Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Relevan terhadap
bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan merupakan objek Pajak Penghasilan;
bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan wajib melunasi Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut;
bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah;
Pembayaran Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah atau Tanah dan Bangunan. ...
Relevan terhadap
bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan merupakan objek Pajak Penghasilan;
bahwa Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan di luar kegiatan usaha pokoknya, wajib membayar Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dalam tahun berjalan;
bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak memenuhi kewajiban tersebut, dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan dengan Peraturan Pemerintah;
Ayat (1) Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan yang dilakukan Wajib Pajak kepada pihak lain bukan Pemerintah, wajib dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Ayat (2) Untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya, maka Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) hanya diperbolehkan untuk menandatangani akte pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan tersebut apabila kepadanya dibuktikan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan telah membayar sendiri PPh yang terutang. Pembuktian tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menyerahkan foto kopi Surat Setoran Pajak (SSP) serta dengan menunjukkan asli Surat Setoran Pajak dimaksud. Ketentuan mengenai penandatanganan akte tersebut tidak berlaku atas pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)… Ayat (4) Agar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dengan baik maka dalam laporan bulanan PPAT dicantumkan pula jumlah akte yang belum ditandatangani karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersebut.
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Relevan terhadap
bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan merupakan Objek Pajak Penghasilan;
bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan wajib melunasi Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut;
bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah;
Ayat (1) Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan kepada pihak lain selain pemerintah, wajib dilakukan sendiri oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan dalam hal penjualan lelang Pajak Penghasilan yang terutang disetorkan oleh Pejabat Lelang atas nama orang pribadi atau badan yang hartanya dilelang. Ayat (2) Untuk meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban pajaknya, maka pejabat yang berwenang hanya diperbolehkan untuk menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut apabila kepadanya dibuktikan bahwa orang pribadi atau badan yang bersangkutan telah membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang. Pembuktian dilakukan oleh orang pribadi atau badan tersebut dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak serta dengan menunjukkan asli Surat Setoran Pajak dimaksud. Ketentuan mengenai pembuktian tersebut tidak berlaku atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 3…
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau ...
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Relevan terhadap
Pada prinsipnya pajak terhutang pada saat timbulnya obyek pajak yang dapat dikenakan, pajak.Saat terhutangnya pajak tersebut adalah :
Pada Suatu Saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
Pada Akhir Masa, untuk Pajak Penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh pengusaha atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan. Jumlah pajak terhutang yang telah dipotong, dipungut, ataupun yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke Kas Negara atau tempat lain yang telah ditentukan. Berdasarkan undang-undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak lagi berkewajiban untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas keseluruhan SPT Wajib Pajak. Penerbitan sesuatu Surat Ketetapan Pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (1) Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, yang pada hakekatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, atau tegasnya hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan kewajiban material. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut, dibatasi sampai dengan kurun waktu lima tahun saja. Menurut ketentuan ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak baru diterbitkan bilamana Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Diketahuinya bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak, adalah karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak kurang membayar dari jumlah yang seharusnya terhutang. Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat Wajib Pajak dengan sifat pemeriksaan buku lengkap atau melalui penelitian administrasi perpajakan. Surat Ketetapan Pajak dapat juga ditebitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data mana dapat dipastikan (bukan dugaan), bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajaknya sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan. SPT yang tidak disampaikan pada waktunya, walaupun telah ditegor secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran itu, menurut ketentuan ayat (1) huruf b membawa akibat, bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam ayat (3) Tegoran itu antara lain dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad baik, untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapatnya SPT disampaikan apabila karena terjadinya sesuatu hal di luar kemampuan (force mayeur). Dalam hal SPT disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran dan pajak yang terhutang dilunasi sebagaimana mestinya, Surat Ketetapan Pajak tidak akan diterbitkan dengan anggapan bahwa SPT tersebut telah diisi dengan benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bagi Wajib Pajak yang dengan sengaja melakukan pelanggaran dalam kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, berupa pelaksanaan kompensasi selisih lebih pembayaran pajak, tarif O% (nol persen)yang semestinya bukan O% (nol persen), pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak perlu terjadi seperti tersebut dalam ayat (1) huruf c, dikenakan sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak ditambah kenaikan sebesar lOO% (seratus persen). Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan menurut ketentuan Pasal 28 Undang-undang ini atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan menurut Pasal 29 ayat (2), sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat mengetahui keadaan usaha Wajib Pajak yang sebenarnya dan berakibat tidak dapat dihitung jumlah pajak yang seharusnya terhutang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak yang didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh Wajib Pajak saja.Sebagai konsekwensinya beban pembuktian atas uraian perhitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak, diletakkan pada Wajib Pajak. Sebagai contoh diberikan antara lain :
pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4)tidak lengkap, sehingga penghitungan rugi laba atau peredaran tidak jelas;
dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji;
dari rangkaian penelitian dan fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau barang bukti lain di suatu tempat tertentu, sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan itikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan. Ayat (2) Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak, karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. Sanksi administrasi perpajakan dalam ayat ini berupa sanksi bunga yang dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak. Contoh : Seorang Wajib Pajak Penghasilan yang mempunyai tahun buku sama dengan tahun takwim memasukkan SPT Tahunan untuk tahun 1984 tepat pada waktunya yang disertai dengan setoran akhir. Pada bulan April 1987 dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak yang menunjukkan kekurangan pajak yang terhutang sebesar Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah). Berdasarkan ketentuan ayat ini maka atas kekurangan tersebut dikenakan bunga 2%(dua persen) sebulan. Walaupun Surat Ketetapan Pajak tersebut diterbitkan lebih dari dua tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa dua tahun dengan perhitungan sebagai berikut : - Kekurangan pajak yang terhutang ... = Rp. 1.000.000,- - Bunga 2 tahun = 2% x 2 x 12 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 480.000,- Masih harus dibayar = Rp. 1.480.000,- Seandainya Surat Ketetapan Pajak tersebut diterbitkan bulan Mei 1986 maka perhitungannya adalah sebagai berikut: - Kekurangan pajak yang terhutang = Rp. 1.000.000,- - Bunga 17 bulan = 2% x 17 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 340.000,- Masih harus dibayar= Rp. 1.340.000,- Ayat (3) Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu Ketetapan Pajak, karena melanggar kewajiban perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi demikian berupa "kenaikan", yaitu suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada jumlah pajak yang harus ditagih. Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sanksi kenaikan sebesar 50%(lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang/badan lain sanksi kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sanksi kenaikan sebesar 100%(seratus persen). Ayat (4) Yang dimaksud dengan pajak yang "dikreditkan" ialah jumlah pengurangan pajak yang terdiri dari:
pajak yang dipotong oleh pihak ketiga;
pajak yang dipungut oleh pihak ketiga;
pajak yang dibayar sendiri;
pajak yang ditagih dalam Surat Tagihan Pajak (STP);
pajak yang terhutang di luar negeri. Jumlah pengurangan tersebut dikurangkan dari pajak yang terhutang. Contoh : Surat Ketetapan Pajak Penghasilan (SKP PPh). 1. Pajak yang terhutang : Rp. 1000.000,- 2. Pengurangan-pengurangan :
Pajak yang dipotong oleh pemberi kerja Rp. 150.000,- b. Pajak yang dibayar sendiri (setoran masa) Rp. 400.000,- c. Pajak yang ditagih dalam STP (tidak termasuk bunga dan denda) Rp. 75.000,- d. Pajak yang ditagih di luar negeri Rp. 100.000,- Jumlah pajak yang dikreditkan Rp. 725.000,- Jumlah pajak yang dikreditkan Rp. 725.000,- Ayat (5) Sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan, tidak dapat diperhitungkan atau dikreditkan terhadap jumlah pajak terhutang. Dengan demikian, 1 dalam hal akan dilakukan perhitungan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak, jumlah sanksi administrasi perpajakan yang telah dibayar harus dikeluarkan lebih dahulu dari jumlah kelebihan pembayaran yang akan diterima oleh Wajib Pajak. Ayat (6) Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para Wajib Pajak, berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem "self assessment", maka apabila dalam waktu lima tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktorat Jenderal Pajak tidak juga menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, maka jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam SPT Masa atau SPT Tahunan pada hakekatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, SPT Wajib Pajak yang bersangkutan telah merupakan ketetapan yang tetap dan tidak akan diubah (rampung). Ayat (7) Dalam hal Wajib Pajak, dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan mengenai pajak yang penagihannya telah lewat waktu, berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Surat Ketetapan Pajak masih dibenarkan untuk diterbitkan, meskipun jangka waktu lima tahun sebagaimana ditentukan dalam ayat(1)telah dilampaui. Dengan adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut, terungkap adanya data fiskal yang selama itu sengaja tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Pajak Penghasilan
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 50 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UMUM 1. Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat(2) sistem dan peraturan perundang- undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan undang-undang.
Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan Bangsa mampu membiayai pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagi beban pembangunan antara golongan berpendapatan tinggi dan golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila.
Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan), dan Tarip Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami, serta mematuhinya.
Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai undang-undang, yaitu :
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan.
Ordonansi...
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam Ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut.
Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen Royalti 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, dan royalti, yang wajib dipotong oleh orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen, dan royalti yang bersangkutan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutan oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun(MPS- Akhir).
Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur:
semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam undang-undang ini b. ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarif pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. Struktur tarif disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarif pajak. Tarif... Tarif untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarif untuk badan, dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah dari pada tarif lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut:
sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas.
keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh.
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarif marginal tertinggi hanya 35%(tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak. PASAL DEMI PASAL
Ayat (1) Berdasarkan ayat ini, penghasilan begitu pula kerugian seorang wanita, yang telah kawin pada awal tahun pajak, dianggap penghasilan atau kerugian suaminya. Ketentuan ini lebih menekankan pada segi-segi kemampuan ekonomis, yaitu bahwa suami dan isteri merupakan suatu kesatuan dan dengan adanya ketentuan tersebut, pengenaan pajak tidak kehilangan unsur progresif dalam penerapan tarif. Penggabungan penghasilan tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai karyawati, atau suami memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan sebagai karyawan, dan atas penghasilan dimaksud telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, kecuali apabila penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya. Yang dimaksud dengan anggota keluarga lainnya adalah anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya dari suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat(1)huruf d. Ini berarti, bahwa terhadap mereka (yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan/karyawati) dalam pengenaan pajak diberikan jumlah pengurangan penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk dirinya masing-masing sebesar Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupah). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini diberikan beberapa contoh sebagai berikut :
Saat...
Saat yang menentukan :
Seorang wanita yang kawin sesudah tanggal 1 Januari (dalam hal tahun pajak sama dengan tahun takwim, maka secara fiskal ia pada tahun tersebut belum dianggap kawin sehingga pengenaan pajaknya masih dikenakan pada diri masing-masing suami dan isteri. Penghasilan atau kerugian wanita tersebut baru dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dimulai pada tahun pajak berikutnya.
Suami-isteri yang telah kawin sejak menetap di Indonesia, maka sejak mereka menetap di Indonesia penghasilan atau kerugian isteri dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya.
Penghasilan isteri sebagai karyawati:
Isteri dan suami kedua-duanya memperoleh penghasilan semata-mata sebagai karyawati/ karyawan dan masing-masing telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21. Dalam hal demikian tidak ada penghasilan isteri yang dianggap sebagai penghasilan suaminya. Pajak mereka sebagai karyawan/karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final. Terhadap mereka tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
Isteri memperoleh penghasilan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21. Selain itu ia juga memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sebagai karyawati, misalnya penghasilan dari usahanya membuka salon kecantikan. Suaminya memperoleh penghasilan semata-mata sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21. Dalam... Dalam hal ini, penghasilan isteri yang dianggap sebagai penghasilan suaminya ialah hanya penghasilan dari usahanya membuka salon kecantikan. Pajak penghasilan atas penghasilan isteri sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang, yang perlu dipertanggungjawabkan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, hanya didasarkan atas besarnya penghasilan suami ditambah penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan saja. Dalam penghitungan penghasilan kena pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, mereka masih diperbolehkan melakukan pengurangan sebesar Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, disamping jumlah sebesar Rp. 960.000,-(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Pajak yang telah dipotong atas penghasilan suami dari pekerjaan diperhitungkan sebagai kredit.
Isteri memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21. Suaminya di samping memperoleh penghasilan sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sebagai karyawan misalnya penghasilan dari usaha taksi. Dalam hal ini penghasilan isteri tidak dianggap sebagai penghasilan suaminya dan pajaknya yang telah dipotong berdasarkan Pasal 21 adalah final. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang didasarkan atas jumlah penghasilan suami yang berasal dari pekerjaan sebagai karyawan dan dari hasil usaha taksi. Dalam penghitungan pajak atas nama suami tersebut, pengurangan sebagai penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan untuk suami sebesar Rp. 960.000,-(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah)ditambah Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebab dalam status kawin. Pajak... Pajak yang telah dipotong atas penghasilan suami sebagai karyawan diperhitungkan sebagai kredit dari pajak yang terhutang.
Isteri memperoleh penghasilan selain sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan dari usaha salon kecantikan. Demikian pula suami selain memperoleh penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan dari usaha taksi. Dalam hal demikian penghasilan isteri yang dianggap penghasilan suami ialah hanya penghasilan dari usaha salon kecantikan. Pajak penghasilan atas penghasilan isteri dari pekerjaan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang yang harus dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sebesar pajak yang terhutang atas jumlah penghasilan suami dari pekerjaan dan dari usaha taksi, serta penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan. Dalam penghitungan pajak diluar pajak yang telah dipotong dan dibayar oleh pemberi kerja isteri, pengurangan penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan sebesar Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp.
000,-(empat ratus delapan puluh ribu rupiah)sebab berada dalam status kawin. Tambahan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp. 960.000,-(sembilan ratus enam puluh ribu rupiah)tidak lagi diberikan karena telah diperhitungkan pada waktu pemotongan Pajak Penghasilan sebagai karyawati. Ayat (2) Penghasilan anak, termasuk anak angkat, yang belum dewasa juga digabungkan dengan penghasilan orang tuanya. Sesuai... Sesuai dengan tujuan pengenaan pajak bagi Wajib Pajak yang belum dewasa, maka pengertian belum dewasa dalam ketentuan perpajakan, seyogyanya memperhatikan pula ketentuan mengenai hal yang sama dalam undang-undang lain, termasuk pula ketentuan dalam bidang ketenagakerjaan, bahwa orang dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18(delapan belas)tahun ke atas, dengan catatan bahwa anak laki-laki maupun anak perempuan yang telah kawin meskipun umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun, dianggap telah dewasa. Bagi anak laki-laki maupun perempuan yang telah berumur 18(delapan belas) tahun atau bagi anak yang telah kawin, di masyarakat dinyatakan sebagai orang yang telah mampu melakukan tindakan hukum sendiri dan dianggap telah mampu bahkan wajib untuk mencari nafkahnya sendiri. Berdasarkan atas pertimbangan tersebut maka pengertian dewasa dalam undang-undang ini, ialah laki-laki maupun perempuan yang berumur 18(delapan belas)tahun ke atas atau telah kawin walaupun umurnya kurang dari 18(delapan belas)tahun.
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Relevan terhadap 5 lainnya
Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Pengenaan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
peta jalan pajak karbon; dan/atau
peta jalan pasar karbon.
Peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat:
strategi penurunan emisi karbon;
sasaran sektor prioritas;
keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan; dan/atau
keselarasan antarberbagai kebijakan lainnya.
Kebijakan peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. 414 (6) Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Saat terutang pajak karbon ditentukan:
pada saat pembelian barang yang mengandung karbon;
pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau
saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO 2 e) atau satuan yang setara.
Dalam hal harga karbon di pasar karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) lebih rendah dari Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO 2 e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO 2 e) atau satuan yang setara.
Ketentuan mengenai:
penetapan tarif pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (8);
perubahan tarif pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (9); dan/atau
dasar pengenaan pajak, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai penambahan objek pajak yang dikenai pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.
Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon, dan/atau mekanisme lain sesuai peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dapat diberikan: 415 a. pengurangan pajak karbon; dan/atau
perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon.
Ketentuan mengenai:
tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon; dan
tata cara pengurangan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (13) huruf a dan/atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (13) huruf b, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan mengenai:
subjek pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (5); dan/atau
alokasi penerimaan dari pajak karbon untuk pengendalian perubahan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (12), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan terkait pajak karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. 416 BAB VII CUKAI
Pasar Modal
Relevan terhadap
Kepada pembeli saham dan bukti penyertaan modal yang melakukan pembeliannya
melalui pasar modal, diberikan keringanan tertentu dalam Pajak Pendapatan,
Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalty, serta Pajak Kekayaan, disampingtidak
dilakukannya pengusutan fiskal terhadap asal-usul uang pembelian tersebut
apabila pembelian saham dan bukti penyertaan modal dilakukan sampai dengan
jumlah-jumlah tertentu.
Puji Prasetyo ...
Relevan terhadap
1 SPECIFIC GRANT : __ REFORMASI KEBIJAKAN PEMBERIAN DANA ALOKASI UMUM KEPADA DAERAH OTONOM PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 30 Januari 2023, Penulis : Puji Prasetyo __ “Dalam rangka mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pemerintah menerbitkan kebijakan baru berupa Specific Grant dalam pengelolaan Dana Alokasi Umum“ __ Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) merupakan sebuah upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: (i) mengembangkan sistem Pajak Daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, (ii) mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan Transfer ke Daerah (TKD) dan Pembiayaan Utang Daerah (PUD), (iii) mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta (iv) harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. Sebagai upaya penguatan desentralisasi fiskal guna mewujudkan pemerataan layanan publik oleh Pemerintah Daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok wilayah NKRI, dalam UU HKPD telah diatur mengenai kebijakan baru pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Sebelum diterbitkannya UU HKPD, pemberian DAU kepada daerah provinsi/kabupaten/kota hanya bersifat block grant /tidak ditentukan penggunaanya. Pemberian DAU yang bersifat block grant, di satu sisi merupakan suatu bentuk fleksibilitas penggunaan DAU oleh Pemerintah Daerah yang selaras dengan pelaksanaan prinsip otonomi daerah, namun di sisi lain terdapat pula sisi negatif yang mengikuti kebijakan block grant tersebut. Dalam Naskah Akademik penyusunan UU HKPD, pemrakarsa UU HKPD menyampaikan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi terkait DAU adalah formulasi DAU yang masih belum optimal dalam mengatasi ketimpangan fiskal antardaerah dan belum mampu mendorong pemerataan dan peningkatan layanan publik, serta kinerja daerah dalam menjalankan tanggungjawab belanja secara efisien dan disiplin. Hal ini salah satunya tercermin dalam realisasi DAU yang sebagian besar digunakan untuk belanja birokrasi (rata-rata realisasi belanja pegawai sebesar 32,4% vs rata-rata realisasi belanja infrastruktur publik 11,5%).
Guna memperbaiki kelemahan kebijakan pemberian DAU, pemrakarsa UU HKPD melakukan reformasi kebijakan terkait pemberian DAU, dari yang semula hanya bersifat block grant menjadi bersifat kombinasi antara block grant dan specific grant . Pemberian DAU yang bersifat kombinasi ini tercermin dalam rumusan ketentuan Pasal 130 ayat (2) UU HKPD yang mengatur bahwa “ Penggunaan DAU terdiri atas bagian DAU yang tidak ditentukan penggunaannya dan bagian DAU yang ditentukan penggunaannya ”. Reformasi kebijakan pemberian DAU ini diharapkan dapat berpengaruh terhadap, (i) pola belanja yang lebih fokus pada layanan publik; (ii) pengurangan ketimpangan fiskal antardaerah; dan (iii) percepatan ekualisasi layanan publik antardaerah melalui pengutamaan penggunaan DAU sesuai dengan kinerja daerah. Selain itu, kebijakan specific grant DAU ini disusun sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam pelaksanaan fungsi controlling terhadap penggunaan DAU oleh Pemerintah Daerah, sehingga belanja yang didanai dari DAU dapat dimaksimalkan untuk memenuhi pencapaian standar layanan minimal berdasarkan tingkat capaian kinerja layanan daerah sesuai dengan Pasal 130 ayat (1) UU HKPD. __ Selaras dengan UU HKPD, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023 (UU APBN TA 2023) yang merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Pusat yang disetujui oleh DPR RI, telah pula mengimplementasikan kebijakan pemberian DAU secara kombinasi yakni secara block grant dan specific grant . Hal ini dapat dilihat dalam dalam Pasal 11 ayat (9) UU APBN TA 2023, “Alokasi DAU untuk setiap daerah terdiri atas bagian DAU yang tidak ditentukan penggunaannya dan bagian DAU yang ditentukan penggunaannya” . Pengaturan dalam UU APBN TA 2023 tersebut diharapkan semakin menguatkan dan mempertegas niat pemerintah dalam mereformasi kebijakan pemberian DAU dengan memunculkan skema specific grant DAU. Selanjutnya, guna operasionalisasi kebijakan pemberian DAU tersebut masih perlu dijabarkan dalam suatu peraturan yang bersifat teknis, yaitu Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu, pada tanggal 27 Desember 2022, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.07/2022 tentang Indikator Tingkat Kinerja Daerah dan Ketentuan Umum Bagian Dana Alokasi Umum yang Ditentukan Penggunaannya Tahun Anggaran 2023 (PMK 212/2022). Secara umum, PMK 212/2022 terdiri atas 2 (dua) bagian besar, yaitu indikator yang mencerminkan tingkat kinerja daerah pada tiap-tiap urusan pemerintahan daerah dan jenis specific grant DAU. Dalam Pasal 2 PMK tersebut, telah diatur bahwa specific grant DAU terdiri atas, (i) penggajian formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, (ii) pendanaan kelurahan, (iii) bidang pendidikan, (iv) bidang kesehatan, dan (v) bidang pekerjaan umum. Specific grant DAU untuk penggajian formasi PPPK ditentukan berdasarkan jumlah formasi PPPK, gaji pokok dan tunjangan melekat, serta jumlah bulan pembayaran gaji PPPK. Specific grant DAU untuk pendanaan kelurahan ditentukan berdasarkan satuan biaya per kelurahan dan jumlah kelurahan tiap-tiap pemerintah daerah. Specific grant DAU untuk bidang pendidikan, bidang kesehatan, dan bidang pekerjaan umum dihitung berdasarkan indikator yang mencerminkan tingkat kinerja daerah pada tiap-tiap urusan pemerintahan daerah. Indikator tersebut merupakan indeks komposit dari beberapa indikator kinerja tiap-tiap bidang.