Penataan Ruang
Relevan terhadap
Ayat (1) Strategi dan struktur tata ruang wilayah Daerah Tingkat I dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I memperhatikan antara lain:
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
pokok permasalahan kepentingan nasional;
pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat nasional;
modal dasar pembangunan Daerah Tingkat I;
potensi dan tata guna sumber daya di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
daya dukung dan daya tampung lingkungan;
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I lainnya yang berbatasan;
keselarasan dengan aspirasi pembangunan dan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Ayat (2) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serupa Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I adalah kebijaksanaan yang memberikan arahan tata ruang untuk kawasan, dan wilayah dalam skala propinsi yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang. Ayat (3) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Dengan demikian, maka pemanfaatan ruang untuk menyusun rencana pembangunan di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I harus tetap memperhatikan Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I. Ayat (4) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I disusun dengan perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 15 tahun. Apabila jangka waktu 15 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun, Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 15 tahun apabila strategi pemanfaatan ruang dan struktur tata ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Nasional. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi dan struktur tata ruang yang ditetapkan pada 15 tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran. Ayat (5) Cukup jelas
Ayat (1) Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal II dan Pasal 14. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat 11 memperhatikan antara lain:
kepentingan nasional dan Daerah Tingkat I;
arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat Nasional dan Propinsi Daerah Tingkat I;
pokok permasalahan Daerah Tingkat II dalam mengutamakan kepentingan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
keselarasan dengan aspirasi masyarakat;
persediaan dan peruntukan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya;
daya dukung dan daya tampung lingkungan;
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II lainnya yang berbatasan. Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II adalah kebijaksanaan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan. Ayat (2) Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan pengelolaan lingkungan, penatagunaan air, penatagunaan tanah, dan penatagunaan udara merupakan satu kesatuan dalam Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Ayat (3) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam menetapkan ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang sudah ditetapkan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II disusun dengan perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 10 tahun. Apabila jangka waktu 10 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang dan masyarakat yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun, dan Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 10 tahun apabila strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan dinamika pembangunan. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada 10 tahun dilakukan minimal 5 tahun sekali. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran. Ayat (6) Cukup jelas
Kejaksaan Republik Indonesia
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 1991 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO 18 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1991 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Pembangunan hukum nasional adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka pembangunan hukum, upaya pembaharuan hukum dan pemantapan kedudukan serta peranan badan-badan penegak hukum secara terarah dan terpadu dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu berbagai peraturan perundang-undangan dan perangkat hukum yang dipandang sudah tidak sesuai lagi, baik dengan kebutuhan pembangunan dan kesadaran hukum serta dinamika yang berkembang dalam masyarakat maupun dengan prinsip negara berdasarkan atas hukum, perlu ditinjau dan diperbaharui. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi yang mengatur dan menetapkan kedudukan, tugas, dan wewenang kejaksaan dalam kerangka sebagai alat revolusi dan menempatkan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketata-negaraan yang berlaku. 19 Demikian juga sejumlah tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana mengalami perubahan yang mendasar dalam kaitan dengan sistem peradilan pidana terpadu sebagaiman diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, maka Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi yang semangat dan materi muatannya tidak lagi mencerminkan kenyataan yang ada dan sudah tidak memenuhi kebutuhan pembangunan perlu diperbaharui. Pembaharuan Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia diarahkan dan dimaksudkan untuk memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan agar lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila, sebagai negara yang sedang membangun. Oleh karena itu kejaksaan wajib mengamankan dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia terhadap usaha-usaha yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebernaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan 20 pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan rakyat melalui penegakan hukum. Dalam rangka memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan sesuai dengan sistem pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini menegaskan bahwa kedudukan kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. Guna memungkinkan terlaksananya tugas dan wewenang kejaksaan dengan lebih baik dan untuk lebih mengembangkan profesionalisme jaksa, maka jaksa ditetapkan sebagai pejabat fungsional. Dengan adanya jabatan fungsional memungkinkan jaksa berdasarkan prestasinya mencapai pangkat puncak. Disamping memantapkan kedudukan, organisasi, jabatan, tugas dan wewenang kejaksaan, Undang-undang ini menetapkan pula :
Kewenangan kejaksaan untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan, dengan 21 pembatasan-pembatasan tertentu. Pemeriksana tambahan dilakukan untuk memperoleh kepastian penyelesaian perkara dalam rangka pelaksanaan asas peradilan cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan serta menjamin kepastian hukum, hak-hak asasi pencari keadilan, baik tersangka, terdakwa, saksi korban, maupun kepentingan umum.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah di dalam atau di luar pengadilan. Sebagai negara hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat akan banyak ditemukan keterlibatan dan kepentingan hukum dari negara atau pemerintah di bidang perdata dan tata usaha negara, baik dalam kedudukan sebagai tergugat maupun penggugat atau sebagai pihak yang mempunyai kepentingan hukum di luar pengadilan yang dapat diwakilkan kepada kejaksaan.
Di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan seperti upaya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan pengamanan kebijakan penegakan hukum. Upaya peningkatan kesadaran hukum masyarakat dilakukan antara lain dengan penyuluhan dan penerangan hukum. Sedangkan pengamanan kebijakan penegakan hukum dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan preventif dan represif melalui dukungan intelijen yustisial kejaksaan.
Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Undang-undang ini mengatur pula tugas dan wewenang Jaksa Agung menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas wewenang kejaksaan, menyampingkan perkara demi kepentingan umum, dan wewenang 22 yang berkaitan dengan pemberian pertimbangan teknis hukum dalam penyelesaian kasasi, grasi, dan pencegahan atau larangan terhadap orang-orang tertentu untuk masuk ke dalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana. Selain itu karena jabatannya, Jaksa Agung berwenang mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden, dengan memperhatikan asas hukum yang berlaku. II. PASAL DEMI PASAL
Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Relevan terhadap
Ayat (1) Yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah isteri atau suami, keturunan sedarah dari tenaga kerja menurut garis lurus ke bawah, dan garis lurus ke atas, dihitung sampai derajat kedua termasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus ke atas dan ke bawah tidak ada, diambil garis ke samping dan mertua. Bagi tenaga kerja yang tidak mempunyai keluarga, hak atas Jaminan Kematian dibayarkan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari tenaga kerja yang bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Dalam hal magang atau murid, mereka yang memborong pekerjaan, dan narapidana meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas Jaminan Kematian. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan biaya pemakaman antara lain pembelian tanah, peti mayat, kain kafan , transportasi, dan lain-lain yang bersangkutan dengan tata cara pemakaman sesuai dengan adat-istiadat, agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta kondisi daerah masing-masing tenaga kerja yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, maka hak atas Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala, diberikan kepada janda atau duda, atau anak yatim piatu. Apabila tenaga kerja meninggal dunia sebelum hak Jaminan Hari Tua timbul, maka.hak atas Jaminan Hari Tua tersebut diberikan kepada janda atau duda, atau anak yatim piatu secara sekaligus atau berkala. Yang dimaksud dengan yatim piatu adalah anak yatim atau anak piatu, yang ada pada saat janda atau duda meninggal dunia masih menjadi tanggungan janda atau duda tersebut. Pasal 15 Yang dimaksud dengan masa kepesertaan tertentu adalah jangka waktu tenaga kerja telah mencapai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Pembayaran Jaminan Hari Tua berdasarkan masa kepesertaan tertentu dapat diberikan kepada tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Pasal 16 Ayat (1) Upaya pemeliharaan kesehatan meliputi aspek-aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara tidak terpisah-pisah. Namun demikian khusus untuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja lebih ditekankan pada aspek kuratif dan rehabilitatif tanpa mengabaikan dua aspek lain. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat pertama adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilakukan di Pelaksana Pelayanan kesehatan tingkat pertama. Huruf b Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat lanjutan adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang merupakan rujukan (lanjutan) dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat jalan tingkat pertama. Huruf c Yang dimaksud dengan rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau rumah sakit Pelaksana Pelayanan Kesehatan lain. Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat inap:
rumah sakit pemerintah pusat dan daerah;
rumah sakit swasta yang ditunjuk. Huruf d Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan. Huruf e Yang dimaksud dengan penunjang diagnostic adalah semua pemeriksaan dalam rangka menegakkan diagnosa yang dipandang perlu oleh pelaksana pengobatan lanjutan dan dilaksanakan di bagian diagnostic, rumah sakit atau di fasilitas khusus untuk itu, meliputi:
pemeriksaan laboratorium;
pemeriksaan radiologi;
pemeriksaan penunjang diagnosa lain. Huruf f Yang dimaksud dengan pelayanan termasuk perawatan khusus adalah pemeliharaan kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit tertentu serta pemberian alat-alat organ tubuh agar dapat berfungsi seperti semula, yang meliputi:
kaca mata;
prothese gigi;
alat bantu dengar;
prothese anggota gerak;
prothese mata. Huruf g Yang dimaksud dengan keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan pemeriksaan medis segera, yang apabila tidak dilakukan akan menyebabkan hal yang fatal bagi penderita. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Daftar keluarga merupakan keterangan penting sebagai bahan untuk menetapkan siapa yang berhak atas jaminan atau santunan. Hal ini untuk mencegah agar hak tersebut tidak jatuh kepada orang lain yang bukan keluarganya. Daftar upah diperlukan untuk menentukan besarnya iuran dan jaminan atau santunan yang menjadi hak tenaga kerja. Daftar kecelakaan kerja diperlukan untuk mengetahui tingkat keparahan dan frekuensi kecelakaan kerja di perusahaan yang gunanya untuk tindakan preventif dan pelaksanaan pembayaran jaminan atau santunan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Sesuai dengan tahap perkembangan pembangunan nasional yang berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat pada umumnya dan perusahaan pada khususnya dalam membiayai program jaminan sosial tenaga kerja maupun kemampuan administrasi, dipandang perlu diadakan pentahapan kepesertaan. Ayat (2) Pada prinsipnya semua tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja. Dengan adanya pentahapan kepesertaan dan tidak diberlakukannya lagi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia, maka terdapat tenaga kerja yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap risiko kecelakaan kerja. Sesuai dengan prinsip risiko pekerjaan (risque profesionnel) dimana risiko ditimpa kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan merupakan tanggung jawab pengusaha, maka pengusaha yang belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja tetap bertanggung jawab atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerjanya. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Kecelakaan kerja pada dasarnya merupakan suatu risiko yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Oleh karena itu, pembiayaan-program ini sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha, sedangkan jaminan sosial tenaga kerja lebih menekankan kepada aspek kemanusiaan, dimana pengusaha perlu memperhatikan nasib tenaga kerja serta keluarganya. Oleh karena itu, beban Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dan Jaminan Kematian (ditanggung oleh pengusaha. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal pengusaha yang telah mempunyai itikad baik untuk membayar iuran dan mengumpulkan iuran tenaga kerjanya, tetapi ternyata terlambat membayarkan kepada Badan Penyelenggara dari waktu yang ditentukan, dapat diwajibkan membayar tambahan presentase pembayaran yang diperhitungkan dengan keterlambatannya. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Dalam rangka memberikan pelayanan, acara cepat kepada tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan, maka Badan Penyelenggara perlu segera mengadakan perhitungan, dan secepatnya membayarkan jaminan dimaksud kepada yang berhak. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dalam hal ketetapan Menteri belum ada, maka untuk mempercepat dan memperlancar pemberian Jaminan Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerja, maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menetapkan sementara kecelakaan kerja, dan besarnya jaminan setelah memperoleh pertimbangan dokter penasihat, sedangkan penetapan akhir oleh Menteri. Yang dimaksud dengan dokter penasihat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atas usul dan diangkat oleh Menteri untuk keperluan pelaksanaan Undang-undang ini. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Bentuk Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud adalah Perusahaan Perseroan (PERSERO). Mengingat luasnya program dan besarnya jumlah kepesertaan maka program jaminan sosial tenaga kerja bila dipandang perlu dapat diselenggarakan oleh lebih dari satu Badan Usaha Milik Negara. Ayat (3) Mengingat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja melaksanakan program peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja yang dananya berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja, maka Badan Usaha Milik Negara yang diserahi tugas menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, sudah sewajarnya mengutamakan pelayanan kepada peserta di samping melaksanakan prinsip solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas. Dengan demikian Badan Penyelenggara dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik dan dapat membiayai kebutuhannya sendiri sebagai perusahaan, sehingga tidak akan membebani anggaran belanja Negara. Pasal 26 Yang dimaksud dengan tidak lebih dari 1 (satu) bulan adalah setelah dipenuhinya syarat-syarat teknis dan administratif oleh pengusaha dan atau tenaga kerja. Pasal 27 Pemberian peranan kepada unsur tenaga kerja, unsur pengusaha bersama-sama dengan unsur pemerintah dalam penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja akan meningkatkan rasa ikut memiliki, dan rasa ikut bertanggung jawab dalam rangka upaya menyukseskan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja, mengingat sebagian besar dari kekayaan yang dimiliki oleh Badan Penyelenggara berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja. Pasal 28 Upaya pengamanan kekayaan/asset Badan Penyelenggara dan investasinya harus memenuhi syarat aman, memberikan hasil, memenuhi kewajiban (likuid), dan diversifikasi dalam bentuk yang menguntungkan serta mencegah risiko yang tidak diinginkan. Mengingat program jaminan sosial tenaga kerja menyangkut kepentingan tenaga kerja yang sebagian besar mereka yang berpenghasilan rendah, maka upaya pengamanan kekayaan baik investasi, pengelolaan maupun penyimpanan uang harus terjamin. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas
Penataan Ruang.
Relevan terhadap
Ayat (1) Strategi dan struktur tata ruang wilayah Daerah Tingkat I dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I memperhatikan antara lain:
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
pokok permasalahan kepentingan nasional;
pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat nasional;
modal dasar pembangunan Daerah Tingkat I;
potensi dan tata guna sumber daya di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
daya dukung dan daya tampung lingkungan;
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I lainnya yang berbatasan;
keselarasan dengan aspirasi pembangunan dan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Ayat (2) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serupa Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I adalah kebijaksanaan yang memberikan arahan tata ruang untuk kawasan, dan wilayah dalam skala propinsi yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang. Ayat (3) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Dengan demikian, maka pemanfaatan ruang untuk menyusun rencana pembangunan di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I harus tetap memperhatikan Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I. Ayat (4) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I disusun dengan perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 15 tahun. Apabila jangka waktu 15 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun, Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 15 tahun apabila strategi pemanfaatan ruang dan struktur tata ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Nasional. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi dan struktur tata ruang yang ditetapkan pada 15 tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran. Ayat (5) Cukup jelas
Ayat (1) Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal II dan Pasal 14. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat 11 memperhatikan antara lain:
kepentingan nasional dan Daerah Tingkat I;
arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat Nasional dan Propinsi Daerah Tingkat I;
pokok permasalahan Daerah Tingkat II dalam mengutamakan kepentingan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
keselarasan dengan aspirasi masyarakat;
persediaan dan peruntukan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya;
daya dukung dan daya tampung lingkungan;
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II lainnya yang berbatasan. Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II adalah kebijaksanaan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan. Ayat (2) Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan pengelolaan lingkungan, penatagunaan air, penatagunaan tanah, dan penatagunaan udara merupakan satu kesatuan dalam Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Ayat (3) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam menetapkan ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang sudah ditetapkan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II disusun dengan perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 10 tahun. Apabila jangka waktu 10 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang dan masyarakat yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun, dan Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 10 tahun apabila strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan dinamika pembangunan. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada 10 tahun dilakukan minimal 5 tahun sekali. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran. Ayat (6) Cukup jelas
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pokok Pokok Perbankan.
Relevan terhadap
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 49. Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perbankan 1967". Saat mulai berlakunya Undang- undang ini ditentukan oleh Menteri Keuangan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran- Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1967. Pejabat Presiden Republik Indonesia, ttd SOEHARTO Jenderal T.N.I. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1967. Sekretaris Kabinet Ampera, ttd LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 34 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1967 TENTANG POKOK-POKOK PERBANKAN. A. PENJELASAN UMUM.
Sesuai dengan jiwa dan makna Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966, maka usaha untuk menuju ke arah perbaikan ekonomi rakyat, adalah penilaian kembali dari pada semua landasan- landasan kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan, dengan maksud untuk memperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang diusahakan dan tujuan yang hendak dicapai, yakni masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Panca Sila. Berhubung dengan itu maka kini telah tiba waktunya untuk menilai kembali tata perbankan yang sekarang berlaku dalam Negara Republik Indonesia sedemikian rupa, hingga dapat disesuaikan dan diserasikan dengan landasan- landasan yang telah ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut di atas. Pengaturan kembali tata perbankan di Indonesia wajib dilandaskan pada pembinaan sistim ekonomi Indonesia berdasarkan Pancasila yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi dan yang bertujuan menciptakan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, maka segala potensi, inisiatif dan daya kreasi rakyat wajib dimobilisasikan dan diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum, sehingga dengan demikian segala kekuatan ekonomi potensiil dapat dikerahkan menjadi kekuatan ekonomi riil bagi kemanfaatan peningkatan kemakmuran rakyat. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka pengaturan tata perbankan perlu dilandaskan pada hal-hal seperti berikut:
Tata-perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistim yang menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur seluruh perbankan di Indonesia serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter Pemerintah di bidang perbankan.
Memobilisasikan… b. Memobilisasikan dan memperkembangkan seluruh potensi Nasional yang bergerak di bidang perbankan berdasarkan azas-azas demokrasi ekonomi.
Membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut huruf b bagi kepentingan perbaikan ekonomi rakyat. II. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka tata-perbankan di Indonesia, baik mengenai organisasi maupun strukturnya dibentuk sedemikian rupa, hingga Bank Indonesia sebagai Bank Sentral membimbing pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan mengkoordinir, membina serta mengawasi semua perbankan. Bank-bank, baik milik negara ataupun swasta/koperasi, membantu Bank Sentral dalam melaksanakan tugasnya di bidang moneter. Dalam hubungan ini, maka tugas pokok dari pada perbankan di bawah bimbingan Bank Indonesia ialah untuk menghimpun segala dana-dana dari masyarrakat guna diarahkan ke bidang-bidang yang mempertinggi taraf hidup rakyat. Sesuai dengan skala/prioritas nasional sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966, maka khususnya bagi Bank-bank Pemerintah perlu ditetapkan prioritas-prioritas yang harus diutamakan dalam pengarahan penggunaan perkreditannya, agar supaya dengan demikian usaha-usaha ke arah peningkatan kapasitas produksi dapat dilaksanakan, termasuk penyediaan kredit untuk melayani kebutuhan masyarakat tani, nelayan dan industri kecil/kerajinan, di mana kredit tersebut sejauh mungkin akan disalurkan melalui koperasi-koperasi. Mengingat bahwa masyarakat tersebut diliputi golongan yang lemah ekonominya, tetapi merupakan dasar bagi ekonomi kita yang harus diperkuat dan dibina, maka suatu kebijaksanaan ter- tentu/tersendiri harus digariskan oleh Pemerintah, di mana Pemerintah kalau perlu akan memikul beban-beban tertentu sebagai akibat dari kebijaksanaan tersebut. Untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, maka perlu dihindarkan hambatan-hambatan dan birokrasi, yaitu dengan jalan dikonsentrasi management ke daerah-daerah dengan memperhatikan kondisi-kondisi daerah, guna menjamin kesatuan ekonomi dan kesatuan politik nasional. Dengan berlakunya Undang-undang tentang Pokok-pokok Perbankan ini, maka tidak ada lagi kegiatan di bidang perbankan yang menimpang dari ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. B. PENJELASAN… B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Ayat (1) :
dan (3) : Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksudkan ialah kantor cabang dan perwakilan, baik di dalam maupun di luar negeri. Pasal 6. Ayat (1) . (2) dan (3) : Cukup jelas. Ayat (4) : Sebelum memangku jabatannya, para anggota Direksi harus mengucapkan sumpah jabatan menurut peraturan yang berlaku. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Direksi, harus dipenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini:
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
Setia kepada Pancasila;
Berwibawa;
Jujur;
Cakap/ahli;
Adil;
Tidak terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam gerakan kontra Revolusi G-30S/PKI atau organisasi-organisasi terlarang lainnya. Dalam…. Dalam mengangkat seseorang menjadi Direktur, harus diperhatikan pula, agar jangan sampai ia mempunyai kepentingan-kepentingan lain di luar bank yang dapat berlawanan dengan atau merugikan kepentingan bank. Pasal 7. Ayat (1);
;
dan (4) : Cukup jelas. Pasal 8. Ayat (1) Mengingat pentingnya peranan bank dalam bidang ekonomi dan keuangan dan mengingat pula pentingnya fungsi modal dalam bank, maka untuk dapat mendirikan suatu bank diharuskan adanya modal dibayar yang cukup besar sehingga untuk biaya-biaya pembuatan/penyediaan gedung dan peralatan bank tidak dipergunakan uang simpanan para nasabah. Khususnya mengenai permodalan bank, maka syarat-syarat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan hanya berlaku bagi pendirian bank-bank baru, hingga tidak mempunyai daya surut dan tidak diberlakukan terhadap bank-bank yang sudah ada. Perizinan-perizinan sebagai yang dimaksudkan, diberikan dengan mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Disamping syarat-syarat mengenai permodalan, pemilikan saham dan pimpinan/pegawai bank, Menteri Keuangan mempunyai wewenang untuk jika perlu menetapkan syarat-syarat tambahan, antara lain dalam hubungannya dengan kehendak yang riil dan urgensi dari pendirian suatu bank pada suatu tempat/daerah menurut kondisi sosial-ekonomis dari tempat/daerah yang bersangkutan. Syarat tambahan tersebut diperlukan guna menjuruskan perbankan kepada norma- norma penyelenggaraan usaha bank secara sehat dan guna menyesuaikannya dengan kebijaksanaan moneter Pemerintah. Pasal 9. Ayat (1) : Penjelasan dalam pasal 8 berlaku pula bagi bank yang berbentuk hukum koperasi. Perbedaannya terletak terutama pada kebijaksanaan yang diambil oleh Pemerintah berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 yang menghendaki agar supaya kegorong-royongan yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk koperasi, dijadikan suatu wahana yang esensiil dalam kegiatan Rakyat di bidang ekonomi dan keuangan. Dalam hubungan dengan kebutuhan modal, kepada bank diberikan fasilitas dalam bentuk kesempatan untuk mengangsur kekurangan modalnya dalam waktu 1 (satu) tahun, sebagaimana ditetapkan dalam pasal ini. Dalam… Dalam melaksanakan ketentuan tersebut di atas seyogyanya pendirian bank umum berbentuk hukum koperasi itu dilakukan oleh badan-badan hukum koperasi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi sektor koperasi untuk mendirikan bank umum, karena sebagaimana kita maklum, pendirian bank umum yang berbentuk hukum koperasi oleh individu-individu kecil sekali kemungkinannya, disebabkan karena memang sifatnya koperasi itu ialah usaha bersama dari anggota-anggota yang pada umumnya terdiri dari fihak yang lemah keuangannya. Ayat (2);
dan (4) : Cukup jelas. Pasal 10. Cukup jelas. Pasal 11. Cukup jelas. Pasal 12. Ayat (l) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 13. Ayat (l) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Cukup jelas. Pasal 16. Ayat (1) :
dan (3) : Cukup jelas. Pasal 17. Ayat (1) dan (2) Cukup jelas. Pasal 18… Pasal 18. Ayat (1) dan (2) Cukup jelas. Pasal 19. Ayat (1) : Macam bank asing yang dimungkinkan melakukan usaha di Indonesia hanya ada dua, yaitu bank umum dan bank pembangunan. Bank koperasi, bank tabungan, bank pasar dan segala macam perbankan yang lain, tertutup bagi usaha bank asing. Dengan demikian jelas bahwa bank asing diperkenankan membuka usaha di Indonesia di dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia yang sangat membutuhkan saluran untuk modal asing, baik untuk keperluan pembiayaan biasa, maupun untuk pembiayaan investasi berjangka panjang. Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 20.
