Pedoman Layanan Informasi Publik oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kementerian Keuangan dan Perangkat Pejabat Pengelola Informasi dan D ...
Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :
Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Kementerian/Lembaga adalah Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Sewa adalah pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.
Penilaian adalah proses kegiatan yang dilakukan oleh penilai untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek Penilaian pada saat tertentu dalam rangka pengelolaan BMN.
Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.
Swasta adalah Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang mempunyai izin tinggal dan/atau membuat usaha atau badan hukum Indonesia dan/atau badan hukum asing, yang menjalankan kegiatan usaha untuk memperoleh keuntungan.
Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Lembaga sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat.
Lembaga sosial keagamaan adalah lembaga sosial yang bertujuan mengembangkan dan membina kehidupan beragama.
Lembaga sosial kemanusiaan adalah lembaga sosial yang bergerak di bidang kemanusiaan.
Unit penunjang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan/ negara adalah organisasi yang dibentuk secara mandiri di lingkungan Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dalam rangka menunjang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan/ negara.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Investasi Pemerintah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang __ untuk investasi pembelian surat berharga dan Investasi Langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
Surat Berharga adalah saham dan/atau surat utang.
Investasi Langsung adalah penyertaan modal dan/atau pemberian pinjaman oleh badan investasi pemerintah untuk membiayai kegiatan usaha.
Penyertaan Modal adalah bentuk Investasi Pemerintah pada Badan Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian Perseroan Terbatas dan/atau pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Pemberian Pinjaman adalah bentuk Investasi Pemerintah pada Badan Usaha, Badan Layanan Umum (BLU), Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dengan hak memperoleh pengembalian berupa pokok pinjaman, bunga, dan/atau biaya lainnya.
Menteri Teknis/Pimpinan Lembaga adalah pimpinan kementerian/lembaga yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang infrastruktur dan bidang lainnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Badan Usaha adalah Badan Usaha swasta berbentuk Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Koperasi.
Badan Investasi Pemerintah adalah unit pelaksana investasi sebagai satuan kerja yang mempunyai tugas dan tanggung jawab pelaksanaan Investasi Pemerintah atau badan hukum yang lingkup kegiatannya di bidang pelaksanaan Investasi Pemerintah, berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Komite Investasi Pemerintah adalah pihak yang memberikan kajian, penetapan kriteria, dan evaluasi atas pelaksanaan investasi oleh Badan Investasi Pemerintah.
Dewan Pengawas adalah organ Badan Investasi Pemerintah yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan pengarahan pelaksanaan investasi.
Penasihat Investasi adalah tenaga profesional dan independen yang memberi nasihat mengenai Investasi Pemerintah kepada Badan Investasi Pemerintah.
Rekening Induk Dana Investasi adalah rekening pada setiap Badan Investasi Pemerintah berbentuk satuan kerja yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai tempat penyimpanan, penyaluran, dan pengembalian Investasi Pemerintah.
Divestasi adalah penjualan surat berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain.
Perjanjian Kerjasama adalah kesepakatan tertulis dalam rangka penyediaan infrastruktur dan bidang lainnya antara instansi pemberi kontrak dengan Badan Usaha.
Perjanjian Investasi adalah kesepakatan tertulis dalam rangka penyediaan dana investasi antara Badan Investasi Pemerintah dengan Badan Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing.
Tata Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan Serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Informasi Ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
Sistem Informasi Ketenagakerjaan adalah kesatuan komponen yang terdiri atas lembaga, sumberdaya manusia, perangkat keras, piranti lunak, substansi data dan informasi, yang terkait satu sama lain dalam satu mekanisme kerja untuk mengelola data dan informasi ketenagakerjaan.
Perencanaan Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat PTK adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
Rencana Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat RTK adalah hasil kegiatan perencanaan tenaga kerja.
Perencanaan Tenaga Kerja Makro yang selanjutnya disingkat PTK Makro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif guna mendukung pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh.
Perencanaan Tenaga Kerja Mikro yang selanjutnya disingkat PTK Mikro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi/lembaga, baik instansi pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada instansi/lembaga atau perusahaan yang bersangkutan.
Rencana Tenaga Kerja Makro yang selanjutnya disingkat RTK Makro adalah hasil kegiatan perencanaan tenaga kerja makro.
Rencana Tenaga Kerja Mikro yang selanjutnya disingkat RTK Mikro adalah hasil kegiatan perencanaan tenaga kerja mikro.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Kebijakan Pengawasan Intern Kementerian Keuangan Tahun 2010.
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Relevan terhadap
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian, adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran menurut nomenklatur Kementerian/Lembaga dan menurut fungsi Bendahara Umum Negara.
Arah Kebijakan adalah penjabaran urusan pemerintahan dan/atau prioritas pembangunan sesuai dengan visi dan misi Presiden yang rumusannya mencerminkan bidang urusan tertentu dalam pemerintahan yang menjadi tanggungjawab Kementerian/Lembaga, berisi satu atau beberapa program untuk mencapai sasaran stratejik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan indikator kinerja yang terukur.
Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP), adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun.
Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-K/L), adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disingkat RKA-K/L, adalah dokumen depkumham.go.id rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga.
Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat RDP-Bendahara Umum Negara, adalah rencana kerja dan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah Pusat dan transfer kepada daerah yang pengelolaannya dikuasakan oleh Presiden kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Keluaran adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.
Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan dalam satu program.
Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur.
Pagu Indikatif adalah ancar-ancar pagu anggaran yang diberikan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pedoman dalam penyusunan Renja-K/L.
Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L, adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada Kementerian/ Lembaga dalam rangka penyusunan RKA-K/L.
Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran K/L, adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil pembahasan Rancangan APBN yang dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan Pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR.
Inisiatif Baru adalah usulan tambahan rencana Kinerja selain yang telah dicantumkan dalam prakiraan maju, yang berupa program, kegiatan, keluaran, dan/atau komponen.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Kementerian Perencanaan adalah Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. depkumham.go.id 19. Menteri Perencanaan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Pasal 2 (1) Pemerintah menyusun APBN setiap tahun dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara.
APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikelola secara tertib dan bertanggung jawab sesuai kaidah umum praktik penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik. Pasal 3 (1) Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Rancangan APBN.
Rancangan APBN terdiri atas:
anggaran pendapatan negara;
anggaran belanja negara; dan
pembiayaan.
Besaran anggaran belanja negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b didasarkan atas kapasitas fiskal yang dapat dihimpun oleh Pemerintah.
Dalam hal rencana belanja negara melebihi dari rencana pendapatan negara, Pemerintah dapat melampaui kapasitas fiskal dengan menjalankan anggaran defisit yang ditutup dengan pembiayaan.
Besaran anggaran belanja negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat disesuaikan dengan perubahan kapasitas fiskal dan/atau perubahan pembiayaan anggaran sebagai akibat dari:
perubahan asumsi makro;
perubahan target pendapatan negara;
perubahan prioritas belanja negara; dan/atau
penggunaan saldo anggaran lebih tahun-tahun sebelumnya.
Anggaran belanja negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun berdasarkan RKA-K/L.
Menteri Keuangan menetapkan pola pendanaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). depkumham.go.id BAB II PENDEKATAN DAN DASAR PENYUSUNAN RKA-K/L Pasal 4 (1) RKA-K/L disusun untuk setiap Bagian Anggaran.
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran wajib menyusun RKA-K/L atas Bagian Anggaran yang dikuasainya.
Selain menyusun RKA-K/L atas Bagian Anggaran Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan menyusun RDP-Bendahara Umum Negara. Pasal 5 (1) Penyusunan RKA-K/L harus menggunakan pendekatan:
kerangka pengeluaran jangka menengah;
penganggaran terpadu; dan
penganggaran berbasis Kinerja.
RKA-K/L disusun secara terstruktur dan dirinci menurut klasifikasi anggaran, yang meliputi:
klasifikasi organisasi b. klasifikasi fungsi c. klasifikasi jenis belanja (3) Penyusunan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan instrumen:
indikator Kinerja;
standar biaya; dan
evaluasi Kinerja. (4) Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan indikator Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a setelah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan.
Ketentuan mengenai klasifikasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan standar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga. Pasa1 6 (1) RKA-K/L disusun berdasarkan Renja-K/L, RKP, dan Pagu Anggaran K/L.
RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: depkumham.go.id a. informasi Kinerja; dan
rincian anggaran.
Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat paling sedikit:
program;
kegiatan; dan
sasaran Kinerja.
Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun menurut:
unit organisasi;
fungsi;
program;
kegiatan;
jenis belanja;
kelompok biaya; dan
sumber pendanaan.
Ketentuan mengenai format dan tatacara pengisian RKA- K/L diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB III PROSES PENYUSUNAN RKA-K/L DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN APBN Bagian Kesatu Proses Penyusunan RKA-K/L Pasal 7 (1) Presiden menetapkan Arah Kebijakan dan prioritas pembangunan nasional pada bulan Januari untuk tahun direncanakan berdasarkan hasil evaluasi kebijakan berjalan.
Berdasarkan Arah Kebijakan dan prioritas pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian/Lembaga mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan berjalan.
Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian/Lembaga dapat menyusun rencana Inisiatif Baru dan indikasi kebutuhan anggaran yang diselaraskan dengan Arah Kebijakan dan prioritas pembangunan nasional untuk disampaikan kepada Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan.
Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan dari depkumham.go.id program yang sedang berjalan dan mengkaji usulan Inisiatif Baru berdasarkan prioritas pembangunan serta analisa pemenuhan kelayakan dan efisiensi indikasi kebutuhan dananya.
Kementerian Perencanaan mengoordinasikan pelaksanaan evaluasi dan pengintegrasian hasil evaluasi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Inisiatif Baru diatur dengan Peraturan Menteri Perencanaan.
Kementerian Keuangan menyusun perkiraan kapasitas fiskal untuk penyusunan Pagu Indikatif tahun anggaran yang direncanakan, termasuk penyesuaian indikasi pagu anggaran jangka menengah paling lambat pertengahan bulan Februari.
Pagu Indikatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Menteri Keuangan bersama Menteri Perencanaan, dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan pemenuhan prioritas pembangunan nasional.
Pagu Indikatif yang disusun oleh Menteri Keuangan bersama Menteri Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci menurut unit organisasi, program, kegiatan, dan indikasi pendanaan untuk mendukung Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
Pagu Indikatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang sudah ditetapkan beserta prioritas pembangunan nasional yang dituangkan dalam rancangan awal RKP disampaikan kepada Kementerian/Lembaga dengan surat yang ditandatangani Menteri Keuangan bersama Menteri Perencanaan pada bulan Maret.
Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Renja-K/L dengan berpedoman pada surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Renja-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disusun dengan pendekatan berbasis Kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu yang memuat:
kebijakan;
program; dan
kegiatan. depkumham.go.id (7) Dalam proses penyusunan Renja-K/L dilakukan pertemuan 3 (tiga) pihak antara Kementerian/Lembaga, Kementerian Perencanaan, dan Kementerian Keuangan.
Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan Renja-K/L kepada Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan untuk bahan penyempurnaan rancangan awal RKP dan penyusunan rincian pagu menurut unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan sebagai bagian dari bahan pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN. Pasal 9 (1) Menteri Keuangan dalam rangka penyusunan RKA-K/L, menetapkan Pagu Anggaran K/L dengan berpedoman kapasitas fiskal, besaran Pagu Indikatif, Renja-K/L, dan memperhatikan hasil evaluasi Kinerja Kementerian/Lembaga.
Pagu Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggambarkan Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang dirinci paling sedikit menurut:
unit organisasi; dan
program.
Pagu Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada setiap Kementerian/Lembaga paling lambat akhir bulan Juni.
Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun RKA-K/L berdasarkan:
Pagu Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
Renja-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5);
RKP hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN; dan
standar biaya.
Penyusunan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk menampung usulan Inisiatif Baru. Pasal 10 (1) RKA-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 menjadi bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan antara Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan.
Dalam hal Kementerian/Lembaga melakukan pembahasan RKA-K/L dengan DPR dalam rangka depkumham.go.id pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN, pembahasan tersebut difokuskan pada konsultasi atas usulan Inisiatif Baru.
Dalam pembahasan RKA-K/L dengan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan penyesuaian terhadap usulan Inisiatif Baru, sepanjang:
sesuai dengan RKP hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN;
pencapaian sasaran Kinerja Kementerian/Lembaga; dan
tidak melampaui Pagu Anggaran K/L.
Menteri Keuangan mengoordinasikan penelaahan RKA- K/L dalam rangka penetapan Pagu RKA-K/L yang bersifat final.
Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi, yang meliputi:
kelayakan anggaran terhadap sasaran Kinerja yang direncanakan; dan
konsistensi sasaran Kinerja Kementerian/Lembaga dengan RKP. (6) Penelaahan RKA-K/L diselesaikan paling lambat akhir bulan Juli. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara penelaahan RKA-K/L diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Bagian Kedua Penggunaan RKA-K/L Dalam Penyusunan Rancangan APBN Pasal 11 (1) Kementerian Keuangan menghimpun RKA-K/L hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 untuk digunakan sebagai:
bahan penyusunan Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN; dan
dokumen pendukung pembahasan Rancangan APBN.
Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN dibahas dalam Sidang Kabinet. (3) Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN hasil Sidang Kabinet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR pada bulan Agustus. depkumham.go.id BAB IV ALOKASI ANGGARAN DAN DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN Pasal 12 (1) Pemerintah menyelesaikan pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN dengan DPR paling lambat akhir bulan Oktober. (2) Dalam hal pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan optimalisasi pagu anggaran, optimalisasi pagu anggaran tersebut digunakan oleh Pemerintah sesuai dengan Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden. (3) Hasil pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan bersifat final. (4) Berita acara hasil kesepakatan pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Kementerian/Lembaga. (5) Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan penyesuaian RKA-K/L dengan berita acara hasil kesepakatan pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian RKA-K/L diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 13 (1) Presiden menetapkan alokasi anggaran Kementerian/ Lembaga dan Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Alokasi anggaran Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut klasifikasi anggaran.
Alokasi anggaran Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut:
kebutuhan Pemerintah Pusat; dan
transfer kepada daerah (4) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden paling lambat tanggal 30 November. depkumham.go.id (5) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang- Undang tentang APBN. Pasal 14 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran dengan berpedoman pada alokasi anggaran yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden.
Penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan RKA- K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5).
Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran paling lambat tanggal 31 Desember.
Ketentuan mengenai tata cara pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB V PERUBAHAN RKA-K/L DALAM PELAKSANAAN APBN Pasal 15 (1) Dalam tahun berjalan, Kementerian/Lembaga melakukan perubahan RKA-K/L dalam hal:
terdapat tambahan dan/atau pengurangan alokasi anggaran sebagai akibat Perubahan APBN dan/atau realokasi anggaran belanja dari yang telah ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; dan/atau
terdapat perubahan dokumen pelaksanaan anggaran yang memerlukan persetujuan DPR.
Usulan perubahan dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan untuk di evaluasi.
Dalam hal usulan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Menteri Keuangan menyampaikan usulan tersebut kepada DPR.
RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar penyusunan revisi dokumen pelaksanaan anggaran berkenaan.
Ketentuan mengenai tata cara perubahan RKA-K/L diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. depkumham.go.id BAB VI PENYUSUNAN RDP-BENDAHARA UMUM NEGARA Pasal 16 (1) Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan sebagai Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara.
Pada awal tahun, Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara dapat berkoordinasi dengan Menteri/Pimpinan Lembaga atau pihak lain terkait menyusun indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara untuk tahun anggaran yang direncanakan dengan memperhatikan prakiraan maju dan rencana strategis yang telah disusun.
Indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan indikasi dana dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Kementerian Keuangan.
Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS. (2) LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan hukum. 10. Berkaitan dengan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 menentukan bahwa terdapat 5 (lima) syarat untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD _1945; _ b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Permohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu _Undang-Undang yang diuji; _ c. kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang _menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; _ d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian _dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; _ e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 11. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang ini dan adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 telah terpenuhi sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pemohon berdasarkan Pasal 4 UU LPS mempunyai fungsi sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id a) Menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan b) Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Dalam menjalankan fungsinya untuk menjamin nasabah penyimpan, Pemohon mempunyai tugas untuk: (a) merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan; dan (b) melaksanakan penjaminan simpanan.
Sedangkan dalam menjalankan fungsinya untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, Pemohon mempunyai tugas sebagai berikut:
Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan;
Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan
Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Dalam rangka menjalankan tugasnya melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU LPS Pemohon juga diberikan kewenangan antara lain sebagai berikut:
Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan;
Menjual dan/atau mengalihkan aset Bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Secara lebih spesifik lagi, berdasarkan Pasal 30, Pasal 38, dan Pasal 42 UU LPS, Pemohon mempunyai kewajiban untuk menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu yang ditentukan, termasuk tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal pada tahun terakhir (tahun ke-5 pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun ke-6 pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 17. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah Negara hukum. Dalam konteks Negara hukum dan dalam konteks penguatan fungsi dan kewenangan LPS dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem perbankan dan penjaminan simpanan nasabah, Pemohon juga dijamin hak konstitusionalnya untuk untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan fungsi Pemohon sebagai lembaga yang turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan. Hak konstitusional Pemohon ini diatur secara tegas dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mempunyai hak konstitusional untuk memperoieh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya yang telah diberikan oleh hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas. Hak konstitusional tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Namun demikian, hak-hak konstitusional Pemohon tersebut di atas dilanggar atau setidaknya menjadi terhambat oleh adanya ketentuan- ketentuan dalam UU Pasar Modal dan UU LPS sebagaimana diuraikan di bawah ini:
Kerugian konstitusional terkait dengan Pasal 45 UU Pasar Modal Pasal 45 UU Pasar Modal, khususnya frasa “ atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanyaf”. Pada ketentuan tersebut, frasa “atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dapat dimaknai secara sempit, yaitu bahwa yang dimaksud dengan pihak tersebut semata-mata hanyalah pihak yang diberikan wewenang oleh pemegang rekening/efek (pemegang saham) berdasarkan perjanjian pemberian kuasa. Pemaknaan/penafsiran yang sekedar merujuk kepada adanya pemberian kuasa dimaksud mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya berdasarkan UU LPS untuk menjual seluruh saham Bank Gagal, termasuk saham milik pemegang saham lama pada Bank Gagal yang sahamnya diperjualbelikan di bursa, menjadi terhambat atau terhalangi tanpa adanya surat kuasa dari pemegang efek atau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id pemegang saham lama. Padahal berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU LPS, Pemohon telah diwajibkan untuk menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan, termasuk saham milik pemegang saham lama yang diperjuabelikan di bursa (saham publik). Dengan demikian, frasa “ atau pihak yang diberikan wewenang untuk bertindak atas namanya” secara aktual maupun potensial merugikan Pemohon.
Kerugian konstitusional terkait Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS khususnya frasa "sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ berdasarkan penalaran yang sederhana juga berpotensi merugikan Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya serta dalam rangka memperjuangkan hak secara kolektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini karena disatu sisi berdasarkan UU LPS Pemohon diberikan hak dan wewenang untuk mendapatkan dokumen atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank, bahkan berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank, akan tetapi dengan adanya frasa “ sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” mengakibatkan Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya menjadi terhambat bahkan berpotensi dianggap melakukan tindak pidana kejahatan perbankan karena terdapat aspek pidana terkait pelanggaran terhadap rahasia bank.
Kerugian Konstitusional terkait Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS Dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS pada pokoknya dinyatakan apabila tingkat pengembalian yang optimal tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu yang ditentukan termasuk perpanjangannya, maka Pemohon wajib menjual saham Bank Gagal tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal pada 1 (satu) tahun berikutnya (yaitu tahun ke-5 pada Bank Gagal yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tidak berdampak sistemik atau tahun ke-6 pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Dalam hal ini, yang dimaksud tingkat pengembalian yang optimal adalah paling sedikit sebesar nilai Penyertaan Modal Sementara (PMS) yang dikeluarkan oleh Pemohon. Persoalannya, apabila pada tahun ke-5 atau tahun ke-6 Pemohon tetap melaksanakan penjualan tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal, maka berdasarkan penalaran yang wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dihadapi oleh Pemohon, yaitu Pemohon dapat dianggap telah merugikan keuangan negara. Sedangkan disisi lain, berdasarkan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, pada tahun ke-5 atau ke-6 Pemohon justru wajib menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa perlu memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Hal ini mengakibatkan hak konstitusional Pomohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjadi terlanggar. Oleh karena itu, apabila tidak dimaknai dengan benar maka ketentuan yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS secara aktual ataupun potensial berdasarkan penalaran sederhana atau wajar dapat merugikan Pemohon. Berkenaan dengan kerugian konstitusional tersebut di atas, di bawah ini Pemohon kutip pernyataan dari beberapa narasumber yang membuktikan adanya perbedaan pendapat sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon. Pro Kontra Nama Hadi Poernomo, Ketua BPK. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana Anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP Jaksa Ahmad Burhanudin Waktu 04 April 2014 03 Oktober 2013 26 Desember 2013 20 Maret 2014 Pendapat Menurut Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, dalam menjual Bank Mutiara, sebaiknya tetap mengacu pada Undang-Undang Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, divestasi Bank Mutiara tidak bisa dilandaskan UU No 13/2003 tentang Keuangan Negara Langkah-langkah yang akan dilakukan harus dilakukan di antaranya berkonsultasi terlebih dahulu ke Presiden terkait rencana LPS berasal dari aset negara sehingga kekayaan LPS merupakan aset negara sebagaimana Pasal 81 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id No 24 tahun 2004, tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 42. "Kita kembali ke UU LPS Pasal 42 yang jelas bahwa sampai tahun kelima harus sesuai dengan harga talangan. Setelah kelima dijual berapapun juga," katanya di Gedung BPK, Jakarta, Jumat (4/4). dan UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, melainkan penjualan bank dalam penanganan LPS harus berlandaskan UU LPS. "Dalam pandangan saya, hal ini terjadi karena adanya ketentuan dari satu undang-undang dan undang-undang lain yang saling bertentangan. Bicara LPS, itu semua pihak harus konsentrasi ke undang-undang LPS dan tinggalkan ego sektoral dari UU yang biasa mereka pakai," tegasnya dalam LPS Seminar 2013 dengan topik Peran LPS Dalam Penyelamatan Bank Gagal di Jakarta, Rabu (2/10). Kekayaan LPS juga seharusnya dipisah dari keuangan negara sehingga bila terjadi kerugian negara, maka negara tidak dapat dibebani atas kerugian tersebut seperti halnya diberlakukan pada BUMN. Hikmahanto mengatakan, harus dihindari pandangan bahwa jika tahun depan LPS gagal menjual Mutiara di harga Rp 6,7 triliun itu berarti merugikan negara. tersebut. Pasalnya, Lembaga Penjamin Simpanan bertanggungjawab terhadap Presiden dalam hal ini Presiden SBY. "Hal yang perlu dibicarakan dengan Presiden adalah mengenai batas waktu yang telah dilampaui untuk menjual Bank mutiara dengan harga sesuai dengan PMS yang diterimanya," ujar Anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP saat berbincang dengan SOROT news.com, Kamis (26/12/2013). Dijelaskan Dolfie, Bank Mutiara sudah menerima penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp. 6,7 Triliun ditambah Rp.1,25 Triliun. Oleh karena itu Bank Mutiara harus dijual minimal Rp.7,95 Triliun. ”Batas waktu penjualan kalau sesuai UU adalah 5 tahun sejak pertama kali di tangani LPS tahun 2008. Oleh karena itu tahun ini adalah batas akhir," tandasnya. ”Sesudahnya LPS dapat menjual dengan harga optimal. Jangan sampai harga optimal adalah harga obral. Apalagi BPK telah menyatakan adanya kerugian keuangan negara dalam mem- bailout bank mutiara. Kalau penjualannya di bawah harga, tentang LPS,” kata jaksa Ahmad Burhanudin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (20/3/2014). Jaksa memaparkan, saat itu telah jatuh tempo pelunasan FPJP. Bank Century pun sampai dengan 4 Februari 2009 telah menerima dana PMS sebesar Rp. 5,797 triliun. Kemudian, Bank Century melunasi FPJP sebesar Rp. 689,394 miliar dan bunganya sebesar Rp. 16,8 miliar sehingga total Rp. 706,194 miliar. ”Perhitungan kerugian negara adalah nyata dan pasti jumlahnya yaitu berdasarkan perhitungan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan,” lanjut jaksa. Sementara itu, pihak Budi Mulya menilai PMS masih terdapat di Bank Century yang saat ini bernama Bank Mutiara dan dikuasai oleh LPS. Dengan demikian, seharusnya belum dapat dipastikan perhitungan kerugian negaranya. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id maka kerugian negara akan bertambah banyak," tambahnya. Sumber http: //www.akt ual.co/hukum/1 65753ketua- bpk-sesuai-uu- Ips-mutiara- bisa-dijual-di- bawah- bailout - century http: //www.suarapem baruan.com/ekonomi danbisnis/lps-jangan- gentar-tangani- divestasi- mutiara/42886 http: //www.sorotne ws.com/berita/print/ dpr-meminta-lps- konsultasi- ke.5889.html http: //nasional.kom pas.com/read/2014 /03/20/1636361/Ini. Penjelasan.Jaksa.s oal.Kerugian.Negar a.Rp.7.4.Triliun.dal am.Kasus.Century.
Kerugian konstitusional terkait Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UULPS Pengaturan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan pegakuan, jaminan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya. Hal ini karena adanya kata “dapat” __ pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS mengakibatkan Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum untuk memperoieh pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Sedangkan di sisi lain, berdasarkan Pasal 4 UU LPS Pemohon mempunyai tugas yang sangat penting, yaitu turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan dimana sewaktu-waktu memerlukan bantuan pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Selain itu, pengaturan Pasal 85 ayat (3) UU LPS telah mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi Pemohon untuk memperoieh Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas. Hal ini karena berdasarkan Pasal 85 ayat (3) UU LPS, yang perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah hanya mengenai tingkat Iikuiditas. Sedangkan ketentuan tersebut justru mengacu kepada Pasal 85 ayat (2) UU LPS yang mengatur mengenai pinjaman Pemerintah kepada Pemohon apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk memperoleh Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Pemohon dalam hal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya.
Berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar telah merugikan Berdasarkan penjelasan di atas, ketentuan-ketentuan yang hendak diuji dalam permohonan Pengujian Undang-Undang ini secara aktual maupun potensial hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Adanya kerugian-kerugian konstitusional di atas secara langsung diakibatkan oleh adanya ketentuan-ketentuan yang hendak diuji dalam permohonan Pengujian Undang-Undang ini. Dengan demikian, terdapat hubungan sebab akibat (kausalitas) antara kerugian (baik aktual maupun potensial) yang dialami Pemohon dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Oleh karena itu, permohonan Pengujian Undang-Undang ini dimohonkan Pemohon kepada Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi agar kerugian konstitusional dimaksud tidak akan terjadi.
Berdasarkan uraian di atas terbukti bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) yang sah untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang ini, dan karenanya permohonan pengujian ini sudah sepatutnya dapat diterima untuk selanjutnnya pokok permasalahannya diperiksa dan diputus oleh Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi. III. Alasan-Alasan Permohonan III.A. Latar Belakang Pembentukan LPS 23. Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas sistem perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 (enam belas) bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat ( blanket Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id guarantee ). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee dimaksud memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Latar belakang pembentukan LPS tersebut pada dasarnya dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, yang dilaksanakan melalui 2 (dua) fungsi, yaitu menjamin simpanan nasabah bank serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Dalam rangka turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, Pemohon diberikan tugas dan kewenangan untuk menangani Bank Gagal, baik Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik maupun Bank Gagal yang berdampak sistemik dengan atau tanpa penyertaan dari pemegang saham lama.
Dalam konteks penanganan Bank Gagal ini, terutama Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon oleh Undang-Undang telah diberikan kewenangan untuk mengambilalih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, sekaligus juga mempunyai kewajiban untuk pada waktu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tertentu menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan.
