem komputer dan tidak memerlukan nama, tanda tangan pejabat, dan cap dinas”. C. PIB YANG DISAMPAIKAN MELALUI TULISAN DI ATAS FORMULIR I. PENDAFTARAN PIB 1. Importir atau PPJK mengisi formulir PIB secara lengkap dengan mendasarkan pada data dan informasi dari dokumen pelengkap pabean.
Importir menyampaikan PIB, dokumen pelengkap pabean, surat keputusan pembebasan/keringanan/penundaan bea masuk dan/atau PDRI, dokumen pemesanan pita cukai untuk BKC yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai, dan izin/rekomendasi dari instansi terkait ke Kantor Pabean.
Pejabat penerima dokumen pada Kantor Pabean menerima berkas PIB, lalu melakukan penelitian ada atau tidaknya pemblokiran importir dan PPJK:
nomor dan tanggal BC 1.1 Inward atau BC 1.2 Inward , nomor pos dan sub pos BC 1.1 _; _ b. kelengkapan pengisian data PIB selain huruf a;
nomor dan tanggal dokumen pengangkutan (B/L, AWB, house B/L, house AWB, dll) tidak berulang;
kode dan nilai tukar valuta asing ada dalam data NDPBM;
pos tarif tercantum dalam BTKI;
Nomor Pokok PPJK (NP PPJK) dan jaminan yang dipertaruhkan oleh PPJK, dalam hal pengurusan PIB dikuasakan kepada PPJK; dan
Kesesuaian data PIB dengan data BC 1.1 Inward atau BC 1.2 Inward meliputi: - nomor dan tanggal penerbitan dokumen pengangkutan (B/L, AWB, House B/L, House AWB, dll); - nomor dan tanggal BC 1.1 Inward atau BC 1.2 Inward , nomor pos dan/atau sub pos BC 1.1; dan - jumlah kemasan; dan - nomor dan ukuran kontainer, dalam hal menggunakan kontainer.
Dalam hal pengisian data PIB sebagaimana dimaksud pada butir 3.2 huruf b sampai dengan huruf f tidak sesuai:
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada butir 3.2 huruf b sampai dengan huruf f telah sesuai:
Importir melakukan:
Apabila sampai dengan:
5 (lima) hari sejak tanggal pengajuan PIB importir belum melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal PIB mewajibkan pembayaran atau pembayaran dan penyerahan jaminan; atau b. 14 (empat belas) hari sejak tanggal aju importir belum menyerahkan jaminan atas bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor, dalam hal PIB hanya mewajibkan penyerahan jaminan, Pejabat penerima dokumen menerbitkan respons penolakan.
Dalam hal importir telah menyampaikan data nomor dan tanggal BC 1.1 Inward atau BC 1.2 Inward , pos dan/atau sub pos BC 1.1, Pejabat penerima dokumen melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada butir 3.2 huruf a dan huruf g.
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada butir 8 telah sesuai dengan yang tertera pada PIB maka Pejabat penerima dokumen meneruskan berkas PIB kepada Pejabat yang menangani penelitian barang larangan/ pembatasan untuk dilakukan penelitian barang larangan/pembatasan.
Dalam hal importir telah melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor dan/atau menyerahkan jaminan, Pejabat yang menangani penelitian barang larangan/pembatasan melakukan penelitian pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan atas barang impor berdasarkan pos tarif dan/atau uraian jumlah dan jenis barang yang diberitahukan dalam PIB.
1.1. Importir menerima NPBL.
1.2. Importir menyampaikan dokumen yang dipersyaratkan ke Kantor Pabean secara manual.
1.3. Pejabat yang menangani penelitian ketentuan larangan/pembatasan melakukan penelitian terhadap dokumen yang dipersyaratkan.
1.3.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan dokumen yang dipersyaratkan telah sesuai dan:
impor dilakukan oleh AEO atau Mitra Utama Kepabeanan; atau huruf a dan huruf g sesuai, apabila impor dilakukan oleh selain AEO dan Mitra Utama Kepabeanan, Pejabat yang menangani penelitian barang larangan/pembatasan meneruskan berkas PIB kepada Pejabat penerima dokumen untuk:
1.3.1.1. diberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB;
1.3.1.2. diberitahukan kepada Pejabat yang menangani manifes untuk penutupan pos BC 1.1; dan
1.3.1.3. diteruskan kepada Pejabat pemeriksa dokumen untuk penetapan jalur pelayanan impor.
1.3.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan dokumen yang dipersyaratkan belum sesuai, Pejabat yang menangani penelitian penelitian barang larangan/pembatasan memberitahukan kembali kepada importir.
impor dilakukan oleh AEO atau Mitra Utama Kepabeanan; atau
hasil penelitian data sebagaimana dimaksud pada butir 3.2. huruf a dan huruf g sesuai, apabila impor dilakukan oleh selain AEO dan Mitra Utama Kepabeanan, Pejabat yang menangani penelitian barang larangan/pembatasan meneruskan berkas PIB kepada Pejabat penerima dokumen untuk:
2.1. diberikan nomor dan tanggal pendaftaran PIB;
2.2. diberitahukan kepada Pejabat yang menangani manifes untuk penutupan pos BC 1.1; dan
2.3. diteruskan kepada Pejabat pemeriksa dokumen untuk penetapan jalur pelayanan impor. II. PEMERIKSAAN PABEAN SEBELUM PENGELUARAN BARANG IMPOR A. Pengeluaran barang impor ditetapkan melalui Jalur Hijau:
Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan SPPB dan menyerahkannya kepada Importir atau PPJK.
Importir atau PPJK menerima SPPB untuk pengeluaran barang dari kawasan pabean. B. Pengeluaran barang impor ditetapkan melalui Jalur Kuning:
Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan Surat Pemberitahuan Jalur Kuning (SPJK) dan menyerahkannya kepada Importir atau PPJK.
Importir atau PPJK menerima SPJK.
Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penelitian terhadap data PIB dan/atau dokumen pelengkap pabean.
Pejabat pemeriksa dokumen dapat meminta tambahan keterangan dalam rangka penelitian tarif dan nilai pabean.
Dalam hal hasil penelitian menemukan indikasi adanya perbedaan jumlah, jenis dan/atau pelanggaran, Pejabat pemeriksa dokumen memberitahukan hal tersebut kepada unit pengawasan untuk dilakukan pemeriksaan fisik melalui mekanisme NHI.
2.1. Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penetapan tarif dan nilai pabean.
2.2. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean menunjukkan bahwa barang impor merupakan barang larangan atau pembatasan dan belum memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan, Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan Surat Penetapan Barang Larangan/Pembatasan (SPBL) yang berfungsi sebagai pemberitahuan dan penetapan tarif.
2.3. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran:
2.3.1. Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan:
SPTNP dan mengirimkan SPTNP serta kode billing kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani penagihan, untuk BM dan PDRI yang wajib dibayar; dan/atau
SPPJ dan mengirimkan SPPJ kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani jaminan, untuk BM dan PDRI yang mendapatkan penundaan.
2.3.2. Importir :
membayar kekurangan pembayaran sesuai dengan SPTNP beserta kode billing dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan.
2.4. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean menunjukkan bahwa barang impor bukan merupakan barang larangan atau pembatasan, atau telah memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan dan:
2.4.1. tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran; atau
2.4.2. mengakibatkan kekurangan pembayaran:
barang diimpor oleh importir dengan katagori risiko rendah dan tidak mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
importir:
telah melunasi kekurangan pembayaran berdasarkan SPTNP dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan, Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan SPPB.
Dalam hal tidak ditemukan indikasi adanya perbedaan jumlah, jenis dan/atau pelanggaran, dilakukan langkah-langkah sesuai dengan butir 5.2.1 s.d.
2.4.2. C. Pengeluaran barang impor ditetapkan melalui Jalur Merah:
Pejabat penerima dokumen menerbitkan Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM).
Pejabat penerima dokumen menyerahkan SPJM kepada Importir atau PPJK dan Pengusaha TPS untuk penyiapan barang.
Importir atau PPJK menerima respons SPJM dan menyampaikan pemberitahuan kesiapan barang kepada Pejabat pelayanan pabean paling lambat pada pukul 12.00 pada hari atau hari kerja berikutnya setelah tanggal SPJM.
Apabila Importir tidak menyerahkan dokumen pelengkap pabean dan memberitahukan kesiapan barang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada butir 2, Pejabat yang menangani pelayanan pabean kepada pengusaha TPS untuk menyiapkan pelaksanaan pemeriksaan fisik.
Pengusaha TPS menerima pemberitahuan butir 4 dan menyiapkan barang untuk diperiksa.
Dalam hal dokumen pelengkap pabean telah diterima atau Pengusaha TPS menyatakan kesiapan barang, dilakukan langkah sebagai berikut:
Barang yang diimpor oleh importir berisiko rendah yang terkena pemeriksaan acak;
barang sejenis yang terdiri dari satu pos dalam PIB;
barang yang dimuat dalam peti kemas berpendingin ( refrigerated _container); _ d. barang yang berdasarkan analisis intelijen ditetapkan untuk diperiksa melalui pemindai peti kemas _; _ e. barang peka udara; atau
barang lainnya yang berdasarkan pertimbangan Pejabat Bea dan Cukai dapat dilakukan pemeriksaan melalui pemindai peti kemas, sesuai tata cara sebagai berikut:
2.1. Pejabat yang menangani pelayanan pabean menerbitkan Instruksi Pemeriksaan Fisik melalui Pemindai Peti Kemas . 6.2.2. Importir menyiapkan peti kemas untuk dilakukan pemeriksaan fisik melalui pemindai peti kemas.
2.3. Pejabat pemindai peti kemas melakukan pemindaian Barang Impor dan melakukan penelitian hasil cetak pemindaian.
2.4. Pejabat pemindai peti kemas menuliskan kesimpulan pada Laporan Hasil Analisa Tampilan (LHAT), kemudian menyampaikannya kepada Pejabat yang menangani pelayanan pabean.
2.5. Dalam hal Pejabat pemindai peti kemas menyimpulkan untuk dilakukan pemeriksaan fisik barang, Pejabat yang menangani pelayanan pabean menunjuk Pejabat pemeriksa fisik dan menerbitkan Instruksi Pemeriksaan.
2.6. Dalam hal Pejabat pemindai peti kemas menyimpulkan tidak perlu pemeriksaan fisik barang, Pejabat yang menangani pelayanan pabean meneruskan PIB dan dokumen pelengkap pabean, dan LHAT kepada Pejabat pemeriksa dokumen untuk dilakukan penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean.
instruksi pemeriksaan;
invoice/packing list atau hasil cetak PIB; __ dan c. LHAT dan hasil cetak pemindaian, dalam hal dilakukan pemeriksaan melalui pemindai peti kemas yang disimpulkan untuk dilakukan pemeriksaan fisik barang.
Dalam hal hasil pemeriksaan fisik dan/atau laboratorium kedapatan tidak sesuai, Pejabat pemeriksa dokumen dapat meneruskan kepada unit pengawasan.
tidak dilakukan penelitian lanjutan (7.1); atau
tidak ada respons dari unit pengawasan dalam waktu yang ditentukan butir 7.1, Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penelitian tarif dan nilai pabean, serta pemenuhan ketentuan tentang larangan/pembatasan.
Dalam hal hasil pemeriksaan fisik dan hasil uji laboratorium (jika dilakukan uji laboratorium) menunjukkan kesesuaian dengan pemberitahuan, Pejabat pemeriksa dokumen melakukan penelitian tarif dan nilai pabean, serta pemenuhan ketentuan tentang larangan/pembatasan.
Berdasarkan penelitian tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada butir 6.2.6, butir 7.2, dan butir 8:
1.1. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran:
1.1.1. Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan:
SPTNP dan mengirimkan SPTNP serta kode billing kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani penagihan, untuk BM dan PDRI yang wajib dibayar; dan/atau
SPPJ dan mengirimkan SPPJ kepada Importir, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani jaminan, untuk BM dan PDRI yang mendapatkan penundaan.
1.1.2. Importir :
membayar kekurangan pembayaran sesuai dengan SPTNP beserta kode billing dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan.
1.2. Dalam hal hasil penetapan tarif dan nilai pabean menunjukkan bahwa barang impor bukan merupakan barang larangan atau pembatasan, atau telah memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan dan:
1.2.1. tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran; atau
1.2.2. mengakibatkan kekurangan pembayaran:
barang diimpor oleh importir dengan katagori risiko rendah dan tidak mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
importir:
telah melunasi kekurangan pembayaran berdasarkan SPTNP dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan DPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan, Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan SPPB. III. PENGELUARAN BARANG IMPOR 1. Importir menyerahkan SPPB/SPPF kepada Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
Pejabat mengawasi pengeluaran barang dari kawasan pabean atau TPS oleh importir berdasarkan SPPB atau berdasarkan SPPF untuk MITA Kepabeanan.
Importir menerima SPPB/SPPF yang diberikan catatan oleh Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
Importir mengeluarkan Barang Impor dari Kawasan Pabean. IV. PASCA PERSETUJUAN PENGELUARAN BARANG A. Dalam hal pengeluaran barang impor ditetapkan melalui jalur Hijau:
Pejabat pemeriksa dokumen mengirimkan permintaan dokumen pelengkap pabean dalam hal sangat diperlukan untuk penelitian tarif dan nilai pabean;
Importir menyampaikan dokumen pelengkap pabean kepada pejabat pemeriksa dokumen dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah tanggal permintaan dokumen pelengkap pabean;
Pejabat pemeriksa dokumen meneliti dan menetapkan tarif dan nilai pabean dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran PIB, dan:
menerbitkan SPTNP dan kode billing dan/atau SPPJ dalam hal penelitian mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan PDRI; atau
menerbitkan rekomendasi penelitian ulang dan/atau audit kepabeanan dalam hal penelitian mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan PDRI setelah melebihi 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran PIB;
Importir menerima respons SPTNP beserta kode billing dan/atau SPPJ dan:
melunasinya dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal SPTNP, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada pejabat yang menangani penagihan, dan/atau menyesuaikan jaminan berdasarkan SPPJ dalam hal pengeluaran barang impor untuk dipakai mendapatkan persetujuan penundaan pembayaran bea masuk; atau
menyerahkan jaminan dalam hal mengajukan keberatan.
Dalam hal barang impor termasuk dalam pos tarif yang dikenai ketentuan larangan/pembatasan, Pejabat pemeriksa dokumen meneruskan data PIB kepada unit pengawasan, untuk diproses lebih lanjut. B. Dalam hal pengeluaran barang impor dilakukan oleh AEO atau Mitra Utama Kepabeanan, Importir melakukan kegiatan sebagai berikut:
Dalam hal memanfaatkan fasilitas pembayaran berkala, AEO dan MITA Kepabeanan melakukan pembayaran bea masuk, cukai, dan PDRI dengan menggunakan kode billing yang diterbitkan SKP.
Dalam hal AEO dan MITA Kepabeanan tidak menyampaikan nomor dan tanggal BC 1.1, nomor pos atau subpos sebelum mendapatkan SPPB, AEO dan MITA Kepabeanan menyampaikan nomor dan tanggal BC 1.1, nomor pos atau subpos paling lambat 7 (tujuh) hari sejak pengeluaran barang.
Terhadap barang yang dikeluarkan dengan SPPF oleh AEO atau MITA Kepabeanan dilakukan penyelesaian berikut:
5.1. Dalam hal hasil pemeriksaan fisik kedapatan sesuai, Pejabat pemeriksa fisik menerbitkan SPPB.
5.2. Dalam hal hasil pemeriksaan fisik kedapatan tidak sesuai, Pejabat pemeriksa fisik mengirim LHP dan BAP Fisik kepada Pejabat pemeriksa dokumen untuk dilakukan penyelesaian sesuai dengan tahapan pada penyelesaian pengeluaran barang impor yang ditetapkan jalur merah butir 6.6. sampai dengan DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- HERU PAMBUDI TATA KERJA PERUBAHAN DATA PIB 1. Importir/PPJK yang dikuasakannya mengajukan permohonan perubahan data PIB kepada Kepala Kantor Pabean dengan melampirkan:
Fotokopi atau hasil cetak/formulir PIB lama;
Hasil cetak/formulir PIB perubahan;
Dokumen pelengkap pabean; dan
Bukti lain yang mendukung perubahan data.
Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk menerima dan melakukan penelitian atas permohonan.
Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan sementara proses pelayanan kepabeanan atas PIB dimaksud.
Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap menerbitkan:
Surat persetujuan dalam hal permohonan diterima; atau
Surat penolakan dalam hal permohonan ditolak.
Importir/PPJK yang dikuasakannya menerima surat persetujuan atau surat penolakan perubahan data PIB.
Dalam hal permohonan diterima, Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk:
melakukan perubahan data PIB dalam SKP, untuk PIB yang diajukan melalui PDE atau media penyimpan data;
melakukan penandasahan formulir PIB perubahan dan menyatukannya bersama surat persetujuan perubahan data pada berkas PIB yang ada di Kantor Pabean, untuk PIB yang diajukan melalui tulisan di atas formulir; atau
melanjutkan proses pelayanan kepabeanan. DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- HERU PAMBUDI LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-16/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI TATAKERJA PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI YANG DIAJUKAN KEBERATAN A. Di Kantor Pabean yang Menggunakan Sistem PDE Kepabeanan 1. Importir mengajukan keberatan atas penetapan Pejabat.
Dalam hal keberatan diajukan dengan jaminan :
3.1. Pejabat yang menangani keberatan untuk diproses lebih lanjut dalam rangka penerusan berkas surat keberatan kepada Direktur Jenderal; dan
3.2. Pejabat yang menangani penerimaan untuk dilakukan pemantauan.
4.1. Dalam hal tidak lengkap, mengembalikan kepada importir untuk dilengkapi.
4.2. Dalam hal lengkap, menyampaikan kepada Kepala Kantor Pabean untuk diteruskan kepada Direktur Jenderal.
7.1. Pejabat yang menangani keberatan merekam nomor keputusan keberatan ke dalam SKP. LAMPIRAN III PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-16/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI 2.7.2. SKP menutup SPTNP dengan nomor keputusan Direktur Jenderal dan memberitahukan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani jaminan.
7.3. Pejabat yang menangani jaminan mengembalikan jaminan kepada importir.
8.1. Dilakukan pelunasan dengan cara :
Pejabat yang menangani jaminan mencairkan jaminan dan menyetorkan ke kas negara dengan SSPCP, atau b. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi ke Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi sejumlah yang tercantum dalam SPTNP.
8.2. Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mengirim credit advice ke SKP di Kantor Pabean 2.8.3. SKP melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum dalam SPTNP dengan credit advice yang dikirim oleh Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi.
8.4. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, SKP menyelesaikan SPTNP dengan SSPCP, dan menyampaikan hal tersebut secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
8.5. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan :
8.5.1. Jumlah yang dilunasi lebih dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP menolak pembayaran dimaksud serta memberitahukan secara elektronik kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi dan kepada Importir.
8.5.2. Jumlah yang dilunasi kurang dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP memberitahukan secara elektronik kepada importir agar importir melunasi kekurangan pembayaran, dengan tembusan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penagihan.
9.1. Dilakukan pelunasan dengan cara sebagai berikut :
Pejabat yang menangani jaminan mencairkan jaminan dan menyetorkan kepada ke kas negara, atau b. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi sesuai yang tercantum dalam keputusan keberatan.
9.2. Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mengirim pembayaran __ ke SKP di Kantor Pabean.
9.3. Pejabat yang menangani penerimaan merekam nomor keputusan keberatan, serta jumlah tagihan yang harus dilunasi sesuai keputusan keberatan.
9.4. SKP mengganti jumlah tagihan sesuai jumlah yang direkam oleh Pejabat yang menangani penerimaan.
9.5. SKP melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum dalam SPTNP dengan pembayaran.
9.5.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, SKP menyelesaikan SPTNP, dan menyampaikan hal tersebut secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
9.5.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan :
9.5.2.1. Jumlah yang dilunasi lebih dari yang tercantum dalam keputusan keberatan, SKP menolak pembayaran dimaksud dan memberitahukan secara elektronik kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi dan kepada Importir.
9.5.2.2. Jumlah yang dilunasi kurang dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP memberitahukan secara elektronik kepada importir agar melunasi kekurangan pembayaran, dengan tembusan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penagihan.
9.5.3. Selanjutnya dilakukan langkah sesuai butir 2.9.1.b., 3. Dalam hal keberatan tanpa jaminan :
2.1. Pejabat yang menangani keberatan untuk diproses lebih lanjut dalam rangka penerusan berkas surat keberatan kepada Direktur Jenderal; dan
2.2. Pejabat yang menangani penerimaan untuk dilakukan pemantauan.
3.1. Dalam hal tidak lengkap, mengembalikan untuk diperbaiki.
3.2. Dalam hal lengkap, menyampaikan kepada Kepala Kantor Pabean untuk diteruskan ke Direktur Jenderal.
7.1. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cuai, PDRI, dan Sanksi administrasi sesuai yang tercantum dalam SPTNP.
7.2. Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mengirim pembayaran __ ke SKP di Kantor Pabean.
7.3. SKP melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum dalam SPTNP dengan pembayaran yang dikirim oleh Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi.
7.4. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, SKP menyelesaikan SPTNP, menyampaikan hal tersebut secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan, serta menerbitkan SPPB.
7.5. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan :
7.5.1. Jumlah yang dilunasi lebih dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP menolak pembayaran dimaksud serta memberitahukan secara elektronik kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi dan kepada Importir.
7.5.2. Jumlah yang dilunasi kurang dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP memberitahukan secara elektronik kepada importir agar melunasi kekurangan pembayaran, dengan tembusan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penagihan.
7.5.3. Selanjutnya dilakukan langkah sesuai butir 3.7.1. s.d.
7.4.
8.1. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi sesuai yang tercantum dalam keputusan atas keberatan.
8.2. Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi mengirim pembayaran __ ke SKP di Kantor Pabean.
8.3. Pejabat yang menangani penerimaan merekam nomor keputusan keberatan dan jumlah tagihan yang harus dilunasi sesuai keputusan atas keberatan.
8.4. SKP mengganti jumlah tagihan sesuai yang direkam oleh Pejabat yang menangani penerimaan.
8.5. SKP melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang direkam oleh Pejabat yang menangani penerimaan dengan pembayaran . 3.8.5.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan kesesuaian, SKP menyelesaikan SPTNP, menyampaikan hal tersebut secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan, dan menerbitkan SPPB.
8.5.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan :
8.5.2.1. Jumlah yang dilunasi lebih dari yang tercantum, SKP menolak pembayaran dimaksud dan memberitahukan secara elektronik kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi dan kepada Importir.
8.5.2.2. Jumlah yang dilunasi kurang dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP memberitahukan secara elektronik kepada importir agar melunasi kekurangan pembayaran, dengan tembusan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penagihan.
8.5.3. Selanjutnya dilakukan tahapan sesuai butir 3.8.1., 3.8.2., 3.8.5., dan 3.8.5.1. B. Di Kantor Pabean yang Menggunakan Sistem Media Penyimpan Data Elektronik 1. Importir mengajukan keberatan atas penetapan Pejabat.
Dalam hal keberatan diajukan dengan jaminan :
3.1. Pejabat yang menangani keberatan untuk diproses lebih lanjut dalam rangka penerusan berkas surat keberatan kepada Direktur Jenderal; dan
3.2. Pejabat yang menangani penerimaan untuk dilakukan pemantauan.
4.1. Dalam hal tidak lengkap, mengembalikan kepada importir untuk dilengkapi.
4.2. Dalam hal lengkap, menyampaikan kepada Kepala Kantor Pabean untuk diteruskan kepada Direktur Jenderal.
7.1. Pejabat yang menangani keberatan merekam nomor keputusan keberatan ke dalam SKP.
7.2. SKP menutup SPTNP dengan nomor keputusan Direktur Jenderal dan memberitahukan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani jaminan.
7.3. Pejabat yang menangani jaminan mengembalikan jaminan kepada importir.
8.1. Dilakukan pelunasan dengan cara :
Pejabat yang menangani jaminan mencairkan jaminan dan menyetorkan ke kas negara, atau b. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi ke Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi sejumlah yang tercantum dalam SPTNP, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
8.2. Pejabat yang menangani penerimaan merekam nomor, tanggal, dan jumlah yang tercantum dalam bukti pembayaran.
8.3. SKP melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum dalam SPTNP dengan yang tercantum dalam bukti pembayaran.
8.4. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, SKP menyelesaikan SPTNP dan menyampaikan hal tersebut secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
8.5. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan :
8.5.1. Jumlah yang dilunasi lebih dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP menolak pembayaran dimaksud serta memberitahukan kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi dan kepada Importir.
8.5.2. Jumlah yang dilunasi kurang dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP memberitahukan secara tertulis kepada importir agar melunasi kekurangan pembayaran, dengan tembusan kepada Pejabat yang menangani penagihan 2.8.6. Selanjutnya dilakukan tahapan sesuai butir 2.8.1.huruf b. s.d.
8.4.
9.1. Dilakukan pelunasan dengan cara sebagai berikut :
Pejabat yang menangani jaminan mencairkan jaminan dan menyetorkan kepada ke kas negara, atau b. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi sesuai yang tercantum dalam keputusan atas keberatan, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
9.2. Pejabat yang menangani penerimaan merekam nomor keputusan atas keberatan dan jumlah tagihan yang harus dilunasi sesuai keputusan keberatan.
9.3. Pejabat yang menangani penerimaan merekam nomor bukti pembayaran serta jumlah tagihan yang tercantum di dalamnya.
9.4. SKP mengganti jumlah tagihan sesuai jumlah yang direkam oleh Pejabat yang menangani penerimaan.
9.5. SKP melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum dalam SPTNP dengan bukti pembayaran.
9.5.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, SKP menyelesaikan SPTNP dan menyampaikan hal tersebut secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
9.5.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan :
9.5.2.1. Jumlah yang dilunasi lebih dari yang tercantum, SKP menolak pembayaran dimaksud dan memberitahukan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan untuk diberitahukan secara tertulis kepada Bank Devisa Persepsi dan kepada Importir.
9.5.2.2. Jumlah yang dilunasi kurang dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP memberitahukan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penagihan untuk diberitahukan secara tertulis kepada importir agar melunasi kekurangan pembayaran.
9.5.3. Selanjutnya dilakukan tahapan sesuai butir 2.9.1.huruf b., 2.9.3., 2.9.5., dan 2.9.5.1.
Dalam hal keberatan tanpa jaminan :
2.1. Pejabat yang menangani keberatan untuk diproses lebih lanjut dalam rangka penerusan berkas surat keberatan kepada Direktur Jenderal; dan
2.2. Pejabat yang menangani penerimaan untuk dilakukan pemantauan.
3.1. Dalam hal tidak lengkap, mengembalikan untuk diperbaiki.
3.2. Dalam hal lengkap, menyampaikan kepada Kepala Kantor Pabean untuk diteruskan ke Direktur Jenderal.
7.1. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi sesuai yang tercantum dalam SPTNP, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada Pejabat yang menangani administrasi penerimaan.
7.2. Pejabat yang menangani penerimaan merekam nomor dan tanggal bukti pembayaran serta jumlah yang tercantum dalam SSPCP.
7.3. SKP melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum dalam SPTNP dengan yang tercantum dalam bukti pembayaran.
7.4. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, SKP menyelesaikan SPTNP dan menyampaikan hal tersebut secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan, serta menerbitkan SPPB.
7.5. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan :
7.5.1. Jumlah yang dilunasi lebih dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP menolak pembayaran dimaksud serta memberitahukan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan untuk diberitahukan secara tertulis kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi dan kepada Importir.
7.5.2. Jumlah yang dilunasi kurang dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP memberitahukan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penagihan untuk diberitahukan secara tertulis kepada importir agar melunasi kekurangan pembayaran.
7.5.3. Selanjutnya dilakukan langkah sesuai butir 3.7.1. s.d.
7.4.
8.1. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi sesuai yang tercantum dalam keputusan keberatan, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
8.2. Pejabat yang menangani penerimaan merekam nomor keputusan atas keberatan dan jumlah tagihan yang harus dilunasi sesuai keputusan atas keberatan.
8.3. Pejabat yang menangani penerimaan merekam nomor bukti pembayaran dan jumlah yang tercantum di dalamnya.
8.4. SKP mengganti jumlah tagihan sesuai yang direkam oleh Pejabat yang menangani penerimaan.
8.5. SKP melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang direkam oleh Pejabat yang menangani penerimaan dengan yang tercantum dalam bukti pembayaran.
8.5.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan kesesuaian, SKP menyelesaikan SPTNP dan menyampaikan hal tersebut secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan, dan menerbitkan SPPB.
8.5.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan :
8.5.2.1. Jumlah yang dilunasi lebih dari yang tercantum, SKP menolak pembayaran dimaksud dan memberitahukan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penerimaan untuk diberitahukan secara tertulis kepada Bank Devisa Persepsi dan kepada Importir.
8.5.2.2. Jumlah yang dilunasi kurang dari yang tercantum dalam SPTNP, SKP memberitahukan secara elektronik kepada Pejabat yang menangani penagihan untuk diberitahukan secara tertulis kepada importir agar melunasi kekurangan pembayaran.
8.5.3. Selanjutnya dilakukan tahapan sesuai butir 3.8.1., 3.8.3., 3.8.4., 3.8.5., dan 3.8.5.1. C. Di Kantor Pabean yang Menggunakan Sistem Pelayanan PIB Berupa Tulisan di atas Formulir 1. Importir mengajukan keberatan atas penetapan Pejabat.
Dalam hal keberatan diajukan dengan jaminan :
3.1. Pejabat yang menangani keberatan untuk diproses lebih lanjut dalam rangka penerusan berkas surat keberatan kepada Direktur Jenderal; dan
3.2. Pejabat yang menangani penerimaan untuk dilakukan pemantauan.
4.1. Dalam hal tidak lengkap, mengembalikan kepada importir untuk dilengkapi.
4.2. Dalam hal lengkap, menyampaikan kepada Kepala Kantor Pabean untuk diteruskan kepada Direktur Jenderal.
7.1. Pejabat yang menangani keberatan menyatukan keputusan keberatan degnan berkas surat keberatan, dan meneruskannya kepada Pejabat yang menangani jaminan.
7.2. Pejabat yang menangani jaminan mengembalikan jaminan kepada importir.
8.1. Dilakukan pelunasan dengan cara :
Pejabat yang menangani jaminan mencairkan jaminan dan menyetorkan ke kas negara, atau b. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi ke Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi sejumlah yang tercantum dalam SPTNP, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
8.2. Pejabat yang menangani penerimaan melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum dalam SPTNP dengan yang tercantum dalam bukti pembayaran.
8.2.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, Pejabat yang menangani penerimaan menyelesaikan SPTNP dengan bukti pembayaran.
8.2.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan tidak sesuai, Pejabat yang menangani penerimaan memberitahukan secara tertulis kepada Importir dan kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi.
8.3. Selanjutnya dilakukan tahapan sesuai butir 2.8.1. huruf b. s.d.
8.2.1.
9.1. Dilakukan pelunasan dengan cara sebagai berikut :
Pejabat yang menangani jaminan mencairkan jaminan dan menyetorkan kepada ke kas negara, atau b. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi sesuai yang tercantum dalam keputusan atas keberatan, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
9.2. Pejabat yang menangani penerimaan menyatukan berkas SPTNP dengan keputusan atas keberatan dan bukti pembayaran.
9.3. Pejabat yang menangani penerimaan melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum keputusan atas keberatan dengan bukti pembayaran.
9.3.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, Pejabat yang menangani penerimaan SKP menyelesaikan SPTNP.
9.3.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan tidak sesuai, Pejabat yang menangani penerimaan memberitahukan secara tertulis kepada Importir dan kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi.
9.3.3. Selanjutnya dilakukan tahapan sesuai butir 2.9.1.huruf 3. Dalam hal keberatan tanpa jaminan :
2.1. Pejabat yang menangani keberatan untuk diproses lebih lanjut dalam rangka penerusan berkas surat keberatan kepada Direktur Jenderal; dan
2.2. Pejabat yang menangani penerimaan untuk dilakukan pemantauan.
3.1. Dalam hal tidak lengkap, mengembalikan untuk diperbaiki.
3.2. Dalam hal lengkap, menyampaikan kepada Kepala Kantor Pabean untuk diteruskan ke Direktur Jenderal.
6.1. Pejabat yang menangani keberatan menyatukan keputusan keberatan dengan berkas surat keberatan, dan meneruskannya kepada Pejabat yang menangani jaminan.
6.2. Pejabat yang menangani jaminan mengembalikan jaminan kepada importir.
7.1. Dilakukan pelunasan dengan cara :
Pejabat yang menangani jaminan mencairkan jaminan dan menyetorkan ke kas negara, atau b. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi ke Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi sejumlah yang tercantum dalam SPTNP, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
7.2. Pejabat yang menangani penerimaan melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum dalam SPTNP dengan yang tercantum dalam bukti pembayaran.
7.2.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, Pejabat yang menangani penerimaan menyelesaikan SPTNP.
7.2.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan tidak sesuai, Pejabat yang menangani penerimaan memberitahukan secara tertulis kepada Importir dan kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi.
7.2.3. Selanjutnya dilakukan langkah sesuai butir 2.7.1.huruf b s.d. 2.7.2.1.
7.3. Pejabat yang menangani jaminan meneruskan berkas penyelesaian SPTNP kepada Pejabat pemeriksa dokumen.
7.4. Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan SPPB.
8.1. Dilakukan pelunasan dengan cara :
Pejabat yang menangani jaminan mencairkan jaminan dan menyetorkan ke kas negara, atau b. Importir melunasi kekurangan pembayaran BM, Cukai, PDRI, dan Sanksi Administrasi ke Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi sejumlah yang tercantum dalam SPTNP, dan menyerahkan bukti pembayaran kepada Pejabat yang menangani penerimaan.
8.2. Pejabat yang menangani penerimaan melakukan penelitian terhadap kesesuaian jumlah yang tercantum dalam keputusan atas keberatan dengan yang tercantum dalam bukti pembayaran.
8.2.1. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan sesuai, Pejabat yang menangani penerimaan menyelesaikan SPTNP.
8.2.2. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan tidak sesuai, Pejabat yang menangani penerimaan memberitahukan secara tertulis kepada Importir dan kepada Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi.
8.2.3. Selanjutnya dilakukan tahapan sesuai butir 3.8.3. Pejabat yang menangani jaminan meneruskan berkas penyelesaian SPTNP kepada Pejabat pemeriksa dokumen.
8.4. Pejabat pemeriksa dokumen menerbitkan SPPB. DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- HERU PAMBUDI TATA KERJA PENYELESAIAN BARANG IMPOR EKSEP 1. Setelah mendapatkan nomor pendaftaran PIB, Importir mengajukan permohonan untuk mendapatkan persetujuan pengeluaran Barang Impor eksep kepada Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk sebelum :
pengeluaran Barang Impor untuk yang ditetapkan jalur hijau dan jalur kuning; atau b. dilakukan pemeriksaan fisik untuk yang ditetapkan jalur merah.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilengkapi dengan :
Fotokopi PIB, b. Dokumen pelengkap pabean, dan c. Dokumen yang menerangkan penyebab terjadinya pengeluaran Barang Impor eksep.
Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk memberikan persetujuan atau menolak permohonan pengeluaran Barang Impor eksep.
Dalam hal Kepala Kantor Pabean memberikan persetujuan, Importir menyampaikan persetujuan Kepala Kantor Pabean dan SPPB kepada Pejabat yang menangani pelayanan pabean.
Pejabat yang menangani pelayanan pabean memberikan persetujuan pengeluaran sebagian dengan memberikan catatan pada SPPB.
Terhadap Barang Impor eksep yang merupakan sisa dari barang yang dikeluarkan sebagian sebagaimana dimaksud pada butir 5, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1.1. instruksi pemeriksaan fisik melalui pemindai peti kemas dalam hal ditetapkan jalur hijau dan jalur kuning; atau
1.2. instruksi pemeriksaan fisik, dalam hal tidak tersedia pemindai peti kemas atau ditetapkan jalur merah.
2.2. Dalam hal hasil pemeriksaan fisik/pemindaian menunjukkan hasil tidak sesuai dengan PIB :
2.2.1. Pejabat pemeriksa fisik/Pejabat pemindai peti kemas memberikan catatan “TIDAK SESUAI PEMBERITAHUAN” pada SPPB, kemudian meneruskannya kepada Pejabat yang menangani pelayanan pabean.
2.2.2. Pejabat yang menangani pelayanan pabean meneruskan berkas PIB atas Barang Impor eksep dan SPPB kepada unit pengawasan untuk dilakukan penelitian ada tidaknya dugaan tindak pidana.
2.2.3. Unit pengawasan melakukan penelitian mendalam, kemudian mengembalikan berkas PIB dan SPPB kepada Pejabat yang menangani pelayanan pabean dalam hal tidak ditemukan dugaan tindak pidana untuk diberikan catatan “SETUJU KELUAR” setelah kekurangan pembayaran bea masuk, PDRI dan sanksi administrasi berupa denda dilunasi.
2.2.4. Dalam hal ditemukan dugaan tindak pidana, unit pengawasan melakukan proses lebih lanjut.
2.3. Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang mencocokkan SPPB dengan nomor, merek, ukuran, jumlah dan jenis kemasan/peti kemas yang bersangkutan:
2.3.1. Dalam hal ditemukan sesuai, Barang Impor dapat dikeluarkan dengan diberikan catatan ”TELAH DIKELUARKAN” pada SPPB.
2.3.2. Dalam hal ditemukan tidak sesuai, Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang mencegah pengeluaran barang, dan memberikan catatan ”TIDAK SESUAI” pada SPPB serta melaporkannya kepada Pejabat yang menangani pelayanan pabean.
2.4. Pejabat yang menangani pelayanan pabean meneruskan berkas PIB kepada unit pengawasan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut;
2.5. Unit pengawasan melakukan penelitian mendalam, kemudian mengembalikan berkas PIB dan SPPB kepada Pejabat yang menangani pelayanan pabean dalam hal tidak ditemukan dugaan tindak pidana.
2.6. Pejabat yang menangani pelayanan pabean menerbitkan instruksi pemeriksaan fisik:
2.6.1. Dalam hal hasil pemeriksaan fisik menunjukkan sesuai, Pejabat yang menangani pelayanan pabean memberikan catatan “SETUJU KELUAR”.
2.6.2. Dalam hal hasil pemeriksaan fisik menunjukkan tidak sesuai, Pejabat yang menangani pelayanan pabean meneruskan berkas PIB dan SPPB kepada unit pengawasan untuk dilakukan penelitian ada tidaknya dugaan tindak pidana.
2.6.3. Unit pengawasan melakukan penelitian mendalam, kemudian mengembalikan berkas PIB dan SPPB kepada Pejabat yang menangani pelayanan pabean dalam hal tidak ditemukan dugaan tindak pidana untuk diberikan catatan “SETUJU KELUAR” setelah kekurangan pembayaran dan sanksi administrasi berupa denda dilunasi.
2.6.4. Dalam hal ditemukan dugaan tindak pidana, unit pengawasan melakukan proses lebih lanjut.
2.7. Dalam hal ditemukan sesuai, Barang Impor dapat dikeluarkan dengan diberikan catatan ”TELAH DIKELUARKAN” pada SPPB oleh Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
4.1. mengajukan surat pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pabean;
4.2. mengajukan permohonan pengembalian bea masuk kepada Kepala Kantor Pabean;
4.3. mengajukan PIB baru dengan membayar bea masuk, cukai dan PDRI. DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- HERU PAMBUDI TATA KERJA PENYELESAIAN SEBAGIAN BARANG IMPOR 1. Importir/PPJK yang dikuasakannya mengajukan permohonan pengeluaran sebagaian barang impor dengan dilampiri dokumen terkait.
Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian atas permohonan.
Pejabat yang menangani pengawasan melakukan penyegelan terhadap barang impor.
Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah dokumen diterima lengkap memberikan tanggapan:
menerbitkan surat persetujuan pengeluaran sebagian, dalam hal permohonan diterima; atau
menerbitkan surat penolakan pengeluaran sebagian, dalam hal permohonan ditolak.
Importir/PPJK yang dikuasakannya menerima surat persetujuan atau surat penolakan.
Dalam hal permohonan diterima:
PIB belum mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran, Pejabat yang menangani ketentuan larangan/pembatasan memasukkan persetujuan pengeluaran sebagian di dalam SKP; atau
PIB telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran, Pejabat pemeriksa dokumen memasukkan persetujuan pengeluaran sebagian di dalam SKP.
1.1. SKP melanjutkan proses pelayanan kepabeanan atas PIB.
1.2. SKP memberikan catatan pada SPPB yang diterbitkan sesuai dengan persetujuan pengeluaran sebagian dan penelitian Pejabat pemeriksa dokumen.
PIB belum mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran, Pejabat yang menangani ketentuan larangan/pembatasan meneruskan berkas PIB LAMPIRAN V PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-16/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI dan surat persetujuan kepada Pejabat penerima dokumen; atau
PIB telah mendapatkan penjaluran, Pejabat pemeriksa dokumen meneruskan penelitian PIB lebih lanjut.
2.1. PIB dilanjutkan proses pelayanan kepabeanannya.
2.2. Pejabat pemeriksa dokumen memberikan catatan pada SPPB yang diterbitkan sesuai dengan persetujuan pengeluaran sebagian dan penelitian Pejabat pemeriksa dokumen.
Importir/PPJK yang dikuasakannya menerima SPPB dengan catatan pengeluaran barang dan menyampaikannya kepada Pejabat yang menangani pengawasan.
Pejabat yang menangani pengawasan:
Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang melakukan pengawasan pengeluaran barang sebagian dan memberikan catatan atas SPPB. DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- HERU PAMBUDI TATA KERJA PEMBATALAN PIB 1. Importir/PPJK yang dikuasakannya mengajukan permohonan pembatalan PIB kepada Kepala Kantor Pabean dengan melampirkan:
Fotokopi atau hasil cetak/formulir PIB minimal 2 rangkap;
Dokumen pelengkap pabean; dan
Bukti lain yang mendukung pembatalan.
Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk menerima dan melakukan penelitian atas permohonan.
Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap menerbitkan:
surat persetujuan dalam hal permohonan diterima; atau
surat penolakan dalam hal permohonan ditolak.
Dalam hal permohonan diterima, Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk:
memberikan cap “DIBATALKAN” pada hasil cetak PIB serta melakukan pembatalan PIB dalam SKP, untuk PIB yang diajukan melalui PDE atau media penyimpan data; atau
memberikan cap “DIBATALKAN” pada formulir PIB yang disampaikan dan pada berkas PIB yang ada di Kantor Pabean serta menghentikan proses pelayanan kepabeanan atas PIB dimaksud, untuk PIB yang diajukan melalui tulisan di atas formulir.