Bank asing itu dapat didirikan sebagai badan hukum Indonesia atau hanya sebagai cabang dari suatu bank asing yang berkedudukan di luar negeri.
Sebagai badan hukum Indonesia bank asing hanya dapat berbentuk suatu usaha bersama (joint venture) antara bank nasional dan suatu bank di luar negeri. Termasuk dalam pengertian bank adalah lembaga-lembaga keuangan lainnya menurut pertimbangan Menteri Keuangan setelah mendengar pendapatan Bank Indonesia. Pasal 21. Cukup jelas. Pasal 22. Pengaturan-pengaturan lebih lanjut tentang bank asing akan ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri, dengan memperhatikan pasal 46 Undang-undang ini. Pasal 23. Ayat (1);
;
;
;
;
;
;
dan (9) : Cukup jelas. Pasal 24… Pasal 24. Ayat (1) : Yang dimaksud dengan jaminan dalam ayat (1) ini adalah jaminan dalam arti luas, yaitu jaminan yang bersifat materiil maupun yang bersifat immaterial. Dalam hubungan ini perlu kiranya dikemukakan, bahwa bank-bank dalam menilai suatu permintaan kredit biasanya berpedoman kepada faktor-faktor antara lain watak, kemampuan, modal, jaminan dan kondisi-kondisi ekonomi. Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 25. Ayat (1) : Cukup jelas. Ayat (2) : Bank umum pada azasnya tidak memberikan kredit jangka panjang dan tidak mengadakan penyertaan dalam perusahaan manapun juga. Sungguhpun demikian kita wajib pula memperhatikan perkembangan ekonomi pada waktu yang akan datang, yaitu kemungkinan bahwa pada suatu saat kredit jangka panjang dan penyertaan dari bank umum dalam kegiatan produksi memang diperlukan sebagaimana pula kita lihat dalam perkembangan negara-negara lain yang sudah maju. Oleh karena itulah maka dalam ayat ini masih dibuka kemungkinan untuk memberikan kredit jangka panjang dan mengadakan penyertaan yang tidak bersifat menetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 26. Ayat (1) : Mengingat bahwa simpanan bank berasal dari penabung-penabung kecil dengan jumlah simpanan yang kecil pula,maka kebijaksanaan penanamannya terutama dilakukan dalam kertas-kertas berharga yang oleh bank dengan mudah dan tanpa risiko (atau dengan risiko yang kecil sekali) dapat diuangkan kembali, bilamana dibutuhkan. Ayat (2) : Apabila Bank Indonesia, setelah mendengar bank-bank tabungan yang bersangkutan menganggap perlu membuka kemungkinan bagi bank-bank tersebut untuk memberikan kredit maka pemberian kredit tersebut diatur oleh Bank Indonesia. Pasal 27. Agar bank tidak terlalu dibebani risiko yang besar mengenai penggunaan uang tabungan untuk pinjaman yang diberikan,maka jumlah kredit yang dapat diberikan dibatasi sampai pada suatu jumlah menurut perbandingan tertentu dengan seluruh simpanan. Pasal 28… Pasal 28. Ayat (1) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 29. Ayat (1) : Cukup jelas. Ayat (2) : Berbeda dengan keadaan pada waktu sekarang maka bank pembangunan berdasarkan Undang-undang ini diperkenankan menjalankan usaha-usaha bank umum seperti termaksud dalam ayat ini, dengan ketentuan bahwa bank tersebut hanya diperkenankan mempergunakan simpanan gironya untuk pemberian kredit jangka pendek. Dalam memberi kredit jangka pendek bank tidak boleh melupakan tujuannya sebagai bank pembangunan. Jumlah kredit yang diberikan dengan mempergunakan simpanan jangka pendek dibatasi sampai suatu jumlah menurut perbandingan dengan kewajibannya yang segera dapat ditagih. Besarnya perbandingan ini ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 30. Ayat (1). Sebagai suatu lembaga keuangan yang terutama bekerja dengan uang dari masyarakat yang dititipkan kepadanya atas dasar kepercayaan, maka bank wajib memelihara dan membina kepercayaan tersebut. Berhubung dengan itu direksi dan dewan pengawas/dewan komisaris yang diserahi pemimpin/ mengurus bank mempunyai tanggung jawab yang berat atas segala usaha yang dilakukan oleh banknya. Mereka tidak dapat begitu saja menyerahkan pengurusan bank kepada orang lain dan melepaskan segala tanggung jawab, sehingga pada hakekatnya direksi dan dewan pengawas/dewan komisaris tidak melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh para pemegang saham dan oleh Masyarakat. Kepada Bank Indonesia diberikan wewenang, untuk menetapkan kewajiban dari direksi dan dewan pengawas/dewan komisaris bank dan menetapkan pula sanksi- sanksinya. Ayat (2) : Sudah dijelaskan di atas. Pasal 31… Pasal 31. Ayat (1) : Dalam menjalankan kebijaksanaan moneter dan menjaga simpanan- simpanan masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank, maka Bank Indonesia untuk kepentingan likwiditas dan solvabilitas dapat mewajibkan bank-bank menurut bentuk Hukum bank itu masing-masing untuk memelihara suatu perbandingan tertentu antara alat-alat likwiditas yang dikuasainya dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya. Kewajiban bank untuk memelihara likwiditas sebagaimana dimaksud dalam pasal ini ialah yang secara umum dikenal dengan nama "cash ratio", "reserve requirement" atau "prosentase likwiditas" yang merupakan suatu alat kebijaksanaan di bidang moneter guna mempengaruhi kemampuan bank untuk memberikan kredit dari dana- dananya yang tersedia. Di samping itu dengan adanya kewajiban memelihara alat-alat likwiditas dimaksudkan juga untuk menjamin bahwa bank mempunyai dana-dana untuk memenuhi penarikan-penarikan yang dilakukan oleh para nasabahnya. Cash ratio tersebut ditetapkan berdasarkan suatu perbandingan tertentu antara alat- alat likwiditas yang dikuasai bank dan giro, deposito, tabungan serta kewajiban- kewajiban lainnya yang segera dapat ditagih. Kepada Bank Indonesia diberikan wewenang untuk menetapkan dan merubah cash ratio tersebut sesuai dengan kebijaksanaan Moneter yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 32. Ayat (l), (2), (3) dan (4) : Cukup jelas. Pasal 33. Cukup jelas. Pasal 34. Cukup jelas. Pasal 35. Maksud daripada ketentuan ini ialah agar supaya masyarakat mengetahui keadaan keuangan dan kegiatan usaha setiap bank dalam rangka membimbing dan mempertinggi kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank. Pasal 36… Pasal 36. Pasal 36 ini dan demikian pula pasal 37, mengatur persoalan rahasia bank. Yang dimaksudkan dengan rahasia bank ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan perlu dirahasiakan. Kerasahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat, yang menyimpan uangnya di bank. Orang hanya akan mempercayakan uangnya pada bank, apabila dari bank ada jaminan, bahwa pengetahuan bank tentang simpanan yang ada di bawah pengawasannya tidak akan disalah gunakan. Dengan adanya pasal tersebut diberi ketegasan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Walaupun demikian, untuk kepentingan umum dan negara dapat diadakan pengecualian terhadap ketentuan tersebut, tanpa mengurangi kepercayaan masyarakat, bahwa pengetahuan tentang simpanannya di bank akan disalah gunakan. Pasal 37. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak mengurangi tugas dan kewajiban Bank Indonesia tentang pengawasan dan pembinaan perbankan dan kelaziman dunia perbankan dalam tukar-menukar informasi. Ayat (1) : Sudah selayaknya bahwa untuk keperluan penetapan pajak, bank wajib memberi keterangan pula kepada pejabat dari Jawatan Pajak dengan izin dari Menteri Keuangan, asal dicantumkan nama wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. Ayat (2) : Demikian pula sudah selayaknya apabila untuk keperluan peradilan, bank dapat diwajibkan memberi keterangan kepada Hakim/Jaksa dengan izin dari Menteri Keuangan dengan syarat-syarat tersebut dalam ketentuan ini. Pasal 38. Cukup jelas. Pasal 39. Ayat (1);
;
dan (4): Cukup jelas. Pasal 40. Ayat (1) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 41. Ayat (1);
;
dan (4) : Cukup jelas. Pasal 42… Pasal 42. Ayat (1);
dan (3) : Cukup jelas. Pasal 43. Ayat (1) dan (2) dan : Cukup jelas. Pasal 44. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan agar bank-bank yang telah didirikan dengan Undang-undang, yaitu antara lain Bank Pembangunan Indonesia dan Bank Pembangunan Swasta tetap menjalankan tugasnya sambil menunggu pengaturannya lebih lanjut berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini. Pasal 45. Mulai saat berlakunya Undang-undang ini tidak ada suatu bank yang ada di luar sistim perbankan yang dimaksud dalam Undang- undang ini. Disamping itu dalam pasal ini ditegaskan, bahwa tidak seorang atau badanpun diperkenankan mengadakan pengumpulan uang dari masyarakat ramai guna kemudian dipinjamkan lagi kepada fihak ketiga dengan memungut bunga jikalau tidak mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan atas dasar syarat-syarat sebagai ditetapkan dalam Undang-undang ini. Dalam ketentuan ini tidak termasuk Koperasi Kredit/simpan- pinjam yang telah diatur berdasarkan Undang-undang Koperasi yang berlaku. Pasal 46. Cukup jelas. Pasal 47. Cukup jelas. Pasal 48. Cukup jelas. Pasal 49. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2842
Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai.
Relevan terhadap
HAPUSNYA PENSIUN-PEGAWAI/PENSIUN-JANDA/DUDA (1) Hak untuk menerima pensiun-pegawai atau pensiun-janda/ duda hapus:
jika penerima pensiun-pegawai tidak seizin pemerintah menjadi anggota tentara atau pegawai negeri suatu negara asing.
jika penerima pensiun-pegawai/pensiun-janda/duda/bagian pensiun-janda menurut keputusan pejabat/Badan Negara yang berwenang dinyatakan salah melakukan tindakan atau terlibat dalam suatu gerakan yang bertentangan dengan kesetiaan terhadap Negara dan Haluan Negara yang berdasarkan Panca Sila.
Jika ternyata bahwa keterangan-keterangan yang diajukan sebagai bahan untuk penetapan pemberian pensiun-pegawai/ pensiun-janda/duda/bagian pensiun-janda, tidak benar dan bekas Pegawai Negeri atau janda/duda/anak yang bersangkutan sebenarnya tidak berhak diberikan pensiun.
Dalam hal-hal tersebut pada ayat (1) huruf a dan b pasal ini, maka surat keputusan pemberian pensiun dibatalkan, sedang dalam hal-hal tersebut huruf c, ayat itu surat keputusan termaksud dicabut. Pasal 30. JAMINAN UNTUK PINJAMAN Surat keputusan tentang pemberian pensiun menurut Undang-undang ini dapat dipergunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman dari salah satu Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pasal 31. PEMINDAHAN HAK PENSIUN-PENSIUN (1) Hak atas pensiun-pensiun menurut Undang-undang ini tidak boleh dipindahkan.
Penerima pensiun tersebut tidak boleh menggadaikan atau dengan maksud itu secara lain menguasakan haknya kepada siapapun juga.
Semua perjanjian yang bertentangan dengan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 32. HAL-HAL LUAR BIASA DAN PERATURAN PELAKSANAAN (1) Hal-hal luar biasa yang tidak/belum diatur dalam Undang-undang ini, diputus oleh Presiden.
Hal-hal yang perlu untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini diatur oleh Kepala Kantor Urusan Pegawai menurut petunjuk-petunjuk Menteri Keuangan. Pasal 33. PERATURAN PERALIHAN.
Istri (istri-istri) dan anak (anak-anak) yang telah didaftarkan sebagai yang berhak menerima pensiun-janda atau tunjangan-anak yatim/piatu berdasarkan peraturan yang berlaku sebelum Undang-undang ini, dianggap telah didaftarkan sebagai yang berhak menerima pensiun-janda menurut peraturan ini.
Anak-anak Pegawai Negeri atau penerima pensiun-pegawai yang dilahirkan sebelum waktu Undang-undang ini mulai berlaku terhadapnya dari perkawinan dengan istri/suami yang pada waktu itu telah meninggal dunia atau telah bercerai dapat didaftarkan sebagai anak yang berhak menerima pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda menurut Undang-undang ini. Pasal 34.
Pensiun-pegawai, pensiun janda/duda, bagian pensiun-janda dan tunjangan-anak yatim/piatu yang penetapannya didasarkan atas peraturan-peraturan yang berlaku sebelum tangggal mulai berlakunya Undang-undang ini, dinaikkan besarnya menjadi 150% (seratus lima puluh perseratus) dari jumlah yang ditetapkan berdasarkan peraturan-peraturan lama itu, terhitung mulai tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini, dengan ketentuan bahwa: Pensiun/tunjangan yang bersifat pensiun bagi bekas pegawai dan janda setelah dinaikkan tidak boleh kurang dari berturut-turut 100% dan 75% dari gaji pokok terendah menurut Peraturan Pemerintah tentang gaji dan pangkat Pegawai Negeri yang berlaku.
Jumlah yang dinaikkan itu ditetapkan dalam rupiah bulat, pecahan rupiah dibulatkan ke atas menjadi rupiah penuh.
Pelaksanaan kenaikan pensiun dan tunjangan yang bersifat pensiun itu diselenggarakan oleh Kantor-kantor pembayaran yang bersangkutan menurut petunjuk-petunjuk Kepala Kantor Urusan Pegawai. Pasal 35. KETENTUAN PENUTUP Undang-undang ini disebut "UNDANG-UNDANG PENSIUN PEGAWAI DAN PENSIUN-JANDA/DUDA PEGAWAI" dan mulai berlaku pada hari diundangkan serta berlaku surut mulai tanggal 1 Nopember 1966. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1969. Presiden Republik Indonesia, SOEHARTO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1969. Sekretaris Negara Republik Indonesia, ALAMSYAH. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 11 TAHUN 1969 TENTANG PENSIUN-PEGAWAI DAN PENSIUN JANDA/DUDA PEGAWAI. PENJELASAN UMUM:
Undang-undang ini diadakan sebagai pelaksanaan ketentuan dalam pasal 19 Undang-undang Pokok Kepegawaian yang menentukan bahwa jaminan hari tua pegawai negeri, yang antara lain berupa pensiun bagi pegawai sendiri dan pensiun-janda/duda, harus diatur dengan Undang-undang dengan mengingat keadaan penghodupan masyarakat Indonesia.
Karena itu maka dalam Undang-undang ini diatur hal-hal mengenai pensiun-pegawai, pensiun-janda dan pensiun-istimewa untuk janda pegawai yang tewas, yang sebelumnya berturut-turut diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 1952, Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1952 dan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1954 dan yang kesemuanya itu menjadi batal mulai berlakunya dan diganti dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini. Dalam pada itu dalam Undang-undang ini telah diadakan pula pengaturan tentang pemberian pensiun-duda, yang diprintahkan oleh pasal 19 Undang-undang Pokok Kepegawaian, agar tidak ada diskriminasi antara hak pegawai pria meupun pegawai wanita.
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kepegawaian, maka peraturan pensiun yang baru ini mempunyai sifat pokok: pensiun diberikan sebagai jaminan hari tua dan, sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai selama bekerja bertahun-tahun dalam dinas Pemerintah.
Kedua sifat dari Pensiun itu telah menentukan penyatuannya dalam pasal 19 Undang-undang ini, yang menentukan 3 syarat pokok untuk memperoleh hak pensiun-pegawai, yaitu;
telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun, 2. memiliki masa-kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 tahun dan, 5. Sebagai lazimnya menurut peraturan-peraturan pensiun yang berlaku sebelumnya, maka juga Undang-undang ini diadakan perkecualian dari syarat usia dan masa-kerja termaksud di atas ini, yaitu dalam hal-hal luar biasa yang diatur pasal 9.
Bahwa untuk memperoleh hak atas jaminan hari tua, pegawai yang bersangkutan antara lain harus memenuhi syarat diberhentikan "dengan hormat" sebagai pegawai negeri adalah perlu berhubung dengan sifatnya pensiun sebagai penghargaan atas jasa-jasa dan penting untuk membina dan memelihara kestiaan pegawai terhadap Negara dan haluan Negara yang berdasarkan Panca Sila.
Selanjutnya, maka tidaklah pada tempatnya untuk memberikan pensiun kepada pegawai yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri. Peraturan Pensiun Pegawai Negeri, sekalipun hanya mengatur pemberian penghasilan kepada bekas pegawai setelah ia diberhentikan sebagai pegawai negeri, tidak dapat dilepaskan daripada hubungannya dengan tujuan utama daripada Undang-undang Pokok Kepegawaian untuk menyusun dan memelihara Aparatur Negara yang berdaya-guna sebagai alat revolusi Nasional dan organisasi harus terisi dengan korps pegawai negeri yang memenuhi syarat-syarat kepegawaian sebagai ditentukan dalam Undang-undang itu i.c. syarat kepribadian dan kesetiaan terhadap Negara dan haluan Negara yang berdasarkan Panca Sila. Maka dari itu Peraturan Pensiun Pegawai Negeri R.I., sebagaimana dikehendaki menurut Undang-undang Pokok Kepegawaian No. 18 tahun 1961, selain menjamin pemberian penghasilan atas beban keuangan Negara bagi bekas pegawai dan keluarganya untuk masa hari tua, harus pula mencerminkan penghargaan atas jasa-jasa itu dengan sendirinya terbatas pada para pegawai yang memenuhi syarat-syarat kepegawaian sebagai disebut di atas, dan tidak diberikan kepada mereka yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri karena telah melakukan perbuatan/tindakan yang tercela dan bertentangan dengan kepentingan dinas dan/atau Negara.
Jika ketentuan-ketentuan tentang hak dan besarnya pensiun pegawai, pensiun-janda dan tunjangan anak-yatim/piatu dalam peraturan-peraturan pensiun lama sangat dipengaruhi oleh cara pembiayaan pensiun oleh suatu dana pensiun dengan pelbagai iuran-iurannya, maka dalam Undang-undang ini hak dan besarya pensiun-pensiun itu dapat diatur lebih sederhana dan dengan mengutamakan proses pelaksanaan yang mudah dan cepat tanpa mengurangi penelitian bahwa pemberian dan pembayaran pensiun dilakukan kepada mereka yang benar-benar berhak menerimanya.
Akhisnya, apabila dibanding dengan peraturan-peraturan yang lama, maka berhubung dengan sifat-sifatnya dalam peraturan pensiun baru ini terdapat perubahan-perubahan penting sebagai disebut di bawah ini:
Berbeda dengan peraturan lama (Undang-undang No. 20 tahun 1952, yang tidak memuat ketentuan-ketentuan batas umur minimum untuk penentuan hak atas pensiun), di dalam peraturan baru berhubung dengan sifatnya sebagai jaminan hari tua ditetapkan batas usia minimum yang harus telah dicapai oleh pegawai untuk mendapat hak atas pensiun, yaitu umur sekurang-kurangnya 50 tahun.
Kemudian, karena pemberian pensiun dimaksudkan juga sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai selama bekerja bertahun-tahun dalam dinas Pemerintah, maka ditentukan pula jumlah minimum masa-kerja yang wajar pula jumlah minimum masa-kerja yang wajar sebagai syarat untuk dapat diberikan pensiun, yaitu sekurang-kurangnya 20 tahun. Jika pegawai di luar kemauannya sendiri harus diberhentikan sebagai pegawai negeri karena menjadi tenaga kelebihan atau karena penertiban aparatur Negara, untuk dapat diberikan pensiun-pegawai yang bersangkutan harus memiliki masa-kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.
Selanjutnya, apabila menurut peraturan lama predikat pemberhentian sebagai pegawai negeri tidak menentukan dalam penetapan hak atas pensiun, maka dalam peraturan baru ini ditentukan pula sebagai syarat untuk dapat diberikan pensiun, bahwa pemberhentian pegawai yang bersangkutan sebagai pegawai negeri harus ada dilakukan dengan hormat.
Besarnya pensiun-pegawai sebulan telah dipertinggi agar pegawai, apabila diberikan pensiun, tidak mengalami kemunduran penghasilan yang terlampau besar. Jumlah pensiun-pegawai tertinggi sebulan dinaikkan dari 50% menjadi 75% dari dasar pensiun, dan pensiun-pegawai terendah sebulan dinaikkan dari 25% menjadi 40%. Besarnya pensiun-janda sebulan dinaikkan dari 20% menjadi 36% dari dasar-pensiun. Selanjutnya, untuk menjamin kehidupan yang cukup layak sebagai penerima pensiun, telah diadakan pula ketentuan bahwa besarnya pensiun-pegawai dan pensiun-janda sebulan berturut-turut adalah sekurang-kurangnya sama besar dengan dan 75% dari gaji-pokok terendah menurut peraturan gaji pegawai negeri yang berlaku. Dengan demikian, maka sistim penggajian pegawai negeri atau dasar prinsip "Kebutuhan Fisik Minimum" (K.F.M.) diperhatikan juga untuk pensiun.
Akhirnya ketentuan-ketentuan tentang pemberian pensiun kepada anak (anak-anak) yatim/piatu telah disederhanakan. Apabila pegawai yang tidak beristeri/bersuami atau janda/duda meninggal dunia dan meninggalkan anak (anak-anak) yang berhak diberikan pensiun, maka kepada anak (anak-anak) itu diberikan terus jumlah pensiun-janda/duda yang diterima oleh ibu/ayahnya. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL: Pasal 1. Sifat pensiun ini adalah sesuai dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Pokok Kepegawaian. Pasal 2.
Sejak keluarnya Undang-undang No. 11 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 1956 No. 23), maka pensiun-pegawai negeri telah dibiayai oleh Negara dan dibebankan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sedangkan iuran-iuran pensiun telah ditanggung pule oleh Pemerintah sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 77).
Pegawai negeri yang gajinya tidak menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah umpamanya pegawai Perusahaan-Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 19 tahun 1960. Pasal 3. Golongan-golongan pegawai yang termasuk dalam arti pegawai negeri menurut pasal ini adalah :
Pegawai Negeri Sipil Pusat, b. Pegawai Daerah Otonom, c. Pegawai Perusahaan/Bank Negara. Yang memiliki ketiga unsur kepegawaian termaksud dalam pasal 1 Undang-undang Pokok Kepegawaian. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Dengan "gaji terakhir yang berhak diterima", dimaksudkan juga gaji menurut pangkat anumerta. Pasal 6. Ayat (1). Huruf a sampai dengan c, e dan f: Cukup jelas. Huruf d: Yang dimaksud ialah masa berbakti sebagai pelajar menurut Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1949, tentang Penghargaan Pemerintah terhadap pelajar yang telah terbukti untuk Negara; Huruf g : Pegawai-pegawai dari sekolah-sekolah swasta bersubsidi tersebut pada ayat (1) huruf g, hingga sekarang masih diberi pensiun menurut peraturan lama (Pensioenreglement voor Bijzondere Leerkrechten) yang juga dibiayai oleh Pemerintah, sambil menunggu peninjauan Pensioenreglement voor Bijzondere Leerkrachten. Ayat (2). Cukup jelas. Ayat (3). Cukup jelas. Ayat (4). Peraturan Pemerintah yang kini berlaku ialah Peraturan Pemerintah No. 2O tahun 1960 (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 49) tentang masa-kerja yang dihitung untuk pensiun. Ayat (5). Cukup jelas. Pasal 7. Cukup jelas. Pasal 8. Yang dimaksud dengan "tunjangan umum dan bantuan umum" ialah tunjangan atau bantuan yang pemberiannya tidak tergantung dari jabatan/pekerjaan pegawai negeri, melainkan diberikan dalam rangka kesejahteraan c.q. jaminan sosial pegawai negeri. Pasal 9. Ayat (1). Berhubung dengan sifatnya sebagai jaminan hari tua, ditetapkan batas usia minimum yang harus telah dicapai oleh pegawai untuk mendapat hak atas pensiun, yaitu umur sekurang-kurangnya 50 tahun. Dari syarat tentang batas usia minimum tersebut dikecualikan pegawai yang harus diberhentikan sebagai pegawai negeri karena keadaan jasmani dan atau rochani. Selanjutnya, sesuai dengan tujuan dari Undang-undang Pokok Kepegawaian No. 18 tahun 1961 untuk menempatkan pegawai-pegawai pada badan-badan Pemerintah yang memenuhi syarat kepribadian dan kesetiaan, maka ditentukan pula sebagai syarat untuk mendapat hak atas pensiun bahwa pegawai yang bersangkutan diberhentikan sebagai pegawai negeri dengan sebutan "dengan hormat". Karena pemberian pensiun dimaksudkan juga sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai dalam dinas Pemerintah, maka ditentukan pula minimum masa-kerja yang wajar sebagai syarat untuk dapat diberikan pensiun, yaitu sekurang-kurangnya 20 tahun. Berhubung dengan ketentuan pada pasal 35 Undang-undang ini bahwa Undang-undang ini berlaku surut mulai tanggal 1 Nopember 1966, perlu dijelaskan, bahwa pegawai yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri setelah 1 Nopember 1966, tidak berhak akan pensiun menurut Undang-undang ini. Ayat (2). Jika pegawai di luar kemauannya sendiri diberhentikan sebagai pegawai negeri karena menjadi tenaga kelebihan atau karena penertiban aparatur Negara dan sebagainya, maka untuk dapat diberikan pensiun pegawai yang bersangkutan harus memiliki masa-kerja sekurang-kurangnya 10 tahun. Ayat (3). Bagi pegawai negeri yang pernah menjalankan tugas Negara, yaitu kewajiban Negara yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1952, untuk hak pensiun tidak lagi disyaratkan masa-kerja 10 tahun seluruhnya sebagai pegawai negeri, tetapi cukup dengan memiliki masa-kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun dalam kedudukan apapun. Pasal 10. Untuk mempecepat pemberian/pembayaran pensiun maka:
Departemen-departemen/Lembaga-lembaga Pemerintah/Negara harus segera mulai menyusun Daftar Riwayat Pekerjaan para pegawai yang ada dalam administrasi masing-masing terutama Daftar Riwayat Pekerjaan mereka yang berusia 50 (lima puluh) tahun ke atas.
Harus diusahakan oleh masing-masing Departemen/Lembaga Pemerintah/Negara agar jauh sebelum masa peremajaan sudah tersedia bahan-bahan keterangan yang mengenai usia/tanggal lahir, masa-kerja pensiun serta nama, tanggal kelahiran isteri/anak-anak pegawai. Pasal 11. Besarnya pensiun-pegawai sebulan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari gaji-pokok, dengan maksud agar pegawai, apabila dipensiunkan tidak mengalami kemunduran penghasilan yang terlampau besar. Dalam rangka pembentukan dana pensiun, maka dengan Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 2 huruf a Undang-undang ini, dapat ditetapkan prosentase-prosentase yang tinggi daripada yang ditetapkan dalam pasal ini. Pasal 12.
berdasarkan ketentuan pasal 7 Undang-undang ini, Kepala Kantor Urusan Pegawai menetapkan pemberian pensiun-pegawai dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah menerima salinan Surat Keputusan/Pemberitahuan dari pejabat yang berhak memberhentikan pegawai negeri yang besangkutan tentang pemberhentian dengan hormat seorang pegawai negeri, tanpa menunggu surat permintaan pensiun dari yang berkepentingan apabila pada Kantor Urusan Pegawai telah terkumpul:
Daftar Riwayat Pekerjaan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
Daftar Susunan Keluarga yang disahkan oleh yang berwajib, dan c. Surat keterangan dari pegawai yang bersangkutan bahwa semua surat-surat baik yang asli maupun turunan milik Negara telah diserahkan kembali kepada yang berwajib.
Pejabat yang berhak memberhentikan pegawai berkewajiban untuk dalam waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum saat pemberhentian dengan hormat sebagai pegawai negeri dengan hak pensiun :
Menetapkan Surat Keputusan tentang pemberhentian yang bersangkutan dan menyampaikan salinannya kepada Kantor Urusan Pegawai ;
Menyampaikan kepada Kepala Kantor Urusan Pegawai, Daftar Riwayat Pekerjaan yang memuat juga tempat/tanggal kelahiran c.q. usia pegawai yang bersangkutan, yang ditanda-tangani oleh pejabat yang berhak serta Daftar Susunan Keluarga yang disahkan oleh yang berwajib yang memuat nama, tanggal kelahiran dan alamat, istri/suami dan anak-anaknya. Pasal 13 s/d pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Menurut ketentuan dalam pasal ini pensiun-pegawai harus dibatalkan jika penerima pensiun yang besangkutan diangkat lagi sebagai pegawai negeri, termasuk anggota ABRI karena pada azasnya Pemerintah untuk selanjutnya tidak lagi menghendaki kemungkinan pemberian lebih dari satu macam pensiun-pegawai ataupun pensiun-janda kepada bekas pegawai negeri atau isteri/anaknya. Ketentuan dalam pasal ini dengan sendirinya tidak berlaku lagi bagi pegawai pensiunan yang dipekerjakan kembali dalam suatu jabatan negeri dengan diberi gaji bulanan/harian di samping pensiun. Dalam hal tersebut pada pasal 15 ayat (2) kepada pegawai yang bersangkutan diberikan pensiun menurut perhitungan yang lebih menguntungkan. Pasal 16. Cukup jelas. Periksa Penjelasan Umum. Pasal 17. Ayat (1). Periksa Penjelasan Umum. Ayat (2). Ketentuan tentang batas minimum sebesar 75% dari gaji-pokok terendah hanya berlaku bagi pensiun-janda (36%) dan tidak berlaku untuk bagian-bagian pensiun-janda termaksud pada ayat (1). Ayat (3). Ketentuan pada ayat (3) menghapuskan ketentuan-ketentuan dalam peraturan lama Peratruan Pemerintah Nomor 19 tahun 1952, tentang pemberian pensiun kepada janda dan tunjangan kepada anak yatim/piatu pegawai negeri sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1954, tentang pemberian tunjangan istimewa kepada keluarga pegawai yang tewas. Ketentuan dalam ayat (3) pasal ini berlaku juga bagi calon pegawai dan pensiunan yang dipekerjakan kembali sebagai pegawai bulanan apabila ia tewas. Dalam rangka pembentukan dana pensiun, maka dengan Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 2 huruf a Undang-undang ini, dapat ditetapkan prosentase-prosentase yang lebih tinggi dari pada yang ditetapkan dalam pasal ini. Pasal 18. Ayat (1). Huruf b: Dengan satu bagian pensiun-janda dimaksud bagian pensiun-janda yang seharusnya diberikan kepada ibu atau golongan anak (anak-anak) yang bersangkutan. Ayat (2). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, dalam hal janda/duda penerima pensiun meninggal dunia dan mempunyai anak (anak-anak) yang berhak diberikan pensiun, maka pensiun janda/duda diberikan langsung kepada anak (anak-anak) itu, tanpa memerlukan penetapan surat keputusan pensiun baru. Pasal 19. Pendaftaran suami/isteri/anak sebagai yang berhak menerima pensiun-janda/duda perlu diadakan untuk menjamin hak mereka, memudahkan tata-usaha, serta pula untuk mempercepat penyelesaian pemberian pensiun. Pasal 20. Surat permintaan untuk mendapat pensiun-janda/duda ini harus disertai dengan surat keterangan dari Bupati/Walikota/ Kepala Daerah tingkat II yang bersangkutan yang menyatakan bahwa orang tua yang bersangkutan adalah orang tua kandung atau, dalam hal orang tua kandung telah meninggal dunia, orang tua yang secara sah telah mengangkat-sebagai anak-angkat pegawai yang bersangkutan. Pasal 21 s/d pasal 22. Cukup jelas. Pasal 23. Ketentuan pada pasal ini merupakan salah satu usaha untuk memperlancar penyelesaian pemberian pensiun. Pasal 24 s/d pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28. Pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda yang diberikan kepada janda/duda menurut ketentuan ayat (1) pasal 28 tidak dibatalkan jika janda/duda masih mempunyai anak. Pasal 29. Ayat (1). huruf b: Yang dimaksud dengan keputusan pejabat/badan Negara yang berwenang dalam pasal 29 ayat (1) huruf b, ialah keputusan Badan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan/atau Keputusan Presiden/Pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) huruf e dan f, Undang-undang Pokok Kepegawaian. Ayat (2). Dalam hal keputusan pemberian pensiun dicabut, termaksud pada ayat (2) pasal ini, maka pensiun yang telah dibayarkan harus ditagih kembali. Pasal 30. Cukup jelas. Pasal 31. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi penerima pensiun terhadap praktek pemberian pinjaman uang dengan memungut bunga yang tinggi. Pasal 32. Cukup jelas. Pasal 33. Hal yang dimaksud pada ayat (2) pasal ini, ialah jika pegawai yang bersangkutan, pada waktu diangkat menjadi pegawai negeri, mempunyai anak (anak-anak) sedang ibunya telah meninggal dunia atau diceraikan. Ketentuan pada ayat tersebut merupakan penyimpangan dari pasal 19 ayat (4) huruf a yang menentukan, bahwa anak yang dapat didaftar untuk hak atas pensiun, adalah hanya anak (anak-anak) dari isteri (isteri-isteri)/suami yang terdaftar. Pasal 34. Besarnya pensiun-pegawai sebulan untuk tiap-tiap tahun masa-kerja telah dipertinggi dari 1,6% menurut peraturan lama menjadi 2,5% menurut pasal 11 ayat (1) Undang-undang ini. Begitu pula minimum pensiun-pegawai yang menurut peraturan lama berjumlah 50% telah ditetapkan dalam Undang-undang ini menjadi 75%. Ini berarti, bahwa besarnya pensiun-pegawai dan maksimum pensiun-pegawai menurut Undang-undang telah dipertinggi dengan 150% jika dibandingkan dengan besarnya pensiun-pegawai dan maksimum pensiun-pegawai menurut peraturan lama. Oleh karena itu maka pensiun-pegawai yang ditetapkan berdasarkan peraturan lama dipandang perlu dinaikkan besarnya dengan 150%. Kenaikan sebesar 150% bagi pensiun-pegawai termaksud di atas sudah selayaknya diberikan pula bagi pensiun-janda dan tunjangan anak-yatim/piatu yang ditetapkan menurut peraturan lama. Dalam rangka pembentukan Dana Pensiun termaksud pasal 2 huruf a, dan apabila keadaan keuangan Negara mengizinkan maka dengan Peraturan Pemerintah dapat ditentukan prosentase-prosentase yang lebih tinggi dari yang ditentukan dalam pasal ini. Pasal 35. Cukup jelas. CATATAN Kutipan : LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1969 YANG TELAH DICETAK ULANG