Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Dit ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 75 dari 86 halaman. Putusan Nomor 8 P/HUM/2021 compliance , seyogianya suatu sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam administrasinya dan mudah pula untuk mematuhinya. Sebab, kesederhanaan administrasi perpajakan akan berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan; Di Indonesia, terdapat sekitar 60 juta pelaku UMKM. Sektor ini memiliki potensi besar dalam menunjang penerimaan negara. Namun, pada kenyataannya hanya 2,3 juta yang terdaftar sebagai Wajib Pajak. Oleh karena itu, dengan penghapusan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 justru akan menurunkan tingkat kepatuhan serta dapat menimbulkan resistensi Wajib Pajak UMKM untuk berkontribusi bagi penerimaan Negara; Besarnya jumlah UMKM di Indonesia, memakan porsi sekitar 98.8% dari jumlah seluruh unit usaha dan telah berhasil memberi sumbangsih besar pada Penerimaan Domestik Bruto (PDB). Peran strategis yang dimiliki oleh UMKM didukung oleh pemerintah dengan memberi perhatian khusus salah satunya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 pada dasarnya telah memberikan kemudahan bagi para pelaku UMKM yang belum bisa melakukan pembukuan. Sementara itu, dengan penghapusan Peraturan Pemerintah ini maka sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang KUP, pelaku usaha wajib menyelenggarakan pembukuan. Dengan demikian, penghapusan ini justru berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku UMKM yang belum siap melaksanakan pembukuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2. Hilangnya Kesempatan Wajib Pajak UMKM untuk Mempersiapkan Dirinya Memasuki Sektor Ekonomi Formal Perlu dipahami bahwa kebijakan ini berlaku sementara dan merupakan kebijakan yang memberi keistimewaan ( affirmative action ) pada UMKM agar memperoleh peluang yang setara Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 75
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019
Relevan terhadap
Cukup ^jelas Pasal 1 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hurui a Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan bagian Pusat sebesar 10% (sepuluh persen) dibagi secara merata kepada seluruh kabupaten / kota. Bagian daerah yang berasal dari biaya pemungutan, digunakan untuk mendanai kegiatan sesuai kebutuhan dan prioritas daerah. Huruf b DBH ini termasuk DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang pemungutannya bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2OI3 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Ivlemiliki Peredaran Bruto tertentu. Dalam Dalam rangka pengendalian pelaksanaan APBN, penyaluran DBH dapat disalurkan tidak seluruhnya dari pagu alokasi, dan selanjutnya diperhitungkan sebagai kurang bayar DBH. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) cukup ^jelas. Ayat (6) cukup ^jelas. Ayat (7) cukup ^jelas. Ayat (8) Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan berupa pengalihan kewenangan di bidang kehutanan dari kabupaten/kota menjadi kewenangan provinsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah. Ayat (9) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t2- Huruf e Yang dimaksud dengan "penelitian dan pengembangan" antara lain pemanfaatan areal, penanaman pohon hutan unggulan lokal, dan penerapan sistem tebang pilih tanam jalur. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Ayat (10) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Dengan ketentuan ini daerah tidak lagi diwajibkan untuk mengalokasikan DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi sebesar O,5o/o (nol koma lima persen) untuk tambahan anggaran pendidikan dasar. Kebijakan penggunaan DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2l Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang- Undang, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Huruf c Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan berupa pengalihan kewenangan di bidang kehutanan dari kabupaten/kota menjadi kewenangan provinsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah. Ayat ( 1 1) Ayat (11) Cukup ^jelas. Ayat (12) Cukup ^jelas. Ayat (13) Pendapatan Dalam Negeri yang digunakan sebagai dasar penghitungan pagu DAU Nasional dihitung dengan mempertimbangkan realisasi Pendapatan Dalam Negeri dalam beberapa tahun terakhir. Ayat (la) Cukup ^jelas. Ayat (15) Cukup ^jelas. Ayat (16) Cukup ^jelas. Ayat (17) Dukungan pendanaan bagi kelurahan tidak mengurangi komitmen pendanaan Pemerintah Daerah kepada kelurahan melalui APBD. Alokasi DAU tambahan untuk kabupaten/kota diberikan berdasarkan hasil penilaian dalam rangka penghitungan DID pada kategori pelayanan dasar publik. Kabupaten/kota dengan kategori baik mendapat alokasi sebesar Rp352.941.000,00 (tiga ratus lima puluh dua juta sembilan ratus empat puluh satu ribu rupiah), kategori perlu ditingkatkan sebesar Rp37O.138.000,00 (tiga ratus tujuh puluh juta seratus tiga puluh delapan ribu rupiah), dan kategori sangat perlu ditingkatkan sebesar Rp384.000.000,00 (tiga ratus delapan puluh empat juta rupiah) per kelurahan. Alokasi DAU tambahan selanjutnya dibagi secara merata kepada seluruh kelurahan di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Ayat (18) Cukup ^jelas. Ayat (19) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -14- Ayat (20) Cukup ^jelas Ayat (21) Cukup jelas Ayat (221 Cukup jelas
Pengujian UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 1985 tent ...
Relevan terhadap
lebih baik. Dalam konteks tata kelola organisasi publik, desentralisasi fiskal merupakan kebijakan yang mengkombinasikan pelimpahan wewenang penyelenggaraan fungsi pelayanan publik antar tingkat pemerintahan dengan pengelolaan sumber daya fiskal untuk mendanai fungsi-fungsi tersebut. Tata kelola organisasi publik perlu dikedepankan karena selama lebih dari empat dekade, reformasi ekonomi di berbagai belahan dunia umumnya terfokus pada peranan pasar dan mengecilkan pentingnya organisasi sektor publik dalam capain tujuan yang lebih luas seperti stabilitas ekonomi, kesinambungan pertumbuhan ekonomi dan penyediaan pelayanan dasar secara memadai bagi rakyat di seluruh pelosok wilayah negara . Dalam konteks tata kelola pemerintahan tersebut, desentralisasi fiskal menempatkan stabilitas ekonomi, kesinambungan pertumbuhan ekonomi dan penyediaan pelayanan dasar sebagai elemen kunci yang menjadi perhatiannya dengan meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Praktik internasional memperlihatkan bahwa sejumlah negara seperti India, Filipina, Kolombia, Indonesia dan Brazil telah melimpahkan penyelenggaraan sejumlah pelayanan publik pada pemerintah sub-nasional dalam rangka mengurangi beban pemerintah pusat dan lebih mengandalkan tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang kerapkali kurang termanfaatkan dan belum menggali potensi penerimaannya secara optimal . Dengan meningkatnya efisiensi yang signifikan, maka desentralisasi fiskal juga akan mendorong terjadinya pertumbuhan. Pada saat yang bersamaan, hal ini akan mengurangi biaya operasional dan informasi dalam pemberian pelayanan dan merampingkan kegiatan sektor publik, yang pada akhirnya akan memfasilitasi konsolidasi fiskal dan meningkatkan kinerja ekonomi makro secara keseluruhan. Pada umumnya di negara berkembang, karena tidak tersedianya sumber pendapatan pada tingkat daerah, maka analisis fiskal antar tingkat pemerintahan dimulai dengan memusatkan fokus pada alokasi pendapatan dan penggalangan alternatif. Pemerintah Daerah umumnya tidak mempunyai sumber daya yang memadai untuk melaksanakan pelayanan yang paling mendasar pada tingkat daerah. Oleh karena itu, syarat utama dalam tanggung jawab pengalokasian sumber pembelanjaan alternatif adalah mengidentifikasi struktur dasar pendapatan yang dapat menjadi sumber daya yang memadai untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memadai dan pemberian layanan. Dengan adanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 2 ayat (4), ayat (7) dan Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2021 ten ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 53 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 sumber daya alam, dalam rangka pencapaian tujuan nasional serta kemandirian bangsa; 4. PNBP pada prinsipnya memiliki dua fungsi yaitu fungsi penganggaran dan pengaturan. Untuk fungsi penganggaran, PNBP merupakan salah satu pilar pendapatan negara yang memiliki kontribusi cukup besar dalam menunjang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sementara itu, fungsi pengaturan memegang peranan untuk mendukung kebijakan Pemerintah terkait dengan pengendalian pengelolaan kekayaan negara yang sangat penting yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, kemandirian bangsa, dan pembangunan nasional yang adil dan berkelanjutan; 5. Sektor kelautan dan perikanan memiliki potensi yang besar bagi negara untuk menerima pendapatan dari pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dalam bentuk PNBP. Pada tahun 2019, produksi sumber daya perikanan tangkap Indonesia mencapai 7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu) ton. Meskipun memiliki potensi perikanan tangkap yang sangat besar, namun berdasarkan telaah Akademik Rancangan Pengaturan Pungutan Terhadap Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Tangkap Laut di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia oleh Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sumbangan sektor perikanan tangkap terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 2,65% atau sebesar Rp419.982.000.000,00 (empat ratus sembilan belas miliar sembilan ratus delapan puluh dua juta rupiah) pada tahun 2019 (Bukti T-3); 6. Produksi perikanan tangkap Indonesia dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2018 menunjukkan peningkatan kecuali di tahun 2016 yang sempat menurun. Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2018 mencapai 6.700.000 (enam juta tujuh ratus ribu) ton dengan kontribusi terhadap perekonomian nasional sekitar 2% setiap tahunnya dengan nominal yang terus meningkat dari Rp245.400.000.000.000,00 (dua ratus empat puluh lima triliun empat ratus miliar rupiah) pada tahun Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 63 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 5) Menunjang kebijakan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil- hasilnya, serta investasi di seluruh wilayah Indonesia; 6) Menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran negara, serta peningkatan pengawasan; d. Selanjutnya perlu kami sampaikan beberapa hal yang melatarbelakangi ditetapkannya PP Nomor 85 Tahun 2021, yaitu: 1) Memberikan kepastian dan keadilan bagi pelaku usaha dan negara atas pembagian manfaat yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan sehingga manfaat dari penangkapan ikan dihitung berdasarkan jenis, jumlah, dan mutu ikan hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan pangkalan (pasca produksi); 2) Memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pelaku usaha serta mendorong kepastian berusaha pelaku usaha sektor perikanan melalui penerapan sistem kontrak; 3) Mendorong keadilan bagi pelaku usaha pengangkutan ikan untuk membayarkan kewajiban kepada negara sesuai area operasionalnya; 4) Mengakomodasi pengaturan alat penangkapan ikan yang baru dan diperbolehkan beroperasi di WPPNRI sesuai dengan kebutuhan masyarakat; 5) Untuk meningkatkan pelayanan, memberikan fasilitas yang lebih baik, serta memberikan stimulus dan kemudahan bagi kapal perikanan yang sedang tidak beroperasi misalnya karena cuaca buruk, kapal rusak, dan lain-lain; 6) Penyesuaian dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 dan peraturan pelaksanaannya untuk mengakomodasi kapal berukuran di Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 113 halaman. Putusan Nomor 38 P/HUM/2022 _c. aspek keadilan; dan/atau _ 12. Bahwa kenaikan dan atau target Penerimaan Negara Bukan Pajak pada sektor perikanan dari tahun ke tahun sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas sudah menunjukkan perkembangan yang bagus dengan mengedepankan dan mempertimbangkan nilai manfaat, kadar, atau kualitas sumber daya alam, dampak pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, serta sosial budaya serta aspek keadilan, dan/atau kebijakan Pemerintah; __ Tabel 5 Perkembangan PNBP Perikanan Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Target (Miliar) 250,00 250,00 578,80 693,00 950,00 600,00 Realisasi (Miliar) 229,35 216,37 79,27 362,12 491,03 448,73 Pertumbuhan (%) 6% -6% -63% 357% 36% -9% Realisasi Terhadap Target (%) 91,7% 86,5% 13,7% 52,3% 51,7% 74,8% Sumber: Kementerian Keuangan (2020) 13. Bahwa namun demikian, kenaikan yang berlipat-lipat dan target Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) dan Lampiran PP Nomor 85 Tahun 2021, justru mengesampingkan dan tidak mempertimbangkan nilai manfaat, kadar, atau kualitas sumber daya alam, dampak pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, serta sosial budaya serta aspek keadilan, dan/atau kebijakan Pemerintah; __ 14. Bahwa antara Realisasi Anggaran Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) dengan Perolehan Pungutan Negara Bukan Pajak (PNBP) Perikanan Tangkap memiliki korelasi yang sangat erat. Adapun data yang ada sejak tahun 2014 s.d. 2020 adalah sebagai berikut: - Pagu Anggaran KKP 2014 sebesar Rp5,7 Triliun; PNBP Perikanan Tangkap 2014 sebesar Rp214,446 Milyar; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Di ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 43 halaman. Putusan Nomor 4 P/HUM/2021 pelaku UMKM yang belum siap melaksanakan pembukuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 3. Hilangnya Kesempatan Wajib Pajak UMKM untuk Mempersiapkan Dirinya Memasuki Sektor Ekonomi Formal; Perlu dipahami bahwa kebijakan ini berlaku sementara dan merupakan kebijakan yang memberi keistimewaan ( affirmative action ) pada UMKM agar memperoleh peluang yang setara dengan kelompok usaha lain. Adapun jangka waktu pemberlakuan PP Nomor 23/2018, yaitu: 7 tahun bagi WP Orang Pribadi; 4 tahun bagi WP Badan berbentuk Koperasi, CV, atau Firma; 3 tahun bagi WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT); Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap UMKM mendapatkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan dirinya memasuki sektor ekonomi formal dan berkontribusi terhadap penerimaan negara. Oleh karena itu, penghapusannya justru akan menghambat pelaku UMKM dalam mengembangkan usahanya; 4. Adanya Kekosongan Hukum; Pencabutan PP Nomor 23/2018 juga akan berakibat pada kekosongan hukum karena tidak adanya aturan pelaksana bagi ketentuan Pasal 4 ayat (2) khususnya untuk penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu. Kekosongan pengaturan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku UMKM; 5. Hilangnya Kesempatan Wajib Pajak untuk Mendapatkan Insentif Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (PMK 86/2020); Bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat sebagai pekerja maupun pelaku usaha sehingga perlu dilakukan upaya pengaturan pemberian insentif pajak untuk mendukung penanggulangan dampak Corona Virus Disease 2019. Adapun Wajib Pajak yang berhak mendapatkan insentif tersebut termasuk di dalamnya bagi pelaku usaha yang tunduk kepada PP Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Relevan terhadap
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar Disahkan di Ja}arta pada tanggal 5 Jan: uari 2022 ttd JOKO WTDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR l TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung ^jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupalan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. 2 Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2\ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. 3 2. Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir uale| objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. 4 Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentatg Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
TKD TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKD meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi. 5 Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiska1 sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yograkarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber- sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Se1ain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. 6 Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.
Pengelolaan Belanja Daerah Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optima,l mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output danf alau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional. Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penJrusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang- Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja. 7 Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasdn. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.
Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan frskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defrsit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur. 8 Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan- pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup jelas. 9 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan, contoh:
kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Huruf c Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasa] 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Ayat (t) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Ma"ss Rapid. Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu alrtara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
Toko 2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Hurufd Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Hurufj Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup je1as. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya. Huruf i Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran lfitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggu.naannya. Hurufj Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital. Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud penggunaan Air pengambilan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. "pemanfaatan" adalah ^kegiatan di sumbernya tanpa dilakukan dengan Tanah Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup je1as. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 3O%o (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat 12) Cukup je1as. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 23 Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit. Ayat (9) Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas. Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup je1as. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu. 24 Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas. Pasal 101 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 111 Cukup je1as. Pasal 112 Ayat (1) DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (a) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak ekternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan ^uprovinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Pasa1 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksterna-litas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup je1as. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan'kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 120 Bagian dari 9O%o (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk:
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama;
kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda;
kabupaten/kota pengolah, dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan' kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup ^jelas. Pasal 123 Ayat (1) Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 124 Ayat (1) Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geogralis dan perekonomian Daerah. Pasal 125 Ayat (1) DAU = Celah Fiskal (CF) Ayat (2) Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah. Ayat (3) Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK. Ayat (4) Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Pasal 126 Ayat (1) Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "biaya investasi" adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) DAU Provinsii = Bobot provinsil x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi. Ayat (2) Bobot Provi = CF Provi ICF ^Prov dimana, CF Provinsil ICF ^Provinsi = Celah Fiskal untuk provinsil. = iumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi. Pasal 129 Ayat (1) DAU kabupaten/kota1 = Bobot kabupaten/kota1 x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. Ayat (2) CF Kab / Kotai Bobot Kab/Kota,= ^_Vp XatlXon dimana, CF kabupaten/kota.1 Celah Fiskal untuk kabupaten/kota1. jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. CF'kabupaten dan kota Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH. Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. 33 Ayat (4) Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 132 Ayat (1) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 134 Ayat (1) Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangu.nan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ^ulokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD. Ayat (2) Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah. Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Ayat (1) Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah. Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Cukup ^jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 153 . Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 158 Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Ayat (2) Cukup jelas. 40 Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat. Ayat (s) Cukup je1as. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cgclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
proyeksi penurunan pendapatan negara fDaerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 174 Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan lagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan arggaran, dan pelaporan. Pasal L77 Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Ayat (1) Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian outputatas program-program prioritas nasional dan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 180 Cukup ^jelas. Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Cukup ^jelas. Pasal 185 Cukup ^jelas. 43 Pasal 186 Cukup ^je1as. Pasa1 187 Cukup ^jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal 190 Cukup ^jelas. Pasal 191 Cukup ^jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan an: tara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang. 1 3 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimalsud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan ralqrat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin petaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurLrs urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah unluk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. 11. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah. 13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 14. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. 16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 18. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. 19. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota. 20. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolban kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digu.nakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 22. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, melipgti pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 25. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. 26. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu. 27. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 28. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisq.n, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 30. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digu.nakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 31. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 32. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. 33. Pajak Bumi dan Bangu.nan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, darr / ^atau ^dimanfaatkan ^oleh orang ^pribadi ^atau ^Badan. 34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 36. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 7 37. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 38. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan. 39. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangu.nan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 40. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 41. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 42. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. 43. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir. 44. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 45. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran. 46. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 47. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 49. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 50. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 5 1. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 52. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 53. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 54. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 55. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 56. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 57. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 58. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 60. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta., dan collocalia linchi. 61. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 62. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 63. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 64. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 65. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 70. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengu.rangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 71. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah. 72. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. 73. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus. 74. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urllsan keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yoryakarta. 75. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut. 77. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran. 78. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun- tahun anggaran berikutnya. 79. Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang Daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 80. Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 81. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 82. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah. 83. Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok. Pasal 2 Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;
pengelolaan b. pengelolaan TKD;
pengelolaan Belanja Daerah;
pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan
pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional. Pasal 3 Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.
Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
PKB;
BBNKB; dan
Pajak MBLB. Pasal 82 Wajib Pajak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 menrpakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:
PKB;
BBNKB; dan
Pajak MBLB. Pasal 83 (1) Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
Opsen PKB sebesar 66Vo (enam puluh enam persen);
Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
Opsen Pajak MBLB sebesar 25o/o (dua puluh lima persen), dihitung dari besaran Pajak terutang. (2) Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda. Pasal 84 (1) Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Paragraf 16 Bagi Hasil Pajak Provinsi Pasal 85 (1) Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 7070 (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota. (2) Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada kabupaten/kota.
Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen). (4) Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota. (5) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat(21, dan ayat (4) ditetapkan sebagai berikut:
PBBKB dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
PAP dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air; dan
Pajak Rokok dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Perda provinsi. Paragraf L7 Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya Pasal 86 (1) Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
PKB dan Opsen PKB;
PBJT atas Tenaga Listrik;
Pajak Rokok; dan
PAT, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis Pajaknya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2\ diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Retribusi Paragraf 1 Jenis dan Objek Retribusi Pasal 87 (1) Jenis Retribusi terdiri atas:
Retribusi Jasa Umum;
Retribusi Jasa Usaha; dan
Retribusi Pedzinan Tertentu. (2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah. (3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. (a) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/ dinikmati. Paragrel 2 Jenis Pelayanan Retribusi Pasal 88 (1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a meliputi:
pelayanankesehatan;
pelayanan kebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan
pengendalian lalu lintas. (2) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. (3) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf b meliputi:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c meliputi:
persetujuan bangunan gedung;
penggunaan tenaga kerja asing; dan
pengelolaan pertambangan ralgrat.
Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaim4na dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh Daerah. (6) Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. (7) Retribusi pengelolaan pertambangan ralgiat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan Daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan ralqrat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara. (8) Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (9) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) antara lain:
Objek Retribusi;
Subjek dan Wajib Retribusi;
Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi; dan
Tata cara penghitungan Retribusi. Pasal 89 Ketentuan lebih lanjut mengenai Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Paragraf 3 Tata Cara Penghitungan Retribusi Pasal 90 Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. FFTE S I DEN REPUELIK INDONESIA Pasal 91 Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Pasal 92 (1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang. (21 Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi. Pasal 93 (1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. (2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi. (3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ditetapkan dengan Perkada. Bagian Ketiga Muatan Perda tentang Pajak dan Retribusi Pasal 94 Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.
Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak dalam Rangka Impor atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kontrak Kerja Sarna adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. t G 2. Kontrak Bagi Hasil adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sarna dalarn kegiatan usaha hulu rninyak dan gas burni berdasarkan prinsip pernbagian hasil produksi.
Kontrak Bagi Hasil Gross Split adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sarna dalarn Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan prinsip pernbagian gross produksi tanpa rnekanisrne pengernbalian biaya operasi.
Operasi Perrninyakan adalah kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi, pengangkutan sarnpa1 dengan titik penyerahan, penutupan dan peninggalan surnur (plug and abandonment), serta pernulihan bekas penarnbangan (site restoration) rninyak dan gas burni, terrnasuk kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyirnpanan, dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan rnernperoleh inforrnasi rnengenai kondisi geologi untuk rnenernukan dan rnernperoleh perkiraan cadangan rninyak dan gas burni di wilayah kerja yang ditentukan.
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk rnenghasilkan rninyak dan gas burni dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian surnur, pernbangunan saran a pengangkutan, penyirnpanan, dan pengolahan, untuk pernisahan dan pernurnian rninyak dan gas burni di lapangan serta kegiatan lain yang rnendukungnya.
Produksi Kornersial adalah saat dirnulainya penjualan Minyak Burni dan/atau Gas Burni sarnpai dengan berakhirnya Kontrak Bagi Hasil Gross Split. 8. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalarn wilayah hukurn pertarnbangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.
Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sarna dengan badan pelaksana yang melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi.
Penyedia Barang (Vendor) adalah perusahaan yang ditunjuk oleh Kontraktor sebagai penyedia barang impor berdasarkan kontrak untuk melakukan pengadaan barang impor.
Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah sistem integrasi seluruh layanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada semua pengguna jasa yang bersifat publik dan berbasis web. 12. Sistem Indonesia National Single selanjutnya disebut Sistem INSW Elektronik yang mengintegrasikan Window yang adalah Sistem sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhananjkebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Direktur J enderal adalah Direktur J enderal Be a dan Cukai.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Utama adalah instansi vertikal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesua1 dengan Undang-Undang Kepabeanan. t
Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perund ...
Relevan terhadap
metode omnibus dalam pembentukan UU Cipta Kerja, tetapi juga pada aspek formil, yaitu keberadaan naskah akademik, tahapan pembentukan UU, dan partisipasi publik secara bermakna, serta aspek materiil, yaitu isi dari UU Cipta Kerja. Metode omnibus law sendiri memerlukan kajian yang mendalam, agar penerapannya tidak berbenturan dengan bentuk undang-undang yang telah ada, sehinggal malah memperlebar jurang ketidakpastian hukum, tegas Gunawan. Selain masalah RUU Perubahan UU P3 sebagai dampak Putusan MK dalam pengujian formil UU Cipta Kerja adalah permasalahan aturan turunan dari UU Cipta Kerja, berdasarkan putusan tersebut seharusnya seluruh turunan UU Cipta Kerja tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, demikian tambah Gunawan. Langkah legislasi untuk menyambut investasi dan perbaikan ekonomi ini memperlihatkan upaya pemerintah untuk melakukan deregulasi secara serampangan. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menegaskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Secara Bersyarat sehingga UU Cipta Kerja inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, UU Cipta Kerja layak disebut sebagai undang-undang yang lahir dari proses yang tidak demokratis dan melanggar hak-hak konstitusional rakyat. Respon dengan mengesahkan UU P3 ini telah mengkhianati amanat rakyat yang membutuhkan peraturan yang melindungi dan memastikan kedaulatan rakyat. 90. Bahwa selain itu penolakan juga sebenarnya muncul di internal DPR sendiri, misalnya sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang secara resmi menolak revisi UU PPP a quo [bukti P-6]. Dalam pendapat Fraksi PKS yang menolak pengesahan revisi UU PPP a quo salah satu poinnya adalah kurangnya partisipasi publik, oleh karena itu, Fraksi PKS meminta agar melibatkan pihak-pihak baik yang pro maupun kontra secara proporsional dan benar-benar mengimplementasikan partisipasi masyarakat yang bermakna dengan melibatkan unsur akademisi perguruan tinggi, organisasi masyarakat, maupun masyarakat umum. Serta mendorong agar rancangan PUU yang akan dibahas mudah diakses oleh masyarakat [bukti P-7]; 91. Bahwa kritik terhadap proses pembentukan revisi UU PPP ini juga pernah disampaikan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) sebagai berikut [bukti P-8]: Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Revisi ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Benda Muatan Kapal Tenggelam
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA YANG BERASAL DARI BENDA MUATAN KAPAL TENGGELAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Benda Muatan Kapal Tenggelam yang selanjutnya disingkat BMKT adalah benda muatan kapal tenggelam yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau ekonomi yang berada di dasar laut. 3. BMN yang Berasal Dari BMKT yang selanjutnya disebut BMN BMKT adalah semua BMKT yang merupakan bagian Pemerintah Pusat yang ditetapkan sebagai BMN berdasarkan ketentuan peraturan perundangan- undangan yang mengatur mengenai pengelolaan BMKT. 4. Objek yang Diduga Cagar Budaya yang selanjutnya disingkat ODCB adalah benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga memenuhi kriteria sebagai cagar budaya. 5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 7. Pengelola Barang BMN BMKT adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN BMKT. 8. Pengguna Barang BMN BMKT adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN BMKT. 9. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 10. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang selanjutnya disebut Kemendikbudristek adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. 11. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang selanjutnya disebut Mendikbudristek adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. 12. Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 13. Menteri Kelautan dan Perikanan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 14. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, penilaian, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 16. Direktur adalah pejabat eselon II padEt kantor pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan BMN BMKT. 1 7. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal. 18. Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN. 19. Hibah adalah pengalihan kepemilikan BMN dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah/Desa atau dari Pemerintah Pusat kepada Pihak Lain, tanpa memperoleh penggantian. 20. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada Pihak Lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 21. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ a tau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman Lelang. 22. Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang belum atau tidak digunakan secara optimal dengan tidak mengubah status kepemilikan. 23. Sewa adalah Pemanfaatan dalam jangka waktu tertentu dengan membayar imbalan dalam bentuk uang kepada negara. 24. Pinjam Pakai adalah Pemanfaatan oleh Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa membayar imbalan. 25. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan. 26. Penggunaan Sementara adalah Penggunaan oleh Kementerian/Lembaga selain Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kemendikbudristek yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu. 27. Penetapan Status Penggunaan adalah keputusan pengelola barang atas BMN kepada Pengguna Barang untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga. 28. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengelola barang dan pengguna barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pencatatan dan pelaporan BMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 30. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. 31. Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 32. Penilai Publik adalah Penilai selain Penilai Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penilai publik. 33. Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal penilaian. 34. Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. 35. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/ a tau kegiatan pada bidang tertentu. 36. Pihak Lain adalah pihak selain Pemerintah Pusat/Daerah/Desa, Pelaku Usaha, dan pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan pada bidang pengelolaan BMKT. Pasal 2 Peraturan Menteri ini mengatur pengelolaan BMN BMKT yang meliputi:
BMN BMKT berupa ODCB; dan
BMN BMKT berupa bukan ODCB, yang merupakan bagian Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai Pengelolaan BMKT. Pasal 3 (1) Kewenangan Mendikbudristek dan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaan BMKT yang merupakan bagian pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMKT. (2) Berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
Mendikbudristek menetapkan BMKT berupa ODCB yang merupakan bagian Pemerintah Pusat sebagai BMNBMKT. b. Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan BMKT berupa bukan ODCB yang merupakan bagian Pemerintah Pusat sebagai BMN BMKT. BAB II KEWENANGAN Pasal 4 Menteri selaku pengelola barang melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 5 (1) Mendikbudristek selaku Pengguna Barang BMN BMKT memiliki kewenangan dan tanggung jawab:
melakukan Penatausahaan atas BMN BMKT berupa ODCB;
melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum terhadap BMN BMKT berupa ODCB yang berada dalam penguasaannya;
mengajukan permohonan persetujuan Hibah dan Penghapusan atas BMN BMKT berupa ODCB kepada Menteri;
mengajukan usulan Pemanfaatan, Penggunaan Sementara, dan Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT berupa ODCB kepada Menteri; dan
menandatangani perjanjian Sewa, perjanjian Pinjam Pakai, dan Penggunaan Sementara BMN BMKT berupa ODCB. (2) Kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat struktural sesuai dengan mekanisme pendelegasian kewenangan di lingkungan Kemendikbudristek. Pasal 6 (1) Menteri Kelau tan dan Perikanan selaku Pengguna Barang BMN BMKT memiliki kewenangan dan tanggung jawab:
melakukan Penatausahaan BMN BMKT berupa bukan ODCB;
melakukan pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum terhadap BMN BMKT berupa bukan ODCB yang berada dalam penguasaannya;
mengajukan permohonan persetujuan Pemindahtanganan dan Penghapusan atas BMN BMKT berupa bukan ODCB;
mengajukan usulan Pemanfaatan, Penggunaan Sementara, dan Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT berupa bukan ODCB kepada Menteri; dan
menandatangani perjanjian Sewa, perjanjian Pinjam Pakai, dan Penggunaan Sementara BMN BMKT. (2) Dalam hal BMN BMKT dilakukan penjualan melalui Lelang, Menteri Kelautan dan Perikanan selaku penjual Lelang:
mengajukan permohonan Penilaian atas BMN BMKT berupa bukan ODCB;
menetapkan Nilai Limit Penjualan secara Lelang atas BMN BMKT berupa bukan ODCB; dan
mengajukan permohonan Penjualan secara lelang atas BMN BMKT berupa bukan ODCB. (3) Kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat struktural sesuai dengan mekanisme pendelegasian kewenangan di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan. BAB III PEMINDAHTANGANAN,PEMANFAATAN,PENGGUNAAN,DAN PENATAUSAHAAN BARANG MILIK NEGARA YANG BERASAL DARI BENDA MUATAN KAPAL TENGGELAM Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Pengelolaan BMN BMKT meliputi:
Pemindahtanganan;
Pemanfaatan;
Penggunaan Sementara;
Penetapan Status Penggunaan;
Penghapusan; dan
Penatausahaan. (2) Pengelolaan BMN BMKT sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Menteri ini, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang BMN. Bagian Kedua Pemindahtanganan Pasal 8 (1) BMN BMKT dilakukan Pemindahtanganan melalui:
Penjualan; atau
Hibah. (2) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya meliputi BMN BMKT berupa bukan ODCB. (3) Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. Paragraf 1 Penjualan Pasal 9 (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan secara Lelang melalui Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada atas permohonan Menteri Kelautan dan Perikanan. (2) Terhadap BMN BMKT yang menjadi objek Penjualan harus dilakukan Penilaian. (3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pemerintah atau Penilai Publik untuk mendapatkan Nilai Wajar.
Nilai Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi Menteri Kelautan dan Perikanan dalam menetapkan Nilai Limit. (5) Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah mempertimbangkan bea Lelang pembeli sebagai pengurang dari Nilai Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. Pasal 10 (1) Dalam hal Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pemerintah, Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan Penilaian kepada Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada. (2) Permohonan Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melampirkan dokumen berupa daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penilaian. Pasal 11 (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan persetujuan Penjualan melalui Lelang kepada Menteri;
permohonan persetujuan Penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf a, melampirkan dokumen berupa:
daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penjualan; dan
laporan Penilaian;
Menteri melakukan penelitian administratif atas permohonan persetujuan Penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf b;
berdasarkan penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada huruf c:
dalam hal permohonan disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
dalam hal permohonan tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan; dan
surat persetujuan atau penolakan Menteri diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan diterima secara lengkap. (2) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. (3) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 berlaku selama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal persetujuan diterbitkan. Pasal 12 (1) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d angka 1, Menteri Kelautan dan Perikanan mengajukan permohonan Penjualan melalui Lelang kepada Kantor Pelayanan dengan melampirkan dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang. (2) Hasil bersih Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke Kas Negara. (3) Hasil bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil Penjualan setelah dikurangi dengan bea lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Lelang. Pasal 13 (1) Dalam hal BMN BMKT laku terjual dalam Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri Kelautan dan Perikanan melaksanakan serah terima BMN BMKT kepada pembeli Lelang, yang dituangkan dalam suatu berita acara serah terima. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan melaporkan pelaksanaan Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri dengan melampirkan Salinan Risalah Lelang, bukti setor ke Kas Negara, dan beri ta acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak .berita acara serah terima ditandatangani. Pasal 14 (1) Dalam hal BMN BMKT tidak laku terjual dalam Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Menteri Kelau tan dan Perikanan dapat mengajukan permohonan Lelang ulang kepada Kantor Pelayanan tempat BMN BMKT berada. (2) Proses Penjualan melalui Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penjualan melalui Lelang ulang se bagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 2 Hibah Pasal 15 (1) Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan yang bersifat non komersial, dan/atau penyelenggaraan pemerintahan daerah/ desa. (2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (3) Hibah atas BMN BMKT berupa ODCB diberikan kepada Pemerintah Daerah.
Hibah atas BMN BMKT berupa bukan ODCB diberikan kepada:
lembaga sosial, lembaga budaya, lembaga keagamaan, lembaga kemanusiaan, atau lembaga pendidikan yang bersifat non komersial; atau
Pemerintah Daerah/Desa. (5) Untuk dapat diberikan Hibah, Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus menyertakan bukti dokumen berupa akta pendirian, anggaran dasar/rumah tangga, atau pernyataan tertulis dari instansi teknis yang kompeten· bahwa lembaga yang bersangkutan merupakan lembaga termaksud dalam permohonan Hibah. (6) BMN BMKT yang telah dihibahkan digunakan sesuai peruntukan Hibah dan tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh dan/atau dipindahtangankan kepada Pihak Lain. Pasal 16 (1) Permohonan Hibah BMN BMKT diajukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek kepada Menteri. (2) Permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hibah BMN. (3) Permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melampirkan dokumen berupa:
berita acara pemeriksaan administrasi dan/atau fisik; dan
dokumen pembuktian suatu lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5). (4) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek mengusulkan Hibah dengan nilai yang didasarkan pada nilai perolehan BMN BMKT. (5) Menteri melakukan penelitian administratif atas permohonan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
permohonan Hibah disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
permohonan Hibah tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan. (7) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 17 (1) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hi bah BMN.
Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek melaksanakan Hibah paling lama 1 (satu) bulan sejak persetujuan diterbitkan. (4) Pelaksanaan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam naskah Hibah dan suatu berita acara serah terima. (5) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek menyampaikan laporan pelaksanaan Hibah kepada Menteri dengan melampirkan salinan naskah Hibah dan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak berita acara serah terima ditandatangani. Bagian Ketiga Pemanfaatan Pasal 18 (1) BMN BMKT dapat dilakukan Pemanfaatan. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah status objek Pemanfaatan sebagai BMN BMKT. (3) BMN BMKT yang menjadi objek Pemanfaatan dilarang untuk:
dipindahtangankan; dan / a tau b. digadaikan atau dijadikan objekjaminan, oleh Pihak Lain yang melakukan Pemanfaatan. Pasal 19 (1) BMN BMKT dilakukan Pemanfaatan dalam bentuk:
Sewa; atau
Pin jam Pakai. (2) Pemanfaatan BMN BMKT dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (3) Jangka waktu Pemanfaatan BMN BMKT paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. (4) Pihak Lain yang melakukan Pemanfaatan BMN BMKT wajib menyerahkan kembali BMN BMKT pada saat berakhirnya Pemanfaatan dalam kondisi baik. Paragraf 1 Sewa Pasal 20 (1) Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pihak Lain. (2) Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Sewa secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (3) Permohonan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN.
Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian administratif terhadap permohonan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (5) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal:
Permohonan ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Sewa kepada Menteri; atau
permohonan tidak ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek menolak permohonan Sewa. (6) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a minimal memuat:
ringkasan permohonan yang memuat identitas pemohon Sewa, rincian objek Sewa, peruntukan Sewa, jangka waktu Sewa, dan usulan besaran Sewa; dan
pertimbangan usulan persetujuan. (7) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Sewa dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek. (8) Berdasarkan penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dalam hal:
Usulan ditindaklanjuti, Menteri menindaklanjuti dengan mengajukan permohonan Penilaian dalam rangka Sewa; atau
usulan tidak ditindaklanjuti, Menteri menolak usulan Sewa. (9) Permohonan Penilaian dalam rangka Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, melampirkan dokumen berupa:
daftar BMN BMKT yang dimohonkan Penilaian; dan
surat permohonan Sewa dari Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (10) Pelaksanaan Penilaian dalam rangka Sewa berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. (11) Surat persetujuan atau penolakan Menteri diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelau tan dan Perikanan a tau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 21 (1) Sewa oleh Pihak Lain se bagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN, di tam bah dengan:
keterangan mengenai cara pembayaran Sewa;
kewajiban penyewa untuk membayar besaran uang Sewa dan melakukan pengamanan dan pemeliharaan objek Sewa; dan
kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Sewa. (3) Besaran uang Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan hasil perkalian dari:
tarif pokok Sewa; dan
faktor penyesuai Sewa. (4) Penentuan tarif pokok Sewa dan faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemanfaatan BMN. (5) Pembayaran uang Sewa dilakukan dengan penyetoran ke Kas Negara. (6) Pembayaran uang Sewa dibayarkan secara sekaligus sebelum penandatanganan perjanjian Sewa. (7) Dalam hal Pihak Lain tidak melakukan pembayaran sampai dengan batas waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku. (8) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan bukti setor ke Kas Negara untuk pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6):
Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, atau b. Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Pihak Lain selaku penyewa menandatangani perjanjian Sewa. (9) Perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (8) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sewa BMN. Pasal 22 Pihak Lain yang menyewa BMN BMKT wajib:
membayar uang Sewa, yang ditetapkan oleh Menteri;
melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Sewa; dan
mengembalikan objek Sewa dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Sewa. Pasal 23 (1) Jangka waktu Sewa atas BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Sewa diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Sewa.
Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 2 Pinjam Pakai Pasal 24 (1) Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Pinjam Pakai secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (3) Permohonan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
identitas Pemerintah Daerah selaku pemohon;
deskripsi BMN BMKT yang menjadi objek permohonan Pinjam Pakai;
peruntukan Pinjam Pakai; dan
jangka waktu Pinjam Pakai. (4) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Berdasarkan pada berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), dalam hal:
permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Pinjam Pakai kepada Menteri; atau
permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Pinjam Pakai kepada Pemerintah Daerah. (7) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a minimal memuat:
ringkasan permohonan yang memuat identitas Pemerintah Daerah, rincian objek Pinjam Pakai, peruntukan Pinjam Pakai, dan jangka waktu Pinjam Pakai; dan
pertimbangan usulan persetujuan. (8) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Pinjam Pakai dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek.
Berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam hal:
permohonan Pinjam Pakai disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
permohonan Pinjam Pakai tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan Pemerintah Daerah selaku pemohon. (10) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 25 (1) Pinjam Pakai oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat:
identitas BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai;
identitas Pemerintah Daerah yang menjadi peminjam pakai;
jangka waktu Pinjam Pakai;
kewajiban pemmJam pakai untuk melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai selama jangka waktu Pinjam Pakai;
larangan kepada peminjam pakai untuk:
mengalihkan Pinjam Pakai; dan
menggunakan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai selain dari yang telah ditentukan dalam persetujuan Menteri;
pernyataan bahwa Pinjam Pakai tidak mengubah status kepemilikan BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai; dan
kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Pinjam Pakai. (3) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan; atau
Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Pemerintah Daerah selaku peminjam pakai membuat dan menandatangani Perjanjian Pinjam Pakai paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri diterbitkan. Pasal 26 Pemerintah Daerah selaku peminjam pakai:
melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Pinjam Pakai; dan
mengembalikan objek Pinjam Pakai dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Pinjam Pakai. Pasal 27 (1) Jangka waktu Pinjam Pakai atas BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Pinjam Pakai diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Pinjam Pakai. (3) Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Penggunaan Sementara Pasal 28 (1) BMN BMKT dapat dilakukan Penggunaan Sementara. (2) Penggunaan Sementara dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga selain Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kemendikbudristek setelah mendapat persetujuan Menteri. (3) Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah status objek Penggunaan Sementara sebagai BMN BMKT. (4) Pemeliharaan atas BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara dibebankan pada anggaran pihak yang melakukan Penggunaan Sementara. (5) Penggunaan Sementara dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. (6) Pihak yang melakukan Penggunaan Sementara wajib menyerahkan kembali BMN BMKT pada saat berakhirnya Penggunaan Sementara dalam kondisi baik. Pasal 29 (1) Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) mengajukan permohonan Penggunaan Sementara secara tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan kepada Menteri, disertai dengan alasan yang mendasarinya. (2) Permohonan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan sementara BMN.
Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Berdasarkan pada berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), dalam hal:
permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan persetujuan Penggunaan Sementara kepada Menteri; atau
permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Penggunaan Sementara kepada Kementerian/Lembaga selaku pemohon. (6) Usulan persetujuan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a minimal memuat:
ringkasan permohonan yang memuat identitas Kernen terian / Lembaga, rincian o bjek Penggunaan Sementara, peruntukan Penggunaan Sementara, dan jangka waktu Penggunaan Sementara; dan
pertimbangan usulan persetujuan. (7) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan persetujuan Penggunaan Sementara dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek. (8) Berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dalam hal:
permohonan Penggunaan Sementara disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan; atau
permohonan Penggunaan Sementara tidak disetujui, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, dengan tembusan Kementerian/ Lembaga selaku pemohon. (9) Surat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. Pasal 30 (1) Penggunaan Sementara oleh Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri dan minimal memuat data/keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengguanaan sementara BMN, ditambah dengan:
larangan kepada pengguna sementara untuk:
mengalihkan Penggunaan Sementara; dan
menggunakan BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara selain dari yang telah ditentukan dalam persetujuan Menteri;
pernyataan bahwa Penggunaan Sementara tidak mengubah status kepemilikan BMN BMKT yang menjadi objek Penggunaan Sementara; dan
kewajiban Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan Penggunaan Sementara. (3) Berdasarkan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
Menteri Kelautan dan Perikanan atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan, atau b. Mendikbudristek atau pejabat struktural yang berwenang di lingkungan Kemendikbudristek, dan Kementerian/Lembaga selaku pengguna sementara membuat dan menandatangani perjanjian Penggunaan Sementara paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal persetujuan Menteri diterbitkan. Pasal 31 Kementerian/ Lembaga selaku pengguna sementara:
melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN BMKTyang menjadi objek Penggunaan Sementara; dan
mengembalikan objek Penggunaan Sementara dalam kondisi baik pada saat berakhirnya perjanjian Penggunaan Sementara. Pasal 32 (1) Jangka waktu Penggunaan Sementara BMN BMKT dapat diperpanjang dengan ketentuan setiap perpanjangan dilakukan untuk paling lama 2 (dua) tahun. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Penggunaan Sementara diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Penggunaan Sementara. (3) Ketentuan mengenai permohonan, usulan, penelitian, persetujuan, dan tindak lanjut persetujuan Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Penggunaan Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kelima Penetapan Status Penggunaan Pasal 33 (1) Penetapan Status Penggunaan BMN BMKT dilakukan oleh Menteri. (2) BMN BMKT yang menjadi objek Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi BMKT berupa ODCB dan BMKT berupa bukan ODCB.
Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap BMN BMKT yang digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 34 (1) Permohonan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diajukan secara tertulis oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon kepada Menteri melalui Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, disertai dengan dasar pertimbangan dan rencana peruntukan. (2) Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, melakukan penelitian terhadap permohonan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang hasilnya dituangkan dalam suatu berita acara. (3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penelitian administratif, yang dapat disertai pula dengan pemeriksaan fisik jika diperlukan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), dalam hal:
permohonan dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan a tau Mendikbudristek, menyampaikan usulan Penetapan Status Penggunaan kepada Menteri; atau
permohonan tidak dapat ditindaklanjuti, Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, menolak permohonan Penetapan Status Penggunaan dan menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon dengan tembusan Menteri. (5) Menteri melakukan penelitian administratif atas usulan Penetapan Status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a. (6) Dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
permohonan disetujui, Menteri menerbitkan surat keputusan Penetapan Status Penggunaan; atau
permohonan ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan dan menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pemohon. (7) Surat keputusan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek diterima secara lengkap. (8) Surat keputusan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani oleh Direktur atas nama Menteri. Pasal 35 (1) Berdasarkan surat keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf a dilakukan serah terima BMN BMKT dari Menteri Kelautan dan Perikanan atau Mendikbudristek, kepada Menteri/Pimpinan Lembaga paling lama 1 (satu) bulan sejak surat keputusan Menteri ditetapkan, yang dituangkan dalam suatu berita acara serah terima. (2) Berdasarkan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Keenam Penghapusan Pasal 36 (1) Menteri Kelautan dan Perikanan dan Mendikbudristek dapat mengajukan permohonan Penghapusan BMN BMKT. (2) Tata cara Penghapusan BMN BMKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Ketujuh Penatausahaan Pasal 37 (1) Penatausahaan BMN BMKT meliputi pencatatan dan pelaporan. (2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
manual; dan/atau
elektronik melalui sistem aplikasi pendukung. Pasal 38 (1) Menteri Kelautan dan Perikanan serta Mendikbudristek melakukan pencatatan BMN BMKT dalam daftar BMN BMKT. (2) Pencatatan BMN BMKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara semesteran dan tahunan kepada Menteri. (3) Informasi perubahan daftar BMN BMKT, dicantumkan dalam laporan semesteran dan tahunan. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan dalam pelaksanaan pengelolaan termasuk untuk pengawasan dan pengendalian BMN BMKT. BABV PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 39 (1) Direktur melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan atas BMN BMKT.
Direktur melaporkan hasil pengawasan dan pengendalian kepada Direktur J enderal. (3) Pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan atas BMN BMKT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 440), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 41 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat
Relevan terhadap
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN PUSAT. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas menjalankan fungsi Bendahara Umum Negara. 2. Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat yang selanjutnya disingkat SiAP adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan, dan operasi keuangan pada Kementerian Keuangan selaku Kuasa BUN. 3. Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat SABUN adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan pos1s1 keuangan, dan operasi keuangan yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku BUN dan pengguna anggaran bagian anggaran BUN. 4. Kuasa BUN adalah pejabat yang memperoleh kewenangan untuk dan atas nama BUN melaksanakan fungsi pengelolaan uang negara. 5. Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut DJPb adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan ke bij akan dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara.
Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan yang selanjutnya disebut Dit. APK adalah unit eselon II pada kantor pusat DJPb yang bertugas untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang akuntansi dan pelaporan keuangan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. 7. Direktorat Pengelolaan Kas Negara yang selanjutnya disebut Dit. PKN adalah unit eselon II pada kantor pusat DJPb yang bertugas untuk merumuskan serta melaksanakan ke bij akan dan standardisasi teknis di bidang pengelolaan kas negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. 8. Kantor Wilayah DJPb yang selanjutnya disebut Kanwil DJPb adalah instansi vertikal DJPb yang bertugas untuk melaksanakan koordinasi, pembinaan, supervisi, asistensi, bimbingan teknis, dukungan teknis, monitoring, evaluasi, analisis, kajian, penyusunan laporan, dan pertanggungjawaban di bidang perbendaharaan dan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. 9. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal DJPb yang bertugas untuk melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan BUN, penyaluran pembiayaan atas beban anggaran, serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara. 10. Rekening Kuasa BUN Daerah adalah rekening milik BUN pada bank/ pos mitra KPPN selaku Kuasa BUN di daerah. 11. Rekening Kuasa BUN Pusat adalah rekening milik BUN pada bank mitra Dit. PKN selaku Kuasa BUN Pusat. 12. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang disusun oleh pemerintah berdasarkan standar akuntansi pemerintahan. 13. Laporan Arus Kas yang selanjutnya disebut LAK adalah laporan yang menyajikan informasi arus masuk dan keluar kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris. 14. Laporan Perubahan Ekuitas yang selanjutnya disebut LPE adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 15. Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang, dan ekuitas pada tanggal tertentu. 16. Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, dan laporan perubahan saldo anggaran lebih untuk pengungkapan yang memadai. 1 7. Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/ defisit dan pembiayaan, dan sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode. 18. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan BUN yang selanjutnya disingkat UABUN adalah unit akuntansi pada Kementerian Keuangan yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat unit akuntansi dan pelaporan keuangan pembantu BUN dan sekaligus melakukan penggabungan Laporan Keuangan seluruh unit akuntansi dan pelaporan keuangan pembantu BUN. 19. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa BUN Tingkat KPPN yang selanjutnya disebut UAKBUN- Daerah adalah unit akuntansi Kuasa BUN yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat KPPN. 20. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa BUN Tingkat Kantor Wilayah yang selanjutnya disebut UAKKBUN-Kanwil adalah unit akuntansi yang mengoordinasikan dan membina akuntansi dan pelaporan keuangan Kuasa BUN Daerah/KPPN dan menggabungkan laporan keuangan seluruh Kuasa BUN Daerah/KPPN. 21. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa BUN Tingkat Pusat yang selanjutnya disingkat UAKBUN- Pusat adalah unit akuntansi Kuasa BUN yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat Kuasa BUN Pusat. 22. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu BUN yang selanjutnya disingkat UAP BUN adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas akuntansi dan pelaporan keuangan sekaligus melakukan penggabungan laporan keuangan tingkat unit akuntansi dan pelaporan keuangan di bawahnya. 23. Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu BUN Akuntansi Pusat yang selanjutnya disebut UAP BUN AP adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang menggabungkan Laporan Keuangan Kuasa BUN Pusat, koordinator Kuasa BUN kantor wilayah, dan Kuasa BUN Daerah (KPPN khusus penerimaan dan KPPN khusus pinjaman dan hi bah). 24. Rekonsiliasi adalah proses pencocokkan data transaksi keuangan yang di proses dengan beberapa sistem/ subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama. 25. Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah Inspektorat Jenderal/ Inspektorat Umum/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga. 26. Sistem Aplikasi Terintegrasi adalah sistem aplikasi yang mengintegrasikan seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan dan pelaksanaan pendapatan dan belanja negara dimulai dari proses penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan pada BUN dan kementerian/lembaga. 27. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penanda tangan surat perintah membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari daftar isian pelaksanaan anggaran. 28. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara berdasarkan SPM. 29. Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan yang selanjutnya disingkat PIPK adalah pengendalian yang secara spesifik dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa Laporan Keuangan yang dihasilkan merupakan laporan yang andal dan disusun sesua1 dengan standar akuntansi pemerintahan. BAB II UNIT AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN Pasal 2 (1) SiAP merupakan subsistem dari SABUN. (2) Untuk pelaksanaan SiAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk unit akuntansi dan pelaporan keuangan yang terdiri atas:
KPPN selaku UAKBUN-Daerah;
Kanwil DJPb selaku UAKKBUN-Kanwil;
Dit. PKN selaku UAKBUN-Pusat; dan
DJPb selaku UAP BUN AP. (3) KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak termasuk KPPN Khusus Investasi. (4) UAP BUN AP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilaksanakan oleh Dit. APK. (5) Penanggung jawab unit akuntansi dan pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
Kepala KPPN, untuk UAKBUN-Daerah;
Kepala Kanwil DJPb, untuk UAKKBUN-Kanwil;
Direktur Pengelolaan Kas Negara, untuk UAKBUN- Pusat; dan
Direktur Jenderal Perbendaharaan, untuk UAP BUN AP. (6) SiAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan Kuasa BUN dengan menggunakan Sistem Aplikasi Terintegrasi. (7) Laporan Keuangan Kuasa BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (8) Selain Laporan Keuangan Kuasa BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (6), unit akuntansi dan pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menghasilkan LRA sebagai laporan manajerial. (9) LRA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) merupakan LRA satuan kerja mitra kerja masing-masing unit akuntansi dan pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB III AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN Bagian Kesatu Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Bendahara Umum Negara Tingkat Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Pasal 3 (1) UAKBUN-Daerah memproses data transaksi:
penerimaan dan pengeluaran kas yang melalui Rekening Kuasa BUN Daerah;
penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak melalui Rekening Kuasa BUN Daerah namun menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku harus mendapatkan penihilan/ pengesahan dari KPPN; dan/atau
penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak melalui rekening Kuasa BUN Daerah namun mempengaruhi Neraca UAKBUN-Daerah. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
penerimaan kas yang melalui rekening Kuasa BUN Daerah yang dapat berupa pendapatan negara, pengembalian belanja, dan penenmaan pembiayaan;
pengeluaran kas penyaluran dana SP2D untuk belanja, pengeluaran pembiayaan, dan pengeluaran non anggaran melalui Rekening Kuasa BUN Daerah; dan/atau
penerimaan non anggaran dan pengeluaran non anggaran yang dapat berupa penerimaan kiriman uang atau pengeluaran kiriman uang atau pengeluaran kiriman uang untuk pemindahbukuan dana antar rekening kas negara dan penerimaan retur. (3) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb terdiri atas:
penerimaan dan potongan pada SPM dengan jumlah yang sama sehingga jumlah pembayarannya nihil;
pendapatan dan belanja pada satuan kerja badan layanan umum;
pendapatan dan belanja yang bersumber dari hibah langsung dalam bentuk uang pada kemen terian / lembaga;
pendapatan/ penerimaan pembiayaan dan belanja yang bersumber dari hibah atau pinjaman dalam/ luar negeri yang oleh pihak pemberi pinjaman dan hibah dalam/luar negeri tidak disalurkan melalui rekening milik BUN namun langsung digunakan untuk mendanai pengeluaran satuan kerja; dan/atau
penerimaan dan pengeluaran lainnya yang menurut ketentuan perundang-undangan harus mendapat pengesahan dari KPPN. (4) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
transaksi pengeluaran transitoris atas SP2D uang persediaan/ tambahan uang persediaan yang mempengaruhi Kas di Bendahara Pengeluaran UAKBUN-Daerah;
transaksi penerimaan pengembalian dana uang persediaan /tambahan uang persediaan yang disetor melalui modul penerimaan negara yang mempengaruhi kas di bendahara pengeluaran UAKBUN-Daerah; dan/atau
transaksi penerimaan transitoris/pengeluaran transitoris atas SP2D retur yang mempengaruhi utang pihak ketiga pada UAKBUN-Daerah. (5) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan transaksi yang terjadi pada UAKBUN Daerah yang tidak mengelola rekening retur. (6) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disajikan sebagai utang pihak ketiga UAKBUN-Daerah. (7) J enis transaksi penerimaan dan pengeluaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pendapatan;
belanja;
transfer ke daerah;
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan;
penerimaan transitoris dan pengeluaran transitoris;
pengembalian; dan/atau
selisih kurs. Pasal 4 (1) Transaksi penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dicatat secara bruto sebesar nilai yang tercantum dalam dokumen sumber pada saat:
kas diterima di Rekening Kuasa BUN Daerah;
kas keluar dari Rekening Kuasa BUN Daerah;
terbit dokumen pengesahan transaksi penerimaan dan pengeluaran oleh KPPN;
terbit SP2D untuk SPM dengan potongan yang jumlah pembayarannya nihil;
kas keluar dari rekening Kuasa BUN Pusat, untuk pengeluaran yang melalui Rekening Kuasa BUN Pusat namun mempengaruhi Neraca UAKBUN- Daerah; atau
kas masuk ke Rekening Kuasa BUN Pusat atau Kuasa BUN Daerah lainnya, untuk penerimaan yang tidak melalui rekening Kuasa BUN Daerah bersangkutan namun mempengaruhi Neraca UAKBUN-Daerah. (2) Pengaruh terhadap aset, kewajiban, dan ekuitas yang timbul akibat transaksi penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan di dalam Neraca UAKBUN-Daerah. (3) Penyajian dalam Neraca UAKBUN-Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk pengaruh transaksi penerimaan dan pengeluaran yang melalui rekening Kuasa BUN Daerah terhadap Neraca UAKBUN-Pusat atau UAKBUN-Daerah lainnya. Pasal 5 (1) UAKBUN-Daerah menyusun Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Daerah berdasarkan pemrosesan data transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1). (2) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan Rekonsiliasi dan analisis atau telaah Laporan Keuangan. (3) Dalam hal UAKBUN-Daerah belum dapat melakukan rekonsiliasi eksternal dengan UAKPA pada periode berjalan, UAKBUN-Daerah tetap dapat menyusun Laporan Keuangan. (4) Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (5) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. (6) Analisis atau telaah Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai analisis atau telaah Laporan Keuangan di lingkup sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pusat. Pasal 6 (1) UAKBUN-Daerah menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) kepada UAKKBUN-Kanwil setiap bulan, semesteran, dan tahunan. (2) UAKBUN-Daerah KPPN khusus penerimaan dan UAKBUN-Daerah KPPN khusus pinjaman dan hibah menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) kepada UAP BUN AP setiap bulan, semesteran, dan tahunan. t www.jdih.kemenkeu.go.id (3) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Kedua Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Bendahara Umum Negara Tingkat Kantor Wilayah Pasal 7 (1) UAKKBUN-Kanwil menyusun Laporan Keuangan tingkat UAKKBUN-Kanwil berdasarkan hasil pemrosesan data gabungan dan Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Daerah di wilayah kerjanya. (2) Laporan Keuangan tingkat UAKKBUN-Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan Rekonsiliasi dan analisis atau telaah LaporanKeuangan. (3) Dalam hal UAKBUN-Daerah belum dapat melakukan Rekonsiliasi eksternal dengan U AKPA pada periode berjalan, UAKKBUN-Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dapat menyusun Laporan Keuangan. • (4) Laporan Keuangan tingkat UAKKBUN-Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (5) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. (6) Analisis atau telaah Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai analisis atau telaah Laporan Keuangan di lingkup sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pusat. Pasal 8 (1) Untuk penyusunan Laporan Keuangan konsolidasian tingkat UAP BUN AP, UAKKBUN-Kanwil menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) kepada UAP BUN AP setiap triwulan, semesteran, dan tahunan. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Ketiga Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Bendahara Umum Negara Tingkat Pusat \ Pasal 9 (1) Untuk penyusunan Laporan Keuangan, UAKBUN-Pusat memproses data transaksi:
penerimaan dan pengeluaran kas yang melalui rekening Kuasa BUN Pusat; dan
penerimaan dan pengeluaran pada SPM atau dokumen yang dipersamakan, dengan potongan, yang pembayarannya melalui rekening Kuasa BUN Pusat. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
penerimaan kas melalui Rekening Kuasa BUN Pusat;
pengeluaran kas penyaluran dana SP2D untuk belanja, transfer, pengeluaran pembiayaan, pengeluaran non anggaran melalui rekening Kuasa BUN Pusat; dan/atau
penerimaan non anggaran atau pengeluaran non anggaran. (3) Transaksi penerimaan non anggaran atau pengeluaran non anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:
transaksi untuk _dropping; _ b. transaksi untuk penihilan;
transaksi untuk optimalisasi kas;
transaksi untuk pemenuhan dana SAL;
transaksi reimbursement (penggantian) atas pengeluaran kas di rekening kas umum negara; dan/atau
transaksi replenishment atas pengisian kas di rekening kas umum negara. (4) Transaksi penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pendapatan;
belanja;
transfer ke daerah;
penerimaan dan pengeluaran pembiayaan;
penerimaan dan pengeluaran transitoris;
pengembalian; dan/atau
selisih kurs. Pasal 10 (1) Transaksi penerimaan dan pengeluaran kas pada UAKBUN-Pusat dicatat secara bruto sebesar nilai yang tercantum dalam dokumen sumber pada saat:
kas diterima di rekening Kuasa BUN Pusat; atau
kas keluar dari rekening Kuasa BUN Pusat. (2) Transaksi penerimaan pada UAKBUN-Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dicatat sebesar bruto dalam hal proses untuk menghasilkan pendapatan belum selesai, yang dapat berupa transaksi setoran pendapatan atas penerimaan negara bukan pajak minyak dan gas bumi. (3) Pengecualian atas transaksi penerimaan negara bukan pajak minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk teknis akuntansi penerimaan bukan pajak dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. (4) Pengaruh terhadap aset, kewajiban, dan ekuitas yang timbul akibat transaksi penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan di dalam Neraca UAKBUN-Pusat. (5) Penyajian dalam Neraca UAKBUN-Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk pengaruh transaksi penerimaan dan pengeluaran yang melalui rekening Kuasa BUN Pusat terhadap Neraca UAKBUN- Daerah. Pasal 11 (1) UAKBUN-Pusat menyusun Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Pusat berdasarkan pemrosesan data transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10. (2) Laporan Keuangan tingkat UAKBUN-Pusat se bagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan Rekonsiliasi dan analisis atau telaah Laporan Keuangan. (3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (4) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi. dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. (5) Analisis atau telaah Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai analisis atau telaah Laporan Keuangan di lingkup sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pusat. Pasal 12 (1) UAKBUN-Pusat menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) kepada UAP BUN AP setiap semesteran dan tahunan. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. Bagian Keempat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Akuntansi Pusat Pasal 13 (1) UAP BUN AP menyusun Laporan Keuangan tingkat UAP BUN AP berdasarkan data gabungan dan informasi Laporan Keuangan dari UAKBUN-Daerah KPPN Khusus Penerimaan, UAKBUN-Daerah Khusus Pinjaman dan Hibah, UAKKBUN-Kanwil, dan UAKBUN-Pusat. (2) Laporan Keuangan tingkat UAP BUN AP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setelah dilakukan Rekonsiliasi dan analisis atau telaah Laporan Keuangan. (3) Laporan Keuangan tingkat UAP BUN AP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Neraca;
LAK;
LPE; dan
CaLK. (4) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah pusat. (5) Analisis atau telaah Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai analisis atau telaah Laporan Keuangan di lingkup sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pusat. (6) Dalam hal :
UAKBUN-Daerah belum dapat menyusun LPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf c;
UAKKBUN-Kanwil belum dapat menyusun LPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf c; dan/atau
UAKBUN-Pusat belum dapat menyusun LPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf c; LPE disusun oleh UAP BUN AP. Pasal 14 (1) Untuk penyusunan Laporan Keuangan konsolidasian tingkat UABUN, UAP BUN AP menyampaikan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) kepada UABUN setiap semesteran dan tahunan. (2) Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan BUN. BAB IV TRANSAKSI DALAM MATA UANG ASING Pasal 15 (1) Kuasa BUN menyajikan transaksi dalam mata uang asing pada Laporan Keuangan dengan menggunakan mata uang rupiah. (2) Aset dan kewajiban moneter dalam mata uang asing disajikan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pelaporan. (3) Kuasa BUN menyajikan dan mengungkapkan pengaruh selisih kurs di dalam Laporan Keuangan.
Pengaruh selisih kurs sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi atas selisih kurs pada rekening milik BUN. BABV PENGENDALIAN INTERN ATAS PELAPORAN KEUANGAN Pasal 16 (1) Untuk memberikan keyakinan memadai bahwa pelaporan keuangan dilaksanakan dengan pengendalian intern yang memadai, setiap unit akuntansi dan pelaporan keuangan menerapkan PIPK. (2) Penerapan PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada lingkup Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat. (3) Untuk menjaga efektivitas penerapan PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penilaian PIPK yang dilaksanakan oleh tim penilai pada setiap unit akuntansi dan pelaporan keuangan. (4) Hasil penilaian PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam laporan hasil penilaian PIPK. (5) Untuk memberikan keyakinan terbatas kepada pimpinan mengenai efektivitas penerapan PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), APIP melakukan reviu penerapan PIPK berdasarkan laporan hasil penilaian PIPK. (6) Penerapan, penilaian, dan reviu PIPK dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman penerapan, penilaian, dan reviu pengendalian intern atas pelaporan keuangan pemerintah pusat. BAB VI PERNYATMN TANGGUNG JAWAB Pasal 17 (1) Setiap unit akuntansi dan pelaporan keuangan pada SiAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) membuat pernyataan tanggung jawab atas Laporan Keuangan yang disusunnya dan dilampirkan pada saat penyampaian Laporan Keuangan. (2) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh penanggungjawab unit akuntansi dan pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4). (3) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pernyataan bahwa pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian internal yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. (4) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan paragraf penjelasan atas suatu kejadian yang belum termuat dalam Laporan Keuangan. BAB VII MODUL SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN PUSAT Pasal 18 SiAP dilaksanakan sesuai dengan Modul Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB VIII PERNYATAAN TELAH DIREVIU Pasal 19 (1) Untuk meyakinkan keandalan informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan, dilakukan reviu atas Laporan Keuangan bagian anggaran BUN pengelolaan uang negara pada SiAP. (2) Reviu atas Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai reviu atas Laporan Keuangan BUN. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.05/2014 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat (Berita Negara Repulik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2046) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.05/2014 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat (Berita Negara Repulik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2140), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 21 Peraturan Menteri 1n1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.