Cipta Kerja
Relevan terhadap
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk Penyiaran Radio dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk Penyiaran Televisi dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 60A sehingga berbunyi se bagai berikut: Pasal 60A (1) Penyelenggaraan Penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi Penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital. (2) Migrasi Penyiaran Televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch of.ff diselesaikan paling lambat tanggal 2 November 2022. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi Penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 16 Pertahanan dan Keamanan Pasal 73 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor pertahanan dan keamanan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lem bar an Negara Repu blik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343); dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). Pasal 74 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343), diubah sebagai berikut:
Usaha Mikro dan Kecil diberi kemudahan / penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Usaha Mikro dan Kecil yang mengajukan Perizinan Berusaha dapat diberi insentif berupa tidak dikenai biaya atau diberi keringanan biaya.
Usaha Mikro dan Kecil yang berorientasi ekspor dapat diberi insentif kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Usaha Mikro dan Kecil tertentu dapat diberi insentif Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan. Pasal 93 Kegiatan U saha Mikro dan Kecil dapat dijadikan jaminan kredit program. ?asal94 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mempermudah dan menyederhanakan proses untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam hal pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan penyederhanaan pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku da_n bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kesembilan Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Pendampingan Hukum, Pengadaan Barang dan Jasa, dan Sistem/ Aplikasi Pembukuan/Pencatatan Keuangan dan Inkubasi Pasal 95 (1) Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus untuk mendukung pendanaan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka kegiatan pemberdayaan dan pengembangan UMK-M. (2) Pengalokasian Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 96 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pasal 97 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) produk/jasa Usaha Mikro dan Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan keten tuan pera turan perundang- undangan. Pasal 98 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memberikan pelatihan dan pendampingan pemanfaatan sistem/ aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan yang memberi kemudahan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pasal 99 Penyelenggaraan inkubasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, Dunia Usaha, dan/atau masyarakat. Pasal 100 Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 bertujuan untuk:
menciptakan usaha baru;
menguatkan dan mengembangkan kualitas UMK-M yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 101 Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 meliputi:
penciptaan dan penumbuhan usaha baru serta penguatan kapasitas pelaku usaha pemula yang berdaya saing tinggi;
penciptaan dan penumbuhan usaha baru yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
peningkatan nilai tambah pengelolaan potensi ekonomi melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 102 Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha melakukan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas UMK-M sehingga mampu mengakses:
pembiayaan alternatif untuk UMK-M pemula;
pembiayaan dari dana kemitraan;
bantuan hibah pemerintah;
dana bergulir; dan
tanggung jawab sosial perusahaan. Bagian Kesepuluh Partisipasi Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi pada Infrastruktur Publik Pasal 103 Di antara Pasal 53 dan Pasal 54 dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6760) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 53A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53A (1) Jalan Tol antarkota harus dilengkapi dengan tern pat istirahat dan pelayanan untuk kepentingan pengguna Jalan Tol, serta menyediakan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah pada tempat istirahat dan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengalokasikan lahan pada Jalan Tol paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total luas lahan area komersial untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, baik untuk Jalan Tol yang telah beroperasi maupun untuk Jalan Tol yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi. (3) Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan partisipasi Usaha Mikro dan Kecil melalui pola kemitraan.
Penanaman dan pemeliharaan tanaman di tempat istirahat dan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan U saha Menengah.
Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Relevan terhadap 3 lainnya
Wajib Pajak orang pribadi dapat mengungkapkan harta bersih yang:
diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2O2O;
masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2O2O; dan
belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O, kepada Direktur Jenderal Pajak. (21 Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai harta dikurangi nilai utang. (3) Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pada Tahun Pajak 2O2O. (4) Wajib Pajak orang pribadi yang dapat mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
tidak sedang dilakukan pemeriksaan, untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2OI8, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O;
tidak b. tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O;
tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
tidak sedang berada dalam proses peradilan atas tindak pidana di bidang perpajakan; dan/atau
tidak sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan. Pasal 9 (1) Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. (21 Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. (3) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar:
l2o/o (d: ua belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan ^pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
l4yo (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
12% c. l2o/o (dua belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
diinvestasikanpada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara;
l4o/o (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
tidak diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara; atau
18% (delapan belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 14) ^Dasar ^pengenaan ^pajak ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (21 yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O. (5) Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan berdasarkan:
nilai nominal, untuk harta berupa kas atau setara kas; atau Pasal 10 (1) WEib Pajak orang pribadi mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022. (21 Wajib Pajak yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
membayar Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2O2O; dan
mencabut permohonan:
pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
pengurangan atair pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
keberatan;
pembetulan;
banding;
gugatan; dan/atau
peninjauan kembali, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan. (3) Surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final;
daftar b. daftar rincian harta bersih beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan;
daftar utang;
pernyataan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c dan huruf d;
pernyataan akan menginvestasikan harta bersih pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara, dalam hal Wajib Pajak bermaksud menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf c; dan
pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf d, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan. (41 Pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2O2O yang disampaikan setelah Undang-Undang ini diundangkan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta, dianggap tidak disampaikan. (5) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O sampai dengan Undang-Undang ini diundangkan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2O2O yang mencerrninkan harta yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi sebelum Tahun Pajak 2O2O yang disampaikan sebelum Undang-Undang ini diundangkan ditambah harta yang bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak 2O2O; dan
harta bersih yang dimiliki selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta. (6) Direktur Jenderal Pajak memberikan surat keterangan terhadap penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta oleh Wajib Pajak orang pribadi. (71 Dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan harta bersih diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 1 1 (1) Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang telah memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6), berlaku ketentuan:
tidak diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan Tahun Pajak 2O2O, kecuali ditemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta;
kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a meliputi Pajak Penghasilan orang pribadi, Pajak Penghasilan atas pemotongan dan/atau pemungutan, dan Pajak Pertambahan Nilai, kecuali atas pajak yang sudah dipotong atau dipungut tetapi tidak disetorkan; dan/atau
data .
data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, danf atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. (21 Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan' data dan/atau informasi lain mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf a:
nilai harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022; dan
terhadap penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a:
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 3O%o (tiga puluh persen); dan
dikenai sanksi administratif berupa bunga sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya, melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 12 (1) Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf d wajib mengalihkan harta dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2022. (21 wajib l2l ^Wajib Pajak orang pribadi yang ^menyatakan menginvestasikan harta bersih ^pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf ^e wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2023. (3) Investasi harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (21wajib dilakukan paling singkat 5 (lima) tahun sejak diinvestasikan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (21, danlatau ayat (3) tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan/atau menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, atas bagian harta bersih yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022 dan berlaku ketentuan:
terhadap penghasilan dimaksud dikenai tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
4,5o/o (empat koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a;
4,5o/o (empat koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c angka2;
8,5o/o (delapan koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c; atau
6,50/o (enam koma lima persen) bagi Wajib Pajak Iffil-: if i: iff ^"; l: i'B"llx? EiTx'fi i"; angka 1, dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; atau
terhadap b. terhadap penghasilan dimaksud dikenai tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
3o/o (tiga persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a;
3o/o (tiga persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c angka 2;
7o/o (tujuh persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c; atau
5% (lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf d angka 1, dalam hal Wajfb Pajak atas kehendak sendiri mengungkapkan penghasilan tersebut dan menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan yang terutang. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
tata cara pengalihan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
investasi harta bersih pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
instrumen surat berharga negara yang digunakan untuk investasi, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas Berbagai instrumen dapat diambil untuk mencapai target Nationally Determined contribution (NDC), di antaranya adalah menggunakan instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) yang terdiri dari instrumen perdagangan maupun nonperdagangan. Instrumen nonperdagangan di antaranya adalah pengenaan pajak karbon. Pajak karbon dikenakan dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia. NDC atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Paris Agreement to Tle tJnited Nations Framework conuention on climate change (persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Yang dimaksud dengan "emisi karbon" adalah emisi karbon dioksida ekuivalen (COze). Kriteria dampak negatif bagi lingkungan hidup antara lain:
penyusutan sumber daya alam;
pencemaran lingkungan hidup; atau
kerusakan lingkungan hidup. Ayat (3) Ayat (3) Peta jalan (road mapl pajak karbon memuat sebagai berikut:
Strategi Penurunan Emisi Karbon Pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29%o (dua puluh sembilan persen) dengan kemampuan sendiri dan 4lo/o (empat puluh satu persen) dengan dukungan internasional pada tahun 2030 dan menuju Net Zero Emission (NZE) paling lambat di tahun 2060. b. Sasaran Sektor Prioritas Target penurunan emisi sektor energi dan transportasi serta sektor kehutanan sudah mencakup 97o/o (sembilan puluh tujuh persen) dari total target penurunan emisi NDC sehingga menjadi prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca. Selain dua sektor tersebut akan mengikuti transformasi industri nasional berbasis energi bersih dan pajak karbon menuju Indonesia Emas tahun 2045 dan NZE paling lambat tahun 2060. c. Memperhatikan Pembangunan Energi Baru dan Terbarukan Bauran kebijakan pajak karbon, perdagangan karbon dan kebijakan teknis sektoral di antaranya phasing out coal, pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau peningkatan keanekaragaman hayati diharapkan akan mendukung pencapaian target NZE 2060 dengan tetap mengedepankan prinsip just and a-ffordable transition bagi masyarakat dan memberikan kepastian iklim berusaha. d. Keselarasan Antarberbagai Kebijakan Peta jalan (road mapl pajak karbon akan memuat antara lain strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, dan/atau memperhatikan pembangunan energi baru terbarukan dan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pengenaan pajak karbon dilaksanakan sebagai berikut:
Tahun 2021, dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon;
Tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax/ untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara;
Tahun 2025 dan seterusnya, implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala. Penerapan pajak karbon mengutamakan pengaturan atas subjek pajak badan. Tarif pajak karbon akan dibuat lebih tinggi daripada atau sama dengan harga karbon di pasar karbon domestik. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "Dewan Perwakilan Ra}ryat Republik Indonesia" adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (s) Yang dimaksud dengan "barang yang mengandung karbon" adalah barang yang termasuk tapi tidak terbatas pada bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbon. Yang dimaksud dengan "aktivitas yang menghasilkan emisi karbon" adalah aktivitas yang menghasilkan atau mengeluarkan emisi karbon yang berasal antara lain dari sektor energi, pertanian, kehutanan dan perubahan lahan, industri, serta limbah. Termasuk dalam cakupan membeli, yaitu membeli barang yang menghasilkan emisi karbon di dalam negeri dan impor. Ayat (6) Perhitungan pajak karbon terutang atas keseluruhan nilai pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dengan mempertimbangkan nilai faktor emisi yang ditetapkan oleh kementerian dan/atau badan/lembaga yang memiliki kompetensi dan kewenangan melakukan pengukuran nilai faktor emisi. Yang Yang dimaksud nilai faktor emisi adalah nilai koefisien yang menghubungkan jumlah emisi rata-rata yang dilepaskan ke atmosfer dari sumber tertentu relatif terhadap unit aktivitas atau proses yang terkait pelepasan emisi karbon. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Karbon dioksida ekuivalen (COze) merupakan representasi emisi gas rumah kaca antara lain senyawa karbon dioksida (COz), dinitro oksida (NzO), dan metana (CH+). Yang dimaksud dengan "setara" adalah satuan konversi karbon dioksida ekuivalen (COze) antara lain ke satuan massa dan satuan volume. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Yang dimaksud dengan "Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia" adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (1 1) Yang dimaksud dengan "Dewan Perwakilan Ratryat Republik Indonesia" adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (12) Yang dimaksud dengan "pengendalian perubahan iklim" adalah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Yang dimaksud "mitigasi perubahan iklim" adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca atau meningkatkan penyerapan emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim. Yang Yang dimaksud dengan "adaptasi perubahan iklim" adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi. Ayat (13) Yang dimaksud dengan "perdagangan emisi karbon" adalah mekanisme transaksi antara pelaku usaha dan/atau kegiatan yang memiliki emisi melebihi batas atas emisi yang ditentukan. Yang dimaksud dengan "pengimbangan emisi karbon" (offset emisi karbon) adalah pengurangan emisi karbon yang dilakukan usaha dan/atau kegiatan untuk mengompensasi emisi yang dibuat di tempat lain. Ayat (la) Cukup jelas. Ayat (15) Yang dimaksud dengan "Dewan Perwakilan Ralryat Republik ' Indonesia" adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (16) Cukup ^jelas. Pasal 14 Angka 1 Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "etil alkohol atau etanol" adalah barang cair, jernih, dan tidak benvarna, merupakan senyawa organik dengan rumus kimia CzHsOH, yang diperoleh baik secara peragian dan/atau penyulingan maupun secara sintesa kimiawi. Huruf b . Huruf b Huruf c Yang dimaksud dengan "minuman yang mengandung etil alkohol" adalah semua barang cair yang lazirn disebut minuman yang mengandung etil alkohol yang dihasilkan dengan cara peragian, penyulingan, atau cara lainnya, antara lain bir, shandy, anggur, gin, whislcy, dan yang sejenis. Yang dimaksud dengan "konsentrat yang mengandung etil alkohol" adalah bahan yang mengandung etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol. Yang dimaksud dengan "sigaret" adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri dari sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan. Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan. Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri dari sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin. Yang dimaksud dengan sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin. Yang dimaksud dengan sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain daripada mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan j umlahnya. Yang dimaksud dengan ^*cerutu" adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Yang dimaksud dengan "rokok daun" adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, unt-uk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Yang dimaksud dengan "tembakau iris" adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Yang Yang dimaksud dengan "rokok elektrik" adalah hasil tembakau berbentuk cair, padat, atau bentuk lainnya, yang berasal dari pengolahan daun tembakau yang dibuat dengan cara ekstraksi atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya, yang disediakan untuk konsumen akhir dalam kemasan penjualan eceran yang dikonsumsi dengan cara dipanaskan menggunakan alat pemanas elektrik kemudian dihisap. Yang dimaksud dengan "hasil pengolahan tembakau lainnya" adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut dalam huruf ini yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia" adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 2 Pasal 40B Ayat (1) Yang dimaksud dengan "penelitian dugaan pelanggaran" adalah segala upaya yang dilakukan oleh pejabat Bea dan Cukai terhadap orang, tempat, barang, dan sarana pengangkut seperti meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, memeriksa barang, memeriksa tempat/bangunan, memeriksa sarana pengangkut, memeriksa pembukuan dan pencatatan, dan/atau tindakan lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan dalam rangka mencari dan mengumpulkan bahan dan keterangan untuk menentukan terjadi atau tidaknya pelanggaran di bidang cukai baik administratif maupun pidana. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hal ini dimaksudkan agar pendekatan penegakan hukum di bidang cukai bersifat restoratiue justice yaitu pendekatan penegakan hukum yang lebih mengutamakan pemulihan hak-hak atau kondisi korban, dimana dalam tindak pidana di bidang cukai yang berperan sebagai korban adalah negara, karena negara kehilangan haknya yaitu penerimaan negara di bidang cukai. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "barang-barang lain" adalah barang selain barang kena cukai yang tersangkut dalam tindak pidana yang terjadi, seperti sarana pengangkut, peralatan komunikasi, media atau tempat penyimpanan, serta dokumen dan surat. Ayat (6) Cukup ^jelas. Angka 3
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 4 lainnya
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 457, Subdirektorat Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Industri menyelenggarakan fungsi:
penyiapan bahan penelaahan dan penyusunan rancangan peraturan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di sektor industri;
penyiapan bahan dan penyusunan petunjuk pelaksanaan dan penegasan (ruling) di bi dang Pajak Pertam bahan N ilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di sektor industri;
penyiapan bahan dan penyusunan teknis operasional pemungutan dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di sektor industri; dan d. peny1apan bahan dan penyusunan jawaban atas pertanyaan dari unit operasional dan pihak lain di bidang pemungutan dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di sektor industri.
