Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Perbankan
Relevan terhadap
Ayat (1) Tukar menukar informasi antar bank dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha bank, antara lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari suatu bank yang lain. Dengan demikian bank dapat menilai tingkat risiko yang dihadapi, sebelum melakukan suatu transaksi dengan nasabah atau dengan bank lain. Ayat (2) Dalam ketentuan yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Bank Indonesia antara lain diatur mengenai tata cara penyampaian dan permintaan informasi serta bentuk dan jenis informasi tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti indikator secara garis besar dari kredit yang diterima nasabah, agunan, dan masuk tidaknya debitur yang bersangkutan dalam daftar kredit macet. Pasal 45 Apabila permintaan pembetulan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh bank tidak dipenuhi oleh bank, maka masalah tersebut dapat diajukan oleh pihak yang bersangkutan ke Pengadilan yang berwenang. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pegawai bank" adalah semua pejabat dan karyawan bank. Pasal 48 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pegawai bank" adalah pejabat bank yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional bank, dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informal mengenai keadaan bank. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 49 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pegawai bank" adalah semua pejabat dan karyawan bank. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "pegawai bank" adalah semua pejabat dan karyawan bank. Huruf b Yang dimaksud dengan "pegawai bank" adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan. Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Ayat (1) Perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal- pasal tersebut dalam ayat ini digolongkan sebagai tindak pidana kejahatan, berarti bahwa terhadap perbuatan-perbuatan dimaksud akan dikenakan ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan apabila hanya sekedar sebagai pelanggaran. Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada Bank, yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat, perlu selalu dihindarkan. Dengan digolongkan sebagai tindak kejahatan , maka diharapkan akan dapat lebih terbentuk ketaatan yang tinggi terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini. Mengenai tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai Bank Perkreditan Rakyat pada dasarnya berlaku ketentuan-ketentuan tentang sanksi pidana dalam Bab VIII, mengingat sifat ancaman pidana dimaksud berlaku umum. Dengan ditetapkannya batas maksimum pidana terhadap kejahatan yang dilakukan, maka besar kecilnya pidana dapat dipertimbangkan dengan memperhatikan antara lain kerugian yang ditimbulkan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 52 Sanksi administratif dalam pasal ini dapat berupa :
denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu sebagai akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam Undang-undang ini;
penyampaian tegoran-tegoran tertulis;
penurunan tingkat kesehatan bank;
larangan turut serta dalam kliring;
pembekuan kegiatan usaha baik secara keseluruhan atau untuk beberapa cabang;
pencabutan izin usaha. Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur oleh Bank Indonesia. Khusus mengenai huruf e dan huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 53 Sanksi administratif dalam Pasal ini dapat berupa :
denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu sebagai akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam Undang-undang ini;
penyampaian tegoran-tegoran tertulis;
larangan untuk menjalankan fungsi sebagai direksi atau komisaris bank;
larangan untuk memberikan jasanya kepada perbankan;
penyampaian usul kepada instansi yang berwenang untuk mencabut atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi bank (antara lain terhadap konsultan, konsultan hukum, akuntan publik, penilai). Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Penyesuaian bentuk hukum bank-bank milik negara sebagaimana diatur dalam Pasal ini dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969. Dengan demikian setelah penyesuaian bentuk hukum bank-bank milik negara tersebut selesai, Undang-undang tentang pendirian bank-bank tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian pula Undang-undang Nomor 13 Tahun 1962 tidak berlaku lagi 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 56 Ketentuan ini dimaksudkan untuk memungkinkan bank memenuhi ketentuan batas maksimum pemberian kredit berdasarkan Undang-undang ini secara bertahap, sehingga tidak menimbulkan kesulitan yang berat bagi perbankan dalam memenuhi ketentuan dimaksud, mengingat pada saat ini berlaku ketentuan batas maksimum pemberian kredit yang lebih tinggi daripada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4). Pasal 57 Penyesuaian usaha Lembaga Keuangan Bukan Bank menjadi bank berdasarkan Undang-undang ini dapat dilakukan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini. Sedangkan penyesuaian usaha Lembaga Keuangan Bukan Bank menjadi perusahaan efek didasarkan pada ketentuan di bidang pasar modal. Pasal 58 Mengingat lembaga-lembaga dimaksud dalam Pasal ini telah tumbuh dan berkembang dari lingkungan masyarakat Indonesia, serta masih diperlukan oleh masyarakat, maka keberadaan lembaga dimaksud diakui. Oleh karenanya Undang-undang ini memberikan kejelasan status dari lembaga-lembaga dimaksud. Selanjutnya untuk menjamin kesatuan dan keseragaman dalam pembinaan dan pengawasan, maka dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan persyaratan dan tata cara pemberian status lembaga-lembaga dimaksud sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 59 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya kekosongan hukum dan menampung pengaturan masalah-masalah yang timbul sampai dengan dikeluarkannya peraturan yang baru. Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas
Pedoman Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara
Relevan terhadap
(!) Khusus untuk penjualan besi-besi tua diberlaku kan ketentuan-ketentuan yang aiatur dalam Kepu tusan Presiden Nomor 36 Tahun 1979 tentang Peng adaan Besi Baja. - (2) Keputusan ini tidak berlaku bagi Perusahaan Per seroan (PERSERO) yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui Pasar Modal (go public) se bagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No mor 55 Tahun 1990.
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka ketentuan ketentuan lain mengenai penjualan aktiva tetap Badan Usaha Milik Negara yang bertentangan de ngan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku. BAB VI II PENUTUP
Perkoperasian
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Oktober 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN I. UMUM Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya penjelasan Pasal 33 antara lain menyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Penjelasan Pasal 33 menempatkan Koperasi baik dalam kedudukan sebagai sokoguru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral tata perekonomian nasional. Dengan memperhatikan kedudukan Koperasi seperti tersebut di atas maka peran Koperasi sangatlah penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat serta dalam mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan, dan keterbukaan. Dalam kehidupan ekonomi seperti itu Koperasi seharusnya memiliki ruang gerak dan kesempatan usaha yang luas yang menyangkut kepentingan kehidupan ekonomi rakyat. Tetapi dalam perkembangan ekonomi yang berjalan demikian cepat, pertumbuhan Koperasi selama ini belum sepenuhnya menampakkan wujud dan perannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula peraturan perundang-undangan yang ada masih belum sepenuhnya menampung hal yang diperlukan untuk menunjang terlaksananya Koperasi baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat. Oleh karena itu, untuk menyelaraskan dengan perkembangan lingkungan yang dinamis perlu adanya landasan hukum baru yang mampu mendorong Koperasi agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih kuat dan mandiri. Pembangunan Koperasi perlu diarahkan sehingga semakin berperan dalam perekonomian nasional. Pengembangannya diarahkan agar Koperasi benar-benar menerapkan prinsip Koperasi dan kaidah usaha ekonomi. Dengan demikian Koperasi akan merupakan organisasi ekonomi yang mantap, demokratis, otonom, partisipatif, dan berwatak sosial. Pembinaan Koperasi pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong agar Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama dalam kehidupan ekonomi rakyat. Undang-undang ini menegaskan bahwa pemberian status badan hukum Koperasi, pengesahan perubahan Anggaran Dasar, dan pembinaan Koperasi merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada Menteri yang membidangi Koperasi. Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa Pemerintah mencampuri urusan internal organisasi Koperasi dan tetap memperhatikan prinsip kemandirian Koperasi. Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, menciptakan dan mengembangkan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi. Demikian juga Pemerintah memberikan bimbingan, kemudahan, dan perlindungan kepada Koperasi. Selanjutnya Pemerintah dapat menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya dapat diusahakan oleh Koperasi. Selain itu Pemerintah juga dapat menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah tertentu yang telah berhasil diusahakan oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya. Hal tersebut dilakukan dengan memperhatikan kepentingan ekonomi nasional dan perwujudan pemerataan kesempatan berusaha. Undang-undang ini juga memberikan kesempatan bagi Koperasi untuk memperkuat permodalan melalui pengerahan modal penyertaan baik dari anggota maupun dari bukan anggota. Dengan kemungkinan ini, Koperasi dapat lebih menghimpun dana untuk pengembangan usahanya. Sejalan dengan itu dalam Undang-undang ini ditanamkan pemikiran ke arah pengembangan pengelolaan Koperasi secara profesional. Berdasarkan hal tersebut di atas, Undang-undang ini disusun dengan maksud untuk memperjelas dan mempertegas jati diri, tujuan, kedudukan, peran, manajemen, keusahaan, dan permodalan Koperasi serta pembinaan Koperasi, sehingga dapat lebih menjamin terwujudnya kehidupan Koperasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. II. PASAL DEMI PASAL
Pajak Bumi dan Bangunan.
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tangal 27 Desember 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 68 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN I. UMUM Dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak. Sebelum berlakunya Undang-undang ini, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 dan terhadap tanah yang tunduk pada hukum barat dipungut pajak berdasarkan Ordonansi Verponding Indonesia 1923, dan Ordonansi Verponding 1928. Di samping itu terdapat pula pungutan pajak atas tanah dan bangunan yang didasarkan pada Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 serta lain-lain pungutan daerah atas tanah dan bangunan. Sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan kekayaan telah menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya sehingga mengakibatkan beban pajak berganda bagi masyarakat. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942, Pasal 14 huruf j, huruf k, dan huruf l Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), dan lain-lain peraturan perundang-undangan tentang pungutan daerah sepanjang mengenai tanah dan bangunan perlu dicabut. Peraturan Perundang-undangan lainnya terutama yang selama ini menjadi dasar bagi penyelenggaraan pungutan oleh Daerah, khususnya seperti pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor masih berlaku. Dengan mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi macam-macam pungutan atas tanah dan/atau bangunan, tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran perpajakan dari masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula. Obyek Pajak dalam Undang-undang ini adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah Republik Indonesia. Dalam mencerminkan keikutsertaan dan kegotongroyongan masyarakat di bidang pembiayaan pembangunan, maka semua obyek pajak dikenakan pajak. Dalam Undang- undang ini, bumi dan/atau bangunan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dikenakan Pajak. Penentuan Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan, maka sebagian besar hasil penerimaan pajak ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Penggunaan pajak yang demikian oleh daerah akan merangsang masyarakat untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak mereka yang sekaligus mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan. Karena Pajak Bumi dan Bangunan sebagian besar akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah maka dirasa perlu untuk menetapkan tempat-tempat pembayaran yang lebih mudah dan dekat sehingga Pemerintah Daerah yang bersangkutan dapat segera memanfaatkan hasil penerimaan pajak guna membiayai pembangunan dimasing-masing wilayahnya. Tempat yang lebih dekat tersebut adalah seperti Bank, Kantor Pos dan Giro serta tempat- tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Bagi wajib pajak dimungkinkan memperoleh pengurangan atas pembayaran pajaknya, karena sebab-sebab tertentu atau dalam hal obyek pajak ditimpa bencana alam atau sebab lain yang luar biasa, sehingga wajib pajak tidak mampu membayar hutang pajaknya. II. PASAL DEMI PASAL
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Relevan terhadap 4 lainnya
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN UMUM 1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya ditanah air kita. Oleh karenanya pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutannya dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat. Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat secara patuh. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan Belanda adalah antara lain: Aturan Bea Materai Tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944. Meskipun terhadap berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan sisa-sisa kolonial tersebut telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, namun karena berbeda falsafah yang melatarbelakanginya, serta sistem yang melekat kepada undang-undang tersebut, maka sepanjang perpajakan dilandasi ketentuan-ketentuan perundang-undangan tersebut, belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita Bangsa dan Pembangunan Nasional yang sedang dilaksanakan sekarang ini.
Memasuki alam kemerdekaan, sejak proklamasi 17 Agustus 1945, terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian sebagai upaya untuk menyesuaikan terhadap keadaan dan tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah memperoleh kemerdekaannya.Namun perubahan-perubahan tersebut dimasa lalu lebih bersifat parsial, sedangkan perubahan yang agak mendasar baru dilakukan melalui Undang- undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan Pajak Perseroan, yang kemudian pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 yang selanjutnya terkenal dengan "sistem MPS dan MPO". Sistem tersebut merupakan penyempurnaan sistem pajak sesuai dengan tingkat perkembangan sosial ekonomi Indonesia. Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan untuk mengubah berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut, belumlah menjawab secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara mendasar. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan. Petunjuk akan perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai amanat rakyat, seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang antara lain berbunyi : "Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih".
Oleh karena itu undang-undang ini sebagai suatu undang-undang dibidang perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus berbeda dengan undang- undang perpajakan yang dibuat dizaman kolonial. Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak, yang tidak dianggap sebagai "obyek", tetapi merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya "aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih", dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam undang-undang ini. Perbedaan falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar pembentukan undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak: Sistem dan mekanisme tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia, karena kedudukan undang-undang ini yang akan menjadi "ketentuan umum" bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain.Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :
bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama- sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban dibidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan-peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri.Selain daripada itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit- belit dan birokratis akan dihilangkan.Ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut sangat berbeda dengan sistem lama warisan zaman kolonial yang antara lain :
tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan seperti yang tercermin dalam sistem penetapan pajak yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan;
pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan, hal mana mengakibatkan anggota masyarakat Wajib Pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang ikut berperan serta dalam memikul beban negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. Jelaslah bahwa sistem pemungutan pajak yang ditentukan menurut Undang-undang ini, memberi kepercayaan lebih besar kepada anggota masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggungjawab perpajakan di masyarakat. Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu yang lampau, dimana administrasi perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas merampungkan/menetapkan semua Surat Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar, tetapi menurut ketentuan undang-undang ini administrasi perpajakan, berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.
Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan dimuka, sebagai suatu uraian yang utuh dan menyeluruh, serta sesuai dengan amanat yang tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, maka diadakan pembaharuan sistem dan hukum perpajakan di Indonesia, yang dituangkan dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahan tersebut diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan serta perluasan tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan obyek kena pajak dan peningkatan penerimaan negara sejalan dengan perkembangan Pembangunan Nasional sehingga mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. PASAL DEMI PASAL
Ayat (1) Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa, seperti Konsulen Pajak, Akuntan Publik, Notaris dan pihak atau orang lainnya yang ada hubungannya dengan tindakan atau kegiatan usaha Wajib Pajak harus memberikan keterangan dan bukti-bukti yang diminta petugas Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pemeriksaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Bahan keterangan atau bukti yang diminta tersebut diperlukan untuk melengkapi bahan keterangan perpajakan guna menghitung dan menentukan besarnya jumlah pajak yang sebenarnya terhutang bagi Wajib Pajak yang diperiksa. Selain itu, ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan pula untuk mencegah adanya usaha menyembunyikan bahan keterangan atau bukti-bukti mengenai perpajakan ditempat- orang lain. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pada dasarnya setiap orang/Badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diharuskan mengadakan pembukuan. Tetapi bagi Wajib Pajak yang karena kemampuannya belum memadai, dimungkinkan untuk dibebaskan dari kewajiban mengadakan pembukuan. Yang dimaksud dengan "dibebaskan" dari kewajiban mengadakan pembukuan dalam ayat ini, tidak diartikan bahwa Wajib Pajak untuk seterusnya tidak berusaha untuk meningkatkan kemampuannya menyelenggarakan pembukuan secara lengkap dan baik, sehingga sama sekali tidak memiliki pembukuan dalam menyelenggarakan usahanya. Sepanjang kemampuan tersebut belum dimiliki, Wajib Pajak dibenarkan untuk hanya membuat catatan-catatan yang merupakan pembukuan sederhana yang memuat data-data pokok yang dapat dipakai untuk melakukan penghitungan pajak yang terhutang bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau perusahaan harus disimpan selama sepuluh tahun, supaya dalam batas waktu tersebut apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembuktian yang diperlukan masih tetap tersedia.Kurun waktu sepuluh tahun harus disimpannya pembukuan dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan adalah taat asas (konsisten) dengan ketentuan Pasal 40 mengenai gugurnya tuntutan pidana perpajakan.
Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan Dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) ...
Relevan terhadap
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2959);
Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1989);
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890), tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904);
Peraturan… 5. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2894);
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1971 tentang Pemberian Kelonggaran Perpajakan Terhadap Perusahaan-Perusahaan Negara yang dialihkan Bentuk Usahanya menjadi Perusahaan Jawatan dan Perusahaan Perseroan (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2953);
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1972 tentang Perubahan atas ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2894); (Lembaran Negara Tahun 1972 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2987);
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3200).