JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 724 hasil yang relevan dengan "strategi investasi untuk pelaku usaha "
Dalam 0.021 detik
Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PERENCANAAN
PP 44 TAHUN 2004

Perencanaan Hutan

  • Ditetapkan: 18 Okt 2004
  • Diundangkan: 18 Okt 2004

Relevan terhadap

Pasal 2Tutup
(1)

Maksud perencanaan kehutanan adalah untuk memberikan pedoman dan arah bagi pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, pelaku usaha, lembaga profesi, yang memuat strategi dan kebijakan kehutanan untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan.

(2)

Tujuan perencanaan kehutanan adalah mewujudkan penye- lenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari.

Pasal 50Tutup

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 146 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN UMUM Perencanaan kehutanan perlu disusun secara konsepsional dan terpadu dalam satu kesatuan yang utuh dengan perencanaan kegiatan pengelolaan sumber daya lainnya. Perencanaan Kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu serta dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan memegang peranan penting, karena merupakan fungsi pertama dalam pengurusan hutan yang menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Perencanaan kehutanan mempunyai keterkaitan dan keterpaduan dengan sektor lain dengan memperhatikan kepentingan masyarakat lokal, regional, nasional dan global yang berwawasan lingkungan. Perencanaan kehutanan ini dimaksudkan untuk memberi pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan berupa kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, yang efektif dan efisien, dengan menjamin keberadaan hutan yang mantap dengan luasan yang cukup, mengoptimalkan aneka fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, terdiri dari pulau-pulau besar, menengah dan kecil serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung maka Menteri menetapkan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai atau pulau sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh per seratus) dari luas daratan. Dengan penetapan luas kawasan hutan dan luas minimal kawasan hutan untuk setiap daerah aliran sungai atau pulau, Pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap Provinsi berdasarkan kondisi bio-fisik, iklim, penduduk dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Sehubungan dengan hal tersebut, bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya masih di atas 30% (tiga puluh per seratus) tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya. Luas minimum tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di bawah 30% (tiga puluh per seratus) perlu menambah luas hutannya. Untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi hutan dan kehutanan dilakukan inventarisasi hutan yang antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penyusunan rencana kehutanan dan pengembangan sistem informasi. Guna mewujudkan keberadaan kawasan hutan dalam luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional ditempuh melalui proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, penetapan kawasan hutan. Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan, Pemerintah melaksanakan penatagunaan hutan sesuai dengan fungsi dan penggunaannya. Fungsi pokok kawasan hutan yang dimaksud adalah fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Untuk kawasan hutan yang luas, maka pelaksanaan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setelah penunjukan, tanpa menunggu selesainya proses pengukuhan, karena kegiatan pengukuhan kawasan hutan yang luas memerlukan waktu lama. 2 Hal tersebut perlu dilakukan, agar kegiatan perencanaan kehutanan selanjutnya, seperti pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan tidak terhambat. Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS), sosial budaya dan ekonomi, kelembagaan masyarakat dan batas administrasi pemerintahan, hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi dan kearifan tradisional masyarakat. Berdasarkan hasil inventarisasi hutan, disusun rencana kehutanan baik menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis maupun fungsi pokok kawasan hutan. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa perencanaan kehutanan meliputi : inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Sebagaimana diatur dalam Bagian Kelima Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan antara lain mengatur Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Namun demikian, mengingat materi tersebut merupakan materi tersendiri dan disamping itu sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, maka untuk perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur di dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Dengan demikian perencanaan kehutanan merupakan pedoman bagi Pemerintah, pemerintah Provinsi, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, pelaku usaha, lembaga profesi dalam penyelenggaraan kehutanan. PASAL DEMI PASAL

Thumbnail
PEMBERANTASAN | TINDAK PIDANA
UU 21 TAHUN 2007

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

  • Ditetapkan: 19 Apr 2007
  • Diundangkan: 19 Apr 2007
Thumbnail
INTERN PEMERINTAH | SISTEM PENGENDALIAN
PP 60 TAHUN 2008

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

  • Ditetapkan: 28 Agu 2008
  • Diundangkan: 28 Agu 2008

Relevan terhadap

Pasal 61Tutup

Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4890 DAFTAR UJI PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH PENDAHULUAN Dalam rangka pencapaian visi, misi, dan tujuan serta pertanggungjawaban kegiatan Instansi Pemerintah, pimpinan Instansi Pemerintah wajib menerapkan setiap unsur dari Sistem Pengendalian Intern. Untuk memastikan bahwa Sistem Pengendalian Intern tersebut sudah dirancang dan diimplementasikan dengan baik, dan secara memadai diperbaharui untuk memenuhi keadaan yang terus berubah perlu dilakukan pemantauan secara terus-menerus. Secara khusus, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah ini, pimpinan Instansi Pemerintah melakukan pemantauan antara lain melalui evaluasi terpisah atas Sistem Pengendalian Internnya masing- masing untuk mengetahui kinerja dan efektivitas Sistem Pengendalian Intern serta cara meningkatkannya. Pemantauan juga berguna untuk mengidentifikasi dan mengatasi risiko utama seperti penggelapan, pemborosan, penyalahgunaan, dan salah-kelola ( mismanagement ). Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah dimaksudkan untuk membantu pimpinan Instansi Pemerintah dan evaluator dalam menentukan sampai seberapa jauh pengendalian intern suatu Instansi Pemerintah dirancang dan berfungsi serta, jika perlu, untuk membantu menentukan apa, bagian mana, dan bagaimana penyempurnaan dilakukan. Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah terdiri dari lima bagian sesuai dengan unsur Sistem Pengendalian Intern: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. Masing-masing bagian berisi suatu daftar faktor utama yang harus dipertimbangkan saat mengevaluasi Sistem Pengendalian Intern terkait dengan masing-masing unsurnya. Faktor-faktor ini LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 60 TAHUN 2008 TANGGAL : 28 AGUSTUS 2008 menggambarkan isu atau hal penting dari setiap unsur Sistem Pengendalian Intern. Termasuk dalam masing-masing faktor tersebut adalah butir-butir yang harus dipertimbangkan oleh pengguna pada saat melakukan evaluasi. Butir-butir tersebut dimaksudkan untuk membantu pengguna mempertimbangkan hal-hal spesifik yang menunjukkan seberapa jauh Sistem Pengendalian Intern berfungsi. Pengguna harus mempertimbangkan butir-butir tersebut untuk menentukan:

(1)

kesesuaian penerapan butir tersebut dalam situasi tertentu, (2) kemampuan Instansi Pemerintah dalam menerapkan butir tersebut, (3) kelemahan pengendalian yang mungkin terjadi, dan (4) pengaruh butir tersebut terhadap kemampuan Instansi Pemerintah dalam mencapai visi, misi, dan tujuannya. Pada setiap butir diberikan ruang kosong untuk mencatat komentar atau catatan mengenai situasi terkait butir tersebut. Komentar dan catatan biasanya tidak berupa ‘ya’ atau ‘tidak’, tetapi umumnya meliputi informasi mengenai bagaimana Instansi Pemerintah menangani masalah tersebut. Pengguna juga boleh menggunakan ruang kosong ini untuk mengindikasikan masalah yang ditemukan sebagai kelemahan pengendalian. Daftar uji ini juga dimaksudkan untuk membantu pengguna mengambil kesimpulan mengenai implementasi unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah. Untuk itu, ruang kosong disediakan pada akhir setiap bagian untuk mencatat penilaian keseluruhan dan mengidentifikasi tindakan yang harus diambil atau dipertimbangkan. Ruang kosong tambahan juga disediakan untuk penilaian ringkas keseluruhan pada akhir daftar uji ini. Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah dapat dijadikan panduan bagi pimpinan Instansi Pemerintah dan evaluator. Daftar uji ini hanya merupakan referensi awal serta dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan risiko masing-masing Instansi Pemerintah. Dalam menerapkan daftar uji ini perlu dipertimbangkan tujuan Instansi Pemerintah dan aspek biaya-manfaat. Pengguna harus mempertimbangkan butir-butir yang relevan serta menghilangkan atau menambah butir lainnya jika perlu sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Instansi Pemerintah. Selain itu, pengguna dapat mengatur ulang atau menyusun kembali butir-butir tersebut untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap mengikuti format unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern. Daftar Uji Pengendalian Intern ini dikembangkan dengan menggunakan banyak sumber informasi dan ide-ide yang berbeda-beda. Sumber utamanya adalah Internal Control Management and Evaluation Tool dari General Accounting Office (GAO), ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal-pasal dan penjelasan Peraturan Pemerintah ini, serta peraturan perundang-undangan lainnya. BAGIAN I LINGKUNGAN PENGENDALIAN Unsur sistem pengendalian intern yang pertama adalah lingkungan pengendalian. Lingkungan pengendalian diwujudkan melalui:

a.

penegakan integritas dan nilai etika;

b.

komitmen terhadap kompetensi;

c.

kepemimpinan yang kondusif;

d.

pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;

e.

pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;

f.

penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;

g.

perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan h. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai tercapai tidaknya suatu lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. A. PENEGAKAN INTEGRITAS DAN NILAI ETIKA KOMENTAR/CATATAN 1. Instansi Pemerintah telah menyusun dan menerapkan aturan perilaku serta kebijakan lain yang berisi tentang standar perilaku etis, praktik yang dapat diterima, dan praktik yang tidak dapat diterima termasuk benturan kepentingan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Aturan perilaku tersebut sifatnya menyeluruh dan langsung berkenaan dengan hal-hal seperti pembayaran yang tidak wajar, kelayakan penggunaan sumber daya, benturan kepentingan, kegiatan politik pegawai, gratifikasi, dan penerapan kecermatan profesional.

b.

Secara berkala pegawai menandatangani pernyataan komitmen untuk menerapkan aturan perilaku tersebut.

c.

Pegawai memperlihatkan bahwa yang bersangkutan mengetahui perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, hukuman yang akan dikenakan terhadap perilaku yang tidak dapat diterima dan tindakan yang harus dilakukan jika yang bersangkutan mengetahui adanya sikap perilaku yang tidak dapat diterima.

2.

Suasana etis dibangun pada setiap tingkat pimpinan Instansi Pemerintah dan dikomunikasikan di lingkungan Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah membina serta mendorong terciptanya budaya yang menekankan pentingnya nilai-nilai integritas dan etika. Hal ini bisa dicapai melalui komunikasi lisan dalam rapat, diskusi, dan melalui keteladanan dalam kegiatan sehari- hari.

b.

Pegawai memperlihatkan adanya dorongan sejawat untuk menerapkan sikap perilaku dan etika yang baik.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan tindakan yang cepat dan tepat segera setelah timbulnya gejala masalah.

3.

Pekerjaan yang terkait dengan masyarakat, anggota badan legislatif, pegawai, rekanan, auditor, dan pihak lainnya dilaksanakan dengan tingkat etika yang tinggi. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Laporan keuangan, anggaran, dan pelaksanaan program yang disampaikan kepada badan legislatif, Intansi Pemerintah, dan pihak yang berkepentingan disajikan dengan wajar dan akurat.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah mengungkapkan masalah dalam instansi yang bersangkutan serta menerima komentar dan rekomendasi pada saat auditor dan evaluator melakukan tugasnya.

c.

Atas kekurangan tagihan dari rekanan atau kelebihan pembayaran dari pengguna jasa segera dilakukan perbaikan.

d.

Instansi Pemerintah memiliki proses penanganan tuntutan dan kepentingan pegawai secara cepat dan tepat.

4.

Tindakan disiplin yang tepat dilakukan terhadap penyimpangan atas kebijakan dan prosedur atau atas pelanggaran aturan perilaku. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah mengambil tindakan atas pelanggaran kebijakan, prosedur, atau aturan perilaku.

b.

Jenis sanksi dikomunikasikan kepada seluruh pegawai di lingkungan Instansi Pemerintah sehingga pegawai mengetahui konsekuensi dari penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan.

5.

Pimpinan Instansi Pemerintah menjelaskan dan mempertanggungjawabkan adanya intervensi atau pengabaian atas pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Terdapat pedoman yang mengatur situasi, frekuensi, dan tingkat pimpinan yang diperkenankan melakukan intervensi dan pengabaian.

b.

Intervensi atau pengabaian terhadap pengendalian intern didokumentasikan secara lengkap termasuk alasan dan tindakan khusus yang diambil.

c.

Pengabaian pengendalian intern tidak boleh dilakukan oleh pimpinan Instansi Pemerintah tingkat bawah kecuali dalam keadaan darurat dan segera dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang lebih tinggi, serta didokumentasikan.

6.

Pimpinan Instansi Pemerintah menghapus kebijakan atau penugasan yang dapat mendorong perilaku tidak etis. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan yang realistis dan dapat dicapai dan tidak menekan pegawai untuk mencapai tujuan lain yang tidak realistis.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah sesuai dengan kewenangannya memberikan penghargaan untuk meningkatkan penegakan integritas dan kepatuhan terhadap nilai-nilai etika.

c.

Kompensasi dan kenaikan jabatan atau promosi didasarkan pada prestasi dan kinerja. B. KOMITMEN TERHADAP KOMPETENSI KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi dan menetapkan kegiatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah menganalisis tugas yang perlu dilaksanakan atas suatu pekerjaan dan memberikan pertimbangan serta pengawasan yang diperlukan.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan dan memutakhirkan uraian jabatan atau perangkat lain untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan tugas khusus.

2.

Instansi Pemerintah menyusun standar kompetensi untuk setiap tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang diperlukan untuk setiap jabatan diidentifikasi dan diberitahukan kepada pegawai.

b.

Terdapat proses untuk memastikan bahwa pegawai yang terpilih untuk menduduki suatu jabatan telah memiliki pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang diperlukan.

3.

Instansi Pemerintah menyelenggarakan pelatihan dan pembimbingan untuk membantu pegawai mempertahankan dan meningkatkan kompetensi pekerjaannya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Terdapat program pelatihan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pegawai.

b.

Instansi Pemerintah sudah menekankan perlunya pelatihan berkesinambungan dan memiliki mekanisme pengendalian untuk membantu memastikan bahwa seluruh pegawai sudah menerima pelatihan yang tepat.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki keahlian manajemen yang diperlukan dan sudah dilatih untuk memberikan pembimbingan yang efektif bagi peningkatan kinerja.

d.

Penilaian kinerja didasarkan pada penilaian atas faktor penting pekerjaan dan dengan jelas mengidentifikasi pekerjaaan yang telah dilaksanakan dengan baik dan yang masih memerlukan peningkatan.

e.

Pegawai mendapat pembimbingan yang obyektif dan konstruktif untuk peningkatan kinerja.

4.

Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki kemampuan manajerial dan pengalaman teknis yang luas dalam pengelolaan Instansi Pemerintah. C. KEPEMIMPINAN YANG KONDUSIF KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki sikap yang selalu mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan.

2.

Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan manajemen berbasis kinerja.

3.

Pimpinan Instansi Pemerintah mendukung fungsi tertentu dalam penerapan SPIP, antara lain pencatatan dan pelaporan keuangan, sistem manajemen informasi, pengelolaan pegawai, dan pengawasan baik intern maupun ekstern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah menyelenggarakan akuntansi dan anggaran untuk pengendalian kegiatan dan evaluasi kinerja.

b.

penyelenggara akuntansi yang didesentralisasi memiliki tanggung jawab membuat laporan kepada pejabat keuangan pusat.

c.

penyelenggaraan manajemen keuangan, akuntansi dan anggaran dikendalikan oleh pejabat pengelola keuangan sehingga terdapat sinkronisasi dengan barang milik negara.

d.

Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan fungsi manajemen informasi untuk mendapatkan data operasional yang penting dan mendukung upaya penyempurnaan sistem informasi sesuai perkembangan teknologi informasi.

e.

Pimpinan Instansi Pemerintah memberi perhatian yang besar pada pegawai operasional dan menekankan pentingnya pembinaan sumber daya manusia yang baik.

f.

Pimpinan Instansi Pemerintah memandang penting dan merespon informasi hasil pengawasan.

4.

Perlindungan atas aset dan informasi dari akses dan penggunaan yang tidak sah.

5.

Interaksi yang intensif dengan pimpinan pada tingkatan yang lebih rendah.

6.

Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki sikap yang positif dan responsif terhadap pelaporan yang berkaitan dengan keuangan, penganggaran, program, dan kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah mengetahui dan ikut berperan dalam isu penting pada laporan keuangan serta mendukung penerapan prinsip- prinsip dan estimasi akuntansi yang konservatif.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah mengungkapkan semua informasi keuangan, anggaran, dan program yang diperlukan agar kondisi kegiatan dan keuangan Instansi Pemerintah tersebut dapat dipahami sepenuhnya.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah menghindari penekanan pada pencapaian hasil-hasil jangka pendek.

d.

Pegawai tidak menyampaikan laporan pencapaian target yang tidak tepat atau tidak akurat.

e.

Fakta tidak dibesar-besarkan dan estimasi anggaran tidak ditinggikan sehingga menjadi tidak wajar.

7.

Tidak ada mutasi pegawai yang berlebihan di fungsi-fungsi kunci, seperti pengelolaan kegiatan operasional dan program, akuntansi atau pemeriksaan intern, yang mungkin menunjukkan adanya masalah dengan perhatian Instansi Pemerintah terhadap pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

tidak adanya mutasi pimpinan Instansi Pemerintah yang berlebihan yang berkaitan dengan masalah-masalah pengendalian intern.

b.

pegawai yang menduduki posisi penting tidak keluar (mengundurkan diri) dengan alasan yang tidak terduga.

c.

adanya tingkat perputaran ( turnover ) pegawai yang tinggi yang dapat melemahkan pengendalian intern.

d.

perputaran pegawai yang tidak berpola yang mengindikasikan kurangnya perhatian pimpinan Instansi Pemerintah terhadap pengendalian intern. D. STRUKTUR ORGANISASI KOMENTAR/CATATAN 1. Struktur organisasi Instansi Pemerintah disesuaikan dengan ukuran dan sifat kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Struktur organisasi mampu memfasilitasi arus informasi di dalam Instansi Pemerintah yang bersangkutan secara menyeluruh.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah secara jelas menyatakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan tingkat sentralisasi atau desentralisasi organisasi.

2.

Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan kejelasan wewenang dan tanggung jawab. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab atas kegiatan atau fungsi utama sepenuhnya menyadari tugas dan tanggung jawabnya.

b.

Bagan organisasi yang tepat dan terbaru yang menunjukkan bidang tanggung jawab utama disampaikan kepada semua pegawai.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah memahami pengendalian intern yang menjadi tanggung jawabnya dan memastikan bahwa pegawainya juga memahami tanggung jawab masing- masing.

3.

Kejelasan hubungan dan jenjang pelaporan intern dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Hubungan dan jenjang pelaporan ditetapkan serta secara efektif memberikan informasi yang dibutuhkan pimpinan Instansi Pemerintah untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

b.

Pegawai memahami hubungan dan jenjang pelaporan yang telah ditetapkan.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah dapat dengan mudah saling berkomunikasi.

4.

Pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan evaluasi dan penyesuaian secara periodik terhadap struktur organisasi sehubungan dengan perubahan lingkungan strategis.

5.

Instansi Pemerintah menetapkan jumlah pegawai yang sesuai, terutama untuk posisi pimpinan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

b.

Pegawai tidak boleh bekerja lembur secara berlebihan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah tidak merangkap tugas dan tanggung jawab bawahannya lebih dari satu orang. E. PENDELEGASIAN WEWENANG DAN KOMENTAR/CATATAN TANGGUNG JAWAB 1. Wewenang diberikan kepada pegawai yang tepat sesuai dengan tingkat tanggung jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

wewenang dan tanggung jawab ditetapkan dengan jelas di dalam Instansi Pemerintah dan dikomunikasikan kepada semua pegawai.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki tanggung jawab sesuai kewenangannya dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki prosedur yang efektif untuk memantau hasil kewenangan dan tanggung jawab yang didelegasikan.

2.

Pegawai yang diberi wewenang memahami bahwa wewenang dan tanggung jawab yang diterimanya terkait dengan pihak lain dalam Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

uraian tugas secara jelas menunjukkan tingkat wewenang dan tanggung jawab yang didelegasikan pada jabatan yang bersangkutan.

b.

uraian tugas dan evaluasi kinerja merujuk pada pengendalian intern terkait tugas, tanggung jawab, dan akuntabilitas.

3.

Pegawai yang diberi wewenang memahami bahwa pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab terkait dengan penerapan SPIP. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pegawai, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, diberdayakan untuk mengatasi masalah atau melakukan perbaikan.

b.

Untuk penyelesaian pekerjaan, terdapat keseimbangan antara pendelegasian kewenangan yang diterima dengan keterlibatan pimpinan yang lebih tinggi. F. KEBIJAKAN DAN PRAKTIK PEMBINAAN KOMENTAR/CATATAN SUMBER DAYA MANUSIA 1. Penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan pemberhentian pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah mengkomunikasikan kepada pengelola pegawai mengenai kompetensi pegawai baru yang diperlukan atau berperan serta dalam proses penerimaan pegawai.

b.

Instansi Pemerintah sudah memiliki standar atau kriteria rekrutmen dengan penekanan pada pendidikan, pengalaman, prestasi, dan perilaku etika.

c.

uraian dan persyaratan jabatan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

d.

terdapat program orientasi bagi pegawai baru dan program pelatihan berkesinambungan untuk semua pegawai.

e.

promosi, remunerasi, dan pemindahan pegawai didasarkan pada penilaian kinerja.

f.

penilaian kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran dalam rencana strategis Instansi Pemerintah bersangkutan.

g.

nilai integritas dan etika termasuk kriteria dalam penilaian kinerja.

h.

pegawai diberikan umpan balik dan pembimbingan untuk meningkatkan kinerja serta diberikan saran perbaikan.

i.

sanksi disiplin atau tindakan pembimbingan diberikan atas pelanggaran kebijakan atau kode etik.

j.

pemberhentian pegawai dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

2.

Penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

calon pegawai yang sering berpindah pekerjaan diberi perhatian khusus.

b.

standar penerimaan pegawai harus mensyaratkan adanya investigasi atas catatan kriminal calon pegawai.

c.

referensi dan atasan calon pegawai di tempat kerja sebelumnya harus dikonfirmasi.

d.

ijazah pendidikan dan sertifikasi profesi harus dikonfirmasi.

3.

Supervisi periodik yang memadai terhadap pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan panduan, penilaian, dan pelatihan di tempat kerja kepada pegawai untuk memastikan ketepatan pelaksanaan pekerjaan, mengurangi kesalahpahaman, serta mendorong berkurangnya tindakan pelanggaran.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa pegawai memahami dengan baik tugas, tanggung jawab, dan harapan pimpinan Instansi Pemerintah. G. PERWUJUDAN PERAN APARAT KOMENTAR/CATATAN PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH YANG EFEKTIF 1. Di dalam Instansi Pemerintah, terdapat mekanisme untuk memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

aparat pengawasan intern pemerintah, yang independen, melakukan pengawasan atas kegiatan Instansi Pemerintah.

b.

aparat pengawasan intern pemerintah membuat laporan hasil pengawasan setelah melaksanakan tugas pengawasan.

c.

untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, secara berkala dilaksanakan telaahan sejawat.

2.

Di dalam Instansi Pemerintah terdapat mekanisme peringatan dini dan peningkatan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. __ 3. Di dalam Instansi Pemerintah, terdapat upaya memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan ( good governance ) tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.

4.

Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan sehingga tercipta mekanisme saling uji. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan Intansi Pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan, serta melakukan pembahasan secara berkala tentang pelaporan keuangan dan anggaran, pengendalian intern serta kinerja.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah yang melaksanakan tanggung jawab pengendalian yang bersifat lintas instansi. Bagian Ikhtisar Lingkungan Pengendalian Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN II PENILAIAN RISIKO Unsur pengendalian intern yang kedua adalah penilaian risiko. Penilaian risiko diawali dengan penetapan maksud dan tujuan Instansi Pemerintah yang jelas dan konsisten baik pada tingkat instansi maupun pada tingkat kegiatan. Selanjutnya Instansi Pemerintah mengidentifikasi secara efisien dan efektif risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan tersebut, baik yang bersumber dari dalam maupun luar instansi. Terhadap risiko yang telah diidentifikasi dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan. Pimpinan Instansi Pemerintah merumuskan pendekatan manajemen risiko dan kegiatan pengendalian risiko yang diperlukan untuk memperkecil risiko. Pimpinan Instansi Pemerintah atau evaluator harus berkonsentrasi pada penetapan tujuan instansi, pengidentifikasian dan analisis risiko serta pengelolaan risiko pada saat terjadi perubahan. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai efektivitas penilaian risiko yang dilaksanakan oleh pimpinan Instansi Pemerintah dalam rangka penerapan Sistem Pengendalian Intern. A. PENETAPAN TUJUAN INSTANSI SECARA KOMENTAR/CATATAN KESELURUHAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan Instansi Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan dalam bentuk misi, tujuan dan sasaran, sebagaimana dituangkan dalam rencana strategis dan rencana kinerja tahunan.

b.

Tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan disusun sesuai dengan persyaratan program yang ditetapkan dengan peraturan perundang- undangan.

c.

Tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan harus cukup spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu.

2.

Seluruh tujuan Instansi Pemerintah secara jelas dikomunikasikan pada semua pegawai sehingga pimpinan Instansi Pemerintah mendapatkan umpan balik, yang menandakan bahwa komunikasi tersebut berjalan secara efektif.

3.

Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan strategi operasional yang konsisten dengan rencana strategis Instansi Pemerintah dan rencana penilaian risiko. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Rencana strategis mendukung tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan.

b.

Rencana strategis mencakup alokasi dan prioritas penggunaan sumber daya.

c.

Rencana strategis dan anggaran dirancang secara rinci sesuai dengan tingkatan Instansi Pemerintah.

d.

Asumsi yang mendasari rencana strategis dan anggaran Instansi Pemerintah, konsisten dengan kondisi yang terjadi sebelumnya dan kondisi saat ini.

4.

Instansi Pemerintah memiliki rencana strategis yang terpadu dan penilaian risiko, yang mempertimbangkan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan dan risiko yang berasal dari faktor intern dan ekstern, serta menetapkan suatu struktur pengendalian penanganan risiko. B. PENETAPAN TUJUAN PADA TINGKATAN KOMENTAR/CATATAN KEGIATAN 1. Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan harus berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Semua kegiatan penting didasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah secara keseluruhan.

b.

Tujuan pada tingkatan kegiatan dikaji ulang secara berkala untuk memastikan bahwa tujuan tersebut masih relevan dan berkesinambungan.

2.

Tujuan pada tingkatan kegiatan saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.

3.

Tujuan pada tingkatan kegiatan relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Tujuan pada tingkatan kegiatan ditetapkan untuk semua kegiatan operasional penting dan kegiatan pendukung.

b.

Tujuan pada tingkatan kegiatan konsisten dengan praktik dan kinerja sebelumnya yang efektif serta kinerja industri/bisnis yang mungkin dapat diterapkan pada kegiatan Instansi Pemerintah.

4.

Tujuan pada tingkatan kegiatan mempunyai unsur kriteria pengukuran.

5.

Tujuan pada tingkatan kegiatan didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan sudah diidentifikasi.

b.

Jika tidak tersedia sumber daya yang cukup, pimpinan Instansi Pemerintah harus memiliki rencana untuk mendapatkannya.

6.

Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi tujuan pada tingkatan kegiatan yang penting terhadap keberhasilan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi hal yang harus ada atau dilakukan agar tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan tercapai.

b.

Tujuan pada tingkatan kegiatan yang penting harus mendapat perhatian dan direviu secara khusus serta capaian kinerjanya dipantau secara teratur oleh pimpinan Instansi Pemerintah.

7.

Semua tingkatan pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam proses penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan dan berkomitmen untuk mencapainya. C. IDENTIFIKASI RISIKO KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan metodologi identifikasi risiko yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Metode kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk mengidentifikasi risiko dan menentukan peringkat risiko relatif secara terjadwal dan berkala.

b.

Cara suatu risiko diidentifikasi, diperingkat, dianalisis, dan diatasi telah dikomunikasikan kepada pegawai yang berkepentingan.

c.

Pembahasan identifikasi risiko dilakukan pada rapat tingkat pimpinan Instansi Pemerintah.

d.

Identifikasi risiko merupakan bagian dari prakiraan rencana jangka pendek dan jangka panjang, serta rencana strategis.

e.

Identifikasi risiko merupakan hasil dari pertimbangan atas temuan audit, hasil evaluasi, dan penilaian lainnya.

f.

Risiko yang diidentifikasi pada tingkat pegawai dan pimpinan tingkat menengah menjadi perhatian pimpinan Instansi Pemerintah yang lebih tinggi.

2.

Risiko dari faktor eksternal dan internal diidentifikasi dengan menggunakan mekanisme yang memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Instansi Pemerintah mempertimbangkan risiko dari perkembangan teknologi.

b.

Risiko yang timbul dari perubahan kebutuhan atau harapan badan legislatif, pimpinan Instansi Pemerintah, dan masyarakat sudah dipertimbangkan.

c.

Risiko yang timbul dari peraturan perundang-undangan baru sudah diidentifikasi.

d.

Risiko yang timbul dari bencana alam, tindakan kejahatan, atau tindakan terorisme sudah dipertimbangkan.

e.

Identifikasi risiko yang timbul dari perubahan kondisi usaha, politik, dan ekonomi sudah dipertimbangkan.

f.

Risiko yang timbul dari rekanan utama sudah dipertimbangkan.

g.

Risiko yang timbul dari interaksi dengan Instansi Pemerintah lainnya dan pihak di luar pemerintahan sudah dipertimbangkan.

h.

Risiko yang timbul dari pengurangan kegiatan dan pengurangan pegawai Instansi Pemerintah sudah dipertimbangkan.

i.

Risiko yang timbul dari rekayasa ulang proses bisnis ( business process reengineering ) atau perancangan ulang proses operasional sudah dipertimbangkan.

j.

Risiko yang timbul dari gangguan pemrosesan sistem informasi dan tidak tersedianya sistem cadangan sudah dipertimbangkan.

k.

Risiko yang timbul dari pelaksanaan program yang didesentralisasi sudah diidentifikasi.

l.

Risiko yang timbul dari tidak terpenuhinya kualifikasi pegawai dan tidak adanya pelatihan pegawai sudah dipertimbangkan.

m.

Risiko yang timbul dari ketergantungan terhadap rekanan atau pihak lain dalam pelaksanaan kegiatan penting Instansi Pemerintah sudah diidentifikasi.

n.

Risiko yang timbul dari perubahan besar dalam tanggung jawab pimpinan Instansi Pemerintah sudah diidentifikasi.

o.

Risiko yang timbul dari akses pegawai yang tidak berwenang terhadap aset yang rawan sudah dipertimbangkan.

p.

Risiko yang timbul dari kelemahan pengelolaan pegawai.

q.

Risiko yang timbul dari ketidaktersediaan dana untuk pembiayaan program baru atau program lanjutan sudah dipertimbangkan.

3.

Penilaian atas faktor lain yang dapat meningkatkan risiko telah dilaksanakan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Risiko yang timbul dari kegagalan pencapaian misi, tujuan, dan sasaran masa lalu atau keterbatasan anggaran sudah dipertimbangkan.

b.

Risiko yang timbul dari pembiayaan yang tidak memadai, pelanggaran penggunaan dana, atau ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di masa lalu sudah dipertimbangkan.

c.

Risiko melekat pada misi Instansi Pemerintah, program yang komplek dan penting, serta kegiatan khusus lainnya sudah diidentifikasi.

4.

Risiko Instansi Pemerintah secara keseluruhan dan pada setiap tingkatan kegiatan penting sudah diidentifikasi. D. ANALISIS RISIKO KOMENTAR/CATATAN 1. Analisis risiko dilaksanakan untuk menentukan dampak risiko terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan proses formal dan informal untuk menganalisis risiko berdasarkan kegiatan sehari-hari.

b.

Kriteria klasifikasi risiko rendah, menengah atau tinggi sudah ditetapkan.

c.

Pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah yang berkepentingan diikutsertakan dalam kegiatan analisis risiko.

d.

Risiko yang diidentifikasi dan dianalisis relevan dengan tujuan kegiatan.

e.

Analisis risiko mencakup perkiraan seberapa penting risiko bersangkutan.

f.

Analisis risiko mencakup perkiraan kemungkinan terjadinya setiap risiko dan menentukan tingkatannya.

g.

Cara terbaik mengelola atau mengurangi risiko dan tindakan khusus yang harus dilaksanakan sudah ditetapkan.

2.

Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat risiko yang dapat diterima. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pendekatan penentuan tingkat risiko yang dapat diterima bervariasi antar Instansi Pemerintah tergantung dari varian dan toleransi risiko.

b.

Pendekatan yang diterapkan dirancang agar tingkat risiko yang dapat diterima tetap wajar dan pimpinan Instansi Pemerintah bertanggung jawab atas penetapannya.

c.

Kegiatan pengendalian khusus untuk mengelola serta mengurangi risiko secara keseluruhan dan di setiap tingkatan kegiatan, sudah ditetapkan dan penerapannya selalu dipantau. E. MENGELOLA RISIKO SELAMA PERUBAHAN KOMENTAR/CATATAN 1. Instansi Pemerintah memiliki mekanisme untuk mengantisipasi, mengidentifikasi, dan bereaksi terhadap risiko yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam pemerintahan, ekonomi, industri, peraturan, operasional atau kondisi lain yang dapat mempengaruhi tercapainya maksud dan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan atau maksud dan tujuan suatu kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Semua kegiatan di dalam Instansi Pemerintah yang mungkin akan sangat terpengaruh oleh perubahan sudah dipertimbangkan dalam prosesnya.

b.

Perubahan rutin sudah ditangani melalui identifikasi risiko dan proses analisis yang ditetapkan.

c.

Risiko yang diakibatkan oleh kondisi yang berubah-ubah secara signifikan sudah ditangani pada tingkat yang cukup tinggi di dalam Instansi Pemerintah sehingga dampaknya terhadap organisasi sudah dipertimbangkan dan tindakan yang layak sudah diambil.

2.

Instansi Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap risiko yang ditimbulkan oleh perubahan yang mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap Instansi Pemerintah dan yang menuntut perhatian pimpinan tingkat atas. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Instansi Pemerintah secara khusus sudah memberikan perhatian terhadap risiko yang ditimbulkan akibat menerima pegawai baru untuk menempati posisi kunci atau akibat tingginya keluar-masuk pegawai di suatu bidang.

b.

Sudah ada mekanisme untuk menentukan risiko yang terkandung akibat diperkenalkannya sistem informasi baru atau berubahnya sistem informasi dan risiko yang terlibat dalam pelatihan pegawai dalam menggunakan sistem baru ini dan menerima perubahan.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah sudah memberikan pertimbangan khusus terhadap risiko yang diakibatkan oleh perkembangan dan ekspansi yang cepat atau penciutan yang cepat serta pengaruhnya terhadap kemampuan sistem dan perubahan rencana, maksud, dan tujuan strategis.

d.

Sudah diberikan pertimbangan terhadap risiko yang terlibat saat memperkenalkan perkembangan dan penerapan teknologi baru yang penting serta pemanfaatannya dalam proses operasional.

e.

Risiko sudah dianalisis secara menyeluruh saat Instansi Pemerintah akan memulai kegiatan untuk menyediakan suatu keluaran atau jasa baru.

f.

Risiko yang diakibatkan oleh pelaksanaan kegiatan di suatu area geografis baru sudah ditetapkan. Bagian Ikhtisar Penilaian Risiko Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN III KEGIATAN PENGENDALIAN Unsur sistem pengendalian intern yang ketiga adalah kegiatan pengendalian. Kegiatan pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang dapat membantu memastikan dilaksanakannya arahan pimpinan Instansi Pemerintah untuk mengurangi risiko yang telah diidentifikasi selama proses penilaian risiko. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai tercapai tidaknya suatu lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. Kegiatan pengendalian yang diterapkan dalam suatu Instansi Pemerintah dapat berbeda dengan yang diterapkan pada Instansi Pemerintah lain. Perbedaan penerapan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan:

(1)

visi, misi, dan tujuan;

(2)

lingkungan dan cara beroperasi;

(3)

tingkat kerumitan organisasi;

(4)

sejarah atau latar belakang serta budaya; dan

(5)

risiko yang dihadapi. Kegiatan pengendalian terdiri atas:

a.

reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;

b.

pembinaan sumber daya manusia;

c.

pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;

d.

pengendalian fisik atas aset;

e.

penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;

f.

pemisahan fungsi;

g.

otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;

h.

pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;

i.

pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;

j.

akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan

k.

dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah kegiatan pengendalian intern pada suatu Instansi Pemerintah sudah memadai. A. PENERAPAN UMUM KOMENTAR/CATATAN 1. Kebijakan dan prosedur yang ada berkaitan dengan kegiatan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Semua tujuan yang relevan dan risikonya untuk masing-masing kegiatan penting sudah diidentifikasi pada saat pelaksanaan penilaian risiko.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah telah mengidentifikasi tindakan dan kegiatan pengendalian yang diperlukan untuk menangani risiko tersebut dan memberikan arahan penerapannya.

2.

Kegiatan pengendalian yang diidentifikasi sebagai hal yang diperlukan sudah diterapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Kegiatan pengendalian yang diatur dalam pedoman pelaksanaan kebijakan dan prosedur sudah diterapkan dengan tepat dan memadai.

b.

Pegawai dan atasannya memahami tujuan dari kegiatan pengendalian tersebut.

c.

Petugas pengawas mereviu ber- fungsinya kegiatan pengendalian yang sudah ditetapkan dan selalu waspada terhadap adanya kegiatan pengendalian yang berlebihan.

d.

Terhadap penyimpangan, masalah dalam penerapan, atau informasi yang membutuhkan tindak lanjut, telah diambil tindakan secara tepat waktu.

3.

Kegiatan pengendalian secara berkala dievaluasi untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi sebagaimana diharapkan. B. REVIU ATAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH YANG BERSANGKUTAN __ 1. Reviu pada Tingkat Puncak – Pimpinan Instansi Pemerintah memantau pencapaian kinerja Instansi Pemerintah tersebut dibandingkan rencana sebagai tolok ukur kinerja. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam penyusunan rencana strategis dan rencana kerja tahunan.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam pengukuran dan pelaporan hasil yang dicapai.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala mereviu kinerja dibandingkan rencana.

d.

Inisiatif signifikan dari Instansi Pemerintah dipantau pencapaian targetnya dan tindak lanjut yang telah diambil.

2.

Reviu Manajemen pada Tingkat Kegiatan – Pimpinan Instansi Pemerintah mereviu kinerja dibandingkan tolok ukur kinerja. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah pada setiap tingkatan kegiatan mereviu laporan kinerja, menganalisis kecenderungan, dan mengukur hasil dibandingkan target, anggaran, prakiraan, dan kinerja periode yang lalu.

b.

Pejabat pengelola keuangan dan pejabat pelaksana tugas operasional mereviu serta membandingkan kinerja keuangan, anggaran, dan operasional dengan hasil yang direncanakan atau diharapkan.

c.

Kegiatan pengendalian yang tepat telah dilaksanakan, antara lain seperti rekonsiliasi dan pengecekan ketepatan informasi. C. PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA __ __ KOMENTAR/CATATAN 1. Pemahaman bersama atas visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi Instansi Pemerintah telah tercermin dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan pedoman panduan kerja lainnya dan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten kepada seluruh pegawai.

2.

Instansi Pemerintah memiliki strategi pembinaan sumber daya manusia yang utuh dalam bentuk rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan dokumen perencanaan sumber daya manusia lainnya yang meliputi kebijakan, program, dan praktek pengelolaan pegawai yang akan menjadi panduan bagi Instansi Pemerintah tersebut.

3.

Instansi Pemerintah memiliki strategi perencanaan sumber daya manusia yang spesifik dan eksplisit, yang dikaitkan dengan keseluruhan rencana strategis, dan yang memungkinkan dilakukannya identifikasi kebutuhan pegawai baik pada saat ini maupun di masa mendatang.

4.

Instansi Pemerintah telah memiliki persyaratan jabatan dan menetapkan kinerja yang diharapkan untuk setiap posisi pimpinan.

5.

Pimpinan Instansi Pemerintah membangun kerja sama tim, mendorong penerapan visi Instansi Pemerintah, dan mendorong adanya umpan balik dari pegawai.

6.

Sistem manajemen kinerja Instansi Pemerintah mendapat prioritas tertinggi dari pimpinan Instansi Pemerintah yang dirancang sebagai panduan bagi pegawai dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.

7.

Instansi Pemerintah telah memiliki prosedur untuk memastikan bahwa pegawai dengan kompetensi yang tepat yang direkrut dan dipertahankan.

8.

Pegawai telah diberikan orientasi, pelatihan dan kelengkapan kerja untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab, meningkatkan kinerja, meningkatkan kemampuan, serta memenuhi tuntutan kebutuhan organisasi yang berubah-ubah.

9.

Sistem kompensasi cukup memadai untuk mendapatkan, memotivasi, dan mempertahankan pegawai serta insentif dan penghargaan disediakan untuk mendorong pegawai melakukan tugas dengan kemampuan maksimal.

10.

Instansi Pemerintah memiliki program kesejahteraan dan fasilitas untuk meningkatkan kepuasan dan komitmen pegawai.

11.

Pengawasan atasan dilakukan secara berkesinambungan untuk memastikan bahwa tujuan pengendalian intern bisa dicapai.

12.

Pegawai diberikan evaluasi kinerja dan umpan balik yang bermakna, jujur, dan konstruktif untuk membantu pegawai memahami hubungan antara kinerjanya dan pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.

13.

Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan kaderisasi untuk memastikan tersedianya pegawai dengan kompetensi yang diperlukan. D. PENGENDALIAN ATAS PENGELOLAAN KOMENTAR/CATATAN SISTEM INFORMASI Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi dilakukan untuk memastikan akurasi dan kelengkapan informasi. Pengendalian dilakukan melalui pengendalian umum dan pengendalian aplikasi.

1.

Pengendalian Umum a. Pengamanan Sistem Informasi 1) Instansi Pemerintah secara berkala melaksanakan penilaian risiko secara periodik yang komprehensif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Penilaian risiko dilaksanakan dan didokumentasikan secara teratur dan pada saat sistem, fasilitas, atau kondisi lainnya berubah. b) Penilaian risiko tersebut sudah mempertimbangkan sensitivitas dan keandalan data. c) Penetapan risiko akhir dan persetujuan pimpinan Instansi Pemerintah didokumentasikan.

2)

Pimpinan Instansi Pemerintah mengembangkan rencana yang secara jelas menggambarkan program pengamanan serta kebijakan dan prosedur yang mendukungnya.

3)

Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan organisasi untuk mengimplementasikan dan mengelola program pengamanan.

4)

Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan uraian tanggung jawab pengamanan secara jelas.

5)

Instansi Pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang efektif atas pegawai yang terkait dengan program pengamanan.

6)

Instansi Pemerintah memantau efektivitas program pengamanan dan melakukan perubahan program pengamanan jika diperlukan. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala menilai kelayakan kebijakan pengamanan dan kepatuhan terhadap kebijakan tersebut. b) Tindakan korektif diterapkan dan diuji dengan segera dan efektif serta dipantau secara terus- menerus.

b.

Pengendalian atas Akses 1) Instansi Pemerintah mengklasifikasikan sumber daya sistem informasi berdasarkan kepentingan dan sensitivitasnya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Klasifikasi sumber daya dan kriteria terkait sudah ditetapkan dan dikomunikasikan kepada pemilik sumber daya. b) Pemilik sumber daya memilah- milah sumber daya informasi berdasarkan klasifikasi dan kriteria yang sudah ditetapkan dengan memperhatikan penetapan dan penilaian risiko serta mendokumentasikannya.

2)

Pemilik sumber daya mengidentifikasi pengguna yang berhak dan otorisasi akses ke informasi secara formal.

3)

Instansi Pemerintah menetapkan pengendalian fisik dan pengendalian logik untuk mencegah dan mendeteksi akses yang tidak diotorisasi.

4)

Instansi Pemerintah memantau akses ke sistem informasi, melakukan investigasi atas pelanggaran, dan mengambil tindakan perbaikan dan penegakan disiplin.

c.

Pengendalian atas Pengembangan dan Perubahan Perangkat Lunak Aplikasi 1) Fitur pemrosesan sistem informasi dan modifikasi program diotorisasi.

2)

Seluruh perangkat lunak yang baru dan yang dimutakhirkan sudah diuji dan disetujui.

3)

Instansi Pemerintah telah menetapkan prosedur untuk memastikan terselenggaranya pengendalian atas kepustakaan perangkat lunak ( software libraries ) termasuk pemberian label, pembatasan akses, dan penggunaan kepustakaan perangkat lunak yang terpisah.

d.

Pengendalian atas Perangkat Lunak Sistem 1) Instansi Pemerintah membatasi akses ke perangkat lunak sistem berdasarkan tanggung jawab pekerjaan dan otorisasi akses tersebut didokumentasikan.

2)

Akses ke dan penggunaan perangkat lunak sistem dikendalikan dan dipantau.

3)

Instansi Pemerintah mengendalikan perubahan yang dilakukan terhadap perangkat lunak sistem.

e.

Pemisahan Tugas 1) Tugas yang tidak dapat digabungkan sudah diidentifikasi dan kebijakan untuk memisahkan tugas tersebut sudah ditetapkan.

2)

Pengendalian atas akses sudah ditetapkan untuk pelaksanaan pemisahan tugas.

3)

Instansi Pemerintah melakukan pengendalian atas kegiatan pegawai melalui penggunaan prosedur, supervisi, dan reviu.

f.

Kontinuitas pelayanan 1) Instansi Pemerintah melakukan penilaian, pemberian prioritas, dan pengidentifikasian sumber daya pendukung atas kegiatan komputerisasi yang kritis dan sensitif.

2)

Instansi Pemerintah sudah mengambil langkah-langkah pencegahan dan minimalisasi potensi kerusakan dan terhentinya operasi komputer antara lain melalui penggunaan prosedur back- up data dan program, penyimpanan back-up data di tempat lain, pengendalian atas lingkungan, pelatihan staf, serta pengelolaan dan pemeliharaan perangkat keras.

3)

Pimpinan Instansi Pemerintah sudah mengembangkan dan mendokumentasikan rencana komprehensif untuk mengatasi kejadian tidak terduga ( contingency plan ), misalnya langkah pengamanan apabila terjadi bencana alam, sabotase, dan terorisme.

4)

Instansi Pemerintah secara berkala menguji rencana untuk mengatasi kejadian tidak terduga dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.

2.

Pengendalian Aplikasi a. Pengendalian Otorisasi 1) Instansi Pemerintah mengendalikan dokumen sumber. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Akses ke dokumen sumber yang masih kosong dibatasi. b) Dokumen sumber diberikan nomor urut tercetak ( prenumbered ).

2)

Atas dokumen sumber dilakukan pengesahan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Dokumen sumber yang penting memerlukan tanda tangan otorisasi. b) Untuk sistem aplikasi batch , harus digunakan lembar kendali batch yang menyediakan informasi seperti tanggal, nomor kendali, jumlah dokumen, dan jumlah kendali ( control totals ) dari field kunci. c) Reviu independen terhadap data dilakukan sebelum data dientri ke dalam sistem aplikasi.

3)

Akses ke terminal entri data dibatasi.

4)

File induk dan laporan khusus digunakan untuk memastikan bahwa seluruh data yang diproses telah diotorisasi.

b.

Pengendalian Kelengkapan 1) Transaksi yang dientri dan diproses ke dalam komputer adalah seluruh transaksi yang telah diotorisasi.

2)

Rekonsiliasi data dilaksanakan untuk memverifikasi kelengkapan data.

c.

Pengendalian Akurasi 1) Desain entri data digunakan untuk mendukung akurasi data.

2)

Validasi data dan editing dilaksanakan untuk mengidentifikasi data yang salah.

3)

Data yang salah dengan segera dicatat, dilaporkan, diinvestigasi, dan diperbaiki.

4)

Laporan keluaran direviu untuk mempertahankan akurasi dan validitas data.

d.

Pengendalian terhadap Keandalan Pemrosesan dan File Data 1) Terdapat prosedur untuk memastikan bahwa hanya program dan file data versi terkini yang digunakan selama pemrosesan.

2)

Terdapat program yang memiliki prosedur untuk memverifikasi bahwa versi file komputer yang sesuai yang digunakan selama pemrosesan.

3)

Terdapat program yang memiliki prosedur untuk mengecek internal file header labels sebelum pemrosesan.

4)

Terdapat aplikasi yang mencegah perubahan file secara bersamaan. E. PENGENDALIAN FISIK ATAS ASET KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan, mengimplementasikan, dan mengkomunikasikan rencana identifikasi, kebijakan, dan prosedur pengamanan fisik kepada seluruh pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Kebijakan dan prosedur pengamanan fisik telah ditetapkan, diimplementasikan, dan dikomunikasikan ke seluruh pegawai.

b.

Instansi pemerintah telah mengembangkan rencana untuk identifikasi dan pengamanan aset infrastruktur.

c.

Aset yang berisiko hilang, dicuri, rusak, digunakan tanpa hak seperti uang tunai, surat berharga, perlengkapan, persediaan, dan peralatan, secara fisik diamankan dan akses ke aset tersebut dikendalikan.

d.

Aset seperti uang tunai, surat berharga, perlengkapan, persediaan, dan peralatan secara periodik dihitung dan dibandingkan dengan catatan pengendalian; setiap perbedaan diperiksa secara teliti.

e.

Uang tunai dan surat berharga yang dapat diuangkan dijaga dalam tempat terkunci dan akses ke aset tersebut secara ketat dikendalikan.

f.

Formulir seperti blangko cek dan Surat Perintah Membayar, diberi nomor urut tercetak ( prenumbered ), secara fisik diamankan, dan akses ke formulir tersebut dikendalikan.

g.

Penanda tangan cek mekanik dan stempel tanda tangan secara fisik dilindungi dan aksesnya dikendalikan dengan ketat.

h.

Peralatan yang berisiko dicuri diamankan dengan dilekatkan atau dilindungi dengan cara lainnya.

i.

Identitas aset dilekatkan pada meubelair, peralatan, dan inventaris kantor lainnya.

j.

persediaan dan perlengkapan disimpan di tempat yang diamankan secara fisik dan dilindungi dari kerusakan.

k.

Seluruh fasilitas dilindungi dari api dengan menggunakan alarm kebakaran dan sistem pemadaman kebakaran.

l.

Akses ke gedung dan fasilitas dikendalikan dengan pagar, penjaga, atau pengendalian fisik lainnya.

m.

Akses ke fasilitas di luar jam kerja dibatasi dan dikendalikan.

2.

Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan, mengimplementasikan, dan mengkomunikasikan rencana pemulihan setelah bencana ( disaster recovery plan ) kepada seluruh pegawai. F. PENETAPAN DAN REVIU INDIKATOR DAN KOMENTAR/CATATAN UKURAN KINERJA 1. Ukuran dan indikator kinerja ditetapkan untuk tingkat Instansi Pemerintah, kegiatan, dan pegawai.

2.

Instansi Pemerintah mereviu dan melakukan validasi secara periodik atas ketetapan dan keandalan ukuran dan indikator kinerja.

3.

Faktor penilaian pengukuran kinerja dievaluasi untuk meyakinkan bahwa faktor tersebut seimbang dan terkait dengan misi, sasaran, dan tujuan serta mengatur insentif yang pantas untuk mencapai tujuan dengan tetap memperhatikan peraturan perundang- undangan.

4.

Data capaian kinerja dibandingkan secara terus-menerus dengan sasaran yang ditetapkan dan selisihnya dianalisis lebih lanjut. G. PEMISAHAN FUNGSI KOMENTAR/CATATAN Pimpinan Instansi Pemerintah menjamin bahwa seluruh aspek utama transaksi atau kejadian tidak dikendalikan oleh 1 (satu) orang. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1.

Tidak seorangpun diperbolehkan mengendalikan seluruh aspek utama transaksi atau kejadian.

2.

Tanggung jawab dan tugas atas transaksi atau kejadian dipisahkan di antara pegawai berbeda yang terkait dengan otorisasi, persetujuan, pemrosesan dan pencatatan, pembayaran atau pemerimaan dana, reviu dan audit, serta fungsi-fungsi penyimpanan dan penanganan aset.

3.

Tugas dilimpahkan secara sistematik ke sejumlah orang untuk memberikan keyakinan adanya checks and balances .

4.

Jika memungkinkan, tidak seorangpun diperbolehkan menangani sendiri uang tunai, surat berharga, dan aset berisiko tinggi lainnya.

5.

Saldo bank direkonsiliasi oleh pegawai yang tidak memiliki tanggung jawab atas penerimaan, pengeluaran, dan penyimpanan kas.

6.

Pimpinan Instansi Pemerintah mengurangi kesempatan terjadinya kolusi karena adanya kesadaran bahwa kolusi mengakibatkan ketidakefektifan pemisahan fungsi. H. OTORISASI ATAS TRANSAKSI DAN KOMENTAR/CATATAN KEJADIAN YANG PENTING Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan dan mengkomunikasikan syarat dan ketentuan otorisasi kepada pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1.

Terdapat pengendalian untuk memberikan keyakinan bahwa hanya transaksi dan kejadian yang valid diproses dan dientri, sesuai dengan keputusan dan arahan pimpinan Instansi Pemerintah.

2.

Terdapat pengendalian untuk memastikan bahwa hanya transaksi dan kejadian signifikan yang dientri adalah yang telah diotorisasi dan dilaksanakan hanya oleh pegawai sesuai lingkup otoritasnya.

3.

Otorisasi yang secara spesifik memuat kondisi dan syarat otorisasi dikomunikasikan secara jelas kepada pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah.

4.

Terdapat persyaratan otorisasi yang sejalan dengan arahan dan dalam batasan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan pimpinan Instansi Pemerintah. I. PENCATATAN YANG AKURAT DAN TEPAT KOMENTAR/CATATAN WAKTU ATAS TRANSAKSI DAN KEJADIAN 1. Transaksi dan kejadian diklasifikasikan dengan tepat dan dicatat dengan segera sehingga tetap relevan, bernilai, dan berguna bagi pimpinan Instansi Pemerintah dalam mengendalikan kegiatan dan dalam pengambilan keputusan.

2.

Klasifikasi dan pencatatan yang tepat dilaksanakan untuk seluruh siklus transaksi atau kejadian yang mencakup otorisasi, pelaksanaan, pemrosesan, dan klasifikasi akhir dalam pencatatan ikhtisar. J. PEMBATASAN AKSES ATAS SUMBER DAYA KOMENTAR/CATATAN DAN PENCATATANNYA Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan akses hanya kepada pegawai yang berwenang dan melakukan reviu atas pembatasan tersebut secara berkala. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1.

Risiko penggunaan secara tidak sah atau kehilangan dikendalikan dengan membatasi akses ke sumber daya dan pencatatannya hanya kepada pegawai yang berwenang. __ 2. Penetapan pembatasan akses untuk penyimpanan secara periodik direviu dan dipelihara.

3.

Pimpinan Instansi Pemerintah mempertimbangkan faktor-faktor seperti nilai aset, kemudahan dipindahkan, kemudahan ditukarkan ketika menentukan tingkat pembatasan akses yang tepat. K. AKUNTABILITAS TERHADAP SUMBER KOMENTAR/CATATAN DAYA DAN PENCATATANNYA Pimpinan Instansi Pemerintah menugaskan pegawai yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan sumber daya dan pencatatannya serta melakukan reviu atas penugasan tersebut secara berkala. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1.

Pertanggungjawaban atas penyimpanan, penggunaan, dan pencatatan sumber daya ditugaskan pegawai khusus.

2.

Penetapan pertanggungjawaban akses untuk penyimpanan sumber daya secara periodik direviu dan dipelihara.

3.

Pembandingan berkala antara sumber daya dengan pencatatan akuntabilitas dilakukan untuk menentukan kesesuaiannya dan, jika tidak sesuai, dilakukan audit.

4.

Pimpinan Instansi Pemerintah menginformasikan dan mengkomunikasikan tanggung jawab atas akuntabilitas sumber daya dan catatan kepada pegawai dalam organisasi dan meyakinkan bahwa petugas tersebut memahami tanggung jawabnya. L. DOKUMENTASI YANG BAIK ATAS SISTEM KOMENTAR/CATATAN PENGENDALIAN INTERN SERTA TRANSAKSI DAN KEJADIAN PENTING Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki, mengelola, memelihara, dan secara berkala memutakhirkan dokumentasi yang mencakup seluruh Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1.

Terdapat dokumentasi tertulis yang mencakup Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah dan seluruh transaksi dan kejadian penting.

2.

Dokumentasi tersedia setiap saat untuk diperiksa.

3.

Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern mencakup identifikasi, penerapan, dan evaluasi atas tujuan dan fungsi Instansi Pemerintah pada tingkatan kegiatan serta pengendaliannya yang tercermin dalam kebijakan administratif, pedoman akuntansi, dan pedoman lainnya.

4.

Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern mencakup dokumentasi yang menggambarkan sistem informasi otomatis, pengumpulan dan penanganan data, serta pengendalian umum dan pengendalian aplikasi.

5.

Terdapat dokumentasi atas transaksi dan kejadian penting yang lengkap dan akurat sehingga memudahkan penelusuran transaksi dan kejadian penting sejak otorisasi, inisiasi, pemrosesan, hingga penyelesaian.

6.

Terdapat dokumentasi, baik dalam bentuk cetakan maupun elektronis, yang berguna bagi pimpinan Instansi Pemerintah dalam mengendalikan kegiatannya dan bagi pihak lain yang terlibat dalam evaluasi dan analisis kegiatan.

7.

Seluruh dokumentasi dan catatan dikelola dan dipelihara secara baik serta dimutakhirkan secara berkala. Bagian Ikhtisar Kegiatan Pengendalian Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN IV INFORMASI DAN KOMUNIKASI Unsur pengendalian intern keempat adalah informasi dan komunikasi. Instansi Pemerintah harus memiliki informasi yang relevan dan dapat diandalkan baik informasi keuangan maupun nonkeuangan, yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa eksternal serta internal. Informasi tersebut harus direkam dan dikomunikasikan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan lainnya di seluruh Instansi Pemerintah yang memerlukannya dalam bentuk serta dalam kerangka waktu, yang memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan pengendalian intern dan tanggung jawab operasional. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah Instansi Pemerintah telah menerapkan unsur informasi yang tepat dan komunikasi secara baik sehingga menunjang Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. A. INFORMASI KOMENTAR/CATATAN 1. Informasi dari sumber internal dan eksternal didapat dan disampaikan kepada pimpinan Instansi Pemerintah sebagai bagian dari pelaporan Instansi Pemerintah sehubungan dengan pencapaian kinerja operasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Informasi internal yang penting dalam mencapai tujuan Instansi Pemerintah, termasuk informasi yang berkaitan dengan faktor-faktor keberhasilan yang kritis, sudah diidentifikasi dan secara teratur dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah.

b.

Instansi Pemerintah sudah mendapatkan dan melaporkan kepada pimpinan semua informasi eksternal relevan, yang dapat mempengaruhi tercapainya misi, maksud, dan tujuan Instansi Pemerintah, terutama yang berkaitan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan serta perubahan politik dan ekonomis.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah di semua tingkatan telah memperoleh informasi internal dan eksternal yang diperlukan.

2.

Informasi terkait sudah diidentifikasi, diperoleh dan didistribusikan kepada pihak yang berhak dengan rincian yang memadai, bentuk, dan waktu yang tepat, sehingga memungkinkan mereka dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efisien dan efektif. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menerima informasi hasil analisis yang dapat membantu dalam mengidentifikasi tindakan khusus yang perlu dilaksanakan.

b.

Informasi sudah disiapkan dalam bentuk rincian yang tepat sesuai dengan tingkatan pimpinan Instansi Pemerintah.

c.

Informasi yang relevan diringkas dan disajikan secara memadai sehingga memungkinkan dilakukannya pengecekan secara rinci sesuai keperluan.

d.

Informasi disediakan tepat waktu agar dapat dilaksanakannya pemantauan kejadian, kegiatan, dan transaksi sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan korektif secara cepat.

e.

Pimpinan yang bertanggung jawab terhadap suatu program sudah menerima informasi operasional dan keuangan untuk membantu mengukur dan menentukan pencapaian rencana kinerja strategis, tahunan dan target Instansi Pemerintah sehubungan dengan pertanggungjawaban penggunaan sumber daya.

f.

Informasi operasional sudah disediakan bagi pimpinan Instansi Pemerintah sehingga mereka dapat menentukan apakah pelaksanaan program sudah sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

g.

Informasi keuangan dan anggaran yang memadai sudah disediakan guna mendukung penyusunan pelaporan keuangan internal dan eksternal. B. KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah harus memastikan terjalinnya komunikasi internal yang efektif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah sudah memberikan arahan yang jelas kepada seluruh tingkatan organisasi bahwa tanggung jawab pengendalian intern adalah masalah penting dan harus diperhatikan secara serius.

b.

Tugas yang dibebankan kepada pegawai sudah dikomunikasikan dengan jelas dan sudah dimengerti aspek pengendalian internnya, peranan masing-masing pegawai, dan hubungan pekerjaan antar pegawai.

c.

Pegawai sudah diinformasikan bahwa, jika ada hal yang tidak diharapkan terjadi dalam pelaksanaan tugas, perhatian harus diberikan bukan hanya kepada kejadian tersebut, tetapi juga pada penyebabnya, sehingga kelemahan potensial pengendalian intern bisa diidentifikasi dan diperbaiki sebelum kelemahan tersebut menimbulkan kerugian lebih lanjut terhadap Instansi Pemerintah.

d.

Sikap perilaku yang bisa dan tidak bisa diterima serta konsekuensinya sudah dikomunikasikan secara jelas kepada pegawai.

e.

Pegawai memiliki saluran komunikasi informasi ke atas selain melalui atasan langsungnya, dan ada keinginan yang tulus dari pimpinan Instansi Pemerintah untuk mendengar keluhan sebagai bagian dari proses manajemen.

f.

Adanya mekanisme yang memungkinkan informasi mengalir ke seluruh bagian dengan lancar dan menjamin adanya komunikasi yang lancar antar kegiatan fungsional.

g.

Pegawai mengetahui adanya saluran komunikasi informal atau terpisah yang bisa berfungsi apabila jalur informasi normal gagal digunakan.

h.

Pegawai mengetahui adanya jaminan tidak akan ada tindakan ‘balas dendam’ ( reprisal ) jika melaporkan informasi yang negatif, perilaku yang tidak benar, atau penyimpangan.

i.

Adanya mekanisme yang memungkinkan pegawai menyampaikan rekomendasi penyempurnaan kegiatan, dan pimpinan Instansi Pemerintah memberikan penghargaan terhadap rekomendasi yang baik berupa hadiah langsung atau bentuk penghargaan lainnya.

j.

Pimpinan Instansi Pemerintah sering berkomunikasi dengan aparat pengawasan intern pemerintah, dan terus melaporkan kepada aparat pengawasan intern pemerintah mengenai kinerja, risiko, inisiatif penting, dan kejadian penting lainnya.

2.

Pimpinan Instansi Pemerintah harus memastikan bahwa sudah terjalin komunikasi eksternal yang efektif yang memiliki dampak signifikan terhadap program, proyek, operasi dan kegiatan lain termasuk penganggaran dan pendanaannya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Adanya saluran komunikasi yang terbuka dan efektif dengan masyarakat, rekanan, konsultan, dan aparat pengawasan intern pemerintah serta kelompok lainnya yang bisa memberikan masukan yang signifikan terhadap kualitas pelayanan Instansi Pemerintah.

b.

Semua pihak eksternal yang berhubungan dengan Instansi Pemerintah sudah diinformasikan mengenai kode etik yang berlaku dan juga sudah mengerti bahwa tindakan yang tidak benar, seperti pemberian komisi, tidak diperkenankan.

c.

Komunikasi dengan eksternal sangat didorong untuk dapat mengetahui berfungsinya pengendalian intern.

d.

Pengaduan, keluhan, dan pertanyaan mengenai layanan instansi pemerintah, ditindaklanjuti dengan baik karena dapat menunjukkan adanya permasalahan dalam pengendalian.

e.

Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa saran dan rekomendasi aparat pengawasan intern pemerintah, auditor, dan evaluator lainnya sudah dipertimbangkan sepenuhnya dan ditindaklanjuti dengan memperbaiki masalah atau kelemahan yang diidentifikasi.

f.

Komunikasi dengan badan legislatif, Instansi Pemerintah pengelola anggaran dan perbendaharaan, Instansi Pemerintah lain, media, dan masyarakat harus berisi informasi sehingga misi, tujuan, risiko yang dihadapi Instansi Pemerintah lebih dapat dipahami. C. BENTUK DAN SARANA KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan berbagai bentuk dan sarana dalam mengkomunikasikan informasi penting kepada pegawai dan lainnya. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menggunakan bentuk dan sarana komunikasi efektif, berupa buku pedoman kebijakan dan prosedur, surat edaran, memorandum, papan pengumuman, situs internet dan intranet, rekaman video, e-mail, dan arahan lisan.

b.

Pimpinan telah melakukan komunikasi dalam bentuk tindakan positif saat berhubungan dengan pegawai di seluruh organisasi dan memperlihatkan dukungan terhadap pengendalian intern.

2.

Instansi Pemerintah mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi untuk meningkatkan kegunaan dan keandalan komunikasi informasi secara terus menerus. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Manajemen sistem informasi dilaksanakan berdasarkan suatu rencana strategis sistem informasi yang merupakan bagian dari rencana strategis Instansi Pemerintah secara keseluruhan.

b.

Adanya mekanisme untuk mengidentifikasi berkembangnya kebutuhan informasi.

c.

Sebagai bagian dari manajemen informasi, Instansi Pemerintah telah memantau, menganalisis, mengevaluasi, dan memanfaatkan perkembangan dan kemajuan teknologi untuk dapat memberikan pelayanan lebih cepat dan efisien.

d.

Pimpinan Instansi Pemerintah secara terus menerus memantau mutu informasi yang dikelola, diukur dari segi kelayakan isi, ketepatan waktu, keakuratan, dan kemudahan aksesnya.

3.

Dukungan pimpinan Instansi Pemerintah terhadap pengembangan teknologi informasi ditunjukkan dengan komitmennya dalam menyediakan pegawai dan pendanaan yang memadai terhadap upaya pengembangan tersebut. Bagian Ikhtisar Informasi dan Komunikasi Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN V PEMANTAUAN Pemantauan merupakan unsur pengendalian intern yang kelima atau terakhir. Pemantauan Sistem Pengendalian Intern dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern yang dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah dengan menggunakan daftar uji pengendalian intern. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah Instansi Pemerintah telah menerapkan unsur pemantauan secara baik sehingga dapat menunjang Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. A. PEMANTAUAN BERKELANJUTAN KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki strategi untuk meyakinkan bahwa pemantauan berkelanjutan efektif dan dapat memicu evaluasi terpisah pada saat persoalan teridentifikasi atau pada saat sistem berada dalam keadaan kritis, serta pada saat pengujian secara berkala diperlukan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Strategi pimpinan Instansi Pemerintah menyediakan umpan balik rutin, pemantauan kinerja, dan mengendalikan pencapaian tujuan.

b.

Adanya strategi pemantauan yang meliputi metode untuk menekankan pimpinan program atau operasional bahwa mereka bertanggung jawab atas pengendalian intern dan pemantauan efektivitas kegiatan pengendalian sebagai bagian dari tugas mereka secara teratur dan setiap hari.

c.

Adanya strategi pemantauan yang meliputi metode untuk menekankan pimpinan program bahwa mereka bertanggung jawab atas pengendalian intern dan bahwa tugas mereka adalah untuk memantau efektivitas kegiatan pengendalian secara teratur.

d.

Adanya strategi pemantauan yang mencakup identifikasi kegiatan operasi penting dan sistem pendukung pencapaian misi yang memerlukan reviu dan evaluasi khusus.

e.

Adanya strategi yang meliputi rencana untuk mengevaluasi secara berkala kegiatan pengendalian atas kegiatan operasi penting dan sistem pendukung pencapaian misi.

2.

Dalam proses melaksanakan kegiatan rutin, pegawai Instansi Pemerintah mendapatkan informasi berfungsinya pengendalian intern secara efektif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Laporan operasional sudah terintegrasi atau direkonsiliasi dengan data laporan keuangan dan anggaran dan digunakan untuk mengelola operasional berkelanjutan, serta pimpinan Instansi Pemerintah memperhatikan adanya ketidakakuratan atau penyimpangan yang bisa mengindikasikan adanya masalah pengendalian intern.

b.

Pimpinan yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional membandingkan informasi kegiatan atau informasi operasional lainnya yang didapat dari kegiatan sehari-hari dengan informasi yang didapat dari sistem informasi dan menindaklanjuti semua ketidakakuratan atau masalah lain yang ditemukan.

c.

Pegawai operasional harus menjamin keakuratan laporan keuangan unit dan bertanggung jawab jika ditemukan kesalahan.

3.

Komunikasi dengan pihak eksternal harus dapat menguatkan data yang dihasilkan secara internal atau harus dapat mengindikasikan adanya masalah dalam pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pengaduan rekanan mengenai praktik tidak adil oleh Instansi Pemerintah harus diselidiki.

b.

Badan legislatif dan badan pengawas mengkomunikasikan informasi kepada Instansi Pemerintah mengenai kepatuhan atau hal lain yang mencerminkan berfungsinya pengendalian intern dan pimpinan Instansi Pemerintah menindaklanjuti semua masalah yang ditemukan.

c.

Kegiatan pengendalian yang gagal mencegah atau mendeteksi adanya masalah yang timbul harus direviu.

4.

Struktur organisasi dan supervisi yang memadai dapat membantu mengawasi fungsi pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pengeditan dan pengecekan otomatis serta kegiatan penatausahaan digunakan untuk membantu dalam mengontrol keakuratan dan kelengkapan pemrosesan transaksi.

b.

Pemisahan tugas dan tanggung jawab digunakan untuk membantu mencegah penyelewengan.

c.

Aparat pengawasan intern pemerintah harus independen dan memiliki wewenang untuk melapor langsung ke pimpinan Instansi Pemerintah dan tidak melakukan tugas operasional apapun bagi kepentingan pimpinan Instansi Pemerintah.

5.

Data yang tercatat dalam sistem informasi dan keuangan secara berkala dibandingkan dengan aset fisiknya dan, jika ada selisih, harus telusuri. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Tingkat persediaan barang, perlengkapan, dan aset lainnya sudah dicek secara berkala; selisih antara jumlah yang tercatat dengan jumlah aktual harus dikoreksi dan penyebab selisih tersebut harus dijelaskan.

b.

Frekuensi pembandingan antara pencatatan dan fisik aktual didasarkan atas tingkat kerawanan aset.

c.

Tanggung jawab untuk menyimpan, menjaga, dan melindungi aset dan sumber daya lain dibebankan kepada orang yang ditugaskan.

6.

Pimpinan Instansi Pemerintah mengambil langkah untuk menindaklanjuti rekomendasi penyempurnaan pengendalian internal yang secara teratur diberikan oleh aparat pengawasan intern pemerintah, auditor, dan evaluator lainnya.

7.

Rapat dengan pegawai digunakan untuk meminta masukan tentang efektivitas pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Masalah, informasi, dan masukan yang relevan berkaitan dengan pengendalian intern yang muncul pada saat pelatihan, seminar, rapat perencanaan, dan rapat lainnya diterima dan digunakan oleh pimpinan untuk mengatasi masalah atau untuk memperkuat sistem pengendalian intern.

b.

Saran dari pegawai mengenai pengendalian intern harus dipertimbangkan dan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.

c.

Pimpinan Instansi Pemerintah mendorong pegawai untuk mengidentifikasi kelemahan pengendalian intern dan melaporkannya ke atasan langsungnya.

8.

Pegawai secara berkala diminta untuk menyatakan secara tegas apakah mereka sudah mematuhi kode etik atau peraturan sejenis mengenai perilaku yang diharapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pegawai secara berkala menyatakan kepatuhan mereka terhadap kode etik.

b.

Tanda tangan diperlukan untuk membuktikan dilaksanakannya fungsi pengendalian intern penting, misalnya rekonsiliasi. B. EVALUASI TERPISAH KOMENTAR/CATATAN 1. Ruang lingkup dan frekuensi evaluasi pengendalian intern secara terpisah telah memadai bagi Instansi Pemerintah. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Hasil penilaian risiko dan efektivitas pemantauan yang berkelanjutan dipertimbangkan saat menentukan lingkup dan frekuensi evaluasi terpisah.

b.

Kegiatan evaluasi terpisah seringkali diperlukan pada saat adanya kejadian misalnya perubahan besar dalam rencana atau strategi manajemen, pemekaran atau penciutan Instansi Pemerintah, atau perubahan operasional atau pemrosesan informasi keuangan dan anggaran.

c.

Evaluasi secara berkala dilakukan terhadap bagian dari pengendalian intern secara memadai.

d.

Evaluasi terpisah dilakukan oleh pegawai yang mempunyai keahlian tertentu yang disyaratkan dan dapat melibatkan aparat pengawasan intern pemerintah atau auditor eksternal.

2.

Metodologi evaluasi pengendalian intern Instansi Pemerintah haruslah logis dan memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Metodologi yang dipergunakan telah mencakup self assessment dengan menggunakan daftar periksa ( check list ), daftar kuesioner, atau perangkat lainnya.

b.

Evaluasi terpisah tersebut meliputi suatu reviu terhadap rancangan pengendalian intern dan pengujian langsung ( direct testing ) atas kegiatan pengendalian intern.

c.

Dalam Instansi Pemerintah yang menggunakan sistem informasi berbasis komputer, evaluasi terpisah dilakukan dengan menggunakan teknik audit berbantuan komputer untuk mengidentifikasi indikator inefisiensi, pemborosan, atau penyalahgunaan.

d.

Tim evaluasi terpisah menyusun suatu rencana evaluasi untuk meyakinkan terlaksananya kegiatan tersebut secara terkoordinasi.

e.

Jika proses evaluasi terpisah dilakukan oleh pegawai Instansi Pemerintah, maka harus dipimpin oleh seorang pejabat dengan kewewenangan, kemampuan, dan pengalaman memadai.

f.

Tim evaluasi terpisah harus memahami secara memadai mengenai visi, misi, dan tujuan Instansi Pemerintah serta kegiatannya.

g.

Tim evaluasi terpisah sudah memahami bagaimana pengendalian intern Instansi Pemerintah seharusnya berkerja dan bagaimana implementasinya.

h.

Tim evaluasi terpisah menganalisis hasil evaluasi dibandingkan dengan kriteria yang sudah ditetapkan.

i.

Proses evaluasi didokumentasikan sebagaimana mestinya.

3.

Jika evaluasi terpisah dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern pemerintah, maka aparat pengawasan intern pemerintah tersebut harus memiliki sumber daya, kemampuan, dan independensi yang memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Aparat pengawasan intern pemerintah memiliki staf dengan tingkat kompetensi dan pengalaman yang cukup.

b.

Aparat pengawasan intern pemerintah secara organisasi independen dan melapor langsung ke pimpinan tertinggi di dalam Instansi Pemerintah.

c.

Tanggung jawab, lingkup kerja, dan rencana pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah yang bersangkutan.

4.

Kelemahan yang ditemukan selama evaluasi terpisah segera diselesaikan. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Kelemahan yang ditemukan segera dikomunikasikan kepada orang yang bertanggung jawab atas fungsi tersebut dan atasan langsungnya.

b.

Kelemahan dan masalah pengendalian intern yang serius segera dilaporkan ke pimpinan tertinggi Instansi Pemerintah. C. PENYELESAIAN AUDIT KOMENTAR/CATATAN 1. Instansi Pemerintah sudah memiliki mekanisme untuk meyakinkan ditindaklanjutinya temuan audit atau reviu lainnya dengan segera. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah segera mereviu dan mengevaluasi temuan audit, hasil penilaian, dan reviu lainnya yang menunjukkan adanya kelemahan dan yang mengidentifikasi perlunya perbaikan.

b.

Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tindakan yang memadai untuk menindaklanjuti temuan dan rekomendasi.

c.

Tindakan korektif untuk menyelesaikan masalah yang menarik perhatian pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditetapkan.

d.

Dalam hal terdapat ketidaksepakatan dengan temuan atau rekomendasi, pimpinan Instansi Pemerintah menyatakan bahwa temuan atau rekomendasi tersebut tidak tepat atau tidak perlu ditindaklanjuti.

e.

Pimpinan Instansi Pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan konsultasi dengan auditor (seperti BPK, aparat pengawasan intern pemerintah, dan auditor eksternal lainnya) dan pereviu jika diyakini akan membantu dalam proses penyelesaian audit.

2.

Pimpinan Instansi Pemerintah tanggap terhadap temuan dan rekomendasi audit dan reviu lainnya guna memperkuat pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Pimpinan Instansi Pemerintah yang berwenang mengevaluasi temuan dan rekomendasi dan memutuskan tindakan yang layak untuk memperbaiki atau meningkatkan pengendalian.

b.

Tindakan pengendalian intern yang diperlukan, diikuti untuk memastikan penerapannya.

3.

Instansi Pemerintah menindaklanjuti temuan dan rekomendasi audit dan reviu lainnya dengan tepat. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

a.

Masalah yang berkaitan dengan transaksi atau kejadian tertentu dikoreksi dengan segera.

b.

Penyebab yang diungkapkan dalam temuan atau rekomendasi diteliti oleh pimpinan Instansi Pemerintah.

c.

Tindakan diambil untuk memperbaiki kondisi atau mengatasi penyebab terjadinya temuan.

d.

Pimpinan Instansi Pemerintah dan auditor memantau temuan audit dan reviu serta rekomendasinya untuk meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan telah dilaksanakan.

e.

Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala mendapat laporan status penyelesaian audit dan reviu sehingga pimpinan dapat meyakinkan kualitas dan ketepatan waktu penyelesaian setiap rekomendasi. Bagian Ikhtisar Pemantauan Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN VI IKHTISAR PENGENDALIAN INTERN SECARA KESELURUHAN A. LINGKUNGAN PENGENDALIAN KOMENTAR/CATATAN Pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah memiliki sikap perilaku yang positif dan mendukung pengendalian intern dan manajemen bersih. Pimpinan Instansi Pemerintah harus menyampaikan pesan bahwa nilai-nilai integritas dan etis tidak boleh dikompromikan. Pimpinan Instansi Pemerintah menunjukkan suatu komitmen terhadap kompetensi / kemampuan pegawainya dan menggunakan kebijakan dan praktik pembinaan sumber daya manusia yang baik. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki kepemimpinan yang kondusif yang mendukung pengendalian intern yang efektif. Struktur organisasi Instansi Pemerintah dan metode pendelegasian wewenang dan tanggung jawab memberikan kontribusi terhadap efektivitas pengendalian intern. Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan badan legislatif serta auditor internal dan eksternal. B. PENILAIAN RISIKO KOMENTAR/CATATAN Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menetapkan tujuan keseluruhan Instansi Pemerintah yang jelas dan konsisten serta tujuan tingkatan kegiatan yang mendukungnya. Pimpinan Instansi Pemerintah sudah melakukan identifikasi risiko secara menyeluruh, mulai dari sumber internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi kemampuan Instansi Pemerintah dalam mencapai tujuannya. Analisis risiko sudah dilaksanakan, dan Instansi Pemerintah sudah mengembangkan pendekatan yang memadai untuk mengelola risiko. Selain itu, sudah ada mekanisme untuk mengidentifikasi perubahan yang dapat mempengaruhi kemampuan Instansi Pemerintah tersebut dalam mencapai visi, misi, dan tujuannya. C. KEGIATAN PENGENDALIAN KOMENTAR/CATATAN Kebijakan, prosedur, teknik, dan mekanisme pengendalian yang memadai sudah dikembangkan dan sudah diterapkan untuk memastikan adanya kepatuhan terhadap arahan yang sudah ditetapkan. Kegiatan pengendalian yang tepat sudah dikembangkan untuk setiap kegiatan Instansi Pemerintah dan diterapkan sebagaimana mestinya. D. INFORMASI DAN KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN Sistem informasi untuk mengidentifikasi dan mencatat informasi operasional dan keuangan yang penting yang berhubungan dengan peristiwa internal dan eksternal telah ada dan diimplementasikan. Informasi tersebut dikomunikasikan kepada pimpinan dan pihak lain di lingkungan Instansi Pemerintah dalam bentuk yang memungkinkan pihak tersebut melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efisien dan efektif. Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa komunikasi internal telah terjalin dengan efektif. Pimpinan Instansi Pemerintah juga harus memastikan bahwa komunikasi eksternal yang efektif juga terjalin dengan kelompok- kelompok yang dapat mempengaruhi pencapaian visi, misi, dan tujuan Instansi Pemerintah. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan berbagai bentuk komunikasi yang sesuai dengan kebutuhannya serta mengelola, mengembangkan, dan memperbaiki sistem informasinya dalam upaya meningkatkan komunikasi secara berkesinambungan. E. PEMANTAUAN KOMENTAR/CATATAN Pemantauan pengendalian intern menilai kualitas kinerja pengendalian intern Instansi Pemerintah secara terus-menerus sebagai bagian dari proses pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Selain itu, evaluasi terpisah terhadap pengendalian intern dilakukan secara berkala dan kelemahan yang ditemukan diteliti lebih lanjut. Sudah ada prosedur untuk memastikan bahwa seluruh temuan audit dan reviu lainnya segera dievaluasi, ditentukan tanggapan yang tepat, dan dilaksanakan tindakan perbaikannya. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Thumbnail
MINYAK DAN GAS BUMI | GAS BUMI
UU 22 TAHUN 2001

Minyak dan Gas Bumi

  • Ditetapkan: 23 Nov 2001
  • Diundangkan: 23 Nov 2001

Relevan terhadap

Pasal 9Tutup

Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada Badan Usaha, baik yang berskala besar, menengah, maupun kecil untuk melakukan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dengan skala operasional yang didasarkan pada kemampuan keuangan dan teknis Badan Usaha yang bersangkutan. Ayat (2) Kegiatan Usaha Hulu yang berkaitan dengan resiko tinggi banyak dilakukan oleh perusahaan internasional yang mempunyai jaringan internasional secara luas. Agar dapat memberikan iklim investasi yang kondusif untuk menarik penanam modal, termasuk penanam modal asing, diberikan kesempatan untuk tidak perlu membentuk Badan Usaha.

Pasal 25Tutup

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, antara lain bahwa Kegiatan Usaha Hilir ini menyangkut komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak dan investasi yang besar, maka Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing dapat memberikan kesempatan kepada Badan Usaha untuk meniadakan pelanggaran yang dilakukan sebelum Izin Usahanya dicabut. Selain akibat terjadinya pelanggaran, pencabutan Izin Usaha dapat juga dilaksanakan atas permintaan pemegang Izin Usaha sendiri.

Pasal 27Tutup

Ayat (1) Rencana induk yang ditetapkan oleh Pemerintah akan digunakan sebagai acuan investasi bagi pengembangan dan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi Gas Bumi bagi Badan Usaha yang berminat. Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong persaingan usaha yang sehat dan meningkatkan efisiensi penggunaan prasarana serta mutu pelayanan. Pembagian... Pembagian ruas usaha Pengangkutan dilakukan dengan mempertimbang-kan aspek-aspek teknis, ekonomis, keamanan dan keselamatan. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong persaingan usaha yang sehat dan meningkatkan efisiensi penggunaan prasarana serta mutu pelayanan. Pembagian wilayah Niaga dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis, ekonomis, keamanan dan keselamatan.

Thumbnail
Tidak Berlaku
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR | MANAJEMEN RISIKO
142/PMK.010/2009

Manajemen Risiko Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.

  • Ditetapkan: 31 Agu 2009
  • Diundangkan: 31 Agu 2009

Relevan terhadap

Pasal 13Tutup
(1)

Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 paling kurang mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi. (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memastikan:

a.

kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan atau ketentuan intern LPEI;

b.

tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu;

c.

efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan

d.

efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi LPEI secara menyeluruh. Bagian Kedua Sistem Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko Pasal 14 (1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d paling kurang mencakup:

a.

kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan usaha LPEI;

b.

penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan kebijakan, prosedur dan penetapan limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8;

c.

penetapan jalur pelaporan dari satuan kerja operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian;

d.

pemisahan fungsi yang jelas antara satuan kerja operasional dan satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian;

e.

struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha LPEI;

f.

pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu;

g.

kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan LPEI terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;

h.

kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif terhadap prosedur penilaian kegiatan operasional LPEI;

i.

pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi Manajemen Risiko;

j.

dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur operasional, cakupan dan temuan audit, serta tanggapan atas hasil audit; dan

k.

verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan terhadap penanganan kelemahan- kelemahan yang bersifat material dan tindakan untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

(2)

Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh satuan kerja audit intern (SKAI). BAB VII ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Umum Pasal 15 Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPEI wajib membentuk:

a.

komite pemantau Risiko;

b.

komite manajemen Risiko; dan

c.

satuan kerja manajemen Risiko. Bagian Kedua Komite Pemantau Risiko Pasal 16 (1) Komite pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a terdiri dari:

a.

1 (satu) orang anggota Dewan Direktur sebagai ketua;

b.

1 (satu) orang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang manajemen risiko sebagai anggota; dan

c.

1 (satu) orang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan sebagai anggota. (2) Komite pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan penilaian secara berkala dan memberikan rekomendasi tentang risiko usaha dalam hubungannya dengan Pembiayaan Ekspor Nasional yang diberikan oleh LPEI paling kurang dengan melakukan:

a.

evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan Manajemen Risiko dengan pelaksanaan kebijakan; dan

b.

pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas satuan kerja Manajemen Risiko. Bagian Ketiga Komite Manajemen Risiko Pasal 17 (1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b paling kurang terdiri dari Direktur Pelaksana dan pejabat satu tingkat di bawah Direktur Pelaksana.

(2)

Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b bertugas memberikan rekomendasi kepada Direktur Eksekutif atas:

a.

penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman penerapan Manajemen Risiko;

b.

perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan; dan

c.

penetapan ( justification ) hal-hal yang terkait dengan keputusan bisnis yang menyimpang dari prosedur normal ( irregularities ). Bagian Keempat Satuan Kerja Manajemen Risiko

Thumbnail
Tidak Berlaku
PENGELOLAAN HUTAN | PEMANFAATAN
PP 6 TAHUN 2007

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan

  • Ditetapkan: 08 Jan 2007
  • Diundangkan: 08 Jan 2007

Relevan terhadap

Pasal 70Tutup
(1)

Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya.

(2)

Pemegang IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, yang memiliki kinerja baik berhak mendapat prioritas untuk memperoleh IUPHHK HTI dilokasi lain yang ada disekitarnya dan/atau di tempat yang berbeda sepanjang dalam lokasi tersebut belum dibebani oleh izin usaha pemanfaatan hutan.

(3)

Pemegang IUPHHK pada HTR dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, berhak mendapat pendampingan dalam rangka penguatan kelembagaan oleh bupati atau pejabat yang ditunjuk.

(4)

Pemegang IUPHHK pada HTHR yang berbentuk koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (7) mendapat hak bagi hasil sesuai dengan besarnya investasi yang dikeluarkan untuk kegiatan rehabilitasi hutan.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai hak pemegang IUPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Menteri.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1/PUU-VII/2009

Pengujian UU No. 36 Thn 2008 ttg Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 Ttg Pajak Penghasilan [Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, & d, Pasal 9 ayat ( ...

    Relevan terhadap

    Halaman 54Tutup
    1. Pokok-Pokok Perubahan Bahwa pada prinsipnya perubahan atas UU PPh Tahun 2000 menjadi UU PPh Tahun 2008 sebagaimana diuraikan tersebut di atas, dimaksudkan untuk lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak, memberikan kemudahan, kesederhanaan administrasi perpajakan, kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi dalam rangka menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak, serta menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing di bidang- bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. Bahwa secara garis besar dapat kami sampaikan pokok-pokok perubahan UU PPh Tahun 2000 menjadi UU PPh Tahun 2000 sebagai berikut: 1. Kemudahan bagi seluruh perusahaan: a. Bagi Wajib Pajak berbentuk Badan, tarif PPh menjadi tarif tunggal. Tarif yang semula terdiri dari 3 (tiga) lapisan yaitu 10%, 15%, dan 30%, menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan menjadi 25% mulai tahun pajak 2010. b. Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka memperoleh penurunan tarif sebesar 5% dari tarif Wajib Pajak Badan yang berlaku sepanjang memenuhi syarat: – paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; – persyaratan tertentu lainnya. Dalam Undang-Undang sebelumnya tidak terdapat kemudahan sebagaimana tersebut di atas. c. Pengecualian dari objek PPh. Penambahan pengecualian objek PPh yang pada undang-undang sebelumnya belum ada adalah: 1) Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia;
    Halaman 53Tutup

    a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan; b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Di ubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991; c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan; d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Bahwa perubahan terhadap UU PPh Tahun 2000 sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi yang semakin pesat sebagai hasil pembangunan nasional dan efek globalisasi, serta reformasi di berbagai bidang, sehingga dipandang perlu untuk dilakukan perubahan UU PPh guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional. Perubahan UU PPh dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Bahwa arah dan tujuan penyempurnaan UU PPh adalah sebagai berikut: a. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak; b. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; c. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; d. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan; e. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan f. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

    Thumbnail
    INSTANSI PUSAT | PELAPORAN
    PP 8 TAHUN 2006

    Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah

    • Ditetapkan: 03 Apr 2006
    • Diundangkan: 03 Apr 2006

    Relevan terhadap

    Pasal 38Tutup

    Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4614 LAMPIRAN I.A.1 PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR: 8 TAHUN 2006 TANGGAL : 3 APRIL 2006 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 PENDAPATAN 2 PENDAPATAN PERPAJAKAN 3 Pendapatan Pajak Penghasilan xxx xxx xx xxx 4 Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah xxx xxx xx xxx 5 Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan xxx xxx xx xxx 6 Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan xxx xxx xx xxx 7 Pendapatan Cukai xxx xxx xx xxx 8 Pendapatan Bea Masuk xxx xxx xx xxx 9 Pendapatan Pajak Ekspor xxx xxx xx xxx 10 Pendapatan Pajak Lainnya xxx xxx xx xxx 11 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Perpajakan (3 s/d xxxx xxxx xx xxxx 10) ───────────────────────────────── 12 13 PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAK 14 Pendapatan Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 15 Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba xxx xxx xx xxx 16 Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya xxx xxx xx xxx 17 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Negara Bukan Pajak xxxx xxxx xx xxxx (14 s/d 16) ───────────────────────────────── 18 19 PENDAPATAN HIBAH 20 Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 21 Jumlah Pendapatan Hibah (20 s/d 20) xxx xxx xx xxx 22 JUMLAH PENDAPATAN ───────────────────────────────── (11 + 17 + 21) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 23 24 BELANJA 25 BELANJA OPERASI 26 Belanja Pegawai xxx xxx xx xxx 27 Belanja Barang xxx xxx xx xxx 28 Bunga xxx xxx xx xxx 29 Subsidi xxx xxx xx xxx 30 Hibah xxx xxx xx xxx 31 Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 32 Belanja Lain-lain xxx xxx xx xxx 33 Jumlah Belanja Operasi ───────────────────────────────── (26 s/d 32) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 34 35 BELANJA MODAL xxx xxx xx xxx 36 Belanja Tanah xxx xxx xx xxx 37 Belanja Peralatan dan Mesin xxx xxx xx xxx 38 Belanja Gedung dan Bangunan xxx xxx xx xxx 39 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx xxx xx xxx 40 Belanja Aset Tetap Lainnya xxx xxx xx xxx 41 Belanja Aset Lainnya xxx xxx xx xxx 42 Jumlah Belanja Modal (36 s/d 41) xxx xxx xx xxx 43 JUMLAH BELANJA ───────────────────────────────── (33 + 42) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 44 45 TRANSFER 46 DANA PERIMBANGAN 47 Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 48 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 49 Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 50 Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 51 Jumlah Dana Perimbangan ───────────────────────────────── (47 s/d 50) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 52 53 TRANSFER LAINNYA (disesuaikan dengan program yang ada) 54 Dana Otonomi Khusus xxx xxx xx xxx 55 Dana Penyesuaian xxx xxx xx xxx 56 Jumlah Transfer Lainnya (54 s/d 55) xxx xxx xx xxx 57 JUMLAH TRANSFER ───────────────────────────────── (51 + 56) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 58 JUMLAH BELANJA DAN ───────────────────────────────── TRANSFER (43 + 57) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 59 SURPLUS/DEFISIT ───────────────────────────────── (22 - 58) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 60 61 62 PEMBIAYAAN 63 PENERIMAAN 64 PENERIMAAN PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 65 Penggunaan SiLPA xxx xxx xx xxx 66 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Sektor Perbankan xxx xxx xx xxx 67 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Obligasi xxx xxx xx xxx 68 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Lainnya xxx xxx xx xxx 69 Penerimaan dari Divestasi xxx xxx xx xxx 70 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 71 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 72 Jumlah Penerimaan ───────────────────────────────── Pembiayaan Dalam xxxx xxxx xx xxxx Negeri (65 s/d 71) ───────────────────────────────── 73 74 PENERIMAAN PEMBIAYAAN LUAR NEGERI 75 Penerimaan Pinjaman Luar Negeri xxx xxx xx xxx 76 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Lembaga Internasional xxx xxx xx xxx 77 Jumlah Pembiayaan Luar ───────────────────────────────── Negeri (75 s/d 76) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 78 JUMLAH PENERIMAAN xxxx xxxx xx xxxx PEMBIAYAAN (72 + 77) ───────────────────────────────── 79 80 PENGELUARAN 81 PENGELUARAN PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 82 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Sektor Perbankan xxx xxx xx xxx 83 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Obligasi xxx xxx xx xxx 84 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lainnya xxx xxx xx xxx 85 Pengeluaran Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) xxx xxx xx xxx 86 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 87 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 88 Jumlah Pengeluaran ───────────────────────────────── Pembiayaan Dalam xxxx xxxx xx xxxx Negeri (82 s/d 87) ───────────────────────────────── 89 90 PENGELUARAN PEMBIAYAAN LUAR NEGERI 91 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri xxx xxx xx xxx 92 Pemberian Pinjaman kepada Lembaga Internasional xxx xxx xx xxx 93 Jumlah Pengeluaran ───────────────────────────────── Pembiayaan Luar xxxx xxxx xx xxxx Negeri (91 s/d 92) ───────────────────────────────── 94 JUMLAH PENGELUARAN xxxx xxxx xx xxxx PEMBIAYAAN (88 + 93) ───────────────────────────────── 95 PEMBIAYAAN NETO xxxx xxxx xx xxxx 96 Sisa Lebih (Kurang) - xxxx - xxxx Pembiayaan Anggaran (59 + 95) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.2 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── I. IKHTISAR MENURUT SUMBER DANA X Uraian Sumber Dana XX Uraian Fungsi XXX XXX XX XXX XX.XX Uraian Sub Fungsi XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Program XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja Sub ──────────────────────────────── Fungsi XX.XX XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja ──────────────────────────────── Fungsi XX XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja Sumber ──────────────────────────────── Dana X XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── II. IKHTISAR MENURUT ESELON I XX Uraian Eselon I XXX XXX XX XXX XX Uraian Eselon I XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── III. IKHTISAR MENURUT PUSAT-WILAYAH XXXX Pusat XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Wilayah XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Wilayah XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── IV. IKHTISAR MENURUT JENIS BELANJA-MAK XX Uraian Jenis Belanja XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Jenis Belanja XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja ──────────────────────────────── XXXX XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── XXXX Uraian Jenis Belanja XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja ──────────────────────────────── XXXX XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── Jumlah Belanja XX XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.3 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN BENDAHARA UMUM NEGARA LAPORAN REALISASI ANGGARAN BENDAHARA UMUM NEGARA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 2 I. Pendapatan Dalam Negeri 3 1. Pendapatan Perpajakan 4 a. Pajak Dalam Negeri xxx xxx xx xxx 5 b. Pajak Perdagangan Internasional xxx xxx xx xxx 6 7 2. Pendapatan Negara Bukan Pajak 8 a. Pendapatan Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 9 b. Bagian Laba BUMN xxx xxx xx xxx 10 c. PNBP Lainnya xxx xxx xx xxx 11 12 II. Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 13 14 B. BELANJA NEGARA 15 I. Belanja Pemerintah Pusat 16 1. Pembayaran Bunga Utang 17 a. Utang Dalam Negeri xxx xxx xx xxx 18 b. Utang Luar Negeri xxx xxx xx xxx 19 2. Subsidi 20 a. Subsidi BBM xxx xxx xx xxx 21 b. Subsidi Non- BBM xxx xxx xx xxx 22 c. Subsidi dalam rangka PSO xxx xxx xx xxx 23 3. Hibah xxx xxx xx xxx 24 4. Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 25 5. Belanja lain-lain xxx xxx xx xxx 26 27 II. Belanja Untuk Daerah 28 1. Dana Perimbangan 29 a. Dana Bagi Hasil xxx xxx xx xxx 30 b. Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 31 c. Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 32 33 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian xxx xxx xx xxx 34 35 C. Keseimbangan Primer xxx xxx xx xxx 36 D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) xxx xxx xx xxx 37 E. Pembiayaan (E.I + E.II) 38 I. Pembiayaan Dalam Negeri - - - - 39 1. Perbankan Dalam Negeri xxx xxx xx xxx 40 2. Non-Perbankan dalam Negeri xxx xxx xx xxx 41 42 II. Pembiayaan Luar Negeri (neto) 43 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (bruto) xxx xxx xx xxx 44 2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri xxx xxx xx xxx ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.4 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PROVINSI LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PROVINSI UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 dan 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 PENDAPATAN 2 PENDAPATAN ASLI DAERAH 3 Pendapatan Pajak Daerah xxx xxx xx xxx 4 Pendapatan Retribusi Daerah xxx xxx xx xxx 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan xxx xxx xx xxx 6 Lain-lain PAD yang sah xxx xxx xx xxx 7 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Asli Daerah (3 s/d 6) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 8 9 PENDAPATAN TRANSFER 10 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - DANA PERIMBANGAN 11 Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 12 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 13 Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 14 Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 15 Jumlah Pendapatan Transfer Dana ───────────────────────────────── Perimbangan xxxx xxxx xx xxxx (11 s/d 14) ───────────────────────────────── 16 17 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - LAINNYA 18 Dana Otonomi Khusus xxx xxx xx xxx 19 Dana Penyesuaian xxx xxx xx xxx 20 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Transfer Lainnya xxxx xxxx xx xxxx (18 s/d 19) ───────────────────────────────── 21 Total Pendapatan xxxx xxxx xx xxxx Transfer (15 + 20) ───────────────────────────────── 22 23 LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH 24 Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 25 Pendapatan Dana Darurat xxx xxx xx xxx 26 Pendapatan Lainnya xxx xxx xx xxx 27 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Lain-lain yang Sah xxx xxx xx xxx (24 s/d 26) ───────────────────────────────── 28 JUMLAH PENDAPATAN xxxx xxxx xx xxxx (7 + 21 + 27) ───────────────────────────────── 29 BELANJA 30 BELANJA OPERASI 31 Belanja Pegawai xxx xxx xx xxx 32 Belanja Barang xxx xxx xx xxx 33 Bunga xxx xxx xx xxx 34 Subsidi xxx xxx xx xxx 35 Hibah xxx xxx xx xxx 36 Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 37 Jumlah Belanja ───────────────────────────────── Operasi (31 s/d 36) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 38 39 BELANJA MODAL 40 Belanja Tanah xxx xxx xx xxx 41 Belanja Peralatan dan Mesin xxx xxx xx xxx 42 Belanja Gedung dan Bangunan xxx xxx xx xxx 43 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx xxx xx xxx 44 Belanja Aset Tetap Lainnya xxx xxx xx xxx 45 Belanja Aset Lainnya xxx xxx xx xxx 46 Jumlah Belanja Modal ───────────────────────────────── (40 s/d 45) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 47 48 BELANJA TAK TERDUGA 49 Belanja Tak Terduga xxx xxx xx xxx 50 Jumlah Belanja Tak ───────────────────────────────── Terduga (49 s/d 49) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 51 Jumlah Belanja xxxx xxxx xx xxxx (37 + 46 + 50) ───────────────────────────────── 52 53 TRANSFER 54 TRANSFER/BAGI HASIL PENDAPATAN KE KABUPATEN/KOTA 55 Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota xxx xxx xx xxx 56 Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota xxx xxx xx xxx 57 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota xxx xxx xx xxx 58 Jumlah Transfer ───────────────────────────────── Bagi Hasil xxxx xxxx xx xxxx Pendapatan ke Kab./Kota (55 s/d 57) ───────────────────────────────── 59 JUMLAH BELANJA xxxx xxxx xx xxxx DAN TRANSFER (51 + 58) ───────────────────────────────── ───────────────────────────────── 60 SURPLUS/DEFISIT xxx xxx xx xxx (28 - 59) ───────────────────────────────── 61 62 PEMBIAYAAN 63 64 PENERIMAAN PEMBIAYAAN 65 Penggunaan SiLPA xxx xxx xx xxx 66 Pencairan Dana Cadangan xxx xxx xx xxx 67 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan xxx xxx xx xxx 68 Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Pusat xxx xxx xx xxx 69 Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 70 Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bank xxx xxx xx xxx 71 Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx xx xxx 72 Pinjaman Dalam Negeri- Obligasi xxx xxx xx xxx 73 Pinjaman Dalam Negeri- Lainnya xxx xxx xx xxx 74 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 75 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 76 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 77 Jumlah Penerimaan ───────────────────────────────── (66 s/d 77) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 78 79 PENGELUARAN PEMBIAYAAN 80 Pembentukan Dana Cadangan xxx xxx xx xxx 87 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah xxx xxx xx xxx 81 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Pusat xxx xxx xx xxx 82 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 83 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bank xxx xxx xx xxx 84 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx xx xxx 85 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Obligasi xxx xxx xx xxx 86 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lainnya xxx xxx xx xxx 88 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 89 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 90 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 91 Jumlah Pengeluaran ───────────────────────────────── (81 s/d 91) xxx xxx xx xxx ───────────────────────────────── 92 PEMBIAYAAN NETO xxxx xxxx xx xxxx 93 94 ───────────────────────────────── 95 Sisa Lebih Pembiayaan xxxx xxxx xx xxxx Anggaran (61-93) ───── ──────────────────────────── ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.5 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 dan 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 PENDAPATAN 2 PENDAPATAN ASLI DAERAH 3 Pendapatan Pajak Daerah xxx xxx xx xxx 4 Pendapatan Retribusi Daerah xxx xxx xx xxx 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan xxx xxx xx xxx 6 Lain-lain PAD yang sah xxx xxx xx xxx 7 Jumlah Pendapatan Asli ───── ──────────────────────────── Daerah (3 s/d 6) xxxx xxxx xx xxxx 8 ───── ──────────────────────────── 9 PENDAPATAN TRANSFER 10 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - DANA PERIMBANGAN 11 Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 12 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 13 Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 14 Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 15 Jumlah Pendapatan ───── ──────────────────────────── Transfer Dana xxxx xxxx xx xxxx Perimbangan (11 s/d 14) ───── ──────────────────────────── 16 17 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - LAINNYA 18 Dana Otonomi Khusus xxx xxx xx xxx 19 Dana Penyesuaian xxx xxx xx xxx 20 Jumlah Pendapatan ───── ──────────────────────────── Transfer Pemerintah xxxx xxxx xx xxxx Pusat - Lainnya (18 s/d 19) ───── ──────────────────────────── 21 22 TRANSFER PEMERINTAH PROVINSI 23 Pendapatan Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 24 Pendapatan Bagi Hasil Lainnya xxx xxx xx xxx 25 Jumlah Transfer ───── ──────────────────────────── Pemerintah Provinsi xxxx xxxx xx xxxx (23 s/d 24) ───── ──────────────────────────── 26 Total Pendapatan xxxx xxxx xx xxxx Transfer (15 + 20 + 25) ───── ──────────────────────────── 27 28 LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH 29 Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 30 Pendapatan Dana Darurat xxx xxx xx xxx 31 Pendapatan Lainnya xxx xxx xx xxx 32 Jumlah Lain-lain ───── ──────────────────────────── Pendapatan yang Sah xxx xxx xx xxx (29 s/d 31) ───── ──────────────────────────── 33 JUMLAH PENDAPATAN xxxx xxxx xx xxxx (7 + 26 + 32) ───── ──────────────────────────── 34 35 BELANJA 36 BELANJA OPERASI 37 Belanja Pegawai xxx xxx xx xxx 38 Belanja Barang xxx xxx xx xxx 39 Bunga xxx xxx xx xxx 40 Subsidi xxx xxx xx xxx 41 Hibah xxx xxx xx xxx 42 Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 43 Jumlah Belanja Operasi ───── ──────────────────────────── (37 s/d 42) xxxx xxxx xx xxxx ───── ──────────────────────────── 44 45 BELANJA MODAL 46 Belanja Tanah xxx xxx xx xxx 47 Belanja Peralatan dan Mesin xxx xxx xx xxx 48 Belanja Gedung dan Bangunan xxx xxx xx xxx 49 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx xxx xx xxx 50 Belanja Aset Tetap Lainnya xxx xxx xx xxx ──────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-B.4 ILUSTRASI FORMAT NERACA PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA NERACA PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 ASET 2 3 ASET LANCAR 4 Kas di Kas Daerah xxx xxx 5 Kas di Bendahara Pengeluaran xxx xxx 6 Kas di Bendahara Penerimaan xxx xxx 7 Investasi Jangka Pendek xxx xxx 8 Piutang Pajak xxx xxx 9 Piutang Retribusi xxx xxx 10 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx 11 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx 12 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Pusat xxx xxx 13 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 14 Bagian Lancar Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 15 Bagian lancar Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 16 Piutang Lainnya xxx xxx 17 Persediaan xxx xxx 18 Jumlah Aset Lancar ──────────────────────────── (4 s/d 17) xxx xxx 19 ──────────────────────────── 20 INVESTASI JANGKA PANJANG 21 Investasi Nonpermanen 22 Pinjaman Kepada Perusahaan Negara xxx xxx 23 Pinjaman Kepada Perusahaan Daerah xxx xxx 24 Pinjaman Kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 25 Investasi dalam Surat Utang Negara xxx xxx 26 Investasi dalam Proyek Pembangunan xxx xxx 27 Investasi Nonpermanen Lainnya xxx xxx 28 Jumlah Investasi Nonpermanen (22 s/d 27) xxx xxx 29 Investasi Permanen 30 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah xxx xxx 31 Investasi Permanen Lainnya xxx xxx 32 Jumlah Investasi Permanen ──────────────────────────── (30 s/d 31) xxx xxx ──────────────────────────── 33 Jumlah Investasi Jangka xxx xxx Panjang (28 + 32) ──────────────────────────── 34 35 ASET TETAP 36 Tanah xxx xxx 37 Peralatan dan Mesin xxx xxx 38 Gedung dan Bangunan xxx xxx 39 Jalan, Irigasi, dan Jaringan xxx xxx 40 Aset Tetap Lainnya xxx xxx 41 Konstruksi dalam Pengerjaan xxx xxx 42 Akumulasi Penyusutan (xxx) (xxx) 43 Jumlah Aset Tetap ──────────────────────────── (36 s/d 42) xxx xxx 44 ──────────────────────────── 45 DANA CADANGAN 46 Dana Cadangan xxx xxx ──────────────────────────── 47 Jumlah Dana Cadangan (46) xxx xxx 48 ──────────────────────────── 49 ASET LAINNYA 50 Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 51 Tuntutan Perbendaharaan xxx xxx 52 Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 53 Kemitraan dengan Fihak Ketiga xxx xxx 54 Aset Tak Berwujud xxx xxx 55 Aset Lain-Lain xxx xxx 56 Jumlah Aset Lainnya ──────────────────────────── (50 s/d 55) xxx xxx 57 ──────────────────────────── 58 JUMLAH ASET xxxx xxxx (18+33+43+47+56) ──────────────────────────── 59 60 KEWAJIBAN 61 62 KEWAJIBAN JANGKA PENDEK 63 Utang Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) xxx xxx 64 Utang Bunga xxx xxx 65 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Pemerintah Pusat xxx xxx 66 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 67 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank xxx xxx 68 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx 69 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Obligasi xxx xxx 70 Bagian Lancar Utang Jangka Panjang Lainnya xxx xxx 71 Utang Jangka Pendek Lainnya xxx xxx 72 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Pendek (63 s/d 71) xxx xxx 73 ──────────────────────────── 74 KEWAJIBAN JANGKA PANJANG 75 Utang Dalam Negeri - Pemerintah Pusat xxx xxx 76 Utang Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 77 Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank xxx xxx 78 Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx 79 Utang Dalam Negeri - Obligasi xxx xxx 80 Utang Jangka Panjang Lainnya xxx xxx 81 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Panjang (78 s/d 80) xxx xxx ──────────────────────────── 82 JUMLAH KEWAJIBAN xxx xxx (72+81) ──────────────────────────── 83 84 EKUITAS DANA 85 86 EKUITAS DANA LANCAR 87 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) xxx xxx 88 Pendapatan yang Ditangguhkan xxx xxx 89 Cadangan Piutang xxx xxx 90 Cadangan Persediaan xxx xxx 91 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Pendek (xxx) (xxx) 92 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Lancar (85 s/d 92) xxx xxx 93 ──────────────────────────── 94 EKUITAS DANA INVESTASI 95 Diinvestasikan dalam Investasi Jangka Panjang xxx xxx 96 Diinvestasikan dalam Aset Tetap xxx xxx 97 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya xxx xxx 98 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Panjang (xxx) (xxx) 99 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Investasi (96 s/d 99) xxx xxx 100 ──────────────────────────── 101 EKUITAS DANA CADANGAN 102 Diinvestasikan dalam Dana Cadangan xxx xxx 103 Jumlah Ekuitas Dana Cadangan (103) xxx xxx 104 JUMLAH EKUITAS DANA ──────────────────────────── (93+100+104) xxx xxx 105 ──────────────────────────── 106 107 JUMLAH KEWAJIBAN DAN xxxx xxxx EKUITAS DANA (82+105) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-B.5 ILUSTRASI FORMAT NERACA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH NERACA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 ASET 2 3 ASET LANCAR xxx xxx 4 Kas di Bendahara Pengeluaran xxx xxx 5 Kas di Bendahara Penerimaan xxx xxx 6 Piutang xxx xxx 7 Bagian Lancar Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 8 Bagian Lancar Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 9 Persediaan xxx xxx ──────────────────────────── 10 Jumlah Aset Lancar (4 s/d 9) xxx xxx 11 ──────────────────────────── 12 ASET TETAP 13 Tanah xxx xxx 14 Peralatan dan Mesin xxx xxx 15 Gedung dan Bangunan xxx xxx 16 Jalan, Irigasi, dan Jaringan xxx xxx 17 Aset Tetap Lainnya xxx xxx 18 Konstruksi Dalam Pengerjaan xxx xxx ──────────────────────────── 19 Jumlah Aset Tetap (13 s/d 18) xxx xxx 20 ──────────────────────────── 21 ASET LAINNYA 22 Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 23 Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 24 Kemitraan dengan Pihak Ketiga xxx xxx 25 Aset Tak Berwujud xxx xxx 26 Aset Lain-Lain xxx xxx 27 Jumlah Aset Lainnya ──────────────────────────── (22 s/d 26) xxx xxx 28 ──────────────────────────── ──────────────────────────── 29 JUMLAH ASET (10+19+27) xxxx xxxx ──────────────────────────── 30 ──────────────────────────── 31 KEWAJIBAN 32 xxx xxx 33 KEWAJIBAN JANGKA PENDEK xxx xxx 34 Uang Muka dari Berndahara Umum Daerah xxx xxx 35 Pendapatan yang Ditangguhkan xxx xxx 36 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Pendek (34 s/d 35) xxx xxx ──────────────────────────── 37 JUMLAH KEWAJIBAN (36) xxx xxx ──────────────────────────── 38 39 EKUITAS DANA 40 41 EKUITAS DANA LANCAR xxx xxx 42 Cadangan Piutang xxx xxx 43 Cadangan Persediaan xxx xxx 44 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Lancar (42 s/d 43) xxx xxx ──────────────────────────── 45 46 EKUITAS DANA INVESTASI xxx xxx 47 Diinvestasikan dalam Aset Tetap xxx xxx 48 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya xxx xxx 49 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Investasi (47 s/d 48) xxx xxx ──────────────────────────── 50 JUMLAH EKUITAS DANA xxx xxx (44+49) ──────────────────────────── 51 ──────────────────────────── 52 JUMLAH KEWAJIBAN DAN xxxx xxxx EKUITAS DANA (37 + 50) ──────────────────────────── 53 ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-B.6 ILUSTRASI FORMAT NERACA BENDAHARA UMUM DAERAH NERACA BENDAHARA UMUM DAERAH PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 ASET 2 3 ASET LANCAR 4 Kas di Kas Daerah xxx xxx 5 Kas di Bendahara Pengeluaran xxx xxx 6 Kas di Bendahara Penerimaan xxx xxx 7 Piutang Pajak xxx xxx 8 Piutang Retribusi xxx xxx 9 Investasi Jangka Pendek xxx xxx 10 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx 11 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx 12 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Pusat xxx xxx 13 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 14 Bagian Lancar Tuntutan Perbendaharaan xxx xxx 15 Jumlah Aset Lancar ──────────────────────────── (4 s/d 14) xxx xxx ──────────────────────────── 16 17 INVESTASI JANGKA PANJANG 18 Investasi Nonpermanen 19 Pinjaman Kepada Perusahaan Negara 20 Pinjaman Kepada Perusahaan Daerah 21 Pinjaman Kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 22 Investasi dalam Surat Utang Negara xxx xxx 23 Investasi dalam Proyek Pembangunan xxx xxx 24 Investasi Nonpermanen Lainnya xxx xxx 25 Jumlah Investasi Nonpermanen (19 s/d 24) xxx xxx 26 Investasi Permanen 27 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah xxx xxx 28 Investasi Permanen Lainnya xxx xxx 29 Jumlah Investasi Permanen ──────────────────────────── (27 s/d 28) xxx xxx ──────────────────────────── 30 Jumlah Investasi Jangka xxx xxx Panjang (25 + 29) ──────────────────────────── 31 32 DANA CADANGAN 33 Dana Cadangan xxx xxx 34 Jumlah Dana Cadangan ──────────────────────────── (33) xxx xxx 35 ──────────────────────────── 36 ASET LAINNYA 37 Tuntutan Perbendaharaan xxx xxx 38 Aset Lain-lain xxx xxx 39 Jumlah Aset Lainnya ──────────────────────────── (37 s/d 38) xxx xxx 40 ──────────────────────────── 41 JUMLAH ASET (15+30+34+39) xxxx xxxx 42 ──────────────────────────── 43 KEWAJIBAN 44 45 KEWAJIBAN JANGKA PENDEK 46 Utang Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) xxx xxx 47 Utang Bunga xxx xxx 48 Bagian Lancar Utang Jangka Panjang xxx xxx 49 Utang Jangka Pendek Lainnya xxx xxx 50 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Pendek (46 s/d 49) xxx xxx 51 ──────────────────────────── 52 KEWAJIBAN JANGKA PANJANG 53 Utang Dalam Negeri - Sektor Perbankan xxx xxx 54 Utang Dalam Negeri - Obligasi xxx xxx 55 Utang Jangka Panjang Lainnya xxx xxx 56 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Panjang (53 s/d 55) xxx xxx 57 ──────────────────────────── 58 JUMLAH KEWAJIBAN (50+56) xxx xxx 59 ──────────────────────────── 60 EKUITAS DANA 61 62 EKUITAS DANA LANCAR xxx xxx 63 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) xxx xxx 64 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Pendek xxx xxx 65 Jumlah Ekuitas Dana Lancar ──────────────────────────── (63 s/d 64) xxx xxx 66 ──────────────────────────── 67 EKUITAS DANA INVESTASI 68 Diinvestasikan dalam Investasi Jangka Panjang xxx xxx 69 Diinvestasikan dalam Aset Tetap xxx xxx 70 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya xxx xxx 71 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Panjang xxx xxx 72 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Investasi (68 s/d 71) xxx xxx 73 ──────────────────────────── 74 EKUITAS DANA CADANGAN 75 Diinvestasikan dalam Dana Cadangan xxx xxx 76 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Cadangan (75) xxx xxx 77 ──────────────────────────── 78 JUMLAH EKUITAS DANA xxx xxx (65+72+76) ──────────────────────────── 79 80 JUMLAH KEWAJIBAN DAN xxxx xxxx EKUITAS DANA (58+78) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.1 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Penghasilan XXX XXX 4 Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah XXX XXX 5 Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan XXX XXX 6 Pendapatan Pajak Lainnya XXX XXX 7 Pendapatan Bea Masuk XXX XXX 8 Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan XXX XXX 9 Pendapatan Cukai XXX XXX 10 Pendapatan Pajak Ekspor XXX XXX 11 Pendapatan Sumber Daya Alam XXX XXX 12 Pendapatan Pendidikan XXX XXX 13 Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba XXX XXX 14 Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Bantuan Sosial XXX XXX 23 Hibah XXX XXX 24 Belanja Lain-lain XXX XXX 25 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 26 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 27 Dana Alokasi Umum XXX XXX 28 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 29 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 30 Dana Penyesuaian 31 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 30) XXX XXX ──────────────────────────── 32 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 31) XXX XXX 33 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 34 Arus Masuk Kas 35 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 38 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 39 Pendapatan Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 40 Pendapatan Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 41 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (35 s/d 40) XXX XXX ──────────────────────────── 42 Arus Keluar Kas 43 Belanja Tanah XXX XXX 44 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 45 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 46 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 47 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 48 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 49 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (43 s/d 48) XXX XXX ──────────────────────────── 50 Arus Kas Bersih dari Akt Investasi Aset Nonkeu (41 - 49) XXX XXX 51 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 52 Arus Masuk Kas 53 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 54 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 55 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 56 Penerimaan dari Divestasi XXX XXX 57 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 59 Penerimaan Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (53 s/d 60) XXX XXX ──────────────────────────── 62 Arus Keluar Kas 63 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 64 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 66 Pengeluaran Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) XXX XXX 67 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 68 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 70 Pemberian Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 71 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (63 s/d 70) XXX XXX ──────────────────────────── 72 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 71) XXX XXX 73 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 74 Arus Masuk Kas 75 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 76 Kiriman Uang Masuk XXX XXX 77 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (75 s/d 76) XXX XXX ──────────────────────────── 78 Arus Keluar Kas 79 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 80 Kiriman Uang Keluar XXX XXX 81 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (79 s/d 80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Non anggaran (77 - 81) XXX XXX 83 Kenaikan/Penurunan Kas (32+50+72+82) XXX XXX 84 Saldo Awal Kas di BUN XXX XXX 85 Saldo Akhir Kas di BUN (83+84) XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas (85+86+87) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.2 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Penghasilan XXX XXX 4 Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah XXX XXX 5 Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan XXX XXX 6 Pendapatan Pajak Lainnya XXX XXX 7 Pendapatan Bea Masuk XXX XXX 8 Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan XXX XXX 9 Pendapatan Cukai XXX XXX 10 Pendapatan Pajak Ekspor XXX XXX 11 Pendapatan Sumber Daya Alam XXX XXX 12 Pendapatan Pendidikan XXX XXX 13 Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba XXX XXX 14 Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Bantuan Sosial XXX XXX 23 Hibah XXX XXX 24 Belanja Lain-lain XXX XXX 25 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 26 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 27 Dana Alokasi Umum XXX XXX 28 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 29 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 30 Dana Penyesuaian 31 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 30) XXX XXX ──────────────────────────── 32 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 31) XXX XXX 33 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 34 Arus Masuk Kas 35 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 38 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 39 Pendapatan Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 40 Pendapatan Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 41 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (35 s/d 40) XXX XXX ──────────────────────────── 42 Arus Keluar Kas 43 Belanja Tanah XXX XXX 44 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 45 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 46 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 47 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 48 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 49 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (43 s/d 48) XXX XXX ──────────────────────────── 50 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (41 - 49) XXX XXX 51 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 52 Arus Masuk Kas 53 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 54 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 55 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 56 Penerimaan dari Divestasi XXX XXX 57 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 59 Penerimaan Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas (53 s/d 60) XXX XXX 62 Arus Keluar Kas 63 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 64 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 66 Pengeluaran Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) XXX XXX 67 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 68 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 70 Pemberian Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 71 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (63 s/d 70) XXX XXX ──────────────────────────── 72 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 71) XXX XXX 73 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 74 Arus Masuk Kas 75 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 76 Kiriman Uang Masuk XXX XXX 77 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (75 s/d 76) XXX XXX ──────────────────────────── 78 Arus Keluar Kas 79 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 80 Kiriman Uang Keluar XXX XXX 81 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (79 s/d 80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (77 - 81) XXX XXX 83 Kenaikan/Penurunan Kas (32+50+72+82) XXX XXX 84 Saldo Awal Kas di BUN XXX XXX 85 Saldo Akhir Kas di BUN (83+84) XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas (85+86+87) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.3 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM NEGARA LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM NEGARA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Hibah XXX XXX 14 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 15 Pendapatan Lainnya XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Hibah XXX XXX 23 Bantuan Sosial XXX XXX 24 Belanja Tak Terduga XXX XXX 25 Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota XXX XXX 26 Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota XXX XXX 27 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota XXX XXX 28 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 27) XXX XXX ──────────────────────────── 29 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 28) XXX XXX 30 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 31 Arus Masuk Kas 32 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 33 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 34 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 36 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 37 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 38 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (32 s/d 37) XXX XXX ──────────────────────────── 39 Arus Keluar Kas 40 Belanja Tanah XXX XXX 41 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 42 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 43 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 44 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 45 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 46 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (40 s/d 45) XXX XXX ──────────────────────────── 47 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (38 - 46) XXX XXX di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 48 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 49 Arus Masuk Kas 50 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 51 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 52 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 53 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 59 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (50 s/d 60) XXX XXX ──────────────────────────── 62 Arus Keluar Kas 63 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 64 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 66 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 71 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 72 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 74 Jumlah Arus Keluar Kas (63 s/d 73) XXX XXX 75 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 74) XXX XXX 76 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 77 Arus Masuk Kas 78 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 79 Jumlah Arus Masuk Kas (78) XXX XXX 80 Arus Keluar Kas 81 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Jumlah Arus Keluar Kas (81) XXX XXX ──────────────────────────── 83 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (79 - 82) XXX XXX 84 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 85 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas di BUD (84+85) XXX XXX 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas (86+87+88) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.4 LAPORAN ARUS KAS ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Bagi Hasil Pajak XXX XXX 14 Pendapatan Bagi Hasil Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 17 Pendapatan Lainnya XXX XXX 18 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 17) XXX XXX ──────────────────────────── 19 Arus Keluar Kas 20 Belanja Pegawai XXX XXX 21 Belanja Barang XXX XXX 22 Bunga XXX XXX 23 Subsidi XXX XXX 24 Hibah XXX XXX 25 Bantuan Sosial XXX XXX 26 Belanja Tak Terduga XXX XXX 27 Bagi Hasil Pajak XXX XXX 28 Bagi Hasil Retribusi XXX XXX 29 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya XXX XXX 30 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (20 s/d 29) XXX XXX ──────────────────────────── 31 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (18 - 30) XXX XXX 32 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 33 Arus Masuk Kas 34 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 38 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap XXX XXX 39 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 40 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (34 s/d 39) XXX XXX ──────────────────────────── 41 Arus Keluar Kas 42 Belanja Tanah XXX XXX 43 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 44 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 45 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 46 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 47 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 48 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (42 s/d 47) XXX XXX ──────────────────────────── 49 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (40 -48) XXX XXX 50 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 51 Arus Masuk Kas 52 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 53 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 58 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 59 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 61 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 62 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 63 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (52 s/d 62) XXX XXX ──────────────────────────── 64 Arus Keluar Kas 65 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 66 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 71 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 72 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 74 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 75 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 76 Jumlah Arus Keluar Kas (65 s/d 75) XXX XXX 77 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (63 - 76) XXX XXX 78 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 79 Arus Masuk Kas 80 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 81 Jumlah Arus Masuk Kas (80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Keluar Kas 83 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 84 Jumlah Arus Keluar Kas (83) XXX XXX ──────────────────────────── 85 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Non anggaran (81 - 84) XXX XXX 86 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 87 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di BUD (86+87) XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 90 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 91 Saldo Akhir Kas (88+89+90) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.5 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH PROVINSI LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH PROVINSI Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Hibah XXX XXX 14 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 15 Pendapatan Lainnya XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Hibah XXX XXX 23 Bantuan Sosial XXX XXX 24 Belanja Tak Terduga XXX XXX 25 Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota XXX XXX 26 Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota XXX XXX 27 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota XXX XXX 28 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 27) XXX XXX ──────────────────────────── 29 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 28) XXX XXX 30 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 31 Arus Masuk Kas 32 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 33 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 34 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 36 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 37 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 38 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (32 s/d 37) XXX XXX ──────────────────────────── 39 Arus Keluar Kas 40 Belanja Tanah XXX XXX 41 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 42 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 43 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 44 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 45 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 46 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (40 s/d 45) XXX XXX ──────────────────────────── 47 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (38 - 46) XXX XXX 48 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 49 Arus Masuk Kas 50 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 51 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 52 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 53 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 59 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (50 s/d 60) XXX XXX ──────────────────────────── 62 Arus Keluar Kas 63 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 64 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 66 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 71 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 72 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 74 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (63 s/d 73) XXX XXX ──────────────────────────── 75 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 74) XXX XXX 76 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 77 Arus Masuk Kas 78 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 79 Jumlah Arus Masuk Kas (78) XXX XXX ──────────────────────────── 80 Arus Keluar Kas 81 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Jumlah Arus Keluar Kas (81) XXX XXX ──────────────────────────── 83 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (79 - 82) XXX XXX 84 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 85 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas di BUD (84+85) XXX XXX 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas (86+87+88) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.6 LAPORAN ARUS KAS ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Bagi Hasil Pajak XXX XXX 14 Pendapatan Bagi Hasil Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 17 Pendapatan Lainnya XXX XXX 18 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 17) XXX XXX ──────────────────────────── 19 Arus Keluar Kas 20 Belanja Pegawai XXX XXX 21 Belanja Barang XXX XXX 22 Bunga XXX XXX 23 Subsidi XXX XXX 24 Hibah XXX XXX 25 Bantuan Sosial XXX XXX 26 Belanja Tak Terduga XXX XXX 27 Bagi Hasil Pajak XXX XXX 28 Bagi Hasil Retribusi XXX XXX 29 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya XXX XXX 30 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (20 s/d 29) XXX XXX ──────────────────────────── 31 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (18 - 30) XXX XXX 32 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 33 Arus Masuk Kas 34 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 38 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap XXX XXX 39 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 40 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (34 s/d 39) XXX XXX ──────────────────────────── 41 Arus Keluar Kas 42 Belanja Tanah XXX XXX 43 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 44 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 45 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 46 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 47 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 48 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (42 s/d 47) XXX XXX ──────────────────────────── 49 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (40 -48) XXX XXX 50 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 51 Arus Masuk Kas 52 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 53 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 58 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 59 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 61 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 62 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 63 Jumlah Arus Masuk Kas (52 s/d 62) XXX XXX 64 Arus Keluar Kas 65 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 66 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 71 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 72 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 74 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 75 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 76 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (65 s/d 75) XXX XXX ──────────────────────────── 77 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (63 - 76) XXX XXX 78 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 79 Arus Masuk Kas 80 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 81 Jumlah Arus Masuk Kas (80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Keluar Kas 83 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 84 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (83) XXX XXX ──────────────────────────── 85 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (81 - 84) XXX XXX 86 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 87 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di BUD (86+87) XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 90 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-D PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN Catatan atas Laporan Keuangan bertujuan untuk menginformasikan pengungkapan yang diperlukan atas laporan keuangan. Sistematika penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan adalah sebagai berikut: I. Kebijakan fiskal/keuangan, ekonomi makro, pencapaian target Undang-Undang APBN/Perda APBD. Kebijakan fiskal yang perlu diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah kebijakan-kebijakan pemerintah dalam peningkatan pendapatan, efisiensi belanja dan penentuan sumber atau penggunaan pembiayaan. Misalnya penjabaran rencana strategis dalam kebijakan penyusunan APBN/APBD, sasaran, program dan prioritas anggaran, kebijakan intensifikasi/ekstensifikasi perpajakan, pengembangan pasar surat utang negara. Kondisi ekonomi makro yang pelu diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah asumsi-asumsi indikator ekonomi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN/APBD berikut tingkat capaiannya. Indikator ekonomi makro tersebut antara lain Produk Domestik Bruto/Produk Domestik Regional Bruto, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar, harga minyak, tingkat suku bunga dan neraca pembayaran. II. Ikhtisar pencapaian kinerja keuangan. Ikhtisar pembahasan kinerja keuangan dalam Catatan atas Laporan Keuangan harus:

    a.

    Menguraikan strategi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan.

    b.

    Memberikan gambaran yang jelas atas realisasi dan rencana kinerja keuangan dalam satu entitas pelaporan.

    c.

    Menguraikan prosedur yang telah disusun dan dijalankan oleh manajemen untuk dapat memberikan keyakinan yang beralasan bahwa informasi kinerja keuangan yang dilaporkan adalah relevan dan andal. III. Kebijakan Akuntansi Kebijakan akuntansi memuat:

    a.

    Entitas pelaporan.

    b.

    Entitas akuntansi yang mendasari penyusunan laporan keuangan.

    c.

    Basis pengukuran yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan.

    d.

    Kesesuaian kebijakan-kebijakan akuntansi yang diterapkan dengan ketentuan-ketentuan eryataan Standar Akuntansi Pemerintahan oleh suatu entitas pelaporan.

    e.

    Setiap kebijakan akuntansi tertentu yang diperlukan untuk memahami laporan keuangan. IV. Penjelasan atas perkiraan Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas A. Laporan Realisasi Anggaran 1. Pendapatan - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran pendapatan. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara pendapatan periode ini dengan pendapatan periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis pendapatan.

    2.

    Belanja - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran belanja. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara belanja periode ini dengan belanja periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis belanja.

    3.

    Transfer - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran transfer. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara transfer periode ini dengan transfer periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis transfer.

    4.

    Pembiayaan - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran pembiayaan. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara pembiayaan periode ini dengan pembiayaan periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis pembiayaan. B. Neraca Pengungkapan perkiraan-perkiraan neraca:

    1.

    Aset Lancar Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos aset lancar, seperti Kas di Bendahara Pengeluaran, Kas di Bendahara Penerimaan, dan Piutang.

    2.

    Investasi Jangka Panjang Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos investasi jangka panjang, seperti Penyertaan Modal Pemerintah, Investasi dalam Obligasi, dan Pinjaman kepada Perusahaan Daerah.

    3.

    Aset Tetap Untuk seluruh perkiraan yang ada dalam kelompok aset tetap, diungkapkan dasar pembukuannya. Diungkapkan pula (apabila ada) perbedaan pencatatan perolehan aset tetap yang terjadi antara unit keuangan dengan unit yang mengelola/ mencatat aset tetap. Daftar aset tetap juga disertakan sebagai lampiran laporan keuangan.

    4.

    Aset Lainnya Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos aset lainnya, seperti Tagihan Penjualan Angsuran, Tuntutan Ganti Rugi, dan Kemitraan dengan Fihak Ketiga.

    5.

    Kewajiban Jangka Pendek Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Kewajiban Jangka Pendek, seperti Uang Muka dari Kas Umum Negara (KUN), Pendapatan yang Ditangguhkan, Bagian Lancar Utang Jangka Panjang, dan Utang Bunga.

    6.

    Kewajiban Jangka Panjang Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Kewajiban Jangka Panjang, seperti Utang Dalam Negeri Obligasi, Utang Dalam Negeri Sektor Perbankan, dan Utang Luar Negeri.

    7.

    Ekuitas Dana Lancar Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Ekuitas Dana Lancar, seperti Cadangan Piutang dan Cadangan Persediaan.

    8.

    Ekuitas Dana Investasi Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Ekuitas Dana Investasi, seperti Diinvestasikan dalam Investasi Jangka Panjang dan Diinvestasikan dalam Aset Tetap. C. Laporan Arus Kas 1. Arus Kas dari Aktivitas Operasi Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas operasi, seperti Pendapatan Pajak dan Belanja Pegawai.

    2.

    Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas investasi aset nonkeuangan, seperti Pendapatan Penjualan Aset dan Belanja Aset.

    3.

    Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas pembiayaan, seperti Penerimaan Pinjaman dan Pembayaran Pokok Pinjaman.

    4.

    Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas non anggaran, seperti Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga dan Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga. V. Pengungkapan-pengungkapan lainnya Berisi hal-hal yang mempengaruhi laporan keuangan, antara lain:

    a.

    Penggantian manajemen pemerintahan selama tahun berjalan.

    b.

    Kesalahan manajemen terdahulu yang telah dikoreksi oleh manajemen baru c. Kontijensi, yaitu suatu kondisi atau situasi yang belum memiliki kepastian pada tanggal neraca. Misalnya, jika ada tuntutan hukum yang substansial dan hasil akhirnya bisa diperkirakan. Kontijensi ini harus diungkapkan dalam catatan atas neraca.

    d.

    Komitmen, yaitu bentuk perjanjian dengan pihak ketiga yang harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.

    e.

    Penggabungan atau pemekaran entitas tahun berjalan.

    f.

    Kejadian yang mempunyai dampak sosial, misalnya adanya pemogokan yang harus ditanggulangi pemerintah g. Kejadian penting setelah tanggal neraca (subsequent event) yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkiraan yang disajikan dalam neraca. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN LIHAT FISIK (8 Halaman) LAMPIRAN II-A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 PERTUNJUK PENGISIAN FORMULIR LAMPIRAN III Formulir 1.1 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Kementerian Diisi dengan nama dan kode Negara/Lembaga kementerian negara/lembaga; - Unit Organisasi Diisi dengan nama dan kode unit organisasi; - Satuan Kerja Diisi dengan nama dan kode satuan kerja; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; - Program Diisi dengan nama dan kode program; - Hasil Program Diisi dengan hasil program, yaitu uraian tentang hasil (outcome) yang menjadi sasaran program; - Lokasi Diisi dengan nama dan kode lokasi (termasuk kode provinsi dan kabupaten/kota). ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan kode kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara b. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Frekuensi Pembinaan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing kegiatan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari masing- masing kegiatan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh Satuan Kerja untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh Satuan Kerja untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (yang dilayani) - Km (jalan yang yang dibangun) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── Formulir 2.1 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Kementerian Diisi dengan nama dan kode Negara/Lembaga kementerian negara/lembaga; - Unit Organisasi Diisi dengan nama dan kode unit organisasi; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan kode program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama program, kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/ lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.

    b.

    Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara c. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Frekuensi Pembinaan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (yang dilayani) - Km (jalan yang yang dibangun) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── Formulir 3.1 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Kementerian Diisi dengan nama dan kode Negara/Lembaga kementerian negara/lembaga; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan Kode program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama program, kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/ lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.

    b.

    Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara c. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Frekuensi Pembinaan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (yang dilayani) - Km (jalan yang yang dibangun) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── Formulir 1.2 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Satuan Kerja Diisi dengan nama dan kode satuan Perangkat Daerah kerja perangkat daerah; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan Kode program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama program, kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.

    b.

    Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Penyelenggaraan Kegiatan Dan Usaha Pendidikan Prasekolah Dan Sekolah Dasar c. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Lulusan Sekolah Dasar ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (anak didik yang telah lulus sekolah) - Km (jalan yang yang diperbaiki) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan, seperti Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN LIHAT FISIK (1 Halaman) Formulir 2.2 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Kolom 1 Diisi dengan kode fungsi, sub fungsi, program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 2 Diisi dengan nama fungsi, sub fungsi, program, kegiatan dan indikator kinerjanya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (anak didik yang telah lulus sekolah) - Km (jalan yang yang diperbaiki) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN LIHAT FISIK (4 Halaman) Bidang industri yang dimaksud terdiri dari : ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Bidang Perbankan 20. Bidang Usaha Penerbangan 2. Bidang Asuransi 21. Bidang Dok Dan Perkapalan 3. Bidang Pembiayaan 22. Bidang Perkebunan 4. Bidang Konstruksi 23. Bidang Pertanian 5. Bidang Konsultan Konstruksi 24. Bidang Perikanan 6. Bidang Penunjang Konstruksi 25. Bidang Pupuk 7. Bidang Jasa Penilai 26. Bidang Kehutanan 8. Bidang Jasa Lainnya 27. Bidang Kertas 9. Bidang Rumah Sakit 28. Bidang Percetakan Dan Penerbitan 10. Bidang Pelabuhan 29. Bidang Pertambangan 11. Bidang Pelayaran 30. Bidang Energi 12. Bidang Kebandarudaraan 31. Bidang Industri Berbasis Teknologi 13. Bidang Angkutan Darat 32. Bidang Baja Dan Konstruksi Baja 14. Bidang Logistik 33. Bidang Telekomunikasi 15. Bidang Perdagangan 34. Bidang Industri Pertahanan 16. Bidang Pengerukan 35. Bidang Semen 17. Bidang Farmasi 36. Bidang Industri Sandang 18. Bidang Pariwisata 37. Bidang Aneka Industri 19. Bidang Kawasan Industri Masing- masing bidang industri diuraikan Perusahaan Negara/ Daerah yang ada di dalamnya ───────────────────────────────────────────────────────────────── PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN VI-A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA/ GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA/KEPALA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH ───────────────────────────────────────────────────────────────── Pernyataan Tanggung Jawab Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/ Satuan Kerja Perangkat Daerah ... Tahun Anggaran ... sebagaimana terlampir adalah merupakan tanggung jawab kami. Laporan Keuangan tersebut telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi pelaksanaan anggaran dan posisi keuangan secara layak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. (.....................) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN VI-B PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA/ GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ATAS PENGGUNAAN ANGGARAN PEMBIAYAAN DAN PERHITUNGAN ───────────────────────────────────────────────────────────────── Pernyataan Tanggung Jawab Laporan Keuangan atas penggunaan anggaran Pembiayaan dan Perhitungan Tahun Anggaran ... sebagaimana terlampir adalah merupakan tanggung jawab kami. Laporan Keuangan tersebut telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi pelaksanaan anggaran dan posisi keuangan secara layak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. ─────────────────────────────────────────────────────────────────

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | PERLINDUNGAN
    PP 45 TAHUN 2004

    Perlindungan Hutan

    • Ditetapkan: 18 Okt 2004
    • Diundangkan: 18 Okt 2004

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :

    1.

    Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

    2.

    Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

    3.

    Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

    4.

    Satuan Pengamanan Hutan adalah pegawai organik yang diangkat oleh pimpinan perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atau petugas yang dibentuk oleh masyarakat hukum adat untuk melaksanakan tugas pengamanan di areal hutan yang menjadi tanggung jawabnya.

    5.

    Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat atau Badan Hukum.

    6.

    Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

    7.

    Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.

    8.

    Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.

    Thumbnail
    PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | HUKUM UMUM
    19/PUU-VIII/2010

    Pengujian UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [Pasal 113 ayat (2)]

      Relevan terhadap

      Pasal 9Tutup
      (1)

      Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf hidupnya.

      (2)

      Setiap orang berhak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

      (3)

      Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sama seperti alasan yang Pemohon sampaikan tersebut di atas bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 113 ayat 27 (1), ayat (2), dan ayat (3) juga tidak ada sinkronisasi dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

      27.

      Perlu Pemohon sampaikan bahwa menanam jenis tanaman tembakau yang dilakukan oleh para petani tembakau dan cengkeh Indonesia jelas dilindungi UUD 1945 begitu juga tenaga kerja/buruh pabrik rokok dilindungi dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( vide bukti P-9) sebagai berikut: Dalam poin menimbang:

      a.

      Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

      b.

      Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.

      c.

      Bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

      d.

      Bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

      Pasal 113Tutup
      (1)

      Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

      (2)

      Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

      (3)

      Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Keberadaan Pasal 113 ayat (1) di atas secara tegas telah menguraikan tujuan yang ingin dicapai dari pengaturan zat adiktif. Dan pengaturan secara tegas lingkup zat adiktif telah dituangkan dalam ayat (2). Selanjutnya mengenai standar dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam produksi, peredaran, dan penggunaan diatur dalam ayat (3) dengan tujuan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan dan ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan. 48 4. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Pemerintah keberadaan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo merupakan suatu conditio sine qua non karena merupakan fundamen yang kuat untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan pada umumnya. Dengan demikian menurut Pemerintah pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam undang-undang a quo telah sesuai dengan amanat konstitusi utamanya dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. B. Mengapa diperlukan pengaturan secara khusus mengenai zat adiktif dalam Undang-Undang a quo ; __ 1. Pengertian Zat Adiktif __ a. Bahwa menurut ketentuan dalam Internasional Statistical Classification Of Diseases And Related Health Problems (ICD 10 WHO, Tahun 1992 halaman 321), pengertian adiksi atau ketergantungan adalah suatu kumpulan perilaku, kognitif dan fenomena fisiologis yang terjadi setelah penggunaan berulang suatu bahan tertentu dan ditandai oleh keinginan kuat untuk mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, walaupun dapat mengakibatkan bahaya, memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut dari pada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan kadang-kadang menyebabkan keadaan gejala putus zat ( withdrawal ). __ b. Bahwa zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus yang jika 49 dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa. __ Sumber: __ http: //www.scribd.com/doc/17633440/Pengertian-Zat-Adiktif __ c. Bahwa zat adiktif merupakan zat atau bahan kimia yang bisa membanjiri sel saraf di otak khususnya "Reward Circuit' atau jalur kesenangan dengan dopamine, yaitu zat kimia yang mengatur sifat senang, perhatian, kesadaran, dan fungsi lainnya. Sumber: __ http: //www.anneahira.com/narkoba/zat-adiktif.htm __ d. Bahwa zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan perilaku penggunaan yang ditandai oleh rasa ketagihan, upaya untuk memperolehnya dan adanya kecenderungan kambuh yang tinggi setelah penghentian penggunaan. Misalnya gol. opiat, barbiturat, alkohol, anestetika, pelarut mudah menguap, stimulansia SSP, nikotin dan kafein. Sumber: __ http: //dinkes.acehprov.go.id/dinkes/uploadfiles/data2006/kamus_Dink es/z.pdf e. Bahwa zat adiktif adalah istilah untuk zat-zat yang pemakaiannya dapat menimbulkan ketergantungan fisik yang kuat dan ketergantungan psikologis yang panjang ( drug dependence ) . Bahwa karena mengandung nikotin, semua tembakau dan produk tembakau menyebabkan keadaan adiksi. Proses perilaku dan farmakologi yang menentukan adiksi pada tembakau, sama dengan proses penentuan adiksi pada narkotik, heroin, dan kokain. Sumber: USDHHS. The health consequences of smoking: nicotine addiction. A report of the Surgeon General. Rockville MD: USDHHS, Public Health Service, CDC, Center for Health Promotion and Education, Office of 50 Smoking and Health, 1988. DHHS publication no. (CDC) 88 - 8406 Smokeless Tobacco Products Bahwa tembakau pada sirih, tembakau dengan jeruk dan berbagai kombinasi di Asia Selatan dan USA, meningkatkan risiko terjadinya kanker. Sumber: World Health Organization (2007), The Scientific Basis of Tobacco Product Regulation, Report of a WHO Study Group, WHO Technical _Report Series:

      945.

      _ Penambahan zat adiktif. Bahwa penambahan cengkeh dan mentol pada rokok kretek akan mengurangi efek asap dan memungkinkan perokok mengisap lebih dalam sehingga meningkatkan toksisitas. Sumber: World Health Organization (2007), The Scientific Basis of Tobacco Product Regulation, Report of a WHO Study Group, WHO Technical _Report Series:

      945.

      _ 2. Tembakau termasuk kategori zat adiktif Bahwa tembakau sebagai komponen utama rokok mengandung nikotin yang merupakan stimulan sistem saraf pusat (SSP) yang mengganggu keseimbangan neuropemancar. Mengisap produk yang mengandung tembakau menghasilkan efek nikotin pada SSP dalam waktu kurang-lebih sepuluh detik. Jika tembakau dikunyah, efek pada SSP dialami dalam waktu 3-5 menit. Efek nikotin dalam tembakau yang dipakai dengan cara dihisap, dikunyah atau dihirup, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, nafsu makan berkurang, menimbulkan emfisema (gangguan pada paru-paru), sebagian menghilangkan perasaan cita rasa dan penciuman serta dapat menimbulkan rasa perih paru-paru. Penggunaan produk tembakau dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru, jantung dan pembuluh darah, dan menyebabkan kanker. 51 Ketergantungan pada nikotin berkembang dengan cepat, terutama ketergantungan secara psikologis. Efek psikoaktif nikotin bekerja dengan cara yang sama di otak sebagaimana jenis-jenis zat adiktif lainnya. Ketika nikotin mencapai otak, perokok mengalami perasaan "high", yaitu suatu perasaan seperti menurunnya ketegangan atau kemungkinan adanya perasaan senang yang berlebihan ( euphoria ). Bahwa nikotin telah dikenal dan dipakai oleh penduduk asli Amerika pada upacara keagamaan dan peristiwa sosial seribu tahun lalu. Dikenal di Eropa pada abad ke-17, nikotin telah dipakai untuk maksud hiburan dan pengobatan. Pemakaian tembakau diperluas dengan diperkenalkannya jenis tembakau yang lebih ringan, mesin penggulung rokok otomatis, kampanye iklan secara besar-besaran dan ketika pemerintah melihat ini sebagai sumber pajak. Bahwa Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization- WHO) dalam penelitiannya menyatakan bahwa satu dari lima kematian disebabkan oleh rokok dan lebih dari 50 persen perokok meninggal dunia sebelum waktunya sebagai akibat langsung dari penyakit yang disebabkan produk tembakau. Selain hal tersebut di atas, toleransi pada efek nikotin berkembang dengan cepat, lebih cepat dibanding heroin dan kokain. Lebih lanjut gejala putus zat setelah penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan sakit kepala, sifat lekas marah yang parah, ketidakmampuan berkonsentrasi, gelisah, dan gangguan tidur. Ketagihan pada nikotin mungkin bertahan seumur hidup setelah berhenti memakai tembakau. Nikotin dengan cepat masuk ke dalam otak begitu seseorang merokok. Kadar nikotin yang diisap akan mampu menyebabkan kematian apabila kadarnya lebih dari 30 mg. Farmakologi nikotin dalam produk tembakau/rokok bersifat kompleks. Menurut Jaffe (1990), faktor ini mencakup: a). komposisi tembakau yang digunakan, b). tingkat kepadatan tembakau yang digunakan dalam rokok, 52 c). panjangnya rokok atau cerutu, d). karakteristik filter yang digunakan, e). kertas yang digunakan dan f). temperatur tembakau itu dibakar. Produk tembakau/rokok mengandung 2550 zat aktif dan akan meningkat menjadi lebih dari 4000 (empat ribu) apabila penggunaannya dibakar. Menurut Burn (1991), bahwa 1.450 jenis zat lain datang dari berbagai zat tambahan ( additive ), __ pestisida dan organik atau zat metal yang dengan sengaja atau tidak disengaja ditambahkan pada komposisi rokok tersebut. Nikotin merupakan komponen utama dalam produk tembakau yang bersifat sangat adiktif. 80% dari seluruh perokok tetap ingin berhenti merokok, sebagian besar dari mereka telah berusaha namun gagal. Hanya 2.5% dari orang yang berusaha berhenti merokok tanpa bantuan yang berhasil. Oleh karena sifat adiktif nikotin yang sangat kuat, maka hanya 20% dari orang yang mencobanya untuk pertama kali sanggup untuk menghentikan kebiasaan merokok. (Sumber: Kecanduan Merokok Peranan Dan Mekanisme Kerja Nikotin-Tena Djuartina dan Yovan Hendriek ). Setiap batang rokok rata-rata mengandung nikotin 0.1-1.2 mg nikotin. Dari jumlah tersebut, kadar nikotin yang masuk dalam peredaran darah tinggal 25%, namun jumlah yang kecil itu mampu mencapai otak dalam waktu 15 detik Tar bukanlah zat tunggal, terdiri atas ratusan bahan kimia gelap dan lengket, dan tergolong sebagai racun pembuat kanker. (Sumber: http: //arsanasv.co.cc/nikotin-dalam-tembakau-dan-bahaya- merokok-bagi-kesehatan/ ) World Health Organization (WHO) menggolongkan kebiasaan merokok sebagai ketagihan ( Tobacco Dependence syndrome: Classification F17. 2 dalam International Classification of Diseases. Tenth Revision ). Laporan US Surgeon General 1988 berkesimpulan bahwa rokok dan semua bentuk penggunaan tembakau membuat pemakainya ketagihan. Pola penggunaan tembakau bersifat tetap, kompulsif, dan sindrom putus zat (dalam hal ini tembakau) biasanya menyertai penghentian penggunaan tembakau. Proses farmakologis dan perilaku yang menentukan ketagihan pada obat seperti heroin dan kokain. Nikotin mempunyai pengaruh pada 53 sistem dopamin otak, sama dengan apa yang ada pada heroin, amphetamine, dan kokain. Dalam urutan sifat ketagihan obat yang psikoaktif, nikotin ditetapkan sebagai lebih menimbulkan ketagihan dibanding heroin, kokain, alkohol, kafein, dan marijuana. Farmakologis nikotin lebih banyak bersifat rangsangan, dengan efek aktivasi elektrokortis, jantung dan sistem endokrin. Nikotin yang diterima dalam tubuh melalui rokok, mempengaruhi hampir semua sistem neurotransmitter dan neuroendoorine. Pemajanan kronik terhadap nikotin melalui rokok menyebabkan perubahan struktural pada otak dengan peningkatan jumlah reseptor nikotin. Akibat akut penggunaan nikotin menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan aliran dari jantung dan penyempitan pembuluh darah. Pengaruh lainnya yang dapat ditimbulkan terutama oleh komponen asap, juga dapat menurunkan kadar oksigen di dalam darah karena naiknya kadar karbon monoksida, juga dapat meningkatkan jumlah asam lemak, glukosa, kortisol, dan hormon lainnya di dalam darah dan peningkatan risiko mengerasnya pembuluh darah arteri dan pengentalan darah (yang berkembang menjadi serangan jantung, stroke) dan karsinogenesis. Akibat kronik yang paling gawat dari penggunaan nikotin adalah ketergantungan, karena sekali seorang menjadi perokok akan sulit mengakhiri kebiasaan itu baik secara fisik atau psikologis. Selain menjadi ketagihan secara fisiologis, merokok dapat juga memenuhi hasrat psikologis yang dirasakan. Proses ini bersama dengan upacara menyalakan rokok dan menghembuskan asap yang dilakukan berulang- ulang, menjadikan merokok suatu perilaku yang amat kompulsif. Merokok dikenal sebagai kebiasaan yang sulit untuk dihentikan dan hanya sedikit sekali perokok yang berhasil menghentikan kebiasaan mereka sebelum beberapa kali mencoba berupaya serius. Sebagai contoh di Republik Dominika, hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar perokok (87%) ingin berhenti, sementara 67.5% menyatakan telah berusaha melakukan dengan bersungguh-sungguh sekurang-kurangnya satu kali. Kemungkinan berhasil dalam upaya tanpa bantuan dinyatakan 54 tidak lebih dari 1 dari 100. Para peneliti menemukan bahwa pengamatan klinis yang menentukan dalam upaya menghentikan kebiasaan merokok adalah bahwa upaya itu bersifat siklik (kambuhan), sehingga para perokok yang berhenti menghadapi risiko kembali pada kebiasaan semula.

      3.

      Tingkat bahaya pemakaian zat adiktif Bahwa nikotin memiliki tingkat ketergantungan (dependence) paling kuat dibandingkan dengan heroin, kokain, alkohol, kafein dan marijuana. Sedangkan tingkat toleransi nikotin adalah yang ke-2 setelah heroin. Bahwa parameter kualitas adiktif suatu zat dapat dijelaskan sebagai berikut: Withdrawal : __ Tingkat keparahan gejala yang timbul akibat menghentikan penggunaan zat tersebut. Reinforcement : Kecenderungan zat untuk mendorong pengguna untuk memakai lagi dan lagi. Tolerance : Kebutuhan pengguna untuk memiliki dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang sama. Dependence : __ Kesulitan untuk berhenti. Intoxication : Tingkat kemabukan yang dihasilkan oleh zat yang digunakan. Sumber: ( http: //www.druglibrary.org/SCHAFFER/library/basicfax5.htm ) __ Berikut ini dapat digambarkan 2 (dua) orang pakar obat Amerika Serikat yang menilai berbagai obat berdasarkan faktor individual yang dipertimbangkan oleh WHO pada saat menentukan sifat adiktif. Kedua pakar di atas melakukan penelitian untuk menilai 6 jenis recreational drug yang paling umum berdasarkan faktor risiko, mulai dengan angka 1 untuk yang paling berisiko dan angka 6 untuk yang paling kurang berisiko, seperti di bawah ini: Rating oleh Dr. Jack Henningfield, National Institute on Drug Abuse (NIDA) 55 Substance withdrawal Reinforcement Tolerance Dependence Intoxication Nicotine 3 4 2 1 5 Heroin 2 2 1 2 2 Cocaine 4 1 4 3 3 Alcohol 1 3 3 4 1 Caffeine 5 6 5 5 6 Marijuana 6 5 6 6 4 Keterangan : 1 = paling berat 6 = paling ringan Berdasarkan rating tersebut, tingkat ketergantungan nikotin lebih tinggi dari heroin, sedangkan alkohol dinilai paling berbahaya dalam hal withdrawal karena penghentian tiba-tiba dapat menghasilkan efek yang mengancam nyawa pecandu alkohol. Alkohol dinilai paling memabukkan di antara semua obat dalam table sedangkan ketergantungan nikotin dinilai lebih parah dari heroin. Rating oleh Dr. Neal L. Benowitz, University of California, San Francisco: Substance withdrawal Reinforcement Tolerance Dependence Intoxication Nicotine 3 4 4 1 6 Heroin 2 2 2 2 2 Cocaine 3 1 1 3 3 Alcohol 1 3 4 4 1 Caffeine 5 5 3 5 5 Marijuana 6 6 6 6 4 Keterangan : 1 = paling berat 6 = paling ringan Rating menurut Dr. Benowitz sedikit berbeda, tetapi peringkatnya pada dasarnya sama, nikotin memiliki tingkat ketergantungan ( dependence ) __ yang paling tinggi. http: //www.a1b2c3.com/drugs/gen007.htm Pada rata-rata orang dewasa yang sehat, dosis letal dari nikotin diperkirakan adalah dosis tunggal nikotin 60 mg (Ashton, 1992). Pada umumnya rokok mengandung 6-11 mg nikotin (Henningfield, 1995), namun nikotin yang dapat diserap oleh tubuh pada tiap batang sekitar 3% 56 hingga 40% (Benowitz & Henningfield, 1994). Karena nikotin tidak dapat pindah dengan mudah dari alveoli di paru ke pembuluh darah, seorang perokok umumnya menyerap sekitar 1 - 3 mg nikotin dari tiap batang (Henningfield, 1994). Jadi perokok aktif menerima sekitar 1/60 hingga 1/24 dari dosis letal nikotin di atas, setiap kali mereka merokok sebatang. Dalam satu hah perokok yang merokok sebanyak 1 bungkus rata-rata menyerap dosis nikotin secara kumulatif sekitar 20 - 40 mg. Begitu sampai ke dalam tubuh, nikotin secara cepat didistribusi ke setiap jaringan di tubuh yang kaya akan darah, termasuk otak (Henningfield & Nemeth-Coslett, 1988). Nikotin adalah zat yang larut dalam air dan larut dalam lemak jadi mampu masuk pada otak secara cepat. Otak memang menjadi organ tubuh yang paling banyak mengandung nikotin yang terakumulasi akibat penggunaan yang kronis. Nikotin yang terkandung di otak bisa dua kali lebih besar daripada yang ada di bagian tubuh lainnya (Fiore, et al, 1992). Pada otak, nikotin juga diketahui memiliki perangkat sebagaimana yang ada pada zat kokain dan amfetamin (Rustin, 1988).

      4.

      Bahan berbahaya selain nikotin yang terkandung dalam produk tembakau/rokok yang dibakar. Asap rokok terdiri dari berbagai macam campuran bahan kimia kompleks yang merupakan produk non-spesifik dari hasil pembakaran bahan organik (seperti asetaldehid dan formaldehid), dan bahan kimia yang spesifik dari pembakaran tembakau dan komponen lain rokok (misalnya nitrosamine spesifik tembakau). Berikut ini rincian singkat dari beberapa komponen atas produk tembakau/rokok yang dibakar:

      a.

      Karsinogen International Agency for Research on Cancer (IARC) telah membuat daftar 36 bahan kimia yang "diketahui menyebabkan kanker" (Group 1) pada manusia (IARC, 1999). Asap rokok mengandung sedikitnya 10 macam dari ke-36 bahan kimia tersebut, dan banyak bahan kimia mutagenik lain yang termasuk kategori "probably carcinogenic" atau "possibly carcinogenic" (IARC Group 2). 57 b. Tar Tar merupakan bagian dari asap tembakau yang berupa massa partikulat kering dan bebas nitrogen (U.S. Surgeon General, 1988). Fraksi partikulat dari asap rokok mengandung banyak konstituen karsinogenik yang berbahaya, di antaranya logam, PAH, dioksin, dan beberapa nitrosamine nonvolatile. Kandungan tar pada rokok secara tradisional diukur dengan metode terstandardisasi dengan bantuan smoking machine. Kadar tar digunakan untuk pengukuran tingkat toksisitas relatif produk tembakau, sehingga terdapat klasifikasi rokok dengan kadar tar tinggi, sedang, dan rendah.

      c.

      Gas Di samping fase partikulat (tar), pada asap tembakau ditemukan banyak bahan kimia pada fase gas. Gas yang paling banyak dilaporkan adalah karbon monoksida (CO) dengan kadar hingga ratusan ppm. Toksisitas karbon monoksida adalah karena kemampuannya membentuk karboksihemoglobin, suatu kompleks kimia stabil dengan hemoglobin. Kompleks ini secara efektif menghilangkan molekul pembawa oksigen, hemoglobin, dari peredaran darah dan organ vital. Konsentrasi karboksihemoglobin darah sekitar 2% atau lebih dari kadar hemoglobin terkait dengan sakit angina pada orang dengan penyakit kardiovaskular dan dapat menyebabkan ischemia jantung serta mengurangi aliran darah ke jantung.

      d.

      Nitrosamine Nitrosamine merupakan amin organic yang mengandung sebuah gugus nitro ( -NO ) __ yang terikat pada gugus amin melalui reaksi nitrosasi. Sebagian besar senyawa amin yang diteliti terbukti menyebabkan mutasi DNA. Nitrosamine nonspesifik pada tembakau di antaranya N- nitrosodimetilamin (NDMA), N-nitrosodietilamin (NDEA), N- nitrosoetilmetilamin, N-nitrosodietanolamin, N-nitrosopirolidin (NP), dan N-nitroso-n-butilamin (NBA) (Mitacek et al., 1999). 58 Senyawa-senyawa yang spesifik tembakau secara umum disebut non-volatile Tobacco-Specific Nitrosamines (TSNA). Terdapat 4 macam TSNA yang secara luas dilaporkan dalam literature yaitu: N- nitrosoanabasin (NAB), N-nitrosoanabatin (NAT), 4-metil- (metilnitrosoamino)-1-(3-piridil)-1-butanon (NNK) dan nitrosonomikotin (NNN). NNK dan NNN memiliki potensi mutagenic yang paling besar. NNK dan NNN terbukti menyebabkan DNA adduct terkait tumor pada rodensia dan diklasifikasikan menjadi probable human carcinogens oleh IARC (Hecht, 1999; IARC 1999). Badan regulasi seperti USFDA dan USEPA menganggap nitrosamine jenis apapun memiliki potensi mutagen dan bahaya kanker hanya dilihat melalui struktur kimianya. Penelitian menyimpulkan bahwa pengurangan penggunaan pupuk kaya nitrat dan logam berat akan dengan signifikan mengurangi karsinogenitas asap rokok dengan cara penurunan kadar nitrosamine, cadmium, nikei, krom, berilium, arsen, 2-naftilamin, dan 4- aminobifenil. e. Polynuclear __ Aromatic Hydrocarbon __ ( PAH ) Senyawa Polinuclear Aromatic Hydrocarbon ( PAH ) __ terbentuk melalui pembakaran setiap senyawa organik. Benzo(a)piren ( BaP ) __ merupakan zat yang paling banyak dipelajari dan merupakan salah satu zat yang secara toksikologi paling kuat pada kelompok senyawa ini. Analisis kadar BaP pada Canadian cigarette menunjukkan bahwa kadar rata-ratanya adalah 17 ng/cigarette, tetapi untuk brand yang ultra dan ekstra low tar memiliki nilai rata-rata setengah dari nilai tersebut dengan pengukuran di bawah kondisi standar merokok (Kaiserman and Rickert, 1992).

      f.

      Dioksin Terklorinasi dan Furan Dioksin terklorinasi dan furan __ merupakan kontaminan __ yang terbentuk melalui reaksi antara senyawa/organik dengan klorin, biasanya pada kondisi pembakaran. Laporan menunjukkan kadar kontaminan dioksin __ pada rokok di New Zealand rendah dibandingkan dengan standar dunia. Kandungan dioksin pada asap rokok dapat karena 59 keberadaannya pada rokok itu sendiri atau hasil reaksi antara klorin dengan senyawa organik selama proses pembakaran. Laporan di Swedia menunjukkan kadar dioksin sebesar 1490 pg/ aliran asap rokok (Lofroth and Zebuhr, 1992). _Source: _ _The Chemical Constituents in Cigarettes and Cigarette Smoke: _ Priorities for Harm Reduction, A Report to the New Zealand Ministry of Health, March 2000 http: //www.moh.govt.nz/moh.nsf/pagescm/1003/$File/chemicalconstitu entsciqarettespriorities.pdf 5. Pengaturan zat adiktif di berbagai negara Di Amerika, tembakau sebagai zat adiktif diatur dalam Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, legislasi landmark yang memberikan kewenangan pada USFDA untuk mengatur manufacturing dan marketing tembakau dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat. http: //www.americanheart.org/presenter.jhtmI?identifier=11223 Di Eropa terdapat Tobacco legislation, regulation and voluntary agreements (England and European Union) Action on Smoking on Health http: //old.ash.org.uk/html/policy/legislation.html Kafein yang memiliki sifat adiktif, di Amerika diatur melalui mekanisme Dual Regulation yaitu Kafein sebagai Obat dan Kafein sebagai Makanan. http: //leda.law.harvard.edu/leda/data/642/Mrazik.html Selain keterangan tersebut di atas, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:

      a.

      Pengaturan mengenai Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang- Undang a quo telah memenuhi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

      b.

      Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo tidak dilakukan secara tergesa-gesa, terburu-terburu atau dipaksakan, justru pengaturan mengenai pengamanan zat adiktif dalam Undang- 60 Undang a quo telah mempertimbangkan berbagai aspek utamanya aspek kesehatan masyarakat pada umumnya.

      c.

      Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo telah sesuai (sinkron) dengan Undang-Undang terkait lainnya. Pengaturan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo tidak bersifat tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya, misalnya yang berkaitan dengan Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Psikotropika telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sehingga pengaturan pengamanan zat adiktif dalam Undang-Undang a quo saling melengkapi. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan alasan Pemohon yang menyatakan bahwa menanam tembakau dan merokok khususnya kretek merupakan suatu budaya dan budaya kerja, dengan penjelasan sebagai berikut:

      1.

      Pengertian Budaya dan Kebudayaan a) Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo, 1993). b) Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. c) Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.

      2.

      Pengertian Budaya Kerja Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap 61 menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Sumber: Drs. Gering Supriyadi, MM dan Drs. Tri Guno, LLM) 3. Tujuan Atau Manfaat Budaya Kerja Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.

      4.

      Manfaat dari penerapan budaya kerja yang baik:

      a.

      Meningkatkan jiwa gotong royong b. Meningkatkan kebersamaan c. Saling terbuka satu sama lain d. Meningkatkan jiwa kekeluargaan e. Meningkatkan rasa kekeluargaan f. Membangun komunikasi yang lebih baik g. Meningkatkan produktivitas kerja h. Tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll. Budaya adalah Definisi Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1 Pikiran; akal budi: hasil -- _; _ 2 Adat istiadat: menyelidiki bahasa dan _--; _ 3 Sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yang --; 4 Cak sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Definisi Budaya menurut Wikipedia Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dengan demikian budaya harus memiliki nilai positif bagi perilaku masyarakat yang harus dilestarikan, sedangkan perilaku merokok (kretek) dari sudut pandang kesehatan tidak memiliki nilai positif bahkan mengganggu dan merugikan kesehatan. 62 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, justru bertujuan untuk memberikan perlindungan umum ( general protection ) terhadap setiap orang akan dampak buruk penggunaan zat adiktif, dan karenanya menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28 I UUD 1945. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

      1.

      Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );

      2.

      Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );

      3.

      Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

      4.

      Menyatakan ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I serta Pembukaan ( preambule ) __ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain mengajukan keterangan, Pemerintah juga mengajukan 3 (tiga) orang Saksi dan 6 (enam) orang Ahli, yang telah didengar keterangannya pada persidangan hari Kamis, tanggal 2 Juni 2010 dan Rabu, 5 Januari 2011 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 63 Saksi Pemerintah 1. Rima Melati y Saksi seorang perokok dan akibat dari ketergantungan rokok, saksi sakit kanker stadium akhir. __ 2. Yanti Sampurna y Suami saksi meninggal telah merokok 40 tahun dan tidak dapat berhenti merokok sampai wafatnya. Suami saksi menderita kanker paru dengan diketemukannya sel-sel yang khas sebagai sel kanker akibat rokok; __ 3. Pa Iswanto __ y Saksi adalah petani tembakau sejak tahun 1970 dan telah menikmati hasil tembakau tersebut dengan mendirikan rumah dan mempunyai sepeda motor; __ y Saksi sebagai petani tembakau kwatir apabila tembakau disingkirkan yang mana akan mengakibatkan akan mengadu nasib ke kota besar. __ Ahli Pemerintah 1. Prof. Dr. Amir Syarief y Nikotin tergolong zat adiktif karena bila nikotin dikonsumsi maka dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik, dan toleransi, serta sulit menghentikannya meskipun zat tersebut dapat menimbulkan masalah bagi dirinya; y Ketergantungan psikologis bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dan berkeinginan menggunakannya kembali berulang-ulang untuk memperoleh efek yang menimbulkan suatu perasaan nyaman, senang, bergairah, bersemangat yang bila keinginannya tidak terlaksana akan menimbulkan perasaan sebaliknya menjadi lesu, tidak bergairah; y Ketergantungan fisik bila seseorang telah mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan menghentikannya atau menguranginya secara tiba- tiba, maka akan menimbulkan tanda-tanda gangguan fisik; y Ketergantungan toleransi bila seseorang telah mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan memerlukan peningkatan takaran, atau dosis untuk memperoleh efek yang sama seperti sebelumnya; 64 y Gejala putus obat adalah gejala yang ditimbulkan oleh seseorang yang telah mengalami ketergantungan, yang menghentikan akan mengurangi pemakaiannya secara tiba-tiba. Gejala putus dari nikotin adanya tersinggung, menjadi seseorang yang tidak sabar, memiliki sifat bermusuhan, merasa cemas, merasa tidak nyaman, tidak enak, sulit berkonsentrasi, gelisah, denyut jantungnya menurun, selera makannya bertambah, berat badannya meningkat; y Setelah merokok tembakau terdapat nikotin di dalam darah. Merokok tembakau dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang menimbulkan kanker pada paru, rongga mulut, faring, laring dan isofagus yang dapat menimbulkan masalah pada pembuluh darah jantung dan otak. Wanita hamil terjadi arbortus, kelainan kongenital pada janin; y Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau, dalam kadar yang cukup besar. Rokok tembakau mengandung nikotin sehingga merokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis fisik dan toleransi. Asap rokok tembakau mengandung bahan kimia yang dapat memicu terjadinya penyakit kanker, penyakit paru-paru serta gangguan kesehatan lainnya.

      2.

      Dr. Widyastuti Soerojo y Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan perlindungan bagi seluruh warga masyarakat tanpa kecuali sesuai mandat UUD 1945; y Perlindungan terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif tidak melarang usaha pertanian tembakau apalagi mematikan mata pencaharian petani dan tidak bertentangan dengan UUD 1945; y Sifat adiktif pada nikotin sangat kuat, studi menunjukan bahwa berhentinya merokok lebih sulit daripada menghentikan ketagihan heroin dan kokain. Adanya 60 juta perokok aktif yang ada di Indonesia saat ini sudah mengindikasikan jaminan kelangsungan pertanian tembakau beberapa dekade mendatang; 65 3. Ahmad Hudoyo y Tembakau dapat dijadikan zat pengawet yaitu pengawet untuk bumbu, untuk kayu dan dapat mewarnai sutera; y Daun Tembakau dari hasil penelitian dapat sebagai obat kencing manis dan direkayasa genetik dapat dijadikan obat anti kanker; y Daun tembakau dapat menjadi idola para dokter karena ahli genetika dan ahli biologi populer merupakan daun yang paling mudah direkayasa, cepat berubah DNA sifatnya sehingga sangat efesien untuk penelitian-penelitian.

      4.

      Arini Setiawati y Nikotin dalam rokok tidak begitu berbahaya jauh lebih aman daripada merokok, keracunan nikotin dalam jumlah kecil jauh lebih aman dibandingkan merokok. Zat-zat dalam asap tembakau itulah yang berbahaya, toksik dan menyebabkan kanker; y Perokok pasif menghisap asap rokok yang berbahaya tetapi tidak mendapatkan pleasure yang dialami oleh perokok aktif, sehingga alangkah tidak adilnya kalau seseorang bapak merokok sedangkan istrinya dan anak-anaknya harus menghisap asap rokok tersebut, karena dapat menimbulkan bahaya bagi wanita dan anak-anak; y Perokok aktif harus berhenti merokok agar tidak mengalami penyakit yang berbahaya karena perokok ringan dan sedang kematiannya sama saja dengan perokok berat karena merokok dengan 4 batang sehari dengan lebih 20 batang sehari sama penyakitnya dan kematian yang ditimbulkannya.

      5.

      Abdillah Ahsan y Bahwa ahli telah melakukan studi di Kendal, Bojonegoro dan Lombok Timur dan ahli telah mewawancarai responden buruh tani sebanyak 450 orang dan telah mewawancarai 66 pengelola petani yang pada pokoknya sebagai berikut: - Mereka mengeluh bahwa risiko, usaha perkebunan tembakau itu sangat berisiko, yaitu perubahan cuaca karena tembakau di tanam adalah tanaman semusim, di tanam pada musim kemarau atau musim 66 penghujan. Kalaupun ditanam pada musim kemarau, ketika panen turun hujan maka rusak kualitasnya; - Perubahan harga, harga ditentukan oleh tengkulak, grader; - Hama tanaman; - Turunnya pembelian, karena pembeli utama daun tembakau adalah industri rokok. Apabila industri rokok tidak mau membeli maka tembakau belum diketahui untuk apa penggunaannya.

      6.

      Ahmad Fattah Wibisono y Bahwa kata merokok atau rokok tidak tercantum dalam Al Qur’an dan As- sunah kata tadkhin tidak ada dalam kitab suci tersebut; y Makruh maupun yang haram, titik temunya adalah sama-sama menginginkan aktivitas merokok dihentikan; y Apabila orang masih mau merokok artinya orang tersebut tidak menjaga kesehatannya, tidak menjaga jiwanya seperti yang menjadi tujuan utama syariat, tujuan utama islam; [2.4] Menimbang bahwa untuk menanggapi dalil-dalil permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengajukan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada Jumat 23 Juli 2010 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 113 Undang-Undang a quo adalah sebagai berikut: (5) Pengamanan penggunaan bahan mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan. 67 (6) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. (7) Produksi, pengedaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pembukaan (Preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD Tahun 1945. B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 113 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu pada pokoknya sebagai berikut:

      1.

      Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 113 Undang-Undang a quo bertentangan dengan asas keadilan, karena hanya mencantumkan satu jenis tanaman pertanian yaitu tanaman tembakau yang dianggap menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya, sedangkan tanaman ganja, yang dilarang tidak dimasukan dalam Undang-Undang a quo dan juga masih banyak jenis tanaman pertanian iainnya yang juga berdampak tidak baik bagi kesehatan dan Pasal 113 Undang-Undang a quo juga dijadikan payung hukum atau landasan hukum bagi Pemerintah untuk melahirkan RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif tanpa melihat dampak kerugian yang dialami oleh para petani tembakau dan cengkeh Indonesia (vide Permohonan a quo halaman 13 paragraf ke-2 dan paragraf ke-3 dan halaman 16 paragraf 1); 68 2. Bahwa Pemohon mendalilkan dengan berlakunya Pasal 113 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka akan berdampak psikologis dan akan mengakibatkan kerugian materiil serta tidak adanya kepastian hukum dalam keberlangsungan kehidupan para petani tembakau dan cengkeh Indonesia, berkurangnya tenaga kerja sektor pertanian, tenaga kerja/buruh pabrik rokok, dan pihak terkait Iainnya ( vide permohonan halaman 19 paragraf ke-2);

      3.

      Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo juga mendalilkan, Pasal 113 paragraf a quo tidak berpihak kepada kepentingan petani tembakau yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan dalam hal ini kehidupan para petani tembakau, cengkeh, dan para buruh pabrik Indonesia serta pihak lain yang terkait dengan pertembakauan juga mempunyai hak hidup yang sama sehingga menanam tembakau atau cengkeh merupakan suatu kewajiban petani untuk melangsungkan kehidupannya. Di samping itu menanam jenis tanaman tembakau dan cengkeh di Indonesia tidak hanya untuk kehidupannya saja tetapi sudah merupakan budaya menanam karena sudah turun-temurun dari generasi ke generasi di mana identitas budaya dan keberadaan masyarakat tradisional juga dilindungi oleh UUD 1945 ( vide permohonan halaman 22-23); Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, Pemohon dalam permohonan a quo berpendapat Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), bertentangan dan tidak sejalan dengan Pembukaan ( Preambule ) dan pasal-pasal UUDn 1945, sebagai berikut: Pasal 27 UUD 1945 menyatakan: (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. __ __ 69 Pasal 28A UUD 1945 menyatakan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya . Pasal 28 I UUD 1945 menyatakan: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. (5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan. C. KETERANGAN DPR Rl Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut:

      1.

      Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon. Sesuai dengan Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: 70 a. perorangan warga negara Indonesia;

      b.

      kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

      c.

      badan Hukum publik atau privat; atau

      d.

      lembaga Negara; Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945; Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menyatakan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”; Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pihak Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

      a.

      adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud “Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi" yang dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang yang dimohonkan pengujian;

      b.

      kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa mengenai batasan-batasan tentang kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang- Undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana telah dibatasi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007), yaitu sebagai berikut: 71 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

      b.

      bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

      c.

      bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

      d.

      adanya hubungan sebab-akibat ( casual verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

      e.

      adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pihak Pemohon; Berdasarkan pada Ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi dan persyaratan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 DPR Rl berpendapat bahwa tidak ada kerugian konstitusional Pemohon atau kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan penjelasan sebagai berikut:

      1.

      bahwa Pemohon a quo dalam permohonannya mengemukakan berkedudukan sebagai warga negara Indonesia bertmdak untuk dan atas nama sendiri sebagai penanam tembakau maupun mewakili beberapa Kepala Desa beserta warga Desa Kabupaten Temanggung yang mempunyai kepentingan yang sama; 72 2. bahwa dalam permohonan a quo , Pemohon tidak mengemukakan secara jelas dan konkrit mengenai kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan secara aktual dialami langsung oleh Pemohon sebagai akibat berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , tetapi hanya berupa asumsi dan kekhawatiran Pemohon yang beranggapan berpotensi menghilangkan hak konstitusionalnya untuk hidup dengan menanam tembakau;

      3.

      bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon tersebut, karena apabila mencermati ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , memberikan pengertian bahwa materi norma Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama sekali bukan merupakan norma yang melarang untuk menanam tembakau, melainkan suatu norma yang mengandung pengertian bahwa zat adiktif adalah zat kimia yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, sehingga penggunaan zat adiktif harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, agar tidak menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya, serta tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan yang merupakan bagian dari tujuan dibuatnya Undang-Undang a quo sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo yang berbunyi: "Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis." ;

      4.

      Bahwa kalaupun tembakau menurut ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo mengandung zat adiktif, tidak berarti ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo telah menghalangi atau mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk menanam tembakau Dengan kata lain bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang 73 a quo sama sekali tidak menghalangi atau mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk menanam dan mengembangkan tembakau sehingga tidak berpotensi menimbulkan kerugian konstilusional bagi Pemohon Oleh karena pada kenyataannya Pemohon dan masyarakat pelani tembakau masih tetap dapat melakukan aktivitasnya sebagai petani tembakau tanpa terhalang atau terkurangi dengan berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo ;

      5.

      Bahwa dengan demikian kekuatiran Pemohon akan hilangnya identitas budaya menanam tembakau pada masyarakat tradisional petani tembakau menjadi tidak beralasan dan berdasar, mengingat ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo sama sekali tidak melarang dan menghalangi atau mengurangi hak konstitusional bagi Pemohon dan masyarakat Petani Tembakau untuk menanam tembakau;

      6.

      Bahwa kekuatiran Pemohon akan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif yang dianggapnya dapat menimbulkan kerugian bagi Pemohon dan petani tembakau adalah sangat prematur karena sampai saat ini belum terbit Peraturan Pemerintah a quo , tetapi masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa persoalan yang didalilkan Pemohon terhadap pengujian ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , bukan persoalan konstitusionalitas, melainkan persoalan penerapan norma ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang a quo yang dijadikan dasar untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah a quo . Seandainyapun Peraturan Pemerintah a quo ternyata merugikan kepentingan Pemohon, maka yang berwenang untuk menguji Peraturan Pemerintah tersebut bukan Mahkamah Konstitusi tetapi merupakan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. 74 Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi, serta batasan kerugian konstitusional yang harus dipenuhi sesuai dengan Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Oleh karena itu DPR mohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ); Namun jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia berpendapat lain, berikut ini disampaikan Keterangan DPR mengenai materi pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

      2.

      Pengujian Materiil atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon sebagaimana diuraikan di atas, DPR memberi keterangan sebagai berikut:

      1.

      Bahwa dasar filosofi dan konstitusional dan pembuatan UU Kesehatan adalah bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan ata- ata bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, oleh karena itu, setiap kegiatan dan segala upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya perlu dilakukan semaksimal mungkin guna pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, dengan demikian dapat meningkatkan daya saing bangsa;

      2.

      Bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut di atas, dibentuklah Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang bertujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo yaitu "Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, 75 sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis" ;

      3.

      Bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo , maka dalam ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo diatur secara tegas pengaturan mengenai pengamanan penggunaan bahan zat adiktif yang meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Oleh karena itu, pengaturan mengenai tanaman tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan ditujukan untuk melindungi hak orang lain termasuk anak dan kesehatan masyarakat, terutama masyarakat yang akan terkena dampak negatif penggunaan tembakau dalam bentuk rokok. Undang- Undang Kesehatan sesungguhnya bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari penyalahgunaan zat adiktif seperti rokok yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan kepada Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada kesehatan anak;

      4.

      Bahwa zat adiktif yang terkandung dalam tembakau atau produk- produk yang mengandung tembakau mempunyai sifat adiksi yang sangat tinggi jika dibandingkan sifat adiksi yang ada dalam bahan- bahan Iainnya, yang akan membawa akibat kecanduan yang sangat sulit dilepaskan oleh para pemakainya. Hal tersebut tentunya akan membawa efek yang sangat berbahaya bagi kesehatan din dan lingkungan sekitarnya, sedangkan Zat adiktif itu sendiri mengandung makna bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi secara terus- menerus akan menyebabkan ketergantungan atau adiksi yang sangat sulit untuk dilepaskan yang jika dihentikan penggunaan secara mendadak akan memberi dampak yang sangat besar bagi tubuh manusia; 76 5. Bahwa tanaman tembakau dimasukan sebagai salah satu zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan tidak dapat dipandang sebagai bentuk ketidakadilan alau menghalangi dan mengurangi hak konstitusional Pemohon, karena zat adiktif Iainnya seperti yang terkandung dalam tanaman ganja dikategorikan sebagai narkotika telah diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Begitu pula zat adiktif psikotropika telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Oleh karena itu ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan asas keadilan, mengingat Undang-Undang Kesehatan hanya berupaya untuk memberikan penekanan dalam bidang kesehatan masyarakat terutama memberikan perlindungan terhadap penggunaan tembakau yang mengandung tingkat adiksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman Iainnya;

      6.

      Bahwa tanaman tembakau mengandung zat adiktif yang perlu diatur penggunaannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo adalah sudah melalui kajian yang cukup panjang dan terdapat referensi internasional yang diakui diseluruh dunia agar produksi, peredarannya, dan penggunaannya harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Pengendalian tembakau melalui pemenuhan standar dan/atau syarat penggunaannya telah cukup diakui dunia, hal tersebut terlihat dari data pada tahun 2008 sudah ada 160 negara yang telah meratifikasi Freamework Convention on Tobacco Control (FCTC) ;

      7.

      Bahwa perlu dicermati dalam penjelasan Pasal 113 ayat (3) Undang- Undang a quo menyebutkan penetapan standar dan syarat penggunaan zat adiktif tersebut diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu dan mencegah penggunaan yang menggangu atau merugikan kesehatan. Oleh karena itu perlu dipandang bahwa dampak dan penggunaan zat adiktif ini diupayakan tidak menimbulkan 77 kerugian yang lebih besar kepada kesehatan masyarakat, anak-anak dan lingkungan sekitarnya;

      8.

      Bahwa DPR berpandangan ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , telah sejalan dengan UUD 1945 dan tidak ada pertentangan dengan asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, mengingat masih ada unsur keadilan yang diberikan untuk kepentingan orang yang lebih banyak terutama perlindungan kesehatan masyarakat, anak dan bangsa, serta asas kepastian hukum karena Undang-Undang ini mengatur mengenai peran pemerintah sebagai regulator untuk mengatur pengamanan bahaya penggunaan zat adiktif bagi kesehatan, dan kemanfaatan bagi kesehatan masyarakat;

      9.

      Bahwa Undang-Undang Kesehatan juga tidak bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 yang terkait dengan hak hidup, karena Undang- Undang ini tidak melarang sama sekali bagi petani tembakau untuk menanam tembakau sebagai mata pencaharian untuk kelangsungan hidupnya, DPR berpandangan bahwa pada pokoknya Undang-Undang ini mengatur mengenai perlindungan kesehatan masyarakat dan bangsa pada umumnya dari dampak negatif penggunaan tembakau. Dengan demikian sudah sangat jelas dan terang bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk melarang pertani tembakau untuk menanam tembakau, melainkan dimaksudkan untuk mengatur penggunaan zat adiktif yang menggangu atau merugikan kesehatan anak, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Di samping itu juga dimaksudkan untuk melindungi masa depan generasi muda dari dampak negatif tembakau;

      10.

      Bahwa berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpandangan ketentuan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur 78 kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama sekali tidak bertentangan dengan Pembukaan ( Preambule ), Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan amar utusan sebagai berikut:

      1.

      Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );

      2.

      Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;

      3.

      Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;

      4.

      Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak bertentangan dengan Pembukaan (Preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

      5.

      Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: [2.5.1] Bahwa dr. drh. Mangku Sitepoe mengajukan diri sebagai Pihak Terkait dan telah memberikan keterangan lisan pada persidangan hari Kamis, 20 Mei 2010 dan memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Jumat 22 Oktober 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Bahwa yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap rokok bukan tembakau; 79 • Penyusunan Undang-Undang tidak membedakan antara tembakau dengan asap rokok; • Rokok terdiri dari rokok putih dan rokok kretek yang mana rokok putih sebagai standar untuk bahaya terhadap kesehatan yang mengandung 100% tembakau sedangkan rokok kretek mengandung 60% tembakau dan 40% cengkeh; • Perokok ada 2 macam yaitu mainstream asapnya dan side stream yang dikeluarkan. Side stream perokok pasif dan mainstream merupakan perokok aktif; • Untuk asap rokok digunakan pemeriksaan smoking machine dan untuk memeriksa kadar nikotin di dalam tembakau menggunakan pemeriksaan kimia biasa; • Bahwa merokok bukan this is not the cause of death dan bukan penyebab kematian tetapi menstimulasi penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian; • Tidak semua zat adiktif berbahaya umpamanya teobromin di dalam coklat tidak berbahaya; • Menurut kamus kedokteran di Indonesia zat adiktif adalah suatu substansi atau zat yang menyebebabkan kebutuhan fisiologis yang menimbulkan ketergantungan. Tetapi zat adiktif menurut salah satu buku yang Pihak Terkait baca adalah obat atau zat apabila dikomsumsi oleh mahluk hidup menyebabkan aktifitas biologis, mendorong ketergantungan dan adiksi, sukar diberhentikan dan bila diberhentikan memberikan dampak keletihan dan rasa sakit yang diluar kebiasaan; • Pasal 113 ayat (1) tidak membedakan bahaya zat adiktif di dalam tembakau dengan di dalam rokok. Kata zat adiktif seharusnya diganti dengan zat berbahaya di dalam rokok. [2.5.2] Bahwa Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) mengajukan sebagai Pihak Terkait dan memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, 29 Juni 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 80 • Bahwa draft perubahan Undang-Undang tersebut disetujui dan/atau tepatnya pada tanggal 16 September 2009, Pihak Terkait bersama dengan beberapa organisasi kemasyarakatan mengetahui jika draft yang seyogyanya akan dikirimkan ke Sekretariat Negara untuk diperiksa sebelum ditandatangani oleh Presiden, pada Pasal 113 tidak mencantumkan ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas, yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”; __ • Bahwa Pihak Terkait beranggapan jika ketentuan Pasal 113 ayat (2) ini merupakan bukti keseriusan dan bentuk tanggung jawab konkrit dari pemerintah untuk melindungi warga negaranya secara umum dan memberikan perlindungan yang maksimal bagi anak dan remaja Indonesia dari bahaya zat adiktif khususnya tembakau dan produk turunannya, sehingga dengan menghilangkan ayat-ayat tembakau ini merupakan suatu tindak pidana; __ • Bahwa dikarenakan pentingnya keberadaan ketentuan Pasal 113 ayat (2) ini bagi upaya perlindungan anak dan remaja dari bahaya zat adiktif khususnya bahya rokok, maka Pihak terkait bersama-sama dengan beberapa organisasi yang tergabung dalam koali anti korupsi ayat rokok, diantaranya Komnas Perlindungan Anak, ICW, dan YLKI mengadakan press conference terkait dengan adanya upaya yang teratur dan sistematis dari beberapa oknum untuk menghilangkan ayat tembakau tersebut; __ • Bahwa sebagai bentuk tanggung jawab moril, Pihak Terkait dan Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok kemudian melaporkan secara resmi ke Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga ke Polda Metro Jaya. __ [2.5.3] Bahwa Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengajukan sebagai Pihak Terkait dan telah memberikan keterangan lisan dan keterangan tertulis pada persidangan hari Selasa, 14 Desember 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Bahwa rokok bermula dari sumber produk tembakau yang mengakibatkan korelasi langsung dengan anak karena prevalensi perokok pemula meningkat terbukti dengan data survei di mana prevalensi anak-anak usia 15 tahun 81 sampai 19 tahun yang merokok tahun 2001 meningkat dibandingkan tahun 2004; • Bahwa rokok itu adalah zat adiktif telah bermetamorfosis menjadi barang yang seakan-akan normal; • Bahwa rokok adalah sebuah epidemik global dan bukan barang normal dan karena bukan barang normal adalah tidak patut untuk dianggap seperti halnya barang-barang yang dapat diperjual belikan; • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) yang menggunakan frasa ”pengamanan penggunaan” bukan ”penghapusan” dan karena itu yang dimaksudkan adalah untuk perlindungan atau di dalam bahasa konvensi disebut sebagai ”pengamanan penggunaan” atau ” tobacco control ”; • Bahwa merokok secara quo scientific maupun normatif telah terbukti bahwa merokok berbahaya bahkan mengancam kehidupan. __ Bahwa pada keterangan tertulisnya Komnas PA menerangkan sebagai berikut: A. TIDAK ADA DISKRIMINASI DALAM PASAL 113 AYAT (1), (2), (3) UU KESEHATAN JUSTRU PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL SELURUH RAKYAT TERMASUK HAK KONSTITUSIONAL ANAK. Ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan") adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya dari ancaman bahaya kesehatan, berbagai penyakit dan kecacatan dan kematian yang ditimbulkan akibat tembakau dan produk tembakau, yang secara keilmuan sudah terbukti kebenarannya. Ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan merupakan realisasi hak konstitusional seluruh rakyat, oleh karena:

      (1)

      Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat ( right to health ) __ atas kesehatan dan hak seluruh rakyat atas standar kesehatan tertinggi, yang dijamin dalam UUD 1945;

      (2)

      Perlindung dan pemenuhan serta jawaban atas epidemi global tembakau ( the globalization of the tobacco epidemic ), sehingga kehadiran Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sebagai wujud tanggung jawab negara atas pemenuhan hak kesehatan yang dijamin dalam UUD 1945; 82 (3) Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas hidup ( right to life ) __ dan hak kelangsungan hidup ( right to survival ) __ yang tidak lain merupakan hak utama ( supreme rights ) __ yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945, oleh karena berdasarkan bukti-bukti ilmiah bahwa konsumsi produk tembakau dan keterpaparan asap rokok merupakan penyebab kematian dan menimbulkan berbagai penyakit;

      (4)

      Perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak ( rights of the child ) __ atas hidup, kelangsungan hidup, dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang dijamin dalam Pasal 28A dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Demikian maka, ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sama sekali tidak dapat dikualifikasi sebagai norma yang bersifat diskriminatif dan tidak merupakan pelanggaran atas hak atas keadilan, oleh karena memang secara substansial tembakau dan produk tembakau bersifat adiktif dan membahayakan kesehatan bahkan terbukti secara keilmuan mengakibatkan kematian. Perlindungan seluruh rakyat dari zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan melalui Pasal 113 UU Kesehatan tidak tepat dilekatkan dengan dimensi diskriminasi, namun justru wujud realisasi hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup dan hak-hak anak yang dijamin dalam UUD 1945. Amat janggal menurut rasional dan logika, bahwa upaya perlindungan rakyat termasuk perlindungan anak dari zat berbahaya didalilkan diskriminatif. Dalam hal ini, patut diduga bahwa Pemohon tidak mampu memahami hak konstitusional perlindungan seluruh rakyat atas hak kesehatan dan hak hidup, kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang, termasuk anak-anak dari bahaya tembakau dan produk tembakau. Kehadiran Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru dalam rangka melaksanakan kewajiban negara melindungi seluruh rakyat dan perlindungan anak. Dalam hal penggunaan frasa atau istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan, sama sekali tidak relevan dipahami sebagai bentuk norma yang diskriminatif atau pembedaan perlakuan terhadap satu jenis tumbuhan, dalam hal ini tembakau, oleh karena:

      (1)

      Tembakau dan produk tembakau berdasarkan bukti ilmiah merupakan zat bersifat adiktif, dan karenanya sepatutnya dilakukan pengendalian ( tobacco 83 control ) . Dalam ketentuan Pasal 113 UU Kesehatan sama sekali tidak ada norma yang mencantumkan secara tekstual sebagai upaya memberangus tanaman tembakau, mengeliminir petani tembakau atau industrinya. Frasa yang digunakan justru "pengamanan penggunaan" bukan penghapusan penggunaan, sehingga tidak benar sama sekali ada diskriminasi, justru yang benar adalah perlindungan ( protection ). Kekuatiran dan ilusi mengenai penghapusan pertanian tembakau atau menghilangkan pendapatan petani tembakau adalah terlalu berlebihan dan hiperbolis oleh karena kua-normatif Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan sama sekali tidak mengandung norma atau maksud asli menghapuskan tembakau ataupun mengeliminir petani tembakau, akan tetapi yang benar bahwa norma Pasal 113 UU Kesehatan adalah norma pengendalian dampak tembakau ( tobacco control ). Sangat jauh korelasi ataupun causal verband antara pengendalian tembakau dengan ketakutan penghapusan pertanian tembakau. Pendekatan data statistik ekonomi sebenarnya sudah dapat menjelaskan mengapa berkurangnya areal lahan tembakau, minimalnya pendapatan petani tembakau, padahal pendapatan pemilik usaha rokok paling jumbo dalam relasi industri tembakau. Ada kesenjangan logika dan rasionalitas Pemohon yang secara tidak cermat mengkaitkan seakan-akan Pasal 113 UU Kesehatan secara causal verband menghilangkan pertanian tembakau, menurunkan pendapatan petani tembakau dan mengurangi areal lahan tembakau, menaikkan pengangguran tenagakerja akibat pengurangan produk rokok. Bahkan ironisnya, dengan terlatu berlebihan Pemohon menjadikan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan seakan-akan sebagai causal verband dari indikasi unsur kriminalisasi. Sungguh logika yang terlalu dipaksakan untuk membenarkan suatu ilusi dan spekulasi.

      (2)

      Istilah yang dipergunakan dalam konvensi internasional sebagaimana FCTC ( Framework Convention on Tobacco Control ) __ adalah tobacco (tembakau) sehingga penggunaan istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan sudah sesuai dengan norma hukum internasional dan karenanya 84 tidak diskriminatif akan tetapi justru protektif bagi perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan dan hak hidup, hak kelangsungan hidup, hak tumbuh dan berkembang;

      (3)

      Secara yuridis formal, penggunaan istilah tembakau bukan hal baru dan telah dipergunakan dalam PP Nomor 19 Tahun 2003, yakni Pasal 1 butir 1 yang menyatakan tembakau mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan" ; __ Pasal 1 butir 2 menyatakan " Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan”. Dengan demikian penggunaan frasa/istilah tembakau bukan hal baru dan yang pasti bukan diskriminatif dan tidak melanggar keadilan hukum, oleh karena pengaturan pengendalian tembakau adalah pro hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak tumbuh kembang anak. Padahal Pemohon sangat mengakomodir dan mempertahankan PP Nomor 19 Tahun 2003 [ vide halaman 18 permohonan Pemohon], walaupun Pasal 116 UU Kesehatan mengamanatkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) yang baru menggantikan PP Nomor 19 Tahun 2003 sebagai pelaksanaan Pasal 113 s.d. Pasal 115 UU Kesehatan.

      (4)

      Penggunaan istilah tembakau pada Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan tidak diskriminatif oleh karena peneraannya dimaksudkan untuk pengendalian ( tobacco control ) , yang dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan disebut dengan frasa "pengamanan penggunaan". Penggunaan nama atau istilah tembakau juga diterima sebagai norma universal karena dipergunakan dalam term FCTC dan juga dalam International Classification of Disease and Related Heart Problem (ISCD 10 WHO 1992) dalam F 17 code yang berbunyi ^ “mental and behavior disorder due to use of tobacco”. Sehingga penggunaan nama/istilah tembakau sama sekali bukan diskriminasi namun perlindungan dari bahaya adiksinya;

      (5)

      Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru tidak ada norma melarang 85 penggunaan tembakau atau produk tembakau sebagai zat adiktif, akan tetapi: (a) Melakukan "pengamanan penggunaan" agar tidak menggangu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan [Pasal 113 ayat (1)]; (b) Melakukan pengendalian atas "produksi, peredaran dan penggunaan ...yang harus memenuhi standar dan atau persyaratan” [Pasal 113 ayat (3)];

      (6)

      Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru upaya perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional atas kesehatan dan hak hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, oleh karena dalam konteks hak ekosob (ekonomi soal dan budaya), Negara menjamin ( shall ensure ) __ dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara memenuhi hak-hak anak ( the maximum extent possible the survival and development ), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KHA. Dengan alasan tersebut di atas maka tidak terdapat diskriminasi atau pelanggaran keadilan ataupun pelanggaran hak hidup petani tembakau, dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak yang didalilkan Pemohon. Justru sebaliknya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan adalah wujud pelindung dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas kesehatan, hak atas standar kesehatan, dan hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dengan kata lain, Pasal 113 UU Kesehatan jelas dimaksudkan untuk pengendalian tembakau ( tobacco control ), __ dan sama sekali tidak ada norma yang menghapuskan tembakau ( tobacco abolition ). __ Keduanya sangat berbeda dan sangat jelas kualifikasi yuridisnya. Maksud asli dan tekstual Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sebagai pengendalian tembakau, sebenarnya sudah dengan jujur diakui dan dibenarkan Pemohon yang dalam Permohonan (halaman18-19) menyatakan bahwa “ …bahan yang mengandung zat adiktif penanganannya dilakukan dengan proses pengendalian sedangkan terhadap Narkotlka dan Pslkotropika 86 Pernyataan Pemohon tersebut sangat jelas bahwa benar tidak adanya penghapusan dan diskriminasi terhadap tanaman tembakau, namun hanya pengendalian tembakau yang dirumuskan ke dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan sebagai "pengamanan penggunaan", dan dirumuskan Pasal 113 ayat (3) UU Kesehatan mengharuskan standardisasi dan/atau persyaratan dalam produksi, peredaran dan penggunaan bahan zat adiktif. Komnas PA sebagai Pihak Terkait memberi penekanan pada jaminan dan perlindungan hak-hak konstitusional anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sebagai reformasi konstitusi merupakan pengakuan dan penjaminan serta perlindungan hak-hak anak ke dalam konstitusi, yang tentunya menjadi hukum dasar untuk mengubah keadaan dan perlindungan anak yang lebih progresif sebelum adanya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Tak berlebihan jika amandemen UUD 1945 tersebut semakin pro hak-hak anak, dan pada gilirannya derifasi hak-hak anak ke dalam Undang-Undang merupakan bentuk kepatuhan konstitusional dan menjadi ciri konstitusionalisme di negeri ini. Oleh karena itu, perkenankan Pihak Terkait memohon agar pengujian materil atas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan mempertimbangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang secara substantif dimaksudkan guna melindungi hak- hak anak atas kesehatan, dan hak-hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam konteks perlindungan anak, hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang adalah sisi yang tak terpisahkan dan ada dalam satu tarikan nafas dengan hak hidup ( right to life ) __ yang merupakan hak utama ( supreme rights ) __ yang tidak bisa dikurangi, walaupun hanya sedikit saja. Mengapa diperlukan dan absah secara konstitusional Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan khususnya bagi perlindungan hak-hak anak? Oleh karena anak-anak sebagai kelompok rentan ( vulnerable group ) __ paling berisiko terhadap bahaya zat adiktif. Dalam berbagai data resmi, prevalensi perokok anak semakin meningkat. Konsideran FCTC meyakini bahwa terdapat bukti penelitian yang jelas pengaruh asap rokok pada bayi dalam kandungan dapat mempengaruhi kesehatan dan pertumbuhannya. Hal ini bersesuaian dengan kebenaran yang 87 kemudian dinormakan dalam Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2003, mengakui merokok dapat menyebabkan ... gangguan kehamilan dan janin. Konsideran FCTC juga meyakini adanya fakta eskalasi merokok dan konsumsi tembakau oleh anak-anak dan remaja di seluruh dunia terutama merokok pada usia muda cenderung meningkat. Secara substansinya, tembakau dan produk tembakau mengandung zat adiktif, yang karenanya bukan barang bebas ( free goods ) akan tetapi zat yang mengandung zat kimia berbahaya yang karsinogenik. Oleh karena itu muskil memosikannya sebagai barang bebas yang dikonsumsi tanpa pengamanan penggunaan atau dalam term FCTC disebut sebagai pengendalian ( tobacco control ) . Tidak masuk akal sehat jika memosisikan tembakau dan produk tembakau yang merupakan zat adiktif [Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan] sebagai barang bebas seperti misalnya buah pisang atau jeruk manis, atau air aqua . Sehingga pisang, jeruk atau aqua sebagai bahan yang dibutuhkan tepat dikualifikasi sebagai barang bebas, dan karenanya tidak perlu pengendalian. Sangat berbeda bahkan bertolak belakang dengan zat adiktif dalam hal ini tembakau atau produk tembakau yang berbahaya bagi kesehatan dengan segala akibatnya yang terbukti secara keilmuan, sehingga tembakau atau produk tembakau yang berbahaya tersebut absah dan tepat jika dilakukan pengendalian atau dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan dikenal sebagai "pengamanan penggunaan". Sebaliknya tidak tepat jika membiarkan penggunaan tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif tanpa karena hal itu melanggar hak konstitusional atas kesehatan serta hak atas hidup, hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Dengan kata lain tidak tepat menggunakan asas Pilihan Bebas tiap personal ( Free of Choise) terhadap penggunaan tembakau dan produk tembakau karena Negara wajib memberikan perlindungan pada rakyatnya dari bahaya zat adiktif. Pada kesempatan ini, perkenankan kami sekilas mengulas kualifikasi tembakau sebagai zat adiktif sudah terbukti secara keilmuan dan bahkan industri tembakau sendiri mengakui bahwa tidak ada rokok yang aman ( there are no such think as safe cigarettes ) . Stanton A. Glantz dalam " The Cigarette Papers" menyebutkan "Moreover, nicotine is addictive. We are, then, in the bussines of selling 88 nicotine, an addictive drug effective in the release of stress mechanisms. Of the thousand of chemical in tobacco smoke, nicotine is the most important. Nicotine makes tobacco addictive". [Stanton A. Glantz, Cs., "The Cigarette Papers", sub judul "Addiction and Cigarettes as Nicotine Delivery Devices", University of California Press, 1996, hal. 58]. Dalam hukum positif, kualifikasi zat adiktif penormaannya senantiasa dimasukkan ke dalam kelompok yang sama seperti halnya minuman keras, narkotika dan psikotropika. (a) Pasal 74 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 (“UU Ketenagakerjaan") menormakan bahwa "Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk”. Selanjutnya Pasal 74 ayat (2) menormakan bahwa "Pekerjaan-pekerjaan yang _terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

      a.

      ...;

      b.

      ..;

      c.

      segala_ pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau ; d…. “. Dari Pasal 74 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disimpulkan bahwa hukum positif menormakan bahwa "minuman keras", "narkotika", "psikotropika", dan "zat adiktif lainnya" adalah termasuk dalam satu kualifikasi (bahan atau zat) yang sama yakni bahan atau zat yang dilarang, dan dinormakan sebagai dilarang dalam kaitan pekerjaan; (b) Pasal 59 dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak, anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus termasuk anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. alkohol. psikotropika. dan zat adiktif lainnya (napza). Dengan demikian Undang-Undang Perlindungan Anak menormakan bahan atau zat narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), termasuk dalam kualifikasi jenis yang sama. Oleh karena tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif yang perlu pengendalian atau pengamanan penggunaannya [Pasal 113 ayat (1)] dan 89 menormakan standardisasi dan/atau persyaratan dalam hal produksi, peredaran dan penggunaan bahan zat adiktif dimaksud, maka tepat jika upaya mengajak orang lain menggunakan, memasarkan atau mengenalkan produk tembakau juga tidak dibenarkan. Rasio legis dalam Pasal 113 UU Kesehatan sangat jelas dan kuat untuk menjustifikasi pelarangan iklan, promosi dan pemberian sponsor rokok, seperti halnya pelarangan iklan minuman keras dan zat adiktif dalam norma Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran. Musykil sekali jika rokok sebagai zat adiktif dan karsinogenik masih dibenarkan diiklankan. Urgensi perlindungan anak dari bahaya tembakau dan produk tembakau yang bersifat adiktif, secara faktual didasarkan kepada beberapa hal:

      (1)

      PREVALENSI PEROKOK PEMULA MENINGKAT. Bahwa berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2001 dan tahun 2004 maka telah terjadi peningkatan prevalensi anak-anak usia 15-19 tahun yang merokok dari tahun 2001 (sebelum adanya UU Penyiaran) dibandingkan dengan tahun 2004 (setelah adanya UU Penyiaran). Berdasarkan data Susenas tersebut di atas, terbukti prevalensi perokok kelompok umur 15-19 tahun pada tahun 2001 sebesar 12,7%, meningkat menjadi 17,3% pada tahun 2004, Selain itu juga terjadi penurunan usia inisiasi merokok ke usia yang semakin muda, yakni pada kelompok umur 15-19 tahun pada tahun 2001 mulai merokok (rata-rata) pada umur 15,4 tahun, tetapi pada tahun 2004 usia mulai merokok semakin muda (rendah) yakni pada umur 15,0 tahun;

      (2)

      PEROKOK ANAK MENURUT SURVEY GLOBAL. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2006 yang diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) __ menunjukkan jika 24,5% anak laki-laki dan 2,3% anak perempuan usia 13-15 tahun di Indonesia adalah perokok, di mana 3,2% dari jumlah tersebut telah berada dalam kondisi ketagihan dan/atau kecanduan; 90 (3) SUSENAS BPS: PENINGKATAN PREVALENSI PEROKOK PEMULA Adanya peningkatan anak-anak merokok pada usia dini terbukti dari fakta dan data dari pertanyaan "pada umur berapa anda merokok?” , __ yang diperoleh fakta (jawaban), orang/anak yang mulai merokok pada umur 5-9 tahun, pada tahun 2001 sebesar 0,4%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 1,7%. Jadi ada peningkatan anak- anak merokok mulai usia 5-9 tahun sebanyak lebih dari 400%. Selanjutnya orang/anak mulai merokok pada umur 10-14 tahun, pada tahun 2001 sebesar 9,5%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 12,6%. Kemudian, orang/anak merokok pada umur 15-19 tahun, pada tahun 2001 sebesar 58,9%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 63,7%;

      (4)

      IKLAN ROKOK BERMETAMORFOSA DARI ZAT ADIKTIF DAN KARSINOGENIK MENJADI SEAKAN-AKAN BARANG NORMAL. Bahwa dengan adanya siaran iklan niaga promosi rokok (sebagai suatu bentuk informasi maupun produk seni) yang justru tidak benar atau setidaknya misleading, di mana kebenaran ilmiah dan fakta yang sebenarnya bahwa rokok terdiri atas 4.000 jenis zat kimia beracun dan sebanyak 69 zat di antaranya bersifat karsinogenik, dan bersifat adiktif. Hakekat maupun defenisi yuridis-formil siaran iklan niaga rokok yang memang dimaksudkan untuk membujuk konsumen memakai rokok yang bersifat adiktif dan mengandung zat karsinogenik, dalam berbagai bentuk isi dan pesan iklan rokok, sudah bermetamorfosa dan secara tidak disadari telah menelusup ke pusat kesadaran konsumen (khususnya anak dan remaja) seakan-akan merokok dicitrakan sebagai suatu yang normal atau biasa. Sehingga tidak lagi dianggap zat berbahaya yang mengancam kesehatan dan kehidupan, dan bahkan lebih dari itu merokok dicitrakan secara curang ( fraudulent ) dan tidak adil, sebagai citra "kejantanan", "kegagahan", "persahabatan", "citra eksklusif", kebenaran yang "bukan basa basi", dan Iain-Iain; 91 Padahal, yang sebenarnya konsumsi rokok tersebut baik secara fakta empiris, ilmiah ( scientific ) , maupun kebenaran formil-yuridis, sudah tidak terbantahkan lagi mengakibatkan serangan penyakit kanker, berbagai penyakit dan gangguan kesehatan, gangguan kehamilan dan janin sehingga adanya kausalitas atau causal verband menyebabkan timbulnya berbagai kerugian hak-hak konstitusional setiap orang termasuk anak-anak yakni hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak tumbuh dan berkembang.

      (5)

      IKLAN ROKOK YANG MENJERAT ANAK. Bahwa industri rokok dalam praktiknya kerap kali menggunakan mekanisme subliminal advertising yaitu sebuah teknik mengekspose individu (dalam hal ini adalah anak dan remaja) tanpa individu tersebut mengetahui hal tersebut mengingat isi pesan (message content) tersebut dilakukan secara berulang-ulang (terjadi repetisi) yang pada akhirnya akan membentuk sebuah hubungan yang bersifat kuat namun irrasional antara emosi dengan produk yang diiklankan. [Presentasi Dr. Mary Lisa Japrie, "Iklan dan Anak", disampaikan pada workshop pembentukan Aliansi Total Ban, tanggal. 29 Oktober -1 November 2008, di Depok, diselenggarakan Komnas Perlindungan Anak];

      (6)

      MEROKOK MENYEBABKAN PENYAKIT. Bahwa, dari berbagai sumber laporan ilmiah tersebut telah mengungkapkan aneka ancaman berbahaya dari kegiatan merokok di antaranya, penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan; penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular); penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS; dan sebanyak 70.000 artikel ilmiah menunjukkan bahwa merokok menyebabkan kanker, mulai dari kanker mulut sampai kanker kandung kemih, penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit pembuluh darah otak, bronkitis kronis, asma, dan penyakit saluran nafas lainnya; [ Tobacco Control Support Center (TCSC) - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat 92 Indonesia (IAKMI), "Profil Tembakau Indonesia", Jakarta, 2008, halaman 16];

      (7)

      ROKOK ADALAH EPIDEMI GLOBAL. Bahkan berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia ( World Health Organization ), __ merokok merupakan penyebab kematian yang utama terhadap 7 dari 8 penyebab kematian terbesar di dunia [WHO Report on The Global Tobacco Epidemic, "M-Power Package", 2008, halaman 15]. Lebih dari itu, rokok yang sudah ditetapkan badan kesehatan sedunia ( World Health Organization-WHO ) __ sebagai epidemi global ( global epidemic ) yang bukan hanya mengancam kesehatan dan penyebab penyakit, namun yang paling mengerikan konsumsi rokok adalah penyebab dari sampai 200.000 kematian setiap tahunnya . [Sarah Barber; Sri Moertiningsih Adioetomo; Abdillah Ahsan; Diahhadi Setyonaluri, "Ekonomi Tembakau di Indonesia" , Lembaga Demografi Fakulas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 2008, halaman12]. Terkait dengan global epidemic tembakau, WHO juga mencatat terdapat tidak kurang dari 100 juta kematian akibat tembakau yang terjadi pada abad ke-20, yang jika tidak dilakukan upaya pencegahan akan meningkat drastis menjadi 1 miiyar angka kematian akibat tembakau pada abad 21. [WHO Report on The Global Tobacco Epidemic,"M-Power Package", 2008, halaman 2 dan halaman 4]. Oleh karena alasan dan data hasil studi ilmiah tersebut maka sudah terbukti secara faktual maupun rasional kausalitas atau causal verband munculnya kematian dan/atau ancaman kematian yang nyata dan serius termasuk terhadap anak dan remaja, sehingga merupakan fakta adanya pelanggaran hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak tumbuh dan berkembang yang tidak lain adalah hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, kebenaran bahaya merokok merupakan kebenaran formil-yuridis sebagaimana PP Nomor 19 Tahun 2003 yang di dalam 93 Pasal 8 ayat (2) mengakui bahaya merokok, yakni "merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 19/2003 tersebut merupakan norma hukum ( legal norm ) __ yang mengakui bahaya merokok bagi kesehatan dan ancaman bagi kehamilan dan janin. Oleh karenanya bahaya merokok tersebut merupakan kebenaran faktual yang notoire feiten, sekaligus merupakan curia novit ius ( the court knows the law ) . B. KETENTUAN PASAL 113 UU KESEHATAN MERUPAKAN DERIFASI HAK HIDUP, HAK KELANGSUNGAN HIDUP, HAK TUMBUH DAN BERKEMBANG ANAK YANG DIJAMIN DALAM PASAL 28B AYAT (2) UUD 1945. Bahwa, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi menjadi acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kaitan pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak anak. Setelah amandemen maka dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 secara ekplisit telah menegaskan hak-hak konstitusional anak yang berbunyi: "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskrimlnasi” . Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia secara eksplisit mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak yakni:

      a.

      hak atas kelangsungan hidup;

      b.

      hak atas tumbuh dan berkembang; dan

      c.

      hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahwa, dengan disahkannya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang secara khusus menegaskan mengenai hak-hak anak di atas, maka Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 itu menjamin, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahwa oleh karena Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 merupakan hasil amandemen konstitusi dan reformasi ketatanegaraan maka dengan demikian jaminan, 94 penghormatan dan perlindungan hak-hak anak berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sudah diterima dan menjadi hak konstitusional yang merupakan arah baru, keputusan politik tertinggi dan hukum dasar (satat fundamental norm) dalam pemenuhan hak anak dan karenanya absah dan sangat rasional apabila memberikan fokus dan perhatian secara konsititusional kepada hak-hak anak. Di sisi lain, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dalam satu ayat dan pasal yang terintegrasi dan tidak terpisahkan menjamin hak anak atas kelangsungan hidup ( rights to survival ) __ dan hak tumbuh dan berkembang ( rights to development ) __ dan hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( rights to protection ) , mesti dipahami dalam satu kesatuan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahwa, oleh karena " anak" bukan "orang dewasa dalam ukuran mini" melainkan "anak" merupakan subjek yang masih rawan dalam tahap perkembangan kapasitas ( evolving capacities ) , yang sangat erat kaitannya dengan kausalitas antara pemenuhan dan perlindungan atas hak hidup dan hak kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh dan berkembang anak serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam keadaan konkrit, misalnya gangguan atau pelanggaran atas pengabaian atas hak tumbuh dan berkembang anak yang tidak memperoleh gizi baik, malnutrisi, busung lapar, terserang epidemi penyakit menular dan berbahaya, termasuk serangan dari epidemi tembakau dan bahaya merokok yang mematikan ( tobacco kills ) __ secara yuridis konstitusional tidak hanya bisa dipahami dalam konteks hak atas pelayanan sosial dan pelayanan kesehatan saja, namun dipahami sebagai pengabaian atas hak-hak konstitusional anak untuk kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang anak. Bahwa, perlu ditegaskan bahwasanya hak hidup ( rights to life ) __ tidak dapat dilepaskan dengan hak kelangsungan hidup ( right to survival ) , dan hak tumbuh dan berkembang ( rights to development ) . Apalagi terhadap anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, di mana setiap pencideraan, perusakan, atau pengurangan atas hak kelangsungan hidup anak akan berakibat serius dan fatal bagi hak hidup anak. 95 Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hak Anak [ United Nation’s Convention on the Rights of the Child (CRC)/Konvensi Hak Anak (KHA)], secara konseptual tidak memisahkan antara hak hidup dengan hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan berkembang anak yang dirumuskan dalam satu pasal dan ayat yang bersamaan. Bahkan, pengakuan atas hak hidup anak tersebut dipertegas dengan pengakuan hak atas kelangsungan hidup ( rights to survival ) __ dan hak atas tumbuh kembang ( rights to development ) . Lebih dari itu, terhadap integrasi antara hak hidup anak, hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan kembang anak tersebut, negara menjamin ( shall ensure ) __ dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara ( the maximum extent possible the survival and development ) , sebagai-mana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) CRC. Sebagai Negara Hukum ( rechtstaat ) __ yang menghormati dan menjadikan supremasi hukum sebagai orientasi, maka harmonisasi terhadap instrumen internasional atau konvensi internasional bukan hanya sebagai bentuk harmonisasi hukum saja. UUD 1945 telah meresepsi prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai salah satu syarat dari negara hukum, khususnya prinsip dasar HAM yang terkait dengan hidup dan kehidupan dan merupakan simbol atau ikhtiar bangsa Indonesia dalam konteks menjadikan UUD 1945 menjadi UUD yang makin modern dan makin demokratis; [Panduan Pemasyarakatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hal 144, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Majelis Pemusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2005]. Dengan demikian perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak dan Framework on Convention on Tobacco Control (FCTC) adalah dimaksudkan konstitusi sebagai suatu syarat negara hukum. Oleh karena itu, resepsi hak-hak anak dalam mempertahankan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan merupakan suatu upaya melaksanakan misi Negara Hukum yang dianut dalam UUD 1945. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas perkenankan kami memohon agar Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia menolak seluruh petitum Pemohon. 96 Untuk memperkuat keterangannya, Pihak Terkait Komnas PA mengajukan bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-21 sebagai berikut:

      1.

      Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Pendirian Komisi Nasional Perlindungan Anak tertanggal 17 Februari 1999;

      2.

      Bukti PT-2 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;

      3.

      Bukti PT-3 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;

      4.

      Bukti PT-4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;

      5.

      Bukti PT-5 : Fotokopi halaman 16 Profil Tembakau Indonesia yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI bekerjasama dengan South East Tobacco Control Alliance (SEATCA) dan WHO Indonesia;

      6.

      Bukti PT-6 : Fotokopi halaman 17 Profil Tembakau Indonesia yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI bekerjasama dengan South East Tobacco Control Alliance (SEATCA) dan WHO Indonesia;

      7.

      Bukti PT-7 : Fotokopi halaman 13 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;

      8.

      Bukti PT-8 : Fotokopi halaman 14 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;

      9.

      Bukti PT-9 : Fotokopi halaman 5-6 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;

      10.

      Bukti PT-10 : Fotokopi buku karya Stanton A Glantz, CS, ” The Cigarette Papers” sub judul ”Addiction and Ciggarets as Nicotine 97 Delivery Device ” University of California Press, 1996. halaman 58;

      11.

      Bukti PT-11 : Fotokopi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ;

      12.

      Bukti PT-12 : Fotokopi peringatan kesehatan yang berada di bungkus rokok;

      13.

      Bukti PT-13 : Fotokopi website resmi Philip Morris Internasional;

      14.

      Bukti PT-14 : Fotokopi website resmi PT. HM Sampoerna;

      15.

      Bukti PT-15 : Fotokopi website resmi PT. HM Sampoerna;

      16.

      Bukti PT-16 : Fotokopi Surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 1.842/K/PMT/VIII/2010;

      17.

      Bukti PT-17 : _Video Baby Smoker; _ 18.Bukti PT-18 : Road Map Industri Pengolahan Tembakau;

      19.

      Bukti PT-19 : BFotokopi kliping koran Kontan tentang Buruh Rokok Kretek ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam” Senin 18 Oktober 2010;

      20.

      Bukti PT-20 : Buku Mardiah Chamim berjudul “Kemunafikan dan Mitos di balik kedigdayaan Industri Rokok”;

      21.

      Bukti PT-21 : Presentasi Ibu Harkristuti Harkrisnowo berjudul ”Larangan Merokok: Hak Asasi Manusia?”; Selain itu, Pihak Terkait Komnas PA juga mengajukan 4 (empat) orang saksi yang telah disumpah dan didengar keterangannya pada sidang hari Rabu, 5 Januari 2011, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

      1.

      Tony Karundeng • Saksi mulai merokok di usia 15 tahun; • Saksi sempat mengalami stroke ringan dan tahun 2010 kena kanker paru akibat rokok dan saksi tidak dapat berhenti merokok. Rokok mempunyai dampak racun dan adiktif;

      2.

      Yanti Koorompis • Saksi mulai merokok umur 13 tahun dan pernah menderita kanker stadium 3B; • Merokok itu sangat adiktif dan anak-anak saksi menjadi ikut merokok. 98 3. Nani Rohayani • Saksi adalah perokok di usia 17 tahun dan sampai sekarang untuk menghilangkan rokok bagi Saksi sangat sulit karena tanpa rokok Saksi tidak dapat bekerja; • Saksi kena penyakit penyempitan pembuluh darah dan ingin sekali untuk berhenti merokok tetapi tidak dapat.

      4.

      Fuad Baradja • Saksi aktif di yayasan yang bergerak di bidang penanggulangan masalah merokok yaitu Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah merokok yang menjabat sebagai Ketua Bidang Penyuluhan dan pendidikan; • Anak saksi mulai merokok di usia 13 tahun sampai sekarang tidak dapat berhenti merokok walaupun telah dilakukan dengan terapi berhenti merokok. [2.6.4] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, dan Yayasan Kanker Indonesia telah memberikan keterangan tertulis dan alat bukti tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 30 Desember 2010, dan telah memberikan keterangan lisan pada persidangan hari Rabu, 5 Januari 2011, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Keterangan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia • Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; • Bahwa Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, utuh, terkait dengan bahaya merokok, bahaya tembakau bagi konsumen yang telah menjadi perokok aktif, perokok pasif maupun calon konsumen (calon perokok baru); • Selama ini, informasi yang disajikan industri rokok melalui berbagai iklan, promosi, dan berbagai upaya penjualan lainnya tidak memberikan informasi 99 yang cukup perihal bahaya produk tembakau (rokok). Melalui iklan yang intensif dan masif tersebut, secara psikologis dan sosiologis, akhirnya cara pandang konsumen terhadap rokok mengalami ”jungkir balik” karena rokok dianggap sebagai produk yang tidak berbahaya dikonsumsi; • Akibat pengaruh iklan dan promosi tersebut, konsumen justru berpandangan bahwa orang yang merokok adalah keren, gagah, tampan, cantik, perkasa, berprestasi dalam olahraga, dan hal-hal positif lainnya. Sementara itu, informasi tentang bahaya rokok hanya disajikan dalam suatu narasi kalimat yang sangat kecil, sehingga tidak mudah dibaca dan ditangkap maknanya oleh konsumen; • Oleh karenanya, Pasal 113 UU Kesehatan merupakan dasar normatif yang sangat kuat bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, utuh tentang bahaya rokok bagi kesehatan. __ Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-9 sebagai berikut:

      1.

      Bukti PT-1 : Fotokopi Akte Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nomor 22, tanggal 25 April 2008;

      2.

      Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-2554.AH.01.02.Tahun 2008 tentang Pengesahan Yayasan;

      3.

      Bukti PT-3 : Fotokopi Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) Nomor 4470/1.824.221, tanggal 31 Agustus 2005;

      4.

      Bukti PT-4 : Fotokopi Keputusan Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nomor 02/Pembina/YLKI/2010 tentang Pergantian Antar Waktu Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Periode 2009-2014;

      5.

      Bukti PT-5 : Fotokopi Surat Nomor AHU-AH.01.08-573, perihal Yayasan lembaga Konsumen Indonesia;

      6.

      Bukti PT-6 : Fotokopi Salinan Putusan Nomor 05 P/HUM/2005 Perkara Hak Uji Materiil;

      7.

      Bukti PT-7 : Fotokopi klipping Koran Tempo, tanggal 2 Februari 2011 ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”; 100 8. Bukti PT-8 : Fotokopi klipping koran Kompas, tanghgal 4 Februari 2011 ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;

      9.

      Bukti PT-9 : Fotokopi ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”. Keterangan Yayasan Jantung Indonesia __ • Yayasan Jantung Indonesia mengajukan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi masyarakat konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; __ • Yayasan Jantung Indonesia sangat berkepentingan terhadap keberadaan UU Kesehatan, khususnya Pasal 113 ayat (2), karena secara global produk tembakau bertanggung jawab terhadap 22% dari seluruh penyakit jantung dan pembuluh darah cardiovaskular. Tembakau juga dihubungkan dengan kejadian arteriosclerosis, hipertensi, dan gangguan pembuluh darah otak. Efek rokok terhadap jantung dan pembuluh darah adalah meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, dan bahkan penyebab 75% serangan jantung koroner yang telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya ( notoir feiten ); __ Pihak Terkait Yayasan Jantung Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-9 sebagai berikut:

      1.

      Bukti PT-1 : Fotokopi Akte Nomor 1, tanggal 2 Juni 2008, Pernyataan Keputusan Rapat;

      2.

      Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Nomor AHU-AH.01.08-562, perihal Yayasan Jantung Indonesia Dalam Bahasa Inggris Indonesia Heart Foundation, tanggal 29 Agustus 2008;

      3.

      Bukti PT-3 : Fotokopi Tambahan Berita Negara, tanggal 7/7-2009 Nomor 54;

      4.

      Bukti PT-4 : Fotokopi Surat Tanda Daftar Yayasan/Badan Sosial Nomor 31.71.06.1004, tanggal 25 Juni 2008 dari Surat Suku Dinas 101 Bina Mental Spritual dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Kotamadya Jakarta Pusat Provinsi DKI Jakarta;

      5.

      Bukti PT-5 : Fotokopi Surat Keputusan Pembina Pusat Yayasan Jantung Indonesia Nomor 40/YJI/SK/IV/2008 tanggal 15 April 2008 tentang Pengukuhan Badan Pengurus Pusat Yayasan Jantung Indonesia masa bakti 2008-2012;

      6.

      Bukti PT-6 : Fotokopi klipping koran Tempo, tanggal 2 Februari 2011, ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”;

      7.

      Bukti PT-7 : Fotokopi klipping koran Kompas, tanggal 4 Februari 2011, ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;

      8.

      Bukti PT-8 : Fotokopi klipping Koran ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”;

      9.

      Bukti PT-9 : Fotokopi Kegiatan promotif-Preventif Yayasan Jantung Indonesia 2006-2010. Keterangan Yayasan Kanker Indonesia • Yayasan Kanker Indonesia mengajukan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi masyarakat konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; __ • Sudah seharusnya konsumen dilindungi dari bahaya adiksi rokok yang bersifat adiktif, karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker), dan membahayakan kesehatan bahkan mengakibatkan kematian akibat penyakit yang ditimbulkanya. Hal ini telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya ( notoir feiten ); __ • Menurut data statistik yang diambil dari berbagai data rumah sakit di Indonesia, menunjukkan bahwa 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) penderita kanker paru adalah perokok berat. Hal in menunjukkan dengan tegas bahwa pengaruh rokok/tembakau bagi penyakit kanker (terutama kanker paru) adalah sangat kuat. __ 102 Selain itu Pihak Terkait Yayasan Kanker Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-7 yang masing- masing sebagai berikut:

      1.

      Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Kanker Indonesia Nomor 5, tanggal 3 Juni 2008 dibuat di hadapan Notaris Ati Mulyati, S.H.,M.Kn.

      2.

      Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan HAM melalui Surat Nomor AHU-AH 01.08-597, tanggal 10 September 2008, perihal Yayasan Kanker Indonesia disingkat YKI dalam Bahasa Inggris disebut The Indonesian Cancer Foundation;

      3.

      Bukti PT-3 : Fotokopi Surat Keputusan Dewan Pembina Yayasan Kanker Indonesia Nomor 002/SK/Pemb/YKI/IV/2006 tentang Pengangkatan Anggota Pengurus Yayasan Kanker Indonesia Periode 2006-2011;

      4.

      Bukti PT-4 : Fotokopi klipping Koran Tempo, 2 Februari 2011, ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”;

      5.

      Bukti PT-5 : Fotokopi klipping Koran Kompas, tanggal 4 Februari 2011, ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;

      6.

      Bukti PT-6 : Fotokopi ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”;

      7.

      Bukti PT-7 : Fotokopi Daftar Kegiatan ”Kegiatan Penanggulangan Tembakau Yayasan Kanker Indonesia (YKI)”. [2.6.5] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 5 Januari 2011, Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta , yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Pihak Terkait sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki badan hukum yang merupakan perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta; • Pihak Terkait sebagai lembaga swadaya masyarakat memiliki kepedulian khusus atau special interest terhadap kota Jakarta dan permasalahan kebijakan pembangunan di kota Jakarta serta penghormatan dan pengakuan pemenuhan hak asasi manusia; 103 • Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan sebuah produk hukum yang Pihak Terkait nyatakan telah memberikan pengakuan secara legal , tentang keberadaan rokok sebagai zat adiktif. Undang-Undang Kesehatan juga merupakan bukti bahwa negara telah serius melindungi warga negaranya, terutama dalam memberikan perlindungan sebagai wujud pelaksanaan yang diamanatkan oleh konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945; • Bahwa dalam sebuah fakta, dalam proses pembuatan Undang-Undang Kesehatan tersebut, yang sudah disahkan oleh presiden dalam perjalanannya ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin menghilangkan isi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif” dalam Undang- Undang tersebut; • Pihak Terkait memiliki kepedulian, perhatian, serta keprihatinan tentang niat adanya sejumlah pihak untuk menghilangkan Pasal 113 ayat (2) tersebut. Pihak Terkait bersama dengan jaringan LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok atau KAKAR, telah melaporkan kejadian tersebut, yakni kejadian hilangnya Pasal 113 ayat (2) kepada Badan Kehormatan DPR dan kepada Polda Metro Jaya. Di mana Badan Kehormatan DPR menyimpulkan, jika menghilangnya Pasal 113 ayat (2), bukanlah sekadar kesalahan administrasi semata, namun patut diduga merupakan upaya terstruktur dan terencana dari berbagai banyak oknum. Selain itu Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta mengajukan bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-15 sebagai berikut:

      1.

      Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Pendirian san Perubahan Perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dibuat di hadapan Notaris Ny. Siti Meinar Brillianty;

      2.

      Bukti PT-2 : Buku Undang-Undang Dasar Negara Republik Insdonesia Tahun 1945;

      3.

      Bukti PT-3 : Fotokopi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

      4.

      Bukti PT-4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan Bab I Ketentuan umum; 104 5. Bukti PT-5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;

      6.

      Bukti PT-6 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;

      7.

      Bukti PT-7 : Fotokopi Profil Tembakau Indonesia;

      8.

      Bukti PT-8 : Fotokopi Profil Tembakau Indonesia;

      9.

      Bukti PT-9 : Fotokopi halaman 13 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009”;

      10.

      Bukti PT-10 : Fotokopi halaman 14 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009;

      11.

      Bukti PT-11 : Fotokopi halaman 5-6 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009;

      12.

      Bukti PT-12 : Lembar Fakta ”Dampak Tembakau dan Pengendaliannya di Indonesia;

      13.

      Bukti PT-13 : Fotokopi website resmi HM. Sampoerna;

      14.

      Bukti PT-14 : Fotokopi Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 1 ayat (21);

      15.

      Bukti PT-15 : Fotokopi Seruan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Mengurangi Konsumsi Rokok. [2.6.6] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 5 Januari 2011, Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait ad informandum Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. H.M Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

      1.

      Hakim Sorimuda Pohan • Yang bersangkutan pada tahun 2004-2009 sebagai anggota DPR dan anggota Pansus Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan. Dan terlibat karena pada waktu itu Undang-Undang tentang Kesehatan sudah selayaknya dilakukan amandemen oleh karena sudah terlalu banyak 105 perubahan sejak Undang-Undang yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992; • Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam Pancasila dan UUD 1945; • Bahwa kebiasaan merokok merupakan kebutuhan individual, tidak digolongkan pada hak asasi manusia; • Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; • Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia, tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga diartikan sebagai inverstasi bagi pembangunan negara. Para ahli ekonomi kesehatan di tanah air sudah menghitung dan sejak lama mempublikasikan bahwa kerugian yang dapat ditimbulkan akibat rokok 4 sampai 5 kali besaran penerimaan cukai oleh negara; • Bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan, dalam arti pembangunan nasional harus memerhatikan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab semua pihak, baik industriawan, petani, tenaga-tenaga kesehatan, pemerintah maupun masyarakat.

      2.

      PT. Djarum • PT. Djarum adalah sebagai perusahaan swasta nasional yang berdiri berdasarkan hukum negara Republik Indonesia dan berdomisili hukum di Indonesia; • PT. Djarum merasa diperlakukan seolah-olah sebagai industri ilegal . Sehingga dengan diberlakukannya pasal a quo membuat dunia industri tembakau merasa was-was, terancam, cemas dan berakibat tidak nyaman dalam melaksanakan usaha; 106 • Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bagi PT. Djarum akan mengancam, merugikan dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kelangsungan usaha dan pekerja PT.Djarum.

      3.

      PT. H.M Sampoerna • PT. H.M Sampoerna tidak sepenuhnya mendukung ketentuan tembakau Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang disisipkan pada saat-saat terakhir persidangan DPR Tahun 2004-2009, karena ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak yang terkait. Oleh karena itu PT. Sampoerna menyambut gembira keputusan DPR untuk menjawab beberapa kekurangan dari Undang-Undang Kesehatan dengan memasukkan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau dalam prioritas prolegnas untuk persidangan tahun 2011; • PT. H.M Sampoerna maupun induk perusahaannya telah menyatakan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa produk tembakau bersifat adiktif; • Setelah Pasal 113 disahkan melalui Undang-Undang Kesehatan, saat ini Kementrian Kesehatan sedang menyusun peraturan pemerintah yang salah satu ketentuannya akan melarang industri tembakau secara total untuk mengkomunikasikan produknya kepada para konsumen dewasa. Padahal sebagai produk yang legal , industri tembakau memiliki hak untuk berkomunikasi kepada konsumen melalui saluran dan media komunikasi yang tersedia; • Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dapat dikategorikan diskriminatif karena hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif yang harus diatur oleh Pemerintah.

      4.

      PT. Gudang Garam • PT. Gudang Garam mempekerjakan 37.000 karyawan dan apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah supaya memperhatikan nasib karyawan tersebut; 107 • Apabila pengiklanan industri tembakau dilarang akan menimbulkan suatu status quo buat brand-brand yang sudah ada dalam artian akan sulit sekali buat brand-brand baru muncul apakah itu perusahaan besar ataupun perusahaan kecil;

      5.

      Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) • Fakta sejarah, sudah 100 tahun perjalanan kretek; • Kretek memiliki pengaruh kuat terhadap ketahanan sosial, politik, ekonomi secara merata; • Gappi adalah asosiasi yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Namun secara material tidak dapat dibantah masih banyak kelompok-kelompok dominan baik domistik maupun internasional yang mampu memonopoli jalan suatu kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan ini mempunyai banyak akses yang luas, pada sumber daya ekonomi dan politik yang acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum; • Gappi khawatir adanya tiga pilar nasional yang dipertaruhkan; Kedaulatan politik hukum di mana kelompok-kelompok dominan baik domestik maupun internasional yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan yang dapat mempengaruhi regulasi. Kemandirian ekonomi, mencari industri dalam negeri yang kemandirian ekonominya dapat disejajarkan dengan kretek saat ini sulit ditemukan bahkan andaikan penerimaan cukai dapat disisihkan 10 tahun dan 15 tahun, utang negara dapat dibayar. Kretek wujud karya kearifan lokal pengusaha bangsa Indonesia yang dulu dijajah, ditindas, kemudian mampu meneruskan usaha dari aktor-aktor ekonomi kaum kolonial yang terdahulu, kemudian sekarang akan dicampakkan begitu saja membuat sangat resah; Selain itu, Pihak Terkait GAPPRI juga mengajukan alat bukti tertulis berupa bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-8 sebagai berikut:

      1.

      Bukti PT-1 : Fotokopi _leave the pack behind; _ 2. Bukti PT-2 : Fotokopi USA Nicorette Sales ;

      3.

      Bukti PT-3 : Fotokopi Nicotine Replacement Therapy ;

      4.

      Bukti PT-4 : Fotokopi World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025; 108 5. Bukti PT-5 : Fotokopi Are Public Smoking Bans Necessary ;

      6.

      Bukti PT-6 : Fotokopi Smoking Out The Truth ;

      7.

      Bukti PT-7 : Fotokopi prejudice dan propaganda;

      8.

      Bukti PT-8 : Fotokopi what we fund . [2.7] Menimbang bahwa Mahkamah pada persidangan hari Selasa, 8 Februari 2011, telah menyatakan kepada Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan para Pihak Terkait untuk menyampaikan kesimpulan tertulis paling lambat 1 (satu) minggu sejak persidangan hari Selasa, 8 Februari 2011, dimaksud; Bahwa Pemohon menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 14 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, 15 Maret 2011 yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pemerintah menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 30 Juni 2011 untuk perkara Pemohon dalam perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 21 Juli 2011 yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, dan Yayasan Kanker Indonesia menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 14 Februari 2011 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Rabu, 16 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 16 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Senin, 21 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 17 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 17 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; 109 [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini; 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063, selanjutnya disebut UU 36/2009) terhadap Pembukaan (preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:

      a.

      kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; __ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik 110 Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian Undang- Undang dalam hal ini UU 36/2009 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:

      a.

      perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

      b.

      kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

      c.

      badan hukum publik atau privat; atau

      d.

      lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

      a.

      kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;

      b.

      adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 111 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

      a.

      adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

      b.

      hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

      c.

      kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

      d.

      adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

      e.

      adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009, yang menyatakan: Pasal 113 (1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. (2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. (3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan yang pada pokoknya sebagai berikut: 112 • Pemohon selaku orang yang peduli terhadap masalah pertembakauan dan cengkeh Indonesia dan mendapat mandat untuk mewakili beberapa kepala desa serta warga desa Kabupaten Temanggung yang latar belakang kehidupannya sebagai penghasil tembakau dan cengkeh yang menjadi tumpuan dan harapan serta penggerak roda perekonomian masyarakat Kabupaten Temanggung; • Pemohon telah memberikan mandatnya kepada Anggota DPR ang salah satu tugasnya adalah membuat Undang-Undang. Dengan tidak dilakukannya tugas dan kewajiban Anggota DPR dalam proses yang benar dan baik terkait dengan pembentukan UU 36/2009 a quo , maka Pemohon berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya; • Pemohon merupakan warga negara pembayar pajak, sehingga hak dan kepentingan Pemohon terpaut pula dengan proses pembahasan UU Kesehatan a quo yang proses penyusunannya dibiayai oleh negara yang berasal dari pemasukan pajak yang telah dibayar Pemohon termasuk juga cukai rokok dan pajak hasil keringat petani tembakau dan cengkeh Indonesia serta para buruh pabrik rokok serta pihak terkait lainnya; • Pemohon mendalilkan memiliki lahan persawahan sekitar 2 Ha yang oleh para penggarap sawah sering ditanami tanaman jenis Tembakau Sawah. Oleh karenanya, dengan berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan a quo , menurut Pemohon, memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was-was mengalami kerugian materiil apabila tidak menanam tembakau; • Hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945. Oleh karenanya, para petani tembakau, para petani cengkeh, dan para buruh pabrik di Indonesia serta pihak-pihak lain yang terkait dengan pertembakauan juga mempunyai hak hidup yang sama sehingga menanam tembakau dan cengkeh merupakan suatu kewajiban petani untuk melangsungkan kehidupannya; Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara 113 Indonesia mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945 yang menurut Pemohon, dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009. Oleh karenanya, Pemohon prima facie memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing ) maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009, yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas pasal-pasal UU 36/2009 tersebut yang mengatur dan menetapkan tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagai zat adiktif yang dapat menimbulkan kerugian sehingga harus diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya; [3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9) untuk membuktikan dalil-dalilnya yang daftar lengkapnya telah diuraikan dalam bagian Duduk Perkara di atas; Bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

      1.

      H. Parmuji y Tembakau telah menjadi tumpuan hidup sejak nenek moyang dan merupakan sumber pencarian utama ekonomi; __ y Budidaya tembakau melibatkan banyak pihak, tidak hanya petani tembakau; __ 2. H. Mulyono y Saksi merasa prihatin karena mata pencaharian utama sebagai petani tembakau terancam; __ 114 3. Tri Yuwono y Mayoritas penduduk di Desa Kledung sebagai petani tembakau akan terancam kehilangan mata pencarian dengan berlakunya Pasal 113 UU 36/2009 dan hal ini bertentangan dengan program pengentasan kemiskinan Pemerintah; __ 4. Karyanto y Di Kabupaten Pamekasan 35.000 hektar lahan ditanami tembakau. Di Kabupaten Sumenep 28.000 hektar lahan ditanami tembakau. Di Kabupaten Sampang 18.000 hektar lahan ditanami tembakau; y Di Kabupaten Pamekasan, Sumenep, dan Sampang, tembakau adalah suatu tanaman komoditi yang sudah lama dan menjadi tanaman turun- temurun yang tidak dapat dipisahkan dengan petani yang hidup-matinya bergantung pada tanaman tembakau; y Berkat menanam tembakau, petani tembakau dapat menyekolahkan anaknya dan mencukupi kehidupannya; y Apabila petani tembakau tidak dapat atau tidak boleh menanam tembakau akan membuat perekonomian lebih buruk lagi;

      5.

      Sumadi Danartono y Bahwa Saksi selaku Kepala Desa Wonolelo, Sawangan, Magelang. Saksi menerangkan bahwa di desa Saksi, 95% penduduk adalah petani dan pada waktu musim kering, tanaman yang dapat hidup adalah tanaman tembakau yang merupakan tanaman tulang punggung ekonomi masyarakat;

      6.

      Udi Wahyu y Saksi selaku Kepala Desa Pagerejo, Kabupaten Wonosobo, yang menerangkan bahwa di daerah Saksi, tembakau merupakan komoditi unggulan yang 50% hasil produknya masuk ke pabrikan dan 50% lainnya merupakan kerajinan dalam bentuk tembakau garangan atau tembakau asapan;

      7.

      Subakir y Seluruh warga desa di tempat Saksi adalah petani tembakau yang memiliki luas areal lebih-kurang 400 hektar; 115 y Tanaman tembakau menghasilkan mutu tembakau terbaik di dunia yang dinamakan tembakau serintil; y Tembakau serintil sangat dibutuhkan oleh pabrik-pabrik rokok kretek asli Indonesia;

      8.

      Agus Setyawan y Saksi selaku Kepala Desa Tretep. Saksi lahir dan dibesarkan dari hasil tembakau yang ditanam oleh bapaknya selaku petani tembakau; y Saksi merasa dirugikan ketika Pasal 113 UU 36/2009 hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif;

      9.

      dr. Subagyo y Saksi pernah menderita benjolan di rahang bawah yang dioperasi dengan hasil suatu limfoma maligna atau kanker kelenjar limfe; y Saksi mengetahui adanya informasi penanganan atau pengobatan balur nano terapi dengan define cigarette ;

      10.

      Allan Sulistiono y Saksi didiagnosa menderita kanker hati stadium 3; y Saksi melakukan terapi balur dengan memakai tembakau dan hasilnya telah normal. Bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

      1.

      Josi Ali Arifandi y Bahwa penanaman tembakau di Indonesia telah berlangsung di areal yang lokasinya spesifik sehingga memiliki ciri kualitas spesifik yang dikenal pasar dan konsumennya yang tidak bisa digantikan dengan produk tembakau dari hasil penanaman di lokasi lahan lainnya; y Bahwa tembakau merupakan sumber pendapatan yang sangat besar bagi petani/pekebun di lahan marginal yaitu pada saat musim tanam tertentu (musim kemarau) ketika tanaman lain sudah tidak dapat berproduksi atau nilai ekonomisnya berada di bawah tembakau; y Bahwa bagi negara, industri tembakau memiliki kontribusi cukai, pajak, dan devisa yang meningkat terus dari tahun ke tahun, yang pada tahun 2008 mencapai kisaran Rp. 57 triliun; 116 2. Mukti Ali Imran y Bahwa zat adiktif diklasifikasikan atau dikelompokkan ke dalam jenis narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau yang sering disebut napza; y Bahwa Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 secara tidak langsung telah mereduksi makna zat adiktif yang terbatas hanya pada tembakau semata dan produk turunannya dalam semua fasa (padat, cair, dan gas). Padahal tembakau bukanlah satu-satunya zat yang memiliki sifat adiktif. Hal ini memberikan pengertian yang bias; y Bahwa untuk mengetahui pengaruh atau perbandingan adiksi suatu bahan terhadap adiksi bahan lainnya, harus melalui studi empiris yang menggabungkan pendekatan data faktual-kualitatif-kuantitatif; y Penggunaan kata ”zat adiktif” pada suatu bahan, sebaiknya atau seharusnya disertai dengan klasifikasi terhadap jenis adiktif tersebut, apakah stimulan, depressant, halusinogen, dan lain-lainnya sehingga jelas bagi konsumen;

      3.

      Gabriel Mahal y Nikotin dari tembakau tidak dapat dipatenkan karena berasal dari alam. Yang dapat dipatenkan adalah alat pengantar nikotin ( nicotine delivery device ) dan senyawa terapi yang mengandung nikotin sebagai bahan utama yang dihasilkan oleh korporasi-korporasi farmasi multinasional. Di sinilah letak salah satu kepentingan untuk mengontrol atau mematikan tembakau dan rokok itu; y Ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan Proyek Prakarsa Bebas Tembakau dengan agenda anti tembakau global, dalam hukum nasional Indonesia; y Membunuh tembakau dengan segala industrinya di Indonesia, termasuk industri terkait lainnya, akan menyebabkan naiknya angka pengangguran rakyat Indonesia. Setiap 10% kenaikan penganggur menyebabkan kematian naik menjadi 1,2%, serangan jantung 1,7% dan harapan hidup berkurang 7 tahun; __ __ 117 4. Rinaldo Prima y Bahwa Pasal 113 UU 36/2009 dapat memberikan pemahaman yang ”menyesatkan”, karena secara tendensius dapat membentuk opini dan sekaligus memberikan stigma bahwa hanya tembakau yang mengandung zat adiktif, padahal masih sangat banyak jenis-jenis tanaman dan produk yang mengandung zat adiktif; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo menjadi bersifat diskriminatif dan sekaligus dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan asas keadilan dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; y Sangat besar kemungkinan ketentuan Pasal 113 Undang-Undang a quo bertentangan atau setidak-tidaknya kurang sejalan dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo berisikan rumusan yang sama sekali tidak memberikan ”perlindungan hukum” bagi petani tembakau. Sebaliknya, secara diskriminatif, telah memberikan memberikan perlindungan hukum kepada petani yang menanam jenis tanaman lain yang mengandung zat adiktif; y Bahwa ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945;

      5.

      Prof. dr. Moch Aris Widodo MS., SpFK., PH.D y Merokok, berdasarkan bukti eksperimental dan bukti klinik, tidak dapat dituduh sebagai penyebab tunggal kesakitan, oleh karena tidak semua perokok menderita penyakit kanker paru atau jantung koroner, sedang yang tidak merokok pun dapat terkena kedua penyakit tersebut; y Tembakau dalam beberapa hal mirip dengan alkohol. Kedua bahan tersebut boleh beredar bebas di pasaran. Yang berbeda adalah efek alkohol dapat menimbulkan keracunan akut yang sering mematikan bahkan kematian dapat terjadi bukan karena alkoholnya tetapi oleh karena kecelakaan lalu lintas; 118 y Pembakaran daun tembakau pada rokok menghasilkan 4.000 bahan kimia, termasuk nikotin. Nikotin menimbulkan efek pada neuron atau saraf otak sehingga menyebabkan seseorang ingin menghisap rokok kembali, yang dikenal sebagai adiksi. Nikotin juga menyebabkan peningkatan kontraksi dan frekuensi jantung dan peningkatan tekanan darah;

      6.

      Sutiman B. Sumitro y Ahli mengkhawatirkan isu rokok kretek merupakan bagian dari skenario perusahaan multinasional, yang aktivitas jangka pendeknya adalah fokus untuk mencaplok industri rokok lokal yang mulai ancang-ancang pindah core business . Oleh karenanya, Ahli mengusulkan yang pada pokoknya sebagai berikut:

      1.

      Melakukan penelitian sungguh-sungguh untuk menakar dampak rokok khususnya kretek;

      2.

      Industri rokok harus didorong memiliki unit penelitian dan pengembangan yang memadai dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi rokok kretek yang lebih sehat dan menyehatkan;

      7.

      Dr. dr. Jack Roebijoso, MSc y Tembakau dan nikotin dikelompokkan pada bahan yang dapat menimbulkan efek adiktif, namun dampak adiktif terhadap kesehatan (medis, psikologik, dan sosial), tergolong masih mudah diatasi dan tidak menimbulkan efek ”kecanduan” seperti zat narkotika; y Penemuan dan kemajuan teknologi pengendalian dampak kesehatan dari rokok (nano teknologi pada filter rokok) dan model pelayanan kesehatan yang memberdayakan masyarakat (dokter keluarga ala Indonesia), akan menjadi komoditi yang berharga bagi kemajuan pembangunan teknologi fabrikasi rokok, kedokteran, dan kesehatan di masa depan bagi kepentingan ekonomi dan pembangunan kesehatan/kedokteran di Indonesia; y Faktor resiko kesehatan tidak pernah tunggal dan selalu multifaktor, sehingga tembakau atau merokok bukan merupakan penyebab utama ( causal factor ) bagi timbulnya berbagai penyakit dan kematian; 119 y Masih ada kesempatan melakukan edukasi dan advokasi kesehatan untuk mengurangi atau meniadakan dampak faktor resiko kesehatan untuk tujuan mencegah kejadian sakit dan kematian dari suatu penyakit tertentu; y Pasal 113 UU 36/2009 yang menjadi dasar kebijakan menghapus komiditi tembakau dan rokok, belum menjadi kebijakan yang tepat sasaran untuk Indonesia saat ini; y Tembakau, rokok, dan teknologi pengendalian dampak kesehatan justru akan menjadi andalan ekspor Indonesia, di kemudian hari. [3.11] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan pemerintah yang pada pokoknya menerangkan bahwa keberadaan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009 a quo merupakan suatu conditio sine qua non karena merupakan fundamen yang kuat untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan pada umumnya. Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam UU 36/2009 a quo telah sesuai dengan amanat konstitusi, utamanya dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945; Bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemerintah, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

      1.

      Rima Melati y Saksi seorang perokok dan akibat dari ketergantungan rokok, saksi sakit kanker stadium akhir; __ 2. Yanti Sampurna y Suami Saksi meninggal setelah merokok selama 40 tahun dan tidak dapat berhenti merokok sampai wafatnya. Suami Saksi menderita kanker paru- paru dengan diketemukannya sel-sel yang khas sebagai sel kanker akibat merokok; __ 120 3. Pa Iswanto __ y Saksi adalah petani tembakau sejak tahun 1970 dan telah menikmati hasil tembakau tersebut dengan mendirikan rumah dan mempunyai sepeda motor; __ y Saksi sebagai petani tembakau khawatir apabila tembakau disingkirkan, maka akan kehilangan mata pencariannya; __ __ Bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: __ 1. Prof. Dr. Amir Syarief y Setelah merokok tembakau, terdapat nikotin di dalam darah. Merokok tembakau dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang menimbulkan kanker pada paru, rongga mulut, faring, laring, dan isofagus yang dapat menimbulkan masalah pada pembuluh darah jantung dan otak. Wanita hamil dapat mengalami abortus dan kelainan kongenital pada janin; y Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau, dalam kadar yang cukup besar. Rokok tembakau mengandung nikotin sehingga merokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik, dan toleransi. Asap rokok tembakau mengandung bahan kimia yang dapat memicu terjadinya penyakit kanker, penyakit paru-paru, serta gangguan kesehatan lainnya;

      2.

      Dr. Widyastuti Soerojo y Bahwa UU 36/2009 memberikan perlindungan bagi seluruh warga masyarakat tanpa kecuali sesuai mandat UUD 1945; y Perlindungan terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif tidak melarang usaha pertanian tembakau, apalagi mematikan mata pencaharian petani dan tidak bertentangan dengan UUD 1945; y Sifat adiktif pada nikotin sangat kuat. Studi menunjukkan bahwa berhentinya merokok lebih sulit daripada menghentikan ketagihan heroin dan kokain. Adanya 60 juta perokok aktif di Indonesia saat ini, sudah mengindikasikan jaminan kelangsungan pertanian tembakau beberapa dekade mendatang. 121 3. Ahmad Hudoyo y Tembakau dapat dijadikan zat pengawet yaitu pengawet untuk bumbu, untuk kayu, dan dapat dipakai untuk mewarnai sutera; y Daun tembakau, dari hasil penelitian, dapat dipergunakan sebagai obat kencing manis, dan apabila direkayasa genetik dapat dijadikan obat anti kanker; y Daun tembakau dapat menjadi idola para dokter ahli genetika dan ahli biologi populer karena merupakan daun yang paling mudah direkayasa, cepat berubah DNA sifatnya, sehingga sangat efisien untuk penelitian- penelitian.

      4.

      Arini Setiawati y Nikotin dalam rokok tidak begitu berbahaya dan jauh lebih aman daripada merokok. Keracunan nikotin dalam jumlah kecil, jauh lebih aman dibandingkan merokok. Zat-zat dalam asap tembakau itulah yang berbahaya karena mengandung toksik dan menyebabkan kanker; y Perokok pasif menghisap asap rokok yang berbahaya, tetapi tidak mendapatkan pleasure sebagaimana yang dialami oleh perokok aktif, sehingga alangkah tidak adilnya jika seorang bapak merokok, sedangkan istrinya dan anak-anaknya harus menghisap asap rokok tersebut; y Perokok aktif harus berhenti merokok agar tidak mengalami penyakit yang berbahaya, karena perokok ringan dan sedang, kematiannya sama saja dengan perokok berat.

      5.

      Abdillah Ahsan y Bahwa ahli telah melakukan studi di Kendal, Bojonegoro, dan Lombok Timur. Ahli telah mewawancarai responden buruh tani sebanyak 450 orang dan telah mewawancarai 66 pengelola petani yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: - Mereka mengeluh bahwa usaha perkebunan tembakau sangat beresiko karena tembakau adalah tanaman semusim yang ditanam pada musim kemarau atau musim penghujan. Jika ditanam pada musim kemarau, dan panen ketika musim hujan, hal itu dapat merusak kualitas tembakau; 122 - Terdapat perubahan harga yang ditentukan oleh tengkulak, grader; - Terdapat hama tanaman; - Terjadi penurunan pembelian, karena pembeli utama daun tembakau adalah industri rokok. Apabila industri rokok tidak mau membeli, maka tembakau belum diketahui untuk apa penggunaannya.

      6.

      Ahmad Fattah Wibisono y Bahwa kata merokok atau rokok tidak tercantum dalam Al Quran; y Baik yang mendalilkan makruh maupun yang mendalilkan haram, titik temunya adalah sama-sama menginginkan aktivitas merokok dihentikan; y Apabila orang masih mau merokok, artinya orang tersebut tidak menjaga kesehatannya, tidak menjaga jiwanya, seperti yang menjadi tujuan utama syariat, tujuan utama Islam; [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca keterangan DPR yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 113 UU 36/2009 telah sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 sama sekali tidak bertentangan dengan Pembukaan ( preambule ), Pasal 27, Pasal 28A, dan 28 I UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait, serta memeriksa alat bukti tertulis yang diajukan oleh Pihak Terkait, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

      1.

      dr. drh. Mangku Sitepoe • Bahwa yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap rokop bukan tembakau; • Penyusunan Undang-Undang tidak membedakan antara tembakau dengan asap rokok; • Rokok terdiri dari rokok putih dan rokok kretek yang mana rokok putih sebagai standar untuk bahaya terhadap kesehatan yang mengandung 123 100% tembakau sedangkan rokok kretek mengandung 60% tembakau dan 40% cengkeh; • Bahwa merokok bukan penyebab kematian tetapi menstimulasi penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian; • Tidak semua zat adiktif berbahaya, contohnya, teobromin di dalam coklat; • Menurut kamus kedokteran di Indonesia, zat adiktif adalah suatu substansi atau zat yang menyebabkan kebutuhan fisiologis yang menimbulkan ketergantungan. Pengertian lainnya, zat adiktif adalah obat atau zat apabila dikomsumsi oleh makhluk hidup menyebabkan aktivitas biologis, mendorong ketergantungan, dan adiksi yang sukar diberhentikan, dan bila diberhentikan memberikan dampak keletihan dan rasa sakit di luar kebiasaan; • Pasal 113 ayat (1) tidak membedakan bahaya zat adiktif di dalam tembakau dengan zat adiktif di dalam rokok. Kata ”zat adiktif” seharusnya diganti dengan ”zat berbahaya di dalam rokok”.

      2.

      Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 merupakan bukti keseriusan dan bentuk tanggung jawab konkrit dari Pemerintah untuk melindungi warga negaranya secara umum dan memberikan perlindungan yang maksimal bagi anak dan remaja Indonesia dari bahaya zat adiktif khususnya tembakau dan produk turunannya, sehingga dengan menghilangkan ayat- ayat tembakau ini merupakan suatu tindak pidana.

      3.

      Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) • Bahwa rokok bermula dari sumber produk tembakau yang mengakibatkan korelasi langsung dengan anak karena prevalensi perokok pemula meningkat terbukti dengan data survei di mana prevalensi anak-anak usia 15 sampai 19 tahun yang merokok tahun 2001 menjadi meningkat pada tahun 2004; • Bahwa rokok adalah zat adiktif yang telah bermetamorfosis menjadi barang yang seakan-akan normal; 124 • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo yang menggunakan frasa ”pengamanan penggunaan” bukan ”penghapusan” yang dimaksudkan adalah untuk melindungi, atau di dalam bahasa konvensi disebut ” tobacco control ”; • Bahwa merokok secara quo scientific maupun normatif telah terbukti berbahaya bahkan mengancam kehidupan; • Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya dari ancaman bahaya kesehatan, berbagai penyakit, dan kecacatan serta kematian yang ditimbulkan akibat tembakau dan produk tembakau, yang secara keilmuan sudah terbukti kebenarannya; • Pasal 113 ayat Undang-Undang a quo sama sekali tidak bersifat diskriminatif dan tidak merupakan pelanggaran hak atas keadilan, namun justru wujud realisasi hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup, dan hak-hak anak yang dijamin dalam UUD 1945; Selain itu Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-21 yang secara lengkap telah tertera dalam bagian Duduk Perkara dan juga mengajukan 4 (empat) orang Saksi yang telah disumpah dan didengar keterangannya dalam persidangan, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Tony Karundeng • Saksi mulai merokok di usia 15 tahun; • Saksi sempat mengalami stroke ringan dan tahun 2010 kena kanker paru- paru akibat rokok dan Saksi tidak dapat berhenti merokok. Rokok mempunyai dampak racun dan adiktif; II. Yanti Koorompis • Saksi mulai merokok umur 13 tahun dan pernah menderita kanker stadium 3B; • Merokok itu sangat adiktif dan anak-anak Saksi menjadi ikut merokok. 125 III. Nani Rohayani • Saksi adalah perokok di usia 17 tahun dan sampai sekarang untuk menghilangkan rokok bagi Saksi sangat sulit karena tanpa rokok Saksi tidak dapat bekerja; • Saksi kena penyakit penyempitan pembuluh darah dan ingin sekali berhenti merokok, tetapi tidak dapat. IV. Fuad Baradja • Anak saksi mulai merokok di usia 13 tahun sampai sekarang, dan tidak dapat berhenti merokok walaupun telah melakukan terapi berhenti merokok.

      4.

      Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia • Bahwa Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan utuh, terkait dengan bahaya merokok, bahaya tembakau bagi konsumen yang telah menjadi perokok aktif, perokok pasif maupun calon konsumen (calon perokok baru); • Selama ini, informasi yang disajikan industri rokok melalui berbagai iklan, promosi, dan berbagai upaya penjualan lainnya tidak memberikan informasi yang cukup perihal bahaya produk tembakau (rokok). Melalui iklan yang intensif dan masif tersebut, secara psikologis dan sosiologis, akhirnya cara pandang konsumen terhadap rokok mengalami ”jungkir balik” karena rokok dianggap sebagai produk yang tidak berbahaya dikonsumsi; • Akibat pengaruh iklan dan promosi tersebut, konsumen justru berpandangan bahwa orang yang merokok adalah keren, gagah, tampan, cantik, perkasa, berprestasi dalam olahraga, dan hal-hal positif lainnya. Sementara itu, informasi tentang bahaya rokok hanya disajikan dalam suatu narasi kalimat yang sangat kecil, sehingga tidak mudah dibaca dan ditangkap maknanya oleh konsumen; • Oleh karenanya, Pasal 113 UU 36/2009 merupakan dasar normatif yang sangat kuat bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan utuh tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-9 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; 126 5. Yayasan Jantung Indonesia __ • Bahwa secara global produk tembakau bertanggung jawab terhadap 22% dari seluruh penyakit jantung dan pembuluh darah cardiovaskular. Tembakau juga dihubungkan dengan kejadian arteriosclerosis, hipertensi, dan gangguan pembuluh darah otak. Efek rokok terhadap jantung dan pembuluh darah adalah meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, dan bahkan penyebab 75% serangan jantung koroner yang telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya _(notoir feiten); _ Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Jantung Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-9 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara;

      6.

      Yayasan Kanker Indonesia • Bahwa sudah seharusnya konsumen dilindungi dari bahaya adiksi rokok yang bersifat adiktif, karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker), dan membahayakan kesehatan bahkan mengakibatkan kematian akibat penyakit yang ditimbulkannya. Hal ini telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya _(notoir feiten); _ • Menurut data statistik yang diambil dari berbagai data rumah sakit di Indonesia, menunjukkan bahwa 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) penderita kanker paru-paru adalah perokok berat. Hal in menunjukkan dengan tegas bahwa pengaruh rokok/tembakau bagi penyakit kanker (terutama kanker paru-paru) adalah sangat kuat. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Kanker Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-7 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara;

      7.

      Forum Warga Kota Jakarta • Bahwa UU 36/2009 merupakan sebuah produk hukum yang telah memberikan pengakuan secara legal, tentang keberadaan rokok sebagai zat adiktif dan juga merupakan bukti bahwa negara telah serius melindungi warga negaranya sebagaimana diamanatkan UUD 1945; 127 • Bahwa fakta, dalam proses pembuatan Undang-Undang a quo yang sudah disahkan oleh Presiden, ada pihak-pihak yang dengan sengaja menghilangkan isi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif”. Pihak Terkait bersama dengan jaringan LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok atau KAKAR, telah melaporkan kejadian tersebut kepada Badan Kehormatan DPR dan Polda Metro Jaya. Badan Kehormatan DPR menyimpulkan, jika menghilangnya Pasal 113 ayat (2) bukanlah sekedar kesalahan administrasi semata, namun patut diduga merupakan upaya terstruktur dan terencana dari berbagai banyak oknum. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-15 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; [3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait ad informandum yaitu Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. H.M Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

      1.

      Hakim Sorimuda Pohan • Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam Pancasila dan UUD 1945; • Bahwa kebiasaan merokok merupakan kebutuhan individual, tidak digolongkan pada hak asasi manusia; • Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; • Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia, tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan 128 masyarakat juga diartikan sebagai inverstasi bagi pembangunan negara. Para ahli ekonomi kesehatan di tanah air sudah menghitung dan sejak lama mempublikasikan bahwa kerugian yang dapat ditimbulkan akibat rokok adalah empat sampai lima kali besaran penerimaan cukai oleh negara; • Bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan, dalam arti pembangunan nasional harus memerhatikan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab semua pihak, baik industriawan, petani, tenaga-tenaga kesehatan, pemerintah maupun masyarakat.

      2.

      PT. Djarum • PT. Djarum adalah sebagai perusahaan swasta nasional yang berdiri berdasarkan hukum negara Republik Indonesia dan berdomisili hukum di Indonesia; • PT. Djarum merasa diperlakukan seolah-olah sebagai industri illegal. Sehingga dengan diberlakukannya pasal a quo membuat dunia industri tembakau merasa was-was, terancam, cemas, dan berakibat tidak nyaman dalam melaksanakan usaha; • Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 bagi PT. Djarum akan mengancam, merugikan dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kelangsungan usaha dan pekerja PT.Djarum.

      3.

      PT. H.M Sampoerna • PT. H.M Sampoerna tidak sepenuhnya mendukung ketentuan tembakau UU 36/2009 yang disisipkan pada saat-saat terakhir persidangan DPR Tahun 2004-2009, karena ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan Sampoerna menyambut gembira keputusan DPR untuk menjawab beberapa kekurangan dari Undang-Undang Kesehatan dengan memasukkan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau dalam prioritas prolegnas untuk persidangan tahun 2011; 129 • PT. H.M Sampoerna maupun induk perusahaannya telah menyatakan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa produk tembakau bersifat adiktif; • Setelah Pasal 113 Undang-Undang a quo disahkan, saat ini Kementrian Kesehatan sedang menyusun Peraturan Pemerintah yang salah satu ketentuannya akan melarang industri tembakau secara total untuk mengkomunikasikan produknya kepada para konsumen dewasa. Padahal sebagai produk yang legal , industri tembakau memiliki hak untuk berkomunikasi kepada konsumen melalui saluran dan media komunikasi yang tersedia; • Pasal 113 UU 36/2009 dapat dikategorikan diskriminatif karena hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif, yang harus diatur oleh Pemerintah.

      4.

      PT. Gudang Garam • PT. Gudang Garam mempekerjakan 37.000 karyawan dan apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah supaya memperhatikan nasib karyawan tersebut; • Apabila pengiklanan industri tembakau dilarang akan menimbulkan suatu status quo buat brand-brand yang sudah ada dalam artian akan sulit sekali buat brand-brand baru muncul apakah itu perusahaan besar ataupun perusahaan kecil;

      5.

      Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) • Fakta sejarah, sudah 100 tahun rokok kretek diproduksi. Kretek memiliki pengaruh kuat terhadap ketahanan sosial, politik, dan ekonomi secara merata; • GAPPRI adalah asosiasi yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Namun secara material tidak dapat dibantah masih banyak kelompok-kelompok dominan baik domestik maupun internasional yang mampu memonopoli jalannya suatu kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan ini mempunyai 130 banyak akses yang luas pada sumber daya ekonomi dan politik yang acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum; • GAPPRI khawatir adanya tiga pilar nasional yang dipertaruhkan:

      (1)

      Kedaulatan politik hukum, di mana terdapat kelompok-kelompok dominan, baik domestik maupun internasional, yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan yang dapat mempengaruhi regulasi. (2) Kemandirian ekonomi, mencari industri dalam negeri yang kemandirian ekonominya dapat disejajarkan dengan kretek saat ini sulit ditemukan. Bahkan andaikan penerimaan cukai dapat disisihkan 10 dan 15 tahun, utang negara dapat dibayar. (3) Kretek merupakan wujud karya kearifan lokal pengusaha bangsa Indonesia yang dulu dijajah dan ditindas, kemudian mampu meneruskan usaha dari aktor-aktor ekonomi kaum kolonial yang terdahulu, kemudian sekarang akan dicampakan begitu saja, sehingga membuat sangat resah; Bahwa selain itu GAPPRI juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-8 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa setelah mendengar dan membaca keterangan dan kesimpulan Pemohon, mendengar dan membaca keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait, keterangan Pihak Terkait ad informandum , keterangan para saksi yang diajukan oleh Pemohon, keterangan para Ahli yang diajukan oleh Pemohon, keterangan para saksi yang diajukan oleh Pemerintah, dan keterangan para Ahli yang diajukan Pemerintah, serta alat bukti tertulis yang diajukan Pemohon dan Pihak Terkait, sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.15.1] Bahwa masalah utama yang harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Mahkamah dalam permohonan ini adalah mengenai konstitusionalitas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009 yang didalilkan bertentangan terhadap Pembukaan, Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945; 131 [3.15.2] Bahwa dari uraian dalil-dalil permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, dan keterangan Pihak Terkait serta fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, ada persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah, yang pada pokoknya, yaitu apakah Pasal 113 UU 36/2009 yang menyatakan tembakau dan produk yang mengandung tembakau (padat, cair, dan gas) digolongkan sebagai zat adiktif adalah bersifat diskriminatif dan melanggar hak konstitusional Pemohon serta melanggar asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan, sehingga bertentangan dengan konstitusi; [3.15.3] Bahwa terhadap dalil Pemohon di atas, Mahkamah berpendapat, terhadap diskriminasi yang selalu dihubungkan dengan adanya perlakuan yang berbeda terhadap sesuatu hal, tidaklah berarti bahwa secara serta-merta perlakuan yang berbeda tersebut akan menimbulkan diskriminasi hukum. Suatu pembedaan yang menimbulkan diskriminasi hukum, haruslah dipertimbangkan menyangkut pembedaan apa dan atas dasar apa pembedaan tersebut dilakukan. Pembedaan yang akan menimbulkan status hukum yang berbeda tentulah akan diikuti oleh hubungan hukum dan akibat hukum yang berbeda pula antara yang dibedakan. Dari pembedaan-pembedaan yang timbul dalam hubungan hukum dan akibat hukum karena adanya pembedaan status hukum akan tergambar aspek diskriminasi hukum dari suatu pembedaan, karena daripadanya akan diketahui adanya pembedaan hak-hak yang ditimbulkan oleh diskriminasi. Oleh karena itu, pembedaan yang dapat mengakibatkan diskriminasi hukum adalah pembedaan yang dapat menimbulkan hak yang berbeda di antara pihak yang dibedakan. Dengan demikian, hanya pembedaan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban yang berbeda saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Karena pendukung hak dan/atau kewajiban adalah subjek hukum, maka hanya pembedaan yang menimbulkan kedudukan hukum yang berbeda terhadap subjek hukum saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Tembakau bukanlah subjek hukum karena tembakau bukanlah pemangku hak, melainkan hanya sebagai objek hukum yang dalam Pasal 113 Undang-Undang a quo menurut Pemohon dibedakan dengan produk lainnya, karena disebutkan sebagai zat adiktif sedangkan barang dan produk lain yang juga mengandung zat adiktif tidak 132 disebutkan dalam pasal a quo . Hal demikian sejalan dengan UUD 1945 yang melindungi setiap orang dari perbuatan diskriminatif, yaitu setiap orang sebagai subjek hukum; [3.15.4] Bahwa tembakau bukan subjek hukum tetapi sebagai objek hak yang berupa benda ( ius ad rem ). Hukum justru telah sejak lama mengadakan pembedaan terhadap objek hak. Perbedaan antara benda publik dan benda privat dalam hukum administrasi negara tidak didasarkan atas wujud bendanya tetapi lebih kepada peruntukannya. Tanah yang digunakan jalan umum termasuk dalam pengertian benda publik sementara tanah yang digunakan sebagai jalan dalam lingkungan perumahan pribadi termasuk benda privat yang oleh karenanya dapat menjadi objek hukum perdata secara penuh. Padahal, bentuk fisik keduanya adalah sama. Demikian juga kapal dengan tonase tertentu termasuk sebagai benda tidak bergerak yang terhadapnya dapat dijadikan objek hipotek sedangkan perahu atau kendaraan darat seperti truk yang secara fungsi dan teknologi tidak banyak berbeda dengan fungsi dan aspek teknologi kapal, namun termasuk sebagai benda bergerak yang berbeda dengan kapal. Meskipun wujudnya sama tetapi hukum juga memperlakukan berbeda. Sebagai contoh, dalam aturan lalu lintas dapat ditetapkan untuk satu jalan tertentu kendaraan umum dilarang masuk, sedangkan kendaraan pribadi tidak dilarang. Mobil dengan merek dan kapasitas yang sama dibedakan oleh hukum, yaitu yang satu sebagai mobil angkutan umum sedangkan yang lain sebagai mobil pribadi. Dengan demikian, pembedaan yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum adalah pembedaan terhadap subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, bukan pembedaan terhadap objek hak; [3.15.5] Bahwa Kantor Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Komentar Umum (General Comment Nomor 18 Non- _discrimination: _ 10/11/89) dari Covenant on Civil and Political Rights pada angka 1 menyatakan, “ Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle relating to the protection of human rights ”. Selanjutnya dinyatakan, “Thus, article 2 paragraph 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights 133 obligates each State party to respect and ensure to all persons within its territory …” . Dengan demikian, larangan diskriminasi adalah ditujukan kepada “ persons ” dan berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam beberapa Konvensi Internasional jelas bahwa diskriminasi yang dilarang adalah diskriminasi terhadap manusia atau person sebagai subjek hukum dan tidak pernah ada larangan diskriminasi terhadap objek hak. Deklarasi umum PBB tanggal 20 November 1963 mengenai United Nations Declaration of All Forms of Racial Discrimination menegaskan larangan diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, bahasa, agama, warna kulit, bangsa, dan suku bangsa. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang diadopsi oleh PBB tanggal 21 Desember 1965 menyebutkan larangan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, bangsa, dan suku. International Convention on the Suppression and Punishment of Crime of Apartheid yang diadopsi tanggal 30 November 1973 melarang segregasi sosial dan apartheid di dalam praktik-praktik olah raga; [3.15.6] Bahwa dari konvensi-konvensi internasional tersebut jelas bahwa larangan diskriminasi tidak pernah ditujukan kepada objek hak tetapi kepada manusia yang diakui sebagai subjek hukum pemegang hak. Dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ditemukan ada sepuluh dasar diskriminasi yaitu race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status yang kesemuanya berkaitan dengan person sebagai subjek hukum dan tidak berkaitan dengan objek hak. Perbedaan dalam menikmati hak-hak yang dipunyai oleh seseorang terhadap satu objek hak tertentu dibandingkan dengan objek hak yang lain mempunyai implikasi dalam bidang ekonomi. Hal demikian tidak dapat dielakkan dan tidak melanggar larangan diskriminasi. Seseorang yang mempunyai tanah dengan status hak milik pasti akan berakibat secara ekonomis atas haknya dibandingkan dengan mereka yang misalnya hanya memiliki hak guna bangunan, karena lebih tinggi nilai ekonomi yaitu menjadikan harga tanah tersebut lebih mahal. Pengusaha angkutan umum pada jurusan atau trayek tertentu dapat saja lebih kecil pendapatannya dibandingkan dengan angkutan umum jurusan lainnya, tetapi perbedaan penghasilan tersebut tidak berarti telah mendiskriminasikan antar pengusaha angkutan. Pemerintah sebagai regulator dapat melakukan kebijakan-kebijakan 134 tertentu dan bahkan harus mengambil kebijakan apabila ternyata terdapat perbedaan penghasilan yang sangat mencolok apalagi mengarah pada kerugian bagi pengusaha angkutan. Penetapan beras sebagai bahan sembako (sembilan bahan kebutuhan pokok) menjadikan Pemerintah perlu untuk menyediakan stok beras nasional yang cukup, sebab apabila tidak, maka akan terjadi kelangkaan beras nasional. Jika terjadi kelangkaan beras, dapat dipastikan harga beras akan naik. Secara ekonomi, kenaikan beras akan mempengaruhi juga kenaikan pendapatan petani dan semakin langka beras akan mendorong kenaikan harga beras semakin tinggi. Kenaikan harga beras yang sangat tinggi justru tidak dikehendaki oleh Pemerintah, oleh karenanya untuk menjaga stok beras nasional dilakukan impor beras. Dengan dimasukkannya beras menjadi sembako, petani padi tidak akan mungkin menikmati kenaikan pendapatan yang disebabkan oleh kenaikan harga beras dikarenakan kekurangan persediaan beras nasional, sebab Pemerintah selalu menjaga kecukupan persediaan beras sebagai salah satu bahan sembako dan mengadakan usaha-usaha agar harga beras stabil murah. Keputusan pemerintah untuk menetapkan beras sebagai salah satu bahan sembako adalah membedakan beras dengan bahan makanan lain, yang penetapan demikian mengakibatkan adanya pengendalian harga beras di pasar agar tidak menjadi terlalu mahal. Secara langsung, akibatnya petani padi tidak akan pernah mendapatkan keuntungan ekonomi yang cukup besar dari hasil tanaman padinya karena beras dimasukkan dalam kategori bahan sembako. Hal demikian, tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi diskriminasi karena Pemerintah menetapkan beras sebagai bahan sembako. Demikian juga adanya pembedaan antara kendaraan bermotor yang dibedakan antara jenis kendaraan mewah dan bukan kendaraan mewah sebagai dasar pengenaan pajak, tidaklah termasuk sebagai perlakuan diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 karena yang dibedakan adalah objek hak dan bukan subjek hukumnya. Apabila hak atas non-diskriminasi sebagai hak asasi manusia diterapkan kepada benda sebagai objek hak, maka akan merusak sendi-sendi hukum karena hukum justru membeda-bedakan benda atas dasar status hukumnya meskipun wujud dari benda tersebut sama; 135 [3.15.7] Bahwa Pemohon lebih lanjut mendalilkan tidaklah adil Pasal 113 UU 36/2009 a quo hanya mencantumkan tembakau sebagai zat adiktif, sedangkan ganja tidak dimasukkan sebagai zat adiktif padahal ganja nyata-nyata sebagai zat adiktif. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, bahwa adanya ketentuan Pasal 113 Undang-Undang a quo yang hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif tidaklah berarti bahwa jenis tanaman lain yang tidak disebutkan dalam Pasal a quo , secara serta-merta tidak termasuk zat adiktif, kalau memang nyata-nyata mengandung zat adiktif. Pasal 113 UU 36/2009 tidak menutup Undang-Undang lain untuk menyebutkan ada zat adiktif lain selain tembakau. Jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, pada 1976 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam UU Narkotika 1976 tersebut, diatur antara lain: • Pasal 2 menyatakan bahwa Menteri Kesehatan berwenang menetapkan: (i) alat-alat penyalahgunaan narkotika; (ii) bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan narkotika sebagai barang di bawah pengawasan; • Pasal 3 menyatakan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan dan terhadap narkotika tertentu yang sangat berbahaya dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan; • Pasal 4 menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan/atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk membeli, menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka , dan ganja . Lembaga yang menanam papaver, koka , dan ganja wajib membuat laporan tentang luas tanaman, hasil tanaman, dan sebagainya, yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. [3.15.8] Bahwa meskipun dalam UU Narkotika 1976 belum digunakan penyebutan zat adiktif, tetapi dalam bagian ”Menimbang huruf b” Undang-Undang tersebut dinyatakan, ”bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan 136 ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama”. Dengan demikian dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan dasar pengaturan terhadap tembakau dalam UU 36/2009 yaitu, ”dapat menimbulkan ketergantungan yang merugikan” yang artinya sebagai zat adiktif. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 huruf a UU Narkotika 1976, narkotika adalah bahan yang disebutkan pada Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 13, dan dalam angka 12 disebutkan, ”tanaman ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis, termasuk biji dan buahnya”. Dengan demikian, terhadap tanaman ganja telah dilakukan pengawasan dan bahkan larangan penanaman jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, yaitu sejak tahun 1976. UU Narkotika 1976 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan terakhir digantikan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang dalam Undang- Undang terbaru ini, pengawasan dan larangan terhadap tanaman ganja masih tetap diberlakukan. Dengan demikian ternyata bahwa terhadap tanaman ganja telah diatur pengawasannya sejak tahun 1976. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penyebutan tembakau sebagai zat adiktif pada Pasal 113 UU 36/2009 tidak menjadikan hanya tembakau saja yang termasuk sebagai zat adiktif secara eksklusif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 tersebut tidak melanggar larangan diskriminatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945; [3.15.9] Bahwa dalam persidangan terdapat ahli yang menyatakan bahwa penempatan pengaturan tembakau dalam Pasal 113 UU 36/2009 a quo adalah tidak tepat berdasarkan teori pembentukan Undang-Undang yang baik dan UU 36/2009 tersebut kurang sempurna pembuatannya karena Pasal 113 UU 36/2009 a quo terkesan tiba-tiba saja diatur, yang tidak terkait secara sistematis dengan materi lain yang diatur oleh UU 36/2009 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap hal tersebut, Mahkamah dalam beberapa putusannya telah menyatakan bahwa terhadap dalil bahwa sebuah norma adalah kabur yang dapat menimbulkan multitafsir, tidaklah serta-merta diputus sebagai norma yang tidak menjamin kepastian hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945, tetapi Mahkamah menyatakan hal demikian termasuk dalam implementasi dari 137 norma tersebut sehingga tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945. Dalam putusan-putusan yang lain, Mahkamah juga menyatakan bahwa apabila suatu norma yang dimohonkan untuk diuji ternyata dapat ditafsirkan secara berbeda dan perbedaan tafsir tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan dilanggarnya hak konstitusi warga negara, maka Mahkamah memberi putusan conditionally constitutional yaitu dengan memberi penafsiran tertentu supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau terlanggarnya hak-hak warga negara. Dalam Pasal 113 a quo sama sekali tidak bersangkut paut dengan soal diskriminasi terhadap subjek hukum, termasuk Pemohon, melainkan berkaitan dengan tembakau sebagai objek yang diatur oleh hukum sebagai zat adiktif. Dengan demikian, maka dikabulkan atau ditolaknya permohonan pengujian mengenai Pasal 113 Undang-Undang a quo tidak ada subjek hukum yang diuntungkan ataupun dirugikan secara konstitusional. Jaminan dan perlindungan yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945 adalah jaminan terhadap pengakuan serta perlindungan hukum kepada Pemohon, sedangkan Pasal 113 UU 36/2009 a quo sama sekali tidak mengubah pengakuan terhadap Pemohon. Dan juga pasal a quo tidak bersangkut paut dengan larangan untuk menanam tembakau. Sekiranya sekarang terdapat anjuran untuk beralih dari tanaman tembakau sebagaimana terjadi di wilayah Pemohon, hal demikian merupakan kebijakan yang tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 113 UU 36/2009; [3.15.10] Bahwa pembentukan Pasal 113 UU 36/2009 a quo dimaksudkan untuk menyatakan bahwa tembakau adalah termasuk zat adiktif, dan karena termasuk zat adiktif, maka akan diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya, sebagaimana kemudian ditentukan dalam Pasal 114, Pasal 115, dan Pasal 116 UU 36/2009. Apabila Pasal 113 Undang-Undang a quo dipandang kurang tepat penempatannya di dalam UU 36/2009, dan seandainya pun kemudian ditempatkan dalam Undang-Undang lain, hal demikian tidak akan mengubah daya berlaku dari substansi Pasal 113 tersebut. Artinya, substansi tersebut tetap menjadi sah meskipun tidak dicantumkan dalam UU 36/2009. Bahkan seandainyapun frasa ”zat 138 adiktif” dalam Pasal 113 Undang-Undang dihilangkan, hal demikian tidak akan mengubah fakta bahwa senyatanya tembakau memang mengandung zat adiktif; [3.15.11] Bahwa jaminan dan perlindungan hukum oleh Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menjamin penghasilan setiap warga negara, yang dalam perkara ini, melindungi penghasilan yang didapatkan dari harga jual tanaman tembakau. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa petani padilah yang sangat rentan terhadap rendahnya penghasilan karena harga beras yang tinggi tidak diinginkan terjadi karena Pemerintah dengan segala kewenangannya harus menjaga agar harga beras, yang termasuk bagian dari sembako, tidak terlalu tinggi. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah termasuk hak asasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yaitu generasi kedua dari hak asasi manusia. Terhadap hak untuk bekerja ini perlu kiranya dikutip apa yang disampaikan oleh Matthew Craven dalam “ The International Convention On Economic, Social and Cultural Rights. A Perspective on its Development ”, bahwa, “….any States would not accept an obligation to “guarantee” the right to work in the sense of ensuring full employment or eliminating unemployment. In particular, it was feared that such a guarantee would bind States to a centralized system of government and require that all labour be under the direct control of the State.” Dengan demikian, pengertian bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menyediakan lapangan kerja untuk seluruh warganya, karena jika hal demikian dilakukan, maka akan terjadi sentralisasi pemerintahan dan bahwa semua warga harus tunduk kepada pemerintah untuk bekerja dalam bidang yang disediakan oleh Pemerintah, padahal setiap warga negara mempunyai hak konstitusi untuk memilih lapangan kerja yang disukainya. Menyediakan lapangan kerja sesuai dengan keinginan setiap warga adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh pemerintahan manapun juga. Kewajiban Pemerintah terhadap hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya adalah untuk mengusahakan kesempatan seluas mungkin dengan cara bersungguh- sungguh agar setiap warga negara dapat menikmati hak tersebut dan bukannya negara harus bisa menyediakan lapangan kerja untuk setiap warga negaranya; 139 [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan hukum.

      4.

      KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

      5.

      AMAR PUTUSAN Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh Sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa tanggal delapan belas bulan Oktober tahun dua ribu sebelas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal satu bulan November tahun dua 140 ribu sebelas oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ida Ria Tambunan sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd Harjono ttd Ahmad Fadlil Sumadi ttd Anwar Usman ttd Hamdan Zoelva ttd Maria Farida Indrati ttd M. Akil Mochtar 141 6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) DAN ALASAN BERBEDA (CONCURRING OPINION) Terhadap putusan perkara ini terdapat 2 (dua) orang Hakim Konstitusi yang pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Hamdam Zoelva serta 1 (satu) orang Hakim Konstitusi yang memiliki alasan berbeda ( concurring opinion ) yaitu Hakim Konstitusi Achmad Sodiki sebagai berikut: [6.1] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar Bahwa pasal 113 termasuk dalam Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 yang mengatur tentang Pengamanan Zat Adiktif. Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 terdiri dari 4 (empat) pasal yaitu Pasal 113 sampai dengan Pasal 116. Dari bagian yang mengatur tentang zat adiktif tersebut, kata “tembakau”, “produk yang mengandung tembakau”, dan “rokok” dapat ditemukan pada Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 dan Pasal 115. Sedangkan bentuk zat adiktif lain tidak disebut secara khusus dalam Bagian Ketujuh Belas UU a quo . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “adiktif” berarti (1) bersifat kecanduan atau (2) bersifat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya. Dengan demikian, yang termasuk zat adiktif tidak hanya terdiri atas tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagaimana disebut pada Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan. Terdapat beragam jenis zat yang masuk dalam kategori “zat adiktif” misalnya Narkotika dan Psikotropika. Oleh karena itu, terdapat inkonsistensi antara judul bagian ketujuh belas UU a quo yang bertujuan mengatur tentang Pengamanan Zat Adiktif dengan isi ( content ) pasal yang terdapat dalam bagian ketujuh belas UU a quo yang memberikan porsi lebih besar dengan mengatur secara khusus mengenai rokok dan tembakau tanpa mengatur zat adiktif lainnya secara spesifik. Selain itu, terdapat inkonsistensi dari ketentuan Pasal 116 UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa pengamanan zat adiktif lainnya agar diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Padahal, pengaturan zat adiktif lain, selain rokok dan tembakau, telah 142 diatur dalam Undang-Undang dan tidak dengan Peraturan Pemerintah, yaitu zat adiktif berupa psikotropika diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Zat Adiktif berupa Narkotika diatur dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui penalaran semantik dapat disimpulkan bahwa, sejatinya, Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 adalah mengatur secara khusus mengenai Pengamanan Zat Adiktif berupa rokok dan tembakau. Setiap frasa “bahan yang mengandung zat adiktif” pada pasal yang berada dalam Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 cenderung mengarah pada rokok dan produk yang mengandung tembakau. Secara semantik, penyusunan bagian ketujuhbelas memiliki inkonsistensi karena penyebutan frasa “bahan yang mengandung zat adiktif”. Pembentuk Undang-Undang telah mempersempit makna zat adiktif yaitu hanya meliputi tembakau dan produk-produk tembakau, namun frasa ini mengandung pengertian luas yang juga mencakup zat adiktif lain, seperti psikotropika dan narkotika. Pengaturan yang tidak konsistens dalam UU 36/2009 serta dibaca dalam konteks semantik dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan konstitusi. Pandangan masyarakat mengenai tembakau berbeda dengan zat adiktif lainnya. Secara umum, masyarakat melihat Psikotropika dan Narkotika sebagai zat adiktif adalah barang ilegal yang tidak boleh dikonsumsi terkecuali bila digunakan untuk kepentingan tertentu dan oleh pihak yang berwenang seperti untuk pengobatan oleh para dokter. Lain halnya dengan rokok atau produk tembakau yang dapat dengan mudah ditemui atau diperoleh secara bebas. Rokok atau produk tembakau lainnya bukanlah barang ilegal. Sehingga, pandangan masyarakat tentang tembakau atau rokok sangat terbelah. Faktor kesehatan menjadi salah satu alasan yang menyebabkan perbedaan pandangan di masyarakat soal rokok dan produk tembakau. Setidaknya perubahan paradigma yang menekankan pada faktor demi melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok dan tembakau tergambarkan pada kalangan masyarakat 143 internasional yang diwakili oleh World Health Organization yang mengeluarkan kerangka kerja konvensi mengenai pengendalian tembakau ( Framework Convention on Tobacco Control -FCTC) dan berlaku sejak 27 Februari 2005. FCTC dinyatakan sebagai global trendsetter yang mengubah pandangan masyarakat akan bahaya rokok dan produk tembakau lainnya. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi konvensi ini. Dalam UU 36/2009 sangat terlihat adanya pengaruh FCTC dalam pengaturan mengenai pengendalian atau pengamanan rokok dan produk tembakau pada UU Kesehatan. Pasal 114 UU 36/2009 yang mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan selaras dengan article 11 FCTC yang mengatur tentang Packaging and Labelling of Tobacco Products , dan Pasal 115 UU 36/2009 yang menetapkan kawasan tanpa rokok sejalan dengan article 8 FCTC yang menetapkan Protection from Exposure to Tobacco Smoke . Pengaturan ketentuan pada bagian ketujuh belas UU Kesehatan yang mengatur mengenai pengamanan zat adiktif menjadi dasar untuk mengatur lebih lanjut tentang rokok dan produk tembakau dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan mengenai rokok dan produk tembakau menjadi hal yang tidak mudah karena melibatkan industri rokok yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, dari mulai sektor pertanian tembakau hingga produksi rokok. Selain itu, bagi masyarakat Indonesia rokok menjadi bagian dari warisan tradisi budaya masyarakat, terutama rokok kretek dari sebagian daerah di Indonesia. Sehingga kebijakan pemerintah dalam menetapkan pengaturan tentang rokok dan produk tembakau harus mampu melindungi hak konstitusional warga negara antara menikmati lingkungan yang sehat dan menjaga kelestarian warisan budaya masyarakat sekaligus mengakomodasi kepentingan petani tembakau dan tenaga kerja yang terlibat pada industri rokok dan produk tembakau. Memperhatikan ketentuan yang termuat di dalam Bagian Ke Tujuh Belas UU 36/2009 jelas terlihat kepentingan tersembunyi yang bertujuan agar tanaman termbakau yang merupakan bahan baku utama dari industri rokok adalah satu- satunya zat yang mengandung adiktif, yaitu kepentingan bisnis perdagangan produk-produk Nicotine Replacement Therapy (NRT) dan tanpa memperhatikan 144 dampak yang akan terjadi kepada petani tembakau yang memiliki hak ekonomi sosial dan budaya yang dijamin oleh UUD 1945; Pembatasan tembakau sebagai zat adiktif telah tidak memperhatikan fakta bahwa ada kurang lebih 6 juta rakyat Indonesia yang hidup dan perikehidupannya bergantung pada tembakau dengan segala industrinya. Apalagi industri tembakau merupakan salah satu kontributor terbesar pendanaan APBN. Pembatasan dapat saja dilakukan asalkan dalam kerangka untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain ( vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Jangan hanya demi satu kepentingan kemudian mengabaikan hak warga negara Indonesia, karena jika demikian maka telah terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam UUD 1945; Dengan memperhatikan uraian di atas, menurut pendapat saya, seharusnya Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon, yaitu menyatakan sepanjang frasa ”tembakau” dan ”produk yang mengandung tembakau” pada Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; [6.2] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva Pokok persoalan yang dimohonkan para Pemohon kepada Mahkamah adalah dicantumkannya secara spesifik tembakau dan produk yang mengandung tembakau dalam rangka pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan dalam Pasal 113 UU 36/2009. Keresahan Pemohon beserta para petani tembakau atas adanya ketentuan tersebut seharusnya dapat dipahami oleh Mahkamah mengapa hanya tembakau dan produk tembakau yang disebutkan secara kongkrit sebagai zat adiktif yang menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, dan sama sekali tidak menyinggung zat adiktif lainya. Hal itu 145 menimbulkan rasa ketidakadilan oleh Pemohon dan para petani tembakau yang seharusnya dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan rasa kekhawatiran akan terancamnya sumber kehidupan mereka yang secara turun temurun menanam tembakau untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya seperti yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945. Benar, rokok mengganggu kesehatan bagi para penggunanya. Tetapi apakah dengan sendirinya tembakau dan produk lainnya membahayakan bagi perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan adalah sesuatu yang masih perlu penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, yang seharusnya dikendalikan dan dibatasi adalah produk rokok yang sudah jelas membahayakan bagi kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, dan bukan tembakau. Tembakau sudah merupakan bagian kehidupan para petani yang secara turun temurun mengantungkan hidupnya dari hasil tanaman tembakau. Apabila tembakau dikendalikan, dan dibatasi produknya pasti akan mengancam kelangsungan kehidupan ekonomi dari para petani tembakau yang mencederai jaminan konstitusi kepada setiap orang untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya berdasarkan Pasal 28A UUD 1945. Hal itu, juga mencederai rasa keadilan para petani tembakau yang hanya menyebutkan tembakau dan segala produk tembakau sebagai zat adiktif, tanpa menyebutkan zat adiktif yang bersumber dari produk lain yang menurut berbagai penelitian terkandung dalam banyak sekali jenis tanaman. Dengan adanya kewenangan pengendalian dalam pasal a quo, tanpa batasan oleh undang-undang, akan memungkinkan pemerintah membatasi penanaman tembakau, serta jumlah produksi tembakau yang dapat dipastikan akan merugikan para petani yang menggantungkan ekonominya pada produksi tanaman tembakau. Untuk memulihkan rasa ketidakadilan dari para petani tembakau dan menjamin kelangsungan kehidupan ekonomi masyarakat sebagai petani tembakau seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu dengan menyatakan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dihilangkannya Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak dengan sendirinya menghilangkan kewenangan pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap tembakau dan 146 segala produknya karena kewenangannya masih dimungkinkan berdasarkan Pasal 116 UU 36/2009. Dengan dikabulkannya Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo , Mahkamah memberikan keadilan kepada para petani tembakau, sehingga yang dikendalikan oleh Pemerintah tidak hanya zat adiktif dari tembakau dan segala produknya, tetapi juga seluruh zat adiktif yang bersumber dari bahan-bahan lainnya. [6.3] Alasan Berbeda (Concurring Opinion) Hakim Konstitusi Achmad Sodiki Persoalan yang dikemukakan oleh Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009. Alasannya karena: • Pertama pasal tersebut hanya mencantumkan tanaman tembakau sebagai zat adiktif , sedangkan tanaman lainnya misalnya ganja tidak, padahal ganja mempunyai dampak tidak baik terhadap kesehatan. Tembakau yang disebut zat adiktif dianggap bertentangan dengan asas keadilan karena hanya mencantumkan tanaman tembakau sedangkan tanaman lainnya seperti ganja yang mengandung juga zat adiktif dan dilarang tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009. • Kedua dengan dicantumkannya tembakau sebagai zat adiktif memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was was mengalami kerugian materiil apabila menanam tembakau. Dengan demikian Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I UUD 1945. Pemohon juga mengingatkan adanya Putusan Mahkamah Nomor 6 PUU/VII/2009 tentang pengujian Pasal 46 ayat (3) huruf c sepanjang frasa “yang memperagakan wujud rokok” yang telah ditolak oleh Mahkamah untuk dibatalkan. • Tentang dimasukkannya tembakau sebagai zat adiktif. Tembakau merupakan produk pertanian yang di dalamnya termuat hak Pemohon yakni kepentingannya guna memenuhi kebutuhannya sebagai petani. Hak merupakan kepentingan yang dilindungi ( das subjective Recht ist rechtlich geschutztes Interesse” ). Bahkan Van Appeldoorn beranggapan hak adalah 147 suatu kekuatan yang diatur oleh hukum ( Het objective recht is een ordende macht, het subjective recht is een door objective recht geordende macht. Recht is macht) . Oleh sebab itu gangguan apapun bentuknya atas hak dapat berarti gangguan atas kepentingan subjek hukum. Jika kepentingan itu demikian kuat peranannya dalam kehidupan orang yang empunya hak, maka perubahan hak akan berpengaruh juga terhadap orang yang mempunyai hak tersebut, yang bisa bersifat menguntungkan dan dapat pula bersifat merugikan si empunya hak. Jika kepentingannya berupa kepentingan ekonomi, maka perlakuan yang berbeda atas kepentingan ekonomi tersebut dapat merugikan yang bersangkutan. Terlebih lagi jika kepentingan ekonomi tersebut berupa kepentingan yang menyangkut hajat hidup seseorang atau orang banyak. Hak tersebut berkaitan dengan objek hukum yakni segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi pokok (objek) perhubungan hukum. Jika pembedaan itu sekedar ingin membedakan antara jenis benda misalnya benda bergerak dengan benda tidak bergerak, hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tidaklah akan merugikan siapapun. Tetapi yang menjadi persoalan seringkali adanya perubahan dari status hak milik menjadi hak yang dikuasai langsung oleh negara atau sebaliknya hal ini menyangkut kepentingan yang mempunyai hak. Di dunia ini hampir tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak ada pemilik atau penguasanya, sehingga mustahil memisahkan suatu benda/hak dengan pemiliknya atau antara subjek hukum dengan haknya. Hal itu hanya terjadi pada zaman perbudakan tatkala sebagian manusia dianggap tidak mempunyai hak yakni menjadi budak. Budak disamakan dengan barang atau binatang karena diambil tenaga kerjanya, yang dapat dihaki dan dapat dijual belikan oleh yang empunya budak. Hanya manusia yang mempunyai hak yang disebut orang ( person atau persoon). Sekarang semua manusia adalah subjek hukum, oleh sebab itu ia merupakan pendukung hak, maka memisahkan dan tidak mengaitkan antara subjek hukum dengan objek hukum (hak) tidaklah tepat, karena zaman perbudakan telah berakhir. Penggolongan suatu benda dapat menimbulkan kerugian apabila benda tersebut yang semula tidak digolongkan sebagai benda yang dilarang menjadi 148 benda yang dilarang, misalnya daun ganja semula bukan merupakan barang yang dilarang tetapi kemudian dimasukkan sebagai barang yang dilarang mengedarkan, mengkonsumsi dan menjual belikan. Jadi terjadi politik kriminalisasi terhadap benda tersebut, karena bagi siapa yang mengedarkan, mengkonsumsi dan menjual belikan dikenakan ancaman pidana. Dampaknya, bagi masyarakat yang secara tradisi mengkonsumsi daun ganja menjadi tidak bebas lagi menggunakannya. Dalam dunia perdagangan juga terjadi hal demikian, dapat terjadi suatu benda yang semula dapat masuk bebas ke Indonesia menjadi benda yang dilarang masuk. Misalnya import daging sapi yang tadinya tidak terkena syarat halal .Karena diadakan klasifikasi daging yang halal dengan daging yang tidak halal terpaksa jika daging sapi diimport harus mendapatkan sertifikasi halal. Dengan demikian tidak semua daging sapi dapat diimport ke Indonesia, sehingga dapat merugikan para importer daging sapi, sebaliknya hal demikian menguntungkan pihak konsumen yang menghendaki kehalalan daging sapi. Dengan demikian pembedaan perlakuan yang didasarkan pada kepentingan secara langsung dapat berakibat merugikan suatu kelompok masyarakat tetapi dapat pula menguntungkan kelompok masyarakat lainnya. Hal inilah yang menyebabkan tidak mungkin dipisahkan antara subjek hukum yang berupa orang/badan hukum dengan kepentingan yang dimiliki oleh subjek hukum tersebut. • Pemohon mempersoalkan penggolongan tembakau sebagai zat adiktif dengan kepentingannya yang dengan digolongkan menjadi/ termasuk zat adiktif akan berakibat merugikannya, sedangkan zat lain yang juga mengandung zat adiktif tidak dimasukkan dalam pasal ganja, yaitu Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009. Pasal ini tidak mengandung maksud bahwa zat lain dengan sendirinya yang tidak disebut dalam pasal a quo dikecualikan sebagai zat adiktif misalnya ganja dan sebagainya. Pasal ini hanya menyatakan, zat adiktif meliputi tembakau dan seterusnya yang dihubungkan dengan ayat (1) nya diperlukan pengamanan dalam penggunaannya yakni tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan 149 lingkungan. Ada perbedaan antara tembakau dan ganja sekalipun ada persamaannya yaitu sebagai zat adiktif. Tembakau dan produk rokok masih bersifat legal dijual bebas dan boleh dikonsumsi secara umum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok daan tembakau), sekalipun terdapat pembatasannya seperti yang dimaksud oleh ayat (1) dan ayat (3) pasal a quo . Sedangkan ganja jelas bukan merupakan produk yang legal untuk dijual dan dikonsumsi oleh masyarakat, maka tidak bisa disamakan kedudukannya antara tembakau dengan ganja. Di sini tidak ada persoalan kepastian hukum karena permohonan Pemohon sekarang tidak termasuk persoalan yang dimohonkan pengujiannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008 sekalipun menyinggung masalah tembakau. Dalam dunia modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan nampak upaya manusia untuk hidup sehat bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Produk-produk yang dikonsumsi oleh manusia juga semakin beragam, sehingga kontrol terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh beragamnya zat-zat yang dikandung oleh makanan tersebut tidak mungkin dilakukan sendiri oleh perseorangan. Hal itu merupakan tugas negara untuk melindungi kepentingan kesehatan orang banyak. Sudah menjadi keyakinan dunia modern bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan.Oleh sebab itu meningkatnya jumlah perokok juga akan meningkatkan potensi kerugian yang akan diderita baik di bidang kesehatan, produktivitas kerja, sekalipun negara memperoleh pajak yang diambil dari produk rokok (tembakau). Kesadaran untuk menghindari rokok justru lebih banyak dari kalangan yang cukup berpendidikan dari pada dari kalangan yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan. Akan tetapi membatasi meluasnya bahaya merokok tidak mungkin hanya digantungkan pada kesadaran dari mereka yang terdidik, tetapi negara harus melakukan tindakan antisipatif agar dengan demikian kita akan mewarisi generasi yang sehat. Justru kebijakan yang dilakukan saat sekarang ini akan menjadi tidak adil jika tidak berdampak baik bagi generasi yang akan datang, karena generasi yang akan datang tidak dapat ikut serta menentukan kebijakan yang sekarang diambil oleh negara. Tidak dapat dipertanggung 150 jawabkan secara moral, generasi yang akan datang menderita karena kesalahan kebijakan generasi sekarang. Lagi pula seseorang tidak boleh menarik keuntungan dari perbuatannya yang nyata-nyata membahayakan orang lain. Tembakau sebagai zat adiktif sekaligus merupakan bahan rokok utama tidak dapat disangkal dapat menyebabkan penyakit kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan serta janin sebagaimana dicantumkan pada label peringatan setiap bungkus rokok. Oleh sebab itu maka permohonan Pemohon sudah tepat ditolak oleh Mahkamah. PANITERA PENGGANTI, ttd Ida Ria Tambunan

      • 1
      • ...
      • 65
      • 66
      • 67
      • ...
      • 73