Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda
Biro KLI Kementerian keuangan
Relevan terhadap
perpajakan yang dikeluarkan. Pelaporan angka tersebut secara berkala dapat memudahkan Pemerintah dalam mengevaluasi dan memantau efektivitas insentif perpajakan. Dengan demikian, kebijakan insentif perpajakan dapat dinyatakan efektif atau tidak efektif. Berkaca pada pengalaman Belgia dalam program “ Notional Interest Program ” yang dilakukan pada tahun 2006, evaluasi kebijakan insentif perpajakan harus menjadi perhatian. Sebelum program tersebut dilakukan, Belgia memperkirakan akan kehilangan penerimaan perpajakannya senilai X. Setelah program berjalan, Belgia melakukan evaluasi dan menemukan bahwa penerimaan perpajakannya hilang 3X atau tiga kali lebih besar dari perkiraan. Hal ini memperlihatkan bahwa cost yang dihasilkan lebih besar dibandingkan benefit -nya, sehingga Belgia pun melakukan amandemen atas peraturan tersebut. Selain mengetahui efisiensi suatu kebijakan, evaluasi atas kebijakan perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas kebijakan tersebut. Jika Belgia menghadapi inefisiensi pada Opini LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN UNTUK Transparansi Fiskal dan Evaluasi Insentif P enerimaan pajak menjadi sumber utama untuk membiayai APBN. Pada tahun 2019, penerimaan pajak menyumbang 82 persen dari total penerimaan negara dan ditargetkan naik menjadi 83 persen di tahun 2020. Meskipun bergantung pada penerimaan pajak, sejumlah insentif perpajakan tetap diberikan Pemerintah sebagai bentuk komitmen dalam mendukung dunia usaha. Dari tahun ke tahun insentif perpajakan meningkat dari sebesar Rp192,6 triliun pada 2016 menjadi Rp196,8 triliun pada 2017 dan kemudian meningkat signifikan pada 2018 sebesar Rp221,1 triliun. Di Indonesia, insentif perpajakan masuk dalam kategori belanja perpajakan pada laporan belanja perpajakan. Belanja perpajakan didefinisikan sebagai pendapatan pajak yang tidak dapat dikumpulkan atau yang berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari ketentuan umum perpajakan ( benchmark tax system ) yang diberikan kepada subjek dan objek pajak yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Ketentuan khusus tersebut dapat berupa pembebasan jenis pajak ( tax exemption ), pengurangan pajak yang harus dibayar ( tax allowance ), maupun penurunan tarif pajak ( rate relief ), dan lainnya. Dalam definisi belanja perpajakan disebutkan adanya perbedaan antara ketentuan khusus dan ketentuan umum perpajakan ( benchmark tax system ). Konsekuensinya adalah Pemerintah harus menentukan ketentuan umum perpajakannya dengan tepat. Dalam laporan belanja perpajakan, Pemerintah telah menentukan kategori ketentuan umum perpajakan untuk masing-masing jenis pajak dan juga membuat positive list berisi deviasi-deviasi dari ketentuan umum perpajakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai belanja perpajakan. Selain menentukan ketentuan umum perpajakan, langkah selanjutnya yang dilakukan untuk menghitung besarnya belanja perpajakan adalah melihat ketentuan khusus apa saja yang menjadi belanja perpajakan. Apabila telah memenuhi kriteria, perhitungan belanja perpajakannya dapat dilakukan. Angka-angka yang disajikan dalam laporan belanja perpajakan membuat Pemerintah dapat memperhitungkan cost-benefit dalam kebijakan insentif kebijakannya, Indonesia menghadapi kenyataan bahwa kebijakan yang ditawarkan kurang menarik, seperti kebijakan tax holiday melalui PMK Nomor 103/PMK.010/2016. Kompleksitas administrasi dan ketidakpastian atas hasil pengajuannya meski bidang usaha tersebut memenuhi kriteria menjadikan kebijakan tersebut tidak menarik. Pemerintah pun menerbitkan peraturan baru tentang tax holiday melalui PMK Nomor 35/PMK.010/2018. Peraturan ini mengubah paradigma dalam pemberian tax holiday dari sebelumnya ‘verify before trust’ menjadi ‘ trust and verify ’. Efek positif dari penyederhanaan sistem dan kepastian pemberian fasilitas ini terbukti menghasilkan investasi sembilan kali lebih besar (per Juli 2019) dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut mencerminkan pentingnya laporan belanja perpajakan dan diharapkan laporan tersebut dapat mempermudah Pemerintah mengevaluasi kebijakan insentif perpajakan lainnya, seperti Kawasan Ekonomi Khusus. Penerbitan laporan belanja perpajakan juga menunjukkan komitmen Pemerintah dalam melaksanakan good governanc e dalam pengelolaan keuangan negara. Selain itu, penerbitan laporan juga sejalan dengan rekomendasi BPK untuk menjalankan transparansi fiskal yang merujuk pada IMF’s Fiscal Transparency Code . Meskipun transparansi fiskal merupakan komitmen global, namun tak banyak negara yang melaporkannya secara berkala. Di ASEAN, hanya Indonesia dan Filipina yang melakukannya. Melalui transparansi fiskal, Pemerintah Indonesia dapat meningkatkan akuntabilitasnya dan pada saat yang bersamaan rakyat dan Ilustrasi M. Fitrah Teks M. Rifqy Nurfauzan Abdillah & Ulfa Anggraini Analis pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. pemerintah dapat menilai cost dan benefit kebijakan insentif. Laporan Belanja Perpajakan merupakan laporan kedua yang berhasil diterbitkan. Berbagai perbaikan diupayakan Pemerintah. Salah satunya adalah perluasan cakupan pajak dari yang sebelumnya hanya tiga jenis yakni PPN, PPh, dan Bea Masuk dan Cukai menjadi empat jenis pajak yaitu ditambah PBB sektor P3. Semoga kedepannya perhitungan laporan belanja perpajakan dapat terus disempurnakan. Dengan demikian, evaluasi terhadap kebijakan insentif perpajakan dapat dilakukan dengan lebih baik. MEDIAKEUANGAN 36
Laporan Utama Perkuat Ekosistem Untuk Indonesia Sehat L ima tahun sudah program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) berjalan. Di balik defisit yang terjadi setiap tahunnya, pelayanan kesehatan yang layak untuk masyarakat tetap harus berjalan. Bukan semata amanah Undang- Undang, tetapi pada dasarnya menjadi sehat adalah hak asasi manusia. Segala upaya dilakukan pemerintah mulai dari memberikan suntikan dana hingga penyesuaian iuran JKN-KIS yang diberlakukan di awal tahun 2020. Simak petikan wawancara Media Keuangan bersama Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Fachmi Idris, seputar keberlangsungan JKN-KIS. Apa yang melatarbelakangi terjadinya defisit JKN-KIS? Konstruksi iuran JKN- KIS pada awalnya memakai asumsi minimum guna menjaga keberlangsungan kapasitas fiskal. Regulasi kemudian mengatur bahwa setiap tahun program ini harus mampu membiayai kewajiban yang ditanggungnya. Permasalahannya adalah memang terjadi ketidakseimbangan ( mismatch ) antara total pendapatan dan total pengeluaran. Akan tetapi dalam konteks program, setiap tahun kewajiban membayar ke fasilitas kesehatan selalu terpenuhi. Opsi kebijakan apa saja untuk memitigasi kondisi keuangan yang tidak seimbang tersebut? Terdapat tiga opsi, yaitu penyesuaian iuran, perasionalan manfaat, atau suntikan dana tambahan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya opsi ketiga yakni menyuntikkan dana tambahan dipilih pemerintah untuk mengatasi mismatch yang terjadi. Di akhir tahun 2018, dilakukan audit tujuan tertentu oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan sistem populasi ke seluruh rumah sakit dan fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan untuk melihat apakah ada masalah dari segi pengeluaran, kolektabilitas, atau kepesertaan. Dari segi pengeluaran, ditemukan fraud tapi angkanya di bawah satu persen. Dari segi kolektabilitas secara total bagus tetapi kolektabilitas dari peserta mandiri belum optimal. Setelah mengkaji keseluruhan hasil audit tersebut ditemukan bahwa ternyata persoalan defisit adalah karena iuran yang belum sesuai. Akhirnya dikeluarkanlah kebijakan penyesuaian iuran yang besarannya dihitung __ oleh Dewan Jaminan Sosial (DJSN). Apa yang diharapkan dengan adanya penyesuaian iuran JKN-KIS? Yang pasti dengan adanya penyesuaian iuran ini, diharapkan dalam 5 tahun ke depan tidak ada lagi defisit (dalam konteks transaksi berjalan) sehingga apabila arus kas program bagus, otomatis berdampak ke arus kas rumah sakit. Pastinya rumah sakit akan lebih nyaman dan bisa mengembangkan layanan lebih baik lagi. Dengan demikian, komitmen kita dalam kontrak juga dapat diperkuat. Bagaimana tanggapan Bapak terhadap fenomena penurunan kelas kepesertaan JKN-KIS pasca penyesuaian iuran? Kita tidak akan mempersulit peserta yang ingin turun kelas karena kita tidak ingin menyusahkan masyarakat dengan penyesuaian