Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Relevan terhadap
Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya;
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan;
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank;
Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan;
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu;
Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang;
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga;
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina);
Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dengan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut;
Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum untuk mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan perjanjian antara Bank Umum dengan emiten surat berharga yang bersangkutan;
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank;
Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
Kantor Cabang adalah kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana kantor cabang tersebut melakukan usahanya;
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
Pihak Terafiliasi adalah:
anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank;
anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, keluarga pengurus;
Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
Lembaga Penjamin Simpanan adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan Nasabah Penyimpan melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya;
Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa melikuidasi;
Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa melikuidasi;
Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank;
Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya." 2. Ketentuan Pasal 6 huruf k dihapus.
Ketentuan pasal 6 huruf m diubah, sehingga Pasal 6 huruf m menjadi berbunyi sebagai berikut : "Pasal 6 m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia." 4. Ketentuan Pasal 7 huruf c, sehingga Pasal 7 huruf c menjadi berbunyi sebagai berikut : "Pasal 7 c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan " 5. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 8 (1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia." 6. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) diubah, serta menambah ayat baru di antara ayat (4) dan ayat (5) yang dijadikan ayat (4A), sehingga Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4A) menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 11 (1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada:
pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;
anggota Dewan Komisaris;
anggota Direksi;
keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huhruf a, huruf b, dan huruf c;
pejabat bank lainnya; dan
perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e. (4A)Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)." 7. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga Pasal 12 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 12 (1)Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum.
Ketentuan mengenai kerjasama dengan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." 8. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 12 dan Pasal 13 yang dijadikan Pasal 12A, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 12 (1) Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." 9. Ketentuan Pasal 13 huruf c diubah, sehingga Pasal 13 huruf c menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 13 c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia." 10.Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 16 (1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
susunan organisasi dan kepengurusan;
permodalan;
kepemilikan;
keahlian di bidang Perbankan;
kelayakan rencana kerja.
Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 11.Ketentuan Pasal 17 dihapus.
Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 18 (1) Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.
Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 13.Ketentuan pasal 19 diubah, sehingga pasal 19 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 19 (1) Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 14.Ketentuan Pasal 20 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 20 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 20 (1) Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia." 15.Ketentuan Pasal 21 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 21 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 21 (1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:
Perseroan Terbatas;
Koperasi; atau
Perusahaan Daerah." 16.Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga Pasal 22 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 22 (1) Bank Umum hanya dapat didirikan oleh:
Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau b. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
Ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 17.Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga Pasal 26 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 26 (1) Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek.
Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, baik secara langsung dan atau melalui bursa efek.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." 18.Ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga Pasal 27 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 27 Perubahan kepemilikan bank wajib:
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26; dan
dilaporkan kepada Bank Indonesia." 19.Ketentuan Pasal 28 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 28 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 28 (1) Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia." 20.Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga Pasal 29 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 29 (1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 21.Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga Pasal 31 seluruhnya sebagai berikut: "Pasal 31 Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan." 22.Menambah ketentuan baru di antara Pasal 31 dan Pasal 32 yang dijadikan Pasal 31A, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 31 Bank Indonesia dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31." 23.Ketentuan Pasal 32 dihapus.
Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga Pasal 33 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 33 (1) Laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A bersifat rahasia.
Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A ditetapkan oleh Bank Indonesia." 25.Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga Pasal 37 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 37 (1) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:
pemegang saham menambah modal;
pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.
Apabila:
tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan
menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku." 26.Menambah 2 (dua) ketentuan baru di antara Pasal 37 dan Pasal 38 yang dijadikan Pasal 37A dan Pasal 37B, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: "Pasal 37A (1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan kepada badan dimaksud.
Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain yaitu:
mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham;
mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris bank;
menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas c kekayaan milik atau yang menjadi hak-hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri;
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank;
menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum;
menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur;
mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau menajemen bank kepada pihak lain;
melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;
melakukan panagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan Surat Paksa;
melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;
melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang terlibat atau patut terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program penyehatan tersebut;
menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalian Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan;
menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan;
melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.
Tindakan penyehatan Perbankan oleh badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah sah berdasarkan Undang-undang ini.
Atas permintaan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank dalam program penyehatan wajib memberikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas yang ada padanya, dan wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh bank dimaksud.
Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf k wajib memberikan keterangan dan penjelasan yang diminta oleh badan khusus.
Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri Keuangan.
Apabila menurut penilaian Pemerintah, badan khusus telah menyelesaikan tugasnya, Pemerintah menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut;
Ketentuan yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Usaha Perasuransian
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN UMUM Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ekonomi memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai yang pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari tabungan masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting peranannya, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko yang dapat mengganggu hasil pembangunan yang telah dicapai. Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian yang tangguh, yang dapat menampung kerugian yang dapat timbul oleh adanya berbagai risiko. Kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang secara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Sejauh ini kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi sebagai suatu perjanjian. Sementara itu usaha asuransi merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian merupakan bidang usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah, dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan,baik bagi gerak usaha dari perusahaan-perusahaan di bidang ini maupun bagi Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi usaha dalam jenis-jenis usaha di bidang perasuransian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha perasuransian merupakan usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis yang khusus dalam penyelenggaraannya. Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada tertanggung dalam memilih perusahaan asuransi. Dalam rangka perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini juga menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan usaha, dengan mengupayakan agar praktek usaha yang dapat menimbulkan konflik kepentingan sejauh mungkin dapat dihindarkan, serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat terselenggara atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai jasa. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia. Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat. Pasal 4 Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian hanya dapat pula menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan. Pasal 5 Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan, penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya risiko dan perancangan produk asuransi jiwa. Pasal 6 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya sehingga sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dapat menentukan sendiri perusahaan asuransi yang akan menjadi penanggungnya. Ayat (2) Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini terkandung maksud bahwa tertanggung bebas untuk menempatkan penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha di Indonesia. Ayat (3) Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan dengan perkembangan usaha perasuransian di Indonesia, maka ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan atau penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama (Mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Ayat (1) Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta. Ayat (2) Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh perusahaan perasuransian dalam negeri dan perusahaan perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang lebih profesional.Selain itu kerjasama perusahaan perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi. Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha, maka kepemilikan bersama atas perusahaan perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi dalam negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing partner dalam kepemilikan tersebut. Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:
Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan Perusahaan Reasuransi dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak diperlukan adanya izin usaha dari Menteri. Ayat (2) Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko. penilai kerugian asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Ayat (3) Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok ukur kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan selisih antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya didasarkan pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau tanggung jawab sendiri sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. Reasuransi merupakan bagian pertanggungan yang dipertanggungkan ulang pada perusahaan asuransi lain dan atau Perusahaan Reasuransi. Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi dalam menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan produktif. Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya beban kewajiban tidak menentu, maka Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis. Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan dalam bentuk polis. Sebagai suatu perjanjian atau kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis. Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan tingkat premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak bersifat diskriminatif. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh penanggung. Salah satu ketentuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha adalah mengenai pembayaran premi asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya, sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosisal sebenarnya menyelenggarakan salah satu jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari peraturan perundang-undangan yang membentuknya, Menteri sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berwenang dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi sosial tersebut, sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri teknis yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang mengatur Program Asuransi Sosial dimaksud. Pasal 15 Ayat (1) Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan usaha, sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemeriksaan dimaksud dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada perusahaan dapat diketahui sedini mungkin. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha merupakan tahapan tindakan yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal tertentu Menteri dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang diperlukan. Ayat (2) Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus dilalui sebelum dilakukan pencabutan izin usaha. Namun demikian terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal ini mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara tersebut, maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut serta peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan. Ayat (3) Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang dilakukan, Menteri dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenahan dengan memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang diikuti perkembangannya secara terus-menerus, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap perusahaan ataupun tertanggung. Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pengenaan sanksi, akan ditetapkan batas waktu maksimum yang disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk diajukan kepada Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa pembatasan kegiatan usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan tindak lanjut pengenaan sanksi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang dilakukan tidak menunjukkan perbaikan atau dalam hal perusahaan tidak melakukan usaha untuk mengupayakan perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Ayat (2) Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
Relevan terhadap
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus menyelenggarakan:
Pengembangan sumber daya manusia yang dapat menunjang pengelolaan perusahaan secara profesional, pengembangan perusahaan secara sehat, adanya kemampuan dalam mengikuti perkembangan teknologi, serta penyelenggaraan jasa asuransi secara tertib dan bcrtanggung jawab;
Administrasi keuangan yang dapat menunjang ketertiban pengelolaan kcuangan dan pelaksanaan pengendalian intern perusahaan;
Pengelolaan data yang dapat menunjang pelaksanaan fungsi pengelolaan risiko, pemasaran, penyelesaian klaim dan pelayanan kepada pemegang polis, serta memungkinkan tersedianya data yang relevan, akurat, dan tepat waktu, untuk pemeriksaan dan pengawasan perusahaan maupun untuk analisis dalam rangka pengembangan perusahaan.
Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi harus menyelenggarakan hal.hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b.
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultan Aktuaria harus menyelenggarakan hal.hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
BPHN
Relevan terhadap
FGD Temuan Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Perpajakan Jakarta, BPHN.go.id -Dalam rangka mempertajam hasil analisis dan evaluasi serta rekomendasi Kelompok kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Perpajakan melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) pada tanggal 9-10 Juli 2018 bertempat di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta dibuka oleh Liestiarini Wulandari, S.H.,M.H., Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Dalam sambutannya Kepala Pusat AE menyampaikan bahwa kegiatan analisis dan evaluasi hukum di Pusat AE menjadi prioritas nasional yang rencana aksinya diikuti oleh Kementerian dan Lembaga terkait. Dari perundang-undangan terkait perpajakan yang telah diinventarisasi, Pokja diharapkan bisa menghasilkan suatu rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti oleh Kementerian/ Lembaga terkait. Kepala Bidang Sosial Budaya Pusat Analisis dan Evaluasi, Apri Listiyanto,S.H. menjelaskan bahwa forum ini dapat digunakan untuk mencari dan mendiskusikan temuan-temuan dan pemantapan rekomendasi yang disepakati untuk dihimpun sebagai laporan dari Pokja ini. Pokja analisis dan evaluasi ter kait perpajakan telah menginventari sasi 27 peraturan perundang-un dangan. Salah satu poin yang mengemuka dalam pembahasan di forum ini terkait dengan kepastian hukum dan perlunya sinkronisasi dalam peraturan perundang-un dangan terkait Perpajakan. Dalam diskusi dibahas beberapa temuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) terkait tanda tangan elektronik atau digital. Dalam UU KUP Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak ada definisi yang jelas dari tanda tangan elektronik atau digital, sehingga tidak dapat diketahui jenis dari tanda tangan elektronik tersebut dalam UU ini. Misalkan dalam SPT online, tidak ada bukti apapun bahwa wajib pajak sudah menandatangani, hanya submit lalu selesai, apakah submit tersebut dapat dianggap sebagai sudah menandatangani. Selain membahas temuan dalam UU KUP , forum juga mendiskusikan tentang keberadaan pengadilan pajak. UU Pengadilan Pajak dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 karena secara administrasi pengadilan pajak masih ada di bawah Kementerian Keuangan padahal seharusnya sudah lepas dari eksekutif. Hadir pada FGD tersebut, Ketua Pokja, Dian Puji Nugraha Simatupang (FH UI), anggota Pokja yang terdiri dari perwakilan dari Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, DitJen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Ditjen PP Kemenkumham, Kadin Indonesia, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Center for Regulatory Research, Balitbang Hukum dan HAM Kemenkumham, dan analis hukum dari Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN. (*)
Topik E-Commerce Mengemuka dalam FGD Pokja Perdagangan Lintas Negara Jakarta, BPHN.go.id - Kelompok kerja analisis dan evaluasi terkait Perdagangan Lintas Negara melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Ibis Cawang Jakarta, Senin-Selasa 30-31 Juli 2018. FGD ini bertujuan untuk sosialisasi temuan-temuan yang sudah dilakukan oleh para anggota Pokja. Hadir dalam kegiatan ini Yu Un Oposunggu (Dosen FH- UI) sebagai Ketua Pokja beserta beberapa anggota pokja diantaranya dari Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan serta Peneliti dari LIPI. Topik yang diangkat terkait perdagangan lintas negara semua dalam tujuannya untuk melaksanakan Ease of Doing Bussines (EoDB) di Indonesia. Bicara tentang perdagangan lintas negara maka tidak terlepas dari perdagangan atau transaksi e-commerce (perdagangan dengan sistem elektronik). Pada era serba digital sekarang ini, banyak proses jual beli berlangsung menggunakan akses internet. Jumlah transaksi e-commerce saat ini nilainya terus meningkat secara signifikan. Sedangkan regulasi yang mendukung untuk kegiatan tersebut belum siap, hal ini dapat membuat Indonesia tertinggal dari negara lain dan juga ada potensi pemasukan negara yang belum ditangkap karena dasar hukumnya belum kuat. Hal ini menjadi topik diskusi yang sangat mengemuka selama jalannya pelaksanaan FGD. Pelaksanaan FGD berjalan sangat menarik dengan penuh dinamika, para peserta sangat antusias memberikan pendapat serta kritisi yang cukup tajam. FGD belum menghasilkan rekomendasi karena masih terdapat beberapa materi yang harus dibahas dengan narasumber dan para pakar.
Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
Fiskal Internasional Pilar berikutnya berfokus pada bantuan internasional untuk negara-negara yang paling membutuhkan. Forum G20 juga mengambil peran aktif dalam memimpin koordinasi pemberian bantuan bagi berbagai negara yang terdampak paling besar oleh pandemi. Koordinasi ini melibatkan IMF, Bank Dunia, bank pembangunan multilateral, kreditor swasta dan bank sentral demi tercapainya respon yang efektif untuk menjawab dampak pandemi. Berbagai macam bantuan yang dihasilkan sejauh ini, antara lain keringanan utang bagi 27 negara senilai 177 juta Special Drawing Rights (SDR) oleh IMF, bantuan bagi negara berkembang dan berpendapatan rendah dari bank pembangunan multilateral yang dikoordinir oleh Bank Dunia yang bernilai 230 miliar dolar AS, serta implementasi Debt Service Suspension Initiative (DSSI) yang digagas Forum G20 demi memberikan penangguhan utang negara- negara berpendapatan rendah yang jatuh tempo pada Mei hingga Desember 2020. Berbagai bantuan diberikan dengan tujuan untuk memberikan ruang fiskal bagi berbagai negara yang paling terdampak pandemi untuk dapat merespon kondisi domestik secara optimal. Saat ini telah terdapat 42 negara yang mendaftarkan dirinya pada DSSI dengan estimasi penangguhan utang sebesar 5.3 triliun dolar AS. Melihat kondisi pandemi saat ini yang belum membaik secara signifikan dan merata, maka Forum G20 juga mendiskusikan kemungkinan perpanjangan program DSSI hingga tahun 2021. IMF dan Bank Dunia akan bekerja sama mempersiapkan laporan atas kebutuhan likuiditas negara-negara yang berhak, untuk dijadikan rujukan dalam menentukan perpanjangan program DSSI. Pilar terakhir adalah pelajaran untuk masa mendatang yang bertumpu pada pemantauan risiko dan peningkatan kesiapan global untuk menghadapi apabila krisis luar biasa masa terjadi di masa yang akan datang. Menyadari beragamnya sumber risiko yang ada, Forum G20 berkomitmen untuk membangun matrik dan analisis mendalam atas risiko dari berbagai sektor melalui kerjasama dengan IOs. Salah satu risiko tersebut adalah terkait volatilitas aliran modal yang dapat mengancam stabilitas ekonomi global. Atas hal tersebut, Forum G20 bersama dengan IOs akan melakukan analisis mendalam untuk mendapatkan akar penyebab volatilitas, dan mempersiapkan upaya mitigasi dan menu kebijakan untuk menjawabnya. Peran pasar modal domestik merupakan kunci dalam memitigasi volatilitas tersebut dan memperkuat kestabilan keuangan. Belum jelasnya akhir dari pandemic COVID-19 ini membuat Forum G20 terus melakukan adaptasi dan evaluasi dari G20 AP ini. Terlepas dari penemuan vaksin yang diperkirakan pada awal 2021, masih terdapat tantangan seperti distribusi vaksin ke semua negara dan proses vaksinasi hingga mencapai herd immunity . Sementara itu, pembatasan mobilitas masyarakat karena pandemi, tidak berhenti memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan koordinasi dan kerja sama internasional yang terjaga dan teregulasi dengan baik, dukungan yang diberikan saat ini diharapkan terus berlanjut hingga pandemi COVID-19 teratasi.
Wawancara Pada edisi khusus kali ini, tim redaksi Warta Fiskal mewawancarai Adi Budiarso, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan tentang peran sektor keuangan dalam menghadapi pandemi dan arah pengembangannya ke depan. Adi mengatakan jika dilihat dari tren selama pandemi di tahun 2020, kondisi sektor keuangan Indonesia sama halnya dengan sektor lain, juga mengalami tekanan. Dari sisi perbankan, Adi mengungkapkan risiko kredit Indonesia meningkat seiring dengan perlambatan yang terjadi di dunia usaha yang terdampak pandemi. Namun, ia menuturkan bahwa penyaluran kredit sebelum pandemi muncul telah menurun 2,41% ( yoy ). Bahkan, penurunan fungsi intermediasi dalam perbankan sudah turun sejak 12 tahun terakhir. Kondisi tersebut diperparah dengan kemunculan COVID–19 yang menghantam dunia usaha. Dari sisi pasar modal, tekanan pandemi mengakibatkan volatilitas yang sangat tinggi pada IHSG. Hal tersebut terlihat dari adanya capital outflow yang terjadi, di mana para investor banyak yang melarikan uangnya ke negara safe-haven atau melakukan investasi dalam bentuk lain. “Pandemi COVID–19 di awal tahun 2020, terbukti tidak hanya memukul sektor kesehatan, tetapi juga memengaruhi pasar keuangan dan modal, dengan adanya volatilitas yang tinggi ini,” ujar pria kelahiran Salatiga tersebut. Namun demikian, ia optimis sektor keuangan dapat kembali pulih dan semakin kuat. Arah pemulihan tersebut menurutnya telah terlihat di beberapa bulan terakhir tahun 2020. Hal ini disebabkan tidak hanya oleh kehadiran vaksin dan program vaksinasi, tetapi juga program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang terbukti cukup mampu membantu ekonomi Indonesia bertahan di masa pandemi. “Strategi pemerintah dalam situasi ini intinya ada dua, yaitu menjaga daya tahan terhadap pandemi dan pemulihan pasca pandemi baik dalam jangka pendek dan panjang,” terangnya. Keberhasilan yang mengarah pada pemulihan, lanjutnya, tidak terlepas dari sinergi pemerintah dan otoritas terkait. Di sektor keuangan misalnya, pemerintah bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memformulasikan desain kebijakan yang optimal untuk menanggulangi dampak pandemi. Dari sisi Bank Indonesia sendiri, salah satu kebijakan yang dikeluarkan yaitu quantitative easing untuk menjaga likuiditas di perbankan dengan nilai mencapai Rp726,6 triliun. Selain itu, untuk menjaga stabilitas nilai tukar, BI melakukan intervensi di pasar spot, DNDF ( Domestic Non Delivery Forward ), dan pembelian SBN di pasar sekunder. Tak hanya BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga turut andil mengeluarkan kebijakan untuk melindungi sektor keuangan Indonesia seperti melalui restrukturisasi kredit bagi pelaku usaha yang terdampak COVID–19, pengaturan buyback , dan perubahan batasan auto rejection di bursa efek untuk menjaga stabilitas dan volatilitas pasar. Sementara itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, telah menelurkan beberapa program seperti penempatan dana, penjaminan kredit modal kerja bagi UMKM, subsidi bunga, dukungan usaha bagi perusahan yang padat karya dan memiliki multiplier effect yang tinggi. Adi menilai, kombinasi dari kebijakan berbagai otoritas ini cukup efektif membantu tidak hanya sektor keuangan tetapi juga dunia usaha. “Berdasarakan capaian, sudah cukup bagus. Secara umum, so far sinergi telah menunjukan tingkat optimumnya. Terbukti dari pergerakan ekonomi yang mengarah pada pemulihan. Meski pertumbuhan akan tetap terkontraksi hingga akhir tahun, namun kontraksinya tidak sedalam pada triwulan dua,” ujar Mantan Chief Organisational Transformation Officer pada Central Transformation Office (CTO), Kemenkeu tersebut. Ia pun memprediksi bahwa pemulihan akan semakin kuat terjadi di tahun 2021. Hal ini terlihat dari bursa saham di pasar modal yang telah kembali menyentuh level tertinggi sejak pandemi. Permintaan obligasi pemerintah juga menunjukan kenaikan yang cukup signifikan. Dari aliran modal asing, terjadi capital inflow . Selain itu, penyaluran kredit perbankan diperkirakan juga akan pulih di tahun 2021. “Ini good news , karena selama ini agak sulit kita lakukan. Berdasarkan
pengakhiran perjanjian lebih awal ( early termination ) dengan perjumpaan utang ( close-out netting ) harus mendapatkan persetujuan kurator dari debitur pailit. Kurator yang kemudian akan menentukan permohonan perjumpaan utang/kompenasi disetujui atau ditolak. Selain itu, kurator juga akan menilai apakah kompensasi ( close out netting ) memenuhi syarat: a. Utang atau piutang tersebut diterbitkan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, atau akibat perbuatan yang dilakukannya dengan Debitor Pailit sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan (vide Pasal 51 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU). b. Dapat dibuktikan bahwa pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, orang tersebut dengan itikad baik sudah menjadi pemilik surat atas tunjuk atau surat atas pengganti tersebut (vide Pasal 53 UU Kepailitan dan PKPU). Melihat dampak yang dialami sektor keuangan Indonesia, pandemi COVID-19 perlu dijadikan momentum untuk lebih memperkuat komitmen kebijakan yang harus dilakukan untuk memperdalam pasar keuangan melalui penguatan transaksi dan instrumen/produk derivatif untuk lindung nilai ( hedging ). Dalam rangka penguatan transaksi derivatif, khususnya yang diperdagangkan secara OTC atau di luar bursa, kebutuhan regulasi dan monitoring yang baik dari dan oleh otoritas mutlak diperlukan guna memitigasi risiko sistemik di pasar keuangan. Tantangan pengembangan transaksi derivatif kerap muncul dari kerangka hukum yang saat ini belum mengakomodir praktik bisnis yang berlaku secara standar. Namun tidak kalah pentingnya selain infrastruktur legal, penerapan konsep hukum yang berlaku sesuai standar bisnis juga perlu diimbangi pemahaman masyarakat termasuk penegak hukum atas aturan main transaksi derivatif, diantaranya penegakan kontrak derivatif yang terkait dengan klaim dan close out netting jika terjadi default salah satu pihak dalam transaksi. Saat ini mekanisme close out netting belum diakomodasi dalam UU Kepailitan dan PKPU dan pemberlakuannya digantungkan pada persetujuan kurator sehingga kurang terjamin kepastian hukumnya. Sementara kepastian hukum atas pemberlakuan close out netting transaksi derivatif sangat penting dalam pengembangan transaksi derivatif di Indonesia. Selain itu adanya kepastian hukum atas penerapan close out netting tersebut akan mendorong Indonesia untuk diakui sebagai netting jurisdiction dalam transaksi keuangan, dan demikian dapat meningkatkan kepercayaan para investor untuk bertransaksi di pasar uang Indonesia. Oleh karena itu, pemberlakuan close out netting perlu diatur baik melalui amandemen UU Kepailitan dan PKPU dan/atau diatur dalam UU sektoral. Berdasarkan analisis ketentuan UU Kepailitan dan PKPU di atas, kebutuhan pengembangan pasar derivatif Indonesia perlu dijamin dengan kepastian hukum penyelesaian transaksi. Beberapa alternatif untuk penguatan transaksi derivatif dalam rangka jaminan penyelesaian transaksi diantaranya dapat ditempuh melalui pengakuan close out netting dalam kerangka peraturan tingkat UU, baik melalui penerbitan UU baru yang menginduk pada UU di sektor yang memerlukan penguatan seperti sektor keuangan atau mengamendemen UU Kepailitan dan PKPU. Apabila pengakuan close out netting dilakukan melalui amandemen UU Kepailitan dan PKPU, maka perlu ditambahkan salah satu bentuk pengecualian dalam proses kepailitan sebagaimana halnya pengecualian serupa yang diberlakukan bagi “penyelesaian transaksi efek di bursa efek” sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU. Sedangkan pengakuan close out netting dalam UU di sektor keuangan dapat dilakukan dengan memuat pengaturan yang sifatnya mengklarifikasi dan menjamin pelaksanaan close out netting dapat dilakukan pada keadaan tertentu ( insolvency ) terhadap counterparty tertentu. Mengingat pengaturannya dalam UU sektoral, ketentuan perlu dikaitkan misalnya dengan memuat batasan transaksi yang diperkenankan (derivatif, repo, securities lending ) atau transaksi yang dilakukan berdasarkan kontrak tertentu. Untuk prinsip kehati-hatian, dapat pula diatur penegasan institusi-institusi yang terlibat misalnya bank, lembaga keuangan non-bank, maupun korporasi lainnya. Fokus
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Monitoring dan evaluasi berkala “Saya mendukung langkah-langkah cepat pemerintah dalam merumuskan peraturan teknis pelaksanaan dari implementasi PEN,” Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto menyampaikan dukungannya. Namun demikian, ia menilai pemerintah juga sudah memahami bahwa implementasi antara peraturan dan pelaksanaan di lapangan terdapat celah. “Sebagai contoh, turunan peraturan dari PP 23 tahun 2020 atas program Penempatan Dana diikuti PMK 64 tahun 2020 tidak dapat terakselerasi oleh perbankan di lapangan akibat persyaratan yang terlalu rigid dalam akses program tersebut,” contohnya. Oleh sebab itu, Dito berpendapat perlu ada monitoring dan evaluasi secara bersama baik Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjaminan Simpanan terhadap kondisi dan perkembangan industri jasa keuangan secara berkala. Proses monitoring dan evaluasi implementasi PEN kini berjalan rutin. Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) serta aparat penegak hukum (KPK, Kejaksaan dan POLRI) melakukan monitoring, evaluasi, serta pengendalian pelaksanaan program- program PEN. Di internal Kementerian Keuangan, proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang. “Menteri Keuangan waktu itu telah menunjuk Tim Monev PEN yang diketuai Wakil Menteri Keuangan. Di tim itu ada empat sub tim besar,” ungkap Adi. Proses monitoring dan evaluasi dimulai dari kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari, dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program. Penyesuaian postur APBN Untuk memastikan ketersediaan anggaran dalam penanganan pandemi, pemerintah melakukan penyesuaian terhadap postur dan rincian APBN 2020. Awalnya, penyesuaian tersebut tertuang dalam Perpres 54/2020. Namun, melihat perkembangan hari demi hari dampak pandemi, penyesuaian postur APBN kembali dilakukan yang tertuang dalam Perpres 72/2020. “Ketika menerbitkan Perpu 1/2020 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Perpres 54/2020, pemerintah menambah defisit dari 1,76 persen ke 5,07 persen. Di Perpres 72 yang ditetapkan presiden tanggal 24 Juni lalu, dalam rangka mendukung sinergi dan perluasan ekstensifikasi penanganan pandemi ini, defisit diperlebar lagi menjadi 6,34 persen,” ujar Direktur Penyusunan APBN Direktorat Jenderal Anggaran Rofyanto Kurniawan. Langkah tersebut dilakukan lantaran pendapatan negara diproyeksikan lebih rendah Rp60,9 triliun sebagai dampak perlambatan ekonomi. Di sisi lain, pemberian insentif perpajakan dan belanja negara menjadi lebih tinggi Rp125,3 triliun karena menampung tambahan kebutuhan anggaran pemulihan ekonomi. Meskipun faktor ketidakpastian tinggi, Rofyanto mengungkapkan Perpres 72/2020 telah mengantisipasi dan mempertimbangkan berbagai risiko yang akan muncul ke depan. “Tentunya dengan berbagai upaya yang kita lakukan, kita harapkan target yang ingin dicapai pemerintah bisa tercapai melalui Perpres 72/2020 ini, baik dari sisi penanganan COVID-19, sisi makro ekonominya, maupun sisi sustainabilitas APBN-nya,” tuturnya. “Pemerintah sudah mengantisipasi berbagai ketidakpastian di depan. Kita sudah menyiapkan skenario untuk program- program yang akan dijalankan dalam rangka menjaga daya beli masyarakat sampai dengan akhir tahun 2020.” Sementara itu, terkait penyusunan RAPBN 2021, Rofyanto berharap tahun 2021 menjadi masa transisi dari penanganan pandemi COVID-19 pada tahun 2020. “Kita harapkan tentunya penanganan pandemi ini bisa terfokus di tahun 2020 saja. Tahun 2021 kita sudah bisa fokus ke pemulihan ekonomi,” ucapnya. Ia pun memetakan beberapa tantangan perekonomian dan risiko yang perlu diwaspadai untuk dimitigasi. “Pertama, kita harus menyadari sepenuhnya bahwa pemulihan perekonomian global, termasuk pemulihan ekonomi kita, masih ada risiko ketidakpastian,” jelas Rofyanto. Kedua, Indonesia masih harus menghadapi tantangan untuk keluar dari middle income trap . Belum lama ini, Indonesia baru saja naik peringkat menjadi upper middle income country . Menurutnya, Indonesia harus bergerak ke arah high income country . Dengan berbagai tantangan dan risiko, kebijakan fiskal 2021 diarahkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Selain itu, kata Rofyanto, pemerintah juga akan menjalankan program-program reformasi, baik itu reformasi dari sisi pendapatan, belanja maupun dari sisi pembiayaan. “Untuk itulah, dalam menyiapkan RAPBN 2021, berbagai anggaran alokasi yang kita siapkan itu merupakan anggaran yang responsif, yang artinya dinamis bisa merespon berbagai dinamika perubahan yang akan terjadi,” pungkasnya. Unduh Mobile PPID, dapatkan kemudahan informasi terkait Kementerian Keuangan Kemudahan akses untuk menu permohonan informasi dan keberatan. Keleluasaan bagi pengguna untuk update profil akun secara mandiri. Tampilan lebih user friendly terutama untuk tuna netra. Tampilan baru pada menu riwayat permohonan informasi dan keberatan.
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu ‘WHATEVER IT TAKES’ P ola permintaan ( demand ) dan penawaran ( supply ) di seluruh dunia berubah akibat COVID-19 yang secara alamiah membentuk kebiasaan baru dalam perekonomian. Menyikapi kondisi ini pemerintah telah menyusun beragam program yang menyasar pemulihan ekonomi, baik di sisi demand maupun supply . Pemerintah pun telah merevisi APBN 2020 untuk mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam revisi baru, pemerintah memperluas defisit anggaran menjadi 6,34 persen dari PDB. Simak petikan wawancara Media Keuangan dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, mengenai upaya pemulihan ekonomi nasional. Apa tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)? Program PEN ini ditujukan untuk membantu meningkatkan daya beli masyarakat serta memulihkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Kita mulai dari rumah tangga masyarakat yang paling rentan, lalu ke sektor usaha, lagi-lagi kita lihat yang paling rentan yaitu UMi dan UMKM. Lalu dengan logika yang sama kita menciptakan kredit modal kerja untuk korporasi. Kita juga akan berikan special tretament untuk sektor pariwisata, perdagangan, dan pabrik-pabrik padat Salah satu yang juga sedang didorong dan cukup efektif adalah bentuk penjaminan kredit modal kerja dan dipasangkan dengan penempatan dana murah di perbankan. Nah, ini sudah jalan tiga minggu, pemerintah menempatkan Rp30 triliun di Bank Himbara lalu didorong dengan penjaminan itu kemudian sekarang sudah tercipta lebih dari Rp20 triliun kredit modal kerja baru. Untuk insentif perpajakan masih belum optimal karena wajib pajak yang berhak untuk memanfaatkan insentif tidak mengajukan permohonan dan perlunya sosialisasi yang lebih masif dengan melibatkan stakeholders terkait. Merespon hal ini, kita melakukan simplifikasi prosedur agar lebih mudah dijalankan oleh calon beneficiary. Upaya apa yang dilakukan untuk perbaikan program PEN? Setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan dalam rangka program PEN, termasuk monitoring dan evaluasi yang kita lakukan setiap minggu akan mengikuti kondisi perekonomian saat ini. Semua program kita evaluasi, mana yang jalan dan mana yang kurang. Yang kurang efektif siap-siap untuk dicarikan cara yang lebih cepat atau diganti programnya dan sebagainya supaya bisa diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sampai kapan program PEN dilangsungkan? Pemerintah akan meneruskan kebijakan yang bersifat preventif dan adaptif dengan perkembangan kasus dan dampak dari COVID -19. Meski tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai terlihat namun pemulihan pasti terjadi perlahan-lahan. Karena selama belum ditemukan obat atau vaksin yang efektif tentunya kita masih dihadapkan dengan risiko inheren. Nah, risiko ini yang terus kita asess . Yang pasti, tujuan pemerintah adalah terus membantu masyarakat yang terdampak COVID-19. Bagaimana mitigasi risiko dalam upaya pemulihan ekonomi? Saat ini kita dalam suasana krisis dan kita ingin mendorong perekonomian agar pulih sesegera mungkin. Risiko ekonomi yang lebih besar adalah resesi. Untuk itu jangan sampai kita gagal menstimulasi ekonomi, padahal kita memang sudah ada budget nya. Itu yang menjadi tantangan dan menjadi cambuk bagi kita pemerintah setiap hari, supaya kita bisa lebih efektif. Pemerintah melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mendorong pemulihan aktivitas ekonomi. Kita tidak mau resesi, kita tidak mau jumlah pengangguran dan orang miskin bertambah. Pemerintah siap memberikan support supaya momentum pemulihan ini semakin besar meskipun risikonya juga masih ada. Yang terpenting tata kelolanya baik dan risiko dihitung dengan baik. Semuanya di well measured, kita tahu risikonya, kita bandingkan dengan risiko yang lebih besar, kita pilih kebijakan yang me minimize dampak yang paling berat bagi perekonomian dan masyarakat kita secara keseluruhan. Penambahan anggaran PEN menjadi Rp695,2 triliun diikuti dengan pelebaran defisit 6,34 persen saat ini. Bagaimana posisi fiskal dalam kondisi tersebut? Kita punya ruang untuk bergerak secara fiskal karena selama ini kita melakukan kebijakan makro yang hati-hati dan prudent. Karena kita sudah melakukan disiplin fiskal yang cukup ketat selama bertahun-tahun, sehingga rasio utang kita rendah maka itu membuat kita punya ruang untuk melakukan pelebaran defisit sampai tiga tahun. Negara lain tidak banyak yang punya privilege itu, bahkan tahun ini banyak yang defisitnya double digit. Saat ini defisit kita 6,34 persen, tahun depan kita akan turun ke sekitar 4,7 persen, tahun depannya lagi akan turun ke tiga koma sekian. Tahun 2023 kita tetap commited untuk balik ke disiplin fiskal sebelumnya di bawah 3 persen. Apa prinsip utama dalam mengambil kebijakan fiskal di tengah ketidakpastian waktu berakhirnya krisis pandemi ini? “Whatever it takes ”(apapun yang diperlukan), itu sudah pasti menjadi prinsip utama, tapi dalam konteks kita mau melindungi masyarakat sebanyak-banyaknya. Kita berupaya agar pengangguran dan kemiskinan tidak bertambah banyak. Bagaimana memberikan kebijakan yang benar- benar bisa berdampak kepada masyarakat, itu fokus kita. Prinsip lainnya tepat sasaran, akseleratif, gotong royong, seperti kebijakan burden sharing yang pemerintah lakukan dengan BI. Dan yang harus selalu diingat adalah untuk menghindari moral hazard . Pemerintah juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK) untuk memastikan proses pembuatan kebijakan, serta pengawalan dalam implementasi program PEN ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Bagaimana pendapat Bapak terhadap pembentukan Komite Penanganan COVID-19 dan PEN? Saya pikir itu sangat bagus untuk koordinasi. PEN ini kan melibatkan banyak K/L misalnya untuk Kesehatan, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) nya Kementerian Kesehatan, subsidi bunga untuk KUR dan non-KUR ada di Kementerian Koperasi, penjaminan KPA-nya Kementerian BUMN, dsb. Di samping itu, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi ini harus dilihat sebagai satu big picture . Harus ada pertimbangan yang serius dan seimbang antara risiko kesehatan dengan risiko resesi ekonomi. Semua ini kan perlu diorkestrasi dengan baik. Tugas koordinator untuk bisa membuat ini lebih terintegrasi. Apa harapan Bapak terhadap masyarakat maupun pemerintah dalam kaitannya dengan kebijakan PEN? Saya pikir ini memang tanggung jawab dari kita semua karena ekonomi ini sebenarnya hanya satu aspek dari kehidupan bangsa ini. Kehidupan di balik angka-angka itu lebih penting. Kalau aktivitas ekonominya jalan tapi kita tidak disiplin mengikuti protokol kesehatan ya risikonya terlalu besar. Intinya ini benar-benar memang harus kombinasi dari disiplin masyarakat dan kebijakan yang benar dan efektif. Keduanya harus jalan bersama dengan seimbang. karya yang kita asess terdampak sangat dalam dan cukup lama. Jadi semua ini bertahap kita asess secara well measure . Pelan-pelan kita mulai dorong aktivitas perekonomian. Dengan adanya program PEN diharapkan kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat krisis pandemi dan pembatasan aktivitas tidak terlalu dalam. Bagaimana efektivitas program PEN sejauh ini? Sejauh ini di sisi rumah tangga yakni perlindungan sosial relatif paling efektif. Namun di sisi lain memang masih cukup menantang. Untuk kesehatan, penyerapannya masih rendah karena kendala pada pelaksanaan di lapangan seperti keterlambatan klaim biaya perawatan dan insentif tenaga kesehatan karena kendala administrasi dan verifikasi yang rigid . Tapi bulan Juli ini sudah dipercepat dengan adanya revisi KepMenkes. Selanjutnya, dukungan untuk UMKM sudah mulai berjalan, khususnya subsidi bunga untuk KUR. Ini memang cukup menantang karena melibatkan puluhan bank dan lembaga keuangan yang kapasitas teknologi pengolahan datanya tidak sama. Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Foto Dok. BKF
eorang ibu nampak gelisah di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Satu tangannya mengamit sang buah hati yang masih kecil, sementara itu telapak tangannya yang lain tak henti mengusap perutnya. Di sekeliling mereka terlihat beberapa koper diletakkan sekenanya. Perempuan bernama Endah Martiningrum itu terpaksa harus memutar-balik keluar area bandara. Kepergiannya menyusul sang suami ke Medan dalam keadaan hamil tujuh bulan tak akan diberi lampu hijau oleh petugas jika tanpa surat keterangan dari dokter. Terpaksa ia yang kepayahan dengan kandungan tujuh bulannya berdua bersama putri pertama yang berusia empat tahun harus mencari klinik untuk meminta surat sakti tersebut. Singkat cerita syarat dari pihak otoritas bandara tersebut berhasil dipenuhi dan terbanglah ia bersama putri kecilnya untuk memulai kehidupan baru di Medan. “1999 itu tahun yang berat buat saya. Saya harus pisah dari rombongan beasiswa dan menunda keberangkatan studi ke Jepang karena sedang mengandung,” buka perempuan yang akrab dipanggil Endah ini. Di saat kandungannya menginjak trimester akhir, datang kabar bahwa bapak mertuanya berpulang menghadap Sang Khalik. Momen tersebut ternyata menjadi titik balik bagi keluarga kecil Endah. Setelah berembuk, pasangan tersebut memutuskan untuk hijrah sekeluarga ke Medan. ”Saat itu suami mendapat wasiat untuk meneruskan bisnis keluarga di Medan. Saya juga akan segera berangkat ke Jepang,” ungkap Endah. Usia putri keduanya baru satu setengah bulan ketika Endah harus menitipkan sang buah hati untuk dirawat sendiri oleh sang ayah dibantu keluarganya. Endah harus berbesar hati meninggalkan bayi kecil yang sedang membutuhkan dekap hangatnya untuk menjalankan kewajiban menimba ilmu ke negeri sakura. Berkah dari restu keluarga Mata Endah menerawang jauh mengingat perjalanan kariernya sejak awal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ingatannya terlempar kembali ke akhir tahun 1993. Perempuan asal Magelang itu tengah sibuk mengerjakan skripsi sebagai syarat kelulusannya dari Universitas Gajah Mada (UGM). Seorang teman mengajaknya ikut tes penerimaan pegawai negeri sipil. ”Lucunya malah saya yang lolos, teman saya enggak ,” bebernya. Karir Endah di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diawali di Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN) pada Februari 1994. Dua hari menjelang wisuda ia mendapat telegram yang memberitahukan kelulusannya menjadi calon pegawai negeri sipil. Kabar itu sekaligus mewartakan masa training yang akan dimulai pada tanggal 21 Februari 1994. ”Serba dadakan. Sabtu pagi saya wisuda, sorenya langsung ke Jakarta naik travel agar bisa ikut diklat Senin lusanya,” ceritanya. Ia sempat mengabdi lima tahun di kantor pusat sebelum mendapat tawaran beasiswa ke Jepang. Sepulang dari studi S2, ia memutuskan untuk mengajukan permohonan penempatan di Medan untuk mendampingi keluarga. Tujuh tahun dihabiskan Endah di Tanah Deli. Bak kilau intan yang tak selamanya dapat disembunyikan, potensi Endah tertangkap bagian kepegawaian di kantor pusat saat BAKUN bertransformasi menjadi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). Atas seizin suami dan keluarga, ia berangkat kembali ke Jakarta. Dari situ karirnya melesat. Beragam posisi akhirnya ia rasakan. Semester II tahun 2019 lalu ia menjadi salah satu pejabat yang masuk bursa mutasi lintas eselon 1. Saat ini Endah menjabat sebagai Direktur Evaluasi, Akuntansi dan Setelmen (EAS) pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) sejak September 2019. Saat ditanya perbedaan dan tantangan dalam jabatanya kini, ia menjawab, ”Tentu ada hal baru. Di EAS ini bukan hanya mengelola bendahara umum negara terkait dengan utang dan hibah, tetapi juga melakukan settlement - nya, dan sekaligus penyelesaian pembayaran kembali pinjaman dan utang pemerintah. Jadi, istilahnya kredibilitas pemerintah Indonesia itu adanya disini.” Membagi inspirasi Belum genap setahun memimpin di Direktorat EAS, Endah harus menakhodai timnya di tengah perubahan sistem kerja akibat pandemi COVID-19. Ibu dari tiga orang putri ini tak gentar. Diakuinya bahwa ilmu pengetahuan yang cukup memang menjadi modal penting dalam beradaptasi dan menyelesaikan pekerjaannya. Namun asam garam kehidupan yang telah ia cicipi selama inilah yang menjadikannya seorang yang mumpuni memimpin dalam segala kondisi. ”Saya juga belajar dari pengalaman saat menemani dan membantu membangun semangat teman-teman di Palu,” ujarnya. Sebelum menempati posisinya saat ini, Endah menjalani penempatan sebagai Kepala Kantor Wilayah DJPb Sulawesi Tengah setelah gempa yang disusul tsunami dan likuefaksi melanda kota tempatnya akan berkantor. Di sana, salah satu fokus utamanya adalah penyediaan pendampingan dan memberi dukungan moril bagi pegawai yang mengalami trauma dalam level yang berbeda-beda. Endah yakin kunci kekuatan timnya di masa sulit ini ada pada kekompakan dan rasa saling menguatkan satu sama lain. Untuk itu, ia mengadakan sesi yang diberi nama “inspirasi pagi”. Sepekan 33 MEDIAKEUANGAN 32 VOL. XV / NO. 155 / AGUSTUS 2020 Endah Martiningrum Direktur Evaluasi, Akuntansi dan Setelmen (EAS) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Figur Kaya Pengalaman Berkat Cobaan Teks Dimach Putra | Foto: Dok. DJPB
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi APBN, Instrumen Menjaga Kestabilan Ekonomi KemenkeuRI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI KemenkeuRI KemenkeuRI majalahmediakeuangan A khirnya sampailah kita di penghujung tahun 2019. Tahun di mana pesta demokrasi memilih wakil rakyat dan pemilihan presiden dilakukan secara bersamaan dan menjadikan ruang publik hiruk pikuk dalam suasana terpecah belah. Beruntung semua berakhir dengan damai dan mulus dengan kembali menetapkan Joko Widodo sebagai presiden ke delapan. Tahun politik 2019 ini juga cukup banyak membawa Kementerian Keuangan ke dalan pusaran berita dan publikasi terutama terkait isu utang negara, pajak, gaji ASN, dan isu lainnya tentang keuangan negara. Salah satunya terkait tentang dana riset. Kurangnya anggaran negara untuk bidang riset yang dilontarkan oleh salah satu pengusaha besar di bidang market place , telah membuat isu ini menggelinding juga ke ranah politik. Tak pelak, isu ini juga berdampak pada bisnis market place sang pengusaha tersebut. Di tahun 2019 ini Presiden Jokowi menetapkan anggaran sebesar Rp1 triliun untuk dana riset dan selanjutnya akan membentuk Badan Riset Nasional. Hal ini diwujudkan dalam pembentukan Kementerian Riset dan Teknologi yang merangkap sebagai Kepala Badan Riset Nasional pada pemerintahan yang baru. Tax ratio yang selama ini hanya menjadi diskusi ekonomi makro, telah menjadi konsumsi kampanye Pilpres dan menjadi perhatian banyak masyarakat. Perlu diakui bahwa meningkatnya pendapatan negara menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Rasio pajak ( tax ratio ) Indonesia tahun 2018 mencapai sebesar 11,5 persen, yaitu meningkat 0,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Walaupun terjadi peningkatan pertama kalinya setelah rasio pajak menurun terus menurus selama lima tahun terakhir, rasio pajak ini masih kecil bila dibanding negara Asia Pasific lainnya (OECD,2019). Tahun 2019 juga diwarnai dengan diperkenalkannya dana untuk penanganan bencana dalam APBN. Selain itu telah dilakukan juga piloting untuk memberikan asuransi bagi beberapa gedung dan aset Barang Milik Negara yang dianggap penting di daerah rawan bencana. Dalam APBN 2019 juga telah dikembangkan kerangka pendanaan risiko bencana, skema transfer risiko dan skema APBN. Sementara itu, anggaran pendidikan di tahun 2019 tetap konsisten dengan porsi 20 persen dari total belanja. Fokus belanja pendidikan di tahun 2019 adalah untuk menyiapkan generasi emas Indonesia 2045 agar sehat, cerdas, dan berkarakter. Dana pendidikan melalui beasiswa dan BOS diharapkan dapat mengangkat generasi penerus bangsa untuk membawa dirinya dan keluarga terlepas dari jerat kemiskinan. Program peningkatan kualitas SDM ini akan dilanjutkan juga dalam bentuk program pra kerja di APBN 2020. Tahun 2019 juga menjadi tahun transisi dari pemerintahan Kabinet Kerja ke Kabinet Indonesia Maju. Beberapa kementerian/lembaga memerlukan waktu untuk dapat merealisasikan anggarannya karena adanya perubahan nomenklatur. Beberapa menteri/pimpinan lembaga juga mengalami pergantian. Namun demikian APBN 2020 tetap harus dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Di tengah kondisi global yang sedang tidak cerah, APBN 2020 harus dapat menjadi alat untuk menjaga kestabilan ekonomi secara nasional. APBN dapat berperan untuk membuat perekonomian negara bertahan dalam guncangan global. Menghadapi tahun 2020, kita tetap optimis namun waspada terhadap perkembangan ekonomi global.
Dana Haji juga kan sebetulnya masih ada di dalam ekosistem keuangan syariah,” jelas Yani. Lebih lanjut, Yani mengungkapkan bahwa industri keuangan syariah saat ini masih didominasi oleh perbankan syariah dengan total aset per Januari 2019 mencapai Rp479,17 triliun atau sekitar 5,95 persen dari Rp 8.049 triliun total perbankan nasional. Sedangkan untuk industri keuangan nonbank syariah (IKNB) periode yang sama, asetnya tercatat Rp101,197 triliun dengan pangsa pasar sebesar 5,81 persen dari total aset IKNB nasional yang mencapai Rp1.741 triliun. Dari sisi pembiayaan syariah, Sukuk Negara atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sendiri menyumbang 18 persen dari total obligasi negara yang telah diterbitkan sebesar Rp682 triliun per Maret 2019 lalu. Senada dengan Yani, Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Lokot Zein Nasution, memaparkan bahwa perkembangan instrumen keuangan syariah paling pesat dialami oleh Sukuk Negara. Sementara itu, instrumen keuangan syariah yang lain tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan, komposisi dari perbankan syariah terus mengalami penurunan, meski penurunannya tidak menunjukkan gejala yang konsisten, sehingga sifatnya lebih reaktif terhadap kondisi ekonomi global. “Dari total aset keuangan syariah, dominasi paling besar dimiliki oleh perbankan syariah, kedua adalah sukuk negara, ketiga adalah pembiayaan syariah, keempat adalah asuransi syariah, kelima adalah IKNB syariah, keenam adalah reksadana syariah, dan terakhir adalah sukuk korporasi,” ujarnya. Peran APBN Kementerian Keuangan sendiri memiliki peran mendorong keuangan syariah melalui instrumen APBN. Yang pertama adalah dari sisi penerimaan negara. Menurut Yani, kebijakan perpajakan yang kondusif dan mendukung pengembangan keuangan syariah diperlukan dalam bentuk tax neutrality dan insentif perpajakan. Tax neutrality menjadi penting karena dalam skema keuangan syariah, seperti Sukuk Negara, diperlukan underlying asset dalam bentuk barang, manfaat aset, ataupun dalam bentuk proyek. “Kalau dalam perpajakan, seolah ada penyerahan barang. Jadi, seolah-olah ada dua kali kena PPN. Kalau di Undang-Undang PPN sepanjang ada pertambahan nilai dan sepanjang ada penyerahan akan terkena PPN. Kalau kita bilang ini tidak ada penambahan nilai dan tidak ada penyerahan juga. Karena underlying asset tadi hanya sebagai dasar perhitungan untuk memberikan pinjaman,” jelas Yani. Yang kedua adalah dari sisi belanja APBN. Belanja pemerintah di Kementerian/Lembaga tertentu dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan industri atau ekonomi syariah. Misalnya saja Halal Tourism melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau kurikulum pendidikan syariah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terakhir dari sisi pembiayaan. Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Dwi Irianti Hadiningdyah, memaparkan kehadiran Sukuk Negara mampu memperkaya jenis instrumen pembiayaan APBN dan pembangunan proyek di tanah air, sekaligus menyediakan instrumen investasi dan likuiditas bagi investor institusi maupun individu. Di samping itu, penerbitan Sukuk Negara di pasar internasional juga menandai eksistensi serta mengokohkan posisi Indonesia di pasar keuangan syariah global. Bahkan, pada tahun 2018 Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan Sovereign Green Sukuk yang diterima dengan baik oleh investor dan mendapatkan pengakuan dari berbagai lembaga internasional. Lebih jauh, Dwi menjelaskan pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mendorong ekonomi syariah secara inklusif, di antaranya melalui diversifikasi instrumen pembiayaan APBN dengan menerbitkan Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan. Melalui instrumen ini masyarakat umum dapat berinvestasi sekaligus berperan serta dalam pembangunan Indonesia. Kehadiran Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan dapat menjadi pilihan bagi masyarakat dan menambah portofolio investasi bagi investor, terutama investor syariah. Pada tahun 2019, kedua instrumen tersebut diterbitkan dengan minimum Rp1 juta dan maksimum Rp3 miliar. Hal tersebut dilakukan agar instrumen tersebut dapat dijangkau dan diakses oleh berbagai lapisan masyarakat. “Penerbitan SBSN Ritel dilaksanakan setiap tahun dan sangat diminati oleh masyarakat yang terlihat dari pemesanan yang selalu oversubscribe sehingga diharapkan melalui instrumen ini dapat mendorong transformasi masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society ,” pungkasnya. 23 MEDIAKEUANGAN 22 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 " Zakat dan wakaf yang notabene masuk ke dalam kelompok dana sosial keagamaan itu masuk ke dalam industri keuangan syariah. Seperti Dana Haji juga kan sebetulnya masih ada di dalam ekosistem keuangan syariah ". Yani Farida A Kepala Bidang Kebijakan Pengemabangan Industri Keuangan Syariah BKF Foto Anas Nur Huda
rfa Ampri, Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilareral (PKRB) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengatakan, sampai dengan 2018, pemerintah menyiapkan dana kisaran lima triliun rupiah setiap tahun untuk penanganan bencana. “Dana tanggap darurat istilahnya. Besarnya itu rata-rata itu turun naiklah, tapi kalau yang terakhir ini ya diatas 5 T (triliun), rata-rata selama 15 tahun,” ungkapnya. Irfa mengatakan dana ini diproyeksikan untuk dapat meredam dampak dari bencana yang melanda Indonesia. “Nah jadi itu sebenarnya adalah shockbreaker lah gitu ya kalau terjadi bencana besar,” katanya. Pada kesempatan terpisah, Dr Widjo Kongko dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan bahwa dana yang dialokasikan untuk penanganan bencana seyogyanya dipersiapkan secara komprehensif. Bukan hanya dana tanggap darurat, melainkan juga untuk rehabilitasi, rekonstruksi, dan mitigasi. “Bahwa bukan anggaran tanggap darurat saja, bukan rehab rekon (rehabilitasi dan rekonstruksi) saja, tetapi anggaran mitigasi yang juga harus disiapkan,” ungkapnya. Ia melanjutkan, “Yang penting terkait dengan anggaran kebencanaan itu harus detil, arsitektur kebencanaan itu anggarannya harus melibatkan keseluruhan proses mulai dari mitigasi, proses rehab rekon, tanggap darurat termasuk kesiapsiagaan.” Dana sejumlah itu tidak dapat sepenuhnya menutupi seluruh kebutuhan untuk penanganan bencana. Saat bencana besar terjadi beruntun, dana itu tentu tidak mencukupi. Tak menutup kemungkinan, kebutuhan dana untuk penanganan bencana membengkak dua sampai tiga kali lipat. Irfa mencontohkan situasi pada 2018 silam, kala Indonesia didera setidaknya dua kali gempa besar. “Nah tapi kalau bencana besar seperti terjadi di Lombok sama yang kemarin di Sulawesi Tengah, nah itu dana itu tidak cukup, ya kan. Nah contohnya yang Lombok saja itu perkiraannya itu sekitar 5 T, dananya. Nah kemudian yang Sulawesi Tengah itu double sampai 10 T,” ungkapnya. Untuk menyiasati situasi-situasi tak terduga semacam itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menyusun mekanisme baru di tahun 2019 dan tahun-tahun setelahnya. Irfa mengatakan, mulai tahun 2019, Kemenkeu mulai menyiasati alokasi anggaran bencana dengan dua hal, yakni asuransi barang milik negara dan pembentukan pooling fund . “Jadi kalau terjadi bencana, katakan gedung ini hancur ya, itu nanti yang bayar asuransi,” ia melanjutkan, “kita juga mau mempercepat pembentukan pooling fund . Nah pooling fund adalah tadi, jadi pooling fund ini harapannya adalah semua jenis pembiayaan itu bisa dilakukan oleh lembaga ini.” Hal serupa juga dikatakan oleh Kunta Wibawa Dasa Nugraha, Direktur PAPBN Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu. “Intinya ke depannya kita juga sudah mulai memikirkan bagaimana kita bisa mengatasi bencana tadi dengan lebih teroganisir dan teratur tapi bebannya tidak juga semuanya ke APBN,” katanya dalam kesempatan terpisah. Ihwal asuransi, Dr. Widjo Kongko, Ahli Tsunami dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) sependapat dengan pemerintah. “Asuransi penting terutama untuk menghitung risiko. Risiko harus bisa dihitung dan diklarifikasikan menjadi biaya yang harus ditanggung oleh pihak ketiga, dalam hal ini asuransi,” katanya. Peta zonasi untuk mitigasi Selain ihwal penyiapan dana untuk bencana, pemerintah juga mesti memikirkan lebih jauh mengenai siasat menghadapi ancaman bencana dengan lebih matang. Widjo Kongko berpendapat pemerintah perlu menyusun skala prioritas terkait penganggaran untuk penanganan bencana. “Ini Indonesia kan luas,” ia melanjutkan, “Maka yang harus dilakukan adalah skala prioritas. Nah kalau skala prioritas itu berarti kita melihat kajian- kajian yang sudah cukup lengkap untuk menjadi prioritas ke Foto Resha Aditya P 39 MEDIAKEUANGAN 38 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 " Soal penganggaran pembangunan kembali pasca bencana bukan sekedar masalah birokrasi jumlah anggaran dan penyaluran. Tetapi mesti berangkat dari konsepsi ". Kuntoro Mangkusubroto Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh- Nias 2005-2009
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Teks Dimach Putra | Foto Anas Nur Huda 33 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 MEDIAKEUANGAN 32 VENGGI OBDI OVISA Desainer Publikasi Cetak Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Profesi Membumikan Pesan Lewat Visual Berkesan K arier di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selalu diidentikkan dengan pekerjaan-pekerjaan berat terkait aggaran dan keuangan negara. Tak bisa dipungkiri, memang itu yang menjadi tugas utama para pegawai Kemenkeu. Tapi butuh sentuhan seorang desainer visual untuk bisa mengkomunikasikan sebuah kebijakan keuangan supaya bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Adalah Venggi Obdi Ovisa, salah satu pegawai di Kementerian Keuangan yang menggeluti profesi desainer visual. Saat ini ia bertugas di Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI), Sekretariat Jenderal. Sebagai desainer di Subbagian Publikasi Cetak, Bagian Manajemen Publikasi, Asah keahlian karena tuntutan Venggi, begitu pria berusia 29 tahun ini biasa dipanggil. Ia bergabung menjadi pegawai di Kemenkeu pada tahun 2012, selepas menamatkan pendidikan Diploma III Akuntansi dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Saat itu Ia hanya menjalani garis takdir yang telah diguratkan oleh-Nya. Tak terpikir sekalipun bahwa nanti Ia akan tercebur mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih mengasah kreativitas otak kanannya. ”Waktu kuliah cuma suka edit foto di photoshop . Seperti anak muda kebanyakan yang baru punya laptop gitu,” cerita Venggi mengenang ketertarikan awalnya dengan dunia desain visual. Sebagai pegawai di hubungan masyarakat (humas) atau Biro KLI Sekretariat Jenderal di Kemenkeu, ia ditempatkan di unit Bagian Manajemen Opini Publik. Tempat pertamanya bertugas itu memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan acara sosialisasi atau edukasi. Kebutuhan produk visual pendukung kegiatan berbanding lurus dengan banyaknya acara yang harus diselenggarakan. Keterbatasan pegawai memang sedikit menjadi penghambat. Terlebih karena permintaan jasa desain yang harus dilayangkan ke unit yang tersedia SDM desainer juga terbatas. Di situ, permintaan desain dari unit tempat pria berputra satu ini bertugas harus mengantri dengan permintaan desain lain terkait publikasi kehumasan untuk seluruh Kemenkeu. Tidak ada yang menyuruh pria kelahiran Solok, Sumatra Barat ini untuk mengerjakan desain untuk keperluan acara yang diadakan di tempatnya. Sebagai lulusan STAN, ia diarahkan untuk fokus mengelola keuangan di tempatnya. Tetapi kebutuhan yang mendesak itu membuat hatinya kian terusik. ”Aku ngenes aja waktu lihat desain sertifikat atau backdrop acara yang saking banyaknya jadi ga kepegang, akhirnya mereka bikin seadanya,” tukasnya. Dari situ ia berinisiatif untuk membantu mengerjakan desain visual dengan kemampuan terbatas yang dimilikinya. Ia merasa setidaknya telah memiliki sense estetika, tinggal bagaimana kemampuan itu terus diasah sehingga semakin baik pula hasilnya ke depan. Ala bisa karena biasa, begitu pepatah yang Ia ingat saat itu. Berkah dan kutukan dari keahlian Inisiatif kecil dari bapak satu anak ini rupanya berganjar apresiasi. Karya- karyanya banyak dipuji oleh rekan kerja dan para atasan. Sampai akhirnya Ia dimintai tolong untuk membantu mengubah layout Laporan Analisis Opini Publik Mingguan. Produk laporan tersebut bahkan bukan dari Subbagian tempatnya ditugaskan. Tapi itu tak membuatnya lantas malas mendapat tantangan baru. ”Punya keahlian khusus di sini tuh ibarat koin, punya dua sisi,” ungkapnya, lalu dilanjutkan dengan sedikit terkekeh, ”Positifnya itu bikin pekerjaan kita di- notice atasan, tapi di sisi lain itu bikin kita
Opini Kebijakan Perampingan Birokrasi dan Tantangannya Ilustrasi Dimach Putra Teks Anugrah Endrawan Yogyantoro, pegawai Sekretariat Jenderal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 D ata Global Competitiveness Index (GCI) 2019 memperlihatkan daya saing Indonesia menempati urutan ke 50 dari 141 negara. Aspek kinerja sektor publik hanya meraih skor 54,6 dari skala 100. Dengan total skor GCI sebesar 64.6, kita tertinggal jauh dari Singapura yang menempati urutan pertama dengan skor 85,9 atau negara Asia lain seperti Jepang (peringkat 5, skor 82.3) atau Korsel (peringkat 13; skor 79,6). Rilis tersebut menjadi sinyal bahwa kendati agenda Reformasi Birokrasi Nasional telah berjalan satu dekade, ladang perbaikan birokrasi masih terbentang luas. Hal ini sejalan dengan arahan terkini Presiden Joko Widodo terkait perampingan birokrasi (delayering). Instruksi penyederhanaan eselonisasi birokrasi menjadi 2 layer menjadi titik akselerasi agenda reformasi birokrasi nasional. Penguatan pola kerja fungsional akan mempercepat pelayanan dan menanamkan mindset perubahan orientasi kerja ASN. Dari yang awalnya lebih berorientasi ke proses menjadi ke orientasi hasil. Di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri, sebagai salah satu pionir reformasi sektor publik, perampingan birokrasi telah diimplementasikan pada tahun 2019 dengan penghapusan eselon III dan IV di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang digantikan oleh Jabatan Fungsional Analis Kebijakan. Hal ini merupakan implementasi dari arahan Menkeu untuk menciptakan organisasi yang ramping dan tanpa sekat (flatter and boundaryless organization), SDM yang adaptive dan technology savvy dan pemanfaatan perkembangan TI. Lalu, apa sajakah tantangan yang harus dijawab dalam perampingan birokrasi? Pertama, ukuran birokrasi Indonesia yang masif dengan Jumlah ASN Indonesia sebesar 4.285.576 orang per 2019 membuat kompleksitasnya berbeda dengan Singapura yang hanya memiliki 84.000 aparatur sipil. Jumlah ASN Indonesia masih lebih besar dari Jepang dan Korsel yang sama-sama memiliki sekitar satu juta aparatur sipil. Rasio jumlah aparatur sipil dengan penduduk Korsel sebanding dengan Indonesia (sekitar 1: 60) sementara Jepang hanya separuhnya (1: 120). Kemenkeu sendiri memiliki 82.025 orang PNS dengan jumlah pejabat eselon III, IV dan V masing-masing 1.817 orang; 9.729 orang dan 2.957 orang. Tantangan berikutnya adalah tahapan peralihan jabatan struktural ke jabatan fungsional. Sesuai arahan Kemenpan-RB, delayering ditargetkan selesai pada Desember 2021 dalam 5 tahap. Tahap pertama melakukan identifikasi jabatan administrasi; kedua pemetaan jabatan dan pejabat administrasi dan selanjutnya pemetaan jabatan fungsional yang bisa ditempati. Kemudian, tahapan penyelarasan tunjangan jabatan fungsional dengan tunjangan jabatan administrasi, dan terakhir penyelarasan kelas jabatan administrasi ke jabatan fungsional. Dengan tantangan ukuran birokrasi, kompleksitas tahapan serta time constraint, diperlukan upaya yang selektif dan prudent dalam mengimplementasikan delayering . Kehati-hatian perlu menjadi prinsip utama demi memastikan kinerja ASN dan kualitas pelayanan kepada masyarakat tetap terjaga. Jika dibandingkan dengan Indonesia, Korsel memulai reformasi sektor publiknya pada tahun 1998 dan saat ini memiliki layer birokrasi ekuivalen 3 layer eselon. Reformasi sektor publik Korsel yang progresif namun cermat dan terukur telah mendukung transisi Korsel menjadi negara maju, status yang menjadi cita- cita Presiden Jokowi untuk Indonesia tahun 2045. Hal terpenting lain adalah manajemen perubahan, sebab masih ada anggapan bahwa jabatan fungsional adalah jabatan kelas dua. Oleh karena itu, salah satu prinsip delayering adalah hold harmless, yakni menjaga tingkat penghasilan demi menjaga motivasi pegawai terdampak. Tanpa manajemen perubahan yang baik keresahan pegawai akan berekses negatif. Untuk memastikan kelancaran delayering serta menjawab tantangan yang ada, terdapat sejumlah rekomendasi. Pertama, penataan ulang struktur organisasi dengan prinsip rasional dan realistis sesuai kebutuhan serta perangkat kelembagaan yang efektif agar terjadi sinergi antara jabatan struktural dan jabatan fungsional. Selain itu, diperlukan penyempurnaan jabatan fungsional khususnya jabatan fungsional core Kemenkeu, agar relevan dengan kebutuhan di lapangan. Kedua, penciptaan kualitas governance dan pelayanan yang lebih adaptif dengan perubahan dan tuntutan masyarakat. Untuk itu, desain proses bisnis jabatan fungsional harus sederhana dan jelas. Penguatan proses bisnis manajemen kinerja ASN juga perlu dirancang dari yang selama ini cenderung hierarkis menjadi lebih fleksibel. Ketiga, percepatan inisiatif transformasi digital Kemenkeu. Perampingan birokrasi harus didukung penerapan office automation yang menyeluruh demi memudahkan pekerjaan dan pengawasan output serta kualitas pekerjaan, khususnya dalam implementasi project dan knowledge management. Terakhir, implementasi strategi manajemen perubahan menyeluruh demi tercapainya delayering yang soft landing. Meskipun praktiknya top- down tetapi pokok-pokok kebijakan delayering perlu disampaikan dan pejabat terdampak dilibatkan sejak awal. Mengutip Kotter, pakar change management Harvard University, perubahan harus dikomunikasikan ke seluruh organisasi agar bisa mendapatkan dukungan dari semua pihak. Dengan demikian, diharapkan delayering dapat terlaksana tanpa kendala yang berarti. Tidak hanya demi birokrasi yang lebih sederhana, tetapi untuk mencapai percepatan pelayanan dan peningkatan kinerja sektor publik.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
LAPORAN UTAMA 8 Kesehatan Prioritas Utama 12 Menyelamatkan Manusia dari Pandemi 16 Infografik 18 Bersama Mengusir Wabah dari Bumi Indonesia 20 Tangkas Menanggulangi Kedaruratan PHOTO STORY 22 Kala Riuh Pasar Malam Tak Lagi Ada TEKA TEKI 24 Teka Teki Medkeu WAWANCARA 25 Bersenang-senang dengan Hidroponik POTRET KANTOR 28 Khasiat Memangkas Sekat BAGAIMANA CARANYA? 31 Syarat-syarat Beasiswa Reguler LPDP FIGUR 32 Liku Langkah untuk Terus Maju Daftar Isi Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Bagi tulisan atau artikel yang dimuat akan mendapatkan imbalan sepantasnya. BUKU 35 Perjamuan Khong Guan: Suguhan Puisi ala Joko Pinurbo OPINI 36 Penguatan UMKM di Tengah Risiko Resesi Ekonomi UANG KITA BUAT APA 38 Rupa Loka Batik dari Dana Fisik OPINI 40 Insentif Fiskal Pembasmi Pandemi GENERASI EMAS 42 Pahami Manusia Lewat Musik LOKAL 44 Menepi Sejenak ke Dieng Culture Festival FINANSIAL 46 Makin Banyak Asuransi, Makin Baik? 5 DARI LAPANGAN BANTENG 6 EKSPOSUR Diterbitkan oleh: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Pelindung: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Pengarah: Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara. Penanggung Jawab: Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto. Pemimpin Umum: Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Rahayu Puspasari. Pemimpin Redaksi: Kabag Manajemen Publikasi, Rahmat Widiana. Redaktur Pelaksana: Kasubbag Publikasi Cetak Yani Kurnia A. Dewan Redaksi: Ferry Gunawan, Dianita Suliastuti, Titi Susanti, Budi Sulistyo, Pilar Wiratoma, Purwo Widiarto, Muchamad Maltazam, Alit Ayu Meinarsari, Teguh Warsito, Hadi Surono, Budi Prayitno, Budi Sulistiyo. Tim Redaksi: Reni Saptati D.I, Danik Setyowati, Abdul Aziz, Dara Haspramudilla, Dimach Oktaviansyah Karunia Putra, A. Wirananda, CS. Purwowidhu Widayanti, Rostamaji, Adik Tejo Waskito, Arif Nur Rokhman, Ferdian Jati Permana, Andi Abdurrochim, Muhammad Fabhi Riendi, Leila Rizki Niwanda, Kurnia Fitri Anidya, Buana Budianto Putri, Muhammad Irfan, Arimbi Putri, Nur Iman, Berliana, Hega Susilo, Ika Luthfi Alzuhri, Irfan Bayu Redaktur Foto: Anas Nur Huda, Resha Aditya Pratama, Andi Al Hakim, Arief Kuswanadji, Intan Nur Shabrina, Ichsan Atmaja, Megan Nandia, Sugeng Wistriono, Rezky Ramadhani, Arif Taufiq Nugroho. Desain Grafis dan Layout: Venggi Obdi Ovisa, Ditto Novenska Alamat Redaksi: Gedung Djuanda 1 Lantai 9, Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta Telp: (021) 3849605, 3449230 pst. 6328/6330. E-mail: mediakeuangan@kemenkeu.go.id. C O V E R S T O R Y : Pemerintah hadir untuk memberikan bantuan kesehatan dan sosial bagi sektor dan masyarakat terdampak COVID-19. Sarung tangan diibaratkan sebagai pemerintah yang hadir dan siap membantu. Masker diibaratkan sebagai berbagai bantuan dan stimulus untuk sektor, kesehatan, dunia usaha, maupun bantuan sosial bagi masyarakat. Resha Aditya Pratama
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @zemyherda: Menurut saya untuk saat ini pemerintah baiknya fokus pada sektor dunia usaha karena stimulus yang diberikan belum cukup untuk mengembalikan iklim usaha sehat. @atri.widi: Dunia usaha karena jika ekonomi Indonesia kuat, Indonesia akan maju dan bisa pulih dari pandemi ini @sasmitanarax: Bidang kesehatan, karena saat ini tantangan utamanya adalah bagaimana wabah ini bisa ditekan penyebarannya hingga seluruh aktivitas bisa berjalan kembali Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Menurut Anda, sektor mana yang harusnya menjadi prioritas utama pemerintah dalam usaha menangani pandemi ini? a. Bidang Kesehatan b. Jaminan Keamanan Sosial c. Dunia Usaha 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Rahayu Puspasari Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu Perjuangan Meredam Pandemi D EJAVU! Seabad yang silam, tepatnya tahun 1918 sampai dengan 1921, dunia pernah diserang wabah influenza bernama flu Spanyol dikarenakan serangan terbesarnya terjadi di Madrid. Pada saat itu, tak ada negara yang luput dari serangannya termasuk Indonesia. Penularannya yang sangat cepat dan luas berakibat pada jumlah korban amat tinggi. Korban berjatuhan begitu masif sementara jumlah tenaga medis dan jumlah sarana kesehatan tak sebanding. Banyaknya pasien gawat membuat sekolah dan bangunan lainnya disulap menjadi rumah sakit darurat. Belum lagi sistem perawatan kesehatan yang berbeda antara si miskin dan si kaya. Pekerja harian pun mulai kehilangan penghasilan. Pengangguran meledak. Sukarelawan merebak. Ekonomi terpuruk. Tunggu dulu, ini gambaran tahun 1920 atau Maret 2020? Kenapa begitu sama? Begitulah siklus pandemi. Krisis kesehatan berubah menjadi krisis kemanusiaan karena korban berjatuhan. Manusia harus mengurangi interaksi untuk mencegah penyebaran. Akibatnya roda ekonomi berhenti. Pandemi flu COVID-19 yang sedang mengguncang dunia ini juga telah mengacaukan keadaan global termasuk situasi ekonominya. Laporan IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia akan mengalami minus hingga 3persen di 2020 akibat COVID-19 sementara lembaga lain menggunakan asumsi yang berbeda. Beragam proyeksi ini muncul karena tak ada yang dapat memperkirakan dengan pasti kapan krisis ini akan berakhir. Langkah mencegah terjadinya krisis ekonomi pun dilakukan secara cepat dan masif. Presiden Joko Widodo telah menegaskan agar pemerintah melakukan realokasi anggaran ke 3 fokus utama: bidang kesehatan, perlindungan sosial atau jaring pengamanan sosial, dan insentif ekonomi bagi dunia usaha. Berbagai payung hukum terbit seperti Perppu dan aturan turunannya untuk menjalankan program ini. Pemerintah bersama KSSK mengumumkan kondisi stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun potensi risiko dari makin meluasnya dampak penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan perlu terus diantisipasi. Berbagai bantuan sosial dan stimulus fiskal disiapkan menghadapi tekanan dan khususnya membantu masyarakat miskin dan rentang miskin, serta menyelamatkan UMKM. Dejavu pandemi seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Namun kebijakan dan langkah-langkah penyelamatan ekonomi dan keuangan adalah keniscayaan. Sampai di manakah perjuangan? Dapatkan jawaban mengenai upaya dan ikhitiar pemerintah yang tak kenal lelah di edisi ini. Selamat membaca!
Opini Ilustrasi Dimach Putra Teks I Gede Githa Adhi Pramana, pegawai Direktorat Kekayaan Negara Dipisahkan, DJKN *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Risiko Resesi Ekonomi usaha. Sektor UMKM juga bisa disebut pahlawan devisa karena banyak memanfaatkan bahan baku dan sumber daya lokal serta minim bergantung pada komponen impor. Sektor UMKM juga memiliki multiplier effect yang tinggi dalam menekan ketimpangan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, UMKM berperan serta dalam pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Dari beragam kontribusi di atas, dapat kita lihat bahwa sektor UMKM berkontribusi dalam penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, sektor UMKM dapat dinyatakan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Namun demikian, berbagai tantangan dihadapi oleh sektor UMKM baik dari sisi internal maupun eksternal. Akses permodalan, pemahaman yang rendah terhadap teknologi produksi, dan pemasaran serta aspek legal dan akuntabilitas menjadi tantangan dari sisi internal. Sementara itu, hambatan yang dihadapi UMKM untuk berkembang dari sisi eksternal antara lain iklim usaha belum kondusif, keterbatasan infrastruktur, kesulitan akses bahan baku, serta aspek teknologi informasi. Dalam mengatasi tantangan di atas diperlukan sinergi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Setidaknya ada 3 hal yang perlu menjadi fokus pemerintah dalam penguatan dan pemberdayaan UMKM di Indonesia: Pertama, dukungan permodalan. Laju pertumbuhan UMKM yang tinggi tidak sebanding dengan kemudahan akses permodalan. Saat ini, UMKM banyak bergantung pada pembiayaan dari dana APBN seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), dana bergulir, dan pembiayaan ultra mikro (UMi). Pembiayaan APBN memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan modal UMKM yang tinggi. Dengan demikian perlu terobosan- terobosan baru untuk pembiayaan non APBN atau dengan menciptakan kemudahan akses pendanaan UMKM dari lembaga keuangan Kedua, dukungan pembinaan. Selain permodalan, dukungan dari sisi pembinaan juga penting dalam meningkatkan kualitas UMKM. Kementerian Keuangan menginisiasi program pembiayaan terpadu dengan pendampingan melalui program UMi. Dalam program tersebut, PIP menyalurkan pinjaman kepada mitra yakni PT PNM (Persero), PT Pegadaian (Persero) dan PT BAV. Selain menyalurkan, mitra juga diwajibkan memberikan pendampingan kepada nasabah. Program semacam ini perlu dikembangkan dengan meningkatkan peran dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, serta menguatkan peran BUMN sebagai agent of development . Alternatif lainnya adalah melalui program pendampingan UMKM oleh mahasiswa sebagai bagian program terpadu dari kampus. Dengan adanya akses pembiayaan dan kemampuan dalam mengelola bisnis yang baik, UMKM diharapkan dapat mengembangkan usahanya agar bisa naik kelas. Terakhir adalah penciptaan iklim usaha UMKM yang kondusif. Upaya untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh yang meliputi: penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha serta menjamin kepastian usaha disertai efisiensi ekonomi; pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin. Perlu adanya database nasabah penerima program pemerintah untuk meminimalisir irisan nasabah antar program. Dengan demikian, dapat memberikan kesempatan pelaku usaha lain sehingga tercipta iklim usaha UMKM yang kondusif. Dalam Global Economic Risks and Implications for Indonesia Reports yang dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia diprediksi terdampak resesi ekonomi global. Bank dunia memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia di tahun 2019 menjadi 5,1persen. Pada 2020, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 4,9 persen dan pada 2022 tumbuh 4,6 persen. Bercermin pada krisis ekonomi tahun 1998, sudah sewajarnya jika Indonesia menguatkan sektor UMKM melalui penyediaan akses permodalan, pembinaan/mentoring, dan penciptaan iklim usaha UMKM yang kondusif. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas UMKM agar berdaya saing di kancah nasional dan global terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Keberhasilan dalam penguatan dan pemberdayaan UMKM pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian Indonesia secara signifikan serta memperkuat daya tahan terhadap ancaman resesi global. Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM PENGUATAN UMKM DI TENGAH U saha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satunya adalah penciptaan lapangan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada tahun 2017 dari UMKM mencapai 116,7 juta tenaga kerja atau 97 persen dari total tenaga kerja yang diserap unit usaha di Indonesia. UMKM juga telah terbukti mampu bertahan pada krisis ekonomi Indonesia. Sekitar 96 persen UMKM bertahan dari goncangan krisis moneter 1997/1998 dan 2008/2009. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pasca krisis ekonomi tahun 1997-1998, jumlah UMKM di Indonesia malah menunjukan tren yang meningkat. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM (2017), populasi pelaku UMKM sebesar 62,92 juta atau 99,9 persen dari total pelaku 37 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020