Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah. ...
Relevan terhadap
Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
kendaraan bermotor yang digunakan untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan angkutan umum;
kendaraan bermotor yang digunakan untuk tujuan protokoler kenegaraan;
kendaraan bermotor angkutan orang untuk 10 (sepuluh) orang atau lebih termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan semua kapasitas isi silinder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI; dan
kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.
Apabila kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor atau perolehannya ternyata dipindahtangankan atau diubah peruntukannya sehingga tidak sesuai dengan tujuan semula, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang pada saat impor atau perolehannya tersebut wajib dibayar kembali dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak Barang Kena Pajak tersebut dipindahtangankan atau diubah peruntukannya.
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang tersebut tidak atau kurang dibayar, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) ditambah sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Barang Kena Pajak berupa kendaraan bermotor dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah berdasarkan kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah:
kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel), untuk semua kapasitas isi silinder; dan
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon , dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah:
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon , dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc; dan
kendaraan bermotor dengan kabin ganda (double cabin) , dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), untuk semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc; dan
kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen) adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon , dengan motor bakar cetus api, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2.500 cc sampai dengan 3.000 cc;
kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa:
sedan atau station wagon ; dan
selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 3.000 cc; dan
kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel atau semi diesel), berupa:
sedan atau station wagon ; dan
selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) adalah semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen), adalah:
kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc; dan
kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan semacam itu.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah:
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa:
sedan atau station wagon ; dan
selain sedan atau station wagon dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3.000 cc;
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel atau semi diesel) berupa:
sedan atau station wagon ; dan
selain sedan atau station wagon dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2.500 cc;
kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc; dan
trailer, semi-trailer dari tipe caravan , untuk perumahan atau kemah.
bahwa untuk mendorong penggunaan kendaraan bermotor yang hemat energi dan ramah lingkungan, mendukung konversi energi di bidang transportasi, serta mendukung upaya peningkatan kapasitas produksi industri kendaraan bermotor dalam negeri, perlu mengatur kembali pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketujuh atas Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Ditujukan untuk Kepentingan Umum ...
Relevan terhadap
Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a.
Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan pada klasifikasi, pembebanan, dan nilai pabean dalam pemberitahuan pabean impor pada saat pemasukan.
Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk barang impor berupa kendaraan bermotor, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal pemindahtanganan dilakukan sampai dengan 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean, tarif dan nilai pabean yang berlaku yakni tarif dan nilai pabean pada tanggal pemberitahuan pabean impor;
dalam hal pemindahtanganan dilakukan setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean:
tarif yang berlaku yakni tarif pada tanggal pemberitahuan pabean impor; dan
nilai pabean yang berlaku yakni nilai pabean pada saat kendaraan bermotor dipindahtangankan;
Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk barang impor dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure), dilaksanakan berdasarkan pada tarif dan nilai pabean yang berlaku pada saat dipindahtangankan.
Pemenuhan kewajiban kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kantor pabean tempat pemasukan barang.
Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atas:
barang impor selain kendaraan bermotor yang dilakukan sampai dengan 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean; atau
barang impor berupa kendaraan bermotor, dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri.
Untuk mendapatkan persetujuan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai tempat pemasukan.
Contoh format surat permohonan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Sistem Indonesia National Single Window.
Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Sistem Indonesia National Single Window mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dan disertai dengan:
lampiran permohonan dalam bentuk hardcopy; dan
hasil pindaian dari dokumen asli dalam media penyimpan data elektronik dalam bentuk softcopy.
Terhadap pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, terutang bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika:
pemindahtanganan dilakukan setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean;
terjadi keadaan kahar (force majeure) yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang; atau
dipindahtangankan kepada sesama penerima pembebasan bea masuk.
Dalam hal barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berupa kendaraan bermotor, pemindahtanganan yang dilakukan setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean disertai dengan kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang terutang.
Dalam hal barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terjadi keadaan kahar (force majeure) namun barang masih memiliki nilai ekonomis, pemindahtanganan yang dilakukan sampai dengan 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean disertai dengan kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang terutang.
Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak
Relevan terhadap
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar:
6% (enam persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 2. Surat Berharga Negara;
8% (delapan persen) atas Harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 2. Surat Berharga Negara;
6% (enam persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) Surat Berharga Negara;
8% (delapan persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
tidak diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) Surat Berharga Negara; atau e. 11% (sebelas persen) atas Harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni sebesar jumlah Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan.
Nilai Harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan berdasarkan:
nilai nominal, untuk Harta berupa kas atau setara kas;
nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak, untuk tanah dan/atau bangunan dan nilai jual kendaraan bermotor, untuk kendaraan bermotor;
nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak;
nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran ( warrant ) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia; dan/atau e. nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk:
Surat Berharga Negara; dan
efek bersifat Utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan, sesuai kondisi dan keadaan Harta pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
Dalam hal tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b sampai dengan huruf e, nilai Harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik.
Dalam hal nilai Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta ditentukan dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
Ketentuan penggunaan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku juga untuk menghitung nilai Utang dalam hal nilai Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah.
Kurs yang digunakan untuk penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) berlaku ketentuan:
untuk akhir Tahun Pajak pada tanggal 31 Desember 2015 menggunakan kurs sesuai Keputusan Menteri Nomor 61/KM.10/2015 tentang Nilai Kurs Sebagai Dasar Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Keluar, dan Pajak Penghasilan yang Berlaku untuk Tanggal 30 Desember 2015 sampai dengan 5 Januari 2016; atau
untuk akhir Tahun Pajak pada tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Desember 2015, menggunakan kurs sesuai dengan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal akhir tahun buku Wajib Pajak yang bersangkutan.
Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Pengelola Barang adalah Menteri Keuangan.
Pengguna Barang adalah Menteri/Pimpinan Lembaga yang bertanggung jawab atas penggunaan BMN pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Menteri Keuangan adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman pengelolaan BMN serta melakukan pengelolaan BMN.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Direktorat Jenderal adalah unit organisasi eselon I pada Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Perencanaan Kebutuhan BMN adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang.
Standar Barang adalah spesifikasi barang yang ditetapkan sebagai acuan perhitungan pengadaan dan penggunaan BMN dalam Perencanaan Kebutuhan Kementerian/Lembaga.
Standar Kebutuhan adalah satuan jumlah barang yang dibutuhkan sebagai acuan perhitungan pengadaan dan penggunaan BMN dalam Perencanaan Kebutuhan Kementerian/Lembaga.
Bangunan Gedung Negara adalah bangunan gedung untuk keperluan dinas yang menjadi BMN dan diadakan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau perolehan lainnya yang sah.
Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan yang selanjutnya disebut Kendaraan Jabatan adalah kendaraan bermotor yang digunakan oleh pejabat pemerintah untuk kepentingan operasional satuan kerja dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Kantor yang selanjutnya disebut Kendaraan Operasional adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk mendukung operasional kantor/satuan kerja dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan.
Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMOTONGAN, DAN PENYETORAN PAJAK ROKOK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat. 2. Rokok adalah hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. 3. Cukai Rokok adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap Rokok. 4. Surat Pemberitahuan Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SPPR adalah surat yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk melaporkan penghitungan dan/atau dasar pembayaran Pajak Rokok. 5. Permohonan Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut CK-1 adalah dokumen cukai yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk mengajukan permohonan pemesanan pita cukai hasil tembakau. 6. Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik Rokok/produsen dan importir Rokok yang memiliki ijin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. 7. Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran di bidang cukai. 8. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan I jdih.kemenkeu.go.id negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sen tral. 9. Rekening Kas Umum Daerah Provinsi yang selanjutnya disingkat RKUD Provinsi adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan. 10. Kantor Bea dan Cukai adalah kantor pelayanan utama bea dan cukai atau kantor pengawasan dan pelayanan bea dan cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 11. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan undang- undang mengenai cukai. 12. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 14. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 15. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara. 16. Kuasa PenggunaAnggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga nonkementerian yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara. 17. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/kuasa PA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. 18. Pejabat Pendanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/kuasa PA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 19. Surat Ketetapan Penyetoran Pajak Rokokyang selanjutnya disingkat SKP-PR adalah dokumen sebagai dasar jdih.kemenkeu.go.id penyetoran Pajak Rokok yang memuat rincian jumlah Pajak Rokok per provinsi dalam periode tertentu. 20. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 21. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari daftar isian pelaksanaan anggaran. 22. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 23. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN. 24. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tug as ke bendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan. 25. Collecting Agent adalah agen penerimaan yang meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valuta asing (Valas), lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya Valas yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran penerimaan negara. 26. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/ nomor transaksi pos / nomor transaksi lembaga persepsi lainnya se bagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran. 27. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 28. Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPPN atas penerimaan Pajak Rokok yang telah dibukukan KPPN. 29. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SKP-KP2R adalah surat keputusan sebagai dasar untuk menerbitkan SPM pengembalian penerimaan. 30. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran Jaminan Kesehatan atau iuran Jaminan Kesehatannya dibayar oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau pihak lain atas nama peserta. 31. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut BPJS Kesehatan adalah badan hukum jdih.kemenkeu.go.id yang dibentuk untuk menyelenggarakan program J aminan Kesehatan. 32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB II TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK ROKOK Bagian Kesatu Pemungutan Pasal 2 (1) Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terhadap Rokok. (2) Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Rokok elektrik. (3) Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari Cukai Rokok. (4) Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan pemungutan Cukai Rokok. (6) Pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok. (7) Petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam huruf A dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kedua Pembayaran Pajak Rokok Pasal 3 (1) Wajib Pajak Rokok menghitung sendiri Pajak Rokok yang dituangkan dalam SPPR. (2) Wajib Pajak Rokok menyampaikan SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan dokumen CK-1. (3) SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui sistem aplikasi di bidang cukai. (4) Dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengalami gangguan, SPPR disampaikan secara tertulis melalui Kantor Bea dan Cukai. (5) SPPR yang disampaikan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf B yang tercantum dalam Lampiran jdih.kemenkeu.go.id yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atau ayat (4). (2) Penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kelengkapan dan kebenaran pengisian SPPR;
kesesuaian antara dokumen SPPR dengan dokumen CK-1; dan
kebenaran penghitungan Pajak Rokok. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan telah lengkap, sesuai, dan benar, Pejabat Bea dan Cukai memberikan nomor pendaftaran pada Wajib Pajak Rokok. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan tidak lengkap, tidak sesuai, dan tidak benar, Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan nota penolakan. (5) Wajib Pajak Rokok yang menerima nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat menyampaikan kembali SPPR. (6) Nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format huruf C yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) Wajib Pajak Rokok yang telah memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) melakukan pembayaran Pajak Rokok bersamaan dengan pembayaran Cukai Rokok ke RKUN. (2) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kode Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) dengan akun penerimaan non anggaran. (3) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Collecting Agent dengan menggunakan kode billing. (4) Kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui portal biller. (5) Terhadap pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan BPN. (6) Wajib Pajak Rokok menyampaikan BPN sebagaimana pada ayat (5) kepada Pejabat Bea dan Cukai. (7) Dalam hal Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayarkan, pelayanan atas pemesanan pita cukai tidak dilaksanakan. (8) Tata cara pembayaran Pajak Rokok oleh Wajib Pajak Rokok melalui Collecting Agent dilaksanakan sesuai jdih.kemenkeu.go.id dengan Peraturan Menteri Keuangan mengena1 sistem penerimaan negara secara elektronik. Pasal 6 (1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian atas pembayaran Pajak Rokok. (2) Penelitian atas pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kelengkapan dan kebenaran BPN;
kesesuaian data antara SPPR dengan BPN; dan
kebenaran penghitungan dan kesesuaian jumlah Pajak Rokok yang tertuang pada SPPR dengan jumlah uang yang disetorkan. (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat ketidaklengkapan, ketidaksesuaian, dan/atau ketidakbenaran yang menyebabkan terjadinya kekura.ngan pembayaran Pajak Rokok, Pejabat Bea dan Cukai:
menunda pelayanan Pita Cukai Rokok sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok secara tunai; atau
tidak melayani CK-1 berikutnya sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok yang mendapatkan penundaan pembayaran cukai. (4) Dalam hal Pajak Rokok belum dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan penyediaan pita cukai untuk kebutuhan bulan berikutnya tidak dilayani. (5) Dalam hal hasil penelitian atas SPPR dengan BPN telah sesuai, Pejabat Bea dan Cukai melanjutkan proses pelayanan CK-1. Bagian Ketiga Rekapitulasi Penerimaan Pajak Rokok Pasal 7 (1) Direktorat teknis yang memiliki tugas dan fungsi menangani penerimaan Pajak Rokok pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya. (2) Rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok. (3) Direktorat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja bulan berikutnya. (4) Daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk ADK. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Keempat Penagihan Kekurangan Pembayaran Pajak Rokok Pasal 8 (1) Dalam hal ditemukan adanya kekurangan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) yang menyebabkan kurangnya pembayaran Pajak Rokok atau tidak dilunasinya pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea clan Cukai menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok kepada Wajib Pajak Rokok. (2) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai surat ketetapan pajak daerah kurang bayar yang merupakan dasar penagihan Pajak Rokok. (3) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah ditemukannya kekurangan Pajak Rokok. (4) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, a tau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
media elektronik atau melalui sistem aplikasi di bidang cukai. (5) Penyampaian surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak melalui sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sudah tersedia. (6) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf D yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 9 (1) Wajib Pajak Rokok wajib melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terhitung sejak Wajib Pajak Rokok menerima surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok. (2) Dalam hal Wajib Pajak Rokok tidak melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Bea clan Cukai menyampaikan surat penyerahan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Pajak Daerah clan Retribusi Daerah dengan melampirkan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok. (3) Tanggal diterimanya surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
tanggal pada saat surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok diterima secara langsung, dalam hal surat pemberitahuan kekurangan jdih.kemenkeu.go.id pembayaran Pajak Rokok disampaikan secara langsung;
tanggal stempel pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir, dalam hal pengiriman dilakukan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau
tanggal yang tertera pada media elektronik, dalam hal pengiriman dilakukan dengan media elektronik. (4) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok berdasarkan surat penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur tempat Wajib Pajak Rokok berada. (5) Gubernur menindaklanjuti surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan melakukan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan pajak daerah. (6) Berdasarkan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak Rokok melakukan pelunasan atas kekurangan Pajak Rokok melalui RKUN. BAB III PENYETORAN PAJAK ROKOK Bagian Kesatu Pejabat Perbendaharaan Pasal 10 (1) Dalam rangka penyetoran Pajak Rokok, Menteri Keuangan selaku BUN yang merupakan PA penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok;
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok; dan
Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagai KPA BUN penyetoran Pajak Rokok. (2) Dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Si stem Informasi dan Pelaksanaan Tran sf er se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri Keuangan menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok. (3) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan jdih.kemenkeu.go.id dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok:
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan; dan/atau
masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 45 (empat puluh lima) hari kerja. (4) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pejabat pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok definitif. (5) Penunjukan:
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan/atau
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berakhir dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/ a tau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN. (6) Pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dapat mengusulkan penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan. (7) Penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 11 (1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok. (2) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menerbitkan SKP-PR;
menerbitkan SKP-KP2R;
menyampaikan rekomendasi penyetoran Pajak Rokok kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok; jdih.kemenkeu.go.id d. menyampaikan pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur dan kepala BPJS Kesehatan; dan
menyampaikan pemberitahuan penyetoran atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pasal 12 (1) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan penyetoran Pajak Rokok. (2) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan staf pengelola keuangan, PPK, dan PPSPM;
melaksanakan pemotongan penyetoran, penundaan penyetoran, penghentian penyetoran, dan penyetoran kembali pajak rokok;
mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran; dan
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penerimaan dan penyetoran pajak rokok kepada Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99). (3) Tugas, wewenang, dan tanggung jawab KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kuasa pengguna anggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 13 (1) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka mengajukan permintaan pembayaran untuk penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan. (2) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a tidak terikat tahun anggaran. (3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPK dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 14 (1) Penetapan PPS PM se bagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka melakukan pengujian permintaan pembayaran, pembebanan, dan penerbitan perintah pembayaran atas penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan. (2) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terikat tahun anggaran. (3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPSPM dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara. Bagian Kedua Penyetoran Pajak Rokok Pasal 15 (1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran berikutnya untuk masing-masing provinsi. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun paling lambat pada bulan November tahun anggaran sebelumnya. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rasio jumlah penduduk provinsi terhadap jumlah penduduk nasional dan target penerimaan Cukai Rokok pada Undang-Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Rasio jumlah penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan data jumlah penduduk yang digunakan untuk penghitungan dana alokasi umum untuk tahun anggaran berikutnya. (5) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur menetapkan alokasi bagi hasil Pajak Rokok untuk masing-masing kabupaten/kota sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. (6) Alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan paling lambat bulan November tahun anggaran sebelumnya. Pasal 16 (1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok, Direktorat J endcral Perbendaharaan menyampaikan data realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap triwulanan pada minggu pertama triwulan berikutnya. (3) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk triwulan keempat dilakukan pada minggu pertama bulan Desember berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sampai dengan tanggal 30 November tahun berkenaan. (4) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir tahun anggaran dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya. Pasal 17 (1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan penetapan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-PR. (2) SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) a. Lembar ke-1 untuk KPPN Jakarta II;
Lembar ke-2 untuk PPK; dan
Lembar ke-3 untuk pertinggal. Pasal 18 KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-PR kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok. Berdasarkan SKP-PR sebagaimana dimaksud ayat (1), PPK menerbitkan SPP untuk penyetoran Pajak Rokok. PPK menyampaikan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dilampiri SKP-PR kepada PPSPM. PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP yang dilampiri SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM menerbitkan SPM. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan tidak sesua1 dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM mengembalikan SPP kepada PPK untuk diperbaiki atau dilengkapi. PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan dilampiri SKP-PR kepada KPPN Jakarta II. Tata cara penerbitan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan tata cara penyampaian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan jdih.kemenkeu.go.id ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara. Pasal 19 (1) KPPN Jakarta II menerbitkan SP2D berdasarkan SPM dan SKP-PR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Berdasarkan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan menyampaikan surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak SP2D penyetoran Pajak Rokok diterbitkan. (3) Penyampaian surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui media elektronik atau melalui sistem aplikasi pelaporan Pajak Rokok. Pasal 20 (1) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke masing-masing RKUD Provinsi dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok dan proporsi untuk masing-...masmg prov1ns1. (2) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi dilaksanakan setiap triwulanan pada bulan pertama triwulan berikutnya. (3) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan bulan Oktober dan November dilaksanakan pada bulan Desember. (4) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan sampai dengan bulan Desember tahun berkenaan yang masih terdapat di RKUN dilaksanakan bersamaan dengan penyetoran triwulan I tahun anggaran berikutnya. (5) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah:
gubernur menyalurkan seluruh bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota atas realisasi Pajak Rokok yang diterima oleh provinsi pada triwulan sebelumnya; dan
gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Pasal 21 Dalam hal terdapat selisih antara penerimaan dengan penyetoran Pajak Rokok ke RKUD Provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Pusat, selisih tersebut diperhitungkan pada penyetoran Pajak Rokok tahun berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id BAB IV PENYALURAN BAGI HASIL PAJAK ROKOK Pasal 22 (1) Gubernur menetapkan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota setelah Pajak Rokok diterima di RKUD Provinsi. (2) Penetapan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Keputusan Gubernur. (3) Berdasarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyalurkan bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Pajak Rokok di RKUD Provinsi. (4) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. (5) Dalam hal realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih besar atau lebih kecil dari yang telah dianggarkan di anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi, penyaluran bagi hasil Pajak Rokok tetap dilaksanakan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. (6) Dalam hal penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah atau anggaran pendapatan clan belanja daerah perubahan, penyaluran tetap clilakukan sesuai clengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. Pasal 23 (1) Ketentuan mengenai bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota clan variabel yang digunakan dalam penghitungan bagi hasil Pajak Rokok climaksucl cliatur dalam peraturan daerah provinsi. (2) Ketentuan mengenai formula penghitungan bagi hasil Pajak Rokok dan tata cara penyaluran bagi hasil Pajak Rokok cliatur dalam peraturan gubernur. (3) Peraturan gubernur sebagaimana climaksucl pacla ayat (2), clapat mengatur pendelegasian wewenang penetapan alokasi bagi hasil Pajak Rokok yang clibagihasilkan kepada kabupaten/kota kepacla kepala perangkat daerah yang menangani pendapatan dan/atau keuangan daerah. BABV PEMOTONGAN PAJAK ROKOK SEBAGAI KONTRIBUSI DUKUNGAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN Pasal 24 (1) Pemerintah claerah provinsi atau kabupaten/kota wajib mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Kewajiban mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan dukungan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan yang dilaksanakan melalui kontribusi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok bagian hak masing-masing pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota. (3) Kontribusi Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebcsar 75% (tujuh puluh lima persen) dari 50% (lima puluh persen) atau ekuivalen sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari realisasi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok masing- masing provinsi atau kabupaten/kota. (4) Dalam hal pemerintah daerah provms1 atau kabupaten/kota tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota dikenai sanksi pemotongan Pajak Rokok sejumlah selisih 37 ,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari rencana penerimaan dan/ a tau realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 25 (1) Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota merencanakan dan menganggarkan kontribusi untuk mendukung program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahun. (2) Besaran anggaran kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhitungkan Jaminan Kesehatan Daerah yang diintegrasikan ke dalam program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Pasal 26 (1) Untuk mengetahui kecukupan perencanaan dan penganggaran kontribusi program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi data dengan BPJS Kesehatan. (2) Hasil kesepakatan atas rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang memuat data:
rencana penerimaan Pajak Rokok; dan
rencana anggaran Jaminan Kesehatan daerah yang diintegrasikan ke BPJS Kesehatan, (3) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan format dalam huruf E yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat selisih kurang anggaran Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kesehatan, selisih kurang tersebut dituangkan dalam berita acara kesepakatan. jdih.kemenkeu.go.id (5) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh kepala daerah dan pejabat BPJS Kesehatan. (6) Dalam menandatangani berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk. (7) Berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan kepada gubernur. (8) Pemcrintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi pelaksanaan program J aminan Kesehatan dengan BPJS Kesehatan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi dengan format dalam huruf F yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Men teri ini. (9) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdapat selisih kurang realisasi Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kcsehatan, selisih kurang tersebut diperhitungkan dalam berita acara kesepakatan tahun berikutnya. (10) Dalam hal hasil rekonsiliasi menunjukkan jumlah realisasi jaminan kesehatan daerah termasuk di dalamnya pemotongan Pajak Rokok melebihi realisasi kontribusi penerimaan Pajak Rokok, BPJS Kesehatan dan pemerintah daerah dapat melakukan kesepakatan untuk:
menambah jumlah kepesertaan dalam program jaminan kesehatan dimaksud; dan
memperhitungkan sebagai jaminan kesehatan tahun berikutnya tanpa mengurangi jumlah kontribusi minimal 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen). Pasal 27 (1) Gubernur membuat kompilasi berita acara kesepakatan atas berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kcpala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kcsehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. (2) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh gubernur dan pejabat BPJS Kesehatan. (3) Dalam menandatangani kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk. (4) Gubernur menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah paling lambat pada tanggal 31 Maret setiap tahun. (5) Kompilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik dan/atau dokumen fisik. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dalam hal tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan dilakukan pada hari kerja berikutnya. (7) Dalam hal pemerintah daerah prov1ns1 dan kabupaten/kota mengalami keadaan:
bencana alam;
bencana nonalam; dan/atau
bencana sosial, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menetapkan perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan. (8) Perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. (9) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf G yang tercantum dalam Lampiran yang mcrupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 28 (1) Sanksi pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi berita acara kesepakatan sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) atau lebih, tidak dilakukan pcmotongan Pajak Rokok; atau
dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi bcrita acara kesepakatan kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen), pemotongan Pajak Rokok dilakukan sebesar selisih kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen); atau
dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan, dikenakan pemotongan Pajak Rokok sebesar 37 ,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen). (2) Hasil pcmotongan penerimaan Pajak Rokok yang telah disetorkan ke rekening BPJS Kesehatan diperhitungkan untuk pemenuhan kewajiban Jaminan Kesehatan untuk pemerintah daerah yang bersangkutan. jdih.kemenkeu.go.id BAB VI PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK ROKOK Pasal 29 (l) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Wajib Pajak Rokok dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan:
kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena kesalahan penghi tungan;
pengembalian Cukai Rokok; atau
Pajak Rokok yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek Pajak Rokok yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang. (3) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena terdapat pengembalian Cukai Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufb, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok dapat diajukan sepanjang tanda bukti perusakan pita cukai dan/atau tanda bukti pengembalian pita cukai tidak melebihi batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya. (4) Kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembalikan dalam hal Pajak Rokok telah dibayar yang dibuktikan dengan BPN. (5) Atas kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea dan Cukai menerbitkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (6) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok dapat digunakan sebagai dasar pengembalian Pajak Rokok dengan ketentuan tidak melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya. (7) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf H yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 30 (1) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a dan huruf c dilakukan secara tunai. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya, pcngembalian Pajak Rokok diperhitungkan atas pembayaran Pajak Rokok berikutnya; atau jdih.kemenkeu.go.id b. dalam hal pengembalian Cukai Rokok dilakukan secara tunai, pengembalian Pajak Rokok dilakukan secara tunai. (3) Dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Wajib Pajak Rokok melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok pada saat mengajukan SPPR berikutnya. (4) Berdasarkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok, Kantor Bea dan Cukai memperhitungkan pengembalian Pajak Rokok dengan pembayaran Pajak Rokok berikutnya. (5) Dalam hal pengembalian cukai dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b, Wajib Pajak Rokok mengajukan permohonan pengembalian Pajak Rokok secara tertulis kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai dengan melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan dalamjangka waktu paling lama 11 (sebelas) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (7) Atas pcrmohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Bea dan Cukai melakukan penelitian kelengkapan berkas permohonan dan memeriksa jangka waktu berlakunya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah sesuai, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat permintaan kepada Kepala KPPN untuk menerbitkan SKTB dilampiri BPN. (9) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdapat ketidaksesuaian, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat penolakan kepada Wajib Pajak Rokok. Pasal 31 (1) Berdasarkan surat permintaan yang disampaikan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (8), Kepala KPPN menerbitkan SKTB. (2) SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format dalam huruf I yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Berdasarkan SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat rekomcndasi pengcmbalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kcpada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:
dokumen pcrmohonan dari Wajib Pajak Rokok;
tanda bukti kelebihan pembayaran Pajak Rokok; dan
SKTB. jdih.kemenkeu.go.id (4) Berdasarkan surat rekomendasi pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-KP2R dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan sebagai berikut:
Lcmbar ke-1 untuk KPPN Jakarta II; dan
Lcmbar ke-2 sebagai pertinggal. (5) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok. (6) Berdasarkan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPK menerbitkan SPP atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok. (7) SPP scbagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada PPSPM dilampiri SKP-KP2R. (8) Berdasarkan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP pengembalian kelcbihan pembayaran Pajak Rokok. (9) Dalam hal pemcriksaan dan pengujian SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) memenuhi ketentuan, PPSPM mencrbitkan SPM dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
Lcmbar ke-l dan ke-2 untuk KPPN Jakarta II; dan
Lcmbar ke-3 scbagai pertinggal. (10) SPM sc bagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan dengan menggunakan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pcngclolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) kode akun kontrapos akun Penerimaan Non Anggaran. (11) PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada KPPN Jakarta II dilampiri dengan lembar ke-1 SKP-KP2R. (12) Berdasarkan SPM scbagaimana dimaksud pada ayat (9) dan SKP-KP2R scbagaimana dimaksud pada ayat (4), KPPN .Jakarta II menerbitkan SP2D sesuai dengan ketcntuan peraturan perundang-undangan. BAB VII PELAPORAN, PEMANTAUAN, DAN REKONSILIASI Pasal 32 (1) Gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dari provinsi ke kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan secara elektronik dan/atau dokumen fisik. (2) Laporan realisasi sc bagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan penyaluran bagi hasil. (3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dcngan contoh format dalam huruf J yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pcraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 33 (1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Kcuangan. (2) Penyampaian laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok scbagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya. Pasal 34 (1) Direktorat ,Jendcral Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan atas:
pcnetapan alokasi Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok;
pcnetapan alokasi penggunaan Pajak Rokok untuk mcndanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum; dan
pcnyaluran bagi hasil Pajak Rokok oleh gubernur. (2) Gubernur melakukan pemantauan atas penggunaan Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok, untuk pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya.
Direktorat ,Jcnderal Pcrbendaharaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan rekonsiliasi dalam rangka pelaksanaan pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. BAB VIII KETENTUAN LAIN LAIN Pasal 36 (1) Penyctoran Pajak Rokok kepada provinsi yang baru dibentuk, dilaksanakan untuk pertama kali setelah provinsi yang baru dibentuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok berikutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pembentukan provms1 baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 37 (1) Penerimaan Pajak Rokok bagian pemerintah daerah provinsi dan bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum. (2) Penggunaan Pajak Rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pemerintah daerah provinsi dan jdih.kemenkeu.go.id kabupaten/kota dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. (3) Penggunaan Pajak Rokok untuk mendanai penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai. (4) Kegiatan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) minimal berupa:
sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau; dan
operasi pemberantasan rokok illegal;
Kegiatan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (6) Penggunaan Pajak Rokok untuk kegiatan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diprioritaskan dalam hal dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud. (7) Dalam hal sampai dengan akhir tahun anggaran terdapat sisa penggunaan Pajak Rokok yang berasal dari Penerimaan Pajak Rokok bagian pemerintah daerah provinsi dan bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sisa penggunaan Pajak Rokok tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum pada tahun anggaran berikutnya. (8) Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) memuat juga standardisasi daftar kegiatan dan/atau sub kegiatan yang dapat didanai dari penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (9) Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07 /2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1007) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 /PMK.07/2017 ten tang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07 /2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 223); dan jdih.kemenkeu.go.id b. Peraturan Mcntcri Keuangan Nomor 128/PMK.07 /2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan (Berita Negara Rcpublik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1348), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 39 Ketentuan mengenai Pajak Rokok atas Rokok elektrik se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024. Pasal 40 Peraturan Mcntcri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Penetapan Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil pada Tahun 2024
Relevan terhadap
Penetapan Kurang Bayar DBH dan Lebih Bayar DBH sampai dengan tahun anggaran 2023 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk daerah pemekaran di wilayah Papua dihitung secara proporsional:
berdasarkan jumlah penduduk untuk DBH Pajak penghasilan; dan
berdasarkan luas wilayah untuk DBH selain DBH Pajak penghasilan.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari transfer ke Daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
Dana Bagi Hasil Pajak yang selanjutnya disingkat DBH Pajak adalah DBH yang dihitung berdasarkan pendapatan pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan cukai hasil tembakau.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah DBH yang dihitung berdasarkan penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batu bara, minyak bumi dan gas bumi, panas bumi, perikanan, dan perkebunan sawit.
Kurang Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH adalah selisih kurang antara realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dengan realisasi penyaluran DBH.
Lebih Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH adalah selisih lebih antara realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dengan realisasi penyaluran DBH.
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2024 TENTANG PENETAPAN KURANG BAYAR DAN LEBIH BAYAR DANA BAGI HASIL PADA TAHUN 2024 RINCIAN PENETAPAN KURANG BAYAR DAN LEBIH BAYAR DANA BAGI HASIL SAMPAI DENGAN TAHUN ANGGARAN 2023 PROVINSI ACEH (dalam rupiah) Uraian Dana Bagi Hasil Kurang Bayar (KB) Lebih Bayar (LB) KB s.d. TA 2022 KB TA 2023 KB s.d. TA 2023 Pembulatan KB s.d. TA 2023 LB s.d. TA 2022 LB TA 2023 LB s.d. TA 2023 Pembulatan LB s.d. TA 2023 (1) (2) (3) (4) = (2) + (3) (5) (6) (7) (8) = (6) + (7) (9) Pajak 2.448 27.210.341.000 27.210.343.448 27.210.347.000 9.495.553.201 127.094.000 9.622.647.201 9.622.643.000 PPh 179 5.152.044.000 5.152.044.179 5.152.045.000 3.468.647.249 - 3.468.647.249 3.468.647.000 PPh Pasal 21 - 4.698.494.000 4.698.494.000 4.698.494.000 3.468.647.249 - 3.468.647.249 3.468.647.000 PPh Pasal 25/29 179 453.550.000 453.550.179 453.551.000 - - - - PBB 1.402 21.533.678.000 21.533.679.402 21.533.682.000 5.864.458.917 127.094.000 5.991.552.917 5.991.549.000 Bagi Rata - - - - - - - - Bagian Daerah 785 21.533.678.000 21.533.678.785 21.533.680.000 5.629.722.953 127.094.000 5.756.816.953 5.756.815.000 Bagian Daerah Migas - 7.890.047.000 7.890.047.000 7.890.047.000 5.095.304.919 - 5.095.304.919 5.095.304.000 Bagian Daerah Non Migas 437 9.729.633.000 9.729.633.437 9.729.634.000 - - - - Bagian Daerah Panas Bumi - 3.266.000 3.266.000 3.266.000 - - - - Bagian Daerah Perhutanan - - - - 9.936.163 127.094.000 137.030.163 137.030.000 Bagian Daerah Perkebunan 348 3.582.178.000 3.582.178.348 3.582.179.000 - - - - Bagian Daerah Sektor Lainnya - 328.554.000 328.554.000 328.554.000 524.481.871 - 524.481.871 524.481.000 Biaya Pemungutan 617 - 617 2.000 234.735.964 - 234.735.964 234.734.000 Biaya Pemungutan Migas - - - - 212.398.326 - 212.398.326 212.398.000 Biaya Pemungutan Non Migas 1 - 1 1.000 - - - - Biaya Pemungutan Panas Bumi - - - - - - - - Biaya Pemungutan Perhutanan - - - - 482.963 - 482.963 482.000 Biaya Pemungutan Perkebunan 616 - 616 1.000 - - - - Biaya Pemungutan Sektor Lainnya - - - - 21.854.675 - 21.854.675 21.854.000 CHT 867 524.619.000 524.619.867 524.620.000 162.447.035 - 162.447.035 162.447.000
Biaya Operasional Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Tahun Anggaran 2023
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan selain Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari transfer ke daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah otonom penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah otonom, serta kepada daerah otonom lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
Biaya Operasional Pemungutan yang selanjutnya disingkat BOP adalah biaya yang meliputi kegiatan pemungutan PBB yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah terhadap UUD Negara RI 1945 ...
Relevan terhadap 78 lainnya
c. Dampak polusi yang ditimbulkan kendaraan bermotor terkait tipe mesin termasuk alat-alat berat. d. Pengujian dan pemberian SIM untuk keselamatan pengendara/ pengguna jalan. Penentuan/pengelompokan kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor, kendaraan bermotor perseorangan dan kendaraan umum, dan kendaraan bermotor alat-alat berat adalah berkenaan dengan pengaturan hal-hal terkait lalu lintas seperti tersebut di atas. UU PDRD Nomor 28 Tahun 2009, mengatur: Pasal 1 angka 10 : Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah (konsideran). angka 12 : Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. angka 14 : Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. angka 15 : Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Angka 13 : Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya........, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor.......dst. Pengelompokan kendaraan bermotor, kendaraan bermotor alat-alat berat adalah dalam rangka penggolongan kepemilikan atas aset (harta) yang mencerminkan besarnya nilainya (nilai kendaraan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana diatur di Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor tahun 1934 dan sejak tahun 1959 berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 PRP Tahun 1959 tentang BBNKB. Faktanya, kami selaku pengguna alat-alat berat dan alat-alat besar sejak lama, baru dikenakan pajak PKB dan BBNKB pada awal tahun 2000an. Itu terjadi setelah munculnya Undang Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 34 Tahun 2000. Betul bahwa Pajak Kendaraan Bermotor sudah ada sejak tahun 1934 yang diatur dalam Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor tahun 1934. Tetapi tidak disebutkan bahwa alat- alat berat dan alat-alat besar termasuk kendaraan bermotor. Bahkan pada Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 18 Tahun 1997, alat-alat besar dan alat-alat berat diperjelas bukan termasuk kendaraan bermotor sehingga dikecualikan atas PKB dan BBNKB. Pada UU Nomor 18 Tahun 1997 pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1a) disebutkan: “Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di jalan umum , dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu kendaraan bermotor yang bersangkutan, tidak termasuk alat - alat besar . Pada UU Nomor 34 Tahun 2000 definisinya diubah menjadi: “Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya, yang digunakan di semua jenis jalan darat , dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak. Jadi fakta sebenarnya adalah bahwa pemungutan pajak kendaraan bermotor atas alat-alat berat baru dilakukan setelah tahun 2000 sejak munculnya UU PDRD Nomor 34/2000. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
(2). Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, perlu diperkuat kewenangan pengenaan pajak daerah ( local taxing power ) untuk memberdayakan potensi daerah dalam membangun untuk kesejahteraan daerah pada khususnya dan pembangunan bangsa pada umumnya, dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 diperluas pengertian kendaraan bermotor yang menjadi objek PDRD termasuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air. (3). Pengaturan lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) adalah pelaksanaan ketentuan pada Pasal 1 angka 13 yang mengatur dasar pengenaan pajak dengan tarif PKB dan BBNKB, untuk kendaraan bermotor alat-alat berat sebagai property yang menjadi objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). (4). Sebelum berlaku UU PDRD Nomor 28 Tahun 2009, Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sudah dan masih berlaku di Indonesia. Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor berdasarkan Ordonantie Pajak Kendaraan Bermotor, terakhir berdasarkan UU Nomor 27/Prp Tahun 1959, tidak ada membedakan kendaraan berat dan kendaraan besar yang digunakan di jalan raya ( on road ) atau tidak melalui jalan raya ( off road ), semua dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Kesimpulan (1). Pengaturan pengenaan pajak-pajak daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah telah sesuai dengan amanat Pasal 23A Undang-undang Dasar RI-1945 (perubahan ketiga), bahwa “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ”. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah menjadi pedoman pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang berlaku untuk semua propinsi, kabupaten dan kotamadya di seluruh Indonesia. (2). Rumusan yang tercantum dalam Undang-undang PDRD Nomor 28 Tahun 2009 termasuk Pasal 1 angka 13, cukup jelas. Dengan mangacu Teori Hukum Positif Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law & State, bahwa hukum adalah undang-undang positif yang berlaku yang harus dilaksanakan, dan keadilan adalah legalitas, yaitu yang legal sesuai yang diatur dalam undang-undang yang berlaku, maka tidak ada alasan menyatakan berdasarkan Pasal 5 huruf c dan huruf f UU Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ...
Relevan terhadap
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggr hak dan kewajiban warga negara dan penduduk Indonesia, perlu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial;
bahwa untuk meningkatkan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak, yang antara lain dilakukan melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak;
bahwa untuk menerapkan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan cukai serta pengaturan mengenai pajak karbon dan kebijakan berupa program pengungkapan sukarela Wajib Pajak dalam 1 (satu) Undang-Undang secara komprehensif;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan; Contoh 3: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor ^4 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah
Ayat (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi antara lain di bidang pajak daerah dan retribusi daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah, serta tata ruang yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan gubemur wajib dievaluasi terlebih dahulu oleh menteri sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan sebelum ditetapkan. Contohnya, ketentuan mengenai kewajiban evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai hubungan keuangan pusat dan daerah. Ayat (2) Cukup ^jelas. Angka 11
Biaya Operasional Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG OPERASIONAL PEMUNGUTAN PAJAK BUMI BANGUNAN. BIAYA DAN jdih.kemenkeu.go.id Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan selain Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. 3. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari transfer ke daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah otonom penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah otonom, serta kepada daerah otonom lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/ a tau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 4. Biaya Operasional Pemungutan yang selanjutnya disingkat BOP adalah biaya yang meliputi kegiatan pemungutan PBB yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. 5. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 (1) Penerimaan PBB terdiri atas penerimaan negara yang berasal dari objek pajak PBB:
sektor perkebunan;
sektor perhutanan;
sektor pertambangan minyak dan gas bumi;
sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
sektor pertambangan mineral atau batubara; dan
sektor lainnya. (2) Rincian objek pajak PBB atas masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi objek pajak PBB. Pasal 3 Penerimaan PBB se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dialokasikan kepada Daerah dalam bentuk DBH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah memperhitungkan BOP. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 4 (1) BOP sehagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan sehagai herikut:
BOP PBB sektor perkehunan sehesar 5,4% (lima koma empat persen) dari penerimaan PBB sektor perkehunan;
BOP PBB sektor perhutanan sehesar 5,85% (lima koma delapan lima persen) dari penerimaan PBB sektor perhutanan;
BOP PBB sektor pertamhangan minyak dan gas humi sehesar 6,3% (enam koma tiga persen) dari penerimaan PBB sektor pertamhangan minyak dan gas humi;
BOP PBB sektor pertamhangan untuk pengusahaan panas humi sehesar 6,3% (enam koma tiga persen) dari penerimaan PBB sektor pertamhangan untuk pengusahaan panas humi;
BOP PBB sektor pertamhangan mineral atau hatu hara sehesar 6,3% (enam koma tiga persen) dari penerimaan PBB sektor pertamhangan mineral atau hatu hara; dan
BOP PBB sektor lainnya sehesar 6,3% (enam koma tiga persen) dari penerimaan PBB sektor lainnya. (2) Penganggaran BOP sehagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lehih lanjut mengenai penggunaan BOP sehagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 5 Perhitungan BOP · terhadap pemungutan PBB yang merupakan hagian dari DBH PBB, dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN peruhahan. Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai herlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id