Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar ...
Pengesahan Persetujuan Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
Fokus Urgensi Pengakuan Close Out Netting Sebagai Jaminan Penyelesaian Transaksi Dalam Rangka Pengembangan Pasar Derivatif Indonesia Apri Sya’bani ^1 1 Analis Muda Kebijakan Sektor Keuangan 2 BIS Triennial Central Bank Survey 2019 Pasar keuangan di Indonesia perlu dikembangkan untuk dapat memfasilitasi pembiayaan ekonomi dengan optimal. Pembiayaan ekonomi melalui pasar keuangan memerlukan instrumen derivatif untuk mitigasi risiko investasi ( hedging ), baik risiko kredit ( counterparty risk ) maupun risiko perubahan harga atau nilai pasar ( market risk ). Selain berfungsi sebagai lindung nilai ( hedging ), produk derivatif berfungsi untuk memfasilitasi pembiayaan jangka panjang, membantu investor untuk mengelola volatilitas saham dan komoditas, serta berfungsi sebagai alat bantu investor dalam mengelola durasi dan ketidaksesuaian mata uang. Hal ini mengingat Indonesia masih cukup bergantung pada modal asing sehingga mempunyai sensitivitas tinggi terhadap pergerakan sentimen pasar global. Saat ini, pasar derivatif Indonesia masih didominasi oleh produk derivatif nilai tukar atau foreign exchange (FX) sebesar 97,4%, diikuti oleh derivatif komoditas sebesar 1,7%, dan produk derivatif suku bunga atau interest rate (IR) sebesar 0,9% ( one-year turnover pasar derivatif Indonesia 2019). Namun jika dilihat dari volume transaksi dibandingkan dengan negara peers , Indonesia masih berada di bawah rata- rata. Produk derivatif FX yang mendominasi pasar derivatif Indonesia misalnya, hanya berkontribusi pada sekitar 0.06% dari volume perdagangan di tahun 2019 ^2 . Dibandingkan negara peers anggota G20 lainnya, daily average turnover transaksi derivatif di Indonesia relatif lebih rendah. Daily average turnover derivatif FX Indonesia hanya sekitar US$2,9 miliar (Rp40,2 triliun), sedang peers negara-negara berkembang
Fokus COVID-19, penguatan dan stabilitas sektor keuangan sudah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang. Dalam undang-undang tersebut, penguatan dan stabilitas sektor keuangan dilakukan sejalan dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial, dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Untuk menegaskan penguatan sektor keuangan sebagaimana dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020, maka stabilitas keuangan harus dilakukan dengan melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ). Untuk itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai dalam memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan. Secara teoritis, stabilitas keuangan bukanlah suatu target akhir, namun lebih kepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi program PEN. Jika lembaga- lembaga keuangan dan pasar keuangan yang berperan sebagai mediator keuangan berada dalam kondisi tidak stabil ataupun menghadapi ketidakpastian, maka dapat dipastikan aktivitas perekonomian akan sulit berlangsung karena rendahnya aktivitas produksi, konsumsi maupun investasi. Disamping itu, dalam kondisi tingkat inflasi yang tinggi, akan sulit bagi perekonomian suatu negara untuk tetap kompetitif dalam menghadapi persaingan global. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, penguatan sektor keuangan dilakukan dengan perluasan kewenangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang mencakup: (i) penguatan kewenangan BI dan LPS untuk mencegah risiko yang membahayakan sistem keuangan; dan (ii) kebijakan penguatan kewenangan Pemerintah untuk memberikan pinjaman kepada LPS dalam menangani permasalahan perbankan dan stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, dibutuhkan penguatan koordinasi antara pemerintah, BI, dan OJK sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Di luar kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, penguatan dan stabilitas daya tahan sektor keuangan dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan solusi mendasar untuk menciptakan daya tahan sektor keuangan yang bersifat berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga solusi mendasar, yang menurut Narain et al. (2012) adalah sebagai berikut: Pertama adalah kesehatan lembaga keuangan, yaitu lembaga-Iembaga keuangan yang eksis dalam sistem keuangan berada dalam kondisi sehat dan stabil. Indikator kesehatan lembaga keuangan yakni dapat memenuhi seluruh kewajibannya tanpa dukungan / bantuan pihak luar (eksternal). Pentingnya kesehatan lembaga keuangan dalam menciptakan sistem keuangan yang sehat khususnya dalam menghadapi ancaman shock eksternal seperti COVID-19 antara lain: (i) karakteristik lembaga keuangan yang rentan terhadap penarikan dana dalam jumlah besar; (ii) penyebaran kerugian diantara lembaga keuangan sangat cepat sehingga berpotensi menimbulkan problem yang sistemik; (iii) proses penyelesaian lembaga keuangan bermasalah membutuhkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit; (iv) potensi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan ( financial distress ); dan (v) ketidakstabilan lembaga keuangan akan berdampak pada kondisi makroekonomi, khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya transmisi kebijakan moneter. Kedua adalah pasar keuangan yang berkeadilan, yaitu sistem keuangan yang dituntut agar senantiasa stabil, yaitu sehat, transparan, dan dikelola dengan baik ( well managed ). Pendalaman kerentanan ekonomi akibat COVID-19 dalam banyak kasus disebabkan belum baiknya tata kelola pelaku keuangan domestik. Dengan
