Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap 5 lainnya
Fokus COVID-19 dan Problem Sektor Keuangan di Indonesia Untuk meningkatkan daya tahan sektor keuangan, diperlukan diagnosa terkait problem sektor keuangan di Indonesia. Permasalahan sektor keuangan pada dasarnya mencakup beragam aspek, namun permasalahan paling berat dapat dikaitkan dengan kondisi eksisting saat ini, khususnya hantaman pandemi COVID-19. Berdasarkan hasil analisa dari berbagai sumber referensi, persoalan pertama sektor keuangan adalah terkait informasi yang asimetris ( asymmetric information ), yang dapat menjadi sumber instabilitas keuangan yakni suatu situasi dimana satu pihak yang terlibat dalam kesepakatan keuangan tidak memiliki informasi yang akurat dibanding pihak lain (Ojo, 2010). Dalam konteks COVID-19 misalnya, persoalan tersebut akan mempertinggi risiko lembaga keuangan di tengah lingkungan ekonomi yang penuh dengan ketidakpastian. Persoalan kedua adalah terkait moral hazard , yang biasanya terjadi sesudah transaksi dilakukan pemberi pinjaman berada dalam posisi yang menerima risiko atas usaha yang dilakukan peminjam. Persoalan ketiga adalah belum berjalannya intermediasi lembaga keuangan secara optimal bagi masyarakat kelas bawah. Sektor keuangan secara umum digerakkan oleh dua jenis lembaga keuangan (IMF, 2012), yaitu: (i) lembaga perbankan; dan (ii) lembaga non perbankan, seperti pasar modal, lembaga pembiayaan, dana pensiun, asuransi, dan pegadaian. Secara ideal, lembaga keuangan berfungsi dalam menyalurkan dana dari pihak yang mempunyai dana ( surplus of funds ), dan pihak yang membutuhkan dana ( lack of funds ) yang dinilai mempunyai manajemen yang lebih baik dalam mengelola risiko ekonomi. Lembaga keuangan mempunyai lima fungsi penting bagi perekonomian (IMF, 2012), yaitu: (i) memobilisasi tabungan; (ii) mengelola risiko; (iii) menciptakan peluang investasi; (iv) efisiensi dan efektivitas transaksi; dan (v) memfasilitasi pertukaran barang dan jasa. Isu penting sebagai representasi kurang optimalnya lembaga keuangan adalah rendahnya tingkat aksesibilitas keuangan bagi masyarakat miskin. Aksesibilitas ini menyangkut kelompok masyarakat yang belum dapat mengakses (ditolak) pada sistem keuangan formal. Padahal dalam kasus COVID-19, banyak masyarakat kelas bawah sebagai pelaku yang terkena dampak signifikan. Tantangannya dikarenakan faktor harga maupun non-harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Salah satu tantangan dalam pelaksanaan sistem keuangan di Indonesia adalah belum optimalnya industri keuangan yang menawarkan produk atau layanan keuangan yang customer-centric disertai infrastruktur finansial yang baik. Selain itu, lembaga keuangan belum bisa memberikan kemudahan akses keuangan yang berkualitas dengan biaya terjangkau dan tidak rumit. Sementara, pilar sistem keuangan inklusif sampai sejauh ini masih belum optimal (Annisa et. al, 2019), yakni: (i) edukasi dan perlindungan konsumen; (ii) pemetaan informasi keuangan; (iii) fasilitas intermediasi; (iv) saluran distribusi; dan (v) regulasi yang mendukung. Pada pihak yang lain, permasalahan dari sisi demand adalah masih rendahnya kapabilitas keuangan ( lack of financial capability ), edukasi dan kepercayaan publik serta akses keuangan yang berkualitas. Risiko lain terkait COVID-19 adalah pengetatan kondisi keuangan, dan pada saat yang sama terdapat tingginya tingkat utang perusahaan. Padahal banyak kasus pandemi terdapat pelemahan industri investasi dan kemungkinan krisis utang di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia. COVID-19 menjadi ancaman resesi, dan meningkatkan biaya pinjaman sehingga menyebabkan tekanan pada perusahaan dalam skala besar. Ragam persoalan tersebut mampu mengganggu kesinambungan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan memberikan risiko terhadap stabilitas keuangan domestik. Penguatan dan Stabilitas Daya Tahan Sektor Keuangan Untuk mengatasi beragam persoalan sektor keuangan, maka dibutuhkan stabilitas sistem keuangan yang berkelanjutan. Dalam konteks
Fokus COVID-19, penguatan dan stabilitas sektor keuangan sudah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang. Dalam undang-undang tersebut, penguatan dan stabilitas sektor keuangan dilakukan sejalan dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial, dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Untuk menegaskan penguatan sektor keuangan sebagaimana dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020, maka stabilitas keuangan harus dilakukan dengan melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ). Untuk itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai dalam memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan. Secara teoritis, stabilitas keuangan bukanlah suatu target akhir, namun lebih kepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi program PEN. Jika lembaga- lembaga keuangan dan pasar keuangan yang berperan sebagai mediator keuangan berada dalam kondisi tidak stabil ataupun menghadapi ketidakpastian, maka dapat dipastikan aktivitas perekonomian akan sulit berlangsung karena rendahnya aktivitas produksi, konsumsi maupun investasi. Disamping itu, dalam kondisi tingkat inflasi yang tinggi, akan sulit bagi perekonomian suatu negara untuk tetap kompetitif dalam menghadapi persaingan global. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, penguatan sektor keuangan dilakukan dengan perluasan kewenangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang mencakup: (i) penguatan kewenangan BI dan LPS untuk mencegah risiko yang membahayakan sistem keuangan; dan (ii) kebijakan penguatan kewenangan Pemerintah untuk memberikan pinjaman kepada LPS dalam menangani permasalahan perbankan dan stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, dibutuhkan penguatan koordinasi antara pemerintah, BI, dan OJK sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Di luar kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, penguatan dan stabilitas daya tahan sektor keuangan dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan solusi mendasar untuk menciptakan daya tahan sektor keuangan yang bersifat berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga solusi mendasar, yang menurut Narain et al. (2012) adalah sebagai berikut: Pertama adalah kesehatan lembaga keuangan, yaitu lembaga-Iembaga keuangan yang eksis dalam sistem keuangan berada dalam kondisi sehat dan stabil. Indikator kesehatan lembaga keuangan yakni dapat memenuhi seluruh kewajibannya tanpa dukungan / bantuan pihak luar (eksternal). Pentingnya kesehatan lembaga keuangan dalam menciptakan sistem keuangan yang sehat khususnya dalam menghadapi ancaman shock eksternal seperti COVID-19 antara lain: (i) karakteristik lembaga keuangan yang rentan terhadap penarikan dana dalam jumlah besar; (ii) penyebaran kerugian diantara lembaga keuangan sangat cepat sehingga berpotensi menimbulkan problem yang sistemik; (iii) proses penyelesaian lembaga keuangan bermasalah membutuhkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit; (iv) potensi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan ( financial distress ); dan (v) ketidakstabilan lembaga keuangan akan berdampak pada kondisi makroekonomi, khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya transmisi kebijakan moneter. Kedua adalah pasar keuangan yang berkeadilan, yaitu sistem keuangan yang dituntut agar senantiasa stabil, yaitu sehat, transparan, dan dikelola dengan baik ( well managed ). Pendalaman kerentanan ekonomi akibat COVID-19 dalam banyak kasus disebabkan belum baiknya tata kelola pelaku keuangan domestik. Dengan
Fiskal Internasional Pilar berikutnya berfokus pada bantuan internasional untuk negara-negara yang paling membutuhkan. Forum G20 juga mengambil peran aktif dalam memimpin koordinasi pemberian bantuan bagi berbagai negara yang terdampak paling besar oleh pandemi. Koordinasi ini melibatkan IMF, Bank Dunia, bank pembangunan multilateral, kreditor swasta dan bank sentral demi tercapainya respon yang efektif untuk menjawab dampak pandemi. Berbagai macam bantuan yang dihasilkan sejauh ini, antara lain keringanan utang bagi 27 negara senilai 177 juta Special Drawing Rights (SDR) oleh IMF, bantuan bagi negara berkembang dan berpendapatan rendah dari bank pembangunan multilateral yang dikoordinir oleh Bank Dunia yang bernilai 230 miliar dolar AS, serta implementasi Debt Service Suspension Initiative (DSSI) yang digagas Forum G20 demi memberikan penangguhan utang negara- negara berpendapatan rendah yang jatuh tempo pada Mei hingga Desember 2020. Berbagai bantuan diberikan dengan tujuan untuk memberikan ruang fiskal bagi berbagai negara yang paling terdampak pandemi untuk dapat merespon kondisi domestik secara optimal. Saat ini telah terdapat 42 negara yang mendaftarkan dirinya pada DSSI dengan estimasi penangguhan utang sebesar 5.3 triliun dolar AS. Melihat kondisi pandemi saat ini yang belum membaik secara signifikan dan merata, maka Forum G20 juga mendiskusikan kemungkinan perpanjangan program DSSI hingga tahun 2021. IMF dan Bank Dunia akan bekerja sama mempersiapkan laporan atas kebutuhan likuiditas negara-negara yang berhak, untuk dijadikan rujukan dalam menentukan perpanjangan program DSSI. Pilar terakhir adalah pelajaran untuk masa mendatang yang bertumpu pada pemantauan risiko dan peningkatan kesiapan global untuk menghadapi apabila krisis luar biasa masa terjadi di masa yang akan datang. Menyadari beragamnya sumber risiko yang ada, Forum G20 berkomitmen untuk membangun matrik dan analisis mendalam atas risiko dari berbagai sektor melalui kerjasama dengan IOs. Salah satu risiko tersebut adalah terkait volatilitas aliran modal yang dapat mengancam stabilitas ekonomi global. Atas hal tersebut, Forum G20 bersama dengan IOs akan melakukan analisis mendalam untuk mendapatkan akar penyebab volatilitas, dan mempersiapkan upaya mitigasi dan menu kebijakan untuk menjawabnya. Peran pasar modal domestik merupakan kunci dalam memitigasi volatilitas tersebut dan memperkuat kestabilan keuangan. Belum jelasnya akhir dari pandemic COVID-19 ini membuat Forum G20 terus melakukan adaptasi dan evaluasi dari G20 AP ini. Terlepas dari penemuan vaksin yang diperkirakan pada awal 2021, masih terdapat tantangan seperti distribusi vaksin ke semua negara dan proses vaksinasi hingga mencapai herd immunity . Sementara itu, pembatasan mobilitas masyarakat karena pandemi, tidak berhenti memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan koordinasi dan kerja sama internasional yang terjaga dan teregulasi dengan baik, dukungan yang diberikan saat ini diharapkan terus berlanjut hingga pandemi COVID-19 teratasi.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
dan produktif dengan fokus pada sektor informal, UMKM, petani, nelayan, sektor korporasi, dan BUMN yang memiliki peran strategis bagi masyarakat,” ujar Ubaidi. Langkah lain yang akan diterapkan yakni menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan efektivitas perlindungan sosial, memperkuat kebijakan dalam pengendalian impor khususnya pangan, serta meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN). Empat pilar kebijakan teknis perpajakan Terjadinya perlambatan aktivitas ekonomi menjadi tantangan bagi pendapatan negara. Kinerja ekspor dan impor melemah, begitu pula dengan konsumsi dan investasi yang turut menurun. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ihsan Priyawibawa mengatakan, pada tahun 2021, pemerintahan akan melakukan optimalisasi pendapatan yang inovatif dan mendukung dunia usaha untuk pemulihan ekonomi. “Dari sisi perpajakan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya perluasan basis pajak, dan perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan tax ratio ,” tutur Ihsan. Lanjutnya, penerapan Omnibus Law Perpajakan dan pemberian berbagai insentif fiskal juga diharapkan mampu mendorong peningkatan investasi dan daya saing nasional, mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, serta memacu transformasi ekonomi. “Kebijakan teknis pajak yang akan diimplementasikan pada tahun 2021 dapat dikategorikan menjadi empat pilar kebijakan besar,” ungkap Ihsan. Pertama, mendukung pemulihan ekonomi nasional melalui pemberian insentif perpajakan yang selektif dan terukur. Kedua, memperkuat sektor strategis dalam rangka transformasi ekonomi antara lain melalui terobosan regulasi, pemberian insentif pajak yang lebih terarah, dan proses bisnis layanan yang user friendly berbasis IT. Pilar ketiga ialah meningkatkan kualitas SDM dan perlindungan untuk masyarakat dan lingkungan. Sementara, pilar terakhir ialah mengoptimalkan penerimaan pajak. Langkah ini akan diimplementasikan dalam bentuk pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), serta ekstensifikasi dan pengawasan berbasis individu dan kewilayahan. Selain itu, pemerintah juga akan meneruskan reformasi perpajakan yang meliputi bidang organisasi, SDM, dan IT. Menurut Ihsan, selama ini sektor industri pengolahan dan perdagangan menjadi penyumbang utama penerimaan pajak. Terkait dengan basis pajak baru, ia menerangkan, dari sisi aspek subjek pajak, pendekatan kewilayahan menjadi fokus utama DJP. “Adapun dari aspek objek pajak, salah satunya adalah dengan meng- capture objek pajak dari aktivitas PMSE yang semakin marak seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kondisi pandemi COVID-19 sekarang ini,” pungkasnya. Pembiayaan fleksibel dan responsif Penyusunan RAPBN 2021 masih belum terlepas dari situasi pandemi. Oleh sebab itu, sektor pembiayaan harus tetap antisipatif terhadap kebutuhan APBN dalam rangka pemulihan ekonomi akibat pandemi. Hal tersebut disampaikan Direktur Strategi dan Portofolio Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Riko Amir, dalam kesempatan wawancara dengan Media Keuangan. “Untuk arah kebijakan pembiayaan tahun depan, pembiayaan tetap fleksibel dan responsif terhadap kondisi pasar keuangan, tetapi juga tetap prudent dan memperhatikan kesinambungan fiskal,” terang Riko. Pihaknya juga terus berupaya mengembangkan skema pembiayaan yang kreatif dan inovatif, yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. “Nah, yang paling penting, pada 2021 juga harus ada efisiensi terhadap biaya utang itu sendiri,” kata Riko yang merupakan alumnus Univesity of Groningen tersebut. Untuk tahun depan, pihaknya akan mendorong biaya bunga utang bisa makin efisien, seiring dengan pendalaman pasar keuangan, perluasan basis investor, penyempurnaan infrastruktur Surat Berharga Negara (SBN) itu sendiri, serta diversifikasi pembiayaan. “Indonesia tidak bisa mengelak dari pandemi ini. Oleh karena itu, pemerintah melakukan kebijakan counter cyclical di mana ketika pertumbuhan ekonominya menurun, pemerintah melakukan berbagai cara untuk membantu boosting ekonomi,” ujar Riko. Di sisi lain, Riko mengungkapkan sejumlah lembaga pemeringkat utang melihat Indonesia telah melakukan kebijakan on the right track dan mampu menjaga stabilitas makroekonominya. Pada bulan Agustus lalu, salah satu lembaga pemeringkat utang yaitu Fitch mempertahankan peringkat utang Indonesia pada posisi BBB dengan outlook stable . Fitch mengapresiasi pemerintah lantaran telah merespons krisis dengan cepat. Mereka menilai pemerintah telah mengambil beberapa tindakan sementara yang luar biasa, meliputi penangguhan tiga tahun dari plafon defisit 3 persen dari PDB dan pembiayaan bank sentral langsung pada defisit. “Penilaian tersebut menjadikan pemerintah lebih confidence dalam menjalankan peran untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah pandemi ini,” pungkas Riko Amir. Dengarkan serunya wawancara bersama para narasumber pilihan Media Keuangan
idak ada satu ahli di negara mana pun yang mengetahui dengan pasti bagaimana perkembangan virus ini ke depan. Tidak ada yang tahu pasti apakah akan ada obat yang bisa menyembuhkan. Tidak ada yang tahu pasti kapan vaksin untuk penyakit ini bisa ditemukan. Sementara kebijakan pengganggaran di tahun 2021 melalui RAPBN 2021 tak bisa lepas dari persoalan dan dinamika yang terjadi di tahun ini. Akan tetapi, pemerintah berupaya optimis dan tetap realistis dalam menentukan program-program tahun depan. Dono Widiatmoko, Senior Lecture University of Derby, Inggris menyampaikan bahwa ilmu pengetahuan mengenai virus dan penyakit ini masih amat terbatas. “Ilmu kita mengenai COVID-19 di seluruh dunia sama titik nolnya, di bulan Desember. Sampai sekarang belum ada evidence yang jelas. Bisa jadi saat ini belum ada evidence kita tertular dua kali, tapi kita tidak tahu kedepannya,” terangnya. Saat ditanya negara mana yang bisa menjadi panutan dalam penanganan pandemi, pria yang mengajar Health Economic ini menjelaskan bahwa ada kelebihan dan kekurangan dari strategi tiap negara menghadapi COVID-19. “Penanganan COVID-19 siapa yang paling benar di dunia ini, tak ada yang tahu. Contohnya New Zealand dengan Swedia, keduanya negara maju. Sementara penanganan COVID-19 keduanya berbeda 180 derajat. New Zealand full lockdown sementara Swedia tidak sebab mereka penganut herd immunity, tapi orang-orang tua dijaga. Namun, di sisi lain, New Zealand ekonominya mati, Swedia ekonominya jalan, tapi angka kematiannya tinggi. Nah, tergantung kita mau contoh yang mana,” jelasnya. Memulihkan ekonomi dari gempuran pandemi Di tengah ketidakpastian ekonomi, berbagai strategi dan kebijakan dikeluarkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Onny Widjanarko, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, berpendapat ada beberapa kebijakan baik yang telah dan akan dilakukan yang perlu diakselerasi sehingga ekonomi Indonesia dapat pulih lebih cepat. “Penanganan COVID-19 perlu dipercepat sehingga aktivitas sosial meningkat dan berimplikasi pada peningkatan aktivitas transaksi ekonomi. Sektor-sektor ekonomi yang dapat berjalan dengan protokol kesehatan perlu dibuka. Perlu percepatan penyerapan anggaran dengan jumlah besar dan inklusif. Selain itu, restrukturisasai kredit terutama UMKM dan perluasan pemanfaatan digital juga merupakan pilihan yang tepat,” tutur Onny. Hal senada juga disampaikan oleh Ralph Van Doorn, Senior Economist World Bank. Menurutnya, bangkitnya ekonomi di tengah ketidakpastian dapat dilakukan dengan menciptakan situasi yang kondusif bagi investasi, perdagangan dan inovasi dan meningkatkan kemampuan para pekerja melalui program Kartu Prakerja. Ia juga menambahkan bahwa upaya Indonesia untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur perlu dilanjutkan sebab hal tersebut merupakan strategi kunci dalam pemulihan ekonomi paskapandemi. Selain itu, meratakan kurva utang juga perlu dilakukan sebab pembayaran bunga yang meningkat akan mengurangi ruang fiskal. Melonggarkan PSBB, membuka ekonomi Dengan pelonggaran PSBB, kegiatan ekonomi mulai bergerak dan berdampak positif. Namun di sisi lain, hal ini berisiko menurunkan status kewaspadaan terhadap COVID-19. Menurut Ralph banyak negara, termasuk Indonesia, telah menghadapi trade- off antara memperlambat penyebaran COVID-19 dan mempertahankan aktivitas ekonomi. Melalui kebijakan yang tepat, ada peluang untuk bergerak dengan aman menuju New Normal . “Ada beberapa langkah konkret bagi Indonesia agar bisa mendapatkan peluang terbaik dalam membuka kembali perekonomian. Pemerintah harus fokus dalam memperluas kapasitas laboratorium pengujian, mengintegrasikan sistem informasi untuk pengawasan, mengumpulkan data dengan baik sehingga tingkat pandemi dapat diukur lebih akurat, memastikan ketersediaan dan kesiapan layanan kesehatan termasuk produksi dan distribusi vaksin COVID-19,” tambahnya. Sementara itu, Dono menyatakan bahwa efektivitas PSBB juga diragukan. Ia melakukan penelitian evaluasi PSBB dari beberapa variabel seperti google mobility report , ojek online dan jumlah polutan udara di Jakarta. “PSBB pasti ada pengaruhnya tapi besar atau kecilnya tergantung. Ada beberapa daerah yang sukses seperti Pekalongan, Malang, dan Banyumas, tapi sekarang bocor juga. Mengapa? Sebab, kita butuh menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dengan kesehatan. Maka kita perlu mengakomodasi ekonomi berjalan dengan tetap menjaga prinsip pencegahan penularan penyakit,” tuturnya. Alokasi anggaran untuk pandemi Ralph menilai langkah yang diambil Pemerintah Indonesia untuk mengakselerasi belanja produktif di sektor kesehatan, bantuan sosial dan dukungan terhadap industri dianggap tepat. “Bantuan sosial penting agar masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan pendapat tidak jatuh dalam jurang kemiskinan. Sebab, tanpa program tersebut, kami memprediksi sebanyak 5,5 -8 juta masyarakat Indonesia akan masuk ke dalam garis kemiskinan. Namun, penting agar program tersebut diberikan tepat sasaran. Data memperlihatkan bahwa penyaluran program PKH dan Kartu Sembako sudah sesuai, tetapi efektivitas penyaluran BLT Desa dan Kartu Pra Kerja masih perlu ditingkatkan terutama menghilangkan aspek-aspek yang memperlambat pencairan,” jelasnya. Membahas mengenai alokasi anggaran, Dono menyampaikan perspektifnya bahwa selama ini mayoritas anggaran kesehatan sebaiknya tak hanya dialokasikan pada anggaran kuratif saja namun juga perlunya fokus pada program preventif dan promotif. “Seharusnya yang menjadi prioritas adalah anggaran preventif dan promotif sebab penyakit ini (COVID-19) fokusnya adalah disiplin agar kita lebih sehat dan bisa lebih imun. Saat ini, akibat COVID-19 ada beberapa masalah kesehatan yang terabaikan dan itu yang terkait dengan pencegahan seperti pre-natal care dan imunisasi dengan tutupnya posyandu. Maka, saya mohon agar semua yang ada urusannya dengan investasi manusia di masa depan diproteksi”, ujar Dono. Proyeksi kondisi ekonomi ke depan Jika terjadi gelombang kedua COVID-19 di Indonesia, Ralph memperkirakan ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi yang lebih dalam dari ekonomi global sebesar 7,8 persen pada tahun 2020 dibandingkan dengan skenario dasar World Bank yaitu kontraksi 5 persen. “Jika ada gelombang kedua dan diikuti pembatasan mobilitas skala besar di kuartal III dan IV maka diprediksi ekonomi Indonesia akan berkontraksi sebanyak 2 persen pada tahun 2020. Selain itu, efek yang lebih terasa adalah hilangnya pendapatan dari konsumsi dan investasi,” paparnya. Sementara itu, Onny menyatakan optimismenya bahwa ekonomi Indonesia dapat tetap terjaga dan dipertahankan untuk tumbuh positif di tengah pandemi. “Pemerintah sudah bertekad dan all out agar negara kita tidak mengalami pertumbuhan negatif di sisa kuartal tahun 2020 ini. Ditambah lagi dengan melihat tema APBN 2021 yakni Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi. RAPBN 2021 disusun saat kondisi ekonomi global dan domestik mengalami tekanan dan tantangan luar biasa. Menurut kami, kebijakan yang diambil sudah pas,” ujarnya. Tak dipungkiri lagi, tahun 2020 menjadi tahun yang penuh gejolak. Namun demikian, Pemerintah terus memahat optimisme salah satunya melalui APBN 2021 yang didisain sebagai instrumen percepatan pemulihan ekonomi paskapandemi. Apa saja strategi pemerintah tahun depan, simak di laporan utama berikutnya. 11 MEDIAKEUANGAN 10 VOL. XV / NO. 156 / SEPTEMBER 2020 "...pada intinya kita perlu menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dengan kesehatan." Pemerintah mengakselerasi belanja produktif dalam rangka memberikan stimulus kepada perekonomian Foto Tino Adi P Dono Widiatmoko Senior Lecture University of Derby
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @achintyameswari: Nomor 3, karena dengan terbatasnya ruang gerak kita beberapa bulan terakhir, pandemi menunjukkan bahwa shifting ke teknologi digital makin tak terelakkan jika tak ingin makin tertinggal. Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Presiden Joko Widodo dalam pidato penyampaian Nota Keuangan beberapa waktu yang lalu menyebutkan kebijakan APBN 2021 diarahkan untuk: 1. percepatan pemulihan ekonomi nasional 2. reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas, inovasi, daya saing 3. percepatan transformasi ekonomi menuju era digital 4. pemanfaatan dan antisipasi perubahan demografi Jika menjadi Menteri Keuangan, program mana yang akan Anda beri alokasi anggaran terbanyak dan mengapa? @mike_adty: 1. Percepatan PEN karena belum ada kepastian kapan pandemi berakhir. Perlu percepatan dan berlangsungnya kesinambungan program ini untuk mengurangi dampak ekonomi dan imbasnya bagi masyarakat. 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 156 / SEPTEMBER 2020 Rahayu Puspasari Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu Pilih Mitra Distribusi Anda! Informasi lebih lanjut: www.kemenkeu.go.id/sukukritel djpprkemenkeu @DJPPRKemenkeu DJPPRKemenkeu DJPPRKemenkeu Imbal hasil (fixed rate) 6,05% p.a. Masa Penawaran 28 Agt - 23 Sep 2020 Dapat diperdagangkan Rp Minimum Pemesanan Rp1 juta #InvestasiRakyatPenuhManfaat SR013 SUKUK RITEL SERI Cintai Negeri dengan Investasi Menggandeng Optimisme dan Realitas B agaimana hawa pagi di sekitarmu? Beberapa waktu terakhir, udara dingin sering menusuk badan ketika dini hari menjelang. Puncak musim kemarau nampaknya sudah ada di depan mata. BMKG menuturkan hawa dingin yang terasa saat tengah malam dan bahkan terasa lebih dingin lagi menjelang pagi adalah fenomena penanda puncak musim kemarau tiba. Namun BMKG juga memprediksi puncak kemarau baru akan terjadi di awal September dan udara dingin akan kembali terasa. Itu adalah sebuah prediksi. Dari perkara prediksi cuaca, kita beralih ke prediksi ekonomi di tahun depan. Meski pandemi masih belum berhenti, pemerintah tetap fokus mempersiapkan diri menghadapi tahun 2021 yang sudah di depan mata. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo melalui pidatonya telah menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 pada sidang tahunan MPR/DPR. Nota Keuangan dan RAPBN 2021 berisi prediksi atau asumsi dan target pemerintah yang akan menjadi acuan pelaksanaan berbagai program pemerintah dan pengelolaan keuangan negara di tahun depan. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menegaskan beberapa program yang menjadi fokus pemerintah untuk tahun 2021 mendatang. Program- program tersebut antara lain percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19; reformasi struktural; percepatan transformasi ekonomi menuju era digital; serta pemanfaatan dan antisipasi perubahan demografi. Sama halnya dengan ketidakpastian perubahan suhu cuaca antara siang dan malam yang akhir-akhir ini bisa sangat drastis terjadi, RAPBN 2021 ini juga disusun dengan mengantisipasi ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia di tahun depan. Meski di tengah situasi yang serba tidak pasti, penyusunan RAPBN 2021 mengusung semangat optimisme namun tetap realistis. Optimisme dan realitas sama-sama diusung dan dituangkan dalam RAPBN 2021. Optimisme tersebut salah satunya terlihat dari asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipatok tumbuh mencapai 4,5 persen - 5,5 persen di tahun depan. Namun demikian, program percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19 tetap terus dilakukan. Nota Keuangan dan RAPBN 2021 adalah dokumen milik bersama, tidak hanya milik Kementerian Keuangan maupun pemerintah saja. Publik atau masyarakat juga diharapkan dapat turut memberikan masukan sekaligus pengawasan dalam pelaksaannya nanti. Di edisi ini, pembaca dapat memperoleh info lebih detil mengenai isi dari RAPBN 2021. Semoga pengalaman pandemi COVID-19 di tahun ini justru menjadi momentum untuk melakukan perbaikan dan reformasi di berbagai bidang sehingga cita-cita bangsa yaitu mewujudkan Indonesia Maju dapat segera tercapai. Selamat membaca!
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @zemyherda: Menurut saya untuk saat ini pemerintah baiknya fokus pada sektor dunia usaha karena stimulus yang diberikan belum cukup untuk mengembalikan iklim usaha sehat. @atri.widi: Dunia usaha karena jika ekonomi Indonesia kuat, Indonesia akan maju dan bisa pulih dari pandemi ini @sasmitanarax: Bidang kesehatan, karena saat ini tantangan utamanya adalah bagaimana wabah ini bisa ditekan penyebarannya hingga seluruh aktivitas bisa berjalan kembali Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Menurut Anda, sektor mana yang harusnya menjadi prioritas utama pemerintah dalam usaha menangani pandemi ini? a. Bidang Kesehatan b. Jaminan Keamanan Sosial c. Dunia Usaha 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Rahayu Puspasari Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu Perjuangan Meredam Pandemi D EJAVU! Seabad yang silam, tepatnya tahun 1918 sampai dengan 1921, dunia pernah diserang wabah influenza bernama flu Spanyol dikarenakan serangan terbesarnya terjadi di Madrid. Pada saat itu, tak ada negara yang luput dari serangannya termasuk Indonesia. Penularannya yang sangat cepat dan luas berakibat pada jumlah korban amat tinggi. Korban berjatuhan begitu masif sementara jumlah tenaga medis dan jumlah sarana kesehatan tak sebanding. Banyaknya pasien gawat membuat sekolah dan bangunan lainnya disulap menjadi rumah sakit darurat. Belum lagi sistem perawatan kesehatan yang berbeda antara si miskin dan si kaya. Pekerja harian pun mulai kehilangan penghasilan. Pengangguran meledak. Sukarelawan merebak. Ekonomi terpuruk. Tunggu dulu, ini gambaran tahun 1920 atau Maret 2020? Kenapa begitu sama? Begitulah siklus pandemi. Krisis kesehatan berubah menjadi krisis kemanusiaan karena korban berjatuhan. Manusia harus mengurangi interaksi untuk mencegah penyebaran. Akibatnya roda ekonomi berhenti. Pandemi flu COVID-19 yang sedang mengguncang dunia ini juga telah mengacaukan keadaan global termasuk situasi ekonominya. Laporan IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia akan mengalami minus hingga 3persen di 2020 akibat COVID-19 sementara lembaga lain menggunakan asumsi yang berbeda. Beragam proyeksi ini muncul karena tak ada yang dapat memperkirakan dengan pasti kapan krisis ini akan berakhir. Langkah mencegah terjadinya krisis ekonomi pun dilakukan secara cepat dan masif. Presiden Joko Widodo telah menegaskan agar pemerintah melakukan realokasi anggaran ke 3 fokus utama: bidang kesehatan, perlindungan sosial atau jaring pengamanan sosial, dan insentif ekonomi bagi dunia usaha. Berbagai payung hukum terbit seperti Perppu dan aturan turunannya untuk menjalankan program ini. Pemerintah bersama KSSK mengumumkan kondisi stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun potensi risiko dari makin meluasnya dampak penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan perlu terus diantisipasi. Berbagai bantuan sosial dan stimulus fiskal disiapkan menghadapi tekanan dan khususnya membantu masyarakat miskin dan rentang miskin, serta menyelamatkan UMKM. Dejavu pandemi seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Namun kebijakan dan langkah-langkah penyelamatan ekonomi dan keuangan adalah keniscayaan. Sampai di manakah perjuangan? Dapatkan jawaban mengenai upaya dan ikhitiar pemerintah yang tak kenal lelah di edisi ini. Selamat membaca!
Opini Pembasmi Pandemi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Riza Almanfaluthi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda INSENTIF PAJAK B ermula dari Wuhan pada akhir Desember 2019, Corona Virus Disease (COVID-19) menyebar ke seluruh penjuru mata angin dan belum usai sampai ditulisnya artikel ini pada awal Mei 2020. Lebih dari 3,7 juta orang di seluruh dunia terinfeksi dan tak kurang dari 258 ribu orang di antaranya meninggal dunia. Tentu saja wabah global ini memukul pertumbuhan ekonomi dunia. IMF memprediksikan pertumbuhan ekonomi menjadi negatif. The Economist Intelligence Unit memperkirakan skenario terburuk sampai pada -2,2persen. Indonesia pun tidak luput dari bencana global ini, yang apabila dampaknya tidak ditangani dengan serius akan mengakibatkan kerusakan sangat parah di setiap lini kehidupan, terutama untuk masyarakat miskin dan rentan miskin yang kehilangan penghasilannya. Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta (Senin, 20/04/2020) sampai mengutarakan kemendesakan situasi dan tindakan yang harus dilakukan oleh Kementerian terkait seperti Kementerian Sosial dan Kementerian Keuangan. Intinya, Presiden meminta agar bantuan sosial harus segera turun pada pekan ketiga April 2020 tersebut. Keterlibatan Kementerian Keuangan dalam bantuan sosial itu tak lepas dari perannya sebagai bendahara negara yang mengalokasikasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk mencegah krisis ekonomi dan keuangan. Angka tersebut antara lain digunakan untuk intervensi penanggulangan melalui insentif tenaga medis dan belanja penanganan kesehatan sebesar Rp75 triliun, program jaring pengaman sosial masyarakat sebesar Rp110 triliun, sektor industri melalui insentif perpajakan dan stimulus Kredit usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp70,1 triliun, dan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun. Cahaya di ujung terowongan Yang menarik dari senarai di atas adalah dinamika insentif pajak yang secara beruntun diterbitkan oleh Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/ PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona dan PMK Nomor 28/ PMK.03/2020 tentang Pemberian Fasilitas terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019. Bahkan kebijakan terkini adalah PMK Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang memberikan perluasan insentif pajak dan mencabut PMK Nomor 23/PMK.03/2020 karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan. Ketiga PMK ini sejatinya merupakan bentuk respons cepat Kementerian Keuangan atas telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019 (COVID-19) __ dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. PMK 44/2020 menyebutkan ada lima fasilitas pajak yang disediakan pemerintah selama 6 bulan berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja berpenghasilan bruto tidak lebih dari Rp200 juta, PPh Final UMKM DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30persen, dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipercepat. PMK 44/2020 ini memperbanyak sektor usaha yang mendapatkan insentif. Contohnya insentif PPh Pasal 21 DTP yang pemberiannya diperluas kepada 1062 sektor usaha. Masyarakat mengakses situs web pajak.go.id untuk mendapatkan insentif itu secara daring. Kelima insentif pajak ini bisa diibaratkan seperti cahaya di ujung terowongan. Kita ingin daya beli masyarakat dapat dipertahankan melalui tambahan penghasilan bagi para pekerja dan UMKM, laju impor ajeg buat industri karena adanya stimulus, stabilitas ekonomi dalam negeri dapat terjaga, ekspor dapat meningkat, dan manajemen kas lebih optimal. Memperkuat garis depan Dibandingkan PMK 44/2020 yang insentif pajaknya lebih menitikberatkan pada pemulihan sektor terdampak, maka insentif pajak dalam PMK 28/2020 lebih difokuskan untuk memperkuat garis depan di medan juang pembasmian COVID-19. Hakikinya agar barang dan jasa yang dibutuhkan dalam penanganan wabah mudah diperoleh dan tersedia dengan cepat. Kita sadari bahwa pemenuhannya berkejaran dengan waktu. Tidak boleh main-main dan lambat karena ini menyangkut nyawa 270 juta rakyat Indonesia. Barang- barang itu seperti obat-obatan, vaksin, peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, peralatan pelindung diri, peralatan untuk perawatan pasien. Sedangkan jasa seperti jasa konstruksi, konsultasi, teknik, manajemen, persewaan, dan jasa pendukung lainnya. Insentif pajak dalam PMK 28/2020 ini juga lebih variatif, yaitu PPN Tidak Dipungut atas impor barang, PPN DTP atas jasa dari luar daerah pabean, PPN DTP atas penyerahan barang di dalam daerah pabean, dan pembebasan PPN atas impor barang yang digunakan untuk pemanfaatan jasa. Yang lainnya adalah insentif pajak berupa pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 22 Impor serta pembebasan pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Insentif ini diberikan selama 6 (enam) masa pajak mulai April sampai dengan September 2020. Tidak perlu lama karena kita semua juga ingin wabah ini segera berakhir agar kita bisa membangun dan menata kembali negeri ini.
17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Pandemi global Covid-19 yang juga melanda Indonesia tidak saja menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga membawa implikasi bagi perekonomian nasional. Langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat dan upaya penyebaran pandemi, sekaligus penyelematan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan telah dilakukan Pemerintah. Seberapa besar dampak pandemi COVID -19 terhadap ekonomi dan apa yang telah dilakukan pemerintah? KESEHATAN MASYARAKAT SEBAGAI P i l a r E k o n o m i N a s i o n a l India 1,9% tiongkok 1,2% 1,2% indonesia 0,5% 2,5% korea selatan -1,2% 0,8% singapura -3,5% 10,9% Malaysia 10% australia 10,9% amerika serikat -6,1% 10,5% brazil -5,3% kanada 6,0% inggris -6,5% jerman -7% spanyol -8% 0,7% arab saudi 2,7% italia 1,4% perancis 2% Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Akibat COVID -19 (Beberapa Negara) Dukungan Fiskal Negara-Negara di Dunia untuk Penanganan Covid-19 (Beberapa Negara) keterangan Kebijakan Stimulus RI dalam menangani dampak pandemi Covid-19 Stimulus 1: Belanja untuk memperkuat perekonomian domestik melalui program: Percepatan pencairan belanja modal Percepatan pencairan belanja Bantuan Sosial Transfer ke daerah dan dana desa Perluasan kartu sembako Insentif sektor pariwisata Stimulus 2: Menjaga Daya Beli Masyarakat dan Kemudahan ekspor impor PPh pasal 21 pekerja sektor industri pengolahan yang penghasilan maks Rp200 juta ditanggung pemerintah 100% PPh pasal 22 impor 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30% kepada 19 sektor tertentu Restitusi PPN dipercepat bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Non fiskal: berbagai fasilitas keluar masuk barang supaya lebih mudah Stimulus lanjutan: Sektor Kesehatan: intervensi untuk penanganan COVID-19 dan subsidi iuran BPJS Tambahan Jaring Pengaman Sosial: penambahan penyaluran PKH, Bansos, Kartu Pra Kerja, subsisid tarif listrik, program jaring pengaman sosial lainnya Dukungan industri berupa perluasan insentif pajak untuk PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, bea masuk DTP, stimulus KUR Dukungan untuk dunia usaha berupa pembiayaan untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional termasuk untuk Ultra Mikro 4 pokok kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam rangka pencegahan/penanganan pencegahan/penanganan Covid-19: Penyesuaian Alokasi TKDD Refocusing TKDD agar digunakan untuk penanganan COVID-19 Relaksasi penyaluran TKDD Refocusing belanja APBD agar fokus pada penanganan COVID-19 Infografik MEDIAKEUANGAN 16 17 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
29 MEDIAKEUANGAN 28 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020 Gesit Beraksi di Tengah Pandemi Teks A. Wirananda BIRO HUKUM, SEKRETARIAT JENDERAL Foto Dok. Biro Hukum Rina Widiyani dalam beberapa kegiatan D irektur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada 11 Maret 2020 menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi global. “Kami meminta negara-negara untuk melakukan tindakan yang mendesak dan agresif,” katanya dalam siaran pers di Jenewa. Dampak pandemi ini meluas ke berbagai penjuru dan menghantam sektor perekonomian, termasuk Indonesia. Pemerintah perlu meramu sejumlah jamu untuk melawan wabah ini sekaligus memulihkan segala hal yang terimbas. Berbagai kebijakan dikeluarkan semata-mata demi kelancaran penanganan wabah. Kementerian Keuangan, sebagai pengambil kebijakan di salah satu sektor yang terguncang paling hebat, mau tak mau dituntut untuk gesit bertindak. Kegentingan memaksa Sebagai respon atas suasana suram di tengah pandemi, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Perppu ini diterbitkan sebagai ikhtiar Pemerintah dalam upaya penanganan dampak akibat pandemi COVID-19 yang meluas ke berbagai sektor. Rina Widiyani Wahyuningdyah, Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan mengatakan bahwa pandemi COVID-19 di Indonesia telah berdampak pada beberapa hal antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. “Untuk itu, Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak,” ujarnya. Rina menjelaskan bahwa Penerbitan Perppu didasarkan pada kewenangan Presiden sesuai titah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Pasal 22 ayat 1 berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Pemegang gelar master dari University of Illinois ini mengatakan Perppu ini memantapkan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang diperlukan. “Dengan adanya landasan hukum setingkat undang-undang tersebut, Pemerintah mempunyai dasar yang kuat untuk dapat menerapkan kebijakan- Foto Dok. Biro KLI Gedung Djuanda Kementerian Keuangan
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Finansial Dana Darurat Saat Pandemik Lagi bikin apa sih ? Kok serius banget? Hehe. Bikin resolusi tahun baru, Mas Wah keren! Jadi apa nih resolusi di tahun 2020 ? “TERLALU BANYAK BERANDAI” Cerita : Yani Kurnia A. Gambar : Ditto Novenska Mas Praim Praim, ada tanggal cantik nih 02-02-2020 Bayangin deh..kerenpasti nikah di tanggal itu, kamu gak pengen? Mana tanggalnya hari libur, pasti banyak yang dateng Kapan aku ngebayanginnya kalo Mas ngomong terus ? Bayangin..orangtuamu pasti bang-- MEDIAKEUANGAN 46 P erekonomian global di awal tahun 2020 sedikit mendapat sentimen positif yang ditandai dengan adanya perjanjian damai dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling memehuni kontrak dagang pada periode pertama ini. Berdekatan dengan berita tersebut, perekonomian dunia kembali diterpa ketidakpastian yang datangnya dari isu geopolitik antara Amerika Serikat dan Irak. Isu ini lebih mengarah pada harga komoditas minyak yang dikhawatirkan akan terus mengalami kenaikan karena potensi perang antara kedua negara yang dapat mengganggu suplai minyak dunia. Tidak berhenti disitu, headline berita di seluruh dunia dipenuhi pemberitaan kasus virus Corona yang menimpa Tiongkok yang semakin parah di sekitar bulan Januari 2020 dan masih berlangsung hingga hari ini. Pada Maret 2020, virus Corona ditetapkan sebagai pandemi dimana berdasarkan pengertian WHO dikaitkan dengan sebuah virus baru yang dengan cepat menyebar ke beberapa benua. Faktanya, kebanyakan orang tidak kebal terhadap virus ini sehingga pandemi ini menyebabkan aktifivitas masyarakat terganggu dan menimbulkan korban jiwa secara terus menerus. Pandemi terakhir terjadi di 2009 yang dikenal dengan Swine Flu dengan total korban jiwa sebesar 575.000. Analisis dari beberapa lembaga riset memproyeksikan bahwa ekonomi di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang akan mengalami resesi. Seharusnya dapat dipahami secara mendasar, ketika ekonomi dunia atau suatu negara sudah mencapai kapasitas ekspansi maksimum, hal ini pasti akan diikuti dengan fenomena perlambatan ekonomi yang berujung pada resesi. Pandemik ini tentunya dapat menjadi pemicu terjadinya gejolak di dunia maupun Indonesia karena berpotensi menciptakan economic shocks . Lalu bagaimana dengan Indonesia yang sudah mengeluarkan berita resmi terkait kasus positif virus Corona dan jumlah korban jiwanya? Apa yang dapat kita lakukan di kondisi seperti ini?. Tentunya dengan level ketidakpastian yang semakin tinggi, dana darurat menjadi hal yang paling utama dan mendasar untuk dipersiapkan. Investasi dalam bentuk surat utang negara menjadi pilihan yang lebih aman ketika kondisi ini. Namun, investasi di aset portofolio seperti saham juga dapat menjadi peluang yang sangat baik karena banyak saham-saham berfundamental baik sudah mengalami koreksi harga yang cukup dalam. Lakukan evaluasi kembali terkait komposisi aset dan arus kas Anda. Bagi kelas menengah, Anda dapat membantu mengangkat perekonomian Indonesia melalui aktifivitas konsumsi. Konsumsi Anda sangat membantu pergerakan ekonomi di sektor UMKM dan keberlangsungannya. Kalangan konglomerat dapat saling berkompromi untuk berinvestasi dan menciptakan lapangan pekerjaan dimana banyak sekali peluang yang dapat dimanfaatkan untuk tetap memberikan manfaat guna menjaga kelangsungan perekonomian Indonesia. Mari kita wujudkan hidup sehat dari sisi jasmani dan sehat secara finansial di tengah pandemik virus Corona ini.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Laporan Utama KOMITMEN KUAT BANTU MASYARAKAT Teks Reni Saptati D.I MEDIAKEUANGAN 12 Program bantuan pemerintah diharapkan mampu menjaga daya beli di tengah kemerosotan ekonomi yang sudah dirasakan masyarakat desa sejak awal pandemi merebak Foto Storypost / Taufiqurrokhman Teks Reni Saptati D.I MEDIAKEUANGAN 12 Prof. Hasbullah Thabrany ahli kesehatan masyarakat Desa dapat cepat pula dirasakan oleh keluarga miskin/tidak mampu di desa yang mengalami dampak ekonomi akbita pandemi COVID-19.” Ketepatan waktu penyaluran, menurut Sri, juga didukung oleh kapasitas SDM yang sangat baik dan memadai, baik di desa maupun di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) sebagai mitra kerja KPPN Denpasar. “Sebagai informasi tambahan, atas kinerja penyaluran Dana Desa pada 2019, desa di Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung ditetapkan menjadi Desa Mandiri sehingga berhak menerima penyaluran Dana Desa sebesar 60 persen dari pagu secara lebih awal dibandingkan desa lain yang hanya memperoleh 40 persen pada awal penyaluran,” jelas Sri. Menjaga daya beli Kebijakan keuangan negara pada masa pandemi mengakibatkan Dana Desa tahun 2020 mengalami penyesuaian menjadi Rp71,19 triliun dari sebelumnya Rp72 triliun. Karenanya, Direktur Dana Transfer Umum Ditjen Perimbangan Keuangan Adriyanto mengungkapkan pihaknya melakukan revisi terhadap PMK 205/2019 tentang pengelolaan Dana Desa. PMK 50/2020 merupakan revisi kedua yang mengatur relaksasi persyaratan, tahapan penyaluran, serta prioritas penggunaan Dana Desa. “Dana Desa diprioritaskan untuk menanggulangi dampak ekonomi atas pandemi COVID-19, berupa kegiatan penanganan pandemi dan jaring pengaman sosial di desa,” ujar pria yang meraih gelar Ph.D dari Australian National University itu. S elasa, 19 Mei 2020. Hari di Denpasar sudah merayap menuju gelap. Menteri Keuangan di Jakarta baru saja menerbitkan PMK 50/2020 yang mengubah ketentuan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa. Selasa malam itu pula, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Denpasar menerima informasi perubahan ketentuan. Dalam waktu bersamaan, mereka mendapat instruksi agar segera menyalurkan BLT Desa keesokan hari. Keluarga miskin dan tidak mampu di desa tak boleh menunggu lebih lama. Kepala KPPN Denpasar Sri Martini menuturkan, pada 20 Mei 2020, seluruh petugas operator, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) penyalur Dana Desa standby untuk menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Surat Perintah Membayar (SPM). “Demikian pula sebagai Bendahara Umum Negara, Seksi Pencairan Dana dan Seksi Bank mengawal penyelesaian SPM sehinga Surat Perintah Pencairan Dana dapat terbit tanggal 20 Mei 2020,” ungkap wanita yang mulai memimpin KPPN Denpasar sejak Juni tahun lalu tersebut. Kerja keras seluruh tim di KPPN Denpasar menjadikannya sebagai KPPN yang tercepat dalam menyalurkan BLT Desa tahap I. Masyarakat di wilayah kerjanya yang meliputi Denpasar, Gianyar, Badung, dan Tabanan, dapat menerima BLT Desa tepat waktu. Sri menegaskan, “KPPN Denpasar berkomitmen sepenuhnya dalam meyalurkan Dana Desa dengan cepat sesuai ketentuan agar manfaat BLT
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi APBN, Instrumen Menjaga Kestabilan Ekonomi KemenkeuRI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI KemenkeuRI KemenkeuRI majalahmediakeuangan A khirnya sampailah kita di penghujung tahun 2019. Tahun di mana pesta demokrasi memilih wakil rakyat dan pemilihan presiden dilakukan secara bersamaan dan menjadikan ruang publik hiruk pikuk dalam suasana terpecah belah. Beruntung semua berakhir dengan damai dan mulus dengan kembali menetapkan Joko Widodo sebagai presiden ke delapan. Tahun politik 2019 ini juga cukup banyak membawa Kementerian Keuangan ke dalan pusaran berita dan publikasi terutama terkait isu utang negara, pajak, gaji ASN, dan isu lainnya tentang keuangan negara. Salah satunya terkait tentang dana riset. Kurangnya anggaran negara untuk bidang riset yang dilontarkan oleh salah satu pengusaha besar di bidang market place , telah membuat isu ini menggelinding juga ke ranah politik. Tak pelak, isu ini juga berdampak pada bisnis market place sang pengusaha tersebut. Di tahun 2019 ini Presiden Jokowi menetapkan anggaran sebesar Rp1 triliun untuk dana riset dan selanjutnya akan membentuk Badan Riset Nasional. Hal ini diwujudkan dalam pembentukan Kementerian Riset dan Teknologi yang merangkap sebagai Kepala Badan Riset Nasional pada pemerintahan yang baru. Tax ratio yang selama ini hanya menjadi diskusi ekonomi makro, telah menjadi konsumsi kampanye Pilpres dan menjadi perhatian banyak masyarakat. Perlu diakui bahwa meningkatnya pendapatan negara menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Rasio pajak ( tax ratio ) Indonesia tahun 2018 mencapai sebesar 11,5 persen, yaitu meningkat 0,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Walaupun terjadi peningkatan pertama kalinya setelah rasio pajak menurun terus menurus selama lima tahun terakhir, rasio pajak ini masih kecil bila dibanding negara Asia Pasific lainnya (OECD,2019). Tahun 2019 juga diwarnai dengan diperkenalkannya dana untuk penanganan bencana dalam APBN. Selain itu telah dilakukan juga piloting untuk memberikan asuransi bagi beberapa gedung dan aset Barang Milik Negara yang dianggap penting di daerah rawan bencana. Dalam APBN 2019 juga telah dikembangkan kerangka pendanaan risiko bencana, skema transfer risiko dan skema APBN. Sementara itu, anggaran pendidikan di tahun 2019 tetap konsisten dengan porsi 20 persen dari total belanja. Fokus belanja pendidikan di tahun 2019 adalah untuk menyiapkan generasi emas Indonesia 2045 agar sehat, cerdas, dan berkarakter. Dana pendidikan melalui beasiswa dan BOS diharapkan dapat mengangkat generasi penerus bangsa untuk membawa dirinya dan keluarga terlepas dari jerat kemiskinan. Program peningkatan kualitas SDM ini akan dilanjutkan juga dalam bentuk program pra kerja di APBN 2020. Tahun 2019 juga menjadi tahun transisi dari pemerintahan Kabinet Kerja ke Kabinet Indonesia Maju. Beberapa kementerian/lembaga memerlukan waktu untuk dapat merealisasikan anggarannya karena adanya perubahan nomenklatur. Beberapa menteri/pimpinan lembaga juga mengalami pergantian. Namun demikian APBN 2020 tetap harus dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Di tengah kondisi global yang sedang tidak cerah, APBN 2020 harus dapat menjadi alat untuk menjaga kestabilan ekonomi secara nasional. APBN dapat berperan untuk membuat perekonomian negara bertahan dalam guncangan global. Menghadapi tahun 2020, kita tetap optimis namun waspada terhadap perkembangan ekonomi global.
Dana Haji juga kan sebetulnya masih ada di dalam ekosistem keuangan syariah,” jelas Yani. Lebih lanjut, Yani mengungkapkan bahwa industri keuangan syariah saat ini masih didominasi oleh perbankan syariah dengan total aset per Januari 2019 mencapai Rp479,17 triliun atau sekitar 5,95 persen dari Rp 8.049 triliun total perbankan nasional. Sedangkan untuk industri keuangan nonbank syariah (IKNB) periode yang sama, asetnya tercatat Rp101,197 triliun dengan pangsa pasar sebesar 5,81 persen dari total aset IKNB nasional yang mencapai Rp1.741 triliun. Dari sisi pembiayaan syariah, Sukuk Negara atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sendiri menyumbang 18 persen dari total obligasi negara yang telah diterbitkan sebesar Rp682 triliun per Maret 2019 lalu. Senada dengan Yani, Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Lokot Zein Nasution, memaparkan bahwa perkembangan instrumen keuangan syariah paling pesat dialami oleh Sukuk Negara. Sementara itu, instrumen keuangan syariah yang lain tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan, komposisi dari perbankan syariah terus mengalami penurunan, meski penurunannya tidak menunjukkan gejala yang konsisten, sehingga sifatnya lebih reaktif terhadap kondisi ekonomi global. “Dari total aset keuangan syariah, dominasi paling besar dimiliki oleh perbankan syariah, kedua adalah sukuk negara, ketiga adalah pembiayaan syariah, keempat adalah asuransi syariah, kelima adalah IKNB syariah, keenam adalah reksadana syariah, dan terakhir adalah sukuk korporasi,” ujarnya. Peran APBN Kementerian Keuangan sendiri memiliki peran mendorong keuangan syariah melalui instrumen APBN. Yang pertama adalah dari sisi penerimaan negara. Menurut Yani, kebijakan perpajakan yang kondusif dan mendukung pengembangan keuangan syariah diperlukan dalam bentuk tax neutrality dan insentif perpajakan. Tax neutrality menjadi penting karena dalam skema keuangan syariah, seperti Sukuk Negara, diperlukan underlying asset dalam bentuk barang, manfaat aset, ataupun dalam bentuk proyek. “Kalau dalam perpajakan, seolah ada penyerahan barang. Jadi, seolah-olah ada dua kali kena PPN. Kalau di Undang-Undang PPN sepanjang ada pertambahan nilai dan sepanjang ada penyerahan akan terkena PPN. Kalau kita bilang ini tidak ada penambahan nilai dan tidak ada penyerahan juga. Karena underlying asset tadi hanya sebagai dasar perhitungan untuk memberikan pinjaman,” jelas Yani. Yang kedua adalah dari sisi belanja APBN. Belanja pemerintah di Kementerian/Lembaga tertentu dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan industri atau ekonomi syariah. Misalnya saja Halal Tourism melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau kurikulum pendidikan syariah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terakhir dari sisi pembiayaan. Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Dwi Irianti Hadiningdyah, memaparkan kehadiran Sukuk Negara mampu memperkaya jenis instrumen pembiayaan APBN dan pembangunan proyek di tanah air, sekaligus menyediakan instrumen investasi dan likuiditas bagi investor institusi maupun individu. Di samping itu, penerbitan Sukuk Negara di pasar internasional juga menandai eksistensi serta mengokohkan posisi Indonesia di pasar keuangan syariah global. Bahkan, pada tahun 2018 Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan Sovereign Green Sukuk yang diterima dengan baik oleh investor dan mendapatkan pengakuan dari berbagai lembaga internasional. Lebih jauh, Dwi menjelaskan pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mendorong ekonomi syariah secara inklusif, di antaranya melalui diversifikasi instrumen pembiayaan APBN dengan menerbitkan Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan. Melalui instrumen ini masyarakat umum dapat berinvestasi sekaligus berperan serta dalam pembangunan Indonesia. Kehadiran Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan dapat menjadi pilihan bagi masyarakat dan menambah portofolio investasi bagi investor, terutama investor syariah. Pada tahun 2019, kedua instrumen tersebut diterbitkan dengan minimum Rp1 juta dan maksimum Rp3 miliar. Hal tersebut dilakukan agar instrumen tersebut dapat dijangkau dan diakses oleh berbagai lapisan masyarakat. “Penerbitan SBSN Ritel dilaksanakan setiap tahun dan sangat diminati oleh masyarakat yang terlihat dari pemesanan yang selalu oversubscribe sehingga diharapkan melalui instrumen ini dapat mendorong transformasi masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society ,” pungkasnya. 23 MEDIAKEUANGAN 22 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 " Zakat dan wakaf yang notabene masuk ke dalam kelompok dana sosial keagamaan itu masuk ke dalam industri keuangan syariah. Seperti Dana Haji juga kan sebetulnya masih ada di dalam ekosistem keuangan syariah ". Yani Farida A Kepala Bidang Kebijakan Pengemabangan Industri Keuangan Syariah BKF Foto Anas Nur Huda
enyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan amanat Undang-Undang Dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 (dan amandemen) menjamin hak tiap warga negara untuk mendapat akses pendidikan. Kewajiban pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan lebih jauh diatur dalam ayat ke-4 yang mengharuskan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Sejak diamanatkan satu dasawarsa silam dalam amandemen UUD 1945, akumulasi porsi anggaran di bidang pendidikan yang tak pernah kurang dari 20 persen itu telah menyentuh angka Rp4.000 triliun. Alokasi untuk anggaran pendidikan saat ini bertenger di urutan teratas sebagai belanja negara paling besar dalam APBN. Untuk tahun 2019, total anggaran di sektor tersebut mencapai Rp508,1 triliun. Setiap tahun alokasinya memiliki tren yang terus meningkat. Dalam RAPBN 2020 angkanya naik menjadi Rp505,8 triliun. Alokasi anggaran pendidikan dengan nilai yang besar tersebut memang tidak langsung dikucurkan ke kementerian/ lembaga terkait (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Sekitar 60 persen akan disalurkan melalui dana alokasi khusus (DAK) nonfisik ke daerah. Penggunaan DAK nonfisik diantaranya untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan tunjangan profesi guru. Desentralisasi dan otonomi daerah, termasuk dalam pengelolaan anggaran pendidikan, merupakan gagasan yang ditawarkan Kemenkeu dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Dengan skema tersebut, Menkeu menitipkan harapan agar pengelolaan anggaran pendidikan bisa lebih dioptimalkan lagi. Pada salah satu acara dalam rangkaian Konferensi Pendidikan Indonesia (30/11) yang dihadirinya, Menkeu berpesan tentang pentingnya langkah nyata dalam penggunaan anggaran pendidikan agar berkontribusi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Akses kunci sukses Kunta Wibawa, Direktur PAPBN Direktorat Jenderal Anggaran menuturkan bahwa porsi anggaran pendidikan utamanya akan digunakan untuk mendukung fokus pemerintah dalam membuka luas akses pendidikan. Sebuah pekerjaan rumah yang paling berat memang untuk menyelenggarakan pendidikan secara merata, mengingat tantangan kondisi geografis yang dimiliki oleh Indonesia. Harapannya, tak ada lagi warga negara yang terhalang kesempatannya mendapat layanan dari fasilitas pendidikan. ”Makanya lebih pada upaya untuk menambah fasilitas sekolah yang terjangkau. Sekolahnya gratis. Lalu, orang mau datang ke sana (untuk belajar),” jelas Kunta. Kesuksesan program pembangunan akses pendidikan oleh pemerintah kepada masyarakat dapat diukur dengan menggunakan angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). Menurut rilis resmi Kemendikbud 2018/2019 capaian APK Indonesia untuk jenjang SD, SMP, dan SMA, masing- masing 103,54 persen, 100,8 persen, dan 88,55 persen. Sementara untuk capaian APM, masing-masing sebesar 91,96 persen, 75,64 persen, dan 67,29 persen. Capaian APK dan APM Indonesia tersebut cukup mengecewakan, karena menunjukkan penurunan persentase di tiap kenaikan jenjang pendidikan. Meski belum menggembirakan, berdasarkan data bank dunia, rasio APK dasar dan menengah Indonesia setara dengan kebanyakan negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dengan fokus pemerintah yang ingin segera menghadirkan layanan pendidikan secara merata di seluruh wilayah Indoensia, gap tersebut akan segera tertutup. Memantaskan kualitas pendidikan Memasuki dekade baru, pada 2020 ini pemerintah akan mengerucutkan konsentrasi pengembangan pendidikan dengan menitikberatkan ke akselerasi kualitas. Tentu, itu sejalan dengan rencana besar nasional, menuju Indonesia Emas 2045. Pendidikan berkualitas akan menghasilkan SDM yang berdaya saing tinggi. Harapannya, tak hanya unggul secara nasional tapi juga mendunia. Berbicara tentang peningkatan kualitas, pasti erat kaitannya dengan tiga unsur utama yang diperhatikan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Tiga unsur tersebut meliputi guru, murid dan kurikulum. Untuk itu, dalam anggaran pendidikan juga dialokasikan dana untuk meningkatkan kesejahteraan guru, pemberian fasilitas bagi murid untuk mengakses pengetahuan, dan penyusunan kurikulum yang tepat sesuai kebutuhan. Agar anggaran tersebut dapat diukur dengan baik efektifitas penggunaannya, Pemerintah pun selalu melakukan pengawasan ketat. Salah satu metode evaluasinya disebut public expenditure review . “Kita lihat, evaluasi, dan diskusikan dengan Bappenas, Kemendikbud, Kementerian Agama, Kemenristekdikti, termasuk Ditjen Perimbangan Keuangan. Kita membuat rekomendasi- rekomendasi perbaikan seperti apa,” jelas Kunta Wibawa. Beragam tantangan di lapangan Praktisi sekaligus pengamat pendidikan, Najelaa Shihab, cukup mengapresiasi sejumlah kebijakan pemerintah, utamanya dalam mendorong akses pendidikan. Najeela melihat pemerintah telah cukup memberi perhatiannya pada masalah ketimpangan kesempatan pendidikan, khususnya untuk anak-anak yang kurang beruntung, baik dari segi geografis maupun status ekonomi dan sosial. ”Wilayah 3T semakin diperhatikan, dan Kartu Indonesia Pintar juga menjadi salah satu solusi untuk membantu anak Indonesia tetap bersekolah. Selain itu, kesempatan anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk bisa mengakses pendidikan yang berkualitas juga diharapkan meningkat dengan kebijakan penerimaan peserta didik baru berbasis zonasi,” terangnya. Namun memang harus diakui masalah yang ada di lapangan tidak semudah apa yang tersaji dalam data. Bagaimanapun tiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Masalah- masalah kecil dalam pelaksanaan pendidikan di tiap daerah akan menggelinding seperti bola salju jika tidak diperhatikan dan ditemukan solusinya. Nani Rahakbaw, Kepala SMP Negeri 1 Tual, menyampaikan komentarnya terkait biaya operasional sekolah di tempatnya memimpin. Ia menggambarkan dengan kebutuhan biaya fotokopi untuk bahan ujian tengah semester (UTS). “Fotokopi di Tual per lembar 500 rupiah,“ ia melanjutkan, ”Saat UTS fotokopinya bisa jutaan. Kalau di Jawa seribu rupiah bisa dapat banyak, di sini baru dapat dua lembar.” Frederik S, Kepala SD Negeri Inpres 68 Sorong, menceritakan bagaimana sekolah yang dipimpinnya menjadi terfavorit di Sorong. Hal itu tentu saja membuat wali murid berbondong- Pemerintah Pusat 33 MEDIAKEUANGAN 32 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
P erjuangan sudah menuju titik akhir. Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, tahun 1949 menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Tapi masih ada yang mengganjal. Sejumlah kesepakatan KMB tidak menguntungkan Indonesia. Menurut The Kian Wie dalam pengantar buku yang disuntingnya, Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an , ada empat masalah kontroversial yang kemudian mengganggu hubungan Indonesia- Belanda. Dua masalah politik berkaitan baru pemerintahan RIS, yang terdiri atas Republik Indonesia dan 15 negara boneka BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg ’Majelis Permusyawaratan Federal’) bentukan Belanda selama masa perang. Terbentuknya RIS mempengaruhi sistem keuangan, termasuk penggunaan mata uang. ”Mata uang RIS diberlakukan oleh De Javasche Bank pada Januari 1950 bersamaan dengan pengesahan RIS dalam KMB. Mata uang ini menggantikan ORI,” kata peneliti sejarah ekonomi Servulus Erlan de Robert kepada tim kami. Sesuai kesepakatan KMB, De Javasche Bank (DJB) berfungsi sebagai bank sirkulasi untuk RIS. Melalui DJB inilah mata uang RIS diterbitkan dan diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah. Penyeragaman mata uang Pada 1 Januari 1950 terbit uang RIS atau juga disebut ”uang federal” atau ”uang DJB” dalam pecahan Rp5 dan Rp10 dengan tanggal emisi ”Djakarta, 1 Djanuari 1950” yang ditandatangani Menteri Keuangan, Sjafruddin Prawiranegara. Uang RIS ini menampilkan gambar Sukarno, presiden RIS, sehingga juga dikenal dengan sebutan ”emisi Bung Karno”. Kendati diterbitkan 1 Januari, uang RIS baru beredar dan digunakan pada bulan-bulan sesudahnya. Hal ini bukan tanpa alasan. ”Pemerintah masih dalam proses untuk menciptakan sistem keuangan yang tunggal dengan mempersatukan beraneka ragam uang yang beredar di masyarakat,” tulis Sri Margana dkk. dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945-1953 . Pada tanggal yang sama, Sjafruddin Riwayat Uang RIS Terbit di tengah kekacauan sirkulasi uang yang beredar di tengah masyarakat. Sukses menyeragamkan mata uang tapi beredar singkat. dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan status Irian Barat (Papua). Dua masalah ekonomi menyangkut pengambilalihan utang pemerintah Belanda di Indonesia dan terus beroperasinya bisnis Belanda di Indonesia. “Mencapai kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi menghadapkan Pemerintah Indonesia pada masalah yang serius. Lantaran tidak dapat mengawasi segmen-segmen penting ekonomi Indonesia, gerak para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia sangat terbatas,” tulis The Kian Wie. Setelah KMB, dimulailah babak mengumumkan bahwa uang kertas RIS menjadi alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah RIS. Oeang Republik Indonesia (ORI) dinyatakan ditarik dari peredaran dan hilang sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah terhitung 1 Mei 1950. Selama tenggat waktu itu, ORI masih berlaku sebagai alat pembayaran hanya di daerah di mana uang tersebut diproduksi. Penyeragaman mata uang itu dilakukan untuk menghapus peredaran berbagai jenis mata uang dengan nilai tukar berbeda-beda, bahkan banyak pula yang palsu. Selain ORI dan ORIDA, beredar pula ”uang NICA”. Selain itu, Sjarifuddin mencetuskan kebijakan moneter yang terkenal dengan istilah ”Gunting Sjarifuddin”. Uang kertas lama DJB dan mata uang Hindia Belanda pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Kebijakan ini bertujuan menekan inflasi dan mendorong ekspor dari pelaku usaha dalam negeri. ”Kita potong uang Belanda menjadi dua bagian, sebelah diubah menjadi uang Republik dan sebelah lagi dikonversikan menjadi obligasi keuangan. Jadi tidak, kita dapat dituduh merampok separuh uang rakyat,” tutur Sjafruddin dalam Pelaku Berkisah . Penukaran uang Tindak lanjut dari penyeragaman mata uang dilakukan pada 27 Maret 1950. Pemerintah RIS memutuskan menukarkan ORI maupun ORI daerah dengan uang RIS. Menurut Sri Margana dkk, kurs penukarannya ” f” . 1 RIS setara Rp. 125 ORI, sedangkan untuk ORIDA disesuaikan dengan kondisi tiap mata uang. Namun, penukaran uang dari Teks Hendaru Tri Hanggoro Laporan Utama Seseorang menyiapkan uang untuk ditukar Foto Historia 37 MEDIAKEUANGAN 36 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
Garis Hidup Maramis Inilah perjalanan hidup sosok “bendahara negara” Republik Indonesia pertama yang berjasa dalam terbitnya mata uang rupiah. ORI ke uang RIS tidak serta merta berjalan seketika. Di Karesidenan Malang, misalnya, penduduk masih menggunakan ORI sebagai alat pembayaran. Sementara perusahaan jawatan pemerintah yang mendistribusikan barang-barang kebutuhan rakyat hanya menerima pembayaran dalam bentuk uang RIS. Untuk mengatasi masalah itu, Sekretaris Residen Arwoko mengirimkan telegram kepada pemerintah RIS pusat di Jakarta untuk meminta dispensasi agar diizinkan menunaikan pembayaran dengan ORI. ”Tindakan ini perlu untuk menolong rakyat mendapat barang-barang yang dibutuhkan,” kata Arwoko dalam pesan telegramnya yang tersimpan di Arsip Sekneg Yogyakarta No. 160 koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Masa penukaran uang dibatasi hingga 21 Juni 1950. Setiap orang hanya diperbolehkan menukar maksimum f 50. Sisanya harus diserahkan ke BNI untuk dibekukan. Hasil penukaran ORI dengan uang DJB yang baru diperkirakan hanya mencapai f 60 juta. ”Jumlah tersebut amat rendah karena sebagian uang ORI telah dipalsukan selain adanya pembatasan penukaran hingga f 50 saja itu,” tulis Dawam Rahardjo dkk dalam Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa . Penyehatan Rupiah Beredarnya uang RIS seakan mengakhiri kekacauan sirkulasi uang yang berlangsung sejak lama. Selain itu, tercapai pula penyeragaman mata uang. Dalam ungkapan Oey Beng To, yang pernah menjabat direktur Bank Indonesia tahun 1960-an, dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid 1 (19450-1958) , kebijakan ini bertujuan untuk ”penyehatan” atau ”pembersihan” mata uang rupiah. Namun masalah tak serta-merta selesai. Pemerintah Indonesia tak leluasa mengendalikan perekonomian sepenuhnya karena sirkulasi uang masih dipegang oleh DJB. Apalagi DJB sangat bergantung pada pemerintah Belanda. Wacana nasionalisasi DJB pun mengemuka. Setelah serangkaian langkah persiapan, tindakan nasionalisasi akhirnya diambil Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo, termasuk juga masalah utang sesuai perjanjian KMB, tanpa menghiraukan Belanda. ”Saya nasionalisasi bank itu dan pecahlah protes, tetapi saya bisa mengatakan, ’Saya sudah berkonsultasi dengan Anda.’ Sejak itu masalah keuangan diputuskan oleh dewan keuangan yang diketuai oleh Menteri Keuangan. Ahli-ahli Belanda tidak diizinkan hadir,” ujar Sumitro dalam Pelaku Berkisah . Kendati Belanda berusaha mempertahankan kekuasaan atas DJB, nasionalisasi berjalan mulus. Nasionalisasi dilaksanakan dengan membeli saham-saham DJB dari para pemilik di dalam maupun luar negeri. Pada Desember 1951 DJB resmi dinasionalisasi, yang kemudian menjadi Bank Indonesia. Sementara dari sisi politik, bentuk negara serikat memicu pertentangan antara kaum federalis dan unitaris, yang antara lain mewujud dalam sejumlah pemberontakan di daerah. Situasi politik dan gangguan keamanan itu tentu berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi. Maka, pada 17 Agustus 1950, pemerintah Republik Indonesia menyatakan RIS bubar. Bentuk pemerintahan pun kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penggunaan mata uang RIS menyusul kemudian. ”Ketika RIS dibubarkan, istilah mata uang RIS juga berakhir walau sebetulnya mata uangnya sama-sama rupiah,” ujar Servulus Erlan. Dengan demikian, berakhirlah penggunaan uang RIS yang A .A. maramis sadar betul betapa pentingnya memiliki mata uang sendiri bagi Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Bukan semata bahwa Belanda datang kembali untuk menjajah, termasuk dengan memperkenalkan “uang NICA”, tetapi juga mata uang sendiri merupakan simbol kedaulatan sebuah bangsa. Maka, sebagai Menteri Keuangan, Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia. Pencetakan uang semula dilakukan di Jakarta. Namun, karena alasan keamanan, dipindahkan ke daerah. Berdasarkan peninjauan ke beberapa daerah, Panitia menetapkan pencetakan uang dilaksanakan di Surabaya. Pada awal November 1945, panitia telah mempersiapkan klise yang diperlukan. Maramis sudah membubuhkan tandatangannya pada bahan pencetak agar bisa segera dicetak dan diedarkan. Namun, rencana itu urung terlaksana karena meletus pertempuran di Surabaya. Setahun tertunda, akhirnya Oeang Republik Indonesia (ORI) selesai dicetak dan diedarkan pada 30 Oktober 1946. Itulah cikal bakal uang rupiah yang kita gunakan sebagai alat pembayaran. Hingga saat ini, tanggal 30 Oktober diperingati sebagai Hari Oeang Republik Teks Martin Sitompul Laporan Utama A. A Maramis Foto Perpusnas 39 MEDIAKEUANGAN 38 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
10,- (sepuluh rupiah), f 5,- (lima rupiah), dan f 1,- (satu rupiah) serta uang kecil (logam) meliputi 50 sen, 10 sen, 5 sen, dan 1 sen. Mata uang lain yang beredar di luar ketujuh macam uang tersebut, dianggap tidak sah dan dilarang peredarannya. Selama itu, Jepang menegaskan mengenai larangan-larangan yang akan mengacaukan sistem perekonomian seperti mengganggu peredaran uang militer dan uang rupiah, menerima uang lain yang tidak sah, memalsu, mengubah atau membuang uang sah, mengacaukan persamaan harga uang dan menyimpan atau menyembunyikan uang pecahan satu rupiah ke bawah melebihi seratus rupiah. Bank sirkulasi Untuk mencegah kekacauan di bidang ekonomi, Jepang menghentikan sementara waktu seluruh bank di wilayah kekuasaan Jepang. Segala urusan mengenai uang harus mendapat izin dari pemerintah Jepang. “Maka sekalian kuasa dari bank-bank harus menghadap selekas-lekasnya ke kantor pemerintah Balatentara untuk menerima keterangan dan menunggu perintahnya buat mengerjakan lagi,” tulis Pasal 9 Undang- Undang Nomor 2 Tentang Keuangan, 8 Maret 1942. Sementara sebagai bank sentral, Jepang mendirikan Nanpo Kaihatsu Ginko yang mulai beroperasi pada Juli 1942. “Dengan memimpin dan menjaga segala keperluan uang antara kantor- kantor bank serta dengan mengawas- awasi segala urusan keuangan,” tulis Kan Po (Berita Pemerintah) No. 14 Tahoen ke II Boelan 3-2603. Menurut Erwien Kusuma dalam Dari De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia , untuk menggantikan peran De Javasche Bank, pemerintah Jepang menetapkan Nanpo Kaihatsu Ginko sebagai bank sirkulasi. Semua bank berada di bawah pengawasan Nanpo Kaihatsu Ginko. “Selain itu, tugas utama dari Nanpo Kaihatsu Ginko adalah juga sebagai likuidator yang terdiri dari orang-orang Jepang yang dibantu oleh beberapa anggota staf dan tenaga tata usaha dari bank-bank bersangkutan,” tulis Erwien. Lalu, pada 3 Oktober 1942, Jepang juga membuka Syomin Ginko atau Bank Rakyat sebagai pengganti Algemeene Volkscredietbank. Bank inilah yang Uang Invasi Jepang K etika Jepang menduduki Indonesia pada Maret 1942, segala tatanan pemerintahan Belanda pun dilucuti. Di sektor perekonomian, secara bertahap Jepang membangun sistem keuangan, membubarkan bank-bank Belanda, hingga mencetak uang. Pada awalnya Jepang tak mencetak uang sendiri. Mata uang lama dari pemerintahan sebelumnya masih berlaku, yakni gulden (“rupiah Belanda”) dan uang militer (gunpyo) –dikenal juga dengan istilah uang invasi. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 yang dikeluarkan Jepang pada 7 Maret 1942. Yang dimaksud uang militer adalah uang yang telah dipersiapkan Jepang untuk daerah-daerah pendudukan: gulden untuk Hindia Belanda, straits dollar untuk Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara, rupee untuk Burma, peso untuk Filipina, dan pound untuk Australia (Australia Trust Territories). Gulden Jepang kemudian juga dikenal sebagai “rupiah Jepang”. Keesokan harinya, terbit UU Nomor 2 yang menetapkan tiga mata macam uang kertas yang sah, yaitu f di kemudian hari menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI). “Pembukaan bank tersebut, yang mempunyai cabang-cabang pada 68 tempat di seluruh Pulau Jawa, sudah tentu akan memperbaiki jalannya perekonomian dan peredaran uang, serta meringankan beban penghidupan rakyat,” tulis Pengumuman Ginseikaku seperti disiarkan Kan Po (Berita Pemerintah) No.4 Tahoen ke I Boelan 10-2602. Nasib bank-bank yang dihentikan sementara menjadi jelas pada Oktober 1942. Melalui UU Nomor 44 Osamu Seirei Nomor 13 Panglima Besar Balatentera Dai Nippon secara resmi membubarkan sembilan bank. Lima bank merupakan bank Belanda yang meliputi De Javasche Bank, Nederlandsche Handel-Maatschappij N.V., Nederlandsch-Indische Handelsbank N.V., Nederlandsch- Indische Escompo Maatschappij N.V. Teks Andri Setiawan | Foto Historia Jepang tak hanya menginvasi wilayah Indonesia dengan kekuatan militer tapi juga dengan uang. dan Batavia Bank N.V. Empat bank lainnya merupakan bank swasta yakni The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Ltd, The Chartered Bank of India, Australia, and China Ltd., Bank of China, dan Oversea Chinese Banking Corporation Ltd. Kesembilan bank tersebut, meski telah dibubarkan, masih harus menyelesaikan urusan utang- piutang. Sebagai gantinya, Maklumat Gunseikan Nomor 1 dikeluarkan pada 15 Maret 1943. Isinya memberikan izin operasi bank-bank Jepang seperti Yokohama Syookin Ginko, Taiwan Ginko, Kanan Ginko, dan Mitsui Ginko. Bank- bank tersebut diperkenankan mengurusi wesel. Cetak uang Berdasarkan konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907, pihak yang menduduki suatu negara lain dilarang mengeluarkan uang sendiri. Jepang ikut meratifikasi tapi mengabaikan isi konvensi. Ini bermula dari beragam persoalan yang timbul di tengah masyarakat. Banyak uang yang beredar rusak. Uang kertas cobak-cabik sementara uang logamnya rompeng. Hal ini memunculkan aktivitas jual-beli uang. Untuk mengatasinya, pemerintah Jepang membuka penukaran uang rusak dengan uang baru di kantor-kantor keuangan. Namun, hal ini justru menimbulkan kesalahpahaman. Penduduk mengira mata uang lama sudah tak berlaku dan diganti dengan mata uang baru. Pemerintah harus dua kali kerja mengurusi penukaran uang rusak ini. Pemerintah Jepang akhirnya menerbitkan uang kertas baru dengan pecahan f 10,- (sepuluh rupiah) yang berlaku sejak 15 Oktober 1944. Uang ini berwarna dasar kuning dengan gambar Gatotkaca di satu sisi serta gambar stupa Borobudur dan patung Buddha di sisi sebaliknya. Pada akhir 1944, Jepang kembali menerbitkan uang kertas baru. Pecahan k ah Rakyat Indonesia sibuk menukarkan uang jepang dengan uang Republik Indonesia sehubungan dengan diedarkannya uang RI Foto Historia 13 MEDIAKEUANGAN 12 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu ‘WHATEVER IT TAKES’ P ola permintaan ( demand ) dan penawaran ( supply ) di seluruh dunia berubah akibat COVID-19 yang secara alamiah membentuk kebiasaan baru dalam perekonomian. Menyikapi kondisi ini pemerintah telah menyusun beragam program yang menyasar pemulihan ekonomi, baik di sisi demand maupun supply . Pemerintah pun telah merevisi APBN 2020 untuk mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam revisi baru, pemerintah memperluas defisit anggaran menjadi 6,34 persen dari PDB. Simak petikan wawancara Media Keuangan dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, mengenai upaya pemulihan ekonomi nasional. Apa tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)? Program PEN ini ditujukan untuk membantu meningkatkan daya beli masyarakat serta memulihkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Kita mulai dari rumah tangga masyarakat yang paling rentan, lalu ke sektor usaha, lagi-lagi kita lihat yang paling rentan yaitu UMi dan UMKM. Lalu dengan logika yang sama kita menciptakan kredit modal kerja untuk korporasi. Kita juga akan berikan special tretament untuk sektor pariwisata, perdagangan, dan pabrik-pabrik padat Salah satu yang juga sedang didorong dan cukup efektif adalah bentuk penjaminan kredit modal kerja dan dipasangkan dengan penempatan dana murah di perbankan. Nah, ini sudah jalan tiga minggu, pemerintah menempatkan Rp30 triliun di Bank Himbara lalu didorong dengan penjaminan itu kemudian sekarang sudah tercipta lebih dari Rp20 triliun kredit modal kerja baru. Untuk insentif perpajakan masih belum optimal karena wajib pajak yang berhak untuk memanfaatkan insentif tidak mengajukan permohonan dan perlunya sosialisasi yang lebih masif dengan melibatkan stakeholders terkait. Merespon hal ini, kita melakukan simplifikasi prosedur agar lebih mudah dijalankan oleh calon beneficiary. Upaya apa yang dilakukan untuk perbaikan program PEN? Setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan dalam rangka program PEN, termasuk monitoring dan evaluasi yang kita lakukan setiap minggu akan mengikuti kondisi perekonomian saat ini. Semua program kita evaluasi, mana yang jalan dan mana yang kurang. Yang kurang efektif siap-siap untuk dicarikan cara yang lebih cepat atau diganti programnya dan sebagainya supaya bisa diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sampai kapan program PEN dilangsungkan? Pemerintah akan meneruskan kebijakan yang bersifat preventif dan adaptif dengan perkembangan kasus dan dampak dari COVID -19. Meski tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai terlihat namun pemulihan pasti terjadi perlahan-lahan. Karena selama belum ditemukan obat atau vaksin yang efektif tentunya kita masih dihadapkan dengan risiko inheren. Nah, risiko ini yang terus kita asess . Yang pasti, tujuan pemerintah adalah terus membantu masyarakat yang terdampak COVID-19. Bagaimana mitigasi risiko dalam upaya pemulihan ekonomi? Saat ini kita dalam suasana krisis dan kita ingin mendorong perekonomian agar pulih sesegera mungkin. Risiko ekonomi yang lebih besar adalah resesi. Untuk itu jangan sampai kita gagal menstimulasi ekonomi, padahal kita memang sudah ada budget nya. Itu yang menjadi tantangan dan menjadi cambuk bagi kita pemerintah setiap hari, supaya kita bisa lebih efektif. Pemerintah melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mendorong pemulihan aktivitas ekonomi. Kita tidak mau resesi, kita tidak mau jumlah pengangguran dan orang miskin bertambah. Pemerintah siap memberikan support supaya momentum pemulihan ini semakin besar meskipun risikonya juga masih ada. Yang terpenting tata kelolanya baik dan risiko dihitung dengan baik. Semuanya di well measured, kita tahu risikonya, kita bandingkan dengan risiko yang lebih besar, kita pilih kebijakan yang me minimize dampak yang paling berat bagi perekonomian dan masyarakat kita secara keseluruhan. Penambahan anggaran PEN menjadi Rp695,2 triliun diikuti dengan pelebaran defisit 6,34 persen saat ini. Bagaimana posisi fiskal dalam kondisi tersebut? Kita punya ruang untuk bergerak secara fiskal karena selama ini kita melakukan kebijakan makro yang hati-hati dan prudent. Karena kita sudah melakukan disiplin fiskal yang cukup ketat selama bertahun-tahun, sehingga rasio utang kita rendah maka itu membuat kita punya ruang untuk melakukan pelebaran defisit sampai tiga tahun. Negara lain tidak banyak yang punya privilege itu, bahkan tahun ini banyak yang defisitnya double digit. Saat ini defisit kita 6,34 persen, tahun depan kita akan turun ke sekitar 4,7 persen, tahun depannya lagi akan turun ke tiga koma sekian. Tahun 2023 kita tetap commited untuk balik ke disiplin fiskal sebelumnya di bawah 3 persen. Apa prinsip utama dalam mengambil kebijakan fiskal di tengah ketidakpastian waktu berakhirnya krisis pandemi ini? “Whatever it takes ”(apapun yang diperlukan), itu sudah pasti menjadi prinsip utama, tapi dalam konteks kita mau melindungi masyarakat sebanyak-banyaknya. Kita berupaya agar pengangguran dan kemiskinan tidak bertambah banyak. Bagaimana memberikan kebijakan yang benar- benar bisa berdampak kepada masyarakat, itu fokus kita. Prinsip lainnya tepat sasaran, akseleratif, gotong royong, seperti kebijakan burden sharing yang pemerintah lakukan dengan BI. Dan yang harus selalu diingat adalah untuk menghindari moral hazard . Pemerintah juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK) untuk memastikan proses pembuatan kebijakan, serta pengawalan dalam implementasi program PEN ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Bagaimana pendapat Bapak terhadap pembentukan Komite Penanganan COVID-19 dan PEN? Saya pikir itu sangat bagus untuk koordinasi. PEN ini kan melibatkan banyak K/L misalnya untuk Kesehatan, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) nya Kementerian Kesehatan, subsidi bunga untuk KUR dan non-KUR ada di Kementerian Koperasi, penjaminan KPA-nya Kementerian BUMN, dsb. Di samping itu, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi ini harus dilihat sebagai satu big picture . Harus ada pertimbangan yang serius dan seimbang antara risiko kesehatan dengan risiko resesi ekonomi. Semua ini kan perlu diorkestrasi dengan baik. Tugas koordinator untuk bisa membuat ini lebih terintegrasi. Apa harapan Bapak terhadap masyarakat maupun pemerintah dalam kaitannya dengan kebijakan PEN? Saya pikir ini memang tanggung jawab dari kita semua karena ekonomi ini sebenarnya hanya satu aspek dari kehidupan bangsa ini. Kehidupan di balik angka-angka itu lebih penting. Kalau aktivitas ekonominya jalan tapi kita tidak disiplin mengikuti protokol kesehatan ya risikonya terlalu besar. Intinya ini benar-benar memang harus kombinasi dari disiplin masyarakat dan kebijakan yang benar dan efektif. Keduanya harus jalan bersama dengan seimbang. karya yang kita asess terdampak sangat dalam dan cukup lama. Jadi semua ini bertahap kita asess secara well measure . Pelan-pelan kita mulai dorong aktivitas perekonomian. Dengan adanya program PEN diharapkan kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat krisis pandemi dan pembatasan aktivitas tidak terlalu dalam. Bagaimana efektivitas program PEN sejauh ini? Sejauh ini di sisi rumah tangga yakni perlindungan sosial relatif paling efektif. Namun di sisi lain memang masih cukup menantang. Untuk kesehatan, penyerapannya masih rendah karena kendala pada pelaksanaan di lapangan seperti keterlambatan klaim biaya perawatan dan insentif tenaga kesehatan karena kendala administrasi dan verifikasi yang rigid . Tapi bulan Juli ini sudah dipercepat dengan adanya revisi KepMenkes. Selanjutnya, dukungan untuk UMKM sudah mulai berjalan, khususnya subsidi bunga untuk KUR. Ini memang cukup menantang karena melibatkan puluhan bank dan lembaga keuangan yang kapasitas teknologi pengolahan datanya tidak sama. Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Foto Dok. BKF
eorang ibu nampak gelisah di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Satu tangannya mengamit sang buah hati yang masih kecil, sementara itu telapak tangannya yang lain tak henti mengusap perutnya. Di sekeliling mereka terlihat beberapa koper diletakkan sekenanya. Perempuan bernama Endah Martiningrum itu terpaksa harus memutar-balik keluar area bandara. Kepergiannya menyusul sang suami ke Medan dalam keadaan hamil tujuh bulan tak akan diberi lampu hijau oleh petugas jika tanpa surat keterangan dari dokter. Terpaksa ia yang kepayahan dengan kandungan tujuh bulannya berdua bersama putri pertama yang berusia empat tahun harus mencari klinik untuk meminta surat sakti tersebut. Singkat cerita syarat dari pihak otoritas bandara tersebut berhasil dipenuhi dan terbanglah ia bersama putri kecilnya untuk memulai kehidupan baru di Medan. “1999 itu tahun yang berat buat saya. Saya harus pisah dari rombongan beasiswa dan menunda keberangkatan studi ke Jepang karena sedang mengandung,” buka perempuan yang akrab dipanggil Endah ini. Di saat kandungannya menginjak trimester akhir, datang kabar bahwa bapak mertuanya berpulang menghadap Sang Khalik. Momen tersebut ternyata menjadi titik balik bagi keluarga kecil Endah. Setelah berembuk, pasangan tersebut memutuskan untuk hijrah sekeluarga ke Medan. ”Saat itu suami mendapat wasiat untuk meneruskan bisnis keluarga di Medan. Saya juga akan segera berangkat ke Jepang,” ungkap Endah. Usia putri keduanya baru satu setengah bulan ketika Endah harus menitipkan sang buah hati untuk dirawat sendiri oleh sang ayah dibantu keluarganya. Endah harus berbesar hati meninggalkan bayi kecil yang sedang membutuhkan dekap hangatnya untuk menjalankan kewajiban menimba ilmu ke negeri sakura. Berkah dari restu keluarga Mata Endah menerawang jauh mengingat perjalanan kariernya sejak awal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ingatannya terlempar kembali ke akhir tahun 1993. Perempuan asal Magelang itu tengah sibuk mengerjakan skripsi sebagai syarat kelulusannya dari Universitas Gajah Mada (UGM). Seorang teman mengajaknya ikut tes penerimaan pegawai negeri sipil. ”Lucunya malah saya yang lolos, teman saya enggak ,” bebernya. Karir Endah di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diawali di Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN) pada Februari 1994. Dua hari menjelang wisuda ia mendapat telegram yang memberitahukan kelulusannya menjadi calon pegawai negeri sipil. Kabar itu sekaligus mewartakan masa training yang akan dimulai pada tanggal 21 Februari 1994. ”Serba dadakan. Sabtu pagi saya wisuda, sorenya langsung ke Jakarta naik travel agar bisa ikut diklat Senin lusanya,” ceritanya. Ia sempat mengabdi lima tahun di kantor pusat sebelum mendapat tawaran beasiswa ke Jepang. Sepulang dari studi S2, ia memutuskan untuk mengajukan permohonan penempatan di Medan untuk mendampingi keluarga. Tujuh tahun dihabiskan Endah di Tanah Deli. Bak kilau intan yang tak selamanya dapat disembunyikan, potensi Endah tertangkap bagian kepegawaian di kantor pusat saat BAKUN bertransformasi menjadi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb). Atas seizin suami dan keluarga, ia berangkat kembali ke Jakarta. Dari situ karirnya melesat. Beragam posisi akhirnya ia rasakan. Semester II tahun 2019 lalu ia menjadi salah satu pejabat yang masuk bursa mutasi lintas eselon 1. Saat ini Endah menjabat sebagai Direktur Evaluasi, Akuntansi dan Setelmen (EAS) pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) sejak September 2019. Saat ditanya perbedaan dan tantangan dalam jabatanya kini, ia menjawab, ”Tentu ada hal baru. Di EAS ini bukan hanya mengelola bendahara umum negara terkait dengan utang dan hibah, tetapi juga melakukan settlement - nya, dan sekaligus penyelesaian pembayaran kembali pinjaman dan utang pemerintah. Jadi, istilahnya kredibilitas pemerintah Indonesia itu adanya disini.” Membagi inspirasi Belum genap setahun memimpin di Direktorat EAS, Endah harus menakhodai timnya di tengah perubahan sistem kerja akibat pandemi COVID-19. Ibu dari tiga orang putri ini tak gentar. Diakuinya bahwa ilmu pengetahuan yang cukup memang menjadi modal penting dalam beradaptasi dan menyelesaikan pekerjaannya. Namun asam garam kehidupan yang telah ia cicipi selama inilah yang menjadikannya seorang yang mumpuni memimpin dalam segala kondisi. ”Saya juga belajar dari pengalaman saat menemani dan membantu membangun semangat teman-teman di Palu,” ujarnya. Sebelum menempati posisinya saat ini, Endah menjalani penempatan sebagai Kepala Kantor Wilayah DJPb Sulawesi Tengah setelah gempa yang disusul tsunami dan likuefaksi melanda kota tempatnya akan berkantor. Di sana, salah satu fokus utamanya adalah penyediaan pendampingan dan memberi dukungan moril bagi pegawai yang mengalami trauma dalam level yang berbeda-beda. Endah yakin kunci kekuatan timnya di masa sulit ini ada pada kekompakan dan rasa saling menguatkan satu sama lain. Untuk itu, ia mengadakan sesi yang diberi nama “inspirasi pagi”. Sepekan 33 MEDIAKEUANGAN 32 VOL. XV / NO. 155 / AGUSTUS 2020 Endah Martiningrum Direktur Evaluasi, Akuntansi dan Setelmen (EAS) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Figur Kaya Pengalaman Berkat Cobaan Teks Dimach Putra | Foto: Dok. DJPB
Puji Prasetyo ...
Relevan terhadap
1 SPECIFIC GRANT : __ REFORMASI KEBIJAKAN PEMBERIAN DANA ALOKASI UMUM KEPADA DAERAH OTONOM PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 30 Januari 2023, Penulis : Puji Prasetyo __ “Dalam rangka mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pemerintah menerbitkan kebijakan baru berupa Specific Grant dalam pengelolaan Dana Alokasi Umum“ __ Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) merupakan sebuah upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: (i) mengembangkan sistem Pajak Daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, (ii) mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan Transfer ke Daerah (TKD) dan Pembiayaan Utang Daerah (PUD), (iii) mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta (iv) harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. Sebagai upaya penguatan desentralisasi fiskal guna mewujudkan pemerataan layanan publik oleh Pemerintah Daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok wilayah NKRI, dalam UU HKPD telah diatur mengenai kebijakan baru pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Sebelum diterbitkannya UU HKPD, pemberian DAU kepada daerah provinsi/kabupaten/kota hanya bersifat block grant /tidak ditentukan penggunaanya. Pemberian DAU yang bersifat block grant, di satu sisi merupakan suatu bentuk fleksibilitas penggunaan DAU oleh Pemerintah Daerah yang selaras dengan pelaksanaan prinsip otonomi daerah, namun di sisi lain terdapat pula sisi negatif yang mengikuti kebijakan block grant tersebut. Dalam Naskah Akademik penyusunan UU HKPD, pemrakarsa UU HKPD menyampaikan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi terkait DAU adalah formulasi DAU yang masih belum optimal dalam mengatasi ketimpangan fiskal antardaerah dan belum mampu mendorong pemerataan dan peningkatan layanan publik, serta kinerja daerah dalam menjalankan tanggungjawab belanja secara efisien dan disiplin. Hal ini salah satunya tercermin dalam realisasi DAU yang sebagian besar digunakan untuk belanja birokrasi (rata-rata realisasi belanja pegawai sebesar 32,4% vs rata-rata realisasi belanja infrastruktur publik 11,5%).