Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Relevan terhadap
Yang dimaksud dengan pengolahan lanjutan dalam Undang-undang ini adalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya alam Papua misalnya: sektor migas, pertambangan umum, kehutanan, perikanan laut, serta hasil-hasil pertanian pada umumnya. Pengolahan lanjutan ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari sumber-sumber tersebut yang berdampak positif bagi penerimaan Provinsi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pemanfaatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemanfaatan lainnya. Usaha pengolahan lanjutan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat di Papua dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif. Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam dimaksud dalam Pasal ini dapat dilaksanakan di Provinsi Papua apabila memenuhi prinsip-prinsip ekonomi tersebut. Hal ini mengandung arti bahwa apabila pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam tersebut belum memenuhi prinsip-prinsip ekonomi, pengolahan lanjutan tersebut dapat dilaksanakan di wilayah lain untuk tetap memanfaatkan peluang investasi yang ada bagi kesejahteraan masyarakat Papua, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Dalam rangka mendorong peningkatan investasi di wilayah Provinsi Papua, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua wajib membuat kebijakan yang kondusif. Pasal 40...
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar ...
Kepelabuhanan.
Relevan terhadap
Pembangunan terminal khusus dilakukan oleh pengelola berdasarkan izin dari Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan yang harus dilengkapi dengan persyaratan:
administrasi;
teknis kepelabuhanan;
keselamatan dan keamanan pelayaran; dan
kelestarian lingkungan. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
akte pendirian perusahaan;
izin usaha pokok dari instansi terkait; ditjen Peraturan Perundang-undangan c. Nomor Pokok Wajib Pajak;
bukti penguasaan tanah;
bukti kemampuan finansial;
proposal rencana tahapan kegiatan pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang; dan
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan terdekat. (4) Persyaratan teknis kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
gambar hidrografi, topografi, dan ringkasan laporan hasil survei mengenai pasang surut dan arus;
tata letak dermaga;
perhitungan dan gambar konstruksi bangunan pokok;
hasil survei kondisi tanah;
hasil kajian keselamatan pelayaran termasuk alur- pelayaran dan kolam pelabuhan;
batas-batas rencana wilayah daratan dan perairan dilengkapi titik koordinat geografis serta rencana induk terminal khusus yang akan ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
kajian lingkungan. (5) Persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
alur-pelayaran;
kolam pelabuhan;
rencana penempatan Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran;
rencana arus kunjungan kapal. (6) Persyaratan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d berupa studi lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Pasal 118 (1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pembangunan Terminal Khusus dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah persyaratan dilengkapi. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan izin pembangunan terminal khusus. Pasal 119 Dalam melaksanakan pembangunan terminal khusus, pengelola wajib:
melaksanakan pekerjaan pembangunan terminal khusus sesuai dengan jadwal yang ditetapkan;
bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan terminal khusus yang bersangkutan;
melaksanakan pekerjaan pembangunan paling lama 1 (satu) tahun sejak izin pembangunan diterbitkan;
melaporkan kegiatan pembangunan terminal khusus secara berkala kepada penyelenggara pelabuhan terdekat; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 120 (1) Pengoperasian terminal khusus dilakukan setelah diperolehnya izin dari Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari pengelola setelah memenuhi persyaratan:
pembangunan terminal khusus telah selesai dilaksanakan sesuai dengan izin pembangunan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1);
keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran;
laporan pelaksanaan kajian lingkungan;
memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 122...
tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan sertifikasi. Pasal 121 (1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pengoperasian terminal khusus dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah persyaratan dilengkapi. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan izin pengoperasian terminal khusus. Pasal 121 (1) Izin pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dan Pasal 111.
Permohonan perpanjangan izin pengoperasian terminal khusus diajukan oleh pengelola kepada Menteri dengan melampirkan bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Menteri dapat memberikan atau menolak permohonan perpanjangan izin pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 122 Pengelola yang telah mendapatkan izin pengoperasian wajib:
bertanggung jawab sepenuhnya atas pengoperasian terminal khusus yang bersangkutan;
melaporkan kegiatan operasional setiap bulan kepada pemberi izin;
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran serta kelestarian lingkungan; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya. Pasal 123 (1) Penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum tidak dapat dilakukan kecuali dalam keadaan darurat dengan izin Menteri. (2) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
terjadi bencana alam atau peristiwa alam lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya pelabuhan; atau
pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat pelabuhan dan belum tersedia moda transportasi lain yang memadai atau pelabuhan terdekat tidak dapat melayani permintaan jasa kepelabuhanan oleh karena keterbatasan kemampuan fasilitas yang tersedia sehingga menghambat kelancaran arus barang. (3) Izin penggunaan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila fasilitas yang terdapat di terminal khusus tersebut dapat menjamin keselamatan pelayaran dan pelaksanaan pelayanan jasa kepelabuhanan. (4) Penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum hanya bersifat sementara, dan apabila pelabuhan telah dapat berfungsi untuk melayani kepentingan umum, izin penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum dicabut. (5) Penggunaan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan kerjasama antara penyelenggara pelabuhan dengan pengelola. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 124 (1) Pengoperasian terminal khusus dilakukan sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. (2) Pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditingkatkan secara terus menerus selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1(satu) hari atau selama waktu tertentu sesuai kebutuhan. (3) Peningkatan pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
adanya peningkatan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang; dan
tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran, kepelabuhanan, dan lalu lintas angkutan laut. Pasal 125 (1) Menteri dapat menetapkan peningkatan pelayanan operasional terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) berdasarkan usulan dari pengelola. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
kesiapan kondisi alur;
kesiapan pelayanan pemanduan bagi perairan terminal khusus yang sudah ditetapkan sebagai perairan wajib pandu;
kesiapan fasilitas terminal khusus;
kesiapan gudang dan/atau fasilitas lain di luar terminal khusus;
kesiapan keamanan dan ketertiban;
kesiapan sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan;
kesiapan tenaga kerja bongkar muat dan naik turun penumpang atau kendaraan;
kesiapan sarana transportasi darat; dan
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan terdekat. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 126 Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan izin yang telah diberikan:
dapat diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota;
dikembalikan seperti keadaan semula;
diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain; atau
dijadikan pelabuhan. Pasal 127 (1) Izin operasi terminal khusus hanya dapat dialihkan apabila usaha pokoknya dialihkan kepada pihak lain. (2) Pengalihan izin operasi terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri. (3) Dalam hal terjadi perubahan data pada izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola paling lama 3 (tiga) bulan setelah terjadinya perubahan wajib melaporkan kepada Menteri untuk dilakukan penyesuaian. Pasal 128 (1) Terminal khusus yang diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dapat berubah statusnya menjadi pelabuhan setelah memenuhi persyaratan:
sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
layak secara ekonomis dan teknis operasional;
membentuk atau mendirikan Badan Usaha Pelabuhan;
mendapat konsesi dari Otoritas Pelabuhan;
keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran; dan
kelestarian lingkungan. (2) Dalam hal terminal khusus berubah status menjadi pelabuhan yang diusahakan secara komersial, tanah daratan dan/atau perairan, fasilitas penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang dikuasai dan dimiliki oleh pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara dan diatur oleh Otoritas Pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Pemberian konsesi dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara Otoritas Pelabuhan dan pengelola. Pasal 129 Terminal khusus yang diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. Pasal 130 (1) Izin pengoperasian terminal khusus dapat dicabut apabila pemegang izin:
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122; atau
menggunakan terminal khusus untuk melayani kepentingan umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1). (2) Pencabutan izin pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin terminal khusus tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, izin pengoperasian terminal khusus dicabut. Pasal 131 Izin pengoperasian terminal khusus dicabut tanpa melalui proses peringatan, apabila pengelola terminal khusus yang bersangkutan:
melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara; atau
memperoleh izin pengoperasian terminal khusus dengan cara tidak sah. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 132 (1) Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan operasional terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. (2) Fungsi keselamatan di terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. Pasal 133 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara penetapan lokasi, pemberian izin pembangunan dan izin operasi, penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum, peningkatan kemampuan pengoperasian, perubahan status menjadi pelabuhan, prosedur pencabutan izin terminal khusus, penyerahan terminal khusus diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Pasal 134 (1) Untuk menunjang kegiatan tertentu di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal untuk kepentingan sendiri. (2) Pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dilakukan sebagai satu kesatuan dalam penyelenggaraan pelabuhan. Pasal 135 (1) Pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan pengelolaan dari:
Menteri bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan utama dan pengumpul;
gubernur bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan pengumpan regional; dan ditjen Peraturan Perundang-undangan c. bupati/walikota bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan pengumpan lokal. (2) Persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setelah memenuhi persyaratan:
data perusahaan yang meliputi akte perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan izin usaha pokok;
bukti kerjasama dengan penyelenggara pelabuhan;
gambar tata letak lokasi terminal untuk kepentingan sendiri dengan skala yang memadai, gambar konstruksi dermaga, dan koordinat geografis letak dermaga untuk kepentingan sendiri;
bukti penguasaan tanah;
proposal terminal untuk kepentingan sendiri;
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan setempat;
berita acara hasil peninjauan lokasi oleh tim teknis terpadu; dan
studi lingkungan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 136 (1) Untuk mendapatkan persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri, pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Persetujuan atau penolakan permohonan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubenur, atau bupati/walikota paling lama 30 (tiga puluh) __ hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Penolakan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai alasan penolakan. Pasal 137 Pengelola terminal untuk kepentingan sendiri wajib menyediakan ruangan dan sarana kerja yang memadai untuk kelancaran kegiatan pemerintahan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 138 (1) Terminal untuk kepentingan sendiri hanya dapat dioperasikan untuk kegiatan:
lalu lintas kapal atau naik turun penumpang atau bongkar muat barang berupa bahan baku, hasil produksi, dan peralatan penunjang produksi untuk kepentingan sendiri; dan
pemerintahan, penelitian, pendidikan dan pelatihan, dan sosial. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dibuktikan dengan dokumen penumpang dan/atau dokumen muatan barang. Pasal 139 (1) Penggunaan terminal untuk kepentingan sendiri selain untuk melayani kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan umum setelah mendapat konsesi dari penyelenggara pelabuhan. (2) Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
kemampuan dermaga dan fasilitas lainnya yang ada untuk memenuhi permintaan jasa kepelabuhanan;
rencana kegiatan yang dinilai dari segi keamanan, ketertiban dan keselamatan pelayaran dengan rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan setempat;
upaya peningkatan pelayanan kepada pengguna jasa kepelabuhanan;
pungutan tarif jasa kepelabuhan dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan yang bersangkutan; dan
memberlakukan ketentuan sistem dan prosedur pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang bersangkutan. Pasal 140 Dalam hal terjadi bencana alam atau peristiwa lainnya yang mengakibatkan tidak berfungsinya terminal, pengelola terminal untuk kepentingan sendiri wajib memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan untuk kepentingan umum dengan ketentuan:
pengoperasian dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. hak dan kewajiban pengelola terminal untuk kepentingan sendiri harus terlindungi;
pelayanan jasa kepelabuhanan diberlakukan ketentuan pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan; dan
pungutan tarif jasa kepelabuhanan diberlakukan oleh penyelenggara pelabuhan. Pasal 141 Pengelola terminal untuk kepentingan sendiri dalam melaksanakan pengelolaan dermaga wajib:
bertanggung jawab sepenuhnya atas dampak yang ditimbulkan selama pembangunan dan pengoperasian terminal untuk kepentingan sendiri yang bersangkutan;
melaporkan kegiatan operasional terminal untuk kepentingan sendiri kepada penyelenggara pelabuhan laut secara berkala; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepelabuhanan, lalu lintas angkutan di perairan, keselamatan pelayaran, pengerukan dan reklamasi, serta pengelolaan lingkungan; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya. Pasal 142 (1) Persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dicabut apabila pengelola:
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141;
menggunakan terminal untuk kepentingan sendiri untuk melayani kepentingan umum tanpa konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2). (2) Pencabutan persetujuan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengelola terminal untuk kepentingan sendiri tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dicabut. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 143 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII PENARIFAN Pasal 144 Setiap pelayanan jasa kepelabuhanan dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang diberikan. Pasal 145 Besaran tarif pelayanan jasa kepelabuhanan ditetapkan berdasarkan:
kepentingan pelayanan umum;
peningkatan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan;
kepentingan pengguna jasa;
peningkatan kelancaran pelayanan jasa;
pengembalian biaya; dan
pengembangan usaha. Pasal 146 (1) Tarif penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Menteri. (2) Tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan ditetapkan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif yang ditetapkan oleh Menteri dan merupakan pendapatan Badan Usaha Pelabuhan. (3) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan secara tidak komersial oleh Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah dan merupakan penerimaan daerah. Pasal 147 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif jasa kepelabuhanan, mekanisme penetapan tarif yang terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan dan jasa kepelabuhanan serta tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII PELABUHAN DAN TERMINAL KHUSUS YANG TERBUKA BAGI PERDAGANGAN LUAR NEGERI Pasal 148 (1) Untuk menunjang kelancaran perdagangan luar negeri pelabuhan utama dan terminal khusus tertentu dapat ditetapkan sebagai pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas pertimbangan:
pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional;
kepentingan perdagangan internasional;
kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional;
posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran internasional;
Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang diwujudkan dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
fasilitas pelabuhan;
keamanan dan kedaulatan negara; dan
kepentingan nasional lainnya. Pasal 149 (1) Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atas usulan penyelenggara pelabuhan utama setelah memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi:
aspek ekonomi; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan
jenis komoditas khusus. Pasal 150 (1) Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atas usulan penyelenggara pengelola terminal khusus setelah memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi:
aspek administrasi;
aspek ekonomi;
aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan
jenis komoditas khusus. Pasal 151 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dan Pasal 150, Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan penetapan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan dan pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. Pasal 152 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX SISTEM INFORMASI PELABUHAN Pasal 153 (1) Sistem informasi pelabuhan mencakup pengumpulan, pengelolaan, penganalisaan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi pelabuhan untuk:
mendukung operasional pelabuhan;
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan
mendukung perumusan kebijakan di bidang kepelabuhanan. (2) Sistem informasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
Menteri untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat nasional;
gubernur untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat provinsi; dan
bupati/walikota untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat kabupaten/kota. (3) Pemerintah daerah menyelenggarakan sistem informasi pelabuhan sesuai dengan kewenangannya berdasarkan pedoman dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 154 Sistem informasi pelabuhan paling sedikit memuat:
kedalaman alur dan kolam pelabuhan;
kapasitas dan kondisi fasilitas pelabuhan;
arus peti kemas, barang, dan penumpang di pelabuhan;
arus lalu lintas kapal di pelabuhan;
kinerja pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan f. operator terminal di pelabuhan;
tarif jasa kepelabuhanan; dan
Rencana Induk Pelabuhan dan/atau rencana pembangunan pelabuhan. Pasal 155 Badan Usaha Pelabuhan menyampaikan laporan bulanan kegiatan terminal kepada Otoritas Pelabuhan setiap bulan paling lambat pada tanggal 5 (lima) bulan berikutnya. Pasal 156 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 meliputi:
arus kunjungan kapal;
arus bongkar muat peti kemas dan barang;
arus penumpang;
kinerja operasional; dan
kinerja peralatan dan fasilitas. Pasal 157 Otoritas Pelabuhan mengevaluasi laporan bulanan yang disampaikan oleh Badan Usaha Pelabuhan untuk dijadikan sebagai bahan penyusunan sistem informasi pelabuhan dan disampaikan kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur. Pasal 158 Unit Penyelenggara Pelabuhan wajib menyampaikan informasi kepada Menteri yang memuat paling sedikit mengenai:
kedalaman kolam pelabuhan;
arus kunjungan kapal;
arus bongkar muat peti kemas dan barang;
arus penumpang;
kinerja operasional;
kinerja peralatan dan fasilitas;
kedalaman alur; dan
perkembangan jumlah Badan Usaha Pelabuhan yang mengoperasikan terminal. Pasal 159 Menteri berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 mengolah data dan informasi untuk dijadikan sebagai bahan informasi pelabuhan kepada masyarakat. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 160 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengolahan dan laporan serta penyusunan sistem informasi pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 161 Pengelola kawasan industri yang memerlukan fasilitas pelabuhan wajib menyediakan lahan yang dialokasikan untuk kegiatan kepelabuhanan. Pasal 162 (1) Penyelenggaraan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang diusahakan secara komersial harus memenuhi ketentuan:
kegiatan pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan dilaksanakan oleh Otoritas Pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan;
kegiatan pemerintahan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Syahbandar; dan
kegiatan pengusahaan dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan yang mengusahakan pelabuhan laut untuk melayani angkutan penyeberangan. (2) Penyelenggara pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang belum diusahakan secara komersial dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Pemerintah, Unit Pelaksana Teknis pemerintah provinsi, atau Unit Pelaksana Teknis pemerintah kabupaten/kota. Pasal 163 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Menteri. ditjen Peraturan Perundang-undangan BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 164 (1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan pelabuhan tetap menyelenggarakan kegiatan pengusahaan di pelabuhan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. (2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dimaksud . BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 165 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai kepelabuhanan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 166 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 167 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. ditjen Peraturan Perundang-undangan ditjen Peraturan Perundang-undangan Untuk... P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN I. UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan nasional, dan memperkukuh ketahanan nasional. Pembinaan pelabuhan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Aspek pengaturan mencakup perumusan dan penentuan kebijakan umum maupun teknis operasional. Aspek pengendalian mencakup pemberian pengarahan bimbingan dalam pembangunan dan pengoperasian pelabuhan. Sedangkan aspek pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan kepelabuhanan. Pembinaan kepelabuhanan dilakukan dalam satu kesatuan Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang ditujukan untuk mewujudkan kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan pelayaran dalam pelayanan jasa kepelabuhanan, menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha, mendorong profesionalisme pelaku ekonomi di pelabuhan, mengakomodasi teknologi angkutan, serta meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing dengan tetap mengutamakan pelayanan kepentingan umum. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam penyelenggaran pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara proporsional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Untuk kepentingan tersebut di atas maka dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai Rencana Induk Pelabuhan Nasional, penetapan lokasi, rencana induk pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan, penyelenggaran kegiatan di pelabuhan, perizinan pembangunan dan pengoperasian pelabuhan atau terminal, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri, penarifan, pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan sistem informasi pelabuhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional memuat lokasi pelabuhan yang sudah ada maupun lokasi pelabuhan yang direncanakan akan dibangun. Ayat (2) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (3) Menteri yang terkait dengan kepelabuhanan antara lain, menteri yang membidangi urusan lingkungan hidup, perikanan, perindustrian, pertambangan, dan perdagangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Perubahan kondisi lingkungan strategis akibat bencana adalah berubahnya perencanaan pemanfaatan kawasan yang memerlukan fasilitas pelabuhan akibat bencana. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Letak wilayah administratif memuat nama desa/kelurahan atau sebutan lain, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri manufaktur yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki Izin Usaha Industri. Huruf k Fasilitas umum lainnya antara lain tempat peribadatan, tempat rekreasi, olah raga, jalur hijau, dan kesehatan. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas . Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Keadaan darurat antara lain kapal terbakar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat tidak tetap antara lain kegiatan kehutanan dan pertambangan yang diselenggarakan oleh instansi yang berwenang dalam rangka mencegah pembalakan liar ( illegal logging ) dan penambangan liar ( illegal minning ) yang ke luar masuk melalui pelabuhan. Pasal 38 Ayat (1) Kegiatan pengaturan meliputi penetapan kebijakan di bidang kepelabuhanan. Kebijakan di bidang kepelabuhanan merupakan kebijakan umum dan teknis kepelabuhanan yang meliputi penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur serta perizinan di bidang kepelabuhanan. Kegiatan pembinaan dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan guna mewujudkan tatanan kepelabuhanan nasional yang diarahkan untuk:
memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, dan nyaman;
meningkatkan penyelenggaraan kegiatan kepelabuhanan;
mengembangkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan serta keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menjamin tersedianya alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang memadai;
mencegah dan menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kegiatan kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf d... Kegiatan pengendalian meliputi pemberian arahan, bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat pengguna jasa kepelabuhanan, pendidikan dan pelatihan serta sertifikasi, dan perizinan di bidang kepelabuhanan serta petunjuk dalam melaksanakan pembangunan, operasional dan pengembangan pelabuhan. Kegiatan pengawasan meliputi:
pemantauan dan penilaian terhadap kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan; dan
tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jaringan jalan adalah jalan akses (acces road) ke terminal. Huruf c Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf d Keamanan dan ketertiban secara umum di pelabuhan dijamin oleh Otoritas Pelabuhan yang dilakukan secara terpadu dan untuk itu dapat dibentuk satuan pengaman oleh Otoritas Pelabuhan, namun untuk masing-masing terminal menjadi tanggung jawab Badan Usaha Pelabuhan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kondisi tertentu adalah terjadinya sesuatu yang dapat menghambat pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan yang harus segera dilakukan pemulihan dan tidak dapat menunggu pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sehingga diperlukan tindakan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan atau pengelola Terminal Untuk Kepentingan Sendiri seizin Otoritas Pelabuhan. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (4) Kondisi tertentu adalah anggaran pemerintah pada tahun anggaran berjalan tidak tersedia untuk pemeliharaan penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Peraturan pemerintah tersendiri adalah peraturan pemerintah yang mengatur mengenai kenavigasian. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jasa terkait dengan kepelabuhanan adalah kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan antara lain perkantoran, fasilitas pariwisata dan perhotelan, instalasi air bersih, listrik dan telekomunikasi, jaringan air limbah dan sampah, pelayanan bunker, dan tempat tunggu kendaraan bermotor. __ Pasal 69 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Keikutsertaan Badan Usaha Pelabuhan menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang menyangkut angkutan di perairan adalah hanya terbatas di tambatan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sanksi adalah pengakhiran perjanjian dalam hal Badan Usaha Pelabuhan tidak melaksanakan kewajibannya termasuk kewajiban memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan sesuai standar kinerja pelayanan yang ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kerjasama pemanfaatan adalah pengoperasian fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan oleh Badan Usaha Pelabuhan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyewaan lahan, penyewaan gudang, dan/atau penyewaan penumpukan adalah pemanfaatan lahan tanah pelabuhan, fasilitas gudang dan fasilitas penumpukan oleh Badan Usaha Pelabuhan, Badan Usaha lainnya atau perorangan dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 98... Pasal 88 Ayat (1) Sisi darat antara lain berupa gudang, gedung, dan lapangan penumpukan. Ayat (2) Sisi perairan antara lain berupa dermaga, fasilitas tambat, reklamasi, dan talud. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (1) Pengoperasian pelabuhan dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan fasilitas dan sumber daya manusia operasional sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 98 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Kondisi alur antara lain kedalaman, pasang surut, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran . Huruf b Cukup jelas. Huruf c Fasilitas pelabuhan antara lain lampu penerangan, dermaga, gudang, dan lapangan penumpukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan yaitu petugas instansi pemerintah pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, kekarantinaan, kepabeanan dan keimigrasian. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Melaporkan kegiatan operasional dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi . Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang perpajakan serta bea dan cukai. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Kegiatan tertentu adalah kegiatan untuk menunjang kegiatan usaha pokok yang tidak terlayani oleh pelabuhan terdekat dengan kegiatan usahanya karena sifat barang atau kegiatannya memerlukan pelayanan khusus atau karena lokasinya jauh dari pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (2) Huruf a Ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat yaitu bahwa pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan pengoperasian terminal khusus dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan terdekat dan pengawasan serta pelaksanaan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 111 Huruf a Badan usaha adalah badan hukum Indonesia yang didirikan berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia, termasuk anak perusahaan sesuai dengan usaha pokok yang sejenis dan pemasok bahan baku dan peralatan penunjang produksi untuk keperluan badan usaha yang bersangkutan. Kegiatan usaha pokok antara lain pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, serta sosial. Huruf b Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. __ Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, sosial, perpajakan, serta bea dan cukai. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kondisi alur antara lain kedalaman perairan, pasang surut, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Fasilitas terminal khusus antara lain lampu penerangan, dermaga, gudang, dan lapangan penumpukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan yaitu petugas instansi pemerintah pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, kekarantinaan, kepabeanan dan keimigrasian. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 132 Ayat (1) Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan operasional terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat dalam kaitan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pengelola terminal khusus antara lain menyangkut penggunaan perairan, pelayanan pandu, pelayanan jasa kepelabuhanan yang dilakukan untuk melayani pihak ketiga karena kegiatan- kegiatan tersebut merupakan kewenangan dari Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Ayat (1) Kegiatan tertentu meliputi pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, serta sosial. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 135 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Bukti kerjasama dapat berupa kerjasama pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Fasilitas lainnya antara lain peralatan bongkar muat, gudang, akses jalan masuk, dan sumber daya manusia yang menangani. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 140 Bencana alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. ditjen Peraturan Perundang-undangan Peristiwa lainnya dapat berupa bencana non-alam antara lain gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit serta berupa bencana sosial yang antara lain konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat dan teror. Pasal 141 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. __ Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, sosial, perpajakan, serta bea dan cukai. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 148 Ayat (1) Terminal khusus tertentu adalah terminal khusus yang dibangun dan dioperasikan untuk menunjang kegiatan usaha yang hasil produksinya untuk diekspor. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Dalam menyampaikan laporan, Badan Usaha Pelabuhan dapat menggunakan teknologi informasi yang tersedia ( e-portnet ). Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penentuan waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu yang cukup bagi Pemerintah merencanakan pengembangan pelabuhan dan Badan Usaha Milik Negara. Untuk keperluan pengembangan tersebut atas perintah Menteri dilakukan:
evaluasi aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan; dan
audit secara menyeluruh terhadap aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara” adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1991, tetap menyelenggarakan kegiatan usaha di pelabuhan yang meliputi:
kegiatan yang diatur dalam Pasal 90 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
penyediaan kolam pelabuhan sesuai dengan peruntukannya berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pelayanan jasa pemanduan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
penyediaan dan pengusahaan tanah sesuai kebutuhan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. ditjen Peraturan Perundang-undangan ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di atas. Ketika saya membaca Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 48 UU Nomor 23 Tahun 1999 itu, instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: "Ini negara di dalam negara!" Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif, bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter (secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah Undang-Undang Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa benar adanya semacam "kediktatoran" ala Jerman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi "kerunyaman" ( absurdity ) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan independensinya yang tidak dapat diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern. Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri ( self-explanatory ), bahwa sebenamya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif. Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini. Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi bank dimaksudkan untuk menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih, yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya, sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala macam campur tangan" dan juga bahwa "Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun ". Ini yang absurd sekali ! Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pemerintahan dapat pula akan baik, bersih dan berwibawa, sebagaimana reformasi mencita-citakannya. Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih, bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaannya, serba baik, dan terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya, Andaikata demikian ini yang digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada, yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan, telah menjadi "sarang penyamun" sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya. Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih berani ngawur dalam membuat pemyataan-pemyataan kebijaksanaan yang sebenamya memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam itu independensi Bank Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah, tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenamya sedang menjadi tudingan masyarakat. Mengenai Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang "otoritarian". Dengan mudah dapat dipahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan "berselisih" dengan Bank Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 independensi Bank Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara. Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara. Hal ini sempat ahli (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi reformatif yang diprakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif. Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan main kayu, mencampuradukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun kiranya sedang terjadi pada saat ini. Antara Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi integral. Indonesia menganut faham " Penta Politica ", pemisahan kekuasaan antara lima (penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA) dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya terhadap Pemerintah. Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi lebih supel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang dapat mempermainkan dan menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank Indonesia saat ini pasti akan lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight, melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap. Sementara itu ahli menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin sampai UU Nomor 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik batu). Saya pun menghargai sikap Pemerintah yang tidak menghendaki dualisme soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar terhadap Indonesia; Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian Menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independen. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 sektor jasa keuangan. Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan oihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia. Peran OJK dalam perekonomian nasional adalah sangat sektoral, yaitu menyangkut sektor jasa keuangan saja. Selanjutnya sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak dipersoalkan kaitan OJK dengan tugas nasional sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, serta masalah Sila ke-5 Pancasila, yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Tugas sektoral OJK di dalam sektor jasa keuangan yang adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat secara independen, sama sekali tidak menjamin dan bahkan dapat bertentangan dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan doktrin kebangsaan (nasionalisme) dan doktrin kerakyatan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia; Memang barangkali OJK dapat melaksanakan tugas sektoralnya secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, namun tanpa merasa terikat (misalnya) dengan masalah riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin (Gini ratio 2005 0,34% dan sekarang 2014 0,46%), makin dominannya investasi asing terhadap perekonomian nasional dan makin terdesaknya investor nasional dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (ini pun tidak terlalu tinggi), namun Indonesia makin kehilangan kedaulatan ekonomi: kita makin tidak berdaulat dalam pertanian khususnya pangan dan bibit, obat-obat dasar, teknik industri, teknologi dan energi. Dan lebih hebat lagi kita tidak berdaulat dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [ayat (3) Pasal 33 UUD 1945] karena berlakunya sistem keuangan yang liberalistik dan kapitalistik, yang OJK berdasar tugasnya malahan dapat mengukuhkan penyelewengan konstitusional ini. Sektor keuangan dapat tetap adil, transparan dan akuntabel serta tumbuh berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sesuai dengan konsideran UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, namun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 independensi yang menjadikan OJK " super body " tidak memungkinkan OJK dapat mengatasi tantangan-tantangan dan keprihatinan perekonomian di atas, bahkan dengan wewenangnya sebagai super body bisa malah mengabaikan dan membahayakan kepentingan nasional demi kestabilan sektor jasa keuangan belaka. Oleh karena itu, peran OJK hendaknya dikembalikan kepada Bank Indonesia atau ke Departemen Keuangan agar terkait dengan tugas-tugas menyelamatkan perekonomian nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Janganlah sampai dengan tugas sektoral OJK tadi yang terjadi adalah pembangunan di Indonesia, dan bukan pembangunan Indonesia artinya bangsa Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi kuli di negeri sendiri. Demikian pula jangan sampai dengan pengutamaan kestabilan dan pertumbuhan jasa keuangan maka pembangunan menjadi penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran kemiskinan;
Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. Apabila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara. Ahli ingin mengatakan bahwa Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, “Negara memiliki suatu Bank Central yang susunan kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang” , tidak dapat dan/atau tidak bermakna bahwa independensi atau Bank Indonesia atau Bank Central itu sebagian kewenangannya mesti diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi dalam Pasal 23D UUD 1945 harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antar Bank Indonesia dengan Pemerintah. Jadi, derajat relasi hukum antara fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23D UUD 1945 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya. Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 ini secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara; Ahli ingin memperkuatnya dengan mengenali beberapa atau mengungkapkan beberapa saja diantaranya sebab tidak mungkin itu diungkapkan semua karena ahli yakin betul bahwa Majelis pun memiliki penilaian yang tidak mungkin dan/atau sebagaimana yang telah terefleksi dalam risalah sidang, tampak memiliki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 kemiripan dengan apa yang ahli kemukakan; OJK dengan prinsip independensi melalui Undang-Undang ini dapat mengatur sendiri, membuat sendiri peraturan, dan melaksanakan Undang-Undang. Padahal mestinya ini dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah kecuali hal-hal lain yang memang tidak bisa diatur dan/atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Karena keadaan hukum dengan fungsi mereka membutuhkan pengaturan barulah dilakukan, tetapi ini tidak dilakukan. Apa saja yang kan diatur dapat diatur dengan sendirinya oleh mereka tanpa bisa dicampuri oleh Pemerintah, tanpa dapat dicek (dikontrol) oleh DPR. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang yang merupakan pelaksana kekuasan kehakiman pengaturan mengenai gaji pun diatur dengan Peraturan Presiden. Bagaimana OJK dapat mengatur dirinya sendiri, gaji pun diatur sendiri. Betapa luar biasanya OJK ini seperti lembaga negara di dalam negara; Menurut ahli tidak ada lembaga negara yang mempunyai 2 sumber keuangan pendanaan, namun OJK ini dibiayai dengan APBN dan pungutan yang dipungut sendiri dari bank dan jasa keuangan lainnya. Apa argumen konstitusionalnya sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut? Siapa yang berani memastikan bahwa tidak ada potensi penyalahgunaan dan bagaimana mungkin bisa dipastikan akuntabilitas dan transparansi OJK dengan kewenangan seperti itu? Padahal bukankah negara hukum yang demokratis yang di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara? Menurut ahli bahwa pengawasan oleh OJK dimaksudkan untuk perlindungan konsumen dan adanya independensi OJK tidak diperoleh titik relasi dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana dapat mengusahakan perekonomian nasional dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, kalau salah satu organ negara (lembaga negara) mempunyai fungsi yang begitu strategis tidak dapat dicek (dikontrol), dan bekerja semau-maunya karena diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian keberadaan OJK bertentangan dengan prinsip negara hukum [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUD 1945]; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 30 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Oktober 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 I. Pokok Permohonan Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945. Merujuk kepada permohonan para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan UU OJK, khususnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 yang menyatakan "OJK, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini." b. Pasal 5 yang menyatakan "OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan." c. Pasal 34 yang menyatakan: (1) “Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak lain yang melakukan kegiatan _di sektor jasa keuangan; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner." d. Pasal 37 yang menyatakan:
“ OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." e. Frasa dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 yang menyatakan "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Merujuk pada dalil-dalil dalam permohonan, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan a quo , telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, dengan alasan:
Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang ". Menurut para Pemohon hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
Pasal 33 UUD 1945, yang menurut para Pemohon berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
Secara konstitusional aspek pengaturan dan pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK berasal dari turunan yang asimetris. Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu badan sehingga dapat menimbulkan potensi moral hazard .
Penggunaan APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid dan juga sifat OJK yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 independen sehingga terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara. Selain itu, jika terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis dan seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur.
Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (a) mengurangi kemandirian OJK karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan kepada kepentingan industri jasa dan keuangan, f. Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan OJK Merupakan Opened Legal Policy Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 Sebelum menanggapi lebih lanjut mengenai materi permohonan para Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK ini telah tepat dan benar dapat diajukan pengujian konstitusional ( constitutional review ) ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai sistem perekonomian nasional maka UUD 1945 mengatur mengenai perekonomian nasional diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Bab XIV terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, mengenai pengaturan Perekonomian Nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 Sebagaimana telah diketahui bersama prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 juga telah mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan prinsip- prinsip pada Pasal 33 UUD 1945 diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara keseluruhan oleh pembentuk Undang- Undang adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil dan makmur kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang ", maka DPR bersama Pemerintah telah menyusun UU OJK sehingga pembentukan UU OJK merupakan suatu pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka ( opened legal policy ) bagi pembuat Undang-Undang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembentukan UU OJK adalah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hai ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 "Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah". Selain itu, pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon sangat tidak tepat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalil-dalil permohonan menyangkut mengenai implementasi dari norma bukan kesalahan atau pertentangan norma dengan UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arief Hidayat dalam sidang pane! pemeriksaan pendahuluan tanggal 25 Maret 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apa yang dilakukan oleh suatu lembaga negara dalam suatu pengujian Undang-Undang tetapi mengadili norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK yang diajukan oleh para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. Tinjauan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Legal Standing Sebagai Pembayar Pajak Harus Dibuktikan Oleh Pemohon Dengan Menyertakan Bukti SPT Dan Bukti Pembayaran Kewajiban Pajak Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut "UU Mahkamah Konstitusi") disebutkan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1945;
hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Undang-Undang a quo , sehingga para Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon uji materiil sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut pendapat Pemerintah, legal standing sebagai pembayar pajak yang patuh, tidak dapat diterima begitu saja dengan memiliki dan melampirkan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti. Dengan memiliki NPWP tidak secara serta merta para Pemohon telah membayar pajak, maka seharusnya para Pemohon juga turut menyertakan bukti Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan juga pembayaran kewajiban Pajak yang merupakan pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak oleh, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak Ada Hak Konstitusional Pemohon Yang Dilanggar Dengan Berlakunya Ketentuan UU OJK Yang Diuji Selain itu, Pemerintah tidak melihat adanya pelanggaran hak konstitusional para Pemohon yang sebagaimana didalilkan dalam permohonan para Pemohon yaitu dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK telah merugikan hak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 konstitusionalitasnya sebagai perserorangan warga negara Indonesia dengan didasarkan pada: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Bahwa para Pemohon dalam permohonan uji materiilnya tidak secara jelas menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan akan terjadi dikarenakan berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara in casu hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya dengan Undang-Undang mempunyai pengertian bahwa dalam penyusunan Undang-Undang APBN, haruslah mendapatkan persetujuan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Selain itu, penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji permohonan a quo sangat tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan ( equality before the law ), prinsip kewajiban menjunjung hukum tidak hanya harus dilaksanakan oleh negara, namun juga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum oleh para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional para Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebagai pembayar pajak tidak serta merta dapat dasar dalam pengajuan uji materiil suatu Undang-Undang. Permohonan Pemohon merupakan permohonan yang Obscuur Libel Selain itu, permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang obscuur libel yaitu nampak pada tidak sesuainya antara posita permohonan para Pemohon dan petitum yang dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya. Para Pemohon tidak menjelaskan mengapa frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.." bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap meminta petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga telah melakukan kesalahan yang menyebabkan permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( obscuur libel ) yaitu pada angka 2 petitum permohonannya yang meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, namun pada angka 3 para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh para Pemohon sebagai individu perseorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Para Pemohon A. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Putusan Provisi Para Pemohon Tidak Ada Alasan Yang Spesifik Dan Aktual Serta Penting Dan Mendesaknya Permohonan Provisi Pemohon Harus Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi Istilah provisionil dikenal luas dengan istilah "provisionllels vonnis", "provisoire", "voorlopige", "provisionaf, "voorlaufig", "provissorich ainstwelling", "bij vooraad' dan Iain-Iain. Istilah-istilah dimaksud pada pokoknya menjelaskan bahwa putusan provisi adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak untuk dilakukan oleh hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi hanya dikenal pada perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi". Namun demikian, dalam sejarahnya Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan permohonan provisi yang diajukan oleh Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara Nomor 133/PUUA/1I/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan provisi yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penundaan penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden yakni mengenai tindakan administratif berupa penghentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat sebagai berikut: "Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan". Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat unsur-unsur yang harus dapat dipenuhi dan dijelaskan secara spesifik dan aktual oleh para Pemohon dalam permohonannya. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan aktual terkait dengan alasan pentingnya dan mendesaknya mengapa permohonan provisi para Pemohon harus dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akibatnya apabila permohonan provisi para Pemohon tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sampai dengan saat ini, OJK telah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan serta mengadvokasi kepentingan para konsumen. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, tidak terdapat kendala yang berarti dan tidak ada hak konstitusional dari para Pemohon yang telah dilanggar atau terancam untuk dilanggar dengan adanya pelaksanaan kewenangan OJK dimaksud. Dikabulkannya permohonan provisi dapat menimbulkan kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum di sektor jasa keuangan Selain itu, dalam Putusan Nomor 133/PUU-VI1/2009 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan: "Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum". Dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batasan dikabulkannya permohonan provisi dari para Pemohon pengujian Undang-Undang yaitu apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak. Pemerintah berpendapat bahwa apabila permohonan provisi para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan dapat menimbulkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka seyogianya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dari para Pemohon dikarenakan tidak ada keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi dimaksud dan apabila dikabulkan dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. B. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 1 Angka 1 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 OJK Merupakan Lembaga Negara Yang Memiliki Sifat Constitutional Importance Secara yuridis pembentukan UU OJK dilandasi oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Undang- Undang, sedangkan Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dibentuknya UU OJK; Pembentukan UU OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia, yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara ( common virtues ) yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia, dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pada Pasal 33 UUD 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan dimaksud dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Mengingat konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia, maka berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrument untuk mencapai tujuan bernegara dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi", bahwa ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya merupakan contoh lembaga dan/atau komisi baru yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, namun tetap memiliki sifat constitutional importance . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Sifat Independensi OJK Merupakan Hal Yang Tidak Terpisahkan Dengan Pembentukan OJK Selain itu, pembentukan UU OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) yang mengamanatkan bahwa "(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang". Lebih lanjut penjelasan Pasai 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan "(1) Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat." Dengan adanya Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka sejak semula independensi OJK merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK. Namun demikian, meskipun dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah OJK tetap berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Independensi OJK merupakan suatu keharusan dan hal ini disadari oleh pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah dan DPR, dikarenakan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan OJK hams memiliki independensi. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah dengan tetap berada dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK diwujudkan dalam 2 (dua) hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otortias Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara Ex-Officio . Keberadaan Ex-Officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-Officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kedua, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang OJK mengatur seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. C. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 5 Dan Frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam posita permohonannya para Pemohon, tidak menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon tetap meminta petitum kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( Obscuur Libel ). Namun demikian Pemerintah tetap akan menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 bertentangan dengan UUD 1945 dengan digabungkan pada Penjelasan Pemerintah terkait Pasal 5 UU OJK dikarenakan memiliki keterkaitan yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruhh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan. Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan Yang Terintegrasi Merupakan Kebutuhan Untuk Meningkatkan Efektivitas Dan Efisiensi Dalam Menghadapi Globalisasi dan Konglomerasi Sektor Jasa Keuangan Secara historis pembentukan UU OJK didasarkan pada terjadinya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 berawal dari krisis nilai tukar di Thailand, krisis tersebut menjalar dengan cepat ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan serta berkembang menjadi krisis perbankan. Krisis perbankan yang melanda Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik sehingga secara keseluruhan menjadi krisis multidimensi sehingga menyebabkan krisis di Indonesia beriangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya dan menyebabkan beban fiskal yang sangat besar, mencapai Rp. 600 triliun. Tidak hanya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Global Crisis pada tahun 2008 juga memiliki peran mengapa diperlukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam sektor jasa keuangan. Pada saat krisis global tahun 2008, Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis, sehingga menyebabkan salah satu bank di Indonesia harus di- bailout untuk menghindari pengulangan akibat-akibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun 1997-1998. Krisis pada tahun 1997-1998 dan juga krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan dalam hal kelembagaan dan pengaturan pada sektor jasa keuangan bukan hanya dalam sektor perbankan saja. Reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Filosofi pembentukan UU OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, mengingat sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofis dimaksud, perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Secara filosofi, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak- pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Mengenai landasan sosiologis dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal dan industri jasa keuangan non bank; Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara subsektor jasa keuangan menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat, mengingat semakin rumitnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Pasal 23D UUD 1945 Merupakan Opened Legal Policy dari Pembuat Undang-Undang dan Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasai 65 dan Pasal 66 UU OJK Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945, menurut Pemerintah hal tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi" pada halaman 92 yang menyatakan: "Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan "Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk Undang-Undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang." maka kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang yang dibentuknya dikarenakan Pasal 23D UUD 1945 merupakan ketentuan open legal policy dari pembuat Undang-Undang. Oleh karena itu apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang diperbaharui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan suatu lembaga hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dan mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar dapat tercapainya tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka menurut Pemerintah kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi dan kewenangan tersebut menunjukkan bahwa OJK memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Apabila para Pemohon mengkhawatirkan adanya penumpukan kewenangan dalam OJK dan dapat menimbulkan potensi moral hazard , menurut pendapat Pemerintah hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur check and balances di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perlu dicatat bahwa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyatakan bahwa pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Lebih lanjut, dalam rangka check and balances, di internal OJK terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. (vide Pasal 1 angka 21). Anggota Dewan Komisioner melanggar kode etik dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (vide Pasal 17 ayat (1)). Dewan Komisioner menetapkan Peraturan Dewan Komisioner mengenai kode etik dan menegakkan kode etik OJK (vide Pasal 32). D. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Pengaturan Pungutan OJK Dimaksud Telah Sejalan Dengan Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 Pengembangan sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia ditempuh melalui usaha mewujudkan keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. UU OJK dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, namun guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah sepakat dalam hal anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, dalam Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Sebagaimana telah dijelaskan pula dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dimaksud telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan undang- undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan, pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan (3) “Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang _diberikan; _ (4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan Pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak sesuai dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Mekanisme Penganggaran Dan Pungutan OJK Telah Akuntabel Dan Sesuai Dengan Konstitusi Mengingat pada masa awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dan OJK masih dalam tahap membangun regulasi dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, maka untuk memenuhi kebutuhan OJK diberikan alternatif sumber pembiayaan OJK dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Pasal 34 UU OJK telah menentukan bahwa penetapan rencana dan anggaran OJK oleh Dewan Komisioner harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan hal tersebut, maka sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK dan harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK, serta standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas OJK telah diatur di dalam Pasal 38 UU OJK, yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Terkait laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mengenai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam UU OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Pungutan OJK Merupakan International Best Practices Agar OJK Dapat Mengimbangi Tuntutan Dan Dinamika Sektor Jasa Keuangan, Baik Secara Domestik Maupun Internasional Selain itu, dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroler of the Currency (OCC) di Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara semi-annuaily yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan, Investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu ( special examination ), pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya (kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya). Tidak terlalu berbeda dengan OCC, Office Of Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi. pungutan terhadap loan company (seperti BPR) berbasis keanggotaan. Di samping itu, OSFI juga memperoleh bantuan dari Canadian International Development Agency (CIDA) terutama untuk asistensi internasional, pendapatan dari pemerintah daerah (dalam hal OSFI membantu melakukan pengawasan terhadap beberapa institusi di Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak), dan pendapatan dari lembaga pemerintahan. Di belahan benua Asia, Financial Services Supervisory (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari Supervisory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh FSS selain Supervisory Fee , FSS juga memungut Issuer Regulatory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada Issuer ( Emiten ) sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan Exchange Act ( Capital Market ). Supervisory Fee dikenakan berdasarkan pada kewajiban ( debt liabilities ) dari institusi lembaga keuangan, sementara Issuer Regulatory Fee dikenakan berdasarkan pada jumlah dan jenis dari surat berharga/sekuritas yang diterbitkan; Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan OJKnya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Switzerland, Turki dan Inggris; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Chile, China, Costa Rica, Kazakhstan, Lebanon, Jepang dan Uruguay. IV. Dampak Jika Dikabulkannya Permohonan Para Pemohon Dikabulkannya Permohonan A Quo Dapat Mengganggu Pelaksanaan Tugas-Tugas Pengawasan Dan Pengaturan Di Sektor Jasa Keuangan Dan Akan Membahayakan Industri Perbankan Dan Kosumen Serta Perekonomian Nasional Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dan mengingat peran penting Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, apabila dikabulkannya permohonan a quo dan diterimanya argumentasi para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di perbankan dan akan membahayakan industri perbankan dan kosumen. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan menjadi terbengkalai. Selain itu berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55 UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2012 dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013. Berdasarkan hal tersebut, apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 akan menghambat tugas dan fungsi pengawasan pasar modal, lembaga keuangan dan perbankan dikarenakan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dapat menyebabkan kekosongan hukum di pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan sehingga akan berdampak sangat negatif pada perekonomian nasional dan para pelaku pasar. Selain itu, dampak dikabulkannya permohonan Pemohon akan menimbulkan konsekuensi pengawasan sektor jasa keuangan akan kembali menjadi pengawasan sektoral yang tidak terintegrasi, yang berpotensi menimbulkan risiko bagi perekenomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. Kesimpulan Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasai 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK karena permohonan para Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.
Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik terkait keadaan yang mendesak mengapa Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan provisi dalam perkara a quo . Selain itu, dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar di sektor jasa keuangan dan konsumen termasuk dalam OJK.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasai 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak Permohonan Provisi para Pemohon untuk seluruhnya;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo etbono ). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2014, tanggal 28 Oktober 2014, tanggal 12 November 2014, dan tanggal 1 Desember 2014 mengajukan 13 (tiga belas) ahli yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang memberikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Apabila hendak disederhanakan, pokok permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 perihal konstitusionalitas kehadiran/keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu lembaga atau komisi negara independen. Sebagai lembaga negara baru yang secara umum diberi tugas melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap seluruh kegiatan pada sektor jasa keuangan, kehadiran OJK dinilai Pemohon (1) tidak memiliki landasan konstitusional (karena tidak memiliki cantolan di dalam UUD 1945), (2) kehadiran OJK hanya dimandatkan dalam UU tentang Bank Indonesia, (3) fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap bank direduksi oleh OJK, (4) independensi OJK, (5) terjadinya penumpukan kewenangan pada OJK sehingga akan menjadi lembaga super-body , dan (6) kehadiran OJK dinilai merugikan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan karena adanya pungutan. Semua alasan tersebutlah yang menjadi alasan atau dasar bagi Pemohon untuk mempersoalkan konstitusionalitas keberadaan OJK; Sehubungan dengan pokok permohonan pengujian ini, secara terbatas, saya hanya akan menjelaskan sisi kelembagaan yang meliputi:
kedudukan, (2) sumber kewenangan, (3) pemindahan fungsi pengawasan bank dari Bl ke OJK, dan terakhir (4) independensi OJK. Adapun perihal pungutan yang dilakukan OJK dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana juga dipersoalkan Pemohon tidak akan diulas. Sebab, menurut ahli masalah itu hanyalah sebuah konsekuensi dari kehadiran sebuah lembaga, di mana jika UU memberi kewenangan untuk itu, maka tidak beralasan untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Lagi pula, apabila soal kelembagaan OJK telah diselesaikan, masalah kewenangan (termasuk melakukan pungutan) dengan sendirinya akan terurai; Sehubungan dengan masalah kelembagaan, saya akan menerangkan empat pokok pembahasan terkait OJK. Pertama, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara. OJK, sama halnya dengan Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam UU 21/2011 didefenisikan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Adapun Bank Indonesia didefenisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Undang-Undang ini; Dari sisi defenisi, memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dan Bank Indonesia terkait penggunaan kata "negara". Di mana, untuk defenisi Bank Indonesia digunakan frasa "lembaga negara" yang independen. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai "lembaga" yang independen. Tanpa ada kata "negara"; Hanya saja, pendefenisian seperti itu (tanpa menggunakan frasa "lembaga negara") tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai mendefenisikan lembaga- lembaga negara lain. Di antaranya, Komisi Pemilihan Umum didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Tanpa ada kata "negara". Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu dalam UU 15/2011 yang didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Hal yang sama juga ditemukan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga didefenisikan sebagai dengan frasa lembaga mandiri...dst; Pertanyaannya, apakah defenisi yang menggunakan frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" menunjukkan perbedaan status atau kedudukan lembaga tersebut? Dalam arti, hanya lembaga yang menggunakan frasa "lembaga negara" saja yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan yang menggunakan kata "lembaga" tidak berkedudukan sebagai lembaga negara? Apakah demikian? Pada dasarnya adanya frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara. Sebab, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara mengamini pendapat Hans Kelsen-, maka lembaga dimaksud adalah lembaga negara. Sejalan dengan soal itu, mengutip Jimly Asshiddiqie, baik "lembaga pemerintahan", "lembaga non-pemerintahan", "lembaga negara" atau "lembaga" saja, semuanya termasuk dalam kategori lembaga negara; Oleh karena itu, sekalipun OJK hanya didefenisikan dengan kata "lembaga" saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebab, sudah sangat tegas dinyatakan dalam UU 21/2011 bahwa salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan bagian dari fungsi negara. Adapun OJK dibentuk untuk menjalankan fungsi dimaksud, yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagai lembaga negara, sama halnya dengan Bl yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara; Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga negara, OJK dan Bank Indonesia memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Dalam hal ini, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama dengan Bank Indonesia merupakan mandat UUD 1945. Artinya, sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah UUD 1945; Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Lalu, berdasarkan ketentuan tersebut dibentuklah lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang diberi nama dengan OJK; Perbedaan dasar hukum pembentukan Bl dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Dalam arti, karena dasar pembentukan Bl berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-Undang. Jika hendak membubarkan Bl atau bank sentral, harus melalui perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan Bl menjadi kuat. Sementara kedudukan OJK tidak sekuat Bl. Sebab, kekuatan lembaga ini hanya berbasis pada Undang-Undang. Di mana, jika pembentuk Undang-Undang sepakat membubarkan OJK, maka cukup hanya melalui perubahan atau pencabutan Undang-Undang. Artinya, pembubaran OJK tidak harus melalui perubahan UUD 1945 yang jauh lebih sulit; Perbedaan sumber norma pembentukan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada. Sebab, baik lembaga yang dibentuk karena perintah UUD 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah Undang-Undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai wewenang yang dimilikinya. Jadi, perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebuah lembaga atau komisi negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Selain itu, apabila ukuran konstitusionalitas keberadaan sebuah lembaga negara hanya atas dasar ada tidaknya perintah UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, tentunya bukan hanya OJK yang akan dikatakan inkonstitusional. Sebab, banyak lembaga/komisi negara lainnya yang kehadirannya tidak diperintahkan UUD 1945, melainkan hadir melalui sebuah UU atau bahkan hanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Misalnya KPK hadir berdasarkan UU No 30/2002 dan tidak satupun norma dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukannya. Begitu juga dengan Bawaslu, tidak ditemukan adanya norma yang secara eksplit memerintahkan pembentukannya. Dua lembaga terakhir tersebut juga hadir atas dasar Undang-Undang dan bukan perintah langsung UUD 1945. Di mana, keberadaan dua lembaga tersebut adalah konstitusional. Jadi, akan menjadi sangat keliru jika dasar penilaian konstitusionalitas sebuah lembaga hanya atas kategori ada tidaknya perintah atau cantolan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar membentuknya; Selanjutnya yang Kedua, sumber kewenangan Bl dan OJK. Baik Bl maupun OJK sama-sama lembaga negara yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang, bukan UUD 1945. Terkait kewenangan bank sentral/BI, Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, ...suatu bank sentral yang kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23D UUD 1945 mendelegasikan pengaturan tentang kewenangan Bl kepada Undang-Undang. Artinya, kewenangan Bl akan diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Bl. Dengan demikian, sumber kewenangan Bl adalah Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hal ihwal ini, Bl masuk dalam kategori lembaga negara yang keberadaanya diatur di dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bl; Dalam konteks sumber kewenangan, derajat kedudukan OJK menyamai Bl. Sebab, kewenangan OJK juga berasal dari UU, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam hal ini, sekalipun pengakuan keberadaannya tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi semua hal terkait keberadaan, kedudukan dan kewenangannya bersumber dari Undang-Undang. Dalam hal sumber kewenangan inilah posisi Bl dan OJK dapat disebandingkan; Ketiga, terkait keabsahan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bl kepada OJK melalui UU Bank Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengaturan segala tugas dan wewenang Bl diserahkan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 pembentuk Undang-Undang. Terkait hal itu, pembentuk UU berwenang menentukan apa saja yang akan diatur sebagai kewenangan Bl. Karena itu, tugas, wewenang dan fungsi Bl sebagai bank sentral sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden (sebagai pembentuk Undang-Undang) menentukannya. Artinya, bila terdapat wewenang yang diberikan kepada bank sentral, lalu kemudian wewenang tersebut diambil atau dialihkan kepada lembaga lain yang juga dibentuk berdasarkan kewenangan pembentuk Undang-Undang, maka hal itu tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan keberadaan Bl dan OJK, di mana Pemohon menilai bahwa Bl lebih memiliki landasan konstitusional dibanding-kan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank adalah tidak tepat. Sebab, penentuan kewenangan bank sentral merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Apakah wewenang tertentu diberikan kepada Bl atau mungkin dicabut atau dialihkan dari Bl, berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 sepenuhnya menjadi hak DPR dan Presiden. Termasuk memindahkan sebagian kewenangan Bl kepada OJK yang dibentuk berdasarkan mandat Pasal 34 ayat (1) UU Bl; Oleh karena itu, pemindahan kewenangan tersebut konstitusional adanya. Apalagi pemindahan kewenangan dimaksud dilakukan melalui Undang-Undang. Keberadaan OJK yang dibentuk dengan Undang-Undang dan kedudukan Bl yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sama-sama konstitusional. Di mana, apapun kewenangan yang diberikan pada kedua lembaga negara tersebut tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang dilakukan sesuai kewenang Presiden dan DPR sebagai primary legislator ; Terakhir atau yang Keempat adalah persoalan independensi OJK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, OJK itu adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya...dst. Harus dipahami, bahwa frasa "independen" menunjuk pada kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang berada di luar kekuasaan Pemerintah. Dalam hal ini, independensi OJK menunjukkan lembaga ini bukan institusi yang berada di bawah Presiden, melainkan sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan menjalankan fungsi negara yang diberikan kepadanya. Independensi OJK sama dengan Bl. Dalam hal ini, misalnya Bl, jika diletakkan dalam rumpun lembaga negara, Bl berada dalam rumpun eksekutif. Upaya memberikan label " independent " dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 untuk memberikan jarak dengan pemegang kekuasaan eksektif agar terhindar dari pengaruh dinamika politik. Jimly Asshiddiqie (2007) menggambarkan hal itu dilakukan sebagai bentuk kesengajaan melepaskan Bank Sentral dari kewenangan mutlak pemegang atau kepala pemerintahan. Karenanya, dengan memberi tambahan independen, BS hadir menjadi semacam a quasi executive entity . Begitu juga OJK, kehadirannya secara konstitusional didasarkan atas ketentuan 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945. Jadi, sifat independensi bank sentral juga dapat dilekatkan kepada OJK; Kehadiran berbagai komisi negara independen bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat. Secara umum, hadirnya komisi negara independen ditujukan untuk menyempurnakan proses demo-kratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi; Di sisi lain, keberadaan lembaga negara atau komisi negara independen di berbagai negara juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan peng- klasifikasian kekuasaan pemerintah negara yang ada sebelumnya. Di mana, cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang (legislatif), kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketika cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak lagi mampu, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada; Terkait dengan hal tersebut, Asimow dalam bukunya Administrative Law (2002) menyatakan most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent . Organ negara ( state organs ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam hal ini, William F. Funk & Richard H. Seamon mengatakan, lembaga independen itu tidak jarang mempunyai kekuasan " quasi legislative ", " quasi executive " dan " quasi judicial ". Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independen karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Sebuah lembaga negara/komisi negara dikatakan independen bila dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam UUD atau Undang-Undang. Kemudian, pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Asimov, dalam teori hukum tata negara, sebuah lembaga dikatakan independen apabila pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang- Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan Ciri lainnya menurut William J Fox Junior, presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian sang pimpinan lembaga. Tidak hanya itu, Funk and Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen bila pimpinan yang kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian ( staggered terms ); Dalam konsep atau teori itulah sebetulnya indepensi OJK harus dipahami. Independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Di mana, awalnya hanya menjadi kewenangan Bl semata, sekarang sebagiannya diserahkan kepada OJK; Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas OJK juga tetap terikat dan terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah dan Bank Indonesia. Di mana, secara struktural keterkaitan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya dua Komisioner OJK secara ex-oficio oleh pejabat eleson I pada Kementerian Keuangan dan Anggota Dewan Gubernur Bl. Sedangkan 7 orang anggota Dewan Komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bl; Selanjutnya, posisi OJK sebagai sebuah lembaga negara yang independen juga memiliki konsekuensi logis terhadap kewenangan yang dimilikinya. Salah satunya, kewenangan membentuk atau menerbitkan berbagai peraturan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Di mana, peraturan- peraturan yang dibuat mengikat seluruh pihak dan berlaku ke luar dan ke dalam. Bahkan merujuk pada sistem perundang-undangan kita, lembaga negara/komisi negara mempunyai ruang untuk membentuk peraturan yang sifatnya regeling ; Lalu, bagaimana indepensi OJK jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pembentukannya? Karena terintegrasi dengan sistem perekonomian, apakah kemudian independensinya tidak akan terjaga? Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi OJK terkait erat dengan penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun bukan berarti hal itu secara serta merta akan merusak atau menghilangkan indenpendensi OJK. Harus diingat, independen adalah sifat objektif kelembagaan OJK dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hanya saja, dalam pelaksanaan fungisnya tentu saja terbuka ruang untuk terjadi penyimpangan. Walaupun demikian, persoalan ini tentu bukan masalah konstitusionalitas norma Undang-Undang OJK, melainkan soal pelaksanaan norma oleh pejabat di lembaga tersebut; Sebelum mengakhiri keterangan ini, ahli juga akan menyinggung bagaimana hubungan antara Kementerian Keuangan, Bl, dan OJK. Di mana, tiga institusi tersebut memiliki kewenangan yang saling bersinggungan satu sama lain. Lebih-lebih lagi Bl dengan OJK. Secara struktural, Bl dan Kementerian Keuangan menjadi bagian dari Dewan Komisioner OJK. Dengan demikian, kedua institusi tersebut sekalipun bukan mayoritas di OJK, tetapi tetap memiliki kewenangan untuk turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat OJK. Selain mempengaruhi, kehadiran Bl dan Kementerian Keuangan juga dapat memastikan langkah-langkah pengawasan jasa keuangan yang dilakukan OJK terintegrasi atau terkoordinasi dengan agenda-agenda urusan keuangan yang diurus oleh Pemerintah dan Bank Indonesia; Dari segi tujuan, Kementerian Keuangan bertujuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Adapun OJK hadir untuk teraturnya sektor jasa keuangan, terwujudnya sistem keuangan yang stabil serta terlindunginya kepentingan konsumen. Sedangkan Bl bertujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ketiga lembaga tersebut saling terkait satu sama lain. Di mana, semua akan mendukung pencapaian mewujudkan pemajuan kesejahteraan umum yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Dengan tujuan yang saling berhubungan serta ada jaminan terkoordinasinya tugas tiga lembaga tersebut secara struktural, maka kehadiran OJK justru akan dapat menutupi berbagai kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan begitu, pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran OJK telah mereduksi dan melemahkan peran Bl justru kehilangan relevansinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana kehadiran OJK akan dapat memperkuat pelaksanaan tugas pengawasan jasa keuangan yang ada. Pada saat bersamaan juga dapat membantu terselenggaranya urusan pemerintahan dibidang keuangan secara lebih baik;
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.HUM Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia ( finance governance ) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan, agar dapat tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi untuk melayani serta melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan secara lebih baik. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern ( moderne rechsstaat ) menurut Hughes (1994:
meliputi 7 (tujuh) macam, yaitu: 1 . _Providing economic insfrastructure;
Provision of various_ _collectieve goods and service;
The resolution and adjustment of group conflicts; _ _4. The maintanance of competititon;
Protection of natural resources;
Provision_ _for minimum access by individuals to the goods and services of the economy;
_ Stabilisation of the economy. Jika merujuk pendapat tersebut, kehadiran OJK kiranya dapat memenuhi fungsi untuk mewujudkan stabilitas ekonomi melalui tujuan dari pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat; Sesuai dengan amanah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, telah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang diawasi oleh OJK adalah Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/Pasar Modal, Modal Ventura, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertama kalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga independen tersebut mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank. Pola pembentukan institusi OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lain yang sifatnya constitutionally important. Artinya, dengan memahami hakikat makna ketentuan-ketentuan dalam konstitusi untuk mewujudkan sistem tatakelola perekonomian yang baik, maka hal itu mendasari konsiderasi pembentukan OJK. Meskipun, sama halnya dengan landasan eksistensi KPK dan beberapa state auxiliary agencies lain, tidak semua hal yang diperlukan dalam kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan harus diatur secara eksplisit dan rinci dalam konstitusi, mengingat cakupan ruang lingkup materi muatan konstitusi yang lazimnya bersifat terbatas sebagai norma dasar tertinggi dalam suatu negara. Namun, dalam suatu hal yang bersifat urgen terdapat hal-hal yang secara konstitusional dianggap penting untuk dibentuk/dilaksanakan dalam praksis ketatanegaraan; Kiranya, konsiderasi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah konsisten dengan dasar pengaturan bagi lahirnya OJK dan maksud pembentuk UUD Negara RI 1945 untuk mewujudkan tata kelola perekonomian yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU Bank Indonesia yaitu:
. untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
. berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Penjabaran kewenangan OJK dalam substansi UU OJK juga telah konsisten secara intensional maupun gramatikal dengan delegasi kewenangan yang diberikan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Urgensi OJK Krisis keuangan yang terjadi di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Hal itu menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997 dan diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada bulan November 1997. Kemudian, pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank-bank bermasalah tersebut. Kebijakan BLBI tersebut tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersebut disalahgunakan oleh sejumlah pihak. Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Bank Indonesia yang bertindak sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pada tahun 1999-2004, pemerintah melakukan program penyehatan perbankan, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan, serta pemantapan ketahanan sistem perbankan dan prinsip kehati-hatian bank, yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan Good Corporate Governance dan penyempurnaan pengaturan serta sistem pengawasan bank. Pada tahun 2004, pemerintah memulai implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang serta beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI), guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan (Herry Rocky, 2012, Perkembangan Perbankan 1990-2010 (http: //herryrocky.blogspot.com/2012/03/perkembangan-perbankan-1990- 2010.html, diakses 9 Juli 2012); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi yang berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional, memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Best Practices OJK di Beberapa Negara Lain dan Kontribusinya bagi Pembentukan OJK di Indonesia Pembentukan OJK kiranya juga merupakan hasil belajar dari best practices sistem pengawasan oleh institusi tunggal dan independen di beberapa negara lain. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini; Pada tanggal 25 Januari 2001, Menteri Keuangan Jerman, Hans Eichel mengumumkan pembentukan otoritas pengawas keuangan terintegrasi, yaitu Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2002 berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan pengawasan tunggal ( Gesetz über die integrierte Finanzdienstleistungsaufsicht ). BaFin merupakan gabungan dari lembaga pengawas terpisah untuk perbankan ( Bundesaufsichtsamt für das Kreditwesen -BAKred), asuransi ( Bundesaufsichtsamt für das VersicherungswesenB AV) dan sekuritas ( Bundesaufsichtsamt für den Wertpapierhandel -BAWe). BaFin memiliki wewenang terkait pengawasan lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan untuk menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh, dengan dua tujuan utama yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen dan investor. Setelah BaFin dibentuk, Deutsche Bundesbank (Bundesbank) bertugas sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Bundesbank merumuskan kebijakan moneter dan perbankan, menjaga nilai mata uang, mempertahankan tingkat kecukupan cadangan aset/siklus kas dan pengelolaan uang kertas, memantau perkembangan bisnis dan menganalisis spektrum yang luas dari masalah ekonomi, serta menjamin kelancaran fungsi pembayaran domestik dan asing dengan menyediakan layanan jasa kliring; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Otoritas Jasa Keuangan di Australia diperankan oleh The Australian Prudential Regulation Authorihy (APRA). Lembaga-lembaga yang diatur oleh APRA diantaranya adalah bank, asuransi, penyedia retirement saving accounts, trustee of superannuation entity. Organisasi APRA terdiri dari sebuah dewan ( board ), seorang pemimpin operasi ( chief executive officer) didukung para staf. Di Australia, APRA dibiayai dari kontribusi (levy) lembaga yang diawasi. APRA mengambil alih tugas dari Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 tersebut menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi industri dana pensiun ( superannuation Funds ); Krisis keuangan yang dialami oleh Korea pada tahun 1997-1998 mengakibatkan beberapa konglomerat bisnis besar mengalami kesulitan keuangan, kredit macet di bank-bank Korea meningkat tajam, sehingga melemahkan kesehatan keuangan lembaga perbankan domestik, yang berdampak pada ketidakstabilan keuangan Korea. Hal ini mendorong pemerintah Korea untuk melakukan reformasi kelembagaan dan kebijakan keuangan, maka dibentuklah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), Financial Supervisory Commission (FSC)/ Financial Supervisory Services (FSS) yang memiliki wewenang sebagai lembaga pengawas tunggal untuk perbankan dan non-perbankan. Dengan perubahan ini Ministry of Finance and Economy (MOFE), FSC/FSS, Bank of Korea (BOK), dan KDIC adalah empat lembaga publik yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem keuangan Korea; Masih cukup banyak negara lain yang juga membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Guna __ meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya; Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan; Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan:
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan serta Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya, lembaga yang dinisbatkan menjadi supervisory board ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait keterangan serta data makro yang diperlukan; Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang- undang Bank Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu: independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ( Good Coorporate Governance ). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Perspektif Hukum Adminstrasi Negara Fungsi OJK Fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuursbevoegdheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan dilaksanakan melalui kewenangan perijinan ( vergunning ) yang dilekatkan pada kewenangan OJK seperti yang diantaranya diatur pada Pasal 7 huruf h UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu memberikan dan/atau mencabut:
izin usaha;
izin orang perseorangan;
efektifnya pernyataan pendaftaran;
surat tanda terdaftar;
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan;
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi diiperlukan sebagai upaya pentaatan terhadap norma hukum administrasi negara; Dimensi perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) yang antara lain terdapat pada Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik ( good financial governance ). Hal itu terlihat dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011). Kewenangan tersebut ditujukan guna mewujudkan tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan tersebut selaras dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan di atas. Kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Padal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan demikian, dalam isu konstitusionalitas, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber pada Pasal 23D UUD 1945, yang mengatur bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bahkan, secara sistematik, dapat pula ditelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Atribusi kewenangan OJK dalam UU OJK dan pengaturan mengenai institusionalitas OJK merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi, khususnya dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; Fungsi utama lembaga keuangan seperti OJK bertujuan untuk mencapai empat tujuan ( goals ) secara umum. Empat tujuan tersebut meliputi:
keamanan dan ketahanan ( safety and soundness ) lembaga keuangan;
pencegahan risiko sistemik;
keadilan dan efisiensi pasar;
perlindungan terhadap konsumen Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan ( enforcements ) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Kiranya, tujuan tersebut selaras dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; Kewenangan pengaturan ( regelende bevoegdheid ) dan kewenangan pemerintahan ( besturende bevoegdheid ) yang tercermin dari kewenangan- kewenangan yang diatribusikan kepada OJK dalam teori hukum administrasi negara mencerminkan karakter hukum administrasi negara: norm (norma), instrument (sarana) dan waarborg (jaminan). Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat de Haan, dkk. (1986:
, bahwa: " Minstens zo nauw als het verband tussen norm en instrument is dat tussen norm en waarborg. Ook hier weer nemen wij achtereenvolgens de normering van het overherheidsgedraag en die van het gedrag van burgers tot uitgangspunt. De overheidsnormering vraagt primair om bestuurlijke waarborgen, terwijl de rechtsnormen die het gedrag van burgers beinvloden, rechtsbescerming noodzakelijk maken ". Pengaturan mengenai OJK dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memenuhi dimensi norma, sarana dan jaminan yang menjadi dimensi utama Hukum Administrasi Negara. Hal itu selain menjadi dasar teoretis bagi pengaturan kewenangan OJK, juga merupakan amanah konstitusi yang harus diwujudkan melalui fungsi dan kewenangan OJK. OJK dimaksudkan untuk memberikan jaminan pemerintah ( bestuurlijke waarborgen) terhadap masyarakat konsumen/pengguna OJK yang melakukan aktivitas di sektor jasa keuangan. Fungsi jaminan itu diwujudkan melalui instrumen perijinan terhadap aktivitas keuangan bagi penyelenggara jasa perbankan maupun non perbankan. Kewenangan penetapan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan merupakan salah satu fungsi penormaan pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 ( bestuursnormering ) yang diarahkan pada upaya memberikan jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborg ) untuk memberikan petlindungan hukum ( rechtsbescherming ) terhadap masyarakat pengguna jasa keuangan; Perkembangan mutakhir dalam hukum administrasi negara menunjukkan adanya arah penyelenggaraan fungsi pemerintsh yang semakin berfokus pada pengguna pelayanan/konsumen. Dikatakan oleh John McMillan (2009) bahwa: "Compliance with legal standards is the starting premise in all codes of good administration, but the newer codes go further. An emerging principle or standard is the need for agencies to be customer focus delivery of citizen-centred services … Deliver high-quality programs and services that put the citizen first’.The reason for this new emphasis is that people now interact wiath government differently, more frequently, and with heightened expectations. This is a product of the expansion in government benefits, subsidies, licences, taxes, contracts, authorisations, sanctions, penalties, services and regulatory programs. People now relate to government in many ways – as citizens, clients, consumers and customersssed – or, as Prime Minister Rudd recently described it, to engage in." Hadirnya OJK bisa diharapkan akan menjafi institusi independen yang berfokus pada perlindungan masyarakat/ konsumen jasa keuangan. Hal itu juga dinyatakan melalui tujuan pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal itu akan berimplikasi terhadap pelayanan publik pemerintah di sektor jasa keuangan yang semakin "customer focus delivery of citizen-centred services." Tujuan itu dilaksanakan melalui berbagai kewenangan pengawasan dan perijinan vide Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, termasuk kewenangan pencabutan ijin yang merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum administrasi negara, Hal itu diharapkan dapat memperkuat dan melindungi sektor keuangan Indonesia dari potensi terjadinya krisis keuangan melalui peranan OJK untuk mendorong penguatan fondasi sektor keuangan; Kedudukan Pungutan OJK Dalam Pasal 23A UUD 1945 diatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 Rumusan itu merupakan hasil dari Perubahan III UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Berkaitan dengan keuangan guna membiayai operasional kinerja darI OJK, Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 mengatur beberapa hal prinsip terkait keuangan OJK, sebagai berikut:
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan;
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK;
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri;
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah; UU OJK mengatur norma yang bersifat mandatory mengenai kewenangan OJK dalam melaksanakan kewenangan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Legalitas ( rechtsmatigheid ) pungutan tersebut dapat diukur dari sifat koherensi norma hukum UU OJK dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Kewenangan untuk melakukan pungutan tersebut merupakan implikasi pengaturan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, yang mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sifat norma hukum tersebut pada hakikatnya merupakan legal policy yang memberikan kewenangan bagi OJK untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang bisa bersifat tambahan dari keuangan yang bersumber dari APBN atau menjadi alternatif dari keuangan OJK yang diperoleh dari APBN. Jika dibandingkan dengan OJK di beberapa negara lain, sumber keuangan OJK-OJK tersebut pada umumnya bersumber dari pihak- pihak yang bergerak di sektor jasa keuangan atas konsiderasi untuk menumbuhkan kemandirian OJK; Jika Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK ditarik koherensinya secara vertikal ke atas sampai di ranah konstruksi Pasal 23A UUD 1945, maka norma hukum mengenai pungutan dalam UU OJK tersebut memenuhi syarat dan kriteria Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 dari pungutan sebagaimana diatur pada Pasal 23A UUD 1945 tersebut. Selanjutnya, apabila Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan berikutnya antara lain Pasal 38 UU OJK yang mengatur pelaporan dan akuntabilitas OJK, maka, pada hakikatnya pengaturan mengenai keuangan serta pungutan dalam UU OJK tetap memenuhi asas kelengkapan ( volledigheid , universalitas) dan asas berkala (periodisitas) sebagai asas-asas klasik yang diakui oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Asas kelengkapan ( volledigheid ) pada intinya merupakan asas yang mempertahankan hak budget parlemen secara lengkap sehingga penguasa publik tidak terlepas dari pengawasan DPR; Asas berkala (periodisitas) mengandung makna bahwa pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat dengan perantaraanwakilnya secara berkala dalam kebijaksanaan pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan periodisitas ini memungkinkan pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat berjalan secara teratur. Periodisitas ini tidak menghilangkan pengawasan rakyat, tetapi juga harus diperhatikan agar kesempatan pemerintah untuk menjalankan rencananya tetap berlaku. Kedua hal ini merupakan persyaratan pencapaian tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. Beberapa ketentuan dalam Pasal 38 UU Nomor 21 Tahun 2012 menunjukkan tetap dipenuhinya asas kelengkapan ( volledigheid ) dan asas berkala dalam pengaturan mengenai keuangan OJK;
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan;
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan;
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan;
Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat;
Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan dalam OJK baik yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari masyarakat tersebut tetap memenuhi asas-asas yang terkandung dalam Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 itu mengandung 3 (tiga) asas yang saling berkaitan secara erat, yaitu:
Asas berkala ( periodiciteit beginsel), yaitu anggaran negara tersebut dianggarkan untuk jangka waktu tertentu. 2. Asas terbuka ( openbaar beginsel), yaitu prosedur pembahasan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah dilakukan secara terbuka baik melalui sidang terbatas pemerintah dengan Komisi APBN maupun dalam sidang Pleno (mencerminkan pula asas demokrasi). 3. Asas kedaulatan ( souvereiniteit beginsel), yaitu unsur kedaulatan rakyat melalui perwakilannya merupakan syarat mutlak terciptanya rencana anggaran negara tahunan ( jaarlijke machtiging) ; Ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh OJK, baik yang bersumber dari UU APBN maupun pungutan dari pihak pengelola jasa keuangan, juga sudah memenuhi standar pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara yang didasarkan atas-asas pengelolaan keuangan negara yang merupakan pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: • akuntabilitas berorientasi pada hasil; • profesionalitas; • proporsionalitas; • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri PP Nomor 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai implementasi dari Pasal 37 ayat (6) UU OJK dimaksudkan untuk memenuhi asas-asas pengelolaan keuangan negara tersebut dalam pelaksanaan pungutan oleh OJK. Pada intinya, pungutan yang dilaksanakan dan dikelola oleh OJK tidak menyimpang dari kaidah pengelolaan keuangan negara dalam APBN, kecuali yang memang diatur secara khusus dalam UU OJK berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan OJK yang bersifat khusus, sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU OJK yang mengatur kekhususan berikut:
Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya.
Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi; Namun, kekhususan tersebut tidak menyebabkan terputusnya ikatan norma hukum tersebut dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana juga diatur pada Pasal 38 ayat (8) UU OJK yang menentukan bahwa Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, pengaturan mengenai keuangan dan pungutan dalam UU OJK tetap dilaksanakan berdasarkan sistem pengelolaan keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dr. Maruarar Siahaan, S.H I. Legal Standing Pandangan kami tentang ketidak cukupan legal standing untuk menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan, kami utarakan dalam hal-hal sebagai berikut:
Meskipun Pemohon telah mencoba menguraikan dasar argumen legal standing nya dalam permohonan pengujian ini, dapat dirasakan bahwa sesungguhnya dengan dasar bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dan aktivis yang juga melakukan advokasi di bidang APBN, tidak terlihat urgensi dan relevansinya. Dasar hukum legal standing harus dikembalikan kepada jurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dengan 5 (lima) syarat yang memuat adanya hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugiannya spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial, yang terjadi karena ada hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan undang-undang yang diuji dan adanya kemungkinan jika permohonan dikabulkan, kerugian hak konstitusional tidak akan terjadi lagi. Norma dalam Putusan tersebutlah seharusnya yang digunakan sebagai dasar pengakuan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian di MK, agar terdapat konsistensi dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 Pembayar pajak sebagai dasar hukum legal standing di MK, sesungguhnya baru berdasarkan putusan yang terbatas secara individual yang berdiri sendiri, yang masih diperdebatkan karena umumnya kedudukan demikian jikalau dikaitkan dengan jurisprudensi tetap MK soal legal standing , sesungguhnya masih diakui secara terbatas, dan belum merupakan jurisprudensi tetap yang mengikat;
Indikator bahwa standing untuk mengajukan pengujian dilihat dari aspek kerugian hak konstitusional khususnya jaminan hak atas rasa aman berdasar Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali ” , dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang __ dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kedua pasal yang dikutip tidak merujuk tentang hak konstitusional, sebagai hak yang diberikan kepada warga negara oleh konstitusi, dan dengan demikian justru memberikan kewajiban pada negara untuk memenuhi hak konstitusional;
Seandainyapun permohonan Pemohon dikabulkan maka tidak tampak bahwa kerugian hak konstitusional yang disebut mempunyai causal verband dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohon untuk diuji, karena menurut hemat kami, kerugian yang diklaim Pemohon, tetap akan terjadi jikalau persoalan tentang hak konstitusi yang disebut dalam UUD 1945, yaitu kerugian konstitutional dalam hubungan dengan hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta hak konstitusi atas “ anggaran ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”, tetap terjadi, dan Pemohon tidak dapat menjelaskan dan menguraikan hilangnya kerugian konstitusional yang terjadi jika Undang-Undang OJK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Petunjuk bahwa bukanlah para Pemohon yang seharusnya mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian atas UU OJK, dapat dilihat dari seluruh ukuran yang ditentukan dalam jurisprudensi tetap MK yang telah menjadi bagian dari hukum acara, khususnya causal verband antara kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan dengan dibentuknya OJK. MK perlu menegaskan sikap dalam pendirian tentang legal standing berdasarkan dalih tax payer tersebut; II. Permohonan Putusan Provisi Dalam tahap pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 saat ini, terlepas dari ketiadaan norma hukum acara, baik dalam UU MK maupun dalam jurisprudensi MK yang mengenal pengaturan provisionel eis , baik karena sisi urgensi kepentingan konstitusional yang harus dilindungi oleh berlakunya satu norma, maupun karena pengaturan yang ada dalam UU MK sendiri yang memuat asas presumption of constitutionality , yang menentukan bahwa semua Undang-Undang yang telah diperlakukan harus dipandang konstitusional sampai dengan dibatalkannya Undang-Undang tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak relevan lagi berbicara tentang provisi. Secara eksplisit diatur dalam Pasal 58 UU MK, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945”; _ Dengan pengaturan demikian, memang jelas bahwa kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 melalui cara bekerjanya lembaga- lembaga jasa keuangan dengan jumlah taruhan yang sungguh besar, suatu kemungkinan saja untuk menghentikan bekerjanya OJK tanpa melalui putusan provisi melainkan putusan akhir, tidak terbayangkan akibatnya, karena dapat menjadi kekacauan atau disaster yang berantai, yang dapat memicu krisis ekonomi. Jikalau lembaga baru i.c. OJK dihentikan sementara saja, akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, karena beragamnya produk jasa keuangan yang menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks dan saling terkait antara produk dan lembaga jasa keuangan, baik di bidang perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, obligasi, SUN dan lain-lain. Tanpa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, dengan jumlah dana besar yang bergulir, akan menimbulkan kekacauan besar-besaran, yang boleh jadi mengakibatkan kolapsnya sistem perekonomian dan keuangan Indonesia. Putusan yang bersifat sementara atau permanen demikian akan sangat berbahaya. Oleh karenanya, terkadang menyebabkan timbulnya pikiran bahwa dalam kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 publik dalam bentuk Undang-Undang yang menyangkut Undang-Undang dengan regulasi suatu bidang ekonomi dengan pengaruh yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kemungkinan digunakannya mekanisme pengujian suatu RUU yang telah disetujui bersama sebelum diundangkan – mekanisme yang dikenal dengan judicial preview – di mana semua pihak dapat menumpahkan pikiran dan pendapatnya tentang suatu kebijakan publik yang mendasar, tidak dibayangi ketakutan akan dampak yang timbul secara dahsyat, seandainya suatu Undang-Undang tertentu dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam suatu proses judicial review ; III. Materi Muatan Konstitusi Sebagai Grundnorm dan Constitutional Boundaries Konstitusi modern yang menjadi hukum tertinggi dan menjadi pedoman dalam politik hukum penyelenggaraan negara, bukan hanya memuat norma-norma dasar yang secara kongkrit dirumuskan, melainkan juga memuat prinsip atau asas konstitusi yang terumuskan secara umum dan hanya dalam garis besar. Lebih dari sebagai suatu dokumen yang ringkas dan supel khususnya UUD 1945 – setelah perubahanpun – dengan pembukaan yang merupakan jiwa dan filosofi di atas mana negara Republik Indonesia dibentuk serta tujuan dibentuknya negara R.I. yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa dia lebih dari sekedar dokumen juridis. Dari Pembukaan UUD 1945, yang menentukan arah dan tujuan dibentuknya negara R.I., sangat jelas bahwa tujuan tersebut didasari oleh suatu pandangan bangsa tentang suatu negara yang disebut sebagai negara kesejahteraan atau welfare state . Bertolak belakang dengan konsep negara dalam pemilikiran liberalisme, dengan peran negara yang terbatas dan bahkan dirumuskan dalam satu kurun waktu sejarah hanya sebagai penjaga malam, maka dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan menjadi sedemikian luasnya, sehingga keberadaan lembaga negara yang ada dalam organisasi kekuasaan, menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena besarnya peran negara dalam konsep negara kesejahteraan tersebut, muncul kebutuhan akan lembaga negara yang tidak dikenal dalam praktik semula, dan kemudian terbentuk dalam lembaga negara yang independen; Kebutuhan akan organ yang akan menjalankan kewenangan tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat mengalami perkembangan, sehingga untuk memenuhi hal itu berdasarkan organ-organ negara yang secara tradisional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 ada, tidak lagi memadai. Akibatnya perkembangan organ atau lembaga yang independen merupakan kecenderungan yang terjadi secara universal, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberalisme yang sangat mempraktikkan peran negara secara terbatas, justru mempelopori kelahiran lembaga-lembaga negara yang independen tersebut. Oleh karenanya, norma dasar konstitusi yang seyogianya mengatur pembentukan organ-organ negara secara ekplisit dan tegas sehingga dapat membentuk struktur organisasi kekuasaan negara dalam konstitusi sepanjang mengenai lembaga negara yang menerima kewenangannya langsung dari konstitusi, tidak lagi mampu memberi gambaran yang total tentang organ-organ yang menerima kewenangannya dari undang-undang dasar, dan berdasarkan delegated auhority of legislation dikuasakan pembentukannya dalam satu Undang-Undang. Secara analogis kita dapat melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Dasar konstitusionalitas kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam suatu negara kesejahteraan tidak selalu hanya merujuk kepada suatu norma fundamental konstitusi yang secara eksplisit ditemukan dalam UUD 1945, karena tugas, fungsi dan tujuan negara secara filosofis, sosiologis dan juridis dapat menjadi landasan pembentukan kebijakan dan peraturan perundangan yang diperlukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebut bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jikalau norma fundamental dalam UUD 1945 menjadi sumber hukum dan validitas norma hukum dibawahnya yang diperlukan dalam penyelengaraan negara, maka norma fundamental tersebut bersumber pada Grundnorm yang menjadi landasan politik hukum yang selalu menjadi orientasi kedepan, upaya memperbaharui ius constitutum kearah _ius constituendum; _ Untuk menemukan landasan politik hukum dalam pembentukan organ negara yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang tidak memadai lagi untuk diserahkan kepada lembaga yang secara tradisional ada dalam organisasi kekuasaan negara, maka untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusi ketika mandate konstitusi tidak dapat ditemukan secara tegas, maka melalui suatu naskah akademis, diperhitungkan adanya suatu ruang yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 memungkinkan diskresi pembuat kebijakan dapat terlaksana secara bebas dan baik. Dalam ruang lingkup demikian dengan batas-batas yang diperhitungkan tidak dapat dilanggar pembuat kebijakan, maka dengan konstruksi. Dapat dibangun apa yang disebut ruang dalam mana diskresi pembuat kebijakan bergerak secara bebas. Jikalau kebijakan atau politik hukum yang dipilih untuk dilaksanakan tersebut tampak melampaui batas konstitusi ( constitutional boundary) yang dirumuskan, maka kebijakan demikian dihindari, karena potensil diuji dan dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Indikator konstitusionalitas tersebut dapat dirumuskan melalui interpretasi, konstruksi dan penghalusan terhadap:
Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup bangsa dalam Pancasila;
Tujuan Bernegara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan Bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dengan pencarian makna melalui interpretasi dan konstruksi untuk membentuk ruang gerak dengan batas yang ditentukan untuk tidak dilampaui, maka dapat ditemukan suatu ruang yang bebas bagi diskresi pembuat Undang- Undang, untuk membentuk kebijakan publik berdasar politik hukum yang mengacu pada konstitusi sebagai hukum dasar. Undang-Undang OJK menurut pendapat saya masih dalam ruang yang tidak melanggar constitutional boundary tersebut; IV. Pokok Permohonan 1. Umum Setiap penyelenggara negara berhak dan wajib untuk menafsirkan konstitusi atau UUD 1945 sebelum melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan Negara, baik sebagai legislator dalam pembuatan Undang- Undang atau dalam pengujian Undang-Undang tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, menyiratkan adanya kostitusi yang tidak tertulis sebagai bagian yang dianggap tidak terpisah, yang ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, dalam filosofi kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam tujuan yang ditetapkan kearah mana suatu negara yang terbentuk itu akan berjalan. Seluruh konstitusi yang termuat dalam pembukaan dan batang tubuh tersebut juga memuat dan membentuk asas-asas konstitusi yang harus ditemukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum ( rechtsverfijning ), untuk dapat dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dipandang serasi dengan konstitusi, sebagai kebijakan yang sumber keabsahan atau validitas dan legitimasinya dapat ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945; Konsepsi negara kesejahteraan ( welfare state ) yang mewajibkan adanya state intervention dalam penyelenggaran negara untuk mencapai peningkatan kesejahteraan umum dan perlindungan segenap bangsa, merupakan hal yang sangat terbuka dalam mandat konstitusi bagi penyelenggara negara, sehingga lingkungan strategis lokal, nasional dan global harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah suatu kebijakan harus dilakukan yang perlu dalam kerangka penyelenggaraan negara bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, dan apakah kebijakan demikian masih dalam kerangka constitutional boundaries yang ditetapkan dalam UUD 1945. __ Ruang dalam kerangka constitutional boundaries tersebut akan memberi petunjuk seberapa jauh pembuat Undang-Undang boleh bergerak dalam melakukan regulasi yang diperlukan untuk menyesuaikan kondisi nasional dengan perkembangan global, yang tidak dapat dielakkan karena interdependensi bagian-bagian dari dunia dengan dunia luar, yang turut menentukan keberhasilan untuk perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Diskresi pembuat Undang-Undang harus juga digunakan untuk bergerak dalam ruang constitutional boundaries yang disebut di atas. Keberadaan dan praktik BI dalam pengawasan jasa keuangan, telah menjadi titik tolak disekresi yang berada dalam constitutional boundaries yang dimaksud; Oleh karenanya menentukan mandate konstitusi tidak cukup hanya dengan merujuk suatu pasal tertentu dalam UUD 1945 sebagai dasar dalam menentukan konstitusionalitas norma atau kebijakan yang akan dibentuk, melainkan harus menemukannya dengan tafsir, hermeneutika, konstruksi dan penghalusan. Terlebih lagi bahwa suatu norma konstitusi yang telah memuat suatu perintah secara tegas dalam konstitusi pun memerlukan kehati-hatian, karena suatu norma konstitusi yang biasanya terumuskan secara general (umum) dan hanya mengandung asas, dalam implementasinya mengalirkan norma turunan secara derivative , yang meskipun tidak secara tegas disebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 sebagai norma konstitusi, tetapi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan demikian saja sebagai bagian dari konstitusi, terutama jika ada delegated authority of legislation yang diberikan kepada pembuat Undang- Undang. Oleh karenanya apa yang disebut sebagai norma yang konstitusional tidak dapat dilihat secara tunggal melainkan harus secara integral dalam doktrin kesatuan konstitusi, dari pembukaan sampai batang tubuh secara tidak terpisah satu dengan yang lain; Pengalaman menunjukkan krisis perbankan yang terjadi bukan berasal dari perbankan, melainkan dari bidang-bidang lain yang merembet kepada perbankan. Produk-produk jasa keuangan yang sudah demikian besar (dari sisi size), dari sisi keterkaitan konglomerasi, dan terakhir dari sisi kompleksitas masalah jasa keuangan, tampaknya menyebabkan BI tidak lagi tepat dan tidak mampu melakukan hal itu semua secara sendirian. Ketidak mampuan BI merespon perkembangan yang pesat di bidang jasa keuangan sudah menjadi kenyataan yang menjadi pengalaman kita sehingga keberadaan BLBI dan lain- lainnya menjadi problem yang harus dipikul sekarang ini. Oleh karenanya membesarnya tugas yang timbul dalam penyelenggaraan negara, dibidang pengawasan dan pengaturan jasa keuangan menjadi keniscayaan.
Lembaga Negara Independen Ketika tugas negara yang terbagi dalam organisasi kekuasaan yang tradisional seperti eksekutif, legislatif dan judikatif dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dirasakan tidak mencukupi lagi, terasa kebutuhan untuk melakukan perluasan organ tersebut tetapi dengan membentuk badan- badan atau lembaga yang independen. Independensi lembaga tersebut terwujud dalam struktur yang berada di luar organisasi penyelenggara pemerintahan yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Kecenderungan untuk menetapkan organ baru yang muncul karena kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga boleh lahir dari sikap yang ingin membebaskan lembaga baru dari keterpasungan birokrasi lama, melainkan memulai sesuatu yang baru, dengan ciri yaitu adanya kewenangan regulasi dan pengawasan dalam organ yang sama tetapi dalam mekanisme checks and balance ; Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam Undang-Undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan- atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (auxiliary state organ) . Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, boleh jadi merupakan beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an ( Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8) . Akan tetapi, seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 baru ekplorasi ruang angkasa ( Kenneth F. Warren Administrative Law In The Political System,,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78) . Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi; Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang disebut juga non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara . Dalam ”Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ” memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, hal mana dengan kata-kata yang sama diulangi lagi dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik Nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, Nomor X/MPRS/1969 dan Nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi . Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya Pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ” pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ” ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga Pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang; Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat Undang-Undang untuk membentuk lembaga negara, dan mengatur hal-hal yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu Undang-Undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang, namun tetap merupakan lembaga negara yang konstitusional. Konsep Independensi Independensi suatu lembaga sesungguhnya diberikan karena dibutuhkan untuk dijadikan dasar dari suatu sikap netral ( impartial ) dan boleh membebaskan diri dari kungkungan conflict of interest diantara subjek pengawasan dan yang memiliki kepentingan lain. Independensi, merupakan prasyarat bagi terwujudnya sikap netral dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga, dengan menempatkannya tidak dibawah kekuasaan eksekutif, legislatif __ maupun yudikatif, tidak menyebabkan bahwa lembaga tersebut menjadi superbody , karena mekanisme pengawasan secara hukum pidana, maupun administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 dan tatanegara, merupakan hal yang terjadi secara mekanis dalam proses checks and balances . Baik komisioner OJK sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, independensi dirumuskan sebagai kebebasan dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri lembaga, baik sebagai intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung, maupun berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari siapapun, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lain; Mekanisme masa jabatan dan pemilihan pejabat yang duduk dalam lembaga independen tersebut umumnya menjadi metode yang sering digunakan untuk menunjukkan independensi lembaga tersebut, ysng akan terjamin jika secara konsisten dilaksanakan. Seorang yang diangkat dengan mekanisme pemilihan yang biasanya dilakukan oleh DPR, juga dijamin kedudukannya dalam masa jabatan tertentu tidak dapat dihentikan, kecuali karena adanya pelanggaran pidana yang berat menyebabkan pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, memuat seluruh persyaratan sebagai lembaga Negara yang independen; Integrasi Kewenangan Regulasi dan Pengawasan. Tampaknya integrasi kewenangan regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga merupakan ciri dari lembaga independen, di mana kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya disatukan dalam satu lembaga. Jika hal demikian terdapat pada OJK, maka menurut hemat kami, tidak mengganggu derajat independensi lembaga induk (BI), yaitu kewenangan BI yang seharusnya tidak boleh diambil tetapi diambil, sehingga berkurang sentralitasnya, dan juga tidak mengurangi kewenangan lembaga induk serta ciri dan fungsi utama lembaga induk atau BI, tidak dikurangi dalam hal sentralitas BI dalam UUD. Sistem keuangan dan perekonomian nasional, terutama berkembangnya lembaga jasa keuangan dengan fungsi utama sebagai intermediasi dengan innovasi finansial, telah menciptakan sistem yang kompleks, dan dalam perkembangannya yang pesat didorong oleh proses globalisasi. Hal tersebut telah mengakibatkan tugas tersebut tidak lagi dapat diserahkan kepada BI sebagai Bank Sentral dengan tugas pokok sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 otoritas moneter. Pengalaman masa lalu ketika BI sebagai Bank Sentral menggunakan instrument moneter berupa bantuan liquiditas untuk menyehatkan kondisi bank yang diawasi adalah disebabkan karena bank sentral keinginannya menutupi kelemahan akibat pelanggaran terhadap prudential banking [Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal. 10] . Hal ini telah mengakibatkan masalah yang tidak dapat dipandang selesai sampai saat ini; Adanya kewenangan yang meliputi fungsi regulasi dan pengawasan bahkan sering ajudikasi sebagai fungsi judikatif terjadi dalam lembaga Negara independen secara universal. Dengan kompleksitas masalah dalam bidang jasa keuangan dengan produknya yang beragam dan pemain yang meliputi asing dengan jumlah dana yang besar, menyebabkan perlunya dilakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan secara lebih terintegrasi ( ibid, hal.3) Kesewenang-wenangan yang mungkin dapat timbul dalam hal demikian, dapat dicegah dengan membangun system checks and balances baik secara internal maupun melalui lembaga lain secara eksternal dalam judicial review dan mekanisme hukum lain yang tersedia. Dampak Globalisasi Terhadap Ekonomi dan Keuangan Nasional Globalisasi, sebagai satu proses transformasi meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal itu semakin dirasakan membawa pengaruh mendalam baik dalam kehidupan pribadi secara individual maupun secara kelembagaan dalam kehidupan negara dan masyarakat, ketika gagasan, dana dan nilai-nilai kultural masuk kedalam ruang-ruang kita secara mudah menembus batas ruang dan waktu. Komunikasi yang amat mudah dengan kecepatan tinggi dan transportasi yang murah membawa proses globalisasi tersebut mentransformasi kehidupan manusia dan lembaga yang dikenal dalam negara dan masyarakat. Interaksi sosial, politik, ekonomi, finansial, ilmu pengetahuan, teknologi dan kultural antara satu bagian dunia dengan bagian dunia lain, terjadi dan berlangsung demikian saja dengan satu tekanan klik pada perangkat elektronik. Akibatnya dikatakan bahwa dunia ini telah menjadi rata ( the world is flat ) [ Thomas L. Friedman, The World is Flat, The Globalized World in the Twenty First Century, Penguin Books 2006, hal 7 ]. Globalisasi ada kaitannya dengan dalil bahwa kita sekarang hidup dalam satu dunia ( Anthony Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 Giddens, Run Away World, How Globalisation is Reshaping Our Lives,Profile Books,h. 7 ). Dibawah pengaruh globalisasi, kedaulatan negara telah menjadi semakin kabur atau tidak jelas, karena kekuatan global dapat mempengaruhi kehidupan warganegara disatu teritorial tertentu; Meskipun begitu banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1 ). Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya tercakup ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin memerlukan kreativitas untuk bertahan. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( ibid) . Satu ciri dari globalisasi ekonomi dapat ditunjuk kebebasan modal bergerak dari satu negara kenegara lain, sehingga dalam keadaan tertentu pergerakan jangka pendek modal memasuki satu negara, dan ketika kemudian tiba-tiba ditarik kembali, akan terjadi gangguan besar bagi sistem moneter negara tersebut. Meski kebijakan moneter Amerika tidak diterapkan keseluruh dunia akan tetapi mata uang dollar menjadi alat pembayaran utama dalam sistem perdagangan internasional. Sistim nilai tukar mengambang dan pusat pusat pasar modal di Amerika sangat berpengaruh pada pasar modal diseluruh dunia, sehingga fluktuasi yang terjadi secara berantai akan membawa dampak ke pasar modal negara lain ( Tetapi saat ini mata uang dollar tidak lagi perkasa, dan terutama karena krisis yang dipicu oleh prime mortgage, orang mulai beralih kemata uang euro (Harian Kompas Oktober 2007 ). Tidak ada pemerintah nasional yang dapat menjalankan dengan effektif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 tata aturan ekonomi apapun, bila tata aturan itu menyimpang dari standar internasional dan merugikan kepentingan TNC yang beroperasi diwilayahnya (Paul Hirst & Grahame Thomson, op.cit hal 19 _); _ Satu transformasi, yaitu perubahan dalam struktur, tampilan atau karakter terjadi secara luas dan besar-besaran, sebagai akibat proses globalisasi. Semua negara, wilayah, lembaga, masyarakat dan individu terkena dampaknya, yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam interaksi dan interelasi secara kelembagaan, wilayah dan antar masyarakat serta individu. Respon yang memadai terhadapnya tidak dapat diabaikan sama sekali, karena penetrasi yang terjadi secara global telah melampaui dengan mudah batas-batas negara, bahkan-batas-batas yang ingin dijaga dalam rumah keluarga-keluarga. Meskipun proses globalisasi sesungguhnya mempunyai banyak dimensi-sebagaimana telah diuraikan dibagian awal-akan tetapi sesungguhnya orang lebih banyak berbicara tentang proses dan dampaknya dalam bidang ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak globalisasi dibidang ekonomi dapat menyengsarakan rakyat diwilayah atau negara tertentu secara signifikan, karena tidak siap dan tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara global tersebut. Umumnya negara- negara yang miskin dan sedang berkembang, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang rendah tidak siap menghadapinya. Apalagi jika kebijakan yang diambil tidak dapat memperhitungkan keadaan domestik secara sosial, ekonomi dan kultural yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, diharuskan bersaing secara bebas dan terbuka dengan aktor asing yang lebih canggih. Sesungguhnya transformasi yang terjadi dengan globalisasi sekarang menyebabkan hampir seluruh dunia, sedikit banyak terhubung kedalam sistem dunia yang semakin terintegrasi, dimana parameter pasar mendominasi; Pasal 33 UUD 1945 dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi dan integrasi dunia melalui perdagangan bebas dengan filosofi pasar bebas, mau tidak sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan keuangan Indonesia. Dalam hal demikian perlindungan yang diperlukan dalam menjaga segenap bangsa semakin menjadi besar. Memang kemungkinan UU OJK merupakan salah satu yang diajukan oleh IMF sebagai persyaratan untuk bantuan membenahi ekonomi Indonesia, tetapi tidak selalu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hanya karena demikian saja UU OJK tersebut bertentangan dengan UUD 1945; UUD 1945, yang memuat konstitusi Ekonomi, yang telah beberapa kali dijadikan batu penguji terhadap kebijakan ekonomi yang tertuang dalam undang-undang yang dimohonkan review oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 yang menentukan prinsip penguasaan negara, demokrasi ekonomi dan kebersamaan, effisiensi berkeadilan, dan pembangunan yang sustainable serta berwawasan lingkungan oleh Mahkamah diartikan bahwa penguasaan itu tidak selalu dalam arti mutlak 100%, sepanjang penguasaan atas pengelolalan tersebut memberi pada negara posisi yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan, sehingga oleh karenanya juga divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN yang mengelola sumber daya alam tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [ _Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: _ “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional] , sepanjang penguasaan negara efti atas cabang produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam, dan sepanjang Negara memiliki posisi dominan dalam policy making badan usaha melalui komposisi saham. Dengan kata lain dalam tafsiran Mahkamah, privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara dalam arti posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetap, dalam tangan negara, dapat diterima dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ( Ibid, hal 336-349 _); _ Dalam krisis keuangan yang dapat menimbulkan krisis global, yang dikatakan seperti tsunami, bagi Indonesia dampak ”globalisasi” secara buruk kelihatannya berjalan satu arah. Kita tidak mampu memberi perlawanan, dan menjadi korban. Sejak era Pemerintah Orde Baru, dua kekuatan utama telah menelan Indonesia, yaitu pertama ”kekuatan deregulasi” yang memaksa keterbukaan akses pasar nasional, yang awalnya hanya meliputi perdagangan, tetapi kemudian meliputi investasi asing. Kedua, pertumbuhan perjanjian dagang regional, ternyata telah menggeser proses regulasi kearah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 skala yang berbeda ( Kami menggunakan dua kekuatan itu dari Paul Dickens, op.cit hal 427 _); _ Kritik Stiglitz, yang mengecam pendekatan IMF “ one-size-fits-all”, yang dianggap memberikan solusi dengan cara yang sama dengan tidak mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda, menyatakan l dengan cara yang lugas: ”... Especially at the International Monetary Fund , decisions were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest… While no one was happy about the suffering that often accompanied the IMF programs, inside the IMF, it was simply assumed that whatever suffering occurred was a necessary part of the pain countries had to experience on the way to becoming a successful market economy, and that the measures would, in fact reduced the pain the country would have to face in the long run. The hypocrisy of pretending to help developing countries by forcing them to open up their market to the goods of advanced industrial countries while keeping their own market protected, policies that make the rich richer and the poor more impoverished and increasingly angry (Joseph E. Stiglitz, Globalization And Its Discontents, Allen Lane Penguin Books 2002, hal xiii,xiv dan xv). Dibagian lain Siglitz menyebutkan bahwa kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna dapat disimak dari pernyataan Joseph Stiglitz : ” presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off ” ( Putusan MK op.cit hal 330-331 ) _; _ Banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1) . Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin terpengaruh. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( _ibid); _ Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat untuk mengawal konstitusi, memberi tafsiran atas pasal 33 UUD 1945 sebagai batu ujian konstitusionalitas kebijakan ekonomi yang diadopsi dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan memperhitungkan juga lingkungan strategis global yang berubah. Mahkamah Konstitusi secara khusus telah memberi pengertian ”penguasaan oleh negara” dalam putusan-putusannya sebagai berikut ini : ” ...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem...,maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah negara, pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sesesar-besar kemakmuran rakyat”. ”...pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-02-022/PUU- I/2003 ). Ini memperkuat keyakinan kita akan apa yang disebut ketidak sempurnaan pasar dan perlunya intervensi Pemerintah sebagaimana disebut Joseph Stiglitz: ” Behind the free market ideology there is a model, often attributed to Adam Smith, which argues that market forces-the profit motive-drive the economy to efficient outcomes as if by invisible hand. One of the great achievements of modern economics is to show the sense in which, and the conditions under which Smith’s conclusion is correct. It turns out that these conditions are highly restrictive. Indeed, more recent advances in economic theory-ironically occurring precisely during the period of the most relentless pursuit of the Washington consensus policies-have shown that whenever information is imperfect and market incomplete, which is to say always, and especially in developing countries, then the invisible hand works most imperfectly. Significantly, there are desirable government interventions which, in principle, can improve upon the efficiency of the market. These restrictions on the conditions under which markets result in efficiency are important-many of the key activities of government can be understood as responses to the resulting market failure” (Joseph E. Stiglitz, op.cit hal 73-74 ). __ Oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi Indonesia yang membentuk paradigma negara kesejahteraan ( Kita tidak menyebut paradigma sosialis, untuk menghindari kesan kembali mempertahankan kebijakan ekonomi yang dianut negara-negara komunisme dalam masa perang dingin, yang secara mutlak telah mengalami kekalahan dari sistem kapitalisme) , dengan tafsir mutakhir yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, kami yakini dapat diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan tingkat perkembangan kondisi sosial, kultural dan ekonomi dari Negara dan bangsa Indonesia. Dalam menata dan melaksanakan tugasnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada UUD 1945, kami melihat bahwa pemerintah pusat dan lokal dalam tugas pokoknya untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, ekonomi, dan pembangunan yang effektif dan effisien untuk mendukung terwujudnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 perekonomian nasional yang berfihak pada ekonomi kerakyatan, yang merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian Internasional harus dapat memperhatikan paradigma negara kesejahteraan ( welfare state). Pembentukan OJK hemat kami sesuai dengan konsep pengawasan dan intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi rakyat dan perekonomian Indonesia dari praktik di bidang jasa keuangan yang merugikan perekonomian masyarakat dan negara, karena sebagai lembaga negara yang independen, OJK adalah bagian dari organ negara, yang memenuhi syarat dalam tugas pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan, yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Justru dia menjadi bagian dari campur tangan negara untuk mengawasi dan mengatur jasa keuangan di Indonesia, dengan cara yang independen dan dibebaskan dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah ditasfirkan oleh Mahkamah Konstitusi; Sekali lagi kami memohon kehati-hatian Majelis yang Mulia Hakim MK, suatu putusan yang meniadakan lembaga OJK seperti yang terjadi pada BP Migas, membawa akibat yang sangat berbeda, karena akan menghilangkan kepastian hukum, kepercayaan investor asing, yang akan terdorong untuk menarik dana besar mereka secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan panik dan kekacauan secara berantai, yang boleh menjadi krisis ekonomi; Kesimpulan 1. Pemohon tidak mempunyai dasar legal standing yang memadai untuk memohon pengujian UU OJK;
Karena keterkaitan ekonomi global dengan ekonomi Indonesia, maka Putusan MK, sekalipun hanya menghentikan untuk sementara kegiatan OJK, justru dapat menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia;
UU OJK tidak melanggar constitutional boundary Dalam UUD 1945;
Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M Pada dasarnya, pengujian atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (lebih lanjut disebut UU OJK) dilakukan oleh karena Pemohon menganggap bahwa; Pertama , OJK ini bukanlah lembaga yang sah secara konstitusional dan karenanya tidak dapat disematkan sifat keindependenan padanya. Kedua , OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, padahal menurut Pemohon, hanya Bank Indonesia-lah yang memiliki sifat-sifat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sebagai bank sentral dengan segala tugas dan fungsinya sehingga tidaklah tepat jika OJK diperbolehkan untuk memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud di dalam UU OJK. Ketiga , pembentukan OJK menimbulkan banyak kerugian oleh karena OJK mengadakan pungutan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sumber pendanaan OJK. Karena ini berarti entitas yang diawasi malah menjadi sumber dana dan akan mengganggu independensi OJK, khususnya OJK akan lebih memperhatikan industri jasa dan keuangan dibanding kepentingan publik; Dalam kapasitas sebagai ahli dan untuk merespon permohonan Pemohon tersebut, akan menjelaskan hal-hal sebagai berikut; Pertama, seperti apa sesungguhnya lembaga negara independen secara teoritik dan praktik. Kedua, makna relasi OJK dengan lembaga bank sentral; Ketiga, pungutan yang dilakukan terhadap jasa keuangan apakah dengan serta merta dapat dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945; Dalam kapasitas sebagai ahli dengan menyatakan sebagai berikut; Perihal Independensi OJK dan Lembaga Negara Independen Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa OJK adalah lembaga negara independen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU OJK itu sendiri. Dapat digolongkan sebagai lembaga negara oleh karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dan dalam rangka menjalankan tugas negara di sektor pengawasan terhadap perbankan. Kemudian, diberikan sifat independen oleh karena diharapkan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, OJK kemudian dijadikan lembaga negara yang bersifat independen; Lembaga negara independen seringkali diterjemahkan menjadi lembaga negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lainnya. Lembaga yang menjadi independen atas lembaga negara lainnya dan menjalankan fungsi- fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies) , maupun yang hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies) , sehingga padanya disematkan kewenangan kelembagaan kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya ( Lihat: Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, halaman 338-339 _); _ Bahwa menurut Milakovich dan Gordon, komisi negara independen pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 hakikatnya memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Selain itu, anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya ( Michael E.Milakovich, dan George J. Gordon , Public Administration in America , Seventh Edition, USA, Wadsworth and Thomson Learning, 2001 ). Perihal independen ini, Funk dan Seamon menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol presiden, walaupun independensi itu sifatnya relatif, tidak mutlak ( William F Funk and Seamon, 2001 Administrative Law, Examples and Explanations , Aspen Law and Bussiness, New York _); _ Di samping itu, periode jabatannya bersifat ”staggered ”. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait, karena periodesasi jabatan komisioner tidak mengikuti periodesasi politik kepresidenan. Demikian juga perihal jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. Selain itu, keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan ( ibid). Dengan karakter seperti di atas, maka komisi independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak; Ditambahkan Gordon dan Milakovich, perihal nomenklatur kelembagaan bisa ditarik dalam kesimpulan penggunaan istilah regulatory agencies merujuk kepada semua jenis dependent and independent regulatory boards , commissions, law enforcemen agencies dan executive department yang memiliki kewenangan pengaturan (Op.Cit Gordon and Milakovich). __ Lebih lanjut dijelaskan bahwa: The term of regulatory agencies will refer to a regulatory bodies headed by single individual (most commonly a director); a regulatory commissions is headed by group of commissioners (or sometimes, board member) and both regulatory bodies will refer to both kinds of structures (ibid) . Dikatakan, sebagai pembedaan yang akan menunjukkan perbedaan type of regulators, in their _operational as well as their formal structures (ibid); _ Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini adalah, Pertama , dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang mengepalai agency . Kedua , tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 boleh dikuasai secara simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan partai tertentu. Ketiga , para komisionernya punya masa jabatan yang fixed dengan cara berjenjang ( staggered terms ), yang artinya mereka tidak berhenti secara bersamaan. Keempat , para anggota hanya bisa diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam dalam aturan dan tidak dengan cara yang ditentukan oleh Presiden seperti di lembaga eksekutif ( Op.Cit., Funk dan Seamon _); _ Sementara itu, Michael R. Asimov, komisi negara disebutnya sebagai administrative agencies dengan pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent ( Michael R. Asimov 2002, Administrative Law , Chicago: The BarBri Group ) . Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah tergantung pada satu cabang kekuasaan tertentu, atau bersifat independen, Asimov melihatmya dari segi mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, melalui mekanisme pengaturan yang dimiliki presiden ( _bid); _ Sementara William F. Fox, Jr mengemukakan bahwa komisi negara adalah bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress . Atau, bilamana terdapat pembatasan kewenangan presiden untuk tidak bisa secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian pimpinan komisi negara tersebut ( William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law , Danvers: Lexis Publishing, 2000 _); _ Sebuah komisi negara independen adalah lembaga publik yang memiliki independensi, otonomi dan kompetensi pengaturan dalam menjalankan ruang publik yang sensitif, seperti perlindungan persaingan, supervisi capital market , dan pengaturan pelayanan kepentingan ekonomi secara umum . Keberadaan komisi negara independen ini, dijustifikasi oleh adanya kompleksitas pengaturan hal-hal tertentu, serta tugas-tugas yang bersifat supervisory dan sangat membutuhkan keahlian khusus. Kebutuhan untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 implementasi secara cepat kewenangan publik di sektor tertentu dan juga bebas dari campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas. Bahwa dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Pertama, oleh karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan mana pun menjadi. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan perbankan secara independen. Dan oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan pengasan secara lebin independen itulah maka UU Bank Indonesia sendiri telah mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri yang independen dalam melakukan pengawasan sektor jasa keuangan; Kedua , OJK telah memiliki hampir semua ciri keindependenan yang dimaksudkan sebagai ciri penegas dari keindependenan suatu lembaga negara independen. Tentu saja tidak semua, apalagi memang tidak satupun lembaga negara independen di Indonesia yang mengikuti berbagai ciri teoritik untuk lembaga negara independen tersebut. Misalnya soal pergantian yang berjenjang ( staggered terms ). Sampai saat ini, tidak satupun lembaga negara independen yang memiliki sifat pergantian berjenjang. Lagipula, kepentingan pergantian berjenjang adalah untuk mengecilkan kemungkinan penguasaan suatu lembaga negara independen oleh partai politik tertentu. Tetapi selebihnya, OJK dapat dikatakan menjalankan penuh sifat-sifat keindependenan sebagaimana ciri teoritik; Ketiga , haruslah diingat bahwa keindependenan dapat diukur kepentingan konstitusionalnya melalui fungsi yang ingin dikerjakan. Jika ada suatu tugas yang negara ingin lakukan, sangat penting, serta adanya kemungkinan conflict of interest dengan kepentingan Pemerintah, maka disitulah lahir kepentingan konstitusional untuk mengindependenkan tugas tersebut ke suatu lembaga tersendiri dengan harapan tidak akan dipengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun. Bank Indonesia dan OJK Perihal OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, memang merupakan hal yang menarik. Sesungguhnya harus diingat beberapa hal yang melatari lahirnya UU Bank Indonesia yang mencantumkan pemisahannya dari Bank Indonesia. Salah satunya krisis yang terjadi di tahun 1997-1998, dan menimbulkan kesimpulan kala itu bahwa terjadi ketidakefektifan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karenanya, dipisahkanlah fungsi regulasi dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 pengawasannya. Pemisahan ini tentunya adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang yang melihat adanya persoalan pengawasan perbankan. Karenanya, pembentukan OJK adalah bagian dari ijtihan negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan jasa keuangan; Kedua , perihal makna terintegrasi. Makna kata terintegrasi secara hukum tidaklah dapat dikatakan bahwa terintegrasi itu haruslah dipegang oleh satu lembaga saja. Terintegrasi tentu saja bermakna dapatjuga dilakukan oleh multi-pihak, sepanjang dilakukan secara terkordinatif dengan relasi yang baik dan jelas. Sekedar mencontohkan, integrated criminal justice system menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi tidaklah berarti hanya harus ada satu lembaga yang mengerjakan penegakan hukum pidana. Tetapi dapat juga dengan beberapa lembaga yang diupayakan terformat secara terintegrasi. Inilah yang dapat dilihat dalam relasi antara Bank Indonesia dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Tidaklah harus dilakukan oleh satu lembaga saja, tetapi dapat juga dengan multi-pihak. Disinilah peran pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan legal policy apa yang akan diambil dalam artian menjelaskan sistem perekonomian yang terintegrasi tersebut. Masih perihal terintegrasi tentunya tidak dapat diterjemahkan sebagai membiarkan adanya campur tangan satu pihak atas pihak yang lain sehingga mengganggu independensi. Terintegrasi memiliki makna kuat termasuk saling kontrol. Seperti layaknya suatu _checks and balances system; _ Karenanya, seharusnya dibalik logikanya bahwa dengan kehadiran OJK bukanlah memperlemah fungsi bank sentral yang sesungguhnya yakni memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam tugas tersebut, OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah, OJK, maupun Lembaga Penjamin Simpanan yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional; Perihal Pungutan OJK Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) s.d. ayat (6) serta penjelasannya mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 kemudian juga diatur bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek; Aturan ini bermakna banyak. Pertama , pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan APBN. Dapat juga hanya menggunakan pungutan. Dapan juga dengan menggunakan keduanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dan/atau” dalam aturan sebagaimana yang dimaksud di atas. Hanya dibebankan ke APBN tentu tidak tepat oleh karena memang ada pungutan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan seperti yang diatur di atas. Hanya menggunakan pungutan juga tidak mungkin oleh karena OJK harus beroperasi dari awal dan belum memiliki pendanaan. Maka yang paling mungkin adalah dengan menggabungkan kemungkinan keduanya digunakan. Oleh karena itulah hadir kata “dan/atau”; Kedua , tidaklah dapat dikatakan dengan serta merta bahwa dengan pungutan ini akan mengganggu independensi. Mencontohkan biaya-biaya persidangan perkara yang diatur di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Hal tersebut diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2012. Dalam Perma tersebut diatur secara jelas perihal biaya-biaya yang dimaksudkan untuk membayar kepentingan pencari keadilan khususnya untuk membiayai kepaniteraan; proses peradilan itu sendiri dan biaya pemberkasan. Bahkan diatur biaya penyelesaian perkara yang berkisar antara Rp. 250.000-Rp. 10.000.000,- Dan kemudian diatur disesuaikan dengan keadaan pengadilan setempat tersebut. Bahkan di beberapa pengadilan, jika ada yang tidak mampu membayar dengan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak mampu membayar karena termasuk golongan miskin, maka pengadilan dapat membebaskan dari biaya perkara tersebut; Artinya, pada dasarnya tidaklah dapat dikatakan melakukan pembayaran untuk mengurus biaya perkara dalam proses peradilan dapat mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menegakkan keadilan. Sepanjang, hal tersebit diatur dengan jelas dan terang sehingga tidak ada lagi biaya-biaya lain selain dari biaya yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. Hal yang sama dapat dilihat ke konteks OJK. Bahwa sesungguhnya apa yang dibayarkan oleh asa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut bagian dari biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan OJK. Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur dengan detail, bahkan diguanakan untuk pembiayaan apa saja serta yang paling penting adalah transparansi penggunaannya; Ketiga , perihal pungutan ini melanggar ketentuan UUD 1945 terkhusus Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” , sesungguhnya tidak serta merta dapat dikatakan melanggar. Apalagi, aturan mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa di negara ini tidaklah diatur secara terkodifikasi dalam satu Undang- Undang yang khusus mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa. Jika dikatakan bahwa harus dengan Undang-Undang tersendiri juga akan sangat repot karena harus membuat begitu banyak Undang-Undang khusus dan tersendiri yang mengatur soal pungutan. Termasuk Undang-Undang khusus pungutan OJK maupun Mahkamah Agung, serta seluruh lembaga-lembaga lainnya yang menggunakan pungutan ataupun pajak; Karenanya, pengaturan lebih lanjut dengan menggunakan aturan pelaksana dari Undang-Undang yang membolehkan pungutan secara praktik masih dapat diterima dan menjadi open legal policy dalam besaran jumlah pungutan sepanjang, -mengutip Putusan MK No. 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy , yakni sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi). Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya serta tidak menimbulkan ketidakdilan, maka masih dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Seperti yang diatur dalam Perma untuk biaya perkara maupun Peraturan OJK untuk pungutan atas jasa keuangan; Keempat , jikalaupun dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945 yang mengamatkan harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri, maka harus dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya kodifikasi atas keseluruhan pajak dan pungutan bersifat memaksa lainnya. Atau sekurang-kurangnya semua pungutan yang terjadi di MA, LPS, Pemerintah melalui PNBP, maupun OJK dan berbagai lembaga lain haruslah dibuatkan Undang-Undang nya masing-masing. Hal yang tentu mustahil karena mengingat kompleksitas soal hal tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 5. Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., PH.D Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang-Undang Dasar 1945 ? Dengan perkataan lain pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah filosofi pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan? 2. Apakah filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank? 3. Apakah artinya independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK? 4. Bagaimanakah hubungan kelembagaan antara Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem perekonomian Indonesia? 5. Apakah filosofi pembiayaan OJK dilakukan dengan pungutan dari para pelaku pasar? Pendapat Hukum ahli atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut ini: Filosofi pemisahan kewenangan menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Hal ini juga merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah memperkirakan perkembangan transaksi sektor jasa keuangan yang tidak bisa dilakukan secara partial, namun harus secara terintegrasi dari berbagai sub sektor jasa keuangan; Filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank adalah untuk melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entititas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi pula mempengaruhi pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan- perusahaan yang go publik (sektor Pasar Modal), Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak. Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance , artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Independensi dalam arti mengatur sendiri ( self-regulatory bodies ) seperti komisi lain yang ada: Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berada dibawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari Pemerintah. Namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan OJK harus tetap memberikan laporan keuangan tahunannya serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selanjutnya OJK wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik melalui media cetak dan media elektronik; Dalam hal OJK mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank tersebut memburuk, maka OJK dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Anggota FKSSK yaitu Menteri Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan LPS melakukan pertukaran informasi terkait dengan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga; Filosofi pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan/atau pelaku pasar adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 sebagai pembiayaan bagi OJK karena bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya, dimana pelaku pasar juga akan memperoleh manfaat dari jasa pengawasan yang dilakukan oleh OJK; Berdasarkan uraian saya tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan …” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang- Undang Dasar 1945; Menurut Pendapat Hukum saya, apabila permohonan Pemohon dikabulkan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia; tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan; Akan tetapi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum akan menyebabkan investor-investor melepaskan surat- surat berharga yang dimiliknya, hal ini dapat menyebabkan penjualan surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor karena harganya yang akan terus merosot akibat adanya ketidakpastian hukum. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan ABPN yang masih dalam keadaan defisit membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutupi defisit dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara, namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku dan pemerintah dapat mengalami keadaan default dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup; Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan; Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 6. Dr. Sihabudin, S.H., M.H I. Analisis Umum Ketentuan mengenai keuangan negara pertama kali diatur di dalam Konstitusi sejak 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Namun belum ada satupun pasal yang membahas mengenai kedudukan apalagi kewenangan dari Bank Sentral maupun Bank Indonesia. Pada Pasal 23 UUD 1945 pada saat itu hanya berisi lima pasal mengenai APBN, perpajakan, mata uang, dan pembentukan lembaga tinggi Negara BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada Konstitusi RIS Bab IV mengenai Pemerintahan Pasal 165 mulai mengatur mengenai BANK SIRKULASI yang diatur dalam undang-undang Federal dan hanya dibentuk satu di ibukota negara. Kemudian pada masa pemberlakuan UUDS 1950 pengaturan mengenai bank sentral mulai diatur pada Pasal 109 ayat (4) dan Pasal 110 , meski masih menggunakan nama BANK SIRKULASI ; Bank Indonesia mulai diberikan independensi dan diakui secara konstitusional sebagaimana hasil amandemen UUD 1945 pada era reformasi dan disahkannya UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang- Undang tersebut berisi penegasan BI sebagai bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain. BI diberikan kewenangan pemberian izin usaha bank, pembinaan dan pengawasan perbankan, meski muncul perdebatan di MPR yang meminta fungsi pengawasan bank dialihkan pada lembaga terpisah dari BI (yang dalam UU BI disebut LPJK), sedangkan kewenangan perizinan dan pengaturan masih tetap di bawah BI, dan permintaan itu dikabulkan. Hal tersebut dalam pembahasan amandemen kedua UUD 1945 (6 Desember 1999) menjadi perdebatan anggota MPR, dimana saya kutip salah satu pendapat dari Jubir F-KB, Abdul Khaliq Ahmad: “sebagai Bank Sentral, BI memiliki kewenangan di bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. BI juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan bank. Dengan demikian, kedudukan BI akan menjadi lembaga tinggi Negara sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah ada.. Oleh karena itu dengan dimasukkannya pengaturan tentang BI dalam UUD, independensi BI sebagai Bank Sentral diharapkan akan semakin kukuh dan bebas dari intervensi kekuatan lain. Merebaknya kasus-kasus besar perbankan akhir- akhir ini makin menyadarkan kita bahwa saatnya sekarang meningkatkan kinerja BI dengan pengaturannya secara eksplisit dalam UUD”. Seiring dengan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan atau yang disebut konglomerasi keuangan menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi, meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomis dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi; Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
Landasan yuridis: Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan yang mencakup perbankan, lembaga keunagan non bank, perusahaan pembiayaan dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;
Landasan filsafati: pemenuhan prinsip-prinsip good governance dengan menciptakan spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar dalam pengambilan keputusan menjadi efisien dan efektif;
Landasan sosiologis: peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, dan memelihara mekanisme pasar yang sehat melalui prinsip kesetaraan ( level playing field ); II. ANALISIS BUTIR-BUTIR PERMOHONAN 1. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ”. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara yang dikenal dan diberlakukan dalam praktik peradilan umum, karena hukum acara Mahkamah Konsitusi mengandung kekhususan-kekhusuan tertentu yang tidak ditemukan dalam praktik di peradilan umum. Salah satu kekhususan dalam hukum acara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Mahkamah Konstitusi, adalah adanya syarat kerugian konstitusional bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 45. Dalam pikiran saya, konsep kerugian pada dasarnya adalah domain hukum perdata ( private law ), bukan domain hukum konstitusi. Jika dalam hukum perdata kerugian dimaknai sebagai hilang atau terganggunya hak-hak perdata seseorang yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hak tersebut atau yang melawan hukum. Sedangkan dalam hukum konstitusi Pertama , adanya hak konstitusional yang bersangkutan yang diberikan oleh UUD 45, Kedua , hak konstitusional tersebut dianggap oleh yang bersangkutan telah dirugikan oleh Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Ketiga , kerugian konstitusional tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat , adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian tersebut dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Walaupun sekilas tampak bahwa ‘penganuliran’ terhadap pasal atau materi tertentu dari suatu undang-undang merupakan remedy terhadap kerugian konstitusional yang terjadi sebagai akibat dari berlakunya pasal atau materi tertentu dari Undang-Undang tersebut, sesungguhnya ‘penganuliran’ tersebut bukanlah akibat langsung dari adanya kerugian konstitusional tersebut, melainkan akibat dari adanya pertentangan antara pasal atau materi tertentu dari undang-undang tersebut dengan UUD 45 [lihat Pasal 57 ayat (1)] Jika secara perdata, ada atau tidaknya kepentingan tersebut dapat dibuktikan secara formil berdasarkan, salah satunya, ada atau tidaknya hubungan hukum, maka bagaimana membuktikan adanya ‘kepentingan’ dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dapat disimpulkan bahwa pemohon dapat dikatakan memenuhi legal standing dalam permohonan tersebut, meski masih menimbulkan multi tafsir dalam pemaknaan kerugian secara konstitusional. Dalam permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 tersebut para penggugat juga belum menunjukkan secara jelas apa kerugian konstitusional yang mereka dapatkan, apakah unsur “kepentingan” sudah dianggap mewakili? Sehingga Pemohon hanya menjabarkan hak konstitusional yang belum sesuai dengan alasan mereka mengajukan permohonan (seperti: membayar pajak, pemberi aspirasi, kedudukan dalam hukum dan apa dasar OJK disebut melakukan pemborosan sehingga mereka mengalami kerugian secara konstitusional).
Pada angka 24 tidak perlu menyebutkan Undang-undang nomor 13 tahun 1968 khususnya di Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kewenangan Pemerintah dan Dewan Moneter yang sudah dihapuskan sejak Undang- Undang tersebut dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga tidak tepat apabila angka 24 dijadikan landasan yuridis permohonan oleh pemohon terhadap UU OJK;
Pada angka 25, memang dibentuknya OJK dalam rangka mengurangi tugas BI dan agar terjadinya distribusi tanggung jawab yang seimbang. BI sebagai Pembina jangan sekaligus menjadi pengawas. Harapannya Bank Sentral berfungsi sebagai lembaga moneter, sehingga terhindar konflik interest;
Pada angka 31, Pemohon menggunakan istilah “perkawinan” untuk memaknai konglomerasi keuangan, sehingga dalam legal drafter hal ini menyalahi interpretasi gramatikal. Pada butir ini juga menjelaskan mengenai unit link dan penggabungan produk bank dengan asuransi dan produk lembaga keuangan lain yang dikatakan belum ada dalam UU Asuransi dan RUU nya. Padahal terkait hal ini, perbankan diberikan kebebasan dengan membentuk self regulation terkait produknya akibat konglomerasi keuangan yang disebut bancassurance dan ini juga dasar dibentuknya UU OJK bukan sebaliknya. Pada ketentuan peralihan sudah diatur bahwa ‘saat OJK terbentuk, tugas dan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Usaha Perasuransian menjadi tugas dan wewenang OJK, jadi hal ini secara legalitas telah memberikan peralihan kewenangan kepada OJK terkait usaha asuransi;
Pada angka 32, angka 38 dan angka 39, dikatakan secara konstitusional, cantolan OJK tidak jelas di UUD 1945 dan berasal dari turunan yang asimetris. Dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 23D mengatur mengenai bank sentral yang tidak secara khusus menyebutkan BI atau OJK. Bunyi Pasal 23D, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang ”. Tidak ada kata “bank Indonesia” yang awalnya diperdebatkan dimasukkan atau cukup menggunakan kata “bank sentral”, dengan ketakutan apabila menggunakan langsung “bank Indonesia” apabila lembaga ini “sakit” akan terganggu kestabilan bank sentral. Jadi Pasal 23D UUD 45 memberikan kedudukan dan kewenangan bagi bank sentral yang nantinya muncul turunan dengan pengaturan di dalam UU bank sentral yang melahirkan UU Bank Indonesia. Perlu digarisbawahi juga adalah pendirian lembaga tinggi atau lembaga Negara tidak harus menggunakan konstitusi sebagai dasar pendirian atau pembentukannya, namun bisa menggunakan Undang-Undang. OJK pendiriannya didasarkan pada UU BI yang mendasarkan pada Pasal 23D UUD 1945. Mengenai OJK yang berasal dari turunan yang asimetris, yaitu OJK berdasarkan PasaL 34 UU BI hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi perbankan mengambil alih kewenangan BI saja bukan Menkeu dan Bapepam- LK. Pasal 34 UU BI ayat (1) hanya berbunyi: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang . Dalam legal drafting , dalam pasal ini tidak disebutkan OJK secara langsung, tetapi karena penamaan lembaga menggunakan huruf kecil yakni “ lembaga pengawasan sector jasa keuangan ” dimaknai pembuat Undang-Undang tidak memberikan nama lembaga tertentu, sehingga penggunaan nama OJK diperkenankan. Kedua , Pasal 34 UU BI memang hanya menyebutkan bahwa pembentukan LPJK/OJK hanya untuk mengawasi bank yang awalnya kewenangan dari BI, namun di dalam penjelasan Pasal 34 UU BI ( penjelasan merupakan bagian dan satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga tidak dapat dimaknai secara terpisah ) menjelaskan mengenai kewenangan OJK tidak hanya mengawasi bank tetapi juga mengawasi lembaga keuangan lainnya dan mengenai sifat independensi OJK.
Angka 37, munculnya mandat yuridis dalam Pasal 34 UU BI merupakan big planning dari IMF dan inspirasi dari FSA inggris ( Finantial Suoervisory Agency of United Kingdom ) yang gagal. Suatu catatan bahwa gagalnya FSA-UK bukan konsepnya yang salah, konsepnya sudah benar dan bagus, hanya persoalan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 menangani krisi tidak terjadi koordinasi yang baik dari pihak terkait. Perlu ditekankan bahwa Politik Hukum pembentukan OJK bukan murni dari “permintaan”, namun dari pendekatan historis, hal ini dipengaruhi keadaan politik hukum pada masa reformasi, yaitu muncul pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie sebagai pengganti rezim Soeharto. BJ Habiibie yang menimba ilmu di Jerman tertarik dengan metode yang digunakan oleh Bundesanstalt fur finanzdienstleistungsaufsicht yang memiliki kewenangan mengawasi Bank, perusahaan asuransi, dan dealer sekuritas atas masukan dari Bundesbank (Bank sentral jerman) pada saat itu. Metode ini dikenal dengan metode integrated dengan pendekatan twin peaks . Ini juga bertujuan agar pengawasan berjalan efektif. Memang benar bahwa Financial supervisory authority (FSA) gagal di Inggris, namun percontohan model integrated di Indonesia meniru Jepang dan Korea Selatan, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen kunjungan kerja delegasi pansus RUU OJK pada tanggal 31 Oktober s.d. 6 November 2010. Secara historis munculnya Pasal 34 UU BI ini sebenarnya bukan karena desakan IMF. IMF yang mempunyai anggota 168 (seratus enam puluh delapan) negara, berperan hanya memberi saran yang sifatnya umum, dan letter of intent dibuat oleh Indonesia sendiri, dan juga atas permitaan BI sejak diberikan independensi dalam UU Nomor 23 Tahun 1999.
Angka 40, perlu menjadi catatan bahwa tidak ada Undang-Undang di bidang ekonomi yang lebih kuat antara satu dengan lainnya, kecuali memiliki strata lebih tinggi ( stuffenbaw theory Hans Kelsen dan asas lex superiori derogate legi inferiori ). Namun apabila ada UU yang lebih khusus akan mengalahkan UU yang lebih umum ( lex specialis derogate legi generalis ). Perlu diingat, bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal yang disebut dengan Undang-Undang Payung yang dapat dijadikan dasar secara umum bagi Undang-Undang khusus di bawahnya. Meski pernah dalam prolegnas akan dibentuk RUU tentang Demokrasi Ekonomi namun sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jadi antara UU Perbankan, UU Asuransi, UU Pasar Modal dan sebagainya memiliki derajat yang sama. Pasal 34 UU BI sebagai landasan yuridis BI mengawasi perbankan karena merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945 namun telah memberikan kewenangannya kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 OJK melalui UU OJK pada Pasal 6, Pasal 7 hingga ketentuan peralihan dan penjelasan sebagai satu kesatuan norma.
Angka 44, isi permohonan tersebut kurang memahami perbedaan antara makroprudensial dan mikroprudensial. Meski kewenangan BI sebagian mengenai microprudensial telah diserahkan kepada OJK melalui UU OJK, namun BI masih tetap secara konstitusional merupakan Bank Sentral Republik Indonesia berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. Sehingga dalam forum bank sentral dunia dalam hal ini Basel Committee (BI sampai sekarang bukan anggota Basel Committee namun mengikuti ketentuan Basel Committee dalam hal pengawasan mulai Basel I hingga Basel III) masih tetap dipegang Bank Indonesia sebagai pemegang kewenangan Macroprudensial sebagai Bank Sentral.
Angka 46, pada Konsideran mengingat UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan landasan yuridisnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Tidak tepat kalau pemohon menghubungkan dengan Pasal 33 ayat (1) karena berbeda sistem dengan OJK, namun Pemohon melupakan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dimana ditemukan ASAS KEMANDIRIAN, dimana kemandirian diartikan sebagai independensi. Hal ini yang dapat menjadi landasan yuridis pembentukan lembaga Negara yaitu OJK yang bersifat independen sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang ini.
Angka 51, Pemohon belum memahamii perbedaan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sistem keuangan, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Stabilitas moneter yang dipegang oleh BI merupakan kestabilan mata uang untuk mengendalikan inflasi, sedangkan stabilitas sistem keuangn yang dipegang OJK merupakan stabilitas institusi dan pasar uang untuk menghindari tekanan dan pergerakan harga yang menyebabkan guncangan ekonomi (Aspach O, et al tahun 2006 dalam searching for a metric for financial stability ). Sehingga dengan adanya pemisahan antara macro dan microprudensial mengembalikan fungsi BI sebagai otoritas moneter selaku Bank Sentral di Indonesia. Menurut Jordan (2010), tujuan dari bank sentral berfokus pada instrument makroprudensial dan moneter untuk stabilitas harga sebagaimana bagan berikut : Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan OJK tidak akan bias karena OJK berperan dalam stabilitas sistem keuangan sedangkan BI akan fokus sebagai otoritas moneter dan stabilitas moneter.
Untuk permohonan mengenai Pasal 37 UU OJK, tentang pembiayaan OJK melalui APBN dan/atau pungutan terhadap bank dan lembaga keuangan, bahwa pungutan itu dalam ilmu ekonomi merupakan hal yang wajar, dimana pungutan itu merupakan pemberian atas jasa otoritas yang telah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lembaga keuangan tersebut, apalagi sistem pungutan ini diatur dan ditentukan oleh Pemerintah, bukan OJK yang menentukan. Ada informasi, bahwa ada 100 (seratus) negara yang memungut biaya untuk operasional kegiatan seperti OJK ini.
Hal yang masih sumir juga adalah mengenai pertanyaan: siapa yang akan mengawasi OJK? Sebenarnya itu pertanyaan klasik, dimana siapa yang akan mengawasi lembaga pengawas? Padahal BI sempat diragukan hingga dibentuklah Badan Supervisi BI di dalam tubuh BI. Pengawasan akan tetap dilakukan yang merupakan fungsi BPK. Sebenarnya Hal pengawasan OJK sudah diatur Pasal 38 UU 21/2011. Hal ini sekaligus menjawab bahwa indepensi OJK bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ada tanggung jawab dan pengawasan.
Sebagai penutup tanggapan saya adalah jika pengawasan yang sudah berjalan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen dihentikan beberapa waktu saja, maka akan terjadi dampak ketidak percayaan pada lembaga-lembaga keuangan yang ada, yang berakibat terjadinya gangguan geraknya lembaga keungan dan berdampak sistemik perekonomian dan keuangan nasional. Apalagi jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan yang dibatalkan, maka akan berdampak negatif (berisiko) yang sangat besar. Microprudential Policy Capital and Liquidity Buffer Macroprudential Risk and Monetary Policy 1. __ Countercylical Capital Buffer and new instruments 2. __ Interest Rate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 7. Refly Harun, S.H., LL.M 1. Sepanjang yang dapat ahli catat, Pemohon dalam permohonan ini mempersoalkan tiga hal, yaitu (1) keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen, (2) kewenangan OJK, dan (3) sumber keuangan OJK;
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketentuan yang dipersoalkan tersebut, izinkanlah ahli mengemukakan pendapat yang terkait dengan legal standing Pemohon. Menurut ahli, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional yang nyata, baik aktual maupun potensial. Seharusnya yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang adalah lembaga atau pihak-pihak yang secara konkret merasa dirugikan dengan ketentuan a quo baik secara potensial maupun aktual. Sepanjang yang dapat ahli simak, Mahkamah terlalu longgar memberikan legal standing terhadap permohonan-permohonan seperti ini. Namun, semua itu terpulang kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ahli tidak dalam kapasitas untuk masuk terlalu jauh dalam persoalan ini;
Pemohon mempersoalkan kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang berbunyi, " Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini ";
Alasannya, antara lain, frase "independen" dan "independensi" hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ". Dengan demikian, menurut Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen;
Menurut ahli, tidak benar UUD 1945 hanya menyematkan kata "independen" kepada bank sentral. Dalam UUD 1945, kata yang maknanya setara dengan "independen" juga digunakan untuk lembaga-lembaga lain di UUD 1945, yaitu menggunakan kata "mandiri" atau "bebas" atau gabungan keduanya sebagaimana terlihat dalam pasal-pasal berikut: - Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga]; - Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) Perubahan Ketiga]; - Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga].
Dilihat dari sifatnya, lembaga-lembaga negara di luar lembaga negara utama, yang kita kenal sebagai bagian dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan negara (MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK), dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Dependent Regulatory Agencies dan Independent Regulatory Boards and Commissions (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon);
Disebut Dependent Regulatory Agencies bila lembaga yang ada merupakan bagian dari departemen atau kabinet atau struktur eksekutif lainnya, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan, Dewan Riset Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Iain-Iain;
Disebut Independent Regulatory Boards and Commissions bila lembaga yang ada memiliki ciri-ciri sebagai lembaga yang independen atau mandiri, yaitu: (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon) - Memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial; - Anggota atau para komisioner tidak melayani keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden; - Bersifat independen, relatif bebas dari kontrol presiden; - Masa jabatan komisioner biasanya definitif dan cukup panjang; - Periode jabatan bersifat " staggered '. Komisioner berganti secara bertahap sehingga presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut. - Jumlah komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. - Keanggotaan lembaga biasanya menjaga keseimbangan perwakilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 yang bersifat partisan.
Di Indonesia sejak era Reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK), dan sebagainya;
Di antara lembaga-lembaga tersebut bahkan ada yang keberadaan dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas seperti KY. Ada yang keberadaannya saja yang disebut, tetapi kewenangannya tidak jelas disebut, seperti bank sentral. Ada pula yang sebaliknya, kewenangannya disebut tetapi keberadaannya tidak disebut secara tegas, seperti KPU yang disebut dengan hurup kecil dengan frase "suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri", yang dalam praktiknya memunculnya dua lembaga, yaitu KPU dan Bawaslu;
Namun, lebih banyak lagi lembaga-lembaga independen yang baik keberadaan maupun wewenangnya tidak disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM, dan sebagainya. OJK termasuk salah satu di antaranya;
Lembaga-lembaga independen yang tidak disebut dalam UUD 1945, baik keberadaan maupun kewenangannya, tidak bisa dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, misalnya, patut dipertanyakan apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral sebagaimana disebut dalam Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ";
Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral - dari sisi original intent ada penolakan untuk mempermanenkan Bank Indonesia dalam konstitusi. Bahkan, ketika pembahasan pasal tentang bank sentral dibahas ada suara-suara untuk membubarkan Bl dan menggantikannya dengan institusi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 lain. Selain itu, UUD 1945 juga tidak mengatur kewenangan bank sentral, melainkan menyerahkannya kepada ketentuan Undang-Undang;
Merujuk pada ketentuan tentang "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga dalam praktiknya, yaitu KPU dan Bawaslu, hal yang sama bukan tidak mungkin diberlakukan pula pada ketentuan "suatu bank sentral" dalam Pasal 23D UUD 1945;
Secara teoretis dan didasarkan pada putusan Mahkamah terdahulu tentang frase "suatu komisi pemilihan umum" bisa saja fungsi bank sentral dijalankan lebih dari satu lembaga. Bisa pula bank sentral tersebut tidak bernama "Bank Indonesia". Hal-hal tersebut diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus ada bank sentral;
Munculnya lembaga-lembaga independen dalam dunia modem adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Paling tidak dua hal ini menjadi pertimbangan kuat bagi munculnya lembaga-lembaga independen tersebut, yaitu (1) karena pranata yang lama sudah tidak memuaskan kinerjanya, tidak independen, bahkan terlibat korupsi-kolusi;
Karena kebutuhan akan spesialisasi dan profesionalisme sebagai akibat bertambah kompleksnya tugas yang diemban;
Terkait dengan independensi suatu lembaga seperti OJK, terdapat dua aspek yang harus digarisbawahi, yaitu independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri;
Pentingnya independensi pengaturan dan pengawasan finansial dapat dipelajari dari kasus Korea dan Jepang. Krisis tahun 1997 yang juga melanda Korea merupakan akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial. Pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan non- bank berada di bawah kewenangan langsung dari kementerian keuangan dan ekonomi (Lindgren dkk, " Financial Sector Crisis and Restructuring : Lesson from Asia ", IMF Occasional Paper, No. 188, 1999);
Di Jepang juga terjadi permasalahan serupa. Kekuasaan Kementerian Keuangan Jepang pada tahun 1995 sangat luas, mencakup perencanaan keuangan, kewenangan membuat aturan, inspeksi keuangan, dan pemeriksaan/ pengawasan lembaga keuangan. Hal ini menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 rentan terjadinya korupsi oleh pejabatnya. Pada Juni 1998, Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Lihat Takeo Hoshi dan Takahisho Ito, Financial Regulation in Japan; Fifth Year Review of the Financial Services Agency , 2002, revised 2003 , hal 1-2);
Keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri baik dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun campur tangan politik. Hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabiltas keuangan ( Steeven Seelig and Alica Novoa, "Governance Practice at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monitory and Capital Market Departements wp/09/135, Juli 2009 , hal.10);
Otoritas yang independen di sektor keuangan akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien, dan yang lebih penting menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibandingkan ketika berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian (Kenneth Kaoma Mwenda, " Legal Aspects of Financial Services Regulation and The Concept of A United Regulator", the World Bank-Law Justice and Development Series 2006 , hal. 31);
Penting dicatat bahwa ada ketidakkonsistenan Pemohon ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan bukan bank. Menurut Pemohon, mandat yang diberikan oleh Pasal 34 UU 23/1999 yang telah diubah dengan UU 3/2004 adalah pengawasan bank. Namun, dalam bagian petitum justru pengawasan bank itulah yang diminta untuk dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat). Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 23. Dari sisi sejarah, pembentukan OJK sebenamya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-Undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan dari Bl dan DPR. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral (lihat Zulkarnain Sitompul, "Menyambut Kehadiran OJK", Pilars No. 02/Th. Vll/12-18 Januari 2004);
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, ahli menyatakan bahwa keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Untuk menutup keterangan ini, ahli ingin mengutip Direktur Finance Research Eko B. Supriyanto dalam opini di Kompas tanggal 4 Maret 2014. "Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan Pemerintah serta Bl sendiri; Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang dapat dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK." 8. Dr. Mulia P. Nasution, D.E.S.S Sehubungan dengan permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64,Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945" yang dimohonkan oleh para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pemohon, yaitu Salamuddin, dkk, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Ahli mengenai 2 hal, yaitu: pentingnya OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dan pengelolaan keuangan OJK, sebagai berikut: I. Pentingnya Otoritas Jasa Keuangan Keberadaan OJK adalah suatu keniscayaan bagi negara kita pada masa kini. Pembentukan OJK adalah hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari satu dekade (1998-2011) di negara kita. Berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional yang sangat dirasakan pada saat terjadinya Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, gagasan pembentukan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan. Pelaksanaan transformasi kelembagaan tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu dan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantanganyang semakin berat sebagai akibat dari perkembangan dan dinamika di sektor industri jasa keuangandi masa depan; Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan hanya dapat terlaksana secara profesional, apabila lembaga yang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas tersebut bersifat mandiri, tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan undang-undang suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Namun, proses pembentukan lembaga tersebut tidaklah berjalan mulus. Walaupun Undang-Undang telah mengamanatkan pembentukan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010, urgensi untuk membentuk suatu lembaga pengawas perbankan yang independen di luar Bank Indonesia tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari beragam pemangku kepentingan. Dari segi konsep, model lembaga independen yang akan dibentuk masih terus dalam pembahasan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi, maupun di lingkungan pemerintah sendiri. Secara politik, walaupun proses konsolidasi fiskal, yang berjalan sejak tahun 2000 telah berhasil membawa stabilisasi di bidang perbankan dan keuangan negara, prioritas utama pemerintahan Presiden SBY pada awal periode 2004-2009 adalah melaksanakan berbagai kegiatan yang mendesak yang dapat menggerakkan kembali roda perekonomian, setelah 5 tahun mengalami stagnasi, bahkan sempat mengalami kemunduran, melalui program Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sampai terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, konsep pembentukan OJK masih tetap dalam perdebatan. Perdebatan tersebut bukanlah mengenai perlunya independensi lembaga tersebut, karena sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang independen, tetapi terutama urgensi keberadaan lembaga baru di luar Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi sektor perbankan; Seiring dengan berjalannya waktu, sektor industri jasa keuangan semakin berkembang dan mengalami dinamika yang luar biasa. Tidak terkecuali di negara kita. Dalam kurun waktu tersebut, seiring dengan pemulihan ekonomi dan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di negara kita, produk-produk industri jasa keuangan muncul semakin beragam dan kompleks. Selain itu, sebagaimana juga di sektor industri yang lain, di sektor jasa keuangan juga terjadi konglomerasi, baik secara vertikal, maupun horizontal. Demikian pula, industri jasa keuangan mengalami proses globalisasi yang berdampak signifikan terhadap konsumen, pemilik modal, perekonomian dan publik. Proses globalisasi tersebut dipermudah terutama dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dan berlakunya norma dan standar yang bersifat internasional, terutama di sektor perbankan. Pada gilirannya, kemudahan untuk beroperasi secara global memperlancar langkah-langkah, konsolidasi, pembentukan holding company , mergers and acquisitions oleh para pelaku industri terutama yang berinduk di luar negeri untuk dapat meningkatkan efisiensi, memperbesar market share atau untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 mendominasi pasar demi meraih pertumbuhan usaha dan memaksimalkan profit perusahaan mereka di Indonesia. Pengaturan dan pengawasan yang tidak dilakukan secara terintegrasi akan dapat menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan; Sejalan dengan perkembangan tersebut, konsep pembentukan OJK mengalami dinamika, pergeseran, penyesuaian dan penyempurnaan. Menjadi penting agar seluruh sektor jasa keuangan dapat diatur dan diawasi secara terintegrasi. Agar lebih efektif, pengaturan dan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh satu lembaga, yaitu OJK. Dengan demikian, ruang lingkup OJK yang pembentukannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang berkembang menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup sektor perbankan, tetapi termasuk pengaturan dan pengawasan sektor industri jasa keuangan secara keseluruhan; Namun sampai terjadinya Global Crisis yang terutama melanda beberapa negara industri pada tahun 2008 yang berdampak terhadap sektor keuangan di Indonesia, agenda untuk menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di dalam satu lembaga belum menjadi prioritas nasional yang mendesak untuk dilaksanakan, walaupun sudah diamanatkan oleh undang-undang. Dalam dinamika proses perumusan dan penyiapan RUU OJK, pemikiran untuk tidak mengeluarkan fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudential dari Bank Indonesia memiliki alasan yang kuat. Pertama , melakukan transformasi kelembagaan sangat berisiko sehingga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena dapat berdampak terhadap industri jasa keuangan yangberperan sangat strategis dalam sistem perekonomian nasional. Kedua , menyiapkan perangkat hukum, struktur organisasi baru, sumber daya manusiaakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, perencanaan yang matang dan pelaksanaan secara seksama. Setelah lembaga baru terbentuk, perlu disusun prosedur kerja ( Standard Operating Procedure atau SOP) dan disiapkan dukungan anggaran dan logistik yang diperlukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi secara penuh. Ketiga , pengalaman di beberapa negara lain menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pengawas industri jasa keuangan yang independen di luar bank sentral atau di luar pemerintah tidaklahmenjadi jaminan tidak akan terjadi permasalahan atau kasus- kasus di sektor jasa keuangan. Contohnya, di Inggris dan di Amerika Serikat; Terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008 menyebabkan pentingnya memprioritaskan pembentukan OJK. Sementara itu, dari segi konsep, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 dalam kurun waktu 2004-2008, pembahasan mengenai kedudukan dan bentuk kelembagaan OJK telah melalui due process dan diskusi yang mendalam, baik di lingkungan pemerintah, maupun pada pertemuan-pertemuan ( public hearings ) yang diselenggarakan oleh tim pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan. Berbagai masukan telah diperoleh pemerintah untuk menyempurnakan naskah RUU OJK yang akan diajukan kepada DPR. Pertukaran informasi dan pengalaman mengenai sistem dan kelembagaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di beberapa negara juga dilakukan oleh pemerintah untuk memperkaya referensi dan menjadi bahan pertimbangandalam penyusunan organisasi OJK; Kendati demikian, pembentukan OJK baru dapat terselesaikan pada tahun 2011 setelah krisis berlalu dan melalui proses pembahasan yang panjang dan meleiahkan. Namun ada hikmah dari proses pembahasan yang cukup lama tersebut. Pembahasan Undang-Undang yang dilakukan secara terburu-buru sering kurang mendalam.Sebaliknya pembentukan UU OJK yang menjadi salah satu proses legislasi terlama di negara kita, telah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang matang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara akan suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi tersebut sangat dibutuhkan pada masa ini dan di masa yang akan datang, karena:
koordinasi otoritas fiskal, moneter dan sektor keuangan perlu diperkuat;
ii. sumber krisis semakin beragam (perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, fiskal; iii. sektor jasa keuangan saling berhubungan ( interconnected );
iv. konglomerasi keuangan semakin dominan;
struktur produk keuangan semakin kompleks ( hybrid products );
vi. fungsi pengawasan lembaga keuangan dengan fungsi pengelolaan moneter dan fiskal memiliki potensi konflik kepentingan; vii. pemisahan fungsi pengawasan sektor keuangan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal sesuai dengan trend global terkini. II. Pengelolaan keuangan OJK OJK adalah lembaga yang dibentuk dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan ( pouvoir public ) untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Pembentukan dan pelimpahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 kekuasaan tersebut tidak tercantum dalam UUD, namun dari perjalanan panjang dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, keberadaan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tersebut terbukti constitutionally important . Oleh karena itu, untuk memberikan landasan hukum yang kuat, pembentukan OJK tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang; Sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara, OJK diamanatkan untuk bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, OJK perlu diberikan kedudukan dan status hukum yang sepadan, serta kewenangan, prasarana dan sarana yang diperlukan. Salah satu sarana utama yang diperlukan oleh OJK adalah dana. Berbeda dengan bank sentral yang memiliki sumber pendapatan dari pengelolaan moneter dan sistem pembayaran, OJK tidak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Oleh karena itu, OJK memerlukan sumber pendanaan dari iuar.Dana tersebut dapat bersumber dari APBN, maupun dari luar APBN, berupa iuran yang dipungut dari sektor industri yang diawasi oleh OJK; Berkenaan dengan sumber pendanaan OJK ini, setidaknya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, manakah yang lebih baik, apakah OJK dibiayai dari APBN atau semata-mata dari pungutan.Apabila OJK dibiayai dari APBN, alokasi anggaran bagi OJK tersebut akan mengurangi dana APBN yang sudah demikian terbatas untuk membiayai penyelenggaraan tugas kementerian negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Sehingga apabila dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan dari sumber lain, seyogianya OJK tidak tergantung dari sumber penerimaan dari APBN; Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua, yaitu apabila dana tersebut bersumber dari APBN, apakah pengelolaannya oleh OJK selaku Pengguna Anggaran, harus mengikuti pengelolaan anggaran yang berlaku pada umumnya seragam bagi setiap kementerian negara. Jawabannya adalah tidak harus selalu demikian. Sebagaimana kita fahami bersama bahwa dalam pengelolaan anggaran oleh kementerian negara dan lembaga pemerintahan ditetapkan ketentuan- ketentuan yang pada umumnya seragam mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran, sampai pada pelaporan dan pertanggungjawaban. Keseragaman dalam ketentuan pengelolaan keuangan APBN tersebut merupakan penerapan dari asas-asas umum yang dianut dalam Undang-Undang di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu Asas Tahunan, Asas Universalitas, Asas Kesatuan dan Asas Spesialitas; Namun di dalam doktrin hukum perbendaharaan negara yang juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikenal asas-asas umum lainnya, yaitu Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, Asas Profesionalitas, dan Asas Proporsionalitas. Asas-asas ini pada hakekatnya memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran untuk membelanjakan danayang telah diamanatkan kepadanya untuk menghasilkan ouput yang telah ditetapkan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN kepada OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK adalah sejalan dengan semangat anggaran berbasis kinerja yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk menjalankan tugasnya secara independen dengan standar profesionalitas yang tinggi, pemberlakuan aturan dan mekanisme yang seragam dengan yang berlaku bagi kementerian negara dapat menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan operasional OJK. Oleh karena itu prinsip " let manager manages " yang menjadi semangat dalam sistem pengelolaan keuangan negara sesudah dimulai reformasi pada tahun 2003 perlu benar-benar-benar dihayati dalam pengaturan pengelolaan keuangan OJK. Sehingga dalam dokumen usulan anggaran yang diajukan oleh OJK kepada pemerintah untuk memperoleh dana APBN, rencana pengeluaran yang akan dilakukan oleh OJK tidak perlu diuraikan secara terperinci seperti halnyauraian usulan anggaran yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara. Demikian pula pada tahap pelaksanaan anggaran, pencairan anggaran yang bersumber dari APBN dapat dilakukan secara berkala berdasarkan rencana penggunaan dana dan realisasi anggaran untuk masing-masing jenis belanja. Sudah barang tentu, hal ini akan mengurangi informasi yang diperoleh Bendahara Umum Negara atas pengelolaan dana APBN tersebut oleh OJK. Oleh karena itu sangat penting peranan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan OJK. Karena dari laporan berkala yang wajib disampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 oleh OJK kepada BPK sebagai auditor negara dan laporan pertanggungjawaban tahunan oleh OJK dapat diperoleh informasi mengenai berbagai pengeluaran- pengeluaran tersebut, dan BPK pada saat memeriksa laporan keuangan OJK, dapat melakukan penelusuran rincian dan bukti-bukti dari setiap pengeluaran. Fleksibilitas dalam proses pengusulan anggaran, pencairan dana, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang demikian pada hakekatnya serupa dengan yang diterapkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan dana untuk menyelenggarakan Public Service Obligation ; Apabila OJK membiayai dirinya dari pungutan, sudah barang tentu tidak diperlukan keterikatan kepada ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kementerian negara. Penerimaan dan pengeluaran iuran dikelola oleh OJK terpisah dari APBN. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur sistem pengelolaan keuangan yang berlaku. Namun demikian, gambaran secara ringkas mengenai kondisi keuangan OJK perlu disampaikan dalam Nota Keuangan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara dan informasi kepada publik yang mencerminkan asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; Oleh karena itu, menyangkut pengenaan pungutan oleh OJK, hal utama yang perlu menjadi pertimbangan adalah kewajaran mengenai besarnya iuran tersebut, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengenaannya terhadap masing-masing sektor industri. Karena pada akhirnya setiap pungutan kepada sektor industri, akan menjadi tambahan biaya bagi industri yang dapat dialihkan menjadi beban konsumen. Penutup Sebagai ahli, berusaha untuk memberikan keterangan seobyektif mungkin. Walaupun sebagai mantan Ketua Tim Pelaksana Persiapan Pembentukan OJK, sulit bagi kami untuk tidak terpengaruh suasana hati dalam memberikan keterangan ini. Mengingat penyiapan organisasi OJK adalah tugas yang diamanahkan kepada kami menjelang akhir pengabdian di Kementerian Keuangan. Kami membayangkan, alangkah sedihnya apabila organisasi yang baru saja dibentuk harus dirombak, tanpa alasan yang kuat dan mendesak, padahal keberadaannya pada hakikatnya sejalan dengan semangat UUD untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan dapat berperan sangat positif untuk kemajuan sektor jasa keuangan di negara kita. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 Menurut ahli akan lebih baik, apabila kita memprioritaskan penuntasan proses transformasi kelembagaan dengan menyelesaikan agenda amandemen beberapa undang-undang di sektor keuanganyang sangat krusial untuk penataan dan harmonisasi pengaturan di sektor jasa keuangan. Demikian pula meiakukan secara internal, bagi OJK, menuntaskan proses transformasi kelembagaan, dengan melengkapi berbagai Peraturan OJK dan SOP yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan operasional, manajemen SDM dan keuangan, serta sistem dan teknologi informasi dan komunikasi; Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke 9 (1966-1977) pernah mengatakan: "Manusia tanpa cita-cita adalah mati, cita-cita tanpa kerja adalah mimpi dan idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagian". Proses transformasi kelembagaan tidaklah mudah dan tidak ada organisasi yang sempurna, tidak terkecuali institusi OJK yang masih baru. Namun dengan bekerja, bekerja dan bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya OJK akan dapat menjadi lembaga idaman;
Dr. Harjono, S.H., MCL Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan Dari Aspek Konstitusi OJK merupakan lembaga negara baru yang tugasnya melakukan pengaturan dan pengawasan pada lembaga keuangan, maka konstitusionalitasnya seringkali dikaitkan dengan independensi bank sentral, sebagaimana diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945. Ahli berpendapat bahwa perlu untuk dikaji posisi bank sentral yang sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena dengan diketahui posisi bank sentral, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23D UUD 1945 maka secara langsung pula dapat diketahui kedudukan OJK secara hukum. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengatur lembaga negara di dalamnya, antara lain MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, KY, KPU, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun di samping itu, disebut juga adanya lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pembentukannya diserahkan kepada Presiden, yang akan diatur oleh Undang-Undang, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memiliki sebuah bank sentral. Jadi hubungan antara bank sentral dengan negara adalah hubungan kepemilikan. Bank sentral tidak dimaksudkan sebagai lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 negara untuk melaksanakan fungsi utama kenegaraan, sebagaimana dikenal kekuasaan pembuat undang-undang legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial; Meskipun bank sentral adalah lembaga negara dalam pengertian lembaga yang dibentuk oleh kekuasaan negara, dan mempunyai kewenangan publik, namun kedudukannya berbeda dengan lembaga negara MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, KY, dan KPU. Sebagai Contoh untuk menyebut keberadaan Mahkamah Konstitusi lembaga negara yang melangsungkan fungsi utama kenegaraan lainnya, Undang-Undang Dasar tidak menggunakan kata memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagaimana digunakan untuk menyebut bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan bahwa negara memiliki Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Bank sentral lebih sebagai lembaga yang kegiatannya dalam bidang perbankan yang susunan, kedudukan dan kewenangan, tanggung jawab, dan independency-nya diatur Undang-Undang. Artinya, bank sentral adalah lembaga bentukan negara yang kewenangan dan independency - nya ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menentukan hal apa saja yang perlu diatur dalam Undang-Undang tentang lembaga bank sentral tersebut; Frasa negara memiliki satu bank sentral dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah tepat, tetapi tidak tepat untuk menyebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara memiliki MPR, DPR, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil studi dengan memperbandingkan konstitusi negara-negara lain, tidak menemukan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pengaturan bank sentral yang dicantumkan dalam pasal konstitusi. Federal Reserve Bank of New York, bank terbesar di dunia yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dunia tidak diatur dalam konstitusi Amerika Serikat. Bahkan untuk kurun waktu yang lama, Amerika Serikat tidak mempunyai bank sentral. Federal Reserve Bank of New York sebagai bank sentral Amerika Serikat baru dibentuk dengan undang-undang pada masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson tahun 1931, padahal sejak 1778 Konstitusi Amerika Serikat sudah berlaku; Dari kajian ini tampak jelas bahwa bank sensral meskipun statusnya adalah lembaga negara, artinya dibentuk oleh kewenangan publik dan untuk melaksanakan kekuasaan publik, namun bukanlah sebuah lembaga konstitusi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utama alat kelengkapan negara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Independency bank sentral dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut dalam Pasal 23D yang dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa isinya atau content -nya akan ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan ditentukan Undang- Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pilihan kata yang bervariasi untuk menggambarkan sifat kewenangan yang dimiliki oleh satu lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D digunakan kata independency untuk bank sentral. Pasal 23E digunakan kata bebas dan mandiri untuk BPK. Pasal 24, kata kekuasaan yang merdeka atau kekuasaan kehakiman . Pasal 22E dengan kata mandiri untuk KPU dan Pasal 24 digunakan kata mandiri untuk KY. Dari pilihan kata yang berbeda-beda yang digunakan itu ada makna yang sama terkandung dalam kata pilihan, yaitu bahwa satu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya wajib untuk tidak dipengaruhi oleh pihak luar manapun dan pihak luar dilarang untuk memengaruhi lembaga negara tersebut ketika lembaga negara yang bersangkutan melaksanakan kewenangan. Kewenangan yang tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar tersebut adalah kewenangan inti, yaitu kewenangan fungsional, artinya kewenangan yang ditempatkan dalam relasi dengan kewenangan fungsional yang dimiliki oleh lembaga negara yang lain; Prinsip bahwa kewenangan adalah terbatas dan prinsip kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya adalah prinsip yang mendasari good governance atau tata pemerintahan yang baik, yang tujuannya adalah untuk menghindari abuse of power pemegang kekuasaan dan untuk mempersempit moral hazard . Hal itu sangat sejalan dengan peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely ; Conselor democracy state ( negara hukum) good governance ( pemerintahan yang baik), itu semuanya adalah konsep yang di dalamnya mengandung unsur untuk menghindari konsentrasi kemenangan, yaitu dengan cara melakukan pendistribusian kewenangan fungsional sangat terbatas, serta untuk menjamin bahwa setiap produk kewenangan terhindar dari interact pihak tertentu; Apakah dari prinsip independency bank sentral, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus melekat pada kewenangan bank sentral untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank lainnya. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 konstitusional, artinya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga akan menjadi kerugian konstitusional kalau pengawasan tersebut tidak dilaksanakan. Sebagaimana telah ternyata sebelumnya bahwa independency bank sentral menurut Pasal 23D akan diatur Undang-Undang, sehingga independency bukan hak konstitusional, dalam arti hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi yang akan ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Karenanya, kalaupun seandainya kewenangan pengawasan harus melekat kepada independency , maka yang akan mengatur adalah Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945; Perbandingan Penguasaan Lembaga Keuangan Di Beberapa Negara Tentang pengaturan struktur pengawasan untuk industri keuangan, termasuk lembaga perbankan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia, Federal Reserve Bank of San Fransisco membedakan dalam 3 pendekatan, yakni:
Single agent . Pengawas tunggal untuk mengawasi industri keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal;
Separate agencies . Pengawas yang terpisah untuk setiap industri keuangan;
Pengawasan dengan struktur hybrid atau penggabungan antara pendekatan nomor 1 dan nomor 2; Dalam masing-masing pendekatan tersebut, peranan dari bank sentral negara bervariasi antara pendekatan yang satu dengan yang lain. Pendekatan pengawasan tunggal dilakukan oleh Jepang dan Singapura. Di Jepang pengawasan dilakukan oleh GPSA yang didirikan tahun 1998 setelah banyak bank besar yang gagal dan karena timbulnya ketidakpercayaan publik kepada kementerian keuangan. GPSA adalah otoritas pengawas keuangan yang utama yang berada di luar bank sentral dan kewenangannya semakin bertambah dan kuat semenjak tahun 2001; Singapura yang menganut otoritas tunggal yang dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore , namun berbeda dengan Jepang, Monetary Authority of Singapore juga melakukan fungsi bank sentral. Pendekatan pengawasan oleh otoritas yang terpisah dipraktikkan di Tiongkok dan India. Industri keuangan bank, asuransi, dan pasar modal di India dan Tiongkok diawasi oleh otoritas yang berbeda-beda. Pendekatan hybrid mengombinasikan elemen pengawasan satu otoritas dan elemen pengawasan terpisah dipraktikkan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 Malaysia diawasi oleh otoritas yang sama. Sedangkan untuk industri pasar modal diawasi oleh otoritas yang lain; Pada tahun 1999, Korea Selatan mendirikan Korean Financial Supervisory Service (KFSS) melalui sebuah Undang-Undang. Setelah adanya krisis moneter yang melanda Asia. KFSS dibentuk dari kombinasi empat otoritas pengawas yang sebelumnya ada di Korea, yakni 1) banking supervisory authority ;
security supervisory board ;
insurance supervisory board ; dan
nonbank supervisory authority . Sejak tahun 2008 setelah melakukan reorganisasi, KFSS diawasi oleh financial service commission . Kewenangan financial service commission sebelumnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan Korea. Berdasarkan KFSS, keberadaan KFSS berada di luar bank sentral; Dari uraian dan perbandingan dalam praktik negara lain dapat ditentukan fakta hukum sebagai berikut.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, bank sentral adalah suatu fungsi yang akan diatur oleh Undang-Undang;
Bank sentral adalah lembaga negara yang dimiliki oleh negara;
Sebagai lembaga negara, bank sentral kedudukannya sangat berbeda dengan lembaga negara utama yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar;
Independency bank sentral akan diatur dan ditentukan kontennya oleh Undang-Undang. Tidak terdapat ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa independency bank sentral haruslah disertai hak pengawasan oleh bank sentral kepada lembaga keuangan bank. Undang-Undanglah yang akan mengatur, apakah bank sentral diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada lembaga keuangan bank atau tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan pengawasan kepada lembaga keuangan bank; Penyatuan pengawasan atau pemisahan pengawasan terhadap lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk mengaturnya. Pembuat Undang-Undang yang terdiri atas Presiden dan DPR adalah lembaga yang tepat untuk mengatur sistem pengawasan kepada lembaga keuangan karena kedua lembaga, yaitu Presiden dan DPR terlibat secara langsung dalam urusan bidang keuangan negara. Sehingga mempunyai informasi dan data yang akurat dan mengetahui pilihan yang baik untuk mengaturnya dan bukan ditentukan oleh lembaga peradilan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 Pembuatan Undang-Undang berhak dan bahkan wajib untuk melakukan perubahan apabila ternyata dalam pelaksanaannya diperlukan perubahan pengaturan atas pengawasan lembaga keuangan agar supaya tercipta tata pengawasan yang lebih baik dalam pengelolaan lembaga keuangan demi terciptanya kestabilan keuangan dan perlindungan kepada konsumen; Perubahan tidak dapat dilakukan apabila peradilan yang menetapkan sistem pengawasan yang harus diterapkan karena dasarnya adalah sistem yang sah dan sistem yang melanggar hukum dan melakukan perubahan untuk penyempurnaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perubahan sistem pengawasan dilakukan oleh banyak negara pada saat mengalami krisis keuangan global yang pernah terjadi di sekitar tahun 1997 dan di awal tahun 2000 sekitar tahun 2008; Kesimpulan Ahli berkesimpulan bahwa keberadaan OJK tidak bertentangan secara konstitusional dengan pengaturan bank sentral yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dan keberadaannya diberlakukan untuk menciptakan lembaga keuangan yang sehat serta diperlukan bagi perlindungan konsumen lembaga keuangan di Indonesia; Isu konstitusionalitas lainnya tentang OJK menyangkut kewenangan untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ahli berpendapat bahwa ketentuan pasal ini bermaksud untuk memberi dasar hukum yang jelas dan demi kepastian hukum atas pemungutan yang dilakukan dengan alasan untuk keperluan negara. Pasal ini tidak bermaksud untuk melarang negara melakukan... yang bersifat memaksa kalau memang negara memerlukannya. Dalam praktik, pemungutan ini memang telah dilakukan oleh negara dalam berbagai bentuk, sebagai contoh adalah apa yang disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam transaksi pemindahan hak atas tanah dan bangungan, nilai BPHTB ini dapat dikatakan sangatlah besar karena 5% dari nilai transaksi; Ketentuan Pasal 23A menggunakan rumusan diatur dengan undang- undang yang ditafsirkan harus ada Undang-Undang tersendiri atau khusus yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 mengaturnya yang berbeda dengan rumusan diatur dalam Undang-Undang yang pengaturannya dapat tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Dalam kenyataannya sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Ahli berpendapat bahwa tujuan adanya Undang-Undang tersendiri tidaklah hanya bersifat membuat perbedaan formal belaka, yaitu apakah telah terpenuhinya adanya Undang-Undang tersendiri, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan substantif dari Undang-Undang tersebut; Undang-Undang OJK memungkinkan OJK untuk melakukan pungutan dan jelas bahwa pungutan digunakan untuk keperluan negara. Karena OJK dalam bernegara yang melakukan tugas negara, yaitu tugas yang tidak dapat secara hukum dilakukan oleh lembaga yang bukan lembaga negara; Dari segi kebutuhan, pungutan tersebut dibatasi jumlah yang diperlukan. Artinya, tidak memungut tanpa batas, tanpa dasar berapa jumlah yang akan dipungut. Karena jumlahnya sebatas jumlah yang diperlukan untuk anggaran tahunan yang harus disusun lebih dulu dan mendapat persetujuan DPR. Pasal 36 Undang-Undang OJK menegaskan apabila hasil pungutan melebihi kebutuhan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara. OJK sebagai lembaga negara harus membuat laporan keuangan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diharuskan oleh undang-undang; Secara substansi, aturan keuangan OJK telah mempertimbangkan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ahli berpendapat bahwa Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya perlu formalitas adanya Undang-Undang tersendiri saja, tetapi juga substansi, yaitu menyangkut pengelolaan keuangan negara yang jelas peruntukannya, artinya transparan dan akuntabel. Undang- Undang OJK yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan telah mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, serta pembatasan yang rasional, proporsional tentang jumlah yang boleh dipungut; Dengan demikian, meskipun Undang-Undang yang dimaksud oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 belum ada, namun substansi yang seharusnya terdapat pada undang-undang tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang OJK. Apabila Mahkamah menetapkan bahwa pemungutan keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan pengelolaannya bertentangan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 Undang-Undang Dasar 1945, hanya sekadar bahwa belum dibuatnya Undang- Undang secara khusus dan harus dibatalkan, maka akibatnya akan banyak pungutan-pungutan lainnya, antara lain BPHTB harus juga batal; Sebagaimana ahli uraikan di atas maka sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah dapat menambahkan hal-hal yang diperlukan agar ketentuan tentang keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK menjadi sempurna dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, atau melakukan penafsiran conditionally constitutional pada aspek substansinya. Sementara itu, Mahkamah dapat memberikan kriteria konstitusionalitas terhadap Undang-Undang yang diperlukan untuk melaksanakan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dan hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah dalam beberapa kali putusannya, termasuk mengenai BHP dan juga mengenai peradilan Tipikor;
Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. I. Ada empat isu pokok yang perlu ditanggapi terlebih dahulu, yaitu:
Pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan serta penggabungan pengawasan antara sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank;
Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK;
Pembiayaan OJK (APBN dan pungutan dari pelaku pasar);
Pelaporan dan akuntabilitas OJK. II. Mengenai isu pertama, pemisahan kewenangan, secara mendasar kita harus memahami pertumbuhan sektor perbankan dan jasa keuangan sebagai sarana kebutuhan kehidupan modern yang berada pada era globalisasi. Lebih-lebih bagi Indonesia, karena tahun depan ia bersama dengan negara-negara ASEAN lain akan memasuki ASEAN Market Community . Sementara itu lahirnya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan konglomerasi kepemilikan di sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik ( good governance ), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( fairness ). Khusus mengenai pengawasan di bidang perbankan, OJK memiliki tugas yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 berbeda dari Bank Indonesia ("Bl") sebagai bank sentral seperti diamanatkan oleh UUD 1945, sebagaimana yang telah diubah ("UUD 1945"). Dalam situasi demikian, peran sektor perbankan dan keuangan menjadi amat penting. Oleh sebab itu diperlukan satu konsep yang jelas; Apa yang dilakukan UU OJK adalah melakukan pemisahan pengawasan terhadap bank, yang tidak lagi dilakukan oleh Bl. Pengawasan oleh pihak di luar bank sendiri dimaksudkan untuk menjaga kualitas pihak yang diawasi demi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan konsumen yang berurusan dengan bank. Perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi pengawasan OJK; Selanjutnya jasa keuangan harus dibuat terintegrasi. Itulah filosofinya mengapa OJK bukan saja mengawasi bank, tetapi juga sektor-sektor non bank, dalam hal ini pasar modal asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan serta lembaga keuangan lain; Jika sektor perbankan dan sektor keuangan non bank sehat, transaksi bisnis yang lain akan lancar pula, nasional maupun transnasional. Indonesia yang berekonomi kuat hanya akan lahir, jika sektor keuangan dan perbankan juga dilandasi sistem pengawasan yang kuat; III. Dalam masalah kedua, yang berkaitan dengan independensi, menurut Para Pemohon, hanya Bl yang berhak memakai status "independen" karena ada "cantolannya" ada di Pasal 23D UUD 1945. OJK samasekali tidak memiliki "cantolan" dalam UUD 1945. Pada hemat ahli, Pemohon telah menggunakan alurpikir yang salah. Sebab "independen" bukanlah istilah yang dapat dimonopoli. Jadi dapat saja satu lembaga menyatakan dirinya "independen" tanpa harus melihat ada pegangannya dalam UUD 1945. Komisi Pengawas Pesaingan Usaha, misalnya mendeklarasikan dirinya sebagai "suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. [Pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999] Demikian juga bagi OJK, independen di sini berarti bebas dari pengaruh siapapun, terutama Pemerintah; IV. Mengenai isu Pembiayaan (Penggunaan APBN dan Pungutan OJK), OJK sebagian dibiayai oleh dana dari APBN dan selebihnya dari dana yang dipungut dari masyarakat yang merupakan pengguna jasa OJK [Pasal (2) UU OJK]. Oleh Para Pemohon, aturan dalam UU OJK ini dipersoalkan karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 mereka khawatir akan terjadi " abuse of power " Sebagai WNI mereka tidak mau APBN menjadi tergerus akibat digunakan oleh OJK. Tentang hak OJK untuk memungut, para Pemohon bertanya*. "Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya?" (butir 66 Permohonan). Mengenai APBN, Pemohon tampak bersikap a priori , padahal kalau dibaca Pasal 38 UU OJK, jelas diatur tentang masalah pertanggungjawaban — yang akan diuraikan di bawah. Otoritas di beberapa negara antara lain di Hongkong, Estonia dan Slovakia juga menerapkan pungutan kepada para pelaku kegiatan di sektor jasa keuangan dalam rangka membiayai operasionalnya; Filosofi dari pendanaan ini adalah bahwa lembaga resmi negara, yang independen 1) dapat dibiayai dari APBN dan 2) dengan kekuatan Undang- Undang dibenarkan memungut dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU OJK; Pungutan menjadi sumber dana operasional OJK, sehingga segala kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih independen, mengingat secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah. Pungutan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang dilakukan OJK sudah sejalan dengan UUD 1945 karena pungutan tersebut didasarkan pada Undang- Undang. V. Isu terakhir berkaitan dengan sistem Pelaporan dan Akuntabilitas. Secara filosofis pelaporan dan akuntabilitas ini harus diikuti dengan ketentuan- ketentuan dalam Pasal 38 UU OJK yang dijabarkan dalam 10 ayat, menyangkut mengenai: - laporan keuangan serta laporan kegiatan; - laporan ke DPR dan Presiden Rl dengan standar dan kebijakan akuntansi yang ditetapkan OJK; - audit yang dilakukan oleh BPK; dan pengumuman laporan tahunan OJK kepada publik melalui media; Pengaturan rinci itu menurut saya telah cukup menjawab kekhawatiran para Pemohon dengan sekalian memahami filosofi konsep pelaporan dan akuntabilitas OJK tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 VI. Secara umum saya ingin menyampaikan bahwa permohonan tidak ditopang argumentasi yang kuat, juga tidak didukung bukti. Berbagai pernyataan yang terdapat dalam permohonan bersifat simplistik, menggampangkan persoalan, dangkal, a priori dan kategori lain semacam itu. Dengan demikian semua tuntutan dalam permohonan sangat patut untuk ditolak.
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...
Perhitungan Anggaran Negara Tahun Anggaran 1996/1997
Relevan terhadap
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Rincian belanja negara dimaksud adalah sebagai berikut: RINCIAN PENGELUARAN TAHUN ANGGARAN 1996/1997 (dalam rupiah) 01 SEKTOR INDUSTRI 01.1 Subsektor Industri 54.467.377.929 Jumlah Sektor Industri 54.467.377.929 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 02.1 Subsektor Pertanian 125.072.006.040 02.2 Subsektor Kehutanan 334.807.293.453 Jumlah Sektor Pertanian Dan Kehutanan 469.879.299.493 03 SEKTOR PENGAIRAN 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 12.969.403.368 03.2 Subsektor Irigasi 13.257.510.991 Jumlah Sektor Pengairan 26.226.914.359 04 SEKTOR TENAGA KERJA 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 117.411.196.055 Jumlah Sektor Tenaga Kerja 117.411.196.055 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI 05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 55.152.109.932 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 29.925.116.059 05.4 Subsektor Keuangan 35.134.442.315.359 05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 79.807.200.319 Jumlah Sektor Perdagangan, Pengembangan 35.299.326.741.669 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 06.1 Subsektor Prasarana Jalan 18.615.837.188 06.2 Subsektor Transportasi Darat 17.649.258.221 06.3 Subsektor Transportasi Laut 133.504.024.072 06.4 Subsektor Transportasi Udara 46.025.515.637 06.5 Subsektor Meteorologi,Geofisika Pencarian dan Penyelamatan (SAR) 38.809.555.795 Jumlah Sektor Transportasi, Meteorologi dan Geofisika 254.604.190.913 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 07.1 Subsektor Pertambangan 110.287.006.798 07.2 Subsektor Energi 4.143.159.653 Jumlah Sektor Pertambangan dan Energi 114.430.166.451 08 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI 08.1 Subsektor Pariwisata 31.679.370.850 08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 16.849.877.806 Jumlah Sektor Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi 48.529.248.656 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI 09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 9.470.383.555.516 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan 52.918.486.326 Jumlah Sektor Pembangunan Daerah dan Transmigrasi 9.523.302.041.842 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 10.1 Subsektor Lingkungan Hidup 6.973.543.034 10.2 Subsektor Tata Ruang 172.987.500.908 Jumlah Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang 179.961.043.942 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 11.1 Subsektor Pendidikan 3.366.230.924.757 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 244.182.452.797 11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 73.689.310.413 11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 8.036.531.886 Jumlah Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah Raga 3.692.139.219.853 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA 12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 238.778.014.178 Jumlah Sektor Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 238.778.014.178 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 93.682.599.603 13.2 Subsektor Kesehatan 424.648.553.608 Jumlah Sektor Kesejahteraan Sosial, Kesehatan Peranan Wanita, Anak dan Remaja 518.331.153.211 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 8.577.175.233 14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 3.093.937.999 Jumlah Sektor Perumahan dan Permukiman 11.671.113.232 15 SEKTOR AGAMA 15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 165.873.481.098 15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 829.819.725.929 Jumlah Sektor Agama 995.693.207.027 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 16.2 Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 200.331.914.948 16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 26.628.908.163 16.5 Subsektor Kedirgantaraan 1.412.246.175 16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 78.970.672.848 Jumlah Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 307.343.742.134 17 SEKTOR HUKUM 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 473.394.355.948 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 77.275.107.823 Jumlah Sektor Hukum 550.669.463.771 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN 18.1 Subsektor Aparatur Negara 3.581.324.933.179 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan 227.755.925.237 Jumlah Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan 3.809.080.858.416 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA 19.1 Subsektor Politik 66.140.482.474 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 754.850.889.956 19.3 Subsektor Penerangan,Komunikasi dan Media Massa 278.516.520.638 Jumlah Sektor Politik, Hubungan Luar Negeri, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 1.099.507.893.068 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 20.2 Subsektor Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 5.249.733.644.000 20.3 Subsektor Pendukung - Jumlah Sektor Pertahanan dan Keamanan 5.249.733.644.000 JUMLAH 62.561.086.530.199 RINCIAN PENGELUARAN PEMBANGUNAN TANPA BANTUAN PROYEK/TEKNIS TAHUN ANGGARAN 1996/1997 (dalam rupiah) 01 SEKTOR INDUSTRI 01.1 Subsektor Industri 1.004.617.898.477 Jumlah Sektor Industri 1.004.617.898.477 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 02.1 Subsektor Pertanian 1.019.058.852.033 02.2 Subsektor Kehutanan 8.488.455.000 Jumlah Sektor Pertanian & Kehutanan 1.027.547.307.033 03 SEKTOR PENGAIRAN 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 368.499.502.714 03.2 Subsektor Irigasi 878.305.937.603 Jumlah Sektor Pengairan 1.246.805.440.317 04 SEKTOR TENAGA KERJA 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 135.627.426.594 Jumlah Sektor Tenaga Kerja 135.627.426.594 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI 05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 25.850.928.000 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 40.281.732.702 05.3 Subsektor pengembangan Usaha Nasional 1.136.492.434.592 05.4 Subsektor Keuangan 2.529.980.000 05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 81.656.624.869 Jumlah Sektor Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional, Keuangan dan Koperasi 1.286.811.700.163 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 06.1 Subsektor Prasarana Jalan 3.280.287.172.600 06.2 Subsektor Transportasi Darat 320.819.933.714 06.3 Subsektor Transportasi Laut 221.614.912.000 06.4 Subsektor Transportasi Udara 184.421.238.749 06.5 Subsektor Meteorologi,Geofisika Pencarian dan Penyelamatan (SAR) 13.331.255.000 Jumlah Sektor Transportasi, Meteorologi dan Geofisika 4.020.474.512.063 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 07.1 Subsektor Pertambangan 42.818.907.000 07.2 Subsektor Energi 841.074.477.093 Jumlah Sektor Pertambangan dan Energi 83.893.384.093 08 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI 08.1 Subsektor Pariwisata 43.693.022.000 08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 38.250.817.422 Jumlah Sektor Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi 81.943.839.422 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI 09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 5.534.350.543.000 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan 1.024.101.907.000 Jumlah Sektor Pembangunan Daerah dan Transmigrasi 6.558.452.450.000 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 10.1 Subsektor Lingkungan Hidup 261.429.917.000 10.2 Subsektor Tata Ruang 60.246.154.000 Jumlah Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang 321.676.071.000 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 11.1 Subsektor Pendidikan 2.727.195.006.215 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 124.487.843.577 11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 65.506.398.500 11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 42.917.710.000 Jumlah Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah Raga 2.960.106.958.292 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA 12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 313.160.232.800 Jumlah Sektor Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 313.160.232.800 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 91.809.569.850 13.2 Subsektor Kesehatan 904.019.613.947 13.3 Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja 16.770.749.000 Jumlah Sektor Kesejahteraan Sosial, Kesehatan Peranan Wanita, Anak dan Remaja 1.012.599.932.797 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 520.086.485.280 14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 32.017.510.000 Jumlah Sektor Perumahan dan Permukiman 552.103.995.280 15 SEKTOR AGAMA 15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 55.051.113.000 15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 152.119.873.000 Jumlah Sektor Agama 207.170.986.000 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 16.1 Subsektor Teknik Produksi dan Teknologi 203.060.053.152 16.2 Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 83.181.833.000 16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 67.213.898.000 16.4 Subsektor Kelautan 27.404.699.500 16.5 Subsektor Kedirgantaraan 23.265.005.462 16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 112.159.656.000 Jumlah Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 516.285.145.114 17 SEKTOR HUKUM 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 10.992.141.000 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 40.784.805.000 17.3 Subsektor Sarana dan Prasarana Hukum 97.100.542.000 Jumlah Sektor Hukum 148.877.488.000 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN 18.1 Subsektor Aparatur Negara 598.685.949.408 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan 27.446.776.000 Jumlah Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan 626.132.725.408 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA 19.1 Subsektor Politik 20.462.494.100 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 10.827.304.000 19.3 Subsektor Penerangan,Komunikasi dan Media Massa 117.204.962.468 Jumlah Sektor Politik, Hubungan Luar Negeri, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 148.494.760.568 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 20.1 Subsektor Rakyat Terlatih dan Perlindungan Masyarakat 741.861.000.000 20.2 Subsektor Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 246.536.877.897 20.3 Subsektor Pendukung 10.473.589.310 Jumlah Sektor Pertahanan dan Keamanan 998.871.467.207 JUMLAH 24.051.653.720.628 RINCIAN PENGELUARAN PEMBANGUNAN BANTUAN PROYEK/TEKNIS TAHUN ANGGARAN 1996/1997 (dalam rupiah) 01 SEKTOR INDUSTRI 01.1 Subsektor Industri 128.725.943.000 Jumlah Sektor Industri 128.725.943.000 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 02.1 Subsektor Pertanian 280.674.590.000 02.2 Subsektor Kehutanan 115.678.000 Jumlah Sektor Pertanian & Kehutanan 280.790.268.000 03 SEKTOR PENGAIRAN 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 493.909.086.440 03.2 Subsektor Irigasi 360.921.087.480 Jumlah Sektor Pengairan 854.830.173.920 04 SEKTOR TENAGA KERJA 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 61.513.252.000 Jumlah Sektor Tenaga Kerja 61.513.252.000 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI 05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 19.429.000 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri - 05.3 Subsektor pengembangan Usaha Nasional 168.935.509.000 05.4 Subsektor Keuangan 223.080.038.000 05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 1.896.697.000 Jumlah Sektor Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional, Keuangan dan Koperasi 339.931.673.000 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 06.1 Subsektor Prasarana Jalan 877.087.991.540 06.2 Subsektor Transportasi Darat 325.868.942.000 06.3 Subsektor Transportasi Laut 281.048.846.000 06.4 Subsektor Transportasi Udara 1 48.460.526.000 06.5 Subsektor Meteorologi,Geofisika Pencarian dan Penyelamatan (SAR) 2.508.504.000 Jumlah Sektor Transportasi, Meteorologi dan Geofisika 1.634.974.809.540 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 07.1 Subsektor Pertambangan 275.605.031.000 07.2 Subsektor Energi 2.092.773.856.000 Jumlah Sektor Pertambangan & Energi 2.368.378.887.000 08 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI 08.1 Subsektor Pariwisata 1.315.456.000 08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 487.618.585.000 Jumlah Sektor Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi 488.934.041.000 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI 09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 471.033.887.958 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan 126.914.983.000 Jumlah Sektor Pembangunan Daerah dan Transmigrasi 597.948.870.958 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 10.1 Subsektor Lingkungan Hidup 198.751.664.000 10.2 Subsektor Tata Ruang 44.084.585.756 Jumlah Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang 242.836.249.756 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 11.1 Subsektor Pendidikan 836.119.450.592 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 52.953.945.000 11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 9.083.000 11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 22.200.000 Jumlah Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah Raga 889.104.678.592 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA 12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 19.532.025.342 Jumlah Sektor Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 19.532.025.342 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 9.818.752.000 13.2 Subsektor Kesehatan 255.149.878.900 13.3 Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja - Jumlah Sektor Kesejahteraan Sosial, Kesehatan Peranan Wanita, Anak dan Remaja 264.968.630.900 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 807.705.609.118 14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 6.027.469.000 Jumlah Sektor Perumahan dan Permukiman 813.733.078.118 15 SEKTOR AGAMA 15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 63.383.018.000 15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 11.413.463.000 Jumlah Sektor Agama 74.796.481.000 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 16.1 Subsektor Teknik Produksi dan Teknologi 24.737.063.015 16.2 Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 8.808.123.000 16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 3.344.928.000 16.5 Subsektor Kedirgantaraan - 16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 1.662.412.000 Jumlah Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 38.552.526.015 17 SEKTOR HUKUM 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 1.958.689.000 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum - 17.3 Subsektor Sarana dan Prasarana Hukum - Jumlah Sektor Hukum 1.958.689.000 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN 18.1 Subsektor Aparatur Negara 141.405.244.400 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan 69.274.355.000 Jumlah Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan 210.679.599.400 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA 19.1 Subsektor Politik 8.458.164.000 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri - 19.3 Subsektor Penerangan,Komunikasi dan Media Massa 27.396.539.000 Jumlah Sektor Politik, Hubungan Luar Negeri, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 35.854.703.000 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 20.1 Subsektor Rakyat Terlatih dan Perlindungan Masyarakat - 20.2 Subsektor Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 2.498.042.155.967 20.3 Subsektor Pendukung - Jumlah Sektor Pertahanan dan Keamanan 2.498.042.155.967 JUMLAH 11.900.086.735.508
Belanja Negara Tahun Anggaran 1996/1997 adalah sebesar Rp.
512.826.986.335 (sembilan puluh delapan triliun lima ratus dua belas miliar delapan ratus dua puluh enam juta sembilan ratus delapan puluh enam ribu tiga ratus tiga puluh lima rupiah) terdiri dari:
Pengeluaran rutin sebesar Rp 62.561.086.530.199 (enam puluh dua triliun lima ratus enam puluh satu miliar delapan puluh enam juta lima ratus tiga puluh ribu seratus sembilan puluh sembilan rupiah) dirinci menurut sektor: 01 SEKTOR INDUSTRI Rp 54.467.377.929 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN Rp 469.879.299.493 03 SEKTOR PENGAIRAN Rp 26.226.914.356 04 SEKTOR TENAGA KERJA Rp 117.411.196.055 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI Rp 35.299.326.741.669 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Rp 254.604.190.913 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI Rp 114.430.166.451 08 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI Rp 48.529.248.656 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI Rp 9.523.302.041.842 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG Rp 179.961.043.942 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA Rp 3.692.139.219.853 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA Rp 238.778.014.178 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA Rp 518.331.153.211 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Rp 11.671.113.232 15 SEKTOR AGAMA Rp 995.693.207.027 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Rp 307.343.742.134 17 SEKTOR HUKUM Rp 550.669.463.771 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN Rp 3.809.080.858.416 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA Rp 1.099.507.893.068 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN Rp 5.249.733.644.000 b. Pengeluaran pembangunan sebesar Rp 35.951.740.456.136 (tiga puluh lima triliun sembilan ratus lima puluh satu miliar tujuh ratus empat puluh juta empat ratus lima puluh enam ribu seratus tiga puluh enam rupiah), dirinci menurut sektor: 01 SEKTOR INDUSTRI Rp 1.133.343.841.473 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN Rp 1.308.337.575.033 03 SEKTOR PENGAIRAN Rp 2.101.635.614.237 04 SEKTOR TENAGA KERJA Rp 197.140.678.594 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI Rp 1.680.743.373.163 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Rp 5.655.449.321.603 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI Rp 3.252.272.271.093 08 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI Rp 570.877.880.422 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI Rp 7.156.401.320.958 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG Rp 564.512.320.756 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA Rp 3.849.211.636.884 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA Rp 332.692.258.142 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA Rp 1.277.568.563.697 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Rp 1.365.837.073.398 15 SEKTOR AGAMA Rp 281.967.467.000 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Rp 554.837.671.129 17 SEKTOR HUKUM Rp 150.836.177.000 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN Rp 836.812.324.808 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA Rp 184.349.463.568 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN Rp 3.496.913.623.174 (2) Rincian Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah seperti tersebut dalam penjelasan pasal ini.
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Perhitungan Anggaran Negara Tahun Anggaran 1994/1995
Relevan terhadap
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Rincian belanja negara dimaksud adalah sebagai berikut: RINCIAN PENGELUARAN RUTIN TAHUN ANGGARAN 1994/1995 (dalam rupiah) 01 SEKTOR INDUSTRI 01.1 Subsektor Industri 45.805.151.738 Jumlah Sektor Industri 45.805.151.738 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KE-HUTANAN 02.1 Subsektor Pertanian 91.448.907.473 02.2 Subsektor Kehutanan 965.590.522.035 Jumlah Sektor Pertaniandan Kehutanan 1.057.039.429.508 03 SEKTOR PENGAIRAN 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 8.829.823.828 03.2 Subsektor Irigasi 13.095.430.190 Jumlah Sektor Pengairan 21.925.254.018 04 SEKTOR TENAGA KERJA 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 90.945.914.300 Jumlah Sektor Tenaga Kerja 90.945.914.300 05 SEKTOR PERDAGANGAN PENGEM-BANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI 05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 45.919.032.205 05.2 Subsektor… 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 17.210.330.420 05.4 Subsektor Keuangan 23.390.053.468.008 05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 70.461.407.868 Jumlah Sektor Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional, Keuangan dan Koperasi 23.523.644.238.501 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 06.1 Subsektor Prasarana Jalan 14.893.205.510 06.2 Subsektor Transportasi Darat 14.226.210.532 06.3 Subsektor Transportasi Laut 103.298.923.015 06.4 Subsektor Transportasi Udara 36.648.286.011 06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Pe-nyelamatan (SAR) 25.761.631.550 Jumlah Sektor Transportasi, Meteorologi dan Geofisika 194.828.256.618 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 07.1 Subsektor Pertambangan 79.139.472.058 07.2 Subsektor Energi 2.641.355.730 Jumlah Sektor Pertambangan dan Energi 81.780.827.788 08 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI 08.1 Subsektor Pariwisata 11.108.579.407 08.2 Subsektor Pos dan Tele-komunikasi 7.361.665.266 Jumlah Sektor Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi 18.470.244.673 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI 09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 7.486.119.729.493 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan 46.653.234.189 Jumlah Sektor Pembangunan Daerah dan Transmigrasi 7.532.772.963.682 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 10.1 Subsektor Lingkungan Hidup 3.595.878.827 10.2 Subsektor… 10.2 Subsektor Tata Ruang 126.653.481.977 Jumlah Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang 130.249.360.804 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 11.1 Subsektor Pendidikan 2.472.763.797.266 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 166.072.609.576 11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 52.195.271.793 11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 6.300.685.315 Jumlah Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah Raga 2.697.332.363.950 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KE-LUARGA SEJAHTERA 12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 177.198.457.607 Jumlah sub Sektor Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 177.198.457.607 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 64.534.302.160 13.2 Subsektor Kesehatan 312.466.837.487 Jumlah Sektor Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Peranan Wanita, Anak dan Remaja 377.001.139.647 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PER-MUKIMAN 14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 6.936.695.761 14.2 Subsektor Penataan kota dan Bangunan 2.908.643.784 Jumlah Sektor Perumahan dan Permukiman 9.845.339.545 15 SEKTOR AGAMA 15.1 Subsektor… 15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 145.089.770.084 15.2 Subsektor Pembinaan Pen-didikan Agama Jumlah Sektor Agama 777.273.625.426 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 16.2 Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 157.432.442.545 16.3 Subsektor Kelembagaan Prasa-rana dan Sarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 18.334.489.364 16.5 Subsektor Kedirgantaraan 902.785.910 16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 53.628.823.568 Jumlah Sektor Ilmu Pengeta-huan dan Teknologi 230.298.541.387 17 SEKTOR HUKUM 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Na-sional 373.786.722.134 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 57.329.227.653 Jumlah Sektor Hukum 431.115.949.787 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN 18.1 Subsektor Aparatur Negara 1.824.596.067.985 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan 149.856.424.645 Jumlah Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan 1.974.452.492.630 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNI-KASI DAN MEDIA MASSA 19.1 Subsektor Politik 47.701.555.825 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 522.084.108.247 19.3 Subsektor Penerangan, Komuni-kasi dan Media Massa 200.807.237.918 Jumlah Sektor Politik, Hubungan Luar Negeri, Penerangan Komunikasi dan Media Massa 800.592.901.990 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KE-AMANAN 20.2 Subsektor… 20.2 Subsektor ABRI 3.896.483.503.711 20.3 Subsektor Pendukung -- Jumlah Sektor Pertahanan dan Keamanan 3.896.483.503.711 Jumlah Pengeluaran Rutin 44.069.055.957.310 RINCIAN PENGELUARAN PEMBANGUNAN TANPA BANTUAN PROYEK/TEKNIS TAHUN ANGGARAN 1994/1995 (dalam rupiah) 01 SEKTOR INDUSTRI 01.1 Subsektor Industri 223.542.870.901 Jumlah Sektor Industri 223.542.870.901 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KE-HUTANAN 02.1 Subsektor Pertanian 1.346.114.154.863 02.2 Subsektor Kehutanan 5.148.140.549 Jumlah Sektor Pertanian dan Kehutanan 1.351.262.295.412 03 SEKTOR PENGAIRAN 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 457.256.197.041 03.2 Subsektor Irigasi 542.604.124.507 Jumlah Sektor Pengairan 999.860.321.548 04 SEKTOR TENAGA KERJA 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 104.853.395.546 Jumlah Sektor Tenaga Kerja 104.853.395.546 05 SEKTOR PERDAGANGAN PENGEM-BANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI 05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 16.998.897.414 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 573.688.827.247 05.3 Subsektor Pengembangan Usaha Nasional 489.295.406.019 05.4 Subsektor… 05.4 Subsektor Keuangan 3.654.711.072 05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 55.149.490.965 Jumlah Sektor Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasional, Keuangan dan Koperasi 1.138.787.332.717 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEORO-LOGI DAN GEOFISIKA 06.1 Subsektor Prasarana Jalan 3.191.060.214.693 06.2 Subsektor Transportasi Darat 288.943.387.719 06.3 Subsektor Transportasi Laut 228.594.837.883 06.4 Subsektor Transportasi Udara 196.841.195.096 06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan (SAR) 16.223.550.902 Jumlah Sektor Transportasi, Meteorologi dan Geofisika 3.921.663.186.293 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 07.1 Subsektor Pertambangan 34.319.726.936 07.2 Subsektor Energi 1.397.980.936.750 Jumlah Sektor Pertambangan dan Energi 1.432.300.663.686 08 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI 08.1 Subsektor Pariwisata 34.780.833.746 08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 265.092.694.961 Jumlah Sektor Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi 299.873.528.707 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI 09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 4.470.029.103.682 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan 752.834.924.998 Jumlah Sektor Pembangunan Da-erah dan Transmigrasi 5.222.864.028.680 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 10.1 Subsektor Lingkungan Hidup 202.735.235.472 10.2 Subsektor Tata Ruang 49.866.794.008 Jumlah… Jumlah Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang 252.602.029.480 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 11.1 Subsektor Pendidikan 2.222.144.708.331 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 106.490.821.015 11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 49.767.686.120 11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 30.662.059.105 Jumlah Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah Raga 2.409.065.274.571 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KE-LUARGA SEJAHTERA 12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 221.605.331.662 Jumlah Sektor Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 221.605.331.662 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 77.714.341.795 13.2 Subsektor Kesehatan 761.694.819.650 13.3 Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja 890.000 Jumlah Sektor Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Peranan Wanita, Anak dan Remaja 839.410.051.445 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PER-MUKIMAN 14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 581.800.245.881 14.2 Subsektor Penataan kota dan Bangunan 32.518.971.563 Jumlah Sektor Perumahan dan Permukiman 614.319.217.444 15 SEKTOR… 15 SEKTOR AGAMA 15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 66.396.844.441 15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 92.924.361.605 Jumlah Sektor Agama 159.321.206.046 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 16.1 Subsektor Teknik Produksi dan Teknologi 112.851.053.595 16.2 Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 47.968.073.440 16.3 Subsektor Kelembagaan Pra-sarana dan Sarana Ilmu Pe-ngetahuan dan Teknologi 60.482.449.346 16.4 Subsektor Kelautan 30.871.433.964 16.5 Subsektor Kedirgantaraan 17.598.743.544 16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 88.445.497.552 Jumlah Sektor Ilmu Pengeta huan dan Teknologi 358.217.251.441 17 SEKTOR HUKUM 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 8.577.600.226 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 27.380.551.522 17.3 Subsektor Sarana dan Prasarana Hukum 54.629.531.730 Jumlah Sektor Hukum 90.587.683.478 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN 18.1 Subsektor Aparatur Negara 383.427.379.786 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan 35.611.302.857 Jumlah Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan 419.038.682.643 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI ,PENERANGAN, KOMUNI-KASI DAN MEDIA MASSA 19.1 Subsektor Politik 3.626.403.057 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 3.411.881.882 19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 116.280.541.086 Jumlah Sektor Politik, Hubungan Luar Negeri, Penerangan Komunikasi dan Media Massa 123.318.825.965 20 SEKTOR… 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KE-AMANAN 20.1 Subsektor Rakyat Terlatih dan Perlindungan Masyarakat 103.800.556.551 20.2 Subsektor ABRI 567.597.905.445 20.3 Subsektor Pendukung -- Jumlah Sektor Pertahanan dan Keamanan 671.398.461.996 J U M L A H 20.853.891.639.661 RINCIAN PENGELUARAN PEMBANGUNAN BANTUAN PROYEK/TEKNIS TAHUN ANGGARAN 1994/1995 (dalam rupiah) 01 SEKTOR INDUSTRI 01.1 Subsektor Industri 341.478.382.740 Jumlah Sektor Industri 341.478.382.740 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 02.1 Subsektor Pertanian 299.403.233.903 02.2 Subsektor Kehutanan 6.402.072.222 Jumlah Sektor Pertanian dan Kehutanan 305.805.306.125 03 SEKTOR PENGAIRAN 03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 304.355.942.821 03.2 Subsektor Irigasi 623.455.275.049 Jumlah Sektor Pengairan 927.811.217.870 04 SEKTOR TENAGA KERJA 04.1 Subsektor Tenaga Kerja 4.190.065.413 Jumlah Sektor Tenaga Kerja 4.190.065.413 05 SEKTOR PERDAGANGAN PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI 05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri -- 05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri -- 05.3 Subsektor Pengembangan Usaha Nasional 276.357.650.516 05.4 Subsektor Keuangan 32.276.513.215 05.5 Subsektor… 05.5 Subsektor Koperasi dan Peng-usaha Kecil -- Jumlah Sektor Perdagangan, Pengembangan Usaha Nasio nal, Keuangan dan Koperasi 308.634.163.731 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 06.1 Subsektor Prasarana Jalan 1.135.818.804.381 06.2 Subsektor Transportasi Darat 378.462.734.533 06.3 Subsektor Transportasi Laut 119.970.272.242 06.4 Subsektor Transportasi Udara 102.381.430.261 06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan Penyelamatan (SAR) -- Jumlah Sektor Transportasi, Meteorolgi dan Geofisika 1.736.633.241.417 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 07.1 Subsektor Pertambangan 32.083.001.153 07.2 Subsektor Energi 2.942.947.817.661 Jumlah Sektor Pertambangan dan Energi 2.975.030.818.814 08 SEKTOR PARIWISATA, POS DAN TELEKOMUNIKASI 08.1 Subsektor Pariwisata 630.000 08.2 Subsektor Pos dan Tele komunikasi 673.353.355.019 Jumlah Sektor Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi 673.353.985.019 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI 09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 118.852.503.171 09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan 119.830.681.812 Jumlah Sektor Pembangunan Daerah dan Transmigrasi 238.683.184.983 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG 10.1 Subsektor Lingkungan Hidup 124.922.477.968 10.2 Subsektor Tata Ruang 17.648.489.522 Jumlah Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang 142.570.967.490 11 SEKTOR… 11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHA-DAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 11.1 Subsektor Pendidikan 503.796.782.474 11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 76.176.122.352 11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 59.629.091 11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 1.571.000 Jumlah Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olah Raga - 580.034.104.917 12 SEKTOR KEPENDUDUK AN DAN KELUARGA SEJAHTERA 12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 48.268.126.384 Jumlah Sektor Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 48.268.126.384 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA ANAK DAN REMAJA 13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 13.167.062.540 13.2 Subsektor Kesehatan 134.724.785.280 13.3 Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja -- Jumlah Sektor Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Peranan Wanita, Anak dan Remaja 147.891.847.820 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PER-MUKIMAN 14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 516.755.930.507 14.2 Subsektor Penataan kota dan Bangunan 2.055.915.373 Jumlah Sektor Perumahan dan Permukiman 518.811.845.880 15 SEKTOR AGAMA 15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 25.894.360 15.2 Subsektor… 15.2 Subsektor Pembinaan Pen didikan Agama 6.341.344.354 Jumlah Sektor Agama 6.367.238.714 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 16.1 Subsektor Teknik Produksi dan Teknologi 8.565.636.467 16.2 Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 11.255.581.128 16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 3.662.099.737 16.4 Subsektor Kelautan 3.021.169.363 16.5 Subsektor Kedirgantaraan -- 16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 3.010.140.134 Jumlah Sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 29.514.626.829 17 SEKTOR HUKUM 17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional -- 17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum - 142.645.773 17.3 Subsektor Sarana dan Prasarana Hukum 28.839.591 Jumlah Sektor Hukum 171.485.364 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN 18.1 Subsektor Aparatur Negara 133.929.618.104 18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan 16.048.422.830 Jumlah Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan 149.978.040.934 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNI-KASI DAN MEDIA MASSA 19.1 Subsektor Politik 10.890.637.076 19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri -- 19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 85.038.730.929 Jumlah Sektor Politik, Hubungan Luar Negeri, Penerangan Komunikasi dan Media Massa 95.929.368.005 20 SEKTOR… 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 20.1 Subsektor Rakyat Terlatih dan Perlindungan Masyarakat -- 20.2 Subsektor ABRI 606.637.139.637 20.3 Subsektor Pendukung -- Jumlah Sektor Pertahanan dan Keamanan 606.637.139.637 J U M L A H 9.837.795.158.086
Belanja Negara Tahun Anggaran 1994/1995 adalah sebesar Rp. 74.760.742.755.057 (tujuh puluh empat triliun tujuh ratus enam puluh miliar tujuh ratus empat puluh dua juta tujuh ratus lima puluh lima ribu lima puluh tujuh rupiah) terdiri dari :
Pengeluaran rutin sebesar Rp. 44.069.055.957.310 (empat puluh empat triliun enam puluh sembilan miliar lima puluh lima juta sembilan ratus lima puluh tujuh ribu tiga ratus sepuluh rupiah) dirinci menurut sektor : 01 SEKTOR INDUSTRI Rp 45.805.151.738 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN Rp 1.057.039.429.508 03 SEKTOR PENGAIRAN Rp 21.925.254.018 04 SEKTOR TENAGA KERJA Rp 90.945.914.300 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL,KEUANGAN DAN KOPERASI Rp 23.523.644.238.501 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Rp 194.828.256.618 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI Rp 81.780.827.788 08 SEKTOR PARIWISATA POS DAN TELEKOMUNIKASI Rp 18.470.244.673 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI Rp 7.532.772.963.682 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA RUANG Rp 130.249.360.804 11 SEKTOR PENDIDIKAN KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA Rp 2.697.332.363.950 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA Rp 177.198.457.607 13 SEKTOR... 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA Rp 377.001.139.647 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Rp 9.845.339.545 15 SEKTOR AGAMA Rp 777.273.625.426 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Rp 230.298.541.387 17 SEKTOR HUKUM Rp 431.115.949.787 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN Rp 1.974.452.492.630 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA Rp 800.592.901.990 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN Rp 3.896.483.503.711 b. Pengeluaran pembangunan sebesar Rp. 30.691.686.797.747 (tiga puluh triliun enam ratus sembilan puluh satu miliar enam ratus delapan puluh enam juta tujuh ratus sembilan puluh tujuh ribu tujuh ratus empat puluh tujuh rupiah), dirinci menurut sektor : 01 SEKTOR INDUSTRI Rp 565.021.253.641 02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN Rp 1.657.067.601.537 03 SEKTOR PENGAIRAN Rp 1.927.671.539.418 04 SEKTOR TENAGA KERJA Rp 109.043.460.959 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL,KEUANGAN DAN KOPERASI Rp 1.447.421.496.448 06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Rp 5.658.296.427.710 07 SEKTOR... 07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI Rp 4.407.331.482.500 08 SEKTOR PARIWISATA POS DAN TELEKOMUNIKASI Rp 973.227.513.726 09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN TRANSMIGRASI Rp 5.461.547.213.663 10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DANTATA RUANG Rp 130.249.360.804 11 SEKTOR PENDIDIKAN KEBUDAYAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA Rp 2.989.009.379.488 12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA Rp 269.873.458.046 13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA Rp 987.301.899.265 14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN. Rp 1.133.131.063.324 15 SEKTOR AGAMA Rp 165.688.444.760 16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Rp 387.731.878.270 17 SEKTOR HUKUM Rp 90.759.168.842 18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGAWASAN Rp 569.016.723.577 19 SEKTOR... 19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI SOSIAL DAN MEDIA MASSA Rp 219.248.193.970 20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN Rp 1.278.035.601.633 (2) Rincian Belanja Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah seperti tersebut pada Penjelasan pasal ini.
Pengujian UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [Pasal 113 ayat (2)]
Relevan terhadap
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Sehubungan dengan hal tersebut di atas jelas petani tembakau dan tenaga kerja/buruh mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan pasal-pasal yang ada dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. IV. Kesimpulan 1. UUD 1945, menjamin adanya keadilan (justice), kepastian (Certainty atau __ zekerheid) dan kebergunaan atau kebermanfaatan (utility). 2. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada tanggal 13 Oktober 2009, maka akan berdampak psikologis 29 dan akan mengakibatkan kerugian materiil serta tidak adanya kepastian hukum dalam kelangsungan kehidupan bagi petani tembakau dan cengkeh Indonesia, berarti menanam tembakau dan cengkeh di Indonesia akan berhadapan dengan berbagai kepentingan yang sudah dilndungi oleh Undang -Undang. Sesuai dengan tujuan dan hakekat konstitusi yang mana menjamin adanya keadilan ( justice ), kepastian ( certainty atau zekerhaid ) dan kebergunaan atau kebermanfaatan ( utility ), maka jelas bahwa Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945;
Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang lainnya (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. V. Petitum Berdasarkan uraian-uraian di atas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Pemohon.
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik dalam pembukaan ( preambule ), Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I , yang berarti melanggar hak asasi manusia. 30 3. Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka Pemohon memohon Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat .
Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim dari Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk dimuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan bukti surat dari bukti P-1 sampai dengan bukti P-9 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Bukti P-6 : Fotokopi Buku “Konstitusi Ekonomi” karangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;
Bukti P-8 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Bukti P-9 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 31 Bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, selain mengajukan alat bukti tertulis, Pemohon juga mengajukan 10 (sepuluh) orang Saksi dan 7 (tujuh) orang Ahli yang telah disumpah dan didengar keterangannya pada persidangan hari Selasa 20 Mei 2010, Kamis 2 Juni 2010, Selasa 14 Desember 2010, dan Selasa, 8 Februari 2011 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Saksi Pemohon 1. H. Parmuji y Bahwa Saksi terkejut dan prihatin dengan adanya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan karena membatasi industri tembakau; __ y Tembakau telah menjadi tumpuan dari nenek moyang dan merupakan sumber pencaharian utama (tembakau disebut juga ”emas hijau”); __ y Tembakau dilindungi dengan Undang-Undang yang mengenai tanaman yang dilindungi; __ y Budidaya tembakau melibatkan banyak pihak, tidak hanya petani tembakau; __ 2. H. Mulyono y Saksi merasa prihatin karena mata pencaharian utama sebagai petani tembakau terancam; __ 3. Tri Yuwono y Mayoritas penduduk di Desa Kledung sebagai petani tembakau akan terancam kehilangan mata pencaharian; __ y Jika menanam tembakau dilarang bertentangan dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah; __ 4. Karyanto y Di Kabupaten Pamekasan 35.000 hektar penanam tembakau, Di Kabupaten Sumenep 28.000 hektar penanam tembakau, dan di Kabupaten Sampang 18.000 hektar penanam tembakau; y Di Kabupaten Pamekasan, Sumenep, dan Sampang tembakau adalah suatu tanaman komoditi yang sudah lama dan juga tanaman turun temurun yang tidak dapat dipisahkan dengan hati petani yang mana mati, hidup, tetap menanam tembakau; 32 y Petani tembakau dapat menyekolahkan anaknya dan mencukupi kehidupannya; y Apabila petani tembakau tidak dapat atau tidak boleh menanam tembakau akan membuat lebih buruk lagi; y Saksi dipesan Petani Pamekasan dengan mengatakan, ”Tolong perjuangkan hak-hak petani termasuk tembakau”;
Sumadi Danartono (Kepala Desa Wonolelo Sawangan Magelang) y Di desa Saksi, 95% adalah petani dan pada waktu musim kering, tanaman yang dapat hidup adalah tanaman tembakau yang merupakan tanaman tulang punggung ekonomi masyarakat;
Udi Wahyu (Kepala Desa Pagerejo Wonosobo) y Di Kabupaten Wonosobo tembakau merupakan komoditi unggulan yang mana 50% masuk ke pabrikan dan 50% merupakan kerajinan dalam bentuk tembakau garangan atau tembakau asapan;
Subakir y Seluruh warga desa Saksi adalah petani tembakau yang mana luas areal lebih kurang 400 hektar; y Tanaman tembakau menghasilkan mutu tembakau terbaik di dunia yang dinamakan Tembakau Serintil. Tembakau Serintil sangat dibutuhkan oleh pabrik-pabrik rokok kretek asli Indonesia.
Agus Setyawan (Kepala Desa Tretep) y Saksi lahir dan dibesarkan dari hasil tembakau yang kebetulan bapaknya petani tembakau; y Saksi merasa dipojokan ketika Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan hanya tembakau yang disebutkan.
dr.Subagyo y Yang bersangkutan menderita benjolan di rahang bawah yang dioperasi dengan hasil suatu limfoma maligna atau kanker kelenjar limfe; y Yang bersangkutan mendengar, menangkap adanya informasi penanganan atau pengobatan yaitu balur nano terapi dengan define cigarette ; 33 y Bahwa dengan memodifikasi atau memproses dari rokok yang ada, di sana mempunyai nilai penanganan atau penyembuhan yang dalam paket, dalam klinik dilaksanakan dengan balur nano terapi modifine cigarette .
Allan Sulistiono y Saksi diagnosa menderita kanker hati stadium 3; y Saksi melakukan terapi balur dengan memakai tembakau dan hasilnya telah normal. Ahli Pemohon 1. Josi Ali Arifandi y Bahwa penanaman tembakau di Indonesia telah berlangsung di areal yang lokasinya spesifik dan sangat sedikit berkembang ke lokasi lahan lainnya, oleh karena produk tembakau yang sudah ada sejak penanamannya memiliki ciri kualitas spesifik yang dikenal pasar dan konsumennya, sehingga tidak bisa digantikan dengan produk tembakau dari hasil penanaman di lokasi lahan lainnya; y Bahwa tembakau merupakan sumber pendapatan yang sangat besar bagi petani/pekebun di lahan marginal yaitu ketika pada musim tanam tertentu (musim kemarau) tanaman lain sudah tidak dapat berproduksi atau nilai ekonomisnya berada di bawah tembakau; y Bahwa bagi negara, industri tembakau memiliki kontribusi cukai, pajak dan devisa yang meningkat terus dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 mencapai kisaran Rp. 57 Triliun;
Mukti Ali Imran y Bahwa zat adiktif diklasifikasikan atau dikelompokkan ke dalam jenis narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau yang sering disebut napza; y Bahwa berdasarkan kerja biologis atau efek yang ditimbulkan napza digolongkan menjadi tiga yaitu:
Stimulan Adalah zat yang merangsang sistem syarat pusat sehingga mempercepat proses-proses dalam tubuh, seperti meningkatnya detak jantung, pernafasan dan tekanan darah. Stimulan membuat 34 orang menjadi lebih siaga dan menyembunyikan kelelahan. Zat adiktif yang tergolong stimulan antara lain adalah kafein, nikotin, kokain, dan amfetamin;
Depresant Depresant menghasilkan aksi yang berkebalikan dengan stimulan. Depresan menurunkan kesadaran terhadap dunia luar dan menidurkan. Depresan memperlambat proses tubuh dan otak, seperti menurunkan tekanan darah, suhu tubuh, detak jantung dan kontraksi otot. Depresan digunakan dalam bidang kedokteran untuk terapi insomnia (sulit tidur) dan ketengangan contoh alkohol dan obat-obat penenang seperti babbiturat, opiada (morfin, heroin, kodein);
Halusinogen Halusinogen adalah zat yang dapat mempengarugi sistem syaraf dan menyebabkan halunisasi (berkhayal). Pengguna zat ini mendengar atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak nyata; y Bahwa Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 mengenai pengaman zat Adiktif secara tidak langsung telah mereduksi makna zat adiktif yang terbatas hanya pada tembakau semata dan produk turunannya dalam semua fasa (padat, cair, dan gas). Padahal tembakau bukanlah satu-satunya zat yang memiliki sifat adiktif. Dengan kata lain tembakau (mengandung senyawa alkaloid nikotin) atau produk yang mengandung tembakau dalam semua fasa (padat, cair, dan gas) merupakan salah satu zat dari sekian banyak zat yang juga bersifat adiktif; y Bahwa bahan yang bersifat adiktif tidak hanya terbatas pada tembakau; y Pembatasan istilah zat adiktif hanya pada tembakau saja secara tidak langsung telah mereduksi makna zat adiktif, dan hal ini memberikan pengertian yang bias; y Bahwa untuk mengetahui pengaruh atau perbandingan adiksi suatu bahan terhadap bahan adiksi bahan lainnya, harus melalui studi empiris yang mengagabungkan pendekatan data faktual-kualitatif-kuantitatif; y Penggunaan kata ”zat adiktif” pada suatu bahan, sebaiknya atau seharusnya disertai dengan klsifikasi terhadap jenis adiktif tersebut, 35 apakah stimulan, depressant, halusinogen, dan lain-lainnya sehingga jelas bagi konsumen;
Gabriel Mahal y Berbicara soal peraturan perundang-undangan pengendalian tembakau atau pengamanan tembakau sebagai zat adiktif di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari agenda global pengontrolan tembakau atau yang populer disebut agenda anti tembakau. Sebab salah satu strategi penting dalam menyukseskan agenda anti tembakau global adalah lewat kebijakan regulasi nasional pengontrolan/pengamanan tembakau; y Nikotin dari tembakau tidak dapat dipatenkan karena berasal dari alam. Yang dapat dipatenkan adalah alat pengantar nikotin ( nicotine delivery device ) dan senyawa terapi yang mengandung nikotin sebagai bahan utama yang dihasilkan oleh korporasi-korporasi farmasi multinasional. Di sinilah letaknya salah satu kepentingan untuk mengontrol atau mematikan tembakau dan rokok itu; y Kampanye agenda anti tembakau di Indonesia tidaklah terlepas dari agenda global. Hal ini dapat dilihat dari dukungan dana-dana luar negeri untuk menyukseskan agenda anti tembakau. Pengucuran dana kepada setiap pihak penerima dana diperuntukan bagi pelaksanaan agenda dari masing-masing pihak penerima dana; y Ketentuan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan Proyek Prakarsa Bebas Tembakau dengan agenda anti tembakau global dalam hukum nasional Indonesia; y Pada saat petani tembakau, petani cengkeh, jutaan rakyat yang hidupnya bergantung pada industri tembakau dan industri terkait lainnya, merasa terancam kehilangan sumber nafkah kehidupannya, akibat pelaksanaan agenda anti tembakau dengan segala regulasinya, pada saat negara terancam pula kehilangan sumber penerimaan negara dari industri tembakau, yang kesemuanya tidak ditanggung dan tidak pula digantikan oleh Proyek Prakarsa bebas Tembakau dengan segala agenda anti tembakaunya, korporasi-korporasi farmasi multinasional, yang tidak 36 menyerap tenaga kerja dan tidak memberikan keuntungan bagi penerimaan negara, sibuk menghitung keuntungan dari perdagangan obat-obat NRT, dan sibuk menghitung peluang-peluang pasar untuk mengekspor obat-obat NRT; y Membunuh tembakau dengan segala industrinya di Indonesia, termasuk industri terkait lainnya, akan menyebabkan naiknya angka pengangguran rakyat Indonesia. Setiap 10% kenaikan penganggur menyebabkan kematian naik jadi 1,2%, serangan jantung 1,7% dan harapan hidup berkurang 7 tahun. __ 4. Rinaldo Prima y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat memberikan pemahaman yang ”menyesatkan”, karena secara tendensius dapat membentuk opini dan sekaligus memberikan stigma bahwa hanya tembakau yang mengandung zat adiktif, padahal masih sangat banyak jenis-jenis tanaman dan produk yang mengandung zat adiktif; y Bahwa pasal a quo menjadi bersifat diskriminatif dan sekaligus dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan asas keadilan dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; y Pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah berpedoman atau mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sangat besar kemungkinan ketentuan pasal a quo bertentangan atau setidak-tidaknya kurang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo yang sangat ”tendensius” menyebutkan hanya jenis tanaman tembakau saja yang mengandung zat adiktif telah pula berisikan rumusan yang sama sekali tidak memberikan ”perlindungan hukum” bagi petani tembakau. Sebaliknya secara diskriminatif telah memberikan memberikan perlindungan hukum kepada petani yang menanam jenis tanaman lain yang mengandung zat adiktif; 37 y Bahwa ketentuan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945; y Bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo sangat jelas sekali merupakan satu kesatuan norma hukum dengan ketentuan Pasal 113 ayat (2) sebagaimana yang dikehendaki oleh ketentuan angka 58 dan angka 62 Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dengan kata lain jenis tanaman yang mengandung zat adiktif hanyalah jenis tanaman yang disebutkan pada ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo ; y Selain itu, ahli juga mengajukan keterangan tertulis (terlampir).
Prof. dr. Moch Aris Widodo MS., SpFK., PH.D y Bahwa fenomena penyakit disebabkan faktor genetik yang berinteraksi dengan lingkungan sel; y Bahwa kebanyakan penyakit degenetik penyebabnya adalah multi- faktorial. Apabila faktor genetik ada sedang faktor lingkungan yang merugikan tidak ada atau dihilangkan maka tidak akan terjadi fenomena penyakit sebaliknya apabila ada faktor genetik, ditambah dengan faktor atau banyak faktor lingkungan sel yang merugikan maka akan muncul fenomena penyakit tersebut. Merokok berdasarkan bukti ekperimental dan bukti klinik tidak dapat dituduh sebagai penyebab tunggal penyebab kesakitan oleh karena tidak semua perokok menderita penyakit kanker paru atau jantung koroner sedang yang tidak merokokpun dapat terkena kedua penyakit tersebut; y Tembakau dalam beberapa hal mirip dengan alkohol kedua bahan tersebut boleh beredar bebas di pasaran. Yang berbeda adalah efek alkohol dapat menimbulkan kerancunan akut yang sering mematikan bahkan kematian dapat terjadi bukan karena alkoholnya tetapi oleh karena kecelakaan lalu lintas; y Pembakaran daun tembakau pada rokok menghasilkan 4000 bahan kimia termasuk nikotin. Nikotin ini yang menyebabkan efek pada neuron sehingga seorang mendapatkan efek seperti meningkatkan konsentrasi, 38 menghilangkan kebosanan dan kecemasan efek ini berlangsung sangat cepat kurang lebih 30 menit. Efek pada neuron atau saraf otak yang menyebabkan seseorang ingin menghisap rokok kembali yang dikenal sebagai adiksi. Nikotin dalam sirkulasi menyebabkan efek pada saraf periper berupa peningkatan kontraksi dan frekuensi jantung dan peningkatan tekanan darah; y Selain memberikan keterangan secara lisan, ahli juga mengajukan keterangan tertulis.
Sutiman B. Sumitro y Banyak orang bertanya, akankah isu rokok kretek juga merupakan bagian dari skenario perusahaan multinasional, ahli pun memiliki pendapat yang serupa. Ahli kwatir hal ini sudah merupakan bagian dari strategi jangka panjang industri rokok asing. Saat ini aktivitas jangka pendek adalah fokus mencaplok industri rokok lokal yang mulai ancang-ancang pindah ” core business ” (Sampoerna sudah dilepas ke Philip Morris dan PT. Bentoel pindah tangan ke BAT, sementara PT Gudang Garam sudah mulai ancang-ancang dengan memperkuat sektor bisnisnya ke bidang energi demikian juga PT. Jarum). y Ahli sangat berharap bangsa ini memiliki strategi yang baik dan bersifat komprehensif dalam permasalahan rokok kretek ini dan mengusulkan sebagai berikut:
Melakukan penelitian sungguh-sungguh untuk menakar dampak rokok khususnya kretek. Ahli memandang penelitian yang selama ini dilakukan masih terlalu parsial dan masih terlalu mendasarkan pada hasil studi di negara barat/asing. Perlu punya data dan simpulan yang merupakan gambaran riil dampak rokok di masyarakat. Kegiatan survey dan uji klinis harus dilakukan dengan sampel (responden) ukuran puluhan ribu orang dengan sebaran yang mencakup sebagian besar etnik di Indonesia. Sifat masalahnya yang sangat kompleks dan sarat dengan banyak sekali kepentingan, dan melibatkan nasib puluhan juta orang serta asset ratusan triliun rupiah mengharuskan adanya program penelitian berskala nasional, yang dilakukan secara 39 saksama, sungguh-sungguh, komprehensif meliputi semua aspek kehidupan baik kesehatan, pendidikan, sosial, budaya, psikologi maupun ekonomi dengan keberpihakan yang jelas kepada kepentingan bangsa;
Industri rokok harus didorong memiliki unit penelitian dan pengembangan yang memadai dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi rokok kretek yang lebih sehat dan menyehatkan. Dapat melibatkan setra-sentra sumber daya peneliti di perguruan tinggi maupun Lembaga Riset yang ada. Penelitian yang dilakukan dapat dengan menggunakan pendekatan baru yang berbeda dengan pendekatan keilmuan yang sekarang dilakukan yaitu pendekatan Nano Science atau Nano Teknologi. Bila hal ini dilakukan dengan sungguh- sungguh sangat mungkin akan menjadi sumber inspirasi dunia.
Dr. dr. Jack Roebijoso, MSc y Tembakau dan nikotin dikelompokkan pada bahan yang dapat menimbulkan efek adiktif, namun dampak adiktif terhadap kesehatan (medis, psikologik dan sosial), tergolong masih mudah diatasi dan tidak menimbulkan efek ”kecanduan” seperti zat narkotika. Sehingga dengan model pelayanan kesehatan dokter keluarga yang memberdayakan maka masalah kesehatan dan adiksi akibat merokok dapat dikendalikan lebih proporsional. Hal ini tidak akan terjadi pada model pelayanan kesehatan yang liberalistik maupun sosialistik seperti saat ini terjadi di Indonesia dan negara lain, sehingga mereka merasa perlu membatasi perlu membatasi rokok dengan berbagai cara; y Teknologi industri rokok sudah dan akan mampu dikembangkan oleh para ahli Indonesia, sehingga dampak adiksi dan kesehatan dapat diminimalisasi. Penemuan dan kemajuan teknologi pengendalian dampak kesehatan dari rokok (nano teknologi pada filter rokok) dan model pelayanan kesehatan yang memberdayakan masyarakat (dokter keluarga ala Indonesia), akan menjadi komiditi yang berharga bagi kemajuan pembangunan teknologi fabrikasi rokok, kedokteran dan kesehatan di 40 masa depan bagi kepentingan ekonomi dan pembangunan kesehatan/kedokteran di Indonesia; y Faktor risiko kesehatan tidak pernah tunggal dan selalu multi faktor, sehingga memberi ”vonis” tembakau atau merokok merupakan penyebab utama ( causal factor ) bagi timbulnya berbagai penyakit dan kematian; y Peran faktor risiko kesehatan secara bersama atau sendiri-sendiri untuk dapat menimbulkan gangguan kesehatan diperlukan waktu yang cukup lama, sehingga masih ada kesempatan melakukan edukasi dan advokasi kesehatan untuk mengurangi atau meniadakan dampak faktor risiko kesehatan untuk tujuan mencegah kejadian sakit dan kematian dari suatu penyakit tertentu; y Kegagalan sistem organisasi dan manajemen pelayanan kesehatan bagi perorangan dan keluarga pada era SKN lama (2004), telah mendorong muncul dan tumbuhnya model pelayanan kesehatan bagi perorangan yang lebih liberalistik (kuratif, mahal, eksploitatif) dan sosialistis (kuratif, murah, obscurantisme) di Indonesia; y Model penelitian eksperimental pada binatang percobaan mengenai risiko merokok, tidak serta merta analogis terjadi pada manusia, karena berbeda dosis dan lama paparan asap rokok dan multi faktor lainnya; y Kebijakan memasukan dalam Undang-Undang Kesehatan fasal tembakau merupakan barang adiktif (dengan klasifikasi dampak adiksi ringan) dan dugaan rokok menjadi sumber ( factor causal ) dari berbagai penyakit dan kematian di dunia dan Indonesia, sebagai dasar kebijakan menghapus komiditi tembakau dan rokok, tampaknya masih belum tepat sasaran untuk Indonesia saat ini; y Kebijakan pemerintah melakukan eliminasi komiditi tembakau dan rokok dengan alasan zat adiktif dan rokok telah memberi kontribusi terhadap timbulnya penyakit dan kematian adalah kebijakan yang masih ”parsial”, tidak komprehensif dalam kebijakan bidang kesehatan, sehingga hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan dan bahkan akan muncul masalah sosial, ekonomi yang berdampak pada kesehatan (morbiditas, mortalitas), karena berbagai sebab (faktor risiko) kesehatan lain yang akan muncul 41 dalam penelitian kesehatan juga harus diakomodasi dalam Undang- Undang dan peraturan; y Tembakau, rokok, dan teknologi pengendalian dampak kesehatan justru akan menjadi andalan ekspor Indonesia, dikemudian hari. [2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 20 Mei 2010 Mahkamah telah mendengar keterangan Pemerintah yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: POKOK PERMOHONAN PEMOHON a. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, telah merugikan hak konstitusional Pemohon dan berpotensi merugikan para petani tembakau, petani cengkeh dan para pekerja pabrik rokok, karena ketentuan a quo telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum dan merasa was-was untuk menanam tembakau dan cengkeh di Indonesia, yang pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian materiil apabila tidak menanam tembakau, jika dibandingkan dengan menanam jenis tanaman pertanian lainnya.
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan a quo, menimbulkan ketidakadilan karena hanya mencantumkan satu jenis tanaman pertanian jenis tanaman tembakau saja yang dianggap merugikan bagi pemakaiannya maupun masyarakat sekelilingnya (disebut sebagai zat adiktif), sedangkan tanaman seperti ganja, kopi dan Iain-Iain (yang juga mengandung zat adiktif) tidak dicantumkan/ dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan a quo, pemuatannya sangat dipaksakan oleh pembuat Undang-Undang, khususnya oleh Pemerintah, lebih-lebih ketentuan a quo akan dijadikan payung hukum/landasan hukum oleh Pemerintah untuk melahirkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.
Singkatnya menurut Pemohon ketentuan a quo, telah memberikan pembedaan, perlakuan yang bersifat tidak adil terhadap setiap orang termasuk Pemohon 42 selaku petani tembakau maupun petani cengkeh di Indonesia, hal demikian tidak sesuai dengan tujuan dan hakikat konstitusi yang menjamin adanya keadilan ( justice ), __ kepastian ( certainty atau zekerheid ) __ dan kebergunaan atau kebermanfaatan ( utility ), __ karena itu menurut Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28 I serta Pembukaan ( preambule ) __ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) __ PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga Negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan " hak konstitusional ” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang- Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. 43 Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang- Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, maka menurut Pemerintah perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) __ dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut Pemerintah, permohonan Pemohon tidak jelas dan salah alamat karena ketentuan yang dimohonkan untuk diuji adalah berkaitan dengan pengamanan zat adiktif, lingkup zat adiktif maupun pengaturan tentang produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif, dengan perkataan lain ketentuan a quo tidak terkait atau setidak-tidaknya bukan dimaksudkan untuk mengurangi, mengganggu atau menghalang-halangi Pemohon untuk memanfaatkan lahan pertaniannya guna ditanami tembakau. Dari uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah permohonan 44 Pemohon tidak jelas dan kabur ( obscuur libels ) , khususnya dalam mengonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut di atas, karena itu menurut Pemerintah, kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya, apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG KESEHATAN Sehubungan permohonan pengujian ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan:
Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Keberadaan Pasal 113 ayat (1) di atas secara tegas telah menguraikan tujuan yang ingin dicapai dari pengaturan zat adiktif. Dan pengaturan secara tegas lingkup zat adiktif telah dituangkan dalam ayat (2). Selanjutnya mengenai standar dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam produksi, peredaran, dan penggunaan diatur dalam ayat (3) dengan tujuan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan dan ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan. 48 4. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Pemerintah keberadaan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo merupakan suatu conditio sine qua non karena merupakan fundamen yang kuat untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan pada umumnya. Dengan demikian menurut Pemerintah pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam undang-undang a quo telah sesuai dengan amanat konstitusi utamanya dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. B. Mengapa diperlukan pengaturan secara khusus mengenai zat adiktif dalam Undang-Undang a quo ; __ 1. Pengertian Zat Adiktif __ a. Bahwa menurut ketentuan dalam Internasional Statistical Classification Of Diseases And Related Health Problems (ICD 10 WHO, Tahun 1992 halaman 321), pengertian adiksi atau ketergantungan adalah suatu kumpulan perilaku, kognitif dan fenomena fisiologis yang terjadi setelah penggunaan berulang suatu bahan tertentu dan ditandai oleh keinginan kuat untuk mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, walaupun dapat mengakibatkan bahaya, memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut dari pada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan kadang-kadang menyebabkan keadaan gejala putus zat ( withdrawal ). __ b. Bahwa zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus yang jika 49 dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa. __ Sumber: __ http: //www.scribd.com/doc/17633440/Pengertian-Zat-Adiktif __ c. Bahwa zat adiktif merupakan zat atau bahan kimia yang bisa membanjiri sel saraf di otak khususnya "Reward Circuit' atau jalur kesenangan dengan dopamine, yaitu zat kimia yang mengatur sifat senang, perhatian, kesadaran, dan fungsi lainnya. Sumber: __ http: //www.anneahira.com/narkoba/zat-adiktif.htm __ d. Bahwa zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan perilaku penggunaan yang ditandai oleh rasa ketagihan, upaya untuk memperolehnya dan adanya kecenderungan kambuh yang tinggi setelah penghentian penggunaan. Misalnya gol. opiat, barbiturat, alkohol, anestetika, pelarut mudah menguap, stimulansia SSP, nikotin dan kafein. Sumber: __ http: //dinkes.acehprov.go.id/dinkes/uploadfiles/data2006/kamus_Dink es/z.pdf e. Bahwa zat adiktif adalah istilah untuk zat-zat yang pemakaiannya dapat menimbulkan ketergantungan fisik yang kuat dan ketergantungan psikologis yang panjang ( drug dependence ) . Bahwa karena mengandung nikotin, semua tembakau dan produk tembakau menyebabkan keadaan adiksi. Proses perilaku dan farmakologi yang menentukan adiksi pada tembakau, sama dengan proses penentuan adiksi pada narkotik, heroin, dan kokain. Sumber: USDHHS. The health consequences of smoking: nicotine addiction. A report of the Surgeon General. Rockville MD: USDHHS, Public Health Service, CDC, Center for Health Promotion and Education, Office of 50 Smoking and Health, 1988. DHHS publication no. (CDC) 88 - 8406 Smokeless Tobacco Products Bahwa tembakau pada sirih, tembakau dengan jeruk dan berbagai kombinasi di Asia Selatan dan USA, meningkatkan risiko terjadinya kanker. Sumber: World Health Organization (2007), The Scientific Basis of Tobacco Product Regulation, Report of a WHO Study Group, WHO Technical _Report Series:
_ Penambahan zat adiktif. Bahwa penambahan cengkeh dan mentol pada rokok kretek akan mengurangi efek asap dan memungkinkan perokok mengisap lebih dalam sehingga meningkatkan toksisitas. Sumber: World Health Organization (2007), The Scientific Basis of Tobacco Product Regulation, Report of a WHO Study Group, WHO Technical _Report Series:
_ 2. Tembakau termasuk kategori zat adiktif Bahwa tembakau sebagai komponen utama rokok mengandung nikotin yang merupakan stimulan sistem saraf pusat (SSP) yang mengganggu keseimbangan neuropemancar. Mengisap produk yang mengandung tembakau menghasilkan efek nikotin pada SSP dalam waktu kurang-lebih sepuluh detik. Jika tembakau dikunyah, efek pada SSP dialami dalam waktu 3-5 menit. Efek nikotin dalam tembakau yang dipakai dengan cara dihisap, dikunyah atau dihirup, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, nafsu makan berkurang, menimbulkan emfisema (gangguan pada paru-paru), sebagian menghilangkan perasaan cita rasa dan penciuman serta dapat menimbulkan rasa perih paru-paru. Penggunaan produk tembakau dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru, jantung dan pembuluh darah, dan menyebabkan kanker. 51 Ketergantungan pada nikotin berkembang dengan cepat, terutama ketergantungan secara psikologis. Efek psikoaktif nikotin bekerja dengan cara yang sama di otak sebagaimana jenis-jenis zat adiktif lainnya. Ketika nikotin mencapai otak, perokok mengalami perasaan "high", yaitu suatu perasaan seperti menurunnya ketegangan atau kemungkinan adanya perasaan senang yang berlebihan ( euphoria ). Bahwa nikotin telah dikenal dan dipakai oleh penduduk asli Amerika pada upacara keagamaan dan peristiwa sosial seribu tahun lalu. Dikenal di Eropa pada abad ke-17, nikotin telah dipakai untuk maksud hiburan dan pengobatan. Pemakaian tembakau diperluas dengan diperkenalkannya jenis tembakau yang lebih ringan, mesin penggulung rokok otomatis, kampanye iklan secara besar-besaran dan ketika pemerintah melihat ini sebagai sumber pajak. Bahwa Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization- WHO) dalam penelitiannya menyatakan bahwa satu dari lima kematian disebabkan oleh rokok dan lebih dari 50 persen perokok meninggal dunia sebelum waktunya sebagai akibat langsung dari penyakit yang disebabkan produk tembakau. Selain hal tersebut di atas, toleransi pada efek nikotin berkembang dengan cepat, lebih cepat dibanding heroin dan kokain. Lebih lanjut gejala putus zat setelah penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan sakit kepala, sifat lekas marah yang parah, ketidakmampuan berkonsentrasi, gelisah, dan gangguan tidur. Ketagihan pada nikotin mungkin bertahan seumur hidup setelah berhenti memakai tembakau. Nikotin dengan cepat masuk ke dalam otak begitu seseorang merokok. Kadar nikotin yang diisap akan mampu menyebabkan kematian apabila kadarnya lebih dari 30 mg. Farmakologi nikotin dalam produk tembakau/rokok bersifat kompleks. Menurut Jaffe (1990), faktor ini mencakup: a). komposisi tembakau yang digunakan, b). tingkat kepadatan tembakau yang digunakan dalam rokok, 52 c). panjangnya rokok atau cerutu, d). karakteristik filter yang digunakan, e). kertas yang digunakan dan f). temperatur tembakau itu dibakar. Produk tembakau/rokok mengandung 2550 zat aktif dan akan meningkat menjadi lebih dari 4000 (empat ribu) apabila penggunaannya dibakar. Menurut Burn (1991), bahwa 1.450 jenis zat lain datang dari berbagai zat tambahan ( additive ), __ pestisida dan organik atau zat metal yang dengan sengaja atau tidak disengaja ditambahkan pada komposisi rokok tersebut. Nikotin merupakan komponen utama dalam produk tembakau yang bersifat sangat adiktif. 80% dari seluruh perokok tetap ingin berhenti merokok, sebagian besar dari mereka telah berusaha namun gagal. Hanya 2.5% dari orang yang berusaha berhenti merokok tanpa bantuan yang berhasil. Oleh karena sifat adiktif nikotin yang sangat kuat, maka hanya 20% dari orang yang mencobanya untuk pertama kali sanggup untuk menghentikan kebiasaan merokok. (Sumber: Kecanduan Merokok Peranan Dan Mekanisme Kerja Nikotin-Tena Djuartina dan Yovan Hendriek ). Setiap batang rokok rata-rata mengandung nikotin 0.1-1.2 mg nikotin. Dari jumlah tersebut, kadar nikotin yang masuk dalam peredaran darah tinggal 25%, namun jumlah yang kecil itu mampu mencapai otak dalam waktu 15 detik Tar bukanlah zat tunggal, terdiri atas ratusan bahan kimia gelap dan lengket, dan tergolong sebagai racun pembuat kanker. (Sumber: http: //arsanasv.co.cc/nikotin-dalam-tembakau-dan-bahaya- merokok-bagi-kesehatan/ ) World Health Organization (WHO) menggolongkan kebiasaan merokok sebagai ketagihan ( Tobacco Dependence syndrome: Classification F17. 2 dalam International Classification of Diseases. Tenth Revision ). Laporan US Surgeon General 1988 berkesimpulan bahwa rokok dan semua bentuk penggunaan tembakau membuat pemakainya ketagihan. Pola penggunaan tembakau bersifat tetap, kompulsif, dan sindrom putus zat (dalam hal ini tembakau) biasanya menyertai penghentian penggunaan tembakau. Proses farmakologis dan perilaku yang menentukan ketagihan pada obat seperti heroin dan kokain. Nikotin mempunyai pengaruh pada 53 sistem dopamin otak, sama dengan apa yang ada pada heroin, amphetamine, dan kokain. Dalam urutan sifat ketagihan obat yang psikoaktif, nikotin ditetapkan sebagai lebih menimbulkan ketagihan dibanding heroin, kokain, alkohol, kafein, dan marijuana. Farmakologis nikotin lebih banyak bersifat rangsangan, dengan efek aktivasi elektrokortis, jantung dan sistem endokrin. Nikotin yang diterima dalam tubuh melalui rokok, mempengaruhi hampir semua sistem neurotransmitter dan neuroendoorine. Pemajanan kronik terhadap nikotin melalui rokok menyebabkan perubahan struktural pada otak dengan peningkatan jumlah reseptor nikotin. Akibat akut penggunaan nikotin menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan aliran dari jantung dan penyempitan pembuluh darah. Pengaruh lainnya yang dapat ditimbulkan terutama oleh komponen asap, juga dapat menurunkan kadar oksigen di dalam darah karena naiknya kadar karbon monoksida, juga dapat meningkatkan jumlah asam lemak, glukosa, kortisol, dan hormon lainnya di dalam darah dan peningkatan risiko mengerasnya pembuluh darah arteri dan pengentalan darah (yang berkembang menjadi serangan jantung, stroke) dan karsinogenesis. Akibat kronik yang paling gawat dari penggunaan nikotin adalah ketergantungan, karena sekali seorang menjadi perokok akan sulit mengakhiri kebiasaan itu baik secara fisik atau psikologis. Selain menjadi ketagihan secara fisiologis, merokok dapat juga memenuhi hasrat psikologis yang dirasakan. Proses ini bersama dengan upacara menyalakan rokok dan menghembuskan asap yang dilakukan berulang- ulang, menjadikan merokok suatu perilaku yang amat kompulsif. Merokok dikenal sebagai kebiasaan yang sulit untuk dihentikan dan hanya sedikit sekali perokok yang berhasil menghentikan kebiasaan mereka sebelum beberapa kali mencoba berupaya serius. Sebagai contoh di Republik Dominika, hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar perokok (87%) ingin berhenti, sementara 67.5% menyatakan telah berusaha melakukan dengan bersungguh-sungguh sekurang-kurangnya satu kali. Kemungkinan berhasil dalam upaya tanpa bantuan dinyatakan 54 tidak lebih dari 1 dari 100. Para peneliti menemukan bahwa pengamatan klinis yang menentukan dalam upaya menghentikan kebiasaan merokok adalah bahwa upaya itu bersifat siklik (kambuhan), sehingga para perokok yang berhenti menghadapi risiko kembali pada kebiasaan semula.
Tingkat bahaya pemakaian zat adiktif Bahwa nikotin memiliki tingkat ketergantungan (dependence) paling kuat dibandingkan dengan heroin, kokain, alkohol, kafein dan marijuana. Sedangkan tingkat toleransi nikotin adalah yang ke-2 setelah heroin. Bahwa parameter kualitas adiktif suatu zat dapat dijelaskan sebagai berikut: Withdrawal : __ Tingkat keparahan gejala yang timbul akibat menghentikan penggunaan zat tersebut. Reinforcement : Kecenderungan zat untuk mendorong pengguna untuk memakai lagi dan lagi. Tolerance : Kebutuhan pengguna untuk memiliki dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang sama. Dependence : __ Kesulitan untuk berhenti. Intoxication : Tingkat kemabukan yang dihasilkan oleh zat yang digunakan. Sumber: ( http: //www.druglibrary.org/SCHAFFER/library/basicfax5.htm ) __ Berikut ini dapat digambarkan 2 (dua) orang pakar obat Amerika Serikat yang menilai berbagai obat berdasarkan faktor individual yang dipertimbangkan oleh WHO pada saat menentukan sifat adiktif. Kedua pakar di atas melakukan penelitian untuk menilai 6 jenis recreational drug yang paling umum berdasarkan faktor risiko, mulai dengan angka 1 untuk yang paling berisiko dan angka 6 untuk yang paling kurang berisiko, seperti di bawah ini: Rating oleh Dr. Jack Henningfield, National Institute on Drug Abuse (NIDA) 55 Substance withdrawal Reinforcement Tolerance Dependence Intoxication Nicotine 3 4 2 1 5 Heroin 2 2 1 2 2 Cocaine 4 1 4 3 3 Alcohol 1 3 3 4 1 Caffeine 5 6 5 5 6 Marijuana 6 5 6 6 4 Keterangan : 1 = paling berat 6 = paling ringan Berdasarkan rating tersebut, tingkat ketergantungan nikotin lebih tinggi dari heroin, sedangkan alkohol dinilai paling berbahaya dalam hal withdrawal karena penghentian tiba-tiba dapat menghasilkan efek yang mengancam nyawa pecandu alkohol. Alkohol dinilai paling memabukkan di antara semua obat dalam table sedangkan ketergantungan nikotin dinilai lebih parah dari heroin. Rating oleh Dr. Neal L. Benowitz, University of California, San Francisco: Substance withdrawal Reinforcement Tolerance Dependence Intoxication Nicotine 3 4 4 1 6 Heroin 2 2 2 2 2 Cocaine 3 1 1 3 3 Alcohol 1 3 4 4 1 Caffeine 5 5 3 5 5 Marijuana 6 6 6 6 4 Keterangan : 1 = paling berat 6 = paling ringan Rating menurut Dr. Benowitz sedikit berbeda, tetapi peringkatnya pada dasarnya sama, nikotin memiliki tingkat ketergantungan ( dependence ) __ yang paling tinggi. http: //www.a1b2c3.com/drugs/gen007.htm Pada rata-rata orang dewasa yang sehat, dosis letal dari nikotin diperkirakan adalah dosis tunggal nikotin 60 mg (Ashton, 1992). Pada umumnya rokok mengandung 6-11 mg nikotin (Henningfield, 1995), namun nikotin yang dapat diserap oleh tubuh pada tiap batang sekitar 3% 56 hingga 40% (Benowitz & Henningfield, 1994). Karena nikotin tidak dapat pindah dengan mudah dari alveoli di paru ke pembuluh darah, seorang perokok umumnya menyerap sekitar 1 - 3 mg nikotin dari tiap batang (Henningfield, 1994). Jadi perokok aktif menerima sekitar 1/60 hingga 1/24 dari dosis letal nikotin di atas, setiap kali mereka merokok sebatang. Dalam satu hah perokok yang merokok sebanyak 1 bungkus rata-rata menyerap dosis nikotin secara kumulatif sekitar 20 - 40 mg. Begitu sampai ke dalam tubuh, nikotin secara cepat didistribusi ke setiap jaringan di tubuh yang kaya akan darah, termasuk otak (Henningfield & Nemeth-Coslett, 1988). Nikotin adalah zat yang larut dalam air dan larut dalam lemak jadi mampu masuk pada otak secara cepat. Otak memang menjadi organ tubuh yang paling banyak mengandung nikotin yang terakumulasi akibat penggunaan yang kronis. Nikotin yang terkandung di otak bisa dua kali lebih besar daripada yang ada di bagian tubuh lainnya (Fiore, et al, 1992). Pada otak, nikotin juga diketahui memiliki perangkat sebagaimana yang ada pada zat kokain dan amfetamin (Rustin, 1988).
Bahan berbahaya selain nikotin yang terkandung dalam produk tembakau/rokok yang dibakar. Asap rokok terdiri dari berbagai macam campuran bahan kimia kompleks yang merupakan produk non-spesifik dari hasil pembakaran bahan organik (seperti asetaldehid dan formaldehid), dan bahan kimia yang spesifik dari pembakaran tembakau dan komponen lain rokok (misalnya nitrosamine spesifik tembakau). Berikut ini rincian singkat dari beberapa komponen atas produk tembakau/rokok yang dibakar:
Karsinogen International Agency for Research on Cancer (IARC) telah membuat daftar 36 bahan kimia yang "diketahui menyebabkan kanker" (Group 1) pada manusia (IARC, 1999). Asap rokok mengandung sedikitnya 10 macam dari ke-36 bahan kimia tersebut, dan banyak bahan kimia mutagenik lain yang termasuk kategori "probably carcinogenic" atau "possibly carcinogenic" (IARC Group 2). 57 b. Tar Tar merupakan bagian dari asap tembakau yang berupa massa partikulat kering dan bebas nitrogen (U.S. Surgeon General, 1988). Fraksi partikulat dari asap rokok mengandung banyak konstituen karsinogenik yang berbahaya, di antaranya logam, PAH, dioksin, dan beberapa nitrosamine nonvolatile. Kandungan tar pada rokok secara tradisional diukur dengan metode terstandardisasi dengan bantuan smoking machine. Kadar tar digunakan untuk pengukuran tingkat toksisitas relatif produk tembakau, sehingga terdapat klasifikasi rokok dengan kadar tar tinggi, sedang, dan rendah.
Gas Di samping fase partikulat (tar), pada asap tembakau ditemukan banyak bahan kimia pada fase gas. Gas yang paling banyak dilaporkan adalah karbon monoksida (CO) dengan kadar hingga ratusan ppm. Toksisitas karbon monoksida adalah karena kemampuannya membentuk karboksihemoglobin, suatu kompleks kimia stabil dengan hemoglobin. Kompleks ini secara efektif menghilangkan molekul pembawa oksigen, hemoglobin, dari peredaran darah dan organ vital. Konsentrasi karboksihemoglobin darah sekitar 2% atau lebih dari kadar hemoglobin terkait dengan sakit angina pada orang dengan penyakit kardiovaskular dan dapat menyebabkan ischemia jantung serta mengurangi aliran darah ke jantung.
Nitrosamine Nitrosamine merupakan amin organic yang mengandung sebuah gugus nitro ( -NO ) __ yang terikat pada gugus amin melalui reaksi nitrosasi. Sebagian besar senyawa amin yang diteliti terbukti menyebabkan mutasi DNA. Nitrosamine nonspesifik pada tembakau di antaranya N- nitrosodimetilamin (NDMA), N-nitrosodietilamin (NDEA), N- nitrosoetilmetilamin, N-nitrosodietanolamin, N-nitrosopirolidin (NP), dan N-nitroso-n-butilamin (NBA) (Mitacek et al., 1999). 58 Senyawa-senyawa yang spesifik tembakau secara umum disebut non-volatile Tobacco-Specific Nitrosamines (TSNA). Terdapat 4 macam TSNA yang secara luas dilaporkan dalam literature yaitu: N- nitrosoanabasin (NAB), N-nitrosoanabatin (NAT), 4-metil- (metilnitrosoamino)-1-(3-piridil)-1-butanon (NNK) dan nitrosonomikotin (NNN). NNK dan NNN memiliki potensi mutagenic yang paling besar. NNK dan NNN terbukti menyebabkan DNA adduct terkait tumor pada rodensia dan diklasifikasikan menjadi probable human carcinogens oleh IARC (Hecht, 1999; IARC 1999). Badan regulasi seperti USFDA dan USEPA menganggap nitrosamine jenis apapun memiliki potensi mutagen dan bahaya kanker hanya dilihat melalui struktur kimianya. Penelitian menyimpulkan bahwa pengurangan penggunaan pupuk kaya nitrat dan logam berat akan dengan signifikan mengurangi karsinogenitas asap rokok dengan cara penurunan kadar nitrosamine, cadmium, nikei, krom, berilium, arsen, 2-naftilamin, dan 4- aminobifenil. e. Polynuclear __ Aromatic Hydrocarbon __ ( PAH ) Senyawa Polinuclear Aromatic Hydrocarbon ( PAH ) __ terbentuk melalui pembakaran setiap senyawa organik. Benzo(a)piren ( BaP ) __ merupakan zat yang paling banyak dipelajari dan merupakan salah satu zat yang secara toksikologi paling kuat pada kelompok senyawa ini. Analisis kadar BaP pada Canadian cigarette menunjukkan bahwa kadar rata-ratanya adalah 17 ng/cigarette, tetapi untuk brand yang ultra dan ekstra low tar memiliki nilai rata-rata setengah dari nilai tersebut dengan pengukuran di bawah kondisi standar merokok (Kaiserman and Rickert, 1992).
Dioksin Terklorinasi dan Furan Dioksin terklorinasi dan furan __ merupakan kontaminan __ yang terbentuk melalui reaksi antara senyawa/organik dengan klorin, biasanya pada kondisi pembakaran. Laporan menunjukkan kadar kontaminan dioksin __ pada rokok di New Zealand rendah dibandingkan dengan standar dunia. Kandungan dioksin pada asap rokok dapat karena 59 keberadaannya pada rokok itu sendiri atau hasil reaksi antara klorin dengan senyawa organik selama proses pembakaran. Laporan di Swedia menunjukkan kadar dioksin sebesar 1490 pg/ aliran asap rokok (Lofroth and Zebuhr, 1992). _Source: _ _The Chemical Constituents in Cigarettes and Cigarette Smoke: _ Priorities for Harm Reduction, A Report to the New Zealand Ministry of Health, March 2000 http: //www.moh.govt.nz/moh.nsf/pagescm/1003/$File/chemicalconstitu entsciqarettespriorities.pdf 5. Pengaturan zat adiktif di berbagai negara Di Amerika, tembakau sebagai zat adiktif diatur dalam Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, legislasi landmark yang memberikan kewenangan pada USFDA untuk mengatur manufacturing dan marketing tembakau dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat. http: //www.americanheart.org/presenter.jhtmI?identifier=11223 Di Eropa terdapat Tobacco legislation, regulation and voluntary agreements (England and European Union) Action on Smoking on Health http: //old.ash.org.uk/html/policy/legislation.html Kafein yang memiliki sifat adiktif, di Amerika diatur melalui mekanisme Dual Regulation yaitu Kafein sebagai Obat dan Kafein sebagai Makanan. http: //leda.law.harvard.edu/leda/data/642/Mrazik.html Selain keterangan tersebut di atas, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Pengaturan mengenai Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang- Undang a quo telah memenuhi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo tidak dilakukan secara tergesa-gesa, terburu-terburu atau dipaksakan, justru pengaturan mengenai pengamanan zat adiktif dalam Undang- 60 Undang a quo telah mempertimbangkan berbagai aspek utamanya aspek kesehatan masyarakat pada umumnya.
Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo telah sesuai (sinkron) dengan Undang-Undang terkait lainnya. Pengaturan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo tidak bersifat tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya, misalnya yang berkaitan dengan Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Psikotropika telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sehingga pengaturan pengamanan zat adiktif dalam Undang-Undang a quo saling melengkapi. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan alasan Pemohon yang menyatakan bahwa menanam tembakau dan merokok khususnya kretek merupakan suatu budaya dan budaya kerja, dengan penjelasan sebagai berikut:
Pengertian Budaya dan Kebudayaan a) Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo, 1993). b) Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. c) Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Pengertian Budaya Kerja Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap 61 menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Sumber: Drs. Gering Supriyadi, MM dan Drs. Tri Guno, LLM) 3. Tujuan Atau Manfaat Budaya Kerja Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.
Manfaat dari penerapan budaya kerja yang baik:
Meningkatkan jiwa gotong royong b. Meningkatkan kebersamaan c. Saling terbuka satu sama lain d. Meningkatkan jiwa kekeluargaan e. Meningkatkan rasa kekeluargaan f. Membangun komunikasi yang lebih baik g. Meningkatkan produktivitas kerja h. Tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll. Budaya adalah Definisi Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1 Pikiran; akal budi: hasil -- _; _ 2 Adat istiadat: menyelidiki bahasa dan _--; _ 3 Sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yang --; 4 Cak sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Definisi Budaya menurut Wikipedia Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dengan demikian budaya harus memiliki nilai positif bagi perilaku masyarakat yang harus dilestarikan, sedangkan perilaku merokok (kretek) dari sudut pandang kesehatan tidak memiliki nilai positif bahkan mengganggu dan merugikan kesehatan. 62 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, justru bertujuan untuk memberikan perlindungan umum ( general protection ) terhadap setiap orang akan dampak buruk penggunaan zat adiktif, dan karenanya menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28 I UUD 1945. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I serta Pembukaan ( preambule ) __ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain mengajukan keterangan, Pemerintah juga mengajukan 3 (tiga) orang Saksi dan 6 (enam) orang Ahli, yang telah didengar keterangannya pada persidangan hari Kamis, tanggal 2 Juni 2010 dan Rabu, 5 Januari 2011 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 63 Saksi Pemerintah 1. Rima Melati y Saksi seorang perokok dan akibat dari ketergantungan rokok, saksi sakit kanker stadium akhir. __ 2. Yanti Sampurna y Suami saksi meninggal telah merokok 40 tahun dan tidak dapat berhenti merokok sampai wafatnya. Suami saksi menderita kanker paru dengan diketemukannya sel-sel yang khas sebagai sel kanker akibat rokok; __ 3. Pa Iswanto __ y Saksi adalah petani tembakau sejak tahun 1970 dan telah menikmati hasil tembakau tersebut dengan mendirikan rumah dan mempunyai sepeda motor; __ y Saksi sebagai petani tembakau kwatir apabila tembakau disingkirkan yang mana akan mengakibatkan akan mengadu nasib ke kota besar. __ Ahli Pemerintah 1. Prof. Dr. Amir Syarief y Nikotin tergolong zat adiktif karena bila nikotin dikonsumsi maka dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik, dan toleransi, serta sulit menghentikannya meskipun zat tersebut dapat menimbulkan masalah bagi dirinya; y Ketergantungan psikologis bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dan berkeinginan menggunakannya kembali berulang-ulang untuk memperoleh efek yang menimbulkan suatu perasaan nyaman, senang, bergairah, bersemangat yang bila keinginannya tidak terlaksana akan menimbulkan perasaan sebaliknya menjadi lesu, tidak bergairah; y Ketergantungan fisik bila seseorang telah mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan menghentikannya atau menguranginya secara tiba- tiba, maka akan menimbulkan tanda-tanda gangguan fisik; y Ketergantungan toleransi bila seseorang telah mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan memerlukan peningkatan takaran, atau dosis untuk memperoleh efek yang sama seperti sebelumnya; 64 y Gejala putus obat adalah gejala yang ditimbulkan oleh seseorang yang telah mengalami ketergantungan, yang menghentikan akan mengurangi pemakaiannya secara tiba-tiba. Gejala putus dari nikotin adanya tersinggung, menjadi seseorang yang tidak sabar, memiliki sifat bermusuhan, merasa cemas, merasa tidak nyaman, tidak enak, sulit berkonsentrasi, gelisah, denyut jantungnya menurun, selera makannya bertambah, berat badannya meningkat; y Setelah merokok tembakau terdapat nikotin di dalam darah. Merokok tembakau dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang menimbulkan kanker pada paru, rongga mulut, faring, laring dan isofagus yang dapat menimbulkan masalah pada pembuluh darah jantung dan otak. Wanita hamil terjadi arbortus, kelainan kongenital pada janin; y Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau, dalam kadar yang cukup besar. Rokok tembakau mengandung nikotin sehingga merokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis fisik dan toleransi. Asap rokok tembakau mengandung bahan kimia yang dapat memicu terjadinya penyakit kanker, penyakit paru-paru serta gangguan kesehatan lainnya.
Dr. Widyastuti Soerojo y Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan perlindungan bagi seluruh warga masyarakat tanpa kecuali sesuai mandat UUD 1945; y Perlindungan terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif tidak melarang usaha pertanian tembakau apalagi mematikan mata pencaharian petani dan tidak bertentangan dengan UUD 1945; y Sifat adiktif pada nikotin sangat kuat, studi menunjukan bahwa berhentinya merokok lebih sulit daripada menghentikan ketagihan heroin dan kokain. Adanya 60 juta perokok aktif yang ada di Indonesia saat ini sudah mengindikasikan jaminan kelangsungan pertanian tembakau beberapa dekade mendatang; 65 3. Ahmad Hudoyo y Tembakau dapat dijadikan zat pengawet yaitu pengawet untuk bumbu, untuk kayu dan dapat mewarnai sutera; y Daun Tembakau dari hasil penelitian dapat sebagai obat kencing manis dan direkayasa genetik dapat dijadikan obat anti kanker; y Daun tembakau dapat menjadi idola para dokter karena ahli genetika dan ahli biologi populer merupakan daun yang paling mudah direkayasa, cepat berubah DNA sifatnya sehingga sangat efesien untuk penelitian-penelitian.
Arini Setiawati y Nikotin dalam rokok tidak begitu berbahaya jauh lebih aman daripada merokok, keracunan nikotin dalam jumlah kecil jauh lebih aman dibandingkan merokok. Zat-zat dalam asap tembakau itulah yang berbahaya, toksik dan menyebabkan kanker; y Perokok pasif menghisap asap rokok yang berbahaya tetapi tidak mendapatkan pleasure yang dialami oleh perokok aktif, sehingga alangkah tidak adilnya kalau seseorang bapak merokok sedangkan istrinya dan anak-anaknya harus menghisap asap rokok tersebut, karena dapat menimbulkan bahaya bagi wanita dan anak-anak; y Perokok aktif harus berhenti merokok agar tidak mengalami penyakit yang berbahaya karena perokok ringan dan sedang kematiannya sama saja dengan perokok berat karena merokok dengan 4 batang sehari dengan lebih 20 batang sehari sama penyakitnya dan kematian yang ditimbulkannya.
Abdillah Ahsan y Bahwa ahli telah melakukan studi di Kendal, Bojonegoro dan Lombok Timur dan ahli telah mewawancarai responden buruh tani sebanyak 450 orang dan telah mewawancarai 66 pengelola petani yang pada pokoknya sebagai berikut: - Mereka mengeluh bahwa risiko, usaha perkebunan tembakau itu sangat berisiko, yaitu perubahan cuaca karena tembakau di tanam adalah tanaman semusim, di tanam pada musim kemarau atau musim 66 penghujan. Kalaupun ditanam pada musim kemarau, ketika panen turun hujan maka rusak kualitasnya; - Perubahan harga, harga ditentukan oleh tengkulak, grader; - Hama tanaman; - Turunnya pembelian, karena pembeli utama daun tembakau adalah industri rokok. Apabila industri rokok tidak mau membeli maka tembakau belum diketahui untuk apa penggunaannya.
Ahmad Fattah Wibisono y Bahwa kata merokok atau rokok tidak tercantum dalam Al Qur’an dan As- sunah kata tadkhin tidak ada dalam kitab suci tersebut; y Makruh maupun yang haram, titik temunya adalah sama-sama menginginkan aktivitas merokok dihentikan; y Apabila orang masih mau merokok artinya orang tersebut tidak menjaga kesehatannya, tidak menjaga jiwanya seperti yang menjadi tujuan utama syariat, tujuan utama islam; [2.4] Menimbang bahwa untuk menanggapi dalil-dalil permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengajukan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada Jumat 23 Juli 2010 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 113 Undang-Undang a quo adalah sebagai berikut: (5) Pengamanan penggunaan bahan mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan. 67 (6) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. (7) Produksi, pengedaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pembukaan (Preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD Tahun 1945. B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 113 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 113 Undang-Undang a quo bertentangan dengan asas keadilan, karena hanya mencantumkan satu jenis tanaman pertanian yaitu tanaman tembakau yang dianggap menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya, sedangkan tanaman ganja, yang dilarang tidak dimasukan dalam Undang-Undang a quo dan juga masih banyak jenis tanaman pertanian iainnya yang juga berdampak tidak baik bagi kesehatan dan Pasal 113 Undang-Undang a quo juga dijadikan payung hukum atau landasan hukum bagi Pemerintah untuk melahirkan RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif tanpa melihat dampak kerugian yang dialami oleh para petani tembakau dan cengkeh Indonesia (vide Permohonan a quo halaman 13 paragraf ke-2 dan paragraf ke-3 dan halaman 16 paragraf 1); 68 2. Bahwa Pemohon mendalilkan dengan berlakunya Pasal 113 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka akan berdampak psikologis dan akan mengakibatkan kerugian materiil serta tidak adanya kepastian hukum dalam keberlangsungan kehidupan para petani tembakau dan cengkeh Indonesia, berkurangnya tenaga kerja sektor pertanian, tenaga kerja/buruh pabrik rokok, dan pihak terkait Iainnya ( vide permohonan halaman 19 paragraf ke-2);
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo juga mendalilkan, Pasal 113 paragraf a quo tidak berpihak kepada kepentingan petani tembakau yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan dalam hal ini kehidupan para petani tembakau, cengkeh, dan para buruh pabrik Indonesia serta pihak lain yang terkait dengan pertembakauan juga mempunyai hak hidup yang sama sehingga menanam tembakau atau cengkeh merupakan suatu kewajiban petani untuk melangsungkan kehidupannya. Di samping itu menanam jenis tanaman tembakau dan cengkeh di Indonesia tidak hanya untuk kehidupannya saja tetapi sudah merupakan budaya menanam karena sudah turun-temurun dari generasi ke generasi di mana identitas budaya dan keberadaan masyarakat tradisional juga dilindungi oleh UUD 1945 ( vide permohonan halaman 22-23); Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, Pemohon dalam permohonan a quo berpendapat Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), bertentangan dan tidak sejalan dengan Pembukaan ( Preambule ) dan pasal-pasal UUDn 1945, sebagai berikut: Pasal 27 UUD 1945 menyatakan: (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. __ __ 69 Pasal 28A UUD 1945 menyatakan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya . Pasal 28 I UUD 1945 menyatakan: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. (5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan. C. KETERANGAN DPR Rl Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon. Sesuai dengan Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: 70 a. perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan Hukum publik atau privat; atau
lembaga Negara; Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945; Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menyatakan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”; Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pihak Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud “Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi" yang dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa mengenai batasan-batasan tentang kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang- Undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana telah dibatasi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007), yaitu sebagai berikut: 71 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( casual verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pihak Pemohon; Berdasarkan pada Ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi dan persyaratan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 DPR Rl berpendapat bahwa tidak ada kerugian konstitusional Pemohon atau kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan penjelasan sebagai berikut:
bahwa Pemohon a quo dalam permohonannya mengemukakan berkedudukan sebagai warga negara Indonesia bertmdak untuk dan atas nama sendiri sebagai penanam tembakau maupun mewakili beberapa Kepala Desa beserta warga Desa Kabupaten Temanggung yang mempunyai kepentingan yang sama; 72 2. bahwa dalam permohonan a quo , Pemohon tidak mengemukakan secara jelas dan konkrit mengenai kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan secara aktual dialami langsung oleh Pemohon sebagai akibat berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , tetapi hanya berupa asumsi dan kekhawatiran Pemohon yang beranggapan berpotensi menghilangkan hak konstitusionalnya untuk hidup dengan menanam tembakau;
bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon tersebut, karena apabila mencermati ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , memberikan pengertian bahwa materi norma Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama sekali bukan merupakan norma yang melarang untuk menanam tembakau, melainkan suatu norma yang mengandung pengertian bahwa zat adiktif adalah zat kimia yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, sehingga penggunaan zat adiktif harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, agar tidak menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya, serta tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan yang merupakan bagian dari tujuan dibuatnya Undang-Undang a quo sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo yang berbunyi: "Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis." ;
Bahwa kalaupun tembakau menurut ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo mengandung zat adiktif, tidak berarti ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo telah menghalangi atau mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk menanam tembakau Dengan kata lain bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang 73 a quo sama sekali tidak menghalangi atau mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk menanam dan mengembangkan tembakau sehingga tidak berpotensi menimbulkan kerugian konstilusional bagi Pemohon Oleh karena pada kenyataannya Pemohon dan masyarakat pelani tembakau masih tetap dapat melakukan aktivitasnya sebagai petani tembakau tanpa terhalang atau terkurangi dengan berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo ;
Bahwa dengan demikian kekuatiran Pemohon akan hilangnya identitas budaya menanam tembakau pada masyarakat tradisional petani tembakau menjadi tidak beralasan dan berdasar, mengingat ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo sama sekali tidak melarang dan menghalangi atau mengurangi hak konstitusional bagi Pemohon dan masyarakat Petani Tembakau untuk menanam tembakau;
Bahwa kekuatiran Pemohon akan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif yang dianggapnya dapat menimbulkan kerugian bagi Pemohon dan petani tembakau adalah sangat prematur karena sampai saat ini belum terbit Peraturan Pemerintah a quo , tetapi masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa persoalan yang didalilkan Pemohon terhadap pengujian ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , bukan persoalan konstitusionalitas, melainkan persoalan penerapan norma ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang a quo yang dijadikan dasar untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah a quo . Seandainyapun Peraturan Pemerintah a quo ternyata merugikan kepentingan Pemohon, maka yang berwenang untuk menguji Peraturan Pemerintah tersebut bukan Mahkamah Konstitusi tetapi merupakan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. 74 Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi, serta batasan kerugian konstitusional yang harus dipenuhi sesuai dengan Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Oleh karena itu DPR mohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ); Namun jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia berpendapat lain, berikut ini disampaikan Keterangan DPR mengenai materi pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Pengujian Materiil atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon sebagaimana diuraikan di atas, DPR memberi keterangan sebagai berikut:
Bahwa dasar filosofi dan konstitusional dan pembuatan UU Kesehatan adalah bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan ata- ata bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, oleh karena itu, setiap kegiatan dan segala upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya perlu dilakukan semaksimal mungkin guna pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, dengan demikian dapat meningkatkan daya saing bangsa;
Bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut di atas, dibentuklah Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang bertujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo yaitu "Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, 75 sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis" ;
Bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo , maka dalam ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo diatur secara tegas pengaturan mengenai pengamanan penggunaan bahan zat adiktif yang meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Oleh karena itu, pengaturan mengenai tanaman tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan ditujukan untuk melindungi hak orang lain termasuk anak dan kesehatan masyarakat, terutama masyarakat yang akan terkena dampak negatif penggunaan tembakau dalam bentuk rokok. Undang- Undang Kesehatan sesungguhnya bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari penyalahgunaan zat adiktif seperti rokok yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan kepada Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada kesehatan anak;
Bahwa zat adiktif yang terkandung dalam tembakau atau produk- produk yang mengandung tembakau mempunyai sifat adiksi yang sangat tinggi jika dibandingkan sifat adiksi yang ada dalam bahan- bahan Iainnya, yang akan membawa akibat kecanduan yang sangat sulit dilepaskan oleh para pemakainya. Hal tersebut tentunya akan membawa efek yang sangat berbahaya bagi kesehatan din dan lingkungan sekitarnya, sedangkan Zat adiktif itu sendiri mengandung makna bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi secara terus- menerus akan menyebabkan ketergantungan atau adiksi yang sangat sulit untuk dilepaskan yang jika dihentikan penggunaan secara mendadak akan memberi dampak yang sangat besar bagi tubuh manusia; 76 5. Bahwa tanaman tembakau dimasukan sebagai salah satu zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan tidak dapat dipandang sebagai bentuk ketidakadilan alau menghalangi dan mengurangi hak konstitusional Pemohon, karena zat adiktif Iainnya seperti yang terkandung dalam tanaman ganja dikategorikan sebagai narkotika telah diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Begitu pula zat adiktif psikotropika telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Oleh karena itu ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan asas keadilan, mengingat Undang-Undang Kesehatan hanya berupaya untuk memberikan penekanan dalam bidang kesehatan masyarakat terutama memberikan perlindungan terhadap penggunaan tembakau yang mengandung tingkat adiksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman Iainnya;
Bahwa tanaman tembakau mengandung zat adiktif yang perlu diatur penggunaannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo adalah sudah melalui kajian yang cukup panjang dan terdapat referensi internasional yang diakui diseluruh dunia agar produksi, peredarannya, dan penggunaannya harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Pengendalian tembakau melalui pemenuhan standar dan/atau syarat penggunaannya telah cukup diakui dunia, hal tersebut terlihat dari data pada tahun 2008 sudah ada 160 negara yang telah meratifikasi Freamework Convention on Tobacco Control (FCTC) ;
Bahwa perlu dicermati dalam penjelasan Pasal 113 ayat (3) Undang- Undang a quo menyebutkan penetapan standar dan syarat penggunaan zat adiktif tersebut diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu dan mencegah penggunaan yang menggangu atau merugikan kesehatan. Oleh karena itu perlu dipandang bahwa dampak dan penggunaan zat adiktif ini diupayakan tidak menimbulkan 77 kerugian yang lebih besar kepada kesehatan masyarakat, anak-anak dan lingkungan sekitarnya;
Bahwa DPR berpandangan ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , telah sejalan dengan UUD 1945 dan tidak ada pertentangan dengan asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, mengingat masih ada unsur keadilan yang diberikan untuk kepentingan orang yang lebih banyak terutama perlindungan kesehatan masyarakat, anak dan bangsa, serta asas kepastian hukum karena Undang-Undang ini mengatur mengenai peran pemerintah sebagai regulator untuk mengatur pengamanan bahaya penggunaan zat adiktif bagi kesehatan, dan kemanfaatan bagi kesehatan masyarakat;
Bahwa Undang-Undang Kesehatan juga tidak bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 yang terkait dengan hak hidup, karena Undang- Undang ini tidak melarang sama sekali bagi petani tembakau untuk menanam tembakau sebagai mata pencaharian untuk kelangsungan hidupnya, DPR berpandangan bahwa pada pokoknya Undang-Undang ini mengatur mengenai perlindungan kesehatan masyarakat dan bangsa pada umumnya dari dampak negatif penggunaan tembakau. Dengan demikian sudah sangat jelas dan terang bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk melarang pertani tembakau untuk menanam tembakau, melainkan dimaksudkan untuk mengatur penggunaan zat adiktif yang menggangu atau merugikan kesehatan anak, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Di samping itu juga dimaksudkan untuk melindungi masa depan generasi muda dari dampak negatif tembakau;
Bahwa berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpandangan ketentuan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur 78 kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama sekali tidak bertentangan dengan Pembukaan ( Preambule ), Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan amar utusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak bertentangan dengan Pembukaan (Preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: [2.5.1] Bahwa dr. drh. Mangku Sitepoe mengajukan diri sebagai Pihak Terkait dan telah memberikan keterangan lisan pada persidangan hari Kamis, 20 Mei 2010 dan memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Jumat 22 Oktober 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Bahwa yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap rokok bukan tembakau; 79 • Penyusunan Undang-Undang tidak membedakan antara tembakau dengan asap rokok; • Rokok terdiri dari rokok putih dan rokok kretek yang mana rokok putih sebagai standar untuk bahaya terhadap kesehatan yang mengandung 100% tembakau sedangkan rokok kretek mengandung 60% tembakau dan 40% cengkeh; • Perokok ada 2 macam yaitu mainstream asapnya dan side stream yang dikeluarkan. Side stream perokok pasif dan mainstream merupakan perokok aktif; • Untuk asap rokok digunakan pemeriksaan smoking machine dan untuk memeriksa kadar nikotin di dalam tembakau menggunakan pemeriksaan kimia biasa; • Bahwa merokok bukan this is not the cause of death dan bukan penyebab kematian tetapi menstimulasi penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian; • Tidak semua zat adiktif berbahaya umpamanya teobromin di dalam coklat tidak berbahaya; • Menurut kamus kedokteran di Indonesia zat adiktif adalah suatu substansi atau zat yang menyebebabkan kebutuhan fisiologis yang menimbulkan ketergantungan. Tetapi zat adiktif menurut salah satu buku yang Pihak Terkait baca adalah obat atau zat apabila dikomsumsi oleh mahluk hidup menyebabkan aktifitas biologis, mendorong ketergantungan dan adiksi, sukar diberhentikan dan bila diberhentikan memberikan dampak keletihan dan rasa sakit yang diluar kebiasaan; • Pasal 113 ayat (1) tidak membedakan bahaya zat adiktif di dalam tembakau dengan di dalam rokok. Kata zat adiktif seharusnya diganti dengan zat berbahaya di dalam rokok. [2.5.2] Bahwa Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) mengajukan sebagai Pihak Terkait dan memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, 29 Juni 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 80 • Bahwa draft perubahan Undang-Undang tersebut disetujui dan/atau tepatnya pada tanggal 16 September 2009, Pihak Terkait bersama dengan beberapa organisasi kemasyarakatan mengetahui jika draft yang seyogyanya akan dikirimkan ke Sekretariat Negara untuk diperiksa sebelum ditandatangani oleh Presiden, pada Pasal 113 tidak mencantumkan ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas, yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”; __ • Bahwa Pihak Terkait beranggapan jika ketentuan Pasal 113 ayat (2) ini merupakan bukti keseriusan dan bentuk tanggung jawab konkrit dari pemerintah untuk melindungi warga negaranya secara umum dan memberikan perlindungan yang maksimal bagi anak dan remaja Indonesia dari bahaya zat adiktif khususnya tembakau dan produk turunannya, sehingga dengan menghilangkan ayat-ayat tembakau ini merupakan suatu tindak pidana; __ • Bahwa dikarenakan pentingnya keberadaan ketentuan Pasal 113 ayat (2) ini bagi upaya perlindungan anak dan remaja dari bahaya zat adiktif khususnya bahya rokok, maka Pihak terkait bersama-sama dengan beberapa organisasi yang tergabung dalam koali anti korupsi ayat rokok, diantaranya Komnas Perlindungan Anak, ICW, dan YLKI mengadakan press conference terkait dengan adanya upaya yang teratur dan sistematis dari beberapa oknum untuk menghilangkan ayat tembakau tersebut; __ • Bahwa sebagai bentuk tanggung jawab moril, Pihak Terkait dan Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok kemudian melaporkan secara resmi ke Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga ke Polda Metro Jaya. __ [2.5.3] Bahwa Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengajukan sebagai Pihak Terkait dan telah memberikan keterangan lisan dan keterangan tertulis pada persidangan hari Selasa, 14 Desember 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Bahwa rokok bermula dari sumber produk tembakau yang mengakibatkan korelasi langsung dengan anak karena prevalensi perokok pemula meningkat terbukti dengan data survei di mana prevalensi anak-anak usia 15 tahun 81 sampai 19 tahun yang merokok tahun 2001 meningkat dibandingkan tahun 2004; • Bahwa rokok itu adalah zat adiktif telah bermetamorfosis menjadi barang yang seakan-akan normal; • Bahwa rokok adalah sebuah epidemik global dan bukan barang normal dan karena bukan barang normal adalah tidak patut untuk dianggap seperti halnya barang-barang yang dapat diperjual belikan; • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) yang menggunakan frasa ”pengamanan penggunaan” bukan ”penghapusan” dan karena itu yang dimaksudkan adalah untuk perlindungan atau di dalam bahasa konvensi disebut sebagai ”pengamanan penggunaan” atau ” tobacco control ”; • Bahwa merokok secara quo scientific maupun normatif telah terbukti bahwa merokok berbahaya bahkan mengancam kehidupan. __ Bahwa pada keterangan tertulisnya Komnas PA menerangkan sebagai berikut: A. TIDAK ADA DISKRIMINASI DALAM PASAL 113 AYAT (1), (2), (3) UU KESEHATAN JUSTRU PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL SELURUH RAKYAT TERMASUK HAK KONSTITUSIONAL ANAK. Ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan") adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya dari ancaman bahaya kesehatan, berbagai penyakit dan kecacatan dan kematian yang ditimbulkan akibat tembakau dan produk tembakau, yang secara keilmuan sudah terbukti kebenarannya. Ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan merupakan realisasi hak konstitusional seluruh rakyat, oleh karena:
Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat ( right to health ) __ atas kesehatan dan hak seluruh rakyat atas standar kesehatan tertinggi, yang dijamin dalam UUD 1945;
Perlindung dan pemenuhan serta jawaban atas epidemi global tembakau ( the globalization of the tobacco epidemic ), sehingga kehadiran Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sebagai wujud tanggung jawab negara atas pemenuhan hak kesehatan yang dijamin dalam UUD 1945; 82 (3) Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas hidup ( right to life ) __ dan hak kelangsungan hidup ( right to survival ) __ yang tidak lain merupakan hak utama ( supreme rights ) __ yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945, oleh karena berdasarkan bukti-bukti ilmiah bahwa konsumsi produk tembakau dan keterpaparan asap rokok merupakan penyebab kematian dan menimbulkan berbagai penyakit;
Perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak ( rights of the child ) __ atas hidup, kelangsungan hidup, dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang dijamin dalam Pasal 28A dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Demikian maka, ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sama sekali tidak dapat dikualifikasi sebagai norma yang bersifat diskriminatif dan tidak merupakan pelanggaran atas hak atas keadilan, oleh karena memang secara substansial tembakau dan produk tembakau bersifat adiktif dan membahayakan kesehatan bahkan terbukti secara keilmuan mengakibatkan kematian. Perlindungan seluruh rakyat dari zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan melalui Pasal 113 UU Kesehatan tidak tepat dilekatkan dengan dimensi diskriminasi, namun justru wujud realisasi hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup dan hak-hak anak yang dijamin dalam UUD 1945. Amat janggal menurut rasional dan logika, bahwa upaya perlindungan rakyat termasuk perlindungan anak dari zat berbahaya didalilkan diskriminatif. Dalam hal ini, patut diduga bahwa Pemohon tidak mampu memahami hak konstitusional perlindungan seluruh rakyat atas hak kesehatan dan hak hidup, kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang, termasuk anak-anak dari bahaya tembakau dan produk tembakau. Kehadiran Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru dalam rangka melaksanakan kewajiban negara melindungi seluruh rakyat dan perlindungan anak. Dalam hal penggunaan frasa atau istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan, sama sekali tidak relevan dipahami sebagai bentuk norma yang diskriminatif atau pembedaan perlakuan terhadap satu jenis tumbuhan, dalam hal ini tembakau, oleh karena:
Tembakau dan produk tembakau berdasarkan bukti ilmiah merupakan zat bersifat adiktif, dan karenanya sepatutnya dilakukan pengendalian ( tobacco 83 control ) . Dalam ketentuan Pasal 113 UU Kesehatan sama sekali tidak ada norma yang mencantumkan secara tekstual sebagai upaya memberangus tanaman tembakau, mengeliminir petani tembakau atau industrinya. Frasa yang digunakan justru "pengamanan penggunaan" bukan penghapusan penggunaan, sehingga tidak benar sama sekali ada diskriminasi, justru yang benar adalah perlindungan ( protection ). Kekuatiran dan ilusi mengenai penghapusan pertanian tembakau atau menghilangkan pendapatan petani tembakau adalah terlalu berlebihan dan hiperbolis oleh karena kua-normatif Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan sama sekali tidak mengandung norma atau maksud asli menghapuskan tembakau ataupun mengeliminir petani tembakau, akan tetapi yang benar bahwa norma Pasal 113 UU Kesehatan adalah norma pengendalian dampak tembakau ( tobacco control ). Sangat jauh korelasi ataupun causal verband antara pengendalian tembakau dengan ketakutan penghapusan pertanian tembakau. Pendekatan data statistik ekonomi sebenarnya sudah dapat menjelaskan mengapa berkurangnya areal lahan tembakau, minimalnya pendapatan petani tembakau, padahal pendapatan pemilik usaha rokok paling jumbo dalam relasi industri tembakau. Ada kesenjangan logika dan rasionalitas Pemohon yang secara tidak cermat mengkaitkan seakan-akan Pasal 113 UU Kesehatan secara causal verband menghilangkan pertanian tembakau, menurunkan pendapatan petani tembakau dan mengurangi areal lahan tembakau, menaikkan pengangguran tenagakerja akibat pengurangan produk rokok. Bahkan ironisnya, dengan terlatu berlebihan Pemohon menjadikan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan seakan-akan sebagai causal verband dari indikasi unsur kriminalisasi. Sungguh logika yang terlalu dipaksakan untuk membenarkan suatu ilusi dan spekulasi.
Istilah yang dipergunakan dalam konvensi internasional sebagaimana FCTC ( Framework Convention on Tobacco Control ) __ adalah tobacco (tembakau) sehingga penggunaan istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan sudah sesuai dengan norma hukum internasional dan karenanya 84 tidak diskriminatif akan tetapi justru protektif bagi perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan dan hak hidup, hak kelangsungan hidup, hak tumbuh dan berkembang;
Secara yuridis formal, penggunaan istilah tembakau bukan hal baru dan telah dipergunakan dalam PP Nomor 19 Tahun 2003, yakni Pasal 1 butir 1 yang menyatakan tembakau mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan" ; __ Pasal 1 butir 2 menyatakan " Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan”. Dengan demikian penggunaan frasa/istilah tembakau bukan hal baru dan yang pasti bukan diskriminatif dan tidak melanggar keadilan hukum, oleh karena pengaturan pengendalian tembakau adalah pro hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak tumbuh kembang anak. Padahal Pemohon sangat mengakomodir dan mempertahankan PP Nomor 19 Tahun 2003 [ vide halaman 18 permohonan Pemohon], walaupun Pasal 116 UU Kesehatan mengamanatkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) yang baru menggantikan PP Nomor 19 Tahun 2003 sebagai pelaksanaan Pasal 113 s.d. Pasal 115 UU Kesehatan.
Penggunaan istilah tembakau pada Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan tidak diskriminatif oleh karena peneraannya dimaksudkan untuk pengendalian ( tobacco control ) , yang dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan disebut dengan frasa "pengamanan penggunaan". Penggunaan nama atau istilah tembakau juga diterima sebagai norma universal karena dipergunakan dalam term FCTC dan juga dalam International Classification of Disease and Related Heart Problem (ISCD 10 WHO 1992) dalam F 17 code yang berbunyi ^ “mental and behavior disorder due to use of tobacco”. Sehingga penggunaan nama/istilah tembakau sama sekali bukan diskriminasi namun perlindungan dari bahaya adiksinya;
Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru tidak ada norma melarang 85 penggunaan tembakau atau produk tembakau sebagai zat adiktif, akan tetapi: (a) Melakukan "pengamanan penggunaan" agar tidak menggangu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan [Pasal 113 ayat (1)]; (b) Melakukan pengendalian atas "produksi, peredaran dan penggunaan ...yang harus memenuhi standar dan atau persyaratan” [Pasal 113 ayat (3)];
Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru upaya perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional atas kesehatan dan hak hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, oleh karena dalam konteks hak ekosob (ekonomi soal dan budaya), Negara menjamin ( shall ensure ) __ dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara memenuhi hak-hak anak ( the maximum extent possible the survival and development ), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KHA. Dengan alasan tersebut di atas maka tidak terdapat diskriminasi atau pelanggaran keadilan ataupun pelanggaran hak hidup petani tembakau, dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak yang didalilkan Pemohon. Justru sebaliknya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan adalah wujud pelindung dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas kesehatan, hak atas standar kesehatan, dan hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dengan kata lain, Pasal 113 UU Kesehatan jelas dimaksudkan untuk pengendalian tembakau ( tobacco control ), __ dan sama sekali tidak ada norma yang menghapuskan tembakau ( tobacco abolition ). __ Keduanya sangat berbeda dan sangat jelas kualifikasi yuridisnya. Maksud asli dan tekstual Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sebagai pengendalian tembakau, sebenarnya sudah dengan jujur diakui dan dibenarkan Pemohon yang dalam Permohonan (halaman18-19) menyatakan bahwa “ …bahan yang mengandung zat adiktif penanganannya dilakukan dengan proses pengendalian sedangkan terhadap Narkotlka dan Pslkotropika 86 Pernyataan Pemohon tersebut sangat jelas bahwa benar tidak adanya penghapusan dan diskriminasi terhadap tanaman tembakau, namun hanya pengendalian tembakau yang dirumuskan ke dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan sebagai "pengamanan penggunaan", dan dirumuskan Pasal 113 ayat (3) UU Kesehatan mengharuskan standardisasi dan/atau persyaratan dalam produksi, peredaran dan penggunaan bahan zat adiktif. Komnas PA sebagai Pihak Terkait memberi penekanan pada jaminan dan perlindungan hak-hak konstitusional anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sebagai reformasi konstitusi merupakan pengakuan dan penjaminan serta perlindungan hak-hak anak ke dalam konstitusi, yang tentunya menjadi hukum dasar untuk mengubah keadaan dan perlindungan anak yang lebih progresif sebelum adanya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Tak berlebihan jika amandemen UUD 1945 tersebut semakin pro hak-hak anak, dan pada gilirannya derifasi hak-hak anak ke dalam Undang-Undang merupakan bentuk kepatuhan konstitusional dan menjadi ciri konstitusionalisme di negeri ini. Oleh karena itu, perkenankan Pihak Terkait memohon agar pengujian materil atas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan mempertimbangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang secara substantif dimaksudkan guna melindungi hak- hak anak atas kesehatan, dan hak-hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam konteks perlindungan anak, hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang adalah sisi yang tak terpisahkan dan ada dalam satu tarikan nafas dengan hak hidup ( right to life ) __ yang merupakan hak utama ( supreme rights ) __ yang tidak bisa dikurangi, walaupun hanya sedikit saja. Mengapa diperlukan dan absah secara konstitusional Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan khususnya bagi perlindungan hak-hak anak? Oleh karena anak-anak sebagai kelompok rentan ( vulnerable group ) __ paling berisiko terhadap bahaya zat adiktif. Dalam berbagai data resmi, prevalensi perokok anak semakin meningkat. Konsideran FCTC meyakini bahwa terdapat bukti penelitian yang jelas pengaruh asap rokok pada bayi dalam kandungan dapat mempengaruhi kesehatan dan pertumbuhannya. Hal ini bersesuaian dengan kebenaran yang 87 kemudian dinormakan dalam Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2003, mengakui merokok dapat menyebabkan ... gangguan kehamilan dan janin. Konsideran FCTC juga meyakini adanya fakta eskalasi merokok dan konsumsi tembakau oleh anak-anak dan remaja di seluruh dunia terutama merokok pada usia muda cenderung meningkat. Secara substansinya, tembakau dan produk tembakau mengandung zat adiktif, yang karenanya bukan barang bebas ( free goods ) akan tetapi zat yang mengandung zat kimia berbahaya yang karsinogenik. Oleh karena itu muskil memosikannya sebagai barang bebas yang dikonsumsi tanpa pengamanan penggunaan atau dalam term FCTC disebut sebagai pengendalian ( tobacco control ) . Tidak masuk akal sehat jika memosisikan tembakau dan produk tembakau yang merupakan zat adiktif [Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan] sebagai barang bebas seperti misalnya buah pisang atau jeruk manis, atau air aqua . Sehingga pisang, jeruk atau aqua sebagai bahan yang dibutuhkan tepat dikualifikasi sebagai barang bebas, dan karenanya tidak perlu pengendalian. Sangat berbeda bahkan bertolak belakang dengan zat adiktif dalam hal ini tembakau atau produk tembakau yang berbahaya bagi kesehatan dengan segala akibatnya yang terbukti secara keilmuan, sehingga tembakau atau produk tembakau yang berbahaya tersebut absah dan tepat jika dilakukan pengendalian atau dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan dikenal sebagai "pengamanan penggunaan". Sebaliknya tidak tepat jika membiarkan penggunaan tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif tanpa karena hal itu melanggar hak konstitusional atas kesehatan serta hak atas hidup, hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Dengan kata lain tidak tepat menggunakan asas Pilihan Bebas tiap personal ( Free of Choise) terhadap penggunaan tembakau dan produk tembakau karena Negara wajib memberikan perlindungan pada rakyatnya dari bahaya zat adiktif. Pada kesempatan ini, perkenankan kami sekilas mengulas kualifikasi tembakau sebagai zat adiktif sudah terbukti secara keilmuan dan bahkan industri tembakau sendiri mengakui bahwa tidak ada rokok yang aman ( there are no such think as safe cigarettes ) . Stanton A. Glantz dalam " The Cigarette Papers" menyebutkan "Moreover, nicotine is addictive. We are, then, in the bussines of selling 88 nicotine, an addictive drug effective in the release of stress mechanisms. Of the thousand of chemical in tobacco smoke, nicotine is the most important. Nicotine makes tobacco addictive". [Stanton A. Glantz, Cs., "The Cigarette Papers", sub judul "Addiction and Cigarettes as Nicotine Delivery Devices", University of California Press, 1996, hal. 58]. Dalam hukum positif, kualifikasi zat adiktif penormaannya senantiasa dimasukkan ke dalam kelompok yang sama seperti halnya minuman keras, narkotika dan psikotropika. (a) Pasal 74 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 (“UU Ketenagakerjaan") menormakan bahwa "Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk”. Selanjutnya Pasal 74 ayat (2) menormakan bahwa "Pekerjaan-pekerjaan yang _terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
...;
..;
segala_ pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau ; d…. “. Dari Pasal 74 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disimpulkan bahwa hukum positif menormakan bahwa "minuman keras", "narkotika", "psikotropika", dan "zat adiktif lainnya" adalah termasuk dalam satu kualifikasi (bahan atau zat) yang sama yakni bahan atau zat yang dilarang, dan dinormakan sebagai dilarang dalam kaitan pekerjaan; (b) Pasal 59 dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak, anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus termasuk anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. alkohol. psikotropika. dan zat adiktif lainnya (napza). Dengan demikian Undang-Undang Perlindungan Anak menormakan bahan atau zat narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), termasuk dalam kualifikasi jenis yang sama. Oleh karena tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif yang perlu pengendalian atau pengamanan penggunaannya [Pasal 113 ayat (1)] dan 89 menormakan standardisasi dan/atau persyaratan dalam hal produksi, peredaran dan penggunaan bahan zat adiktif dimaksud, maka tepat jika upaya mengajak orang lain menggunakan, memasarkan atau mengenalkan produk tembakau juga tidak dibenarkan. Rasio legis dalam Pasal 113 UU Kesehatan sangat jelas dan kuat untuk menjustifikasi pelarangan iklan, promosi dan pemberian sponsor rokok, seperti halnya pelarangan iklan minuman keras dan zat adiktif dalam norma Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran. Musykil sekali jika rokok sebagai zat adiktif dan karsinogenik masih dibenarkan diiklankan. Urgensi perlindungan anak dari bahaya tembakau dan produk tembakau yang bersifat adiktif, secara faktual didasarkan kepada beberapa hal:
PREVALENSI PEROKOK PEMULA MENINGKAT. Bahwa berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2001 dan tahun 2004 maka telah terjadi peningkatan prevalensi anak-anak usia 15-19 tahun yang merokok dari tahun 2001 (sebelum adanya UU Penyiaran) dibandingkan dengan tahun 2004 (setelah adanya UU Penyiaran). Berdasarkan data Susenas tersebut di atas, terbukti prevalensi perokok kelompok umur 15-19 tahun pada tahun 2001 sebesar 12,7%, meningkat menjadi 17,3% pada tahun 2004, Selain itu juga terjadi penurunan usia inisiasi merokok ke usia yang semakin muda, yakni pada kelompok umur 15-19 tahun pada tahun 2001 mulai merokok (rata-rata) pada umur 15,4 tahun, tetapi pada tahun 2004 usia mulai merokok semakin muda (rendah) yakni pada umur 15,0 tahun;
PEROKOK ANAK MENURUT SURVEY GLOBAL. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2006 yang diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) __ menunjukkan jika 24,5% anak laki-laki dan 2,3% anak perempuan usia 13-15 tahun di Indonesia adalah perokok, di mana 3,2% dari jumlah tersebut telah berada dalam kondisi ketagihan dan/atau kecanduan; 90 (3) SUSENAS BPS: PENINGKATAN PREVALENSI PEROKOK PEMULA Adanya peningkatan anak-anak merokok pada usia dini terbukti dari fakta dan data dari pertanyaan "pada umur berapa anda merokok?” , __ yang diperoleh fakta (jawaban), orang/anak yang mulai merokok pada umur 5-9 tahun, pada tahun 2001 sebesar 0,4%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 1,7%. Jadi ada peningkatan anak- anak merokok mulai usia 5-9 tahun sebanyak lebih dari 400%. Selanjutnya orang/anak mulai merokok pada umur 10-14 tahun, pada tahun 2001 sebesar 9,5%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 12,6%. Kemudian, orang/anak merokok pada umur 15-19 tahun, pada tahun 2001 sebesar 58,9%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 63,7%;
IKLAN ROKOK BERMETAMORFOSA DARI ZAT ADIKTIF DAN KARSINOGENIK MENJADI SEAKAN-AKAN BARANG NORMAL. Bahwa dengan adanya siaran iklan niaga promosi rokok (sebagai suatu bentuk informasi maupun produk seni) yang justru tidak benar atau setidaknya misleading, di mana kebenaran ilmiah dan fakta yang sebenarnya bahwa rokok terdiri atas 4.000 jenis zat kimia beracun dan sebanyak 69 zat di antaranya bersifat karsinogenik, dan bersifat adiktif. Hakekat maupun defenisi yuridis-formil siaran iklan niaga rokok yang memang dimaksudkan untuk membujuk konsumen memakai rokok yang bersifat adiktif dan mengandung zat karsinogenik, dalam berbagai bentuk isi dan pesan iklan rokok, sudah bermetamorfosa dan secara tidak disadari telah menelusup ke pusat kesadaran konsumen (khususnya anak dan remaja) seakan-akan merokok dicitrakan sebagai suatu yang normal atau biasa. Sehingga tidak lagi dianggap zat berbahaya yang mengancam kesehatan dan kehidupan, dan bahkan lebih dari itu merokok dicitrakan secara curang ( fraudulent ) dan tidak adil, sebagai citra "kejantanan", "kegagahan", "persahabatan", "citra eksklusif", kebenaran yang "bukan basa basi", dan Iain-Iain; 91 Padahal, yang sebenarnya konsumsi rokok tersebut baik secara fakta empiris, ilmiah ( scientific ) , maupun kebenaran formil-yuridis, sudah tidak terbantahkan lagi mengakibatkan serangan penyakit kanker, berbagai penyakit dan gangguan kesehatan, gangguan kehamilan dan janin sehingga adanya kausalitas atau causal verband menyebabkan timbulnya berbagai kerugian hak-hak konstitusional setiap orang termasuk anak-anak yakni hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak tumbuh dan berkembang.
IKLAN ROKOK YANG MENJERAT ANAK. Bahwa industri rokok dalam praktiknya kerap kali menggunakan mekanisme subliminal advertising yaitu sebuah teknik mengekspose individu (dalam hal ini adalah anak dan remaja) tanpa individu tersebut mengetahui hal tersebut mengingat isi pesan (message content) tersebut dilakukan secara berulang-ulang (terjadi repetisi) yang pada akhirnya akan membentuk sebuah hubungan yang bersifat kuat namun irrasional antara emosi dengan produk yang diiklankan. [Presentasi Dr. Mary Lisa Japrie, "Iklan dan Anak", disampaikan pada workshop pembentukan Aliansi Total Ban, tanggal. 29 Oktober -1 November 2008, di Depok, diselenggarakan Komnas Perlindungan Anak];
MEROKOK MENYEBABKAN PENYAKIT. Bahwa, dari berbagai sumber laporan ilmiah tersebut telah mengungkapkan aneka ancaman berbahaya dari kegiatan merokok di antaranya, penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan; penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular); penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS; dan sebanyak 70.000 artikel ilmiah menunjukkan bahwa merokok menyebabkan kanker, mulai dari kanker mulut sampai kanker kandung kemih, penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit pembuluh darah otak, bronkitis kronis, asma, dan penyakit saluran nafas lainnya; [ Tobacco Control Support Center (TCSC) - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat 92 Indonesia (IAKMI), "Profil Tembakau Indonesia", Jakarta, 2008, halaman 16];
ROKOK ADALAH EPIDEMI GLOBAL. Bahkan berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia ( World Health Organization ), __ merokok merupakan penyebab kematian yang utama terhadap 7 dari 8 penyebab kematian terbesar di dunia [WHO Report on The Global Tobacco Epidemic, "M-Power Package", 2008, halaman 15]. Lebih dari itu, rokok yang sudah ditetapkan badan kesehatan sedunia ( World Health Organization-WHO ) __ sebagai epidemi global ( global epidemic ) yang bukan hanya mengancam kesehatan dan penyebab penyakit, namun yang paling mengerikan konsumsi rokok adalah penyebab dari sampai 200.000 kematian setiap tahunnya . [Sarah Barber; Sri Moertiningsih Adioetomo; Abdillah Ahsan; Diahhadi Setyonaluri, "Ekonomi Tembakau di Indonesia" , Lembaga Demografi Fakulas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 2008, halaman12]. Terkait dengan global epidemic tembakau, WHO juga mencatat terdapat tidak kurang dari 100 juta kematian akibat tembakau yang terjadi pada abad ke-20, yang jika tidak dilakukan upaya pencegahan akan meningkat drastis menjadi 1 miiyar angka kematian akibat tembakau pada abad 21. [WHO Report on The Global Tobacco Epidemic,"M-Power Package", 2008, halaman 2 dan halaman 4]. Oleh karena alasan dan data hasil studi ilmiah tersebut maka sudah terbukti secara faktual maupun rasional kausalitas atau causal verband munculnya kematian dan/atau ancaman kematian yang nyata dan serius termasuk terhadap anak dan remaja, sehingga merupakan fakta adanya pelanggaran hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak tumbuh dan berkembang yang tidak lain adalah hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, kebenaran bahaya merokok merupakan kebenaran formil-yuridis sebagaimana PP Nomor 19 Tahun 2003 yang di dalam 93 Pasal 8 ayat (2) mengakui bahaya merokok, yakni "merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 19/2003 tersebut merupakan norma hukum ( legal norm ) __ yang mengakui bahaya merokok bagi kesehatan dan ancaman bagi kehamilan dan janin. Oleh karenanya bahaya merokok tersebut merupakan kebenaran faktual yang notoire feiten, sekaligus merupakan curia novit ius ( the court knows the law ) . B. KETENTUAN PASAL 113 UU KESEHATAN MERUPAKAN DERIFASI HAK HIDUP, HAK KELANGSUNGAN HIDUP, HAK TUMBUH DAN BERKEMBANG ANAK YANG DIJAMIN DALAM PASAL 28B AYAT (2) UUD 1945. Bahwa, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi menjadi acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kaitan pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak anak. Setelah amandemen maka dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 secara ekplisit telah menegaskan hak-hak konstitusional anak yang berbunyi: "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskrimlnasi” . Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia secara eksplisit mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak yakni:
hak atas kelangsungan hidup;
hak atas tumbuh dan berkembang; dan
hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahwa, dengan disahkannya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang secara khusus menegaskan mengenai hak-hak anak di atas, maka Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 itu menjamin, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahwa oleh karena Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 merupakan hasil amandemen konstitusi dan reformasi ketatanegaraan maka dengan demikian jaminan, 94 penghormatan dan perlindungan hak-hak anak berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sudah diterima dan menjadi hak konstitusional yang merupakan arah baru, keputusan politik tertinggi dan hukum dasar (satat fundamental norm) dalam pemenuhan hak anak dan karenanya absah dan sangat rasional apabila memberikan fokus dan perhatian secara konsititusional kepada hak-hak anak. Di sisi lain, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dalam satu ayat dan pasal yang terintegrasi dan tidak terpisahkan menjamin hak anak atas kelangsungan hidup ( rights to survival ) __ dan hak tumbuh dan berkembang ( rights to development ) __ dan hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( rights to protection ) , mesti dipahami dalam satu kesatuan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahwa, oleh karena " anak" bukan "orang dewasa dalam ukuran mini" melainkan "anak" merupakan subjek yang masih rawan dalam tahap perkembangan kapasitas ( evolving capacities ) , yang sangat erat kaitannya dengan kausalitas antara pemenuhan dan perlindungan atas hak hidup dan hak kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh dan berkembang anak serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam keadaan konkrit, misalnya gangguan atau pelanggaran atas pengabaian atas hak tumbuh dan berkembang anak yang tidak memperoleh gizi baik, malnutrisi, busung lapar, terserang epidemi penyakit menular dan berbahaya, termasuk serangan dari epidemi tembakau dan bahaya merokok yang mematikan ( tobacco kills ) __ secara yuridis konstitusional tidak hanya bisa dipahami dalam konteks hak atas pelayanan sosial dan pelayanan kesehatan saja, namun dipahami sebagai pengabaian atas hak-hak konstitusional anak untuk kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang anak. Bahwa, perlu ditegaskan bahwasanya hak hidup ( rights to life ) __ tidak dapat dilepaskan dengan hak kelangsungan hidup ( right to survival ) , dan hak tumbuh dan berkembang ( rights to development ) . Apalagi terhadap anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, di mana setiap pencideraan, perusakan, atau pengurangan atas hak kelangsungan hidup anak akan berakibat serius dan fatal bagi hak hidup anak. 95 Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hak Anak [ United Nation’s Convention on the Rights of the Child (CRC)/Konvensi Hak Anak (KHA)], secara konseptual tidak memisahkan antara hak hidup dengan hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan berkembang anak yang dirumuskan dalam satu pasal dan ayat yang bersamaan. Bahkan, pengakuan atas hak hidup anak tersebut dipertegas dengan pengakuan hak atas kelangsungan hidup ( rights to survival ) __ dan hak atas tumbuh kembang ( rights to development ) . Lebih dari itu, terhadap integrasi antara hak hidup anak, hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan kembang anak tersebut, negara menjamin ( shall ensure ) __ dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara ( the maximum extent possible the survival and development ) , sebagai-mana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) CRC. Sebagai Negara Hukum ( rechtstaat ) __ yang menghormati dan menjadikan supremasi hukum sebagai orientasi, maka harmonisasi terhadap instrumen internasional atau konvensi internasional bukan hanya sebagai bentuk harmonisasi hukum saja. UUD 1945 telah meresepsi prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai salah satu syarat dari negara hukum, khususnya prinsip dasar HAM yang terkait dengan hidup dan kehidupan dan merupakan simbol atau ikhtiar bangsa Indonesia dalam konteks menjadikan UUD 1945 menjadi UUD yang makin modern dan makin demokratis; [Panduan Pemasyarakatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hal 144, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Majelis Pemusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2005]. Dengan demikian perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak dan Framework on Convention on Tobacco Control (FCTC) adalah dimaksudkan konstitusi sebagai suatu syarat negara hukum. Oleh karena itu, resepsi hak-hak anak dalam mempertahankan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan merupakan suatu upaya melaksanakan misi Negara Hukum yang dianut dalam UUD 1945. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas perkenankan kami memohon agar Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia menolak seluruh petitum Pemohon. 96 Untuk memperkuat keterangannya, Pihak Terkait Komnas PA mengajukan bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-21 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Pendirian Komisi Nasional Perlindungan Anak tertanggal 17 Februari 1999;
Bukti PT-2 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-3 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-5 : Fotokopi halaman 16 Profil Tembakau Indonesia yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI bekerjasama dengan South East Tobacco Control Alliance (SEATCA) dan WHO Indonesia;
Bukti PT-6 : Fotokopi halaman 17 Profil Tembakau Indonesia yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI bekerjasama dengan South East Tobacco Control Alliance (SEATCA) dan WHO Indonesia;
Bukti PT-7 : Fotokopi halaman 13 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;
Bukti PT-8 : Fotokopi halaman 14 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;
Bukti PT-9 : Fotokopi halaman 5-6 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;
Bukti PT-10 : Fotokopi buku karya Stanton A Glantz, CS, ” The Cigarette Papers” sub judul ”Addiction and Ciggarets as Nicotine 97 Delivery Device ” University of California Press, 1996. halaman 58;
Bukti PT-11 : Fotokopi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ;
Bukti PT-12 : Fotokopi peringatan kesehatan yang berada di bungkus rokok;
Bukti PT-13 : Fotokopi website resmi Philip Morris Internasional;
Bukti PT-14 : Fotokopi website resmi PT. HM Sampoerna;
Bukti PT-15 : Fotokopi website resmi PT. HM Sampoerna;
Bukti PT-16 : Fotokopi Surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 1.842/K/PMT/VIII/2010;
Bukti PT-17 : _Video Baby Smoker; _ 18.Bukti PT-18 : Road Map Industri Pengolahan Tembakau;
Bukti PT-19 : BFotokopi kliping koran Kontan tentang Buruh Rokok Kretek ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam” Senin 18 Oktober 2010;
Bukti PT-20 : Buku Mardiah Chamim berjudul “Kemunafikan dan Mitos di balik kedigdayaan Industri Rokok”;
Bukti PT-21 : Presentasi Ibu Harkristuti Harkrisnowo berjudul ”Larangan Merokok: Hak Asasi Manusia?”; Selain itu, Pihak Terkait Komnas PA juga mengajukan 4 (empat) orang saksi yang telah disumpah dan didengar keterangannya pada sidang hari Rabu, 5 Januari 2011, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Tony Karundeng • Saksi mulai merokok di usia 15 tahun; • Saksi sempat mengalami stroke ringan dan tahun 2010 kena kanker paru akibat rokok dan saksi tidak dapat berhenti merokok. Rokok mempunyai dampak racun dan adiktif;
Yanti Koorompis • Saksi mulai merokok umur 13 tahun dan pernah menderita kanker stadium 3B; • Merokok itu sangat adiktif dan anak-anak saksi menjadi ikut merokok. 98 3. Nani Rohayani • Saksi adalah perokok di usia 17 tahun dan sampai sekarang untuk menghilangkan rokok bagi Saksi sangat sulit karena tanpa rokok Saksi tidak dapat bekerja; • Saksi kena penyakit penyempitan pembuluh darah dan ingin sekali untuk berhenti merokok tetapi tidak dapat.
Fuad Baradja • Saksi aktif di yayasan yang bergerak di bidang penanggulangan masalah merokok yaitu Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah merokok yang menjabat sebagai Ketua Bidang Penyuluhan dan pendidikan; • Anak saksi mulai merokok di usia 13 tahun sampai sekarang tidak dapat berhenti merokok walaupun telah dilakukan dengan terapi berhenti merokok. [2.6.4] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, dan Yayasan Kanker Indonesia telah memberikan keterangan tertulis dan alat bukti tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 30 Desember 2010, dan telah memberikan keterangan lisan pada persidangan hari Rabu, 5 Januari 2011, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Keterangan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia • Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; • Bahwa Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, utuh, terkait dengan bahaya merokok, bahaya tembakau bagi konsumen yang telah menjadi perokok aktif, perokok pasif maupun calon konsumen (calon perokok baru); • Selama ini, informasi yang disajikan industri rokok melalui berbagai iklan, promosi, dan berbagai upaya penjualan lainnya tidak memberikan informasi 99 yang cukup perihal bahaya produk tembakau (rokok). Melalui iklan yang intensif dan masif tersebut, secara psikologis dan sosiologis, akhirnya cara pandang konsumen terhadap rokok mengalami ”jungkir balik” karena rokok dianggap sebagai produk yang tidak berbahaya dikonsumsi; • Akibat pengaruh iklan dan promosi tersebut, konsumen justru berpandangan bahwa orang yang merokok adalah keren, gagah, tampan, cantik, perkasa, berprestasi dalam olahraga, dan hal-hal positif lainnya. Sementara itu, informasi tentang bahaya rokok hanya disajikan dalam suatu narasi kalimat yang sangat kecil, sehingga tidak mudah dibaca dan ditangkap maknanya oleh konsumen; • Oleh karenanya, Pasal 113 UU Kesehatan merupakan dasar normatif yang sangat kuat bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, utuh tentang bahaya rokok bagi kesehatan. __ Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-9 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akte Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nomor 22, tanggal 25 April 2008;
Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-2554.AH.01.02.Tahun 2008 tentang Pengesahan Yayasan;
Bukti PT-3 : Fotokopi Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) Nomor 4470/1.824.221, tanggal 31 Agustus 2005;
Bukti PT-4 : Fotokopi Keputusan Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nomor 02/Pembina/YLKI/2010 tentang Pergantian Antar Waktu Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Periode 2009-2014;
Bukti PT-5 : Fotokopi Surat Nomor AHU-AH.01.08-573, perihal Yayasan lembaga Konsumen Indonesia;
Bukti PT-6 : Fotokopi Salinan Putusan Nomor 05 P/HUM/2005 Perkara Hak Uji Materiil;
Bukti PT-7 : Fotokopi klipping Koran Tempo, tanggal 2 Februari 2011 ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”; 100 8. Bukti PT-8 : Fotokopi klipping koran Kompas, tanghgal 4 Februari 2011 ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;
Bukti PT-9 : Fotokopi ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”. Keterangan Yayasan Jantung Indonesia __ • Yayasan Jantung Indonesia mengajukan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi masyarakat konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; __ • Yayasan Jantung Indonesia sangat berkepentingan terhadap keberadaan UU Kesehatan, khususnya Pasal 113 ayat (2), karena secara global produk tembakau bertanggung jawab terhadap 22% dari seluruh penyakit jantung dan pembuluh darah cardiovaskular. Tembakau juga dihubungkan dengan kejadian arteriosclerosis, hipertensi, dan gangguan pembuluh darah otak. Efek rokok terhadap jantung dan pembuluh darah adalah meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, dan bahkan penyebab 75% serangan jantung koroner yang telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya ( notoir feiten ); __ Pihak Terkait Yayasan Jantung Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-9 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akte Nomor 1, tanggal 2 Juni 2008, Pernyataan Keputusan Rapat;
Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Nomor AHU-AH.01.08-562, perihal Yayasan Jantung Indonesia Dalam Bahasa Inggris Indonesia Heart Foundation, tanggal 29 Agustus 2008;
Bukti PT-3 : Fotokopi Tambahan Berita Negara, tanggal 7/7-2009 Nomor 54;
Bukti PT-4 : Fotokopi Surat Tanda Daftar Yayasan/Badan Sosial Nomor 31.71.06.1004, tanggal 25 Juni 2008 dari Surat Suku Dinas 101 Bina Mental Spritual dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Kotamadya Jakarta Pusat Provinsi DKI Jakarta;
Bukti PT-5 : Fotokopi Surat Keputusan Pembina Pusat Yayasan Jantung Indonesia Nomor 40/YJI/SK/IV/2008 tanggal 15 April 2008 tentang Pengukuhan Badan Pengurus Pusat Yayasan Jantung Indonesia masa bakti 2008-2012;
Bukti PT-6 : Fotokopi klipping koran Tempo, tanggal 2 Februari 2011, ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”;
Bukti PT-7 : Fotokopi klipping koran Kompas, tanggal 4 Februari 2011, ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;
Bukti PT-8 : Fotokopi klipping Koran ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”;
Bukti PT-9 : Fotokopi Kegiatan promotif-Preventif Yayasan Jantung Indonesia 2006-2010. Keterangan Yayasan Kanker Indonesia • Yayasan Kanker Indonesia mengajukan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi masyarakat konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; __ • Sudah seharusnya konsumen dilindungi dari bahaya adiksi rokok yang bersifat adiktif, karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker), dan membahayakan kesehatan bahkan mengakibatkan kematian akibat penyakit yang ditimbulkanya. Hal ini telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya ( notoir feiten ); __ • Menurut data statistik yang diambil dari berbagai data rumah sakit di Indonesia, menunjukkan bahwa 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) penderita kanker paru adalah perokok berat. Hal in menunjukkan dengan tegas bahwa pengaruh rokok/tembakau bagi penyakit kanker (terutama kanker paru) adalah sangat kuat. __ 102 Selain itu Pihak Terkait Yayasan Kanker Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-7 yang masing- masing sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Kanker Indonesia Nomor 5, tanggal 3 Juni 2008 dibuat di hadapan Notaris Ati Mulyati, S.H.,M.Kn.
Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan HAM melalui Surat Nomor AHU-AH 01.08-597, tanggal 10 September 2008, perihal Yayasan Kanker Indonesia disingkat YKI dalam Bahasa Inggris disebut The Indonesian Cancer Foundation;
Bukti PT-3 : Fotokopi Surat Keputusan Dewan Pembina Yayasan Kanker Indonesia Nomor 002/SK/Pemb/YKI/IV/2006 tentang Pengangkatan Anggota Pengurus Yayasan Kanker Indonesia Periode 2006-2011;
Bukti PT-4 : Fotokopi klipping Koran Tempo, 2 Februari 2011, ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”;
Bukti PT-5 : Fotokopi klipping Koran Kompas, tanggal 4 Februari 2011, ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;
Bukti PT-6 : Fotokopi ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”;
Bukti PT-7 : Fotokopi Daftar Kegiatan ”Kegiatan Penanggulangan Tembakau Yayasan Kanker Indonesia (YKI)”. [2.6.5] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 5 Januari 2011, Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta , yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Pihak Terkait sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki badan hukum yang merupakan perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta; • Pihak Terkait sebagai lembaga swadaya masyarakat memiliki kepedulian khusus atau special interest terhadap kota Jakarta dan permasalahan kebijakan pembangunan di kota Jakarta serta penghormatan dan pengakuan pemenuhan hak asasi manusia; 103 • Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan sebuah produk hukum yang Pihak Terkait nyatakan telah memberikan pengakuan secara legal , tentang keberadaan rokok sebagai zat adiktif. Undang-Undang Kesehatan juga merupakan bukti bahwa negara telah serius melindungi warga negaranya, terutama dalam memberikan perlindungan sebagai wujud pelaksanaan yang diamanatkan oleh konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945; • Bahwa dalam sebuah fakta, dalam proses pembuatan Undang-Undang Kesehatan tersebut, yang sudah disahkan oleh presiden dalam perjalanannya ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin menghilangkan isi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif” dalam Undang- Undang tersebut; • Pihak Terkait memiliki kepedulian, perhatian, serta keprihatinan tentang niat adanya sejumlah pihak untuk menghilangkan Pasal 113 ayat (2) tersebut. Pihak Terkait bersama dengan jaringan LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok atau KAKAR, telah melaporkan kejadian tersebut, yakni kejadian hilangnya Pasal 113 ayat (2) kepada Badan Kehormatan DPR dan kepada Polda Metro Jaya. Di mana Badan Kehormatan DPR menyimpulkan, jika menghilangnya Pasal 113 ayat (2), bukanlah sekadar kesalahan administrasi semata, namun patut diduga merupakan upaya terstruktur dan terencana dari berbagai banyak oknum. Selain itu Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta mengajukan bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-15 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Pendirian san Perubahan Perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dibuat di hadapan Notaris Ny. Siti Meinar Brillianty;
Bukti PT-2 : Buku Undang-Undang Dasar Negara Republik Insdonesia Tahun 1945;
Bukti PT-3 : Fotokopi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Bukti PT-4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan Bab I Ketentuan umum; 104 5. Bukti PT-5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-6 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-7 : Fotokopi Profil Tembakau Indonesia;
Bukti PT-8 : Fotokopi Profil Tembakau Indonesia;
Bukti PT-9 : Fotokopi halaman 13 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009”;
Bukti PT-10 : Fotokopi halaman 14 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009;
Bukti PT-11 : Fotokopi halaman 5-6 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009;
Bukti PT-12 : Lembar Fakta ”Dampak Tembakau dan Pengendaliannya di Indonesia;
Bukti PT-13 : Fotokopi website resmi HM. Sampoerna;
Bukti PT-14 : Fotokopi Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 1 ayat (21);
Bukti PT-15 : Fotokopi Seruan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Mengurangi Konsumsi Rokok. [2.6.6] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 5 Januari 2011, Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait ad informandum Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. H.M Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Hakim Sorimuda Pohan • Yang bersangkutan pada tahun 2004-2009 sebagai anggota DPR dan anggota Pansus Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan. Dan terlibat karena pada waktu itu Undang-Undang tentang Kesehatan sudah selayaknya dilakukan amandemen oleh karena sudah terlalu banyak 105 perubahan sejak Undang-Undang yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992; • Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam Pancasila dan UUD 1945; • Bahwa kebiasaan merokok merupakan kebutuhan individual, tidak digolongkan pada hak asasi manusia; • Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; • Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia, tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga diartikan sebagai inverstasi bagi pembangunan negara. Para ahli ekonomi kesehatan di tanah air sudah menghitung dan sejak lama mempublikasikan bahwa kerugian yang dapat ditimbulkan akibat rokok 4 sampai 5 kali besaran penerimaan cukai oleh negara; • Bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan, dalam arti pembangunan nasional harus memerhatikan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab semua pihak, baik industriawan, petani, tenaga-tenaga kesehatan, pemerintah maupun masyarakat.
PT. Djarum • PT. Djarum adalah sebagai perusahaan swasta nasional yang berdiri berdasarkan hukum negara Republik Indonesia dan berdomisili hukum di Indonesia; • PT. Djarum merasa diperlakukan seolah-olah sebagai industri ilegal . Sehingga dengan diberlakukannya pasal a quo membuat dunia industri tembakau merasa was-was, terancam, cemas dan berakibat tidak nyaman dalam melaksanakan usaha; 106 • Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bagi PT. Djarum akan mengancam, merugikan dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kelangsungan usaha dan pekerja PT.Djarum.
PT. H.M Sampoerna • PT. H.M Sampoerna tidak sepenuhnya mendukung ketentuan tembakau Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang disisipkan pada saat-saat terakhir persidangan DPR Tahun 2004-2009, karena ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak yang terkait. Oleh karena itu PT. Sampoerna menyambut gembira keputusan DPR untuk menjawab beberapa kekurangan dari Undang-Undang Kesehatan dengan memasukkan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau dalam prioritas prolegnas untuk persidangan tahun 2011; • PT. H.M Sampoerna maupun induk perusahaannya telah menyatakan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa produk tembakau bersifat adiktif; • Setelah Pasal 113 disahkan melalui Undang-Undang Kesehatan, saat ini Kementrian Kesehatan sedang menyusun peraturan pemerintah yang salah satu ketentuannya akan melarang industri tembakau secara total untuk mengkomunikasikan produknya kepada para konsumen dewasa. Padahal sebagai produk yang legal , industri tembakau memiliki hak untuk berkomunikasi kepada konsumen melalui saluran dan media komunikasi yang tersedia; • Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dapat dikategorikan diskriminatif karena hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif yang harus diatur oleh Pemerintah.
PT. Gudang Garam • PT. Gudang Garam mempekerjakan 37.000 karyawan dan apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah supaya memperhatikan nasib karyawan tersebut; 107 • Apabila pengiklanan industri tembakau dilarang akan menimbulkan suatu status quo buat brand-brand yang sudah ada dalam artian akan sulit sekali buat brand-brand baru muncul apakah itu perusahaan besar ataupun perusahaan kecil;
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) • Fakta sejarah, sudah 100 tahun perjalanan kretek; • Kretek memiliki pengaruh kuat terhadap ketahanan sosial, politik, ekonomi secara merata; • Gappi adalah asosiasi yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Namun secara material tidak dapat dibantah masih banyak kelompok-kelompok dominan baik domistik maupun internasional yang mampu memonopoli jalan suatu kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan ini mempunyai banyak akses yang luas, pada sumber daya ekonomi dan politik yang acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum; • Gappi khawatir adanya tiga pilar nasional yang dipertaruhkan; Kedaulatan politik hukum di mana kelompok-kelompok dominan baik domestik maupun internasional yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan yang dapat mempengaruhi regulasi. Kemandirian ekonomi, mencari industri dalam negeri yang kemandirian ekonominya dapat disejajarkan dengan kretek saat ini sulit ditemukan bahkan andaikan penerimaan cukai dapat disisihkan 10 tahun dan 15 tahun, utang negara dapat dibayar. Kretek wujud karya kearifan lokal pengusaha bangsa Indonesia yang dulu dijajah, ditindas, kemudian mampu meneruskan usaha dari aktor-aktor ekonomi kaum kolonial yang terdahulu, kemudian sekarang akan dicampakkan begitu saja membuat sangat resah; Selain itu, Pihak Terkait GAPPRI juga mengajukan alat bukti tertulis berupa bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-8 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi _leave the pack behind; _ 2. Bukti PT-2 : Fotokopi USA Nicorette Sales ;
Bukti PT-3 : Fotokopi Nicotine Replacement Therapy ;
Bukti PT-4 : Fotokopi World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025; 108 5. Bukti PT-5 : Fotokopi Are Public Smoking Bans Necessary ;
Bukti PT-6 : Fotokopi Smoking Out The Truth ;
Bukti PT-7 : Fotokopi prejudice dan propaganda;
Bukti PT-8 : Fotokopi what we fund . [2.7] Menimbang bahwa Mahkamah pada persidangan hari Selasa, 8 Februari 2011, telah menyatakan kepada Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan para Pihak Terkait untuk menyampaikan kesimpulan tertulis paling lambat 1 (satu) minggu sejak persidangan hari Selasa, 8 Februari 2011, dimaksud; Bahwa Pemohon menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 14 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, 15 Maret 2011 yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pemerintah menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 30 Juni 2011 untuk perkara Pemohon dalam perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 21 Juli 2011 yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, dan Yayasan Kanker Indonesia menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 14 Februari 2011 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Rabu, 16 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 16 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Senin, 21 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 17 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 17 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; 109 [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini; 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063, selanjutnya disebut UU 36/2009) terhadap Pembukaan (preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; __ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik 110 Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian Undang- Undang dalam hal ini UU 36/2009 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 111 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009, yang menyatakan: Pasal 113 (1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. (2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. (3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan yang pada pokoknya sebagai berikut: 112 • Pemohon selaku orang yang peduli terhadap masalah pertembakauan dan cengkeh Indonesia dan mendapat mandat untuk mewakili beberapa kepala desa serta warga desa Kabupaten Temanggung yang latar belakang kehidupannya sebagai penghasil tembakau dan cengkeh yang menjadi tumpuan dan harapan serta penggerak roda perekonomian masyarakat Kabupaten Temanggung; • Pemohon telah memberikan mandatnya kepada Anggota DPR ang salah satu tugasnya adalah membuat Undang-Undang. Dengan tidak dilakukannya tugas dan kewajiban Anggota DPR dalam proses yang benar dan baik terkait dengan pembentukan UU 36/2009 a quo , maka Pemohon berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya; • Pemohon merupakan warga negara pembayar pajak, sehingga hak dan kepentingan Pemohon terpaut pula dengan proses pembahasan UU Kesehatan a quo yang proses penyusunannya dibiayai oleh negara yang berasal dari pemasukan pajak yang telah dibayar Pemohon termasuk juga cukai rokok dan pajak hasil keringat petani tembakau dan cengkeh Indonesia serta para buruh pabrik rokok serta pihak terkait lainnya; • Pemohon mendalilkan memiliki lahan persawahan sekitar 2 Ha yang oleh para penggarap sawah sering ditanami tanaman jenis Tembakau Sawah. Oleh karenanya, dengan berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan a quo , menurut Pemohon, memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was-was mengalami kerugian materiil apabila tidak menanam tembakau; • Hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945. Oleh karenanya, para petani tembakau, para petani cengkeh, dan para buruh pabrik di Indonesia serta pihak-pihak lain yang terkait dengan pertembakauan juga mempunyai hak hidup yang sama sehingga menanam tembakau dan cengkeh merupakan suatu kewajiban petani untuk melangsungkan kehidupannya; Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara 113 Indonesia mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945 yang menurut Pemohon, dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009. Oleh karenanya, Pemohon prima facie memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing ) maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009, yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas pasal-pasal UU 36/2009 tersebut yang mengatur dan menetapkan tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagai zat adiktif yang dapat menimbulkan kerugian sehingga harus diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya; [3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9) untuk membuktikan dalil-dalilnya yang daftar lengkapnya telah diuraikan dalam bagian Duduk Perkara di atas; Bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
H. Parmuji y Tembakau telah menjadi tumpuan hidup sejak nenek moyang dan merupakan sumber pencarian utama ekonomi; __ y Budidaya tembakau melibatkan banyak pihak, tidak hanya petani tembakau; __ 2. H. Mulyono y Saksi merasa prihatin karena mata pencaharian utama sebagai petani tembakau terancam; __ 114 3. Tri Yuwono y Mayoritas penduduk di Desa Kledung sebagai petani tembakau akan terancam kehilangan mata pencarian dengan berlakunya Pasal 113 UU 36/2009 dan hal ini bertentangan dengan program pengentasan kemiskinan Pemerintah; __ 4. Karyanto y Di Kabupaten Pamekasan 35.000 hektar lahan ditanami tembakau. Di Kabupaten Sumenep 28.000 hektar lahan ditanami tembakau. Di Kabupaten Sampang 18.000 hektar lahan ditanami tembakau; y Di Kabupaten Pamekasan, Sumenep, dan Sampang, tembakau adalah suatu tanaman komoditi yang sudah lama dan menjadi tanaman turun- temurun yang tidak dapat dipisahkan dengan petani yang hidup-matinya bergantung pada tanaman tembakau; y Berkat menanam tembakau, petani tembakau dapat menyekolahkan anaknya dan mencukupi kehidupannya; y Apabila petani tembakau tidak dapat atau tidak boleh menanam tembakau akan membuat perekonomian lebih buruk lagi;
Sumadi Danartono y Bahwa Saksi selaku Kepala Desa Wonolelo, Sawangan, Magelang. Saksi menerangkan bahwa di desa Saksi, 95% penduduk adalah petani dan pada waktu musim kering, tanaman yang dapat hidup adalah tanaman tembakau yang merupakan tanaman tulang punggung ekonomi masyarakat;
Udi Wahyu y Saksi selaku Kepala Desa Pagerejo, Kabupaten Wonosobo, yang menerangkan bahwa di daerah Saksi, tembakau merupakan komoditi unggulan yang 50% hasil produknya masuk ke pabrikan dan 50% lainnya merupakan kerajinan dalam bentuk tembakau garangan atau tembakau asapan;
Subakir y Seluruh warga desa di tempat Saksi adalah petani tembakau yang memiliki luas areal lebih-kurang 400 hektar; 115 y Tanaman tembakau menghasilkan mutu tembakau terbaik di dunia yang dinamakan tembakau serintil; y Tembakau serintil sangat dibutuhkan oleh pabrik-pabrik rokok kretek asli Indonesia;
Agus Setyawan y Saksi selaku Kepala Desa Tretep. Saksi lahir dan dibesarkan dari hasil tembakau yang ditanam oleh bapaknya selaku petani tembakau; y Saksi merasa dirugikan ketika Pasal 113 UU 36/2009 hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif;
dr. Subagyo y Saksi pernah menderita benjolan di rahang bawah yang dioperasi dengan hasil suatu limfoma maligna atau kanker kelenjar limfe; y Saksi mengetahui adanya informasi penanganan atau pengobatan balur nano terapi dengan define cigarette ;
Allan Sulistiono y Saksi didiagnosa menderita kanker hati stadium 3; y Saksi melakukan terapi balur dengan memakai tembakau dan hasilnya telah normal. Bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
Josi Ali Arifandi y Bahwa penanaman tembakau di Indonesia telah berlangsung di areal yang lokasinya spesifik sehingga memiliki ciri kualitas spesifik yang dikenal pasar dan konsumennya yang tidak bisa digantikan dengan produk tembakau dari hasil penanaman di lokasi lahan lainnya; y Bahwa tembakau merupakan sumber pendapatan yang sangat besar bagi petani/pekebun di lahan marginal yaitu pada saat musim tanam tertentu (musim kemarau) ketika tanaman lain sudah tidak dapat berproduksi atau nilai ekonomisnya berada di bawah tembakau; y Bahwa bagi negara, industri tembakau memiliki kontribusi cukai, pajak, dan devisa yang meningkat terus dari tahun ke tahun, yang pada tahun 2008 mencapai kisaran Rp. 57 triliun; 116 2. Mukti Ali Imran y Bahwa zat adiktif diklasifikasikan atau dikelompokkan ke dalam jenis narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau yang sering disebut napza; y Bahwa Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 secara tidak langsung telah mereduksi makna zat adiktif yang terbatas hanya pada tembakau semata dan produk turunannya dalam semua fasa (padat, cair, dan gas). Padahal tembakau bukanlah satu-satunya zat yang memiliki sifat adiktif. Hal ini memberikan pengertian yang bias; y Bahwa untuk mengetahui pengaruh atau perbandingan adiksi suatu bahan terhadap adiksi bahan lainnya, harus melalui studi empiris yang menggabungkan pendekatan data faktual-kualitatif-kuantitatif; y Penggunaan kata ”zat adiktif” pada suatu bahan, sebaiknya atau seharusnya disertai dengan klasifikasi terhadap jenis adiktif tersebut, apakah stimulan, depressant, halusinogen, dan lain-lainnya sehingga jelas bagi konsumen;
Gabriel Mahal y Nikotin dari tembakau tidak dapat dipatenkan karena berasal dari alam. Yang dapat dipatenkan adalah alat pengantar nikotin ( nicotine delivery device ) dan senyawa terapi yang mengandung nikotin sebagai bahan utama yang dihasilkan oleh korporasi-korporasi farmasi multinasional. Di sinilah letak salah satu kepentingan untuk mengontrol atau mematikan tembakau dan rokok itu; y Ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan Proyek Prakarsa Bebas Tembakau dengan agenda anti tembakau global, dalam hukum nasional Indonesia; y Membunuh tembakau dengan segala industrinya di Indonesia, termasuk industri terkait lainnya, akan menyebabkan naiknya angka pengangguran rakyat Indonesia. Setiap 10% kenaikan penganggur menyebabkan kematian naik menjadi 1,2%, serangan jantung 1,7% dan harapan hidup berkurang 7 tahun; __ __ 117 4. Rinaldo Prima y Bahwa Pasal 113 UU 36/2009 dapat memberikan pemahaman yang ”menyesatkan”, karena secara tendensius dapat membentuk opini dan sekaligus memberikan stigma bahwa hanya tembakau yang mengandung zat adiktif, padahal masih sangat banyak jenis-jenis tanaman dan produk yang mengandung zat adiktif; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo menjadi bersifat diskriminatif dan sekaligus dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan asas keadilan dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; y Sangat besar kemungkinan ketentuan Pasal 113 Undang-Undang a quo bertentangan atau setidak-tidaknya kurang sejalan dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo berisikan rumusan yang sama sekali tidak memberikan ”perlindungan hukum” bagi petani tembakau. Sebaliknya, secara diskriminatif, telah memberikan memberikan perlindungan hukum kepada petani yang menanam jenis tanaman lain yang mengandung zat adiktif; y Bahwa ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945;
Prof. dr. Moch Aris Widodo MS., SpFK., PH.D y Merokok, berdasarkan bukti eksperimental dan bukti klinik, tidak dapat dituduh sebagai penyebab tunggal kesakitan, oleh karena tidak semua perokok menderita penyakit kanker paru atau jantung koroner, sedang yang tidak merokok pun dapat terkena kedua penyakit tersebut; y Tembakau dalam beberapa hal mirip dengan alkohol. Kedua bahan tersebut boleh beredar bebas di pasaran. Yang berbeda adalah efek alkohol dapat menimbulkan keracunan akut yang sering mematikan bahkan kematian dapat terjadi bukan karena alkoholnya tetapi oleh karena kecelakaan lalu lintas; 118 y Pembakaran daun tembakau pada rokok menghasilkan 4.000 bahan kimia, termasuk nikotin. Nikotin menimbulkan efek pada neuron atau saraf otak sehingga menyebabkan seseorang ingin menghisap rokok kembali, yang dikenal sebagai adiksi. Nikotin juga menyebabkan peningkatan kontraksi dan frekuensi jantung dan peningkatan tekanan darah;
Sutiman B. Sumitro y Ahli mengkhawatirkan isu rokok kretek merupakan bagian dari skenario perusahaan multinasional, yang aktivitas jangka pendeknya adalah fokus untuk mencaplok industri rokok lokal yang mulai ancang-ancang pindah core business . Oleh karenanya, Ahli mengusulkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Melakukan penelitian sungguh-sungguh untuk menakar dampak rokok khususnya kretek;
Industri rokok harus didorong memiliki unit penelitian dan pengembangan yang memadai dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi rokok kretek yang lebih sehat dan menyehatkan;
Dr. dr. Jack Roebijoso, MSc y Tembakau dan nikotin dikelompokkan pada bahan yang dapat menimbulkan efek adiktif, namun dampak adiktif terhadap kesehatan (medis, psikologik, dan sosial), tergolong masih mudah diatasi dan tidak menimbulkan efek ”kecanduan” seperti zat narkotika; y Penemuan dan kemajuan teknologi pengendalian dampak kesehatan dari rokok (nano teknologi pada filter rokok) dan model pelayanan kesehatan yang memberdayakan masyarakat (dokter keluarga ala Indonesia), akan menjadi komoditi yang berharga bagi kemajuan pembangunan teknologi fabrikasi rokok, kedokteran, dan kesehatan di masa depan bagi kepentingan ekonomi dan pembangunan kesehatan/kedokteran di Indonesia; y Faktor resiko kesehatan tidak pernah tunggal dan selalu multifaktor, sehingga tembakau atau merokok bukan merupakan penyebab utama ( causal factor ) bagi timbulnya berbagai penyakit dan kematian; 119 y Masih ada kesempatan melakukan edukasi dan advokasi kesehatan untuk mengurangi atau meniadakan dampak faktor resiko kesehatan untuk tujuan mencegah kejadian sakit dan kematian dari suatu penyakit tertentu; y Pasal 113 UU 36/2009 yang menjadi dasar kebijakan menghapus komiditi tembakau dan rokok, belum menjadi kebijakan yang tepat sasaran untuk Indonesia saat ini; y Tembakau, rokok, dan teknologi pengendalian dampak kesehatan justru akan menjadi andalan ekspor Indonesia, di kemudian hari. [3.11] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan pemerintah yang pada pokoknya menerangkan bahwa keberadaan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009 a quo merupakan suatu conditio sine qua non karena merupakan fundamen yang kuat untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan pada umumnya. Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam UU 36/2009 a quo telah sesuai dengan amanat konstitusi, utamanya dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945; Bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemerintah, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
Rima Melati y Saksi seorang perokok dan akibat dari ketergantungan rokok, saksi sakit kanker stadium akhir; __ 2. Yanti Sampurna y Suami Saksi meninggal setelah merokok selama 40 tahun dan tidak dapat berhenti merokok sampai wafatnya. Suami Saksi menderita kanker paru- paru dengan diketemukannya sel-sel yang khas sebagai sel kanker akibat merokok; __ 120 3. Pa Iswanto __ y Saksi adalah petani tembakau sejak tahun 1970 dan telah menikmati hasil tembakau tersebut dengan mendirikan rumah dan mempunyai sepeda motor; __ y Saksi sebagai petani tembakau khawatir apabila tembakau disingkirkan, maka akan kehilangan mata pencariannya; __ __ Bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: __ 1. Prof. Dr. Amir Syarief y Setelah merokok tembakau, terdapat nikotin di dalam darah. Merokok tembakau dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang menimbulkan kanker pada paru, rongga mulut, faring, laring, dan isofagus yang dapat menimbulkan masalah pada pembuluh darah jantung dan otak. Wanita hamil dapat mengalami abortus dan kelainan kongenital pada janin; y Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau, dalam kadar yang cukup besar. Rokok tembakau mengandung nikotin sehingga merokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik, dan toleransi. Asap rokok tembakau mengandung bahan kimia yang dapat memicu terjadinya penyakit kanker, penyakit paru-paru, serta gangguan kesehatan lainnya;
Dr. Widyastuti Soerojo y Bahwa UU 36/2009 memberikan perlindungan bagi seluruh warga masyarakat tanpa kecuali sesuai mandat UUD 1945; y Perlindungan terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif tidak melarang usaha pertanian tembakau, apalagi mematikan mata pencaharian petani dan tidak bertentangan dengan UUD 1945; y Sifat adiktif pada nikotin sangat kuat. Studi menunjukkan bahwa berhentinya merokok lebih sulit daripada menghentikan ketagihan heroin dan kokain. Adanya 60 juta perokok aktif di Indonesia saat ini, sudah mengindikasikan jaminan kelangsungan pertanian tembakau beberapa dekade mendatang. 121 3. Ahmad Hudoyo y Tembakau dapat dijadikan zat pengawet yaitu pengawet untuk bumbu, untuk kayu, dan dapat dipakai untuk mewarnai sutera; y Daun tembakau, dari hasil penelitian, dapat dipergunakan sebagai obat kencing manis, dan apabila direkayasa genetik dapat dijadikan obat anti kanker; y Daun tembakau dapat menjadi idola para dokter ahli genetika dan ahli biologi populer karena merupakan daun yang paling mudah direkayasa, cepat berubah DNA sifatnya, sehingga sangat efisien untuk penelitian- penelitian.
Arini Setiawati y Nikotin dalam rokok tidak begitu berbahaya dan jauh lebih aman daripada merokok. Keracunan nikotin dalam jumlah kecil, jauh lebih aman dibandingkan merokok. Zat-zat dalam asap tembakau itulah yang berbahaya karena mengandung toksik dan menyebabkan kanker; y Perokok pasif menghisap asap rokok yang berbahaya, tetapi tidak mendapatkan pleasure sebagaimana yang dialami oleh perokok aktif, sehingga alangkah tidak adilnya jika seorang bapak merokok, sedangkan istrinya dan anak-anaknya harus menghisap asap rokok tersebut; y Perokok aktif harus berhenti merokok agar tidak mengalami penyakit yang berbahaya, karena perokok ringan dan sedang, kematiannya sama saja dengan perokok berat.
Abdillah Ahsan y Bahwa ahli telah melakukan studi di Kendal, Bojonegoro, dan Lombok Timur. Ahli telah mewawancarai responden buruh tani sebanyak 450 orang dan telah mewawancarai 66 pengelola petani yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: - Mereka mengeluh bahwa usaha perkebunan tembakau sangat beresiko karena tembakau adalah tanaman semusim yang ditanam pada musim kemarau atau musim penghujan. Jika ditanam pada musim kemarau, dan panen ketika musim hujan, hal itu dapat merusak kualitas tembakau; 122 - Terdapat perubahan harga yang ditentukan oleh tengkulak, grader; - Terdapat hama tanaman; - Terjadi penurunan pembelian, karena pembeli utama daun tembakau adalah industri rokok. Apabila industri rokok tidak mau membeli, maka tembakau belum diketahui untuk apa penggunaannya.
Ahmad Fattah Wibisono y Bahwa kata merokok atau rokok tidak tercantum dalam Al Quran; y Baik yang mendalilkan makruh maupun yang mendalilkan haram, titik temunya adalah sama-sama menginginkan aktivitas merokok dihentikan; y Apabila orang masih mau merokok, artinya orang tersebut tidak menjaga kesehatannya, tidak menjaga jiwanya, seperti yang menjadi tujuan utama syariat, tujuan utama Islam; [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca keterangan DPR yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 113 UU 36/2009 telah sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 sama sekali tidak bertentangan dengan Pembukaan ( preambule ), Pasal 27, Pasal 28A, dan 28 I UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait, serta memeriksa alat bukti tertulis yang diajukan oleh Pihak Terkait, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
dr. drh. Mangku Sitepoe • Bahwa yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap rokop bukan tembakau; • Penyusunan Undang-Undang tidak membedakan antara tembakau dengan asap rokok; • Rokok terdiri dari rokok putih dan rokok kretek yang mana rokok putih sebagai standar untuk bahaya terhadap kesehatan yang mengandung 123 100% tembakau sedangkan rokok kretek mengandung 60% tembakau dan 40% cengkeh; • Bahwa merokok bukan penyebab kematian tetapi menstimulasi penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian; • Tidak semua zat adiktif berbahaya, contohnya, teobromin di dalam coklat; • Menurut kamus kedokteran di Indonesia, zat adiktif adalah suatu substansi atau zat yang menyebabkan kebutuhan fisiologis yang menimbulkan ketergantungan. Pengertian lainnya, zat adiktif adalah obat atau zat apabila dikomsumsi oleh makhluk hidup menyebabkan aktivitas biologis, mendorong ketergantungan, dan adiksi yang sukar diberhentikan, dan bila diberhentikan memberikan dampak keletihan dan rasa sakit di luar kebiasaan; • Pasal 113 ayat (1) tidak membedakan bahaya zat adiktif di dalam tembakau dengan zat adiktif di dalam rokok. Kata ”zat adiktif” seharusnya diganti dengan ”zat berbahaya di dalam rokok”.
Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 merupakan bukti keseriusan dan bentuk tanggung jawab konkrit dari Pemerintah untuk melindungi warga negaranya secara umum dan memberikan perlindungan yang maksimal bagi anak dan remaja Indonesia dari bahaya zat adiktif khususnya tembakau dan produk turunannya, sehingga dengan menghilangkan ayat- ayat tembakau ini merupakan suatu tindak pidana.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) • Bahwa rokok bermula dari sumber produk tembakau yang mengakibatkan korelasi langsung dengan anak karena prevalensi perokok pemula meningkat terbukti dengan data survei di mana prevalensi anak-anak usia 15 sampai 19 tahun yang merokok tahun 2001 menjadi meningkat pada tahun 2004; • Bahwa rokok adalah zat adiktif yang telah bermetamorfosis menjadi barang yang seakan-akan normal; 124 • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo yang menggunakan frasa ”pengamanan penggunaan” bukan ”penghapusan” yang dimaksudkan adalah untuk melindungi, atau di dalam bahasa konvensi disebut ” tobacco control ”; • Bahwa merokok secara quo scientific maupun normatif telah terbukti berbahaya bahkan mengancam kehidupan; • Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya dari ancaman bahaya kesehatan, berbagai penyakit, dan kecacatan serta kematian yang ditimbulkan akibat tembakau dan produk tembakau, yang secara keilmuan sudah terbukti kebenarannya; • Pasal 113 ayat Undang-Undang a quo sama sekali tidak bersifat diskriminatif dan tidak merupakan pelanggaran hak atas keadilan, namun justru wujud realisasi hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup, dan hak-hak anak yang dijamin dalam UUD 1945; Selain itu Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-21 yang secara lengkap telah tertera dalam bagian Duduk Perkara dan juga mengajukan 4 (empat) orang Saksi yang telah disumpah dan didengar keterangannya dalam persidangan, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Tony Karundeng • Saksi mulai merokok di usia 15 tahun; • Saksi sempat mengalami stroke ringan dan tahun 2010 kena kanker paru- paru akibat rokok dan Saksi tidak dapat berhenti merokok. Rokok mempunyai dampak racun dan adiktif; II. Yanti Koorompis • Saksi mulai merokok umur 13 tahun dan pernah menderita kanker stadium 3B; • Merokok itu sangat adiktif dan anak-anak Saksi menjadi ikut merokok. 125 III. Nani Rohayani • Saksi adalah perokok di usia 17 tahun dan sampai sekarang untuk menghilangkan rokok bagi Saksi sangat sulit karena tanpa rokok Saksi tidak dapat bekerja; • Saksi kena penyakit penyempitan pembuluh darah dan ingin sekali berhenti merokok, tetapi tidak dapat. IV. Fuad Baradja • Anak saksi mulai merokok di usia 13 tahun sampai sekarang, dan tidak dapat berhenti merokok walaupun telah melakukan terapi berhenti merokok.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia • Bahwa Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan utuh, terkait dengan bahaya merokok, bahaya tembakau bagi konsumen yang telah menjadi perokok aktif, perokok pasif maupun calon konsumen (calon perokok baru); • Selama ini, informasi yang disajikan industri rokok melalui berbagai iklan, promosi, dan berbagai upaya penjualan lainnya tidak memberikan informasi yang cukup perihal bahaya produk tembakau (rokok). Melalui iklan yang intensif dan masif tersebut, secara psikologis dan sosiologis, akhirnya cara pandang konsumen terhadap rokok mengalami ”jungkir balik” karena rokok dianggap sebagai produk yang tidak berbahaya dikonsumsi; • Akibat pengaruh iklan dan promosi tersebut, konsumen justru berpandangan bahwa orang yang merokok adalah keren, gagah, tampan, cantik, perkasa, berprestasi dalam olahraga, dan hal-hal positif lainnya. Sementara itu, informasi tentang bahaya rokok hanya disajikan dalam suatu narasi kalimat yang sangat kecil, sehingga tidak mudah dibaca dan ditangkap maknanya oleh konsumen; • Oleh karenanya, Pasal 113 UU 36/2009 merupakan dasar normatif yang sangat kuat bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan utuh tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-9 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; 126 5. Yayasan Jantung Indonesia __ • Bahwa secara global produk tembakau bertanggung jawab terhadap 22% dari seluruh penyakit jantung dan pembuluh darah cardiovaskular. Tembakau juga dihubungkan dengan kejadian arteriosclerosis, hipertensi, dan gangguan pembuluh darah otak. Efek rokok terhadap jantung dan pembuluh darah adalah meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, dan bahkan penyebab 75% serangan jantung koroner yang telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya _(notoir feiten); _ Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Jantung Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-9 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara;
Yayasan Kanker Indonesia • Bahwa sudah seharusnya konsumen dilindungi dari bahaya adiksi rokok yang bersifat adiktif, karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker), dan membahayakan kesehatan bahkan mengakibatkan kematian akibat penyakit yang ditimbulkannya. Hal ini telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya _(notoir feiten); _ • Menurut data statistik yang diambil dari berbagai data rumah sakit di Indonesia, menunjukkan bahwa 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) penderita kanker paru-paru adalah perokok berat. Hal in menunjukkan dengan tegas bahwa pengaruh rokok/tembakau bagi penyakit kanker (terutama kanker paru-paru) adalah sangat kuat. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Kanker Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-7 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara;
Forum Warga Kota Jakarta • Bahwa UU 36/2009 merupakan sebuah produk hukum yang telah memberikan pengakuan secara legal, tentang keberadaan rokok sebagai zat adiktif dan juga merupakan bukti bahwa negara telah serius melindungi warga negaranya sebagaimana diamanatkan UUD 1945; 127 • Bahwa fakta, dalam proses pembuatan Undang-Undang a quo yang sudah disahkan oleh Presiden, ada pihak-pihak yang dengan sengaja menghilangkan isi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif”. Pihak Terkait bersama dengan jaringan LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok atau KAKAR, telah melaporkan kejadian tersebut kepada Badan Kehormatan DPR dan Polda Metro Jaya. Badan Kehormatan DPR menyimpulkan, jika menghilangnya Pasal 113 ayat (2) bukanlah sekedar kesalahan administrasi semata, namun patut diduga merupakan upaya terstruktur dan terencana dari berbagai banyak oknum. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-15 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; [3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait ad informandum yaitu Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. H.M Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Hakim Sorimuda Pohan • Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam Pancasila dan UUD 1945; • Bahwa kebiasaan merokok merupakan kebutuhan individual, tidak digolongkan pada hak asasi manusia; • Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; • Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia, tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan 128 masyarakat juga diartikan sebagai inverstasi bagi pembangunan negara. Para ahli ekonomi kesehatan di tanah air sudah menghitung dan sejak lama mempublikasikan bahwa kerugian yang dapat ditimbulkan akibat rokok adalah empat sampai lima kali besaran penerimaan cukai oleh negara; • Bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan, dalam arti pembangunan nasional harus memerhatikan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab semua pihak, baik industriawan, petani, tenaga-tenaga kesehatan, pemerintah maupun masyarakat.
PT. Djarum • PT. Djarum adalah sebagai perusahaan swasta nasional yang berdiri berdasarkan hukum negara Republik Indonesia dan berdomisili hukum di Indonesia; • PT. Djarum merasa diperlakukan seolah-olah sebagai industri illegal. Sehingga dengan diberlakukannya pasal a quo membuat dunia industri tembakau merasa was-was, terancam, cemas, dan berakibat tidak nyaman dalam melaksanakan usaha; • Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 bagi PT. Djarum akan mengancam, merugikan dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kelangsungan usaha dan pekerja PT.Djarum.
PT. H.M Sampoerna • PT. H.M Sampoerna tidak sepenuhnya mendukung ketentuan tembakau UU 36/2009 yang disisipkan pada saat-saat terakhir persidangan DPR Tahun 2004-2009, karena ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan Sampoerna menyambut gembira keputusan DPR untuk menjawab beberapa kekurangan dari Undang-Undang Kesehatan dengan memasukkan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau dalam prioritas prolegnas untuk persidangan tahun 2011; 129 • PT. H.M Sampoerna maupun induk perusahaannya telah menyatakan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa produk tembakau bersifat adiktif; • Setelah Pasal 113 Undang-Undang a quo disahkan, saat ini Kementrian Kesehatan sedang menyusun Peraturan Pemerintah yang salah satu ketentuannya akan melarang industri tembakau secara total untuk mengkomunikasikan produknya kepada para konsumen dewasa. Padahal sebagai produk yang legal , industri tembakau memiliki hak untuk berkomunikasi kepada konsumen melalui saluran dan media komunikasi yang tersedia; • Pasal 113 UU 36/2009 dapat dikategorikan diskriminatif karena hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif, yang harus diatur oleh Pemerintah.
PT. Gudang Garam • PT. Gudang Garam mempekerjakan 37.000 karyawan dan apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah supaya memperhatikan nasib karyawan tersebut; • Apabila pengiklanan industri tembakau dilarang akan menimbulkan suatu status quo buat brand-brand yang sudah ada dalam artian akan sulit sekali buat brand-brand baru muncul apakah itu perusahaan besar ataupun perusahaan kecil;
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) • Fakta sejarah, sudah 100 tahun rokok kretek diproduksi. Kretek memiliki pengaruh kuat terhadap ketahanan sosial, politik, dan ekonomi secara merata; • GAPPRI adalah asosiasi yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Namun secara material tidak dapat dibantah masih banyak kelompok-kelompok dominan baik domestik maupun internasional yang mampu memonopoli jalannya suatu kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan ini mempunyai 130 banyak akses yang luas pada sumber daya ekonomi dan politik yang acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum; • GAPPRI khawatir adanya tiga pilar nasional yang dipertaruhkan:
Kedaulatan politik hukum, di mana terdapat kelompok-kelompok dominan, baik domestik maupun internasional, yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan yang dapat mempengaruhi regulasi. (2) Kemandirian ekonomi, mencari industri dalam negeri yang kemandirian ekonominya dapat disejajarkan dengan kretek saat ini sulit ditemukan. Bahkan andaikan penerimaan cukai dapat disisihkan 10 dan 15 tahun, utang negara dapat dibayar. (3) Kretek merupakan wujud karya kearifan lokal pengusaha bangsa Indonesia yang dulu dijajah dan ditindas, kemudian mampu meneruskan usaha dari aktor-aktor ekonomi kaum kolonial yang terdahulu, kemudian sekarang akan dicampakan begitu saja, sehingga membuat sangat resah; Bahwa selain itu GAPPRI juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-8 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa setelah mendengar dan membaca keterangan dan kesimpulan Pemohon, mendengar dan membaca keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait, keterangan Pihak Terkait ad informandum , keterangan para saksi yang diajukan oleh Pemohon, keterangan para Ahli yang diajukan oleh Pemohon, keterangan para saksi yang diajukan oleh Pemerintah, dan keterangan para Ahli yang diajukan Pemerintah, serta alat bukti tertulis yang diajukan Pemohon dan Pihak Terkait, sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.15.1] Bahwa masalah utama yang harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Mahkamah dalam permohonan ini adalah mengenai konstitusionalitas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009 yang didalilkan bertentangan terhadap Pembukaan, Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945; 131 [3.15.2] Bahwa dari uraian dalil-dalil permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, dan keterangan Pihak Terkait serta fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, ada persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah, yang pada pokoknya, yaitu apakah Pasal 113 UU 36/2009 yang menyatakan tembakau dan produk yang mengandung tembakau (padat, cair, dan gas) digolongkan sebagai zat adiktif adalah bersifat diskriminatif dan melanggar hak konstitusional Pemohon serta melanggar asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan, sehingga bertentangan dengan konstitusi; [3.15.3] Bahwa terhadap dalil Pemohon di atas, Mahkamah berpendapat, terhadap diskriminasi yang selalu dihubungkan dengan adanya perlakuan yang berbeda terhadap sesuatu hal, tidaklah berarti bahwa secara serta-merta perlakuan yang berbeda tersebut akan menimbulkan diskriminasi hukum. Suatu pembedaan yang menimbulkan diskriminasi hukum, haruslah dipertimbangkan menyangkut pembedaan apa dan atas dasar apa pembedaan tersebut dilakukan. Pembedaan yang akan menimbulkan status hukum yang berbeda tentulah akan diikuti oleh hubungan hukum dan akibat hukum yang berbeda pula antara yang dibedakan. Dari pembedaan-pembedaan yang timbul dalam hubungan hukum dan akibat hukum karena adanya pembedaan status hukum akan tergambar aspek diskriminasi hukum dari suatu pembedaan, karena daripadanya akan diketahui adanya pembedaan hak-hak yang ditimbulkan oleh diskriminasi. Oleh karena itu, pembedaan yang dapat mengakibatkan diskriminasi hukum adalah pembedaan yang dapat menimbulkan hak yang berbeda di antara pihak yang dibedakan. Dengan demikian, hanya pembedaan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban yang berbeda saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Karena pendukung hak dan/atau kewajiban adalah subjek hukum, maka hanya pembedaan yang menimbulkan kedudukan hukum yang berbeda terhadap subjek hukum saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Tembakau bukanlah subjek hukum karena tembakau bukanlah pemangku hak, melainkan hanya sebagai objek hukum yang dalam Pasal 113 Undang-Undang a quo menurut Pemohon dibedakan dengan produk lainnya, karena disebutkan sebagai zat adiktif sedangkan barang dan produk lain yang juga mengandung zat adiktif tidak 132 disebutkan dalam pasal a quo . Hal demikian sejalan dengan UUD 1945 yang melindungi setiap orang dari perbuatan diskriminatif, yaitu setiap orang sebagai subjek hukum; [3.15.4] Bahwa tembakau bukan subjek hukum tetapi sebagai objek hak yang berupa benda ( ius ad rem ). Hukum justru telah sejak lama mengadakan pembedaan terhadap objek hak. Perbedaan antara benda publik dan benda privat dalam hukum administrasi negara tidak didasarkan atas wujud bendanya tetapi lebih kepada peruntukannya. Tanah yang digunakan jalan umum termasuk dalam pengertian benda publik sementara tanah yang digunakan sebagai jalan dalam lingkungan perumahan pribadi termasuk benda privat yang oleh karenanya dapat menjadi objek hukum perdata secara penuh. Padahal, bentuk fisik keduanya adalah sama. Demikian juga kapal dengan tonase tertentu termasuk sebagai benda tidak bergerak yang terhadapnya dapat dijadikan objek hipotek sedangkan perahu atau kendaraan darat seperti truk yang secara fungsi dan teknologi tidak banyak berbeda dengan fungsi dan aspek teknologi kapal, namun termasuk sebagai benda bergerak yang berbeda dengan kapal. Meskipun wujudnya sama tetapi hukum juga memperlakukan berbeda. Sebagai contoh, dalam aturan lalu lintas dapat ditetapkan untuk satu jalan tertentu kendaraan umum dilarang masuk, sedangkan kendaraan pribadi tidak dilarang. Mobil dengan merek dan kapasitas yang sama dibedakan oleh hukum, yaitu yang satu sebagai mobil angkutan umum sedangkan yang lain sebagai mobil pribadi. Dengan demikian, pembedaan yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum adalah pembedaan terhadap subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, bukan pembedaan terhadap objek hak; [3.15.5] Bahwa Kantor Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Komentar Umum (General Comment Nomor 18 Non- _discrimination: _ 10/11/89) dari Covenant on Civil and Political Rights pada angka 1 menyatakan, “ Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle relating to the protection of human rights ”. Selanjutnya dinyatakan, “Thus, article 2 paragraph 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights 133 obligates each State party to respect and ensure to all persons within its territory …” . Dengan demikian, larangan diskriminasi adalah ditujukan kepada “ persons ” dan berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam beberapa Konvensi Internasional jelas bahwa diskriminasi yang dilarang adalah diskriminasi terhadap manusia atau person sebagai subjek hukum dan tidak pernah ada larangan diskriminasi terhadap objek hak. Deklarasi umum PBB tanggal 20 November 1963 mengenai United Nations Declaration of All Forms of Racial Discrimination menegaskan larangan diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, bahasa, agama, warna kulit, bangsa, dan suku bangsa. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang diadopsi oleh PBB tanggal 21 Desember 1965 menyebutkan larangan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, bangsa, dan suku. International Convention on the Suppression and Punishment of Crime of Apartheid yang diadopsi tanggal 30 November 1973 melarang segregasi sosial dan apartheid di dalam praktik-praktik olah raga; [3.15.6] Bahwa dari konvensi-konvensi internasional tersebut jelas bahwa larangan diskriminasi tidak pernah ditujukan kepada objek hak tetapi kepada manusia yang diakui sebagai subjek hukum pemegang hak. Dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ditemukan ada sepuluh dasar diskriminasi yaitu race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status yang kesemuanya berkaitan dengan person sebagai subjek hukum dan tidak berkaitan dengan objek hak. Perbedaan dalam menikmati hak-hak yang dipunyai oleh seseorang terhadap satu objek hak tertentu dibandingkan dengan objek hak yang lain mempunyai implikasi dalam bidang ekonomi. Hal demikian tidak dapat dielakkan dan tidak melanggar larangan diskriminasi. Seseorang yang mempunyai tanah dengan status hak milik pasti akan berakibat secara ekonomis atas haknya dibandingkan dengan mereka yang misalnya hanya memiliki hak guna bangunan, karena lebih tinggi nilai ekonomi yaitu menjadikan harga tanah tersebut lebih mahal. Pengusaha angkutan umum pada jurusan atau trayek tertentu dapat saja lebih kecil pendapatannya dibandingkan dengan angkutan umum jurusan lainnya, tetapi perbedaan penghasilan tersebut tidak berarti telah mendiskriminasikan antar pengusaha angkutan. Pemerintah sebagai regulator dapat melakukan kebijakan-kebijakan 134 tertentu dan bahkan harus mengambil kebijakan apabila ternyata terdapat perbedaan penghasilan yang sangat mencolok apalagi mengarah pada kerugian bagi pengusaha angkutan. Penetapan beras sebagai bahan sembako (sembilan bahan kebutuhan pokok) menjadikan Pemerintah perlu untuk menyediakan stok beras nasional yang cukup, sebab apabila tidak, maka akan terjadi kelangkaan beras nasional. Jika terjadi kelangkaan beras, dapat dipastikan harga beras akan naik. Secara ekonomi, kenaikan beras akan mempengaruhi juga kenaikan pendapatan petani dan semakin langka beras akan mendorong kenaikan harga beras semakin tinggi. Kenaikan harga beras yang sangat tinggi justru tidak dikehendaki oleh Pemerintah, oleh karenanya untuk menjaga stok beras nasional dilakukan impor beras. Dengan dimasukkannya beras menjadi sembako, petani padi tidak akan mungkin menikmati kenaikan pendapatan yang disebabkan oleh kenaikan harga beras dikarenakan kekurangan persediaan beras nasional, sebab Pemerintah selalu menjaga kecukupan persediaan beras sebagai salah satu bahan sembako dan mengadakan usaha-usaha agar harga beras stabil murah. Keputusan pemerintah untuk menetapkan beras sebagai salah satu bahan sembako adalah membedakan beras dengan bahan makanan lain, yang penetapan demikian mengakibatkan adanya pengendalian harga beras di pasar agar tidak menjadi terlalu mahal. Secara langsung, akibatnya petani padi tidak akan pernah mendapatkan keuntungan ekonomi yang cukup besar dari hasil tanaman padinya karena beras dimasukkan dalam kategori bahan sembako. Hal demikian, tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi diskriminasi karena Pemerintah menetapkan beras sebagai bahan sembako. Demikian juga adanya pembedaan antara kendaraan bermotor yang dibedakan antara jenis kendaraan mewah dan bukan kendaraan mewah sebagai dasar pengenaan pajak, tidaklah termasuk sebagai perlakuan diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 karena yang dibedakan adalah objek hak dan bukan subjek hukumnya. Apabila hak atas non-diskriminasi sebagai hak asasi manusia diterapkan kepada benda sebagai objek hak, maka akan merusak sendi-sendi hukum karena hukum justru membeda-bedakan benda atas dasar status hukumnya meskipun wujud dari benda tersebut sama; 135 [3.15.7] Bahwa Pemohon lebih lanjut mendalilkan tidaklah adil Pasal 113 UU 36/2009 a quo hanya mencantumkan tembakau sebagai zat adiktif, sedangkan ganja tidak dimasukkan sebagai zat adiktif padahal ganja nyata-nyata sebagai zat adiktif. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, bahwa adanya ketentuan Pasal 113 Undang-Undang a quo yang hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif tidaklah berarti bahwa jenis tanaman lain yang tidak disebutkan dalam Pasal a quo , secara serta-merta tidak termasuk zat adiktif, kalau memang nyata-nyata mengandung zat adiktif. Pasal 113 UU 36/2009 tidak menutup Undang-Undang lain untuk menyebutkan ada zat adiktif lain selain tembakau. Jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, pada 1976 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam UU Narkotika 1976 tersebut, diatur antara lain: • Pasal 2 menyatakan bahwa Menteri Kesehatan berwenang menetapkan: (i) alat-alat penyalahgunaan narkotika; (ii) bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan narkotika sebagai barang di bawah pengawasan; • Pasal 3 menyatakan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan dan terhadap narkotika tertentu yang sangat berbahaya dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan; • Pasal 4 menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan/atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk membeli, menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka , dan ganja . Lembaga yang menanam papaver, koka , dan ganja wajib membuat laporan tentang luas tanaman, hasil tanaman, dan sebagainya, yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. [3.15.8] Bahwa meskipun dalam UU Narkotika 1976 belum digunakan penyebutan zat adiktif, tetapi dalam bagian ”Menimbang huruf b” Undang-Undang tersebut dinyatakan, ”bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan 136 ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama”. Dengan demikian dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan dasar pengaturan terhadap tembakau dalam UU 36/2009 yaitu, ”dapat menimbulkan ketergantungan yang merugikan” yang artinya sebagai zat adiktif. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 huruf a UU Narkotika 1976, narkotika adalah bahan yang disebutkan pada Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 13, dan dalam angka 12 disebutkan, ”tanaman ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis, termasuk biji dan buahnya”. Dengan demikian, terhadap tanaman ganja telah dilakukan pengawasan dan bahkan larangan penanaman jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, yaitu sejak tahun 1976. UU Narkotika 1976 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan terakhir digantikan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang dalam Undang- Undang terbaru ini, pengawasan dan larangan terhadap tanaman ganja masih tetap diberlakukan. Dengan demikian ternyata bahwa terhadap tanaman ganja telah diatur pengawasannya sejak tahun 1976. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penyebutan tembakau sebagai zat adiktif pada Pasal 113 UU 36/2009 tidak menjadikan hanya tembakau saja yang termasuk sebagai zat adiktif secara eksklusif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 tersebut tidak melanggar larangan diskriminatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945; [3.15.9] Bahwa dalam persidangan terdapat ahli yang menyatakan bahwa penempatan pengaturan tembakau dalam Pasal 113 UU 36/2009 a quo adalah tidak tepat berdasarkan teori pembentukan Undang-Undang yang baik dan UU 36/2009 tersebut kurang sempurna pembuatannya karena Pasal 113 UU 36/2009 a quo terkesan tiba-tiba saja diatur, yang tidak terkait secara sistematis dengan materi lain yang diatur oleh UU 36/2009 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap hal tersebut, Mahkamah dalam beberapa putusannya telah menyatakan bahwa terhadap dalil bahwa sebuah norma adalah kabur yang dapat menimbulkan multitafsir, tidaklah serta-merta diputus sebagai norma yang tidak menjamin kepastian hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945, tetapi Mahkamah menyatakan hal demikian termasuk dalam implementasi dari 137 norma tersebut sehingga tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945. Dalam putusan-putusan yang lain, Mahkamah juga menyatakan bahwa apabila suatu norma yang dimohonkan untuk diuji ternyata dapat ditafsirkan secara berbeda dan perbedaan tafsir tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan dilanggarnya hak konstitusi warga negara, maka Mahkamah memberi putusan conditionally constitutional yaitu dengan memberi penafsiran tertentu supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau terlanggarnya hak-hak warga negara. Dalam Pasal 113 a quo sama sekali tidak bersangkut paut dengan soal diskriminasi terhadap subjek hukum, termasuk Pemohon, melainkan berkaitan dengan tembakau sebagai objek yang diatur oleh hukum sebagai zat adiktif. Dengan demikian, maka dikabulkan atau ditolaknya permohonan pengujian mengenai Pasal 113 Undang-Undang a quo tidak ada subjek hukum yang diuntungkan ataupun dirugikan secara konstitusional. Jaminan dan perlindungan yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945 adalah jaminan terhadap pengakuan serta perlindungan hukum kepada Pemohon, sedangkan Pasal 113 UU 36/2009 a quo sama sekali tidak mengubah pengakuan terhadap Pemohon. Dan juga pasal a quo tidak bersangkut paut dengan larangan untuk menanam tembakau. Sekiranya sekarang terdapat anjuran untuk beralih dari tanaman tembakau sebagaimana terjadi di wilayah Pemohon, hal demikian merupakan kebijakan yang tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 113 UU 36/2009; [3.15.10] Bahwa pembentukan Pasal 113 UU 36/2009 a quo dimaksudkan untuk menyatakan bahwa tembakau adalah termasuk zat adiktif, dan karena termasuk zat adiktif, maka akan diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya, sebagaimana kemudian ditentukan dalam Pasal 114, Pasal 115, dan Pasal 116 UU 36/2009. Apabila Pasal 113 Undang-Undang a quo dipandang kurang tepat penempatannya di dalam UU 36/2009, dan seandainya pun kemudian ditempatkan dalam Undang-Undang lain, hal demikian tidak akan mengubah daya berlaku dari substansi Pasal 113 tersebut. Artinya, substansi tersebut tetap menjadi sah meskipun tidak dicantumkan dalam UU 36/2009. Bahkan seandainyapun frasa ”zat 138 adiktif” dalam Pasal 113 Undang-Undang dihilangkan, hal demikian tidak akan mengubah fakta bahwa senyatanya tembakau memang mengandung zat adiktif; [3.15.11] Bahwa jaminan dan perlindungan hukum oleh Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menjamin penghasilan setiap warga negara, yang dalam perkara ini, melindungi penghasilan yang didapatkan dari harga jual tanaman tembakau. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa petani padilah yang sangat rentan terhadap rendahnya penghasilan karena harga beras yang tinggi tidak diinginkan terjadi karena Pemerintah dengan segala kewenangannya harus menjaga agar harga beras, yang termasuk bagian dari sembako, tidak terlalu tinggi. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah termasuk hak asasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yaitu generasi kedua dari hak asasi manusia. Terhadap hak untuk bekerja ini perlu kiranya dikutip apa yang disampaikan oleh Matthew Craven dalam “ The International Convention On Economic, Social and Cultural Rights. A Perspective on its Development ”, bahwa, “….any States would not accept an obligation to “guarantee” the right to work in the sense of ensuring full employment or eliminating unemployment. In particular, it was feared that such a guarantee would bind States to a centralized system of government and require that all labour be under the direct control of the State.” Dengan demikian, pengertian bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menyediakan lapangan kerja untuk seluruh warganya, karena jika hal demikian dilakukan, maka akan terjadi sentralisasi pemerintahan dan bahwa semua warga harus tunduk kepada pemerintah untuk bekerja dalam bidang yang disediakan oleh Pemerintah, padahal setiap warga negara mempunyai hak konstitusi untuk memilih lapangan kerja yang disukainya. Menyediakan lapangan kerja sesuai dengan keinginan setiap warga adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh pemerintahan manapun juga. Kewajiban Pemerintah terhadap hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya adalah untuk mengusahakan kesempatan seluas mungkin dengan cara bersungguh- sungguh agar setiap warga negara dapat menikmati hak tersebut dan bukannya negara harus bisa menyediakan lapangan kerja untuk setiap warga negaranya; 139 [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh Sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa tanggal delapan belas bulan Oktober tahun dua ribu sebelas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal satu bulan November tahun dua 140 ribu sebelas oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ida Ria Tambunan sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd Harjono ttd Ahmad Fadlil Sumadi ttd Anwar Usman ttd Hamdan Zoelva ttd Maria Farida Indrati ttd M. Akil Mochtar 141 6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) DAN ALASAN BERBEDA (CONCURRING OPINION) Terhadap putusan perkara ini terdapat 2 (dua) orang Hakim Konstitusi yang pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Hamdam Zoelva serta 1 (satu) orang Hakim Konstitusi yang memiliki alasan berbeda ( concurring opinion ) yaitu Hakim Konstitusi Achmad Sodiki sebagai berikut: [6.1] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar Bahwa pasal 113 termasuk dalam Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 yang mengatur tentang Pengamanan Zat Adiktif. Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 terdiri dari 4 (empat) pasal yaitu Pasal 113 sampai dengan Pasal 116. Dari bagian yang mengatur tentang zat adiktif tersebut, kata “tembakau”, “produk yang mengandung tembakau”, dan “rokok” dapat ditemukan pada Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 dan Pasal 115. Sedangkan bentuk zat adiktif lain tidak disebut secara khusus dalam Bagian Ketujuh Belas UU a quo . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “adiktif” berarti (1) bersifat kecanduan atau (2) bersifat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya. Dengan demikian, yang termasuk zat adiktif tidak hanya terdiri atas tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagaimana disebut pada Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan. Terdapat beragam jenis zat yang masuk dalam kategori “zat adiktif” misalnya Narkotika dan Psikotropika. Oleh karena itu, terdapat inkonsistensi antara judul bagian ketujuh belas UU a quo yang bertujuan mengatur tentang Pengamanan Zat Adiktif dengan isi ( content ) pasal yang terdapat dalam bagian ketujuh belas UU a quo yang memberikan porsi lebih besar dengan mengatur secara khusus mengenai rokok dan tembakau tanpa mengatur zat adiktif lainnya secara spesifik. Selain itu, terdapat inkonsistensi dari ketentuan Pasal 116 UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa pengamanan zat adiktif lainnya agar diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Padahal, pengaturan zat adiktif lain, selain rokok dan tembakau, telah 142 diatur dalam Undang-Undang dan tidak dengan Peraturan Pemerintah, yaitu zat adiktif berupa psikotropika diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Zat Adiktif berupa Narkotika diatur dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui penalaran semantik dapat disimpulkan bahwa, sejatinya, Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 adalah mengatur secara khusus mengenai Pengamanan Zat Adiktif berupa rokok dan tembakau. Setiap frasa “bahan yang mengandung zat adiktif” pada pasal yang berada dalam Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 cenderung mengarah pada rokok dan produk yang mengandung tembakau. Secara semantik, penyusunan bagian ketujuhbelas memiliki inkonsistensi karena penyebutan frasa “bahan yang mengandung zat adiktif”. Pembentuk Undang-Undang telah mempersempit makna zat adiktif yaitu hanya meliputi tembakau dan produk-produk tembakau, namun frasa ini mengandung pengertian luas yang juga mencakup zat adiktif lain, seperti psikotropika dan narkotika. Pengaturan yang tidak konsistens dalam UU 36/2009 serta dibaca dalam konteks semantik dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan konstitusi. Pandangan masyarakat mengenai tembakau berbeda dengan zat adiktif lainnya. Secara umum, masyarakat melihat Psikotropika dan Narkotika sebagai zat adiktif adalah barang ilegal yang tidak boleh dikonsumsi terkecuali bila digunakan untuk kepentingan tertentu dan oleh pihak yang berwenang seperti untuk pengobatan oleh para dokter. Lain halnya dengan rokok atau produk tembakau yang dapat dengan mudah ditemui atau diperoleh secara bebas. Rokok atau produk tembakau lainnya bukanlah barang ilegal. Sehingga, pandangan masyarakat tentang tembakau atau rokok sangat terbelah. Faktor kesehatan menjadi salah satu alasan yang menyebabkan perbedaan pandangan di masyarakat soal rokok dan produk tembakau. Setidaknya perubahan paradigma yang menekankan pada faktor demi melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok dan tembakau tergambarkan pada kalangan masyarakat 143 internasional yang diwakili oleh World Health Organization yang mengeluarkan kerangka kerja konvensi mengenai pengendalian tembakau ( Framework Convention on Tobacco Control -FCTC) dan berlaku sejak 27 Februari 2005. FCTC dinyatakan sebagai global trendsetter yang mengubah pandangan masyarakat akan bahaya rokok dan produk tembakau lainnya. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi konvensi ini. Dalam UU 36/2009 sangat terlihat adanya pengaruh FCTC dalam pengaturan mengenai pengendalian atau pengamanan rokok dan produk tembakau pada UU Kesehatan. Pasal 114 UU 36/2009 yang mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan selaras dengan article 11 FCTC yang mengatur tentang Packaging and Labelling of Tobacco Products , dan Pasal 115 UU 36/2009 yang menetapkan kawasan tanpa rokok sejalan dengan article 8 FCTC yang menetapkan Protection from Exposure to Tobacco Smoke . Pengaturan ketentuan pada bagian ketujuh belas UU Kesehatan yang mengatur mengenai pengamanan zat adiktif menjadi dasar untuk mengatur lebih lanjut tentang rokok dan produk tembakau dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan mengenai rokok dan produk tembakau menjadi hal yang tidak mudah karena melibatkan industri rokok yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, dari mulai sektor pertanian tembakau hingga produksi rokok. Selain itu, bagi masyarakat Indonesia rokok menjadi bagian dari warisan tradisi budaya masyarakat, terutama rokok kretek dari sebagian daerah di Indonesia. Sehingga kebijakan pemerintah dalam menetapkan pengaturan tentang rokok dan produk tembakau harus mampu melindungi hak konstitusional warga negara antara menikmati lingkungan yang sehat dan menjaga kelestarian warisan budaya masyarakat sekaligus mengakomodasi kepentingan petani tembakau dan tenaga kerja yang terlibat pada industri rokok dan produk tembakau. Memperhatikan ketentuan yang termuat di dalam Bagian Ke Tujuh Belas UU 36/2009 jelas terlihat kepentingan tersembunyi yang bertujuan agar tanaman termbakau yang merupakan bahan baku utama dari industri rokok adalah satu- satunya zat yang mengandung adiktif, yaitu kepentingan bisnis perdagangan produk-produk Nicotine Replacement Therapy (NRT) dan tanpa memperhatikan 144 dampak yang akan terjadi kepada petani tembakau yang memiliki hak ekonomi sosial dan budaya yang dijamin oleh UUD 1945; Pembatasan tembakau sebagai zat adiktif telah tidak memperhatikan fakta bahwa ada kurang lebih 6 juta rakyat Indonesia yang hidup dan perikehidupannya bergantung pada tembakau dengan segala industrinya. Apalagi industri tembakau merupakan salah satu kontributor terbesar pendanaan APBN. Pembatasan dapat saja dilakukan asalkan dalam kerangka untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain ( vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Jangan hanya demi satu kepentingan kemudian mengabaikan hak warga negara Indonesia, karena jika demikian maka telah terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam UUD 1945; Dengan memperhatikan uraian di atas, menurut pendapat saya, seharusnya Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon, yaitu menyatakan sepanjang frasa ”tembakau” dan ”produk yang mengandung tembakau” pada Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; [6.2] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva Pokok persoalan yang dimohonkan para Pemohon kepada Mahkamah adalah dicantumkannya secara spesifik tembakau dan produk yang mengandung tembakau dalam rangka pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan dalam Pasal 113 UU 36/2009. Keresahan Pemohon beserta para petani tembakau atas adanya ketentuan tersebut seharusnya dapat dipahami oleh Mahkamah mengapa hanya tembakau dan produk tembakau yang disebutkan secara kongkrit sebagai zat adiktif yang menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, dan sama sekali tidak menyinggung zat adiktif lainya. Hal itu 145 menimbulkan rasa ketidakadilan oleh Pemohon dan para petani tembakau yang seharusnya dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan rasa kekhawatiran akan terancamnya sumber kehidupan mereka yang secara turun temurun menanam tembakau untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya seperti yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945. Benar, rokok mengganggu kesehatan bagi para penggunanya. Tetapi apakah dengan sendirinya tembakau dan produk lainnya membahayakan bagi perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan adalah sesuatu yang masih perlu penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, yang seharusnya dikendalikan dan dibatasi adalah produk rokok yang sudah jelas membahayakan bagi kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, dan bukan tembakau. Tembakau sudah merupakan bagian kehidupan para petani yang secara turun temurun mengantungkan hidupnya dari hasil tanaman tembakau. Apabila tembakau dikendalikan, dan dibatasi produknya pasti akan mengancam kelangsungan kehidupan ekonomi dari para petani tembakau yang mencederai jaminan konstitusi kepada setiap orang untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya berdasarkan Pasal 28A UUD 1945. Hal itu, juga mencederai rasa keadilan para petani tembakau yang hanya menyebutkan tembakau dan segala produk tembakau sebagai zat adiktif, tanpa menyebutkan zat adiktif yang bersumber dari produk lain yang menurut berbagai penelitian terkandung dalam banyak sekali jenis tanaman. Dengan adanya kewenangan pengendalian dalam pasal a quo, tanpa batasan oleh undang-undang, akan memungkinkan pemerintah membatasi penanaman tembakau, serta jumlah produksi tembakau yang dapat dipastikan akan merugikan para petani yang menggantungkan ekonominya pada produksi tanaman tembakau. Untuk memulihkan rasa ketidakadilan dari para petani tembakau dan menjamin kelangsungan kehidupan ekonomi masyarakat sebagai petani tembakau seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu dengan menyatakan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dihilangkannya Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak dengan sendirinya menghilangkan kewenangan pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap tembakau dan 146 segala produknya karena kewenangannya masih dimungkinkan berdasarkan Pasal 116 UU 36/2009. Dengan dikabulkannya Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo , Mahkamah memberikan keadilan kepada para petani tembakau, sehingga yang dikendalikan oleh Pemerintah tidak hanya zat adiktif dari tembakau dan segala produknya, tetapi juga seluruh zat adiktif yang bersumber dari bahan-bahan lainnya. [6.3] Alasan Berbeda (Concurring Opinion) Hakim Konstitusi Achmad Sodiki Persoalan yang dikemukakan oleh Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009. Alasannya karena: • Pertama pasal tersebut hanya mencantumkan tanaman tembakau sebagai zat adiktif , sedangkan tanaman lainnya misalnya ganja tidak, padahal ganja mempunyai dampak tidak baik terhadap kesehatan. Tembakau yang disebut zat adiktif dianggap bertentangan dengan asas keadilan karena hanya mencantumkan tanaman tembakau sedangkan tanaman lainnya seperti ganja yang mengandung juga zat adiktif dan dilarang tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009. • Kedua dengan dicantumkannya tembakau sebagai zat adiktif memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was was mengalami kerugian materiil apabila menanam tembakau. Dengan demikian Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I UUD 1945. Pemohon juga mengingatkan adanya Putusan Mahkamah Nomor 6 PUU/VII/2009 tentang pengujian Pasal 46 ayat (3) huruf c sepanjang frasa “yang memperagakan wujud rokok” yang telah ditolak oleh Mahkamah untuk dibatalkan. • Tentang dimasukkannya tembakau sebagai zat adiktif. Tembakau merupakan produk pertanian yang di dalamnya termuat hak Pemohon yakni kepentingannya guna memenuhi kebutuhannya sebagai petani. Hak merupakan kepentingan yang dilindungi ( das subjective Recht ist rechtlich geschutztes Interesse” ). Bahkan Van Appeldoorn beranggapan hak adalah 147 suatu kekuatan yang diatur oleh hukum ( Het objective recht is een ordende macht, het subjective recht is een door objective recht geordende macht. Recht is macht) . Oleh sebab itu gangguan apapun bentuknya atas hak dapat berarti gangguan atas kepentingan subjek hukum. Jika kepentingan itu demikian kuat peranannya dalam kehidupan orang yang empunya hak, maka perubahan hak akan berpengaruh juga terhadap orang yang mempunyai hak tersebut, yang bisa bersifat menguntungkan dan dapat pula bersifat merugikan si empunya hak. Jika kepentingannya berupa kepentingan ekonomi, maka perlakuan yang berbeda atas kepentingan ekonomi tersebut dapat merugikan yang bersangkutan. Terlebih lagi jika kepentingan ekonomi tersebut berupa kepentingan yang menyangkut hajat hidup seseorang atau orang banyak. Hak tersebut berkaitan dengan objek hukum yakni segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi pokok (objek) perhubungan hukum. Jika pembedaan itu sekedar ingin membedakan antara jenis benda misalnya benda bergerak dengan benda tidak bergerak, hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tidaklah akan merugikan siapapun. Tetapi yang menjadi persoalan seringkali adanya perubahan dari status hak milik menjadi hak yang dikuasai langsung oleh negara atau sebaliknya hal ini menyangkut kepentingan yang mempunyai hak. Di dunia ini hampir tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak ada pemilik atau penguasanya, sehingga mustahil memisahkan suatu benda/hak dengan pemiliknya atau antara subjek hukum dengan haknya. Hal itu hanya terjadi pada zaman perbudakan tatkala sebagian manusia dianggap tidak mempunyai hak yakni menjadi budak. Budak disamakan dengan barang atau binatang karena diambil tenaga kerjanya, yang dapat dihaki dan dapat dijual belikan oleh yang empunya budak. Hanya manusia yang mempunyai hak yang disebut orang ( person atau persoon). Sekarang semua manusia adalah subjek hukum, oleh sebab itu ia merupakan pendukung hak, maka memisahkan dan tidak mengaitkan antara subjek hukum dengan objek hukum (hak) tidaklah tepat, karena zaman perbudakan telah berakhir. Penggolongan suatu benda dapat menimbulkan kerugian apabila benda tersebut yang semula tidak digolongkan sebagai benda yang dilarang menjadi 148 benda yang dilarang, misalnya daun ganja semula bukan merupakan barang yang dilarang tetapi kemudian dimasukkan sebagai barang yang dilarang mengedarkan, mengkonsumsi dan menjual belikan. Jadi terjadi politik kriminalisasi terhadap benda tersebut, karena bagi siapa yang mengedarkan, mengkonsumsi dan menjual belikan dikenakan ancaman pidana. Dampaknya, bagi masyarakat yang secara tradisi mengkonsumsi daun ganja menjadi tidak bebas lagi menggunakannya. Dalam dunia perdagangan juga terjadi hal demikian, dapat terjadi suatu benda yang semula dapat masuk bebas ke Indonesia menjadi benda yang dilarang masuk. Misalnya import daging sapi yang tadinya tidak terkena syarat halal .Karena diadakan klasifikasi daging yang halal dengan daging yang tidak halal terpaksa jika daging sapi diimport harus mendapatkan sertifikasi halal. Dengan demikian tidak semua daging sapi dapat diimport ke Indonesia, sehingga dapat merugikan para importer daging sapi, sebaliknya hal demikian menguntungkan pihak konsumen yang menghendaki kehalalan daging sapi. Dengan demikian pembedaan perlakuan yang didasarkan pada kepentingan secara langsung dapat berakibat merugikan suatu kelompok masyarakat tetapi dapat pula menguntungkan kelompok masyarakat lainnya. Hal inilah yang menyebabkan tidak mungkin dipisahkan antara subjek hukum yang berupa orang/badan hukum dengan kepentingan yang dimiliki oleh subjek hukum tersebut. • Pemohon mempersoalkan penggolongan tembakau sebagai zat adiktif dengan kepentingannya yang dengan digolongkan menjadi/ termasuk zat adiktif akan berakibat merugikannya, sedangkan zat lain yang juga mengandung zat adiktif tidak dimasukkan dalam pasal ganja, yaitu Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009. Pasal ini tidak mengandung maksud bahwa zat lain dengan sendirinya yang tidak disebut dalam pasal a quo dikecualikan sebagai zat adiktif misalnya ganja dan sebagainya. Pasal ini hanya menyatakan, zat adiktif meliputi tembakau dan seterusnya yang dihubungkan dengan ayat (1) nya diperlukan pengamanan dalam penggunaannya yakni tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan 149 lingkungan. Ada perbedaan antara tembakau dan ganja sekalipun ada persamaannya yaitu sebagai zat adiktif. Tembakau dan produk rokok masih bersifat legal dijual bebas dan boleh dikonsumsi secara umum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok daan tembakau), sekalipun terdapat pembatasannya seperti yang dimaksud oleh ayat (1) dan ayat (3) pasal a quo . Sedangkan ganja jelas bukan merupakan produk yang legal untuk dijual dan dikonsumsi oleh masyarakat, maka tidak bisa disamakan kedudukannya antara tembakau dengan ganja. Di sini tidak ada persoalan kepastian hukum karena permohonan Pemohon sekarang tidak termasuk persoalan yang dimohonkan pengujiannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008 sekalipun menyinggung masalah tembakau. Dalam dunia modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan nampak upaya manusia untuk hidup sehat bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Produk-produk yang dikonsumsi oleh manusia juga semakin beragam, sehingga kontrol terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh beragamnya zat-zat yang dikandung oleh makanan tersebut tidak mungkin dilakukan sendiri oleh perseorangan. Hal itu merupakan tugas negara untuk melindungi kepentingan kesehatan orang banyak. Sudah menjadi keyakinan dunia modern bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan.Oleh sebab itu meningkatnya jumlah perokok juga akan meningkatkan potensi kerugian yang akan diderita baik di bidang kesehatan, produktivitas kerja, sekalipun negara memperoleh pajak yang diambil dari produk rokok (tembakau). Kesadaran untuk menghindari rokok justru lebih banyak dari kalangan yang cukup berpendidikan dari pada dari kalangan yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan. Akan tetapi membatasi meluasnya bahaya merokok tidak mungkin hanya digantungkan pada kesadaran dari mereka yang terdidik, tetapi negara harus melakukan tindakan antisipatif agar dengan demikian kita akan mewarisi generasi yang sehat. Justru kebijakan yang dilakukan saat sekarang ini akan menjadi tidak adil jika tidak berdampak baik bagi generasi yang akan datang, karena generasi yang akan datang tidak dapat ikut serta menentukan kebijakan yang sekarang diambil oleh negara. Tidak dapat dipertanggung 150 jawabkan secara moral, generasi yang akan datang menderita karena kesalahan kebijakan generasi sekarang. Lagi pula seseorang tidak boleh menarik keuntungan dari perbuatannya yang nyata-nyata membahayakan orang lain. Tembakau sebagai zat adiktif sekaligus merupakan bahan rokok utama tidak dapat disangkal dapat menyebabkan penyakit kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan serta janin sebagaimana dicantumkan pada label peringatan setiap bungkus rokok. Oleh sebab itu maka permohonan Pemohon sudah tepat ditolak oleh Mahkamah. PANITERA PENGGANTI, ttd Ida Ria Tambunan