Importir/PPJK yang dikuasakannya menerima surat persetujuan pembatalan PIB bersama hasil cetak/formulir PIB yang telah dicap “DIBATALKAN”, atau surat penolakan pembatalan PIB. DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- HERU PAMBUDI LAMPIRAN VI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-16/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI FORMULIR-FORMULIR YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN IMPOR UNTUK DIPAKAI 1. NOTA PEMBERITAHUAN PENOLAKAN (NPP).
NOTA PERMINTAAN DATA DAN DOKUMEN (NPD).
NOTA PEMBERITAHUAN BARANG LARANGAN/PEMBATASAN (NPBL).
SURAT PEMBERITAHUAN PENGELUARAN BARANG (SPPB).
SURAT PEMBERITAHUAN JALUR MERAH (SPJM).
SURAT PEMBERITAHUAN JALUR KUNING (SPJK).
SURAT PEMBERITAHUAN PEMERIKSAAN FISIK (SPPF).
INSTRUKSI PEMERIKSAAN (IP).
INSTRUKSI PEMERIKSAAN FISIK MELALUI PEMINDAI.
LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN FISIK (LHP).
BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK (BAP FISIK).
LAPORAN HASIL ANALISIS TAMPILAN (LHAT).
SURAT PENETAPAN BARANG LARANGAN/PEMBATASAN (SPBL).
SURAT PENETAPAN PENYESUAIAN JAMINAN (SPPJ). LAMPIRAN VII PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-16/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI 1. FORMAT NOTA PEMBERITAHUAN PENOLAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. NOTA PEMBERITAHUAN PENOLAKAN (NPP) Nomor Pengajuan : Tanggal Respons : Kepada : Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : PIB yang Saudara sampaikan tidak memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut. Agar dilakukan perbaikan sebagai berikut :
.....
.....
..... …………………tanggal...……… Pejabat Penerima Dokumen Tanda tangan : Nama : NIP :
NOTA PERMINTAAN DATA DAN/ATAU DOKUMEN (NPD) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. NOTA PERMINTAAN DATA DAN/ATAU DOKUMEN (NPD) Nomor Pengajuan : tanggal : Nomor Pendaftaran PIB : tanggal : Kepada : Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : PIB yang Saudara sampaikan agar memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut, diperlukan data dan/atau dokumen sebagai berikut : No. Uraian Data dan/atau Dokumen Dilampirkan Ya / Tidak …………………tanggal...……… Pejabat Pemeriksa Dokumen/Penerima Dokumen Tanda tangan : Nama : NIP :
NOTA PEMBERITAHUAN BARANG LARANGAN/PEMBATASAN (NPBL) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. NOTA PEMBERITAHUAN BARANG LARANGAN/PEMBATASAN (NPBL) Nomor Pengajuan PIB : tanggal : Kepada : Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : Dalam PIB yang Saudara sampaikan terdapat barang yang terkena ketentuan larangan/pembatasan, sebagai berikut: Item No. Jenis Barang Ketentuan Larangan/Pembatasan (1) (2) (3) Saudara diminta segera menyerahkan pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan dari instansi terkait sebagaimana dimaksud kolom 3 di atas....………………tanggal...……… Pejabat Peneliti Barang Larangan/Pembatasan Tanda tangan : Nama : NIP :
SURAT PEMBERITAHUAN PENGELUARAN BARANG (SPPB) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. SURAT PERSETUJUAN PENGELUARAN BARANG (SPPB) NOMOR: TANGGAL: Nomor Pendaftaran PIB : tanggal : Kepada : Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : Lokasi Barang : No.B/L atau AWB : Tanggal : Nama Sarana Pengangkut : No.Voy./Flight : No. BC 1.1 : Tanggal : Pos : Jumlah/jenis kemasan : Berat : Merk kemasan : Jumlah peti kemas : Nomor Peti Kemas/Ukuran : Catatan pengeluaran :
............................ tanggal ........................ ............................. tanggal ........................... Pejabat Pemeriksa Dokumen *) Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang Tanda tangan : Tanda tangan : Nama : Nama : NIP : NIP : *) Diisi dalam hal pengeluaran diawasi oleh Pejabat Bea dan Cukai Peruntukan 1. Importir;
Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
SURAT PEMBERITAHUAN JALUR MERAH (SPJM) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. SURAT PEMBERITAHUAN JALUR MERAH (SPJM) Nomor Pendaftaran PIB : tanggal : Kepada : Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : Lokasi Barang : Jumlah kemasan yang harus diperiksa : Nomor kontainer yang diperiksa : Nomor kemasan yang diperiksa : PIB yang Saudara ajukan telah mendapatkan penetapan JALUR MERAH. Saudara wajib menyerahkan dokumen pelengkap pabean serta menyiapkan barang untuk dilakukan pemeriksaan fisik paling lambat pukul 12.00 pada hari/hari kerja *) berikutnya setelah tanggal SPJM ini....………………tanggal...……… Pejabat yang menangani pelayanan pabean/ Pejabat pemeriksa dokumen Tanda tangan : Nama : NIP : Peruntukan 1. Importir;
Pejabat pemeriksa fisik;
Pengusaha TPS. *) menyesuaikan hari kerja kantor 6. SURAT PEMBERITAHUAN JALUR KUNING (SPJK) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. SURAT PEMBERITAHUAN JALUR KUNING (SPJK) Nomor Pendaftaran PIB : tanggal : Kepada : Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : Lokasi Barang : PIB yang Saudara ajukan telah mendapatkan penetapan JALUR KUNING. Saudara wajib menyerahkan dokumen pelengkap pabean paling lambat pukul 12.00 pada hari/hari kerja *) berikutnya setelah tanggal SPJK ini....………………tanggal...……… Pejabat pemeriksa dokumen Tanda tangan : Nama : NIP : Peruntukan 1. Importir. *) menyesuaikan hari kerja kantor 7. SURAT PEMBERITAHUAN PEMERIKSAAN FISIK (SPPF) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. SURAT PEMBERITAHUAN PEMERIKSAAN FISIK (SPPF) Nomor Pendaftaran PIB : tanggal : Kepada : Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : Lokasi Barang : No.B/L atau AWB : Tanggal : Nama Sarana Pengangkut : No.Voy./Flight : No. BC 1.1 : Tanggal : Pos : Jumlah/jenis kemasan : Berat : Merk kemasan : Jumlah peti kemas : Nomor Peti Kemas/Ukuran : Diberitahukan bahwa dari hasil penelitian dokumen, terhadap barang dalam PIB dengan nomor pendaftaran tersebut di atas disetujui untuk dikeluarkan dengan pemeriksaan fisik di tempat Saudara, dengan ketentuan sebagai berikut:
Dilakukan penyegelan atau pengawalan oleh Pejabat Bea dan Cukai;
Wajib memberikan bantuan yang layak kepada Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan pemeriksaan fisik dan/atau pengawalan, apabila tidak tersedia akomodasi (sesuai dengan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006). …………………tanggal...……… Pejabat pemeriksa dokumen Tanda tangan : Nama : NIP : Peruntukan 1. Importir;
Pejabat Pemeriksa fisik;
Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
INSTRUKSI PEMERIKSAAN (IP) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. INSTRUKSI PEMERIKSAAN (IP) Nomor Pendaftaran PIB : tanggal : Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : Pejabat Pemeriksa Fisik Nama : NIP : Tingkat Pemeriksaan : Jumlah kemasan yang harus diperiksa : Nomor kontainer yang diperiksa : Nomor kemasan yang diperiksa : Ajukan contoh (ya/tidak) : Ajukan foto (ya/tidak) : …………………tanggal...……… Pejabat yang menangani pelayanan pabean/ Pejabat pemeriksa dokumen Tanda tangan : Nama : NIP :
INSTRUKSI PEMERIKSAAN FISIK MELALUI PEMINDAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. INSTRUKSI PEMERIKSAAN MELALUI PEMINDAI Nomor Pendaftaran PIB : tanggal : Kepada Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : Lokasi Barang : No.B/L atau AWB : Tanggal : Nama Sarana Pengangkut : No.Voy./Flight : No. BC 1.1 : Tanggal : Pos : Jumlah/jenis kemasan : Berat : Merk kemasan : Jumlah peti kemas : Nomor Peti Kemas/Ukuran : …………………tanggal...……… Pejabat yang menangani pelayanan pabean/ Pejabat pemeriksa dokumen Tanda tangan : Nama : NIP : Peruntukan:
Importir;
Pejabat pemindai peti kemas.
LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN FISIK (LHP) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN Nomor Pendaftaran PIB : tanggal : Hari/tanggal :
........... Jam mulai periksa :
............ Jam selesai periksa :
....... Lokasi :
......... Jumlah partai barang : Nomor peti kemas yang diperiksa : Kondisi Segel : Utuh / Rusak *) Jumlah & Jenis Barang yang diperiksa : Hasil Pemeriksaan : No. Jumlah, Jenis, Ukuran Kemasan Uraian barang Jumlah Satuan Barang Spesifikasi (merek/tipe/ kapasitas) Negara Asal Keterangan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Contoh: barang/foto *) Kesimpulan : Pejabat pemeriksa fisik Tanda tangan : Nama : NIP :
BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK (BAP FISIK) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK BARANG IMPOR NOMOR: TANGGAL: Terhadap impor barang dengan data sebagai berikut :
No/Tgl PIB :
........................., ...../...../200..
Lokasi Pemeriksaan :
Tgl/waktu penunjukan pemeriksa:
.../......./200. .....:
.....
Waktu pemeriksaan : a) Jam/Tgl dimulai pengeluaran kemasan ( stripping ) :
............., ..../..../200.. b) Jam/Tgl selesai pengeluaran kemasan ( stripping ) :
............., ..../..../200.. c) Jam/Tgl dimulai pemeriksaan barang :
............., ..../..../200.. d) Jam/Tgl selesai pemeriksaan barang :
............., ..../..../200..
Foto : tidak / ya* ( ...... lembar) 6. Contoh barang a) jenis : b) jumlah : c) diminta kembali oleh importir/kuasanya : ya / tidak * 7. Kendala pemeriksaan a) Importir/kuasanya tidak ada di tempat pemeriksaan: b) Barang tidak berada di tempat pemeriksaan : c) Buruh tidak siap : d) Peralatan tidak tersedia : (sebutkan:
..................) e) Lain-lain :
..................................................................................................................................
Keterangan : Mengetahui: Pejabat Pemeriksa fisik Importir/Kuasanya* NIP Pengusaha TPS** ....................................... * coret yang tidak perlu ** diisi bila berkaitan dengan TPS Peruntukan :
Importir atau Pengusaha TPS;
Pejabat Pemeriksa Fisik.
LAPORAN HASIL ANALISIS TAMPILAN (LHAT) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. LAPORAN HASIL ANALISIS TAMPILAN Nomor Pendaftaran PIB : Tanggal : Nomor Seri : Nomor Instruksi Pemeriksaan : Nomor Peti Kemas : Uraian Analisis :
........................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................ Kesimpulan: …………………tanggal...……… Pejabat pemindai peti kemas Tanda tangan : Nama : NIP :
SURAT PENETAPAN BARANG LARANGAN/PEMBATASAN (SPBL) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. SURAT PENETAPAN BARANG LARANGAN/PEMBATASAN (SPBL) NOMOR: TANGGAL: Nomor Pendaftaran PIB : tanggal : Kepada : Importir NPWP : Nama : Alamat : PPJK NPWP : Nama : Alamat : NP PPJK : Berdasarkan penelitian tarif dan nilai pabean, barang impor yang Saudara beritahukan dalam PIB ditetapkan wajib memenuhi ketentuan larangan/pembatasan, sebagai berikut: Item No. Jenis Barang Pemberitahuan Penetapan Ketentuan Larangan/Pembatasan (1) (2) (3) (4) (5) Saudara wajib menyerahkan pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan dari instansi terkait sebagaimana dimaksud kolom 5 di atas. ..………………tanggal...……… Pejabat pemeriksa dokumen Tanda tangan : Nama : NIP :
SURAT PENETAPAN PENYESUAIAN JAMINAN (SPPJ) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH/KANTOR PELAYANAN UTAMA ....................... KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI ................. SURAT PENETAPAN PENYESUAIAN JAMINAN (SPPJ) NOMOR: TANGGAL: Kepada : Importir :
................................................................ NPWP :
.............................................. PPJK :
................................................................ NPWP :
.............................................. Dengan ini diberitahukan atas PIB Nomor Pendaftaran ......... Tanggal ............ ditetapkan ditetapkan tarif dan/atau nilai pabean sehingga mengakibatkan kekurangan/kelebihan pembayaran bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda dengan rincian sebagai berikut: URAIAN DIBERITA HUKAN DITETAP KAN KEKURA NGAN KELEBIH AN 1. ea Masuk 2. ukai 3. PN 4. PnBM 5. Ph Pasal 22 6. enda 7.
.............. Rp.............. ........ Rp.............. ........ Rp.............. ........ Rp.............. ........ Rp.............. ........ Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... Rp............ .......... JUMLAH KEKURANGAN/KELEBIHAN PEMBAYARAN Rp............
......... Rp............
......... dengan rincian kesalahan sebagai berikut: JENIS KESALAHAN NOMOR URUT BARANG 1. Jenis Barang 2. Jumlah Barang 3. Tarif 4. Nilai Pabean Dalam hal terdapat kekurangan pembayaran, Saudara wajib melakukan penyesuaian jaminan kepada Pejabat yang mengelola jaminan. ..………………tanggal...……… Pejabat pemeriksa dokumen Tanda tangan : Nama : NIP : Peruntukan:
Importir;
Pejabat yang mengelola jaminan. DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- HERU PAMBUDI
Uji Materiil atas Pasal 160 ayat (2) huruf c UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda, Pasal 11 ayat (2) huruf c UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keua ...
Relevan terhadap
4). Sanksi Pengaturan sanksi perpajakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang- Undang KUP). Dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai sanksi perpajakan yaitu: a. Sanksi Administrasi. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tertib administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi. Sanksi administrasi terdiri dari dua hal, yaitu sanksi administrasi berupa bunga dan sanksi administrasi berupa denda. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan dalam hal Wajib Pajak tidak mematuhi pembayaran atau penyetoran pajak sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Sementara itu sanksi administrasi berupa denda dikenakan apabila terdapat pelanggaran administrasi perpajakan dan kelalaian dalam pelaporan kewajiban perpajakan. Dengan demikian semangat dari pengaturan sanksi tersebut adalah untuk tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. b. Sanksi Pidana Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Sanksi pidana yang dapat diajukan di muka pengadilan adalah perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana dibidang perpajakan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39A, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 Undang- Undang KUP.
memperkenalkan opsen atas PPH Badan. Dengan tarif PPH Badan sesuai Pasal 17 sebesar 25%, opsen PPH Badan dapat diberlakukan untuk kabupaten/kota paling tinggi 2%. Mengingat tarif PPH Badan khususnya untuk multinational corporation sangat kompetetif antar negara satu dengan lainnya, adalah sulit bagi Indonesia untuk menaikkan tarif PPH Badan dari 25% menjadi 27%. Untuk itu, dalam rangka mempertahankan daya saing Indonesia di bidang perpajakan, disarankan tarif PPH Badan diturunkan menjadi 23% dan Daerah kabupaten/kota dapat mengenakan opsen atas PPH Badan paling tinggi sebesar 2%. Rekomendasi ini juga harus diikuti dengan reformulasi DAU yang tetap difokuskan pada koreksi horizontal imbalance . Dalam jangka menengah dan panjang, option ini akan lebih mencerminkan keadilan bagi daerah yang memiliki sumber-sumber potensi ekonominya yang memadai, dan sekaligus meningkatkan tax effort yang pada gilirannya akan meningkatkan tax ratio . 8. Keuntungan dari penerapan opsen atas PPh. Badan tersebut adalah: (1) administrasi perpajakan akan lebih terbuka dan akuntabel terutama antara Direktorat Jenderal Pajak dan Pemerintah Daerah terkait; (2) Upaya ekstensifikasi pemungutan PPh baik orang pribadi maupun badan dapat ditingkatkan, karena masing-masing kabupaten/kota berkepentingan dalam peningkatan penerimaan PPh Badan; (3) Administrasi perpajakan khususnya PPh Orang Pribadi dan Badan tetap dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki kompetensi yang tinggi dan keseragaman dalam administrasi perpajakan. 9. Bagi daerah yang mampu mengelola APBD nya secara efektif dan efisien serta mendorong investasi lebih berkembang di wilayahnya, mereka dapat memilih untuk tidak mengenakan opsen atas PPH Badan atau mengenakan opsen dengan tingkat tarif di bawah tarif maksimum. Sebaliknya bagi daerah yang memilih untuk menerapkan tarif maksimum, daerah tersebut harus membuktikan bahwa dana yang digali dan sumber-sumber keuangannya termasuk dari penerimaan opsen atas PPH, dipergunakan untuk meningkatkan pelayanan publik. 10. Berdasarkan rekomendasi tersebut, diusulkan perubahan pasal-pasal yang terkait dengan Pasal 160 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-Undang
menetapkan dan memperluas basis pajak daerah serta kewenangan pengelolaan administrasi perpajakan termasuk dalam penetapan dan penyesuaian besarnya tarif pajak. Perluasan kewenangan pemajakan pemerintah daerah tersebut dapat meliputi, perluasan pajak daerah (own taxes) maupun melalui pemberian hak untuk memungut pajak yang tumpang tindih dengan basis pajak pusat (overlapping taxes) yang sering juga disebut dengan "piggyback taxes", dimana pemerintah pusat dan daerah mengenakan pajak atas basis pajak yang sama namun masing-masing memiliki kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif yang akan dikenakan terhadap basis pajak tersebut. 18. Seperti disebutkan sebelumnya, selama ini upaya yang dilakukan untuk memperbaiki pendapatan Daerah lebih fokus kepada menambah jenis-jenis pajak yang boleh dipungut. Persoalannya adalah berbagai jenis pajak yang potensial sudah menjadi pajak Pusat. Sehingga penambahan jenis pajak Daerah untuk peningkatan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah tersebut malah bisa mendistorsi keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemikiran yang cermat mesti dilakukan untuk mencari jenis- jenis pajak yang dapat diterapkan untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah. Selain itu, mesti ditekankan pula pentingnya sinkronisasi perpajakan Pemerintah Pusat dengan Daerah. 19. Dalam rangka mencari tabu dan menyusun sumber-sumber penerimaan yang layak, cocok dan sinkron untuk setiap tingkatan pemerintahan di Indonesia, perlu dipahami dulu teori dan berbagai konsep yang lazim dikenal serta digunakan dalam tax assignment. Pengalaman negara-negara lain juga seyogyanya dijadikan acuan. 20. Musgrave (1983) menggunakan kriteria equity (konsistensi antara sumber- sumber penerimaan dengan kebutuhan pengeluaran) dan efficiency (biaya yang sekecil mungkin) sebagai landasan untuk mengembangkan prinsip- prinsip tax assignment sebagai berikut: (i) pajak-pajak yang sifatnya progresif dan redistributif seyogianya menjadi pajak nasional/pusat; (ii) pajak-pajak yang cocok dan dapat digunakan untuk stabilisasi ekonomi seyogianya menjadi pajak nasional/pusat; (iii) pajak-pajak yang basisnya tidak merata antar daerah seyogianya menjadi pajak nasional/pusat; (iv) pajak atas faktor-faktor produksi atau objek yang mobil seyogianya menjadi pajak nasional/pusat; (v) pajak-
Uji materiil terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan materiil di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000;
4 Bahwa landasan dasar teori atau grand theory tentang asas keadilan dan kepastian hukum dalam pengenaan pajak, dapat kiranya dirujuk pada :
Pasal 23A UU D 1945 yang mengatur sebagai berikut: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang- Undang” b. Pasal 1 angka 1 UU KUP yang mengatur sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Penjelasan Umum UU KUP sebagaimana tersebut pada nomor 1 dan nomor 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Tax Payer’s basic rights yang pada umumnya merupakan best practice dan dirujuk sebagai international accepted concept/theory mengajarkan bahwa Wajib Pajak mempunyai hak- hak dasar sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan c. Surat Ketetapan Pajak Nihil d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar ; atau e. Pemotongan atas pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan 4.6 Bahwa sebagai implementasi dari asas kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan, maka penyelesaian Surat Keberatan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak dibatasi oleh waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP yang kutipannya telah disampaikan tersebut diatas.
7 Bahwa ketentuan tersebut, pada Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah menyebabkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 timbulnya keragu-raguan dan menimbulkan multi tafsir dalam pelaksanaannya mengingat:
Apakah apabila setelah putusan gugatan dikabulkan dan diproses ulang dan kemudian diputus oleh Dirjen Pajak, upaya hukum bandingnya ke Pengadilan Pajak dipastikan tidak menghadapi prinsip nebis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Putusan Pengadilan dapat berupa:
Menolak;
Mengabulkan sebagian atau seluruhnya c. Menambah pajak yang harus dibayar d. Tidak dapat diterima e. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau f. membatalkan (2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding atau kasasi Sehingga apabila setelah diproses kembali dan terhadap Keputusan Keberatan a quo diajukan lagi banding ke Pengadilan Pajak maka kemungkinan bisa saja akan dinyatakan tidak dapat diterima ( Niet on vankelijk ) oleh Pengadilan Pajak berdasarkan Pasal 80 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Selanjutnya ketentuan a quo juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika Pengadilan Pajak yang merupakan judex factie dan judex juris pada waktu mengadili perkara gugatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 PP No. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 74 Tahun 2011 sekaligus memeriksa materi yang disengketakan oleh Wajib Pajak karena tidak ada ketentuan atau pasal di UU no. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang melarang untuk itu.
Ketentuan tersebut akan sangat rawan terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang abuse of power oleh Pejabat yang memutus Surat Keberatan, yang bisa dengan mudah menyatakan bahwa keberatan tidak memenuhi syarat formal karena tidak ada akibatnya bila nantinya digugat di Pengadilan Pajak dan tinggal tunggu saja putusan Pengadilan Pajak kemudian proses dilanjutkan kembali sesuai dengan batas waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak putusan gugatan dimaksud, apabila gugatan dimenangkan Wajib Pajak tanpa harus khawatir dengan batas waktu 12 bulan a quo (semacam pembantaran penyelesaian Surat Keberatan), padahal batas waktu tersebut sudah diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP demi kepastian hukum.
8 Bahwa ketentuan seperti ini nyata-nyata tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik karena kesalahan atau kekhilafan Direktur Jenderal Pajak dalam memutus surat Keberatan dikesampingkan oleh PP No. 74 tahun 2011 dan bahkan secara hukum kesalahan a quo dialihkan menjadi beban Wajib Pajak yang meskipun memenangkan gugatan tetapi proses pemeriksaan keberatan tetap dilanjutkan kembali seperti Surat Keberatan baru sehingga Wajib Pajak yang dihadapkan pada proses berlarut-larut dalam mencari keadilan dan memakan waktu serta biaya yang tambah besar. Sungguh tidak adil.
Ditinjau dari legal drafting (pembentukan peraturan perundang-undangan) sebagaimana diatur dalam UU Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentukan Pasal 41 dimaksud, menurut Pemohon adalah:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota” Dengan kata lain, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut sesuai serta dijiwai oleh asas lex superiori derogat lex inferiori IV.2.2 Kesimpulan Bahwa berdasarkan alasan dan pertimbangan hukum diatas menurut Pemohon nyata- nyata sudah dapat disimpulkan dan terbukti sebagai berikut:
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 26 ayat (1) dan ayat (5) jo Pasal 25 UU KUP 2. Pembentukan Peraturan Pasal 41 ayat (2) dan (3) tersebut tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pelaksanaan dan ketentuan tersebut sangat rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas-asas umum Pemerintahan yang baik. Bahwa sehubungan itu, dengan hormat mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang mengadili perkara permohonan Hak Uji Materiil a quo agar berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011. IV. 3. Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 IV.3.1 Uraian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 1. Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011, mengatur ketentuan sebagai berikut: Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal...... dst b. Dalam hal......dst c. Dalam hal atas Putusan Banding diajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga diberikan apabila Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.
Bahwa Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) mengatur sebagai berikut:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan (2) Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Bahwa Pasal 27A UU KUP, yang dirujuk oleh Pasal 43 ayat (1) dan (2) PP No. 74 Tahun 2011 sebagai dasar hukum pemberian bunga, pada dasarnya formulanya/ungkapannya adalah persis sama dengan Pasal 27A ayat (1) dimaksud, yakni sebagai berikut:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut: Menurut pendapat Pemohon , ketentuan pada Pasal 27 ayat (1) UU KUP a quo adalah merupakan ungkapan dari asas keseimbangan antara hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum No. 4 huruf d UU KUP.
Bahwa memang benar menurut ayat (3) dari Pasal 27A a quo : “Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan agar pemanfaatan hak untuk meminta bunga tersebut berjalan tertib dan sesuai prosedur.
Bahwa ternyata yang muncul bukan peraturan pelaksanaan seperti yang diamanatkan pada ayat (3) Pasal 27A tersebut diatas (yang berisi tata cara perhitungan pengembalian), tetapi justru “Pengaturan lain” dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada Pasal 43 ayat (6) a quo jelas mengatur bahwa Dirjen Pajak akan menunda pembayaran bunga dimaksud sampai dengan diterimanya putusan tentang Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung, yang menurut Pemohon, hal itu jelas merupakan perluasan kewenangan Dirjen yang mestinya tidak perlu dan tidak boleh diatur karena tidak diamanatkan dalam Pasal 27A UU KUP yang sekaligus berarti mengurangi hak Wajib Pajak yang sebenarnya telah dijamin dalam Pasal 27A UU KUP, sehingga ketentuan tersebut melanggar asas keadilan yang merupakan salah satu landasan norma dalam UU KUP.
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut juga mencederai asas keseimbangan hak dan kewajiban perpajakan yang juga menjiwai UU KUP, sehingga dalam penerapannya akan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik karena dalam hal Wajib Pajak dikenai sanksi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 administratif berupa denda atau bunga misalnya, Wajib Pajak tidak mendapatkan hak penundaan pembayaran yang sama seperti Direktur Jenderal Pajak.
Bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 a quo juga bertentangan dengan atau setidak-tidaknya tidak selaras dengan 7.1. Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Vide Bukti: P11) yang mengatur sebagai berikut:
Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak 7.2. Pasal 86 UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur bahwa: “Putusan Pengadilan langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangannya mengatur lain” 7.3. Pasal 88 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan 8. Bahwa ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut melanggar asas “ lex superiori derogat lex inferiori ”, mengingat Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 a quo yang mengatur sebagai berikut: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU NO. 12 Tahun 2011 a quo menyatakan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 9. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 43 ayat (6) huruf c tersebut juga menyimpang dari syarat-syarat/landasan peraturan perundang- undangan yang baik (good legislation) yaitu salah satunya landasan yuridis ( juridische gronslag )yang mengajarkan bahwa peraturan perundang-undangan diharuskan mempunyai dasar hukum atau legalitas terutama dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan kata lain sesuai ajaran “ Stufenbau Theory ” (teori Norma Hukum Berjenjang) norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan, keabsahan atau validitas dari norma yang derajatnya lebih tinggi (ada keselarasan vertical).
Bahwa dilihat dari ajaran “Norma Hukum Berjenjang” tersebut, Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 juga nyata-nyata melanggar prinsip keselarasan apabila dilihat dari sudut Ketatanegaraan karena bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengingat dinyatakan secara jelas bahwa “Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak”. Hal ini logis dan tepat karena putusan Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 langsung mempunyai kekuatan hukum tetap karena merupakan putusan tingkat pertama dan sekaligus terakhir. Dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada dasarnya ada pada ranah eksekutif jelas melanggar/bertentangan dengan peraturan perundangan di bidang kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif) yaitu UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, padahal sebagai pemerintah yang baik, Dirjen Pajak seharusnya patuh pada UU termasuk UU dalam ranah yudikatif.
Bahwa sehubungan dengan itu, UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada Pasal 87 telah mengatur sebagai berikut: “Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa peraturan perpajakan yang berlaku a quo adalah Pasal 27A UU KUP yang sudah dikutip tersebut di atas.
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sesuai dengan Pasal 77 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak seharusnya dilaksanakan secara utuh oleh Direktorat Jenderal Pajak dan tidak boleh ditunda sesuai dengan Pasal 89 ayat (2) UU Pengadilan Pajak a quo . Dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah bertentangan dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak a quo .
Bahwa pembentukan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 ditinjau dari substansinya kurang sesuai dengan asas kelembagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan karena substansinya seharusnya dimuat dalam UU KUP, dan juga tidak sesuai dengan asas keadilan (karena menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak), asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara Dirjen Pajak dan Wajib Pajak, dan asas ketertiban dan kepastian hukum (karena menimbulkan ketidak tertiban dan ketidakpastian).
