Penyusunan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Lanjutan Program/Kegiatan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Tahun Anggaran 2012 de ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Program/Kegiatan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri yang selanjutnya disebut PNPM Mandiri adalah Program Nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat.
PNPM Mandiri Perdesaan adalah Program Nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program- program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di perdesaan.
PNPM Mandiri Perkotaan adalah Program Nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program- program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan di kelurahan perkotaan.
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus yang selanjutnya disebut P2DTK adalah Program Nasional untuk membantu pemerintah daerah dalam mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sosial ekonomi daerah tertinggal dan khusus dengan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam memfasilitasi pembangunan partisipatif, memberdayakan masyarakat dan lembaga- lembaga masyarakat dalam perencanaan pembangunan partisipatif terutama bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, melembagakan pelaksanaan pembangunan partisipatif untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial dasar pendidikan, kesehatan, infrastruktur, penguatan hukum, capacity building , serta penciptaan iklim investasi dan usaha, memperbesar akses masyarakat terhadap keadilan, meningkatkan kemudahan hidup masyarakat terutama keluarga miskin melalui penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sosial ekonomi.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Lanjutan yang selanjutnya disebut DIPA Lanjutan adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang berisi sisa anggaran PNPM Mandiri Tahun Anggaran 2011 yang dilanjutkan pada Tahun Anggaran 2012.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut Kuasa PA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kewenangan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PA/Kuasa PA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau dokumen lain yang disamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara kepada Bank Operasional/Kantor Pos dan Giro untuk memindahbukukan sejumlah uang dari Kas Negara ke rekening pihak yang ditunjuk dalam SPM berkenaan.
Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2Ol9
Relevan terhadap
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 20t9. Dalam Keputusan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara;
Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya;
Obligasi Negara yang selanjutnya disingkat ON adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari L2 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto;
Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto;
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing;
SBSN Jangka Panjang adalah SBSN berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto;
SBSN Jangka Pendek atau Menetapkan PERTAMA disebut Surat +t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perbendaharaan Negara Syariah yang selanjutnya disingkat SPNS adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan secara diskonto;
Pinjaman meliputi Pinjaman Dalam Negeri dan Pinjaman Luar Negeri;
Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya;
Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk SBN, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu;
ll.Pinjaman Kegiatan adalah PLN yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu;
Pinjaman T\rnai adalah PLN dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. KEDUA : Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang tahun 2Ol9 yang selanjutnya disebut SPTMU memuat:
T\rjuan;
Kebijakan umum;
Pembiayaan melalui utang;
Sumber pembiayaan melalui utang;
Pengelolaan portofolio utang;
Indikator risiko pembiayaan utang; dan
Outstanding utang di akhir tahun 2019. KETIGA T\rjuan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 1 sebagai berikut:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang tahun 2Ol9 dan membiayai kembali utang jatuh tempo dengan biaya yang minimal dan risiko yang terkendali;
Mendukung terbentuknya pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam ^jangka panjang; dan
Meningkatkan akuntabilitas publik sebagai bagian dari pengelolaan utang Pemerintah yang transparan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 2 sebagai berikut:
Mengendalikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada level yang aman dengan mempertimbangkan kemampuan Ir KEEMPAT KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA membayar kembali;
Meningkatkan optimalisasi biaya utang untuk mendukung kesinambungan fiskal melalui optimalisasi pinjaman tunai dan peningkatan kinerja kegiatan yang dibiayai dengan utang;
Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan memanfaatkan sumber utang luar negeri sebagai pelengkap;
Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembiayaan dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik;
Melakukan upaya lengthening duration untuk mengendalikan utang ^jatuh tempo ^jangka pendek- menengah melalui pelaksanaan penerbitan SBN dan pengelolaan portofolio utang secara aktif untuk mengendalikan biaya dan risiko utang;
Meningkatkan koordinasi pengelolaan likuiditas dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka Assef Liabilitg Management (ALMI;
Mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif antara lain melalui pengadaan pinjaman kegiatan dan penerbitan SBN berbasis proyek yang mendukung program pembangunan nasional;
Mengoptimalkan pemanfaatan pinjaman tunai untuk meningkatkan fleksibilitas pemenuhan pembiayaan melalui utang dengan mempertimbangkan kapasitas pemberi pinjaman dan biaya serta risiko pinjaman;
Memperkuat dan mengoptimalkan peran hubungan investor dan kelembagaan, optimalisasi strategi komunikasi dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka perluasan basis investor untuk menciptakan gambaran dan pengetahuan positif mengenai SBN;
Meningkatkan pendalaman pasar domestik dengan mengoptimalkan penerbitan SBN ritel secara dalam ^jaringan (online); 1 1. Meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam pengembangan instrumen pembiayaan untuk mendukung pendalaman pasar domestik; dan
Melaksanakan sosialisasi dan pemasaran SBN dalam negeri sebagai strategi untuk meningkatkan investor domestik dan mendorong penambahan investor usia muda. Pembiayaan melalui utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 3 sebesar Rp432.390,6 miliar (empat ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus sembilan puluh koma enam miliar rupiah) yang terdiri atas SBN neto sebesar Rp439.031,2 miliar (empat ratus tiga puluh sembilan ribu tiga puluh satu koma dua miliar rupiah) dan Pinjaman neto sebesar negatif Rp6.640,6 miliar (enam ribu enam ratus empat puluh l'3 KELIMA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK ^INDONESIA KEENAM KETUJUH KEDELAPAN koma enam miliar rupiah). Dengan memperhatikan outlook defisit ^APBN ^tahun anggaran 2019, pembiayaan ^non-utang, ^dan ^utang jatuh tempo, maka kebutuhan pembiayaan melalui utang ditetapkan sebesar Rp929.933,6 ^miliar (sembilan ratus dua puluh sembilan ribu sembilan ratus tiga puluh tiga koma enam miliar ^rupiah) dengan rincian sebagaimana tercantum ^dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak ^terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ^ini. Sumber pembiayaan melalui utang ^sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka ^4 terdiri ^atas:
Pembiayaan melalui penerbitan SBN sebesar ^Rp 848.939,9 miliar (delapan ratus empat ^puluh delapan ribu sembilan ratus tiga puluh sembilan koma sembilan miliar rupiah). Pembiayaan melalui penerbitan SBN dimaksud tidak termasuk penerbitan SPN dan SPNS ^yang akan jatuh tempo pada tahun 2Ol9 ^sebesar Rp47.590,0 miliar (empat puluh tujuh ribu lima ratus sembilan puluh koma nol miliar rupiah), sehingga penerbitan SBN bruto sebesar Rp896.529,9 miliar (delapan ratus sembilan ^puluh enam ribu lima ratus dua puluh sembilan ^koma sembilan miliar rupiah) dan dapat disesuaikan apabila terdapat perubahan atas utang ^jatuh tempo pada tahun 2019 dan/atau kebutuhan pembiayaan defisit dan non-utang (neto). 2. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebesar Rp80.993,7 miliar (delapan puluh ribu sembilan ratus sembilan puluh tiga koma tujuh miliar rupiah). Penerbitan SBN bruto sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUH angka 1 sebesar Rp896 .529,9 miliar (delapan ratus sembilan puluh enam ribu lima ratus dua puluh sembilan koma sembilan miliar rupiah) terdiri atas:
Penerbitan SBN Rupiah sebesar Rp747.897,9 miliar (tujuh ratus empat puluh tujuh ribu delapan ratus sembilan puluh tujuh koma sembilan miliar rupiah); dan
Penerbitan SBN dalam valuta asing sebesar Rp148.632,0 miliar (seratus empat puluh delapan ribu enam ratus tiga puluh dua koma nol miliar rupiah), dan dapat dioptimalkan hingga sebesar 18,Oo/o (delapan belas koma nol persen) dari pembiayaan melalui SBN. Rincian lebih lanjut atas penerbitan SBN bruto tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Penerbitan SBN Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 1 dilaksanakan melalui metode lelang dan non-lelang. l7 KESEMBILAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KESEPULUH KESEBELAS : Penerbitan SBN Rupiah melalui lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan sebagai berikut:
Lelang SBN direncanakan sebanyak 48 ^(empat puluh delapan) kali dengan rincian lelang SUN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali dan lelang SBSN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali. 2. Jenis instrumen, target per lelang dan target total ditetapkan sebagai berikut:
SPN dengan tenor 3 (tiga) bulan dengan target indikatif sebesar Rp 41.79O,O miliar (empat puluh satu ribu tujuh ratus sembilan puluh koma nol miliar rupiah);
SPNS dengan tenor 6 (enam) bulan danlatau 12 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp37.760,0 miliar (tiga puluh tujuh ribu tujuh ratus enam puluh koma nol miliar rupiah);
SPN dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan/atau 12 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp51.750,0 miliar (lima puluh satu ribu tujuh ratus lima puluh koma nol miliar rupiah);
ON dengan target indikatif sebesar Rp405.216,1 miliar (empat ratus lima ribu dua ratus enam belas koma satu miliar rupiah); dan
SBSN Jangka Panjang dengan target indikatif sebesar Rp159. L63,9 miliar (seratus lima puluh sembilan ribu seratus enam puluh tiga koma sembilan miliar rupiah);
Target outstanding SPN dan SPNS pada akhir tahun 2Ol9 sebesar Rp83.710,0 miliar (delapan puluh tiga ribu tujuh ratus sepuluh koma nol miliar rupiah);
Target indikatif penerbitan per instrumen dan frekuensi lelang dapat diubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan pembiayaan dan kondisi pasar dengan tetap mempertimbangkan target bia5ra dan risiko utang;
Jadwal pelaksanaan lelang serta indikasi target penerbitan akan diumumkan kepada para pihak secara periodik dan terbuka, termasuk bila terdapat perubahan dalam rencana penerbitan. Penerbitan SBN Rupiah melalui non-lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan dengan metode bookbuilding dan piuate placement. Penerbitan SBN dengan metode bookbuilding sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan untuk penerbitan SBN ritel dengan target indikatif sebesar Rp45.000,0 miliar (empat puluh lima ribu koma nol miliar rupiah) sampai dengan Rp65.OOO,O (enam puluh lima ribu koma nol miliar rupiah) dalam 10 (sepuluh) kali penerbitan dan dapat diubah dengan tetap mempertimbangkan target biaya it t- KEDUABELAS KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KETIGABELAS KEEMPATBELAS KELIMABELAS dan risiko utang. : Penerbitan SBN dengan metode priuate placement sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan secara terkoordinasi dengan mempertimbangkan:
Kebutuhan kas;
Hasil pelaksanaan lelang SBN apabila tidak mencapai target dan/atau memiliki biaya yang tinggi;
Kebutuhan untuk pengembangan pasar SBN, termasuk pelaksanaan priuate placemenf secara selektif khususnya bagi investor institusi yang tidak bisa membeli instrumen keuangan lain selain SBN dan investor institusi yang mempunyai kewajiban untuk memiliki portofolio SBN dengan jumlah atau persentase tertentu; dan
Penerbitan dalam rangka konversi dana transfer daerah;
Penerbitan SBN untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 2 terdiri atas penerbitan SUN dalam valuta asing sebesar Rpl19.I14,4 miliar (seratus sembilan belas ribu seratus empat belas koma empat miliar rupiah) dan penerbitan SBSN dalam valuta asing sebesar Rp29.517 ,6 miliar (dua puluh sembilan ribu lima ratus tujuh belas koma enam miliar rupiah). Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPATBELAS dilakukan dalam mata uang kuat (hard currencg) yaitu USD, EUR, JPY, dan/atau mata uang lain dengan tujuan untuk:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, refinancing utang, dan sebagai pelengkap atas penerbitan SBN Rupiah;
Melakukan diversifikasi instrumen pembiayaan dalam rangka mengelola biaya dan risiko pembiayaan;
Memberikan ruang kepada institusi non- pemerintah untuk memperoleh pembiayaan dari pasar keuangan domestik;
Membantu mewujudkan stabilitas moneter dan turut menjaga cadangan devisa;
Menyediakan acuan bagi korporasi dalam penerbitan obligasi dalam valuta asing; dan
Menyediakan instrumen valas di pasar keuangan domestik untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. It KEENAMBELAS KETUJUHBELAS KEDELAPANBELAS KESEMBILANBELAS KEDUAPULUH KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Dalam rangka menjamin ketersediaan anggaran di awal tahun anggaran 2OL9, Pemerintah dapat melakukan penerbitan SBN pada triwulan keempat tahun 2018, dengan memperhatikan:
Kebutuhan pembiayaan pada bulan Januari 2Ol9;
Besaran target pembiayaan utang tahun 2Ol9; dan
Kondisi perekonomian dan pasar keuangan. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebagaimana dimaksud Diktum KETUJUH angka 2 terdiri atas penarikan PDN dan penarikan PLN. Penarikan PDN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rp2.345,4 miliar (dua ribu tiga ratus empat puluh lima koma empat miliar rupiah) dengan mempertimbangkan:
Penyelesaian dan percepatan kegiatan-kegiatan prioritas yang telah terkontrak;
Percepatan penyelesaian kontrak atas kegiatan- kegiatan prioritas yang telah ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya;
Kapasitas Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan dalam menentukan jenis dan menyelesaikan kegiatan;
Kapasitas industri dalam negeri terkait dengan penyediaan barang dan jasa;
Kapasitas pemberi PDN; dan
Biaya dan risiko pinjaman. Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rp78.648,3 miliar (tujuh puluh delapan ribu enam ratus empat puluh delapan koma tiga miliar rupiah) yang terdiri atas penarikan Pinjaman Tunai sebesar Rp44.L64,O miliar (empat puluh empat ribu seratus enam puluh empat koma nol miliar rupiah) dan penarikan Pinjaman Kegiatan sebesar Rp34.484,3 miliar (tiga puluh empat ribu empat ratus delapan puluh empat koma tiga miliar rupiah). Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILANBELAS dilakukan dengan kebijakan:
Mengutamakan pinjaman tingkat bunga tetap (fixed rate) dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang;
Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN untuk menghindari tambahan biaya utang dan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) yang optimal;
Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN melalui peningkatkan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi sebagai upaya menghindari tambahan biaya pinjaman dan untuk mempercepat penyelesaian output dalam rangka pencapaian target pembangunan nasional; 47 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHSATU 4. Mengutamakan Pinjaman T\rnai yang bersumber dari pemberi pinjaman multilateral dan bilateral, dengan memperhatikan kapasitas pemberi pinjaman dan ketersediaan program baik kebijakan maupun kegiatan yang menjadi basis pinjaman tunai; dan
Mengadakan pinjaman tunai komersial sebagai alternatif terakhir dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang. Dalam rangka mengantisipasi potensi tambahan pembiayaan utang dalam tahun anggaran berjalan, dapat dilakukan penjajakan terhadap sumber-sumber pembiayaan, yang dapat digunakan untuk memenuhi tambahan kebutuhan pembiayaan utang dan/atau dalam rangka fleksibilitas pembiayaan utang. Pengelolaan portofolio utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 5 dilakukan untuk mendukung pencapaian portofolio utang yang optimal, mengendalikan pembayaran bunga utang dan pengembangan pasar SBN domestik melalui program penukaran utang (debt switch), pembelian kembali utang secara tunai (cash bugback), dan penataan profil utang (reprofiling). Indikator risiko pembiayaan utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 6 yang menjadi target terdiri atas:
Risiko tingkat bunga (interest rate risk);
Risiko pembiayaan kembali (refinancing risk); dan
Risiko nilai tukar (exchange rate risk). KEDUAPULUHEMPAT : Dalam rangka pengendalian risiko tingkat bunga sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 1, pengadaan utang mengutamakan tingkat bunga tetap ^(fixed rate) dengan tetap membuka ruang pengadaan utang tingkat bunga mengamb ang (uaiable rate) maksimal sebesar 2O,Oo/o (dua puluh koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. : Risiko pembiayaan kembali sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 2 ditargetkan dengan indikator:
Rata-rata utang jatuh tempo (Auerage Time to Maturitg) penerbitan SBN sebesar 8,4 (delapan koma empat) sampai dengan 9,4 (sembilan koma empat) tahun, pengadaan Pinjaman sebesar 9,O (sembilan koma nol) sampai dengan 10,O (sepuluh koma nol) tahun, dan pengadaan utang sebesar 8,5 (delapan koma lima) sampai dengan 9,5 (sembilan koma lima) tahun; dan Porsi utang yang jatuh tempo dalam 1 (satu) tahun maksimal I2,Oo/o (dua belas koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. KEDUAPULUHDUA KEDUAPULUHTIGA KEDUAPULUHLIMA {r 2. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHENAM KEDUAPULUHTUJUH KEDUAPULUHDELAPAN KEDUAPULUHSEMBILAN KETIGAPULUH KETIGAPULUHSATU KETIGAPULUHDUA Dalam rangka pengendalian risiko nilai tukar sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 3, indikator ^yang ditargetkan sebagai berikut:
Penerbitan SBN dalam valuta asing dibatasi maksimal sebesar t9,Oo/o (delapan belas koma ^nol persen) dari pembiayaan melalui SBN;
lJtang dalam valuta asing sebesar maksimal2S,Oo/o (dua puluh lima koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Jumlah outstanding utang di akhir tahun 2Ol9 sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 7, diperkirakan sebesar Rp4.812.411,9 miliar (empat juta delapan ratus dua belas ribu empat ratus sebelas koma sembilan miliar rupiah) atau sebesar 29,9o/o (dua puluh sembilan koma sembilan persen) dari PDB, dengan indikator risiko portofolio utang sebagaimana tercantum dalam Lampiran III ^yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Evaluasi terhadap SPTMU dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk memantau kesesuaian target dan realisasinya, serta untuk menyajikan prognosis pembiayaan utang hingga akhir tahun anggaran. Penlrusunan SPTMU menggunakan asumsi dan data masukan per tanggal 30 September 2Ol9 dan apabila terdapat perubahan signifikan akan dilakukan perubahan. Dalam rangka optimalisasi penggunaan dana Sisa Anggaran Lebih pada rekening Kas Negara, target pengadaan utang dapat disesuaikan dengan tetap memperhatikan kebutuhan kas untuk pembiayaan awal tahun 2O2O. Pada saat Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Nomor 47 lPRl2019 tentang Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2Ol9 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 17 Oktober 2OL9. Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Menteri Keuangan;
Wakil Menteri Keuangan;
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan; ,lt t" t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 8. Sekretaris Direktorat Jenderal dan Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal Z5 Oktober 20tg DIREKTUR JENDERAL LAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, /VLUKY ^ALFIRMA. ^q t I KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN ^RISIKO NOMOR 53 lPRl2Ote ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN ^TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Kebutuhan Pembiayaan APBN Melalui Utang Tahun 2Ol9 dalam miliar R Uraian Nominal 1 Pembiayaan Defisit 2 Pembiayaan Non-Utang (netf a. Pembiayaan Investasi b. Pemberian Pinjaman c. Kewajiban Penjaminan d. Pembayaan Lainnya 3 Utang Jatuh Tempo a. Surat Berharga Negara b. Pinjaman 37O.739,7 61.650,9 74.39L,6 2.281,3 (15.022,0) 497.5'43,0 4a9.908,7 87.634,3 Total Kebutuhan Pembiayaan 929.933,6 DIREKTUR JENDERAL PEN.GELO LAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, LTuuxvALFIRMA" {2- t- I Komposisi Penerbitan Surat Berharga Negara Tahun 2Ol9 (dalam miliar Rp) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN II KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 53 lPRl2Ot9 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, l-y"un ^ALFIRMA.47- fl- I Instrumen Nominal Surat Utang Negara a Surat Utang Negara Rupiah i Obligasi Negara ii Surat Perbendaharaan Negara iii Surat Utang Negara Ritel b Surat Utang Negara dalam Valuta Asing 639.247,O 520.L32,7 405.2L6,t 93.540,0 2L.376,6 L19.1L4,4 Surat Berharga Syariah Negara a Surat Berharga Syariah Negara Rupiah i Surat Berharga Syariah Negara Jangka Panjang ii Surat Perbendaharaan Negara Syariah iii Surat Berharga Syariah Negara Ritel b Surat Berharga Syariah Negara dalam Valuta Asing 257.282,8 227.765,2 159.163,9 37.760,0 30.841,3 29.5L7.6 Total Penerbitan Surat Berharga Negara (bnuto) 896.529,9 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 53 lPRl2Ot9 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Ekspektasi Portofolio Utang Akhir Tahun 2OL9 Outstanding (dalam miliar rupiah) SBN Pinjaman Utang 4.026.397,9 786.O14,O 4.812.4L1,9 lndikator Risiko Portofolio Utang Risiko Tingkat Bunga Porsi Utang Tingkat Bunga Tetap 90,5yo Risiko Pembiayaan Kembali Rata-Rata Utang Jatuh Tempo (tahun) 8,4 Porsi Utang Jatuh Tempo Dalam 1 Tahun 8,2o/o Risiko Nilai Tukar Porsi Utang Dalam Valuta Asing 38,5o/o Rasio Utang terhadap PDB PDB (dalam miliar rupiah) Rasio Utang terhadap PDB 16.093.100,0 29,90/o Asumsl Kurs USD t4.200 DIREKTUR JENDERAL PENGELO LAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, L1LUKY ^ALFTRMAN ^fL_ f {
Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2019
Relevan terhadap
Keputusan Presiden 2017;
Peraturan Menteri KEPUTUSAN PEMBIAYAAN PEMBIAYAAN 2019. Nomor l4l ITPA Tahun Keuangan Nomor DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN DAN RISIKO TENTANG STRATEGI TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN Menetapkan ?l KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERTAMA : Dalam Keputusan Direktur Jenderal ini, ^yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara;
Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya;
Obligasi Negara yang selanjutnya disingkat ON adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto;
Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto;
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing;
SBSN Jangka Panjang adalah SBSN berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto;
SBSN Jangka Pendek atau disebut Surat Perbendaharaan Negara Syariah yang selanjutnya disingkat SPNS adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan secara diskonto;
Pinjaman meliputi Pinjaman Dalam Negeri dan Pinjaman Luar Negeri;
Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya;
Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk SBN, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu;
Pinjaman Kegiatan adalah PLN yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu;
Pinjaman T\rnai adalah PLN dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. -u, ^L d1' KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUA KETIGA KEEMPAT Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang tahun 2OI9 yang selanjutnya disebut SPTMU memuat:
Tujuan;
Kebijakan umum;
Pembiayaan melalui utang;
Sumber pembiayaan melalui utang;
Pengelolaan portofolio utang;
Indikator risiko pembiayaan utang; dan
Outstanding utang di akhir tahun 2Ot9. Tujuan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 1 sebagai berikut:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang tahun 2Ol9 dan membiayai kembali utang jatuh tempo dengan biaya yang minimal dan risiko yang terkendali;
Mendukung terbentuknya pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam ^jangka panjang; dan
Meningkatkan akuntabilitas publik sebagai bagian dari pengelolaan utang Pemerintah yang transparan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 2 sebagai berikut:
Mengendalikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada level yang aman dengan mempertimbangkan kemampuan membayar kembali; Meningkatkan optimalisasi biaya utang untuk mendukung kesinambungan fiskal melalui optimalisasi pinjaman tunai, dan peningkatan kinerja kegiatan yang dibiayai dengan utang; Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan memanfaatkan sumber utang luar negeri sebagai pelengkap; Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembi ayaan dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik; Melakukan upaya lengthening duration untuk mengendalikan utang jatuh tempo ^jangka pendek- menengah melalui pelaksanaan penerbitan SBN dan pengelolaan portofolio utang secara aktif untuk mengendalikan biaya dan risiko utang; Meningkatkan koordinasi pengelolaan likuiditas dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka Asse/ Liabilitg Management (ALM); Mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif antara lain melalui pengadaan pinjaman kegiatan dan penerbitan SBN berbasis proyek yang mendukung program pembangunan nasional; 2t r 2_ 3.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KELIMA KEBNAM KETUJUH 8. Mengoptimalkan pinjaman tunai untuk meningkatkan fleksibilitas pemenuhan pembiayaan melalui utang dengan mempertimbangkan kapasitas pemberi pinjaman dan biaya serta risiko pinjaman;
Memperkuat dan mengoptimalkan ^peran hubungan investor dan kelembagaan, optimalisasi strategi komunikasi dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka perluasan basis investor untuk menciptakan gambaran dan pengetahuan positif mengenai SBN;
Meningkatkan pendalaman pasar domestik dengan mengoptimalkan penerbitan SBN ritel secara dalam ^jaringan (online);
Meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam pengembangan instrumen pembiayaan untuk mendukung pendalaman pasar domestik; dan
Melaksanakan sosialisasi dan pemasaran SBN dalam negeri sebagai strategi untuk meningkatkan investor domestik dan mendorong penambahan investor usia muda. Pembiayaan melalui utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 3 sebesar Rp373.882,0 miliar (tiga ratus tujuh puluh tiga ribu delapan ratus delapan puluh dua koma nol miliar rupiah) yang terdiri atas SBN neto sebesar Rp381.833,9 miliar (tiga ratus delapan puluh satu ribu delapan ratus tiga puluh tiga koma sembilan miliar rupiah) dan Pinjaman neto sebesar negatif Rp7.951,8 miliar (tujuh ribu sembilan ratus lima puluh satu koma delapan miliar rupiah). Dengan memperhatikan outlook defisit APBN tahun anggaran 2019, pembiayaan non-utang, dan utang jatuh tempo, maka kebutuhan pembiayaan melalui utang ditetapkan sebesar Rp87 L463,8 miliar (delapan ratus tujuh puluh satu ribu empat ratus enam puluh tiga koma delapan miliar rupiah) dengan rincian sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Sumber pembiayaan melalui utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 4 terdiri atas:
Pembiayaan melalui penerbitan SBN sebesar Rp791.781,3 miliar (tujuh ratus sembilan puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma tiga miliar rupiah). Pembiayaan melalui penerbitan SBN dimaksud tidak termasuk penerbitan SPN dan SPNS yang akan jatuh tempo pada tahun 2Ol9 sebesar Rp50.000,0 miliar (lima puluh ribu koma nol miliar rupiah), sehingga penerbitan SBN bruto sebesar Rp841.781,3 miliar (delapan ratus empat puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma tiga miliar rupiah) dan dapat disesuaik; ,t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDELAPAN KESEMBILAN KESEPULUH apabila terdapat perubahan atas utang jatuh tempo pada tahun 2Ol9 dan/atau kebutuhan pembiayaan defisit dan non-utang (neto). 2. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebesar Rp79.682,5 miliar (tujuh puluh sembilan ribu enam ratus delapan puluh dua koma lima miliar rupiah). Penerbitan SBN bruto sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUH angka 1 sebesar Rp841.781,3 miliar (delapan ratus empat puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma tiga miliar rupiah) terdiri atas:
Penerbitan SBN Rupiah sebesar Rp722.849,3 miliar (tujuh ratus dua puluh dua ribu delapan ratus empat puluh sembilan koma tiga miliar rupiah); dan
Penerbitan SBN dalam valuta asing sebesar Rp118.932,0 miliar (seratus delapan belas ribu sembilan ratus tiga puluh dua koma nol miliar rupiah), dan dapat dioptimalkan hingga sebesar 17,Oo/o (tujuh belas koma nol persen) dari pembiayaan melalui SBN. Rincian lebih lanjut atas penerbitan SBN bruto tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Penerbitan SBN Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 1 dilaksanakan melalui metode lelang dan non-lelang. Penerbitan SBN Rupiah melalui lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan sebagai berikut:
Lelang SBN direncanakan sebanyak 48 (empat puluh delapan) kali dengan rincian lelang SUN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali dan lelang SBSN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali. 2. Jenis instrumen, target per lelang dan target total ditetapkan sebagai berikut:
SPN dengan tenor 3 (tiga) bulan dengan target indikatif sebesar Rp42.2OO,O miliar (empat puluh dua ribu dua ratus koma nol miliar rupiah);
SPNS dengan tenor 6 (enam) bulan danlatau 12 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp39.960,0 miliar (tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus enam puluh koma nol miliar rupiah);
SPN dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan/atau L2 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp48.550,0 miliar (empat puluh delapan ribu lima ratus lima puluh koma nol miliar rupiah);
ON dengan target indikatif sebesar Rp386.853,0 miliar (tiga ratus delapan puluh enam ribu I ? KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KESEBELAS KEDUABELAS KETIGABELAS delapan ratus lima puluh tiga koma nol miliar rupiah); dan
SBSN Jangka Panjang dengan target indikatif sebesar Rp144.926,6 miliar (seratus empat puluh empat ribu sembilan ratus dua puluh enam koma enam miliar rupiah);
Target outstanding SPN dan SPNS pada akhir tahun 2OL9 sebesar Rp8O.71O,O miliar (delapan puluh ribu tujuh ratus sepuluh koma nol miliar rupiah);
Target indikatif penerbitan per instrumen dan frekuensi lelang dapat diubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan pembiayaan dan kondisi pasar dengan tetap mempertimbangkan target biaya dan risiko utang;
Jadwal pelaksanaan lelang serta indikasi target penerbitan akan diumumkan kepada para pihak secara periodik dan terbuka, termasuk bila terdapat perubahan dalam rencana penerbitan. Penerbitan SBN Rupiah melalui non-lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan dengan metode bookbuilding dan priuate placement. Penerbitan SBN dengan metode bookbuilding sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan untuk penerbitan SBN ritel dengan target indikatif sebesar Rp50.000,0 miliar (lima puluh ribu koma nol miliar rupiah) sampai dengan Rp70.000,0 (tujuh puluh ribu koma nol miliar rupiah) dalam 10 (sepuluh) kali penerbitan dan dapat diubah dengan tetap mempertimbangkan target biaya dan risiko utang. Penerbitan SBN dengan metode priuate placement sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan secara terkoordinasi dengan mempertimbangkan:
Kebutuhan kas;
Hasil pelaksanaan lelang SBN apabila tidak mencapai target dan/atau memiliki biaya yang tinggi; Kebutuhan untuk pengembangan pasar SBN, termasuk pelaksanaan priuate placement secara selektif khususnya bagi investor institusi yang tidak bisa membeli instrumen keuangan lain selain SBN dan investor institusi yang mempunyai kewajiban untuk memiliki portofolio SBN dengan jumlah atau persentase tertentu; dan Penerbitan dalam rangka konversi dana transfer daerah; Penerbitan SBN untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. ?N 3.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEEMPATBELAS KELIMABELAS KEENAMBELAS KETUJUHBELAS KEDELAPANBELAS Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 2 terdiri atas penerbitan SUN dalam valuta asing sebesar Rp89.414,4 miliar (delapan puluh sembilan ribu empat ratus empat belas koma empat miliar rupiah) dan penerbitan SBSN dalam valuta asing sebesar Rp29.517 ,6 miliar (dua puluh sembilan ribu lima ratus tujuh belas koma enam miliar rupiah). Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPATBELAS dilakukan dalam mata uang kuat (hard currency) yaitu USD, EUR, JPY, dan latau mata uang lain dengan tujuan untuk:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, refinancing utang, dan sebagai pelengkap atas penerbitan SBN Rupiah;
Melakukan diversifikasi instrumen pembiayaan dalam rangka mengelola biaya dan risiko pembiayaan;
Memberikan ruang kepada institusi non- pemerintah untuk memperoleh pembiayaan dari pasar keuangan domestik;
Membantu mewujudkan stabilitas moneter dan turut menjaga cadangan devisa;
Menyediakan acuan bagi korporasi dalam penerbitan obligasi dalam valuta asing; dan
Menyediakan instrumen valas di pasar keuangan domestik untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. Dalam rangka menjamin ketersediaan anggaran di awal tahun anggaran 2019, Pemerintah dapat melakukan penerbitan SBN pada triwulan keempat tahun 2OL8, dengan memperhatikan:
Kebutuhan pembiayaan pada bulan Januari 2Ol9;
Besaran target pembiayaan utang tahun 2019; dan
Kondisi perekonomian dan pasar keuangan. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebagaimana dimaksud Diktum KETUJUH angka 2 terdiri atas penarikan PDN dan penarikan PLN. Penarikan PDN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rpl .373,4 miliar (seribu tiga ratus tujuh puluh tiga koma empat miliar rupiah) dengan mempertimbangkan:
Penyelesaian dan percepatan kegiatan-kegiatan prioritas yang telah terkontrak;
Percepatan penyelesaian kontrak atas kegiatan- kegiatan prioritas yang telah ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya;
Kapasitas Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan dalam menentukan jenis dan t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KESEMBILANBELAS KEDUAPULUH KEDUAPULUHSATU menyelesaikan kegiatan;
Kapasitas industri dalam negeri terkait dengan penyediaan barang dan jasa;
Kapasitas pemberi PDN; dan
Biaya dan risiko pinjaman. Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rp78.3O9,O miliar (tujuh puluh delapan ribu tiga ratus sembilan koma nol miliar rupiah) yang terdiri atas penarikan Pinjaman T\rnai sebesar Rp44.I64,O miliar (empat puluh empat ribu seratus enam puluh empat koma nol miliar rupiah) dan penarikan Pinjaman Kegiatan sebesar Rp34.145,0 miliar (tiga puluh empat ribu seratus empat puluh lima koma nol miliar rupiah). Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILANBELAS dilakukan dengan kebdakan:
Mengutamakan pinjaman tingkat bunga tetap (fixed rate) dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang;
Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN untuk menghindari tambahan biaya utang dan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) yang optimal;
Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN melalui peningkatan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi sebagai upaya menghindari tambahan biaya pinjaman dan untuk mempercepat penyelesaian output dalam rangka pencapaian target pembangunan nasional;
Mengutamakan Pinjaman T: nai yar: g bersumber dari pemberi pinjaman multilateral dan bilateral, dengan memperhatikan kapasitas pemberi pinjaman dan ketersediaan program baik kebijakan maupun kegiatan yang menjadi basis pinjaman tunai; dan
Mengadakan pinjaman tunai komersial sebagai alternatif terakhir dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang. Dalam rangka mengantisipasi potensi tambahan pembiayaan utang dalam tahun anggaran berjalan, dapat dilakukan penjajakan terhadap sumber-sumber pembiayaan, yang dapat digunakan untuk memenuhi tambahan kebutuhan pembiayaan utang dan/atau dalam rangka fleksibilitas pembiayaan utang. Pengelolaan portofolio utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 5 dilakukan untuk mendukung pencapaian portofolio utang yang optimal, mengendalikan pembayaran bunga utang dan pengembangan pasar SBN domestik melalui program penukaran utang (debt stuitch), pembelian kembali utang secara tunai (cash bugback), dan penataan profil utang (reprofiling). ? KEDUAPULUHDUA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHTIGA KEDUAPULUHEMPAT KEDUAPULUHLIMA KEDUAPULUHENAM KEDUAPULUHTUJUH Indikator risiko pembiayaan utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 6 yang menjadi target terdiri atas:
Risiko tingkat bunga (interest rate risk);
Risiko pembiayaan kembali (refinancing risk); dan
Risiko nilai tukar (exchange rate risk). Dalam rangka pengendalian risiko tingkat bunga sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 1, pengadaan utang mengutamakan tingkat bunga tetap (frx"d rate) dengan tetap membuka ruang pengadaan utang tingkat bunga mengambang (uariable rate) maksimal sebesar 2O,Oo/o (dua puluh koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Risiko pembiayaan kembali sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 2 ditargetkan dengan indikator:
Rata-rata utang jatuh tempo (Auerage Time to Matuity) penerbitan SBN sebesar 8,9 (delapan koma sembilan) sampai dengan 9,9 (sembilan koma sembilan) tahun, pengadaan Pinjaman sebesar 9,8 (sembilan koma delapan) sampai dengan 1O,8 (sepuluh koma delapan) tahun, dan pengadaan utang sebesar 9,O (sembilan koma nol) sampai dengan 10,0 (sepuluh koma nol) tahun; dan
Porsi utang yang jatuh tempo dalam 1 (satu) tahun maksimal l2,Oo/o (dua belas koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Dalam rangka pengendalian risiko nilai tukar sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 3, indikator yang ditargetkan sebagai berikut:
Penerbitan SBN dalam valuta asing dibatasi maksimal sebesar l7,Oo/o (tujuh belas koma nol persen) dari pembiayaan melalui SBN;
Utang dalam valuta asing sebesar maksimal2S,Oo/o (dua puluh lima koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Jumlah outstanding utang di akhir tahun 2Ol9 sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 7, diperkirakan sebesar Rp4.754,0 triliun (empat ribu tujuh ratus lima puluh empat koma nol triliun rupiah) atau sebesar 29,5o/o (dua puluh sembilan koma lima persen) dari PDB, dengan indikator risiko portofolio utang sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Evaluasi terhadap SPTMU dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk memantau kesesuaian target dan realisasinya, serta untuk menyajikan prognosis pembiayaan utang hingga akhir tahun anggaran. KEDUAPULUHDELAPAN ?l KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHSEMBILAN : Pen5rusunan SPTMU menggunakan asumsi dan data KETIGAPULUH masukan per tanggal 30 Juni 2Ol9 dan apabila terdapat perubahan signifikan akan dilakukan perubahan. : Pada saat Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Nomor 69lPRl2O18 tentang Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2OI9 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. KETIGAPULUHSATU : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 1 Juli 2019. Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Menteri Keuangan;
Wakil Menteri Keuangan;
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan;
Sekretaris Direktorat Jenderal dan Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2019 DIREKTUR JENDERAL '"ffLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, { ^Z ^LUKY ^ALFTRMAN ^@ /c t, KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 47 lPRl2Otg ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Kebutuhan Pembiayaan APBN Melalui Utang Tahun 2Ol9 (dalam miliar Rp) Uraian 1 Pembiayaan Defisit 2 Pembiayaan Non-Utang (neto) a. Pembi ayaar: - Investasi b. Pemberian Pinjaman c. Kewajiban Penjaminan d. Pembiayaan Lainnya 3 Utang Jatuh Tempo a. Surat Berharga Negara b. Pinjaman Total Kebutuhan Pembiayaan Nominal 310.8L2,4 63.069,6 75.799,3 2.281,3 ( 15.000,0) 497 .581,7 409.947 ,4 87.634,3 871.463,8 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, fi n UC- t"J& ^LUKY ALFTRMAN ^4-L t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN II KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 4l lPRl2Or8 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Komposisi Penerbitan Surat Berharga Negara Tahun 2Ol9 (dalam miliar Rp) Instrumen Nominal Surat Utang Negara a Surat Utang Negara Rupiah i Obligasi Negara ii Surat Perbendaharaan Negara iii Surat Utang Negara Ritel b Surat Utang Negara dalam Valuta Asing 594.498,5 505.084,1 386.853,0 90.750,0 27.481,1 89.414,4 Surat Berharga Syariah Negara a Surat Berharga Syariah Negara Rupiah i Surat Berharga Syariah Negara Jangka Panjang ii Surat Perbendaharaan Negara Syariah iii Surat Berharga Syariah Negara Ritel b Surat Berharga Syariah Negara dalam Valuta Asing 247.282,8 217.765,2 144.926,6 39.960,0 32.878,7 29.517,6 Total Penerbitan Surat Berharga Negara (bruto) 841.781,3 DIREKTUR JENDERAL PENNELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, t, \r- { t LUKY ALFTRMAN4L-L { KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR ^41 /PR/2O18 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Ekspektasi Portofolio Utang Akhir Tahun 2OI9 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, * ^t ^LUKY ^ALFIRMAN ^a_r Outstanding (dalam miliar rupiah) SBN Pinjaman Utang 3.974.r43,t 779.860,3 4.754.OO3,4 Indikator Risiko Portofolio Utang Risiko Tingkat Bunga Porsi Utang Tingkat Bunga Tetap 89,9o/o Risiko Pembiayaan Kembali Rata-Rata Utang Jatuh Tempo (tahun) 8,7 Porsi Utang Jatuh Tempo Dalam 1 Tahun 8,2o/o Risiko Nilai T\rkar Porsi Utang Dalam Valuta Asing 38,3o/o Rasio Utang terhadap PDB PDB (dalam miliar rupiah) Rasio Utang terhadap PDB 16.108.384,9 29,5o/o Asumsi Kurs USD 14.250 rl
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 ayat (2) ...
Relevan terhadap
analisis Becker bahwa tingkat hukuman yang lebih tinggi atau probabilitas deteksi cenderung untuk mencegah penggelapan. Walaupun model A-S mampu menjelaskan dampak dari hukuman dan probabilitas tertangkap terhadap kepatuhan pajak, akan tetapi data pajak menunjukan bahwa perbaikan di kedua faktor tersebut masih belum mampu mengurangi perbedaan antara pajak yang terutang dan pajak yang dikumpulkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah langkah yang diambil sejauh ini cukup untuk meringankan masalah ketidakpatuhan pajak. Braithwaite (1985) menunjukkan bahwa perluasan analisis kepatuhan pajak tradisional dengan memasukkan unsur regulasi yang bersifat responsif dapat menghasilkan metode yang lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Salah satu fenomena yang tidak tersentuh dari model A-S adalah prilaku self-reporting . Perilaku self-reporting ini adalah fitur yang biasa ditemukan di dalam konteks penegakan hukum, contohnya, perusahan yang melaporkan pelanggaran di bidang pelestarian lingkungan dan keselamatan kerja, atau perilaku menyerahkan diri ketika melakukan pelanggaran kepada pihak yang berwenang. Salah bentuk regulasi yang bersifat responsif adalah penerapan VDP, di mana program tersebut bisa digunakan sebagai media untuk memfasilitasi perilaku self-reporting . Pada bagian berikut akan menjelaskan dasar teori mengapa program yang memungkinkan seorang wajib pajak untuk melakukan pembetulan laporan pajaknya tanpa terkena hukuman sangat diperlukan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Perlu diingat bahwa kerangka berpikir dari sub-bagian berikut adalah perluasan dari kerangka berpikir model A-S. 5.3. Penegakan Hukum dan Perilaku Self-Reporting (Swalapor) Ada berbagai cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah ketika seorang wajib pajak mengakui pelanggaran pajaknya; contohnya amnesti, yang biasa diberikan untuk waktu yang terbatas untuk kelompok tertentu, atau otoritas pajak juga memberikan kelonggaran bagi pelanggar pajak yang membetulkan laporan pajaknya secara sukarela, seperti pada tax amnesty atau VDP. Ada dua alasan penting mengapa program semacam tax amnesty atau VDP perlu dilakukan. Pertama, program pengampunan ini terjadi karena kondisi informasi yang tidak sempurna antara wajib pajak dan otoritas pajak. Jika otoritas memiliki informasi yang sempurna, otoritas pajak dapat memilah secara pasti mana wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
pengurangan sanksi atau pelonggaran hukuman terlalu kecil untuk bisa mendorong perilaku self-reporting walaupun ada kemungkinan pelanggaran tersebut akan diketahui oleh otoritas pajak. Kedua , wajib pajak meremehkan kemungkinan pelanggarannya diketahui oleh otoritas pajak atau meremehkan sanksi yang akan diterimanya atas pelanggaran yang sudah dilakukannya, atau juga wajib pajak tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan pelanggaran. Ketiga , wajib pajak menyadari dari awal bahwa kemungkinan pelanggarannya terdeteksi oleh otoritas pajak relatif tidak mungkin. Keempat , tingginya biaya administrasi. Setelah model K-S, ada dua studi yang melakukan perluasan model tersebut dan relevan dengan konteks tax amnesty atau VDP di Indonesia. Pertama adalah studi yang dilakukan oleh Innes (2000), yang tidak lagi menggunakan asumsi bahwa masing-masing wajib pajak memiliki probabilitas terdeteksi yang sama jika melakukan kecurangan seperti di model K-S, akan tetapi Innes (2000) mengasumsikan bahwa secara eksogen, masing-masing wajib pajak memiliki probabilitas terdeteksi yang berbeda jika melakukan kecurangan. Berikut adalah ilustrasi yang dapat digunakan untuk memahami kerangka berpikir dari studi Innes (2000). Katakanlah telah terjadi sebuah pelanggaran di mana kerugian akibat pelanggaran tersebut sebesar 100. Jika tertangkap, individu yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi sebesar 200. Kemungkinan dari tertangkap bisa 80% ( high probability of apphension ) atau juga 30% ( low probability of apprehension ). Dengan skema seperti ini, pada dasarnya pemerintah memberikan hukuman yang berlebihan kepada mereka yang memiliki kemungkinan tertangkap yang tinggi (ekspektasi sanksi yang diterima oleh pelanggar tipe ini adalah sebesar 160—80% dari 200) dan melupakan pelanggar yang kemungkinan tertangkapnya rendah (ekspektasi sanksi yang diterima oleh pelanggar tipe ini adalah sebesar 60—30% dari 200). Skema regulasi tersebut dapat diperbaiki dengan menyertakan prilaku self-reporting, dimana sanksi yang dikenakan hanya sebesar 110 jika melaporkan pelanggarannya secara sukarela, mereka yang memiliki kemungkinan tertangkap yang tinggi akan terdorong untuk melaporkan pelanggarannya secara sukarela karena biaya sanksinya lebih rendah, tapi tidak untuk mereka yang memiliki kemungkinan tertangkapnya rendah. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
mana wajib pajak yang melakukan pelanggaran dan yang tidak. Kedu a, setelah seorang wajib pajak melakukan penggelapan pajak, sering kali wajib pajak tersebut menyesali tindakannya, oleh sebab itu penting bagi pemerintah untuk mempermudah bagi wajib pajak tersebut untuk melakukan pembetulan laporan perpajakannya, terlepas dari alasan mengapa dia menyesali pelanggaran yang telah dilakukannya. Pertanyaan terpenting yang harus dijawab adalah bagaimana membangun VDP tanpa mengurangi efek jera dari hukum pidana. Dalam jangka pendek, baik tax amnesty maupun VDP dapat menambah penerimaan pajak. Dan pada jangka panjang, dapat menarik wajib pajak yang sebelumnya tidak terdaftar dalam sistem perpajakan, memperluas basis data perpajakan, meningkatkan kepatuhan pajak, atau juga dapat digunakan sebagai langkah awal kebijakan rezim baru untuk menerapkan sanksi lebih besar. Pelaporan harta yang belum tercatat juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dana repatriasi dapat masuk ke berbagai instrumen investasi untuk pembiayaan berbagai proyek pembangunan dan mendorong peran swasta. Lebih lanjut, di sisi moneter, masuknya dana dari luar negeri juga berpotensi menguatkan nilai tukar mata uang domestik. Urgensi penerapan pengampunan bagi wajib pajak yang melakukan repatriasi harta dari luar negeri juga didorong oleh momentum keterbukaan informasi yang mulai digalakkan berbagai negara di dunia. Di antaranya adalah upaya multilateral juga digagas OECD dengan merancang Common Reporting Standard (CRS) yang mengatur bahwa setiap yurisdiksi berkomitmen untuk mempertukarkan informasi keuangan nasabah asing setiap tahunnya secara otomatis mulai akhir tahun 2017. Seorang ahli pajak, Vokidjon Urinov, menyebut kebijakan pengampunan pajak sebagai jembatan antara menuju era keterbukaan informasi di 2018. Dari perspektif teori paradigma yang diperkenalkan ilmuwan Thomas Kuhn, pengampunan pajak dapat menjadi paradigma antara ( meso- paradigm ) yang memungkinkan kondisi-kondisi empirik yakni keterbatasan dan problem perpajakan ( micro-paradigm ) ditransformasikan menuju reformasi perpajakan yang ideal ( macro- paradigm ). Dasar dari kerangka analisis mengenai kepatuhan terhadap hukum adalah hasil studi yang dilakukan oleh Becker (1968), di mana premis dasar dari studi tersebut menggunakan konsep utilitarian —bahwa seseorang yang rasional akan berusaha Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Investasi Pemerintah
Relevan terhadap
Kewenangan pengelolaan Investasi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 meliputi kewenangan regulasi, supervisi, dan operasional.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan regulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:
merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Investasi Pemerintah;
menetapkan kriteria pemenuhan perjanjian dalam pelaksanaan Investasi Pemerintah; dan
menetapkan tata cara pembayaran kewajiban yang timbul dari proyek penyediaan Investasi Pemerintah dalam hal terdapat __ penggantian atas hak kekayaan intelektual, pembayaran subsidi, dan kegagalan pemenuhan Perjanjian Investasi.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:
melakukan kajian kelayakan dan memberikan rekomendasi atas pelaksanaan Investasi Pemerintah;
memonitor pelaksanaan Investasi Pemerintah yang terkait dengan dukungan pemerintah;
mengevaluasi secara berkesinambungan mengenai pembiayaan dan keuntungan atas pelaksanaan Investasi Pemerintah dalam jangka waktu tertentu; dan
melakukan koordinasi dengan instansi terkait khususnya sehubungan dengan Investasi Langsung dalam penyediaan infrastruktur dan bidang lainnya, termasuk apabila terjadi kegagalan pemenuhan kerjasama.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:
mengelola Rekening Induk Dana Investasi;
meneliti dan menyetujui atau menolak usulan permintaan dana Investasi Pemerintah dari Badan Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing;
mengusulkan rencana kebutuhan dana Investasi Pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
menempatkan dana atau barang dalam rangka Investasi Pemerintah;
melakukan Perjanjian Investasi dengan Badan Usaha terkait dengan penempatan dana Investasi Pemerintah;
melakukan pengendalian atas pengelolaan risiko terhadap pelaksanaan Investasi Pemerintah;
mengusulkan rekomendasi atas pelaksanaan Investasi Pemerintah;
mewakili dan melaksanakan kewajiban serta menerima hak pemerintah yang diatur dalam Perjanjian Investasi;
menyusun dan menandatangani Perjanjian Investasi;
mengusulkan perubahan Perjanjian Investasi;
melakukan tindakan untuk dan atas nama pemerintah apabila terjadi sengketa atau perselisihan dalam pelaksanaan Perjanjian Investasi;
melaksanakan Investasi Pemerintah dan Divestasinya; dan
apabila diperlukan, dapat mengangkat dan memberhentikan Penasihat Investasi.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2008 tentang Pedoman dan Pentahapan dalam Rangka Pembangunan dan Penerapan Indonesia ...
Penyusunan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Lanjutan Program/Kegiatan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Tahun Anggaran 2013 ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Program/Kegiatan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri yang selanjutnya disebut PNPM Mandiri adalah Program Nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat.
PNPM Mandiri Perdesaan adalah Program Nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program- program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di perdesaan.
PNPM Mandiri Perkotaan adalah Program Nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program- program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan di kelurahan perkotaan.
Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan yang selanjutnya disebut PPIP adalah PNPM Mandiri yang bertujuan menciptakan dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok sehingga mampu memecahkan berbagai permasalahan terkait kemiskinan dan ketertinggalan yang ada di desanya.
Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah yang selanjutnya disingkat PISEW adalah PNPM Mandiri yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang berbasis sumberdaya lokal, mengurangi kesenjangan antarwilayah, pengentasan kemiskinan daerah perdesaan, memperbaiki pengelolaan pemerintahan (local governance) dan penguatan institusi di perdesaan Indonesia.
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus yang selanjutnya disingkat P2DTK adalah Program Nasional untuk membantu pemerintah daerah dalam mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sosial ekonomi daerah tertinggal dan khusus dengan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam memfasilitasi pembangunan partisipatif, memberdayakan masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat dalam perencanaan pembangunan partisipatif terutama bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, melembagakan pelaksanaan pembangunan partisipatif untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial dasar pendidikan, kesehatan, infrastruktur, penguatan hukum, capacity building, serta penciptaan iklim investasi dan usaha, memperbesar akses masyarakat terhadap keadilan, meningkatkan kemudahan hidup masyarakat terutama keluarga miskin melalui penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sosial ekonomi.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Lanjutan yang selanjutnya disebut DIPA Lanjutan adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang berisi sisa anggaran PNPM Mandiri Tahun Anggaran 2012 yang dilanjutkan pada Tahun Anggaran 2013.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang memperoleh kewenangan sebagai Kuasa BUN.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PA/KPA/Pejabat Penandatangan SPM untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana, yang selanjutnya disingkat SP2D, adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Tata Cara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman dalam Negeri oleh Pemerintah.
Relevan terhadap
Kegiatan tertentu Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a adalah :
kegiatan dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri; dan
pembangunan infrastruktur.
Kegiatan tertentu Pemerintah Daerah melalui penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b merupakan kegiatan dalam rangka:
pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum; dan b. kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan.
Kegiatan tertentu BUMN melalui penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c merupakan kegiatan dalam rangka:
pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum diluar kerangka pelaksanaan penugasan khusus pemerintah; dan
kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan.
Kegiatan tertentu Perusahaan Daerah melalui penerusan pinjaman kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d terdiri atas:
pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum; dan b. kegiatan investasi yang menghasilkan penerimaan.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2019. ...