Tata Cara Pendanaan Pengadaan Tanah bagi Proyek Strategis Nasional oleh Lembaga Manajemen Aset Negara ...
Relevan terhadap
Pembentukan Dana Jangka Panjang yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dapat dilakukan:
secara periodik pada awal tahun anggaran; dan/atau b. secara insidentil pada tahun berjalan, sesuai dengan kebutuhan Pendanaan Pengadaan Tanah oleh LMAN.
Pembentukan Dana Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemindahan dana antar rekening di LMAN yang menampung Dana Jangka Panjang atau yang dipersamakan dan ditindaklanjuti melalui pembentukan dokumen anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
KPA BUN mengajukan permohonan alokasi anggaran pengeluaran pembiayaan BUN untuk keperluan pembentukan Dana Jangka Panjang dari hasil pengelolaannya kepada Pemimpin PPA BUN BA 999.03;
Pemimpin PPA BUN BA 999.03 memproses usulan penetapan Keputusan Menteri Keuangan mengenai besaran alokasi anggaran pengeluaran pembiayaan BUN sebagaimana dimaksud pada huruf a;
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf b, dilakukan penerbitan DIPA BUN BA 999.03 untuk keperluan pembentukan Dana Jangka Panjang dari hasil pengelolaannya; dan
proses penerbitan DIPA BUN BA 999.03 sebagaimana dimaksud pada huruf c dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perencanaan, penelaahan, penetapan alokasi anggaran pada BA BUN, dan pengesahan DIPA BUN.
Berdasarkan DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK pada KPA BUN:
melakukan pengujian secara formal dan material terhadap kelengkapan dan administrasi pengeluaran pembiayaan BUN untuk keperluan pembentukan Dana Jangka Panjang dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) badan layanan umum hasil pengelolaan Dana Jangka Panjang oleh LMAN;
menyusun Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak untuk ditandatangani oleh KPA BUN, sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
menerbitkan SPP pengeluaran pembiayaan yang bersifat permintaan pengesahan penerimaan pembiayaan dari penggunaan saldo anggaran lebih BLU dan pengeluaran pembiayaan untuk penambahan Dana Jangka Panjang, yang disusun dengan mencatat nilai yang sama; dan
menyampaikan SPP pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf c dilampiri Keputusan Menteri Keuangan mengenai besaran alokasi anggaran pengeluaran pembiayaan BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada PPSPM.
Berdasarkan SPP pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PPSPM pada KPA BUN:
melakukan pengujian secara formal terhadap kelengkapan dan kebenaran administrasi pengeluaran pembiayaan BUN untuk keperluan pembentukan Dana Jangka Panjang dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) badan layanan umum dan ketersediaan alokasi anggaran pengeluaran pembiayaan dalam DIPA BUN;
menerbitkan SPM pengeluaran pembiayaan BUN untuk keperluan pembentukan Dana Jangka Panjang dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) badan layanan umum yang bersifat perintah pengesahan penerimaan pembiayaan dari penggunaan saldo anggaran lebih BLU dan pengeluaran pembiayaan untuk penambahan dana jangka panjang; dan
menyampaikan SPM pengeluaran pembiayaan BUN untuk keperluan pembentukan Dana Jangka Panjang dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) badan layanan umum sebagaimana dimaksud huruf b kepada KPPN dengan dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
Berdasarkan SPM pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), KPPN:
menerima dan melakukan penelitian dan pengujian atas SPM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara; dan
menerbitkan SP2D pengeluaran pembiayaan bersifat pengesahan terhadap penerimaan pembiayaan dari penggunaan saldo anggaran lebih badan layanan umum dan pengeluaran pembiayaan untuk penambahan Dana Jangka Panjang.
SPM pengeluaran pembiayaan yang telah diterbitkan SP2D sebagaimana dimaksud ayat (5) menjadi dasar bagi:
KPA BUN untuk mencatat realisasi pengeluaran pembiayaan dan penambahan dana jangka panjang pada laporan keuangan BUN;
KPA satuan kerja badan layanan umum LMAN untuk mencatat pengurangan kas badan layanan umum;
KPPN mitra kerja satuan kerja badan layanan umum LMAN untuk mencatat pengurangan Kas badan layanan umum; dan
Direktorat Pengelolaan Kas Negara selaku kuasa BUN pusat untuk mencatat realisasi penerimaan pembiayaan dari penggunaan saldo anggaran lebih badan layanan umum.
Mekanisme pembentukan Dana Jangka Panjang yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengikuti pengaturan dalam Undang-Undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pelaksanaan Sistem Sakti
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Sistem SAKTI yang selanjutnya disebut SAKTI adalah sistem yang mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara pada instansi pemerintah, yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut SPAN adalah sistem terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran yang meliputi penyusunan anggaran, manajemen dokumen anggaran, manajemen supplier , manajemen komitmen pengadaan barang dan jasa, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan negara, manajemen kas, akuntansi, dan pelaporan.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
Pembantu Pengguna Anggaran BUN yang selanjutnya disebut PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran (BA) BUN.
Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Kanwil DJPb merupakan instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi BUN.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut BA Kementerian Negara/Lembaga.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh kuasa pengguna anggaran BUN.
Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Modul Administrasi adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk mengelola data referensi dan data user SAKTI.
Modul Penganggaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sampai dengan penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran termasuk didalamnya proses perencanaan penyerapan anggaran dan penerimaan/pendapatan dalam periode satu tahun anggaran.
Modul Komitmen adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan aktivitas terkait pencatatan data supplier , kontrak, dan Berita Acara Serah Terima (BAST) dalam rangka pelaksanaan APBN untuk mendukung pengelolaan data pagu, perencanaan kas dan referensi dalam pelaksanaan pembayaran.
Modul Bendahara adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui bendahara.
Modul Pembayaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengajuan pembayaran atas beban APBN, pengesahan pendapatan dan belanja, dan pencatatan surat perintah pencairan dana.
Modul Persediaan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian, dan pelaporan barang persediaan.
Modul Aset Tetap adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan, pengakuntansian dan pelaporan barang milik negara berupa aset tetap dan aset tak berwujud.
Modul Piutang adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk melakukan penatausahaan dan pengakuntansian piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Modul Akuntansi dan Pelaporan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengintegrasian data jurnal dari semua modul SAKTI dalam rangka penyusunan laporan keuangan.
Sistem Mitra adalah sistem yang dimiliki oleh Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya dengan lingkup penggunaan sistem secara nasional yang akan diinterkoneksikan dengan SAKTI.
Pihak Mitra adalah Kementerian Negara/Lembaga dan pihak lainnya sebagai pemilik Sistem Mitra.
Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.
Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
Instansi adalah sebutan kolektif bagi entitas yang meliputi satuan kerja, kantor wilayah atau yang setingkat, unit eselon I dan Kementerian Negara/Lembaga.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Chief of Information Officer yang selanjutnya disingkat CIO adalah suatu jabatan strategis yang memadukan sistem informasi dan teknologi informasi dengan aspek manajemen agar memberikan dukungan maksimal terhadap pencapaian tujuan.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala Satker atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penandatangan SPM yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian surat permintaan pembayaran yang diterima dari PPK sebagai dasar untuk menerbitkan/menandatangani SPM.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.
Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk sebagai pembantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pengesahan Pendapatan dan Belanja Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat SP3B BLU adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PPSPM untuk dan atas nama KPA kepada Kuasa BUN untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Badan Layanan Umum (BLU) yang sumber dananya berasal dari PNBP yang digunakan langsung.
Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pendapatan hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN dan/atau belanja yang bersumber dari hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN.
Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo pendapatan hibah langsung kepada pemberi hibah.
Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat SPMKP adalah surat perintah dari kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada KPPN untuk menerbitkan surat perintah pencairan dana yang ditujukan kepada bank operasional mitra kerja KPPN, sebagai dasar kompensasi utang pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak.
Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga yang selanjutnya disingkat SPM P-BMDAB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga sebagai dasar penerbitan surat perintah pencairan dana.
Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk dan/atau Cukai yang selanjutnya disingkat SPM P-BMC adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai.
Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk membayar imbalan bunga kepada wajib pajak.
Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung/Pembiayaan Pendahuluan selanjutnya disingkat SPP APD-PL/PP adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara atau KPPN dalam mengajukan permintaan pembayaran kepada Pemberi PHLN.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Dana Titipan adalah dana yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran selain Uang Persediaan (UP) dalam rangka pelaksanaan APBN.
Dana Pihak Ketiga adalah dana yang masuk ke pengelolaan rekening yang dikelola oleh bendahara yang belum dapat ditentukan menjadi milik negara atau tidak.
Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh bendahara pada penyetor.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari pajak.
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.
Rencana Penarikan Dana yang selanjutnya disingkat RPD adalah rencana penarikan kebutuhan dana yang ditetapkan oleh KPA untuk pelaksanaan kegiatan Satker dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.
Rencana Penarikan Dana Harian yang selanjutnya disebut RPD Harian adalah rencana penarikan kebutuhan dana harian yang memuat tanggal penarikan dana, jenis belanja, dan jumlah nominal penarikan.
Rencana Penerimaan Dana adalah rencana penyetoran penerimaan dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.
Pengguna ( User ) SAKTI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah para pihak pada instansi yang berdasarkan kewenangannya diberikan hak untuk mengoperasikan SAKTI dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Administrator adalah pegawai yang diberi kewenangan oleh PA/KPA/Pejabat yang ditetapkan untuk melaksanakan fungsi teknis administrasi SAKTI.
Hak Akses adalah hak yang diberikan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik.
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi diantaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer dan/atau sistem elektronik lainnya.
Nomor Register Supplier yang selanjutnya disingkat NRS adalah nomor referensi yang diterbitkan oleh SPAN dalam rangka pendaftaran data supplier yang diajukan oleh Satker yang akan dijadikan sebagai identitas bagi supplier SPAN.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas Laporan Keuangan.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.
E-Rekon dan LK adalah sistem berbasis web yang digunakan dalam pelaksanaan Rekonsiliasi, penyusunan Laporan Keuangan, serta penyatuan data Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Unit Akuntansi KPB yang selanjutnya disingkat UAKPB adalah unit akuntansi BMN pada tingkat Satker/KPB yang memiliki wewenang mengurus dan/atau menggunakan BMN.
Unit Akuntansi Pembantu Kuasa Pengguna Barang, yang selanjutnya disingkat UAPKPB, adalah unit yang dapat dibentuk oleh UAKPB untuk membantu UAKPB melakukan penatausahaan BMN.
Keadaan Kahar ( Force Majeure ) adalah suatu keadaan di luar kehendak, kendali dan kemampuan pengelola sistem SAKTI seperti terjadinya bencana alam, kebakaran, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru- hara, terorisme, sabotase, termasuk kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sistem SAKTI tidak berfungsi.
Business Continuity Plan yang selanjutnya disingkat BCP adalah pengelolaan proses kelangsungan kegiatan pada saat keadaan darurat dengan tujuan untuk melindungi sistem informasi, memastikan kegiatan dan layanan, dan memastikan pemulihan yang tepat.
Help, Answer, Improve DJPb yang selanjutnya disebut HAI-DJPb adalah layanan resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam melayani penerimaan dan penyampaian informasi serta permasalahan terkait tugas pokok dan fungsi DJPb.
Dokumen Pendukung adalah semua dokumen yang secara peraturan perundang-undangan menjadi pendukung dan wajib ada sebagai bagian pengajuan sebuah surat, dokumen, formulir, dan segala dokumen resmi lainnya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara/Lembaga.
Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disebut dengan TIK adalah segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan pemindahan informasi antar media.
Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
Perkara 34 sehingga menjadi tidak jelas pertautan seperti apa yang dimiliki para Pemohon tersebut terhadap UU IKN. Dengan demikian, para Pemohon tidak dapat membuktikan memiliki pertautan langsung dengan UU a quo . - KEDUDUKAN HUKUM PARA PEMOHON PERKARA 25 DAN PARA PEMOHON PERKARA 34 MENGENAI DALIL SEBAGAI PEMBAYAR PAJAK ( TAX PAYER ) Bahwa para Pemohon 25 dan para Pemohon 34 juga mendalilkan bahwa sebagai pembayar pajak yang merasa memiliki kepentingan dalam pengujian UU a quo, dikarenakan __ Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang salah satu pendapatannya bersumber dari pungutan pajak tersebut digunakan/dialihkan sebagian untuk pembangunan ibu kota baru ( vide Perbaikan Permohonan Perkara 25 hlm. 36) ditambah adanya pemungutan pajak khusus dan/atau pungutan khusus, dan terlebih pandemi Covid-19 sampai saat ini masih terjadi yang seharusnya masih berlaku kebijakan anggaran darurat kesehatan ( vide Perbaikan Permohonan Perkara 34 hlm. 11-14). Terhadap dalil para Pemohon sebagai tax payer, DPR menerangkan sebagai berikut: 1. Bahwa Mahkamah melalui putusan-putusannya telah menegaskan bahwa terhadap pembayar pajak ( tax payer ) hanya dapat diberikan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan keuangan negara dan kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik dan merupakan kerugian aktual atau potensial yang mempunyai kaitan yang jelas dengan berlakunya Undang-Undang tersebut ( vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU- XII/2014, bertanggal 22 September 2015). 2. Bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf a UU IKN mengatur mengenai sumber pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, yang salah satunya berasal dari APBN yang tidak serta merta Ketentuan tersebut menjadikan
dipenuhinya jaminan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum menjadi dilanggar akibat pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara; 10. Bahwa hak konstitusional sebagai pembayar pajak ( tax payer ) telah diperkenalkan oleh Mahkamah melalui adagium no taxation without participation dan sebaliknya no participation without tax pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara terhadap UUD 1945. Selanjutnya, kedudukan hukum berdasarkan argumentasi sebagai pembayar pajak ( tax payer ) yang demikian luas kemudian dilakukan pembatasan oleh Mahkamah yaitu status pembayar pajak hanya dapat digunakan secara terbatas khususnya berkaitan dengan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan pajak dan kerugian pembayar konstitusional pembayar pajak sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.8] Putusan MK No 135/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang terhadap UUD 1945; 11. Bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara sesungguhnya berkaitan dengan keuangan negara, khususnya mengenai perpajakan. Hal ini terurai dalam Pasal 24 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang menyatakan: (1) Pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan/atau b. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Alokasi pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. berpedoman pada Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan/ atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah; dan
Tata Cara Penetapan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Tata Cara Pemberian Fasilitas Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi Pemanfaatan Barang Milik Negara
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Fasilitas Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi yang selanjutnya disebut Fasilitas adalah bantuan dan dukungan yang disediakan oleh Menteri Keuangan kepada penanggung jawab pemanfaatan barang milik negara.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Dana Fasilitas adalah dana yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan Fasilitas.
Penanggung Jawab Pemanfaatan BMN yang selanjutnya disingkat PJPB adalah pengelola barang atau pengguna barang yang bertanggung jawab terhadap pemanfaatan BMN.
Permohonan Fasilitas adalah naskah dinas yang berisi permohonan mengenai penyediaan Fasilitas yang diajukan oleh PJPB kepada Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Surat Persetujuan Fasilitas adalah surat yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan yang berisi persetujuan atas pemberian Fasilitas.
Keputusan Penugasan adalah Keputusan Menteri Keuangan yang berisi mengenai penugasan khusus kepada badan usaha milik negara tertentu untuk melaksanakan Fasilitas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
Kesepakatan Induk adalah kesepakatan antara Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko selaku pemberi Fasilitas dengan Pengguna Barang sebagai PJPB selaku penerima Fasilitas.
Perjanjian untuk Penugasan Khusus yang selanjutnya disebut Perjanjian Penugasan adalah perjanjian antara Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan direktur utama atau wakil yang sah dari badan usaha milik negara yang ditugaskan untuk melaksanakan Fasilitas.
Perjanjian Pelaksanaan Fasilitas adalah perjanjian antara PJPB dengan direktur utama dari badan usaha milik negara yang ditugaskan untuk melaksanakan Fasilitas.
Tahap Penyiapan adalah tahap kegiatan yang meliputi penyusunan dokumen kajian peningkatan nilai BMN dan skema pemanfaatan, kajian rekomendasi transaksi, daftar BMN dan/atau dokumen pendukung lainnya untuk pelaksanaan transaksi, pelaksanaan penjajakan minat pasar, sehingga dapat selaras dengan rencana Pemanfaatan dan/atau segala kajian dan/atau dokumen pendukung lainnya.
Tahap Pelaksanaan Transaksi adalah tahap setelah diselesaikannya Tahap Penyiapan untuk pelaksanaan tender pemanfaatan BMN.
Penasihat Transaksi adalah pihak yang terdiri atas penasihat/konsultan di bidang teknis, di bidang keuangan, di bidang hukum dan/atau regulasi, di bidang lingkungan, di bidang properti dan/atau bidang lainnya, baik perorangan, badan usaha, lembaga nasional atau lembaga internasional yang bertugas untuk membantu pelaksanaan Fasilitas.
Hasil Keluaran adalah segala kajian, dokumen, dan/atau bentuk lainnya yang disiapkan dan dipergunakan untuk mendukung proses penyiapan dan pelaksanaan transaksi pemanfaatan BMN.
Kajian Peningkatan Nilai BMN dan Skema Pemanfaatan adalah kajian atas upaya peningkatan nilai BMN dan pilihan skema pemanfaatan BMN yang akan digunakan, strategi komunikasi yang tepat, kerangka waktu kerja, rencana keterlibatan pemangku kepentingan.
Kajian Rekomendasi Transaksi adalah kajian yang mencakup rekomendasi transaksi untuk setiap BMN, mekanisme pengumpulan dana atas hasil pemanfaatan BMN, serta pengawasan dan evaluasi.
Data BMN adalah data yang memuat informasi dan penggunaan BMN berupa tanah dan/atau bangunan berikut fasilitas yang melekat pada tanah dan/atau bangunan yang berada pada PJPB untuk disampaikan dalam rangka penyampaian permohonan Fasilitas kepada Menteri Keuangan.
Penjajakan Minat Pasar adalah proses interaksi untuk mengetahui masukan maupun minat badan usaha atas BMN yang akan dimanfaatkan.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Bangun Guna Serah yang selanjutnya disingkat BGS adalah Pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.
Bangun Serah Guna yang selanjutnya disingkat BSG adalah Pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.
Kerja Sama Pemanfaatan yang selanjutnya disingkat KSP adalah Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang- undangan lainnya.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas penggunaan BMN pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Menteri adalah Menteri Keuangan.
Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusan ...
Relevan terhadap
Pajak Sarang Burung Walet sebageimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf m mengacu pada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
Objek, yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet;
Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau sarang burung walet;
Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet; dan
Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 107o (sepuluh persen). Pasal 57 (l) Dalam rangka pengena.an Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 56, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyampaikan Rancangan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri untuk dilakukan reviu. (2) Rancangan Peraturan Otorita lbu Kota Nusantara yang telah direviu oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, disampaikan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. (3) Setelah mendapatkan persetqjuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Otorita lbu Kota Nusantara menetapkan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pengenaan Pajak Khusus IKN. (41 Jenis Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 56 dapat tidak dipungut, dalam hal:
potensinya kurang memadai; dan/atau
Otorita Ibu Kota Nusantara menetapkan kebijakan untuk tidak memungut. Paragraf 2 Pungutan Khusus IKN Pasal 58 (1) Jenis Pungutan Khusus IKN yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai retribusi daerah. (21 Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan berdasarkan pelayanan yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara, yang terdiri atas:
pelayanan umum;
penyediaan / pelayanan barang dan/atau jasa; dan/atau
pemberian perizinan tertentu. (3) Objek Pungutan Khusus IKN adalah penyediaan dan/atau pelayanan barang dan/atau jasa serta pemberian perizinan tertentu yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Wajib ^pungutan Khusus IKN. Pasal 59 (1) Bentuk pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a berupa:
pelayanankesehatan;
pelayanankebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan/atau
pengendalian lalu lintas. l2l ^Bentuk ^pelayanan ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dikenakan ^pungutan Khusus IKN dalam hal:
potensi penerimaannya kecil; dan/atau
dalam rangka pelaksanaan kebliakan nasional atau kebljakan Otorita Ibu Kota Nusantara untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma- cuma. (3) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf b berupa:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan/ pesanggrahanl uilla;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Otorita Ibu Kota Nusantara; dan/atau
pemanfaatan aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Otorita Ibu Kota Nusantara dan/atau optimalisasi aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. l4l ^Bentuk ^pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf c berupa:
Pungutan Khusus IKN atas persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetqjuan bangunan gedung oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (6) Pungutan Khusus IKN atas penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana pengguneran tenaga ke{a asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. (71 Pungutan Khusus IKN atas pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan ralryat yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (8) Penambahan bentuk layanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
persetqjuan bangunan gedung;
penggun€ran tenaga kerja asing; dan/atau
pengelolaanpertambanganrakyat. Paragraf 3 Tarif Pungutan Khusus IKN Pasal 60 (1) Tarif Pungutan Khusus IKN merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Pungutan Khusus IKN yang terutang. {21 ^Tarif ^Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut bentuk layanan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif ^pungutan Khusus IKN. Paragraf 4 Tata Cara Pemungutan Pajak Khusus IKN dan pungutan Khusus IKN Pasal 61 (1) Ketentuan lain yang terkait dengan pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, pengaturannya mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. (21 Termasuk ketentuan terkait pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
dasar pengenaan pajak;
pengecualian objek pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;
saat terutangnya pajak;
tempat terutangnya pajak;
tahun pajak dan masa pajak;
prinsip dan sasaran penetapan tarif pungutan khusus; dan C. ^tata ^cara ^penghitungan tarif pungutan khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tat: - cara p€mungutan Pajak Khusus IKN dan/atau pungutan Khusus IKN diatur dengan peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, Paragraf 5 Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan Pasal 62 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (21 Keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak Khusus IKN, Wajib Pungutan Khusus IKN, dan/atau Objek Pajak Khusus IKN serta bentuk pelayanan Pungutan Khusus IKN. Bagran Kedelapan Skema Pendanaan l,ainnya Pasal 63 Partisipasi badan usaha milik negara dalam mendanai persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara tidak terbatas pada investasi yang dalam swasta. dilakukan termasuk tetapi badan usaha milik negara dapat bekerja sama dengan Pasal 64 Skema swasta murni merupakan investasi murni dari swasta yang dapat diberikan insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 65 (1) Skema pendanaan dalam bentuk belanja dan/atau pembiayaan sebagaimana dimalsud dalam pasal 4 dapat berupa:
penerimaan hibah; dan/atau
pengadaan pinjaman. l2l ^Skema ^pendanaan ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (l) termasuk dukungan pendanaan/pembiayaan internasional yang merupakan skema untuk mewadahi pemberian dana antara lain dari bilateral/lembaga multilateral yang hendak berpartisipasi dalam pengembangan Ibu Kota Nusantara yang hijau dan cerdas yang dapat melalui hibah dan/atau pemberian dana talangan. (3) Tata cara penerimaan hibah dan pengadaan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III RENCANA KERJA DAN ANGGARAN OTORITA IBU KOTA NUSANTARA Bagian Kesatu Perencanaan dan Penganggaran Rencana Kerja dan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara Pasal 66 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/Pengguna Barang men5rusun rencana kerja dan a.nggaran Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 67 (1) Dalam rangka pen3rusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan pemerintah mengenai pen5rusunan rencana ke{a dan anggarErn Kementerian/Lembaga sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Pemerintah ini. (21 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun rencana kerja dan anggaran yang terdiri atas rencana pendapatan dan belanja. (3) Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara meliputi penerimaan negara bukan pajak d an/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (41 Rencana pendapatan dalam rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara merupakan perkiraan pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara yang disusun secara realistis dan optimal. (5) Rencana pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayal l2l merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditelaah oleh Menteri. Pasal 68 Otorita Ibu Kota Nusantara pengelolaan rencana belanja berdasarkan:
indikator kinerja utama;
fluktuasi pendapatan; dan
penerapan prinsip belanja berkualitas. Pasal 69 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/ Pengguna Barang menJrusun rencana kerja dan anggar€rn Ibu Kota Nusantara dengan memperhatikan paling sedikit:
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional;
rencana kerja pemerintah;
pagu anggaran; dan
standar biaya. l2l ^Penyusunan ^rencana ^kerja dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara harus menggunakan pendekatan:
kerangka pengeluaran jangka menengah;
penganggaran terpadu; dan
penganggaran berbasis kinerja. (3) Penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan instrumen:
indikator kinerja;
standar biaya; dan
evaluasi kinerja. Pasal 70 (1) Struktur rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara memuat:
rincian anggaran; dan
informasi kinerja. (21 Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit disusun menurut:
program;
kegiatan;
keluaran; dan
sumber pendanaan. (3) Informasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat paling sedikit:
hasil;
keluaran; dan
indikator kinerja. Pasal 71 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Menteri untuk dilakukan penelaahan. l2l ^Penelaahan ^rencana ^kerja ^dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilalsanakan oleh:
menteri yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional untuk menelaah kesesuaian pencapaian sasaran rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dengan rencana kerja Kementerian/Lembaga dan Rencana Kerja Pemerintah; dan
Menteri untuk menelaah kesesuaian rencana kerja dan anggaran Kementerian/lembaga dengan kualitas belanja Kementerian/Lembaga. (3) Rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihimpun bersama dengan rencana kerja dan anggaran Kementerian/t embaga untuk digunakan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dan dokumen pendukungnya. (4) Berdasarkan hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan alokasi anggaran hasil kesepakatan kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan pimpinan Kementerian/Lembaga lainnya.
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan penyesuaian rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggar.Ln hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia. (6) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaErn pembangunan nasional melakukan penelaahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggaran dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. (71 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku pengguna Anggaran wajib menyusun dan bertanggung jawab terhadap rencana kerja dan anggaran atas bagian Ernggaran yang dikuasainya. (8) Dalam rangka penJrusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menugaskan organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. PasaT 72 Dalam rangka melaksanakan sinkronisasi penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara:
berkoordinasi dengan Kementerian/kmbaga dan daerah mitra Ibu Kota Nusantara; dan
dapat melibatkan perwakilan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait lainnya. Pasal 73 (l) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana ke{a dan anggararn Otorita Ibu Kota Nusantara tahun sebelumnya dan tahun anggaran berjalan. (21 Hasil evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disampaikan kepada Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Bagian Kedua Dokumen Pelalsanaan Anggaran Pasal 74 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun dokumen pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l ayat (6) dan peraturan presiden mengenai rincian APBN. (21 Dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara 5slagaimana dimaksud pada ayat (l) diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggara.n yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana serta pendapatan yang diperkirakan. (3) Menteri mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara paling lambat tanggal 31 Desember meqielang awal tahun anggaran. Bagian Ketiga Mekanisme Perubahan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara l4l ^Dokumen ^pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 75 (1) Dalam hal diperlukan perubahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, perubahan diajukan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri untuk mendapatkan pengesahan. (2) Perubahan rencana kerja dan anggara.n sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
sebagai akibat dari:
perubahan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara yang memerlukan penyesuaian kebutuhan pelaksanaan;
penggunaan selisih lebih penerimaan negara bukan pajak pada Otorita Ibu Kota Nusantara;
fluktuasi pendapatan; dan/atau
hasil pengendalian dan pemantauan. b. sebagai akibat selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Pengajuan perubahan anggaran rencana ke{a dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perubahan renca.na kerja dan €rnggaran. BAB tV PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN Bagian Kesatu Umum
Penilaian oleh Penilai Pemerintah di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Penilaian adalah proses kegiatan yang dilakukan seorang penilai untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek Penilaian pada tanggal tertentu.
Penilai adalah seseorang yang memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk melakukan Penilaian serta diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Pejabat Fungsional Penilai adalah PNS yang diangkat dalam jabatan fungsional Penilai dan diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh untuk melaksanakan kegiatan di bidang Penilaian, termasuk atas hasil Penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pejabat Fungsional Analis Keuangan Negara di Bidang Penilaian adalah PNS yang diangkat dalam jabatan fungsional analisis keuangan negara dan berkedudukan di direktorat yang memiliki tugas dan fungsi perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang Penilaian.
Penilai Pemerintah di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Penilai Pemerintah adalah Pejabat Fungsional Penilai yang berkedudukan di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan Pejabat Fungsional Analis Keuangan Negara di Bidang Penilaian.
Pemohon Penilaian yang selanjutnya disebut Pemohon adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan Penilaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengelola Sektor adalah menteri/pimpinan lembaga, pemerintah daerah, atau pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kewenangan untuk melakukan pengelolaan kekayaan yang dikuasai negara pada sektor tertentu.
Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian.
Nilai Pasar adalah estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh atau dibayar untuk penukaran suatu aset atau liabilitas pada tanggal Penilaian, antara pembeli yang berminat membeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, dimana kedua pihak masing- masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian, dan tanpa paksaan.
Nilai Likuidasi adalah estimasi sejumlah uang yang akan diterima dari penjualan suatu aset dalam jangka waktu yang relatif pendek untuk dapat memenuhi jangka waktu pemasaran secara layak.
Nilai Ekonomi adalah estimasi nilai atas pemanfaatan sumber daya alam secara fisik dan/atau sebagai jasa ekosistem, baik langsung maupun tidak langsung dan/atau nilai yang mencerminkan keberlanjutan akan fungsi dan/atau manfaat sumber daya alam.
Nilai Penggantian Wajar adalah nilai untuk kepentingan pemilik yang didasarkan kepada kesetaraan dengan Nilai Pasar atas suatu properti, dengan memperhatikan unsur luar biasa berupa kerugian nonfisik yang diakibatkan adanya pengambilalihan hak atas properti.
Nilai Investasi adalah nilai dari suatu aset bagi pemilik atau calon pemilik untuk investasi individu atau tujuan operasional.
Properti adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang memiliki konsep kepemilikan, hak dan kepentingan, nilai, serta dapat membentuk kekayaan.
Bisnis adalah kepemilikan dalam perusahaan yang meliputi penyertaan dalam perusahaan, surat berharga, aset keuangan lainnya, dan aset tak berwujud.
Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat SDA adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas SDA hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman Lelang.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Barang Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BMD adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa yang selanjutnya disingkat ABMA/T adalah aset yang dikuasai negara berdasarkan:
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/PEPERPU/1958 jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439/1958 jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960;
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962;
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 jo. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/1964; dan
Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T0403/G5/5/66.
Benda Sitaan adalah semua benda yang disita oleh penyidik, penuntut umum atau pejabat yang berwenang untuk menyita barang guna keperluan barang bukti dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan, atau sebagai jaminan untuk melunasi utang pajak, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Benda Sita Eksekusi adalah barang rampasan negara yang berasal dari hasil penyitaan dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk membayar denda atau uang pengganti dalam perkara pidana.
Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik penanggung utang dan/atau penjamin utang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian utang.
Barang Rampasan Negara adalah BMN yang berasal dari barang bukti yang ditetapkan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, atau barang yang berdasarkan penetapan hakim atau putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara dan/atau barang hasil sita eksekusi dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan untuk membayar denda atau uang pengganti dalam perkara pidana.
Barang Temuan adalah barang sitaan atau barang yang diduga berasal dari atau terkait tindak pidana, yang tidak diketahui lagi pemiliknya.
Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik penanggung utang atau pihak yang memperoleh hak yang tidak dilakukan pengikatan sebagai jaminan utang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi jaminan penyelesaian utang.
Kekayaan Yang Dikuasai Negara adalah kekayaan negara atas bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta kekayaan lainnya dalam wilayah dan yurisdiksi Republik Indonesia yang dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Jasa Ekosistem atau Jasa Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Jasa Ekosistem adalah kontribusi ekosistem terhadap manfaat yang digunakan dalam aktivitas ekonomi dan manusia lainnya, yang terdiri atas jasa penyediaan ( provisioning ), jasa pendukung ( supporting ), jasa pengaturan ( regulating ), dan jasa budaya ( cultural ).
Basis Data adalah kumpulan data dan informasi pendukung lainnya yang berkaitan dengan Penilaian yang disimpan dalam media penyimpanan data.
Entitas adalah suatu unit usaha, dengan aktivitas atau berfokus pada kegiatan ekonomi.
Ekuitas adalah hak residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban.
Kerugian Ekonomis adalah kerugian yang diakibatkan oleh suatu kegiatan atau peristiwa tertentu sebagai bagian dari tindakan korporasi atau atas transaksi material.
Instrumen Keuangan adalah setiap kontrak yang menambah nilai aset keuangan dan liabilitas keuangan Ekuitas atau instrumen Ekuitas Entitas lain.
Aset Tak Berwujud yang selanjutnya disingkat ATB adalah aset nonkeuangan yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa atau digunakan untuk tujuan lainnya termasuk hak atas kekayaan intelektual.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, Penilaian, dan Lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal. 38. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah pada Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas melaksanakan koordinasi, bimbingan teknis, supervisi, pengendalian, evaluasi dan pelaksanaan tugas di bidang kekayaan negara, Penilaian, dan Lelang.
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas melaksanakan pelayanan di bidang kekayaan negara, Penilaian, dan Lelang.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah Pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, Penilaian, dan Lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Direktur Penilaian yang selanjutnya disebut Direktur adalah pejabat unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang Penilaian.
Tata Cara Perencanaan, Pengalokasian, Pencairan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Anggaran yang Bersumber dari Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak Mi ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PERENCANAAN, PENGALOKASIAN, PENCAIRAN, PERTANGGUNGJAWABAN,DANPENGAWASANANGGARAN YANG BERSUMBER DARI DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan se bagai acuan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. 3. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN. 4. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN. 5. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 6. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kemen terian negara/ lembaga yang bersangkutan. 7. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. 8. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 9. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menenma, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan kemen terian APBN pada kantor / satuan kerja negara/lembaga pemerintah nonkementerian. 10. Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat BPP adalah orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu. 11. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 12. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini kementerian negara/lembaga pemerintah nonkementerian atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan kementerian negara/lembaga pemerintah nonkementerian dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran. 13. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN, untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara. 14. Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Dana MPP adalah dana yang diterima dari Perserikatan Bangsa Bangsa, organisasi internasional dan/ a tau organisasi regional atas pelaksanaan misi pemeliharaan perdamaian. 15. Penerimaan Negara Bukan Pajak Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat PNBP MPP adalah PNBP dengan jenis hak negara lainnya yang berasal dari penyetoran Dana MPP ke Kas Negara. 16. Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Anggaran MPP adalah anggaran belanja dalam DIPA dengan sumber dana PNBP yang berasal dari penyetoran pendapatan dari Dana MPP yang dilakukan melalui mekanisme APBN. 1 7. Rekening Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat RDMP adalah rekening lainnya kementerian negara/lembaga/ satuan kerja dalam rangka penampungan sementara atas penerimaan dari Perserikatan Bangsa Bangsa, organisasi internasional, dan/ a tau organisasi regional atas pengerahan pasukan pada misi pemeliharaan perdamaian. 18. Satuan Kerja Pengelola Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Satker Pengelola Dana adalah Satker yang mengelola RDMP untuk menampung dan menyetorkan Dana MPP ke Kas Negara. 19. Satuan Kerja Pengguna Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Satker Pengguna Anggaran adalah Satker yang menganggarkan dan menggunakan Anggaran MPP.
Pejabat Pengelola Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disebut Pejabat Pengelola Dana adalah Pejabat yang ditunjuk menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk mengelola dan menyetorkan Dana MPP. 21. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor bukti transaksi penenmaan yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara. 22. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN. 23. Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/ penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah membayar langsung. 24. Tambahan Uang Persediaan untuk keperluan misi pemeliharaan perdamaian yang selanjutnya disebut TUP MPP adalah tambahan uang persediaan yang diajukan oleh Satker Pengguna Anggaran untuk membukukan Pendapatan PNBP yang berasal dari Dana MPP dan mencatat uang muka kepada Bendahara Pengeluaran Satker Pengguna Anggaran untuk kebutuhan belanja misi pemeliharaan perdamaian. 25. Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju. 26. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 27. Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran. 28. Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPP TUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran TUP MPP. 29. Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPP PTUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pertanggungjawaban atas TUP MPP. 30. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran. 32. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPM TUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP MPP. 33. Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian yang selanjutnya disingkat SPM PTUP MPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban atas TUP MPP yang membebani DIPA. 34. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 35. Sistem Informasi adalah sistem yang dibangun, dikelola, dan/atau dikembangkan oleh Kementerian Keuangan guna memfasilitasi proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, dan/atau monitoring dan evaluasi anggaran yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara. 36. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat TNI adalah komponen utama yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan negara. 37. Menteri Pertahanan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan. 38. Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Polri adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 39. Panglima TNI yang selanjutnya disebut Panglima adalah perwira tinggi militer yang memimpin TNI. 40. Kepala Polri yang selanjutnya disebut Kapolri adalah pimpinan Polri dan penanggung jawab penyelenggara fungsi kepolisian. 41. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 2 Pengelolaan Dana MPP dilaksanakan untuk menampung pendanaan misi pemeliharaan perdamaian yang dibebankan pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional, dan/ a tau organisasi regional pada lingkup TNI dan Polri. Pasal 3 Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas:
pendanaan atas misi pemeliharaan perdamaian yang dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan; dan
pendanaan atas misi pemeliharaan perdamaian yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Pasal 4 (1) Dalam rangka Pengelolaan Dana MPP dan Penggunaan Anggaran MPP, Menteri Pertahanan dan Kapolri menetapkan:
Satker Pengelola Dana; dan
Satker Pengguna Anggaran. (2) Kepala Satker Pengelola Dana bertindak secara ex- officio sebagai Pejabat Pengelola Dana. (3) Dalam hal Satker Pengelola Dana merupakan Satker Pengguna Anggaran, Menteri Pertahanan dan Kapolri menetapkan Pejabat Pengelola Dana dari Satker lain. (4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
penetapan pada lingkup TNI dilakukan oleh Menteri Pertahanan berdasarkan usulan Panglima; dan
penetapan pada lingkup Polri dilakukan oleh Kapolri. Pasal 5 (1) Untuk pengelolaan Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Satker Pengelola Dana membuka RDMP. (2) Dalam hal telah terdapat rekening penampungan sementara yang telah didaftarkan sebagai rekening pemerintah untuk menampung Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, rekening dimaksud diakui dan digunakan sebagai RDMP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (3) RDMP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Satker Pengelola Dana. (4) Satker Pengelola Dana melaksanakan Pengelolaan RDMP yang terdiri atas:
pembukaan rekening;
pengoperasian rekening;
pelaporan rekening; dan/atau
penutupan rekening. (5) Tata cara pembukaan, pengoperasian, pelaporan, dan penutupan RDMP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pengelolaan rekening milik Satuan Kerja lingkup kementerian negara/lembaga. BAB II PERENCANAAN KEBUTUHAN ANGGARAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN SERTA PENYETORAN DAN IZIN PENGGUNAAN DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Pasal 6 (1) KPA pada Satker Pengguna Anggaran menyusun rencana kebutuhan Anggaran MPP atau penambahan kebutuhan Anggaran MPP pada tahun anggaran berjalan. (2) Rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan:
kebutuhan dan kemampuan penyerapan anggaran untuk keperluan pelaksanaan Anggaran MPP pada tahun anggaran berjalan; dan
kecukupan Dana MPP yang akan dilakukan penyetoran ke Kas Negara sebesar realisasi Anggaran MPP. (3) Dalam hal rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam valuta asing, disertai dengan nilai ekuivalen rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral. (4) KPA pada Satker Pengguna Anggaran menyampaikan rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Pertahanan dan Kapolri sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Pasal 7 (1) Berdasarkan rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), Menteri Pertahanan dan Kapolri sesuai dengan lingkup tugas masing-masing atau pejabat yang menerima pelimpahan wewenang menerbitkan surat usulan penggunaan dana PNBP MPP. (2) Surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar hukum;
besaran tertinggi Dana MPP yang dibutuhkan dalam masing-masing valuta dengan ekuivalen rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral pada tanggal pembuatan surat usulan penggunaan dana PNBP MPP;
rincian keperluan misi pemeliharaan perdamaian;
penunjukan Satker Pengguna Anggaran dan Satker Pengelola Dana; dan
saldo Dana MPP. (3) Surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran. (4) Berdasarkan surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Anggaran melakukan penelitian terhadap surat usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri menerbitkan surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP. (6) Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) minimal memuat:
unit pengguna PNBP MPP;
be saran persetujuan penggunaan dana PNBP MPP;
rincian keperluan misi pemeliharaan perdamaian; dan
masa berlaku persetujuan penggunaan dana PNBP MPP. (7) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP MPP ditolak, Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan beserta alasannya. Pasal 8 (1) Dana MPP yang ada dalam RDMP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disetorkan ke Kas Negara sebagai PNBP MPP. (2) Penyetoran ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit sebesar Anggaran MPP yang terealisasi pada tahun anggaran berkenaan. (3) Penyetoran ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pengelola Dana pada Satker Pengelola Dana. (4) Satker Pengelola Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertindak sebagai Satker penghasil PNBP MPP. (5) PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk membiayai keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian pada Satker Pengguna Anggaran yang terdiri atas:
pengiriman personel dan peralatan;
operasional;
perawatan personel;
pemeliharaan peralatan;
pemulangan personel dan peralatan;
penambahan atau penguatan personel dan peralatan pada m1s1 yang sedang berjalan; dan/atau
kegiatan lainnya yang terkait langsung dengan pelaksanaan MPP. (6) Kegiatan lainnya yang terkait langsung dengan pelaksanaan MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf g ditetapkan oleh Panglima pada lingkup TNI dan Kapolri pada lingkup Polri. Pasal 9 (1) Penggunaan dana PNBP MPP dilaksanakan berdasarkan surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri. (2) Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk tahun anggaran berkenaan.
Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali pada tahun anggaran berkenaan dengan mempertimbangkan perubahan keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian. (4) Surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP se bagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pengalokasian Anggaran MPP dalam DIPA. BAB III PENGALOKASIAN DAN PENCAIRAN ANGGARAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Bagian Kesatu Pengalokasian Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 10 (1) Anggaran MPP dialokasikan dalam DIPA Satker Pengguna Anggaran. (2) Anggaran MPP yang dialokasikan dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak dapat dilampaui. (3) Alokasi Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekaligus merupakan batas tertinggi pencairan anggaran belanja negara yang sumber dananya berasal dari PNBP MPP. Pasal 11 (1) Pengalokasian Anggaran MPP dan target PNBP MPP dalam DIPA dilakukan melalui mekanisme revisi anggaran dan dapat dilakukan secara bertahap sesuai proyeksi kebutuhan dan kemampuan penyerapan Anggaran MPP tahun anggaran berkenaan. (2) Pengalokasian Anggaran MPP dan target PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimum sebesar surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5). (3) Revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satker Pengguna Anggaran dan Satker Pengelola Dana secara bersama-sama dengan ketentuan:
Satker Pengelola Dana melakukan pencantuman/penambahan target PNBP MPP; dan
Satker Pengguna Anggaran melakukan pencantuman/penambahan pagu belanja atas Anggaran MPP. (4) Pagu Anggaran MPP dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam klasifikasi rincian output yang terpisah dengan anggaran selain yang dibiayai dengan PNBP MPP. (5) Kodefikasi segmen akun untuk klasifikasi belanja dalam Anggaran MPP berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai bagan akun standar.
Anggaran MPP tidak dapat direvisi/ dilakukan pergeseran anggaran dari dan/ a tau ke selain Anggaran MPP. (7) Revisi pergeseran antar-Anggaran MPP yang tidak menyebabkan perubahan pagu Anggaran MPP secara keseluruhan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 12 (1) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/ pejabat eselon I pada lingkup unit organisasi pada kementerian yang membidangi urusan pertahanan atau Polri mengajukan usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran melalui Si stem Informasi dengan melampirkan:
surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5); dan
surat pernyataan kesanggupan dari Pejabat Pengelola Dana untuk menyetor Dana MPP ke Kas Negara sebesar Anggaran MPP yang terealisasi pada tahun anggaran berkenaan. (2) Direktorat Pelaksanaan Anggaran melakukan pengujian usulan rev1s1 anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem Informasi. (3) Berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pelaksanaan Anggaran mengesahkan Revisi Anggaran MPP melalui Sistem Informasi. (4) Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Direktorat Pelaksanaan Anggaran menerbitkan penolakan Revisi Anggaran MPP kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/ pejabat eselon I pada lingkup unit organisasi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau Polri beserta alasannya melalui Sistem Informasi. (5) Batas akhir penyampaian usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran yakni tanggal 15 Desember tahun anggaran berkenaan. Pasal 13 Berdasarkan pengesahan Revisi Anggaran MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Direktorat Pelaksanaan Anggaran menetapkan Maksimum Pencairan PNBP Satker Pengguna Anggaran sebesar Anggaran MPP pada Sistem Informasi. Bagian Kedua Pencairan Anggaran Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 14 (1) Pencairan Anggaran MPP dilakukan berdasarkan komitmen dan pengajuan tagihan kepada negara. (2) Pembuatan komitmen dan pengajuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk komitmen dalam bentuk rupiah berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan; dan
untuk komitmen dalam bentuk valuta asing berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pembayaran perjanjian dalam valuta asing yang dananya bersumber dari rupiah murni. Pasal 15 Pembayaran atas tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui mekanisme:
Pembayaran LS; atau
TUP MPP. Bagian Ketiga Mekanisme Pembayaran Langsung Pasal 16 Mekanisme Pembayaran LS yang dibebankan dari Anggaran MPP dilaksanakan untuk pembayaran tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kepada penyedia barang/ jasa di dalam negeri dengan mata uang rupiah. Pasal 17 (1) Berdasarkan pengaJuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), PPK pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Terhadap pengujian atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah sesuai, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPP-LS dan menyampaikan kepada PPSPM. (3) Dalam hal pengujian atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum sesuai, PPK menolak tagihan. (4) Penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah Dana MPP disetorkan ke Kas Negara minimal sebesar nilai bruto SPP-LS yang dibuktikan dengan BPN. (5) Berdasarkan SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian SPP-LS yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan.
Berdasarkan pengujian atas SPP-LS dan BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah sesuai, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPM-LS dan menyampaikan kepada KPPN. (7) Penyampaian SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilampiri BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (8) Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum sesuai, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menolak tagihan. (9) Penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 18 (1) KPPN melakukan pengujian SPM-LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) dengan berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Pengujian SPM-LS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai pengujian BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4). (3) Pengujian BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengujian atas nominal dalam BPN yang minimal sebesar nilai bruto pada SPM-LS. (4) Dalam hal pengujian SPM-LS dan lampirannya beserta BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan SP2D LS atas beban Anggaran MPP. (5) Dalam hal pengujian SPM-LS beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan penolakan SPM-LS beserta alasannya. Bagian Keempat Mekanisme Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Paragraf 1 Penerbitan Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 19 (1) Mekanisme penerbitan TUP MPP dilakukan berdasarkan surat permohonan persetujuan TUP MPP dari KPA pada Satker Pengguna Anggaran dengan memperhatikan pagu Anggaran MPP selain yang akan dibayarkan melalui mekanisme Pembayaran LS. (2) KPA Satker Pengguna Anggaran mengajukan surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada KPPN dilampiri dengan:
rincian rencana penggunaan TUP MPP; dan
surat pernyataan kesanggupan dari Pejabat Pengelola Dana untuk menyetor Dana MPP ke Kas Negara, melalui Sistem Informasi. (3) Surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat dalam valuta asing dengan ketentuan:
Satker Pengguna Anggaran memperhatikan ketersediaan rekening Bendahara Pengeluaran untuk menerima TUP MPP dalam valuta asing; dan
dalam hal belum terdapat rekening Bendahara Pengeluaran untuk menerima TUP MPP dalam valuta asing, Satker Pengguna Anggaran membuka rekening dalam valuta asing sesuai dengan bank operasional valuta asing yang telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pasal 20 (1) Berdasarkan surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), KPPN melakukan pengujian terhadap:
nominal pengajuan permintaan TUP MPP agar tidak melebihi pagu Anggaran MPP yang tersedia;
tidak terdapat kekurangan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara atas realisasi Anggaran MPP tahun anggaran sebelumnya atau tahun anggaran berjalan;
dalam hal terdapat TUP MPP yang telah diterbitkan sebelumnya, sisa TUP MPP dimaksud telah dipertanggungjawabkan paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh lima persen); dan
tidak terdapat lebih dari 1 (satu) TUP MPP yang belum selesai dipertanggungjawabkan seluruhnya sebelum penerbitan TUP MPP yang baru. (2) Terhadap surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan persetujuan TUP MPP melalui Sistem Informasi. (3) Dalam hal surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap dan sesuai, KPPN menerbitkan penolakan TUP MPP beserta alasannya. (4) Persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diterbitkan tanpa didahului penerbitan uang persediaan. (5) Persetujuan TUP MPP yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam kartu pengawasan yang terpisah dalam Sistem Informasi. Pasal 21 (1) Berdasarkan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPP TUP MPP. (2) SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibuat dalam valuta as1ng menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (3) Penerbitan SPP TUP MPP atas persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dalam mata uang rupiah, dilakukan setelah Dana MPP disetorkan ke Kas Negara paling sedikit sebesar nominal persetujuan TUP MPP yang dibuktikan dengan BPN. (4) SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran melalui Sistem Informasi. Pasal 22 (1) PPS PM pada Satker Pengguna Anggaran melakukan penelitian dan pengujian terhadap SPP TUP MPP yang disampaikan oleh PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan BPN se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dalam Sistem Informasi. (2) Proses penelitian dan pengujian SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menguji kesesuaian nominal antara SPP TUP MPP dengan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3). (3) Proses penelitian dan pengujian SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan secara elektronik berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (4) Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai, PPSPM menerbitkan SPM TUP MPP kepada KPPN dengan dilampiri BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3). (5) Dalam hal hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, PPS PM menolak SPP TUP MPP. (6) SPM TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dibuat dalam valuta asing menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs tengah bank sentral yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. Pasal 23 (1) KPPN melakukan penelitian dan pengujian SPM TUP MPP yang disampaikan oleh PPSPM dan BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) melalui Sistem Informasi. (2) Proses penelitian dan pengujian SPM TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menguji kesesuaian nominal antara SPM TUP MPP dan BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dengan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
Proses penelitian dan pengujian SPM TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan secara elektronik berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (4) Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai, KPPN menerbitkan SP2D TUP MPP. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak sesuai, KPPN menolak SPM TUP MPP disertai dengan alasan penolakan. (6) SP2D TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dibuat dalam valuta asing, menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (7) Penerbitan SP2D TUP MPP dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional dan norma waktu SP2D TUP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Paragraf 2 Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 24 (1) Berdasarkan pengajuan tagihan kepada negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), PPK pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian yang mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Berdasarkan hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPBy yang disampaikan kepada Bendahara Pengeluaran/BPP. (3) Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menolak tagihan disertai alasan penolakan. (4) Dalam hal TUP MPP digunakan untuk uang muka, PPK pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPBy disertai dengan:
rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran; dan
rincian kebutuhan dana. (5) Berdasarkan SPBy yang disampaikan PPK, Bendahara Pengeluaran/BPP Satker Pengguna Anggaran melakukan pengujian yang meliputi:
penelitian kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;
pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi:
pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;
nilai tagihan yang harus dibayar; dan
jadwal waktu pembayaran;
pengujian ketersediaan dana TUP MPP yang bersangkutan;
pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan dalam penerimaan barang/ jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian/ kontrak; dan
pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan klasifikasi anggaran. (6) Terhadap SPBy yang telah memenuhi persyaratan, Bendahara Pengeluaran/BPP pada Satker Pengguna Anggaran melakukan pembayaran dengan dana TUP MPP. (7) Dalam hal SPBy tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan, Bendahara Pengeluaran/BPP pada Satker Pengguna Anggaran mengembalikan tagihan/SPBy. Pasal 25 (1) Setiap BPP mengajukan pertanggungjawaban TUP MPP melalui Bendahara Pengeluaran pada Satker Pengguna Anggaran. (2) Pengajuan pertanggungjawaban TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan SPBy dan kelengkapan berupa bukti pengeluaran yang sah. (3) Berdasarkan bukti pertanggungjawaban TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK menerbitkan SPP PTUP MPP untuk pengesahan/ pertanggungjawaban TUP MPP dan disampaikan kepada PPSPM paling lama 5 (lima) hari kerja setelah bukti dukung diterima secara lengkap dan benar. (4) SPP PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan secara bertahap. (5) Berdasarkan SPP PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah memenuhi ketentuan pengujian formal, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menerbitkan SPM PTUP MPP kepada KPPN secara elektronik menggunakan Sistem Informasi. (6) Dalam hal SPP PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memenuhi ketentuan pengujian formal, PPSPM pada Satker Pengguna Anggaran menolak dan mengembalikan SPP PTUP MPP kepada PPK pada Satker Pengguna Anggaran secara elektronik melalui Sistem Informasi disertai alasan penolakan. Pasal 26 (1) KPPN melakukan penelitian dan pengujian SPM PTUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5) yang dilakukan secara elektronik mengacu pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (2) Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara elektronik se bagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi ketentuan, KPPN menerbitkan SP2D PTUP MPP.
SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dibuat dalam valuta asing, menggunakan ekuivalensi rupiah berdasarkan kurs yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (4) Berdasarkan SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Satker Pengguna Anggaran:
melakukan pencatatan SP2D pada Sistem Informasi; dan
mengajukan permintaan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara kepada Pejabat Pengelola Dana sebesar nominal SP2D pada Sistem Informasi sebagaimana huruf a. (5) Dalam hal pencatatan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tidak dapat dilakukan atau menyebabkan kekurangan pagu akibat adanya selisih kurs, Satker Pengguna Anggaran melakukan revisi anggaran sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (6) Dalam hal berdasarkan penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi ketentuan, KPPN menolak SPM PTUP MPP disertai dengan alasan penolakan. (7) Penerbitan SP2D PTUP MPP dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional dan norma waktu SP2D PTUP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Pasal 27 (1) Satker Pengguna Anggaran mempertanggungjawabkan TUP MPP paling lama 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP. (2) Dalam hal batas waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan dan/ a tau belum disetorkan sisanya ke Kas Negara, KPA pada Satker Pengguna Anggaran dapat mengajukan surat permohonan perpanjangan waktu pertanggungjawaban TUP MPP kepada Kepala KPPN. (3) Sisa TUP MPP yang tidak habis digunakan dalam 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP MPP se bagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetor ke Kas Negara dalam bentuk mata uang yang sama dengan pada saat pencairan SP2D TUP MPP. (4) Dalam hal 3 (tiga) bulan setelah tanggal SP2D TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada tahun anggaran berikutnya, penyetoran sisa TUP dilakukan sebelum tahun anggaran berakhir dengan memperhatikan norma waktu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (5) Dalam hal 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa dana TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan dan/atau belum disetorkan ke Kas Negara dan belum diajukan surat permohonan perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Pengguna Anggaran. (6) Terhadap surat permohonan perpanjangan waktu pertanggungjawaban TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPPN dapat memperpanjang batas waktu PTUP MPP paling lama 1 ( satu) bulan setelah batas waktu PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Dalam hal setelah 2 (dua) hari kerja setelah berakhirnya batas perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) masih terdapat sisa dana TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan dan/atau belum disetorkan ke Kas Negara, Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Pengguna Anggaran. (8) Dalam hal batas waktu 2 (dua) hari kerja setelah disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum dilakukan pertanggungjawaban dan/atau penyetoran sisa TUP MPP ke Kas Negara, Kepala KPPN memo tong be saran uang persediaan tunai rupiah murni Satker Pengguna Anggaran sebesar 25% (dua puluh lima persen) untuk periode paling singkat 1 (satu) tahun anggaran. (9) Kepala KPPN memotong besaran uang persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Penguna Anggaran untuk memperhitungkan potongan uang persediaan dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara. (10) TUP MPP dianggap telah selesai dipertanggungjawabkan seluruhnya dalam hal total nominal pengeluaran dalam SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) ditambah setoran sisa TUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan nominal SP2D TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4). Paragraf 3 Penyelesaian Selisih Kurs Tambahan Uang Persediaan Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 28 (1) Dalam hal terdapat selisih kurs pada ekuivalensi mata uang rupiah atas setoran sisa TUP MPP dalam valuta asing antara Satker dengan pembukuan KPPN, selisih kurs dicatat dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal nilai mata uang rupiah atas setoran TUP MPP pada Satker nilainya kurang dari sisa TUP MPP dalam mata uang Rupiah sebagaimana tercantum dalam pembukuan KPPN, selisih kurang dalam rupiah tersebut dicatat dengan akun belanja karena rugi selisih kurs uang persediaan Satker; atau
dalam hal nilai mata uang rupiah atas setoran TUP MPP pada Satker nilainya lebih besar dari sisa TUP MPP dalam mata uang rupiah sebagaimana tercantum dalam pembukuan KPPN, selisih lebih dalam rupiah tersebut dicatat sebagai PNBP dengan akun pendapatan dari untung selisih kurs uang persediaan Satker. (2) Pengalokasian akun belanja karena rugi selisih kurs uang persediaan Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Bagian Kelima Mekanisme Penyetoran Dana Misi Pemeliharaan Perdamaian Pasal 29 (1) Pejabat Pengelola Dana menyetorkan Dana MPP ke Kas Negara sebagai PNBP MPP paling lambat:
sebelum penerbitan SPP-LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2);
sebelum penerbitan SPP TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 untuk TUP MPP yang dimintakan dalam mata uang rupiah; dan / a tau c. 1 (satu) hari kerja setelah penerbitan SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk TUP MPP yang dimintakan dalam valuta asmg. (2) Direktur Jenderal Perbendaharaan berwenang memerintahkan Pejabat Pengelola Dana menyetorkan Dana MPP ke Kas Negara di luar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyetoran Dana MPP ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam rupiah atau valuta asing. (4) Dalam hal penyetoran ke Kas Negara dilakukan dalam valuta asing, jumlah yang disetorkan sebesar ekuivalen rupiah pada realisasi belanja atas SP2D. (5) Penyetoran Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhitungkan selisih kurs yang diakibatkan atas setoran sisa TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). (6) Kodefikasi segmen akun pendapatan pada penyetoran Dana MPP ke Kas Negara sebagai PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kode Satker Pengelola Dana dengan kode akun yang berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai bagan akun standar. (7) Penyetoran Dana MPP ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan melalui BPN yang telah mendapatkan NTPN. (8) Penyetoran Dana MPP ke Kas Negara berdasarkan SP2D PTUP MPP pada akhir tahun anggaran dilakukan sebelum tahun anggaran berakhir dengan berpedoman pada norma waktu penyetoran penerimaan negara pada akhir tahun anggaran yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (9) Terhadap TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan hingga 31 Desember tahun anggaran berkenaan, penyetoran Dana MPP ke Kas Negara dilakukan mendahului SP2D PTUP MPP sesuai norma waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebesar nilai TUP MPP yang belum dipertanggungjawabkan. (10) Dalam hal nilai SP2D PTUP MPP lebih besar daripada penyetoran Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (9), kekurangan penyetoran disetorkan ke Kas Negara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah SP2D PTUP MPP diterbitkan. (11) Dalam hal 2 (dua) hari kerja setelah tanggal SP2D PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c atau ayat (10) belum dilakukan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara, Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pejabat Pengelola Dana. (12) Dalam hal 1 (satu) hari kerja setelah disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) belum dilakukan penyetoran Dana MPP ke Kas Negara, Kepala KPPN memotong besaran uang persediaan tunai rupiah murni Satker Pengelola Dana sebesar 25% (dua puluh lima persen) sampai dengan kekurangan Dana MPP disetorkan ke Kas Negara. (13) Kepala KPPN memotong besaran uang persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA pada Satker Pengelola Dana untuk memperhitungkan potongan uang persediaan dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara. BAB IV PEMBAYARAN TAGIHAN ATAS MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DALAM KONDISI MENDESAK Pasal 30 (1) Satker Pengguna Anggaran dapat melakukan pembayaran tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak untuk keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian mendahului:
surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4); dan/atau
pengesahan rev1s1 anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3). (2) Pembayaran tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
saldo Dana MPP masih tersedia minimal se besar tagihan yang harus dibayarkan; dan
alokasi Anggaran MPP belum tersedia atau tidak mencukupi untuk membayar kebutuhan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dana MPP yang telah digunakan untuk membayar tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperhitungkan dalam:
rencana kebutuhan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); dan
surat permohonan persetujuan TUP MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). (4) Pengajuan usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilampiri surat pernyataan Panglima pada lingkup TNI atau Kapolri pada lingkup Polri atau pejabat yang menerima pelimpahan wewenang. (5) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) minimal memuat:
pernyataan bahwa terdapat tagihan atas komitmen dalam kondisi mendesak yang harus segera dibayarkan mendahului penerbitan persetujuan penggunaan dana PNBP MPP dan/atau pengesahan revisi Anggaran MPP; dan
nominal Dana MPP yang digunakan. (6) Dalam hal TUP MPP telah dicairkan ke Bendahara Pengeluaran Satker Pengguna Anggaran, nominal Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan penggantian sesuai dengan nominal dana yang telah digunakan. (7) Usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pembayaran terhadap kondisi mendesak yang mendahului surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (8) Usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diajukan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah:
surat persetujuan penggunaan dana PNBP MPP atas usulan persetujuan penggunaan dana PNBP MPP se bagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan; atau
pembayaran terhadap kondisi mendesak yang mendahului rev1s1 anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (9) Pengajuan usulan penggunaan dana PNBP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan usulan revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) memperhatikan batas waktu penyampaian usulan revisi anggaran se bagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5).
Terhadap dana TUP MPP yang telah dicairkan ke Rekening Bendahara Pengeluaran Satker Pengguna Anggaran, Bendahara Pengeluaran memindahbukukan dana TUP MPP ke RDMP. (11) Pemindahbukuan dana TUP MPP ke RDMP sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan sebesar Dana MPP yang telah dibayarkan untuk pembayaran tagihan dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (12) Bukti pengeluaran atas tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipertanggungjawabkan melalui mekanisme PTUP MPP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (13) Terhadap PTUP MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (12), berlaku ketentuan penyetoran Dana MPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. BABV AKUNTANSI DAN PELAPORAN Pasal 31 (1) Saldo Dana MPP dicatat oleh Satker Pengelola Dana sebagai dana yang dibatasi penggunaannya. (2) Dana MPP yang disetorkan ke Kas Negara dicatat oleh Satker Pengelola Dana sebagai pendapatan PNBP. (3) Realisasi Anggaran MPP dicatat oleh Satker Pengguna Anggaran. (4) Dalam hal Penggunaan Anggaran MPP menghasilkan persediaan/aset tetap/aset lainnya, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan Polri:
menatausahakan persediaan/aset tetap/aset lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penatausahaan BMN; dan
menyelenggarakan akuntansi dan pelaporan atas persediaan / a set tetap / aset lainnya. (5) Penatausahaan dan penyelenggaraan akuntansi dan pelaporan atas persediaan / aset tetap / aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Satker Pengguna Anggaran. (6) Perolehan persediaan/aset tetap/aset lainnya yang dibayarkan menggunakan valuta asing dengan TUP MPP dinilai dengan ekuivalen rupiah berdasarkan kurs yang didapatkan secara otomatis dari Sistem Informasi. (7) Transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan atas saldo Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satker Pengelola Dana mengungkapkan secara memadai dalam catatan atas laporan keuangan. (8) Pencatatan dan pelaporan keuangan pada Satker Pengelola Dana dan Satker Pengguna Anggaran berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. BAB VI PENGENDALIAN DAN PEMANTAUAN Pasal 32 (1) Pengendalian dan pemantauan dilakukan terhadap:
pengelolaan Dana MPP; dan
penggunaan Anggaran MPP. (2) Pengendalian dan pemantauan terhadap pengelolaan Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap:
pemenuhan komitmen pembayaran dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional, dan/atau organisasi regional sesuai dengan perjanjian dengan Pemerintah Republik Indonesia;
mitigasi penggunaan Dana MPP yang tidak dilaksanakan sesuai mekanisme APBN;
mitigasi penggunaan dana MPP untuk membiayai kegiatan selain kegiatan misi pemeliharaan perdamaian; dan
kesesuaian rencana kegiatan dan pengalokasian Anggaran MPP pada DIPA. (3) Tata cara pengendalian dan pemantauan terhadap Pengelolaan Dana MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Pertahanan atau Kapolri. (4) Pengendalian dan pemantauan terhadap penggunaan Anggaran MPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (5) Hasil pengendalian dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk:
memastikan pelaksanaan program dan kegiatan sesuai dengan yang direncanakan dan mencapai output yang ditetapkan;
memberikan bahan pertimbangan penyesuaian kebijakan misi pemeliharaan perdamaian tahun anggaran berjalan;
mengendalikan belanja negara; dan/atau
meningkatkan efisiensi dan efektivitas Anggaran MPP untuk keberlanjutan misi pemeliharaan perdamaian di masa yang akan datang. BAB VII PENGAWASAN ANGGARAN MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN DANA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK MISI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN Pasal 33 (1) Pengawasan Anggaran MPP dan Dana PNBP MPP dilakukan oleh:
aparat pengawasan intern pemerintah; dan/atau
Menteri;
Tata cara pelaksanaan pengawasan Anggaran MPP dan Dana PNBP MPP sebagaimana dimakasud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 (1) U sulan rev1s1 Anggaran MPP Tahun Anggaran 2024 untuk pertama kali diajukan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Peraturan Menteri ini diundangkan. (2) Dalam hal terdapat tagihan atas komitmen untuk keperluan misi pemeliharaan perdamaian untuk Tahun Anggaran 2024 sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku dan sebelum usulan revisi Anggaran MPP Tahun Anggaran 2024 untuk pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan, Satker Pengguna Anggaran dapat membayar tagihan dimaksud menggunakan Dana MPP. (3) Tata cara pembayaran tagihan atas misi pemeliharaan perdamaian dalam kondisi mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembayaran tagihan atas komitmen untuk keperluan m1s1 pemeliharaan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (7) dan ayat (8) dikecualikan terhadap pembayaran tagihan atas komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Peraturan Menteri 1n1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersifat Volatil yang Berlaku pada Kementerian Perdagangan ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Bumi da ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Subjek Pajak PBB yang selanjutnya disebut Subjek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Wajib Pajak PBB yang selanjutnya disebut Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenai kewajiban membayar PBB.
Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
Nilai Perolehan Baru adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek pajak tersebut.
Nilai Jual Objek Pajak Pengganti yang selanjutnya disebut Nilai Jual Pengganti adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Biaya Investasi Tanaman adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Hutan Alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.
Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur intensif.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin memanfaatkan Hutan Produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan, perlindungan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Biaya Produksi Perhutanan adalah seluruh biaya langsung yang terkait dengan kegiatan produksi hasil hutan, sampai di log ponds atau log yards untuk hasil hutan kayu dan/atau sampai tempat pengumpulan hasil panen untuk hasil hutan bukan kayu pada Hutan Alam.
Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang digunakan untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan/atau gas bumi.
Wilayah Kerja Panas Bumi adalah wilayah dengan batas- batas koordinat tertentu yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan pemanfaatan panas bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik.
Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan/atau gas bumi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak bumi dan/atau gas bumi, panas bumi, mineral, atau batubara, termasuk kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan, dalam Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah Kerja Panas Bumi, wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Eksploitasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan/atau gas bumi, atau panas bumi, dari Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi.
Permukaan Bumi Pertambangan Onshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Onshore adalah areal berupa tanah dan/atau perairan darat di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara.
Permukaan Bumi Pertambangan Offshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Offshore adalah areal berupa perairan yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi laut pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan perairan di dalam Batas Landas Kontinen.
Tubuh Bumi Eksplorasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Eksplorasi.
Tubuh Bumi Eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, atau pengusahaan panas bumi, pada kegiatan Eksploitasi.
Operasi Produksi adalah kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan dalam wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, dan wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Tubuh Bumi Operasi Produksi adalah tubuh bumi yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Operasi Produksi.
Harga Patokan Mineral Logam, yang selanjutnya disebut HPM Logam, adalah harga mineral logam yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan ( at sale point ) secara Free on Board untuk masing-masing komoditas tambang mineral logam.
Harga Patokan Mineral Bukan Logam, yang selanjutnya disebut HPM Bukan Logam, adalah harga patokan mineral bukan logam yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing-masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.
Harga Patokan Batuan adalah harga patokan batuan yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing- masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.
Harga Patokan Batubara, yang selanjutnya disingkat HPB, adalah harga batubara yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan ( at sale point ) secara Free on Board .
Angka Kapitalisasi adalah angka pengali tertentu yang digunakan untuk mengonversi pendapatan atau hasil produksi satu tahun menjadi NJOP, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Rasio Biaya Produksi adalah persentase tertentu yang diperoleh dari rata-rata biaya produksi satu tahun dibandingkan dengan rata-rata pendapatan kotor satu tahun, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penilai Pajak adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan penilaian.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan Undang- Undang PBB.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB terutang kepada Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB terutang.
Surat Tagihan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat STP PBB adalah surat untuk melakukan tagihan PBB terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Iuran Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut Ipeda adalah pungutan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.