Pengujian UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap 2 lainnya
Permohonan banding pajak kepada Pengadilan Pajak tidak diterima karena Pemohon dengan Hakim Tunggal berbeda acuan dalam perhitungan jangka waktu akibat ketidakpastian hukum dalam Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 1 angka 12. Ini mengakibatkan bahwa peluang PT. Autoliv memperjuangkan agar selisih perhitungan PPh (Pajak Penghasilan) Badan lebih bayar sebesar Rp 1.258.978.250,- (satu milyar dua ratus juta lima puluh delapan juta sembilan ratus tujuh puluh delapan ribu dua ratus lima puluh rupiah) DAPAT DIDAPATKAN, MENJADI TIDAK BISA. 10. Bahwa hak Konstitusional Pemohon tersebut telah sangat dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 12 dan Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak. Kerugian tersebut bersifat spesifik dan riil yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi, serta mempunyai hubungan kausal dengan berlakunya Pasal 1 angka 12 dan Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak yang dalam hal ini TIDAK MEMBERIKAN KEADILAN dan KEPASTIAN HUKUM. Oleh karena itu, dengan dikabulkannya permohonan ini oleh MK sebagai the sole interpreter of the constitution dan pengawal konstitusi maka kerugian Hak Konstitusional Pemohon tidak akan terjadi lagi. 11. Bahwa dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon pengujian undang-undang dalam perkara a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya dan 5 (lima) syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana pendapat Mahkamah selama ini yang telah menjadi yurisprudensi dan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005. I. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG A. PASAL 1 ANGKA 12 DAN PASAL 35 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK TIDAK MEMBERIKAN KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM
b. bahwa hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan Konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 4. Bahwa dalam UUD Pasal 1 ayat (3) hasil Amandemen menegaskan Negara Indonesia adalah negara hukum: PASAL 1 (3) Negara Indonesia adalah negara hukum . 5. Bahwa tujuan dari negara hukum adalah terwujudnya hukum dalam sebuah negara demi: 1. Keadilan 2. Kepastian 3. Kemanfaatan 6. Bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam UUD Pasal 28D ayat (1) hasil Amandemen yang menegaskan adanya asas kepastian hukum sebagai hak konstitusional setiap warga negara: “ (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum ” 7. Bahwa secara singkat dapat dijelaskan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon adalah kerugian riil yang telah dialami. Adapun kerugian konstitusional tersebut adalah terkait KEADILAN dan KEPASTIAN HUKUM atas jangka waktu pengajuan Banding atas Perkara Pajak di Pengadilan Pajak, yang mana atas ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang ada
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. 6. Bahwa berdasarkan hal tersebut, menurut Pemerintah adalah tepat dan beralasan serta sudah sepatutnyalah apabila Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. LANDASAN FILOSOFIS 1. Bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2012 yang dimaksudkan untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak baik bagi Wajib Pajak maupun bagi Negara. 2. Bahwa sebagai pengadilan yang bersifat khusus, Pengadilan Pajak memiliki kewenangan yang khusus untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak, yakni sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib pajak/penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tertentu, sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. 3. Bahwa UU PP mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak, dilaksanakan melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana sesuai amanat Undang-undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 4. Bahwa mekanisme peradilan yang cepat, murah dan sederhana diwujudkan dalam hukum acara juga diatur secara khusus, yakni: a. Tidak mewajibkan kehadiran fisik dari Pembanding/WP kecuali apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas. b. Putusan Pengadilan Pajak bersifat final;
Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Otonomi Khusus
Relevan terhadap
Kepala Daerah bertanggung jawab secara formal dan material atas penggunaan TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendanai kegiatan yang menjadi urusan pemerintahan Daerah, terdiri atas:
kegiatan secara umum; dan
kegiatan yang telah ditentukan, sesum dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penggunaan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan azas tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Kegiatan secara umum se bagaimana dimaksud pad a ayat (2) huruf a diprioritaskan untuk mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk DBH Biaya Pemungutan PBB bagian Daerah provinsi dan kabupatenjkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b digunakan untuk mendanai kegiatan secara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak termasuk untuk pembayaran insentif dalam rangka pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
TKD untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
DBH CHT;
DBH SDA Kehutanan Dana Reboisasi; dan
Dana Otonomi Khusus.
Kewajiban Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan yang Terutang Kepada Pihak Lain oleh Perusahaan yang Terikat dengan Kontrak Bagi Hasil, Kon ...
Relevan terhadap
bahwa untuk lebih memberikan keadilan dalam rangka pelaksanaan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, perlu mengatur ketentuan mengenai kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang terutang kepada pihak lain oleh perusahaan yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan;
bahwa sesuai ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas untuk menyusun kebijakan fiskal;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kewajiban Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Terutang Kepada Pihak Lain Oleh Perusahaan Yang Terikat Dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan;
Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah dan Penghitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkita ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka memberikan manfaat dan keadilan kepada daerah serta menjaga iklim investasi yang kondusif bagi investor di bidang pengusahaan panas bumi, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan dialokasikan dana subsidi Pajak Penghasilan ditanggung oleh Pemerintah untuk komoditas panas bumi;
bahwa alokasi dana untuk subsidi Pajak Penghasilan ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, berasal dari setoran bagian Pemerintah atas hasil pengusahaan sumber daya panas bumi yang kuasa pengusahaan panas bumi atau izin pengusahaan panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik diperoleh, atau kontrak pengusahaan sumber daya panas bumi ditandatangani sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah dan Penghitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi Untuk Pembangkitan Energi/Listrik;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019
Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU Nomor 42 T ...
Relevan terhadap
PUTUSAN Nomor 10/PUU-XVI/2018 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: Nama : PT Harapan Sinar Abadi Diwakili oleh Henny Victoria sebagai Direktur Utama Alamat : Komplek Graha Arteri Mas, Jalan Panjang Nomor 68 Kavling 16, Jakarta Barat Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 6 Maret 2018, memberi kuasa kepada Turseno yang beralamat di Pamulang Permai AX 34/1 RT 007/RW 012, Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon ; [1.2] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Memeriksa bukti-bukti Pemohon. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Permohonan: a. Mengalihkan kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan kepada Mahkamah Agung. ...
Relevan terhadap
“Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri, setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dengan alasan:
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
melakukan perbuatan tercela;
terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
melanggar sumpah/janji jabatan; atau
melanggar larangan sebagaimana 42 dimaksud dalam Pasal 12.” Pasal 16 ayat (1) __ “Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan Menteri”. Pasal 17 ayat (1) “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung”. Pasal 22 ayat (2) __ “Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri”. Pasal 25 ayat (1) “Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Departemen Keuangan”. Pasal 27 “Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri”. Pasal 28 ayat (2) “Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri”. Pasal 29 ayat (4) “Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri”. Pasal 34 ayat (2) “Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
...
...
persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri”. __ 2. Bahwa ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sangat jelas bahwa kewenangan Kementerian Keuangan dalam Pengadilan Pajak sangat besar. Hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip independensi yang mempersyaratkan adanya pemisahan kekuasaan ( separation of power ), baik secara fungsional maupun institusional. Kewenangan 43 yang besar tersebut menyebabkan besarnya potensi Pengadilan Pajak tidak independen dalam menjalankan kewenangan yang dimiliki, karena Kementerian Keuangan (Dirjen Pajak) merupakan salah satu pihak yang selalu menjadi tergugat dalam sengketa pajak.
Bahwa ketentuan norma sebagaimana termuat dalam tabel diatas bertentangan dengan prinsip independensi lembaga peradilan yang secara tegas dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, karena untuk mewujudkan Pengadilan Pajak yang independen/bebas, dibutuhkan pengaturan ulang atas ketentuan mengenai pembinaan “ dual roop” tersebut menjadi sistem pembinaan “satu atap/ one roop system ” di bawah Mahkamah Agung. Selain itu, perlu juga diatur mengenai penghapusan kewenangan Kementerian Keuangan yang terkait Pengadilan Pajak dalam UU Nomor 14 Tahun 2002. Hal ini merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar dan menjadi ranah Mahkamah Konstitusi sebagai “ The Guardian of Constitution” untuk __ menegakan prinsip-prinsip yang dijamin dalam UUD 1945 . Berdasarkan seluruh uraian diatas, sangat penting kiranya bagi Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution, untuk meluruskan dan mendudukan urusan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, demi terwujudnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman terwujudnya kemandirian lembaga peradilan in casu Pengadilan Pajak, dan memberikan pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, serta agar tetap tegaknya prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUUD 1945. Apabila Mahkamah mengabulkan permohonan ini, Mahkamah tidak perlu khawatir akan menyebabkan terjadinya kekosongan hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta kevakuman pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan pengadilan pajak, mengingat sifat Putusan Mahkamah Konstitusi yang final and binding . Artinya amar putusan yang memberikan pemaknaan terhadap ketentuan norma a quo memiliki kekuatan hukum mengikat selama UU Pengadilan Pajak belum direvisi. Sama seperti saat Mahkamah mengabulkan Permohonan Perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 dan Nomor 34/PUU-X/2012 yang banyak membatalkan dan memberikan 44 pemaknaan terhadap ketentuan pasal-pasal dalam UU Mahkamah Konstitusi yang hingga saat ini belum dilakukan Revisi. IV. PETITUM Berdasarkan seluruh alasan-alasan Permohonan para pemohon tersebut diatas, mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan: Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan:
permintaan sendiri;
sakit jasmani dan rohani terus menerus;
telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; atau
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.” 2.6. Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 13 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya.” 2.7. Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri setelah mendapat persetujuan ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 14 selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari 46 jabatannya oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dengan alasan:
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
melakukan perbuatan tercela;
terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
melanggar sumpah/janji jabatan; atau
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.” 2.8. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “dengan Keputusan Presiden atas usul ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ oleh” dan terhadap frasa “ dan Menteri ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 16 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.” 2.9. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri dengan persetujuan ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan norma Pasal 17 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.” 2.10. Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Keputusan Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ peraturan perundang-undangan” sehingga ketentuan norma Pasal 22 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi 47 Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan peraturan perundang-undangan.” 2.11. Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Departemen Keuangan ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 25 ayat (1) selengkapnya berbunyi “Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Mahkamah Agung.” 2.12. Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “dengan Keputusan Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ oleh Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 27 selengkapnya berbunyi “Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur oleh Mahkamah Agung.” 2.13. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “dengan Keputusan Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ oleh Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 28 ayat (2) selengkapnya berbunyi “Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Peraturan Mahkamah Agung.” 2.14. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 29 ayat (4) selengkapnya berbunyi “Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera 48 Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.” 2.15. Pasal 34 ayat (2) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terhadap frasa “Menteri ” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “ Mahkamah Agung”, sehingga ketentuan norma Pasal 34 ayat (2) huruf c selengkapnya berbunyi “Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
persyaratan lain yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-10, sebagai berikut:
Bukti P-1: Fotokopi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Bukti P-2: Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk;
Bukti P-4: Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
Bukti P-5: Fotokopi Surat Petikan Keputusan Presiden No. 38/P Tahun 2006 tentang Keputusan Pengangkatan Hakim;
Bukti P-6: Fotokopi Surat Petikan Keputusan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 08/DJ/SK/TUN/PH/12/2006;
Bukti P-7: Fotokopi Daftar Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 49 317/Djmt/KEP/10/2016, tanggal 3 Oktober 2016;
Bukti P-8: Fotokopi Putusan Perkara Pajak pada Peninjauan Kembali;
Bukti P-9: Fotokopi Penetapan Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara;
Bukti P-10: Buku 1, Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada Bulan November 2012. [2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang, in casu Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat 50 (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189, selanjutnya disebut UU 14/2002) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang- undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara. Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan 51 konstitusional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat- syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan perihal kedudukan hukum Pemohon. Namun, sebelumnya Mahkamah akan menguraikan hal-hal yang menjadi alasan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), dan Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 yang menyatakan: Pasal 5 ayat (2):
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2):
Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung. 52 Pasal 9 ayat (5):
Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2):
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena:
..”.
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya”. Pasal 14: Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri, setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dengan alasan:
.. Pasal 16 ayat (1):
Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan Menteri. Pasal 17 ayat (1):
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Pasal 22 ayat (2):
Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 25 ayat (1):
Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan Departemen Keuangan. Pasal 27: Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 28 ayat (2):
Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri. 53 Pasal 29 ayat (4):
Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri. Pasal 34 ayat (2) :
Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
... b. ... c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri”.
Bahwa Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.3), sebagai pembayar Pajak yang dibuktikan dengan kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (Bukti P.4) yang berprofesi sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Surat Petikan Keputusan Presiden Nomor 38/P Tahun 2006 tentang Keputusan Pengangkatan Hakim (Bukti P.5) dan Surat Petikan Keputusan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 08/DJ/SK/TUN/PH/12/2006 (Bukti P.6).
Bahwa Pemohon saat ini bertugas di Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara (Bukti P.9), yang memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
membantu Majelis Hakim Agung dalam pencatatan jalannya persidangan;
melakukan pencatatan berkas perkara yang diterima dari Panitera Muda Tim;
mengetik konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan;
menyampaikan putusan yang telah selesai diketik untuk diteliti dan diperiksa atau dikoreksi oleh Hakim Agung pembaca pertama;
melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim.
Bahwa menurut Pemohon dengan diberikannya sebagian besar urusan pembinaan Pengadilan Pajak, yakni pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan, kepada Kementerian Keuangan, mengakibatkan tidak terbangunnya sistem pembinaan dan koordinasi yang selaras dalam penanganan penyelesaian sengketa pajak. Hal ini menyebabkan menumpuknya beban penyelesaian perkara pajak di Mahkamah Agung dan tentunya kondisi ini telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara yang mengerjakan konsep putusan hasil 54 musyawarah Majelis yang akan diucapkan serta melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim (Bukti P.8).
Bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut Pemohon terdapat kepentingan langsung Pemohon dalam kedudukan dan tugas Pemohon sebagai seorang Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam hubungannya dengan bekerjanya sistem kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu dengan berlakunya Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tersebut telah mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, serta menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan.
Bahwa menurut Pemohon apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 5, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 dikabulkan, maka pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh __ Mahkamah Agung. Hal tersebut dengan sendirinya akan memulihkan hak konstitusional Pemohon sebagai seorang Hakim untuk dapat menjalankan tugas secara independen dan turut menjaga kemerdekaan dan kemandirian peradilan. Berdasarkan uraian pada angka 1 sampai dengan angka 6 di atas, Mahkamah mempertimbangkan perihal kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa Pemohon menjelaskan sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia yang bertugas di Kamar Tata Usaha Negara sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung (Bukti P.9), yang memiliki tugas dan fungsi membantu Majelis Hakim Agung dalam pencatatan jalannya persidangan, melakukan pencatatan berkas perkara yang diterima dari Panitera Muda Tim, mengetik konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan, menyampaikan putusan yang telah selesai diketik untuk diteliti dan diperiksa atau dikoreksi oleh Hakim Agung pembaca pertama, dan melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim. Lebih lanjut, menurut Pemohon, dengan diberikannya sebagian besar urusan pembinaan Pengadilan Pajak, yakni pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan kepada 55 Kementerian Keuangan, hal ini mengakibatkan tidak terbangunnya sistem pembinaan dan koordinasi yang selaras dalam penanganan penyelesaian sengketa pajak. Selain itu, menurut Pemohon, hal tersebut menyebabkan menumpuknya beban penyelesaian perkara pajak di Mahkamah Agung dan tentunya kondisi tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti Kamar Tata Usaha Negara yang mengerjakan konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan serta melaksanakan minutasi atau penyelesaian perkara yang telah diputus Majelis Hakim Agung pada Tim;
Bahwa terhadap penjelasan Pemohon sebagaimana dijelaskan pada huruf a di atas, penting bagi Mahkamah untuk menilai apakah Pemohon memenuhi unsur/syarat sebagai subjek hukum yang dapat dikualifikasikan sebagai Pemohon yang dirugikan hak konstitusionalnya;
Bahwa penegasan sebagaimana dimaksud pada huruf b tersebut diperlukan, oleh karena sebagai Pemohon di samping memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, juga harus memenuhi syarat-syarat adanya anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007. Oleh karena itu dalam Perkara a quo Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut perihal kualifikasi subjek hukum Pemohon dan anggapan kerugian konstitusional yang dijelaskan Pemohon;
Bahwa berkaitan dengan status Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung yang memiliki tugas dan fungsi membantu Majelis Hakim Agung sebagaimana dijelaskan pada huruf a di atas, menurut Mahkamah status Pemohon tersebut tidak berkaitan langsung dengan anggapan kerugian konstitusional Pemohon dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Pemohon sebagai Hakim Yustisial maupun Panitera Pengganti di Mahkamah Agung. Sebab Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik, baik yang bersifat aktual maupun potensial yang dialami oleh Pemohon. Terlebih apabila anggapan kerugian konstitusional tersebut dikaitkan dengan adanya hubungan sebab akibat 56 ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya norma dari pasal-pasal yang dimohonkan pengujian.
Bahwa benar Pemohon adalah Hakim yustisial dan Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, namun saat ini Pemohon bukanlah subjek hukum yang secara langsung terhambat dalam melaksanakan fungsinya yang membutuhkan kemandirian hakim, khususnya mengaktualisasikan independensinya dalam mengambil putusan terhadap perkara-perkara perpajakan, sehingga memengaruhi dan bahkan dapat menciderai rasa keadilan yang diakibatkan belum adanya sistem satu atap terhadap Pengadilan Pajak ( one roof system ). Di samping itu Pemohon adalah juga bukan subjek hukum yang secara langsung terkena dampak adanya sistem pembinaan Pengadilan Pajak di bawah Kementerian Keuangan yang dapat berpengaruh terhadap independensi pengadilan pajak di dalam melaksanakan fungsi yudisialnya. Oleh karena itu dengan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah tetap tidak mendapatkan keyakinan adanya anggapan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon tersebut yang bersifat spesifik, baik aktual maupun potensial yang dapat terjadi pada diri Pemohon dan hal tersebut berkorelasi dengan berlakunya norma dari pasal- pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.
Bahwa terhadap penjelasan Pemohon pernah memiliki kedudukan hukum dalam permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah, yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 28/PUU-IX/2011 perihal pengujian Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 37/PUU-X/2012 perihal Pengujian Pasal 25 ayat (6) Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan Pasal 24 ayat (6) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Mahkamah berpendapat, bahwa terhadap pemohon yang pernah memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian undang- undang di Mahkamah Konstitusi tidak serta-merta dapat memiliki kedudukan 57 hukum untuk mengajukan permohonan pengujian dalam perkara lain. Sebab, kedudukan hukum yang dimiliki pemohon tergantung terpenuhi atau tidaknya kualifikasi subjek hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, dan juga harus terpenuhinya syarat-syarat adanya anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, di mana kedua syarat tersebut harus dipenuhi karena bersifat kumulatif.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maka terhadap anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dipersyaratkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Sebab, antara subjek hukum dan syarat-syarat kerugian konstitusional merupakan persyaratan yang bersifat kumulatif yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam Permohonan a quo , maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon; __ [4.2] Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak dipertimbangkan. 58 Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, dan Manahan M.P. Sitompul masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa , tanggal satu , bulan September , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin , tanggal dua puluh delapan , bulan September , tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.46 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, dan Manahan M.P. Sitompul , masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman 59 ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Suhartoyo ttd. Saldi Isra ttd. Arief Hidayat ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Wahiduddin Adams ttd. Manahan M.P. Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Achmad Edi Subiyanto
Pengujian UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhit dengan UU Nomor 16 Tah ...
Relevan terhadap 1 lainnya
memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia”; dan c) bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum”. Profesi Advokat ditempatkan sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Bagaimana dengan profesi Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak, apakah kuasa hukum di bidang perpajakan merupakan profesi yang bebas yang memiliki peran dan fungsi untuk menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia di bidang perpajakan? Kemudian apakah Kuasa dalam perpajakan merupakan bagian dari penyelenggaraan peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi pencari keadilan di bidang perpajakan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia? Apa perlindungan, jaminan, dan pengakuan profesi Kuasa di bidang perpajakan merupakan bagian atau unsur dari sistem peradilan pajak? Menurut Pemohon, hal ini tidak ada kepastian hukumnya. Padahal jelas dalam UU Pengadilan Pajak disebutkan bahwa Pengadilan Pajak adalah tempat bagi Pemohon/Wajib Pajak untuk mencari keadilan. Apakah dengan adanya penunjukan Kuasa oleh Pemohon/Wajib Pajak, Pengadilan Pajak menjadi bukan untuk mencari keadilan? Hal ini jelas menunjukkan bahwa Kuasa yang ditunjuk oleh Pemohon/WajibPajak tidak diakui eksistensinya sebagai profesi yang berperan dalam rangka penyelenggaraan peradilan yang jujur, __ adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan di bidang perpajakan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Jika memang diakui, sepengetahuan Pemohon tidak ada ketentuan dan kepastian hukum yang menunjukkan bahwa Kuasa Hukum Wajib Pajak atau Konsultan Pajak dapat melaksanakan tugasnya secara bebas atau independent atau merupakan bagian dari unsur penegakan keadilan dalam peradilan pajak. Dengan tidak adanya kepastian hukum independensi Kuasa Hukum Wajib Pajak dan kedudukan hukum Kuasa dalam sistem peradilan pajak, menurut Pemohon adalah wajar Kuasa tidak dapat melaksanakan tugasnya untuk melindungi hak dan kepentingan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentin ...
Relevan terhadap 1 lainnya
Melalui Compliance Risk Management (“CRM”) dapat diklasifikasikan tingkat kepatuhan dan risikonya, sehingga terdapat insentif bagi wajib pajak untuk patuh. Hal ini hanya dimungkinkan jika terdapat asupan data dan informasi yang memadai untuk profiling . Berikut digambarkan proses pengelolaan data wajib pajak berdasarkan risiko kepatuhan (CRM). Gambar 1.1 The Compliance Risk Management Process Sumber: OECD Guidance Note. Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax Compliance. 2004. Penegakan hukum juga tidak akan berjalan maksimal tanpa didukung dengan keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Oleh karena itu, Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (“Perppu Nomor 1 Tahun 2017”) sekaligus mengatur kewenangan akses informasi keuangan terhadap lembaga jasa keuangan domestik. Akses yang luas ini justru akan menciptakan equal playing field dan keadilan karena wajib pajak yang sudah ikut program pengampunan dan patuh tidak menjadi sasaran kebijakan ini.Justru kebijakan ini akan menyasar mereka yang belum patuh dan berada di luar sistem agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
pengumpulan penerimaan pajak, maka dapat membahayakan keberlanjutan pembangunan di Indonesia. Selama ini, upaya pelaksanaan tugas konstitusional pengumpulan penerimaan pajak yang diemban oleh DJP terhambat dengan terbatasnya akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Padahal, sistem perpajakan yang diterapkan di Indonesia adalah self-assessment system , yang berarti Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajaknya secara mandiri. Tanpa informasi dari sumber selain yang disampaikan Wajib Pajak, DJP tidak bisa melakukan pengawasan kepatuhan, pemeriksaan, dan tindakan penegakan hukum dengan optimal. DJP hanya mampu melakukan pengawasan kepatuhan kepada Wajib Pajak yang informasi keuangannya telah dilaporkan dalam SPT Tahunan. Akibatnya, pengawasan kepatuhan dan penegakan hukum yang dilakukan DJP selama ini terkesan seperti “berburu di kebun binatang”. Hal ini bertentangan dengan asas keadilan dalam pemungutan pajak karena pengawasan yang dilakukan oleh DJP terfokus pada Wajib Pajak yang sudah melaporkan kewajiban perpajakannya, termasuk informasi keuangannya kepada DJP. Wajib Pajak yang tidak melaporkan informasi keuangannya dengan benar atau bahkan sama sekali tidak melaporkan informasi keuangannya kepada DJP justru sulit untuk diawasi oleh DJP, karena DJP tidak dapat mengetahui secara pasti jumlah penghasilan Wajib Pajak tersebut yang sebenarnya. Keterbatasan akses informasi keuangan juga memberikan kontribusi terhadap rendahnya tax ratio Indonesia, yang dalam 3 (tiga) tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2014 sebesar 10,8%, tahun 2015 sebesar 10,7%, dan tahun 2016 sebesar 10,3%, dimana tax ratio ini lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Permasalahan ini sangat mendesak untuk segera diatasi, karena pengumpulan penerimaan pajak yang optimal sangat krusial untuk membiayai pembangunan dan menjaga batasan defisit APBN sesuai ketentuan undang-undang. Terbatasnya akses informasi keuangan yang dimiliki DJP juga dapat diamati dari hasil program Amnesti Pajak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Selanjutnya, pada sidang Paripurna DPR tanggal 27 Juli 2017 PERPU Nomor 1 Tahun 2017 tersebut disetujui menjadi Undang-Undang dan ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang. B. Tujuan dan Manfaat Pembentukan UU Nomor 9 Tahun 2017 Tujuan pembentukan UU Nomor 9 Tahun 2017 adalah: 1. mendorong penguatan basis data perpajakan dari lembaga keuangan dan negara mitra/yurisdiksi mitra AEOI; 2. mendukung upaya pengumpulan penerimaan pajak, sehingga tax ratio meningkat; 3. menciptakan keadilan dalam sistem pemungutan pajak, sehingga seluruh Wajib Pajak dapat berkontribusi melalui pembayaran pajak untuk pembangunan negara Republik Indonesia; 4. memenuhi komitmen Indonesia untuk AEOI tahun 2018, sehingga Indonesia tidak dilaporkan sebagai negara yang failing to meet their commitments dan non-cooperative jurisdiction ; dan 5. menjaga keberlanjutan efektivitas program Amnesti Pajak sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. C. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Uji Materiil Ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 8 Lampiran UU Nomor 9 Tahun 2017 Atas alasan-alasan permohonan pengujian yang dikemukakan oleh Pemohon, Pemerintah menyampaikan penjelasan sebagai berikut: 1) Pasal 1 Lampiran UU Nomor 9 Tahun 2017 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 Pengaturan Informasi Keuangan dalam Pasal 1 Lampiran UU Nomor 9 Tahun 2017 tidak bertentangan dengan Pengaturan Pasal 1 angka 29 UU KUP sebagai turunan dari Pasal 23A UUD 1945 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujuan UU no. 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjuala ...
Relevan terhadap 12 lainnya
pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Hukum pajak materialmengatur teknis pengenaan pajak dan menentukan kepastian dan keberhasilan pemungutan pajak, dalam hal ini PPN. Sebagaimana prinsip-prinsip hukum pajak dan asas pemungutan pajak yang adil, bahwa untuk pemungutan pajak yang adil,antara lain harus memperhatikan prinsip kepastian hukum ( legal certainty) dan prinsip keadilan ( equity ). Kepastian hukum merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum yang menuntut hukum harus jelas, mudah diakses, komprehensif, prospektif dan stabil. Kepastian hukum dalam pajak tidak hanya mencakup perumusan hukum yang baik tetapi juga harmonisasi dan koordinasi perpajakan, termasuk penyelesaian sengketa. Prinsip keadilan dalam pemungutan pajak, bagaimana perumusan Undang-Undang dan aturan perpajakan serta praktik perpajakan yang dapat memenuhi rasa keadilan, juga merupakan salah satu syarat penting untuk mewujudkan pemungutan pajak yang baik; Seperti dijelaskan di butir 0, bagaimana para ahli merumuskan teori dan pemikiran yang menghasilkan prinsip-prinsip perumusan hukum dan praktik pemungutan pajak yang baik dan memenuhi rasa keadilan, ini pula yang diharapkan oleh masyarakat terhadap rumusan Undang-Undang perpajakan dan praktik perpajakan di Indonesia; Pada dasarnya, penyusunan dan perubahan UU PPN bertujuan antara lain untuk meningkatkan kepastian hukum dan keadilan dalam pengenaan PPN dan menyederhanakan sistem PPN. Kembali ke karekteristik pajak objektif dan prinsip ability to pay , perumusan ketentuan dalam UU PPN yang sekiranya dapat mewujudkan prinsip keadilan tentunya tidak dapat dilakukan dengan merumuskan ketentuan dalam UU yang mengatur subjek pajaknya tetapi perumusan ketentuan dalam UU PPN dapat dilakukan dengan mengatur objek pajaknya, antara lain barang atau jasa yang dikenai atau tidak dikenai PPN, BKP atau JKP tertentu yang tidak dipungut PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, atau pengaturan mengenai BKP yang tergolong barang mewah sebagai objek PPn BM sehingga masyarakat golongan mampu yang dapat membeli barang mewah selain harus membayar PPN juga diharuskan membayar PPnBM; Salah satu perumusan aturan mengenai barang yang tidak dikenai PPN dalam UU PPN adalah Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN yang mengatur bahwa jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Undang-Undang harus sungguh-sungguh memperhatikan dampak pengenaan PPN terhadap konsumen, terutama barang yang dikonsumsi masyarakat banyak. Pergeseran dan penyimpangan yang terjadi dalam UU PPN menunjukkan bias Pemerintah dalam melakukan pengaturan, karena pada saat bersamaan justru memberikan fasilitas atau insentif bagi barang-barang yang tidak dikonsumsi dan menjadi kebutuhan rakyat banyak. 3. Sebagai pajak tidak langsung, kewajiban membayarkan PPN ke negara merupakan tanggung jawab pihak yang memungut PPN, yakni PKP yang menjual barang atau menyerahkan jasa kepada konsumen. Kemudahan yang diberikan bagi Pengusaha Kecil untuk memilih sebagai PKP (tidak wajib memungut PPN) tidak akan mempengaruhi beban pajak yang akhirnya akan ditanggung oleh konsumen. 4. Berdasarkan data dan fakta yang ada, stagnasi penerimaan pajak di Indonesia salah satunya disebabkan keterbatasan kapasitas Pemerintah dalam memungut pajak dari kelompok berpenghasilan tinggi. Struktur penerimaan pajak yang belum adil, yaitu masih bertumpu pada pajak konsumsi (PPN dan Cukai), dan bukan PPh Orang Pribadi, merupakan tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak dan menjamin keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. 5. Rumusan ketentuan dalam UU perpajakan seharusnya memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum, untuk menjamin praktik perpajakan yang baik dan berkeadilan. Jika ketentuan dalam UU perpajakan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat maka prinsip convenience of payment dan efisiensi dapat terwujud dalam praktik pemungutan pajak. Pengecualian barang hasil pertambangan dan pengeboran sebagai BKP, pembebasan PPnBM atas tas mewah dan hunian mewah tertentu – sedangkan di sisi lain beberapa barang kebutuhan pokok justru dikenai PPN – jelas mencerminkan ketidakadilan dalam pengenaan pajak. 6. Dengan demikian, untuk menjamin bekerjanya fungsi regulerend demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, formulasi UU PPN sebagai instrumen pencapaian tujuan bernegara menjadi sangat penting dan mendesak untuk diperbaiki. Rumusan UU harus menjamin kewajiban negara memenuhi hajat hidup dan kepentingan rakyat dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
tersebut bersifat limitatif, membatasi bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak hanya meliputi 11 (sebelas) jenis barang. Jika terdapat barang kebutuhan pokok, terutama pangan, selain 11 jenis barang pokok yang diatur dalam UU PPN tersebut, yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka barang kebutuhan pokok tersebut termasuk BKP yang dikenai PPN. Masyarakat sebagai konsumen, akan terbebani PPN saat membayar harga barang tersebut; Untuk mewujudkan ketentuan dalam UU PPN yang dapat menjamin terpenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat dan mewujudkan netralitas PPN, Pemerintah hendaknya berhati-hati dan mempertimbangkan banyak hal saat merumuskan suatu ketentuan dalam UU PPN. Jika ketentuan dalam UU PPN bersifat limitatif, maka harus benar-benar dipikirkan dan dipertimbangkan apakah limitasi dalam ketentuan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi rakyat banyak atau justru malah mencederai rasa keadilan bagi rakyat banyak. Selain itu, ketentuan dalam UU PPN juga harus mampu mencerminkan spirit netralitas PPN dalam kegiatan perekonomian, karena pengenaan PPN dapat mempengaruhi daya saing suatu barang di pasaran. Yang menjadi pertanyaan bagi Pemerintah adalah apakah barang kebutuhan pokok sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal tersebut telah mencakup seluruh barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, apakah penentuan barang kebutuhan pokok yang diatur dalam pasal tersebut telah mampu memenuhi rasa keadilan bagi rakyat yang mengkonsumsi barang kebutuhan pokoknya selain yang diatur dalam penjelasan pasal tersebut; SIMPULAN Berdasarkan penjelasan yang disampaikan, dapat disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut: 1. Pajak memiliki fungsi penting untuk mengisi anggaran negara dan menjamin terlaksananya pembangunan, tetapi pajak juga memiliki fungsi regulerend , fungsi Negara untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat, yang tujuan akhirnya adalah mewujudkan kemandirian bangsa dan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. 2. PPN adalah pajak atas konsumsi, yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Sebagai pajak atas konsumsi, pihak yang sebenarnya menanggung beban PPN adalah Konsumen. Untuk itu rumusan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id