Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/ata ...
Relevan terhadap
Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berupa:
pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah nilai Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah, yang digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) pertahun;
penyusutan yang dipercepat atas aktiva tetap berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal, dengan masa manfaat dan tarif penyusutan serta tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
untuk penyusutan yang dipercepat atas aktiva tetap berwujud: a) bukan bangunan Kelompok I, masa manfaat menjadi 2 (dua) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 50% (lima puluh persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 100% (seratus persen) yang dibebankan sekaligus; b) bukan bangunan Kelompok II, masa manfaat menjadi 4 (empat) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 50% (lima puluh persen); c) bukan bangunan Kelompok III, masa manfaat menjadi 8 (delapan) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 25% (dua puluh lima persen); d) bukan bangunan Kelompok IV, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 20% (dua puluh persen); e) bangunan permanen, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen); f) bangunan tidak permanen, masa manfaat menjadi 5 (lima) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 20% (dua puluh persen).
untuk amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud: a) Kelompok I, masa manfaat menjadi 2 (dua) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 50% (lima puluh persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 100% (seratus persen) yang dibebankan sekaligus; b) Kelompok II, masa manfaat menjadi 4 (empat) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 50% (lima puluh persen); c) Kelompok III, masa manfaat menjadi 8 (delapan) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 25% (dua puluh lima persen); d) Kelompok IV, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 20% (dua puluh persen).
pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; dan
kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
tambahan 1 (satu) tahun untuk Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dilakukan Wajib Pajak;
tambahan 1 (satu) tahun apabila Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat;
tambahan 1 (satu) tahun apabila Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan pada bidang energi baru dan terbarukan;
tambahan 1 (satu) tahun apabila mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
tambahan 1 (satu) tahun apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) paling lambat tahun pajak ke-2 (kedua);
tambahan 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun: a) tambahan 1 (satu) tahun apabila menambah paling sedikit 300 (tiga ratus) orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) tahun berturut-turut; atau b) tambahan 2 (dua) tahun apabila menambah paling sedikit 600 (enam ratus) orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) tahun berturut-turut;
tambahan 2 (dua) tahun apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman Modal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau
tambahan 2 (dua) tahun apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari nilai total penjualan dalam suatu tahun pajak, untuk Penanaman Modal pada bidang usaha yang diatur dalam Pasal 2 huruf a yang dilakukan di luar kawasan berikat.
Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada aktiva tetap berwujud, dan/atau aktiva tak berwujud yang dimiliki dan digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama.
Dalam hal Wajib Pajak memenuhi sebagian atau seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Wajib Pajak dimaksud dapat memperoleh tambahan jangka waktu kompensasi kerugian paling lama untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan atas Barang Milik Negara Hulu Minyak dan Gas Bumi
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk badan usaha tetap yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Pemerintah.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
BMN Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut BMN Hulu Migas adalah semua barang yang berasal dari pelaksanaan Kontrak Kerja Sama antara Kontraktor dengan Pemerintah, termasuk yang berasal dari Kontrak Karya/ Contract of Work ( CoW ) dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Pengelola Barang atas BMN Hulu Migas yang selanjutnya disebut Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN Hulu Migas.
Pengguna Barang atas BMN Hulu Migas yang selanjutnya disebut Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan Penggunaan BMN Hulu Migas.
Kuasa Pengguna Barang atas BMN Hulu Migas yang selanjutnya disebut Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pengelolaan BMN Hulu Migas sesuai dengan kewenangannya.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.
Laporan Realisasi Anggaran adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode.
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
Laporan Operasional adalah laporan yang menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam satu periode pelaporan.
Laporan Perubahan Ekuitas adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih serta pengungkapan lainnya yang diperlukan dalam rangka penyajian yang wajar.
Placed Into Service yang selanjutnya disingkat PIS adalah kondisi sebuah barang yang diadakan oleh KKKS telah siap/sudah digunakan untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Inventarisasi adalah proses kegiatan untuk pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan BMN.
Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu.
Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN TK adalah unit yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan atas BMN Hulu Migas pada tingkat satuan kerja.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus pada Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat UAKPA PB BUN TK adalah unit yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan atas BMN Hulu Migas yang berada pada Pengguna Barang.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus pada Pengelola Barang yang selanjutnya disingkat UAKPA PL BUN TK adalah unit yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan atas BMN Hulu Migas yang berada pada Pengelola Barang.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN TK/UAKPA PB BUN TK yang berada langsung di bawahnya.
Unit Akuntansi Pengguna Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disebut UAPBUN TK adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan Laporan Keuangan seluruh UAKPA BUN TK/UAKPA PB BUN TK/ UAKPA PL BUN TK/UAKKPA BUN TK.
Verifikasi adalah kegiatan memeriksa kelengkapan Dokumen Sumber secara formal yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan pencatatan aset.
Material Persediaan adalah barang/peralatan yang diadakan untuk disimpan, dirawat, dan dicatat menurut aturan pergudangan sebelum digunakan untuk kegiatan operasi KKKS.
Harta Benda Inventaris adalah aset berwujud atau tak berwujud yang diperoleh dan dimaksudkan untuk digunakan dalam operasi KKKS dan nilai perolehannya dimulai dari nilai tertentu sampai dengan nilai maksimal yang ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Barang.
Harta Benda Modal adalah aset berwujud atau tak berwujud yang digunakan dalam operasi KKKS yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun, bukan merupakan material habis pakai, dan biaya perolehannya lebih besar dari nilai maksimal Harta Benda Inventaris yang ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Barang.
Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam Laporan Keuangan, permintaan keterangan dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah dan Satuan Pengawas Internal untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas Laporan Keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi Oleh Menteri Keuangan
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN ASET EKS BANK DALAM LIKUIDASI OLEH MENTERI KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bank Dalam Likuidasi yang selanjutnya disingkat BDL adalah bank yang telah menerima dana talangan, fasilitas pembiayaan dan/atau dana penjaminan dari pemerintah serta dicabut izin usahanya yang diikuti dengan likuidasi bank. 2. Tim Likuidasi adalah tim yang bertugas melakukan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya. 3. Neraca Akhir Likuidasi yang selanjutnya disingkat NAL adalah neraca yang disusun oleh Tim Likuidasi setelah pelaksanaan likuidasi selesai. 4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bi dang keuangan negara. 5. Aset eks BDL yang selanjutnya disebut dengan Aset adalah harta atau kekayaan eks BDL. 6. Kas adalah uang tunai dan/atau saldo simpanan di bank yang setiap saat dapat dicairkan. 7. Aset Kredit adalah hak pemerintah yang berasal dari tagihan BDL terhadap debiturnya. 8. Aset Inventaris adalah Aset yang berupa barang selain tanah dan/atau bangunan, termasuk kendaraan bermotor, yang merupakan aset milik eks BDL dan/ a tau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 9. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, yang merupakan aset milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 10. Aset Saham adalah Aset berupa bukti kepemilikan suatu Perseroan Terbatas yang merupakan milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 11. Aset Obligasi adalah Aset berupa surat utang jangka menengah dan jangka panjang yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pemegang obligasi yang merupakan milik eks BDL dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 12. Aset Penempatan pada bank lain yang selanjutnya disebut Aset Penempatan adalah penanaman dana BDL pada bank atau lembaga keuangan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam bentuk pinjaman antarbank (interbank call money}, tabungan, deposito berjangka, dan bentuk lain. 13. Aset Properti adalah Aset berupa tanah dan/atau bangunan serta hak atas satuan rumah susun yang dokumen kepemilikannya dan/ a tau peralihannya berada dalam pengelolaan Menteri dan/atau tercatat dalam Daftar Nominatif dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus. 14. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 15. Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 16. Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 17. Direktur adalah pejabat eselon II pada kantor pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 18. Direktorat adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara. 19. Kantor Wilayah adalah kantor wilayah Direktorat Jenderal. 20. Kantor Pelayanan adalah unit vertikal pelayanan pada Kantor Wilayah. 21. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. 22. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya. 23. Inventarisasi adalah kegiatan pendataan, pencatatan, dan pelaporan Aset. 24. Verifikasi adalah kegiatan pemeriksaan mengenai kebenaran hasil Inventarisasi. 25. Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 26. Penilai Publik adalah penilai selain Penilai Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Penilai Publik. 27. Penilaian adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh penilai untuk memberikan suatu opini nilai yang didasarkan pada data/fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan metode/teknik tertentu atas objek tertentu pada saat tanggal Penilaian. 28. Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan Aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian. 29. Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh penjual. 30. Sewa adalah pemanfaatan Aset Properti oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan uang tunai. 31. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk um um dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang. 32. Nasabah Penyimpan Dana adalah nasabah penyimpan dana eks BDL yang tercatat dalam pembukuan BDL dan tidak termasuk yang dijamin oleh pemerintah. 33. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kernen terian/ Lembaga. 34. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. 35. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran untuk pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana. 36. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat dengan PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 37. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa Bendahara Umum Negara. 38. Surat Ketetapan Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disingkat SKP adalah dokumen sebagai dasar pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana yang memuat rincian besaran hak Nasabah Penyimpan Dana yang akan disetorkan ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam periode tertentu. 39. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 40. Surat Perintah Membayar Nasabah Penyimpan Dana yang selanjutnya disebut SPM Nasabah Penyimpan Dana adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. 41. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara berdasarkan SPM Nasabah Penyimpan Dana. Pasal 2 (1) Menteri berwenang melakukan pengelolaan Aset. (2) Dalam pelaksanaan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melimpahkan kewenangannya kepada:
Direktur Jenderal dalam bentuk subdelegasi; atau
pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. (3) Kewenangan subdelegasi pada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal. Pasal 3 Aset se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
Kas;
Aset Kredit;
Aset Inventaris;
Surat Berharga berupa Saham dan Obligasi;
Aset Penempatan; dan
Aset Properti, yang telah diserahkan kepada pemerintah. BAB II PENGELOLAAN ASET Bagian Kesatu Kas Pasal 4 (1) Direktorat melaksanakan pengelolaan Kas.
Pengelolaan Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
konfirmasi;
pencatatan pada suatu sistem informasi pengelolaan aset; dan
pelaporan atas penyetoran Aset berupa Kas ke kas negara. Bagian Kedua Aset Kredit Pasal 5 (1) Direktorat melakukan pengelolaan atas Aset Kredit. (2) Pengelolaan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
penatausahaan;dan b. penyerahan pengurusan kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 6 (1) Penatausahaan Aset Kredit dilakukan dengan cara:
Inventarisasi;
Verifikasi; dan
pelaporan pengelolaan Aset Kredit. (2) Penatausahaan Aset Kredit dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Aset Kredit dari jaminannya. (3) Hasil penatausahaan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Pasal 7 Pelaporan pengelolaan Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, dilakukan rekonsiliasi minimal 1 ( satu) kali dalam 1 (satu) semester antara Direktorat dengan Panitia Urusan Piutang Negara/Kantor Pelayanan. Paragraf 2 Penyerahan Pengurusan Kepada Panitia Urusan Piutang Negara Pasal 8 (1) Penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie). (2) Dalam hal tidak terdapat Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada surat pengakuan utang dari debitur. (3) Dalam hal tidak terdapat surat pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (4) Dalam hal terdapat Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie) dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 9 (1) Nilai penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (cessie). (2) Dalam hal terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, nilai penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. Pasal 10 (1) Dalam hal penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara didasarkan pada surat pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/ nilai utang yang tercantum dalam laporan keuangan tanggal pisah batas pembukuan (cut off date). (2) Dalam hal tidak terdapat laporan keuangan tanggal pisah batas pembukuan (cut off date), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/ nilai utang yang tercantum dalam NAL. (3) Dalam hal tidak terdapat NAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai penyerahan yang digunakan merupakan jumlah/nilai utang yang tercantum pada perjanjian kredit. Pasal 11 Direktur Jenderal menyerahkan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara. Pasal 12 (1) Direktur Jenderal selaku penyerah pengurusan Aset Kredit memiliki wewenang atas Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara untuk:
memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara terhadap permohonan penebusan barang jaminan dengan nilai di bawah nilai pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;
memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara terhadap permohonan penjualan tanpa melalui Lelang dengan nilai di bawah nilai pembebanan atau tidak ada pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;
melakukan koreksi atas jumlah utang yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara dalam hal terdapat:
kekeliruan dalam pencantuman nilai penyerahan; atau
sebab lain yang dapat di pertanggungjawabkan secara hukum;
mengajukan permohonan pencabutan pemblokiran, pengangkatan sita atas pemblokiran dan penyitaan yang sebelumnya dimohonkan oleh BDL atau Tim Likuidasi;
mengajukan permohonan roya;
mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaruan hak atas barangjaminan Aset Kredit yang akan/telah berakhir masa berlakunya; atau
mengajukan permohonan penggantian dokumen barang jaminan Aset Kredit yang rusak. (2) Permintaan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a minimal dilengkapi dengan:
resume berkas kasus piutang negara;
laporan Penilaian yang masih berlaku;
fotokopi dokumen kepemilikan dan/atau dokumen pengikatan; dan
fotokopi surat permohonan dari pemilik atau ahli waris. (3) Permintaan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b minimal dilengkapi dengan:
resume berkas kasus piutang negara;
laporan Penilaian yang masih berlaku;
fotokopi dokumen kepemilikan dan/ a tau dokumen pengikatan; dan
fotokopi surat permohonan dari debitur atau ahli waris. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, diberikan dalam hal nilai permohonan minimal sebesar Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. Pasal 13 (1) Aset Kredit yang pengurusannya ditolak oleh panitia urusan piutang negara disebabkan belum terpenuhinya kelengkapan persyaratan penyerahan piutang negara ditindaklanjuti oleh Direktorat dengan melakukan upaya pemenuhan kelengkapan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara. (2) Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
telah terpenuhi, Direktorat menyerahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara; a tau b. tidak terpenuhi, Direktorat melakukan upaya optimal berupa panggilan kepada debitur melalui media cetak atau website, dalam rangka penyelesaian kewajiban debitur. (3) Dalam hal debitur memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dan setelah dilakukan wawancara/penelitian terhadap debitur diperoleh dokumen/informasi yang dapat memenuhi persyaratan, Direktorat menyerahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. (4) Dalam hal Direktorat telah melakukan upaya optimal, Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan Aset Kredit eks BDL yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. (5) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Aset Kredit dicatat dalam daftar Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Pasal 14 Terhadap Aset Kredit yang dikembalikan pengurusannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara, Direktorat melakukan:
pencatatan secara terpisah dengan disertai keterangan alasan pengembalian oleh Panitia Urusan Piutang Negara; dan
upaya lebih lanjut pengelolaan Aset Kredit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara. Bagian Ketiga Aset lnventaris Pasal 15 Pengelolaan atas Aset Inventaris meliputi:
penatausahaan;
pengamanan dan pemeliharaan;
penjualan secara Lelang; dan
penetapan menjadi BMN. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 16 Penatausahaan Aset Inventaris dilakukan oleh Direktorat dengan cara:
lnventarisasi; dan
pelaporan pengelolaan Aset Inventaris. Pasal 17 (1) Terhadap Aset Inventaris dilakukan Inventarisasi untuk mengetahui jumlah dan kondisi Aset. (2) Hasil Inventarisasi dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 18 (1) Pengamanan dan pemeliharaan fisik beserta dokumen Aset Inventaris dilakukan oleh Direktorat. (2) Pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada Kantor Wilayah. (3) Pengamanan fisik Aset Inventaris dilakukan dengan cara menyimpan Aset Inventaris di dalam Aset Properti atau di tempat lain yang ditentukan oleh Direktur. Paragraf 3 Penjualan Secara Lelang Pasal 19 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Inventaris. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan melalui Lelang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (3) Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Kantor Pelayanan. (4) Lelang Aset Inventaris dilakukan dalam kondisi sebagaimana adanya (as is). (5) Dalam hal kondisi Aset Inventaris rusak berat dan tidak dapat digunakan berdasarkan hasil penelitian fisik oleh Direktorat, Aset Inventaris dapat dilelang sebagai rongsokan (scrap). (6) Nilai Limit Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan penilaian. (7) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkan, kecuali terdapat perubahan kondisi yang signifikan atas Aset Inventaris. Pasal 20 Dalam hal pelaksanaan penjualan lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 tidak laku, Aset Inventaris dapat ditetapkan statusnya sebagai BMN. Paragraf 4 Penetapan Menjadi BMN Pasal 21 (1) Penetapan Aset Inventaris menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan berdasarkan permohonan dari pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Direktur J enderal. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat alasan yang mendasari permohonan dan dilengkapi dengan:
data Aset Inventaris;
surat pernyataan komitmen menggunakan Aset Inventaris untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi;
surat pernyataan kesediaan menerima Aset Inventaris, dalam kondisi fisik dan/atau dokumen sebagaimana adanya _(as is); _ dan d. surat pernyataan kesediaan dan tanggung jawab penuh untuk melunasi dan menyelesaikan segala biaya serta kewajiban yang melekat pada Aset Inventaris tersebut. Pasal 22 (1) Direktorat melakukan penelitian atas permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:
permohonan disetujui, Aset Inventaris ditetapkan sebagai BMN dan ditetapkan status penggunaannya kepada Kementerian/Lembaga; atau
permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, disertai dengan alasan. Pasal 23 (1) Penetapan Aset Inventaris menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada huruf a minimal memuat:
pertimbangan penetapan status penggunaan;
identitas Aset Inventaris yang ditetapkan statusnya menjadi BMN;
pengguna barang;
tindak lanjut penetapan status penggunaan; dan
kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Inventaris yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (3) Dalam identitas Aset Inventaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, memuat pula nilai Aset Inventaris yang merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. (4) Penetapan status penggunaan Aset Inventaris ditindaklanjuti dengan pembuatan berita acara serah terima Aset Inventaris dari Direktorat kepada Kementerian/ Lembaga. Bagian Keempat Surat Berharga Pasal 24 Pengelolaan Surat Berharga meliputi:
penatausahaan;
permintaan konfirmasi kepemilikan;
menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO);
permintaan pembayaran atas dividen saham atau bunga obligasi;
pencairan obligasi; dan
penjualan Aset Saham. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 25 (1) Penatausahaan Surat Berharga dilakukan oleh Direktorat dengan cara:
Inventarisasi;
Verifikasi; dan
pelaporan pengelolaan Surat Berharga. (2) Penatausahaan Surat Berharga dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Surat Berharga. (3) Hasil penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sis tern informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Permintaan Konfirmasi Kepemilikan Pasal 26 Direktur meminta konfirmasi kepemilikan Surat Berharga yang telah ditatausahakan kepada:
Biro Administrasi Ef ek;
PT Kustodian Sentral Efek Indonesia;
Emiten; dan/atau
penerbit obligasi. Paragraf 3 Menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang Obligasi Pasal 27 (1) Direktur ber hak menghadiri dan mengam bil kepu tusan dalam RUPS sesuai dengan ketentuan pada anggaran dasar perseroan atau RUPO sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan. (2) Direktur dapat memberikan kuasa kepada pejabat atau pegawai dibawahnya dengan hak substitusi untuk menghadiri dan memberikan suara dalam RUPS atau RUPO sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dimaksudkan untuk melakukan penambahan modal oleh Menteri. Paragraf 4 Permintaan Pembayaran Atas Dividen Saham atau Bunga Obligasi Pasal 28 (1) Direktur melakukan monitoring atas pembayaran dividen atau bunga obligasi. (2) Dalam pelaksanaan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur meminta pembayaran atas:
dividen saham; dan/atau
bunga obligasi setiap jatuh tempo. Paragraf 5 Pencairan Obligasi Pasal 29 Direktur melakukan pencairan Surat Berharga berupa obligasi. Paragraf 6 Penjualan Aset Saham Pasal 30 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Saham:
melalui Lelang; atau
tanpa melalui Lelang. (2) Penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar perusahaan, perjanjian antar pemegang saham, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelaksanaan penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikuasakan kepada Direktur.
(2) (3) (4) (5) (6) Pasal 31 Penjualan Aset Saham melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a dilakukan melalui Kantor Pelayanan. Penjualan Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Aset Saham pada perusahaan tertutup yang pemegang saham dan/ a tau karyawan tidak menggunakan haknya untuk membeli; dan/atau
saham pada perusahaan terbuka yang tidak tercatat di bursa efek. Nilai Limit penjualan melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan. Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. Permohonan Penilaian Aset Saham kepada Pemerintah disampaikan oleh Direktur sesuai Penilai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (7) Ketentuan mengenai penjualan melalui Lelang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. Pasal 32 Dalam hal Aset Saham pada perusahaan tertutup yang anggaran dasar perusahaan mengatur mengenai adanya hak pemegang saham atau karyawan untuk membeli terlebih dahulu, penawaran penjualan Aset Saham dilakukan dengan menggunakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. Pasal 33 (1) Aset Saham yang dilakukan penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) huruf b merupakan Aset Saham pada perusahaan terbuka yang tercatat/ terdaftar di bursa efek. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik melalui bursa efek maupun di luar bursa efek dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. (3) Nilai Limit penjualan Aset Saham tanpa melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil analisis perhitungan rata-rata penutupan harian yang diperoleh dari harga penutupan selama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum proses penjualan Aset Saham. (4) Nilai limit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkan. (5) Harga penjualan minimal sama dengan Nilai Limit. Bagian Kelima Aset Penempatan Pasal 34 Pengelolaan Aset Penempatan meliputi:
penatausahaan; dan
pencairan dan/atau penagihan dana pada bank peny1mpan. Pasal 35 (1) Penatausahaan Aset Penempatan dilakukan oleh Direktorat dengan cara:
Inventarisasi;
Verifikasi; dan
pelaporan pengelolaan Aset Penempatan. (2) Penatausahaan Aset Penempatan dilakukan oleh Direktorat terhadap dokumen Aset Penempatan. (3) Hasil penatausahaan Aset Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Pasal 36 Direktur melakukan pencairan dan/atau penagihan Aset Penempatan dengan cara mengajukan permintaan pencairan dan/atau penagihan pada bank penyimpan. Bagian Keenam Aset Properti Pasal 37 Aset Properti terdiri atas:
Aset tetap, yaitu Aset Properti yang berasal dari milik eks BDL;
Barang Jaminan Diambil Alih, yaitu Aset Properti yang berasal dari barangjaminan kredit yang telah diambil alih dan/atau dikuasai oleh eks BDL;
Aset yang diperoleh berdasarkan penetapan/ putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan
Aset yang berasal dari penyerahan pemegang saham kepada BDL untuk menyelesaikan permasalahan permodalan dan likuiditas BDL. Pasal 38 Pengelolaan atas Aset Properti meliputi:
penatausahaan;
pengamanan dan pemeliharaan;
penjualan;
penetapan Aset Properti menjadi BMN; dan
pemanfaatan dalam bentuk Sewa. Paragraf 1 Penatausahaan Pasal 39 (1) Direktorat melaksanakan penatausahaan Aset Properti melalui Inventarisasi dan Verifikasi dokumen. (2) Inventarisasi dan Verifikasi dokumen Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
dokumen yang dikuasai oleh Kementerian Keuangan; dan/atau
dokumen lain yang terkait dengan status Aset Properti. (3) Inventarisasi dan Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk:
proses Verifikasi Aset Properti;
peninjauan fisik atas Aset Properti;
kodifikasi atas Aset Properti; dan
pencatatan setiap perubahan jumlah Aset Properti, nilai Aset Properti, dan penerimaan hasil pengelolaan Aset Properti yang dikarenakan adanya penjualan, penetapan Aset Properti menjadi BMN, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau perubahan lain yang sah. (4) Hasil Inventarisasi dan Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicatat oleh Direktorat dalam suatu sistem informasi pengelolaan Aset. Paragraf 2 Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 40 Pengamanan dan pemeliharaan Aset Properti dilakukan terhadap:
fisik Aset Properti; dan
dokumen Aset Properti. Pasal 41 (1) Pengamanan dan pemeliharaan fisik Aset Properti dilakukan oleh Kantor Wilayah. (2) Dalam hal Aset Properti tidak berada dalam penguasaan pihak lain yang tidak berhak, dapat dilakukan pembayaran atas biaya pemeliharaan. (3) Dalam pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kantor Wilayah menunjuk wakil kerja untuk melaksanakan pengamanan fisik Aset Properti. (4) Kantor Wilayah menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan Aset Properti kepada Direktorat. (5) Direktorat melakukan evaluasi atas laporan yang disampaikan oleh Kantor Wilayah yang hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal. (6) Direktorat/Kantor Wilayah dapat meminta bantuan kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi berwenang lainnya, guna pengamanan fisik Aset Properti. Pasal 42 (1) Pengamanan dan pemeliharaan atas dokumen Aset Properti dilaksanakan oleh Direktur. (2) Pengamanan dan pemeliharaan dokumen Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Verifikasi masa berlaku hak atas Aset Properti;
konfirmasi atas status hukum Aset Properti kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi terkait; dan
penyimpanan dokumen Aset Properti secara tertib dan rapi di tempat yang aman. (3) Dalam pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan dokumen Aset Properti, Direktur dapat meminta bantuan kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau instansi berwenang lainnya. Pasal 43 (1) Untuk pengamanan Aset Properti, Direktur dapat melakukan pemblokiran Aset Properti. (2) Dalam pelaksanaan pemblokiran Aset Properti, Direktur dapat meminta bantuan Kepala Kantor wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan setempat. Paragraf 3 Penjualan Pasal 44 (1) Direktur Jenderal dapat melakukan penjualan atas Aset Properti. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
melalui Lelang;
tanpa melalui Lelang. Pasal 45 (1) Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf a dilaksanakan melalui Kantor Pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. (2) Aset Properti yang dilakukan penjualan melalui lelang merupakan Aset Properti dalam kondisi fisik dan/ a tau dokumen apa adanya (as is}, termasuk biaya terutang (tunggakan biaya) yang melekat (3) Nilai Limit penjualan melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. (4) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (5) Permohonan penilaian Aset Properti kepada Penilai Pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (4) huruf a dilakukan oleh Direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (6) Nilai Limit yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal berlaku selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penetapan Nilai Limit. (7) Dalam hal terdapat perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Properti, masa berlaku Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat kurang dari 1 (satu) tahun. (8) Perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:
perubahan fisik yang antara lain disebabkan karena pelebaran jalan, bencana alam, dan abrasi; atau
perubahan peruntukan. (9) Terhadap Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dilakukan Penilaian ulang untuk memperoleh Nilai Wajar terbaru atas Aset Properti. (10) Direktur Jenderal menetapkan Nilai Limit minimal sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan hasil Penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Pasal 46 (1) Dalam hal Aset Properti tidak laku terjual dalam dua kali Lelang:
untuk Lelang selanjutnya dapat diberikan faktor penyesuai atas Nilai Wajar Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (10); atau
Aset Properti dilakukan Penjualan Tanpa melalui Lelang. (2) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan berdasarkan pertimbangan dan kajian oleh Direktorat. (3) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan dengan prosentase pengurangan paling besar 30 % (tiga puluh persen) dari nilai wajar. (4) Dalam pemberian faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu. Pasal 47 (1) Penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) hurufb dapat dilaksanakan dalam hal:
tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang- undangan di bidang Lelang untuk dapat dilakukan penjualan Aset Properti melalui Lelang; atau
Aset Properti tidak terjual dalam dua kali penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b. (2) Ketentuan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berdasarkan hasil Verifikasi oleh Direktorat dan/atau rekomendasi komite penyelesaian Aset Properti yang dibentuk Direktur Jenderal. (3) Pihak yang dapat melakukan Penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pihak lain yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan atau orang lain yang dinyatakan sebagai pemilik berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau ahli warisnya, dan tidak termasuk _nominee; _ b. badan hukum yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan yang diwakili oleh pengurus yang masih aktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
eks debitur terkait yang sudah tidak mempunyai kewajiban kepada BDL c.q. Pemerintah Republik Indonesia;
pihak lain yang telah menguasai Aset Properti secara fisik minimal 20 (dua puluh) tahun dan telah mendirikan bangunan permanen; atau
pihak selain pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal. (4) Dalam pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu atas permohonan pembelian tanpa melalui Lelang. (5) Eks debitur terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dapat mengikuti penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti berupa:
Barang Jaminan Diambil Alih; atau
Barang Jaminan Diambil Alih yang dicatat sebagai Aset Tetap pada laporan keuangan BDL. Pasal 48 (1) Pihak yang terafiliasi dengan eks BDL tidak dapat mengikuti penjualan tanpa melalui Lelang. (2) Pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
komisaris/pengawas eks BDL;
direksi/pengurus eks BDL; dan/atau
pemegang saham eks BDL. (3) Pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk keluarga sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/ a tau ke samping satu derajat. Pasal 49 (1) Pihak yang dapat menjadi pembeli dalam penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 7 ayat (3) harus mengajukan surat permohonan kepada Direktur Jenderal, yang minimal memuat:
uraian Aset Properti yang akan dimohonkan untuk dilaksanakan penjualan tanpa melalui Lelang;
identitas pemohon; dan
nilai penawaran. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat pernyataan secara notariil dari pemohon yang menyatakan bukan se bagai pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 50 (1) Penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti dapat disetujui apabila nilai penawaran minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian. (2) Nilai penjualan tanpa melalui Lelang ditetapkan oleh Direktur Jenderal minimal sama dengan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian yang dilakukan oleh penilai. (3) Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (4) Permohonan Penilaian Aset Properti kepada Penilai Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Direktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (5) Persetujuan penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti diberikan oleh Direktur Jenderal berdasarkan rekomendasi dari Direktur.
Permohonan penjualan tanpa melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat disetujui apabila nilai penawaran minimal sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan laporan Penilaian. (7) Dalam kondisi tertentu, atas Nilai Wajar Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diberikan faktor penyesuai. (8) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan dengan pertimbangan tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (9) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan prosentase pengurangan dari Nilai Wajar paling tinggi sebesar 30 % (tiga puluh persen). (10) Dalam pemberian faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal dapat meminta bantuan aparat pengawasan internal pemerintah untuk melakukan reviu. Paragraf 4 Penetapan Aset Properti Menjadi BMN Pasal 51 (1) Menteri dapat menetapkan Aset Properti menjadi BMN. (2) Aset Properti yang dapat ditetapkan menjadi BMN meliputi:
Aset Properti yang dilengkapi dengan:
dokumen pengalihan hak dari Tim Likuidasi; atau
dokumen pengalihan hak dari pemilik asal kepada BDL/Tim Likuidasi;
Aset Properti yang tidak dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, namun tercatat pada NAL sebagai Aset Properti; dan
Aset Properti yang tidak dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan tidak tercatat pada NAL. (3) Dokumen pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak terbatas pada akta kuasa untuk menjual, ppjb, ajb, Risalah Lelang, surat pernyataan dari pemilik/eks BDL/Tim Likuidasi, berita acara serah terima atau dokumen pengalihan hak lainnya. Pasal 52 (1) A set Properti se bagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b, dapat ditetapkan sebagai BMN dengan mekanisme:
Verifikasi; dan
diumumkan dalam media cetak sebanyak 2 (dua) kali dengan rentang waktu 30 (tiga puluh) hari. (2) Dalam proses penetapan sebagai BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat dapat meminta reviu aparat pengawasan internal pemerintah. Pasal 53 Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf c ditetapkan menjadi BMN setelah mendapatkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 54 Penetapan Aset Properti menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan:
berdasarkan permohonan dari pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Direktur Jenderal; atau
tanpa didahului permohonan dari Kementerian/Lembaga. Pasal 55 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a minimal memuat alasan yang mendasari permohonan dan dilampiri dengan:
data Aset Properti;
surat pernyataan komitmen menggunakan Aset Properti untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi;
surat pernyataan kesediaan menerima Aset Properti, dalam kondisi fisik dan/atau dokumen sebagaimana adanya _(as is); _ dan d. surat pernyataan kesediaan dan tanggung jawab penuh untuk melunasi dan menyelesaikan segala biaya serta kewajiban yang melekat pada Aset Properti tersebut. (2) Dalam hal Aset Properti berasal dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global lnternasional Tbk (Dalam Likuidasi) selain kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dilampiri pula dengan surat pernyataan bersedia menyelesaikan kewajiban pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana. Pasal 56 (1) Direktorat melakukan penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian:
permohonan disetujui, Aset Properti ditetapkan sebagai BMN dan ditetapkan status penggunaannya kepada Kementerian/Lembaga; atau
permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan Kementerian/Lembaga, disertai dengan alasan. Pasal 57 (1) Penetapan Aset Properti menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya se bagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
pertimbangan penetapan status penggunaan;
identitas Aset Properti yang ditetapkan statusnya menjadi BMN;
nilai Aset Properti;
pengguna barang;
tindak lanjut penetapan status penggunaan; dan
kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Properti yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (3) Nilai Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. (4) Penetapan Aset Properti menjadi BMN dan penetapan status penggunaannya ditindaklanjuti dengan pembuatan berita acara serah terima Aset Properti dari Direktorat kepada Kementerian/ Lembaga. Pasal 58 (1) Penetapan Aset Properti menjadi BMN tanpa didahului permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dilaksanakan dengan tahapan:
Direktorat menyusun daftar Aset Properti yang direncanakan akan ditetapkan menjadi BMN; dan
Direktorat melakukan kajian atas Aset Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Penetapan Aset Properti menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur J enderal atas nama Menteri melalui Keputusan Menteri. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
pertimbangan penetapan Aset Properti menjadi BMN;
identitas Aset Properti yang ditetapkan menjadi BMN;
nilai Aset Properti; dan
kewajiban pembayaran hak Nasabah Penyimpan Dana, dalam hal Aset Properti yang ditetapkan merupakan aset dari PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi), PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi), dan PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi). (4) Nilai Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Nilai Wajar berdasarkan laporan Penilaian dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. (5) Aset Properti yang telah ditetapkan menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengelolaannya berada pada Direktorat Jenderal. Paragraf 5 Pemanfaatan Dalam Bentuk Sewa Pasal 59 (1) Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri dapat melakukan pemanfaatan Aset Properti dengan cara Sewa. (2) Sewa Aset Properti dilakukan dengan tujuan:
mencegah penggunaan Aset Properti oleh pihak lain secara tidak sah; atau
mengoptimalkan Aset Properti yang:
belum diajukan Lelang;
belum dilakukan penjualan tanpa melalui Lelang; atau
belum ditetapkan menjadi BMN. (3) Jangka waktu Sewa paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang dalam hal behim terdapat rencana pengelolaan lainnya atas Aset Properti. Pasal 60 (1) Calon penyewa Aset Properti mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah. (2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
uraian Aset Properti yang akan disewa;
identitas calon penyewa;
rencana peruntukan Sewa;
usulan besaran Sewa; dan
usulan jangka waktu Sewa. (3) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat pernyataan untuk tidak menyewakan kembali kepada pihak lain atau menyerahkan dalam bentuk dan cara apapun objek Sewa kepada pihak lain. (4) Kantor Wilayah melakukan penelitian atas permohonan Sewa atas Aset Properti se bagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk melakukan konfirmasi kepada Direktorat atas rencana pengelolaan Aset Properti yang dimohonkan Sewa. (6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
disetujui, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan persetujuan Sewa; atau
tidak disetujui, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan surat penolakan kepada calon penyewa disertai dengan alasannya. Pasal 61 (1) Berdasarkan persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (6) huruf a, Kepala Kantor Wilayah menindaklanjuti dengan penandatanganan perjanjian Sewa dengan pihak penyewa. (2) Kepala Kantor Wilayah melaporkan pelaksanaan penandatangan perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur dengan melampirkan:
Persetujuan Sewa;
Bukti Setor; dan
Perjanjian Sewa. Pasal 62 Pembayaran uang Sewa secara sekaligus paling lambat dibayarkan sebelum ditandatanganinya perjanjian Sewa dengan cara disetorkan ke kas negara dan diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban eks BDL kepada pemerintah. Pasal 63 Sewa berakhir dalam hal:
berakhirnya jangka waktu Sewa sebagaimana tertuang dalam perjanjian Sewa;
berlakunya syarat batal sesuai perjanjian; dan / a tau c. ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 64 Ketentuan pemanfaatan dalam bentuk Sewa atas Aset Properti sepanJang tidak diatur dalam Peraturan Menteri m1 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB III INVENTARISASI DAN PENILAIAN Pasal 65 (1) Aset Kredit, Aset Inventaris, Surat Berharga berupa saham dan obligasi, Aset Penempatan, dan Aset Properti yang telah diserahkan kepada Pemerin tah dilakukan Inventarisasi dan Penilaian. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur. (3) Dalam hal Penilaian dilakukan oleh Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, proses pengadaan jasa Penilai Publik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa oleh instansi pemerintah. (4) Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dibidang Inventarisasi dan Penilaian. (5) Hasil dari pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian ditindaklanjuti dengan:
pencatatan pada suatu sistem informasi pengelolaan aset; dan
penatausahaan. Pasal 66 Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara. BAB IV HASIL PENGELOLAAN ASET Pasal 67 (1) Hasil pengelolaan Aset terdiri atas:
hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai; dan
hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai. (2) Hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai berasal dari:
pembayaran/pelunasan Aset Kredit yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara;
Lelang Aset Inventaris;
pembayaran atas dividen saham dan bunga obligasi;
pencairan obligasi;
penjualan atas Surat Berharga;
pencairan dan/atau penagihan dana Aset Penempatan pada bank penyimpan;
Lelang Aset Properti;
penjualan tanpa melalui Lelang Aset Properti; dan
Sewa Aset Properti. (3) Hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai berasal dari:
penetapan Aset Inventaris menjadi BMN; dan
penetapan Aset Properti menjadi BMN. Pasal 68 (1) Hasil pengelolaan Aset berupa uang tunai yang berasal dari:
Lelang Aset Inventaris;
pembayaran atas dividen saham dan bunga obligasi;
pencairan obligasi;
penjualan atas Surat Berharga;
pencairan dan/atau penagihan dana Aset Penempatan pada bank penyimpan;
Lelang Aset Properti;
penjualan tanpa melalui Lelang; dan
Sewa Aset Properti, dikenakan biaya pengelolaan Aset. (2) Biaya pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. (3) Pengenaan Biaya pengelolaan Aset dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 69 (1) Hasil pengelolaan A set se bagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang berasal dari:
PT Bank Anrico (Dalam Likuidasi);
PT Bank Guna Internasional (Dalam Likuidasi);
PT Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi);
PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal (Dalam Likuidasi);
PT Bank Kosagraha Semesta Sejahtera (Dalam Likuidasi);
PT Bank Mataram Dhanarta (Dalam Likuidasi);
PT Bank Pasific (Dalam Likuidasi);
PT Sejahtera Bank Umum (Dalam Likuidasi);
PT South East Asia Bank (Dalam Likuidasi);
PT Bank Dwipa Semesta (Dalam Likuidasi);
PT Astria Raya Bank (Dalam Likuidasi) ;
PT Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi);
PT Bank Industri (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Prasidha Utama (Dalam Likuidasi), setelah dikurangi biaya pengelolaan Aset merupakan hak pemerintah. (2) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang berasal dari:
PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi);
PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi), setelah diperhitungkan dengan biaya pengelolaan Aset dan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana, merupakan hak pemerintah. Pasal 70 (1) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) yang berasal dari:
PT Bank Anrico (Dalam Likuidasi);
PT Bank Guna Internasional (Dalam Likuidasi);
PT Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi);
PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal (Dalam Likuidasi);
PT Bank Kosagraha Semesta Sejahtera (Dalam Likuidasi);
PT Bank Mataram Dhanarta (Dalam Likuidasi);
PT Bank Pasific (Dalam Likuidasi);
PT Sejahtera Bank Umum (Dalam Likuidasi);
PT South East Asia Bank (Dalam Likuidasi); J. PT Bank Dwipa Semesta (Dalam Likuidasi);
PT Astria Raya Bank (Dalam Likuidasi);
PT Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi);
PT Bank Industri (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Prasidha Utama (Dalam Likuidasi), merupakan hak pemerintah. (2) Hasil pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) yang berasal dari:
PT Bank Asiatic (Dalam Likuidasi);
PT Bank Dagang Bali (Dalam Likuidasi); dan
PT Bank Global Internasional Tbk (Dalam Likuidasi), setelah diperhitungkan dengan pembayaran kepada Nasabah Penyimpan Dana merupakan hak pemerintah. Pasal 71 Hak pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70 diperhitungkan sebagai pengurang piutang pemerintah pada BDL yang tercantum dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Pasal 72 Biaya pengelolaan Aset, hak pemerintah, dan dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana dari hasil pengelolaan Aset yang berupa uang tunai disetor ke kas negara. Pasal 73 Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) merupakan Nasabah Penyimpan Dana yang masih memiliki hak atas hasil pengelolaan Aset yang besarannya ditetapkan oleh Tim Likuidasi dan disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 74 (1) Menteri selaku Bendahara Umum Negara adalah PA pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Menteri menunjuk Direktur Jenderal untuk melaksanakan fungsi PA atas pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (3) Menteri selaku PA menunjuk Direktur selaku KPA. (4) Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat ex-officio. Pasal 75 (1) KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Untuk melaksanakan tanggung jawab, KPA menetapkan:
PPK; dan
PPSPM. Pasal 76 (1) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf a dilakukan untuk mengajukan permintaan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Penetapan PPK tidak terikat tahun anggaran. Pasal 77 (1) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b dilakukan untuk pengujian permintaan pembayaran, pembebanan, dan penerbitan perintah pembayaran Nasabah Penyimpan Dana. (2) Penetapan PPSPM tidak terikat tahun anggaran. Pasal 78 (1) Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana dilakukan ke rekening pada bank yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan realisasi dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana pada kas negara pada tahun sebelumnya. Pasal 79 Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilaksanakan setiap tahun yang besaran nilai pembayarannya didasarkan pada Laporan Keuangan BUN audited tahun sebelumnya.
(2) Pasal 80 Direktur Jenderal menetapkan keputusan mengenai besaran pembayaran Nasabah Penyimpan Dana untuk masing-masing BDL berdasarkan data realisasi dana pembayaran Nasabah Penyimpan Dana pada kas negara tahun sebelumnya. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun.
Besaran nilai pembayaran Nasabah Penyimpan Dana yang ditetapkan dalam keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada Laporan Keuangan BUN audited tahun sebelumnya. Pasal 81 Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) mengenai be saran pembayaran Nasabah Penyimpan Dana untuk masing-masing BDL, KPA menerbitkan SKP. Pasal 82 (1) Berdasarkan SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, PPK menerbitkan SPP untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78. (2) PPK menyampaikan SPP kepada PPSPM dengan melampirkan SKP. (3) Berdasarkan SPP, PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP beserta lampirannya. (4) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, PPSPM menerbitkan SPM Nasabah Penyimpan Dana untuk pembayaran Nasabah Penyimpan Dana ke rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk KPPN; dan
lembar ke-3 untuk pertinggal. (5) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, PPSPM mengembalikan SPP kepada PPK untuk diperbaiki dan dilengkapi. (6) PPSPM menyampaikan SPM Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada KPPN. Pasal 83 Berdasarkan SPM Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dan SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan penerbitan SP2D. Pasal 84 (1) Dalam hal pada tahun berjalan terdapat selisih kelebihan/kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), dapat diperhitungkan dengan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana periode berikutnya. (2) Selisih kelebihan/kekurangan pembayaran Nasabah Penyimpan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada hasil rekonsiliasi antara Direktorat Jenderal dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang dituangkan dalam berita acara. Pasal 85 Pembayaran Nasabah Penyimpan Dana atas hasil pengelolaan Aset yang bukan berupa uang tunai dibebankan pada bagian anggaran Kementerian/Lembaga penerima manfaat dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. BABV PENANGANANPERKARA Pasal 86 (1) Penanganan perkara di lembaga peradilan atas Aset dilakukan oleh Biro yang mempunyai tugas mengoordinasikan dan melaksanakan advokasi hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan dengan mengikutsertakan Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal. (2) Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal menyampaikan laporan perkembangan penanganan perkara tiap triwulan kepada Direktur Jenderal dengan ditembuskan kepada Direktur. (3) Untuk penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat yang memiliki tugas dan fungsi di bidang bantuan hukum pada Direktorat Jenderal berkoordinasi dengan Biro yang mempunyai tugas mengoordinasikan dan melaksanakan advokasi hukum pada Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Pasal 87 Pengelolaan Aset yang berperkara dilakukan oleh Direktorat dengan mempertimbangkan perkara hukum atas Aset. BAB VI PELAPORAN Pasal 88 (1) Direktur menyampaikan laporan pengelolaan Aset setiap tahun kepada Direktur Jenderal. (2) Laporan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perkembangan dan hasil pengelolaan Aset. Pasal 89 Direktur dengan sistem Untuk pertanggungjawaban pengelolaan Aset, Jenderal menyusun laporan keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. BAB VII MONITORING DAN EVALUASI Pasal 90 (1) Direktur Jenderal melakukan monitoring dan evaluasi atas pengelolaan Aset. (2) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyempurnakan dan mengoptimalkan pengelolaan Aset. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 91 (1) Seluruh proses pengelolaan Aset oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap sah. (2) Pengelolaan Aset yang telah mendapatkan persetujuan Menteri dinyatakan tetap berlaku dan proses selanjutnya mengikuti ketentuan yang berlaku pada saat persetujuan Menteri diterbitkan. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 92 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.06/2019 tentang Pengelolaan Aset Eks Bank dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1559), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;dan b. pengelolaan Aset yang belum mendapatkan persetujuan, selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri 1n1. Pasal 93 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Tata Cara Pembayaran Perjanjian dalam Valuta Asing yang Dananya Bersumber dari Rupiah Murni
Relevan terhadap
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN PERJANJIAN DALAM VALUTA ASING YANG DANANYA BERSUMBER DARI RUPIAH MURNI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian/ lembaga. 3. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian/ lembaga yang bersangkutan. 4. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan PA/ KPA dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. t jdih.kemenkeu.go.id 5.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara. 7. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan fungsi kuasa BUN. 8. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian atau unit organisasi pemerintah daerah yang melaksanakan kegiatan kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran. 9. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas bebanAPBN. 10. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 11. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menenma, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor / Satker kemen terian / lembaga. 12. Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat BPP adalah orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu. 13. Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/ penerima hak lainnya atas dasar kontrak kerja, surat keputusan, surat tugas, atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah membayar langsung. 14. Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS. 15. Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat jdih.kemenkeu.go.id mendesak dalam jangka waktu tertentu melebihi pagu UP yang telah ditetapkan. 16. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 1 7. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 18. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 19. Surat Perintah Bayar yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju. 20. Dalam Negeri adalah di dalam batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 21. Luar Negeri adalah di luar batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 22. Valuta Asing yang selanjutnya disebut Valas adalah mata uang selain rupiah yang diterima dan diakui sebagai alat pembayaran sah dalam perdagangan internasional. 23. Valuta Setempat adalah mata uang yang diterima dan diakui sebagai alat pembayaran sah di negara setempat. 24. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/ jasa oleh kemen terian / lembaga/ Satker perangkat daerah/institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. 25. Komitmen dalam bentuk Valas yang selanjutnya disebut Komitmen adalah perjanjian berupa kontrak Pengadaan Barang/ Jasa atau penetapan keputusan yang pembayarannya dilakukan dalam Valas. 26. Perjanjian/Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksanaan swakelola. 27. Data Kontrak adalah informasi terkait dengan perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola. 28. Data Supplier adalah informasi terkait dengan pihak yang berhak menerima pembayaran atas beban APBN yang memuat paling kurang informasi pokok, informasi lokasi, dan informasi rekening. 29. Letter of Credit yang selanjutnya disingkat L/C adalah janji tertulis dari bank penerbit L/C (issuing bank) yang bertindak atas permintaan pemohon ( applicant) atau atas namanya sendiri untuk melakukan pembayaran kepada pihak ketiga atau eksportir atau kuasa eksportir t jdih.kemenkeu.go.id (pihak yang ditunjuk oleh beneficiary/ supplier) sepanjang memenuhi persyaratan L/C. 30. Surat Pernyataan Kesanggupan Penyedia Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat SPKPBJ adalah pernyataan yang diterbitkan/dibuat oleh penyedia barang/jasa yang memuat jaminan atau pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan kepada negara dalam hal penyedia barang/ jasa tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Kontrak/bentuk perikatan lainnya. 31. Surat Persetujuan Pembukaan L/C yang selanjutnya disingkat SPP L/C adalah surat persetujuan pembukaan L/C dari KPPN selaku kuasa BUN atas permohonan Satker untuk membuka L/C di Bank Indonesia dalam hal terdapat pengadaan barang atau jasa yang mensyaratkan L/C atas beban rupiah murni. 32. Nota Disposisi yang selanjutnya disebut Nodis adalah surat yang diterbitkan oleh Bank Indonesia yang merupakan data realisasi penggunaan rupiah murni dan sekaligus berfungsi se bagai pengan tar dokumen kepada Satker. 33. Rupiah Murni adalah alokasi dana dalam APBN yang tidak berasal dari pinjaman dan/atau hi bah Luar Negeri. 34. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN. 35. Rekening Obligo Penampungan Sementara dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Rekening Obligo adalah rekening penampungan yang dibuka di Bank Indonesia sebagai issuing bank untuk menampung dana Rupiah Murni dalam rangka pembayaran tagihan L/C. 36. Beneficiary Bank adalah bank yang bertindak sebagai advising dan/atau negotiating bank sebagai tujuan pembayaran L/C di Luar Negeri atas dana yang berasal dari Rekening Obligo. 37. Bank Operasional adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan selaku BUN atau pejabat yang diberi kuasa untuk menjadi mitra Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau KPPN. 38. Bank Operasional Valuta Asing yang selanjutnya disebut BO Valas adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan selaku BUN atau pejabat yang diberi kuasa, untuk menjadi mitra Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau KPPN, yang menangani transaksi dalam Valas. 39. Sistem Informasi adalah sistem yang dibangun, dikelola, dan/atau dikembangkan oleh Kementerian Keuangan guna memfasilitasi proses perencanaan dan jdih.kemenkeu.go.id I i I I penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, dan/atau monitoring dan evaluasi anggaran yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara. 40. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 41. Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications yang selanjutnya disingkat SWIFT adalah jaringan komunikasi global yang memfasilitasi pertukaran pesan finansial (financial messaging) secara internasional antar bank. BAB II KOMITMEN DALAM VALUTA ASING Bagian Kesatu Pembuatan Komitmen Pasal 2 (1) Pengajuan tagihan kepada negara dalam bentuk Valas yang dananya bersumber dari Rupiah Murni dilakukan berdasarkan Komitmen. (2) Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar timbulnya hak tagih kepada negara atas beban DIPA. (3) Pembuatan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
penetapan keputusan; atau
Kontrak. (5) Penetapan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dibuat oleh:
pejabat pembina kepegawaian;
KPA;
PPK; atau
pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penetapan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dapat berupa:
surat keputusan;
surat perintah;
surat tugas;
surat keterangan; dan/atau
surat perjalanan dinas. (7) Penetapan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dibuat dalam Valas dengan ketentuan:
standar biaya yang digunakan ditetapkan dalam Valas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
penenma pembayaran berkedudukan di Luar Negeri. (8) Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dapat berupa: f jdih.kemenkeu.go.id a. Kontrak yang dibuat di Dalam Negeri dengan ketentuan:
Kontrak melalui tender/ seleksi internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pengadaan Barang/ J asa pemerintah; atau
Kontrak selain angka 1 yang dilakukan dengan penyedia yang berkedudukan di Luar Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pengadaan Barang/Jasa; atau
Kontrak yang dibuat di Luar Negeri mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pengadaan Barang/Jasa di Luar Negeri. Pasal 3 (1) Komitmen berupa penetapan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a hanya dapat membebani 1 (satu) tahun anggaran. (2) Komitmen berupa Kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dapat berupa Kontrak tahun tunggal atau Kontrak tahun jamak. (3) Ketentuan atas Kontrak tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kontrak tahun jamak. Bagian Kedua Pendaftaran dan Pengelolaan Data Kontrak dan Data Supplier dalam Valuta Asing Pasal 4 (1) PPK melakukan pendaftaran Data Kontrak dan Data Supplier pada Sistem Informasi. (2) Pendaftaran Data Kontrak dan Data Supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah Kontrak ditandatangani. (3) Dalam hal terdapat perubahan/ adendum atas Kontrak yang telah didaftarkan, PPK menyampaikan perubahan/ adendum Data Kontrak ke Sistem Informasi paling lama 5 (lima) hari kerja setelah penandatanganan perubahan/ adendum Kontrak. (4) Ketentuan mengenai pendaftaran dan pengelolaan Data Kontrak dan Data Supplier mengacu pada Peraturan Menteri mengenai pelaksanaan sistem perbendaharaan dan anggaran negara dan Peraturan Menteri mengenai pelaksanaan sistem SAKTI. BAB III ALOKASI ANGGARAN Pasal 5 (1) Alokasi anggaran Rupiah Murni untuk pembayaran tagihan atas Komitmen sebagaimana dimaksud dalam f jdih.kemenkeu.go.id Pasal 2 ayat (1) dialokasikan dalam DIPA dengan nilai ekuivalen Valas. (2) Anggaran yang dialokasikan dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan batas tertinggi pengeluaran negara yang tidak dapat dilampaui. (3) Dalam hal alokasi anggaran dalam DIPA tidak mencukupi untuk membayar tagihan atas Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA melakukan revisi DIPA sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 6 KPA/PPK memperhatikan alokasi anggaran dalam DIPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dalam mata uang rupiah sebelum membuat Komitmen dengan pihak penyedia barang/jasa atau penerima pembayaran. BAB IV TATA CARA PEMBAYARAN TAGIHAN DALAM VALUTA ASING Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Pembayaran tagihan atas belanja negara dalam bentuk Valas yang dibebankan pada DIPA dilakukan berdasarkan pengajuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Tata cara pengajuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 8 (1) Pembayaran tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan dengan mekanisme:
non-L/C; atau
L/C. (2) Pembayaran tagihan atas Komitmen yang dibebankan pada DIPA sumber dana badan layanan umum mengacu pada Peraturan Menteri mengenai pedoman pengelolaan keuangan badan layanan umum. (3) Pembayaran tagihan atas Komitmen yang dibebankan pada DIPA Bagian Anggaran BUN, mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pencairan APBN bagian atas beban anggaran BUN pada KPPN. t jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kedua Mekanisme Non-L/C Paragraf 1 Umum Pasal 9 Pembayaran tagihan dengan mekanisme non-L/C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui:
Pembayaran LS; dan/atau
UP/TUP. Pasal 10 (1) Pembayaran tagihan atas Komitmen berdasarkan penetapan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dilakukan dengan mekanisme non-L/C. (2) Pembayaran tagihan atas Komitmen berupa penetapan keputusan dengan mekanisme non-L/C sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah:
keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang mulai berlaku; dan/atau
pemenuhan prestasi atas penetapan keputusan. Pasal 11 (1) Pembayaran tagihan atas Kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dapat dilakukan melalui mekanisme non-L/C. (2) Pembayaran tagihan atas Kontrak melalui mekanisme non-L/C sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah barang/jasa diterima. (3) Dalam hal Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mensyaratkan pembayaran dilakukan terlebih dahulu, pembayaran dapat dilakukan sebelum barang/ jasa diterima. (4) Pembayaran yang mensyaratkan pembayaran terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah penyedia barang dan/atau jasa menyampaikan dokumen jaminan atas pembayaran yang akan dilakukan. Pasal 12 Tata cara pembayaran tagihan sebelum barang/jasa diterima untuk Kontrak yang dibuat di Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (8) huruf a mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pembayaran atas beban APBN sebelum barang/jasa diterima. Pasal 13 Dokumen jaminan untuk pembayaran tagihan sebelum barang/jasa diterima atas pembayaran Kontrak yang dibuat di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (8) huruf b berupa:
surat jaminan; atau I jdih.kemenkeu.go.id b. SPKPBJ. Pasal 14 (1) Surat jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a diterbitkan oleh:
bank;
perusahaan asuransi; atau
perusahaan penjaminan. (2) Penerbit surat jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan dari penerbit surat jaminan di Dalam Negeri. (3) Bentuk, pengelolaan jaminan, dan tata cara klaim atas jaminan yang diterbitkan oleh penerbit surat jaminan di Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pembayaran atas beban APBN sebelum barang/jasa diterima. (4) Dalam hal suratjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat { 1) tidak dapat diterbitkan oleh penerbit surat jaminan di Dalam Negeri, surat jaminan diterbitkan oleh penerbit di Luar Negeri. (5) Surat jaminan yang diterbitkan oleh penerbit di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
masa berlaku surat jaminan paling singkat sampai dengan berakhirnya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan dalam Kontrak;
surat jaminan paling sedikit mempunyai nilai yang sama dengan nilai pembayaran kepada penyedia barang/ j asa; dan
isi surat jaminan minimal memuat informasi:
nama dan alamat penerima jaminan { _obligee); _ 2. penyedia barang/jasa yang ditunjuk terjamin _(principaij; _ 3. hak penjamin;
nama paket Kontrak pekerjaan;
nilai suratjaminan dalam angka dan huruf;
kewajiban pihak penjamin untuk mencairkan surat jaminan dengan segera kepada penerima jaminan { _obligee); _ 7. masa berlaku surat jaminan;
masa pembayaran dari penjamin kepada penerimajaminan _(obligee); _ dan 9. masa pengajuan klaim oleh penerimajaminan atau kuasanya. (6) Tata cara klaim atas surat jaminan yang diterbitkan oleh penerbit di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengikuti praktik bisnis internasional yang lazim. Pasal 15 (1) Dalam hal suratjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a tidak dapat diperoleh, dokumen jaminan untuk pembayaran tagihan sebelum barang/jasa diterima menggunakan dokumen jaminan ( jdih.kemenkeu.go.id SPKPBJ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b. (2) SPKPBJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat informasi:
nomor penerbitan SPKPBJ;
nama direksi/pimpinan penyedia barang/jasa yang menandatangani SPKPBJ;
jabatan yang menandatangani SPKPBJ;
nama penyedia barang/ jasa penerbit SPKPBJ;
alamat penyedia barang/jasa penerbit SPKPBJ;
nama Satker yang berkewajiban melakukan pembayaran;
jumlah pembayaran dalam angka dan huruf;
tanggal Kontrak;
nomor Kontrak; J. ura1an kegiatan/pekerjaan sesuai dengan Kontrak;
tempat, tanggal, bulan, dan tahun penerbitan SPKPBJ;
tanda tangan direksi/pimpinan penyedia barang/jasa yang menandatangani SPKPBJ;
klausul yang menyatakan bahwa penyedia barang/jasa bertanggungjawab penuh untuk menyelesaikan prestasi pekerjaan sebagaimana diatur dalam Kontrak; dan
klausul yang menyatakan bahwa penyedia barang/ j asa bersedia un tuk mengembalikan/ menyetorkan kembali uang ke Kas Negara sebesar nilai sisa pekerjaan yang belum ada prestasinya dalam hal terdapat kelalaian atau wanprestasi. (3) SPKPBJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
surat persetujuan oleh pejabat setingkat eselon I yang memuat persetujuan bahwa pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa hanya dapat dilakukan di Luar Negeri dan pembayarannya dilakukan sebelum barang/jasa diterima;
reviu dari aparat pengawas internal pemerintah yang minimal menyatakan bahwa:
Pengadaan Barang/Jasa di Luar Negeri dimaksud merupakan prioritas kementerian/lembaga dan merupakan kebutuhan mendesak untuk mendukung pencapaian output kegiatan dalam DIPA;
Pengadaan Barang/Jasa di Luar Negeri dimaksud telah memperhatikan pnns1p efektivitas dan efisiensi belanja kementerian/lembaga berkenaan;
tidak terdapat penyedia lain yang dapat memenuhi spesifikasi barang/jasa yang ditentukan dan bersedia dibayar setelah barang/ jasa diterima;
tidak terdapat perusahaan yang dapat menerbitkan surat jaminan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan ! jdih.kemenkeu.go.id 5. pembayaran sebelum barang/jasa diterima dipersyaratkan sama untuk semua mitra bisnis penyedia barang/jasa bersangkutan; dan
surat keterangan tanggung jawab mutlak dari KPA yang minimal menyatakan bahwa KPA bertanggungjawab apabila terjadi kerugian negara atas pembayaran yang telah dilakukan sebelum barang/jasa diterima dan mengambil langkah- langkah hukum untuk menuntut pengembalian atas hak negara kepada penyedia barang/ jasa dalam hal terjadi wanprestasi. Pasal 16 Dalam hal dokumen jaminan untuk Kontrak di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak dapat diperoleh, pembayaran dapat dilakukan sebelum barang/jasa diterima sepanjang dipersyaratkan dalam Kontrak dengan melampirkan:
surat persetujuan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang memuat persetujuan bahwa pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa hanya dapat dilakukan di Luar Negeri dan pembayarannya dilakukan sebelum barang/ jasa diterima; dan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b dan huruf c. Paragraf 2 Mekanisme Non-L/C melalui Pembayaran Langsung dalam bentuk Valuta Asing Pasal 17 (1) Pembayaran tagihan melalui mekanisme non-L/C dapat dilakukan dengan Pembayaran LS dalam bentuk Valas ke rekening penerima pembayaran dengan ketentuan sebagai berikut:
rekening penerima pembayaran telah didaftarkan sebagai Data Supplier di Sistem Informasi;
untuk Komitmen dalam bentuk Kontrak, Data Kontrak telah didaftarkan pada Sistem Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
penyaluran dana kepada rekening penerima pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a mengacu pada Peraturan Menteri mengenai penyaluran dana surat perintah pencairan dana melalui sistem perbendaharaan dan anggaran negara; dan
peraturan negara setempat/ negara tujuan memungkinkan penyedia barang/ jasa atau penerima pembayaran menerima transfer pembayaran dari negara lain dalam Valas. (2) PPK wajib memastikan rekening penerima pembayaran yang didaftarkan sebagai Data Supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat menerima Valas sesuai dengan Komitmen. f jdih.kemenkeu.go.id (3) Penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diprioritaskan melalui BO Valas yang telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. (4) Dalam hal penyaluran dana melalui BO Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan, penyaluran dana dilakukan melalui Bank Indonesia atau Bank Operasional yang telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. (5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, pembayaran tagihan atas Komitmen ke penerima pembayaran dapat dilakukan melalui UP/TUP. Pasal 18 (1) Pembayaran LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (1) diajukan oleh Satker melalui SPM-LS dalam bentuk Valas kepada KPPN. (2) KPPN menerbitkan SP2D atas SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah terpenuhinya pengujian sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (3) Nilai ekuivalen mata uang rupiah pada SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan nilai kurs pada Sistem Informasi. (4) Satker membukukan transaksi Pembayaran LS dalam bentuk Valas berdasarkan nilai kurs yang digunakan dalam penerbitan SP2D oleh KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pengenaan biaya SWIFT atas transaksi penyaluran SP2D Pembayaran LS dalam bentuk Valas dibebankan pada DIPA BUN sepanjang tidak diatur lain dalam perJanJian. Paragraf 3 Mekanisme Non-L/C melalui Uang Persediaan/Tambahan Uang Persediaan Pasal 19 (1) Pembayaran melalui mekanisme UP/TUP untuk pembayaran tagihan atas Komitmen dapat berupa:
UP/TUP dalam mata uang rupiah yang ditukarkan oleh Satker ke Valas; dan/atau
UP/TUP dalam bentuk Valas. (2) UP dalam bentuk Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada:
Satker perwakilan dan atase teknis; dan/atau
Satker selain huruf a yang berkedudukan di Luar Negeri. (3) TUP dalam bentuk Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada:
Satker perwakilan dan atase teknis;
Satker selain huruf a yang berkedudukan di Luar Negeri; dan/atau jdih.kemenkeu.go.id c. Satker Dalam Negeri yang memiliki unit teknis di Luar Negeri. (4) Mekanisme pemberian UP/TUP dalam bentuk Valas pada Satker perwakilan dan atase teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pelaksanaan APBN pada perwakilan Indonesia di Luar Negeri. (5) Pembayaran UP/TUP dalam bentuk Valas yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran/BPP kepada 1 (satu) penerima pembayaran di Luar Negeri tidak dibatasi besaran nilainya. (6) Dalam hal dibutuhkan, Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c yang telah memiliki UP/TUP dalam mata uang rupiah dapat diberikan TUP dalam bentuk Valas secara.terpisah. (7) Biaya SWIFT atas penyaluran dana SP2D UP /TUP dalam ben tuk V alas dari Kas Negara ke rekening Bendahara Pengeluaran dibebankan pada DIPA BUN sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian. (8) Biaya SWIFT yang ditimbulkan dalam rangka pembayaran tagihan atas Komitmen melalui UP /TUP dari Bendahara Pengeluaran/BPP kepada rekening tujuan/penerima hak dibebankan kepada DIPA Satker sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian. Pasal 20 (1) Mekanisme pembayaran tagihan atas Komitmen melalui UP/TUP dalam mata uang rupiah yang ditukarkan oleh Satker ke Valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran dengan cara:
transfer bank antar-valuta; atau
penukaran Valas secara tunai, berdasarkan SPBy dari PPK. (2) Transfer bank antar-valuta seb?-gaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan memperhatikan kemampuan bank tempat rekening Bendahara Pengeluaran/BPP dibuka. (3) Penukaran Valas secara tunai sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal:
pembayaran tagihan atas Komitmen ke rekening penenma hak tidak dapat dilakukan menggunakan kartu kredit pemerintah atau transfer bank antar-valuta; dan
UP/TUP tunai dalam mata uang rupiah di Bendahara Pengeluaran/BPP mencukupi untuk dilakukan penukaran ke V alas sesuai dengan Komitmen. (4) SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan dokumen tagihan yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (5) Nilai kurs rupiah yang digunakan untuk pembayaran tagihan atas Komitmen melalui UP /TUP dalam mata f jdih.kemenkeu.go.id uang rupiah yang ditukarkan sendiri oleh Satker ke Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kurs transaksi yang didapatkan pada saat pembelian/penukaran/transfer Valas. (6) Bukti pembelian/penukaran/transfer Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilampirkan sebagai dokumen pertanggungjawaban UP /TUP kepada PPK. Pasal 21 (1) UP /TUP dalam bentuk Valas diberikan kepada Satker dengan ketentuan sebagai berikut:
penyaluran dana UP/TUP dari Kas Negara kepada rekening Bendahara Pengeluaran dalam Valas dilakukan melalui BO Valas dengan mengacu pada Peraturan Menteri mengenai penyaluran dana surat perintah pencairan dana melalui sistem perbendaharaan dan anggaran negara; dan
rekening Bendahara Pengeluaran dibuka pada Bank yang sama dengan BO Valas sebagaimana dimaksud pada huruf a. (2) Dalam hal penyaluran dana menggunakan BO Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat dilakukan, penyaluran dana dilakukan melalui Bank Indonesia atau Bank Operasional yang telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. (3) Dalam hal tidak terdapat Bank yang sama dengan BO Valas di negara tempat kedudukan Satker/unit teknis di Luar Negeri, rekening Bendahara Pengeluaran/BPP dibuka pada Bank lainnya yang mempunyai lokasi terdekat dengan kedudukan Satker /unit teknis di Luar Negeri yang dapat menerima penyaluran Valas dari Indonesia. (4) UP/TUP dalam bentuk Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki nilai ekuivalen dalam mata uang rupiah dan dicatat berdasarkan kurs pada Sistem Informasi. (5) Dalam hal Valuta Setempat berbeda dengan Valas UP/TUP, PPK dapat memerintahkan Bendahara Pengeluaran/BPP untuk melakukan transfer bank antar-valuta atau penukaran Valas UP/TUP ke dalam V aluta Setempat. (6) Ketentuan mengenai transfer/ penukaran mata uang rupiah ke Valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan transfer bank antar-valuta atau penukaran dari Valas UP /TUP ke Valuta Setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 22 (1) Satker di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b dapat diberikan UP dalam bentuk Valas berdasarkan persetujuan Kepala KPPN. (2) UP dalam bentuk Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling tinggi sebesar: I jdih.kemenkeu.go.id a. 1/4 (satu per empat) dari pagu DIPA untuk belanja barang dan modal yang dapat dicairkan; dan
kebutuhan belanja pegawai setiap bulan. (3) Besaran UP dalam bentuk Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk pagu yang masih diblokir dan/atau yang akan dibayar melalui mekanisme Pembayaran LS. (4) Besaran UP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk anggaran dengan sumber dana PNBP diberikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari maksimum pencairan PNBP yang telah disetujui. (5) Bendahara Pengeluaran melakukan penggantian UP yang telah digunakan sepanjang pagu DIPA tersedia. (6) Penggantian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan apabila UP telah dipergunakan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk belanja barang dan modal. (7) Penggantian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) untuk belanja pegawai diajukan setiap bulan. (8) Penggantian UP yang bersumber dari dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan maksimum pencairan PNBP yang telah disetujui. Pasal 23 (1) KPA pada Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dapat mengajukan TUP dalam bentuk Valas kepada Kepala KPPN dalam hal sisa UP pada Bendahara Pengeluaran tidak cukup tersedia untuk membiayai kegiatan yang sifatnya mendesak atau tidak dapat ditunda. (2) Untuk KPA pada Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf c dapat mengajukan TUP dalam bentuk Valas untuk pembayaran tagihan atas Komitmen pada unit teknis di Luar Negeri. (3) TUP dalam bentuk Valas pada unit teknis di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat digunakan untuk membayar tagihan dalam mata uang rupiah untuk Satker Dalam Negeri. (4) TUP dalam bentuk Valas dipertanggungjawabkan dengan memperhitungkan kecukupan pagu dalam mata uang rupiah yang akan dikonversi ke dalam Valas. (5) Pertanggungjawaban TUP dalam bentuk Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP dan dapat dilakukan secara bertahap. (6) Sisa TUP dalam bentuk Valas yang tidak habis digunakan dalam 3 (tiga) bulan harus disetor ke Kas Negara. Pasal 24 (1) Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA, dalam hal:
4 (empat) bulan sejak SP2D UP dalam bentuk Valas diterbitkan belum dilakukan pengajuan penggantian UP atau penihilan UP; dan/atau f jdih.kemenkeu.go.id b. 3 (tiga) bulan sejak SP2D TUP dalam Valas diterbitkan belum dilakukan pertanggungjawaban a tau penihilan TUP. (2) Berdasarkan surat pemberitahuan sebagaimana ayat (1), KPA Satker dapat mengajukan surat 1z1n perpanjangan UP/TUP kepada Kepala KPPN. (3) Dalam hal setelah 1 (satu) bulan sejak disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, belum dilakukan pengajuan penggantian UP/PTUP/surat izin perpanjangan UP/TUP, Kepala KPPN memotong besaran maksimum UP tunai rupiah murni Satker sebesar 25% (dua puluh lima persen) untuk periode paling singkat 1 (satu) tahun anggaran. (4) Kepala KPPN memotong besaran maksimum UP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/ a tau menyetorkan ke Kas Negara. (5) Penyampaian surat pemberitahuan kepada KPA se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal pertanggungjawaban UP/TUP dengan sumber dana PNBP tidak dapat dilakukan akibat ketidakcukupan maksimum pencairan PNBP. Pasal 25 (1) Sisa UP /TUP dalam bentuk Valas disetorkan dalam mata uang yang sama dengan pada saat pencairan awal UP/TUP. (2) Dalam hal sisa UP /TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih berbentuk Valuta Setempat, PPK memerintahkan Bendahara Pengeluaran/ BPP menukarkan kembali Valas dimaksud ke dalam Valas sesuai dengan UP /TUP awal. (3) Dalam hal terdapat selisih kurs pada ekuivalensi mata uang atas penukaran kembali Valuta Setempat ke Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selisih kurs dimaksud dicatat dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal kurs penukaran kembali menyebabkan selisih kurang pada kas di Bendahara Pengeluaran, selisih terse but dipertanggungjawabkan dengan akun belanja karena rugi selisih kurs uang persediaan satker; dan
dalam hal kurs penukaran kembali menyebabkan selisih lebih pada kas di Bendahara Pengeluaran, selisih lebih tersebut disetorkan sebagai PNBP dengan akun pendapatan dari untung selisih kurs uang persediaan satker dengan menggunakan surat setoran bukan pajak atau bukti penyetoran penerimaan negara lainnya. (4) Dalam hal terdapat selisih kurs pada ekuivalen mata uang rupiah atas setoran sisa UP/TUP dalam Valas antara Satker dengan pembukuan KPPN, selisih kurs dicatat dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal nilai mata uang rupiah atas setoran UP /TUP pada Satker nilainya kurang dari sisa I jdih.kemenkeu.go.id UP/TUP dalam mata uang rupiah sebagaimana tercantum dalam pembukuan KPPN, selisih kurang dalam mata uang rupiah tersebut dicatat dengan akun belanja karena rugi selisih kurs UP Satker; dan
dalam hal nilai mata uang rupiah atas setoran UP/TUP pada Satker nilainya lebih dari sisa UP/TUP dalam mata uang rupiah sebagaimana tercantum dalam pembukuan KPPN, selisih lebih dalam mata uang rupiah tersebut dicatat sebagai PNBP dengan akun pendapatan dari untung selisih kurs UP Satker. (5) Pengalokasian akun belanja karena rugi selisih kurs UP Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan dengan mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Bagian Ketiga Mekanisme Pembayaran dengan L/C Paragraf 1 Umum Pasal 26 (1) Pembayaran tagihan kepada negara dengan mekanisme L / C se bagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal penyedia barang/jasa mensyaratkan pembayaran dengan L/C dalam Kontrak. (2) Satker melakukan pendaftaran atas Kontrak yang mensyaratkan pembayaran dengan L/C sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPPN paling lama 5 (lima) hari kerja setelah Kontrak ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Paragraf 2 Pembukaan L/C Pasal 27 (1) Berdasarkan Data Kontrak dan Data Supplier yang telah terdaftar pada Sistem Informasi, Satker menyampaikan surat permintaan persetujuan pembukaan L/C kepada KPPN sebesar nilai Kontrak sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Berdasarkan surat permintaan persetujuan pembukaan L/C sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPPN melakukan pengujian atas ketersediaan pagu berdasarkan data Kontrak. (3) Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah sesuai, KPPN menerbitkan SPP L/C sebesar nilai Kontrak kepada Satker dan Bank Indonesia. (4) SPP L/C sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam I jdih.kemenkeu.go.id Lampiran huruf B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 28 (1) Berdasarkan ringkasan pendaftaran Kontrak yang telah terdaftar di Sistem Informasi dan SPP L / C dari KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), Satker menyampaikan surat permohonan penerbitan L/C kepada Bank Indonesia sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur mengenai transaksi L / C di Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank Indonesia menyetujui surat permohonan penerbitan L/C yang diajukan Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan salinan L/C kepada KPPN dengan tembusan Satker . (3) Dalam hal Bank Indonesia menolak surat permohonan penerbitan L/C yang diajukan Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan surat penolakan penerbitan L/C disertai dengan alasan penolakan kepada KPPN dan Satker. Paragraf 3 Pembayaran L/C Pasal 29 (1) Penyedia barang/ jasa mengajukan tagihan kepada Beneficiary Bank beserta dokumen lain yang dipersyaratkan dalam L/C. (2) Beneficiary Bank mengirimkan tagihan beserta dokumen lain yang dipersyaratkan dalam L/C se bagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia. (3) Berdasarkan dokumen yang diterima dari Beneficiary Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia melakukan pemeriksaan dokumen L / C sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam peraturan Anggota Dewan Gubernur mengenai transaksi L / C di Bank Indonesia. (4) Bank Indonesia menerbitkan dan menyampaikan pemberitahuan kepada KPA Satker dan KPPN paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima dokumen tagihan dari Beneficiary Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
konfirmasi tindak lanjut pembayaran dalam hal hasil pemeriksaan dokumen L/C sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan belum sesuai; atau
permin taan pengisian rekening o bligo dalam hal hasil pemeriksaan atas dokumen L/C sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan sesuai. I jdih.kemenkeu.go.id Pasal 30 (1) Berdasarkan pemberitahuan berupa konfirmasi tindak lanjut pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (5) huruf a, PPK melakukan pengujian secara materiil terhadap barang/jasa yang telah diterima. (2) Pengujian secara materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (3) Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum sesuai, PPK menerbitkan surat penolakan pembayaran L/C kepada Bank Indonesia. (4) Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah sesuai atau telah diterbitkan pemberitahuan berupa permintaan peng1s1an Rekening Obligo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (5) huruf b, PPK menerbitkan SPP-LS dengan memperhatikan kebenaran Rekening Obligo sebagai tujuan pembayaran. (5) SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada PPSPM dilampiri dengan:
ringkasan Kontrak pada Sistem Informasi;
salinan SPP L/C dari KPPN;
salinan L/C dari Bank Indonesia;
bukti pemberitahuan dari Bank Indonesia; dan
surat setoran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (6) Berdasarkan surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menyampaikan informasi penolakan kepada Beneficiary Bank. Pasal 31 (1) PPSPM melakukan pengujian formal atas SPP-LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) beserta kelengkapannya. (2) Dalam hal SPP-LS dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai, PPSPM menerbitkan SPM-LS kepada KPPN dilampiri dengan surat setoran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (3) Penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dan SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Sistem Informasi. Pasal 32 (1) Berdasarkan SPM-LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, KPPN melakukan penelitian dan pengujian sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Dalam hal hasil penelitian dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi persyaratan, KPPN menerbitkan dan mengirimkan data SP2D senilai tagihan atas beban rekening pengeluaran di Bank f jdih.kemenkeu.go.id Indonesia ke Rekening Obligo paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya SPM-LS. (3) Bank Indonesia mentransfer dana dari Rekening Obligo ke Rekening Beneficiary Bank sebesar nilai tagihan atas beban rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam peraturan Anggota Dewan Gubernur mengenai transaksi L/C di Bank Indonesia paling lama 2 (dua) hari kerja setelah menerima data SP2D dari KPPN. (4) Berdasarkan transfer dana yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menyampaikan Nodis kepada Satker dan KPPN. (5) Berdasarkan Nodis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Satker mencatat realisasi L/C pada Sistem Informasi. Pasal 33 (1) Satker melakukan pencocokan nilai SP2D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan realisasi L/C pada Sistem Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (5). (2) Dalam hal berdasarkan hasil pencocokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat selisih, Satker memberitahukan KPPN dan Bank Indonesia untuk mendapatkan penyelesaian dan tindak lanjut. Pasal 34 (1) Selisih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) yang belum diselesaikan sampai dengan akhir tahun anggaran, harus dilakukan penyelesaian dan tindak lanjut paling lambat pada masa penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat unaudited tahun berkenaan. (2) Penyelesaian dan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diungkapkan secara memadai di dalam catatan atas laporan keuangan pada laporan keuangan kementerian/lembaga dan laporan keuangan pemerintah pusat. (3) Laporan keuangan kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan mengacu pada Peraturan Menteri mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan instansi. (4) Laporan keuangan pemerintah pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan mengacu pada Peraturan Menteri mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pusat. Pasal 35 Segala biaya yang dikenakan atas pembukaan, perubahan, dan pembayaran L/C dibebankan pada DIPA Satker sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian. Pasal 36 Jangka waktu penyelesaian pembayaran tagihan mulai dari pemberitahuan dari Bank Indonesia berupa permintaan pengisian Rekening Obligo sebagaimana dimaksud pada I jdih.kemenkeu.go.id Pasal 29 ayat (5) huruf b sampai dengan ditransfernya dana ke rekening Beneficiary Bank se bagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja. Pasal 37 (1) Dalam hal terdapat keterlambatan pembayaran tagihan L/C sesuaijangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang disebabkan oleh peristiwa di luar kuasa para pihak, seluruh biaya yang timbul berupa kerugian, klaim, penalti dan/atau bank charges dapat dibebankan pada DIPA Satker bersangkutan sepanjang tidak diatur lain dalam Kontrak. (2) Keadaan di luar kuasa para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa keadaan kahar sebagaimana diatur dalam Kontrak dan/atau mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 disebabkan oleh kesalahan/kelalaian, seluruh biaya yang timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggungjawab pihak yang melakukan kesalahan / kelalaian dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tuntutan ganti kerugian negara. BABV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 38 Komitmen dalam bentuk Valas berupa Kontrak tahunan dan Kontrak tahun jamak atas beban DIPA mulai Tahun Anggaran 2024 yang ditetapkan sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pembayarannya dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 263/PMK.05/2015 tentang Tata Cara Pembayaran Perjanjian dalam Valuta Asing yang Dananya Bersumber dari Rupiah Murni (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2061), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 40 Peraturan Menteri 1n1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. I jdih.kemenkeu.go.id
Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB, adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Subjek Pajak PBB yang selanjutnya disebut Subjek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Wajib Pajak PBB yang selanjutnya disebut Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenai kewajiban membayar PBB.
Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
Nilai Perolehan Baru adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek pajak tersebut.
Nilai Jual Objek Pajak Pengganti yang selanjutnya disebut Nilai Jual Pengganti adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Biaya Investasi Tanaman adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Hutan Alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.
Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur intensif.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin memanfaatkan Hutan Produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan, perlindungan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Biaya Produksi Perhutanan adalah seluruh biaya langsung yang terkait dengan kegiatan produksi hasil hutan, sampai di log ponds atau log yards untuk hasil hutan kayu dan/atau sampai tempat pengumpulan hasil panen untuk hasil hutan bukan kayu pada Hutan Alam.
Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang digunakan untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan/atau gas bumi.
Wilayah Kerja Panas Bumi adalah wilayah dengan batas- batas koordinat tertentu yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan pemanfaatan panas bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik.
Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan/atau gas bumi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak bumi dan/atau gas bumi, panas bumi, mineral, atau batubara, termasuk kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan, dalam Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah Kerja Panas Bumi, wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Eksploitasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan/atau gas bumi, atau panas bumi, dari Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi.
Permukaan Bumi Pertambangan Onshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Onshore adalah areal berupa tanah dan/atau perairan darat di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara.
Permukaan Bumi Pertambangan Offshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Offshore adalah areal berupa perairan yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi laut pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan perairan di dalam Batas Landas Kontinen.
Tubuh Bumi Eksplorasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Eksplorasi.
Tubuh Bumi Eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, atau pengusahaan panas bumi, pada kegiatan Eksploitasi.
Operasi Produksi adalah kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan dalam wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, dan wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Tubuh Bumi Operasi Produksi adalah tubuh bumi yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Operasi Produksi.
Harga Patokan Mineral Logam, yang selanjutnya disebut HPM Logam, adalah harga mineral logam yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan ( at sale point ) secara Free on Board untuk masing-masing komoditas tambang mineral logam.
Harga Patokan Mineral Bukan Logam, yang selanjutnya disebut HPM Bukan Logam, adalah harga patokan mineral bukan logam yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing-masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.
Harga Patokan Batuan adalah harga patokan batuan yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing- masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.
Harga Patokan Batubara, yang selanjutnya disingkat HPB, adalah harga batubara yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan ( at sale point ) secara Free on Board .
Angka Kapitalisasi adalah angka pengali tertentu yang digunakan untuk mengonversi pendapatan atau hasil produksi satu tahun menjadi NJOP, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Rasio Biaya Produksi adalah persentase tertentu yang diperoleh dari rata-rata biaya produksi satu tahun dibandingkan dengan rata-rata pendapatan kotor satu tahun, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penilai Pajak adalah Pejabat Fungsional Penilai Pajak, Pejabat Fungsional Asisten Penilai Pajak, Petugas Penilai Pajak, Pejabat Fungsional Penilai PBB, dan Petugas Penilai PBB.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan Undang-Undang PBB.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB terutang kepada Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB terutang.
Surat Tagihan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat STP PBB adalah surat untuk melakukan tagihan PBB terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Iuran Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut Ipeda adalah pungutan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Petunjuk Teknis Pemberian Pembebasan Bea Masuk Dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang ...
Pengelolaan Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2024 untuk Penghargaan Kinerja Tahun Berjalan
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ...
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ...
Relevan terhadap
Cukup ^jelas. LAMPIRAN I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2OII TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. BAB II KA"IIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru dilakukan dengan menganalisis dampak dari suatu norma dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah untuk memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari penerapan suatu Undang-Undang atau Peraturan Daerah. Kajian tersebut didukung dengan analisis yang metode tertentu, antara lain metode Regulatory Impact Analysis (RIA) dan metode Rule, Opportunitg, Capacitg, Communication, Interest, Procesg and ldeologg (ROCCIPD. JOKO WIDODO LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2OTL TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG. UNDANGAN TEKNIK PEI{YUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 2. Judul Peraturan Perundang-undangan di tingkat pusat memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan dengan mencantumkan frasa Republik Indonesia. Judul Peraturan Perundang-undangan di tingkat daerah memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan daerahnya. dengan mencantumkan nama Contoh 1: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA Contoh 2: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1I TAHUN 2O2O TENTANG CIPTA KERJA Contoh 3: PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI 3 2a. Penomoran Peraturan Perundang-undangan ditulis hanya menggunakan angka Arab tanpa penambahan huruf, angka Romawi, dan/atau tanda baca. Penomoran tidak mengikuti aturan penomoran tata naskah dinas. Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya telah mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan. Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan 1 (satu) kata:
Paten b. Yayasan c Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggu.nakan frasa:
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum b. Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan c. Cipta Kerja 3a. Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus dapat menggunakan nama baru yang tidak sama dengan nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah atau dicabut yang dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa, tetapi secara esensial maknanya telah dan 151 Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus. Contoh: Cipta Kerja Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2OI1 TENTANG KEIMIGRASIAN b. UNDANG.UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ll TAHUN 2O2O TENTANG CIPTA KERJA 4 c d. PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2OO7 TENTANG KETERTIBAN UMUM QANUN ^KABUPATEN ^ACEH JAYA NOMOR 2 TAHUN 2O1O TENTANG PET.IYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN e PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 5 TAHUN 2OIO TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA MAJELIS RAKYAT PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2OO8 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH Untuk ^judul Rancangan Peraturan Perundang-undangan, sebelum judul ditambahkan kata RANCANGAN yang ditulis dengan huruf kapital dan untuk nomor dan tahun hanya ditulis tanda baca ben-rpa 3 (tiga) titik (elipsis). Contoh: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG CIPTA KERJA f.
4a. 5 Nama Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah dengan singkatan atau akronim kecuali terdapat hal sebagai berikut:
belum diserap dalam bahasa Indonesia atau belum ada padanan kata dalam bahasa Indonesia;
merupakan istilah teknis yang baku;
^jika tidak disingkat dapat mengubah makna bahasa tersebut; dan/atau
sudah merupakan istilah yang baku dan digunakan secara internasional. Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN) b, PERATURAN DAERAH KOTAPEKANBARU NOMOR 9 TAHUN 2OO5 TENTANG LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK) Contoh yang tidak tepat dengan menggunakan akronim: PERATURAN DAERAH KABUPATEN ... NOMOR... TAHUN... TENTANG PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA) Contoh yang diperbolehkan menggunakan akronim: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2l TAHUN 2O2O TENTANG PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR DALAM RANGKA PERCEPATAN PENANGANAN COROIVA IIIRUS DrSEASE2019 (COWD-19) 6. Pada 6. Pada nama Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah. Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2OO8 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG.UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2O2O TENTANG CIPTA KER.'A c. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 14 TAHUN 2OO9 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2OO7 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2OT9 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKIT,AN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH b 7 a.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1I TAHUN 2O2O TENTANG CIPTA KERJA C. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2l TAHUN 2OO7 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2OO4 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAI(YAT DAERAH d. PERATURANDAERAHKABUPATENMINAHASATENGGARA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 6 TAHUN 2OO7 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA 9. Pada nama Peraturan Perundanyundangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan ^judul Peraturan Perundang-undangan yang dicabut. Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 10. c PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2O1O TENTANG PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2OO3 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN DARATAN LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang-Undalg, ditambahkan kata penetapan di depan judul Perpu yang ditetapkan dan dialhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang. Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2OO3 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR l TAHUN 2OO2 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG_UNDANG a.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG... MENJADI UNDANG-UNDANG Pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Peraturan Perundang-undangan lainnya ^juga dapat memuat unsur lilosofis, sosiologis, dan/atau yuridis. a. Unsur Iilosofrs menggambarkan bahwa ^peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Unsur filosofis paling banyak terdiri dari 2 ^(dua) ^konsiderans, termasuk yang mengandung historis.
Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur sosiologis paling banyak terdiri dari 2 (dua) konsiderans. c. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Unsur yuridis paling banyak terdiri dari 2 (dua) konsiderans. Contoh 1: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas