Penetapan Universitas Airlangga Sebagai Badan Hukum Milik Negara.
Relevan terhadap
Senat Akademik bertugas :
merumuskan norma dan etika akademik serta mengawasi penerapannya;
memberi rekomendasi tantang pemberian sanksi kapada pelaku pelanggaran norma dan etika akademik kepada Rektor.
menetapkan kebijakan tantang kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi kelimuan;
memberikan mesukan kepada Majelis Wali Amanat tentang penilaian kinerja Rektor dalam penyelenggaraan kebijakan akademik;
memberikan pertimbangan kepada Majelis Wali Amanat tentang rencana strategis, rencana kerja dan anggaran tahunan;
menetapkan anggota Majelis Wali Amanat yang mewakili Senat Akademik dan Wakil masyarakat;
menetapkan kebijakan jabatan akademik dan mengukuhkan Guru Besar;
merumuskan kebijakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dan mengawasi pelaksanaannya;
merumuskan kebijakan pemberian atau pencabutan gelar dan penghargaan akademik.
Senat Akademik wajib menyelenggarakan sidang pleno paling sedikit 1 (satu) kali dalam satu semester.
Senat Akademik dapat membentuk komisi atau panitia untuk membantu kelancaran tugasnya.
Senat Akademik wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Majelis Wali Amanat setiap akhir tahun akademik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas Senat Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Angaran Rumah Tangga. Paragraf 5 Pimpinan Universitas
Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber Dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah pada Perusaha ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Perusahaan Daerah Air Minum yang selanjutnya disingkat PDAM adalah unit pengelola dan pelayanan air minum kepada masyarakat milik pemerintah daerah.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut Pemda adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah dan/atau hak Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian/akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.
Pokok Pinjaman yang selanjutnya disebut Pokok adalah jumlah pinjaman/penerusan pinjaman yang telah ditarik dan/atau ditambah bunga atau biaya administrasi masa tenggang yang dikapitalisasi. 6. Bunga/Biaya Administrasi (khusus untuk perjanjian pinjaman Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah) yang selanjutnya disebut Bunga adalah beban yang timbul sebagai akibat atas penarikan pokok pinjaman sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian pinjaman.
Denda adalah beban yang timbul akibat keterlambatan dan/atau kekurangan pembayaran. 8. Tunggakan Pokok adalah Piutang Negara berupa pokok pinjaman yang tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo. 9. Tunggakan Non Pokok adalah Piutang Negara berupa Bunga, biaya komitmen, dan Denda yang tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo. 10. Cut off Date Pertama yang selanjutnya disebut CoD Pertama adalah tanggal yang ditentukan sebagai dasar perhitungan Tunggakan Non Pokok dalam rangka penyelesaian Piutang Negara melalui penghapusan, yaitu tanggal 19 Agustus 2008. 11. Cut off Date Kedua yang selanjutnya disebut CoD Kedua adalah tanggal yang ditentukan sebagai dasar perhitungan kewajiban utang dalam rangka penyelesaian Piutang Negara melalui penjadwalan kembali, yaitu tanggal jatuh tempo terdekat setelah rapat rekonsiliasi perhitungan kewajiban diselenggarakan. 12. Penghapusan Secara Bersyarat adalah penghapusan yang dilakukan dengan menghapuskan pembukuan tanpa menghapuskan hak tagih negara atas Piutang Negara pada PDAM. 13. Penghapusan Secara Mutlak adalah penghapusan yang dilakukan dengan menghapuskan hak tagih negara atas Piutang Negara pada PDAM. 14. Rencana Perbaikan Kinerja (Business Plan) yang selanjutnya disebut Business Plan adalah dokumen yang disusun oleh PDAM berisi rencana perbaikan kinerja PDAM yang terdiri dari aspek teknis, manajemen, dan keuangan. 15. Biaya Dasar adalah biaya usaha dibagi volume air terproduksi dikurangi volume kehilangan air standar dalam periode satu tahun. 16. Tarif Air Minum PDAM yang selanjutnya disebut Tarif adalah kebijakan harga jual air minum dalam setiap meter kubik atau satuan volume lainnya sesuai kebijakan yang ditentukan kepala daerah dan PDAM yang bersangkutan. 17. Tarif Dasar adalah tarif yang nilainya sama atau ekuivalen dengan Biaya Dasar.
Tarif Rata-Rata adalah total pendapatan tarif dibagi total volume air terjual. 19. Komite adalah tim yang dibentuk oleh Menteri Keuangan, yang diketuai oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dan beranggotakan para pejabat Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 20. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 21. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan pialang asuransi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian.
Dana Pensiun adalah dana pensiun lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana pensiun.
Lembaga Pembiayaan adalah perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, dan perusahaan pembiayaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam peraturan presiden mengenai lembaga pembiayaan.
Lembaga Keuangan Non Bank yang selanjutnya disebut sebagai LKNB adalah Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan.
Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan LKNB untuk mengetahui latar belakang dan identitas Nasabah, memantau Rekening dan transaksi Nasabah, serta melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai, termasuk transaksi keuangan yang terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme.
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LKNB, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
pemegang polis dan/atau tertanggung pada perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa;
klien pada perusahaan pialang asuransi;
peserta dan/atau pihak yang berhak atas manfaat pensiun pada Dana Pensiun;
klien atau penjual piutang pada kegiatan anjak piutang;
konsumen pada kegiatan pembiayaan konsumen;
lessee atau penyewa guna usaha pada kegiatan leasing atau sewa guna usaha;
pemegang kartu kredit pada usaha kartu kredit;
perusahaan pasangan usaha pada kegiatan modal ventura; dan
debitur pada perusahaan pembiayaan infrastruktur.
Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi Nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian.
Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customers) adalah Nasabah yang berdasarkan latar belakang identitas dan riwayatnya dianggap memiliki risiko tinggi melakukan kegiatan terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan/atau Pendanaan Kegiatan Terorisme.
Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persons) adalah orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing, yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki atau menjalankan kewenangan publik sebagai pejabat penyelenggara negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara atau badan usaha milik negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik.
Rekening adalah rincian catatan yang lengkap mengenai Nasabah termasuk tetapi tidak terbatas pada identitas, transaksi atau Perikatan antara LKNB dan Nasabah.
Perikatan adalah perjanjian antara LKNB dan Nasabah, yang sesuai dengan kegiatan usaha masing-masing LKNB, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
polis pada perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa;
perjanjian antara klien dan perusahaan pialang asuransi;
peraturan Dana Pensiun;
perjanjian sewa guna usaha;
perjanjian pembiayaan konsumen;
perjanjian anjak piutang;
pembukaan rekening kartu kredit;
perjanjian antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha; dan
perjanjian pembiayaan infrastruktur.
Pendanaan Kegiatan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang.
Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang.
Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries) adalah negara atau teritorial yang potensial digunakan sebagai:
tempat terjadinya atau sarana tindak pidana pencucian uang;
tempat dilakukannya tindak pidana asal (predicate offense); dan/atau
tempat dilakukannya aktivitas Pendanaan Kegiatan Terorisme.
Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business) adalah bidang usaha yang potensial digunakan sebagai sarana melakukan tindak pidana pencucian uang dan/atau sarana Pendanaan Kegiatan Terorisme.
Dalam rangka menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LKNB wajib:
menetapkan kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah;
menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah;
menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah; dan
menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Bagian Kedua Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pasal 4 (1) Dalam rangka pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah, LKNB wajib:
membentuk unit kerja khusus atau menugaskan anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. b. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis tentang penerimaan Nasabah, identifikasi dan verifikasi Nasabah, pemantauan terhadap Rekening dan transaksi Nasabah, dan manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang dituangkan dalam pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
menyampaikan setiap perubahan atas pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut.
Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi LKNB.
Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertanggung jawab langsung kepada direktur utama, ketua pengurus atau yang setara dengan pimpinan tertinggi LKNB.
LKNB yang melakukan kegiatan usaha di lokasi lain selain kantor pusat wajib menerapkan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah yang ditetapkan oleh kantor pusat di bawah koordinasi unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kantor pusat LKNB. (5) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan. Pasal 5 LKNB wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus LKNB yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait.
Pihak yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha bagi Perusahaan Perasuransian dan Lembaga Pembiayaan atau pengesahan peraturan Dana Pensiun untuk pertama kali bagi Dana Pensiun, wajib menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, bersama dengan permohonannya. Bagian Ketiga Kebijakan Penerimaan Dan Identifikasi Nasabah Pasal 7 (1) Sebelum melakukan Perikatan dengan Nasabah, LKNB wajib meminta informasi mengenai:
latar belakang dan identitas calon Nasabah;
maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan Perikatan;
profil keuangan calon Nasabah;
informasi lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah termasuk Perikatan yang telah dimiliki sebelumnya dengan LKNB yang bersangkutan; dan
identitas penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama calon Nasabah. (2) LKNB wajib melakukan konfirmasi mengenai kebenaran kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama pihak lain, jika calon Nasabah diwakili pihak lain. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung sebagai berikut:
calon Nasabah perorangan paling kurang terdiri dari:
identitas Nasabah yang memuat: a) nama; b) alamat atau tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan nomor telepon; c) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada); d) tempat dan tanggal lahir; dan e) kewarganegaraan;
keterangan mengenai pekerjaan;
spesimen tanda tangan; dan
keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana;
rata-rata penghasilan;
nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada; dan
dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah;
calon Nasabah yang berbentuk perusahaan paling kurang terdiri dari:
dokumen mengenai perusahaan: a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon perusahaan; b) akte pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir; c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang; d) surat keterangan domisili; e) laporan keuangan terkini; dan f) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan LKNB;
dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan;
keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana, bagi calon Nasabah pada Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Perasuransian; dan
dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah. (4) Ketentuan customer due diligence sebaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tidak berlaku bagi calon Nasabah berupa:
Lembaga pemerintah; atau
Lembaga keuangan multilateral. Pasal 8 LKNB wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas dokumen pendukung (customer due diligence) dengan melakukan hal-hal antara lain:
meneliti kemungkinan adanya hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan. b. memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah, dalam hal terdapat kecurigaan atas dokumen yang diterima, antara lain dengan cara:
melakukan wawancara dengan calon Nasabah;
meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang;
melakukan pemeriksaan silang dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah.
melakukan penelaahan mengenai Beneficial Owner .
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Perubahan Ketiga atas Undang-Undangan Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ...
Relevan terhadap
Ayat (1) Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan. Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1). Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. Ayat (2) Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak. Ayat (3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Angka 13
Ayat (1) Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun. Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang. Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan. Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beriktikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya ( force majeur ). Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen). Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja. Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh:
pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran tidak jelas;
dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji; atau
dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan. Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. Ayat (2) Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua) tahun. Contoh: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan. Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2006 sebesar Rp100.000.000,00 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan tepat waktu. Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
Penghasilan Kena Pajak Rp100.000.000,00 2. Pajak yang terutang (30% x Rp100.000.000,00) Rp 30.000.000,00 3. Kredit pajak Rp 10.000.000,00(-) 4. Pajak yang kurang dibayar Rp 20.000.000,00 5. Bunga 24 bulan (24 x 2% x Rp20.000.000,00) Rp 9.600.000,00(+) 6. Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp 29.600.000,00 Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Ayat (3) Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar. Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda- beda menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen). Ayat (4) Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem self assessment , apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ayat (5) Apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, untuk menentukan kerugian pada pendapatan negara, atas jumlah pajak yang terutang belum dikeluarkan surat ketetapan pajak. Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar- benar melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, harus dibuktikan melalui proses pengadilan yang dapat membutuhkan waktu lebih dari 5 (lima) tahun. Kemungkinan dapat terjadi bahwa Wajib Pajak yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tetapi oleh penuntut umum tidak dituntut berdasarkan sanksi pidana perpajakan, misalnya Wajib Pajak yang dijatuhi pidana oleh pengadilan karena melakukan penyelundupan yang dalam putusan pengadilan tersebut menunjukkan adanya suatu jumlah objek pajak yang belum dikenai pajak. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang terutang tersebut, dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 14
Pengujian UU No. 36 Thn 2008 ttg Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 Ttg Pajak Penghasilan [Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, & d, Pasal 9 ayat ( ...
Relevan terhadap 6 lainnya
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak; • Bahwa sumber dan penggunaan dana baitul mal pada masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin (fiskal) ada kharaj, ada zakat. Perpaduan antara kharaj yang dikenal dengan pajak dan zakat sudah terjadi di masa itu; • Bahwa untuk Malaysia, tabel pendapatan zakat dan pajak Malaysia dalam ringgit dari laporan tahunan Pusat Pungutan Zakat Malaysia Tahun 2006 dapat dikatakan tabel tersebut membuktikan secara impiris bahwa kebijakan zakat sebagai pengurang pajak dapat menjadi stimulus untuk menaikkan pendapatan kedua intrumen tersebut; • Bahwa secara stimulan dapat disimpulkan berdasarkan pengalaman Malaysia hubungan antra zakat dengan pajak adalah berbanding lurus dan bukan berbanding terbalik, ini mungkin sudah disepakati; • Bahwa instrumen zakat pengurangan pajak penghasilan dapat digunakan pemerintah untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak. Keterangan Saksi Pemohon 1. Saksi Imam Suhadi • Bahwa sebelum tahun 2003, STEKPI mempunyai kebijakan yang memberikan tunjangan pajak terhadap semua karyawan; • Bahwa karyawan menerima pendapatan tidak dipotong pajak karena institusi yang membayarkan pajak tersebut; • Bahwa setelah tahun 2003, ada kebijakan baru, setiap karyawan akan mendapatkan potongan pajak tetapi kebijakan institusi tersebut juga memberikan kepada pimpinan dan wakil pimpinan tunjangan pajak; • Bahwa yang mendapatkan penghasilan tanpa dipotong pajak adalah hanya pimpinan dan wakil saja; • Bahwa kebijakan tersebut sangat berdampak sekali kepada karyawan karena ada perbedaan-perbedaan hak terhadap pemberian pajak yang ditunjangkan kepada seorang pimpinan dan kepada karyawan; • Bahwa ini juga berdampak kepada karyawan yang bekerja suami-istri karena dibebankan pajak tersebut;
c. Penurunan Tarif Dividen Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang menerima dividen dikenakan tarif hanya sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final. Pajak Penghasilan atas dividen ini semula sebesar 35% (tiga puluh lima persen) yang mekanismenya melalui pemotongan oleh pembayar dividen dengan tarif 15% (lima belas persen) dan dikreditkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut. d. Penambahan batasan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto untuk menentukan penghasilan neto dalam rangka penghitungan pajak penghasilan. Batasan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto tersebut ditingkatkan yang semula kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) menjadi kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). e. Pembebasan pembayaran Fiskal Luar Negeri Dalam UU PPh Tahun 2008, pembayaran Fiskal Luar Negeri oleh Wajib Pajak yang akan pergi ke luar negeri dibebaskan apabila Wajib Pajak telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). f. Penetapan angsuran untuk pengusaha tertentu Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjadi pengusaha tertentu, besarnya PPh Pasal 25 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,75% dari peredaran bruto. Hal ini dilakukan untuk membantu meringankan beban pajak bulanan dan untuk meningkatkan likuiditas Wajib Pajak tertentu tersebut dengan cara memperkecil jumlah PPh Pasal 25 yang dibayar tiap bulan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, jelas UU PPh Tahun 2008 lebih memberikan manfaat yang lebih besar kepada Wajib Pajak dibandingkan dengan UU PPh Tahun 2000, termasuk pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”, maka sistem perpajakan yang baik dimaksud, antara lain harus dapat memperhatikan unsur keadilan, pemerataan beban sesuai kemampuan dan asas kegotong-royongan nasional dalam pembiayaan pembangunan, serta memberikan kepastian hukum dan keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban kenegaraan. Bahwa tujuan pengenaan pajak tersebut sesuai fungsinya adalah sebagai sumber penerimaan untuk keperluan negara (fungsi budget), dan untuk mengatur terciptanya keseimbangan dan keharmonisan antara kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi di sektor ril dan investasi (fungsi regulasi). Melalui pembayaran pajak sebagai kewajiban kenegaraan, dengan mewajibkan yang lebih mampu membantu yang kurang mampu melalui penerapan tarif progresif, merupakan perwujudan kegotong-royongan nasional dalam pembiyaan pembangunan, yang diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap keberhasilan pembangunan, sehingga menimbulkan rasa turut bertanggung jawab (sense of responsblity) atas pemeliharaan dan pengawasan negara, dan selanjutnya tedorong untuk turut berperan dan berpartisipasi (sense of participation) dalam pembiayaan pembangunan bangsa melalui pembayaran pajak; Di antara ketentuan yang mencerminkan pelaksanaan sistim perpajakan yang berorientasi untuk keadilan dan pemerataan, antara lain ketentuan adanya PTKP dalam Pasal 7, dan pengenaan pajak dengan tarif progresif dalam Pasal 17, sebagaimana telah dilakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dan itu terus berlaku dengan beberapa kali perubahan yang pertama tahun 1994 lalu tahun 1997 dan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Terkait kedua permasalahan itu maka ada dua pembahasan yang harus diperhatikan, pertama bahwa dalam membahas kedua masalah itu perlu diperhatikan antara lain untuk kepastian hukum maka prinsip-prinsip pajak harus dipertahankan secara konsisten; Kedua , dalam sumbangan membaca teks Undang-Undang apabila ada yang kurang jelas atau ada keraguan hendaklah memperhatikan yang pertama interpretasi sistematis yaitu atau mengkaitkan pasal-pasal antara pasal-pasal yang terkait dengan Undang-Undang yang sama atau mengkaitkan dengan undang- undang yang diatur dengan Undang-Undang lain yang terkait karena ini menyangkut dengan zakat dimana harus terkait dengan Undang-Undang Nomor
Surat Utang Negara
Relevan terhadap
Pemerintah mengadakan konsultasi dengan Bank Indonesia pada saat merencana-kan penerbitan Surat Utang Negara untuk satu tahun anggaran. Konsultasi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan Surat Utang Negara, agar keselarasan antara kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter dapat tercapai. Pendapat Bank Indonesia tersebut menjadi masukan di dalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah agar penerbitan Surat Utang Negara dimaksud dapat dilakukan tepat waktu dan dilakukan dengan persyaratan yang dapat diterima pasar serta menguntungkan Pemerintah.
Tatacara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. ...
Relevan terhadap
Kuasa Pengguna Anggaran Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), menunjuk:
Pejabat Pembuat Komitmen, yaitu pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/penanggung jawab kegiatan/pembuat komitmen;
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (SPM), yaitu pejabat yang diberi kewenangan untuk menguji tagihan kepada negara dan menandatangani SPM. BAB IV TATA CARA PEMANTAUAN REKENING DAN PENYAMPAIAN TAGIHAN JAMINAN Bagian Kesatu Pemantauan Rekening dan Kemajuan Pembayaran Kembali Pinjaman Pasal 15 (1) Bank Pemberi Kredit menyampaikan laporan pelaksanaan pemblokiran dana pada rekening PDAM kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang sebesar kewajiban yang akan jatuh tempo secara triwulanan.
Dalam hal dipandang perlu laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimintakan sesuai kebutuhan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang melakukan pemantauan kemungkinan gagal bayar PDAM dan mitigasi risiko berdasarkan laporan pelaksanaan pemblokiran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pembayaran Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4), sebesar 30% dari jumlah Gagal Bayar menjadi beban Pemerintah Daerah.
Atas beban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat membayar langsung dan/atau mengkonversi menjadi pinjaman dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Dalam hal Pemerintah Daerah memilih alternatif untuk mengkonversi beban menjadi pinjaman, Pemerintah Pusat c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Pemerintah Daerah melakukan Perjanjian Pinjaman.
Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan.
Dalam hal terdapat tunggakan terhadap pinjaman Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat sebagai konversi beban menjadi pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah dapat dikenakan sanksi berupa pemotongan atas penyaluran DAU dan/atau DBH sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI PENYEDIAAN, PERHITUNGAN, DAN PEMBAYARAN SUBSIDI BUNGA OLEH PEMERINTAH PUSAT Bagian Kesatu Penganggaran Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat Pasal 22 (1) Pemerintah Pusat menyediakan anggaran Subsidi Bunga melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan estimasi kebutuhan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat.
Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Direktur Jenderal Anggaran, dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal melakukan perhitungan kebutuhan Subsidi Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
PDAM dan Bank Pemberi Kredit menandatangani Perjanjian Kredit setelah menerima Perjanjian Induk dan Persetujuan atas konsep akhir Perjanjian Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Perjanjian Kredit memuat paling kurang ketentuan- ketentuan sebagai berikut:
Tujuan penggunaan fasilitas kredit;
Dalam hal PDAM gagal bayar atas sebagian atau seluruh kewajiban pembayaran kembali kredit yang telah jatuh tempo, Pemerintah Pusat menanggung sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan Bank Pemberi Kredit menanggung 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Gagal Bayar;
Tingkat bunga kredit investasi ditetapkan sebesar BI Rate ditambah paling tinggi 5% ;
Tingkat BI Rate yang dibebankan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: (i) untuk pembebanan BI Rate sebelum penetapan bunga, BI Rate yang digunakan adalah BI Rate yang berlaku pada saat penarikan kredit yang pertama; (ii) untuk pembebanan BI Rate selanjutnya akan ditetapkan kembali setiap 6 (enam) bulan pada tanggal 1 April dan 1 Oktober berdasarkan tingkat BI Rate yang berlaku; (iii) dalam hal dianggap perlu, peninjauan kembali tingkat bunga sebagaimana dimaksud pada butir (ii) dapat dilakukan berdasarkan surat persetujuan Menteri Keuangan, sebagaimana contoh perhitungan dalam Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan ini.
Kewajiban PDAM untuk membuka rekening pada Bank Pemberi Kredit, atau bank yang ditunjuk oleh Bank Pemberi Kredit untuk keperluan transaksi penerimaan dan pengeluaran PDAM; dan
Hak Bank Pemberi Kredit, atau bank yang ditunjuk oleh Bank Pemberi Kredit untuk memblokir dana paling kurang sebesar satu kali kewajiban yang akan jatuh tempo, dan selanjutnya mendebet langsung dana yang diblokir tersebut.
PDAM menyampaikan salinan Perjanjian Kredit yang telah ditandatangani kepada Menteri Keuangan dengan tembusan disampaikan kepada:
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan;
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan; dan
Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.