Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 2 lainnya
Laporan Utama MENYELAMATKAN MANUSIA DARI PANDEMI Masa pandemi COVID-19 belum jua terlewati. Dampaknya begitu besar, baik di sisi kesehatan maupun sosial ekonomi. Agar tak terimbas kian dalam, diterbitkan serangkaian kebijakan extraordinary. Anggaran negara diprioritaskan pada tiga hal: kesehatan masyarakat, jaring pengaman sosial, dan perlindungan dunia usaha. Sebab, fokus utama pemerintah adalah menyelamatkan berbagai sisi dari manusia. Teks Reni Saptati D.I MEDIAKEUANGAN 12 K ebijakan perpajakan diarahkan untuk mendukung penanggulangan COVID-19. Demikian dituturkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama. Secara responsif, Kementerian Keuangan memberikan sejumlah insentif perpajakan, bahkan ketika pandemi baru merebak. “Pertama, insentif kepada pelayanan kesehatan. Yang kedua, terkait jaring pengaman sosial, kita mendukung upaya peningkatan daya beli masyarakat. Ketiga, dukungan kepada kegiatan usaha supaya mereka bisa menjaga UMKM untuk masa pajak April hingga September 2020. “Kenapa tidak dinolkan? Karena kita menjaga kepatuhan. Skemanya ditanggung pemerintah, tetapi mereka ada kewajiban tetap mencatat,” tegas Hestu. Sosialiasi kebijakan ini dilakukan antara lain melalui email blast kepada sekitar 2,1 juta pelaku UMKM. Dalam konteks mendukung dunia usaha, Hestu menyatakan pemerintah telah menurunkan PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2020. “Kita langsung bergerak supaya dampak penurunan tarif langsung efektif di tahun ini,” ungkapnya. Oleh sebab itu, sejak April hingga Desember, tarif PPh Badan yang diterapkan sudah di besaran 22 persen. Tak hanya itu, PMK 44/2020 juga hadir memberi insentif bagi hampir seluruh sektor usaha. Aturan tersebut menyebutkan kebijakan PPh 21 ditanggung pemerintah untuk 1.062 bidang industri, pembebasan PPh 22 impor untuk 431 bidang industri, pengurangan angsuran PPh 25 sebesar 30 persen untuk 846 bidang industri, dan restitusi PPN dipercepat untuk 431 bidang industri. Seluruhnya berlaku sejak April hingga September 2020. “Mengapa enam bulan? Insentif fiskal tidak berjalan sendiri. Kita sinkronkan dengan skema besar penanganan COVID-19 yang diterapkan sekitar enam bulan dulu.” Dukung produksi hand sanitizer Kelangkaan hand sanitizer dan disinfektan sudah terjadi sejak bulan Maret, bahkan sebelumnya. Padahal keduanya dibutuhkan dalam jumlah sangat banyak dan cepat. ”Kementerian Keuangan dalam hal ini DJBC segera merespons dengan memperluas subjek yang mendapat fasilitas pembebasan etil alkohol,” ungkap Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan keberlangsungan hidupnya dalam kondisi sulit ini,” terang pria yang meraih gelar Master of Bussiness Taxation dari University of Southern California tersebut. Namun demikian, Hestu menekankan pentingnya menjaga kepatuhan wajib pajak selama periode pemberian insentif. “Jangan kemudian muncul euforia lupakan dulu pajak lantaran kegiatan usaha melemah. Kita harus tetap menjaga tingkat kepatuhan masyarakat dan pengusaha wajib pajak.” Beragam insentif pajak Sejak awal April beragam insentif dilahirkan, sebagian termuat dalam PMK 28/2020. “PMK 28 merupakan insentif perpajakan untuk sektor kesehatan,” ungkap Hestu. Dari segi subjek, ada tiga pihak yang diberi insentif, yaitu instansi pemerintah, rumah sakit rujukan, dan pihak lain yang ditunjuk oleh instansi pemerintah atau rumah sakit tadi untuk mendukung penanganan COVID-19. Dari segi objek, barang yang dimaksud ialah obat, vaksin, peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, APD, perawatan untuk pasien, dan pendukung lainnya. “Ada juga jasa untuk penanganan COVID-19, misalnya jasa sewa tempat bagi pasien isolasi,” tambah Hestu. Atas barang dan jasa tersebut, diberikan pembebasan PPh 22 impor dan PPN-nya, pembebasan PPh 22, pembebasan PPh 21, serta pembebasan PPh 23. “Kita juga ada PMK yang bersama Ditjen Bea Cukai, yaitu PMK 34/2020. Pajak dalam rangka impor tidak dipungut dulu karena dibutuhkan kecepatan atas pengadaan barang- barang yang dalam kondisi normal juga diperlukan tapi tidak sebanyak sekarang,” ujar Hestu. Dunia UMKM tak luput dari perhatian. Pemerintah menanggung PPh final 0,5 persen bagi pelaku Kementerian Keuangan memberikan sejumlah insentif perpajakan, bahkan ketika pandemi baru merebak salah satunya fasilitas pembebasan etil alkohol untuk pembuatan hand sanitizer Foto Ilustrasi KemenkeuRI Teks Reni Saptati D.I 13 MEDIAKEUANGAN 12 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020
yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” tutur Masyita Crystallin, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi. Masyita menambahkan latar belakang dikeluarkannya Perppu Nomor 1/2020 adalah untuk memperkuat APBN. “Krisis saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang pernah dialami di tahun 1930, 1997 atau 2008. Di tahun- tahun tersebut, krisis dimulai dari sektor keuangan tetapi krisis sekarang langsung menyentuh sektor riil akibat keterbatasan interaksi. Untuk itu, kita berusaha membuat APBN menjadi shock absorber ,” terang Masyita. Abra Talattov, Ekonom INDEF juga berpendapat bahwa dari sisi stimulus fiskal kebijakan pemerintah saat ini sudah sejalan dengan upaya yang dilakukan negara lain. Menurutnya, penerbitan Perppu Nomor 1/2020 adalah langkah yang baik tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Jika saya lihat di dalam Perppu itu sudah lengkap instrumennya. Dari sisi anggaran itu variasinya cukup lengkap dan semua elemen masyarakat sudah tersasar mulai dari rumah tangga, industri, UMKM bahkan usaha kecil mikro. Namun, sisi efektivitas dan kecepatan ini perlu diperhatikan. Anggaran ada tetapi faktor kecepatan penyalurannya juga akan berpengaruh untuk daya beli masyarakat. Selain itu, Perpu ini memiliki risiko sebab defisit fiskal boleh lebih dari 3 persen. Perlu dijaga agar tetap dalam batas yang aman sesuai kondisi kesehatan APBN,” ujar Abra. Tangani asapnya, padamkan apinya Terkait insentif perpajakan dan bea masuk, ahli kesehatan masyarakat, Prof. Hasbullah Thabrany berpendapat bahwa kebijakan tersebut baik tetapi belum menangani akar permasalahan. “Ibarat kebakaran, ada asap dan api. Apinya itu COVID-19, panasnya adalah pelayanan kesehatan dan efek sosial ekonominya itu asap. Kebijakan insentif pajak dan bea masuk impor itu logis dan bagus tetapi baru menangani asapnya. Pembelian ventilator dan pembukaan rumah sakit itu baru menangani panasnya. Lalu apa kebijakan pemadaman apinya? Ya, PSBB”, ujar guru besar FKM UI ini. Ia menambahkan bahwa kebijakan yang diambil dari alokasi Rp405 triliun itu sifatnya lebih ke balancing . “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” jelasnya. Hal senada juga diungkap Abra. Menurutnya stimulus seperti pembebasan impor alat kesehatan baik pajak maupun bea masuk membantu tetapi dalam jangka pendek dan perlu diperhatikan target lamanya kebijakan tersebut. “Dalam satu bulan stimulus yang diberikan lumayan besar sekitar Rp170 miliar. Dikhawatirkan jika terus berlanjut maka akan menjadi disinsentif bagi industri alat kesehatan dan farmasi di dalam negeri,” tambahnya. Bukan sekedar nominal tetapi efektivitas alokasi Berbicara mengenai besaran anggaran belanja kesehatan, Masyita menuturkan bahwa saat ini kesehatan menjadi prioritas pemerintah. Namun demikian, ini bukan semata soal alokasi anggaran tetapi juga soal peningkatan kualitas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan itu sendiri. “Jadi di Kemenkeu itu evidence based policy. Kita memiliki data pengeluaran K/L harian lalu data tersebut dianalisa. Kita memperhatikan kemampuan disbursement dari K/L. Saat ini, anggaran kesehatan penanganan COVID-19 sebesar 75 triliun. Jika dilihat datanya, hingga Maret belum terlihat lonjakan pengeluaran yang signifikan. Jadi, kita menunggu data April-Mei untuk melihat apakah perlu anggaran tambahan,” jelasnya. Abra juga menjelaskan “Jika dilihat, porsi belanja kesehatan APBN 2020 sebesar 5,2 persen sudah memenuhi mandat UU Kesehatan. Namun, perlu dievaluasi efektivitasnya terutama dalam mendorong kualitas pelayanan kesehatan. Saat ini, tentu ada lonjakan kebutuhan mendadak untuk penanganan COVID-19. Ke depannya, bisa dimandatorikan sebesar 1-1,5 persen terhadap belanja sebagai biaya tak terduga untuk mitigasi risiko bencana alam dan non alam,” ungkapnya. Harapan kebijakan di masa depan Pandemi COVID-19 menjadi pembelajaran dalam pengambilan kebijakan khususnya untuk sektor kesehatan di masa depan. Momentum ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi. “Saya pikir kedepannya stimulus diarahkan untuk mendorong riset dan pengembangan serta investasi sektor farmasi. Pemerintah perlu mengarahkan dana riset di lintas K/L ini agar sinergis sehingga dapat menciptakan produk alkes dan farmasi buatan Indonesia. Ini juga jadi momentum bagi BUMN di sektor farmasi untuk menggenjot daya saing. Harapannya BUMN farmasi ini bisa mulai bersaing di pasar domestik dan jangka panjang punya potensi melakukan ekspor,” harap Abra. Hal senada juga diungkap Prof. Hasbullah, ia mengakui bahwa investasi sebuah negara di bidang kesehatan berhubungan dengan keberhasilan menangani COVID-19. Ia juga menambahkan bahwa edukasi publik yang sistematis terkait kesehatan adalah kebijakan yang belum muncul namun sangat dibutuhkan. “Kalau saya lihat kebijakan yang belum muncul dan yang secara sistematik efektif adalah mass education dalam kasus ini. Saat ini yang terjadi mass education nya pada media tetapi tidak praktikal dari pemerintah ke masyrakat. Perlu komunikasi melalui kelompok-kelompok tertentu dengan tetap menjaga jarak dengan tujuan mendorong terjadinya perubahan perilaku,” ucapnya. Sementara itu, Masyita berharap pandemi ini dapat dilalui dengan baik dan masyarakat yang terdampak bisa mendapat bantuan yang dibutuhkan. Ia juga berharap setelah pandemi berakhir perekonomian akan lebih baik. “Memang tidak mudah menghadapi ini baik buat Indonesia maupun semua negara di dunia. Bahkan negara maju pun mengalami kesulitan. Sektor ekonomi berusaha kita selamatkan sebab kita tidak mau masyarakat kehilangan pekerjaan akibat sektor industri terlanjur mati. Namun, terkadang media selalu membenturkan kalau menjaga ekonomi itu tidak menjaga manusianya. Padahal jika sektor riil itu jatuh yang rugi masyarakat juga,” pungkasnya. “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” Pandemi COVID-19 ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi Foto Resha Aditya Prof. Hasbullah Thabrany ahli kesehatan masyarakat “...dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah jelas terlihat bahwa yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” Masyita Crystallin Staf Khusus Menteri Keuangan 11 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020
KEBIJAKAN PAJAK MENGHADAPI DAMPAK COVID-19 KEBIJAKAN PAJAK MENGHADAPI DAMPAK COVID-19 Pandemi COVID-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Pemerintah berusaha melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, salah satunya dengan memberikan kebijakan pajak . Penurunan Tarif PPh Badan Secara Bertahap Tarif umum turun dari 25% menjadi: 22% 20% 2020 2021 mulai 2022 19% 17% 2020 2021 mulai 2022 Tarif PPh Badan Go Public* 3% lebih rendah dari tarif umum: * Dengan persyaratan tertentu yang diatur oleh PP Perlakuan Pajak Kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Pengenaan PPN atas impor barang tidak berwujud dan jasa Pengenaan PPh/pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran signifikan Tata cara lebih lanjut akan diatur melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan Bagi Wajib Pajak Permohonan keberatan diperpanjang menjadi 9 bulan Bagi DJP Perpanjangan jangka waktu penyelesaian: Permohonan restitusi melalui pemeriksaan menjadi 18 bulan Permohonan keberatan menjadi 18 bulan Permohonan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi menjadi 12 bulan Permohonan pengurangan/pembatalan ketetapan pajak atau pembatalan hasil pemeriksaan menjadi 12 bulan Khusus untuk penyelesaian pencairan lebih bayar pajak diperpanjang 1 bulan dari 1 menjadi 2 bulan Perpanjangan Jangka Waktu Pengajuan oleh Wajib Pajak dan Penyelesaian oleh DJP PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2O2O www.pajak.go.id/ covid19 Untuk info terkini terkait kebijakan DJP di masa pandemi COVID-19 silakan kunjungi Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto. Hingga 8 Mei 2020 saja, total etil alkohol yang diberikan pembebasan cukai mencapai 68.596.360 liter untuk sektor komersial dan 322.770 liter untuk sektor nonkomersial. “Jika tidak dibebaskan, tarif per liternya Rp20.000,” sebut Nirwala. Hingga awal Mei, total pengguna fasilitas dari sektor nonkomersial sudah mencapai 56 entitas, salah satunya Universitas Brawijaya. Ketua Satgas COVID-19 Universitas Brawijaya dr. Aurick Yudha Nagara, Sp.EM mengaku sangat terbantu dengan fasilitas tersebut. “Kami jelas merasakan manfaatnya,” ujarnya. Universitas Brawijaya membentuk Satgas COVID-19 dan meramu berbagai kegiatan, termasuk penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). “Kami menggunakan protokol yang ada di rumah sakit, yaitu penyediaan hand sanitizer . Rencananya beli sendiri, tetapi ternyata cost -nya mahal. Usut punya usut, Fakultas Pertanian ternyata memiliki mesin produksi. Lalu, komposisinya dari teman- teman Farmasi dan pengujiannya oleh teman-teman Mikrobiologi di Fakultas Kedokteran,” cerita dokter spesialias emergency medicine tersebut. Awalnya, hand sanitizer tersebut ditujukan untuk penggunaan internal kampus, termasuk mahasiswa profesi di rumah sakit pendidikan yang jumlahnya mencapai 700 orang. Namun, kemudian hand sanitizer tersebut juga dipasok ke rumah sakit pendidikan, pondok pesantren, lapas di area Malang, serta beberapa instansi pemerintahan. “Produksi tetap akan kami lanjutkan karena ancaman COVID-19 masih terus ada,” ungkapnya. Kebijakan DJBC lainnya ialah fasilitas penundaaan pembayaran cukai. Pemesanan pita cukai yang diajukan oleh pengusaha pabrik pada 9 April-9 Juli 2020 diberikan penundaan pembayaran selama 90 hari. “Per 30 April 2020, sudah 78 pabrik memanfaatkan fasilitas penundaan pembayaran cukai dengan nilai cukai lebih dari Rp10,5 triliun,” kata Nirwala. Selain itu, DJBC juga menerbitkan relaksasi ketentuan impor alat kesehatan untuk penanganan COVID-19 berupa pembebasan dari kewajiban izin edar. dalam penanganan Covid-19, yakni penyesuaian alokasi TKDD, refocusing TKDD, relaksasi penyaluran TKDD, dan refocusing belanja APBD agar fokus pada penanganan Covid-19. Perpres 54/2020 mengamanatkan penyesuaian atau penghematan alokasi TKDD. “Total penghematan TKDD sekitar Rp94,2 triliun. Dari angka itu, kita harapkan daerah bisa melakukan realokasi dan refocusing untuk intervensi penanganan Covid-19, terutama bagi tiga hal utama tadi,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara tersebut. Pihaknya meminta daerah untuk melakukan perhitungan kembali anggarannya. Untuk mempercepat penyesuaian APBD, Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dengan mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB). Hingga awal Mei, Astera menyatakan daerah yang patuh dengan SKB tersebut masih sedikit. “Saat awal SKB, ada sekitar 380 daerah yang terpaksa kita sanksi. DAU-nya hanya kita bayarkan 65 persen. Tapi begitu daerah melakukan perbaikan, DAU langsung kita salurkan di kesempatan pertama tidak menunggu bulan berikutnya,” jelas Astera. Ia menyebut langkah itu manjur meningkatkan kepatuhan daerah. “Ini suatu hal yang saya rasa baik. Sebenarnya kapasitas daerah untuk menangani Covid-19 masih ada, dalam arti mereka masih memiliki space, sepanjang mereka disiplin dalam melakukan realokasi dan refocusing anggaran,” tutur Astera. Hingga minggu kedua bulan Mei, space dimaksud sudah di kisaran Rp57 triliun dan angkanya masih akan terus bergerak. “Ini meningkatkan kepercayaan diri. Kita yakin daerah masih punya kemampuan untuk menangani Covid-19,” tutupnya. “Kita juga ada PMK yang bersama Ditjen Bea Cukai, yaitu PMK 34/2020. Pajak dalam rangka impor tidak dipungut dulu karena dibutuhkan kecepatan atas pengadaan barang-barang yang dalam kondisi normal juga diperlukan tapi tidak sebanyak sekarang,” Hestu Yoga Saksama Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas), DJP Dorong Pemda lakukan refocusing "Kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) juga memiliki concern pada tiga hal tadi. Mulai dari kesehatan, bantuan sosial, hingga penguatan ekonomi, termasuk di dalamnya UMKM," Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti menegaskan. Secara garis besar, terdapat empat pokok kebijakan TKDD
Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap 20 lainnya
87 Edisi #6/ 2020 Warta Fiskal BKF Ajak Mahasiswa PKN STAN Melek Kebijakan Fiskal Jakarta (01/12) : Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menggelar Webinar Hasil Kajian BKF dengan tema Dinamika Kerja Sama Regional dan Bilateral Guna Memajukan Ekonomi Nasional pada Selasa, (01/12) melalui video conference . Peserta webinar ini merupakan dosen dan mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN (PKN STAN). “Semoga kegiatan kita pada pagi hari ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, memberikan pencerahan buat kita menjadi orang yang bisa berkontribusi untuk meningkatkan ekonomi negara menjadi makmur, sejahtera dan berkeadila,” ujar Direktur PKN STAN Rahmadi Murwanto saat menyampaikan sambutan. Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB) BKF Dian Lestari menyampaikan bahwa Indonesia aktif terlibat dalam forum kerjasama Internasional baik di level regional maupun bilateral dalam rangka ikut berkontribusi bagi tatanan dunia yang lebih baik dengan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan. Harapannya dengan adanya webinar ini, mahasiswa serta akademisi dari PKN STAN dapat belajar tentang kebijakan fiskal khususnya terkait kerja sama regional dan bilateral dalam rangka memajukan ekonomi.
FISKALISTA Ini Kebijakan Fiskal untuk Dukung Ekonomi Hijau Jakarta (16/12) : Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menggelar Dialog Ekonomi Hijau yang bertema “Perspektif APBN untuk Mendukung Ekonomi Hijau di Era COVID-19 pada Rabu, (16/12) melalui video conference . Dalam paparannya, Analis Kebijakan Ahli Muda di Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Fino Valico Waristi menyampaikan bahwa tantangan perekonomian dunia terus datang silih berganti. Sebelum COVID-19, tantangan perekonomian global berasal dari isu ekonomi dan politik yang penuh tantangan dalam beberapa tahun terakhir. Tantangan saat ini, yakni pandemi COVID-19, menjadi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya yang memberikan guncangan pada sisi permintaan dan penawaran, serta memberikan efek domino ke berbagai aspek. Selanjutnya, Analis Kebijakan Ahli Madya di Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Noor Syaifudin menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengendalikan perubahan iklim melalui berbagai ratifikasi kebijakan internasional yaitu Paris Agreement . Hal ini juga diterjemahkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 . Noor juga menjelaskan bahwa dalam menangani isu perubahan iklim, tidak cukup hanya dukungan dari pemerintah, namun diperlukan mekanisme lain seperti inovasi financing . Di tengah pandemi, pemerintah menerbitkan global green sukuk dan Indonesia merupakan pioneer dalam penerbitan green sukuk ini serta mendapatkan penghargaan internasional. Hasil green sukuk ini akan digunakan untuk beberapa sektor, diantaranya terkait transport berkelanjutan, penanggulangan langkah perubahan iklim, dan pengelolaan sampah.
Fiskal Internasional peralatan dan pasokan medis dengan mendorong fasilitas perdagangan. Pilar kedua berfokus pada menyediakan bantuan bagi kelompok rentan dan menjaga kondisi ekonomi agar mampu pulih dengan kuat setelah pandemi teratasi. Anggota G20 telah mengambil langkah drastis dengan memberikan bantuan bagi dunia bisnis, rumah tangga dan bantuan atas pendapatan bagi individu serta perusahaan. IMF mencatat bantuan fiskal yang telah dipersiapkan anggota G20 mencapai 11 triliun dolar AS dengan fokus untuk melindungi nyawa dan meredam dampak ekonomi akibat kebijakan untuk meredam penyebaran virus COVID-19. Penyediaan bantuan bagi kelompok rentan dan pemulihan ekonomi ini memiliki tantangan utama dari sisi pendanaan. Ruang fiskal negara yang berbeda-beda besarnya menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan negara dalam menyediakan bantuan tersebut. Hal ini lebih menantang khususnya bagi negara berkembang dan berpendapatan rendah yang memiliki kapasitas meminjam lebih rendah dibanding negara maju. Pemberian bantuan yang tepat menjadi kunci untuk bisa mencapai hasil yang efektif sesuai tujuan. Berbagai bentuk bantuan seperti rekapitalisasi dan penjaminan kredit, pemotongan pajak bagi bisnis, bantuan tunai kepada perusahaan agar dapat mempertahankan pegawainya, memberikan cuti sakit yang lebih panjang adalah bantuan yang disediakan untuk sektor bisnis, terkhususnya UMKM. Bagi individu, pemerintah memberikan bantuan agar memiliki kapasitas finansial untuk bertahan hidup dengan memberikan unemployment benefit , akses terhadap bahan makanan bagi kelompok miskin dan bantuan langsung tunai. Pemerintah dibantu bank sentral dalam pemberian bantuan bagi perekonomian. Bank sentral siap melakukan semua yang diperlukan selama masih dalam mandatnya demi menyediakan bantuan juga. Kebijakan yang telah diambil oleh bank sentral sejauh ini mampu meminimalisir risiko ketidakstabilan sektor keuangan dan penyediaan likuiditas yang cukup untuk perekonomian dapat bertahan menghadapi krisis. Terkait program pemulihan ekonomi, pemimpin G20 juga menghimpun dan mengkoordinasikan aksi kebijakan di bidang perdagangan internasional yang terganggu. Arah kebijakan perdagangan G20 berbalik dari yang semula banyak menghambat perdagangan ^2 , menjadi memfasilitasi perdagangan ^3 . Pilar ketiga adalah komitmen untuk memiliki pemulihan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif. Anggota G20 berada pada tahap yang berbeda-beda dalam krisis ini dan ada yang sudah mulai memikirkan exit strategies . Hal ini membuat komitmen untuk memenuhi pilar ketiga berfokus pada: (i) pertukaran informasi yang mencakup kebijakan pengendalian penyebaran COVID-19 yang diambil, tingkat persebaran COVID-19, dan upaya pembukaan kembali ekonomi; (ii) kesepakatan untuk memperkuat ketahanan pada global supply chain dan investasi internasional serta dukungan pada sistem perdagangan multilateral; (iii) memberikan bantuan bagi pekerja melalui pelatihan, reskilling dan kebijakan pasar tenaga kerja yang aktif; (iv) melakukan reformasi struktural dengan tujuan untuk peningkatan produktivitas pada jangka menengah; (v) memastikan tercapainya pembiayaan publik yang berkelanjutan dan memperbaiki balance sheets pemerintah demi mengantisipasi tantangan di masa mendatang; (vi) mendorong investasi infrastruktur yang berkualitas dan meningkatkan mobilisasi pendanaan swasta; serta (vii) mendukung kebijakan pertumbuhan yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan inklusif. 2 Menurut UNCTAD dan WTO pada periode sebelum pandemi 3 Sebesar 70% dari kebijakan perdagangan yang terkait dengan COVID-19 kini merupakan kebijakan yang justru memfasilitasi perdagangan.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 1 lainnya
dan produktif dengan fokus pada sektor informal, UMKM, petani, nelayan, sektor korporasi, dan BUMN yang memiliki peran strategis bagi masyarakat,” ujar Ubaidi. Langkah lain yang akan diterapkan yakni menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan efektivitas perlindungan sosial, memperkuat kebijakan dalam pengendalian impor khususnya pangan, serta meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN). Empat pilar kebijakan teknis perpajakan Terjadinya perlambatan aktivitas ekonomi menjadi tantangan bagi pendapatan negara. Kinerja ekspor dan impor melemah, begitu pula dengan konsumsi dan investasi yang turut menurun. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ihsan Priyawibawa mengatakan, pada tahun 2021, pemerintahan akan melakukan optimalisasi pendapatan yang inovatif dan mendukung dunia usaha untuk pemulihan ekonomi. “Dari sisi perpajakan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya perluasan basis pajak, dan perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan tax ratio ,” tutur Ihsan. Lanjutnya, penerapan Omnibus Law Perpajakan dan pemberian berbagai insentif fiskal juga diharapkan mampu mendorong peningkatan investasi dan daya saing nasional, mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, serta memacu transformasi ekonomi. “Kebijakan teknis pajak yang akan diimplementasikan pada tahun 2021 dapat dikategorikan menjadi empat pilar kebijakan besar,” ungkap Ihsan. Pertama, mendukung pemulihan ekonomi nasional melalui pemberian insentif perpajakan yang selektif dan terukur. Kedua, memperkuat sektor strategis dalam rangka transformasi ekonomi antara lain melalui terobosan regulasi, pemberian insentif pajak yang lebih terarah, dan proses bisnis layanan yang user friendly berbasis IT. Pilar ketiga ialah meningkatkan kualitas SDM dan perlindungan untuk masyarakat dan lingkungan. Sementara, pilar terakhir ialah mengoptimalkan penerimaan pajak. Langkah ini akan diimplementasikan dalam bentuk pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), serta ekstensifikasi dan pengawasan berbasis individu dan kewilayahan. Selain itu, pemerintah juga akan meneruskan reformasi perpajakan yang meliputi bidang organisasi, SDM, dan IT. Menurut Ihsan, selama ini sektor industri pengolahan dan perdagangan menjadi penyumbang utama penerimaan pajak. Terkait dengan basis pajak baru, ia menerangkan, dari sisi aspek subjek pajak, pendekatan kewilayahan menjadi fokus utama DJP. “Adapun dari aspek objek pajak, salah satunya adalah dengan meng- capture objek pajak dari aktivitas PMSE yang semakin marak seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kondisi pandemi COVID-19 sekarang ini,” pungkasnya. Pembiayaan fleksibel dan responsif Penyusunan RAPBN 2021 masih belum terlepas dari situasi pandemi. Oleh sebab itu, sektor pembiayaan harus tetap antisipatif terhadap kebutuhan APBN dalam rangka pemulihan ekonomi akibat pandemi. Hal tersebut disampaikan Direktur Strategi dan Portofolio Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Riko Amir, dalam kesempatan wawancara dengan Media Keuangan. “Untuk arah kebijakan pembiayaan tahun depan, pembiayaan tetap fleksibel dan responsif terhadap kondisi pasar keuangan, tetapi juga tetap prudent dan memperhatikan kesinambungan fiskal,” terang Riko. Pihaknya juga terus berupaya mengembangkan skema pembiayaan yang kreatif dan inovatif, yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. “Nah, yang paling penting, pada 2021 juga harus ada efisiensi terhadap biaya utang itu sendiri,” kata Riko yang merupakan alumnus Univesity of Groningen tersebut. Untuk tahun depan, pihaknya akan mendorong biaya bunga utang bisa makin efisien, seiring dengan pendalaman pasar keuangan, perluasan basis investor, penyempurnaan infrastruktur Surat Berharga Negara (SBN) itu sendiri, serta diversifikasi pembiayaan. “Indonesia tidak bisa mengelak dari pandemi ini. Oleh karena itu, pemerintah melakukan kebijakan counter cyclical di mana ketika pertumbuhan ekonominya menurun, pemerintah melakukan berbagai cara untuk membantu boosting ekonomi,” ujar Riko. Di sisi lain, Riko mengungkapkan sejumlah lembaga pemeringkat utang melihat Indonesia telah melakukan kebijakan on the right track dan mampu menjaga stabilitas makroekonominya. Pada bulan Agustus lalu, salah satu lembaga pemeringkat utang yaitu Fitch mempertahankan peringkat utang Indonesia pada posisi BBB dengan outlook stable . Fitch mengapresiasi pemerintah lantaran telah merespons krisis dengan cepat. Mereka menilai pemerintah telah mengambil beberapa tindakan sementara yang luar biasa, meliputi penangguhan tiga tahun dari plafon defisit 3 persen dari PDB dan pembiayaan bank sentral langsung pada defisit. “Penilaian tersebut menjadikan pemerintah lebih confidence dalam menjalankan peran untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah pandemi ini,” pungkas Riko Amir. Dengarkan serunya wawancara bersama para narasumber pilihan Media Keuangan
Opini Pajak Internasional Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks M. Rifqy Nurfauzan Abdillah dan Pungki Yunita Chandrasari, pegawai pada Badan Kebijakan Fiskal MEDIAKEUANGAN 40 FENOMENA RACE TO THE BOTTOM DALAM P ada abad ke-21, negara- negara berlomba-lomba untuk menurunkan tarif pajak dan menawarkan insentif pajak dalam rangka menarik arus investasi global. Globalisasi dan perdagangan bebas menuntut adanya pergerakan bebas ( free movement ) faktor-faktor produksi, salah satunya adalah modal. Untuk mendapatkan modal, negara menawarkan insentif dalam bentuk pemotongan tarif PPh Badan, insentif pajak, atau deregulasi perpajakan. Hal ini mengakibatkan persaingan pajak antarnegara terjadi. Tingginya angka pengganda dari shock yang ditimbulkan dari investasi menyebabkan persaingan perebutan investasi asing atau foreign direct investment (FDI) menjadi sengit. Sebagai konsekuensi dari kompetisi, fenomena “ race to the bottom ” dalam hal penurunan tarif dan obral insentif pajak seringkali tidak dapat dihindari dan mengganggu sistem pajak negara- negara di dunia. Di sisi lain, Indonesia baru-baru ini bergabung dengan tren yang ada untuk menyesuaikan tarif PPh yang berlaku yaitu sebesar 22 persen untuk tahun 2020 dan 2021 serta akan turun menjadi 20 persen mulai tahun 2022. Selain itu, ada tambahan pengurangan 3 persen lebih rendah dari tarif yang disebutkan di atas, terutama untuk perusahaan publik dengan 40 persen total sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu. Terkait insentif pajak, Indonesia baru saja merilis fasilitas pajak baru dalam bentuk tax allowance sebagai pelengkap kebijakan tax holiday yang masih berlaku. Filipina sebagai negara yang mengenakan tarif PPh Badan tertinggi di ASEAN juga mencoba menawarkan skema insentif pajak baru bersama dengan pengurangan tarif PPh badan dalam rancangan undang-undang baru mereka. Dari tren ini, kita memiliki dua pertanyaan yang perlu dijawab. Pertama, apakah tidak masalah bagi Indonesia untuk mengikuti race ini dan yang kedua apakah Indonesia memiliki semua kualitas pajak yang diperlukan untuk menarik investasi. IMF sendiri sudah memberitahukan bahwa persaingan pajak di antara negara-negara ASEAN dapat merusak penerimaan negara. Persaingan pajak akan menguntungkan investor sementara kebutuhan untuk mendanai belanja publik semakin besar. Jadi, apakah keputusan Indonesia untuk menurunkan tarif dalam rangka meningkatkan investasi salah? Jawaban sederhananya tidak, karena itulah yang diperlukan untuk menggaet FDI. Secara global, FDI telah secara signifikan terbukti meningkatkan kontribusi PDB dari 8 persen di tahun 1990 menjadi 31 persen di tahun 2009. Dalam hal persaingan pajak, inisiatif pajak global diperlukan untuk memastikan adanya sebuah level playing field . OECD telah menetapkan standar internasional tentang transparansi pajak yang mengarah pada penerapan informasi pertukaran untuk tujuan pajak guna memerangi penggelapan pajak. Sementara masalah celah diselesaikan, hal tersebut tidak menghentikan negara-negara untuk memberikan insentif dan mengurangi tarif pajak mereka. Forum on Harmful Tax Practice OECD telah menilai rezim pajak preferensial dari negara-negara yang menyediakan banyak fasilitas pajak. Hal ini mengarah ke adanya basis pajak yang rendah, yang cenderung ke persaingan tidak sehat. Harmonisasi kebijakan perpajakan diperlukan untuk mencegah adanya rezim tersebut meskipun pada dasarnya suatu negara tidak bisa melarang kebijakan perpajakan negara lain karena itu merupakan suatu kedaulatan. Sejatinya persaingan pajak tidak hanya diidentifikasi dari tarif pajak, tetapi juga perlu melihat sistem perpajakan dan administrasi pajak suatu negara. Sebagian besar negara di ASEAN mengadopsi worldwide income , kecuali Malaysia dan Singapura yang menggunakan sistem territorial income . Didukung dengan tarif PPh badan yang rendah, pernyataan OECD menegaskan bahwa penggunaan sistem pajak teritorial merupakan salah satu indikasi kebijakan pajak yang hamful bagi rezim pajak preferensial. Di sisi lain, paying taxes di Singapura menduduki peringkat terbaik di kawasan ASEAN. Singapura jauh lebih unggul dalam administrasi urusan perpajakan dengan hanya membutuhkan 82 jam setahun sedangkan di Indonesia membutuhkan 259 jam setahun untuk memenuhi kewajiban pajak berdasarkan laporan yang dirilis oleh PwC dalam Paying Taxes 2014. Terlepas dari faktor non-pajak, faktor pajak memang memainkan peranan penting sebagai salah satu faktor investasi. MENA-OECD mendefinisikan faktor-faktor pajak yang mempengaruhi FDI sebagai tarif pajak, insentif pajak dan administrasi pajak. Salah satu kriteria administrasi pajak yang ideal adalah kepastian. Setiap investor menginginkan tingkat kepastian tertentu untuk pengembalian investasi mereka. Oleh karena itu, ketidakstabilan dan ketidakpastian dalam penerapan undang-undang perpajakan dan administrasi perpajakan dapat menghambat tujuan tersebut. Otoritas pajak dapat meningkatkan kepastian dengan memperbaiki hal-hal tertentu, seperti memastikan pemahaman yang sama antara wajib pajak dan pemeriksa tentang penerapan suatu peraturan dan meningkatkan kualitas mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif. Langkah Indonesia dalam hal tarif dan insentif pajak sudah cukup memadai. Pada tahun 2022, tarif PPh Badan Indonesia akan bisa bersaing dengan Singapura. Indonesia juga sepenuhnya mematuhi standar internasional, dengan rezim yang lebih fair dan sehat tidak seperti Singapura. Race to the bottom adalah fenomena yang tidak terelakkan di dunia perpajakan saat ini, termasuk bagi Indonesia. Apabila ditambah dengan upaya untuk meningkatkan standar administrasi pajak yang ada saat ini, Indonesia bisa berpotensi menempati posisi teratas sebagai negara tujuan investasi. Ilustrasi Dimach Putra
Laporan Utama MEDIAKEUANGAN 12 Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraaan pada sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR- DPD di Gedung Parlemen. Foto Dok. DPR RI MEDIAKEUANGAN 12 Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 menjadi berbeda dari biasa. Negeri masih dilanda pandemi. Sekuat tenaga upaya dikerahkan agar pandemi segera teratasi. Namun, ketidakpastian masih tinggi, bahkan di beberapa daerah pertumbuhan kasus baru terus terjadi. Pemerintah harus memantapkan langkah antisipasi untuk memitigasi dampak sosial ekonomi di tahun depan. PERCEPAT PEMULIHAN, PERKUAT REFORMASI Teks Reni Saptati D.I P ada 14 Agustus 2020 lalu, pemerintah telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN tahun anggaran 2021 dan Nota Keuangan. Kebijakan fiskal RAPBN 2021 mengambil tema Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi. Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Ubaidi S. Hamidi mengemukakan setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi pemilihan tema. “Pertama, pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia telah berdampak sangat luar biasa bagi kesehatan masyarakat dan perlambatan perekonomian dalam tahun 2020,” tutur pria kelahiran Klaten tersebut. Sumber daya fiskal perlu diarahkan untuk mendukung keberlanjutan dan akselerasi berbagai upaya strategis pemulihan kondisi kesehatan dan perekonomian nasional yang telah mulai dilakukan sejak 2020, dan akan dilanjutkan pada 2021. “Kedua, langkah menuju Visi Indonesia 2045 sebagai negara maju tetap perlu diperjuangkan bersama,” tegas Ubaidi. Guncangan perekonomian nasional tahun ini tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk tetap mewujudkan cita-cita luhur yaitu masyarakat yang semakin sejahtera, serta bagaimana berupaya untuk keluar dari middle income trap . Ia menjelaskan, pemulihan ekonomi akan bermakna jika dilengkapi dengan reformasi struktural yang konsisten. Sebaliknya, reformasi akan berjalan efektif jika didukung proses pemulihan ekonomi yang solid. “Strategi recovery ekonomi dan reformasi merupakan satu paket, two in one , yang komplementer dan saling menguatkan, agar dari sisi kesehatan-sosial-ekonomi dapat segera pulih menuju normal,” ujar Ubaidi yang sebelum bertugas di BKF, selama belasan tahun bertugas di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Program pemulihan ekonomi nasional berlanjut Reformasi yang akan dilaksanakan pada 2021 meliputi banyak sektor. Untuk mendukung pemulihan melalui penguatan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, alat kesehatan, serta mendorong health security preparedness , reformasi sektor kesehatan akan digalakkan. Di sisi lain, pemerintah juga melakukan reformasi perlindungan sosial untuk mendukung pemulihan sekaligus mempersiapkan program yang adaptif terhadap resesi ekonomi dan bencana. Ubaidi menjelaskan, fokus reformasi juga akan diarahkan ke sektor pendidikan, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), perpajakan, penganggaran, dan optimalisasi teknologi informasi melalui digitalisasi layanan publik. “Dalam rangka menjawab tantangan stuktural terkait perlunya penguatan daya saing, peningkatan kapasitas produksi dan pemanfaatan bonus demografi untuk mendukung produktivitas dan transformasi ekonomi, maka diperlukan reformasi untuk penguatan fondasi agar mampu keluar dari middle income trap ,” Ubaidi menerangkan. Tahun depan, jelasnya, pemerintah juga tetap akan melanjutkan penanganan bidang kesehatan terutama pandemi COVID-19 serta mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional. “Pemerintah akan memberikan stimulus ekonomi yang berkeadilan, tepat sasaran,
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 1 lainnya
berupa peningkatan aktivitas perekonomian dapat dirasakan dalam jangka waktu menengah dan panjang. Dalam kesempatan berbeda, Direktur Riset CORE, Piter Abdullah Redjalam menilai wajar langkah pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi sebagai penyumbang terbesar kedua dan ketiga PDB nasional. Apalagi pada saat yang bersamaan, dalam dua tahun terakhir kinerja ekspor dan investasi tak begitu menggembirakan. Namun demikian, Piter menekankan perlunya menempatkan insentif fiskal dalam konteks strategi besar untuk memperbaiki struktur ekonomi agar tidak lagi bergantung pada komoditas. “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya,” ujarnya. Paradigma baru Insentif fiskal yang diberikan pemerintah beragam jenisnya. Secara garis besar, terang Rofyanto, insentif tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, fasilitas yang bersifat sektoral, antara lain tax holiday, tax allowance, investment allowance, fasilitas PPN tidak dipungut, dan pembebasan bea masuk. Fasilitas ini ditargetkan untuk sektor- sektor tertentu, misalnya tax bersama seirama. Berbenah butuh keuletan dan kesabaran. Apalagi jika banyak persoalan menumpuk sekian lama, mulai dari sisi perizinan, prosedur, hingga implementasi di lapangan. Beragam regulasi yang menghambat harus segera dirapikan. Untuk memancing masuknya investasi baru dan mendorong aktivitas dunia usaha, pemerintah memasang strategi pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal memang akan berpengaruh negatif bagi penerimaan perpajakan karena memunculkan belanja perpajakan ( tax loss ). Akan tetapi, pemberian insentif diharapkan dapat melambungkan penerimaan perpajakan karena basis perpajakan yang semakin besar akibat peningkatan aktivitas perekonomian. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Rofyanto menuturkan, sejak tahun 2018 Kementerian Keuangan telah melaporkan besarnya belanja perpajakan sebagai bentuk transparansi fiskal. Pada tahun itu, diestimasi besar belanja perpajakan mencapai Rp221,1 triliun atau sekitar 1,49 persen Produk Domestik Bruto (PDB). “Perlu disadari bahwa dampak langsung dan dampak tidak langsung dari insentif perpajakan memiliki perbedaan waktu atau time lag ,” jelas Rofyanto. Dampak langsung dapat dirasakan pada sistem perpajakan berupa penurunan pajak yang dikumpulkan, holiday untuk penanaman modal industri pionir. Kedua, fasilitas yang bersifat spatial (kawasan), misalnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan tempat penimbunan berikat. Di dalam kawasan tersebut, sarana dan prasarana untuk pengembangan industri diintegrasikan, termasuk pemberian fasilitas perpajakan. Pemberian fasilitas spasial ini diharapkan mampu menciptakan kantong-kantong ekonomi baru. “Dalam tahun 2019, pemerintah juga memperkenalkan jenis insentif baru, yaitu fasilitas super deduction tax yang merupakan activity-based incentive dan banyak diadopsi oleh negara-negara maju,” tambah Rofyanto. Insentif ini diberikan terhadap kegiatan vokasi dan R&D oleh Wajib Pajak (WP). Swasta didorong untuk turut aktif T iga puluh tiga perusahaan hengkang dari Tiongkok akibat perang dagang. Tiada satu pun berlabuh di Indonesia. Mereka lebih melirik negeri tetangga: Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Mengapa? Rumput tetangga lebih hijau bukan fatamorgana. Nyatanya, kita memang perlu berbenah diri. Namun, memacu investasi tak seringan membalik telapak tangan. Pembenahan tata kelola investasi perlu sinergi serta menyeluruh. Pusat dan daerah harus bergerak 13 MediaKeuangan 12 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Laporan Utama “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya" Piter Abdullah Redjalam Direktur Riset Center of Reform on Economic CORE Indonesia Teks Reni Saptati D.I, Laporan Utama Foto Anas Nur Huda Pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi. Berbenah Pacu Investasi
Opini Masa Depan Batu Bara dan Energi Terbarukan Ilustrasi A. Wirananda *Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja Teks Ragimun dan Imran Rosjadi Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MediaKeuangan 40 D iprediksi, nasib batu bara akan semakin sulit bersaing dengan energi terbarukan jika tidak ada inovasi dan peningkatan nilai tambah ( value added ). Dengan kata lain, tidak dilakukan hilirisasi ( downstreaming ). Apalagi ke depan, pengembangan energi bersih, seperti energi baru dan terbarukan (EBT) semakin masif dan efisien. Di masa mendatang, pengusaha batu bara ditantang untuk terus melakukan berbagai inovasi dan pengembangan produk batu bara. Di lain pihak, timbul pertanyaan, apakah pemerintah sudah secara maksimal mendorong berbagai bentuk program hilirisasi batu bara. Memang beberapa regulasi pemerintah telah digulirkan, salah satunya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang di dalamnya menetapkan antara lain mengenai target bauran energi nasional. Pada tahun 2025 ditargetkan peran EBT paling sedikit 20% dan peran batubara minimal 30%. Sementara pada tahun 2050 ditargetkan peran EBT melampaui batu bara, yakni paling sedikit 31%, sedangkan peran batubara minimal 25%. Perkembangan EBT yang makin pesat tentu membuat harga keekonomian EBT akan semakin kompetitif dibanding batu bara. Di sisi lain, penentangan para aktivis lingkungan terhadap efek polusi akibat penggunaan batu bara juga semakin mengemuka. Tak ayal, lambat laun kondisi ini akan terus menggeser peran batu bara sebagai sumber energi yang murah dan menjadikan batu bara bak buah simalakama. Di satu pihak, harganya terus menurun, dikonsumsi sekaligus ditentang dunia, dan bila tidak diproduksi maka potensi batu bara yang besar tidak dapat dioptimalkan. Akan tetapi, jika dilakukan hilirisasi, terdapat risiko bisnis yang cukup tinggi, baik dari segi teknis, regulasi, dan pasar. Biaya investasi yang diperlukan pun cukup besar, begitu pula dengan pembiayaannya harus bankable . Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, termasuk batu bara. Potensi kandungan sumber daya batu bara diperkirakan sangat besar, yakni mencapai 151 miliar ton dan cadangan batu bara sebesar 39 miliar ton. Kendati demikian, cadangan batu bara ini diperkirakan akan habis dalam 70 tahun yang akan datang (bila rasio cadangan dan produksi batu bara 4: 1). Oleh sebab itu, seyogianya pengelolaan batu bara dilakukan dengan baik dan bijak agar dapat memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat. Salah satu solusi agar pemerintah dapat terus mendorong pemanfaatan batu bara adalah melalui hilirisasi. Hilirisasi batu bara dapat memberikan sumbangan untuk peningkatan penerimaan negara, baik penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Saat ini, kontribusi penambangan batu bara sebelum dilakukan hilirisasi terbilang relatif tinggi terhadap PNBP. Pada tahun 2018 saja, PNBP batu bara mencapai lebih dari 21,85 triliun Rupiah. Dalam jangka pendek, pemberian insentif fiskal sebagai pendorong hilirisasi batu bara memang akan mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak dan bukan pajak. Akan tetapi, dalam jangka panjang diharapkan akan meningkatkan perekonomian dan manfaat sosial lainnya. Berdasarkan hasil simulasi yang pernah dilakukan, Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah atau lokasi hilirisasi diperkirakan meningkat 3 kali lipat. Sementara, untuk pajak dan PNBP rata-rata naik 3 kali lipat. Penyerapan tenaga kerja pun berpotensi mencapai lebih dari 5000 pekerja. Hilirisasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan pada saat ini adalah gasifikasi batu bara, yakni sebuah proses di mana bahan bakar karbon mentah dioksidasi untuk menghasilkan produk bahan bakar gas lainnya. Gasifikasi sudah diminati oleh perusahaan BUMN tambang, misalnya PT Bukit Asam (PT BA) yang berencana menggandeng beberapa perusahaan user melalui joint investment, seperti PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia dan PT Candra Asri. Penggunaan teknologi produksi batu bara menjadi gas berupa Dymethil Ether (DME), urea dan polyphropylen e (PP) saat ini bukan masalah. Beberapa negara lain telah melakukan hal serupa, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Namun demikian, biaya produksi yang masih sangat tinggi menjadi kendala sehingga membutuhkan investasi yang relatif besar, dapat mencapai lebih dari 3.446 miliar Dollar. Dibutuhkan dukungan segala pihak agar hilirisasi gasifikasi dapat berjalan lancar. Pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, dan penurunan atau pengurangan royalti khusus. Perbankan pun ikut beperan serta dalam memberikan kredit investasi apabila proyek ini dinilai layak secara finansial. Selain itu, diperlukan juga kebijakan pengaturan atau penetapan harga beli DME untuk LPG oleh PT Pertamina yang tidak mengikuti fluktuasi harga komoditas. Dengan demikian, proyek industri bukan hanya bankable dan dapat berjalan, melainkan juga berkelanjutan sehingga program gasifikasi batu bara dapat bermanfaat untuk kepentingan industri strategis nasional, pasokan gas dalam negeri, penghematan devisa, dan pemanfaatan batu bara kalori rendah ( low rank) . Seluruh pemangku kepentingan perlu duduk bersama guna mencari solusi terbaik agar nantinya batu bara tidak lagi menjadi masalah, melainkan menjadi produk yang membawa berkah dan maslahah.
Indonesia melalui pelatihan kerja. Menariknya, pemberian insentif fiskal tersebut dibarengi dengan lahirnya dua paradigma baru. Pertama, simplicity and certainty yang menekankan pada kemudahan prosedur, tetapi aturan main dibuat sejelas mungkin. Kedua, trust and verify yang menekankan kepercayaan lebih besar kepada WP melalui kemudahan prosedur dan implementasi. “Namun, demi menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan, pemerintah akan turun untuk melakukan post audit,” Rofyanto melengkapi. Kedua paradigma baru itu sejalan dengan semangat pembenahan tata kelola investasi yang saat ini sedang dilakukan pemerintah. Melalui Inpres Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha, mulai 3 Februari 2020 kewenangan perizinan berusaha dan pemberian fasilitas investasi dari berbagai kementerian dan lembaga, termasuk insentif fiskal dari Kementerian Keuangan, didelegasikan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Terkait pendelegasian kewenangan tersebut, Rofyanto menyatakan pihaknya mendorong penggunaan Online Single Submission (OSS) yang dikelola BKPM sebagai media untuk pemrosesan pemberian insentif fiskal. Menurutnya, selain memudahkan WP, Kementerian Keuangan juga akan dimudahkan dalam mengakses data tersebut ketika dibutuhkan. “Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemudian pengalihan tersebut dapat dirumuskan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan permasalahan hukum dan ketidakpastian ke depan bagi WP,” tutur Rofyanto. Pemerintah Daerah berperan penting Upaya menarik investasi dan meningkatkan ekspor kini menjadi prioritas nasional. Berbagai kementerian dan lembaga intens berkoordinasi untuk mengangkat peringkat Ease of Doing Business Indonesia yang stagnan di urutan 73. Keterlibatan pemerintah daerah dalam proses kemudahan berinvestasi tentu sangat tak terhindarkan. Pada era desentralisasi, peran pemda sangat vital lantaran kebijakan nasional yang dirumuskan pemerintah pusat akan bersinggungan dengan kewenangan pemda. Untuk memacu pemda turut berlomba-lomba membangun iklim investasi yang kondusif di daerahnya dan meningkatkan jumlah ekspor komoditas, Kementerian Keuangan menambahkan kriteria baru dalam pengalokasian Dana Insentif Daerah (DID) 2020. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti menjelaskan selama ini DID dialokasikan kepada daerah berdasarkan kriteria utama dan kategori kinerja. Setiap tahun dilakukan riviu, termasuk penggunaan kriteria utama dan kategori kinerja sebagai dasar penilaian. “Selain reviu, perubahan kriteria dilakukan dengan mempertimbangkan target capaian dari prioritas nasional. Sebagai contoh, untuk pengalokasian DID 2020, terdapat kategori kinerja yang baru, yaitu peningkatan ekspor dan peningkatan investasi yang menjadi prioritas nasional,” ungkapnya. Astera menambahkan, ke depannya pihaknya akan terus mencari faktor-faktor apa saja yang betul-betul menjadi trigger untuk perbaikan daerah dan pembangunan daerah. Menurut Astera, skema insentif ini sangat bagus lantaran mendorong daerah melaksanakan kebijakan dengan performance terbaiknya. Ia mengatakan DID dimaksudkan untuk mendorong daerah supaya memiliki tata kelola yang semakin baik dan transparan, serta tahu posisinya dalam skala nasional. “Saya lihat dampaknya positif. Terutama buat kepala daerah yang punya passion sangat tinggi untuk mengembangkan daerahnya,” tutupnya. Kriteria Utama DID 2020 15 MediaKeuangan 14 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 MediaKeuangan 14 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemda Wajar Tanpa Pengecualian Penetapan Perda mengenai APBD tepat waktu Pelaksanaan e-government tepat waktu Ketersediaan pelayanan terpadu satu pintu
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
ndonesia baru-baru ini telah menjadi negara ekonomi kelas menengah, dengan jumlah populasi kelas menengahnya mencapai 16% pada tahun 2014 dari hanya 5% pada tahun 1993 (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Indonesia juga berhasil menjadi salah satu negara dengan pengentasan kemiskinan tercepat di dunia. Namun demikian, sekitar 26 juta orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dan 77,4 juta orang atau setara dengan 29,1% dari populasi masih menjadi bagian kemiskinan atau rentan jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Hal ini menunjukkan tingginya jumlah penduduk Indonesia yang masih rentan terhadap guncangan ekonomi walaupun ada kemajuan yang signifikan dalam mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu, penting untuk menemukan solusi yang efektif guna mengubah masyarakat miskin Indonesia menjadi masyarakat berpenghasilan menengah. Rumah tangga berpendapatan menengah merupakan kontributor konsumsi dan sumber suara sosial serta politik yang signifikan dalam membentuk kebijakan pembangunan. Solusi yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia, antara lain dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kualitas pendidikan terutama dalam penyediaan keterampilan khusus yang dibutuhkan oleh lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas kesehatan dan peluang kehidupan bagi anak- anak di daerah pedesaan. Semua hal tersebut membutuhkan sejumlah besar pembiayaan di tengah tekanan global, rasio pajak yang rendah, dan rencana pemerintah untuk mengurangi pajak penghasilan. Langkah awal yang dapat dilakukan yakni dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak. Apabila jumlah “calon kelas menengah” dan “kelas menengah” dapat meningkat secara proporsional, maka dengan basis subjek pajak yang substansial itu, Indonesia dapat menerapkan rezim pajak penghasilan progresif, di mana mereka yang memiliki pendapatan berlebih harus membayar lebih banyak pajak. Dengan terhimpunnya dana pajak tersebut, Indonesia kemudian dapat membangun skema perlindungan sosial yang kuat. Tantangan berikutnya adalah bagaimana membuat pembelanjaan kelas menengah agar menjadi lebih produktif, karena jika pengeluaran kelas menengah tersebut tidak produktif, maka risiko jatuh ke dalam middle income trap akan lebih besar. Dari segi ketenagakerjaan dan produktivitas tenaga kerja, terlepas dari upah yang kecil, produktivitas yang rendah telah menghasilkan total biaya output yang lebih tinggi. Di samping itu, pada tataran global, Indonesia masih berada di peringkat ke-2 terkait kekakuan kontrak kerja terutama dalam hal pemutusan hubungan kerja, sedangkan tingkat kepatuhannya hanya sebesar 49%. Pengangguran usia muda mencapai tujuh kali lebih banyak dari pengangguran orang dewasa, sementara sebanyak dua dari tiga perempuan Indonesia termasuk di antara mereka yang menganggur. Di lain sisi, sehubungan dengan tingkat pelatihan, hanya sekitar 8% dari perusahaan yang ada di Indonesia yang benar-benar memberikan pelatihan untuk karyawan mereka, padahal pemerintah telah memberikan insentif pajak berupa pengurangan hingga Rp300 juta ( super deduction ) bagi perusahaan yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Dari segi pembangunan pendidikan, meskipun telah ada upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan mendasar, namun outcome dari upaya ini masih belum optimal. Pencapaian rata-rata pengetahuan siswa dengan lama pendidikan 12 tahun sebenarnya hanya sama dengan 7,9 tahun mengenyam pendidikan. Hal ini menunjukkan ketidakefektifan dalam proses pembelajaran, baik dari sisi kurikulum dan kapasitas guru, dan/ atau terbatasnya fasilitas pendidikan yang ada. Beberapa ide muncul sebagai solusi dari tantangan dimaksud, salah satunya dengan mengembangkan dan memperluas industri pendidikan anak usia dini. Hal ini dianggap mendesak karena sebuah penelitian menunjukkan bahwa return pendidikan satu tahun pada anak usia dini lebih besar daripada return pendidikan pada perguruan tinggi dengan durasi yang sama. Sayangnya, hanya sekitar 1% anak Indonesia yang saat ini dapat menikmati pendidikan anak usia dini. Dari segi kualitas kesehatan, 27% anak Indonesia masih mengalami hambatan pertumbuhan ( stunting ) sehingga Indonesia berada pada peringkat stunting ke-5 di dunia. Sementara itu, dari 74% wanita Indonesia yang telah mendapat pemeriksaan kehamilan, hanya 37% yang mampu memberikan ASI dan hanya 58% yang telah menerima suntikan imunisasi untuk bayinya. Oleh sebab itu, efektivitas sistem perlindungan kesehatan nasional harus ditingkatkan, antara lain melalui pembetulan alokasi subsidi, mengingat saat ini sebanyak 40% rumah tangga kelas menengah masih menerima subsidi pemerintah, dan peningkatan kepatuhan pembayaran iuran jaminan sosial kesehatan. Pada akhirnya, meskipun kombinasi dari tantangan pembangunan, demokrasi, dan desentralisasi cenderung memperumit masalah dan penanganannya, namun pemerintah harus mampu merancang kebijakan yang tidak hanya layak berdasarkan standar yang diterima, tetapi juga sesuai untuk Indonesia yang kaya akan keberagaman. Pemerintah harus dapat mengimplementasikan kebijakan yang memastikan keberlanjutan dan produktivitas pembiayaan pembangunan, meskipun setiap kebijakan yang diambil tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. 41 MEDIAKEUANGAN 40 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Opini MENJADI CALON SOSIALITA, Memakmurkan Indonesia *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Bramantya Saputro Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40
MEDIAKEUANGAN 32 33 MEDIAKEUANGAN 32 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Keikhlasan Melako nkan Beragam Peran DIAN LESTARI Kepala Pusat Kebijakan Regional Dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal Teks Dimach Putra | Foto Anas Nur Huda P erempuan di zaman yang sarat perubahan ini harus piawai berlakon peran. Bukan untuk menyembunyikan jati diri sebenarnya. Tapi untuk mampu bertahan dan menjalankan tanggung jawab yang susah payah diperjuangkan untuk didapatkan. Hal itu yang dirasakan Dian Lestari. Salah satu Srikandi mumpuni di Kementerian Keuangan. Ibu dari dua putri ini kini dipercaya menjadi Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral pada Badan Kebijakan Fiskal. Tak mudah, memang. Tapi bagi perempuan yang akrab dipanggil Dian ini, tanggung jawab tersebut merupakan kepercayaan yang harus teguh ia jalankan. Jalan panjang telah ia lewati untuk bisa mencapai posisinya saat ini. Beragam peran pun telah berhasil Ia tunaikan dengan luwes. Dian lalu membagikan sedikit kisahnya. Ikhlas jalankan penugasan ”Saya tidak pernah menolak penugasan. Jangankan penugasan, pekerjaan apapun yang relevan kalau pimpinan meminta saya untuk mengerjakan itu, pasti akan sebisa mungkin saya lakukan,” ucapnya mengawali. Dian memutar ingatannya kembali ke akhir Agustus 2016. Ia mendapat mandat langsung dari atasannya untuk menempati posisi Senior Advisor di World Bank. Ia diminta mendampingi Andien Hadiyanto yang terlebih dulu ditunjuk menjadi Executive Director . Peran penting sebagai penasehat di multilateral development bank paling bergengsi tersebut harus diampunya per-1 November 2016. Tak ada waktu baginya untuk mencerna semua perasaan yang bercampur 33 VOL. MEDIAKEUANGAN 32 aduk. Saat menerima kabar tersebut, Ia tengah mengurus kesiapan delegasi Indonesia yang akan bertolak ke pertemuan tahunan di Washington D.C. Tanggung jawab tersebut menyita waktunya hingga pertengahan Oktober. Sampai akhirnya hanya 2 minggu tersisa bagi perempuan kelahiran Tegal ini untuk mempersiapkan keberangkatannya. Keikhlasan Dian dalam menjalankan peran yang dipercayakan padanya diuji sesampainya di negeri Paman Sam. Dian dituntut harus langsung dapat beradaptasi. Sepekan awal, Ia harus fokus pada program pendampingan dengan senior advisor sebelumnya. ”Kalau saya missed di sini, saya akan kehilangan kesempatan untuk dapat transisi yang smooth ,” ujarnya. Hal tersebut dirasa cukup menantang baginya, tapi Dian punya cara menghadapinya. Kuncinya satu, jangan dipikirin, tapi jalanin aja. Kalau ada yang dipikirin biasanya akan banyak kekhawatiran. Tapi kalau kita fokus untuk jalanin, kita nggak sempat mikir begitu,” bebernya. Kekuatan dukungan keluarga Pengalaman bertugas di World Bank tak hanya menempa Dian dalam sisi profesionalitas berkarier, tetapi juga dalam perannya sebagai istri dan ibu dalam keluarga. Begitu menerima kabar penugasannya, Ia langsung mengutarakan maksudnya untuk membawa serta dua buah hatinya yang beranjak dewasa. ”Suami gak bisa ikut karena ada tanggung jawab pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Tapi kami sepakat bahwa anak-anak butuh international exposure dan ini saatnya!” ungkapnya. Masa-masa awal kepindahannya di Amerika membuatnya berjibaku dengan beragam hal. Belum lagi menyesuaikan fisik di lingkungan baru, pekerjaan menuntutnya untuk cepat beradaptasi dengan ritme kerja yang jauh berbeda dengan di Indonesia. Sementara itu, Ia juga harus memilih lingkungan terbaik untuk mereka hidup saat kedua putrinya menyusul tiga bulan berikutnya. ”Saya memilih tinggal di Rockfiled, Maryland. Daerah suburb (pinggiran) yang punya sistem pendidikan oke dan jadi kawasan favorit komunitas internasional yang kerja di D.C buat tinggal bersama keluarga,” ucapnya. Pilihan tersebut dianggap tepat. Meskipun isu ketegangan ras, agama, dan golongan merebak karena iklim
Opini Mitigasi Bencana Ilustrasi Dimach Putra Teks Mahpud Sujai Peneliti Madya, Badan Kebijakan Fiskal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 I ndonesia merupakan Negara yang berada di Kawasan Cincin Api Pasifik, rangkaian gunung api paling aktif di dunia yang membentang sepanjang lempeng pasifik. Posisi geografis tersebut membuat Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam terutama gempa bumi. Selain itu, bentuk negara yang berupa kepulauan membuat Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia juga memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang sangat tinggi yang bisa berakibat pada bencana tanah longsor di dataran tinggi dan bencana banjir di dataran rendah. Melihat kondisi Indonesia yang rawan bencana menjadikan program mitigasi bencana sangat penting dirancang pemerintah. Dampak Bencana di Indonesia Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2019 telah terjadi sebanyak 3.721 bencana alam tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang berdampak pada 477 orang meninggal dunia, 109 orang hilang, 3.415 orang luka-luka dan 6,1 juta orang mengungsi dari tempat tinggalnya. Selain itu, dampak bencana juga menimbulkan kerusakan pada 72.992 rumah, 2011 unit fasilitas umum dan fasilitas kesehatan, 270 kantor pemerintahan dan juga 437 jembatan. Berdasarkan jenis bencana alam yang terjadi, sekitar 97 persen termasuk bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor dan 3 persen adalah bencana geologis seperti gempa bumi dan gunung meletus. Meskipun rendah dari sisi frekuensi, namun bencana geologis memiliki dampak yang sangat besar terutama jika terjadi tsunami dan gempa. Untuk itulah, diperlukan kesadaran ekstra dari seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah dalam memitigasi bencana alam. Urgensi Program Mitigasi Bencana Program mitigasi bencana bertujuan untuk mengurangi dampak kerusakan dan kehilangan korban jiwa akibat bencana. Memberikan edukasi kepada masyarakat merupakan salah satu aspek terpenting dalam program mitigasi bencana. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukan materi kebencanaan dalam kurikulum pendidikan. Mitigasi lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah menyiapkan berbagai peralatan pendeteksi bencana, seperti alat pendeteksi banjir maupun tsunami. Dengan demikian, masyarakat dapat mengantisipasi datangnya bencana alam sehingga dampak kerugian baik jiwa maupun materi dapat diminimalisasi. Program mitigasi lain yang dilakukan pemerintah dengan meningkatkan akurasi informasi kebencanaan bagi masyarakat melalui BMKG dan BNPB. Beberapa bencana alam yang terjadi di Indonesia juga disebabkan oleh kerusakan alam dan perubahan iklim seperti banjir dan kebakaran hutan. Program mitigasi bencana perlu disinkronkan dengan program mitigasi perubahan iklim seperti pengurangan kerusakan hutan, restorasi lahan gambut, reboisasi dan penghijauan daerah hulu sungai. Dengan mengarusutamakan mitigasi perubahan iklim, secara langsung akan dapat mengurangi risiko terjadinya bencana alam di Indonesia. Dukungan Anggaran Pemerintah melalui APBN telah mengalokasikan dana penanggulangan bencana. Alokasi dana tersebut terbagi dalam tiga kategori. Pertama, dana kontijensi bencana disediakan dalam APBN untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap Prabencana. Kedua, dana siap pakai (DSP) yang disediakan dalam APBN yang ditempatkan dalam anggaran BNPB untuk kegiatan pada tahap keadaan darurat. DSP juga harus disiapkan oleh pemerintah daerah melalui APBD. DSP harus tersedia sesuai kebutuhan pada saat tanggap darurat. Ketiga, dana bantuan sosial berpola hibah yang disediakan dalam APBN untuk kegiatan pada tahap Pascabencana. Sepanjang 2019, pemerintah telah mengeluarkan dana lebih dari Rp15 triliun yang berasal dari APBN untuk penanganan bencana baik melalui alokasi anggaran kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun alokasi anggaran lainnya. Pemerintah juga menyediakan dana yang lebih besar untuk penanganan serta mitigasi kebencanaan yang disimpan dalam bentuk DSP yang berada dalam alokasi Bendahara Umum Negara (BUN). Dana khusus untuk bencana alam tersebut termasuk anggaran yang disisihkan pemerintah pusat pada APBN setiap tahunnya. Apabila tidak ada bencana alam dalam skala tertentu, maka dana tersebut akan terus terakumulasi setiap tahunnya. Dana khusus bencana alam ini berbeda dengan dana darurat kebencanaan yang selama ini menjadi salah satu sumber pendanaan kegiatan penanganan bencana alam. Penanggulangan bencana harus dilakukan secara tepat namun tetap memperhatikan tertib administrasi dan akuntabilitas. Terkait dengan hal ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2008 mengenai pendanaan dan pengelolaan dana penanggulangan bencana. Pemerintah juga komprehensif mendukung penanganan bencana secara tepat waktu dan kualitas dengan tetap akuntabel. Akuntabilitas pembiayaan untuk penanganan bencana sangat penting untuk menghindari potensi penyalahgunaan anggaran yang mungkin timbul akibat dana yang harus keluar dengan cepat untuk keperluan penanganan bencana. Hal ini juga sebagai bentuk transparansi anggaran yang dialokasikan dan tanggung jawab kepada masyarakat. PERAN ANGGARAN DAN KOORDINASI ANTAR LEMBAGA DALAM
Pribadi
Relevan terhadap
Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 E. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Fenomena Higher for Longer the Fed akan berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara. Kenaikan FFR akan direspon oleh Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga BI 7 days Repo namun masih dalam respon yang tidak berlebihan. Kenaikan suku bunga tersebut akan meningkatkan downside risk terutama penurunan investasi akibat kenaikan biaya pinjaman maupun arus modal keluar menuju negara yang lebih menarik iklim investasinya, namun demikian Indonesia tetap mampu mempertahankan FDI inward tidak berkurang terlalu signifikan. Beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu Pemerintah telah menerbitkan UU Ciptaker yang efektif menstabilkan investasi Indonesia di tengah ketidakstabilan global dan Bank Indonesia bersama anggota KSSK telah secara efektif mendesain kebijakan suku bunga maupun variabel makro lainnya (yang tidak termasuk variabel dalam tulisan ini) sehingga mampu menyeimbangkan perekonomian Indonesia dapat terus tumbuh terutama dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur dalam beberapa periode mendatang. __ 2. Saran 1) Bagi Akademisi, diharapkan mampu memberikan masukan bagi Pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang mampu mendorong arus investasi/modal masuk ke Indonesia. 2) Bagi Praktisi, diharapkan bisnis akan mampu menyeimbangkan sumber dana yang dimiliki melalui pilihan ekspansi maupun diversifikasi portofolio investasi yang dimiliki perusahaan, terutama dalam era suku bunga tinggi yang kemungkinan masih akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. 3) Bagi Pemerintah sebagai Policy Maker , perlu terus mendesain kebijakan fiskal dan moneter secara agile agar mampu merespon kebijakan Higher for Longer the Fed agar tetap memberikan iklim investasi yang kondusif supaya dapat menarik investasi dari investor luar negeri. __ Tulisan akademik ini merupakan karya pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi manapun.
Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 Adapun proyek-proyek yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) antara lain yaitu proyek pembangunan infrastruktur jalan tol; proyek jalan nasional atau strategis nasional non-tol; proyek sarana dan prasarana kereta api antarkota; proyek kereta api dalam kota; proyek revitalisasi bandara; pembangunan bandara baru; proyek pembangunan bandara strategis lain; pembangunan pelabuhan baru dan pengembangan kapasitas; program satu juta rumah; pembangunan kilang minyak; proyek pipa gas atau terminal LPG; proyek energi asal sampah; proyek penyediaan infrastruktur air minum; proyek penyediaan sistem air limbah komunal; pembangunan tanggul penahan banjir; proyek pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dan sarana penunjang; proyek bendungan; program peningkatan jangkauan _broadband; _ proyek infrastruktur IPTEK strategis lainnya; pembangunan kawasan industri prioritas atau kawasan ekonomi khusus; proyek pariwisata; proyek pembangunan smelter; dan proyek pertanian dan kelautan. Mengutip https: //nasional.kompas.com, Presiden Joko Widodo menyetujui penambahan 14 PSN baru yang akan dibangun pada tahun 2024, pembangunan 14 PSN baru ini akan dilakukan oleh pihak swasta sehingga pendanaan tidak menggunakan APBN. Dengan adanya kebutuhan modal yang tinggi yang berasal dari pihak swasta, tentunya memberikan tantangan bagi pemerintah untuk dapat menarik modal masuk ke Indonesia agar mampu mendanai kebutuhan proyek infrastruktur nasional tersebut. Kegagalan dalam mendesain kebijakan fiskal dan moneter yang tepat akan berdampak pada keengganan masuknya modal ke Indonesia dan akan berdampak pada proyek infrastruktur yang telah menjadi PSN. Pasar modal Indonesia sebagai salah satu sumber pendanaan juga bereaksi positif saat terjadi penurunan FFR, namun demikian respon yang terjadi akan bergantung pada ‘ good times ’ ataupun ‘ bad times ’. Selama krisis terjadi, maka investor pasar modal tidak akan bereaksi secara positif terhadap penurunan FFR. Hal ini di anggap sebagai sinyal memburuknya kondisi ekonomi sehingga akan mendorong perubahan portofolio investasi dari saham berganti ke aset yang lebih aman seperti US 3 month treasury bills dan emas (Kontonikas et al., 2013). Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis memformulasikan hipotesis sebagai berikut: H1: Kenaikan FFR rate akan mendorong penurunan investasi di Indonesia. H2: Investasi pada pasar modal akan mengalami perubahan yang fluktuatif seiring dengan kenaikan FFR rate.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Kolom Ekonom Ilustrasi Dimach Putra I ndonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang perekonomiannya masih bisa tumbuh relatif tinggi di tahun 2019. Perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen pada kuartal ketiga 2019, tatkala negara-negara lain di dunia mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok yang pada tahun lalu masih tumbuh 6,6 persen, pada 2019 ini mengalami penurunan. Pada kuartal ketiga 2019, Tiongkok hanya tumbuh 6,0 persen. Pelambatan juga terjadi di India, salah satu negara sumber pertumbuhan baru. Tahun lalu, India mampu tumbuh 6,8 persen. Tahun ini terus melorot bahkan di kuartal ketiga 2019 hanya mampu tumbuh 4,5 persen. Beberapa negara di dunia bahkan telah mengalami resesi atau tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut. Tahun 2019 memang bukan tahun yang mudah bagi perekonomian dunia. Hidayat Amir Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Tumbuh dalam Tekanan Berbagai tekanan dan gejolak yang terjadi membuat ekonomi dunia mengalami perlambatan yang cukup dalam, bahkan menjadi yang terburuk sejak krisis keuangan global pada 2009. Menurut proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,6 persen di 2018 menjadi 3,0 persen untuk tahun ini. Pertumbuhan volume perdagangan bahkan diperkirakan hanya tumbuh 1,1 persen di 2019, atau turun signifikan jika dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 3,6 persen. nyata apa yang sesungguhnya hanyalah metode. Refleksi Husserl itu dapat dijadikan ilham untuk melihat rasio pajak lebih dalam. Di balik rasio pajak, terdapat berbagai soal yang tak serta-merta kelihatan dalam angka. Itulah mengapa rasio pajak bukanlah satu-satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, meski secara indikatif berguna untuk mengenali gejala inefektivitas pemungutan pajak sejak dini. Ada empat faktor yang dapat menjelaskan sebab PDB Indonesia tidak berkorelasi positif dengan kinerja perpajakan, khususnya rasio pajak. Pertama, tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Program amnesti pajak sebagai bagian dari reformasi perpajakan nampaknya baru membantu menambah basis pajak baru dan belum meningkatkan rasio pajak. Meski tingkat kepatuhan pajak terus meningkat dari tahun 2015 sebesar 60 persen menjadi 71,1 persen di tahun 2018, namun angka tersebut masih tergolong rendah. Selain itu, tingkat kepatuhan tersebut pun masih terbatas pada kepatuhan yang sifatnya formal yakni menyampaikan SPT dan belum mempertimbangkan kepatuhan material yang melibatkan kebenaran isi SPT. Kedua, tingginya hard-to-tax sector , khususnya usaha rintisan atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor pertanian/perkebunan/perikanan yang berkontribusi cukup besar terhadap PDB. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, komposisi UMKM mencapai 59,2 juta unit dari total 60,01 juta unit usaha di Indonesia. Di satu sisi, UMKM menjadi penyumbang PDB terbesar namun di sisi lain kepatuhan dan literasi yang masih sangat rendah menjadi tantangan bagi pemerintah dalam memungut pajak. Dalam konteks itu, kebijakan penurunan tarif pajak UMKM sudah tepat dan layak diapresiasi, demi memperluas basis pajak dari sektor ini. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yang mewajibkan para pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha, harus dapat dimanfaatkan untuk mulai membangun basis data yang akurat dari sektor ini. Ketiga, pesatnya perkembangan ekonomi digital tidak diiringi dengan modernisasi perangkat teknologi informasi perpajakan, SDM yang mumpuni, serta regulasi. Akibatnya, potensi pajak sektor ini menjadi sulit ditangkap. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia. Pada 2016, tercatat nilai transaksi dari sektor ekonomi digital sebesar USD5,6 miliar. Dalam konteks ini, kebijakan pajak e-commerce sudah tepat demi menjamin keadilan dalam pengenaan pajak. Namun demikian, disharmoni antar-regulasi seperti penurunan tarif pajak UMKM di satu pihak dan kewajiban pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha di lain pihak selalu perlu diantisipasi. Keempat, maraknya praktik penghindaran pajak. Data-data dari tax amnesty, Swiss Leaks, Panama Papers, Paradise Papers , dan sebagainya mencerminkan banyaknya warga negara Indonesia yang berupaya menghindari pajak. Program tax amnesty pun menjadi solusi tepat di tengah kondisi tersebut. Tidak hanya meningkatkan kepatuhan, program ini juga menjadi momentum yang baik untuk mulai membangun tax culture yang sehat. Selanjutnya tax amnesty harus diikuti dengan langkah penegakan hukum yang tegas. Kendati rasio pajak bukan satu- satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, mendongkrak rasio pajak tetaplah salah satu tugas penting negara. Tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan merata hanya dapat dicapai dengan level penerimaan pajak yang optimal yang dapat mengakselerasi pembangunan. Searah dengan itu, upaya-upaya pemerintah dari sisi regulasi untuk mendongkrak rasio pajak perlu terus didukung: reinventing policy , kenaikan PTKP, tax amnesty , konfirmasi status WP, UU AEOI, Pembaruan Sistem Informasi, pemeriksaan pajak, percepatan restitusi, penurunan tarif WP UMKM, dan CRS AEOI. Semua itu tak lain adalah upaya meningkatkan rasio pajak dan basis pajak, juga secara serentak mendorong kepatuhan. Ibarat cermin, rasio pajak dapat dijadikan salah satu sarana untuk berkaca, tanpa kita harus menganggap bayangan cermin itu sebagai kenyataan sesungguhnya. Perbaikan selayaknya diarahkan pada kenyataan, bukan bayangannya. Kita sudah berada di jalur yang tepat, jangan sampai kereta perubahan ini berjalan terlampau lambat!
Dana Haji juga kan sebetulnya masih ada di dalam ekosistem keuangan syariah,” jelas Yani. Lebih lanjut, Yani mengungkapkan bahwa industri keuangan syariah saat ini masih didominasi oleh perbankan syariah dengan total aset per Januari 2019 mencapai Rp479,17 triliun atau sekitar 5,95 persen dari Rp 8.049 triliun total perbankan nasional. Sedangkan untuk industri keuangan nonbank syariah (IKNB) periode yang sama, asetnya tercatat Rp101,197 triliun dengan pangsa pasar sebesar 5,81 persen dari total aset IKNB nasional yang mencapai Rp1.741 triliun. Dari sisi pembiayaan syariah, Sukuk Negara atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sendiri menyumbang 18 persen dari total obligasi negara yang telah diterbitkan sebesar Rp682 triliun per Maret 2019 lalu. Senada dengan Yani, Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Lokot Zein Nasution, memaparkan bahwa perkembangan instrumen keuangan syariah paling pesat dialami oleh Sukuk Negara. Sementara itu, instrumen keuangan syariah yang lain tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan, komposisi dari perbankan syariah terus mengalami penurunan, meski penurunannya tidak menunjukkan gejala yang konsisten, sehingga sifatnya lebih reaktif terhadap kondisi ekonomi global. “Dari total aset keuangan syariah, dominasi paling besar dimiliki oleh perbankan syariah, kedua adalah sukuk negara, ketiga adalah pembiayaan syariah, keempat adalah asuransi syariah, kelima adalah IKNB syariah, keenam adalah reksadana syariah, dan terakhir adalah sukuk korporasi,” ujarnya. Peran APBN Kementerian Keuangan sendiri memiliki peran mendorong keuangan syariah melalui instrumen APBN. Yang pertama adalah dari sisi penerimaan negara. Menurut Yani, kebijakan perpajakan yang kondusif dan mendukung pengembangan keuangan syariah diperlukan dalam bentuk tax neutrality dan insentif perpajakan. Tax neutrality menjadi penting karena dalam skema keuangan syariah, seperti Sukuk Negara, diperlukan underlying asset dalam bentuk barang, manfaat aset, ataupun dalam bentuk proyek. “Kalau dalam perpajakan, seolah ada penyerahan barang. Jadi, seolah-olah ada dua kali kena PPN. Kalau di Undang-Undang PPN sepanjang ada pertambahan nilai dan sepanjang ada penyerahan akan terkena PPN. Kalau kita bilang ini tidak ada penambahan nilai dan tidak ada penyerahan juga. Karena underlying asset tadi hanya sebagai dasar perhitungan untuk memberikan pinjaman,” jelas Yani. Yang kedua adalah dari sisi belanja APBN. Belanja pemerintah di Kementerian/Lembaga tertentu dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan industri atau ekonomi syariah. Misalnya saja Halal Tourism melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau kurikulum pendidikan syariah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terakhir dari sisi pembiayaan. Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Dwi Irianti Hadiningdyah, memaparkan kehadiran Sukuk Negara mampu memperkaya jenis instrumen pembiayaan APBN dan pembangunan proyek di tanah air, sekaligus menyediakan instrumen investasi dan likuiditas bagi investor institusi maupun individu. Di samping itu, penerbitan Sukuk Negara di pasar internasional juga menandai eksistensi serta mengokohkan posisi Indonesia di pasar keuangan syariah global. Bahkan, pada tahun 2018 Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan Sovereign Green Sukuk yang diterima dengan baik oleh investor dan mendapatkan pengakuan dari berbagai lembaga internasional. Lebih jauh, Dwi menjelaskan pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mendorong ekonomi syariah secara inklusif, di antaranya melalui diversifikasi instrumen pembiayaan APBN dengan menerbitkan Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan. Melalui instrumen ini masyarakat umum dapat berinvestasi sekaligus berperan serta dalam pembangunan Indonesia. Kehadiran Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan dapat menjadi pilihan bagi masyarakat dan menambah portofolio investasi bagi investor, terutama investor syariah. Pada tahun 2019, kedua instrumen tersebut diterbitkan dengan minimum Rp1 juta dan maksimum Rp3 miliar. Hal tersebut dilakukan agar instrumen tersebut dapat dijangkau dan diakses oleh berbagai lapisan masyarakat. “Penerbitan SBSN Ritel dilaksanakan setiap tahun dan sangat diminati oleh masyarakat yang terlihat dari pemesanan yang selalu oversubscribe sehingga diharapkan melalui instrumen ini dapat mendorong transformasi masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society ,” pungkasnya. 23 MEDIAKEUANGAN 22 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 " Zakat dan wakaf yang notabene masuk ke dalam kelompok dana sosial keagamaan itu masuk ke dalam industri keuangan syariah. Seperti Dana Haji juga kan sebetulnya masih ada di dalam ekosistem keuangan syariah ". Yani Farida A Kepala Bidang Kebijakan Pengemabangan Industri Keuangan Syariah BKF Foto Anas Nur Huda
rfa Ampri, Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilareral (PKRB) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengatakan, sampai dengan 2018, pemerintah menyiapkan dana kisaran lima triliun rupiah setiap tahun untuk penanganan bencana. “Dana tanggap darurat istilahnya. Besarnya itu rata-rata itu turun naiklah, tapi kalau yang terakhir ini ya diatas 5 T (triliun), rata-rata selama 15 tahun,” ungkapnya. Irfa mengatakan dana ini diproyeksikan untuk dapat meredam dampak dari bencana yang melanda Indonesia. “Nah jadi itu sebenarnya adalah shockbreaker lah gitu ya kalau terjadi bencana besar,” katanya. Pada kesempatan terpisah, Dr Widjo Kongko dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan bahwa dana yang dialokasikan untuk penanganan bencana seyogyanya dipersiapkan secara komprehensif. Bukan hanya dana tanggap darurat, melainkan juga untuk rehabilitasi, rekonstruksi, dan mitigasi. “Bahwa bukan anggaran tanggap darurat saja, bukan rehab rekon (rehabilitasi dan rekonstruksi) saja, tetapi anggaran mitigasi yang juga harus disiapkan,” ungkapnya. Ia melanjutkan, “Yang penting terkait dengan anggaran kebencanaan itu harus detil, arsitektur kebencanaan itu anggarannya harus melibatkan keseluruhan proses mulai dari mitigasi, proses rehab rekon, tanggap darurat termasuk kesiapsiagaan.” Dana sejumlah itu tidak dapat sepenuhnya menutupi seluruh kebutuhan untuk penanganan bencana. Saat bencana besar terjadi beruntun, dana itu tentu tidak mencukupi. Tak menutup kemungkinan, kebutuhan dana untuk penanganan bencana membengkak dua sampai tiga kali lipat. Irfa mencontohkan situasi pada 2018 silam, kala Indonesia didera setidaknya dua kali gempa besar. “Nah tapi kalau bencana besar seperti terjadi di Lombok sama yang kemarin di Sulawesi Tengah, nah itu dana itu tidak cukup, ya kan. Nah contohnya yang Lombok saja itu perkiraannya itu sekitar 5 T, dananya. Nah kemudian yang Sulawesi Tengah itu double sampai 10 T,” ungkapnya. Untuk menyiasati situasi-situasi tak terduga semacam itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menyusun mekanisme baru di tahun 2019 dan tahun-tahun setelahnya. Irfa mengatakan, mulai tahun 2019, Kemenkeu mulai menyiasati alokasi anggaran bencana dengan dua hal, yakni asuransi barang milik negara dan pembentukan pooling fund . “Jadi kalau terjadi bencana, katakan gedung ini hancur ya, itu nanti yang bayar asuransi,” ia melanjutkan, “kita juga mau mempercepat pembentukan pooling fund . Nah pooling fund adalah tadi, jadi pooling fund ini harapannya adalah semua jenis pembiayaan itu bisa dilakukan oleh lembaga ini.” Hal serupa juga dikatakan oleh Kunta Wibawa Dasa Nugraha, Direktur PAPBN Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu. “Intinya ke depannya kita juga sudah mulai memikirkan bagaimana kita bisa mengatasi bencana tadi dengan lebih teroganisir dan teratur tapi bebannya tidak juga semuanya ke APBN,” katanya dalam kesempatan terpisah. Ihwal asuransi, Dr. Widjo Kongko, Ahli Tsunami dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) sependapat dengan pemerintah. “Asuransi penting terutama untuk menghitung risiko. Risiko harus bisa dihitung dan diklarifikasikan menjadi biaya yang harus ditanggung oleh pihak ketiga, dalam hal ini asuransi,” katanya. Peta zonasi untuk mitigasi Selain ihwal penyiapan dana untuk bencana, pemerintah juga mesti memikirkan lebih jauh mengenai siasat menghadapi ancaman bencana dengan lebih matang. Widjo Kongko berpendapat pemerintah perlu menyusun skala prioritas terkait penganggaran untuk penanganan bencana. “Ini Indonesia kan luas,” ia melanjutkan, “Maka yang harus dilakukan adalah skala prioritas. Nah kalau skala prioritas itu berarti kita melihat kajian- kajian yang sudah cukup lengkap untuk menjadi prioritas ke Foto Resha Aditya P 39 MEDIAKEUANGAN 38 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 " Soal penganggaran pembangunan kembali pasca bencana bukan sekedar masalah birokrasi jumlah anggaran dan penyaluran. Tetapi mesti berangkat dari konsepsi ". Kuntoro Mangkusubroto Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh- Nias 2005-2009
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 2 lainnya
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu ‘WHATEVER IT TAKES’ P ola permintaan ( demand ) dan penawaran ( supply ) di seluruh dunia berubah akibat COVID-19 yang secara alamiah membentuk kebiasaan baru dalam perekonomian. Menyikapi kondisi ini pemerintah telah menyusun beragam program yang menyasar pemulihan ekonomi, baik di sisi demand maupun supply . Pemerintah pun telah merevisi APBN 2020 untuk mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam revisi baru, pemerintah memperluas defisit anggaran menjadi 6,34 persen dari PDB. Simak petikan wawancara Media Keuangan dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, mengenai upaya pemulihan ekonomi nasional. Apa tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)? Program PEN ini ditujukan untuk membantu meningkatkan daya beli masyarakat serta memulihkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Kita mulai dari rumah tangga masyarakat yang paling rentan, lalu ke sektor usaha, lagi-lagi kita lihat yang paling rentan yaitu UMi dan UMKM. Lalu dengan logika yang sama kita menciptakan kredit modal kerja untuk korporasi. Kita juga akan berikan special tretament untuk sektor pariwisata, perdagangan, dan pabrik-pabrik padat Salah satu yang juga sedang didorong dan cukup efektif adalah bentuk penjaminan kredit modal kerja dan dipasangkan dengan penempatan dana murah di perbankan. Nah, ini sudah jalan tiga minggu, pemerintah menempatkan Rp30 triliun di Bank Himbara lalu didorong dengan penjaminan itu kemudian sekarang sudah tercipta lebih dari Rp20 triliun kredit modal kerja baru. Untuk insentif perpajakan masih belum optimal karena wajib pajak yang berhak untuk memanfaatkan insentif tidak mengajukan permohonan dan perlunya sosialisasi yang lebih masif dengan melibatkan stakeholders terkait. Merespon hal ini, kita melakukan simplifikasi prosedur agar lebih mudah dijalankan oleh calon beneficiary. Upaya apa yang dilakukan untuk perbaikan program PEN? Setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan dalam rangka program PEN, termasuk monitoring dan evaluasi yang kita lakukan setiap minggu akan mengikuti kondisi perekonomian saat ini. Semua program kita evaluasi, mana yang jalan dan mana yang kurang. Yang kurang efektif siap-siap untuk dicarikan cara yang lebih cepat atau diganti programnya dan sebagainya supaya bisa diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sampai kapan program PEN dilangsungkan? Pemerintah akan meneruskan kebijakan yang bersifat preventif dan adaptif dengan perkembangan kasus dan dampak dari COVID -19. Meski tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai terlihat namun pemulihan pasti terjadi perlahan-lahan. Karena selama belum ditemukan obat atau vaksin yang efektif tentunya kita masih dihadapkan dengan risiko inheren. Nah, risiko ini yang terus kita asess . Yang pasti, tujuan pemerintah adalah terus membantu masyarakat yang terdampak COVID-19. Bagaimana mitigasi risiko dalam upaya pemulihan ekonomi? Saat ini kita dalam suasana krisis dan kita ingin mendorong perekonomian agar pulih sesegera mungkin. Risiko ekonomi yang lebih besar adalah resesi. Untuk itu jangan sampai kita gagal menstimulasi ekonomi, padahal kita memang sudah ada budget nya. Itu yang menjadi tantangan dan menjadi cambuk bagi kita pemerintah setiap hari, supaya kita bisa lebih efektif. Pemerintah melakukan apa yang bisa dilakukan untuk mendorong pemulihan aktivitas ekonomi. Kita tidak mau resesi, kita tidak mau jumlah pengangguran dan orang miskin bertambah. Pemerintah siap memberikan support supaya momentum pemulihan ini semakin besar meskipun risikonya juga masih ada. Yang terpenting tata kelolanya baik dan risiko dihitung dengan baik. Semuanya di well measured, kita tahu risikonya, kita bandingkan dengan risiko yang lebih besar, kita pilih kebijakan yang me minimize dampak yang paling berat bagi perekonomian dan masyarakat kita secara keseluruhan. Penambahan anggaran PEN menjadi Rp695,2 triliun diikuti dengan pelebaran defisit 6,34 persen saat ini. Bagaimana posisi fiskal dalam kondisi tersebut? Kita punya ruang untuk bergerak secara fiskal karena selama ini kita melakukan kebijakan makro yang hati-hati dan prudent. Karena kita sudah melakukan disiplin fiskal yang cukup ketat selama bertahun-tahun, sehingga rasio utang kita rendah maka itu membuat kita punya ruang untuk melakukan pelebaran defisit sampai tiga tahun. Negara lain tidak banyak yang punya privilege itu, bahkan tahun ini banyak yang defisitnya double digit. Saat ini defisit kita 6,34 persen, tahun depan kita akan turun ke sekitar 4,7 persen, tahun depannya lagi akan turun ke tiga koma sekian. Tahun 2023 kita tetap commited untuk balik ke disiplin fiskal sebelumnya di bawah 3 persen. Apa prinsip utama dalam mengambil kebijakan fiskal di tengah ketidakpastian waktu berakhirnya krisis pandemi ini? “Whatever it takes ”(apapun yang diperlukan), itu sudah pasti menjadi prinsip utama, tapi dalam konteks kita mau melindungi masyarakat sebanyak-banyaknya. Kita berupaya agar pengangguran dan kemiskinan tidak bertambah banyak. Bagaimana memberikan kebijakan yang benar- benar bisa berdampak kepada masyarakat, itu fokus kita. Prinsip lainnya tepat sasaran, akseleratif, gotong royong, seperti kebijakan burden sharing yang pemerintah lakukan dengan BI. Dan yang harus selalu diingat adalah untuk menghindari moral hazard . Pemerintah juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK) untuk memastikan proses pembuatan kebijakan, serta pengawalan dalam implementasi program PEN ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Bagaimana pendapat Bapak terhadap pembentukan Komite Penanganan COVID-19 dan PEN? Saya pikir itu sangat bagus untuk koordinasi. PEN ini kan melibatkan banyak K/L misalnya untuk Kesehatan, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) nya Kementerian Kesehatan, subsidi bunga untuk KUR dan non-KUR ada di Kementerian Koperasi, penjaminan KPA-nya Kementerian BUMN, dsb. Di samping itu, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi ini harus dilihat sebagai satu big picture . Harus ada pertimbangan yang serius dan seimbang antara risiko kesehatan dengan risiko resesi ekonomi. Semua ini kan perlu diorkestrasi dengan baik. Tugas koordinator untuk bisa membuat ini lebih terintegrasi. Apa harapan Bapak terhadap masyarakat maupun pemerintah dalam kaitannya dengan kebijakan PEN? Saya pikir ini memang tanggung jawab dari kita semua karena ekonomi ini sebenarnya hanya satu aspek dari kehidupan bangsa ini. Kehidupan di balik angka-angka itu lebih penting. Kalau aktivitas ekonominya jalan tapi kita tidak disiplin mengikuti protokol kesehatan ya risikonya terlalu besar. Intinya ini benar-benar memang harus kombinasi dari disiplin masyarakat dan kebijakan yang benar dan efektif. Keduanya harus jalan bersama dengan seimbang. karya yang kita asess terdampak sangat dalam dan cukup lama. Jadi semua ini bertahap kita asess secara well measure . Pelan-pelan kita mulai dorong aktivitas perekonomian. Dengan adanya program PEN diharapkan kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat krisis pandemi dan pembatasan aktivitas tidak terlalu dalam. Bagaimana efektivitas program PEN sejauh ini? Sejauh ini di sisi rumah tangga yakni perlindungan sosial relatif paling efektif. Namun di sisi lain memang masih cukup menantang. Untuk kesehatan, penyerapannya masih rendah karena kendala pada pelaksanaan di lapangan seperti keterlambatan klaim biaya perawatan dan insentif tenaga kesehatan karena kendala administrasi dan verifikasi yang rigid . Tapi bulan Juli ini sudah dipercepat dengan adanya revisi KepMenkes. Selanjutnya, dukungan untuk UMKM sudah mulai berjalan, khususnya subsidi bunga untuk KUR. Ini memang cukup menantang karena melibatkan puluhan bank dan lembaga keuangan yang kapasitas teknologi pengolahan datanya tidak sama. Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Foto Dok. BKF
Opini Perdagangan Internasional dan Kebijakan Fiskal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Subagio Effendii, pegawai Tugas Belajar di University of Technology Sydney, MEDIAKEUANGAN 40 W abah pandemi COVID-19, selain menciptakan krisis kesehatan global, telah menimbulkan disrupsi yang masif pada tatanan perdagangan internasional. Dari sisi penawaran (supply), upaya lockdown dan working from home mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas produksi (labor shortage). Upaya ini juga mengharuskan pemerintah untuk menutup pelabuhan air dan udara yang menghambat distribusi barang antarnegara. Laporan International Air Transport Association menunjukan penurunan kuantitas transportasi kargo internasional sampai dengan bulan Maret 2020 sebesar 23 persen secara year-on-year dengan estimasi kerugian mencapai US$1,6 miliar. Lebih lanjut, kebijakan negara untuk menerapkan pembatasan ekspor __ (export restrictions) demi melindungi pasokan domestik turut menambah kompleksitas permasalahan. World Trade Organization (WTO) mencatat 80 negara, termasuk di dalamnya negara- negara yang menjadi ‘lumbung’ pangan dunia, seperti Rusia, Vietnam, dan Argentina, serta otoritas kepabeanan telah menerapkan export restrictions atas perlengkapan medis, bahan pangan, dan kertas toilet. Dari sisi permintaan ( demand ) , perubahan preferensi konsumsi akibat COVID-19 menyebabkan mismatch antara permintaan dan penawaran. Untuk makanan, misalnya, studi terbaru dari Food and Agriculture Organization menemukan peningkatan minat konsumen terhadap produk makanan yang memiliki cangkang atau kulit serta dikemas dengan rapat. Bahkan, konsumen di beberapa negara tidak segan untuk menolak produk makanan yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, upaya lockdown mengharuskan pemerintah untuk menutup pasar tradisional sehingga membatasi akses konsumen terhadap bahan pangan yang mengakibatkan peningkatan food waste. Permasalahan ganda pada supply dan demand menyebabkan penurunan kuantitas perdagangan internasional secara signifikan. WTO mengestimasi penurunan perdagangan tahun ini mencapai 13 persen hingga 32 persen (setara US$8 triliun) terutama di sektor jasa komersial dan barang dengan supply chain yang kompleks. Di samping itu, secara fundamental, disrupsi ini juga membuat premis comparative advantage (David Ricardo, 1817) yang menjadi fondasi ekonomi pasar dan perdagangan internasional menjadi diragukan validitasnya. Premis klasik yang berargumen bahwa social welfare akan optimal jika negara melakukan spesialisasi dengan memproduksi barang yang memiliki opportunity cost terendah sesuai ketersediaan faktor produksi serta membeli kebutuhan lainnya di pasar internasional, nampaknya hanya absah bila mekanisme perdagangan internasional tidak terdisrupsi. Sebaliknya, dalam kondisi terjadi supply and demand shocks , semua negara akan berusaha memproduksi seluruh kebutuhannya di dalam negeri dan sedapat mungkin membatasi ekspor produknya ke luar negeri. Beberapa negara berkembang di Afrika dan Amerika Latin bahkan telah mengadopsi konsep Food Sovereignty and Solidarity yang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk menentukan pilihan produksi dan konsumsi pangan yang terbaik termasuk penerapan sistem agrikultur yang sesuai dengan sumber daya dan kearifan lokal. Dalam konsep ini, bahan pangan ditempatkan sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan, bukan komoditas komersial sehingga terbebas dari semua ketentuan ekonomi pasar dan perdagangan internasional. Indonesia telah mengadopsi konsepsi kedaulatan pangan dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan namun belum diterapkan secara holistik. Disrupsi perdagangan internasional juga membuat upaya untuk menjaga daya beli masyarakat di masa resesi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan. Badan Pusat Statistik mencatat total impor minyak bumi, beras, gandum, daging, dan kedelai pada tahun 2019 masing- masing mencapai 40.926; 444; 10.692; 262; dan 2.670 ribu ton. Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan, jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’ penanganan pandemi menjadi semakin tinggi. Oleh karenanya, pemerintah perlu segera melakukan langkah strategis untuk memitigasi dampak disrupsi perdagangan sekaligus mencegah krisis kesehatan berkembang menjadi krisis pangan. Dari perspektif kebijakan fiskal, pemerintah telah berupaya mendorong peningkatan pasokan pangan domestik dengan memasukkan industri pertanian, pengolahan bahan pangan, perdagangan, dan jasa penunjang pertanian dalam daftar penerima insentif pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan DISRUPSI Nomor 44/PMK.03/2020. Kelompok petani skala kecil juga mendapatkan fasilitas penundaan angsuran pokok dan subsidi bunga atas pinjaman usaha selama enam bulan. Upaya selanjutnya, otoritas fiskal dapat merelaksasi pungutan bea masuk serta pajak impor lainnya atas produk esensial dan menggunakan instrumen kebijakan fiskal, setelah berkoordinasi dengan otoritas perdagangan, sebagai bargaining chips untuk mengafirmasi komitmen para mitra dagang di kawasan, terutama negara-negara produsen bahan pangan seperti Australia, Thailand, Vietnam, dan Myanmar, untuk tetap memberikan akses pasar dan tidak melakukan export restrictions di masa pandemi. Ilustrasi A. Wirananda
Laporan Utama MEDIAKEUANGAN 12 Program PEN memberikan stimulus secara komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Foto Resha Aditya P MEDIAKEUANGAN 12 J ika pemerintah tak lekas bertindak, kesulitan yang dihadapi masyarakat semakin berat. Dampak pandemi COVID-19 terhadap ekonomi nasional sudah terasa sangat besar. Laju ekonomi kuartal I 2020 tercatat 2,97 persen atau terkontraksi 2,41 persen dibanding kuartal IV 2019. Kontraksi mendalam juga dihadapi negara-negara lain di dunia. IMF memprediksi kontraksi ekonomi global hingga -4,9 persen. Bank Dunia mematok angka lebih rendah di kisaran -5,2 persen. “Saat ini yang terkena itu masyarakat juga, tidak hanya sektor keuangan,” ungkap Plt. Kepala Kebijakan Pusat Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Adi Budiarso. “ Hit -nya double , di supply dan demand . Darimana demand ? Karena kita harus lockdown , bahkan ada beberapa yang tidak boleh kerja. Artinya mereka akan menurunkan konsumsi. Lalu pada saat yang sama, produksi juga berhenti. Artinya apa? Pressure terhadap supply juga luar biasa besar,” tambahnya. Tak hanya menekan angka pertumbuhan, pandemi berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Penduduk miskin bisa bertambah antara 3,02 hinga 5,71 juta orang. Angka pengangguran dapat naik jumlah hingga jutaan. Langkah extraordinary dalam Program PEN menjadi upaya mengatasi kondisi tak menyenangkan ini. “Supaya tidak terpuruk terlalu dalam dan memakan banyak korban, standar kesehatan harus tinggi, tetapi dari sisi ekonomi, kita memitigasi risikonya juga harus kuat,” tegas pria yang meraih gelar Doctor dari Universitas of Canberra tersebut. Pendekatan demand dan supply Pendekatan dalam program PEN memberikan stimulus secara komprehensif baik dari sisi demand maupun supply . Dari sisi demand , stimulus bertujuan untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Bentuknya berupa program perlindungan sosial baik yang bersifat perluasan dari program existing maupun program- program baru. Program existing meliputi Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, dan Kartu Pra Kerja. Sementara itu, program-program baru terdiri atas Bantuan Sembako Jabodetabek, Bansos Tunai Non Jabodetak, BLT Dana Desa, dan diskon listrik. “Pertama adalah menyelamatkan kehidupan. Kalau tidak ada penerimaan, mereka tidak bisa makan. Makanya pemerintah jor-joran ke situ,” terang Adi. Dari sisi supply , pemberian insentif perpajakan dan dukungan untuk dunia usaha ditujukan untuk mempertahankan aktivitas usaha sekaligus meningkatkan produksi nasional. “Yang menarik, insentif perpajakan ini juga kita dorong untuk kebijakan yang lebih green . Misalnya, investasi baru yang menggunakan energi terbarukan kita kasih support dengan tax holiday ,” ujar Adi yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF. Rentang stimulus yang diberikan mempertimbangkan waktu pandemi COVID-19, dari survival mode hingga recovery mode . Dengan akses bantuan yang luas dan terbuka, diharapkan penanganan efektif dapat dipercepat sehingga ekonomi nasional dapat terhindar dari krisis lebih dalam. Krisis ekonomi pernah melanda negeri ini. Tahun 1998 dan 2008, krisis menerjang sektor keuangan. Nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam. Kala itu, UMKM berperan besar menjadi penyangga perekonomian. Roda ekonomi nasional pun terus berputar. Kali ini, kondisinya jauh berbeda. Aktivitas masyarakat turun, sektor riil terpukul. Untuk mengatasi, pemerintah mengambil langkah cepat dan extraordinary. Terbungkus dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). SIAPKAN SKENARIO PULIHKAN EKONOMI Teks Reni Saptati D.I
Biro KLI Kementerian keuangan
Relevan terhadap
perpajakan yang dikeluarkan. Pelaporan angka tersebut secara berkala dapat memudahkan Pemerintah dalam mengevaluasi dan memantau efektivitas insentif perpajakan. Dengan demikian, kebijakan insentif perpajakan dapat dinyatakan efektif atau tidak efektif. Berkaca pada pengalaman Belgia dalam program “ Notional Interest Program ” yang dilakukan pada tahun 2006, evaluasi kebijakan insentif perpajakan harus menjadi perhatian. Sebelum program tersebut dilakukan, Belgia memperkirakan akan kehilangan penerimaan perpajakannya senilai X. Setelah program berjalan, Belgia melakukan evaluasi dan menemukan bahwa penerimaan perpajakannya hilang 3X atau tiga kali lebih besar dari perkiraan. Hal ini memperlihatkan bahwa cost yang dihasilkan lebih besar dibandingkan benefit -nya, sehingga Belgia pun melakukan amandemen atas peraturan tersebut. Selain mengetahui efisiensi suatu kebijakan, evaluasi atas kebijakan perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas kebijakan tersebut. Jika Belgia menghadapi inefisiensi pada Opini LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN UNTUK Transparansi Fiskal dan Evaluasi Insentif P enerimaan pajak menjadi sumber utama untuk membiayai APBN. Pada tahun 2019, penerimaan pajak menyumbang 82 persen dari total penerimaan negara dan ditargetkan naik menjadi 83 persen di tahun 2020. Meskipun bergantung pada penerimaan pajak, sejumlah insentif perpajakan tetap diberikan Pemerintah sebagai bentuk komitmen dalam mendukung dunia usaha. Dari tahun ke tahun insentif perpajakan meningkat dari sebesar Rp192,6 triliun pada 2016 menjadi Rp196,8 triliun pada 2017 dan kemudian meningkat signifikan pada 2018 sebesar Rp221,1 triliun. Di Indonesia, insentif perpajakan masuk dalam kategori belanja perpajakan pada laporan belanja perpajakan. Belanja perpajakan didefinisikan sebagai pendapatan pajak yang tidak dapat dikumpulkan atau yang berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari ketentuan umum perpajakan ( benchmark tax system ) yang diberikan kepada subjek dan objek pajak yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Ketentuan khusus tersebut dapat berupa pembebasan jenis pajak ( tax exemption ), pengurangan pajak yang harus dibayar ( tax allowance ), maupun penurunan tarif pajak ( rate relief ), dan lainnya. Dalam definisi belanja perpajakan disebutkan adanya perbedaan antara ketentuan khusus dan ketentuan umum perpajakan ( benchmark tax system ). Konsekuensinya adalah Pemerintah harus menentukan ketentuan umum perpajakannya dengan tepat. Dalam laporan belanja perpajakan, Pemerintah telah menentukan kategori ketentuan umum perpajakan untuk masing-masing jenis pajak dan juga membuat positive list berisi deviasi-deviasi dari ketentuan umum perpajakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai belanja perpajakan. Selain menentukan ketentuan umum perpajakan, langkah selanjutnya yang dilakukan untuk menghitung besarnya belanja perpajakan adalah melihat ketentuan khusus apa saja yang menjadi belanja perpajakan. Apabila telah memenuhi kriteria, perhitungan belanja perpajakannya dapat dilakukan. Angka-angka yang disajikan dalam laporan belanja perpajakan membuat Pemerintah dapat memperhitungkan cost-benefit dalam kebijakan insentif kebijakannya, Indonesia menghadapi kenyataan bahwa kebijakan yang ditawarkan kurang menarik, seperti kebijakan tax holiday melalui PMK Nomor 103/PMK.010/2016. Kompleksitas administrasi dan ketidakpastian atas hasil pengajuannya meski bidang usaha tersebut memenuhi kriteria menjadikan kebijakan tersebut tidak menarik. Pemerintah pun menerbitkan peraturan baru tentang tax holiday melalui PMK Nomor 35/PMK.010/2018. Peraturan ini mengubah paradigma dalam pemberian tax holiday dari sebelumnya ‘verify before trust’ menjadi ‘ trust and verify ’. Efek positif dari penyederhanaan sistem dan kepastian pemberian fasilitas ini terbukti menghasilkan investasi sembilan kali lebih besar (per Juli 2019) dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut mencerminkan pentingnya laporan belanja perpajakan dan diharapkan laporan tersebut dapat mempermudah Pemerintah mengevaluasi kebijakan insentif perpajakan lainnya, seperti Kawasan Ekonomi Khusus. Penerbitan laporan belanja perpajakan juga menunjukkan komitmen Pemerintah dalam melaksanakan good governanc e dalam pengelolaan keuangan negara. Selain itu, penerbitan laporan juga sejalan dengan rekomendasi BPK untuk menjalankan transparansi fiskal yang merujuk pada IMF’s Fiscal Transparency Code . Meskipun transparansi fiskal merupakan komitmen global, namun tak banyak negara yang melaporkannya secara berkala. Di ASEAN, hanya Indonesia dan Filipina yang melakukannya. Melalui transparansi fiskal, Pemerintah Indonesia dapat meningkatkan akuntabilitasnya dan pada saat yang bersamaan rakyat dan Ilustrasi M. Fitrah Teks M. Rifqy Nurfauzan Abdillah & Ulfa Anggraini Analis pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. pemerintah dapat menilai cost dan benefit kebijakan insentif. Laporan Belanja Perpajakan merupakan laporan kedua yang berhasil diterbitkan. Berbagai perbaikan diupayakan Pemerintah. Salah satunya adalah perluasan cakupan pajak dari yang sebelumnya hanya tiga jenis yakni PPN, PPh, dan Bea Masuk dan Cukai menjadi empat jenis pajak yaitu ditambah PBB sektor P3. Semoga kedepannya perhitungan laporan belanja perpajakan dapat terus disempurnakan. Dengan demikian, evaluasi terhadap kebijakan insentif perpajakan dapat dilakukan dengan lebih baik. MEDIAKEUANGAN 36
Laporan Utama Perkuat Ekosistem Untuk Indonesia Sehat L ima tahun sudah program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) berjalan. Di balik defisit yang terjadi setiap tahunnya, pelayanan kesehatan yang layak untuk masyarakat tetap harus berjalan. Bukan semata amanah Undang- Undang, tetapi pada dasarnya menjadi sehat adalah hak asasi manusia. Segala upaya dilakukan pemerintah mulai dari memberikan suntikan dana hingga penyesuaian iuran JKN-KIS yang diberlakukan di awal tahun 2020. Simak petikan wawancara Media Keuangan bersama Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Fachmi Idris, seputar keberlangsungan JKN-KIS. Apa yang melatarbelakangi terjadinya defisit JKN-KIS? Konstruksi iuran JKN- KIS pada awalnya memakai asumsi minimum guna menjaga keberlangsungan kapasitas fiskal. Regulasi kemudian mengatur bahwa setiap tahun program ini harus mampu membiayai kewajiban yang ditanggungnya. Permasalahannya adalah memang terjadi ketidakseimbangan ( mismatch ) antara total pendapatan dan total pengeluaran. Akan tetapi dalam konteks program, setiap tahun kewajiban membayar ke fasilitas kesehatan selalu terpenuhi. Opsi kebijakan apa saja untuk memitigasi kondisi keuangan yang tidak seimbang tersebut? Terdapat tiga opsi, yaitu penyesuaian iuran, perasionalan manfaat, atau suntikan dana tambahan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya opsi ketiga yakni menyuntikkan dana tambahan dipilih pemerintah untuk mengatasi mismatch yang terjadi. Di akhir tahun 2018, dilakukan audit tujuan tertentu oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan sistem populasi ke seluruh rumah sakit dan fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan untuk melihat apakah ada masalah dari segi pengeluaran, kolektabilitas, atau kepesertaan. Dari segi pengeluaran, ditemukan fraud tapi angkanya di bawah satu persen. Dari segi kolektabilitas secara total bagus tetapi kolektabilitas dari peserta mandiri belum optimal. Setelah mengkaji keseluruhan hasil audit tersebut ditemukan bahwa ternyata persoalan defisit adalah karena iuran yang belum sesuai. Akhirnya dikeluarkanlah kebijakan penyesuaian iuran yang besarannya dihitung __ oleh Dewan Jaminan Sosial (DJSN). Apa yang diharapkan dengan adanya penyesuaian iuran JKN-KIS? Yang pasti dengan adanya penyesuaian iuran ini, diharapkan dalam 5 tahun ke depan tidak ada lagi defisit (dalam konteks transaksi berjalan) sehingga apabila arus kas program bagus, otomatis berdampak ke arus kas rumah sakit. Pastinya rumah sakit akan lebih nyaman dan bisa mengembangkan layanan lebih baik lagi. Dengan demikian, komitmen kita dalam kontrak juga dapat diperkuat. Bagaimana tanggapan Bapak terhadap fenomena penurunan kelas kepesertaan JKN-KIS pasca penyesuaian iuran? Kita tidak akan mempersulit peserta yang ingin turun kelas karena kita tidak ingin menyusahkan masyarakat dengan penyesuaian iuran ini. Dari segi keuangan pun hal ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena meskipun turun kelas maka tarif kelas rumah sakit akan menyesuaikan juga, tetapi perlu ditekankan bahwa mutu layanan medis semua sama di tiap kelas, tidak ada pembedaan. Kami yakin penyesuaian ini butuh proses dan nantinya akan tercipta keseimbangan baru. Perbaikan layanan apa yang diberikan oleh BPJS Kesehatan pasca penyesuaian iuran ini? Kita mencanangkan 10 komitmen perbaikan layanan, baik yang langsung di rumah sakit maupun melalui fasilitas layanan kita. Perbaikan yang langsung di rumah sakit antara lain, penguatan peran petugas BPJS Kesehatan di Rumah Sakit. Jadi kita menempatkan petugas kita dengan atribut rompi bertuliskan BPJS Satu Siap Membantu di rumah sakit mitra BPJS, utamanya yang memiliki jumlah pasien 1000 orang/hari, untuk memastikan peserta tidak mendapatkan hambatan layanan. Kedua, kita buat program PRAKTIS atau Perubahan Kelas Tidak Sulit untuk mengakomodir peserta yang ingin turun kelas pasca penyesuaian iuran. Ketiga, display ketersediaan tempat tidur pada masing-masing kelas di rumah sakit secara real-time agar masyarakat bisa melihat dengan transparan. Saat ini sudah hampir 80% rumah sakit mitra kita memiliki display tempat tidur. Selanjutnya, display tindakan operasi agar pasien yang masuk dalam waiting list operasi memiliki kepastian jadwal operasi dan alasan waiting list. Implementasi program ini masih terbatas, saat ini baru ada di RSUD Margono Soekarjo di Purwokerto. Di samping itu, kita juga ada program simplifikasi pelayanan pasien hemodialisa. Lebih dari itu, semua komitmen kita diintegrasikan online dalam bentuk mobile apps, yakni Mobile JKN. Kita juga mendorong rumah sakit mitra untuk membuat registrasi, antrian, dan rujukan secara online demi kenyamanan dan kepastian waktu layanan bagi pasien. Saat ini sudah sekitar 1000-an fasilitas kesehatan tingkat pertama yang memiliki layanan registrasi online . Kita akan tingkatkan layanan Mobile JKN ini secara masif. Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlanjutan JKN? Penyesuaian iuran yang saat ini dijalankan baru menyelesaikan permasalahan arus kas atau defisit transaksi berjalan. Setelah ini, kita perlu memikirkan bagaimana mengisi aset karena jaminan sosial yang baik adalah yang memiliki aset yang bagus. Upaya yang dapat dilakukan antara lain, pertama, pastikan dulu iuran sesuai dengan hitungan aktuaria, kemudian kontribusi dalam segi iuran ini kita buka dengan konsep gotong royong besar yang betul-betul memastikan kontribusi sosial masyarakat sesuai dengan status sosialnya. Konsep gotong-royong ini pada dasarnya yang sehat membantu yang sakit, yang mampu membantu yang tidak mampu, yang muda membantu yang tua, dan seterusnya. Selanjutnya, kita perlu duduk bersama mendefiniskan kebutuhan dasar kesehatan seperti apa dan kelas standar JKN yang bagaimana yang dijamin Undang-Undang. Jadi kita harus komprehensif. Terakhir, kita harus sama-sama membangun ekosistem yang bagus. Dari segi regulator, apakah regulasi yang dikeluarkan instansi terkait mendorong terjadinya pelayanan yang seharusnya, misal adanya pedoman nasional pelayanan kedokteran. Lalu dari segi data, bagaimana ekosistem akan membuat data itu verified dan valid. Peran daerah dalam membangun ekosistem ini penting. Dari BPJS, bagaimana membangun layanan bermutu tinggi. Yang tidak kalah penting juga yaitu kesadaran masyarakat membayar iuran karena ini pun termasuk ekosistem. Jadi program ini bisa optimal manakala semua ekosistem bisa terbentuk dengan baik. Teks CS. Purwodidhu Foto Fath Fachmi Idris, Dirut BPJS Kesehatan MEDIAKEUANGAN 20
A da hal menarik dari rilis terbaru Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tentang data kejadian bencana selama kurun 2019 kemarin. Meski terus dirundung petaka, namun intensitas bencana 2019 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017 tercatat kejadian bencana mengalami puncaknya sebanyak 2.869 kejadian, disusul 2018 sebanyak 2.573 kejadian. Tahun 2019 sendiri bencana yang terjadi sebanyak 1.315 kejadian, lebih sedikit dibandingkan tahun 2015 sebanyak 1.694 kejadian. Meski mengalami penurunan dari sisi intensitas kejadian, hal yang tak boleh dilupakan adalah skala bencana yang harus dapat dimitigasi luasannya. Yang juga wajib diwaspadai adalah dominasi jenis bencana hidrometeorologi, mengingat posisi Indonesia yang masuk di wilayah tropis antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Jenis bencana tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan kondisi iklim, cuaca, serta musim di berbagai wilayah di nusantara. dan alam berada di jalur yang tidak tepat. Laporan terbaru oleh BioScience , jurnal ilmiah peer review menguatkan statemen ini. Di level implementasi, banyak hal yang mengindikasikan dunia darurat iklim. Berulangnya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla), betul-betul menimbulkan keprihatinan yang luar biasa. Banjir bandang Jabodetabek di awal tahun 2020 menjadi indikasi lainnya. Secara ekonomi, beberapa pengamat memperkirakan dampak kerugian mencapai Rp135 miliar per hari di samping dampak kerugian nonekonomi lainnya. Terlepas dari besarnya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan, peristiwa ini juga memberikan tekanan yang besar bagi upaya mengatasi dampak perubahan iklim. Indonesia, sejatinya menjadi salah satu pemain utama dalam isu mengatasi dampak perubahan iklim ini. Tak heran jika banyak pihak menuntut agar penanganan karhutla dipimpin langsung oleh Presiden, demi mencegah berbagai tarikan kepentingan antarsektor yang terkadang justru menjadi penghambat solusi penanganan. Berubah atau Punah Besarnya dampak destruksi yang ditimbulkan, mendesak munculnya sebuah upaya kolektif bersama seluruh pemangku kepentingan global untuk mengambil langkah-langkah revolusioner. Jargon yang diusung adalah gerakan dekarbonisasi laju pertumbuhan ekonomi. Perlu disadari bahwa pendekatan konvensional dengan menempatkan target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan bangsa, menimbulkan sifat kompetisi yang mengarah pada aspek kanibalisme antarnegara. Semua negara berlomba-lomba saling mengalahkan laju ekonomi negara lainnya tanpa mempertimbangkan praktek-praktek yang dijalankan justru menembus daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dari seluruh penjelasan ini, terlihat betapa sentralnya peran negara dalam mewujudkan tujuan mengatasi dampak perubahan iklim. Negara dengan segala pranata dan kelengkapannya mampu dan memiliki kapasitas menjadi garda terdepan kelangsungan ekologi demi keberlanjutan antargenerasi. Namun demikian, segala upaya menjadi sia-sia jika pemangku kepentingan lainnya tidak mendukung apa yang dijalankan pemerintah. Ingat bahwa dunia sedang darurat iklim dan dampaknya tidak dapat diatasi hanya dengan berdiskusi atau berwacana, melainkan butuh solusi nyata. Opini Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi Ancaman ini perlu ditanggapi secara serius oleh pemerintah mengingat potensi kerusakan yang bersifat masif di berbagai sektor ditambah lagi hal ini sudah menjadi keprihatinan bersama di dunia. Economist Intelligence Unit (EIU) saja misalnya, baru merilis Indeks Ketahanan Perubahan Iklim ( Climate Change Resilience Index ) global. Hasil estimasi menunjukkan bahwa perubahan iklim di seluruh dunia secara langsung dapat menelan biaya ekonomi hingga US$ 7,9 triliun per 2050 akibat konektivitas ragam bencana yang dihasilkan baik kekeringan, banjir, gagal panen, serta jenis lainnya. Dimensi kebencanaan inilah yang dikhawatirkan akan membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan infrastruktur di seluruh dunia. Indeks juga menyebutkan bahwa berdasarkan tren yang ada saat ini, potensi pemanasan global dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) di setiap negara hingga kisaran 3 persen pada periode 2050. Meski demikian, dampak akan semakin besar di negara berkembang dimana Benua Afrika akan mengalami penurunan terbesar mencapai 4,7 persen PDB. Angola diperkirakan menjadi yang paling rentan sekitar 6,1 persen PDB nya akan tergerus, disusul Nigeria sebesar 5,9 persenPDB, Mesir mencapai 5,5 persen PDB, Bangladesh sekitar 5,4 persen PDB serta Venezuela mencapai 5,1 persen PDB. Karenanya dibutuhkan aksi nyata saat ini dan juga nanti sebagai bentuk upaya mengurangi potensi dampak yang dihasilkan. Kegiatan nyata pun tidak akan cukup jika dikerjakan dengan pola Bussiness As Usual (BAU) semata. Sebelumnya, lebih dari 11 ribu ilmuwan di 156 negara dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, juga sepakat menyebutkan bahwa dunia sedang darurat iklim. Mereka juga mengamati berbagai potensi dampak buruk yang ditimbulkan apabila manusia tidak mengubah pola perilakunya. Jika dirunut, hal tersebut bukan yang pertama kalinya karena sebelumnya tahun 2017, sekitar 16 ribu ilmuwan dari 184 negara turut serta dalam sebuah publikasi yang meyakini bahwa manusia Ilustrasi A. Wirananda *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Joko Tri Haryanto Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40