Pengesahan Persetujuan Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Relevan terhadap
Huruf a Yang dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah pihak-pihak yang berwenang yaitu Pemerintah, masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya. Huruf b Kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Huruf c Peran masyarakat dalam Pasal ini mencakup keikutsertaan, baik dalam upaya maupun dalam proses pengambilan keputusan tentang pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam rangka peran masyarakat dikembangkan kemitraan para pelaku pengelolaan lingkungan hidup, yaitu perintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk antara lain lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi keilmuan. Huruf d Cukup jelas Huruf e Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengna perangkat yang bersifat preemtif adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan, seperti tata ruang dan analisis dampak lingkungan hidup. Adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penaatan baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi lingkungan hidup, seperti ISO 14000. Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat preemtif, preventif dan proaktif misalnya adalah pengembangan dan penerapan teknologi akrab lingkungan hidup, penerapan asuransi lingkungan hidup dan audit lingkungan hidup yang dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan guna meningkatkan kinerja. Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h… Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas
Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1993/1994
Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim ...
Tambahan dan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1990/1991
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 1 April 1990. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1991 SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1991 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1991 TENTANG TAMBAHAN DAN PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1990/1991 UMUM Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1990/ 1991 merupakan pelaksanaan tahun kedua Rencana Pembangunan Lima Tahun Ke V. Didasarkan atas perkembangan ekonomi dalam dan luar negeri, yang mempengaruhi pelaksanaannya, maka terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1990/1991 diperlukan beberapa tambahan dan perubahan. Dalam Tahun Anggaran 1990/1991, realisasi pendapatan negara diperkirakan lebih besar daripada yang direncanakan. Lebih besarnya pendapatan negara tersebut disebabkan oleh lebih tingginya pendapatan dalam negeri dari sektor minyak bumi dan gas alam dalam jumlah yang cukup besar dan dapat dilampauinya rencana penerimaan dalam negeri di luar minyak bumi dan gas alam, walaupun realisasi pendapatan pembangunan diperkirakan lebih rendah dari yang direncanakan, yaitu karena lebih rendahnya realisasi bantuan program dalam bentuk bantuan luar negeri yang dapat dirupiahkan dari yang direncanakan. Di sisi pengeluaran, baik belanja rutin maupun belanja pembangunan melampaui jumlah-jumlah yang direncanakan. Meningkatnya belanja rutin terutama disebabkan oleh lebih tingginya pengeluaran untuk subsidi bahan bakar minyak di dalam negeri, yang berhubungan erat dengan lebih tingginya harga minyak mentah dan adanya kekurangan pembayaran subsidi bahan bakar minyak untuk tahun Anggaran 1988/1989 dan 1989/1990. Walaupun demikian, realisasi tabungan pemerintah diperkirakan lebih tinggi dari yang direncanakan semula, oleh karena peningkatan dalam realisasi penerimaan dalam negeri masih lebih besar daripada peningkatan dalam realisasi belanja rutin. Selanjutnya realisasi belanja pembangunan diperkirakan lebih tinggi dari rencananya, sejalan dengan peningkatan penerimaan dalam negeri, yang memungkinkan lebih tingginya realisasi belanja pembangunan di semua sektor. Selain daripada itu dalam realisasi belanja pembangunan Tahun Anggaran 1990/1991 termasuk pula alokasi untuk cadangan anggaran pembangunan,yang dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan pembiayaan pembangunan, khususnya untuk mengamankan anggaran pembangunan Tahun Anggaran 1991/92 bilamana terjadi penurunan harga rata-rata minyak bumi dan tidak tercapainya bantuan program yang dianggarkan. Dalam rangka kesinambungan kegiatan pembangunan, kredit anggaran yang menunjukkan sisa dan masih diperlukan untuk menyelesaikan proyek, dipindahkan ke Tahun Anggaran 1991/92 dan menjadi kredit anggaran Tahun Anggaran 1991/92. Sisa-anggaran-lebih yang diperkirakan sebesar Rp 1.306.000.000,00 (satu milyar tiga ratus enam juta rupiah), dipergunakan untuk membiayai anggaran belanja Tahun Anggaran 1991/92 dan/atau tahun- tahun anggaran berikutnya. Dengan demikian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1990/1991, yang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1990 berimbang pada tingkat Rp 42.873.100.000.000,00 (empat puluh dua trilyun delapan ratus tujuh puluh tiga milyar seratus juta rupiah), kini berubah sehingga Anggaran Pendapatan Negara diperkirakan menjadi Rp. 49.451.042.000.000,00 (empat puluh sembilan trilyun empat ratus lima puluh satu milyar empat puluh dua juta rupiah) dan Anggaran Belanja Negara diperkirakan menjadi Rp. 49.449.736.000.000,00 (empat puluh sembilan trilyun empat ratus empat puluh sembilan milyar tujuh ratus tiga puluh enam juta rupiah). Oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undng-undang Nomor 1 Tahun 1990, tambahan dan perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1990/1991 perlu diatur dengan Undang-undang. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas
Tambahan dan Perubahan Apbn Tahunanggaran 1991/1992
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 1 April 1991. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1992 TENTANG TAMBAHAN DAN PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1991/92 UMUM Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1991/ 92 merupakan pelaksanaan tahun ketiga Rencana Pembangunan Lima Tahun Ke V. Didasarkan atas perkembangan ekonomi dalam dan luar negeri, yang mempengaruhi pelaksanaannya, maka terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1991/92 diperlukan beberapa tambahan dan perubahan. Dalam Tahun Anggaran 1991/92, realisasi pendapatan negara diperkirakan lebih besar daripada yang direncanakan. Lebih besarnya pendapatan negara tersebut disebabkan oleh lebih tingginya pendapatan dalam negeri, baik dari sektor minyak bumi dan gas alam maupun di luar minyak bumi dan gas alam, khususnya dari perpajakan. Di samping itu juga karena lebih tingginya realisasi pendapatan pembangunan, baik dari bantuan luar negeri yang dapat dirupiahkan, maupun dari bantuan proyek. Disisi pengeluaran, realisasi belanja rutin sedikit lebih rendah dari jumlah yang direncanakan. Lebih rendahnya belanja rutin terutama disebabkan oleh lebih rendahnya realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri serta subsidi BBM, walupun realisasi belanja pegawai mengalami kenaikan sejalan dengan adanya pemberian tunjangan perbaikan penghasilan pegawai negeri/pensiunan sipil dan ABRI yang lebih besar sejak bulan Juli 1991. Walaupun demikian, realisasi tabungan pemerintah diperkirakan lebih tinggi dari yang direncanakan semula, oleh karena peningkatan dalam realisasi penerimaan dalam negeri masih lebih besar daripada peningkatan dalam realisasi belanja rutin. Selanjutanya realisasi belanja pembangunan diperkirakan lebih tinggi dari rencananya, sejalan dengan peningkatan penerimaan dalam negeri, yang memungkinkan lebih tingginya realisasi belanja pembangunan di semua sektor, Selain daripada itu dalam realisasi belanja pembangunan Tahun Anggaran 1991/92 termasuk pula alokasi untuk cadangan anggaran pembangunan, yang dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan pembiayaan pembangunan, khususnya untuk mengamankan anggaran pembangunan Tahun Anggaran 1992/93 bilamana terjadi penurunan harga rata-rata minyak bumi dan tidak tercapainya penerimaan pembangunan yang dianggarkan. Dalam rangka kesinambungan kegiatan pembangunan, kredit anggaran yang menunjukkan sisa dan masih diperlukan untuk menyelesaikan proyek, dipindahkan ke Tahun Anggaran 1992/93 dan menjadi kredit anggaran Tahun Anggaran 1992/93. Sisa anggaran lebih yang diperkirakan sebesar Rp 2.081.000.000,00 (dua milyar delapan puluh satu juta rupiah), dipergunakan untuk membiayai anggaran belanja Tahun Anggaran 1992/93 atau tahun-tahun anggaran berikutnya. Dengan demikian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1991/92, yang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1991 berimbang pada tingkat Rp 50.555.500.000.000,00 (lima puluh trilyun lima ratus lima puluh lima milyar lima ratus juta rupiah), kini berubah sehingga Anggaran Pendapatan Negara diperkirakan menjadi Rp 51.993.912.000.000,00 (lima puluh satu trilyun sembilan ratus sembilan puluh tiga milyar sembilan ratus dua belas juta rupiah) dan Anggaran Belanja Negara diperkirakan menjadi Rp 51.991,831.000.000,00 (lima puluh satu trilyun sembilan ratus sembilan puluh satu milyar delapan ratus tiga puluh satu juta rupiah). Oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1991, tambahan dan perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun. Anggaran 1991/92 perlu diatur dengan Undang-undang. PASAL DEMI PASAL
Usaha Perasuransian
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN UMUM Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ekonomi memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai yang pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari tabungan masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting peranannya, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko yang dapat mengganggu hasil pembangunan yang telah dicapai. Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian yang tangguh, yang dapat menampung kerugian yang dapat timbul oleh adanya berbagai risiko. Kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang secara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Sejauh ini kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi sebagai suatu perjanjian. Sementara itu usaha asuransi merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian merupakan bidang usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah, dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan,baik bagi gerak usaha dari perusahaan-perusahaan di bidang ini maupun bagi Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi usaha dalam jenis-jenis usaha di bidang perasuransian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha perasuransian merupakan usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis yang khusus dalam penyelenggaraannya. Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada tertanggung dalam memilih perusahaan asuransi. Dalam rangka perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini juga menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan usaha, dengan mengupayakan agar praktek usaha yang dapat menimbulkan konflik kepentingan sejauh mungkin dapat dihindarkan, serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat terselenggara atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai jasa. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia. Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat. Pasal 4 Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian hanya dapat pula menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan. Pasal 5 Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan, penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya risiko dan perancangan produk asuransi jiwa. Pasal 6 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya sehingga sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dapat menentukan sendiri perusahaan asuransi yang akan menjadi penanggungnya. Ayat (2) Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini terkandung maksud bahwa tertanggung bebas untuk menempatkan penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha di Indonesia. Ayat (3) Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan dengan perkembangan usaha perasuransian di Indonesia, maka ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan atau penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama (Mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Ayat (1) Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta. Ayat (2) Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh perusahaan perasuransian dalam negeri dan perusahaan perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang lebih profesional.Selain itu kerjasama perusahaan perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi. Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha, maka kepemilikan bersama atas perusahaan perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi dalam negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing partner dalam kepemilikan tersebut. Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:
Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan Perusahaan Reasuransi dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak diperlukan adanya izin usaha dari Menteri. Ayat (2) Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko. penilai kerugian asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Ayat (3) Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok ukur kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan selisih antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya didasarkan pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau tanggung jawab sendiri sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. Reasuransi merupakan bagian pertanggungan yang dipertanggungkan ulang pada perusahaan asuransi lain dan atau Perusahaan Reasuransi. Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi dalam menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan produktif. Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya beban kewajiban tidak menentu, maka Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis. Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan dalam bentuk polis. Sebagai suatu perjanjian atau kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis. Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan tingkat premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak bersifat diskriminatif. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh penanggung. Salah satu ketentuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha adalah mengenai pembayaran premi asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya, sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosisal sebenarnya menyelenggarakan salah satu jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari peraturan perundang-undangan yang membentuknya, Menteri sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berwenang dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi sosial tersebut, sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri teknis yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang mengatur Program Asuransi Sosial dimaksud. Pasal 15 Ayat (1) Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan usaha, sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemeriksaan dimaksud dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada perusahaan dapat diketahui sedini mungkin. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha merupakan tahapan tindakan yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal tertentu Menteri dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang diperlukan. Ayat (2) Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus dilalui sebelum dilakukan pencabutan izin usaha. Namun demikian terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal ini mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara tersebut, maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut serta peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan. Ayat (3) Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang dilakukan, Menteri dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenahan dengan memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang diikuti perkembangannya secara terus-menerus, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap perusahaan ataupun tertanggung. Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pengenaan sanksi, akan ditetapkan batas waktu maksimum yang disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk diajukan kepada Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa pembatasan kegiatan usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan tindak lanjut pengenaan sanksi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang dilakukan tidak menunjukkan perbaikan atau dalam hal perusahaan tidak melakukan usaha untuk mengupayakan perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Ayat (2) Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Relevan terhadap
Besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat.
Besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat.
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dalam rangka melaksanakan program pemerintah dan mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau sektor keuangan.
Perubahan besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atau Dokumen dan besaran tarif tetap yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penjelasan Pasal 4 Cukup jelas. 377 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat. Ayat (2) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat. Ayat (3) Sebagai contoh pengenaan tarif tetap yang berbeda, misalnya atas Dokumen surat berharga dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dari tarif yang berlaku berdasarkan kebutuhan pelaksanaan kebijakan sektor keuangan dalam rangka inklusi keuangan atau pendalaman pasar keuangan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah komisi yang membidangi keuangan dan perbankan.
Bea Meterai yang terutang dapat diberikan fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka percepatan proses penanganan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi suatu daerah akibat bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam;
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang semata-mata bersifat keagamaan dan/atau sosial yang tidak bersifat komersial;
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan; dan/atau
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang terkait pelaksanaan perjanjian internasional yang telah mengikat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perjanjian internasional atau berdasarkan asas timbal balik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 395 Penjelasan Pasal 23 Ditinjau dari segi kepastian hukum, kedaluwarsa 5 (lima) tahun yang dihitung sejak saat terutang Bea Meterai, berlaku untuk semua Dokumen