Pribadi
Relevan terhadap
1 Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN HIGHER FOR LONGER THE FED TERHADAP ARUS MODAL DI INDONESIA Penulis: Cahyaning Tyas Anggorowati Pengolah Data Hukum Perjanjian Senior, Biro Hukum (Pegawai Tugas Belajar Program Magister di Universitas Indonesia) A. PENDAHULUAN Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, kebijakan suatu negara akan berpengaruh terhadap kebijakan negara lain di dunia. Salah satunya adalah kebijakan terkait suku bunga the Fed . Kebijakan the Fed dalam menaikkan the federal funds rate tentunya akan mendapatkan perhatian dari berbagai bank sentral di negara lain di dunia. Bank sentral di berbagai dunia akan bereaksi dengan menyesuaikan kebijakan moneter di masing-masing negaranya. Fenomena Higher for Longer the Fed saat ini menjadi topik diskusi bagi banyak ekonom di dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena Higher for Longer the Fed terjadi ketika the Fed menaikkan the federal funds rate , hal tersebut kemudian berdampak pada kenaikan suku bunga secara keseluruhan, sehingga individu maupun industri akan menghadapi biaya pinjaman yang mahal dalam menjalankan operasional bisnis. Namun demikian suku bunga yang tinggi juga akan mendorong peningkatan dalam tabungan suatu negara. Suku bunga yang tinggi akan dipandang baik ketika mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun sebaliknya, akan dipandang buruk pada saat terjadi inflasi. Fenomena Higher for Longer juga dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik yang terus berlangsung sehingga menyebabkan berlanjutnya kenaikan harga pangan dan energi (inflasi global). Kenaikan suku bunga yang berlangsung lama tentunya akan berdampak pada banyak pelaku usaha, baik bisnis, pemerintah, maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Salah satu dampak dari kenaikan suku bunga pinjaman adalah terjadinya risiko downside atas investasi di Indonesia. Indonesia saat ini sedang menghadapi kebutuhan modal yang tinggi untuk membiayai berbagai macam proyek infrastruktur yang telah direncanakan oleh pemerintah dalam cakupan Proyek Strategis Nasional (PSN). Pembiayaan PSN tersebut dapat berasal dari APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, maupun pendanaan pihak ketiga (swasta). Hal ini tentunya membutuhkan analisis mendalam atas kebijakan suku bunga yang akan berdampak pada minat investor dalam menanamkan modal ke Indonesia.
Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 2. Penelitian Terdahulu Penelitian (Mukhlis et al., 2020) memberikan gambaran bahwa FFR berpengaruh signifikan terhadap nilai tukar dan Indeks harga konsumen, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap suku Bunga BI 7 days Repo , jumlah uang beredar, dan Produk Domestik Bruto (PDB). Hasil dari tes Impulse Response Function (IRF) menunjukkan bahwa terdapat variasi positif dan negatif dari kebijakan FFR terhadap suku Bunga BI 7 days Repo , jumlah uang beredar, dan Produk Domestik Bruto (PDB) yang disebabkan karena variasi dari FFR. Swanson & Williams, 2014 menemukan bahwa keputusan pelaku usaha dalam melakukan bisnis juga akan bergantung pada suku bunga jangka pendek di masa mendatang. Suku bunga satu tahun atau lebih akan bereaksi secara responsif terhadap rencana perubahan suku bunga FFR dalam rentang 2008 sampai 2010. Hal ini berimplikasi bahwa pembuat kebijakan masih mempunya ruang untuk mempengaruhi suku bunga jangka menengah dan jangka panjang. Krisis ekonomi di suatu negara dapat dengan cepat merambat ke ekonomi global akibat adanya interaksi dan dependensi antar negara. Ekonomi Amerika dapat membawa efek perambatan internasional yang dapat memberikan tekanan kepada pasar keuangan dan ketidakpastikan kebijakan dari setiap negara (Liow et al., 2018). Fluktuasi moneter di pasar keuangan Amerika yang direspon melalui FFR akan berdampak pada stabilitas ekonomi di beberapa negara. Keterbukaan ekonomi telah menyebabkan ketergantungan antar negara. Peran kebijakan moneter akan sangat penting dalam menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Transmisi kebijakan moneter dapat dilakukan melalui dua mekanisme. Pertama, perubahan kebijakan moneter akan berdampak pada pasar uang sehingga akan berpengaruh langsung terhadap konsumsi individu maupun perusahaan. Suku bunga pasar uang jangka pendek akan mempengaruhi suku bunga obligasi dan suku bunga kredit. Selanjutnya kebijakan moneter akan berpengaruh terhadap ekonomi riil melalui sistem keuangan. Pada tahap ini, fluktuasi kebijakan ekonomi akan berdampak pada produksi dan harga agregat (Pétursson, 2001). Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan dampak dari fenomena higher for longer FFR terhadap arus modal di Indonesia. Koepke & Paetzold, 2020 menggambarkan ketersediaan data aliran modal internasional sebagai berikut:
Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 D. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada awal analisis, penulis mencoba menggambarkan analisis atas tren dari suku bunga FFR beserta BI rate yang hasilnya disajikan dalam Gambar 2 sebagai berikut: Gambar 2. Perbandingan Pergerakan FFR terhadap Suku Bunga BI Rate Sumber: Olahan Penulis, 2024 Berdasarkan gambar 2 di atas, maka dapat dilihat bahwa tren kenaikan suku bunga FFR terjadi sejak Juni 2022 dan terus berlanjut hinga Desember 2023. Sedangkan tren suku bunga rendah FFR terjadi dari bulan Maret 2020 sampai dengan Maret 2022. Kenaikan suku bunga FFR ditandai dengan kenaikan sebesar 1,01 mbs dari bulan Maret 2022 ke bulan Juni 2022. BI rate juga mengalami kenaikan signifikan setelah FFR mengalami era suku bunga tinggi. Namun demikian gap antara FFR dengan BI rate menjadi semakin kecil setelah kebijakan the Fed dalam menaikkan FFR. Bank Indonesia mempertahankan kebijakan suku bunga single digit walaupun kenaikan suku bunga the Fed sangat signifikan. Hal ini tentunya akan berdampak pada minat investor asing dalam memindahkan modalnya ke Amerika. Namun demikian, di sisi lain, masih rendahnya suku bunga BI rate juga akan menarik investor asing dalam menanamkan modalnya ke Indonesia karena biaya bunga yang masih dianggap murah yaitu masih dalam satu digit. Untuk mendalami dampak kenaikan suku bunga FFR terhadap arus modal di Indonesia, penulis melakukan analisis atas tren dari suku bunga FFR beserta arus modal masuk dan keluar di Indonesia yang hasilnya disajikan dalam Gambar 3 sebagai berikut: 0,65 0,08 0,09 0,09 0,07 0,08 0,08 0,08 ^0,20 1,21 2,56 4,10 4,65 5,08 ^5,33 5,33 4,50 4,25 4,00 3,75 3,50 3,50 3,50 3,50 3,50 3,50 4,25 5,50 ^5,75 5,75 5,75 6,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 FFR Rate (%) BI Rate (%)
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
ndonesia baru-baru ini telah menjadi negara ekonomi kelas menengah, dengan jumlah populasi kelas menengahnya mencapai 16% pada tahun 2014 dari hanya 5% pada tahun 1993 (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Indonesia juga berhasil menjadi salah satu negara dengan pengentasan kemiskinan tercepat di dunia. Namun demikian, sekitar 26 juta orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dan 77,4 juta orang atau setara dengan 29,1% dari populasi masih menjadi bagian kemiskinan atau rentan jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Hal ini menunjukkan tingginya jumlah penduduk Indonesia yang masih rentan terhadap guncangan ekonomi walaupun ada kemajuan yang signifikan dalam mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu, penting untuk menemukan solusi yang efektif guna mengubah masyarakat miskin Indonesia menjadi masyarakat berpenghasilan menengah. Rumah tangga berpendapatan menengah merupakan kontributor konsumsi dan sumber suara sosial serta politik yang signifikan dalam membentuk kebijakan pembangunan. Solusi yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia, antara lain dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kualitas pendidikan terutama dalam penyediaan keterampilan khusus yang dibutuhkan oleh lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas kesehatan dan peluang kehidupan bagi anak- anak di daerah pedesaan. Semua hal tersebut membutuhkan sejumlah besar pembiayaan di tengah tekanan global, rasio pajak yang rendah, dan rencana pemerintah untuk mengurangi pajak penghasilan. Langkah awal yang dapat dilakukan yakni dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak. Apabila jumlah “calon kelas menengah” dan “kelas menengah” dapat meningkat secara proporsional, maka dengan basis subjek pajak yang substansial itu, Indonesia dapat menerapkan rezim pajak penghasilan progresif, di mana mereka yang memiliki pendapatan berlebih harus membayar lebih banyak pajak. Dengan terhimpunnya dana pajak tersebut, Indonesia kemudian dapat membangun skema perlindungan sosial yang kuat. Tantangan berikutnya adalah bagaimana membuat pembelanjaan kelas menengah agar menjadi lebih produktif, karena jika pengeluaran kelas menengah tersebut tidak produktif, maka risiko jatuh ke dalam middle income trap akan lebih besar. Dari segi ketenagakerjaan dan produktivitas tenaga kerja, terlepas dari upah yang kecil, produktivitas yang rendah telah menghasilkan total biaya output yang lebih tinggi. Di samping itu, pada tataran global, Indonesia masih berada di peringkat ke-2 terkait kekakuan kontrak kerja terutama dalam hal pemutusan hubungan kerja, sedangkan tingkat kepatuhannya hanya sebesar 49%. Pengangguran usia muda mencapai tujuh kali lebih banyak dari pengangguran orang dewasa, sementara sebanyak dua dari tiga perempuan Indonesia termasuk di antara mereka yang menganggur. Di lain sisi, sehubungan dengan tingkat pelatihan, hanya sekitar 8% dari perusahaan yang ada di Indonesia yang benar-benar memberikan pelatihan untuk karyawan mereka, padahal pemerintah telah memberikan insentif pajak berupa pengurangan hingga Rp300 juta ( super deduction ) bagi perusahaan yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Dari segi pembangunan pendidikan, meskipun telah ada upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan mendasar, namun outcome dari upaya ini masih belum optimal. Pencapaian rata-rata pengetahuan siswa dengan lama pendidikan 12 tahun sebenarnya hanya sama dengan 7,9 tahun mengenyam pendidikan. Hal ini menunjukkan ketidakefektifan dalam proses pembelajaran, baik dari sisi kurikulum dan kapasitas guru, dan/ atau terbatasnya fasilitas pendidikan yang ada. Beberapa ide muncul sebagai solusi dari tantangan dimaksud, salah satunya dengan mengembangkan dan memperluas industri pendidikan anak usia dini. Hal ini dianggap mendesak karena sebuah penelitian menunjukkan bahwa return pendidikan satu tahun pada anak usia dini lebih besar daripada return pendidikan pada perguruan tinggi dengan durasi yang sama. Sayangnya, hanya sekitar 1% anak Indonesia yang saat ini dapat menikmati pendidikan anak usia dini. Dari segi kualitas kesehatan, 27% anak Indonesia masih mengalami hambatan pertumbuhan ( stunting ) sehingga Indonesia berada pada peringkat stunting ke-5 di dunia. Sementara itu, dari 74% wanita Indonesia yang telah mendapat pemeriksaan kehamilan, hanya 37% yang mampu memberikan ASI dan hanya 58% yang telah menerima suntikan imunisasi untuk bayinya. Oleh sebab itu, efektivitas sistem perlindungan kesehatan nasional harus ditingkatkan, antara lain melalui pembetulan alokasi subsidi, mengingat saat ini sebanyak 40% rumah tangga kelas menengah masih menerima subsidi pemerintah, dan peningkatan kepatuhan pembayaran iuran jaminan sosial kesehatan. Pada akhirnya, meskipun kombinasi dari tantangan pembangunan, demokrasi, dan desentralisasi cenderung memperumit masalah dan penanganannya, namun pemerintah harus mampu merancang kebijakan yang tidak hanya layak berdasarkan standar yang diterima, tetapi juga sesuai untuk Indonesia yang kaya akan keberagaman. Pemerintah harus dapat mengimplementasikan kebijakan yang memastikan keberlanjutan dan produktivitas pembiayaan pembangunan, meskipun setiap kebijakan yang diambil tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. 41 MEDIAKEUANGAN 40 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Opini MENJADI CALON SOSIALITA, Memakmurkan Indonesia *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Bramantya Saputro Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40
Finansial Dana Darurat Saat Pandemik Lagi bikin apa sih ? Kok serius banget? Hehe. Bikin resolusi tahun baru, Mas Wah keren! Jadi apa nih resolusi di tahun 2020 ? “TERLALU BANYAK BERANDAI” Cerita : Yani Kurnia A. Gambar : Ditto Novenska Mas Praim Praim, ada tanggal cantik nih 02-02-2020 Bayangin deh..kerenpasti nikah di tanggal itu, kamu gak pengen? Mana tanggalnya hari libur, pasti banyak yang dateng Kapan aku ngebayanginnya kalo Mas ngomong terus ? Bayangin..orangtuamu pasti bang-- MEDIAKEUANGAN 46 P erekonomian global di awal tahun 2020 sedikit mendapat sentimen positif yang ditandai dengan adanya perjanjian damai dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling memehuni kontrak dagang pada periode pertama ini. Berdekatan dengan berita tersebut, perekonomian dunia kembali diterpa ketidakpastian yang datangnya dari isu geopolitik antara Amerika Serikat dan Irak. Isu ini lebih mengarah pada harga komoditas minyak yang dikhawatirkan akan terus mengalami kenaikan karena potensi perang antara kedua negara yang dapat mengganggu suplai minyak dunia. Tidak berhenti disitu, headline berita di seluruh dunia dipenuhi pemberitaan kasus virus Corona yang menimpa Tiongkok yang semakin parah di sekitar bulan Januari 2020 dan masih berlangsung hingga hari ini. Pada Maret 2020, virus Corona ditetapkan sebagai pandemi dimana berdasarkan pengertian WHO dikaitkan dengan sebuah virus baru yang dengan cepat menyebar ke beberapa benua. Faktanya, kebanyakan orang tidak kebal terhadap virus ini sehingga pandemi ini menyebabkan aktifivitas masyarakat terganggu dan menimbulkan korban jiwa secara terus menerus. Pandemi terakhir terjadi di 2009 yang dikenal dengan Swine Flu dengan total korban jiwa sebesar 575.000. Analisis dari beberapa lembaga riset memproyeksikan bahwa ekonomi di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang akan mengalami resesi. Seharusnya dapat dipahami secara mendasar, ketika ekonomi dunia atau suatu negara sudah mencapai kapasitas ekspansi maksimum, hal ini pasti akan diikuti dengan fenomena perlambatan ekonomi yang berujung pada resesi. Pandemik ini tentunya dapat menjadi pemicu terjadinya gejolak di dunia maupun Indonesia karena berpotensi menciptakan economic shocks . Lalu bagaimana dengan Indonesia yang sudah mengeluarkan berita resmi terkait kasus positif virus Corona dan jumlah korban jiwanya? Apa yang dapat kita lakukan di kondisi seperti ini?. Tentunya dengan level ketidakpastian yang semakin tinggi, dana darurat menjadi hal yang paling utama dan mendasar untuk dipersiapkan. Investasi dalam bentuk surat utang negara menjadi pilihan yang lebih aman ketika kondisi ini. Namun, investasi di aset portofolio seperti saham juga dapat menjadi peluang yang sangat baik karena banyak saham-saham berfundamental baik sudah mengalami koreksi harga yang cukup dalam. Lakukan evaluasi kembali terkait komposisi aset dan arus kas Anda. Bagi kelas menengah, Anda dapat membantu mengangkat perekonomian Indonesia melalui aktifivitas konsumsi. Konsumsi Anda sangat membantu pergerakan ekonomi di sektor UMKM dan keberlangsungannya. Kalangan konglomerat dapat saling berkompromi untuk berinvestasi dan menciptakan lapangan pekerjaan dimana banyak sekali peluang yang dapat dimanfaatkan untuk tetap memberikan manfaat guna menjaga kelangsungan perekonomian Indonesia. Mari kita wujudkan hidup sehat dari sisi jasmani dan sehat secara finansial di tengah pandemik virus Corona ini.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 7 lainnya
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu | Foto Dok. Media Keuangan JALAN BAGI PEMULIHAN NEGERI P antang menyerah menghadapi kesamaran situasi imbas pandemi, pemerintah memanfaatkan bencana nonalam ini sebagai momentum untuk membenahi diri dan mengakselerasi pembangunan di segala lini, demi kebaikan negeri. Semangat itu pun menggelora dalam RAPBN 2021. Simak petikan wawancara Media Keuangan dengan Direktur Jenderal Anggaran, Askolani, mengenai seluk beluk RAPBN 2021. Apa yang menjadi fokus pemerintah dalam mendesain RAPBN 2021? Dalam menyusun RAPBN 2021, tentunya pemerintah berbasis kepada kondisi dan langkah kebijakan di 2020 ini. Penanganan masalah kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi menjadi satu paket kebijakan yang harus didesain secara komprehensif dan sinergis. Upaya preventif di bidang kesehatan adalah kunci penting. Next step nya untuk kita maju adalah bagaimana kembali memulihkan ekonomi itu secara bertahap di tahun 2021. Langkah kita di Q2, Q3, dan Q4 ini sangat menentukan pijakan ke depan. Tantangan kita bagaimana supaya langkah-langkah pemulihan ekonomi, konsolidasi, dan upaya mendorong belanja pemerintah, bisa menstimulus pertumbuhan ekonomi di Q3 menjadi lebih positif. Bagaimana upaya pemerintah untuk mengejar penyerapan di Q3 dan Q4? Implementasi kombinasi adjustment pola belanja, baik melalui kebijakan realokasi dan refocusing belanja K/L dan pemda maupun tambahan belanja untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang harus dilakukan oleh semua stakeholder terkait, sangat menentukan capaian di Q2, Q3, dan Q4. Sampai dengan awal Q3 di bulan Juli, sebagian besar sudah cukup signifikan implementasinya. Tantangan kita adalah percepatan alokasi dan implementasi sisa anggaran PEN. Langkah percepatan antara lain dilakukan melalui koordinasi yang lebih intens dengan K/L dan Komite PEN untuk mendesain kebijakan implementatif PEN yang akan dilakukan ke depan. Presiden juga turut serta me review PEN bersama dengan para menteri di sidang kabinet. Presiden secara tegas mengingatkan para menterinya untuk turun langsung, membedah DIPA-nya masing masing untuk me review reformasi desain anggaran, lalu kita juga mengajak Bappenas untuk mendesain program anggaran tersebut. Jadi, format alokasi belanja K/L di tahun 2021 nanti akan meng adopt desain anggaran yang baru yang programnya lebih simpel, lebih eye catching, dan lebih mudah diterapkan. Ini kita koneksikan juga dengan target prioritas pembangunan sesuai arahan Presiden dan rencana kerja pemerintah. Penguatan reformasi lainnya yang akan pemerintah lakukan? Pandemi ini memberi banyak lesson learn pada kita, yang menjadi masukan untuk perbaikan reformasi di berbagai bidang. Contohnya, manajemen di bidang kesehatan harus bisa lebih proaktif dan antisipatif terhadap model bencana nonalam ini. Di bidang perlindungan sosial dan dukungan UMKM, perbaikan pendataan masyarakat menengah ke bawah menjadi kunci. Pemerintah juga sedang memikirkan bagaimana mensinergikan antara kebijakan subsidi dengan kebijakan perlindungan sosial yang kemudian semua di support dengan satu data yang solid dan valid. Lalu ada juga reformasi perpajakan, baik dari segi regulasi, kebijakan, dan administrasinya. Nah, on top dari semua itu, pemerintah tentunya juga akan menyiapkan reformasi mengenai penanganan bencana. Seperti apa prioritas belanja pemerintah dalam RAPBN 2021? Pemerintah tetap memprioritaskan kesehatan, perlindungan sosial, dan pendidikan. Penanganan kesehatan lanjutan diarahkan lebih sustainable seperti upaya preventif melalui penyediaan vaksin apabila nanti sudah ditemukan, dan reformasi di bidang kesehatan. Program perlindungan sosial juga tetap berjalan misalnya dalam bentuk PKH, kartu sembako, bantuan tunai, plus kartu prakerja dan program subsidi. Di sektor pendidikan, pemerintah memperkuat mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, even program beasiswa untuk S2, S3 tetap akan dilanjutkan di tahun depan. Nah, setelah tiga bidang tadi, pemerintah juga langsung satu paket mendukung untuk pemulihan ekonomi. Pertama, melalui penyiapan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang menjangkau sampai ke daerah 3T guna membangun manusia Indonesia yang lebih produktif dan kompetitif. Teknologi ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, pendidikan, serta ekonomi masyarakat, terlebih dalam kondisi kita tidak bisa bertemu fisik. Perluasan pembangunan ICT ini sudah dirancang sampai jangka menengah. Selanjutnya pembangunan infrastruktur dan ketahanan pangan. Keduanya tidak dapat dipisahkan sebab pangan ini harus didukung misalnya dengan irigasi yang cukup dan bendungan yang baik. Yang menjadi prioritas juga adalah pemulihan pariwisata karena ini salah satu andalan utama kita. Dukungan pariwisata dilakukan oleh banyak K/L dan pemda, bukan hanya Kemenpar. Kemudian yang terakhir yang kita prioritaskan juga adalah dukungan bagi dunia usaha dan UMKM, baik melalui insentif fiskal maupun skema subsidi. Apakah nantinya alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) juga akan mendukung belanja prioritas ini? Ya, kita juga mereformasi alokasi TKDD. Kebijakan belanja yang di pusat tadi kemudian di connecting kan dengan kebijakan alokasi TKDD. Dana desa misalnya diarahkan khususnya untuk perlindungan sosial dan mendukung ICT di desa. Reformasi kesehatan dan pendidikan juga dikaitkan dengan kebijakan alokasi TKDD. Jadi ini kita melihatnya sebagai satu paket. Bagaimana prioritas dari sisi pembiayaan? Dari sisi pembiayaan juga kita akan terus dukung untuk peningkatan kualitas SDM melalui pembiayaan dana abadi, baik itu untuk LPDP, beasiswa, maupun untuk universitas termasuk untuk kebudayaan. Di pembiayaan ini kita juga akan support BUMN untuk bisa mendukung penugasan pemerintah termasuk melanjutkan pemulihan ekonomi di tahun 2021. Apa implikasi dari defisit 5,5 persen di RAPBN 2021? Dengan 5,5 persen intinya adalah secara fiskal pemerintah tetap ekspansif untuk mendukung penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi. Ini pijakan kita untuk bisa menjadikan Indonesia maju dan keluar dari middle income trap . Visi kita di 2045 Indonesia masuk lima besar negara di dunia. Penurunan defisit ini juga sejalan dengan UU 2/2020 bahwa secara bertahap defisit APBN itu akan dikembalikan menjadi dibawah 3 persen di tahun 2023. Apa yang membuat pemerintah optimis mematok pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen di 2021? Tentunya efektivitas kebijakan PEN di 2020 ini menjadi pijakan ke depan ya. Kemudian dengan langkah fiskal ekspansif sebagaimana dalam RAPBN 2021, plus prediksi sejumlah lembaga internasional mengenai pemulihan ekonomi dunia di 2021, kita mendesain ekonomi kita tumbuh 4,5-5,5 persen di 2021. bagaimana mempercepat belanja sesuai alokasi anggaran mereka di APBN 2020, maupun mengoptimalkan belanja anggaran program PEN yang harus dijalankan stakeholder terkait. Adakah upaya penyempurnaan sistem penganggaran ke depan? Ada. Pertama, kita memperpendek mekanisme proses review atas usulan anggaran K/L sehingga dapat mempersingkat waktu penetapan DIPA-nya. Kedua, kita mensimplifikasi proses verifikasi kelengkapan dokumen. Jadi, kami akan meminta K/L untuk mendahulukan melengkapi dokumen yang memiliki skala prioritas tinggi. Ketiga, kami akan proaktif meminta dan mengomunikasikan kepada K/L untuk melakukan akselerasi dalam melengkapi dokumen usulan anggaran. Kita akan tuangkan ini dalam peraturan Menteri Keuangan dan SOP agar sistem ini menjadi landasan yang lebih sustainable . Kita juga akan terus melakukan evaluasi dan apabila ada modifikasi untuk lebih mempercepat mekanisme yang ada, akan kami lakukan. Bagaimana dengan reformasi bidang anggaran di 2021? Kemenkeu menyiapkan
Pandemi COVID-19 masih belum terhenti dan terus menjadi tantangan ketahanan ekonomi. Hingga saat ini kondisi dan situasi terkait pandemi masih tidak bisa diprediksi. Untuk itu, berbagai strategi kebijakan dikeluarkan sebagai penyeimbang ekonomi yang guncang. Namun demikian, hasil dari usaha selama ini amat tergantung dari pergerakan musuh tak kasat mata yang sedang kita lawan. EKONOMI DAN PANDEMI 9 MEDIAKEUANGAN 8 VOL. XV / NO. 156 / SEPTEMBER 2020 Laporan Utama MEDIAKEUANGAN 8 Melalui kebijakan yang tepat, ada peluang untuk bergerak dengan aman menuju New Normal. Foto Anas Nur Huda
Opini Teks Rahma Aziza Fitriana, pegawai Balai Diklat Keuangan Denpasar *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Kebijakan New Normal yang Dipilih Pemerintah MENGATASI KESALAHPAHAMAN K ebijakan new normal yang dipilih pemerintah menuai pro kontra. Banyak pihak beranggapan bahwa kebijakan ini diambil terlalu dini mengingat jumlah kasus penderita virus COVID-19 di Indonesia belum menunjukkan penurunan. Masyarakat beranggapan bahwa kebijakan new normal tidak berpihak pada keselamatan masyarakat. Lantas, benarkah hal tersebut? Dalam penulisan opini ini, penulis membagikan kuisioner sebagai penilitan awal kepada 40 responden. Responden tersebut merupakan WNI yang tersebar di berbagai daerah. Sebanyak 57,5% responden berusia 18-25 tahun dan sisanya diatas 25 tahun. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 77,5% responden beranggapan kebijakan new normal yang dilakukan pemerintah lebih berpihak pada aspek ekonomi ketimbang keselamatan jiwa. Hasil ini sesuai dengan isu yang beredar di masyarakat bahwasanya pemerintah lebih mementingkan sisi ekonomi yang mengalami krisis akibat pandemi ketimbang keselamatan masyarakat. Proyeksi pertumbuhan ekonomi sebelum COVID-19 berada di angka 5,3%. Akan tetapi, setelah terjadi pandemi, proyeksi itu ada di angka 2,3% untuk skenario berat dan -0,4% untuk skenario sangat berat. Pertumbuhan ekonomi yang turun drastis menjadi penyebab pemutusan hubungan kerja besar-besaran dan meningkatnya jumlah pengangguran. Akibatnya, jumlah masyarakat miskin semakin bertambah. Potensi dampak sosial yang terjadi akibat COVID-19 menunjukkan angka yang fantastis. Diperkirakan jumlah kemiskinan akan bertambah sebesar 1,89 juta orang pada skenario berat dan 4,86 juta orang pada skenario sangat berat. Jumlah penganguran pun akan naik sebesar 2,92 juta orang pada skenario berat dan 5,23 juta orang pada skenario sangat berat. Pemerintah selaku pembuat kebijakan melakukan langkah extraordinary untuk menangani pandemi ini. Dana sebesar Rp 695,2 triliun yang dilokasikan untuk mengatasi COVID-19 adalah bukti keseriusan pemerintah. Dana tersebut didistribusikan melalui kebijakan kesehatan, social safety net, dukungan industri, dan Program Pemulihan Ekonomi (PEN). Kita telah melihat berbagai upaya pemerintah untuk mengatasi pandemi ini baik dari segi kesehatan maupun dari segi perekonomian. Akan tetapi, apakah data-data terkait proyeksi pertumbuhan ekonomi, kenaikan jumlah pengangguran dan kemiskinan, serta dana yang dikeluarkan pemerintah untuk berbagai aspek sampai ke masyarakat? Sebanyak 62,5% responden tidak mengetahui jumlah kenaikan angka pengangguran dan kemiskinan yang terjadi akibat COVID-19. Artinya, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui berapa angka pasti kenaikan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui berapa jumlah orang miskin baru yang timbul akibat pandemi ini. Hal tersebut mendorong terjadinya penyepelean masalah ekonomi dalam benak masyarakat. Sebanyak 72,5% responden tidak mengetahui nominal yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi pandemi COVID-19. Ketidaktahuan masyarakat mendorong terjadinya asumsi bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani masalah ini. Padahal, jika kita cermati data-data di atas, pemerintah telah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit untuk berbagai aspek. Timbul pertanyaan, mengapa data-data di atas tidak sampai ke masyarakat? Apakah pemerintah tidak mensosialisasikan kebijakan- kebijakan yang dilakukan selama pandemi? Sebanyak 80% responden beranggapan bahwa pemerintah tidak memberikan informasi yang jelas terkait kebijakan-kebijakan yang dilakukan selama pandemi. Padahal, apabila kita cermati bersama, pemerintah telah menginformasikan kebijakan-kebijakan yang dilakukan melalui berbagai media, utamanya media sosial instagram. Melalui akun media sosial @ kemenkeuri, pemerintah telah membuka data-data di atas. Mulai dari proyeksi pertumbuhan ekonomi, jumlah kenaikan pengangguran dan kemiskinan, belanja dan pendapatan negara, sampai program-program yang pemerintah canangkan untuk mengatasi pandemi ini. Kebijakan new normal yang dipilih pemerintah pun tidak serta merta membebaskan kegiatan masyarakat secara keseluruhan. Ada tahapan atau fase-fase yang disesuaikan dengan tingkat kesiapan dalam mematuhi syarat yang dikedepankan. Evaluasi terhadap pelaksanaan new normal pada setiap fase juga dilakukan. Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah mengutamakan aspek keselamatan jiwa dan aspek ekonomi secara berdampingan. Tidak bisa dipungkiri, ada pelonjakan jumlah kasus COVID-19 saat pemerintah melakukan kebijakan new normal di sebagian daerah. Hal ini menjadi masukan bagi pemerintah agar secara aktif melibatkan masyarakat untuk mengutamakan aspek keselamatan jiwa dan ekonomi secara berdampingan. Pemerintah diharapkan tidak bosan memberikan informasi keadaan real yang terjadi agar masyarakat teredukasi dengan baik. Demikian halnya masyarakat diharapkan dapat berinisiatif mencari data dan fakta yang telah dibuka oleh pemerintah guna mengetahui keadaan real yang tengah dihadapi negara ini. Masyarakat juga diharapkan dapat menyaring informasi dengan baik sehingga mampu mengambil kesimpulan secara bijak. Ilustrasi A. Wirananda
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 5 lainnya
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu ‘WHATEVER IT TAKES’ P ola permintaan ( demand ) dan penawaran ( supply ) di seluruh dunia berubah akibat COVID-19 yang secara alamiah membentuk kebiasaan baru dalam perekonomian. Menyikapi kondisi ini pemerintah telah menyusun beragam program yang menyasar pemulihan ekonomi, baik di sisi demand maupun supply . Pemerintah pun telah merevisi APBN 2020 untuk mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam revisi baru, pemerintah memperluas defisit anggaran menjadi 6,34 persen dari PDB. Simak petikan wawancara Media Keuangan dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, mengenai upaya pemulihan ekonomi nasional. Apa tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)? Program PEN ini ditujukan untuk membantu meningkatkan daya beli masyarakat serta memulihkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Kita mulai dari rumah tangga masyarakat yang paling rentan, lalu ke sektor usaha, lagi-lagi kita lihat yang paling rentan yaitu UMi dan UMKM. Lalu dengan logika yang sama kita menciptakan kredit modal kerja untuk korporasi. Kita juga akan berikan special tretament untuk sektor pariwisata, perdagangan, dan pabrik-pabrik padat Salah satu yang juga sedang didorong dan cukup efektif adalah bentuk penjaminan kredit modal kerja dan dipasangkan dengan penempatan dana murah di perbankan. Nah, ini sudah jalan tiga minggu, pemerintah menempatkan Rp30 triliun di Bank Himbara lalu didorong dengan penjaminan itu kemudian sekarang sudah tercipta lebih dari Rp20 triliun kredit modal kerja baru. Untuk insentif perpajakan masih belum optimal karena wajib pajak yang berhak untuk memanfaatkan insentif tidak mengajukan permohonan dan perlunya sosialisasi yang lebih masif dengan melibatkan stakeholders terkait. Merespon hal ini, kita melakukan simplifikasi prosedur agar lebih mudah dijalankan oleh calon beneficiary. Upaya apa yang dilakukan untuk perbaikan program PEN? Setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan dalam rangka program PEN, termasuk monitoring dan evaluasi yang kita lakukan setiap minggu akan mengikuti kondisi perekonomian saat ini. Semua program kita evaluasi, mana yang jalan dan mana yang kurang. Yang kurang efektif siap-siap untuk dicarikan cara yang lebih cepat atau diganti programnya dan sebagainya supaya bisa diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sampai kapan program PEN dilangsungkan? Pemerintah akan meneruskan kebijakan yang bersifat preventif dan adaptif dengan perkembangan kasus dan dampak dari COVID -19. Meski tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai terlihat namun pemulihan pasti terjadi perlahan-lahan. Karena selama belum ditemukan obat atau vaksin yang efektif tentunya kita masih dihadapkan dengan risiko inheren. Nah, risiko ini yang terus kita asess . Yang pasti, tujuan pemerintah adalah terus membantu masyarakat yang terdampak COVID-19. Bagaimana mitigasi risiko dalam upaya pemulihan ekonomi? Saat ini kita dalam suasana krisis dan kita ingin mendorong perekonomian agar pulih sesegera mungkin. Risiko ekonomi yang lebih besar adalah resesi. Untuk itu jangan sampai kita gagal menstimulasi ekonomi, padahal kita memang sudah ada budget nya. Itu yang menjadi tantangan dan menjadi cambuk bagi kita pemerintah setiap hari, supaya kita bisa lebih efektif. Pemerintah melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mendorong pemulihan aktivitas ekonomi. Kita tidak mau resesi, kita tidak mau jumlah pengangguran dan orang miskin bertambah. Pemerintah siap memberikan support supaya momentum pemulihan ini semakin besar meskipun risikonya juga masih ada. Yang terpenting tata kelolanya baik dan risiko dihitung dengan baik. Semuanya di well measured, kita tahu risikonya, kita bandingkan dengan risiko yang lebih besar, kita pilih kebijakan yang me minimize dampak yang paling berat bagi perekonomian dan masyarakat kita secara keseluruhan. Penambahan anggaran PEN menjadi Rp695,2 triliun diikuti dengan pelebaran defisit 6,34 persen saat ini. Bagaimana posisi fiskal dalam kondisi tersebut? Kita punya ruang untuk bergerak secara fiskal karena selama ini kita melakukan kebijakan makro yang hati-hati dan prudent. Karena kita sudah melakukan disiplin fiskal yang cukup ketat selama bertahun-tahun, sehingga rasio utang kita rendah maka itu membuat kita punya ruang untuk melakukan pelebaran defisit sampai tiga tahun. Negara lain tidak banyak yang punya privilege itu, bahkan tahun ini banyak yang defisitnya double digit. Saat ini defisit kita 6,34 persen, tahun depan kita akan turun ke sekitar 4,7 persen, tahun depannya lagi akan turun ke tiga koma sekian. Tahun 2023 kita tetap commited untuk balik ke disiplin fiskal sebelumnya di bawah 3 persen. Apa prinsip utama dalam mengambil kebijakan fiskal di tengah ketidakpastian waktu berakhirnya krisis pandemi ini? “Whatever it takes ”(apapun yang diperlukan), itu sudah pasti menjadi prinsip utama, tapi dalam konteks kita mau melindungi masyarakat sebanyak-banyaknya. Kita berupaya agar pengangguran dan kemiskinan tidak bertambah banyak. Bagaimana memberikan kebijakan yang benar- benar bisa berdampak kepada masyarakat, itu fokus kita. Prinsip lainnya tepat sasaran, akseleratif, gotong royong, seperti kebijakan burden sharing yang pemerintah lakukan dengan BI. Dan yang harus selalu diingat adalah untuk menghindari moral hazard . Pemerintah juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK) untuk memastikan proses pembuatan kebijakan, serta pengawalan dalam implementasi program PEN ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Bagaimana pendapat Bapak terhadap pembentukan Komite Penanganan COVID-19 dan PEN? Saya pikir itu sangat bagus untuk koordinasi. PEN ini kan melibatkan banyak K/L misalnya untuk Kesehatan, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) nya Kementerian Kesehatan, subsidi bunga untuk KUR dan non-KUR ada di Kementerian Koperasi, penjaminan KPA-nya Kementerian BUMN, dsb. Di samping itu, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi ini harus dilihat sebagai satu big picture . Harus ada pertimbangan yang serius dan seimbang antara risiko kesehatan dengan risiko resesi ekonomi. Semua ini kan perlu diorkestrasi dengan baik. Tugas koordinator untuk bisa membuat ini lebih terintegrasi. Apa harapan Bapak terhadap masyarakat maupun pemerintah dalam kaitannya dengan kebijakan PEN? Saya pikir ini memang tanggung jawab dari kita semua karena ekonomi ini sebenarnya hanya satu aspek dari kehidupan bangsa ini. Kehidupan di balik angka-angka itu lebih penting. Kalau aktivitas ekonominya jalan tapi kita tidak disiplin mengikuti protokol kesehatan ya risikonya terlalu besar. Intinya ini benar-benar memang harus kombinasi dari disiplin masyarakat dan kebijakan yang benar dan efektif. Keduanya harus jalan bersama dengan seimbang. karya yang kita asess terdampak sangat dalam dan cukup lama. Jadi semua ini bertahap kita asess secara well measure . Pelan-pelan kita mulai dorong aktivitas perekonomian. Dengan adanya program PEN diharapkan kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat krisis pandemi dan pembatasan aktivitas tidak terlalu dalam. Bagaimana efektivitas program PEN sejauh ini? Sejauh ini di sisi rumah tangga yakni perlindungan sosial relatif paling efektif. Namun di sisi lain memang masih cukup menantang. Untuk kesehatan, penyerapannya masih rendah karena kendala pada pelaksanaan di lapangan seperti keterlambatan klaim biaya perawatan dan insentif tenaga kesehatan karena kendala administrasi dan verifikasi yang rigid . Tapi bulan Juli ini sudah dipercepat dengan adanya revisi KepMenkes. Selanjutnya, dukungan untuk UMKM sudah mulai berjalan, khususnya subsidi bunga untuk KUR. Ini memang cukup menantang karena melibatkan puluhan bank dan lembaga keuangan yang kapasitas teknologi pengolahan datanya tidak sama. Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Foto Dok. BKF
MEDIAKEUANGAN 18 Laporan Utama PEMULIHAN DALAM TIAP LINI KEHIDUPAN Teks Dimach Putra Tiap pagi Mujilah mengayuh sepedanya membelah kota Yogyakarta. Nenek berusia 66 tahun ini sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci dan setrika rumah tangga. Ada dan tiada wabah baginya sama saja. Yang penting tiap hari ia bisa menerima upah demi menyambung hidupnya. S uatu pagi di Bulan Mei Mbah Jilah, begitu ia akrab dipanggil, bagai mendapat durian runtuh. Pak pos datang alih-alih membawakannya surat, malah memberi amplop berisi uang. Segepok uang sebanyak Rp1,8 juta itu merupakan Bantuan Sosial Tunai (BST). Para penerima BST menerima Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan. Rupanya pihak RT/RW-lah yang memasukkan Mbah Jilah sebagai salah satu calon penerima bantuan. “Awalnya kaget, wong saya ndak tau apa-apa langsung dapat uang,” tutur Mbah Jilah. BST merupakan salah satu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah melalui Kementerian Sosial dalam melindungi rakyatnya dari dampak ekonomi yang ditimbulkan pandemi COVID-19. Selain BST, ada juga Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan pemberian paket sembako dan banyak jenis bantuan lainnya yang penyalurannya diserahkan Kementerian/Lembaga yang telah ditunjuk. Fungsi bantuan-bantuan ini bisa diibaratkan sebagai jaring pengaman bagi masyarakat rentan seperti Mbah Jilah. Supaya berkeadilan, pihak RT/ RW sebagai pihak pendata awal harus jujur dan selektif. Para calon penerima bantuan adalah meraka yang belum pernah mendapat bantuan program lain agar tidak tumpang tindih. Tujuan dari pemberian program bantuan ini adalah guna menjaga daya beli masyarakat di masa pandemi. Namun bagi Mujilah, uang sebanyak itu tak mungkin langsung ia habiskan. Sebagian ia tabung untuk berjaga, kalau-kalau wabah ini tak kunjung cepat pergi dan kondisinya bakal semakin membuatnya terancam kehilangan mata pencahariannya. Agar perekonomian tetap bergerak Sebagai penggerak roda ekonomi di tingkat bawah, para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) layak menjadi penerima manfaat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah telah menyiapkan skema subsidi bunga dan keringanan pembayaran pokok pinjaman sebesar total Rp35,28 triliun untuk 60,66 juta rekening pelaku UMKM agar bertahan di tengah pandemi. Kementerian Keuangan telah mengeluarkan produk kebijakan terkait pemberian subsidi bunga/subsidi margin bagi pelaku UMKM dalam mendukung pelaksanaan program PEN. Yang terbaru Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 untuk merevisi PMK 65/PMK.05/2020 agar fasilitas subsidi bunga dari pemerintah lebih mudah lagi untuk diakses para pelaku UMKM. Mereka tak perlu lagi melakukan registrasi untuk mendapat subsidi bunga. Beragam kemudahan bagi para pelaku UMKM ini kian digalakkan. Pelaku UMKM telah banyak yang berhasil mendapat bantuan pemerintah. Namun ruang untuk perbaikan masih sangat diperlukan. Hermawati Setyorini, Ketua Asosiasi UMKM AKU MANDIRI menyayangkan kurang masifnya sosialisasi tentang kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Ia mengaku mengetahui informasi tersebut dari berita di televisi. Baru setelah berhasil mencoba sendiri, ia membagikan pengalamannya ke seluruh anggotanya di penjuru Indonesia. ” Mbok yha kami para asosiasi UMKM ini digandeng dalam sosialisasi. Tolong jelaskan kepada kami dengan bahasa sederhana hingga paham. Nanti kami bisa bantu sebarkan lebih luas lagi lewat jejaring yang kami punya,” tawar Hermawati. Suntikan bagi sang pahlawan Tak hanya peduli pada golongan masyarakat ekonomi lemah saja, Pemerintah juga menunjukkan perhatiannya bagi para tenaga kesehatan (nakes). Para pejuang di garda terdepan ini telah bertaruh nyawa sejak kasus pertama COVID-19 muncul di tanah air. Melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pemerintah telah mengatur syarat, besaran insentif, dan mekanisme penyalurannya bagi para tenaga kesehatan yang langsung menangani COVID-19. “Iya kami semua telah didaftarkan oleh RS ke Kemenkes untuk mendapat insentif itu sejak April lalu, tapi belum ada realisasi apapun,” ungkap dr. Tulus Sp.PD, Koordinator Tim Penanganan COVID-19 RS. Al Islam Bandung. Proses verifikasi dan perhitungan yang lambat menjadi alasan yang dilontarkan tiap kali Tulus menanyakan progres penyaluran insentif bagi sejawat nakes yang ia koordinir. “Sebenarnya kami tidak terlalu berharap sejak awal muncul wacana ini. Tapi jika memang benar-benar dapat ya rezeki namanya,” ucapnya. Tulus sadar bahwa ada berlapis birokrasi yang harus dipenetrasi hingga sampai akhirnya insentif tersebut turun ke para nakes. Ia pun sadar akan hierarki rujukan pasien ke rumah sakit. Setidaknya kabar bahwa nakes di rumah sakit rujukan utama sudah mulai menerima hak mereka cukup menyejukkan baginya. Bagaimanapun Tulus dan sejawatnya sadar bahwa tanggung jawab utamanya adalah menyelamatkan nyawa para pasien. Pemerintah tak begitu saja membuang badan melihat para nakes yang legowo meski belum menerima haknya. Presiden Joko Widodo pada Sidang Kabinet Paripurna Juni 2020 tampak meluapkan kekecewaannya karena penyerapan dana kesehatan baru sebesar 1,53 persen dari 75 triliun yang telah dianggarkan. Sejak kejadian itu, Kemenkes telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Hk.01.07/ Menkes392/2020 yang merevisi keputusan sebelumnya. Saat ini insentif bagi nakes sudah bisa diminta langsung dari Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) apabila telah diverifikasi oleh Dinas Kesehatan. Kebijakan tersebut diharapkan mampu mempercepat penyaluran insentif bagi nakes yang berhak seperti dr. Tulus dan para sejawatnya. Sebagai penggerak roda ekonomi di tingkat bawah, para pelaku UMKM layak menjadi penerima manfaat program PEN. Foto Resha Aditya P
17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 155 / AGUSTUS 2020 Pandemi COVID-19 memberikan efek domino pada aspek kesehatan, sosial, ekonomi, dan keuangan. Pandemi ini telah merubah arah perekonomian secara drastis di tahun 2020 dan memberi ancaman pada perekonomian dari sisi konsumsi dan sisi dunia usaha. Oleh karenanya, pemerintah berusaha mengatasinya melaui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diarahkan pada perbaikan sisi demand dan supply. PP nomor 23 Tahun 2020 Perpres 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020 Perpres 72/2020 tentang Perubahan atas PP nomor 54 tahun 2020 Tujuan Program Pemulihan Ekonomi (PEN) berdasarkan PP No. 23/2020 Tujuannya untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi Landasan Hukum Tujuan Biaya pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN (di luar biaya kesehatan penanganan Covid-19) Perlindungan Sosial Insentif Perumahan Bagi MBR Subsidi Bunga Penempatan dana untuk restru UMKM dan padat karya UMKM Penjaminan PMN Talangan (investasi) untuk modal kerja Insentif perpajakan Dukungan Pemda Pariwisata Program padat karya K/L Pembiayaan investasi kepada koperasi Cadangan perluasan 203, 9 T 1,3 T 35,28 T 82,2 T 12 T 15,5 T 19,65 T 123,01 T 14,7 T 3,8 T 18,44 T 1 T 58,87 T P E M U L I H A N E K O N O M I N A S I O N A L ( P E N ) PEN dilakukan pemerintah melalui penyertaan modal negara (PMN) investasi pemerintah penjaminan belanja negara penempatan dana Infografik MEDIAKEUANGAN 16 17 VOL. XV / NO. 154 / JULI 2020
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 3 lainnya
Kesehatan masyarakat dan kesehatan ekonomi bagaikan dua sisi mata uang. Kesehatan masyarakat berperan vital dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Itulah sebabnya, kesehatan masyarakat menjadi elemen utama dalam indeks pembangunan manusia. Sebuah negara yang memiliki perkembangan ekonomi yang baik sudah barang tentu memiliki sumber daya manusia yang sehat dan produktif. KESEHATAN PRIORITAS UTAMA 9 MEDIAKEUANGAN 8 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Laporan Utama MEDIAKEUANGAN 8 P andemi COVID-19 menjadi momentum pengingat bahwa kesehatan masyarakat dan kesehatan ekonomi seperti mata rantai yang saling berpaut pada sebuah gir yang menggerakkan roda kehidupan. Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi ini layaknya bungee jumping yang telah membawa ekonomi terjun bebas. Beberapa negara yang memiliki angka kasus COVID-19 yang tinggi, perekonomiannya pun ikut terperosok. Dua Sisi Saling Mempengaruhi Dalam situasi ini, pemerintah seolah dihadapkan pada situasi untuk memilih mana yang ingin diselamatkan, apakah kesehatan masyarakat atau kesehatan ekonomi? Namun sejatinya, keduanya adalah prioritas. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan dan sejumlah anggaran yang dialokasikan. Keduanya menunjukkan semangat pemerintah meniadakan dikotomi antara kesehatan masyarakat ataupun kesehatan ekonomi. “Sebagai pemerintah, terutama di Kemenkeu, kita memastikan anggaran untuk kesehatan masyarakat tersedia dan meminimalisir penyebaran melalui berbagai kebijakan. Hal ini disebabkan penyebaran dan lamanya ini sangat mempengaruhi pemulihan ekonomi. Sekilas memang terlihat ada trade off antara ekonomi dan kesehatan. Namun, sebenarnya dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah jelas terlihat bahwa Pandemi COVID-19 menjadi momentum pengingat bahwa kesehatan masyarakat dan kesehatan ekonomi seperti mata rantai yang saling berpaut pada sebuah gir yang menggerakkan roda kehidupan Foto Ginanjar Rah Widodo
17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Pandemi global Covid-19 yang juga melanda Indonesia tidak saja menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga membawa implikasi bagi perekonomian nasional. Langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat dan upaya penyebaran pandemi, sekaligus penyelematan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan telah dilakukan Pemerintah. Seberapa besar dampak pandemi COVID -19 terhadap ekonomi dan apa yang telah dilakukan pemerintah? KESEHATAN MASYARAKAT SEBAGAI P i l a r E k o n o m i N a s i o n a l India 1,9% tiongkok 1,2% 1,2% indonesia 0,5% 2,5% korea selatan -1,2% 0,8% singapura -3,5% 10,9% Malaysia 10% australia 10,9% amerika serikat -6,1% 10,5% brazil -5,3% kanada 6,0% inggris -6,5% jerman -7% spanyol -8% 0,7% arab saudi 2,7% italia 1,4% perancis 2% Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Akibat COVID -19 (Beberapa Negara) Dukungan Fiskal Negara-Negara di Dunia untuk Penanganan Covid-19 (Beberapa Negara) keterangan Kebijakan Stimulus RI dalam menangani dampak pandemi Covid-19 Stimulus 1: Belanja untuk memperkuat perekonomian domestik melalui program: Percepatan pencairan belanja modal Percepatan pencairan belanja Bantuan Sosial Transfer ke daerah dan dana desa Perluasan kartu sembako Insentif sektor pariwisata Stimulus 2: Menjaga Daya Beli Masyarakat dan Kemudahan ekspor impor PPh pasal 21 pekerja sektor industri pengolahan yang penghasilan maks Rp200 juta ditanggung pemerintah 100% PPh pasal 22 impor 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30% kepada 19 sektor tertentu Restitusi PPN dipercepat bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Non fiskal: berbagai fasilitas keluar masuk barang supaya lebih mudah Stimulus lanjutan: Sektor Kesehatan: intervensi untuk penanganan COVID-19 dan subsidi iuran BPJS Tambahan Jaring Pengaman Sosial: penambahan penyaluran PKH, Bansos, Kartu Pra Kerja, subsisid tarif listrik, program jaring pengaman sosial lainnya Dukungan industri berupa perluasan insentif pajak untuk PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, bea masuk DTP, stimulus KUR Dukungan untuk dunia usaha berupa pembiayaan untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional termasuk untuk Ultra Mikro 4 pokok kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam rangka pencegahan/penanganan pencegahan/penanganan Covid-19: Penyesuaian Alokasi TKDD Refocusing TKDD agar digunakan untuk penanganan COVID-19 Relaksasi penyaluran TKDD Refocusing belanja APBD agar fokus pada penanganan COVID-19 Infografik MEDIAKEUANGAN 16 17 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020
yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” tutur Masyita Crystallin, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi. Masyita menambahkan latar belakang dikeluarkannya Perppu Nomor 1/2020 adalah untuk memperkuat APBN. “Krisis saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang pernah dialami di tahun 1930, 1997 atau 2008. Di tahun- tahun tersebut, krisis dimulai dari sektor keuangan tetapi krisis sekarang langsung menyentuh sektor riil akibat keterbatasan interaksi. Untuk itu, kita berusaha membuat APBN menjadi shock absorber ,” terang Masyita. Abra Talattov, Ekonom INDEF juga berpendapat bahwa dari sisi stimulus fiskal kebijakan pemerintah saat ini sudah sejalan dengan upaya yang dilakukan negara lain. Menurutnya, penerbitan Perppu Nomor 1/2020 adalah langkah yang baik tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Jika saya lihat di dalam Perppu itu sudah lengkap instrumennya. Dari sisi anggaran itu variasinya cukup lengkap dan semua elemen masyarakat sudah tersasar mulai dari rumah tangga, industri, UMKM bahkan usaha kecil mikro. Namun, sisi efektivitas dan kecepatan ini perlu diperhatikan. Anggaran ada tetapi faktor kecepatan penyalurannya juga akan berpengaruh untuk daya beli masyarakat. Selain itu, Perpu ini memiliki risiko sebab defisit fiskal boleh lebih dari 3 persen. Perlu dijaga agar tetap dalam batas yang aman sesuai kondisi kesehatan APBN,” ujar Abra. Tangani asapnya, padamkan apinya Terkait insentif perpajakan dan bea masuk, ahli kesehatan masyarakat, Prof. Hasbullah Thabrany berpendapat bahwa kebijakan tersebut baik tetapi belum menangani akar permasalahan. “Ibarat kebakaran, ada asap dan api. Apinya itu COVID-19, panasnya adalah pelayanan kesehatan dan efek sosial ekonominya itu asap. Kebijakan insentif pajak dan bea masuk impor itu logis dan bagus tetapi baru menangani asapnya. Pembelian ventilator dan pembukaan rumah sakit itu baru menangani panasnya. Lalu apa kebijakan pemadaman apinya? Ya, PSBB”, ujar guru besar FKM UI ini. Ia menambahkan bahwa kebijakan yang diambil dari alokasi Rp405 triliun itu sifatnya lebih ke balancing . “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” jelasnya. Hal senada juga diungkap Abra. Menurutnya stimulus seperti pembebasan impor alat kesehatan baik pajak maupun bea masuk membantu tetapi dalam jangka pendek dan perlu diperhatikan target lamanya kebijakan tersebut. “Dalam satu bulan stimulus yang diberikan lumayan besar sekitar Rp170 miliar. Dikhawatirkan jika terus berlanjut maka akan menjadi disinsentif bagi industri alat kesehatan dan farmasi di dalam negeri,” tambahnya. Bukan sekedar nominal tetapi efektivitas alokasi Berbicara mengenai besaran anggaran belanja kesehatan, Masyita menuturkan bahwa saat ini kesehatan menjadi prioritas pemerintah. Namun demikian, ini bukan semata soal alokasi anggaran tetapi juga soal peningkatan kualitas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan itu sendiri. “Jadi di Kemenkeu itu evidence based policy. Kita memiliki data pengeluaran K/L harian lalu data tersebut dianalisa. Kita memperhatikan kemampuan disbursement dari K/L. Saat ini, anggaran kesehatan penanganan COVID-19 sebesar 75 triliun. Jika dilihat datanya, hingga Maret belum terlihat lonjakan pengeluaran yang signifikan. Jadi, kita menunggu data April-Mei untuk melihat apakah perlu anggaran tambahan,” jelasnya. Abra juga menjelaskan “Jika dilihat, porsi belanja kesehatan APBN 2020 sebesar 5,2 persen sudah memenuhi mandat UU Kesehatan. Namun, perlu dievaluasi efektivitasnya terutama dalam mendorong kualitas pelayanan kesehatan. Saat ini, tentu ada lonjakan kebutuhan mendadak untuk penanganan COVID-19. Ke depannya, bisa dimandatorikan sebesar 1-1,5 persen terhadap belanja sebagai biaya tak terduga untuk mitigasi risiko bencana alam dan non alam,” ungkapnya. Harapan kebijakan di masa depan Pandemi COVID-19 menjadi pembelajaran dalam pengambilan kebijakan khususnya untuk sektor kesehatan di masa depan. Momentum ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi. “Saya pikir kedepannya stimulus diarahkan untuk mendorong riset dan pengembangan serta investasi sektor farmasi. Pemerintah perlu mengarahkan dana riset di lintas K/L ini agar sinergis sehingga dapat menciptakan produk alkes dan farmasi buatan Indonesia. Ini juga jadi momentum bagi BUMN di sektor farmasi untuk menggenjot daya saing. Harapannya BUMN farmasi ini bisa mulai bersaing di pasar domestik dan jangka panjang punya potensi melakukan ekspor,” harap Abra. Hal senada juga diungkap Prof. Hasbullah, ia mengakui bahwa investasi sebuah negara di bidang kesehatan berhubungan dengan keberhasilan menangani COVID-19. Ia juga menambahkan bahwa edukasi publik yang sistematis terkait kesehatan adalah kebijakan yang belum muncul namun sangat dibutuhkan. “Kalau saya lihat kebijakan yang belum muncul dan yang secara sistematik efektif adalah mass education dalam kasus ini. Saat ini yang terjadi mass education nya pada media tetapi tidak praktikal dari pemerintah ke masyrakat. Perlu komunikasi melalui kelompok-kelompok tertentu dengan tetap menjaga jarak dengan tujuan mendorong terjadinya perubahan perilaku,” ucapnya. Sementara itu, Masyita berharap pandemi ini dapat dilalui dengan baik dan masyarakat yang terdampak bisa mendapat bantuan yang dibutuhkan. Ia juga berharap setelah pandemi berakhir perekonomian akan lebih baik. “Memang tidak mudah menghadapi ini baik buat Indonesia maupun semua negara di dunia. Bahkan negara maju pun mengalami kesulitan. Sektor ekonomi berusaha kita selamatkan sebab kita tidak mau masyarakat kehilangan pekerjaan akibat sektor industri terlanjur mati. Namun, terkadang media selalu membenturkan kalau menjaga ekonomi itu tidak menjaga manusianya. Padahal jika sektor riil itu jatuh yang rugi masyarakat juga,” pungkasnya. “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” Pandemi COVID-19 ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi Foto Resha Aditya Prof. Hasbullah Thabrany ahli kesehatan masyarakat “...dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah jelas terlihat bahwa yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” Masyita Crystallin Staf Khusus Menteri Keuangan 11 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020
Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap 29 lainnya
Fokus Pembiayaan Ultra Mikro Dalam Dinamika Kebijakan Kredit Program Untuk Usaha Mikro R. Nurhidajat ^1 1 Peneliti Madya Kebijakan Ekonomi Makro Badan Keuangan Fiskal Pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) merupakan segementasi usaha yang telah menjadi concern pemerintah. Bentuk perhatian Pemerintah terhadap UMKM dapat dilihat dari berbagai fasilitas Kredit Program yang diberikan kepada UMKM. Kredit Program merupakan program kredit yang difasilitasi oleh Pemerintah. Bentuk fasilitas Kredit Program ini antara lain meliputi, penyediaan subsidi bunga melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan penyediaan permodalan murah melalui Pembiayaan Ultra Mikro (UMi). Untuk penyediaan subsidi bunga, skema ini dilakukan dengan cara Pemerintah menanggung selisih antara tingkat bunga komersial yang berlaku dengan tingkat bunga yang menjadi beban UMKM. Sedangkan untuk Pembiayaan UMi, Pemerintah memberikan bantuan modal murah kepada Usaha Mikro yang feasible namun tidak bankable melalui lembaga keuangan bukan bank yang menjadi mitranya. Keberadaan program Pembiayaan UMi pada prinsipnya merupakan komplementer dari program KUR yang telah ada terlebih dulu. KUR merupakan kredit program yang pada awalnya disalurkan melalui lembaga perbankan. Selanjutnya, meskipun Pemerintah telah menggunakan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) (BRI) sebagai Bank BUMN penyalur KUR terbesar yang memiliki jaringan hingga pedesaan, namun masih terdapat UMKM yang belum dapat mengakses program KUR tersebut. Salah satu penyebabnya karena tidak semua UMKM memiliki literasi atau kedekatan dengan produk-produk kredit dari perbankan. Adanya program Pembiayaan UMi diharapkan mampu melayani segmen tersebut. Oleh karena itu,
87 Edisi #6/ 2020 Warta Fiskal BKF Ajak Mahasiswa PKN STAN Melek Kebijakan Fiskal Jakarta (01/12) : Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menggelar Webinar Hasil Kajian BKF dengan tema Dinamika Kerja Sama Regional dan Bilateral Guna Memajukan Ekonomi Nasional pada Selasa, (01/12) melalui video conference . Peserta webinar ini merupakan dosen dan mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN (PKN STAN). “Semoga kegiatan kita pada pagi hari ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, memberikan pencerahan buat kita menjadi orang yang bisa berkontribusi untuk meningkatkan ekonomi negara menjadi makmur, sejahtera dan berkeadila,” ujar Direktur PKN STAN Rahmadi Murwanto saat menyampaikan sambutan. Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB) BKF Dian Lestari menyampaikan bahwa Indonesia aktif terlibat dalam forum kerjasama Internasional baik di level regional maupun bilateral dalam rangka ikut berkontribusi bagi tatanan dunia yang lebih baik dengan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan. Harapannya dengan adanya webinar ini, mahasiswa serta akademisi dari PKN STAN dapat belajar tentang kebijakan fiskal khususnya terkait kerja sama regional dan bilateral dalam rangka memajukan ekonomi.
FISKALISTA Ini Kebijakan Fiskal untuk Dukung Ekonomi Hijau Jakarta (16/12) : Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menggelar Dialog Ekonomi Hijau yang bertema “Perspektif APBN untuk Mendukung Ekonomi Hijau di Era COVID-19 pada Rabu, (16/12) melalui video conference . Dalam paparannya, Analis Kebijakan Ahli Muda di Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Fino Valico Waristi menyampaikan bahwa tantangan perekonomian dunia terus datang silih berganti. Sebelum COVID-19, tantangan perekonomian global berasal dari isu ekonomi dan politik yang penuh tantangan dalam beberapa tahun terakhir. Tantangan saat ini, yakni pandemi COVID-19, menjadi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya yang memberikan guncangan pada sisi permintaan dan penawaran, serta memberikan efek domino ke berbagai aspek. Selanjutnya, Analis Kebijakan Ahli Madya di Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Noor Syaifudin menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengendalikan perubahan iklim melalui berbagai ratifikasi kebijakan internasional yaitu Paris Agreement . Hal ini juga diterjemahkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 . Noor juga menjelaskan bahwa dalam menangani isu perubahan iklim, tidak cukup hanya dukungan dari pemerintah, namun diperlukan mekanisme lain seperti inovasi financing . Di tengah pandemi, pemerintah menerbitkan global green sukuk dan Indonesia merupakan pioneer dalam penerbitan green sukuk ini serta mendapatkan penghargaan internasional. Hasil green sukuk ini akan digunakan untuk beberapa sektor, diantaranya terkait transport berkelanjutan, penanggulangan langkah perubahan iklim, dan pengelolaan sampah.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 1 lainnya
Teks Dara Haspramudilla Selama ini, kinerja transaksi berjalan Indonesia mengalami pasang naik dan pasang surut. Selama beberapa tahun defisit transaksi berjalan menjadi pekerjaan rumah yang terus diupayakan untuk dirapikan. Pemerintah pun serius berikhtiar untuk mendongkrak neraca menjadi surplus. Optimisme pun bergelora dalam membereskan masalah defisit dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Transformasi ekonomi pun menjadi jalan untuk meniadakan defisit transaksi berjalan. Laporan Utama Ragam Prakarsa Seimbangkan Neraca Foto Resha Aditya Tingginya impor bahan bakar migas menjadi penyumbang terbesar dalam defisit transaksi berjalan MediaKeuangan 8 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 S ejatinya, mengalami defisit transaksi berjalan bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia bukanlah suatu dosa. Selama dalam batasan yang aman, defisit transaksi berjalan sudah menjadi bagian dari tantangan perekonomian. Namun demikian, defisit transaksi berjalan bisa menjadi tantangan bagi tumbuhnya perekonomian sebab ia adalah cerminan tidak imbangnya penerimaan dan pengeluaran dari transaksi ekonomi lintas negara. Untuk itulah serangkaian kebijakan dirancang agar neraca menjadi setimbang. Peningkatan kinerja ekspor dan pengurangan ketergantungan impor menjadi strategi agar defisit transaksi berjalan dapat terkendali. Percepatan peningkatan masuknya aliran penanaman modal, pemberian insentif fiskal untuk peningkatan ekspor, dan penerapan energi terbarukan menjadi strategi pemungkas pemerintah menekan defisit transaksi berjalan. Akselerasi Investasi Jadi Kunci Defisit transaksi berjalan erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, melebarnya defisit transaksi berjalan tentu
berupa peningkatan aktivitas perekonomian dapat dirasakan dalam jangka waktu menengah dan panjang. Dalam kesempatan berbeda, Direktur Riset CORE, Piter Abdullah Redjalam menilai wajar langkah pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi sebagai penyumbang terbesar kedua dan ketiga PDB nasional. Apalagi pada saat yang bersamaan, dalam dua tahun terakhir kinerja ekspor dan investasi tak begitu menggembirakan. Namun demikian, Piter menekankan perlunya menempatkan insentif fiskal dalam konteks strategi besar untuk memperbaiki struktur ekonomi agar tidak lagi bergantung pada komoditas. “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya,” ujarnya. Paradigma baru Insentif fiskal yang diberikan pemerintah beragam jenisnya. Secara garis besar, terang Rofyanto, insentif tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, fasilitas yang bersifat sektoral, antara lain tax holiday, tax allowance, investment allowance, fasilitas PPN tidak dipungut, dan pembebasan bea masuk. Fasilitas ini ditargetkan untuk sektor- sektor tertentu, misalnya tax bersama seirama. Berbenah butuh keuletan dan kesabaran. Apalagi jika banyak persoalan menumpuk sekian lama, mulai dari sisi perizinan, prosedur, hingga implementasi di lapangan. Beragam regulasi yang menghambat harus segera dirapikan. Untuk memancing masuknya investasi baru dan mendorong aktivitas dunia usaha, pemerintah memasang strategi pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal memang akan berpengaruh negatif bagi penerimaan perpajakan karena memunculkan belanja perpajakan ( tax loss ). Akan tetapi, pemberian insentif diharapkan dapat melambungkan penerimaan perpajakan karena basis perpajakan yang semakin besar akibat peningkatan aktivitas perekonomian. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Rofyanto menuturkan, sejak tahun 2018 Kementerian Keuangan telah melaporkan besarnya belanja perpajakan sebagai bentuk transparansi fiskal. Pada tahun itu, diestimasi besar belanja perpajakan mencapai Rp221,1 triliun atau sekitar 1,49 persen Produk Domestik Bruto (PDB). “Perlu disadari bahwa dampak langsung dan dampak tidak langsung dari insentif perpajakan memiliki perbedaan waktu atau time lag ,” jelas Rofyanto. Dampak langsung dapat dirasakan pada sistem perpajakan berupa penurunan pajak yang dikumpulkan, holiday untuk penanaman modal industri pionir. Kedua, fasilitas yang bersifat spatial (kawasan), misalnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan tempat penimbunan berikat. Di dalam kawasan tersebut, sarana dan prasarana untuk pengembangan industri diintegrasikan, termasuk pemberian fasilitas perpajakan. Pemberian fasilitas spasial ini diharapkan mampu menciptakan kantong-kantong ekonomi baru. “Dalam tahun 2019, pemerintah juga memperkenalkan jenis insentif baru, yaitu fasilitas super deduction tax yang merupakan activity-based incentive dan banyak diadopsi oleh negara-negara maju,” tambah Rofyanto. Insentif ini diberikan terhadap kegiatan vokasi dan R&D oleh Wajib Pajak (WP). Swasta didorong untuk turut aktif T iga puluh tiga perusahaan hengkang dari Tiongkok akibat perang dagang. Tiada satu pun berlabuh di Indonesia. Mereka lebih melirik negeri tetangga: Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Mengapa? Rumput tetangga lebih hijau bukan fatamorgana. Nyatanya, kita memang perlu berbenah diri. Namun, memacu investasi tak seringan membalik telapak tangan. Pembenahan tata kelola investasi perlu sinergi serta menyeluruh. Pusat dan daerah harus bergerak 13 MediaKeuangan 12 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Laporan Utama “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya" Piter Abdullah Redjalam Direktur Riset Center of Reform on Economic CORE Indonesia Teks Reni Saptati D.I, Laporan Utama Foto Anas Nur Huda Pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi. Berbenah Pacu Investasi
Tantangan dan hambatan dalam mendorong investasi di sektor riil Foto Resha Aditya Pemerintah Daerah turut berpartisipasi menjalankan beberapa program untuk mendorong ekspor dari industri kecil dan menengah. MediaKeuangan 10 Dari total proyek terkendala perizinan dan rekomendasi Dari total proyek terkendala lahan Dari total proyek terkendala regulasi Dari total proyek terkendala insentif fiskal Dari total proyek terkendala isu lainnya saja akan merintangi laju pertumbuhan ekonomi. Menurut Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan P. Roeslani, sektor konsumsi perlu dijaga sebab mendominasi postur pertumbuhan ekonomi nasional. “Memang kita harus tetap menjaga terutama konsumsi domestik kita yang memiliki kontribusi 55-56 persen dari total pertumbuhan kita,” tutur Rosan. Dengan demikian, meningkatkan pertumbuhan konsumsi domestik menjadi jalan penyelamatan. Lalu bagaimana cara untuk mendorong pertumbuhan konsumsi domestik? Akselerasi investasi adalah jawabannya. Menurut Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi adalah pahlawan yang menjaga kedaulatan ekonomi bangsa. “Ketika membicarakan konsumsi, tentu saja berhubungan dengan daya beli. Daya beli ini tidak terlepas dari soal kepastian pendapatan. Kepastian pendapatan bisa terwujud jika tersedia lapangan pekerjaan. Nah, investasi menjadi satu-satunya jalan untuk menciptakan lapangan pekerjaan,” terang Bahlil. Hal senada juga diungkapkan oleh Rosan P. Roeslani, Ketua Umum Kadin Indonesia. Menurutnya, investasi memegang peranan besar dalam menekan defisit transaksi berjalan hanya saja belum berjalan optimal. “Jika kita lihat, investasi meningkat dari tahun ke tahun tapi belum optimal. Kadin melihat perlunya meningkatkan peran investasi terutama investasi yang berorientasi ekspor,” ujar Rosan. Saat ditanyakan strategi BKPM dalam mendukung pemerintah menekan defisit transaksi berjalan, Bahlil mengungkapkan ada tiga langkah yang akan dilakukan. Pertama, menarik investasi untuk produk-produk substitusi impor. Kedua, mendorong investasi yang memiliki output produk ekspor. Ketiga, memanfaatkan investasi agar mampu menciptakan lapangan kerja sebesar-besarnya. “Saat ini kita sedang mendorong investasi di sektor-sektor produktif, manufaktur, padat karya yang mampu banyak menciptakan lapangan pekerjaan, yang banyak melahirkan substitusi impor dan yang berorientasi ekspor,” ungkap pria kelahiran Banda ini. Namun demikian, masih ada beberapa aspek yang menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Untuk itu, pembenahan internal terutama birokrasi yang berbelit menjadi fokus BKPM. “Pengusaha itu butuh kepastian, kemudahan, dan efisiensi, jika tiga itu sudah didapatkan selesai sudah urusan. Maka dari itu, melalui Inpres Nomor 7 Tahun 2019, seluruh kewenangan terkait perizinan yang ada pada 22 Kementerian dan Lembaga didelegasikan ke BKPM. Harapannya adalah memotong mata rantai birokrasi yang terlalu panjang,” tegasnya. Bahlil menambahkan bahwa persepsi investasi tidak hanya dari pengusaha kelas kakap saja namun juga Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). “BKPM tidak hanya memfasilitasi pengusaha kelas besar namun juga selama usaha tersebut bermanfaat bagi masyarakat terutama dalam menyediakan lapangan pekerjaan,” jelasnya. Orientasi Ekspor Harus Berubah Selain investasi, strategi lain yang perlu dilakukan dalam mengatasi defisit transaksi berjalan adalah melalui peningkatan kinerja ekspor. Rosan berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan inisiatif yang dapat mendorong ekspor dan berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. “Pada tahun 2019, current account deficit kita membaik sedikit. Namun, itu bukan karena ekspor yang meningkat tapi ekspor turun dan impor turunnya lebih banyak lagi. Jadi kita harus melihat dari semua sisi dan diharapkan pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan inisiatif yang mencoba untuk meningkatkan pertumbuhan kita ke depan,” jelasnya. Menurut pria yang juga merupakan chairman Recapital Group ini, sebagai salah satu ujung tombak dalam pertumbuhan ekonomi, kinerja ekspor Indonesia harus dioptimalkan dengan cara mengubah orientasi ekspor, melakukan diversifikasi negara, dan juga diversifikasi produk. “Kita harus aktif membuka pasar-pasar baru yang berpotensi seperti pasar di Timur Tengah, pasar-pasar di Afrika yang memang mulai digarap oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, bukan hanya pasar-pasar tradisional seperti Jepang, Korea, US, Eropa. Kita harus melakukan diversifikasi negara dan juga diversifikasi produk. Itu yang harus kita lakukan ke depannya,” ujarnya. Bahlil juga mengungkapkan bahwa sejak masa VOC hingga tahun 2018, komoditas ekspor Indonesia tidak banyak mengalami perubahan yakni barang mentah. “Pola ini harus diubah. Maka dari itu, sekarang pemerintah menggiring semua sumber daya alamnya itu untuk dilakukan hilirisasi. Sebagai contoh, ketika sawit kita di- banned oleh Eropa beberapa waktu lalu. Namun, karena kreativitas kita dapat melahirkan B20 dan B30. Bagi petani hal ini mendatangkan keuntungan karena harga sawit menjadi tinggi dan bagi negara juga mendapat keuntungan karena impor berkurang,” pungkasnya. Energi Terbarukan adalah Keniscayaan Tingginya impor bahan bakar migas menjadi penyumbang terbesar dalam defisit transaksi berjalan. Oleh sebab itu, pengembangan energi terbarukan (EBT) menjadi salah satu solusi agar defisit teratasi. Pilihan jatuh kepada minyak sawit mentah (CPO). “Sawit kita cukup banyak, CPO nya juga berlimpah. Industri sawit sudah berkembang bisnisnya dan supply chain nya sudah tertata baik. Selain itu, kita juga menguasai teknologinya, sehingga untuk hilirisasi sawit, CPO diolah menjadi biodiesel yang dapat digunakan sebagai bahan bakar complimentary solar,” terang Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Peningkatan kemandirian energi dan penyediaan energi ramah lingkungan merupakan tujuan utama dari pemanfaatan biodiesel sebagai bagian dari energi baru terbarukan. “Saat ini rata-rata penggunaan BBM solar kurang lebih 33 juta kiloliter per tahun. Mengacu kepada Kebijakan Energi Nasional, harapannya di tahun 2025 nanti sekitar 13,8 juta kiloliter bahan bakar kita berasal dari bahan bakar nabati. Dengan adanya perkembangan teknologi seperti co-processing dan stand alone untuk green refinery , tidak menutup kemungkinan pemanfaatan bahan bakar nabati bisa melebihi target yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional,” ungkap Feby. Upaya untuk meningkatkan kemandirian energi terus berlanjut. Pekerjaan rumah yang masih menanti adalah mencari pengganti gasolin. Hal ini disebabkan impor gasolin menjadi masalah impor migas terbesar saat ini. “Untuk solar sebenarnya kita sudah bisa dikatakan selesai. Pekerjaan rumah kita saat ini ada di gasolin yang masih impor sebesar 60 persen. Jadi, nantinya CPO juga akan dikembangkan untuk pembuatan green gasolin dan juga green avtur,” jelasnya.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 2 lainnya
esatnya pertumbuhan ekonomi syariah dunia salah satunya dipengaruhi oleh meningkatnya populasi muslim. Kenaikan populasi muslim mendorong peningkatan permintaan terhadap produk dan jasa halal. Pada tahun 2017, tercatat terdapat 1,84 miliar muslim di muka bumi. Diperkirakan, jumlah ini akan terus beranjak naik dan menyentuh 27,5 persen total populasi dunia pada 2030. Di tingkat global, Indonesia memiliki populasi muslim terbesar dan jumlah institusi keuangan syariah tertinggi. State of The Islamic Economic Report 2018/2019 menyebutkan jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 87 persen dari total populasi penduduk Indonesia, atau sekitar 13 persen populasi muslim dunia. Indonesia juga memiliki lebih dari 5000 institusi keuangan syariah. Dengan keunggulan ini, Indonesia berpotensi jadi pemain kunci dalam pengembangan ekonomi syariah dunia. Bahkan, bukan tak mungkin ekonomi syariah Indonesia akan menjadi terbesar di dunia. Kemajuan ekonomi syariah di Indonesia pelan tapi pasti mulai terasa dan diakui. Pada pertengahan Oktober 2019 lalu, Indonesia mencatatkan skor 81,93 pada Islamic Finance Country Index (IFCI) 2019. Dengan raihan skor tersebut, Indonesia berhasil menduduki peringkat pertama dalam pengembangan keuangan syariah keuangan global pada Global Islamic Finance Report (GIFR) terbaru. Capaian ini lebih baik dari tahun sebelumnya lantaran naik lima peringkat dan menggeser Malaysia yang tiga tahun terakhir berada di puncak. Miliki keunggulan Islamic Finance Specialist UNDP, Greget Kalla Buana mengamini pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syariah Indonesia yang semakin menggembirakan. Meski demikian, dia mengingatkan masih banyak potensi yang bisa digali guna mewujudkan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah. “Pada 2017, Indonesia menduduki peringkat pertama Muslim Food Expenditure dengan nilai USD170 miliar. Namun, kondisi ini belum mampu menempatkan Indonesia ke dalam sepuluh besar halal food ,”ungkapnya. Greget turut menggarisbawahi sejumlah keunggulan yang dimiliki Indonesia. Pertama, adanya sistem kelembagaan yang kuat dalam mendukung ekonomi syariah. “Selain Dewan Syariah Nasional MUI, perkembangan kelembagaan ekonomi syariah juga diperkuat dengan adanya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang melahirkan Masterplan Ekonomi Syariah,” ungkapnya. Kedua, adanya hukum dan peraturan yang mengakomodasi inovasi dan kebijakan keuangan syariah di Indonesia. “Sebagai contoh, Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Zakat, dan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (yang) mungkin di negara lain tidak ada,” katanya. Ketiga, besarnya dorongan masyarakat luas melalui kelompok- kelompok penggerak ekonomi syariah yang mewakili berbagai elemen masyarakat yang memberi kontribusi terhadap perkembangan ekonomi syariah. “Sebut saja, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Fintech Syariah Indonesia, Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam, Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Masyarakat Ekonomi Syariah, dan sebagainya,” rincinya kepada Media Keuangan. Tumbuh menjanjikan Perkembangan ekonomi syariah Indonesia telah dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada 1992. Bank Muamalat menjadi lembaga keuangan pertama di Indonesia yang menerapkan prinsip syariah dalam setiap kegiatan transaksinya. Kehadiran Bank Muamalat ini disambut baik oleh penduduk muslim Indonesia, sehingga pada perkembangannya, berjamur beragam lembaga keuangan lainnya. Menjelang tiga dasawarsa sejak awal perkembangannya, Indonesia diyakini mampu menjadi pusat ekonomi syariah dunia pada 2024 mendatang. Untuk mendorong pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, pemerintah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) pada tahun 2016. Lembaga ini telah menyusun Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 sebagai peta jalan yang akan menjadi rujukan bersama guna mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. KNKS menyadari Indonesia belum mengoptimalkan perannya dalam memenuhi permintaan produk dan jasa halal. Selama ini, Indonesia masih lebih banyak berperan dari sisi demand dibanding supply . KNKS menyisir sejumlah tantangan yang dihadapi. Tiga diantaranya yakni regulasi industri halal yang belum memadai, literasi dan kesadaran masyarakat akan produk halal yang kurang, dan interlinkage industri halal dan keuangan syariah yang masih rendah. Peta jalan yang telah disusun akan menjawab tantangan tersebut. Dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, implementasi pengembangan ekonomi syariah difokuskan pada sektor riil, utamanya yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam hal ini, pemerintah secara khusus memilih sektor produksi dan jasa, terutama yang telah menerapkan label halal sebagai diferensiasi dari produk lain. Menurut Greget, ambisi Indonesia untuk menjadi Global Halal Hub bisa dimulai dari prosedur sertifikasi halal yang saat ini telah menjadi acuan dunia. “Terbukti dengan sejumlah negara yang meminta untuk disertifikasi halal oleh MUI atau mengadopsi sertifikasi halal Indonesia,” katanya. Dengan adanya kepercayaan dunia internasional terkait sertifikasi halal, maka Indonesia bisa memainkan peran sebagai role model industri halal. Greget juga menekankan agar ekonomi syariah tidak dipandang sebagai satu industri terpisah, melainkan terhubung dengan ekosistem dan aspek kehidupan lain secara keseluruhan. Beberapa aspek penting yang dia soroti antara lain nilai-nilai etis, tata kelola dan regulasi, sumber daya manusia (SDM), Sustainable Development Goals (SDGs), serta teknologi. Tak terpisahkan Sekretaris Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (BPH DSN MUI), Anwar Abbas, mengungkapkan bahwa sistem ekonomi syariah pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menurutnya, Islamic Economic System merupakan alternatif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya inklusif, namun juga berkelanjutan. “Dunia butuh alternatif (sistem ekonomi). Islam tampil dengan Islamic Economic System , dengan Professional Banking System , dengan Insurance Banking Assistance -nya. Dengan begitu, kita sebagai muslim dan bangsa Indonesia bisa tampil dengan Ekonomi Pancasilanya,” jelasnya. Di sisi lain, Yani Farida Aryani, Kepala Bidang Kebijakan Pengembangan Industri Keuangan Syariah Badan Kebijakan Fiskal, menjelaskan bahwa keuangan syariah merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi syariah. Pangsa pasar keuangan syariah di Indonesia sendiri terdiri dari perbankan syariah, asuransi syariah, pembiayaan syariah, reksadana syariah, Sukuk Negara dan saham syariah. Selain itu, masih ada pula sektor keuangan sosial islam ( Islamic social finance ) seperti zakat dan wakaf. “Zakat dan wakaf yang notabene masuk ke dalam kelompok dana sosial 21 MEDIAKEUANGAN 20 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 8 Islamic Finance Assets US$82 Milyar 3 Modest Fashion Expenditure US$20 Milyar 1 Halal Food Expenditure US$170 Milyar 5 Halal Travel __ Expenditure US$10 Milyar 6 Halal Media and Recreation Expenditure US$10 Milyar 2 Halal Cosmetics Expenditure US$3,9 Milyar 4 Halal Pharmaceuticals Expenditure US$5,2 Milyar
Kinerja perdagangan yang begitu merosot memang menjadi salah satu sumber risiko terbesar bagi ekonomi dunia. Perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, telah menciptakan ketidakpastian yang tinggi dan menambah tekanan untuk permintaan global. Rendahnya tingkat permintaan global dan tingginya tensi dagang membuat aktivitas manufaktur berkontraksi di banyak negara serta menekan harga komoditas. Hal-hal tersebut memberi ancaman pada pertumbuhan investasi dan produktivitas secara global, dua faktor yang sangat esensial dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kemakmuran masyarakat dunia. Sementara itu, kondisi politik yang memanas di banyak negara turut menambah deretan tantangan perekonomian global. Hong Kong menjadi contoh negara yang tengah menghadapi gejolak politik sangat tinggi, sehingga aktivitas ekonominya terganggu dan berada di jurang resesi. Gelombang protes juga terjadi di berbagai kawasan seperti Amerika Latin, Timur Tengah, dan Eropa, sehingga menambah ketidakpastian pada kondisi global. Situasi ekonomi global yang tidak menguntungkan tersebut, tentu memiliki imbas pada Indonesia. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia selama ini mengambil manfaat dari aktivitas perdagangan dan investasi internasional. Maka, gejolak global yang terjadi memberikan dampak pada perekonomian Indonesia, setidaknya melalui dua transmisi tersebut. Pada sisi perdagangan, kinerja ekspor dan impor Indonesia selama 2019 mengalami tekanan, seiring dengan lemahnya permintaan global, termasuk mitra dagang utama seperti Tiongkok. Perang dagang semakin memukul ekonomi Tiongkok yang sudah berada dalam tren moderasi sejak negara tersebut melakukan pergeseran model pertumbuhan ( rebalancing economic growth ) dari investment-led menjadi consumption-led . Pada sisi investasi, aliran modal masuk ke Indonesia pada 2019 masih sangat baik dan menunjukkan peningkatan. Investasi langsung Indonesia secara kumulatif hingga triwulan ketiga 2019 tumbuh solid 12,3 persen (ytd), ditopang Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah kembali pada tren pertumbuhan positif. Ini merupakan sinyal baik bagi peningkatan produktivitas ekonomi ke depan. Aliran investasi portofolio juga tercatat masih sangat baik. Hal ini menunjukkan kesehatan fundamental dan prospek ekonomi Indonesia menjadi faktor yang menarik minat investor. Namun, kewaspadaan perlu terus dijaga, utamanya terhadap sentimen negatif dari ketidakpastian global yang dapat dengan mudah mempengaruhi kepercayaan investor. Bagi Indonesia, perdagangan internasional terutama ekspor dan investasi, merupakan dua mesin yang perlu dijaga agar pertumbuhan ekonomi ke depan dapat terus meningkat guna mendukung target pembangunan. Daya saing ekspor dan investasi merupakan penopang bagi produktivitas dan jalan untuk pertumbuhan yang lebih berkualitas. Pertumbuhan yang akan menciptakan banyak lapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat secara luas. Tentunya dengan tetap menjaga daya beli untuk konsumsi yang saat ini menjadi komponen terbesar penyumbang ekonomi. Namun, perlu disadari bahwa pekerjaan rumah Indonesia untuk mendorong daya saing ekspor dan investasi masih berhadapan dengan banyak tantangan. Berdasarkan penilaian Global Competitiveness Index , daya saing Indonesia terhambat oleh faktor-faktor struktural seperti kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, institusi, serta sistem keuangan. Kemudahan berusaha di Indonesia juga dianggap masih kalah dibanding banyak negara. Dalam dua tahun terakhir, peringkat kemudahan berusaha bahkan stagnan di posisi 73. Padahal periode 2015–2017, Indonesia mampu mengakselerasi peringkat kemudahan berusaha secara signifikan yang ditopang oleh berbagai reformasi struktural seperti reformasi subsidi energi, akselerasi infrastruktur, dan perbaikan iklim investasi. Pada periode tersebut, peringkat kemudahan Indonesia secara total melesat dari 120 menjadi 72. Stagnannya peringkat kemudahan berusaha dalam dua tahun terakhir menggarisbawahi pentingnya Indonesia menggencarkan kembali reformasi, serta perlunya implementasi reformasi yang lebih kuat. Untuk itu, pemerintah berkomitmen untuk melanjutkan upaya reformasi pada area-area yang krusial seperti sumber daya manusia (SDM). Dimensi dari reformasi SDM mencakup peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, serta kecakapan dalam mengadopsi teknologi dan penciptaan inovasi. Indonesia perlu bersyukur. Tahun 2019 kita lalui dengan sangat baik. Apalagi mengingat kita telah berhasil menjalankan hajatan demokrasi, serta pemilu presiden dan parlemen secara bersamaan untuk pertama kalinya. Semua dijalankan dalam dinamika yang sehat untuk memperbarui konsensus bersama membangun Indonesia. Kini saatnya, menengok kembali berbagai agenda reformasi agar kembali ke jalur percepatannya. Reformasi struktural yang berorientasi kepada kualitas SDM guna meningkatkan produktivitas menjadi cerita nyata. Regulasi yang lebih simpel dan kondusif, birokrasi yang efisien dan melayani, adalah bagian penting agar Indonesia siap memasuki era knowledge economy . Siap menjadi Indonesia maju!
Kolom Ekonom Ilustrasi Dimach Putra I ndonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang perekonomiannya masih bisa tumbuh relatif tinggi di tahun 2019. Perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen pada kuartal ketiga 2019, tatkala negara-negara lain di dunia mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok yang pada tahun lalu masih tumbuh 6,6 persen, pada 2019 ini mengalami penurunan. Pada kuartal ketiga 2019, Tiongkok hanya tumbuh 6,0 persen. Pelambatan juga terjadi di India, salah satu negara sumber pertumbuhan baru. Tahun lalu, India mampu tumbuh 6,8 persen. Tahun ini terus melorot bahkan di kuartal ketiga 2019 hanya mampu tumbuh 4,5 persen. Beberapa negara di dunia bahkan telah mengalami resesi atau tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut. Tahun 2019 memang bukan tahun yang mudah bagi perekonomian dunia. Hidayat Amir Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Tumbuh dalam Tekanan Berbagai tekanan dan gejolak yang terjadi membuat ekonomi dunia mengalami perlambatan yang cukup dalam, bahkan menjadi yang terburuk sejak krisis keuangan global pada 2009. Menurut proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,6 persen di 2018 menjadi 3,0 persen untuk tahun ini. Pertumbuhan volume perdagangan bahkan diperkirakan hanya tumbuh 1,1 persen di 2019, atau turun signifikan jika dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 3,6 persen. nyata apa yang sesungguhnya hanyalah metode. Refleksi Husserl itu dapat dijadikan ilham untuk melihat rasio pajak lebih dalam. Di balik rasio pajak, terdapat berbagai soal yang tak serta-merta kelihatan dalam angka. Itulah mengapa rasio pajak bukanlah satu-satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, meski secara indikatif berguna untuk mengenali gejala inefektivitas pemungutan pajak sejak dini. Ada empat faktor yang dapat menjelaskan sebab PDB Indonesia tidak berkorelasi positif dengan kinerja perpajakan, khususnya rasio pajak. Pertama, tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Program amnesti pajak sebagai bagian dari reformasi perpajakan nampaknya baru membantu menambah basis pajak baru dan belum meningkatkan rasio pajak. Meski tingkat kepatuhan pajak terus meningkat dari tahun 2015 sebesar 60 persen menjadi 71,1 persen di tahun 2018, namun angka tersebut masih tergolong rendah. Selain itu, tingkat kepatuhan tersebut pun masih terbatas pada kepatuhan yang sifatnya formal yakni menyampaikan SPT dan belum mempertimbangkan kepatuhan material yang melibatkan kebenaran isi SPT. Kedua, tingginya hard-to-tax sector , khususnya usaha rintisan atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor pertanian/perkebunan/perikanan yang berkontribusi cukup besar terhadap PDB. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, komposisi UMKM mencapai 59,2 juta unit dari total 60,01 juta unit usaha di Indonesia. Di satu sisi, UMKM menjadi penyumbang PDB terbesar namun di sisi lain kepatuhan dan literasi yang masih sangat rendah menjadi tantangan bagi pemerintah dalam memungut pajak. Dalam konteks itu, kebijakan penurunan tarif pajak UMKM sudah tepat dan layak diapresiasi, demi memperluas basis pajak dari sektor ini. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yang mewajibkan para pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha, harus dapat dimanfaatkan untuk mulai membangun basis data yang akurat dari sektor ini. Ketiga, pesatnya perkembangan ekonomi digital tidak diiringi dengan modernisasi perangkat teknologi informasi perpajakan, SDM yang mumpuni, serta regulasi. Akibatnya, potensi pajak sektor ini menjadi sulit ditangkap. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia. Pada 2016, tercatat nilai transaksi dari sektor ekonomi digital sebesar USD5,6 miliar. Dalam konteks ini, kebijakan pajak e-commerce sudah tepat demi menjamin keadilan dalam pengenaan pajak. Namun demikian, disharmoni antar-regulasi seperti penurunan tarif pajak UMKM di satu pihak dan kewajiban pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha di lain pihak selalu perlu diantisipasi. Keempat, maraknya praktik penghindaran pajak. Data-data dari tax amnesty, Swiss Leaks, Panama Papers, Paradise Papers , dan sebagainya mencerminkan banyaknya warga negara Indonesia yang berupaya menghindari pajak. Program tax amnesty pun menjadi solusi tepat di tengah kondisi tersebut. Tidak hanya meningkatkan kepatuhan, program ini juga menjadi momentum yang baik untuk mulai membangun tax culture yang sehat. Selanjutnya tax amnesty harus diikuti dengan langkah penegakan hukum yang tegas. Kendati rasio pajak bukan satu- satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, mendongkrak rasio pajak tetaplah salah satu tugas penting negara. Tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan merata hanya dapat dicapai dengan level penerimaan pajak yang optimal yang dapat mengakselerasi pembangunan. Searah dengan itu, upaya-upaya pemerintah dari sisi regulasi untuk mendongkrak rasio pajak perlu terus didukung: reinventing policy , kenaikan PTKP, tax amnesty , konfirmasi status WP, UU AEOI, Pembaruan Sistem Informasi, pemeriksaan pajak, percepatan restitusi, penurunan tarif WP UMKM, dan CRS AEOI. Semua itu tak lain adalah upaya meningkatkan rasio pajak dan basis pajak, juga secara serentak mendorong kepatuhan. Ibarat cermin, rasio pajak dapat dijadikan salah satu sarana untuk berkaca, tanpa kita harus menganggap bayangan cermin itu sebagai kenyataan sesungguhnya. Perbaikan selayaknya diarahkan pada kenyataan, bukan bayangannya. Kita sudah berada di jalur yang tepat, jangan sampai kereta perubahan ini berjalan terlampau lambat!
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 2 lainnya
Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda
Opini Teks Ariza Ayu Ramadhani, pegawai Biro KLI Sekretariat Jenderal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Potensi Pertumbuhan Ekonomi PELAJARAN DARI PANDEMI UNTUK S ebelum COVID-19, sejarah mencatat kemunculan empat pandemi selama abad ke-21 yaitu N1H1 atau flu burung di tahun 2009, SARS di tahun 2002, MERS di tahun 2012 dan Ebola di tahun 2013 – 2014. Dari kelima pandemi tersebut, tingkat fatalitas COVID-19 memang bukan yang tertinggi, tapi yang paling mudah menular dari manusia ke manusia sehingga persebarannya sangat cepat. Dari data WHO, sejak Desember 2019 sampai Juni 2020 tercatat 7,69 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia. Negara-negara yang terjangkit wabah COVID-19 mulanya mengalami krisis kesehatan yang selanjutnya menjalar ke krisis ekonomi dan berpotensi menuju ke krisis sektor keuangan. Adanya wabah yang sangat mudah menular dari manusia ke manusia menyebabkan negara harus membuat kebijakan pembatasan aktivitas fisik seperti bekerja, sekolah, dan rekreasi yang berarti juga menghentikan aktivitas ekonomi. Di Indonesia, pembatasan fisik ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2020 hanya sebesar 2,97%. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal yang sama di tahun 2019 adalah sebesar 5,19%. Hantaman krisis diprediksi paling berat terjadi di kuartal kedua dengan pertumbuhan ekonomi di bawah nol. Studi yang dilakukan Simon Wren- Lewis, Ekonom Universitas Oxford, menunjukkan bahwa dampak terbesar dari pandemi terhadap ekonomi diprediksi terjadi selama 3 sampai 6 bulan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi kurang lebih sebesar lima persen (5%). Setelah periode tersebut, pertumbuhan ekonomi akan kembali melaju (bounce-back) . Oleh karena itu, di samping terus menangani COVID-19 baik dari sisi kesehatan maupun dampaknya terhadap masyarakat, kita dapat bersiap untuk memetik pelajaran dari COVID-19 ini untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi di masa depan. Human Capital Studi mengenai teori Pertumbuhan Ekonomi Endogenous menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara lebih ditentukan oleh sumber daya manusia ( human capital ) dan inovasi yang dilakukan di dalam sebuah sistem perekonomian melalui research and development (R&D). Teori ini pertama kali muncul di tahun 1962 yang terus menjadi perhatian para ekonom hingga saat ini. Sebelum pandemi COVID-19, berbagai universitas terbaik di dunia telah banyak membuka kelas daring. Kita juga mengenal platform belajar seperti coursera atau udemy untuk meningkatkan kemampuan melalui kelas daring baik berbayar maupun tidak berbayar. Kelas-kelas ini memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk belajar dari para profesor atau ahli terkemuka dari universitas atau institusi terbaik di dunia dengan harapan memperkecil gap ilmu pengetahuan. Di masa pandemi COVID-19, adanya kebijakan pembatasan fisik memaksa sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan pembelajaran daring, kantor-kantor untuk tetap beroperasi dengan pegawai yang bekerja dari rumah, dan komunikasi yang dilakukan tanpa kegiatan tatap muka. Kondisi ini memaksa banyak orang untuk beradaptasi dengan cepat, menyamankan diri dengan pertemuan- pertemuan virtual termasuk webinar, briefing , dan training yang sangat berdampak pada akselerasi sharing knowledge antar manusia dan antar institusi yang seolah tanpa batas. Nyatanya, produktivitas organisasi tetap terjaga atau bahkan meningkat dengan adanya work from home (WFH) ini. CEO Twitter, misalnya, memberlakukan WFH selama-lamanya karena kinerja perusahaannya tidak terganggu dengan keterpaksaan WFH selama pandemi. Kondisi ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kesenjangan informasi dan kesempatan, misalnya antara masyarakat perkotaan- perdesaan. Program peningkatan kualitas SDM perdesaan misalnya melalui Dana Desa, dapat difokuskan untuk memberikan edukasi mengenai pelatihan-pelatihan daring yang bisa diakses. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun mendatang. Inovasi Inovasi dapat tercipta melalui sumber daya manusia yang berkualitas, seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, dan juga melalui perkembangan teknologi. Berbeda dengan inovasi berupa penemuan- penemuan baru seperti yang terjadi berabad-abad lalu, beberapa ekonom dunia mempercayai bahwa inovasi yang terjadi saat ini dapat disebut sebagai “ creative destruction ” yang berarti melakukan perbaikan dan peningkatan atas hal-hal yang sebenarnya sudah ada. Argumentasi ini pertama kali dicetuskan oleh ekonom Austria, Joseph Schumpeter (1942) dan diperbaharui oleh banyak ekonom hingga saat ini. Di Indonesia, 60 persen tenaga kerja diserap oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di masa pandemi ini, UMKM atau SME termasuk golongan yang paling terdampak COVID-19. Menurut beberapa studi, UMKM yang memanfaatkan teknologi dalam usahanya, terbukti lebih kuat dalam menghadapi guncangan eksternal. Hal ini mungkin terjadi karena penggunaan teknologi dapat berarti administrasi yang lebih tertata, pembukuan yang tertib, pemasaran melalui marketplace , sehingga memungkinkan usaha tersebut tetap bertahan di masa pembatasan fisik seperti saat ini. Setelah pandemi berakhir, perusahaan-perusahaan besar di bidang teknologi informasi dan juga start-up unicorn dapat mendukung pemulihan ekonomi dan bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui digitalisasi UMKM baik dengan memberikan dukungan berupa modal, infrastruktur atau berbagi keahlian yang spesifik untuk tujuan tersebut. Melalui UMKM yang kuat, angka pengangguran berkurang, penerimaan negara bertambah, sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Untuk menjadikan human capital dan inovasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia, diperlukan poin ketiga, yaitu perubahan pola pikir. Pola pikir bahwa akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi harus dibuka untuk semua golongan masyarakat. Upaya ini perlu mendapatkan perhatian baik dari regulator (pemerintah) maupun dari universitas-universitas terbaik dan juga perusahaan-perusahaan besar agar ketimpangan pendidikan dan keahlian tidak semakin melebar di Indonesia. Ilustrasi A. Wirananda
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu | Foto Dok. Kemendesa AGAR MANFAAT SAMPAI KEPADA YANG BERHAK P andemi COVID-19 berdampak langsung pada kesehatan dan ekonomi. Seluruh kalangan masyarakat pun tak luput bergelut dalam tak luput bergelut dalam perjuangan melawan sampar ini, terlebih rakyat miskin. Data Badan Pusat Statistik di awal tahun 2020 menunjukkan 60,23 persen dari total jumlah penduduk miskin ada di perdesaan. Pemerintah berupaya menjamin keberlangsungan hidup rakyat miskin di desa pada masa krisis pandemi ini melalui pemberian Bantuan Langsung Tunai dari Dana Desa (BLT Desa). Simak wawancara Kementerian Keuangan dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar, mengenai implementasi program BLT Desa. Apa yang menjadi dasar pemikiran dikeluarkannya kebijakan penggunaan dana desa untuk program BLT Desa? Di tengah pemulihan kondisi akibat pandemi COVID-19 yang kita belum tahu sampai kapan, kesehatan dan ekonomi menjadi fokus perhatian di Kementerian Desa, utamanya terkait dengan Dana Desa. Oleh sebab itu, kita keluarkan kebijakan. Pertama untuk kesehatan sebagai upaya pencegahan kita bikin yang namanya Desa Tanggap Covid. Setiap desa wajib membentuk Relawan Desa Lawan Covid untuk melakukan edukasi, sosialisasi, dan fasilitasi. Kedua, Kebijakan penanganan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan daya beli dan ketahanan ekonomi dengan bentuk Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dan kebijakan BLT Desa. Program BLT Desa ini kita sinergikan betul dengan Kementerian Keuangan baik dari sisi regulasi maupun pelaksanaannya. BLT Desa ini kan sebuah kebijakan sementara yang lahir karena COVID-19. Alasan desa dilibatkan yaitu karena adanya Dana Desa dan pendataan di level desa jauh lebih valid dan akurat. Itu sebabnya di dalam regulasi terkait BLT Desa, saya tekankan betul, bagaimana melakukan pendataan dan siapa saja yang didata. Mengapa besaran BLT Desa di setiap tahapnya berbeda? Besaran BLT Desa di tiga bulan pertama mulai April, Mei, Juni, setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menerima Rp600 ribu. Kemudian tiga bulan kedua Juli, Agustus, September, setiap KPM menerima Rp300 ribu, turun separuh karena ekonomi misalnya UMKM diperkirakan sudah mulai menggeliat. Bagaimana mekanisme pendataan penerima manfaat BLT Desa? Pendataan dilakukan oleh Relawan Desa Lawan Covid yang terdiri dari kepala desa sebagai ketua, ketua Badan Pengawas Desa sebagai wakil ketua, kemudian anggota yang terdiri dari perangkat desa, sekretaris desa, ketua RT, RW, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan. Pendataan terhadap calon KPM BLT Desa berbasis RT untuk keakuratan verifikasi di lapangan dan dilakukan oleh tiga orang untuk memastikan validitasnya. Itu pun masih difilter lagi dengan Musyawarah Desa Khusus (Musdesus), lembaga permusyawaratan tingkat tertinggi di desa. Apapun yang dihasilkan Musdesus itu adalah sebuah keputusan politik yang sudah merepresentasikan warga masyarakat desa, dengan catatan Musdesus dilakukan sesuai dengan ketentuan. Setelah hasil Musdesus yang berisi nama-nama calon penerima BLT Desa ditandatangani kepala desa, hasil pendataan dan musyawarah Musdesus tersebut lalu dikirim ke kabupaten untuk disinkronisasi. Dengan demikian, validitas dalam upaya pendataan calon penerima manfaat itu akan sangat bisa dipertanggung jawabkan. Upaya apa yang dilakukan agar tidak terjadi overlapping data dengan penerima bansos lainnya? Desa cukup terkendala untuk mendeteksi warga yang sudah dapat bantuan sosial (Bansos) karena pencairan Bansos seperti Program Keluarga Harapan (PKH) tidak melalui desa melainkan langsung dari pusat jadi ini berada di luar kendali pemerintah daerah sehingga proses sinkronisasi data penerima BLT Desa ini menunggu selesainya bansos dari pusat tersebut. Jadi memang banyak desa yang menggunakan BLT desa sebagai sapu jagatnya. Jadi kalau warga sudah terima Bantuan Sosial Tunai (BST), terima PKH, maka rongga yang masih kosong itu diisi dengan BLT Desa. Hal tersebut juga terkonfimasi dari simulasi yang kita lakukan. Dari simulasi, kita akan meng cover sekitar 12 juta KPM, ternyata dalam perjalanannya prediksi kita sampai 100 persen salur itu sekitar 8 juta KPM. Ini kesannya sangat turun karena sudah tertutup dengan Bansos lain di luar BLT Desa. Nah, ke depan, kita sudah diskusi dengan Kementerian Sosial dan Kemenko PMK agar data yang ada sekarang ini dikelola dengan baik dan kita serahkan sepenuhnya ke desa. Desa lebih memahami lingkungan dan masyarakatnya sendiri sehingga akan lebih mudah transparansinya karena skalanya kecil. Misalnya di balai desa tiap tahun ditampilkan hasil updating penerima manfaat semua jaring pengaman sosial. Nah, data ini harus setiap tahun di update karena dengan pergerakan ekonomi yang bagus bisa saja tahun kemarin dia berhak menerima, tahun ini sudah tidak berhak, karena usahanya bagus. Semua itu akan efisien efektif ketika diserahkan ke desa. Kapan target penyaluran BLT Desa diperkirakan tercapai 100 persen? Juni ini harus selesai. Berdasarkan data per tanggal 15 Juni, sudah mencapai sekitar 90 persen desa selesai menyalurkan BLT Desa tahap pertama. Kita juga sudah akan keluarkan perubahan Permendes untuk mengakomodir angkatan kedua triwulan kedua dengan nilainya dan bagaimana mekanismenya. Mekanismenya adalah semua data yang sudah berjalan itu dipakai sebagai data awal, tetapi tidak menutup kemungkinan ada penambahan atau pengurangan. Kuncinya cuma satu, Musdesus karena sudah semua komponen masuk di situ. Apa yang Kementerian Desa lakukan untuk monitoring penyaluran BLT Desa? Ada dua, satu turun langsung, yang kedua by phone by confirmation tiap hari. Setiap hari kita punya update data, misalnya jam 7 atau 8 malam komunikasi mulai dilakukan dengan sumber dan tim yang sudah kita siapkan, sekitar jam 10 malam baru selesai data hari ini, lalu keesokan harinya kita laporkan. Jadi setiap hari saya membuat laporan terkait dengan progress BLT Desa, PKTD, dan Desa Tanggap COVID-19. Bagaimana upaya mencegah tindakan oknum-oknum tidak bertanggung jawab dalam hal pemberian BLT Desa? Sudah ada beberapa keluhan yang kita terima, tetapi setelah kita verifikasi kecil sekali yang sampai masuk ke ranah penegak hukum. Kita juga banyak menemukan yang hoax sih, misalnya ada potongan Rp200 ribu, ternyata setelah kita cek itu duitnya memang sudah dibagi oleh penerima. Kemudian ada lagi kesepakatan bersama di desa misalnya calon KPM banyak, sedangkan kekuatan BLT Desanya cukup kecil sehingga KPM membagi seikhlasnya sebagai wujud toleransi kepada keluarga yang lain. Hal semacam ini tidak masalah kalau mau dilakukan, yang penting tidak ada paksaan dan tidak dikelola oleh pemerintah desa. Ada juga kasus oknum aparat desa minta bagian BLT Desa kepada KPM dengan alasan sudah memperjuangkan di Musdesus. Untuk kasus seperti ini, apabila setelah diverifikasi ternyata betul maka kita serahkan kepada penegak hukum. Itu sebabnya dari awal di regulasi saya inginnya pemberian BLT Desa ini cashless. untuk memitigasi risiko keamanan. Tetapi dari sisi perbankan belum siap untuk melayani seluruh nasabah baru, dan dari sisi kebiasaan warga desa juga masih belum siap. *Wawancara ini disadur dari wawancara Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak dengan Menteri Desa PDTT pada kanal Youtube Frans Membahas