iuran ini. Dari segi keuangan pun hal ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena meskipun turun kelas maka tarif kelas rumah sakit akan menyesuaikan juga, tetapi perlu ditekankan bahwa mutu layanan medis semua sama di tiap kelas, tidak ada pembedaan. Kami yakin penyesuaian ini butuh proses dan nantinya akan tercipta keseimbangan baru. Perbaikan layanan apa yang diberikan oleh BPJS Kesehatan pasca penyesuaian iuran ini? Kita mencanangkan 10 komitmen perbaikan layanan, baik yang langsung di rumah sakit maupun melalui fasilitas layanan kita. Perbaikan yang langsung di rumah sakit antara lain, penguatan peran petugas BPJS Kesehatan di Rumah Sakit. Jadi kita menempatkan petugas kita dengan atribut rompi bertuliskan BPJS Satu Siap Membantu di rumah sakit mitra BPJS, utamanya yang memiliki jumlah pasien 1000 orang/hari, untuk memastikan peserta tidak mendapatkan hambatan layanan. Kedua, kita buat program PRAKTIS atau Perubahan Kelas Tidak Sulit untuk mengakomodir peserta yang ingin turun kelas pasca penyesuaian iuran. Ketiga, display ketersediaan tempat tidur pada masing-masing kelas di rumah sakit secara real-time agar masyarakat bisa melihat dengan transparan. Saat ini sudah hampir 80% rumah sakit mitra kita memiliki display tempat tidur. Selanjutnya, display tindakan operasi agar pasien yang masuk dalam waiting list operasi memiliki kepastian jadwal operasi dan alasan waiting list. Implementasi program ini masih terbatas, saat ini baru ada di RSUD Margono Soekarjo di Purwokerto. Di samping itu, kita juga ada program simplifikasi pelayanan pasien hemodialisa. Lebih dari itu, semua komitmen kita diintegrasikan online dalam bentuk mobile apps, yakni Mobile JKN. Kita juga mendorong rumah sakit mitra untuk membuat registrasi, antrian, dan rujukan secara online demi kenyamanan dan kepastian waktu layanan bagi pasien. Saat ini sudah sekitar 1000-an fasilitas kesehatan tingkat pertama yang memiliki layanan registrasi online . Kita akan tingkatkan layanan Mobile JKN ini secara masif. Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlanjutan JKN? Penyesuaian iuran yang saat ini dijalankan baru menyelesaikan permasalahan arus kas atau defisit transaksi berjalan. Setelah ini, kita perlu memikirkan bagaimana mengisi aset karena jaminan sosial yang baik adalah yang memiliki aset yang bagus. Upaya yang dapat dilakukan antara lain, pertama, pastikan dulu iuran sesuai dengan hitungan aktuaria, kemudian kontribusi dalam segi iuran ini kita buka dengan konsep gotong royong besar yang betul-betul memastikan kontribusi sosial masyarakat sesuai dengan status sosialnya. Konsep gotong-royong ini pada dasarnya yang sehat membantu yang sakit, yang mampu membantu yang tidak mampu, yang muda membantu yang tua, dan seterusnya. Selanjutnya, kita perlu duduk bersama mendefiniskan kebutuhan dasar kesehatan seperti apa dan kelas standar JKN yang bagaimana yang dijamin Undang-Undang. Jadi kita harus komprehensif. Terakhir, kita harus sama-sama membangun ekosistem yang bagus. Dari segi regulator, apakah regulasi yang dikeluarkan instansi terkait mendorong terjadinya pelayanan yang seharusnya, misal adanya pedoman nasional pelayanan kedokteran. Lalu dari segi data, bagaimana ekosistem akan membuat data itu verified dan valid. Peran daerah dalam membangun ekosistem ini penting. Dari BPJS, bagaimana membangun layanan bermutu tinggi. Yang tidak kalah penting juga yaitu kesadaran masyarakat membayar iuran karena ini pun termasuk ekosistem. Jadi program ini bisa optimal manakala semua ekosistem bisa terbentuk dengan baik. Teks CS. Purwodidhu Foto Fath Fachmi Idris, Dirut BPJS Kesehatan MEDIAKEUANGAN 20
A da hal menarik dari rilis terbaru Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tentang data kejadian bencana selama kurun 2019 kemarin. Meski terus dirundung petaka, namun intensitas bencana 2019 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017 tercatat kejadian bencana mengalami puncaknya sebanyak 2.869 kejadian, disusul 2018 sebanyak 2.573 kejadian. Tahun 2019 sendiri bencana yang terjadi sebanyak 1.315 kejadian, lebih sedikit dibandingkan tahun 2015 sebanyak 1.694 kejadian. Meski mengalami penurunan dari sisi intensitas kejadian, hal yang tak boleh dilupakan adalah skala bencana yang harus dapat dimitigasi luasannya. Yang juga wajib diwaspadai adalah dominasi jenis bencana hidrometeorologi, mengingat posisi Indonesia yang masuk di wilayah tropis antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Jenis bencana tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan kondisi iklim, cuaca, serta musim di berbagai wilayah di nusantara. dan alam berada di jalur yang tidak tepat. Laporan terbaru oleh BioScience , jurnal ilmiah peer review menguatkan statemen ini. Di level implementasi, banyak hal yang mengindikasikan dunia darurat iklim. Berulangnya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla), betul-betul menimbulkan keprihatinan yang luar biasa. Banjir bandang Jabodetabek di awal tahun 2020 menjadi indikasi lainnya. Secara ekonomi, beberapa pengamat memperkirakan dampak kerugian mencapai Rp135 miliar per hari di samping dampak kerugian nonekonomi lainnya. Terlepas dari besarnya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan, peristiwa ini juga memberikan tekanan yang besar bagi upaya mengatasi dampak perubahan iklim. Indonesia, sejatinya menjadi salah satu pemain utama dalam isu mengatasi dampak perubahan iklim ini. Tak heran jika banyak pihak menuntut agar penanganan karhutla dipimpin langsung oleh Presiden, demi mencegah berbagai tarikan kepentingan antarsektor yang terkadang justru menjadi penghambat solusi penanganan. Berubah atau Punah Besarnya dampak destruksi yang ditimbulkan, mendesak munculnya sebuah upaya kolektif bersama seluruh pemangku kepentingan global untuk mengambil langkah-langkah revolusioner. Jargon yang diusung adalah gerakan dekarbonisasi laju pertumbuhan ekonomi. Perlu disadari bahwa pendekatan konvensional dengan menempatkan target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan bangsa, menimbulkan sifat kompetisi yang mengarah pada aspek kanibalisme antarnegara. Semua negara berlomba-lomba saling mengalahkan laju ekonomi negara lainnya tanpa mempertimbangkan praktek-praktek yang dijalankan justru menembus daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dari seluruh penjelasan ini, terlihat betapa sentralnya peran negara dalam mewujudkan tujuan mengatasi dampak perubahan iklim. Negara dengan segala pranata dan kelengkapannya mampu dan memiliki kapasitas menjadi garda terdepan kelangsungan ekologi demi keberlanjutan antargenerasi. Namun demikian, segala upaya menjadi sia-sia jika pemangku kepentingan lainnya tidak mendukung apa yang dijalankan pemerintah. Ingat bahwa dunia sedang darurat iklim dan dampaknya tidak dapat diatasi hanya dengan berdiskusi atau berwacana, melainkan butuh solusi nyata. Opini Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi Ancaman ini perlu ditanggapi secara serius oleh pemerintah mengingat potensi kerusakan yang bersifat masif di berbagai sektor ditambah lagi hal ini sudah menjadi keprihatinan bersama di dunia. Economist Intelligence Unit (EIU) saja misalnya, baru merilis Indeks Ketahanan Perubahan Iklim ( Climate Change Resilience Index ) global. Hasil estimasi menunjukkan bahwa perubahan iklim di seluruh dunia secara langsung dapat menelan biaya ekonomi hingga US$ 7,9 triliun per 2050 akibat konektivitas ragam bencana yang dihasilkan baik kekeringan, banjir, gagal panen, serta jenis lainnya. Dimensi kebencanaan inilah yang dikhawatirkan akan membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan infrastruktur di seluruh dunia. Indeks juga menyebutkan bahwa berdasarkan tren yang ada saat ini, potensi pemanasan global dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) di setiap negara hingga kisaran 3 persen pada periode 2050. Meski demikian, dampak akan semakin besar di negara berkembang dimana Benua Afrika akan mengalami penurunan terbesar mencapai 4,7 persen PDB. Angola diperkirakan menjadi yang paling rentan sekitar 6,1 persen PDB nya akan tergerus, disusul Nigeria sebesar 5,9 persenPDB, Mesir mencapai 5,5 persen PDB, Bangladesh sekitar 5,4 persen PDB serta Venezuela mencapai 5,1 persen PDB. Karenanya dibutuhkan aksi nyata saat ini dan juga nanti sebagai bentuk upaya mengurangi potensi dampak yang dihasilkan. Kegiatan nyata pun tidak akan cukup jika dikerjakan dengan pola Bussiness As Usual (BAU) semata. Sebelumnya, lebih dari 11 ribu ilmuwan di 156 negara dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, juga sepakat menyebutkan bahwa dunia sedang darurat iklim. Mereka juga mengamati berbagai potensi dampak buruk yang ditimbulkan apabila manusia tidak mengubah pola perilakunya. Jika dirunut, hal tersebut bukan yang pertama kalinya karena sebelumnya tahun 2017, sekitar 16 ribu ilmuwan dari 184 negara turut serta dalam sebuah publikasi yang meyakini bahwa manusia Ilustrasi A. Wirananda *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Joko Tri Haryanto Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
MEDIAKEUANGAN 32 33 MEDIAKEUANGAN 32 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Keikhlasan Melako nkan Beragam Peran DIAN LESTARI Kepala Pusat Kebijakan Regional Dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal Teks Dimach Putra | Foto Anas Nur Huda P erempuan di zaman yang sarat perubahan ini harus piawai berlakon peran. Bukan untuk menyembunyikan jati diri sebenarnya. Tapi untuk mampu bertahan dan menjalankan tanggung jawab yang susah payah diperjuangkan untuk didapatkan. Hal itu yang dirasakan Dian Lestari. Salah satu Srikandi mumpuni di Kementerian Keuangan. Ibu dari dua putri ini kini dipercaya menjadi Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral pada Badan Kebijakan Fiskal. Tak mudah, memang. Tapi bagi perempuan yang akrab dipanggil Dian ini, tanggung jawab tersebut merupakan kepercayaan yang harus teguh ia jalankan. Jalan panjang telah ia lewati untuk bisa mencapai posisinya saat ini. Beragam peran pun telah berhasil Ia tunaikan dengan luwes. Dian lalu membagikan sedikit kisahnya. Ikhlas jalankan penugasan ”Saya tidak pernah menolak penugasan. Jangankan penugasan, pekerjaan apapun yang relevan kalau pimpinan meminta saya untuk mengerjakan itu, pasti akan sebisa mungkin saya lakukan,” ucapnya mengawali. Dian memutar ingatannya kembali ke akhir Agustus 2016. Ia mendapat mandat langsung dari atasannya untuk menempati posisi Senior Advisor di World Bank. Ia diminta mendampingi Andien Hadiyanto yang terlebih dulu ditunjuk menjadi Executive Director . Peran penting sebagai penasehat di multilateral development bank paling bergengsi tersebut harus diampunya per-1 November 2016. Tak ada waktu baginya untuk mencerna semua perasaan yang bercampur 33 VOL. MEDIAKEUANGAN 32 aduk. Saat menerima kabar tersebut, Ia tengah mengurus kesiapan delegasi Indonesia yang akan bertolak ke pertemuan tahunan di Washington D.C. Tanggung jawab tersebut menyita waktunya hingga pertengahan Oktober. Sampai akhirnya hanya 2 minggu tersisa bagi perempuan kelahiran Tegal ini untuk mempersiapkan keberangkatannya. Keikhlasan Dian dalam menjalankan peran yang dipercayakan padanya diuji sesampainya di negeri Paman Sam. Dian dituntut harus langsung dapat beradaptasi. Sepekan awal, Ia harus fokus pada program pendampingan dengan senior advisor sebelumnya. ”Kalau saya missed di sini, saya akan kehilangan kesempatan untuk dapat transisi yang smooth ,” ujarnya. Hal tersebut dirasa cukup menantang baginya, tapi Dian punya cara menghadapinya. Kuncinya satu, jangan dipikirin, tapi jalanin aja. Kalau ada yang dipikirin biasanya akan banyak kekhawatiran. Tapi kalau kita fokus untuk jalanin, kita nggak sempat mikir begitu,” bebernya. Kekuatan dukungan keluarga Pengalaman bertugas di World Bank tak hanya menempa Dian dalam sisi profesionalitas berkarier, tetapi juga dalam perannya sebagai istri dan ibu dalam keluarga. Begitu menerima kabar penugasannya, Ia langsung mengutarakan maksudnya untuk membawa serta dua buah hatinya yang beranjak dewasa. ”Suami gak bisa ikut karena ada tanggung jawab pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Tapi kami sepakat bahwa anak-anak butuh international exposure dan ini saatnya!” ungkapnya. Masa-masa awal kepindahannya di Amerika membuatnya berjibaku dengan beragam hal. Belum lagi menyesuaikan fisik di lingkungan baru, pekerjaan menuntutnya untuk cepat beradaptasi dengan ritme kerja yang jauh berbeda dengan di Indonesia. Sementara itu, Ia juga harus memilih lingkungan terbaik untuk mereka hidup saat kedua putrinya menyusul tiga bulan berikutnya. ”Saya memilih tinggal di Rockfiled, Maryland. Daerah suburb (pinggiran) yang punya sistem pendidikan oke dan jadi kawasan favorit komunitas internasional yang kerja di D.C buat tinggal bersama keluarga,” ucapnya. Pilihan tersebut dianggap tepat. Meskipun isu ketegangan ras, agama, dan golongan merebak karena iklim
ndonesia baru-baru ini telah menjadi negara ekonomi kelas menengah, dengan jumlah populasi kelas menengahnya mencapai 16% pada tahun 2014 dari hanya 5% pada tahun 1993 (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Indonesia juga berhasil menjadi salah satu negara dengan pengentasan kemiskinan tercepat di dunia. Namun demikian, sekitar 26 juta orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dan 77,4 juta orang atau setara dengan 29,1% dari populasi masih menjadi bagian kemiskinan atau rentan jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Hal ini menunjukkan tingginya jumlah penduduk Indonesia yang masih rentan terhadap guncangan ekonomi walaupun ada kemajuan yang signifikan dalam mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu, penting untuk menemukan solusi yang efektif guna mengubah masyarakat miskin Indonesia menjadi masyarakat berpenghasilan menengah. Rumah tangga berpendapatan menengah merupakan kontributor konsumsi dan sumber suara sosial serta politik yang signifikan dalam membentuk kebijakan pembangunan. Solusi yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia, antara lain dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kualitas pendidikan terutama dalam penyediaan keterampilan khusus yang dibutuhkan oleh lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas kesehatan dan peluang kehidupan bagi anak- anak di daerah pedesaan. Semua hal tersebut membutuhkan sejumlah besar pembiayaan di tengah tekanan global, rasio pajak yang rendah, dan rencana pemerintah untuk mengurangi pajak penghasilan. Langkah awal yang dapat dilakukan yakni dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak. Apabila jumlah “calon kelas menengah” dan “kelas menengah” dapat meningkat secara proporsional, maka dengan basis subjek pajak yang substansial itu, Indonesia dapat menerapkan rezim pajak penghasilan progresif, di mana mereka yang memiliki pendapatan berlebih harus membayar lebih banyak pajak. Dengan terhimpunnya dana pajak tersebut, Indonesia kemudian dapat membangun skema perlindungan sosial yang kuat. Tantangan berikutnya adalah bagaimana membuat pembelanjaan kelas menengah agar menjadi lebih produktif, karena jika pengeluaran kelas menengah tersebut tidak produktif, maka risiko jatuh ke dalam middle income trap akan lebih besar. Dari segi ketenagakerjaan dan produktivitas tenaga kerja, terlepas dari upah yang kecil, produktivitas yang rendah telah menghasilkan total biaya output yang lebih tinggi. Di samping itu, pada tataran global, Indonesia masih berada di peringkat ke-2 terkait kekakuan kontrak kerja terutama dalam hal pemutusan hubungan kerja, sedangkan tingkat kepatuhannya hanya sebesar 49%. Pengangguran usia muda mencapai tujuh kali lebih banyak dari pengangguran orang dewasa, sementara sebanyak dua dari tiga perempuan Indonesia termasuk di antara mereka yang menganggur. Di lain sisi, sehubungan dengan tingkat pelatihan, hanya sekitar 8% dari perusahaan yang ada di Indonesia yang benar-benar memberikan pelatihan untuk karyawan mereka, padahal pemerintah telah memberikan insentif pajak berupa pengurangan hingga Rp300 juta ( super deduction ) bagi perusahaan yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Dari segi pembangunan pendidikan, meskipun telah ada upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan mendasar, namun outcome dari upaya ini masih belum optimal. Pencapaian rata-rata pengetahuan siswa dengan lama pendidikan 12 tahun sebenarnya hanya sama dengan 7,9 tahun mengenyam pendidikan. Hal ini menunjukkan ketidakefektifan dalam proses pembelajaran, baik dari sisi kurikulum dan kapasitas guru, dan/ atau terbatasnya fasilitas pendidikan yang ada. Beberapa ide muncul sebagai solusi dari tantangan dimaksud, salah satunya dengan mengembangkan dan memperluas industri pendidikan anak usia dini. Hal ini dianggap mendesak karena sebuah penelitian menunjukkan bahwa return pendidikan satu tahun pada anak usia dini lebih besar daripada return pendidikan pada perguruan tinggi dengan durasi yang sama. Sayangnya, hanya sekitar 1% anak Indonesia yang saat ini dapat menikmati pendidikan anak usia dini. Dari segi kualitas kesehatan, 27% anak Indonesia masih mengalami hambatan pertumbuhan ( stunting ) sehingga Indonesia berada pada peringkat stunting ke-5 di dunia. Sementara itu, dari 74% wanita Indonesia yang telah mendapat pemeriksaan kehamilan, hanya 37% yang mampu memberikan ASI dan hanya 58% yang telah menerima suntikan imunisasi untuk bayinya. Oleh sebab itu, efektivitas sistem perlindungan kesehatan nasional harus ditingkatkan, antara lain melalui pembetulan alokasi subsidi, mengingat saat ini sebanyak 40% rumah tangga kelas menengah masih menerima subsidi pemerintah, dan peningkatan kepatuhan pembayaran iuran jaminan sosial kesehatan. Pada akhirnya, meskipun kombinasi dari tantangan pembangunan, demokrasi, dan desentralisasi cenderung memperumit masalah dan penanganannya, namun pemerintah harus mampu merancang kebijakan yang tidak hanya layak berdasarkan standar yang diterima, tetapi juga sesuai untuk Indonesia yang kaya akan keberagaman. Pemerintah harus dapat mengimplementasikan kebijakan yang memastikan keberlanjutan dan produktivitas pembiayaan pembangunan, meskipun setiap kebijakan yang diambil tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. 41 MEDIAKEUANGAN 40 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Opini MENJADI CALON SOSIALITA, Memakmurkan Indonesia *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Bramantya Saputro Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40
Opini Mitigasi Bencana Ilustrasi Dimach Putra Teks Mahpud Sujai Peneliti Madya, Badan Kebijakan Fiskal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 I ndonesia merupakan Negara yang berada di Kawasan Cincin Api Pasifik, rangkaian gunung api paling aktif di dunia yang membentang sepanjang lempeng pasifik. Posisi geografis tersebut membuat Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam terutama gempa bumi. Selain itu, bentuk negara yang berupa kepulauan membuat Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia juga memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang sangat tinggi yang bisa berakibat pada bencana tanah longsor di dataran tinggi dan bencana banjir di dataran rendah. Melihat kondisi Indonesia yang rawan bencana menjadikan program mitigasi bencana sangat penting dirancang pemerintah. Dampak Bencana di Indonesia Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2019 telah terjadi sebanyak 3.721 bencana alam tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang berdampak pada 477 orang meninggal dunia, 109 orang hilang, 3.415 orang luka-luka dan 6,1 juta orang mengungsi dari tempat tinggalnya. Selain itu, dampak bencana juga menimbulkan kerusakan pada 72.992 rumah, 2011 unit fasilitas umum dan fasilitas kesehatan, 270 kantor pemerintahan dan juga 437 jembatan. Berdasarkan jenis bencana alam yang terjadi, sekitar 97 persen termasuk bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor dan 3 persen adalah bencana geologis seperti gempa bumi dan gunung meletus. Meskipun rendah dari sisi frekuensi, namun bencana geologis memiliki dampak yang sangat besar terutama jika terjadi tsunami dan gempa. Untuk itulah, diperlukan kesadaran ekstra dari seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah dalam memitigasi bencana alam. Urgensi Program Mitigasi Bencana Program mitigasi bencana bertujuan untuk mengurangi dampak kerusakan dan kehilangan korban jiwa akibat bencana. Memberikan edukasi kepada masyarakat merupakan salah satu aspek terpenting dalam program mitigasi bencana. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukan materi kebencanaan dalam kurikulum pendidikan. Mitigasi lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah menyiapkan berbagai peralatan pendeteksi bencana, seperti alat pendeteksi banjir maupun tsunami. Dengan demikian, masyarakat dapat mengantisipasi datangnya bencana alam sehingga dampak kerugian baik jiwa maupun materi dapat diminimalisasi. Program mitigasi lain yang dilakukan pemerintah dengan meningkatkan akurasi informasi kebencanaan bagi masyarakat melalui BMKG dan BNPB. Beberapa bencana alam yang terjadi di Indonesia juga disebabkan oleh kerusakan alam dan perubahan iklim seperti banjir dan kebakaran hutan. Program mitigasi bencana perlu disinkronkan dengan program mitigasi perubahan iklim seperti pengurangan kerusakan hutan, restorasi lahan gambut, reboisasi dan penghijauan daerah hulu sungai. Dengan mengarusutamakan mitigasi perubahan iklim, secara langsung akan dapat mengurangi risiko terjadinya bencana alam di Indonesia. Dukungan Anggaran Pemerintah melalui APBN telah mengalokasikan dana penanggulangan bencana. Alokasi dana tersebut terbagi dalam tiga kategori. Pertama, dana kontijensi bencana disediakan dalam APBN untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap Prabencana. Kedua, dana siap pakai (DSP) yang disediakan dalam APBN yang ditempatkan dalam anggaran BNPB untuk kegiatan pada tahap keadaan darurat. DSP juga harus disiapkan oleh pemerintah daerah melalui APBD. DSP harus tersedia sesuai kebutuhan pada saat tanggap darurat. Ketiga, dana bantuan sosial berpola hibah yang disediakan dalam APBN untuk kegiatan pada tahap Pascabencana. Sepanjang 2019, pemerintah telah mengeluarkan dana lebih dari Rp15 triliun yang berasal dari APBN untuk penanganan bencana baik melalui alokasi anggaran kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun alokasi anggaran lainnya. Pemerintah juga menyediakan dana yang lebih besar untuk penanganan serta mitigasi kebencanaan yang disimpan dalam bentuk DSP yang berada dalam alokasi Bendahara Umum Negara (BUN). Dana khusus untuk bencana alam tersebut termasuk anggaran yang disisihkan pemerintah pusat pada APBN setiap tahunnya. Apabila tidak ada bencana alam dalam skala tertentu, maka dana tersebut akan terus terakumulasi setiap tahunnya. Dana khusus bencana alam ini berbeda dengan dana darurat kebencanaan yang selama ini menjadi salah satu sumber pendanaan kegiatan penanganan bencana alam. Penanggulangan bencana harus dilakukan secara tepat namun tetap memperhatikan tertib administrasi dan akuntabilitas. Terkait dengan hal ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2008 mengenai pendanaan dan pengelolaan dana penanggulangan bencana. Pemerintah juga komprehensif mendukung penanganan bencana secara tepat waktu dan kualitas dengan tetap akuntabel. Akuntabilitas pembiayaan untuk penanganan bencana sangat penting untuk menghindari potensi penyalahgunaan anggaran yang mungkin timbul akibat dana yang harus keluar dengan cepat untuk keperluan penanganan bencana. Hal ini juga sebagai bentuk transparansi anggaran yang dialokasikan dan tanggung jawab kepada masyarakat. PERAN ANGGARAN DAN KOORDINASI ANTAR LEMBAGA DALAM
BPHN
Relevan terhadap
Topik E-Commerce Mengemuka dalam FGD Pokja Perdagangan Lintas Negara Jakarta, BPHN.go.id - Kelompok kerja analisis dan evaluasi terkait Perdagangan Lintas Negara melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Ibis Cawang Jakarta, Senin-Selasa 30-31 Juli 2018. FGD ini bertujuan untuk sosialisasi temuan-temuan yang sudah dilakukan oleh para anggota Pokja. Hadir dalam kegiatan ini Yu Un Oposunggu (Dosen FH- UI) sebagai Ketua Pokja beserta beberapa anggota pokja diantaranya dari Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan serta Peneliti dari LIPI. Topik yang diangkat terkait perdagangan lintas negara semua dalam tujuannya untuk melaksanakan Ease of Doing Bussines (EoDB) di Indonesia. Bicara tentang perdagangan lintas negara maka tidak terlepas dari perdagangan atau transaksi e-commerce (perdagangan dengan sistem elektronik). Pada era serba digital sekarang ini, banyak proses jual beli berlangsung menggunakan akses internet. Jumlah transaksi e-commerce saat ini nilainya terus meningkat secara signifikan. Sedangkan regulasi yang mendukung untuk kegiatan tersebut belum siap, hal ini dapat membuat Indonesia tertinggal dari negara lain dan juga ada potensi pemasukan negara yang belum ditangkap karena dasar hukumnya belum kuat. Hal ini menjadi topik diskusi yang sangat mengemuka selama jalannya pelaksanaan FGD. Pelaksanaan FGD berjalan sangat menarik dengan penuh dinamika, para peserta sangat antusias memberikan pendapat serta kritisi yang cukup tajam. FGD belum menghasilkan rekomendasi karena masih terdapat beberapa materi yang harus dibahas dengan narasumber dan para pakar.
Oleh: World Trade Organization (WTO) merupakan Organisasi perdagangan dunia bermarkas di Jenewa, Swiss. WTO sendiri merupakan sebuah organisasi pengganti GATT sejak Tanggal 1 Januari 1995. WTO merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional, berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya. Indonesia merupakan salah satu Negara yang tergabung di dalam WTO, keputusan ini diambil salah satunya guna mendukung proses eksport import yang begitu ramai di Indonesia yang pastinya diharapkan berdampak baik bagi produsen maupun distributor Indonesia. Namun sayangnya beberapa kali Indonesia mengalami masalah yang tidak kecil karena keterlibatannya di WTO. Salah satu kejadian yang menjadi perbincangan hangat adalah terkait dengan Kasus DS477/DS488 dimana Indonesia digugat oleh Amerika Serikat dan Selandia Baru. Kejadian ini bermula ketika pemerintah menerapkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Di dalam ketentuan itu, terdapat beberapa kebijakan baru, di antaranya pemerintah membatasi periode permohonan dan masa berlaku persetujuan impor produk hortikultura dua kali dalam setahun hingga pelarangan impor produk hortikultura pada masa panen. Disamping itu, pemerintah Indonesia juga menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013 yang mempertegas bahwa realisasi impor hortikultura minimal 80 persen, ada pembatasan mengenai distribusi produk hortikultura impor, dan menggunakan referensi harga cabai dan bawang merah untuk konsumsi. 2 Peraturan Menteri tersebut memicu Amerika Serikat dan Selandia Baru untuk menuntut Indonesia melalui WTO. Bergulirnya kasus tersebut sampai pada ditahap banding dimana Indonesia menerima kekalahan pahit atas hasil tersebut dan mengharuskan Indonesia untuk merevisi beberapa Peraturan Perundang-undangan yang dimilikinya. Hasil sidang di Jenewa menghasilkan keputusan bahwa ada 18 Measure yang harus disesuaikan . 9 measures terkait impor produk hortikultura dan 8 measures terkait impor hewan dan produk hewan yang harus diubah, 1-17 adalah terkait permen-permen yang sudah diubah, sementara measure ke-18 ( measure terkait “Kecukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi permintaan domestik”) adalah untuk mengubah 4 UU. Sampai saat ini Proses masih berjalan, Kementerian Pertanian dan kementerian Perdagangan terus berkoordinasi di bawah arahan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian atas kasus DS 477 dan DS 478 tersebut. Yang menjadi pertanyaan sampai saat ini, dengan tuntutan dari Pihak Amerika dan Pihak Selandia Baru yang menuntut Indonesia merevisi beberapa PUU yang nyatanya berguna di lapangan dan menguntungkan para petani apakah harus dilakukan?. Dapat menjadi satu pemikiran kembali untuk bergabung dengan satu organisasi internasional namun tetap mengedepankan kepentingan rakyat. Semoga keseimbangan itu akan selalu tetap terpelihara di Indonesia. Artikel Indonesia merupakan salah satu Negara yang tergabung di dalam WTO, keputusan ini diambil salah satunya guna mendukung proses eksport import yang begitu ramai di Indonesia yang pastinya diharapkan berdampak baik bagi produsen maupun distributor Indonesia. "
Rapika Erawati S.H. ...
Relevan terhadap
kebijakan pengaturan dalam PMK SBM tahun anggaran sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119PMK.02/2020 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2021), termasuk masih mempertimbangan pelaksanaan teknis kegiatan di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang antara lain kegiatan-kegiatan yang sebelumnya offline (rapat konsiyering, rapat dalam kantor, dan rapat-rapat lainnya, diklat-diklat) dapat difasilitasi dengan kegiatan yang dilakukan secara online yang mengakibatkan efisiensi dari Kementerian Negara/Lembaga terkait sehingga biaya untuk konsumsi rapat/diklat maupun transportasi rapat/diklat bias berkurang dari Kementerian Negara/Lembaga terkait. Penyesuaian besaran SBM TA 2022 dapat saja dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi inflasi untuk masing-masing item di masing-masing provinsi di Indonesia. Selain itu, penyesuaian SBM TA 2022 dapat juga berasal dari usulan atau hasil koordinasi dengan Kementerian Negara/Lembaga terkait yang akan menggunakan SBM TA 2022. Menurut penulis, beberapa hal penyempurnaan yang dilakukan dalam PMK SBM TA 2022 dari PMK SBM TA 2021 antara lain penyempurnaan norma, yaitu penyesuaian norma honorarium narasumber, penyesuaian norma honorarium Penanggung jawab pengelolaan keuangan, honorarium pengadaan barang/jasa. Honorarium pengelola sistem akuntansi instansi (SAI) dan penyempurnaan besaran yakni penyesuaian uang harian luar negeri di Afrika, penyesuaian indeks bahan makanan Mahasiswa/Siswa Sipil dan mahasiswa Militer/Semi Militer di lingkungan sekolah kedinasan, satuan biaya operasional khusus kepala perwakilan RI di luar negeri, hasil survei BPS. Penyempurnaan norma maupun redaksional tersebut lebih mempertegas pengaturan/penjelasan item-item SBM sehingga diharapkan SBM TA 2022 lebih mudah dipahami dan diimplementasikan oleh Kementerian Negara/Lembaga selaku pengguna SBM TA 2022. Pada prinsipnya PMK SBM 2022 bertujuan untuk menjaga efisiensi anggaran negara, serta membuat standar yang sama untuk seluruh kementerian negara/Lembaga. Dengan adanya PMK SBM TA 2022, penulis berharap bahwa proses perencanaan anggaran di kementerian negara/lembaga dapat menjadi lebih efektif dan efisien dimana sudah ada standar biaya dalam menentukan suatu pelaksanaan kegiatan kementerian negara/Lembaga yang memuat mengenai satuan biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks, namun tetap dengan memperhatikan kualitas pelaksanaan kegiatan dan tugas pada masing- masing kementerian negara/lembaga. PMK SBM TA 2022 dapat diunduh https: //jdih.kemenkeu.go.id/download/a73998d2-c308- 4451-a907-35438a028e80/60~PMK.02~2021Per.pdf
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Dana Haji juga kan sebetulnya masih ada di dalam ekosistem keuangan syariah,” jelas Yani. Lebih lanjut, Yani mengungkapkan bahwa industri keuangan syariah saat ini masih didominasi oleh perbankan syariah dengan total aset per Januari 2019 mencapai Rp479,17 triliun atau sekitar 5,95 persen dari Rp 8.049 triliun total perbankan nasional. Sedangkan untuk industri keuangan nonbank syariah (IKNB) periode yang sama, asetnya tercatat Rp101,197 triliun dengan pangsa pasar sebesar 5,81 persen dari total aset IKNB nasional yang mencapai Rp1.741 triliun. Dari sisi pembiayaan syariah, Sukuk Negara atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sendiri menyumbang 18 persen dari total obligasi negara yang telah diterbitkan sebesar Rp682 triliun per Maret 2019 lalu. Senada dengan Yani, Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Lokot Zein Nasution, memaparkan bahwa perkembangan instrumen keuangan syariah paling pesat dialami oleh Sukuk Negara. Sementara itu, instrumen keuangan syariah yang lain tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan, komposisi dari perbankan syariah terus mengalami penurunan, meski penurunannya tidak menunjukkan gejala yang konsisten, sehingga sifatnya lebih reaktif terhadap kondisi ekonomi global. “Dari total aset keuangan syariah, dominasi paling besar dimiliki oleh perbankan syariah, kedua adalah sukuk negara, ketiga adalah pembiayaan syariah, keempat adalah asuransi syariah, kelima adalah IKNB syariah, keenam adalah reksadana syariah, dan terakhir adalah sukuk korporasi,” ujarnya. Peran APBN Kementerian Keuangan sendiri memiliki peran mendorong keuangan syariah melalui instrumen APBN. Yang pertama adalah dari sisi penerimaan negara. Menurut Yani, kebijakan perpajakan yang kondusif dan mendukung pengembangan keuangan syariah diperlukan dalam bentuk tax neutrality dan insentif perpajakan. Tax neutrality menjadi penting karena dalam skema keuangan syariah, seperti Sukuk Negara, diperlukan underlying asset dalam bentuk barang, manfaat aset, ataupun dalam bentuk proyek. “Kalau dalam perpajakan, seolah ada penyerahan barang. Jadi, seolah-olah ada dua kali kena PPN. Kalau di Undang-Undang PPN sepanjang ada pertambahan nilai dan sepanjang ada penyerahan akan terkena PPN. Kalau kita bilang ini tidak ada penambahan nilai dan tidak ada penyerahan juga. Karena underlying asset tadi hanya sebagai dasar perhitungan untuk memberikan pinjaman,” jelas Yani. Yang kedua adalah dari sisi belanja APBN. Belanja pemerintah di Kementerian/Lembaga tertentu dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan industri atau ekonomi syariah. Misalnya saja Halal Tourism melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau kurikulum pendidikan syariah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terakhir dari sisi pembiayaan. Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Dwi Irianti Hadiningdyah, memaparkan kehadiran Sukuk Negara mampu memperkaya jenis instrumen pembiayaan APBN dan pembangunan proyek di tanah air, sekaligus menyediakan instrumen investasi dan likuiditas bagi investor institusi maupun individu. Di samping itu, penerbitan Sukuk Negara di pasar internasional juga menandai eksistensi serta mengokohkan posisi Indonesia di pasar keuangan syariah global. Bahkan, pada tahun 2018 Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan Sovereign Green Sukuk yang diterima dengan baik oleh investor dan mendapatkan pengakuan dari berbagai lembaga internasional. Lebih jauh, Dwi menjelaskan pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mendorong ekonomi syariah secara inklusif, di antaranya melalui diversifikasi instrumen pembiayaan APBN dengan menerbitkan Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan. Melalui instrumen ini masyarakat umum dapat berinvestasi sekaligus berperan serta dalam pembangunan Indonesia. Kehadiran Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan dapat menjadi pilihan bagi masyarakat dan menambah portofolio investasi bagi investor, terutama investor syariah. Pada tahun 2019, kedua instrumen tersebut diterbitkan dengan minimum Rp1 juta dan maksimum Rp3 miliar. Hal tersebut dilakukan agar instrumen tersebut dapat dijangkau dan diakses oleh berbagai lapisan masyarakat. “Penerbitan SBSN Ritel dilaksanakan setiap tahun dan sangat diminati oleh masyarakat yang terlihat dari pemesanan yang selalu oversubscribe sehingga diharapkan melalui instrumen ini dapat mendorong transformasi masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society ,” pungkasnya. 23 MEDIAKEUANGAN 22 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 " Zakat dan wakaf yang notabene masuk ke dalam kelompok dana sosial keagamaan itu masuk ke dalam industri keuangan syariah. Seperti Dana Haji juga kan sebetulnya masih ada di dalam ekosistem keuangan syariah ". Yani Farida A Kepala Bidang Kebijakan Pengemabangan Industri Keuangan Syariah BKF Foto Anas Nur Huda
rfa Ampri, Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilareral (PKRB) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengatakan, sampai dengan 2018, pemerintah menyiapkan dana kisaran lima triliun rupiah setiap tahun untuk penanganan bencana. “Dana tanggap darurat istilahnya. Besarnya itu rata-rata itu turun naiklah, tapi kalau yang terakhir ini ya diatas 5 T (triliun), rata-rata selama 15 tahun,” ungkapnya. Irfa mengatakan dana ini diproyeksikan untuk dapat meredam dampak dari bencana yang melanda Indonesia. “Nah jadi itu sebenarnya adalah shockbreaker lah gitu ya kalau terjadi bencana besar,” katanya. Pada kesempatan terpisah, Dr Widjo Kongko dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan bahwa dana yang dialokasikan untuk penanganan bencana seyogyanya dipersiapkan secara komprehensif. Bukan hanya dana tanggap darurat, melainkan juga untuk rehabilitasi, rekonstruksi, dan mitigasi. “Bahwa bukan anggaran tanggap darurat saja, bukan rehab rekon (rehabilitasi dan rekonstruksi) saja, tetapi anggaran mitigasi yang juga harus disiapkan,” ungkapnya. Ia melanjutkan, “Yang penting terkait dengan anggaran kebencanaan itu harus detil, arsitektur kebencanaan itu anggarannya harus melibatkan keseluruhan proses mulai dari mitigasi, proses rehab rekon, tanggap darurat termasuk kesiapsiagaan.” Dana sejumlah itu tidak dapat sepenuhnya menutupi seluruh kebutuhan untuk penanganan bencana. Saat bencana besar terjadi beruntun, dana itu tentu tidak mencukupi. Tak menutup kemungkinan, kebutuhan dana untuk penanganan bencana membengkak dua sampai tiga kali lipat. Irfa mencontohkan situasi pada 2018 silam, kala Indonesia didera setidaknya dua kali gempa besar. “Nah tapi kalau bencana besar seperti terjadi di Lombok sama yang kemarin di Sulawesi Tengah, nah itu dana itu tidak cukup, ya kan. Nah contohnya yang Lombok saja itu perkiraannya itu sekitar 5 T, dananya. Nah kemudian yang Sulawesi Tengah itu double sampai 10 T,” ungkapnya. Untuk menyiasati situasi-situasi tak terduga semacam itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menyusun mekanisme baru di tahun 2019 dan tahun-tahun setelahnya. Irfa mengatakan, mulai tahun 2019, Kemenkeu mulai menyiasati alokasi anggaran bencana dengan dua hal, yakni asuransi barang milik negara dan pembentukan pooling fund . “Jadi kalau terjadi bencana, katakan gedung ini hancur ya, itu nanti yang bayar asuransi,” ia melanjutkan, “kita juga mau mempercepat pembentukan pooling fund . Nah pooling fund adalah tadi, jadi pooling fund ini harapannya adalah semua jenis pembiayaan itu bisa dilakukan oleh lembaga ini.” Hal serupa juga dikatakan oleh Kunta Wibawa Dasa Nugraha, Direktur PAPBN Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu. “Intinya ke depannya kita juga sudah mulai memikirkan bagaimana kita bisa mengatasi bencana tadi dengan lebih teroganisir dan teratur tapi bebannya tidak juga semuanya ke APBN,” katanya dalam kesempatan terpisah. Ihwal asuransi, Dr. Widjo Kongko, Ahli Tsunami dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) sependapat dengan pemerintah. “Asuransi penting terutama untuk menghitung risiko. Risiko harus bisa dihitung dan diklarifikasikan menjadi biaya yang harus ditanggung oleh pihak ketiga, dalam hal ini asuransi,” katanya. Peta zonasi untuk mitigasi Selain ihwal penyiapan dana untuk bencana, pemerintah juga mesti memikirkan lebih jauh mengenai siasat menghadapi ancaman bencana dengan lebih matang. Widjo Kongko berpendapat pemerintah perlu menyusun skala prioritas terkait penganggaran untuk penanganan bencana. “Ini Indonesia kan luas,” ia melanjutkan, “Maka yang harus dilakukan adalah skala prioritas. Nah kalau skala prioritas itu berarti kita melihat kajian- kajian yang sudah cukup lengkap untuk menjadi prioritas ke Foto Resha Aditya P 39 MEDIAKEUANGAN 38 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 " Soal penganggaran pembangunan kembali pasca bencana bukan sekedar masalah birokrasi jumlah anggaran dan penyaluran. Tetapi mesti berangkat dari konsepsi ". Kuntoro Mangkusubroto Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh- Nias 2005-2009
esatnya pertumbuhan ekonomi syariah dunia salah satunya dipengaruhi oleh meningkatnya populasi muslim. Kenaikan populasi muslim mendorong peningkatan permintaan terhadap produk dan jasa halal. Pada tahun 2017, tercatat terdapat 1,84 miliar muslim di muka bumi. Diperkirakan, jumlah ini akan terus beranjak naik dan menyentuh 27,5 persen total populasi dunia pada 2030. Di tingkat global, Indonesia memiliki populasi muslim terbesar dan jumlah institusi keuangan syariah tertinggi. State of The Islamic Economic Report 2018/2019 menyebutkan jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 87 persen dari total populasi penduduk Indonesia, atau sekitar 13 persen populasi muslim dunia. Indonesia juga memiliki lebih dari 5000 institusi keuangan syariah. Dengan keunggulan ini, Indonesia berpotensi jadi pemain kunci dalam pengembangan ekonomi syariah dunia. Bahkan, bukan tak mungkin ekonomi syariah Indonesia akan menjadi terbesar di dunia. Kemajuan ekonomi syariah di Indonesia pelan tapi pasti mulai terasa dan diakui. Pada pertengahan Oktober 2019 lalu, Indonesia mencatatkan skor 81,93 pada Islamic Finance Country Index (IFCI) 2019. Dengan raihan skor tersebut, Indonesia berhasil menduduki peringkat pertama dalam pengembangan keuangan syariah keuangan global pada Global Islamic Finance Report (GIFR) terbaru. Capaian ini lebih baik dari tahun sebelumnya lantaran naik lima peringkat dan menggeser Malaysia yang tiga tahun terakhir berada di puncak. Miliki keunggulan Islamic Finance Specialist UNDP, Greget Kalla Buana mengamini pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syariah Indonesia yang semakin menggembirakan. Meski demikian, dia mengingatkan masih banyak potensi yang bisa digali guna mewujudkan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah. “Pada 2017, Indonesia menduduki peringkat pertama Muslim Food Expenditure dengan nilai USD170 miliar. Namun, kondisi ini belum mampu menempatkan Indonesia ke dalam sepuluh besar halal food ,”ungkapnya. Greget turut menggarisbawahi sejumlah keunggulan yang dimiliki Indonesia. Pertama, adanya sistem kelembagaan yang kuat dalam mendukung ekonomi syariah. “Selain Dewan Syariah Nasional MUI, perkembangan kelembagaan ekonomi syariah juga diperkuat dengan adanya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang melahirkan Masterplan Ekonomi Syariah,” ungkapnya. Kedua, adanya hukum dan peraturan yang mengakomodasi inovasi dan kebijakan keuangan syariah di Indonesia. “Sebagai contoh, Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Zakat, dan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (yang) mungkin di negara lain tidak ada,” katanya. Ketiga, besarnya dorongan masyarakat luas melalui kelompok- kelompok penggerak ekonomi syariah yang mewakili berbagai elemen masyarakat yang memberi kontribusi terhadap perkembangan ekonomi syariah. “Sebut saja, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Fintech Syariah Indonesia, Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam, Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Masyarakat Ekonomi Syariah, dan sebagainya,” rincinya kepada Media Keuangan. Tumbuh menjanjikan Perkembangan ekonomi syariah Indonesia telah dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada 1992. Bank Muamalat menjadi lembaga keuangan pertama di Indonesia yang menerapkan prinsip syariah dalam setiap kegiatan transaksinya. Kehadiran Bank Muamalat ini disambut baik oleh penduduk muslim Indonesia, sehingga pada perkembangannya, berjamur beragam lembaga keuangan lainnya. Menjelang tiga dasawarsa sejak awal perkembangannya, Indonesia diyakini mampu menjadi pusat ekonomi syariah dunia pada 2024 mendatang. Untuk mendorong pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, pemerintah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) pada tahun 2016. Lembaga ini telah menyusun Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 sebagai peta jalan yang akan menjadi rujukan bersama guna mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. KNKS menyadari Indonesia belum mengoptimalkan perannya dalam memenuhi permintaan produk dan jasa halal. Selama ini, Indonesia masih lebih banyak berperan dari sisi demand dibanding supply . KNKS menyisir sejumlah tantangan yang dihadapi. Tiga diantaranya yakni regulasi industri halal yang belum memadai, literasi dan kesadaran masyarakat akan produk halal yang kurang, dan interlinkage industri halal dan keuangan syariah yang masih rendah. Peta jalan yang telah disusun akan menjawab tantangan tersebut. Dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, implementasi pengembangan ekonomi syariah difokuskan pada sektor riil, utamanya yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam hal ini, pemerintah secara khusus memilih sektor produksi dan jasa, terutama yang telah menerapkan label halal sebagai diferensiasi dari produk lain. Menurut Greget, ambisi Indonesia untuk menjadi Global Halal Hub bisa dimulai dari prosedur sertifikasi halal yang saat ini telah menjadi acuan dunia. “Terbukti dengan sejumlah negara yang meminta untuk disertifikasi halal oleh MUI atau mengadopsi sertifikasi halal Indonesia,” katanya. Dengan adanya kepercayaan dunia internasional terkait sertifikasi halal, maka Indonesia bisa memainkan peran sebagai role model industri halal. Greget juga menekankan agar ekonomi syariah tidak dipandang sebagai satu industri terpisah, melainkan terhubung dengan ekosistem dan aspek kehidupan lain secara keseluruhan. Beberapa aspek penting yang dia soroti antara lain nilai-nilai etis, tata kelola dan regulasi, sumber daya manusia (SDM), Sustainable Development Goals (SDGs), serta teknologi. Tak terpisahkan Sekretaris Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (BPH DSN MUI), Anwar Abbas, mengungkapkan bahwa sistem ekonomi syariah pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menurutnya, Islamic Economic System merupakan alternatif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya inklusif, namun juga berkelanjutan. “Dunia butuh alternatif (sistem ekonomi). Islam tampil dengan Islamic Economic System , dengan Professional Banking System , dengan Insurance Banking Assistance -nya. Dengan begitu, kita sebagai muslim dan bangsa Indonesia bisa tampil dengan Ekonomi Pancasilanya,” jelasnya. Di sisi lain, Yani Farida Aryani, Kepala Bidang Kebijakan Pengembangan Industri Keuangan Syariah Badan Kebijakan Fiskal, menjelaskan bahwa keuangan syariah merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi syariah. Pangsa pasar keuangan syariah di Indonesia sendiri terdiri dari perbankan syariah, asuransi syariah, pembiayaan syariah, reksadana syariah, Sukuk Negara dan saham syariah. Selain itu, masih ada pula sektor keuangan sosial islam ( Islamic social finance ) seperti zakat dan wakaf. “Zakat dan wakaf yang notabene masuk ke dalam kelompok dana sosial 21 MEDIAKEUANGAN 20 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 8 Islamic Finance Assets US$82 Milyar 3 Modest Fashion Expenditure US$20 Milyar 1 Halal Food Expenditure US$170 Milyar 5 Halal Travel __ Expenditure US$10 Milyar 6 Halal Media and Recreation Expenditure US$10 Milyar 2 Halal Cosmetics Expenditure US$3,9 Milyar 4 Halal Pharmaceuticals Expenditure US$5,2 Milyar
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Garis Hidup Maramis Inilah perjalanan hidup sosok “bendahara negara” Republik Indonesia pertama yang berjasa dalam terbitnya mata uang rupiah. ORI ke uang RIS tidak serta merta berjalan seketika. Di Karesidenan Malang, misalnya, penduduk masih menggunakan ORI sebagai alat pembayaran. Sementara perusahaan jawatan pemerintah yang mendistribusikan barang-barang kebutuhan rakyat hanya menerima pembayaran dalam bentuk uang RIS. Untuk mengatasi masalah itu, Sekretaris Residen Arwoko mengirimkan telegram kepada pemerintah RIS pusat di Jakarta untuk meminta dispensasi agar diizinkan menunaikan pembayaran dengan ORI. ”Tindakan ini perlu untuk menolong rakyat mendapat barang-barang yang dibutuhkan,” kata Arwoko dalam pesan telegramnya yang tersimpan di Arsip Sekneg Yogyakarta No. 160 koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Masa penukaran uang dibatasi hingga 21 Juni 1950. Setiap orang hanya diperbolehkan menukar maksimum f 50. Sisanya harus diserahkan ke BNI untuk dibekukan. Hasil penukaran ORI dengan uang DJB yang baru diperkirakan hanya mencapai f 60 juta. ”Jumlah tersebut amat rendah karena sebagian uang ORI telah dipalsukan selain adanya pembatasan penukaran hingga f 50 saja itu,” tulis Dawam Rahardjo dkk dalam Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa . Penyehatan Rupiah Beredarnya uang RIS seakan mengakhiri kekacauan sirkulasi uang yang berlangsung sejak lama. Selain itu, tercapai pula penyeragaman mata uang. Dalam ungkapan Oey Beng To, yang pernah menjabat direktur Bank Indonesia tahun 1960-an, dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid 1 (19450-1958) , kebijakan ini bertujuan untuk ”penyehatan” atau ”pembersihan” mata uang rupiah. Namun masalah tak serta-merta selesai. Pemerintah Indonesia tak leluasa mengendalikan perekonomian sepenuhnya karena sirkulasi uang masih dipegang oleh DJB. Apalagi DJB sangat bergantung pada pemerintah Belanda. Wacana nasionalisasi DJB pun mengemuka. Setelah serangkaian langkah persiapan, tindakan nasionalisasi akhirnya diambil Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo, termasuk juga masalah utang sesuai perjanjian KMB, tanpa menghiraukan Belanda. ”Saya nasionalisasi bank itu dan pecahlah protes, tetapi saya bisa mengatakan, ’Saya sudah berkonsultasi dengan Anda.’ Sejak itu masalah keuangan diputuskan oleh dewan keuangan yang diketuai oleh Menteri Keuangan. Ahli-ahli Belanda tidak diizinkan hadir,” ujar Sumitro dalam Pelaku Berkisah . Kendati Belanda berusaha mempertahankan kekuasaan atas DJB, nasionalisasi berjalan mulus. Nasionalisasi dilaksanakan dengan membeli saham-saham DJB dari para pemilik di dalam maupun luar negeri. Pada Desember 1951 DJB resmi dinasionalisasi, yang kemudian menjadi Bank Indonesia. Sementara dari sisi politik, bentuk negara serikat memicu pertentangan antara kaum federalis dan unitaris, yang antara lain mewujud dalam sejumlah pemberontakan di daerah. Situasi politik dan gangguan keamanan itu tentu berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi. Maka, pada 17 Agustus 1950, pemerintah Republik Indonesia menyatakan RIS bubar. Bentuk pemerintahan pun kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penggunaan mata uang RIS menyusul kemudian. ”Ketika RIS dibubarkan, istilah mata uang RIS juga berakhir walau sebetulnya mata uangnya sama-sama rupiah,” ujar Servulus Erlan. Dengan demikian, berakhirlah penggunaan uang RIS yang A .A. maramis sadar betul betapa pentingnya memiliki mata uang sendiri bagi Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Bukan semata bahwa Belanda datang kembali untuk menjajah, termasuk dengan memperkenalkan “uang NICA”, tetapi juga mata uang sendiri merupakan simbol kedaulatan sebuah bangsa. Maka, sebagai Menteri Keuangan, Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia. Pencetakan uang semula dilakukan di Jakarta. Namun, karena alasan keamanan, dipindahkan ke daerah. Berdasarkan peninjauan ke beberapa daerah, Panitia menetapkan pencetakan uang dilaksanakan di Surabaya. Pada awal November 1945, panitia telah mempersiapkan klise yang diperlukan. Maramis sudah membubuhkan tandatangannya pada bahan pencetak agar bisa segera dicetak dan diedarkan. Namun, rencana itu urung terlaksana karena meletus pertempuran di Surabaya. Setahun tertunda, akhirnya Oeang Republik Indonesia (ORI) selesai dicetak dan diedarkan pada 30 Oktober 1946. Itulah cikal bakal uang rupiah yang kita gunakan sebagai alat pembayaran. Hingga saat ini, tanggal 30 Oktober diperingati sebagai Hari Oeang Republik Teks Martin Sitompul Laporan Utama A. A Maramis Foto Perpusnas 39 MEDIAKEUANGAN 38 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Ditodong senjata Peredaran uang NICA berjalan mulus kecuali di Jawa dan Sumatra. Muncul perlawanan dari rakyat yang mematuhi maklumat pemerintah Indonesia. Pada 3 Oktober 1945, para pelajar sekolah menengah di Yogyakarta keluar-masuk kampung untuk menyita mata uang NICA. Dua hari kemudian, kaum buruh mengadakan rapat raksasa untuk menyatakan kebulatan tekad mendukung Republik Indonesia. Di Jakarta, banyak pedagang pribumi menolak menjual barang kepada orang Belanda dan enggan dibayar dengan uang NICA. Begitu pula di Semarang. Penolakan juga dinyatakan kaum Republikan di Bandung. Tidak jarang arena jual beli berubah menjadi arena perkelahian (Berita Indonesia, 7 Oktober 1945). Pihak Sekutu turun tangan mengatasi perang mata uang tersebut. Pada 6 Oktober 1945, Brigjen Bethell selaku komandan penanggung jawab Sekutu menyatakan bahwa hanya uang rupiah Jepang yang berlaku sebagai alat tukar. Namun, sikap Sekutu tak konsisten. Memasuki tahun 1946, kebijakan Sekutu cenderung menguntungkan Belanda. Belanda pun tetap bersiasat memperluas peredaran uang NICA. NICA memperoleh akses ke kantor- kantor pusat bank Jepang di Jakarta pada 10 Oktober 1945. Bank-bank Jepang ditutup. DJB dihidupkan kembali dan bertugas sebagai bank sirkulasi. Pada 6 Maret 1946, uang NICA emisi 2 Maret 1943 beredar resmi. Pada bulan berikutnya, DJB membuka kembali kantor-kantor cabangnya di kota yang diduduki NICA. Di daerah- daerah pendudukan, uang NICA menjadi alat pembayaran sah. Pada tahun 1946, DJB mengeluarkan uang kertas DJB emisi darurat 1946, terbit dalam pecahan 5, 10 dan 25 gulden/rupiah. “Ketiga pecahan ini terus beredar di wilayah Indonesia hingga nantinya ditarik dari peredaran sehubungan dengan kebijakan Gunting Sjafruddin pada 1950,” tulis Unit Khusus Museum Bank Indonesia. Banyaknya mata uang yang beredar membingungkan rakyat kecil. Di Makassar misalnya, seperti dicatat Pramoedya Ananta Toer, dkk dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid 1, rakyat hanya mau menerima uang rupiah cetakan Jepang. Tetapi para pedagang kadang dipaksa dengan todongan senjata untuk menerima uang NICA. Menggunakan uang NICA pun sama nahasnya. Pejuang atau Tentara Republik akan mencap siapa saja yang menyimpan uang NICA sebagai mata- mata Belanda. Perang mata uang Pada 15 Maret 1946, pihak Republik mengeluarkan maklumat yang melarang penduduk mengedarkan uang NICA. “Barang siapa menyimpan atau mengedarkan mata uang NICA akan mendapat hukuman berat” (majalah Pantja Raya, 1 April 1946). Tak pelak, kehadiran uang NICA menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Setelah Bank Nasional Indonesia (BNI) berdiri pada 5 Juli 1946, beberapa mata uang seperti uang DJB, uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang pemerintah pendudukan Jepang ditarik dari peredaran. Setiap penduduk hanya diperbolehkan memegang uang maksimal 50 rupiah Jepang untuk kebutuhan sehari-hari. Kemudian, Menteri Keuangan berdasarkan surat keputusan No.SS/1/25 tanggal 29 Oktober 1946 menetapkan berlakunya Oeang Republik Indonesia (ORI). Pada 30 Oktober 1946 pukul 00.00, ORI menjadi mata uang yang sah di wilayah Republik Indonesia. Hasil cetakan ORI dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dalam gerbong-gerbong kereta api. Kawalan ketat mengiringi pengiriman itu guna menghindari perampokan di tengah jalan. Kehadiran ORI menandai babak baru perang mata uang. ORI mulai memasuki daerah-daerah pendudukan melawan uang NICA. Rakyat menyambut antusias. Umpamanya, tukang becak di Jakarta lebih memilih dibayar ORI senilai 20 sen ketimbang 1 rupiah uang NICA. Di Pasar Tanah Abang, harga ayam potong harganya f2 uang NICA tetapi para pedagang pribumi malah menawarkan dagangannya senilai Rp 50 ORI. NICA tak tinggal diam, pada 15 Juli 1947, setelah hampir semua uang NICA beredar, DJB mulai mencetak uang kertasnya sendiri (post-war banknotes). Melalui Ordonansi 20 November 1947 keluarlah uang kertas pemerintah Belanda dengan tanggal emisi Batavia/ Djakarta, Desember 1947, dengan pecahan 10 sen dan 25 sen. “Uang kertas pemerintah ini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia serta dicantumkan kata ‘INDONESIA’ sebagai penerbit uang,” tulis Unit Khusus Museum Bank Indonesia. Kenyataan pahit Persaingan uang NICA dengan uang ORI terus berlangsung. Setelah Belanda meninggalkan Yogyakarta menjelang akhir 1949, Menteri Negara/Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengkubuwono menetapkan baik ORI dan uang NICA berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. “Kebijakan itu diambil karena Dalam uang tersebut tercantum nilai gulden dalam bahasa Belanda dan nilai rupiah dalam bahasa Indonesia. Dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia, tim peneliti BI mengatakan, penggunaan kata “rupiah” pada uang NICA merupakan upaya Belanda untuk menarik hati rakyat Indonesia. Dengan beredarnya uang NICA, perang mata uang terjadi di Indonesia. Harapan itu terwujud. Pendudukan Jepang berakhir. Meski Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, Belanda tetap kembali ke wilayah bekas koloninya dengan membonceng Sekutu. Tak hanya membawa tentara sipil (NICA), Belanda juga membawa uang NICA. Masyarakat menyebutnya “uang merah” karena pecahan 50 sen dan 10 rupiah yang banyak digunakan, berwarna merah. Para petinggi NICA seperti Charles van der Plas dan van Mook semula berpikir mengedarkan uang NICA berisiko tinggi bagi rencana menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Namun, para pemimpin di Belanda pada 30 September 1945 memutuskan menarik mata uang rupiah Jepang dan menggantinya dengan uang NICA. “Akhirnya, ada semacam persetujuan dari van Mook untuk mengedarkan mata uang NICA di luar Jawa dengan kurs penukaran 3 sen uang NICA untuk setiap 1 rupiah uang Jepang. Sedangkan peredaran uang NICA di Jawa dilakukan kemudian,” kata sejarawan Mohammad Iskandar dalam “’Oeang Republik’ dalam Kancah Revolusi” pada Jurnal Sejarah Vol. 6 No. 1, Agustus 2004. Indonesia bereaksi terhadap peredaran uang NICA tersebut. “Uang ini kita anggap tidak laku; janganlah diterima, supaya jangan timbul inflasi di sini,” demikian maklumat pemerintah Indonesia pada 2 Oktober 1945 dalam arsip Sekretariat Negara RI No.48 pada hakikatnya pemerintah RI sangat kekurangan uang,” tulis Darsono dkk. dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia. Semula pemerintah Belanda meminta agar uang NICA dijadikan sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah selama perundingan Konferensi Meja Bundar. Sultan menolak dan menawarkan usulan nan jitu. Dia mempersilakan pihak Belanda melakukan survei guna mengetahui respon masyarakat Indonesia terhadap kedua mata uang tersebut. Pihak Belanda harus menerima kenyataan pahit. Survei membuktikan bahwa masyarakat memilih menggunakan ORI sebagai alat pembayaran yang sah. Uang NICA tak sanggup menyumpal warga Republik Indonesia yang ingin merdeka dan berdaulat.* BNI mulai mengedarkan alat pembayaran resmi pertama, Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai ‘syarat’ bagi Indonesia untuk menjadi sebuah Foto Historia 25 MEDIAKEUANGAN 24 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER