Uji materiil terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan ...
Relevan terhadap
ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat(4) , ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37 ; untuk dicabut dari Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat lain, mohon kiranya agar diberikan putusan seadil-adilnya ( ex aequo et boro ). Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 59 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti berupa:
Fotokopi Susunan dan Komposisi Personalia Pengurus Harian pada Dewan Pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia masa bakti 2010-2015 (Bukti P-1); __ 2. Fotokopi keputusan Presiden RI No 17 Tahun 2010 tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kamar Dagang dan Industri (Bukti P-2); __ 3. Fotokopi UU No. 1 Tahun 1987 tentang KADIN (Bukti P-3); __ 4. Fotokopi Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Bukti P-4); __ 5. Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945 (Bukti P-5); __ 6. Fotokopi UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang- Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Bukti P-6); __ 7. Fotokopi Perma No. 7 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (Bukti P-7); __ 8. Fotokopi Surat KADIN kepada Direktorat Jenderal Pajak No. 1440/DP/VII/ 2012 (Bukti P-8); __ 9. Fotokopi UU No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peratura Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) (Bukti P-9); __ 10. Fotokopi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Bukti P-10); __ 11. Fotokopi UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Bukti P-11); __ 12. Fotokopi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Bukti P- 12); __ 13. Fotokopi UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Bukti P-13); __ Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada Tanggal 26 November 2013 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 73/PER-PSG/XI/73 P/HUM/TH.2013 , Tanggal 26 November 2013 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawaban namun tenggang pengajuan jawaban telah terlewati, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; __ Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 60 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi obyek permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon adalah Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu: Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat (4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37 , vide bukti nomor P-4 _; _ Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal, yaitu apakah Pemohon mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; Menimbang, bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil berupa Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu: Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37 merupakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sehingga Mahkamah Agung berwenang untuk mengujinya; Menimbang, bahwa Pemohon adalah Suryo B. Sulisto dan Hariyadi Sukamdani, dalam kapasitas jabatan berturut-turut selaku Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN INDONESIA) dan Wakil Ketua Umum Bidang Kebijaksanaan Moneter, Fiskal dan Publik KADIN INDONESIA, sesuai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 61 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 dengan Keputusan Dewan Pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia Nomor: SKEP/001/DP/I/2013 tentang penyempurnaan Susunan dan Komposisi Personalia Pengurus Harian pada Dewan Pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia masa bakti 2010—2015 jo keputusan Presiden RI No 17 Tahun 2010 tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kamar Dagang dan Industri, jo Undang-Undang No 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama organisasi _; _ Menimbang, bahwa dalam permohonannya, Pemohon telah mendalilkan bahwa Pemohon mempunyai kepentingan dengan alasan sebagai berikut:
Bahwa Keberadaan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) diatur dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3346) jo Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tanggal 23 Agustus 2010 tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kamar Dagang dan Industri.
Bahwa Kamar Dagang dan Industri adalah satu wadah bagi pengusaha Indonesia dan merupakan Induk Organisasi dari Organisasi Perusahaan dan Organisasi Pengusaha yang berperan aktif sebagai mitra Pemerintah dalam bidang perekonomian.
Bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri menetapkan bahwa seluruh pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta secara bersama-sama membentuk organisasi Kamar Dagang dan Industri sebagai wadah dan wahana pembinaan, komunikasi, informasi, representasi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi pengusaha Indonesia, dalam rangka mewujudkan dunia usaha Indonesia yang kuat dan berdaya saing tinggi yang bertumpu pada keunggulan nyata sumber daya nasional, yang memadukan secara seimbang keterkaitan antar potensi ekonomi nasional, yakni antar sektor, antar usaha dan antar daerah, dalam dimensi tertib hukum, etika bisnis, kemanusiaan, dan kelestarian lingkungan dalam suatu tatanan ekonomi pasar dalam percaturan perekonomian global dengan berbasis pada kekuatan daerah, sektor usaha dan hubungan luar negeri.
Bahwa fungsi terpenting dari pajak adalah fungsi budgetair yaitu mengumpulkan penerimaan negara. Bahwa penerimaan negara dari sektor Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 62 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 pajak memberikan kontribusi yang sangat significant baik dalam APBN maupun APBD.
Bahwa KADIN dan dunia usaha telah dan akan selalu mendukung dan berkontribusi dalam pengamanan penerimaan negara melalui pembayaran pajak yang dikenakan pada para pengusaha yang bernaung dalam wadah KADIN. Bahwa namun demikian KADIN juga mempunyai kepentingan untuk mengadvokasi para pengusaha agar Pemerintah benar-benar meningkatkan pelayanan, meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dunia usaha sehingga pengenaan pajak tidak mendistorsi dan mengganggu iklim usaha maupun daya saing dunia usaha. __ sehingga Pemohon mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung agar Peraturan Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu: Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37 yang menjadi obyek permohonan a quo dinyatakan bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang–Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang–Undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak; Menimbang, bahwa obyek permohonan a quo merupakan Peraturan Pemerintah yang memuat norma-norma yang bersifat mengatur (regulasi), sehingga Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengujian atas obyek permohonan a quo sesuai pasal 31 A ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, bahwa Pemohon mempunyai Legal Standing untuk mengajukan permohonan Hak Uji Materiil a quo karena Pemohon adalah Ketua dan wakil ketua KADIN yang berdasarka Kepres No 17 Th 2010 para Pemohon dapat melakukan Advokasi sehubungan terbentuknya KADIN, bahwa para Pemohon berkepentingan terhadap berlakunya pbjek permohonan Hak Uji Materiil dimaksud berkaitan berlakunya PP No 74 Th 2011 yang menurut Para Pemohon merugikan kepentingan KADIN/ Pengusaha ( WP ) karena diberikan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 63 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 kewenangan baru kepada DIRJEN Pajak untuk melakukan Verifikasi kepada WP yang menimbulkan ketidak pastian hukum ; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas terbukti Pemohon mempunyai kepentingan dan oleh karenanya memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan a quo karena haknya dirugikan atas berlakunya Peraturan Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu: Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37 yang menjadi obyek permohonan keberatan hak uji materiil, oleh karena itu secara yuridis Pemohon mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil atas Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu: Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37 , sehingga memenuhi syarat formal yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 dan __ Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009; Menimbang, bahwa karena permohonan terhadap obyek hak uji materiil diajukan oleh Pemohon yang mempunyai legal standing maka permohonan a quo secara formal dapat diterima; Menimbang, bahwa selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan substansi obyek permohonan keberatan hak uji materiil apakah peraturan Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu:
angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 64 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Pasal 37 bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu __ Undang–Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang–Undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak _; _ Menimbang, bahwa dalam permohonannya Pemohon telah mendalilkan hal-hal sebagai berikut: - Bahwa kewenangan Dirjen Pajak dalam konteks untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, menerbitkan/menghapus NPWP, dan atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 (UU KUP) adalah Kewenangan untuk melakukan “Pemeriksaan” yang diatur dalam Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 ayat (1) jo Pasal 1 angka 25 dan 27 UU KUP __ - Bahwa sehubungan dengan ketentuan pada Pasal 12 tersebut diatas, Dirjen Pajak diberi kewenangan untuk menetapkan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU KUP; __ - Bahwa untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan untuk menguji kepatuhan pemeriksaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) UU KUP tersebut diatas, Dirjen Pajak diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU KUP; __ - Bahwa Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Keterangan Kurang Bayar Pajak Tambahan (SKPKBT) yang diterbitkan sebagai hasil dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU KUP adalah merupakan dasar penagihan pajak yang selanjutnya dapat ditagih dengan Surat Paksa; - Bahwa menurut Pemohon Hak Uji Materiil, jenis kewenangan Dirjen Pajak yang disebut “Pemeriksaan” tersebut adalah sudah tepat dan memang harus diatur dengan Undang-Undang, dalam hal ini UU KUP sebagai Hukum Acara Perpajakan (Hukum Formal) mengingat perhitungan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU KUP (self-assessment) adalah dianggap benar dan telah sesuai dengan Undang-Undang sepanjang belum dibuktikan sebaliknya oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga oleh karena itulah UU KUP memberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 UU KUP sehingga dapat melakukan pengawasan, koreksi dan penegakan hukum apabila terbukti perhitungan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 64 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 65 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 pajak yang dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) oleh Wajib Pajak ternyata tidak benar. Dari hasil pemeriksaan tersebut kemudian dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, penghapusan NPWP dan pencabutan atas pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. - Bahwa tiba-tiba saja dengan PP No. 74 Tahun 2011, Dirjen Pajak diberikan kewenangan baru yang disebut dengan “Verifikasi” yang pada dasarnya diberi kekuatan hukum yang dapat dikatakan “sama” dengan “Pemeriksaan” yang sudah diatur dengan UU KUP, sehingga Pemohon menilai dan karenanya harus berpendapat bahwa telah terjadi “Penambahan Kewenangan secara tidak sah” pada Dirjen Pajak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang derajat atau tingkatannya dibawah Undang-Undang (dalam hal ini UU KUP). - Bahwa menurut Pemohon, ketentuan PP No. 74 Tahun 2011 mengenai Verifikasi tersebut juga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang menjadi landasan dari kebijakan pokok tentang arah dan tujuan perubahan UU KUP menjadi UU No. 28 tahun 2007 sebagaimana tersebut dalam angka 4 dari Penjelasan Umum UU KUP yang pada akhirnya bisa merugikan keadilan bagi Wajib Pajak. - Bahwa mengenai munculnya/diintrodusirnya kewenangan baru yang disebut “Verifikasi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 dan 5 PP No. 74 Tahun 2011 sebenarnya bukan didasarkan pada kewenangan atributif. Tidak ada amanat dari UU KUP agar Pemerintah membuat peraturan pelaksanaan yang memberi kewenangan baru pada Dirjen Pak berupa “Verifikasi” a quo . Dengan demikian sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Pemerintahan) ketentuan a quo dibuat berdasarkan prinsip “Freis Emersen” atau kebebasan bertindak dari Pemerintah karena menghadapi kerancuan aturan atau karena aturan- aturannya tidak lengkap. Namun demikian menurut Pemohon pembentukan aturan pelaksanaan yang tidak diamanatkan oleh Undang-Undangnya seperti halnya kewenangan “Verifikasi” a quo seharusnya didasarkan pada dolmatigheid yang jelas yang sangat diperlukan dan harus juga didasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik. UU KUP sudah mengatur secara rinci tentang kewenangan “Pemeriksaan” tidak ada lagi perlunya mengatur kewenangan lain (verifikasi) yang pada dasarnya sama persis dengan “Pemeriksaan” yang justru menimbulkan multi tafsir yang dapat menyebabkan abuse of power dari Dirjen Pajak dan bisa menyebabkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 65 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 66 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 komplikasi adminstrasi perpajakan yang pada akhirnya merugikan Wajib Pajak, sehingga kurang sesuai dengan asas keadilan dan kepastian hukum; - Bahwa Pemohon berpendapat bahwa upaya hukum “ pengajuan keberatan “ adalah merupakan salah satu hak yang sifatnya sangat mendasar sebagai implementasi dari asas kepastian hukum dan asas keadilan yang menjadi salah satu pilar UU KUP mengingat atau sebagai konsekuensi dari sifat memaksa dari pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP; - Bahwa sebagai implementasi dari asas kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan, maka penyelesaian Surat Keberatan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak dibatasi oleh waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP; - Bahwa ketentuan pada Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah menyebabkan timbulnya keragu-raguan dan menimbulkan multi tafsir dalam pelaksanaannya; - Bahwa Pasal 27A UU KUP, yang dirujuk oleh Pasal 43 ayat (1) dan (2) PP No. 74 Tahun 2011 sebagai dasar hukum pemberian bunga, pada dasarnya formulanya/ungkapannya adalah persis sama dengan Pasal 27A ayat (1) dimaksud; - Bahwa menurut pendapat Pemohon, ketentuan pada Pasal 27 ayat (1) UU KUP a quo adalah merupakan ungkapan dari asas keseimbangan antara hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum No. 4 huruf d UU KUP. - Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 juga mencederai asas keseimbangan hak dan kewajiban perpajakan yang juga menjiwai UU KUP, sehingga dalam penerapannya akan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik karena dalam hal Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda atau bunga misalnya, Wajib Pajak tidak mendapatkan hak penundaan pembayaran yang sama seperti Direktur Jenderal Pajak. - Bahwa ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut melanggar asas “ lex superiori derogat lex inferiori ; - Bahwa dilihat dari ajaran “Norma Hukum Berjenjang” , Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 juga nyata-nyata melanggar prinsip keselarasan apabila dilihat dari sudut Ketatanegaraan karena bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengingat dinyatakan secara jelas bahwa “Pengajuan Permohonan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 66 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 67 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Peninjauan Kembali tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak”. Hal ini logis dan tepat karena putusan Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 langsung mempunyai kekuatan hukum tetap karena merupakan putusan tingkat pertama dan sekaligus terakhir. - Bahwa dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada dasarnya ada pada ranah eksekutif jelas melanggar/bertentangan dengan peraturan perundangan di bidang kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif) yaitu UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, padahal sebagai pemerintah yang baik, Dirjen Pajak seharusnya patuh pada UU termasuk UU dalam ranah yudikatif. - Bahwa pembentukan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 ditinjau dari substansinya kurang sesuai dengan asas kelembagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena substansinya seharusnya dimuat dalam UU KUP, dan juga tidak sesuai dengan asas keadilan (karena menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak), asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara Dirjen Pajak dan Wajib Pajak, dan asas ketertiban dan kepastian hukum (karena menimbulkan ketidak tertiban dan ketidakpastian). - Bahwa dalam pasal-pasal yang mengatur hak dasar dari Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 maupun Pasal 36 sama sekali tidak ditemukan adanya pengecualian atau larangan bagi Wajib Pajak untuk menggunakan Pasal 25 maupun Pasal 36 UU KUP. Oleh karenanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 jelas bertentangan dengan Pasal 25 dan 36 UU KUP - Bahwa secara filosofi, hakikat dari Pasal 29 ayat (3) PP 74 Tahun 2011 nyata-nyata tidak selaras dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi salah satu landasan filosofi dari UU KUP. - Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga telah nyata-nyata mengurangi hak Wajib Pajak yang dijamin dengan UU KUP. - Bahwa sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara, rumusan Pasal 23 ayat (2) a quo adalah sudah tepat dan lengkap apabila dibaca sekaligus dengan Pasal 25 ayat (1) UU KUP, karena dengan demikian semua tindakan Direktur Jenderal Pajak yang menerbitkan Keputusan/Ketetapan Pajak pada dasarnya dapat digugat dan diajukan keberatan sehingga dengan demikian ketentuan Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 benar-benar tidak sesuai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 67 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 68 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 dengan Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan tidak sesuai dengan hakekat Hukum Pajak sebagai Hukum Tata Usaha Negara. - Bahwa ketentuan Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 jelas tidak sejalan dengan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan dengan demikian juga tidak sejalan dengan fungsi Pengadilan Pajak sebagai pelaksana dari Kekuasaan Kehakiman yang merdeka sebagaimana diatur dengan Pasal 24 UU 1945 untuk memberikan kepastian hukum yang adil dalam menyelesaikan sengketa perpajakan. - Bahwa sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara pada dasarnya semua Keputusan/Ketetapan Pejabat Tata Usaha Negara yang tertulis, konkrit, individual dan final seharusnya bisa diajukan gugatan. Sekiranya ada ketentuan mengenai keputusan/ketetapan yang bukan merupakan objek gugatan seharusnya pengecualian seperti itu diatur dalam Undang-Undang. - Bahwa oleh karena itu PP No. 74 Tahun 2011 yang kedudukannya dibawah Undang-Undang seharusnya tidak boleh bertentangan dan juga tidak boleh mengurangi/menambah ketentuan yang diatur dalam UU KUP. - Bahwa Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 sebenarnya tidak diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) UU KUP sehingga dapat dikatakan sebagai “ unpartialistic ” atau tidak atas perintah UU dan sekiranya kepentingan tersebut dianggap bertumpu pada aspek “ doelmategheid ” (atau tujuan/kemanfaatannya) sebagai bentuk dari pelaksanaan prinsip “ Freis emerssen “ dalam hukum adminstrasi (prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada Pemerintah), tetapi tindakan pemerintah tersebut tetap tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan harus memperhatikan Asas- Asas Umum Pemerintahan Yang Baik serta asas kepatutan yang menurut Pemohon ternyata semuanya itu dilanggar oleh Pemerintah. Menimbang, bahwa dari alasan keberatan Pemohon, dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Pemohon dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa Terdapat pertentangan secara parsialistik terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di antaranya :
Bahwa ketentuan Pasal 48 UU KUP yang dijadikan dasar dan alasan hukum perkara a quo oleh Pemerintah untuk membuat aturan yang sifatnya materiil yang seharusnya merupakan kewenangan hukum pembuat (DPR bersama Pemerintah) Undang-undang sesuai dengan bunyinya "Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 69 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-undang ini dan tata cara yang diperlukan". Oleh karenanya tidaklah tepat apabila PP 74 Tahun 2011 memposisikan dirinya sebagai pelengkap dari Undang- Undang KUP, dan merupakan tindakan Pemerintah tersebut untuk meligitimasi hal-hal yang bersifat materiil yang seharusnya menjadi muatan Undang-undang, meskipun dengan dalil "melengkapi" Undang- undang.
Bahwa Pasal 1 angka 4 dan 5 perkara a quo tentang Verifikasi, Termohon HUM telah keliru dalam menggunakan Pasal 48 UU KUP. Di mana ketentuan tersebut telah mengatur pelaksanaan tentang "Keterangan Lain" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU KUP sedemikian rupa sehingga memperluas yurisdiksi substansi apa yang dimaksudkan pengertian "Verifikasi" dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP, dengan demikian tidak sesuai dengan makna UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Apabila pengujian atas "Verifikasi" dikabulkan, maka "Keterangan lain" seharusnya diatur lebih lanjut mengenai "Pemeriksaan Pajak" sehingga menjadi lebih pasti dan lebih sederhana dan tidak merugikan upaya hukum bagi Wajib Pajak.
Bahwa Pasal 29 ayat (3)a a quo yang disusun berdasarkan Pasal 48 UU KUP, nyata-nyata bertentangan dan membatasi hak Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan yang selama ini justru telah dijamin oleh UU KUP, karena nyata-nyata juga tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut melanggas Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik karena tindakan yang tidak boleh diuji sampai ke Pengadilan Pajak juga tidak sesuai dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945), karenanya dengan dicabutnya Pasal 29 ayat (3) PP Nomor 74 Tahun 2011 maka hak Wajib Pajak untuk memperjuangkan keadilan menjadi terjamin tanpa harus merugikan Negara dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang dapat ditegakkan.
Bahwa Pasal 37 a quo diterapkan dengan mendalilkan pada Pasal 48 UU KUP diterapkan secara tidak benar karena nyata-nyata Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 69 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 70 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 membatasi/mengurangi ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 23 UU KUP, oleh karenanya hal ini adalah bertentangan dengan hukum yang memberikan hak Wajib Pajak dalam memperoleh perlindungan hukum melalui mekanisme Gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah diatur juga dalam Pasal 40 UU Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dengan demikian, bahwa secara prosedur, kewenangan dan substansi ketentuan Pasal 37 perkara a quo bertentangan dengan jiwa dan falsafah makna " Keputusan" perpajakan yang dapat diajukan keberatannya sebagaimana diatur Pasal 23A huruf c UU KUP dan peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya.
Bahwa dalam hal yang serupa pada ketentuan Pasal 41 perkara a quo dengan mendalilkan pada Pasal 48 UU KUP agar dapat membuat aturan tata cara pelaksanaan Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 26A UU KUP, ternyata diterapkan secara tidak benar karena pengaturan yang dilakukan dengan menambah keluasan kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang menyebabkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak Wajib Pajak yang telah dijamin dalam Undang-Undang KUP. Dengan demikian, dengan dicabutnya Pasal 41 a quo justru menjamin kepastian hukum dan tidak merugikan hak Wajib Pajak.
Bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c bertentang dengan norma hukum yang terkandung dalam Pasal 27A ayat (a) dan ayat (3) Undang- Undang KUP dan Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) jo Pasal 86 dan Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak karena Wajib Pajak kehilangan kesempatan memperoleh imbalan bunga sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan tersebut, karena putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap .
Bahwa terlepas dari kewenangan hukum dan otoritas kebijakan fiskal yang prudent dimiliki oleh Pemerintah dalam bentuk atribusi sebagaimana yang diamanatkan baik dalam ketentuan Pasal 37 maupun Pasal 48 UU KUP maka kewenangan tersebut berfungsi mengatur ( regulurend ) yaitu berupa prosedur dan kewenangan berikut substansi terhadap pelaksanaan yang berkaitan dengan implementasi atas pasal-pasal dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang terbangun dalam hukum acara untuk menempatkan sistem self assessment sebagai politik hukum pemungutan pajak, sehingga penyimpangan hukum acara merupakan beleeidsregels dapat dibenarkan manakala kaidah kebijaksanaan yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 70 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 71 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 berkonotasi "dalil" atau "hukum" memiliki dasar pijak yang nyata di dalam "teks" Undang-undang yang ditetapkan dalam tugas pemerintahan, oleh karenanya seyogyanya perkara a quo tidak boleh bertentangan dan wajib mematuhi norma-norma yang terkandung pada idealistik hukum apa yang menjadikan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara equelbrium , dengan demikian perkara a quo tidak boleh bertentangan dengan Undang- undang yang lebih tinggi dalam artian bahwa pada asasnya negara mempunyai hak mutlak untuk meningkatkan pemungutan pajak karena kewajiban warga negara ( Staatsburgerplicht ), tetapi kewajiban itu bukan semata-mata tanpa hak, melainkan kewajiban itu timbul justru karena adanya "hak warga negara" ( Staatsburgerrech) nya maka perwujudan penyelesaian pemenuhan dan penunaian hak dan kewajibannya harus mencerminkan keadilan yang bersendikan pada hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik .
Bahwa dalil-dalil perrnohonan Pemohon HUM sangat beralasan karena secara normative hukum perkara a quo tidak terdapat dan memiliki relevansi idealistik hukum antara ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (1) huruf a; pasal 19; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 48 ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10); Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak khususnya dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang pada umumnya.
Bahwa secara Karakteristik Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan seharusnya merupakan penjabaran hukum terhadap Undang- undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Undang- undang Pengadilan Pajak merupakan implementasi terhadap ketentuan hukum acara perpajakan yang saling mengisi dan melengkapi atas norma hukum dari system self assessment sebagai politik hukum pemungutan pajak dan sekaligus merupakan binding by law, di samping withholding tax system (sistem pemotongan dan pemungutan pajak). Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 71 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 72 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, permohonan Pemohon HUM sangat beralasan dan patut untuk dikabulkan, karena selebihnya apabila masih terdapat perselisihan yang mungkin akan timbul dikemudian hari dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum yang ada sebagaimana diatur dalam KUP dan upaya hukum pada badan peradilan di bidang pajak. Bahwa Selanjutnya, memerintahkan kepada Pemerintah untuk menyusun kembali Peraturan Pemerintah dalam perkara a quo yang berorientasi pada parsialistik, normative dan karakterstik serta idealistik hukum yang menjamin kepastian dan keadilan hukum secara timbal balik terhadap pemenuhan hak dan penenuaian kewajiban hukum yang bersumber pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, terbukti bahwa Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yaitu: Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c; Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayar (3) ; Pasal 48 ayat (3), ayat(4) ,ayat (7), ayat (8), ayat (9) dan ayat (10) ; Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 43 ayat (6) huruf c; Pasal 29 ayat (3); Pasal 37 __ bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang–Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang–Undang No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak __ (vide Bukti P.9., P.11) sehingga harus dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon harus dikabulkan dan peraturan yang menjadi obyek dalam perkara uji materiil a quo harus dinyatakan tidak sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat _; _ __ Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon, maka Termohon dihukum untuk membayar biaya perkara; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 A ayat (8) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011, Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 72 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 73 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; MENGADILI, Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA (KADIN INDONESIA), tersebut; Menyatakan Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) ; Pasal 15; Pasal 18 ayat (1) Huruf a ; Pasal 19 ; Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) ; Pasal 21; Pasal 30 ayat (2) huruf c;
Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
Kawasan Industri.
Relevan terhadap
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KAWASAN INDUSTRI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan Industri.
Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.
Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri. 4. Perusahaan Industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri di wilayah Indonesia. 5. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tata Tertib Kawasan Industri adalah peraturan yang ditetapkan oleh Perusahaan Kawasan Industri, yang mengatur hak dan kewajiban Perusahaan Kawasan Industri, perusahaan pengelola Kawasan Industri, dan Perusahaan Industri dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Industri.
Tim Nasional Kawasan Industri selanjutnya disingkat Timnas-KI adalah tim yang dibentuk oleh Menteri dengan tugas membantu dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan http: //www.djpp.depkumham.go.id No. 47, 2009 FINEK. INDUSTRI. Ekonomi. Kawasan Industri. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987) http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 2 Pembangunan Kawasan Industri bertujuan untuk:
mengendalikan pemanfaatan ruang;
meningkatkan upaya pembangunan Industri yang berwawasan lingkungan;
mempercepat pertumbuhan Industri di daerah;
meningkatkan daya saing Industri;
meningkatkan daya saing investasi; dan
memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antar sektor terkait. BAB II PEMBANGUNAN, PENGATURAN, PEMBINAAN, DAN PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI Pasal 3 (1) Pembangunan Kawasan Industri di wilayah lintas provinsi dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Pembangunan Kawasan Industri di wilayah Provinsi DKI Jakarta dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Ibukota Negara.
Pembangunan Kawasan Industri di wilayah lintas kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
Pembangunan Kawasan Industri di wilayah kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Pasal 4 Menteri, menteri terkait, dan gubernur serta bupati/walikota sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing bertanggung jawab atas pencapaian tujuan pembangunan Kawasan Industri. Pasal 5 (1) Menteri berwenang:
menetapkan Kawasan Industri Tertentu b. melakukan pengaturan dan pembinaan terhadap Kawasan Industri, Kawasan Industri tertentu, dan Perusahaan Industri. c. menetapkan suatu Kawasan Industri sebagai obyek vital untuk mendapat pengamanan khusus. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
menetapkan pedoman teknis Kawasan Industri;
memfasilitasi penyelesaian permasalahan antara Perusahaan Kawasan Industri dengan Perusahaan Industri yang berlokasi di Kawasan Industri;
membentuk Tim Nasional Kawasan Industri yang selanjutnya disebut Timnas-KI; dan
menetapkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan Industri di Kawasan Industri atas usul Timnas- KI. (3) Menteri melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam:
perencanaan penyediaan prasarana dan sarana penunjang serta pemberian kemudahan yang diperlukan; dan
penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana penunjang Kawasan Industri dan Perusahaan Industri yang berlokasi di Kawasan Industri. Pasal 6 Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan Kawasan Industri, gubernur atau bupati/walikota memberikan:
insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan pada wilayah daerah yang diperuntukkan bagi pembangunan Kawasan Industri;
pengarahan kegiatan Industri ke dalam Kawasan Industri; dan/atau
pelayanan terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 (1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri setelah Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, wajib berlokasi di Kawasan Industri.
Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi:
Perusahaan Industri yang menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus. b. Industri mikro, kecil, dan menengah. c. Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki Kawasan Industri atau yang telah memiliki Kawasan Industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis.
Jenis Industri yang memerlukan lokasi khusus, serta industri mikro, kecil, dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Menteri. Pasal 8 Perusahaan Industri yang akan melakukan perluasan dengan menambah lahan melebihi Kawasan Peruntukan Industri, wajib berlokasi di Kawasan Industri. http: //www.djpp.depkumham.go.id
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pengelolaan Kawasan Industri.
Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemberi Izin Usaha Kawasan Industri. (3) Penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan. Pasal 17 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dan telah beroperasi, serta akan melakukan perluasan Kawasan Industri wajib memperoleh Izin Perluasan Kawasan Industri terlebih dahulu.
Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V HAK PENGGUNAAN ATAS TANAH KAWASAN INDUSTRI Pasal 18 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dapat diberikan Hak Guna Bangunan atas tanah yang telah dikuasai dan dikembangkan.
Hak Guna Bangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipecah menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling.
Pemecahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri.
Ketentuan dan tata cara pemberian Hak Guna Bangunan dan pemecahan Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 19 (1) Kawasan Industri yang dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Negara dan badan usaha milik daerah yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dapat diberikan Hak Pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di atas Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Guna Bangunan berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan untuk masing-masing kaveling atau gabungan beberapa kaveling. BAB VI KEWAJIBAN KAWASAN INDUSTRI Pasal 20 Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi kegiatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal 21 (1) Kawasan Industri wajib memiliki Tata Tertib Kawasan Industri.
Tata Tertib Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:
hak dan kewajiban masing-masing pihak;
ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan. c. ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan
ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola Kawasan Industri.
Kawasan Industri wajib memfasilitasi perizinan dan hubungan Industrial bagi Perusahaan Industri yang berada di Kawasan Industri. Pasal 22 (1) Kawasan Industri wajib memenuhi pedoman teknis Kawasan Industri (2) Ketentuan mengenai pedoman teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII KEWAJIBAN PERUSAHAAN INDUSTRI DI KAWASAN INDUSTRI Pasal 23 (1) Perusahaan Industri di dalam Kawasan industri wajib memiliki:
Upaya Pengelolaan Lingkungan; dan
Upaya Pemantauan Lingkungan.
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang mengelola atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan. http: //www.djpp.depkumham.go.id (3) Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut Gangguan, Izin Lokasi, dan pengesahan rencana tapak tanah. Pasal 24 (1) Setiap Perusahaan Industri di kawasan Industri wajib:
memenuhi semua ketentuan perizinan dan Tata Tertib Kawasan Industri yang berlaku;
memelihara daya dukung lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah;
melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak pembelian lahan; dan
mengembalikan kaveling Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak melakukan pembangunan pabrik.
Tata cara pengembalian kaveling Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib Kawasan Industri masing-masing Kawasan Industri. BAB VIII TIM NASIONAL KAWASAN INDUSTRI Pasal 25 (1) Timnas-KI bertugas:
memberikan usulan dan masukan kepada Menteri sebagai bahan penyusunan perumusan kebijakan;
melakukan pengawasan pelaksanaan pengembangan Kawasan Industri;
melakukan koordinasi dengan instansi Pemerintah terkait dan/atau pemerintah daerah serta Perusahaan Kawasan Industri;
melakukan evaluasi perkembangan Kawasan Industri; dan/atau mengusulkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan Industri di Kawasan Industri. e. Mengusulkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan industri di Kawasan Industri.
Keanggotaan Timnas-KI terdiri dari unsur Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan perhimpunan Kawasan Industri, Kamar Dagang dan Industri yang diangkat dan ditetapkan oleh Menteri.
Timnas-KI wajib melaporkan tugasnya kepada Menteri paling lama 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan. BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 26 (1) Menteri atau pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) sesuai dengan kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif kepada:
Perusahaan Industri yang melakukan perluasan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
Perusahaan Kawasan Industri yang tidak mematuhi penetapan patokan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf d;
Perusahaan Kawasan Industri yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
peringatan tertulis;
pembekuan Izin Usaha Industri dan/atau Tanda Daftar Industri;
pembekuan Izin Usaha Kawasan Industri yang dimiliki;
pencabutan Izin Usaha Industri dan/atau Tanda Daftar Industri; dan/atau
pencabutan Izin Usaha Kawasan Industri. Pasal 27 Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a dikenakan kepada Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan. Pasal 28 (1) Sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Industri atau Tanda Daftar Industri dikenakan kepada Perusahaan Industri apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat peringatan tertulis yang ketiga tidak memenuhi dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1).
Sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Kawasan Industri dikenakan kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat peringatan tertulis yang ketiga tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1).
Dalam hal Perusahaan Industri telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau Perusahaan Kawasan Industri telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1), Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri dapat mengajukan pembatalan pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak diterbitkannya putusan pembekuan izin tersebut. http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 29 Sanksi administratif berupa pencabutan Izin Usaha Industri atau Tanda Daftar Industri dikenakan kepada Perusahaan Industri, atau pencabutan Izin Usaha Kawasan Industri dikenakan kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri tetap tidak memperbaiki kesalahannya atau permohonan pembatalan pembekuan izinnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) ditolak. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 30 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
Permohonan Izin Usaha Kawasan Industri yang diajukan sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku tetap diproses berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum Peraturan Pemerintah ini;
Perusahaan Industri baru atau perluasan usaha Industri yang telah memperoleh Persetujuan Prinsip sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dapat tetap berlokasi sesuai dengan Persetujuan Prinsip tersebut;
Perusahaan Kawasan Industri yang telah mendapatkan Izin Usaha Kawasan Industri sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tetap dapat melaksanakan kegiatan sesuai dengan izin yang ditetapkan; PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN INDUSTRI I. UMUM Pembangunan Industri merupakan salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional, yang diarahkan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan Industri yang berkelanjutan yang didasarkan pada aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Saat ini pembangunan Industri sedang dihadapkan pada persaingan global yang sangat No. 4987 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 47) http: //www.djpp.depkumham.go.id berpengaruh terhadap perkembangan Industri nasional. Peningkatan daya saing Industri merupakan salah satu pilihan yang harus dilakukan agar produk Industri nasional mampu bersaing di dalam negeri maupun luar negeri. Langkah-langkah dalam rangka peningkatan daya saing dan daya tarik investasi yakni terciptanya iklim usaha yang kondusif, efisiensi, kepastian hukum, dan pemberian fasilitas fiskal serta kemudahan-kemudahan lain dalam kegiatan usaha Industri, yang antara lain dengan tersedianya lokasi Industri yang memadai yang berupa Kawasan Industri. Dalam rangka pelaksanaan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, maka sebagai upaya untuk mendorong pembangunan Industri perlu dilakukan pembangunan lokasi Industri yang berupa Kawasan Industri. Pembangunan Kawasan Industri merupakan sarana untuk mengembangkan Industri yang berwawasan lingkungan serta memberikan kemudahan dan daya tarik bagi investasi dengan pendekatan konsep efisiensi, tata ruang, dan lingkungan hidup. Aspek efisiensi merupakan suatu sasaran pokok pengembangan Kawasan Industri. Melalui pengembangan Kawasan Industri investor pengguna kaveling Industri (user) akan mendapatkan lokasi kegiatan Industri yang sudah tertata dengan baik, kemudahan pelayanan administrasi, ketersediaan infrastruktur yang lengkap, keamanan dan kepastian tempat usaha yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. Aspek tata ruang, pembangunan Kawasan Industri dapat mensinergikan perencanaan, prasarana dan sarana, penunjang seperti penyediaan energi listrik, telekomunikasi, fasilitas jalan, dan lain sebagainya. Aspek lingkungan hidup, dengan pengembangan Kawasan Industri akan mendukung peningkatan kualitas lingkungan hidup di daerah secara menyeluruh. Kegiatan Industri pada suatu lokasi pengelolaan, akan lebih mudah menyediakan fasilitas pengolahan limbah dan juga pengendalian limbahnya. Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal meliputi kewenangan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan Kawasan Industri, kewajiban Perusahaan Industri untuk berlokasi di Kawasan Industri, Izin Usaha Kawasan Industri dan batas minimal luas Kawasan Industri, sanksi bagi Perusahaan Kawasan Industri maupun Perusahaan Industri yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Yang dimaksud dengan "menteri terkait" adalah menteri yang membidangi urusan yang terkait erat dengan pembangunan Industri seperti menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri, penataan ruang, infrastruktur, lingkungan hidup, keuangan, dan lain sebagainya. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "penetapan Kawasan Industri Tertentu" adalah kewenangan Menteri untuk menetapkan Kawasan Industri yang memerlukan lahan khusus serta industri mikro, kecil, dan menengah. Huruf b Cukup Jelas Huruf c Yang dimaksud dengan "pengamanan khusus" adalah segala usaha, pekerjaan, dan kegiatan dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan serta penegakkan hukum terhadap setiap ancaman dan gangguan yang ditujukan kepada Kawasan Industri. Ayat (2) Huruf a Penetapan Pedoman Teknis Kawasan Industri dimaksud untuk dijadikan acuan bagi Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan dunia usaha dalam mengembangkan Kawasan Industri (industrial estate) . Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan "patokan harga jual" adalah kisaran harga berdasarkan NJOP pada saat transaksi penjualan kaveling, yang ditetapkan berdasarkan hasil evaluasi Tim Nasional Kawasan Industri. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Cukup jelas http: //www.djpp.depkumham.go.id Huruf b Yang dimaksud dengan "kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan" adalah kemudahan dalam memperoleh lokasi dan hak atas tanah yang akan menjadi Kawasan Industri serta kemudahan dalam pembangunan Kawasan Industri, misalnya perizinan, prasarana dan sarana pendukung Kawasan Industri. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "Industri yang menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus" antara lain Industri semen, Industri pupuk, Industri kertas, Industri galangan kapal, dan sebagainya. Huruf b Cukup jelas Huruf C Cukup Jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Persetujuan Prinsip diberikan dalam rangka persiapan pembangunan Kawasan Industri. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "sarana penunjang" antara lain instalasi penyediaan air bersih, saluran buangan air hujan, air kotor, instalasi penyediaan dan jaringan distribusi tenaga listrik, penerangan jalan, jaringan telekomunikasi, dan unit pemadam kebakaran. Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup Jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dikembangkan" adalah adanya kegiatan penyusunan rencana tapak tanah (site plan) . Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 19 Cukup Jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup Jelas Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "pengambilan air tanah" adalah pengambilan air tanah dalam yang dilakukan oleh Perusahaan Industri yang bersangkutan di dalam Kawasan Industri. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "perhimpunan Kawasan Industri" adalah wadah berhimpunnya Perusahaan Kawasan Industri. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas LDj © 2004 ditjen pp
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor adalah instansi yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas sektor dan mengeluarkan pengaturan terhadap sektor tersebut misalnya sektor perbankan dan sektor perhubungan.
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik ( electronic mail ), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
Pengguna Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang memanfaatkan barang, jasa, fasilitas, atau informasi yang disediakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik.
Perangkat Keras adalah satu atau serangkaian alat yang terhubung dalam Sistem Elektronik.
Perangkat Lunak adalah satu atau sekumpulan program komputer, prosedur, dan/atau dokumentasi yang terkait dalam pengoperasian Sistem Elektronik.
Sertifikasi Kelaikan Sistem Elektronik adalah suatu rangkaian proses pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan oleh institusi yang berwenang dan berkompeten untuk memastikan suatu Sistem Elektronik berfungsi sebagaimana mestinya.
Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
Penyelenggaraan Transaksi Elektronik adalah rangkaian kegiatan Transaksi Elektronik yang dilakukan oleh Pengirim dan Penerima dengan menggunakan Sistem Elektronik.
Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak terpercaya yang memfasilitasi pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
Pendukung Layanan Tanda Tangan Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak pendukung terselenggaranya penggunaan Tanda Tangan Elektronik.
Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik adalah kode pribadi, kode biometrik, kode kriptografi, dan/atau kode yang dihasilkan dari pengubahan tanda tangan manual menjadi Tanda Tangan Elektronik, termasuk kode lain yang dihasilkan dari perkembangan Teknologi Informasi.
Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan Sertifikat Keandalan dalam Transaksi Elektronik.
Sertifikat Keandalan adalah dokumen yang menyatakan Pelaku Usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik telah lulus audit atau uji kesesuaian dari Lembaga Sertifikasi Keandalan.
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
Registri Nama Domain adalah penyelenggara yang bertanggung jawab dalam melakukan pengelolaan, pengoperasian, dan pemeliharaan Penyelenggaraan Sistem Elektronik Nama Domain.
Registrar Nama Domain adalah Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang menyediakan jasa pendaftaran Nama Domain.
Pengguna Nama Domain adalah Orang, Instansi Penyelenggara Negara, Badan Usaha, atau masyarakat yang mengajukan pendaftaran untuk penggunaan Nama Domain kepada Registrar Nama Domain.
Instansi Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Instansi adalah institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif di tingkat pusat dan daerah dan instansi lain yang dibentuk dengan peraturan perundang- undangan.
Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Sistem Akuntansi Transaksi Khusus.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Sistem Akuntansi Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat SA-TK adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran aset pemerintah yang terkait dengan fungsi Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, yang tidak tercakup dalam Sub Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) lainnya.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan hibah.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah Badan Usaha atau Bentuk Badan Usaha Tetap yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
Kontraktor Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor PKP2B adalah badan usaha yang melakukan pengusahaan pertambangan batubara, baik dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Aset yang Menganggur (Iddle Asset) adalah aset milik pemerintah pusat yang tidak digunakan untuk mendukung pelaksanan tugas pokok dan fungsi Kementerian/Lembaga selaku Pengguna Barang sehingga wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang untuk ditetapkan status penggunaannya.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia.
Bank Dalam Likuiditas yang selanjutnya disingkat BDL adalah bank yang telah dicabut izin usahanya karena tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan dan tata cara pencabutan izin usaha, pembubaran, dan likuidasi bank karena dianggap tidak mungkin diselamatkan lagi meskipun telah dilakukan berbagai upaya penyehatan.
Perusahaan Pengelola Aset yang selanjutnya disingkat PPA adalah Perusahaan Perseroan di bidang pengelolaan aset yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah dengan tujuan untuk melakukan pengelolaan aset Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak berperkara untuk dan atas nama Menteri Keuangan.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus pada tingkat satuan kerja di lingkup Bendahara Umum Negara.
Unit Akuntansi Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA- BUN TK yang berada langsung di bawahnya.
Unit Akuntansi Penggabungan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAPKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang bertugas untuk melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA-BUN TK dan/atau yang melalui UAKKPA BUN TK yang berada langsung di bawahnya.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAP BUN TK adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Unit Akuntansi Kuasa Pengelola Barang Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat UAKPB-BUN adalah satuan kerja/unit akuntansi yang diberi kewenangan untuk mengurus/ menatausahakan/mengelola Barang Milik Negara yang dalam penguasaan Bendahara Umum Negara Pengelola Barang.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut DJPBN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertindak sebagai UAP BUN TK.
Badan Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat BKF adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengurus kerja sama internasional dan perjanjian hukum internasional.
Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengelola PNBP di bawah BA BUN.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang yang bertugas mengelola Barang Milik Negara.
Dana Perhitungan Fihak Ketiga yang selanjutnya disebut Dana PFK sejumlah dana yang dipotong langsung dari gaji pokok dan tunjangan keluarga pegawai negeri/pejabat negara, dan iuran kesehatan yang disetor oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, serta Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil Pusat/Daerah untuk disalurkan kepada pihak ketiga.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa BUN Pusat untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPM.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya.
Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.
Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan Pengguna Anggaran yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada Entitas Pelaporan.
Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menggambarkan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan selama suatu periode.
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA, Neraca, dan Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat PB adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang Milik Negara/Daerah.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah kuasa yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/ subsistem yang berbeda berdasarkan Dokumen Sumber yang sama.
Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam laporan keuangan, permintaan keterangan dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Surat Utang Negara
Relevan terhadap
Pemerintah mengadakan konsultasi dengan Bank Indonesia pada saat merencana-kan penerbitan Surat Utang Negara untuk satu tahun anggaran. Konsultasi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan Surat Utang Negara, agar keselarasan antara kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter dapat tercapai. Pendapat Bank Indonesia tersebut menjadi masukan di dalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah agar penerbitan Surat Utang Negara dimaksud dapat dilakukan tepat waktu dan dilakukan dengan persyaratan yang dapat diterima pasar serta menguntungkan Pemerintah.
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Tatacara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. ...
Relevan terhadap
Kuasa Pengguna Anggaran Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), menunjuk:
Pejabat Pembuat Komitmen, yaitu pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/penanggung jawab kegiatan/pembuat komitmen;
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (SPM), yaitu pejabat yang diberi kewenangan untuk menguji tagihan kepada negara dan menandatangani SPM. BAB IV TATA CARA PEMANTAUAN REKENING DAN PENYAMPAIAN TAGIHAN JAMINAN Bagian Kesatu Pemantauan Rekening dan Kemajuan Pembayaran Kembali Pinjaman Pasal 15 (1) Bank Pemberi Kredit menyampaikan laporan pelaksanaan pemblokiran dana pada rekening PDAM kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang sebesar kewajiban yang akan jatuh tempo secara triwulanan.
Dalam hal dipandang perlu laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimintakan sesuai kebutuhan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang melakukan pemantauan kemungkinan gagal bayar PDAM dan mitigasi risiko berdasarkan laporan pelaksanaan pemblokiran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pembayaran Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4), sebesar 30% dari jumlah Gagal Bayar menjadi beban Pemerintah Daerah.
Atas beban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat membayar langsung dan/atau mengkonversi menjadi pinjaman dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Dalam hal Pemerintah Daerah memilih alternatif untuk mengkonversi beban menjadi pinjaman, Pemerintah Pusat c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Pemerintah Daerah melakukan Perjanjian Pinjaman.
Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan.
Dalam hal terdapat tunggakan terhadap pinjaman Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat sebagai konversi beban menjadi pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah dapat dikenakan sanksi berupa pemotongan atas penyaluran DAU dan/atau DBH sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI PENYEDIAAN, PERHITUNGAN, DAN PEMBAYARAN SUBSIDI BUNGA OLEH PEMERINTAH PUSAT Bagian Kesatu Penganggaran Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat Pasal 22 (1) Pemerintah Pusat menyediakan anggaran Subsidi Bunga melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan estimasi kebutuhan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat.
Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Direktur Jenderal Anggaran, dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal melakukan perhitungan kebutuhan Subsidi Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
PDAM dan Bank Pemberi Kredit menandatangani Perjanjian Kredit setelah menerima Perjanjian Induk dan Persetujuan atas konsep akhir Perjanjian Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Perjanjian Kredit memuat paling kurang ketentuan- ketentuan sebagai berikut:
Tujuan penggunaan fasilitas kredit;
Dalam hal PDAM gagal bayar atas sebagian atau seluruh kewajiban pembayaran kembali kredit yang telah jatuh tempo, Pemerintah Pusat menanggung sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan Bank Pemberi Kredit menanggung 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Gagal Bayar;
Tingkat bunga kredit investasi ditetapkan sebesar BI Rate ditambah paling tinggi 5% ;
Tingkat BI Rate yang dibebankan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: (i) untuk pembebanan BI Rate sebelum penetapan bunga, BI Rate yang digunakan adalah BI Rate yang berlaku pada saat penarikan kredit yang pertama; (ii) untuk pembebanan BI Rate selanjutnya akan ditetapkan kembali setiap 6 (enam) bulan pada tanggal 1 April dan 1 Oktober berdasarkan tingkat BI Rate yang berlaku; (iii) dalam hal dianggap perlu, peninjauan kembali tingkat bunga sebagaimana dimaksud pada butir (ii) dapat dilakukan berdasarkan surat persetujuan Menteri Keuangan, sebagaimana contoh perhitungan dalam Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan ini.
Kewajiban PDAM untuk membuka rekening pada Bank Pemberi Kredit, atau bank yang ditunjuk oleh Bank Pemberi Kredit untuk keperluan transaksi penerimaan dan pengeluaran PDAM; dan
Hak Bank Pemberi Kredit, atau bank yang ditunjuk oleh Bank Pemberi Kredit untuk memblokir dana paling kurang sebesar satu kali kewajiban yang akan jatuh tempo, dan selanjutnya mendebet langsung dana yang diblokir tersebut.
PDAM menyampaikan salinan Perjanjian Kredit yang telah ditandatangani kepada Menteri Keuangan dengan tembusan disampaikan kepada:
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan;
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan; dan
Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.
Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara.