JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 1.217 hasil yang relevan dengan "kebijakan keuangan "
Dalam 0.018 detik
Thumbnail
KREDIT INVESTASI PEMERINTAH | HUKUM KEUANGAN NEGARA
193/PMK.05/2011

Kredit Investasi Pemerintah.

  • Ditetapkan: 01 Des 2011
  • Diundangkan: 01 Des 2011

Relevan terhadap

MenimbangTutup
a.

bahwa untuk mendukung pembiayaan kegiatan peningkatan produksi dan/atau pengendalian polusi yang dilakukan oleh usaha mikro dan usaha kecil, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara telah dialokasikan dana kredit investasi pemerintah;

b.

bahwa agar penyaluran dana kredit investasi pemerintah dapat dilaksanakan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan negara, dipandang perlu mengatur tata cara penyediaan, pencairan, penyaluran, pelaporan, dan pertanggungjawaban dana kredit investasi pemerintah;

c.

bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, berwenang untuk menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kredit Investasi Pemerintah;

Thumbnail
Tidak Berlaku
BMN BMN | SEWA | BARANG MILIK NEGARA
57/PMK.06/2016

Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara.

  • Ditetapkan: 08 Apr 2016
  • Diundangkan: 08 Apr 2016

Relevan terhadap

Pasal 28Tutup

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 26, Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan dapat menetapkan besaran faktor penyesuai Sewa dalam persentase tertentu untuk BUMN/pihak lainnya:

a.

yang mendapat penugasan pemerintah atau yang melaksanakan kebijakan pemerintah; atau

b.

industri strategis, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

1.

Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

2.

Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.

3.

Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN.

4.

Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

5.

Kementerian Negara, yang selanjutnya disebut Kementerian, adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

6.

Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Peraturan Perundang-undangan lainnya.

7.

Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan.

8.

Sewa adalah Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.

9.

Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian berupa BMN pada saat tertentu.

10.

Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.

11.

Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian.

12.

Swasta adalah Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang mempunyai izin tinggal dan/atau membuat usaha atau badan hukum Indonesia dan/atau badan hukum asing, yang menjalankan kegiatan usaha untuk memperoleh keuntungan.

13.

Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

14.

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang- seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

15.

Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

16.

Pendidikan Non Formal adalah jalur pendidikan di luar Pendidikan Formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

17.

Lembaga Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat.

18.

Lembaga Sosial Keagamaan adalah Lembaga Sosial yang bertujuan mengembangkan dan membina kehidupan beragama.

19.

Lembaga Sosial Kemanusiaan adalah Lembaga Sosial yang bergerak di bidang kemanusiaan.

20.

Unit Penunjang Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah/ Negara adalah organisasi yang dibentuk secara mandiri di lingkungan Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dalam rangka menunjang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan/negara.

21.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.

Thumbnail
Tidak Berlaku
BIDANG PERBENDAHARAAN | BIDANG PENGELOLAAN PEMBIAYAAN RESIKO
80/PMK.05/2018

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.05/2012 tentang Mekanisme Pengelolaan Hibah Millennium Challenge Corporation ...

  • Ditetapkan: 30 Jul 2018
  • Diundangkan: 30 Jul 2018

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Millennium Challenge Corporation Amerika Serikat yang selanjutnya disingkat MCC adalah sebuah lembaga yang dibentuk Pemerintah Amerika Serikat untuk menyalurkan hibah dengan misi mengurangi kemiskinan global melalui pendekatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

2.

Hibah Millennium Challenge Corporation yang selanjutnya disebut Hibah MCC adalah hibah yang diberikan oleh MCC kepada Pemerintah Indonesia berdasarkan Grant Agreement Millennium Challenge Compact between The United States of America acting through the Millennium Challenge Corporation and The Republic of Indonesia dengan Nomor Register 72200201.

3.

Satuan Kerja Pengelola Hibah MCC adalah satuan kerja di lingkungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengelola dana Hibah MCC.

4.

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA­ K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan kementerian negara/lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga.  5. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya clisingkat DIPA aclalah clokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan se bagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan Anggaran Penclapatan dan Belanja Negara (APBN).

6.

Kantor Pelayanan Perbenclaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jencleral Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan fungsi kuasa Benclahara Umum Negara.

7.

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga.

8.

Kuasa PA yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa clari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan clan tanggung jawab penggunaan anggaran pacla kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.

9.

Pengelola Barang aclalah pejabat yang berwenang clan bertanggung jawab menetapkan kebijakan clan pecloman serta melakukan pengelolaan Barang Milik Negara.

10.

Pengguna Barang aclalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang Milik Negara.

11.

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya clisingkat PPK aclalah pejabat yang cliberi kewenangan oleh KPA untuk mengambil keputusan clan/ atau tinclakan yang clapat mengakibatkan pengeluaran atas be ban APBN.

12.

Pejabat Penancla Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya clisebut PPSPM aclalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. t'v 13. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah suatu dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

14.

Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

15.

Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

16.

Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja yang selanjutnya disebut SPTB adalah pernyataan tanggung jawab belanja yang dibuat oleh PA/KPA atas transaksi belanja sampai dengan jumlah tertentu.

17.

Surat Ketetapan Penggantian di Bidang Pajak dan/atau Kepabeanan yang selanjutnya disebut SKP2K adalah surat yang ditetapkan oleh KPA sebagai dasar pembayaran penggantian di bidang pajak dan/atau kepabeanan.

18.

Kontraktor Utama adalah kontraktor penyedia jasa konsultan dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah yang dibiayai dengan dana Hibah MCC.

19.

Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.

20.

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

21.

Organisasi Non Pemerintah adalah lembaga swadaya masyarakat yang melaksanakan kegiatan yang bersifat nirlaba dan berkedudukan di Indonesia. ft 2. Diantara ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 5 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (la) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :

Thumbnail
PUTUSAN PENGADILAN | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
13/PUU-XIV/2016

Pengujuan UU no. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terhadap UUD Negara RI 1945 ...

    Relevan terhadap

    Halaman 34Tutup

    Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Diskresi yang diberikan kepada Menteri Keuangan menyebabkan filosofi dan tujuan dari diberlakukan asas retroactive tidak diimplementasikan dengan benar dan adil. Dalam kasus yang dihadapi oleh bapak Edi Pramono, asas retroactive tetap diterapkan oleh fiskus/KPP dengan menerbitkan SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf a ditambah sanksi Pasal 13 ayat (2), padahal yang bersangkutan bukan merupakan PKP yang dikukuhkan secara jabatan. Fakta hukum menunjukkan bahwa yang bersangkutan segera melaporkan kegiatan usahanya setelah mendapat himbauan dari KPP setempat. Lebih ironis lagi, kasus ini terjadi justru ketika yang bersangkutan melaksanakan himbauan untuk pembetulan SPT PPh Tahunan dari KPP setempat - yang pada saat itu pemerintah tengah gencar gencamya mensosialisasikan sunset policy. Bahkan data pembetulan SPT Tahunan PPh inilah yang menjadi dasar fiskus untuk menetapkan SKPKB PPN. Padahal selain PMK yang berlaku saat itu menegaskan bahwa data Pembetulan SPT Tahunan dalam sunset policy tidak dapat/tidak boleh dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan pajak pajak lainnya, omzet PPh tidak dapat serta merta dijadikan dasar untuk melakukan equalisasi PPN karena belum tentu semua omzet penjualan merupakan objek PPN. Dalam kasus bapak Edi Pramono, dalam toko bangunannya dijual juga Barang Tidak Kena PPN (BTKP) seperti pasir dan lain- lain. MENELISIK IMPLIKASI SANKSI DAN BEBAN PERPAJAKAN DALAM PELAKSANAAN PASAL 2 AYAT (4) DAN AYAT (4a): URGENSI REVISI/PENINJAU KEMBALI PASAL 4 AYAT (4) DAN AYAT (4a) Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, fungsi PKP adalah untuk melaksanakan HAK dan KEWAJIBAN di bidang PPN dan PPnBM. Karena PPN merupakan pajak atas PERTAMBAHAN NILAI (value added), maka salah satu hak dari PKP adalah pengkreditan pajak masukan. Bahkan, untuk memberikan kernudahan (simplicity/ease of administration) dalam penghitungan PPN, serta memberikan untuk kepastian hukum bahwa PPN dikenakan sebatas nilai tambah, maka negara juga menerapkan 2nd ^ best policy melalui penerapan presemptive tax - dengan format/bentuk kebijakan Nilai Lain [Misalnya dalam rezim UU PPN Tahun 2000, Pasal 4 “Keputusan Menteri Keuangan Nomor 642/KMK.04/1994 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak, mengatur bahwa: Pasal 4 ayat (1) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id

    Halaman 35Tutup

    Untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam melaksanakan kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam menghitung pajak dapat menggunakan Nilai Lain sebagai dasar Pengenaan Pajak yang caranya sebagai berikut: a. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran adalah sebesar 10% X Harga Jual Barang Kena Pajak; b. Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran adalah sebesar 10% X 20% X jumlah seluruh penyerahan barang dagangan. Ayat (2) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang dalam suatu tahun buku tidak memilih menggunakan Dasar Pengenaan Pajak dengan Nilai Lain wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan] maupun dalam bentuk kebijakan/regulasi pedoman pengkreditan pajak masukan [Hingga kini ^2nd best theory dengan format deemed VAT input (pedoman pengkreditan pajak masukan) masih diterapkan. Peraturan yang masih berlaku adalah “Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu” Dalam Pasal 7 PMK tersebut diatur bahwa Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu sebesar: a. 60% (enam puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak; atau b. 70% (tujuh puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena Pajak] Ketidaksetaraan pelaksanaan Hak dan Kewajiban terjadi karena dalam Pasal 2 ayat (4a) hanya ada penggunaan kata Kewajiban sebagaimana dapat dilihat bunyi Pasal 2 ayat (4a) berikut ini: "Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.'' Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    PEMBIAYAAN Pembiayaan | BIDANG PERBENDAHARAAN | HIBAH LUAR NEGERI
    84/PMK.05/2015

    Tata Cara Penarikan Pinjaman Dan/ atau Hibah Luar Negeri.

    • Ditetapkan: 24 Apr 2015
    • Diundangkan: 24 Apr 2015
    Thumbnail
    BIDANG UMUM | TARIF BEA MASUK
    135/PMK.011/2012

    Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Berupa Kacang Kedelai.

    • Ditetapkan: 13 Agu 2012
    • Diundangkan: 13 Agu 2012

    Relevan terhadap

    MenimbangTutup
    a.

    bahwa berdasarkan Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor, telah ditetapkan bea masuk terhadap impor barang berupa kacang kedelai dengan pos tarif (HS) 1201.90.00.00 sebesar 5% (lima persen);

    b.

    bahwa dalam rangka menjaga stabilitas harga kacang kedelai di dalam negeri dengan tetap memperhatikan kepentingan petani dan konsumen, perlu dilakukan penyesuaian terhadap tarif bea masuk atas impor barang berupa kacang kedelai sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk jangka waktu tertentu;

    c.

    bahwa berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Terbatas mengenai Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan dan Kedelai pada tanggal 25 Juli 2012 yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan melibatkan instansi-instansi terkait diantaranya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Keuangan, telah disepakati untuk menurunkan tarif bea masuk impor kacang kedelai dari 5% (lima persen) menjadi 0% (nol persen) untuk jangka waktu sampai dengan 31 Desember 2012;

    d.

    bahwa sesuai arahan Presiden pada Sidang Kabinet Paripurna tanggal 26 Juli 2012, dalam rangka menjaga stabilitas harga pangan, untuk jangka pendek pemerintah akan melakukan pembebasan bea masuk impor kacang kedelai;

    e.

    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Barang Berupa Kacang Kedelai;

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    INFRASTRUKTUR Infrastruktur | PROYEK STRATEGIS NASIONAL | INFRASTRUKTUR
    60/PMK.08/2017

    Tata Cara Pemberian Jaminan Pemerintah Pusat untuk Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. ...

    • Ditetapkan: 09 Mei 2017
    • Diundangkan: 09 Mei 2017

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Proyek Strategis Nasional adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

    2.

    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    3.

    Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

    4.

    Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas, atau koperasi.

    5.

    Penanggung Jawab Proyek Strategis Nasional yang selanjutnya disingkat PJPSN adalah menteri/kepala lembaga/kepala daerah, atau Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

    6.

    Perjanjian Kerjasama adalah kesepakatan tertulis yang berisi hak dan kewajiban antara PJPSN dan Badan Usaha dalam rangka melaksanakan Proyek Strategis Nasional.

    7.

    Risiko Politik adalah :

    a.

    tindakan atau kegagalan untuk bertindak tanpa sebab yang sah oleh Pemerintah Pusat dalam hal - hal yang menurut hukum atau peraturan perundang-undangan atau Pemerintah Pusat memiliki kewenangan atau otoritas untuk melakukan tindakan tersebut, termasuk atas tindakan atau kegagalan untuk bertindak tanpa sebab yang sah oleh Pemerintah Daerah; dan/atau

    b.

    penerbitan, penerapan, atau pemberlakuan suatu peraturan, kebijakan atau persyaratan hukum kepada Badan Usaha atau Proyek Strategis Nasional oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah yang belum ada atau berlaku terhadap Badan Usaha atau Proyek Strategis Nasional pada tanggal penandatanganan Perjanjian Kerjasama.

    8.

    Jaminan Pemerintah Pusat adalah jaminan Pemerintah yang diberikan melalui Menteri Keuangan kepada Badan Usaha atas Risiko Politik yang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan dapat memberikan dampak finansial kepada Badan Usaha yang melaksanakan Proyek Strategis Nasional.

    9.

    Komitmen Pemerintah Daerah adalah jaminan atas pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Daerah dan/atau izin yang diterbitkan sesuai kewenangan Pemerintah Daerah untuk mendukung, menjamin dan memastikan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

    10.

    Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah adalah alokasi dana yang tersedia yang digunakan untuk melunasi kewajiban penjaminan yang timbul akibat pemberian Jaminan Pemerintah sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) beserta perubahannya pada tahun anggaran berjalan.

    11.

    Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.

    12.

    Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.

    13.

    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh menteri/kepala lembaga selaku pengguna anggaran dan disahkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN).

    14.

    Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh PA/KPA/Pejabat Pembuat Komitmen sebagai dasar penerbitan Surat Perintah Membayar.

    15.

    Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh PA/KPA/Pejabat Penandatangan SPM untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.

    16.

    Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat dengan SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

    17.

    Perjanjian Penyelesaian Utang adalah perjanjian antara Menteri Keuangan dan PJPSN mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan pembayaran kembali atas realisasi pembayaran klaim Jaminan Pemerintah Pusat.

    18.

    Perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang adalah dokumen perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang dalam hal PJPSN tidak mampu melaksanakan ketentuan dalam Perjanjian Penyelesaian Utang PJPSN.

    19.

    Menteri Keuangan selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara.

    Thumbnail
    PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | PUTUSAN PENGADILAN
    79/PUU-XIV/2016

    Pengujian UU Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP terhadap UUD Negara RI 1945

      Relevan terhadap

      Halaman 17Tutup

      Mahkamah Nomor 128/PUU-VII/2009, bertanggal 11 Maret 2010, dan Putusan Mahkamah Nomor 12/PUU-XII/2014, bertanggal 19 Maret 2015, maka Mahkamah perlu mengutip pertimbangan hukum Mahkamah dalam kedua putusan dimaksud yang antara lain pertimbangannya menyatakan sebagai berikut: 1. Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, bertanggal 11 Maret 2010: [3.15.1] Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum. [3.15.2] Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada __ suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh ketentuan yang lebih rendah yang otoriter (nucleus of norms, be surrounded by corona of highly oppressive norms, imposed upon the people as a whole). Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu (press censorship). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review, sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil (judicial review) kepada _Mahkamah Agung; _ 2. Putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, bertanggal 19 Maret 2015 [3.14.2] __ ... bahwa pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang dapat dibenarkan __ (konstitusional) apabila memenuhi syarat, yaitu delegasi kewenangan tersebut berasal dari Undang-Undang dan pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang __ tidak bersifat mutlak, melainkan hanya _terbatas merinci dari hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang; _ __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id

      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      DIPA | BIDANG ANGGARAN
      9/PMK.02/2017

      Perubahan atas Pearturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.02/2015 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Angg ...

      • Ditetapkan: 30 Jan 2017
      • Diundangkan: 30 Jan 2017

      Relevan terhadap

      Pasal 3Tutup
      (1)

      Dalam rangka pengelolaan anggaran yang berasal clari BA BUN, Pengguna Anggaran BUN menetapkan PPA BUN.

      (2)

      PPA BUN sebagaimana dimaksucl pacla ayat (1), tercliri atas:

      a.

      Direktorat Jencleral Pengelolaan Pembiayaan clan Risiko sebagai: Afj1/ 1 . PPA BUN Pengelolaan Utang (Bagian Anggaran 999. 0 1);

      2.

      PPA BUN Pengelolaan Hibah (Bagian Anggaran 999.02); clan 3. PPA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus (Bagian Anggaran 999.99), antara lain untuk pengeluaran keperluan pembayaran kontribusi fiskal pemerintah clalam bentuk clukungan kelayakan, clan fasilitas penyiapan proyek (project development facility);

      b.

      Direktorat Jencleral Perimbangan Keuangan sebagai: 1 . PPA BUN Pengelolaan Hibah Daerah yang Bersumber clari Penerimaan Dalam Negeri (Bagian Anggaran 999.02); clan 2. PPA BUN Pengelolaan Transfer ke Daerah clan Dana Desa (Bagian Anggaran 999.05);

      c.

      Direktorat Jencleral Kekayaan Negara sebagai PPA BUN Pengelolaan Investasi Pemerintah (Bagian Anggaran 999.03);

      cl. Direktorat Jencleral Perbenclaharaan sebagai: 1 . PPA BUN Pengelolaan Pemberian Pinjaman (Bagian Anggaran 999.04); clan 2. PPA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus (Bagian Anggaran 999.99), antara lain untuk pengelolaan pembayaran, belanja Jamman sosial, belanja selisih harga pembelian beras oleh Pemerintah kepacla Bulog, perhitungan fihak ketiga, serta penclapatan clan belanja yang terkait clengan pengelolaan kas negara;

      e.

      Direktorat Jencleral Anggaran sebagai: 1 . PPA BUN Pengelolaan Belanja Subsicli (Bagian Anggaran 999.07);

      2.

      PPA BUN Pengelolaan Belanja Lainnya (Bagian Anggaran 999.08); clan Ʋ 3. PPA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus (Bagian Anggaran 999.99), antara lain untuk pengelolaan penenmaan negara bukan pajak terkait pendapatan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi; dan

      f.

      Badan Kebijakan Fiskal sebagai PPA BUN Pengelolaan Transaksi Khusus (Bagian Anggaran 999.99),, antara pengeluaran in ternasional. keperluan lain untuk hubungan 3. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      BADAN LAYANAN UMUM | PENGENDALIAN INTERN
      200/PMK.05/2017

      Sistem Pengendalian Intern pada Badan Layanan Umum

      • Ditetapkan: 21 Des 2017
      • Diundangkan: 21 Des 2017

      Relevan terhadap

      Pasal 3Tutup
      (1)

      Si stem Pengendalian In tern se bagaimana dimaksud dalam Pas al 2 meli pu ti:

      a.

      lingkungan pengendalian;

      b.

      penilaian risiko;

      c.

      aktivitas pengendalian;

      d.

      sistem informasi dan komunikasi; dan

      e.

      pemantauan pengendalian intern.

      (2)

      Pemimpin BLU menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan disiplin dan terstruktur melalui:

      a.

      penegakan integritas dan nilai etika;

      b.

      komitmen terhadap kompetensi sumber daya manusia;

      c.

      kepemimpinan yang kondusif;

      d.

      pembentukan struktur orgamsas1 yang sesuai dengan kebutuhan;

      e.

      pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; dan

      f.

      penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia.

      (3)

      Pemimpin BLU melakukan penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b melalui:

      a.

      identifikasi risiko; dan

      b.

      analisis risiko.

      (4)

      Pemimpin BLU menyelenggarakan aktivitas pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa tindakan yang dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan BLU pada setiap tingkat dan unit dalam struktur organisasi BLU, melalui:

      a.

      reviu kinerja BLU;

      b.

      pengendalian atas perekrutan dan pembinaan sumber daya manusia;

      c.

      pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;

      d.

      pengendalian fisik atas aset;

      e.

      penetapan dan rev1u atas indikator dan ukuran kinerja;

      f.

      pemisahan fungsi;

      g.

      otorisasi atas transaksi;

      h.

      pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;

      1.

      pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya; J. akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan

      k.

      dokumentasi yang baik atas Sistem Pengenclalian Intern dan transaksi.

      (5)

      Pemimpin BLU menyelenggarakan sistem informasi dan komunikasi sebagaimana climaksucl pacla ayat (1) huruf cl dalam proses penyaJian informasi mengenai kegiatan operasional, keuangan, serta ketaatan terhaclap peraturan perunclang-unclangan, melalui:

      a.

      penyediaan dan pemanfaatan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; clan b. pembangunan, pengelolaan, pengembangan, clan pembaharuan sistem informasi secara terus menerus.

      (6)

      Pemimpin BLU melakukan pemantauan pengendalian intern sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) huruf e melalui proses penilaian terhaclap kualitas Sistem Pengendalian Intern pacla setiap tingkat dan unit dalam struktur organisasi BLU termasuk fungsi Pengawasan Intern, sehingga clapat clilaksanakan secara optimal.

      • 1
      • ...
      • 89
      • 90
      • 91
      • ...
      • 122