Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4791 LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 78 Tahun 2007 TANGGAL : 10 Desember 2007 PENILAIAN SYARAT TEKNIS I. FAKTOR DAN INDIKATOR DALAM RANGKA PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU FAKTOR INDIKATOR 1. Kependudukan 1. Jumlah penduduk.
Kepadatan penduduk.
Kemampuan Ekonomi 3. PDRB non migas perkapita.
Pertumbuhan ekonomi.
Kontribusi PDRB non migas.
Potensi daerah 6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk.
Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk.
Rasio pasar per 10.000 penduduk 9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD.
Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP.
Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA.
Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk.
Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk. FAKTOR INDIKATOR 14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor.
Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga.
Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor.
Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas.
Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas.
Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk.
Kemampuan Keuangan 20. Jumlah PDS.
Rasio PDS terhadap jumlah penduduk.
Rasio PDS terhadap PDRB non migas.
Sosial Budaya 23. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk.
Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk.
Jumlah balai pertemuan.
Sosial Politik 26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mem- punyai hak pilih.
Jumlah organisasi kemasya- rakatan.
Luas Daerah 28. Luas wilayah keseluruhan.
Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan. FAKTOR INDIKATOR 8. Pertahanan 30. Rasio jumlah personil aparat per- tahanan terhadap luas wilayah.
Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan.
Keamanan 32. Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk.
Tingkat Kesejahteraan masyarakat 33. Indeks Pembangunan Manusia.
Rentang Kendali 34. Rata-rata jarak kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten/kota).
Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten/kota). II. DEFINISI INDIKATOR 1. Indikator: Suatu parameter atau suatu nilai yang diturunkan dari faktor yang memberikan informasi tentang keadaan dari suatu fenomena/lingkungan/wilayah, dengan signifikansi dari indikator tersebut berhubungan secara langsung dengan nilai parameter. Indikator ini dihitung untuk penyusunan indeks komposit pembentukan/penghapusan dan penggabungan daerah otonom harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
data tersedia, (2) mudah dihitung, (3) relevan, (4) terukur, dan reliabel.
Jumlah penduduk: Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Kepadatan penduduk: Rasio antara jumlah penduduk dengan luas wilayah efektif.
PDRB: Jumlah nilai tambah bruto seluruh sektor kegiatan ekonomi yang terjadi/muncul di suatu daerah pada periode tertentu.
PDRB non migas per kapita: Nilai PDRB non migas atas dasar harga berlaku dibagi jumlah penduduk di suatu daerah.
Pertumbuhan Ekonomi: Pertumbuhan nilai PDRB non migas atas dasar harga konstan dari suatu periode/tahun terhadap periode/tahun sebelumnya.
Kontribusi PDRB non migas: Persentase PDRB non migas kabupaten/kota terhadap PDRB non migas provinsi dan atau persentase PDRB non migas provinsi terhadap PDB nasional.
Potensi Daerah: Potensi fisik dan non fisik dari suatu daerah/wilayah seperti penduduk, sumber daya buatan dan sumber daya sosial. Untuk keperluan otonomi daerah, potensi daerah yang dapat diukur saja (tangible) dimasukkan dalam indikator tersedia.
Bank: Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Lembaga Keuangan Non Bank: Badan usaha selain bank, meliputi asuransi, pegadaian, dan koperasi.
Kelompok Pertokoan: Sejumlah toko yang terdiri dari paling sedikit ada 10 toko dan mengelompok. Dalam satu kelompok pertokoan bangunan fisiknya dapat lebih dari satu.
Pasar: Prasarana fisik yang khusus dibangun untuk tempat pertemuan antara penjual dan pembeli barang dan jasa, biasanya aktivitasnya rutin dilakukan setiap hari.
Fasilitas Kesehatan: Tempat pemeriksaan dan perawatan kesehatan, berada di bawah pengawasan dokter/tenaga medis, yang biasanya dilengkapi dengan fasilitas rawat inap, dan klinik.
Tenaga medis: Dokter, mantri kesehatan/perawat, dan sejenisnya, tidak termasuk bidan, yang dapat memberikan pengobatan baik yang buka praktek maupun tidak.
Kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor: Alat untuk mengangkut orang seperti bemo, bajaj dan motor, mobil, perahu/jukung baik yang menggunakan tenaga penggerak motor tempel atau tidak. Perahu motor menggunakan motor penggerak dipasang tidak permanen maupun kapal yang menggunakan motor sebagai tenaga penggerak, motor dipasang secara permanen di dalamnya.
Pelanggan listrik: Rumah tangga yang menggunakan listrik PLN dan non PLN sebagai alat penerangan rumah.
Pengguna air bersih: Rumah tangga yang menggunakan air bersih, khususnya untuk kebutuhan air minum.
Pendapatan Daerah Sendiri: Seluruh penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak, bagi hasil sumber daya alam dan penerimaan dari bagi hasil provinsi (untuk pembentukan kabupaten/kota).
Sarana Peribadatan: Bangunan yang digunakan sebagai tempat melakukan peribadatan sesuai dengan agama yang dianut.
Fasilitas lapangan olah raga: Tempat (fasilitas) yang digunakan untuk melakukan aktivitas olah raga baik di ruangan terbuka maupun ruangan tertutup (seperti lapangan sepak bola, bola voli, bulu tangkis dan kolam renang).
Balai Pertemuan: Tempat (gedung) yang digunakan untuk pertemuan masyarakat melakukan berbagai kegiatan interaksi sosial.
Penduduk yang ikut Pemilu:
Organisasi Kemasyarakatan: Organisasi masyarakat yang mempunyai tujuan tertentu di bidang sosial dan kemasyarakatan.
Luas Daerah/Wilayah Keseluruhan: Luas daratan ditambah luas 4 mil laut dari pantai untuk kabupaten/kota atau 4 sampai dengan 12 mil laut dari pantai untuk provinsi.
Wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan: Wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budi daya di luar kawasan lindung.
Personil Aparat Pertahanan: Aparat pertahanan adalah anggota TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU yang menjadi anggota satuan organik TNI di wilayah calon daerah otonom.
Karakteristik Wilayah: Adalah ciri wilayah yang ditunjukan oleh hamparan permukaan fisik calon daerah otonom (berupa daratan, atau daratan dan pantai/laut, atau kepulauan), dan posisi calon daerah otonom (berbatasan dengan negara lain atau tidak berbatasan dengan negara lain).
Rentang kendali: Jarak rata-rata kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten), dan rata-rata lama waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten).
Indeks Pembangunan Manusia: Merupakan indeks komposit yang dapat digunakan sebagai alat ukur untuk melihat taraf hidup (kemajuan) masyarakat. III. CARA PENGHITUNGAN INDIKATOR 1. Jumlah Penduduk: Semua orang yang berdomisili di suatu daerah selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap.
Kepadatan Penduduk: Jumlah penduduk dibagi luas wilayah efektif.
PDRB non migas perkapita: Nilai PDRB non migas atas dasar harga berlaku dibagi jumlah penduduk.
Pertumbuhan ekonomi: Nilai besaran PDRB non migas atas dasar harga konstan tahun ke-t dikurangi nilai PDRB non migas atas dasar harga konstan tahun ke t-1 dibagi nilai PDRB non migas atas dasar harga konstan tahun ke t-1 dikalikan 100.
Kontribusi PDRB non migas: Untuk provinsi adalah nilai PDRB non migas provinsi atas dasar harga berlaku suatu daerah dibagi PDRB non migas nasional atas dasar harga berlaku dikalikan 100. Untuk kabupaten/kota adalah nilai PDRB non migas kabupaten atas dasar harga berlaku suatu daerah dibagi PDRB non migas provinsi atas dasar harga berlaku dikalikan 100.
Rasio Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank per 10.000 penduduk: Jumlah Bank dan Non Bank dibagi jumlah penduduk dikali 10.000.
Rasio kelompok pertokoan/toko per 10.000 penduduk: Jumlah kelompok pertokoan/toko dibagi jumlah penduduk dikali 10.000.
Rasio Pasar per 10.000 penduduk: Jumlah pasar dibagi jumlah penduduk dikali 10.000.
Rasio sekolah SD per penduduk usia SD: Jumlah sekolah SD dibagi jumlah penduduk usia 7-12 tahun.
Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP: Jumlah sekolah SLTP dibagi jumlah penduduk usia 13-15 tahun.
Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA: Jumlah sekolah SLTA dibagi jumlah penduduk usia 16-18 tahun.
Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk: Jumlah rumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik baik negeri maupun swasta dibagi jumlah penduduk dikali 10.000.
Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk: Jumlah dokter, perawat, dan mantri kesehatan dibagi jumlah penduduk dikali 10.000.
Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor: Jumlah rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor dibagi dengan jumlah rumah tangga dikali 100.
Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga: Jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik PLN dan Non PLN dibagi jumlah rumah tangga dikali 100.
Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor: Jumlah panjang jalan dibagi jumlah kendaraan bermotor.
Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas: Jumlah pekerja yang berpendidikan SLTA dibagi jumlah penduduk usia 18 tahun dikali 100.
Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas: Jumlah pekerja yang berpendidikan S-1 dibagi jumlah penduduk usia 25 tahun dikali 100.
Rasio Pegawai Negeri Sipil terhadap 10.000 penduduk: Jumlah PNS Gol I/II/III/IV dibagi jumlah penduduk dikalikan 10.000.
Jumlah Pendapatan Daerah Sendiri (PDS): Seluruh penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah, bagi hasil pajak, bagi hasil sumber daya alam dan penerimaan dari bagi hasil provinsi (untuk pembentukan kabupaten/kota).
Jumlah penerimaan PDS terhadap Jumlah Penduduk: Jumlah penerimaan PDS dibagi dengan jumlah penduduk.
Jumlah penerimaan PDS terhadap PDRB non migas: Jumlah penerimaan PDS dibagi dengan jumlah PDRB non migas.
Rasio sarana Peribadatan per 10.000 penduduk: Jumlah masjid, gereja, pura, vihara dibagi jumlah penduduk dikali 10.000.
Rasio fasilitas lapangan olah raga per 10.000 penduduk: Jumlah lapangan bulu tangkis, sepak bola, bola volly, dan kolam renang dibagi jumlah penduduk dikali 10.000.
Jumlah Balai Pertemuan: Jumlah gedung yang digunakan untuk pertemuan masyarakat melakukan berbagai kegiatan interaksi sosial.
Rasio Penduduk yang ikut Pemilu legislatif terhadap Penduduk yang mempunyai hak pilih: Jumlah penduduk usia yang mencoblos saat pemilu legislatif dibagi jumlah penduduk usia 17 tahun ke atas atau sudah kawin.
Jumlah Organisasi Kemasyarakatan: Jumlah organisasi kemasyarakatan yang terdaftar.
Luas wilayah keseluruhan: Jumlah luas daratan ditambah luas lautan.
Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan: Jumlah luas wilayah yang dapat digunakan untuk permukiman dan industri.
Rasio jumlah Personil Aparat pertahanan terhadap luas wilayah: Jumlah personil aparat pertahanan dibandingkan dengan luas wilayah.
Karakteristik Wilayah: Ciri wilayah yang ditinjau dari sudut pandang pertahanan, pemberian nilai tergantung kepada hamparan fisik dan posisi calon daerah otonom. Tingkatan penilaian calon daerah otonom dimulai dari nilai tertinggi dengan urutan sebagai berikut:
Berbatasan dengan negara lain, hamparan fisik wilayah berupa kepulauan.
Berbatasan dengan negara lain, hamparan fisik wilayah berupa daratan dan pantai.
Berbatasan dengan negara lain, hamparan fisik wilayah berupa daratan.
Tidak berbatasan dengan negara lain, hamparan fisik wilayah berupa kepulauan, daratan dan pantai, atau daratan.
Rasio personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk: Jumlah personil aparat keamanan dibagi jumlah penduduk dikali 10.000.
Indeks Pembangunan Manusia: Dengan melihat tiga aspek kehidupan manusia, yaitu: usia hidup ( longevity ), pengetahuan ( knowledge ) dan standar hidup layak ( decent living ). Usia hidup diukur dengan AHH (Angka Harapan Hidup) yang secara teknis dihitung dengan metode tidak langsung berdasarkan rata-rata Anak Lahir Hidup (ALH) dan rata-rata anak yang masih hidup. Pengetahuan diukur dengan Angka Melek Huruf (AMH) dan RLS (Rata- rata Lama Sekolah) dari penduduk usia 15 tahun ke atas. AMH dihitung dari kemampuan membaca dan menulis, sedangkan RLS dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan yakni jenjang pendidikan tertinggi yang pernah/sedang diduduki dan tingkat/kelas yang pernah/sedang diduduki. Standar layak hidup diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riel yang telah disesuaikan.
Rata-rata jarak kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten): Jumlah jarak dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten) dibagi jumlah kabupaten/kota atau kecamatan.
Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan: Jumlah waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten/kota) dibagi jumlah kabupaten/kota atau kecamatan. IV. METODE PENILAIAN 1. Penilaian yang digunakan adalah sistem skoring, untuk pembentukan daerah otonom baru terdiri dari 2 macam metode yaitu:
Metode Rata-rata, dan (2) Metode Kuota.
Metode rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap calon daerah dan daerah induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan daerah di sekitarnya.
Metode Kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota penentuan skoring baik terhadap calon daerah maupun daerah induk. Kuota jumlah penduduk provinsi untuk pembentukan provinsi adalah 5 kali rata-rata jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi-provinsi sekitarnya. Kuota jumlah penduduk kabupaten untuk pembentukan kabupaten adalah 5 kali rata-rata jumlah penduduk kecamatan seluruh kabupaten di provinsi yang bersangkutan. Kuota jumlah penduduk kota untuk pembentukan kota adalah 4 kali rata-rata jumlah penduduk kecamatan kota-kota di provinsi yang bersangkutan dan sekitarnya. Semakin besar perolehan besaran/nilai calon daerah dan daerah induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan daerah, maka semakin besar skornya.
Dalam hal terdapat beberapa faktor yang memiliki karakteristik tersendiri maka penilaian teknis dimaksud dilengkapi dengan penilaian secara kualitatif.
Pemberian skor untuk pembentukan provinsi menggunakan Pembanding Provinsi, pembentukan kabupaten menggunakan Pembanding Kabupaten dan pembentukan kota menggunakan Pembanding Kota.
Pembanding Provinsi adalah provinsi-provinsi sesuai dengan letak geografis, yaitu:
Jawa dan Bali;
Sumatera;
Sulawesi;
Kalimantan;
Nusa Tenggara;
Maluku; dan
Papua.
Pembanding Kabupaten adalah kabupaten-kabupaten di provinsi yang bersangkutan.
Pembanding Kota adalah kota-kota sejenis (tidak termasuk kota yang menjadi ibukota provinsi) di provinsi yang bersangkutan dan atau provinsi di sekitarnya minimal 3 (tiga) kota.
Dalam hal menentukan pembanding provinsi, pembanding kabupaten dan pembanding kota terdapat provinsi, kabupaten dan kota yang memiliki besaran/nilai indikator yang sangat berbeda (di atas 5 kali dari besaran/nilai terendah), maka besaran/nilai tersebut tidak diperhitungkan.
Setiap indikator mempunyai skor dengan skala 1-5, dimana skor 5 masuk dalam kategori sangat mampu, skor 4 kategori mampu, skor 3 kategori kurang mampu, skor 2 kategori tidak mampu dan skor 1 kategori sangat tidak mampu.
Besaran/nilai rata-rata pembanding dan besaran jumlah kuota sebagai dasar untuk pemberian skor. Pemberian skor 5 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 80% besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 4 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 60% besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 3 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 40% besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 2 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 20% besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 1 apabila besaran/nilai indikator kurang dari 20% besaran/nilai rata-rata. V. PEMBOBOTAN Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuai dengan perannya dalam pembentukan daerah otonom. 1. Bobot untuk masing-masing faktor dan indikator: NO FAKTOR DAN INDIKATOR BOBOT 1 Kependudukan 20 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 15 5 2 Kemampuan Ekonomi 15 1. PDRB non migas perkapita 5 2. Pertumbuhan ekonomi 5 3. Kontribusi PDRB non migas 5 NO FAKTOR DAN INDIKATOR BOBOT 3 Potensi Daerah 15 1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk 2 2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk 1 3. Rasio Pasar per 10.000 penduduk 1 4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 1 5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 1 6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 1 7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk 1 8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk 1 9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau perahu motor atau kapal motor 1 10. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 1 11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 1 12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 1 13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas 1 NO FAKTOR DAN INDIKATOR BOBOT 14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 1 4 Kemampuan Keuangan 15 1. Jumlah PDS 5 2. Rasio PDS terhadap Jumlah Penduduk 5 3. Rasio PDS terhadap PDRB 5 5 Sosial Budaya 5 1. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 2 2. Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk 2 3. Jumlah balai pertemuan 1 6 Sosial Politik 5 1. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mempunyai hak pilih 3 2. Jumlah organisasi kemasyarakatan 2 7 Luas Daerah 5 1. Luas wilayah keseluruhan 2 2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 3 8 Pertahanan 5 1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah 3 2. Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan 2 NO FAKTOR DAN INDIKATOR BOBOT 9 Keamanan 5 1. Rasio jumlah personil aparat Keamanan terhadap jumlah penduduk 5 10 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat 5 1. Indeks Pembangunan Manusia 5 11 Rentang Kendali 5 1. Rata-rata jarak kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten) 2 2. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten) 3 Total 100 2. Nilai indikator adalah hasil perkalian skor dan bobot masing-masing indikator. Kelulusan ditentukan oleh total nilai seluruh indikator dengan kategori: Kategori Total Nilai Seluruh Indikator Keterangan Sangat Mampu 420 s/d 500 Rekomendasi Mampu 340 s/d 419 Rekomendasi Kurang Mampu 260 s/d 339 Ditolak Tidak mampu 180 s/d 259 Ditolak Sangat Tidak Mampu 100 s/d 179 Ditolak 3. Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator dengan kategori sangat mampu (420-500) atau mampu (340-419) serta perolehan total nilai indikator faktor kependudukan (80-100), faktor kemampuan ekonomi (60-75), faktor potensi daerah (60-75) dan faktor kemampuan keuangan (60-75).
Usulan pembentukan daerah otonom baru ditolak apabila calon daerah otonom atau daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai seluruh indikator dengan kategori kurang mampu, tidak mampu dan sangat tidak mampu dalam menyelenggarakan otonomi daerah, atau perolehan total nilai indikator faktor kependudukan kurang dari 80 atau faktor kemampuan ekonomi kurang dari 60, atau faktor potensi daerah kurang dari 60, atau faktor kemampuan keuangan kurang dari 60. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. ...
Perencanaan Hutan
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 146 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN UMUM Perencanaan kehutanan perlu disusun secara konsepsional dan terpadu dalam satu kesatuan yang utuh dengan perencanaan kegiatan pengelolaan sumber daya lainnya. Perencanaan Kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu serta dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan memegang peranan penting, karena merupakan fungsi pertama dalam pengurusan hutan yang menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Perencanaan kehutanan mempunyai keterkaitan dan keterpaduan dengan sektor lain dengan memperhatikan kepentingan masyarakat lokal, regional, nasional dan global yang berwawasan lingkungan. Perencanaan kehutanan ini dimaksudkan untuk memberi pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan berupa kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, yang efektif dan efisien, dengan menjamin keberadaan hutan yang mantap dengan luasan yang cukup, mengoptimalkan aneka fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, terdiri dari pulau-pulau besar, menengah dan kecil serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung maka Menteri menetapkan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai atau pulau sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh per seratus) dari luas daratan. Dengan penetapan luas kawasan hutan dan luas minimal kawasan hutan untuk setiap daerah aliran sungai atau pulau, Pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap Provinsi berdasarkan kondisi bio-fisik, iklim, penduduk dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Sehubungan dengan hal tersebut, bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya masih di atas 30% (tiga puluh per seratus) tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya. Luas minimum tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di bawah 30% (tiga puluh per seratus) perlu menambah luas hutannya. Untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi hutan dan kehutanan dilakukan inventarisasi hutan yang antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penyusunan rencana kehutanan dan pengembangan sistem informasi. Guna mewujudkan keberadaan kawasan hutan dalam luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional ditempuh melalui proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, penetapan kawasan hutan. Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan, Pemerintah melaksanakan penatagunaan hutan sesuai dengan fungsi dan penggunaannya. Fungsi pokok kawasan hutan yang dimaksud adalah fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Untuk kawasan hutan yang luas, maka pelaksanaan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setelah penunjukan, tanpa menunggu selesainya proses pengukuhan, karena kegiatan pengukuhan kawasan hutan yang luas memerlukan waktu lama. 2 Hal tersebut perlu dilakukan, agar kegiatan perencanaan kehutanan selanjutnya, seperti pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan tidak terhambat. Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS), sosial budaya dan ekonomi, kelembagaan masyarakat dan batas administrasi pemerintahan, hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi dan kearifan tradisional masyarakat. Berdasarkan hasil inventarisasi hutan, disusun rencana kehutanan baik menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis maupun fungsi pokok kawasan hutan. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa perencanaan kehutanan meliputi : inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Sebagaimana diatur dalam Bagian Kelima Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan antara lain mengatur Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Namun demikian, mengingat materi tersebut merupakan materi tersendiri dan disamping itu sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, maka untuk perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur di dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Dengan demikian perencanaan kehutanan merupakan pedoman bagi Pemerintah, pemerintah Provinsi, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, pelaku usaha, lembaga profesi dalam penyelenggaraan kehutanan. PASAL DEMI PASAL
Penetapan Universitas Airlangga Sebagai Badan Hukum Milik Negara.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
Universitas adalah Universitas Airlangga sebagai Badan Hukum Milik Negara.
Menteri adalah Menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.
Menteri Keuangan adalah Menteri yang bertanggung jawab untuk mewakili Pemerintah di bidang keuangan yang mempunyai kewenangan dalam setiap pemisahan harta kekayaan negara untuk ditempatkan sebagai kekayaan awal pada Universitas.
Majelis Wali Amanat adalah organ tertinggi Universitas yang berfungsi mewakili Pemerintah dan masyarakat.
Dewan Audit adalah organ Universitas yang secara independen melakukan evaluasi hasil audit internal dan eksternal atas penyelenggaraan Universitas untuk dan atas nama Majelis Wali Amanat.
Senat Akademik adalah badan normatif Universitas di bidang akademik.
Rektor adalah pemimpin dalam penyelenggaraan Universitas.
Dekan adalah pemimpin fakultas yang mengkoordinasikan pengelolaan sumberdaya dan penjaminan mutu di Fakultas.
Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Guru Besar atau Profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tingi.
Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan mengikuti proses pendidikan di Universitas.
Tata Cara Penyediaan, Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Benih Nasional dan Bantuan Langsung Benih Unggul. ...
Relevan terhadap
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4287);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4920);
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4406);
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418);
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2008 tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2009;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2005 tentang Pengelolaan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.05/2007 tentang Tata Cara Pencairan Dana atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui Rekening Kas Umum Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun 2009; Memperhatikan : Kesimpulan Rapat Kerja antara Panitia Anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan Selaku Wakil Pemerintah dan Gubernur Bank Indonesia dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 Beserta Nota Keuangannya tanggal 24 Agustus – 29 Oktober 2008;
Sistem Informasi Keuangan Daerah
Relevan terhadap
Yang dimaksud dengan media lainnya adalah alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan misalnya disket atau Compact Disc Read Only Memory (CD-ROM). Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Yang dimaksud dengan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah adalah serangakaian proses dan prosedur yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan daerah. Huruf b Penyajian Informasi Keuangan Daerah melalui situs resmi Pemerintah Daerah bertujuan antara lain menyampaikan pengumuman atau pemberitahuan, memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan menerima masukan dari masyarakat. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Situs adalah sebuah cara untuk menampilkan profil Pemerintah Daerah di internet dengan tujuan antara lain menyampaikan pengumuman atau pemberitahuan, memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan menerima masukan dari masyarakat. Huruf c Cukup jelas. Pasal 16 Yang dimaksud dengan pelaporan keuangan daerah adalah realisasi APBD, neraca, dan laporan arus kas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4576
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk investasi vertikal pusat di daerah.
Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan.
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik daerah berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Menteri teknis adalah menteri yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang teknis tertentu.
Sistem Informasi Keuangan Daerah selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban pemerintah daerah.
Informasi Keuangan Daerah adalah segala informasi yang berkaitan dengan keuangan daerah yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah.
Situs adalah suatu daerah lokasi jelajah pada internet, di identifikasikan dengan suatu alamat yang unik.
Tata Cara Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Negara Eks Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara, selanjutnya disebut BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lain yang sah.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, selanjutnya disebut BRR NAD-Nias, adalah Badan setingkat Kementerian yang ditugasi untuk melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005.
BMN Eks BRR NAD-Nias adalah BMN Program dan BMN Operasional yang berasal dan tercatat pada Neraca Penutup BRR NAD-Nias sebagai Aset Tetap dan Aset Lainnya yang pengadaannya oleh BRR NAD-Nias atas beban APBN atau perolehan lainnya yang sah.
Tim Likuidasi Badan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, selanjutnya disebut Tim Likuidasi, adalah Tim sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 118/KMK.05/2009.
Pemerintah Daerah di Wilayah Bencana adalah Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang terkena dampak bencana gempa bumi dan tsunami di Wilayah Aceh dan Kepulauan Nias.
Penetapan Status Penggunaan BMN Eks BRR NAD-Nias adalah penetapan status penggunaan BMN Eks BRR NAD- Nias untuk Kementerian Negara/Lembaga dari Pengelola BMN Eks BRR NAD-Nias.
Pemindahtanganan BMN Eks BRR NAD–Nias adalah tindakan pengalihan kepemilikan BMN Eks BRR NAD–Nias dengan cara hibah atau penggantian biaya pengadaan.
Hibah adalah pemindahtanganan BMN Eks BRR NAD–Nias kepada Pemerintah Daerah di Wilayah Bencana atau Pihak Lain tanpa memperoleh penggantian.
Daftar Barang Milik Negara, selanjutnya disebut Daftar BMN, adalah daftar yang berada pada Pengelola BMN yang memuat data BMN yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. 10. Daftar Barang Pengguna adalah daftar yang berada pada Pengguna Barang yang memuat data barang yang digunakan oleh Pengguna Barang dan data BMN Pengguna Barang. 11. Daftar Barang Kuasa Pengguna adalah daftar yang berada pada Kuasa Pengguna Barang yang memuat data barang yang digunakan oleh masing-masing Kuasa Pengguna Barang dan data BMN Kuasa Pengguna Barang. 12. Dokumen Kepemilikan Sementara adalah dokumen dalam bentuk akta jual beli atau surat pelepasan hak atas tanah untuk BMN Eks BRR NAD–Nias berupa tanah, faktur/kuitansi pembelian untuk BMN Eks BRR NAD–Nias berupa kendaraan bermotor atau kendaraan/alat berat lainnya, akta hibah untuk BMN Eks BRR NAD–Nias yang diperoleh dari hibah, atau dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, yang dapat dipergunakan untuk sementara waktu sebagai dasar dalam menyatakan kepemilikan atas suatu barang sampai dengan terbitnya dokumen kepemilikan yang sah. 13. Penghapusan BMN Eks BRR NAD–Nias adalah tindakan menghapus BMN dari Daftar BMN Eks BRR NAD–Nias dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola BMN Eks BRR NAD–Nias dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya. 14. Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga Pemerintah non kementerian negara/lembaga negara. 15. Pihak Lain adalah pihak-pihak selain Kementerian Negara/Lembaga dan Satuan Kerja Perangkat Daerah. BAB II PRINSIP UMUM Pasal 2 Setelah berakhirnya masa tugas BRR NAD-Nias, seluruh BMN Eks BRR NAD–Nias menjadi berada dalam pengelolaan Menteri Keuangan selaku Pengelola BMN. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 3 (1) Lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini meliputi seluruh BMN Eks BRR NAD-Nias, termasuk tetapi tidak terbatas pada Konstruksi Dalam Pengerjaan. (2) BMN Eks BRR NAD-Nias sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
BMN Program, yakni BMN yang diperoleh atau dibangun oleh BRR NAD-Nias atas beban APBN atau perolehan lainnya yang sah untuk diserahterimakan atau dipindahtangankan kepada Kementerian Negara/Lembaga, Pemerintah Daerah di Wilayah Bencana, dan Pihak Lain; dan
BMN Operasional, yakni BMN yang pengadaannya oleh BRR NAD-Nias atas beban APBN atau perolehan lainnya yang sah untuk digunakan dalam rangka mendukung kegiatan tugas dan fungsi BRR NAD-Nias. (3) Konstruksi Dalam Pengerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset tetap yang sedang dalam proses konstruksi dan pada tanggal laporan keuangan belum selesai seluruhnya. BAB IV TUGAS DAN WEWENANG Pasal 4 (1) Direktur Jenderal Kekayaan Negara merupakan pelaksana fungsional atas kewenangan dan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku Pengelola BMN Eks BRR NAD-Nias. (2) Pengelola BMN Eks BRR NAD–Nias mempunyai wewenang sebagai berikut. a. Melakukan Penetapan Status Penggunaan BMN Eks BRR NAD–Nias kepada Kementerian Negara/Lembaga. b. Memberikan persetujuan atas rekomendasi Penghapusan BMN Eks BRR NAD–Nias. c. Memberikan persetujuan atas rekomendasi Pemindahtanganan BMN Eks BRR NAD–Nias.
Menerbitkan surat keputusan Penghapusan BMN Eks BRR NAD–Nias.
Melakukan serah terima BMN Eks BRR NAD–Nias kepada Kementerian Negara/Lembaga, Pemerintah Daerah di Wilayah Bencana, dan Pihak Lain.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah I Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (Kanwil I DJKN) Banda Aceh.
Uji materiil terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan materiil di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000;
4 Bahwa landasan dasar teori atau grand theory tentang asas keadilan dan kepastian hukum dalam pengenaan pajak, dapat kiranya dirujuk pada :
Pasal 23A UU D 1945 yang mengatur sebagai berikut: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang- Undang” b. Pasal 1 angka 1 UU KUP yang mengatur sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Penjelasan Umum UU KUP sebagaimana tersebut pada nomor 1 dan nomor 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Tax Payer’s basic rights yang pada umumnya merupakan best practice dan dirujuk sebagai international accepted concept/theory mengajarkan bahwa Wajib Pajak mempunyai hak- hak dasar sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan c. Surat Ketetapan Pajak Nihil d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar ; atau e. Pemotongan atas pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan 4.6 Bahwa sebagai implementasi dari asas kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan, maka penyelesaian Surat Keberatan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak dibatasi oleh waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP yang kutipannya telah disampaikan tersebut diatas.
7 Bahwa ketentuan tersebut, pada Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah menyebabkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 timbulnya keragu-raguan dan menimbulkan multi tafsir dalam pelaksanaannya mengingat:
Apakah apabila setelah putusan gugatan dikabulkan dan diproses ulang dan kemudian diputus oleh Dirjen Pajak, upaya hukum bandingnya ke Pengadilan Pajak dipastikan tidak menghadapi prinsip nebis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Putusan Pengadilan dapat berupa:
Menolak;
Mengabulkan sebagian atau seluruhnya c. Menambah pajak yang harus dibayar d. Tidak dapat diterima e. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau f. membatalkan (2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding atau kasasi Sehingga apabila setelah diproses kembali dan terhadap Keputusan Keberatan a quo diajukan lagi banding ke Pengadilan Pajak maka kemungkinan bisa saja akan dinyatakan tidak dapat diterima ( Niet on vankelijk ) oleh Pengadilan Pajak berdasarkan Pasal 80 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Selanjutnya ketentuan a quo juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika Pengadilan Pajak yang merupakan judex factie dan judex juris pada waktu mengadili perkara gugatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 PP No. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 74 Tahun 2011 sekaligus memeriksa materi yang disengketakan oleh Wajib Pajak karena tidak ada ketentuan atau pasal di UU no. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang melarang untuk itu.
Ketentuan tersebut akan sangat rawan terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang abuse of power oleh Pejabat yang memutus Surat Keberatan, yang bisa dengan mudah menyatakan bahwa keberatan tidak memenuhi syarat formal karena tidak ada akibatnya bila nantinya digugat di Pengadilan Pajak dan tinggal tunggu saja putusan Pengadilan Pajak kemudian proses dilanjutkan kembali sesuai dengan batas waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak putusan gugatan dimaksud, apabila gugatan dimenangkan Wajib Pajak tanpa harus khawatir dengan batas waktu 12 bulan a quo (semacam pembantaran penyelesaian Surat Keberatan), padahal batas waktu tersebut sudah diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP demi kepastian hukum.
8 Bahwa ketentuan seperti ini nyata-nyata tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik karena kesalahan atau kekhilafan Direktur Jenderal Pajak dalam memutus surat Keberatan dikesampingkan oleh PP No. 74 tahun 2011 dan bahkan secara hukum kesalahan a quo dialihkan menjadi beban Wajib Pajak yang meskipun memenangkan gugatan tetapi proses pemeriksaan keberatan tetap dilanjutkan kembali seperti Surat Keberatan baru sehingga Wajib Pajak yang dihadapkan pada proses berlarut-larut dalam mencari keadilan dan memakan waktu serta biaya yang tambah besar. Sungguh tidak adil.
Ditinjau dari legal drafting (pembentukan peraturan perundang-undangan) sebagaimana diatur dalam UU Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentukan Pasal 41 dimaksud, menurut Pemohon adalah:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota” Dengan kata lain, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut sesuai serta dijiwai oleh asas lex superiori derogat lex inferiori IV.2.2 Kesimpulan Bahwa berdasarkan alasan dan pertimbangan hukum diatas menurut Pemohon nyata- nyata sudah dapat disimpulkan dan terbukti sebagai berikut:
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 26 ayat (1) dan ayat (5) jo Pasal 25 UU KUP 2. Pembentukan Peraturan Pasal 41 ayat (2) dan (3) tersebut tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pelaksanaan dan ketentuan tersebut sangat rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas-asas umum Pemerintahan yang baik. Bahwa sehubungan itu, dengan hormat mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang mengadili perkara permohonan Hak Uji Materiil a quo agar berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011. IV. 3. Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 IV.3.1 Uraian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 1. Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011, mengatur ketentuan sebagai berikut: Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal...... dst b. Dalam hal......dst c. Dalam hal atas Putusan Banding diajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga diberikan apabila Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.
Bahwa Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) mengatur sebagai berikut:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan (2) Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Bahwa Pasal 27A UU KUP, yang dirujuk oleh Pasal 43 ayat (1) dan (2) PP No. 74 Tahun 2011 sebagai dasar hukum pemberian bunga, pada dasarnya formulanya/ungkapannya adalah persis sama dengan Pasal 27A ayat (1) dimaksud, yakni sebagai berikut:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut: Menurut pendapat Pemohon , ketentuan pada Pasal 27 ayat (1) UU KUP a quo adalah merupakan ungkapan dari asas keseimbangan antara hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum No. 4 huruf d UU KUP.
Bahwa memang benar menurut ayat (3) dari Pasal 27A a quo : “Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan agar pemanfaatan hak untuk meminta bunga tersebut berjalan tertib dan sesuai prosedur.
Bahwa ternyata yang muncul bukan peraturan pelaksanaan seperti yang diamanatkan pada ayat (3) Pasal 27A tersebut diatas (yang berisi tata cara perhitungan pengembalian), tetapi justru “Pengaturan lain” dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada Pasal 43 ayat (6) a quo jelas mengatur bahwa Dirjen Pajak akan menunda pembayaran bunga dimaksud sampai dengan diterimanya putusan tentang Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung, yang menurut Pemohon, hal itu jelas merupakan perluasan kewenangan Dirjen yang mestinya tidak perlu dan tidak boleh diatur karena tidak diamanatkan dalam Pasal 27A UU KUP yang sekaligus berarti mengurangi hak Wajib Pajak yang sebenarnya telah dijamin dalam Pasal 27A UU KUP, sehingga ketentuan tersebut melanggar asas keadilan yang merupakan salah satu landasan norma dalam UU KUP.
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut juga mencederai asas keseimbangan hak dan kewajiban perpajakan yang juga menjiwai UU KUP, sehingga dalam penerapannya akan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik karena dalam hal Wajib Pajak dikenai sanksi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 administratif berupa denda atau bunga misalnya, Wajib Pajak tidak mendapatkan hak penundaan pembayaran yang sama seperti Direktur Jenderal Pajak.
Bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 a quo juga bertentangan dengan atau setidak-tidaknya tidak selaras dengan 7.1. Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Vide Bukti: P11) yang mengatur sebagai berikut:
Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak 7.2. Pasal 86 UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur bahwa: “Putusan Pengadilan langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangannya mengatur lain” 7.3. Pasal 88 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan 8. Bahwa ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut melanggar asas “ lex superiori derogat lex inferiori ”, mengingat Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 a quo yang mengatur sebagai berikut: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU NO. 12 Tahun 2011 a quo menyatakan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 9. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 43 ayat (6) huruf c tersebut juga menyimpang dari syarat-syarat/landasan peraturan perundang- undangan yang baik (good legislation) yaitu salah satunya landasan yuridis ( juridische gronslag )yang mengajarkan bahwa peraturan perundang-undangan diharuskan mempunyai dasar hukum atau legalitas terutama dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan kata lain sesuai ajaran “ Stufenbau Theory ” (teori Norma Hukum Berjenjang) norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan, keabsahan atau validitas dari norma yang derajatnya lebih tinggi (ada keselarasan vertical).
Bahwa dilihat dari ajaran “Norma Hukum Berjenjang” tersebut, Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 juga nyata-nyata melanggar prinsip keselarasan apabila dilihat dari sudut Ketatanegaraan karena bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengingat dinyatakan secara jelas bahwa “Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak”. Hal ini logis dan tepat karena putusan Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 langsung mempunyai kekuatan hukum tetap karena merupakan putusan tingkat pertama dan sekaligus terakhir. Dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada dasarnya ada pada ranah eksekutif jelas melanggar/bertentangan dengan peraturan perundangan di bidang kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif) yaitu UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, padahal sebagai pemerintah yang baik, Dirjen Pajak seharusnya patuh pada UU termasuk UU dalam ranah yudikatif.
Bahwa sehubungan dengan itu, UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada Pasal 87 telah mengatur sebagai berikut: “Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa peraturan perpajakan yang berlaku a quo adalah Pasal 27A UU KUP yang sudah dikutip tersebut di atas.
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sesuai dengan Pasal 77 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak seharusnya dilaksanakan secara utuh oleh Direktorat Jenderal Pajak dan tidak boleh ditunda sesuai dengan Pasal 89 ayat (2) UU Pengadilan Pajak a quo . Dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah bertentangan dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak a quo .
Bahwa pembentukan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 ditinjau dari substansinya kurang sesuai dengan asas kelembagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan karena substansinya seharusnya dimuat dalam UU KUP, dan juga tidak sesuai dengan asas keadilan (karena menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak), asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara Dirjen Pajak dan Wajib Pajak, dan asas ketertiban dan kepastian hukum (karena menimbulkan ketidak tertiban dan ketidakpastian).
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur sebagai berikut:
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang 15. Bahwa sehubungan dengan itu, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Vide Bukti : P12) mengatur sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 “Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang” 16. Bahwa disamping itu, Pasal 9A Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Vide Bukti: P13) mengatur sebagai berikut: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang” Dalam penjelasan Pasal 9A a quo ditegaskan: “Yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak” 17. Bahwa dengan demikian Pengadilan Pajak yang diatur dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 adalah Pengadilan sebagai pelaksana dari Kekuasaan Kehakiman di bawah Mahkamah Agung yang sah, sehingga karena itu Pengadilan Pajak melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yang merupakan pengadilan khusus dan berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Bahwa karena itu Pengadilan Pajak tidak boleh diintervensi baik dalam menjatuhkan putusan maupun dalam kaitan dengan regulasinya sehingga ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (6) huruf c nyata-nyata telah mengintervensi Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sebagaimana telah dikutip di atas.
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 menurut Pemohon tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pelaksanaan dari prinsip “Freis emersen” yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada Pemerintah mengingat:
Bahwa prinsip tersebut seharusnya digunakan ketika dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tersebut dihadapkan pada tidak adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur secara rinci b. Bahwa, ketentuan mengenai pemberian bunga a quo sudah diatur secara rinci sehingga yang seharusnya diterbitkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 adalah peraturan yang bersifat administratif yang diamanatkan oleh Pasal 27A ayat (3) yang mengatur sebagai berikut: “Tata Cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” c. Bahwa yang diterbitkan ternyata dalam bentuk Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri Keuangan dan secara substansial bertentangan dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum dari UU KUP dan juga bertentangan dengan UU Pengadilan Pajak IV.3.2. Kesimpulan Bahwa berdasarkan uraian, alasan dan pertimbangan hukum tersebut diatas secara sah dan meyakinkan telah terbukti dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 secara substantif bertentangan dan tidak sejalan dengan Pasal 27A ayat (a) dan ayat (3) UU KUP dan juga bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) UU jo Pasal 86 dan Pasal 88 ayat (2) No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Pembentukan ketentuan hukum Pasal 43 ayat (6) huruf c a quo nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan yang berlaku yang diatur dalam Pasal 5, dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Bahwa sehubungan dengan itu, mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan Hak Uji Materiil ini agar berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 43 ayat (6) huruf c a quo dari PP No. 74 Tahun 2011. IV . 4. Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 IV. 4.1 Uraian 1. Bahwa Pasal 29 PP No. 74 Tahun 2011 menyatakan sebagai berikut:
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan:
keberatan;
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; dan
pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar.
Bahwa Pasal 13A UU KUP mengatur sebagai berikut: Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Penjelasan Pasal 13A adalah sebagai berikut: “Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi” Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara tidak dikenai sanksi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011, substansinya bertentangan dengan:
1 Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang mengatur sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
Surat Ketetapan Pajak Nihil ;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 3.2 Pasal 36 ayat (1) UU KUP yang mengatur sebagai berikut: Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau Surat Ketetapan Pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
penyampaian surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; atau 2. pembahasan hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 4. Bahwa Pajak adalah pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP yang menyatakan sebagai berikut: “ Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat” 5. Bahwa oleh karena sifat pajak yang dapat dipaksakan secara yuridis tersebut, agar pengenaan pajak tidak semena-mena maka asas-asas terpenting dari pajak sebagaimana diatur dalam konsiderans UU KUP adalah asas keadilan dan asas kepastian hukum.
Bahwa sehubungan dengan kedua asas tersebut, UU KUP memberikan hak yang sifatnya sangat mendasar kepada Wajib Pajak yaitu antara lain:
Hak mengajukan keberatan apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan pajak dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana telah disampaikan melalui kutipan Pasal 25 ayat (1) tersebut di atas.
Hak untuk mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) dengan penjelasan sebagai berikut: Penjelasan Pasal 36 ayat (1): Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak. Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir atas hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Bahwa dalam pasal-pasal yang mengatur hak dasar dari Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 maupun Pasal 36 sama sekali tidak ditemukan adanya pengecualian atau larangan bagi Wajib Pajak untuk menggunakan Pasal 25 maupun Pasal 36 UU KUP. Oleh karenanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 jelas bertentangan dengan Pasal 25 dan 36 UU KUP 8. Bahwa secara filosofi, hakikat dari Pasal 29 ayat (3) PP 74 Tahun 2011 nyata-nyata tidak selaras dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi salah satu landasan filosofi dari UU KUP.
Bahwa lebih dari itu, sebenarnya hak untuk mencari keadilan dijamin dalam Pasal 28D UUD ’45 yang mengatur sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan demikian pembatasan/larangan untuk mengajukan keberatan pajak dan mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sungguh tidak selaras dengan hak asasi yang diatur dalam UUD ’45 dimaksud dan sulit untuk mengelak dari kesan adanya arogansi kekuasaan yang tentunya tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga telah nyata- nyata mengurangi hak Wajib Pajak yang dijamin dengan UU KUP. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 11. Bahwa ditinjau dari sudut pembentukan peraturan perundang- undangan (legal drafting) Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga tidak sesuai dengan:
Ajaran teori Norma Hukum Berjenjang ( Stufenbau theorie des recht ) di Indonesia sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur sebagai berikut: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Penjelasan dari Pasal 7 ayat (2) tersebut adalah sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” b. Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur sebagai berikut:
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah e. Peraturan Presiden f. Peraturan Daerah Provinsi dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Bahwa oleh karena itu PP No. 74 Tahun 2011 yang kedudukannya dibawah Undang-Undang seharusnya tidak boleh bertentangan dan juga tidak boleh mengurangi/menambah ketentuan yang diatur dalam UU KUP.
Bahwa dilihat dari asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Peraturan Perundang-undangan, maka Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga tidak mengindahkan:
Bahwa apabila ditinjau dari materi muatan atau substansinya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 tidak mencerminkan:
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UU KUP; dan atau b. Melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga tidak memenuhi syarat sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa sehubungan dengan itu, mohon karenanya agar Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili permohonan Hak Uji Materiil a quo berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 29 dari PP No. 74 Tahun 2011. IV . 5. Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 IV.5.1 Uraian 1. Bahwa Hukum Pajak pada dasarnya tergolong pada Hukum Publik yang termasuk dalam rumpun Hukum Administrasi Pemerintahan atau Hukum Tata Usaha Negara. Bahwa oleh karena itu Pengadilan Pajak yang diatur dengan UU No. 14 Tahun 2002 adalah merupakan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9A, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur sebagai berikut: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang” Dalam penjelasan Pasal 9A a quo ditegaskan: “Yang dimaksud dengan ‘pengkhususan’ adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak” 2. Bahwa Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara adalah Pejabat Tata Usaha Negara yang dalam rangka pengenaan pajak pada dasarnya mengeluarkan/menerbitkan Ketetapan/Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang terdiri dari:
Ketetapan Pajak yang berisi perhitungan besarnya pajak yang terutang sesuai dengan hasil pemeriksaan Pajak seperti Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar b. Keputusan-keputusan lainnya yang berisi tindakan-tindakan Direktur Jenderal Pajak selain menetapkan Pajak, seperti penerbitan Surat Paksa, Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pencegahan ke luar negeri, Pemberian/Penolakan atas permohonan fasilitas- fasilitas yang diatur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 3. Bahwa terhadap tindakan-tindakan Direktur Jenderal Pajak baik berupa Ketetapan Pajak maupun keputusan lainnya dalam praktek bisa saja menimbulkan perselisihan atau persengketaan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga oleh karena itu UU KUP memberikan upaya-upaya hukum yang pada dasarnya sebagai berikut:
Terhadap Ketetapan Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP b. Terhadap keputusan lainnya yang tidak berisi penetapan pajak, kepada Wajib Pajak diberikan upaya hukum berupa Gugatan sebagai mana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP 4. Bahwa Hak Wajib Pajak untuk mengajukan Keberatan Pajak dan Hak untuk menggugat itu adalah, hak yang sangat penting dan mendasar ( Tax Payer’s Basic Rights ) bagi Wajib Pajak sebagai implementasi dari asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi pilar dari UU KUP sebagaimana tercantum dalam konsideransnya mengingat pungutan pajak adalah bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 jo Pasal 1 angka 1 UU KUP, sebagai berikut:
Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur sebagai berikut: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang” b. Pasal 1 angka 1 UU KUP yang mengatur sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” 5. Bahwa apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan pajak yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai hasil pemeriksaan pajak makan UU KUP menyediakan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan c. Surat Ketetapan Pajak Nihil d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
Pemotongan atas pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 6. Bahwa sehubungan dengan Permohonan Keberatan Wajib Pajak, Pasal 26 ayat (1) UU KUP mengatur sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan” Bahwa penjelasan dari Pasal 26 ayat (1) adalah sebagai berikut: “Terhadap Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan” 7. Bahwa sehubungan dengan hak Wajib Pajak lainnya untuk menggugat, telah dijamin dan dirumuskan secara luas dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP yang mengatur sebagai berikut:
Dihapus (2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
Penerbitan surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak seusai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak 8. Bahwa penjelasan dari Pasal 23 ayat (2) UU KUP a quo secara keseluruhan mulai dari huruf a sampai dengan huruf d menyatakan “cukup jelas” dan tidak ada ketentuan dalam UU KUP yang memberi atribusi untuk mengatur lebih lanjut khususnya terhadap Pasal 23 ayat (2) a quo .
Bahwa namun demikian ternyata Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pelaksanaan dari Pasal 23A huruf c UU KUP a quo dengan Pasal 37 dalam PP No. 74 Tahun 2011, yang bunyinya sebagai berikut: “Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang- Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:
Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
Surat Keputusan Pembetulan;
Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi f. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak g. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak” 10. Bahwa dilihat dari substansinya, Pasal 37 a quo sangat jelas mengurangi hak Wajib Pajak untuk menggugat yang sudah dijamin dan dirumuskan secara luas dan tegas dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU KUP.
Bahwa sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara, rumusan Pasal 23 ayat (2) a quo adalah sudah tepat dan lengkap apabila dibaca sekaligus dengan Pasal 25 ayat (1) UU KUP, karena dengan demikian semua tindakan Direktur Jenderal Pajak yang menerbitkan Keputusan/Ketetapan Pajak pada dasarnya dapat digugat dan diajukan keberatan sehingga dengan demikian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 ketentuan Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 benar-benar tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan tidak sesuai dengan hakekat Hukum Pajak sebagai Hukum Tata Usaha Negara.
Bahwa dilihat dari substansinya, Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 a quo juga kurang sejalan dan bahkan mengurangi Kompetensi absolut dari Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomo 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bahwa Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 tahun 2002 tersebut menunjuk pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 (UU KUP) yang bunyinya sebagai berikut:
Pengujian UU No. 36 Thn 2008 ttg Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 Ttg Pajak Penghasilan [Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, & d, Pasal 9 ayat ( ...
Relevan terhadap
Tata Cara Pembayaran Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, Serta Tunjangan Kehormatan Profesor. ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Profesor adalah jabatan fungsional tertinggi Dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
Tunjangan Profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada Guru dan Dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.
Tunjangan Khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada Guru dan Dosen yang ditugaskan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.
Daerah Khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang, daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
Tunjangan Kehormatan adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen yang memiliki jabatan akademik Profesor.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, yang selanjutnya disebut DIPA, adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran yang disahkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, yang selanjutnya disingkat KPPN, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kewenangan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.
Surat Permintaan Pembayaran Belanja Pegawai, yang selanjutnya disebut SPP Belanja Pegawai, adalah suatu dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen yang berisi permintaan pembayaran belanja pegawai kepada Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar untuk menerbitkan Surat Perintah Membayar sejumlah uang atas beban bagian anggaran yang dikuasainya.
Surat Perintah Membayar Langsung, yang selanjutnya disebut SPM-LS, adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan SPM untuk dan atas nama Pengguna Anggaran kepada Bendahara Umum Negara atau kuasanya berdasarkan SPP untuk melakukan pembayaran sejumlah uang kepada pihak dan atas beban bagian anggaran yang ditunjuk dalam SPP berkenaan.
Surat Perintah Pencairan Dana, yang selanjutnya disebut SP2D, adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara kepada Bank Operasional/Kantor Pos dan Giro berdasarkan SPM untuk memindahbukukan sejumlah uang dari Kas Negara ke rekening pihak yang ditunjuk dalam SPM berkenaan.
Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai, yang selanjutnya disingkat PPABP, adalah pembantu Kuasa Pengguna Anggaran yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengelola pelaksanaan belanja pegawai.
Daftar Pembayaran Perhitungan adalah daftar yang dibuat oleh PPABP dan ditandatangani Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen/ Kepala Kantor/Satuan Kerja dan Bendahara Pengeluaran yang memuat besaran uang Tunjangan Profesi/ Tunjangan Khusus/Tunjangan Kehormatan masing-masing penerima hak dan potongan pajak serta jumlah bersih yang diterima penerima hak.
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak, yang selanjutnya disingkat SPTJM, adalah surat yang dibuat oleh Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen yang memuat pernyataan bahwa seluruh pengeluaran untuk pembayaran belanja telah dihitung dengan benar dan disertai kesanggupan untuk mengembalikan kepada negara apabila terdapat kelebihan pembayaran.
Surat Setoran Pajak, yang selanjutnya disingkat SSP, adalah surat yang digunakan wajib pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Negara melalui kantor penerima pembayaran.
Arsip Data Komputer, yang selanjutnya disingkat ADK, adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.