Namun demikian, terdapat ketentuan-ketentuan yang secara aktual maupun potensial berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya permohonan Pengujian Undang-Undang ini terhadap ketentuan- ketentuan dimaksud guna menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, termasuk dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan fungsi Pemohon yang diatur dalam UU LPS. III.B. Pemohon Berhak Memajukan Diri Guna Memperjuangkan Haknya Secara Kolektif Untuk Membangun Masyarakat, Bangsa, dan Negara, Serta Mendapatkan Pengakuan, Jaminan, Perlindungan dan Kepastian Hukum Yang Adil Dalam Negara Hukum Republik Indonesia 32. Sejak adanya perubahan terhadap UUD 1945, terdapat perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.Perubahan tersebut antara lain konsepsi negara hukum atau Rechtsstaat yang sebelumnya hanya dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 angka 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsepsi negara hukum, maka hukum ditempatkan sebagai panglima (supremasi hukum) dalam dinamika kehidupan bernegara.
Selain itu, perubahan lainnya berupa adanya penghormatan yang lebih tegas terhadap hak-hak asasi manusia termasuk hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta hak untuk memajukan diri untuk memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara;
Sebagai konsekuensi yuridis atas hal di atas, setiap orang termasuk badan hukum juga mempunyai hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” 35. Lebih lanjut, sebagai konsekuensi yuridis Indonesia sebagai negara hukum, maka setiap orang termasuk badan hukum mempunyai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum.” 36. Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat hak konstitusional bagi setiap orang termasuk Pemohon sebagai badan hukum untuk mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Penghormatan atas hak-hak konstitusional Pemohon tersebut di atas sangat penting bagi Pemohon dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan dalam rangka memberikan jaminan atas simpanan penyimpan serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan, Undang- Undang telah memberikan tugas kepada Pemohon antara lainuntuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal yang berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik, dengan atau tanpa melibatkan pemegang saham lama.
Dalam rangka penanganan dan penyeiamatan Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon diberikan kewenangan oleh hukum untuk mengambilalih dan menjalankan segala kewenangan RUPS serta menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Fungsi, tugas dan kewenangan tersebut di atas telah diberikan secara langsung oleh Undang-Undang dan karenanya Pemohon mempunyai hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan serta kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya. Selain itu, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemohon juga mempunyai hak konstitusional untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara sesuai fungsi, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Pemohon khususnya dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
Namun demikian, terdapat ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yangmenghambat dan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Hal ini karena ketentuan-ketentuan tersebut telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum atau hilangnya jaminan hukum serta menghambat Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan permohonan untuk menguji ketentuan-ketentuan dalam UU Pasar Modal dan UU LPS yang dinilai telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon dimaksud.
Dengan demikian perlu kami tegaskan kembali bahwa dalam hal ini permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh Pemohon adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, khususnya ketententuan-ketentuan tertentu yang ada dalam UU Pasar Modal dan UU LPS yang dinilai telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas, kewenangan serta kewajibannya. Ketentuan- ketentuan dimaksud adalah Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5) Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. III.C. Pasal 45 UU Pasar Modal Khususnya Frasa ”atau pihak yang diberikan wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 43. Kami mohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia menguji Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” karena frasa dalam ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU LPS, dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal, Pemohon secara hukum telah diberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id kewenangan untuk mengambilalih segala hak dan wewenang pemegang saham pada Bank Gagal yang diselamatkan. Pasal 6 ayat (2) UU LPS kami kutip sebagai berikut: “LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal _dengan kewenangan: _ a. Mengambilalih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang _RUPS; _ b. Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang _diselamatkan; _ c. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan _dengan pihak ketiga yang merugikan Bank; dan _ d. Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.” 45. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 40 huruf a dan Pasal 41 ayat (1) UU LPS, dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon oleh hukum diberikan kewenangan untuk mengambilalih segala hak dan kewenangan RUPS, kepemilikan pada Bank Gagal termasuk melakukan pengalihan kepemilikan bank. Ketentuan-ketentuan tersebut kami kutip sebagai berikut: Pasal 40 huruf a UU LPS menyatakan: “Terhitung sejak LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, maka berdasarkan _Undang-undang ini: _ a. LPS mengambilalih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada Bank dimaksud.” Pasal 41 ayat (1) UU LPS menyatakan: "Setelah LPS mengambilalih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada Bank tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, LPS dapat melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. ” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 26 UU LPS menyatakan: ”Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenang sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 25, LPS dapat melakukan tindakan sebagai berikut: _ a. Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset _milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank; _ _b. Melakukan penyertaan modal sementara; _ c. Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan Nasabah _Debitur dan/atau kewajiban tanpa persetujuan Nasabah Kreditur; _ _d. Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain; _ _e. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; _ _f. Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan _ g. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank.” 46. Selanjutnya, secara lebih spesifik lagi, berdasarkan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS, undang-undang telah memberikan kewajiban kepada Pemohon untuk menjual seluruh saham pada Bank Gagal yang diselamatkan. Ketentuan-ketentuan tersebut kami kutip sebagai berikut: Pasal 30 ayat (1) UU LPS: ”LPS wajib menjualseluruh saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.” Pasal 38 ayat (1) UULPS: ”LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a.” Pasal 42 ayat (1) UU LPS: ”LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 39." 47. Dengan adanya frasa “ wajib menjual seluruh saham Bank ” dalam ketentuan-ketentuan di atas telah jelas bahwa Pemohon telah diberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tugas dan karenanya harus menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan, baik saham milik Pemohon yang berasal dari penyertaan modal maupun saham milik pemegang saham lama pada Bank Gagal yang diselamatkan.
Fungsi, tugas, kewenangan, dan kewajiban Pemohon tersebut tidak bertentangan dengan prinsip hak milik pribadi karena dalam konteks penanganan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, Pemohon baru melaksanakan tugasnya apabila telah ada berbagai persyaratan yang dipenuhi oleh Bank Gagal yang hendak diselamatkan, antara lain berupa surat pernyataan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menyerahkan segala hak dan kewenangannya kepada Pemohon. Apabila persyaratan tersebut telah dipenuhi, maka Pemohon melakukan tindakan- tindakan penyelamatan Bank Gagal.
Sedangkan dalam konteks menangani Bank Gagal yang berdampak sistemik, kewenangan Pemohon untuk mengambilalih segala hak dan kewenangan pemegang saham maupun RUPS diberikan secara langsung oleh Undang-Undang terkait tugas Pemohon untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas ssistem perbankan. Dalam hal demikian, maka apabila pada saat penanganan Bank Gagal diserahkan kepada Pemohon ekuitas dari Bank tersebut bernilai negatif atau nol, maka pemegang saham lama tidak memperoleh hak apapun atas hasil penjualan. Sedangkan apabila pada saat diserahkan kepada Pemohon ekuitas bank bernilai positif, maka pemegang saham lama mempunyai hak atas hasil penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan Pemohon. Dengan demikian, segela tindakan pengambilalihan hak dan kewenangan yang dilakukan oleh Pemohon sama sekali tidak melanggar hak milik pribadi dan bahkan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU LPS, dinyatakan bahwa LPS dapat menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan seperti halnya sebagai pemilik.
Berkaitan dengan hal di atas, tidak ada pengecualian dalam penerapan ketentuan tersebut. Artinya kewajiban atau kewenangan Pemohon untuk menjual seluruh saham Bank Gagal tersebut dapat diterapkan baik terhadap saham Bank Gagal yang berbentuk perseroan tertutup maupun saham Bank Gagal yang berbentuk perseroan terbuka yang saham- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id sahamnya tercatat di bursa.
Namun demikian, dalam Pasal 45 UU Pasar Modal terdapat frasa yang dapat menghambat atau menghalangi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk menjual seluruh saham pada Bank Gagal, khususnya saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa. Ketentuan Pasal 45 UU Pasar Modal secara lengkap kami kutip sebagai berikut: “Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang rekening atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya ”.
Frasa ”pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dalam Pasal 45 UU Pasar Modal dapat dimaknai secara sempit oleh pihak tertentu termasuk Kustodian dengan menyatakan bahwa Kustodian hanya dapat mengeluarkan efek (saham) yang tercatat pada rekening efek apabila terdapat perintah/persetujuan tertulis dari pemegang rekening/pemegang saham atau pihak yang telah diberikan kuasa oleh pemegang rekening berdasarkan surat pemberian kuasa (kuasanya).
Dengan demikian, apabila pemegang efek/pemegang saham lama tidak memberikan surat kuasa kepada Pemohon untuk mengeluarkan efek tersebut, maka Kustodian tidak dapat mengeluarkan saham/efek tersebut sekalipun terdapat permintaan dari pihak lain ( in casu Pemohon) yang telah diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang untuk menjual saham/efek tersebut.
Potensi adanya penafsiran yang sempit di atas dapat menghambat tugas dan kewenangan Pemohon pada saat Pemohon hendak menjual seluruh saham Bank Gagal sebagaimana diamanatkan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 (1) UU LPS. Hal ini dapat mengakibatkan Pemohon tidak dapat menjual saham milik pemegang saham lama yang sahamnya tercatat di bursa karena Kustodian mungkin tidak akan bersedia mengeluarkan efek/saham tersebut apabila Pemohon tidak dapat menunjukan telah adanya surat kuasa dari pemegang saham lama kepada Pemohon. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 55. Frasa “ atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya ” seharusnya dimaknai secara lebih luas, yaitu yang dimaksud "pihak" dalam ketentuan tersebut bukan hanya pihak yang diberikan kuasa berdasarkan perjanjian pemberian kuasa dari pemegang efek/pemegang saham kepada kuasanya, melainkan juga termasuk pihak yang diberikan kewenangan secara langsung oleh Undang-Undang tanpa memerlukan adanya surat kuasa dari pemegang rekening/pemegang efek/pemegang saham lama.
Kekhawatiran terhadap adanya penafsiran yang sempit di atas faktanya tidak hanya bersifat potensial, melainkan sudah bersifat aktual pada saat Pemohon menangani PT Bank Mutiara, Tbk (dahulu PT Bank Century, Tbk). Pada saat itu, Pemohon berdasarkan suratnya No. S-139/KE/VIII tanggal 1 Agustus 2013 perihal Penjualan Saham PT Bank Mutiara, Tbk telah meminta Kustodian, yaitu PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) untuk membantu proses penjualan saham PT. Bank Mutiara, Tbk dengan cara membalik nama dari pemegang saham lama kepada calon investor/calon pembeli.
Namun demikian, pada saat itu KSEI berdasarkan surat tanggapannya Nomor KSEI-2498/DIR/0813 tanggal 16 Agustus 2013 menyatakan bahwa apabila Pemohon hendak menjual atau mengalihkan kepemilikan efek/ saham yang tersimpan di KSEI, Pemohon harus melaksanakan mekanisme dan prosedur peralihan kepemilikan saham sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU Pasar Modal. Dengan demikian, berdasarkan tanggapan tersebut Pemohon disyaratkan terlebih dahulu harus mendapatkan perintah/persetujuan dari pemegang efek (pemegang saham lama) atau kuasanya apabila hendak mengeluarkan saham. Dengan demikian, apabila tidak ada perintah secara tertulis dari pemegang saham lama atau kuasanya, maka KSEI tidak dapat memenuhi permintaan Pemohon untuk mengeluarkan atau membalik nama kepemilikan saham dari pemegang saham lama kepada calon investor/ pembeli sehingga Pemohon tidak dapat menjual saham Bank Gagal yang sahamnya diperjualbelikan di bursa.
Adanya tangggapan dari KSEI di atas menunjukkan bahwa KSEI tidak memandang Pemohon sebagai pihak yang telah diberikan kewenangan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id berdasarkan Undang-Undang guna memerintahkan KSEI untuk mengeluarkan saham dimaksud. Hal ini karena KSEI secara sempit telah memaknai bahwa yang dimaksud dengan frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas __ namanya” semata-mata __ adalah pihak yang diberikan surat pemberian kuasa oleh pemegang saham/pemegang rekening. Padahal kewenangan Pemohon untuk menjual saham pada Bank Gagal, termasuk saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa, telah diberikan secara langsung oleh Undang-Undang sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Berdasarkan penjelasan di atas, Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ” atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang. Hal ini karena apabila tidak dimaknai demikian maka penafsiran atas ketentuan tersebut telah dan dapat menghambat atau menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk menjual atau mengalihkan saham tersebut dalam rangka Pemohon menjalankan tugas dan kewenangannya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara melalui penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan. Selain itu, Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dalam Pasal 45 UU Pasar Modal bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang.Hal ini karena apabila ketentuan tersebut dimaknai secara sempit akan mengakibatkan Pemohon tidak dapat menjual atau mengalihkan saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa karena Kustodian tidak bersedia mengeluarkan efek atau saham tersebut Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tanpa adanya surat kuasa dari pemegang efek/pemegang saham lama kepada Pemohon.
Oleh karena itu, selanjutnya kami mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk menyatakan Pasal 45 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya pada frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” __ tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang. III.D Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS Khususnya Frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” Bertentangan Dengan Pasal Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 61. Pemohon mohon Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap frasa “sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam __ Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS karena frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), yang dimaksud dengan Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Dalam UU LPS terdapat banyak ketentuan yang menunjukkan bahwa Pemohon mempunyai hak untuk memperoleh dokumen, data atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank. Ketentuan- ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut: Pasal 8 ayat (1) UU LPS: “Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 9 UU LPS menyatakan: “Sebagai peserta Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, _setiap Bank wajib: _ e. memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan.” Pasal 16 ayat (2) UU LPS: ”LPS berhak memperoieh data Nasabah Penyimpan dan informasi lain yang diperlukan per tanggal pencabutan izin usaha dari LPP dan/atau bank dalam rangka penghitungan dan pembayaran klaim Penjaminan”. 64. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemohon secara nyata telah dikecualikan dari prinsip kerahasiaan bank karena faktanya Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya mempunyai hak untuk mendapatkan data, informasi atau dokumen yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank.
Selain itu, berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) Pemohon diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bank dalam rangka menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Pasal 42 UU OJK sebagai berikut: “Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”. 66. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, secara hukum Pemohon telah diberikan hak untuk mendapatkan data, dokumen, atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank. Namun demikian, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS terdapat frasa “sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS sebagai berikut: “Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal _5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: _ d. mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 67. Frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” tersebut dengan jelas melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya menjadi terabaikan. Dengan adanya frasa tersebut, Pemohon dan pihak lain yang memberikan informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank setiap saat dapat menghadapi dugaan pelanggaran tindak pidana karena dalam UU Perbankan terdapat sanksi pidana bagi pihak yang telah melanggar kerahasiaan perbankan.