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur sebagai berikut:
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang 15. Bahwa sehubungan dengan itu, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Vide Bukti : P12) mengatur sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 “Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang” 16. Bahwa disamping itu, Pasal 9A Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Vide Bukti: P13) mengatur sebagai berikut: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang” Dalam penjelasan Pasal 9A a quo ditegaskan: “Yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak” 17. Bahwa dengan demikian Pengadilan Pajak yang diatur dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 adalah Pengadilan sebagai pelaksana dari Kekuasaan Kehakiman di bawah Mahkamah Agung yang sah, sehingga karena itu Pengadilan Pajak melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yang merupakan pengadilan khusus dan berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Bahwa karena itu Pengadilan Pajak tidak boleh diintervensi baik dalam menjatuhkan putusan maupun dalam kaitan dengan regulasinya sehingga ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (6) huruf c nyata-nyata telah mengintervensi Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sebagaimana telah dikutip di atas.
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 menurut Pemohon tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pelaksanaan dari prinsip “Freis emersen” yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada Pemerintah mengingat:
Bahwa prinsip tersebut seharusnya digunakan ketika dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tersebut dihadapkan pada tidak adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur secara rinci b. Bahwa, ketentuan mengenai pemberian bunga a quo sudah diatur secara rinci sehingga yang seharusnya diterbitkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 adalah peraturan yang bersifat administratif yang diamanatkan oleh Pasal 27A ayat (3) yang mengatur sebagai berikut: “Tata Cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” c. Bahwa yang diterbitkan ternyata dalam bentuk Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri Keuangan dan secara substansial bertentangan dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum dari UU KUP dan juga bertentangan dengan UU Pengadilan Pajak IV.3.2. Kesimpulan Bahwa berdasarkan uraian, alasan dan pertimbangan hukum tersebut diatas secara sah dan meyakinkan telah terbukti dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 secara substantif bertentangan dan tidak sejalan dengan Pasal 27A ayat (a) dan ayat (3) UU KUP dan juga bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) UU jo Pasal 86 dan Pasal 88 ayat (2) No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Pembentukan ketentuan hukum Pasal 43 ayat (6) huruf c a quo nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan yang berlaku yang diatur dalam Pasal 5, dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Bahwa sehubungan dengan itu, mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan Hak Uji Materiil ini agar berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 43 ayat (6) huruf c a quo dari PP No. 74 Tahun 2011. IV . 4. Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 IV. 4.1 Uraian 1. Bahwa Pasal 29 PP No. 74 Tahun 2011 menyatakan sebagai berikut:
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan:
keberatan;
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; dan
pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar.
Bahwa Pasal 13A UU KUP mengatur sebagai berikut: Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Penjelasan Pasal 13A adalah sebagai berikut: “Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi” Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara tidak dikenai sanksi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011, substansinya bertentangan dengan:
1 Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang mengatur sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
Surat Ketetapan Pajak Nihil ;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 3.2 Pasal 36 ayat (1) UU KUP yang mengatur sebagai berikut: Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau Surat Ketetapan Pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
penyampaian surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; atau 2. pembahasan hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 4. Bahwa Pajak adalah pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP yang menyatakan sebagai berikut: “ Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat” 5. Bahwa oleh karena sifat pajak yang dapat dipaksakan secara yuridis tersebut, agar pengenaan pajak tidak semena-mena maka asas-asas terpenting dari pajak sebagaimana diatur dalam konsiderans UU KUP adalah asas keadilan dan asas kepastian hukum.
Bahwa sehubungan dengan kedua asas tersebut, UU KUP memberikan hak yang sifatnya sangat mendasar kepada Wajib Pajak yaitu antara lain:
Hak mengajukan keberatan apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan pajak dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana telah disampaikan melalui kutipan Pasal 25 ayat (1) tersebut di atas.
Hak untuk mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) dengan penjelasan sebagai berikut: Penjelasan Pasal 36 ayat (1): Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak. Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir atas hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Bahwa dalam pasal-pasal yang mengatur hak dasar dari Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 maupun Pasal 36 sama sekali tidak ditemukan adanya pengecualian atau larangan bagi Wajib Pajak untuk menggunakan Pasal 25 maupun Pasal 36 UU KUP. Oleh karenanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 jelas bertentangan dengan Pasal 25 dan 36 UU KUP 8. Bahwa secara filosofi, hakikat dari Pasal 29 ayat (3) PP 74 Tahun 2011 nyata-nyata tidak selaras dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi salah satu landasan filosofi dari UU KUP.
Bahwa lebih dari itu, sebenarnya hak untuk mencari keadilan dijamin dalam Pasal 28D UUD ’45 yang mengatur sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan demikian pembatasan/larangan untuk mengajukan keberatan pajak dan mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sungguh tidak selaras dengan hak asasi yang diatur dalam UUD ’45 dimaksud dan sulit untuk mengelak dari kesan adanya arogansi kekuasaan yang tentunya tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga telah nyata- nyata mengurangi hak Wajib Pajak yang dijamin dengan UU KUP. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 11. Bahwa ditinjau dari sudut pembentukan peraturan perundang- undangan (legal drafting) Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga tidak sesuai dengan:
Ajaran teori Norma Hukum Berjenjang ( Stufenbau theorie des recht ) di Indonesia sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur sebagai berikut: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Penjelasan dari Pasal 7 ayat (2) tersebut adalah sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” b. Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur sebagai berikut:
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah e. Peraturan Presiden f. Peraturan Daerah Provinsi dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Bahwa oleh karena itu PP No. 74 Tahun 2011 yang kedudukannya dibawah Undang-Undang seharusnya tidak boleh bertentangan dan juga tidak boleh mengurangi/menambah ketentuan yang diatur dalam UU KUP.
Bahwa dilihat dari asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Peraturan Perundang-undangan, maka Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga tidak mengindahkan:
Bahwa apabila ditinjau dari materi muatan atau substansinya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 tidak mencerminkan:
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UU KUP; dan atau b. Melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga tidak memenuhi syarat sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa sehubungan dengan itu, mohon karenanya agar Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili permohonan Hak Uji Materiil a quo berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 29 dari PP No. 74 Tahun 2011. IV . 5. Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 IV.5.1 Uraian 1. Bahwa Hukum Pajak pada dasarnya tergolong pada Hukum Publik yang termasuk dalam rumpun Hukum Administrasi Pemerintahan atau Hukum Tata Usaha Negara. Bahwa oleh karena itu Pengadilan Pajak yang diatur dengan UU No. 14 Tahun 2002 adalah merupakan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9A, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur sebagai berikut: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang” Dalam penjelasan Pasal 9A a quo ditegaskan: “Yang dimaksud dengan ‘pengkhususan’ adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak” 2. Bahwa Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara adalah Pejabat Tata Usaha Negara yang dalam rangka pengenaan pajak pada dasarnya mengeluarkan/menerbitkan Ketetapan/Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang terdiri dari:
Ketetapan Pajak yang berisi perhitungan besarnya pajak yang terutang sesuai dengan hasil pemeriksaan Pajak seperti Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar b. Keputusan-keputusan lainnya yang berisi tindakan-tindakan Direktur Jenderal Pajak selain menetapkan Pajak, seperti penerbitan Surat Paksa, Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pencegahan ke luar negeri, Pemberian/Penolakan atas permohonan fasilitas- fasilitas yang diatur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 3. Bahwa terhadap tindakan-tindakan Direktur Jenderal Pajak baik berupa Ketetapan Pajak maupun keputusan lainnya dalam praktek bisa saja menimbulkan perselisihan atau persengketaan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga oleh karena itu UU KUP memberikan upaya-upaya hukum yang pada dasarnya sebagai berikut:
Terhadap Ketetapan Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP b. Terhadap keputusan lainnya yang tidak berisi penetapan pajak, kepada Wajib Pajak diberikan upaya hukum berupa Gugatan sebagai mana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP 4. Bahwa Hak Wajib Pajak untuk mengajukan Keberatan Pajak dan Hak untuk menggugat itu adalah, hak yang sangat penting dan mendasar ( Tax Payer’s Basic Rights ) bagi Wajib Pajak sebagai implementasi dari asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi pilar dari UU KUP sebagaimana tercantum dalam konsideransnya mengingat pungutan pajak adalah bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 jo Pasal 1 angka 1 UU KUP, sebagai berikut:
Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur sebagai berikut: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang” b. Pasal 1 angka 1 UU KUP yang mengatur sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” 5. Bahwa apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan pajak yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai hasil pemeriksaan pajak makan UU KUP menyediakan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan c. Surat Ketetapan Pajak Nihil d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
Pemotongan atas pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 6. Bahwa sehubungan dengan Permohonan Keberatan Wajib Pajak, Pasal 26 ayat (1) UU KUP mengatur sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan” Bahwa penjelasan dari Pasal 26 ayat (1) adalah sebagai berikut: “Terhadap Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan” 7. Bahwa sehubungan dengan hak Wajib Pajak lainnya untuk menggugat, telah dijamin dan dirumuskan secara luas dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP yang mengatur sebagai berikut:
Dihapus (2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
Penerbitan surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak seusai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak 8. Bahwa penjelasan dari Pasal 23 ayat (2) UU KUP a quo secara keseluruhan mulai dari huruf a sampai dengan huruf d menyatakan “cukup jelas” dan tidak ada ketentuan dalam UU KUP yang memberi atribusi untuk mengatur lebih lanjut khususnya terhadap Pasal 23 ayat (2) a quo .
Bahwa namun demikian ternyata Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pelaksanaan dari Pasal 23A huruf c UU KUP a quo dengan Pasal 37 dalam PP No. 74 Tahun 2011, yang bunyinya sebagai berikut: “Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang- Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:
Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
Surat Keputusan Pembetulan;
Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi f. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak g. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak” 10. Bahwa dilihat dari substansinya, Pasal 37 a quo sangat jelas mengurangi hak Wajib Pajak untuk menggugat yang sudah dijamin dan dirumuskan secara luas dan tegas dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU KUP.
Bahwa sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara, rumusan Pasal 23 ayat (2) a quo adalah sudah tepat dan lengkap apabila dibaca sekaligus dengan Pasal 25 ayat (1) UU KUP, karena dengan demikian semua tindakan Direktur Jenderal Pajak yang menerbitkan Keputusan/Ketetapan Pajak pada dasarnya dapat digugat dan diajukan keberatan sehingga dengan demikian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 ketentuan Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 benar-benar tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan tidak sesuai dengan hakekat Hukum Pajak sebagai Hukum Tata Usaha Negara.
Bahwa dilihat dari substansinya, Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 a quo juga kurang sejalan dan bahkan mengurangi Kompetensi absolut dari Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomo 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bahwa Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 tahun 2002 tersebut menunjuk pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 (UU KUP) yang bunyinya sebagai berikut:
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Verifikasi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 30 ayat (2)huruf c Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 21 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 (2) Wajib Pajak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan permohonan:
pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa:
penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi; atau
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak. Pasal 35 ayat (1) huruf d (1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
mengurangkan dan seterusnya.....
membatalkan Surat Ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan atau Verifikasi, yang dilaksanakan tanpa:
penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan Hasil Verifikasi; atau
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak. Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) (2) Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak didasarkan pada:
hasil Verifikasi;
hasil Pemeriksaan;
hasil Pemeriksaan ulang; atau
hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang.
Termasuk dalam pengertian Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 22 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Surat Ketetapan Pajak yang menetapkan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak tidak sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang dilakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pasal 48 ayat (3);
;
;
;
dan ayat (10) (4) Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang.
Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang.
Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.
Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 23 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 (8) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding.
Apabila sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak dikenakan sebagai akibat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, yang pajak terutangnya tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan atas Surat Ketetapan Pajak diajukan keberatan dan/atau banding, tindakan penagihan atas Surat Tagihan Pajak tersebut ditangguhkan sampai dengan surat Ketetapan Pajak tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. IV. 2. Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011 IV.2.1. Uraian 1. Bahwa Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011, mengatur sebagai berikut:
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerima Putusan Gugatan atas Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Putusan Gugatan tersebut dengan menerbitkan kembali Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2).
Dalam hal badan Peradilan Pajak mengabulkan gugatan Wajib Pajak atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang, Direktur jenderal Pajak menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 24 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sejak Putusan Gugatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
Bahwa sehubungan dengan itu, Pemohon berpendapat bahwa upaya hukum “ pengajuan keberatan “ adalah merupakan salah satu hak yang sifatnya sangat mendasar sebagai implementasi dari asas kepastian hukum dan asas keadilan yang menjadi salah satu pilar UU KUP mengingat atau sebagai konsekuensi dari sifat memaksa dari pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Bahwa sehubungan dengan Permohonan Keberatan Wajib Pajak, Pasal 26 ayat (1) UU KUP mengatur sebagai berikut: “Direktur Jenderal pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan”. Bahwa penjelasan dari Pasal 26 ayat (1) adalah sebagai berikut: “Terhadap Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan “ Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 25 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa menurut Pasal 26 ayat (5) UU KUP diatur sebagai berikut: “Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi Surat Keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan ” 4. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011 tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 26 UU KUP, mengingat:
1 Bahwa secara tersirat maupun tersurat ketentuan Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011 a quo dapat dipahami secara sederhana sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan Keberatan yang penerbitannya dianggap tidak sesuai dengan prosedur ke Pengadilan Pajak.
Apabila gugatan dikabulkan, Direktur Jenderal Pajak akan memproses kembali Surat Keberatan dimaksud sesuai dengan prosedur.
Batas waktu penyelesaian keberatan yang menurut Pasal 26 ayat (1) jo (5) diatur dengan jelas selama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak Surat Keberatan diterima ditafsirkan atau tepatnya diatur lagi tanpa menghiraukan UU KUP menjadi 12 (dua belas) bulan terhitung sejak Putusan Gugatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
2 Bahwa ketentuan tersebut pada Pasal 41 ayat (2) dan (3) secara substansial nyata-nyata melanggar asas kepastian hukum yang menjadi landasan UU KUP, karena penyelesaian keberatan menjadi berlarut-larut atau tidak menentu sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak. Masalahnya menjadi lebih kompleks dan tidak pasti sekiranya gugatan Wajib Pajak ditolak, tetapi ditingkat Peninjauan Kembali, MA memenangkan Wajib Pajak, Bagaimana solusinya? Tidak jelas dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 sangat tidak adil dan pasti akan merugikan hak Wajib Pajak tersebut.
3 Bahwa dalam konsiderans Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sekarang telah diubah lagi dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, disebutkan sebagai berikut:
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
Bahwa dalam konteks untuk menghapus NPWP atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam UU KUP diatur sebagai berikut: Pasal 2 ayat (7) : Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak Badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Pasal 2 ayat (9) : Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Bahwa menurut Pemohon Hak Uji Materiil, jenis kewenangan Dirjen Pajak yang disebut “Pemeriksaan” tersebut adalah sudah tepat dan memang harus diatur dengan Undang-Undang, dalam hal ini UU KUP sebagai Hukum Acara Perpajakan (Hukum Formal) mengingat perhitungan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU KUP (self- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 13 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 assessment) adalah dianggap benar dan telah sesuai dengan Undang-Undang sepanjang belum dibuktikan sebaliknya oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga oleh karena itulah UU KUP memberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 UU KUP sehingga dapat melakukan pengawasan, koreksi dan penegakan hukum apabila terbukti perhitungan pajak yang dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) oleh Wajib Pajak ternyata tidak benar. Dari hasil pemeriksaan tersebut kemudian dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, penghapusan NPWP dan pencabutan atas pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Bahwa tiba-tiba saja dengan PP No. 74 Tahun 2011, Dirjen Pajak diberikan kewenangan baru yang disebut dengan “Verifikasi” yang pada dasarnya diberi kekuatan hukum yang dapat dikatakan “sama” dengan “Pemeriksaan” yang sudah diatur dengan UU KUP, sehingga Pemohon menilai dan karenanya harus berpendapat bahwa telah terjadi “Penambahan Kewenangan secara tidak sah” pada Dirjen Pajak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang derajat atau tingkatannya dibawah Undang-Undang (dalam hal ini UU KUP). Bahwa menurut Pemohon :
1 Penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 serta kaitannya yaitu Pasal 13 ayat (1); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15, Pasal 18 ayat (1) huruf a Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) dan (2), Pasal 30 ayat (2) huruf c, Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 48 ayat (3), ayat (4); ayat (7); ayat (8); ayat (9) dan ayat (10), sepanjang yang menyangkut “Verifikasi” adalah:
tidak sesuai dengan “asas kelembagaan”(Pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang tepat) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf b Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 14 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Vide bukti: P10). Karena seharusnya kewenangan Verifikasi yang sangat penting dan mempunyai akibat hukum yang luas tersebut diatur/dimuat di UU KUP sehingga DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bisa ikut menyetujui adanya penambahan kewenangan Dirjen Pajak a quo .
tidak sesuai dengan “asas Kesesuaian”, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarkinya, karena itu seharusnya kewenangan “Verifikasi” diatur dalam Undang- Undang bukan dengan Peraturan Pemerintah c. tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan karena rumusannya sama atau tumpang tindih dengan kewenangan untuk melakukan “pemeriksaan”. Sedang produk hukumnya yang dihasilkan dari “Verifikasi” juga sama dengan “Pemeriksaan” dan bisa membebani serta mempunyai implikasi hukum yang luas termasuk bisa ditagih dengan Surat Paksa, padahal kewenangan “Verifikasi” tidak dikenal dalam UU KUP.
2 Bahwa Pemohon juga berpendapat sesuai dengan jiwa UU No. 12 Tahun 2011 a quo dan sesuai dengan prinsip lex superiori derogat lex inferiori seharusnya PP No. 74 Tahun 2011 yang merupakan aturan pelaksanaan dari UU KUP tidak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 15 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 boleh menciptakan kewenangan baru yang memperluas ketentuan yang ada dalam UU KUP.
3 Bahwa menurut Ajaran Teori Norma Hukum Berjenjang yang antara lain diintrodusir oleh Hans Kelsen yang dikenal dengan nama “Stufenbau des Recht”, antara lain dapat dikatakan bahwa Norma Hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan dan keabsahaan hukum dari Norma Hukum yang lebih tinggi. Itu sebabnya Peraturan Perundang- Undangan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang 12.4 Bahwa Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menyatakan sebagai berikut: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi” 12.5 Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan mengatur sebagai berikut: “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 16 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota” Dengan kata lain, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut memang dijiwai oleh asas lex superiori derogat lex inferiori . Bahwa dengan demikian jika PP No. 74 Tahun 2011 kedudukannya lebih rendah dari UU KUP.
6 Bahwa menurut Pemohon, ketentuan PP No. 74 Tahun 2011 mengenai Verifikasi tersebut juga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang menjadi landasan dari kebijakan pokok tentang arah dan tujuan perubahan UU KUP menjadi UU No. 28 tahun 2007 sebagaimana tersebut dalam angka 4 dari Penjelasan Umum UU KUP yang pada akhirnya bisa merugikan keadilan bagi Wajib Pajak.
7 Bahwa mengenai munculnya/diintrodusirnya kewenangan baru yang disebut “Verifikasi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 dan 5 PP No. 74 Tahun 2011 sebenarnya bukan didasarkan pada kewenangan atributif. Tidak ada amanat dari UU KUP agar Pemerintah membuat peraturan pelaksanaan yang memberi kewenangan baru pada Dirjen Pak berupa “Verifikasi” a quo . Dengan demikian sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Pemerintahan) ketentuan a quo dibuat berdasarkan prinsip “Freis Emersen” atau kebebasan bertindak dari Pemerintah karena menghadapi kerancuan aturan atau karena aturan-aturannya tidak lengkap. Namun demikian menurut Pemohon pembentukan aturan pelaksanaan yang tidak diamanatkan oleh Undang- Undangnya seperti halnya kewenangan “Verifikasi” a quo seharusnya didasarkan pada dolmatigheid yang jelas yang sangat diperlukan dan harus juga didasarkan pada asas umum pemerintahan yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 baik. UU KUP sudah mengatur secara rinci tentang kewenangan “Pemeriksaan” tidak ada lagi perlunya mengatur kewenangan lain (verifikasi) yang pada dasarnya sama persis dengan “Pemeriksaan” yang justru menimbulkan multi tafsir yang dapat menyebabkan abuse of power dari Dirjen Pajak dan bisa menyebabkan komplikasi adminstrasi perpajakan yang pada akhirnya merugikan Wajib Pajak, sehingga kurang sesuai dengan asas keadilan dan kepastian hukum IV.1.2 Kesimpulan Bahwa sehubungan dengan uraian tersebut diatas, menurut Pemohon dapat disimpulkan secara sah dan meyakinkan ketentuan mengenai “Verifikasi” sebagaimana tersebut pada Pasal 1 angka 4 dan Pasal 5 PP No. 74 Tahun 2011 telah terbukti ;
Bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 UU KUP yang mengatur mengenai pemeriksaan.
Pembentukan peraturan/ketentuan mengenai “Verifikasi” a quo tidak memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahwa oleh karenanya, mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara Hak Uji Materiil a quo untuk memutuskan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 1 angka 4 dan 5 PP NO. 74 Tahun 2011 dari PP No. 74 Tahun 2011 dan dengan menggunakan alasan, dalil atau pertimbangan hukum yang sama (mutatis mutandis) juga menyatakan karenanya tidak sah dan tidak berlaku sepanjang mengenai “Verifikasi” yang diatur dalam pasal-pasal terkait PP No 74 tahun 2011, yaitu: Pasal 13 ayat (1) 1) Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang dapat membatalkan Surat Ketetapan Pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 18 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur:
penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi, dan/atau b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi.
Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan atau Verifikasi dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi; dan/atau
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) (1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan:
hasil Verifikasi terhadap keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang;
hasil Pemeriksaan dan seterusnya.....
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Pengujian UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara terhadap UUD Negara RI 1945
Perubahan atas Pearturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.02/2015 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Angg ...
PUU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap 2 lainnya
c) Keterangan Prof. DR. Gunadi Dalam memberikan keterangannya di persidangan Prof. Dr. Gunadi setidaknya memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut; pertama UU-PDRD dibentuk berdasarkan UUD 1945 (Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D,dan Pasal 23A) oleh lembaga legislatif, sehingga telah memenuhi asas legalitas formal, prosedural dan konstitusional maka UU-PDRD sah, dan mempunyai daya laku serta mengikat masyarakat dan semua pihak, kedua terkait dengan perbedaan istilah dalam UU PDRD dengan UU Lalu Lintas disampaikan bahwa karena kedua undang-undang tersebut berbeda, latar belakang, tujuan dan maksud serta kriteria pembentukannya berbeda (misalnya Undang- Undang Pajak dengan tujuan perolehan penerimaan yang memadai dan penyederhanaan administrasi dan kepatuhan, serta menutup celah pengelakan pajak) adalah wajar saja kalau suatu istilah yang sudah didefinisikan dalam suatu Undang-Undang didefinisikan lain dalam UU PDRD, ketiga disampaikan bahwa guna memberikan kepastian hukum dan keadilan tentang besaran pajak yang harus dibayar, maka rumusan tentang dasar pengenaan pajak dan tarif pajak merupakan sesuatu keharusan adanya ( conditio sine qua non ) dalam Undang-Undang perpajakan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adanya, keempat terkait dengan pajak berganda disampaikan bahwa walaupun subjek dan masa pajaknya sama, namun karena dasar ketentuan pemungutan dan jenis pajaknya berbeda, secara yuridis, pembayaran PPh badan, PPN, PKB dan BBN-KB oleh wajib pajak, tidak dapat dikatakan telah terjadi pungutan pajak berganda. Selanjutnya sebagai penutup disampaikan oleh Prof. Dr. Gunadi bahwa karena PKB dan BBN-KB alat-alat berat dan alat-alat besar dipungut dalam jumlah yang pasti tidak semena-mena, jelas pembayar, waktu dan tempatnya dengan Undang-Undang dan berdasarkan peraturan daerah dapat merata kepada semua pembayar pajak dengan jelas dan pasti maka dapat dikatakan tidak bertentangan dengan Pasal 28D(1) UUD 1945.
Pendapatan daerah senilai tersebut memang sangat kecil, jika dibandingkan dengan pendapatan negara yang lebih dari Rp1.100 triliun. Namun sangat berarti jika dimanfaatkan untuk memelihara infrastruktur jalan dan jembatan provinsi, kabupaten, dan kota. Memasukkan alat berat sebagai objek PKB dan BPNKB sesuai dengan kriteria prinsip perpajakan, termasuk keadilan. Yang pertama mengenai kriteria pajak yang potensial, mudah diadministrasi, dan berkelanjutan. Meskipun pada dasarnya pemerintah dapat memaksakan pengenaan terhadap suatu objek pajak, namun sesungguhnya tidak mudah mencari objek pajak yang potensial, mudah diadministrasi, dan berkelanjutan. Alat berat atau alat besar sebagai bagian dari objek PKB, memenuhi kriteria tersebut. Jumlah alat besar dan alat berat sangat banyak dan akan terus bertambah seiring kebutuhan pembangunan nasional. Jadi, jika kepemilikan dan pergantian kepemilikan terhadap alat berat dan alat besar dikenai pajak, maka dipastikan potensinya besar bagi pendapatan daerah. Objek pajak ini dipastikan akan terus dan berkelanjutan. Sejalan dengan kriteria di atas, objek pajak yang jelas dan tidak bisa disembunyikan. Salah satu teknis untuk mencari sumber pajak baru bagi sumber pembiayaan pembangunan dalam mencari berbagai jenis objek pajak yang jelas dan tidak bisa disembunyikan. Alat berat dan alat besar adalah benda yang besar, tidak mudah disembunyikan. Seterusnya pajak ini akan sangat mudah diadministrasi, seperti juga pada pajak kendaraan bermotor lainnya. Memungut pajak terhadap alat berat dan alat besar relatif rendah biaya administrasinya karena kepemilikan dan lokasi mudah diindentifikasi. Untuk itu pengenaan pajak terhadap alat berat dan alat besar dipastikan sangat efisien dari sudut pandang administrasi perpajakan. Kriteria kedua mengenai ekonomi efisiensi dan netralitas cara ekonomi. Sebuah pajak dikatakan tidak efisien secara ekonomi, jika menimbulkan dampak terhadap ekonomi, antara lain misalnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi, nanti saya akan perlihatkan datanya, dan mengakibatkan keengganan untuk berinvestasi.
Mahkamah , “pengertian kendaraan bermotor” sebagaimana tersebut di dalam Undang-Undang a quo merupakan bentuk perumusan ulang yang bertujuan untuk memberikan batasan kepada Pemerintah Daerah mengenai objek-objek mana yang dapat dikenakan pajak maupun retribusi daerah. Di samping itu, hal tersebut juga bertujuan untuk menutup celah penghindaran dan pengelakan pajak (loopholes) dan mempermudah administrasi pajak, serta tujuan lainnya. Pengertian kendaraan bermotor yang ada dalam UU 28/2009 pada prinsipnya tidak berbeda dengan pengertian kendaraan bermotor dalam UU Lalu Lintas, hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Lalu Lintas yang menyebutkan bahwa: “kendaraan bermotor sebagaimana ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis: ... e. Kendaraan Khusus” , dan dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e disebutkan, “ yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: ... c. alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelas terbukti bahwa dalam UU Lalu Lintas pun alat berat dimasukkan kedalam kategori kendaraan bermotor. [3.17.1] Demikian pula dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Undang- Undang a quo merupakan lex generalis dan UU Lalu Lintas merupakan lex spesialis adalah dalil yang tidak tepat. Dalam perkara ini, Undang-Undang a quo justru yang merupakan lex spesialis , karena Undang-Undang a quo merupakan Undang-Undang yang mengatur dasar pemungutan pajak dan retribusi daerah, yang oleh para Pemohon diajukan ke Mahkamah untuk diuji konstitusionalitasnya, khususnya terkait dengan ketentuan mengenai pemungutan pajak daerah atas alat-alat berat dan alat-alat besar. Dengan demikian jelas bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa seharusnya pengertian “kendaraan bermotor“ dalam Undang-Undang a quo tunduk dan mengacu pada pengertian “kendaraan bermotor” yang diatur dalam UU Lalu Lintas merupakan dalil yang tidak berdasar. [3.17.2] Bahwa menurut para Pemohon, Undang-Undang yang mengatur Pajak dan Retribusi Daerah sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a tidak memuat alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai kendaraan bermotor dan sebagai objek pajak, sedangkan dalam UU 28/2009 telah memuat alat-alat berat
Uji Materiil atas Pasal 4 ayat (1) UU No.12 tahun 1985 tentang PBB
Relevan terhadap 2 lainnya
pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan NJOP ditetapkan setahun sekali ( vide Bukti Pemt-2); d. Pasal 6 ayat (3) Dasar penghitungan pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Objek Pajak ( vide Bukti Pemt-2); e. Pasal 6 ayat (4) Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional ( vide Bukti Pemt-2). 5. Cara Menghitung PBB Dalam Pasal 7 Undang-Undang PBB, diatur bahwa besarnya PBB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak ( vide Bukti Pemt-2). 6. Sanksi a. Sanksi Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Pengaturan sanksi perpajakan diatur dalam UU KUP. Dalam undang- undang tersebut diatur mengenai sanksi perpajakan yaitu: ( vide Bukti Pemt-6) 1) Sanksi administrasi. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak sepanjang menyangkut tertib administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi. Sanksi administrasi terdiri dari dua hal, yaitu sanksi administrasi berupa bunga dan sanksi administrasi berupa denda. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan dalam hal wajib pajak tidak mematuhi pembayaran atau penyetoran pajak sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Sementara itu sanksi administrasi berupa denda dikenakan apabila terdapat pelanggaran administrasi perpajakan dan kelalaian dalam pelaporan kewajiban perpajakan. Dengan demikian semangat dari pengaturan sanksi tersebut adalah
untuk tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. 2) Sanksi Pidana. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak sepanjang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Sanksi pidana yang dapat diajukan di muka pengadilan adalah perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39A, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 UU KUP ( vide Bukti Pemt-6). Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Sanksi dalam Undang-Undang PBB Pengaturan sanksi PBB diatur dalam Undang-Undang PBB, yaitu: 1) Sanksi Administrasi Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tertib administrasi dalam PBB dikenakan sanksi administrasi berupa denda yang dikenakan apabila terdapat pelanggaran administrasi perpajakan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang PBB ( vide Bukti Pemt-2). Dengan demikian semangat dari pengaturan sanksi tersebut adalah untuk tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran PBB. 2) Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang PBB juga diatur mengenai pelanggaran yang dilakukan Wajib Pajak yang termasuk dalam lingkup sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 ( vide Bukti Pemt-2). Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam Undang-
Pasal 4 ayat (1) yang mengatur: “Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.” ( vide Bukti Pemt-2) Pasal 5 yang mengatur: “Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen).” ( vide Bukti Pemt-2) Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur: “(3). Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.” “(4). Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.” ( vide Bukti Pemt-2) Pasal 11 ayat (3) yang mengatur: “Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayarannya tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.” ( vide Bukti Pemt-2) Pasal 24 yang mengatur: “Barang siapa karena ke alpaannya: a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak; b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar; sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana
Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, Serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengelua ...
Relevan terhadap
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) untuk transaksi tertentu, yaitu:
Pengeluaran dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak yang berhubungan dengan kegiatan usahanya ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang dalam jangka waktu tertentu akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas berupa mesin dan/atau peralatan untuk:
kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
keperluan perbaikan, pengerjaan, pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
keperluan peragaan atau demonstrasi;
Pengeluaran kembali dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang berhubungan dengan kegiatan usahanya berupa mesin dan/atau peralatan untuk:
kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
keperluan perbaikan, pengerjaan pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
keperluan peragaan atau demonstrasi;
Pengeluaran Barang Kena Pajak untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi yang atas impornya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dipungut, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut tidak untuk tujuan pengalihan hak;
Pengeluaran Barang Kena Pajak, yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan atas impor dan/atau penyerahannya tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Pengeluaran Barang Kena Pajak yang telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilainya dengan menggunakan stiker lunas Pajak Pertambahan Nilai; dan
Pengeluaran Barang Kena Pajak berupa pengemas yang dipakai berulang-ulang ( returnable package ).
Batas waktu pemasukan kembali Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
Batas waktu pengeluaran kembali Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib dilunasi oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean yang mengeluarkan Barang Kena Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dikeluarkan kembali dari Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dilunasi pada saat pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut dari Kawasan Bebas oleh Orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak tersebut dari Kawasan Bebas.
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Kawasan Bebas sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
Kawasan Berikat.
Relevan terhadap
Peminjaman mesin produksi dan cetakan ( moulding) kepada Pengusaha Kawasan Berikat, PDKB lain, dan/atau perusahaan industri/badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5) atau Pasal 41 ayat (1), diberikan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dengan memperhatikan jangka waktu kontrak peminjaman.
Jangka waktu peminjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean.
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memberikan persetujuan peminjaman untuk jangka waktu yang melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB tertentu berdasarkan manajemen risiko.
Dalam hal mesin produksi dan cetakan ( moulding ) yang dipinjamkan ke tempat lain dalam daerah pabean tidak dikembalikan dan/atau tidak diperpanjang setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, berlaku ketentuan sebagai berikut:
jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4) dicairkan untuk melunasi Bea Masuk dan PDRI yang terutang dan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan membuat faktur pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
Dalam hal mesin produksi dan cetakan ( moulding) yang dipinjamkan ke Kawasan Berikat lainnya tidak dikembalikan dan/atau tidak diperpanjang setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB asal wajib membayar Bea Masuk dan PDRI yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
Pelaksanaan pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari, terhitung sejak tanggal persetujuan subkontrak sampai dengan barang hasil subkontrak dimasukkan kembali ke Kawasan Berikat.
Atas permohonan pemberi subkontrak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memberikan izin subkontrak melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal sifat dan karakteristik dari pekerjaan subkontrak memerlukan waktu lebih dari 60 (enam puluh) hari.
Dalam hal penyelesaian pekerjaan subkontrak ke perusahaan industri/badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan/atau dalam hal hasil produksinya tidak kembali, berlaku ketentuan sebagai berikut:
jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6) dicairkan untuk melunasi Bea Masuk dan/atau Cukai, dan PDRI yang terutang dan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan membuat faktur pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
Dalam hal barang/Bahan Baku untuk keperluan penyelesaian subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan barang yang terkena ketentuan pembatasan, izin Kawasan Berikat dicabut . (5) Dalam hal penyelesaian pekerjaan subkontrak ke Kawasan Berikat lainnya melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan/atau dalam hal hasil produksinya tidak kembali, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB asal wajib membayar Bea Masuk dan/atau Cukai, dan PDRI yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
Dalam hal Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB melakukan pelanggaran subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB tidak diizinkan untuk melakukan subkontrak selama 6 (enam) bulan.
Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat mengeluarkan Barang Modal untuk keperluan perbaikan/reparasi dengan tujuan:
luar daerah pabean;
tempat lain dalam daerah pabean; dan/atau
Kawasan Berikat lain, dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean.
Atas pengeluaran Barang Modal ke tempat lain dalam daerah pabean untuk keperluan perbaikan/reparasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus menyerahkan jaminan.
Atas pengeluaran Barang Modal untuk keperluan perbaikan/reparasi dengan tujuan tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan dengan tujuan Kawasan Berikat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus dimasukkan kembali ke dalam Kawasan Berikat paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal pengeluaran dari Kawasan Berikat dan dalam hal tertentu dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 3 (tiga) bulan.
Dalam hal Barang Modal untuk keperluan perbaikan/reparasi dengan tujuan tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Berikat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berlaku ketentuan sebagai berikut:
jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicairkan untuk melunasi Bea Masuk dan PDRI yang terutang dan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan membuat faktur pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
Dalam hal Barang Modal untuk keperluan perbaikan/reparasi dengan tujuan Kawasan Berikat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Berikat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib membayar Bea Masuk dan PDRI yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa. ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1 . Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah se bagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunya1 batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. DISTRIBUSI II 4. Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya clisingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berclasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan clalam rangka pelaksanaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Rencana Dana Pengeluaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa adalah rencana kerja dan anggaran yang memuat rincian kebutuhan clana dalam rangka pelaksanaan Transfer ke Daerah clan Dana Desa.
Transfer ke Daerah aclalah bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Y ogyakarta.
Dana Perimbangan adalah clana yang dialokasikan dalam APBN kepada claerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas Dana Transfer Umum clan Dana Transfer Khusus.
Dana Transfer Umum adalah dana yang clialokasikan dalam APBN kepada daerah untuk cligunakan sesuai clengan kewenangan daerah guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan de sen tralisasi.
Dana Transfer Khusus aclalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada claerah clengan DISTRIBUSI II tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus, baik fisik maupun nonfisik yang merupakan urusan daerah.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Bagi Hasil Pajak yang selanjutnya disebut DBH Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penenmaan Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 2 1 , Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan, kecuali PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Pajak Penghasilan Pasal 2 1 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 2 1 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 2 1 Undang-Undang mengena1 Pajak Penghasilan. 1 7. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang selanjutnya disebut PPh WPOPDN adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pa jak Penghasilan. DISTRIBUSI II - 7 - 18. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat DBH CHT adalah bagian dari anggaran transfer ke daerah yang dibagikan kepada provms1 penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah bagian daerah yang berasal dari penenmaan SDA kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat PNBP SDA adalah bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, minyak bumi, gas bumi, dan pengusahaan panas bumi. 2 1 . Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama.
Pengusaha Panas Bumi adalah Pertamina a tau perusahaan penerusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kontraktor kontrak operasi bersama Uoint operation contract), dan pemegang izin pengusahaan panas bumi, 23. Kurang Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH adalah selisih kurang antara DBH yang dihitung . berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosa realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.
Lebih Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH adalah selisih lebih antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung DISTRIBUSI II penenmaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosa realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan mendanai kebutuhan antar Daerah untuk daerah dalam rangka pelaksanaan de sen tralisasi.
Dana Alokasi Khusus Fisik yang selanjutnya disingkat DAK Fisik adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus fisik yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disingkat DAK Nonfisik adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada Daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus nonfisik yang merupakan urusan daerah.
Dana Bantuan Operasional Sekolah yang selanjutnya disebut Dana BOS adalah dana yang digunakan terutama untuk mendanai belanja nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar dan menengah sebagai pelaksana program wajib belajar dan dapat dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini yang selanjutnya disebut Dana BOP PAUD adalah dana yang digunakan untuk biaya operasional pembelajaran dan dukungan biaya personal bagi anak yang mengikuti pendidikan anak usia dini. DISTRIBUSI II 30. Dana Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disebut Dana TP Guru PNSD adalah tunjangan profesi yang diberikan kepada Guru PNSD yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3 1 . Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disebut DTP Guru PNSD adalah tambahan penghasilan yang diberikan kepada Guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi Guru PNSD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dana Bantuan Operasional Kesehatan dan Bantuan Operasional Keluarga Berencana yang selanjutnya disebut Dana BOK dan BOKB adalah dana yang digunakan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan bidang kesehatan, khususnya pelayanan di Pusat Kesehatan Masyarakat, penurunan angka kematian ibu, angka kematian bayi, malnutrisi, serta meningkatkan keikutsertaan Keluarga Berencana dengan peningkatan akses dan kualitas pelayanan Keluarga Berencana yang merata.
Dihapus.
Dana Peningkatan Kapasitas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Dana PK2UKM dan Naker adalah dana yang digunakan untuk biaya operasional penyelenggaraan pelatihan pengelolaan koperasi, usaha kecil menengah, dan ketenagakerjaan.
34a. Da ^n a Tunjangan Khusus Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disebut Dana TKG PNSD adalah tunjangan yang diberikan kepada guru PNSD sebagai kompensansi atas kesulitan hidup dalam melaksanakan tugas di daerah khusus, yaitu di desa yang termasuk dalam kategori sangat tertinggal menurut indeks desa membangun dari NI DISTRIBUSI II Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
34b. Dana Pelayanan Administrasi Kependudukan yang selanjutnya disebut Dana Pelayanan Adminduk adalah dana yang digunakan untuk menJamm keberlanjutan dan keamanan Sistem Administrasi Kependudukan (SAK) terpadu dalam menghasilkan data dan dokumen kependudukan yang akurat dan seragam di seluruh Indonesia.
Dana Insentif Daerah yang selanjutnya disingkat DID adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah tertentu berdasarkan kriteria tertentu dengan tujuan untuk memberikan penghargaan atas pencapaian kinerja tertentu.
Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu Daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 · tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 ten tang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 1 Tahun 200 1 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Un q ang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam Undang-Undang sebagaimana ditetapkan Nomor 13 Tahun 20 1 2 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dana Desa adalah dana yang dialokasikan dalam APBN yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, DISTRIBUSI II - 1 1 - pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PA BUN adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 4 1 . Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit orgamsas1 di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah satuan kerja pada masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provms1 atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tern pat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. DISTRIBUSI II 45. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tern pat peny1mpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
· Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PPA BUN. 4 7. Surat Keputusan Penetapan Rincian Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat SKPRTD adalah surat keputusan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran yang memuat rincian jumlah transfer setiap daerah menurut jenis transfer dalam periode tertentu.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Pembuat Komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 5 1 . Pejabat Pembuat Komitmen Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPK BUN adalah pejabat yang diberi kewenangari oleh PA BUN/PPA BUN/KPA BUN untuk mengambil keputusan DISTRIBUSI II - 13 - clan/ atau melakukan tinclakan yang clapat mengakibatkan pengeluaran anggaran Transfer ke Daer ah.
Pejabat Penanclatangan Surat Perintah Membayar Benclahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPSPM BUN adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA BUN/PPA BUN/KPA BUN untuk melakukan pengujian atas pembayaran clan menerbitkan pembayaran. permintaan perintah 53. Lembar Konfirmasi Transfer ke Daerah clan Dana Desa yang selanjutnya clisebut LKT aclalah clokumen yang memuat rincian penerimaan Transfer ke Daerah clan Dana Desa oleh Daerah.
Lembar Rekapitulasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya clisebut LRT aclalah clokumen yang memuat rincian penerimaan Transfer ke Daerah clan Dana Desa oleh Daerah clalam 1 (satu) tahun anggaran.
Sisa Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya clisebut Sisa DAK aclalah Dana Alokasi Khusus yang telah clisalurkan oleh Pemerintah kepacla Pemerintah Daerah namun tidak habis digunakan untuk mendanai kegiatan dan/atau kegiatan yang diclanai dari Dana Alokasi Khusus tidak terealisasi.
Sisa Dana Bantuan Operasional Sekolah Tahun Anggaran 20 1 1 yang selanjutnya disebut Sisa Dana BOS TA 20 1 1 adalah jumlah sisa Dana BOS TA 20 1 1 yang tidak digunakan sampai dengan akhir Tahun Anggaran 20 1 1 dan masih berada di pemerintah daerah penenma Dana BOS Tahun Anggaran 20 1 1 . DISTRIBUSI II 2 . Ketentuan ayat (6) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: