JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 724 hasil yang relevan dengan "strategi investasi untuk pelaku usaha "
Dalam 0.03 detik
Thumbnail
PASAR MODAL
UU 8 TAHUN 1995

Pasar Modal

  • Ditetapkan: 10 Nov 1995
  • Diundangkan: 10 Nov 1995

Relevan terhadap 9 lainnya

Pasal 35Tutup

Huruf a Kegiatan usaha Perusahaan Efek atau Penasihat Investasi pada dasarnya dilandasi oleh adanya kepercayaan dari nasabah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kegiatannya Perusahaan Efek atau Penasihat Investasi harus mendahulukan dan menjaga kepentingan nasabahnya sepanjang kepentingan nasabah tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib menghindarkan segala tindakan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah yang bersangkutan. Sebagai contoh, pegawai pemasaran Perusahaan Efek dilarang mempengaruhi nasabahnya yang mempunyai dana terbatas untuk diinvestasikan terhadap Efek yang mempunyai risiko tinggi. Huruf b Cukup jelas Huruf c… Huruf c Sebagai Pihak yang memperoleh kepercayaan dari nasabahnya, Perusahaan Efek atau Penasihat Investasi wajib secara benar dan sejujurnya mengungkapkan Fakta Material untuk diketahui oleh nasabah mengenai kemampuan profesi serta keadaan keuangannya. Huruf d Larangan yang dimaksud dalam huruf ini adalah untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya benturan kepentingan Perusahaan Efek atau Penasihat Investasi dengan mewajibkan mereka untuk mengungkapkan segala kepentingan dalam Efek yang bersangkutan. Dalam hal Perusahaan Efek atau Penasihat Investasi mempunyai kepentingan dalam suatu Efek bersamaan dengan nasabahnya, mereka wajib memberitahukan hal tersebut kepada nasabahnya sebelum memberikan rekomendasi. Kepentingan dalam Efek timbul, antara lain apabila:

1.

Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan Pihak lain memiliki Efek atau berhak atas dividen, bunga atau hasil penjualan dan atau penggunaan Efek;

2.

Pihak telah terikat dalam kesepakatan atau perjanjian untuk membeli Efek, mempunyai hak untuk mengalihkan atau memindahtangankan Efek, atau memiliki hak memesan Efek terlebih dahulu;

3.

Pihak yang diwajibkan membeli sisa Efek yang tidak habis terjual dalam Penawaran Umum; dan

4.

Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, mengendalikan Pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, atau angka 3 penjelasan huruf d. Huruf e Selain merupakan sarana pengerahan dana masyarakat, Penawaran Umum dimaksudkan untuk menciptakan likuiditas bagi Efek yang bersangkutan. Oleh karena itu, penyebaran Efek kepada sejumlah besar pemodal merupakan hal yang sangat penting. Penguasaan Efek yang ditawarkan dalam rangka Penawaran Umum oleh sebagian kecil pelaku di Pasar Modal tidak akan mampu menciptakan likuiditas bagi Efek yang bersangkutan. Di lain pihak hal itu dapat menciptakan peluang bagi Pihak-Pihak tersebut untuk memanfaatkan keadaan pasar untuk memperkaya diri sendiri. Untuk… Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam hal terjadi kelebihan permintaan dalam Penawaran Umum, Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Penjamin Emisi Efek wajib mendahulukan kepentingan Pihak lain yang tidak terafiliasi yang telah memesan Efek daripada pesanan Penjamin Emisi Efek sendiri, agen penjualan, dan semua Pihak yang terafiliasi.

Pasal 30Tutup
(1)

Yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Efek adalah Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam.

(2)

Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi serta kegiatan lain sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bapepam.

(3)

Pihak...

(3)

Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi hanya untuk Efek yang bersifat utang yang jatuh temponya tidak lebih dari satu tahun, sertifikat deposito, polis asuransi, Efek yang diterbitkan atau dijamin Pemerintah Indonesia, atau Efek lain yang ditetapkan oleh Bapepam tidak diwajibkan untuk memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Efek.

(4)

Persyaratan dan tata cara perizinan Perusahaan Efek diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34Tutup

Ayat (1) Kegiatan Penasihat Investasi adalah memberikan nasihat mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan memperoleh imbalan jasa. Oleh karena itu, Penasihat Investasi harus memenuhi persyaratan tertentu seperti keahlian dalam bidang analisis Efek. Termasuk dalam kegiatan Penasihat Investasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan pemeringkat Efek. Untuk memastikan hal tersebut sebelum melakukan kegiatannya, Penasihat Investasi diwajibkan terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Bapepam. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "persyaratan dan tata cara perizinan dalam ayat ini adalah ketentuan mengenai, antara lain:

a.

persyaratan yang wajib dipenuhi oleh calon Penasihat Investasi, antara lain memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi; dan

b.

tata cara pengajuan permohonan menjadi Penasihat Investasi.

Thumbnail
MILITER | PERADILAN
UU 31 TAHUN 1997

Peradilan Militer

  • Ditetapkan: 15 Okt 1997
  • Diundangkan: 15 Okt 1997

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.

Pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.

2.

Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Oditurat Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

3.

Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah Badan atau Pejabat di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Departemen Pertahanan Keamanan serta badan atau pejabat lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berwenang mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan keamanan negara.

4.

Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.

5.

Hakim Ketua adalah Hakim yang mengetuai majelis hakim dalam persidangan pengadilan.

6.

Hakim Anggota adalah Hakim yang menjadi anggota majelis hakim di persidangan pengadilan.

7.

Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.

8.

Oditur… 8. Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Oditur Jenderal adalah penuntut umum tertinggi di lingkungan Angkatan Bersenjata, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Oditurat yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat.

9.

Atasan yang Berhak Menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan Undang-undang ini.

10.

Perwira Penyerah Perkara adalah perwira yang oleh atau atas dasar Undang-undang ini mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada di bawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

11.

Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Penyidik adalah Atasan yang Berhak Mengkuhum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan.

12.

Penyidik Pembantu adalah pejabat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tertentu yang berada dan diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan.di kesatuannya.

13.

Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

14.

Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah melakukan atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

15.

Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

16.

Penyidik… 16. Penyidik adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

17.

Penagkapan adalah suatu tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

18.

Penggeledahan badan adalah tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawahnya serta, untuk disita.

19.

Penggeledahan rumah adalah tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

20.

Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan.

21.

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atas perintah Atasan yang Berhak Menghukum, Perwira Penyerah Perkara atau Hakim Ketua atau Kepala Pengadilan dengan keputusan/penetapannya dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

22.

Penyerahan perkara adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk menyerahkan perkara pidana kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang, dengan menuntut supaya diperiksa dan diadili dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

23.

Penutupan… 23. Penutupan perkara adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk tidak menyerahkan perkara pidana kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berdasarkan pertimbangan demi kepentingan hukum atau kepentingan militer dan/atau kepentingan umum.

24.

Penghentian penuntutan adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk tidak menyerahkan perkara pidana ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang karena tidak terdapat cukup bukti atau perbuatannya ternyata bukan merupakan tindak pidana dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

25.

Tersangka adalah seseorang yang termasuk yustisiabel peradilan militer, yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

26.

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

27.

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

28.

Keterangan saksi adalah satu alat buti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

29.

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

30.

Penasihat hukum adalah seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, memenuhi persyaratan untuk memberikan bantuan hukum menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

31.

Rehabilitasi adalah hak Terdakwa untuk mendapat pemilihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya dalam hal Terdakwa diputus oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang putusannya bukan pemidanaan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

32.

Terpidana… 32. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

33.

Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah administrasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan keamanan negara.

34.

Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berisi tindakan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan berkaitan dengan penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan keamanan negara di bidang personel, materiil, fasilitas dan jasa yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.

35.

Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

36.

Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi untuk mendapatkan putusan.

37.

Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang menggugat Tergugat.

38.

Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

39.

Penetapan… 39. Penetapan adalah Keputusan Hakim Ketua atau Kepala Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, baik di dalam maupun di luar sidang, mengenai perkara pidana atau perkara Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang bukan merupakan putusan akhir.

40.

Ganti rugi adalah hak seseorang yang menjadi korban dari tindak pidana yang langsung atau tidak langsung mendapat kerugian, untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

41.

Upaya hukum adalah:

a.

dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana atau ahli warisnya atau Oditur untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;

b.

dalam Hukum Acara Tata Usaha Militer, tergugat atau penggugat untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa banding atau kasasi, atau permohonan peninjauan kembali putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap serta hak pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

42.

Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Prajurit adalah negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkoban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.

43.

Angkatan Bersenjata adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

44.

Menteri adalah Menteri Pertahanan Keamanan Republik Indonesia.

45.

Panglima adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pasal 2…

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PERBANKAN
UU 10 TAHUN 1998

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

  • Ditetapkan: 10 Nov 1998
  • Diundangkan: 10 Nov 1998

Relevan terhadap

Pasal ITutup

Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagai berikut:

1.

Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya;

2.

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;

3.

Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;

4.

Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;

5.

Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

6.

Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan;

7.

Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank;

8.

Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan;

9.

Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu;

10.

Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang;

11.

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga;

12.

Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;

13.

Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina);

14.

Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dengan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut;

15.

Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum untuk mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan perjanjian antara Bank Umum dengan emiten surat berharga yang bersangkutan;

16.

Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank;

17.

Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;

18.

Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;

19.

Kantor Cabang adalah kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana kantor cabang tersebut melakukan usahanya;

20.

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;

21.

Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;

22.

Pihak Terafiliasi adalah:

a.

anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank;

b.

anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c.

pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;

d.

pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, keluarga pengurus;

23.

Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

24.

Lembaga Penjamin Simpanan adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan Nasabah Penyimpan melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya;

25.

Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa melikuidasi;

26.

Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa melikuidasi;

27.

Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank;

28.

Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya." 2. Ketentuan Pasal 6 huruf k dihapus.

3.

Ketentuan pasal 6 huruf m diubah, sehingga Pasal 6 huruf m menjadi berbunyi sebagai berikut : "Pasal 6 m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia." 4. Ketentuan Pasal 7 huruf c, sehingga Pasal 7 huruf c menjadi berbunyi sebagai berikut : "Pasal 7 c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan " 5. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 8 (1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

(2)

Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia." 6. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) diubah, serta menambah ayat baru di antara ayat (4) dan ayat (5) yang dijadikan ayat (4A), sehingga Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4A) menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 11 (1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.

(3)

Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada:

a.

pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;

b.

anggota Dewan Komisaris;

c.

anggota Direksi;

d.

keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huhruf a, huruf b, dan huruf c;

e.

pejabat bank lainnya; dan

f.

perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e. (4A)Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)." 7. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga Pasal 12 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 12 (1)Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum.

(2)

Ketentuan mengenai kerjasama dengan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." 8. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 12 dan Pasal 13 yang dijadikan Pasal 12A, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 12 (1) Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

(2)

Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." 9. Ketentuan Pasal 13 huruf c diubah, sehingga Pasal 13 huruf c menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 13 c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia." 10.Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 16 (1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.

(2)

Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:

a.

susunan organisasi dan kepengurusan;

b.

permodalan;

c.

kepemilikan;

d.

keahlian di bidang Perbankan;

e.

kelayakan rencana kerja.

(3)

Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 11.Ketentuan Pasal 17 dihapus.

12.

Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 18 (1) Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.

(2)

Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.

(3)

Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.

(4)

Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 13.Ketentuan pasal 19 diubah, sehingga pasal 19 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 19 (1) Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.

(2)

Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 14.Ketentuan Pasal 20 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 20 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 20 (1) Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia." 15.Ketentuan Pasal 21 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 21 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 21 (1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:

a.

Perseroan Terbatas;

b.

Koperasi; atau

c.

Perusahaan Daerah." 16.Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga Pasal 22 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 22 (1) Bank Umum hanya dapat didirikan oleh:

a.

Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau b. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.

(2)

Ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 17.Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga Pasal 26 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 26 (1) Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek.

(2)

Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, baik secara langsung dan atau melalui bursa efek.

(3)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." 18.Ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga Pasal 27 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: "Pasal 27 Perubahan kepemilikan bank wajib:

a.

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26; dan

b.

dilaporkan kepada Bank Indonesia." 19.Ketentuan Pasal 28 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 28 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 28 (1) Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia." 20.Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga Pasal 29 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 29 (1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.

(2)

Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

(3)

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

(4)

Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

(5)

Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia." 21.Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga Pasal 31 seluruhnya sebagai berikut: "Pasal 31 Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan." 22.Menambah ketentuan baru di antara Pasal 31 dan Pasal 32 yang dijadikan Pasal 31A, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 31 Bank Indonesia dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31." 23.Ketentuan Pasal 32 dihapus.

24.

Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga Pasal 33 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 33 (1) Laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A bersifat rahasia.

(2)

Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A ditetapkan oleh Bank Indonesia." 25.Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga Pasal 37 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 37 (1) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:

a.

pemegang saham menambah modal;

b.

pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;

c.

bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;

d.

bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e.

bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;

f.

bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;

g.

bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

(2)

Apabila:

a.

tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan

b.

menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.

(3)

Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku." 26.Menambah 2 (dua) ketentuan baru di antara Pasal 37 dan Pasal 38 yang dijadikan Pasal 37A dan Pasal 37B, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: "Pasal 37A (1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.

(2)

Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan kepada badan dimaksud.

(3)

Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain yaitu:

a.

mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham;

b.

mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris bank;

c.

menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas c kekayaan milik atau yang menjadi hak-hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri;

d.

meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank;

e.

menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum;

f.

menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur;

g.

mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau menajemen bank kepada pihak lain;

h.

melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;

i.

melakukan panagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan Surat Paksa;

j.

melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;

k.

melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang terlibat atau patut terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program penyehatan tersebut;

l.

menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalian Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan;

m.

menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan;

n.

melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.

(4)

Tindakan penyehatan Perbankan oleh badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah sah berdasarkan Undang-undang ini.

(5)

Atas permintaan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank dalam program penyehatan wajib memberikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas yang ada padanya, dan wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh bank dimaksud.

(6)

Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf k wajib memberikan keterangan dan penjelasan yang diminta oleh badan khusus.

(7)

Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri Keuangan.

(8)

Apabila menurut penilaian Pemerintah, badan khusus telah menyelesaikan tugasnya, Pemerintah menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut;

(9)

Ketentuan yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Thumbnail
USAHA KECIL
UU 9 TAHUN 1995

Usaha Kecil

  • Ditetapkan: 26 Des 1995
  • Diundangkan: 26 Des 1995
Thumbnail
PENYANDANG CACAD
UU 4 TAHUN 1997

Penyandang Cacat.

  • Ditetapkan: 28 Feb 1997
  • Diundangkan: 28 Feb 1997
Thumbnail
DANA PENSIUN | LEMBAGA KEUANGAN
PP 77 TAHUN 1992

Dana Pensiun Lembaga Keuangan.

  • Ditetapkan: 30 Nov 1992
  • Diundangkan: 30 Nov 1992

Relevan terhadap

Pasal 12Tutup
(1)

Untuk kepentingan Peserta, Pengurus wajib memberikan informal mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian atas pilihan investasi yang dilakukan oleh Peserta melalui Dana Pensiun.

(2)

Pengurus wajib menyampaikan keterangan kepada Peserta mengenai:

a.

neraca dan perhitungan hasil usaha menurut bentuk, susunan dan waktu yang ditetapkan Menteri;

b.

hal-hal yang timbul dalam rangka kepesertaan dalam bentuk dan waktu yang ditetapkan Menteri;

c.

setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun.

Thumbnail
PENATAAN RUANG
UU 24 TAHUN 1992

Penataan Ruang

  • Ditetapkan: 13 Okt 1992
  • Diundangkan: 13 Okt 1992

Relevan terhadap

Pasal 20Tutup
(1)

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara, yang meliputi:

a.

tujuan nasional dari pemanfaatan ruang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;

b.

struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional;

c.

kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu.

(2)

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional berisi:

a.

penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu yang ditetapkan secara nasional;

b.

norma dan kriteria pemanfaatan ruang;

c.

pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.

(3)

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:

a.

perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional;

b.

mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antara wilayah serta keserasian antar sektor;

c.

pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat;

d.

penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

(4)

Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Nasional adalah 25 tahun.

(5)

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21Tutup
(1)

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Dacrah Tingkat I merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, yang meliputi :

a.

tujuan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;

b.

stuktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;

c.

pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.

(2)

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berisi:

a.

arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;

b.

arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu;

c.

arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya;

d.

arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan;

e.

arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan;

f.

arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;

g.

arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

(3)

Rcncana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi pedoman untuk:

a.

perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;

b.

mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serta keserasian antar sektor;

c.

pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat;

d.

penataan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan.

(4)

Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I adalah 15 tahun.

(5)

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 21Tutup

Ayat (1) Strategi dan struktur tata ruang wilayah Daerah Tingkat I dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I memperhatikan antara lain:

a.

Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;

b.

pokok permasalahan kepentingan nasional;

c.

pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;

d.

arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat nasional;

e.

modal dasar pembangunan Daerah Tingkat I;

f.

potensi dan tata guna sumber daya di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;

g.

daya dukung dan daya tampung lingkungan;

h.

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I lainnya yang berbatasan;

i.

keselarasan dengan aspirasi pembangunan dan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Ayat (2) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serupa Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I adalah kebijaksanaan yang memberikan arahan tata ruang untuk kawasan, dan wilayah dalam skala propinsi yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang. Ayat (3) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Dengan demikian, maka pemanfaatan ruang untuk menyusun rencana pembangunan di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I harus tetap memperhatikan Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I. Ayat (4) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I disusun dengan perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 15 tahun. Apabila jangka waktu 15 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun, Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 15 tahun apabila strategi pemanfaatan ruang dan struktur tata ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Nasional. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi dan struktur tata ruang yang ditetapkan pada 15 tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran. Ayat (5) Cukup jelas

Thumbnail
ASURANSI | USAHA
UU 2 TAHUN 1992

Usaha Perasuransian

  • Ditetapkan: 11 Feb 1992
  • Diundangkan: 11 Feb 1992

Relevan terhadap

Pasal 28Tutup

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN UMUM Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ekonomi memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai yang pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari tabungan masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting peranannya, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko yang dapat mengganggu hasil pembangunan yang telah dicapai. Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian yang tangguh, yang dapat menampung kerugian yang dapat timbul oleh adanya berbagai risiko. Kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang secara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Sejauh ini kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi sebagai suatu perjanjian. Sementara itu usaha asuransi merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian merupakan bidang usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah, dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan,baik bagi gerak usaha dari perusahaan-perusahaan di bidang ini maupun bagi Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi usaha dalam jenis-jenis usaha di bidang perasuransian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha perasuransian merupakan usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis yang khusus dalam penyelenggaraannya. Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada tertanggung dalam memilih perusahaan asuransi. Dalam rangka perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini juga menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan usaha, dengan mengupayakan agar praktek usaha yang dapat menimbulkan konflik kepentingan sejauh mungkin dapat dihindarkan, serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat terselenggara atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai jasa. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia. Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat. Pasal 4 Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian hanya dapat pula menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan. Pasal 5 Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan, penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya risiko dan perancangan produk asuransi jiwa. Pasal 6 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya sehingga sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dapat menentukan sendiri perusahaan asuransi yang akan menjadi penanggungnya. Ayat (2) Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini terkandung maksud bahwa tertanggung bebas untuk menempatkan penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha di Indonesia. Ayat (3) Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan dengan perkembangan usaha perasuransian di Indonesia, maka ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan atau penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama (Mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Ayat (1) Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta. Ayat (2) Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh perusahaan perasuransian dalam negeri dan perusahaan perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang lebih profesional.Selain itu kerjasama perusahaan perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi. Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha, maka kepemilikan bersama atas perusahaan perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi dalam negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing partner dalam kepemilikan tersebut. Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:

a.

Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.

b.

Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan Perusahaan Reasuransi dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak diperlukan adanya izin usaha dari Menteri. Ayat (2) Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko. penilai kerugian asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Ayat (3) Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok ukur kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan selisih antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya didasarkan pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau tanggung jawab sendiri sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. Reasuransi merupakan bagian pertanggungan yang dipertanggungkan ulang pada perusahaan asuransi lain dan atau Perusahaan Reasuransi. Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi dalam menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan produktif. Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya beban kewajiban tidak menentu, maka Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis. Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan dalam bentuk polis. Sebagai suatu perjanjian atau kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis. Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan tingkat premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak bersifat diskriminatif. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh penanggung. Salah satu ketentuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha adalah mengenai pembayaran premi asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya, sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosisal sebenarnya menyelenggarakan salah satu jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari peraturan perundang-undangan yang membentuknya, Menteri sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berwenang dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi sosial tersebut, sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri teknis yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang mengatur Program Asuransi Sosial dimaksud. Pasal 15 Ayat (1) Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan usaha, sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemeriksaan dimaksud dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada perusahaan dapat diketahui sedini mungkin. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha merupakan tahapan tindakan yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal tertentu Menteri dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang diperlukan. Ayat (2) Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus dilalui sebelum dilakukan pencabutan izin usaha. Namun demikian terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal ini mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara tersebut, maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut serta peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan. Ayat (3) Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang dilakukan, Menteri dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenahan dengan memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang diikuti perkembangannya secara terus-menerus, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap perusahaan ataupun tertanggung. Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pengenaan sanksi, akan ditetapkan batas waktu maksimum yang disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk diajukan kepada Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa pembatasan kegiatan usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan tindak lanjut pengenaan sanksi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang dilakukan tidak menunjukkan perbaikan atau dalam hal perusahaan tidak melakukan usaha untuk mengupayakan perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Ayat (2) Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas

Thumbnail
PERUBAHAN KEDUA | UNDANG-UNDANG
UU 9 TAHUN 1994

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

  • Ditetapkan: 09 Nov 1994
  • Diundangkan: 09 Nov 1994
Thumbnail
ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA | PEMBENTUKAN
UU 7 TAHUN 1994

Pengesahan Persetujuan Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia

  • Ditetapkan: 02 Nov 1994
  • Diundangkan: 02 Nov 1994
  • 1
  • ...
  • 69
  • 70
  • 71
  • 72
  • 73