Standar Pelayanan Minimum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Standar, Uji, dan Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah
Uji Materi Pasal 77 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN terhadap UUD 1945
Relevan terhadap
1. Terhadap materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang- _Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali; _ 2. Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitasnya yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. 13. Bahwa sebelumnya terhadap Pasal 77 UU BUMN 19/2003 pernah diajukan Uji Materiil yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008. Berdasarkan hal tersebut, maka Pemohon terlebih dahulu akan menguraikan apakah materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang Pasal 77 UU BUMN 19/2003 telah diperiksa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 dan Pemohon akan menjelaskan perbedaan Uji Materiil 6 Pemohon dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 sebagai berikut: Permohonan Uji Materiil dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 Bahwa Pemohon dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008 meminta: “ Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1 angka 11 angka 12 serta bagian BAB VII Restrukturisasi dan Privatisasi yang terdiri dari Pasal 72 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 80 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Alasan Pemohon dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008 menyatakan Pasal 77 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang- _Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada pokoknya menyatakan: _ “Pemohon menolak privatisasi dan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 ini adalah ketentuan pemanis dan penggembira saja karena kelak ketentuan peraturan perundang-undangan mengizinkan dilakukan privatisasi” Bahwa Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima; Bahwa dengan Permohonan Pemohon Nomor 58/PUU-VI/2008 dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, maka materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 belum pernah diperiksa dan di putus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka Pasal 77 UU BUMN 19/2003 dapat dimohonkan kembali untuk dilakukan uji materiil pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui Permohonan a quo ; Bahwa selanjutnya dalam permohonan a quo, Pemohon hanya melakukan pengujian terhadap norma Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003; Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan uji materiil Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 terhadap Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 7 sebagaimana akan dijabarkan oleh Pemohon di bawah pada bagian Legal Standing Pemohon; Bahwa Pemohon dalam Permohonan a quo memiliki alasan-alasan hukum yang berbeda, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN inkonstitusional dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang __ larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. Bahwa pada dasarnya Pemohon tidak menolak privatisasi sebagaimana didalilkan Pemohon sebelumnya dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008. Bahwa dalam permohonan a quo yang dipermasalahkan pemohon adalah dapat tidaknya dilakukan privatisasi terhadap “ Persero dan Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero” yang bergerak disektor tertentu yang berkaitan dengan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c UU BUMN 19/2003 dan bergerak di bidang usaha sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf d UU BUMN 19/2003; __ 14. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 belum pernah diperiksa dan di putus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga permohonan a quo tidaklah bersifat ne bis in idem terhadap permohonan sebelumnya (Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008). Bahwa selain tidak bersifat ne bis in idem, dalam Permohonan a quo baik Pemohonnya, alasan, subtansi maupun pokok permohonan (petitum) berbeda, dengan demikian permohonan a quo sudah sepatutnya diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN HUKUM PEMOHON 1. Bahwa dalam hukum acara perdata yang berlaku, dinyatakan hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja, yaitu orang yang merasa hak- haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan (asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum atau zonder belang geen rechttingen ), artinya “hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja”, yaitu orang yang merasa hak-haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan; 8 2. Bahwa dalam perkembangannya, ternyata ketentuan dan atau asas tersebut tidak berlaku mutlak berkaitan dengan diakuinya hak orang atau lembaga tertentu untuk mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan, dengan mengatasnamakan kepentingan publik, yang dalam doktrin hukum universal dikenal sebagai Organization Standing (Legal Standing) ;
Doktrin Organization Standing ( Legal Standing ) ternyata tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Mahkamah Agung RI, Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-undang Jasa Konstruksi dan doktrin Organization Standing ( Legal Standing ) juga telah menjadi preseden tetap dalam praktek peradilan di Indonesia;
Bahwa walaupun begitu, tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik. Akan tetapi, hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundangan maupun yurisprudensi, yaitu berbentuk badan hukum atau kelompok masyarakat dan organisasi tersebut telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji. c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. b. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan tidak lagi terjadi. 9 6. Bahwa Pemohon adalah Serikat Pekerja yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003, tertanggal 9 April 2003; ( Vide Bukti P-1);
Bahwa Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (selanjutnya disebut FSPPB) diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts-06MUNAS- VI/FSPPB/2018. Bahwa Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). ( Vide Bukti P-2 ) yang menyatakan: Pasal 18 ayat (3) “Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan” 8. Bahwa Pemohon merupakan perwakilan dari Lembaga atau Badan atau Organisasi yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para Pekerja PT Pertamina (Persero) dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero);
Bahwa bentuk dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu dalam Pasal 3 Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015 disebutkan: “ FSPBB berbentuk FEDERASI yang menghimpun dan terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan PERTAMINA termasuk Anak Perusahaan yang memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. 10. Bahwa tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan- kegiatan penegakan hak-hak pekerja sangat jelas dapat dilihat dalam tugas pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015, yaitu: 1) Untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan _anggota beserta keluarganya; _ 10 2) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta _keluarganya; dan _ 3) Menjaga kelangsungan Bisnis dan eksistensi perusahaan. 4) Memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional. 11. Bahwa dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN 19/2003) hanya mengatur secara tegas mengenai larangan Perusahaan Persero untuk di Privatisasi yaitu Perusahaan Persero yang bidang usahanya disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003;
Bahwa faktanya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut hanya berbentuk Perseroan Terbatas biasa, sehingga tidak terikat pada ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003. Hal tersebut tentunya membuka peluang/berpotensi dapat diprivatisasinya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut, padahal Anak Perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha Induk Perusahaannya yang notabene Induk Perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003;
Bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan Perusahaan Persero sebagaimana dimaksud dalam UU BUMN 19/2003. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri BUMN selaku RUPS tanggal 24 November 2016 tentang Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina yang dinyatakan pada akta No. 27 tanggal 19 Desember 2016 dinyatakan, bahwa PT Pertamina Persero memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggaraan usaha energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan, serta kegiatan lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan tersebut serta pengembangan optimalisasi sumber daya yang dimiliki perusahaan;
Bahwa dengan demikian PT Pertamina Persero termasuk dalam Perusahaan Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 yaitu: 11 c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. 15. Bahwa saat ini PT Pertamina Persero telah memiliki Anak-Anak Perusahaan yang menunjang kegiatan usaha PT Pertamina Persero sebagai induk Perusahaannya di bidang energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan;
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik Persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 menyebabkan celah hukum dan ketidakpastian hukum untuk dilakukannya privatisasi/pelepasan seluruh saham ke pihak perorangan/swasta terhadap Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang bergerak di bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d sehingga Pemohon dirugikan Hak Konstitusionalnya yaitu:
Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan Energi Nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah di atur dalam anggaran dasar FSPPB.
Berpotensi nyata Sumber Daya Alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja Pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 karena Negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam.
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT. Pertamina Persero maupun Anak-Anak Perusahaannya akibat potensi nyata terjadinya privatisasi dan/atau pelepasan seluruh saham anak- 12 anak perusahaan ke pihak perorangan/swasta. Bahwa seharusnya anak perusahaan persero yang bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan Masyarakat dilarang untuk di privatisasi.
Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahan PT. Pertamina Persero kepada pihak swasta/perorangan.
Kualitas hidup dan kesejahteraan para pekerja pada Perusahaan Grup PT. Pertamina Persero dan/atau BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT. Pertamina Persero/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh Negara.
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada Pihak Swasta/Perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam pasal 163 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/ pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahaan. Bahwa hal tersebut di atas tentunya merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab bagi Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota dan atau pekerja, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya, menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi Perusahaan dan memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB);
Bahwa terkait dengan tujuan pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 angka (3) Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke-Lima Tahun 2011, maka Pemohon sangat berkepentingan untuk mengajukan Uji Materil ke Mahkamah Konstitusi 13 sebagai akibat dari adanya ketidakpastian hukum dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bahwa selama ini secara nyata, Pemohon telah pula memperjuangkan kepentingan hukumnya sebagaimana dinyatakan dalam AD/ART baik itu melalui gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial terkait hak dan kepentingan para Pekerja yang menjadi anggotanya, termasuk pula telah pernah mengajukan gugatan Judicial Review tentang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor: 37/PUU-IX/2011 dan gugatan Judicial Review Tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 65/PUU-X/2012;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN Bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara inkonstitusional dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. A. Pasal 77 huruf c dan huruf d Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. 14 1. Bahwa Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 2. Bahwa sesuai dengan konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang- Undang Minyak dan Gas dan Undang-Undang Ketenagalistrikan menafsirkan mengenai “hak menguasai negara/HMN” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid) , melakukan pengaturan (regelendaad) , melakukan pengurusan (bestuurdaad) , melakukan pengelolaan (beheersdaad) , dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
Bahwa salah satu fungsi dari Hak Menguasai Negara adalah pengelolaan, yang mana fungsi pengelolaan tersebut dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, hal tersebut sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa: “ Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung badan usaha milik negara, termasuk di dalamnya badan usaha milik daerah atau badan hukum milik negara/daerah sebagai instrumen kelembagaan di mana pemerintah mendayagunakan kekuasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas kekayaan alam atas bumi, air, dan kekayaan alam benar-benar digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; ” 4. Bahwa sebagai bentuk implementasi Hak Menguasai Negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 19 Juni 2003 15 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 70 Tahun 2003;
Bahwa filosofi dibentuknya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 adalah menjaga supaya Negara tidak kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan (beheersdaad) terhadap Cabang-Cabang Produksi yang penting bagi Negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
Bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN yang tercantum dalam Pasal 2 UU BUMN 19/2003 adalah:
Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional b. Mengejar keuntungan;
Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Bahwa di dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 Negara telah mengatur mengenai Persero yang tidak dapat di privatisasi yaitu: a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. 8. Bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU BUMN 19/2003 adalah: 16 “ BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.” 9. Bahwa selanjutnya yang dimaksud dengan Privatisasi berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU BUMN 19/2003 adalah: “penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya , kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.” 10. Bahwa sejalan dengan berjalannya waktu, persaingan usaha dalam bidang perekonomian global semakin ketat, untuk itu Pemerintah Republik Indonesia memiliki strategi untuk menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan Badan Usaha Milik Negara yaitu dengan membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/ Holding Company . Bahwa dengan demikian saat ini Persero yang dilarang untuk di privatisasi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 telah berkembang menjadi sebuah Perusahaan Grup/ Holding Company bukan hanya sekedar sebuah Perusahaan Perseroan tunggal, Perusahaan-Perusahaan Persero pada saat ini telah memiliki anak-anak perusahaan bahkan cucu perusahaan (Perusahaan milik PT. Persero) ; __ 11. Bahwa Perusahaan Grup/ Holding Company menurut pendapat ahli dapat diartikan sebagai berikut: Menurut Raajimakers, perusahaan kelompok atau group company secara umum dapat diberi pengertian sebagai suatu susunan dari perusahaan- perusahaan yang secara yuridis tetap mandiri dan yang satu dengan yang lain merupakan suatu kesatuan ekonomi yang dipimpin oleh suatu perusahaan induk. Menurut Prof. Emmy Pangaribuan, S.H. perusahaan grup/konsern adalah suatu gabungan atau susunan dari perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri, yang terkait satu dengan yang lain begitu erat sehingga membentuk suatu kesatuan ekonomi yang tunduk pada suatu pimpinan dari suatu perusahaan induk sebagai sentral. Menurut Ray August, holding company adalah perusahaan yang dimiliki oleh induk perusahaan atau beberapa induk perusahaan yang bertugas untuk mengawasi, mengoordinasi, dan mengendalikan kegiatan usaha anak-anak perusahaannya. __ 17 12. Bahwa berdasarkan pengertian mengenai Perusahaan Grup dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, perusahaan grup/ holding company /konsern merupakan suatu gabungan dari perusahaan- perusahaan yang masing- masing mandiri secara yuridis, memiliki hubungan yang erat, memiliki hubungan ekonomi antara yang satu dengan yang lain, dimana induk perusahaan mengawasi, mengoordinasi, dan mengendalikan kegiatan usaha anak-anak perusahaannya;
Bahwa pengertian Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-03/MBU/2012 Tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara yaitu: “ Anak Perusahaan BUMN, yang selanjutnya disebut Anak Perusahaan adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.” Bahwa dengan demikian Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero, melainkan Perseroan Terbatas biasa;
Bahwa apabila melihat penjelasan dalam Pasal 2A ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas disebutkan bahwa: “ Anak Perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) _diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut: _ a. Mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan _pelayanan umum; dan/atau _ b. Mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN. __ __ __ 18 Penjelasan Pasal 2A ayat (7) Yang termasuk dalam perlakukan yang sama dalam kebijakan khusus negara da/atau pemerintah antara lain terkait dengan proses dan bentuk perizinan, hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintah yang melibatkan BUMN. __ 15. Bahwa untuk memberi gambaran kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pemohon akan memberikan ilustrasi mengenai pembentukan holding dan subholding yang terjadi pada PT. Pertamina Persero dengan uraian-uraian sebagai berikut:
1 Bahwa Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina, menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SK- 198/MBU/06/2020 tanggal 12 Juni 2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina. Melalui SK tersebut diatas ditetapkan beberapa hal yakni; Mengubah nomenklatur jabatan anggota- anggota Direksi Perusahaan Perseroan Persero) PT Pertamina. Delapan direktur dalam organisasi pertamina sebelumnya dibubarkan, selanjutnya digabungkan ke dalam tiga direktorat yakni direktur penunjang bisnis, Direktur Logistik dan lnfrastruktur, serta Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha 2.1 Bahwa Kebijakan Menteri BUMN tersebut ditindaklanjuti berdasarkan SK Direktur Utama Pertamina nomor Kpts- 18/C00000/2020-S0 yang salah satu keputusanya adalah membentuk dan menetapkan sub Holding anak perusahaan PT pertamina Persero yang terdiri dari 1) sub holding upstream ; yang akan digambarkan sebagai berikut: 19 atau lebih sederhananya seperti bagian di bawah ini 3.1 Bahwa Dari dua bagan di atas terlihat bahwa yang dijadikan Sub Holding adalah Seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran, jadi core business Pertamina menjadi Anak Perusahaan Pertamina. Bahwa saat ini struktur Perusahaan Grup PT. Pertamina (Persero) dapat digambarkan sebagai berikut sebagai berikut. 20 21 4.1 Bahwa apabila melihat Struktur Perusahaan Grup PT Pertamina (PERSERO), anak-anak perusahaan PT Pertamina (PERSERO) yaitu PT Pertamina EP, PT Pertamina Hulu Energi, PT. Pertamina Geothermal Energy, PT Pertamina Drilling, PT PGN, dsb melakukan pengelolaan sumber daya alam, dimana kegiatan usaha tersebut merupakan kegiatan usaha yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003.
Bahwa berdasarkan ilustrasi pada PT Pertamina (Persero) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak perusahaan dari perusahaan persero yang berbentuk Perseroan Terbatas biasa oleh Pemerintah Republik Indonesia terbukti diberikan izin untuk melaksanakan pelayanan umum dan/atau pengelolaan sumber daya alam, dimana kegiatan usaha tersebut merupakan kegiatan usaha yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 yaitu:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu _yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi 17. Bahwa pembentukan Perusahaan Grup/ Holding Company pada dasarnya dilakukan sebagai strategi untuk menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan Badan Usaha Milik Negara;
Bahwa hal tersebut di atas hanya dapat dilakukan apabila Induk Perusahaan yaitu PT Persero menguasai seluruh/sebagian besar saham dari anak-anak perusahaannya/Perusahaan milik PT Persero tersebut, sehingga Induk Perusahaan yaitu PT Persero sebagai implementasi Negara mampu untuk melakukan pengelolaan terhadap Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan milik Persero yang bidang usahanya mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara;
Bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 secara limitatif hanya mengatur secara tegas Persero yang tidak dapat di privatisasi, namun tidak mengatur secara tegas mengenai Perusahaan Milik 22 Persero/Anak Perusahaan Persero yang memiliki kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003;
Bahwa apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya Privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan dari Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero, melainkan Perseroan Terbatas biasa. Anak Perusahaan persero tidak diatur pada UU BUMN 19/2003;
Bahwa privatisasi PT Pertamina (Persero) melalui anak perusahaanya dengan terlebih dahulu membentuk sub holding dan mengalihkan core business /bisnis inti pertamina dari hulu ke hilir kepada sub holding akan menghambat usaha PT Pertamina persero untuk mendapatkan prioritas dalam memperoleh usaha kerja sesuai Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan ayat 4 Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT. Pertamina (Persero) sepanjang saham PT. Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. ayat 5 PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan. 22. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, PT Pertamina (Persero) seharusnya tidak diperbolehkan untuk melepaskan saham ke publik/swasta/perorangan, sebab apabila sahamnya tidak seratus persen milik negara maka PT. 23 Pertamina Persero tidak akan bisa lagi untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu;
Bahwa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang- cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa hal tersebut telah sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam putusannya yang menyatakan:
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 36/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Wilayah Kerja-Wilayah Kerja migas hanya boleh dikelola oleh BUMN sebagai wujud penguasaan negara. Hal ini merupakan perwujudan dari amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 di mana negara melalui Pemerintah dan DPR, berkuasa untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola dan mengawasi. Mahkamah Konstitusi menegaskan, khusus untuk aspek pengelolaan, penguasaan negara tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui BUMN.
Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 69 P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa pemberian pengelolaan wilayah kerja Migas yang akan berakhir kontrak kerjasamanya, BUMN sebagai perwujudan penguasaan negara in casu PT Pertamina (Persero) harus didahulukan ( voorerecht ) sepenuhnya untuk mengelola sumber daya energi Migas tersebut;
Bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu: 24 a. Bagian menimbang huruf b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan : “ bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan _kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; _ b. Daftar Lampiran Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Bidang Usaha yang terbuka dan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal disebutkan bahwa “Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral masuk dalam kategori terbuka dengan persyaratan” bukan bidang usaha yang terbuka. Bahwa minyak dan gas bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dalam peraturan perundang-undangan telah dikuatkan dengan penafsiran dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 36/PUU-X/2012 tersebut di atas;
Bahwa dengan demikian seharusnya PT Pertamina Persero maupun anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT Pertamina (Persero) tidak dapat di privatisasi karena mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yaitu minyak dan gas;
Bahwa sebagaimana telah Pemohon jelaskan sebelumnya di atas, saat ini seluruh Bisnis Inti (core business) Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran telah dilimpahkan kepada Sub Holding/ anak perusahaan dari PT Pertamina Persero yang notabene anak perusahaan PT Pertamina Persero tersebut hanya berbentu Perseroan Terbatas biasa, bukan PT Persero, selain itu dapat disimpulkan pula bahwa Bisnis Inti (core bisnis) PT Pertamina tersebut telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh badan usaha yang berbeda yang tentunya ini adalah UNBUNDLING PERTAMINA. Dengan terpecahnya sistem integrasi Pertamina karena sektor intinya menjadi 25 Anak Perusahaan maka berpotensi menyebabkan masalah-masalah yang akan timbul dari tidak terintegrasinya pengelolaan minyak dan gas bumi;
Bahwa masalah-masalah yang akan timbul dengan dilakukannya unbundling pada Badan Usaha Milik Negara/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak diantaranya adalah:
Potensi nyata untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagai besar saham anak-anak perusahaan BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak kepada pihak swasta/perorangan (Privatisasi). Bahwa hal tersebut tentunya berpotensi menghilangkan Hak Menguasai Negara untuk melakukan pengelolaan langsung terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara.
Potensi nyata menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha pada badan usaha yang berbeda. Bahwa masalah-masalah tersebut tentunya akan membuat BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi terpuruk dan sangat berpotensi menyebabkan Negara Kehilangan Hak Menguasai yaitu kewenangan untuk melakukan pengelolaan _(beheersdaad); _ __ 28. Bahwa sebenarnya Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara yang berkaitan dengan pilihan bundling ataukah unbundling dalam penyediaan listrik di Indonesia. Pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa Sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;
Bahwa selain itu Pembentukan sub holding anak perusahaan persero maupun unbundling inilah yang mejadi celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk anak-anak perusahaan Persero termasuk namun 26 tidak terbatas pada anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero untuk dilakukan privatisasi, karena dengan terbentuknya sub holding dan/atau unbundling maka terbukalah peluang dari anak-anak perusahaan/perusahaan milik Persero untuk melantai di bursa, sebagaimana yang telah terjadi dengan Perusahaan Gas Negara (PGN);
Bukan tanpa dasar, terbukti dengan secara terbuka Menteri Badan Usaha Milik Negara (Erick Thohir) melalui berbagai media menyatakan target khusus yang dibebankan pada jajaran direksi baru Pertamina yakni satu atau dua anak usaha Pertamina harus mampu melakukan Initial Public Offering (IPO) dalam dua tahun ke depan;
Bahwa pelepasan saham anak perusahaan PT Pertamian persero sama halnya dengan perdagangan organ tubuh manusia. Bahwa bila di ilustrasikan dengan utuh terhadap Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 ibarat seekor sapi betina yang dilarang di jual untuk menjaga dan menjamin pasokan susu bagi pemiliknya, tentunya sapi itu harus sehat dan utuh agar bisa menghasilkan susu dan sapi itu haruslah tetap milik si empunya sapi agar susunya bisa dinikmati yang punya sapi. Namun bila dikaitkan dengan pembentukan sub hoding PT Pertamina, si sapi itu di potong-potong di mana sebagian organ tubuhnya di jual ke orang lain;
Bahwa siasat pelepasan saham kepada swasta/perorangan terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero dapat diibaratkan halnya dengan pencuri sepeda motor yang kemudian menjual terpisah bagian- bagian dari motor tersebut kepada orang lain. Bahwa mencuri dan menjual motor curian kepada orang lain merupakan tindak pidana, namun untuk menyiasatinya agar tidak ketahuan maka pencuri tersebut menjual terpisah bagian-bagian dari sepeda motor tersebut hingga habis tidak tersisa;
Bahwa menurut hemat Pemohon anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero seharusnya diperlakukan sama dengan Induk Perusahaannya yaitu PT Persero, sebab antara Induk Perusahaannya yaitu PT Persero dengan anak-anak perusahaannya/Perusahaan milik Persero sama-sama memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 27 sehingga seharusnya baik Induk Perusahaan (PT Persero) maupun anak-anak perusahaanya/Perusahaan milik PT Persero tidak dapat diprivatisasi;
Bahwa dengan demikian akibat seluruh dan/atau sebagian besar saham Anak-Anak Perusahaan/perusahaan milik PT Persero dimiliki oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon dan Negara yaitu, berpotensi nyata menyebabkan Negara tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan (beheersdaad) terhadap anak perusahaan/perusahaan milik Persero yang memiliki bidang usaha mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara, hal tersebut disebabkan karena sebagian besar saham/seluruh saham Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan Persero telah dimiliki oleh swasta dan/atau perorangan;
Bahwa yang menjadi keberatan Pemohon sehingga Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero adalah apabila anak-anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan d dapat di privatisasi dengan melepas saham ke publik/swasta/perorangan;
Bahwa dengan demikian apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero , maka __ tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan;
Bahwa terhadap penerapan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik berpotensi 28 menyebabkan kerugian yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan (beheersdaad) yang menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola c abang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang . Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; B. Pasal 77 huruf c dan huruf d Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero.
Bahwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 39. Bahwa prinsip sebesar-besarnya kemakmuran rakyat telah mendapatkan penafsiran dari Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 3/PUU- VIII/2010 tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah membuat tolak ukur pengelolaan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, antara lain: _1. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; _ _2. Tingkat kemerataan sumber daya alam bagi rakyat; _ 3. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya _alam; _ 4. Penghormatan terhadap hak rakyat yang bersifat turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. 40. Bahwa tujuan utama dibentuknya BUMN adalah untuk mencari keuntungan dan menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi bagi 29 sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tersirat dalam Pasal 2 UU BUMN 19/2003;
Bahwa selain itu tujuan awal dibentuknya PT. Pertamina Persero dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Negara yaitu: Pasal 5 “Tudjuan Perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minjak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnja untuk sebesar-besar kemakmuran Rakjat dan Negara serta mentjiptakan Ketahanan Nasional.” 42. Bahwa selain itu berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi menyatakan; “dalam rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” .
Bahwa untuk memberi gambaran kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pemohon akan memberikan ilustrasi mengenai proses bisnis Pertamina yakni pengolahan energy utamanya Migas dari hulu ke hilir hingga dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia yang selama ini dilaksanakan oleh Perusahaan Grup/ Holding PT. Pertamina Persero sebagai berikut: A. Bisnis pertamina terintegrasi hulu ke hilir 30 Secara sederhana, proses bisnis Pertamina dapat dilihat pada gambar berikut: Kedudukan/bisnis Pertamina yang secara terintegrasi dapat menjamin security of supply dalam penyediaan pemenuhan energy negeri yang menopang ketahanan energy. Dengan integrasi bisnis hulu ke hilir, maka jalur koordinasi perusahaan menjadi sangat jelas dan gamblang dalam satu kesatuan PT Pertamina (Persero) sebagai representative Negara. Kedudukan/bisnis Pertamina yang secara terintegrasi dapat menjamin security of supply dalam penyediaan pemenuhan energi negeri yang menopang ketahanan energi. Dengan integrasi bisnis hulu ke hilir, maka jalur koordinasi perusahaan menjadi sangat jelas dan gamblang dalam satu kesatuan PT Pertamina (Persero) sebagai representative Negara. Adapun secara ringkas beginilah penjesalan masing-masing proses bisnis tersebut: 31 a. Hulu / Eksplorasi / Upstream Proses penyediaan energi terutama migas dimulai dari penyediaan minyak mentah yang akan diolah menjadi produk jadi maupun antara. Minyak mentah tersebut menjadi bahan baku dalam penyediaan produk tersebut. Proses penyediaan minyak mentah dalam perut bumi Indonesia dimulai dengan tahapan eksplorasi. Tahapan ini adalah pencarian minyak Bumi melalui suatu kajian panjang yang melibatkan beberapa bidang kajian kebumian dan ilmu eksak. Untuk kajian dasar, riset dilakukan oleh para geologis, yaitu orang-orang yang menguasai ilmu kebumian yang mencari lokasi hidrokarbon/minyak dan gas yang dapat diproduksi. Tahapan-tahapannya adalah: • Survey – Penilaian – Development : Menemukan volume hidrokarbon baru dengan demikian menggantikan volume yang sedang diproduksi atau dengan kata lain adalah proses penemuan ladang minyak baru hingga tahapan layak dan dapat diproduksi termasuk penyediaan sarana dan fasilitas produksi (pompa angguk, pemisahan impurities dan air, pipanisasi dan pertangkian). • Produksi: Setelah sebuah area yang sudah dinyatakan layak produksi dari hasil survey dan kajian. Dalam proses produksi tersebut, minyak dalam perut bumi “diangkat” dari sumur ke permukaan melalui fasilitas pengangkatan yang kemudian melalui proses pemisahan dari impurities dan air sehingga didapatkan minyak bumi yang sesuai spesifikasi migas yang ditampung ke dalam Tangki. • Distribusi Migas Setelah tahapan penyimpanan dalam tangki tersebut, maka dilakukan pendistribusian minyak mentah tersebut ke proses pengolahan melalu media transportasi. Adapun media pendistribusian ke kilang/pengolahan dapat melalui pipanisasi dan atau kapal tangker. Lokasi dari ekplorasi dan produksi minyak mentah dapat di daratan ( onshore ) atau laut lepas ( offshore ). Adapun pemenuhan minyak mentah Indonesia berasal dari Domestik maupun impor. Gambaran porsi produksi Minyak Mentah domestik sbb: 32 o 56.7% produksi Pertamina menjadi porsi perusahaan o 52.55% dari total produksi hulu diolah di kilang Pertamina b. Pengolahan/Kilang/ Refinery Kilang minyak adalah pabrik/fasilitas industri yang mengolah minyak mentah menjadi produk petroleum yang bisa langsung digunakan maupun produk-produk lain yang menjadi bahan baku bagi industri petrokimia. Adapun kebutuhan pengolahan Minyak mentah yang diolah di Kilang Pertamina berasal dari Domestik (baik Penugasan Pemerintah atau 3 ^rd Party) sebesar 56% dan Import sebesar 44%. (data tahun 2016) PT Pertamina (Persero) memiliki terdapat 6 kilang/Refinery Minyak dan Petrokimia yaitu:
Refinery Unit – II Dumai 2) Refinery Unit – III Plaju 3) Refinery Unit – IV Cilacap 33 4) Refinery Unit – V Balikpapan 5) Refinery Unit – VI Balongan 6) Refinery Unit – VII Sorong Serta beberapa kilang lain yaitu Cepu, Mundu, dan TPPI Tuban. Setelah melalui tahapan eksplorasi di Upstream, minyak __ mentah disalurkan baik via pipa maupun kapal tangker ke kilang-kilang yang dimiliki Pertamina. Minyak mentah tersebut diolah melalui beberapa tahapan yaitu pemisahan berdasarkan titik didih, pemisahaan secara konversi, dan pemisahan terhadap impurities sehingga dihasilkan produk jadi yang bisa langsung dipakai atau produk antara yang menjadi bahan baku industry petrokimia. Adapun produk tersebut diantaranya Solar, Premium, Pertamax, Pertalite, Dexlite, avtur, kerosene, LPG, serta produk Petrokimia seperti Propylene, Aspal, Lube Base (pelumas), Paraxylene, Benzene, dsb. Semua produk tersebut akan ditampung terlebih dahulu dalam tangki sebelum disalurkan ke costumer (baik Industri maupun end user /masyarakat).
Pemasaran/ Marketing & Trading Proses bisnis integrasi Pertamina selanjutnya adalah Pemasaran/ Marketing & Trading . Setelah minyak mentah/ crude oil diolah menjadi produk jadi di kilang Pertamina, maka dilakukan tahapan selanjutnya yaitu penyaluran kepada pelanggan baik industry maupun masyarakat. Proses tersebut dilakukan oleh fungsi Pemasaran. Produk dari kilang akan disalurkan ke Pemasaran melalui Depot BBM dan LPG atau langsung ke Industri melalui perpipaan maupun kapal tangker. Produk jadi tersebut akan ditambung di depot-depot seluruh seantero Indonesia dari Sabang sampai Merauke. 34 ALUR DISTRIBUSI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DAN LPG Berdasarkan alur distribusi BBM dan LPG tersebut Pertamina memastikan ketersediaan BBM dan LPG seluruh Indonesia via darat, laut, dan udara. Adapun total kebutuhan produk BBM dan LPG secara konsolidasi sebesar 60% berasal dari Kilang Sendiri dan 40% berasal dari impor. (data tahun 2016).
Distribusi/Transportasi & Perkapalan Proses bisnis Pertamina yang tidak kalah penting adalah jaminan tersampainya minyak mentah dari Eksplorasi & Produksi maupun Impor menuju Kilang Pertamina serta tersalurkannya produk kilang ke Pemasaran yang kemudian didistribusikan ke Industri dan end user . Keunggulannya proses integrasi bisnis Pertamina dari Hulu ke Hilir adalah jaminan tersebut dikelola oleh Negara yang diwakili oleh Pertamina termasuk proses distribusinya. Peran perkapalan/ shipping Pertamina inilah yang sangat penting. Dengan geografis Indonesia yang 70%nya adalah perairan, maka peran perkapalan sangat besar dalam proses distribusi. Shipping sangat berperan dalam supply chain Pertamina. Peran kapal dalam menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya sangat berdampak besar terhadap aktivitas perekonomian Indonesia. Hal yang tidak kalah penting, kapal berperan menstimulus pertumbuhan ekonomi 35 daerah tertinggal sehingga mampu memperkecil adanya gap antara kawasan berkembang dengan kawasan tertinggal Seperti yang tergambar pada gambar di atas terlihat bahwa transportasi via kapal dimulai dari proses hulu/ upstream sampai dengan ke depot- depot Pertamina. Sejatinya lingkup kerja Shipping sangatlah kompleks, namun apabila disederhanakan dapat mencakup beberapa aspek sebagai berikut: o Luasnya wilayah operasi distribusi energi yang dilayani terbentang dari Sabang sampai Merauke. Bahkan sejak 2015, Shipping mendapat amanah dalam pengangkutan kargo impor FOB dari wilayah Regional maupun Internasional. o Kapal yang dioperasikan cukup banyak dan beragam ukuran. Sampai dengan akhir 2015, Shipping mengoperasikan lebih dari 200 kapal mulai dari ukuran 1000 DWT sampai dengan 300.000 DWT. o Karakteristik pelabuhan yang berbeda sehingga beragam kendala dan hambatan yang dihadapi akan berbeda untuk masing-masing pelabuhan. Tercatat saat ini terdapat lebih dari 100 pelabuhan khusus 36 (pelsus) yang terletak di ratusan pulau di seluruh pelosok tanah air baik di kilang, depot, maupun sumur minyak. o Besarnya volum dan jenis kargo yang diangkut, dimana setiap kargo memiliki karakteristik dan penanganan yang berbeda. Kargo yang diangkut meliputi: minyak mentah, premium, kerosene, solar, avtur, avigas, pertamax, pertamax plus, LPG, lube base, paraxylene, asphalt, fame, sampai minyak bakar. o Kondisi perairan yang meliputi laut dan sungai. Seringkali pengangkutan yang melewati sungai tidak bisa diprediksi karena adanya luapan, banjir, maupun surut yang mengharuskan kapal menunggu agar bisa kembali berlayar. Selain itu terdapat beberapa rute dengan berbagi peringatan karena adanya indikasi perompakan, pencurian sampai separatism. o Tuntutan operasional akibat minimnya infrastruktur yang mengakibatkan kapal harus dapat dioperasikan sebagai tanki timbun atau floating storage serta kegiatan Ship to Ship transfer. Selain dengan kapal, pendistribusian produk BBM dan LPG di daratan melalui perpipaan dan mobil-mobil tangki yang menghubungkan tiap-tiap wilayah Indonesia mulai dari kota sampai daerah terpencil.
Bahwa sebelumnya seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran sebagaimana disebutkan di atas dikelola langsung oleh PT Pertamina Persero sebagai Holding sedangkan anak- anak perusahaan berperan membantu proses bisnis tersebut, namun saat ini seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran telah dilakukan secara terpisah ( Unbundling ) oleh badan usaha yang berbeda dengan membentuk Sub Holding;
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai undbundling Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara yang berkaitan dengan pilihan bundling ataukah unbundling dalam penyediaan listrik di Indonesia. Pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan secara keseluruhan. Pokok permohonan para Pemohon dalam perkara tersebut pada 37 dasarnya menyangkut kompetisi dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dilakukan secara terpisah ( unbundling ) oleh badan usaha yang berbeda. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan ( unbundling system ) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;
Bahwa selain itu dengan dibentuknya Perusahaan Grup BUMN/ Holding BUMN dan/atau unbundling tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero yang bidang usahanya mengelola sumber daya alam tersebut, seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan, apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero;
Bahwa sama seperti halnya dalam ketenagalistrikan, PT Pertamina Persero yang mengelola sumber daya alam minyak dan gas bumi cepat atau lambat akan berbagi kekuasaan dengan swasta dalam seluruh rantai usaha mereka. Mulai dari hulu, pengolahan, ritel, hingga pasar keuangan. Bahwa Hal tersebut jelas sangat berdampak bagi masyarakat luas, yang mana apabila Pertamina menjadi perusahaan go public dengan mekanisme IPO, maka berpotensi dikuasainya asset negara oleh Swasta (Swastanisasi). Dampak secara gamblang, apakah penentuan harga BBM dan LPG akan seperti sekarang dimana penentuannya murni untuk kepentingan Negara? Tentu berpotensi juga mendengarkan suara 38 sang pemilik saham lainnya dalam Perusahaan nantinya yang menuntut Perusahaan untuk untung-seuntungnya tanpa memikirkan kemampuan daya beli masyarakat. Harga berpotensi naik dan tentunya berdampak pada sektor kehidupan lainnya;
Bahwa selain itu seharusnya seluruh keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero dari hasil mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam Negara diberikan seluruhnya kepada Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun akibat adanya potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero maka keuntungan dari anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero menjadi tidak sepenuhnya diberikan kepada Negara tetapi diberikan juga untuk pihak swasta/perorangan yang memiliki saham pada anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero;
Bahkan yang paling mengkhawatirkan akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan, sehingga hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perorangan;
Bahwa seharusnya Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya “DIKUASAI OLEH NEGARA” untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” __ 51. Bahwa c abang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak boleh dikuasai dan/atau dikelola oleh pihak swasta maupun perorangan untuk keuntungan dan _kemakmuran pihak swasta maupun orang perorangan; _ 52. Bahwa logika sederhana terhadap penerapan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik 39 Negara adalah adanya potensi kerugian yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, akan menyebabkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. IV. PETITUM Berdasarkan urain diatas dapat disimpulkan bahwa Bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero karena berpotensi mengakibatkan negara kehilangan hak menguasai negara yaitu mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam diperuntukan tidak sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat; DALAM POKOK PERKARA 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan dan video yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-39 sebagai berikut: 40 1. Bukti P-1 : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003 tanggal 9 April 2003; ,2. Bukti P-2 : Fotokopi Keputusan Musyawarah Nasional Nomor: Kpts- 04/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Perubahan Ke-Tujuh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB);
Bukti P-3 : Fotokopi Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts- 06/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Penetapan Presiden FSPPB Periode 2018-2021;
Bukti P-4 : Fotokopi Surat Keputusan Nomor 001/KU.FSPPB/IV/2018 Tentang Susunan Pengurus Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Periode 2018 – 2021;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I sampai dengan Amandemen IV);
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara;
Bukti P-8 : Fotokopi Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara;
Bukti P-9 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dam Perseroan Terbatas;
Bukti P-10 : Fotokopi Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Selaku Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina Nomor SK- 198/MBU/06/2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina, tanggal 12 Juni 2020;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Keputusan Direksi Pertamina (PERSERO) Nomor Kpts-18/C00000/2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (PERSERO), tanggal 12 Juni 2020; 41 12. Bukti P-12 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU- VI/2008;
Bukti P-13 : Hasil cetak berita dengan judul “Dirut Pertamina Bantah Soal Isu Privatisasi Lewat Subholding Migas.” https: //tirto.id/dirut-pertamina-bantah-soal-isu-privatisasi- lewat-subholding-migas-fMhi diunduh pada tanggal 13 Juli 2020;
Bukti P-14 : Hasil cetak berita dengan judul “Rencana Dan Target IPO Anak Usaha Pertamina Yang Ditolak DPR.” https: //katadata.co.id/berita/2020/06/30/rencana-dan- target-ipo-anak-usaha-pertamina-yang-ditolak-dpr diunduh pada tanggal 13 Juli 2020;
Bukti P-15 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
Bukri P-16 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 69 P/HUM/2018 mengenai Permohonan Hak Uji Materiil terhadap: “Pasal 2 Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak Dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya”;
Bukti P-17 : Fotokopi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal;
Bukti P-18 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
Bukti P-19 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi;
Bukti P-20 : Fotokopi Kajian Hukum terhadap Rencana Restrukturisasi Pertamina dan IPO oleh Sub-Holding Pertamina tanggal 16 Juni 2020 yang dibuat oleh Melli Darsa & Co.;
Bukti P-21 : Hasil cetak berita pada halaman Tribun News dengan judul “Fraksi PKS DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang IPO Subholding Pertamina”; 42 Sumber: https: //www.tribunnews.com/nasional/2020/08/06/fraksi- pks-dpr-minta-pemerintah-kaji-ulang-ipo-subholding- pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-22 : Hasil cetak berita pada halaman Kompas.com dengan judul “Soal IPO Anak Perusahaan, Ini Alasannya Kata Dirut Pertamina”. Sumber: https: //money.kompas.com/read/2020/07/27/090800226/s oal-ipo-anak-perusahaan-ini-alasannya-kata-dirut- pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-23 : Hasil cetak berita pada halaman CNBC Indonesia dengan judul “Erick Minta IPO 2 Anak Usaha, Begini Bocoran Pertamina”. Sumber: https: //www.cnbcindonesia.com/market/20200630071548 -17-168927/erick-minta-ipo-2-anak-usaha-begini- bocoran-pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-24 : Hasil cetak berita pada halaman iNews.id dengan judul: “Pertamina akan Privatisasi 2 Anak Usaha” Sumber: https: //www.inews.id/finance/bisnis/pertamina-akan- privatisasi-2-anak-usaha Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-25 : Hasil cetak berita pada halaman Opini Indonesia dengan judul: “Melawan Rencana Initial Public Offering (IPO) Anak Usaha Pertamina (1)”Sumber: https: //opiniindonesia.com/2020/07/09/melawan-rencana- ipo-anak-usaha-pertamina-1/ Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-26 : Hasil cetak berita pada halaman Kontan.co.id dengan judul: “Pengamat: IPO Pertamina Bakal Berdampak Pada Kemampuan Subsidi dan Inti Bisnis” 43 Sumber: https: //industri.kontan.co.id/news/pengamat-ipo- pertamina-bakal-berdampak-pada-kemampuan-subsidi- dan-inti-bisnis Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-27 : Hasil cetak berita pada halaman Republika.co.id dengan judul: “Serikat Pekerja dan Pengamat Tanggapi Rencana IPO Pertamina” Sumber: https: //republika.co.id/berita/qf63qo320/serikat-pekerja- dan-pengamat-tanggapi-rencana-ipo-pertamina Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-28 : Hasil cetak berita pada halaman Sindo News dengan judul: “Rocky Gerung: IPO Subholding Pertamina Ibarat Perdagangan Organ Tubuh” Sumber: https: //nasional.sindonews.com/read/135408/12/rocky- gerung-ipo-subholding-pertamina-ibarat-perdagangan- organ-tubuh-1597594124 Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-29A : Video dari Akun YouTube “Bensin Kita”, dipublikasi pada tanggal 13 Juni 2020 dengan judul: “Target Menteri BUMN Usai Merombak Struktur Direksi PT. Pertamina”. Sumber: https: //www.youtube.com/watch?v=fvag6W__ms0 Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020; Bukti P-29B : Video dari Akun Youtube CNN Indonesia yang dipublikasikan Pada 10 Maret 2019 dengan judul: “IPO 9 Anak Usaha BUMN”. Sumber: https: //www.youtube.com/watch?v=ILk6OcAZ-Rs Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-30 : Hasil cetak Berita pada halaman Tribun News dengan judul: “Pengamat Nilai IPO Pertamina Berpengaruh pada Kemampuan Subsidi dan Inti Bisnis” 44 Sumber: https: //www.tribunnews.com/bisnis/2020/08/16/pengamat -nilai-ipo-pertamina-berpengaruh-pada-kemampuan- subsidi-dan-inti-bisnis?page=2 Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-31 : Fotokopi Surat Keputusan No. Kpts-29/C00000/2016-S0 tentang Proses Bisnis Pertamina, tertanggal 2 Agustus 2016;
Bukti P-32 : Hasil cetak Berita pada halaman Tirto.id dengan judul: “Kemelut Saham Garuda Indonesia yang Masih Terpuruk Sejak IPO”. Sumber: https: //tirto.id/kemelut-saham-garuda-indonesia-yang- masih-terpuruk-sejak-ipo-em51 Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-33 : Hasil cetak Berita pada halaman Bisnis.com dengan judul: “Usai PHK 677 Karyawan, Saham Indosat (ISAT) Anjlok”. Sumber: https: //market.bisnis.com/read/20200217/7/1202260/usai- phk-677-karyawan-saham-indosat-isat- anjlok#: ~: text=Saham%20Indosat%20sempat%20jeblos %205,level%20Rp1.985%20per%20saham.&text=Bisnis. com%2C%20JAKARTA%20%2D%20Saham,17%2F2%2 F2020 ). Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-34 : Hasil cetak Berita pada halaman website Bigalpha.id dengan judul: “Saham KRAS, Kian Jauh Tinggalkan Harga IPO”. Sumber: https: //bigalpha.id/news/saham-kras-kian-jauh-tinggalkan- harga-ipo Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-35 : Hasil cetak Artikel pada halaman Hukum Online dengan judul: “MK: Praktik Unbundling Penyediaan Listrik Harus Dikontrol Negara”. 45 Sumber: https: //www.hukumonline.com/berita/baca/lt58523f42c82 60/mk--praktik-iunbundling-i-penyediaan-listrik-harus- dikontrol-negara/ Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-36 : Fotokopi Jurnal Konstitusi dengan judul “Inkonstitusional Sistem Unbundling dalam Usaha Penyediaan Listrik” yang dituliskan oleh Jefri Porkonanta Tarigan Sumber: https: //media.neliti.com/media/publications/238262- inkonstitusionalitas-sistem-unbundling-d-450a4d64.pdf Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020.
Bukti P-37 : Hasil cetak Berita pada halaman Berita Satu dengan judul: “PGN: Kebijakan “Unbundling” Dorong Kenaikan Harga Gas”. https: //www.beritasatu.com/ekonomi/138872-pgn- kebijakan-unbundling-dorong-kenaikan-harga-gas Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-38 : Fotokopi Keterangan Ahli Gunawan dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Miik Negara di Mahkamah Konstitusi;
Bukti P-39 : Fotokopi Keterangan Ahli Marwan Batubara tentang Menyoal Rencana IPO Sub-Holding Pertamina. Selain itu untuk mendukung permohonannya Pemohon juga mengajukan dua orang ahli bernama Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H., dan Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc. yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 23 November 2020 dan 14 Desember 2020, serta saksi bernama drg. Ugan Gandar yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 22 April 2021. Pemohon juga menyampaikan keterangan tertulis ahli Gunawan dan Dr. Marwan Batubara yang dijadikan bukti (bukti P-38 dan bukti P-39) dan keterangan tertulis saksi Ir. Faisal Yusra SH., MM., QIA., CFrA yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 46 Ahli Pemohon 1. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H. A. DASAR HUKUM 1. Surat dari Advokat dan Asisten Advokat Janses E. Sihaloho, S.H., dan Imelda, S.H., berkantor pada SIHALOHO & CO. LAW FIRM yang berkedudukan hukum (domisili) di Gedung Menara Hijau, 5 ^th __ Floor Suite 501B, Jalan M.T. Haryono __ Kav. 33 Jakarta Selatan 12770, selaku kuasa hukum Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), tanggal surat 06 Oktober 2020 Perihal Daftar Pertanyaan Terkait dengan Pengujian Materiil Pasal 77 huruf c dan d Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD 1945. 2. Surat Penugasan Ketua Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Nomor 017/PUSHEP-FHUH/X/22020 Tertanggal 14 Oktober 2020. __ B. PETA KASUS Bahwa berdasarkan surat dari Advokat dan Asisten Advokat Janses E. Sihaloho, S.H., dan Imelda, S.H., berkantor pada SIHALOHO & CO. LAW FIRM yang berkedudukan hukum (domisili) di Gedung Menara Hijau, 5 ^th Floor Suite 501B, Jalan M.T. Haryono Kav. 33 Jakarta Selatan 12770, selaku kuasa hukum Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), tanggal surat 06 Oktober 2020 Perihal Daftar Pertanyaan Terkait dengan Pengujian Materiil Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD 1945, maka dapat dikemukakan garis besar peta kasus dalam kaitannya dengan Uji Materi Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD-1945 adalah sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal 12 Juni 2020 Pertamina melakukan restrukturisasi Holding dengan disertai pembentukan subholding-subholding.
Bahwa sebelum pembentukan subholding pada tanggal 12 Juni 2020, Struktur Organisasi perusahaan PT. Pertamina (Persero) terdiri dari 10 Direktorat yaitu:
Direktorat Hulu;
Direktorat Pengolahan; 47 c. Direktorat Pemasaran Korporat;
Direktorat Pemasaran Retail;
Direktorat Keuangan;
Direktorat SDM;
Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur;
Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia;
Direktorat Perancanaan Investasi dan Manajemen Risiko;
Direktorat Manajemen Aset. Dengan demikian, sebelum pembentukan Sub-holding pada tanggal 12 Juni 2020 maka Struktur Direksi yang berada dalam lingkup PT. Pertamina (Persero) adalah sebanyak 11 orang, termasuk Direktur Utama.
Dengan dilakukannya restrukturisasi Organisasi dan/kelembagaan PT. Pertamina (Persero) menjadi Holding Pertamina yang disertai dengan pembentukan Subholding-Subholding pada tanggal 12 Juni 2020, maka struktur Organisasi/Kelembagaan Badan Hukum PT. Pertamina (Persero) sejak terbentuknya Holding Pertamina telah berkonsekuensi terjadinya perubahan struktur Direktorat yang ada pada PT. Pertamina (Persero) yang semula terdiriri dari 10 Direktorat diperkecil menjadi 5 Direktorat saja yaitu:
Direktorat Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha.
Direktorat Keuangan.
Direktorat Sumber Daya Manusia.
Direktorat Logistik & Infrastruktur.
Direktorat Penunjang Bisnis. Dengan demikian, setelah dibentuknya Holding Pertamina maka jumlah Direksi yang berada dalam lingkup PT. Pertamina (Persero) menjadi 6 orang termasuk Direktur Utama.
Adapun Subholding-Subholding baru yang dibentuk bersamaan dengan dilakukannya restrukturisasi Holding Pertamina adalah sebagai berikut:
PT. Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Hulu (Upstream). PHE akan menjadi induk dari PT. Pertamina EP (PEP), PT. Pertamina EP Cepu (PEPC), PT. Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT. Pertamina Hulu Rokan (PHR). 48 b. PT. Patra Niaga (Patra Niaga) sebagai Subholding Pemasaran ( Commercial & Trading ). Patra Niaga akan menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 3 __ Direktorat di Holding lama ( Direktorat Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur).
PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) sebagai Subholding Kilang dan Petrokimia ( Refinery & Petrochemical ). KPI akan menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 2 Direktorat di Holding Pertamina sebelumnya yaitu Direktorat Pengolahan dan Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia.
PT. Pertamina Power Indonesia (PPI) sebagai subholding Listrik dan Energi Baru & Terbarukan ( Power & New and Renewable Energy ). Yang akan masuk menjadi anak perusahaan dari PPI adalah PT. Pertamina Geothermal Energi (PGE).
PT. Perusahaan Gas Negara sebagai Subholding Gas ( ikut diumumkan sebagai Subholding Gas meskipun lebih dahulu sudah terbentuk sebagai Subholding Gas ). Bahwa pembentukan Subholding-Subholding menurut pertimbangan pihak Pemerintah dan Direksi PT. Pertamina (Persero) dimaksudkan untuk tujuan yang sebagai berikut:
Membangun organisasi yang lean, agile and efficient (ramping, lincah dan efisien).
Meningkatkan o perational excellence , meningkatkan daya saing, mengembangkan kapabilitas best-in-class dalam industrinya.
Mempercepat pengembangan bisnis saat ini dan bisnis baru.
Meningkatkan fleksibilitas partnership dan pendanaan.
Memperbaharui organisasi, talenta dan mindset selaras dengan sebuah perusahaan energi world-class .
Memenuhi mandat lokomotif pengembangan sosial guna mencapai kedaulatan energi. Praktis dengan struktur organisasi Holding Pertamina yang baru ini maka PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami perubahan sangat fundamental dari Operation Holding menjadi Investment Holding yang sama sekali tanpa melakukan kegiatan operasi apapun. 49 Konsultan yang dipercaya oleh PT. Pertamina (Persero) dalam proses pendirian Holding Pertamina dan pembentukan Subholding-Subholding yang berada dalam struktur Holding Pertamina adalah PricewaterhouseCoopers (PwC), sebuah Konsultan Management/Akuntan Publik Amerika. Untuk pembuatan kajian hukum maka kajian tersebut dibuat oleh Melli Darsa & Co., Advocates and Legal Consultants Indonesia yang berafiliasi dengan PwC. PwC terlibat sejak persiapan hingga proses pembentukan subholding, bahkan masih terlibat dalam proses sosialiasi dan pengorganisasian subholding hingga sekarang ini. C. ISU HUKUM Berdasarkan peta kasus serta akibat hukum dan bisnis yang dimungkinkan dari pembentukan Subholding-Subholding Pertamina sebagaimana diuraikan diatas, maka issu hukum yang perlu untuk dicermati dalam kaitannya dengan uji materi Pasal 77 huruf c dan huruf d dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bagaimanakah hakikat dan prinsip “Dikuasai Negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 apabila dikaitkan dengan tujuan PT Pertamina (Persero) sebagai Perusahaan BUMN? 2. Apakah hakikat yang mendasari diberlakukannya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bila dikaitkan dengan kedudukan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang mengelola sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk sebesar-besarnya kemamumaran rakyat sebagaimana yang diamanahkan di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 4. Apakah pembentukan subholding-subholding yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) tersebut sesuai dan sejalan dengan amanah UUD 1945 yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945? 50 D. PENDAPAT HUKUM/KETERANGAN AHLI D.1 Hakikat Prinsip “Dikuasai Negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikaitkan dengan tujuan PT Pertamina (Persero) sebagai Perusahaan BUMN Tafsir terhadap prinsip “penguasaan oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 pertama kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 001-021- 022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan a quo , frasa “dikuasai oleh negara” diterjemahkan melalui uraian sebagai berikut: “Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang undang dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazimnya di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan 51 sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, pengertian “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara untuk mengatur perekonomian saja. Dengan demikian, baik pandangan yang mengartikan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak oleh Mahkamah. Argumentasi tersebut menunjukkan bahwa pengertian dalam frasa “penguasaan oleh negara” merupakan konsepsi hukum publik. Konsepsi ini terkait dengan prinsip daulat rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Bila, pengertian “dikuasai oleh negara” hanya dimaknai sebagai kepemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, terlebih lagi “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap frasa ini. Lebih lanjut, berikut penjelasan MK terhadap prinsip penguasaan oleh negara. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan Tindakan pengurusan (bestuursdaad),pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk __ tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perkembangan selanjutnya terkait dengan prinsip “penguasaan oleh negara” dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi merumuskan bahwa untuk mewujudkan tujuan penguasaan negara yaitu “sebesar- besarya kemakmuran rakyat”, jika keempat bentuk penguasaan oleh negara tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, maka harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 52 Menurut Mahkamah Konstitusi, bentuk “penguasaan oleh negara” diberi peringkat berdasarkan kemampuan negara menghadirkan kemakmuran rakyat. Peringkat pertama dan yang paling penting dari bentuk penguasaan oleh negara adalah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan guna mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun peringkat terakhir dari bentuk penguasaan negara adalah negara melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan. Dari konstruksi pemaknaan secara berjenjang tersebut, memperlihatkan upaya Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 secara komprehensif, sehingga tujuan penguasaan negara, “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dapat termanifestasikan dengan baik. Dalam kaitannya dengan tujuan PT. Pertamina (Persero) sebagai perusahaan BUMN, maka dapat dikatakan bahwa prinsip “penguasaan negara” dalam peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam minyak dan gas bumi (serta sumber daya energi lainnya) dilakukan dan/atau diwakili oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara. Agar pengelolaan minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya dapat memberikan konstribusi bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanahkan di dalam UUD-1945 dan sesuai dengan tafsir prinsip “penguasaan negara” atas sumber daya alam yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, maka pengelolaan minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai wakil negara dalam kapasitas negara sebagai Iure Gestionis (negara sebagai entrepreneur ) haruslah diarahkan untuk memberikan pendapatan yang optimal bagi negara dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu mengupayakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Pada hakikatnya pendirian PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara secara konstitusional merupakan perwujudan dari pelaksanaan fungsi negara dalam pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengelolaan sumber daya alam di bidang minyak dan gas bumi serta sumber energi lainnya, maka PT. Pertamina (Persero) harus dapat menjadi “ agent of development” di satu sisi, dan di sisi lain 53 juga harus menjadi “ agent of profit ” bagi negara. Hal ini sesuai dengan tujuan pendirian badan usaha milik negara dalam bentuk persero yang di atur di dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang menegaskan sebagai berikut: _Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah: _ a. menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing _kuat; _ b. mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan tujuan pendirian Badan Usaha Milik Negara dalam bentuk Persero sebagaimana yang ditegaskan di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, maka sebagai konsekuensi logis adalah PT. Pertamina (Persero) dituntut untuk dapat memberikan konstribusi keuntungan yang maksimal sebagai salah satu sumber pendapatan Negara. Untuk itu, setiap kebijakan yang dilakukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) yang berpotensi untuk mengurangi dan/atau menghilangkan keuntungan yang dapat diperoleh PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN merupakan kebijakan yang bertentangan dengan amanah konstitusi (UUD-1945) dan melanggar prinsip “penguasaan negara” atas sumber daya alam sesuai dengan tafsir yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Demikian pula kebijakan Direksi PT. Pertamina (Persero) yang menghilangkan dan/atau mengurangi otoritas dan/atau posisi dominan negara dalam menentukan arah kebijakan dalam proses pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya merupakan suatu kebijakan yang bertentangan dengan UUD-1945. D.2 Hakikat yang Terkandung di dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara bila dikaitkan dengan kedudukan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur sebagai berikut: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan _dan keamanan negara; _ 54 c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Hakikat yang terkandung di dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang- Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dikemukakan di atas menurut pendapat ahli merupakan pelembagaan kembali adanya kehendak negara untuk menjabarkan prinsip “dikuasai negara” yang terdapat pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD-1945 terhadap pengelolaan negara atas sumber daya alam. Dalam kaitan ini, negara menyadari bahwa Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, serta Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, sejatinya merupakan penjabaran dari adanya fungsi dan peran negara untuk merealisasikan prinsip “penguasaan negara” terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana yang diamanahkan di dalam UUD-1945. Untuk itulah BUMN dalam bentuk Persero yang menjalankan kegiatan yang termasuk dalam muatan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dilarang untuk diprivatisasi, karena negara hendak menjalankan amanah untuk mewujudkan prinsip “penguasaan negara” demi untuk mencapai sebesar- besar kemakmuran rakyat. Adanya larangan untuk melakukan privatisasi terhadap Persero tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, menurut pendapat ahli mengandung maksud agar Persero yang menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN tersebut dapat melakukan pengelolaan sumber daya alam sepenunya secara optimal agar dapat memberikan konstribusi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, Persero tersebut dituntut untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam secara efisien dan efektif untuk memperoleh keuntungan optimal yang dimungkinkan dalam pengelolaan sumber daya alam yang pada analisis akhir akan berkonstribusi untuk meningkatkan pendapatan negara. 55 PT. Pertamina (Persero) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) yang menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, secara mutatis mutandis merupakan Persero yang tidak dapat dilakukan privatisasi. Oleh karena itu, dalam menjalankan kegiatannya dituntut untuk mendapatkan keuntungan sehingga kebijakan yang dilakukan oleh Direksi haruslah diarahkan pada kebijakan yang mendorong terjadinya maksimalisasi produksi untuk meningkatkan keuntungan perusahaan yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sebagai konsekuensi dari adanya tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan sebagaimana yang diatur di __ dalam Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, maka kebijakan Direksi PT. Pertamina (Persero) yang membangun dan/atau mendirikan Subholding-Subholding Pertamina dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) yang secara kelembagaan menjadi badan hukum yang terpisah dari PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN, maka kebijakan tersebut berpotensi mengurangi dan/atau menghilangkan keuntungan bagi PT. Pertamina (Persero) sebagai representasi negara dalam menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat, dan sekaligus mengurangi posisi “penguasaan negara” atas pengelolaan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. D.3 Perlindungan Hukum terhadap PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang Mengelola Sumber Daya Alam yang Menguasai Hajat Hidup Orang Banyak Di dalam Pembukaan UUD-1945 ditegaskan bahwa salah satu tujuan dari pembentukan Negara Republik Indonesia adalah “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpa darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum” . Tujuan ini mengharuskan negara yang diwakili oleh __ pemerintah harus menyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat serta melakukan penguasaan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang. 56 Oleh karena minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka cabang produksi minyak dan gas bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara. Untuk itu, pengelolaan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara menjadi sangat krusial dan strategis, sehingga negara wajib untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi yang diselenggarakan oleh PT. Pertamina (Persero). Kedudukan PT. Pertamina (Persero) dalam pengusahaan dan/atau pengelolaan minyak dan gas bumi pada hakikatnya adalah perwujudan dari adanya peran negara sebagai “entrepreneur” yang menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan tujuan negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, berdasarkan tafsir tentang prinsip “penguasaan negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD-1945 yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, maka makna penguasaan negara tersebut harus lebih diutamakan pada Tindakan negara dalam melakukan pengelolaan untuk mewujudkan kemakmuran dan/atau kesejahteraan rakyat. Bung Hatta dalam beberapa buku dan pidatonya mengemukakan bahwa bangunan ekonomi Indonesia diformasikan seperti Piramida yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) pelaku utama ekonomi Indonesia yaitu: Negara, Swasta, dan Koperasi. Menurutnya, Negara membangun dari atas ke bawah, Koperasi membangun dari bawah ke atas, sedangkan Swasta melakukan pembangunan di medan pertengahan. Negara dalam melakukan pembangunan ekonomi dapat diwakilkan kepada BUMN dan BUMD dan melakukan pembangunan untuk bidang- bidang ekonomi yang besar-besar, khususnya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena kedudukan BUMN merupakan wakil negara dalam kapasitasnya sebagai “ Iure Gestionis ” atau negara sebagai pelaku bisnis (sesuai dengan fungsi dan peran negara sebagai “ entrepreneur” berdasarkan Mix Economic Theory yang dikemukakan oleh Wolfgang Friedman), maka kedudukan PT. Pertamina (Persero) sebagai salah satu BUMN yang menyelenggarakan pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi wajib untuk mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Perlakuan khusus tersebut termanifestasikan dalam bentuk ketentuan hukum tentang adanya larangan untuk melakukan privatisasi terhadap Persero yang mengelola sumber daya alam tertentu. 57 Perlakuan khusus ( special treatment ) Pemerintah atas PT. Pertamina (Persero) merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemerintah agar cabang produksi yang dikelola dan/atau dijalankan oleh PT. Pertamina (Persero) dapat secara maksimal memberikan konstribusi pendapat yang optimal bagi negara sehingga Pemerintah dapat merealisasikan amanat untuk mensejahterakan rakyat sesuai dengan UUD-1945. Untuk itu, negara harus mempertahankan posisi dominan yang dimilikinya dalam mengarahkan kebijakan direksi PT. Pertamina (Persero). Menurut pandangan ahli, salah satu wujud dari upaya mempertahankan posisi dominan negara sesuai dengan prinsip “penguasaan negara atas sumber daya alam” berdasarkan UUD-1945 adalah menjaga dan mempertahankan keutuhan pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi secara terintegrasi yang selama ini dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero), serta mencegah terjadinya praktik pemecahan/pemisahan pengelolaan minyak dan gas bumi ( unbundling ) sehingga pengelolaan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) tidak lagi secara terintegrasi dan membuka ruang bagi timbulnya kerugian dan/atau berkurangnya pendapatan negara yang diperoleh dari keuntungan PT. Pertamina (Persero). D.4 Pembentukan Subhold ing-Subholding yang Dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) Tidak Sejalan dengan Amanah UUD 1945 dan Hakikat Prinsip Penguasaan Negara yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD-1945 Jimly Asshiddiqie menjelaskan terdapat 12 prinsip pokok negara hukum, yang salah satunya adalah negara hukum berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat ), sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: “Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita- cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar „rule-driven‟, melainkan tetap „mission driven‟, tetapi „mission driven‟ yang tetap didasarkan atas aturan.” 58 (sumber: http: //www.jimly.com/pemikiran/view/11 ) Berkaitan dengan Negara Kesejahteraan, maka menurut Bagir Manan selain menjaga keamanan dan ketertiban juga sebagai pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan ciri Negara hukum kesejahteraan menurut Bachsan Mustafa adalah:
Corak Negara adalah Welfare State yaitu Negara yang mengutamakan kepentingan rakyat;
Negara ikut campur dalam semua lapangan kehidupan masyarakat;
Ekonomi liberal telah diganti dengan sistem ekonomi yang lebih dipimpin oleh pemerintah pusat tugas dari welfare state yaitu menyelenggarakan kepentingan umum;
Tugas Negara adalah menjaga keamanan dalam arti luas, yaitu keamanan di segala lapangan kehidupan masyarakat Jika kita melihat substansi yang terkandung di dalam Pembukaan UUD-1945 dan Batang Tubuhnya, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai Negara Hukum yang bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan negara dalam memajukan kesejahteraan umum, maka menurut hukum internasional negara memiliki kedaulatan permanen terhadap sumber daya alamnya ( permanent sovereignty over natural resources ). Masyarakat Internasional mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan permanen terhadap sumberdaya alamnya. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Nomor 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962, secara tegas memberikan kedaulatan permanen terhadap negara atas sumberdaya alamnya. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diamanatkan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh karena kedudukan “pengelolaan minyak dan gas bumi” sebagai wujud dari peran negara dalam pengusahaan atas sumber daya alam, maka hal tersebut 59 menjadi salah satu atribut kedaulatan negara ( permanent sovereignty over natural resources ), maka secara mutatis mutandis sesuai dengan hakikat dari suatu __ kedaulatan negara, pengelolaan minyak dan gas bumi tersebut menjadi bersifat tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi . Sehingga pengelolaannya __ oleh PT. Pertamina (Persero) harus dilakukan secara terintegrasi mulai dari sector hulu hingga hilir agar hakikat kedaulatan negara terhadap sumber daya alamnya tetap terjaga dan negara dapat dengan mudah mengarahkan kebijakan BUMN kearah penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Kebijakan Direksi yang telah melakukan pembentukan Subholding Hulu yaitu dengan memposisikan PT PHE menjadi Holding (Induk Perusahaan) dari PT. Pertamina EP (PEP), PT Pertamina EP Cepu (PEPC), PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), yang selama ini posisi PEP, PEPC, PHI dan PHR langsung dibawah Direktur Hulu Pertamina sehingga secara langsung berada dalam pengendalian langsung dari PT Pertamina (Persero), kini pembentukan Sub-Holding PT PHE telah memutus posisi dominan dan/atau pengendalian secara langsung PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN terhadap PT Pertamina EP (PEP), PT Pertamina EP Cepu (PEPC), PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang telah menjadi anak perusahaan dari PT PHE. Struktur Subholding PHE seperti ini membuka peluang terjadinya go public ( initial public offering-IPO ) atas anak-anak perusahaan tersebut. Praktik pembentukan Subholding ini jelas menjadi strategi untuk menghindarkan larangan privatisasi PT. Pertamina (Persero) sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Demikian pula pembentukan Subholding Refinery & Petrochemical PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan Subholding Pemasaran PT Pertamina Patra Niaga (Patra Niaga), telah mendudukan PT KPI sebagai Subholding Kilang dan PT Patra Niaga sebagai Subholding pemasaran dan trading yang dulunya dijalankan oleh Direktorat Pengolahan dan Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia dari PT Pertamina (Persero). Hal ini berpotensi menimbulkan kerawanan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi yang diamanahkan negara kepada PT. Pertamina (Persero) sebagai representasi negara dalam menjalankan fungsi negara sebagai “ enterpreneur ” untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD-1945. 60 Pembentukan Patra Niaga sebagai Subholding Pemasaran ( Commercial & Trading ) yang menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 3 Direktorat __ dalam struktur organisasi PT Pertamina (Persero) yaitu Direktorat Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur, yang sebelumnya berasal dari 1 Direktorat yang bernama Direktorat Pemasaran & Niaga secara praktis telah menghilangkan fungsi “penguasaan negara” atas pengelolaan sektor hilir minyak dan gas bumi yang selama ini berada dalam struktur PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN sehingga negara masih dapat melakukan kontrol secara langsung terhadap kebijakan bisnis retail atas minyak dan gas bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Potensi kerawanan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi yang dapat menimbulkan kesulitan bagi negara ke depannya dapat dikemukakan contoh sebagai berikut: Subholding Refinery & Petrochemical (KPI) menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Subholding Commercial & Trading/Pemasaran yaitu PT Patra Niaga yang tentunya harus menjual BBM dengan harga pasar. Oleh karena PT KPI dikenakan pajak penjualan maka tidak mungkin PT KPI menjual produk dibawah harga keekonomian sehingga akan berpengaruh juga pada harga jual BBM yang dijual oleh PT Patra Niaga kepada masyarakat sebagai konsekuensi bisnis yang harus mengambil keuntungan. Kondisi tersebut membuka peluang bagi PT Patra Niaga untuk melakukan Impor BBM supaya dapat harga lebih murah, dari pada membeli ke PT KPI dengan harga mahal. Demikian pula jika harga crude oil produk Subholding Hulu (PT PHE) mahal maka PT KPI tidak akan membeli crude oil ke PT PHE atau anak perusahaannya, cukup impor saja crude yang lebih murah yang dapat mengakibatkan kilang milik PT KPI yang jadi asset terbesar PT Pertamina (Persero) selama ini menjadi nganggur dan tidak dapat berproduksi. Selain itu, PT KPI terbebani pembangunan proyek kilang yang luar biasa besarnya (cost center) sehingga berkonsekuensi pada kinerja keuangan PT KPI yang dapat dipastikan mengalami kesulitan sehingga keinginan untuk membangun kemitraan dan/atau kerja sama dalam pembangunan kilang akan mengalami hambatan. Sangat berbeda jikalau produksi dan pemasaran masih berada dalam satu body/entitas seperti dulu di Holding PT Pertamina (Persero) maka akan lebih mudah untuk mencari mitra kerja sama dalam proses pembangunan kilang. Dengan demikian pembentukan subholding Pertamina ini sangat jelas mempermainkan masa depan 61 PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang berada dalam pengendalian langsung oleh negara. Sehubungan dengan substansi Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menegaskan hanya Perusahaan Persero saja yang tidak dapat privatisasi (dalam hal ini hanya PT. Pertamina (Persero) saja yang tidak dapat diprivatisasi), sedangkan pasal tersebut tidak mengatur larangan privatisasi terhadap anak perusahaan (subholding- subholding Pertamina yang berbentuk Perseroan Terbatas dan bukan BUMN Persero) maka jelaslah pembentukan Subholding-Subholding yang dilakukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
Negara kehilangan status BUMN pada Subholding dan anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai Persero atau BUMN sehingga membuka peluang untuk melakukan initial public offering ( go public ) karena tidak dilarang berdasarkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Dengan status hukum bukan sebagai Persero (BUMN) karena sahamnya tidak lagi dimiliki oleh Negara, maka Subholding dan anak-anak perusahaan yang dibentuk tidak lagi berada dalam kekuasaan dan kontrol negara secara langsung, sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi kehilangan kompetensinya untuk melakukan pemeriksaan terhadap Subholding dan anak- anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai BUMN.
Dengan tidak adanya saham negara pada Subholding dan anak-anak perusahaannya yang dibentuk maka pengelolaan minyak dan gas bumi sebagai cabang produksi yang penting bagi negara menjadi tidak sepenuhnya berada dalam kekuasaan negara (negara kehilangan control langsung). Hal ini tidak sesuai dengan amanat yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan menjadikan kedaulatan energi nasional menjadi terancam.
Pembentukan Subholding dan anak-anak perusahaan menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN, karena Subholding dan Anak-Anak Perusahaan yang dibentuk sebenarnya merupakan praktik “Unbundling” terhadap PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang secara konstitusional diamanahkan untuk menjalankan 62 fungsi “enterpreneur” dari negara dalam kapasitas sebagai negara hukum yang bertanaggungjawab untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Dengan adanya pembentukan Subholding dan anak-anak perusahaan maka berkonsekuensi pada kualitas hidup dan kesejahteraan bagi Pegawai atau karyawan PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin karena negara menjadi kehilangan kontrol langsung atas Subholding dan anak-anak perusahannya sebagai konsekuensi negara tidak lagi sebagai pemegang saham pada Subholding dan anak-anak perusahaannya.
Sumber daya minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat berpotensi tidak terwujud, karena dengan pembentukan Subholding beserta anak-anak perusahaan dari Subholding Pertamina maka minyak dan gas bumi menjadi dikelola oleh Subholding dan anak-anak perusahaan yang tidak berstatus sebagai Persero (BUMN). Hal ini telah meniadakan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah sebagai penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. 7. Bahwa penerapan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara berpotensi meniadakan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah sebagai penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, __ serta berpotensi menimbulkan kerugian __ yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila frasa “ Persero” tidak diartikan sebagai keseluruhan entity perusahaan yaitu “Persero beserta Anak Perusahaan Persero” sehingga dapat menyebabkan Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat __ yang tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. E . PENUTUP Demikian pokok-pokok pikiran ini dibuat untuk memenuhi permintaan kuasa hukum pemohon uji materi Pasal 77 hurut c dan huruf d Undang-Undang 63 Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Semoga pokok-pokok pikiran ini dapat menjadi bahan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Semoha Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk menegakkan amanah UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc. Acuan konstitusi dari tata kelola migas berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dari sisi hulu bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya cadangan minyak dan gas yang ada di perut bumi harus dikuasai negara dan dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi hilir, cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ahli berpendapat sektor migas ini sangat penting, sehingga diatur oleh Konstitusi dari hulu sampai hilir, karena kekayaan alam lainnya tidak ada yang diatur dari hulu sampai hilir. Karena itu struktur pengelolaannya harus dalam struktur teori ekonomi mikro sebagai bentuk monopoli alamiah. Monopoli alamiah jauh lebih efisien daripada bentuk struktur persaingan pasar. Hal ini karena yang hendak dipenuhi adalah adalah kebutuhan bahan bakar minyak seluruh rakyat Indonesia, sehingga skalanya sangat besar. Berbeda dengan air yang bersifat renewable , tapi minyak nonrenewable , sehingga harus dikuasai negara dari hulu ke hilir. Selain itu juga harus ada pengaturan mengenai cadangan minyak di perut bumi yang dimiliki oleh negara. Sektor hulu artinya mencari dan menghasilkan minyak mendah, mengeksplorasi, dan eksploitasi. Lalu minyak mentah dialirkan ke kilang minyak, untuk diubah menyadi BBM, untuk selanjutnya dialirkan dan diangkut sampai ke SPBU, sampai ke konsumen akhir. Oleh karena itu makna Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) ini harus terintegrasi, menyatu di bawah satu perusahaan dari hulu sampai hilir, sehingga memperkecil biaya. Jika penguasaan minyak dalam satu perusahaan dari hulu ke hilir maka akan mudah untuk melakukan proses dari hulu ke hilir. Sedangkan jika perusahaan minya unbundling , berbeda perusahaan, dari hulu sampai ke hilir maka dari hulu ke hilir 64 harus ada trust action cost , atau biaya antar segmen, berapa harga minyak mentah dan sebagainya. Dengan perusahaan minyak yang terintegrasi maka tidak ada biaya segmen hulu dan hilir, sehingga perusahaan negara yang mengelola migas statusnya menjadi natural monopoly . Di mana natural monopoly sangat efisien sehingga memaksimumkan pengelolaan migas sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam rangka menglola migas bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, negara harus membentuk perusahaan negara, sehingga penguasaan migas ada di tangan pemerintah. Pertamina yang terintegrasi secara vertical dan economies of skill sangat besar, apapun statusnya holding, subholdinng, atau cucu perusahaan, tetapi mengelola hulu-hilir sesuai amanah konstitusi sehingga menjadi natural monopoly . Konsep monopoli demikian bukan berarti perusahaan asing dan nasional tidak boleh masuk berinvestasi dan berkontrak dengan pertamina. Namun Pertamina mewakili negara memegang kuasa pertambangan. Dengan konsep ini seluruh Indonesia yang berhak menambang migas hanya negara. Investor bisa datang membawa dana untuk mencari minyak tapi dia berkontrak dengan perusahan negara yaitu Pertamina. Diakui di dunia bahwa Indonesia sebagai negara paling efisien dalam menarik investasi migas dan ditiru oleh banyak negara. Namun sejak UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas disahkan atas desakan IMF, sistem yang telah ada menjadi rusak. Kuasa pertambangan dari Pertamina dipindahkan ke pemerintah/ESDM. Lalu pemerintah yang berkontrak dengan investor. Pemerintah menjadi sejajar menempatkan diri dengan perusahaan asing dan swasta nasional. Punya hak dankewajiban yang sama dalam kontrak. Izin untuk implementasi dan contradicted sharing contract oleh para kontraktor izinnya diurus sendiri-sendiri. Akibatnya setelah UU Migas disahkan, investasi eksplorasi anjlok, tidak ada penimbun cadangan baru. Produksi hanya mengandalkan lapangan tua dari gudang ke gudang. UU Migas selama 20 tahun telah menyebabkan industry migas nasional menjadi terpuruk. Pertamina tidak lagi dihargai di dunia migas internasional. Sebelum UU Migas disahkan Pertamina yang memegang kuasa pertambangan tidak membutuhkan uang satu sen pun dari APBN, pembiayaan untuk membangun LNG Plant di Arun dan LNG Plant di Bontang dibiayai oleh bank karena memang pertamina dipercaya. 65 Pertamina meskipun dalam bentuk PT (Persero) tetap diberikan tugas oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional. Namun menurut ahli alasan privatisasi agar Pertamina bisa mendapat sumber pendanaan adalah alasan yang tidak tepat karena Pertamina bisa membuat sumber pendanaan dengan dana mulus dari bank-bank internasional jika pertamina memegang kuasa pertambangan. Privatisasi anak perusahaan Pertamina adalah salah Langkah, karena walaupun statusnya subholding namun tetap dia mencari dan memproduksi minyak mentah kekayaan perut bumi yang seharusnya dikuasai negara untuk memenuhi kebutuhan BBM. Jika ada kepemilikan saham oleh siapa pun dalam bentuk anak perusahaan tetapi substansinya adalah mengusahakan hulu sampai hilir migas maka berpotensi mengurangi penerimaan negara yang berasal dari keuntungan perusahaan minyak sehingga menyebabkan tidak tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi natural monopoly akan dirusak jika Pertamina substansi pekerjaan usahanya diprivatisasi baik hulu, tengah maupun hilir. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya Pertamina sebagai natural monopoly . Karena itu status monopoli alamiah Pertamina dalam mengelola kekayaan hulu sampai ke cabang produksi penting BBM tidak boleh dijual tidak boleh diprivatisasi. Ahli menghimbau pemerintah untuk tidak menjual asset negara dalam bentuk saham-saham yang perusasahaan yang mengelola kekayaan migas dari hulu sampai hilir. Larangan terhadap privatisasi untuk perusahaan yang mengurus migas nasional, larangan dua-duanya, baik dalam status sebagai PT Persero ataupun sebagai anak perusahaan atau sebagau induk persudahaan. Ahli melihat pemerintah memiliki strategi untuk meloloskan privatisasinya dengan mengubah PT Persero yang ada itu, dengan anak perusahaan, jadi holding menjadi subholding. Menurut ahli hal ini tidak benar karena pada akhirnya akan memprivatisasi kegiatan dari hulu sampai ke hilir industry migas nasional yang menurut Konstitusi seharusnya dikuasai oleh negara. Menurut Ahli jika Pertamina diprivatisasi siapa yang akan memenuhi keutuhan BBM masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Jika Pertamina diprivatisasi maka stakeholder pemilik perusahaan akan keberatan jika ada kerugian yang terjadi seperti BBM satu harga seperti yang saat ini diterapkan. Monopoli alami yang terjadi sebelum UU migas di sektor hulu adalah dengan tetap mengundang investor, namun tetap melalui Pertamina sebagai pemegang 66 kuasa pertambangan. Sedangkan di sisi hilir pemerintah mengeluarkan kebijakan harga meskipun siapapun bisa membuka SPBU. Harga BBM adalah kewenangan pemerintah bukan Pertamina. Jika ada perbaikan UU, Ahli menyarankan agar dihidupkan lagi kuasa pertambangan, karena sistem perijinan tidak perlu berbelit-belit. Kembalikan kuasa pertambangan ke tangan Pertamina, BP Migas yang sekarang menjadi SKK Migas. Ahli setuju dilakukan IPO sepanjang niatnya baik, jadi perusahaan tidak dijual tapi IPO, tetap ada kewajiban-kewajiban perusahaan IPO yang harus dilakukan, mengeluarkan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan pasar modal. Hal ini justru bisa menghindari Pertamina dari ajang korupsi.
Gunawan Pertamina (Persero) adalah perwujudan dari pengertian pengelolaan secara langsung dari penguasaan negara dalam cabang produksi minyak dan gas sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi. Disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 36/PUU-X/2012 bahwa: Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menimbang bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara, jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. 67 Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Dari pengertian pengelolaan secara langsung sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, yang perlu digarisbawahi yaitu: Pertama , tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai __ instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi. Kedua . Kepemilikan saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut __ cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga . bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling __ penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Keempat . Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil __ dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. PT Pertamina (Persero) adalah bentuk dari pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas dalam pengelolaan cabang produksi minyak dan gas bumi PT Pertamina (Persero) dalam kenyataan sejarah dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di Indonesia, bergerak dalam 68 usaha minyak dan gas bumi sejak eksplorasi, dan eksploitasi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, hingga penjualan atau niaga. Pertamina dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1968 tentang Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Nasional (P.N. Pertamina). Pertamina merupakan peleburan dari Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia dan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 kemudian memberikan landasan kerja baru guna meningkatkan kemampuan dan menjamin usaha-usaha lebih lanjut bagi Pertamina. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pertamina menjadi Perseroan. Berdasarkan Pasal 72 (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), restrukturisasi perusahaan BUMN dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional. Adapun salah satu tujuan restrukturisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 72 (2) d UU BUMN adalah memudahkan pelaksanaan privatisasi. Pasal 77 UU BUMN telah memberikan batasan BUMN yang tidak dapat diprivatisasi. Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi Pertamina (Persero) adalah BUMN yang memenuhi kriteria tidak dapat diprivatisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU BUMN. Pertama , Pertamina (Persero), bergerak di sektor usaha minyak dan gas bumi __ yang memiliki kaitan dengan pertahanan dan keamanan negara; 69 Kedua , Pertamina (Persero) bergerak di sektor tertentu yaitu minyak dan gas __ bumi, yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan pertambangan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yaitu jaminan dari pemerintah dalam hal ketersediaan dan jaminan harga minyak dan gas bumi yang tidak berdasarkan mekanisme pasar; Ketiga , Pertamina (Persero) bergerak di bidang usaha sumber daya alam __ minyak dan gas bumi yang secara tegas berdasarkan UU Migas harus di bawah Penguasaan Negara melalui pengelolaan secara langsung. Pertamina (Persero) bergerak dari hulu dan hilir usaha minyak dan gas bumi secara terintegrasi. Oleh karenanya pembatasan privatisasi tidak hanya di BUMN Persero, tapi juga di anak perusahaan persero yang bergerak di hulu dan hilir usaha minyak dan gas bumi. Sebagai BUMN, Pertamina (Persero), bergerak secara terintegrasi dari hulu ke hilir usaha minyak dan gas bumi, hal tersebut mempersyaratkan bahwa pembentukan holding dan sub holding Pertamina (Persero) tidak boleh menjadikan usaha minyak dan gas bumi yang dilakukan Pertamina (Persero) menjadi sistem usaha minyak dan gas bumi yang terpisah sehingga potensial menghambat tujuan dari penguasaan negara atas minyak dan gas bumi. Oleh karenanya pembatasan privatisasi tidak hanya di BUMN Persero, tapi juga di anak perusahaan persero. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Undang-Undang Ketenagalistrikan (Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dalam pengujian UU No. 20 Tahun 2002 dan Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dalam pengujian UU No. 30 Tahun 2009) menolak sistem unbundling dalam usaha ketenagalistrikan dan kaitannya dengan Perusahaan Listrik Negara (Pesero) sebagai BUMN. Dalam kasus usaha minyak dan gas bumi, serta kaitannya dengan Pertamina (Persero), bahwa upaya restrukturisasi Pertamina (Persero) melalui pembentukan holding dan subholding haruslah dicegah menjadi praktik unbundling dalam usaha minyak dan gas bumi. Pertamina lahir sebagai perusahaan negara dari peleburan perusahan-perusahan minyak nasional, sehingga menjadi ironi sejarah bila restrukturisasi Pertamina (Persero) justru malah melemahkan peran negara dan memecah Pertamina. 70 4. Dr. Marwan Batubara Pada prinsipnya kami mendukung upaya FSPPB melakukan JR terhadap Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 kepada MK. JR terhadap ketentuan UU tersebut perlu dan mendesak dilakukan terutama karena Pasal 77 huruf c dan UU BUMN No.19/2003 tidak cukup komprehensif menjelaskan bahwa anak-anak dan cucu perusahaan Pertamina termasuk dalam kategori badan usaha dalam lingkup sebuah BUMN yang dilarang diprivatisasi sesuai konstitusi. Di sisi lain, rencana privatsiasi anak-anak usaha Pertamina telah dinyatakan secara terbuka, baik oleh Menteri BUMN Erick Thohir maupun Dirut Pertamina Nicke Widyawati (12/6/2020). Rencana tesebut akan dijalankan oleh pemerintah dengan sangat confident, terutama karena yakin dapat memanfaatkan celah hukum yang “tersedia” dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003. Keyakinan bahkan semakin bertambah dengan menjadikan privatisasi PGN dan Elnusa sebagai rujukan. Padahal menurut hemat kami baik induk, anak maupun cucu perusahaan sebuah BUMN yang menjalankan fungsi penguasaan negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai Pasal 33 UUD 1945, merupakan satu kesatuan usaha yang tidak boleh diprivatisasi. Karena itu, upaya optimal perlu dilakukan agar ketentuan Pasal 77 huruf c dan d tersebut dapat diperjelas dan dirubah sedemikian rupa oleh MK, sehingga tidak menjadi multi tafsir dan diselewengkan oleh penyelenggara negara yang sangat bernafsu melakukan privatisasi anak-anak usaha Pertamina. MK perlu segera membuat keputusan agar rencana IPO oleh pemerintah yang melanggar konstitusi dan merugikan rakyat tersebut dapat segera dicegah dan dihentikan. Hal-hal yang menjadi argumentasi kita sebagai anak bangsa untuk menghambat rencana privatisasi tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan berikut.
Ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 Dikaitkan dengan PT Pertamina Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 berbunyi sebagai berikut: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ 71 (c). Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat; _ (d). Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi . Menurut Pasal 33 UUD 1945 Pertamina merupakan BUMN yang mendapat mandat dari negara untuk menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam (SDA), termasuk minyak, gas dan panas bumi, guna memperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dua aspek penting dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 adalah:
penguasaan negara, dan dengan penguasaan negara tersebut akan dicapai:
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejak berdirinya Pertamina pada Agustus 1968 dan diperkuat pula dengan dibentuknya UU No. 8/1971, bangsa dan pemerintah Indonesia sudah mengenal fungsi dan peran Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang mengelola bisnis sektor hilir minyak dan gas (migas) guna melayani kebutuhan publik atau masyarakat. Pada saat yang sama, Pertamina menjalankan pula fungsi dan peran sisi hulu migas guna mengeksploitasi SDA migas milik negara, agar bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai fungsi dan peran sebagai pengelola usaha hilir migas, maka tak dapat disangkal Pertamina merupakan organ negara berupa BUMN yang bertugas melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, sesuai Pasal 77 huruf c di atas, sangat jelas ditetapkan bahwa Pertamina tidak dapat diprivatisasi karena fungsinya menjalankan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, yakni kepentingan untuk memenuhi kebutuhan minyak/BBM dan gas. Pada sisi hulu, Pertamina berperan pula mengelola bisnis berupa kegiatan eksploitasi SDA migas negara. Tujuannya adalah agar dengan pengelolaan tersebut diperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 77 huruf (d) UU BUMN No.19/2003 dengan gamblang menyatakan BUMN-lah yang menjalankan kegiatan usaha di bidang SDA tersebut dan dilarang untuk diprivatisasi. Ada dua aspek konstitusional yang sangat penting dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN No.19/2003 yang mendesak diklarifikasi, yaitu kegiatan berkaitan 72 dengan a) kepentingan masyarakat dan b) kegiatan usaha SDA. Kedua aspek usaha tersebut memperoleh jaminan dan perlindungan khusus dalam konstitusi untuk dijalankan secara khusus pula tanpa boleh diprivatisasi. Artinya, sepanjang menyangkut kegiatan kepentingan masyarakat dan kegiatan pengelolaan SDA, maka hanya BUMN yang 100% sahamnya dimiliki negara-lah yang berhak melakukannya. Sepanjang objek dalam kedua kegiatan usaha di atas masih utuh berada dalam satu kesatuan usaha Pertamina sebagai induk, maka kami meyakini Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN No.19/2003 tidak bermasalah secara konstitusional. Namun jika sebagian dari objek kegiatan tersebut dipisahkan dari Pertamina untuk dijalankan oleh subjek badan usaha lain, maka Pasal 77 huruf c dan d harus dilengkapi dengan penjelasan atau dirubah sedemikian rupa agar tidak terjadi multi tafsir yang berujung pada pelanggaran terhadap konstitusi. Orientasi dan objek penting yang mendapat jaminan konstitusi untuk dikelola 100% oleh BUMN (artinya tidak boleh diprivatisasi) sebagai subjek adalah kegiatan kepentingan masyarakat dan kegiatan eksploitasi SDA. Subjek pengelola dan kedua objek kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Sepanjang menyangkut dua kegiatan kepentingan masyarakat dan eksploitasi SDA, maka pengelolanya hanyalah BUMN yang 100% sahamnya dimiliki nagara. Jika salah satu dari objek kegiatan tersebut melibatkan subjek yang bukan BUMN, maka dapat dinyatakan telah terjadi pelanggaran terhadap konstitusi, Pasal 33 UUD 1945. Sejalan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, demi optimasi dan efektivitas manajemen pengelolaan bisnis, Pertamina bisa saja melakukan perubahan organisasi, termasuk membentuk sejumlah sub-holding atau anak-anak usaha. Selama ini pun Pertamina telah memiliki puluhan anak-anak dan cucu-cucu usaha. Namun, perubahan dan pembentukan sub-holding tersebut harusnya bukan direkayasa dan dimaksudkan untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya rencana privatisasi. Apalagi jika hal tersebut dijalankan karena adanya motif perburuan rente dan dominasi oligarki pengusas-pengusaha. Karena itu, dapat dirangkum 2 hal penting. Pertama berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BMUN No. 19/2003 yang berlaku saat ini, karena subjek pelaku dan objek kegiatan dijamin oleh konstitusi sebagai satu kesatuan yang utuh, maka privatisasi anak atau cucu usaha tidak boleh dilakukan, karena 73 melanggar konstitusi. Kedua, guna mencegah moral hazard dan terjadinya privatisasi melalui IPO anak atau cucu usaha, maka MK dituntut untuk segera merubah atau memberi penjelasan tambahan atas Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No. 19/2003, guna melidungi dan mengamankan kepentingan rakyat memperoleh manfaat tersbesar dari kegiatan usaha yang dikelola oleh Pertamina.
Pembentukan Holding dan Subholding untuk Privatisasi Seperti diuraikan di atas, guna mencapai efisiensi, optimasi dan efektivitas sebagai induk Holding BUMN Migas, Pertamina dapat saja melakukan perubahan organisasi dan aksi-aksi korporasi, termasuk melakukan konsolidasi bisnis, divestasi, sinergi, strategic partnership , dan lain-lain. Dalam hal ini, langkah pembentukan sub-holding dan privatisasi dapat saja perlu dilakukan. Namun, sepanjang menyangkut core business yang merupakan bagian utama dari rantai bisnis Pertamina, aksi-aksi korporasi tersebut tetap dan harus berpegang kepada konstitusi. Pembentukan berbagai sub-holding dapat didukung guna mencapai target-target manajemen korporasi, tapi tidak untuk memenuhi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang ingin mendapat keuntungan bisnis dari rantai bisnis Pertamina melalui proses privatisasi atau IPO. Jika tujuan pembentukan sub-holding dilakukan untuk melapangkan jalan bagi terjadinya privatisasi anak-anak usaha Pertamina, terutama pada sektor kegiatan yang menyangkut kepentingan publik dan pengelolaan SDA, maka kami menyatakan penolakan. Alasan terpenting penolakan karena migas adalah sektor strategis menyangkut hidup rayat yang harus dikuasai negara melalui pengelolaan oleh BUMN seperti diuraikan pada Bagian 1 di atas. Hal ini bukan saja telah menjadi tekad dan amanat pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/2012 dan No. 85/2013. Alasan lain adalah bahwa para investor asing dan pengusaha liberal-kapitalis sangat berminat memperoleh manfaat besar dari sejumlah mata rantai bisnis sektor migas yang menguntungkan. Untuk itu, bekerjasama dengan oknum-oknum penguasa oligarkis, mereka biasanya menyiapkan kebijakan, aturan dan upaya sedemikian rupa, sehingga sebagian saham dari mata rantai bisnis yang menguntungkan tersebut dapat dikuasai. Caranya adalah melalui skema IPO seperti telah dicanangkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir untuk dapat terwujud dalam 2 tahun ke depan. 74 Kesimpulannya, sepanjang dilakukan untuk perbaikan pengeloaan dan peningkatan kinerja bisnis korporasi, kami dapat menerima pembentukan sub- holding oleh Pertamina. Namun, jika pembentukan sub-holding tersebut terutama dimaksudkan untuk membuka jalan bagi terwujudnya privatisasi anak-anak usaha yang eksistensinya diatur dan dijamin oleh Pasal 33 UUD 1945, maka kami dengan tegas menyatakan penolakan.
Perlindungan hukum terhadap Pertamina dalam Mengelola SDA Sesuai Pasal 33 UDD 1945 Pengaruh dan intervensi penguasa dan pihak asing sangat menentukan dalam pengelolaan sektor migas dan energi di Indonesia. Hal ini salah satunya dapat ditelusuri dari pembentukan perundang-undangan sektor tersebut sejak Indonesia merdeka hingga sekarang. Pengaruh tersebut tentu saja dirasakan dampaknya oleh Pertamina. Padahal agar Pertamina dapat mengelola sektor migas sesuai konstitusi, maka UU Migas baru harus segera ditetapkan. Salah satu peraturan yang dapat dianggap konsisten dengan Pasal 33 UUD 1945 adalah UU No. 8/1971 tentang Pertambangan Migas Negara. Namun karena adanya penyelewengan oleh oknum-oknum penyelenggara negara pada era orde baru, UU yang sudah baik tersebut tidak berjalan optimal. Di sisi lain, karena kuatnya kepentingan asing untuk dapat mengambil manfaat dari sektor migas nasional, UU No. 8/1971 merupakan salah satu dari sejumlah UU yang harus direvisi sebagai syarat dikucurkannya pinjaman IMF dan BD kepada pemerintah Indonesia menghadapi krisis moneter 1997-1998. Maka lahirlah UU Migas No. 22/2001 yang berisi ketentuan liberal dan pro swasta/asing dan tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945. Setelah Indonesia bebas dari kewajiban utang kepada IMF dan BD, terbuka kesempatan untuk melakukan revisi terhadap UU Migas No. 22/2001. Revisi ini menjadi semakin mendesak setelah ditetapkannya Putusan MK No. 36/2012 atas Judicial Review UU Migas No. 22/2001 pada awal 2012. Di sisi lain, sebelumnya sebagai salah satu rekomendasi Pansus BBM DPR RI (periode 2004-2009) adalah UU Migas pun harus direvisi. Karena itu, DPR pun telah menyiapkan draft RUU Migas pada tahun 2009. Ternyata setelah lebih dari 10 tahun, UU Migas baru pengganti UU No. 22/2001 tak kunjung ditetapkan. DPR sebagai initiator RUU Migas dan juga pemerintah, tidak 75 merasa penting untuk segera menyelesaikan RUU tersebut. Penyelenggara negara merasa telah cukup nyaman untuk tetap menggunakan UU Migas yang merupakan produk pro swasta/asing dan pro oligarki tersebut. Penyelenggara negara pun tidak merasa penting untuk melindungi Pertamina sebagai pengemban tugas konstitusional pengelolaan migas nasional melalui pembentukan UU Migas baru tersebut. Artinya, sebagai salah satu landasan hukum yang akan melindungi Pertamina menjalankan pengelolaan migas sesuai Pasal 33 UUD 1945 tampaknya justru terkendala oleh sikap DPR dan pemerintah yang lebih memilih kondisi status quo . Dengan demikian, agenda-agenda oligarkis yang bernuansa moral hazard dapat berjalan seperti biasa tanpa hambatan. Cara atau mekanisme lain yang dapat dilakukan untuk melindungi Pertamina mengemban tugas konstitusionalnya adalah dengan melakukan perbaikan dan meningkatkan penerapan prinsip good corporate governance (GCG). Seperti disampaikan oleh Erick Thohir pada 12 Juni 2020, IPO diperlukan untuk meraih governance yang lebih baik. Kata Erick, Pertamina perlu IPO-kan 1-2 sub-holding sebagai bagian dari transparansi dan kejelasan akuntabilitas. Namun kami yakin IPO bukan satu-satunya jalan untuk meraih GCG. Banyak cara meningkatkan GCG di Pertamina tanpa harus IPO. Salah satu yang terpenting adalah menjadikan Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). NPLC adalah pola dimana Pertamina menjadi perusahan terdaftar di bursa (BEI), namun tidak ada (1% pun) saham yang dijual. Dengan terdaftar di BEI, Pertamina menjadi perusahaan terbuka yang diawasi publik, namun pemilikan negara di Pertamina tetap 100%. Sehingga, BUMN dapat dikelola sesuai konstitusi, saham 100% milik negara, dan tanpa prospek negara menjadi minoritas seperti halnya terjadi pada privatisasi PT Indosat. Salah satu aspek penting dalam GCG adalah bagaimana mengendalikan dan mencegah intervensi pejabat pemerintah terhadap BUMN sebagaimana terjadi selama ini. Faktanya, selama ini Pertamina telah menjadi korban kebijakan pemerintah yang merugikan keuangan korporasi, misalnya terkait harga untuk kebijakan harga crude domestic , penerapan signature bonus Blok Rokan, kebijakan harga BBM, kebijakan subsids LPG 3kg, dan lain-lain. Terkait crude domestik, signature bonus dan lapangan migas luar negeri, Pertamina harus mengeluarkan dana bernilai triliun Rp, sebagai beban biaya operasi 76 “tambahan”. Sedangkan terkait harga BBM, sejak April 2017 hingga Desember 2019, Pertamina harus menanggung beban public service obligation (PSO) lebih dahulu sekitar Rp 95 triliun yang hingga Mei 2020 belum dilunasi. Akibat beban PSO, kondisi keuangan dan cash flow perusahaan terganggu, sehingga Pertamina harus menerbitkan obligasi. Akibat kebijakan pemerintah yang melanggar UU dan prinsip GCG di atas, minimal Pertamina harus menanggung beban:
biaya “tambahan” puluhan triliun Rp dan, (2) beban bunga obligasi akibat tugas PSO yang nilainya juga puluhan triliun Rp. Beban kerugian tersebut bisa bertambah jika credit rating Pertamina turun akibat pemerintah melanggar GCG. Bahkan Pertamina bisa mengalami gagal bayar atau default atas utang jatuh tempo tahun 2020 ini, jika pemerintah tidak segera melunasi piutang Pertamina tersebut. Artinya, yang lebih mendesak dilakukan adalah penegakan GCG oleh pajabat pemerintah dibanding IPO untuk perbaikan GCG. Terbukti, karena pejabat pemerintah bermasalah, meskipun telah menjadi perusahaan terbuka (telah IPO), GCG tetap dilanggar seperti pada kasus Laporan Keuangan Garuda 2018-2019, kasus Krakatau Steel atau kasus Jiwasraya. Seperti diungkap manajemen Pertamina pada RDPU dengan Komisi VII DPR (29/6/2020), Pertamina perlu melakukan IPO karena membutuhkan dana yang sangat besar. Namun di sisi lain, uraian di atas menunjukkan bahwa keuangan Pertamina bermasalah akibat kebijakan intervensi dan kesewenang-wenangan pemerintah. Artinya, jika akhirnya IPO terlaksana, maka salah sebab tergadainya sebagian saham milik negara di Pertamina adalah sikap pemerintah yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah, serta sekaligus melanggar UU yang berlaku dan prinsip-prinsip GCG. Jika kita kembali merujuk pernyataan Erick Thohir, maka IPO bukanlah cara yang tepat untuk meraih transparansi dan akuntabilitas. Bahkan melakukan IPO saja seperti diuraikan pada Bagian 1 dan Bagian 2 di atas, sudah merupakan pelanggaran konstitusi. Tetapi yang paling relevan dan mendesak untuk perbaikan GCG adalah menertibkan dan mengendalikan pejabat tertinggi di istana negara dan sejumlah menteri di beberapa kementrian yang justru membuat kebijakan bermasalah dan melanggar aturan, sehingga secara faktual telah merugikan negara 77 dan keuangan korporasi. Sejalan dengan itu, Erick pun perlu segera menjadikan Pertamina (juga PLN) sebagai non-listed public company . Sebagai rangkuman dapat dinyatakan bahwa guna melindungi Pertamina menjalankan tugas-tugasnya mengelola sektor migas nasional sesuai Pasal 33 UUD 1945, maka langkah terpenting dan mendesak adalah meminta pemerintah membuat kebijakan terhadap Pertamina yang pro rakyat, konsisten dengan peraturan, mematuhi prinsip-prinsip GCG, dan menghilangkan sikap otoriter semau gue yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah bagi kepentingan politik dan oligarki kekuasaan. Selanjutnya, DPR dan Pemerintah harus segera menuntaskan pembentukan UU Migas baru yang telah direncanakan sejak 2009 yang lalu, dimana salah aspek penting dalam UU baru tersebut adalah jaminan pengelolaan migas harus sesuai prinsip penguasaan negara sesuai konstitusi. Dalam hal ini UU Migas baru tersebut harus bersifat khusus, lex specialist terhadap Pertamina. Terakhir, karena mendesaknya aspek GCG, pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan khusus tentang peran dan fungsi Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). Prinsip-prinsip NPLC tersebut, kelak dapat pula dituangkan dalam UU Migas baru.
Rencana Unbundling Bisnis Pertamina Kami memahami secara umum ada beberapa tujuan sebuah perusahaan melakukan IPO, seperti: a) mendapatkan akses pendanaan murah, b) akses dana jangka panjang, c) memperoleh citra yang baik, d) meningkatkan nilai perusahaan dan e) memperoleh insentif pajak. Namun untuk itu, mata rantai dalam rantai bisnis atau anak usaha yang paling menguntungkanlah ( cream de la cream ) yang biasanya dijual terlebih dahulu. Jika dilihat dari sisi lain, seandainya profitabiitas dan prospek bisnis anak usaha yang akan dijual tersebut tidak jelas, tentu tidak akan ada investor yang berminat. Sebaliknya, dengan melepas atau “mempreteli” satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN/Pertamina sesuai skenario kapitalis-liberal, atau dikenal juga dengan istilah unbundling, maka lambat laun sebagian besar anak-anak usaha Pertamina yang profitable akan terjual. Sehingga Pertamina kelak hanya akan “menikmati” bisnis ampas yang kurang menguntungkan atau malah merugikan. Sedangkan keuntungan terbesar dari mata rantai bisnisnya kelak akan lebih dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal. 78 Padahal jika semua mata rantai dalam lini bisnisnya berjalan utuh secara “bundled”, maka seluruh keuntungan bisnis Pertamina akan dinikmati semua rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, Pertamina dapat pula melakukan fungsi- fungsi strategis negara secara optimal, terutama melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen. Dalam hal ini Pertamina dapat membangun infrastruktur dan menyediakan pelayanan ke seluruh wilayah negara guna mengurangi kesenjangan menuju pemerataan berkeadilan. Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro-asing pro-kapitalis- liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU asing/swasta berbisnis di kota-kota besar di Indonesia, sementara Pertamina wajib menyediakan BBM hingga pelosok negeri dengan beban biaya sangat besar. Dengan bisnisnya dibiarkan digerogoti asing, maka kemampuan Pertamina melakukan cross subsidy semakin berkurang, sehingga sebagian dana untuk penyediaan pelayanan tersebut malah harus ditanggung APBN. Kami tidak anti modal asing dan dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana/modal. Namun jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi, serta mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai “kualitatif”, maka hal tersebut harus ditolak. Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan proses IPO ikut diperhitungkan, maka keuntungan “kuantitatif” akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO pun justru akan sirna. Tegaknya kedaulatan, berjalannya konstitusi, terjaganya ketahanan energi dan meratanya pembangunan melalui cross-subsidy oleh BUMN yang dikelola tanpa IPO, tidak layak diperbandingkan dengan keuntungan akses dana murah yang diperoleh dari melakukan IPO. Keuntungan nilai dana murah yang diperoleh dari IPO sangat minim jika dibandingkan dengan besarnya manfaat strategis yang diperoleh jika BUMN dikelola sesuai konstitusi tanpa IPO. Salah faktor yang sangat merugikan adalah bahwa dengan IPO, profit yang dapat diraih akan berkurang sesuai berapa persen besar saham yang dijual. Faktor lain, sebagai pelaksana tugas perintisan dan pembangunan daerah, lambat laun BUMN akan kehilangan kemampuan cross-subsidy karena anak-anak usaha yang menguntungkan ( cream de la cream ) akan segera dijual, sehingga menyisakan anak-anak usaha yang kurang profitable . 79 Saksi Pemohon 1. drg. Ugan Gandar Bahwa PT. Pertamina (Persero) mendapatkan keistimewaan dari Negara untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu melalui penunjukan langsung. Bahwa syarat untuk mendapatkan wilayah kerja tersebut, salah satunya yang terpenting adalah saham PT. Pertamina ( Persero) harus 100% dimiliki oleh Negara. Bahwa apabila saham PT. Pertamina (Persero) tidak lagi 100% dimiliki oleh negara karena dilakukan Initial Public Offering (IPO), maka akan menghambat usaha PT Pertamina (Persero) untuk memperoleh wilayah kerja terbuka tertentu, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan: Ayat 4 Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT. Pertamina (Persero) sepanjang saham PT. Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. __ Ayat 5 PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan. __ Bahwa dengan PT. Pertamina ( Persero) menjadi prioritas untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu karena sahamnya 100% dimiliki oleh Negara, maka sudah seharusnya anak perusahaan PT. Pertamina Persero/Perusahaan Milik PT. Pertamina ( Persero ) yang ditunjuk Pertamina untuk mengelola wilayah kerja terbuka tertentu tersebut sahamnya harus 100% milik PT. Pertamina ( Persero) atau dengan kata lain harus tetap 100% dikuasai oleh Negara. Bahwa sudah sepatutnya Negara mengontrol 100% wilayah kerja yang dikelola oleh PT. Pertamina ( Persero ) maupun anak perusahaan/perusahaan milik PT. Pertamina ( Persero ) hasil dari penunjukkan langsung pada wilayah kerja tersebut. Bahwa hal tersebut tentunya berbeda apabila yang dijual hanyalah Participating Interest (PI) atas suatu ladang minyak dan gas hasil tunjuk langsung ke Pertamina, hal tersebut diperbolehkan dan sudah lazim dilakukan karena yang berkurang hanya 80 Partisipasing Interest-nya saja, bukan porsi kepemilikan saham dalam PT. Pertamina (Persero) maupun anak perusahaan milik PT. Pertamina Persero. Bahwa Saham perusahaan pengelola wilayah kerja hulu migas yang boleh dijual ke bursa itu hanya perusahaan yang mendapatkan wilayah kerja dari BP Migas / SKK Migas melalui prinsip-prinsip komersial /persaingan bebas.
KENAPA BISNIS PERTAMINA HARUS TERINTEGRASI Pertamina (Persero) adalah Perusahaan saat ini bisnisnya meliputi usahan minyak dari hulu sampai ke Hilir. Ada beberapa hal pentingnya kenapa Bisnis Pertamina ini harus terintegrasi dan tidak terpecah pecah. Antara lain:
Jika suatu saat ada krisis yang mengakibatkan harga minyak mentah jatuh maka jika pertamina ini menjadi satu kesatuan utuh maka akan sangat membantu untuk saling menutupi kerugian yang terjadi antar lini bisnis. Bisnis hulu rugi tetapi bisnis hilir untung sehingga saling menutupi.
Begitupun juga sebaliknya jika harga Crude naik dan karena kebijakan pemerintah yang tidak ingin rakyat indonesia semakin terbebani sehingga harga BBM harus ditahan tidak boleh naik maka Bisnis Hilir yang rugi tetapi bisnis Hulu yang untung. Sehingga bisa saling menutupi.
Akan sangat merugikan keuangan negara karena potensi jika Harga ICP lebih tinggi dibandingkan harga MOPS maka Refinery Pertamina (jika sudah IPO) tentunya akan memilih membeli Produk yang lebih murah.
Jika semua lini bisnis terpecah pecah seperti Hulu, Shipping, Pengolahan dan Pemasaran terpecah pecah dan saham sudah dikuasi oleh Swasta. Maka yang terjadi adalah setiap entitas tidak peduli dengan entitas lain. Hal ini akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan penyaluran energi ke pelosok negeri. Karena semuanya akan berusaha mengambil profit Contoh :
Dari Pemasaran akan berusaha hanya akan melayani daerah daerah yang dianggap profitable. Untuk daerah 3T yang secara feasibility tidak masuk tidak akan dilayani. Sehingga rawan mengakibatkan kerusuhan karena langkanya BBM. Atau tersedia BBM dengan harga yang cukup tinggi 2. Dari pemasaran hanya akan mengambil supply BBM dari supplier yang murah. Jika harga COGS Refinery yang sudah IPO lebih mahal dari 81 harga MOPS untuk landed Cost nya maka tentu produk Refinery akan ditinggalkan oleh Pertamina. Dan hal ini bisa mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi Refinery. Bisa Collaps. Dan Chain efeknya tentu akan sangat Besar. Bisnis Kilang Tutup, PHK Masal, Rekanan Bangkrut, dan Pengangguran massive akan terjadi.
Dari sisi refinery tentunya juga akan begitu hanya akan mencari Supplier Crude yang murah dan menguntungkan. Jika harga ICP lebih mahal dibandingkan harga Crude di pasaran luar negeri dan perhitungan landed cost sampai di Refinery lebih murah tentunya Crude Dalam negeri jadi tidak terserap dan pendapatan negara menjadi berkurang.
Dari sisi Perkapalan. Jika lini ini terpisah dan berdiri sendiri maka tentunya akan berusaha sebesar besarnya dan kurang mau take risk. Di cuaca yang sangat buruk dan diujung negeri ada lokasi yang BBM kritis karena Sense of Nasionalitynya sudah berkurang maka Bisnis Perkapalan hanya akan mementingkan dirinya sendiri. Jadi bodo amat sama krisis energi di Ujung negeri. Yang penting bisnis lancar.
Dan yang paling paling bahaya adalah seperti chart berikut : Dengan kondisi diatas maka Hulu akan ambil Profit , Shipping ambil Profit, Refinery ambil Profit Maka yang terjadi adalah harga BBM dari Customer akan sangat mahal, Belum lagi adanya Tax disetiap Transaksi BBM karena sudah beda entitas. Yang akan terjadi nanti bisa seperti ini Dengan kondisi diatas sudah terlihat siapa yang diuntungkan dan siapa yang akan dirugikan sehingga implementasi dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar tidak dapat direalisasikan dan hanya konteks semata. Singapore (minyak jadi) Minyak jadi Shippin g Pemasaran Hulu Pengolahan Shippin g Shippin g Pemasaran 82 2. PERTAMINA TIDAK TERINTEGRASI APAKAH BERDAMPAK DENGANIMPLEMENTASI DARI PASAL 33 UNDANG – UNDANG DASAR 1945 Atas apa yang telah diuraikan diatas maka secara langsung dan tidak langsung akan berdampak kepada tujuan dari implementasi Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 dimana salah satu isi dari pasal tersebut yaitu cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan Bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak akan pernah tercapai sehingga cita-cita dari “the Founding Fathers” akan menjadi mimpi dan tidak pernah terealisasi. Dilain sisi dengan dibentuknya Pertamina sebagai salah satu BUMN memiliki tujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan dari perkembangan zaman dimana pelayanan (service) serta kemajuan tekhnologi Informasi yang serba digital harus diselaraskan dan diimplementasi guna bisa bersaing 3. PERTAMINA (HOLDING DAN SUBHOLDING) BERENCANA AKAN DIMILIKI OLEH SWASTA BAGAIMANA DENGAN KEDAULATAN DAN KETAHANAN ENERGI Kedaulatan dan ketahanan merupakan kunci penting dalam sebuah negara. Kemampuan bangsa untuk menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaan serta memastikan jaminan ketersediaan energi merupakan arti dari kedaulatan dan selaras dengan tujuan berdirinya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana kepemilikan saham masih dimiliki oleh negara yaitu Pertamina. Bilamana kepemilikan atas saham dari holding maupun sub holding Pertamina dialihkan atau dimiliki oleh swasta maka patut diduga kemampuan negara yang diwakili oleh Kementerian BUMN atau ESDM sebagai pemegang saham dalam membuat sebuah kebijakan akan tidak semata – mata berorientasi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tetapi akan berpotensi terjadinya intervensi dari pemegang saham lain atau swasta.Seperti diketahui bersama kebijakan 1 harga BBM yang saat ini terjadi karena kepemilikan sahamnya masih 100% negara dan belum dibentuknya holding dan subholding Pertamina. Dibentuknya holding dan subholding Pertamina bisa kemungkinan kebijakan 1 harga BBM akan ditiadakan atau dicabut dimana pemilik saham bukan seluruhnya negara melainkan ada kepemilikan swasta , sedangkan kita ketahui bersama bila kepemilikan saham 83 dimiliki pihak swasta atas saham subholding Pertamina patut diduga hanya menginginkan keuntungan semata, sehingga yang dirugikan adalah rakyat.
Ir. Faisal Yusra SH., MM., QIA., CFrA Minyak dan Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat maupun fasa gas, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Di dalam definisi ini terkandung makna Minyak dan Gas Bumi (Migas) adalah proses yang menyeluruh mencakup kegiatan hulu dan hilir secara terintegrasi untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal. Dalam konteks Indonesia, optimalisasi pengelolaan migas akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sehingga wajib dikuasai oleh negara sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3). Pengelolaan bisnis migas yang seimbang antara pengelolaan sektor hulu dan hilir migas menjadi kebijakan strategis yang diimplementasikan oleh berbagai perusahaan migas besar dunia. Merger/penggabungan perusahaan migas dunia seperti BP dan AMOCO, Total, Fina dan Elf, Exxon dengan Mobil, maupun Conoco dan Philips adalah dalam rangka mencapai tujuan optimalisasi keuntungan bisnis dengan menyeimbangkan volume/kapasitas bisnis Hulu dan Hilir Perusahaan. Dalam hal harga minyak mentah dunia turun, maka sektor hilirnya dioptimalkan produksinya sebagai sektor yang menghasilkan kentungan perusahaan. Pada situasi ini, akan menimbulkan permasalahan kinerja bagi perusahaan yang hanya bergerak di sektor hulu saja. Demikian pula sebaliknya, ketika harga minyak mentah naik tinggi, maka perusahaan akan bertahan karena sektor hulu akan menjadi tulang punggung dalam menghasilkan revenue maupun keuntungan. Pada situasi ini, akan menimbulkan permasalahan kinerja bagi perusahaan yang hanya bergerak di sektor hilir saja. Dengan penguasaan dan pengelolaan hulu migas Pertamina sekitar 200 – 300 ribu barrel per hari yang amat timpang dengan penguasaan dan pengelolaan sektor hilir sekitar 1.6 – 1.7 juta barrel per hari, maka pemisahan (unbundling) 84 pengelolaan sektor hulu dan hilir Pertamina menjadi entitas bisnis perusahaan yang berdiri sendiri maka akan menimbulkan potensi masalah kinerja bisnis bagi Pertamina, dan pada gilirannya akan mengganggu kontribusinya sebagai penghasil devisa strategis bagi negara. Ketika harga minyak mentah dunia naik sangat tinggi, biaya operasi perusahaan sektor hilir akan mengalami tekanan karena adanya berbagai situasi seperti kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan harga atau menetapkan harga tidak dengan nilai keekonomian, sementara sektor hulu tidak dapat membantu dalam bentuk subsidi silang karena sudah menjadi entitas bisnis yang terpisah dan berdiri sendiri. Karakteristik bisnis yang terintegrasi (bundling) sektor hulu dan hilir telah disusun menjadi suatu proses bisnis yang dijadikan pedoman pengelolaan bisnis dengan menegaskan di dalam SK Direksi Pertamina Nomor Kpts.-29/C00000/2016- S0 tanggl 2 Agustus 2016 bahwa pengelolaan sektor hulu (explore, exploit, and produce hydrocarbone, and geothermal) dan sektor hilir (refine and produce fuel, nonfuel, an new & renewable energi, market dan sell produce and service) adalah bisnis inti (core processes) yang tentunya wajib dikelola sendiri dalam satu entitas bisnis. Di dalam surat keputusan tersebut juga diatur tentang kegiatan penunjang (support) yang dikategorikan dalam dua fungsi proses yaitu proses kritikal dan proses pendukung. Penyusunan proses bisnis disusun dengan memperhatikan best practise dari American Productivity and Quality Center (APQC) dan disesuaikan dengan karateristik bisnis Pertamina yang mencakup bisnis minyak, gas, geothermal serta energi baru dan terbarukan. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep penguasaan dimaksud dimaknai dengan dimiliki atau dikuasai, dikelola dan dikendalikan secara oleh negara melalui perusahaan milik negara yakni Pertamina sehingga negara dapat memberikan penugasan apapun termasuk pelayanan penyediaan BBM dengan harga terjangkau dalam rangka memberikan kemakmuran bagi rakyat. Dengan adanya penugasan tersebut dan Pertamina yang 100% sahamnya dimiliki negara maka negara memberikan keistimewaan (privilage) seperti yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (4) yang 85 berbunyi: Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemarnpuan teknis dan keuangan PT Pertamina (Persero) dan sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. Dalam hal perusahaan pengelolaan migas Pertamina tidak lagi 100% milik negara maka keistimewaan yang ada akan dicabut maka semua proses akan berjalan sebagai bisnis swasta murni dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian bisnis. Demikian pula dalam hal pengelolaan bisnis migas Indonesia diselenggarakan oleh entitas bisnis yang terpisah-pisah (hulu dan hilir) dalam bentuk masing-masing perseroan terbatas maka akan menimbulkan kesulitan dalam pengaturan penyediaan BBM dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat karena tidak adanya mekanisme subsidi silang seperti yang dapat dilakukan oleh perusahaan yang terintegrasi. Program BBM Satu Harga dulunya diawali dengan adanya keuntungan Pertamina yang didominasi oleh keuntungan sektor hulu yang disisihkan dan menjadi kompensasi harga BBM di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal yang disamakan dengan Pulau Jawa. Oleh karena sektor hulu dan hilir Pertamina di dalam satu pengelolaan keuangan di PT Pertamina (Persero) tentunya pengurangan pendapatan akibat BBM Satu Harga tidak menjadikan kondisi keuangan perusahaan menjadi buruk. Lain halnya apabila setiap bisnis migas Pertamina dalam bentuk perusahaan yang berdiri sendiri dan tidak 100% milik negara tentunya kebijakan subsidi silang dimaksud tidak dapat dilakukan dan perusahaan yang mengelolanya (Pemasaran/Ritail/Sektor Hilir) tidak akan bersedia menanggung kerugian sebagai kinerja perusahaan. Dengan demikian, program BBM Satu Harga tentunya akan terganggu. Bila hal ini terjadi, maka amanat penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan bagi rakyat Indonesia tidak akan tercapai. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan bertanggal 8 Juni 2021 86 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 10 Juni 2021 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU BUMN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon __ mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan _dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemohon menyatakan kerugian konstitusionalnya yang pada intinya adalah:
Bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN membuka peluang/berpotensi dapat diprivatisasinya anak perusahaan dari perusahaan persero tersebut yang hanya berbentuk perseroan terbatas biasa, padahal anak perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha induk perusahaannya yang notabene induk perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN ( vide Perbaikan Permohonan hal. 9).
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN. Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya yaitu ( vide Perbaikan Permohonan hal. 11): 87 a. Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan energi nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah diatur dalam anggaran dasar FSPPB.
Berpotensi nyata sumber daya alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam.
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT. Pertamina Persero maupun anak-anak perusahaannya akibat potensi terjadinya privatisasi, yang seharusnya dilarang untuk di privatisasi karena bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan masyarakat.
Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahaan PT Pertamina Persero kepada pihak swasta/perorangan.
Kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai perusahaan grup PT Pertamina Persero/BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh negara.
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada pihak swasta/perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam Pasal 163 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/pengusaha 88 melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap peekrja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahaan. Bahwa Pemohon dalam petitumnya memohon sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Persero;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Jika yang mulia Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki pandangan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). II. KETERANGAN DPR A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR berpandangan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dinyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. DPR menerangkan bahwa Pasal a quo justru telah mencerminkan pemenuhan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena adanya larangan bagi persero untuk dapat diprivatisasi, salah satunya adalah persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam. Larangan tersebut menunjukkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran 89 rakyat. Selain itu ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur terkait dengan hak konstitusional, melainkan mengatur mengenai kewajiban negara dalam menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan untuk cabang-cabang produksi yang penting tersebut dikuasai oleh negara. Oleh karena itu tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak tepat untuk dijadikan batu uji dalam Permohonan a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Terkait dengan doktrin organizational legal standing yang didalilkan oleh Pemohon, DPR berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan anggotanya untuk beracara di pengadilan, khususnya di pengadilan Mahkamah Konstitusi. Bahwa ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya dan ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyatakan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial. Berdasarkan ketentuan- ketentuan tersebut, maka organizational legal standing yang diberikan kepada Pemohon sebagai federasi serikat pekerja adalah terkait dengan penyelesaian perselisihan industrial, termasuk untuk beracara di pengadilan hubungan industrial, dan bukan untuk mengajukan Permohonan a quo di Mahkamah Konstitusi yang sama sekali tidak berkaitan dengan perselisihan hubungan industrial. Selain itu DPR menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terkait dengan anak 90 perusahaan BUMN memang tidak tunduk pada ketentuan dalam UU BUMN melainkan tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, hal tersebut dikarenakan saham untuk anak perusahaan BUMN merupakan milik BUMN dan bukan milik negara karena pada hakekatnya penyertaan modal tersebut merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, berbeda dengan induk perusahaannya yang merupakan BUMN. Berdasarkan uraian tersebut, maka ketentuan Pasal UU a quo sama sekali tidak melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Pemohon mendalilkan mengalami kerugian yang pada intinya ketentuan Pasal a quo yang tidak mengatur terkait dengan anak perusahaan persero membuka peluang bagi anak perusahaan untuk diprivatisasi sehingga akan menghilangkan kekuasaan negara untuk menguasai sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR menerangkan bahwa Pemohon adalah federasi serikat pekerja yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para pekerja PT Pertamina (Persero) dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero) ( vide Perbaikan Permohonan hal. 9). Oleh karenanya seharusnya Pemohon dalam Permohonan a quo menguraikan adanya kerugian konstitusional yang dialami langsung oleh pekerja PT Pertamina (Persero) untuk kemudian menjadi dasar diajukannya Permohonan a quo . Namun dalam permohonannya, Pemohon hanya menguraikan kekhawatirannya terhadap hilangnya hak menguasai negara dalam melakukan pengelolaan yang menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tanpa mencerminkan adanya kerugian yang ditimbulkan dari berlakunya Pasal a quo terhadap kesejahteraan pekerja. 91 Oleh karena tidak ada pertautan langsung antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan tugas dan peranan Pemohon untuk melaksanakan kegiatan penegakan hak-hak pekerja PT Pertamina (Persero), maka sudah dapat dipastikan tidak ada satupun kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, berlakunya ketentuan Pasal a quo sama sekali tidak menimbulkan kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik, aktual, maupun potensial. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon tidak memiliki hubungan sebab-akibat dengan ketentuan Pasal a quo UU BUMN.
Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apa pun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kepentingan hukum Pemohon, DPR memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU- XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: 92 ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). __ Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan penjelasannya, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Selain itu, Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, sehingga sudah sepatutnya Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok perkara karenanya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Sesuai dengan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN yang menyatakan: “ Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN harus dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan yang meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan. Privatisasi bukan semata-mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran 93 sekaligus, termasuk didalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. Dengan dilakukannya privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang karena sebagaimana dinyatakan di atas, negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral dimana BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya. ” 2. Bahwa memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang diatur lebih rinci dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 merupakan tugas konstitusional bagi seluruh komponen bangsa. Khususnya ayat (2) dan ayat (3) yang membangun logika bernegara yaitu negara melakukan penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga berdasarkan hal tersebut dirasa perlu untuk meningkatkan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui regulasi sektoral maupun kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Bahwa konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 01- 021-022/PUU-I/2003 mengenai pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 dan 02/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi, tanggal 1 Desember 2004, yang memaknai bahwa penguasaan negara tersebut adalah sesuatu yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata.
Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi 94 holding (induk). Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang pada intinya menyatakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan dan demi efisiensi BUMN sebagai holding company dapat berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD. Oleh karenanya __ pembentukan holding company adalah salah satu bentuk penguatan BUMN dengan bersinergi dengan BUMN lainnya, sehingga tidak lagi membebani APBN. Namun demikian, pembentukan holding tetap harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah ( vide Pasal 2A jo. Pasal 3 PP 44/2005 jo. PP 72/2016) C. KETERANGAN DPR TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan bahwa anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT. Persero seharusnya diperlakukan sama dengan Induk Perusahaannya yaitu PT. Persero, sebab antara induk perusahaannya dengan anak-anak perusahaannya/perusahaan milik Persero sama-sama memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal a quo sehingga seharusnya sama- sama tidak dapat diprivatisasi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 25 poin 33). Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut:
Bahwa merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN yang mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya Pasal 1 angka 2 UU BUMN mendefinisikan Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu 95 persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Sedangkan definisi anak perusahaan BUMN dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Nomor 122 Tahun 2011 tentang Tim Kebijakan Privatisasi BUMN dan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per- 03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara. Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.
Terlebih lagi dalam Pasal 4 ayat (2) UU BUMN menyatakan bahwa setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sedangkan pendirian anak perusahaan BUMN yang merupakan perseroan terbatas tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) dan tidak ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat perbedaan fundamental terkait dengan kepemilikan saham, kendali perseroan, dan pendirian perseroan antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa BUMN dan anak perusahaan BUMN tidak dapat dipersamakan dan dalil Pemohon yang menyatakan seharusnya baik induk perusahaan maupun anak perusahan yang memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo harus diperlakukan sama adalah tidak beralasan menurut hukum.
In casu dalam Perkara a quo, saham PT Pertamina (Persero) dimiliki oleh Negara, sedangkan saham Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) merupakan saham milik PT Pertamina (Persero). Perbedaan subyek pemilik saham tersebut mengakibatkan perbedaan pemberlakuan hukum antara BUMN 96 Persero (dalam hal ini PT Pertamina (Persero)) dengan Anak Perusahaannya, yaitu untuk Persero berlaku ketentuan mengenai BUMN dan Perseroan Terbatas sedangkan untuk Anak Perusahaannya berlaku ketentuan mengenai Perseroan Terbatas.
Penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN juga terlihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materril Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019, dimana dalam pertimbangan hukum Majelis halaman 1936 menyatakan sebagai berikut: “Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN.” 2. Terhadap dalil Pemohon yang mengutip ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016) dan menyimpulkan bahwa anak-anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) yang meskipun berbentuk perseroan terbatas, namun diberikan izin untuk melaksanakan pelayanan umum dan/atau pengelolaan sumber daya alam, sehingga anak perusahaan BUMN tersebut dapat diperlakukan sama dengan BUMN ( vide Perbaikan Permohonan hal. 20), DPR memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan Penjelasan Umum UU BUMN menyatakan peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN harus dilakukan melalui restrukturisasi dan privatisasi. Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi holding (induk).
Bahwa PP 72/2016 merupakan ketentuan untuk mendukung salah satu strategi Pemerintah dalam pembentukan perusahaan induk 97 BUMN, yaitu dengan melakukan Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pergeseran saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya.
Pada sektor migas, pembentukan holding dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina (selanjutnya disebut PP 6/2018) dimana Negara melakukan pengalihan ( inbreng ) saham dari PT. Perusahaan Gas Negara (Persero), Tbk. ke PT. Pertamina (Persero). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka status PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. berubah dari persero menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada UU PT ( vide Pasal 4 huruf a PP 6/2018).
Dengan terjadinya pengalihan ( inbreng ) saham tersebut, PT. Pertamina (Persero) melakukan restrukturisasi anak perusahaan dengan pengelompokan anak perusahaan ( sub-holding ) pada enam bidang, yaitu:
PT Pertamina Hulu Energi sebegai Sub-Holding Upstream ;
PT Kilang Pertamina Internasional sebagai Sub-Holding Refinery & Petrochemical ;
PT Pertamina Patra Niaga sebagai Sub-Holding Commercial & Trading ;
PT Pertamina Power Indonesia sebagai Sub-Holding Power, New & Renewable Energy ;
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sebagai Sub-Holding Gas; dan 6) PT Pertamina International Shipping sebagai Shipping Company .
Setelah dilakukannya restrukturisasi tersebut maka PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk. yang sebelumnya merupakan BUMN berubah menjadi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan perusahaan sub-holding atau anak perusahaan lainnya. Namun meskipun demikian, PT Perusahaan 98 Gas Negara, Tbk. memilki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan sub-holding lainnya berdasarkan PP 6/2018 jo . PP 72/2016, yaitu:
Negara melakukan kontrol terhadap PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. dengan kepemilikan saham Seri A Dwi Warna (Pasal 3 PP 6/2018) dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar ( vide Pasal 2A ayat (2) dan Penjelasannya PP 72/2016).
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sebagai anak perusahaan BUMN diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut: (Pasal 2A ayat (7) dan Penjelasannya PP 72/2016) a) mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau b) mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN, antara lain terkait dengan proses dan bentuk perizinan, hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintahan yang melibatkan BUMN.
Berdasarkan uraian di atas, maka dari keenam anak perusahaan atau sub-holding PT Pertamina (Persero), perlakuan yang sama dengan BUMN hanya diberikan kepada PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. dan perlakuan yang sama tersebut tidak termasuk larangan privatisasi sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon tidak dapat menjadikan ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016 dan Penjelasannya sebagai dasar bahwa seluruh anak perusahaan Persero diperlakukan sama dengan Persero terkait dengan larangan privatisasi dalam ketentuan Pasal a quo . Menyamakan hal yang berbeda dan membedakan hal yang sama adalah sama saja dengan ketidakadilan. Mengutip pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa: “ Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” 99 Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57). 3. Terkait dalil Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa pembentukan sub-holding anak perusahaan persero merupakan celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk anak-anak perusahaan persero termasuk namun tidak terbatas pada anak-anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) untuk dilakukan privatisasi melalui initial public offering (IPO) ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), DPR menerangkan sebagai berikut:
Privatisasi dalam praktiknya memang dimungkinkan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap memperhatikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk dapat melakukan privatisasi. Privatisasi sendiri bertujuan untuk dapat mengoptimalkan produktifitas dan efisiensi dari suatu BUMN. Namun peraturan perundang-undangan juga mengatur pengecualian terhadap persero yang tidak dapat diprivatisasi, dan cara serta prosedur privatisasi. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak perusahaan BUMN tidaklah tunduk pada ketentuan dalam UU BUMN, sehingga memang privatisasi terhadap anak perusahaan BUMN dimungkinkan terjadi karena pada prinsipnya bisnis inti perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam harus tetap berada pada induknya dan tidak dikendalikan oleh anak perusahaan. Sehingga anggapan Pemohon yang menyatakan apabila anak perusahaan PT Pertamina (Persero) akan menjadi perusahaan go public melalui mekanisme IPO maka akan berpotensi dikuasainya aset negara oleh swasta adalah tidak tepat. Karena peraturan perundang-undangan sudah mengatur secara jelas terkait dengan persero yang dapat dan tidak dapat diprivatisasi. 100 b. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR pada tanggal 22 Juni 2020 yang menyampaikan bahwa rencana pelepasan sebagian saham anak usaha melalui mekanisme IPO bukan upaya privatisasi. Hal itu karena IPO dilakukan oleh anak perusahaan Pertamina sehingga hanya berdampak pada pengelolaan aset. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa pengelolaan aset yang dimaksud adalah aset dalam Wilayah Kerja (WK) minyak dan gas tetap dimiliki oleh negara namun yang diserahkan adalah hak pengelolaan. Setelah jangka waktu pengelolaan WK yang disepakati selesai, aset itu akan dikembalikan ke negara.
Bahwa kepemilikan negara di Pertamina tidak akan berkurang dalam IPO tersebut. Hal itu karena yang menggelar IPO adalah anak usaha atau sub-holding . Rencana IPO sub-holding , dinilai tidak melanggar aturan, karena yang diatur dalam UU BUMN adalah Pertamina sebagai induknya, begitu juga di UU PT bahwa aksi korporasi IPO adalah hal wajar dan jamak dilakukan oleh badan usaha, termasuk BUMN, misalnya PT Waskita Beton serta PT Presisi yang juga go public . Beberapa anak perusahaan Pertamina pun sudah go public sejak lama, seperti PT Elnusa, Tbk., PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia, Tbk., bahkan salah satu sub- holding Pertamina yaitu PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sudah go public . Rencana IPO sub-holding Pertamina justru sesuai dengan kebutuhan Pertamina sebagai holding , karena BUMN itu harus mengembangkan perusahaan.
Adapun terkait dengan rencana PT Pertamina (Persero) untuk melakukan divestasi saham pada 2 (dua) anak perusahaannya melalui IPO, hal tersebut tentu bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Terlebih dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan yang melarang BUMN untuk melakukan divestasi saham pada anak perusahaan BUMN. 101 e. Bahwa IPO akan mendatangkan keuntungan yaitu adanya transparansi dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk ikut membeli saham BUMN, termasuk investor asing. Pihak manajemen perusahaan harus melakukan full disclosure atas kinerja yang telah dilakukannya agar masyarakat mengetahui dan dapat mengambil kebijakan berkaitan dengan kepemilikannya atas perusahaan tersebut dan nantinya akan berpengaruh terhadap harga saham yang bersangkutan. ( vide Indra Bastian. 2002. Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi . Jakarta, hal.172- 173) 4. Terhadap dalil Pemohon yang menganggap penerapan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) karena menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26), DPR memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan sesuatu yang lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, dimana tercakup pula pengertian kepemilikan publik rakyat secara kolektif. Dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “...pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.” 102 b. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menguraikan bahwa kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD NRI Tahun 1945 dengan memberikan mandat kepada negara untuk melakukan 5 (lima) hal, yaitu:
mengadakan kebijakan ( beleid );
tindakan pengurusan ( bestuursdaad ) dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan, lisensi, dan konsesi;
pengaturan ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah;
pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN; dan
pengawasan ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar- besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Berdasarkan uraian mengenai konsepsi “dikuasai oleh negara” di atas, maka meskipun pemaknaan Pasal a quo tidak mencakup anak perusahaan Persero, hal tersebut tidak mengurangi kelima fungsi negara dalam menguasai cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Terlebih dalam fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) yang dikhawatirkan Pemohon akan hilang dengan dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan Persero, perlu DPR tegaskan bahwa jikapun terdapat penjualan saham anak perusahaan Persero, maka saham yang dijual tersebut merupakan milik Persero dan bukan milik Negara. Sedangkan Mahkamah Konstitusi telah menguraikan bahwa fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham di dalam BUMN, bukan saham di dalam anak perusahaan BUMN. Oleh karena itu pemaknaan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 103 yang tidak mencakup anak perusahaan Persero tidak akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN”.
Jikapun Pemohon merujuk anak perusahaan Persero kepada PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. yang sebelumnya merupakan BUMN, DPR menjelaskan bahwa Negara masih memiliki saham dwiwarna dengan hak istimewa yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Hak istimewa tersebut menyebabkan Negara masih memiliki kontrol terhadap PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. meskipun telah tidak lagi berstatus sebagai BUMN ( vide Pasal 3 PP 6/2018). Hal ini selaras dengan pendapat Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penguasaan negara dalam arti privat tidak mutlak selalu harus 100% asalkan Negara tetap menjadi penentu kebijakan dalam dalam badan usaha yang bersangkutan. Dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “...penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak” 5. Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak dapat diprivatisasi, DPR menerangkan sebagai berikut:
Bahwa definisi dari privatisasi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN adalah “Penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai dari perusahaan, memperbesar manfaat bagi 104 negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat”. Adapun maksud privatisasi adalah memperluas kepemilikan masyarakat atas persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan persero yang berdaya saing dan menumbuhkan iklim usaha ekonomi makro dan kapasitas pasar. Bahwa tujuan dari privatisasi itu sendiri adalah dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Bahwa BUMN merupakan kepanjangan tangan dari negara dalam menjalankan sebagian dari fungsi negara untuk mencapai tujuan negara, salah satunya yaitu memajukan kesejahteraan umum. Dari perspektif permodalan, sebagian atau seluruh modal BUMN berasal dari keuangan negara maka BUMN tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai badan hukum privat. Sedangkan arti dari privatisasi itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu proses pengalihan kepemilikan yang semula milik umum (publik) menjadi milik pribadi (privat). Berdasarkan hal tersebut maka yang diprivatisasi adalah yang semula perusahaan publik, yaitu BUMN, menjadi privat atau dimiliki sebagian oleh swasta.
Bahwa istilah privatisasi tidak dapat digunakan untuk pengalihan kepemilikan saham anak perusahaan BUMN karena anak perusahan BUMN sejak semula sudah bersifat privat dengan modal yang tidak berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan melainkan berasal dari kekayaan BUMN induknya. Sehingga jika Pemohon mendalilkan untuk anak perusahaan BUMN dimasukan pemaknaannya ke dalam Pasal a quo adalah tidak tepat karena pasal tersebut memang ditujukan untuk perusahaan publik yaitu BUMN, dan bukan ditujukan untuk anak perusahaan BUMN yang berstatus sebagai perseroan terbatas (perusahaan privat). 105 d. Bahwa ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN menyatakan bahwa persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria industri/sektor usahanya kompetitif yang kemudian dijelaskan bahwa sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu (yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi) dan kegiatan usaha hilir (yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga) dapat dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, koperasi usaha kecil, dan badan usaha swasta. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sektor kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN dan bahkan terbuka untuk dilaksanakan oleh badan usaha swasta.
Bahwa hal tersebut juga diperkuat oleh pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Migas pada halaman 110 dan halaman 111 butir 3.17 Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 yang pada intinya menurut Mahkamah __ Pasal 9 UU Migas dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU BUMN, terhadap BUMN/Persero yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk dipertahankan dan BUMN/Persero yang melaksanakan penugasan Pemerintah, tetap dapat melakukan pemisahan sebagian asetnya untuk dijadikan anak perusahaan, dan selanjutnya anak perusahaan tersebut dapat dilakukan penjualan sahamnya. Jelas bahwa UU BUMN telah membolehkan BUMN Persero yang bergerak di bidang usaha yang penting bagi Negara, untuk membentuk anak perusahaan yang selanjutnya saham dapat dijual. Bagaimana nilai suatu anak perusahaan bagi induknya, merupakan suatu hal yang dari waktu ke waktu berpotensi berubah, sesuai dengan kajian usaha terhadap anak perusahaan. Sehingga, sangat tidak logis apabila suatu 106 BUMN yang mengemban peran Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 wajib mempertahankan seluruh anak perusahaannya, apabila berdasarkan perkembangan zaman perlu melakukan restrukturisasi anak-anak perusahaannya termasuk dengan penjualan saham anak-anak perusahaan.
Meskipun dalam permohonannya Pemohon menyatakan terdapat perbedaan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon dengan uji materiil yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 sehingga tidak bersifat nebis in idem , DPR menerangkan bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 tersebut tegas bahwa Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 77 tidaklah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dimana privatisasi itu sendiri memang tidak dilarang sepanjang berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan hal tersebut. Terlebih lagi ketentuan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 tidaklah menolak privatisasi sepanjang privatisasi tersebut tidak meniadakan penguasaan negara c.q Pemerintah, oleh karena itu maka Mahkamah tidak boleh terjebak dengan menerima dan mengabulkan pengujian norma dari sebuah undang-undang apabila akan berakibat berubahnya pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya tanpa adanya argumen yang kuat untuk mengubah pendirian mahkamah.
Bahwa terkait dengan uraian argumentasi Pemohon (Posita), Pemohon tidak konsisten dalam memberikan dasar uraian kerugian yang sedang dialami atau kerugian yang berpotensi dialami oleh Pemohon. Dalam awal uraian permohonannya, Pemohon menguraikan mengenai adanya potensi pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja pada anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero), tetapi uraian tersebut tidak diperkuat dengan argumentasi yang dibangun lebih lanjut, sedangkan dalam uraian selanjutnya Pemohon malah lebih banyak menguraikan mengenai potensi hilangnya hak menguasai negara yang sama sekali tidak dikaitkan dengan potensi pemutusan hubungan kerja, berkurangnya kualitas hidup, dan kesejahteraan pekerja pada anak 107 perusahaan PT Pertamina (Persero) yang sedang diperjuangkan oleh Pemohon sebagai federasi serikat pekerja. C. RISALAH UU BUMN 1. Keterangan Menteri Badan Usaha Milik Negara Mewakili Pemerintah Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara (Jakarta, 2 Juli 2002) (pdf. hlm. 143. Page 121) ..... Untuk kedepan, program privatisasi perlu diarahkan dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham BUMN dan perlu dilandaskan pada suatu Undang-Undang yaitu dimasukan dalam Undang-Undang BUMN. Privatisasi juga dilaksanakan dengan pertimbangan strategis bahwa asas kemanfaatan lebih diutamakan dari pada asas kepemilikan. Dalam kenyataannya, Persero yang telah diprivatisasi memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada Persero yang belum diprivatisasi, baik dalam bentuk pembayaran pajak kepada negara, deviden maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Dengan dilakukan privatisasi Persero, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara menjadi berkurang atau hilang, negara tetap memegang kendali melalui regulasi sektoral. __ Sidang Dewan yang terhormat, __ Dalam Undang-Undang ini tidak dilakukan pembahasan khusus mengenai makna Pasal 33 UUD 1945 dimana ditentukan antara lain adanya penguasaan kekayaan alam yang akan dimanfaarkan setinggi- tingginya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun penguasaan tidak harus selalu berarti hanya sebagai pemilikan, tetapi juga termasuk di dalamnya penguasaan melalui regulasi. Pada dasarnya kegiatan BUMN maupun badan usaha milik swasta adalah sama yaitu dalam upaya mengoptimalkan manfaat sumber daya yang kita miliki bagi kepentingan rakyat banyak. Namun demikian penafsiran terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan MPR. 2. Jawaban Pemerintah Atas Pemandangan Umum DPR-RI Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara, Tanggal 18 November 2002 (pdf hlm 273, Page 212) .......... 14. menanggapi pertanyaan mengenai program dan kebijakan pemerintah agar masyarakat dalam negeri memperoleh kesempatan lebih besar untuk memiliki saham BUMN dan syarat-syarat apa saja yang ditentukan dan harus dijamin perusahaan asing pembeli saham BUMN bagi terciptanya peningkatan kinerja, nilai tambah dan peningkatan manfaat BUMN tanpa adanya PHK dan kenaikan harga _barang dan jasa dikemudian hari, kiranya dapat kami sampaikan bahwa: _ 108 a. kami sependapat bahwa masyarakat/invenstor dalam negeri harus diberikan kesempatan yang lebih besar untuk ikut serta dalam kepemilikan saham BUMN. Namun karena IPO bersifat terbuka, maka siapa saja termasuk investor asing dapat membeli saham BUMN. Disamping itu, apabila kapasitas pasar dalam negeri tidak dapat menampung, maka diundanglah invenstor asing, karena selain alasan daya serap pasar, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang terikat dalam berbagai kesepakatan seperti GATT, WTO, dan AFTA, tidak dapat melakukan proteksi atau diskriminasi terhadap invenstor asing. b. sebagaimana telah kami kemukan bahwa privatisasi BUMN, baik melaui IPO maupun Strategic Sales dilaksanakan secara terbuka. Dalam hal privatisasi melalui strategic sales dilakukan melaui tender terbuka (open bidding) disertai dengan persyaratan tertentu yang harus dimiliki/dipenuhi oleh strategic partner, seperti modal, teknologi dan expertise. Dalam kenyataannya, hal-hal yang stategis tersebut yang diperlukan oleh perusahaan, kebetulan dimiliki oleh investor asing. __ Disamping itu, dalam rangka mengamankan kepentingan Pemerintah di masa yang akan datang. Maka untuk itu perlu dilakukan hal-hal yang sifatnya melindungi kepentingan pemerintah (ring fencing). Pemerintah harus tetap juga memperhatikan perlindungan terhadap kepentingan karyawan dan stakeholders lainnya maupun hal-hal yang berkaitan dengan transfer of technology. Hal-hal tersebut biasanya dicantumkan dalam shareholders agreement dan atau share and purchase agreement. Dengan privatisasi terbukti bahwa kinerja perusahaan meningkat, kontribusi perusahaan terhadap negara seperti pajak dan dividen pun meningkat, demikiran pula kesejahteraan karyawan, daya serap terhadap terhadap tenaga kerja meningkat setelah diprivatisasi. Peningkatan kinerja tersebut karena perusahaan dikelola secara efisien dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance benar-benar diterapkan sehingga dengan demikian, privatisasi dapat dirasakan manfaat oleh seluruh masyarakat. 3. Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pakar Ekonomi Prof. Dr. Didik J. Rachbini, Drs. Revrisond Baswir SE. MBA, dan Faisal Basri, SE, MA. Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang tanggal 13 Juni 2002 (Pdf hlm 568, Page 426) Pakar (Revrison Baswir) ........ Bagi saya memang begini kalau saya mencoba belajar yang saya gali habis-habisan itu adalah antara lain tulisan-tulisannya Bung Hatta, sebagaimana beliau dulu mencoba menjabarkan Pasal 33 ayat 1,2,3 109 dan seterusnya gitu, dan memang dari penjelasan-penjelasan Bung Hatta dan hampir semua artikel Beliau. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara tidak berarti negara itu sendiri berusaha, berkali-kali di tegaskan, tidak berarti negara itu sendiri terjun ke dalam dunia bisnis tidak gitu, yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara itu adalah negara mengatur, adapun operasi kegiatannya dapat diserahkan kepada badan lain, bisa berbentuk swasta bisa berbentuk BUMN, jadi BUMN itu hanya soal kepemilikan saham bukan soal apakah itu negara yang berbisnis gitu, ga harus begitu. Jadi, sahamnya di miliki seperti tadi dijelaskan oleh Mas Didik ya, sahamnya di miliki oleh negara tetapi dia di pisahkan dari pemerintahan ya, dipisahkan dari pemerintahan lalu di kelola secara independen bahkan dalam satu BUMN pun yang itu bisa dilakukan gitu, andaikata misalnya dilakukan kontrakting out dalam pengelolaan manajemen, manajemennya di serahkan ke swasta sahamnya tetap di miliki oleh negara gitu, dan saya sebeneranya kalau bicara mengenai pengelolaan BUMN dalam konteks Undang-Undang BUMN mungkin tidak secara langsung berkaitan dengan usulan privatisasi ya tapi BUMN secara keseluruhan. 4. Rapat Kerja Senin 14 April 2003 Pukul 11.10 Anggota Fraksi Reformasi (Ir.Afni Achmad) (hal. 804 pdf, hal. 217 file rapat) “Saya mendukung pernyataan Pak Barliana tadi, tetapi saya ingatkan bahwa inipun terkait nanti kepada proses Privatisasi Pak. Jadi Kalimat- kalimat “menguasai dan dimiliki” itu nanti akan turun di dalam proses pembahasan tentang Privatisasi. Apa artinya, artinya berarti kita sudah sepakat yang kita katakana BUMN adalah yang dimiliki secara penuh atau yang sebagaian besar kita miliki. Oleh sebab itu berarti yang hanya pemilikan kita kecil itu sama sekali tidak berkuasa dalam konteks kepemilikan. Oleh sebab itu mari kita hubugan dengan Pasal 33 “menguasai hajat hidup orang banyak”ini proses Pak di dalam Privatisasi tadi. Jadi ini hati- hati konteks kepemilikan dan penguasaan di dalam saham dan konteks semangat Pasal 33 soal hajat hidup orang banyak.” 5. Rapat Panja Selasa 15 April 2003 Pukul 11.10 Anggota Fraksi Partai Golkar (H. Ariady Achmad, B.Ac) (hal. 1062 pdf, hal. 476 file rapat) “F-PG ini ada tiga poin yang secara substansi sampaikan perubahannya itu pada.” __ __ __ 110 _“Persero yang tidak boleh diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bergerak dalam industry pengolahan sumber daya alam yang produknya merupakan hajat hidup orang banyak dan terkait langsung dengan perekonomian nasional b. Persero yang dinyatakan sehat dan berkinerja baik serta sedang memberikan kontribusi yang nyata pada penerimaan negara.” III. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya, Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 12 Oktober 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 11 Desember 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN menurut Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya 111 diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero dengan alasan sebagai berikut:
Apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/ perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Telah terjadi unbundling Pertamina karena seluruh bisnis inti ( core business ) dari hulu ke hilir, dari eksplorasi hingga pemasaran, telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh sub holding /anak perusahaan yang berbeda- beda dari PT Pertamina (Persero) yang merupakan Perseroan Terbatas Biasa. Unbundling pada BUMN yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berpotensi untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN tersebut kepada swasta/perorangan (privatisasi) di mana hal tersebut berpotensi menghilangkan hak menguasai negara. Selain itu, berpotensi juga menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha badan usaha yang berbeda. 112 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK telah jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif, yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dalam perkara a quo ini, ijinkan Pemerintah memberikan tanggapan terhadap kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon yaitu bahwa menurut Pemerintah, 113 Pemohon dalam hal ini tidak dalam posisi dirugikan, dikurangi, atau setidak- tidaknya dihalang-halangi hak konstitusionalnya dengan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN dengan alasan sebagai berikut:
Tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN dengan alasan sebagai berikut:
Pemohon mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 pada intinya mengatur hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan hak menguasai negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Tetapi Pemohon dalam permohonan a quo mendalilkan bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon karena keberlakuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bahwa perusahaan Pemohon yang merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero (BUMN) yang bergerak di usaha pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi (selanjutnya disebut migas) terancam diprivatisasi. Sedangkan Pemohon berharap dengan dimasukkannya perusahaan Pemohon yang merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero ke dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN akan mengakibatkan perusahaan Pemohon tidak dapat dilakukan privatisasi.
Bentuk penguasaan negara dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 diamanatkan agar dilakukan melalui penguasaan negara secara langsung atau dengan cara membentuk BUMN. Sedangkan Pemohon dalam permohonannya justru berusaha menambah norma yang pada intinya menjadikan perusahaan Pemohon yang merupakan Perseroan Terbatas (karena merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero) menjadi diperlakukan sama dengan BUMN dalam hal tidak dapat diprivatisasi. Hal ini menunjukkan bahwa fokus atau kekhawatiran utama yang didalilkan oleh Pemohon adalah “agar Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tidak 114 dapat diprivatisasi” dan bukan pada usaha melindungi hak menguasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945.
Antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak mempunyai hubungan sebab akibat ( causal verband ) karena ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 mengamanatkan hak menguasai ada di tangan negara yang kemudian diimplementasikan ke dalam pembentukan BUMN, sedangkan perusahaan Pemohon bukanlah BUMN karena merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang tunduk pada pengaturan mengenai Perseroan Terbatas.
Kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak bersifat spesifik dengan alasan bahwa di satu sisi Pemohon menggunakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 dalam mendasarkan hak konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dianggap akan meniadakan hak menguasai negara, namun dalam permohonannya berulang kali Pemohon menyampaikan bahwa dirinya khawatir perusahaan tempat dirinya bekerja diprivatisasi. Sehingga patut dipertanyakan apakah kerugian Pemohon terkait dengan potensi ketiadaan hak menguasai negara atau kekhawatiran perusahaan Pemohon akan diprivatisasi? 4. Terkait dengan kerugian Pemohon dalam mendapatkan kualitas hidup dan kesejahteraan Pemohon atas berlakunya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN, hal tersebut hanyalah merupakan dalil kerugian Pemohon yang tidak berdasar, dengan alasan sebagai berikut:
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak diperuntukkan untuk menjamin kualitas hidup dan kesejahteraan Pemohon. Bahwa Pemohon tidak menjadikan sebagai batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”, sehingga tidak relevan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN menyebabkan kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai Perusahaan Grup PT Pertamina (Persero)/BUMN beserta keluarganya akan tidak 115 terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh Negara.
Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang menyatakan: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”.
Kelangsungan bisnis dan eksistensi PT Pertamina (Persero) tidak terancam. Penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus didasarkan pada perhitungan/kajian bisnis yang bertujuan meningkatkan kemampuan/kinerja dan nilai perusahaan, dalam hal ini anak perusahaan, yang pada akhirnya mendukung kinerja PT Pertamina (Persero). Penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perseroan terbatas dan peraturan perundang- undangan lainnya termasuk di bidang ketenagakerjaan.
Penjualan saham anak perusahaan tidak menyebabkan kemakmuran hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran swasta/perorangan. Kemakmuran harus diartikan secara luas, tidak terbatas pada keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam hal ini Anak Perusahaan dan PT Pertamina (Persero) saja, namun kemakmuran yang dirasakan oleh masyarakat melalui antara lain penerimaan pajak, ketersediaan barang dan jasa di bidang migas. Seandainya dilakukan penjualan saham anak perusahaan yang telah melalui perhitungan/kajian bisnis yang bertujuan meningkatkan kemampuan/kinerja dan nilai anak perusahaan serta mendukung kinerja PT Pertamina (Persero), maka kegiatan PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kemakmuran bagi karyawan dan masyarakat, bukan hanya swasta atau perorangan. 116 5. Dalam menguraikan kerugian terhadap hak konstitusionalnya di atas, Pemohon hanya mendasarinya dengan kekhawatiran dan asumsi yang tidak berdasar. Meskipun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK salah satunya adalah “ kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi ”, namun bukan berarti syarat kerugian tersebut dapat terpenuhi dengan mendasarkannya hanya pada kekhawatiran dan asumsi yang tak berdasar. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Nomor: 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan beralasan dan sudah sepatutnyalah jika Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). __ Namun demikian Pemerintah dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa perkara a quo untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak. III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis UU BUMN sebagai berikut: 117 Sesuai dengan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN yang menyatakan: “ Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN harus dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan yang meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan. Privatisasi bukan semata- mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk didalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. Dengan dilakukannya privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang karena sebagaimana dinyatakan di atas, negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral dimana BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya. ” Berdasarkan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN tersebut di atas, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas BUMN, dapat dilakukan restrukturisasi dan privatisasi. Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi holding (induk). Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan sebagai berikut: “ Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola 118 usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”. ” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka pembentukan holding company adalah salah satu bentuk penguatan BUMN, khususnya dalam rangka melaksanakan penugasan yang diberikan oleh Pemerintah kepada BUMN selaku agen pembangunan ( agent of development), dimana penguatan BUMN tersebut dapat mempergunakan potensi BUMN lain dengan bersinergi, sehingga tidak lagi membebani APBN. Mengingat untuk pembentukan holding merupakan pengalihan saham milik negara pada BUMN lain (kekayaan negara yang sudah dipisahkan), sehingga tidak lagi membebani APBN atau tidak ada lagi pemisahan kekayaan negara dari APBN, maka untuk melakukan pembentukan holding tidak lagi dilakukan melalui mekanisme APBN. Namun demikian, pembentukan holding tetap harus melalui kajian Pemerintah dan ditetapkan melalui PP (Pasal 2A, Pasal 3 PP 44/2005 jo . PP 72/2016). Sedangkan privatisasi semata-mata bukan dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan alat dan cara pembenahan BUMN dengan kepesertaan modal mitra strategis atau investor lainnya, termasuk investor finansial, manajemen dan/atau karyawan BUMN. Namun demikian tidak semua BUMN dapat diprivatisasi. Privatisasi menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) diartikan sebagai penjualan saham persero baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. 119 BUMN yang akan diprivatisasi haruslah dipastikan tidak termasuk dalam BUMN yang dilarang privatisasinya oleh ketentuan peraturan perundangan-undangan sektoral, (yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMN yang bersangkutan). Peraturan perundang- undangan sektoral tersebut tentunya ditetapkan berdasarkan kewenangan Pemerintah (Menteri Teknis/Sektoral dalam hal berbentuk PP atau Peraturan Menteri), atau berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR selaku pembuat Undang-Undang. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Menteri BUMN tidak dapat dengan semena-mena menetapkan privatisasi suatu BUMN. Pasal 77 UU BUMN mengatur bahwa: “ _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. ” Sehubungan dengan dalil Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut:
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: 120 Privatisasi Tidak Dilakukan Terhadap Anak Perusahaan a. Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero . Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang menyatakan: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”. Mengenai definisi dari Persero dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU BUMN yang menyatakan: “ Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan .” Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan BUMN Persero karena seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara, sedangkan anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah BUMN Persero, karena paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya tidak dimiliki oleh Negara. Saham PT Pertamina (Persero) dimiliki oleh Negara, sedangkan saham Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) merupakan saham milik PT Pertamina (Persero). Perbedaan subyek pemilik saham tersebut mengakibatkan perbedaan pemberlakuan hukum antara BUMN Persero (dalam hal ini PT Pertamina (Persero)) dengan Anak Perusahaannya, yaitu untuk Persero berlaku ketentuan mengenai BUMN dan Perseroan Terbatas sedangkan untuk Anak Perusahaannya berlaku ketentuan mengenai Perseroan Terbatas. Pemohon juga telah menyadari bahwa anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah BUMN Persero. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penjualan saham BUMN Persero disebut privatisasi yang tunduk dalam ketentuan UU BUMN dan 121 Perseroan Terbatas, sedangkan penjualan saham anak perusahaannya tunduk pada ketentuan di bidang perseroan terbatas. Penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukan merupakan BUMN juga dapat dilihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materiil Nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019, dimana dalam pertimbangan hukum Majelis halaman 1936 menyatakan sebagai berikut: Bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi tersebut maka untuk dapat mengetahui apakah Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri merupakan BUMN atau bukan salah satunya adalah dengan cara mengetahui komposisi modal _atau saham dari kedua bank tersebut; _ Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki _oleh BUMN; _ Pelaksanaan Penguasaan Negara Tidak Dilakukan oleh Anak Perusahaan BUMN/Persero a. Penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting oleh negara dilakukan oleh negara dan/atau BUMN, bukan oleh anak perusahaan .
Penguasaan cabang-cabang yang penting oleh Negara, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) yang pada intinya menyatakan bahwa sektor migas sebagai sumber daya alam strategis dikuasasi oleh negara, diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana. 122 Konstitusionalitas ketentuan dimaksud juga telah dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan majelis pada halaman 223 dan 224 butir 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU- I/2003 yang menyatakan: “ Pemohon mendalilkan bahwa pengertian Kuasa Pertambangan dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang hanya mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sementara kegiatan pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan bahan bakar minyak tidak termasuk di dalamnya, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, untuk menilai ada tidaknya penguasaan oleh negara, pasal dimaksud tidak dapat dinilai secara berdiri sendiri melainkan harus dihubungkan dengan pasal-pasal lain secara sistematis. Pasal 1 angka 5 undang- undang a quo yang berbunyi, “Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi”, hanyalah memberikan pengertian tentang Kuasa Pertambangan dan sama sekali belum menggambarkan implementasi pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945. Lagipula, dalam hubungannya dengan minyak dan gas bumi, yang juga harus dinilai adalah bahwa tujuan penguasaan oleh negara itu, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukanlah untuk penguasaan an sich melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam memeriksa dalil Pemohon ini, Mahkamah harus mempertimbangkan secara sistematis konteks pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud tatkala diimplementasikan dalam pasal- pasal lain dari undang-undang a quo. Jika pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Pasal 6 ayat (1), (2), dan Pasal 7 ayat (1) _tampak jelas hal-hal sebagai berikut: _ - _bahwa minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara; _ - penyelenggara penguasaan oleh negara dimaksud adalah _Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan; _ - Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha _Hulu di bidang minyak dan gas bumi (Pasal 1 angka 23); _ - Pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi (Kegiatan Usaha Hulu) dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama, yaitu Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan 123 hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran _rakyat (Pasal 1 angka 19); _ - Kontrak Kerja Sama dimaksud, paling sedikit harus memuat persyaratan: (a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan (yaitu titik penjualan minyak atau gas bumi); (b) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c) modal dan risiko ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud “pengendalian manajemen operasi” menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) adalah pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan, serta pengawasan _terhadap realisasi dari rencana tersebut; _ - Pelaksanaan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga (Kegiatan Usaha Hilir) dilaksanakan _dengan Izin Usaha; _ Uraian di atas menunjukkan bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan karenanya harus ditolak .” 2) Penguasaan cabang-cabang yang penting oleh BUMN, hal ini sesuai dengan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Nomor 36/PUU-X/2012 “Posisi BUMN [3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan 124 dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas. Dengan demikian, anggapan Pemohon bahwa BUMN harus bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil _Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum;
”_ BUMN/Persero Yang Dapat Diprivatisasi dan BUMN/Persero Yang Tidak Dapat Diprivatisasi a. Bahwa salah satu titik berat permohonan Pemohon menurut Pemerintah adalah pada dapat atau tidaknya suatu BUMN diprivatisasi. Untuk memahami dan membedakan mana BUMN yang dapat diprivatisasi dan mana BUMN yang tidak dapat diprivatisasi, Pemerintah merasa perlu untuk menjelaskan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 77 UU BUMN yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 76 (1) Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya _memenuhi kriteria: _ _a. industri/sektor usahanya kompetitif; atau _ b. industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. (2) Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi. Penjelasan ayat (1) Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya. __ 125 Pasal 77 _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh _BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu _yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi. b. Dari ketentuan tersebut, maka sangat jelas bahwa UU BUMN telah memahami pentingnya penguasaan negara melalui BUMN untuk melaksanakan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan: Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. c. Untuk itu, BUMN/Persero yang dapat diprivatisasi haruslah BUMN/Persero yang industri/sektor usahanya kompetitif atau industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. Industri/sektor usaha kompetitif adalah yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta, atau dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya. 126 d. Penafsiran atas sektor mana yang wajib untuk mempertahankan keberadaan BUMN di dalamnya, diserahkan kepada peraturan perundang-undangan sektoral itu sendiri. Hal itu didasari pemahaman bahwa tidak semua sektor usaha merupakan sektor yang strategis untuk dikuasai oleh Negara melalui BUMN, dan dari waktu ke waktu senantiasa terjadi perubahan. Di samping itu, dipahami pula kepentingan negara untuk mempertahankan BUMN yang melaksanakan penugasan Pemerintah. Hal ini terlihat sangat tegas diatur dalam Pasal 77 UU BUMN e. Bahwa karena Pasal 76 ayat (1) UU BUMN merujuk kepada Undang- Undang sektoral, maka Pemerintah dalam hal ini akan merujuk pada UU Migas sesuai dengan sektor usaha dari perusahaan Pemohon bekerja. Berikut ini ketentuan UU Migas yang menjadi rujukan Pemerintah: Pasal 1 angka 17 dan angka 18 UU Migas _Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: _ 17. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara _Kesatuan Republik Indonesia; _ 18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan _perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia; _ Pasal 5 UU Migas _Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas: _ _1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup: _ _a. Eksplorasi; _ b. Eksploitasi. _2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup: _ _a. Pengolahan; _ _b. Pengangkutan; _ _c. Penyimpanan; _ d. Niaga. 127 Pasal 9 UU Migas (1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan _oleh: _ _a. badan usaha milik negara; _ _b. badan usaha milik daerah; _ _c. koperasi; _ d. badan usaha swasta. (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu. f. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 9 UU Migas di atas, kegiatan usaha migas bukan merupakan sektor usaha yang semata-mata dikhususkan untuk BUMN saja, sehingga sektor usaha migas termasuk ke dalam sektor usaha kompetitif sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN beserta penjelasannya, karena ada badan usaha lainnya yang dapat ikut serta melaksanakannya.
Bahwa hal tersebut juga diperkuat oleh pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Migas pada halaman 110 dan halaman 111 butir 3.17 Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 sebagai berikut: [3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas. Dengan demikian, anggapan Pemohon 128 bahwa BUMN harus bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum. Terhadap anak perusahaan BUMN/Persero dapat dilakukan penjualan saham h. Sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU BUMN, terhadap BUMN/Persero yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk dipertahankan dan BUMN/Persero yang melaksanakan penugasan Pemerintah, tetap dapat melakukan pemisahan sebagian asetnya untuk dijadikan anak perusahaan, dan selanjutnya anak perusahaan tersebut dapat dilakukan penjualan sahamnya. Jelas bahwa UU BUMN telah membolehkan BUMN Persero yang bergerak di bidang usaha yang penting bagi Negara, untuk membentuk anak perusahaan yang selanjutnya saham dapat dijual. Selanjutnya, dapat kami sampaikan pula bahwa PT Pertamina (Persero) memiliki anak perusahaan yang sebelumnya merupakan BUMN, yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk (“PT PGN Tbk”). Negara masih memiliki saham seri A dwiwarna pada PT PGN Tbk. Berdasarkan Pasal 2A ayat (7) PP No.72 Tahun 2016, terhadap PT PGN Tbk masih terdapat perlakuan khusus, yaitu masih dapat diberikan penugasan oleh pemerintah dan mengelola sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN. Di samping itu, PT Pertamina (Persero) memiliki anak perusahaan:
yang berasal dari pemisahan unit/aset PT Pertamina (Persero), 2) yang didirikan untuk melaksanakan tugas yang berdasarkan ketentuan harus dilaksanakan oleh entitas usaha tersendiri.
yang merupakan perusahaan baru lainnya yang didirikan untuk mendukung usaha PT Pertamina (Persero). Bagaimana nilai suatu anak perusahaan bagi induknya, merupakan suatu hal yang dari waktu ke waktu berpotensi berubah, sesuai dengan kajian usaha terhadap anak perusahaan . Sehingga, sangat tidak logis apabila suatu BUMN yang mengemban peran Pasal 33 UUD 1945 wajib 129 mempertahankan seluruh anak perusahaannya, apabila berdasarkan perkembangan zaman perlu melakukan restrukturisasi anak-anak perusahaannya termasuk dengan penjualan saham anak-anak perusahaan. Dalam sejarahnya, PT Pertamina (Persero) pernah melakukan penjualan saham anak perusahaannya, yaitu PT Elnusa, pada tahun 2008 melalui IPO. Setelah melakukan IPO terjadi peningkatan revenue selama 3 tahun berturut-turut sampai tahun 2011. Kemudian pada periode tahun 2011 – 2019 Elnusa tetap mampu membukukan pertumbuhan pendapatan dari Rp. 4.7 trilliun hingga Rp. 8.3 Trilliun dengan Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compound Annual Growth Rate/CAGR) sebesar 7.5%. Bahkan dalam situasi ekonomi makro yang tidak stabil akibat pandemi di tahun 2020, PT Elnusa, Tbk masih mampu membagikan deviden kepada pemegang saham.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa BUMN/Persero yang merupakan induk dari perusahaan tempat Pemohon bekerja pada dasarnya merupakan BUMN yang bergerak dalam industri/usaha yang kompetitif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN. Sehingga menjadi tidak relevan lagi ketika Pemohon menginginkan tambahan norma ke dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN namun pada kenyataannya dirinya masuk dalam cakupan ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN. Dengan demikian, dapat Pemerintah simpulkan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak dapat dan tidak diperlukan untuk diberlakukan terhadap penjualan saham anak perusahaan.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara 130 sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
PT Pertamina (Persero) adalah BUMN yang 100% (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh Negara. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, maka tidak terdapat kendala dari sudut kepemilikan negara pada PT Pertamina (Persero) untuk mengajukan permohonan wilayah kerja kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ketidakberlakuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak ada sangkut pautnya dengan syarat yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004.
Bahwa apabila PT Pertamina (Persero) mendapatkan wilayah kerja berdasarkan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, dan dalam perjalanannya PT Pertamina (Persero) melakukan penjualan saham anak perusahaannya, hal ini tidak dapat dikatakan mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak boleh dibagi-bagi kepada swasta/perorangan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Penguasaan terhadap usaha migas dilakukan oleh Negara secara langsung dan dilakukan melalui BUMN, dalam hal ini PT Pertamina (Persero). Selanjutnya, Pasal 9 UU Migas dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 pada intinya menyatakan bahwa dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN mendapat perlakuan diutamakan sebagai wujud penguasaan Negara dalam bidang migas. Di samping itu, apabila dilakukan penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero), maka harus dilakukan berdasarkan kajian untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero). Berdasarkan penjelasan tersebut Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak dapat diberlakukan terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dengan maksud menghalangi partisipasi swasta/perorangan. UU BUMN 131 menyerahkan sepenuhnya pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam suatu bidang usaha untuk diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur bidang usaha tersebut.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan telah terjadi unbundling Pertamina karena seluruh bisnis inti ( core business ) dari hulu ke hilir, dari eksplorasi hingga pemasaran, telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh sub holding /anak perusahaan yang berbeda-beda dari PT Pertamina (Persero) yang merupakan Perseroan Terbatas Biasa. Unbundling pada BUMN yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berpotensi untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN tersebut kepada swasta/perorangan (privatisasi) dimana hal tersebut berpotensi menghilangkan hak menguasai negara. Selain itu, berpotensi juga menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha badan usaha yang berbeda, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Pemerintah memahami konsepsi penguasaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945, dan telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, khususnya dalam Pertimbangan Majelis Hakim butir 2 halaman 223 dan 224 yang telah kami sampaikan di atas, yang pada intinya menyatakan “ bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu ”.
Bahwa yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) adalah melakukan restrukturisasi melalui pembentukan anak perusahaan sebagai sub holding , yaitu: Gas Subholding (PT PGN Tbk), Upstream Subholding (PT Pertamina Hulu Energi), Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina International), Power & NRE Subholding (PT Pertamina Power Indonesia), dan Commercial & Trading Subholding (PT Patra Niaga). Di samping itu, bisnis perkapalan akan dijalankan PT Pertamina International Shipping. Restrukturisasi ini bertujuan menjadi untuk meningkatkan efektivitas perusahaan. 132 PT Pertamina (Persero) apabila melakukan penjualan saham pada anak perusahaan, dalam hal ini subholding yang merupakan pendukung core business -nya, maka harus dilakukan berdasarkan kajian untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero) dalam pelaksanaan kegiatan usaha pengelolaan migas.
Bahwa mengenai penguasaan Negara di bidang migas, kembali kami menegaskan bahwa hal tersebut dilakukan secara langsung oleh Negara dan dilakukan oleh Negara melalui BUMN, dalam hal ini oleh PT Pertamina (Persero), bukan dilakukan melalui anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa Pasal 9 UU Migas dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 pada intinya menyatakan bahwa dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN mendapat perlakuan diutamakan sebagai wujud penguasaan Negara dalam bidang migas. Berdasarkan penjelasan tersebut, Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak dapat diberlakukan terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dengan maksud menghalangi partisipasi swasta/perorangan. UU BUMN menyerahkan sepenuhnya pengaturan mengenai partisipasi masyarakat atau penguasaan negara dalam suatu bidang usaha untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha tersebut. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian ( constitusional review ) ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: __ 1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ); 133 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, atau dalam hal Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). KETERANGAN TAMBAHAN PRESIDEN I. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.
Terkait dengan salah satu kriteria Persero yang dapat diprivatisasi yaitu “industri atau sektor usahanya kompetitif” dan keterangan Pemerintah yang menyatakan Pemohon bekerja pada Perseroan yang kompetitif, mohon dijelaskan apakah sisi kompetitinya ada di induk perusahaan atau di anak perusahaan? Karena Pemohon dalam permohonannya mewakili pederasi. Penjelasan/Tanggapan:
Mengenai Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN yang menyatakan Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria industri/sektor usahanya kompetitif, dapat kami sampaikan bahwa sesuai dengan Penjelasan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN dinyatakan: “Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perunsang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya.” b. Selanjutnya, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) menyatakan: 134 “(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasl 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh:
Badan usaha milik negara;
Badan udaha milik daerah;
Koperasi;
Badan usaha swasta.” Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN dan Pasal 9 ayat (1) UU Migas, maka sisi kompetitifnya berada baik pada induk perusahaan maupun anak perusahaan, karena dalam industri/sektor usaha tersebut undang-undang sektoral telah membuka kesempatan kepada badan usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha bersama-sama dengan BUMN. Namun demikian, Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN merupakan ketentuan yang hanya berlaku terhadap Persero.
Mengenai Federasi, mohon dijelaskan federasi apakah di level serikat yang mewakili setiap anak perusahaan atau di level sekumpulan anak perusahaan yang membentuk serikat yang kemudian di atasnya ada federasi? Penjelasan/Tanggapan: Federasi Serikar Pekerja Pertamina Bersatu pada dasarnya bukanlah wadah organisasi yang secara langsung menaungi pekerja PT Pertamina (Persero) dan perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero), melainkan wadah yang menaungi serikat-serikat para pekerja, sehingga tidak memiliki hubungan hukum secara langsung dengan para pekerja. Para pekerja memiliki hubungan hukum secara langsung dengan serikat pekerja (yang merupakan anggota FSPPB/Pemohon) bukan dengan FSPPB itu sendiri. Selain itu, dalam perkara ini Pemohon menyampaikan permohonan uji materiil terhadap Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang tidak berlaku bagi anak perusahaan, sehingga timbul kekhawatiran anak perusahaan PT Pertamina (Persero) diprivatisasi. Dengan demikian, menurut Pemerintah Pemohon mencoba mengklaim mewakili kepentingan pekerja dari perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero), yaitu adanya kekhawatiran terjadinya privatisasi terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Mengenai legal standing Pemohon, seperti telah kami sampaikan dalam Keterangan Presiden dalam siding tanggal 14 Oktober 2020 bahwa kerugian 135 konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon menggunakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 dalam mendasarkan hak konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dianggap akan meniadakan hak menguasai negara, namun dalam permohonannya berulang kali Pemohon menyampaikan bahwa dirinya khawatir anak perusahaan PT Pertamina (Persero) diprivatisasi. Sehingga patut dipertanyakan apakah kerugian Pemohon terkait dengan potensi ketiadaan hak menguasai negara atau kekhawatiran anak perusahaan PT Pertamina (Persero) akan diprivatisasi. Apabila kekhawatiran privatisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dalam perkara ini dimohonkan bukan oleh pegawai/karyawan anak perusahaan yang bersangkutan atau yang mewakilinya, maka legal standing Pemohon sudah seharusnya dipertanyakan, Selanjutnya, terkait hal ini kami menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk mempertimbangkan dan memutuskan. II. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Arief Hidayat, S.H., M.S. Ada perbedaan penguasaan negara kepada perusahaan induk dan penguasaan negara terhadap anak perusahaan. Mohon dijelaskan dalam kasus-kasus atau dalam contoh-contoh bagaimana negara menguasai anak-anak perusahaan yang ada pada BUMN di Indonesia. Penjelasan/Tanggapan Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001- 021-022/PUU-I/2003 halaman 334 menyatakan: “Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas, maka dengan demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan Tindakan pengurusan ( bestuurdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoundensdaad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan ( bestuursdaad ) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut 136 fasilitas perizinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( concessie ). Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.” Berdasarkan pertimbangan tersebut:
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( concessive );
Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah;
Fungsi regulasi oleh Pemerintah (eksekutif);
Fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dan
Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasasi hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dapat disimpulkan bahwa terhadap anak perusahaan BUMN, penguasaan negara dalam sektor usaha tetap dilakukan oleh negara melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), fungsi pengaturan ( regelandaad ), fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthodensdaad ). Fungsi-fungsi ini dilakukan antara lain melalui peraturan perundang-undangan, perizinan dan pengawasan langsung oleh Lembaga dan/atau otoritas negara. Hal ini juga telah disampaikan 137 oleh Pihak Terkait, PT Pertamina (Persero) dalam keterangannya tanggal 9 November 2020 pada angka 37 yaitu bahwa dalam sektor penguasaan migas, SKK MIgas melakukan regulasi dan pengawasan pengelolaan usaha migas walaupun badan usaha regulasi dan pengawasan pengelolaan usaha migas walaupun badan usaha yang melakukan usaha di bidang migas adalah BUMN, anak perusahaan BUMN, BUMD, koperasi, dan badan usaha swasta, sehingga penguasaan negara tetap dapat dilakukan. Bahwa fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) tidak dapat dilakukan secara langsung oleh negara kepada anak perusahaan PT Pertaminan (Persero), mengingat pemilikan saham pada anak perusahaan dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) secara langsung, bukan oleh negara. Terhadap anak perusahaan BUMN, kepentingan Pemerintah dilakukan melalui BUMN induknya yang dilakukan dengan tunduk sepenuhnya pada mekanisme hukum korporasi. Sesuai dengan mekanisme korporasi, Menteri BUMN sebagai wakil Pemerintah selaku RUPS/Pemegang Saham BUMN Persero, memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap rencana Direksi BUMN Persero untuk melakukan restrukturisasi anak perusahaan BUMN Persero. Kewenangan tersebut diatur dalam anggaran dasar BUMN Persero yang mewajibkan adanya persetujuan RUPS antara lain terhadap tindakan:
Mendirikan anak perusahaan;
Melakukan penyertaan modal pada perseroan lain;
Melepaskan penyertaan pada anak perusahaan;
Melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran anak perusahaan. Di samping itu, terhadap BUMN yang dijadikan anak perusahaan BUMN lain (misalnya PT PGN Tbk., PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukti Asam Tbk, PT Timah Tbk, PT Perkebunan Nusantara I, II, IV s.d. XIV), Pemerintah masih melakukan penguasaan secara langsung atas saham minoritas yang memiliki hak istimewa (dalam anggaran dasar disebut saham minoritas yang memiliki hak istimewa (dalam anggaran dasar disebut saham seri A dwi warna). Hak istimewa tersebut 138 diatur dalam anggaran dasar anak perusahaan eks BUMN tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pasal 2A ayat (2) dan Penjelasannya yang menyatakan:
Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga Sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar. Penjelasan Pasal 2A ayat (2): “Yang dimaksud dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar antara lain hak untuk menyetujui:
Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris;
Perubahan anggaran dasar;
Perubahan struktur kepemilikan saham;
Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain.” Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, khususnya Pasal 2A tersebut di atas, Mahkamah Agung telah memberikan Putusan Nomor 21P/HUM/2017 atas permohonan judicial review yang diajukan oleh Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Yayasan Re-Ide Indonesia, Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., Dr. Suparji, S.H., M.H., dan Dr. M. Alfan Alfian, M. Dalam Putusannya tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa holdingisasi tidaklah sama dengan privatisasi karena privatisasi bertujuan salah satunya adalah memperluas kepemilikan masyarakat, namun dalam holdingisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (2) kepemilikan saham mayoritas masih di tangan negara melalui BUMN induk dan dalam prakteknya holdingisasi beberapa BUMN pernah dilakukan pemerintah terhadap beberapa BUMN yang sejenis. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami tegaskan bahwa terhadap anak perusahaan BUMN, penguasaan negara dalam sektor usaha tetap dilakukan oleh Negara melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), fungsi pengaturan ( regelendaad ), fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Sedangkan penguasaan melalui pengelolaan ( beheersdaad ) terhadap anak 139 perusahaan BUMN tidak lagi dilakukan secara mutlak, namun dilakukan melalui mekanisme korporasi, tang tetap memperhatikan eksistensi anak perusahaan tersebut. III. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA.
Apa kriteria sebuah anak perusahaan yang karena perkembangan jaman perlu dilakukan restrukturisasi atau perlu melakukan langkah lain? 2. Apakah di anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) telah diklasifikasikan menurut cabang-cabang produksi yang penting? Sehingga berdasarkan pengklasifikasian tersebut dapat dipilih pilihan kebijakan yang dapat diambil. Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah disampaikan dalam keterangan sebelumnya, pada saat ini PT Pertamina (Persero) melakukan restrukturisasi melalui pembentukan anak perusahaan sebagai subholding , yaitu: Gas Subholding (PT PGN Tbk), Upstream Subholding (PT Pertamina Hulu Energi), Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina International), Power & NRE Subholding (PT Pertamina Power Indonesia), dan Commercial & Trading Subholding (PT Patra Niaga). Di samping itu, pembentukan subholding tersebut juga dilakukan untuk memfokuskan pengelolaan terhadap perusahaan-perusahaan yang didirikan khusus untuk memenuhi amanah peraturan perundang-undangan di bidang migas yang mengatur kegiatan tertentu harus dilakukan oleh suatu entitas usaha tersendiri. Bahwa PT Pertamina (Persero) berkepentingan untuk menjaga eksistensi anak- anak perusahaannya. Seiring dengan perkembangan dalam kegiatan usaha masing-masing subholding sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero), tidak tertutup kemungkinan diperlukan restrukturisasi perusahaan. Restrukturisasi tersebut harus dilandaskan pada kajian bahwa restrukturisasi dilakukan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan. Dengan peningjatan kinerja anak perusahaan tersebut, diharapkan pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero) dalam pelaksanaan kegiatan usaha pengelolaan migas. Restrukturusisasi ini dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang 140 Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT). Beberapa hal yang tentunya menjadi pertimbangan sebuah perusahaan melakukan restrukturisasi antara lain dikarenakan adanya tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang-undang (misalnya restrukturisasi anak perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainya. Dapat kami tambahkan bahwa berdasarkan ketentuan anggaran dasar PT Pertamina (Persero), penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus dimuat dalam RKAP yang disahkan oleh Menteri BUMN selaku Rapat Umum Pemegang Saham. Dengan demikian, restrukturisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tersebut didasarkan atas kajian bisnis yang matang yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero). Dapat kami tambahkan juga bahwa Kementerian BUMN mengelompokkan BUMN berdasarkan kegiatan usahanya. Selanjutnya, masing-masing BUMN memiliki anak-anak perusahaan yang kegiatan usahanya mendukung BUMN induknya. Sebagai contoh, pada tahun 2011 PT Pelayaran Bahtera Adhiguna direstrukturisasi menjadi anak perusahaan PT PLN (Persero). Hal ini dimaksudkan untuk mendukung kinerja PT PLN (Persero) melalui transportasi batubara sebagai salah satu sumber energi yang digunakan oleh PT PLN (Persero) serta sekaligus mempertahankan kelangsungan bisnis PT Pelayaran Bahtera Adhiguna. IV. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM. Agar dapat disediakan data akurat mengenai apakah ada anak Persero atau anak perusahaan yang sahamnya 100% (serratus persen) atau lebih dari 50% (lima puluh persen) dimiliki oleh swasta? Apabila Pertamina saja harus 100% 141 (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh negara untuk mendapatkan penambahan wilayah kerja berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, bagaimana dengan anak perusahaan? Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah kami sampaikan dalam Keterangan Presiden sebelumnya, bahwa terhadap PT Elnusa, anak perusahaan PT Pertamina (Persero), telah dilakukan penjualan saham. Dapat kami informasikan bahwa saat ini PT Pertamina (Persero) memiliki saham sebesar 41,10% dan Dana Pensiun Pertamina memiliki 14,9% dan sisanya sebesar 44% dimiliki oleh publik. PT Elnusa bergerak di bidang jasa hulu migas dan melakukan investasi saham pada anak perusahaan dan perusahaan joint venture baik di industri migas hulu maupun hilir. PT Elnusa Tbk berdasarkan laporan keuangan 3 tahun terakhir yang telah diaudit memperoleh keuntungan dan memberikan deviden kepada PT Pertamina (Persero) (pemilik 41,1% saham) sebagai berikut: TB 2017 TB 2018 TB 2019 Dividen ELSA (juta IDR) 37.701 69.078 89.119 Laba Bersih ELSA (juta IDR) 247.140 276.314 356.474 Dividen Payout Ratio 15% 25% 25% Dividen yang diterima Pertamina (saham 41,1%) (dalam juta IDR) 15.236 28.391 36.628 Beberapa data mengenai anak perusahaan BUMN lain yang dilakukan penjualan saham: PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), penjualan (divestasi) sahamnya dimulai tahun 2001. Saat ini kepemilikan sahamnya adalah PT Telkom (Persero) sebesar 65% dan Singtel sebesar 35%. 142 TB 2015 (Rp miliar) TB 2016 (Rp miliar) TB 2017 (Rp miliar) TB 2018 (Rp miliar) TB 2019 (Rp miliar) Laba 22.338 28.194 30.395 25.536 25.798 Dividen 20.104 26.785 28.875 24.259 25.153 PT Wika Beton Tbk., penjualan sahamnya melalui pasar modal (IPO) dilakukan bulan April 2014. Saat ini susunan kepemilikan sahamnya adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., sebesar 60%, Koperasi Karya Mitra Satya (KKMS) sebesar 5,9%, Yayasan Wijaya Karya sebesar 0,99%, dan publik sebesar 33,11%. (Rp miliar) TB 2011 TB 2012 TB 2013 TB 2014 TB 2015 TB 2016 TB 2018 TB 2019 TB 2020 Laba 144,42 179,37 241,21 322,4 171,78 282,15 340,46 486,64 510,71 Dividen 36,83 50,55 62,63 20 98,56 52,19 81,72 101,14 145,92 PT PP Properti, Tbk, penjualan sahamnya melalui pasar modal (IPO) dilakukan semester I 2015. Saat ini susunan kepemilikan sahamnya adalah PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk sebesar 64,96%, YKPP sebesar 0,06%, dan publik sebesar 34,98%. TB 2014 TB 2015 TB 2016 TB 2017 TB 2018 TB 2019 Laba 106.120 300.325 365.382 444.679 471.257 342.695 Dividen - 60.065 73.076 88.935 94.251 34.269 Mengenai penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara, dapat kami sampaikan Kembali bahwa penguasaan negara melalui fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham negara pada BUMN atau Badan Hukum Milik Negara, bukan pemilikan saham BUMN pada anak perusahaan. Hal ini sesuai dengan Pertimbangan 143 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 halaman 334 yang menyatakan: “… fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak perusahaan bukan salah satu bentuk penguasaan negara dalam fungsi pengelolaan ( beheersdaad ). Penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara tertap dilakukan melalui fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Namun demikian, Pemerintah tetap berusaha melakukan penguasaan terhadap anak-anak perusahaan BUMN melalui mekanisme korporasi, yaitu berdasarkan ketentuan anggaran dasar BUMN induknya dan anggaran dasar anak perusahaan yang terdapat saham seri A dwiwarna, termasuk memperhatikan eksistensi anak-anak perusahaan tersebut. Terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) restrukturisasi akan dilakukan apabila berdasarkan kajian terdapat tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang-undang (misalnya restrukturisasi anak perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainnya. Pemerintah tetap akan memperhatikan kelangsungan anak-anak perusahaan melalui mekanisme korporasi sebagaimana telah kami sampaikan di atas, yaitu:
Berdasarkan ketentuan anggaran dasar BUMN induknya yang antara lain mengatur kewajiban mendapatkan persetujuan RUPS untuk melakukan:
Mendirikan anak perusahaan;
Melakukan penyertaan modal pada perseroan lain; 144 3) Melepaskan penyertaan pada anak perusahaan;
Melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran anak perusahaan.
Anggaran dasar anak perusahaan yang terdapat seri A dwiwarna, yang mengatur hak istimewa Pemegang Saham seri A dwiwarna untuk menyetujui:
Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris;
Perubahan anggaran dasar;
Perubahan struktur kepemilikan saham;
Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain.” Mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), khususnya Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5);
Penawaran Wilayah Kerja kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dilakukan oleh Menteri.
Dalam pelaksanaan penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri melakukan koordinasi dengan Badan Pelaksana.
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan permohona kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja.
Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permojhonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT Pertamina (Persero) dan sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% (seratur per serratus) dimiliki oleh negara.
PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan.” Pada dasarnya proses penunjukan untuk wilayah kerja dilakukan melalui seleksi/pelelangan yang terbuka bagi seluruh badan usaha migas. Namun demikian, berdasarkan ketentuan PP 35/2004, diatur perlakuan khusus bagi PT Pertamina (Persero) untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka melalui penunjukan langsung. Ketentuan khusus tersebut tidak berlaku terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero), sehingga dalam mendapatkan wilayah kerja, anak 145 perusahaan tersebut mempunyai mekanisme yang sama dengan badan usaha lainnya (BUMD, koperasi dan swasta). Apabila dilakukan penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero), hal tersebut tidak mengubah mekanisme perolehan wilayah kerja oleh anak perusahaan yang bersangkutan. V. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams., S.H., M.A. Mohon agar ditambahkan dalam keterangan tambahan mengenai petitum yang dimonta oleh Pemohon yaitu ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d diberi persyaratan mengikat sepanjanng larangan provatisasi diberlakukan secara limitative terhadap Persero dan tidak diberlakukan terhadap perusahaan milik persero. Dalam positanya Pemohon menyatakan kekhawatiran akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan, artinya perusahaan milik PT (persero) yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas secara seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan, sehingga hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perseorangan. Penjelasan/Tanggapan:
Mengenai kekhawatiran akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan, artinya perusahaan milik PT Pertamina (Persero) yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas secara seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan: Dapat kami sampaikan Kembali bahwa sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 halaman 334, pada intinya menyatakan penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara dilakukan melalui pemilikan saham pada BUMN/BHMN sebagai fungsi pengelolaan ( beheersdaad ), melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), dan/atau pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Dalam hal migas sebagaimana diatur dalam UU Migas, penguasaan negara dalam bidang migas dilakukan melalui: 146 - Penyelenggaraan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambahan sesuai Pasal 4 ayat (2) UU MIgas. - Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM sesuai Pasal 8 ayat (4) UU Migas. - Pengusahaan oleh badan usaha milik negara bersama-sama dengan badan usaha lainnya sesuai Pasal 9 UU Migas. Dapat kami sampaikan Kembali bahwa terhdap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero), restrukturisasi akan dilakukan apabila berdasarkan kajina terdapat tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang- undang (misalnya restrukturisasi anak perusahana yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainya. Dengan demikian, walaupun terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak lagi memenuhi kriteria definisi penguasaan negara )beheersdaad) sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 halaman 334, namun demikian Pemerintah tetap melakukan penguasaan melalui mekasnisme korporasi, dan apabila dilakukan restrukturisasi maka harus berdasarkan kajian untuk meningkatkan konerja anak peprusahaan itu sendiri dan/atau PT Pertamina (Persero).
Mengenai kekhawatiran hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perorangan: Bahwa kinerja anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dimaksudkan untuk menunjang kinerja PT Pertamina (Persero). Apabila suatu saat terjadi restrukturisasi anak perusahaan, maka restrukturusisasi tersebut harus memberikan kontribusi bagi anak perusahaan itu sendiri, dan juga bagi PT Pertamina (Persero). Bahwa apabila suatu saat restrukturisasi dilakukan melalui penjualan saham anak perusahaan, maka penjualan saham anak 147 perusahaan tersebut juga harus berdasarkan kajian bahwa penjualan saham itu akan meningkatkan kinerja anak perusahaan dan kinerja PT Pertamina (Persero) meningkat, maka pengelolaan usaha-usaha tersebut akan dinikmati oleh negara, PT Pertamina (Persero), anak perusahaan itu sendiri, karyawan, investor/mitra, swasta, dan seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut, serta masyarakat yang menikmati barang/jasanya. Sebagaimana telah kami sampaikan mengenai kinerja PT Elnusa Tbk., berdasarkan laporan keuangan 3 tahun terakhir telah memperoleh keuntungan dan memberikan dividen kepada PT Pertamina (Persero) (pemilik 41,1% saham) sebagai berikut: TB 2017 TB 2018 TB 2019 Dividen ELSA (juta IDR) 37.701 69.078 89.119 Laba Bersih ELSA (juta IDR) 247.140 276.314 356.474 Dividen Payout Ratio 15% 25% 25% Dividen yang diterima Pertamina (saham 41,1%) (dalam juta IDR) 15.236 28.391 36.628 Dengan demikian, apabila dilakukan restrukturisasi anak-anak perusahaan, hasilnya diharapkan untuk dapat dinikmati oleh negara, PT Pertamina (Persero), anak perusahaan itu sendiri, karyawan, investor/mitra, swasta, dan seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut, serta masyarakat yang menikmati barang/jasanya. VI. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum.
Mohon agar diperjelas apa yang dimaksud dengan Persero yang bergerak di sektor tertentu? Apakah kriterianya? Sektor-sektor mana yang dimaksud dengan sektor tertentu itu? Apakah itu terkait dengan penguasaaan sebesar- 148 besarnya tadi atau ada kriteria lain yang kemudian oleh pemerintah diberi tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu pula di situ? Penjelasan/Tanggapan: Pasal 77 huruf c UU BUMN menyatakan: “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertenti yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; ” Bahwa salah satu maksud dan tujuan Persero adalah mengejar keuntungan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN. Namun demikian, dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN dinyatakan: “Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.” Persero yang diberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, inilah yang tidak dapat diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c UU BUMN. Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) dalam Pasal 9 huruf c dan Penjelasannya dinyatakan:
Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan undang- undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi.
Aset atau kegiatan Persero sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah aset atau kegiatan yang bersifat komersial dengan memperhatikan ketentuan Pasal 7. 150 3. Terkait dengan pertanyaan proses privatisasi yang sudah berjalan ada kecenderungan meningkatkan pertumbuhan pendapatan, apakah ada datanya? Apakah semua yang sudah diprivatisasi kemudian berkencenderungan pertumbuhan pendapatannya meningkat atau sebaliknya? Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah kami sampaikan dalam Keterangan Pemerintah sebelumnya, bahwa PT Elnusa, pada tahun 2008 melakukan penjualan sahamnya melalui IPO. Setelah melakukan IPO terjadi peningkatan revenue selama 3 tahun berturut-turut sampai tahun 2011. Kemudian pada periode tahun 2011-2019 Elnusa tetap mampu membukukan pertumbuhan pendapatan dari Rp. 4.7 trilliun hingga Rp. 8.3 Trilliun dengan Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compound Annual Growth Rate/CAGR) sebesar 7.5%. Bahkan dalam situasi ekonomi makro yang tidak stabil akibat pandemi di tahun 2020, PT Elnusa, Tbk masih mampu membagikan deviden kepada pemegang saham. Penjualan saham merupakan salah satu upaya restrukturisasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang bersangkutan dan BUMN induknya. Di samping itu, penjualan saham anak perusahaan yang dilakukan melalui pasar modal (IPO) akan memberikan nilai tambah dimana terdapat pemegang saham publik dan otoritas pasar modal yang ikut mengawasi jalannya perusahaan. Namun demikian, dalam dunia usaha sebagaimana Yang Mulia Majelis Hakim maklumi, investasi tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan mengingat adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu investasi balk dari eksternal maupun internal. Mengenai data kinerja anak perusahaan BUMN yang dilakukan penjualan saham, telah kami sampaikan dalam keterangan tambahan atas pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM. [2.5] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden mengajukan tiga orang ahli bernama Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., dan Dr. Oce Madril S.H., M.A., yang 151 keterangannya didengar dalam persidangan Mahkamah tanggal 24 Mei 2021, yang pada pokoknya menerangkan hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. UMUM Selanjutnya ijinkan saya mengutarakan rujukan saya tentang hal umum berkaitan dengan Hak Menguasai Negara dalam BUMN. Saya merujuk apa yang dikatakan oleh para pendahulu pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini dan para ahli senior yang tidak diragukan lagi kapasitas dan kemampuannya, terkait dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang sampai saat ini sudah mengalami beberapa kali perubahan tersebut. Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia mengatakan bahwa dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan (3) tersebut, negara tidak harus secara langsung ikut mengelola atau menyelenggarakan cabang produksi, akan tetapi hal itu dapat diserahkan kepada usaha koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran jalannya ekonomi demi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan rakyat. Menguasai tidak harus diartikan sebagai memiliki [Mubyarto (1988), Sri Edi Swasono (1996)]. Dari pandangan para pendahulu bangsa dan para pakar senior yang tidak diragukan lagi kepakarannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak menguasai oleh negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tersebut, dapat diselenggarakan oleh BUMN, Swasta dan Koperasi. Dalam kerangka Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, negara bisa mendirikan BUMN yang tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang menguasai sistem hukum privaat, seperti halnya Koperasi dan Usaha Swasta lainnya. Negara – dalam hal ini – Pemerintah hanya sebagai kuasa usaha untuk menyelenggarakan dan/atau mengusahakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang meliputi aspek pengaturan, aspek pengendalian dan aspek pengawasan (Aminudin Ilmar, 2012). Salah satu caranya adalah negara (Pemerintah) dapat membentuk atau mendirikan BUMN (Perum dan Persero) melalui pembentukan perundang-undangan BUMN. Hadirnya BUMN melalui pembentukan UU BUMN merupakan kepanjangan tangan negara (Pemerintah) dalam menjalankan hak menguasai negara tersebut. 152 Mekanisme hak menguasai negara tentunya tunduk pada UU BUMN dan UU Privat lainnya, seperti: UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU Pasar Modal dan sebagainya. Berkaitan dengan uraian yang saya kemukakan di atas, kehadiran UU BUMN sebagai wujud dari keinginan negara (Pemerintah) untuk mengatur, mengendalikan dan mengawasi penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, menuntut adanya kepastian hukum dalam mengusahakan kegiatan badan usaha tersebut yang mustinya wajib diperlakukan sejajar dengan badan usaha swasta dan koperasi. KHUSUS Memenuhi permintaan dari Kementeriaan Negara Badan Usaha Milik Negara, ijinkan saya menyampaikan Pendapat Hukum saya terkait dengan Pasal-pasal yang dimintakan Uji Materiil oleh Pemohon dalam Perkara a quo , sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero dengan alasan sebagai berikut: “apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero, karena anak perusahaan dari perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero. Pendapat saya sebagai berikut: Pasal 77 UU BUMN menyatakan bahwa : Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; 153 b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Pasal 1 angka 12 UU BUMN menyatakan bahwa: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) Privatisasi diartikan sebagai penjualan saham persero baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Merujuk pada pengertian privatisasi sebagaimana tersebut pada Pasal 1 angka 12 UU BUMN dan BUMN mana yang dilarang diprivatisasi sebagaimana dikutip di atas, maka penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero. Yang tunduk pada UU BUMN dan UUPT adalah PT (Persero) Pertamina, sedangkan anak perusahaan PT (Persero) Pertamina adalah PT biasa atau PT tertutup dalam istilah UUPT yang sepenuhnya tunduk pada UU PT Nomor 40 Tahun 2007. Adapun penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukan merupakan BUMN juga dapat dilihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materiil Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019. Dalam teori hukum perseroan, privatisasi sebenarnya hal biasa terjadi dalam kinerja perseroan untuk tujuan peningkatan kinerja, nilai perusahaan dan efisiensi. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa tujuan utama privatisasi ada 2 (dua). Pertama, untuk mengurangi deficit fiscal dan/atau mencukupi kewajiban-kewajiban (utang-utang) pemerintah yang jatuh tempo. Kedua, untuk mendorong kinerja ekonomi makro atau efisiensi makro. Tujuan pertama umumnya diadopsi oleh negara-negara maju (industri) dan tujuan 154 kedua umumnya diadopsi oleh negara-negara berkembang, utamanya dalam kerangka tujuan jangka pendek (Ika Syahrir dan Agunan P Samosir, dalam Prasetio, 2014, halaman 95). Negara-negara maju yang menggulirkan program privatisasi dengan tujuan utama adalah efisiensi makro ekonomi, yaitu: Inggris (1979, 1984 dan 1997), Perancis (1986, 1988 dan 1977), Jepang (1980, 1987, 1988). State Owened Enterprises (SOEs), yang mereka privatisasi umumnya dimulai dari sector telekomunikasi: British Telecom (Inggris), France Telecom (Perancis) dan Nippon Telegraph and Telephone NTT (Jepang). Adapun negara-negara berkembang yang mengadopsi program privatisasi dengan tujuan utama untuk menutupi deficit fiscal dan/atau untuk menutupi kewajiban-kewajiban (utang- utang) pemerintah yang jatuh tempo, yaitu: RRC (1999), Chile (Telefones de Chile) (1990), Meksiko (1982, 1992), Brasil (1998), Bolivia (1998), dan Afrika Selatan (1995) (vide, Meggison dan Netter, 2001, dala: Prasetio, Ibid ). Adapun privatisasi BUMN biasanya dilaksanakan dengan memilih strategi yang paling cocok dengan tujuan privatisasi, jenis BUMN, kondisi BUMN serta situasi sosial politik dari negara bersangkutan. Di Indonesia dengan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU BUMN tersebut. Beberapa strategi yang dapat dipilih, antara lain: public offering (IPO), private sale , new private investment , sale of assets , fragmentation , manajemen/ employee buyout , kontrak manajemen, kontrak/sewa asset atau likuidasi ( Ibid ). Dalam beberapa strategi di atas, strategi yang paling sering digunakan dalam privatisasi BUMN di Indonesia adalah dengan cara IPO, seperti yang dilakukan pada PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk, PT Indosat, Tbk, PT Krakatau Steel, Tbk, dan PT- PT Perbankan Tbk (Plat Merah; Noted Ahli). Secara khusus Ahli akan menyoroti persoalan IPO yang juga disinggung oleh Ahli dari Pihak Pemohon. IPO ( Initial Public Offering ) atau penawaran umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang- undang ini dan peraturan pelaksanaannya (Vide Pasal 1 angka 15 UU No. 6 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, disingkat UUPM). Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum tersebut (Pasal 1 angka (6) UUPM. Rata-rata saham emiten yang dilepas dalam rangka IPO melalui Bursa Efek Indonesia hanyalah 20%. (vide: https: //finance.detik.com/bursa-dan-valas/d- 155 2471659/aturan-minimum-besaran-saham-ipo-batasi-perusahaan-go-public, diunduh: 20/05/2021, jam. 14.14). Dari data di atas, dengan IPO yang dipilih sebagai cara privatisasi pun tidak perlu dikawatirkan bahwa saham anak perusahaan BUMN akan dikuasai investor swasta. Investor di Bursa Efek itu orientasinya adalah capital gain atau dividen, jarang yang berorientasi akuisisi misalnya. Privatisasi dapat merupakan sarana perbaikan kinerja BUMN dan peningkatan value , mendorong terbentuknya good corporate governance dan mengurangi beban negara. Oleh sebab itu, BUMN yang kompetitif – dalam arti siapapun dapat melakukan kegiatan usaha atau core business ) seperti telekomunikasi, boleh dan bahkan perlu dilakukan privatisasi. Yang menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti core business nya PT (Persero) Pertamina, dilakukan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU BUMN. Jadi menurut Ahli, dalil Pemhon dalam hal ini menjadi lemah, jika anak perusahaan BUMN – dalam hal ini – anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) yang sepenuhnya tunduk pada UUPT dan merupakan bentuk hukum PT Biasa yang tunduk pada UUPT “dibenturkan “dan/atau diukur melalui norma Pasal 77 UU BUMN yang berlaku pada PT (Persero).
Bahwa menurut Pemohon ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/ perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pendapat Hukum Ahli sebagai berikut: Dalil Pemohon menurut hemat Ahli tidak tepat dan terlalu jauh membuat penafsiran atas norma sebuah Pasal peraturan perundang-undangan. Jika merujuk pada uraian umum yang Ahli sampaikan pada awal keterangan Ahli ini, dipahami bahwa amanat penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dilaksanakan 156 oleh negara dan bisa disubstitusikan kepada BUMN, tegas disebut BUMN. Jika kemudian BUMN ditafsirkan sedemikian luas termasuk anak perusahaan BUMN, maka pemahaman demikian menimbulkan ketidakpastian hukum tentang Lembaga yang disebut BUMN itu. Jelas tidak tepat, apalagi sebagaimana Ahli kemukakan di atas bahwa anak perusahaan BUMN menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 yang lalu, tidak masuk dalam pengertian BUMN. Demikian selanjutnya, jika merujuk pada ketentuan Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) dipahami bahwa sektor migas sebagai sumber daya alam strategis dikuasasi oleh negara, diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana. Konstitusionalitas ketentuan dimaksud juga telah dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan Majelis pada halaman 223 dan 224 butir 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003. Jadi menurut Ahli tidak tepat jika norma tersebut dipahami demikian luas, sehingga persoalan anak perusahaan BUMN (Persero) dirujuk menjadi bagian yang mendapat mandat atau wewenang penguasaan negara pada sumber daya alam yang strategis, sebagaimana hal itu diamanatkan kepada BUMN.
Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H.
Bahwa pokok permohonan dalam perkara ini adalah ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang menurut Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap anak perusahaan persero. Pasal 77 huruf c dan huruf d mengatur: Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: …..c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha_ sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi ; 157 2. Bahwa dalam petitumnya pemohon meminta supaya MK menyatakan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak mengartikan kata “Persero” sebagai “Persero dan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan”;
Bahwa atas perkara ini maka ahli akan menerangkan beberapa hal: (i) Pertama, apakah sejak awal penyusunannya materi muatan UU BUMN dan Peraturan Perundang-undangan turunannya sudah membedakan konsepsi dan kedudukan antara BUMN dan Perusahaan milik BUMN/Anak Perusahaan BUMN; (ii) Kedua, bagaimana putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi) membedakan kedudukan antara BUMN dan anak perusahaan BUMN; (iii) Ketiga, bagaimana kekuatan mengikat putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang telah memberikan tafsir konstitusional yang membedakan antara BUMN dan anak perusahaan BUMN; dan (iv) Keempat, apakah pengaturan mengenai privatisasi dalam UU BUMN yaitu maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, dan kriteria perusahaan yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi ditujukan khusus untuk BUMN ataukah termasuk di dalamnya juga mengatur anak perusahaan BUMN;
Bahwa terhadap isu pertama dapat diterangkan penyusun UU BUMN melalui Pasal 14 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 22 ayat (1) dengan sengaja membedakan antara anak perusahaan BUMN dengan BUMN. Pasal 14 ayat (3) mengatur: Pihak yang menerima kuasa dari Menteri untuk mewakili dalam RUPS Persero, wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan _Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai:
..g._ pembentukan anak perusahaan atau penyertaan . Penjelasan Pasal 22 ayat (1): Rancangan rencana kerja dan anggaran _perusahaan memuat antara lain:
...c. proyeksi keuangan Persero dan anak_ perusahaannya . Pasal 14 ayat (3) merupakan norma yang memberikan peluang BUMN untuk dapat membentuk anak perusahaan BUMN. Sementara Penjelasan Pasal 22 ayat (1) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Pasal 22 ayat (1) yang pada intinya mengatur bahwa apabila Persero memiliki anak perusahaan maka rancangan rencana kerja dan anggaran Persero yang merupakan penjabaran tahunan wajib memuat proyeksi keuangan persero dan anak perusahaannya; 158 5. Bahwa UU BUMN mengatur perbedaan antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN melalui definisi dari BUMN sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1 UU BUMN. Definisi BUMN menurut Pasal 1 angka 1 UU BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan . Mengenai definisi kekayaan negara yang dipisahkan diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU BUMN yang menyebutkan: “ Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya ”. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan dipisahkan: Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ;
Bahwa mengenai definisi anak perusahaan BUMN dapat dilihat dari ketentuan Peraturan perundang-undangan di bawah UU. Pasal 2A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 mengatur: Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar . Definisi anak perusahaan persero (BUMN) juga dapat merujuk kepada Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER- 03 /MBU/2012 Tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi Dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara 159 yang mendefinisikan Anak Perusahaan BUMN, adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN ;
Bahwa sangat nyata terdapat perbedaan antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN. Yang menentukan suatu badan usaha merupakan BUMN adalah sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung, sedangkan anak perusahaan BUMN didirikan melalui penyertaan saham milik negara pada BUMN pada perseroan terbatas sehingga menjadikan perseroan terbatas tersebut sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN (penyertaan modal negara secara tak langsung). Dengan demikian antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN merupakan entitas hukum yang berbeda;
Bahwa Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER- 03/MBU/08/2017 tentang Pedoman Kerja Sama Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara NOMOR PER-07/MBU/04/2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/08/2017 Tentang Pedoman Kerja Sama Badan Usaha Milik Negara mengatur di Pasal 1 angka 3: Mitra adalah pihak yang bekerja sama dengan BUMN yang terdiri dari BUMN, anak perusahaan BUMN, perusahaan terafiliasi BUMN, Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan/atau pihak lain . Berdasarkan definisi Mitra ini maka status hukum anak perusahaan BUMN berbeda/terpisah dengan BUMN induknya, karena anak perusahaan BUMN dapat diletakkan sebagai salah satu dari mitra yang melakukan kerjasama dengan BUMN disamping mitra yang lain yaitu BUMN, perusahaan terafiliasi BUMN, Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan/atau pihak lain;
Bahwa terhadap isu Kedua bagaimana putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi) memaknai perbedaan kedudukan antara BUMN dan anak perusahaan BUMN maka dapat diterangkan terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tentang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019. Dalam pertimbangan putusan ini MK menyatakan Pasal 1 UU BUMN mendefinisikan 160 BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi tersebut maka untuk dapat mengetahui apakah suatu perseroan terbatas merupakan BUMN atau bukan salah satunya adalah dengan cara mengetahui komposisi modal atau saham dari perseroan terbatas tersebut;
Bahwa dalam Putusan Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 MK dengan mengambil contoh Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri menerangkan bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance. Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas. Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN;
Bahwa terhadap isu Ketiga bagaimana kekuatan mengikat putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang telah memberikan tafsir konstitusional yang membedakan antara persero dan anak perusahaan persero maka dapat diterangkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum . Sementara Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar . Jika Pasal tersebut dicermati dapat dijelaskan bahwa MK merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir, atau dapat dikatakan, badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat, untuk mengadili 161 perkara pengujian UU, sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangannya, MK tidak mengenal adanya mekanisme banding atau kasasi. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595);
Bahwa dengan demikian __ pengertian tingkat pertama dan terakhir di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah di bawah maupun di atas MK tidak ada badan pengadilan lain, sehingga putusan MK langsung sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde vonnis ). Untuk itu tidak ada upaya hukum lainnya, baik berupa banding atau kasasi yang dapat ditempuh dan menjadikan putusannya bersifat final. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 718); __ 13. Bahwa lain halnya dengan kewajiban MK untuk memberikan putusan atas pendapat DPR, terhadap dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal ini, UUD 1945 tidak menyatakan MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. MK hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus dilalui dalam proses pemberhentian ( impeachment ) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional MK adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595); __ 14. Bahwa apa yang dimaksud putusan MK bersifat final kemudian diperjelas dan dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang 162 Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 47 UU MK menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, artinya putusan MK telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat untuk dilaksanakan serta membawa akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan sejak putusan selesai diucapkan dalam sidang pleno;
Bahwa dengan demikian jawaban atas pertanyaan bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi setelah melihat risalah perubahan UUD 1945 dan UU MK dapat disimpulkan putusan MK bersifat final yang sifat final ini menunjukkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu: Pertama, bahwa Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; Kedua; karena telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara ( interparties ). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan MK karena putusan MK tidak hanya mengikat bagi pihak yang mengajukan perkara di MK, melainkan mengikat juga semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi semua warga negara ( erga omnes ). Ketiga; karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ) dan memperoleh kekuatan mengikat ( resjudicata pro veritate habetur );
Bahwa pendapat MK yang menyatakan anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN termuat dalam pertimbangan putusan Nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019 (nomor 3.65) dan bukan di bagian amar putusan. Meskipun bukan terletak di bagian amar namun pertimbangan putusan MK merupakan bagian dari putusan yang juga mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dasarnya adalah Pasal 48 ayat (2) UU MK yang mengatur: Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat: • kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; 163 • identitas pihak; • ringkasan permohonan; • pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; • pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; • amar putusan; dan • hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera. Secara jelas sesuai ketentuan Pasal 48 ayat (2) huruf e UU MK pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan harus dimuat dalam putusan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Putusan;
Bahwa terdapat dua asas dalam pengambilan keputusan oleh hakim, yang pertama adalah asas precedent . Asas ini bermakna bahwa seseorang hakim terikat oleh hakim lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Hakim dalam mengadili dan memutuskan perkara tidak boleh menyimpang dari hakim lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Berikutnya adalah asas bebas, asas ini bermakna bahwa seorang hakim tidak terikat oleh putusan hakim lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Perkataan tidak terikat disini diartikan bahwa seorang hakim, dalam memutuskan suatu perkara boleh mengikuti putusan hakim terdahulu, baik yang sederajat atau yang lebih tinggi, boleh juga tidak mengikuti. (Oly Viana Agustine, Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 3, September 2018 Keberlakuan Yurisprudensi pada Kewenangan Pengujian Undang-Undang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi);
Bahwa meskipun tidak menganut asas precedent namun terdapat beberapa putusan MK dalam pengujian Undang-Undang yang kemudian diikuti oleh putusan-putusan setelahnya. Salah satunya tentang makna Hak Menguasai Negara melalui putusan permohonan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, pengujian Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, dan Putusan permohonan Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air melalui putusan Nomor 058-059- 060-063/PUU-II/2004. Dalam berbagai putusan tersebut yang dimaksud dengan hak menguasai negara mencakup lima pengertian. Negara merumuskan kebijakan ( beleid) , termasuk melakukan pengaturan ( regelen daad ), melakukan pengurusan ( bestuurdaad ), melakukan pengelolaan 164 ( beheer daad ) dan melakukan pengawasan ( toezicht houden daad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Bahwa terkait dengan isu keempat yaitu apakah pengaturan mengenai privatisasi dalam UU BUMN yaitu maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, dan kriteria perusahaan yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi ditujukan khusus untuk BUMN ataukah termasuk di dalamnya juga mengatur anak perusahaan BUMN, maka dapat diterangkan UU BUMN di bagian dasar hukum pembentukannya (UU BUMN) menyebutkan Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 33 UUD 1945 sebagai Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan UU BUMN. Pasal 23 ayat (4) UUD 1945 sebelum amandemen mengatur: Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang . Pasal 33 UUD 1945 mengatur: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. 20. Bahwa mengenai BUMN serta ketentuan privatisasi BUMN meliputi maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, dan kriteria perusahaan yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi __ maka UUD 1945 tidak mengaturnya melainkan dimandatkan untuk diatur melalui UU. Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 mengatur: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Konsekuensi UUD 1945 tidak mengatur mengenai BUMN dan bagaimana ketentuan privatisasi BUMN maka dengan demikian mengenai BUMN dan ketentuan privatisasi BUMN merupakan materi muatan/materi pengaturan Undang-Undang. __ 165 Dengan demikian sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan: Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama , maka mengenai BUMN serta ketentuan privatisasi BUMN meliputi meliputi maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, dan kriteria perusahaan yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi merupakan kewenangan sepenuhnya bagi DPR dan Presiden untuk menentukannya/mengaturnya;
Bahwa dalam UU BUMN tepatnya di Pasal 1 angka 12 diatur mengenai peluang dilakukannya privatisasi bagi BUMN. Pasal 1 angka 12 mendefinisikan privatisasi sebagai penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat . Mengenai maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi, tata cara privatisasi diatur dalam Bab VIII UU BUMN dengan judul Bab Restrukturisasi dan Privatisasi. Dalam Bab VIII ketentuan privatisasi diatur di Pasal 74 sampai dengan Pasal 86; __ 22. Bahwa dengan melihat kepada ketentuan Pasal 1 angka 12 serta Pasal 74 sampai dengan Pasal 86 maka kebijakan hukum yang diambil oleh pembentuk UU BUMN adalah ketentuan pengaturan privatisasi hanya dimaksudkan diberlakukan kepada BUMN dan tidak meliputi Anak Perusahaan BUMN. Dengan menggunakan penafsiran sistematis UU yaitu penafsiran menurut sistem yang ada dalam rumusan hukum itu sendiri ( systematische interpretative ) atau menghubungkan ketentuan antar norma dalam suatu UU, maka ketentuan yang mengatur mengenai privatisasi yaitu maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi, tata cara privatisasi __ dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 86 yang hanya ditujukan bagi BUMN dan tidak termasuk anak perusahaan BUMN merupakan konsekuensi keberadaan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang memang membatasi ketentuan Privatisasi hanya bagi Persero (BUMN); __ 23. Bahwa keberadaan Pasal 76 UU BUMN yang mengatur __ kriteria Persero yang dapat diprivatisasi dan Pasal 77 UU BUMN yang mengatur kriteria Persero yang tidak dapat di privatisasi pada dasarnya memang pengaturannya hanya 166 ditujukan bagi Persero (BUMN) dan bukan ditujukan kepada anak perusahaan BUMN. Keberadaan Pasal 76 dan Pasal 77 adalah konsekuensi dari adanya ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang memang membatasi ketentuan Privatisasi hanya bagi Persero (BUMN). Untuk itu terhadap permohonan yang ingin menjadikan larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d juga diberlakukan terhadap perusahaan milik BUMN/ anak perusahaan BUMN tentu tidak sesuai dengan maksud adanya Pasal 1 angka 12 UU BUMN sebagai ketentuan umum yang telah membatasi pengertian dari Privatisasi itu sendiri; __ 24. Bahwa keinginan menjadikan kata “Persero” diartikan sebagai “Persero dan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan” di Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN juga tidak sesuai dengan pengertian BUMN dalam UU BUMN beserta peraturan perundang-undangan turunannya dan juga Putusan MK Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 yang telah menyatakan anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN. Mengingat anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN maka tidak tepat apabila kata “Persero” di Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN __ juga dimaknai mencakup “Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan”. Jika logika ini yang dipakai maka tidak hanya Pasal 77 huruf c dan huruf d yang akan terdampak melainkan juga pasal-pasal lain dalam Bab VIII tentang ketentuan privatisasi BUMN yaitu Pasal 74 sampai dengan Pasal 86 yang kata Persero harus dimaknai juga sebagai “Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan” mengingat Pasal 77 huruf c dan huruf d tidak berdiri sendiri melainkan juga sangat terkait dengan Pasal-Pasal lain di Bab VIII; __ 25. Bahwa pengaturan dalam Bab VIII UU BUMN Pasal 74 sampai Pasal 86 yang mengatur __ maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi, serta tata cara privatisasi pada dasarnya masuk kategori kebijakan hukum terbuka pembentuk UU. Kebijakan pembentukan UU dikatakan bersifat terbuka ketika UUD 1945 sebagai norma hukum yang lebih tinggi tidak mengatur atau tidak memberikan batasan jelas mengenai apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh UU. Secara berkebalikan, kebijakan pembentukan UU dikatakan bersifat tertutup manakala UUD 1945 telah memberikan batasan jelas mengenai apa dan bagaimana suatu materi harus diatur dalam UU; __ 167 26. Bahwa Kebijakan hukum terbuka dapat diartikan sebagai tindakan pembentuk UU dalam menentukan subyek, obyek, perbuatan, peristiwa, dan/atau akibat untuk diatur dalam UU, dimana terdapat kebebasan bagi pembentuk UU untuk mengambil kebijakan hukum karena UUD 1945 tidak mengatur atau tidak memberikan batasan jelas;
Bahwa UUD 1945 menyerahkan pengaturan mengenai BUMN serta ketentuan privatisasi BUMN meliputi maksud dan tujuan, prinsip privatisasi, dan kriteria BUMN yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi kepada pembentuk UU sebagaimana diatur Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang mengatur: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Konsekuensi adanya ketentuan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 ini adalah pembentuk UU diberikan kewenangan memilih kebijakan pengaturan mengenai BUMN serta ketentuan privatisasi BUMN meliputi maksud dan tujuan, prinsip privatisasi, dan kriteria BUMN yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi. Konsekuensi UUD 1945 tidak mengatur mengenai BUMN dan bagaimana ketentuan privatisasi BUMN maka dengan demikian mengenai BUMN dan ketentuan privatisasi BUMN sepenuhnya menjadi kebijakan hukum terbuka pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya;
Bahwa ketika suatu norma UU masuk ke dalam kategori kebijakan hukum terbuka maka selama ini menurut MK norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional. Hal ini karena selama ini dalam praktik pengujian konstitusional di MK suatu norma UU dapat dinilai: (i) sesuai dengan UUD 1945; (ii) tidak bertentangan dengan UUD 1945; atau (iii) bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tentang kriteria Persero yang tidak dapat diprivatisasi meskipun tidak masuk kategori “sesuai dengan UUD 1945” oleh karena tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur tentang BUMN, maksud dan tujuan, prinsip privatisasi, dan kriteria BUMN yang dapat di Privatisasi, serta tata cara privatisasi, namun Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN setidaknya masuk kategori “tidak bertentangan dengan UUD 1945” karena pasal dan/atau ayat UUD 1945 sebagai norma 168 hukum yang lebih tinggi tidak mengatur atau tidak memberikan batasan jelas mengenai BUMN dan privatisasi BUMN;
Bahwa sebuah kebijakan hukum terbuka dalam pelaksanaannya menurut MK tetap perlu diberilkan batasan-batasan agar tidak berubah menjadi kewenang-wenangan yang merugikan masyarakat. Batasan yang diberikan oleh MK dinyatakan dalam Pertimbangan Putusan Nomor 86/PUU-XI/2012 tentang pengujian UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. MK dalam putusan ini menyatakan: ”... pengaturan atau pembatasan oleh pembentuk Undang-Undang tidak dapat pula dilakukan dengan sebebas- bebasnya, melainkan, antara lain, harus memperhatikan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum ”;
Bahwa kebijakan pembentuk Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tentang Kriteria Persero yang tidak dapat diprivatisasi yang sebatas mengatur hanya untuk BUMN dan tidak termasuk anak perusahaan BUMN tidaklah melanggar batasan-batasan bagi sebuah kebijakan hukum terbuka yaitu tidak melanggar tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Hal ini dikarenakan terdapat alasan logis dan rasional mengapa kebijakan hukum ini diambil yaitu konsekuensi dari adanya ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang memang membatasi ketentuan Privatisasi hanya bagi BUMN.
Dr. Oce Madril S.H., M.A. Pokok Permohonan Pemohon Bahwa dalam permohonannya, pemohon mengajukan pengujian ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN, yang mengatur: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a...... b...... c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan _dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang berbunyi: 169 Pasal 33 ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara Pasal 33 ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Dalam Petitum , pemohon menyatakan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena berpotensi mengakibatkan negara kehilangan hak menguasai negara yaitu mengelola cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam tidak diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pendapat Ahli I. Konsep Penguasaan oleh Negara 1. Pengelolaan sumberdaya alam (SDA), jika dilihat dari sudut pandang teoritik hukum administrasi negara, pada mulanya adalah sepenuhnya urusan perorangan maupun kolektif warga negara untuk mencari penghidupannya masing-masing. Namun, karena satu dan lain hal, negara merasa perlu untuk campur tangan ke dalam urusan ini. Hukum administrasi negara, dalam kaitan itu, adalah hukum yang mengatur mengenai alasan-alasan mengapa negara harus campur tangan ke dalam urusan pengelolaan SDA. Alasan-alasan itulah yang kelak menjadi dasar hukum wewenang negara dalam pengelolaan SDA. Dasar hukum itu pada hakikatnya membatasi apa- apa yang boleh dicampuri oleh negara dan ranah apa saja yang tetap merupakan urusan perorangan atau kelompok warga negara. Kemudian, hukum administrasi negara berkaitan dengan hukum yang mengatur mengenai bagaimana negara melaksanakan wewenangnya, bagaimana negara akan turut mengurus pengelolaan SDA, termasuk kelembagaan 170 yang diberikan wewenang (Bono Budi Priambodo, Aspek HAN dalam Pengelolaan SDA;
;
Apabila dikaitkan dengan konsep negara welfare state , maka keterlibatan negara (intervensi negara) dibutuhkan untuk menjamin kesejahteraan mendasar rakyatnya. Negara welfare state menerapkan konsep pemerintahan dimana negara memainkan peran kunci dalam menjaga dan memajukan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya. Sebagaimana telah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Disini terlihat jelas bahwa tujuan yang hendak dicapai negara dalam penguasaan SDA sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Pengaturan pengelolaan SDA yang tercantum dalam konstitusi Indonesia, memuat ketentuan penting, terutama pada poin cabang-cabang produksi yang penting bagi negara. Demi mewujudkan tujuan kesejahteraan, cabang- cabang produksi penting harus dikuasi oleh negara. Lebih lanjut menurut Mahfud MD, penguasaan negara membawa konsekuensi bahwa negara harus secara aktif mengambil inisiatif bagi upaya-upaya menuju kesejahteraan masyarakat (Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia;
;
Konsep “dikuasai oleh negara” berasal dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Pasal 33 berada dalam BAB XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Kemudian Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” ;
Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 selaras dengan pemahaman yang dibangun oleh para pendiri bangsa yang mengamanatkan pelaksanaan demokrasi ekonomi atas dasar falsafah kekeluargaan, bukan falsafah individualistik. Sukarno menyatakan, falsafah ekonomi individualistik hanya akan berimbas 171 pada prinsip ekonomisch liberalisme . Ancaman nyata yang ditimbulkan dengan falsafah ekonomi liberal justru akan melahirkan paham kapitalisme yang berorientasi “ laisser faire, leiseez passer ”. Segala kekayaan alam yang penting untuk kepentingan negara dikuasai oleh negara. Paham ini sesuai dengan aliran pikiran bahwa negara sebagai keluarga besar, yang mengatasi paham golongan dan paham perseorangan (AB. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar;
.
Mohammad Hatta menegaskan, dalam paham kolektivisme tidak ada pertentangan antara masyarakat dan negara. Negara adalah alat masyarakat untuk menyempurnakan kesejahteraan umum. Oleh karena tanah kepunyaan masyarakat, maka dengan sendirinya pemerintah menjadi juru kuasa mengurusnya dan mempergunakannya untuk kesejahteraan umum. Hatta kemudian mengemukakan bahwa cita-cita kesejahteraan umum dapat diwujudkan dengan adanya penguasaan aset oleh negara, kontrol terhadap swasta dan tumbuhnya perekonomian rakyat yang mandiri. Penguasaan negara atas aset nasional tidak hanya produk listrik, telepon, air minum dan kereta api, tetapi juga kekuasaan atas industri-industri strategis seperti pertambangan, kehutanan, bahkan perbankan. Sehingga negara benar-benar memegang kontrol atas cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak (M. Hatta, Politik, Kebangsaan dan Ekonomi 1926-1977;
.
Konsep penguasaan oleh negara memberi konsekuensi negara berdiri atas dasar kebutuhan untuk tetap dapat menjamin pelayanan publik serta memastikan negara dapat menjaminkan kepengurusan seluruh kekayaan negara agar dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Soepomo menyatakan bahwa perekonomian Indonesia harus didasarkan pada cita-cita tolong menolong dan usaha bersama. Pada dasarnya perusahaan yang besar yang menguasai hajat hidup orang banyak, mestilah di bawah kekuasaan pemerintah dan dikuasai oleh negara. Apabila hanya dikelola berdasarkan pasar dan kepentingan beberapa orang partikulir saja dan hanya berpedoman pada keuntungan semata-mata, akan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Oleh karena itu, tidak heran jika pemerintah dalam hal ini menjadi pengawas serta regulator terhadap roda 172 perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara;
.
Lebih lanjut M. Hatta –sebagaimana dikutip oleh Aminuddin Ilmar– menyatakan bahwa hak penguasaan negara tidak hanya dalam bentuk membuat peraturan-peraturan semata untuk menegakkan perekonomian, melainkan juga membentuk badan usaha negara. Selain itu, konsep dikuasai oleh negara tidak hanya diartikan bahwa negara tidak boleh mengusahakannya melalui Kerjasama dengan pihak swasta, tetapi dapat dikelola oleh pihak swasta asalkan dengan pengawasan negara demi kesejahteraan rakyat (Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara dalam Privatisasi BUMN;
;
Mengenai konsep “dikuasai oleh negara”, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, pada halaman 332-333, menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sistem sebagaimana dimaksud, maka pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif; ” “ Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang-undang dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazim di banyak negara 173 yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma- norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi pengertiannya hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, kedua- duanya ditolak oleh Mahkamah; ” 10. Kemudian masih dalam putusan yang sama, Mahkamah Konstitusi membuat pemaknaan atas kata “dikuasai oleh negara”, sebagaimana tercantum pada halaman 334, sebagai berikut: “…perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share- holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat; ” 11. Apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, terpulang kepada Pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya ( open 174 legal policy ). Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. MK kemudian membuat 3 (tiga) kriteria cabang- cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat (halaman 335 putusan perkara nomor 001- 021-022/PUU-I/2003);
Sementara berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi, dalam putusan perkara nomor 36/PUU-X/2012 halaman 101 paragraf [3.12], Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara sebagaimana telah diuraikan di atas, jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitas untuk mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam, maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud disini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain diluar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Pengelolaan secara langsung inilah yang menjadi maksud dari Pasal 33 UUD 1945…” 175 13. Terlihat dalam beberapa putusan MK bahwa perkataan “dikuasai oleh negara” harus diartikan secara luas dan mencakup kepemilikan publik atas sumber daya alam, yang melahirkan wewenang bagi negara untuk mengadakan kebijakan ( beleid ) dan tindakan pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoudensdaad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan oleh negara ini juga bersifat dinamis, bisa dilakukan sebagai satu kesatuan tindakan atau bisa juga dilakukan secara bertingkat tergantung kemampuan negara, sebagaimana terlihat dalam putusan perkara nomor 36/PUU-X/2012;
Idealnya, negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam (Migas), supaya negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Negara memerlukan entitas badan usaha yang mampu mengelola sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. Pengelolaan langsung dilakukan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), melalui mekanisme pemilikan saham ( share- holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN. Sebagai kepanjangan tangan negara, BUMN memiliki peran sebagai agent of development yang bertugas mengelola dan memanfaatkan kekayaan negara yang dikuasai untuk kesejahteraan rakyat;
Hadirnya BUMN bukanlah semata-mata sebagai perpanjangan tangan negara dalam rangka melaksanakan prinsip penguasaan oleh negara terhadap cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak maupun perpanjangan tangan negara dalam melaksanakan prinsip penguasaan oleh negara terhadap bumi dan air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, melainkan juga sekaligus sebagai pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian negara yang tujuan akhirnya adalah mewujudkan kemakmuran rakyat (vide halaman 212- 213 putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XVI/2018;
Dalam hal sumber daya alam berupa Minyak dan Gas Bumi, Undang- Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebenarnya tidak hanya mengatur peran BUMN, tetapi juga peran badan usaha lainnya . Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 UU Migas bahwa (1) Kegiatan 176 Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal _5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh:
badan usaha milik_ _negara;
badan usaha milik daerah;
koperasi;
badan usaha swasta._ Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat _melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu; _ 17. Ketentuan Pasal 9 UU Migas tersebut tidaklah mengurangi hak penguasaan negara terhadap sumber daya alam Migas. Ketentuan Pasal 9 ini telah pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Nomor 36/PUU- X/2012, halaman 110-111 paragraf 3.17, Mahkamah menyatakan: “Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “....harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas…” 18. Penguasaan negara di bidang Migas terlihat dari keterlibatan pemerintah dan BUMN dalam pengelolaan sumber daya alam Migas. Pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan PT. Pertamina (Persero) terlibat langsung dalam kegiatan pengelolaan Migas. Pada praktiknya, kegiatan usaha di bidang Migas dapat dilakukan tidak hanya oleh BUMN, juga oleh BUMD, koperasi dan badan usaha swasta serta anak perusahaan BUMN. Prinsipnya, penguasaan negara tidak boleh hilang, yaitu melalui fungsi kebijakan ( beleid ) dan pengurusan (bestuursdaad), fungsi pengaturan 177 (regelendaad), fungsi pengelolaan (beheersdaad) , dan fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad). II. Kedudukan Anak Perusahaan BUMN 1. Pengertian BUMN diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”;
Berdasarkan definisi BUMN menurut UU BUMN, maka untuk dapat dikatakan sebagai BUMN, haruslah memenuhi kriteria:
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara, (2) terdapat penyertaan modal secara langsung dari negara, dan (3) penyertaan modal tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan;
BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Sementara, Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan;
Selain terminologi BUMN, peraturan perundang-undangan juga mengenal istilah Perusahaan Negara. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur definisi tentang perusahaan negara. Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 5 dinyatakan bahwa Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat;
Terdapat perbedaan definisi BUMN dalam UU BUMN dan perusahaan negara berdasarkan UU Keuangan Negara. Definisi BUMN dalam UU BUMN menyatakan kata “seluruh atau sebagian besar” modalnya dimiliki 178 negara, sedangkan definisi perusahaan negara dalam UU Keuangan Negara menyatakan “seluruh atau sebagian” modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. UU BUMN menambahkan kata “sebagian besar”, sedangkan UU Keuangan Negara hanya memberikan kata “sebagian” saja. UU BUMN menetapkan syarat untuk dapat dikatakan sebagai BUMN, maka negara harus mempunyai seluruh atau sebagian besar modalnya. Sedangkan UU Keuangan Negara hanya menentukan sebagian saja tanpa menjelaskan lebih lanjut sebagian kecil atau sebagian besar. Persamaannya, modalnya sama-sama dimiliki oleh negara/pemerintah;
Bagaimana dengan anak perusahaan BUMN? UU BUMN tidak memberikan pengertian mengenai anak perusahaan BUMN. Kata anak perusahaan hanya ditemukan dalam ketentuan Pasal 14 UU BUMN berkaitan dengan kewenangan RUPS. Ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g UU BUMN mengatur bahwa pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS: mengenai pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;
Selanjutnya, pengertian anak perusahaan BUMN ditemukan dalam peraturan perundang-undangan lain (di bawah Undang-Undang), yaitu Peraturan Menteri BUMN. Ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri BUMN Nomor 03/ MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara, menyatakan bahwa Anak Perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN;
Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-13/MBU/09/2014 Tentang Pedoman Pendayagunaan Aset Tetap Badan Usaha Milik Negara, dalam bagian lampirannya memberi penjelasan pengertian anak perusahaan yaitu:
Anak Perusahaan yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh BUMN yang bersangkutan;
Anak Perusahaan yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh BUMN lain;
Perusahaan patungan dengan jumlah gabungan kepemilikan saham BUMN minimum 90%; 179 9. Peraturan Menteri BUMN Nomor 03/ MBU/2012 tidak mengatur prosentase kepemilikan saham sebagaimana pengaturan dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-13/MBU/09/2014;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, memberi satu kejelasan mengenai kriteria anak perusahaan BUMN. Dalam ketentuan Pasal 2A ayat (2) PP tersebut diatur bahwa dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar;
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN. Dalam halaman 1936 putusan nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019, Mahkamah mempertimbangkan: “bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi tersebut maka untuk dapat mengetahui apakah Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri merupakan BUMN atau bukan salah satunya adalah dengan cara mengetahui komposisi modal atau saham dari kedua _bank tersebut; _ bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance. Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas. Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara, maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN; ” 12. Putusan MK tersebut di atas menggunakan ukuran komposisi (kepemilikan) modal/saham, apakah dimiliki oleh negara atau BUMN. Berdasarkan ukuran 180 tersebut, anak perusahaan BUMN sahamnya dimiliki oleh BUMN, sedangkan perusahaan BUMN sahamnya dimiliki oleh negara;
Berkaitan dengan kepemilikan modal/saham ini, dalam perspektif hukum keuangan negara, tergambar relasi antara negara dengan badan usaha. BUMN memiliki relasi langsung dengan negara, sebab modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara anak perusahaan BUMN tidak memiliki relasi dengan negara. Anak perusahaan BUMN hanya memiliki relasi dengan korporasi induknya;
Kedudukan anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN juga terlihat dari ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72 Tahun 2016. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa Anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut:
mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau
mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN.
Ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016 di atas, secara a contrario pada dasarnya menegaskan bahwa anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN. Oleh karena itulah, perlu dinyatakan secara jelas bahwa dalam hal-hal tertentu, anak perusahaan BUMN itu dapat diperlakukan sama dengan BUMN;
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan anak perusahaan BUMN bukanlah sebagai BUMN, melainkan sebagai perseroan terbatas biasa yang tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas. UU BUMN tidak diberlakukan bagi anak perusahaan BUMN. Penegasan bahwa kedudukan anak perusahaan BUMN bukan sebagai BUMN dibuktikan dengan konsep BUMN berdasarkan UU BUMN, termasuk konsep perusahaan negara dalam UU Keuangan Negara, ketentuan PP 72 tahun 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019; 181 17. Oleh karena anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN dan UU BUMN tidak diberlakukan bagi anak perusahaan BUMN, maka ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang menjadi objek permohonan, tidak dapat diberlakukan bagi anak perusahaan BUMN. III. Konstitusionalitas Privatisasi 1. Privatisasi BUMN telah diatur dalam UU BUMN. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 dinyatakan bahwa Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat;
Prinsip privatisasi dan kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi diatur dalam Pasal 75, bahwa Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip- prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran;
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 76 diatur mengenai Persero yang dapat diprivatisasi yang sekurang-kurangnya harus memenuhi kriteria:
industri/sektor usahanya kompetitif; atau
industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah.
Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang- undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi;
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 77 diatur bahwa Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; 182 d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.
Mekanisme (tata kelola) privatisasi diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 78 sampai Pasal 86 UU BUMN. Diantaranya bahwa pemerintah harus membentuk Komite Investasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, larangan benturan kepentingan dan kewajiban menjaga kerahasiaan informasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses privatisasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai privatisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah;
Mengenai isu konstitusionalitas privatisasi telah pernah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003. Pendapat Mahkamah Konstitusi dapat ditemukan pada halaman 336-337 bahwa: “Menimbang bahwa di samping itu, untuk menjamin prinsip efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional“, maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.” 7. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur ( regelendaad ), mengurus ( bestuursdaad ), mengelola 183 ( beheersdaad ), dan mengawasi ( toezichthoudensdaad ) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat;
Dalam pertimbangan selanjutnya, halaman 346, Mahkamah menyatakan bahwa: “…pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha dimaksud. Hal tersebut harus dipahami bahwa meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif dalam BUMN akan tetapi harus dipertahankan posisi negara untuk tetap sebagai pihak yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan yang menggambarkan penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan.” 9. Pertimbangan hukum yang disampaikan Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas memberikan jawaban atas pertanyaan konstitusionalitas privatisasi BUMN. Memang, pertimbangan hukum tersebut relevan dengan isu privatisasi BUMN, tidak mencakup isu privatisasi anak perusahaan BUMN. Akan tetapi, pada pinsip pokoknya, privatisasi itu tidak dilarang. Dalam konteks penguasaan oleh negara berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 pun, privatisasi tidak dilarang dengan catatan, privatisasi tersebut tidak membuat negara kehilangan penguasaan atas pengelolaan sumber daya alam. Kesimpulan 1. Pada prinsipnya, negara tidak boleh kehilangan penguasaan atas pengelolaan sumber daya alam, dalam hal ini Migas. Penguasaan oleh negara diwujudkan dengan keterlibatan BUMN dalam pengelolaan Migas.
Anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN, sehingga UU BUMN tidak dapat diberlakukan bagi anak perusahaan BUMN.
Privatisasi adalah kebijakan yang konstitusional, asalkan tidak membuat negara kehilangan penguasaan atas pengelolaan sumber daya alam. [2.6] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dan ditetapkan oleh 184 Mahkamah sebagai Pihak Terkait, selanjutnya memberikan keterangan tertulis pada 8 September 2020, yang diperbaiki dan perbaikannya diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 6 November 2020. Keterangan dimaksud dibacakan dalam persidangan pada 9 November 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Bahwa perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 24C ayat (1) telah menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.” __ Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, wewenang yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (1), yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” 2. Bahwa dalam undang-undang pembentukannya, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) kembali ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1), yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Sementara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 9 ayat (1) menyatakan, “Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. ” 3. Bahwa Perbaikan Keterangan Pihak Terkait a quo diajukan terhadap Perbaikan Permohonan Pengujian Pasal 77 Huruf c dan d UU BUMN yang senyatanya tergolong sebagai peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang. Sebagaimana telah dijabarkan oleh angka 1 dan 2 di atas dapat diketahui bahwa pengujian atas peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 merupakan 185 wewenang Mahkamah Konstitusi. Atas dasar itu, jelaslah Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menerima, memeriksa dan memutus Keterangan Pihak Terkait a quo. II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING ) PIHAK TERKAIT 4. Bahwa UU MK menyatakan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, ” di antaranya adalah, “Perorangan warga negara Indonesia,” __ dan “Badan hukum publik atau privat. ” Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang khususnya Pasal 14 ayat (1) disebutkan, “Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan. ” Ayat (2) menyebutkan, “Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan.” __ Sementara ayat (3) ketentuan yang sama menegaskan, “Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR dan/atau DPD.” 5. Bahwa Pihak Terkait adalah Perusahaan Negara (PN) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1968 tentang Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN PERTAMINA). Dari yang semula bentuk Perusahaan Negara (PN) dan kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) sehingga setelah lahirnya UU BUMN, Pihak Terkait bertransformasi menjadi PT Pertamina (Persero) melalui Akta Pendirian Nomor 20 tanggal 17 September 2003 di hadapan Lenny Janis Ishak, S.H., Notaris di Jakarta.
Bahwa selanjutnya pada tahun 2018 Pihak Terkait mengalami perubahan anggaran dasar melalui Akta Perubahan Nomor 29 tanggal 13 April 2018 di hadapan Aulia Taufani, S.H., Notaris di Jakarta yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Keputusan Nomor AHU- 186 0008395.AH.01.02 Tahun 2018 tanggal 13 April 2018 yang mana Pihak Terkait dapat menjalankan usaha utama di antaranya:
melaksanakan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi;
melaksanakan kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi;
menyelenggarakan kegiatan di bidang energi listrik, termasuk tetapi tidak terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi energi panas bumi, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB), pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan energi listrik yang dihasilkan perseroan;
melaksanakan kegiatan pengelolaan yang menghasilkan bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar khusus, bahan bakar non-minyak, Petrokimia, bahan bakar diesel, gas alam cair (LNG) dan gas cair (GTL) maupun produk-produk intermedia;
melaksanakan kegiatan penyediaan bahan baku, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga bahan bakar nabati ( Biofuel );
melaksanakan kegiatan pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, BBM, bahan bakar gas dan/atau hasil/produk lainnya untuk tujuan komersil;
melaksanakan kegiatan penyimpanan yang meliputi kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan dan pengeluaran minyak bumi, BBM, bahan bakar gas dan/atau hasil/produk lainnya untuk tujuan komersil;
melaksanakan kegiatan niaga yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor minyak bumi, BBM, bahan bakar gas dan/atau hasil/produk lainnya, penyaluran gas bumi melalui pipa termasuk niaga energi listrik yang dihasilkan perseroan; dan
melaksanakan kegiatan pengembangan, eksplorasi, produksi dan niaga energi baru dan terbarukan, coal bed methane (CBM), batu bara cair, batu bara tergaskan ( Gasifired Coal ), shale gas , shale oil , bahan bakar nabati, energi surya, energi angin dan biomasa.
Bahwa Pasal 1 angka 1 UU BUMN menyatakan, “Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” __ Pihak Terkait adalah perseroan yang 100% (seratus persen) sahamnya dimiliki 187 oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui kepemilikan saham atas nama Kementerian Badan Usaha Milik Negara dengan sahamnya yang 100% (seratus persen) dimiliki oleh pemerintah maka Pihak Terkait jelaslah berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan setelahnya telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diuji;
kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Perbaikan Permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Bahwa Pihak Terkait berkepentingan secara langsung dengan pengujian a quo karena Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang menegaskan bahwa Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah, “Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, ” serta “Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi.” __ Oleh karena Pihak Terkait __ berstatus sebagai persero maka dapat dipastikan akan ada hak-hak Pihak Terkait yang akan terpengaruh, terkurangi atau bahkan hilang apabila Perbaikan Permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Bahwa lebih jauh lagi, permintaan tafsir konstitusional yang diajukan Pemohon dalam petitumnya yang meminta Mahkamah Konstitusi agar, “Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang-Undang 188 Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero,” __ secara nyata akan menghilangkan hak Pihak Terkait/Anak Perusahaan untuk melakukan rencana-rencana pengembangan usaha/ekspansi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat antara lain melalui restrukturisasi agar Pihak Terkait lebih ramping, efisien serta meningkatkan kinerja untuk dapat melakukan privatisasi di masa yang akan datang. Dengan demikian, kerugian Pihak Terkait memanglah bersifat potensial karena baru muncul jika Perbaikan Permohonan Pemohon dikabulkan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi dalam penalaran yang wajar dapat dipastikan kerugian itu tidak akan pernah terjadi apabila Perbaikan Permohonan Pemohon itu tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Bahwa oleh karena terdapat hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional __ yang akan menimpa Pihak Terkait dengan Perbaikan Permohonan Pemohon atas pengujian Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN jika dikabulkan Mahkamah Konstitusi, maka Pihak Terkait jelas memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan Perbaikan Keterangan Pihak Terkait atas Perbaikan Permohonan pengujian yang diajukan Pemohon a quo . III. DALAM EKSEPSI 1. EKSEPSI KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ): PEMOHON TIDAK MEMILIKI KEPENTINGAN HUKUM DENGAN OBJEK PENGUJIAN 12. Bahwa pada poin 16 halaman 11 bagian kedudukan hukum Perbaikan Permohonan Pemohon, Pemohon mendalilkan potensi kerugian-kerugian konstitusional akibat ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedudukan energi nasional menjadi terancam 189 sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah diatur dalam anggaran dasar dari FSPPB. B. Berpotensi nyata sumber daya alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja Pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam. C. Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT Pertamina (Persero) maupun anak-anak perusahaannya akibat potensi nyata terjadinya privatisasi dan/atau pelepasan seluruh saham anak- anak perusahaan ke pihak perorangan/swasta. Bahwa seharusnya anak perusahaan persero yang bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan masyarakat dilarang untuk diprivatisasi. D. Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) kepada pihak swasta/perorangan. E. Kualitas hidup dan kesejahteraan para pekerja pada perusahaan grup PT Pertamina (Persero) dan/atau BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh negara. F. Berpotensi dilakukannya pemutusah hubungan kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada pihak swasta/perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam Pasal 163 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahan. 190 13. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan setelahnya telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diuji;
kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Perbaikan Permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Bahwa faktanya, dalil-dalil yang Pemohon uraikan dalam Perbaikan Permohonan a quo tidak menjelaskan tentang kerugian konstitusional Pemohon sebagaimana pengertian kerugian konstitusional yang telah dijelaskan di Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Alih-alih menguraikan hak dasar yang dijamin UUD NRI Tahun 1945 yang telah dilanggar, Pemohon justru mendasarkan kerugian konstitusionalnya dengan mengklaim pertentangan pasal 77 huruf c dan d UU BUMN dengan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai kerugian konstitusionalnya. Pasal 33 ayat (2) dan (3) bukanlah pasal yang mengatur hak-hak konstitusional Pemohon guna membuktikan Pemohon berkedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo , melainkan sudah masuk bagian persoalan norma yang harus dibuktikan Pemohon pada bagian pokok perkara.
Bahwa dengan tidak menguraikan pasal berapa dari UUD NRI Tahun 1945 jaminan hak konstitusional Pemohon itu telah dilanggar, maka dapat Pihak Terkait tegaskan sejatinya tidak ada satu pun hak konstitusional Pemohon yang secara spesifik/aktual maupun potensial yang telah dirugikan oleh pasal 77 huruf c dan d UUD NRI Tahun 1945. Dengan ketiadaan kerugian 191 konstitusional itu, Pemohon jelas tidak memiliki kepentingan hukum untuk mempermasalahkan pasal 77 huruf c dan d UUD NRI Tahun 1945 dalam perbaikan permohonannya, sehingga cukup alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. 16. Bahwa pada posita Perbaikan Permohonan Pemohon angka 10 bagian II tentang Kedudukan Hukum dan Kepentingan Hukum, Pemohon telah menguraikan tugas organisasi Pemohon di antaranya, “(1) memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota beserta keluarganya;
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya;
menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan; dan
memperjuangkan kedaulatan energi nasional.” Kesemua tugas itu tertuang dalam Anggaran Dasar Organisasi Pemohon selaku Federasi Serikat Pekerja dalam lingkungan Pihak Terkait.
Bahwa meskipun Pemohon mencantumkan dalam anggaran dasar organisasinya tugas-tugas yang salah satunya adalah “menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan”, __ akan tetapi Pemohon tetap tidak memiliki kepentingan hukum atas pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji karena __ Pemohon bukanlah pihak yang diberikan hak ataupun dibebankan kewajiban oleh hukum untuk menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan in casu Pihak Terkait maupun anak/perusahaan milik Pihak Terkait. Peraturan perundang-undangan yang berlaku telah menentukan bahwa yang berhak dan sekaligus berkewajiban menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan adalah organ pengurus perusahaan sendiri, yakni direksi. Untuk perseroan atau badan usaha milik negara misalnya, Pasal 5 ayat (2) UU BUMN menegaskan bahwa, “Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan.” __ Begitu pun dalam Pasal 21 UU BUMN disebutkan, “Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana jangka panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan Persero yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. ” 18. Bahwa begitu pun halnya untuk perusahaan swasta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) di mana tanggung jawab menjaga kelangsungan bisnis dan 192 eksistensi perusahaan juga menjadi tanggung jawab direksi. Dalam Pasal 92 ayat (1) dan (2) UU PT dijabarkan tanggung jawab direksi, yakni “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan,” serta “Direksi berwenang menjalankan pengurusan ... sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.” 19. Bahwa atas dasar itu meskipun Pemohon mengklaim memiliki hak karena telah mencantumkan tugas organisasi yang salah satunya adalah untuk “menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan”, __ akan tetapi Pemohon sendiri bukanlah organ perusahaan yang oleh hukum dibebankan hak dan/atau kewajiban untuk itu. Bahkan UU BUMN yang dimohonkan Pemohon untuk diuji dalam perbaikan permohonannya juga tidak memberikan hak dan/atau kewajiban untuk itu.
Bahwa selain alasan kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan, Pemohon juga mendasarkan Perbaikan Permohonan Pemohon a quo kepada salah satu tugas organisasinya yang dicantumkan dalam anggaran dasar, yakni “Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya.” __ Dengan dasar itu, pada poin 16 huruf e halaman 11 bagian kedudukan hukum Perbaikan Permohonan Pemohon, Pemohon mendalilkan bahwa Pemohon memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN karena mengakibatkan, “Kualitas hidup dan kesejahteraan Pegawai Perusahaan Group PT Pertamina (Persero)/BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol baik oleh negara.” 21. Bahwa quod non, jika pun benar Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN memberikan akibat hukum kepada kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai perusahaan group PT Pertamina (Persero)/BUMN beserta keluarganya, maka yang akan terkena akibat langsung maupun tidak langsung atas akibat hukum tersebut bukan Pemohon, sebab Pemohon bukanlah pribadi-pribadi ( natuurlijk persoon ) pekerja yang bekerja pada PT Pertamina (Persero) (Pihak Terkait) dan perusahaan milik/anak perusahaan 193 PT Pertamina (Persero). Pemohon hanyalah wadah (federasi) yang menaungi serikat-serikat pekerja sebagai anggotanya.
Bahwa sebagai organisasi berbentuk federasi, Pemohon bukanlah wadah organisasi yang menaungi pekerja PT Pertamina (Persero) dan perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero) secara langsung, melainkan hanya wadah yang menaungi serikat-serikat para pekerja. Dengan posisi demikian, Pemohon tidak dapat mengklaim bertindak mewakili dan tidak pula dapat mempertahankan hak-hak pekerja secara langsung sebab antara Pemohon dengan pekerja sejatinya tidak terjalin hubungan hukum secara langsung. Yang memiliki hubungan hukum secara langsung dengan pekerja justru adalah para serikat pekerja (anggota FSPPB/Pemohon).
Bahwa terkait dalil Pemohon yang memandang memiliki organization standing dengan menukilkan dua pengujian yang pernah diajukan dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tidak serta-merta dapat dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa Pemohon juga memiliki kedudukan hukum dalam Perbaikan Permohonan Pemohon a quo. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 misalnya, Pemohon jelas memiliki kedudukan hukum untuk menguji Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena pokok permohonan dalam pengujian itu memang mengenai hak-hak serikat pekerja sehingga Pemohon untuk mengurusi hak-hak anggotanya (serikat pekerja).
Bahwa begitu pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU- X/2012, sebagaimana pertimbangan [3.8] dan [3.9] halaman 70. Diterimanya kedudukan hukum Pemohon permohonan tersebut dikarenakan pasal-pasal yang dimohonkan diuji berpotensi membawa dampak ekonomi biaya tinggi terhadap pelaksanaan usaha minyak dan gas bumi sehingga berpotensi berpengaruh secara langsung kepada kesejahteraan pekerja yang diwakili oleh serikat pekerja. Sementara dalil kerugian konstitusional yang diajukan Pemohon dalam Perbaikan Permohonan Pemohon a quo jelas berbeda dan tidak spesifik seperti dua permohonan sebelumnya.
Bahwa penegasan organisasi atau badan hukum tidak selamanya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan juga dapat ditemui 194 dalam putusan Mahkamah Konstitusi, salah satunya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XII/2014 yang memutus Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola hutan. APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) selaku pemohon dalam perkara tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kedudukan hukum karena wewenang untuk mewakili kepentingan daerah termasuk soal pengelolaan hutan telah diberikan undang-undang kepada pemerintahan daerah (Bupati bersama DPRD Kabupaten) dan bukan kepada APKASI. Begitu pula dengan Perbaikan Permohonan Pemohon a quo, meskipun Pemohon mencantumkan tugas-tugas organisasinya untuk meyakinkan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), akan tetapi kerugian konstitusional yang didalilkan itu bukan hak dan/atau kewajiban Pemohon bahkan sama sekali tidak dialami oleh Pemohon.
Bahwa berdasarkan uraian angka 12 sampai dengan 25 di atas, selain karena tidak menguraikan secara spesifik hak konstitusionalnya yang mana yang telah dirugikan oleh berlakunya pasal 77 huruf c dan d UU BUMN, dapat disimpulkan pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tidak terbukti sehingga Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum atas objek pengujian. Oleh karena Pemohon tidak memiliki kepentingan atas pasal-pasal yang dimohonkan dalam perbaikan permohonannya, maka telah cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan Perbaikan Permohonan __ Pemohon a quo sehingga cukup pula dasar dan alasan hukumnya untuk menyatakan Perbaikan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard ) . 2. EKSEPSI PERMOHONAN KABUR ( OBSCUUR LIBEL ): PIHAK YANG MENDERITA KERUGIAN KONSTITUSIONAL TIDAK JELAS 27. Bahwa Pihak Terkait memandang tidak terdapat keselarasan antara fundamentum petendi atau posita yang diuraikan oleh Pemohon dalam perbaikan permohonannya dengan hal yang diminta kepada Mahkamah 195 Konstitusi untuk diputuskan pada bagian petitum perbaikan permohonannya. Pada bagian posita, khususnya bagian yang menguraikan kedudukan hukum, Pemohon menguraikan dalil kerugian konstitusional di mana kepentingan hukum yang coba dipertahankan oleh Pemohon agar tidak menjadi kerugian konstitusional di kemudian hari adalah kepentingan hukum organisasinya ( organization standing ). Pemohon menganggap Pasal 77 huruf c dan d berpotensi menghalangi Pemohon melaksanakan tugas organisasi yang telah dicantumkan dalam anggaran dasar yang di antaranya: “(1) memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota beserta keluarganya;
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya;
menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan; dan
memperjuangkan kedaulatan energi nasional.” 28. Bahwa pada bagian posita yang lain khususnya yang menguraikan alasan- alasan yang mendasari Perbaikan Permohonan Pemohon ternyata lebih banyak menguraikan potensi kerugian konstitusional negara dan kerugian konstitusional masyarakat luas apabila Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tetap diberlakukan. Pada dalil posita angka 16 huruf a halaman 10 - 11 Perbaikan Permohonan Pemohon, Pemohon menyatakan, “Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan Energi Nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah diatur dalam anggaran dasar FSPPB.” __ Begitu pun pada dalil posita angka 16 huruf b halaman 11, Pemohon menyatakan, “….berpotensi nyata Sumber Daya Alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja Pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak 196 swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam. ” 29. Berdasarkan uraian angka 27 dan 28 di atas, jelaslah terdapat ketidakselarasan di antara bagian-bagian dalam posita permohonan Pemohon di mana tidak diketahui secara pasti sebetulnya kerugian konstitusional siapa yang coba dipertahankan oleh Pemohon melalui Perbaikan Permohonan Pemohon a quo . Apakah kerugian konstitusional organisasi Pemohon selaku FSPPB? Apakah kerugian konstitusional para pekerja pada PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaan atau perusahaan milik PT Pertamina (Persero) yang serikat-serikatnya bernaung di bawah Pemohon? Apakah kerugian konstitusional negara yang berpotensi kehilangan hak penguasaannya? Ataukah kerugian konstitusional masyarakat umum secara luas? Pemohon sendiri hanya berkedudukan sebagai federasi dari serikat-serikat pekerja sehingga hanya berhak bertindak dan mewakili serikat pekerja yang menjadi anggotanya saja. Dengan berbagai klaim kerugian yang berbeda-beda itu, maka menjadi tidak jelas pula untuk siapa dan pada posita bagian yang mana petitum Perbaikan Permohonan Pemohon itu diminta untuk dikabulkan.
Bahwa oleh karena tidak terdapat kejelasan antara apa yang didalilkan dalam posita Perbaikan Permohonan Pemohon dengan petitum yang diminta untuk dikabulkan, maka terdapat cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Perbaikan Permohonan Pemohon kabur dan tidak jelas atau obscuur libel serta menyatakannya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). IV. DALAM POKOK PERMOHONAN Bahwa apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat Perbaikan Permohonan Pemohon memenuhi syarat formil sehingga dapat diteruskan dalam pemeriksaan pokok perkara, maka sebelum menguraikan dalil-dalil bantahan atas pokok Perbaikan Permohonan Pemohon, Pihak Terkait terlebih dahulu mengaskan bahwa ketentuan norma Pasal 77 Huruf c dan d UU BUMN tidak bertentangan terhadap Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan norma Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak bertentangan karena tidak mereduksi penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) 197 atas cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan karena tidak mereduksi penguasaan negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Berikut ini Pihak Terkait uraikan argumentasi yuridis yang mendasari dalil bantahan Pihak Terkait: IV.1 ARGUMENTASI YURIDIS I: PASAL 77 HURUF C DAN D UU BUMN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 AYAT (2) UUD NRI TAHUN 1945 KARENA TIDAK MEREDUKSI PENGUASAAN NEGARA DALAM BENTUK PENGELOLAAN ( BEHEERSDAAD ) ATAS CABANG- CABANG PRODUKSI PENTING YANG MENGUASAI HAJAT HIDUP ORANG BANYAK 31. Bahwa Pihak Terkait membantah dalil-dalil Pemohon yang diuraikan pada angka 1 sampai dengan angka 37 halaman 13 - 26 perbaikan permohonannya, yang pada pokoknya menyatakan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. ” Di antara dalil Pemohon tersebut menyatakan sebagai berikut: • bahwa hak menguasai negara salah satunya berbentuk pengelolaan, yaitu hak pengelolaan itu dilakukan oleh BUMN; • bahwa hak menguasai negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dilakukan dengan membentuk Badan Usaha Milik Negara berdasarkan UU BUMN; • bahwa kegiatan Perusahaan Group PT Pertamina (Persero) dan anak- anak perusahaannya adalah sama sebagaimana dimaksud Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN; • bahwa apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero akan berpotensi terjadinya privatisasi dan hilangnya eksistensi terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan dari persero karena anak perusahaan persero bukan perusahaan persero melainkan perseroan terbatas biasa sehingga tidak 198 tunduk pada UU BUMN dan tunduk sepenuhnya pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; dan • bahwa apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero akan berpotensi menyebabkan negara tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) karena sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi.
Bahwa berdasarkan uraian dalilnya di atas, Pemohon pada pokoknya menyampaikan kekhawatiran apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero akan berpotensi menyebabkan negara tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) karena sebagian besar sahamnya dikhawatirkan akan dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi. Dalam uraian yang disampaikan Pemohon pada bagian ini, Pemohon sama sekali tidak mendukung dalil-dalilnya dengan teori ataupun argumentasi hukum yang cukup untuk mendasari kekhawatirannya itu memang besar kemungkinan akan terjadi di kemudian hari. Dengan kata lain, Pihak Terkait dapat menegaskan bahwa kekhawatiran Pemohon diuraikan dalam perbaikan permohonannya itu tidak beralasan hukum sama sekali.
Bahwa hak menguasai negara yang diwujudkan dengan hak pengelolaan ( beheersdaad ) adalah satu dari sekian wujud penguasaan oleh negara untuk memanfaatkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Penguasaan untuk kemaslahatan orang banyak itu tiada lain untuk mencapai tujuan bernegara yang dituangkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu “Memajukan kesejahteraan umum.” Hak menguasai itu diperoleh negara dari konsepsi kedaulatan rakyat sebagai konsekuensi sistem demokrasi perwakilan yang telah kita pilih sesuai Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945, yakni bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Oleh karena demikian, pelaksanaan 199 pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah bentuk implementasi kedaulatan rakyat yang sah menurut UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.” __ Dengan demikian, pelaksanaan pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak itu diatur lebih detail dalam produk hukum peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang. Ketentuan pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945 telah menegaskan, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” __ Atas dasar itu, untuk menentukan pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah bersama DPR (pembuat undang-undang). Presiden dan DPR lah yang diberikan kewajiban hukum untuk menilai dan menentukan bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak itu, termasuk di antaranya adalah menentukan pengelolaannya adalah dalam konteks pelaksanaan privatisasi.
Bahwa kekhawatiran Pemohon pada perusahaan perseroan dan perusahaan milik perseroan/anak perusahaan perseroan yang dilakukan privatisasi akan menggerus hak menguasai negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) bukanlah persoalan baru. Hal itu telah telah diputuskan Mahkamah Konstitusi secara komprehensif dalam putusan- putusannya yang lalu. Selain menjabarkan ruang lingkup penguasaan negara yang lebih detail, Mahkamah Konstitusi bahkan menegaskan hak untuk menentukan bentuk dan momentum pengelolaan ( beheersdaad ) atas setiap cabang-cabang produksi penting bagi negara secara berbeda/tidak seragam satu sama lain dan sepenuhnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk menentukan apakah tetap perlu melakukan penguasaan 100% (seratus persen) atau dapat melibatkan sebagian pengelolaannya dengan pihak swasta melalui privatisasi. 200 36. Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan pelepasan saham PT Pertamina (Persero) kepada publik/swasta/perorangan sehingga menyebabkan PT Pertamina (Persero) terhambat dalam memperoleh prioritas usaha kerja tidaklah relevan dengan kondisi yang saat ini terjadi. Perlu kami tegaskan proses restrukturisasi PT Pertamina (Persero) tidak mempengaruhi keberlakuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (“PP 35/2004”) karena PT Pertamina (Persero) selaku BUMN sahamnya tetap dimiliki oleh negara sebanyak 100% (seratus persen). Lebih daripada itu, Peraturan Pemerintah adalah peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya sebagai wujud dari politik hukum pemerintah dalam menjalankan suatu undang-undang. Selain sebagai pemegang saham 100% (seratus persen) Pihak Terkait, pemerintah juga berwenang menentukan politik hukum pelaksanaan undang-undang sepanjang tidak bertengan dengan ketentuan perundang-undangan di atasnya;
Bahwa kekhawatiran Pemohon terhadap pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN kepada swasta/perorangan (privatisasi) yang berpotensi menghilangkan hak menguasai negara tidaklah berdasar. Penguasaan terhadap usaha migas tetap dilakukan secara langsung oleh negara melalui badan yang disebut dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Minyak dan Gas (SKK Migas). PT Pertamina (Persero) dalam melakukan restrukturisasi telah sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”) dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 yang pada intinya menyatakan dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta.
Bahwa Pemohon keliru mendasarkan argumentasi hukum yang menyamakan masalah penggabungan ( bundling ) __ dan pemecahan ( unbundling ) __ cabang produksi migas dengan cabang produksi listrik sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-I/2003. Perbandingan putusan yang Pemohon buat tidak relevan, mengingat 201 unbundling listrik tidak dapat disamakan terhadap unbundling migas. Oleh karena itu, rujukan Putusan Mahkamah Konstitusi soal ketenagalistrikan, yakni Putusan Nomor 001/PUU-I/2003 yang dipergunakan Pemohon untuk menguatkan dalil perbaikan permohonannya tidak tepat. Pemohon semestinya menggunakan rujukan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 karena objek permasalahan yang diujikan dalam putusan tersebut dengan permohonan Pemohon adalah sama-sama persoalan minyak dan gas.
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa privatisasi listrik dengan sistem unbundling kepada pengelola yang berbeda tidak tepat untuk diterapkan karena kondisi pasar tenaga listrik yang terpusat di Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Jika bisnis tenaga listrik yang padat modal dipaksa menerapkan unbundling maka yang dirugikan justru negara dan masyarakat karena pengembangan itu hanya akan terpusat di pasar-pasar yang sudah terbentuk tadi dan tidak akan berkembang pada daerah lain yang pasarnya belum terbentuk. Akibatnya pemerataan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan negara tidak akan tercapai. Hal ini ditegaskan Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-I/2003 halaman 347: “Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang beraspek komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud penguasaan negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian yang akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli yang diajukan pemohon telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.” 202 40. Bahwa berbeda dengan karakter cabang produksi ketenagalistrikan, dalam cabang produksi minyak dan gas, unbundling dan pelibatan pihak swasta melalui privatisasi justru mendatangkan efisiensi yang berkeadilan sehingga pengelolaan ( beheersdaad ) oleh negara dapat memaksimalkan pemanfaatannya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya, untuk membantah kekhawatiran Pemohon atas privatisasi dalam Perbaikan Permohonan a quo, oleh karena konteks perseroan dan perusahaan milik perseroan/anak perusahaan perseroan yang dijabarkan sebagai contoh adalah PT Pertamina (Persero) dan perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero) maka Putusan Mahkamah Konstitusi atas UU Migas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU- I/2003 lebih relevan untuk dijadikan acuan untuk menilai persoalan a quo . Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menguraikan tafsir pengelolaan negara ( beheersdaad ) sebagai berikut:
Mahkamah Konstitusi Kembali Menegaskan Penguasaan oleh Negara Bersumber dari Kedaulatan Rakyat yang Pelaksanaannya Dilakukan Menurut UUD NRI Tahun 1945 Pertimbangan Mahkamah Konstitusi halaman 207 menyatakan: “....konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapatlah dipahami bahwa penguasaan cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak berpusat kepada kepentingan pemilik kedaulatan bernegara yakni rakyat. Oleh karenanya, motivasi penguasaan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak oleh negara semata untuk mencapai tujuan bernegara “memajukan kesejahteraan umum” sekaligus wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat itu sendiri. 203 b. Mahkamah Konstitusi Kembali Menegaskan Pengelolaan ( Beheersdaad ) adalah Salah Satu Bentuk Penguasaan Negara Pertimbangan Mahkamah Konstitusi halaman 208 – 209 menyatakan: “....rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan ( beleid ) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ), dan pengawasan ( toezichthoudensdaad ) untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan ( bestuursdaad ) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( consessie ). Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber- sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat....” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas, dapat dipahami bahwa penguasaan oleh negara termasuk salah satunya peran negara dalam melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) di mana negara dapat melakukannya dengan mekanisme pemilikan saham dan/atau terlibat secara langsung dalam struktur BUMN atau BUMN sebagai instrumen kelembagaan yang dengan peran pengelolaannya itu negara melalui pemerintah mendayagunakan sumber-sumber kekayaan itu untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.
Mahkamah Konstitusi Menegaskan Bentuk Pengelolaan ( Beheersdaad ) Masing-Masing Cabang Produksi Berbeda Satu Sama Lain dan Sepenuhnya Menjadi Wewenang Pemerintah dan DPR untuk Menentukan ( Open Legal Policy ) Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada halaman 209 menyatakan: “Bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) 204 dikuasai oleh negara, tergantung pada dinamika perkembangan kondisi kekayaan masing-masing cabang produksi.” Mahkamah Konstitusi melanjutkan: “....yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang- cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak.” Selanjutnya pada Pertimbangan Mahkamah Konstitusi halaman 210 ditegaskan: “Menimbang bahwa atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada halaman 209 dan 210 di atas, dapatlah dipahami bahwa sumber penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat. Sebagai organ negara yang diserahi tugas mengemban dan melaksanakan kedaulatan rakyat itu, pemerintah bersama DPR berhak sekaligus berkewajiban menentukan, sesuai dengan perkembangan kondisi cabang produksi masing-masing, bagaimana penguasaan 205 negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) itu akan dilakukan, apakah tetap dikuasai pengelolaannya 100% (seratus persen) ataukah dapat melibatkan pihak swasta dengan mekanisme pasar. Dengan demikian, keputusan untuk menentukan bentuk pengelolaannya, termasuk kebijakan privatisasi atasnya murni merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ) dari pemerintah bersama DPR.
Mahkamah Konstitusi Kembali Menegaskan Penguasaan Negara dalam Kepemilikan Privat Bersifat Relatif sehingga Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 Tidak Menolak Privatisasi dan Ide Kompetisi di antara Pelaku Usaha Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada halaman 211 menyatakan: “Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, ‘perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional’, maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.” __ Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan: “Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur ( regelendaad ), mengurus ( bestuursdaad ), mengelola ( beheersdaad ), dan mengawasi ( toezichthoudensdaad ) cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” 206 Berdasarkan pertimbangan Mahkamah di atas dapatlah dipahami bahwa penguasaan negara berbentuk pengelolaan ( beheersdaad ) dalam artian penguasaan kepemilikan perdata atas saham dalam cabang produksi yang diusahakan tidak harus mutlak 100% (seratus persen) melainkan mayoritas relatif sepanjang penguasaan negara atas sumber-sumber kekayaan itu dapat terpelihara sebagaimana mestinya. Mahkamah juga telah menegaskan bahwa UUD NRI Tahun 1945 sama sekali tidak menolak privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan bentuk-bentuk penguasaan negara secara kumulatif. Terlebih jika privatisasi ternyata memberikan manfaat yang lebih baik bagi kemampuan negara untuk mendatangkan manfaat lebih besar bagi hajat hidup orang banyak.
Mahkamah Konstitusi Menegaskan Konsep Penguasaan Negara dalam UU Migas sudah Cukup Jelas sehingga Pengelolaannya ( Beheersdaad ) termasuk Privatisasi Tidak Bertentangan dengan Konstitusi Pada pertimbangan halaman 221, Mahkamah Konstitusi menegaskan: “Menimbang bahwa berdasarkan pengertian ‘penguasaan oleh negara’ yang telah menjadi pendirian Mahkamah dalam hubungannya dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas, ditambah dengan keterangan lisan dan tertulis Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat serta pendapat para ahli, telah nyata bagi Mahkamah bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Para Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga tidak terbukti pula undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945. Karena substansi penguasaan oleh negara tampak cukup jelas dalam alur pikiran undang- undang a quo baik pada sektor hulu maupun hilir, kendati pun menurut Mahkamah masih ada hal-hal yang harus dipastikan jaminan penguasaan oleh negara tersebut sebagaimana nanti akan tampak dalam butir-butir pertimbangan Mahkamah atas pasal-pasal yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut berbeda dengan Undang-undang Ketenagalistrikan yang telah diuji oleh Mahkamah dengan Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 yang dibacakan pada tanggal 15 Desember 2004, yang alur pikir tentang prinsip penguasaan negara dimaksud tidak tampak dengan jelas penjabarannya dalam pasal-pasal Undang- undang Ketenagalistrikan tersebut yang seharusnya menjadi acuan pertama dan utama sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Perbedaan alur pikir dimaksud tercermin dalam konsiderans ‘Menimbang’ kedua undang-undang yang bersangkutan, yang kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal kedua undang-undang a quo .” 207 Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menjadi jelas bahwa Mahkamah kembali mempertegas konsep penguasaan negara pada setiap cabang-cabang produksi tidak seragam dan bergantung kepada kondisi masing-masing. Konteks penguasaan negara pada cabang produksi kelistrikan tidak dapat disamakan dengan konteks penguasaan negara pada cabang produksi minyak dan gas sehingga begitu pun dengan perbaikan permohonan yang diajukan oleh Pemohon a quo. Konteks penguasaan negara yang semestinya dijadikan rujukan oleh Pemohon bukanlah penguasaan negara secara penuh layaknya cabang produksi kelistrikan sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, melainkan penguasaan negara pada minyak dan gas bumi sebagaimana telah diputuskan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003. Dalam putusan yang terakhir a quo, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa privatisasi dalam bidang cabang produksi migas telah nyata tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi Menegaskan Unbundling pada Cabang Produksi Minyak dan Gas Tidak Mengurangi Penguasaan oleh Negara justru Menghindari Praktik Monopoli Migas yang Merugikan Masyarakat Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada halaman 225 menyatakan: “Para Pemohon mendalilkan, pola industri minyak dan gas nasional yang memisahkah antara kegiatan hulu dan hilir ( unbundling ), sebagaimana diatur dalam Pasal 10 undang- undang a quo , akan berakibat lebih mahalnya biaya/harga produk bahan bakar minyak dan non-bahan bakar minyak karena setiap sektor kegiatan mempunyai biaya dan profit tersendiri. Hal ini, oleh Para Pemohon, juga dinilai bertentangan dengan trend industri minyak dan gas dunia. Pasal 10 dimaksud menyatakan, ‘(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu’. Adanya Pasal 10 haruslah dipahami agar supaya tidak terjadi pemusatan penguasaan minyak dan gas bumi di satu tangan sehingga mengarah kepada monopoli yang merugikan kepentingan masyarakat. Namun, ketentuan pasal dimaksud harus ditafsirkan tidak berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh negara yang justru harus diberdayakan agar penguasaan negara menjadi semakin kuat. Pasal 61 yang termasuk dalam Ketentuan 208 Peralihan harus ditafsirkan bahwa peralihan dimaksud terbatas pada status Pertamina untuk menjadi persero dan tidak menghapuskan keberadaannya sebagai Badan Usaha yang masih tetap melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha hilir dan hulu tersebut harus dilakukan oleh dua Badan Usaha ‘Pertamina Hulu’ dan ‘Pertamina Hilir’ yang keduanya tetap dikuasai oleh negara. Dengan alur pikir demikian, kekhawatiran Para Pemohon menjadi tidak beralasan.” Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa unbundling pada cabang produksi migas tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pelaksanaan usaha hulu dan hilir melalui badan hukum terpisah tetap dikuasai oleh negara. Dengan logika yang sama, privatisasi jelas bukan hal yang terlarang dilakukan sepanjang posisi mayoritas relatif negara dipertahankan dan tidak mengganggu negara untuk menjaga pelaksanaan sektor migas untuk penguasaan hajat hidup orang banyak.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, selain berfungsi sebagai penjaga konstitusi atau guardian of constitution, Mahkamah Konstitusi sejatinya adalah satu-satunya penafsir tunggal konstitusi atau the sole interpreter of constitution. Oleh karena itu, untuk persoalan norma-norma yang telah dipertimbangkan dan diputuskan tafsirnya oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang bersifat final dan mengikat sejatinya telah tertutup ruang bagi siapa pun untuk memperdebatkannya kembali. Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan dan memutus tafsir atas persoalan a quo dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 di atas. Bahwa cabang produksi migas tidak terlarang untuk dilakukan unbundling dan privatisasi, bahkan privatisasi itu sendiri adalah salah satu wujud penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) di mana penguasaan negara atas kepemilikan cabang produksi dalam ranah hukum perdata tidak harus 100% (seratus persen) mutlak, melainkan sepanjang ia tetap mayoritas relatif dan menjamin negara tetap berada dalam posisi yang menentukan keputusan. Dari sini kita dapat memahami bahwa apa yang dimohonkan oleh Pemohon mengenai tafsir privatisasi a quo bukanlah persoalan konstitusionalitas yang sama sekali baru, melainkan persoalan yang telah pernah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi 209 sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk dikabulkan.
Bahwa oleh karena telah jelas apa yang didalilkan Pemohon dalam perbaikan permohonannya tidak berdasar dan beralasan hukum sehingga telah cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menolak Perbaikan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. IV.2 ARGUMENTASI YURIDIS II: PASAL 77 HURUF C DAN D UU BUMN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 AYAT (3) UUD NRI TAHUN 1945 KARENA TIDAK MEREDUKSI PENGUASAAN NEGARA UNTUK MEMBERIKAN MANFAAT SEBESAR-BESAR KEMAKMURAN RAKYAT 43. Bahwa Pihak Terkait membantah dalil-dalil Pemohon dalam Perbaikan Permohonan Pemohon angka 38 sampai 52 pada halaman 27 - 38 yang pada pokoknya menyatakan: • Pemohon menguraikan penafsiran Mahkamah atas tolok ukur pengelolaan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010, yakni:
kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
tingkat kemerataan sumber daya alam bagi rakyat;
tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan
penghormatan terhadap hak rakyat yang bersifat turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam; • Pemohon menguraikan tujuan pembentukan BUMN adalah untuk menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, namun akibat privatisasi tidak menutup kemungkinan dengan privatisasi keuntungan perusahaan tidak sepenuhnya diberikan kepada negara tetapi diberikan kepada pihak perorangan/swasta; • Pemohon menguraikan dengan adanya privatisasi tidak tertutup kemungkinan seluruh saham milik perseroan/anak perusahaan dilepas seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan di mana sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan alam 210 seharusnya dikuasai negara dan tidak boleh dikuasai dan/atau dikelola pihak swasta maupun perorangan; dan • Pemohon menguraikan potensi kerugian yang nyata bagi rakyat dan negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero akan menyebabkan bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang tentunya sangat bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa sama halnya dengan uraian alasan permohonan pada bagian III. A Perbaikan Permohonan Pemohon, uraian alasan permohonan pada bagian III. B Perbaikan Permohonan Pemohon juga tidak didukung argumentasi hukum yang cukup untuk menguatkan klaim Pemohon mengenai tidak tercapainya tujuan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemohon hanya menguraikan kekhawatiran-kekhawatiran saja tanpa menjelaskan uraian dasar dan alasan-alasan hukum yang mendasari permohonan Pemohon. Dengan kata lain, Pihak Terkait dapat menegaskan bahwa kekhawatiran Pemohon yang telah diuraikan juga tidak beralasan hukum untuk dikabulkan.
Bahwa sebagaimana telah Pihak Terkait uraikan dalam bagian sebelumnya, penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) adalah wujud dari pelaksanaan kedaulatan negara atas cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk pula atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini adalah konsekuensi pengakuan kita sebagai negara hukum sehingga penguasaan dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) itu bukanlah didasarkan pada kekuasaan semata ( maachstaat ) melainkan oleh hukum (konstitusi). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara bukan dalam konteks kepemilikan, melainkan oleh hukum diberikan hak menguasai dalam bentuk perumusan kebijakan ( beleid ), pengaturan ( regelendaad ), pengurusan ( bestuurdaad ), pengelolaan ( beheersdaad ), dan pengawasan 211 ( toezichthoudendaad ). Dari mana negara memperoleh kekuasaan itu? Dari rakyat melalui konsepsi kedaulatan rakyat.
Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 telah menegaskan sumber penguasaan itu, yakni “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” __ Di dalam pembukaannya, UUD NRI Tahun 1945 telah menentukan arah tujuan pelaksanaan kedaulatan itu salah satunya untuk: “Memajukan kesejahteraan umum.” __ Dalam bahasa yang lebih spesifik, penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. __ Atas dasar itu, negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya bukanlah untuk kepentingan negara sendiri melainkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) tidak dapat dinilai secara sempit dalam batas-batas kerangka kepemilikan perdata semata di mana penguasaan oleh negara seolah terhenti sesuai porsi kepemilikan negara pada suatu perseroan atau perusahaan milik/anak perseroan semata. Tolok ukur yang harus dijadikan acuan bukanlah besar kecil porsi kepemilikan keperdataan negara, melainkan bagaimana negara dalam pengelolaannya itu dapat memaksimalkan peran mengejar sebesar- besar kemakmuran rakyat.
Bahwa sebagaimana telah diuraikan dalam bantahan sebelumnya, UUD NRI Tahun 1945 jelas tidak menolak privatisasi, terlebih privatisasi pada cabang produksi minyak dan gas sebagaimana diuraikan Pemohon dalam Perbaikan Permohonan a quo. Mahkamah telah pula menegaskan bahwa patokan penguasaan negara berbentuk pengelolaan ( beheersdaad ) dalam bentuk penyertaan saham pada pengusahaan cabang produksi itu tidak harus mayoritas mutlak 100% (seratus persen), melainkan mayoritas relatif sepanjang negara tetap dapat berposisi menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan. Dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU- I/2003, Mahkamah telah menegaskan: “Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, ‘perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip 212 kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional’, maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah di atas, jangankan privatisasi, bahkan divestasi atas kepemilikan saham pemerintah dalam badan usaha milik negara tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang negara tetap memiliki posisi menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan. Dengan penegasan Mahkamah a quo, kekhawatiran Pemohon akan bahaya privatisasi yang mengancam pencapaian sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi tidak beralasan.
Bahwa dengan penafsiran yang telah disampaikan di atas, dapatlah dipahami dengan jelas bahwa privatisasi pada dasarnya adalah salah satu instrumen atau strategi yang sah dan konstitusional yang justru diadakan untuk mengejar sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsiderans menimbang huruf b UU BUMN yang dimohonkan Pemohon untuk diuji telah menegaskan, “Bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.” __ Lagipula, Pasal 1 angka 12 UU BUMN juga telah mendefinisikan privatisasi dengan sangat baik, yakni “Privatisasi adalah penjualan saham Persero baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas saham oleh masyarakat.” 49. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, menjadi jelas bahwa apa yang dimohonkan Pemohon tidaklah berdasar dan beralasan menurut hukum. Oleh karena telah jelas apa yang didalilkan Pemohon dalam Perbaikan Permohonan Pemohon tidak berdasar dan beralasan hukum sehingga telah 213 cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Mahkamah untuk menolak Perbaikan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. V. PETITUM Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut: DALAM EKSEPSI 1. Mengabulkan eksepsi Pihak Terkait;
Menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ;
Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima; atau setidak-tidaknya: DALAM POKOK PERKARA 1. Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara tidak bertentangan terhadap Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap sah berlaku mengikat; dan
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara sebagaimana mestinya. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.7] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PT- 1 sampai dengan bukti PT-2 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bukti PT-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain mengajukan bukti, Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) juga mengajukan seorang ahli bernama Dr. Tri Hayati S.H., M.H., yang keterangannya 214 didengarkan dalam persidangan Mahkamah tanggal 7 Juni 2021, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Berkaitan dengan pengujian ketentuan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang berbunyi: _Pasal 33 ayat (2): _ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. _Pasal 33 ayat (3): _ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN, mengatur Persero yang tidak dapat _diprivatisasi adalah: a…..; b…..;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang_ oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang_ usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi ; Dalam Petitum, pemohon menyatakan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945, sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Anak Perusahaan Persero, sehingga berpotensi hilangnya Hak Menguasai Negara dalam mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam. Pendapat sebagai Ahli terkait dengan permohonan uji materi Pasal 77 Huruf c dan huruf d UU BUMN dalam Perkara No. Register 61/PUU-XVIII/2020, sebagai berikut:
Konsep Hak Menguasai Negara Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian atau tata susunan perekonomian dan kegiatan-kegiatan perekenomian yang dihendaki dalam negara Republik Indonesia. Dasar-dasar perekonomian dan kegiatan perekonomian sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial, maka Pasal 33 ditempatkan di dalam Bab XIV di bawah judul Kesejahteraan Sosial. Konsep Hak 215 Menguasai Negara terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945. Tentunya kedua konsep hak mengusai negara tersebut memiliki gradasi yang berbeda. Dilihat dari teori property rights, Hak Menguasai Negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 mengandung makna adanya sifat kepentingan publik ( public goods ) terhadap cabang-cabang produksi yang penting. Sedangkan Hak Mengusasi Negara sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, mengandung makna adanya sifat kepentingan sosial dan ada kepemilikan oleh Rakyat ( public ownership goods ) terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. (Anthony I. Ogus, Regulations Legal Form and Economic Theory. Portland, Oregon: Hart Publishing, 2004, halaman. 227.) Public Goods mengandung pengertian bahwa barang tersebut mempunyai makna kepentingan umum dan barang tersebut tidak ada kepemilikan, sehingga Pemerintah berkewajiban untuk mengendalikan terhadap pemanfaatannya melalui berbagai perizinan dalam bentuk vergunning ( Izin Publik biasa ) . Sedangkan Public ownership goods mengandung pengertian bahwa barang tersebut mempunyai makna kepentingan sosial (lebih tinggi dari kepentingan umum) dan barang tersebut ada hak kepemilikan, yaitu milik Rakyat, sehingga pengusahaannya harus dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi rakyat. Oleh karena itu Pemerintah sebagai penerima mandat dari Rakyat, pada dasarnya harus melaksanakan sendiri. Namun bila Pemerintah belum mampu atau tidak mampu melaksanakannya sendiri, maka diberikan pada pihak ketiga dalam bentuk konsesi , dimana pengendalian harus tetap dilaksanakan oleh Pemerintah. Konsesi ( concessie) sebenarnya merupakan bentuk khusus dari beschikking merupakan sebuah izin yang diberikan pada suatu aktivitas yang pada umumnya terpaut dengan kepentingan umum (publik) dan orang banyak, namun diberikan kepada swasta atau BUMN/BUMD. Menurut Van Wijk (D.L.T.M. Hagenaars – Dankers, Ibid. , Hal.16.) concessie diberikan bagi aktivitas yang berkaitan dengan “ openbaar belang ” yang tidak mampu dijalankan sendiri oleh Pemerintah, lalu diserahkan kepada perusahaan swasta. Dengan demikian penerima konsesi pada hakekatnya mengambil alih sebagian misi dari bestuurszorg dari administrasi negara sehubungan dengan tipe negara kesejahteraan modern ( modern welfare state ), karena itu pemegang konsesi perlu ditegaskan hak dan kewajibannya dalam sebuah perjanjian, sebagai pengendliannya. 216 Jadi pada dasarnya penggunaan atau pemanfaatan terhadap barang/kebendaan yang mengandung makna kepentingan umum (terkait Pasal 33 ayat 2 UUD 1945) dan kepentingan sosial (terkait Pasal 33 ayat 3 UUD 1945), harus dikendalikan oleh pemerintah agar tidak terjadi monopoli terhadap objek yang bernilai kepentingan umum dan kepentingan sosial tersebut. Makna itu kemudian diejawantahkan pada Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN, yang menyatakan bahwa, c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya_ alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi . Paradigma larangan terhadap privatisasi ini sebenarnya cocok diterapkan pada saat UUD 1945 sebelum diamandemen, dimana terdapat larangan privatisasi untuk kegiatan yang menyangkut kepentingan umum dan hajat hidup orang banyak serta SDA (penjelasan pasal 33 UUD 1945). Pasal 33 ayat (3) mengamanatkan Konsep Hak Menguasai Negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya merupakan satu kesatuan sistematik. Hak Menguasai Negara merupakan instrumen (bersifat instrumental), sedangkan “ dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ” merupakan tujuan ( objectives ). Perlu dikemukakan pendapat Hatta terkait makna Hak Menguasai Negara, bahwa pengertian “dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh negara atau pemerintahan, akan tetapi dapat menyerahkan pada pihak swasta yang disertai dengan pengawasan Pemerintah. Hatta menolak dengan tegas konsep kapitalis yang mengedepankan prinsip perseorangan yang mengutamakan diri sendiri dari kepentingan orang lain. Selain itu, Hatta dengan berpangkal tolak dari ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 kemudian membagi bidang ekonomi ke dalam tiga sektor usaha, yakni koperasi, usaha negara, dan usaha asing. Dalam kaitannya dengan usaha negara, Hatta berpendapat bahwa negara tidak perlu menjadi pengusaha atau ondernemer . Lebih tepat dikatakan bahwa hak penguasaan negara terdapat pada pembuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Jika hal tersebut dipandang perlu dan menentukan bagi kesejahteraan masyarakat, maka tidak ada salahnya negara ikut serta mengelola atau menyelenggarakannya. Dengan demikian Negara tidak harus terjun langsung 217 sebagai pelaku usaha, akan tetapi dapat saja diserahkan kepada pihak ketiga, dan peran Negara sebagai pemegang HMN lebih tertuju pada pembuatan peraturan guna kelancaran jalan ekonomi.
Hak Menguasai Negara sektor SDA Landasan filosofi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat . Pengertian Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menunjuk pengertian dikuasai negara, harus diartikan mencakup makna dikuasai Negara dalam arti luas , dimana didalamnya termasuk juga kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas Sumber Daya Alam. Rakyat secara kolektif memberi mandat kepada Negara untuk membuat Kebijakan ( Beleid ), tindakan Pengurusan ( bestuursdaad ), Pengaturan ( Regelensdaad ), Pengelolaan ( beheersdaad ) dan Pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Seluruh kegiatan tersebut ditujukan untuk tujuan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Makna HMN merujuk pada Hak penguasaan ( authority right ) atas sumber daya alam berada di tangan Negara, dan hak pengelolaan oleh Pemerintah ( mining right ). Pemerintah, dapat melakukan kerjasama pengusahaan SDA dengan pihak lain (investor) sebagai pelaksana pengusahaan pertambangan ( economic right ). Makna dikuasai oleh negara, berarti Negara sebagai pemegang hak penguasaan ( Authority Right ) terhadap sumber daya alam. Negara hanya sebatas hak penguasaan saja, tidak dalam arti memiliki sumber daya alam. Hak kepemilikian ( mineral right ) terhadap sumber daya alam yang berada di perut bumi adalah miliki seluruh rakyat Indonesia. Merujuk pendapat Hatta, dapat disimpulkan bahwa pengertian frasa “ dikuasai oleh negara ” dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 adalah negara tidak harus secara langsung ikut mengelola atau menyelenggarakan cabang produksi, akan tetapi hal itu dapat diserahkan kepada usaha koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran jalannya ekonomi demi menjamin terciptanya kesejahteraan rakyat. Tidak adanya keharusan bagi negara untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi tersebut menurut Hatta, memberikan peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan cabang- 218 cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Pergeseran Makna Hak Menguasai Negara 3.1. Sebelum Amandemen UUD 1945 Pergeseran makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terjadi setelah era Reformasi, dimana ditandai dengan berlakunya UUD NRI 1945 yang telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali. Terdapat perbedaan makna “Hak Menguasai Negara” (HMN) sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen, makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jelas melarang keterlibatan pihak ketiga untuk melakukan pengelolaan kegiatan di bidang sumber daya alam. Hal ini dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 33, yang melarang pihak swasta atau orang perorangan turut serta dalam pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian makna konsep dikuasai Negara adalah memang dalam arti luas, yaitu memberikan kekuasaan kepada Negara untuk mengatur (sebagai Regulator) dan mengurus (sebagai operator/pelaksanaan langsung oleh Pemerintah) serta memanfaatkan kekayaan alam tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Dapat ditarik makna bahwa pada dasarnya privatisasi di sektor sumber daya alam adalah dilarang, karena secara konstitusional dilarang dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Sehingga pada dasarnya Negaralah yang harus turun langsung menyelenggarakan kegiatan penambangan melalui badan-badan usaha pemerintah sendiri. Selain sebagai pelaksanan, Negara yang dalam hal ini diselenggarakan oleh Pemerintah, juga melaksanakan tugas pengendalian melalui pembuatan berbagai Regulasi. Dengan berbagai regulasi, ditujukan untuk mengarahkan dan mengendalikan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) agar mencapai tujuan kemakmuran sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD NRI 1945. Selain itu Negara juga diharapkan bertindak sebagai pelaksana sendiri dari kegiatan penambangan SDA secara langsung, sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Namun demikian dalam berbagai undang-undang di sektor SDA, memberikan pengecualian terhadap kewajiban Negara tersebut. Peran sebagai penyelenggara penambangan, dapat saja dikerjasamakan dengan pihak ketiga lainnya sebagai kontraktor, apabila Pemerintah belum mampu atau tidak mampu melaksanakannya. 219 Hal ini disebabkan bahwa kegiatan penambangan di sektor SDA merupakan kegiatan yang padat modal, padat teknologi dan tinggi risiko.
Pengelolaan Migas dalam Hubungan dengan Hak Menguasai Negara 4.1. Politik Hukum Pengelolaan Migas 1960 Awal mula regulasi pengelolan migas diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan gas Bumi (UU Migas 1960). Implementasi HMN Pasal 33 ayat (3) diakui dalam undang-undang tersebut bahwa “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang yang dikuasai oleh Negara”. Selanjutnya sebagai implementasi dari HMN tersebut, pemerintah 220 menunjuk usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata (Pasal 4 UU Migas 1960), untuk melakukan kegiatan a. eksplorasi;
eksplotasi;
pemurnian dan pengolahan;
pengangkutan; dan e. penjualan. Perusahaan Negara sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU Migas 1960 diberikan “Kuasa Pertambangan” yang ditetapkan dan diatur dalam peraturan yang mendirikan perusahaan itu. Merujuk pada kebijakan yang diinginkan Penguasa pada saat UU Migas 1960, makna HMN sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, diartikan bahwa Pemerintahlah sebagai pembuatan kebijakan (regulator) dan sebagai pelaku usahanya (operator). Pada saat itu paradigma privatisasi memang dilarang (sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945). Karena itu disebutkan dalam UU Migas 1960, hanya perusahaan Negara semata yang melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi, yang pada dasarnya dilarang dilakukan privatisasi di sektor minyak dan gas bumi. Untuk mengimplementasikan HMN melalui Perusahaan Negara sebagai amanat UU Migas 1960, dibentuklah Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (PERTAMINA) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. PERTAMINA adalah badan hukum yang berhak melakukan usaha-usahanya berdasarkan Undang- undang ini, yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan. Adapun tujuan Perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat dan Negara serta menciptakan Ketahanan Nasional. Kemudian ditentukan bahwa modal Perusahaan adalah kekayaan Negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar yang ditanam dalam P.N. PERTAMINA sampai saat pembubarannya, yang jumlahnya tercantum dalam Neraca Pembukaan yang akan disahkan oleh Menteri Keuangan dan modal Perusahaan tersebut tidak terbagi atas saham-saham (Pasal 7 UU PERTAMINA). Berdasarkan UU PERTAMINA tersebut tampak bahwa, memang PERTAMINA sebagai satu-satunya Perusahaan Negara yang melakukan pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia dengan diberikannya “Kuasa Pertambangan” sebagai perwujudan dari HMN Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Seharusnya PERTAMINA sendiri yang melakukan pengusahaan minyak dan gas bumi, namun karena kegiatan pengusahaan padat modal, tinggi teknologi dan tinggi 221 resiko, maka diberikan pengecualian, apabila Pemerintah cq PERTAMINA belum mampu, maka Menteri dapat menunjuk kontraktor untuk melakukannya. Hal ini diatur dalam pasal 6 UU Migas 1960, yang menyatakan bahwa: “Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaa-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan”. Jadi politik hukum pada saat berlakunya UU Migas 1960, memang menganut paham Nasionalisme bahwa pengaturan, pengelolaan dan pengusahaan migas harus dilakukan sendiri oleh Pemerintah, tidak boleh dilakukan privatisasi. Hal ini dipertegas dengan kebijakan yang menyatakan bahwa modal Perusahaan tidak terbagi atas saham-saham. Kondisi pengelolaan migas berwawasan nasionalisme ini berlangsung hingga Era Reformasi berjalan menggantikan Era Orde Baru.
Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup: Eksplorasi, Eksploitasi;
Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup: Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, Niaga. Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama, sedangkan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan dengan Izin Usaha (Pasal 11 UU Migas 2001). Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan. Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir, dan Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu (Pasal 10 UU Migas 2001). Kontrak Kerja Sama (KKS) adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pada KKS, modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, dimana pengembalian biaya operasional disebut sebagai cost recovery . Bagi hasil pada KKS mengalami perkembangan sejak generasi pertama sampai generasi keempat. Selanjutnya diambil kebijakan Pemerintah yang baru, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 ditetapkan bentuk baru yaitu Kontrak Bagi Hasil Gross Split. KONTRAK BAGI HASIL GROSS SPLIT adalah suatu Kontrak Bagi Hasil dalam kegiatan Hulu Migas berdasarkan prinsip pembagian gross produksi TANPA mekanisme pengembalian biaya operasi. Selanjutnya bagaimana kedudukan PERTAMINA yang setelah UU Migas 2001 tidak lagi memegang “Kuasa Pertambangan”? Sehingga jika Pertamina melakukan Privatisasi, maka tidak ada lagi hubungan dengan HMN sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Di sinilah perlu dicermati bahwa, saat ini Pertamina hanya sebagai pelaku usaha yang kedudukannya sama dengan kontraktor Migas pada umumnya. Hanya yang membedakan dengan kontraktor lainnya adalah bahwa modalnya berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan demikian Pertamina saat ini merupakan entitas bisnis pada umumnya, yang modalnya berasal dari Negara. Dengan demikian, jika dilakukan privatisasi pada tubuh Pertamina tentu tidak akan 223 mendegradasi HMN, karena memang saat ini Pertamina bukan lagi sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan seperti pada saat UU Nomor 8 Tahun 1971 berlaku.
Kesimpulan 1) Makna Hak Menguasai Negara terdapat Pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang gradasinya berbeda dilihat dari Kebendaannya;
Terjadi pergeseran Makna dari konsep HMN sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 di Era Reformasi. Sebelum amandemen, dengan adanya larangan privatisasi untuk sektor yang menyangkut kepentingan umum dan hajat hidup orang banyak, berarti peran Pemerintah selaku Regulator dan Operator (pelaku usaha melalui BUMN PERTAMINA). Sesudah amandemen, larangan privatisasi sudah tidak diberlakukan lagi, namun HMN tetap berlaku. Sehingga makna HMN bagi Pemerintah lebih tertuju sebagai Regulator saja, sedangkan sebagai Operator dapat diprivatisasikan.
Setelah amandemen UU Migas 1960 ke UU Migas 2001, terjadi perubahan kedudukan Pertamina yang semula sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (KP) sebagai perwujudan dari HMN, kemudian Pertamina tidak lagi memegang KP, tetapi dialihkan kepada Pemerintah sebagai pemegang KP.
Dengan demikian bila pada Pertamina dilakukan privatisasi, maka tidak akan mendegradasi HMN, karena memang tidak ada hubungannya dengan HMN. [2.8] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) telah menyampaikan kesimpulan yang pada pokoknya masih dalam pendiriannya; [2.9] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. 224 3. PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297, yang selanjutnya disebut UU 19/2003) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 225 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut: 226 1. Bahwa Pemohon mengajukan pengujian norma yang terdapat dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003, selengkapnya menyatakan sebagai berikut: Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. __ 2. Bahwa Pemohon menguraikan kedudukan hukumnya sebagai federasi serikat pekerja, yaitu Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003 tertanggal 9 April 2003 (vide bukti P-1). Sebagai sebuah badan hukum, Pemohon diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts-06MUNAS-VI/FSPPB/2018. Secara hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar FSPPB (vide bukti P-2), Presiden FSPPB memiliki kewenangan mewakili organisasi dalam beracara di Pengadilan. Pemohon merupakan perwakilan dari Lembaga atau Badan atau Organisasi yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para Pekerja PT Pertamina (Persero) yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja di PT Pertamima dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero).
Bahwa bentuk dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu dalam Pasal 3 Anggaran FSPPB Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015 disebutkan: “FSPBB berbentuk FEDERASI yang menghimpun dan terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan PERTAMINA termasuk Anak Perusahaan yang memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga . 4. Bahwa tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan penegakan hak-hak pekerja sangat jelas dapat dilihat dalam tugas pendirian FSPPB sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Anggaran Dasar Pendirian FSPPB Perubahan ke-6 tertanggal 16 Januari 2015, yaitu:
Untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota beserta keluarganya; 227 2) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya; dan
Menjaga kelangsungan Bisnis dan eksistensi perusahaan.
Memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional.
Bahwa menurut Pemohon Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 yang hanya mengatur secara tegas mengenai larangan Perusahaan Persero untuk diprivatisasi yaitu Perusahaan Persero yang bidang usahanya disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 menimbulkan kerugian karena faktanya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut hanya berbentuk Perseroan Terbatas biasa, sehingga tidak terikat pada ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Hal tersebut membuka peluang dapat diprivatisasinya anak perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut, padahal anak perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha induk perusahaannya;
Bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan Perusahaan Persero sebagaimana dimaksud dalam UU 19/2003. Berdasarkan RUPS tanggal 24 November 2016 tentang Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina, pada akta Nomor 27 tanggal 19 Desember 2016 dinyatakan, PT Pertamina (Persero) memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggaraan usaha energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan, serta kegiatan lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang energi, serta pengembangan optimalisasi sumber daya yang dimiliki perusahaan. Oleh karenanya PT Pertamina (Persero) termasuk dalam Perusahaan Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003;
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik Persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 menyebabkan celah hukum dan ketidakpastian hukum untuk dilakukannya privatisasi/pelepasan seluruh saham ke pihak perorangan/swasta terhadap Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang bergerak di bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 sehingga Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya yaitu:
Negara berpotensi kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya 228 alam minyak dan gas sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Kedaulatan energi nasional menjadi terancam yang potensial berdampak pada hak konstitusional Pemohon yang harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah di atur dalam Anggaran Dasar FSPPB;
Sumber daya alam potensial tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak swasta/perorangan anak perusahaan BUMN;
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT Pertamina (Persero) maupun anak-anak perusahaannya jika terjadi privatisasi dan/atau pelepasan seluruh saham anak-anak perusahaan ke pihak perorangan/swasta;
Para pekerja pada anak-anak perusahaan PT Pertamina potensial kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahan PT Pertamina (Persero) kepada pihak swasta/perorangan;
Kualitas hidup dan kesejahteraan para pekerja pada Perusahaan Grup PT Pertamina (Persero) beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak- anak perusahaannya tidak dikontrol dengan baik oleh negara;
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada Pihak Swasta/Perorangan. Potensi kerugian yang disebutkan di atas, menurut Pemohon menjadi tugas dan tanggung jawab Pemohon untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota dan atau pekerja, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya, menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi Perusahaan dan memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Anggaran Dasar FSPPB. Sehingga, Pemohon sangat berkepentingan untuk mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi sebagai akibat dari adanya ketidakpastian hukum dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Selama ini Pemohon juga telah memperjuangkan kepentingan hukumnya sebagaimana 229 dinyatakan dalam AD/ART baik melalui gugatan Pengadilan Hubungan Industrial maupun judicial review Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi; Bahwa berdasarkan seluruh uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, dalam kualifikasinya sebagai badan hukum, sesuai dengan Pasal 3 Anggaran Dasar FSPPB menghimpun beberapa serikat pekerja, bukan hanya yang berada di lingkungan PT Pertamina (Persero) namun juga serikat pekerja di lingkungan anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Sebagai sebuah federasi, FSPPB merupakan wadah berhimpun yang terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan Pertamina termasuk anak perusahaan. Bahwa FSPPB mewakili pekerja-pekerja yang terhimpun dalam serikat-serikat pekerja yang menggabungkan diri dalam FSPPB juga terlihat dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dibuat antara PT Pertamina (Persero) dengan FSPPB periode 2019-2021 yang telah mendapatkan Keputusan dari Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor KEP.099/PHIJSK-PK/PKB/IV/2019. Dalam PKB 2019-2021 dengan tegas disebutkan bahwa FSPPB diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB yang selanjutnya disebut sebagai wakil pekerja. Di mana dalam Pasal 4 PKB 2019-2021 juga disebutkan bahwa keluhan pekerja dari setiap anggota Serikat Pekerja yang tergabung dalam FSPPB akan mendapat prioritas untuk segera ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, terlihat ada hubungan hukum antara FSPPB sebagai federasi yang menghimpun serikat pekerja dengan para pekerja yang tergabung dalam serikat-serikat pekerja dimaksud. Bahwa Pemohon diwakili oleh Presidennya Arie Gumilar, sebagaimana Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar FSPPB yang menyatakan Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili organisasi dalam beracara di pengadilan. Arie Gumilar ditetapkan sebagai Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor 06/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Penetapan Presiden FSPPB periode 2018-2021 (vide bukti P-3). Bahwa selanjutnya oleh karena Pemohon telah dapat menerangkan adanya keterkaitan antara FSPPB sebagai federasi yang menghimpun serikat pekerja di lingkungan PT Pertamina (Persero) dan anak-anak perusahaannya, dalam 230 menjelaskan kewenangannya untuk memperjuangkan kepentingan pekerja yang berhimpun dalam serikat-serikat pekerja yang tergabung dalam FSPPB. Pemohon telah pula menguraikan potensi kerugian konstitusional yang akan dialami jika terjadi privatisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang oleh Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidak dibatasi. Pemohon juga telah menerangkan hak-hak konstitusionalnya yang dianggap dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian yaitu hak atas jaminan kedaulatan energi dan penguasaan sumber daya alam sehingga Pemohon yang mewakili pekerja di lingkungan PT Pertamina (Persero) termasuk anak perusahaannya dapat pula terjamin kelangsungan hidupnya. Potensi kerugian yang Pemohon anggap akan terjadi berkaitan erat dengan aturan privatisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang tidak diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Bahwa selain yang dikemukakan di atas, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU 21/2000), Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/serikat dan keluarganya. Selanjutnya, dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU 21/2000 disebutkan bahwa salah satu fungsi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya. Kemudian, dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d dan huruf f UU 21/2000 juga menyatakan fungsi lain dari organisasi dimaksud adalah sebagai penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak kepentingan anggotanya dan sekaligus sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan; Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terlepas dari terbukti atau tidaknya inkonstitusionalitas norma Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 yang dimohonkan pengujian, Pemohon telah mampu menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, atau setidak-tidaknya potensi kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo . 231 [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon, bisnis inti ( core business ) PT. Pertamina telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh badan usaha yang berbeda yang tentunya ini adalah unbundling Pertamina. Dengan terpecahnya sistem integrasi Pertamina karena sektor intinya menjadi anak perusahaan maka berpotensi menyebabkan masalah-masalah yang akan timbul dari tidak terintegrasinya pengelolaan minyak dan gas bumi antara lain:
pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak kepada pihak swasta/perorangan (Privatisasi). b. persaingan bisnis antar sektor usaha pada badan usaha yang berbeda;
Bahwa menurut Pemohon, pembentukan subholding anak perusahaan persero maupun unbundling menjadi celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk Anak-Anak Perusahaan Persero termasuk Anak- Anak Perusahaan PT Pertamina (Persero) untuk dilakukan privatisasi, karena dengan terbentuknya sub holding dan/atau unbundling maka terbukalah peluang dari Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan milik Persero untuk melantai di bursa, sebagaimana yang telah terjadi dengan Perusahaan Gas Negara (PGN);
Bahwa menurut Pemohon, jika larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) yang 232 menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa menurut Pemohon, dibentuknya Perusahaan Grup BUMN/Holding BUMN dan/atau unbundling tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan. Sehingga PT Pertamina (Persero) cepat atau lambat akan berbagi kekuasaan dengan swasta dalam seluruh rantai usaha mereka;
Bahwa menurut Pemohon, seharusnya seluruh keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari Anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Pertamina (Persero) dari hasil mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam Negara diberikan seluruhnya kepada Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun akibat adanya potensi dilakukannya privatisasi terhadap Anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Persero maka keuntungan dari Anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Persero menjadi tidak sepenuhnya diberikan kepada Negara tetapi diberikan juga untuk pihak swasta/perorangan yang memiliki saham pada Anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Pertamina (Persero);
Bahwa menurut Pemohon, dengan demikian ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 yang hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, akan menyebabkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak 233 diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-39 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara), serta mengajukan dua orang ahli bernama Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H., dan Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 23 November 2020 dan 14 Desember 2020, serta saksi bernama drg. Ugan Gandar yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 22 April 2021. Pemohon juga menyampaikan keterangan tertulis ahli Gunawan dan Dr. Marwan Batubara yang dijadikan bukti (bukti P-38 dan bukti P-39) dan keterangan tertulis saksi Ir. Faisal Yusra S.H., M.M., QIA., CFrA [selengkapnya telah termuat dalam bagian Duduk Perkara]. [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan bertanggal 8 Juni 2021 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Juni 2021 yang pada pokoknya menerangkan bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena privatisasi tidak dilarang sepanjang berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya; [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 12 Oktober 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal 10 Desember 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 11 Desember 2020 yang pada pokoknya berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum. Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero. Pelaksanaan Penguasaan Negara Tidak Dilakukan oleh Anak Perusahaan BUMN/Persero. Terhadap anak perusahaan BUMN/Persero dapat dilakukan penjualan saham. Untuk mendukung keterangannya Presiden mengajukan tiga orang ahli bernama Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., 234 Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., dan Dr. Oce Madril S.H., M.A., yang keterangannya didengar dalam persidangan Mahkamah tanggal 24 Mei 2021 [selengkapnya telah termuat pada bagian Duduk Perkara]; [3.11] Menimbang bahwa PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dan ditetapkan oleh Mahkamah sebagai Pihak Terkait, selanjutnya memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 September 2020, yang diperbaiki dan perbaikan keterangannya diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 November 2020. Keterangan dimaksud kemudian dibacakan dalam persidangan tanggal 9 November 2020, yang pada pokoknya menerangkan bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 karena tidak mereduksi penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. Untuk mendukung keterangannya, Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) mengajukan bukti PT-1 sampai dengan PT-2, dan seorang ahli bernama Dr. Tri Hayati S.H., M.H., yang keterangannya didengarkan dalam persidangan Mahkamah tanggal 7 Juni 2021 [selengkapnya telah termuat pada bagian Duduk Perkara]; [3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama dalil-dalil Pemohon, inti permohonan a quo sesungguhnya bertumpu pada persoalan: benarkah jika larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero akan menyebabkan negara kehilangan “hak menguasai negara”. Dalam hal ini, ketiadaan larangan tersebut menyebabkan negara menjadi kehilangan hak menguasai dan/atau mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap dalil pokok/inti permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Bahwa Mahkamah telah memutus dalam putusan-putusan sebelumnya terkait dengan sumber daya alam, yaitu dalam Pengujian UU Ketenagalistrikan, UU Mineral dan Batubara, UU tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Pengelolaan Wilayah 235 Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU tentang Sumber Daya Air. Kesemua pengujian tersebut telah menafsirkan frasa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara”, frasa “dikuasai negara”, dan frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunaakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang mana oleh Pemohon dijadikan dasar pengujian dalam permohonannya. Selanjutnya, dalam mempertimbangkan permohonan a quo Mahkamah perlu mencermati kembali putusan Mahkamah sebelumnya yang terkait dengan isu konstitusional dalam permohonan Pemohon a quo .
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, bertanggal 15 Desember 2004. Dalam putusan a quo , Mahkamah memberi makna pada frasa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara”, yaitu: “Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak…; Bahwa dalam Putusan ini, Mahkamah membuat 3 (tiga) kategorisasi cabang produksi” yang harus dikuasai oleh negara, yaitu, pertama , cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Kedua , cabang produksi yang penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga , cabang produksi yang tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga kategorisasi cabang produksi inilah yang kesemuanya harus dikuasai oleh negara. Akan tetapi, Mahkamah menyerahkan kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan 236 rakyat untuk menilai manakah cabang produksi yang masuk ke dalam 3 (tiga) kategorisasi cabang produksi yang penting bagi negara sehingga harus semuanya dikuasai oleh negara. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga kategorisasi cabang produksi inilah yang kesemuanya harus dikuasai oleh negara. Sementara itu frasa “dikuasai oleh negara” memiliki makna sebagai berikut: “…perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “ bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoudensdaad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan ( bestuursdaad ) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning) , lisensi (licentie) , dan konsesi (concessie) . Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif) . Fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat 2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertanggal 21 Desember 2004. Dalam putusan a quo terkait pengujian Undang- Undang Migas, Mahkamah kembali menafsirkan frasa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” dan frasa “dikuasai oleh negara”. Namun, karakteristik pengelolaan ketenagalistrikan berbeda dengan pengelolaan minyak dan gas 237 bumi seperti yang dikemukakan di atas. Menurut Mahkamah, pengelolaan minyak dan gas bumi sebagai berikut: “…jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam putusan ini pula Mahkamah memaknai Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yakni: “…untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional” , maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur ( regelendaad ), mengurus ( bestuursdaad ), mengelola ( beheersdaad ), dan mengawasi ( toezichthoudensdaad ) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, Pasal 33 UUD 1945 tidak menolak ide privatisasi dan juga tidak 238 menolak ide kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara. Kepemilikan privat dalam badan usaha juga bersifat relatif dan negara c.q. pemerintah tidak harus memiliki saham 100%. Dengan perkataan lain, apabila pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, maka sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara, c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, hal demikian tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bertanggal 16 Juni 2011. Dalam Putusan a quo Mahkamah mempertimbangkan berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam Putusan a quo , Mahkamah berpendapat penguasaan oleh negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, berarti bahwa negara berwenang dan diberi kebebasan untuk mengatur, membuat kebijakan, mengelola serta mengawasi pemanfaatan bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan ukuran konstitusional yaitu “untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 a quo , kebebasan negara untuk mengatur dan membuat kebijakan atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dibatasi dengan prinsip “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dengan mempergunakan empat tolok ukur yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. “Menurut Mahkamah untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan ( beleid ), melakukan pengaturan ( regelendaad ), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan ( beheersdaad ), dan melakukan pengawasan ( toezichthoudensdaad ) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping itu, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau- pulau kecil. Melalui mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang 239 mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu.” 4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertanggal 13 November 2012. Dalam putusan a quo , Mahkamah memberikan makna yang lebih mendalam terkait Pasal 33 UUD 1945. Hal inilah yang membedakan putusan ini dengan putusan-putusan sebelumnya. Dalam putusan ini Mahkamah memaknai frasa “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” __ sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945. Mahkamah berpendapat sebagai berikut: “...dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” maka sebesar-besar kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” ( vide paragraf [3.15.4] hal. 158 putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010). Apabila penguasaan negara tidak dikaitkan secara langsung dan satu kesatuan dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat maka dapat memberikan makna konstitusional yang tidak tepat . Artinya, negara sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di satu sisi negara dapat menunjukkan kedaulatan pada sumber daya alam, namun di sisi lain rakyat tidak serta merta mendapatkan sebesar-besar kemakmuran atas sumber daya alam. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kriteria konstitusional untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara justru terdapat pada frasa “ untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat ”; Berdasarkan pertimbangan di atas, maka frasa “dikuasai negara” tidak dapat dipisahkan dari frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sehingga kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang utuh . Karena boleh jadi negara menguasai sumber daya alam, dalam hal ini minyak dan gas bumi, tetapi tidak mendatangkan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebab negara mengalami keterbatasan dalam mengelolanya. Oleh karena itu, hak menguasai negara harus mempertimbangkan betul makna dan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam putusan ini pula Mahkamah memaknai peringkat hak menguasai negara. Peringkat pertama adalah negara melakukan penguasaan secara langsung atas sumber daya alam. Kedua, negara membuat kebijakan dan pengurusan, ketiga , negara melakukan fungsi pengaturan dan pengawasan. Berikut pendapat Mahkamah selengkapnya. 240 “Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Pengelolaan secara langsung inilah yang menjadi maksud dari Pasal 33 UUD 1945 seperti diungkapkan oleh Muhammad Hatta salah satu founding leaders Indonesia yang mengemukakan, “... Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah... Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah, harus tetap terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat bagian pekerja dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing, sesudah sampai pada satu tingkat makin lama makin berkurang”... (Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, hal. 202 s.d. 203, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Dalam pendapat Muhammad Hatta tersebut tersirat bahwa pemberian kesempatan kepada asing karena kondisi negara/pemerintah belum mampu dan hal tersebut bersifat sementara. Idealnya, negara yang sepenuhnya mengelola sumber daya alam;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bertanggal 18 Februari 2015. Dalam putusan a quo , Mahkamah menyatakan pengelolaan atas sumber daya air berdasarkan sifat dan karakteristik yang khas, karena terdapat sisi hak asasi atas air (right to water) yang sangat mendasar dalam pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itu, perlu ada pembatasan yang ketat untuk 241 menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa. Pendapat Mahkamah dalam Putusan a quo pada pokoknya sebagai berikut: “…air adalah salah satu unsur yang sangat penting dan mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia atau menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia yang menguasai hajat hidup orang banyak, air haruslah dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945]. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalam pengusahaan air harus ada pembatasan yang sangat ketat sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa [vide Pasal 33 ayat (4) UUD 1945]; [3.19] Menimbang bahwa pembatasan pertama adalah setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus dikuasai oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; [3.20] Menimbang sebagai pembatasan kedua adalah bahwa negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Sebagaimana dipertimbangkan di atas, akses terhadap air adalah salah satu hak asasi tersendiri maka Pasal 28I ayat (4) menentukan, “ Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. ” [3.21] Menimbang bahwa sebagai pembatasan ketiga , harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai salah satu hak asasi manusia, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menentukan, “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. ” [3.22] Menimbang bahwa pembatasan keempat adalah bahwa sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2) UUD 1945] dan air yang menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak; [3.23] Menimbang bahwa pembatasan kelima adalah sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan karena air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; [3.24] Menimbang bahwa apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat; Kelima batasan pengelolaan SDA tersebut mengindikasikan pengelolaan SDA bersifat mutlak diselenggarakan oleh negara, sedangkan swasta hanya mendapatkan peran sisa (residu) tatkala pengusahaan atas air yang dilakukan 242 oleh BUMN/BUMD sebagai perusahaan prioritas yang diberi amanat untuk melakukan pengusahaan atas air oleh negara, tidak dapat melakukan fungsinya tersebut. Berdasarkan uraian di atas pertimbangan tentang pengelolaan sumber daya alam, sebagai implementasi atas prinsip hak dikuasai oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 dan dimaknai oleh Mahkamah sebagai kekuasaan untuk mengadakan kebijakan ( beleid ) dan tindakan pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoudenaad ) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat antar-tiap jenis pengelolaan sumber daya alam memiliki karakteristik berbeda yang disesuaikan dengan sifat yang khas dari sumber daya alam dimaksud. Namun demikian, syarat absolut yang harus dipenuhi dan harus diperhatikan oleh negara dalam pengelolaan semua jenis sumber daya alam adalah pengelolaan harus dilakukan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” digunakan untuk menilai konstitusionalitas pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh negara apakah sudah dilakukan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat atau belum. Dalam menjelaskan perihal fungsi pengelolaan ( beheersdaad ), Mahkamah mempertimbangkan, “…dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share- holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, melalui negara, cq . Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber- sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” [3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil inti permohonan a quo sesungguhnya bertumpu pada persoalan jika larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero menyebabkan negara kehilangan hak menguasai negara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa Pemohon memberikan gambaran perihal stuktur perusahaaan PT Pertamina dan sub holding/holding company/ anak perusahaan yang dikembangkan dalam rangka peningkatan pendapatan perusahaan serta adanya dorongan dari Menteri BUMN untuk menyegerakan anak perusahaan BUMN melakukan initial 243 public offering (IPO) sebagai salah satu bentuk privatisasi, merupakan penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Dalam hal ini, sebagaimana telah berkali-kali ditegaskan Mahkamah, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, privatitasi tidak perlu dikhawatirkan sepanjang bertahan dengan prinsip “tidak menyebabkan hilangnya penguasaan negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Terlebih lagi, anak perusahaan yang berada di bawah persero yang dikelola BUMN akan tetap berada di “bawah kendali” persero BUMN yang terikat dengan prinsip “privatisasi tidak meniadakan penguasaan negara”, salah satunya dengan cara pengaturan penjualan saham yang tetap dapat mempertahankan prinsip penguasaan oleh negara. Bahwa jikalau diletakkan dalam konteks permohonan a quo , privatisasi dapat dimaknai, BUMN merupakan badan usaha yang modalnya sebagian besar adalah berasal dari keuangan negara. Dalam hal BUMN melakukan privatisasi, modal yang berasal dari perusahaan induk untuk membentuk anak perusahaan tidaklah serta-merta dapat dianggap sebagai keuangan negara karena berasal dari portofolio keuangan yang terpisah. Dengan demikian, anak perusahaan yang dibentuk oleh perusahaan BUMN tidak dapat dikatakan sebagai BUMN karena modalnya tidak berasal dari keuangan negara namun dari keuangan perusahaan induk yang pengelolaannya terpisah dari keuangan negara yang ditempatkan pada BUMN perusahaan induk. Bahwa berkenaan dengan anak perusahaan BUMN yang sejatinya bukanlah BUMN, tanpa dilakukan privatisasi pun dengan sendirinya bentuk usahanya yang dikelola menggunakan prinsip business judgement rules. Terhadap anak perusahaan BUMN yang jenis usahanya strategis, privatisasi tidak dilarang namun perlu dikendalikan dan dilakukan pengawasan/kontrol dari negara. Bentuk pengendalian oleh negara dapat dilaksanakan di antaranya dengan tidak membuka peluang untuk penjualan saham secara keseluruhan kepada publik dalam IPO . 244 Fungsi kontrol tetap dapat dilakukan dengan adanya kepemilikan saham mayoritas dari perusahaan induk (BUMN) dapat menjaga agar tetap dimilikinya voting control (kontrol atas suara terbanyak karena kepemilikan saham mayoritas) dalam menghasilkan keputusan-keputusan dan kebijakan terkait pengelolaan perusahaan. Hal ini dapat menjadi perwujudan peran negara dalam melaksanakan pengawasan pengelolaan BUMN. Bahwa menurut Mahkamah kekhawatiran Pemohon dengan adanya privatisasi anak perusahaan menyebabkan norma Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berorientasi untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat akan hilang atau berkurang karena dikaitkan dengan holding . Dalam hal ada “ holdingisasi ” di antara BUMN dan anak perusahaan BUMN, maka hal ini tidak dapat dikatakan antara induk dengan anak atau antara anak dengan anak perusahaan menjadi terpisah-pisah dan bahkan saling bersaing dalam menjalankan kegiatan bisnis. Sekalipun misalnya kemudian sebagian saham pada anak perusahaan dialihkan ke pihak swasta sehingga saham pada BUMN induk menjadi berkurang, tetapi negara selalu bisa menggunakan hak kepemilikan saham yang disebut sebagai golden share . Adapun golden share ini dapat menentukan bahwa negara atau induk perusahaan BUMN mempunyai hak veto untuk tujuan mengamankan posisi negara dalam mengendalikan anak perusahaan BUMN agar tidak menyimpang dari tujuan usaha demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di sisi lain, dalam hukum perseroan, privatisasi sebenarnya hal yang tidak dapat dihindarkan akan terjadi dalam kinerja perseroan untuk tujuan peningkatan kinerja, nilai perusahaan, dan efisiensi yang pada praktiknya telah banyak dijalankan. Bahwa kebijakan politik hukum pemerintah yang saat ini dilakukan, meskipun nantinya akan ada saham swasta dalam anak perusahaan BUMN, anak perusahaan BUMN tersebut masih dalam penguasaan negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tanpa bermaksud menilai legalitas peraturan pelaksana, prinsip tersebut telah diimplementasikan dalam ketentuan Pasal 2A ayat (2) dan ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, yang pada pokoknya menyatakan bahwa negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa (saham dwiwarna/ golden share ) dalam anak perusahaan BUMN dan anak perusahaan BUMN tersebut tetap 245 diperlakukan sama dengan BUMN agar mendapatkan penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum. [3.14] Menimbang bahwa kekhawatiran lain Pemohon mengenai ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan status karyawan dari perusahaan dan anak perusahaan BUMN yang melakukan privatisasi tentunya menjadi sesuatu yang harus mendapat perhatian. Namun demikian, sebagai salah satu aset penting yang dimiliki perusahaan, meskipun privatisasi salah satunya bertujuan untuk melakukan efisiensi, sedapat mungkin tidak sampai menimbulkan keresahan bagi karyawan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan privatisasi sejauh mungkin perlu diupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (vide Penjelasan Pasal 74 UU 19/2003). Apabila dalam penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN harus terjadi PHK maka hal itu merupakan upaya terakhir, dan harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Bahwa hal tersebut sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, dalam hal ini berkaitan dengan PHK yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Mahkamah telah menegaskan pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU- IX/2011, bertanggal 20 Juni 2012 bahwa PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya lain dalam rangka efisiensi tersebut. Selain itu Mahkamah dalam putusan a quo juga menegaskan bahwa pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK. Bahwa mengenai status karyawan BUMN, Pasal 87 ayat (1) UU 19/2003 telah menentukan bahwa karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Dengan demikian, hal ini berkaitan erat dengan perjanjian kerja bersama. Perjanjian kerja bersama dimaksud dibuat antara pekerja dengan pemberi kerja yaitu manajemen BUMN. Oleh karenanya dalam penyusunan perjanjian kerja prinsip-prinsip hubungan kerja yang 246 saling menguntungkan antara pemberi kerja dengan pekerja harus menjadi perhatian utama, sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Demikian juga dengan status karyawan anak perusahaan BUMN yang diprivatisasi, seperti halnya karyawan BUMN keduanya sama-sama tunduk pada aturan yang ditentukan dalam UU 13/2003. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, ketiadaan larangan untuk melakukan privatisasi perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero sebagaimana termaktub dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidaklah menyebabkan negara kehilangan hak menguasai negara. Terlebih lagi, sejumlah peraturan perundang-undangan serta putusan Mahkamah telah memberi koridor hukum bahwa langkah tersebut dapat dilakukan sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara untuk menjadi penentu utama dan pengendali kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, sejauh dan sepanjang dilakukan dalam koridor dimaksud, norma dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara 247 Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) Terhadap putusan Mahkamah tersebut, terdapat seorang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, sebagai berikut: Dalam Perkara a quo mayoritas hakim memberikan alas kedudukan hukum bagi Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Terhadap hal tersebut, saya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat yang berbeda ( dissenting opinion ) dengan pertimbangan sebagai berikut:
bahwa Pemohon adalah Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (selanjutnya disebut FSPPB), yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003 tertanggal 9 April 2003, yang dalam hal ini diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts-06/MUNAS-VI/FSPPB/2018. Presiden FSPBB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar FSPPB;
bahwa telah menjadi pendirian Mahkamah sejak awal bahwa organisasi non- pemerintah dapat diterima kedudukan hukumnya dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang sepanjang maksud dan tujuan pendirian serta aktivitasnya berkait dengan substansi undang-undang yang dimohonkan pengujian dan diwakili oleh pihak yang menurut ketentuan internal organisasi yang bersangkutan diberikan hak untuk mewakili organisasi tersebut di dalam maupun di luar pengadilan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU- 248 XVII/2019, hlm. 68-69). Lebih lanjut, Mahkamah juga berpendirian bahwa suatu organisasi yang telah berkali-kali diterima kedudukan hukumnya tidaklah serta- merta memeroleh kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang karena setiap perkara memiliki karakteristik yang berbeda (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 75/PUU-XVII/2019, hlm. 28-29). Selain itu, Mahkamah juga pernah tidak memberikan kedudukan hukum bagi Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) selaku organisasi para kepala daerah (bupati) sebagai Pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Mahkamah, untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang mewakili kepentingan daerah di hadapan Mahkamah haruslah pemerintahan daerah yang terdiri atas bupati dan ketua DPRD (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XII/2014, hlm. 28-29). Dengan demikian, pemberian kedudukan hukum bagi Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang oleh Mahkamah bersifat kasuistis dan tidak dapat disamaratakan (generalisasi);
bahwa meskipun Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya tidak membedakan secara trikotomis antara konfederasi, federasi, dan serikat pekerja/serikat buruh dalam memberikan kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan atau serikat pekerja/serikat buruh, namun fakta penjenjangan terhadap ketiga organisasi tersebut dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU 21/2000), bukanlah tanpa alasan. Baik konfederasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/serikat buruh, maupun serikat pekerja/serikat buruh merupakan tiga badan hukum yang berbeda dalam arti bahwa ketiganya memiliki pengurus, harta kekayaan, tujuan, legalitas pendirian, serta hak dan kewajiban masing- masing. Lagi pula, setiap serikat pekerja/serikat buruh bersifat otonom sebagaimana kata “berhak” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU 21/2000 yang berbunyi “Serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat buruh”. Kata “berhak” menunjukkan tidak ada kewajiban bagi organisasi serikat pekerja/serikat buruh dari setiap perusahaan untuk bergabung dengan federasi tertentu, selain itu sifat keanggotaan federasi pun tidak mengikat, di mana setiap serikat pekerja/serikat buruh yang menjadi anggota dari satu federasi serikat pekerja/serikat buruh 249 berhak mengundurkan diri ataupun pindah ke federasi lain. Di sisi lain, anggota dari federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah badan hukum serikat pekerja/serikat buruh, bukan perorangan pekerja atau buruh, sehingga FSPPB tidak bisa mengklaim atas nama pekerja atau buruh dari serikat pekerja/serikat buruh Anak Perusahaan PT Pertamina (Persero) yang tidak menjadi anggota Federasi (FSPPB);
bahwa diferensiasi secara trikotomis antara konfederasi, federasi, dan serikat pekerja/serikat buruh seharusnya menjadi tolok ukur kerugian konstitusional yang menjadi pintu masuk atas pengujian norma undang-undang, yakni siapa atau pihak mana yang terkena dampak secara langsung atas keberlakuan norma a quo . Dalam hal ini, Mahkamah telah menegaskan mengenai 5 (lima) syarat kerugian konstitusional yang harus terpenuhi secara kumulatif sebagaimana yurisprudensi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, dan putusan-putusan selanjutnya);
bahwa bentuk federasi dan konfederasi sesungguhnya dimaksudkan agar serikat pekerja/serikat buruh memiliki kekuatan dan dukungan yang lebih besar. Baik federasi maupun konfederasi sama-sama tidak memiliki akses langsung dengan pekerja/buruh. Adapun anggota dari federasi adalah serikat pekerja/serikat buruh (vide Pasal 6 ayat (2) UU 21/2000), sedangkan anggota dari konfederasi adalah federasi (vide Pasal 7 UU 21/2000). Sehingga jelas berbeda dengan organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya adalah pekerja atau buruh di perusahaannya. Dengan demikian, klaim dari FSPPB mengatasnamakan pekerja atau buruh pada anak perusahaan tidak sejalan dengan semangat UU 21/2000;
bahwa berkenaan dengan status anak perusahaan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU.PRES-XVII/2019 (hlm. 1936) menyatakan:
... 2. bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak 250 perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN;
... bahwa konsekuensi logis dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU.PRES-XVII/2019 adalah bahwa, Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero akan tunduk pada ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007). Antara anak perusahaan BUMN dan BUMN memiliki entitas hukum yang berbeda, sehingga berbeda pula tata kelola dan regulasinya. Lebih lanjut, dengan dipisahkannya kekayaan negara pada BUMN yang dijadikan penyertaan modal pada anak perusahaan BUMN, maka aktiva anak perusahaan BUMN merupakan kekayaan yang terpisah dari perusahaan BUMN tersebut;
bahwa Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya menyatakan bahwa faktanya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut hanya berbentuk Perseroan Terbatas biasa, sehingga tidak terikat pada ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Hal tersebut tentunya membuka peluang/potensi dapat diprivatisasinya perusahaan atau persero tersebut padahal anak perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha induk perusahaannya yang notabene induk perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 (vide poin 12 Perbaikan Permohonan, hlm. 9-10). Terhadap hal tersebut, jika dikaitkan dengan Pasal 3 Anggaran Dasar FSPPB, organisasi FSPPB berbentuk Federasi yang menghimpun dan terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan PT Pertamina (Persero), termasuk anak perusahaan, yang memenuhi syarat dan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. Dengan demikian, kekhawatiran Pemohon mengenai peluang/potensi dapat diprivatisasinya anak perusahaan PT Pertamina (Persero), kontradiksi dengan norma Pasal 3 Anggaran Dasar FSPPB yang terbuka bagi Anak Perusahaan. Hal ini semakin menunjukkan ketidakjelasan kerugian konstitusional Pemohon;
bahwa kekhawatiran Pemohon anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh negara, hal ini sangat berlebihan karena Pemohon telah mengambil-alih tanggung jawab direksi. 251 Menurut Pasal 1 angka 5 UU 40/2007, Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dengan demikian, tanggung jawab pengurusan sebuah perseroan ada pada direksi. Selama direksi perseroan menjalankan tugasnya dengan prinsip duty of care (kewajiban untuk kehati-hatian), duty of loyalty (kewajiban untuk loyal kepada perseroan dan pemegang saham), dan taat asas pada prinsip Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) maka perusahaan akan maju dan kesejahteraan karyawan pun akan meningkat, sehingga kekhawatiran Pemohon menjadi tidak beralasan;
bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional dan tidak memiliki kepentingan langsung dengan norma Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 yang dimohonkan pengujian sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara berlakunya norma a quo dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Dengan demikian, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dan Mahkamah seharusnya menjatuhkan putusan dengan amar yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). *** Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Manahan M.P Sitompul, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P. Foekh, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin , tanggal enam , bulan September, tahun dua ribu dua puluh satu , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu , tanggal dua puluh sembilan , bulan September, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 11.09 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Manahan M.P Sitompul, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P. Foekh, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri 252 oleh Pemohon dan/atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) dan/atau kuasanya. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Arief Hidayat ttd. Suhartoyo ttd. Daniel Yusmic P. Foekh PANITERA PENGGANTI, tt ttd. d. Yunita Rhamadani
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...
Penilaian Kompetensi Manajerial Melalui Assessment Center di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Pemohon keberatan dengan berlakunya pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2013 tentang Perasuransian dengan alasan pasal tersebut bertentangan dengan pasal ...
Relevan terhadap
Bab X Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan: Pasal 43, 44, 46 s.d. 49. Bab XIII Pengaturan dan Pengawasan: Pasal 60 s.d. 63 Bab XIV Ketentuan Pidana: Pasal 74. Pemerintah dan/atau DPR dapat saja berpendapat bahwa mereka telah melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 yang 57 mengamanatkan ketentuan tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur lebih lebih lanjut dengan undang-undang. Jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, maka perintah atau amanat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 belum lah dilaksanakan. Akan tetapi jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang- undang tentang perasuransian dimana juga terdapat ketentuan mengenai asuransi usaha bersama, maka UU No. 40/2014 adalah juga sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992, dengan demikian Pemerintah dan DPR telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tidak memberikan penjelasan mengenai undang-undang yang dimaksud, apakah sebuah undang- undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang tentang perasuransian. Kelima Solusi Untuk mengatasi Permasalahan Permodalan untuk memperkuat, memajukan AJB 1912 dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 Diperlukan landasan hukum atau payung hukum yang kuat beberupa sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang AJB 1912, sebagaimana dilakukan oleh beberapa Negara mengundangkan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk memajukan perusahaan asuransi jiwa bersama dan asuransi umum bersama (mutual life insurace and mutual general atau casualtly insurance) yang ada di negara tersebut . Hingga saat ini, undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau secara khusus untuk AJB 1912 belum ada, tetapi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang berada di bawah Undang- Undang, sehingga kurang kuat landasan hukumnya dan mudah dilakukan perubahan di mata investor, sehingga kurang memberikan kepastian 58 hukum untuk investasi jangka panjang, sementara sifat investasi di perusahaan asuransi dan terlebih untuk asuransi jiwa sangatlah jangka panjang. Sementara landasan hukum dan perundangan yang khusus mengatur perusahaan asuransi yang berbentuk Perseoran Terbatas (PT) sudah diatur dalam undang-undang sejak tahun 1992 dengan diundangkannya UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang kemudian telah diperbaharui dan diganti dengan UU 40/2014 tentang Perasuransian. UU No. 40/2014 dibuat karena adanya urgensi harmonisasi peraturan perundangan karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah dibentuk dan mulai menjalankan peran dan fungsinya sejak tahun 2012/2013. Seandainya OJK belum dibentuk, ahli tidak yakin bahwa Pemerintah dan DPR akan menjadikan hal itu sebagai prioritas. Karena menurut ahli, adalah suatu yang nyata bahwa perhatian dari Pemerintah dan DPR terhadap sektor asuransi sebelum dibentuk OJK, masih kurang dibandingkan dengan sektor jasa keuangan yang lain seperti sektor perbankan dan pasar modal. Karena itupula lah, pada saat OJK hendak dibentuk, ahli memberikan dukungan yang pertama dari semua sektor jasa keuangan, karena kebetulan pada waktu itu ahli sebagai ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesiad (AAUI), dengan harapan OJK akan memberikan perhatian besar terhadap sektor asuransi. Sementara sektor perbankan dan jasa keuangan yang lain tidak langsung memberikan dukungan terhadap pembentukan OJK pada waktu itu. Dan menurut ahli, OJK saat ini telah memberikan dukungan yang lebih besar untuk sektor asuransi. Kekosongan sebuah undang-undang tentang asuransi usaha bersama juga turut menimbulan hambatan dalam pengembangan AJB 1912, meskipun masih ada faktor lain. Akibatnya AJB 1912 kurang mempuyai daya tarik yang baik dan akses yang baik untuk pemodal atau investor asing. Padahal banyak investor yang berminat untuk berinvestasi di sektor perasuransian khususnya di asuransi jiwa seperti yang sudah terjadi selama ini. 59 Selanjutnya Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final yang memerintahkan agar dibentuk Undang-Undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan MK diucapkan, ahli melihat Putusan MK ini sebagai dukungan MK akan pentingnya suatu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. UU No.40/2014 telah mengubah norma mengenai pengaturan usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual), yang di Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2 Tahun 1992 diamanatkan atau diperintahkan supaya diatur lebih lanjut dengan ‘Undang-Undang’ dan oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 diubah menjadi diatur lebih lanjut dengan ‘Peraturan Pemerintah’. Ketentuan Pasal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Ini berarti tingkatan hierarki perundangan yang mengatur secara khusus asuransi usaha bersama berada di bawah undang-undang, sehingga menimbulkan ketidak setaraan dan ivestor dapat melihatnya sebagai kurang memberikan kepastian hukum untuk jangka panjang jika dibandingkan dengan investasi pada perusahaan asuransi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Dari uraian dan analisis yang ahli kemukakan di atas, ahli menyimpulkan:
. Diperlukan suatu Undang-Undang yang khusus mengatur asuransi usaha bersama;
. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 yang selengkapnya berbunyi: Pasal 6 ayat (3) “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah” . 60 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) __ ini tidak diartikan sebagai larangan bagi Pemerintah dan DPR untuk membuat satu undang-undang yang khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. Oleh karena itu, ahli berpendapat adalah perlu, penting Pemerintah dan DPR membuat satu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, sebagaimana telah lama dilakukan oleh beberapa negara asing, untuk mendorong kemajuan asuransi usaha bersama di Indonesia. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 hanya terdapat dalam beberapa pasal saja. Pengaturan perasuransian dalam UU 40/2014 jika dilihat lebih lanjut menitikberatkan pada asuransi dalam bentuk perseroan terbatas saja, namun demikian dikarenakan terdapat keteuan yang mengatakan sepanjang relevan dengan bentuk badan usaha bersama maka ketentuan tersebut berlaku. Menurut Ahli, pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tidak dapat dikatakan cukup, namun materi-materi yang terdapat didalamnya dapat dijadikan bahan untuk membentuk undang-undang tersendiri terkait dengan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama tersebut. − Terkait dengan permodalan yang terbatas yang menyebabkan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama ini lebih sulit maju dibandingkan dengan bentuk badan usaha perseoran , ahli tidak memiliki pendapat terkait itu. Namun, jika melihat pada sisi investor, tentu tidak menutup kemungkinan adanya investor yang tertarik untuk berinvestasi pada asuransi usaha bersama namun menurut investor tentunya jika diatur dalam peraturan pemerintah menjadi kurang kuat keberadaannya sehingga perlu dibuat undang-undang tersendiri. − Asuransi dalam bentuk usaha bersama di negara lain, sepengetahuan Ahli, tetap memakai bentuk mutual insurance dan pengaturannya diatur dalam undang-undang dimana dinyatakan sebagai incorporated company (Skotlandia). Jika bentuk usaha bersama ini akan dicarikan bentuk hukum lain sehingga memiliki akses permodalan yang mudah, menurut ahli berdasarkan kajian yang pernah dilakukan maka dapat berbentuk perkumpulan. 61 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, yang keterangan tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan 5 (lima) batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 a. Bahwa para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa Pasal a quo tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena apa pun bentuk dari pengaturan asuransi usaha bersama, para Pemohon dapat melaksanakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai Anggota BPA Asuransi Bersama Bumiputera 1912.
Bahwa para Pemohon mendalilkan bekerja sebagai Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Guru, Dosen, Wiraswasta, Pensiunan dan secara keseluruhan para Pemohon mendalilkan sebagai Pemegang Polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Anggota BPA. DPR RI berpandangan para Pemohon bukanlah subjek yang dituju dalam ketentuan Pasal a quo karena ketentuan a quo ditujukan oleh pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Hukum Usaha Bersama dalam Peraturan Pemerintah.
Bahwa dalam positanya, para Pemohon banyak memberikan argumentasi tentang kedudukan para Pemohon sebagai Anggota BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengemban tugas dan 62 amanahnya sebagaimana diamanatkan dalam Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Terhadap pernyataan para Pemohon tersebut perlu untuk diperjelas apakah para Pemohon bertindak untuk mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 atau hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912? Jika para Pemohon sebagai BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, maka para Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu sebagai pihak yang mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Sedangkan jika para Pemohon mengajukan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia pemegang polis, maka para Pemohon tidak bisa mengajukan pengujian Pasal a quo karena Pasal a quo mengatur tentang pendelegasian dari pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur mengenai badan hukum usaha bersama dalam peraturan pemerintah. Oleh karenanya para Pemohon bukanlah pihak yang menjadi subjek ( addressat norm ) dari ketentuan Pasal a quo , sehingga para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan Permohonan a quo karena tidak memiliki kepentingan hukum langsung terhadap Pasal a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang a. para Pemohon merasa dirugikan karena dengan berlakunya frasa “ diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal a quo UU Perasuransian telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan keterkaitan antara keberlakuan Pasal a quo dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon karena kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut adalah asumsi yang tidak ada pertautannya dengan ketentuan Pasal a quo sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut tidak beralasan hukum. 63 b. para Pemohon merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional atas adanya PP 87/2019 karena keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon beranggapan bahwa materi yang ada di dalam PP 87/2019 tersebut merugikan para Pemohon maka hukum telah menyediakan suatu mekanisme untuk mengujikan Peraturan Pemerintah tersebut ke Mahkamah Agung. Dengan demikian kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak benar dan hanya asumsi para Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa para Pemohon tidak dapat menguraikan kerugian yang dianggap sebagai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dengan ketentuan Pasal yang dimohonkan pengujian. para Pemohon dalam permohonannya lebih menguraikan substansi dalam PP 87/2019 dan tidak fokus terhadap ketentuan Pasal a quo sehingga tidak jelas pertautan antara kerugian para Pemohon dengan pasal a quo . Oleh karenanya tidak terdapat kerugian hak dan/atau konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang- undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam angka 1, 2, dan 3, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon melainkan hanya asumsi para Pemohon saja. Selain itu para Pemohon tidak dapat menguraikan pertautan antara kerugian yang didalilkan dengan ketentuan Pasal a quo sehingga sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan Pasal a quo . 64 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun terhadap para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. 65 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN DPR RI TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa dalam industri perasuransian, baik secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. Layanan jasa perasuransian pun semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Pengaturan dalam UU Perasuransian juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik ( best practices ) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
Bahwa berdasarkan Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian yang digunakan sebagai dasar pembentukan undang-undang a quo, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai badan hukum usaha bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Ketiadaan undang-undang yang mengatur usaha bersama mengakibatkan ketidakjelasan tata kelola badan usaha ini dan dapat menimbulkan keraguan akan perlindungan hak-hak para pemangku kepentingan. Usaha bersama juga menghadapi tantangan dan hambatan yang sama seperti koperasi dalam hal penyediaan modal yang 66 cukup untuk penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi, mengingat ketiadaan atau ketidakjelasan mekanisme penambahan modal dengan atau tanpa penambahan anggota baru di dalam usaha bersama tersebut. Perkembangan yang terjadi di negara lain berkenaan dengan penyelenggaraan usaha asuransi menggunakan badan usaha bersama juga mendapat perhatian. Walaupun sejumlah usaha bersama di bidang perasuransian tercatat sebagai perusahaan besar di negara-negara seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas sehingga dapat menggumpulkan modal lebih besar. Sampai dengan saat ini satu-satunya perusahaan perasuransian yang berbentuk usaha bersama di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, sedangkan perusahaan perasuransian yang lain berbentuk Perseroan Terbatas. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dalam RUU Usaha Perasuransian diusulkan agar perusahaan perasuransian berbentuk Perseroan Terbatas. ( Vide Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian hlm. 49-50) 3. Bahwa UU Perasuransian telah mengakomodir bentuk usaha bersama ( mutual ) dalam Pasal 6 ayat (1) UU a quo , bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah: a) Perseroan terbatas; b) Koperasi; atau c) Usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini di undangkan. Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan pembentuk undang-undang masih mengakui adanya usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama dan ketentuan tersebut telah memberi kepastian hukum, dan usaha bersama yang dimaksud adalah AJB Bumiputera 1912 yang menjadi satu-satunya usaha perasuransian berbadan usaha bersama sampai dengan saat ini yang dinyatakan sebagai badan hukum (Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian hlm 50). Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut pembentuk undang-undang menentukan politik hukum pengaturan mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai teknis badan usaha 67 bersama didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah ( vide Risalah Pembahasan hlm 57-58).
Bahwa para Pemohon mendalilkan: “...hak konstitusional para Pemohon telah dilanggar oleh pembentuk undang-undang tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 yang memerintahkan agar dibentuk undang- undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual).” Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, menyatakan: Frasa “ ... diatur lebih lanjut dengan undang-undang ” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “...diatur lebih lanjut dengan undang-undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” .
Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan adanya kepastian hukum mengenai pengaturan lebih lanjut tentang usaha bersama ( mutual ), yaitu paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Pembentuk undang-undang segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merumuskan ketentuan Pasal 91 UU a quo yang menyatakan: “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka UU a quo telah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terutama para Pemohon mengenai dasar hukum asuransi usaha perasuransian yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ), dan pembentuk undang-undang telah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki adanya kepastian hukum yang mengatur mengenai badan usaha bersama ( mutual ) perasuransian.
Bahwa DPR RI berpandangan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tersebut tidak memerintahkan 68 kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang tentang asuransi badan usaha bersama ( mutual ) secara khusus dalam undang-undang tersendiri.
Bahwa pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentunya harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) sebagai pedoman utama dalam membentuk peraturan perundang- undangan.
Bahwa terkait dengan norma pengaturan pendelegasian kewenangan telah diatur berdasarkan Lampiran UU 12/2011 mulai dari angka 198 sampai dengan angka 216. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dari teknis segi bahasa, pendelegasian kewenangan dengan menggunakan frasa “diatur dengan” dan “diatur dalam” tidak dimaksudkan untuk memiliki konsekuensi pendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri, tetapi lebih kepada “jumlah materi muatan” yang akan didelegasikan kepada peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Berdasarkan Lampiran angka 205 UU 12/2011 disebutkan bahwa , jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan gunakan kalimat...”Ketentuan mengenai…diatur dalam…”.
Bahwa sebelum diundangkannya UU 40/2014, Pembentuk undang- undang telah mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Namun dalam menindaklanjuti Putusan MK tersebut kedalam undang-undang selain berdasarkan Putusan MK tentunya pembentuk undang-undang memiliki pertimbangan politik hukum tersendiri dengan memperhatikan dinamika hukum yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini telah dirundingkan oleh DPR dan Tim Pemerintah dalam Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014 dan dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian dan Rapat 69 Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Bahwa dalam rapat-rapat tersebut pada intinya DPR RI setuju dengan usulan Tim Pemerintah yang memandang bahwa kedepannya lebih didorong agar perusahaan asuransi berbadan hukum perseroan untuk dapat memberikan perlindungan terhadap perusahaan dan konsumen asuransi, namun khusus untuk perusahaan asuransi mutual yang telah ada (Bumiputra 1912) tetap diakui keberadaannya. Sedangkan untuk mengakomodir putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013, Pembentuk undang-undang sepakat untuk mengatur perusahaan asuransi mutual dalam UU a quo yang ketentuan teknisnya didelegasikan kedalam peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan jika diatur secara detail dalam UU a quo , akan menimbulkan kemungkinan untuk dijadikan preseden lahirnya perusahaan-perusahaan asuransi mutual lainnya yang memiliki banyak kelemahan dalam tatakelolanya yang juga sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara lain di dunia. Selengkapnya tertulis pada bagian risalah.
Oleh karena itu dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 mengenai pengaturan asuransi usaha bersama ( mutual ) harus ditindaklanjuti dengan undang-undang tersendiri dan tidak diperhatikan oleh Pembentuk Undang-Undang adalah tidak beralasan hukum.
Bahwa dalam positanya para Pemohon banyak menguraikan materi muatan dalam PP 87/2019 yang dianggap menghilangkan eksistensi dan kewenangan Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Terhadap uraian para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan dalam PP 87/2019 maka para Pemohon seharusnya tidak mengujikannya ke Mahkamah Konstitusi melainkan ke Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang. Oleh karena itu terlihat jelas bahwa permohonan a quo adalah permohonan yang memiliki kesalahan objek ( error in objecto ). 70 C. RISALAH PEMBAHASAN PASAL A QUO UU PERASURANSIAN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU Perasuransian yang relevan dengan substansi dalam Permohonan a quo sebagai berikut: • Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, dan LPS dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian (Jumat, 29 Agustus 2014) - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA):
.. Mengenai mutual, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaannya, eksistensinya apalagi mengatur mengenai tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir 71 logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturan-aturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua, yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga, yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, 72 pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT (H. ANDI RAHMAT, SE): Saya skors ya pak sekitar 2 menit untuk memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia keluar dari ruangan ini __ (RAPAT DISKORS) Terima Kasih Pak. (SKORS DICABUT) Selanjutnya Bapak-bapak yang kami muliakan dan saya hormati, ini kita akan lanjutkan sedikit penjelasan dari Bapak Komisioner OJK ini berkaitan dengan bentuk dan badan hukum dari asuransi Pak. Jadi dalam RUU ini ada 2 bentuk saja yang ditawarkan oleh Pemerintah: yang pertama itu koperasi dan kedua adalah perseroan terbatas oh yang perseroan terbatas koperasi dari, kalau saya tidak salah itu koperasi itu usulannya F-PG kalau tidak salah ya, pokoknya paling banyak F-PG yang paling banyak usulannya sampai lupa mengusulkan. Bapak-bapak sekalian, Jadi ada 2 yang saya putuskan dan ini ada tambahan berkaitan dengan mutuall fund ya, lebih spesifik lagi mutuall fund yang di Indonesia ini cuma ada satu Pak yaitu asuransi AJB dan ini yang kita minta penjelasan kepada OJK karena sampai sekarang ini dan sekarang sudah sampai dalam pengawasan OJK Pak. Kita mau lihat bagaimana OJK mengatasi isu yang berkaitan dengan asuransi Bumiputera ini AJB/Asuransi Jasa Bumiputera. Silahkan Pak firdaus ya. Saya kira langsung saja Pemerintah ya langsung kepada Komisionernya saja. Silahkan Pak Firdaus. - OJK (FIRDAUS) : Bismillahirahmanirahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yang saya hormati Pimpinan Panja RUU Asuransi, Yang saya hormati Bapak-bapak Anggota Panja RUU Asuransi dari Komisi XI, Pertama-tama saya mohon maaf agak terlambat, banyak acara Pak dari habis Magrib itu, ada 2 dulu baru saya jalan agak macet lagi. Bapak-bapak sekalian, Kalau kita baca dari RUU Undang-Undang Asuransi yang lama yang tahun ’92 itu, itu kan memang disitu ada 3 Badan Hukum bentuk asuransi yaitu PT, kemudian Koperasi dan mutuall meskipun waktu tahun ’92 kita bikin memang ada perusahaan asuransi yang berbadan hukum koperasi 1 73 waktu itu tapi kemudian kita cabut izin usahanya oleh Pemerintah itu di tahun 2010 kira-kira dicabut koperasi 1. Kemudian 1 lagi memang berbentuk mutuall. Didalam undang-undang kalau kita baca Undang-Undang Asuransi yang tahun ’92 itu memang disana untuk mutuall kita memberikan amanat bahwa Pemerintah akan membuatkan undang-undang khusus mutuall sehingga belum ada waktu itu pelaksanaannya kita atur dengan peraturan pemerintah. Namun sampai saat ini memang belum dibuatkan undang- undang untuk mutuall. Kemarin ketika ada yang bawa ke Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi mengamanatkan agar Pemerintah membuatkan dalam waktu 2,5 tahun sejak keputusan Mahkamah Konstitusi yang keluar 3 bulan yang lalu kira-kira begitu. Nah,sekarang saya ingin katakan bagaimana perkembangannya. Jadi dari 95 asuransi umum, 45 asuransi jiwa dan 41 asuransi itu tidak ada satu pun yang berbentuk koperasi karena memang telah kita cabut. Kalau kita lihat sejarah di perbankan sama Pak di lembaga keuangan lain. Di perbankan juga saat ini juga hanya ada 1 BPR berbentuk koperasi yang lainnya di bank umum maupun BPR yang jumlah lebih dari 1.900 baik yang konvensional maupun yang syariah hanya 1 yang berbentuk koperasi, yang lainnya tidak ada. Yang mutual kita punya juga cuma 1 yaitu ..... Asuransi Bumiputera. Saya ingat ada 2 bank umum : Bukopin pernah bentuk koperasi tapi di tahun ’90 berapa kita ubah, kita rekap itu berubah menjadi PT karena memang ketidakmampuan dari waktu itu pemilik Bukopin adalah juga koperasi-koperasi yang tidak mampu untuk menitip modal sehingga masuk lah pemodal entah itu dari Pemerintah, entah itu dari swasta sehingga berubah menjadi PT Bukopin meskipun kita tetap mempertahankannya namanya Bukopin. Nah, saya bisa mengerti ketika Pemerintah mengajukan itu dalam RUU ini awalnya adalah dalam bentuk PT saja. Kalau lihat kita lihat pernah kita buat juga yang kita yang Pemerintah dan DPR lahirkan yaitu Undang- Undang mengenai Bank Syariah, itu juga hanya berbentuknya PT saja karena kalau kita lihat begini Pak. Koperasi juga sekarang ini kan misalnya itu badan hukum PT, Koperasi, maupun mutuall itu kan tetap saja. Ketika didirikan baru katakanlah dia tetap harus memiliki persyaratan memenuhi persyaratan modal minimum. Kalau koperasi misalnya ketika mau didirikan berarti dia juga harus punya modal misalnya kalau sekarang berlaku ketentuan minimal 100 milyar maka dia harus artinya kalau memang ada koperasi yang mau didirikan asuransi dalam ....koperasi itu harus ada iuran anggota, iuran pokok, dan iuran sukarela dari anggota itu totalnya 100 milyar. Meskipun mungkin bisa tapi rasanya kalau koperasi itu dibentuk barangkali oleh pihak-pihak yang besar mungkin bisa tapi kalau dari masyarakat biasa membentuk koperasi mengumpulkan 100 milyar untuk menjadi modal setor katakanlah begitu untuk sebuah perusahaan asuransi agaknya berat begitu. Mutuall kita lihat Pak. Mutuall itu sejarahnya adalah kalau kita lihat di dunia ini mutuall itu tinggal histori Pak, tinggal sejarah. Kita lihat mutuall-mutuall yang ada di Eropa, ada di Jepang, ada di Canada, ada di Amerika itu memang lahir 200 tahun yang lalu, 150 tahun yang lalu tidak ada yang lahir lagi. Terakhir lagi sebetulnya itu mutuall itu adalah di Fililpina tahun sekitar ‘87 Pak. Itu pun karena begini, ada sebuah perusahaan asuransi BUMN 74 sebetulnya punya anak perusahaan sebetulnya target juga PT limited company. Tapi tiba-tiba dalam rangka agak politis anak perusahaan itu kemudian sahamnya diberikan kepada pemegang polis sehingga diubah dari PT menjadi mutuall karena ciri-ciri dari mutuall itu pemegang polis adalah pemegang saham. Ini terakhir di Filipina tahun ’85-’87. Setelah itu tidak ada lagi di dunia, selain itu usianya memang ratusan tahun. Dia memang kalau survive, survive benar ya seperti di Jepang. Ada yang tidak survive tapi dia di-merger dengan mutuall lainnya karena kalau tidak di-merger dengan mutuall lainnya agak sulit. Nah, kenapa mutuall-mutuall baru tidak lahir lagi di dunia ini? memang kalau kita lihat sekarang di negara lain juga kan modal untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi kan besar sekali Pak. Mungkin juga puluhan triliun, di kita saja yang 100 milyar. Kami bayangkan Pak kalau misalnya ada sebuah mutuall baru mau didirikan agak bayangan kami itu agak imposible. Bagaimana kalau kita lihat menilik sejarah ini misalnya : Bumiputera. Lahir dari 3 orang guru, dia tarifnya cuma kumpul bertiga seperti arisan bilang kalau diantara kita ada yang meninggal ini dari ini ya dari kumpulan kita yang tiap bulan kita bayar sisihkan dari gaji terus berkembang-berkembang. Nah, kalau kita lihat tahun 1912 belum ada pengaturan Pak mengenai persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi. Kalau sekarang bagaimana mutuall bisa terbentuk misalnya ketika harus memiliki persyaratan modal 100 milyar yang barangkali yang saya dengar kan dari baik itu dari wacananya kan ingin kedepan ini modal minimum untuk sebuah perusahaan nasional yang baru pun harus dinaikkan karena rasanya 100 milyar sudah tidak cukup sekalian mau menciptakan entry barier hambatan masuk supaya yang masuk di industri asuransi ini tidak lagi perusahaan-perusahaan..... karena kalau kita ingin besarkan usia asuransi kita Pak memang modalnya mahal industri asuransi ini karena memang IT-nya mahal, pengembangan SDM- nya mahal, infrastruktur yang dibangun lain juga mahal. Apalagi kalau kita mau bersaing di dalam kawasan ASEAN ketika berlaku masyarakat ekonomi ASEAN agak sulit kalau ada lahir baru perusahaan-perusahaan asuransi yang modalnya .......tidak besar. Jadi hampir impossible Pak misalnya ada mutuall baru lahir ketika ada pemegang polis yang sepakat untuk kumpulkan uang kira-kira 100 milyar atau lebih untuk mendirikan perusahaan asuransi baru. Sebetulnya ada jalan keluar Pak. Seandainya ini memang tidak ada lagi mutual, mungkin kan dikatakan lah aturan transisinya peralihannya kan bisa dinyatakan bahwa mutuall yang ada tidak dianggap tetap diakui seperti undang-undang yang sekarang berlaku kan dinyatakan bahwa mutuall yang ada tetap dianggap telah memiliki izin dan dianggap sebagai badan hukum ya. Meskipun barangkali perlu dipikirkan saya tidak tahu nanti keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan 2,5 tahun harus dibikinkan undang-undang Mutuall. Memang begini Pak, ketika sebuah asuransi mutuall itu tidak sehat pilihannya tinggal 2, dia tidak bisa suntik modal karena memang perusahaan asuransi mutuall itu kan memang perusahaan yang kita bilang less equity jadi tidak ada ekuitasnya perusahaan asuransi. Kalau PT kan selalu ada Pak, ada aset kemudian ada kewajiban, ada ekuitas. Kalau perusahaan mutuall itu tidak ada ekuitas karena pemegang saham adalah meskipun perusahaan mutual-nya untung seperti negara Jepang mungkin saja ada tapi ekuitasnya dari laba 75 Pak, laba ditahan bukan dari modal. Ketika sebuah mutuall tidak sehat pilihannya ada 3 : apakah dia kalau disuntik sudah tidak bisa, apakah dia itu didapat mutualisasi, diubah badan hukumnya menjadi PT sehingga bisa mengundang pihak investor bisa masuk itu .....mutualisasi, atau kalau tidak dimutualisasi barangkali dia bisa di-merger dengan perusahaan mutuall lainnya sedangkan sekarang kita kan cuma satu-satunya Bumiputera atau dilakukan begini tinggal bilang, pemerintah tinggal bilang kepada pemegang polis yang merangkap juga sebagai pemegang saham karena perusahaan ini rugi, perusahaan ini bermasalah. - KETUA RAPAT : Di AJB itu berapa yang .....berapa sekarang Pak? - OJK (FIRDAUS) : 5 juta Pak. Jadi gini Pak ketika mutuall tidak sehat sebetulnya regulator bisa bilang begini kepada pemegang polis yang sekaligus artinya dia menjadi pemegang saham, dia bilang: “anda nambah artinya membayar premi tambahan untuk menutupi kerugiannya”. Ini kan kalau sebagai pemegang saham kan ada bagi keuntungan, ada bagi rugi kira-kira begitu Pak”. Nah, kalau dia untung dia dapat deviden sebagai pemegang saham. Nah, kalau dia rugi dia harus bagi rugi, bagi rugi kan bisa artinya dia harus nambah preminya untuk menutupi kerugian atau nilai tunai dari polis dia dikurangi, pilihannya itu. Nah, terhadap perusahaan mutuall yang ada tadi ini untuk di ruangan kita saja Pak, memang harus diakui sekarang penyakit yang lama sekali yang sulit sekali mutuall di kita ini kan strukturnya itu ada yang kalau sekarang di Bumipetera ini Pak, ini ada direksi, ada komisaris, ada BPA. BPA itu kan Badan Perwakilan Anggota, dia badan yang mewakili pemegang polis, dipilih itu berdasarkan regional jadi ada katakanlah regional Sumatera, regional Jawa, regional Kalimantan, dan Indonesia bagian timur gitu. Nah, dahulu memang ini tidak tersentuh oleh Pemerintah sehingga mekanisme atau tata kelola pemilihan BPA ini menurut kami ini tidak bagus sehingga siapa yang terpilih menjadi anggota kita itu yang kebanyakan mungkin hampir semuanya tidak ngerti asuransi meksipun dia mungkin barangkali pemegang polis. Siapa BPA itu sekarang? Gubernur, walikota, bupati, rektor, kayak-kayak gitu lah yang jadi Pak yang dianggap barangkali oleh direksi itu mewakili tokoh daerah yang diharapkan dapat menambah bisnis di daerah. Tapi dia sebagai pengambil kebijakan tertinggi karena sidang BPA itu sama dengan RUPS Pak. Semua keputusan-keputusan penting termasuk pertanggungjawaban itu, pergantian direksi dan komisaris itu diputus di Rapat BPA yang kalau di PT adalah RUPS. Nah, mekanisme ini sekarang kami sedang benahi Pak, kami ingin terhadap Bumiputera ini pemilihan BPA misalnya itu harus melalui tata kelola yang benar, yang independen, tidak hanya menunjuk orang yang hanya sekedar tokoh yang tidak mengerti padahal fungsinya sangat penting sebagai itu. Itu didalam struktur organisasi mutuall seperti itu. Nah, kedepan ini memang kami benahi termasuk kami sudah keluarkan aturan OJK ini bahwa BPA yang akan dipilih itu nanti harus lulus fit and proper oleh OJK sehingga kami bisa membantu menyeleksi Pak. __ 76 - KETUA RAPAT : POJK-nya sudah ada Pak? - OJK (FIRDAUS) : Sudah ada Pak POJK-nya sehingga pantas kah dia duduk sebagai BPA karena pengambil keputusan itu menjadi penting. Nah, jadi yang kami sekarang ini apa yang kami lakukan terhadap terus terang memang Bumiputera ini kurang sehat Pak tetapi kami OJK dari dulu dan Pemerintah bertekad tetap harus Bumiputera ini harus eksis karena pemegang polis jumlahnya 5 juta ini Pak karena kejatuhan ini bisa menjatuhkan industri asuransi kira-kira begitu Pak. Kita sering bercanda tetangga dekat kayak Bu, kalau herritage ini kayak Borobudur, dia harus kita pertahankan itu. Jadi ini menjadi sebuah sesuatu yang harus kita pertahankan kira-kira begitu. Tapi kan dia bukan hanya sekedar mempertahankan tapi bagaimana menyebabkan dia harus eksis, harus mampu berbisnis, mampu bersaing kedepan. Nah, kami memang ada rencana beberapa strategi Pak bagaimana menyelamatkan Bumiputera ini karena terus terang kalau kita melakukan the mutualisasi pada Bumiputera agak sulit karena kita belum memiliki Undang-Undang Mutuall. Biasanya proses atau program atau SOP the mutualisasi itu harus kita tempatkan di undang-undang Mutuall. Jadi kalau undang-undang Mutuall itu belum ada, agak sulit kita melakukan the mutualisasi. ...... lain, seperti negara-negara lain .......Pak, ini sekedar gambaran. Misalnya kita akan cari katakan investor strategis dalam negeri Pak, syukur-syukur ini bisa katakanlah misalnya coba cari investor strategisnya katakanlah perusahaan yang mungkin BUMN atau anak perusahaan BUMN. Jadi ini katakan lah BUMN atau anak perusahaan BUMN dia punya asuransi kemudian kita ingin memindahkan ini portofolio bisnis Bumiputera ini kepada anak ini. Ini kita tidak melakukan mutualisasi, ini kita biarkan tetap atau apa induk saja Pak tapi bisnisnya kita kosongkan, portofolionya kita pindahkan kesini sehingga kekurangannya ini kita carikan disini investor yang bisa masuk dana karena dia sudah pindahkan bisnisnya ke anak perusahaan, disini dikosongkan. Hanya dengan begitu Pak, baru kita bisa ini perusahaan asuransi yang dibentuk oleh dalam negeri ini bisa disuntik. Kalau dananya cukup besar barangkali berarti kita coba carikan investor lain bergabung disini entah dari lokal kalau misalnya ada perusahaan asuransi yang mau ikut disini tapi tidak mayority, kita kasih minoritas karena sekedar untuk menutupi lobang yang ada ini katakan lah ketidakseimbangan antara aset dengan liabililties. Nah, kondisinya seperti itu Pak. Tapi percaya lah bahwa kita saat ini sampai saat ini kita tidak ada niatan untuk menghabiskan atau menutup itu tapi justru kita ingin selamat. Tapi lagi dicari kan ini investor strategis yang mau nanti menutup lobang ini dengan cara itu karena kalau langsung masuk Bumiputera tidak bisa Pak, dia sebagai mutuall tidak bisa disuntik. Yang ideal yang sekarang ini lebih mudah kalau tidak dilakukan mutualisasi seperti yang saya ulangi lagi adalah mengalihkan ....... portofolio bisnisnya. OJK diberi wewenang Pak diundang, dia berwenang untuk katakanlah. Kan kita punya wewenang yang namanya bisa menempatkan pengelola statuter, mengganti manajemen. Kalau ada 77 sebuah lembaga keuangan yang sebetulnya masih punya prospek baik tapi kemudian pengelolanya tidak bagus kita minta diganti pemegang sahamnya ga mau ganti karena mungkin ribut bisa saja ini terjadi Pak karena terjadi di sebuah... itu maka OJK seperti yang dikasih wewenang di undang-undang itu bisa mengganti manajemen dengan pengelolaan statuter. OJK juga diberi wewenang seperti yang Bapak-bapak berikan kepada OJK memberikan perintah tertulis, perintah tertulis untuk apa? Memerintahkan perusahaan untuk merger, memaksa perusahaan untuk merger, meminta perusahaan untuk katakanlah kita minta memindahkan portofolio bisnisnya ke perusahaan asuransi sejenis. Kalau bank mungkin ke bank sejenis, dalam upaya apa? Ini semata-mata untuk menyelamatkan pemegang polis. Kalau di bank barangkali untuk menyelamatkan deposan, kita bisa pindahkan portofolio bisnisnya ke lembaga sejenis, jadi itu Pak. Kalau misalnya sekarang ini ada suara-suara misalnya apakah itu kita tetap mengasih izin di undang-undang baru ini PT, kemudian tetap ada koperasi, tetap ada mungkin semangat ’45 nya kemudian ada mutuall katakan seperti yang sekarang ada. Sebetulnya kalau kita bicara realita Pak kedepan pun saya yakin yang akan lahir walaupun ada baru itu hanya PT tapi kalau hanya sekedar menempatkan ya ga ganggu juga bagi kami OJK, toh tidak akan perkirakan kami tidak akan lahir lagi karena yang bentuknya koperasi maupun PT. Sebagai gambaran Pak, kami atau .... mutuall. Kami didatangi oleh katakanlah beberapa koperasi besar. Dia bilang, kami akan bikin asuransi. Saya bilang bentuk hukumnya apa? Malah dia bilang kami akan bentuknya PT Pak anak perusahaan koperasi izinnya karena dia tidak mau bikin perusahaan asuransi bentuknya koperasi, dia bilang nantinya sulit Pak ketika harus nambah modal meminta lagi kepada anggota sulit. Jadi kami akan bikin tapi bentuknya PT sebagai anak perusahaan koperasi, itu sebagai gambaran. Kira-kira begitu Pak kondisinya apa yang sedang kami kerjakan tentang Bumiputera ini. Terus terang kami sekarang melakukan pendekatan kepada investor strategis untuk bisa nantinya menyuntik dalam arti ketika kita gunakan misalnya mekanisme mau memindahkan portofolio bisnis ini ke sebuah perusahaan asuransi yang sudah ada kemudian bisa menyuntik. Yang penting kemudian adalah bagaimana 5 juta pemegang polis Bumiputera ini bisa terselamatkan. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Tadi sudah ada penjelasan ya dari Pak Firdaus tentang situasi yang dihadapi oleh satu-satunya industri asuransi yang berbadan hukum mutuall fund di Republik ini. Dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi ya Pak ya kalau tidak salah juga saya selalu dikasih oleh Pak Isa ini sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi-nya Pak karena kalau saya tadi kan semangatnya PT saja sesuai dengan RUU tapi Pak Isa selalu bilang ada keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadi itu memang organ-organ ini tidak bertentangan juga dengan undang-undang gitu. Malah oleh Mahkamah Konstitusi diminta kita untuk mengatur yang namanya mutuall fund ini, kan begitu Pak ya. 78 Nah, sekarang Bapak-bapak sekalian kebetulan asuransi namanya mutuall fund ini namanya Bumiputera. Mungkin Pak Firdaus karena takut dilaporkan buka rahasia, tidak sampaikan kepada kita terus menerus apa yang terjadi didalam Bumiputera ini tetapi kita sama-sama paham lah, tidak perlu disampaikan dalam forum ini bahwa memang ada problem serius di insurance ini sebabnya malam ini kita undang beliau secara khusus disini supaya waktu kita ambil keputusan Pak karena ini terekam semuanya karena sudah mendengarkan apa yang disampaikan. Jadi kalau resiko-resiko berikutnya didalam itu tentu akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan undang-undang lah, saya kira begitu ya. Begitu Pak Basuki ya. Bapak -bapak sekalian yang saya hormati, Ini saya mau bertanya kepada Bapak-bapak sekalian, apakah kita akan segera mengambil keputusan atau mendiskusikan materi ini atau kita akan simpan sampai mata kita lebih terang besok pagi? Saya lihat Pak, ini Bapak Edwin saja kondisi kesehatannya masih bagus-bagusnya, ini mengatakan kita ambil keputusan saja. Bagaimana Pak? Memang itu kan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi itu usaha bersama tapi tafsir yang diapakan di Undang-Undang Dasar secara bersama juga koperasi. Jadi kalau kita tutup itu, kalau di perbankan kita tidak tutup memang artinya tidak boleh ada lagi usaha perbankan, koperasi, dan usaha bersama. Itu artinya kita mematikan Undang-Undang Dasar. Bahwa realitasnya yang tadi disampaikan Pak Firdaus itu tidak jadi masalah, kita yang penting memang tidak melawan Undang-Undang Dasar. __ Jadi saya kira semangat Undang-Undang Dasar itu tidak boleh kita matikan di, kebetulan ini asuransi dibandingkan perbankan memang relatif agak kecil. Siapa tahu nanti muncul tokoh-tokoh mudah yang punya rasa kekeluargaan lebih bagus dari kita sekarang ini. Jadi jangan dimatikan itu yang anunya tetap saja kita apakan, apakah kita nanti diatur oleh undang- undang tersendiri atau apa kita berikan kewenangan kembali kepada OJK untuk mengaturnya seperti didalam Undang-Undang OJK. Kalau usaha bersama itu kan sudah jelas perintah Mahkamah Konstitusi tapi kalau koperasi itu tidak ada perintah atau apa, apakah kita memasukkan dia menjadi menu saja sepanjang Undang-Undang Dasar kita tidak berubah menurut saya menu ini tidak boleh kita matikan. Jadi artinya kalau kita matikan berarti mungkin barangkali 50 tahun yang akan datang kita ubah Undang-Undang Dasar itu kalau seluruh perundang-undanganya kemudian tidak boleh koperasi, tidak boleh mutuall fund. Jadi terjemahan Undang-Undang Dasar menjadi mati didalam undang-undang. - KETUA RAPAT : Ya, pak biasanya Pasal 1 sampai Pasal 4 itu Pak seingat saya. Bapak- bapak sekalian, Ini clear Pak ya. Jadi kita ambil berdasarkan urutan saja Pak. Saya kira bisa kita ambil keputusan ini ya. Bisa ya pak ya? Pemerintah? Oke, silakan kalau mau ada yang ditanggapi. 79 - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih. Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota yang kami hormati, Sedikit saja mengklarifikasi karena memang pasal ini, DIM ini, ini langsung kita masukkan ke buku III Pak pada waktu itu. Jadi kami belum memberikan gambaran mengenai itu tapi dengan penjelasan dari Pak Firdaus tadi tentu kami akan tentu akan ringkaskan penjelasan. __ Pada saat kami menyusun rancangan undang-undang ini, kami memperhitungkan seperti yang tadi disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa didalam praktek nanti tidak mudah bagi koperasi dan usaha bersama atau mutuall ini untuk bisa mendapatkan modal yang cukup untuk berusaha di bidang asuransi. Apalagi kalau kemudian dia menghadapi masalah kekurangan modal dan sebagainya yang tidak mempunyai mekanisme untuk menambah modal dia. Kemudian didalam perkembangannya, kami terus terang memang tergoda untuk melihat cara pandang yang lain dengan Undang-Undang Koperasi yang baru yang pada akhirnya dicabut secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada saat Undang- Undang Koperasi yang baru itu ada, ada mekanisme-mekanisme dimana koperasi dimungkinkan untuk menambah modal dengan menerbitkan sertifikat modal koperasi atau apa namanya begitu. Jadi memang cenderung menyerupai mekanisme-mekanisme yang bisa diterapkan di koperasi cenderung menyerupai PT pada saat Undang-Undang Koperasi yang terbaru waktu itu masih ada. Karena itu kami waktu itu membuka kembali diskusi dan pada saat itu kami pun mempertimbangkan untuk menyetujui usulan dari beberapa fraksi didalam DIM yang menginginkan koperasi tetap ada disitu. Tentu kami pemikiran ini menjadi sulit bagi kami setelah Undang-Undang Koperasi ini yang terbaru itu dibatalkan secara keseluruhan dan kita kembali kepada Undang-Undang Koperasi yang lama yang tahun ’92. Mengenai mutuall, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaan, eksistensinya apalagi mengatur tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan 80 mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturanaturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua , yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap 81 perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga , yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... Apa yang di 3 tadi, Pak Isa coba diulangi? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Pertama Pak, kami usulkan pertama dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota. Kedua, untuk menjadi anggota orang harus melihat......, yang ketiga ...... akumulasi keuntungan atau akumulasi kerugian .... ( suara tidak terdengar ) - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian, Sudah nyala belum Pak? - F-PG (DR. H. HARRY AZHAR AZIS, M.A.): Kalau perlu kita berikan kewenangan kepada OJK untuk penjelasan atau ketentuan lebih lanjut kita berikan kewenangan kepada OJK untuk membuat dalam bentuk POJK itu. Saya kira dengan demikian tapi bentuknya dia sebagai menu tetap hidup tapi OJK jangan kecendrungannya untuk mematikan. Jadi justru dalam peraturan OJK itu bagaimana merangsang artinya ada insentif-insentif orang lebih tertarik menjadi anggota usaha bersama atau anggota koperasi. Itu yang harus diapakan. Bahwa dia tidak hidup ya itu realitas yang ada memang tapi jangan kita berikan kewenangan nanti kecendrungan OJK justru mematikan gitu atau meniadakan. Itu yang harus kita kasih pesan yang kuat gitu. Jadi apakah nanti insentif-insentif itu nanti akan apa itu silakan OJK memikirkannya, jangan kita lah yang memikirkannya. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih Pak. 82 Kami memang sependapat kalau memang dibuka menunya tentu tidak boleh kemudian secara diskriminatif atau pun secara tendesius gitu kemudian tetap dimatikan tentu kita harus fair gitu. Tapi juga kami nanti tentu mengharapkan OJK juga tidak membuatnya menjadi begitu mudah sehingga malah mengganggu kesehatan perusahaan itu sendiri jadi tetap harus seimbang antara kemudahan dan juga kemampuan perusahaan itu nantinya untuk menjaga kesehatan untuk menjaga keseimbangan antara kewajiban dan sebagainya didalam pelaksanaannya. Kalau begitu kita masukkan juga. Jadi ada semacam konversi pengertian kesehatan di PT itu konversinya di kesehatan koperasi, konversinya di kesehatan di usaha bersama itu kita minta OJK merumuskannya. Konversi mengenai good governance tadi misalnya pernyataan Pak Firdaus, BPA itu menjadi RUPS, nah itu bagaimana konversinya. Itu harus dibuat menjadi governance betul. Nah, kalau di perbankan itu ada satu tambahan yaitu kontribusinya bagi perekonomian nasional mana yang lebih besar. Nah, itu yang nanti orang pada akhirnya itu berebut dan itu kan tujuan dari Undang-Undang Dasar kita dulu yang seperti itu yang sampai sekarang masih hidup jiwanya, tubuhnya saja tidak ada, jiwanya masih ada. Jadi kalau kita sepakat saya kira tinggal dirumuskan bagaimana, nanti baru dalam tim perumus kita apakan. STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Bapak Pimpinan yang kami hormati, Bapak-bapak Anggota Panja, Ada satu sedikit hal lagi. Ini yang mungkin satu hal lagi yang kami mohon pertimbangan juga yaitu segala hal yang terkait dengan ini masih terbuka untuk diskusi, segala hal yang terkait dengan prudensial dari perusahaan asuransi yang berbentuk koperasi atau usaha bersama ini sudah jelas itu adalah wilayah OJK. Jadi mengenai ketentuan kesehatannya, mengenai berapa kira-kira iuran pokok atau iuran wajib yang harus dibayarkan sebelum menjadi anggota dan sebagainya karena itu terkait dengan kekuatan perusahaan, kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dan sebagainya. __ Hal yang spesifik yang ingin kami sampaikan adalah terkait dengan status badn hukumnya dan juga mengenai hal-hal isu yang meyangkut tata kelolanya. Dalam pandangan sementara kami, melihat kesetaraan- kesetaraan juga bagaimana PT, koperasi, itu mengenai ke- badanhukuman-nya itu adalah tetap itu tetap adalah Pemerintah yang memberikan status dan sebagainya itu. Tapi bahwa izin usaha dan sebagainya ada di otoritas. Jadi kami ingin mengusulkan bahwa aspek badan hukum dan tata kelola ini tetap ada pada Pemerintah ya, tetap pada Pemerintah dalam hal ini nanti lebih spesifik sebetulnya nanti adalah Kementerian Hukum dan HAM yang mengenai hal ini. Tapi hal-hal lain yang menyangkut isu kesehatan keuangan kemudian persyaratan untuk menjadi anggota yang sebetulnya yang tentunya berpengaruh kepada kesehatan perusahaan tentu adalah wilayah OJK untuk mengaturnya lebih lanjut. __ Demikian mungkin sedikit tambahan usulan mengenai hal tersebut Pak. 83 - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kira hal ini sudah padat sekali penjelasannya Pak ya. Sampai- sampai saya ini sudah penjelasan tambahan kayaknya sudah lewat saja, sudah tidak nampung lagi kepala saya, sudah terlalu banyak betul penjelasannya. Jadi sudah tidak muat kepala ini. __ Bapak-bapak sekalian, Mungkin kita bisa ambil keputusan Pak kelihatannya ini. Jadi kita masuk ke bentuk badan hukum ya, bentuk badan hukum itu yang pertama Perseroan Terbatas ya Pak ya, penguasa gimana Pak? penguasa sendiri tidak, penguasan itu sendiri, bagaimana penguasa setuju? Setuju Pak ya? __ (RAPAT : SETUJU) Penguasa sendiri saja duduk, belum mau bagi-bagi sama kita kekuasaan ya. Yang kedua, usaha koperasi, setuju Pak ya? Nah, ini lain ini ada pendapat? Silakan Pak. __ Terima kasih. Didalam Undang-Undang Dasar memang dimungkinkan adanya usaha bersama tapi apakah artinya luas, artinya semua kegiatan usaha memberikan peluang terbukanya usaha bersama atau kah kita bisa batasi bahwa tidak semua jenis usaha harus dilakukan secara bersama kan tidak berarti semua harus dibuka seluas-luasnya untuk bersama kan? Bia tidak diartikan demikian? kalau bisa diartikan demikian maka apakah asuransi merupakan salah satu jenis usaha yang tidak dilakukan bersama? Ini hanya sebagai .....saja. - KETUA RAPAT : Pak, saya perlu ini barangkali ini ada buku menarik ini. Doktor Muhammad Hatta, penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar ’45, ini buku sudah tua sekali Pak sampai warnanya saja sudah berubah, tadi saya dikasih dari belakang. Saya kira perlu ini Pak, kuliah ekonomi juga mestinya kasih buku begini kalau.....konstitusi ini. Saya ......oleh Doktor pendiri negara kita ini, Pasal 33 Undang-Undang Dasar kita tidak bersumber kepada falsafat pragmatisme demikian itu melainkan bersumber kepada falsafat negara Pancasila kita. Dengan jelas ayat (1) dimulai dengan ketegasan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ada 2 keywords, ada 2 kata kunci disini yaitu kata usaha bersama dan kata asas kekeluargaan dirangkaikan menjadi satu kalimat maka kata kunci itu tidak mungkin memberikan tafsiran lain daripada bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah usaha dan aktivitas koperasi. Jelas ini Muhammad Hatta yang tulis tapi bukan Hatta kita ini kalau Hatta kita ini belum nulis buku dia, sebab kedua istilah itu berasal dari dunia pergerakan koperasi baik didalam maupun didalam negeri. Jadi menarik buku ini, saya sudah copy buku ini nanti dibagi-bagi semua ini termasuk Pak Firdaus, jangan terlalu liberal Pak Firdaus. Kalau Pak Isa ini sudah jelas alirannya agak sosialis Pak Isa. ini. Ya, oke itu Pak ya kalau begitu Pak ya koperasi, setuju Pak? 84 (RAPAT : SETUJU) Yang ketiga adalah usaha bersama, bahasanya ini jadi mutuall Pak. Bagaimana Pak? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. - KETUA RAPAT : Jadi usaha bersama yang ada sekarang ini, begitu Pak ya. Yang eksisting ini saja ya AJB nanti dimasukkan dalam penjelasannya ya Pak usaha bersama yang dimaksud. Dengan catatan kalau muncul lagi itu diarahkan ke bentuk usaha koperasi. Nah, itu tadi pengertiannya Pak Edwin itu tadi. Jadi kita batasi didalam undang-undang ini tapi yang sudah ada kita tidak matikan ya. - KETUA RAPAT : Begitu Pak ya? oke. __ (RAPAT : SETUJU) Jadi usaha bersama dengan catatan penjelasan bahwa yang dimaksudkan itu dengan eksiting sekarang ini dan mendorong agar supaya di masa mendatang kalau ada yang menghendaki jenis usaha yang sama agar mengambil badan hukum yang berbentuk koperasi. Kira-kira begitu lah Pak ya, nanti kita formulasikan bahasanya. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Ini ada saya mau urutannya ini keputusannya terurut ya Pak ya. Jadi kembali kepada tadi perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama Pak ya yang ada saat ini, begitu ya keputusannya ya. __ (RAPAT : SETUJU) Dan kemudian ada beberapa keputusan tambahan karena itu berkaitan dengan materinya Pak ya, materi yang pertama berkaitan dengan pengaturan tambahan mengenai koperasi usaha bersama. Ini akan kita diskusikan besok pagi Pak ya karena kalau didiskusikan ini malam, ini juga sudah tidak jelas kemana ini. Setuju Pak Isa ya? Jadi peraturan lebih lanjut mengenai koperasi usaha bersama ini akan kita diskusikan besok. Saya harap teman-teman OJK ini, Bapak-bapak OJK ini bisa masih hadir besok tapi Pak Firdaus ini rupanya besok wisuda, anak apa cucu Pak? oh anak makanya saya kaget juga ini, ini jangan salah pilih kita ini, kakek- kakek kita pilih ya tidak Pak ya? selamat Pak wisuda anaknya, selamat, besok ada wisuda. Saya kira Pak Dumoli sama Pak Alim harus tetap bertahan disini. Gitu Pak ya? jadi peraturan lebih lanjutnya lagi akan kita lanjutkan. Mengenai PP Pak ini tambahan saja Pak sekedar pertimbangan 85 juga sebelum besok kita masuk, saya dibisiki dari staf ahli saya juga mungkin dari MenkumHAM juga bisa kasih pertimbangan. Perintah petita- nya Mahkamah Konstitusi itu mengatakan membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama Pak kalau tidak salah. Jadi kalau saya dikasih masukan, apakah tidak mendegradasi keputusan kalau kita bikinnya itu memerintahkan lagi kepada PP gitu jadi harus dicari celahnya menurut saya gitu ya yang mungkin kita atur ini adalah celahnya gitu tentang usaha bersama ini. Tapi tentu yang kita bicarakan disini usaha bersama dibidang asuransi ya kan, asuransi usaha bersama di bidang non asuransi ada ga Pak? ga ada. Mutuall fund sebenarnya dikenal dalam bidang keuangan tetapi bukan asuransi Pak, itu pengumpulan dana apa yang disebut dengan mutuall fund itu di Amerika itu banyak juga perusahaannya tapi bukan asuransi. Kalau tidak salah saya di Amerika itu bentuknya bukan asuransi istilahnya disebut sebagai mutuall fund, mutuall fund juga ya untuk investasi, fund saja gitu loh. Jadi gitu ya dipertimbangkan saja. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Terima kasih Pimpinan. Saya sekedar ini saja untuk kita diskusikan besok mengenai hal tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menambahkan saja frasa setelah kalimat yang ada di UndangUndang Nomor 2 tahun ’92. Saat ini undang- undang ini tanpa tambahan dari Mahkamah Konstitusi bunyinya : ”ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Jadi yang diperintahkan diatur dengan undang-undang ini adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama bukan mengenai usaha bersamanya sendiri. Itu satu. Kemudian Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi menambahkan anak kalimat setelah itu paling lama 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi, kira-kira 3 bulan yang lalu Pak. Jadi kalau kita membaca ini secara lengkap, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang paling lama 2 tahun bulan setelah atau sejak, nanti kita cek, putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan atau diucapkan. Dengan demikian kami sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, kami melihat ada peluang kita menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi itu dengan mengatur mengenai usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama dengan undang-undang yang akan kita buat ini. Tapi boleh besok pagi kita eksplor lebih lanjut pandangan hukumnya. Itu pandangan kami, kajian-kajian yang kami lakukan secara internal di Kementerian Keuangan. __ Adapun mengenai bentuk hukum dari usaha bersama sendiri, ini bukan secara spesifik menjadi aspek yang diatur diperintahkan oleh Pasal 7 ayat (3) undang-undang yang ada sekarang. Jadi seandainya toh kita atur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama didalam undang-undang yang akan kita buat ini, menurut hemat kami itu dapat kita lakukan. Jadi sekaligus kita penuhi juga keputusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian khusus mengenai aspek ke-badanhukuman-nya ya undang- undang ini bisa mendelegasikan kepada siapa saja dan hal ini usulan kami 86 adalah kepada Peraturan Pemerintah. Tapi kami tetap terbuka kalau besok ada diskusi-diskusi lebih lanjut dari aspek legal mengenai hal ini. Terima kasih Pak Pimpinan. __ - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kita itu sekedar tambahan saja. Kita sudah ada keputusan, badan hukumnya ada 3 : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama ....catatannya tadi itu ada diatas Pak. Selanjutnya besok kita akan membicarakan lebih detail lagi mengenai aspek-aspek tambahan dalam Undang-Undang Koperasi itu Pak ya materinya. __ Saya kira kita skors rapat kita ini sampai besok pagi jam 09.00 ya, betul Pak? ya, 09.35 lah kira-kira begitu ya. Jadi kita skors sampai jam 09.30 besok pagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan IV Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian yang saya hormati, Kita dapat tugas tadi malam untuk melanjutkan materi yang berkaitan dengan usaha bersama ini. Jadi ini masih ada ......soal usaha bersama ini, interpretasinya ini soal undang-undang atau apakah kita undang- undangkan atau cukup Peraturan Pemerintah. Saya kira silakan Pemerintah. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang saya hormati, __ Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Berkenaan dengan pandangan mengenai peraturan lebih detail mengenai bentuk badan hukum atau mengenai badan hukum....... kami sebagaimana kami kemukakan tadi malam juga berpandangan bahwa pertama keputusan Mahkamah Konstitusi sebetulnya adalah tidak mengubah secara signifikan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) tahun.........kecuali menambahkan jangka waktu atau harus diselesaikannya undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama. Jadi sekali lagi kami sampaikan bahwa kalau kemudian kita membaca Pasal 7 ayat (3) yang sudah dilengkapi dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi maka kita akan mendapatkan kalimat ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama. Jadi yang perlu diatur adalah usaha perasuransian oleh badan usaha yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, paling lama 2 tahun 6 bulan setelah atau sejak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi. Dari kalimat tersebut, pemahaman kami adalah yang perlu diatur dengan undang-undang itu adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama, tidak secara spesifik mengenai badan hukum usaha bersamanya itu sendiri tapi mengenai usaha perasuransian oleh badan 87 hukum yang berbentuk usaha bersama karena itu sepanjang kita sudah memuat beberapa aturan pokok mengenai kegiatan usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama maka undang-undang ini juga bisa dipakai sebagai bukti bahwa DPR dan Pemerintah sudah memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena disini juga digunakan, diatur dengan undang-undang. Artinya tidak harus spesifik undang-undang khusus mengenai hal tersebut, bisa dilakukan di undang-undang mana pun. Ada pun yang kami pandang sebagai aturan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama itu bisa aturannya spesifik, bisa juga aturan yang diberlakukan sama untuk usaha bersama maupun untuk badan-badan usaha lain PT, koperasi dan sebagainya. Dengan kata lain, didalam undang-undang ini bisa jadi ada peraturan-peraturan yang spesifik mengenai pengaturan usaha perasuransian oleh usaha bersama, kami kemarin juga sudah sampaikan beberapa pemikiran yang mungkin bisa ditambahkan disitu yang merupakan kekhasan dari usaha perasuransian oleh usaha bersamam dan koperasi. Semalam kami usulkan ada 3 hal yaitu bahwa dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota, kemudian untuk menjadi anggota orang diminta untuk membayar iuran pokok atau iuran apa pun nanti namanya, kemudian yang ketiga akumulasi keuntungan, akumulasi kerugian itu pada dasarnya harus didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota. Itu adalah aturan-aturan mengenai usaha perasuransian yang sifatnya khas, yang sifatnya spesifik bagi usaha bersama. Yang kebetulan nanti kita terapkan untuk koperasi. Sementara aturan yang lain mengenai tingkat solvabilitas, mengenai kewajiban untuk mendapatkan izin usaha, kewajiban untuk memiliki tata kelola membuat aturan tertentu yang ditetapkan oleh OJK. Seluruhnya mungkin kita bisa persamakan antara PT dan koperasi dan usaha bersama atau ya nanti tergantung kita serahkan diskresi kepada OJK didalam peraturan-peraturan pelaksanaannya, peraturan OJKnya apakah memang perlu dibedakan antara PT, usaha bersama dan koperasi. Oleh karena itu, Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota Panja yang kami hormati, dalam pandangan kami kalau kita sudah membuat pengaturan pertama menyatakan bahwa badan usaha bersama ini adalah badan hukum dan dapat tetap melanjutkan kegiatan usaha perasuransiannya. Kemudian kita menambahkan 3 atau mungkin beberapa yang nanti spesifik mengenai usaha perasuransian. Kemudian kita mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai tata kelola, mengenai tata cara perubahan bentuk badan hukum dan sebagainya kepada PP dan mengenai aturan-aturan prudensial lain kepada POJK. Menurut kami itu sudah menunjukkan DPR dan Pemerintah sudah membuat undang- undang, ketentuan didalam undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian oleh badan hukum berbentuk usaha bersama. Demikian mungkin pandangan-pandangan dan argumen yang kami sampaikan sehingga dalam pandangan kami oh ada satu lagi Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang kami hormati. Kalau untuk misalnya saya sangat mengerti argumen kita harus membuat sebetulnya ketentuan mengenai satu badan hukum, paling tepat idealnya adalah undang- undang. Saya bisa memahami logika itu. Tapi karena kita juga semalam sudah bersepakat, kita tidak membuka usaha bersama yang lain hanya 88 yang eksisting ini dan di kemudian hari kalau ada yang ingin menerapkan pola yang serupa kita dorong untuk menggunakan koperasi. Akan terlalu mahal kita Pak untuk kita mengupayakan undang-undang yang hanya mengatur satu badan hukum private di Indonesia ini. Itu argumen lain yang ingin kami sampaikan sehingga kami melihat bahwa ini bisa kita akomodasi di undang-undang ini, pernyataan badan hukumnya ada di undang-undang yaitu undang-undang ini memang ini satu kekhususan. Kemudian pengaturan-pengaturan lain kita serahkan kepada Peraturan Pemerintah menyangkut tata kelola dan POJK untuk yang menyangkut prudensial di bidang usaha perasuransian. Demikian Pak. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Intinya kita sudah mengadopsi keberadaan usaha bersama ini. Soal undang-undangnya nanti juga saya perhatikan perseroan terbatas kan sudah ada undang-undang, koperasi juga sudah ada undang-undang. Nah, usaha bersama ini belum ada, akan dibentuk 2,5 tahun. Ini kan putusannya kapan? 2014? Masih lama Pak, masih ada 2 tahun lagi. Jadi kita ga perlu tambahkan didalam undang-undang ini frasa untuk memerintahkan membentuk lagi undang-undang begitu loh, itu hanya menimbulkan konflik dengan keputusan yang lebih tinggi daripada kita. Jadi cukup kita mengatur bahwa badan usaha didalam asuransi itu ada 3 bentuk hukumnya : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama sudah begitu Pak. Usaha bersama itu ya memang sudah ada memang untuk memberikan alasan hukum saja kepada asuransi, saya juga sudah baca salinan putusan Mahkamah Konstitusi itu walaupun sekilas memang ya sudah begitu Pak. Dan kedua, Pak Isa sebetulnya sih undang-undang ini yang mengatur satu jenis usaha itu banyak Pak, misalnya : BPJS itu kan Jamsostek saja itu yang berubah kan misalnya diubah menjadi BPJS, macam-macam. Jadi ada banyak kan, undang-undang 32, 34 itu tentang pengendara juga cuma satu juga kan. Jadi biarlah itu menjadi materi yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menjadi PR Pemerintah dan DPR ya untuk membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama, apakah nanti itu diputuskan hanya untuk mutuall fund Bumiputera atau apakah nanti Pemerintah baru dia pikir-pikir karena perlu juga mutuall fund yang lain lagi, silakan saja itu kita kasih kesempatan bagi mereka untuk memikirkan. Yang pasti kita dalam undang-undang ini cukup bahwa yang ada sekarang ini sudah kita kasih alas hukum dan oleh karena itu mereka tidak perlu merasa terdiskriminasi lagi. Dan tadi malam sudah dijelaskan Pak Firdaus jan road map penyelesaiannya itu, kalau tidak selesai-selesai ya OJK-nya yang kita ikut ini ya Pak Sugi ya kalau tidak selesai-selesai juga biar.... namanya asuransi jasa Bumiputera. Kalau tidak bisa juga OJK baru kita kirim Pak Isa untuk beresin itu, apakah likuidasi atau ya kan gitu kira-kira. Jadi Pak ya oke ya. Nah, sekarang yang ketiga saya ingin tambahkan Pak ini untuk usaha bersama ini menurut saya ada satu pasal yang mesti kita masukkan tambahan sedikit khusus untuk usaha bersama ini. Kalau koperasi ini banyak di dalam catatan saya ini ada beberapa materi yang akan kita putuskan untuk koperasi dan usaha bersama harus ada pengaturan yang 89 jelas mengenai: satu, polis hanya dapat dijual kepada anggota ya Pak ya? _begitu Pak ya? jadi materi yang mau kita atur itu:
Polis hanya dapat_ dijual kepada anggota. Cuma dalam catatan hukum teman-teman tadi malam itu tidak masalah ya? itu polis hanya dapat dijual kepada anggota, tadi malam sudah dijelaskan Pak Isa. Ada tanggapan Pak? Ga apa-apa ya? kita ketok palu ini kalau tidak ada tanggapan? Pak Isa, mau diubah pendapatnya? Bapak tidak ragu-ragu? Ya, sudah yakin ya sudah kita ketok palu. Jadi materinya itu polis hanya dapat dijual kepada anggota yang kita atur dalam bentuk pasal sendiri ya nantinya, ketentuan sendiri. (RAPAT : SETUJU) PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga Permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak Permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; dan
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita negara republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Agustus 2020 dan didengarkan dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, serta keterangan tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: 90 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sebelum memberikan penjelasan mengenai pokok permasalahannya, perlu kiranya terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap aspek formal yakni legal standing para Pemohon. Untuk itu perkenankan kami memberikan pendapat sebagai berikut:
Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon keberatan terhadap keberlakuan pasal a quo karena pengaturan lebih lanjut mengenai badan hukum Perusahaan Asuransi berbentuk Usaha Bersama ke dalam Peraturan Pemerintah, dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final dan mengikat.
Bahwa oleh karena yang dijadikan batu uji para Pemohon adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013, maka perkenankan terlebih dahulu kami menyampaikan hal-hal terkait dengan putusan dimaksud:
Bahwa permohonan uji materi tersebut diajukan oleh para Pemegang Polis (Pemilik Badan Usaha) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan alasan ketentuan pasal tersebut mengamanatkan pengaturan tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama diatur dengan undang-undang, sedangkan sampai dengan permohonan uji materi tersebut diajukan, masih belum diterbitkan undang-undang tersebut.
Bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 yang diajukan permohonan uji materinya tersebut, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan.
Bahwa dapat kami sampaikan, pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, sedang dilakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, yang selanjutnya kami kutip sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat 91 putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah ( vide Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian halaman 63 alinea 3).
Bahwa apabila dikaitkan dengan tenggang waktu yang diamanatkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.32/PUU-XI/2013, maka Pembuat Undang-Undang sebelum tenggang waktu 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 2014, telah menetapkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40 Tahun 2014) yang didalamnya juga mengatur tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama. Sehingga Pemerintah telah menjalankan amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas dengan menerbitkan UU 40 Tahun 2014 dalam jangka waktu sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka maksud dari permohonan para Pemohon, telah terpenuhi yakni dengan telah diakuinya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan, sebagai badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian. Selain itu, permohonan para Pemohon juga telah terpenuhi dengan diaturnya usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014.
Bahwa dengan terpenuhinya permohonan para Pemohon tersebut, maka apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011, yang mensyaratkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang , maka para Pemohon a quo tidak 92 memenuhi syarat-syarat tersebut, karena pada kenyataannya putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XI/2013 telah ditaati oleh pembuat UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami kemukakan di atas.
Bahwa selain tidak memenuhi legal standing , permohonan a quo juga telah kehilangan obyek dengan telah diaturnya jenis usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, Pembentuk Undang-Undang tengah melakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, sebagaimana disebutkan dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian. Bahwa selain itu, lahirnya UU 40 Tahun 2014, dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana peraturan perundang-undangan sektor jasa keuangan yang ada pada saat itu, khususnya di bidang perasuransian telah tertinggal dibanding dengan kemajuan dan perkembangan di industri maupun standar di praktek internasional. Akibatnya, banyak celah hukum yang apabila tidak segera ditangani dan diantisipasi, berpotensi menimbulkan keadaan yang merugikan masyarakat dan kontra produktif bagi pertumbuhan dan perkembangan industri perasuransian serta sektor jasa keuangan dan perekonomian nasional pada umumnya. Oleh karena itu, Pembuat Undang-Undang, pada saat itu pembentukan UU 40 Tahun 2014, telah melakukan identifikasi masalah, dalam rangka menyusun kerangka pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian, yakni:
Perlunya Penyesuaian Pengaturan Dan Pengawasan Industri Perasuransian Di Indonesia Yang Selaras Dengan Standar Praktik Terbaik ( Best Practices ) Yang Berlaku Secara Internasional. Standar praktik terbaik internasional di bidang perasuransian adalah Insurance Core Principles, Standards, Guidance and Assesment Methodology 93 (selanjutnya disebut ICPs) yang diterbitkan oleh International Association of Insurance Supervisors (selanjutnya disebut IAIS), selaku organisasi internasional yang menaungi para regulator atau supervisor di bidang perasuransian. ICPS tersebut ditetapkan pada tahun 2000 dan terakhir kali diperbaharui pada Oktober 2011. ICPs telah menjadi panduan bagi regulator atau pengawas perasuransian di seluruh dunia dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap industri perasuransian. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia harus berkomitmen agar pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan industri perasuransian selaras dengan standar praktik terbaik ( best-practice standard ), sebagaimana ditetapkan dalam ICPs. Dalam upaya meningkatkan daya saing industri perasuransian di Indonesia, baik di kawasan regional maupun internasional, penerapan standar praktik terbaik baik pada sisi pengaturan maupun pengawasannya, merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, peraturan terkait perasuransian harus memuat pengaturan mengenai prinsip-prinsip dasar asuransi sesuai dengan ICPs yang telah ditetapkan oleh IAIS. Sistim Pengawasan Usaha Perasuransian di Indonesia Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, bahwa usaha perasuransian sangat memerlukan pengawasan dan tidak terkecuali usaha perasuransian di Indonesia. Agar sesuai dengan standar internasional, maka sistem pengawasan asuransi di Indonesia, yang sebelumnya dilakukan oleh Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan, juga dilakukan penyempurnaan dengan membentuk lembaga baru yang independen yakni Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Dengan telah disahkannya UU OJK, maka sistem pengaturan dan pengawasan menjadi terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, dalam hal ini termasuk usaha perasuransian di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, sehingga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 94 Usaha perasuransian senantiasa mengalami dinamika, tentunya hal ini juga membawa konsekuensi perlu diimbangi dengan dinamika pengaturan dan pengawasannya, agar pelaksanaannya tidak merugikan masyarakat pengguna jasa asuransi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh bentuk usaha perasuransian, baik perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama, agar tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi seluruh masyarakat sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Perlindungan Hukum Kepada Masyarakat Pengguna Jasa Perasuransian Perlindungan hukum kepada masyarakat pengguna jasa asuransi juga merupakan salah satu hal yang diperhatikan oleh pembuat undang-undang. Ketersediaan perlindungan dimaksud ditujukan kepada masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran. Kedudukan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam perjanjian yang disepakati relatif lemah, karena pengikatannya yang bersifat sukarela dari tertanggung kepada penanggung untuk menyerahkan sejumlah uang berupa premi asuransi dengan harapan Penanggung akan melakukan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari peristiwa tidak pasti di kemudian hari. Dalam beberapa kasus, ternyata masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta berpotensi kehilangan haknya atas manfaat ekonomis secara material dan signifikan ketika perusahaan asuransi bubar, likuidasi atau pailit. Terjadinya pembubaran, likuidasi atau pailitnya perusahaan asuransi umumnya disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan pelaksanaan prinsip- prinsip tata Kelola perusahaan yang baik (good corporate governance ) sehingga menyebabkan perusahaan mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat ( insolvent ). Pada tingkat tertentu, kondisi tersebut dapat mengakibatkan 95 ketidakpercayaan masyarakat ( public distrust) dalam memanfaatkan perusahaan perasuransian untuk tujuan memproteksi risiko-risikonya. Kekhawatiran serupa, khususnya di sektor perbankan, dapat dikurangi dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut LPS) yang berfungsi untuk melindungi dan menjamin dana para nasabah perbankan. Oleh karenanya, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat ( public confidence ) dan memberikan arena berkompetisi ( level playing field ) yang setara di antara lembaga-lembaga keuangan di Indonesia, dipandang perlu agar industri perasuransian dilengkapi dengan sistem dan mekanisme perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran, baik semasa perusahaan perasuransian masih beroperasi normal maupun saat dibubarkan, dilikuidasi atau dipailitkan.
Kepastian Hukum Bagi Penyelenggara Usaha Perasuransian UU 40 Tahun 2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2 Tahun 1992, pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk lebih memperkuat industri perasuransian di Indonesia, baik penguatan pada sisi industrinya itu sendiri maupun penguatan pada sisi pengawasannya. Penguatan pada sisi industri diharapkan akan menghasilkan industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif sehingga tahan dari goncangan ekonomi, mampu bersaing dengan industri perasuransian lain, baik secara regional maupun internasional, serta menjadi industri yang senantiasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pihak yang berkepentingan, khususnya kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Sebagai bagian dari strategi dalam rangka penguatan industri perasuransian, UU 40 Tahun 2014 juga diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha asuransi. Selain itu, kepastian hukum diperlukan juga dalam upaya memberikan perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa kekuatan industri perasuransian di Indonesia, pada akhirnya, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat pengguna jasa usaha perasuransian. Peningkatan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap industri perasuransian salah satunya dapat dilakukan melalui keberadaan program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penyelesaian 96 sengketa antara pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan perusahaan dengan bantuan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengusulkan adanya program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penguatan keberadaan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Berdasarkan ketiga hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian tersebut di atas, Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa untuk meciptakan iklim perasuransian yang sehat, yang dapat melindungi seluruh masyarakat, haruslah memenuhi ketiga hal pokok tersebut di atas, oleh karena itu, seluruh usaha perasuransian harus memiliki peraturan tentang standar tata kelola yang baik, yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang- undangan. B. Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama Merupakan Bagian Dari Industri Asuransi. Pembuat UU 2 Tahun 1992 juga telah memikirkan bentuk badan hukum usaha perasuransian, termasuk jenis usaha asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, selain usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Sehingga, dalam UU 2 Tahun 1992 terdapat tiga bentuk usaha asuransi yang diakui, yaitu perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama. Bahwa ketiga bentuk badan usaha tersebut di atas memiliki karakteristik yang berbeda, yakni:
Karakteristik usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas antara lain:
Kelangsungan perusahaan lebih terjamin karena tidak tergantung pada milik tertentu.
Kepemilikan dapat berubah dengan cara memindah atau menjual sahamnya kepada pihak lain.
Perusahaan dapat diperbesar dengan cara dilakukan penambahan modal dengan mengeluarkan saham baru. Kepentingan para pemangku kepentingan dapat terlindungi dengan baik karena kejelasan tata kelolanya.
Telah terdapat undang-undang sendiri yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik usaha asuransi berbentuk koperasi antara lain:
Penerapan asas kekeluargaan kebersamaan dan keadilan. 97 b. Telah memiliki undang-undang sendiri yakni UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan besar jasa masing-masing anggota, dan lain-lain.
Usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama: Saat itu, Indonesia belum memiliki pengaturan mengenai badan hukum Usaha Bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai dengan Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915. Usaha Bersama, meskipun telah diakui di dalam UU 2 Tahun 1992, namun dari sisi tata kelola masih menghadapi tantangan mengingat pada saat itu, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang status badan hukum termasuk tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Pembuat undang-undang, saat pembentukan UU 40 Tahun 2014, berpendapat dari ketiga bentuk badan hukum tersebut di atas, perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling ideal dalam menjalankan usaha perasuransian, dengan pertimbangan bahwa mekanisme tata kelolanya telah diatur, sebagaimana telah kami sebut di atas. Demikian juga halnya usaha perasuransian berbentuk koperasi. Namun demikian, Pembuat Undang-Undang Perasuransian tetap berkomitmen untuk melindungi dan mengakui seluruh bentuk usaha asuransi yang telah ada dengan tetap memerikan ruang bagi asuransi Usaha Bersama. Oleh karena itu, dalam UU 40 Tahun 2014, Pembentuk Undang-Undang sepakat untuk memberikan pengakuan hukum kepada usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai salah satu bentuk badan hukum perusahaan perasuransian di Indonesia. ( vide pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Hal tersebut seharusnya telah memberikan kepastian hukum bagi AJB Bumiputera dalam menyelanggarakan usaha asuransi dengan bentuk Usaha Bersama di Indonesia. 98 C. Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Usaha Bersama yang telah ada sebagai salah satu bentuk usaha perasuranasian mendapatkan pengesahan sebagai salah satu badan hukum usaha perasuransian di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Pembuat UU telah menetapkan pilihan kebijakan ( open legal policy ) bahwa berlakunya UU 40 Tahun 2014untuk menjamin kepentingan masyarakat sebagai pemegang polis, maka usaha bersama yang dapat menjalankan usaha perasuransian hanya usaha bersama yang telah ada. Dengan klasul “usaha bersama yang telah ada” maka open legal policy Pembuat Undang- Undang tidak lagi memberi peluang lahirnya usaha bersama yang baru yang akan menjalankan usaha perasuransian. Dengan demikian AJB Bumi Putera adalah satu-satunya usaha bersama yang menjalankan usaha perasuransian. Dari sisi tata kelola, usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama masih menghadapi tantangan mengingat sebelum UU 40 Tahun 2014 diterbitkan, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Tata kelola suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting. Dalam kasus tertentu, kesalahan tata Kelola atau kecurangan ( fraud ) dalam pengurusan perusahaan asuransi, akan lebih memperbesar peluang timbulnya ketidakmampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam polis asuransi yang telah diterbitkan. Secara umum, penyelesaian permasalahan kesehatan keuangan perusahaan asuransi berbentuk perseroan terbatas adalah dengan kewajiban untuk menambah modal sehingga rasio kesehatan keuangan memenuhi persyaratan otoritas. Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Disisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus 99 memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan perusahaan asuransi Usaha Bersama. Menyikapi kebutuhan pengaturan akan tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama, selain pengakuan atas eksistensi satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, di dalam UU 40 Tahun 2014 juga memuat mandat pengaturan ketentuan mengenai tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuhnya, diantaranya sebagai berikut: Pasal 35 ayat (1) UU 40 Tahun 2014: Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya . Pasal 35 ayat (2) UU 40 Tahun 2014: Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan . Pasal 35 ayat (3) UU 40 Tahun 2014: Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berakhir apabila: _ a. anggota meninggal dunia ;
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan _berturut-turut; _ atau c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, keanggotaan harus berakhir . Pasal 35 ayat (4) UU 40 Tahun 2014: Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan . 100 Pasal 35 ayat (5) UU 40 Tahun 2014: Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . D. Penguatan Tata Kelola Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Bahwa UU 40 Tahun 2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap Perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka Pembuat Undang-Undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. E. Penerbitan PP 87/2019 Merupakan Bentuk Perlindungan Hukum Bagi para Pemegang Polis Yang Merupakan Anggota Usaha Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, asuransi sebagai industri yang menggalang dana dari masyarakat, memerlukan sistem pengawasan terintegrasi, baik eksternal, yang selama ini dilakukan oleh OJK, maupun sistem kontrol dari mekanisme pengambilan keputusan organ perusahaan asuransi itu sendiri. Sistem kontrol pada perusahaan asuransi berbentuk PT dapat dilihat dari adanya pembatasan kekuasaan organ/pengurus perusahaan, antara lain dalam hal pengambilan keputusan oleh direksi pada level tertentu, harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Selain itu, direksi yang karena kelalaiannya menyebabkan kerugian bagi perusahaan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian tersebut. Pada koperasi, adanya sistem kontrol internal dapat dilihat dari adanya mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan anggota koperasi melalui Rapat Anggota dengan mengutamakan musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai, maka dilakukan dengan suara terbanyak. Pengambilan keputusan dengan 101 musyawarah mufakat dianggap sebagai cara yang paling baik, karena keputusan yang dihasilkan diharapkan membawa keuntungan bagi seluruh pemegang polis. Dari kedua bentuk usaha PT maupun koperasi, telah terbentuk adanya mekanisme sistem kontrol pengambilan keputusan bagi organ perusahaan, sehingga diharapkan keputusan yang dihasilkan bukan hanya membawa dampak positif bagi kelangsungan perusahaan tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi seluruh anggota polis. Sebelum UU 40 Tahun 2014 dan PP Usaha Bersama diterbitkan, belum terdapat sistem kontrol pada bentuk Usaha Bersama sebagaimana telah diatur dalam usaha perasuransian berbentuk PT maupun Koperasi. Padahal keberadaan sistem kontrol dalam suatu perusahaan sangat diperlukan sebagai salah satu indikator bahwa suatu perusahaan telah dikelola berdasarkan pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik ( Good Corporate Governance ). Untuk mengatasi hal tersebut, dalam PP Usaha Bersama, diatur pembatasan terhadap organ Usaha Bersama. Aturan mengenai pembatasan ini diharapkan tidak hanya dipandang dari sisi Pemohon sebagai anggota pengurus Usaha Bersama, melainkan harus dipandang sebagai upaya Pemerintah agar mekanisme pengambilan keputusan pada usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama benar-benar dilakukan bukan hanya untuk kepentingan konstituen semata, melainkan untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota pemegang polis. Bahwa apabila kemudian para Pemohon mempermasalahkan PP 87/2019 dan dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, menurut pendapat kami hal tersebut tidak tepat karena PP 87/2019 tersebut tidak mengurangi pemberian kepastian hukum bagi Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan dalam menyelenggarakan usahanya, tetapi justru memberikan kejelasan mengenai teknis penyelenggaraan usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pemegang polis. Bahwa Penerbitan PP 87/2019 yang merupakan delegasi dari pasal 6 ayat (3) UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, serta merupakan bentuk perlindungan hukum bagi para pemegang polis yang merupakan anggota Usaha Bersama. 102 F. Pemohon Telah Keliru Dalam Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 Bahwa para Pemohon telah keliru memaknai putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 seolah-olah Mahkamah Konstitusi mengamanatkan semua hal yang terkait dengan asuransi Usaha Bersama diatur dalam undang-undang tersendiri. Bahwa amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 antara lain berbunyi, “Frasa ".... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang" dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai ".... ’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang' dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan _setelah putusan Mahkamah ini diucapkan"; _ Bahwa amar putusan tersebut, mengamanatkan pembentuk undang-undang untuk merealisasikan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 yaitu untuk mengatur usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) ke dalam undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan setelah putusan Mahkamah diucapkan. G. Pemerintah Telah Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014 Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 sejatinya telah ditindaklanjuti dengan wujud konkrit dari Pembuat Undang-Undang, yaitu dengan merumuskan dan mengatur ketentuan terkait usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuh UU 40 Tahun 2014, diantaranya:
Penegasan mengenai status Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2);
Perizinan usaha Usaha Bersama, dalam ketentuan Pasal 8;
Penyelenggaraan usaha perasuransian (termasuk Usaha Bersama) sesuai dengan tata kelola yang baik, dalam Pasal 11;
Pengaturan kewajiban organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, dalam Pasal 12; 103 5. Pengaturan mengenai prinsip dasar penyelenggaraan Usaha Bersama, dalam Pasal 35;
Larangan bagi organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika izin usaha perusahaan perasuransian dicabut dalam Pasal 43;
Kewenangan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika tim likuidasi telah terbentuk, dalam Pasal 46;
Kewenangan OJK untuk menonaktifkan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) dan menetapkan pengelola statuter; serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 60;
Pemeriksaan perusahaan asuransi baik secara berkala atau sewakutu-waktu, dalam Pasal 61;
Kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi, dewan komisaris, dalam Pasal 72;
Ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar ketentuan dalam UU 40 Tahun 2014, dalam Pasal 74; dan
Ketentuan peralihan bagi Usaha Bersama, dalam Pasal 86. Bahwa dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon telah keliru menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 dan dengan telah diakomodirnya pengaturan tentang kebutuhan hukum usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami uraikan tersebut di atas, maka amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 dimaksud untuk mengatur ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dengan Undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, telah terpenuhi. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat kami sampaikan kesimpulan bahwa kami berpendapat para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan tidak memenuhi syarat kerugian konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi 104 Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Selanjutnya, berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas menurut kami tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian inkonstitusional, apalagi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (3) UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian beserta penjelasannya, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki dan tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. POKOK-POKOK TAMBAHAN KETERANGAN PRESIDEN Bahwa pada persidangan hari Rabu tanggal 19 Agustus 2020, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah untuk memberi tambahan Keterangan Presiden atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Terkait pertanyaan mengenai pertimbangan dan pilihan politik hukum dari Pembuat Undang-Undang yang tidak mengatur Usaha Bersama dalam suatu undang-undang tersendiri, dapat kami jelaskan sebagai berikut:
Pada saat perumusan Rancangan Undang-undang No. 40 Tahun 2014, undang-undang Usaha Perasuransian yang lama yakni Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian telah berusia dua puluh tahun lebih, sehingga harus segera disesuaikan dengan tantangan, situasi terkini dan kondisi perkembangan sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah.
Penyesuaian tersebut membuat adanya perbedaan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang dirumuskan Pembuat Undang-Undang dalam penyusunan norma Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 dengan pasal 6 UU 105 40 Tahun 2014 mengenai pengaturan badan hukum Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian.
Norma yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 2 Tahun 1992 UU 2 Tahun 1992 membuka pintu selebar-lebarnya bagi lahirnya Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, sebagaimana tercermin dalam rumusannya yang tidak memberi batasan apapun pada usaha bersama sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, sejajar dengan norma bagi koperasi dan perusahaan perseroan.
Namun demikian, saat uji materi 32/2013 diajukan, dan saat yang sama dilakukan penyusunan perubahan UU 2/1992, ternyata AJB Bumiputera yang telah ada sejak tahun 1912, merupakan satu-satunya perusahaan perasuransian berbentuk Usaha Bersama yang menjalankan usaha perasuransian di Indonesia. Dengan adanya kondisi ini, ditambah terbitnya putusan MK No.32/2013, mendorong Pembuat Undang-Undang yang saat itu sedang melakukan pembahasan RUU perubahan UU 2/1992 untuk melakukan kajian. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bentuk badan hukum usaha perasuransian, yakni:
Perusahaan asuransi merupakan perusahaan padat modal, sehingga perlu dipikirkan apabila perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan dan memerlukan suntikan modal.
ii. Sistim pertanggungjawaban pengurus yang terpisah dari pemegang polis sebagai konsumen.
Setelah dilakukan kajian, agar tujuan tersebut di atas tercapai, maka bentuk badan hukum yang paling ideal / yang paling tepat bagi perusahaan perasuransian ke depan diarahkan berbentuk Perseroan Terbatas, dengan pertimbangan :
Dari sisi permodalan sesuai dengan karakteristiknya, usaha asuransi merupakan bentuk usaha yang memerlukan modal besar untuk operasional usahannya. Kebutuhan modal yang besar tersebut dimaksudkan agar perusahaan asuransi dapat terus melakukan ekspansi usaha dan memastikan bahwa kewajiban perusahaan kepada pemegang polis dapat dipenuhi. 106 Pemenuhan kebutuhan modal tersebut hanya dapat dipenuhi apabila badan hukum tersebut memiliki mekanisme penambahan modal dari investor atau pemegang saham, dimana mekanisme tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh bentuk badan hukum usaha bersama. Dalam hal perusahaan asuransi sedang menghadapi permasalahan kesehatan keuangan maka investor atau pemegang saham dapat melakukan penambahan modal sesuai dengan rencana penyehatan keuangan perusahaan. Dengan adanya mekanisme tersebut maka keberlangsungan usaha dapat tetap terjaga. Selain itu, peluang pengembangan usaha perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dapat terwujud dengan struktur permodalan yang kuat. Praktek di negara-negara maju seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka yang sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas, sehingga dapat mengumpulkan modal lebih besar.
ii. Dari sisi perlindungan terhadap pemegang polis Pada bentuk Perseroan Terbatas atas Koperasi, pertanggung jawaban perusahaan ada pada pengurus perusahaan dan pemegang saham, sedangkan pemegang polis bukan merupakan pemilik atau pemagang saham perusahaan sehingga tidak ikut menanggung kerugian. Sehingga apabila terjadi kesalahan tata kelola oleh pengurus yang merugikan konsumen, maka hanya pengurus dan pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban. Berbeda dengan bentuk Usaha Bersama, pemegang polis merupakan anggota usaha bersama yang berhak atas keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha Usaha Bersama. Dengan demikian posisi pemegang polis, selain merupakan anggota juga merupakan pemilik usaha bersama sehingga dalam hal usaha bersama mengalami permasalahan kesehatan keuangan maka sebagai pemilik, pemegang polis juga ikut bertanggung jawab dalam upaya penyehatannya, padahal yang mengendalikan perusahaan 107 usaha bersama hanya beberapa pemegang polis yang dipilih menjadi Badan Perwakilan Anggota (BPA). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pembuat undang-undang menganggap karakteristik Usaha Bersama tidak tepat dengan kebutuhan pengembangan usaha perasuransian, sehingga dengan mempertimbangkan perkembangan situasi sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah, maka Pembuat Undang-Undang menetapkan open legal policy dengan membatasi penyelenggaraan usaha perasuransian oleh badan hukum usaha bersama hanya untuk perusahaan berbentuk badan hukum usaha bersama yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2004 diundangkan, yang tercermin dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014. Mempertimbangkan hanya terdapat satu perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan usaha asuransi maka Pembuat Undang-Undang tidak melihat adanya kebutuhan untuk mengatur perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian, Pembuat Undang-undang berkomitmen untuk tetap mengakui dan melindungi keberadaan usaha Perasuransian dalam bentuk Usaha Bersama yang telah ada, dengan mengatur Usaha Bersama dalam beberapa pasal dalam undang-undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) termasuk memperkuat tata kelolanya.
Mengingat tata kelola tersebut juga menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, maka pembuat Undang-Undang memandang hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama (PP 87/2019).
Terkait pertanyaan Majelis Hakim mengenai pembatasan-pembatasan yang diatur dalam PP 87/2019, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, sebelum pembentukan UU Nomor 40 Tahun 2014, perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama belum memiliki pengaturan mengenai tata kelola penyelenggaran usaha oleh Usaha Bersama. Oleh karena itu, sesuai dengan penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2014, dalam PP 87/2019 diatur mengenai tata kelola, 108 persyaratan dan tata cara perubahan menjadi badan hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama, termasuk pembatasan-pembatasan wewenang Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA) dengan tujuan agar Peserta RUA dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara independen dan terbebas dari konflik kepentingan.
Terkait dengan pengawasan dari OJK, yang dianggap sebagai intervensi terhadap kewenangan Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA). Dapat kami sampaikan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK tersebut sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan dan pembenahan atas penyelenggaran usaha asuransi oleh satu- satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat tercipat tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi kepentingan masyarakat khususnya pemegang polis sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya pengaturan pengawasan oleh OJK dalam PP-87/2019 tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai AJB Bumiputera menjadi satu-satunya usaha bersama yang tersisa, dapat kami berikan penjelasan bahwa hal tersebut telah tertulis pada halaman 62 aline 3 Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perasuransian Tahun 2014, yakni “… Satu-satunya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Sejak tahun 2013, yakni pada saat kewenangan pengawasan perusahaan asuransi beralih dari Kementerian Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan hingga periode Juni 2020, AJB Bumiputera merupakan perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama. Sebagai satu-satunya Perusahaan Asuransi berbadan hukum usaha bersama, posisi AJB Bumiputera di industri asuransi jiwa berdasarkan aset perusahaan selama kurun waktu tahun 2013 hingga Juni 2020, dapat terlihat sebagaimana tabel di bawah ini. 109 Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019* Juni 2020* Jumlah Pelaku Asuransi (Termasuk Syariah) ● Bentuk Badan Hukum Perseroan 134 135 140 140 146 145 144 146 - Asuransi Jiwa 48 49 54 54 60 59 59 60 - Asuransi Umum 82 81 80 80 79 79 78 79 - Reasuransi 4 5 6 6 7 7 7 7 ● Bentuk Badan Hukum Usaha Bersama 1 1 1 1 1 1 1 1 - AJB Bumiputera 1912 1 1 1 1 1 1 1 1 Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial (Termasuk Syariah) ● Total Aset Industri Asuransi Komersial(dala m Triliun Rp)**) 388,8 482,5 504,5 582,5 688,8 716,4 769,0 720,9 ● Total Aset Industri Asuransi Jiwa Komersial (dalam Triliun Rp) *) 281,4 355,7 365,7 438,7 534,3 543,0 578,4 522,8 ● Total Aset AJB Bumiputera 1912 (dalam Triliun Rp) ) 10,9 14,2 15,0 13,4 11,9 10,5 10,2 10,1 ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Komersial 2,8% 2,9% 3,0% 2,3% 1,7% 1,5% 1,3% 1,3% ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Jiwa Komersial __ 3,9% 4,0% 4,1% 3,1% 2,2% 1,9% 1,8% 1,8% ● Peringkat Aset AJB Bumiputera Diantara Industri Asuransi Jiwa) 9 10 9 10 13 12 16 16 110 Keterangan: *) berdasarkan laporan keuangan anaudited **) Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial, total aset industri asuransi jiwa komersial, dan aset AJB Bumiputera 1912 tidak termasuk aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. ***) penentuan posisi peringkat aset AJB Bumiputera 1912 tidak memasukan aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. Selain dari sisi aset, jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912, dapat kami sampaikan bahwa terdapat kecenderungan penurunan jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912 berdasarkan data dari periode tahun 2017 hingga Juni 2020, sebagaimana tercatat sebagai berikut: No Portofolio Peserta Desember 2017 Desember 2018 Desember 2019 Juni 2020 1 Asuransi Perorangan 2.927.050 2.521.233 2.204.934 2.008.470 2 Asuransi Kumpulan 2.014.736 1.470.877 983.775 847.246 3 Jumlah (1+2) 4.941.786 3.992.110 3.188.709 2.855.716 4. Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai kapan naskah akademik diterbitkan, apakah setelah putusan MK atau sebelum putusan MK. Terhadap hal tersebut dapat kami sampaikan bahwa pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diucapkan, Pemerintah sedang melakukan perumusan perubahan UU Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Perasuransian sebagaimana tertuang dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik, sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta 111 ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam naskah akademis terdapat respon Pembuat Undang-Undang atas Putusan MK No. 32/2013. Pembuat Undang-Undang menghormati Putusan MK No. 32/2013 dengan mengakui dan mengatur secara umum bentuk badan hukum usaha bersama (yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2014 diundangkan) dalam suatu undang-undang, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 itu sendiri. Sedangkan, peraturan lebih lanjutnya diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Dengan demikian, konsep pilihan hukum yang dituangkan dalam naskah akademis sudah barang tentu memperhatikan putusan MK No. 32/2013. Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan keterangan saksi atas nama Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi , yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Isa Rachmatarwata − Saksi merupakan salah satu penyusun UU 40/2014 dan pada saat itu saksi merupakan Kepala Biro Perasuransian di Bapepam-LK; − Latar belakang dibentuknya UU 40/2014 adalah pemerintah merasa perlu untuk melakukan perbaikan dalam hal pengaturan maupun pengawasan dalam penyelenggaraan usaha perasuransian. Penyelenggaraan usaha perasuransian pada waktu itu harus dibenahi agar kualitas penyelenggaraannya meningkat, pertama, dalam hal permodalan UU 40/2014 dapat memberikan kepastian hukum baik bagi pemodal maupun konsumen, dengan adanya UU a quo diharapkan dapat mendatangkan modal yang berasal dari investor lebih banyak terhadap usaha perasuransian di Indonesia karena Indonesia tidak boleh menutup kemungkinan masuknya investor kedalam industri usaha asuransi apapun bentuknya, pemerintah dalam hal ini memberikan berbagai pengukutan tingkat kesehatan perusahaan asuransi dalam hal permodalan juga dimana hal ini perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas industri perasuransian di Indonesia. Kedua adalah risk management , dimana pemerintah menginginkan seluruh perusahaan asuransi yang sudah ada, apapun 112 bentuknya, dapat meningkat kualitas risk management- nya karena investor terutama investor asing tentunya mempertimbangkan hal tersebut ketika akan menanamkan modalnya pada perusahaan asuransi. Ketiga , pemerintah juga perlu menyediakan exit strategy untuk perusahaan-perusahaan asuransi yang tidak mampu memenuhi persyaratan baik dalam hal permodalan, manajemen resiko dan lain-lain supaya dapat meninggalkan industri asuransi dengan baik dan tetap menjaga kepentingan para pemegang polis. Keempat, pengawasan dalam industri perasuransian pun dibenahi, apakah tetap berada pada Kementerian Keuangan atau beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Keempat hal tersebut merupakan beberapa hal yang dibenahi terkait dengan industri perasuransian yang diatur dalam UU 40/2014. − Terkait dengan Asuransi Usaha Bersama, merupakan salah satu bentuk badan usaha asuransi yang paling terbatas akses terhadap permodalan, hal ini tentunya berbeda dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas dan juga koperasi terlebih lagi pengaturan terhadap badan usaha asuransi berbentuk usaha bersama sebelum UU 40/2014 belum diatur baik dalam UU 2/1992 maupun peraturan perundang-undangan dibawahnya. Padahal bentuk badan usaha asuransi usaha bersama ini juga membutuhkan modal dalam rangka memperkuat usahanya. Dalam perkembangannya, salah satu perusahaan yang menjalankan usaha asuransi usaha bersama yaitu AJB Bumiputera mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan kesehatan perusahaan asuransi dan karena itu kemudia pemerintah membentuk UU 40/2014 yang memberikan pengaturan terhadap asuransi usaha bersama. − Saksi menjelaskan terkait dengan usulan pengaturan dari pemerintah mengenai bentuk badan usaha bersama, dimana pada konsep UU yang dibuat oleh pemerintah dan kemudian disampaikan kepada DPR, bentuk badan hukum yang disampaikan memang hanya 2 bentuk yaitu perseroan terbatas dan koperasi, namun di dalam peraturan peralihan, pemerintah tetap mengakui keberadaan AJB Bumiputera yang merupakan satu-satunya bentuk badan usaha bersama yang telah ada. Setelah beberapa kali diskusi yang dilakukan di DPR bersama dengan sejumlah perwakilan industri, pemerintah mendapatkan masukan bahwa asuransi dalam bentuk usaha 113 bersama harus dimuat dalam ketentuan pokok dan kemudian pemerintah kemudian menyetujui dan bersama dengan DPR bersepakat untuk menambahkan usaha bersama sebagai salah satu badan usaha asuransi. Namun, dikarenakan pengaturan dalam UU a quo cukup banyak dan tidak mungkin mengatur secara detil terkait tata kelola badan usaha asuransi usaha bersama ini dalam UU a quo maka kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) UU a quo dimuat pengaturan terkait tata kelola lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sedangkan pengawasan terhadap asuransi usaha bersama, pada saat itu pembentuk undang-undang meyakini OJK dapat mengaturnya di dalam peraturan perundang-undangan yang bisa diterbitkan oleh OJK. − Menurut saksi, pada saat disusunnya UU 40/2014, tidak ada lagi usaha asuransi dalam bentuk usaha koperasi. Pernah ada, namun asuransi berbentuk koperasi tersebut tidak mampu memenuhi beberapa kewajibannya dan tidak mampu mendapatkan modal tambahan untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. B. Wicipto Setiadi − Saksi menjabat sebagai kepala BPHN dan sebelumnya menjabat sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan pada saat UU 40/2014 disusun. − Rancangan UU 40/2014 merupakan inisiatif pemerintah dan merupakan salah satu RUU yang dimasukan dalam prolegnas pada waktu itu. − Pada saat pembahasan terkait dengan asuransi usaha bersama memang terjadi diskusi terkait pengaturannya dan pemerintah harus menaati putusan Mahkamah yang ada, diskusi pun akhirnya tertuju pada apakah diatur dengan undang-undang tersendiri atau tidak. Namun, atas kajian dari Kementerian Keuangan serta stakeholder yang mengatur bisnis perasuransian pada saat itu, keberadaan asuransi usaha bersama hanya terdapat satu dan sesuai dengan diskusi yang berkembang pada saat itu menjadi tidak efektif jika diatur dalam undang-undang tersendiri. Atas dasar pertimbangan tersebut maka asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tetap diakui keberadaannya dan disepakati pula untuk ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah. Dan hasil dari rancangan UU 40/2014 pada waktu itu pula disepakati pada saat rancangan undang-undang a quo dibahas di DPR. 114 − Pertimbangan untuk tidak mengatur asuransi usaha bersama dalam undang- undang tersendiri sebenarnya terkait dengan perkembangan dari bisnis asuransi usaha bersama tersebut, karena dari hasil kajian bersama nampaknya pemerintah tidak akan membuka lagi asuransi dalam bentuk badan usaha bersama. Jika keadaannya demikian maka pengaturan terkait asuransi dalam bentuk badan usaha bersama telah diatur dalam UU 40/2014 dan pengaturan tata kelola sajalah yang diatur dalam peraturan pemerintah, hal demikian dianggap lebih efektif serta efisien dibanding dengan membentuk undang-undang tersendiri, karena jika memang harus dalam undang-undang maka pada waktu itu belum tentu dapat dimasukan dalam prolegnas sehingga membutuhkan waktu lagi untuk membentuk undang- undang terkait asuransi usaha bersama tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya Presiden tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan 115 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009). Salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 116 b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah. 117 2. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VIII (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912. Kedudukan para Pemohon baik sebagai pemegang polis asuransi maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari bentuk usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang berbentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dimana pemegang polis sekaligus sebagai pemilik dari AJB Bumiputera 1912 dan sama-sama memiliki hak suara untuk memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA.
Dalam kualifikasinya tersebut para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhalangi dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Seperti diterangkan para Pemohon, ketentuan dalam norma a quo telah menyebabkan para Pemohon baik sebagai pemegang polis maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak memiliki kepastian hukum dan juga perlakuan tidak adil atas penyelenggaraan usaha perasuransian dalam bentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ).
Bahwa untuk membuktikan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis asuransi juwa bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, para Pemohon mengajukan alat bukti berupa identitas diri yaitu fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) [vide bukti P-3], fotokopi Surat Pemegang Polis [vide bukti P-8 sampai dengan bukti P-12 dan bukti P-14 serta bukti P-15] dan Akta Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 05 tanggal 02 Agustus 2016 [vide bukti P-4]. Bahwa berdasarkan uraian dari para Pemohon tersebut di atas, baik dalam kualifikasi para Pemohon sebagai pemegang polis maupun anggota Badan Perwakilan anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, menurut Mahkamah secara faktual para Pemohon telah dapat menjelaskan hak-hak konstitusional yang 118 dimilikinya dan hak dimaksud dapat dianggap dirugikan dan anggapan kerugian dimaksud menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi apabila para Pemohon tetap menjalankan usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang didasarkan pada norma yang dimohonkan pengujian. Di samping uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara kerugian hak-hak konstitusional yang dimilikinya yang dianggap dirugikan dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu para Pemohon beranggapan bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan terjadi. Dengan demikian terlepas terbukti atau tidaknya dalil permohonan para Pemohon berkaitan dengan pokok permohonan, Mahkamah berpendapat, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil (selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, AJB Bumiputera 1912 merupakan asuransi yang berbentuk usaha bersama dan satu-satunya di Indonesia, dimana dengan bentuk usaha bersama tersebut memiliki perbedaan pengelolaan dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, terkait dengan isu pengaturan usaha perasuransian berbentuk usaha bersama yang sebelumnya termuat dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang 119 Usaha Perasuransian (UU 2/1992) telah pernah diajukan ke Mahkamah dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, dan Mahkamah telah menegaskan terhadap ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang- undang ketika membentuk UU 40/2014 dimana substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 diubah dengan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sehingga norma a quo tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, dengan berlakunya Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tersebut yang justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 selain berdampak pada kewibawaan lembaga pemutusnya juga berdampak pada penegakan hukum serta konstitusi yang sedang berlangsung dimana dalam hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan bagi para Pemohon yang sebelumnya telah mendapatkannya dalam Putusan Mahkamah sebelumnya menjadi terhalangi.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Undang- Undang”. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 dan keterangan ahli, atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum, dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, 24 September 2020, dan 20 Oktober 2020, selain itu para Pemohon pun menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); 120 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020 beserta keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 September 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Agustus 2020 dan didengar dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, dan telah mengajukan 2 (dua) orang saksi, yaitu Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi yang masing- masing didengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, serta telah menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Presiden sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan para Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014 yang dalam pertimbangan hukum dan amarnya memerintahkan kepada Pembentuk undang-undang untuk membuat norma bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang- undang, dan Mahkamah memberi waktu dua tahun enam bulan kepada Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama. Namun, ternyata Perubahan Undang-Undang tentang Perasuransian, in casu UU 40/2014 tidak mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121 32/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang justru mendegradasinya menjadi mengatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut: [3.13.1] Bahwa berkenaan dengan perekonomian sebagai ‘Usaha Bersama’, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 , Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1) yang menyatakan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, namun tidak menutup ruang usaha dalam bentuk lain. Lebih lanjut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pedoman bagi negara untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dari aspek historis, sebagaimana termuat dalam lampiran UUD 1945 (sebelum perubahan), Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara, hanya cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan individu/swasta, sedangkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. 122 Mohammad Hatta selaku perancang Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kemunculan norma pasal tersebut dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong ( Mohammad Hatta , Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, __ halaman 265 ). Selain Mohammad Hatta, Soepomo sebagai salah seorang founding fathers berpandangan __ bahwa ..the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people...if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (terjemahan bebas, sektor swasta mungkin hanya terlibat dalam sektor non strategis yang tidak mempengaruhi kehidupan kebanyakan orang ... jika negara tidak mengontrol sektor-sektor strategis, mereka akan berada di bawah kendali swasta-individu dan rakyat akan ditindas oleh mereka (Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, hlm. 121). Bahwa selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, tanggal 8 Mei 2014, (alinea pertama hlm. 240) telah mempertimbangkan makna usaha bersama sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang membentuk negara ini, nilai yang kemudian menjadi karakternya sebagaimana diuraikan di muka, yaitu nilai dan karakter kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional. Dengan demikian maka sistem perekonomian nasional adalah merupakan sistem perekonomian yang berkarakter. Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu suatu tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi karakternya tersebut di dalam UUD 1945 dirumuskan menjadi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka telah jelas bahwa usaha bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah amanat tegas agar negara membentuk perekonomian dengan asas kekeluargaan yang saling bergotong-royong untuk meningkatkan perekonomian 123 demi memajukan kesejahteraan umum, bukan individu semata sebagai perwujudan tujuan dari Pembukaan UUD 1945. [3.13.2] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan Perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance) sebagaimana praktik yang sudah berlangsung, yaitu adanya Asuransi Usaha Bersama seperti AJB Bumi Putera 1912, telah ternyata membuktikan bahwa perusahaan usaha bersama tersebut tidak hanya berbentuk koperasi melainkan juga perusahaan asuransi, yaitu asuransi jiwa bersama. Penegasan tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014, dalam Paragraf [3.10.3] , khususnya baris terakhir menyatakan: … Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip dan asas kebersamaan atau usaha bersama ( mutual ). Dengan demikian, sejarah perasuransian di Indonesia untuk pertama kali telah dibentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang dikenal dengan AJB Bumi Putera 1912 yang bertahan sampai saat ini. Artinya, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah diejawantahkan bahwa usaha bersama yang dapat berbentuk koperasi maupun usaha bersama yang berbentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013). Bahwa sesuai fakta sejarah mengenai Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang ada sejak sebelum Indonesia merdeka tersebut, pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Perasuransian sebelum dilakukan perubahan telah memberi penguatan terhadap Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ), yaitu dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( mutual ) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang“ . Dengan demikian, keberadaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) diakui dan diberi penguatan oleh pembentuk undang-undang untuk berkembang dan bersaing baik dengan usaha asuransi dalam bentuk perseroan maupun usaha asuransi dalam bentuk koperasi, dan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 semakin mengukuhkan penguatan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dengan memerintahkan pembentuk 124 undang-undang dalam waktu dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan untuk membentuk dan mengundangkan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama di luar undang-undang tentang usaha perasuransian. Oleh karena itu berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka Asuransi Usaha Bersama merupakan usaha yang harus dibentuk dengan undang-undang sebagai amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [3.13.3] Bahwa lebih lanjut, praktik usaha asuransi berbentuk usaha bersama di Indonesia memang hanya dimiliki oleh AJB Bumiputera. Namun, usaha asuransi berbentuk usaha bersama di negara lain berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar seperti di Jepang, Perancis, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, Finlandia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Amerika Serikat, serta di Afrika Selatan. Di Selandia Baru justru diadopsi dan didominasi oleh perusahaan asuransi jiwa. Bahkan perusahaan asuransi yang mengadopsi bentuk usaha bersama justru berkembang dengan sukses dan menjadi perusahaan multi-nasional yang memiliki cabang di banyak negara, seperti The Folksam Group di negara Swedia, Liberty Mutual Insurance di Amerika Serikat, The MACIF Group di negara Perancis, dan Old Mutual Life Assurance Company di negara Afrika Selatan. Keberhasilan perusahaan asuransi dalam bentuk usaha bersama di berbagai negara tersebut didukung dengan memberikan ruang pengaturannya dalam bentuk undang-undang, antara lain seperti: Selandia Baru, dengan Insurance (Prudential Supervision) Act 2010 dan Farmers’ Mutual Group Act 2007 Number 1 Private Act , Kanada, dengan Mutual Insurance Companies Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960- Chapter 262, Inggris dan Scotlandia (United Kingdom), dengan Friendly Societies Act 1992, Perancis, dengan Code de la Mutualié, Jerman, dengan Versichegerungsaufsichtsgezetz yang telah diubah terakhir pada Tahun 2020. Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa untuk mendukung Asuransi Usaha Bersama perlu diatur dengan undang-undang; [3.13.4] Bahwa selain penegasan tersebut di atas, hal yang tidak dapat diabaikan adalah kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa secara universal putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya 125 saja, melainkan juga pelaksanaannya atau eksekusinya secara paksa. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila kepala putusan atau disebut irah-irah memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” , pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Sehingga, peniadaan irah-irah tersebut mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Selain itu, pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti serta mengikat antara para pihak yang berperkara. Bahwa terkait dengan kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan, secara doktriner, bahwa putusan badan peradilan yang memerlukan eksekusi nyata (riil) adalah amar putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), sedangkan putusan yang bersifat constitutief atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi nyata (riil). Namun demikian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan norma dari undang-undang adalah inkonstitusional dan kemudian diikuti amar yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, maka kedua amar tersebut di samping mengandung amar yang bersifat constitutief atau declaratoir juga memuat amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir) . Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memuat perintah untuk melakukan suatu tindakan, yaitu membentuk undang-undang yang baru/tersendiri dalam jangka waktu dua setengah tahun sejak putusan itu diucapkan. Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan yang berkekuatan hukum tetap tercermin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”. Kemudian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kata “final” dalam kedua pasal tersebut di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, yaitu: 126 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi semua pihak sejak putusan itu diucapkan, terutama dalam hal ini pembentuk undang-undang. Artinya, semua putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, terlebih terhadap putusan yang disertai amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir ), sebagaimana diuraikan di atas. Bahwa oleh karena itu persoalan yang menjadi pertanyaan penting dan fundamental adalah apa akibat hukum apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya mengabulkan permohonan para Pemohon bahkan terkandung permintaan agar pembentuk undang-undang atau pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu tidak ditaati. Menurut Mahkamah, tindakan tidak mentaati putusan adalah ‘pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi’. Hal tersebut berakibat adanya ketidakpastian hukum yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibat lainnya adalah terjadinya penundaan keadilan ( constitutionalism justice delay ) yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia. Akibat hukum lain yang dapat ditimbulkan adalah ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memunculkan rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keadaan demikian tentu dapat menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang dibentuk oleh badan peradilan yang kewenangannya didasarkan langsung dari UUD 1945, di mana ketika Mahkamah Konstitusi mengadili suatu perkara mendasarkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam UUD 1945 sebagai hukum materiil. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kata hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya melainkan juga termasuk putusan pengadilan. 127 Sehingga ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengabaian terhadap UUD 1945. Bahwa dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi karena alasan-alasan yang bersifat kekinian sehingga tidak tepat lagi untuk diakomodir/dipenuhi atau tidak dapat dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang ataupun pihak lain, sepanjang alasan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma, bukan semata- mata alasan yang bersifat teknis dan pragmatis, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi demikian dapat diajukan pengujian kembali untuk dilakukan ‘peninjauan’ terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana hal demikian telah pernah dikabulkan oleh Mahkamah. Bukan dengan sengaja menafsirkan putusan dimaksud dan selanjutnya tidak mentaatinya. [3.13.5] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan oleh para Pemohon yang sangat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya secara expressis verbis memerintahkan Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Selengkapnya amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan: Mengadili, Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah tersebut maka pembentuk undang-undang diberi waktu dua tahun enam bulan untuk membentuk Undang- Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( Mutual Insurance ). Namun, kenyataannya pembentuk undang-undang bukan membentuk undang-undang sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 melainkan hanya memuat satu pasal dalam UU 40/2014 bahkan pembentuk undang-undang mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang. Bahwa dalam persidangan baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan yang pada pokoknya:
Perusahaan AJB Bumi Putera 1912 hanya satu-satunya dan tidak dimungkinkan akan ada penambahan perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutua l) lagi di Indonesia.
Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Di sisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup Asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan-perusahaan Asuransi Usaha Bersama.
Bahwa UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi 129 berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan ”. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( Mutual ) harus diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi. Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 merupakan tindakan yang keliru bahkan secara faktual tindakan pembentuk undang-undang yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, pembentuk undang-undang secara sadar menafsirkan lain yang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan adalah juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘ res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya. 130 Bahwa alasan pembentuk undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan alasan konstitusional melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang sehingga dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi. Sebagaimana di negara-negara lain seperti yang telah Mahkamah uraikan dalam Paragraf [3.13.3] , terlebih untuk Indonesia yang secara fakta sejarah telah memiliki Asuransi Usaha Bersama dalam hal ini AJB Bumiputera 1912 yang sampai saat ini keberadaannya masih diakui, justru harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, apalagi hal itu merupakan amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Di samping alasan tersebut di atas, penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong ( legacy ) dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Sebab, mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama ( mutual) , sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang adalah juga bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut di atas. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi “diatur dalam Peraturan Pemerintah” menjadi “diatur dengan undang-undang”, sehingga ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. Perubahan norma dimaksud semata-mata agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, adalah tindakan inkonstitusional jika pembentuk undang-undang menafsirkan lain atau berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah. [3.15] Menimbang bahwa untuk menyelesaikan pembentukan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini 131 diucapkan. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup bagi pembentuk undang- undang (DPR dan Presiden) untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ). [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ __ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum 132 mengikat; __ __ 1.2 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), diubah sehingga menjadi diatur dengan Undang-Undang, sehingga selengkapnya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), menjadi “ Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. __ 1.3 Memerintahkan DPR dan Presiden untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. __ 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. -------------------------------------------------------------------------------- 6. PENDAPAT BERBEDA ( DISSENTING OPINION ) Terhadap putusan Mahkamah ini, terdapat dua orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion ) sebagai berikut: [6.1] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Para Pemohon memohonkan agar pasal a quo dimaknai menjadi “diatur dengan Undang-Undang” sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, bertanggal 3 April 2014, yang amarnya menyatakan “ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. Berkenaan dengan permohonan para Pemohon tersebut, Kami memberikan pendapat berbeda. 133 [6.2] Menimbang bahwa setelah dicermati secara saksama, para Pemohon menerangkan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Pemegang Polis AJB Bumiputera 1912 serta sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) dari berbagai daerah perwakilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 para Pemohon sebagai perseorangan dan pemegang polis diberikan kedudukan hukum karena pemilik badan usaha adalah para Pemegang Polis sebagaimana diatur dan disebutkan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 pada bagian Mukadimah, maupun dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 45. Namun demikian, pemberian kedudukan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tidaklah serta merta dapat diberikan untuk perkara a quo dikarenakan pada saat Perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 diajukan belum ada kejelasan status badan hukum usaha bersama. Namun, setelah diundangkannya UU 40/2014 usaha bersama yang telah ada dikukuhkan statusnya sebagai badan hukum usaha bersama dan organ badan hukum usaha bersama diatur dalam peraturan pelaksana UU 40/2014 yaitu PP 87/2019. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 mengatur adanya organ direksi, di mana direksi sebagai organ usaha bersama berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan usaha bersama untuk kepentingan usaha bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan usaha bersama, serta mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan PP a quo dan anggaran dasar usaha bersama. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 dikuatkan kembali dalam Pasal 54 ayat (1) PP a quo yang menyatakan bahwa “Direksi baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama berwenang mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Kewenangan Direksi untuk mewakili usaha bersama tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, Anggaran Dasar, atau keputusan Rapat Umum Anggota (RUA). Bahwa selanjutnya, terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon menjelaskan kedudukannya sebagai Badan Perwakilan Anggota (BPA) untuk berbagai daerah pemilihan. Namun, pada saat UU 40/2014 dan PP 87/2019 berlaku sudah tidak ada lagi istilah BPA karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) PP 87/2019 menyatakan bahwa BPA usaha bersama yang telah ada pada saat PP 87/2019 diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam PP a quo . Adapun anggota 134 BPA __ yang telah ada pada saat PP a quo diundangkan, tanggal 26 Desember 2019, dinyatakan sebagai Peserta RUA [vide Pasal 120 ayat (4) PP 87/2019]. [6.3] Menimbang bahwa dengan mencermati secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya telah ternyata tidak tampak adanya hubungan kausal ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang diderita para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Karena, pada pokoknya yang dipersoalkan para Pemohon adalah beberapa ketentuan dalam PP 87/2019 yang dianggap para Pemohon telah menghilangkan eksistensi BPA karena mengubahnya menjadi RUA, dan mengurangi kewenangan BPA dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Termasuk di dalamnya para Pemohon juga mempersoalkan masa jabatan anggota BPA yang beralih menjadi anggota RUA sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 120 PP a quo yang menentukan selama satu tahun. Menurut para Pemohon, ketentuan demikian merugikan karena semula masa jabatan anggota BPA adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk maksimal dua periode berturut-turut. [6.3.1] Bahwa Jika mencermati secara saksama PP 87/2019, masa jabatan anggota RUA tersebut pada prinsipnya sama dengan anggota BPA yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali. Ketentuan satu tahun yang dipersoalkan para Pemohon sebagai anggapan kerugian konstitusional tersebut hanyalah Ketentuan Peralihan dari anggota BPA menjadi anggota RUA yang sifatnya sementara waktu ( temporary ) sampai terbentuknya anggota RUA (vide Pasal 120 ayat (4) dan ayat (5) PP 87/2019). Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan anggapan kerugian yang dialaminya dikaitkan dengan tidak dibolehkannya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah menjadi peserta RUA sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) PP 87/2019 yang dikaitkan dengan adanya pembatasan terhadap hak seseorang, in casu anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah untuk menjadi pemegang polis. [6.3.2] Bahwa uraian alasan para Pemohon yang mengait-kaitkan hak untuk menjadi anggota (pemegang polis) dan syarat untuk menjadi anggota RUA dalam batas penalaran yang wajar sungguh sulit untuk dipahami korelasinya dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya. Karena, pada prinsipnya 135 siapapun dapat menjadi pemegang polis AJB Bumiputera atau anggota sepanjang memenuhi syarat keanggotaan yaitu perseorangan berkewarganegaraan Indonesia atau pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia (vide Pasal 8 PP 87/2019). Sementara itu, pembatasan yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada prinsipnya pembatasan atau syarat menjadi anggota RUA. Salah satu pembatasan tersebut adalah tidak membolehkan anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah. Pembatasan demikian adalah wajar dan tidak bertentangan dengan konstitusi di mana secara filosofis bertujuan untuk menjamin agar keputusan yang diambil oleh RUA dalam melaksanakan kewenangannya, yang tidak dimiliki oleh direksi atau dewan komisaris, tidak berafiliasi dengan kepentingan politik apapun atau independen. [6.3.3] Bahwa Lebih lanjut, para Pemohon juga menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan adanya kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dianggap para Pemohon telah mengintervensi kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagaimana menurut para Pemohon intervensi tersebut termaktub antara lain dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 19, Pasal 23 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8), Pasal 35 UU 40/2014 sehingga menurut para pemohon intervensi demikian dapat memperlambat proses pengambilan keputusan RUA (vide. permohonan para Pemohon hlm. 14 sampai dengan hlm. 17). Istilah RUA yang dimaksud dulunya adalah BPA. Berkenaan dengan uraian para Pemohon tersebut, penting ditegaskan bahwa pada saat BPA dibentuk tidak ada keterlibatan OJK dalam penyelenggaraan asuransi karena OJK sendiri baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU 21/2011). Artinya, pada saat BPA dibentuk memang belum ada OJK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5 UU 21/2011). Sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan OJK berwenang mengatur dan mengawasi perusahaan asuransi apapun dalam rangka memberikan perlindungan bagi para anggotanya, termasuk di dalamnya mengatur dan mengawasi badan hukum usaha bersama AJB Bumiputera 1912. 136 [6.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian kedudukan hukum di atas, telah jelas para Pemohon tidak dapat menguraikan apa sesungguhnya kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, sehingga tidak ada hubungan kausal ( causal verband ) antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo . Dengan demikian seharusnya Mahkamah menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. [6.5] Menimbang bahwa uraian/pendapat hukum mengenai PP 87/2019 di atas bukan ditujukan untuk menilai keabsahan (legalitas) PP 87/2019 terhadap Undang- Undang atau bahkan terhadap UUD 1945, melainkan semata-mata karena para Pemohon dalam menjelaskan kerugian konstitusionalnya selalu merujuk pada PP 87/2019 a quo. [6.6] Menimbang bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, tidak terdapat pula persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 dikarenakan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014 menentukan bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama. Badan hukum usaha bersama dimaksud adalah usaha bersama yang telah ada pada saat UU 40/2014 diundangkan yang dikukuhkan oleh UU a quo sebagai badan hukum usaha bersama. Sampai saat UU a quo diundangkan hanya ada satu badan hukum usaha bersama yaitu AJB Bumiputera 1912. UU a quo telah ternyata tidak hanya mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur secara garis besar mengenai tata kelola penyelenggara perasuransian oleh badan hukum usaha bersama. Pengaturan tersebut meliputi perizinan usaha bersama (Pasal 8 UU 40/2014); penerapan tata kelola perusahaan asuransi yang baik, termasuk usaha bersama (Pasal 11 UU 40/2014); pengaturan kewajiban organ perusahaan perasuransian, termasuk usaha bersama untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 12 UU 40/2014); pengaturan prinsip dasar penyelenggaraan usaha bersama (Pasal 35 UU 40/2014); larangan bagi organ perusahaan asuransi, termasuk usaha bersama jika izin usaha perusahaan dicabut (Pasal 43 UU 40/2014); kewenangan organ perusahaan, termasuk usaha bersama, jika tim likuidasi telah dibentuk (Pasal 46 UU 40/2014); kewenangan OJK menonaktifkan 137 organ perusahaan, termasuk usaha bersama, dan menetapkan pengelola statuter, serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 60 UU 40/2014); pemeriksanaan perusahaan perasuransian secara berkala atau sewaktu-waktu (Pasal 61 UU 40/2014); kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi dan dewan komisaris (Pasal 72 UU 40/2014); ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar UU 40/2014, dan ketentuan peralihan untuk penyesuaian usaha bersama dalam kurun waktu paling lama tiga tahun (Pasal 86 UU 40/2014). [6.6.1] Bahwa lebih lanjut, UU 40/2014 menjelaskan bahwa apabila di kemudian hari setelah UU 40/2014 diundangkan ada pihak-pihak yang akan menyelenggarakan usaha asuransi umum, usaha asuransi jiwa, usaha asuransi umum syariah, atau usaha asuransi jiwa syariah dengan bentuk usaha bersama, UU a quo menjelaskan agar bentuk badan hukumnya didorong berbentuk koperasi dengan pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan (vide Penjelasan Pasal 6 UU 40/2014). Artinya, dengan UU 40/2014 pembentuk undang-undang telah mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya badan hukum usaha bersama. Namun, ke depannya usaha bersama apabila ada lagi oleh UU a quo didorong dalam bentuk koperasi. Koperasi pada hakikatnya adalah wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi. Bentuk badan usaha bersama ( mutual ) ini sejiwa dengan badan usaha koperasi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang dalam usahanya bertumpu kepada kemampuan anggotanya serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan para anggotanya, bukan seperti perusahaan yang lebih berpihak dan menguntungkan para pemilik modal. Dengan demikian, bentuk koperasi untuk usaha bersama seandainya ke depan akan dibentuk adalah sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [6.6.2] Bahwa berdasarkan pengaturan tersebut di atas maka pembentuk undang- undang, in casu Pembentuk UU 40/2014 pada prinsipnya telah melaksanakan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 walaupun tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. Selain itu, UU 40/2014 tidak hanya mengukuhkan status badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur tata kelolanya, di mana untuk pengaturan lebih lanjutnya ditetapkan dalam PP 87/2019. 138 Dengan penjelasan dan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tidak bertentangan dengan Konstitusi karena status hukum bagi usaha bersama yang ada yaitu AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum telah ditegaskan dalam UU 40/2014 [vide Pasal 6 ayat (1) huruf c dan ayat (2)]. Selain telah memberikan kepastian hukum bahwa perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama adalah badan hukum dan ditegaskan pula bahwa AJB Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya usaha bersama yang menyelenggarakan usaha perasuransian; telah diaturnya prinsip-prinsip umum tata kelola suatu perusahaan asuransi yang berlaku bagi usaha bersama dalam UU 40/2014 dan kekhususan bidang AJB Bumiputera 1912 di bidang asuransi; serta adanya fakta hukum bahwa hanya ada satu objek hukum atas pengaturan tata kelola usaha bersama, maka kebijakan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) yang mendelegasikan pengaturan tata kelola usaha bersama ke dalam Peraturan Pemerintah telah didasarkan pada landasan hukum dan pemikiran yang jelas dan berdaya guna serta berhasil guna sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan] sehingga memberikan kepastian hukum. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 sebagaimana didalilkan para Pemohon. [6.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Kami berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, oleh karenanya seharusnya permohonan para Pemohon tidak diterima. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , seharusnya Mahkamah menyatakan pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. *** Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal sepuluh, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum 139 pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 13.26 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Wahiduddin Adams ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Dian Chusnul Chatimah
PUU Nomor 11/2011 tentang Perubahan Atas UU 10/2010 tentang APBN TA 2011
Relevan terhadap
kesehatan yang disalurkan melalui Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dialokasikan mencapai Rp. 2.413,2 miliar. Selanjutnya, anggaran kesehatan yang disalurkan melalui Kementerian Pekerjaan Umum dialokasikan mencapai Rp.6.148,5 miliar. Anggaran kesehatan yang disalurkan melalui Kementerian Pertanian dialokasikan mencapai Rp.194,0 miliar. Anggaran kesehatan yang disalurkan melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dialokasikan mencapai Rp.35,7 miliar. Alokasi anggaran belanja tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan program pengembangan sumber daya perikanan. Sementara itu, anggaran kesehatan yang disalurkan melalui non-K/L (Bagian Anggaran 999) disalurkan untuk subsidi air bersih sebesar Rp. 50,0 miliar dan asuransi kesehatan Pegawai Negeri Sipil sebesar Rp. 2.257,8 miliar. Dengan memperhitungkan seluruh alokasi anggaran kesehatan, baik yang dialokasikan melalui Kementerian Kesehatan maupun yang dianggarkan melalui berbagai program di K/L lainnya dan Non K/L serta transfer ke daerah yang dialokasikan untuk kesehatan, maka total anggaran kesehatan dalam Undang- Undang APBN-P Tahun 2011 mencapai Rp.43,8 triliun. Memperhatikan hal tersebut maka arah kebijakan dalam pengalokasian anggaran kesehatan telah berupaya mendukung terwujudnya pelayanan kesehatan yang layak sesuai yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (1) dan (ayat 2). Selanjutnya, mengenai hubungan antara peningkatan jumlah anggaran dengan kemampuan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama terhadap indeks pembangunan manusia, dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya Pemerintah sangat memperhatikan terhadap permasalahan tenaga kerja, oleh karena itu, salah satu strategi yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang ditetapkan dalam RPJMN adalah penciptaan dan perluasan lapangan kerja (pro-job) , diantaranya melalui pemberian insentif pajak guna meningkatkan investasi dan ekspor, serta meningkatkan belanja modal untuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan manusia, terutama definisi UNDP, adalah proses memperoleh pilihan-pilihan penduduk (people’s choice) . Dari sekian banyak pilihan, ada tiga
Tata Laksana Monitoring dan Evaluasi terhadap Penerima Fasilitas Tempat Penimbunan Berikat dan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor ...
Relevan terhadap
Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 02/BC/2019 TENTANG TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP PENERIMA FASILITAS TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DAN FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR A. PEDOMAN MONITORING UMUM TPB UNTUK UNIT PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU yang bertugas secara rutin sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pengawasan pada Tempat Penimbunan Berikat (TPB). Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh Unit Pengawasan dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelayanan di TPB. Unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU memastikan setiap TPB dalam pengawasannya memenuhi ketentuan:
Persyaratan perizinan TPB 2. Prosedur pemasukan dan pengeluaran barang secara fisik dan administratif 3. Prosedur pembongkaran, penimbunan, pengolahan, pencatatan, dan kegiatan perusahaan yang terkait dengan kepabeanan 4. Existence, Responsibility, Nature of Business, dan Auditability (ERNA) 5. IT Inventory dan CCTV 6. Prosedur lain sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan monitoring umum TPB, minimal harus memenuhi setiap kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama TPB Alamat Tanggal Pelaksanaan NO. KRITERIA KONDISI YA TIDAK KETERANGAN PEMBUKTIAN Izin Usaha perusahaan TPB masih berlaku Cek izin usaha (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cantumkan masa berlaku dalam kolom keterangan Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Penanggung jawab TPB yang tercantum dalam izin TPB sesuai dengan akte perusahaan terakhir Cek akte terakhir (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip | Pengecekan dilakukan 1 bulan sekali, untuk meyakini kebenaran penanggung jawab TPB dapat dimintakan surat pernyataan dari pimpinan perusahaan. Cantumkan nama jika ada penanggungjawab baru untuk rekomendasi presentasi proses bisnis ulang Di Lokasi TPB dipasang tanda nama perusahaan dan jenis TPB pada tempat yang dapat dilihat jelas oleh umum Foto tanda nama perusahaan (cukup dilakukan centang jika masih ada dan belum berubah) Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Tersedia ruang hanggar yang layak dan representatif untuk melakukan tugas berserta sarana penunjangnya Foto tampak luar dan dalam ruang hangar Kriteria layak dan representatif seperti: e Ketersedian ruangan lain sebagai penunjang seperti ruang istirahat dan toilet yang bersih dan memadai e Tersedia sarana pendukung perkantoran seperti pengatur suhu ruangan (AC), meja kerja, kursi, lemari/ruang arsip e Tersedianya Komputer (PC) dan Printer dengan spesifikasi teknis yang mencukupi untuk menggunakan aplikasi-aplikasi perkantoran terkini dengan baik dan dapat dioperasikan dengan baik e Tersedianya sarana komunikasi akses internet 24 jam Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB dapat diakses langsung dari jalan umum dan dapat dilalui oleh sarana pengangkut peti kemas (khusus darat) atau sarana pengangkut lain Foto akses jalan Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB mempunyai batas-batas yang jelas dengan tempat, bangunan, atau TPB lain Bandingkan batas-batas TPB pada izin TPB dengan kondisi fisik Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB tidak berhubungan dengan bangunan lain (Kecuali mesjid, asrama karyawan, klinik, koperasi, kantin, dan bangunan lain untuk mendukung kepentingan karyawan TPB) Cek denah bangunan dengan kondisi fisik Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Kesesuaian data pemasukan dan 1. Cek data pada IT Inventory dan data SKP pengeluaran barang ke dan dari ' TPB antara IT Inventory dengan Pemberitahuan Pabean dalam SKP 2. Cek jumlah populasi masing- masing jenis pemberitahuan pabean 3. Uji petik masing-masing jenis pemberitahuan pabean (terutama yang terakhir) Nomor 2 dan 3 dibuatkan kolom hasilnya. Mencatat nomor dokumen yang dilakukan uji petik dalam kolom keterangan IT Inventory mencakup pencatatan:
pemasukan dan pengeluaran barang, b. terdapat field untuk mencatat jenis dokumen pabean, nomor dan tanggal dokumen pabean, c. terdapat menu untuk membuat laporan mutasi atas pemasukan, penimbunan dan pengeluaran barang yang dapat diunduh melalui kantor pabean:
pemberian kode barang secara konsisten. Sebagai atensi perlu diperhatikan adalah untuk pencatatan pada Tt Inventory harus menggunakan nomor pendaftaran dan bukan nomor pengajuan. Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system Sebagai atensi perlu diperhatikan pencatatan pada IT Inventory harus menggunakan nomor pendaftaran dan bukan nomor pengajuan. Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya Perubahan data hanya bisa dilakukan oleh user yang mempunyai otoritas tertentu. Spot check dan/atau penjelasan di buku manual system Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya TPB masih aktif melakukan kegiatan fasilitas Cek kegiatan TPB dan data SKP Tidak aktif berarti:
TPB sudah tidak lagi membuat pemberitahuan pabean pemasukan atau pengeluaran 2. Terdapat pemberitahuan pabean pemasukan atau pengeluaran, tetapi tidak melakukan pengolahan 10 Dalam hal izin TPB dibekukan, TPB tidak memasukkan barang dengan mendapatkan fasilitas 1. Cek sudah ada input “dibekukan” di SILFIANA 2. Cek tempat penimbunan barang, IT Inventory, dan CEISA (antara lain tidak ada dokumen BC 2.3, 4.0, dan 2.7 masuk kecuali pengembalian) 11 Kondisi bangunan TPB dalam keadaan layak untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah dan memenuhi standar keamanan untuk dilakukan penimbunan dan/atau pengolahan barang yang masih terutang pungutan negara Memastikan tidak ada hal-hal berikut:
Tubang/akses/pintu terhubung dengan bangunan/ruangan/tempat lain yang tidak dilaporkan ke DJBC 2. Bagian bangunan lainnya yang rusak Sertakan foto jika terdapat kondisi 1 dan 2 Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip 12 Terdapat authorized user log in untuk petugas Bea dan Cukai. Maksud authorized user log in adalah kode akses berupa username dan password untuk masuk ke dalam sistem. Melakukan spot check dan/atau melihat penjelasan di buku manual system User admin:
.....
..... dan/atau User unit internal perusahaan:
..... Dicatat jika ada perubahan duthorized user log in baru 13 Laporan IT Inventory dapat diakses secara online oleh DJBC. Membuka tautan IT Inventory perusahaan melalui handphone, komputer, monitoring room, dan/atau perangkat lainnya Cukup dicentang jika sesuai 14 Jumlah dan penempatan CCTV yang dipasang memungkinkan petugas untuk melakukan pengawasan atas pemasu kan, pembongkaran, pemuatan dan pengeluaran barang Mengecek jumlah dan lokasi penempatan CCTV, yaitu:
Pintu pemasukan dan pengeluaran barang dan orang . Lokasi pembongkaran barang . Lokasi pemuatan barang . Lokasi lain yang diperlukan (contoh: Gudang bahan baku, Gudang produksi dan Gudang barang jadi) NO Cukup dicentang jika sesuai, minimal penempatan CCTV pada poin no 1 — 3 harus dipenuhi. 15 CCTV dapat diakses secara realtime dan online dari ruang hangar Mengecek akses CCTV (realtime dan online) Cukup dicentang jika sesuai 16 Hasil pemantauan CCTV dapat direkam dan hasil rekaman CCTV dapat disimpan sekurang- kurangnya 7 (tujuh) hari. Mengecek hasil rekaman CCTV 7 hari yang lalu Cukup dicentang jika sesuai 17 | Gambar CCTV berwarna Mengecek layar monitor CCTV dan dapat dilihat secara jelas dan dapat digunakan Cukup dicentang jika sesuai untuk membantu . pengawasan Kesimpulan Kasubsi Hanggar/ Pejabat yang melaksanakan monitoring: (Nama) B. PEDOMAN MONITORING UMUM TPB MANDIRI UNTUK UNIT PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU terhadap TPB Mandiri sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pengawasan. Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh Unit Pengawasan dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelayanan di TPB. Unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU memastikan setiap TPB Mandiri telah melaksanakan tugasnya secara mandiri terhadap prosedur pemasukan dan pengeluaran barang di TPB. Tugas dari unit Pelayanan Kepabeanan dan Cukai di KPPBC atau KPU adalah melakukan pemeriksaan ulang untuk memastikan bahwa tugas tersebut telah dilaksanakan dengan baik dan benar. Dalam melaksanakan monitoring umum TPB, minimal harus memenuhi setiap kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama TPB Alamat Tanggal Pelaksanaan NO. KRITERIA KONDISI YA TIDAK KETERANGAN PEMBUKTIAN 1 Izin Usaha perusahaan TPB masih berlaku Cek izin usaha (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cantumkan masa berlaku dalam kolom keterangan Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Penanggung jawab TPB yang tercantum dalam izin TPB sesuai dengan akte perusahaan terakhir Cek akte terakhir (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Pengecekan dilakukan 1 bulan sekali, untuk meyakini kebenaran penanggung jawab TPB dapat dimintakan surat pernyataan dari pimpinan perusahaan. Cantumkan nama jika penanggungjawab baru rekomendasi presentasi bisnis ulang ada untuk proses Di Lokasi TPB dipasang tanda nama perusahaan dan jenis TPB pada tempat yang dapat dilihat jelas oleh umum Foto tanda nama perusahaan (cukup dilakukan centang jika masih ada dan belum berubah) Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Tersedia ruang hanggar yang layak dan representatif untuk melakukan tugas berserta sarana penunjangnya Foto tampak luar dan dalam ruang hangar Kriteria layak dan representatif seperti: e Ketersedian ruangan lain sebagai penunjang seperti ruang istirahat dan toilet yang bersih dan memadai e Tersedia sarana pendukung perkantoran seperti pengatur suhu ruangan (AC), meja kerja, kursi, lemari/ruang arsip e Tersedianya Komputer (PC) dan Printer dengan spesifikasi teknis yang mencukupi untuk menggunakan aplikasi-aplikasi perkantoran terkini dengan baik dan dapat dioperasikan dengan baik e Tersedianya sarana komunikasi akses internet 24 jam Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB dapat diakses langsung dari jalan umum dan dapat dilalui oleh sarana pengangkut peti kemas (khusus darat) atau sarana pengangkut lain Foto akses jalan Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB mempunyai batas-batas yang jelas dengan tempat, bangunan, atau TPB lain Bandingkan batas-batas TPB pada izin TPB dengan kondisi fisik Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Lokasi TPB tidak berhubungan dengan bangunan lain (Kecuali mesjid, asrama karyawan, klinik, koperasi, kantin, dan bangunan lain untuk mendukung kepentingan karyawan TPB) Cek denah bangunan dengan kondisi fisik Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Kesesuaian data pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari TPB antara IT Inventory dengan Pemberitahuan Pabean dalam SKP 1. Cek data pada IT Inventory dan data SKP 2. Cek jumlah populasi masing- masing jenis pemberitahuan pabean 3. Uji petik masing-masing jenis pemberitahuan pabean (terutama yang terakhir) Nomor 2 dan 3 dibuatkan kolom hasilnya. Mencatat nomor dokumen yang dilakukan uji petik dalam kolom keterangan IT Inventory mencakup pencatatan:
pemasukan dan pengeluaran barang:
terdapat field untuk mencatat jenis dokumen pabean, nomor dan tanggal dokumen pabean, c. terdapat menu untuk membuat laporan mutasi atas pemasukan, penimbunan dan pengeluaran barang yang dapat diunduh melalui kantor pabean, d. pemberian kode barang secara konsisten. Sebagai atensi perlu diperhatikan adalah untuk pencatatan pada IT Inventory harus menggunakan nomor pendaftaran dan bukan nomor pengajuan. Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system Sebagai atensi perlu diperhatikan pencatatan pada IT Inventory harus menggunakan nomor pendaftaran dan bukan nomor pengajuan. Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya 10 Perubahan data hanya bisa dilakukan oleh user yang mempunyai otoritas tertentu. Spot check dan/atau penjelasan di buku manual system Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya TPB masih aktif melakukan kegiatan fasilitas: Cek kegiatan TPB dan data SKP Tidak aktif berarti:
TPB sudah tidak lagi membuat pemberitahuan pabean pemasukan atau pengeluaran 4. Terdapat pemberitahuan pabean pemasukan. atau pengeluaran, tetapi tidak melakukan pengolahan 10 Dalam hal izin TPB dibekukan, TPB tidak memasukkan barang dengan mendapatkan fasilitas 1. Cek sudah ada input “dibekukan” di SILFIANA 2. Cek tempat penimbunan barang, IT Inventory, dan CEISA (antara lain tidak ada dokumen BC 2.3, 4.0, dan 2.7 masuk kecuali pengembalian) 11 Kondisi bangunan TPB dalam keadaan layak | untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah dan memenuhi standar keamanan untuk dilakukan penimbunan dan/atau pengolahan Memastikan tidak ada hal-hal berikut:
lubang/akses/pintu terhubung dengan bangunan/ruangan/tempat lain yang tidak dilaporkan ke DJBC barang yang masih terutang pungutan negara 2. Bagian bangunan lainnya yang rusak Sertakan foto jika terdapat kondisi 1 dan 2 Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip 12 Terdapat authorized user log in untuk petugas Bea dan Cukai. Maksud authorized user log in adalah kode akses berupa username dan password untuk masuk ke dalam sistem. Melakukan spot check dan/atau melihat penjelasan di buku manual system User admin: dan/atau User unit internal perusahaan:
..... Dicatat jika ada perubahan authorized user log in baru 13 Laporan IT Inventory dapat diakses secara online oleh DJBC. Membuka tautan IT Inventory perusahaan melalui handphone, komputer, monitoring room, dan/atau perangkat lainnya Cukup dicentang jika sesuai 14 Jumlah dan penempatan CCTV yang dipasang memungkinkan petugas untuk melakukan pengawasan atas pemasu kan, pembongkaran, pemuatan dan pengeluaran barang Mengecek jumlah dan lokasi penempatan CCTV, yaitu:
Pintu pemasukan dan pengeluaran barang dan orang 2. Lokasi pembongkaran barang 3. Lokasi pemuatan barang 4. Lokasi lain yang diperlukan (contoh: Gudang bahan baku, Gudang produksi dan Gudang barang jadi) Cukup dicentang jika sesuai, minimal penempatan CCTV pada poin no 1— 3 harus dipenuhi. 15 CCTV dapat diakses secara realtime dan online dari ruang hangar Mengecek akses CCTV (realtime dan online) Cukup dicentang jika sesuai 16 Hasil pemantauan CCTV dapat direkam dan hasil rekaman CCTV dapat disimpan sekurang- kurangnya 7 (tujuh) hari. Mengecek hasil rekaman CCTV 7 hari yang lalu Cukup dicentang jika sesuai 17 Gambar CCTV berwarna dan dapat dilihat secara jelas dan dapat digunakan untuk membantu pengawasan Mengecek layar monitor CCTV Cukup dicentang jika sesuai 18 Setiap pemasukan dan pengeluaran barang telah dilakukan dengan menggunakan pemberitahuan pabean Lakukan uji petik terhadap pemberitahuan pabean pemasukan dan pengeluaran barang pada:
IT Inventory dan SKP. catatan pemasukan dan pengeluaran barang laporan petugas security/ Satpam terhadap (dapat di cek nomor polisi alat angkut) 19 Setiap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari TPB telah dilakukan pemeriksaan kebenaran peti kemas/ kemasan Cek dokumen pengangkutan dengan dokumen pabean. Lihat Laporan atau catatan bagian yang bertanggung jawab terhadap ekspor-impor dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Barang di gudang Lakukan uji petik. 20 Setiap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari TPB telah dilakukan pemeriksaan keutuhan atau pelekatan tanda pengaman Cek Laporan Pemeriksaan kedatangan dan keberangkatan alat angkut dengan dokumen pabean. Cek dengan Laporan Petugas Security/Satpam dan bagian Exim Lakukan uji sampling. 21 Setiap pembongkaran dan penimbunan barang telah dilakukan dengan baik dan benar Membandingkan kesesuaian jumlah dan/atau jenis kemasan barang dengan Laporan Lihat Laporan atau catatan bagian Exim dan Laporan Penerimaan Barang di gudang Penerimaan Barang dan IT Inventory. Lakukan uji sampling. 22 Setiap pemasukan dan pengeluaran barang telah dilakukan pencatatan pada IT Inventory Membandingkan kesesuaian jumlah dan/atau jenis barang dengan Laporan Penerimaan Barang dan Laporan Pengeluaran Barang dengan IT Inventory. Lakukan uji sampling. Kesimpulan Kasubsi Hanggar/ Pejabat yang melaksanakan monitoring: (Nama) C. PEDOMAN MONITORING UMUM TPB BAGI UNIT PENGAWASAN DI RUANG KENDALI (MONITORING ROOM) Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit Pengawasan di KPPBC atau KPU yang bertugas secara rutin sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pengawasan pada Tempat Penimbunan Berikat. Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh Unit Pelayanan Pabean dan Cukai dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelayanan dan pengawasan di TPB. Unit Pengawasan yang bertugas mengawasi IT Inventory dan/atau CCTV melalui monitoring room, berdasarkan manajemen risiko terhadap TPB dalam pengawasannya, melakukan hal-hal sebagai berikut: Nama TPB Alamat Tanggal Pelaksanaan 1 Monitoring Umum melalui adalah sebagai berikut: pemanfaatan CCTV |» Melakukan pemeriksaan apakah CCTV dapat diakses. » Keseluruhan CCTV yang dipersyaratkan apakah masih terpasang dan bisa diakses. » Pengawasan seluruh TPB melalui CCTV dan dilakukan pencatatan pada log book yang paling kurang memuat pelaksanaan pengamatan melalui CCTV. berdasarkan manajemen risiko dan dapat dilakukan secara random. Atensi: » CCTV yang tidak dapat diakses pada jam rawan seperti sabtu malam atau minggu malam » CCTV tidak dapat diakses pada saat pembongkaran atau penimbunan barang Catat hasil pengamatan terhadap CCTV jika ada hal yang mencurigakan dan dilakukan konfirmasi jika ada hal yang mencurigakan. 2 Monitoring Umum | Langkah langkah yang dapat dilaksanakan melalui adalah sebagai berikut: pemanfaatan IT Inventory » Melakukan pemeriksaan apakah IT Inventory dapat diakses. » Melakukan pemeriksaan apakah IT Inventory dapat dimanfaatkan. » Uji petik pemanfaatan IT Inventory dengan membandingkan data pada SKP real time dicatatan. Jika tidak, harus diketahui saat TPB melakukan input data pada IT Inventory sesuai SKP. » Unduh data pemasukan dan pengeluaran pada IT Inventory untuk dilakukan uji petik analisis kewajaran. » Catat hasil analisis pada log book Atensi: » TPB yang terlalu lama lag/jeda waktu pencatatannya antara IT Inventory dengan SKP dibandingkan SOP perusahaan, » Kewajaran antara jumlah data pemasukan dan data pengeluaran, » Kewajaran antara jumlah data pada IT Inventory dengan data pada SKP Catat hasil analisis terhadap IT Inventory perusahaan jika ada hal yang mencurigakan Monitoring Umum melalui pemanfaatan CEISA TPB Langkah langkah yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut: » Unduh data pada CEISA sebagai pembanding untuk keandalan IT Inventory | » Gunakan data pada SKP sebagai sumber database pola bisnis yang dilakukan oleh perusahaan, misalnya: “« pembelian yang dilakukan, “ pekerjaan sub kontrak yang ada dilakukan oleh siapa saja, “ penjualan lokal yang dilakukan, “ penjualan ekspor yang dilakukan, “« barang sisa atau scrap yang dijual “ peggunaan perusahaan jasa transportasi/sarana pengangkut » Unduh BC 2.3 khusus barang modal, barang contoh dan barang lainnya yang memerlukan atensi untuk dilakukan pengawasan lebih lanjut Atensi: » Dokumen BC 2.5 yang besar dan tidak wajar sesuai komposisi penjualan lokal yang ada pada umumnya. » Kondisi yang diluar kebiasaan dari pola bisnis perusahaan TPB » Dalam hal sistem transaksi tidak biasa dalam aplikasi monitoring dan evaluasi belum tersedia secara elektronik, pengawasan dapat dilakukan secara manual. P Dalam hal pelaksanaan monitoring dan evaluasi tidak terdapat sistem transaksi tidak biasa, maka pengawasan monitoring dan evaluasi dilakukan sesuai pedoman ini. Catat hasil analisis terhadap CEISA TPB perusahaan jika ada hal yang mencurigakan 3 Monitoring Umum melalui pemanfaatan data e-seal Monitoring ini dilakukan kepada TPB yang dipersyaratkan penggunaan e-seal. Langkah langkah yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut: ? Melakukan pemeriksaan apakah data e-seal termasuk pergerakannya dapat diakses. » Melakukan pemeriksaan apakah data log book e-seal dapat diakses. Atensi » Nomor e-seal yang belum tertulis akibat pengiriman di malam hari dimana tidak ada petugas dan harus dilakukan pemeriksaan saat tiba di lokasi » Perubahan pergerakan alat pengangkut sesuai e-seal yang tidak sesuai jalur yang telah diberikan » Perubahan waktu kedatangan yang berbeda dengan waktu kedatangan .yang telah diberikan Catat hasil analisis terhadap penggunaan e- seal yang tidak tepat 4 Barang yang ditimbun TPB selain Kawasan Berikat sesuai dengan yang tercantum dalam izin TPB Uji petik perbandingan barang yang ditimbun dengan izin TPB. Cukup dicentang jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip 5 Barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan dari TPB sesuai dengan SKEP (selain KB) atau berhubungan dengan hasil produksi (KB) Cek data di SKEP dan pengamatan di tempat penimbunan barang KESIMPULAN: Kasubsi Hanggar/ Pejabat yang melaksanakan monitoring: (Nama) D. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING UMUM TPB NOTA DINAS NOMOR : ND- .../..f uu Kepada : Kepala KPPBC .... Dari : Kepala Seksi PKC / Seksi Penindakan dan Penyidikan Lampiran 11 (satu) berkas checklist monitoring umum TPB Hal : Laporan Pelaksanaan Monitoring Umum TPB ' Tanggal 1. Pada. tanggal sos sampai dengan tanggal ............... , kami yang bertanda tangan di bawah ini telah melakukan monitoring terhadap perusahaan penerima fasilitas Tempat Penimbunan Berikat sebagai berikut: | a. Nama Perusahaan 3 eh akan aemamaAMENN aan b. Alamat/Lokasi ANTA INN ANN UN UNA ANA ENAK HN DAN c. Jenis TPB A Niana d. SKEP terakhir saman ana Sena Materi Monitoring Misalnya: IT Inventory Diisi — hasil: pengamatan dan 1 2 Misalnya: CCTV pemeriksaan apakah sudah baik, kurang dan perlu perbaikan dan 3. | Misalnya: ERNA : kondisi lainnya yang perlu dilaporkan 4. | Lainnya : (kepatuhan, pelanggaran dan kondisi lainnya) | 3. Berdasarkan hasil monitoring tersebut butir 2, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut: Ao anncnraan (misalnya semua kriteria monitoring telah dilaksanakan dengan baik) by seswei (misalnya adanya kekurangan dan temuan yang harus dilaporkan) Ps mncmanmea (misalnya saran perbaikan yang perlu) dst. Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) Keterangan: Kepala kantor dapat menggunakan hasil monitoring umun sebagai alat pengambilan keputusan dalam melaksanakan pelayanan dan pengawasan terhadap TPB. E. FORMAT SURAT TUGAS PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS TPB SURAT TUGAS NOMOR ST-....... BE... / 20.. Berdasarkan Pasal 82 dan 82A Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan dengan ini kami pejabat yang bertanda tangan dibawah ini memberi tugas kepada: Nama NIP Pangkat/ Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/ Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan sooonanacn soo.
.ocecavane soo...
...oooo..m untuk melakukan monitoring khusus atas pemenuhan ketentuan pelaksanaan pemberian fasilitas (PLB/KB/GB/TBB/TPPB/Lainnya)" terhadap: Nama Perusahaan: NPWP: Alamat: Obyek Pemeriksaan" Waktu pelaksanaan: teroonesnoneooenooooanoovananacononenenasaooooan s.ccocomcccoocomw.ccomcococ#.nannnaasanaanan 1. Pemeriksaan sewaktu-waktu atas ...................
Pemeriksaan sederhana atas (bahan baku/bahan penolong/ barang dalarn proses/ barang jadi/baran modal/ peralatan perkantoran/sisa dari proses produksi atau limbah/ barang lain yang mendapatkan fasilitas)" pada periode pemeriksaan Sa Sid 3. Analisis mendalam nesvenasunangnsenasanssenosanuenanessssenesaKona Semua informasi yang diperoleh dari Perusahaan dimaksud merupakan rahasia jabatan. Setelah tugas selesai dilaksanakan agar menyampaikan Laporan Hasil Monitoring Khusus kepada Direktur Fasilitas Kepabeanan. Kepada instansi terkait, kami mohon bantuan demi kelancaran pelaksanaan tugas tersebut. Dikeluarkan di :
... Pada tanggal. Sg mesen , 20... Kepala Kantor Wilayah /KPU /KPPBC “ coret yang tidak perlu F. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS TPB NOTA DINAS NOMOR : ND- .../anaf uu Kepada : Kepala KPPBC / KPU / Kanwil.... Dari : Tim Monitoring Khusus Lampiran : 1 (satu) berkas pelaksanaan monitoring khusus sesuai pedoman Hal : Laporan Pelaksanaan Monitoring Khusus TPB Tanggal 1. Identitas perusahaan penerima fasilitas TPB:
Nama Perusahaan b. Alamat TPB 0 0s0.oc.com.nrananunersnaserasasanosuannanananaensesasuasoan 0 s0cocococoooroooooocooooocococomocuavununannannanananaa 0 "escsccococunuasanenanangnsananannasanuanananesanasaasana . Nomor SKEP . Jenis Monitoring Khusus: Ul Pemeriksaan sewaktu-waktu Ul pemeriksaan sederhana Ll Analisis mendalam 0 #ecocococococerecooooconcooomcoorwororconcoorocococcoco.
Dasar pelaksanaan monitoring khusus sebagai berikut: Pia sman (misal Surat Tugas) bs swenswrs (misal Surat Permohonan dari pihak lain) c. dst.
Uraian kegiatan monitoring khusus: B4 sn (lihat pasal 9 dan Lampiran I huruf G Perdirjen Monev) Mie sea (lihat pasal 12 dan Lampiran I huruf J Perdirjen Monev) Oh sena (lihat pasal 14 dan Lampiran I huruf K Perdirjen Monev) 4. Hasil dari pelaksanaan monitoring khusus dapat kami laporkan sebagai berikut: Periode /Pemberntahuan misal : per dokumen pabean (BC 1.6 nomor... tanggal....) 2. | misal : per periode Diisi hasil pemeriksaan yang didapat dan resume terjadinya pemeriksaan temuan tersebut (O1 s.d. 30 November) 3. | dst.
Berdasarkan hasil monitoring khusus, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut: B4 semua (misal: rekomendasi tindak lanjut kepada Kepala Kantor) ba memang (misal: usulan perbaikan terhadap TPB) c. dst.
Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama)“ “Anggota tim dengan jabatan atau pangkat tertinggi G. PEDOMAN PEMERIKSAAN SEWAKTU-WAKTU 1) PEMERIKSAAN ATAS 1 (SATU) ATAU BEBERAPA PEMBERITAHUAN PABEAN No Tujuan Sasaran Prosedur Pemeriksaan pemasukan barang ke TPB (barang akan masuk ke TPB). Pemeriksaan pada titik (fase) ini dimaksudkan untuk melakukan pengujian atas kesesuaian pemberitahuan dalam pemberitahuan pabean. Misalnya jika ada informasi adanya kesalahan atau kecurigaan atas Pemberitahuan Pabean yang akan masuk ke TPB Memastikan kesesuaian jumlah dan jenis barang yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean antara lain: e BC1.6 s BC2.3 . BC2.4 se BC2.6.2 e BC2.7 . BC4.0 . BC3.3 » P3BET Lakukan proses pemeriksaan sebagai berikut :
Uji keutuhan - fisik segel/tanda pengaman Bea dan Cukai dan/atau segel pelayaran b. Uji kesesuaian nomor polisi sarana pengangkut dan surat jalan. Lakukan dokumentasi (foto) c. Dalam hal menggunakan e-seal, periksa log book e-seal Penyelenggara TPB untuk memastikan bahwa e-seal utuh. Lakukan dokumentasi (print out) d. Periksa kewajaran waktu perjalanan sarana pengangkut dari tempat pembongkaran/pengiriman ke TPB. Jika terdapat waktu tidak wajar, lakukan pemeriksaan secara lebih mendalam.
Periksa kebenaran nomor, ukuran, dan jenis kontainer atau kemasan. Lakukan dokumentasi (foto) f. Uji kesesuaian pemberitahuan jenis barang dalam pemberitahuan pabean dengan jenis barang pada surat keputusan izin TPB.
Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis kemasan dalam pemberitahuan pabean dengan dokumen pelengkap pabean. h. Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis kemasan dalam pemberitahuan pabean dengan melakukan pengawasan atas stripping pembongkaran barang. Pengawasan atas stripping tersebut sekaligus juga sebagai pencacahan fisik barang yang diterima, sesuai dokumen pabean. Tuangkan dalam Berita Acara. Pemeriksaan jumlah dan jenis barang atas barang yang sudah dilakukan penimbunan per Pemberitahuan Tu Pabean Memastikan kesesuaian | Lakukan proses pemeriksaan sebagai dimaksudkan untuk melakukan menangani meta Rein pengujian atas kesesuaian dokumen Jenis hareung -. yah Sa aa Ma aran pabean,ketika barang impor atau Pale ea aan ekspor sudah dilakukan rekaman CCTV. Atensi bahwa pembongkaran dan penimbunan di rekaman CCTV yang dapat diakses gudang. hanya rekaman selama 7 hari kerja b. Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis barang dalam pemberitahuan pabean dengan dokumen pelengkap pabean (Invoice, Packing List) :
Uji kesesuaian pemberitahuan jenis barang dalam pemberitahuan pabean dengan jenis barang pada surat keputusan izin TPB d. Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis barang dalam pemberitahuan pabean dengan dokumen penerimaan barang. Kegiatan ini sekaligus untuk melihat keterlacakan / traceability dari penimbunan barang di gudang Pemeriksaan pada titik (fase) ini (misal terhadap dokumen pemasukan dapat segera diketahui lokasi tempat penimbunannya dengan cepat dan tepat).
Uji kesesuaian jumlah dan jenis barang pada dokumen pemasukan barang dengan data pada IT Inventory. Uji kesesuaian jumlah dan jenis barang pada IT Inventory dengan dokumen pengeluaran barang (pemberitahuan pabean BC 2.5, BC 2.6.1, BC 2.7, BC 2.8, BC 3.0, dan BC 4.0 berikut dokumen pelengkap pabean dan dokumen internal perusahaan terkait, misalnya surat jalan, D/O, kartu stock) untuk mendapatkan data pengeluaran barang, dan kemudian tentukan saldo (sisa) barang yang masih ditimbun Gumlah penerimaan barang dikurangi leh jumlah pengeluaran barang) . Lakukan pengujian kebenaran jumlah dan jenis barang yang masih dittmbun sesuai IT Inv / saldo barang yang ditimbun menurut perhitungan dengan melakukan pencacahan sediaan barang (stock opname barang) . Jika terdapat selisih, dilakukan pemeriksaan secara mendalam dengan dilakukan wawancara dan meminta pembuktian untuk mengetahui terdapat unsur kesengajaan atau tidak dan dilakukan tindak lanjut sesuai ketentuan berlaku. Lakukan pengambilan sample atas jenis barang yang dicurigai (apabila jenis barang tersebut masih belum semuanya dikeluarkan atau atas | jenis barang yang sama yang ada di gudang PLB) untuk dilakukan uji Lab (jika diperlukan) dengan membuat Berita Acara Pengambilan Barang (BPA). BPA tersebut ditandangani oleh petugas Bea dan Cukai yang melakukan pemeriksaan, Penyelenggara PLB dan Importir/Pemilik Barang III Pemeriksaan atas barang yang akan atau sudah dikeluarkan menggunakan BC 2.8 Pemeriksaan pada titik ini dimaksudkan untuk melakukan pengujian atas kesesuaian pemberitahuan dalam dokumen pabean atas barang yang akan dan/atau sudah dikeluarkan dari TPB 1. Kesesuaian pemberitahuan dan jenis barang jumlah Lakukan proses pemeriksaan sebagai berikut:
Uji kebenaran proses pemuatan barang (stuffing) dengan melakukan pengecekan kepada rekaman CCTV. Atensi rekaman CCTV yang dapat diakses hanya selama 7 hari.
Uji kesesuaian pemberitahuan jumlah dan jenis barang dalam dokumen pabean dengan dokumen pelengkap pabean (Invoice, Packing List) c. Uji Kesesuaian pemberitahuan Jumlah dan Jenis barang dengan Dokumen internal perusahaan untuk pengeluaran barang (misalnya, surat jalan, D/O, kartu stock, dil). Uji Kesesuaian pemberitahuan Jumlah dan Jenis barang dengan dengan data pengeluaran untuk barang dimaksud dari data IT Inv.
Kebenaran Klasifikasi Tarif dan Lakukan proses pemeriksaan sebagai berikut :
Uji kebenaran tarif dan klasifikasi dengan BTKI b. Jika terjadi kesalahan pada pemeriksaan poin wa dan uji kebenaran jumlah dan jenis barang sesuai poin III 1, cek kembali persyaratan FTA terhadap Pemberitahuan Pabean pemasukan yang telah diuji sebelumnya oleh Pejabat Bea dan Cukai.
Bandingkan pengunaan form FTA dengan ketentuan yang berlaku untuk masing masing skema FTA Lakukan pengambilan sampel atas jenis barang yang dicurigai (hanya terhadap barang yang belum dikeluarkan untuk dilakukan uji Lab (jika diperlukan) dengan membuat Berita Acara Pengambilan Barang (BPA). BPA tersebut ditandangani oleh petugas Bea dan Cukai yang melakukan pemeriksaan, Penyelenggara PLB dan Importir /Pemilik Barang 3. Kesesuaian Nilai Pabean Lakukan proses pemeriksaan sebagai berikut:
Uji pemenuhan persyaratan nilai transaksi apakah dapat diterima sebagai Nilai Pabean sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai nilai pabean (misalnya adanya hubungan antara importir dan supplier atau tidak adanya transaksi jual beli karena barang impor hanya perpindahan lokasi dari perusahaan yang sama di luar negeri). Jika terjadi kondisi tersebut diatas maka allakukan sesuai butir c.
Uji kesesuaian nilai impor pada BC | 2.8 dengan Invoice dengan meminta bukti pembayaran (Transfer Payment). Jika diperlukan dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut pada Rekening Koran Jika kondisi pada butir a dan butir b tersebut tidak dapat dilakukan (misalnya nilai transaksi tidak dapat diterima sebagai nilai pabean atau perusahaan /importir tidak dapat menunjukkan bukti pembayaran yang mendukung), maka petugas pemeriksa sewaktu-waktu menyerahkan kepada Kepala Seksi PKC atau PFPD untuk dilakukan pengujian kebenaran Nilai Transaksi sesuai peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang nilai pabean.
Kebenaran pemenuhan Larangan Pembatasan atas | Lakukan proses pemeriksaan sebagai ketentuan | berikut : dan |a. Uji kebenaran jenis barang yang diberitahukan dengan persyaratan larangan dan pembatasan sesuai tarif dan klasifikasinya apakah sudah dipenuhi atau belum. Disesuaikan dengan hasil pengujian tarif dan klasifikasi yang telah dilakukan b. Uji kebenaran dokumen persyaratan larangan dan pembatasan dengan data pada INSW 2) PEMERIKSAAN ATAS IT INVENTORY TPB Pemeriksaan pada titik (fase) ini dimaksudkan untuk melakukan pengujian atas keandalan IT Inventory yang dimiliki TPB, apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. No Tujuan Prosedur 1 Mengetahui SPI perusahaan Melakukan wawancara kepada perusahaan (dihadiri oleh bagian IT, akuntansi, produksi, dan persedian) dengan melakukan penilaian atas:
Proses bisnis /transaksi perusahaan - Apakah job order, manufaktur atau lainnya b. Struktur organisasi dan wewenang - Minta Struktur Organisasi, flow chart dan SOP (standart operating procedure) jika ada c. Aktivitas pengendalian (misalnya: mekanisme persetujuan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, evaluasi kinerja, pengelolaan keamanan, supervisi, dan pembentukan dan penyelenggaraan pencatatan- pencatatan atau dokumentasi sebagai bukti pelaksanaan) - Lakukan wawancara dengan masing-masing unit yang bertanggung jawab untuk menjelaskan kesesuain SOP dengan pekerjaan yang dilakukan d. Prosedur dan formulir atau dokumen terkait proses bisnis atau transaksi TPB - Lakukan wawancara dengan masing-masing unit yang bertanggung jawab untuk menjelaskan kesesuain SOP dengan pekerjaan yang dilakukan - Kebijakan akuntansi atas alur transaksi tersebut - Output/laporan yang dihasilkan e. Keandalan laporan atau dokumen - Lakukan uji petik atas 1 (satu) transaksi untuk meyakini kebenaran dan keandalannya, misalnya: Finished Goods Purchase Sales Order (PO) Goods Receipt Report (GRR) Bon permin taan bahan Pemberi | Invoice tahuan pabean “pemberitahuan pabean (misalnya dari bagian ekspor-impor) dicocokkan dengan invoice (misalnya dari bagian akuntansi/ keuangan) dicocokkan dengan P/O (misalnya dari bagian pembelian) dicocokkan dengan GRR dan Bon permintaan bahan (misalnya dari bagian bahan baku/produksi) dan dapat dicocokkan dengan sales (misalnya dari bagian akuntansi/ keuangan) “« tanggal pemberitahuan pabean dapat berbeda dengan tanggal dokumen internal perusahaan lainnya (misalnya invoice, PO, dan GRR) sesuai dengan proses bisnis masing- masing perusahaan f. Lakukan pengamatan atas pelaksanaan sistem informasi atau akuntansi tersebut untuk menguji: a) Kesesuaian dokumentasi dengan pelaksanaan di lapangan b) Keandalan output sistem. Atensi: Pastikan semua transaksi telah dicatat dan pencatatan tersebut dilakukan pada satu aplikasi/sistem yang sama yang terintegrasi Jika kedapatan indikasi terdapat 2 (dua) sistem pencatatan pembukuan maka lakukan pedoman pemeriksaan nomor 2 IT Inventory TPB merupakan subsistem dari sistem akuntansi perusahaan Sistem informasi persediaan merupakan salah satu subsistem dari Sistem Pencatatan Pembukuan yang akan menghasilkan informasi laporan keuangan dan informasi lainnya yang dibutuhkan oleh stakeholder Melakukan spot check saat barang masuk atau keluar Kawasan Berikat dan memastikan bahwa telah dicatat di IT Inventory. Untuk memastikan IT Inventory Kawasan Berikat merupakan subsistem dari sistem akuntansi perusahaan parameter yang dapat digunakan adalah:
Hanya ada satu aplikasi sistem pencatatan pembukuan dan satu database yang dipergunakan dalam mencatat barang yang masuk atau keluar.
Sistem IT Inventory tersebut harus terintegrasi dengan keseluruhan sistem pencatatan pembukuan yang ada di perusahaan, misalnya terintegrasi dengan bagian akuntansi, pembelian, produksi dan penjualan.
Jika IT Inventory menggunakan system yang berbeda dengan system pencatatan perusahaan (misalnya perusahaan telah menggunakan system SAP/System Application and Product in data Processing atau ERP/ Enterprise Resources Planning sedangkan IT Inventory menggunakan system yang lain, maka hal ini dapat diterima dengan syarat: » system tersebut terintegrasi dengan sistem pencatatan pembukuan perusahaan (system pada IT Inventory sebagai interface /antarmuka) » Tujuan interface /antarmuka adalah untuk menampilkan data yang diperlukan oleh DJBC » Untuk memastikan IT Inventory merupakan sub system dari system aplikasi perusahaan maka salah satu langkah yang dapat diambil adalah mengecek apakah data yang digunakan sama dan tidak berbeda, dan sumber data pada IT Inventory digunakan oleh bagian akuntansi dalam penyusunan Laporan Keuangan (Menanyakan ke bagian akuntansi perusahaan, sumber data untuk Laporan Keuangan) Misalnya: - untuk impor bahan baku, IT Inventory menggunakan sumber data dari CEISA TPB namun data tersebut juga digunakan oleh bagian akuntansi sebagai catatan persediaan dan pembelian, oleh bagian Gudang digunakan sebagai dasar pencatatan pemasukan (Goods Receive Notes). Perusahaan biasanya akan menggunakan nomor dokumen yang saling berhubungan dan tercatat pada system pencatatannya. - Untuk pemasukan dan pengeluaran barang jadi, pemasukannya menggunakan dokumen penyerahan barang jadi dari bagian produksi kepada Gudang barang jadi yang akan dicatat dalam Persediaan Barang jadi dan akan dicatat juga di bagian akuntasi sebagai persediaan barang jadi, sedangkan pengeluarannya pada IT Inventory akan menggunakan sumber data dari CEISA TPB dan dalam pencatatan pembukuan perusahaan akan dicatat dalam pengeluaran stock barang jadi di Gudang dan akan dicatat pula dalam Surat Jalan dan Invoice penjualan dari bagian akuntasi. Perusahaan biasanya akan menggunakan nomor dokumen yang saling berhubungan dan tercatat pada system pencatatannya. | Atensi: Jika IT Inventory kedapatan terdapat 2 (dua) sistem pencatatan dan masing-masing berdiri sendiri (masing-masing sistem melakukan pencatatan sendiri) maka IT Inventory ini tidak sesuai dengan ketentuan. 3 Data diinput secara realtime. Pengertian realtime dibagi 2 (dua) jenis: 1, Realtime dalam pencatatan arus barang. Pencatatan data transaksi persediaan pada IT Inventory oleh operator data entry atas pemasukan, pengeluaran, WIP (jika melakukan pencatatan WIP), adjustment, dan stock opname (pergerakan barang) dilakukan sesegera mungkin setelah medapat otorisasi terlebih dahulu dari pegawai perusahaan sesuai kewenangan yang diatur dalam SOP atau SPI perusahaan. Realtime dalam pembaharuan (refresh) data laporan. Setiap proses input ke dalam sistem informasi dapat secara langsung memperbarui database yang digunakan untuk proses pelaporan Meminta SOP atau keterangan dari perusahaan tentang kriteria pencatatan secara real time. Dari hasil informasi tersebut dilakukan pemeriksaan apakah benar SOP yang disampaikan tersebut, misalnya ketika dinyatakan pencatatan dilakukan setelah 2 hari maka dicek atas kegiatan pemasukan dan pengeluaran 2 hari yang lalu apakah sudah tercatat dalam IT Inventory dan selanjutnya kita lakukan uji kebenaran dengan data pada CEISA. 4 IT Inventory mencatat/ menampilkan: Te 2: riwayat perekaman dan penelusuran kegiatan pengguna, riwayat aktivitas yang ditelusuri dalam waktu 2 tahun periode sebelumnya. dapat (dua) Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system H. FORMAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN BARANG KOP SURAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK BARANG NOMOR....... TANGGAL........ Pada hari ini. ......... tanggal ...... Dutta seven tahun telah dilakukan pemeriksaan fisik atas barang yang diberitahukan dengan keterangan sebagai berikut: S Aa 3 e & F : d A 5 s - U 2D E U A - Oo E Oo - “AGtT . Waktu pemeriksaan :
jam/tgl dimulai pemeriksaan barang :
....... 2 mem sang eka b. jam/tgl selesai pemeriksaan barang :
..... » mang semsif Mldurn Foto : tidak / ya" (...... lembar) . Contoh barang Ik 00 9. Kendala pemeriksaan importir/kuasanya tidak ada di tempat pemeriksaan: barang tidak berada di tempat pemeriksaan : buruh tidak siap : peralatan tidak tersedia : (sebutkan:
................. ) lain-lain : dS JT 0 nescocococorocesoooooeverevooooonooneooenocanonn ora casoso ren oveng nano n anna na reraKennagasarananann na anan naas. snnocococoencoooooooocomcocoooooocooooooococoooooc.oooooococococooocrocomococooo.cococooococ cocoa 10.Keterangan : daan (Misal : pemeriksaan telah dilaksanakan dengan baik dan sesuai Berita Acara) sena (Misal : Mengetahui: Penyelenggara/ Pengusaha TPB Pejabat Pemeriksa Barang senoo0osnosano0 Jono nesuawanasosesanann”””————————————————————————————————————————” Geonanunana nanang asas O0 Ooo naa o 0 Oo 9a.0 0 0.00aa “ coret yang tidak perlu I. FORMAT BERITA ACARA PENGAMBILAN SAMPEL Pada hari ini ......... tanggal ...... bulan .......... tahun....... telah dilakukan pengambilan sampel dalam rangka pengujian kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif dengan keterangan sebagai berikut:
Foto : tidak / ya" (...... lembar) . Contoh barang S a “3 Ss ah E $ d A 3 s — v 9 5 As 4 Oo E o - AVOTtU c. diminta kembali oleh importir/ kuasanya : ya / tidak “...........
Keterangan : sanam (Misal : pengambilan sampel telah dilaksanakan dengan baik dan sesuai Berita Acara) ananaan (Misal : pengambilan sampel tidak dapat dilakukan karena sainsmsemnsse) Mengetahui: Penyelenggara/ Pengusaha TPB Pejabat Pemeriksa Barang SERLA SBI SNASN TAN ANA NAS ERA TAMAN ERROR 0 Sans Nu auKn “ coret yang tidak perlu J. PEDOMAN PEMERIKSAAN SEDERHANA Ws ai se Aa Aa 3 Menghitung nilai Bea Masuk, | 1. Tentu an cut off (batas waktu) penentuan PPN atau PPN dan PPnBM yang pemeriksaan sederhana. (minimal data masih terutang dalam hal TPB akan pada satu bulan terakhir dan dapat dicabut fasilitasnya diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan).
Cek data saido awal dari IT Inventory perusahaan TPB. Saldo awal dapat juga menggunakan hasil stock opname perusahaan.
Uji kebenaran data saldo awal pada IT Inventory dengan data internal yang ada di perusahaan (contoh: data Warehouse Management System/WMS, kartu stock, dil) 4. Jika data saldo awal sulit didapatkan seperti pada kondisi TPB yang sudah pailit atau ditinggalkan penanggung jawab pengusaha TPB, maka dapat menggunakan data saldo terakhir yang ada di IT Inventory atau hasil stock opname perusahaan dibandingkan dengan SKP.
Mengetahui jumlah pemasukan |1. Cek data pemasukan pada IT Inventory perusahaan TPB 2. Uji kebenaran dokumen pemasukan (BC 1: 6: BC 2.3, BC 2:
2, BC 2.7. BC 4.0) pada CEISA / SKP 3. Mengetahui jumlah — Il. Cek data pengeluaran pada IT Inventory pengeluaran “| perusahaan TPB 2. Uji kebenaran dokumen pengeluaran (BC 2.5, BC 2.6.1, BC 2.7, BC 4.1, BC 3.0, BC 3.3) pada CEISA / SKP 4. Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku dengan cara data saldo awal barang ditambah dengan data pemasukan barang dikurangi dengan data pengeluaran barang.
Mengetahui Saldo Fisik 1. Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock opname 2. Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik 6. Menghitung nilai bea masuk | 1. Dapatkan data sesuai stock fisik menjadi dan PDRI yang terutang data dasar jumlah barang yang masih terutang.
Sandingkan dengan data dokumen pabean yang menunjuk pada saldo barang terhutang tersebut 3. Hitung nilai pungutan negara yang masih terutang Bea Masuk dan PDRI Kepatuhan Enam TPB dalata — Kebaera konversi pemakaian 1. Tentukan barang jadi yang akan Pa menjalankan TPB bahan baku yang disampaikan kebenaran konversi pemakaian bahan perusahaan bakunya.
Minta data pemakaian konversi kepada pengusaha TPB 3. Uji data konversi pemakaian bahan baku dengan data pendukung seperti Bill of material, HPP (harga pokok produksi dari bagian akuntansi), kontrak kerja dengan pemberi kontrak, dan data lainnya yang dapat mendukung kebenaran konversi yang diberikan. Jika perlu dapat dimintakan keterangan kepada tenaga ahli di bagian produksi | 4. Untuk mempermudah, tentukan komponen bahan baku utama yang menjadi dasar penyusun utama dari barang jadi yang kita hitung konversinya. Komponen bahan baku utama dapat juga didasarkan pada komponen bahan baku dominan atau yang mempunyai nilai yang tinggi.
Uji kewajaran antara data konversi yang diajukan perusahaan dengan hasil perhitungan konversi yang dilakukan. Misalnya konsistensi konversi yang diajukan.
Bandingkan konversi yang diajukan perusahaan dengan konversi perusahaan lain yang sejenis. Pemeriksaan sederhana u 'denganp an Nas 1 em J Ne peri Jina Inna Panduan pemeriksaan » Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji kepatuhan TPB terhadap kebenaran sistem pencatatan perusahaan. Misalnya ketika Kepala KPU/KPPBC ingin melihat kebenaran dari saldo barang modal yang ada di TPB atau ingin mengetahui jumlah barang sisa/scrap yang ada di TPB. Sasaran pemeriksaan kebenaran sistem pencatatan perusahaan ini mempunyai banyak kegunaan yang bisa digunakan sebagai informasi bagi Kepala KPU/KPPBC dalam pengambilan arah kebijakan terhadap TPB yang dilakukan pemeriksaan sederhana, dan terutama adalah untuk menguji keandalan sistem pencatatan perusahaan. Sebelum melakukan pemeriksaan sederhana ini terlebih dahulu ditentukan lingkup pemeriksaannya, meliputi, a.
bahan penolong, . barang dalam proses, . barangjadi, . barang modal, b e d 8 G 8. h. P bahan baku: peralatan perkantoran, sisa dari proses produksi/limbah (scrap/ waste): dan/atau barang lain yang mendapatkan fasilitas. rosedur pemeriksaan sederhana yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada prosedur pemeriksaan sederhana pada poin 1 (satu) dan hanya ruang Iingkup pemeriksaannya saja yang disesuaikan sesuai kebutuhan dan tidak perlu dilakukan perhitungan nilai bea masuk dan PDRI yang terhutang kecuali terdapat selisih kurang » Konfirmasi atas perbedaan selisih kurang tersebut dengan disertai alasan atau data yang memadai. Kepatuhan Pensi TPB Cal aan menjalankan TPB AN nana, Jumlah Saldo A Awal 1. Tentukan cut off (batas waktu) penentuan pemeriksaan sederhana. (minimal data pada 1 bulan terakhir dan dapat diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan).
Cek data saldo awal dari Laporan 4 bulanan, IT Inventory atau Berita Acara Stock Opname terakhir 2. Mengetahui jumlah pemasukan Cek data pemasukan dari dokumen pemasukan (BC 1.6, BC 2.3, BC 2.6.2, BC 2.7, BC 4.0) pada CEISA / SKP 3. Mengetahui jumlah pengeluaran Cek data pengeluaran dari dokumen pengeluaran (BC 2.5, BC 2.6.1, BC 2.7, BC 4.1, BC 3.0, BC 3.3) pada CEISA / SKP 4, Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku dengan menjumlahkan saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran 5. Mengetahui Saldo Fisik 1. Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock fisik.
Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik (dalam hal masih terdapat barang di TPB) K. PEDOMAN ANALISIS MENDALAM Kegiatan ini sebagai optimalisasi dari pemanfaatan ruang kendali (monitoring room) dalam melakukan analisis terhadap kegiatan TPB dengan berdasarkan SKP, IT Inventory, CEISA, CCTV, dan sumber lain yang diperlukan.
Pemenuhan ketentuan pemasukan barang Contoh: ———— paru 5 RISIKO Ta Barang impor diberitahukan dengan tidak |“ Melakukan analisis dengan cara | SKP, IT Inventory, benar membandingkan jenis barang, pemasok, | TPS Online jumlah barang, dll, antara yang diberitahukan dalam BC 2.3 dengan yang dicatat dalam IT Inventory.
Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. s Dapat dibandingkan berat barang dengan data pada JICT atau TPS Online Ra Barang impor tidak sampai di tempat|“ Meneliti pencatatan waktu pengeluaran | SKP, IT Inventory tujuan barang di kantor bongkar dengan catatan waktu pemasukan barang di perusahaan/kantor pengawas. “ Meneliti apakah ada pemasukan barang/bahan pada pencatatan dalam IT Inventory dan catatan security perusahaan. » Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Barang yang diimpor tidak sesuai|” Melakukan penelitian terhadap importasi yang | SKP, IT Inventory perizinan dilakukan perusahaan dan Lin yang | diberikan, harus berkaitan dengan hasil produksi/sesuai dengan barang yang diizinkan ditimbun atau dijual yang tercantum dalam SKEP/izin ybs. » Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Penghindaran terhadap pungutan BMAD, |s Meneliti HS code barang asal impor yang akan | SKP, IT Inventory BMTP, dan BM Pembalasan dikeluarkan ke TLDDP apakah termasuk dalam HS code barang yang terkena BMAD, BMTP, BM pembalasan. »« Apabila termasuk dalam HS code barang yang terkena BMAD, BMTP, BM pembalasan, maka dilakukan penelitian apakah sudah dilakukan pembayaran. » Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Pemenuhan ketentuan kegiatan di perusahaan Contoh: “ND | Pre : P 1 | NO RISIKK “KEGIATAN YANG DILAKUKA IIA JKEF AN AI SKP, IT Inventory jali 31 3 Membandingkan total jumlah/tonase pemasukan bahan baku dengan total jumlah/tonasehasil produksi selama periode tertentu. “ Apabila ditemukan selisih, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Jumlah pemasukan dan pemakaian bahan baku impor yang tidak wajar Penyalahgunaan Subkontrak Menganalisis data . pengiriman subkontrak (tanggal, jenis barang, dan foto bahan baku) dengan data pemasukan barang hasil subkontrak. Menganalisis kontrak/agreement pekerjaan subkontrak. Menganalisis pemasukan hasil pekerjaan subkontrak dengan cara membandingkan jumlah bahan baku dengan konversi untuk pekerjaan subkontrak. Membandingkan berat barang yang disubkontrakkan antara jumlah barang keluar dan barang masuk dengan cara:
BC 2.7 harus sesuai 2) uji sampling Jika ditemukan indikasi adanya dugaan pelanggaran, antara lain barang subkontrak yang tidak kembali dalam batas waktu yang ditentukan, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. IT Inventory, Berkas kontrak/ agreement terkait Pemberitahuan Konversi tidak benar membandingkan perhitungan konversi dengan konversi atas barang sejenis lainnya dan/atau berdasarkan profesional judgement Petugas. dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran konversi, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Pelanggaran persentase pengeluaran hasil produksi ke TLDDP Meneliti pencatatan dalam IT Inventory perusahaan, catatan dalam SKP, laporan yang disampaikan perusahaan, dan Keputusan Dirjen BC tentang batasan penjualan lokal. Membandingkan antara nilai dan volume barang yang diimpor dengan nilai dan volume pengeluaran hasil produksi ke TLDDP dalam periode tertentu. SKP, IT Inventory, laporan perusahaan “ Dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Pemusnahan ' . Membandingkan pemberitahuan pemusnahan | IT Inventory, BAP dengan data yang tercatat dalam IT Inventory. | Pemusnahan » Meneliti frekuensi pengajuan pemberitahuan pemusnahan. e Dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Pemenuhan ketentuan pengeluaran barang Contoh: SKP, IT Inventory Oo NAN KA AN AMP AN hi Tag CA : Ma ea . — L. Under Invoicing “ Meneliti nilai pabean bahan baku apakah terlalu rendah dengan membandingkan harga pemberitahuan dengan pemberitahuan lainnya. “ Dalam hal hasil penelitian ditemukan adanya ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Waktu pengeluaran barang yang tidak |“ Meneliti kewajaran waktu pengeluaran barang | SKP, IT Inventory, wajar dengan membandingkan waktu pemasukan, | CCTV proses produksi,dan waktu pengeluaran dalam IT Inventory. » Atensi terhadap pengeluaran barang yang dilakukan pada waktu yang rawan seperti tengah malam hingga subuh, hari libur, saat sholat Jumat. Jika ditemukan indikasi adanya ketidakwajaran waktu pengeluaran barang, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Ekspor fiktif Melakukan penelitian terhadap catatan pembatalan ekspor. Apakah prosedur pembatalan ekspor telah sesuai prosedur. Membandingan frekuensi pembatalan ekspor dan catatan pembatalan ekspor di kantor muat dan di perusahaan. Analisis berat di TPS online Membandingkan jumlah dan jenis barang yang tercantum dalam dokumen PEB dengan pencatatan perusahaan dalam IT Inventory. Menganalisis negara tujuan penerima barang dan profil penerima barang, apabila profil penerima barang tidak jelas maka patut dilakukan pendalaman analisis. Membandingkan nilai dan volume ekspor dengan nilai dan volume impor bahan baku fasilitas selama periode tertentu. Membandingkan nilai dan volume pemasukan bahan baku non fasilitas dengan nilai dan volume penjualan hasil produksi ke TLDDP selama periode tertentu. Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Pengeluaran barang secara ilegal Membandingkan jumlah/tonase pengeluaran barang yang dicatat dalam IT Inventory SKP, IT Inventory dengan jumlah/tonase yang tercantum dalam dokumen kepabeanan selama. periode tertentu. Jika ditemukan indikasi adanya ketidakwajaran waktu pengeluaran barang, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Modus pengeluaran bahan baku ke TLDDP dengan cara menyatakan bahan baku tersebut adalah bahan baku rusak. Memerintahkan petugas surveillance untuk melakukan pengecekan terhadap sisa bahan baku apakah benar rusak Melakukan penelitian terhadap jumlah/tonase barang impor dan jumlah/tonase sisa bahan baku yang dikeluarkan ke TLDDP, apabila jumlah tidak wajar maka dapat dipastikan KB tersebut melakukan modus penjualan bahan baku Membandingkan nilai impor bahan baku dengan nilai penjualan sisa bahan baku rusak yang dicatat dalam IT Inventory. Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. IT Inventory, laporan perusahaan Tempat tujuan pengeluaran sisa bahan baku tidak sesuai Izin yang diberikan Membandingkan frekuensi dan volume pengeluaran sisa bahan baku kepada suatu perusahaan yang dituju. Dalam hal ditemukan frekuensi dan volume pengeluaran sisa bahan baku kepada suatu perusahaan yang dituju sangat tinggi, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. IT Inventory Penyalahgunaan dokumen BC 4.1 Membandingkan antara BC 4.1 dengan IT Inventory dan aplikasi BC 4.0, untuk SKP, IT Inventory memastikan bahwa barang yang dikeluarkan dengan BC 4.1 adalah barang asal TLDDP. Dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Analisis terhadap laporan pertanggungjawaban mutasi barang (untuk KB dan GB) Contoh: 1: Adanya selisih barang yang ditimbun . menguji apakah ada data selisih lebih atau kurang pada Laporan Pertanggungjawaban Mutasi Barang . menguji dengan data Laporan Pemasukan Barang per Dokumen Pabean dan Laporan Pengeluaran Barang per Dokumen Pabean . mengusulkan untuk dilakukan stock opname dan merekomendasikan penelitian ada tidaknya indikasi tindak pidana TATTTI ATA ALAN OI laporan 4-bulanan KB, laporan bulanan GB e. Analisis terhadap laporan posisi barang per dokumen pabean (untuk GB) Contoh: barang per dokumen pabean dengan data | laporan bulanan GB laporan pengeluaran barang per dokumen pabean.
dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pemasukan f. Analisis atas laporan pemasukan dan pengeluaran barang per dokumen pabean, laporan penjualan barang, dan laporan persediaan barang (untuk TBB) Contoh: ATATITTI ALAI OY. Il: Adanya selisih barang yang ditimbun 1. membandingkan data laporan pemasukan dan | SKP, CEISA, IT pengeluaran barang per dokumen | Inventory, laporan pabeandengan data laporan penjualan barang | bulanan TBB 2. Barang di Toko Bebas Bea dijual kepada dan laporan persediaan barang. ovang yang Cidala berkala 2. dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. L. PEDOMAN MONITORING MANDIRI Pedoman umum 2 Monitoring mandiri ini dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas TPB untuk menguji apakah persediaan barang yang ada telah sesuai dengan pencatatan persediaan pada IT Inventory. # Sasaran monitoring mandiri ini adalah agar TPB dapat memperbaiki secara konsisten sistem pencatatan persediaan yang ada agar dapat menghasilkan kinerja perusahaan yang baik. » Pengusaha TPB terlebih dahulu menentukan lingkup pemeriksaannya, meliputi, a) bahan baku, b) bahan penolong, c) barang dalam proses, d) barang jadi: e) barang modal, f) peralatan perkantoran, dan/atau g) sisa dari proses produksi/limbah (scrap/ waste). 2» Dalam hal terdapat selisih, pengusaha TPB: a) Melakukan penelusuran sebab terjadinya selisih tersebut dengan memberikan bukti berupa data dan penjelasan yang logis b) Melakukan pelunasan bea masuk dan PDRI yang terhutang dalam hal terjadi selisih kurang c) Melakukan penyesuaian atas pencatatan pada IT Inventory sesuai saldo fisik barang ala Tenalan ri t off (batas Sale) tensuiian monitoring mandiri. (minimal data pada 1 bulan terakhir dan dapat diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan).
Cek data saldo awal dari Laporan 4 Kesasanan antara persediaan I a Mengetahui Jumlah Salkto Anal barang dengan pencatatan persediaan pada IT Inventory bulanan, IT Inventory atau Berita Acara Stock Opname terakhir | 2. Mengetahui jumlah pemasukan Cek data pemasukan dari dokumen pemasukan (BC 1.6, BC 2.3, BC 2.6.2, BC 2.7, BC 4.0) pada CEISA / SKP 3. Mengetahui jumlah pengeluaran Cek data pengeluaran dari dokumen pengeluaran (BC 2.5, BC 2.6.1, BC 2.7, BC 4.1, BC 3.0, BC 3.3) pada CEISA / SKP 4. Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku dengan menjumlahkan — saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran 5. Mengetahui Saldo Fisik 1. Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock fisik.
Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik (dalam hal masih terdapat barang di TPB) Pedoman umum » Monitoring mandiri ini dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas TPB untuk menguji apakah persediaan barang yang ada telah sesuai dengan dokumen pabean pemasukan dan pengeluaran. » Sasaran monitoring mandiri ini adalah agar TPB dapat memperbaiki secara konsisten sistem pencatatan persediaan yang ada agar dapat menghasilkan kinerja perusahaan yang baik. » Pengusaha TPB terlebih dahulu menentukan lingkup pemeriksaannya, meliputi, a) BC 1.6: b) BC2.8: CI BC2.5: d) BC 2.6.1, e) BC 2.6.2: 1 BC27:
BC 2.8, h) BC 3.0, ) BC3.3: j) BC 4.0: dan/atau k) BC4.1: » Dalam hal terdapat perbedaan maka, pengusaha TPB: a) Melakukan penelusuran sebab terjadinya selisih tersebut dengan memberikan bukti berupa data dan penjelasan yang logis, misalnya: ketika jumlah barang dalam BC 2.3 berbeda dengan jumlah barang pada saat guality control (OC) yang biasanya terjadi pada industri tekstil ketika roll garment yang masuk setelah dihitung ulang dengan mesin penghitung roll bahan. b) Melakukan pelunasan bea masuk dan PDRI yang terhutang dalam hal terjadi selisih lebih, c) Melakukan penyesuaian atas pencatatan pada IT Inventory sesuai saldo fisik barang Pedoman umum » Monitoring mandiri ini dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas TPB untuk menyampaikan kondisi atau permasalahan yang ada sebagai bagiar dari rasa tanggung jawab pengusaha TPB. » Kondisi yang dapat disampaikan adalah:
Prestasi dan peningkatan kinerja perusahaan, seperti terjadinya peningkatan ekspor, penambahan Line produksi.
Pelemahan kinerja seperti, jumlah impor yang berkurang, pengurangan tenaga kerja. M. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING MANDIRI LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING MANDIRI TPB PERIODE...... Bi. ecnawa Identitas perusahaan penerima Fersilitan TPB:
Nama Perusahaan ELEMENT PAN AAMIR sanus b. Alamat/Lokasi 1 munnaana METE iak nee asmara c. Jenis TPB 1 an aan sunan d. Nomor SKEP TPB 1 egnsraran Maa naa NAN MEMAHAMI 1. Dasar pelaksanaan monitoring mandiri TPB sebagai berikut: AS Jaa (misal Surat Pembentukan Tim Monitoring Mandiri) biz seven (misal Surat Permohonan Kepala KPPBC untuk melaksanakan monitoring mandiri) c. dst.
Metode pelaksanaan monitoring mandiri dan alat uji yang digunakan sebagai berikut: AA. (sebagaimana Lampiran I huruf L) b. .. (untuk melakukan pengujian dan pemeriksaan sesuai SOP setiap perusahaan) c. dst.
Hasil dari pelaksanaan menari mandiri dapat kami laporkan sebagai berikut: Misalnya: kebenaran sistem pencatatan 1 perusahaan antara IT Inventory dengan — I persediaan fisik barang Diisi hasil pengamatan dan pemeriksaan apakah sudah baik, kurang dan perlu —- perbaikan dan pemenuhan kewajiban lainnya yang perlu dilaporkan Misalnya: kesesuaian antara 2 pemberitahuan pabean dengan pencatatan — | persediaan pada IT Inventory Misalnya: hal-hal lain yang menurut 3. | pertimbangan penanggung jawab perusahaan perlu dilaporkan 4. Berdasarkan hasil monitoring mandiri, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
(misal: ketidaksesuaian yang terjadi beserta alasannya) b. (misal: usulan perbaikan, usulan pelayanan, dan usulan pelunasan kewajiban BM dan PDRI yang terutang) c. dst. Demikian disampaikan sebagai laporan. lokasi, tgl/bulan/thn Mengetahui, (Pimpinan Perusahaan) Pelaksana monitoring mandiri, (Nama) (Nama) (Nama) (Jabatan) (Jabatan) (Jabatan) N. FORMAT PERSETUJUAN KEPALA KPUBC ATAU KEPALA KPPBC ATAS HASIL MONITORING MANDIRI TPB bean NaSAeomanN KOP SURAT... Nomor ja... Sifat Semesta Lampiran 24 (satu) berkas hasil pemeriksaan monitoring mandiri TPB Ha! : Persetujuan/penolakan"“ Monitoring Mandiri TPB YEN, ken (nama TPB yang melakukan monitoring mandiri Olssesiwias Sehubungan Gengan pelaksanaan monitoring mandiri yang dilakukan oleh:
Nama c. Alamat d. NPWP e. Surat Pilatadmmia! Monitoring Mandiri nomor dan setelah dilakukan pemeriksaan dan verifikasi atas kebenaran data yang disampaikan oleh perusahaan, dengan ini disampaikan bahwa hasil pelaksanaan monitoring mandiri O diterima, atau OJ ditolak, dengan alasan: Ika meowoaserswwesen (misalnya data yang disampaikan tidak benar) Da Situ tenkn aman ena (misalnya kesalahan yang ada, terbukti terjadi disebabkan karena kesalahan nyata dari perusahaan) 3. dst. Atas penerimaan/penolakan monitoring mandiri tersebut, akan ditindaklanjuti dengan: Ik ato enntenaiaenemata (misalnya penerbitan Surat Penetapan Pabean, mengacu pada pasal 16 ayat (7)) Di eemenamanba naas (misalnya perbaikan IT Inventory atas selisih saldo barang) Ih Keane (misalnya perbaikan pemberitahuan pabean) AL mesen (misalnya penerbitan Surat Tugas monitoring khusus) 5. dst Surat persetujuan/penolakan ini disampaikan sebagai jawaban atas monitoring mandiri yang telah dilakukan perusahaan Demikian disampaikan, atas kerjasamanya diucapkan terima kasih. Kepala Kantor (nama) Tembusan : Kepala kantor Wilayah O. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MIKRO TPB KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- “../nafuaan Kepada : Kepala Kanwil/ KPU Dari : Kepala KPPBC Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Mikro TPB Tanggal :
Pada tanggal ............ sampai dengan tanggal ............... , telah dilakukan evaluasi mikro terhadap perusahaan perusahaan penerima fasilitas TPB di dalam wilayah KPPBC TMP en enn en amenan , Sesuai Surat Tugas Tim Evaluasi Mikro nomor ..... tanggal ......., sebagai berikut: Jumlah Perusahaan Penerima Fasilitas TPB Saat pelaporan Periode sebelumnya Keterangan KB : misal (100) : misal (102) : misal (S5 tutup/ 3 baru) PLB Mansnmenamanasa Y membanwwwaaasa 1 mangan GB Giemesreaneatnsa H onawkanaenawaa TI muweanseeasang TBB Muse N Mean ansanan Y sesama TPPB Pemesan U kemasan 1 Kama Lainnya Huninsuswenan D saennnaan 1 kawanan 2. Hasil dari pelaksanaan evaluasi mikro tersebut dapat kami laporkan sebagai berikut: T bea Nfo3 Materi Evaluasi asil Bvaluasi 1 - (bagi KPPBC yang mempunyai TPB dalam jumlah banyak dapat melakukan resume tanpa menjelaskan kondisi per masing masing TPB dan hanya menyampaikan informasi tentang TPB yang mempunyai penilaian yang tidak sesuai saat melaksanakan monitoring umum) - (Sampaikan jika ada prestasi atau kekurangan yang terjadi dari masing masing TPB didapat TPB, nilai profil layanan risiko, berapa kali dan usaha perbaikan yang telah CCTV mati, perbedaan data pada IT Inventory dengan dniaban dilataikan SKP, keaktifan TPB menyampaikan data pengukuran dampak ekonomi, dan informasi lain yang menunjukkan prestasi atau kesalahan TPB) 1 - (tim monitoring TPB minimal dapat merumuskan tingkat 3. | Potensiatau kesehatan . kesehatan perusahaan berdasarkan pengamatan dan perusahaan TPB .. 5 1 ag analisis data laporan keuangan, misalnya: kondisi yang mencerminkan perusahaan dalam keadaan sehat atau kondisi yang mencerminkan perusahaan sedang tidak sehat) 1. | Kondisi masing-masing TPB (Gunakan informasi dari hasil monitoring umum dan informasi lainnya) 2. | Prestasi dan kesalahan yang 3. Berdasarkan hasil evaluasi mikro tersebut butir 2, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut (jika ada): Ak mamenagg (sesuai pasal 18 Perdirjen Monev) Demikian disampaikan sebagai laporan. (nama) P. FORMAT KUESIONER PENGKURAN DAMPAK EKONOMI FASILITAS KEPABEANAN KOP SURAT KUESIONER PENGUKURAN DAMPAK EKONOMI FASILITAS KEPABEANAN - Mohon isikan terlebih dahulu alamat email pribadi pengisi kuesioner Alamat email Sebelum mengisi kuesioner, siapkan terlebih dahulu data-data dan berkas sebagai berikut:
Data jumlah tenaga kerja tahun pengukuran (tenaga kerja asing, tenaga kerja lokal, tenaga kerja terdidik, tenaga kerja tidak terdidik, tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan).
Data laporan keuangan meliputi nilai ekuitas, beban pajak daerah, beban pajak tidak langsung, beban gaji, beban depresiasi dan laba/rugi perusahaan tahun pengukuran.
Data jumlah industri terkait (seperti vendor, distributor, dil) baik pengguna fasilitas Kawasan Berikat maupun non-pengguna fasilitas Kawasan Berikat, untuk memenuhi data jaringan usaha.
Data jumlah usaha di sekitar pabrik meliputi bidang perdagangan, akomodasi, makanan dan transportasi. Semua data keuangan diisikan dalam mata uang rupiah. Bila nilai masih dalam mata uang asing, mohon dikonversi terlebih dahulu ke mata uang rupiah berdasarkan kurs 31 Desember di tahun tersebut. Isikan dahulu alamat “email pribadi” pengisi kuesioner pada form. BAGIAN I PROFIL PENGISI KUESIONER Nama Lengkap Pengisi Kuesioner : " Jabatan Pengisi Kuesioner : " No. Handphone : “ Alamat Email Penanggung Jawab : (Email Pribadi) BAGIAN II PROFIL PERUSAHAAN Nama Perusahaan : " NPWP: (15 Digit tanpa tanda baca “.” Dan “8x Alamat Email Perusahaan : (jika ada) Alamat Perusahaan: “ Tahun Berdiri : “ Jenis Industri : (Sesuai IUI) “ Alas kaki Bahan kimia Barang dari logam Barang dari plastic, kertas atau kayu Elektronik Farmasi Furniture Kendaraan bermotor atau komponennya Keperluan rumah tangga Makanan dan minuman Tekstil/pakaian/benang (other) .... Jenis Investasi: Penanaman Modal Asing : 100Y6 Penanaman Modal Asing (PMA) : 76 Yo — 99Y Penanaman Modal Asing (PMA) : 51 Y -75 Yo Penanaman Modal Asing (PMA) : 26 4x -50 Y Penanaman Modal Asing (PMA) : « 25 Yo Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) : 1006 0000 oo Tahun mulai menggunakan fasilitas tersebut: “ Hasil Produksi Utama: Tuliskan maksimal 10 hasil utama pada tahun 2017 s.d Juli 2018 (Contoh cara penulisan : Baju, Sepatu, Kaus kaki, Sendal) Merek Hasil Produksi : (dapat dituliskan lebih dari satu, contoh : Adidas, Kopiko, dll) Tujuan penjualan hasil produksi : " O Ekspor : 100Y6o O Ekspor : 76 Yo — 99Yo O Ekspor: S1 4 -75 Xx 0 Ekspor: « 50 Yo Jenis Produksi: O Mass Production, 0 Job Order Maklon, 0 Job Order Non Maklon, 0 Job Order Gabungan (Maklon & Non Maklon) Lokasi Pabrik - Mohon tuliskan Lokasi pabrik yang terbesar / utama. Provinsi Banten DI Yogyakarta DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan tengah Kalimantan Utara NAD Sumatera Utara Sumatera Selatan Sumatera Barat Bengkulu Riau Kepulauan Riau Jambi Lampung Bangka Belitung Bali Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Gorontalo Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan 00000000090 SO OB 9 IG GI III 9 9 Sulawesi Tenggara Maluku Utara Maluku Papua Barat 00 oo Papua Kota / Kabupaten " Bandung Bekasi Bogor Boyolali Gresik Pasuruan Karawang Semarang Sidoarjo Tangerang (Other) ... 00000000000 Kecamatan " Nama Jalan “ Apakah di sekitar Anda ada perusahaan lain yang menggunakan fasilitas KB? 0 Ya O Tidak O Tidak tahu Jika ya, sebutkan nama perusahaan tersebut ... BAGIAN III DATA TENAGA KERJA - Merupakan total seluruh tenaga kerja perusahaan (baik pegawai tetap, pegawai tidak tetap dan pegawai outsourcing) yang tercatat pada tanggal 31 desember setiap tahun. - Kriteria tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. A. PERIODE TAHUN SEBELUM TAHUN PENGUKURAN Total tenaga kerja :
Tenaga kerja asing :
Tenaga kerja terdidik (skilled labor) Y Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja tidak terdidik (Unskilled labor) “ Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja lokal :
Tenaga kerja terdidik (skilled labor) Y Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja tidak terdidik (Unskilled labor) Y Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki : B. PERIODE TAHUN PENGUKURAN Total tenaga kerja : C. Tenaga kerja asing :
Tenaga kerja terdidik (skilled labor) “ Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja tidak terdidik (Unskilled labor) “ Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja lokal :
Tenaga kerja terdidik (skilled labor) Y Tenaga kerja wanita : Y Tenaga kerja laki-laki :
Tenaga kerja tidak terdidik (Unskilled labor) “ Tenaga kerja wanita : “ Tenaga kerja laki-laki : BAGIAN IV DATA INVESTASI Dihitung berdasarkan jumlah nilai yang digunakan perusahaan untuk melakukan penambahan barang modal meliputi pengadaan, pembuatan, pembelian barang modal baru dari dalam negeri dan barang modal baru maupun bekas dari luar negeri (termasuk perbaikan besar, transfer atau barter barang modal). Nilai tersebut dikurangi dengan penjualan barang modal (termasuk barang modal yang ditransfer atau barter kepada pihak lain). Barang modal yang dimaksud adalah yang mempunyai umur pemakaian lebih dari satu tahun dan tidak merupakan barang konsumsi. Dapat dilihat di laporan arus kas pada laporan keuangan atau dikonfirmasi ke bagian akuntansi masing-masing. . | Isikan data dengan mata uang rupiah (kurs untuk tahun 2017, 1 USD - Rp 13.458,00 dan per 31 Juli 2018, 1 USD - Rp 14.413,00) Periode tahun sebelum tahun pengukuran (Rupiah) " Periode tahun berjalan (Rupiah) “ Bentuk penambahan investasi: Bangunan Mesin dan perlengkapan Kendaraan Peralatan lainnya Ternak dan hasilnya Tanaman buah-buahan dan holtikultura, atau tanaman lain yang menghasilkan berulang Produk layanan intelektual Other.. d 090000 o Apakah ada barang modal atau mesin-mesin yang disewa dari pihak lain? : O Ada O Tidak Jika ada, apakah jenis barang modal atau mesin-mesin yang disewa dari pihak lain: O Bangunan O Mesin dan perlengkapan O Kendaraan O Peralatan lainnya O Lainnya..... BAGIAN V LABA SEBELUM PAJAK - Jika laba, cukup tulis nominal laba dalam rupiah - Jika rugi, tambahkan tanda kurung, contoh jika rugi 100 juta rupiah, maka diisi :
Berapa persen efisiensi biaya yang diperoleh perusahaan dari pemanfaatan Fasilitas KB? (Dihitung dengan cara membandingkan: Biaya produksi (HPP) perusahaan jika menggunakan fasilitas : Biaya produksi (HPP) perusahaan jika tidak menggunakan fasilitas) 3. Apakah dampak bagi perusahaan jika fasilitas kepabeanan dihilangkan oleh pemerintah? (pilih yang paling signifikan) Persaingan usaha terutama di tingkat internasional semakin sulit Laba perusahaan menurun Beban produksi meningkat Tidak memberikan dampak bagi bisnis perusahaan (Other) ... 0000 0 4. Apakah yang akan dilakukan perusahaan jika fasilitas kepabeanan dihilangkan oleh pemerintah? (pilih yang paling signifikan) Perusahaan akan mengurangi jumlah pegawainya Perusahaan menutup usaha Perusahaan memindahkan usahanya ke negara lain Perusahaan akan tetap melanjutkan usaha di Indonesia (Other)... 00000 5. Negara manakah yang akan menjadi pilihan perusahaan untuk memindahkan usaha jika faslitas kepabeanan dihilangkan oleh pemerintah? (pilih salah satu negara prioritas, hanya jika jawaban pertanyaan 4 adalah memindahkan ke negara lain) Malaysia Brunei Darussalam Thailand Vietnam Laos 00000 oo 6. Kendala apa saja yang dihadapi perusahaan dalam perizinan KB? Ketentuan Lartas dan Perizinannya Ketentuan Perpajakan Ketentuan Prosedural di DJBC U Pengurusan Izin Usaha Industri ti Sistem Aplikasi IL (Other)... Berikan keterangan/alasannya 7. Apa saran anda untuk perbaikan Fasilitas KB kedepannya? 8. Apa saja kendala yang dihadapi dalam proses ekspor dan impor? 9. Apa saran anda untuk pengembangan ke depan dalam rangka mendorong ekspor? Demikian kami sampaikan data pada kuesioner ini dengan sebenar-benarnya. (Nama Penanggung Jawab Perusahaaan TPB) O@. FORMAT LAPORAN HASIL EVALUASI MAKRO TPB OLEH KANWIL ATAU KPU KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../..oofuc.. Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Kanwil / KPU Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro TPB Tanggal Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi makro atas pemberian fasilitas Tempat Penimbunan Berikat khususnya di wilayah Kanwil/KPU DJBC ........... , bersama ini kami sampaikan sebagai berikut :
Data jumlah TPB yang berada di bawah pengawasan KWBC/KPUBC....: No Jenis TPB Jumlah Keterangan saat ini Izin yang telah Izin baru dicabut Kawasan Berikat Pusat Logistik Berikat Gudang Berikat Toko Bebas Bea Oa IR Iw IK I- Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat 6 | Lainnya 2. Evaluasi makro ini dilakukan berdasarkan: a) b) c) d) analisis atas laporan hasil evaluasi mikro TPB: analisis atas laporan hasil evaluasi mandiri TPB: analisis atas rekomendasi audit kepabeanan: dan/atau pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB.
Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas Kawasan Berikat khususnya di bawah pengawasan KWBC/KPUBC ....... sebagai berikut : An anakan (informasi mengenai pemenuhan /pelaksanaan aturan yang berlaku, pelanggaran yang sering dilakukan, dll) .......... bo naa (informasi mengenai efek dari pemberian fasilitas terkait dengan penyerapan tenaga kerja, peningkatan investasi, peningkatan ekspor, transfer knowledge/skill/technology, pertumbuhan ekonomi sekitar/backward linkage, dll) c. pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB (khusus disampaikan pada bulan Agustus) “dapat disampaikan dalam bentuk soft copy 4. Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas Pusat Logistik Berikat khususnya di bawah pengawasan KWBC/KPUBC ....... sebagai berikut : bs regu (informasi mengenai efek dari pemberian fasilitas terkait dengan tujuan yang ingin dicapai seperti kemudahan perusahaan industri sekitar mendapat bahan baku, menggerakkan roda ekonomi sekitar, dll) ...... ca.
dil.
Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas Gudang Berikat khususnya di bawah pengawasan KWBC/KPUBC ....... sebagai berikut : Ok sea (informasi mengenai pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku, pelanggaran yang sering dilakukan, dll) .......... Ds mw (informasi mengenai efek dari pemberian fasilitas terkait dengan tujuan yang ingin dicapai seperti kemudahan perusahaan industri sekitar mendapat bahan baku, menggerakkan roda ekonomi sekitar, dll) ..........
dll.
Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas Toko Bebas Bea khususnya di bawah pengawasan KWBC/KPUBC ....... sebagai berikut : Oh san (informasi mengenai pemenuhan /pelaksanaan aturan yang berlaku, pelanggaran yang sering dilakukan, dll) .......... Da: se (informasi mengenai efek dari pemberian fasilitas terkait dengan tujuan yang ingin dicapai seperti apakah keberadaan TBB sudah efektif dimanfaatkan oleh orang yang berhak membeli, dll) ..........
dil.
Rekomendasi: Ak mewmea (sesuai pasal 23 Perdirjen Monev) b. dst.
...Informasi tambahan lainnya. Demikian disampaikan sebagai laporan. (nama) R. FORMAT KERTAS KERJA EVALUASI MAKRO INSIDENTAL TPB No./Tgl. Kertas Kerja 1 KK nnananan , tanggal ......... No./Tgl. Surat Tugas 1 Steunusa , tanggal ......... Nama TPB No sewenwme NPWP T mess Alamat Y moveon Jenis TPB Do oom 1.1. | Pemeriksaan ERNA:
Existence - TPB telah berlokasi di alamat yang sesuai dengan Izinnya yaitu di ..... 5 - Tanda nama dan fasilitas terpasang di « tempat yang terlihat jelas. - Kondisi bangunan layak. - Lokasi memiliki batas yang jelas dan tidak berhubungan dengan bangunan lain. - Memiliki 1 pintu utama.
Responsibility Izin Usaha perusahaan masih berlaku dan kegiatan yang dilakukan sesuai izin Penanggung Jawab hadir saat kegiatan.
Nature of Business Diisi dasar Diisi saran Diisi saran bagi Terdapat SOP dan telah berjalan dengan | pemeriksaan/krit | bagi KPPBC TPB baik. eria Barang yang ditimbun/hasil produksi sesuai izin fasilitas yang diberikan.
Auditability - Perusahaan menyelenggarakan pembukuan sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. - Perusahaan telah mendayagunakan IT Inventory yang telah berhubungan langsung dengan pembukuan.
3 Pemeriksaan CCTV Sudah terpasang CCTV pada lokasi. - CCTV memadai untuk memantau pemasukan, pembongkaran, pemuatan, dan pengeluaran barang. - CCTV dapat diakses secara realtime dan online dari KPPBC . - Kualitas gambar di monitor memadai untuk melakukan pengawasan. - Hasil rekaman CCTV dapat diputar kembali sampai 7 hari yang lalu.
Compliance - Secara umum, kepatuhan TPB terhadap dasar peraturan (sudah/belum)" baik. - Syarat lokasi (sesuai/tidak sesuai)" aturan TPB. - Ketentuan IT Inventory dan Ruang Hanggar, dan CCTV (sudah/belum)" terpenuhi. - Catatan lain:
..
Performance & Economy Impact 2 Pss menjadi TPB sejak ..... - Tyjuan distribusi:
.... , senilai Rp...... - Hasil produksi berupa:
.... dengan merek:
...... - Jumlah importasi Rp....... - Catatan lain:
Saran Kepada TPB, agar :
Kesimpulan Pemberian fasilitas kepada TPB PT ...... (layak/tidak layak)" diberikan. S. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MAKRO TPB SUBDIREKTORAT TPB KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../c.ref ana. Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Subdirektorat TPB Lampiran : 1 (berkas) Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro TPB Tanggal Sehubungan dengan telah dilaksanakannya kegiatan Evaluasi Makro sesuai Surat Tugas NoOMOT Lb... tanggal ............ , kami sampaikan sebagai berikut:
Bahwa telah dilaksanakan kegiatan evaluasi terhadap perusahaan penerima fasiltas Tempat Penimbunan Berikat Tujuan kegiatan Evaluasi tersebut adalah untuk melakukan penilaian mengenai dampak dan efektivitas kebijakan pemberian fasilitas TPB Evaluasi makro ini dilakukan berdasarkan: a) analisis atas laporan hasil evaluasi makro TPB, b) analisis atas rekomendasi audit kepabeanan, dan/atau Cc) pengumpulan data terkait dampak ekonomi dari pemberian fasilitas TPB. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami laporkan kesimpulan bahwa: b) Hasil analisis terhadap KB c) Hasil analisis terhadap PLB d) Hasil analisis terhadap GB e) Hasil analisis terhadap TBB f) Hasil analisis terhadap TPPB g) Lainnya: Bahwa kegiatan evaluasi makro telah dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggung jawab dan bersama ini kami sampaikan laporan terhadap evaluasi makro dimaksud. Demikian disampaikan, atas perhatian Direktur kami ucapkan terima kasih. (nama) T. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MAKRO TPB INSIDENTAL KOP NOTA DINAS NOTA DINAS NOMOR : ND- .../anaafaaan Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Subdirektorat TPB Lampiran : 1 (berkas) Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro TPB Insidental Tanggal Sehubungan dengan telah dilaksanakannya kegiatan Evaluasi Makro Insidental sesuai Surat Tugas Direktur Fasilitas Kepabeanan Nomor ...... tanggal ...... yang telah kami laksanakan pada tanggal........ , dapat kami sampaikan hasil pelaksanaannya sebagai berikut:
Bahwa telah dilaksanakan kegiatan evaluasi terhadap perusahaan TPB yang berada di wilayah pengawasan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai ......... , yaitu: s No. Nama Alamat No. dan Jenis Hasil Jenis TPB Perusahaan Tanggal Produksi/ SKEP Barang yang Ditimbun 1: (diisi nama (diisi alamat (diisi nomor (diisi jenis (diisi jenis perusahaan) perusahaan) dan tanggal barang yang TPB) SKEP TPB) ditimbun (KB) atau barang yang ditimbun (selain KB)) 9, dst.
Tujuan kegiatan Evaluasi adalah untuk mengetahui: @. .... (diisi tujuan evaluasi), b. ...., dan/atau Os aer 3. Hasil pelaksanaan evaluasi atas TPB ..... , dapat kami sampaikan sebagai berikut: Aa. .... (diisi ringkasan temuan evaluasi), b. ...., dan/atau Gn send 4. Berdasarkan hasil evaluasi pada butir 3 di atas, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut kepada EPBiisaw :
.... (diisi kesimpulan evaluasi): dan/atau b. Demikian kami sampaikan sebagai laporan. DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 02/BC/2019 TENTANG TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP PENERIMA FASILITAS TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DAN FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR A. PEDOMAN ANALISIS MONITORING UMUM KITE UNTUK UNIT PENGAWASAN DI KANWIL, KPUBC ATAU KPPBC Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit pengawasan di Kanwil, KPUBC atau KPPBC yang bertugas secara rutin sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE. Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh unit Pengawasan di Kanwil, KPUBC, atau KPPBC. Unit pengawasan di Kanwil, KPUBC atau KPPBC memastikan setiap perusahaan penerima fasilitas KITE dalam pengawasannya memenuhi ketentuan:
perizinan fasilitas KITE, 2. impor, ekspor, pergerakan atau mutasi barang dalam rangka subkontrak secara administratif:
IT Inventory perusahaan, dan/atau 4. Modul KITE IKM. Adapun dalam melaksanakan monitoring umum KITE Pembebasan dan/atau KITE Pengembalian, unit pengawasan di Kanwil, KPUBC atau KPPBC, sekurang- kurangnya harus memenuhi setiap kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama Perusahaan Ae ese nee NA Alamat/Lokasi | Meneeama mano anna Status : aktif/ tidak aktif/beku (“coret yang tidak perlu) Nomor & Tgl SKEP | ee ama deas MTS aa mem MEA meManaa Tanggal Pelaksanaan Ii aaeanemeoaemagannRaBNa Unit yang melakukan monitoring UMUM : “coco oWoooWoWooW NO. URAIAN KONDISI PEMBUKTIAN YA | TIDAK | KET 1 |Apakah — perusahaan masih Mengecek memenuhi persyaratan perizinan persyaratan penerima fasilitas KITE? perizinan fasilitas KITE sesuai dengan list yang tercantum dalam PMK KITE Apakah perusahaan memiliki atau menguasai lokasi untuk kegiatan produksi sesuai dengan ketentuan? (Dalam hal penguasaan lokasi berupa sewa menyewa, jangka waktu sewa pabrik minimal 3 tahun). - Foto lokasi - Bukti kepemilikan / penguasaan lokasi Apakah perusahaan memiliki atau menguasai lokasi tempat penimbunan Bahan Baku dan tempat penimbunan Hasil Produksi sesuai dengan ketentuan, dalam hal tempat tersebut terpisah dari lokasi untuk kegiatan produksi? (Dalam hal penguasaan lokasi berupa sewa menyewa, jangka waktu sewa gudang minimal 6 bulan). - Foto lokasi - Bukti kepemilikan / penguasaan lokasi Apakah perusahaan telah memasang papan nama yang paling sedikit berisi data nama perusahaan dan Nomor dan Tanggal SKEP KITE pada setiap lokasi pabrik dan setiap lokasi penimbunan. Foto papan nama Apakah Izin Usaha Industri perusahaan masih berlaku? Cek izin usaha (bisa dilihat dari file arsip yang sudah ada) Cantumkan masa berlaku dalam kolom keterangan Cukup dicentang Jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip Apakah tempat pembongkaran, tempat penimbunan Bahan Baku, tempat penimbunan barang dalam proses produksi, tempat penimbunan Hasil Produksi, tempat penimbunan sisa proses produksi dan pabrik tempat proses produksi sesuai dengan data pada SKEP KITE? - Foto - Cek kesesuaian data pada SKEP KITE Apakah jenis bahan baku yang diimpor sesuai dengan hasil produksi dan jenis usaha? Invoice - Hasil Produksi - Konversi Apakah barang/bahan yang diimpor dengan mendapatkan fasilitas KITE benar milik perusahaan penerima fasilitas KITE? - Invoice - Packing List - Purchase Order Apakah pemasukan barang/bahan yang diimpor dengan mendapatkan fasilitas KITE telah sesuai dengan pemberitahuan? - Analisa data CEISA - BAP dalam hal dilakukan pemeriksaan fisik 10 Apakah perusahaan melengkapi dokumen pelengkap pabean terkait perizinan impor bahan baku yang diberlakukan ketentuan pembatasan? - Dokumen Pelengkap Pabean Ll Apakah jumlah dan jenis barang yang diimpor sesuai dengan yang diberitahukan pada dokumen pabean (BC 2.0 / BC 2.5 / BC 2.8) dan/atau pada data SKEP KITE? - Invoice - Analisis data pada Inward Manifest - Dokumen pemberitahuan pabean (CEISA) 12 Apakah perusahaan benar mengekspor sesuai dengan data yang diberitahukan pada dokumen pabean (PEB)? - Dokumen pemberitahuan pabean (CEISA) - Data hasil rekon 13 Apakah pembatalan ekspor yang diajukan perusahaan telah sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan tidak dijadikan sebagai PEB untuk laporan pertanggungjawaban? - Bukti Pembatalan Ekspor - analisa data PEB vs BCLKT - Analisis data pada Outward Manifest 14 Apakah perusahaan sering melakukan pembatalan ekspor? (apabila sering dilakukan pembatalan maka patut dilakukan monitoring khusus) Bukti pembatalan PEB 15 Apakah negara tujuan dan penerima barang diluar negeri memiliki profil yang jelas? (apabila profil penerima barang tidak jelas maka patut dilakukan monitoring khusus) Cukup. dicentang jika sesuai, dan berikan keterangan 16 Apakah antara pemasukan bahan baku, pemakaian bahan baku, dan pengeluaran hasil produksi memiliki keterkaitan? Cukup dicentang jika sesuai, dan berikan keterangan 17 Apakah perusahaan penerima subkon sesuai dengan data SKEP KITEP (dalam hal perusahaan memberikan subkon ke pursahaan lain) Cukup dicentang jika sesuai, dan berikan keterangan 18 Apakah selama ini perusahaan pernah/sering melakukan pelanggaran dibidang kepabeanan dan/atau cukai? | Cukup dicentang jika sesuai, dan berikan keterangan (apabila sering perlu dilakukan evaluasi atas perizinan KITE nya) 19 IT Inventory KITE merupakan bagian dari subsistem akuntansi perusahaan. Data dalam IT Inventory dipergunakan secara langsung dalam menyusun laporan keuangan - Memastikan bahwa barang masuk atau barang keluar telah dicatat di IT Inventory, - Memastikan tidak ada aplikasi lain yang dipergunakan dalam mencatat barang yang masuk atau keluar - Menanyakan ke bagian Akuntansi perusahaan, sumber data untuk laporan keuangan 20 Terdapat pembagian authorized user log in untuk administrator, petugas Bea dan Cukai dan/atau unit internal di perusahaan. Maksud authorized user log in adalah kode akses berupa username dan password untuk masuk ke dalam sistem. Melakukan spot check dan/atau melihat penjelasan di buku manual system/ tampilan screenshoot untuk user log in User admin: dan/atau User unit internal perusahaan: 21 IT Inventory mencakup pencatatan:
pemasukan dan pengeluaran barang, b. terdapat field untuk mencatat jenis dokumen pabean, nomor dan tanggal dokumen pabean:
terdapat menu untuk membuat laporan mutasi atas pemasukan, penimbunan dan pengeluaran barang yang dapat diunduh melalui kantor pabean:
pemberian kode barang secara konsisten: scrap/ waste: dan lain-lain (sesuai VI Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system ketentuan PER-09/BC/2014) 22 IT Inventory memiliki menu pencatatan penyesuaian/ adjustment. Jika terjadi penyesuaian di dalam IT Inventory, bisa dilihat catatannya pada menu adjustment ini. Screen shoot dan/atau penjelasan di buku manual system 23 Apakah Data diinput secara realtime. Meminta penjelasan kondisi realtime sesuai SOP tertulis dari perusahaan. Misal: SOP menyatakan paling lambat 1 (satu) hari setelah barang masuk ke gudang bahan baku, data harus diinput ke IT Inventory Cukup dicentang Jika data yang ada masih sama seperti data pada arsip sebelumnya ! (keterangan SOP pencatatan secara real time) 24 Apakah Laporan IT Inventory dapat diakses secara online oleh DJBC. Membuka tautan IT Inventory perusahaan melalui handphone, komputer, monitoring room, dan/atau perangkat lainnya Cukup dicentang jika sesuai 25 | Apakah Perubahan data hanya bisa dilakukan oleh user yang mempunyai otoritas tertentu. Spot dan/atau penjelasan di buku manual system Cukup dicentang jika sesuai check 26 | Apakah IT Inventory mencatat/ menampilkan:
riwayat perekaman penelusuran pengguna, b.riwayat aktivitas yang dapat ditelusuri dalam waktu 2 (dua) tahun periode sebelumnya. dan kegiatan Screen dan/atau penjelasan di buku manual system Cukup dicentang jika sesuai shoot | 27 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Kesimpulan Pejabat yang melaksanakan monitoring, so..rreraanuasaneananennaan Adapun dalam melaksanakan monitoring umum untuk KITE IKM, unit pengawasan di KPUBC atau KPPBC, sekurang-kurangnya harus memenuhi setiap kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Alamat/ Lokasi Status Nomor & Tgl SKEP Tanggal Pelaksanaan Unit yang melakukan monitoring umum : Nama Perusahaan 00.correnenganaranonanunuana naa anu gn angan seenanna sanococenesosagonovenonageneangana senang oososavonaanan Ooceveveeurneeaanakanaan nana sennananan ane enan ana ngannasan gan 8 #00mirenanperenanananeoesenangoenenuosaKa nana se sanuaneanenenn "nannsenangnonunenenananosanangnonyena NO. URAIAN KONDISI TIDAK KET PEMBUKTIAN 1 Apakah perusahaan masih memenuhi persyaratan perizinan fasilitas KITE IKM? Mengecek persyaratan perizinan sesuai dengan list yang tercantum dalam PMK KITE IKM Apakah memenuhi kriteria sebagai IKM (skala industri kecil/ menengah)? perusahaan masih industri Cek keuangan, serta perusahaan dibandingkan dengan kriteria skala industri yang tercantum dalam PMK KITE IKM laporan omset, asset Perusahaan IKM merupakan anak perusahaan atau bukan bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, . atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak usaha menengah atau usaha besar langsung dari Melakukan pengecekan terhadap pendirian perusahaan akta Apakah perusahaan memiliki atau menguasai lokasi untuk kegiatan produksi sesuai dengan ketentuan? - Foto lokasi - Bukti kepemilikan /pe nguasaan lokasi Terkait Modul KITE IKM a. Apakah pengusaha IKM mampu mendayagunakan sistem aplikasi (modul) kepabeanan, b. Apakah pengusaha IKM mencatat setiap transaksi pada modul KITE IKM terkait: - impor Barang dan/atau Bahan, Barang Contoh, dan Mesin, “ pemakaian Barang dan/atau Bahan: “ pemasukan Hasil Produksi: “ ekspor, Penyerahan Produksi IKM, dan Penjualan Hasil Produksi ke TLDDP: “ pemindahtanganan Mesin. Melakukan pengecekan secara langsung terkait penggunaan modul KITE IKM Apakah jumlah pemakaian bahan “Ibaku untuk menghasilkan satu satuan barang jadi dinilai wajar? Melakukan pengecekan pada bagian produksi dan menelusuri kewajaran pemakaian bahan bakunya Apakah bahan baku yang menggunakan fasilitas KITE IKM yang belum dipertanggungjawabkan masih berada di lokasi perusahaan KITE IKM? - Melakukan pengecekan kel gudang penyimpanan bahan baku - Membandingkan data saldo bahan baku yang belum dipertanggungjaw abkan pada CEISA KITE terhadap saldo fisik 8 (Apakah IKM pernah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, kepabeanan dan/atau cukai | Melakukan pengecekan data pelanggaran 9 |Apakah IKM mengekspor dan/atau melakukan Penyerahan Produksi IKM terhadap seluruh Hasil Produksi? (Jika ada penjualan hasil produksi ke TLDDP, agar dihitung persentasenya tidak boleh melebihi 254 dari nilai realisasi ekspor terbesar dalam periode 5 tahun sebelumnya). Melakukan pengecekan data penjualan, ekspor/PEB/ SSTB, dan penjualan lokal (BC.24) 10 |Apakah IKM melaporkan Hasil Produksi yang telah diekspor atau dilakukan Penyerahan Produksi IKM namun belum disampaikan laporan pertanggungjawabannya? Melakukan pengecekan data penjualan, ekspor/PEB/ SSTB, dan CEISA KITE 11 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Kesimpulan Pejabat yang melaksanakan monitoring, s0cocoronanarannana B. PEDOMAN MONITORING UMUM KITE UNTUK UNIT DI BIDANG FASILITAS KEPAREANAN DI KANWIL, KPUBC ATAU UNIT DI BIDANG PELAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI (PKC) DI KPPBC Pedoman monitoring ini dilakukan oleh unit di bidang Fasilitas Kepabeanan di Kanwil, KPUBC atau unit di bidang Pelayanan Kepabeanan dan Cukai (PKC) di KPPBC yang bertugas secara rutin sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melakukan pelayanan terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE. Pedoman ini merupakan bagian dari monitoring umum secara keseluruhan dengan yang telah dilaksanakan oleh unit di bidang Fasilitas Kepabeanan dan menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pelayanan di KITE. Unit di bidang Fasilitas Kepabeanan di Kanwil, KPUBC atau unit di bidang Pelayanan Kepabeanan dan Cukai (PKC) di KPPBC memastikan setiap perusahaan penerima fasilitas KITE dalam pengawasannya memenuhi ketentuan:
penyerahan jaminan, 2. penyampaian konversi, dan/atau 3. penyampaian laporan pertanggungjawaban atau penyelesaian barang atau bahan baku. ' Dalam melaksanakan monitoring umum KITE Pembebasan dan/atau KITE Pengembalian, Unit di bidang Fasilitas Kepabeanan di Kanwil atau KPUBC dapat melakukan kegiatan analisa sekurang-kurangnya dengan kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama Perusahaan Sanata.” ”—— sie Status . aktif / Bana aktif/beku (“coret yang tidak perlu) Nomor & Tgl SKEP Jenis KITE Tanggal Pelaksanaan 0 "0coorerrcennunanananansaneanananaonesanusenonnanananasan Kenaneneseenanoenavananangenanunonoennesannananoaaununana Keneceennenananananunnannagesane saga rena ana au penasananuaan 0 00..ororocoooorecoomenecenenuaneanuangenanaauna naas enanun 0 #occconcrancconunganeraranawunanan NO. KRITERIA KONDISI YA | TIDAK | KET 1 |Apakah perusahaan - Foto kegiatan produksi melakukan kegiatan - Membandingkan total produksi (olah/rakit/ nilai ekspor dengan total pasang) dan terdapat nilai impor apakah lebih penambahan nilai besar dari 1006 (value added) atas bahan baku? PEMBUKTIAN Apakah jenis bahan baku yang dimpor dengan fasilitas terkandung dalam hasil produksi yang diekspor? Melakukan validasi kode bahan baku yang dilaporkan dalam BCLKT.01/02 dengan kode bahan baku dalam database konversi. Apakah perusahaan KITE Pembebasan menyerahkan laporan pertanggungjawaban sesuai dengan batas periode pembebasan atau perpanjangan periode pembebasan? Memonitor dan memberitahukan via portal pengguna jasa atau email resmi perusahaan setiap periode pembebasan atau perpanjangan periode pembebasan akan berakhir dan batas akhir penyerahan laporan pertanggungjawaban. Apakah perusahaan KITE Pengembalian mengajukan permohonan pengembalian dan menyerahkan laporan pemakaian bahan baku sesuai dengan ketentuan? Memonitor dan memberitahukan via portal pengguna jasa atau email resmi perusahaan terkait jangka waktu ekspor Apakah perusahaan memenuhi ketentuan mengenai penyampaian konversi? - Bukti penyerahan konversi Kemudian melakukan : - analisa waktu penyerahan konversi - Analisa konversi jika terdapat perubahan konversi (atensi untuk perusahaan yang sering melakukan perubahan konversi), - analisa keterkaitan antara pemasukan bahan baku, pemakaian bahan baku, dan pengeluaran hasil produksi dalam bentuk konversi Apakah perusahaan memenuhi kewajiban ekspor sesuai dengan batas waktu yang ditentukan? Melakukan validasi jangka waktu impor dengan ekspor masih dalam kurun waktu periode pembebasan atau perpanjangan periode pembebasan, Melakukan validasi jangka waktu ekspor atau perpanjangan jangka waktu ekspor dalam permohonan pengembalian yaitu tanggal nopen PIB dengan tanggal nopen PEB maksimal 12 bulan atau sesuai perpanjangannya, Melakukan validasi jangka waktu permohonan . pengembalian dengan tanggal nopen PEB yaitu maksimal 6 bulan Mencairkan jaminan atas saldo atau sisa saldo atas PIB yang telah jatuh tempo dan tidak dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban (30 hari sejak periode pembebasan berakhir). Apakah perusahaan telah memenuhi kriteria penggunaan jaminan perusahaan atau corporate guarantee? (dalam hal perusahaan menggunakan corporate guarantee) Laporan Keuangan Data Profil Perusahaan Kriteria Rasio Keuangan Perusahaan:
Likuiditas (21) b. Solvabilitas (21) c. Rentabilitas (positif) Apakah perusahaan pengguna corporate guarantee menyerahkan laporan keuangan paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak Bukti Penyampaian Laporan keuangan 9 | Apakah Jaminan dari perusahaan asuransi dalam bentuk Customs Bond termasuk dalam daftar perusahaan asuransi umum yang diizinkan berdasarkan keputusan Menteri? - Hardcopy Customs Bond: - Database dalam daftar perusahaan asuransi umum yang diizinkan berdasarkan keputusan Menteri 10 | (diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Kesimpulan Pejabat yang melaksanakan monitoring, Adapun dalam melaksanakan monitoring umum KITE IKM, unit di bidang Pelayanan Kepabeanan dan Cukai (PKC) di KPPBC melakukan kegiatan analisa sekurang-kurangnya dengan kriteria yang ada di dalam check list sebagai berikut: Nama Perusahaan Alamat/Lokasi | engan Status . : aktif/tidak aktif/beku (“coret yang tidak perlu) 0 0nocrnunrenaununangasesanesesanasuoaaan " 0tocecoruncereneneangananangnnoneKa nana Nomor dan Tanggal SKEP KITE Jenis KITE Tanggal Pelaksanaan snnnnrrnan nana naaa an aa masa aa nana Unit yang melakukan monitoring UMUM 3 Le0ooooooWooon anna nana nasa anaaaan NO. KRITERIA KONDISI YA | TIDAK | KET " sococecenenucenangenananunonanesanananana 1 |Apakah perusahaan pernah mengalami over - SIT kuota jaminan ? (dalam hal sering terjadi, dilakukan penelitian mendalam) 2 | Apakah jumlah . Melakukan pengecekan .a ANA aa pada bagian produksi dan sat Suiiha Dewe menelusuri — kewajaran Data 8)J pemakaian bahan dinilai wajar? bakunya 3 Ps sena Melakukan pengecekan Produksi dalam negeri genus . Penjoalan hasil dalam 1 (satu) tahun produksi dalam Hegeri tidak melebihi batasan (engan #jarathanyak 2605 2594 dari nilai ekspor (dua puluh lima persen) dari nilai ekspor dan/atau dan/atau Penyerahan Produksi IKM? Penyerahan Produksi IKM 1 (satu) tahun terbesar yang pernah direalisasikan dalam periode 5 (lima) tahun sebelumnya. Akan tetapi, jika IKM belum pernah melakukan ekspor atau Penyerahan Produksi IKM, IKM dapat melakukan penjualan Hasil Produksi kepada pihak lain di tempat lain dalam daerah pabean dengan jumlah paling banyak 1046 (sepuluh persen) dari nilai kontrak ekspor atau Penyerahan Produksi IKM 4 | Apakah perusahaan : Melakukan pengecekan telah menyampaikan saldo yang masih harus Laporan 2 dipertanggungjawabkan Pertanggungjawaban pada CBISA KITE atas seluruh barang/ bahan yang telah diimpor dengan menggunakan fasilitas KITE IKM? Apakah bahan baku yang menggunakan fasilitas KITE IKM yang belum dipertanggungjawabkan masih berada di lokasi perusahaan KITE IKM? - Melakukan pengecekan ke gudang penyimpanan bahan baku - Membandingkan data saldo bahan baku yang “belum dipertanggungjawabkan pada CEISA KITE Apakah pernah mesin? a.Jika iya, seberapa sering perusahaan mengimpor mesin? b.Apakah mesin yang diimpor tersebut berkaitan dengan proses produksi ? perusahaan mengimpor Melakukan pengecekan PIB atau CEISA KITE terkait impor mesin Analisa frekuensi impor mesin dengan kegiatan produksi Melakukan pengecekan keberadaan fisik mesin Apakah perusahaan pernah mengimpor barang contoh? a. seberapa sering perusahaan mengimpor barang contoh? | b. Apakah barang contoh yang diimpor tersebut berkaitan dengan proses produksi ? Melakukan pengecekan PIB atau CEISA KITE terkait impor barang contoh Analisa frekuensi impor barang contoh dengan kegiatan produksi Melakukan pengecekan keberadaan fisik barang contoh (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Kesimpulan Pejabat yang melaksanakan monitoring, .noc.ocoKoonesanuncanann C. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING UMUM KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND-....../...o.i (20... Kepada : Kepala Kanwil, KPUBC atau KPPBC Dari : Kepala Bidang Fasilitas Kepabeanan/Kepala Seksi PKC/ Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Penyampaian Laporan Hasil Pelaksanaan Monitoring Umum KITE Tanggal Aas eta 20... Sehubungan dengan pelaksanaan monitoring umum terhadap perusahaan KITE....., dengan hormat kami sampaikan laporan sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal ............. sampai dengan tanggal ................ , kami yang bertanda tangan di bawah ini telah melakukan monitoring umum terhadap perusahaan penerima fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor sebagai berikut: Nama Perusahaan NELLA Alamat/ Lokasi 1 men aaankaNNNNan Nomor dan Tanggal SKEP KITE 5 ....ooooocoooooooooooo oom. Jenis KITE 0 "c..cocenuaenenpananaresengangaoengannngasunanasanasangoaana dS UT u Jenis Industri Bra Naa E Nun 1. | Pemenuhan ketentuan perizinan fasilitas KITE Diisi — hasil — pengamatan — dan pemeriksaan apakah sudah baik, kurang dan perlu perbaikan, serta kondisi lainnya yang perlu dilaporkan 2. (Pemenuhan impor, ekspor, dan/atau pergerakan atau mutasi barang dalata rangka subkontrak 3. | Pemenuhan kewajiban yang dipersyaratkan 4. | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 3. Hal-hal lain yang perlu disampaikan/dilaporkan :
.................
Berdasarkan hasil monitoring tersebut butir 2, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut : Ob sets (misalnya semua kriteria monitoring telah dilaksanakan dengan baik): bb sn (misalnya adanya kekurangan dan temuan yang harus dilaporkan), Ch mewea (misalnya saran perbaikan yang perlu) dst. Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) D. FORMAT SURAT TUGAS PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS KITE Berdasarkan Pasal .« Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan dan .....u. kepada: Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan dengan ini kami pejabat yang bertanda tangan dibawah ini memberi tugas s....... "soo... af wa Anggota untuk melakukan monitoring khusus berupa (pemeriksaan sewaktu-waktu/analisis mendalam)" terhadap pemenuhan ketentuan pelaksanaan pemberian fasilitas son.corocmux en 5) terhadap : Nama Perusahaan NPWP Jenis Fasilitas Alamat Waktu Senencannaanneneasaneresenonnangangasanana noona seecaneeetanennannanaseeanangananenaauannanaaaana secocowecenangonenananunananan angan ana oouoanama "ecareeresenanasereoseneneaseneaananagoaunenanaa enenrnangaeneanengenenasanannanannagannooosanan Semua informasi yang diperoleh dari Perusahaan dimaksud merupakan rahasia jabatan. Setelah tugas selesai dilaksanakan agar menyampaikan laporan hasil monitoring khusus kepada .... (Pejabat yang diberi tugas). Kepada instansi terkait, kami mohon bantuan demi kelancaran pelaksanaan tugas tersebut. | Dikeluarkan di : "u...ooooroooncoococomcoccor E. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../axeaf scan Kepada : Direktur so... / Kepala Kanwil/ KPUBC /KPPBC Dari : Tim Monitoring Khusus Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Monitoring Khusus KITE Tanggal oo 20.... Sehubungan dengan kegiatan monitoring: khusus terhadap PT ten sebagai perusahaan penerima fasilitas KITE Surat Tugas Direktur ............... / Kepala Kanwil/ KPUBC /KPPBC nomor ST- Sy atwangkngna tanggal ............., dengan hormat kami laporkan sebagai berikut 1. Identitas perusahaan penerima fasilitas KITE:
Nama Perusahaan b. Alamat/Lokasi c. Nomor dan Tanggal SKEP d. Jenis KITE e. Jenis Monitoring Khusus O Pemeriksaan sewaktu-waktu O Analisa Mendalam Sons occoccooreneneannanaunana naa gen ana sana nanananananuneaa 0 0ocococooco.coc.oounanenaannanunenagngana nana sannana 0 seruvavaneeneeeennananaeunan gan gannaganaaneoannnn anang aoaa #eneneneeaananenanan nana nana nan gan asn conan nano noaman aan 2. Dasar pelaksanaan monitoring khusus/analisis mendalam sebagai berikut: Oi Sab sama .....(misal Surat Tugas) (misal Surat Permohonan dari pihak lain) c. Dst. .
Hasil dari pelaksanaan monitoring khusus dapat kami laporkan sebagai berikut: Senonenesenen0enonoenanananesannoaooe l. D5 Yna 5 Naa Mamasa 3 senosonnonoovnosenocenaenanusenananoan s0coneneroocococecom##ccomm.maK.comu so0orenngnennangananeserananasanann seonvenancncanengneesenunnoauansanosana 4. Hal-hal lain yang perlu disampaikan/dilaporkan :
.....
Berdasarkan hasil monitoring khusus, kami mengusulkan hal-hal sebagai berikut: seso.ceroveeenosenrengananeanseanenganenanunsa sena enegannanaaana soncoceverakanennonaenneeenesanneaoeneonan nano soenanananaanananaaaa Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) F. PEDOMAN PEMERIKSAAN SEWAKTU-WAKTU KITE PEMBEBASAN DAN/ATAU PENGEMBALIAN Tahap-tahap sebelum melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu:
Mengumpulkan semua data yang akan diuji, meliputi:
Data PIB yang menggunakan fasilitas KITE:
Data PIB perusahaan non fasilitas:
SKEP KITE perusahaan, d. Data hasil monitoring umum perusahaan, e. Data dan informasi terkait lainnya.
Menentukan perusahaan yang akan dilakukan monitoring khusus berdasarkan hasil analisa kegiatan poin nomor 1, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Perusahaan KITE yang terindikasi melakukan pelanggaran terkait pemasukan, pengeluaran, dan/atau penimbunan barang:
Perusahaan KITE yang belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban lebih dari periode pembebasan, c. Perusahaan KITE yang sering memberitahukan konversi secara tidak benar: dan/atau sering mengajukan permohonan perbaikan data:
Perusahaan KITE.dan Perusahaan Penerima Subkontrak yang terindikasi melakukan pelanggaran subkontrak, dan/atau e. Perusahaan KITE yang terindikasi melakukan pelanggaran lainya berdasarkan informasi data yang tersedia.
Membuat Surat Tugas pelaksanaan kegiatan monitoring khusus.
Melakukan pengujian atau analisa terhadap perusahaan KITE sekurang- kurangnya sesuai dengan rincian kegiatan sebagai berikut:
Menguji kebenaran pemberitahuan jumlah dan jenis barang dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh Melakukan analisis dengan cara 1 membandingkan jumlah dan - Tn dan/atau jenis barang antara yang creen shoot diberitahukan dalam BC 2.0 pencatatan dengan yang dicatat dalam IT pada SKP Inventory. dan/atau IT Inventory - Data PIB Melakukan pemeriksaan fisik 2 terhadap jumlah dan jenis “ KartuStoek, barang yang: - Analisa data a. ditimbun di lokasi pa perusahaan, Inventory, b. akan atau sudah dikeluarkan « Esta Acara dari lokasi perusahaan: Fencacahan, dan/atau “ For c. berada di lokasi perusahaan NI Pa penerima subkontrak. 3 | Memastikan jenis bahan baku yang diimpor dengan fasilitas memiliki keterkaitan dengan Skep KITE, BOM, jenis hasil produksi perusahaan data konversi, dll berdasarkan data SKEP KITE, Konversi, Bill of Material. 4 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) b.Menguji kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: 1 Melakukan analisis kesesuaian - SKEP fasilitas pemberitahuan jenis barang KITE, dalam dokumen pabean dengan: - hasil uji lab:
dokumen elengka . Been " Ame Pena pelengkap b. BC Li dan pahsan : Pn Ke Oa - DataBC 1.1 Cc. pemberitahuan jenis barang pada SKEP fasilitas KITE (Dalam hal terdapat kecurigaan perbedaan jenis barang, Pejabat bea dan cukai dapat mengambil sample/contoh barang atau bahan baku untuk dilakukan uji laboratorium) 2 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) c. Menguji kebenaran pemberitahuan jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan berdasarkan konversi dengan melakukan san antara lain sebagai berikut: Contoh: 'Membandingkan perhitungan konversi dengan:
Bill of Material, dan/atau dokumen lain internal perusahaan terkait pemakaian bahan baku, - Hasil perhitungan konversi dengan konversi atas seperti: dokumen pengeluaran barang dari gudang bahan baku ke bagian produksi, b. konversi atas barang sejenis lainnya dan/atau berdasarkan professional judgement Petugas. barang sejenis lainnya dan/atau berdasarkan professional judgement Petugas, - Data pada CEISA KITE, Analisa data IT Inventory. Menganalisis frekuensi perusahaan melakukan perubahan data konversi - Hasil Pemeriksaan Lapangan - Data CEISA KITE, - data SKEP KITE, - Data IT Inventory Memastikan kebenaran jumlah pemakaian bahan baku yang terkandung dalam hasil produksi berdasarkan konversi. - Data konversi - Analisa data CEISA KITE Membandingkan persentase jumlah/tonase pemusnahan berdasarkan BC 2.4 dengan persentase waste dalam Konversi. - DataBC 2.4 - Berita acara Menganalisa data sisa bahan baku. - Kartu Stock - Analisa data IT Inventory Memastikan kesesuaian bahan baku di WIP berdasarkan konversi. - Data konversi - Analisa data IT Inventory (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) d. Menganalisa hasil pencacahan/stock opname dengan catatan pemakaian bahan baku pada IT Inventory dan saldo bahan baku pada CEISA KITE dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Memastikan bahan 5 i 1 bala fasilitas Hasil analisa data terkandung . ia ha dengan dan/atau ata ekspor digunakan dalam hasil produksi yang diekspor 2 Melakukan - Berita Acara pemeriksaan Stock Opname sediaan dengan - Saldo buku melakukan stock - Saldo fisik opname dan membandingkan saldo buku dengan saldo fisik Membandingkan 5 : dan menganalisis “analisa data hasil stock opname saldo Bahan Baku pada dengan catatan CEISA KITE pemakaian bahan Beri k baku pada IT Mean aa Inventory dan saldo Stock Opname bahan baku pada CEISA KITE, 4 Melakukan Hasil perhitungan saldo perhitungan buku dengan saldo buku menjumlahkan dengan saldo awal ditambah menjumlahkan pemasukan dan saldo awal dikurangi ditambah pengeluaran pemasukan dan dikurangi pengeluaran 5 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) e. Menganalisa kesesuaian pencatatan pemasukan, pengeluaran, dan penimbunan barang dalam IT Inventory, termasuk selisih jumlah pemakaian bahan baku dalam hal terdapat perbedaan antara konversi dengan laporan pertanggungjawaban dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Memastikan kesesuaian . Foto pencatatan pemasukan, dan/atau pengeluaran dan penimbunan barang dan/bahan antara IT Inventory dengan dokumen pabean Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau IT Inventory Membandingkan data laporan pemasukan dan pengeluaran barang per dokumen pabean dengan data laporan penjualan barang dan laporan persediaan barang. Foto dan/atau Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau IT Inventory Menganalisa data saldo bahan baku riil yang belum dipertanggungjawabkan dalam BCLKT.O1 yang dilakukan penelitian, berdasarkan pembukuan/catatan internal perusahaan. -.Catatan sisa Bahan Baku - Hasil Analisa data Memastikan jumlah pemakaian bahan baku per Hasil Produksi yaitu dengan mengalikan konversi produksi (Bill of Material) dengan setiap hasil produksi dalam BCL.KT 01. - Bill of Material - Data konversi (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu).
Menganalisa pemenuhan kewajiban pembatasan dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: 1 Melakukan penelitian terhadap importasi yang dilakukan perusahaan dan jin yang diberikan, harus berkaitan dengan hasil produksi/sesuai dengan barang yang diizinkan ditimbun atau dijual yang tercantum dalam SKEP. 2 Menguji kebenaran jenis barang yang diberitahukan dengan persyaratan pembatasan sesuai tarif dan klasifikasinya apakah sudah dipenuhi atau belum. 3 Menguji kebenaran dokumen persyaratan pembatasan dengan data pada INSW. 4 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu). g- Menganalisa informasi atau permasalahan lain berdasarkan data yang tersedia dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Menganalisa informasi atau permasalahan lain berdasarkan data yang tersedia dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
karakteristik bahan baku impor, b. tujuan penjualan hasil produksi (ekspor dan lokal): C. perbandingan nilai Ekspor dengan nilai Impor, misal analisis tren, keterkaitan jenis Bahan Baku dengan jenis Hasil Produksi:
negara asal Bahan Baku dan negara tujuan Ekspor Hasil Produksi: - f. frekuensi perubahan Konversi yang tidak wajar:
pengguna fasilitas KITE merupakan Perusahaan yang baru berdiri:
perusahaan melakukan subkontrak untuk kegiatan awal produksi dan/atau kegiatan akhir produksi:
terdapat peningkatan kegiatan pemusnahan, perusakan s dan/atau waste/scrap secara signifikan (khusus KITE Pembebasan): ' j- adanya perpanjangan periode pembebasan, dan/atau k. perusahaan terkena force majeure (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) G. PEDOMAN PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SEWAKTU-WAKTU KITE IKM 1. Menguji kebenaran pemberitahuan jumlah dan jenis barang kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh Melakukan analisis dengan cara membandingkan jumlah dan jenis barang antara yang diberitahukan dalam BC 2.0 dengan yang dicatat dalam Modul KITE IKM. dengan melakukan Foto . dan/atau Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau Modul KITE IKM Melakukan pemeriksaan fisik terhadap jumlah dan jenis barang yang:
ditimbun di lokasi perusahaan:
akan atau sudah dikeluarkan dari lokasi perusahaan: dan/atau c. berada dilokasi perusahaan penerima subkontrak. Berita Acara Pencacahan, Foto, dll Memastikan jenis bahan baku yang diimpor dengan fasilitas memiliki keterkaitan dengan jenis hasil produksi perusahaan berdasarkan data pada SKEP KITE, Konversi, Bill of Material - Skep KITE - Dokumen PIB, PEB - Data konversi - Bill of Material - Hasil analisa data pada CEISA (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 2. Menguji kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Melakukan analisis kesesuaian pemberitahuan jenis barang dalam dokumen pabean dengan:
dokumen pelengkap pabean:
BC 1.1: dan Cc. pemberitahuan jenis barang pada SKEP fasilitas KITE (Dalam hal. terdapat kecurigaan perbedaan jenis barang, Pejabat bea dan cukai dapat mengambil sample/contoh barang atau bahan baku untuk dilakukan uji laboratorium - SKEP fasilitas KITE, - Data PIB - Hasil analisa data pada CEISA Impor - hasil uji laboratorium (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 3. Menguji kebenaran pemberitahuan jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan dalam laporan pertanggungjawabandengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh Membandingkan perhitungan pemakaian bahan baku dalam laporan pertanggungjawaban dengan Bill of Material, dan CEISA KITE, Bili of Material, dokumen dokumen internal perusahaan internal terkait pemakaian bahan baku, erusahaan seperti dokumen pengeluaran kait barang dari gudang bahan baku pemakaian ke bag produksi bahan baku 2 Menganalisa data sisa bahan - analisa data baku IT Inventory, - data pembukuan terkait stok bahan baku 3 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 4. Menganalisa hasil pencacahan/stock opname dengan catatan pemakaian bahan baku pada Modul KITE IKM dan saldo bahan baku pada CEISA KITE dengan melakukan kegiatan antara Iain sebagai berikut: Contoh: Memastikan bahan baku fasilitas 1 terkandung dan/atau digunakan dalam hasil produksi yang diekspor 2 Melakukan pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock opname dan membandingkan saldo buku dengan saldo fisik 3 Membandingkan dari menganalisis hasil stock opname dengan catatan pemakaian bahan baku pada Modul KITE IKM dan saldo bahan baku pada CEISA KITE. 4 Melakukan perhitungan saldo buku dengan menjumlahkan saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran 5 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 5. Menganalisa kesesuaian pencatatan pemasukan, pengeluaran, dan penimbunan barang dalam Modul KITE IKM, dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Memastikan kesesuaian pencatatan pemasukan, pengeluaran dan penimbunan barang dan/bahan antara Modul KTE IKM dengan dokumen pabean Foto dan/atau Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau Modul KITE IKM Membandingkan data laporan pemasukan dan pengeluaran barang per dokumen pabean dengan data laporan penjualan barang dan laporan persediaan barang. - Foto dan/atau Screen shoot pencatatan pada SKP dan/atau Modul KITE IKM - Hasil analisa data pada Modul KITE IKM Menganalisa data saldo bahan baku riil yang belum dipertanggungjawabkan dalam BCLKT.03 yang dilakukan penelitian, berdasarkan pembukuan/catatan internal perusahaan. - Hasil analisa data pada CEISA '” KITE IKM - Melakukan pemeriksaan terhadap pembukuan/c atatan internal perusahaan Memastikan jumlah pemakaian bahan baku per Hasil Produksi yaitu dengan mengalikan konversi produksi (Bill of Material) dengan setiap hasil produksi dalam BCL.KT 03. - Data konversi - Bill of Material (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 6. Menganalisa pemenuhan kewajiban pembatasan dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: Apakah bahan/barang yang diimpor menggunakan fasilitas KITE IKM termasuk bahan/barang yang dibatasi impornya (Jika iya, pastikan sudah terpenuhi kewajiban pembatasannya) (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 7. Menganalisa informasi atau permasalahan lain berdasarkan data yang tersedia dengan melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut: Contoh: 1 Menganalisa informasi atau permasalahan lain berdasarkan data yang tersedia dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
keterkaitan jenis Bahan Baku dengan jenis Hasil Produksi:
tujuan penjualan hasil produksi (ekspor dan lokal):
perbandingan nilai Ekspor dengan nilai Impor, d. diam 2 (dua) tahun berturut-turut kuota jaminan terlampaui, e. tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban sesuai batas waktu:
terdapat dokumen pemberitahuan pabean impor dan/atau pemasukan yang belum dipertanggungjawabkan lebih dari 19 (sembilan belas) bulan sejak tanggal pendaftaran, g. kelaziman negara asal Barang dan/atau Bahan dan negara tujuan ekspor Hasil Produksi, h. IKM yang melakukan kegiatan usaha industri kurang dari 3 (tiga) tahun, i. terdapat peningkatan yang signifikan atas kegiatan pemusnahan Barang dan/atau Bahan Rusak atau reject, barang dalam proses (work in process) rusak, Hasil Produksi Rusak dan/atau sisa proses produksi (waste/ scrap) j. adanya perpanjangan periode KITE IKM, dan/atau k. perusahaan terkena force majeure 2 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) H. PEDOMAN PENGUJIAN ATAU PENELITIAN ATAS SELISIH ANTARA JUMLAH PEMAKAIAN BAHAN BAKU YANG DILAPORKAN PADA BCL.KT O1 DENGAN JUMLAH PEMAKAIAN BAHAN BAKU BERDASARKAN KONVERSI 1: Dalam hal terdapat selisih antara jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan pada BCL.KT 01 dengan jumlah pemakaian bahan baku | berdasarkan Konversi sesuai hasil perhitungan pada CEISA KITE yang memiliki nilai Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM lebih dari atau sama dengan Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), sebelum dilakukan penetapan, kepala Kantor Wilayah atau KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan:
konfirmasi kepada Perusahaan KITE Pembebasan dan meminta bukti pendukung, dengan cara menyampaikan pemberitahuan: dan b. penelitian kesesuaian tanggapan dan bukti pendukung yang disampaikan. Selisih sebagaimana dimaksud pada butir 1 sebesar Bea Masuk dan PPN atau PPN dan PPnBM atas bahan baku (per seri PIB) yang dilaporkan dalam 1 (satu) BCL.KT O1, dengan kemungkinan 2 (dua) kondisi, sebagai berikut:
selisih kurang, yaitu dalam hal jumlah pemakaian bahan baku per Hasil Produksi, yang dilaporkan pada BCL.KT O1 lebih kecil dari jumlah pemakaian bahan baku berdasarkan Konversi (BCL.KT 01 « Konversi):
selisih lebih, yaitu dalam hal jumlah pemakaian bahan baku per Hasil Produksi, yang dilaporkan pada BCL.KT O1 lebih besar dari jumlah pemakaian bahan baku berdasarkan Konversi (BCL.KT 01 » Konversi). . Pejabat Bea dan Cukai meneliti/menguji tanggapan atau penjelasan yang disampaikan oleh Perusahaan KITE Pembebasan berdasarkan bukti pendukung yang disampaikan, dengan cara sebagai berikut:
membandingkan Konversi untuk setiap Hasil Produksi pada data Konversi yang diloading dengan data konversi produksi perusahaan (bill of material):
jika terdapat perbedaan, menghitung pemakaian Barang dan Bahan untuk setiap Hasil Produksi pada BCL.KT 01 dengan menggunakan data konversi produksi perusahaan (bill of material: ) Cc. jika perhitungan pemakaian Barang dan Bahan berdasarkan data konversi produksi perusahaan (bill of material) sama dengan pemakaian Barang dan Bahan berdasarkan BCL.KT 01, maka pemakaian Barang dan Bahan diterima berdasarkan BCL.KT 01:
jika perhitungan pemakaian Barang dan Bahan berdasarkan data konversi produksi perusahaan (bill of material) tidak sama dengan pemakaian Barang dan Bahan berdasarkan BCL.KT Ol, atau dalam rangka mendukung atau memperkuat hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf c, dilakukan langkah sebagai berikut:
meneliti dan melakukan rekapitulasi bukti pemasukan dan bukti pemakaian Barang dan Bahan, 2) meneliti saldo Barang dan Bahan berdasarkan kartu stock atau catatan lainnya, 3) meneliti dan melakukan rekapitulasi laporan produksi atau catatan lain terkait pemasukan dan pengeluaran Hasil Produksi berdasarkan bukti pengeluaran Hasil Produksi dan dokumen pemberitahuan pabean ekspor, 4) meneliti saldo Hasil Produksi berdasarkan kartu stock, laporan produksi, atau catatan lainnya, 5) menentukan konversi pemakaian Barang dan Bahan untuk menghasilkan Hasil Produksi dengan cara membagi jumlah pemakaian Barang dan Bahan dengan jumlah pemasukan Hasil Produksi, 6) menghitung jumlah pemakaian Barang dan Bahan atas Hasil Produksi yang dilaporkan dalam BCL.KT O1 dengan cara mengalikan konversi sebagaimana dimaksud pada angka 5) dengan jumlah Hasil Produksi dalam BCL.KT 01.
melakukan kegiatan lain untuk mengetahui penyebab terjadinya selisih dan menentukan pemakaian Barang dan Bahan yang benar:
dalam hal berdasarkan catatan Perusahaan KITE Pembebasan tidak dapat menunjukkan dokumen asal Barang dan Bahan atas Hasil Produksi yang terjadi selisih, digunakan metode First In First Out (FIFO) dalam menguji pemakaian Barang dan Bahan.
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian terhadap tanggapan dan bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada butir 3 dapat dibuktikan bahwa:
terjadi selisih kurang atau selisih lebih yang disebabkan karena kesalahan Konversi, berlaku ketentuan:
jumlah pemakaian Barang dan Bahan disetujui sesuai jumlah yang dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban, dan 2) Perusahaan KITE Pembebasan harus melakukan perubahan Konversi, apabila Konversi tersebut akan digunakan dalam pertanggungjawaban Barang dan Bahan berikutnya.
terjadi selisih kurang atau selisih lebih yang disebabkan karena kesalahan laporan pertanggungjawaban, Perusahaan KITE Pembebasan dapat melakukan perbaikan laporan pertanggungjawaban, Cc. terjadi selisih kurang atau selisih lebih yang disebabkan karena kesalahan laporan pertanggungjawaban namun atas kesalahan tersebut tidak ada bukti yang memadai untuk dilakukan perbaikan atau Perusahaan KITE Pembebasan tidak melakukan perbaikan, atas selisih tersebut kepala Kantor Wilayah atau KPU melakukan penetapan sebagai dasar bagi Perusahaan KITE Pembebasan untuk melunasi:
Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang selisih, 2) sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan, dan 3) sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal Perusahaan KITE Pembebasan tidak menyampaikan tanggapan atau penjelasan mengenai penyebab terjadinya selisih dan bukti pendukung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada butir 4, atas selisih tersebut kepala Kantor Wilayah atau KPU melakukan penetapan sebagai dasar bagi Perusahaan KITE Pembebasan untuk melunasi:
Bea Masuk serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang selisih:
sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan, dan Cc. sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan hasil penelitian/pengujian sebagaimana dimaksud pada butir 3, Kepala Kanwil/KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk memutuskan untuk menyetujui atau menolak penjelasan serta data pendukung yang disampaikan oleh perusahaan.
Penelitian/pengujian dilakukan dalam periode pemeriksaan BCL.KT 01 sesuai ketentuan perundang-undangan. Contoh Kertas Kerja pengujian atau penelitian atas selisih antara jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan pada BCL.KT 01 dengan jumlah pemakaian bahan baku berdasarkan konversi: 7 1. Terdapat data selisih: Uraian barang/ Kode BCL.KT O1 Konversi Yo Kode Barang dan Bahan Satuan ZINC ALLOY (NYRSTAR KGM 522,8 5.228,8 90 OVERPELT ZAMAK #5)/ 0395267 2. Perusahaan menyampaikan penjelasan bahwa:
Terdapat kesalahan pada Konversi No. 0004: Barang KONVERSI YANG DISAMPAIKAN SEHARUSNYA Jadi/ Uraian Kode | Koefisien | Uraian Kode | Koefisien Kode barang/ Satuan barang/ | Satuan Satuan Kode Barang Kode dan Bahan Barang dan Bahan 02 C|ZINC ALLOY | KGM 5,2288 ZINC KGM 0,52288010 DA1DR- | (NYRSTAR ALLOY 370 Z/ OVERPELT (NYRSTAR PCR ZAMAK #5)/ OVERPELT 0395267 ZAMAK #5)/ 0395267 b. Bukti pendukung: Berdasarkan:
bill of material:
bukti pengeluaran Hasil Produksi, diketahui bahwa perusahaan memproduksi 02 C DA1DR-370 Z sejumlah 1.000 3. Kesimpulan: Terjadi selisih kurang yang disebabkan karena kesalahan Konversi.
Tindak Lanjut:
jumlah pemakaian Barang dan Bahan disetujui sesuai jumlah yang dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban: dan b. penyampaian informasi kepada Perusahaan KITE Pembebasan untuk melakukan perubahan Konversi, apabila Konversi tersebut akan digunakan dalam pertanggungjawaban Barang dan Bahan berikutnya. I. FORMAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN FISIK BARANG Pada hari ini ......... tanggal ...... bulan .......... tahun....... . telah dilakukan pemeriksaan fisik atas barang yang diberitahukan dengan keterangan sebagai berikut: S AN OTW Nomor Surat Tugas Monitoring Khusus: ST.............. Tgl..../..../20... pacomowocoomm&x Lokasi Pemeriksaan :
.......... jaguses Waktu pemeriksaan :
jam/tgl dimulai pemeriksaan barang :
....... pama af 2 Osen b. jam/tgl selesai pemeriksaan barang :
....., ..../..../20... Foto : tidak / ya" (...... lembar) Contoh barang c. diminta kembali oleh importir/kuasanya : ya / tidak “ Kendala pemeriksaan a. importir/kuasanya tidak ada di tempat pemeriksaan:
barang tidak berada di tempat pemeriksaan: Keterangan : teneengoenenenaananneanananenanenoanesanunareeenananeenagenesauakonanuenanuanan esa sa same sang aa pannanasonanenaananana Mengetahui: Perusahaan Penerima fasilitas KITE Pejabat Pemeriksa Barang “ coret yang tidak perlu J. FORMAT BERITA ACARA PENGAMBILAN CONTOH BARANG Pena mynsn MR em ema BERITA ACARA PENGAMBILAN CONTOH BARANG NOMOR....... TANGGAL........ Pada hari ini ......... tanggal ...... bulan aa. tahun....... telah dilakukan pengambilan contoh barang dalam rangka pengujian kebenaran pemberitahuan klasifikasi dan tarif dengan keterangan sebagai berikut:
Nomor Surat Tugas Monitoring Khusus: ST-............. Tgl..../.../20... Foto : tidak / ya" (...... lembar) Contoh barang S5 N “ Tah FE : a g 8 s t K 2 8 Ra S E Oo - NO tw a. Jenis b. Jumlah c. diminta kembali oleh importir/kuasanya : ya / tidak “ sococonurewe sononuanasananoan ..o.o..c.c. Oo . Keterangan : Sama Misal : pengambilan contoh barang telah dilaksanakan dengan baik dan sesuai Berita Acara. Mengetahui: Perusahaan Penerima fasilitas KITE Pejabat Pemeriksa Barang @n.cococoomocoroncoronc.or.cococococooccocc#(c#”””””—————————————————” ep ooneoworceruutunaaanunaussasoananvasunenanuann “ coret yang tidak perlu K. PEDOMAN ANALISIS MENDALAM Kegiatan ini sebagai optimalisasi dari pemanfaatan monitoring room dalam melakukan analisis mendalam terhadap kegiatan perusahaan KITE dengan berdasarkan SKP, IT Inventory, dan sumber lain yang diperlukan untuk identifikasi dan pemetaan risiko pelanggaran terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE yang berada dibawah pengawasan Kanwil, KPU, dan/atau KPPBC.
Pemenuhan ketentuan pemasukan barang Contoh: EU AI 1 1 | Barang impor |s Melakukan analisis dengan | SKP, IT diberitahukan dengan cara membandingkan jenis | Inventory tidak benar barang, pemasok, jumlah barang, dil, antara yang diberitahukan dalam BC 2.0 dengan yang dicatat dalam IT Inventory. s Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit - pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 2| Barang impor tidak|s Meneliti pencatatan waktu | SKP, IT sampai di tempat tujuan pengeluaran barang di kantor | Inventory bongkar dengan catatan waktu pemasukan barang di perusahaan/kantor pengawas. » Meneliti apakah ada pemasukan barang/ bahan pada pencatatan dalam IT Inventory dan catatan security perusahaan.
Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 3|Barang yang diimpor|“ Melakukan penelitian | SKP, IT tidak sesuai perijinan terhadap importasi yang | Inventory dilakukan perusahaan dan ijin yang diberikan, harus berkaitan dengan hasil produksi/sesuai dengan barang yang diizinkan ditimbun atau dijual yang tercantum dalam SKEP. “Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Penghindaran terhadap pungutan BMAD, BMTP, dan BM Pembalasan Meneliti HS code barang asal impor yang akan dikeluarkan ke TLDDP apakah termasuk dalam HS code barang yang terkena BMAD, BMTP, BM pembalasan. Apabila termasuk dalam HS code barang yang terkena BMAD, ' BMTP, BM pembalasan, maka dilakukan penelitian apakah sudah dilakukan pembayaran. Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, ' maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) b. Pemenuhan ketentuan kegiatan di perusahaan Contoh: Ki Jumlah pemasukan dan pemakaian bahan baku impor yang tidak wajar Membandingkan total jumlah/tonase pemasukan bahan baku dengan total jumlah/tonasehasil produksi selama periode tertentu. Apabila ditemukan selisih, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Penyalahgunaan Subkontrak Menganalisis data pengiriman subkontrak (tanggal, jenis barang, dan foto bahan baku) dengan data pemasukan barang hasil subkontrak. Menganalisis kontrak/agreement pekerjaan subkontrak. Menganalisis pemasukan hasil pekerjaan subkontrak dengan cara membandingkan jumlah bahan baku dengan konversi untuk pekerjaan subkontrak. Jika ditemukan indikasi adanya dugaan pelanggaran, antara lain barang subkontrak yang tidak kembali dalam batas waktu yang ditentukan, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. IT Inventory, Berkas kontrak/ agreement terkait 3 | Pemberitahuan Konversi |s membandingkan perhitungan | SKP, IT tidak benar konversi dengan konversi atas | Inventory barang sejenis lainnya dan/atau berdasarkan profesional judgement Petugas. “ dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran konversi, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 41 Pelanggaran prosentase |- Meneliti pencatatan dalam IT | SKP, IT pengeluaran hasil Inventory perusahaan, catatan | Inventory, produksi ke TLDDP dalam SKP, laporan yang | laporan disampaikan perusahaan, dan | perusahaan Keputusan Dirjen BC tentang batasan penjualan lokal. “ Membandingkan antara nilai dan volume barang yang diimpor dengan nilai dan volume pengeluaran hasil produksi ke TLDDP dalam periode tertentu. s Dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 2 5 | Pemusnahan » Membandingkan IT Inventory, pemberitahuan pemusnahan | BAP dengan data yang tercatat | Pemusnahan dalam IT Inventory. “ Meneliti frekuensi pengajuan pemberitahuan pemusnahan. “ Dalam hal ditemukan indikasi ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 6 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) c. Pemenuhan ketentuan pengeluaran barang Contoh: 1 | Under Invoicing “ Meneliti nilai pabean | SKP, IT bahan baku apakah | Inventory terlalu rendah dengan membandingkan harga pemberitahuan dengan pemberitahuan lainnya. “ Dalam hal hasil penelitian ditemukan adanya ketidakwajaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. Waktu pengeluaran barang yang tidak wajar Meneliti kewajaran waktu pengeluaran barang dengan membandingkan waktu pemasukan, proses produksi,dan waktu pengeluaran dalam IT Inventory. Jika ditemukan indikasi adanya ketidakwajaran waktu pengeluaran barang, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Ekspor fiktif Melakukan terhadap pembatalan ekspor. penelitian catatan Membandingan frekuensi pembatalan ekspor dan catatan pembatalan ekspor di kantor muat dan di perusahaan. Membandingkan jumlah dan jenis barang yang tercantum dalam dokumen PEB dengan pencatatan perusahaan dalam IT Inventory. Menganalisisnegara tujuan penerima barang dan profil penerima barang, apabila profil penerima barang tidak jelas maka patut dilakukan pendalaman analisis. Membandingkan nilai dan volume ekspor dengan nilai dan volume impor bahan baku fasilitas selama periode tertentu. Membandingkan nilai dan volume pemasukan bahan baku non fasilitas dengan nilai dan volume penjualan hasil produksi ke TLDDP selama periode tertentu. Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. SKP, IT Inventory Pengeluaran barang secara illegal - dengan Membandingkan jumlah/tonase pengeluaran barang yang dicatat dalam IT Inventory jumlah/tonase yang tercantum dalam SKP, IT Inventory dokumen kepabeanan selama periode tertentu. « Jika ditemukan indikasi adanya ketidakwajaran waktu pengeluaran barang, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. tersebut adalah bahan baku terhadap sisa bahan baku rusak. apakah benar rusak “ Melakukan penelitian terhadap jumlah/tonase barang impor dan jumlah/tonase sisa bahan baku yang dikeluarkan ke TLDDP, apabila jumlah tidak wajar maka dapat dipastikan KB tersebut melakukan modus penjualan bahan baku “ Membandingkan nilai impor bahan baku dengan nilai penjualan sisa bahan baku rusak yang dicatat dalam IT Inventory. “ Jika ditemukan indikasi adanya pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. S| Modus pengeluaran bahan |- Memerintahkan petugas | IT Inventory, baku ke TLDDP dengan cara surveillance untuk | laporan menyatakan bahan baku melakukan pengecekan | perusahaan sisa bahan baku tidak sesuai dan volume pengeluaran ijin yang diberikan sisa bahan baku kepada suatu perusahaan yang dituju. “ Dalam hal ditemukan frekuensi dan volume pengeluaran sisa bahan baku kepada suatu perusahaan yang dituju sangat tinggi, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 6 | Tempat tujuan pengeluaran |- Membandingkan frekuensi IT Inventory d. Analisis terhadap laporan pertanggungjawaban mutasi barang Contoh: Adanya selisih barang yang | 1. menguji apakah ada data selisih lebih ditimbun atau kurang pada Laporan Pertanggungjawaban Mutasi Barang 2. menguji dengan data Laporan Pemasukan Barang per Dokumen Pabean dan Laporan Pengeluaran SKP, IT Inventory Barang per Dokumen Pabean 3. mengusulkan untuk dilakukan stock opname dan merekomendasikan penelitian ada tidaknya indikasi tindak pidana (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) e. Analisis terhadap laporan posisi barang per dokumen pabean Contoh: ALA Barang yang ditimbun telah | 1. membandingkan data ” laporan | SKP, IT melewati jangka waktu 12 pemasukan barang per dokumen | Inventory (dua belas) bulan sejak pabean dengan data laporan tangga! pemasukan pengeluaran barang per dokumen pabean.
dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) f. Analisis terhadap atas laporan pemasukan dan pengeluaran barang per dokumen pabean, laporan penjualan barang, dan laporan persediaan barang Contoh: 1 Adanya selisih barang yang 1. membandingkan data laporan | SKP, CEISA, ditimbun pemasukan dan pengeluaran | IT Inventory, barang per dokumen pabean | Laporan 9 Dijual lokal (KITE dengan data laporan | Keuangan Pembebasan) penjualan barang dan laporan persediaan barang.
Dalam hal ditemukan indikasi pelanggaran, maka direkomendasikan kepada unit pemilik tupoksi untuk melakukan tindak lanjut yang diperlukan. 3 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) g£- Analisis terhadap pengujian atau penelitian atas perbandingan saldo buku dan saldo fisik. Saldo Saldo PA Suku PIB | Bahan. | Kandungan No Satuan Baku BB atas BJ (Kode | / Bahan Baku Stock Stock CEISA) | Baku ae Opname Opname Kandungan PEB BB atas yang WIP Stock belum di Opname BCLKT Saldo Bahan Baku Fasilitas Yang Belum Dipertanggungjawabkan Selisih Perbandingan Saldo Buku dan Saldo Fisik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (6474849) 12 (10-5) 13 1 JABC JA KGM 10.000 2.000 5.000 1.000 2.000 10.000 SESUAI 2 |DEF |A-2 KGM 11.500 5.000 3.000 2.500 2.000 12.500 1.000 LEBIH 3 IGHI |A-3 KGM 9.000 1.000 4.000 500 900 6.400 (2.600) KURANG Catatan: Pan Bahan Baku yang berada dilokasi perusahaan harus dilakukan stock opname. Kandungan BB atas BJ, dan Kandungan BB atas WIP harus dilakukan konversi ke BB terlebih dahulu. PEB yang belum di BCLKT dapat diketahui dari pembukuan perusahaan / surat jalan / data ekspor KITE. Untuk KITE Pengembalian, jika perbandingan saldo buku dan saldo fisik kedapatan :
selisih kurang, maka tidak ditagih karena bisa jadi perusahaan sudah dijual lokal dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, b. selisih lebih, maka ditagih karena dianggap terdapat kelebihan pengembalian Bea Masuk. Untuk KITE Pembebasan, jika perbandingan saldo buku dan saldo fisik kedapatan :
selisih kurang, maka ditagih bea masuk, ppn, ppnbm dan denda, b. selisih lebih, maka ditagih tanpa denda sepanjang masih dalam periode pembebasan. Adapun jika sudah melewati periode pembebasan maka ditagih bea masuk, ppn, ppnbm dan denda. Untuk menghitung nilai tagihan atas selisih tersebut, dapat dilakukan breakdown PIB dengan metode FIFO atau AVERAGE. L. PEDOMAN ANALISIS AKTIVITAS PERUSAHAAN Membandingkan data CEISA KITE dengan data yang berasal dari IT Inventory untuk periode tertentu. Kegiatan yang dilakukan yaitu analisis aktivitas perusahaan KITE yang berhubungan dengan pemasukan dan pengeluaran barang, | 1 Saldoaw ta Pan Ba Mengetah Saldo Awal akus At MAA BL AL na ui Jumlah misalnya: n Kegiatan///Prosedur "MU h Tentukan cut off (batas waktu) penentuan pemeriksaan sederhana. (minimal data pada 1 bulan terakhir dan dapat diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan). Cek data saldo awal dari IT Inventory perusahaan KITE Uji kebenaran data saldo awal pada IT Inventory dengan data internal yang ada di perusahaan (contoh: data WMS, kartu stock, dil) 2 Pemasukan Mengetahui jumlah pemasukan Cek data pemasukan Inventory perusahaan KITE Uji kebenaran dokumen pemasukan (BC 2.0) pada IT 3 Pengeluaran Mengetahui jumlah pengeluaran Cek data pengeluaran pada IT Inventory perusahaan KITE Uji kebenaran dokumen pengeluaran (BC 3.0) pada CEISA 4 | Saldo Buku Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku 5 | Saldo Fisik Mengetahui Saldo Fisik 1.
Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock opname Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik 6 | Perhitungan atas selisih antara jumlah pemakaian bahan baku yang dilaporkan pada 01 jumlah pemakaian baku BCL.KT dengan bahan Menghitung konversi Saldo Awal selisih Lakukan perhitungan selisih konversi TN PN NN AE TAG ang Dar Te Jumlah 1. Tentukan cut off (batas waktu) penentuan pemeriksaan sederhana. (minimal data pada 1 bulan terakhir dan dapat diperluas sesuai kondisi masing-masing perusahaan), Cek data saldo awal dari Laporan 4 bulanan, IT Inventory atau Berita Acara Stock Opname terakhir. Pemasukan Mengetahui jumlah pemasukan Cek data pemasukan dari pencatatan pemasukan pada IT Inventory. Pengeluaran Mengetahui jumlah pengeluaran Cek data pengeluaran dari pencatatan pada IT Inventory. Saldo Buku Menentukan Saldo Buku Lakukan perhitungan saldo buku dengan menjumlahkan saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran Saldo Fisik Mengetahui Saldo Fisik 1. Lakukan Pemeriksaan sediaan dengan melakukan stock Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik (dalam hal masih terdapat barang di lokasi penimbunan bahan baku) :
Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik Perhitungan Nilai Fasilitas yang terutang Menghitung nilai bea masuk dan PDRI yang terutang 1. Dapatkan data sesuai stock fisik menjadi data dasar jumlah barang yang masih terutang.
Hitung nilai pungutan negara yang masih terutang Bea Masuk dan PDRI (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) M. ANALISIS PERMASALAHAN LAIN DALAM PELAKSANAAN MONITORING KHUSUS KITE 1. Melakukan pengecekan IT Inventory: keaktifan (online), keterkaitan dengan dokumen pabean, dan kondisi realtime.
Membandingkan data CEISA KITE dengan data yang berasal dari IT Inventory untuk periode tertentu. Kegiatan yang dilakukan yaitu analisis aktivitas pengusaha KITE yang berhubungan dengan pemasukan dan pengeluaran barang, misalnya: No. Kegiatan Sumber Pembanding Dokumen Pabean | Dokumen Perusahaan Uji Pemasukan Uji Populasi 1, Dokumen Jumlah dokumen pabean pemasukan pada periode tertentu berdasarkan CEISA Impor Jumlah dokumen penerimaan barang berdasarkan laporan pemasukan bahan baku pada IT Inventory Uji Jumlah dan 2. Jenis Jumlah dan jenis barang pada dokumen pabean pemasukan pada periode tertentu berdasarkan CEISA Impor Jumlah dan jenis barang pada dokumen penerimaan barang berdasarkan laporan pemasukan bahan baku pada IT Inventory Uji Pengeluaran Uji Populasi 3. Dokumen Jumlah dokumen pabean pengeluaran pada periode tertentu berdasarkan CEISA Ekspor Jumlah dokumen pengeluaran barang berdasarkan laporan pengeluaran hasil produksi pada IT Inventory Uji Jumlah dan 4. Jenis Jumlah dan jenis barang pada dokumen pabean pengeluaran pada periode tertentu berdasarkan CEISA Ekspor Jumlah dan jenis barang pada dokumen pengeluaran barang berdasarkan laporan: pengeluaran bahan baku pada IT Inventory 5 (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 3. Melakukan analisis kegiatan perusahaan KITE Kegiatan yang dilakukan yaitu analisis aktivitas operasional pengusaha KITE berdasarkan data pada CEISA, data IT Inventory, data perizinan, dan data terkait lainnya, misalnya sebagai berikut: Risiko | karakteristik TN alinea io CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor IT Inventory Data SKEP KITE Data Profil Perusahaan « Informasi dan/atau hasil intelijen menganalisis apakah bahan baku yang diimpor merupakan intermediate goods . bahan baku impor . dan/atau barang yang dapat dijual | « . . . dan proses produksi kepada konsumen tanpa memerlukan pengolahan khusus, aksesoris. » menganalisis apakah bahan baku yang diimpor merupakan pengemas. e menganalisis apakah bahan baku yang diimpor merupakan objek ketentuan larangan dan/atau pembatasan. e menganalisis apakah proses produksi contoh: kain, atas bahan baku merupakan proses sederhana, contoh: perakitan, pemasangan, pengemasan (wrapping) . menganalisis apakah jangka waktu dari impor ke ekspor «14 hari. tujuan penjualan hasil produksi (ekspor dan lokal) membandingkan persentase hasil produksi penjualan ke lokal dengan persentase bahan baku fasilitas dan non fasilitas. penjualan untuk ekspor dan CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor IT Inventory frekuensi impor dan ekspor menganalisis apakah impor dan ekspor secara rutin dilakukan. CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor perbandingan nilai ekspor dengan nilai Impor membandingkan nilai ekspor dengan nilai impor bahan baku fasilitas dalam periode tertentu: melihat grafik (trend) nilai ekspor dan nilai impor bahan baku fasilitas dalam periode tertentu, menghitung rasio nilai ekspor dan nilai impor. co0 ojo sa oeje oo CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor Executive Information System Laporan yang dihasilkan IT Inventory keterkaitan jenis Bahan Baku dengan jenis Hasii Produksi menganalisis keterkaitan jenis usaha sesuai IUI dengan jenis bahan baku fasilitas yang diimpor, menganalisis kegunaan, fungsi, dan/atau keterkaitan bahan baku fasilitas yang diimpor dengan jenis hasil produksi yang diekspor. CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor Data SKEP KITE negara asal Bahan Baku dan negara tujuan Ekspor Hasil Produksi menganalisis negara asal bahan baku dengan negara tujuan ekspor terkait kualitas barang, menganalisis kewajaran konsumsi negara tujuan ekspor.
... CEISA KITE CEISA Impor CEISA Ekspor Executive Information System Laporan yang dihasilkan IT Inventory frekuensi perubahan Konversi menganalisis kewajaran frekuensi perusahaan melakukan perubahan data konversi, menganalisis apakah terdapat produk baru yang dihasilkan yang dilaporkan dalam Data SKEP KITE, menganalisis persentase selisih pemakaian bahan baku per kode barang berdasarkan Konversi dan laporan BCL.KT O1. CEISA KITE Data SKEP KITE kegiatan subkontrak yang dilakukan untuk kegiatan awal produksi dan/atau kegiatan akhir produksi menganalisis apakah pemasukan dan pengeluaran barang tetap dicatat pada laporan pemasukan dan laporan pengeluaran bahan baku fasilitas pada IT Inventory, menganalis keterkaitan jenis usaha perusahaan penerima subkontrak dengan proses produksi perusahaan KITE. IT Inventory Data SKEP KITE Data pendukung lainnya peningkatan kegiatan pemusnahan, perusakan dan/atau waste/scrap secara signifikan, serta potensi penumpukan dead stock membandingkan persentase jumlah/tonase pemusnahan berdasarkan BC 24 dengan persentase waste dalam Konversi: menganalisis keterkaitan jenis barang yang dimusnahkan dengan bahan baku fasilitas yang diimpor: membandingkan tonase impor bahan baku dengan tonase ekspor barang jadi, kemudian merekapitulasi selisih lebih atas impor setiap bulan untuk » CEISA KITE e Dokumen BC 2.4 dan Berita Pemusnahan e Data lainnya Acara pendukung mengetahui tren pertumbuhan Dead Stock.
frekuensi tidak | menganalisis perbedaan data PEB dan terjadinya data outward manifest. rekonsiliasi antara data PEB dengan outward manifest e CEISA KITE e CEISA Ekspor e CEISA Manifest 11. (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) N. PEDOMAN MONITORING MANDIRI KITE Ka Nk an Pedoman umum » Monitoring mandiri ini dilaksanakan oleh perusahaan penerima fasilitas KITE untuk menguji apakah persediaan barang yang ada telah sesuai dengan pencatatan persediaan pada IT Inventory. » Sasaran monitoring mandiri ini adalah agar KITE dapat memperbaiki secara konsisten sistem pencatatan persediaan yang ada agar dapat menghasilkan kinerja perusahaan yang baik. » Perusahaan KITE terlebih dahulu menentukan lingkup pemeriksaannya, meliputi: a) bahan baku: b) bahan penolong: c) barang dalam proses: d) barang jadi, dan/atau e) sisa dari proses produksi/limbah (scrap/ waste). 1 » Dalam hal terdapat selisih, perusahaan KITE: a) Melakukan penelusuran sebab terjadinya selisih tersebut dengan memberikan bukti berupa data dan penjelasan yang logis: b) Melakukan pelunasan bea masuk dan PDRI yang terhutang dalam hal terjadi selisih kurang: dan/atau c) Melakukan penyesuaian atas pencatatan pada IT Inventory sesuai saldo fisik barang. r Ya ALALY/ rose Ina Na ea en antara na Mengetahui 1. ma cut an batan Kan 1 penentuan persediaan barang Jumlah Saldo monitoring mandiri. (minimal data pada 1 dengan pencatatan Awal (satu) bulan terakhir dan dapat diperluas persediaan pada IT sesuai kondisi Inventory perusahaan).
Cek IT Inventory atau Berita Acara Stock Opname terakhir. D. Mengetahui Cek data pemasukan dari dokumen pabean jumlah seperti BC 2.0, BC 2.5, BC 2.8, dan dokumen pemasukan pemasukan lainnya.
Mengetahui Cek data pengeluaran dari dokumen pabean jumlah seperti BC 3.0, BC 3.3, dan dokumen pengeluaran | bengeluaran lainnya. #. Menentukan | Lakukan perhitungan saldo buku dengan Saldo Buku menjumlahkan saldo awal ditambah pemasukan dan dikurangi pengeluaran.
Mengetahui 1. Lakukan pemeriksaan sediaan dengan Saldo Fisik melakukan stock fisik.
Bandingkan saldo buku dengan saldo fisik (dalam hal masih terdapat barang di lokasi perusahaan KITE). masing-masing (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) O. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN MONITORING MANDIRI KITE KOP SURAT PERUSAHAAN Nomor Ian Tanggal 1 sasa Lampiran 11 (satu) berkas Hal : Penyampaian laporan hasil pelaksanaan monitoring mandiri . U) KITE Pembebasan CL) KITE Pengembalian L) KITE Pembebasan dan KITE Pengembalian CJ KITE IKM Yth. Kepala Kantor Wilayah DJBC .... /Kepala KPU BC .... / Kepala KPPBC Sehubungan dengan kegiatan monitoring mandiri sesuai surat tugas perusahaan....... MOMOT ST-saaeeanscnaa. tanggal ............. , dengan hormat kami laporkan sebagai berikut:
Data Perusahaan:
Nama Perusahaan b. Alamat/Lokasi c. Jenis Industri d. Nomor dan Tanggal SKEP 0 vosaguvnunusanasannnasaganaaonnenaananngasawanasanana saka 2 soceconenaanurnansevenaneunenaana nana ana savanannaaananaaa 0 co.cocoorecennuanunuanasaawenaensenanasaanunanannaansaaan 0 #0..wavecnnapanengasaanannuunan namu aa ponan anang ena nan 3. Metode pelaksanaan monitoring mandiri dan alat uji yang digunakan sebagai berikut:
"n00nunsekkesanunanungerenanesenana nan aunnaanenan gn ana nn ana anana 4. Hasil dari pelaksanaan monitoring mandiri dapat kami laporkan sebagai berikut: ND 2.
S. Berdasarkan hasil monitoring mandiri, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: #e.ocococooocorcoconnenanasanangananannann nanang sanecananenananan Demikian disampaikan sebagai laporan. Mengetahui, (Pimpinan Perusahaan) Pelaksana monitoring mandiri, (Nama) (Nama) (Nama) (Jabatan) (Jabatan). (Jabatan) P. FORMAT CHECKLIST PELAKSANAAN KEGIATAN EVALUASI MIKRO CHECKLIST PELAKSANAAN KEGIATAN EVALUASI MIKRO Nama Perusahaan Lokasi Tanggal Pelaksanaan Nomor Surat Tugas A | DATA PERUSAHAAN 1 Nama NPWP SKEP KITE No & Tgl Skep NOlErIwM Lokasi Pabrik do Alamat Kantor w Bidang Industri & Hasil Produksi 9 1Jumlah Tenaga Kerja 3 tahun | Tahun 20... - terakhir Tahun 20... - Tahun 20... - 10 | Data Investasi awal Data Investasi awal (Tahun ...... )- ..... 11 | Data Perpajakan (All tax) 3 tahun terakhir B | EKSISTENSI & KEGIATAN PRODUKSI, IMPOR, EKSPOR 1 Lokasi Pabrik 2 Kegiatan Produksi 3 |Tempat Pembongkaran, Gudang Bahan Baku Gd. WIP Gd. Barang Jadi Gd. Sisa BB/BJ/ Waste Subkontrak tinjlolrnilo Yo Asal Bahan Baku (Impor Fas/Non Fas/ Lokal/lainnya) 9 Penjualan Hasil Produksi (Ekspor/Lokal/Lainnya) 10 |”o Ekspor dari Keseluruhan Hasil Produksi dari BB asal Impor Fasilitas KITE Data Impor (fasilitas) 3 tahun terakhir 13 Data Ekspor (Fasilitas) 3 tahun terakhir 20.... 5 USD ........ 14 Jenis Bahan Baku Fasilitas Fungsi IT INVENTORY | Mencatat pemasukan, pengeluaran BB, BJ, WIP, dan saldo barang, secara berkelanjutan dan realtime Dapat menghasilkan 8 Laporan sesuai yang dipersyaratkan:
Laporan Pemasukan Bahan Baku per dokumen pabean:
Laporan Pemakaian Bahan Baku:
Laporan pemakaian barang dalam proses dalam rangka kegiatan subkontrak, dalam hal terdapat kegiatan produksi yang disubkontrakkan:
Laporan pemasukan hasil produksi:
Laporan pengeluaran hasil produksi, 6) Laporan mutasi bahan baku:
Laporan mutasi hasil produksi:
Laporan penyelesaian waste/ scrap. Keterkaitan dengan dokumen pabean impor/pemasukan BB Keterkaitan dengan dokumen pabean ekspor/pengeluaran BJ Penggunaan kode.yang berbeda atas barang dan/atau bahan yang diimpor Fasilitas dan Non Fasilitas, waste/ scrap Dapat diakses DJBC & IT Inventory digunakan sebagai dasar pembuatan BCLKT ECONOMY IMPACT 1 Seberapa penting Fas. KITE bagi perusahaan Manfaat Fas. KITE bagi perusahaan Going concern perusahaan bila tidak menggunakan Fas. KITE Penyerapan tenaga kerja Investasi Perpajakan/Penerimaan Negara SIinlolirn Economy impact lainnya PERMASALAHAN IMPLEMENTASI KETENTUAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG KIT 1 Apakah terdapat ketentuan dan prosedur saat ini yang menyulitkan dalam penerapan di lapangan Apakah terdapat ketentuan saat ini yang tidak efektif dalam penerapan di lapangan Apakah terdapat kendala dalam pelayanan fasilitas KITE di Kanwil / KPPBC (Sarana prasarana / sistem aplikasi / birokrasi / SDM) CORPORATE GUARANTEE 1 Hasil Audit 2 (dua tahun terakhir) 2 Likuiditas secara umum lancar/utang lancar) (aktiva 2 (dua tahun terakhir) Solvabilitas secara umum aktiva/total utang) (total 2 (dua tahun terakhir) Rentabilitas secara umum bersih/total modal) (laba 2 (dua tahun terakhir) Penyerahan laporan keuangan Misal 2016: Ya/Tidak (Jika Ya, tanggal penyerahan) 2017: Ya/Tidak (Jika Ya, penyerahan: ) tanggal Rasio tambahan: Cash Ratio (kas dan setara kas/utang lancar) 2 (dua tahun terakhir) Apakah terdapat kendala dalam penggunaan CG sampai dengan saat ini? Ada/Tidak Ada. (Alasan:
.....) SPP dan SPSA yang diterbitkan sejak penggunaan CG Ada/Tidak Ada. (Jika Ada, isikan nomor & tanggal SPP dan SPSA) Pelunasan SPP dan SPSA yang diterbitkan sejak penggunaan CG Ada/Tidak ada. Tanggal: LAIN-LAIN 1 Penyelesaian waste/ scrap 2 (Diisi dengan hal dianggap perlu) lainnya yang Daan ai san Pejabat/ Pegawai Yang Melakukan Pihak Perusahaan: Peninjauan: Ttd. Ttd. Nama NIP Jabatan : Ttd. NIP Ttd. NIP O. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MIKRO KITE NAMA PERUSAHAAN ALAMAT JENIS FASILITAS DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANWIL / KPUBC/KPPBC #erooooenoocenano0o000 SUSUNAN TIM EVALUASI MIKRO KITE Nomor ST : ST- / /20.. Tanggal Ie Na 20.... Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Nama NIP Pangkat/Golongan Jabatan Anggota I, Anggota II ,» (Nama) (Nama) NIP NIP Ketua Tim, (Nama) NIP TM JAE DAFTAR ISI Pendahuluan 1.
Latar Belakang Maksud dan Tujuan Ruang Lingkup Dasar Aturan Kegiatan Yang Dilaksanakan Hasil Yang Dicapai Kesimpulan Rekomendasi Tindaklanjut Halaman A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam rangka untuk menjamin fasilitas KITE yang diberikan dapat tepat sasaran dan dapat memberikan dampak ekonomi yang baik bagi negara maka diperlukan evaluasi bagi perusahaan penerima fasilitas KITE. Maksud dan Tujuan a. Untuk mengevaluasi implementasi penggunaan fasilitas KITE terhadap perusahaan pengguna fasiltas KITE:
Untuk mengevaluasi corporate guarantee fasilitas KITE:
Untuk mengetahui dampak ekonomi pemberian fasilitas KITE terhadap kinerja perusahaan dan penerimaan perpajakan negara:
Untuk mengetahui masalah dan kendala yang dialami oleh perusahaan di lapangan secara langsung, dan/atau e. Hal-hal lainnya Ruang Lingkup Ruang Lingkup Pelaksanaan Evaluasi adalah Perusahaan KITBE..............i.... yang berada di wilayah pengawasan Kantor Wilayah DJBC ......... yaitu PT sencc.ococooroco.y.ma Dasar Aturan a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.04/2013 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.04/2011 tentang Pengembalian Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang Pada Barang Lain dengan Tujuan Untuk Diekspor. Cc. Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-05/BC/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-15/BC/2012 Tentang Tata Laksana Pengembalian Bea Masuk Yang Telah Dibayar Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor.
Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-09/BC/2014 tentang Penerapan Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer Pada Perusahaan Pengguna Fasilitas Pembebasan, Pengembalian, dan Tempat Penimbunan Berikat, Serta Kerahasiaan Data dan/atau Informasi Oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dst. B. KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN Rincian kegiatan yang dilaksanakan di Perusahaan Penerima Fasilitas KITE disampaikan sebagai berikut: | Ds 3.
Melakukan evaluasi terhadap pendayagunaan IT Inventory perusahaan pengguna Melakukan peninjauan lokasi perusahaan pengguna fasilitas KITE, Melakukan evaluasi terhadap implementasi penggunaan fasilitas KITE pada kegiatan produksi perusahaan pengguna fasiltas KITE: Melakukan evaluasi terhadap corporate guarantee fasilitas KITE: fasilitas KITE:
Mengukur dampak ekonomi pemberian fasilitas KITE terhadap kinerja perusahaan dan penerimaan perpajakan negara, 6. Mengumpulkan masukan atas ketentuan dan kebijakan terkait fasilitas KITE dari perusahaan:
Dst.
HASIL YANG DICAPAI Terhadap kegiatan yang dilaksanakan di PT........iiiicoocooWo.o disampaikan sebagai berikut:
Data Perusahaan nencovevananengerananesanonnesenannanuaenananasunangasananananansanannannan asa gen onnanan s0cococcocomnunanangunnananangasonoaunn terosenenenenenakenernonennanasenangenanneneonevenaoneenassananenasanasenasonaa Kan Lan Nana ran eN Nasa LN aa Nasa aa era ma aa aan au anus uan uaN una BN uNa aa NNN0 BN NA AN BLN AOA. N.A NN a Menara ARA N Gan Bima a Kuas BN Nan Bin sjaa senocnocoreconananana d. Terkait evaluasi mengenai implementasi pendayagunaan IT Inventory, dapat kami sampaikan bahwa: #enecerenaoooaneooennanaoenevenesonaoanaonaneonoaunenangaoovonanna sesonanan SEM Mn Karo anne en eana Nano Manual Mean Ona Nae NON aa KU NN Un Banua saus Nan B san anan Kana asa Naa BO buana Buas f. Terkait Perusahan Implementasi Ketentuan dan Kebijakan di Bidang KITE, dapat kami sampaikan bahwa: #enoc0oooenoenarrenanoaroneneaagngaoeonasncanoanovanaonconovosoonanaounanannaonsanoosonao naa . KESIMPULAN Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami sampaikan resume sebagai berikut: LA NNANAN NAN UEA NONA MUNAS LAN AAN AKN UN U NAN NN KAB UaN Dela aa B na Oa Aa Naa Oa Na Ne aan Dau ala AD 6 Aa Ber Ba Ka GA BB BBB daan ma Oasonesoaneoo0onnnsosoanoosonoaona anna nanaosananawa anna oonoonanann anang onanuvasancavosa0ananenanasa one oeaaananananonan "0000000nneooo0noneeansoenkaneenanoons ana nawananananannanenuunneanano so runua as esananenoean anne nasa sonen asas ona #roroooo0neoeeeosnenanonoenowennoo nano nanuansonasonugananaona senang sonesanenununaaaosononamooonsosaneoounananaonooa KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../aeraf anon Kepada : Kepala Kanwil/ KPU / KPPBC Dari : Kepala Bidang Fasilitas / Kepala Seksi PKC Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Mikro KITE Tanggal "oo oo 20... Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi mikro atas pemberian fasilitas KITE di Kanwil/KPUBC/KPPBGC........... sesuai Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor ........ , bersama ini kami laporkan sebagai berikut :
Pada tanggal ............ sampai dengan tanggal ............... , kami yang bertanda tangan di bawah ini telah melakukan evaluasi terhadap perusahaan penerima fasilitas KITE a.n PT .......iiiiii.... surat tugas Kepala Kanwil/ KPU / KPPBC nomor ST-...../.... /20.. tanggal......... 20.. dengan data sebagai berikut:
Data Perusahaan No | Nama Perusahaan PT... NPWP O1 - NIPER Pembebasan 00000/000/KW.00/0000 Alamat Pabrik Alamat Kantor Bidang Usaha Tahun menggunakan fasilitas KITE snonennanageunesananan Alaloleluwlo nenuncsanoanangnannaan b. Terkait nature of business dan eksistensi perusahaan: #t0c000caneceganeoenennennaeanunanasenasenenana ana unnan ana OTP UNTAN ARENA ANN AN AN NAN NK NAN KRU A NA AA NUN aa ala BA BTAtbin Sala ara Min una Kls ARP UKS AKAL SN Sarana: LOL LNA KALA ANN UNA ANN ON Nee KAN 5 Ne Na B bin Bun wNeO ane sa BU No bias D sa Bawa AN 00-00 0d daa en ceraalOina Sin “000 ena tane rekanan ee neknekannanekan akan ensonansnnsannananasa na nananannnnana no esanon ana 000..ocoooorocececo.eonnenaeanenanoanananenasanananuanasasnananasanga "eoananoounwananenunandeananan ana a2a.o09O0is 000 0aa aan NOUa sana Nan AAU eNa NA Na NOS aa senuanecenangnananesonnosakonanenanoenanannonangnenuunasanonanaasa ss nnoonooann #00000ocooconuanasekerenankennerangonanoeoonanoeoooonnowna nan enenon ana onanusooo f. Terkait mengenai kendala dalam pemenuhan/pelaksanaan implementasi fasilitas KITE: seo coccooracoconocoonanenanangenagaaneonnnoransanaanoaaa Oeneoonooooneveraresonaeasesonneowesesasaongoooun nang Ooo orang an wanasoounananananananaa 2. Adapun tanggapan terkait hasil evaluasi mikro dengan hasil sebagaimana dimaksud pada Laporan Hasil Evaluasi Mikro nomor LAP- | 20, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: #o0occocomwocococooncmonanunanguanunannnn gua aan an ana cugun "On enneaveeeno anon onasanenenononaa soya sanwan ago oaoa0agocooon0ooose0ososenun Oo en neana aaua pos oaaN 3. Rdidisaikan hal-hal sebagaimana dimaksud di atas, kami mengusulkan bahwa: "eccceco0nanernannananananansanoronnunun ena onar asengeana na enan succonasonngenanganasocerusanenaneoanunesancooooenan even aa sana Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama)" “ Kepala Bidang Fasilitas / Kepala Seksi PKC R. FORMAT PEDOMAN KERTAS KERJA EVALUASI MAKRO TERKAIT EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PEMBERIAN FASILITAS KITE Pemeriksaan ERNA :
Existence - Perusahaan KITE berlokasi di alamat yang sesuai dengan Izinnya yaitu di - Tanda nama dan fasilitas terpasang di tempat yang terlihat jelas. - Lokasi:
perusahaan.... - dst . Responsibility - Izin Usaha perusahaan masih berlaku dan kegiatan yang dilakukan sesuai izin - Penanggung Jawab hadir saat kegiatan. Nature of Business - Terdapat SOP dan telah berjalan dengan baik. - Barang yang ditimbun/hasil produksi sesuai izin fasilitas yang diberikan. - Hasil produksi berupa :
..... - dst . Auditability - Perusahaan menyelenggarakan pembukuan sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Pemeriksaan IT Inventory Perusahaan telah mendayagunakan IT Inventory yang telah berhubungan langsung ' dengan pembukuan. Sudah ada pencatatan atas persediaan barang (Inventory), Pencatatan persediaan barang (Inventory) dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Berbasis Komputer / IT Inventory. Terdapat user log in untuk masing-masing operator. Terdapat user log in khusus untuk pegawai Bea Cukai. IT Inventory mencakup pencatatan pemasukan barang ke gudang penimbunan barang. Dalam menu pemasukan barang ke TPB terdapat field untuk mencatat jenis dokumen pabean, nomor dan tanggal dokumen pabean. IT Inventory mencakup pencatatan pengeluaran barang. Aplikasi bisa mendownload data-data Laporan Pertanggungjawaban mutasi barang. - IT Inventory mencakup pencatatan penyesuaian/adjustment (ada menu untuk melakukan penyesuaian / adjustment). - IT Inventory mampu menampilkan riwayat aktivitas (Log) yang dapat ditelusuri dalam waktu 2 (dua) tahun periode sebelumnya. - Kode barang tidak dicantumkan dalam IT inventory. - Telah dilakukan uji petik untuk menguji kehandalan IT Inventory perusahaan (tracebility) dari saat kedatangan barang di gudang sampai dengan menjadi barang jadi, dan kedapatan sesuai. - IT Inventory bisa diakses oleh Petugas Bea dan Cukai di KPPBC.
Melakukan pengisian cheklist pelaksanaan kegiatan evaluasi makro KITE KOP SURAT CHECKLIST PELAKSANAAN KEGIATAN EVALUASI MAKRO KITE Nama Perusahaan Lokasi Tanggal Pelaksanaan Nomor Surat Tugas A | DATA PERUSAHAAN 1 Nama NPWP Jenis SKEP KITE No & Tgl Skep ANTO Lokasi Pabrik Alamat Kantor Bidang Industri Hasil Produksi NloOINnlolja Jumlah Tenaga Kerja” Teeenc ono orang, Terdiri dari: Tenaga Kerja Outsourching - orang Tenaga Kerja Asing - orang Tenaga Kerja Tetap orang 10 | Data Investasi 11 | Data Perpajakan B | EKSISTENSI & KEGIATAN PRODUKSI, IMPOR, EKSPOR 1 Lokasi Pabrik Sesuai / Tidak, Milik Sendiri / Sewa:
.. thn Papan nama/SKEP KITE: ada / tidak Kegiatan Produksi M9 Tempat Pembongkaran, Gudang Bahan Baku Gd. WIP Gd. Barang Jadi Gd. Sisa BB/BJ/Waste Subkontrak tSIimlolnrnio Y& Asal Bahan Baku (Impor Fas/Non Fas/ Lokal/lainnya) ...Y Impor Fasilitas ....Yo Lokal Tujuan (Ekspor/Lokal/) 10 WwEkspor dari Keseluruhan Hasil Produksi dari BB asal Impor Fasilitas KITE 11 Trend Ekspor 3 tahun terakhir Meningkat / Menurun 12 Data Impor Fasilitas KITE Tahun 20.... - US$ ............. Tahun 20.... - US$ ............. Tahun 20.... - US$ ............. 13 Data Ekspor Fasilitas KITE Tahun 20.... - US$ ............. Tahun 20.... - US$ ............. Tahun 20.... - US$ ............. IT INVENTORY 1 Mencatat pemasukan, pengeluaran BB, BJ, WIP, dan saldo barang, secara berkelanjutan dan realtime Dapat menghasilkan 8 Laporan sesuai yang dipersyaratkan:
Laporan Pemasukan Bahan Baku per dokumen pabean, 2) Laporan Pemakaian Bahan Baku:
Laporan pemakaian barang dalam proses dalam rangka kegiatan subkontrak, dalam hal terdapat kegiatan produksi yang disubkontrakkan:
Laporan pemasukan hasil produksi:
Laporan pengeluaran hasil produksi:
Laporan mutasi bahan baku:
Laporan mutasi hasil produksi:
Laporan penyelesaian waste/scrap. Keterkaitan dengan dokumen pabean impor/pemasukan BB Keterkaitan dengan dokumen pabean ekspor/pengeluaran BJ Penggunaan kode yang berbeda atas barang dan/atau bahan yang diimpor Fasilitas dan Nan Fasilitas, waste/ scrap Dapat diakses DJBC & IT digunakan pembuatan BCLKT sebagai dasar Iya/Tidak , Alasan : Alamat web :
..... Username :
... Password :
..... senoc——.o... ..... ECONOMY IMPACT 1 Seberapa penting Fas. perusahaan KITE bagi Manfaat Fas. KITE bagi perusahaan Going concern perusahaan bila tidak menggunakan Fas. KITE Penyerapan tenaga kerja Investasi Perpajakan/Penerimaan Negara 3 (tiga) tahun terakhir 7 Economy impact lainnya PERMASALAHAN IMPLEMENTASI KETENTUAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG KITE 1 Apakah terdapat ketentuan dan prosedur saat ini yang menyulitkan dalam penerapan di lapangan ada/ tidak ada, Apakah terdapat ketentuan saat ini yang tidak efektif dalam penerapan di lapangan ada/ tidak ada, Alasani...... Apakah terdapat kendala dalam pelayanan fasilitas KITE di Kanwil (Sarana prasarana / sistem aplikasi / birokrasi / SDM) ada/ tidak ada, LAIN-LAIN Penyelesaian waste/scrap (Diisi dengan hal dianggap perlu) lainnya yang S. FORMAT PENGUMPULAN DATA TERKAIT DAMPAK EKONOMI FASILITAS KITE DALAM RANGKA EVALUASI MAKRO KOP SURAT PENGUMPULAN DATA TERKAIT DAMPAK EKONOMI FASILITAS KITE DALAM RANGKA EVALUASI MAKRO Nama Perusahaan Periode Tanggal Pelaksanaan Nomor Surat Tugas DATA PENGISI SENSUS Nama Jabatan Alamat email Nomor HP AJAlOolEkIw Nama Perusahaan A | DATA PERUSAHAAN 1 Nama Perusahaan 2 | NPWP 3 Jenis Fasilitas a. KITE Pembebasan b. KITE Pengembalian c. KITE IKM 4 | Nomor dan Tanggal SKEP awal dan perubahan terakhir 5 Lokasi 6 | Alamat perusahaan Jalan Kota/ Kabupaten Provinsi 7 | Alamat Kantor Jalan Kota/ Kabupaten Provinsi 8 | Nomor telepon perusahaan 9 | Alamat email perusahaan 10 | Jenis Industri 11 | Hasil Produksi 12 | Brand Produksi 13 | Tahun memakai fasilitas 14 | Tahun berdiri 15 Jenis Investasi Pilihan (a. PMA b. MPDN c. Lainnya (sebutkan)) 16 Jenis Industri 18 Kanwil (KITE Pembebasan dan/atau Pengembalian 19 KPPBC (KITE IKM) DAMPAK EKONOMI 1 Jumlah Tenaga Kerja Jumlah Upah Tenaga Kerja Nilai Ekuitas 2 3 4 Nilai PMTB (pembentukan modal: tetap bruto) Jumlah PPh Badan Tahun Pajak Terakhir Jumlah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Penerimaan Daerah Lainnya Jumlah Jaringan Usaha (Subkon, Distributor, Vendor, dll) yang menggunakan fasilitas Jumlah Jaringan Usaha (Subkon, Distributor, Vendor, dll) yang tidak menggunakan fasilitas Jumlah tenaga kerja pada jaringan usaha yang tidak menggunakan fasilitas 10 CAPEX / Depresiasi 11 Laba/rugi Usaha Sebelum Pajak 12 Jumlah Pajak Tidak Langsung (contoh: PPN, PPnBM, bea masuk, bea keluar, pajak impor) 13 Jumlah All Tax (PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, PPh pasal 25/29, PPh pasal 26, PPh Final) 14 Pajak Daerah (contoh: PBB, pajak kendaraan bermotor) 15 Jumlah nilai Devisa Ekspor 16 Jumlah nilai Devisa Impor 17 Jumlah nilai yang diberikan fasilitas KITE (Jumlah BM & PPN/PPnBM yang dibebaskan/ dikembalikan) PERTANYAAN UMUM 1 Apakah Fasilitas KITE/KB Bermanfaat Bagi Perusahaan? a. Ya b. Tidak, sebutkan alasan Uraian Manfaat Fasilitas KITE Bagi Perusahaan Apakah terdapat ketentuan dan prosedur saat ini yang menyulitkan dalam penerapan di lapangan? Sebutkan. 4 | Apakah terdapat ketentuan saat ini yang tidak efektif dalam penerapan di lapangan? Sebutkan. S5 |Apakah terdapat kendala dalam pelayanan fasilitas di Kanwil DJBC/KPUBC/KPPBC (sarana prasarana/ SKP/ birokrasi/ SDM) 6 | Adakah masukan untuk pengembangan pemberian fasilitas ke depannya? 7 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) Pejabat/ Pegawai Yang Melakukan Pihak Perusahaan: Peninjauan: Ttd. Ttd. NIP Nama : Jabatan : NIP 3 Ttd. NIP T. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN EVALUASI MAKRO KITE TERKAIT PENILAIAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PEMBERIAN FASILITAS KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../ saraf aan. Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Kanwil / KPUBC Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro KITE Dalam Rangka Penilaian Efektivitas Kebijakan Pemberian Fasilitas KITE Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi makro atas pemberian fasilitas KITE di wilayah Kanwil atau KPUBC ...... Kane sesuai Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor ......... , bersama ini kami laporkan sebagai berikut :
Data pertumbuhan perusahaan penerima fasilitas KITE yang berada di bawah pengawasan Kanwil atau KPUBC: Contoh Jumlah Jumlah ad Jumlah SKEP SKEP perusahaan Tahun yang diterbitkan yang penerima fasilitas ana tera dicabut KITE SKEP KITE) 2016 2017 2018 2. Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas KITE di bawah pengawasan Kanwil, KPUBC atau KPPBC ....... sebagai berikut :
Informasi mengenai pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku dan pelanggaran yang sering dilakukan: Contoh: No. | Tahun | Kategori Frekuensi Kejadian | Tindak Keterangan Pelanggaran Lanjut 1. 2017 | Pelanggaran | Dalam setahun | Pembekuan subkontrak terdapat .. | fasilitas untuk pelanggaran kegiatan awal produksi D: 2018 | (Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) b. Informasi mengenai kinerja perusahaan: Profil Status Keterangan jumlah | jumlah | jumlah | Jumlah | Jumlah | Jumlah Tahun low medium | high MITA MITA AEO risk risk risk Prioritas Non Prioritas 2017 Diisi dengan hal lainnya yang dianggap perlu) 2018 c. Informasi mengenai kendala dalam pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku: Contoh: Kategori Sena gu sg :
No. | Tahun Permasalahan Frekuensi Kejadian Tindak Lanjut 1 2 d. Informasi lainnya yang dipandang perlu: sowunangcestang0nnverenununananesooee Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) U. FORMAT PENYAMPAIAN PENILAIAN DAN PENGUMPULAN DATA DAMPAK EKONOMI! TERKAIT FASILITAS KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- ... /-xxef sex. Kepada : Direktur Fasilitas Kepabeanan Dari : Kepala Kanwil / KPUBC Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro KITE Dalam Rangka Penilaian atas pemberian fasilitas KITE di wilayah Kanwil atau KPUBC Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor dan Penyampaian Data Pemberian Fasilitas KITE Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi makro terkait pengumpulan data mann sesuai smua , bersama ini kami sampaikan bahwa: 1: Pada tanggal ..... ..... 20...., Kanwil atau KPUBC.........ooo telah memberikan memberikan kuesioner kepada seluruh perusahaan penerima fasilitas KIT Eng dibawah pengawasan Kanwil atau KPUBC dengan data terlampir (soft copy data dampak economy). socosrccirenanenanena . Adapun hasil penilaian terkait dampak ekonomi atas pemberian fasilitas KITE dibawah pengawasan Kanwil atau KPUBC............. , secara umum dapat kami sampaikan bahwa ssccacoacoocorocomocoocoooc.coorocoocoasanasangunnag nana ana enrunananaangenan asas Kenasanannnnan sena asannenannnana se ona nek osn sesak ena nn ana sanak aman anna naannananan sena ran ass enenas erangan nan ennan ana nanas seresanasenpensoeenann anon unna0eeaakanana nana san ank enas ea nek ana nenen ae sanenanerane engan non nasansana ena oeranana nan aan sasaran ana secenenananenasenananoneasevanennenoanenunsan essen nan eeen aura none soo nunenasasn sen nana neg aan aanan anang narenan anna nananana nan seneannannenensonannasonanaaanena uan angan an nananan nan sananannanaauaaassen na nuana anna ga nan aa san aan anunnnanaan nana nanang nana ssnccoovorancedonaoooneana nana reren ne aoun ane esro nur so open ganesa sana an eneng onanann angan guna sanaaan sunan ana nana n ana nun aa encaseaaavancannaoanesenounnan nasa asas enda nenen anna na ang naas anna e penekan sasaran nana nga nana nan en aon ea anna ana ana sana nan anna Demikian kami sampaikan sebagai laporan. (Nama) V. FORMAT LAPORAN HASIL PELAKSANAAN EVALUASI MAKRO KITE TERKAIT PENILAIAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PEMBERIAN FASILITAS KITE KOP SURAT NOTA DINAS NOMOR : ND- .../sarafanan Kepada : Direktur Jenderal Dari : Direktur Fasilitas Kepabeanan Lampiran : 1 (satu) berkas Hal : Laporan Pelaksanaan Evaluasi Makro KITE Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi makro atas pemberian fasilitas KITE sesuai Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor ........ , bersama ini kami laporkan sebagai berikut :
Data pertumbuhan perusahaan penerima fasilitas KITE yang berada di bawah pengawasan Kanwil, KPUBC atau KPPBC: snc.ocococnennonasangnnassanauanana pennennannoneo0aseneauaanaanasanaana 2. Hasil evaluasi makro terhadap pemberian fasilitas KITE, sebagai berikut :
Informasi mengenai pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku dan pelanggaran yang sering dilakukan b. Informasi mengenai kinerja perusahaan c. Informasi mengenai kendala dalam pemenuhan/pelaksanaan aturan yang berlaku d. Informasi lainnya yang dipandang perlu Demikian disampaikan sebagai laporan. (Nama) W. FORMAT LAPORAN EVALUASI MAKRO KITE TERKAIT PENGUKURAN DAMPAK EKONOMI PEMBERIAN FASILITAS KITE KOP SURAT NOTA DINAS Nomor: ND- / /20... Yth : Direktur Jenderal Dari : Direktur Fasilitas Kepabeanan Lampiran : 1 (Satu) Berkas Hal : Laporan Evaluasi Makro KITE terkait Pengukuran Dampak Ekonomi Pemberian: Fasilitas KITE Tanggal na. con cWmaaaa 20.... Sehubungan telah dilaksanakannya pengukuran dampak ekonomi fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dengan hormat kami sampaikan laporan sebagai berikut:
Bahwa pada bulan .............. tahun ekonomi fasilitas KITE.
Kegiatan pengukuran dampak ekonomi ini merupakan kegiatan untuk pengumpulan data melalui tiga sumber yaitu:
Internal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk pengumpulan data terkait ekspor, impor dan nilai fasilitas yang diberikan b. Direktorat Jenderal Pajak untuk mengumpulkan data terkait perpajakan perusahaan penerima fasilitas KITE. sa telah dilaksanakan pengukuran dampak 3. Berikut kami sampaikan laporan hasil pengumpulan data untuk seluruh pengguna penerima fasilitas KITE sebagaimana dimaksud di atas terhadap perusahaan penerima fasilitas:
no.
Data ekspor, impor dan nilai fasilitas yang diberikan. Contoh: Data Perusahaan KITE Tahun Devisa Impor (USD) | Devisa Ekspor (USD) | Rasio 2016 2017 2018 b. Data sensus (data yang terkumpul ....... dari seluruh perusahaan yang diminta untuk melakukan pengisian pengukuran dampak ekonomi). Contoh: Data Perusahaan KITE Nilai Investasi a Kena didasarkan enaga 4 onomic Ma ( sman) Pajak Daerah Kerja | Jaringan Activity (Rp) Industri (orang) (pelaku (Rp) usaha) 2016 2017 2018 c. Perbandingan nilai Contoh: fasilitas yang diberikan kepada perusahaan KITE dibandingkan dengan kontribusi ekonomi yang dihasilkan perusahaan KITE. Data Perusahaan KITE Tahun Nilai Pengembalian/ Pembebasan (Rp) Kontribusi Ekonomi (Rp) Perpajakan (All tax/ Pajak Pusat) Nilai Tambah 2016 TOTAL Perpajakan (All tax/Pajak Pusat) Nilai Tambah 2017 TOTAL Perpajakan (All tax/ Pajak Pusat) Nilai Tambah 2018 TOTAL 4. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa: Demikian kami sampaikan sebagai laporan. (Nama) LAMPIRAN III PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 02/BC/2019 TENTANG TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI TERHADAP PENERIMA FASILITAS TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DAN FASILITAS KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR A. FORMAT SURAT PERNYATAAN PEMBERIAN KETERANGAN LISAN/TERTULIS KOP SURAT SURAT PERNYATAAN PEMBERIAN KETERANGAN LISAN / TERTULIS PELAKSANAAN MONITORING ......... ATAU EVALUASI........... Yang bertanda tangan dibawah ini, kami : Nama IT nenen Pekerjaan/Jabatan :
....oooocooco.Wooooo oo Alamat 3 PBNU nimoga mama Dalam hal ini bertindak selaku : CJ Pimpinan D Wakil CJ Kuasa dari Perusahaan” Nama PN an SO RN ISA NPWP rang Alamat Ti PSS esa meme mame aman aK anna dalam rangka pelaksanaan monitoring........ /evaluasi............. terhadap pemenuhan ketentuan tentang pemberian fasilitas pembebasan oleh Tim Monitoring....... /Evaluasi......... Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan Surat Tugas Nomor : Pan tanggal ..e..ocooco.. dengan ini menyatakan telah memberikan keterangan lisan / tulisan 3 dalam pelaksanaan monitoring........ /evaluasi.............. dengan rincian sebagai berikut : sencecenunengannesoann sange onnenasan ena sananananasasensan es eanaanaasagenaananaoneneesan gan anenuanananasananaoagogeoaa nan ana panaananana #enenesesenasennasananaannanaananaannasenasana sana senan ana naaonnununun ana annananu eng awenanana nga nanganenanasanaransanosa nenen enaanenaan @nenenenetanerennsenenanakennakannsereoseseana nenas euauan aa anon anon nana naeua aan aa nusa na sen enn aan nona nanana nana anananaaa senuanaanaa Surat pernyataan ini dibuat dan ditandatangani dengan penuh kesadaran tanpa paksaan dari siapapun serta kami bersedia bertanggung jawab atas segala akibat hukum yang timbul dari pernyataan ini. Yang membuat pernyataan Matera sccoccoooco.cowocorananunaaneenganeneanan Catatan : 3 dipilih sesuai kondisi ”) berilah tanda X pada kotak sesuai kedudukan B. FORMAT SURAT PERNYATAAN PENOLAKAN/TIDAK MEMBANTU” DALAM RANGKA PELAKSANAAN MONITORING/EVALUASI KOP SURAT SURAT PERNYATAAN PENOLAKAN/TIDAK MEMBANTU! PELAKSANAAN MONITORING ......... /ATAU EVALUASI........... Yang bertanda tangan dibawah ini, kami : Nama Tmn Pekerjaan/Jabatan 5 ...ooococoocoooomo.oooooooom. Alamat Ie se Dalam hal ini bertindak selaku : Do Pimpinan Wakil O Kuasa dari Perusahaan” Nama N eta EN NNNEN NAN NPWP Pe nan Alamat d Oeana Nenen EN NN dalam rangka pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap pemenuhan ketentuan tentang pemberian fasilitas pembebasan oleh Tim Monev Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan Surat Tugas NomOf : “oo tanggal, senarweonemssase dengan ini menyatakan menolak/ tidak mau membantu? pelaksanaan monitoring dan evaluasi dengan alasan : ea aan Naa Nana n nan Nas asn u una a Ba LAU B uu BN BU Na laa BN KN AN BNN BIAN ON NU KAN UN MO esa g ON aa NN naa 0 aa Oa O9a en. Nah 993 Surat pernyataan ini dibuat dan ditandatangani dengan penuh kesadaran tanpa paksaan dari siapapun serta kami bersedia bertanggung jawab atas segala akibat hukum yang timbul dari pernyataan ini.
..oncocow.. penssenennananarankan kanan Yang membuat pernyataan Materai sanonc0ona0ccooooooooooco.occ.coK.. Catatan : 3 dipilih sesuai kondisi “) berilah tanda X pada kotak sesuai kedudukan DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,
Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(1) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator. (2) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi berlaku pula bagi likuidator. 56 Ketentuan ini ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Conflict of Interest Direksi terjadi dalam hal diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU PT yang menyatakan: _Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: _ 1) terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota _Direksi yang bersangkutan; atau _ 2) anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. c. Bahwa dalam UU PT juga sudah diatur tentang dilarangnya Direksi mewakili perseroan dalam hal terjadi benturan kepentingan. Suatu Perseroan Terbatas yang melakukan pembubaran perseroan tidak selalu melibatkan asset yang dapat dibagi, bahkan dari likuidasi dan pembubaran yang didaftarkan dalam 3 tahun terakhir adalah likuidasi yang tidak melibatkan keuangan yang signifikan sehingga apabila likuidasi hanya dapat dilakukan oleh likuidator dapat terjadi hal sama dengan kurator, sehingga dapat terjadi dalam likuidasi perusahaan dalam hal kepailitan oleh debitur yang tidak punya asses tidak diminati likuidator sehingga menyebabkan menjadi terkatung katung. Sebagaimana yang diatur dalam KUHD yang melakukan likuidasi adalah pengurus, namun baru pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 di atur tentang likuidator, dan rezim likuidasi terbagi dalam 2 jalur yaitu likuidasi sukarela dan paksa melalui kepailitan. Dalam hal likuidasi sukarela sepenuhnya berdasar KUH Perdata berdasarkan kesepakatan para pihak terkait dengan bagaimana prosesnya dan siapa yang akan melakukan pemberesan perseroan tersebut.
Berdasarkan Pasal 142 UU PT sebatas pelaksana tugas likuidator dalam tugas pelaksanaan likuidasi perseroan terrsebut. Padahal likuidasi sangat penting untuk menentukan status hukum suatu perseroan sehingga tidak mempersulit prosesnya. Kekawatiran pemohon apabila terjadi conflik of interest karena adanya RUPS dan organ RUPS masih mempunyai kekuasaan untuk mengangkat kembali menegur pemberesan yang dilakukan direksi. 57 5. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) UU PT bertentangan terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak beralasan hukum. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tersebut tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menyatakan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945. Namun apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aquo et bono) . Atas perkenan dan perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, diucapkan terima kasih. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 10 Oktober 2018 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang disampaikan di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 17 Oktober 2018, yang pada pokoknya sebagai berikut: 58 A. KETENTUAN UU PT YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD 1945 Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya __ mengajukan pengujian atas Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur: Pasal 142 ayat (2) huruf a _Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): _ (a) Wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator Pasal 142 ayat (3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU PT Para Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT telah menghilangkan atau mengganggu hak dasar Para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan jaminan perlindungan hukum selaku warga negara Indonesia, sebab kedua pasal a quo tidak memberikan definisi bahkan persyaratan kepada seseorang yang dapat menjadi likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 7 angka 2). Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT, terdapat kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Dengan demikian, maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 14 angka 14). Para Pemohon dalam permohonannya __ mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang dinilai merugikan profesi likuidator akibat ketiadaan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi profesi likuidator ( Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 8). Secara garis besar, Para Pemohon mengharapkan bahwa pasal-pasal a quo di dalam UU PT yang dinilai merugikan hak konstitusional dari para Pemohon yang berprofesi sebagai likuidator dan 59 mengganggu peningkatan pembangunan perekonomian nasional untuk diuji konstitusionalitasnya. Bahwa pasal-pasal a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berketentuan sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan seluruh Permohonan para Pemohon;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 106, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ( conditional unconstitutional ) “likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen”;
Menyatakan Pasal 142 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut: 60 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa: Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga Negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara . Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide __ Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 __ dan __ Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: 61 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan para Pemohon a quo , DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Merujuk kepada lima syarat terkait kerugian konstitusional dari para Pemohon, DPR-RI memberikan pandangan sebagai berikut: a) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 Bahwa para Pemohon beranggapan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya dan hak atas 62 pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, tidak mengatur secara khusus kedudukan, hak dan wewenang likuidator dan kurator. Bahwa mencermati ketentuan pasal a quo UU PT yang mengatur mekanisme pembubaran perseroan, sesungguhnya tidak terdapat pertautan dengan hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa perlu dipahami oleh Para Pemohon, profesi likuidator dan kurator adalah dua profesi yang berbeda dan masing-masing memiliki kekhususan dan kewenangan tersendiri yang diatur dengan undang-undang UU PT dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan dalam undang-undang yang berdeba antara likuidator dan kurator tersebut, tentu memiliki peran, kedudukan, fungsi dan wewenang yang berbeda yang tidak dapat disamakan dengan mengajukan pengujian ketentuan a quo UU PT. Oleh karena ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, sama sekali tidak tepat jika dikaitkan dengan hak konstitusional yang dianggap para Pemohon dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. b) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang- undang yang diuji Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon sebagaimana dalil para Pemohon dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut, sama sekali tidak tepat jika dihubungkan dengan ketemtuan a quo UU PT. Oleh karena tidak adapertautan antara hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan ketentuan a quo UU PT tentu Para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional oleh berlakunya ketentuan a quo UU PT. 63 Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon III adalah selaku pengurus Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) dan Pemohon IV sampai dengan Pemohon VII adalah selaku likuidator/anggota PPLI. Dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa dengan demikian peran likuidator yang diatur dalam ketentuan a quo UU tersebut, tidak mengurangi dan tidak menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon sebagai likuidator sebagaimana didalilkan Para Pemohon. c) Terkait dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mendalilkan bahwa Para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan yang mengatur mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Ketentuan yang berbeda tersebut, Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT tidak memiliki kesetaraan terlebih terhadap kualifikasi profesi sehingga tidak tercermin adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum. Bahwa dalil para Pemohon tersebut bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, karena dalil yang dikemukakan para Pemohon adalah bersifat asumsi yang beranggapan adanya perbedaan pengaturan antara likuidator yang diatur dalam UU PT dan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian para Pemohon a quo tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan 64 aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi sebagaimana didalilkan para Pemohon. d) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa kerugian para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mengemukakan bahwa para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Bahwa dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa antara kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tersebut sama sekali tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causa verband ) dengan ketentuan a quo UU PT. Karena para Pemohon tidak mengalami kerugian yang bersifat konstitusional dengan berlakunya ketentuan a quo UU PT. e) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa seandainya petitum yang diajukan oleh para Pemohon untuk menambahkan kalimat “ yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen ” setelah kata “ likuidator ” di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT dikabulkan oleh MK, tidak dengan serta merta menghilangkan kerugian konstitusional yang dianggap telah dialami oleh para Pemohon karena jika para Pemohon menganggap bahwa ketentuan pasal a quo belum cukup mengatur mengenai profesi likuidator, tidak berarti pasal a quo tersebut inkonstitusional. 65 Bahwa dengan demikian Putusan Mahkamah Kontitusi terhadap pengujian UU a quo tidak berpengaruh apapun terhadap para Pemohon. Bahwa selain itu terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa mereka memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian UU PT atas dasar sebagai bagian dari warga negara pembayar pajak dengan landasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-I/2003 merupakan suatu kesalahan. Hal ini mengingat pertimbangan yang diungkapkan oleh Majelis Hakim MK yang termuat di dalam Putusan tersebut yang menyatakan: “Menimbang bahwa para Pemohon a quo adalah warga masyarakat pembayar pajak (tax payers), sehingga dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal dimaksud sesuai dengan adagium no taxation without participation dan sebaliknya no participation without tax, sehingga hak dan kepentingan mereka terpaut pula dengan pinjaman (loan) yang dibuat negara cq. pemerintah dengan pihak lain yang akan membebani warga negara sebagai pembayar pajak. Upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak. Dalam kaitan dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon a quo yang menganggap hak konstitusional mereka dirugikan dengan berlakunya Pasal 20 UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, dapat dibenarkan sehingga Pemohon a quo memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk berperkara di hadapan Mahkamah. (vide Putusan MK No. 003/PUU-I/2003 hlm. 49 – 50)” Bahwa berdasarkan kutipan dari Putusan MK Nomor 003/PUU-I/2003 tersebut maka dapat dipahami bahwa alasan mengapa warganegara pembayar pajak ( tax payers ) mempunyai kedudukan hukum untuk memohon pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara adalah dikarenakan adanya hak dan kepentingan mereka yang terkait langsung dengan pinjaman yang dibuat oleh negara. Mengingat upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak, yang tentunya bersumber dari warganegara pembayar pajak. 66 Bahwa dengan demikian salah apabila Para Pemohon berpandangan bahwa mereka mempunyai kedudukan hukum semata-mata atas dasar sebagai warganegara pembayar pajak saja. Oleh karenanya dengan dikabulkannya permohonan ini atau tidak maka tidak akan ada dampak apa pun bagi ara Pemohon. Bahwa pandangan DPR-RI berpandangan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa di dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest , point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang . Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection )”. Bahwa terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkret mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian- uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan 67 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Materiil Atas UU PT Terhadap UUD NRI Tahun 1945 a. Pandangan Umum 1) Bahwa menurut Gustav Radbruch, kepastian hukum ( legal certainty ) merupakan salah satu dari tiga pilar fundamental di dalam hukum, selain keadilan dan kebermanfaatan, oleh karenanya keberadaan UU PT ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan investasi di bidang ekonomi dalam wadah Perseroan Terbatas di Indonesia.
Bahwa Pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pembangunan perkonomian nasional perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Selama ini perseroan terbatas telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang menggantikan peraturan perundang- undangan yang berasal dari zaman kolonial. Namun, dalam perkembangannya ketentuan dalam Undang-Undang tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Di samping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) menuntut penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Bahwa dalam Undang-Undang ini telah diatur berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa penambahan ketentuan baru, 68 perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan. Untuk lebih memperjelas hakikat Perseroan, di dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Bahwa Undang-Undang ini memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris, mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris utusan. Selain itu Undang-Undang ini mempertegas ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum Perseroan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek Perseroan, maka Undang-Undang ini diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo mengemukakan: “Bahwa norma a quo tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator.” (vide perbaikan permohonan hlm 12 angka 9) Bahwa dalil Pemohon tersebut bersifat asumtif, tidak memperjelas sacara konkrit mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagai likuidator. Bahwa asumsi para Pemohon yang beranggapan ketiadaan pengaturan mengenai profesi likuidator di dalam UU PT menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan. Oleh karena para Pemohon tidak membuktikan secara konkrit mengenai kerugian yang diakibatkan oleh berlakunya UU PT, 69 tetapi para Pemohon membandingkan pengaturan likuidator dalam UU PT dengan pengaturan kurator dalam UU KPKPU. Bahwa justru ketentuan a quo UU PT memberikan kepastian hukum kepada peran likuidator dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur UU PT. Bahwa merujuk pada pendapat Gustav Radbruch dalam Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law mengenai kepastian hukum, dikatakan bahwa: “Any statute is always better than no statute at all, since it at least creates legal certainty.” Setiap Undang-Undang selalu lebih baik daripada tidak ada undang- undang sama sekali, karena setidaknya menciptakan kepastian hukum. Merujuk pendapat dari Gustav Radbruch tersebut, bahwa kepastian hukum lahir dari norma yang sudah menjadi hukum positif, yaitu UU PT. Bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur peran likuidator justru memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum dalam melakukan likuidasi dalam hal terjadi pembubaran perseroan.
Bahwa ketiadaan pengaturan mengenai likuidator di dalam UU PT tidak serta merta berarti ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Perkara PUU Nomor 88/PUU-XV/2017 yang di dalamnya menyatakan: “Perihal belum adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang (rechtsvacuum) tentang santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini. Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan menyalahkan 70 undang-undang a quo.” ( vide Putusan MK No. 88/PUU-XV/2017: hlm.
Memberitahukan pembubaran Perseroan tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan Kurator memiliki tugas sebagai berikut:
Melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit (vide Pasal 69 UU K-PKPU) b. Kurator harus menyampaikan laporan kepada 71 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator dalam likuidasi; [vide Pasal 147 ayat (1) UU PT] b. Melakukan pemberesan harta Perseroan; [vide Pasal 149 ayat (1) UU PT] c. Atas perintah Pengadilan Negeri, likuidator melakukan penarikan sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham apabila ada kreditor yang belum mengajukan tagihannya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pembubaran Perseroan diumumkan; (vide: Pasal 150 ayat (2) UU PT) d. Membuat laporan pertanggungjawaban atas likuidasi yang dilakukan [vide Pasal 152 ayat (1) UU PT] e. Memberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya; [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT]; dan
Mengumumkan hasil Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya tiap 3 (tiga) bulan. (vide Pasal 74 UU K-PKPU) c. Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit, dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan (vide Pasal 98 UU K- PKPU) d. Kurator paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua Kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4). [vide Pasal 114 UU K-PKPU] e. Kurator wajib: • Mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh Kreditor dengan catatan yang 72 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT] telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor pailit; atau • Berunding dengan Kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima [vide Pasal 116 ayat (1) UU K-PKPU] f. Kurator melakukan penjualan harta pailit (vide Pasal 185 UU K-PKPU) g. Kurator melakukan daftar pembagian hasil penjualan harta pailit (vide Pasal 189 UU K-PKPU) 3. Kualifikasi Profesi Tidak diatur Seseorang yang dapat diangkat menjadi likuidator harus memenuhi kualifikasi sebgaai berikut:
Orang-perseorangan yang berdomisili di Indonesia b. Memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit;
Dan terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang- undangan [vide Pasal 70 ayat (2) UU K- PKPU] 4. Organisasi Profesi Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia a. Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia 73 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator (PPLI) (AKPI) b. Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) c. Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (KHKI) Bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan kejelasan profesi likuidator yang sesungguhnya memiliki kualitas, peran, dan tanggungjawab yang sama dengan kurator adalah anggapan yang keliru karena profesi likuidator yang diatur dalam UU PT memiliki kedudukan, peran dan tanggung jawab yang berbeda dengan profesi kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian tidak tepat dan tidak berdasar apabila Para Pemohon hendak menyamakan peran dan tanggung jawab antara kedudukan likuidator yang jelas berbeda dengan kurator yang diatur dalam UU yang berbeda. Merujuk pendapat Prof. Soediman Kartohadiprodjo yang menyatakan bahwa, “ Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan ( ungenrechtigkeit ) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU- X/2012: hlm. 84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Soediman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu: “Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan 74 atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan.” (vide Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57) 4) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (3) UU PT berpotensi menimbulkan konflik bagi para pihak yang berkepentingan ( conflict of interest ) dan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa terhadap pernyataan para Pemohon tersebut, DPR-RI berpandangan bahwa dalam hal adanya potensi konflik bagi para pihak yang berkepentingan sudah diatur dalam UU PT, terutama bagi kreditor. Bahwa ketentuan yang mengatur penyelesaian adanya potensi konflik tersebut diatur dalam Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) UU PT, yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) (3) Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Dalam hal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) (1) Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (3), dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. (2) Kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1). Bahwa berdasarkan pandangan tersebut diatas, ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur pembubaran, 75 likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan adalah ketentuan yang memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum dan kesamaan kedudukan setiap orang di dalam hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karenanya, ketentuan pasal a quo UU PT tidak bertentangan dengan UUD 1945. __ Bahwa berdasarkan dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca kesimpulan yang disampaikan oleh para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Oktober 2018, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. 76 3. PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756, selanjutnya disebut UU 40/2007) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili Permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 77 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 78 [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo adalah Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007: Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat _(1): _ _a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan _ Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007: “ Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator , Direksi bertindak selaku likuidator.” 2. Bahwa para Pemohon dalam Permohonan a quo masing-masing adalah:
M. Achsin (Pemohon I);
Indra Nur Cahya (Pemohon II);
Eddy Hary Susanto (Pemohon III);
Anton Silalahi (Pemohon IV);
Manonga Simbolon (Pemohon V);
Toni Hendarto (Pemohon VI);
Handoko Tomo (Pemohon VII).
Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum, Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menjelaskan dirinya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia yang taat membayar pajak dan berprofesi sebagai likuidator yang tergabung dalam Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI). Para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia (WNI) dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut: 79 a. Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adalah WNI yang berprofesi sebagai likuidator telah mengikuti kegiatan untuk membentuk likuidator yang profesional. Menurut Pemohon I sampai dengan VII, serangkaian wewenang yang diberikan oleh UU 40/2007 terhadap likuidator dalam melaksanakan tindakan likuidasi perseroan tidak dapat dilaksanakan secara profesional apabila tidak dibekali dengan dasar kemampuan dan keahlian yang mumpuni. Oleh karena itu Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menganggap bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengakomodir kriteria seseorang yang layak menjadi likuidator;
Bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak memiliki rumusan yang jelas terhadap kata “likuidator“. Hal tersebut berakibat kurangnya atau hilangnya perlindungan hukum Pemohon I sampai dengan Pemohon VII ketika sedang menjalankan tugas sebagai likuidator, sehingga dalam melaksanakan profesinya, likuidator tidak memiliki jaminan kepastian hukum yang adil;
Menurut Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dalam menerangkan kedudukan hukumnya, bangsa dan negara juga mengalami kerugian yang nyata karena Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengandung kepastian hukum terhadap kata “likuidator”, sehingga akan mengganggu pencapaian tujuan dari dibentuknya UU 40/2007 tersebut, yaitu untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional. Selain itu menurut para Pemohon, pelaksanaan likuidasi yang tidak dilakukan oleh likuidator yang profesional dan memiliki kualifikasi tertentu dapat berakibat tidak tercapainya peningkatan pembangunan perekonomian nasional yang diharapkan, bahkan mengalami penurunan. Berdasarkan uraian argumentasi Pemohon I sampai dengan Pemohon VII pada huruf a sampai dengan huruf c di atas di dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, Mahkamah setelah mencermati dengan seksama, yaitu anggapan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adanya pertentangan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 dengan UUD 1945 khususnya jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama, menurut Mahkamah Pemohon I sampai dengan Pemohon VII telah dengan jelas menguraikan 80 secara spesifik hak konstitusionalnya yang merasa telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007. Anggapan kerugian konstitusionalitas yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dimaksud tampak adanya hubungan kausalnya dengan norma Undang- Undang yang dimohonkan pengujian ( in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) UU 40/2007) dan sebagai akibatnya telah jelas adanya konsekuensi logis, bahwa apabila Permohonan a quo dikabulkan maka kerugian hak konstitusional dimaksud tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu terlepas beralasan atau tidaknya secara hukum permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo ; [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo dan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon), maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok Permohonan para Pemohon. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas norma dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan mengemukakan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut (argumentasi selengkapnya dari para Pemohon termuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi para Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator. Ketentuan Pasal a quo membuat profesi likuidator diperlakukan sebagai “anak tiri” dalam melakukan likuidasi perseroan. Pemikiran tersebut lahir karena para Pemohon melihat bahwa pasal a quo tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum 81 (undang-undang). Padahal sesungguhnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, namun pasal a quo justru menafikan pesan dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa masih menurut para Pemohon, persamaan kedudukan antarwarga negara tidak bisa dibatasi oleh adanya batas kesukuan, agama, dan ras, termasuk keprofesian. Oleh karenanya, setiap ketentuan perundang-undangan harus mengakomodir makna yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, agar ketentuannya memiliki makna adanya persamaan di hadapan hukum antar sesama warga negara. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan mengenai kedudukan likuidator setara dengan kurator dapat dilihat dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang menyatakan bahwa “Dalam hal _terjadi pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
wajib_ diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator” . Frasa dalam pasal a quo menunjukkan adanya kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari pilihan kata yang digunakan, yaitu kata “atau”. Penggunaan kata “atau” menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada perbedaan kedudukan yang signifikan antara likuidator dengan kurator. Dengan demikian maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator;
Bahwa selain terkait dengan eksistensi profesi likuidator, para Pemohon menegaskan bahwa direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 merupakan organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan. Ketentuan Pasal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya direksi dipersiapkan untuk mengurus dan menjalankan produktivitas perseroan. Hal tersebut bermakna ketika perseroan mengalami kerugian yang mengakibatkan perseroan harus dibubarkan dan tidak terlepas dari peranan direksi yang tidak mampu mengelola perseroan dengan baik. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, direksi tidak sepantasnya bertindak sebagai likuidator ketika terjadi pembubaran perseroan; 82 d. Bahwa dalam hal direksi menjalankan fungsi likuidasi, menurut para Pemohon, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Segala harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip- prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat menciderai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon, rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator . Sehingga, menurut para Pemohon Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang kata “likuidator”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditional unconstitutional)[sic!] “ likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen. Dan juga menyatakan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan UUD 1945 (unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil Permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan P-18 serta tiga orang ahli, yaitu M. Hadi Shubhan, Efridani Lubis, dan Muchamad Ali Safa’at, serta tiga orang saksi, yaitu Heri Subagyo, Azet Hutabarat, dan Nasrullah Nawawi, yang keterangan selengkapnya sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini; [3.9] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 8 Mei 2018 (keterangan selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 10 Oktober 2018 (keterangan 83 selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.11] Menimbang bahwa Mahkamah setelah membaca dengan seksama permohonan para Pemohon, alat-alat bukti yang diajukan serta keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan para Pemohon; [3.12] Menimbang bahwa untuk memudahkan di dalam menjawab isu pokok permohonan yang dipersoalkan oleh para Pemohon, Mahkamah akan mengindentifikasi isu krusial yang dipersoalkan para Pemohon. Setelah membaca dengan saksama dalil pokok permohonan para Pemohon, terdapat 2 (dua) isu mendasar berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, yaitu: Pertama , apakah dengan tidak adanya definisi dan persyaratan sebagai likuidator dalam UU 40/2007 menyebabkan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 menjadi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Kedua , apakah kedudukan direksi sebagai likuidator dalam proses pembubaran perseroan dalam hal RUPS tidak menunjuk likuidator berpotensi menimbulkan benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap kedua isu konstitusional tersebut Mahkamah mempertimbangkan, sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa sebelum menjawab isu pokok yang pertama, yaitu berkenaan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a, penting bagi Mahkamah menguraikan tentang esensi pentingnya dibentuk UU 40/2007. Meskipun secara lebih luas dikaitkan dengan semangat dalam rangka pembangunan perekonomian nasional yang harus diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan 84 dan kesatuan ekonomi nasional. Namun pada dasarnya perekonomian nasional tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks peningkatan pembangunan perekonomian nasional tersebutlah esensi pentingnya ada dukungan suatu ketentuan yang mengatur tentang dunia usaha yang merupakan salah satu pilar untuk melakukan peningkatan dimaksud, yang antara lain ketentuan mengenai bentuk usaha perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan diatur secara tegas dan rigit serta selalu memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal demikian tidak terlepas dari semangat agar dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek perseroan, termasuk permasalahan pembubaran perseroan maka UU 40/2007 diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha. Bahwa pada sisi yang berbeda perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank atau penanaman modal, yang semua itu dapat menimbulkan permasalahan hukum khususnya dalam hal penyelesaian utang-piutang dalam masyarakat, termasuk utang perseroan, maka permasalahan utang-piutang yang dimiliki oleh perseroan apabila tidak dapat diselesaikan dengan memenuhi prinsip kepastian hukum dan keadilan, sehingga hal tersebut dapat berakibat perseroan menjadi tumbuh dalam dunia yang tidak sehat dan dengan mudah banyak perseroan collapse atau pailit. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan persoalan perseroan, termasuk salah satu di dalamnya proses penyelesaian utang yang diakibatkan bubarnya sebuah perseroan, dibutuhkan instrumen hukum yang berkepastian dan berkeadilan, yang juga di dalamnya mengatur persoalan integritas dan profesionalitas pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian atau pemberesan perseroan pada saat ada pembubaran (likuidasi) perseroan; 85 [3.12.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang berpendapat seorang likuidator harus warga negara Indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah berpendapat sesungguhnya Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang dipermasalahkan para Pemohon mengatur mengenai “pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator”. Apabila dicermati dengan seksama semangat dan pesan dari norma pasal a quo adalah sederhana dan dapat ditangkap dengan mudah, yaitu bahwa apabila sebuah perseroan terjadi pembubaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) UU 40/2007, maka harus diikuti proses likuidasi dan sebagai subjek hukum yang melaksanakan proses likuidasi tersebut adalah likuidator atau kurator. Selanjutnya terhadap norma pasal a quo apabila mengikuti argumentasi para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia dan mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan serta independen, maka Mahkamah dapat menangkap kehendak para Pemohon adalah syarat-syarat tersebut dikhususkan untuk likuidator selain yang dilaksanakan oleh kurator. Hal demikian mengingat kurator pada saat menjalankan fungsinya sebagai likuidator telah melekat syarat-syarat tersebut pada seorang kurator ketika yang bersangkutan diangkat dan menjalankan tugas sebagai kurator. Hal ini dipertegas oleh ketentuan bahwa tugas seorang kurator adakalanya melekat juga sebagai likuidator, yang secara tegas kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang. Bahwa pertanyaan lebih lanjut yang harus dijawab adalah bagaimana dengan syarat-syarat tersebut yang harus dimiliki seorang likuidator yang bukan dilaksanakan oleh seorang kurator. Terhadap hal ini, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil para Pemohon a quo , menurut Mahkamah oleh karena salah satu syarat likuidator yang dimohonkan para Pemohon harus warga negara Indonesia berkaitan erat dengan dalil permohonan para Pemohon ihwal inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, maka syarat likuidator harus warga negara Indonesia akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum Mahkamah pada saat mempertimbangkan dalil para Pemohon yang berkaitan dengan isu pokok yang kedua yaitu berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut, yang berkenaan permohonan para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dijalankan oleh direksi adalah inkonstitusional. Dengan kata lain, direksi tidak boleh menjalankan fungsi likuidator karena menurut 86 para Pemohon dapat berakibat adanya __ benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator. Oleh karena itu berkenaan dengan syarat lainnya yang dihendaki para Pemohon, yaitu likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut; [3.12.3] Bahwa sebelum Mahkamah sampai pada kesimpulan dalam mempertimbangkan dalil para Pemohon berkaitan dengan syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, penting rasanya bagi Mahkamah untuk menelisik tentang esensi dari pada batas-batas tugas dan wewenang seorang likuidator yang melaksanakan penyelesaian likuidasi sebuah perseroan. Ada perbedaan yang signifikan antara tugas dan wewenang bagi likuidator di dalam menyelesaikan proses likuidasi terhadap perseroan yang dinyatakan bubar karena keputusan RUPS, karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga, maka dalam hal yang demikian subyek hukum yang berwenang melaksakan proses likuidasi adalah likuidator yang diangkat RUPS. Sementara itu, terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta pailit perseroan dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi, ataupun untuk pembubaran perseroan karena penetapan pengadilan yang diminta oleh para pihak yang berkepentingan, maka hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator yang diangkat oleh pengadilan dan kemudian beralih mengambil tugas dan wewenang sebagai likuidator, termasuk likuidator yang ditunjuk sebagai akibat adanya penetapan tersebut; Bahwa dengan merujuk pada adanya perbedaan perlakuan terhadap pembubaran perseroan dalam menyelesaikan proses likuidasi tersebut di atas, maka sesungguhnya ada tugas dan fungsi likuidator yang dapat dilihat pada sisi tahapannya dan pada sisi substansi yang harus diselesaikan. Pada sisi tahapannya, tugas likuidator pada hakikatnya adalah proses penyelesaian likuidasi yang dilakukan oleh likuidator setelah perseroan dinyatakan dalam likuidasi (pembubaran), oleh karena itu tampak bahwa seseorang sebagai subyek hukum yang ditunjuk dan diangkat menjadi penyelengara likuidasi adalah likuidator yang 87 menjalankan tugas dan fungsinya sejak perseroan dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi. Selanjutnya dari sisi substansi, yang menjadi tugas dan wewenang likuidator yang harus diselesaikan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 149 ayat (1) UU 40/2007, yaitu pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang perseroan; pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi; pembayaran kepada para kreditor; pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan. Bahwa mencermati tugas dan wewenang likuidator sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya hakikat tugas dan wewenang likuidator adalah menjalankan fungsi dan wewenang yang merupakan bagian tugas lanjutan yang menggantikan tugas dan wewenang organ perseroan khususnya tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal) yang oleh karena perintah undang-undang terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi penyelesaian atau pemberesannya harus diambil alih oleh likuidator. Esensi sesungguhnya yang terjadi adalah segala urusan yang berkaitan dengan perseroan dilaksanakan oleh likuidator yang harus bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian segala hal yang berkaitan dengan likuidasi, bahkan likuidator dapat dituntut untuk menanggung segala resiko yang timbul atas kelalaiannya yang dapat berakibat ruginya perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada), baik tanggung jawab secara pribadi (personal liability) maupun tanggung jawab secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ), maka terhadap likuidator dapat dilakukan tuntutan atas kelalaiannya tersebut oleh pihak perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada). Terlebih dalam menjalankan tugasnya, likuidator senantiasa diawasi oleh dewan komisaris dan dewan komisaris dapat memberhentikan untuk sementara likuidator yang dianggap lalai dan selanjutnya dapat diberhentikan secara tetap apabila menurut keputusan RUPS pemberhentian sementara likuidator tersebut beralasan; Bahwa dari uraian penjelasan Mahkamah tersebut di atas, maka sebenarnya telah tampak apabila likuidator di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk melakukan pemberesan terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam likuidasi, tidaklah melaksanakan tugas yang secara substansial menjadi 88 beban mutlak likuidator, akan tetapi pada dasarnya mengambil alih tugas dan wewenang organ perseroan yaitu direksi (dalam keadaan perseroan normal), sehingga tugas dan wewenang likuidator tersebut pada dasarnya adalah melaksanakan pemberesan segala hal yang berkaitan dengan likuidasi dan hal tersebut semata-mata adalah untuk kepentingan perseroan, baik yang menjadi hak dan tanggung jawab perseroan yang dalam keadaan likuidasi tersebut. Oleh sebab itulah, di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya seorang likuidator senantiasa di bawah pengawasan dewan komisaris sesuai dengan anggaran dasar. Bahkan, dewan komisaris dapat memberikan nasihat serta memberhentikan untuk sementara waktu apabila likuidator dipandang lalai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 142 ayat (6) UU 40/2007 beserta Penjelasannya]. Dengan demikian, fakta ini telah dengan sendirinya menjawab tidak relevannya dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pemaknaan secara bersyarat terhadap Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, yaitu untuk likuidator agar diberlakukan syarat-syarat harus mempunyai sertifikat kemampuan melikuidasi perseroan dan independen. Terlebih lagi bagi likuidator yang ditunjuk pengadilan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya melakukan pemberesan terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta perseroan yang dinyatakan pailit barada dalam keadaan insolvensi, terhadap hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator. Fakta yang terakhir ini makin menegaskan bahwa pemberlakuan syarat-syarat bagi likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi dan independen sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut semakin tidak relevan; Bahwa di samping pertimbangan hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan likuidator agar diharuskan mempunyai sertifikat melikuidasi perseroan dan independen adalah tidak sejalan dengan semangat bahwa penyelesaian likuidasi terhadap perseroan yang dalam keadaan bubar, haruslah memberi kebebasan kepada RUPS sebagai organ tertinggi dalam perseroan untuk menggunakan hak pilihnya di dalam menentukan likuidator berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu terutama kemampuan masing-masing perseroan. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan hal-hal yang berkenaan dengan pilihan apakah perseroan akan 89 memilih likuidator yang akan ditunjuk, tentu sudah dengan pertimbangan- pertimbangannya. Karena pada dasarnya tugas wewenang seorang likuidator secara substansial adalah melanjutkan tugas dan wewenang direksi, walaupun tugas dan wewenang tersebut bukan dalam hal melakukan perbuatan hukum baru atas nama perseroan. Sehingga dengan demikian sesungguhnya hakikat yang harus dimiliki oleh seorang likuidator adalah kompetensi dan integritas yang hal tersebut tidak boleh berakibat membatasi siapapun untuk bisa menjadi likuidator tanpa harus ada syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon. Terlebih lagi seorang likuidator dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sudah ada pedoman yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya regulasi yang mengatur hal-hal pokok dan mendasar serta batasan-batasan yang harus dilaksanakan oleh seorang likuidator hingga hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perseroan yang dalam proses likuidasi; Bahwa selanjutnya Mahkamah perlu mempertimbangkan argumentasi para Pemohon yang menyatakan perihal adanya perbedaan perlakuan likuidator dengan kurator dan bahkan para Pemohon berpendapat likuidator diperlakukan sebagai anak tiri dan oleh karenanya memohon agar diperlakukan sama. Terhadap hal ini Mahkamah perlu menegaskan bahwa tugas dan kewenangan kurator dengan likuidator sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan berbeda sekalipun dalam hal-hal tertentu ada kalanya keduanya melakukan pekerjaan yang sama yaitu dalam rangka penyelesaian terhadap perseroan yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga yang hingga sampai pada pembubaran perseroan, yaitu dalam hal seorang kurator yang ditunjuk pengadilan untuk pemberesan harta pailit perseroan kemudian berada dalam keadaan insolvensi, maka kurator bertindak sebagai likuidator. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 37/2004) menyatakan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-undang. Sedangkan likuidator adalah orang yang ditunjuk atau diangkat menjadi penyelenggara likuidasi, baik diangkat oleh RUPS atau pengadilan sepanjang berkaitan dengan 90 perseroan yang awalnya dinyatakan pailit atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan; Selanjutnya terlepas dari adanya perbedaan dan persamaan dalam hal-hal tertentu sebagaimana diuraikan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, secara substansi terdapat perbedaan yang mendasar antara tugas dan wewenang kurator dengan likuidator. Kurator adalah subjek hukum yang melaksanakan tugas dan wewenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit perseroan yang kepadanya diberi kewenangan penuh untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengan harta pailit perseroan hingga kemudian terhadapnya dapat ditunjuk menjadi likuidator apabila harta pailit dalam keadaan insolvensi dan perseroan harus dibubarkan. Oleh karena itu sejatinya likuidator yang diangkat oleh pengadilan hanya menjalankan tugas dan wewenang setelah kurator menjalankan tugas dan wewenang mengurus dan membereskan harta pailit perseroan dan dalam keadaan insolvensi, baru kemudian kurator dapat melanjutkan tugas dan wewenangnya, namun fungsinya berubah sebagai likuidator. Sementara itu, untuk likuidator yang diangkat oleh RUPS, sesungguhnya menjalankan tugas dan wewenangnya membereskan harta perseroan sejak diangkat oleh RUPS dan dalam melaksanakan tugasnya dapat setiap saat diawasi dan diberi nasihat oleh dewan komisaris serta ruang lingkup tugas dan wewenangnya pada dasarnya adalah sama dengan tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal); Bahwa dari uraian tersebut di atas, tampak jelas perbedaan esensial antara tugas dan wewenang kurator dan likuidator. Inilah alasan sebenarnya syarat-syarat untuk menjadi kurator diatur secara ketat dibandingkan syarat-syarat untuk menjadi likuidator. Dengan kata lain, subyek hukum yang dapat menjadi kurator adalah orang yang benar-benar telah memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan, khususnya Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus, sedangkan untuk likuidator dapat dilaksanakan oleh siapapun yang ditunjuk oleh RUPS atau likuidator khusus yang ditunjuk pengadilan karena berkaitan dengan kepailitan atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan . Namun demikian 91 penting bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa siapapun yang akan menjadi likuidator tetap harus membekali diri dengan kompetensi dan integritas; Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon berkenaan dengan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen tidaklah beralasan menurut hukum; [3.12.4] Bahwa terkait dalil para Pemohon selebihnya yang menyatakan dalam hal direksi menjalankan fungsinya sebagai likuidator, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Menurut para Pemohon, alasan di antaranya adalah harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat mencederai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator; Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.12.3] bahwa tugas dan wewenang likuidator sebenarnya mengambil alih tugas dan tanggung jawab direksi (dalam keadaan perseroan normal), karena sesungguhnya yang lebih tahu segala hal berkaitan dengan perseroan adalah direksi. Namun, oleh karena undang-undang menentukan terhadap pembubaran perseroan harus diikuti likuidasi yang dilakukan oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS, maka dengan demikian semangat penyelesaian atau pemberesan terhadap perseroan yang dalam keadaan likuidasi sesungguhnya lebih tepat dilaksanakan oleh direksi. Hal ini sejalan dengan pilihan subjek hukum oleh RUPS yang dapat melaksanakan likuidasi adalah direksi apabila RUPS tidak menunjuk likuidator [vide Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007]. Sehingga pilihan RUPS untuk mengangkat atau tidak mengangkat likuidator yang berasal dari direksi merupakan bentuk pilihan dengan alasan efektivitas dan sekaligus bisa juga karena pertimbangan efisiensi mengingat perseroan yang dalam keadaan likuidasi kerapkali kondisi keuangannya sudah tidak sehat atau pilihan RUPS mengangkat likuidator yang 92 bukan direksi adalah karena pertimbangan pembubaran perseroan disebabkan salah satunya adalah adanya salah urus oleh direksi ( mismanagement) ; Bahwa dengan uraian fakta tersebut menurut Mahkamah lebih lanjut, argumentasi para Pemohon yang berpendapat likuidator yang dilaksanakan oleh direksi tidak independen dan adanya benturan kepentingan ( conflict of interest ) __ adalah argumentasi yang mengandung kekhawatiran yang berlebihan dan tidak berdasar, mengingat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik likuidator yang dilakukan oleh direksi maupun oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS selalu diawasi dan dapat diberi nasihat oleh dewan komisaris serta dapat sewaktu-waktu diberhentikan sementara apabila diduga telah lalai menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bahkan diberhentikan secara tetap apabila alasan pemberhentian sementara oleh dewan komisaris diterima dalam RUPS. Terlebih lagi selain adanya pengawasan dan adanya sanksi-sanksi pemberhentian baik sementara maupun tetap tersebut juga adanya sanksi lainnya atas kelalaian yang dilakukan likuidator baik yang berasal dari direksi maupun likuidator yang diangkat oleh RUPS yang menimbulkan kerugian baik perseroan maupun pihak lain, termasuk para kreditur (apabila ada) yang diakibatkan oleh kelalaian likuidator tersebut tetap saja dapat dituntut, baik secara pribadi (personal liability) maupun secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ) apabila likuidator tersebut lebih dari seorang yang merugikan perseroan, pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada); Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dilaksanakan oleh direksi adalah tidak independen dan berakibat adanya benturan kepentingan (confict of interest), apalagi dikatakan tidak dapat mencerminkan prinsip-prinsip keadilan karena lebih mengedepankan kepentingan perseroan. Dengan uraian pertimbangan hukum a quo maka dalil para Pemohon tersebut harus dikesampingkan. Sementara itu oleh karena Mahkamah berpendapat direksi adalah subjek hukum yang dapat menjadi likuidator sepanjang undang-undang atau peraturan lainnya tidak melarang jabatan direksi dijabat oleh warga negara yang bukan warga negara Indonesia, maka sebagai konsekuensi yuridisnya tidak ada larangan direksi yang bukan warga negara Indonesia sepanjang yang bersangkutan menjabat sebagai direksi sebuah perseroan di 93 Indonesia, maka yang bersangkutan dapat menjalankan tugas dan wewenang sebagai likuidator. Dengan demikian uraian pertimbangan hukum Mahkamah ini sekaligus menjawab dalil para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007; Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan likuidator harus warga negara Indonesia dan direksi tidak dapat bertindak sebagai likuidator, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, adalah tidak beralasan menurut hukum; [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 94 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Desember, tahun dua ribu delapan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Februari, tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 14.01 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Suhartoyo 95 ttd. Saldi Isra ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih PANITERA PENGGANTI, ttd. Achmad Edi Subiyanto