Selain itu, frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS juga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Hal ini karena frasa tersebut mengakibatkan hak Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan kedudukan Pemohon sebagai Lembaga Penjamin Simpanan menjadi terabaikan atau terhambat.
Berdasarkan uraian di atas, Pemohon mohon Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pengujian Undang- Undang ini dengan menyatakan frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ dalam Pasal 6 ayat (1) UU LPS telah melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. III.E. Pengaturan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS Bertentangan Dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 70. Pemohon mohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitsi Yang Mulia menguji Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS karena ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di bawah ini. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 71. Pasal 30 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 72. Pasal 38 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 73. Pasal 42 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 74. Berdasarkan ketentuan di atas, Pemohon tidak memiliki pilihan lain selain wajib menjual saham Bank Gagal yang diselamatkan pada tahun terakhir, yaitu tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Yang dimaksud dengan tingkat pengembalian yang optimal adalah paling sedikit sebesar seluruh Penempatan Modal Sementara (PMS) yang dikeluarkan oleh Pemohon.
Penjualan pada tahun ke-5 atau ke-6 tersebut dilakukan apabila Pemohon tidak dapat menjual saham Bank Gagal minimal sesuai dengan tingkat pengembalian yang optimal dalam jangka waktu yang ditentukan beserta perpanjangannya sesuai yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (4) UU LPS. Jangka waktu untuk menjual saham Bank Gagal dengan memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal masing-masing selama 4 (empat) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tahun (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) dan 5 (lima) tahun (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Apabila dalam jangka waktu tersebut saham Bank Gagal tidak dapat dijual dengan memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal, maka pada tahun ke- 5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik), Pemohon menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal.
Adanya mekanisme penjualan di atas berkaitan dengan latar belakang Pemohon dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal bersifat sementara, sehingga dalam batas waktu tertentu Pemohon harus menjual seluruh saham Bank Gagal kepada calon investor tanpa perlu memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Tujuan pemohon untuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal juga bukan dalam rangka mencari keuntungan, melainkan semata-mata untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan melalui penyelamatan Bank Gagal, terutama Bank Gagal yang berdampak sistemik yang dapat merusak stabilitas sistem perbankan nasional.
Selain itu, apabila kepemilikan atas saham Bank Gagal tidak segera dilepaskan, maka Bank Gagal tersebut secara terus menerus akan membebani Pemohon serta tidak dapat dikeluarkan statusnya sebagai Bank Gagal dalam penanganan Pemohon. Oleh karena itu, dalam batas waktu tertentu atau pada tahun terakhir Pemohon menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal.
Namun demikian, persoalannya berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang dapat dialami Pemohon apabila nilai penjualan saham pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) berada di bawah tingkat pengembalian yang optimal (di bawah nilai PMS). Hal ini dapat saja terjadi sekalipun Pemohon telah menjual saham Bank Gagal tersebut secara terbuka dan transparan sesuai yang diamanatkan Pasal 30 ayat (2), Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (2) UU LPS. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 79. Berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar potensi adanya permasalahan hukum sangat mungkin terjadi karena hal tersebut mengakibatkan terdapat selisih kurang antara nilai PMS dengan hasil penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan. Oleh karena itu, apabila Pemohon terpaksa menjual saham Bank Gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai PMS, maka Pemohon dianggap telah merugikan keuangan negara sehingga lebih lanjut berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dihadapi oleh Pemohon.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dialami oleh Pemohon apabila Pemohon pada tahun ke- 5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) menjual saham Bank Gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai PMS, yaitu Pemohon dianggap telah merugikan keuangan negara.
Berkaitan dengan hal di atas, nilai PMS yang dikeluarkan oleh Pemohon tidak dapat begitu saja dijadikan sebagai patokan dalam menentukan nilai harga penjualan saham Bank Gagal. Hal ini karena nilai PMS pada dasarnya merupakan biaya ( cost ) yang harus dikeluarkan untuk melakukan penanganan dan penyelamatan Bank Gagal.
Fakta bahwa nilai PMS merupakan biaya adalah sesuai dengan Pasal 27, Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 41 ayat (2) UU LPS yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 27 UU LPS: “Seluruh biaya __ penyeiamatan bank yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank” Pasal 37 ayat (2) UU LPS: “Biaya penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank”. Pasal 41 ayat (2) UU LPS: “Seluruh biaya __ penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 83. Berdasarkan ketentuan di atas telah jelas bahwa penempatan modal sementara (PMS) merupakan biaya (cost) yang harus dikeluarkan oleh Pemohon dalam melakukan penyelamatkan dan penanganan Bank Gagal. Karena berdasarkan ketentuan tersebut nilai PMS merupakan biaya, maka apabila terdapat selisih kurang antara nilai PMS dengan nilai harga penjualan saham Bank Gagal, maka selisih tersebut juga harus dipandang sebagai biaya dan tidak dapat dipandang sebagai kerugian.
Selain itu, nilai harga penjualan saham Bank Gagal juga dipengaruhi atau tunduk pada mekanisme harga pasar ( benchmark ) pada saat dilakukan penjualan. Nilai penjualan saham Bank Gagal juga sangat bergantung atas penawaran harga terbaik ( best price ) yang disampaikan para calon investor/pembeli pada saat tender penjualan saham Bank Gagal. Kedua hal tersebut sepenuhnya berada di luar kendali Pemohon.
Lebih lanjut, penempatan modal sementara yang dilakukan LPS juga bukan bertujuan untuk mencari keuntungan ( non-profit oriented ), melainkan semata-mata untuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal dengan tujuan yang lebih penting, yaitu dalam rangka memelihara stabilitas sistem perbankan, sesuai dengan amanat Pasal 4 dan Pasal 5 UU LPS.
Namun demikian, berdasarkan penalaran yang wajar tetap terdapat potensi adanya permasalahan hukum di kemudian hari terhadap Pemohon apabila Pemohon menjual harga saham Bank Gagal pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) di bawah tingkat pengembalian yang optimal.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, kami mohon Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut. III.F. Pasal 85 ayat (2) dan (3) UU LPS Bertentangan Dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 89. Kami mohon Majelis Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS karena ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan penjelasan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS menyatakan: ”(2). Dalam hal LPS mengalami kesulitan Iikuiditas, LPS dapat memperoieh pinjaman dari Pemerintah. (3). Ketentuan mengenai tingkat Iikuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” 91. Dengan adanya kata ” dapat” maka dapat ditafsirkan bahwa tidak ada jaminan atau kepastian bagi Pemohon akan mendapatkan pinjaman dari Pemerintah pada saat Pemohon sedang mengalami kesulitan likuditas. Hal ini karena sifat pemberian pinjaman tersebut dapat dipandang bersifat optional.
Lebih lanjut, dalam Pasal 85 ayat (3) UU LPS juga tidak ada kejelasan/kepastian apakah Pemerintah akan membuat Peraturan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemerintah untuk mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena ketentuan tersebut hanya mengacu kepada tingkat Iikuiditas.
Sedangkan di sisi lain, Pemohon merupakan badan hukum publik yang menjalankan fungsi pemerintahan di bidang penjaminan dana nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Selain itu, Pemohon juga bertanggung jawab terhadap Presiden. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 2 dan Pasal 4 UU LPS.
Secara lebih spesifik, dalam rangka turut aktif dalam memelihara sistem perbankan, Pemohon mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik maupun penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 5 UU LPS.
Dengan demikian telah jelas bahwa status, kedudukan dan tugas dan fungsi Pemohon adalah dalam rangka menjalankan tugas dan kebijakan Pemerintah. Oleh karena itu, apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas dan mengajukan permintaan pinjaman dari Pemerintah, maka sudah seharusnya Pemerintah wajib memberikan pinjaman kepada Pemohon, dimana tata cara pemberian pinjamannya perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Perlu adanya kepastian dalam pemberian pinjaman dari Pemerintah tersebut karena dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya Pemohon dapat saja mengalami kekurangan Iikuiditas sewaktu-waktu akibat proses penyelesaian dan/atau penanganan Bank Gagal. Sedangkan di sisi lain, Pemohon mempunyai tugas yang sangat penting untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas perbankan sehingga Pemohon harus memastikan tersedianya Iikuiditas yang cukup dalam rangka menjalankan fungsi dan tugas tersebut.
Apabila terdapat permasalahan Iikuiditas pada Pemohon yang tidak dapat diatasi secara cepat,maka hal demikian dapat menjadi penghambat Pemohon untuk menjalankan tugas dan kewenangannya, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas sistem perbankan nasional. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 98. Perlunya LPS mendapatkan bantuan Iikuiditas dari Pemerintah tersebut sudah dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (3) UU LPS yang menyatakan dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan Iikuiditas atau modal dan cadangan penjaminan tidak cukup untuk membiayai penanganan Bank Gagal, Komite Koordinasi memutuskan bentuk bantuan dana bagi LPS termasuk tambahan modal.
Namun demikian, dengan adanya kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk mendapatkan pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas. Oleh karena itu, kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, kami mohon kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Selain itu, ketentuan Pasal 85 ayat (3) UU LPS juga telah melanggar Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dapat mengakibatkan tidak akan pernah ada Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena yang diamanatkan dalam ketentuan tersebut hanya mengenai tingkat likuiditas. Sedangkan di sisi lain ketentuan tersebut justru merujuk pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS yang mengatur mengenai pemberian pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas.
Oleh karena itu, kami mohon Majelis Hakim Yang Mulia Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas.
Lebih lanjut, sebagai konseksuensinya, Pemohon mohon Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas. IV. Permohonan Pemeriksaan Prioritas 103. Pemohon dengan ini mengajukan permohonan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar sekiranya memberikan prioritas untuk segera memeriksa dan memutus Permohonan ini dalam waktu yang sesegera mungkin sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku di Mahkamah Konstitusi.
Perlunya permohonan pengujian ini agar segera diperiksa dan diputus supaya segera adanya kepastian hukum bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan kewenangannya, termasuk guna menangani Bank Gagal baik yang tidak berdampak sistemik maupun berdampak sistemik.
Selain itu, pelaksanaan tugas, kewajiban dan kewenangan Pemohon juga akan dapat berjalan secara lebih efektif dan efisien apabila Mahkamah Konstitusi telah adanya kepastian dari Mahkamah Konstitusi mengenai hal-hal yang diajukan untuk diuji di hadapan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, kami mohon agar Majelis Yang Mulia Mahkamah Konstitusi dapat segera memeriksa dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini.
Sebagai informasi, pada tanggal 21 Maret 2014, Pemohon juga telah menyampaikan surat Nomor 0388/01/28/14 Perihal Permohonan Pemeriksaan Prioritas Perkara Nomor 27/PUU-XII/2014 yang telah disampaikan melalui kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dan telah diterima pada tanggal 21 Maret 2014, permohonan mana yang secara khusus berkenaan dengan permohonan pemeriksaan prioritas dimaksud. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id V. Petitum Berdasarkan uraian tersebut di atas dan bukti-bukti yang kami lampirkan, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk berkenan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini dengan amar putusan sebagai berikut: Primair 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namana” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang;
Menyatakan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang- Undang;
Menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum Lembaga Penjamin Simpanan secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum Lembaga Penjamin Simpanan secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Menyatakan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya kata ”dapat” pada ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya kata ”dapat” pada ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan likuiditas; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 11. Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat likuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Subsidair Bilamana setelah dengan seksama memeriksa Permohonan ini Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 dan bukti P-9, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 7. Bukti P-8 : Fotokopi Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 2013 tertanggal 12 Desember 2013;
Bukti P-9 : Fotokopi Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP- 050/DK/X/2013 tentang Perubahan Keputusan Dewan Komisioner Nomor 009/DK-LPS/VII/2006 tentang Tugas dan Wewenang Kepala Eksekutif untuk Melaksanakan Kegiatan Operasional tertanggal 31 Oktober 2013; Selain itu Pemohon juga mengajukan 3 (tiga) ahli yang menyampaikan keterangan secara lisan pada sidang tanggal 1 September 2014, yang pada pokoknya sebagai berikut.
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. LPS harus merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Sedangkan yang berdampak sistemik, LPS wajib untuk melaksanakan penanganan bank gagal tersebut. LPS adalah badan hukum yang dibuat oleh negara untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan demi stabilitas sistem keuangan berdasarkan apa yang telah diputuskan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Pasal 44 UU 21/2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan ditentukan bahwa untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota yang terdiri dari Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai selaku anggota. Begitu keputusan penyelamatan bank diambil, maka LPS terikat dengan keputusan tersebut tanpa dapat melakukan perlawanan [vide Pasal 45 ayat (5) UU OJK]. Dalam konteks penyelamatan perbankan, LPS bukanlah lembaga yang dapat melakukan langkah pilihan untuk melakukan penyelamatan atau tidak, meskipun boleh jadi telah tahu bahwa bank tersebut tidak sehat dan tidak dapat dipertahankan. Adalah tidak tepat secara hukum jika lembaga yang dibuat khusus untuk melakukan penyelamatan, namun tidak dapat menolak untuk melakukan penyelamatan, dan dalam kerja penyelamatan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 tersebut sangat mungkin mengeluarkan biaya-biaya penyelamatan yang karena tanpa perlindungan hukum maka dapat dianggap merugikan keuangan negara. Terdapat ketentuan bahwa bank gagal yang telah ditangani oleh LPS, wajib dijual pada batasan waktu tertentu, yaitu tahun yang ditentukan oleh UU LPS. Dalam tahapan pertama, harus berupa pengembalian secara optimal nilai uang berdasarkan penyertaan modal sementara yang diberikan oleh LPS. Jika dalam batas waktu tahun tertentu tidak bisa, maka dapat diperpanjang beberapa kali hingga batasan waktu yang ditentukan dapat dijual pada nilai penawaran tertinggi yang ada. Ketentuan seperti ini cukup aneh karena menempatkan LPS pada posisi tidak menguntungkan di hadapan pihak yang akan melakukan pembelian. Ketentuan seperti ini membuat LPS hampir dapat dipastikan selalu merugi oleh sikap pembeli yang akan menunggu hingga batas akhir penjualan untuk dapat membeli dengan harga yang terendah. Sikap pasar akan sangat mungkin menunggu hingga batas akhir penjualan, sehingga dapat membeli dengan harga yang sangat jauh dari nilai optimal. Ketentuan tersebut mengakibatkan posisi LPS tidak berimbang di hadapan para pembeli, apalagi tidak ada pula aturan yang dapat melindungi LPS dari kemungkinan tuduhan melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara, karena keuangan LPS juga berasal dari uang negara (vide Pasal 81). Model penjualan berbatas seperti yang diatur dalam pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon, sesungguhnya selama ini potensial mendatangkan kerugian keuangan negara. Dalam pembuatan peraturan perundangundangan, terdapat asas-asas yang penting untuk diperhatikan, antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara. Pasal-pasal yang diujikan telah menempatkan ketidakseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan bangsa dan negara yang diwakili LPS. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 Tindakan LPS dalam penyelamatan bank adalah menggunakan uang negara dan uang publik dalam premi yang dibayarkan oleh nasabah. Karena itu pasal-pasal yang dapat menyebabkan kerugian bagi LPS sebenarnya juga dapat menyebabkan kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang mereka bayarkan kepada LPS. Terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang dimintakan pengujian, yaitu:
pasal-pasal mengenai penjualan tersebut haruslah dibatalkan secara keseluruhan, dengan disertai tafsiran MK untuk menutup kemungkinan kevakuman aturan hukum mengenai mekanisme penjualan yang lebih berimbang, dan dapat menutup potensi kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang ada di LPS.
pasal-pasal tersebut tidak dibatalkan namun MK menentukan poin-poin yang harus dilakukan oleh LPS dalam meminimalisasi kemungkinan kerugian negara dan publik akibat pasal yang berpotensi merugikan tersebut. Ketika ada suatu hal yang dilanggar, misalnya tidak melakukan secara terbuka, tidak melakukan secara transparan, tidak memperlakukan sama semua penawaran, maka hal demikian dapat dianggap bagian dari intensi, dan karenanya dapat dipidana. Namun jika alat ukurnya dipenuhi, misalnya terbuka, transparan, memberikan kesempatan yang sama, dan alat ukur lain yang biasanya ada dalam hukum bisnis, maka tindakan demikian dianggap tindakan yang benar secara hukum.
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Pengertian keuangan negara dapat ditemukan dalam UU 31/1992 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 7 memberikan batasan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pasal 2 UU 17/2003 menyatakan bahwa keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 tersebut meliputi:
Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan, dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.
Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
Penerimaan negara.
Pengeluaran negara.
Penerimaan daerah.
Pengeluaran daerah.
Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri, atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
Kekayaan pihak lain yang dikelola dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pasal 6 ayat (1) UU BPK mengatur bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Dari ketiga Undang-Undang tersebut terdapat dua definisi tentang keuangan negara yang di dalamnya memasukkan kekayaan negara yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 dipisahkan sebagai bagian dari keuangan negara. Namun kedua definisi itu tidak memberikan batasan pengertian yang sama atau tolok ukur yang sama tentang apa yang merupakan unsur-unsur dari keuangan negara. UU 31/1999 juncto UU 20/2001 memberikan batasan pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, sedangkan UU 17/2003 juncto UU 15/2006 memberikan batasan pengertian keuangan negara lebih sempit, yaitu sebagai hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Dari sudut pandang hukum perdata, hukum bisnis merupakan objek hukum, sedangkan wujud dan unsurnya adalah hak dan kewajiban. Dari sudut pandang hukum bisnis, dia adalah subjek hukum. Subjek hukum adalah penyandang hak dan kewajiban. Badan hukum ( recht persoon atau legal body ) dalam teori hukum adalah subjek hukum di samping orang ( natuurlijk persoon ). Sedangkan harta kekayaan, zat, atau aset adalah segala sesuatu atau objek yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh suatu subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban itu. UU 31/1999 juncto UU 20/2001 mengartikan keuangan negara dari sudut pandang objeknya, sedangkan UU 17/2003 dan UU 15/2006 mengartikan keuangan negara dari sudut subjeknya. Dari sini jika masing-masing yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang tersebut tidak menggunakan kriteria atau pendekatan atau tolok ukur yang sama, dapat dipastikan dalam pelaksanaannya akan menimbulkan permasalahan. Definisi kerugian negara dalam tindak pidana korupsi justru tidak ditemukan dalam UU Tipikor, namun dapat ditemukan di UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 15/2006 tentang BPK. Dalam Pasal 1 angka 22 dan Pasal 1 angka 15 kedua Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kerugian uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Pengertian kerugian negara dalam UU Tipikor selalu merujuk kepada definisi kedua Undang-Undang tersebut. Berdasarkan Pasal 30 ayat (5) UU 24/2004 tentang LPS, untuk bank gagal yang tidak berdampak sistemik, ditentukan bahwa dalam hal tingkat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu satu tahun berikutnya. Menurut ahli, tahun yang dimaksud adalah tahun kelima. Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS menentukan bahwa dalam hal tingkat pengembalian yang optimal, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yaitu pada tahun kelima, maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat-ayat sebelumnya [yaitu ayat (2) dan ayat (3)] dalam jangka waktu satu tahun berikutnya. Tahun yang dimaksud adalah tahun keenam. Dari Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, dapat diketahui bahwa LPS mempunyai kewajiban untuk menjual saham yang berada dalam penanganannya, baik bank gagal yang tidak berdampak sistemik maupun bank gagal yang berdampak sistemik. Jika merujuk kepada Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, memang tidak ada kata wajib pada pasal tersebut. Apabila ketentuan ayat (5) tersebut dikaitkan dengan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS, maka perbuatan hukum melakukan penjualan pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa harus mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh LPS. Oleh karena itu, meskipun tidak ada kata wajib dalam ketentuan Pasal 42 ayat (5), namun kaidah tersebut harus diartikan bahwa LPS wajib menjual saham tersebut jika ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS telah dipenuhi. Ratio legis -nya bahwa LPS dalam penanganan atau penyelamatan bank gagal adalah tidak untuk maksud dan tujuan menguasai atau memiliki saham bank tersebut selamanya. Oleh sebab itu penempatan modal tersebut hanya bersifat temporer. Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, perbuatan hukum LPS menjual saham bank di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 penyertaan modal sementara adalah perbuatan hukum yang sah, yang dilindungi oleh UU LPS dan tidak dapat dikategorikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang dapat dikenai ancaman UU Tipikor. Jika dikaitkan dengan pengertian keuangan negara dan kerugian negara sebagaimana diatur di dalam UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, serta UU BPK, maka terdapat uang negara di LPS sebagai badan hukum publik, sebagai modal awal LPS yang diambil dari aset negara yang dipisahkan. Pasal 81 ayat (2) UU LPS mengatakan, Kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan.” Dari Pasal 2 ayat (1) UU LPS diketahui bahwa LPS didirikan atau dibentuk berdasarkan UU LPS, maka LPS adalah badan hukum yang didirikan oleh penguasa atau atas dasar kekuasaan umum, dalam hal ini pemerintah atau negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata, pemerintah yang menjalankan kekuasaan hukum dapat mendirikan perkumpulan atau suatu badan hukum untuk suatu tujuan tertentu. Dalam teori hukum, aset yang dipisahkan merupakan ciri utama dari suatu badan hukum. Aset yang dipisahkan yang dijadikan modal awal suatu badan hukum, termasuk di sini adalah modal awal LPS, secara hukum harus diakui sebagai aset LPS sebagai badan hukum. Tidak tepat jika aset tersebut diklaim atau dikategorikan sebagai bagian dari aset negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, UU BPK, atau undang-undang publik lainnya. Terdapat ketidakharmonisan antara UU LPS di satu pihak berhadapan dengan UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, dan UU BPK di pihak lain. Terdapat kegamangan pimpinan LPS jika harus melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, yaitu manakala penjualan saham bank gagal tersebut yang sudah dapat dipastikan akan terjadi di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai, di sisi lain akan dapat diartikan oleh aparat penegak hukum dengan menggunakan tolok ukur Undang-Undang lain, sebagai merugikan keuangan negara, yang ujungnya berpotensi dikenai UU Tipikor. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Doktrin hukum memberikan solusi terhadap ketidakharmonisan norma. Adagium lex specialis derogat legi generalis dan adagium lex posterior derogat legi priori dapat dipergunakan sebagai rujukan mencari jalan keluar atas ketidakharmonisan norma. Dalam risalah rapat proses pembahasan RUU LPS di DPR, terdapat keterangan bahwa UU LPS adalah hukum khusus. Jika pimpinan LPS membuat keputusan untuk menjual saham bank sebagai pelaksanaan Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS, yang sudah pasti berpotensi mengakibatkan kekurangan uang jika dibandingkan dengan modal awal atau penyertaan sementara awal pada saat menangani bank gagal, hal demikian tidak dapat dikualifikasikan atau dikategorikan sebagai kerugian negara. Rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sangat luas dan abstrak, sehingga memberikan ruang gerak yang luas bahkan cenderung eksesif. Penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa unsur melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yang berarti bahwa perbuatan yang dituduhkan tidak harus melanggar peraturan perundang-undangan. Perbuatan tersebut dikatakan melawan hukum kalau perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Kesimpulannya, jika pimpinan LPS melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 UU LPS, perbuatan hukum tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum yang tidak benar jika kemudian dimaknai secara berbeda menurut ketentuan undang-undang lain yang dapat dikualifikasikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang akhirnya akan dapat dikenai ketentuan UU Tipikor. Ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 apabila tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan LPS pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan tindakan yang sah menurut hukum. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 Dari perspektif hukum bisnis, kriteria sah adalah jika Pimpinan LPS sudah memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (5), Pasal 38, dan Pasal 42. Jika Pimpinan LPS menjual murah, tetapi ada intensi di dalamnya seperti menerima suap atau ada deal tertentu dengan calon investor, jelas hal demikian tidak sah.
Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum. Terdapat konflik norma antara UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Keuangan Negara di satu sisi, dengan UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN di sisi lain, khususnya berkaitan dengan terminologi keuangan negara. Konflik norma tersebut memberikan dampak adanya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan suatu Undang-Undang. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Ketigapuluh perbuatan tersebut dapat dibagi ke dalam tujuh kategori yang salah satu kategorinya adalah korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara (vide Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang a quo ). Apabila ketujuh kategori tersebut diperas lagi, maka sebenarnya inti tindak pidana korupsi adalah suatu penyuapan ( bribery ). Bila suatu perbuatan menjalankan tugas sebagai elemen negara atau pemerintah, terdapat penyuapan di dalamnya, maka tidak lain dan tidak bukan perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi. Kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi adalah suatu kerugian keuangan yang dialami negara akibat adanya penyuapan ( bribery ) dalam menjalankan tugas oleh instrumen negara atau pemerintah tersebut. Tidak setiap kerugian keuangan negara adalah tindak pidana korupsi, karena sangat mungkin bahwa kerugian keuangan negara tersebut diakibatkan suatu perbuatan yang secara murni masuk dalam ranah hukum perdata atau administrasi. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memuat dan mengatur hal-hal atau keadaan-keadaan yang mana telah terjadi kerugian negara namun bukan diakibatkan oleh suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, maka cukuplah dilakukan upaya hukum berupa gugatan perdata dengan tujuan utama mengembalikan kerugian keuangan negara. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Kerugian keuangan negara yang terjadi akibat suatu perbuatan pidana, tidak serta-merta merupakan tindak pidana korupsi. Beberapa undang- undang mengenal kerugian keuangan negara, tetapi tidak termasuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Antara lain, UU Pokok Ketentuan Perpajakan dan UU Perbankan. Apabila pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik, atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik, LPS secara transparan dan terbuka menjual saham bank gagal tersebut di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat penyertaan modal sementara, perbuatan demikian dapat dikualifikasikan sebagai kebijakan bisnis yang tentunya tidak terlepas dari adanya risiko bisnis. Skala kesalahan ( culpability scale ) dari Cooter dan Ullen yang dikutip Romli Atmasasmita, dipergunakan ahli sebagai parameter untuk menilai apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau tidak. Dalam skala tersebut, perbuatan pelaku bisnis ditempatkan di antara careful blameless dan negligent blameless dengan presumsi bahwa skala careful blameless berada di bawah negligent blameless , dan skala negligent blameless berada di bawah skala intentional blameless . Jika pelaku bisnis melampaui batas skala negligent blameless , maka yang bersangkutan telah memasuki lingkup batas yang disebut criminal wrongs , sehingga dapat dipidana. Adapun jika perbuatan pelaku bisnis masih dalam batas civil wrongs , maka terhadap yang bersangkutan masih dapat diterapkan penegakan hukum perdata ataupun administrasi. Hanya perbuatan yang telah melampaui batas ( cross-border ), kategori fault (kesalahan), dan memasuki kategori guilt (kesengajaan), ahli istilahkan dengan intention , yang dapat dijatuhi sanksi pidana. Jika hanya memenuhi parameter sebagai fault , maka cukup diberikan sanksi perdata atau peringatan tertulis. Tindakan penjualan yang dilakukan oleh LPS pada tahun kelima atau keenam, dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum dalam rangka melaksanakan kewajiban LPS yang tegas-tegas diatur dalam UU. Jadi terlihat dengan jelas adanya kewajiban hukum LPS untuk melakukan penjualan saham bank (vide Pasal 30, Pasal 38, Pasal 42 UU LPS). Adanya Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 kata wajib pada Pasal 30 ayat (1) tersebut membuat LPS tidak memiliki pilihan selain melaksanakan kewajiban untuk menjual seluruh saham bank gagal dan dalam batas waktu yang telah ditentukan UU LPS tanpa perlu memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal. LPS atau Pimpinan LPS tidak dapat dituntut atas perbuatan hukum yang dilakukannya karena apa yang dilakukan tersebut adalah perintah undang- undang, sehingga tidak ada sifat melawan hukumnya. Dengan kata lain, tindakan penjualan pada tahun kelima atau tahun keenam tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal yang dilakukan oleh LPS atau Pimpinan LPS merupakan tindakan yang sah. Subjek hukum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang, yaitu orang perseorangan, termasuk di dalamnya adalah korporasi. Adapun korporasi sendiri didefinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Melaksanakan perintah undang-undang sebagai alasan penghapus pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHP, memorie van Toelichting menjelaskan pasal tersebut sebagai berikut, yaitu tidaklah bertindak setiap orang yang menggunakan haknya untuk melakukan suatu perbuatan, yakni telah melakukan suatu berdasarkan perbuatan tertentu untuk menerapkan peraturan. Ketentuan Pasal 50 KUHP merupakan pertentangan antara dua kewajiban hukum, artinya perbuatan tersebut di satu sisi menaati peraturan, namun di sisi lain perbuatan tersebut melanggar peraturan yang lain. Oleh karena itu, untuk melaksanakan perintah Undang-Undang digunakan lesser evils principle atau teori tingkat kejahatan yang lebih ringan. Dengan demikian, melaksanakan perintah Undang-Undang merupakan dasar alasan pembenar yang menghapus elemen melawan hukumnya suatu perbuatan. Dalam melaksanakan perintah Undang-Undang, prinsip yang dipakai adalah subsidiaritas dan proporsionalitas. Prinsip subsidiaritas adalah melaksanakan peraturan undang-undang dan mewajibkan pelaku berbuat demikian. Prinsip proporsionalitas, yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum, maka kewajiban hukum yang lebih besarlah yang diutamakan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang- undang adalah karakter dari pelaku, yaitu apakah pelaku selalu melaksanakan tugas-tugas dengan itikad baik atau sebaliknya. Contoh melaksanakan perintah Undang-Undang adalah ketika seorang juru sita yang dalam rangka mengosongkan rumah menaruh barang-barang yang disitanya di jalan. Hal ini bertentangan dengan peraturan yang melarang menaruh barang-barang di jalan, akan tetapi perbuatan juru sita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam hal ini mengosongkan rumah, berdasarkan putusan pengadilan. Berdasarkan teori-teori di atas, disimpulkan bahwa seseorang atau badan hukum tidak dapat dituntut apabila melaksanakan tindakan yang diperintahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentunya menggambarkan tiada niat jahat dalam melakukan tugas tersebut. Dalam hukum pidana, niat jahat ( mens rea ) merupakan salah satu unsur mutlak untuk menentukan adanya suatu kesalahan pada diri pelaku perbuatan pidana. Dengan tiadanya kesalahan, maka tiada pindana di dalamnya ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, LPS atau Pimpinan LPS tidak dapat dituntut atau dengan kata lain tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila apa yang dilakukan tersebut adalah demi melaksanakan perintah undang-undang, dalam hal ini UU LPS. Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan LPS pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum LPS secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut. Orang yang telah melaksanakan perintah Undang-Undang sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Undang-Undang tersebut termasuk parameternya, dia tidak dapat dituntut secara pidana. Untuk mengukur apakah seseorang memiliki intensi atau tidak, hal demikian tidak mungkin terlepas dari kasus konkret. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Ketika seorang pejabat telah bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang, maka dia memiliki kekebalan dalam pengertian tidak dapat dituntut. (atas pertanyaan Majelis) Dalam kasus Syahril Sabirin, Hakim menilai terdapat intensi sehingga Syahril Sabirin sebagai Gubernur BI dianggap mendapat intervensi. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan __ secara __ lisan dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 dan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 15 September 2015, sebagai berikut. I. Sesuai dengan tembusan surat kuasa hukum Pemohon kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 0849/04/28/06/14 tanggal 13 Juni 2014 ( copy terlampir) bahwa LPS bermaksud mencabut sebagian materi pengujian sehingga yang tetap dimohonkan pengujiannya adalah terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS. II. Sesuai dengan hasil persidangan di Mahkamah Konstitusi tanggal 1 September 2014, Majelis Hakim telah menetapkan bahwa permohonan Pemohon tersebut di atas telah dicatat secara resmi sehingga yang dimohonkan pengujiannya hanya Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5). Oleh karena itu, dalam Keterangan Presiden ini kami hanya memberikan keterangan sekaligus kesimpulan terkait dengan pasal yang dimohonkan pengujiannya sebagai berikut: A. Bahwa dalam permohonannya, Pemohon pada pokoknya keberatan atas ketentuan dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Lembaga Penjamin Simpanan mengenai penjualan seluruh saham bank gagal dengan nilai penjualan paling sedikit sebesar Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS. B. Ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 ayat (5), ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Pasal 36 ayat (5), ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Pasal 42 ayat (5) UU LPS, ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Terhadap permohonan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah mendukungnya karena telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengenai substansi permohonannya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. C. Bahwa menurut Pemohon, adanya pengaturan mengenai penjualan seluruh saham Bank Gagal dengan nilai penjualan paling sedikit sebesar Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS, yang terdapat dalam beberapa pasal tersebut di atas, dianggap telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu hak untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum, sebagai lembaga yang tugas, fungsi dan kewajibannya antara lain:
Menjamin dan melaksanakan simpanan nasabah penyimpan;
Turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan;
Merumuskan dan menetapkan kebijakan penjaminan;
Menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, Pemohon menganggap beberapa ketentuan tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. D. Bahwa menurut Pemohon, pelanggaran hak konstitusional tersebut didasarkan atas penalaran yang wajar, yakni apabila penjualan saham tersebut dilakukan tanpa memperhatikan nilai PMS yang telah dikeluarkan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 oleh Pemohon, maka Pemohon khawatir tindakan penjualan dimaksud dianggap telah merugikan keuangan negara. E. Terhadap upaya permohonan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah mendukungnya karena telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengenai substansi permohonannya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. III. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah mendukung langkah yang ditempuh oleh Pemohon khususnya terkait dengan pengujian terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, sehingga tidak Iagi ada kekhawatiran bagi LPS dalam penjualan saham dimaksud, dan menyerahkan keputusannya kepada Mahkamah Konstitusi. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan __ secara __ tertulis tanpa tanggal bulan September 2014, sebagai berikut.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohin sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terkait dengan kedudukan hukum ( Iegal standing ) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.
Pokok Pengujian UU LPS Terhadap permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 Undang LPS serta Pasal 45 Undang-Undang Pasar Modal, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa terkait dalil Pemohon menyangkut Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang- Undang LPS sepanjang frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” yang dianggap menimbulkan hambatan bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang LPS dan berpotensi akan menghadapi permasalahan hukum karena terdapat sanksi pidana dalam Undang-Undang Perbankan terhadap pihak- pihak yang melanggar kerahasiaan Bank, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa prinsip kerahasiaan bank harus dipegang teguh oleh siapa saja demi menjaga kepercayaan nasabah karena bisnis perbankan pada dasarnya merupakan bisnis kepercayaan. Namun demikian tidak ada hukum tanpa pengecualian. Dalam berbagai peraturan perundang- undangan yang didalamnya terdapat ketentuan mengenai kerahasiaan hampir selalu terdapat pengecualian-pengecualian, tidak terkecuali di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) itu sendiri. Tentu saja dalam UU Perbankan tidak menyebut secara tertulis LPS sebagai pihak yang dapat dikecualikan dalam hal kerahasiaan bank, yang dapat dipahami karena UU Perbankan ada sebelum lahirnya LPS. Jika ditarik kembali kepada UU LPS [Pasal 6 ayat (1) huruf d] maka sesungguhnya celah dalam UU Perbankan tersebut dengan sendirinya dapat ditutupi. Selain Pasal 6 ayat (1) huruf d, keberwenangan dalam mendapatkan data-data perbankan juga telah diberikan dalam Pasal 16 ayat (2) UU LPS bahwa LPS berhak memperoleh data Nasabah Penyimpan dan informasi lain yang diperlukan per tanggal pencabutan izin usaha dari LPP dan/atau bank dalam rangka perhitungan dan pembayaran klaim Penjaminan.
Adapun mengenai frasa ” sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank ” seharusnya dipahami dalam konteks bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, sebuah lembaga juga harus tunduk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan tidak boleh melakukan ” abuse of power ” atau menyalahgunakan wewenang. Rambu-rambu tentang bagaimana memperoleh data-data perbankan yang diperlukan dalam konteks terkait pelaksanaan tugas dan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 wewenang lembaga tertentu dan bagaimana penggunaannya telah diatur dalam UU Perbankan secara komprehensif. Dari ketentuan dalam UU Perbankan tersebut dapat dipahami bahwa kerahasiaan bank hakekatnya dapat buka/dikecualikan jika diperlukan untuk kepentingan pelaksanaan tugas pihak-pihak terkait yang berwenang. Bagaimana LPS memperoleh data-data perbankan juga sesungguhnya telah diatur dalam penjelasan dari Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS itu sendiri yang menyatakan ”data dan Iaporan dapat diperoleh langsung dari bank atau dari LPP yang isi dan mekanismenya diatur dalam nota kesepakatan antara LPS dan LPP”. Artinya LPS dalam memperoleh data-data perbankan tetap berada dalam koridor yang diatur UU Perbankan maupun UU LPS itu sendiri. Demikian pula terkait kerahasiaan data jika merujuk kepada risalah pembahasan UU LPS dikatakan bahwa kepentingan LPS menyangkut data nasabah penyimpan, data kesehatan bank, bukan bersifat data individual. Lagi pula LPS juga harus mendapat persetujuan dari LPP (sebagai otoritas berwenang mengawasi perbankan) berdasarkan nota kesepakatan yang dibuat dengan LPS. Oleh karenanya, maka kekhawatiran Pemohon akan terkena sanksi pidana karena melanggar kerahasiaan bank dalam UU Perbankan sesungguhnya tidak beralasan.
Bahwa terkait Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS sepanjang frasa ”..., maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya”, yang dianggap Pemohon menimbulkan potensi adanya permasalahan hukum di kemudian hari terhadap Pemohon apabila Pemohon menjual harga saham Bank Gagal pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) di bawah tingkat pengembalian yang optimal yang dikaitkan dengan adanya hambatan karena berlakunya Pasal 45 UU Pasar modal sepanjang frasa ”pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya”. Terhadap dalil Pemohon ini dapat dijelaskan bahwa sesungguhnya LPS dengan undang-undang organiknya telah diberi dasar hukum yang kuat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. LPS diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk melakukan tindakan- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 tindakan yang dianggap perlu termasuk di antaranya dalam penyelesaian dan penanganan Bank Gagal yang tercantum di dalam Pasal 6 ayat (2) UU LPS, berupa:
mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan;
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank; dan
menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewaiiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Adapun terkait Pasal 45 UU Pasar Modal sesungguhnya pasal tersebut dapat dipahami sebagai norma umum yang berlaku dalam pasar modal. Perintah tertulis dari pemegang rekening atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas nama pemegang rekening diperlukan karena hakekatnya efek yang disimpan atau dicatat pada rekening efek bukan merupakan harta kustodian. Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang LPS (khususnya dalam melaksanakan tugasnya mengusahakan tingkat pengembalian yang optimal dengan menjual saham bank), LPS dengan kewenangannya yang diberikan undang-undang dengan sendirinya dapat mengenyampingkan mekanisme yang berlaku umum sebagaimana terdapat dalam Pasal 45 UU Pasar Modal. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan pertanggungjawaban pemegang saham bank yang bermasalah yang harus ditangani oleh LPS. Karena tugas LPS yang utama ketika terjadi penutupan bank, selain membayar penjaminan adalah mengembalikan dana peminjaman, sehingga LPS dalam hal ini diberi kewenangan untuk menggantikan kedudukan RUPS agar dapat menjual asset bank yang bersangkutan. Jika tidak demikian, maka tujuan dari dibentuknya LPS sebagai bagian dari sistem untuk mendukung terciptanya perbankan yang sehat dan stabil, akan sulit tercapai. Oleh karenanya. keberadaan Pasal 45 UU Pasar Modal dan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, bukan lah sesuatu hal yang harus dipertentangkan. UU LPS yang bersifat lebih khusus dalam hal-hal yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 belum diatur dalam UU Pasar Modal dan terbentuk lebih akhir, sesungguhnya dapat dilihat sebagai ketentuan pelengkap dari yang sudah ada sebelumnya.
Bahwa terkait dalil Pemohon terhadap Pasal 85 ayat (2) sepanjang kata ”dapat”, ditafsirkan oleh Pemohon bahwa tidak ada jaminan atau kepastian bagi Pemohon akan mendapatkan pinjaman dari Pemerintah pada saat Pemohon sedang mengalami kesulitan likuiditas. Demikian pula terhadap Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang LPS yang dianggap Pemohon tidak memberikan kepastian apakah Pemerintah akan membuat Peraturan Pemerintah untuk mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena ketentuan tersebut hanya mengacu kepada tingkat likuiditas, sedangkan ketentuan mengenai perlunya pembuatan Peraturan Pemerintah justru mengacu kepada Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang LPS. Terhadap dalil Pemohon sepanjang mengenai kata ”dapat” dalam Pasal 85 ayat (2) dapat diberikan penjelasan bahwa sesungguhnya kata ”dapat” dimaksudkan sebagai bentuk fakultatif yang kejadiannya digantungkan kepada ada atau tidaknya kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya tindakan tertentu, dalam hal ini pemberian pinjaman Pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditas LPS. Dengan kata Iain, pinjaman dari Pemerintah dapat diberikan jika diperlukan untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Terhadap Pasal 85 ayat (3) tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari Pasal 85 ayat (2) dimana mengenai tingkat likuiditas dari LPS ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya, ukuran atau parameter LPS dianggap mengalami kesulitan likuiditas mengacu kepada tingkat likuiditas LPS yang ditetapkan Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 10 September 2014 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 September 2014, dan Presiden menyampaikan kesimpulan tanpa tanggal yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 September 2014, yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendirian; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608, selanjutnya disebut UU Pasar Modal), Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963, selanjutnya disebut UU LPS) yang menyatakan: UU Pasar Modal Pasal 45 : “Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang rekening atau Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya,” khususnya __ frasa “ atau Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya.” UU LPS Pasal 6 ayat (1) huruf d : “ Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang _sebagai berikut:
.. d. mendapatkan data simpanan_ nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank, ” khususnya frasa “ sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pasal 30 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 38 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 42 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 85 ayat (2) : “ Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah, ” khususnya kata “ dapat ”. Pasal 85 ayat (3) : “ Ketentuan mengenai tingkat likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. ” terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yang menyatakan: Pasal 1 ayat (3) : “ Negara Indonnesia adalah negara hukum. ” Pasal 28C ayat (2) : “ Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. ” Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” . Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan __ _a quo; _ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), dan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut: [3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai badan hukum publik bernama Lembaga Penjamin Simpanan, yang diwakili oleh Kepala Eksekutif bernama Kartika Wirjoatmodjo, yang hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), dan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. Menurut Pemohon pasal dan/atau ayat dimaksud menghambat pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangan Pemohon untuk menjual seluruh saham Bank Gagal, bahkan pasal dan/atau ayat tersebut menimbulkan potensi Pemohon dianggap melakukan tindak pidana kejahatan serta merugikan keuangan negara. [3.9] Menimbang bahwa kedudukan Pemohon sebagai Lembaga Penjamin Simpanan, yang dalam perkara pengujian Undang-Undang ini diwakili oleh Kepala Eksekutif, telah dibuktikan dengan Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 2013, bertanggal 12 Desember 2013 dan Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP- 050/DK/X/2013 tentang Perubahan Keputusan Dewan Komisioner Nomor 009/DK- LPS/VII/2006 tentang Tugas dan Wewenang Kepala Eksekutif Untuk Melaksanakan Kegiatan Operasional, bertanggal 31 Oktober 2013 (vide bukti P-8 dan bukti P-9 ). Menurut Mahkamah, pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) berupa potensi timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon. Potensi kerugian konstitusional demikian dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 Pendapat Mahkamah [3.11] Menimbang bahwa Kepaniteraan Mahkamah telah menerima Surat Nomor 0849/04/28/06/14 perihal “Perkara No. 27/PUU-XII/2014”, bertanggal 13 Juni 2014, dari Pemohon yang pada pokoknya mencabut sebagian pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, yaitu Pasal 45 UU Pasar Modal, Pasal 6 ayat (1), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. Adapun Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS tetap dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya. Pencabutan atau penarikan sebagian permohonan dimaksud ditegaskan kembali oleh Pemohon di hadapan sidang pleno pemeriksaan pada tanggal 1 September 2014; [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pencabutan/penarikan sebagian permohonan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menyatakan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 45 UU Pasar Modal, Pasal 6 ayat (1), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS terhadap UUD1945 telah ditarik kembali. Sebagai konsekuensi hukum dari penarikan/pencabutan tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU MK, Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas pasal-pasal dimaksud terhadap UUD 1945; Pokok Permohonan [3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap permohonan pengujian konstitusional yang diajukan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut. Pasal 30 ayat (5) UU LPS [3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 30 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang tidak berdampak sistemik, pada tahun kelima tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Adapun menurut Pasal 30 ayat (3), Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 42 ayat (3) UU LPS, tingkat pengembalian optimal adalah sebesar minimal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 seluruh penempatan modal sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh Pemohon. Sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil Pemohon tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa secara hukum LPS adalah badan hukum independen yang memiliki fungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan [vide Pasal 4 UU LPS]. Untuk menjalankan fungsi tersebut, LPS memiliki tugas yang salah satunya adalah melaksanakan penanganan Bank Gagal, baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik [vide Pasal 5 ayat (2) UU LPS]. [3.14.1] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, makna/arti Pasal 30 ayat (5) UU LPS tidak dapat dilepaskan dari makna/arti Pasal 30 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU LPS, yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut: Pasal 30 ayat (1) : “ LPS wajib menjual seluruh saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ”. Pasal 30 ayat (2) : “ Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. ” Pasal 30 ayat (3) : “ Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. ” Pasal 30 ayat (4) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun. ” Pasal 30 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” [3.14.2] Menimbang bahwa dari rangkaian ketentuan Pasal 30 UU LPS serta pasal dan/atau ayat lain dalam UU LPS yang terkait dengan Pasal 30 tersebut, Mahkamah menemukan adanya ketentuan bahwa dalam hal penyelamatan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, LPS memiliki kewajiban untuk mengelola Bank Gagal tersebut dan kemudian wajib menjual saham Bank Gagal tersebut maksimal dalam waktu 5 (lima) tahun sejak RUPS bank bersangkutan menyerahkan segala hak dan wewenangnya kepada LPS. Jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun tersebut merupakan akumulasi dari jangka waktu selama 2 (dua tahun) yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1); ditambah jangka waktu perpanjangan selama 1 (satu) tahun kali 2 (dua) yang diatur dalam Pasal 30 ayat (4); dan ditambah selama 1 (satu) tahun lagi yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5) UU LPS. Bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (5) UU LPS menurut Mahkamah memang menunjukkan adanya kewajiban bagi LPS untuk menjual saham Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik tersebut selambat-lambatnya pada tahun kelima meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. Dengan perkataan lain, ketentuan tersebut memerintahkan LPS untuk menjual saham Bank Gagal, yang tidak berdampak sistemik tersebut, meskipun terdapat potensi kerugian bagi LPS, yaitu kerugian, dalam arti nilai jual saham Bank Gagal tidak sepadan dengan nilai Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS dalam pengelolaan Bank Gagal tersebut. [3.14.3] Menimbang bahwa menurut Pemohon, seandainya terjadi kerugian atau selisih kurang antara nilai Penempatan Modal Sementara (PMS) dengan hasil penjualan saham Bank Gagal, Pemohon akan potensial dianggap merugikan keuangan negara, karena modal sementara yang ditempatkan Pemohon pada Bank Gagal tersebut adalah uang negara dan kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan [vide Pasal 81 ayat (2) UU LPS]. Dengan mengingat adanya potensi bagi Pemohon untuk dianggap merugikan keuangan negara sebagaimana diuraikan di atas maka Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 30 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh LPS pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik tanpa memperhatikan tingkat pengembalian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan yang karena itu tidak dapat dituntut di muka hukum. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa tindakan penjualan saham Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik oleh LPS di tahun kelima, meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, tidak dapat dimaknai lain selain sebagai perintah UU LPS, terutama Pasal 30 ayat (5). Menurut Mahkamah rumusan makna Pasal 30 ayat (5) telah sangat jelas dan tidak dapat dimaknai atau ditafsirkan lain selain sebagai perintah kepada LPS untuk melaksanakan penjualan saham bank dan atas dasar perintah Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, meskipun nilai jual Bank Gagal tersebut tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal. Mahkamah menilai bahwa UU LPS merupakan Undang-Undang yang memerintahkan kepada LPS untuk menjual aset Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik sehingga apabila hal itu dilakukan meskipun dengan harga yang tidak optimal tidak dapat digolongkan merugikan keuangan negara. Oleh karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, sepanjang telah memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 30 ayat (2) UU LPS, yaitu penjualan dilakukan secara terbuka dan transparan. Makna ketentuan Pasal 30 ayat (5) menurut Mahkamah telah menjamin dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum bagi LPS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, sehingga keberadaan norma pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 38 ayat (5) UU LPS [3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 38 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik dengan penyetoran modal oleh pemegang saham, pada tahun keenam tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Menurut Pemohon, sebagaimana halnya dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) UU LPS, ketentuan Pasal 38 ayat (5) memunculkan potensi bahwa Pemohon akan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 dianggap merugikan keuangan negara ketika nilai penjualan Bank Gagal dimaksud kurang dari tingkat pengembalian optimal yang dikehendaki oleh UU LPS. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat pengaturan penjualan Bank Gagal yang berdampak sistemik, dalam kaitannya dengan tingkat pengembalian yang optimal dan jangka waktu penanganan Bank Gagal tersebut oleh LPS, yang diatur dalam Pasal 38 ayat (5) UU LPS, memiliki kesamaan substansi dengan pengaturan penjualan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5) UU LPS, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada paragraf [3.14.1] sampai dengan paragraf [3.14.3] . Dengan demikian, menurut Mahkamah substansi pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14.3] berlaku mutatis mutandis bagi pertimbangan hukum pengujian konstitusionalitas Pasal 38 ayat (5) UU LPS. Mahkamah menegaskan bahwa tindakan penjualan saham Bank Gagal yang berdampak sistemik oleh LPS di tahun keenam, meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, tidak dapat dimaknai lain selain sebagai perintah Undang-Undang, yaitu Pasal 38 ayat (5) UU LPS. Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, meskipun nilai jual Bank Gagal tersebut tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, selama penjualan dimaksud dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU LPS. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menilai ketentuan Pasal 38 ayat (5) UU LPS tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan pengujian konstitusionalitas pasal a quo tidak beralasan menurut hukum. Pasal 42 ayat (5) UU LPS [3.16] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 42 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, pada tahun keenam tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Menurut Pemohon, sebagaimana halnya dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS, ketentuan Pasal 42 ayat (5) memunculkan potensi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 bahwa Pemohon akan dianggap merugikan keuangan negara ketika nilai penjualan Bank Gagal dimaksud kurang dari tingkat pengembalian optimal yang dikehendaki oleh UU LPS. Substansi permohonan Pemohon mengenai Pasal 42 ayat (5) UU LPS menurut Mahkamah sama dengan substansi permohonan Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Terkait dengan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang a quo , tingkat pengembalian optimal yang dimaksud adalah tingkat pengembalian optimal yang diatur dalam Pasal 42 ayat (3) UU LPS. Oleh karena secara substansi permohonan tersebut memiliki kesamaan maka menurut Mahkamah pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14.3] berlaku mutatis mutandis bagi pertimbangan hukum pengujian konstitusionalitas Pasal 42 ayat (5) UU LPS. Tindakan LPS pada tahun keenam menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, meskipun nilai jualnya tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, menurut Mahkamah tindakan tersebut adalah perintah Undang-Undang, yaitu perintah Pasal 42 ayat (5) UU LPS. Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 42 ayat (5) UU LPS tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon mengenai pasal a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, serta fakta bahwa pemaknaan atas Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, ternyata sesuai, sama atau tidak berbeda dengan makna Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, sehingga menurut Mahkamah tidak diperlukan pemaknaan baru atas pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya tersebut. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 Dengan demikian Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS yang dimohonkan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR P UTU S AN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal delapan belas bulan November tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan bulan Januari tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pada pukul 16.04 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Patrialis Akbar ttd. Wahiduddin Adams ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Petunjuk Penyusunan dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang masa berlakunya dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berkenaan.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN, adalah dokumen hasil penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang memuat alokasi anggaran menurut Program dan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Subfungsi adalah penjabaran lebih lanjut dari fungsi yang terinci ke dalam beberapa kategori.
Program adalah penjabaran kebijakan Kementerian Negara/Lembaga yang berisi 1 (satu) atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi yang dilaksanakan instansi atau masyarakat dalam koordinasi Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Hasil ( Outcome ) adalah kinerja atau sasaran yang akan dicapai dari suatu pengerahan sumber daya dan anggaran pada suatu program dan kegiatan.
Indikator Kinerja Utama Program yang selanjutnya disebut IKU Program adalah alat ukur utama (indikator unggulan) yang mencerminkan kinerja Program.
Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh 1 (satu) atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program yang terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik berupa personel (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan ( input ) untuk menghasilkan keluaran ( output ) dalam bentuk barang dan jasa.
Indikator Kinerja Kegiatan yang selanjutnya disingkat IKK adalah tolok ukur sebagai dasar penilaian kinerja Kegiatan.
Keluaran ( output ) adalah barang atau jasa yang dihasilkan atas pelaksanaan dari 1 (satu) atau beberapa paket pekerjaan yang tergabung dalam kegiatan.
Jenis Belanja adalah klasifikasi ekonomi dalam standar statistik keuangan pemerintah.
Rencana Penarikan Dana adalah rencana penarikan kebutuhan dana bulanan yang dibuat oleh PA/KPA untuk pelaksanaan kegiatan selama 1 (satu) tahun anggaran.
Perkiraan Penerimaan adalah rencana penerimaan bulanan yang dibuat oleh PA/KPA, yang diperkirakan akan diterima selama 1 (satu) tahun anggaran.
Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian Negara/Lembaga yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa kegiatan yang membebani dana APBN.
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tah ...
Relevan terhadap
(1) Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai pengusul rancangan undang-undang, diprioritaskan untuk ditugaskan membahas rancangan undang-undang. (2) Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) langsung bertugas membahas rancangan undang-undang. • Berdasarkan Pasal 130 dan Pasal 131 Tata Tertib DPR di atas maka alat kelengkapan DPR bertugas membahas Rancangan Undang-Undang setelah ada penugasan terlebih dulu dari Badan Musyawarah (BAMUS). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tenggang waktu satu bulan pembahasan RUU APBN-P setelah diajukan oleh Pemerintah adalah setelah alat kelengkapan DPR ditugaskan terlebih dulu oleh BAMUS. Dalam perkara a quo dimulainya pembahasan RUU APBN-P 2012 di DPR adalah pada tanggal 6 Maret 2012 (vide keterangan tertulis DPR) sehingga masa berakhirnya satu bulan adalah 4 April 2012. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa UU 4/2012 melewati waktu satu bulan adalah tidak beralasan menurut hukum; 138 • Mengenai dalil para Pemohon bahwa persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 menjadi Undang-Undang yang dilakukan oleh Rapat Paripurna DPR RI dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 31 Maret 2012 yang merupakan hari libur dan bukan hari kerja, menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 219 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan “ penyimpangan dari waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan ” juncto Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan, “ Ketua rapat menunda penyelesaian acara rapat untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya atau meneruskan penyelesaian acara rapat atas persetujuan rapat apabila acara yang ditetapkan untuk suatu rapat belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 telah berakhir”. Dengan mendasarkan pada Pasal 219 ayat (2) dan Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR-RI, menurut Mahkamah, dalil Pemohon bahwa Undang-Undang APBN Perubahan ditetapkan pada hari libur dan bukan hari kerja adalah tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut sejalan dengan keterangan tertulis DPR, bertanggal Juni 2012, halaman 15 sampai dengan halaman 17; • Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai pengujian formil UU 4/2012 tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum; Pengujian Materiil [3.16] Menimbang bahwa dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Namun, pembentukan Undang- Undang APBN berbeda dengan pembuatan Undang-Undang pada umumnya, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan Undang-Undang pada umumnya pengajuan RUU merupakan kewenangan DPR dan juga dapat diajukan oleh Presiden. Undang-Undang APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan Undang-Undang pada umumnya yang tidak membatasi jangka berlakunya. UU APBN diperlukan adanya setiap tahun, dan apabila Undang-Undang APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. 139 Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum, mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan. Dari segi substansi, Undang-Undang APBN adalah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran. Pilihan kebijakan tersebut menyangkut perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan. Sebagai Undang-Undang yang mempunyai kekuatan mengikat, Undang-Undang APBN mengikat Pemerintah dalam menghimpun pendapatan baik dari aspek jumlah maupun sumber pendapatan tersebut dan demikian juga halnya dalam pembelanjaannya. Sebagai rencana maka Undang-Undang APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut: [3.17.1] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya; • Bahwa Pemerintah tidak pernah mempublikasikan secara terbuka kepada masyarakat Indonesia mengenai alasan, dasar, dan mekanisme penghitungan perubahan subsidi pada Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang pada faktanya nominal yang dialokasikan bertambah dalam jumlah yang besar. Masyarakat Indonesia hanya mengetahui proses Sidang Paripurna yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2012 yang hanya membahas mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012, sedangkan perubahan pasal lain dalam UU 4/2012 dibahas oleh Badan Anggaran DPR RI dengan mekanisme Sidang Tertutup untuk umum. Hal ini jelas tidak ada mekanisme keterbukaan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; __ • Bahwa terhadap jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan, seharusnya Pemerintah mengalokasikan dana tersebut pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara 140 Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya, serta pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi sesuai dengan amanat Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; • Dengan Pemerintah menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka secara jelas Pemerintah telah salah dalam menentukan kebijakan ( beleid ) dan telah salah urus, karena seharusnya Pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menyandarkan jumlah subsidi dengan mekanisme pasar sehingga frasa “ dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ” tidak akan pernah terwujud. Hal demikian mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena BBM beserta subsidinya tidak akan pernah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Dari ketentuan tersebut maka proses pembahasan dan penetapan UU 4/2012 menurut Mahkamah telah selaras dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; __ • Dilihat dari segi substansi UU APBN yang merupakan rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran, dan UU APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran. Oleh karena itu perubahan jumlah Anggaran tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair [ liquefied petroleum gas (LPG)] tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 yang direncanakan sebanyak Rp. 123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh 141 puluh empat juta rupiah) bertambah menjadi sebanyak Rp 137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 (empat puluh juta) kilo liter dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah dikarenakan asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian. Adapun perubahan APBN dalam UU 4/2012 memiliki dasar pertimbangan sebagai berikut: __ i. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, telah terjadi perubahan dan perkembangan pada faktor internal dan eksternal, sehingga asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam APBN 2012 sudah tidak relevan dan perlu disesuaikan;
ii. Tingkat inflasi dalam tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 6,8% (enam koma delapan persen), lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju inflasi yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2012. Peningkatan laju inflasi ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya harga beberapa komoditas internasional, juga dipengaruhi oleh rencana kebijakan administered price di bidang energi dan pangan; iii. Nilai tukar rupiah dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per satu dolar Amerika Serikat, melemah dari asumsinya dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Pelemahan ini didorong antara lain oleh ketidakpastian ekonomi global yang diprediksi berlanjut pada tahun 2012;
iv. Harga minyak internasional pada awal tahun 2012 mengalami peningkatan seiring dengan terbatasnya pasokan minyak mentah dunia terkait ketegangan geopolitik di negara-negara teluk yang mempengaruhi pasokan minyak mentah dunia;
Kenaikan tersebut juga terjadi pada ICP, yang cenderung meningkat, jika dibandingkan dengan harga rata-ratanya selama tahun 2011. Perkembangan ini diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun 2012 sehingga asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama tahun 142 2012 diperkirakan mencapai US$105,0 (seratus lima koma nol dolar Amerika Serikat) per barel;
vi. Lifting minyak dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai 930 (sembilan ratus tiga puluh) ribu barel per hari, di bawah target dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Hal ini antara lain terkait dengan menurunnya kapasitas produksi dari sumur-sumur tua, dan dampak diberlakukannya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, penurunan tersebut juga dipengaruhi faktor unplanned shut down dan hambatan non-teknis seperti permasalahan di daerah dan lain-lain; vii. Perubahan pada besaran asumsi dasar ekonomi makro, pada gilirannya berpengaruh pula pada besaran APBN, dan akan diikuti dengan perubahan kebijakan fiskal dalam upaya untuk menyehatkan APBN melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat yang aman. (vide keterangan tertulis DPR); • Pasal 27 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 menyatakan, “ Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2012 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun _Anggaran 2012, apabila terjadi: _ i. perkiraan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi _yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2012; _ _ii. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; _ iii. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran _antarunit organisasi, antarprogram, dan/atau antarjenis belanja; dan/atau _ iv. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan” . • Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan hukum; 143 • Keinginan para Pemohon mengenai pengalihan subsidi pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya sebagaimana didalilkan, menurut Mahkamah adalah keinginan yang wajar, namun tidak berarti bahwa subsidi yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 menjadi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena hak yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, tidak hanya menjadi kewajiban Pemerintah untuk memenuhinya tetapi juga kewajiban para Pemohon sendiri untuk mengusahakannya. Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah salah satu cara Pemerintah sebagai representasi negara memenuhi Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan hukum; • Bahwa selanjutnya mengenai dalil para Pemohon bahwa dengan menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah, sebagaimana diketahui oleh khalayak ramai ( notoire feiten ), hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah memutuskan untuk memberi kewenangan kepada Pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP ) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun 2012. Menurut Mahkamah, justru dengan adanya pembahasan antara Pemerintah dengan DPR tersebut berarti harga BBM bersubsidi tidak diserahkan pada mekanisme pasar atau persaingan usaha, melainkan ditentukan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan yang terjadi karena APBN berkaitan dengan banyak aspek. Dengan adanya pembahasan dan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah berarti penentuan harga BBM bersubsidi tersebut tidak dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar atau persaingan usaha karena penentuan harga BBM bersubsidi telah dimusyawarahkan oleh pembentuk Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004. Terlebih lagi faktanya, yang dikhawatirkan bahwa harga BBM akan mengalami kenaikan juga tidak terjadi. Dengan demikian, alasan pengujian para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang telah menyerahkan harga BBM bersubsidi kepada mekanisme pasar merupakan dalil yang tidak beralasan hukum; [3.17.2] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 mengizinkan Pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP ( Indonesia Crude Price ) naik rata-rata 15% (lima belas persen) dalam enam bulan tanpa persetujuan DPR sebagai wakil rakyat; • Selama Pemerintah menyandarkan penghitungan ICP pada mekanisme pasar maka penggunaan BBM untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak akan pernah terwujud. Pemerintah hanya akan mengutamakan aspek ekonomi, yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. Hal demikian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan ketidakpastian hukum di masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM dan ketidakjelasan kapan dan berapa jumlah kenaikan harga BBM dalam jangka waktu enam bulan. Ketidakpastian hukum itu sendiri telah mengakibatkan ketidakadilan karena rakyat menjadi korban akibat ketidakpastian harga BBM namun harga-harga non BBM sudah terlanjur banyak yang naik, sedangkan pasar justru menikmati ketidakpastian ini dengan menaikkan harga-harga kebutuhan masyarakat sehingga tetap mendapatkan laba tertinggi dan tetap dapat melakukan akumulasi modal; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar yang menyebabkan Pemerintah mengutamakan aspek ekonomi yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi daripada kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, harus ada kedaulatan negara dalam menentukan harga 145 tanpa bersandar pada mekanisme pasar demi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian keberlakuan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 berpotensi menyebabkan kerugian bagi para Pemohon (buruh) dan masyarakat karena tidak dapat membeli harga BBM dengan harga ekonomis dan mendapatkan fungsi dari BBM yang sejatinya diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 menyatakan, “ Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya ”. Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) dinyatakan bahwa “ Yang dimaksud dengan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama 6 (enam) bulan terakhir ”. Dari Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berarti Pemerintah menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena pemberian wewenang kepada Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam pasal a quo adalah berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Waktu enam bulan justru memberikan kepastian hukum, karena Pemerintah harus memperhatikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu enam bulan sejak UU 4/2012 tersebut diundangkan (31 Maret 2012) baru dapat menyesuaikan harga BBM. Jika dalam kurun waktu enam bulan tersebut harga rata-rata minyak mentah Indonesia __ tidak mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 maka harga jual eceran BBM bersubsidi tidak disesuaikan. Terlebih lagi faktanya harga eceran BBM bersubsidi juga tidak mengalami kenaikan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adanya pertentangan antara Pasal 7 ayat (6a) dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan hukum; 146 • Mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 yang oleh para Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena menyandarkan pada mekanisme pasar, menurut Mahkamah dalil tersebut telah dipertimbangkan Mahkamah dalam pertimbangan mengenai Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 dalam paragraf [3.17.1] , sehingga mutatis mutandis juga berlaku untuk dalil permohonan a quo . Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17.3] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 15A UU 4/2012 tidak dibahas dalam Sidang Paripurna tanggal 30 Maret 2012 dan telah ditentukan terlebih dahulu dalam rapat Badan Anggaran DPR RI yang tertutup untuk umum. Hal demikian mengakibatkan tidak adanya keterbukaan dalam proses penyusunan Pasal 15A UU 4/2012; • Pasal 15A UU 4/2012 tentang besaran alokasi dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menjadi tidak logis dan tidak mempunyai dasar karena telah ditentukan terlebih dahulu sebelum ditentukan masuk atau tidaknya Pasal 7 ayat (6a) dalam UU 4/2012 yang menjadi syarat dari Pasal 15A UU 4/2012. Oleh karena itu, menurut para Pemohon Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; • Dengan adanya Pasal 15A UU 4/2012 dimana Pemerintah mengalokasikan dana subsidi yang tidak jelas dasar dan tujuan kegunaannya daripada menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak dapat merasakan manfaat secara langsung dari APBN 2012. Hal demikian jelas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 147 • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”, menurut Mahkamah frasa “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah terhadap pelaksanaan dari APBN yang setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang, sedangkan yang didalilkan oleh para Pemohon “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah berkaitan dengan proses penetapan APBN. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tafsiran terbuka yang termuat dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 seperti yang didalilkan para Pemohon adalah kurang tepat. Dengan demikian, menurut Mahkamah, keterbukaan yang dimaksudkan oleh para Pemohon tidak ada kaitannya dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan hukum; • Mengenai keterbukaan dalam proses pembahasan dan penetapan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana yang diterangkan oleh DPR dalam keterangan tertulisnya bertanggal Juni 2012, bahwa proses pembahasan dilakukan dalam suatu Rapat Kerja yang bersifat terbuka, sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Tata tertib DPR Nomor 01/DPR RI/I/2009-2010 dan berdasarkan risalah-risalah Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan dalam pembahasan RUU APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 bahwa rapat bersifat terbuka dimana masyarakat dapat mengikuti proses rapat dan substansi yang dibahas (vide keterangan tertulis DPR halaman 21). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan hukum; • Pasal 15A UU 4/2012 menyatakan, “Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp. 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun 148 delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan (safeguarding)” . Ketentuan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 karena bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp.
088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) diberikan sebagai akibat gejolak harga ketika Pemerintah menaikkan harga eceran BBM bersubsidi. Hal tersebut sesuai dengan keterangan tertulis Pemerintah tanggal 1 Agustus 2012, halaman 17 yang menerangkan bahwa “ penyesuaian harga BBM bersubsidi tersebut berpotensi menaikkan harga pangan dan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Penyesuaian harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan naiknya inflasi menjadi di atas 7 persen, yang berpotensi menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran, serta dapat mengganggu keberlanjutan program pendidikan terutama bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 15A UU APBN- P 2012, pembuat undang-undang menetapkan program kompensasi atas penyesuaian harga BBM bersubsidi sebagai langkah antisipasi. Program kompensasi tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat miskin dari kemungkinan kenaikan harga, terutama dari jasa transportasi, serta mengurangi beban biaya hidup rumah tangga dan memberikan kompensasi biaya hidup _yang meningkat”; _ Bahwa Pasal 15A UU 4/2012 adalah pasal tambahan yang sebelumnya tidak terdapat dalam UU 22/2011. Hal demikian dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan, “Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran”. Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa “ Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan .” Oleh karena itu, pengalokasian anggaran untuk bantuan langsung 149 sementara masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A UU 4/2012 merupakan bentuk pengeluaran yang dapat timbul akibat adanya kebijakan kenaikan dan/atau penurunan subsidi harga eceran BBM; Menimbang bahwa selain pertimbangan-pertimbangan yang bersifat substantif tersebut, dalam praktik dan faktanya tidak terjadi kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam waktu enam bulan terakhir sejak UU 4/2012 diundangkan sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012. Pemberian wewenang kepada Presiden untuk mengubah harga BBM bersubsidi sesuai dengan Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, sudah terlampaui baik dihitung sejak Januari tahun 2012 maupun dihitung sejak diundangkannya UU 4/2012, tanggal 31 Maret 2012, sehingga pasal tersebut tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon tentang pengujian formil Undang-Undang masih dalam tenggang waktu yang ditentukan; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 150 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan : Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi para Pemohon; Dalam Pokok Permohonan: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan, bulan November, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu dua belas , selesai diucapkan pukul 15.32 WIB oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai 151 Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Achmad Sodiki ttd. Harjono ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva ttd. M. Akil Mochtar ttd. Anwar Usman PANITERA PENGGANTI, ttd. Cholidin Nasir
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik
Relevan terhadap
RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal wajib menaati rencana dasar teknik penyiaran.
Rencana ...
Rencana dasar teknik penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat hal-hal yang berkaitan dengan pendirian stasiun penyiaran sebagai berikut:
arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya, dan kondisi lingkungan lainnya;
pedoman propagasi maksimum dan pengembangan wilayah jangkauan penyiaran, penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyiaran, pemanfaatan teknologi baru, dan penggelaran infrastruktur penyiaran;
pedoman mengenai daftar uji pemeriksaan sendiri;
pedoman pengamanan dan perlindungan sistem peralatan terhadap lingkungan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari institusi terkait.