JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 606 hasil yang relevan dengan "analisis risiko TI kementerian keuangan "
Dalam 0.021 detik
Thumbnail
BIDANG KEKAYAAN NEGARA | PEMERINTAH
PP 63 TAHUN 2019

Investasi Pemerintah

  • Ditetapkan: 16 Sep 2019
  • Diundangkan: 12 Sep 2019

Relevan terhadap

Pasal 30Tutup

Pasal 31 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "tingkat risiko dan imbal hasil investasi" adalah tingkat potensi penurunan nilai yang dapat terjadi karena perolehan hasil investasi tidak sesuai dengan harapan dan keuntungan yang akan diperoleh pada masa yang akan datang. Huruf c Yang dimaksud dengan "alokasi aset/kebijakan portofolio investasi" adalah proses pembagian dana di antara berbagai jenis/kelas aset meliputi kas, saham, obligasi, dan lain-lain berdasarkan tingk at f toleransi risiko. Sertifikasi keahlian di bidang pasar modal dan/atau di bidang investasi dan keuangan yang dimiliki oleh tenaga ahli/profesional misalnya sertifikat keahlian sebagai Wakil Manajer Investasi yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dari lembaga pendidikan khusus di bidang pasar'modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar Keahlian dan/atau sertihkasi profesi akuntansi di bidang investasi dan keuangan (chartered ftnancial analgst) dari lembaga yang berwenang. Yang dimaksud dengan "analisis terhadap risiko" antara lain risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, dan informasi tambahan, termasuk rencana penanggulangannya dalam hal terjadi peningkatan risiko investasi. Huruf b Cukup ^jelas

Pasal 30Tutup

Pelaksanaan Investasi Pemerintah dalam bentuk saham dan surat utang oleh OIP harus dilakukan oleh tenaga ahli/profesional yang telah memiliki sertifikasi keahlian di bidang pasar modal dan/atau di bidang investasi dan keuangan. Pasal 31 Dalam proses pengambilan keputusan pelaksanaan Investasi Pemerintah dalam bentuk saham dan surat utang, OIP harus melakukan:

a.

analisis terhadap risiko; dan

b.

dokumentasi pengambilan keputusan yang dituangkan dalam kertas kerja analisis yang memadai. Pasal 32 (1) OIP dapat melakukan alih daya pengelolaan investasinya kepada Manajer Investasi. (21 Alih daya pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan dalam perjanjian. Pasal 33 Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 paling sedikit harus memenuhi ketentuan:

a.

memiliki izin usaha sebagai perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi dari Otoritas Jasa Keuangan;

b.

tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan; c d berpengalaman mengelola dana paling sedikit Rp5.000.000.000.0O0,00 (lima triliun rupiah) pada saat penunjukan sebagai pengelola investasi; dan memiliki Wakil Manajer Investasi yang tidak pernah dikenai sanksi administratif oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam ^jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Pasal 34 Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 menyampaikan laporan atas kineda pengelolaan investasi/portofolio Investasi Pemerintah secara berkala kepada OIP sesuai perjanjian atau sewaktu-waktu berdasarkan permintaan. Pasal 35 OIP melakukan evaluasi secara berkala terhadap kinerja pengelolaan investasi yang dilakukan oleh Manajer Investasi. Pasal 36 (1) OIP membuka rekening pengelolaan investasi pada Bank Kustodian. (21 Bank Kustodian paling sedikit memenuhi kriteria:

a.

mempunyai status sebagai bank umum;

b.

minimal cukup sehat selama 12 (dua belas) bulan terakhir;

c.

mempunyar izin usaha kustodian dari lembaga yang berwenang; dan

d.

memenuhi syarat tambahan dari OIP. (3) Ketentuan mengenai Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal transaksi saham dan surat utang tidak tercatat dan/atau tidak diperdagangkan pada bursa efek. Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 diatur dalam Peraturan Menteri. Paragraf 2 Investasi Langsung Pasal 38 (1) Pelaksanaan investasi langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 paling sedikit dengan mempertimbangkan:

a.

tujuan investasi;

b.

tingkat risiko dan imbal hasil investasi; dan

c.

kebijakan portofolio investasi. (2) Pelaksanaan investasi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada analisis biaya manfaat dan/atau metode lain yang relevan. Pasal 39 (1) Investasi langsung berupa pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal t huruf a dapat digunakan untuk:

a.

pembangunan di bidang infrastruktur dan bidang lainnya; dan/atau

b.

fasilitas pembiayaan/pendanaan. (21 Pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk menunjang pelaksanaan program Pemerintah. (3) Pemberian Pinjaman dapat dilakukan oleh OIP kepada BLU, Badan Usaha, dan/atau pemerintah daerah berdasarkan perjanjian. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Pinjaman dalam investasi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal Pasal 40 Kerja sama investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b merupakan perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih yang masing-masing pihak sepakat untuk melakukan investasi non permanen. Pasal 41 Bentuk dan pelaksanaan investasi langsung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal t huruf c diatur oleh Menteri. Pasal 42 Pemberian Pinjaman dan kerja sama investasi dapat dilakukan untuk mendukung kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Paragraf 3 Divestasi Pasal 43 (1) OIP melakukan Divestasi sesuai dengan masa jatuh tempo/waktu yang telah ditentukan. (2) Dalam keadaan tertentu, OIP dapat melakukan Divestasi sebelum masa waktu yang telah ditentukan. (3) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a.

tujuan Investasi Pemerintah berupa manfaat ekonomi/ sosial/ lainnya telah tercapai;

b.

terjadi peningkatan risiko investasi yang dapat menyebabkan penurunan nilai investasi; dan/atau

Thumbnail
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
32/PUU-XX/2022

Pengujian Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...

    Relevan terhadap

    Halaman 196Tutup

    sesuai dengan peraturan perundang-undangan [vide Keterangan BI, hlm 10]. Sehingga, dengan demikian BPR/BPRS juga dapat memberikan layanan dalam sistem pembayaran melalui kolaborasi dengan Bank Umum/BUS. Saat ini, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (POJK Produk BPR-BPRS), yang memenuhi persyaratan diperkenankan untuk memiliki layanan perbankan elektronik, seperti mobile banking dan internet banking , maupun penyelenggaraan akses ke sumber dana untuk pembayaran berupa penerbitan instrumen pembayaran seperti penerbitan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan kartu debit. Selain itu, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 75/POJK.03/2016 tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi bagi BPR dan BPRS (POJK 75/2016) memungkinkan BPR dan BPRS dapat bekerja sama dengan lembaga penyelenggara TI untuk mendukung pelaksanaan transfer dana seperti penyelenggara payment gateway , penyelenggara transfer dana, penerbit uang dan/atau dompet elektronik, atau Penyedia Jasa Teknologi Informasi (PJTI). Namun, dalam mengoptimalkan kegiatan transfer dana, BPRS perlu memerhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tetap memastikan adanya langkah mitigasi risiko yang mungkin timbul terkait pelaksanaan kerja sama maupun risiko terkait sistem TI yang digunakan. Merujuk pada Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025, optimalisasi pemanfaatan TI oleh BPR dan BPRS dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan lembaga atau institusi lain. Salah satu bentuk optimalisasi dimaksud, BPR/BPRS dalam kegiatan penyaluran dana dapat berkolaborasi dengan platform fintech lending atau penyelenggara layanan pinjam- meminjam uang secara langsung antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman berbasis TI, seperti yang dilakukan PT BPR Lestari Bali dengan platform fintech lending Investree. Selain itu, pemanfaatan TI untuk optimalisasi layanan transaksi keuangan oleh BPR/BPRS dalam menghimpun dana pihak ketiga dapat dilakukan melalui aplikasi marketplace , seperti aplikasi DepositoBPR by Komunal. [vide Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025, hlm. 61 sampai dengan hlm. 69] [3.15.6] Bahwa selain pertimbangan hukum tersebut di atas, khusus berkaitan dengan norma Pasal 1 angka 9 UU 21/2008, karena berkaitan dengan ketentuan umum sebuah undang-undang, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

    Halaman 195Tutup

    moneter oleh BI dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities , termasuk tidak bisa melakukan aktivitas di pasar uang antarbank dan tidak berhak atas fasilitas OM, serta tidak dapat menjadi peserta Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS). Oleh karena itu, apabila BPR yang statusnya bukan sebagai BPUG diperbolehkan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran hal tersebut potensial meningkatkan risiko liquidity mismatch dalam hal terdapat perbedaan perhitungan dalam proses penyelesaian transaksi ( settlement process ) sehubungan dengan dilakukannya transaksi nasabah yang dapat mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan. [3.15.4] Bahwa pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) menuntut BPR dan BPRS dapat mengikuti perubahan ekosistem perekonomian. Namun, menurut Pemohon, BPRS tidak dapat menggunakan TI sebagaimana yang dilakukan oleh Bank Umum dan BUS. Keberlakuan Pasal 21 huruf d UU 21/2008, sebagaimana didalilkan Pemohon, membatasi BPRS untuk ikut serta dalam kegiatan transaksi keuangan. Berkenaan dengan hal tersebut, pembatasan dalam layanan lalu lintas pembayaran sebagaimana yang diatur dalam UU Perbankan dan UU 21/2008, yang merupakan larangan bagi BPR/BPRS yang bukan merupakan BPUG untuk terlibat dalam proses giralisasi tidak dapat dilepaskan dari lalu lintas giral yang hanya dilakukan melalui kliring di BI untuk Cek dan Bilyet Giro sebagai instrumen pembayaran yang dapat melakukan overdraft di __ bank. Dalam perjalanannya, produk tabungan perbankan berkembang dan dapat dilakukan transfer dana antar-rekening tabungan tanpa melalui kliring BI, melainkan dengan cara switching . Dalam hal ini, BPR/BPRS diperkenankan untuk memindahkan dana antar bank melalui rekening BPRS di Bank Umum Konvensional, BUS dan UUS ( indirect participant ) sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf d UU 21/2008. Dengan demikian, sesungguhnya BPR dan BPRS dapat mengoptimalkan pelaksanaan transfer dana dengan memanfaatkan infrastruktur dan kerjasama dengan lembaga lain, seperti Bank Umum/BUS dan UUS. Bahkan, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PBI PJP), layanan jasa pembayaran yang dapat diberikan oleh Penyedia Jasa Pembayaran lain selain bank juga dilakukan melalui Bank Umum ( indirect ) dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan termasuk manajemen risiko dan performa dalam penyelenggaraan

    Halaman 172Tutup

    23/POJK.03/2018 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (POJK Manajemen Risiko BPRS)). Semakin besar risiko, semakin besar modal yang diperlukan. 8. Sementara itu, jika dibandingkan dengan BUS, yang diperbolehkan melakukan penyertaan modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah, penyertaan modal BUS tersebut diperhitungkan sebagai pengurang modal inti utama bank dan berdampak pada rasio KPMM. Hal ini berarti, penyertaan modal diperhitungkan sebagai beban yang harus dimitigasi dengan penambahan modal pada BUS. 9. Dengan penyertaan modal, BUS berpotensi terpapar risiko. Sebelum melakukan penyertaan modal, BUS diwajibkan telah melakukan analisis profil risiko sebelum dan sesudah penyertaan modal dan menyediakan sistem pengelolaan risiko penyertaan modal. BUS diwajibkan memastikan bahwa penyertaan modal tidak menggangu kelangsungan usaha bank dan tidak meningkatkan profil risiko bank secara signifikan. 10. Oleh karena itu, apabila BPRS diperbolehkan melakukan penyertaan, BPRS juga harus siap dengan tantangan penambahan modal yang diwajibkan dan berlaku secara umum (tidak hanya berlaku pada BPRS yang melakukan penyertaan modal). Saat ini, yang perlu dipertimbangkan, apakah BPRS siap menambah modal dalam hal akan melakukan penyertaan modal kepada BPRS lain, mengingat sampai saat ini berdasarkan data yang kami miliki hanya terdapat 69% BPRS yang memenuhi syarat permodalan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku yang mana dalam peraturan yang ada saat ini, penyertaan modal belum diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal. 11. Kegiatan penyertaan modal oleh BPR/S kepada BPR/S lain menuntut penerapan yang efektif atas manajemen risiko secara konsolidasi (perusahaan induk dan perusahaan anak). Kelemahan penerapan manajemen risiko secara konsolidasi dapat meningkatkan risiko yang memengaruhi kelangsungan kegiatan usaha BPRS termasuk risiko

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA
    PER-2/PB/2022

    Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Bisnis dan Anggaran Badan Layanan Umum

    • Ditetapkan: 11 Feb 2022
    • Diundangkan: 11 Feb 2022

    Relevan terhadap

    Pasal 12Tutup
    (1)

    Kementerian Keuangan c . q Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan analisis terhadap RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 .

    (2)

    Analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan aspek paling sedikit meliputi : a . produktivitas , paling sedikit meliputi perbandingan antara hasil yang dicapai ( output ) dengan sumber daya yang digunakan ( input ) , peningkatan kualitas dan kuantitas layanan , target pendapatan , serta rasio sumber daya manusia ; b . efisiensi , paling sedikit meliputi kebijakan untuk mengoptimalkan belanja dibandingkan dengan output layanan , proporsi pendapatan operasional dan belanja operasional , serta proporsi per jenis belanja ; c . inovasi , paling sedikit meliputi adanya ide / gagasan untuk meningkatkan layanan utama dan penunjang , optimalisasi aset , penggunaan teknologi informasi , serta modernisasi BLU ; dan d . keselarasan / kesesuaian , paling sedikit meliputi kesesuaian dengan RSB , kesesuaian dengan indikator kinerja ( Key Performance Indicator ) BLU , dan prioritas pembangunan .

    (3)

    Dalam melakukan analisis RBA , Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran , Kementerian Negara / Lembaga , dan BLU . Hasil analisis RBA memuat paling sedikit meliputi : a . besaran target penerimaan negara bukan pajak BLU ; b . besaran rencana belanja ; dan c . informasi kesesuaian indikator kinerja ( Key Performance Indicator ) BLU dengan RSB dan prioritas pembangunan .

    (5)

    Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran , Kementerian Negara / Lembaga , dan BLU .

    (6)

    Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dijadikan sebagai dasar penyusunan alokasi anggaran (4) Of BLU termasuk penentuan target penerimaan negara bukan pajak BLU .

    Pasal 19Tutup

    Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan . Ditetapkan di Jakarta pada tanggal DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN , 2022 11 Feloruarl ANTO ^ ° f LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR PERBENDAHARAAN NOMOR PER - p / PB / 2022 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN BADAN LAYANAN UMUM JENDERAL FORMAT RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN BADAN LAYANAN UMUM TAHUN ANGGARAN 20 XX ••• RINGKASAN EKSEKUTIF Memuat uraian ringkas mengenai kinerja layanan dan keuangan BLU tahun berjalan dan kinerja tahun RBA ( 20 XX ) yang hendak dicapai , termasuk asumsi - asumsi penting yang digunakan , serta faktor - faktor internal dan eksternal yang akan mempengaruhi pencapaian target kinerja BLU . Pada bagian ini juga memuat penjelasan secara singkat adanya upaya produktivitas , efisiensi , inovasi , dan keselarasan / kesesuaian pada kinerja BLU tahun RBA . BAB I PENDAHULUAN 1 . Umum a . Penjelasan singkat mengenai landasan hukum keberadaan BLU . b . Layanan dan/atau karakteristik kegiatan BLU . 2 . Visi dan Misi BLU a . Visi dan misi BLU . b . Gambaran umum kondisi BLU di masa mendatang . c . Upaya yang akan dilakukan BLU dal am mencapai visi dan misi , mencakup uraian produk / jasa yang akan diberikan , sasaran pasar , dan kesanggupan meningkatkan mutu layanan . d . Budaya kerja organisasi yang diterapkan BLU . 3 . Susunan Pejabat Pengelola dan Dewan Pengawas BLU Memuat susunan dan uraian tugas Pejabat Pengelola dan Dewan Pengawas BLU . BAB II RENCANA KINERJA BLU 1 . Gambaran Kondisi BLU TA 20 XX a . Faktor yang mempengaruhi Antara lain dapat menggunakan asumsi makro dan asumsi mikro yang relevan . b . Kondisi internal BLU . Antara lain kondisi keuangan , layanan , indikator kinerja utama , dan Sumber Day a Manusia ( SDM ) . c . Kondisi eksternal BLU . BLU melakukan analisis atas kondisi internal dan eksternal , kekuatan , kelemahan , peluang , dan tantangan . 2 . Rencana Kinerja Layanan BLU Memuat informasi kinerja layanan TA 20 XX - 2 ( target dan realisasi saat penyusunan RBA ditambah prognosa sampai dengan akhir tahun ) , TA 20 XX - 1 ( target ) , dan TA 20 XX ( target ) . 3 . Rencana Kinerja Keuangan Tabel yang harus disajikan adalah : Rincian pendapatan per unit kerja . Memuat informasi pendapatan per unit kerja TA 20 XX - 2 ( target dan realisasi saat penyusunan RBA ditambah prognosa sampai dengan akhir tahun ) , TA 20 XX - 1 ( target ) , dan TA 20 XX ( target ) . Rincian belanja per unit kerja . Memuat informasi belanja per unit kerja TA 20 XX - 2 ( target dan realisasi saat penyusunan RBA ditambah prognosa sampai dengan akhir tahun ) , TA 20 XX - 1 ( target ) , dan TA 20 XX ( target ) . Kebutuhan BLU merupakan pagu belanja yang dirinci menurut program , kegiatan , dan klasifikasi rincian output . Rincian pengelolaan dana khusus ( jika ada ) . Memuat informasi pengelolaan dana khusus TA 20 XX - 2 ( target dan realisasi saat penyusunan RBA ditambah prognosa sampai dengan akhir tahun ) , TA 20 XX - 1 ( target ) , dan TA 20 XX ( target ) . ° r Pendapatan dan belanja agregat . Memuat informasi pendapatan dan belanja agregat TA 20 XX - 2 ( target dan realisasi saatpenyusunan RBA ditambah prognosa sampai dengan akhir tahun ) TA 20 XX - 1 ( target ) , dan TA 20 XX ( target ) . Estimasi saldo akhir TA 20 XX - 1 dan saldo awal TA 20 XX . Termasuk rencana penggunaanya . Perhitungan beban layanan per unit kerja TA 20 XX . Prakiraan maju ( 20 XX + 1 ) 1 ) Prakiraan maju pendapatan BLU . 2 ) Prakiraan maju belanja BLU . ( menggunakan basis kas dan akrual ) Rencana kebutuhan Rupiah Murni APBN Ambang batas belanja BLU . 4 . Informasi lainnya yang perlu disampaikan dan/atau mendapatan perhatian , antara lain : a . Rencana inovasi . b . Rencana program efisiensi . c . Rencana saving pendanaan untuk kegiatan / aktivitas yang direncanakan tahun - tahun berikutnya . d . Rencana KSO / KSM pada BLU . e . Rencana penetapan / perubahan tarif . f . Rencana penetapan / perubahan remunerasi . g . Rencana pengelolaan SDM . h . Rencana kerja untuk mencapai target . i . Informasi lainnya untuk strategi pencapaian target . BAB III PENUTUP 1 . Analisis Menjelaskan analisis yang mendukung bahwa muatan perencanaan dalam RBA ini telah mendorong terlaksananya aspek - aspek paling sedikit : a . Produktivitas ( antara lain membandingkan hasil yang dicapai ( output ) dengan sumber daya yang digunakan ( input ) , peningkatan kualitas dan kuantitas layanan , target pendapatan , serta rasio SDM ) . b . Efisiensi ( antara lain kebijakan untuk mengoptimalkan belanja dibandingkan dengan output layanan , proporsi pendapatan operasional dan belanja operasional , serta proporsi per jenis belanja ) . c . Inovasi ( antara lain ide / gagasan untuk peningkatan __ ^layanan utama __ ^dan ^penunjang layanan , optimalisasi aset , penggunaan teknologi __ ^informasi ^, ^serta ^modemisasi BLU ) . d . Keselarasan / kesesuaian ( antara lain dengan RSB , arah indikator kinerja ( KPI ) , dan prioritas pembangunan , serta kebijakan fiskal ) . 2 . Simpulan LAMPIRAN Analisis yang dilakukan oleh BLU dalam ^muatan ^RBA ^menjadi ^informasi ^untuk mendukung analisis RBA yang dilakukan ^oleh ^Kementerian ^Keuangan ^c ^. ^q ^. Direktorat Jenderal Perbendaharaan ^. ^Adapun ^gambaran ^contoh ^ilustrasi ^dalam analisis RBA adalah sebagai ^berikut ^: Analisis Produktivitas , Efisiensi ^, ^Inovasi ^, ^dan ^Keselarasan / ^Kesesuaian a . Produktivitas ( antara lain membandingkan __ ^hasil ^yang ^dicapai ^( ^output ^) ^dengan ^sumber ^daya yang digunakan ( input ) , peningkatan __ ^kualitas ^dan ^kuantitas ^layanan ^, ^target pendapatan , serta rasio SDM ^) . Contoh ( namun tidak terbatas pada ^) ^: 1 ) Rasio Output Layanan dengan ^SDM ^( ^ROLSDM ^) Jumlah output layanan ROLSDM = Jumlah SDM BLU Contoh output layanan : jumlah pasien , jumlah mahasiswa , jumlah pengunjung , dll ( sesuai layanan BLU ) . Interpretasi : semakin besar nilai maka semakin produktif . 2 ) Rasio Pendapatan dengan SDM ( RPSDM ) RPSDM = Pendapatan BLU Jumlah SDM BLU Interpretasi : semakin besar nilai maka semakin produktif . 3 ) Peningkatan Jumlah Output Layanan ( PJOL ) PJOL = PJOL TA ( X ) - PJOL TA ( X - l ) Interpretasi : nilai positif maka semakin produktif . 4 ) Peningkatan Kualitas Layanan ( PKL ) PKL = PKL TA ( x ) - PKL TA ( x - l ) Kualitas layanan = dapat menggunakan data IKM Interpretasi : nilai positif maka semakin produktif . 5 ) Target Output Layanan ( TOL ) TOL = Target Output Layanan Realisasi Output Layanan TA x - 1 atau 2 Interpretasi : nilai > 1 maka semakin produktif / menantang / realistis . 6 ) Target Pendapatan ( TP ) TP = Target pendapatan BLU Realisasi Pendapatan TA x - 1 atau 2 Interpretasi : nilai > 1 maka semakin produktif / menan tang / realistis . Catatan : Penggunaan perhitungan di atas tidak mengenyampingkan penggunaan perhitungan produktivitas berdasarkan literatur akademis . Dalam interpretasi dapat menggunakan standar ( jika ada ) , nilai rasio tahun sebelumnya , atau suatu patokan lain yang relevan . b . Efisiensi ( antara lain kebijakan untuk mengoptimalkan belanja dibandingkan dengan output layanan , proporsi pendapatan operasional dan belanja operasional , serta proporsi per jenis belanja ) . Contoh ( namun tidak terbatas pada ) : 1 ) Rasio Belanja dengan Output Layanan ( RBOL ) RBOL = Belanja = dapat menggunakan belanja operasional , belanja total , atau belanja lain sesuai kebutuhan analisis ) . Interpretasi : semakin kecil nilai maka semakin efisien . 2 ) Rasio belanja operasional dengan pendapatan operasional ( BOPO ) BOPO = Belanja Jumlah Layanan Belanja Operasional Pendapatan Operasional Interpretasi : semakin kecil nilai maka semakin efisien . 3 ) Rasio belanja xxx dengan total belanja Contoh : belanja pegawai / remunerasi . Catatan : Penggunaan perhitungan di atas tidak mengenyampingkan penggunaan perhitungan efisiensi berdasarkan literatur akademis . Dalam interpretasi dapat menggunakan standar ( jika ada ) , nilai rasio tahun sebelumnya , atau suatu patokan lain yang relevan . c . Inovasi ( antara lain ide / gagasan untuk peningkatan layanan utama dan penunjang layanan , optimalisasi aset , penggunaan IT , serta modemisasi BLU ) . < V Inovasi tidak terbatas pada hal - hal yang bersifat IT atau sesuatu dengan konsep besar / rumit . d . Keselarasan / kesesuaian ( antara lain dengan RSB , arah indikator kinerja , dan prioritas pembangunan ) . Contoh ( namun tidak terbatas pada ) : a . Jenis layanan yang diberikan oleh BLU telah sesuai dengan tugas dan fungsi BLU sesuai dengan peraturan / regulasi yang mengatur mengenai layanan BLU . b . Target kinerja BLU antara lain selaras dengan dengan RPJMN , prioritas pembangunan nasional , RSB , dan kebijakan nasional lainnya . Analisis Aspek Keuangan Contoh : Uraian No 2022 ( prognosa ) 1.000 . 000 2023 ( proyeksi ) Saldo awal 1 . 1.000 . 000 Belanja BLU 2 . 2.000 . 000 2.000 . 000 Pengeluaran pembiayaan 3 .

    1.

    000 . 000 Pendapatan BLU 800.000 4 . Penerimaan pembiayaan 5 .

    500.

    000 Kebutuhan Rupiah Murni APBN 1.200 . 000 6 . Keterangan : BLU sedang menyusun RBA BLU TA 2023 : • Diproyeksikan terdapat saldo awal 1.000 . 000 , yang berasal dari perhitungan saldo akhir RBA TA 2022 , dan akan digunakan 600.000 untuk belanja peralatan dan mesin ( terdapat sisa 400.000 ) . • Direncanakan belanja sebesar 2.000 . 000 . • Direncanakan pendapatan 1.000 . 000 . Akan digunakan 900.000 . • Rencana saving dana untuk tahun berikutnya sebesar 500.000 ( dari sisa saldo awal 400.000 dan sisa pendapatan 100.000 ) untuk keperluan belanja gedung dan bangunan ( akan menjadi saldo akhir TA 2023 dan saldo awal TA 2024 ) . • Berdasar rencana tersebut , BLU membutuhkan Rupiah Murni APBN sebesar 500.000 ( belanja 2.000 . 000 - penggunaan saldo awal 600.000 - pendapatan yang digunakan 900.000 ) . ERAL PERBENDAHARAAN , DIREKT W % & HI , t \ HjjCfpANTOj ^ as U 1 WA & LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR PERBENDAHARAAN NOMOR PER - 2 / ^PB / ^2022 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN BADAN LAYANAN UMUM JENDERAL FORMAT IKHTISAR RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN Target Pendapatan / Penerimaan Pembiayaan Menurut Program dan Kegiatan Tahun Anggaran 20 xx Program / Kegiatan / Sumber Pendapatan Kode Target 9.999 . 999 Program ( memuat uraian Program ) xxx . xx . xx Kegiatan [ memuat uraian Kegiatan ) 9.999 . 999 xxxx Sumber Pendapatan : [ diisi sesuai kebutuhan ) 9.999 . 999 Pendapatan Jasa Layanan Umum 9.999 . 999 9.999 . 999 xxxxxx Pendapatan Hibah BLU 9.999 . 999 9.999 . 999 xxxxxx Pendapatan Hasil Keijasama BLU 9.999 . 999 9.999 . 999 xxxxxx 9.999 . 999 Pendapatan BLU Lainnya 9.999 . 999 xxxxxx Jumlah Pendapatan 9.999 . 999 Sumber Penerimaan Pembiayaan : __ ^[ diisi sesuai kebutuhan ) 9.999 . 999 Pinjaman jangka pendek 9.999 . 999 9.999 . 999 xxxxxx Pinjaman jangka panjang 9.999 . 999 9.999 . 999 xxxxxx Penerimaan kembali / ^penjuaian inveslasi ^jangka ^panjang ^ BLU 9.999 . 999 9.999 . 999 xxxxxx 9.999 . 999 Jumlah Penerimaan Pembiayaan Belanja / Pengeluaran Pembiayaan menurut Program dan Kegiatan Tahun Anggaran 20 XX Target / Volume Satuan Alokasi * ) Unit Kcrja Penanggung Jawab Uraian Program / 1 KU Program / Kegiatan / ^IKK / ^KRO / Sumber Dana Kode Belanja Modal Pengeluaran Pembiayaan Belanja Pegawai Belanja Barang Bantuan Sosial 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 Program xxx . xx . xx 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 IKU Program 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 Kegiatan Xxxx 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 IKK Unit...9.999 . 999 9.999 . 999 99 sat 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 KRO xxxx . xx 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 1 . RM 2 . RMP 3 . PNBP 4 . BLU 9.999 . 999 99 sat Unit ... 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 KRO xxxx . xx 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 1 . RM 2 . RMP 3 . PNBP 4 . BLU 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 JUMLAH SUMBER DANA :

    9.

    999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 RM 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 RMP 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 PNBP 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 BLU 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 A . TA Berjalan 9.999 . 999 9.999 , 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 B . Saldo Kas 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 PLN 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 HLN 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 PDN 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 9.999 . 999 HDN Keterangan : detail sampai dengan jenis belanja DIREKTURJENDERAL ^PERBENDAHARAAN ^, £ * : 2 s LW * = c * < 2 % &

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
    137/PMK.02/2021

    Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersifat Volatil dan Kebutuhan Mendesak pada Badan Pengawas Tenaga Nuklir ...

    • Ditetapkan: 05 Okt 2021
    • Diundangkan: 07 Okt 2021

    Relevan terhadap

    MengingatTutup
    1.

    Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    2.

    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

    3.

    Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6245);

    4.

    Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5553);

    5.

    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 268, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6584);

    6.

    Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617);

    7.

    Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);

    8.

    Peraturan Menteri Keuangan Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    KEMENTERIAN KEUANGAN | ELEKTRONIK
    111/PMK.01/2018

    Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik di Kementerian Keuangan

    • Ditetapkan: 07 Sep 2018
    • Diundangkan: 10 Sep 2018

    Relevan terhadap

    Pasal 11Tutup

    Dalam pelaksanaan pembinaan dan layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Biro Manajemen BMN dan Pengadaan Kementerian Keuangan menyelenggarakan fungsi:

    a.

    pelaksanaan analisis, penyiapan pembinaan dan bimbingan teknis, dan penelaahan, analisis, koordinasi, dan evaluasi di bidang pengadaan barang/jasa;

    b.

    pelaksanaan analisis, penyiapan pembinaan, dan bimbingan teknis, penyusunan regulasi, pengembangan strategi, manajemen risiko dan kinerja, penjaminan kualitas, serta penyelesaian tindak lanjut audit di bidang pengadaan barang/jasa;

    c.

    pelaksanaan analisis, penyusunan strategi dan rencana pemilihan, analisis dan penyiapan dokumen pemilihan, pelaksanaan pemilihan, pelaporan pelaksanaan pemilihan Penyedia, dan pelaksanaan pendampingan dan asistensi pelaksanaan kontrak, pelaksanaan agen pengadaan barang/jasa dan penyusunan katalog sektoral, dan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengadaan barang/jasa;

    d.

    pelaksanaan registrasi, verifikasi pengguna sistem, penyiapan sistem pengelolaan Pelaku Usaha ( Vendor Management System ), evaluasi dan kinerja Penyedia, konsultansi dan layanan penanganan keluhan, perlindungan, pembinaan jabatan fungsional, penguatan kapasitas pengadaan barang/jasa di lingkungan Kementerian Keuangan, dan pembinaan terhadap Pelaku Usaha; dan

    e.

    pelaksanaan penyusunan kajian, analisis, perancangan, pengembangan, uji kelayakan, pemantauan, pemeliharaan otomasi dan interkoneksi proses bisnis, pelaksanaan analisis strategi komunikasi, publikasi, sosialisasi, diseminasi dan kerjasama dengan Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah, dan pelaksanaan penyiapan, analisis, penyusunan, evaluasi, dan pengelolaan data dan informasi, dan pengadaan barang/jasa, dan pelaksanaan pengelolaan perjanjian tingkat layanan ( service level agreement ) pengadaan barang/jasa. Bagian Ketiga __ Admin PPE

    Thumbnail
    BMN BMN | BIDANG PERIMBANGAN KEUANGAN | HUKUM KEUANGAN NEGARA
    99/PMK.08/2021

    Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.08/2017 tentang Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Dasar Penerbitan Surat Berharga Syariah ...

    • Ditetapkan: 28 Jul 2021
    • Diundangkan: 29 Jul 2021

    Relevan terhadap

    Pasal 6Tutup
    (1)

    Direktur Jenderal Kekayaan Negara menyampaikan usulan Daftar Nominasi Aset SBSN kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat permintaan kebutuhan BMN sebagai Aset SBSN dari Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

    (2)

    Daftar Nominasi Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen elektronik yang berisi antara lain dokumen penatausahaan BMN dan/atau dokumen pendukung BMN lain.

    (3)

    Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai Aset SBSN belum memiliki bukti kepemilikan BMN, Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri dapat menerbitkan pernyataan mengenai status kepemilikan, penggunaan, dan penguasaan BMN yang bersangkutan setelah dilakukan Legal Due Diligence .

    (4)

    Penerbitan pernyataan Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan menggunakan tata naskah dinas secara elektronik sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Kementerian Keuangan.

    5.

    Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Thumbnail
    UNIT ORGANISASI | SUMBER DAYA MANUSIA
    146/PMK.01/2020

    Manajemen Sumber Daya Manusia pada Unit Organisasi Non Eselon Kementerian Keuangan

    • Ditetapkan: 06 Okt 2020
    • Diundangkan: 06 Okt 2020

    Relevan terhadap

    Pasal 6Tutup
    (1)

    Unit non Eselon menyusun kebutuhan jumlah, jenis jabatan, dan komposisi PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja.

    (2)

    Unit non Eselon menyampaikan usulan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Unit Kerja Pembina dan ditembuskan kepada Kepala Biro Sumber Daya Manusia.

    (3)

    Penyusunan dan penyampaian kebutuhan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada ketentuan mengenai perencanaan sumber daya manusia yang berlaku di Kementerian Keuangan.

    Pasal 29Tutup
    (1)

    Manajemen SDM bagi PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, terdiri atas:

    a.

    penetapan kebutuhan;

    b.

    pengadaan;

    c.

    penilaian kinerja;

    d.

    penggajian, tunjangan, dan fasilitas;

    e.

    pengembangan kompetensi;

    f.

    pemberian penghargaan;

    g.

    kode etik dan kode perilaku serta disiplin;

    h.

    pemutusan hubungan perjanjian kerja;

    i.

    perlindungan; dan

    j.

    cuti dan perizinan.

    (2)

    Penetapan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

    a.

    Unit non Eselon menyusun jumlah, jenis jabatan, dan komposisi PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja; dan

    b.

    Unit non Eselon menyampaikan usulan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK kepada Unit Kerja Pembina dan ditembuskan kepada Sekretariat Jenderal c.q. Biro Sumber Daya Manusia, dengan mengacu pada ketentuan mengenai perencanaan sumber daya manusia yang berlaku di Kementerian Keuangan.

    (3)

    Pelaksanaan Manajemen SDM bagi PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai manajemen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.

    Thumbnail
    TARIF PNBP Tarif PNBP | HUKUM KEUANGAN NEGARA | BELANJA SUBSIDI
    PMK 2 TAHUN 2024

    Tata Cara Perhitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi yang Dikenakan terhadap Kenaikan Penerimaan Nega ...

    • Ditetapkan: 05 Jan 2024
    • Diundangkan: 09 Jan 2024

    Relevan terhadap

    MemutuskanTutup

    Menetapkan PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG TATA CARA PERHITUNGAN PERSENTASE TERTENTU ATAS PENINGKATAN BELANJA SUBSIDI ENERGI DAN/ ATAU KOMPENSASI YANG DIKENAKAN TERHADAP KENAIKAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SUMBER DAYA ALAM YANG DIBAGIHASILKAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN. 3. Sumber Daya Alam adalah bumi, air, udara, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara. 4. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

    5.

    Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi. 6. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. 7. Bahan Bakar Minyak yang selanjutnya disingkat BBM adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi. 8. Liquified Petroleum Gas yang selanjutnya disingkat LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya. 9. Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu yang selanjutnya disebut Jenis BBM Tertentu adalah bahan bakar yang berasal dan/ a tau diolah dari minyak bumi dan/ a tau bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi yang telah dicampurkan dengan bahan bakar nabati (biofueij sebagai bahan bakar lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi), harga, volume, dan konsumen tertentu dan diberikan subsidi. 10. LPG Tabung 3 (Tiga) Kg yang selanjutnya disebut LPG Tabung 3 Kg adalah LPG yang diisikan ke dalam tabung dengan berat isi 3 Kg. 11. Tenaga Listrik yang selanjutnya disebut Listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat. 12. Subsidi Energi adalah belanja subsidi Jenis BBM Tertentu, LPG Tabung 3 Kg, dan Listrik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 13. Kompensasi Energi adalah kompensasi harga jual eceran bahan bakar minyak dan dana kompensasi tarif tenaga listrik. 14. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari transfer ke daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan daerah, serta kepada daerah lain non penghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. Pasal 2 PNBP yang berasal dari Sumber Daya Alam yang dibagihasilkan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, terdiri atas:

    a.

    PNBP yang berasal dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi; dan

    b.

    PNBP yang berasal dari kegiatan usaha pertambangan Batubara. Pasal 3 Target PNBP yang berasal dari Sumber Daya Alam yang dibagihasilkan ke pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tercantum dalam APBN. Pasal 4 (1) Pemerintah melaksanakan kebijakan pemberian Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    a.

    subsidi Jenis BBM Tertentu;

    b.

    subsidi LPG Tabung 3 Kg;

    c.

    subsidi Listrik;

    d.

    kompensasi BBM; dan

    e.

    kompensasi Listrik. (3) Pemerintah dapat melakukan kebijakan peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kebutuhan pada tahun anggaran berjalan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB II PERHITUNGAN PERSENTASE TERTENTU ATAS PENINGKATAN BELANJA SUBSIDI ENERGI DAN/ ATAU KOMPENSASI ENERGI YANG DIKENAKAN TERHADAP PERKIRAAN KENAIKAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN .PAJAK YANG BERASAL DARI KEGIATAN USAHA HULU MINYAK BUMI DAN GAS BUMI YANG DIBAGIHASILKAN Bagian Kesatu Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi yang Dibagihasilkan Pasal 5 (1) PNBP yang berasal dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi. (2) PNBP yang berasal dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagihasilkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Perhitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi Yang Dikenakan Terhadap Perkiraan Kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak Minyak Bumi dan Gas Bumi yang Dibagihasilkan Pasal 6 (1) Pemerintah dapat memperhitungkan persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi, dalam hal perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) melampaui target penerimaan dalam APBN yang diikuti dengan kebijakan peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi. (2) Perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang melampaui target penerimaan dalam APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US dollar) dan/atau kenaikan harga minyak mentah Indonesia dari target yang ditetapkan dalam APBN. (3) Persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari total peningkatan belanja Subsidi Energi dan Kompensasi Energi, dengan memperhatikan besarnya pengaruh dari masing-masing faktor yang memengaruhi perkiraan kenaikan PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi. (4) Dalam hal peningkatan nilai belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi lebih besar atau sama dengan nilai perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi, maka pembebanan nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi menggunakan sebagian atau paling tinggi 100% (seratus persen) dari jumlah perkiraan kenaikan PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan. (5) Pembebanan atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi terhadap kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi dihitung dengan menggunakan formula dan mengacu pada simulasi perhitungan yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 7 (1) Penghitungan dan penetapan DBH yang bersumber dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi dilaksanakan dengan mempertimbangkan nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dikenakan pada perkiraan kenaikan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (2) Tata cara penghitungan dan penetapan DBH yang bersumber dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III PERHITUNGAN PERSENTASE TERTENTU ATAS PENINGKATAN BELANJA SUBSIDI ENERGI DAN/ ATAU KOMPENSASI ENERGI YANG DIKENAKAN TERHADAP PERKIRAAN KENAIKAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN BATUBARA YANG DIBAGIHASILKAN Bagian Kesatu Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Pertambangan Batubara yang Dibagihasilkan Pasal 8 (1) PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hurufb, terdiri atas:

    a.

    iuran tetap pertambangan Batubara; dan

    b.

    iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara. (2) PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagihasilkan kepada daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Perhitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi Yang Dikenakan Terhadap Perkiraan Kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kegiatan Usaha Pertambangan Batubara yang Dibagihasilkan Pasal 9 (1) Pemerintah dapat meinperhitungkan persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, dalam hal perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara melampaui target penerimaan dalam APBN yang diikuti dengan kebijakan peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi. (2) Perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royalti pertambangan Batubara yang melampaui target penerimaan dalam APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ( US dollar) dari target yang ditetapkan dalam APBN dan/atau kenaikan harga Batu.hara acuan yang digunakan dalam perhitungan perkiraan realisasi PNBP dibandingkan dengan harga Batubara acuan yang digunakan dalam perhitungan target PNBP. (3) Persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari total peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi, dengan memperhatikan besarnya pengaruh dari masing-masing faktor yang memengaruhi kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara. (4) Dalam hal peningkatan nilai belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi lebih besar a tau sama dengan nilai kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara, maka pembebanan nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi menggunakan se bagian a tau paling tinggi 100% (seratus persen) darijumlah perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa 1uran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan. (5) Pembebanan atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi terhadap kenaikan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan dihitung dengan menggunakan formula dan mengacu pada simulasi perhitungan yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 10 (1) Penghitungan dan penetapan DBH Sumber Daya Alam dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara dilaksanakan dengan mempertimbangkan nilai pembebanan kenaikan perkiraan realisasi PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara terhadap nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi se bagaimana dim aksud dalam Pasal 9. (2) Tata cara penghitungan dan penetapan DBH Sumber Daya Alam dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royalti pertambangan Batubara dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB IV PENETAPAN PERSENTASE TERTENTU ATAS PENINGKATAN BELANJA SUBSIDI ENERGI DAN/ATAU KOMPENSASI ENERGI YANG DtKENAKAN TERHADAP PERKIRAAN KENAIKAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI KEGIATAN USAHA HULU MINYAK BUMI DAN GAS BUMI DAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN BATUBARA YANG DIBAGIHASILKAN Pasal 11 (1) Dalam hal terdapat kebijakan peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi pada tahun anggaran berjalan, Direktorat Jenderal Anggaran menghitung jumlah kenaikan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan pada perkiraan kenaikan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan. (2) Direktur Jenderal Anggaran c.q. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan menyampaikan permihtaan angka perkiraan kenaikan realisasi PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral selaku Instansi Pengelola PNBP kegiatan usaha pertambangan Batubara. (3) Angka peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung oleh Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan, berdasarkan:

    a.

    Undang-Undang mengenai APBN atau APBN Perubahan;

    b.

    Peraturan Presiden mengenai rincian APBN atau rincian APBN Perubahan; dan/atau

    c.

    Dokumen penyesuaian APBN, diantaranya risalah rapat koordinasi asset liabilities committee (ALCo) atau dokumen yang dipersamakan. (4) Angka perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan, dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP berdasarkan:

    a.

    Undang-Undang mengena1 APBN atau APBN Perubahan;

    b.

    Peraturan Presiden mengenai rincian APBN atau APBN Perubahan; dan/atau

    c.

    Dokumen penyesuaian APBN, diantaranya Laporan Semester, Prognosa, dan/atau dokumen lain yang dipersamakan. (5) Instansi Pengelola PNBP menyampaikan angka perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Direktur J enderal Anggaran c. q. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan untuk dilakukan penelitian.

    (6)

    Berdasarkan angka peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan angka perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan menghitung nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa 1uran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan. (7) Nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa 1uran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan dihitung secara proporsional dengan mempertimbangkan nilai peningkatan masing-masing PNBP. (8) Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan melaksanakan rapat pembahasan dalam rangka penetapan nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan, dengan melibatkan unit terkait di lingkup Kementerian Keuangan, Instansi Pengelola PNBP terkait, dan/atau Aparat Pengawas Intern Pemerintah Kementerian Keuangan. (9) Hasil kesepakatan rapat pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pejabat eselon II atau setingkat yang berwenang. (10) Besaran nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan terhadap perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sesuai hasil kesepakatan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai dasar penghitungan DBH dengan ditembuskan kepada Kementerian Dalam Negeri melalui Surat Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan. Pasal 12 (1) Besaran nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan pada perkiraan kenaikan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10) bersifat sementara. (2) Besaran nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi dan nilai perkiraan realisasi tahun berjalan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan dalam satu tahun anggaran secara final berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat audited yang diterbitkan oleh instansi pemeriksa yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terdapat perbedaan antara angka yang digunakan dalam perhitungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan angka yang digunakan dalam perhitungan final sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selisih kurang/lebih akan diperhitungan dalam penetapan besaran nilai peningkatan belanja Subsidi Energi dan/ a tau Kompensasi Energi yang dapat dikenakan pada perkiraan kenaikan realisasi PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/royalti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan pada tahun anggaran berikutnya. (4) Menteri Keuangan menetapkan perhitungan selisih kurang/lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Kenaikan PNBP dari kegiatan usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi berupa PNBP Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagihasilkan dan PNBP dari kegiatan usaha pertambangan Batubara berupa iuran produksi/ royal ti pertambangan Batubara yang dibagihasilkan dan diperhitungkan dengan persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi, tidak dibagihasilkan ke daerah dan tidak diperhitungkan sebagai kurang bayar DBH. Pasal 13 Peraturan Menteri m1 berlaku sepanjang kewenangan Pemerintah untuk melakukan perhitungan persentase tertentu atas peningkatan belanja Subsidi Energi dan/atau Kompensasi Energi yang dikenakan terhadap kenaikan PNBP Sumber Daya Alam yang dibagihasilkan diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN Perubahan. BABV KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penghitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Belanja Subsidi dan Kompensasi Energi terhadap Kenaikan Penerimanaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang Dibagihasilkan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1393) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.02/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194 /PMK.02/2021 ten tang Tata Cara Penghitungan Persentase Tertentu atas Peningkatan Belanja Subsidi dan Kompensasi Energi terhadap Kenaikan Penerimanaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang Dibagihasilkan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 593), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Pasal 15 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

    Thumbnail
    PENILAI | DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA
    PMK 99 TAHUN 2024

    Penilaian oleh Penilai Pemerintah di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara

    • Ditetapkan: 10 Des 2024
    • Diundangkan: 17 Des 2024

    Relevan terhadap

    Pasal 74Tutup
    (1)

    Dalam hal Penilai Pemerintah menggunakan metode pembanding perusahaan tercatat di bursa efek ( guideline publicly traded company method ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a, perusahaan pembanding merupakan perusahaan yang telah memiliki harga pasar yang terjadi dalam jangka waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan sebelum tanggal Penilaian.

    (2)

    Dalam hal Penilai Pemerintah menggunakan metode pembanding perusahaan tertutup ( guideline transaction method atau direct market data method ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf b, perusahaan pembanding merupakan perusahaan yang telah memiliki harga transaksi yang relevan, bersifat wajar ( arms-length ) dan bukan transaksi antara pihak yang terafiliasi ( non- related parties transaction ) atau dalam satu pengendalian ( under common control transaction ).

    (3)

    Perusahaan pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memiliki kriteria:

    a.

    industri, kegiatan usaha, produk, dan risiko usaha yang sejenis;

    b.

    karakteristik pertumbuhan penjualan dan pendapatan ( growth in sales and earnings ) serta struktur permodalan ( capital structure ) yang sebanding;

    c.

    kinerja keuangan historis selama 5 (lima) tahun terakhir yang sebanding;

    d.

    ukuran perusahaan ( total asets ) yang sebanding; dan/atau

    e.

    pangsa pasar ( market share ) yang sebanding.

    (4)

    Dalam hal Penilai Pemerintah menggunakan metode pembanding perusahaan merger dan akuisisi ( guideline merged and acquired company method ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf c, perusahaan pembanding memiliki kriteria:

    a.

    perusahaan pernah melakukan transaksi merger atau akusisi yang bersifat wajar ( arms-length ) dan bukan transaksi antara pihak yang terafiliasi ( non- related parties transaction ) atau dalam satu pengendalian ( under common control transaction ); dan

    b.

    memiliki bidang usaha yang sama.

    (5)

    Dalam hal Penilai Pemerintah menggunakan metode transaksi sebelumnya ( prior transactions method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf d, maka persyaratan yang perlu dipenuhi meliputi:

    a.

    metode sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tidak dapat digunakan karena keterbatasan data; dan

    b.

    harga transaksi sebelumnya bersifat wajar ( arms- length). (6) Dalam hal Penilai Pemerintah menggunakan metode perbandingan data pasar ( market comparation method ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf e, data pembanding mengacu kepada aktivitas pasar, yang meliputi:

    a.

    transaksi; atau

    b.

    penawaran yang sejenis (7) Dalam hal Penilai Pemerintah menggunakan metode pemodelan matematika atau statistik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf f, tahapan yang dilakukan meliputi:

    a.

    mengumpulkan data transaksi atau penawaran atas objek yang sejenis dengan objek Penilaian;

    b.

    menentukan faktor yang menjadi variabel bebas yang mempengaruhi pembentukan nilai;

    c.

    melakukan analisis ekonometrika dalam pembuatan model; dan

    d.

    menentukan indikasi nilai berdasarkan hasil analisis ekonometrika.

    (8)

    Analisis matematika atau statistik dalam pembuatan model sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c dapat menggunakan teknik Penilaian otomatis yang berbasis perangkat lunak.

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Penilaian adalah proses kegiatan yang dilakukan seorang penilai untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek Penilaian pada tanggal tertentu.

    2.

    Penilai adalah seseorang yang memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk melakukan Penilaian serta diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

    3.

    Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

    4.

    Pejabat Fungsional Penilai adalah PNS yang diangkat dalam jabatan fungsional Penilai dan diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh untuk melaksanakan kegiatan di bidang Penilaian, termasuk atas hasil Penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    5.

    Pejabat Fungsional Analis Keuangan Negara di Bidang Penilaian adalah PNS yang diangkat dalam jabatan fungsional analisis keuangan negara dan berkedudukan di direktorat yang memiliki tugas dan fungsi perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang Penilaian.

    6.

    Penilai Pemerintah di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Penilai Pemerintah adalah Pejabat Fungsional Penilai yang berkedudukan di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan Pejabat Fungsional Analis Keuangan Negara di Bidang Penilaian.

    7.

    Pemohon Penilaian yang selanjutnya disebut Pemohon adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan Penilaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    8.

    Pengelola Sektor adalah menteri/pimpinan lembaga, pemerintah daerah, atau pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kewenangan untuk melakukan pengelolaan kekayaan yang dikuasai negara pada sektor tertentu.

    9.

    Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian.

    10.

    Nilai Pasar adalah estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh atau dibayar untuk penukaran suatu aset atau liabilitas pada tanggal Penilaian, antara pembeli yang berminat membeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, dimana kedua pihak masing- masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian, dan tanpa paksaan.

    11.

    Nilai Likuidasi adalah estimasi sejumlah uang yang akan diterima dari penjualan suatu aset dalam jangka waktu yang relatif pendek untuk dapat memenuhi jangka waktu pemasaran secara layak.

    12.

    Nilai Ekonomi adalah estimasi nilai atas pemanfaatan sumber daya alam secara fisik dan/atau sebagai jasa ekosistem, baik langsung maupun tidak langsung dan/atau nilai yang mencerminkan keberlanjutan akan fungsi dan/atau manfaat sumber daya alam.

    13.

    Nilai Penggantian Wajar adalah nilai untuk kepentingan pemilik yang didasarkan kepada kesetaraan dengan Nilai Pasar atas suatu properti, dengan memperhatikan unsur luar biasa berupa kerugian nonfisik yang diakibatkan adanya pengambilalihan hak atas properti.

    14.

    Nilai Investasi adalah nilai dari suatu aset bagi pemilik atau calon pemilik untuk investasi individu atau tujuan operasional.

    15.

    Properti adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang memiliki konsep kepemilikan, hak dan kepentingan, nilai, serta dapat membentuk kekayaan.

    16.

    Bisnis adalah kepemilikan dalam perusahaan yang meliputi penyertaan dalam perusahaan, surat berharga, aset keuangan lainnya, dan aset tak berwujud.

    17.

    Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat SDA adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas SDA hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.

    18.

    Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman Lelang.

    19.

    Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

    20.

    Barang Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BMD adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

    21.

    Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa yang selanjutnya disingkat ABMA/T adalah aset yang dikuasai negara berdasarkan:

    a.

    Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/PEPERPU/1958 jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439/1958 jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960;

    b.

    Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962;

    c.

    Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 jo. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/1964; dan

    d.

    Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T0403/G5/5/66.

    22.

    Benda Sitaan adalah semua benda yang disita oleh penyidik, penuntut umum atau pejabat yang berwenang untuk menyita barang guna keperluan barang bukti dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan, atau sebagai jaminan untuk melunasi utang pajak, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

    23.

    Benda Sita Eksekusi adalah barang rampasan negara yang berasal dari hasil penyitaan dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk membayar denda atau uang pengganti dalam perkara pidana.

    24.

    Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik penanggung utang dan/atau penjamin utang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian utang.

    25.

    Barang Rampasan Negara adalah BMN yang berasal dari barang bukti yang ditetapkan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, atau barang yang berdasarkan penetapan hakim atau putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara dan/atau barang hasil sita eksekusi dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan untuk membayar denda atau uang pengganti dalam perkara pidana.

    26.

    Barang Temuan adalah barang sitaan atau barang yang diduga berasal dari atau terkait tindak pidana, yang tidak diketahui lagi pemiliknya.

    27.

    Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik penanggung utang atau pihak yang memperoleh hak yang tidak dilakukan pengikatan sebagai jaminan utang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi jaminan penyelesaian utang.

    28.

    Kekayaan Yang Dikuasai Negara adalah kekayaan negara atas bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta kekayaan lainnya dalam wilayah dan yurisdiksi Republik Indonesia yang dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

    29.

    Jasa Ekosistem atau Jasa Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Jasa Ekosistem adalah kontribusi ekosistem terhadap manfaat yang digunakan dalam aktivitas ekonomi dan manusia lainnya, yang terdiri atas jasa penyediaan ( provisioning ), jasa pendukung ( supporting ), jasa pengaturan ( regulating ), dan jasa budaya ( cultural ).

    30.

    Basis Data adalah kumpulan data dan informasi pendukung lainnya yang berkaitan dengan Penilaian yang disimpan dalam media penyimpanan data.

    31.

    Entitas adalah suatu unit usaha, dengan aktivitas atau berfokus pada kegiatan ekonomi.

    32.

    Ekuitas adalah hak residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban.

    33.

    Kerugian Ekonomis adalah kerugian yang diakibatkan oleh suatu kegiatan atau peristiwa tertentu sebagai bagian dari tindakan korporasi atau atas transaksi material.

    34.

    Instrumen Keuangan adalah setiap kontrak yang menambah nilai aset keuangan dan liabilitas keuangan Ekuitas atau instrumen Ekuitas Entitas lain.

    35.

    Aset Tak Berwujud yang selanjutnya disingkat ATB adalah aset nonkeuangan yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa atau digunakan untuk tujuan lainnya termasuk hak atas kekayaan intelektual.

    36.

    Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, Penilaian, dan Lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    37.

    Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal. 38. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah pada Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas melaksanakan koordinasi, bimbingan teknis, supervisi, pengendalian, evaluasi dan pelaksanaan tugas di bidang kekayaan negara, Penilaian, dan Lelang.

    39.

    Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas melaksanakan pelayanan di bidang kekayaan negara, Penilaian, dan Lelang.

    40.

    Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

    41.

    Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah Pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan negara, Penilaian, dan Lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    42.

    Direktur Penilaian yang selanjutnya disebut Direktur adalah pejabat unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang Penilaian.

    Thumbnail
    BIDANG PENGELOLAAN PEMBIAYAAN RESIKO
    KepDJPPR KEP-47/PR/2019

    Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2019

    • Ditetapkan: 20 Agu 2019

    Relevan terhadap

    MemutuskanTutup
    2.

    Keputusan Presiden 2017;

    3.

    Peraturan Menteri KEPUTUSAN PEMBIAYAAN PEMBIAYAAN 2019. Nomor l4l ITPA Tahun Keuangan Nomor DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN DAN RISIKO TENTANG STRATEGI TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN Menetapkan ?l KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERTAMA : Dalam Keputusan Direktur Jenderal ini, ^yang dimaksud dengan:

    1.

    Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara;

    2.

    Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya;

    3.

    Obligasi Negara yang selanjutnya disingkat ON adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto;

    4.

    Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto;

    5.

    Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing;

    6.

    SBSN Jangka Panjang adalah SBSN berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto;

    7.

    SBSN Jangka Pendek atau disebut Surat Perbendaharaan Negara Syariah yang selanjutnya disingkat SPNS adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan secara diskonto;

    8.

    Pinjaman meliputi Pinjaman Dalam Negeri dan Pinjaman Luar Negeri;

    9.

    Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya;

    10.

    Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk SBN, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu;

    11.

    Pinjaman Kegiatan adalah PLN yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu;

    12.

    Pinjaman T\rnai adalah PLN dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. -u, ^L d1' KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUA KETIGA KEEMPAT Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang tahun 2OI9 yang selanjutnya disebut SPTMU memuat:

    1.

    Tujuan;

    2.

    Kebijakan umum;

    3.

    Pembiayaan melalui utang;

    4.

    Sumber pembiayaan melalui utang;

    5.

    Pengelolaan portofolio utang;

    6.

    Indikator risiko pembiayaan utang; dan

    7.

    Outstanding utang di akhir tahun 2Ot9. Tujuan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 1 sebagai berikut:

    1.

    Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang tahun 2Ol9 dan membiayai kembali utang jatuh tempo dengan biaya yang minimal dan risiko yang terkendali;

    2.

    Mendukung terbentuknya pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam ^jangka panjang; dan

    3.

    Meningkatkan akuntabilitas publik sebagai bagian dari pengelolaan utang Pemerintah yang transparan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 2 sebagai berikut:

    1.

    Mengendalikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada level yang aman dengan mempertimbangkan kemampuan membayar kembali; Meningkatkan optimalisasi biaya utang untuk mendukung kesinambungan fiskal melalui optimalisasi pinjaman tunai, dan peningkatan kinerja kegiatan yang dibiayai dengan utang; Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan memanfaatkan sumber utang luar negeri sebagai pelengkap; Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembi ayaan dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik; Melakukan upaya lengthening duration untuk mengendalikan utang jatuh tempo ^jangka pendek- menengah melalui pelaksanaan penerbitan SBN dan pengelolaan portofolio utang secara aktif untuk mengendalikan biaya dan risiko utang; Meningkatkan koordinasi pengelolaan likuiditas dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka Asse/ Liabilitg Management (ALM); Mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif antara lain melalui pengadaan pinjaman kegiatan dan penerbitan SBN berbasis proyek yang mendukung program pembangunan nasional; 2t r 2_ 3.

    4.
    5.
    6.
    7.

    KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KELIMA KEBNAM KETUJUH 8. Mengoptimalkan pinjaman tunai untuk meningkatkan fleksibilitas pemenuhan pembiayaan melalui utang dengan mempertimbangkan kapasitas pemberi pinjaman dan biaya serta risiko pinjaman;

    9.

    Memperkuat dan mengoptimalkan ^peran hubungan investor dan kelembagaan, optimalisasi strategi komunikasi dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka perluasan basis investor untuk menciptakan gambaran dan pengetahuan positif mengenai SBN;

    10.

    Meningkatkan pendalaman pasar domestik dengan mengoptimalkan penerbitan SBN ritel secara dalam ^jaringan (online);

    11.

    Meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam pengembangan instrumen pembiayaan untuk mendukung pendalaman pasar domestik; dan

    12.

    Melaksanakan sosialisasi dan pemasaran SBN dalam negeri sebagai strategi untuk meningkatkan investor domestik dan mendorong penambahan investor usia muda. Pembiayaan melalui utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 3 sebesar Rp373.882,0 miliar (tiga ratus tujuh puluh tiga ribu delapan ratus delapan puluh dua koma nol miliar rupiah) yang terdiri atas SBN neto sebesar Rp381.833,9 miliar (tiga ratus delapan puluh satu ribu delapan ratus tiga puluh tiga koma sembilan miliar rupiah) dan Pinjaman neto sebesar negatif Rp7.951,8 miliar (tujuh ribu sembilan ratus lima puluh satu koma delapan miliar rupiah). Dengan memperhatikan outlook defisit APBN tahun anggaran 2019, pembiayaan non-utang, dan utang jatuh tempo, maka kebutuhan pembiayaan melalui utang ditetapkan sebesar Rp87 L463,8 miliar (delapan ratus tujuh puluh satu ribu empat ratus enam puluh tiga koma delapan miliar rupiah) dengan rincian sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Sumber pembiayaan melalui utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 4 terdiri atas:

    1.

    Pembiayaan melalui penerbitan SBN sebesar Rp791.781,3 miliar (tujuh ratus sembilan puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma tiga miliar rupiah). Pembiayaan melalui penerbitan SBN dimaksud tidak termasuk penerbitan SPN dan SPNS yang akan jatuh tempo pada tahun 2Ol9 sebesar Rp50.000,0 miliar (lima puluh ribu koma nol miliar rupiah), sehingga penerbitan SBN bruto sebesar Rp841.781,3 miliar (delapan ratus empat puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma tiga miliar rupiah) dan dapat disesuaik; ,t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDELAPAN KESEMBILAN KESEPULUH apabila terdapat perubahan atas utang jatuh tempo pada tahun 2Ol9 dan/atau kebutuhan pembiayaan defisit dan non-utang (neto). 2. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebesar Rp79.682,5 miliar (tujuh puluh sembilan ribu enam ratus delapan puluh dua koma lima miliar rupiah). Penerbitan SBN bruto sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUH angka 1 sebesar Rp841.781,3 miliar (delapan ratus empat puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma tiga miliar rupiah) terdiri atas:

    1.

    Penerbitan SBN Rupiah sebesar Rp722.849,3 miliar (tujuh ratus dua puluh dua ribu delapan ratus empat puluh sembilan koma tiga miliar rupiah); dan

    2.

    Penerbitan SBN dalam valuta asing sebesar Rp118.932,0 miliar (seratus delapan belas ribu sembilan ratus tiga puluh dua koma nol miliar rupiah), dan dapat dioptimalkan hingga sebesar 17,Oo/o (tujuh belas koma nol persen) dari pembiayaan melalui SBN. Rincian lebih lanjut atas penerbitan SBN bruto tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Penerbitan SBN Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 1 dilaksanakan melalui metode lelang dan non-lelang. Penerbitan SBN Rupiah melalui lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan sebagai berikut:

    1.

    Lelang SBN direncanakan sebanyak 48 (empat puluh delapan) kali dengan rincian lelang SUN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali dan lelang SBSN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali. 2. Jenis instrumen, target per lelang dan target total ditetapkan sebagai berikut:

    a.

    SPN dengan tenor 3 (tiga) bulan dengan target indikatif sebesar Rp42.2OO,O miliar (empat puluh dua ribu dua ratus koma nol miliar rupiah);

    b.

    SPNS dengan tenor 6 (enam) bulan danlatau 12 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp39.960,0 miliar (tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus enam puluh koma nol miliar rupiah);

    c.

    SPN dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan/atau L2 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp48.550,0 miliar (empat puluh delapan ribu lima ratus lima puluh koma nol miliar rupiah);

    d.

    ON dengan target indikatif sebesar Rp386.853,0 miliar (tiga ratus delapan puluh enam ribu I ? KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KESEBELAS KEDUABELAS KETIGABELAS delapan ratus lima puluh tiga koma nol miliar rupiah); dan

    e.

    SBSN Jangka Panjang dengan target indikatif sebesar Rp144.926,6 miliar (seratus empat puluh empat ribu sembilan ratus dua puluh enam koma enam miliar rupiah);

    3.

    Target outstanding SPN dan SPNS pada akhir tahun 2OL9 sebesar Rp8O.71O,O miliar (delapan puluh ribu tujuh ratus sepuluh koma nol miliar rupiah);

    4.

    Target indikatif penerbitan per instrumen dan frekuensi lelang dapat diubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan pembiayaan dan kondisi pasar dengan tetap mempertimbangkan target biaya dan risiko utang;

    5.

    Jadwal pelaksanaan lelang serta indikasi target penerbitan akan diumumkan kepada para pihak secara periodik dan terbuka, termasuk bila terdapat perubahan dalam rencana penerbitan. Penerbitan SBN Rupiah melalui non-lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan dengan metode bookbuilding dan priuate placement. Penerbitan SBN dengan metode bookbuilding sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan untuk penerbitan SBN ritel dengan target indikatif sebesar Rp50.000,0 miliar (lima puluh ribu koma nol miliar rupiah) sampai dengan Rp70.000,0 (tujuh puluh ribu koma nol miliar rupiah) dalam 10 (sepuluh) kali penerbitan dan dapat diubah dengan tetap mempertimbangkan target biaya dan risiko utang. Penerbitan SBN dengan metode priuate placement sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan secara terkoordinasi dengan mempertimbangkan:

    1.

    Kebutuhan kas;

    2.

    Hasil pelaksanaan lelang SBN apabila tidak mencapai target dan/atau memiliki biaya yang tinggi; Kebutuhan untuk pengembangan pasar SBN, termasuk pelaksanaan priuate placement secara selektif khususnya bagi investor institusi yang tidak bisa membeli instrumen keuangan lain selain SBN dan investor institusi yang mempunyai kewajiban untuk memiliki portofolio SBN dengan jumlah atau persentase tertentu; dan Penerbitan dalam rangka konversi dana transfer daerah; Penerbitan SBN untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. ?N 3.

    4.
    5.

    KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEEMPATBELAS KELIMABELAS KEENAMBELAS KETUJUHBELAS KEDELAPANBELAS Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 2 terdiri atas penerbitan SUN dalam valuta asing sebesar Rp89.414,4 miliar (delapan puluh sembilan ribu empat ratus empat belas koma empat miliar rupiah) dan penerbitan SBSN dalam valuta asing sebesar Rp29.517 ,6 miliar (dua puluh sembilan ribu lima ratus tujuh belas koma enam miliar rupiah). Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPATBELAS dilakukan dalam mata uang kuat (hard currency) yaitu USD, EUR, JPY, dan latau mata uang lain dengan tujuan untuk:

    1.

    Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, refinancing utang, dan sebagai pelengkap atas penerbitan SBN Rupiah;

    2.

    Melakukan diversifikasi instrumen pembiayaan dalam rangka mengelola biaya dan risiko pembiayaan;

    3.

    Memberikan ruang kepada institusi non- pemerintah untuk memperoleh pembiayaan dari pasar keuangan domestik;

    4.

    Membantu mewujudkan stabilitas moneter dan turut menjaga cadangan devisa;

    5.

    Menyediakan acuan bagi korporasi dalam penerbitan obligasi dalam valuta asing; dan

    6.

    Menyediakan instrumen valas di pasar keuangan domestik untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. Dalam rangka menjamin ketersediaan anggaran di awal tahun anggaran 2019, Pemerintah dapat melakukan penerbitan SBN pada triwulan keempat tahun 2OL8, dengan memperhatikan:

    1.

    Kebutuhan pembiayaan pada bulan Januari 2Ol9;

    2.

    Besaran target pembiayaan utang tahun 2019; dan

    3.

    Kondisi perekonomian dan pasar keuangan. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebagaimana dimaksud Diktum KETUJUH angka 2 terdiri atas penarikan PDN dan penarikan PLN. Penarikan PDN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rpl .373,4 miliar (seribu tiga ratus tujuh puluh tiga koma empat miliar rupiah) dengan mempertimbangkan:

    1.

    Penyelesaian dan percepatan kegiatan-kegiatan prioritas yang telah terkontrak;

    2.

    Percepatan penyelesaian kontrak atas kegiatan- kegiatan prioritas yang telah ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya;

    3.

    Kapasitas Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan dalam menentukan jenis dan t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KESEMBILANBELAS KEDUAPULUH KEDUAPULUHSATU menyelesaikan kegiatan;

    4.

    Kapasitas industri dalam negeri terkait dengan penyediaan barang dan jasa;

    5.

    Kapasitas pemberi PDN; dan

    6.

    Biaya dan risiko pinjaman. Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rp78.3O9,O miliar (tujuh puluh delapan ribu tiga ratus sembilan koma nol miliar rupiah) yang terdiri atas penarikan Pinjaman T\rnai sebesar Rp44.I64,O miliar (empat puluh empat ribu seratus enam puluh empat koma nol miliar rupiah) dan penarikan Pinjaman Kegiatan sebesar Rp34.145,0 miliar (tiga puluh empat ribu seratus empat puluh lima koma nol miliar rupiah). Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILANBELAS dilakukan dengan kebdakan:

    1.

    Mengutamakan pinjaman tingkat bunga tetap (fixed rate) dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang;

    2.

    Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN untuk menghindari tambahan biaya utang dan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) yang optimal;

    3.

    Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN melalui peningkatan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi sebagai upaya menghindari tambahan biaya pinjaman dan untuk mempercepat penyelesaian output dalam rangka pencapaian target pembangunan nasional;

    4.

    Mengutamakan Pinjaman T: nai yar: g bersumber dari pemberi pinjaman multilateral dan bilateral, dengan memperhatikan kapasitas pemberi pinjaman dan ketersediaan program baik kebijakan maupun kegiatan yang menjadi basis pinjaman tunai; dan

    5.

    Mengadakan pinjaman tunai komersial sebagai alternatif terakhir dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang. Dalam rangka mengantisipasi potensi tambahan pembiayaan utang dalam tahun anggaran berjalan, dapat dilakukan penjajakan terhadap sumber-sumber pembiayaan, yang dapat digunakan untuk memenuhi tambahan kebutuhan pembiayaan utang dan/atau dalam rangka fleksibilitas pembiayaan utang. Pengelolaan portofolio utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 5 dilakukan untuk mendukung pencapaian portofolio utang yang optimal, mengendalikan pembayaran bunga utang dan pengembangan pasar SBN domestik melalui program penukaran utang (debt stuitch), pembelian kembali utang secara tunai (cash bugback), dan penataan profil utang (reprofiling). ? KEDUAPULUHDUA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHTIGA KEDUAPULUHEMPAT KEDUAPULUHLIMA KEDUAPULUHENAM KEDUAPULUHTUJUH Indikator risiko pembiayaan utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 6 yang menjadi target terdiri atas:

    1.

    Risiko tingkat bunga (interest rate risk);

    2.

    Risiko pembiayaan kembali (refinancing risk); dan

    3.

    Risiko nilai tukar (exchange rate risk). Dalam rangka pengendalian risiko tingkat bunga sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 1, pengadaan utang mengutamakan tingkat bunga tetap (frx"d rate) dengan tetap membuka ruang pengadaan utang tingkat bunga mengambang (uariable rate) maksimal sebesar 2O,Oo/o (dua puluh koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Risiko pembiayaan kembali sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 2 ditargetkan dengan indikator:

    1.

    Rata-rata utang jatuh tempo (Auerage Time to Matuity) penerbitan SBN sebesar 8,9 (delapan koma sembilan) sampai dengan 9,9 (sembilan koma sembilan) tahun, pengadaan Pinjaman sebesar 9,8 (sembilan koma delapan) sampai dengan 1O,8 (sepuluh koma delapan) tahun, dan pengadaan utang sebesar 9,O (sembilan koma nol) sampai dengan 10,0 (sepuluh koma nol) tahun; dan

    2.

    Porsi utang yang jatuh tempo dalam 1 (satu) tahun maksimal l2,Oo/o (dua belas koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Dalam rangka pengendalian risiko nilai tukar sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 3, indikator yang ditargetkan sebagai berikut:

    1.

    Penerbitan SBN dalam valuta asing dibatasi maksimal sebesar l7,Oo/o (tujuh belas koma nol persen) dari pembiayaan melalui SBN;

    2.

    Utang dalam valuta asing sebesar maksimal2S,Oo/o (dua puluh lima koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Jumlah outstanding utang di akhir tahun 2Ol9 sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 7, diperkirakan sebesar Rp4.754,0 triliun (empat ribu tujuh ratus lima puluh empat koma nol triliun rupiah) atau sebesar 29,5o/o (dua puluh sembilan koma lima persen) dari PDB, dengan indikator risiko portofolio utang sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Evaluasi terhadap SPTMU dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk memantau kesesuaian target dan realisasinya, serta untuk menyajikan prognosis pembiayaan utang hingga akhir tahun anggaran. KEDUAPULUHDELAPAN ?l KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHSEMBILAN : Pen5rusunan SPTMU menggunakan asumsi dan data KETIGAPULUH masukan per tanggal 30 Juni 2Ol9 dan apabila terdapat perubahan signifikan akan dilakukan perubahan. : Pada saat Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Nomor 69lPRl2O18 tentang Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2OI9 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. KETIGAPULUHSATU : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 1 Juli 2019. Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:

    1.

    Menteri Keuangan;

    2.

    Wakil Menteri Keuangan;

    3.

    Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;

    4.

    Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;

    5.

    Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan;

    6.

    Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan;

    7.

    Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan;

    8.

    Sekretaris Direktorat Jenderal dan Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2019 DIREKTUR JENDERAL '"ffLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, { ^Z ^LUKY ^ALFTRMAN ^@ /c t, KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 47 lPRl2Otg ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Kebutuhan Pembiayaan APBN Melalui Utang Tahun 2Ol9 (dalam miliar Rp) Uraian 1 Pembiayaan Defisit 2 Pembiayaan Non-Utang (neto) a. Pembi ayaar: - Investasi b. Pemberian Pinjaman c. Kewajiban Penjaminan d. Pembiayaan Lainnya 3 Utang Jatuh Tempo a. Surat Berharga Negara b. Pinjaman Total Kebutuhan Pembiayaan Nominal 310.8L2,4 63.069,6 75.799,3 2.281,3 ( 15.000,0) 497 .581,7 409.947 ,4 87.634,3 871.463,8 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, fi n UC- t"J& ^LUKY ALFTRMAN ^4-L t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN II KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 4l lPRl2Or8 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Komposisi Penerbitan Surat Berharga Negara Tahun 2Ol9 (dalam miliar Rp) Instrumen Nominal Surat Utang Negara a Surat Utang Negara Rupiah i Obligasi Negara ii Surat Perbendaharaan Negara iii Surat Utang Negara Ritel b Surat Utang Negara dalam Valuta Asing 594.498,5 505.084,1 386.853,0 90.750,0 27.481,1 89.414,4 Surat Berharga Syariah Negara a Surat Berharga Syariah Negara Rupiah i Surat Berharga Syariah Negara Jangka Panjang ii Surat Perbendaharaan Negara Syariah iii Surat Berharga Syariah Negara Ritel b Surat Berharga Syariah Negara dalam Valuta Asing 247.282,8 217.765,2 144.926,6 39.960,0 32.878,7 29.517,6 Total Penerbitan Surat Berharga Negara (bruto) 841.781,3 DIREKTUR JENDERAL PENNELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, t, \r- { t LUKY ALFTRMAN4L-L { KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR ^41 /PR/2O18 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Ekspektasi Portofolio Utang Akhir Tahun 2OI9 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, * ^t ^LUKY ^ALFIRMAN ^a_r Outstanding (dalam miliar rupiah) SBN Pinjaman Utang 3.974.r43,t 779.860,3 4.754.OO3,4 Indikator Risiko Portofolio Utang Risiko Tingkat Bunga Porsi Utang Tingkat Bunga Tetap 89,9o/o Risiko Pembiayaan Kembali Rata-Rata Utang Jatuh Tempo (tahun) 8,7 Porsi Utang Jatuh Tempo Dalam 1 Tahun 8,2o/o Risiko Nilai T\rkar Porsi Utang Dalam Valuta Asing 38,3o/o Rasio Utang terhadap PDB PDB (dalam miliar rupiah) Rasio Utang terhadap PDB 16.108.384,9 29,5o/o Asumsi Kurs USD 14.250 rl

    • 1
    • ...
    • 8
    • 9
    • 10
    • ...
    • 61