Seksi Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Industri I mempunyai tugas melakukan peny1apan bahan penelaahan dan penyusunan rancangan peraturan, petunjuk pelaksanaan, penegasan (ruling), teknis operasional, serta jawaban atas pertanyaan dari unit operasional dan pihak lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai di sektor industri pertanian dan pertambangan.
Seksi Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Industri II mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penelaahan dan penyusunan rancangan peraturan, petunjuk pelaksanaan, penegasan (ruling), teknis operasional, serta jawaban atas pertanyaan dari unit operasional dan pihak lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai di sektor industri otomotif dan elektronik.
Seksi Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Industri III mempunyai tugas melakukan peny1apan bahan penelaahan dan penyusunan rancangan peraturan, petunjuk pelaksanaan, penegasan (ruling), teknis operasional, serta jawaban atas pertanyaan dari unit operasional dan pihak lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai di sektor industri selain industri pertanian, pertambangan, otomotif, dan elektronik.
Seksi Potensi Sektor Industri mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penelaahan dan penyusunan, serta pemantauan, pengendalian, dan evaluasi teknik operasional penghitungan potensi pajak dan penyusunan rencana penerimaan di sektor industri termasuk sektor informal.
Seksi Potensi Sektor Perdagangan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penelaahan dan penyusunan, serta pemantauan, pengendalian, dan evaluasi teknik operasional penghitungan potensi pajak dan penyusunan rencana penenmaan di sektor perdagangan termasuk sektor informal.
Seksi Potensi Sektor Jasa mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penelaahan dan penyusunan, serta pemantauan, pengendalian, dan evaluasi teknik operasional penghitungan potensi pajak dan penyusunan rencana penerimaan di sektor jasa dan di sektor lainnya termasuk sektor informal.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.010/2021 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergo ...
Relevan terhadap
bahwa untuk tetap mempertahankan daya beli masyarakat di sektor industri kendaraan bermotor guna mendorong dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional, perlu dilakukan penyesuaian kebijakan di bidang perpajakan mengenai pajak penjualan atas barang mewah atas penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu yang ditanggung Pemerintah tahun anggaran 2021;
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.010/2021 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021 belum dapat menampung kebutuhan penyesuaian kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sehingga perlu diubah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.010/2021 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021;
Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus
Relevan terhadap
Untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Badan Usaha harus memenuhi kriteria:
merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang menjalankan bidang usaha yang merupakan Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah);
berstatus sebagai badan hukum Indonesia;
memiliki Penanaman Modal yang belum pernah diterbitkan:
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
keputusan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus; atau
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu; dan
memiliki komitmen untuk merealisasikan penanaman modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial.
Untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang menjalankan bidang usaha yang merupakan Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah);
berstatus sebagai badan hukum Indonesia; dan
memiliki Penanaman Modal yang belum pernah diterbitkan:
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
keputusan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan bagi perusahaan industri di kawasan industri dan perusahaan kawasan industri; dan
pemberitahuan mengenai pemberian fasilitas perpajakan untuk penanaman modal yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan penghasilan netto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.
Dalam hal Pelaku Usaha melakukan Penanaman Modal pada KEK yang berlokasi di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur, selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha juga harus memenuhi komitmen untuk merealisasikan rencana Penanaman Modal dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya keputusan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
Untuk dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pelaku Usaha harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang menjalankan bidang usaha pada:
Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah) dan memilih untuk diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b;
Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah); atau 3. Kegiatan Lainnya di KEK;
berstatus sebagai badan hukum Indonesia; dan
Penanaman Modal yang diajukan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan belum pernah diterbitkan:
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
keputusan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan bagi perusahaan industri di kawasan industri dan perusahaan kawasan industri; dan
pemberitahuan mengenai pemberian fasilitas perpajakan untuk penanaman modal yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan penghasilan netto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.
Dalam hal Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dimiliki langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri, selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (4), Badan Usaha atau Pelaku Usaha harus melampirkan surat keterangan fiskal seluruh pemegang saham yang tercatat dalam akta pendirian atau akta perubahan terakhir.
Dalam hal terjadi perubahan pemegang saham, surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dimiliki oleh pemegang saham yang tercatat dalam akta perubahan terakhir.
Surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Paragraf 5 Prosedur Pengajuan Permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan
Pelaku Usaha Pusat Logistik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b merupakan Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan menimbun barang logistik asal luar Daerah Pabean dan/atau dari TLDDP dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali, dan dapat disertai dengan 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana.
Kegiatan sederhana sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) dapat berupa:
pengemasan atau pengemasan kembali;
penyortiran;
standardisasi ( quality control );
penggabungan ( kitting );
pengepakan;
penyetelan;
konsolidasi barang tujuan ekspor;
penyediaan barang tujuan ekspor;
pemasangan kembali dan/atau perbaikan;
maintenance pada industri yang bersifat strategis, termasuk pengecatan;
pembauran ( blending );
pemberian label berbahasa Indonesia;
pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya atas Barang Kena Cukai;
lelang barang modal;
pameran barang;
pemeriksaan dari lembaga atau instansi teknis terkait dalam rangka pemenuhan ketentuan pembatasan impor dan/atau ekspor;
pemeriksaan untuk penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) oleh instansi teknis terkait dalam rangka impor dan/atau ekspor; dan/atau
kegiatan sederhana lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pelaku Usaha Pusat Logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kegiatan penimbunan barang sesuai dengan jenis kegiatan usahanya.
Barang asal luar Daerah Pabean yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik ditujukan untuk:
mendukung kegiatan industri di KEK, TPB, dan/atau Kawasan Bebas;
mendukung kegiatan industri di TLDDP;
diekspor;
mendukung kegiatan industri yang mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, keringanan bea masuk, dan/atau pengembalian bea masuk berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
mendukung kegiatan distribusi dan ketersediaan barang-barang di dalam negeri untuk program pemerintah; dan/atau
mendukung kegiatan Industri Kecil Menengah (IKM) di KEK dan TLDDP.
Barang untuk mendukung kegiatan distribusi dan ketersediaan barang-barang tertentu di dalam negeri untuk program pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e, yaitu:
barang keperluan industri yang tidak bisa diimpor langsung oleh perusahaan industri karena adanya ketentuan pembatasan impor, seperti bahan peledak untuk industri pertambangan;
barang yang secara nyata mempengaruhi biaya produksi bagi industri di dalam negeri, meskipun peredaran barang tersebut tidak semata-mata untuk perusahaan industri, yaitu:
bahan bakar minyak, listrik, atau gas;
barang untuk keperluan proyek pembangunan infrastruktur; dan
barang untuk keperluan industri pertambangan minyak dan gas;
barang yang importasinya mempengaruhi kegiatan ekonomi digital; dan/atau
barang yang importasinya dapat mempengaruhi kelangsungan industri dalam negeri, mempengaruhi hajat hidup orang banyak, berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional, dan/atau mempengaruhi stabilitas ekonomi dan keamanan nasional.
Barang yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik diberikan waktu untuk ditimbun paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal pemasukan ke Pelaku Usaha Pusat Logistik.
Jangka waktu timbun sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diperpanjang dalam hal barang yang ditimbun di Pelaku Usaha Pusat Logistik merupakan barang untuk keperluan:
operasional minyak dan/atau gas bumi;
pertambangan;
industri tertentu; atau
industri Iainnya dengan izin Kepala Kantor Pabean.
Dalam hal barang yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik melewati jangka waktu timbun sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7), barang tersebut harus:
diekspor kembali dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ekspor;
dikeluarkan ke Pelaku Usaha Pengolahan di KEK, TPB, dan/atau Kawasan Bebas; atau
dikeluarkan ke TLDDP dengan dilunasi bea masuk, cukai, dan/atau PDRI serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pusat Logistik ke TLDDP.
Dalam hal Pelaku Usaha Pusat Logistik tidak melakukan penyelesaian barang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak jangka waktu 3 (tiga) tahun dan/atau jangka waktu perpanjangan terlewati, izin Pelaku Usaha Pusat Logistik dibekukan sampai dengan dilakukan penyelesaian atas barang dimaksud.
Barang yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik, dapat dimiliki oleh:
Badan Usaha KEK atau Pelaku Usaha di KEK;
pemasok di luar Daerah Pabean; atau
importir atau eksportir di dalam Daerah Pabean.
Pelaku Usaha Logistik wajib melakukan penyimpanan dan penatausahaan barang secara tertib, yang dapat diketahui jenis, spesifikasi, jumlah pemasukan dan pengeluaran sediaan barang secara sistematis, serta posisisnya apabila dilakukan pencacahan ( stock opname ).
Dalam hal Pelaku Usaha Pusat Logistik menimbun barang yang dimiliki oleh pemasok di luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b, penentuan status Pelaku Usaha sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) mengikuti ketentuan sesuai dengan:
persetujuan penghindaran pajak berganda, dalam hal negara/yurisdiksi pemasok ( supplier ) memiliki persetujuan penghindaran pajak berganda dengan Indonesia; dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan, dalam hal negara/yurisdiksi pemasok tidak memilki persetujuan penghindaran pajak berganda dengan Indonesia. __
Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Menteri berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha disampaikan setelah Saat Mulai Berproduksi Komersial.
Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Badan Usaha melalui sistem OSS dengan mengunggah dokumen yang meliputi:
realisasi Penanaman Modal di KEK;
surat keterangan fiskal Badan Usaha; dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan transaksi penjualan atau persewaan pertama kali antara lain berupa faktur pajak atau bukti tagihan.
Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pelaku Usaha melalui sistem OSS dengan mengunggah dokumen yang meliputi:
realisasi aktiva tetap beserta gambar tata letak;
surat keterangan fiskal Pelaku Usaha; dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan:
transaksi penjualan ke pasaran pertama kali antara lain berupa faktur pajak atau bukti tagihan; atau
pertama kali hasil produksi digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut antara lain berupa laporan pemakaian sendiri.
Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak surat pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha, wakil dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, kuasa dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, atau pegawai dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
penentuan mengenai Saat Mulai Berproduksi Komersial dan pengujian atas pemenuhan ketentuan mengenai saat pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8);
pengujian:
kesesuaian kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Badan Usaha;
realisasi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d;
kesesuaian kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) untuk pengurangan fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Pelaku Usaha;
kesesuaian kriteria sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) untuk fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b; dan/atau
realisasi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3);
pengujian kesesuaian antara rencana realisasi dengan rencana Kegiatan Usaha Utama; dan
penghitungan:
nilai Penanaman Modal, termasuk nilai tanah/dan atau bangunan yang diperoleh dan diperuntukkan untuk dijual kembali, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Badan Usaha;
nilai Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Pelaku Usaha; atau
nilai Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a untuk fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b.
Jumlah nilai Penanaman Modal yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d angka 2 menjadi dasar penentuan jangka waktu fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
Jumlah nilai aktiva tetap berwujud yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d angka 3 menjadi dasar penghitungan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a.
Dalam rangka pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pemeriksaan; dan
dapat meminta keterangan dan/atau melibatkan tenaga ahli, kementerian pembina sektor dan/atau Badan Koordinasi Penanaman Modal. Paragraf 8 Keputusan Pemanfaatan Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa Guna Kepentingan Umum dan Peningkatan Daya Saing In ...
Relevan terhadap
Pembina Sektor Industri mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas BM DTP bagi Industri Sektor Tertentu kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal dilampiri dengan:
analisis dan alasan perlunya Industri Sektor Tertentu diberikan BM DTP dengan memperhatikan kriteria penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
laporan realisasi BM DTP untuk periode 2 (dua) tahun sebelumnya yang terdiri dari laporan pelaksanaan BM DTP dan laporan pemanfaatan BM DTP, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, disertai alasan dalam hal tidak tercapai BM DTP sektor industri yang bersangkutan;
daftar Barang dan Bahan dengan uraian spesifikasi teknis, sesuai dengan ketentuan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan ayat (6); dan
usulan alokasi dana BM DTP.
Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan Kebijakan Fiskal melakukan pengkajian sebagai bahan rekomendasi kepada Menteri Keuangan.
Dalam rangka pengkajian sebagaimana dimaksud padaayat (2), Kepala Badan Kebijakan Fiskal dapat meminta masukan dari Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan/atau instansi lain terkait.
Dalam hal permohonan dan jumlah alokasi dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai BM DTP Sektor Industri Tertentu per tahun anggaran, yang mengatur tentang alokasi pagu per sektor, KPA BM DTP, serta Barang dan Bahan yang diberikan fasilitas.
Perusahaan pada Industri Sektor Tertentu dapat memperoleh BM DTP.
Untuk memperoleh BM DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dilampiri dengan:
Rencana Impor Barang yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Pembina Sektor Industri; dan
surat keterangan penerapan Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT lnventory) dari Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerbit Nomor Induk Perusahaan Pembebasan dan/atau Pengembalian bagi perusahaan penerima fasilitas pembebasan dan/atau pengembalian bea masuk atas impor Barang dan Bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
Rencana Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling sedikit memuat elemen data sebagai berikut:
nomor dan tanggal Rencana Impor Barang;
nomor Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA);
nama perusahaan;
Nomor Pokok Wajib Pajak;
alamat;
kantor pabean tempat pemasukan barang;
uraian, jenis, dan spesifikasi teknis barang;
pos tarif (HS);
jumlah/satuan barang;
perkiraan harga impor;
negara asal;
perkiraan bea masuk yang ditanggung pemerintah; dan
nama dan tanda tangan dari pimpinan perusahaan.
Ketentuan mengenai surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024
Relevan terhadap
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024. jdih.kemenkeu.go.id PRE SID.EN Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, Undang-Undang dalam Lembaran memerintahkan ini dengan Negara Republik Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2023 ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2023 MENTER! SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 140 I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2023 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2024 Pemulihan perekonomian Indonesia semakin menguat dan berkualitas pada tahun 2023. Pemerintah secara resmi mencabut kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat pada tanggal 30 Desember 2022, yang diikuti pencabutan status pandemi di Indonesia pada tanggal 21 Juni 2023. Pencabutan tersebut berdampak positif terhadap performa perekonomian domestik pada semester I tahun 2023 karena aktivitas perekonomian kembali berjalan seperti keadaan prapandemi. World Health Organization juga secara resmi mencabut status pandemi COVID-19 pada tanggal 5 Mei 2023 sehingga pemulihan ekonomi pascapandemi di harapkan akan lebih terakselerasi. Namun, berbagai risiko global masih tereskalasi. Tingkat inflasi di negara maju masih berada di atas target jangka menengah - panjang, sehingga tingkat suku bunga diperkirakan tetap berada di level tinggi untuk jangka waktu yang lama (higher for longery. Agresivitas pengetatan moneter terutama di negara maju berdampak pada volatilitas sektor keuangan, meningkatkan beban utang negara berkembang, serta menekan aktivitas ekonomi global. Kinerja pertumbuhan ekonomi beberapa negara pada triwulan II tahun 2023 cenderung menguat seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, meskipun Eropa masih menunjukan kontraksi. Sementara itu, beberapa indikator terkini menunjukkan situasi yang belum membaik, seperti Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur dan perdagangan intemasional yang tertahan di zona kontraksi. Meskipun terdapat risiko transmisi dari tekanan ekonomi global kepada perekonomian domestik, fundamental ekonomi makro Indonesia masih sehat dan berdaya tahan di tengah gejolak global yang tengah terjadi. Laju inflasi Indonesia masih jauh lebih moderat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Eropa, India, Australia, Filipina, dan Singapura. Indonesia mencatatkan laju pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% (lima persen) dalam 7 (tujuh) kuartal berturut-turut. Bahkan neraca perdagangan mencatatkan surplus selama 38 (tiga puluh delapan) bulan berturut-turut. Pencapaian ini berhasil menempatkan Indonesia kembali sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas yang sebelumnya dicapai di tahun 2020. Selain itu, Indonesia juga berhasil melakukan konsolidasi fiskal dengan kembali kepada defisit kurang dari 3% (tiga persen) Produk Domestik Bruto yang dapat dilakukan di tahun 2022 atau lebih cepat 1 (satu) tahun dari target semula di tahun 2023. Karena itu, arah dan strategi kebijakan APBN tahun 2024 didesain untuk mendorong reformasi struktural dalam rangka percepatan transformasi ekonomi. Dalam rangka mendukung transformasi tersebut, kebijakan APBN tahun 2024 didorong agar lebih sehat dan berkelanjutan melalui: (i) optimalisasi pendapatan dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha; (ii) penguatan kualitas belanja negara yang efisien, fokus terhadap program prioritas, dan berorientasi pada output/ outcome (spending _bettery; _ dan (iii) mendorong pembiayaan yang prudent, inovatif, dan berkelanjutan. Dengan berpijak pada kebijakan reformasi struktural dan transformasi ekonomi, serta memperhitungkan berbagai risiko ekonomi global dan potensi pertumbuhan ekonomi nasional di tahun depan, maka asumsi indikator ekonomi makro di tahun 2024 ditargetkan sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi tahun 2024 ditargetkan mencapai 5,2% (lima koma dua persen). Pertumbuhan ekonomi tahun depan akan ditopang oleh stabilitas perekonomian di tahun 2023 dan akselerasi transformasi ekonomi. Terjaganya konsumsi domestik serta kinerja perdagangan intemasional Indonesia diperkirakan akan menguat yang akan mendorong terjaganya pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2024. Daya beli masyarakat diharapkan tetap terjaga seiring dengan semakin terkendalinya laju inflasi domestik, sedangkan kinerja ekspor diharapkan menguat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi global serta kebijakan hilirisasi yang akan meningkatkan nilai tambah produk-produk eskpor Indonesia. Sementara itu, investasi diperkirakan tetap terjaga seiring dengan dukungan Pemerintah dalam mendukung sektor-sektor terkait termasuk kebijakan hilirisasi mineral. Stabilitas kondisi politik dan sosial di tengah gelaran Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 akan berperan krusial dalam mendorong aktivitas investasi. Inflasi akan tetap terjaga pada tingkat 2,8% (dua koma delapan persen), didukung oleh daya beli masyarakat yang kuat dan kebijakan pengelolaan energi dan pangan yang semakin efisien. Rupiah diperkirakan akan mencapai RplS.000,00 (lima belas ribu rupiah) per dollar Amerika Serikat, dan suku bunga Surat Berharga Negara 10 tahun ditargetkan sebesar 6,7% (enam koma tujuh persen), didukung oleh perbaikan kondisi ekonomi global dan domestik yang mendorong kepercayaan asing dan arus modal masuk ke Indonesia. Harga minyak mentah Indonesia diperkirakan akan mencapai 82 (delapan puluh dua) dollar Amerika Serikat per barel. Lifting minyak dan gas bumi diperkirakan masing-masing mencapai 635.000 (enam ratus tiga puluh lima ribu) barel dan 1.033.000 (satu juta tiga puluh tiga ribu) barel setara minyak per hari. Pemerintah akan terus melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan produksi hulu migas nasional. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 diposisikan untuk:
mencapai target-target pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, (2) menyukseskan rangkaian pemilihan umum tahun 2024, dan (3) menciptakan pembangunan yang lebih baik pada tahun akhir pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 sebagai fondasi yang kokoh dalam melanjutkan estafet pembangunan pada periode 2025-2029. Terna Rencana Kerja Pemerintah diarahkan untuk menjaga kesinambungan dan konsistensi pembangunan tahunan, serta sebagai upaya untuk membaurkan dinamika perubahan lingkungan yang terjadi secara tahunan ke dalam scenario pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah, dengan tetap memperhatikan koridor Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Pemerintah berkomitmen untuk mengembalikan trajectory pertumbuhan ekonomi dan indikator makro lainnya pada kondisi prapandemi COVID-19. Sebagai upaya mewujudkan hal tersebut, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 tetap mendorong transformasi ekonomi sebagai game changer menuju Indonesia Maju. Transformasi ekonomi berorientasi pada peningkatan produktivitas, terutama dalam peningkatan nilai tambah di dalam dan antarsektor ekonomi, dan pergeseran tenaga kerja dari sektor informal yang bernilai tambah relative rendah menuju sektor formal yang bernilai tambah tinggi sehingga mendorong peningkatan pertumbuhan potensial jangka panjang. Peningkatan produktivitas juga diarahkan untuk menciptakan pembangunan inklusif dan berkelanjutan melalui pertumbuhan dan perkembangan ekonomi; pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan; dan perluasan akses dan kesempatan kerja. Penyusunan tema Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 dengan mempertimbangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, arahan Presiden, hasil evaluasi pembangunan tahun 2022, evaluasi kebijakan tahun 2023, forum konsultasi publik, kerangka ekonomi makro, agenda Pemilu Tahun 2024, dan dinamika ketidakpastian global serta isu strategis lainnya yang menjadi perhatian. Memperhatikan beberapa koridor tersebut maka tema pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 ditetapkan, yaitu "Mempercepat Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan". Berdasarkan tema dan sasaran pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024, ditetapkan delapan arah kebijakan pembangunan nasional tahun 2024, serta strategi yang melekat pada masing-masing arah kebijakan sebagai berikut:
Pengurangan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem, dilaksanakan melalui strategi: (a) memanfaatkan dan memutakhirkan data Registrasi Sosial Ekonomi untuk peningkatan akurasi program perlindungan sosial, (b) konvergensi pelaksanaan program-program perlindungan sosial, (c) intervensi kolaboratif untuk penanggulangan kemiskinan, (d) peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan, dan (e) peningkatan kualitas konsumsi pangan;
Peningkatan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, dilaksanakan melalui strategi: (a) memperkuat penyelenggaraan tata kelola kependudukan, (b) reformasi sistem perlindungan sosial, (c) meningkatkan pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta, (d) meningkatkan pemerataan layanan pendidikan berkualitas, (e) meningkatkan kualitas anak, perempuan, dan pemuda, dan (f) meningkatkan produktivitas dan daya saing;
Revitalisasi industri dan penguatan riset terapan, dilaksanakan melalui strategi: (a) meningkatkan daya saing dan kompleksitas industri yang didukung percepatan hilirisasi dan penguatan rantai pasok, serta (b) menyediakan iklim yang kondusif dalam penyusunan riset nasional;
Penguatan daya saing usaha, dilaksanakan melalui strategi: (a) meningkatkan kualitas teknologi informasi, (b) meningkatkan nilai tambah dan daya saing ekonomi, (c) mewujudkan investasi yang berkualitas melalui penciptaan iklim investasi yang ramah dan kondusif, (d) meningkatkan daya saing Usaha Mikro Kecil dan Menengah dan Koperasi, serta (e) meningkatkan modernisasi dan penerapan korporasi untuk daya saing pertanian dan kelautan perikanan;
Pembangunan rendah karbon dan transisi energi, dilaksanakan melalui strategi: (a) melaksanakan pembangunan rendah karbon di lima sektor prioritas (energi berkelanjutan, pengelolaan lahan berkelanjutan, industri hijau, pengelolaan limbah dan ekonomi sirkular, serta karbon biru dan pesisir); (b) konservasi lahan produktif; (c) menguatkan transisi energi melalui pemerataan akses energi berkeadilan; serta (d) meningkatkan layanan tenaga listrik yang merata, berkualitas, berkelanjutan dan berkeadilan, serta perluasan pemanfaatan;
Percepatan pembangunan infrastruktur dasar dan konektivitas, dilaksanakan melalui strategi: (a) meningkatkan akses rumah tangga terhadap perumahan dan permukiman layak huni dan aman, dalam konteks pencegahan maupun pengentasan permukiman kumuh, (b) meningkatkan ketahanan air di tingkat wilayah sungai melalui penerapan pendekatan Simpan Air, Jaga Air, dan Hemat Air, (c) meningkatkan sinergi dan kolaborasi pengelolaan sumber daya air dengan berbagai agenda pembangunan ekonomi dan meningkatkan ketahanan kebencanaan di setiap wilayah, (d) meningkatkan SOM, sarana dan prasarana layanan keselamatan dan keamanan transportasi, dan (e) meningkatkan konektivitas untuk mendukung kegiatan ekonomi dan aksesibilitas menuju pusat pelayanan dasar dan daerah tertinggal, terluar, terdepan, dan perbatasan (3 TP);
Percepatan pembangunan lbu Kota Nusantara, dilaksanakan melalui strategi: (a) membangun gedung pemerintahan dan hunian, dan (b) membangun infrastruktur utama; dan
Pelaksanaan Pemilu tahun 2024, dilaksanakan melalui strategi: (a) mendorong terwujudnya tahapan pemilu/ pemilihan sesuai jadwal, (b) meningkatkan kualitas penyelenggaraan kepemiluan, (c) mengamankan penyelenggaraan Pemilu tahun 2024, dan (d) mendukung penyelenggaraan Pemilu di luar negeri. Prioritas Nasional (PN) dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024 adalah:
Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan;
Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan;
Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing;
Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan;
Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar;
Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim; serta (7) Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan Transforrnasi Pelayanan Publik. Prioritas Nasional ini dapat di jelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Prioritas Nasional 1, Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan diarahkan untuk mendorong peningkatan produktivitas untuk transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pelaksanaannya difokuskan pada pemenuhan kebutuhan energi dengan mengutamakan peningkatan energi baru terbarukan; peningkatan kuantitas/ketahanan air untuk mendukung pertumbuhan ekonomi; peningkatan ketersediaan, akses, dan kualitas konsumsi pangan; peningkatan pengelolaan kemaritiman, perikanan dan kelautan; penguatan kewirausahaan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah, dan koperasi; peningkatan nilai tambah, lapangan kerja, dan investasi di sektor riil, dan industrialisasi; peningkatan ekspor bernilai tambah tinggi dan penguatan tingkat komponen dalam negeri; serta penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi. Prioritas Nasional 2, Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan diarahkan untuk percepatan transformasi sosial dan ekonomi; penguatan rantai produksi dan rantai nilai di tingkat wilayah untuk meningkatkan .keunggulan kompetitif perekonomian wilayah; memperkuat integrasi perekonomian domestik dan meningkatkan kualitas pelayanan dasar untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah; serta meningkatkan sinergi pemanfaatan ruang wilayah melalui strategi pembangunan. Prioritas Nasional 3, Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing merupakan kunci peningkatan produktivitas untuk mendukung transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Prioritas Nasional 3 pada tahun 2024 akan diarahkan pada memperkuat penyelenggaraan tata kelola kependudukan; reformasi sistem perlindungan sosial, terutama untuk percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem; meningkatkan pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta; meningkatkan pemerataan layanan pendidikan berkualitas; meningkatkan kualitas anak, perempuan dan pemuda; mengentaskan kemiskinan, difokuskan pada penguatan akses penduduk miskin dan rentan terhadap aset produktif, pemberdayaan usaha, dan akses pembiayaan untuk mendukung akselerasi peningkatan ekonomi bagi penduduk miskin dan rentan; serta meningkatkan produktivitas dan daya saing. Prioritas Nasional 4, Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan memiliki kedudukan penting dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan negara-bangsa yang maju, modern, unggul, dan berdaya saing. Pelaksanaan Prioritas Nasional 4 akan difokuskan untuk: memperkuat pelaksanaan Gerakan Nasional Revolusi Mental dan pembinaan Ideologi Pancasila; memperkuat pemajuan kebudayaan untuk mengembangkan nilai luhur budaya bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat; mengembangkan moderasi beragama untuk memperkuat kerukunan dan harmoni sosial; serta mengembangkan budaya literasi, kreativitas, dan inovasi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Prioritas Nasional 5, Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar difokuskan pada pemenuhan infrastruktur pelayanan dasar; peningkatan konektivitas untuk mendukung percepatan transformasi ekonomi; mendukung pembangunan inklusif dan berkelanjutan terutama di wilayah tertinggal, terpencil, · terluar dan perbatasan, serta penyediaan layanan dan pembangunan infrastruktur konektivitas yang merata; peningkatan layanan infrastruktur perkotaan; pembangunan energi dan ketenagalistrikan dalam mendukung transisi energi untuk menuju sistem energi rendah karbon; dan pembangunan dan pemanfaatan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, serta pendorong ( enablery teknologi informasi dan komunikasi dalam pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari transformasi digital. Prioritas Nasional 6, Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim difokuskan pada upaya menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk menopang produktivitas dan kualitas kehidupan masyarakat dalam rangka menuju transformasi ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan; serta pembangunan yang berorientasi pada pencegahan, pengurangan risiko, dan tangguh bencana. Pembangunan lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan perubahan iklim diarahkan pada kebijakan pengurangan dan penanggulangan beban pencemaran untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, terutama penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun medis pascapandemi COVID-19; penguatan budaya dan kelembagaan yang bersifat antisipatif, responsif dan adaptif untuk membangun resiliensi berkelanjutan dalam menghadapi bencana; serta peningkatan capaian penurunan emisi dan intensitas emisi gas rumah kaca dengan fokus penurunan emisi gas rumah kaca di sektor lahan, industri, dan energi. Prioritas Nasional 7, Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan Transformasi Pelayanan Publik. Pembangunan bidang politik, hukum, pertahanan, dan keamanan diarahkan antara lain pada: pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan serentak tahun 2024 diarahkan pada penyelenggaraan pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan jadwal; pembangunan kebebasan dan kesetaraan serta kapasitas lembaga demokrasi yang substantial; peningkatan kualitas komunikasi publik; mendukung pelaksanaan pembangunan bidang hukum untuk mewujudkan supremasi hukum dan peningkatan akses terhadap keadilan; mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, dilakukan perbaikan tata kelola dan birokra~i; serta pembangunan bidang pertahanan dan keamanan. Agar prioritas sasaran pembangunan nasional dan prioritas nasional lainnya tersebut dapat tercapai, Pemerintah perlu melakukan reformasi baik dari sisi pendapatan dan belanja, serta melakukan berbagai inovasi untuk pembiayaan defisit APBN Tahun Anggaran 2024. Oleh sebab itu, konsolidasi dan reformasi fiskal harus terus dilakukan secara menyeluruh, bertahap, dan terukur. Dimulai dari penguatan sisi penerimaan negara, perbaikan sisi belanja dan pengelolaan pembiayaan yang prudent dan hati- hati, untuk mewujudkan pengelolaan fiskal yang lebih sehat, berdaya tahan, dan mampu menjaga stabilitas perekonomian ke depan. Reformasi fiskal di sisi penerimaan dijalankan melalui optimalisasi pendapatan yang ditempuh melalui penggalian potensi, perluasan basis perpajakan, peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan optimalisasi pengelolaan aset serta inovasi layanan. Dengan demikian, rasio perpajakan dapat meningkat untuk penguatan ruang fiskal, dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha serta melindungi daya beli masyarakat. Di sisi belanja, reformasi dijalankan melalui penguatan belanja agar lebih berkualitas dengan penguatan spending better. Upaya yang ditempuh melalui pengendalian belanja agar lebih efisien, lebih produktif, dan menghasilkan multiplier effect yang kuat terhadap perekonomian serta efektif untuk mendukung program-program pembangunan prioritas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Inovasi di sisi pembiayaan difokuskan untuk mendorong pembiayaan yang kreatif dalam pembangunan infrastruktur dengan melibatkan partisipasi swasta melalui Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha, penguatan peran Lembaga Pengelola Investasi, serta pendalaman pasar obligasi negara yang mengedepankan prinsip kehati-hatian. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2024 dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1169 /DPD RI/I/2023-2024, tanggal 7 September 2023. Pembahasan Undang-Undang ini dilaksanakan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 tanggal 22 Mei 2014. II. PASAL DEMI PASAL
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu ...
Relevan terhadap
bahwa untuk lebih mendorong dan meningkatkan kegiatan penanaman modal langsung, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi, berkembangnya sektor usaha, kepastian hukum guna perbaikan iklim usaha yang lebih kondusif bagi kegiatan penanaman modal langsung di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, serta pemerataan dan percepatan pembangunan bagi bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang- bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
bahwa untuk memenuhi implementasi pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik dan percepatan pelaksanaan berusaha, perlu mengatur penyederhanaan prosedur pemberian fasilitas perpajakan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan ralryat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 5. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang peiaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 7. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda provinsi dan Perda kabupaten/ kota. 10. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan bupati/wali kota. 11. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 12. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 13. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 14. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 15. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. L6. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinar,. 17. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang ^" menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk 18. Badan...pemungut retribusi tertentu. PFIESIDEN REPUBLIK INDONESIA 18. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 19. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan danlatau penguasaan kendaraan bermotor. 20. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 21. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 22. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 23. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara perrnanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan. 25. Bumi adalah permukaan Bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 26. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 27. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 2a. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 29. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 30. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau ^jasa tertentu. 31. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 32. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit Tenaga Listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 33. Jasa Perhotelan adalah ^jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Jasa Parkir adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 35. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 36. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 37. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 38. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 39. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 40. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 41. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 42. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 43. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
Mineral 44. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang- undangan di bidang mineral dan batu bara. 45. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 46. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia ma-rina, collocalia esanlanta, dan allocalia linchi. 47. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 48. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 49. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/ kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 50. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 51. Nomor Pokok Wqiib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya. 52. Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu. PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA 53. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 54. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya. 55. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 56. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan Daerah. 57. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya ^jumlah pokok Pajak yang terutang. 58. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. 59. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar. 61. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan. 62. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak. 63. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 64. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 65. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, SUTAT Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan. 66. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 68. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD. 69. Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. 70. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua ^jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak. 71. Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 72. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi. 73. Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak. 74. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah. 76. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 77. Jasa Umum adalah ^jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 78. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 79. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 80. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang. 81. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 83. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. BAB II PENGATURAN UMUM PAJAK DAN RETRIBUSI Bagian Kesatu Pajak Paragraf 1 Jenis Pajak Pasal 2 Jenis Pajak terdiri atas:
Pajak provinsi; dan
Pajak kabupaten/kota. Pasal 3 (1) Jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
PKB;
BBNKB;
PAB; dan
PAP. (21 Jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
PBBKB;
Pajak Rokok; dan
Opsen Pajak MBLB. (3) Jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
PBB-P2;
Pajak Reklame;
PAT;
Opsen PKB; dan
Opsen BBNKB. (41 Jenis Pajak kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Paj ak terdiri atas:
BPHTB;
PBJT atas:
Makanan dan/atau Minuman;
Tenaga Listrik;
Jasa Perhotelan;
Jasa Parkir; dan
Jasa Kesenian dan Hiburan;
Pajak MBLB; dan
Pajak Sarang Burung Walet. Paragraf 2 Masa Pajak dan Tahun Pajak Pasal 4 (l) Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam I (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah. (21 Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untukjenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Kepala Daerah untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah. (3) Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender. (41 Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perkada. Paragraf 3 Pajak Provinsi Pasal 5 (1) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a merupakan hasil perkalian nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor. l2l ^Dasar ^pengenaan ^PKB, ^khusus ^untuk ^Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor. (3) Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. (4) Wilayah Pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 6 (1) Dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan peraturan gubernur. (21 Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor. (3) Wilayah Pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 7 (1) Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c merupakan nilai jual Alat Berat.
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat. (3) Wilayah Pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat. Pasal 8 (l) Dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d merupakan nilai perolehan Air Permukaan. (21 Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan. (3) Besarnya nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan gubernur. (41 Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. (5) Wilayah Pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada. (6) Penetapan besarnya nilai perolehan Air Permukaan yang ditetapkan dengan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan ralgrat. (71 Ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan ralryat sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ditetapkan setelah mendapatkan pertimbangan Menteri. Pasal 9 (1) Dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a merupakan nilai jual bahan bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai. (21 Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor. (3) Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor. Pasal 10 (1) Dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. (21 Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya Pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. (3) Wilayah Pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia. Paragraf 4 Pajak Kabupaten/ Kota Pasal 12 (l) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a merupakan NJOP. (21 NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. (3) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan. (41 Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. (5) Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang mempakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2. (6) Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut. Pasal 13 (1) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan paling rendah 207o (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. (21 Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
kenaikan NJOP hasil penilaian;
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten/ kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Perkada. Pasal 14 (1) Dasar pengena€rn Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b merupakan nilai sewa Reklame. (21 Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame. (3) Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame. (41 Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar. Pasal 15 (1) Dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c merupakan nilai perolehan Air Tanah. (21 Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah. (3) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah provinsi diatur dengan peraturan gubernur.
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah kabupaten/kota diatur dengan peraturan bupati/wali kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh gubernur. (5) Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (6) Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (7) Penetapan besarnya nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan dengan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai nilai perolehan Air Tanah. (8) Peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (7l., disusun dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri. Pasal 16 (1) Dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d merupakan PKB terutang. (21 Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB. (3) Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 17 (1) Dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf e merupakan BBNKB terutang. (21 Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB. (3) Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 18 (1) Dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi. (2) Saat terutang BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang. (3) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli. (4) Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada. Pasal 19 (1) Dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (41 huruf b merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
^jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dal/ atau Minuman;
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (f) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. (3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan. (5) Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan. (6) Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan. REPTTBLIK INDONESIA Pasal 20 (1) Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri. (2) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
^jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar. (3) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
kapasitas tersedia;
tingkat penggunaan listrik;
^jangka waktu pemakaian listrik; dan
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan. Pasal 2 I (l) Dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB. (2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB. (3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. (5) Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang. (6) Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB. Pasal 22 (l) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d merupakan nilai jual sarang Burung Walet. (21 Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet. (3) Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. (41 Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. K tlilrIIl INDO Paragraf 5 Bagi Hasil Pajak Provinsi Pasal 23 (l) Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (l) dan ayat (2) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
soy" (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
8Oo/o (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/ kota. b. hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/ kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen). (21 Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/ kota. (3) Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, dengan ketentuan:
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; dan
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/ kota di provinsi yang bersangkutan. (41 Penggunaan variabel lainnya selain variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c dalam menghitung besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota diatur dengan Perda provinsi. (5) Alokasi bagi hasil Pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan gubernur berdasarkan Perda provinsi mengenai bagi hasil Pajak. Pasal 24 (1) Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (21 dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah provinsi ke kas Daerah kabupaten/kota. (21 Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya ^jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak. (3) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Paragraf 6 Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan Pasal 25 (1) Hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf d, dialokasikan paling sedikit lOVo (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (21 Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit lOo/o (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan ^jalan umum. (3) Kegiatan penyediaan penerangan ^jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan ^jalan umum. (4) Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, baik bagian ^provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan ^paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum. (5) Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c, dialokasikan paling sedikit ^1O% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah kabupaten/kota ^yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air ^Tanah, meliputi:
penanaman pohon;
pembuatan lubang atau sumur resapan;
pelestarian hutan atau ^pepohonan; dan
pengelolaan limbah.
Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut. l7l ^Dalam ^hal ^Pemerintah Daerah ^tidak ^melaksanakan kewajiban dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Retribusi Paragraf I Jenis Retribusi Pasal 26 (l) Jenis Retribusi terdiri atas:
Retribusi Jasa Umum;
Retribusi Jasa Usaha; dan
Retribusi Perizinan Tertentu. (21 Jenis, objek, dan rincian objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi. (3) Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta. Paragraf 2 Retribusi Jasa Umum Pasal 27 (1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (ll huruf a, meliputi:
pelayanan kesehatan;
pelayanan kebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan
pengendalian lalu lintas. (21 Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. (4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan. (7) Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum. (8) Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang- undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. Pasal 28 Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi. Pasal 29 (1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri. (21 Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya. Pasal 30 Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 31 Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 32 (1) Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2T ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna Kendaraan Bermotor. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perhubungan. Pasa.l 33 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. (21 Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. (3) Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (41 Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai BLUD. Paragraf 3 Retribusi Jasa Usaha Pasal 34 (1) Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah masing- masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. (4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dilaksanakan dengan ketentuan:
tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (41 disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan. (71 Subjek Retribusi Jasa Usaha mempakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha. (8) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang- undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha. Pasal 35 Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 36 (1) Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat ( I ) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. (21 Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. Pasal 37 Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 38 Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 39 Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 40 Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (l) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 41 Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 42 Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 43 Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah. Pasal 44 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak. (21 Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. (3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai BLUD. Paragraf 4 Retribusi Perizinan Tertentu Pasal 45 (1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (l) huruf c meliputi:
persetujuan Bangunan gedung;
penggunaan tenaga kerja asing; dan
pengelolaan pertambangan rakyat. (21 Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu. (41 Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizir,an Tertentu. Pasal 46 (1) Pelayanan pemberian izin persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan persetujuan Bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan. Pasal 47 (1) Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga keda asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. Pasal 48 (1) Pelayanan pengelolaan pertambangan ralryat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan ralgrat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diberikan kepada:
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat. Pasal 49 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. (21 Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
Khusus untuk pelayanan persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (ll, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung. (4) Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing. (5) Khusus untuk pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan ralgrat mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral. Paragraf 5 Pemanfaatan Penerimaan Retribusi Pasal 50 (1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. (21 Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai BLUD. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perkada. >
Penagihan Utang Kepabeanan dan Cukai
Relevan terhadap
Pungutan Negara adalah pungutan negara dalam rangka impor, pungutan negara dalam rangka ekspor, pungutan negara di bidang cukai, dan/atau pungutan negara lainnya yang terkait dengan kegiatan dalam rangka impor, ekspor, dan/atau di bidang cukai yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Bea Masuk adalah Pungutan Negara berdasarkan Undang- Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
Bea Keluar adalah Pungutan Negara berdasarkan Undang- Undang Kepabeanan terhadap barang ekspor.
Cukai adalah Pungutan Negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
Utang Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Utang adalah pajak berupa Bea Masuk, Bea Keluar, dan/atau tagihan Cukai yang masih harus dibayar termasuk Bea Masuk antidumping, Bea Masuk imbalan, Bea Masuk tindakan pengamanan, Bea Masuk pembalasan, sanksi administrasi berupa denda, biaya pengganti penyediaan pita Cukai, dan/atau bunga yang berasal dari dokumen dasar penagihan.
Penagihan Utang Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Penagihan adalah serangkaian tindakan pejabat dan/atau jurusita agar penanggung Utang melunasi Utang dan biaya penagihan.
Biaya Penagihan adalah biaya pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan.
Pihak Yang Terutang adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercantum dalam dokumen dasar Penagihan yang menyebabkan timbulnya Utang.
Penanggung Utang Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Penanggung Utang adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Utang, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Pihak Yang Terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
Pemegang Saham Mayoritas adalah pemegang saham yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh persen) dari keseluruhan saham perusahaan.
Pemegang Saham Pengendali adalah pemegang saham yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan.
Jurusita Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Jurusita adalah pelaksana tindakan Penagihan yang meliputi Penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah Khusus di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.
Dokumen Penagihan adalah surat teguran, surat perintah Penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, surat perintah penyanderaan, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, dan surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan.
Surat Tagihan di Bidang Cukai yang selanjutnya disingkat STCK-1 adalah surat berupa ketetapan yang digunakan untuk melakukan tagihan Utang Cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan Cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan Pihak Yang Terutang untuk melunasi Pungutan Negara yang tercantum dalam dokumen dasar Penagihan yang tidak dibayar pada waktunya.
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang dan Biaya Penagihan.
Jatuh Tempo Pembayaran adalah batas waktu harus dilunasinya Utang oleh Pihak Yang Terutang tanpa dikenakan bunga.
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan yang dilaksanakan oleh Jurusita kepada Penanggung Utang sebelum tanggal Jatuh Tempo Pembayaran, sebelum penerbitan Surat Teguran, atau sebelum penerbitan Surat Paksa terhadap seluruh Utang.
Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Rekening Keuangan adalah rekening yang dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan yang meliputi rekening bagi bank, rekening efek dan subrekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Utang yang dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan dan/atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
Penyitaan adalah tindakan Jurusita untuk menguasai barang Penanggung Utang, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Utang menurut peraturan perundang- undangan.
Objek Sita adalah barang Penanggung Utang yang dapat dijadikan jaminan Utang.
Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan Objek Sita.
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Utang tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Utang tertentu dengan menempatkannya di tempat tertentu.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Hari adalah hari kalender.