BPHN
Relevan terhadap
Topik E-Commerce Mengemuka dalam FGD Pokja Perdagangan Lintas Negara Jakarta, BPHN.go.id - Kelompok kerja analisis dan evaluasi terkait Perdagangan Lintas Negara melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Ibis Cawang Jakarta, Senin-Selasa 30-31 Juli 2018. FGD ini bertujuan untuk sosialisasi temuan-temuan yang sudah dilakukan oleh para anggota Pokja. Hadir dalam kegiatan ini Yu Un Oposunggu (Dosen FH- UI) sebagai Ketua Pokja beserta beberapa anggota pokja diantaranya dari Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan serta Peneliti dari LIPI. Topik yang diangkat terkait perdagangan lintas negara semua dalam tujuannya untuk melaksanakan Ease of Doing Bussines (EoDB) di Indonesia. Bicara tentang perdagangan lintas negara maka tidak terlepas dari perdagangan atau transaksi e-commerce (perdagangan dengan sistem elektronik). Pada era serba digital sekarang ini, banyak proses jual beli berlangsung menggunakan akses internet. Jumlah transaksi e-commerce saat ini nilainya terus meningkat secara signifikan. Sedangkan regulasi yang mendukung untuk kegiatan tersebut belum siap, hal ini dapat membuat Indonesia tertinggal dari negara lain dan juga ada potensi pemasukan negara yang belum ditangkap karena dasar hukumnya belum kuat. Hal ini menjadi topik diskusi yang sangat mengemuka selama jalannya pelaksanaan FGD. Pelaksanaan FGD berjalan sangat menarik dengan penuh dinamika, para peserta sangat antusias memberikan pendapat serta kritisi yang cukup tajam. FGD belum menghasilkan rekomendasi karena masih terdapat beberapa materi yang harus dibahas dengan narasumber dan para pakar.
Dewan Perwakilan Rakyat. Pada kesempatan ini Badan Pembinaan Hukum Nasional telah mengundang narasumber Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie, S.H., CN yang merupakan Guru Besar Fakul tas Hukum Universitas Muham madiyah Yogyakarta dan Bapak Bambang Djauhari, S.H dari Oto ritas Jasa Keuangan. Diskusi Publik ini dihadiri pula oleh Dr. Akhmad Budi Cahyono, S.H.,M.H selaku Ketua Tim Penyusunan Naskah Akademik. Peserta yang diundang dalam kegiatan diskusi publik sejumlah 60 orang, yang mewakili Akademisi Fakultas Hukum Universitas se-Yogyakarta; perwakilan instansi penegak hukum; institusi pemerintahan Provinsi D.I. Yogyakarta; kantor notaris; dan kantor perusahaan pembiayaan di Yogyakarta. Dalam diskusi publik tersebut dibahas berbagai permasalahan penerapan Jaminan Fidusia di masyarakat yang mendorong perlunya perubahan terhadap UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, salah satunya adalah perkembangan pengurusan Jaminan Fidusia yang sebelumnya konvensional secara manual ke transaksi yang modern secara digital berbasis teknologi informasi ( Fidusia Online ). Perkembangan ini untuk merespon dunia usaha agar proses pembiayaan bisa dilaksanakan secara cepat, mudah, aman, dan lebih memberikan kepastian hukum. Berbagai perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam praktek pelaksanaan UU Jaminan Fidusia yang juga dilakukan pembahasan, misalnya: 1. Lingkup Objek Fidusia Dalam UU Fidusia, Pesawat Terbang dikecualikan dari objek yang dapat dibebankan oleh fidusia. Saat ini tidak ada pengaturan mengenai hipotik pesawat terbang termasuk lembaga yang dapat menerima pendaftaran hipotik pesawat terbang. Dalam praktiknya pen ja minan pesawat terbang marak dilakukan secara fidusia terhadap mesin-mesinnya saja karena adanya pengecualian pesawat terbang sebagai objek fidusia. 2. Pendaftaran Fidusia Tidak ada pengaturan batas waktu pendaftaran dalam UU Fidusia sehingga penerima fidusia cenderung mengabaikan pendaftaran dan baru akan melakukan pendaftaran setelah ada wanprestasi dalam rangka eksekusi objek fidusia. 3. Penghapusan Fidusia Mekanisme penghapusan Fidu sia sebagaimana tercantum dalam Pasal 25 ayat (3) UU Jaminan Fidusia tidak efektif, banyak fidusia yang masih terdaftar sebagai jaminan Fidusia padahal sejatinya perjanjian pokoknya sudah berakhir. Data fidusia yang tidak update ini tidak menjamin kepastian hukum bagi pihak ketiga. 4. Sanksi Pidana UU Jaminan Fidusia mengatur beberapa ancaman pidana denda yang ancaman pidananya tidak cukup signifikan dibandingkan dengan nilai ekonomi transaksi yang dijaminkan secara fidusia yang sudah mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Kegiatan yang diadakan di Yogyakarta ini menjadi kesempatan yang sangat baik untuk mendapatkan masukan dan tanggapan seputar permasalahan yang telah dipaparkan. Hasil dari Diskusi Publik ini menjadi bahan pengayaan substansi dalam draft Naskah Akademik RUU Perubahan UU Jaminan Fidusia yang saat ini sedang disusun oleh Tim Penyusun Naskah Akademik-BPHN. (pusren) Partisipasi masyarakat dimak sud dibutuhkan untuk mendukung pembentukan peraturan perundang-undangan yang partisipatif dan sesuai dengan kebutuhan masya rakat. Output yang didapatkan dari kegiatan diskusi publik ini adalah untuk memperoleh masukan dan pemikiran terkait isu-isu krusial guna penyusunan Naskah Akademik RUU Perubahan UU Jaminan Fidusia. "
Berita Utama Pengelolaan Surat Masuk dan Surat Keluar secara digital untuk menunjang kinerja BPHN Jakarta, BPHN.go.id – Semen jak bergulirnya masa refor masi di Indonesia, seluruh kegiatan pemerin tahan mengalami trans formasi yang dikenal dengan nama reformasi birokrasi. Salah satu program reformasi adalah pene rapan electronic government (e-govern ment) di lingkungan peme rintah. E-government adalah sis tem pemerintahan yang berbasis teknologi komunikasi yang pada prinsipnya bertujuan untuk mening katkan kualitas proses layanan dari lembaga pemerintah kepada warga masyarakat melalui sistem layanan online. Manfaat langsung dari layanan online adalah pemangkasan biaya dan waktu serta meminimalisir kemungkinan terjadinya praktik korupsi dalam pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Melalui teknologi informasi, pemerintah menyediakan berbagai informasi aktual mengenai kebi jakan-kebijakan yang akan dan sudah dibuatnya secara cepat dan melalui sistem pemerintahan elektronik, masya rakat akan bisa mengak ses dokumen-dokumen pemerintah dan semua hal bisa dilihat seca ra transparan, termasuk soal ang garan publik. Salah satu bentuk dari penggunaan E-government adalah dengan dikembangkannya sistem e-office yang meliputi tata persuratan. E-office pada prinsipnya dimaksudkan untuk memfasilitasi pemerintah dalam pengeloloaan dokumen persuratan baik itu surat masuk maupun surat keluar secara elektronik sehingga dengan sistem tersebut akan memudahkan pengelolaan surat dan juga sebagai wujud birokrasi yang modern pada instansi pemerintah. Tata kelola persuratan meru pakan salah satu unsur administrasi umum yang mencakup pengaturan tentang jenis surat seperti surat masuk, surat keluar, nota dinas, agenda dan pesan. Pengelolaan persuratan yang selama ini dila kukan secara manual seringkali menemui berbagai permasalahan, antara lain sulitnya menjajaki keberadaan suatu surat. Melihat manfaat penggunanaan teknologi infomarmasi untuk menunjang kelan caran administrasi persuratan, Kementerian Hukum dan HAM RI telah menerbitkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manu sia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.TI.03.02 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sistem Surat Masuk dan Surat Kelu ar (SISUMAKER) di lingkungan Kemen terian Hukum dan HAM. Dengan terbitnya surat keputusan tersebut, maka seluruh jajaran Kemen terian Hukum dan HAM wajib menggunakan aplikasi SISUMAKER. Aplikasi SISUMAKER kemudian dikembangkan oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), salah satu unit eselon II pada Sekterariat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Aplikasi ini dibangun untuk mendukung efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan persuratan di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana disebutkan pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-01.T!.03.02 Tahun 2018. Dalam rangka melaksanakan surat keputusan tersebut, Sekretariat Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menggelar sosialisasi aplikasi SISUMAKER, Jumat (6/7) di ruang aula lantai 4 gedung BPHN. Sosialisasi ini sekaligus dilanjutkan dengan simulasi penggunaan Aplikasi SISUMAKER oleh para staf tata usaha dan pejabat pengawas dan administrator di BPHN. Sekretaris BPHN, Audy Murfi, dalam sambutannya mengatakan, tata kelola persuratan merupakan salah satu unsur administrasi berupa pengaturan surat masuk, surat keluar, nota dinas, serta disposisi yang memiliki peran penting dalam mendukung maju atau mundurnya suatu organisasi. Selama ini, pengelolaan persuratan masih dilakukan secara manual sehingga dalam proses pelaksanaanya muncul sejumlah permasalahan, antara lain proses distribusi yang cenderung lambat bahkan surat tersebut tercecar dan hilang dalam tumpukan dokumen lain. “Penggunaan SISUMAKER diha rapkan memudahkan peman tauan terhadap keberadaan suatu surat untuk ditindaklanjuti secara efektif dan efisien serta menuju paperless . Penerapan aplikasi SISUMAKER juga sejalan dengan penerapan e-Gov yang sedang digelorakan Kementerian Hukum dan HAM untuk menuju good governance ’, kata bapak Audy. Beberapa waktu sebelum
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 4 lainnya
Laporan Utama Transformasi Institusi Hadapi Disrupsi Teks CS. Purwowidhu MEDIAKEUANGAN 20 Foto Dok. Biro KLI Hadiyando, Sekretaris Jenderal D ihadapkan pada era disrupsi, institusi publik tak boleh lagi berlamban diri. Tranformasi institusi harus segera diwujudkan agar pelayanan publik dapat terus disempurnakan. Merespons fenomena ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melanjutkan penguatan pondasi paradigma dan budaya kerja baru “N ew Thinking of Working” bagi ekosistem operasi organisasi agar Kemenkeu bisa lebih agile dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Simak wawancara Media Keuangan dengan Sekretaris Jenderal Kemenkeu, Hadiyanto, mengenai upaya implementasi budaya kerja baru ini. Apa prinsip utama New Thinking of Working (NTOW)? Inti NTOW yaitu perubahan mindset dan budaya dalam cara kita berpikir dan bekerja sebagai sebuah institusi publik. Penting untuk ada keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan manusianya sehingga dapat saling melengkapi. Seluruh komponen perlu kita persiapkan dengan baik seperti teknologi, struktur organisasi, kebijakan SDM, dan proses bisnis. Di tataran leadership , kita juga harus me- nurture kemampuan manajemen Kemenkeu untuk mengkalibrasi, menginternalisasi, dan mengimplementasikan perubahan budaya secara efisien dan on scale agar hasilnya efektif. Budaya NTOW pada dasarnya dapat diterjemahkan sebagai pelaksanaan dari kelima nilai Kemenkeu dalam konteks Transformasi Digital Kemenkeu. Implementasi Enterprise Architecture menjadi satu keniscayaan agar NTOW berhasil dengan baik. Apa saja bentuk implementasi NTOW di Kemenkeu? Ada dua aktivitas utama yaitu penerapan Activity Based Workplace (ABW), serta eksplorasi kebijakan Flexible Working Space (FWS) dan Flexible Working Hour (FWH) termasuk remote working dan Work From Home (WFH) untuk mendorong produktivitas kerja dan __ work life balance di era digital __ ini. Kita juga melakukan office automation serta pengembangan organisasi dan SDM yang adaptif dengan perkembangan zaman. Kalau semua ini berjalan secara paralel, penerapan NTOW akan sukses. Sejauh mana perkembangan implementasi NTOW di Kemenkeu? Di 2019 kita telah melaksanakan piloting ABW di seluruh unit Eselon I. Di 2020 ini, fokus kita mengevaluasi dampak perubahan terhadap budaya kerja dan produktivitas unit piloting , kemudian menyempurnakan lebih lanjut kebijakan ABW untuk penerapan yang lebih luas. Terkait FWS dan FWH , Kemenkeu telah beberapa kali melaksanakan diskusi dan mengkaji kebijakan terkait, baik secara internal maupun bekerja sama dengan berbagai institusi di dalam dan di luar negeri. Apakah unit-unit vertikal Kemenkeu di daerah juga sudah menerapkan NTOW? Beberapa telah mengeksplorasi penerapan NTOW melalui benchmarking dan diskusi dengan unit-unit piloting di kantor pusat. Mereka mulai secara bertahap dari pengembangan infrastruktur IT hingga implementasi konsep ABW seperti di gedung KPKNL Ternate, Maluku Utara. Bagaimana peran Sekretariat Jenderal dalam memperkuat NTOW? NTOW merupakan Inisiatif Strategis Kemenkeu yang masuk ke dalam tema sentral di mana Sekretariat Jenderal menjadi penanggung jawab utamanya. Dalam pelaksanaannya, NTOW membutuhkan perubahan budaya dan cara kerja setiap personil Kemenkeu. NTOW didukung oleh Enterprise Architecture agar proses bisnis dan teknologi informasi dapat terus disempurnakan. Setjen sebagai prime mover kerap mengkoordinasikan penerapan NTOW di seluruh unit Eselon 1 Kemenkeu dengan melibatkan pimpinan Unit Eselon 1 dan para change agent . Dari sisi penganggaran juga, Setjen bersama dengan APIP memberikan bimbingan kepada Unit Eselon 1 untuk menyesuaikan program kerja unitnya dengan inisiatif NTOW dan inisiatif lainnya di Kemenkeu. Tantangan apa yang dihadapi dalam penerapan NTOW? Tantangan utama terkait dimensi waktu. Implementasi NTOW ini punya timeframe yang panjang, hasilnya belum tentu akan terlihat dalam jangka pendek. Di samping itu, perlu waktu untuk mendapatkan komitmen yang kuat dari seluruh pihak. Bagaimana dengan generation gap, mengingat hampir 70 persen pegawai Kemenkeu merupakan generasi milenial? Tugas kita adalah memastikan bahwa semua nilai positif dari setiap generasi dapat disintesiskan ke dalam budaya NTOW yang ingin kita dorong. Karenanya, penerapan NTOW perlu menyeimbangkan kebutuhan yang berbeda dari setiap generasi dan menjembatani generation gap tersebut. Mayoritas pegawai Kemenkeu menjalani WFH selama masa darurat pandemi COVID-19. Apakah remote working memungkinkan juga dilanjutkan di luar masa pandemi? Peluang itu ada. Sepanjang WFH di masa pandemi ini kita belum menemukan dampak negatif dari remote working terhadap kinerja. Fokus kita menyempurnakan berbagai komponen pendukung untuk memastikan bahwa penerapan remote working justru meningkatkan produktivitas. Kemenkeu berperan menjadi katalisator agar budaya digital pegawai dapat didorong ke arah yang produktif bagi kinerja institusi. Kita perlu ingat, bahwa situasi luar biasa yang terjadi saat ini dapat saja terulang lagi di masa depan, sehingga kita memang harus mempersiapkannya dengan lebih baik. Apa yang perlu diperhatikan agar remote working menghasilkan kinerja optimal? Fokus institusi adalah memastikan bahwa setiap pegawai memiliki fasilitas yang memungkinkan mereka untuk bekerja secara remote. Namun faktor yang lebih penting adalah mindset individu dan budaya organisasi. Dalam remote working kita meng- acknowledge bahwa setiap individu pegawai punya pola dan karakteristik yang berbeda dalam melaksanakan pekerjaannya. Pola setiap pegawai ini perlu dikombinasikan dengan pola, karakteristik serta kebutuhan unit dan tim sehingga tercapai keseimbangan yang optimal bagi unit dan tim secara keseluruhan. Kunci suksesnya adalah adanya arrangement internal unit yang baik misalnya kesepakatan untuk melakukan koordinasi harian secara reguler di waktu yang disepakati bersama untuk meng- update progress pekerjaan, menyepakati dan mengevaluasi target, dsb. Contoh lain, adanya ukuran kinerja yang jelas berdasarkan delivery dan pencapaian target yang telah ditetapkan. Ketiadaan ukuran kinerja yang jelas, berpotensi berdampak pada moral hazard dan tidak efektifnya NTOW. Apa harapan Bapak untuk pembangunan NTOW dan transformasi digital di Kemenkeu? Saya berharap terlaksananya NTOW dan transformasi digital akan memacu pegawai kita bekerja lebih produktif dan inovatif lagi, untuk menjadikan Kemenkeu sebagai institusi publik yang juga menjadi center of excellence baik secara nasional maupun internasional. Saya juga berharap implementasi NTOW secara penuh memungkinkan kita untuk mengkapitalisasi transformasi digital secara optimal, seperti untuk meningkatkan efisiensi operational cost dan alokasi space ruang kerja bagi pegawai, serta mengendalikan pertumbuhan jumlah pegawai.
29 MEDIAKEUANGAN 28 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020 Gesit Beraksi di Tengah Pandemi Teks A. Wirananda BIRO HUKUM, SEKRETARIAT JENDERAL Foto Dok. Biro Hukum Rina Widiyani dalam beberapa kegiatan D irektur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada 11 Maret 2020 menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi global. “Kami meminta negara-negara untuk melakukan tindakan yang mendesak dan agresif,” katanya dalam siaran pers di Jenewa. Dampak pandemi ini meluas ke berbagai penjuru dan menghantam sektor perekonomian, termasuk Indonesia. Pemerintah perlu meramu sejumlah jamu untuk melawan wabah ini sekaligus memulihkan segala hal yang terimbas. Berbagai kebijakan dikeluarkan semata-mata demi kelancaran penanganan wabah. Kementerian Keuangan, sebagai pengambil kebijakan di salah satu sektor yang terguncang paling hebat, mau tak mau dituntut untuk gesit bertindak. Kegentingan memaksa Sebagai respon atas suasana suram di tengah pandemi, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Perppu ini diterbitkan sebagai ikhtiar Pemerintah dalam upaya penanganan dampak akibat pandemi COVID-19 yang meluas ke berbagai sektor. Rina Widiyani Wahyuningdyah, Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan mengatakan bahwa pandemi COVID-19 di Indonesia telah berdampak pada beberapa hal antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. “Untuk itu, Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak,” ujarnya. Rina menjelaskan bahwa Penerbitan Perppu didasarkan pada kewenangan Presiden sesuai titah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Pasal 22 ayat 1 berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Pemegang gelar master dari University of Illinois ini mengatakan Perppu ini memantapkan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang diperlukan. “Dengan adanya landasan hukum setingkat undang-undang tersebut, Pemerintah mempunyai dasar yang kuat untuk dapat menerapkan kebijakan- Foto Dok. Biro KLI Gedung Djuanda Kementerian Keuangan
Uang Kita Buat Apa MEDIAKEUANGAN 38 Foto dan Teks Mariscka Prudence | Resha Aditya P S aat ini, pariwisata menjadi salah satu sumber ekonomi terbaru di Indonesia. Industri pariwisata menjadi sektor andalan dalam mendatangkan wisatawan luar negeri untuk menambah devisa negara. Untuk itu, pemerintah memutuskan untuk melakukan percepatan penyelesaian lima destinasi pariwisata super prioritas, yaitu pengembangan destinasi wisata Danau Toba, Borobudur, Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupang. Pengembangan lima destinasi wisata super prioritas merupakan salah satu kebijakan dan inisiatif utama dalam APBN 2020. Hal ini sangat membutuhkan sinergi lintas kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah. Alokasi anggaran K/L untuk pengembangan kelima destinasti tersebut mencapai Rp9,4 triliun pada APBN 2020 untuk pengembangan desa wisata, infrastruktur, konektivitas, keamanan, dan pelatihan SDM. Alokasi anggaran tersebut hanya dapat sukses mendulang devisa apabila ditunjang perilaku dan kesadaran masyarakat Indonesia sebagai tuan rumah bagi wisatawan. Total Anggaran pada APBN 2020: Tujuan Pengembangan: Kelola Pesona Wisata Indonesia Danau Toba Borobudur Labuan Bajo Mandalika Likupang Desa wisata Infrastruktur Konektivitas Keamanan Pelatihan SDM
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 1 lainnya
Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda
Opini Teks Ariza Ayu Ramadhani, pegawai Biro KLI Sekretariat Jenderal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Potensi Pertumbuhan Ekonomi PELAJARAN DARI PANDEMI UNTUK S ebelum COVID-19, sejarah mencatat kemunculan empat pandemi selama abad ke-21 yaitu N1H1 atau flu burung di tahun 2009, SARS di tahun 2002, MERS di tahun 2012 dan Ebola di tahun 2013 – 2014. Dari kelima pandemi tersebut, tingkat fatalitas COVID-19 memang bukan yang tertinggi, tapi yang paling mudah menular dari manusia ke manusia sehingga persebarannya sangat cepat. Dari data WHO, sejak Desember 2019 sampai Juni 2020 tercatat 7,69 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia. Negara-negara yang terjangkit wabah COVID-19 mulanya mengalami krisis kesehatan yang selanjutnya menjalar ke krisis ekonomi dan berpotensi menuju ke krisis sektor keuangan. Adanya wabah yang sangat mudah menular dari manusia ke manusia menyebabkan negara harus membuat kebijakan pembatasan aktivitas fisik seperti bekerja, sekolah, dan rekreasi yang berarti juga menghentikan aktivitas ekonomi. Di Indonesia, pembatasan fisik ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2020 hanya sebesar 2,97%. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal yang sama di tahun 2019 adalah sebesar 5,19%. Hantaman krisis diprediksi paling berat terjadi di kuartal kedua dengan pertumbuhan ekonomi di bawah nol. Studi yang dilakukan Simon Wren- Lewis, Ekonom Universitas Oxford, menunjukkan bahwa dampak terbesar dari pandemi terhadap ekonomi diprediksi terjadi selama 3 sampai 6 bulan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi kurang lebih sebesar lima persen (5%). Setelah periode tersebut, pertumbuhan ekonomi akan kembali melaju (bounce-back) . Oleh karena itu, di samping terus menangani COVID-19 baik dari sisi kesehatan maupun dampaknya terhadap masyarakat, kita dapat bersiap untuk memetik pelajaran dari COVID-19 ini untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi di masa depan. Human Capital Studi mengenai teori Pertumbuhan Ekonomi Endogenous menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara lebih ditentukan oleh sumber daya manusia ( human capital ) dan inovasi yang dilakukan di dalam sebuah sistem perekonomian melalui research and development (R&D). Teori ini pertama kali muncul di tahun 1962 yang terus menjadi perhatian para ekonom hingga saat ini. Sebelum pandemi COVID-19, berbagai universitas terbaik di dunia telah banyak membuka kelas daring. Kita juga mengenal platform belajar seperti coursera atau udemy untuk meningkatkan kemampuan melalui kelas daring baik berbayar maupun tidak berbayar. Kelas-kelas ini memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk belajar dari para profesor atau ahli terkemuka dari universitas atau institusi terbaik di dunia dengan harapan memperkecil gap ilmu pengetahuan. Di masa pandemi COVID-19, adanya kebijakan pembatasan fisik memaksa sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan pembelajaran daring, kantor-kantor untuk tetap beroperasi dengan pegawai yang bekerja dari rumah, dan komunikasi yang dilakukan tanpa kegiatan tatap muka. Kondisi ini memaksa banyak orang untuk beradaptasi dengan cepat, menyamankan diri dengan pertemuan- pertemuan virtual termasuk webinar, briefing , dan training yang sangat berdampak pada akselerasi sharing knowledge antar manusia dan antar institusi yang seolah tanpa batas. Nyatanya, produktivitas organisasi tetap terjaga atau bahkan meningkat dengan adanya work from home (WFH) ini. CEO Twitter, misalnya, memberlakukan WFH selama-lamanya karena kinerja perusahaannya tidak terganggu dengan keterpaksaan WFH selama pandemi. Kondisi ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kesenjangan informasi dan kesempatan, misalnya antara masyarakat perkotaan- perdesaan. Program peningkatan kualitas SDM perdesaan misalnya melalui Dana Desa, dapat difokuskan untuk memberikan edukasi mengenai pelatihan-pelatihan daring yang bisa diakses. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun mendatang. Inovasi Inovasi dapat tercipta melalui sumber daya manusia yang berkualitas, seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, dan juga melalui perkembangan teknologi. Berbeda dengan inovasi berupa penemuan- penemuan baru seperti yang terjadi berabad-abad lalu, beberapa ekonom dunia mempercayai bahwa inovasi yang terjadi saat ini dapat disebut sebagai “ creative destruction ” yang berarti melakukan perbaikan dan peningkatan atas hal-hal yang sebenarnya sudah ada. Argumentasi ini pertama kali dicetuskan oleh ekonom Austria, Joseph Schumpeter (1942) dan diperbaharui oleh banyak ekonom hingga saat ini. Di Indonesia, 60 persen tenaga kerja diserap oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di masa pandemi ini, UMKM atau SME termasuk golongan yang paling terdampak COVID-19. Menurut beberapa studi, UMKM yang memanfaatkan teknologi dalam usahanya, terbukti lebih kuat dalam menghadapi guncangan eksternal. Hal ini mungkin terjadi karena penggunaan teknologi dapat berarti administrasi yang lebih tertata, pembukuan yang tertib, pemasaran melalui marketplace , sehingga memungkinkan usaha tersebut tetap bertahan di masa pembatasan fisik seperti saat ini. Setelah pandemi berakhir, perusahaan-perusahaan besar di bidang teknologi informasi dan juga start-up unicorn dapat mendukung pemulihan ekonomi dan bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui digitalisasi UMKM baik dengan memberikan dukungan berupa modal, infrastruktur atau berbagi keahlian yang spesifik untuk tujuan tersebut. Melalui UMKM yang kuat, angka pengangguran berkurang, penerimaan negara bertambah, sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Untuk menjadikan human capital dan inovasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia, diperlukan poin ketiga, yaitu perubahan pola pikir. Pola pikir bahwa akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi harus dibuka untuk semua golongan masyarakat. Upaya ini perlu mendapatkan perhatian baik dari regulator (pemerintah) maupun dari universitas-universitas terbaik dan juga perusahaan-perusahaan besar agar ketimpangan pendidikan dan keahlian tidak semakin melebar di Indonesia. Ilustrasi A. Wirananda
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu | Foto Dok. Kemendesa AGAR MANFAAT SAMPAI KEPADA YANG BERHAK P andemi COVID-19 berdampak langsung pada kesehatan dan ekonomi. Seluruh kalangan masyarakat pun tak luput bergelut dalam tak luput bergelut dalam perjuangan melawan sampar ini, terlebih rakyat miskin. Data Badan Pusat Statistik di awal tahun 2020 menunjukkan 60,23 persen dari total jumlah penduduk miskin ada di perdesaan. Pemerintah berupaya menjamin keberlangsungan hidup rakyat miskin di desa pada masa krisis pandemi ini melalui pemberian Bantuan Langsung Tunai dari Dana Desa (BLT Desa). Simak wawancara Kementerian Keuangan dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar, mengenai implementasi program BLT Desa. Apa yang menjadi dasar pemikiran dikeluarkannya kebijakan penggunaan dana desa untuk program BLT Desa? Di tengah pemulihan kondisi akibat pandemi COVID-19 yang kita belum tahu sampai kapan, kesehatan dan ekonomi menjadi fokus perhatian di Kementerian Desa, utamanya terkait dengan Dana Desa. Oleh sebab itu, kita keluarkan kebijakan. Pertama untuk kesehatan sebagai upaya pencegahan kita bikin yang namanya Desa Tanggap Covid. Setiap desa wajib membentuk Relawan Desa Lawan Covid untuk melakukan edukasi, sosialisasi, dan fasilitasi. Kedua, Kebijakan penanganan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan daya beli dan ketahanan ekonomi dengan bentuk Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dan kebijakan BLT Desa. Program BLT Desa ini kita sinergikan betul dengan Kementerian Keuangan baik dari sisi regulasi maupun pelaksanaannya. BLT Desa ini kan sebuah kebijakan sementara yang lahir karena COVID-19. Alasan desa dilibatkan yaitu karena adanya Dana Desa dan pendataan di level desa jauh lebih valid dan akurat. Itu sebabnya di dalam regulasi terkait BLT Desa, saya tekankan betul, bagaimana melakukan pendataan dan siapa saja yang didata. Mengapa besaran BLT Desa di setiap tahapnya berbeda? Besaran BLT Desa di tiga bulan pertama mulai April, Mei, Juni, setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menerima Rp600 ribu. Kemudian tiga bulan kedua Juli, Agustus, September, setiap KPM menerima Rp300 ribu, turun separuh karena ekonomi misalnya UMKM diperkirakan sudah mulai menggeliat. Bagaimana mekanisme pendataan penerima manfaat BLT Desa? Pendataan dilakukan oleh Relawan Desa Lawan Covid yang terdiri dari kepala desa sebagai ketua, ketua Badan Pengawas Desa sebagai wakil ketua, kemudian anggota yang terdiri dari perangkat desa, sekretaris desa, ketua RT, RW, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan. Pendataan terhadap calon KPM BLT Desa berbasis RT untuk keakuratan verifikasi di lapangan dan dilakukan oleh tiga orang untuk memastikan validitasnya. Itu pun masih difilter lagi dengan Musyawarah Desa Khusus (Musdesus), lembaga permusyawaratan tingkat tertinggi di desa. Apapun yang dihasilkan Musdesus itu adalah sebuah keputusan politik yang sudah merepresentasikan warga masyarakat desa, dengan catatan Musdesus dilakukan sesuai dengan ketentuan. Setelah hasil Musdesus yang berisi nama-nama calon penerima BLT Desa ditandatangani kepala desa, hasil pendataan dan musyawarah Musdesus tersebut lalu dikirim ke kabupaten untuk disinkronisasi. Dengan demikian, validitas dalam upaya pendataan calon penerima manfaat itu akan sangat bisa dipertanggung jawabkan. Upaya apa yang dilakukan agar tidak terjadi overlapping data dengan penerima bansos lainnya? Desa cukup terkendala untuk mendeteksi warga yang sudah dapat bantuan sosial (Bansos) karena pencairan Bansos seperti Program Keluarga Harapan (PKH) tidak melalui desa melainkan langsung dari pusat jadi ini berada di luar kendali pemerintah daerah sehingga proses sinkronisasi data penerima BLT Desa ini menunggu selesainya bansos dari pusat tersebut. Jadi memang banyak desa yang menggunakan BLT desa sebagai sapu jagatnya. Jadi kalau warga sudah terima Bantuan Sosial Tunai (BST), terima PKH, maka rongga yang masih kosong itu diisi dengan BLT Desa. Hal tersebut juga terkonfimasi dari simulasi yang kita lakukan. Dari simulasi, kita akan meng cover sekitar 12 juta KPM, ternyata dalam perjalanannya prediksi kita sampai 100 persen salur itu sekitar 8 juta KPM. Ini kesannya sangat turun karena sudah tertutup dengan Bansos lain di luar BLT Desa. Nah, ke depan, kita sudah diskusi dengan Kementerian Sosial dan Kemenko PMK agar data yang ada sekarang ini dikelola dengan baik dan kita serahkan sepenuhnya ke desa. Desa lebih memahami lingkungan dan masyarakatnya sendiri sehingga akan lebih mudah transparansinya karena skalanya kecil. Misalnya di balai desa tiap tahun ditampilkan hasil updating penerima manfaat semua jaring pengaman sosial. Nah, data ini harus setiap tahun di update karena dengan pergerakan ekonomi yang bagus bisa saja tahun kemarin dia berhak menerima, tahun ini sudah tidak berhak, karena usahanya bagus. Semua itu akan efisien efektif ketika diserahkan ke desa. Kapan target penyaluran BLT Desa diperkirakan tercapai 100 persen? Juni ini harus selesai. Berdasarkan data per tanggal 15 Juni, sudah mencapai sekitar 90 persen desa selesai menyalurkan BLT Desa tahap pertama. Kita juga sudah akan keluarkan perubahan Permendes untuk mengakomodir angkatan kedua triwulan kedua dengan nilainya dan bagaimana mekanismenya. Mekanismenya adalah semua data yang sudah berjalan itu dipakai sebagai data awal, tetapi tidak menutup kemungkinan ada penambahan atau pengurangan. Kuncinya cuma satu, Musdesus karena sudah semua komponen masuk di situ. Apa yang Kementerian Desa lakukan untuk monitoring penyaluran BLT Desa? Ada dua, satu turun langsung, yang kedua by phone by confirmation tiap hari. Setiap hari kita punya update data, misalnya jam 7 atau 8 malam komunikasi mulai dilakukan dengan sumber dan tim yang sudah kita siapkan, sekitar jam 10 malam baru selesai data hari ini, lalu keesokan harinya kita laporkan. Jadi setiap hari saya membuat laporan terkait dengan progress BLT Desa, PKTD, dan Desa Tanggap COVID-19. Bagaimana upaya mencegah tindakan oknum-oknum tidak bertanggung jawab dalam hal pemberian BLT Desa? Sudah ada beberapa keluhan yang kita terima, tetapi setelah kita verifikasi kecil sekali yang sampai masuk ke ranah penegak hukum. Kita juga banyak menemukan yang hoax sih, misalnya ada potongan Rp200 ribu, ternyata setelah kita cek itu duitnya memang sudah dibagi oleh penerima. Kemudian ada lagi kesepakatan bersama di desa misalnya calon KPM banyak, sedangkan kekuatan BLT Desanya cukup kecil sehingga KPM membagi seikhlasnya sebagai wujud toleransi kepada keluarga yang lain. Hal semacam ini tidak masalah kalau mau dilakukan, yang penting tidak ada paksaan dan tidak dikelola oleh pemerintah desa. Ada juga kasus oknum aparat desa minta bagian BLT Desa kepada KPM dengan alasan sudah memperjuangkan di Musdesus. Untuk kasus seperti ini, apabila setelah diverifikasi ternyata betul maka kita serahkan kepada penegak hukum. Itu sebabnya dari awal di regulasi saya inginnya pemberian BLT Desa ini cashless. untuk memitigasi risiko keamanan. Tetapi dari sisi perbankan belum siap untuk melayani seluruh nasabah baru, dan dari sisi kebiasaan warga desa juga masih belum siap. *Wawancara ini disadur dari wawancara Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak dengan Menteri Desa PDTT pada kanal Youtube Frans Membahas
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 1 lainnya
P erjuangan sudah menuju titik akhir. Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, tahun 1949 menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Tapi masih ada yang mengganjal. Sejumlah kesepakatan KMB tidak menguntungkan Indonesia. Menurut The Kian Wie dalam pengantar buku yang disuntingnya, Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an , ada empat masalah kontroversial yang kemudian mengganggu hubungan Indonesia- Belanda. Dua masalah politik berkaitan baru pemerintahan RIS, yang terdiri atas Republik Indonesia dan 15 negara boneka BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg ’Majelis Permusyawaratan Federal’) bentukan Belanda selama masa perang. Terbentuknya RIS mempengaruhi sistem keuangan, termasuk penggunaan mata uang. ”Mata uang RIS diberlakukan oleh De Javasche Bank pada Januari 1950 bersamaan dengan pengesahan RIS dalam KMB. Mata uang ini menggantikan ORI,” kata peneliti sejarah ekonomi Servulus Erlan de Robert kepada tim kami. Sesuai kesepakatan KMB, De Javasche Bank (DJB) berfungsi sebagai bank sirkulasi untuk RIS. Melalui DJB inilah mata uang RIS diterbitkan dan diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah. Penyeragaman mata uang Pada 1 Januari 1950 terbit uang RIS atau juga disebut ”uang federal” atau ”uang DJB” dalam pecahan Rp5 dan Rp10 dengan tanggal emisi ”Djakarta, 1 Djanuari 1950” yang ditandatangani Menteri Keuangan, Sjafruddin Prawiranegara. Uang RIS ini menampilkan gambar Sukarno, presiden RIS, sehingga juga dikenal dengan sebutan ”emisi Bung Karno”. Kendati diterbitkan 1 Januari, uang RIS baru beredar dan digunakan pada bulan-bulan sesudahnya. Hal ini bukan tanpa alasan. ”Pemerintah masih dalam proses untuk menciptakan sistem keuangan yang tunggal dengan mempersatukan beraneka ragam uang yang beredar di masyarakat,” tulis Sri Margana dkk. dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945-1953 . Pada tanggal yang sama, Sjafruddin Riwayat Uang RIS Terbit di tengah kekacauan sirkulasi uang yang beredar di tengah masyarakat. Sukses menyeragamkan mata uang tapi beredar singkat. dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan status Irian Barat (Papua). Dua masalah ekonomi menyangkut pengambilalihan utang pemerintah Belanda di Indonesia dan terus beroperasinya bisnis Belanda di Indonesia. “Mencapai kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi menghadapkan Pemerintah Indonesia pada masalah yang serius. Lantaran tidak dapat mengawasi segmen-segmen penting ekonomi Indonesia, gerak para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia sangat terbatas,” tulis The Kian Wie. Setelah KMB, dimulailah babak mengumumkan bahwa uang kertas RIS menjadi alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah RIS. Oeang Republik Indonesia (ORI) dinyatakan ditarik dari peredaran dan hilang sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah terhitung 1 Mei 1950. Selama tenggat waktu itu, ORI masih berlaku sebagai alat pembayaran hanya di daerah di mana uang tersebut diproduksi. Penyeragaman mata uang itu dilakukan untuk menghapus peredaran berbagai jenis mata uang dengan nilai tukar berbeda-beda, bahkan banyak pula yang palsu. Selain ORI dan ORIDA, beredar pula ”uang NICA”. Selain itu, Sjarifuddin mencetuskan kebijakan moneter yang terkenal dengan istilah ”Gunting Sjarifuddin”. Uang kertas lama DJB dan mata uang Hindia Belanda pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Kebijakan ini bertujuan menekan inflasi dan mendorong ekspor dari pelaku usaha dalam negeri. ”Kita potong uang Belanda menjadi dua bagian, sebelah diubah menjadi uang Republik dan sebelah lagi dikonversikan menjadi obligasi keuangan. Jadi tidak, kita dapat dituduh merampok separuh uang rakyat,” tutur Sjafruddin dalam Pelaku Berkisah . Penukaran uang Tindak lanjut dari penyeragaman mata uang dilakukan pada 27 Maret 1950. Pemerintah RIS memutuskan menukarkan ORI maupun ORI daerah dengan uang RIS. Menurut Sri Margana dkk, kurs penukarannya ” f” . 1 RIS setara Rp. 125 ORI, sedangkan untuk ORIDA disesuaikan dengan kondisi tiap mata uang. Namun, penukaran uang dari Teks Hendaru Tri Hanggoro Laporan Utama Seseorang menyiapkan uang untuk ditukar Foto Historia 37 MEDIAKEUANGAN 36 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
K ementerian Keuangan (Kemenkeu). Dari struktur organisasi hingga kebijakan-kebijakan awal keuangan Indonesia. Karena baru saja merdeka, sistem pemerintahan Jepang masih mempengaruhi berbagai lembaga di Indonesia. Gunseikanbu Zaimubu atau Departemen Keuangan Jepang juga menjadi patokan awal Kemenkeu. “Struktur organisasi Kementerian Keuangan banyak mengambil alih bentuk Gunseikanbu Zaimubu dengan berbagai perubahan agar sesuai dengan negara merdeka dan berdaulat,” tulis Tim Departemen Keuangan dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah: 45 Tahun Uang Republik Indonesia, 1946- 1991. Tak lama, sistem dan lembaga keuangan tinggalan Jepang segera dibereskan. Pada 29 September 1945, Maramis mengeluarkan dekrit yang mempreteli hak dan kewenangan Menghapus Warisan Kolonial Untuk mempertahankan kedaulatan, pemerintah membentuk berbagai lembaga keuangan. Dari kementerian hingga bank sentral. pejabat pemerintahan tentara Jepang. Baik urusan menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang, pengeluaran negara, hingga segala urusan kas negara. Hak dan kewenangan itu diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Maramis juga menyusun organisasi Kemenkeu yang pertama; terdiri dari lima penjabatan (eselon) I: umum, keuangan, pajak, resi candu dan garam, serta pegadaian. Langkah penting lainnya, demi kesatuan alat pembayaran yang sah, Maramis memerintahkan pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI). Kendati mengalami hambatan, usaha itu berhasil dengan terbitnya emisi pertama uang kertas ORI pada 30 Oktober 1946. Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946, ORI ditetapkan berlaku secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Selanjutnya, 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia. Mendirikan bank sentral Untuk mendukung kedaulatan Indonesia di sektor ekonomi, diperlukan bank sirkulasi. Pada 19 September 1945, Sukarno-Hatta menandatangani Surat Kuasa Pemerintah Republik Indonesia bertanggal 16 September 1945 sebagai landasan yuridis bagi persiapan pendirian bank sirkulasi: Bank Negara Indonesia (BNI). Menurut Sri Margana dkk dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia 1945-1953 , __ tak semua pihak yang setuju bahwa pendirian BNI merupakan jalan terbaik untuk mendirikan kebijakan moneter yang kuat. Ir. Soerachman Tjorkoadisoerjo, misalnya, menginginkan agar pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) saja. Soerachman kala itu menjabat Menteri Kemakmuran. Sementara DJB merupakan bank sirkulasi Hindia Belanda sejak 1828 sampai dilikuidasi Nanpo Kaihatsu Ginko, bank sirkulasi era pendudukan Jepang. Tapi pemerintah sudah mengambil keputusan. Untuk mewujudkan impian itu, pada 9 Oktober 1945 didirikanlah Poesat Bank Indonesia (PBI). Badan ini bertugas mempersiapkan pembentukan BNI dan menjalankan kebijakan keuangan sebagaimana bank sirkulasi bekerja. Selain itu, PBI berperan memberikan kredit dengan bunga serendah-rendahnya dan menjadi pusat penyimpanan uang masyarakat. PBI juga mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan di bidang ekonomi. “Serta merta masyarakat mulai mempercayakan dan menyimpan uang mereka pada bank tersebut. Dalam waktu singkat terkumpulah sebanyak Rp 31 juta (uang Jepang) yang digunakan sebagai modal bank,” tulis Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Teks Andri Setiawan Laporan Utama Gedung Bank Indonesia Foto Historia 43 MEDIAKEUANGAN 42 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
Buku Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa Peresensi CS. Purwowidhu T ak bisa dinafikan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki peran vital dalam mengelola keuangan dan kekayaan negara, bahkan semenjak kelahirannya di fase awal kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Ketika pemerintah membutuhkan dana awal untuk membiayai perjuangan dan jalannya pemerintahan, Kemenkeu yang pada masa itu bernama Departemen Keuangan (Depkeu), melalui Menteri Keuangan pertama, Dr. Samsi, mengeluarkan kebijakan Operasi Penggedoran Bank. Dr. Samsi lalu digantikan oleh A.A. Maramis pada 2 September 1945. Pada masa itu pula Depkeu mulai menata organisasi. Kualitas pemimpin menjadi kriteria utama dalam menyusun organisasi kala itu. Depkeu harus dipimpin oleh para pejabat yang memiliki loyalitas tinggi kepada bangsa, negara, dan proklamasi kemerdekaan. Sedangkan struktur organisasi Depkeu banyak mengambil alih bentuk “Gunseikanbu Zaimubu” dengan berbagai modifikasi sesuai dengan kebutuhan negara merdeka dan berdaulat. Ada lima Pejabatan -sekarang disebut Eselon I- yang dibentuk saat itu, yakni Pejabatan Umum, Pejabatan Keuangan, Pejabatan Pajak, Pejabatan Resi, Candu, dan Garam, dan Pejabatan Pegadaian. Situasi ekonomi saat itu memburuk akibat defisit anggaran belanja karena pengeluaran besar-besaran di bidang militer untuk mempertahankan kemerdekaan, ditambah dengan hiperinflasi karena meningkatnya peredaran uang Jepang dan NICA di masyarakat. untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah mulai merintis persiapan penerbitan mata Oeang Republik Indonesia (ORI) yang dikoordinasi oleh Depkeu. Hal ini mendorong Depkeu yang saat itu dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk menyesuaikan struktur organisasi. Jumlah pejabatan ditambah dengan Pejabatan Uang, Kredit, dan Bank, Pejabatan Bea dan Cukai, dan Pejabatan Pajak Bumi. ORI akhirnya berlaku secara resmi pada tanggal 30 Oktober 1946. Pemberlakuan ORI sebagai alat pembayaran yang sah dan untuk membiayai revolusi, tidak hanya membangkitkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, melainkan juga membangun kesadaran bahwa negara Indonesia telah merdeka dan mempunyai pemerintahan sendiri. Semenjak dulu, Kemenkeu juga senantiasa terbuka untuk melakukan perbaikan. Pembekuan Ditjen Bea dan Cukai pada tahun 1985 akibat maraknya penyelundupan masa itu menjadi salah satu contohnya. Sementara waktu Bea dan Cukai ditutup dan fungsinya digantikan Memperingati Hari Oeang ke-74 30 Oktober 1946 - 30 Oktober 2020 oleh Société Générale de Surveillance (SGS) dari Swiss. Selama kurun waktu itu, Bea dan Cukai pun memperbaiki diri menjadi makin akuntabel sehingga mendapat kepercayaan untuk menjalankan tugasnya kembali. Itulah sekilas ulasan beberapa catatan sejarah yang mengiringi dinamika organisasi Kemenkeu, yang dipotret dengan apik mulai era 1945 - 2019 dalam buku Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa . Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa 489 Hal Kementerian Keuangan Judul Hal Penerbit 47 MEDIAKEUANGAN 46 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER