Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan Dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) ...
Relevan terhadap
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2959);
Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1989);
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890), tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904);
Peraturan… 5. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2894);
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1971 tentang Pemberian Kelonggaran Perpajakan Terhadap Perusahaan-Perusahaan Negara yang dialihkan Bentuk Usahanya menjadi Perusahaan Jawatan dan Perusahaan Perseroan (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2953);
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1972 tentang Perubahan atas ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2894); (Lembaran Negara Tahun 1972 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2987);
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3200).
Kewajiban Dan Tata Cara Penyetoran Pendapatan Pemerintah Dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri Dan Kontrak Production Sharing ...
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1982 TENTANG KEWAJIBAN DAN TATA CARA PENYETORAN PENDAPATAN PEMERINTAH DARI HASIL OPERASI PERTAMINA SENDIRI DAN KONTRAK PRODUCTION SHARING I. Penjelasan Umum Dalam rangka usaha penyempurnaan administrasi di bidang perpajakan dari sektor pertambangan minyak dan gas bumi, dipandang perlu untuk memberikan penegasan mengenai kewajiban dan tata cara penyetoran pendapatan Pemerintah dari hasil Operasi Pertamina Sendiri dan Kontrak Production Sharing sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Disamping itu dalam rangka pelaksanaan Kontrak Production Sharing sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, Pertamina mendapatkan fee yang dikenal dengan nama retensi. Besarnya retensi (fee) ditetapkan sebesar 5% (lima persen) Berdasarkan prinsip perpajakan yang berlaku, setiap pendapatan yang diterima perusahaan pada dasarnya merupakan obyek pajak,sehingga dengan demikian atas retensi (fee) tersebut terkena pajak yang besarnya ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen). II. Penjelasan Pasal demi Pasal
Pajak Penghasilan
Relevan terhadap 3 lainnya
Ayat (1) Bagi Wajib Pajak yang tahun pajaknya merupakan tahun buku, maka ada kemungkinan bahwa sebagian dari tahun pajak itu termasuk di dalam tahun takwim 1984. Menurut ketentuan ayat ini, maka apabila 6 (enam) bulan dari tahun pajak itu termasuk dalam tahun takwim 1984 Wajib Pajak diperkenankan untuk memilih apakah mau mempergunakan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, ataupun memilih penerapan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam undang- undang ini. Kesempatan memilih semacam itu berlaku pula bagi Wajib Pajak yang lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun pajaknya termasuk di dalam tahun takwim 1984. Ayat (2) Huruf a Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya terbatas misalnya fasilitas perpajakan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang sudah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983 masih tetap dapat dinikmati sampai dengan habisnya fasilitas perpajakan tersebut. Huruf b Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya tidak ditentukan, tidak dapat dinikmati lagi terhitung mulai tanggal berlakunya undang- undang ini, misalnya: - fasilitas perpajakan yang diberikan kepada PT Danareksa, berupa pembebasan Pajak Perseroan atas laba usaha dan pembebasan Bea Meterai Modal atas penempatan dan penyetoran modal saham, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP- 1680/MK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976; - fasilitas perpajakan yang diberikan kepada perusahaan Perseroan Terbatas yang menjual saham-sahamnya melalui Pasar Modal, berupa keringanan tarif Pajak Perseroan, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 112/KMK.04/1979 tanggal 27 Maret 1979. Ayat (3) Ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangka perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, sepanjang perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini. Ketentuan undang-undang ini baru berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan dalam bentuk perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, apabila perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibuat setelah berlakunya undang-undang itu. Pasal 34...
Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan :
pembayaran dividen atau pembagian laba lainnya dari perseroan atau badan lainnya kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembagian Sisa Hasil Usaha dari koperasi yang bukan pengembalian Sisa Hasil Usaha sehubungan dengan jasa anggota, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu atau anggota;
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah, c. premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, kecuali jika dibayarkan pihak pemberi kerja dan premi yang demikian itu dianggap sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak;
pemberian kenikmatan perjalanan cuti, kenikmatan rekreasi, dan kenikmatan lainnya yang diperuntukkan bagi keperluan pegawai dari Wajib Pajak, termasuk kenikmatan pemakaian kendaraan bermotor perusahaan dan kenikmatan perumahan, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
pembayaran yang melebihi kewajaran sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan, yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
harta yang dihibahkan, bantuan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;
Pajak Penghasilan;
biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya;
sumbangan.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari setahun tidak diperbolehkan dikurangkan sekaligus, melainkan dibebankan melalui amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10). Pasal 10...
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 50 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UMUM 1. Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat(2) sistem dan peraturan perundang- undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan undang-undang.
Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan Bangsa mampu membiayai pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagi beban pembangunan antara golongan berpendapatan tinggi dan golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila.
Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan), dan Tarip Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami, serta mematuhinya.
Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai undang-undang, yaitu :
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan.
Ordonansi...
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam Ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut.
Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen Royalti 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, dan royalti, yang wajib dipotong oleh orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen, dan royalti yang bersangkutan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutan oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun(MPS- Akhir).
Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur:
semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam undang-undang ini b. ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. Struktur tarif disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarif pajak. Tarif... Tarif untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarif untuk badan, dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah dari pada tarif lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut:
sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas.
keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh.
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarif marginal tertinggi hanya 35%(tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak. PASAL DEMI PASAL
Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil.
Relevan terhadap
Ayat (1) Iuran dibayar sejak mulai menjadi peserta sampai saat berhenti sebagai Pegawai Negeri Sipil atau berhenti sebagai pegawai bagi peserta lain. Dengan demikian terdapat peserta yang mengiur yaitu pegawai yang masih aktip bekerja dan peserta yang tidak lagi mengiur yaitu para pensiunan. Yang dimaksud dengan penghasilan disini adalah gaji pokok ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang diterima peserta setiap bulan tanpa tunjangan pangan, satu dan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi peserta yang bukan Pegawai Negeri Sipil maka pengertian penghasilan yang diterima peserta setiap bulan disesuaikan dengan peraturan yang berlaku pada instansi/perusahaan yang bersangkutan; dalam hal ini tidak termasuk, tunjangan pangan, tunjangan-tunjangan yang bersifat sementara/tidak tetap seperti tunjangan perumahan, tunjangan hadir dan lain sebagainya. Ayat (2) Iuran ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf c Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1971. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Lihat penjelasan ayat (1).
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Relevan terhadap 19 lainnya
Terhadap Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), Pajak Kekayaan (PKk), Pajak Jalan dan Pajak Rumah Tangga (PRT) yang terhutang untuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1990. 365 Penjelasan Pasal 30 Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap obyek pajak yang digunakan dalam rangka Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya yang perjanjiannya ditandatangani sejak berlakunya Undang-undang ini yaitu tanggal 1 Januari 1986, sedangkan untuk Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang telah ada tetap berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut.
Tata Cara Perhitungan Dan Penyetoran Kewajiban Pertamina Kepada Pemerintah Atas Hasil Operasi Pertamina Sendiri ...
Relevan terhadap
Yang dimaksud dengan penerimaan bersih usaha (Net Operating Income) dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1982 adalah yang diperoleh dari hasil Operasi Pertamina Sendiri termasuk hasil lainnya setelah dikurangi biaya operasi. Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan 456/KMK.012/1984 tgl 21 Mei 1984 Keputusan Menteri Keuangan 456/KMK.012/1984 - DJP Tax Knowledge Base Dalam menghitung penerimaan bersih usaha dimaksud pada Pasal 1 Keputusan ini, tidak termasuk didalamnya penerimaan Retensi (Fee) dan penerimaan Bonus, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1982 dan juga penerimaan lainnya yang perhitungannya dan penyetoran pajaknya diatur dalam peraturan tersendiri. Pasal 3 Penghasilan yang diperoleh dari hasil Operasi Pertamina Sendiri dan biaya operasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 Keputusan ini, adalah semua penghasilan dan biaya yang dapat diperhitungkan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum untuk perusahaan minyak dan gas bumi, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku. BAB II TATA CARA PERHITUNGAN DAN PENYETORAN KEWAJIBAN PERTAMINA KEPADA PEMERINTAH ATAS HASIL OPERASI PERTAMINA SENDIRI
Penanaman Modal Asing
Relevan terhadap
Pemberian kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan- pungutan lain tersebut dalam pasal 15 dilakukan dengan mengingat prioritas mengenai bidang-bidang usaha sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5.
Selain kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain tersebut dalam ayat (1) pasal ini maka dengan Peraturan Pemerintah dapat diberikan tambahan kelonggaran- kelonggaran itu kepada sesuatu perusahaan modal asing yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 10 Januari 1967. Presiden Republik Indonesia, ttd SUKARNO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Januari 1967. Sekretaris Negara, ttd MOHD. ICHSAN. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 1 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 1 TAHUN 1967 TENTANG PENANAMAN MODAL ASING. PENJELASAN UMUM. Keadaan ekonomi kita sejak beberapa tahun ditandai oleh kemerosotan daya beli Rakyat secara terus menerus dan perbedaan tingkat hidup yang makin menonjol. Keadaan yang menyedihkan ini tidak dapat dibiarkan berlangsung terus dan harus segera dihentikan. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah menetapkan bahwa kepada masalah perbaikan ekonomi Rakyat harus diberikan prioritas utama diantara soal-soal Nasional dan bahwa cara menghadapi masalah-masalah ekonomi harus didasarkan kepada prinsip- prinsip ekonomi yang rasionil dan realistis. Dengan berpegang teguh kepada Ketetapan M.P.R.S. ini maka segera harus diambil langkah-langkah untuk memperbaiki nasib ekonomi rakyat. Masalah ekonomi adalah masalah meningkatkan kemakmuran Rakyat dengan menambah produksi barang dan jasa, sedang selanjutnya adalah masalah mengusahakan pembagian yang adil dari barang dan jasa hasil produksi. Peningkatan produksi dapat tercapai melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan ketrampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan management. Dalam rangka ini penanaman modal memegang peranan yang sangat penting. Dalam menghentikan kemerosotan ekonomi dan melaksanakan pembangunan ekonomi maka azas, penting yang harus dipegang teguh ialah bahwa segala usaha harus didasarkan kepada kemampuan serta kesanggupan Rakyat Indonesia sendiri. Namun begitu azas ini tidak boleh menimbulkan keseganan untuk memanfaatkan potensi-potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia dari luar negeri, selama segala sesuatu benar-benar diabdikan kepada kepentingan ekonomi Rakyat tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri. Berdasarkan pangkal tolak yang rasionil dan realistis sebagaimana diuraikan diatas maka ditetapkan Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing. Untuk mencapai maksud tersebut diatas, maka dengan Undang-undang kepada modal asing diberikan pembebasan/kelonggaran perpajakan dan fasilitas-fasilitas lain. Dalam pada itu Undang-undang ini tidak membuka seluruh lapangan usaha bagi modal asing. Dominasi… Dominasi modal asing seperti dikenal dalam zaman penjajahan dengan sendirinya harus dicegah. Perusahaan-perusahaan vital yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap tertutup bagi modal asing (pasal 6). Dalam tiap izin penanaman modal asing ditentukan jangka waktu berlakunya yang tidak lebih dari 30 tahun. Kecuali itu didalam menentukan bidang-bidang usaha mana modal asing diperbolehkan, Pemerintah sepenuhnya memperhatikan kekuatan modal nasional yang ada rencana-rencana pembangunan yang akan disusun oleh Pemerintah (pasal 5.). Dalam hal ini tidak boleh dilupakan bahwa tanah, kekayaan alam dan iktikat baik negara dan bangsa Indonesia juga dapat diperhitungkan sebagai modal yang berharga. Penanaman modal asing menurut Undang-undang ini dapat dilakukan dalam bentuk perusahaan yang dari semula modalnya seratus persen terdiri dari modal asing ataupun dalam bentuk kerja-sama antara modal asing dan modal nasional. Berhubung dengan ketentuan dalam pasal 27 Pemerintah akan menentukan pula bidang- bidang usaha mana yang hanya dapat diusahakan dalam bentuk kerja-sama dengan modal nasional (pasal 5 ayat 1). PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Berbeda dari pada kredit yang risiko penggunaannya ditanggung oleh peminjam maka didalam penanaman modal asing risiko penggunaannya menjadi tanggungan penanam. Undang-undang ini hanya mengatur hal penanaman modal asing dan tidak mengatur hal kredit. Berhubung dengan itu maka perlu dikemukakan kemungkinan adanya modal asing yang digunakan dalam sesuatu usaha sepenuhnya, dan adanya modal asing yang dimanfaatkan dalam sesuatu usaha dalam kerja-sama dengan modal nasional. Pasal 2. Modal asing dalam Undang-undang ini tidak hanya berbentuk valuta asing, tetapi meliputi pula alat-alat perlengkapan tetap yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, penemuan-penemuan milik orang/badan asing yang dipergunakan dalam perusahaan di Indonesia, dan keuntungan yang boleh ditransfer keluar negeri tetapi dipergunakan kembali di Indonesia. Pasal 3. Penanaman modal asing oleh seorang asing, dalam statusnya sebagai orang- perseorangan, dapat menimbulkan kesulitan/ketidak tegasan di bidang hukum internasional. Dengan… Dengan mewajibkan bentuk badan hukum maka dengan demikian akan mendapat ketegasan mengenai status hukumnya, yaitu badan hukum Indonesia yang tunduk pada hukum Indonesia. Sebagai badan hukum terdapat ketegasan tentang modal yang ditanam di Indonesia. Pasal 4. Dengan ketentuan ini maka dapat diusahakan pembangunan yang merata di seluruh wilayah Indonesia dengan memperhatikan daerah-daerah minus, sesuai dengan rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas. Pasal 7. Cukup jelas. Pasal 8. Untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan ekonomi maka Pemerintah menentukan bentuk-bentuk kerjasama antara modal asing dan modal nasional yang paling menguntungkan untuk tiap bidang usaha. Mungkin bentuk kerja-sama ini berujud kontrak karya, joint venture atau bentuk lainnya. Pasal 9. Kepada pemilik modal asing diperkenankan sepenuhnya menetapkan direksi perusahaannya. Kiranya hal demikian itu sudah sewajarnyalah karena penanam modal asing ingin menyerahkan pengurusan modal kepada orang yang dipercayainya. Dalam hal kerja-sama antara modal asing dan modal nasional, direksi ditetapkan bersama-sama. Pasal 10 dan 11. Cukup jelas. Pasal 12…. Pasal 12. Kecuali memberikan pendidikan dalam bidang teknik, maka perusahaan modal asing diwajibkan menyelenggarakan dan/atau menyediakan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan dalam bidang pemasaran dalam dan luar negeri. Pasal 13. Pengawasan oleh Pemerintah dilaksanakan secara aktif dan effektif. Pasal 14.
Ketentuan pasal ini yang memungkinkan diberikannya tanah kepada perusahaan-perusahaan yang bermodal asing bukan saja dengan hak pakai, tetapi juga dengan hak guna bangunan dan hak guna usaha, merupakan penegasan dari apa yang ditentukan di dalam pasal 55 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, berhubungan dengan pasal 10, 62 dan 64 Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966.
Sesuai,dengan ketentuan Undang-undang Pokok Agraria pasal 35, pasal 29 dan pasal 41, maka hak guna bangunan tersebut dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, yang mengingat keadaan perusahaan dan bangunannya dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak guna usaha dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 25 tahun. Kepada perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan macam tanaman yang diusahakannya memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha dengan jangka waktu hak guna usaha tersebut dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, Hak pakai diberikan dengan jangka waktu menurut keperluannya, dengan mengingat pembatasan-pembatasan bagi hak guna bangunan dan hak guna usaha tersebut di atas. Pasal 15.
Pembebasan :
Karena usaha sesuatu perusahaan itu beraneka ragam dan dengan demikian juga kemungkinan berproduksinya maka jangka waktu pembebasan pajak dapat diatur sesuai dengan itu. Jangka waktu maksimal 5 tahun dianggap cukup untuk memberi kompensasi terhadap pengeluaran yang dilakukan sebelum usaha bersangkutan berproduksi. Menurut… Menurut pengertian internasional saat permulaan berproduksi adalah saat sesuatu usaha baru mulai berproduksi dalam jumlah yang dapat disalurkan di pasaran.
Pembagian laba yang diperoleh selama waktu pembebasan pajak wajar dibebaskan juga dari pengenaan pajak deviden.
Keuntungan yang ditanam kembali, diperlukan sebagai penanaman modal asing baru.
Cukup jelas.
Dalam rangka pemberian pembebasan pajak kepada modal asing maka tidak diadakan pungutan sub a No. 5, karena tergolong biaya sebelum sesuatu usaha baru berproduksi.
Keringanan:
Dengan menyimpang dari tarip pajak perseroan marginal sebesar enam puluh perseratus dari jumlah laba bersih, sebagaimana ditentukan dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 maka untuk jangka waktu yang tidak melebihi 5 tahun sesudah jangka waktu pembebasan diberikan suatu penurunan tarip pajak dengan memperhatikan bidang-bidang usaha menurut urutan prioritas yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (1). Jumlah pajak dalam jangka waktu tersebut akan berupa suatu tarip proporsionil setinggi-tingginya lima puluh perseratus dari laba tahunan bersih.
Pasal 7 Ordonansi Pajak Perseroan 1925 menentukan bahwa kerugian yang diderita dalam sesuatu tahun hanya dapat diperhitungkan dengan laba dalam 2 tahun berikutnya. Menurut ketentuan dalam angka 2 sub b ini maka kerugian yang diderita selama jangka waktu pembebasan tersebut sub a angka 1, dapat diperhitungkan dengan laba yang diperoleh setelah jangka waktu sehingga kerugian tersebut dapat diperhitungkan penuh.
Menteri Keuangan akan mengatur sesuatu tabel penyusutan untuk barang perlengkapan tetap perusahaan baru modal asing dengan memperhatikan bidang-bidang usaha menurut urutan prioritas yang disebut dalam pasal 5 ayat (1). Pasal 16…. Pasal 16.
Besarnya kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain tersebut dalam pasal 15 ditentukan sesuai dengan prioritas mengenai bidang- bidang usaha sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 dan sesuai pula dengan berat ringannya usaha.
Ada kemungkinan sesuatu perusahaan modal asing yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat membuktikan bahwa kelonggaran- kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain seperti tersebut dalam ayat (1) masih belum cukup untuk berusaha secara effisien dan effektif. Hal yang demikian itu dapat terjadi apabila perusahaan tersebut memerlukan modal yang sangat besar untuk investasi atau untuk biaya "overhead". Dalam keadaan yang demikian Pemerintah dapat memberikan kelonggaran-kelonggaran itu kepada setiap perusahaan yang dianggap pantas untuk diberikannya. Tiap-tiap keputusan Pemerintah itu harus dituangkan dalam, suatu Peraturan Pemerintah. Apabila Pemerintah membuat Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (2) maka Pemerintah akan menghubungkan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan-ketentuan mengenai kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain yang dimaksud dalam Bab VI Undang-undang ini akan dilakukan juga bagi modal nasional dan bagi modal domestic asing dalam bidang-bidang usaha yang sama. Pasal 17. Dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah nanti akan ditentukan lebih lanjut pelaksanaan administratif perpajakan. Pasal 18. Selanjutnya diadakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Perusahaan modal asing harus.mengadakan pembukuan tersendiri dari modal asingnya.
Untuk menetapkan besarnya modal asing maka jumlahnya harus dikurangi dengan jumlah-jumlah yang dengan jalan repatriasi telah ditransfer.
Tiap tahun perusahaan diwajibkan menyampaikan kepada Pemerintah suatu ikhtisar dari modal asingnya. Pasal 19… Pasal 19 dan 20. Perusahaan modal asing diberikan izin transfer dalam valuta aslinya setelah bekerja beberapa waktu menurut penetapan Pemerintah. Hak transfer merupakan suatu perangsang untuk menarik penanaman modal asing. Realisasi transfer termaksud ditetapkan lebih lanjut oleh Pemerintah. Semua transfer selain yang diperkenankan berdasarkan pasal 19 huruf a, b dan c dipandang sebagai repatriasi modal asing. Dirasakan adil apabila perusahaan-perusahaan yang menggunakan modal asing tidak diperbolehkan merepatriasi modalnya/mentransfer penyusutan modalnya selama perusahaan-perusahaan itu masih memperoleh kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain. Perlu diterangkan bahwa transfer keuntungan modal asing dapat dilakukan juga selama perusahaan itu memperoleh kelonggaran- kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain. Pasal 21 dan 22. Untuk menjamin ketenangan bekerja modal asing yang ditanam di Indonesia maka dalam pasal ini ditetapkan bahwa Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan modal asing, kecuali jika kepentingan Negara menghendakinya. Tindakan demikian itu hanya dapat dilakukan dengan Undang- undang serta dengan pemberian kompensasi menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Pasal 23. Pengertian modal nasional dalam Undang-undang ini meliputi modal Pemerintah Pusat dari Daerah, Koperasi dan modal swasta nasional. Pasal 24 dan 25. Cukup jelas. Pasal 26. Maksud ketentuan ini adalah untuk mencegah jangan sampai perusahaan modal asing yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan Negara, ataupun tidak melakukan sepenuhnya tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelenggarakan perusahaan secara effektif dan effisien sesuai dengan tujuan pemberian kesempatan menanam modal asing di Indonesia. Pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28…. Pasal 28. Dalam melaksanakan Undang-undang ini tersangkut bidang berbagai Departemen. Karena itu perlu diadakan badan koordinasi yang sederhana yang dapat berbentuk dewan yang terdiri dari Menteri-Menteri yang bersangkutan. Pasal 20, 30 dan 31 Cukup jelas.
Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai.
Relevan terhadap
Dengan mencabut Undang-undang No. 20 tahun 1952 (Lembaran-Negara tahun 1952 No. 74) dan membatalkan segala peraturan yang bertentangan dengan Undang-undang ini; Menetapkan : Undang-undang tentang Pensiun-pegawai dan pensiun Janda/Duda Pegawai. Pasal 1. Tentang sifat pensiun. Pensiun-pegawai dan pensiun-janda/duda menurut Undang-undang ini diberikan sebagai jaminan hari tua dan sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai negeri selama bertahun-tahun bekerja dalam dinas Pemerintah. Pasal 2. Tentang pembiayaan pensiun. Pensiun-pegawai, pensiun-janda/duda dan tunjangan-tunjangan serta bantuan-bantuan di atas pensiun yang dapat diberikan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini:
Bagi pegawai negeri/bekas pegawai negeri yang terakhir sebelum berhenti sebagai pegawai negeri atau meninggal dunia, berhak menerima gaji atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menjelang pembentukan dan penyelenggaraan suatu Dana Pensiun yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah; dibiayai sepenuhnya oleh Negara, sedangkan pengeluaran-pengeluaran untuk pembiayaan itu dibebankan atas anggaran termaksud;
Bagi pegawai negeri/bekas pegawai negeri yang tidak termasuk huruf a di atas ini, dibiayai oleh suatu dana pensiun yang di bentuk dengan dan penyelenggaraannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 3. Arti beberapa istilah. Yang dimaksudkan dengan:
Pegawai negeri, ialah pegawai negeri menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-undang Pokok Kepegawaian No. 18 tahun 1961 (Lembaran-Negara tahun 1961 No. 263), kecuali anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
Janda, ialah isteri sah menurut hukum dari pegawai negeri atau penerima pensiun-pegawai yang meninggal dunia;
Duda, ialah suami yang sah menurut hukum dari pegawai negeri wanita atau penerima pensiun-pegawai wanita, yang meninggal dunia dan tidak mempunyai isteri lain;
Anak, ialah anak kandung yang sah atau anak kandung/anak yang disahkan menurut Undang-undang Negara dari pegawai negeri, penerima pensiun, atau penerima pensiun-janda/duda;
Orang tua, ialah ayah kandung dan/atau ibu kandung pegawai negeri. Pasal 4. Yang dimaksud dengan tewas, ialah:
Meninggal dunia dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya;
Meninggal dunia dalam keadaan lain yang ada hubungannya dengan dinasnya sehingga kematian itu disamakan dengan meninggal dunia dalam dan/atau karena menjalankan kewajibannya;
Meninggal dunia yang langsung diakibatkan karena luka-luka maupun cacad rokhani atau jasmani yang didapat dalam hal-hal tersebut pada huruf a dan b di atas;
Meninggal dunia karena perbuatan anasir-anasir yang tidak bertanggungjawab ataupun sebagai akibat dari tindakan terhadap anasir-anasir itu. Pasal 5. Tentang dasar pensiun. Dasar pensiun yang dipakai untuk menentukan besarnya pensiun, ialah gaji pokok (termasuk gaji pokok tambahan dan/atau gaji pokok tambahan peralihan) terakhir sebulan yang berhak diterima oleh pegawai yang berkepentingan berdasarkan peraturan gaji yang berlaku baginya. Pasal 6. Tentang masa kerja.
Masa-kerja yang dihitung untuk menetapkan hak dan besarnya pensiun untuk selanjutnya disebut masa-kerja untuk pensiun ialah:
Waktu bekerja sebagai Pegawai Negeri;
Waktu bekerja sebagai anggota A.B.R.I.;
Waktu bekerja sebagai tenaga bulanan/harian dengan menerima penghasilan dari Anggaran Negara atau Anggaran Perusahaan Negara, Bank Negara;
Masa selama menjalankan kewajiban berbakti sebagai pelajar dalam Pemerintah Republik Indonesia pada masa perjuangan phisik;
Masa berjuang sebagai Veteran Pembela Kemerdekaan;
Masa berjuang sebagai Veteran Pejuang Kemerdekaan;
Waktu bekerja sebagai pegawai pada sekolah partikelir bersubsidi.
Waktu bekerja sebagai pegawai negeri pada Pemerintah Republik Indonesia dahulu yang dialami antara tanggal 17 Agustus 1945 dan 1 Januari 1950, dan masa termaksud huruf d dan f ayat (1) pasal ini, dihitung 2 (dua) kali sebagai masa kerja untuk pensiun.
Waktu menjalankan suatu kewajiban Negara dalam kedudukan lain daripada sebagai pegawai negeri, dihitung penuh apabila yang bersangkutan pada saat pemberhentiannya sebagai pegawai negeri telah bekerja sebagai pegawai negeri sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun.
Waktu bekerja dalam kedudukan lain daripada yang disebut pada ayat (1) dan (3) pasal ini dalam hal-hal tertentu dapat dihitung untuk sebagian atau penuh sebagai masa-kerja untuk pensiun. Ketentuan-ketentuan mengenai hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam perhitungan masa-kerja, maka pecahan bulan dibulatkan ke atas menjadi sebulan penuh.
HAPUSNYA PENSIUN-PEGAWAI/PENSIUN-JANDA/DUDA (1) Hak untuk menerima pensiun-pegawai atau pensiun-janda/ duda hapus:
jika penerima pensiun-pegawai tidak seizin pemerintah menjadi anggota tentara atau pegawai negeri suatu negara asing.
jika penerima pensiun-pegawai/pensiun-janda/duda/bagian pensiun-janda menurut keputusan pejabat/Badan Negara yang berwenang dinyatakan salah melakukan tindakan atau terlibat dalam suatu gerakan yang bertentangan dengan kesetiaan terhadap Negara dan Haluan Negara yang berdasarkan Panca Sila.
Jika ternyata bahwa keterangan-keterangan yang diajukan sebagai bahan untuk penetapan pemberian pensiun-pegawai/ pensiun-janda/duda/bagian pensiun-janda, tidak benar dan bekas Pegawai Negeri atau janda/duda/anak yang bersangkutan sebenarnya tidak berhak diberikan pensiun.
Dalam hal-hal tersebut pada ayat (1) huruf a dan b pasal ini, maka surat keputusan pemberian pensiun dibatalkan, sedang dalam hal-hal tersebut huruf c, ayat itu surat keputusan termaksud dicabut. Pasal 30. JAMINAN UNTUK PINJAMAN Surat keputusan tentang pemberian pensiun menurut Undang-undang ini dapat dipergunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman dari salah satu Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pasal 31. PEMINDAHAN HAK PENSIUN-PENSIUN (1) Hak atas pensiun-pensiun menurut Undang-undang ini tidak boleh dipindahkan.
Penerima pensiun tersebut tidak boleh menggadaikan atau dengan maksud itu secara lain menguasakan haknya kepada siapapun juga.
Semua perjanjian yang bertentangan dengan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 32. HAL-HAL LUAR BIASA DAN PERATURAN PELAKSANAAN (1) Hal-hal luar biasa yang tidak/belum diatur dalam Undang-undang ini, diputus oleh Presiden.
Hal-hal yang perlu untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini diatur oleh Kepala Kantor Urusan Pegawai menurut petunjuk-petunjuk Menteri Keuangan. Pasal 33. PERATURAN PERALIHAN.
Istri (istri-istri) dan anak (anak-anak) yang telah didaftarkan sebagai yang berhak menerima pensiun-janda atau tunjangan-anak yatim/piatu berdasarkan peraturan yang berlaku sebelum Undang-undang ini, dianggap telah didaftarkan sebagai yang berhak menerima pensiun-janda menurut peraturan ini.
Anak-anak Pegawai Negeri atau penerima pensiun-pegawai yang dilahirkan sebelum waktu Undang-undang ini mulai berlaku terhadapnya dari perkawinan dengan istri/suami yang pada waktu itu telah meninggal dunia atau telah bercerai dapat didaftarkan sebagai anak yang berhak menerima pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda menurut Undang-undang ini. Pasal 34.
Pensiun-pegawai, pensiun janda/duda, bagian pensiun-janda dan tunjangan-anak yatim/piatu yang penetapannya didasarkan atas peraturan-peraturan yang berlaku sebelum tangggal mulai berlakunya Undang-undang ini, dinaikkan besarnya menjadi 150% (seratus lima puluh perseratus) dari jumlah yang ditetapkan berdasarkan peraturan-peraturan lama itu, terhitung mulai tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini, dengan ketentuan bahwa: Pensiun/tunjangan yang bersifat pensiun bagi bekas pegawai dan janda setelah dinaikkan tidak boleh kurang dari berturut-turut 100% dan 75% dari gaji pokok terendah menurut Peraturan Pemerintah tentang gaji dan pangkat Pegawai Negeri yang berlaku.
Jumlah yang dinaikkan itu ditetapkan dalam rupiah bulat, pecahan rupiah dibulatkan ke atas menjadi rupiah penuh.
Pelaksanaan kenaikan pensiun dan tunjangan yang bersifat pensiun itu diselenggarakan oleh Kantor-kantor pembayaran yang bersangkutan menurut petunjuk-petunjuk Kepala Kantor Urusan Pegawai. Pasal 35. KETENTUAN PENUTUP Undang-undang ini disebut "UNDANG-UNDANG PENSIUN PEGAWAI DAN PENSIUN-JANDA/DUDA PEGAWAI" dan mulai berlaku pada hari diundangkan serta berlaku surut mulai tanggal 1 Nopember 1966. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1969. Presiden Republik Indonesia, SOEHARTO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1969. Sekretaris Negara Republik Indonesia, ALAMSYAH. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 11 TAHUN 1969 TENTANG PENSIUN-PEGAWAI DAN PENSIUN JANDA/DUDA PEGAWAI. PENJELASAN UMUM:
Undang-undang ini diadakan sebagai pelaksanaan ketentuan dalam pasal 19 Undang-undang Pokok Kepegawaian yang menentukan bahwa jaminan hari tua pegawai negeri, yang antara lain berupa pensiun bagi pegawai sendiri dan pensiun-janda/duda, harus diatur dengan Undang-undang dengan mengingat keadaan penghodupan masyarakat Indonesia.
Karena itu maka dalam Undang-undang ini diatur hal-hal mengenai pensiun-pegawai, pensiun-janda dan pensiun-istimewa untuk janda pegawai yang tewas, yang sebelumnya berturut-turut diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 1952, Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1952 dan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1954 dan yang kesemuanya itu menjadi batal mulai berlakunya dan diganti dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini. Dalam pada itu dalam Undang-undang ini telah diadakan pula pengaturan tentang pemberian pensiun-duda, yang diprintahkan oleh pasal 19 Undang-undang Pokok Kepegawaian, agar tidak ada diskriminasi antara hak pegawai pria meupun pegawai wanita.
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kepegawaian, maka peraturan pensiun yang baru ini mempunyai sifat pokok: pensiun diberikan sebagai jaminan hari tua dan, sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai selama bekerja bertahun-tahun dalam dinas Pemerintah.
Kedua sifat dari Pensiun itu telah menentukan penyatuannya dalam pasal 19 Undang-undang ini, yang menentukan 3 syarat pokok untuk memperoleh hak pensiun-pegawai, yaitu;
telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun, 2. memiliki masa-kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 tahun dan, 5. Sebagai lazimnya menurut peraturan-peraturan pensiun yang berlaku sebelumnya, maka juga Undang-undang ini diadakan perkecualian dari syarat usia dan masa-kerja termaksud di atas ini, yaitu dalam hal-hal luar biasa yang diatur pasal 9.
Bahwa untuk memperoleh hak atas jaminan hari tua, pegawai yang bersangkutan antara lain harus memenuhi syarat diberhentikan "dengan hormat" sebagai pegawai negeri adalah perlu berhubung dengan sifatnya pensiun sebagai penghargaan atas jasa-jasa dan penting untuk membina dan memelihara kestiaan pegawai terhadap Negara dan haluan Negara yang berdasarkan Panca Sila.
Selanjutnya, maka tidaklah pada tempatnya untuk memberikan pensiun kepada pegawai yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri. Peraturan Pensiun Pegawai Negeri, sekalipun hanya mengatur pemberian penghasilan kepada bekas pegawai setelah ia diberhentikan sebagai pegawai negeri, tidak dapat dilepaskan daripada hubungannya dengan tujuan utama daripada Undang-undang Pokok Kepegawaian untuk menyusun dan memelihara Aparatur Negara yang berdaya-guna sebagai alat revolusi Nasional dan organisasi harus terisi dengan korps pegawai negeri yang memenuhi syarat-syarat kepegawaian sebagai ditentukan dalam Undang-undang itu i.c. syarat kepribadian dan kesetiaan terhadap Negara dan haluan Negara yang berdasarkan Panca Sila. Maka dari itu Peraturan Pensiun Pegawai Negeri R.I., sebagaimana dikehendaki menurut Undang-undang Pokok Kepegawaian No. 18 tahun 1961, selain menjamin pemberian penghasilan atas beban keuangan Negara bagi bekas pegawai dan keluarganya untuk masa hari tua, harus pula mencerminkan penghargaan atas jasa-jasa itu dengan sendirinya terbatas pada para pegawai yang memenuhi syarat-syarat kepegawaian sebagai disebut di atas, dan tidak diberikan kepada mereka yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri karena telah melakukan perbuatan/tindakan yang tercela dan bertentangan dengan kepentingan dinas dan/atau Negara.
Jika ketentuan-ketentuan tentang hak dan besarnya pensiun pegawai, pensiun-janda dan tunjangan anak-yatim/piatu dalam peraturan-peraturan pensiun lama sangat dipengaruhi oleh cara pembiayaan pensiun oleh suatu dana pensiun dengan pelbagai iuran-iurannya, maka dalam Undang-undang ini hak dan besarya pensiun-pensiun itu dapat diatur lebih sederhana dan dengan mengutamakan proses pelaksanaan yang mudah dan cepat tanpa mengurangi penelitian bahwa pemberian dan pembayaran pensiun dilakukan kepada mereka yang benar-benar berhak menerimanya.
Akhisnya, apabila dibanding dengan peraturan-peraturan yang lama, maka berhubung dengan sifat-sifatnya dalam peraturan pensiun baru ini terdapat perubahan-perubahan penting sebagai disebut di bawah ini:
Berbeda dengan peraturan lama (Undang-undang No. 20 tahun 1952, yang tidak memuat ketentuan-ketentuan batas umur minimum untuk penentuan hak atas pensiun), di dalam peraturan baru berhubung dengan sifatnya sebagai jaminan hari tua ditetapkan batas usia minimum yang harus telah dicapai oleh pegawai untuk mendapat hak atas pensiun, yaitu umur sekurang-kurangnya 50 tahun.
Kemudian, karena pemberian pensiun dimaksudkan juga sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai selama bekerja bertahun-tahun dalam dinas Pemerintah, maka ditentukan pula jumlah minimum masa-kerja yang wajar pula jumlah minimum masa-kerja yang wajar sebagai syarat untuk dapat diberikan pensiun, yaitu sekurang-kurangnya 20 tahun. Jika pegawai di luar kemauannya sendiri harus diberhentikan sebagai pegawai negeri karena menjadi tenaga kelebihan atau karena penertiban aparatur Negara, untuk dapat diberikan pensiun-pegawai yang bersangkutan harus memiliki masa-kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.
Selanjutnya, apabila menurut peraturan lama predikat pemberhentian sebagai pegawai negeri tidak menentukan dalam penetapan hak atas pensiun, maka dalam peraturan baru ini ditentukan pula sebagai syarat untuk dapat diberikan pensiun, bahwa pemberhentian pegawai yang bersangkutan sebagai pegawai negeri harus ada dilakukan dengan hormat.
Besarnya pensiun-pegawai sebulan telah dipertinggi agar pegawai, apabila diberikan pensiun, tidak mengalami kemunduran penghasilan yang terlampau besar. Jumlah pensiun-pegawai tertinggi sebulan dinaikkan dari 50% menjadi 75% dari dasar pensiun, dan pensiun-pegawai terendah sebulan dinaikkan dari 25% menjadi 40%. Besarnya pensiun-janda sebulan dinaikkan dari 20% menjadi 36% dari dasar-pensiun. Selanjutnya, untuk menjamin kehidupan yang cukup layak sebagai penerima pensiun, telah diadakan pula ketentuan bahwa besarnya pensiun-pegawai dan pensiun-janda sebulan berturut-turut adalah sekurang-kurangnya sama besar dengan dan 75% dari gaji-pokok terendah menurut peraturan gaji pegawai negeri yang berlaku. Dengan demikian, maka sistim penggajian pegawai negeri atau dasar prinsip "Kebutuhan Fisik Minimum" (K.F.M.) diperhatikan juga untuk pensiun.
Akhirnya ketentuan-ketentuan tentang pemberian pensiun kepada anak (anak-anak) yatim/piatu telah disederhanakan. Apabila pegawai yang tidak beristeri/bersuami atau janda/duda meninggal dunia dan meninggalkan anak (anak-anak) yang berhak diberikan pensiun, maka kepada anak (anak-anak) itu diberikan terus jumlah pensiun-janda/duda yang diterima oleh ibu/ayahnya. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL: Pasal 1. Sifat pensiun ini adalah sesuai dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Pokok Kepegawaian. Pasal 2.
Sejak keluarnya Undang-undang No. 11 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 1956 No. 23), maka pensiun-pegawai negeri telah dibiayai oleh Negara dan dibebankan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sedangkan iuran-iuran pensiun telah ditanggung pule oleh Pemerintah sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 77).
Pegawai negeri yang gajinya tidak menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah umpamanya pegawai Perusahaan-Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 19 tahun 1960. Pasal 3. Golongan-golongan pegawai yang termasuk dalam arti pegawai negeri menurut pasal ini adalah :
Pegawai Negeri Sipil Pusat, b. Pegawai Daerah Otonom, c. Pegawai Perusahaan/Bank Negara. Yang memiliki ketiga unsur kepegawaian termaksud dalam pasal 1 Undang-undang Pokok Kepegawaian. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Dengan "gaji terakhir yang berhak diterima", dimaksudkan juga gaji menurut pangkat anumerta. Pasal 6. Ayat (1). Huruf a sampai dengan c, e dan f: Cukup jelas. Huruf d: Yang dimaksud ialah masa berbakti sebagai pelajar menurut Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1949, tentang Penghargaan Pemerintah terhadap pelajar yang telah terbukti untuk Negara; Huruf g : Pegawai-pegawai dari sekolah-sekolah swasta bersubsidi tersebut pada ayat (1) huruf g, hingga sekarang masih diberi pensiun menurut peraturan lama (Pensioenreglement voor Bijzondere Leerkrechten) yang juga dibiayai oleh Pemerintah, sambil menunggu peninjauan Pensioenreglement voor Bijzondere Leerkrachten. Ayat (2). Cukup jelas. Ayat (3). Cukup jelas. Ayat (4). Peraturan Pemerintah yang kini berlaku ialah Peraturan Pemerintah No. 2O tahun 1960 (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 49) tentang masa-kerja yang dihitung untuk pensiun. Ayat (5). Cukup jelas. Pasal 7. Cukup jelas. Pasal 8. Yang dimaksud dengan "tunjangan umum dan bantuan umum" ialah tunjangan atau bantuan yang pemberiannya tidak tergantung dari jabatan/pekerjaan pegawai negeri, melainkan diberikan dalam rangka kesejahteraan c.q. jaminan sosial pegawai negeri. Pasal 9. Ayat (1). Berhubung dengan sifatnya sebagai jaminan hari tua, ditetapkan batas usia minimum yang harus telah dicapai oleh pegawai untuk mendapat hak atas pensiun, yaitu umur sekurang-kurangnya 50 tahun. Dari syarat tentang batas usia minimum tersebut dikecualikan pegawai yang harus diberhentikan sebagai pegawai negeri karena keadaan jasmani dan atau rochani. Selanjutnya, sesuai dengan tujuan dari Undang-undang Pokok Kepegawaian No. 18 tahun 1961 untuk menempatkan pegawai-pegawai pada badan-badan Pemerintah yang memenuhi syarat kepribadian dan kesetiaan, maka ditentukan pula sebagai syarat untuk mendapat hak atas pensiun bahwa pegawai yang bersangkutan diberhentikan sebagai pegawai negeri dengan sebutan "dengan hormat". Karena pemberian pensiun dimaksudkan juga sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai dalam dinas Pemerintah, maka ditentukan pula minimum masa-kerja yang wajar sebagai syarat untuk dapat diberikan pensiun, yaitu sekurang-kurangnya 20 tahun. Berhubung dengan ketentuan pada pasal 35 Undang-undang ini bahwa Undang-undang ini berlaku surut mulai tanggal 1 Nopember 1966, perlu dijelaskan, bahwa pegawai yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri setelah 1 Nopember 1966, tidak berhak akan pensiun menurut Undang-undang ini. Ayat (2). Jika pegawai di luar kemauannya sendiri diberhentikan sebagai pegawai negeri karena menjadi tenaga kelebihan atau karena penertiban aparatur Negara dan sebagainya, maka untuk dapat diberikan pensiun pegawai yang bersangkutan harus memiliki masa-kerja sekurang-kurangnya 10 tahun. Ayat (3). Bagi pegawai negeri yang pernah menjalankan tugas Negara, yaitu kewajiban Negara yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1952, untuk hak pensiun tidak lagi disyaratkan masa-kerja 10 tahun seluruhnya sebagai pegawai negeri, tetapi cukup dengan memiliki masa-kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun dalam kedudukan apapun. Pasal 10. Untuk mempecepat pemberian/pembayaran pensiun maka:
Departemen-departemen/Lembaga-lembaga Pemerintah/Negara harus segera mulai menyusun Daftar Riwayat Pekerjaan para pegawai yang ada dalam administrasi masing-masing terutama Daftar Riwayat Pekerjaan mereka yang berusia 50 (lima puluh) tahun ke atas.
Harus diusahakan oleh masing-masing Departemen/Lembaga Pemerintah/Negara agar jauh sebelum masa peremajaan sudah tersedia bahan-bahan keterangan yang mengenai usia/tanggal lahir, masa-kerja pensiun serta nama, tanggal kelahiran isteri/anak-anak pegawai. Pasal 11. Besarnya pensiun-pegawai sebulan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari gaji-pokok, dengan maksud agar pegawai, apabila dipensiunkan tidak mengalami kemunduran penghasilan yang terlampau besar. Dalam rangka pembentukan dana pensiun, maka dengan Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 2 huruf a Undang-undang ini, dapat ditetapkan prosentase-prosentase yang tinggi daripada yang ditetapkan dalam pasal ini. Pasal 12.
berdasarkan ketentuan pasal 7 Undang-undang ini, Kepala Kantor Urusan Pegawai menetapkan pemberian pensiun-pegawai dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah menerima salinan Surat Keputusan/Pemberitahuan dari pejabat yang berhak memberhentikan pegawai negeri yang besangkutan tentang pemberhentian dengan hormat seorang pegawai negeri, tanpa menunggu surat permintaan pensiun dari yang berkepentingan apabila pada Kantor Urusan Pegawai telah terkumpul:
Daftar Riwayat Pekerjaan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
Daftar Susunan Keluarga yang disahkan oleh yang berwajib, dan c. Surat keterangan dari pegawai yang bersangkutan bahwa semua surat-surat baik yang asli maupun turunan milik Negara telah diserahkan kembali kepada yang berwajib.
Pejabat yang berhak memberhentikan pegawai berkewajiban untuk dalam waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum saat pemberhentian dengan hormat sebagai pegawai negeri dengan hak pensiun :
Menetapkan Surat Keputusan tentang pemberhentian yang bersangkutan dan menyampaikan salinannya kepada Kantor Urusan Pegawai ;
Menyampaikan kepada Kepala Kantor Urusan Pegawai, Daftar Riwayat Pekerjaan yang memuat juga tempat/tanggal kelahiran c.q. usia pegawai yang bersangkutan, yang ditanda-tangani oleh pejabat yang berhak serta Daftar Susunan Keluarga yang disahkan oleh yang berwajib yang memuat nama, tanggal kelahiran dan alamat, istri/suami dan anak-anaknya. Pasal 13 s/d pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Menurut ketentuan dalam pasal ini pensiun-pegawai harus dibatalkan jika penerima pensiun yang besangkutan diangkat lagi sebagai pegawai negeri, termasuk anggota ABRI karena pada azasnya Pemerintah untuk selanjutnya tidak lagi menghendaki kemungkinan pemberian lebih dari satu macam pensiun-pegawai ataupun pensiun-janda kepada bekas pegawai negeri atau isteri/anaknya. Ketentuan dalam pasal ini dengan sendirinya tidak berlaku lagi bagi pegawai pensiunan yang dipekerjakan kembali dalam suatu jabatan negeri dengan diberi gaji bulanan/harian di samping pensiun. Dalam hal tersebut pada pasal 15 ayat (2) kepada pegawai yang bersangkutan diberikan pensiun menurut perhitungan yang lebih menguntungkan. Pasal 16. Cukup jelas. Periksa Penjelasan Umum. Pasal 17. Ayat (1). Periksa Penjelasan Umum. Ayat (2). Ketentuan tentang batas minimum sebesar 75% dari gaji-pokok terendah hanya berlaku bagi pensiun-janda (36%) dan tidak berlaku untuk bagian-bagian pensiun-janda termaksud pada ayat (1). Ayat (3). Ketentuan pada ayat (3) menghapuskan ketentuan-ketentuan dalam peraturan lama Peratruan Pemerintah Nomor 19 tahun 1952, tentang pemberian pensiun kepada janda dan tunjangan kepada anak yatim/piatu pegawai negeri sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1954, tentang pemberian tunjangan istimewa kepada keluarga pegawai yang tewas. Ketentuan dalam ayat (3) pasal ini berlaku juga bagi calon pegawai dan pensiunan yang dipekerjakan kembali sebagai pegawai bulanan apabila ia tewas. Dalam rangka pembentukan dana pensiun, maka dengan Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 2 huruf a Undang-undang ini, dapat ditetapkan prosentase-prosentase yang lebih tinggi dari pada yang ditetapkan dalam pasal ini. Pasal 18. Ayat (1). Huruf b: Dengan satu bagian pensiun-janda dimaksud bagian pensiun-janda yang seharusnya diberikan kepada ibu atau golongan anak (anak-anak) yang bersangkutan. Ayat (2). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, dalam hal janda/duda penerima pensiun meninggal dunia dan mempunyai anak (anak-anak) yang berhak diberikan pensiun, maka pensiun janda/duda diberikan langsung kepada anak (anak-anak) itu, tanpa memerlukan penetapan surat keputusan pensiun baru. Pasal 19. Pendaftaran suami/isteri/anak sebagai yang berhak menerima pensiun-janda/duda perlu diadakan untuk menjamin hak mereka, memudahkan tata-usaha, serta pula untuk mempercepat penyelesaian pemberian pensiun. Pasal 20. Surat permintaan untuk mendapat pensiun-janda/duda ini harus disertai dengan surat keterangan dari Bupati/Walikota/ Kepala Daerah tingkat II yang bersangkutan yang menyatakan bahwa orang tua yang bersangkutan adalah orang tua kandung atau, dalam hal orang tua kandung telah meninggal dunia, orang tua yang secara sah telah mengangkat-sebagai anak-angkat pegawai yang bersangkutan. Pasal 21 s/d pasal 22. Cukup jelas. Pasal 23. Ketentuan pada pasal ini merupakan salah satu usaha untuk memperlancar penyelesaian pemberian pensiun. Pasal 24 s/d pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28. Pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda yang diberikan kepada janda/duda menurut ketentuan ayat (1) pasal 28 tidak dibatalkan jika janda/duda masih mempunyai anak. Pasal 29. Ayat (1). huruf b: Yang dimaksud dengan keputusan pejabat/badan Negara yang berwenang dalam pasal 29 ayat (1) huruf b, ialah keputusan Badan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan/atau Keputusan Presiden/Pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) huruf e dan f, Undang-undang Pokok Kepegawaian. Ayat (2). Dalam hal keputusan pemberian pensiun dicabut, termaksud pada ayat (2) pasal ini, maka pensiun yang telah dibayarkan harus ditagih kembali. Pasal 30. Cukup jelas. Pasal 31. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi penerima pensiun terhadap praktek pemberian pinjaman uang dengan memungut bunga yang tinggi. Pasal 32. Cukup jelas. Pasal 33. Hal yang dimaksud pada ayat (2) pasal ini, ialah jika pegawai yang bersangkutan, pada waktu diangkat menjadi pegawai negeri, mempunyai anak (anak-anak) sedang ibunya telah meninggal dunia atau diceraikan. Ketentuan pada ayat tersebut merupakan penyimpangan dari pasal 19 ayat (4) huruf a yang menentukan, bahwa anak yang dapat didaftar untuk hak atas pensiun, adalah hanya anak (anak-anak) dari isteri (isteri-isteri)/suami yang terdaftar. Pasal 34. Besarnya pensiun-pegawai sebulan untuk tiap-tiap tahun masa-kerja telah dipertinggi dari 1,6% menurut peraturan lama menjadi 2,5% menurut pasal 11 ayat (1) Undang-undang ini. Begitu pula minimum pensiun-pegawai yang menurut peraturan lama berjumlah 50% telah ditetapkan dalam Undang-undang ini menjadi 75%. Ini berarti, bahwa besarnya pensiun-pegawai dan maksimum pensiun-pegawai menurut Undang-undang telah dipertinggi dengan 150% jika dibandingkan dengan besarnya pensiun-pegawai dan maksimum pensiun-pegawai menurut peraturan lama. Oleh karena itu maka pensiun-pegawai yang ditetapkan berdasarkan peraturan lama dipandang perlu dinaikkan besarnya dengan 150%. Kenaikan sebesar 150% bagi pensiun-pegawai termaksud di atas sudah selayaknya diberikan pula bagi pensiun-janda dan tunjangan anak-yatim/piatu yang ditetapkan menurut peraturan lama. Dalam rangka pembentukan Dana Pensiun termaksud pasal 2 huruf a, dan apabila keadaan keuangan Negara mengizinkan maka dengan Peraturan Pemerintah dapat ditentukan prosentase-prosentase yang lebih tinggi dari yang ditentukan dalam pasal ini. Pasal 35. Cukup jelas. CATATAN Kutipan : LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1969 YANG TELAH DICETAK ULANG
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan disebut Undang-undang Pokok Pertambangan. Agar… Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1967. Pd. Presiden Republik Indonesia, ttd SOEHARTO Jenderal TNI. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1967. Sekretaris Kabinet Ampera, ttd Brig. Jen. TNI. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 22 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 11 TAHUN 1967 Tentang KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN. A. PENJELASAN UMUM. Bahwa pada mulanya Undang-undang Pertambangan yang berlaku pada waktu Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan adalah Indonesische Mijnwet tahun 1907. Dalam perkembangan politik Nasional hal tersebut tidaklah dapat selaras lagi dengan cita-cita dasar Negara Republik Indonesia serta kepentingan Nasional pada umumnya, khususnya dibidang pertambangan. Dalam hubungan ini pada tanggal 2 Agustus 1951 telah diterima oleh Parlemen mosi yang menghendaki agar dibentuk sebuah Panitia Negara untuk Urusan Pertambangan antara lain untuk merencanakan suatu Undang-undang tentang Pertambangan sebagai pengganti Indonesische Mijnwet. Maka kemudian pada tanggal 14 Oktober 1960 Indonesische Mijnwet tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang Pertambangan yang baru yaitu Undang- undang No. 37 Prp tahun 1960. Undang-undang Pertambangan yang baru tersebut pada waktu itu sekedarnya sudah dapat memenuhi tuntutan dan kepentingan Nasional di bidang Pertambangan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, dirasakan bahwa Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 itu kemudian tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin berusaha dalam bidang pertambangan. Masyarakat menghendaki agar kepada pihak swasta lebih diberikan kesempatan melakukan penambangan, sedangkan tugas Pemerintah ditekankan kepada usaha pengaturan, bimbingan dan pengawasan pertambangan. Hal itu ditambah lagi dengan perkembangan politik dan pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan antara lain sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966; Maka dipandang perlu untuk lebih dipercepat penggantian Undang-undang Pokok Pertambangan yang baru. Pokok-… Pokok-pokok persoalan. Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang baru ini harus selaras dengan cita-cita dasar Negara Republik Indonesia dan dengan perkembangan kepentingan Nasional dalam pertambangan, yang secara mendalam harus diitinjau baik dari sudut politik dan ekonomis, maupun dari sudut sosial dan strategis. Pokok-pokok persoalan tersebut adalah mengenai:
pengusaan bahan-bahan galian yang berada di dalam, dibawah dan di atas wilayah hukum pertambangan Indonesia;
pembagian bahan-bahan galian dalam beberapa golongan, yang didasarkan atas pentingnya bahan galian itu;
sifat dari perusahaan pertambangan, yang pada dasarnya harus dapat diusahakan oleh semua pihak yang berminat dan sanggup dengan tetap memperhatikan segi keamanan Negara dan tetap berdasarkan azas-azas kekeluargaan;
peranan Pemerintah Daerah lebih diperkuat;
pengertian kuasa pertambangan tetap dipertahankan;
adanya peraturan peralihan untuk mencegah kekosongan (vacuum) dalam menghadapi pelaksanaan Undang-undang ini. Penjelasan pokok persoalan:
Mengenai semua bahan galian yang terkandung di dalam bumi dan wilayah hukum pertambangan Indonesia dinyatakan, bahwa bahan-bahan galian tersebut adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan dikuasi oleh Negara. Pernyataan ini adalah dasar, yang diletakkan dalam Undang- undang Pertambangan ini, sehingga dengan pernyataan ini Negara menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh- penuhnya untuk kepentingan Negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan-bahan galian tersebut adalah merupakan kekayaan Nasional. Dengan pengertian baru yang disebut dataran Continental (Continental-Shelf), maka wilayah hukum pertambangan meliputi juga daerah di luar batas-batas perairan Indonesia. Pengertian perairan Indonesia inipun adalah pengertian sesudah disesuaikan dengan Undang-undang No. 4 Prp tahun 1960, tentang Perairan Indonesia (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 22, Tambahan Lembaran-Negara No. 1942).
Pembagian… 2. Pembagian (gradasi) bahan-bahan galian dalam golongan strategis, golongan vital dan golongan yang tidak termasuk dalam golongan strategis dan vital didasarkan atas sifat masing-masing bahan galian sendiri, diperlengkapi menurut pendapat-pendapat baru mengenai hal ini misalnya bahan-bahan galian yang radio aktif dan bahan galian lain yang strategis bagi pertahanan dan pembangunan Negara. Karena tetap dirasakan perlu adanya Undang-undang tersendiri bagi bahan-bahan galian strategis seperti minyak bumi, aspal, lilin bumi dan sejenisnya serta semua jenis gas mudah terbakar, dan bahan galian yang radio aktif oleh karena sifatnya yang sangat khusus, maka Undang-undang tersendiri mengenai bahan-bahan galian tersebut yang telah dibuat atas dasar Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 itu tetap dipertahankan dengan penyesuaian pada prinsip-prinsip pokok dalam Undang- undang ini. Undang-undang Pertambahan ini dianggap sebagai peraturan pokok. Dalam pembuatan peraturan lanjutan atau meneruskan berlakunya sesuatu peraturan lanjutan itu, dasar-dasar termaksud dalam Undang-undang Pertambangan ini harus diperhatikan.
Dalam memanfaatkan kekayaan alam dapat diambil cara-cara penguasaannya seperti berikut:
Dikerjakan langsung oleh suatu Instansi Pemerintah, penguasaan oleh Instansi Pemerintah itu terutama ditujukan untuk penyelidikan umum dan eksplorasi sebagai usaha inventarisasi kekayaan alam Indonesia dan tidak dalam arti pengusahaan untuk mencari keuntungan, karena usaha pertambangan untuk mencari keuntungan tersebut seyogyanya diserahkan kepada Perusahaan-perusahaan Tambang Negara atau Swasta. Begitupun bahan radio aktif perlu diusahakan oleh Instansi Pemerintah dan dalam hal ini adalah Badan Tenaga Atom Nasional;
diusahakan oleh Perusahaan Negara;
diusahakan dengan perusahaan atas dasar modal bersama oleh pihak Negara dengan Daerah;
diusahakan oleh Perusahaan Daerah;
diusahakan oleh perusahaan yang modalnya adalah modal campuran oleh Negara dan pihak Swasta, boleh pula modal campuran dengan perseorangan, asal berkewarganegaraan Indonesia dan boleh pula dengan badan swasta yang pengurusnya seluruhnya adalah warganegara Indonesia;
diusahakan oleh pihak Swasta boleh oleh perseorangan asal berkewarganegaraan Indonesia, atau boleh oleh badan Swasta yang seluruhnya berkewarganegaraan Indonesia, terutama yang mempunyai bentuk koperasi.
Pemerintah… 4. Pemerintah Daerah lebih diperkuat kedudukannya, terutama dalam pengaturan bahan galian golongan c serta pembagian atas keuntungan perusahaan pertambangan yang berusaha dalam sesuatu Daerah. Sungguhpun demikian agar jangan terjadi perlapisan-perlapisan daerah tempat melakukan usaha pertambangan perlu kerja sama yang erat dengan pihak Pemerintah Pusat.
Pengertian konsesi atas dasar Indonesiche Mijnwet memberikan hak yang terlalu kuat bagi pemegang konsesi itu. Pengertian yang sedemikian itu tidak dapat dipertahankan lagi dan oleh Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 pengertian itu telah dihapus dan ditukar dengan kuasa pertambangan. Pengertian kuasa pertambangan masih tetap dapat dipertahankan dalam Undang-undang ini.
Untuk mencegah kekosongan dalam menghadapi pelaksanaan dari Undang- undang ini masih diperlukan ketentuan Peralihan menjelang dibuatnya peraturan lanjutan. Lagi pula beberapa peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang diharapkan dikeluarkan sesudah Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 diundangkan, ternyata sampai sekarang belum dikeluarkan dengan lengkap, baru beberapa Keputusan Menteri dan suatu Peraturan Pemerintah tentang Penggolongan Bahan Galian yang sudah dikeluarkan. Sehingga dengan mulai berlakunya Undang-undang ini mengingat belum lengkapnya peraturan-peraturan pelaksanaan, maka "Mijn Ordonnantie" dan beberapa verordeningen selama tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan selama belum diganti dengan peraturan-peraturan pelaksanaan baru, masih tetap berlaku disamping peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan berdasarkan Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 itu. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Pertambangan ini, Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 dan penjelasannya telah dicabut. Namun demikian hak-hak pertambangan serta kuasa pertambangan yang telah ada (yang berdasarkan Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960) yang masih berlaku, akan tetap berlaku, dengan ketentuan bahwa para pemegang kuasa pertambangan tersebut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya harus menyesuaikan diri dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ini. B. PENJELASAN… B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL: Pasal 1. Sebagai telah tersebut dalam penjelasan umum, maka dengan pasal ini dinyatakan dengan tegas bahwa semua bahan galian yang terdapat di Indonesia yang masih merupakan letakan-letakan atau timbunan-timbunan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah kekayaan Nasional dan dikuasai oleh Negara. Pasal 2. Mengenai yang tersebut dalam huruf K, dicatat di sini bahwa dataran Continental yang diartikan oleh dunia Internasional ialah semua daerah di bawah permukaan air dari pantai ke arah laut, di mana dalamnya air masih memungkinkan penyelidikan dan pengambilan hasil sumber-sumber kekayaan alam dari dasar laut dan tanah di bawahnya. Pasal 3. Pembagian dalam tiga golongan bahan galian didasarkan pada pentingnya bahan galian yang bersangkutan bagi Negara. Bahan galian strategis dalam arti kata "strategis" untuk pertahanan/keamanan Negara ataupun strategis untuk menjamin perekonomian Negara. Bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak. Sedang yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak, baik karena sifatnya maupun karena kecilnya jumlah letakan (leposit) bahan galian itu digolongkan ke dalam golongan ketiga. Berhubung dengan kemungkinan-kemungkinan dalam perkembangan teknis dan pandangan ekonomis, yang dapat merobah nilai pentingnya suatu bahan galian dianggap lebih bijaksana penggolongan itu diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan mengadakan konsultasi kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat c.q. Komisi yang bersangkutan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6… Pasal 6 dan 9. Dengan pasal 6 dan pasal 9 ini ditegaskan pengusahaan masing-masing bahan galian. Bahan galian golongan a hanya dapat diusahakan oleh Negara atau Negara bersama Daerah; golongan b boleh oleh pihak Swasta atau dalam bentuk perusahaan yang modalnya adalah modal bersama, golongan c dan bahan-bahan galian yang tidak disebut dalam Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-undang ini diserahkan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat I. Usaha yang dilakukan oleh Negara dapat berbentuk:
Pekerjaan kedinasan atau penugasan Negara kepada salah satu Instansi Pemerintah terutama Instansi Pemerintah ini akan diberi tugas dalam inventarisasi kekayaan alam Indonesia, penyelidikan geologic penyelidikan umum, eksplorasi dan pembukaan proyek baru.
Perusahaan Negara. Usaha yang dilakukan oleh Daerah berbentuk Perusahaan Daerah, yaitu semacam Perusahaan yang dibentuk dan diadakan oleh Pemerintah Daerah, baik Daerah Tingkat I atau Tingkat II. Dalam pada itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat pula mendirikan suatu Perusahaan dengan modal bersama. Pasal 7 dan 8 Pokok pikiran ialah bahwa bahan galian golongan a hanya boleh diusahakan oleh Negara. Tetapi ada kalanya harus dilakukan penyimpangan untuk memperbolehkan pengusahaannya oleh pihak Swasta atau Rakyat setempat atas kepentingan perekonomian Negara atau perkembangan pertambangan dikalangan rakyat banyak. Tetapi bahan galian strategis yang menyangkut dengan keamanan Negara, tetap hanya akan diusahakan Negara dan tidak dapat dialihkan kepada Swasta atau pertambangan Rakyat. Pasal 10. Pasal ini menjadi dasar untuk kontrak karya baik dengan pihak modal dalam Negeri maupun dengan modal Asing. Konsultasi termaksud dilakukan dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat c.q. Komisi yang bersangkutan. Penentuan penempatan Kontrak Karya dan pelaksanaannya diatur dengan cara yang paling menguntungkan bagi Negara dan masyarakat. Pasal 11. Rakyat setempat berdasarkan hukum adat dan untuk penghidupan mereka sendiri sehari-hari telah melakukan usaha-usaha pertambangan menurut cara-cara mereka sendiri. Hal ini harus dilindungi dan dibimbing. Pasal 12… Pasal 12. Ketentuan dalam pasal ini bermaksud untuk menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya. Pendapat dari Dewan Pertambangan diperlukan dalam pemberian kuasa pertambangan eksploitasi karena janka waktunya yang panjang (± 30 tahun), sedangkan untuk kuasa pertambangan bagi usaha pertambangan lainnya karena jangka waktunya relatif pendek dan terbatas, maka tidak perlu dimintakan pendapat Dewan tersebut. Dalam pelaksanaannya akan diberikan pengutamaan kepada Badan Hukum Koperasi.
Pokok-Pokok Perkoperasian
Relevan terhadap
Undang-undang ini disebut "Undang-undang tentang Pokok- pokok Perkoperasian" dan mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 1967. Pd. Presiden Republik Indonesia, ttd SOEHARTO Jenderal T.N.I. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 1967 Sekretaris Kabinet Ampera, ttd LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 23 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1967 TENTANG POKOK-POKOK PERKOPERASIAN. Dengan memanjatkan syukur setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa rakyat Indonesia telah diberi kurnia dan rahmat suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbentuk Nusantara yang terletak di jalan silang antara dua benua dan dua samudera dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Bumi, air Indonesia dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu adalah kurnia Tuhan kepada rakyat Indonesia, yang menurut ketentuan Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik spiritual maupun materiil. Pemerintah dan rakyat Indonesia mempunyai kewajiban untuk menggali, mengolah dan membina kekayaan alam tersebut guna mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. Pemanfaatan kekayaan alam tersebut oleh rakyat Indonesia diselenggarakan dengan susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan kegotong-royongan. I. UMUM. Sesungguhnya Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1) beserta penjelasannya telah dengan jelas menyatakannya, bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan Koperasi adalah satu bangunan usaha yang sesuai dengan susunan perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan pada ketentuan itu dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap "ing ngarsa sung tulada, ing madya bangun karsa, tut wuri handayani". Dalam rangka kembali kepada kemurnian pelaksanaan Undang- undang Dasar 1945, sesuai pula dengan Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966, tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, maka peninjauan serta perombakan Undang-undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian merupakan suatu keharusan, karena baik isi maupun jiwanya Undang-undang tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan azas-azas pokok, landasan kerja serta landasan idiil Koperasi, sehingga akan menghambat kehidupan dan perkembangan serta mengaburkan hakekat Koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang demokratis dan berwatak sosial. Peranan… Peranan Pemerintah yang terlalu jauh dalam mengatur masalah perkoperasian Indonesia sebagaimana telah tercermin di masa yang lampau pada hakekatnya tidak bersifat melindungi, bahkan sangat membatasi gerak serta pelaksanaan strategi dasar perekonomian yang tidak sesuai dengan jiwa dan makna Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. Hal yang demikian itu akan menghambat langkah serta membatasi sifat-sifat keswadayaan, keswasembadaan serta keswakertaan yang sesungguhnya merupakan unsur pokok dari azas-azas percaya pada diri sendiri, yang gilirannya akan dapat merugikan masyarakat sendiri. Oleh karenanya sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S. No. XIX/ MPRS/1966 dianggap perlu untuk mencabut dan mengganti Undang-undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian tersebut dengan Undang-undang yang baru yang benar-benar dapat menempatkan Koperasi pada fungsi yang semestinya yakni sebagai alat pelaksana dari Undang-undang Dasar 1945. Di bidang Idiil, Koperasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah untuk menyusun perekonomian rakyat berazaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan yang merupakan ciri khas dari tata-kehidupan bangsa Indonesia dengan tidak memandang golongan, aliran maupun kepercayaan yang dianut seseorang. Koperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional dilaksanakan dalam rangka politik umum perjuangan Bangsa Indonesia. Di bidang organisasi Koperasi Indonesia menjamin adanya hak-hak individu serta memegang teguh azas-azas demokrasi. Rapat Anggota merupakan kekuasaan tertinggi di dalam tata kehidupan Koperasi. Koperasi mendasarkan geraknya pada aktivitas ekonomi dengan tidak meninggalkan azasnya yakni kekeluargaan dan gotong-royong. Dengan berpedoman kepada Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966 Pemerintah memberikan bimbingan kepada Koperasi dengan sikap seperti tersebut di atas serta memberikan perlindungan agar Koperasi tidak mengalami kekangan dari pihak manapun, sehingga Koperasi benar-benar mampu melaksanakan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. Undang-undang ini dinamakan Undang-undang tentang Pokok- pokok Perkoperasian. II. PASAL… II. PASAL DEMI PASAL. BAB 1. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Yang dimaksud dengan kuasa khusus adalah sebagian dari wewenang Menteri yang dilimpahkan kepada Pejabat untuk beberapa soal Perkoperasian. BAB II. LANDASAN-LANDASAN KOPERASI. Pasal 2.
Pancasila. Kelima Sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial harus dijadikan dasar serta dilaksanakan. dalam kehidupan Koperasi, karena sila-sila tersebut memang menjadi sifat dan tujuan Koperasi dan selamanya merupakan aspirasi anggota- anggota Koperasi. Dasar idiil ini harus diamalkan oleh Koperasi disebabkan karena Pancasila memang menjadi falsafah Negara dan bangsa Indonesia.
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1). Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 berbunyi: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan". Penjelasannya berbunyi sebagai berikut: Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah Koperasi.
Setia kawan dan kesadaran berpribadi. Koperasi adalah unsur pendidikan yang baik untuk memperkuat ekonomi dan moral, karena Koperasi berdasarkan dua landasan mental, yaitu setia kawan dan kesadaran berpribadi yang satu sama lain memperkuat. Setia kawan telah ada dalam masyarakat Indonesia yang asli dan tampak keluar sebagai gotong-royong. Akan tetapi landasan setia kawan saja hanya dapat memelihara persekutuan dalam masyarakat yang statis, dan karenanya, tidak dapat mendorong kemajuan. Kesadaran… Kesadaran berpribadi, keinsyafan akan harga diri sendiri, dan percaya pada diri sendiri, adalah mutlak untuk menaikkan derajat penghidupan dan kemakmuran. Dalam Koperasi harus bergabung kedua-dua landasan mental tadi yakni setia kawan dan kesadaran berpribadi sebagai dua unsur yang dorong-mendorong, hidup-menghidupi dan awas-mengawasi. BAB III. PENGERTIAN DAN FUNGSI KOPERASI. Bagian 1. Pengertian Koperasi. Pasal 3. Koperasi Indonesia adalah kumpulan dari orang-orang yang sebagai manusia secara bersama-sama bergotong-royong berdasarkan persamaan, bekerja untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan kepentingan masyarakat. Dari pengertian umum di atas, maka ciri-ciri seperti di bawah ini seharusnya selalu nampak:
bahwa Koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang dan bukan kumpulan modal. Pengaruh dan penggunaan modal dalam Koperasi Indonesia tidak boleh mengurangi makna dan tidak boleh mengaburkan pengertian Koperasi Indonesia sebagai perkumpulan orang-orang dan bukan sebagai perkumpulan modal. Ini berarti bahwa Koperasi Indonesia harus benar-benar mengabdikan kepada peri-kemanusiaan dan bukan kepada kebendaan;
bahwa Koperasi Indonesia bekerja sama, bergotong-royong berdasarkan persamaan derajat, hak dan kewajiban yang berarti Koperasi adalah dan seharusnya merupakan wadah demokrasi ekonomi dan sosial. Karena dasar demokrasi ini maka harus dijamin benar-benar bahwa Koperasi adalah milik para anggota sendiri dan pada dasarnya harus diatur serta diurus sesuai dengan keinginan para anggota yang berarti bahwa hak tertinggi dalam Koperasi terletak pada Rapat Anggota;
bahwa segala kegiatan Koperasi Indonesia harus didasarkan atas kesadaran para anggota. Dalam Koperasi tidak boleh dilakukan paksaan, ancaman, intimidasi dan campur tangan dari fihak-fihak lain yang tidak ada sangkut- pautnya dengan soal-soal intern Koperasi;
bahwa tujuan Koperasi Indonesia harus benar-benar merupakan kepentingan bersama dari para anggotanya dan tujuan itu dicapai berdasarkan karya dan jasa yang disumbangkan para anggota masing-masing. Ikut sertanya anggota sesuai dengan besar-kecilnya karya dan jasanya harus dicerminkan pula dalam hal pembagian pendapatan dalam Koperasi. Bagian… Bagian 2. Fungsi Koperasi. Pasal 4. Bahwa Koperasi itu berfungsi sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional, dengan jelas dapat dilihat dari azas dan sendi-sendi dasarnya. Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa disamping Koperasi ada Perusahaan Negara atau Daerah dan Swasta. Ketiga sektor ekonomi tersebut harus bekerja sama secara teratur, karena satu sama lain saling kait-mengait, sehingga perlu adanya synkhronisasi. Kedudukan ekonomi bangsa Indonesia harus diperkokoh, tata-laksana perekonomian rakyat dipersatukan dan diatur, segala itu untuk menghapuskan sisa- sisa penindasan dalam sektor perekonomian guna mempertinggi kesejahteraan rakyat. Fungsi-fungsi tersebut hanya akan tercapai bilamana Koperasi sendiri benar-benar melaksanakan pekerjaannya berdasarkan azas dan sendi-sendi dasarnya. Kelangsungan dan perkembangan demokrasi ekonomi perlu dibina, guna menjamin tidak adanya penghisapan di antara sesama manusia. Sisa-sisa penindasan dalam sektor perekonomian rakyat harus dihapuskan. Koperasi Indonesia yang berdasarkan kekeluargaan dan kegotong-royongan harus dapat mempertinggi taraf hidup anggotanya dan rakyat umumnya. Untuk mencapai tujuan ini kecerdasan rakyat harus ditingkatkan sehingga rakyat mengerti dan sadar akan perlunya berkoperasi. BAB IV. AZAS DAN SENDI DASAR KOPERASI. Bagian 3. Azas Koperasi. Pasal 5. Dengan berpegang teguh pada azas kekeluargaan dan kegotong-royongan sesuai dengan kepribadian Indonesia, ini tidak berarti, bahwa Koperasi meninggalkan sifat dan syarat-syarat ekonominya, sehingga kehilangan effisiensinya. Koperasi… Koperasi Indonesia hendaknya menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat suatu kepribadian Indonesia, sebagai pencerminan dari pada garis pertumbuhan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan dari bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh keadaan tempat lingkungan Indonesia serta suasana waktu sepanjang masa, dengan ciri-ciri Ketuhanan Yang Maha Esa, kegotong-royongan dan Kekeluargaan serta Bhineka Tunggal Ika. Bagi Koperasi azas gotong-royong berarti bahwa pada Koperasi terdapat keinsyafan dan kesadaran semangat bekerjasama dan tanggung jawab bersama terhadap akibat dari karya tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan selalu untuk kebahagiaan bersama. Dalam membagi hasil karyanya, masing-masing anggota menerima bagiannya sesuai dengan sumbangan karya/jasanya. Azas kekeluargaan mencerminkan adanya kesadaran dari budi hati nurani manusia untuk mengerjakan segala sesuatu dalam Koperasi oleh semua untuk semua, di bawah pimpinan pengurus serta penilikan dari para anggota atas dasar keadilan dan kebenaran serta keberanian berkorban bagi kepentingan bersama. Dengan demikian azas gotong-royong dan kekeluargaan dalam Koperasi harus merupakan faham dinamis yang menggambarkan suatu karya amaliyah bersama yang bersifat bantu-membantu, berdasarkan rasa keadilan dan cinta kasih yang di dalam pelaksanaannya, menempuh segala daya serta karyabudi dan hati nurani manusia untuk mempertumbuhkannya, dan dimana perlu memberanikan diri guna mengurangi hak-haknya sendiri, dalam batas-batas rasa keadilan dan cinta kasih tersebut. Bagian 4. Sendi-sendi dasar Koperasi. Pasal 6. Sendi-sendi dasar Koperasi Indonesia merupakan essensi dari dasar-dasar bekerja Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial. Dasar-dasar bekerja tersebut merupakan ciri khas dari Koperasi dan justru oleh karena itu membedakan Koperasi itu dari badan-badan ekonomi lainnya.
Sifat sukarela pada keanggotaan Koperasi mengandung pengertian bahwa setiap orang yang masuk menjadi anggota Koperasi haruslah berdasarkan kesadaran dan keyakinan untuk secara aktif turut di dalam dan dengan Koperasi bertekad untuk memperbaiki kehidupannya dan kehidupan masyarakat;
Rapat Anggota sebagai kekuasaan tertinggi dalam organisasi koperasi yang beranggotakan orang-orang tanpa mewakili aliran, golongan dan paham politik perorangan-perorangan dan hak suara yang sama/satu pada Koperasi Primer merupakan azas pokok dari penghidupan Koperasi tersebut;
Dasar… (3) Dasar ini berwatak non kapitalis, dan oleh karena Koperasi bukan merupakan perkumpulan modal, maka sisa dari hasil usaha bila dibagikan kepada anggota, dilakukan tidak berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam Koperasi tetapi berdasarkan perimbangan jasa/usaha dan kegiatannya dalam penghidupannya Koperasi itu. Jelaslah kiranya bahwa sisa hasil usaha yang berasal dari bukan anggota tidak dibagi-bagikan kepada anggota (pasal 34 ayat 4);
Modal dalam Koperasi, yang walaupun merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan sebagai faktor produksi, dipergunakan untuk kebahagiaan anggota- anggotanya dan bukan untuk sekedar mencari keuntungan uang (profit- motive), dan oleh karenanya tidak menentukan dalam pembagian sisa usaha sebagaimana lazimnya dalam bentuk dividend;
Watak sosial dari Koperasi itu diantaranya terbukti dari dasar ini, sehingga Koperasi walaupun pada pokok usahanya berupa organisasi ekonomi yang dibina oleh dan untuk anggota-anggotanya juga harus turut membangun masyarakat pada umumnya, sehingga pengabdian Koperasi itu semakin nyata adanya;
Koperasi sebagai perkumpulan orang-orang yang bergerak dalam lapangan ekonomi harus terbuka terutama untuk anggota-anggotanya, dan oleh karena itu usaha-usaha Koperasi dibina oleh anggota-anggotanya serta ketatalaksanaannya diawasi pula oleh anggota-anggotanya secara terbuka. Ini tidak berarti bahwa masyarakat tidak dapat menilai hasil-hasil Koperasi;
Sendi ini merupakan faktor pendorong bagi setiap cipta, karya dan karsa Koperasi. Tanpa modal kepercayaan/keyakinan, atas kemampuan dan kekuatan diri sendiri maka tidaklah mungkin timbul suatu kegiatan dalam Koperasi. Setiap kegiatannya mendasarkan kepada prinsip swadaya, swakerta dan swasembada yang artinya: Swadaya : kekuatan atau usaha sendiri, dari kata swa = milik sendiri. daya = sesuatu yang harus dikerjakan. Swakerta : buatan sendiri. kerta = sesuatu yang telah dikerjakan. kr. (sansekerta) = bekerja atau membuat. Swasembada : kemampuan sendiri. sembada = teman yang seikatan. BAB V… BAB V. PERANAN DAN TUGAS. Pasal 7. Peranan dan tugas Koperasi untuk membina kelangsungan dan perkembangan demokrasi ekonomi adalah bertujuan menciptakan masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu perlu ditanamkan dan ditingkatkan kesadaran berkoperasi. Pasal 8. Kerjasama dengan Perusahaan-perusahaan Negara dan Swasta termasuk modal asing, jika diperlukan oleh Koperasi dilakukan dengan tidak mengorbankan azas dan sendi dasar Koperasi sendiri, sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/1966, maka bentuk, luas serta cara-cara kerja sama itu harus segera diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.