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
berupa peningkatan aktivitas perekonomian dapat dirasakan dalam jangka waktu menengah dan panjang. Dalam kesempatan berbeda, Direktur Riset CORE, Piter Abdullah Redjalam menilai wajar langkah pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi sebagai penyumbang terbesar kedua dan ketiga PDB nasional. Apalagi pada saat yang bersamaan, dalam dua tahun terakhir kinerja ekspor dan investasi tak begitu menggembirakan. Namun demikian, Piter menekankan perlunya menempatkan insentif fiskal dalam konteks strategi besar untuk memperbaiki struktur ekonomi agar tidak lagi bergantung pada komoditas. “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya,” ujarnya. Paradigma baru Insentif fiskal yang diberikan pemerintah beragam jenisnya. Secara garis besar, terang Rofyanto, insentif tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, fasilitas yang bersifat sektoral, antara lain tax holiday, tax allowance, investment allowance, fasilitas PPN tidak dipungut, dan pembebasan bea masuk. Fasilitas ini ditargetkan untuk sektor- sektor tertentu, misalnya tax bersama seirama. Berbenah butuh keuletan dan kesabaran. Apalagi jika banyak persoalan menumpuk sekian lama, mulai dari sisi perizinan, prosedur, hingga implementasi di lapangan. Beragam regulasi yang menghambat harus segera dirapikan. Untuk memancing masuknya investasi baru dan mendorong aktivitas dunia usaha, pemerintah memasang strategi pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal memang akan berpengaruh negatif bagi penerimaan perpajakan karena memunculkan belanja perpajakan ( tax loss ). Akan tetapi, pemberian insentif diharapkan dapat melambungkan penerimaan perpajakan karena basis perpajakan yang semakin besar akibat peningkatan aktivitas perekonomian. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Rofyanto menuturkan, sejak tahun 2018 Kementerian Keuangan telah melaporkan besarnya belanja perpajakan sebagai bentuk transparansi fiskal. Pada tahun itu, diestimasi besar belanja perpajakan mencapai Rp221,1 triliun atau sekitar 1,49 persen Produk Domestik Bruto (PDB). “Perlu disadari bahwa dampak langsung dan dampak tidak langsung dari insentif perpajakan memiliki perbedaan waktu atau time lag ,” jelas Rofyanto. Dampak langsung dapat dirasakan pada sistem perpajakan berupa penurunan pajak yang dikumpulkan, holiday untuk penanaman modal industri pionir. Kedua, fasilitas yang bersifat spatial (kawasan), misalnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan tempat penimbunan berikat. Di dalam kawasan tersebut, sarana dan prasarana untuk pengembangan industri diintegrasikan, termasuk pemberian fasilitas perpajakan. Pemberian fasilitas spasial ini diharapkan mampu menciptakan kantong-kantong ekonomi baru. “Dalam tahun 2019, pemerintah juga memperkenalkan jenis insentif baru, yaitu fasilitas super deduction tax yang merupakan activity-based incentive dan banyak diadopsi oleh negara-negara maju,” tambah Rofyanto. Insentif ini diberikan terhadap kegiatan vokasi dan R&D oleh Wajib Pajak (WP). Swasta didorong untuk turut aktif T iga puluh tiga perusahaan hengkang dari Tiongkok akibat perang dagang. Tiada satu pun berlabuh di Indonesia. Mereka lebih melirik negeri tetangga: Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Mengapa? Rumput tetangga lebih hijau bukan fatamorgana. Nyatanya, kita memang perlu berbenah diri. Namun, memacu investasi tak seringan membalik telapak tangan. Pembenahan tata kelola investasi perlu sinergi serta menyeluruh. Pusat dan daerah harus bergerak 13 MediaKeuangan 12 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Laporan Utama “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya" Piter Abdullah Redjalam Direktur Riset Center of Reform on Economic CORE Indonesia Teks Reni Saptati D.I, Laporan Utama Foto Anas Nur Huda Pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi. Berbenah Pacu Investasi
