Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara Percetakan Negara Republik Indonesia Menjadi Perusahaan Umum (Perum) ...
Relevan terhadap
Semua Pegawai termasuk anggota Direksi dalam kedudukan selaku demikian, yang tidak dibebani tugas penyimpanan uang, surat-surat berharga dan barang-barang persediaan, yang karena tindakan-tindakan melawan hukum atau karena melalaikan kewajiban dan tugas yang dibebankan kepada mereka dengan langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan kerugian bagi Perusahaan, diwajibkan mengganti kerugian tersebut.
Ketentuan-ketentuan ganti rugi terhadap pegawai negeri berlaku sepenuhnya terhadap Pegawai.
Semua Pegawai yang dibebani tugas penyimpanan, pembayaran atau penyerahan uang dan surat-surat berharga milik Perusahaan dan barang-barang persediaan milik Perusahaan yang disimpan dalam gudang atau tempat penyimpanan yang khusus dan semata-mata digunakan untuk keperluan itu, bertanggung jawab tentang pelaksanaan tugasnya kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
Pegawai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak perlu mengirimkan pertanggungjawaban mengenai cara mengurusnya kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Tuntutan terhadap Pegawai tersebut dilakukan menurut ketentuan yang ditelapkan bagi Bendaharawan yang oleh Badan Pemeriksa Keuangan dibebaskan dari kewajiban pertanggungjawaban mengenai cara pengurusannya.
Semua surat bukti dan surat lainnya bagaimanapun sifatnya, yang termasuk bilangan tata buku dan administrasi Perusahaan disimpan di tempat Perusahaan atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri, kecuali jika untuk sementara dipindahkan ke Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal dianggapnya perlu untuk kepentingan sesuatu pemeriksaan.
Untuk keperluan pemeriksaan yang berkaitan dengan penetapan pajak dan pemeriksaan akuntan pada umumnya surat bukti dan surat lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) untuk sementara dapat dipindahkan ke Departemen Keuangan dan/atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Pajak Bumi dan Bangunan.
Relevan terhadap
Ayat (1) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP), namun untuk membantu wajib pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dapat diterbitkan berdasarkan data obyek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak. Ayat (2) Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan ayat (2) huruf a, wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak pada waktunya, walaupun sudah ditegor secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3). Menurut ketentuan ayat (2) huruf b, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3). Ayat (3) Ayat ini mengatur sangsi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, sanksi tersebut dikenakan sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak. Surat Ketetapan Pajak ini, berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak memuat penetapan obyek pajak dan besarnya pajak yang terhutang beserta denda administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak. Contoh : Wajib pajak A tidak menyampaikan SPOP. Berdasarkan data yang ada, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan SKP yang berisi : - obyek pajak dengan luas dan nilai jual. - luas obyek pajak menurut SPOP. - Pokok pajak = Rp 1.000.000 - Sanksi administrasi 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000 Jumlah pajak yang terhutang dalam SKP = Rp 1.250.000 Ayat (4) Ayat ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terhutang dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak. Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Rp 1.000.000,- Berdasarkan pemeriksaan pajak yang seharusnya terhutang dalam SKP = Rp 1.500.000,- Selisih = Rp 500.000,- Denda administrasi 25% x Rp 500.000,- = Rp 125.000,- Jumlah pajak terhutang dalam SKP = Rp 625.000,- Adapun jumlah pajak yang terhutang sebesar = Rp 1.000.000,- Yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, apabila belum dilunasi wajib pajak, penagihannya dilakukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang tersebut.
Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), dan ayat (4), kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruh denda administrasi dimaksud.
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.
Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
apabila Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan setelah ditegor secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Tegoran;
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.
Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Relevan terhadap 17 lainnya
Surat Tagihan Pajak dikeluarkan apabila :
pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda administrasi dan/atau bunga;
dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak.
Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem self assessment harus mendaftarkan dirinya pada Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.Dengan diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak. Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Wajib Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.Setiap Wajib Pajak dalam hal yang berhubungan dengan dokumen perpajakan diharuskan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenakan sanksi pidana.
Ayat (1) Pada dasarnya besarnya hutang pajak dihitung sendiri oleh Wajib Pajak. Baru apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan Wajib Pajak dalam melakukan penghitungan pajak yang terhutang atau Wajib Pajak melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan. Ketiga surat ini merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak. Dalam hal tagihan pajak tersebut tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan, penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa. Ayat (2) Untuk tertibnya dan keseragaman tindakan dalam melaksanakan penagihan pajak, Menteri Keuangan akan mengatur tata caranya termasuk aspek administrasi baik mengenai tindakan penagihan itu sendiri maupun aspek pelaksanaan pembayaran atas tagihan pajak.
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Relevan terhadap 9 lainnya
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.
Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
apabila Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan setelah ditegor secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Tegoran;
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.
Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang. Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP), namun untuk membantu wajib pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dapat diterbitkan berdasarkan data obyek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak. Ayat (2) Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan ayat (2) huruf a, wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak pada waktunya, walaupun sudah ditegor secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pajak secara jabatan. Terhadap 349 ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3). Menurut ketentuan ayat (2) huruf b, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3). Ayat (3) Ayat ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, sanksi tersebut dikenakan sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak. Surat Ketetapan Pajak ini, berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak memuat penetapan obyek pajak dan besarnya pajak yang terhutang beserta denda administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak. Contoh : Wajib Pajak A tidak menyampaikan SPOP. Berdasarkan data yang ada, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan SKP yang berisi : - obyek pajak dengan luas dan nilai jual - luas obyek pajak menurut SPOP. - pokok pajak = Rp 1.000.000,00 - Sanksi administrasi 25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 250.000,00 - Jumlah pajak yang terhutang dalam SKP = Rp 1.250.000,00 350 Ayat (4) Ayat ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terhutang dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak. Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Berdasarkan pemeriksaan yang seharusnya = Rp 1.000.000,00 terhutang dalam SKP = Rp 1.500.000,00 Selisih = Rp 500.000,00 Denda administrasi 25% x Rp. 500.000,00 = Rp 125.000,00 Jumlah pajak terhutang dalam SKP = Rp 625.000,00 Adapun jumlah pajak yang terhutang sebesar = Rp 1.000.000,00 Jumlah tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, apabila belum dilunasi wajib pajak, penagihannya dilakukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang tersebut. 351 Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) Contoh : Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 1986. Ayat (2) Contoh : Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 1986. Ayat (3) Menurut ketentuan ini pajak yang terhutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.
Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak oleh wajib pajak.
Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak.
Pajak yang terhutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Tata Cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan. 352 Penjelasan Pasal 12 Cukup jelas . empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Contoh : SPPT tahun pajak 1986 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 1986 dengan pajak yang terhutang sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 1986. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) yakni : 2% x Rp. 100.000,00 = Rp 2.000,00. Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 1986 adalah: Pokok pajak + denda administrasi = Rp 100.000,00 + Rp. 2.000,00 = Rp 102.000,00 Bila wajib pajak tersebut baru membayar hutang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 1986, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni : 4% x Rp. 100.000,00 = Rp 4.000,00. Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 1986 adalah : Pokok pajak + denda administrasi = Rp 100.000,00 + Rp 4.000,00 = Rp 104.000,00. Ayat (4) Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti tersebut pada contoh penjelasan ayat (3) ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi dalam satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas .
Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang :
karena kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya;
dalam hal obyek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang diluar biasa.
Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan. Penjelasan Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan sebab- sebab tertentu lainnya, berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan yang ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan wajib pajak tertentu, lahan yang nilai jualnya meningkat sebagai akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan serta pemanfaatannya belum sesuai dengan peruntukan lingkungan. Huruf b - Yang dimaksud dengan bencana alam adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor. - Yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasa adalah seperti : - kebakaran; - kekeringan; - wabah penyakit tanaman; - hama tanaman. Ayat (2) Cukup jelas. 359 Penjelasan Pasal 20 Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), dan ayat (4), kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruh dana administrasi dimaksud.
Pajak Penghasilan
Relevan terhadap 1 lainnya
Ayat (1) dan ayat (2) Pada hakekatnya untuk dapat memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dengan sebaik-baiknya diperlukan adanya pembukuan, Undang-undang bermaksud mendorong semua Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, namun disadari pula bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan itu. Wajib Pajak yang diizinkan untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, lengkap meliputi Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah kurang dari Rp. 60.000.000,- setahun. Untuk mereka ini perlu adanya suatu cara yang terbuka dan adil, disamping perlunya pembinaan agar supaya mereka kemudian dapat dan mampu menyelenggarakan pembukuan. Norma... Norma Penghitungan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai sebagai cara untuk menentukan peredaran bruto atau penerimaan bruto dan yang pada akhirnya untuk menentukan penghasilan netto. Pada dasarnya Norma Penghitungan ini hanya dipergunakan untuk penghitungan atau penentuan penghasilan netto dalam hal : - tidak adanya dasar penghitungan lain yang lebih baik, yaitu pembukuan, - pembukuan Wajib Pajak ternyata diselenggarakan tidak benar. Adapun wujud Norma Penghitungan itu ialah suatu persentase atau angka perbandingan lainnya yang disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian yaug cermat sehingga - sederhana, - terperinci menurut kelompok jenis usaha, - dibedakan dalam beberapa klasifikasi kota/tempat, - dibedakan untuk Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,- dengan yang lebih dari Rp. 60.000.000,-, - tingkat persentase atau angka perbandingan yang tidak jauh dari kewajaran, namun dapat mendorong Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan. Dengan demikian Norma Penghitungan adalah merupakan alat yang dipergunakan dalam keadaan terpaksa, karena tidak adanya pegangan lain, namun masih tetap dapat dipertanggungjawabkan kesederhanaan, keterbukaan, dan kewajarannya. Norma Penghitungan sangat membantu wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan netto yang harus dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan. Oleh karena Wajib Pajak akan menetapkan sendiri pajaknya, maka adanya patokan untuk menghitung berapa penghasilan yang diumumkan terlebih dahulu, akan sangat berguna. Hanya apabila terbukti bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak berdasarkan data yang benar, dengan menerapkan Norma Penghitungan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan. Norma Penghitungan yang bersifat terbuka itu selain untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban bagi Wajib Pajak, juga sekaligus untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang Administrasi Perpajakan dengan menaksir besarnya penghasilan yang kurang berdasar. Norma Penghitungan dimaksud dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan itu harus memuat:
kaitan-kaitan yang harus dipergunakan untuk menentukan besarnya : - peredaran (jumlah karyawan, jumlah meja bagi usaha rumah makan, jumlah mesin bagi usaha industri, jumlah kamar bagi usaha hotel dan lain-lain); - penghasilan bruto jumlah pembelian bahan, jumlah gaji karyawan, dan lain-lain); - penghasilan netto jumlah pengeluaran nyata atau tingkat biaya hidup dan lain-lain);
pokok-pokok cara yang harus diperhatikan dalam menyusun Norma Penghitungan;
cara-cara menyempurnakan Norma Penghitungan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan untuk memilih menghitung, penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap menyelenggarakan pembukuan. Dalam hal Wajib Pajak tersebut ternyata tidak menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan netto dihitung dengan Norma Penghitungan dan pajak yang dihasilkan dari penghitungan tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan, sebagaimana diatur dalam ayat (7). Dengan... Dengan ketentuan ini, Wajib Pajak dirangsang untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar, dan lengkap. Oleh karena itu Norma Penghitungan perlu disusun sebaik-baiknya dengan memperhatikan perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien. Bagi Wajib Pajak yang jujur yang dalam usahanya tidak berhasil memperoleh penghasilan seperti perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien, penggunaan Norma Penghitungan dapat merugikannya. Untuk menghindari diterapkan Norma Penghitungan yang dapat merugikannya tersebut, Wajib Pajak dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar, dan lengkap, sehingga penghitungan pajaknya didasarkan atas keadaan yang sebenarnya sesuai dengan pembukuannya. Ayat (5) Wajib Pajak yang memilih untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, dengan sendirinya harus dapat menunjukkan bahwa jumlah peredaran dari usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)yang dapat dibuktikan dari catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto, yang diselenggarakannya. Ayat (6) Menurut ketentuan ini, penghasilan netto dihitung berdasarkan Norma Penghitungan terhadap Wajib Pajak yang :
mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan, akan tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang;
mempunyai kewajiban menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran bruto atau penerimaan brutonya, akan tetapi tidak menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diwajibkan;
tidak bersedia memperlihatkan buku, catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak. Perlu... Perlu ditegaskan, yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan adalah Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dan Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun akan tetapi memilih atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Ayat (7) Pajak penghasilan yang dihasilkan dari penghasilan netto yang dihitung dengan menerapkan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun. 1983 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 50 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UMUM 1. Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat(2) sistem dan peraturan perundang- undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan undang-undang.
Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan Bangsa mampu membiayai pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagi beban pembangunan antara golongan berpendapatan tinggi dan golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila.
Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan), dan Tarip Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami, serta mematuhinya.
Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai undang-undang, yaitu :
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan.
Ordonansi...
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam Ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut.
Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen Royalti 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, dan royalti, yang wajib dipotong oleh orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen, dan royalti yang bersangkutan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutan oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun(MPS- Akhir).
Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur:
semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam undang-undang ini b. ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. Struktur tarif disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarif pajak. Tarif... Tarif untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarif untuk badan, dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah dari pada tarif lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut:
sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas.
keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh.
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarif marginal tertinggi hanya 35%(tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak. PASAL DEMI PASAL
Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi :
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu, meliputi biaya pembelian bahan, upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali Pajak Penghasilan;
penyusutan atas biaya untuk memperoleh harta berwujud perusahaan dan amortisasi atas biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
iuran kepada dana pensiun yang mendapat persetujuan Menteri Keuangan;
kerugian yang diderita karena penjualan atau pengalihan barang dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu;
Sisa Hasil Usaha koperasi sehubungan dengan kegiatan usahanya yang semata-mata dari dan untuk anggota.
Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak- dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Jika penghasilan bruto sesudah dikurangi biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan dalam:
5 (lima) tahun, atau b. lebih dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 8 (delapan) tahun khusus untuk jenis-jenis usaha tertentu, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut diderita.
Kewajiban Dan Tata Cara Penyetoran Pendapatan Pemerintah Dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri Dan Kontrak Production Sharing ...
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1982 TENTANG KEWAJIBAN DAN TATA CARA PENYETORAN PENDAPATAN PEMERINTAH DARI HASIL OPERASI PERTAMINA SENDIRI DAN KONTRAK PRODUCTION SHARING I. Penjelasan Umum Dalam rangka usaha penyempurnaan administrasi di bidang perpajakan dari sektor pertambangan minyak dan gas bumi, dipandang perlu untuk memberikan penegasan mengenai kewajiban dan tata cara penyetoran pendapatan Pemerintah dari hasil Operasi Pertamina Sendiri dan Kontrak Production Sharing sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Disamping itu dalam rangka pelaksanaan Kontrak Production Sharing sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, Pertamina mendapatkan fee yang dikenal dengan nama retensi. Besarnya retensi (fee) ditetapkan sebesar 5% (lima persen) Berdasarkan prinsip perpajakan yang berlaku, setiap pendapatan yang diterima perusahaan pada dasarnya merupakan obyek pajak,sehingga dengan demikian atas retensi (fee) tersebut terkena pajak yang besarnya ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen). II. Penjelasan Pasal demi Pasal
Zachroni, S.H., M.M.
Relevan terhadap
teknologi/administrasi, kemampuan survival pada persaingan global, prestasi inovasi, kesempatan berinovasi, dan penciptaan keaktifan dalam berinovasi. HASIL STUDI. Berdasarkan studi melalui pengujian seluruh indikator pada ketiga variabel, diperoleh hasil analisis sebagaimana tertuang dalam matriks berikut. Uji Tujuan Uraian Hasil Analisis Uji Validitas Mengetahui validitas indikator, dengan Uji Bivariat __ Product Moment Pearson Correlation . Dasar penentuannya, membandingkan nilai Sig.(2-tailed) dengan probabilitas 0,05. Jika Sig.(2- tailed) kurang dari 0,05 dan Pearson Correlation bernilai positif, maka indikator dinyatakan valid. Pada variabel Iklim Organisasi, Budaya Organisasi, dan Inovasi, nilai Sig.(2-tailed) adalah 0,000 (lebih kecil dari 0,05), dan nilai Pearson Correlation dari semua indikator bernilai positif. Artinya semua indikator dalam kuesioner memiliki kriteria valid. Dengan demikian indikator layak digunakan sebagai alat ukur. Uji Reliabili- tas Mengetahui akurasi dan kontinuitas indikator. Dasar penentuannya, jika nilai Cronbach’s Alpha lebih dari 0,60, maka instrumen yang digunakan dinyatakan reliabel atau konsisten. Nilai Cronbach’s Alpha variabel Iklim Organisasi, Budaya Organisasi, dan Inovasi lebih besar dari 0,60. Artinya semua indikator pada masing-masing variabel dianggap reliabel. Dengan demikian indikator layak digunakan sebagai alat ukur. Uji Koefisien Korelasi Mengetahui korelasi antar variabel. Dasar penentuannya, jika Sig.(2-tailed) kurang dari 0,05 atau terdapat tanda bintang ** pada Pearson Correlation, maka terdapat korelasi antar variabel. Nilai Sig.(2-tailed) adalah 0,000. Karena nilainya lebih kecil dari 0,05, dan terdapat tanda bintang ** pada Pearson Correlation, maka antar variabel terjadi korelasi. Uji Normali- tas Mengetahui kenormalan distribusi data, dengan metode Kolmogorov-Smirnov Test . Dasar penentuannya, jika nilai Sig.(2-tailed) lebih besar dari 0,05, maka data berdistribusi normal. Nilai Sig.(2-tailed) adalah 0,668. Karena nilainya lebih besar dari 0,05, maka disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Dengan demikian indikator layak digunakan sebagai alat ukur. Uji Multikolinearitas Mengetahui apakah ditemukan korelasi kuat antar variabel bebasnya. Dasar penentuannya, jika nilai Tolerance lebih besar dari 0,10, dan VIF kurang dari 10, maka tidak terjadi multikolinearitas. Nilai Tolerance untuk variabel Iklim Organisasi dan Budaya Organisasi adalah 0,534. Keduanya lebih besar dari 0,10, sehingga memenuhi kualifikasi. Untuk variabel Iklim Organisasi dan Budaya Organisasi nilai VIF 1,874 (tidak lebih dari 10). Dengan demikian, syarat untuk lolos Uji Multikolinearitas terpenuhi. Artinya, kedua variabel bebasnya tidak terjadi multikolinieritas. Uji Heteroskeda- tisitas Mengetahui ada tidaknya penyimpangan heteroskedastisitas, dengan Gambar Scatterplot/ diagram pencar. Dasar penentuannya, apabila titik-titik menyebar di atas/di bawah di sekitar angka 0 pada sumbu Y, menyebar, tidak membentuk pola, maka tidak tejadi heteroskedatisitas. Pola Gambar Scatterplot tidak membentuk pola yang teratur, tidak mengumpul hanya di atas atau di bawah saja, membentuk pola acak, dan membentuk titik yang menyebar di sekitar angka 0. Berdasarkan keadaan tersebut, maka dapat dikatakan pada data ini tidak terjadi masalah heteroskedastisitas. Uji Signifikan Parameter Individual (Uji t) Mengetahui pengaruh parsial variabel bebas terhadap variabel terikat. Dasar penentuannya, jika nilai Sig.(2-tailed) kurang dari 0,05, artinya ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Nilai Sig.(2-tailed) variabel Iklim Organisasi terhadap Inovasi adalah 0,018 (kurang dari 0,05), dengan nilai t hitung 2,40 dan t tabel 1,99. Karena nilainya kurang dari 0,05 atau nilai t hitung lebih besar dari t tabel, artinya terdapat pengaruh Iklim Organisasi terhadap Inovasi. Nilai Sig.(2-tailed) variabel Budaya Organisasi terhadap Inovasi adalah 0,000 (kurang dari 0,05), dengan nilai t hitung 5,64 dan nilai t tabel 1,99. Karena nilainya kurang dari 0,05 atau nilai t hitung lebih besar dari t tabel, artinya terdapat pengaruh Budaya Organisasi terhadap Inovasi.
Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
Fokus Indonesia sebagai negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta menjadikan konsumsi masyarakat sebagai motor pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Adaptasi Kebiasaan Baru mendorong masyarakat untuk menyesuaikan perilaku sesuai dengan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah, salah satunya adalah cara masyarakat berbelanja. Di era digital ini, masyarakat berbelanja melalui e-commerce yang ada. Pembayaran belanja dilakukan dengan transfer bank. Perusahaan financial technology atau fintech yang merupakan sebuah pelengkap terhadap industri jasa keuangan perbankan yang telah ada patut diperhitungkan kontribusinya dalam memperlancar transaksi keuangan. Fintech sebagai Revolusi Digital di Sektor Keuangan Kecepatan penyebaran dan penggunaaan informasi sangat didukung oleh penetrasi internet dan ponsel cerdas. Datareportal.com (2020) menyebutkan pengguna internet di Indonesia pada Januari 2020 sebanyak 175,4 juta atau 64% penduduk Indonesia. Adanya pandemi menyebabkan masyarakat kita dipaksa melakukan revolusi di bidang penggunaan teknologi informasi. SIRCLO (2020), menyebutkan bahwa pandemi justru mengakselerasi industri e-commerce di Indonesia yang bertumbuh sebesar 91%. Ada 12 juta pengguna e-commerce baru sejak pandemi berlangsung. Pandemi juga mendorong peningkatan penggunaan aplikasi rapat online seperti Zoom, Google meet, Webex , dan Microsoft teams . Zoom merupakan aplikasi rapat online yang paling banyak digunakan sehingga di tahun 2020 ini saham Zoom meroket mencapai puncaknya hingga 677% dibandingkan di awal Januari 2020. Revolusi digital juga menyentuh sektor keuangan yang telah mengubah cara konsumen berperilaku dan mengharapkan melakukan berbagai kegiatan keuangan dan nonfinansial. Konsumen produk keuangan tentunya mengharapkan kenyamanan, kecepatan, akurasi, kemudahan akses, dan efisiensi dalam melakukan setiap aktivitasnya. Jumlah pengguna ponsel cerdas yang banyak dan penetrasi internet yang tinggi, bukan hal yang muluk-muluk apabila Indonesia terus berkembang menjadi salah satu pasar ekonomi digital yang menjanjikan. Fintech dikenal dengan istilah yang berbeda dalam Peraturan OJK dan Peraturan Bank Indonesia, meskipun keduanya memiliki definisi yang hampir sama. Dalam Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018, fintech dikenal dengan istilah Inovasi Keuangan Digital yang didefinisikan sebagai aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. Peraturan BI Nomor 19/12/PBI/2017, fintech dikenal dengan istilah teknologi finansial yang didefinisikan sebagai penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran. Secara umum, dapat dikatakan fintech pada dasarnya adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan. Fintech di Indonesia semakin berkembang beberapa tahun belakangan ini mengikuti perkembangan tren global. Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) dalam sebuah paparannya menyatakan bahwa model bisnis fintech telah jauh berkembang mencapai minimal 23 jenis bisnis model. Berdasarkan laporan AFTECH Indonesia, (2020), perkembangan fintech di Indonesia menunjukkan semakin banyaknya perusahaan startup fintech yang memiliki lisensi. Jumlah anggota startup AFTECH pada akhir tahun 2019 meningkat 54% ( YoY ) mencapai 275 anggota, dan terus meningkat hingga 362 anggota pada kuartal II–2020. Padat dan kompleksnya inovasi keuangan digital secara bersamaan harus diimbangi dengan pembentukan ekosistem penggunanya. Untuk itu, perlu dilakukan pengaturan dan pengawasan sehingga tercipta keseimbangan antara inovasi dan mitigasi risiko yang ditimbulkan oleh fintech . Pengawasan yang baik tentunya memerlukan regulasi yang kuat. Regulasi perlu dibuat dengan tidak terlalu ketat yang kemudian dapat menghambat inovasi lebih lanjut di masa
Fokus Di negara-negara maju ( high-income economies ), fenomena unbanked population ini nyaris tidak dijumpai mengingat fungsi layanan keuangan seperti pembayaran, manajemen investasi, asuransi, tabungan dan pinjaman, serta peningkatan modal sudah berjalan baik dan efisien. Pendukung utamanya selain income per capita yang tinggi dan masyarakatnya sudah well educated , juga inovasi yang muncul di era digital, khususnya financial technology (fintech) atau layanan berbasis online . World Economic Forum (WEF) dalam laporannya berjudul “ The Future of Financial Service ” mengonfirmasi inovasi Fintech telah mempengaruhi hampir semua fungsi layanan keuangan, diantaranya Cryptocurrency , peer to peer lending (P2P lending ), internet banking / mobile banking , artificial intelligence (AI), dan internet of things (IoT). Berbagai inovasi ini telah mendisrupsi transaksi keuangan yang berbasis offline (WEF, 2015). Crowdfunding merupakan transformasi dari konsep micro finance dan konsep crowdsourcing via Internet (Morduch, 1999; Poetz, 2012; Valanciene, L., & Jegeleiciute, 2014; dan Nugroho dan Rachmaniyah, 2019). Crowdfunding merupakan metode untuk menghubungkan entrepreneur yang menginginkan peningkatan modal dan investor yang memiliki sumber dana melalui entitas intermediari berbasis internet. Indonesia termasuk negara yang paling banyak memiliki platform crowdfunding . Sementara P2P Lending berperan menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang berbasis jaringan internet. Munculnya platform pembiayaan P2P Lending didorong oleh keterbatasan akses pendanaan dan kredit bagi pengusaha mikro, sementara dari sisi supply terdapat banyak dana menganggur dari orang - orang kaya, yang selama ini hanya ditempatkan di deposito dan instrumen investasi lain. P2P Lending hadir sebagai penghubung pemilik dana dan peminjam dana. Pinjaman dalam jumlah kecil tanpa agunan hanya dalam beberapa menit saja. Otoritas Jasa keuangan (OJK) mencatat sampai Maret 2018 jumlah penyedia dana Fintech P2P Lending sebanyak 145.965 entitas (Siaran Pers OJK, 2018). Inovasi digital lainnya adalah M-banking , yang membantu nasabah mengontrol semua produk perbankan, baik tabungan, deposito, kartu kredit, dan pinjaman, dalam satu layar. M-banking juga digunakan untuk transkasi finansial seperti transfer, pembelian pulsa, pembayaran tagihan kartu kredit, pembayaran tagihan – tagihan lainnya, ataupun transaksi top-up . Era digital yang memunculkan transaksi berbasis digital bisa mendorong masyarakat untuk meminjam dana, menabung atau berinvestasi sehingga mengontribusi peningkatan inklusi keuangan. Jumlah kredit dan simpanan yang masih rendah di suatu negara merefleksikan bahwa indeks inklusi keuangannya masih rendah. Bagaimana dengan Indonesia? OJK mengonfirmasi total kredit di Indonesia pada 2019 baru mencapai Rp5.480,2 triliun atau 34,6% dari PDB yang Rp15.833,9 triliun. Capaian ini kalah dibandingkan dengan Singapura 120,8%, Malaysia (120,9%), dan Thailand (143,4%) ( World Bank , 2015). Sementara, total simpanan di Indonesia per Mei 2020 baru mencapai Rp 6.158,72 triliun mencakup lebih dari 500 juta rekening, (LPS, 2020) (Gambar-3). Capaian ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dimiliki Singapura (USD555.895 miliar), Thailand (USD 494.836 miliar), Malaysia (USD507.621 miliar). Sekitar 98% akun simpanan di Indonesia dimiliki oleh kelompok simpanan dengan nilai simpanan di bawah Rp100 juta. Hanya 0,1% akun simpanan yang nilainya di atas Rp2 miliar (Gambar-3). Kondisi ini berkontribusi pada masih rendahnya tingkat inklusi keuangan di Indonesia. Global Financial Inclusion Index ( Findex ) mengonfirmasi indeks inklusi keuangan di Indonesia pada 2017 baru mencapai 48,9 persen. Bila membandingkan dengan target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo sebesar 90% yang harus dicapai di tahun 2024, maka perjuangannya masih jauh.
Fokus yang akan datang karena nature -nya adalah bahwa teknologi berkembang cepat. Perkembangan teknologi yang sangat cepat membuat regulasi menjadi left behind . Namun di sisi lain, regulasi juga perlu dibuat tidak terlalu longgar yang dapat meningkatkan risiko seperti penipuan, pencurian data konsumen, terjadinya transaksi keuangan yang di luar kemampuan akibat rendahnya literasi keuangan, serta pencucian uang. Regulasi perlu disusun untuk memberikan perlindungan konsumen dan menyediakan equal level playing field di antara para penyedia layanan teknologi informasi. Selain itu, Pemerintah atau regulator juga perlu memiliki regulasi dan program untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat. COVID-19 dapat menjadi sebuah blessing in disguise untuk semakin meningkatkan penggunaan fintech kepada masyarakat yang lebih luas. Di masa COVID-19 ini masyarakat relatif sulit untuk memobilisasi dirinya ke berbagai tempat, namun mereka ingin tetap dapat berbelanja dan melakukan transaksi keuangan. Hal ini mendorong masyarakat untuk melakukan e-commerce dan layanan keuangan online . Selain itu, di era COVID-19 Pemerintah juga melakukan pemulihan ekonomi nasional, yang salah satunya dilakukan melalui penyaluran bantuan sosial nontunai. Salah satu program yang dilakukan pemerintah adalah penyaluran insentif Kartu Pra Kerja yang bekerja sama dengan fintech . Dari total penerima insentif Pra Kerja sebanyak 5,5 juta orang, 12% tidak memiliki rekening bank atau e-wallet sebelum bergabung dengan Pra Kerja. Namun, setelah bergabung dengan Pra Kerja, mereka seluruhnya memiliki rekening bank atau e-wallet . Penyaluran bantuan sosial secara nontunai akan meningkatkan kesesuaian dengan prinsip 6T (tepat sasaran, tepat kualitas, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, dan tepat administrasi). Penyaluran nontunai akan memudahkan pemerintah untuk memonitor secara historis bantuan apa saja yang diterima oleh para penerima bantuan sosial dan dapat mengurangi kemungkinan duplikasi bantuan sosial. Selain itu, penyaluran bantuan sosial nontunai juga dapat meningkatkan keuangan inklusif. Sebagai gambaran, survei Dewan Nasional Keuangan Inklusif menyatakan bahwa 55,7% orang dewasa memiliki akun pada layanan keuangan formal pada tahun 2018. Sementara itu, pada tahun 2019 OJK mengeluarkan studi yang menyebutkan bahwa 76,2% masyarakat dewasa Indonesia memiliki akses ke layanan keuangan formal. Sesuai arahan Presiden, tingkat keuangan inklusif Indonesia ditargetkan mencapai 90% di tahun 2024 nanti. Regulasi Fintech dan Permasalahannya Selama ini regulasi terkait fintech sudah cukup banyak yang tersebar di beberapa peraturan. Beberapa peraturan terkait fintech antara lain POJK Nomor 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, POJK Nomor 132018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, PBI Nomor 20 /2018 tentang Uang Elektronik, PBI Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Selain itu, untuk perlindungan konsumen, OJK juga mengeluarkan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Sementara itu, terkait anti pencucian uang dan anti terorisme antara lain UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, POJK Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan. Peraturan-peraturan yang ada saat ini memang sudah mengakomodasi fintech secara umum di berbagai bisnis yang ada. Namun demikian, regulasi fintech tersebut ternyata masih belum cukup untuk memitigasi risiko dari keberadaan fintech . Di samping manfaat fintech yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi, perkembangan fintech juga memiliki efek samping bagi konsumen. Oktober 2020 terdapat 206 fintech lending ilegal yang ditangani oleh Satgas Waspada Investasi. Dengan demikian, total fintech lending ilegal sejak tahun
BPHN
Relevan terhadap
BPHN ‘Tembus’ TOP 99 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2018 “Aplikasi Indeks Kinerja Organisasi Bantuan Hukum (OBH) merupakan pengembangan dari Sistem Administrasi Bantuan Hukum (SIDBANKUM). Aplikasi ini berhasil mengikuti jejak pendahulunya, SIDBANKUM, masuk Top 99 Inovasi Pelayanan Publik menurut Tim Panel Independen Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik di Lingkungan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah Tahun 2018” di bidang pelayanan publik mencoba peruntungan dan berharap lolos dalam setiap tahapan kompetisi. Tapi, yang namanya kompetisi, tentu ada menang dan kalah. Keputusan Tim Panel Independen yang diketuai oleh J.B. Kristiadi yang menganugerahi Aplikasi Indeks Kinerja OBH ke dalam Top 99 seolah menjawab doa dan kerja keras yang dilakukan BPHN. “Indeks Kinerja OBH menjadi solusi dalam pengukuran kualitas Layanan Bantuan Hukum. Kuantifikasi kualitas layanan berdasarkan indeks merupakan cara baru dan sangat berbeda dengan metode pengawasan sebelumnya. Inovasi ini secara akurat menggambarkan spektrum kualitas pemberian layanan bantuan hukum karena menghitung beberapa dimensi yang menjadi standar layanan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam PP Nomor 42 Tahun 2013 dan Permenkumham Nomor 63 Tahun 2016 jo. Permenkumham Nomor 10 Tahun 2015,” kata Kepala BPHN (Periode 2014-2018) Prof Enny Nurbaningsih, saat berusaha meyakinkan Tim Panel Independen, awal Juli lalu. Tahap presentasi dan wawancara menjadi satu rangkaian penting yang harus dilalui. Saking pentingnya, Kepala BPHN beserta Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum, Djoko Pudjirahardjo serta Kepala Bidang Bantuan Hukum, C. Kristomo sampai harus turun tangan langsung menjelaskan kelebihan yang dimiliki aplikasi Indeks Kinerja OBH di hadapan 10 orang anggota Tim Panel Independen. Hasil presentasi dan wawancara ini akan digunakan oleh Tim Panel Independen untuk menyaring dari Top 99 menjadi Top 40 Inovasi Pelayanan Publik. “Inovasi ini telah direplikasi dalam beberapa forum internasional yakni 2 ^nd International Conference on Legal Aid in Criminal Justice System Buenos Aires, Argentina tahun 2016; 6 ^th Asia Pro Bono Conference dan Legal Empowerment Workshop di Kuala Lumpur tahun 2017 dan International Seminar on Criminal Legal Aid , Guangdong-Guangzhou tahun 2018. Beberapa instansi dari beberapa Negara telah datang ke BPHN untuk mempelajari implementasi bantuan hukum di Indonesia, yakni Thailand, Vietnam, Nepal dan Myanmar. Secara Nasional, replikasi dilakukan melalui workshop, antara lain Rapat Kerja Admin Sidbankum 2017 di Jakarta,” kata Prof Enny menutup paparannya. Jakarta, BPHN.go.id - Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mengumumkan Top 99 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2018, pada awal Juni 2018 kemarin. Aplikasi Indeks Kinerja Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang dikembangkan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), salah satu unit eselon I di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), kembali terpilih sebagai salah satu aplikasi yang diunggulkan dalam ajang tingkat nasional tersebut. Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) di Lingkungan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah tahun ini boleh dikatakan berhasil mendapat animo yang sangat positif. Ribuan inovasi, lebih tepatnya 2.824 inovasi 10 Warta BPHN Tahun V Edisi XXIII September - Desember 2018 Berita Utama
FGD Temuan Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Perpajakan Jakarta, BPHN.go.id -Dalam rangka mempertajam hasil analisis dan evaluasi serta rekomendasi Kelompok kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Perpajakan melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) pada tanggal 9-10 Juli 2018 bertempat di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta dibuka oleh Liestiarini Wulandari, S.H.,M.H., Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Dalam sambutannya Kepala Pusat AE menyampaikan bahwa kegiatan analisis dan evaluasi hukum di Pusat AE menjadi prioritas nasional yang rencana aksinya diikuti oleh Kementerian dan Lembaga terkait. Dari perundang-undangan terkait perpajakan yang telah diinventarisasi, Pokja diharapkan bisa menghasilkan suatu rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti oleh Kementerian/ Lembaga terkait. Kepala Bidang Sosial Budaya Pusat Analisis dan Evaluasi, Apri Listiyanto,S.H. menjelaskan bahwa forum ini dapat digunakan untuk mencari dan mendiskusikan temuan-temuan dan pemantapan rekomendasi yang disepakati untuk dihimpun sebagai laporan dari Pokja ini. Pokja analisis dan evaluasi ter kait perpajakan telah menginventari sasi 27 peraturan perundang-un dangan. Salah satu poin yang mengemuka dalam pembahasan di forum ini terkait dengan kepastian hukum dan perlunya sinkronisasi dalam peraturan perundang-un dangan terkait Perpajakan. Dalam diskusi dibahas beberapa temuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) terkait tanda tangan elektronik atau digital. Dalam UU KUP Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak ada definisi yang jelas dari tanda tangan elektronik atau digital, sehingga tidak dapat diketahui jenis dari tanda tangan elektronik tersebut dalam UU ini. Misalkan dalam SPT online, tidak ada bukti apapun bahwa wajib pajak sudah menandatangani, hanya submit lalu selesai, apakah submit tersebut dapat dianggap sebagai sudah menandatangani. Selain membahas temuan dalam UU KUP , forum juga mendiskusikan tentang keberadaan pengadilan pajak. UU Pengadilan Pajak dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 karena secara administrasi pengadilan pajak masih ada di bawah Kementerian Keuangan padahal seharusnya sudah lepas dari eksekutif. Hadir pada FGD tersebut, Ketua Pokja, Dian Puji Nugraha Simatupang (FH UI), anggota Pokja yang terdiri dari perwakilan dari Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, DitJen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Ditjen PP Kemenkumham, Kadin Indonesia, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Center for Regulatory Research, Balitbang Hukum dan HAM Kemenkumham, dan analis hukum dari Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN. (*)
Daftar Isi Salam Redaksi . .................................................... 2 Berita Utama Pengelolaan Surat Masuk dan Surat Keluar secara digital untuk menunjang kinerja BPHN............ 4 Penataan Regulasi Peraturan Perundang-Undangan Bidang Polhukampem Dengan Menggunakan Metode Penilaian 5 Dimensi............................................................................ 6 Untuk Kali Kedua, Aplikasi Garapan BPHN ‘Tembus’ TOP 99 Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2018. ........................................................................ 10 Pojok JDIHN Pusat-Daerah Bersinergi Kelola JDHIN......................... 12 Pendampingan Aplikasi Integrasi Sistem Jdih Tingkat Daerah. .................................................................. 13 Wujudkan Akses Informasi Terintegrasi di Jabar, Bphn Bersama Kanwil Kumham Gelar Rakor Jdihn 14 Bimtek Penguatan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. ...................................................... 15 Rapat Koordinasi Dalam Rangka Evaluasi Pelaksananan Permen kumham No. 30 Tahun 2013. . 16 Berita Cerdas Hukum (PusluhBankum) Menkumham Resmikan 14 Desa Sadar Hukum di Bali. ................................................................................... 17 Menggaet Kalangan Milenial. .......................................... 18 Penilaian Angka Kredit JFT Penyuluh Hukum Akan Diperketat. ................................................................. 19 Verifikasi/Akreditasi Obh, Bphn Gandeng Dewan Pers dan Ombudsman RI.......................................................... 20 Seputar Kegiatan PUSANEV Focus Group Discussion (FGD) Temuan Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Ketenagalistrikan: Dualisme Pengaturan Mengenai IMB Harus Segera Diselesaikan.................. 21 Legal Form Badan Usaha di Indonesia dikaji oleh Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Badan Usaha. ........................................................ 22 Topik E-Commerce Mengemuka dalam FGD Pokja Perdagangan Lintas Negara................................ 23 FGD Temuan Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Perpajakan. ............................................................ 24 Pusren at Glance Diskusi Publik Penyusunan Naskah Akademik Ruu Tentang Perubahan Atas Uu No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. ....................................... 25 Rapat Antar Kementrian Pemantauan Program Penyusunan RUU, PP dan Perpres Tahun 2018. ........................................................................ 26 Diskusi Publik Terkait Badan Usaha.............................. 27 Diskusi Publik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia................................................ 29 Liputan Kegiatan Selamat Datang Prof Benny Riyanto dan Terima Kasih Prof Enny Nurbaningsih.................. 31 Bphn Turut Sukseskan Kegiatan Rakor Capaian Kinerja Kemenkumham T.A. 2018. ................. 32 Meriahkan Hut Ri Ke-73, Bphn Gelar Pesta Rakyat.. 33 Delegasi Thailand Kunjungi Bphn................................ 34 Audiensi Dengan The American Chamber of Commerce (Amcham)................................................. 34 Terkait Revisi Uu Narkotika, Prof Enny: Jangan Sampai Over Kapasitas Lapas, Menjadi Over Kapasitas Rehab 35. 35 Semarak Idul Adha 2018, Bphn Laksanakan Penyembelihan Hewan Kurban............... 36 Pusdok Kunjungi Perpustakaan Nasional.................... 37 Masukan Berharga Untuk Revisi UU Kepailitan dan Pkpu........................................................................... 38 Kunjungan Institut Agama Islam Negeri Surakarta ke Badan Pembinaan Hukum Nasional........................ 40 Bphn Gelar Rapat Internalisasi Pelaksanaan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah. ................................ 41 Uu Arbitrase Perlu Disesuaikan dengan Ketentuan Internasional.................................... 42 Artikel Indonesia dan Wto.......................................................... 43 Kata Mereka Asian Gamens. ................................................................... 44 Konsultasi Hukum . ............................................. 46 Serba-Serbi 5 Lomba 17 Agustus-An Bersejarah.............................. 49 Galeri Bphn ......................................................... 51