Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah. ...
Pengujian UU No. 36 Thn 2008 ttg Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 Ttg Pajak Penghasilan [Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, & d, Pasal 9 ayat ( ...
Relevan terhadap 13 lainnya
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”, maka sistem perpajakan yang baik dimaksud, antara lain harus dapat memperhatikan unsur keadilan, pemerataan beban sesuai kemampuan dan asas kegotong-royongan nasional dalam pembiayaan pembangunan, serta memberikan kepastian hukum dan keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban kenegaraan. Bahwa tujuan pengenaan pajak tersebut sesuai fungsinya adalah sebagai sumber penerimaan untuk keperluan negara (fungsi budget), dan untuk mengatur terciptanya keseimbangan dan keharmonisan antara kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi di sektor ril dan investasi (fungsi regulasi). Melalui pembayaran pajak sebagai kewajiban kenegaraan, dengan mewajibkan yang lebih mampu membantu yang kurang mampu melalui penerapan tarif progresif, merupakan perwujudan kegotong-royongan nasional dalam pembiyaan pembangunan, yang diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap keberhasilan pembangunan, sehingga menimbulkan rasa turut bertanggung jawab (sense of responsblity) atas pemeliharaan dan pengawasan negara, dan selanjutnya tedorong untuk turut berperan dan berpartisipasi (sense of participation) dalam pembiayaan pembangunan bangsa melalui pembayaran pajak; Di antara ketentuan yang mencerminkan pelaksanaan sistim perpajakan yang berorientasi untuk keadilan dan pemerataan, antara lain ketentuan adanya PTKP dalam Pasal 7, dan pengenaan pajak dengan tarif progresif dalam Pasal 17, sebagaimana telah dilakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dan itu terus berlaku dengan beberapa kali perubahan yang pertama tahun 1994 lalu tahun 1997 dan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Terkait kedua permasalahan itu maka ada dua pembahasan yang harus diperhatikan, pertama bahwa dalam membahas kedua masalah itu perlu diperhatikan antara lain untuk kepastian hukum maka prinsip-prinsip pajak harus dipertahankan secara konsisten; Kedua , dalam sumbangan membaca teks Undang-Undang apabila ada yang kurang jelas atau ada keraguan hendaklah memperhatikan yang pertama interpretasi sistematis yaitu atau mengkaitkan pasal-pasal antara pasal-pasal yang terkait dengan Undang-Undang yang sama atau mengkaitkan dengan undang- undang yang diatur dengan Undang-Undang lain yang terkait karena ini menyangkut dengan zakat dimana harus terkait dengan Undang-Undang Nomor
refleksi bahwa yang menentukan besarnya pendapatan negara yang berasal dari pajak yang dibebankan kepada rakyat yang kemudian dibelanjakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah rakyat sendiri dengan perantaraan Dewan Perwakilan. Sebagai negara yang berorientasi pada kepentingan kesejahteraan rakyat yang demokratis, Indonesia menjunjung tinggi hak dan kewajiban perpajakan dengan memberi kesempatan kepada rakyat melalui DPR untuk merumuskan undang-undang perpajakan (Pasal 23 A UUD 1945). Sehingga tidak ada taxation without representation yang dapat dianggap sebagai robbery (semboyan abad ke- 18 di Amerika). Secara tradisional (Nurmantu, 2005, dan Brotodihardjo, 2008), kita mengetahui 2 (dua) fungsi pajak, yaitu (1) fiskal atau budgeter (penerimaan negara) dan (2) pengaturan (regulasi – pengaturan kehidupan ekonomi dan sosial). Sementara itu, Fritz Neumark (dalam Nurmantu, 2005) menyebut beberapa prinsip pemajakan yang baik, yaitu (1) revenue productivity ; artinya bahwa system pajak seharusnya dapat menghasilkan penerimaan negara dalam jumlah yang cukup ( adequate ) dan flexible sesuai dengan kondisi yang dihadapi, (2) social justice; maksudnya bahwa sistem pemajakan harus memperhatikan keadilan sosial seperti bahwa semua orang yang telah berkemampuan membayar pajak seharusnya kena pajak ( universality ), orang dengan kemampuan bayar yang sama seharusnya beban pajaknya sama ( equality ) dan beban pajak dihitung berdasar kemampuan bayar masing-masing ( ability to pay ), serta distribusi beban pajak antar penduduk seharusnya dapat mempersempit celah perbedaan penghasilan dan kekayaan ( redistribution ), (3) economic goals ; artinya bahwa kebijakan perpajakan dapat dipakai sebagai alat membantu pencapaian tujuan ekonomi tertentu, dan (4) ease of administration and compliance ; artinya bahwa seharusnya peraturan perundangannya jelas dan mudah dipahami, berkesinambungan (relatif tidak sering berubah-ubah), murah biaya kepatuhan dan administrasi, serta memudahkan pembayaran pajak sehingga sistem pajak mudah pengadministrasinya dan pematuhannya. Sehubungan dengan prinsip revenue productivity sistem pajak, Jenkins dan Shukla (1997) menyatakan bahwa seberapa besar jumlah penerimaan pajak Pemerintah sebagian akan bergantung pada basis pajak ( tax base ) dan tarif pajak ( tax rates ) yang berlaku. Di Indonesia setiap tahun jumlah pajak yang harus dikumpulkan ditentukan dalam UU APBN berdasar persetujuan para wakil rakyat
Jalan.
Relevan terhadap
Ayat (1) Ketentuan mengenai pengelompokan jalan dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian hukum penyelenggaraan jalan sesuai dengan kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan jalan strategis nasional adalah jalan yang melayani kepentingan nasional atas dasar kriteria strategis yaitu mempunyai peranan untuk membina kesatuan dan keutuhan nasional, melayani daerah-daerah rawan, bagian dari jalan lintas regional atau lintas internasional, melayani kepentingan perbatasan antarnegara, serta dalam rangka pertahanan dan keamanan. Ayat (3) Jalan strategis provinsi adalah jalan yang diprioritaskan untuk melayani kepentingan provinsi berdasarkan pertimbangan untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan keamanan provinsi; untuk jalan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta terdiri atas jalan provinsi dan jalan nasional. Ayat (4) Yang dimaksud dengan jalan strategis kabupaten adalah jalan yang diprioritaskan untuk melayani kepentingan kabupaten berdasarkan pertimbangan untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan keamanan kabupaten. Ayat (5) Yang dimaksud dengan jalan kota adalah jalan yang berada di dalam daerah kota yang bersifat otonom sebagaimana dimaksud dalam undang- undang tentang pemerintahan daerah. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas
Jalan tol diselenggarakan untuk:
memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang;
meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi;
meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan; dan
meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan.
Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh Pemerintah dan/atau badan usaha yang memenuhi persyaratan.
Pengguna jalan tol dikenakan kewajiban membayar tol yang digunakan untuk pengembalian investasi, pemeliharaaan, dan pengembangan jalan tol.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang jalan.
Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan- nya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.
Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.
Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol.
Penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan.
Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundang-undangan jalan.
Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan.
Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan.
Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan pembangunan jalan.
Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya.
Jalan bebas hambatan adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan.
Badan Pengatur Jalan Tol yang selanjutnya disebut BPJT adalah badan yang dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Badan usaha di bidang jalan tol yang selanjutnya disebut Badan Usaha adalah badan hukum yang bergerak di bidang pengusahaan jalan tol.
Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis.
Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. 2. Lahan Pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian.
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.
Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 7. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 8. Pertanian Pangan adalah usaha manusia untuk mengelola lahan dan agroekosistem dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan serta kesejahteraan rakyat.
Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. 11. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Petani Pangan, yang selanjutnya disebut Petani, adalah setiap warga negara Indonesia beserta keluarganya yang mengusahakan Lahan untuk komoditas pangan pokok di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. 13. Pangan Pokok adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, baik nabati maupun hewani, yang diperuntukkan sebagai makanan utama bagi konsumsi manusia. 14. Setiap Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.
Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara.
Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 17. Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 18. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 20. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan pertanian. 21. Pusat Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah pusat yang menyelenggarakan sistem informasi serta administrasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada lembaga pemerintah yang berwenang di bidang pertanahan.
Tanah Telantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Bank Bagi Petani adalah badan usaha yang sekurang- kurangnya berbentuk lembaga keuangan mikro dengan sumber pembiayaan yang diprioritaskan berupa dana Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai stimulan, dana tanggung jawab sosial dan lingkungan badan usaha, serta dana masyarakat dalam rangka meningkatkan permodalan bank untuk kesejahteraan petani. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :
Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Kementerian/Lembaga adalah Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Sewa adalah pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.
Penilaian adalah proses kegiatan yang dilakukan oleh penilai untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek Penilaian pada saat tertentu dalam rangka pengelolaan BMN.
Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.
Swasta adalah Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang mempunyai izin tinggal dan/atau membuat usaha atau badan hukum Indonesia dan/atau badan hukum asing, yang menjalankan kegiatan usaha untuk memperoleh keuntungan.
Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Lembaga sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat.
Lembaga sosial keagamaan adalah lembaga sosial yang bertujuan mengembangkan dan membina kehidupan beragama.
Lembaga sosial kemanusiaan adalah lembaga sosial yang bergerak di bidang kemanusiaan.
Unit penunjang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan/ negara adalah organisasi yang dibentuk secara mandiri di lingkungan Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dalam rangka menunjang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan/ negara.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Perkeretaapian.
Relevan terhadap
bahwa transportasi mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara, serta memperkukuh ketahanan nasional dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara massal dan keunggulan tersendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari moda transportasi lain, perlu dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional maupun internasional, untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479) tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, perkembangan zaman, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang- Undang tentang Perkeretaapian;
Kawasan Industri.
Relevan terhadap
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KAWASAN INDUSTRI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan Industri.
Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.
Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri. 4. Perusahaan Industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri di wilayah Indonesia. 5. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tata Tertib Kawasan Industri adalah peraturan yang ditetapkan oleh Perusahaan Kawasan Industri, yang mengatur hak dan kewajiban Perusahaan Kawasan Industri, perusahaan pengelola Kawasan Industri, dan Perusahaan Industri dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Industri.
Tim Nasional Kawasan Industri selanjutnya disingkat Timnas-KI adalah tim yang dibentuk oleh Menteri dengan tugas membantu dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan http: //www.djpp.depkumham.go.id No. 47, 2009 FINEK. INDUSTRI. Ekonomi. Kawasan Industri. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987) http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 2 Pembangunan Kawasan Industri bertujuan untuk:
mengendalikan pemanfaatan ruang;
meningkatkan upaya pembangunan Industri yang berwawasan lingkungan;
mempercepat pertumbuhan Industri di daerah;
meningkatkan daya saing Industri;
meningkatkan daya saing investasi; dan
memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antar sektor terkait. BAB II PEMBANGUNAN, PENGATURAN, PEMBINAAN, DAN PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI Pasal 3 (1) Pembangunan Kawasan Industri di wilayah lintas provinsi dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Pembangunan Kawasan Industri di wilayah Provinsi DKI Jakarta dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Ibukota Negara.
Pembangunan Kawasan Industri di wilayah lintas kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
Pembangunan Kawasan Industri di wilayah kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Pasal 4 Menteri, menteri terkait, dan gubernur serta bupati/walikota sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing bertanggung jawab atas pencapaian tujuan pembangunan Kawasan Industri. Pasal 5 (1) Menteri berwenang:
menetapkan Kawasan Industri Tertentu b. melakukan pengaturan dan pembinaan terhadap Kawasan Industri, Kawasan Industri tertentu, dan Perusahaan Industri. c. menetapkan suatu Kawasan Industri sebagai obyek vital untuk mendapat pengamanan khusus. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
menetapkan pedoman teknis Kawasan Industri;
memfasilitasi penyelesaian permasalahan antara Perusahaan Kawasan Industri dengan Perusahaan Industri yang berlokasi di Kawasan Industri;
membentuk Tim Nasional Kawasan Industri yang selanjutnya disebut Timnas-KI; dan
menetapkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan Industri di Kawasan Industri atas usul Timnas- KI. (3) Menteri melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam:
perencanaan penyediaan prasarana dan sarana penunjang serta pemberian kemudahan yang diperlukan; dan
penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana penunjang Kawasan Industri dan Perusahaan Industri yang berlokasi di Kawasan Industri. Pasal 6 Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan Kawasan Industri, gubernur atau bupati/walikota memberikan:
insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan pada wilayah daerah yang diperuntukkan bagi pembangunan Kawasan Industri;
pengarahan kegiatan Industri ke dalam Kawasan Industri; dan/atau
pelayanan terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 (1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri setelah Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, wajib berlokasi di Kawasan Industri.
Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi:
Perusahaan Industri yang menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus. b. Industri mikro, kecil, dan menengah. c. Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki Kawasan Industri atau yang telah memiliki Kawasan Industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis.
Jenis Industri yang memerlukan lokasi khusus, serta industri mikro, kecil, dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Menteri. Pasal 8 Perusahaan Industri yang akan melakukan perluasan dengan menambah lahan melebihi Kawasan Peruntukan Industri, wajib berlokasi di Kawasan Industri. http: //www.djpp.depkumham.go.id
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pengelolaan Kawasan Industri.
Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemberi Izin Usaha Kawasan Industri. (3) Penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan. Pasal 17 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dan telah beroperasi, serta akan melakukan perluasan Kawasan Industri wajib memperoleh Izin Perluasan Kawasan Industri terlebih dahulu.
Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V HAK PENGGUNAAN ATAS TANAH KAWASAN INDUSTRI Pasal 18 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dapat diberikan Hak Guna Bangunan atas tanah yang telah dikuasai dan dikembangkan.
Hak Guna Bangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipecah menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling.
Pemecahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri.
Ketentuan dan tata cara pemberian Hak Guna Bangunan dan pemecahan Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 19 (1) Kawasan Industri yang dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Negara dan badan usaha milik daerah yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dapat diberikan Hak Pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di atas Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Guna Bangunan berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan untuk masing-masing kaveling atau gabungan beberapa kaveling. BAB VI KEWAJIBAN KAWASAN INDUSTRI Pasal 20 Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi kegiatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal 21 (1) Kawasan Industri wajib memiliki Tata Tertib Kawasan Industri.
Tata Tertib Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:
hak dan kewajiban masing-masing pihak;
ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan. c. ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan
ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola Kawasan Industri.
Kawasan Industri wajib memfasilitasi perizinan dan hubungan Industrial bagi Perusahaan Industri yang berada di Kawasan Industri. Pasal 22 (1) Kawasan Industri wajib memenuhi pedoman teknis Kawasan Industri (2) Ketentuan mengenai pedoman teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII KEWAJIBAN PERUSAHAAN INDUSTRI DI KAWASAN INDUSTRI Pasal 23 (1) Perusahaan Industri di dalam Kawasan industri wajib memiliki:
Upaya Pengelolaan Lingkungan; dan
Upaya Pemantauan Lingkungan.
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang mengelola atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan. http: //www.djpp.depkumham.go.id (3) Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut Gangguan, Izin Lokasi, dan pengesahan rencana tapak tanah. Pasal 24 (1) Setiap Perusahaan Industri di kawasan Industri wajib:
memenuhi semua ketentuan perizinan dan Tata Tertib Kawasan Industri yang berlaku;
memelihara daya dukung lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah;
melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak pembelian lahan; dan
mengembalikan kaveling Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak melakukan pembangunan pabrik.
Tata cara pengembalian kaveling Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib Kawasan Industri masing-masing Kawasan Industri. BAB VIII TIM NASIONAL KAWASAN INDUSTRI Pasal 25 (1) Timnas-KI bertugas:
memberikan usulan dan masukan kepada Menteri sebagai bahan penyusunan perumusan kebijakan;
melakukan pengawasan pelaksanaan pengembangan Kawasan Industri;
melakukan koordinasi dengan instansi Pemerintah terkait dan/atau pemerintah daerah serta Perusahaan Kawasan Industri;
melakukan evaluasi perkembangan Kawasan Industri; dan/atau mengusulkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan Industri di Kawasan Industri. e. Mengusulkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan industri di Kawasan Industri.
Keanggotaan Timnas-KI terdiri dari unsur Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan perhimpunan Kawasan Industri, Kamar Dagang dan Industri yang diangkat dan ditetapkan oleh Menteri.
Timnas-KI wajib melaporkan tugasnya kepada Menteri paling lama 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan. BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 26 (1) Menteri atau pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) sesuai dengan kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif kepada:
Perusahaan Industri yang melakukan perluasan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
Perusahaan Kawasan Industri yang tidak mematuhi penetapan patokan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf d;
Perusahaan Kawasan Industri yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
peringatan tertulis;
pembekuan Izin Usaha Industri dan/atau Tanda Daftar Industri;
pembekuan Izin Usaha Kawasan Industri yang dimiliki;
pencabutan Izin Usaha Industri dan/atau Tanda Daftar Industri; dan/atau
pencabutan Izin Usaha Kawasan Industri. Pasal 27 Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a dikenakan kepada Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan. Pasal 28 (1) Sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Industri atau Tanda Daftar Industri dikenakan kepada Perusahaan Industri apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat peringatan tertulis yang ketiga tidak memenuhi dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1).
Sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Kawasan Industri dikenakan kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat peringatan tertulis yang ketiga tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1).
Dalam hal Perusahaan Industri telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau Perusahaan Kawasan Industri telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1), Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri dapat mengajukan pembatalan pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak diterbitkannya putusan pembekuan izin tersebut. http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 29 Sanksi administratif berupa pencabutan Izin Usaha Industri atau Tanda Daftar Industri dikenakan kepada Perusahaan Industri, atau pencabutan Izin Usaha Kawasan Industri dikenakan kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri tetap tidak memperbaiki kesalahannya atau permohonan pembatalan pembekuan izinnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) ditolak. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 30 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
Permohonan Izin Usaha Kawasan Industri yang diajukan sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku tetap diproses berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum Peraturan Pemerintah ini;
Perusahaan Industri baru atau perluasan usaha Industri yang telah memperoleh Persetujuan Prinsip sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dapat tetap berlokasi sesuai dengan Persetujuan Prinsip tersebut;
Perusahaan Kawasan Industri yang telah mendapatkan Izin Usaha Kawasan Industri sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tetap dapat melaksanakan kegiatan sesuai dengan izin yang ditetapkan; PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN INDUSTRI I. UMUM Pembangunan Industri merupakan salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional, yang diarahkan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan Industri yang berkelanjutan yang didasarkan pada aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Saat ini pembangunan Industri sedang dihadapkan pada persaingan global yang sangat No. 4987 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 47) http: //www.djpp.depkumham.go.id berpengaruh terhadap perkembangan Industri nasional. Peningkatan daya saing Industri merupakan salah satu pilihan yang harus dilakukan agar produk Industri nasional mampu bersaing di dalam negeri maupun luar negeri. Langkah-langkah dalam rangka peningkatan daya saing dan daya tarik investasi yakni terciptanya iklim usaha yang kondusif, efisiensi, kepastian hukum, dan pemberian fasilitas fiskal serta kemudahan-kemudahan lain dalam kegiatan usaha Industri, yang antara lain dengan tersedianya lokasi Industri yang memadai yang berupa Kawasan Industri. Dalam rangka pelaksanaan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, maka sebagai upaya untuk mendorong pembangunan Industri perlu dilakukan pembangunan lokasi Industri yang berupa Kawasan Industri. Pembangunan Kawasan Industri merupakan sarana untuk mengembangkan Industri yang berwawasan lingkungan serta memberikan kemudahan dan daya tarik bagi investasi dengan pendekatan konsep efisiensi, tata ruang, dan lingkungan hidup. Aspek efisiensi merupakan suatu sasaran pokok pengembangan Kawasan Industri. Melalui pengembangan Kawasan Industri investor pengguna kaveling Industri (user) akan mendapatkan lokasi kegiatan Industri yang sudah tertata dengan baik, kemudahan pelayanan administrasi, ketersediaan infrastruktur yang lengkap, keamanan dan kepastian tempat usaha yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. Aspek tata ruang, pembangunan Kawasan Industri dapat mensinergikan perencanaan, prasarana dan sarana, penunjang seperti penyediaan energi listrik, telekomunikasi, fasilitas jalan, dan lain sebagainya. Aspek lingkungan hidup, dengan pengembangan Kawasan Industri akan mendukung peningkatan kualitas lingkungan hidup di daerah secara menyeluruh. Kegiatan Industri pada suatu lokasi pengelolaan, akan lebih mudah menyediakan fasilitas pengolahan limbah dan juga pengendalian limbahnya. Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal meliputi kewenangan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan Kawasan Industri, kewajiban Perusahaan Industri untuk berlokasi di Kawasan Industri, Izin Usaha Kawasan Industri dan batas minimal luas Kawasan Industri, sanksi bagi Perusahaan Kawasan Industri maupun Perusahaan Industri yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Yang dimaksud dengan "menteri terkait" adalah menteri yang membidangi urusan yang terkait erat dengan pembangunan Industri seperti menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri, penataan ruang, infrastruktur, lingkungan hidup, keuangan, dan lain sebagainya. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "penetapan Kawasan Industri Tertentu" adalah kewenangan Menteri untuk menetapkan Kawasan Industri yang memerlukan lahan khusus serta industri mikro, kecil, dan menengah. Huruf b Cukup Jelas Huruf c Yang dimaksud dengan "pengamanan khusus" adalah segala usaha, pekerjaan, dan kegiatan dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan serta penegakkan hukum terhadap setiap ancaman dan gangguan yang ditujukan kepada Kawasan Industri. Ayat (2) Huruf a Penetapan Pedoman Teknis Kawasan Industri dimaksud untuk dijadikan acuan bagi Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan dunia usaha dalam mengembangkan Kawasan Industri (industrial estate) . Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan "patokan harga jual" adalah kisaran harga berdasarkan NJOP pada saat transaksi penjualan kaveling, yang ditetapkan berdasarkan hasil evaluasi Tim Nasional Kawasan Industri. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Cukup jelas http: //www.djpp.depkumham.go.id Huruf b Yang dimaksud dengan "kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan" adalah kemudahan dalam memperoleh lokasi dan hak atas tanah yang akan menjadi Kawasan Industri serta kemudahan dalam pembangunan Kawasan Industri, misalnya perizinan, prasarana dan sarana pendukung Kawasan Industri. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "Industri yang menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus" antara lain Industri semen, Industri pupuk, Industri kertas, Industri galangan kapal, dan sebagainya. Huruf b Cukup jelas Huruf C Cukup Jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Persetujuan Prinsip diberikan dalam rangka persiapan pembangunan Kawasan Industri. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "sarana penunjang" antara lain instalasi penyediaan air bersih, saluran buangan air hujan, air kotor, instalasi penyediaan dan jaringan distribusi tenaga listrik, penerangan jalan, jaringan telekomunikasi, dan unit pemadam kebakaran. Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup Jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dikembangkan" adalah adanya kegiatan penyusunan rencana tapak tanah (site plan) . Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 19 Cukup Jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup Jelas Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "pengambilan air tanah" adalah pengambilan air tanah dalam yang dilakukan oleh Perusahaan Industri yang bersangkutan di dalam Kawasan Industri. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "perhimpunan Kawasan Industri" adalah wadah berhimpunnya Perusahaan Kawasan Industri. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas LDj © 2004 ditjen pp
Kepelabuhanan.
Relevan terhadap
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEPELABUHANAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan ditjen Peraturan Perundang-undangan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. 2. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah. 3. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-dan antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya. 4. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi. 5. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi. 6. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi. 7. Pelabuhan Laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai. ditjen Peraturan Perundang-undangan 8. Pelabuhan Sungai dan Danau adalah pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau yang terletak di sungai dan danau. 9. Penyelenggara Pelabuhan adalah otoritas pelabuhan atau unit penyelenggara pelabuhan. 10. Otoritas Pelabuhan ( Port Authority ) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial. 11. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. 12. Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut. 13. Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. 14. Angkutan Sungai dan Danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, banjir kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang dan/atau barang yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan danau. 15. Rencana Induk Pelabuhan Nasional adalah pengaturan ruang kepelabuhanan nasional yang memuat tentang kebijakan pelabuhan, rencana lokasi dan hierarki pelabuhan secara nasional yang merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan. 16. Rencana Induk Pelabuhan adalah pengaturan ruang pelabuhan berupa peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan 17. Daerah Lingkungan Kerja adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan. 18. Daerah Lingkungan Kepentingan adalah perairan di sekeliling Daerah Lingkungan Kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. 19. Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang. 20. Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. 21. Terminal untuk Kepentingan Sendiri adalah terminal yang terletak di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. 22. Pengelola Terminal Khusus adalah badan usaha tertentu sesuai dengan usaha pokoknya. 23. Kolam Sandar adalah perairan yang merupakan bagian dari kolam pelabuhan yang digunakan untuk kepentingan operasional menyandarkan/menambatkan kapal di dermaga. 24. Kolam Pelabuhan adalah perairan di depan dermaga yang digunakan untuk kepentingan operasional sandar dan olah gerak kapal. 25. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 26. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. ditjen Peraturan Perundang-undangan 27. Hak Pengelolaan Atas Tanah adalah hak yang diberikan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, atau badan usaha milik negara yang dapat digunakan untuk kepentingan pihak lain. 28. Syahbandar adalah pejabat Pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. 29. Badan Usaha Pelabuhan adalah badan usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya. 30. Konsesi adalah pemberian hak oleh penyelenggara pelabuhan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan kompensasi tertentu. 31. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 32. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 33. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 34. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan pelayaran. Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai Tatanan Kepelabuhanan Nasional, Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan, penyelenggaraan kegiatan di pelabuhan, pembangunan dan pengoperasian pelabuhan, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri, penarifan, pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, dan sistem informasi pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan BAB II TATANAN KEPELABUHANAN NASIONAL Bagian Kesatu Umum Pasal 3 (1) Tatanan Kepelabuhanan Nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan pelabuhan yang andal dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi, dan mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang ber-Wawasan Nusantara. (2) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem kepelabuhanan secara nasional yang menggambarkan perencanaan kepelabuhanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografi, dan keunggulan komparatif wilayah, serta kondisi alam. (3) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
peran, fungsi, jenis, dan hierarki pelabuhan;
Rencana Induk Pelabuhan Nasional; dan
lokasi pelabuhan. Bagian Kedua Peran, Fungsi, Jenis dan Hierarki Pelabuhan Pasal 4 Pelabuhan memiliki peran sebagai:
simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;
pintu gerbang kegiatan perekonomian;
tempat kegiatan alih moda transportasi;
penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan
mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 Pelabuhan berfungsi sebagai tempat kegiatan:
pemerintahan; dan
pengusahaan. Pasal 6 (1) Jenis pelabuhan terdiri atas:
pelabuhan laut; dan
pelabuhan sungai dan danau. (2) Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk melayani:
angkutan laut; dan/atau
angkutan penyeberangan. (3) Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas:
pelabuhan utama;
pelabuhan pengumpul; dan
pelabuhan pengumpan. Bagian Ketiga Rencana Induk Pelabuhan Nasional Paragraf 1 Umum Pasal 7 (1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional yang merupakan perwujudan dari Tatanan Kepelabuhanan Nasional digunakan sebagai pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian, pengembangan pelabuhan, dan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan. (2) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kebijakan pengembangan pelabuhan secara nasional untuk jangka panjang. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 8 (1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) memuat:
kebijakan pelabuhan nasional; dan
rencana lokasi dan hierarki pelabuhan. (2) Menteri menetapkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. (3) Dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan menteri yang terkait dengan kepelabuhanan. (4) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (5) Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis akibat bencana yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Paragraf 2 Kebijakan Pelabuhan Nasional Pasal 9 Kebijakan pelabuhan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a memuat arah pengembangan pelabuhan, baik pelabuhan yang sudah ada maupun arah pembangunan pelabuhan yang baru, agar penyelenggaraan pelabuhan dapat saling bersinergi dan saling menunjang antara satu dan lainnya. Paragraf 3 Rencana Lokasi dan Hierarki Pelabuhan Pasal 10 (1) Rencana lokasi pelabuhan yang akan dibangun disusun dengan berpedoman pada kebijakan pelabuhan nasional. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Rencana lokasi pelabuhan yang akan dibangun harus sesuai dengan:
rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
potensi sumber daya alam; dan
perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional. Pasal 11 (1) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan utama yang digunakan untuk melayani angkutan laut selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
kedekatan secara geografis dengan tujuan pasar internasional;
kedekatan dengan jalur pelayaran internasional;
memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan utama lainnya;
memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari gelombang;
mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu;
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang internasional; dan
volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah tertentu. (2) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan utama yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
jaringan jalan nasional; dan/atau
jaringan jalur kereta api nasional. Pasal 12 (1) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpul yang digunakan untuk melayani angkutan laut selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada: ditjen Peraturan Perundang-undangan a. kebijakan Pemerintah yang meliputi pemerataan pembangunan nasional dan meningkatkan pertumbuhan wilayah;
mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan pengumpul lainnya;
mempunyai jarak tertentu terhadap jalur/rute angkutan laut dalam negeri;
memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari gelombang;
berdekatan dengan pusat pertumbuhan wilayah ibukota provinsi dan kawasan pertumbuhan nasional;
mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu; dan
volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah tertentu. (2) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpul yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan antarprovinsi dan/atau antarnegara selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
jaringan jalan nasional; dan/atau
jaringan jalur kereta api nasional. Pasal 13 (1) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan regional yang digunakan untuk melayani angkutan laut selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
tata ruang wilayah provinsi dan pemerataan pembangunan antarprovinsi;
tata ruang wilayah kabupaten/kota serta pemerataan dan peningkatan pembangunan kabupaten/kota;
pusat pertumbuhan ekonomi daerah;
jarak dengan pelabuhan pengumpan lainnya;
luas daratan dan perairan;
pelayanan penumpang dan barang antarkabupaten/kota dan/atau antarkecamatan dalam 1 (satu) kabupaten/kota; dan
kemampuan pelabuhan dalam melayani kapal. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan regional yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
jaringan jalan provinsi; dan/atau
jaringan jalur kereta api provinsi. Pasal 14 (1) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan lokal yang digunakan untuk melayani angkutan laut selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pemerataan serta peningkatan pembangunan kabupaten/kota;
pusat pertumbuhan ekonomi daerah;
jarak dengan pelabuhan pengumpan lainnya;
luas daratan dan perairan;
pelayanan penumpang dan barang antarkabupaten/kota dan/atau antarkecamatan dalam 1 (satu) kabupaten/kota; dan
kemampuan pelabuhan dalam melayani kapal. (2) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan lokal yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan dalam 1 (satu) kabupaten/kota selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
jaringan jalan kabupaten/kota; dan/atau
jaringan jalur kereta api kabupaten/kota. Pasal 15 Rencana lokasi pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b secara hierarki pelayanan angkutan sungai dan danau terdiri atas:
pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau; dan/atau
pelabuhan sungai dan danau yang melayani angkutan penyeberangan:
antarprovinsi dan/atau antarnegara; ditjen Peraturan Perundang-undangan 2. antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; dan/atau
dalam 1 (satu) kabupaten/kota. Pasal 16 Rencana lokasi pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau dan/atau penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 disusun dengan berpedoman pada:
kedekatan secara geografis dengan tujuan pasar nasional dan/atau internasional;
memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan lainnya;
memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari gelombang;
mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu;
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang internasional;
volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah tertentu;
jaringan jalan yang dihubungkan; dan/atau
jaringan jalur kereta api yang dihubungkan. Bagian Keempat Lokasi Pelabuhan Pasal 17 (1) Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional. (2) Lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan. (3) Dalam penetapan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
titik koordinat geografis lokasi pelabuhan;
nama lokasi pelabuhan; dan
letak wilayah administratif. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 18 (1) Lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan dari Pemerintah atau pemerintah daerah.
Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi persyaratan yang terdiri atas:
Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
rencana tata ruang wilayah provinsi;
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
rencana Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
hasil studi kelayakan mengenai:
kelayakan teknis;
kelayakan ekonomi;
kelayakan lingkungan;
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial daerah setempat;
keterpaduan intra-dan antarmoda;
adanya aksesibilitas terhadap hinterland ;
keamanan dan keselamatan pelayaran; dan
pertahanan dan keamanan. f. rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan penelitian terhadap persyaratan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (4) Dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan, Menteri menyampaikan penolakan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan lokasi pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III RENCANA INDUK PELABUHAN, DAERAH LINGKUNGAN KERJA, DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN Bagian Kesatu Rencana Induk Pelabuhan Pasal 20 (1) Setiap pelabuhan wajib memiliki Rencana Induk Pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh penyelenggara pelabuhan dengan berpedoman pada:
Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
rencana tata ruang wilayah provinsi;
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain terkait di lokasi pelabuhan;
kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan; dan
keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal. (3) Jangka waktu perencanaan di dalam Rencana Induk Pelabuhan meliputi:
jangka panjang yaitu di atas 15 (lima belas) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun;
jangka menengah yaitu di atas 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun; dan
jangka pendek yaitu 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun. Pasal 21 (1) Rencana Induk Pelabuhan laut dan Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau meliputi rencana peruntukan wilayah daratan dan perairan. (2) Rencana peruntukan wilayah daratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. (3) Rencana peruntukan wilayah perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. Pasal 22 (1) Rencana peruntukan wilayah daratan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
dermaga;
gudang lini 1;
lapangan penumpukan lini 1;
terminal penumpang;
terminal peti kemas;
terminal ro-ro;
fasilitas penampungan dan pengolahan limbah;
fasilitas bunker ;
fasilitas pemadam kebakaran;
fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3); dan
fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SBNP). (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
kawasan perkantoran;
fasilitas pos dan telekomunikasi;
fasilitas pariwisata dan perhotelan;
instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi;
jaringan jalan dan rel kereta api;
jaringan air limbah, drainase, dan sampah;
areal pengembangan pelabuhan;
tempat tunggu kendaraan bermotor;
kawasan perdagangan;
kawasan industri; dan
fasilitas umum lainnya. Pasal 23 (1) Rencana peruntukan wilayah perairan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
alur-pelayaran;
perairan tempat labuh;
kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal; ditjen Peraturan Perundang-undangan d. perairan tempat alih muat kapal;
perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3);
perairan untuk kegiatan karantina;
perairan alur penghubung intrapelabuhan;
perairan pandu; dan
perairan untuk kapal pemerintah. (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal;
perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar);
perairan tempat kapal mati;
perairan untuk keperluan darurat; dan
perairan untuk kegiatan kepariwisataan dan perhotelan. Pasal 24 (1) Rencana peruntukan wilayah daratan untuk Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
dermaga;
lapangan penumpukan;
terminal penumpang;
fasilitas penampungan dan pengolahan limbah;
fasilitas bunker ;
fasilitas pemadam kebakaran; dan
fasilitas penanganan Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3). (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
perkantoran;
fasilitas pos dan telekomunikasi;
fasilitas pariwisata; ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Fasilitas...
instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi;
jaringan jalan dan rel kereta api;
jaringan air limbah, drainase, dan sampah;
areal pengembangan pelabuhan;
tempat tunggu kendaraan bermotor;
kawasan perdagangan;
kawasan industri; dan
fasilitas umum lainnya. Pasal 25 (1) Rencana peruntukan wilayah perairan untuk Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
alur-pelayaran;
areal tempat labuh;
areal untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal;
areal untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3); dan
areal untuk kapal pemerintah. (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
areal untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
areal untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; dan
areal untuk keperluan darurat. Pasal 26 (1) Rencana peruntukan wilayah daratan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut serta Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Fasilitas...
Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
terminal penumpang;
penimbangan kendaraan bermuatan (angkutan barang);
jalan penumpang keluar/masuk kapal ( gang way );
perkantoran untuk kegiatan pemerintahan dan pelayanan jasa;
fasilitas bunker ;
instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi;
akses jalan dan/atau jalur kereta api;
fasilitas pemadam kebakaran; dan
tempat tunggu (lapangan parkir) kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal.
Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan;
tempat penampungan limbah;
fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan penyeberangan;
areal pengembangan pelabuhan; dan
fasilitas umum lainnya. Pasal 27 (1) Rencana peruntukan wilayah perairan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut serta Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok;
fasilitas penunjang. (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
alur-pelayaran;
fasilitas sandar kapal;
perairan tempat labuh; dan
kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal;
perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar);
perairan untuk keperluan darurat; dan
perairan untuk kapal pemerintah. Pasal 28 (1) Rencana Induk Pelabuhan ditetapkan oleh:
Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul;
gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional; atau
bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan lokal serta pelabuhan sungai dan danau. (2) Menteri dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Gubernur dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah kabupaten/kota. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan penilaian Rencana Induk Pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan Pasal 30 (1) Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan terdiri atas:
wilayah daratan;
wilayah perairan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Wilayah daratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk kegiatan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang. (3) Wilayah perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk kegiatan alur-pelayaran, tempat labuh, tempat alih muat antarkapal, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, kegiatan pemanduan, tempat perbaikan kapal, dan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan. Pasal 31 (1) Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan merupakan perairan pelabuhan di luar Daerah Lingkungan Kerja perairan. (2) Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
alur-pelayaran dari dan ke pelabuhan;
keperluan keadaan darurat;
penempatan kapal mati;
percobaan berlayar;
kegiatan pemanduan kapal;
fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; dan
pengembangan pelabuhan jangka panjang. Pasal 32 (1) Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan ditetapkan oleh:
Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul;
gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional; atau
bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan lokal serta pelabuhan sungai dan danau. (2) Menteri dalam menetapkan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Gubernur dalam menetapkan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah kabupaten/kota. Pasal 33 Dalam penetapan batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) paling sedikit memuat:
luas lahan daratan yang digunakan sebagai Daerah Lingkungan Kerja;
luas perairan yang digunakan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
titik koordinat geografis sebagai batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan. Pasal 34 (1) Daratan dan/atau perairan yang ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikuasai oleh negara dan diatur oleh penyelenggara pelabuhan. (2) Pada Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan yang telah ditetapkan, diberikan hak pengelolaan atas tanah dan/atau penggunaan atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 35 (1) Berdasarkan penetapan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), pada Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan, penyelenggara pelabuhan mempunyai kewajiban:
memasang tanda batas sesuai dengan batas Daerah Lingkungan Kerja daratan yang telah ditetapkan;
memasang papan pengumuman yang memuat informasi mengenai batas Daerah Lingkungan Kerja daratan pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan c. melaksanakan pengamanan terhadap aset yang dimiliki;
menyelesaikan sertifikat hak pengelolaan atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
memasang tanda batas sesuai dengan batas Daerah Lingkungan Kerja perairan yang telah ditetapkan;
menginformasikan mengenai batas Daerah Lingkungan Kerja perairan pelabuhan kepada pelaku kegiatan kepelabuhanan;
menyediakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
menyediakan dan memelihara kolam pelabuhan dan alur-pelayaran;
menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan; dan
melaksanakan pengamanan terhadap aset yang dimiliki berupa fasilitas pelabuhan di perairan. (2) Berdasarkan penetapan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), pada Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan, penyelenggara pelabuhan mempunyai kewajiban:
menjaga keamanan dan ketertiban;
menyediakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
menyediakan dan memelihara alur-pelayaran;
memelihara kelestarian lingkungan; dan
melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan daerah pantai. Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan penilaian Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. ditjen Peraturan Perundang-undangan BAB IV PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI PELABUHAN Bagian Kesatu Kegiatan Pemerintahan di Pelabuhan Paragraf 1 Umum Pasal 37 (1) Kegiatan pemerintahan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a paling sedikit meliputi fungsi:
pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan; dan
keselamatan dan keamanan pelayaran. (2) Selain kegiatan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pelabuhan dapat dilakukan fungsi:
kepabeanan;
keimigrasian;
kekarantinaan; dan/atau
kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat tidak tetap. Pasal 38 (1) Fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh penyelenggara pelabuhan. (2) Penyelenggara pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Otoritas Pelabuhan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial; dan
Unit Penyelenggara Pelabuhan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. (3) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat membawahi 1 (satu) atau beberapa pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 39 (1) Fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh Syahbandar. (2) Syahbandar dalam melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum di bidang angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim di pelabuhan. (3) Selain melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Syahbandar membantu pelaksanaan pencarian dan penyelamatan di pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 40 (1) Untuk melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3) dibentuk kelembagaan Syahbandar. (2) Kelembagaan Syahbandar terdiri atas:
Kepala Syahbandar;
unsur kelaiklautan kapal;
unsur kepelautan dan laik layar; dan
unsur ketertiban dan patroli. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja kelembagaan Syahbandar diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Kementerian Negara yang membidangi urusan pendayagunaan aparatur negara. Pasal 41 Fungsi kepabeanan, keimigrasian, kekarantinaan, dan/atau kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Paragraf 2 Otoritas Pelabuhan Pasal 42 (1) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a dibentuk pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial. (2) Otoritas Pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:
menyediakan lahan di daratan dan di perairan pelabuhan;
menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan;
menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;
menyusun Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri, atas penggunaan perairan dan/atau daratan, dan fasilitas pelabuhan yang disediakan oleh Pemerintah serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
menjamin kelancaran arus barang. (3) Selain tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otoritas Pelabuhan melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum disediakan oleh Badan Usaha Pelabuhan. (4) Dalam kondisi tertentu pemeliharan penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan atau pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang dituangkan dalam perjanjian konsesi. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 43 Otoritas Pelabuhan membiayai kegiatan operasional pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Paragraf 3 Unit Penyelenggara Pelabuhan Pasal 44 (1) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b dibentuk pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. (2) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada:
Menteri untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah; dan
gubernur atau bupati/walikota untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan pemerintah daerah. (3) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan, mempunyai tugas dan tanggung jawab:
menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran;
menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;
menyusun Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
menjamin kelancaran arus barang; dan
menyediakan fasilitas pelabuhan. (4) Dalam kondisi tertentu pemeliharaan penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat dilaksanakan oleh pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang dituangkan dalam perjanjian konsesi. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 45 (1) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. (2) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan setelah mendapat konsesi dari Unit Penyelenggara Pelabuhan. Paragraf 4 Aparat Penyelenggara Pelabuhan Pasal 46 Aparat penyelenggara pelabuhan terdiri atas:
aparat Otoritas Pelabuhan; dan
aparat Unit Penyelenggara Pelabuhan. Pasal 47 (1) Aparat Otoritas Pelabuhan dan aparat Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan Pegawai Negeri Sipil. (2) Aparat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki kemampuan dan kompetensi di bidang kepelabuhanan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. (3) Kemampuan dan kompetensi di bidang kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
manajemen kepelabuhanan di bidang:
perencanaan kepelabuhanan;
operasional pelabuhan; dan/atau
pemanduan. b. manajemen angkutan laut di bidang:
bongkar muat;
trayek kapal; dan/atau
operasional kapal. c. pengetahuan kontraktual/perjanjian. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Kemampuan dan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dibuktikan dengan sertifikat keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepelabuhanan. Paragraf 5 Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggara Pelabuhan Pasal 48 (1) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala yang membawahi paling sedikit 3 (tiga) unsur, yaitu:
unsur perencanaan dan pembangunan;
unsur usaha kepelabuhanan; dan
unsur operasi dan pengawasan. (2) Otoritas Pelabuhan dibentuk untuk 1 (satu) atau beberapa pelabuhan. Pasal 49 (1) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala yang membawahi paling sedikit 3 (tiga) unsur, yaitu:
unsur perencanaan dan pembangunan;
unsur usaha kepelabuhanan; dan
unsur operasi dan pengawasan. (2) Unit Penyelenggara Pelabuhan dibentuk untuk 1 (satu) atau beberapa pelabuhan. Pasal 50 Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Kementerian Negara yang membidangi urusan pendayagunaan aparatur negara. ditjen Peraturan Perundang-undangan Paragraf 6 Tugas dan Tanggung Jawab Penyelenggara Pelabuhan Pasal 51 (1) Penyediaan lahan di daratan dan di perairan dalam pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan. (2) Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara. (3) Dalam hal di atas lahan yang diperlukan untuk pelabuhan terdapat hak atas tanah, penyediaannya dilakukan dengan cara pengadaan tanah. (4) Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 52 Penyediaan lahan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a dilakukan sesuai kebutuhan operasional pelabuhan dan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Pasal 53 (1) Penyediaan dan pemeliharaan penahan gelombang yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b dan Pasal 44 ayat (3) huruf a dilakukan agar arus dan ketinggian gelombang tidak mengganggu kegiatan di pelabuhan. (2) Penyediaan penahan gelombang dilakukan sesuai dengan kondisi perairan. (3) Pemeliharaan penahan gelombang dilakukan secara berkala agar tetap berfungsi. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 54 (1) Penyediaan dan pemeliharaan kolam pelabuhan yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b dan Pasal 44 ayat (3) huruf a dilakukan untuk kelancaran operasional atau olah gerak kapal. (2) Penyediaan kolam pelabuhan dilakukan melalui pembangunan kolam pelabuhan. (3) Pemeliharaan kolam pelabuhan dilakukan secara berkala agar tetap berfungsi. Pasal 55 (1) Penyediaan dan pemeliharaan alur-pelayaran yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b dan Pasal 44 ayat (3) huruf a dilakukan agar perjalanan kapal keluar dari atau masuk ke pelabuhan berlangsung dengan lancar. (2) Penyediaan alur-pelayaran di pelabuhan dilakukan melalui pembangunan alur-pelayaran. (3) Pemeliharaan alur-pelayaran di pelabuhan dilakukan secara berkala agar tetap berfungsi. Pasal 56 (1) Selain menyediakan penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran, Otoritas Pelabuhan wajib menyediakan dan memelihara jaringan jalan di dalam pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b. (2) Penyediaan dan pemeliharaan jaringan jalan di dalam pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 57 Penyediaan dan pemeliharaan Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran yang dilaksanakan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c dan Pasal 44 ayat (3) huruf b diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 58 (1) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan bertanggung jawab menjamin terwujudnya keamanan dan ketertiban di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf d dan Pasal 44 ayat (3) huruf c. (2) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat membentuk unit keamanan dan ketertiban di pelabuhan. Pasal 59 Untuk menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf e dan Pasal 44 ayat (3) huruf d, Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dalam setiap penyelenggaraan kegiatan di pelabuhan harus melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan. Pasal 60 Penyusunan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf f dan Pasal 44 ayat (3) huruf e dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan untuk setiap lokasi pelabuhan yang menjadi tanggung jawabnya. Pasal 61 (1) Pengusulan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan kepada Menteri untuk setiap pelayanan jasa kepelabuhanan yang diselenggarakannya. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Pengusulan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 62 Untuk menjamin kelancaran arus barang di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf h dan Pasal 44 ayat (3) huruf f, Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan diwajibkan:
menyusun sistem dan prosedur pelayanan jasa kepelabuhanan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri;
memelihara kelancaran dan ketertiban pelayanan kapal dan barang serta kegiatan pihak lain sesuai dengan sistem dan prosedur pelayanan jasa kepelabuhanan yang telah ditetapkan;
melakukan pengawasan terhadap kegiatan bongkar muat barang;
menerapkan teknologi sistem informasi dan komunikasi terpadu untuk kelancaran arus barang; dan
melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk kelancaran arus barang. Pasal 63 (1) Penyediaan fasilitas pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf g pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilakukan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. (2) Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pelabuhan dilakukan sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan. (3) Dalam penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pelabuhan, penerapannya didasarkan pada rencana desain konstruksi untuk fasilitas pokok dan fasilitas penunjang. (4) Fasilitas pelabuhan dirancang sesuai dengan kapasitas kemampuan pelayanan sandar dan tambat di pelabuhan termasuk penggunaan jenis peralatan yang akan digunakan di pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 64 (1) Selain tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Otoritas Pelabuhan melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum disediakan oleh Badan Usaha Pelabuhan. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kapal angkutan laut pelayaran-rakyat, pelayaran-perintis, fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Pasal 65 (1) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) berperan sebagai wakil Pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian. (2) Hasil konsesi yang diperoleh Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kegiatannya harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Pasal 66 (1) Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Otoritas Pelabuhan mempunyai wewenang:
mengatur dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan perairan pelabuhan;
mengawasi penggunaan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
mengatur lalu lintas kapal ke luar masuk pelabuhan melalui pemanduan kapal; dan
menetapkan standar kinerja operasional pelayanan jasa kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Penetapan standar kinerja operasional pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dievaluasi setiap tahun. Pasal 67 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan, pemeliharaan, standar, dan spesifikasi teknis penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, jaringan jalan, dan tata cara penyelenggaraan keamanan dan ketertiban di pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Kegiatan Pengusahaan di Pelabuhan Paragraf 1 Umum Pasal 68 Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas:
penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang; dan
jasa terkait dengan kepelabuhanan. Paragraf 2 Penyediaan Pelayanan Jasa Kapal, Penumpang, dan Barang Pasal 69 (1) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf a terdiri atas:
penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat;
penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih;
penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas; ditjen Peraturan Perundang-undangan e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan ro-ro;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang;
penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau
penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan. Paragraf 3 Kegiatan Jasa Terkait Dengan Kepelabuhanan Pasal 70 (1) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b meliputi:
penyediaan fasilitas penampungan limbah;
penyediaan depo peti kemas;
penyediaan pergudangan;
jasa pembersihan dan pemeliharaan gedung kantor;
instalasi air bersih dan listrik;
pelayanan pengisian air tawar dan minyak;
penyediaan perkantoran untuk kepentingan pengguna jasa pelabuhan;
penyediaan fasilitas gudang pendingin;
perawatan dan perbaikan kapal _; _ j. pengemasan dan pelabelan;
fumigasi dan pembersihan/perbaikan kontainer;
angkutan umum dari dan ke pelabuhan;
tempat tunggu kendaraan bermotor;
kegiatan industri tertentu;
kegiatan perdagangan;
kegiatan penyediaan tempat bermain dan rekreasi;
jasa periklanan; __ dan/atau r. perhotelan, restoran, pariwisata, pos dan telekomunikasi. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha. Paragraf 4 Badan Usaha Pelabuhan Pasal 71 (1) Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dapat melakukan kegiatan pengusahaan pada 1 (satu) atau beberapa terminal dalam 1 (satu) pelabuhan. (2) Badan Usaha Pelabuhan dalam melakukan kegiatan usahanya wajib memiliki izin usaha yang diberikan oleh:
Menteri untuk Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul;
gubernur untuk Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan pengumpan regional; dan
bupati/walikota untuk Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan pengumpan lokal. (3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau perseroan terbatas yang khusus didirikan di bidang kepelabuhanan;
memiliki akte pendirian perusahaan; dan
memiliki keterangan domisili perusahaan. Pasal 72 Penetapan Badan Usaha Pelabuhan yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan pada pelabuhan yang berubah statusnya dari pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial menjadi pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilakukan melalui pemberian konsesi dari Otoritas Pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 73 Dalam melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) Badan Usaha Pelabuhan wajib:
menyediakan dan memelihara kelayakan fasilitas pelabuhan;
memberikan pelayanan kepada pengguna jasa pelabuhan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah;
menjaga keamanan, keselamatan, dan ketertiban pada terminal dan fasilitas pelabuhan yang dioperasikan;
ikut menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang menyangkut angkutan di perairan;
memelihara kelestarian lingkungan;
memenuhi kewajiban sesuai dengan konsesi dalam perjanjian; dan
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, baik secara nasional maupun internasional. Paragraf 5 Konsesi atau Bentuk Lainnya Pasal 74 (1) Konsesi diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. (2) Pemberian konsesi kepada Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Jangka waktu konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar. (4) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
lingkup pengusahaan;
masa konsesi pengusahaan;
tarif awal dan formula penyesuaian tarif; ditjen Peraturan Perundang-undangan d. hak dan kewajiban para pihak, termasuk resiko yang dipikul para pihak dimana alokasi resiko harus didasarkan pada prinsip pengalokasian resiko secara efisien dan seimbang;
standar kinerja pelayanan serta prosedur penanganan keluhan masyarakat;
sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi perjanjian pengusahaan;
penyelesaian sengketa;
pemutusan atau pengakhiran perjanjian pengusahaan;
sistem hukum yang berlaku terhadap perjanjian pengusahaan adalah hukum Indonesia;
keadaan kahar; dan
perubahan-perubahan. Pasal 75 (1) Dalam hal masa konsesi telah berakhir, fasilitas pelabuhan hasil konsesi beralih atau diserahkan kembali kepada penyelenggara pelabuhan. (2) Fasilitas pelabuhan yang sudah beralih kepada penyelenggara pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengelolaannya diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang berdasarkan kerjasama pemanfaatan melalui mekanisme pelelangan. (3) Badan Usaha Pelabuhan yang telah ditetapkan melalui mekanisme pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melaksanakan kegiatan pengusahaannya di pelabuhan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Kerjasama pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian kerjasama pemanfaatan ditandatangani. Pasal 76 (1) Dalam kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) penyelenggara pelabuhan dapat melakukan kerjasama dengan Badan Usaha Pelabuhan dan/atau orang perseorangan warga negara Indonesia. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
penyewaan lahan;
penyewaan gudang; dan/atau
penyewaan penumpukan. (3) Penyewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 77 Pendapatan konsesi dan kompensasi yang diterima oleh Otoritas Pelabuhan merupakan penerimaan negara yang penggunaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan pencabutan konsesi serta kerjasama diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN PELABUHAN Bagian Kesatu Izin Pembangunan Pelabuhan Pasal 79 Pembangunan pelabuhan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dan Rencana Induk Pelabuhan. Pasal 80 (1) Pembangunan pelabuhan laut oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada:
Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional; dan
bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan lokal. (3) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan dan kelestarian lingkungan. Pasal 81 (1) Pembangunan pelabuhan sungai dan danau oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada bupati/walikota. (3) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan dan kelestarian lingkungan. Pasal 82 (1) Persyaratan teknis kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 81 ayat (3) meliputi:
studi kelayakan; dan
desain teknis. (2) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat:
kelayakan teknis; dan
kelayakan ekonomis dan finansial. (3) Desain teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat mengenai:
kondisi tanah;
konstruksi;
kondisi hidrooceanografi;
topografi; dan
penempatan dan konstruksi Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran, alur-pelayaran, dan kolam pelabuhan serta tata letak dan kapasitas peralatan di pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 83 Persyaratan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 81 ayat (3) berupa studi lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Pasal 84 Dalam mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 81 ayat (3) harus disertai dokumen yang terdiri atas:
Rencana Induk Pelabuhan;
dokumen kelayakan;
dokumen desain teknis; dan
dokumen lingkungan. Pasal 85 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) dan Pasal 81 ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pembangunan pelabuhan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 belum terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan izin pembangunan pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 86 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin pembangunan pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Pelaksanaan Pembangunan Pelabuhan Pasal 87 (1) Pembangunan pelabuhan dilakukan oleh:
Otoritas Pelabuhan untuk pelabuhan yang diusahakan secara komersial; dan
Unit Penyelenggara Pelabuhan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. (2) Pembangunan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan konsesi atau bentuk lainnya dari Otoritas Pelabuhan. (3) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam membangun pelabuhan wajib:
melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal berlakunya izin pembangunan;
melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan yang telah ditetapkan;
melaporkan pelaksanaan kegiatan pembangunan pelabuhan secara berkala kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan
bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan pelabuhan yang bersangkutan. Pasal 88 (1) Pembangunan fasilitas di sisi darat pelabuhan yang dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan dapat dilakukan setelah memperoleh Izin Mendirikan Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Dalam...
Pembangunan fasilitas di sisi perairan yang dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan dapat dilakukan setelah memperoleh izin pembangunan dari Menteri. Bagian Ketiga Pengembangan Pelabuhan Pasal 89 Pengembangan pelabuhan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dan Rencana Induk Pelabuhan. Pasal 90 (1) Pengembangan pelabuhan oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada:
Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul;
gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional; dan
bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan lokal serta pelabuhan sungai dan danau. Pasal 91 (1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) diberikan berdasarkan permohonan dari penyelenggara pelabuhan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.
Pembangunan terminal khusus dilakukan oleh pengelola berdasarkan izin dari Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan yang harus dilengkapi dengan persyaratan:
administrasi;
teknis kepelabuhanan;
keselamatan dan keamanan pelayaran; dan
kelestarian lingkungan. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
akte pendirian perusahaan;
izin usaha pokok dari instansi terkait; ditjen Peraturan Perundang-undangan c. Nomor Pokok Wajib Pajak;
bukti penguasaan tanah;
bukti kemampuan finansial;
proposal rencana tahapan kegiatan pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang; dan
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan terdekat. (4) Persyaratan teknis kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
gambar hidrografi, topografi, dan ringkasan laporan hasil survei mengenai pasang surut dan arus;
tata letak dermaga;
perhitungan dan gambar konstruksi bangunan pokok;
hasil survei kondisi tanah;
hasil kajian keselamatan pelayaran termasuk alur- pelayaran dan kolam pelabuhan;
batas-batas rencana wilayah daratan dan perairan dilengkapi titik koordinat geografis serta rencana induk terminal khusus yang akan ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
kajian lingkungan. (5) Persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
alur-pelayaran;
kolam pelabuhan;
rencana penempatan Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran;
rencana arus kunjungan kapal. (6) Persyaratan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d berupa studi lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Pasal 118 (1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pembangunan Terminal Khusus dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah persyaratan dilengkapi. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan izin pembangunan terminal khusus. Pasal 119 Dalam melaksanakan pembangunan terminal khusus, pengelola wajib:
melaksanakan pekerjaan pembangunan terminal khusus sesuai dengan jadwal yang ditetapkan;
bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan terminal khusus yang bersangkutan;
melaksanakan pekerjaan pembangunan paling lama 1 (satu) tahun sejak izin pembangunan diterbitkan;
melaporkan kegiatan pembangunan terminal khusus secara berkala kepada penyelenggara pelabuhan terdekat; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 120 (1) Pengoperasian terminal khusus dilakukan setelah diperolehnya izin dari Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari pengelola setelah memenuhi persyaratan:
pembangunan terminal khusus telah selesai dilaksanakan sesuai dengan izin pembangunan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1);
keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran;
laporan pelaksanaan kajian lingkungan;
memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 122...
tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan sertifikasi. Pasal 121 (1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pengoperasian terminal khusus dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah persyaratan dilengkapi. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan izin pengoperasian terminal khusus. Pasal 121 (1) Izin pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dan Pasal 111.
Permohonan perpanjangan izin pengoperasian terminal khusus diajukan oleh pengelola kepada Menteri dengan melampirkan bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Menteri dapat memberikan atau menolak permohonan perpanjangan izin pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 122 Pengelola yang telah mendapatkan izin pengoperasian wajib:
bertanggung jawab sepenuhnya atas pengoperasian terminal khusus yang bersangkutan;
melaporkan kegiatan operasional setiap bulan kepada pemberi izin;
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran serta kelestarian lingkungan; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya. Pasal 123 (1) Penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum tidak dapat dilakukan kecuali dalam keadaan darurat dengan izin Menteri. (2) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
terjadi bencana alam atau peristiwa alam lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya pelabuhan; atau
pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat pelabuhan dan belum tersedia moda transportasi lain yang memadai atau pelabuhan terdekat tidak dapat melayani permintaan jasa kepelabuhanan oleh karena keterbatasan kemampuan fasilitas yang tersedia sehingga menghambat kelancaran arus barang. (3) Izin penggunaan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila fasilitas yang terdapat di terminal khusus tersebut dapat menjamin keselamatan pelayaran dan pelaksanaan pelayanan jasa kepelabuhanan. (4) Penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum hanya bersifat sementara, dan apabila pelabuhan telah dapat berfungsi untuk melayani kepentingan umum, izin penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum dicabut. (5) Penggunaan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan kerjasama antara penyelenggara pelabuhan dengan pengelola. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 124 (1) Pengoperasian terminal khusus dilakukan sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. (2) Pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditingkatkan secara terus menerus selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1(satu) hari atau selama waktu tertentu sesuai kebutuhan. (3) Peningkatan pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
adanya peningkatan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang; dan
tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran, kepelabuhanan, dan lalu lintas angkutan laut. Pasal 125 (1) Menteri dapat menetapkan peningkatan pelayanan operasional terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) berdasarkan usulan dari pengelola. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
kesiapan kondisi alur;
kesiapan pelayanan pemanduan bagi perairan terminal khusus yang sudah ditetapkan sebagai perairan wajib pandu;
kesiapan fasilitas terminal khusus;
kesiapan gudang dan/atau fasilitas lain di luar terminal khusus;
kesiapan keamanan dan ketertiban;
kesiapan sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan;
kesiapan tenaga kerja bongkar muat dan naik turun penumpang atau kendaraan;
kesiapan sarana transportasi darat; dan
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan terdekat. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 126 Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan izin yang telah diberikan:
dapat diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota;
dikembalikan seperti keadaan semula;
diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain; atau
dijadikan pelabuhan. Pasal 127 (1) Izin operasi terminal khusus hanya dapat dialihkan apabila usaha pokoknya dialihkan kepada pihak lain. (2) Pengalihan izin operasi terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri. (3) Dalam hal terjadi perubahan data pada izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola paling lama 3 (tiga) bulan setelah terjadinya perubahan wajib melaporkan kepada Menteri untuk dilakukan penyesuaian. Pasal 128 (1) Terminal khusus yang diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dapat berubah statusnya menjadi pelabuhan setelah memenuhi persyaratan:
sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
layak secara ekonomis dan teknis operasional;
membentuk atau mendirikan Badan Usaha Pelabuhan;
mendapat konsesi dari Otoritas Pelabuhan;
keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran; dan
kelestarian lingkungan. (2) Dalam hal terminal khusus berubah status menjadi pelabuhan yang diusahakan secara komersial, tanah daratan dan/atau perairan, fasilitas penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang dikuasai dan dimiliki oleh pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara dan diatur oleh Otoritas Pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Pemberian konsesi dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara Otoritas Pelabuhan dan pengelola. Pasal 129 Terminal khusus yang diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. Pasal 130 (1) Izin pengoperasian terminal khusus dapat dicabut apabila pemegang izin:
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122; atau
menggunakan terminal khusus untuk melayani kepentingan umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1). (2) Pencabutan izin pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin terminal khusus tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, izin pengoperasian terminal khusus dicabut. Pasal 131 Izin pengoperasian terminal khusus dicabut tanpa melalui proses peringatan, apabila pengelola terminal khusus yang bersangkutan:
melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara; atau
memperoleh izin pengoperasian terminal khusus dengan cara tidak sah. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 132 (1) Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan operasional terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. (2) Fungsi keselamatan di terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. Pasal 133 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara penetapan lokasi, pemberian izin pembangunan dan izin operasi, penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum, peningkatan kemampuan pengoperasian, perubahan status menjadi pelabuhan, prosedur pencabutan izin terminal khusus, penyerahan terminal khusus diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Pasal 134 (1) Untuk menunjang kegiatan tertentu di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal untuk kepentingan sendiri. (2) Pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dilakukan sebagai satu kesatuan dalam penyelenggaraan pelabuhan. Pasal 135 (1) Pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan pengelolaan dari:
Menteri bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan utama dan pengumpul;
gubernur bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan pengumpan regional; dan ditjen Peraturan Perundang-undangan c. bupati/walikota bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan pengumpan lokal. (2) Persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setelah memenuhi persyaratan:
data perusahaan yang meliputi akte perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan izin usaha pokok;
bukti kerjasama dengan penyelenggara pelabuhan;
gambar tata letak lokasi terminal untuk kepentingan sendiri dengan skala yang memadai, gambar konstruksi dermaga, dan koordinat geografis letak dermaga untuk kepentingan sendiri;
bukti penguasaan tanah;
proposal terminal untuk kepentingan sendiri;
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan setempat;
berita acara hasil peninjauan lokasi oleh tim teknis terpadu; dan
studi lingkungan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 136 (1) Untuk mendapatkan persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri, pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Persetujuan atau penolakan permohonan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubenur, atau bupati/walikota paling lama 30 (tiga puluh) __ hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Penolakan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai alasan penolakan. Pasal 137 Pengelola terminal untuk kepentingan sendiri wajib menyediakan ruangan dan sarana kerja yang memadai untuk kelancaran kegiatan pemerintahan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 138 (1) Terminal untuk kepentingan sendiri hanya dapat dioperasikan untuk kegiatan:
lalu lintas kapal atau naik turun penumpang atau bongkar muat barang berupa bahan baku, hasil produksi, dan peralatan penunjang produksi untuk kepentingan sendiri; dan
pemerintahan, penelitian, pendidikan dan pelatihan, dan sosial. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dibuktikan dengan dokumen penumpang dan/atau dokumen muatan barang. Pasal 139 (1) Penggunaan terminal untuk kepentingan sendiri selain untuk melayani kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan umum setelah mendapat konsesi dari penyelenggara pelabuhan. (2) Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
kemampuan dermaga dan fasilitas lainnya yang ada untuk memenuhi permintaan jasa kepelabuhanan;
rencana kegiatan yang dinilai dari segi keamanan, ketertiban dan keselamatan pelayaran dengan rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan setempat;
upaya peningkatan pelayanan kepada pengguna jasa kepelabuhanan;
pungutan tarif jasa kepelabuhan dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan yang bersangkutan; dan
memberlakukan ketentuan sistem dan prosedur pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang bersangkutan. Pasal 140 Dalam hal terjadi bencana alam atau peristiwa lainnya yang mengakibatkan tidak berfungsinya terminal, pengelola terminal untuk kepentingan sendiri wajib memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan untuk kepentingan umum dengan ketentuan:
pengoperasian dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. hak dan kewajiban pengelola terminal untuk kepentingan sendiri harus terlindungi;
pelayanan jasa kepelabuhanan diberlakukan ketentuan pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan; dan
pungutan tarif jasa kepelabuhanan diberlakukan oleh penyelenggara pelabuhan. Pasal 141 Pengelola terminal untuk kepentingan sendiri dalam melaksanakan pengelolaan dermaga wajib:
bertanggung jawab sepenuhnya atas dampak yang ditimbulkan selama pembangunan dan pengoperasian terminal untuk kepentingan sendiri yang bersangkutan;
melaporkan kegiatan operasional terminal untuk kepentingan sendiri kepada penyelenggara pelabuhan laut secara berkala; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepelabuhanan, lalu lintas angkutan di perairan, keselamatan pelayaran, pengerukan dan reklamasi, serta pengelolaan lingkungan; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya. Pasal 142 (1) Persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dicabut apabila pengelola:
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141;
menggunakan terminal untuk kepentingan sendiri untuk melayani kepentingan umum tanpa konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2). (2) Pencabutan persetujuan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengelola terminal untuk kepentingan sendiri tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dicabut. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 143 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII PENARIFAN Pasal 144 Setiap pelayanan jasa kepelabuhanan dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang diberikan. Pasal 145 Besaran tarif pelayanan jasa kepelabuhanan ditetapkan berdasarkan:
kepentingan pelayanan umum;
peningkatan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan;
kepentingan pengguna jasa;
peningkatan kelancaran pelayanan jasa;
pengembalian biaya; dan
pengembangan usaha. Pasal 146 (1) Tarif penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Menteri. (2) Tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan ditetapkan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif yang ditetapkan oleh Menteri dan merupakan pendapatan Badan Usaha Pelabuhan. (3) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan secara tidak komersial oleh Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah dan merupakan penerimaan daerah. Pasal 147 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif jasa kepelabuhanan, mekanisme penetapan tarif yang terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan dan jasa kepelabuhanan serta tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII PELABUHAN DAN TERMINAL KHUSUS YANG TERBUKA BAGI PERDAGANGAN LUAR NEGERI Pasal 148 (1) Untuk menunjang kelancaran perdagangan luar negeri pelabuhan utama dan terminal khusus tertentu dapat ditetapkan sebagai pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas pertimbangan:
pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional;
kepentingan perdagangan internasional;
kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional;
posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran internasional;
Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang diwujudkan dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
fasilitas pelabuhan;
keamanan dan kedaulatan negara; dan
kepentingan nasional lainnya. Pasal 149 (1) Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atas usulan penyelenggara pelabuhan utama setelah memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi:
aspek ekonomi; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan
jenis komoditas khusus. Pasal 150 (1) Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atas usulan penyelenggara pengelola terminal khusus setelah memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi:
aspek administrasi;
aspek ekonomi;
aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan
jenis komoditas khusus. Pasal 151 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dan Pasal 150, Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan penetapan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan dan pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. Pasal 152 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX SISTEM INFORMASI PELABUHAN Pasal 153 (1) Sistem informasi pelabuhan mencakup pengumpulan, pengelolaan, penganalisaan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi pelabuhan untuk:
mendukung operasional pelabuhan;
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan
mendukung perumusan kebijakan di bidang kepelabuhanan. (2) Sistem informasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
Menteri untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat nasional;
gubernur untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat provinsi; dan
bupati/walikota untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat kabupaten/kota. (3) Pemerintah daerah menyelenggarakan sistem informasi pelabuhan sesuai dengan kewenangannya berdasarkan pedoman dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 154 Sistem informasi pelabuhan paling sedikit memuat:
kedalaman alur dan kolam pelabuhan;
kapasitas dan kondisi fasilitas pelabuhan;
arus peti kemas, barang, dan penumpang di pelabuhan;
arus lalu lintas kapal di pelabuhan;
kinerja pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan f. operator terminal di pelabuhan;
tarif jasa kepelabuhanan; dan
Rencana Induk Pelabuhan dan/atau rencana pembangunan pelabuhan. Pasal 155 Badan Usaha Pelabuhan menyampaikan laporan bulanan kegiatan terminal kepada Otoritas Pelabuhan setiap bulan paling lambat pada tanggal 5 (lima) bulan berikutnya. Pasal 156 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 meliputi:
arus kunjungan kapal;
arus bongkar muat peti kemas dan barang;
arus penumpang;
kinerja operasional; dan
kinerja peralatan dan fasilitas. Pasal 157 Otoritas Pelabuhan mengevaluasi laporan bulanan yang disampaikan oleh Badan Usaha Pelabuhan untuk dijadikan sebagai bahan penyusunan sistem informasi pelabuhan dan disampaikan kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur. Pasal 158 Unit Penyelenggara Pelabuhan wajib menyampaikan informasi kepada Menteri yang memuat paling sedikit mengenai:
kedalaman kolam pelabuhan;
arus kunjungan kapal;
arus bongkar muat peti kemas dan barang;
arus penumpang;
kinerja operasional;
kinerja peralatan dan fasilitas;
kedalaman alur; dan
perkembangan jumlah Badan Usaha Pelabuhan yang mengoperasikan terminal. Pasal 159 Menteri berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 mengolah data dan informasi untuk dijadikan sebagai bahan informasi pelabuhan kepada masyarakat. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 160 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengolahan dan laporan serta penyusunan sistem informasi pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 161 Pengelola kawasan industri yang memerlukan fasilitas pelabuhan wajib menyediakan lahan yang dialokasikan untuk kegiatan kepelabuhanan. Pasal 162 (1) Penyelenggaraan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang diusahakan secara komersial harus memenuhi ketentuan:
kegiatan pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan dilaksanakan oleh Otoritas Pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan;
kegiatan pemerintahan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Syahbandar; dan
kegiatan pengusahaan dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan yang mengusahakan pelabuhan laut untuk melayani angkutan penyeberangan. (2) Penyelenggara pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang belum diusahakan secara komersial dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Pemerintah, Unit Pelaksana Teknis pemerintah provinsi, atau Unit Pelaksana Teknis pemerintah kabupaten/kota. Pasal 163 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Menteri. ditjen Peraturan Perundang-undangan BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 164 (1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan pelabuhan tetap menyelenggarakan kegiatan pengusahaan di pelabuhan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. (2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dimaksud . BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 165 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai kepelabuhanan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 166 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 167 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. ditjen Peraturan Perundang-undangan ditjen Peraturan Perundang-undangan Untuk... P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN I. UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan nasional, dan memperkukuh ketahanan nasional. Pembinaan pelabuhan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Aspek pengaturan mencakup perumusan dan penentuan kebijakan umum maupun teknis operasional. Aspek pengendalian mencakup pemberian pengarahan bimbingan dalam pembangunan dan pengoperasian pelabuhan. Sedangkan aspek pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan kepelabuhanan. Pembinaan kepelabuhanan dilakukan dalam satu kesatuan Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang ditujukan untuk mewujudkan kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan pelayaran dalam pelayanan jasa kepelabuhanan, menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha, mendorong profesionalisme pelaku ekonomi di pelabuhan, mengakomodasi teknologi angkutan, serta meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing dengan tetap mengutamakan pelayanan kepentingan umum. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam penyelenggaran pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara proporsional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Untuk kepentingan tersebut di atas maka dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai Rencana Induk Pelabuhan Nasional, penetapan lokasi, rencana induk pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan, penyelenggaran kegiatan di pelabuhan, perizinan pembangunan dan pengoperasian pelabuhan atau terminal, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri, penarifan, pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan sistem informasi pelabuhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional memuat lokasi pelabuhan yang sudah ada maupun lokasi pelabuhan yang direncanakan akan dibangun. Ayat (2) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (3) Menteri yang terkait dengan kepelabuhanan antara lain, menteri yang membidangi urusan lingkungan hidup, perikanan, perindustrian, pertambangan, dan perdagangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Perubahan kondisi lingkungan strategis akibat bencana adalah berubahnya perencanaan pemanfaatan kawasan yang memerlukan fasilitas pelabuhan akibat bencana. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Letak wilayah administratif memuat nama desa/kelurahan atau sebutan lain, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri manufaktur yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki Izin Usaha Industri. Huruf k Fasilitas umum lainnya antara lain tempat peribadatan, tempat rekreasi, olah raga, jalur hijau, dan kesehatan. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas . Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Keadaan darurat antara lain kapal terbakar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat tidak tetap antara lain kegiatan kehutanan dan pertambangan yang diselenggarakan oleh instansi yang berwenang dalam rangka mencegah pembalakan liar ( illegal logging ) dan penambangan liar ( illegal minning ) yang ke luar masuk melalui pelabuhan. Pasal 38 Ayat (1) Kegiatan pengaturan meliputi penetapan kebijakan di bidang kepelabuhanan. Kebijakan di bidang kepelabuhanan merupakan kebijakan umum dan teknis kepelabuhanan yang meliputi penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur serta perizinan di bidang kepelabuhanan. Kegiatan pembinaan dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan guna mewujudkan tatanan kepelabuhanan nasional yang diarahkan untuk:
memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, dan nyaman;
meningkatkan penyelenggaraan kegiatan kepelabuhanan;
mengembangkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan serta keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menjamin tersedianya alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang memadai;
mencegah dan menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kegiatan kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf d... Kegiatan pengendalian meliputi pemberian arahan, bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat pengguna jasa kepelabuhanan, pendidikan dan pelatihan serta sertifikasi, dan perizinan di bidang kepelabuhanan serta petunjuk dalam melaksanakan pembangunan, operasional dan pengembangan pelabuhan. Kegiatan pengawasan meliputi:
pemantauan dan penilaian terhadap kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan; dan
tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jaringan jalan adalah jalan akses (acces road) ke terminal. Huruf c Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf d Keamanan dan ketertiban secara umum di pelabuhan dijamin oleh Otoritas Pelabuhan yang dilakukan secara terpadu dan untuk itu dapat dibentuk satuan pengaman oleh Otoritas Pelabuhan, namun untuk masing-masing terminal menjadi tanggung jawab Badan Usaha Pelabuhan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kondisi tertentu adalah terjadinya sesuatu yang dapat menghambat pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan yang harus segera dilakukan pemulihan dan tidak dapat menunggu pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sehingga diperlukan tindakan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan atau pengelola Terminal Untuk Kepentingan Sendiri seizin Otoritas Pelabuhan. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (4) Kondisi tertentu adalah anggaran pemerintah pada tahun anggaran berjalan tidak tersedia untuk pemeliharaan penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Peraturan pemerintah tersendiri adalah peraturan pemerintah yang mengatur mengenai kenavigasian. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jasa terkait dengan kepelabuhanan adalah kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan antara lain perkantoran, fasilitas pariwisata dan perhotelan, instalasi air bersih, listrik dan telekomunikasi, jaringan air limbah dan sampah, pelayanan bunker, dan tempat tunggu kendaraan bermotor. __ Pasal 69 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Keikutsertaan Badan Usaha Pelabuhan menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang menyangkut angkutan di perairan adalah hanya terbatas di tambatan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sanksi adalah pengakhiran perjanjian dalam hal Badan Usaha Pelabuhan tidak melaksanakan kewajibannya termasuk kewajiban memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan sesuai standar kinerja pelayanan yang ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kerjasama pemanfaatan adalah pengoperasian fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan oleh Badan Usaha Pelabuhan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyewaan lahan, penyewaan gudang, dan/atau penyewaan penumpukan adalah pemanfaatan lahan tanah pelabuhan, fasilitas gudang dan fasilitas penumpukan oleh Badan Usaha Pelabuhan, Badan Usaha lainnya atau perorangan dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 98... Pasal 88 Ayat (1) Sisi darat antara lain berupa gudang, gedung, dan lapangan penumpukan. Ayat (2) Sisi perairan antara lain berupa dermaga, fasilitas tambat, reklamasi, dan talud. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (1) Pengoperasian pelabuhan dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan fasilitas dan sumber daya manusia operasional sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 98 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Kondisi alur antara lain kedalaman, pasang surut, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran . Huruf b Cukup jelas. Huruf c Fasilitas pelabuhan antara lain lampu penerangan, dermaga, gudang, dan lapangan penumpukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan yaitu petugas instansi pemerintah pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, kekarantinaan, kepabeanan dan keimigrasian. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Melaporkan kegiatan operasional dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi . Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang perpajakan serta bea dan cukai. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Kegiatan tertentu adalah kegiatan untuk menunjang kegiatan usaha pokok yang tidak terlayani oleh pelabuhan terdekat dengan kegiatan usahanya karena sifat barang atau kegiatannya memerlukan pelayanan khusus atau karena lokasinya jauh dari pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (2) Huruf a Ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat yaitu bahwa pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan pengoperasian terminal khusus dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan terdekat dan pengawasan serta pelaksanaan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 111 Huruf a Badan usaha adalah badan hukum Indonesia yang didirikan berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia, termasuk anak perusahaan sesuai dengan usaha pokok yang sejenis dan pemasok bahan baku dan peralatan penunjang produksi untuk keperluan badan usaha yang bersangkutan. Kegiatan usaha pokok antara lain pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, serta sosial. Huruf b Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. __ Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, sosial, perpajakan, serta bea dan cukai. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kondisi alur antara lain kedalaman perairan, pasang surut, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Fasilitas terminal khusus antara lain lampu penerangan, dermaga, gudang, dan lapangan penumpukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan yaitu petugas instansi pemerintah pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, kekarantinaan, kepabeanan dan keimigrasian. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 132 Ayat (1) Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan operasional terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat dalam kaitan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pengelola terminal khusus antara lain menyangkut penggunaan perairan, pelayanan pandu, pelayanan jasa kepelabuhanan yang dilakukan untuk melayani pihak ketiga karena kegiatan- kegiatan tersebut merupakan kewenangan dari Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Ayat (1) Kegiatan tertentu meliputi pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, serta sosial. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 135 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Bukti kerjasama dapat berupa kerjasama pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Fasilitas lainnya antara lain peralatan bongkar muat, gudang, akses jalan masuk, dan sumber daya manusia yang menangani. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 140 Bencana alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. ditjen Peraturan Perundang-undangan Peristiwa lainnya dapat berupa bencana non-alam antara lain gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit serta berupa bencana sosial yang antara lain konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat dan teror. Pasal 141 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. __ Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, sosial, perpajakan, serta bea dan cukai. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 148 Ayat (1) Terminal khusus tertentu adalah terminal khusus yang dibangun dan dioperasikan untuk menunjang kegiatan usaha yang hasil produksinya untuk diekspor. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Dalam menyampaikan laporan, Badan Usaha Pelabuhan dapat menggunakan teknologi informasi yang tersedia ( e-portnet ). Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penentuan waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu yang cukup bagi Pemerintah merencanakan pengembangan pelabuhan dan Badan Usaha Milik Negara. Untuk keperluan pengembangan tersebut atas perintah Menteri dilakukan:
evaluasi aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan; dan
audit secara menyeluruh terhadap aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara” adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1991, tetap menyelenggarakan kegiatan usaha di pelabuhan yang meliputi:
kegiatan yang diatur dalam Pasal 90 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
penyediaan kolam pelabuhan sesuai dengan peruntukannya berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pelayanan jasa pemanduan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
penyediaan dan pengusahaan tanah sesuai kebutuhan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. ditjen Peraturan Perundang-undangan ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan, yang selanjutnya disebut LPS. (2) LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan hukum. 10. Berkaitan dengan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 menentukan bahwa terdapat 5 (lima) syarat untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD _1945; _ b. hak dan/atau kewenangan konstitusional Permohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu _Undang-Undang yang diuji; _ c. kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang _menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; _ d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian _dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; _ e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 11. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang ini dan adanya kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 telah terpenuhi sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pemohon berdasarkan Pasal 4 UU LPS mempunyai fungsi sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id a) Menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan b) Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
Dalam menjalankan fungsinya untuk menjamin nasabah penyimpan, Pemohon mempunyai tugas untuk: (a) merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan; dan (b) melaksanakan penjaminan simpanan.
Sedangkan dalam menjalankan fungsinya untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, Pemohon mempunyai tugas sebagai berikut:
Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan;
Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan
Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Dalam rangka menjalankan tugasnya melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU LPS Pemohon juga diberikan kewenangan antara lain sebagai berikut:
Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan;
Menjual dan/atau mengalihkan aset Bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Secara lebih spesifik lagi, berdasarkan Pasal 30, Pasal 38, dan Pasal 42 UU LPS, Pemohon mempunyai kewajiban untuk menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu yang ditentukan, termasuk tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal pada tahun terakhir (tahun ke-5 pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun ke-6 pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 17. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Negara Indonesia adalah Negara hukum. Dalam konteks Negara hukum dan dalam konteks penguatan fungsi dan kewenangan LPS dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem perbankan dan penjaminan simpanan nasabah, Pemohon juga dijamin hak konstitusionalnya untuk untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan fungsi Pemohon sebagai lembaga yang turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan. Hak konstitusional Pemohon ini diatur secara tegas dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mempunyai hak konstitusional untuk memperoieh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya yang telah diberikan oleh hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas. Hak konstitusional tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Namun demikian, hak-hak konstitusional Pemohon tersebut di atas dilanggar atau setidaknya menjadi terhambat oleh adanya ketentuan- ketentuan dalam UU Pasar Modal dan UU LPS sebagaimana diuraikan di bawah ini:
Kerugian konstitusional terkait dengan Pasal 45 UU Pasar Modal Pasal 45 UU Pasar Modal, khususnya frasa “ atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanyaf”. Pada ketentuan tersebut, frasa “atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dapat dimaknai secara sempit, yaitu bahwa yang dimaksud dengan pihak tersebut semata-mata hanyalah pihak yang diberikan wewenang oleh pemegang rekening/efek (pemegang saham) berdasarkan perjanjian pemberian kuasa. Pemaknaan/penafsiran yang sekedar merujuk kepada adanya pemberian kuasa dimaksud mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya berdasarkan UU LPS untuk menjual seluruh saham Bank Gagal, termasuk saham milik pemegang saham lama pada Bank Gagal yang sahamnya diperjualbelikan di bursa, menjadi terhambat atau terhalangi tanpa adanya surat kuasa dari pemegang efek atau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id pemegang saham lama. Padahal berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU LPS, Pemohon telah diwajibkan untuk menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan, termasuk saham milik pemegang saham lama yang diperjuabelikan di bursa (saham publik). Dengan demikian, frasa “ atau pihak yang diberikan wewenang untuk bertindak atas namanya” secara aktual maupun potensial merugikan Pemohon.
Kerugian konstitusional terkait Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS khususnya frasa "sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ berdasarkan penalaran yang sederhana juga berpotensi merugikan Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya serta dalam rangka memperjuangkan hak secara kolektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini karena disatu sisi berdasarkan UU LPS Pemohon diberikan hak dan wewenang untuk mendapatkan dokumen atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank, bahkan berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank, akan tetapi dengan adanya frasa “ sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” mengakibatkan Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya menjadi terhambat bahkan berpotensi dianggap melakukan tindak pidana kejahatan perbankan karena terdapat aspek pidana terkait pelanggaran terhadap rahasia bank.
Kerugian Konstitusional terkait Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS Dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS pada pokoknya dinyatakan apabila tingkat pengembalian yang optimal tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu yang ditentukan termasuk perpanjangannya, maka Pemohon wajib menjual saham Bank Gagal tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal pada 1 (satu) tahun berikutnya (yaitu tahun ke-5 pada Bank Gagal yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tidak berdampak sistemik atau tahun ke-6 pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Dalam hal ini, yang dimaksud tingkat pengembalian yang optimal adalah paling sedikit sebesar nilai Penyertaan Modal Sementara (PMS) yang dikeluarkan oleh Pemohon. Persoalannya, apabila pada tahun ke-5 atau tahun ke-6 Pemohon tetap melaksanakan penjualan tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal, maka berdasarkan penalaran yang wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dihadapi oleh Pemohon, yaitu Pemohon dapat dianggap telah merugikan keuangan negara. Sedangkan disisi lain, berdasarkan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, pada tahun ke-5 atau ke-6 Pemohon justru wajib menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa perlu memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Hal ini mengakibatkan hak konstitusional Pomohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjadi terlanggar. Oleh karena itu, apabila tidak dimaknai dengan benar maka ketentuan yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS secara aktual ataupun potensial berdasarkan penalaran sederhana atau wajar dapat merugikan Pemohon. Berkenaan dengan kerugian konstitusional tersebut di atas, di bawah ini Pemohon kutip pernyataan dari beberapa narasumber yang membuktikan adanya perbedaan pendapat sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon. Pro Kontra Nama Hadi Poernomo, Ketua BPK. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana Anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP Jaksa Ahmad Burhanudin Waktu 04 April 2014 03 Oktober 2013 26 Desember 2013 20 Maret 2014 Pendapat Menurut Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, dalam menjual Bank Mutiara, sebaiknya tetap mengacu pada Undang-Undang Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, divestasi Bank Mutiara tidak bisa dilandaskan UU No 13/2003 tentang Keuangan Negara Langkah-langkah yang akan dilakukan harus dilakukan di antaranya berkonsultasi terlebih dahulu ke Presiden terkait rencana LPS berasal dari aset negara sehingga kekayaan LPS merupakan aset negara sebagaimana Pasal 81 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id No 24 tahun 2004, tentang Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 42. "Kita kembali ke UU LPS Pasal 42 yang jelas bahwa sampai tahun kelima harus sesuai dengan harga talangan. Setelah kelima dijual berapapun juga," katanya di Gedung BPK, Jakarta, Jumat (4/4). dan UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, melainkan penjualan bank dalam penanganan LPS harus berlandaskan UU LPS. "Dalam pandangan saya, hal ini terjadi karena adanya ketentuan dari satu undang-undang dan undang-undang lain yang saling bertentangan. Bicara LPS, itu semua pihak harus konsentrasi ke undang-undang LPS dan tinggalkan ego sektoral dari UU yang biasa mereka pakai," tegasnya dalam LPS Seminar 2013 dengan topik Peran LPS Dalam Penyelamatan Bank Gagal di Jakarta, Rabu (2/10). Kekayaan LPS juga seharusnya dipisah dari keuangan negara sehingga bila terjadi kerugian negara, maka negara tidak dapat dibebani atas kerugian tersebut seperti halnya diberlakukan pada BUMN. Hikmahanto mengatakan, harus dihindari pandangan bahwa jika tahun depan LPS gagal menjual Mutiara di harga Rp 6,7 triliun itu berarti merugikan negara. tersebut. Pasalnya, Lembaga Penjamin Simpanan bertanggungjawab terhadap Presiden dalam hal ini Presiden SBY. "Hal yang perlu dibicarakan dengan Presiden adalah mengenai batas waktu yang telah dilampaui untuk menjual Bank mutiara dengan harga sesuai dengan PMS yang diterimanya," ujar Anggota Komisi XI DPR, Dolfie OFP saat berbincang dengan SOROT news.com, Kamis (26/12/2013). Dijelaskan Dolfie, Bank Mutiara sudah menerima penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp. 6,7 Triliun ditambah Rp.1,25 Triliun. Oleh karena itu Bank Mutiara harus dijual minimal Rp.7,95 Triliun. ”Batas waktu penjualan kalau sesuai UU adalah 5 tahun sejak pertama kali di tangani LPS tahun 2008. Oleh karena itu tahun ini adalah batas akhir," tandasnya. ”Sesudahnya LPS dapat menjual dengan harga optimal. Jangan sampai harga optimal adalah harga obral. Apalagi BPK telah menyatakan adanya kerugian keuangan negara dalam mem- bailout bank mutiara. Kalau penjualannya di bawah harga, tentang LPS,” kata jaksa Ahmad Burhanudin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (20/3/2014). Jaksa memaparkan, saat itu telah jatuh tempo pelunasan FPJP. Bank Century pun sampai dengan 4 Februari 2009 telah menerima dana PMS sebesar Rp. 5,797 triliun. Kemudian, Bank Century melunasi FPJP sebesar Rp. 689,394 miliar dan bunganya sebesar Rp. 16,8 miliar sehingga total Rp. 706,194 miliar. ”Perhitungan kerugian negara adalah nyata dan pasti jumlahnya yaitu berdasarkan perhitungan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan,” lanjut jaksa. Sementara itu, pihak Budi Mulya menilai PMS masih terdapat di Bank Century yang saat ini bernama Bank Mutiara dan dikuasai oleh LPS. Dengan demikian, seharusnya belum dapat dipastikan perhitungan kerugian negaranya. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id maka kerugian negara akan bertambah banyak," tambahnya. Sumber http: //www.akt ual.co/hukum/1 65753ketua- bpk-sesuai-uu- Ips-mutiara- bisa-dijual-di- bawah- bailout - century http: //www.suarapem baruan.com/ekonomi danbisnis/lps-jangan- gentar-tangani- divestasi- mutiara/42886 http: //www.sorotne ws.com/berita/print/ dpr-meminta-lps- konsultasi- ke.5889.html http: //nasional.kom pas.com/read/2014 /03/20/1636361/Ini. Penjelasan.Jaksa.s oal.Kerugian.Negar a.Rp.7.4.Triliun.dal am.Kasus.Century.
Kerugian konstitusional terkait Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UULPS Pengaturan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan pegakuan, jaminan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya. Hal ini karena adanya kata “dapat” __ pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS mengakibatkan Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum untuk memperoieh pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Sedangkan di sisi lain, berdasarkan Pasal 4 UU LPS Pemohon mempunyai tugas yang sangat penting, yaitu turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan dimana sewaktu-waktu memerlukan bantuan pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Selain itu, pengaturan Pasal 85 ayat (3) UU LPS telah mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi Pemohon untuk memperoieh Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas. Hal ini karena berdasarkan Pasal 85 ayat (3) UU LPS, yang perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah hanya mengenai tingkat Iikuiditas. Sedangkan ketentuan tersebut justru mengacu kepada Pasal 85 ayat (2) UU LPS yang mengatur mengenai pinjaman Pemerintah kepada Pemohon apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk memperoleh Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Pemohon dalam hal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya.
Berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar telah merugikan Berdasarkan penjelasan di atas, ketentuan-ketentuan yang hendak diuji dalam permohonan Pengujian Undang-Undang ini secara aktual maupun potensial hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Adanya kerugian-kerugian konstitusional di atas secara langsung diakibatkan oleh adanya ketentuan-ketentuan yang hendak diuji dalam permohonan Pengujian Undang-Undang ini. Dengan demikian, terdapat hubungan sebab akibat (kausalitas) antara kerugian (baik aktual maupun potensial) yang dialami Pemohon dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Oleh karena itu, permohonan Pengujian Undang-Undang ini dimohonkan Pemohon kepada Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi agar kerugian konstitusional dimaksud tidak akan terjadi.
Berdasarkan uraian di atas terbukti bahwa Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) yang sah untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang ini, dan karenanya permohonan pengujian ini sudah sepatutnya dapat diterima untuk selanjutnnya pokok permasalahannya diperiksa dan diputus oleh Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi. III. Alasan-Alasan Permohonan III.A. Latar Belakang Pembentukan LPS 23. Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas sistem perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 (enam belas) bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat ( blanket Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id guarantee ). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee dimaksud memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Latar belakang pembentukan LPS tersebut pada dasarnya dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, yang dilaksanakan melalui 2 (dua) fungsi, yaitu menjamin simpanan nasabah bank serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Dalam rangka turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, Pemohon diberikan tugas dan kewenangan untuk menangani Bank Gagal, baik Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik maupun Bank Gagal yang berdampak sistemik dengan atau tanpa penyertaan dari pemegang saham lama.
Dalam konteks penanganan Bank Gagal ini, terutama Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon oleh Undang-Undang telah diberikan kewenangan untuk mengambilalih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, sekaligus juga mempunyai kewajiban untuk pada waktu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tertentu menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan.
Namun demikian, terdapat ketentuan-ketentuan yang secara aktual maupun potensial berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya permohonan Pengujian Undang-Undang ini terhadap ketentuan- ketentuan dimaksud guna menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, termasuk dalam rangka membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan fungsi Pemohon yang diatur dalam UU LPS. III.B. Pemohon Berhak Memajukan Diri Guna Memperjuangkan Haknya Secara Kolektif Untuk Membangun Masyarakat, Bangsa, dan Negara, Serta Mendapatkan Pengakuan, Jaminan, Perlindungan dan Kepastian Hukum Yang Adil Dalam Negara Hukum Republik Indonesia 32. Sejak adanya perubahan terhadap UUD 1945, terdapat perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.Perubahan tersebut antara lain konsepsi negara hukum atau Rechtsstaat yang sebelumnya hanya dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 angka 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsepsi negara hukum, maka hukum ditempatkan sebagai panglima (supremasi hukum) dalam dinamika kehidupan bernegara.
Selain itu, perubahan lainnya berupa adanya penghormatan yang lebih tegas terhadap hak-hak asasi manusia termasuk hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta hak untuk memajukan diri untuk memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara;
Sebagai konsekuensi yuridis atas hal di atas, setiap orang termasuk badan hukum juga mempunyai hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” 35. Lebih lanjut, sebagai konsekuensi yuridis Indonesia sebagai negara hukum, maka setiap orang termasuk badan hukum mempunyai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum.” 36. Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat hak konstitusional bagi setiap orang termasuk Pemohon sebagai badan hukum untuk mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Penghormatan atas hak-hak konstitusional Pemohon tersebut di atas sangat penting bagi Pemohon dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan dalam rangka memberikan jaminan atas simpanan penyimpan serta turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.
Dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan, Undang- Undang telah memberikan tugas kepada Pemohon antara lainuntuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal yang berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik, dengan atau tanpa melibatkan pemegang saham lama.
Dalam rangka penanganan dan penyeiamatan Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon diberikan kewenangan oleh hukum untuk mengambilalih dan menjalankan segala kewenangan RUPS serta menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Fungsi, tugas dan kewenangan tersebut di atas telah diberikan secara langsung oleh Undang-Undang dan karenanya Pemohon mempunyai hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan serta kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya. Selain itu, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemohon juga mempunyai hak konstitusional untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara sesuai fungsi, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Pemohon khususnya dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.
Namun demikian, terdapat ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yangmenghambat dan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Hal ini karena ketentuan-ketentuan tersebut telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum atau hilangnya jaminan hukum serta menghambat Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan permohonan untuk menguji ketentuan-ketentuan dalam UU Pasar Modal dan UU LPS yang dinilai telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon dimaksud.
Dengan demikian perlu kami tegaskan kembali bahwa dalam hal ini permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh Pemohon adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, khususnya ketententuan-ketentuan tertentu yang ada dalam UU Pasar Modal dan UU LPS yang dinilai telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon dalam melaksanakan fungsi, tugas, kewenangan serta kewajibannya. Ketentuan- ketentuan dimaksud adalah Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5) Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. III.C. Pasal 45 UU Pasar Modal Khususnya Frasa ”atau pihak yang diberikan wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 43. Kami mohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia menguji Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” karena frasa dalam ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU LPS, dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal, Pemohon secara hukum telah diberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id kewenangan untuk mengambilalih segala hak dan wewenang pemegang saham pada Bank Gagal yang diselamatkan. Pasal 6 ayat (2) UU LPS kami kutip sebagai berikut: “LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal _dengan kewenangan: _ a. Mengambilalih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang _RUPS; _ b. Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang _diselamatkan; _ c. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan _dengan pihak ketiga yang merugikan Bank; dan _ d. Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.” 45. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 40 huruf a dan Pasal 41 ayat (1) UU LPS, dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal yang berdampak sistemik, Pemohon oleh hukum diberikan kewenangan untuk mengambilalih segala hak dan kewenangan RUPS, kepemilikan pada Bank Gagal termasuk melakukan pengalihan kepemilikan bank. Ketentuan-ketentuan tersebut kami kutip sebagai berikut: Pasal 40 huruf a UU LPS menyatakan: “Terhitung sejak LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, maka berdasarkan _Undang-undang ini: _ a. LPS mengambilalih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada Bank dimaksud.” Pasal 41 ayat (1) UU LPS menyatakan: "Setelah LPS mengambilalih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada Bank tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, LPS dapat melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. ” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 26 UU LPS menyatakan: ”Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenang sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 25, LPS dapat melakukan tindakan sebagai berikut: _ a. Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset _milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank; _ _b. Melakukan penyertaan modal sementara; _ c. Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan Nasabah _Debitur dan/atau kewajiban tanpa persetujuan Nasabah Kreditur; _ _d. Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain; _ _e. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; _ _f. Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan _ g. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank.” 46. Selanjutnya, secara lebih spesifik lagi, berdasarkan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS, undang-undang telah memberikan kewajiban kepada Pemohon untuk menjual seluruh saham pada Bank Gagal yang diselamatkan. Ketentuan-ketentuan tersebut kami kutip sebagai berikut: Pasal 30 ayat (1) UU LPS: ”LPS wajib menjualseluruh saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.” Pasal 38 ayat (1) UULPS: ”LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a.” Pasal 42 ayat (1) UU LPS: ”LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 39." 47. Dengan adanya frasa “ wajib menjual seluruh saham Bank ” dalam ketentuan-ketentuan di atas telah jelas bahwa Pemohon telah diberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tugas dan karenanya harus menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan, baik saham milik Pemohon yang berasal dari penyertaan modal maupun saham milik pemegang saham lama pada Bank Gagal yang diselamatkan.
Fungsi, tugas, kewenangan, dan kewajiban Pemohon tersebut tidak bertentangan dengan prinsip hak milik pribadi karena dalam konteks penanganan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, Pemohon baru melaksanakan tugasnya apabila telah ada berbagai persyaratan yang dipenuhi oleh Bank Gagal yang hendak diselamatkan, antara lain berupa surat pernyataan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menyerahkan segala hak dan kewenangannya kepada Pemohon. Apabila persyaratan tersebut telah dipenuhi, maka Pemohon melakukan tindakan- tindakan penyelamatan Bank Gagal.
Sedangkan dalam konteks menangani Bank Gagal yang berdampak sistemik, kewenangan Pemohon untuk mengambilalih segala hak dan kewenangan pemegang saham maupun RUPS diberikan secara langsung oleh Undang-Undang terkait tugas Pemohon untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas ssistem perbankan. Dalam hal demikian, maka apabila pada saat penanganan Bank Gagal diserahkan kepada Pemohon ekuitas dari Bank tersebut bernilai negatif atau nol, maka pemegang saham lama tidak memperoleh hak apapun atas hasil penjualan. Sedangkan apabila pada saat diserahkan kepada Pemohon ekuitas bank bernilai positif, maka pemegang saham lama mempunyai hak atas hasil penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan Pemohon. Dengan demikian, segela tindakan pengambilalihan hak dan kewenangan yang dilakukan oleh Pemohon sama sekali tidak melanggar hak milik pribadi dan bahkan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU LPS, dinyatakan bahwa LPS dapat menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan seperti halnya sebagai pemilik.
Berkaitan dengan hal di atas, tidak ada pengecualian dalam penerapan ketentuan tersebut. Artinya kewajiban atau kewenangan Pemohon untuk menjual seluruh saham Bank Gagal tersebut dapat diterapkan baik terhadap saham Bank Gagal yang berbentuk perseroan tertutup maupun saham Bank Gagal yang berbentuk perseroan terbuka yang saham- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id sahamnya tercatat di bursa.
Namun demikian, dalam Pasal 45 UU Pasar Modal terdapat frasa yang dapat menghambat atau menghalangi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk menjual seluruh saham pada Bank Gagal, khususnya saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa. Ketentuan Pasal 45 UU Pasar Modal secara lengkap kami kutip sebagai berikut: “Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang rekening atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya ”.
Frasa ”pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dalam Pasal 45 UU Pasar Modal dapat dimaknai secara sempit oleh pihak tertentu termasuk Kustodian dengan menyatakan bahwa Kustodian hanya dapat mengeluarkan efek (saham) yang tercatat pada rekening efek apabila terdapat perintah/persetujuan tertulis dari pemegang rekening/pemegang saham atau pihak yang telah diberikan kuasa oleh pemegang rekening berdasarkan surat pemberian kuasa (kuasanya).
Dengan demikian, apabila pemegang efek/pemegang saham lama tidak memberikan surat kuasa kepada Pemohon untuk mengeluarkan efek tersebut, maka Kustodian tidak dapat mengeluarkan saham/efek tersebut sekalipun terdapat permintaan dari pihak lain ( in casu Pemohon) yang telah diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang untuk menjual saham/efek tersebut.
Potensi adanya penafsiran yang sempit di atas dapat menghambat tugas dan kewenangan Pemohon pada saat Pemohon hendak menjual seluruh saham Bank Gagal sebagaimana diamanatkan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 (1) UU LPS. Hal ini dapat mengakibatkan Pemohon tidak dapat menjual saham milik pemegang saham lama yang sahamnya tercatat di bursa karena Kustodian mungkin tidak akan bersedia mengeluarkan efek/saham tersebut apabila Pemohon tidak dapat menunjukan telah adanya surat kuasa dari pemegang saham lama kepada Pemohon. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 55. Frasa “ atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya ” seharusnya dimaknai secara lebih luas, yaitu yang dimaksud "pihak" dalam ketentuan tersebut bukan hanya pihak yang diberikan kuasa berdasarkan perjanjian pemberian kuasa dari pemegang efek/pemegang saham kepada kuasanya, melainkan juga termasuk pihak yang diberikan kewenangan secara langsung oleh Undang-Undang tanpa memerlukan adanya surat kuasa dari pemegang rekening/pemegang efek/pemegang saham lama.
Kekhawatiran terhadap adanya penafsiran yang sempit di atas faktanya tidak hanya bersifat potensial, melainkan sudah bersifat aktual pada saat Pemohon menangani PT Bank Mutiara, Tbk (dahulu PT Bank Century, Tbk). Pada saat itu, Pemohon berdasarkan suratnya No. S-139/KE/VIII tanggal 1 Agustus 2013 perihal Penjualan Saham PT Bank Mutiara, Tbk telah meminta Kustodian, yaitu PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) untuk membantu proses penjualan saham PT. Bank Mutiara, Tbk dengan cara membalik nama dari pemegang saham lama kepada calon investor/calon pembeli.
Namun demikian, pada saat itu KSEI berdasarkan surat tanggapannya Nomor KSEI-2498/DIR/0813 tanggal 16 Agustus 2013 menyatakan bahwa apabila Pemohon hendak menjual atau mengalihkan kepemilikan efek/ saham yang tersimpan di KSEI, Pemohon harus melaksanakan mekanisme dan prosedur peralihan kepemilikan saham sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU Pasar Modal. Dengan demikian, berdasarkan tanggapan tersebut Pemohon disyaratkan terlebih dahulu harus mendapatkan perintah/persetujuan dari pemegang efek (pemegang saham lama) atau kuasanya apabila hendak mengeluarkan saham. Dengan demikian, apabila tidak ada perintah secara tertulis dari pemegang saham lama atau kuasanya, maka KSEI tidak dapat memenuhi permintaan Pemohon untuk mengeluarkan atau membalik nama kepemilikan saham dari pemegang saham lama kepada calon investor/ pembeli sehingga Pemohon tidak dapat menjual saham Bank Gagal yang sahamnya diperjualbelikan di bursa.
Adanya tangggapan dari KSEI di atas menunjukkan bahwa KSEI tidak memandang Pemohon sebagai pihak yang telah diberikan kewenangan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id berdasarkan Undang-Undang guna memerintahkan KSEI untuk mengeluarkan saham dimaksud. Hal ini karena KSEI secara sempit telah memaknai bahwa yang dimaksud dengan frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas __ namanya” semata-mata __ adalah pihak yang diberikan surat pemberian kuasa oleh pemegang saham/pemegang rekening. Padahal kewenangan Pemohon untuk menjual saham pada Bank Gagal, termasuk saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa, telah diberikan secara langsung oleh Undang-Undang sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Berdasarkan penjelasan di atas, Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ” atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang. Hal ini karena apabila tidak dimaknai demikian maka penafsiran atas ketentuan tersebut telah dan dapat menghambat atau menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk menjual atau mengalihkan saham tersebut dalam rangka Pemohon menjalankan tugas dan kewenangannya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara melalui penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan. Selain itu, Pasal 45 UU Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” dalam Pasal 45 UU Pasar Modal bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang.Hal ini karena apabila ketentuan tersebut dimaknai secara sempit akan mengakibatkan Pemohon tidak dapat menjual atau mengalihkan saham milik pemegang saham lama yang tercatat di bursa karena Kustodian tidak bersedia mengeluarkan efek atau saham tersebut Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tanpa adanya surat kuasa dari pemegang efek/pemegang saham lama kepada Pemohon.
Oleh karena itu, selanjutnya kami mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk menyatakan Pasal 45 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya pada frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” __ tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang. III.D Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS Khususnya Frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” Bertentangan Dengan Pasal Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 61. Pemohon mohon Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap frasa “sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam __ Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS karena frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), yang dimaksud dengan Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Dalam UU LPS terdapat banyak ketentuan yang menunjukkan bahwa Pemohon mempunyai hak untuk memperoleh dokumen, data atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank. Ketentuan- ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut: Pasal 8 ayat (1) UU LPS: “Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 9 UU LPS menyatakan: “Sebagai peserta Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, _setiap Bank wajib: _ e. memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan.” Pasal 16 ayat (2) UU LPS: ”LPS berhak memperoieh data Nasabah Penyimpan dan informasi lain yang diperlukan per tanggal pencabutan izin usaha dari LPP dan/atau bank dalam rangka penghitungan dan pembayaran klaim Penjaminan”. 64. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemohon secara nyata telah dikecualikan dari prinsip kerahasiaan bank karena faktanya Pemohon dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya mempunyai hak untuk mendapatkan data, informasi atau dokumen yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank.
Selain itu, berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) Pemohon diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bank dalam rangka menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Pasal 42 UU OJK sebagai berikut: “Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”. 66. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, secara hukum Pemohon telah diberikan hak untuk mendapatkan data, dokumen, atau informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank. Namun demikian, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS terdapat frasa “sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS sebagai berikut: “Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal _5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: _ d. mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 67. Frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” tersebut dengan jelas melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya menjadi terabaikan. Dengan adanya frasa tersebut, Pemohon dan pihak lain yang memberikan informasi yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank setiap saat dapat menghadapi dugaan pelanggaran tindak pidana karena dalam UU Perbankan terdapat sanksi pidana bagi pihak yang telah melanggar kerahasiaan perbankan.
Selain itu, frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS juga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Hal ini karena frasa tersebut mengakibatkan hak Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara melalui peran dan kedudukan Pemohon sebagai Lembaga Penjamin Simpanan menjadi terabaikan atau terhambat.
Berdasarkan uraian di atas, Pemohon mohon Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pengujian Undang- Undang ini dengan menyatakan frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” __ dalam Pasal 6 ayat (1) UU LPS telah melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. III.E. Pengaturan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS Bertentangan Dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 70. Pemohon mohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitsi Yang Mulia menguji Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS karena ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di bawah ini. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 71. Pasal 30 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 72. Pasal 38 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 73. Pasal 42 ayat (5) UU LPS menyatakan: “Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya”. 74. Berdasarkan ketentuan di atas, Pemohon tidak memiliki pilihan lain selain wajib menjual saham Bank Gagal yang diselamatkan pada tahun terakhir, yaitu tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Yang dimaksud dengan tingkat pengembalian yang optimal adalah paling sedikit sebesar seluruh Penempatan Modal Sementara (PMS) yang dikeluarkan oleh Pemohon.
Penjualan pada tahun ke-5 atau ke-6 tersebut dilakukan apabila Pemohon tidak dapat menjual saham Bank Gagal minimal sesuai dengan tingkat pengembalian yang optimal dalam jangka waktu yang ditentukan beserta perpanjangannya sesuai yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (4) UU LPS. Jangka waktu untuk menjual saham Bank Gagal dengan memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal masing-masing selama 4 (empat) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tahun (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) dan 5 (lima) tahun (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik). Apabila dalam jangka waktu tersebut saham Bank Gagal tidak dapat dijual dengan memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal, maka pada tahun ke- 5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik), Pemohon menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal.
Adanya mekanisme penjualan di atas berkaitan dengan latar belakang Pemohon dalam menangani dan menyelamatkan Bank Gagal bersifat sementara, sehingga dalam batas waktu tertentu Pemohon harus menjual seluruh saham Bank Gagal kepada calon investor tanpa perlu memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Tujuan pemohon untuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal juga bukan dalam rangka mencari keuntungan, melainkan semata-mata untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan melalui penyelamatan Bank Gagal, terutama Bank Gagal yang berdampak sistemik yang dapat merusak stabilitas sistem perbankan nasional.
Selain itu, apabila kepemilikan atas saham Bank Gagal tidak segera dilepaskan, maka Bank Gagal tersebut secara terus menerus akan membebani Pemohon serta tidak dapat dikeluarkan statusnya sebagai Bank Gagal dalam penanganan Pemohon. Oleh karena itu, dalam batas waktu tertentu atau pada tahun terakhir Pemohon menjual saham Bank Gagal tersebut tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal.
Namun demikian, persoalannya berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang dapat dialami Pemohon apabila nilai penjualan saham pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) berada di bawah tingkat pengembalian yang optimal (di bawah nilai PMS). Hal ini dapat saja terjadi sekalipun Pemohon telah menjual saham Bank Gagal tersebut secara terbuka dan transparan sesuai yang diamanatkan Pasal 30 ayat (2), Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (2) UU LPS. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 79. Berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar potensi adanya permasalahan hukum sangat mungkin terjadi karena hal tersebut mengakibatkan terdapat selisih kurang antara nilai PMS dengan hasil penjualan saham Bank Gagal yang diselamatkan. Oleh karena itu, apabila Pemohon terpaksa menjual saham Bank Gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai PMS, maka Pemohon dianggap telah merugikan keuangan negara sehingga lebih lanjut berdasarkan penalaran yang sederhana dan wajar terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dihadapi oleh Pemohon.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat potensi adanya permasalahan hukum yang akan dialami oleh Pemohon apabila Pemohon pada tahun ke- 5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) menjual saham Bank Gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai PMS, yaitu Pemohon dianggap telah merugikan keuangan negara.
Berkaitan dengan hal di atas, nilai PMS yang dikeluarkan oleh Pemohon tidak dapat begitu saja dijadikan sebagai patokan dalam menentukan nilai harga penjualan saham Bank Gagal. Hal ini karena nilai PMS pada dasarnya merupakan biaya ( cost ) yang harus dikeluarkan untuk melakukan penanganan dan penyelamatan Bank Gagal.
Fakta bahwa nilai PMS merupakan biaya adalah sesuai dengan Pasal 27, Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 41 ayat (2) UU LPS yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 27 UU LPS: “Seluruh biaya __ penyeiamatan bank yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank” Pasal 37 ayat (2) UU LPS: “Biaya penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank”. Pasal 41 ayat (2) UU LPS: “Seluruh biaya __ penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 83. Berdasarkan ketentuan di atas telah jelas bahwa penempatan modal sementara (PMS) merupakan biaya (cost) yang harus dikeluarkan oleh Pemohon dalam melakukan penyelamatkan dan penanganan Bank Gagal. Karena berdasarkan ketentuan tersebut nilai PMS merupakan biaya, maka apabila terdapat selisih kurang antara nilai PMS dengan nilai harga penjualan saham Bank Gagal, maka selisih tersebut juga harus dipandang sebagai biaya dan tidak dapat dipandang sebagai kerugian.
Selain itu, nilai harga penjualan saham Bank Gagal juga dipengaruhi atau tunduk pada mekanisme harga pasar ( benchmark ) pada saat dilakukan penjualan. Nilai penjualan saham Bank Gagal juga sangat bergantung atas penawaran harga terbaik ( best price ) yang disampaikan para calon investor/pembeli pada saat tender penjualan saham Bank Gagal. Kedua hal tersebut sepenuhnya berada di luar kendali Pemohon.
Lebih lanjut, penempatan modal sementara yang dilakukan LPS juga bukan bertujuan untuk mencari keuntungan ( non-profit oriented ), melainkan semata-mata untuk menangani dan menyelamatkan Bank Gagal dengan tujuan yang lebih penting, yaitu dalam rangka memelihara stabilitas sistem perbankan, sesuai dengan amanat Pasal 4 dan Pasal 5 UU LPS.
Namun demikian, berdasarkan penalaran yang wajar tetap terdapat potensi adanya permasalahan hukum di kemudian hari terhadap Pemohon apabila Pemohon menjual harga saham Bank Gagal pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) di bawah tingkat pengembalian yang optimal.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, kami mohon Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut. III.F. Pasal 85 ayat (2) dan (3) UU LPS Bertentangan Dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 89. Kami mohon Majelis Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS karena ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan penjelasan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS menyatakan: ”(2). Dalam hal LPS mengalami kesulitan Iikuiditas, LPS dapat memperoieh pinjaman dari Pemerintah. (3). Ketentuan mengenai tingkat Iikuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” 91. Dengan adanya kata ” dapat” maka dapat ditafsirkan bahwa tidak ada jaminan atau kepastian bagi Pemohon akan mendapatkan pinjaman dari Pemerintah pada saat Pemohon sedang mengalami kesulitan likuditas. Hal ini karena sifat pemberian pinjaman tersebut dapat dipandang bersifat optional.
Lebih lanjut, dalam Pasal 85 ayat (3) UU LPS juga tidak ada kejelasan/kepastian apakah Pemerintah akan membuat Peraturan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemerintah untuk mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena ketentuan tersebut hanya mengacu kepada tingkat Iikuiditas.
Sedangkan di sisi lain, Pemohon merupakan badan hukum publik yang menjalankan fungsi pemerintahan di bidang penjaminan dana nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Selain itu, Pemohon juga bertanggung jawab terhadap Presiden. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 2 dan Pasal 4 UU LPS.
Secara lebih spesifik, dalam rangka turut aktif dalam memelihara sistem perbankan, Pemohon mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik maupun penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 5 UU LPS.
Dengan demikian telah jelas bahwa status, kedudukan dan tugas dan fungsi Pemohon adalah dalam rangka menjalankan tugas dan kebijakan Pemerintah. Oleh karena itu, apabila Pemohon sedang mengalami kesulitan Iikuiditas dan mengajukan permintaan pinjaman dari Pemerintah, maka sudah seharusnya Pemerintah wajib memberikan pinjaman kepada Pemohon, dimana tata cara pemberian pinjamannya perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Perlu adanya kepastian dalam pemberian pinjaman dari Pemerintah tersebut karena dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya Pemohon dapat saja mengalami kekurangan Iikuiditas sewaktu-waktu akibat proses penyelesaian dan/atau penanganan Bank Gagal. Sedangkan di sisi lain, Pemohon mempunyai tugas yang sangat penting untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas perbankan sehingga Pemohon harus memastikan tersedianya Iikuiditas yang cukup dalam rangka menjalankan fungsi dan tugas tersebut.
Apabila terdapat permasalahan Iikuiditas pada Pemohon yang tidak dapat diatasi secara cepat,maka hal demikian dapat menjadi penghambat Pemohon untuk menjalankan tugas dan kewenangannya, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas sistem perbankan nasional. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id 98. Perlunya LPS mendapatkan bantuan Iikuiditas dari Pemerintah tersebut sudah dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (3) UU LPS yang menyatakan dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan Iikuiditas atau modal dan cadangan penjaminan tidak cukup untuk membiayai penanganan Bank Gagal, Komite Koordinasi memutuskan bentuk bantuan dana bagi LPS termasuk tambahan modal.
Namun demikian, dengan adanya kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk mendapatkan pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas. Oleh karena itu, kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, kami mohon kata ”dapat” pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Selain itu, ketentuan Pasal 85 ayat (3) UU LPS juga telah melanggar Pasal 1 angka (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dapat mengakibatkan tidak akan pernah ada Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena yang diamanatkan dalam ketentuan tersebut hanya mengenai tingkat likuiditas. Sedangkan di sisi lain ketentuan tersebut justru merujuk pada Pasal 85 ayat (2) UU LPS yang mengatur mengenai pemberian pinjaman dari Pemerintah apabila Pemohon mengalami kesulitan Iikuiditas.
Oleh karena itu, kami mohon Majelis Hakim Yang Mulia Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas.
Lebih lanjut, sebagai konseksuensinya, Pemohon mohon Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id www.mahkamahkonstitusi.go.id Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas. IV. Permohonan Pemeriksaan Prioritas 103. Pemohon dengan ini mengajukan permohonan kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar sekiranya memberikan prioritas untuk segera memeriksa dan memutus Permohonan ini dalam waktu yang sesegera mungkin sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku di Mahkamah Konstitusi.
Perlunya permohonan pengujian ini agar segera diperiksa dan diputus supaya segera adanya kepastian hukum bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan kewenangannya, termasuk guna menangani Bank Gagal baik yang tidak berdampak sistemik maupun berdampak sistemik.
Selain itu, pelaksanaan tugas, kewajiban dan kewenangan Pemohon juga akan dapat berjalan secara lebih efektif dan efisien apabila Mahkamah Konstitusi telah adanya kepastian dari Mahkamah Konstitusi mengenai hal-hal yang diajukan untuk diuji di hadapan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, kami mohon agar Majelis Yang Mulia Mahkamah Konstitusi dapat segera memeriksa dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini.
Sebagai informasi, pada tanggal 21 Maret 2014, Pemohon juga telah menyampaikan surat Nomor 0388/01/28/14 Perihal Permohonan Pemeriksaan Prioritas Perkara Nomor 27/PUU-XII/2014 yang telah disampaikan melalui kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dan telah diterima pada tanggal 21 Maret 2014, permohonan mana yang secara khusus berkenaan dengan permohonan pemeriksaan prioritas dimaksud. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id V. Petitum Berdasarkan uraian tersebut di atas dan bukti-bukti yang kami lampirkan, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk berkenan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini dengan amar putusan sebagai berikut: Primair 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namana” dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang-Undang;
Menyatakan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal khususnya frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang pengertian ”pihak” dalam frasa ”atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak untuk atas namanya” dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tersebut tidak dimaknai termasuk pula pihak yang diberikan wewenang berdasarkan Undang- Undang;
Menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum Lembaga Penjamin Simpanan secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) tanpa memperhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum Lembaga Penjamin Simpanan secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut.
Menyatakan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya kata ”dapat” pada ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya kata ”dapat” pada ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat Iikuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan likuiditas; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 11. Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah bukan hanya mengenai tingkat likuiditas, melainkan juga mengenai tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kesulitan Iikuiditas.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Subsidair Bilamana setelah dengan seksama memeriksa Permohonan ini Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, maka Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 dan bukti P-9, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 7. Bukti P-8 : Fotokopi Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 2013 tertanggal 12 Desember 2013;
Bukti P-9 : Fotokopi Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP- 050/DK/X/2013 tentang Perubahan Keputusan Dewan Komisioner Nomor 009/DK-LPS/VII/2006 tentang Tugas dan Wewenang Kepala Eksekutif untuk Melaksanakan Kegiatan Operasional tertanggal 31 Oktober 2013; Selain itu Pemohon juga mengajukan 3 (tiga) ahli yang menyampaikan keterangan secara lisan pada sidang tanggal 1 September 2014, yang pada pokoknya sebagai berikut.
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. LPS harus merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Sedangkan yang berdampak sistemik, LPS wajib untuk melaksanakan penanganan bank gagal tersebut. LPS adalah badan hukum yang dibuat oleh negara untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan demi stabilitas sistem keuangan berdasarkan apa yang telah diputuskan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Pasal 44 UU 21/2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan ditentukan bahwa untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota yang terdiri dari Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai selaku anggota. Begitu keputusan penyelamatan bank diambil, maka LPS terikat dengan keputusan tersebut tanpa dapat melakukan perlawanan [vide Pasal 45 ayat (5) UU OJK]. Dalam konteks penyelamatan perbankan, LPS bukanlah lembaga yang dapat melakukan langkah pilihan untuk melakukan penyelamatan atau tidak, meskipun boleh jadi telah tahu bahwa bank tersebut tidak sehat dan tidak dapat dipertahankan. Adalah tidak tepat secara hukum jika lembaga yang dibuat khusus untuk melakukan penyelamatan, namun tidak dapat menolak untuk melakukan penyelamatan, dan dalam kerja penyelamatan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 tersebut sangat mungkin mengeluarkan biaya-biaya penyelamatan yang karena tanpa perlindungan hukum maka dapat dianggap merugikan keuangan negara. Terdapat ketentuan bahwa bank gagal yang telah ditangani oleh LPS, wajib dijual pada batasan waktu tertentu, yaitu tahun yang ditentukan oleh UU LPS. Dalam tahapan pertama, harus berupa pengembalian secara optimal nilai uang berdasarkan penyertaan modal sementara yang diberikan oleh LPS. Jika dalam batas waktu tahun tertentu tidak bisa, maka dapat diperpanjang beberapa kali hingga batasan waktu yang ditentukan dapat dijual pada nilai penawaran tertinggi yang ada. Ketentuan seperti ini cukup aneh karena menempatkan LPS pada posisi tidak menguntungkan di hadapan pihak yang akan melakukan pembelian. Ketentuan seperti ini membuat LPS hampir dapat dipastikan selalu merugi oleh sikap pembeli yang akan menunggu hingga batas akhir penjualan untuk dapat membeli dengan harga yang terendah. Sikap pasar akan sangat mungkin menunggu hingga batas akhir penjualan, sehingga dapat membeli dengan harga yang sangat jauh dari nilai optimal. Ketentuan tersebut mengakibatkan posisi LPS tidak berimbang di hadapan para pembeli, apalagi tidak ada pula aturan yang dapat melindungi LPS dari kemungkinan tuduhan melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara, karena keuangan LPS juga berasal dari uang negara (vide Pasal 81). Model penjualan berbatas seperti yang diatur dalam pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon, sesungguhnya selama ini potensial mendatangkan kerugian keuangan negara. Dalam pembuatan peraturan perundangundangan, terdapat asas-asas yang penting untuk diperhatikan, antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara. Pasal-pasal yang diujikan telah menempatkan ketidakseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan bangsa dan negara yang diwakili LPS. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 Tindakan LPS dalam penyelamatan bank adalah menggunakan uang negara dan uang publik dalam premi yang dibayarkan oleh nasabah. Karena itu pasal-pasal yang dapat menyebabkan kerugian bagi LPS sebenarnya juga dapat menyebabkan kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang mereka bayarkan kepada LPS. Terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang dimintakan pengujian, yaitu:
pasal-pasal mengenai penjualan tersebut haruslah dibatalkan secara keseluruhan, dengan disertai tafsiran MK untuk menutup kemungkinan kevakuman aturan hukum mengenai mekanisme penjualan yang lebih berimbang, dan dapat menutup potensi kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang ada di LPS.
pasal-pasal tersebut tidak dibatalkan namun MK menentukan poin-poin yang harus dilakukan oleh LPS dalam meminimalisasi kemungkinan kerugian negara dan publik akibat pasal yang berpotensi merugikan tersebut. Ketika ada suatu hal yang dilanggar, misalnya tidak melakukan secara terbuka, tidak melakukan secara transparan, tidak memperlakukan sama semua penawaran, maka hal demikian dapat dianggap bagian dari intensi, dan karenanya dapat dipidana. Namun jika alat ukurnya dipenuhi, misalnya terbuka, transparan, memberikan kesempatan yang sama, dan alat ukur lain yang biasanya ada dalam hukum bisnis, maka tindakan demikian dianggap tindakan yang benar secara hukum.
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Pengertian keuangan negara dapat ditemukan dalam UU 31/1992 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 7 memberikan batasan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pasal 2 UU 17/2003 menyatakan bahwa keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 tersebut meliputi:
Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan, dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.
Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
Penerimaan negara.
Pengeluaran negara.
Penerimaan daerah.
Pengeluaran daerah.
Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri, atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
Kekayaan pihak lain yang dikelola dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Pasal 6 ayat (1) UU BPK mengatur bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Dari ketiga Undang-Undang tersebut terdapat dua definisi tentang keuangan negara yang di dalamnya memasukkan kekayaan negara yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 dipisahkan sebagai bagian dari keuangan negara. Namun kedua definisi itu tidak memberikan batasan pengertian yang sama atau tolok ukur yang sama tentang apa yang merupakan unsur-unsur dari keuangan negara. UU 31/1999 juncto UU 20/2001 memberikan batasan pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, sedangkan UU 17/2003 juncto UU 15/2006 memberikan batasan pengertian keuangan negara lebih sempit, yaitu sebagai hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Dari sudut pandang hukum perdata, hukum bisnis merupakan objek hukum, sedangkan wujud dan unsurnya adalah hak dan kewajiban. Dari sudut pandang hukum bisnis, dia adalah subjek hukum. Subjek hukum adalah penyandang hak dan kewajiban. Badan hukum ( recht persoon atau legal body ) dalam teori hukum adalah subjek hukum di samping orang ( natuurlijk persoon ). Sedangkan harta kekayaan, zat, atau aset adalah segala sesuatu atau objek yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh suatu subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban itu. UU 31/1999 juncto UU 20/2001 mengartikan keuangan negara dari sudut pandang objeknya, sedangkan UU 17/2003 dan UU 15/2006 mengartikan keuangan negara dari sudut subjeknya. Dari sini jika masing-masing yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang tersebut tidak menggunakan kriteria atau pendekatan atau tolok ukur yang sama, dapat dipastikan dalam pelaksanaannya akan menimbulkan permasalahan. Definisi kerugian negara dalam tindak pidana korupsi justru tidak ditemukan dalam UU Tipikor, namun dapat ditemukan di UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 15/2006 tentang BPK. Dalam Pasal 1 angka 22 dan Pasal 1 angka 15 kedua Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kerugian uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Pengertian kerugian negara dalam UU Tipikor selalu merujuk kepada definisi kedua Undang-Undang tersebut. Berdasarkan Pasal 30 ayat (5) UU 24/2004 tentang LPS, untuk bank gagal yang tidak berdampak sistemik, ditentukan bahwa dalam hal tingkat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu satu tahun berikutnya. Menurut ahli, tahun yang dimaksud adalah tahun kelima. Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS menentukan bahwa dalam hal tingkat pengembalian yang optimal, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yaitu pada tahun kelima, maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat-ayat sebelumnya [yaitu ayat (2) dan ayat (3)] dalam jangka waktu satu tahun berikutnya. Tahun yang dimaksud adalah tahun keenam. Dari Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, dapat diketahui bahwa LPS mempunyai kewajiban untuk menjual saham yang berada dalam penanganannya, baik bank gagal yang tidak berdampak sistemik maupun bank gagal yang berdampak sistemik. Jika merujuk kepada Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, memang tidak ada kata wajib pada pasal tersebut. Apabila ketentuan ayat (5) tersebut dikaitkan dengan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS, maka perbuatan hukum melakukan penjualan pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa harus mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh LPS. Oleh karena itu, meskipun tidak ada kata wajib dalam ketentuan Pasal 42 ayat (5), namun kaidah tersebut harus diartikan bahwa LPS wajib menjual saham tersebut jika ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS telah dipenuhi. Ratio legis -nya bahwa LPS dalam penanganan atau penyelamatan bank gagal adalah tidak untuk maksud dan tujuan menguasai atau memiliki saham bank tersebut selamanya. Oleh sebab itu penempatan modal tersebut hanya bersifat temporer. Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, perbuatan hukum LPS menjual saham bank di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 penyertaan modal sementara adalah perbuatan hukum yang sah, yang dilindungi oleh UU LPS dan tidak dapat dikategorikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang dapat dikenai ancaman UU Tipikor. Jika dikaitkan dengan pengertian keuangan negara dan kerugian negara sebagaimana diatur di dalam UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, serta UU BPK, maka terdapat uang negara di LPS sebagai badan hukum publik, sebagai modal awal LPS yang diambil dari aset negara yang dipisahkan. Pasal 81 ayat (2) UU LPS mengatakan, Kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan.” Dari Pasal 2 ayat (1) UU LPS diketahui bahwa LPS didirikan atau dibentuk berdasarkan UU LPS, maka LPS adalah badan hukum yang didirikan oleh penguasa atau atas dasar kekuasaan umum, dalam hal ini pemerintah atau negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata, pemerintah yang menjalankan kekuasaan hukum dapat mendirikan perkumpulan atau suatu badan hukum untuk suatu tujuan tertentu. Dalam teori hukum, aset yang dipisahkan merupakan ciri utama dari suatu badan hukum. Aset yang dipisahkan yang dijadikan modal awal suatu badan hukum, termasuk di sini adalah modal awal LPS, secara hukum harus diakui sebagai aset LPS sebagai badan hukum. Tidak tepat jika aset tersebut diklaim atau dikategorikan sebagai bagian dari aset negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, UU BPK, atau undang-undang publik lainnya. Terdapat ketidakharmonisan antara UU LPS di satu pihak berhadapan dengan UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, dan UU BPK di pihak lain. Terdapat kegamangan pimpinan LPS jika harus melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, yaitu manakala penjualan saham bank gagal tersebut yang sudah dapat dipastikan akan terjadi di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai, di sisi lain akan dapat diartikan oleh aparat penegak hukum dengan menggunakan tolok ukur Undang-Undang lain, sebagai merugikan keuangan negara, yang ujungnya berpotensi dikenai UU Tipikor. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Doktrin hukum memberikan solusi terhadap ketidakharmonisan norma. Adagium lex specialis derogat legi generalis dan adagium lex posterior derogat legi priori dapat dipergunakan sebagai rujukan mencari jalan keluar atas ketidakharmonisan norma. Dalam risalah rapat proses pembahasan RUU LPS di DPR, terdapat keterangan bahwa UU LPS adalah hukum khusus. Jika pimpinan LPS membuat keputusan untuk menjual saham bank sebagai pelaksanaan Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS, yang sudah pasti berpotensi mengakibatkan kekurangan uang jika dibandingkan dengan modal awal atau penyertaan sementara awal pada saat menangani bank gagal, hal demikian tidak dapat dikualifikasikan atau dikategorikan sebagai kerugian negara. Rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sangat luas dan abstrak, sehingga memberikan ruang gerak yang luas bahkan cenderung eksesif. Penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa unsur melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yang berarti bahwa perbuatan yang dituduhkan tidak harus melanggar peraturan perundang-undangan. Perbuatan tersebut dikatakan melawan hukum kalau perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Kesimpulannya, jika pimpinan LPS melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 UU LPS, perbuatan hukum tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum yang tidak benar jika kemudian dimaknai secara berbeda menurut ketentuan undang-undang lain yang dapat dikualifikasikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang akhirnya akan dapat dikenai ketentuan UU Tipikor. Ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 apabila tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan LPS pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan tindakan yang sah menurut hukum. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 Dari perspektif hukum bisnis, kriteria sah adalah jika Pimpinan LPS sudah memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (5), Pasal 38, dan Pasal 42. Jika Pimpinan LPS menjual murah, tetapi ada intensi di dalamnya seperti menerima suap atau ada deal tertentu dengan calon investor, jelas hal demikian tidak sah.
Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum. Terdapat konflik norma antara UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Keuangan Negara di satu sisi, dengan UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN di sisi lain, khususnya berkaitan dengan terminologi keuangan negara. Konflik norma tersebut memberikan dampak adanya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan suatu Undang-Undang. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Ketigapuluh perbuatan tersebut dapat dibagi ke dalam tujuh kategori yang salah satu kategorinya adalah korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara (vide Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang a quo ). Apabila ketujuh kategori tersebut diperas lagi, maka sebenarnya inti tindak pidana korupsi adalah suatu penyuapan ( bribery ). Bila suatu perbuatan menjalankan tugas sebagai elemen negara atau pemerintah, terdapat penyuapan di dalamnya, maka tidak lain dan tidak bukan perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi. Kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi adalah suatu kerugian keuangan yang dialami negara akibat adanya penyuapan ( bribery ) dalam menjalankan tugas oleh instrumen negara atau pemerintah tersebut. Tidak setiap kerugian keuangan negara adalah tindak pidana korupsi, karena sangat mungkin bahwa kerugian keuangan negara tersebut diakibatkan suatu perbuatan yang secara murni masuk dalam ranah hukum perdata atau administrasi. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memuat dan mengatur hal-hal atau keadaan-keadaan yang mana telah terjadi kerugian negara namun bukan diakibatkan oleh suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, maka cukuplah dilakukan upaya hukum berupa gugatan perdata dengan tujuan utama mengembalikan kerugian keuangan negara. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Kerugian keuangan negara yang terjadi akibat suatu perbuatan pidana, tidak serta-merta merupakan tindak pidana korupsi. Beberapa undang- undang mengenal kerugian keuangan negara, tetapi tidak termasuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Antara lain, UU Pokok Ketentuan Perpajakan dan UU Perbankan. Apabila pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik, atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik, LPS secara transparan dan terbuka menjual saham bank gagal tersebut di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat penyertaan modal sementara, perbuatan demikian dapat dikualifikasikan sebagai kebijakan bisnis yang tentunya tidak terlepas dari adanya risiko bisnis. Skala kesalahan ( culpability scale ) dari Cooter dan Ullen yang dikutip Romli Atmasasmita, dipergunakan ahli sebagai parameter untuk menilai apakah suatu perbuatan dapat dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau tidak. Dalam skala tersebut, perbuatan pelaku bisnis ditempatkan di antara careful blameless dan negligent blameless dengan presumsi bahwa skala careful blameless berada di bawah negligent blameless , dan skala negligent blameless berada di bawah skala intentional blameless . Jika pelaku bisnis melampaui batas skala negligent blameless , maka yang bersangkutan telah memasuki lingkup batas yang disebut criminal wrongs , sehingga dapat dipidana. Adapun jika perbuatan pelaku bisnis masih dalam batas civil wrongs , maka terhadap yang bersangkutan masih dapat diterapkan penegakan hukum perdata ataupun administrasi. Hanya perbuatan yang telah melampaui batas ( cross-border ), kategori fault (kesalahan), dan memasuki kategori guilt (kesengajaan), ahli istilahkan dengan intention , yang dapat dijatuhi sanksi pidana. Jika hanya memenuhi parameter sebagai fault , maka cukup diberikan sanksi perdata atau peringatan tertulis. Tindakan penjualan yang dilakukan oleh LPS pada tahun kelima atau keenam, dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum dalam rangka melaksanakan kewajiban LPS yang tegas-tegas diatur dalam UU. Jadi terlihat dengan jelas adanya kewajiban hukum LPS untuk melakukan penjualan saham bank (vide Pasal 30, Pasal 38, Pasal 42 UU LPS). Adanya Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 kata wajib pada Pasal 30 ayat (1) tersebut membuat LPS tidak memiliki pilihan selain melaksanakan kewajiban untuk menjual seluruh saham bank gagal dan dalam batas waktu yang telah ditentukan UU LPS tanpa perlu memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal. LPS atau Pimpinan LPS tidak dapat dituntut atas perbuatan hukum yang dilakukannya karena apa yang dilakukan tersebut adalah perintah undang- undang, sehingga tidak ada sifat melawan hukumnya. Dengan kata lain, tindakan penjualan pada tahun kelima atau tahun keenam tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal yang dilakukan oleh LPS atau Pimpinan LPS merupakan tindakan yang sah. Subjek hukum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang, yaitu orang perseorangan, termasuk di dalamnya adalah korporasi. Adapun korporasi sendiri didefinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Melaksanakan perintah undang-undang sebagai alasan penghapus pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 KUHP, memorie van Toelichting menjelaskan pasal tersebut sebagai berikut, yaitu tidaklah bertindak setiap orang yang menggunakan haknya untuk melakukan suatu perbuatan, yakni telah melakukan suatu berdasarkan perbuatan tertentu untuk menerapkan peraturan. Ketentuan Pasal 50 KUHP merupakan pertentangan antara dua kewajiban hukum, artinya perbuatan tersebut di satu sisi menaati peraturan, namun di sisi lain perbuatan tersebut melanggar peraturan yang lain. Oleh karena itu, untuk melaksanakan perintah Undang-Undang digunakan lesser evils principle atau teori tingkat kejahatan yang lebih ringan. Dengan demikian, melaksanakan perintah Undang-Undang merupakan dasar alasan pembenar yang menghapus elemen melawan hukumnya suatu perbuatan. Dalam melaksanakan perintah Undang-Undang, prinsip yang dipakai adalah subsidiaritas dan proporsionalitas. Prinsip subsidiaritas adalah melaksanakan peraturan undang-undang dan mewajibkan pelaku berbuat demikian. Prinsip proporsionalitas, yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum, maka kewajiban hukum yang lebih besarlah yang diutamakan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang- undang adalah karakter dari pelaku, yaitu apakah pelaku selalu melaksanakan tugas-tugas dengan itikad baik atau sebaliknya. Contoh melaksanakan perintah Undang-Undang adalah ketika seorang juru sita yang dalam rangka mengosongkan rumah menaruh barang-barang yang disitanya di jalan. Hal ini bertentangan dengan peraturan yang melarang menaruh barang-barang di jalan, akan tetapi perbuatan juru sita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam hal ini mengosongkan rumah, berdasarkan putusan pengadilan. Berdasarkan teori-teori di atas, disimpulkan bahwa seseorang atau badan hukum tidak dapat dituntut apabila melaksanakan tindakan yang diperintahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentunya menggambarkan tiada niat jahat dalam melakukan tugas tersebut. Dalam hukum pidana, niat jahat ( mens rea ) merupakan salah satu unsur mutlak untuk menentukan adanya suatu kesalahan pada diri pelaku perbuatan pidana. Dengan tiadanya kesalahan, maka tiada pindana di dalamnya ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, LPS atau Pimpinan LPS tidak dapat dituntut atau dengan kata lain tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila apa yang dilakukan tersebut adalah demi melaksanakan perintah undang-undang, dalam hal ini UU LPS. Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan LPS pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum LPS secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut. Orang yang telah melaksanakan perintah Undang-Undang sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Undang-Undang tersebut termasuk parameternya, dia tidak dapat dituntut secara pidana. Untuk mengukur apakah seseorang memiliki intensi atau tidak, hal demikian tidak mungkin terlepas dari kasus konkret. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Ketika seorang pejabat telah bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang, maka dia memiliki kekebalan dalam pengertian tidak dapat dituntut. (atas pertanyaan Majelis) Dalam kasus Syahril Sabirin, Hakim menilai terdapat intensi sehingga Syahril Sabirin sebagai Gubernur BI dianggap mendapat intervensi. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan __ secara __ lisan dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 dan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 15 September 2015, sebagai berikut. I. Sesuai dengan tembusan surat kuasa hukum Pemohon kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 0849/04/28/06/14 tanggal 13 Juni 2014 ( copy terlampir) bahwa LPS bermaksud mencabut sebagian materi pengujian sehingga yang tetap dimohonkan pengujiannya adalah terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS. II. Sesuai dengan hasil persidangan di Mahkamah Konstitusi tanggal 1 September 2014, Majelis Hakim telah menetapkan bahwa permohonan Pemohon tersebut di atas telah dicatat secara resmi sehingga yang dimohonkan pengujiannya hanya Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5). Oleh karena itu, dalam Keterangan Presiden ini kami hanya memberikan keterangan sekaligus kesimpulan terkait dengan pasal yang dimohonkan pengujiannya sebagai berikut: A. Bahwa dalam permohonannya, Pemohon pada pokoknya keberatan atas ketentuan dalam Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Lembaga Penjamin Simpanan mengenai penjualan seluruh saham bank gagal dengan nilai penjualan paling sedikit sebesar Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS. B. Ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 ayat (5), ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Pasal 36 ayat (5), ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Pasal 42 ayat (5) UU LPS, ”Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.” Terhadap permohonan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah mendukungnya karena telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengenai substansi permohonannya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. C. Bahwa menurut Pemohon, adanya pengaturan mengenai penjualan seluruh saham Bank Gagal dengan nilai penjualan paling sedikit sebesar Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS, yang terdapat dalam beberapa pasal tersebut di atas, dianggap telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu hak untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum, sebagai lembaga yang tugas, fungsi dan kewajibannya antara lain:
Menjamin dan melaksanakan simpanan nasabah penyimpan;
Turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan;
Merumuskan dan menetapkan kebijakan penjaminan;
Menjual seluruh saham Bank Gagal yang diselamatkan dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, Pemohon menganggap beberapa ketentuan tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. D. Bahwa menurut Pemohon, pelanggaran hak konstitusional tersebut didasarkan atas penalaran yang wajar, yakni apabila penjualan saham tersebut dilakukan tanpa memperhatikan nilai PMS yang telah dikeluarkan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 oleh Pemohon, maka Pemohon khawatir tindakan penjualan dimaksud dianggap telah merugikan keuangan negara. E. Terhadap upaya permohonan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah mendukungnya karena telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengenai substansi permohonannya, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. III. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah mendukung langkah yang ditempuh oleh Pemohon khususnya terkait dengan pengujian terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, sehingga tidak Iagi ada kekhawatiran bagi LPS dalam penjualan saham dimaksud, dan menyerahkan keputusannya kepada Mahkamah Konstitusi. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan __ secara __ tertulis tanpa tanggal bulan September 2014, sebagai berikut.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohin sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terkait dengan kedudukan hukum ( Iegal standing ) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.
Pokok Pengujian UU LPS Terhadap permohonan pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 Undang LPS serta Pasal 45 Undang-Undang Pasar Modal, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa terkait dalil Pemohon menyangkut Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang- Undang LPS sepanjang frasa ”sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank” yang dianggap menimbulkan hambatan bagi Pemohon dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang LPS dan berpotensi akan menghadapi permasalahan hukum karena terdapat sanksi pidana dalam Undang-Undang Perbankan terhadap pihak- pihak yang melanggar kerahasiaan Bank, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa prinsip kerahasiaan bank harus dipegang teguh oleh siapa saja demi menjaga kepercayaan nasabah karena bisnis perbankan pada dasarnya merupakan bisnis kepercayaan. Namun demikian tidak ada hukum tanpa pengecualian. Dalam berbagai peraturan perundang- undangan yang didalamnya terdapat ketentuan mengenai kerahasiaan hampir selalu terdapat pengecualian-pengecualian, tidak terkecuali di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) itu sendiri. Tentu saja dalam UU Perbankan tidak menyebut secara tertulis LPS sebagai pihak yang dapat dikecualikan dalam hal kerahasiaan bank, yang dapat dipahami karena UU Perbankan ada sebelum lahirnya LPS. Jika ditarik kembali kepada UU LPS [Pasal 6 ayat (1) huruf d] maka sesungguhnya celah dalam UU Perbankan tersebut dengan sendirinya dapat ditutupi. Selain Pasal 6 ayat (1) huruf d, keberwenangan dalam mendapatkan data-data perbankan juga telah diberikan dalam Pasal 16 ayat (2) UU LPS bahwa LPS berhak memperoleh data Nasabah Penyimpan dan informasi lain yang diperlukan per tanggal pencabutan izin usaha dari LPP dan/atau bank dalam rangka perhitungan dan pembayaran klaim Penjaminan.
Adapun mengenai frasa ” sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank ” seharusnya dipahami dalam konteks bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, sebuah lembaga juga harus tunduk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan tidak boleh melakukan ” abuse of power ” atau menyalahgunakan wewenang. Rambu-rambu tentang bagaimana memperoleh data-data perbankan yang diperlukan dalam konteks terkait pelaksanaan tugas dan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 wewenang lembaga tertentu dan bagaimana penggunaannya telah diatur dalam UU Perbankan secara komprehensif. Dari ketentuan dalam UU Perbankan tersebut dapat dipahami bahwa kerahasiaan bank hakekatnya dapat buka/dikecualikan jika diperlukan untuk kepentingan pelaksanaan tugas pihak-pihak terkait yang berwenang. Bagaimana LPS memperoleh data-data perbankan juga sesungguhnya telah diatur dalam penjelasan dari Pasal 6 ayat (1) huruf d UU LPS itu sendiri yang menyatakan ”data dan Iaporan dapat diperoleh langsung dari bank atau dari LPP yang isi dan mekanismenya diatur dalam nota kesepakatan antara LPS dan LPP”. Artinya LPS dalam memperoleh data-data perbankan tetap berada dalam koridor yang diatur UU Perbankan maupun UU LPS itu sendiri. Demikian pula terkait kerahasiaan data jika merujuk kepada risalah pembahasan UU LPS dikatakan bahwa kepentingan LPS menyangkut data nasabah penyimpan, data kesehatan bank, bukan bersifat data individual. Lagi pula LPS juga harus mendapat persetujuan dari LPP (sebagai otoritas berwenang mengawasi perbankan) berdasarkan nota kesepakatan yang dibuat dengan LPS. Oleh karenanya, maka kekhawatiran Pemohon akan terkena sanksi pidana karena melanggar kerahasiaan bank dalam UU Perbankan sesungguhnya tidak beralasan.
Bahwa terkait Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS sepanjang frasa ”..., maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya”, yang dianggap Pemohon menimbulkan potensi adanya permasalahan hukum di kemudian hari terhadap Pemohon apabila Pemohon menjual harga saham Bank Gagal pada tahun ke-5 (pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik) atau tahun ke-6 (pada Bank Gagal yang berdampak sistemik) di bawah tingkat pengembalian yang optimal yang dikaitkan dengan adanya hambatan karena berlakunya Pasal 45 UU Pasar modal sepanjang frasa ”pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya”. Terhadap dalil Pemohon ini dapat dijelaskan bahwa sesungguhnya LPS dengan undang-undang organiknya telah diberi dasar hukum yang kuat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. LPS diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk melakukan tindakan- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 tindakan yang dianggap perlu termasuk di antaranya dalam penyelesaian dan penanganan Bank Gagal yang tercantum di dalam Pasal 6 ayat (2) UU LPS, berupa:
mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan;
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank; dan
menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewaiiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Adapun terkait Pasal 45 UU Pasar Modal sesungguhnya pasal tersebut dapat dipahami sebagai norma umum yang berlaku dalam pasar modal. Perintah tertulis dari pemegang rekening atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas nama pemegang rekening diperlukan karena hakekatnya efek yang disimpan atau dicatat pada rekening efek bukan merupakan harta kustodian. Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang LPS (khususnya dalam melaksanakan tugasnya mengusahakan tingkat pengembalian yang optimal dengan menjual saham bank), LPS dengan kewenangannya yang diberikan undang-undang dengan sendirinya dapat mengenyampingkan mekanisme yang berlaku umum sebagaimana terdapat dalam Pasal 45 UU Pasar Modal. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan pertanggungjawaban pemegang saham bank yang bermasalah yang harus ditangani oleh LPS. Karena tugas LPS yang utama ketika terjadi penutupan bank, selain membayar penjaminan adalah mengembalikan dana peminjaman, sehingga LPS dalam hal ini diberi kewenangan untuk menggantikan kedudukan RUPS agar dapat menjual asset bank yang bersangkutan. Jika tidak demikian, maka tujuan dari dibentuknya LPS sebagai bagian dari sistem untuk mendukung terciptanya perbankan yang sehat dan stabil, akan sulit tercapai. Oleh karenanya. keberadaan Pasal 45 UU Pasar Modal dan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, bukan lah sesuatu hal yang harus dipertentangkan. UU LPS yang bersifat lebih khusus dalam hal-hal yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 belum diatur dalam UU Pasar Modal dan terbentuk lebih akhir, sesungguhnya dapat dilihat sebagai ketentuan pelengkap dari yang sudah ada sebelumnya.
Bahwa terkait dalil Pemohon terhadap Pasal 85 ayat (2) sepanjang kata ”dapat”, ditafsirkan oleh Pemohon bahwa tidak ada jaminan atau kepastian bagi Pemohon akan mendapatkan pinjaman dari Pemerintah pada saat Pemohon sedang mengalami kesulitan likuiditas. Demikian pula terhadap Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang LPS yang dianggap Pemohon tidak memberikan kepastian apakah Pemerintah akan membuat Peraturan Pemerintah untuk mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman karena ketentuan tersebut hanya mengacu kepada tingkat likuiditas, sedangkan ketentuan mengenai perlunya pembuatan Peraturan Pemerintah justru mengacu kepada Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang LPS. Terhadap dalil Pemohon sepanjang mengenai kata ”dapat” dalam Pasal 85 ayat (2) dapat diberikan penjelasan bahwa sesungguhnya kata ”dapat” dimaksudkan sebagai bentuk fakultatif yang kejadiannya digantungkan kepada ada atau tidaknya kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya tindakan tertentu, dalam hal ini pemberian pinjaman Pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditas LPS. Dengan kata Iain, pinjaman dari Pemerintah dapat diberikan jika diperlukan untuk mengatasi kesulitan likuiditas. Terhadap Pasal 85 ayat (3) tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari Pasal 85 ayat (2) dimana mengenai tingkat likuiditas dari LPS ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya, ukuran atau parameter LPS dianggap mengalami kesulitan likuiditas mengacu kepada tingkat likuiditas LPS yang ditetapkan Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 10 September 2014 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 September 2014, dan Presiden menyampaikan kesimpulan tanpa tanggal yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 September 2014, yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendirian; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608, selanjutnya disebut UU Pasar Modal), Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963, selanjutnya disebut UU LPS) yang menyatakan: UU Pasar Modal Pasal 45 : “Kustodian hanya dapat mengeluarkan Efek atau dana yang tercatat pada rekening Efek atas perintah tertulis dari pemegang rekening atau Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya,” khususnya __ frasa “ atau Pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas namanya.” UU LPS Pasal 6 ayat (1) huruf d : “ Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang _sebagai berikut:
.. d. mendapatkan data simpanan_ nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank, ” khususnya frasa “ sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pasal 30 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 38 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 42 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” Pasal 85 ayat (2) : “ Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah, ” khususnya kata “ dapat ”. Pasal 85 ayat (3) : “ Ketentuan mengenai tingkat likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. ” terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yang menyatakan: Pasal 1 ayat (3) : “ Negara Indonnesia adalah negara hukum. ” Pasal 28C ayat (2) : “ Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. ” Pasal 28D ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” . Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan __ _a quo; _ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), dan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut: [3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai badan hukum publik bernama Lembaga Penjamin Simpanan, yang diwakili oleh Kepala Eksekutif bernama Kartika Wirjoatmodjo, yang hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 45 UU Pasar Modal serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), dan Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. Menurut Pemohon pasal dan/atau ayat dimaksud menghambat pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangan Pemohon untuk menjual seluruh saham Bank Gagal, bahkan pasal dan/atau ayat tersebut menimbulkan potensi Pemohon dianggap melakukan tindak pidana kejahatan serta merugikan keuangan negara. [3.9] Menimbang bahwa kedudukan Pemohon sebagai Lembaga Penjamin Simpanan, yang dalam perkara pengujian Undang-Undang ini diwakili oleh Kepala Eksekutif, telah dibuktikan dengan Keputusan Presiden Nomor 150/M Tahun 2013, bertanggal 12 Desember 2013 dan Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP- 050/DK/X/2013 tentang Perubahan Keputusan Dewan Komisioner Nomor 009/DK- LPS/VII/2006 tentang Tugas dan Wewenang Kepala Eksekutif Untuk Melaksanakan Kegiatan Operasional, bertanggal 31 Oktober 2013 (vide bukti P-8 dan bukti P-9 ). Menurut Mahkamah, pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) berupa potensi timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon. Potensi kerugian konstitusional demikian dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 Pendapat Mahkamah [3.11] Menimbang bahwa Kepaniteraan Mahkamah telah menerima Surat Nomor 0849/04/28/06/14 perihal “Perkara No. 27/PUU-XII/2014”, bertanggal 13 Juni 2014, dari Pemohon yang pada pokoknya mencabut sebagian pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, yaitu Pasal 45 UU Pasar Modal, Pasal 6 ayat (1), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS. Adapun Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS tetap dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya. Pencabutan atau penarikan sebagian permohonan dimaksud ditegaskan kembali oleh Pemohon di hadapan sidang pleno pemeriksaan pada tanggal 1 September 2014; [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pencabutan/penarikan sebagian permohonan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menyatakan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 45 UU Pasar Modal, Pasal 6 ayat (1), serta Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) UU LPS terhadap UUD1945 telah ditarik kembali. Sebagai konsekuensi hukum dari penarikan/pencabutan tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU MK, Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas pasal-pasal dimaksud terhadap UUD 1945; Pokok Permohonan [3.13] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap permohonan pengujian konstitusional yang diajukan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut. Pasal 30 ayat (5) UU LPS [3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 30 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang tidak berdampak sistemik, pada tahun kelima tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Adapun menurut Pasal 30 ayat (3), Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 42 ayat (3) UU LPS, tingkat pengembalian optimal adalah sebesar minimal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 seluruh penempatan modal sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh Pemohon. Sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil Pemohon tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa secara hukum LPS adalah badan hukum independen yang memiliki fungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan [vide Pasal 4 UU LPS]. Untuk menjalankan fungsi tersebut, LPS memiliki tugas yang salah satunya adalah melaksanakan penanganan Bank Gagal, baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik [vide Pasal 5 ayat (2) UU LPS]. [3.14.1] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, makna/arti Pasal 30 ayat (5) UU LPS tidak dapat dilepaskan dari makna/arti Pasal 30 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU LPS, yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut: Pasal 30 ayat (1) : “ LPS wajib menjual seluruh saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ”. Pasal 30 ayat (2) : “ Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. ” Pasal 30 ayat (3) : “ Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. ” Pasal 30 ayat (4) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun. ” Pasal 30 ayat (5) : “ Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. ” [3.14.2] Menimbang bahwa dari rangkaian ketentuan Pasal 30 UU LPS serta pasal dan/atau ayat lain dalam UU LPS yang terkait dengan Pasal 30 tersebut, Mahkamah menemukan adanya ketentuan bahwa dalam hal penyelamatan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, LPS memiliki kewajiban untuk mengelola Bank Gagal tersebut dan kemudian wajib menjual saham Bank Gagal tersebut maksimal dalam waktu 5 (lima) tahun sejak RUPS bank bersangkutan menyerahkan segala hak dan wewenangnya kepada LPS. Jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun tersebut merupakan akumulasi dari jangka waktu selama 2 (dua tahun) yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1); ditambah jangka waktu perpanjangan selama 1 (satu) tahun kali 2 (dua) yang diatur dalam Pasal 30 ayat (4); dan ditambah selama 1 (satu) tahun lagi yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5) UU LPS. Bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (5) UU LPS menurut Mahkamah memang menunjukkan adanya kewajiban bagi LPS untuk menjual saham Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik tersebut selambat-lambatnya pada tahun kelima meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS. Dengan perkataan lain, ketentuan tersebut memerintahkan LPS untuk menjual saham Bank Gagal, yang tidak berdampak sistemik tersebut, meskipun terdapat potensi kerugian bagi LPS, yaitu kerugian, dalam arti nilai jual saham Bank Gagal tidak sepadan dengan nilai Penempatan Modal Sementara (PMS) yang telah dikeluarkan oleh LPS dalam pengelolaan Bank Gagal tersebut. [3.14.3] Menimbang bahwa menurut Pemohon, seandainya terjadi kerugian atau selisih kurang antara nilai Penempatan Modal Sementara (PMS) dengan hasil penjualan saham Bank Gagal, Pemohon akan potensial dianggap merugikan keuangan negara, karena modal sementara yang ditempatkan Pemohon pada Bank Gagal tersebut adalah uang negara dan kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan [vide Pasal 81 ayat (2) UU LPS]. Dengan mengingat adanya potensi bagi Pemohon untuk dianggap merugikan keuangan negara sebagaimana diuraikan di atas maka Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 30 ayat (5) UU LPS bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan oleh LPS pada Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik tanpa memperhatikan tingkat pengembalian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum secara terbuka dan transparan yang karena itu tidak dapat dituntut di muka hukum. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa tindakan penjualan saham Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik oleh LPS di tahun kelima, meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, tidak dapat dimaknai lain selain sebagai perintah UU LPS, terutama Pasal 30 ayat (5). Menurut Mahkamah rumusan makna Pasal 30 ayat (5) telah sangat jelas dan tidak dapat dimaknai atau ditafsirkan lain selain sebagai perintah kepada LPS untuk melaksanakan penjualan saham bank dan atas dasar perintah Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, meskipun nilai jual Bank Gagal tersebut tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal. Mahkamah menilai bahwa UU LPS merupakan Undang-Undang yang memerintahkan kepada LPS untuk menjual aset Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik sehingga apabila hal itu dilakukan meskipun dengan harga yang tidak optimal tidak dapat digolongkan merugikan keuangan negara. Oleh karenanya tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, sepanjang telah memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 30 ayat (2) UU LPS, yaitu penjualan dilakukan secara terbuka dan transparan. Makna ketentuan Pasal 30 ayat (5) menurut Mahkamah telah menjamin dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum bagi LPS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, sehingga keberadaan norma pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 38 ayat (5) UU LPS [3.15] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 38 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik dengan penyetoran modal oleh pemegang saham, pada tahun keenam tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Menurut Pemohon, sebagaimana halnya dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) UU LPS, ketentuan Pasal 38 ayat (5) memunculkan potensi bahwa Pemohon akan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 dianggap merugikan keuangan negara ketika nilai penjualan Bank Gagal dimaksud kurang dari tingkat pengembalian optimal yang dikehendaki oleh UU LPS. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat pengaturan penjualan Bank Gagal yang berdampak sistemik, dalam kaitannya dengan tingkat pengembalian yang optimal dan jangka waktu penanganan Bank Gagal tersebut oleh LPS, yang diatur dalam Pasal 38 ayat (5) UU LPS, memiliki kesamaan substansi dengan pengaturan penjualan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik yang diatur dalam Pasal 30 ayat (5) UU LPS, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada paragraf [3.14.1] sampai dengan paragraf [3.14.3] . Dengan demikian, menurut Mahkamah substansi pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14.3] berlaku mutatis mutandis bagi pertimbangan hukum pengujian konstitusionalitas Pasal 38 ayat (5) UU LPS. Mahkamah menegaskan bahwa tindakan penjualan saham Bank Gagal yang berdampak sistemik oleh LPS di tahun keenam, meskipun tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, tidak dapat dimaknai lain selain sebagai perintah Undang-Undang, yaitu Pasal 38 ayat (5) UU LPS. Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, meskipun nilai jual Bank Gagal tersebut tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, selama penjualan dimaksud dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU LPS. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menilai ketentuan Pasal 38 ayat (5) UU LPS tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan pengujian konstitusionalitas pasal a quo tidak beralasan menurut hukum. Pasal 42 ayat (5) UU LPS [3.16] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pengaturan Pasal 42 ayat (5) UU LPS telah mewajibkan Pemohon (LPS) untuk menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, pada tahun keenam tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Menurut Pemohon, sebagaimana halnya dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS, ketentuan Pasal 42 ayat (5) memunculkan potensi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 bahwa Pemohon akan dianggap merugikan keuangan negara ketika nilai penjualan Bank Gagal dimaksud kurang dari tingkat pengembalian optimal yang dikehendaki oleh UU LPS. Substansi permohonan Pemohon mengenai Pasal 42 ayat (5) UU LPS menurut Mahkamah sama dengan substansi permohonan Pemohon mengenai Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) UU LPS yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Terkait dengan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang a quo , tingkat pengembalian optimal yang dimaksud adalah tingkat pengembalian optimal yang diatur dalam Pasal 42 ayat (3) UU LPS. Oleh karena secara substansi permohonan tersebut memiliki kesamaan maka menurut Mahkamah pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14.3] berlaku mutatis mutandis bagi pertimbangan hukum pengujian konstitusionalitas Pasal 42 ayat (5) UU LPS. Tindakan LPS pada tahun keenam menjual saham Bank Gagal, yang berdampak sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, meskipun nilai jualnya tidak mencapai tingkat pengembalian yang optimal, menurut Mahkamah tindakan tersebut adalah perintah Undang-Undang, yaitu perintah Pasal 42 ayat (5) UU LPS. Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 42 ayat (5) UU LPS tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon mengenai pasal a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, serta fakta bahwa pemaknaan atas Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, ternyata sesuai, sama atau tidak berbeda dengan makna Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS, sehingga menurut Mahkamah tidak diperlukan pemaknaan baru atas pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya tersebut. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 Dengan demikian Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) UU LPS yang dimohonkan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR P UTU S AN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal delapan belas bulan November tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan bulan Januari tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pada pukul 16.04 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Patrialis Akbar ttd. Wahiduddin Adams ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Uji Materiil atas UU No.2 tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang APBN terhadap UUD 1945 ...
Relevan terhadap
perempuan merupakan kaum rentan dalam hal terjadinya pengurangan angggaran terkait jaminan kesehatan ( Bukti P-6 ); Bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN Tahun Anggaran 2010, maka menjadi penting bagi Pemohon VI untuk mengajukan permohonan judicial review dengan mengingat bahwa Undang-Undang a quo berpotensi menghalangi maksud didirikannya Asosiasi, yaitu ”Menguatnya posisi dan kondisi PUK-mikro dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi” , sebagai akibat dari ketidakjelasan anggaran negara yang tidak berpihak pada masyarakat marjinal; D. Fakta-Fakta Hukum dan Analisa Para Pemohon 1. Bahwa pada tanggal 3 April 2010, Pemerintah mengajukan RUU APBN- Perubahan Tahun 2010 kepada DPR; 2. Bahwa Pemerintah beralasan, percepatan pengajuan APBN-P 2010 disebabkan: Pertama, terjadi perkembangan dan perubahan signifikan pada berbagai indikator ekonomi makro; Kedua , APBN 2010 merupakan APBN transisi untuk mengisi kekosongan dan menjaga kesinambungan roda pemerintahan; 3. Bahwa dari tujuh asumsi ekonomi makro yang dijadikan alasan perubahan APBN 2010, hanya harga minyak yang mengalami deviasi meningkat 12% dari USD/barel 65 menjadi USD/barel 77 ( Bukti P-7 ); 4. Bahwa postur APBN-P 2010 juga tidak mengalami perubahan yang sangat signifikan. Selain peningkatan defisit, penerimaan perpajakan dan perubahan belanja Kementrian/Lembaga masih berada di bawah standar minimal sebagai syarat perubahan anggaran yang dapat dilihat di Nota Keuangan RAPBN-P Tahun 2010 ( Bukti P-8 ); 5. Bahwa pada tanggal 3 Mei 2010, Rapat Paripurna DPR mengesahkan RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN Tahun Anggaran 2010. Namun, pengesahan RUU APBN-P 2010 menyisakan tambahan anggaran sebesar Rp 1,1 triliun yang dibagi secara rata peruntukannya kepada 11 Komisi DPR untuk mitra kerja Kementerian/Lembaga masing-masing Komisi. Badan Anggaran
kepada pimpinan dan staf Ornop dalam bidang kebijakan dan manajemen; d. Menyediakan hasil-hasil riset yang relevan dengan upaya-upaya dan kerja-kerja organisasi non pemerintah; e. Menyediakan jaringan-jaringan peneliti dari universitas dalam dan luar negeri yang relevan dengan riset dan program aksi organisasi non pemerintah tersebut; Berdasarkan tujuan dibentuknya PRAKARSA, maka Pemohon II menjadi sangat berkepentingan untuk mengajukan permohonan judicial review, dengan alasan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN Tahun Anggaran 2010 adalah merupakan suatu bentuk pengaturan anggaran negara yang tidak berpihak kepada rakyat, sehingga berpotensi untuk menghalangi tujuan utama PRAKARSA untuk ikut serta membangun dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis, adil, dan makmur; 3. Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), selaku Pemohon III Bahwa Pemohon III tercatat berdasarkan Akta Notaris Henry Siregar, S.H., dengan Nomor Akta 6 tanggal 20 September 2006; Bahwa tujuan didirikannya Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran ini sebagaimana dinyatakan dalam Mukadimah Statuta Pemohon III adalah: ”Untuk menjamin politik anggaran yang pro rakyat dengan prinsip akuntabel dan partisipatif, maka transparansi menjadi strategi perjuangan. Atas dasar itu, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) didirikan dalam rangka menuntut dipenuhinya hak-hak rakyat untuk terlibat dalam seluruh proses penganggaran, mulai dari proses penyusunan, pembahasan, pelaksanaan anggaran sampai pada evaluasinya. FITRA bersama seluruh komponen rakyat membangun gerakan transparansi anggaran hingga terciptanya anggaran negara yang memenuhi kesejahteraan dan keadilan rakyat. Perjuangan FITRA atas anggaran ditujukan untuk pemenuhan hak- hak ekonomi, sosial, budaya dan politik” ( Bukti P-3 );