BPHN
Relevan terhadap
POLHUKAMPEM DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENILAIAN 5 DIMENSI 1. POKJA KEPAILITAN Lahir dari Rahim reformasi pasca terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, UU Kepailitan diyakini mampu menjawab permasalahan terkait iklim usaha yang tumbuh di masyarakat sebagai akibat factor global dimana tidak ada jaminan keuntungan maupun kerugian yang biasa terjadi didunia usaha. Sebagai contoh, jaminan usaha bagi investor yang dilalui serangkaian proses bagaimana mempetakan kebutuhan bisnis dan usaha dalam jangka waktu tertentu. Hal demikian berlaku juga bagi kreditor, aspek kehati-hatian dan perlindungan terhadap kelangsungan usahanya perlu memetakan potensi masalah dan hambatan serta resiko kegagalan berusaha. Terhadap perlindungan jaminan bisnis dan usaha serta investasi, tentu pelaku usaha mencari instrumen yang tepat, tidak hanya insentif dari pemerintah tetapi iklim dunia usaha juga perlu jaminan, salah satunya mekanisme kepailitan. Bagi pelaku usaha, dengan terjaganya iklim yang baik bisa membantu pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan gerak ekonomi yang berkesinambungan. Dalam konteks ini, semakin majunya ragam usaha dan berkembangnya dinamika usaha dapat dipastikan dipengaruhi oleh faktor seperti kemajuan teknologi dan kerjasama para pelaku usaha. Oleh karenanya, perlu melakukan review terhadap mekanisme kepailitan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan terkait kepailitan. Sebagai informasi tim Pokja terkait Kepailitan telah melakukan serangkaian kegiatan analisis dan evaluasi hukum tentang Kepailitan. Anggota tim terdiri dari birokrat, akademisi, praktisi dan profesi menemukan beberapa masalah yang dikemas dalam temuan sekaligus memberikan rekomendasi terhadap materi/substansi peraturan kepailitan yang dianggap sudah tidak up to date lagi. Seperti Lahirnya Lembaga Otoritas (OJK) Jasa Keuangan yang dibentuk berdasarkan Undang- undang Nomor 21 Tahun 2011 yang salah satu tugasnya adalah mengawasi lembaga jasa keuangan. Bila melihat secara garis besar, ada perubahan besar dan peralihan kewenangan dalam hal pengawasan pada Lembaga jasa keuangan yang sebelumnya di bawah Bank Indonesia kini menjadi kewenangan OJK. Selain itu, mudahnya syarat kepailitan disinyalir membuka peluang praktek curang demi menghindari kewajiban membayar hutang, Waktu proses perkara kepailitan yang tidak diatur secara jelas disinyalir menimbulkan ketidakpastian hukum, UU kepailitan dibentuk pasca terjadinya krisis moneter. Dan jika disesuaikan dengan konteks saat ini, peraturan perundang-undangan terkait kepai litan perlu disempurnakan kem bali agar bisa mengakomodir dinamika iklim usaha dan investasi serta perlindungan konsumen. Berikut temuan Tim PokJa Kepailitan yang di Ketuai Dr. Edmon Makarim yang sudah menganalisis 19 Peraturan Perundangan-un dangan dalam bentuk diagram sebagaimana yang disampaikan sekretaris Tim PokJa Dwi Agustin adalah sebagai berikut: 6 Warta BPHN Tahun V Edisi XXIII September - Desember 2018 Berita Utama
Topik E-Commerce Mengemuka dalam FGD Pokja Perdagangan Lintas Negara Jakarta, BPHN.go.id - Kelompok kerja analisis dan evaluasi terkait Perdagangan Lintas Negara melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Ibis Cawang Jakarta, Senin-Selasa 30-31 Juli 2018. FGD ini bertujuan untuk sosialisasi temuan-temuan yang sudah dilakukan oleh para anggota Pokja. Hadir dalam kegiatan ini Yu Un Oposunggu (Dosen FH- UI) sebagai Ketua Pokja beserta beberapa anggota pokja diantaranya dari Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan serta Peneliti dari LIPI. Topik yang diangkat terkait perdagangan lintas negara semua dalam tujuannya untuk melaksanakan Ease of Doing Bussines (EoDB) di Indonesia. Bicara tentang perdagangan lintas negara maka tidak terlepas dari perdagangan atau transaksi e-commerce (perdagangan dengan sistem elektronik). Pada era serba digital sekarang ini, banyak proses jual beli berlangsung menggunakan akses internet. Jumlah transaksi e-commerce saat ini nilainya terus meningkat secara signifikan. Sedangkan regulasi yang mendukung untuk kegiatan tersebut belum siap, hal ini dapat membuat Indonesia tertinggal dari negara lain dan juga ada potensi pemasukan negara yang belum ditangkap karena dasar hukumnya belum kuat. Hal ini menjadi topik diskusi yang sangat mengemuka selama jalannya pelaksanaan FGD. Pelaksanaan FGD berjalan sangat menarik dengan penuh dinamika, para peserta sangat antusias memberikan pendapat serta kritisi yang cukup tajam. FGD belum menghasilkan rekomendasi karena masih terdapat beberapa materi yang harus dibahas dengan narasumber dan para pakar.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
29 MEDIAKEUANGAN 28 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020 Gesit Beraksi di Tengah Pandemi Teks A. Wirananda BIRO HUKUM, SEKRETARIAT JENDERAL Foto Dok. Biro Hukum Rina Widiyani dalam beberapa kegiatan D irektur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada 11 Maret 2020 menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi global. “Kami meminta negara-negara untuk melakukan tindakan yang mendesak dan agresif,” katanya dalam siaran pers di Jenewa. Dampak pandemi ini meluas ke berbagai penjuru dan menghantam sektor perekonomian, termasuk Indonesia. Pemerintah perlu meramu sejumlah jamu untuk melawan wabah ini sekaligus memulihkan segala hal yang terimbas. Berbagai kebijakan dikeluarkan semata-mata demi kelancaran penanganan wabah. Kementerian Keuangan, sebagai pengambil kebijakan di salah satu sektor yang terguncang paling hebat, mau tak mau dituntut untuk gesit bertindak. Kegentingan memaksa Sebagai respon atas suasana suram di tengah pandemi, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Perppu ini diterbitkan sebagai ikhtiar Pemerintah dalam upaya penanganan dampak akibat pandemi COVID-19 yang meluas ke berbagai sektor. Rina Widiyani Wahyuningdyah, Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan mengatakan bahwa pandemi COVID-19 di Indonesia telah berdampak pada beberapa hal antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. “Untuk itu, Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak,” ujarnya. Rina menjelaskan bahwa Penerbitan Perppu didasarkan pada kewenangan Presiden sesuai titah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Pasal 22 ayat 1 berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Pemegang gelar master dari University of Illinois ini mengatakan Perppu ini memantapkan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang diperlukan. “Dengan adanya landasan hukum setingkat undang-undang tersebut, Pemerintah mempunyai dasar yang kuat untuk dapat menerapkan kebijakan- Foto Dok. Biro KLI Gedung Djuanda Kementerian Keuangan
Uang Kita Buat Apa MEDIAKEUANGAN 38 Foto dan Teks Mariscka Prudence | Resha Aditya P S aat ini, pariwisata menjadi salah satu sumber ekonomi terbaru di Indonesia. Industri pariwisata menjadi sektor andalan dalam mendatangkan wisatawan luar negeri untuk menambah devisa negara. Untuk itu, pemerintah memutuskan untuk melakukan percepatan penyelesaian lima destinasi pariwisata super prioritas, yaitu pengembangan destinasi wisata Danau Toba, Borobudur, Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupang. Pengembangan lima destinasi wisata super prioritas merupakan salah satu kebijakan dan inisiatif utama dalam APBN 2020. Hal ini sangat membutuhkan sinergi lintas kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah. Alokasi anggaran K/L untuk pengembangan kelima destinasti tersebut mencapai Rp9,4 triliun pada APBN 2020 untuk pengembangan desa wisata, infrastruktur, konektivitas, keamanan, dan pelatihan SDM. Alokasi anggaran tersebut hanya dapat sukses mendulang devisa apabila ditunjang perilaku dan kesadaran masyarakat Indonesia sebagai tuan rumah bagi wisatawan. Total Anggaran pada APBN 2020: Tujuan Pengembangan: Kelola Pesona Wisata Indonesia Danau Toba Borobudur Labuan Bajo Mandalika Likupang Desa wisata Infrastruktur Konektivitas Keamanan Pelatihan SDM
31 MEDIAKEUANGAN 30 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020 BAGAIMANA ALUR KOMUNIKASI DAN PENANGANAN JIKA ADA INDIKASI TERDAMPAK COVID-19? Pegawai atau keluarga wajib melapor dan memberitahukan perkembangan kondisinya setiap hari kepada atasan langsung jika mengalami gejala yang mirip dengan COVID-19. Atasan langsung melaporkan ke Unit Kepegawaian dan Unit Kehumasan pada kantor pusat dan/atau daerah, serta memantau perkembangan pegawai yang terdampak COVID-19 setiap harinya. Unit Kepegawaian melaporkan ke Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Kemenkeu (GT COVID-19). PEGAWAI/KELUARGA ATASAN LANGSUNG 2. UNIT KEPEGAWAIAN 3. 1. 31 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Foto Dok. Biro Humum Beberapa kegiatan Biro Hukum Bagaimana Caranya? kebijakan yang diperlukan dalam penanganan dan dampak sebagai akibat dari pandemi COVID-19,” ujarnya. Di tengah kegentingan akibat pandemi dan berbagai pembatasan untuk perlindungan diri dari ancaman virus, Rina dan sejumlah punggawa Biro Hukum, justru harus rela menggadaikan keselamatan demi terselesaikannya Perppu tersebut. Mau tak mau, sebagai penyusun kerangka rancangan Perppu itu, Rina dan tim justru dipaksa menginjak pedal gas lebih dalam. Sebab, penyusunan Perppu tak bisa berlama- lama. Rina mengatakan, “Penyusunan Perpu dilakukan harus dilakukan dalam waktu yang sangat pendek yaitu kurang lebih dua minggu.” Selain itu, penerbitan Perppu harus mengejar momentum yang tepat. “Untuk mengejar momentum tersebut, maka penyusunan Perppu dilakukan hampir setiap hari termasuk bekerja overtime,” kata mantan Sekretaris Pengadilan Pajak ini. Ia juga menegaskan bahwa Perppu ini merupakan produk penting dalam menghadapi pandemi global yang terjadi saat ini. “Perppu 1 Tahun 2020 merupakan bentuk kebijakan dan langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.” Berbekal pengalaman Selisih pendapat sudah jadi hal lumrah dalam proses penyusunan produk hukum. Lebih lagi dalam dalam penyusunan Perppu ini. Selain tuntutan untuk tuntas dalam waktu singkat, faktor luas cakupan institusi yang terdampak juga menjadi tantangan tersendiri dalam penyusunan Perppu tersebut. Rina mengatakan, tak jarang terjadi perbedaan pendapat dan penafsiran hukum saat pembahasan dan koordinasi dengan institusi di luar Kementerian Keuangan. Namun demikian, berbagai kendala tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Ia juga mengatakan bahwa pembahasan dapat berjalan lebih mulus berkat dukungan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Hadiyanto. “Kami patut bersyukur, Bapak Sekretaris Jenderal selaku pimpinan yang telah memiliki jam terbang tinggi, baik di bidang hukum maupun ekonomi, dapat menjadi penengah,” ungkapnya. Selain itu, bekal pengalaman sebelumnya ihwal penyusunan Perppu membuat Rina dan jajaran dapat menuntaskan Perppu tepat waktu. Sebelumnya, Rina dan tim telah menuntaskan berbagai produk hukum strategis, antara lain RUU Pengampunan Pajak, RUU Omnibus Perpajakan, RUU Omnibus Cipta Kerja, serta Perppu Automatic Exchange of Information (AEoI). “Dukungan dari pimpinan yang luar biasa, arahan pimpinan yang jelas, dan rapat melalui vicon yang efektif serta sinergi antar Unit Eselon I di lingkungan Kemenkeu memudahkan tim teknis di bawah untuk menerjemahkan dalam perumusan kebijakan yang akan dituangkan di Perppu”, ujar wanita kelahiran Jakarta ini. Rina berharap, pengalaman penyusunan Perppu ini membawa dampak baik bagi Biro Hukum di masa mendatang. “Kami berharap dengan adanya pengalaman penyusunan Perpu ini, Biro Hukum dapat memetik pengalaman yang sangat berharga baik dari sisi proses, strategi, substansi, dan koordinasi dengan unit-unit terkait,” ujarnya.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
P erjuangan sudah menuju titik akhir. Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, tahun 1949 menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Tapi masih ada yang mengganjal. Sejumlah kesepakatan KMB tidak menguntungkan Indonesia. Menurut The Kian Wie dalam pengantar buku yang disuntingnya, Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an , ada empat masalah kontroversial yang kemudian mengganggu hubungan Indonesia- Belanda. Dua masalah politik berkaitan baru pemerintahan RIS, yang terdiri atas Republik Indonesia dan 15 negara boneka BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg ’Majelis Permusyawaratan Federal’) bentukan Belanda selama masa perang. Terbentuknya RIS mempengaruhi sistem keuangan, termasuk penggunaan mata uang. ”Mata uang RIS diberlakukan oleh De Javasche Bank pada Januari 1950 bersamaan dengan pengesahan RIS dalam KMB. Mata uang ini menggantikan ORI,” kata peneliti sejarah ekonomi Servulus Erlan de Robert kepada tim kami. Sesuai kesepakatan KMB, De Javasche Bank (DJB) berfungsi sebagai bank sirkulasi untuk RIS. Melalui DJB inilah mata uang RIS diterbitkan dan diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah. Penyeragaman mata uang Pada 1 Januari 1950 terbit uang RIS atau juga disebut ”uang federal” atau ”uang DJB” dalam pecahan Rp5 dan Rp10 dengan tanggal emisi ”Djakarta, 1 Djanuari 1950” yang ditandatangani Menteri Keuangan, Sjafruddin Prawiranegara. Uang RIS ini menampilkan gambar Sukarno, presiden RIS, sehingga juga dikenal dengan sebutan ”emisi Bung Karno”. Kendati diterbitkan 1 Januari, uang RIS baru beredar dan digunakan pada bulan-bulan sesudahnya. Hal ini bukan tanpa alasan. ”Pemerintah masih dalam proses untuk menciptakan sistem keuangan yang tunggal dengan mempersatukan beraneka ragam uang yang beredar di masyarakat,” tulis Sri Margana dkk. dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945-1953 . Pada tanggal yang sama, Sjafruddin Riwayat Uang RIS Terbit di tengah kekacauan sirkulasi uang yang beredar di tengah masyarakat. Sukses menyeragamkan mata uang tapi beredar singkat. dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan status Irian Barat (Papua). Dua masalah ekonomi menyangkut pengambilalihan utang pemerintah Belanda di Indonesia dan terus beroperasinya bisnis Belanda di Indonesia. “Mencapai kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi menghadapkan Pemerintah Indonesia pada masalah yang serius. Lantaran tidak dapat mengawasi segmen-segmen penting ekonomi Indonesia, gerak para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia sangat terbatas,” tulis The Kian Wie. Setelah KMB, dimulailah babak mengumumkan bahwa uang kertas RIS menjadi alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah RIS. Oeang Republik Indonesia (ORI) dinyatakan ditarik dari peredaran dan hilang sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah terhitung 1 Mei 1950. Selama tenggat waktu itu, ORI masih berlaku sebagai alat pembayaran hanya di daerah di mana uang tersebut diproduksi. Penyeragaman mata uang itu dilakukan untuk menghapus peredaran berbagai jenis mata uang dengan nilai tukar berbeda-beda, bahkan banyak pula yang palsu. Selain ORI dan ORIDA, beredar pula ”uang NICA”. Selain itu, Sjarifuddin mencetuskan kebijakan moneter yang terkenal dengan istilah ”Gunting Sjarifuddin”. Uang kertas lama DJB dan mata uang Hindia Belanda pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Kebijakan ini bertujuan menekan inflasi dan mendorong ekspor dari pelaku usaha dalam negeri. ”Kita potong uang Belanda menjadi dua bagian, sebelah diubah menjadi uang Republik dan sebelah lagi dikonversikan menjadi obligasi keuangan. Jadi tidak, kita dapat dituduh merampok separuh uang rakyat,” tutur Sjafruddin dalam Pelaku Berkisah . Penukaran uang Tindak lanjut dari penyeragaman mata uang dilakukan pada 27 Maret 1950. Pemerintah RIS memutuskan menukarkan ORI maupun ORI daerah dengan uang RIS. Menurut Sri Margana dkk, kurs penukarannya ” f” . 1 RIS setara Rp. 125 ORI, sedangkan untuk ORIDA disesuaikan dengan kondisi tiap mata uang. Namun, penukaran uang dari Teks Hendaru Tri Hanggoro Laporan Utama Seseorang menyiapkan uang untuk ditukar Foto Historia 37 MEDIAKEUANGAN 36 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
K ementerian Keuangan (Kemenkeu). Dari struktur organisasi hingga kebijakan-kebijakan awal keuangan Indonesia. Karena baru saja merdeka, sistem pemerintahan Jepang masih mempengaruhi berbagai lembaga di Indonesia. Gunseikanbu Zaimubu atau Departemen Keuangan Jepang juga menjadi patokan awal Kemenkeu. “Struktur organisasi Kementerian Keuangan banyak mengambil alih bentuk Gunseikanbu Zaimubu dengan berbagai perubahan agar sesuai dengan negara merdeka dan berdaulat,” tulis Tim Departemen Keuangan dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah: 45 Tahun Uang Republik Indonesia, 1946- 1991. Tak lama, sistem dan lembaga keuangan tinggalan Jepang segera dibereskan. Pada 29 September 1945, Maramis mengeluarkan dekrit yang mempreteli hak dan kewenangan Menghapus Warisan Kolonial Untuk mempertahankan kedaulatan, pemerintah membentuk berbagai lembaga keuangan. Dari kementerian hingga bank sentral. pejabat pemerintahan tentara Jepang. Baik urusan menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang, pengeluaran negara, hingga segala urusan kas negara. Hak dan kewenangan itu diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Maramis juga menyusun organisasi Kemenkeu yang pertama; terdiri dari lima penjabatan (eselon) I: umum, keuangan, pajak, resi candu dan garam, serta pegadaian. Langkah penting lainnya, demi kesatuan alat pembayaran yang sah, Maramis memerintahkan pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI). Kendati mengalami hambatan, usaha itu berhasil dengan terbitnya emisi pertama uang kertas ORI pada 30 Oktober 1946. Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946, ORI ditetapkan berlaku secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Selanjutnya, 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia. Mendirikan bank sentral Untuk mendukung kedaulatan Indonesia di sektor ekonomi, diperlukan bank sirkulasi. Pada 19 September 1945, Sukarno-Hatta menandatangani Surat Kuasa Pemerintah Republik Indonesia bertanggal 16 September 1945 sebagai landasan yuridis bagi persiapan pendirian bank sirkulasi: Bank Negara Indonesia (BNI). Menurut Sri Margana dkk dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia 1945-1953 , __ tak semua pihak yang setuju bahwa pendirian BNI merupakan jalan terbaik untuk mendirikan kebijakan moneter yang kuat. Ir. Soerachman Tjorkoadisoerjo, misalnya, menginginkan agar pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) saja. Soerachman kala itu menjabat Menteri Kemakmuran. Sementara DJB merupakan bank sirkulasi Hindia Belanda sejak 1828 sampai dilikuidasi Nanpo Kaihatsu Ginko, bank sirkulasi era pendudukan Jepang. Tapi pemerintah sudah mengambil keputusan. Untuk mewujudkan impian itu, pada 9 Oktober 1945 didirikanlah Poesat Bank Indonesia (PBI). Badan ini bertugas mempersiapkan pembentukan BNI dan menjalankan kebijakan keuangan sebagaimana bank sirkulasi bekerja. Selain itu, PBI berperan memberikan kredit dengan bunga serendah-rendahnya dan menjadi pusat penyimpanan uang masyarakat. PBI juga mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan di bidang ekonomi. “Serta merta masyarakat mulai mempercayakan dan menyimpan uang mereka pada bank tersebut. Dalam waktu singkat terkumpulah sebanyak Rp 31 juta (uang Jepang) yang digunakan sebagai modal bank,” tulis Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Teks Andri Setiawan Laporan Utama Gedung Bank Indonesia Foto Historia 43 MEDIAKEUANGAN 42 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
Buku Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa Peresensi CS. Purwowidhu T ak bisa dinafikan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki peran vital dalam mengelola keuangan dan kekayaan negara, bahkan semenjak kelahirannya di fase awal kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Ketika pemerintah membutuhkan dana awal untuk membiayai perjuangan dan jalannya pemerintahan, Kemenkeu yang pada masa itu bernama Departemen Keuangan (Depkeu), melalui Menteri Keuangan pertama, Dr. Samsi, mengeluarkan kebijakan Operasi Penggedoran Bank. Dr. Samsi lalu digantikan oleh A.A. Maramis pada 2 September 1945. Pada masa itu pula Depkeu mulai menata organisasi. Kualitas pemimpin menjadi kriteria utama dalam menyusun organisasi kala itu. Depkeu harus dipimpin oleh para pejabat yang memiliki loyalitas tinggi kepada bangsa, negara, dan proklamasi kemerdekaan. Sedangkan struktur organisasi Depkeu banyak mengambil alih bentuk “Gunseikanbu Zaimubu” dengan berbagai modifikasi sesuai dengan kebutuhan negara merdeka dan berdaulat. Ada lima Pejabatan -sekarang disebut Eselon I- yang dibentuk saat itu, yakni Pejabatan Umum, Pejabatan Keuangan, Pejabatan Pajak, Pejabatan Resi, Candu, dan Garam, dan Pejabatan Pegadaian. Situasi ekonomi saat itu memburuk akibat defisit anggaran belanja karena pengeluaran besar-besaran di bidang militer untuk mempertahankan kemerdekaan, ditambah dengan hiperinflasi karena meningkatnya peredaran uang Jepang dan NICA di masyarakat. untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah mulai merintis persiapan penerbitan mata Oeang Republik Indonesia (ORI) yang dikoordinasi oleh Depkeu. Hal ini mendorong Depkeu yang saat itu dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk menyesuaikan struktur organisasi. Jumlah pejabatan ditambah dengan Pejabatan Uang, Kredit, dan Bank, Pejabatan Bea dan Cukai, dan Pejabatan Pajak Bumi. ORI akhirnya berlaku secara resmi pada tanggal 30 Oktober 1946. Pemberlakuan ORI sebagai alat pembayaran yang sah dan untuk membiayai revolusi, tidak hanya membangkitkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, melainkan juga membangun kesadaran bahwa negara Indonesia telah merdeka dan mempunyai pemerintahan sendiri. Semenjak dulu, Kemenkeu juga senantiasa terbuka untuk melakukan perbaikan. Pembekuan Ditjen Bea dan Cukai pada tahun 1985 akibat maraknya penyelundupan masa itu menjadi salah satu contohnya. Sementara waktu Bea dan Cukai ditutup dan fungsinya digantikan Memperingati Hari Oeang ke-74 30 Oktober 1946 - 30 Oktober 2020 oleh Société Générale de Surveillance (SGS) dari Swiss. Selama kurun waktu itu, Bea dan Cukai pun memperbaiki diri menjadi makin akuntabel sehingga mendapat kepercayaan untuk menjalankan tugasnya kembali. Itulah sekilas ulasan beberapa catatan sejarah yang mengiringi dinamika organisasi Kemenkeu, yang dipotret dengan apik mulai era 1945 - 2019 dalam buku Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa . Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa 489 Hal Kementerian Keuangan Judul Hal Penerbit 47 MEDIAKEUANGAN 46 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
Biro KLI Kementerian keuangan
Relevan terhadap
perpajakan yang dikeluarkan. Pelaporan angka tersebut secara berkala dapat memudahkan Pemerintah dalam mengevaluasi dan memantau efektivitas insentif perpajakan. Dengan demikian, kebijakan insentif perpajakan dapat dinyatakan efektif atau tidak efektif. Berkaca pada pengalaman Belgia dalam program “ Notional Interest Program ” yang dilakukan pada tahun 2006, evaluasi kebijakan insentif perpajakan harus menjadi perhatian. Sebelum program tersebut dilakukan, Belgia memperkirakan akan kehilangan penerimaan perpajakannya senilai X. Setelah program berjalan, Belgia melakukan evaluasi dan menemukan bahwa penerimaan perpajakannya hilang 3X atau tiga kali lebih besar dari perkiraan. Hal ini memperlihatkan bahwa cost yang dihasilkan lebih besar dibandingkan benefit -nya, sehingga Belgia pun melakukan amandemen atas peraturan tersebut. Selain mengetahui efisiensi suatu kebijakan, evaluasi atas kebijakan perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas kebijakan tersebut. Jika Belgia menghadapi inefisiensi pada Opini LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN UNTUK Transparansi Fiskal dan Evaluasi Insentif P enerimaan pajak menjadi sumber utama untuk membiayai APBN. Pada tahun 2019, penerimaan pajak menyumbang 82 persen dari total penerimaan negara dan ditargetkan naik menjadi 83 persen di tahun 2020. Meskipun bergantung pada penerimaan pajak, sejumlah insentif perpajakan tetap diberikan Pemerintah sebagai bentuk komitmen dalam mendukung dunia usaha. Dari tahun ke tahun insentif perpajakan meningkat dari sebesar Rp192,6 triliun pada 2016 menjadi Rp196,8 triliun pada 2017 dan kemudian meningkat signifikan pada 2018 sebesar Rp221,1 triliun. Di Indonesia, insentif perpajakan masuk dalam kategori belanja perpajakan pada laporan belanja perpajakan. Belanja perpajakan didefinisikan sebagai pendapatan pajak yang tidak dapat dikumpulkan atau yang berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari ketentuan umum perpajakan ( benchmark tax system ) yang diberikan kepada subjek dan objek pajak yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Ketentuan khusus tersebut dapat berupa pembebasan jenis pajak ( tax exemption ), pengurangan pajak yang harus dibayar ( tax allowance ), maupun penurunan tarif pajak ( rate relief ), dan lainnya. Dalam definisi belanja perpajakan disebutkan adanya perbedaan antara ketentuan khusus dan ketentuan umum perpajakan ( benchmark tax system ). Konsekuensinya adalah Pemerintah harus menentukan ketentuan umum perpajakannya dengan tepat. Dalam laporan belanja perpajakan, Pemerintah telah menentukan kategori ketentuan umum perpajakan untuk masing-masing jenis pajak dan juga membuat positive list berisi deviasi-deviasi dari ketentuan umum perpajakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai belanja perpajakan. Selain menentukan ketentuan umum perpajakan, langkah selanjutnya yang dilakukan untuk menghitung besarnya belanja perpajakan adalah melihat ketentuan khusus apa saja yang menjadi belanja perpajakan. Apabila telah memenuhi kriteria, perhitungan belanja perpajakannya dapat dilakukan. Angka-angka yang disajikan dalam laporan belanja perpajakan membuat Pemerintah dapat memperhitungkan cost-benefit dalam kebijakan insentif kebijakannya, Indonesia menghadapi kenyataan bahwa kebijakan yang ditawarkan kurang menarik, seperti kebijakan tax holiday melalui PMK Nomor 103/PMK.010/2016. Kompleksitas administrasi dan ketidakpastian atas hasil pengajuannya meski bidang usaha tersebut memenuhi kriteria menjadikan kebijakan tersebut tidak menarik. Pemerintah pun menerbitkan peraturan baru tentang tax holiday melalui PMK Nomor 35/PMK.010/2018. Peraturan ini mengubah paradigma dalam pemberian tax holiday dari sebelumnya ‘verify before trust’ menjadi ‘ trust and verify ’. Efek positif dari penyederhanaan sistem dan kepastian pemberian fasilitas ini terbukti menghasilkan investasi sembilan kali lebih besar (per Juli 2019) dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut mencerminkan pentingnya laporan belanja perpajakan dan diharapkan laporan tersebut dapat mempermudah Pemerintah mengevaluasi kebijakan insentif perpajakan lainnya, seperti Kawasan Ekonomi Khusus. Penerbitan laporan belanja perpajakan juga menunjukkan komitmen Pemerintah dalam melaksanakan good governanc e dalam pengelolaan keuangan negara. Selain itu, penerbitan laporan juga sejalan dengan rekomendasi BPK untuk menjalankan transparansi fiskal yang merujuk pada IMF’s Fiscal Transparency Code . Meskipun transparansi fiskal merupakan komitmen global, namun tak banyak negara yang melaporkannya secara berkala. Di ASEAN, hanya Indonesia dan Filipina yang melakukannya. Melalui transparansi fiskal, Pemerintah Indonesia dapat meningkatkan akuntabilitasnya dan pada saat yang bersamaan rakyat dan Ilustrasi M. Fitrah Teks M. Rifqy Nurfauzan Abdillah & Ulfa Anggraini Analis pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. pemerintah dapat menilai cost dan benefit kebijakan insentif. Laporan Belanja Perpajakan merupakan laporan kedua yang berhasil diterbitkan. Berbagai perbaikan diupayakan Pemerintah. Salah satunya adalah perluasan cakupan pajak dari yang sebelumnya hanya tiga jenis yakni PPN, PPh, dan Bea Masuk dan Cukai menjadi empat jenis pajak yaitu ditambah PBB sektor P3. Semoga kedepannya perhitungan laporan belanja perpajakan dapat terus disempurnakan. Dengan demikian, evaluasi terhadap kebijakan insentif perpajakan dapat dilakukan dengan lebih baik. MEDIAKEUANGAN 36
A da hal menarik dari rilis terbaru Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tentang data kejadian bencana selama kurun 2019 kemarin. Meski terus dirundung petaka, namun intensitas bencana 2019 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017 tercatat kejadian bencana mengalami puncaknya sebanyak 2.869 kejadian, disusul 2018 sebanyak 2.573 kejadian. Tahun 2019 sendiri bencana yang terjadi sebanyak 1.315 kejadian, lebih sedikit dibandingkan tahun 2015 sebanyak 1.694 kejadian. Meski mengalami penurunan dari sisi intensitas kejadian, hal yang tak boleh dilupakan adalah skala bencana yang harus dapat dimitigasi luasannya. Yang juga wajib diwaspadai adalah dominasi jenis bencana hidrometeorologi, mengingat posisi Indonesia yang masuk di wilayah tropis antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Jenis bencana tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan kondisi iklim, cuaca, serta musim di berbagai wilayah di nusantara. dan alam berada di jalur yang tidak tepat. Laporan terbaru oleh BioScience , jurnal ilmiah peer review menguatkan statemen ini. Di level implementasi, banyak hal yang mengindikasikan dunia darurat iklim. Berulangnya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla), betul-betul menimbulkan keprihatinan yang luar biasa. Banjir bandang Jabodetabek di awal tahun 2020 menjadi indikasi lainnya. Secara ekonomi, beberapa pengamat memperkirakan dampak kerugian mencapai Rp135 miliar per hari di samping dampak kerugian nonekonomi lainnya. Terlepas dari besarnya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan, peristiwa ini juga memberikan tekanan yang besar bagi upaya mengatasi dampak perubahan iklim. Indonesia, sejatinya menjadi salah satu pemain utama dalam isu mengatasi dampak perubahan iklim ini. Tak heran jika banyak pihak menuntut agar penanganan karhutla dipimpin langsung oleh Presiden, demi mencegah berbagai tarikan kepentingan antarsektor yang terkadang justru menjadi penghambat solusi penanganan. Berubah atau Punah Besarnya dampak destruksi yang ditimbulkan, mendesak munculnya sebuah upaya kolektif bersama seluruh pemangku kepentingan global untuk mengambil langkah-langkah revolusioner. Jargon yang diusung adalah gerakan dekarbonisasi laju pertumbuhan ekonomi. Perlu disadari bahwa pendekatan konvensional dengan menempatkan target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan bangsa, menimbulkan sifat kompetisi yang mengarah pada aspek kanibalisme antarnegara. Semua negara berlomba-lomba saling mengalahkan laju ekonomi negara lainnya tanpa mempertimbangkan praktek-praktek yang dijalankan justru menembus daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dari seluruh penjelasan ini, terlihat betapa sentralnya peran negara dalam mewujudkan tujuan mengatasi dampak perubahan iklim. Negara dengan segala pranata dan kelengkapannya mampu dan memiliki kapasitas menjadi garda terdepan kelangsungan ekologi demi keberlanjutan antargenerasi. Namun demikian, segala upaya menjadi sia-sia jika pemangku kepentingan lainnya tidak mendukung apa yang dijalankan pemerintah. Ingat bahwa dunia sedang darurat iklim dan dampaknya tidak dapat diatasi hanya dengan berdiskusi atau berwacana, melainkan butuh solusi nyata. Opini Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi Ancaman ini perlu ditanggapi secara serius oleh pemerintah mengingat potensi kerusakan yang bersifat masif di berbagai sektor ditambah lagi hal ini sudah menjadi keprihatinan bersama di dunia. Economist Intelligence Unit (EIU) saja misalnya, baru merilis Indeks Ketahanan Perubahan Iklim ( Climate Change Resilience Index ) global. Hasil estimasi menunjukkan bahwa perubahan iklim di seluruh dunia secara langsung dapat menelan biaya ekonomi hingga US$ 7,9 triliun per 2050 akibat konektivitas ragam bencana yang dihasilkan baik kekeringan, banjir, gagal panen, serta jenis lainnya. Dimensi kebencanaan inilah yang dikhawatirkan akan membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan infrastruktur di seluruh dunia. Indeks juga menyebutkan bahwa berdasarkan tren yang ada saat ini, potensi pemanasan global dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) di setiap negara hingga kisaran 3 persen pada periode 2050. Meski demikian, dampak akan semakin besar di negara berkembang dimana Benua Afrika akan mengalami penurunan terbesar mencapai 4,7 persen PDB. Angola diperkirakan menjadi yang paling rentan sekitar 6,1 persen PDB nya akan tergerus, disusul Nigeria sebesar 5,9 persenPDB, Mesir mencapai 5,5 persen PDB, Bangladesh sekitar 5,4 persen PDB serta Venezuela mencapai 5,1 persen PDB. Karenanya dibutuhkan aksi nyata saat ini dan juga nanti sebagai bentuk upaya mengurangi potensi dampak yang dihasilkan. Kegiatan nyata pun tidak akan cukup jika dikerjakan dengan pola Bussiness As Usual (BAU) semata. Sebelumnya, lebih dari 11 ribu ilmuwan di 156 negara dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, juga sepakat menyebutkan bahwa dunia sedang darurat iklim. Mereka juga mengamati berbagai potensi dampak buruk yang ditimbulkan apabila manusia tidak mengubah pola perilakunya. Jika dirunut, hal tersebut bukan yang pertama kalinya karena sebelumnya tahun 2017, sekitar 16 ribu ilmuwan dari 184 negara turut serta dalam sebuah publikasi yang meyakini bahwa manusia Ilustrasi A. Wirananda *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Joko Tri Haryanto Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @melaniiii19_ Perluasan RS dengan fitur displau tempat tidur rawat inap. Agar terjaminnya transparansi pelayanan BPJS kepada masyarakat dan menghindari diskriminasi pelayanan BPJS dan Non BPJS. @cemiit Kemudahan dan percepatan layanan informasi. Ketepatan pelayanan poin penting dalam menolong dan memberikan kepercayaan kepada pasien tgerhadap BPJS. dg mudah. @Nuelpac Perluasan RS dengan sistem antrian pasien elektronik. Karena kasihan pasien nunggu lama dari pagi sampe siang atau sore. Isna Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Menurut Anda, dari 10 Komitmen Perbaikan Layanan Jaminan Kesehatan oleh BPJS, mana yang perlu diprioritaskan? M enjelang berakhirnya tahun 2019, banyak polemik yang muncul di ruang publik terkait kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang diterapkan mulai Januari 2020. BPJS Kesehatan sendiri merupakan wujud dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah dipilih oleh pemerintah dan DPR untuk memberikan akses layanan kesehatan kepada seluruh masyarakat dengan biaya yang terjangkau atau biasa disebut Universal Health Coverage (UHC). Program JKN adalah program strategis jika dilihat dari jumlah masyarakat yang dijangkau, jenis layanan kesehatan yang diberikan, serta bantuan biaya yang diberikan pemerintah. Untuk layanan kesehatan, program JKN memberikan jaminan atas seluruh jenis penyakit sepanjang terdapat indikasi medis. Selain itu, sebagai program jaminan sosial, BPJS Kesehatan juga menerima seluruh warga negara menjadi peserta tanpa dilakukan berbagai jenis tes atau screening sebagaimana layaknya persyaratan mengikuti program asuransi yang dikelola oleh swasta. Layanan kesehatan yang diberikan juga meningkat setiap tahunnya. Dari sisi biaya, program JKN relatif sangat murah. Iuran kelas III program ini hanya dikenakan biaya per orang per bulan sebesar Rp42.000,- Dengan iuran sebesar ini, BPJS Kesehatan sebenarnya merupakan salah satu program jaminan kesehatan dengan iuran yang paling murah di dunia. Oleh karena itu, saat akan menyesuaikan iuran di tahun 2020 ini, pemerintah mempertimbangkan 3 hal utama yaitu kemampuan peserta dalam membayar iuran, upaya memperbaiki keseluruhan sistem JKN sehingga terjadi efisiensi, serta gotong royong dengan peserta pada segmen lain (subsidi silang). Dengan demikian pemerintah sangat perhatian agar penyesuaikan iuran tidak sampai memberatkan masyarakat dengan berlebihan. Pemerintah menyadari sepenuhnya masih banyak tantangan dan kendala untuk pelaksanaan program JKN ini. Namun semangat untuk memperbaiki dan meningkatkan program JKN akan selalu ada dan harus didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Gotong royong juga timbul dari kerja sama yang baik antara pemerintah dan seluruh masyarakat. 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Jaminan Kesehatan Berkelanjutan GOTONG ROYONG MEWUJUDKAN