Opini Masa Depan Batu Bara dan Energi Terbarukan Ilustrasi A. Wirananda *Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja Teks Ragimun dan Imran Rosjadi Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MediaKeuangan 40 D iprediksi, nasib batu bara akan semakin sulit bersaing dengan energi terbarukan jika tidak ada inovasi dan peningkatan nilai tambah ( value added ). Dengan kata lain, tidak dilakukan hilirisasi ( downstreaming ). Apalagi ke depan, pengembangan energi bersih, seperti energi baru dan terbarukan (EBT) semakin masif dan efisien. Di masa mendatang, pengusaha batu bara ditantang untuk terus melakukan berbagai inovasi dan pengembangan produk batu bara. Di lain pihak, timbul pertanyaan, apakah pemerintah sudah secara maksimal mendorong berbagai bentuk program hilirisasi batu bara. Memang beberapa regulasi pemerintah telah digulirkan, salah satunya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang di dalamnya menetapkan antara lain mengenai target bauran energi nasional. Pada tahun 2025 ditargetkan peran EBT paling sedikit 20% dan peran batubara minimal 30%. Sementara pada tahun 2050 ditargetkan peran EBT melampaui batu bara, yakni paling sedikit 31%, sedangkan peran batubara minimal 25%. Perkembangan EBT yang makin pesat tentu membuat harga keekonomian EBT akan semakin kompetitif dibanding batu bara. Di sisi lain, penentangan para aktivis lingkungan terhadap efek polusi akibat penggunaan batu bara juga semakin mengemuka. Tak ayal, lambat laun kondisi ini akan terus menggeser peran batu bara sebagai sumber energi yang murah dan menjadikan batu bara bak buah simalakama. Di satu pihak, harganya terus menurun, dikonsumsi sekaligus ditentang dunia, dan bila tidak diproduksi maka potensi batu bara yang besar tidak dapat dioptimalkan. Akan tetapi, jika dilakukan hilirisasi, terdapat risiko bisnis yang cukup tinggi, baik dari segi teknis, regulasi, dan pasar. Biaya investasi yang diperlukan pun cukup besar, begitu pula dengan pembiayaannya harus bankable . Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, termasuk batu bara. Potensi kandungan sumber daya batu bara diperkirakan sangat besar, yakni mencapai 151 miliar ton dan cadangan batu bara sebesar 39 miliar ton. Kendati demikian, cadangan batu bara ini diperkirakan akan habis dalam 70 tahun yang akan datang (bila rasio cadangan dan produksi batu bara 4: 1). Oleh sebab itu, seyogianya pengelolaan batu bara dilakukan dengan baik dan bijak agar dapat memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat. Salah satu solusi agar pemerintah dapat terus mendorong pemanfaatan batu bara adalah melalui hilirisasi. Hilirisasi batu bara dapat memberikan sumbangan untuk peningkatan penerimaan negara, baik penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Saat ini, kontribusi penambangan batu bara sebelum dilakukan hilirisasi terbilang relatif tinggi terhadap PNBP. Pada tahun 2018 saja, PNBP batu bara mencapai lebih dari 21,85 triliun Rupiah. Dalam jangka pendek, pemberian insentif fiskal sebagai pendorong hilirisasi batu bara memang akan mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak dan bukan pajak. Akan tetapi, dalam jangka panjang diharapkan akan meningkatkan perekonomian dan manfaat sosial lainnya. Berdasarkan hasil simulasi yang pernah dilakukan, Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah atau lokasi hilirisasi diperkirakan meningkat 3 kali lipat. Sementara, untuk pajak dan PNBP rata-rata naik 3 kali lipat. Penyerapan tenaga kerja pun berpotensi mencapai lebih dari 5000 pekerja. Hilirisasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan pada saat ini adalah gasifikasi batu bara, yakni sebuah proses di mana bahan bakar karbon mentah dioksidasi untuk menghasilkan produk bahan bakar gas lainnya. Gasifikasi sudah diminati oleh perusahaan BUMN tambang, misalnya PT Bukit Asam (PT BA) yang berencana menggandeng beberapa perusahaan user melalui joint investment, seperti PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia dan PT Candra Asri. Penggunaan teknologi produksi batu bara menjadi gas berupa Dymethil Ether (DME), urea dan polyphropylen e (PP) saat ini bukan masalah. Beberapa negara lain telah melakukan hal serupa, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Namun demikian, biaya produksi yang masih sangat tinggi menjadi kendala sehingga membutuhkan investasi yang relatif besar, dapat mencapai lebih dari 3.446 miliar Dollar. Dibutuhkan dukungan segala pihak agar hilirisasi gasifikasi dapat berjalan lancar. Pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, dan penurunan atau pengurangan royalti khusus. Perbankan pun ikut beperan serta dalam memberikan kredit investasi apabila proyek ini dinilai layak secara finansial. Selain itu, diperlukan juga kebijakan pengaturan atau penetapan harga beli DME untuk LPG oleh PT Pertamina yang tidak mengikuti fluktuasi harga komoditas. Dengan demikian, proyek industri bukan hanya bankable dan dapat berjalan, melainkan juga berkelanjutan sehingga program gasifikasi batu bara dapat bermanfaat untuk kepentingan industri strategis nasional, pasokan gas dalam negeri, penghematan devisa, dan pemanfaatan batu bara kalori rendah ( low rank) . Seluruh pemangku kepentingan perlu duduk bersama guna mencari solusi terbaik agar nantinya batu bara tidak lagi menjadi masalah, melainkan menjadi produk yang membawa berkah dan maslahah.