Perbankan
Relevan terhadap
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
Bank Umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
Bank Campuran adalah Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri;
Kantor Cabang adalah setiap kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan tempat usaha yang permanen dimana kantor cabang tersebut melakukan kegiatannya;
Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
Giro adalah simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindahbukuan;
Deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan;
Sertifikat Deposito adalah deposito berjangka yang bukti simpanannya dapat diperdagangkan;
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu;
Surat Berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal: dan pasar uang;
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan;
Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan kontrak antara Bank Umum dengan penitip yang didalamnya ditentukan bahwa Bank Umum yang bersangkutan melakukan penyimpanan harta tanpa mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut;
Wali Amanat adalah Bank Umum, yang berdasarkan suatu perjanjian antara Bank Umum tersebut dengan emiten surat berharga, ditunjuk untuk mewakili kepentingan semua pemegang surat berharga tersebut;
Pihak Terafiliasi adalah:
anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi, pejabat, atau karyawan bank;
anggota pengurus, badan pemeriksa, direksi, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
pihak yang memberikan jasanya kepada bank yang bersangkutan, termasuk konsultan, konsultan hukum, akuntan publik, penilai;
pihak yang berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank;
Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan;
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
Dewan Moneter adalah dewan moneter sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
Ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, maka setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya. Sejalan dengan itu Bank Indonesia diberi wewenang dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk, nasehat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Ayat (5) Informasi yang disediakan untuk nasabah tersebut adalah informasi mengenai tingkat risiko dari kegiatan yang menjadi sasaran penggunaan atau penempatan dana. Apabila informasi telah disediakan, maka bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Informasi tersebut perlu diberikan oleh bank, dalam hal bank bertindak sebagai perantara dalam melakukan penempatan dana dari nasabah atau membeli/menjual surat berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya. Pasal 30 Ayat (1) dan ayat (2) Kewajiban penyampaian keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu bank kepada Bank Indonesia diperlukan mengingat keterangan tersebut dibutuhkan untuk memantau keadaan dari suatu bank. Pemantauan keadaan bank perlu dilakukan dalam rangka melindungi dana masyarakat dan menjaga keberadaan lembaga perbankan. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kebenaran atas laporan yang disampaikan oleh bank, Bank Indonesia diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada bank. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 32 Permintaan Menteri kepada Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan khusus atas suatu bank atau meminta laporan atas hasil pemeriksaan bank adalah bilamana terdapat petunjuk yang menurut pendapat Menteri membahayakan kesehatan dan kelangsungan hidup bank serta kepentingan umum dan kelangsungan pembangunan nasional. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan "persyaratan dan tata cara pemeriksaan" adalah antara lain meliputi jenis pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, pelaporan, dan langkah tindak lanjut hasil pemeriksaan dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Pengecualian ini dapat diberikan dengan memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh Bank Perkreditan Rakyat yang bersangkutan. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam ayat ini ditetapkan langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, sebelum dilakukan pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi. Langkah-langkah dimaksud dilakukan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Ketentuan dalam Pasal ini berlaku pula dalam hal pengangkatan atau perubahan pejabat pimpinan yang setingkat direksi dan anggota dewan komisaris, bagi bank yang berbentuk hukum koperasi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Penggunaan tenaga asing oleh bank dimungkinkan, sesuai dengan kebutuhan bank yang bersangkutan. Dalam hal Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Umum, tenaga asing dimaksud bersifat sementara dan terbatas pada tenaga ahli, penasehat dan konsultan, sesuai dengan kebutuhan bank yang bersangkutan. Sedangkan dalam hal bank campuran dan cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, tenaga asing tersebut disesuaikan dengan sifat kepemilikan oleh asing. Namun demikian penggunaan tenaga asing dalam bank campuran dan cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, wajib disesuaikan dengan program Indonesianisasi. Ayat (2) Yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain adalah mengenai persyaratan-persyaratan sebagai penjabaran ketentuan dalam ayat (1) misalnya jenis pekerjaan atau keahlian yang masih memerlukan tenaga asing dan jangka waktu penggunaan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan. Pasal 40 Ayat (1) Dalam hubungan ini yang menurut kelaziman wajib dirahasiakan oleh bank adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya. Kerahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan. Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Walaupun demikian pemberian data dan informasi kepada pihak lain dimungkinkan, yaitu berdasarkan Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana atas permintaan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung, Menteri dapat mengeluarkan izin tertulis untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan nasabah yang menjadi tersangka/terdakwa. Kata "dapat" dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa izin oleh Menteri akan diberikan sepanjang syarat/prosedur administrasi pemberian izin dipenuhi oleh pihak yang meminta izin, seperti nama, pangkat, NRP/NIP dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, maksud pemeriksaan, pejabat yang berwenang mengajukan permohonan kepada Menteri, nama nasabah yang menjadi tersangka/terdakwa serta sebab-sebab keterangan diperlukan dalam hubungan perkara pidana yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 43 Dalam hal perkara perdata antara bank dengan nasabahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, bank dapat menginformasikan keadaan keuangan nasabah yang dalam perkara serta keterangan lain yang berkaitan dengan perkara tersebut, tanpa izin dari Menteri.
Cukup jelas Pasal 8 Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pembelian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan "agunan tambahan". Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Usaha lain yang dilarang pada huruf c ini antara lain melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek (underwriter). Pasal 11 Pemberian kredit oleh bank mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahwa kredit tersebut bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, maka risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut. Oleh karena itu untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya-tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit, pemberian jaminan maupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada debitur atau kelompok debitur tertentu. Ayat (1) Kelompok (group) merupakan kumpulan orang atau badan yang satu sama lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan. Ayat (2) Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum yang lebih rendah dari 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank. Pengertian modal bank ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan bank. Batas maksimum dimaksud adalah untuk masing-masing peminjam atau sekelompok peminjam termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan "keluarga" dalam ketentuan ini meliputi hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua menurut garis lurus maupun kesamping termasuk mertua, menantu dan ipar. Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Ayat (4) Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum yang lebih rendah dari 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank. Pengertian modal bank ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan bank. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 12 Yang dimaksud dengan "Pemerintah dapat menugaskan Bank Umum", adalah dalam rangka penjabaran atas ketentuan mengenai asas, fungsi, dan tujuan perbankan sebagaimana diatur dalam Bab II, yang penyelenggaraannya senantiasa disesuaikan dengan tuntutan perkembangan pembangunan nasional. Yang dimaksud dengan "sektor-sektor perekonomian tertentu", adalah antara lain program pengembangan pembangunan perumahan, serta pengembangan ekspor non migas. Dalam Peraturan Pemerintah dimaksud diatur pula ketentuan mengenai pelaksanaan program tertentu oleh satu atau beberapa Bank Umum tertentu. Pasal 13 Huruf a Penyebutan "bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu" dimaksudkan untuk menampung kemungkinan adanya bentuk penghimpunan dana dari masyarakat oleh Bank Perkreditan Rakyat yang serupa dengan deposito berjangka dan tabungan tetapi bukan giro atau simpanan lain yang dapat ditarik dengan cek. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 14 Larangan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat yang terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Untuk itu jenis-jenis pelayanan yang dapat diberikan oleh Bank Perkreditan Rakyat disesuaikan dengan maksud tersebut. Huruf a Cukup jelas Huruf b Larangan yang dimaksud dalam huruf ini tidak termasuk kegiatan tukar menukar valuta asing (money changer). Untuk melakukan usaha tukar menukar valuta asing, Bank Perkreditan Rakyat harus memenuhi ketentuan Bank Indonesia. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapapun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu dalam ayat ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh suatu pihak, setelah pihak yang bersangkutan terlebih dahulu memperoleh izin usaha, sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Namun demikian, di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan atau semacam simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun, atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga-lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha perbankan, berdasarkan ketentuan dalam ayat ini. Terhadap kegiatan menghimpun dana masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut, diatur dengan Undang-undang tersendiri beserta peraturan pelaksanaannya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan "kecamatan" dalam ayat ini adalah kecamatan di luar ibukota kabupaten, kotamadya, ibukota propinsi, atau ibukota negara. Hal ini dimaksudkan agar Bank Perkreditan Rakyat tetap dapat berfungsi sebagai.penunjang pembangunan dan modernisasi di daerah pedesaan. Ayat (5) Dalam rangka menunjang peningkatan pembangunan yang lebih merata, maka khusus di kota-kota sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat didirikan Bank Perkreditan Rakyat oleh pemerintah daerah setempat, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan koperasi, bank milik negara dan/atau bank milik pemerintah daerah. Ayat (6) Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), ketentuan-ketentuan menyangkut koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang perkoperasian, misalnya tentang susunan organisasi, kepemilikan, dan kepengurusan, perlu diperhatikan.
Sistem Budidaya Tanaman.
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 April 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1992 TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN UMUM Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan alam hayati, air, iklim, dan kondisi tanah yang memberikan sumber kehidupan kepada bangsa, terutama di bidang pertanian dan sekaligus merupakan salah satu modal dasar bagi pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien, dan tangguh, serta bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, peternak, dan nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor, mendukung pembangunan daerah, dan mengintensifkan kegiatan transmigrasi. Arah pembangunan pertanian sedemikian ini akan memperkokoh landasan bidang ekonomi dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Sistem budidaya tanaman sebagai bagian dari pertanian pada hakekatnya adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam nabati melalui kegiatan manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Oleh karena itu sistem budidaya tanaman akan dikembangkan dengan berasaskan manfaat, lestari, dan berkelanjutan. Pengembangan budidaya tanaman diarahkan secara bijaksana, dengan memperhatikan kemampuan dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta menggunakan teknologi tepat dengan tujuan untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas Pemerintah menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman yang disesuaikan dengan tahapan rencana pembangunan nasional, menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman, mengatur produksi budidaya tanaman tertentu berdasarkan kepentingan nasional, dan menciptakan kondisi yang menunjang peranserta masyarakat, dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Dengan semakin ketatnya persaingan dalam era globalisasi, maka pengembangan budidaya tanaman harus diarahkan pula pada upaya memanfaatkan keunggulan komparatif produk tanaman yang dimiliki dengan penerapan prinsip keterpaduan kegiatan budidaya tanaman dengan industri pengolahan, industri manufaktur, dan pemasarannya. Dengan arah tersebut, maka nilai tambah produksi pertanian akan dinikmati pula oleh petani sebagai produsen. Dalam kondisi perkembangan yang demikian, posisi petani dalam keseluruhan sistem budidaya tanaman menjadi sangat sentral dan strategis. Posisi sentral dan strategis dimaksud hanya dapat bermanfaat apabila Pemerintah senantiasa berupaya untuk melaksanakan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan kualitas sumberdaya manusia terutama masyarakat petani. Pengembangan budidaya tanaman hanya dapat dicapai secara optimal apabila di dalam pelaksanaannya digunakan teknologi tepat yakni yang sesuai dengan daya dukung sumberdaya alam Indonesia yang beriklim tropis. Oleh karena itu upaya untuk menemukan dan menciptakan teknologi budidaya tanaman secara tepat melalui penelitian (research and development) perlu digalakkan. Dalam rangka memberikan pelayanan kepada petani, Pemerintah melakukan penelitian serta membina dan mendorong masyarakat terutama dunia usaha untuk ikut berperanserta dalam penelitian dan pengembangan budidaya tanaman, baik yang bersifat rekayasa teknologi, rekayasa sosial ekonomi, maupun rekayasa sosial budaya. Teknologi tepat yang telah ditemukan perlu disebarluaskan kepada masyarakat, khususnya para petani, agar mereka dapat memanfaatkannya. Penyebarluasan tersebut dilakukan baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah seperti penyuluhan, pelatihan, dan lain-lain. Dalam hubungan ini Pemerintah menyelenggarakan pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah yang dalam pelaksanaannya mengikutsertakan masyarakat. Pengikutsertaan peran masyarakat tidak saja diperlukan dalam penyebarluasan teknologi tepat, tetapi juga dalam pemberian pelayanan informasi yang menjadi kewajiban Pemerintah, meliputi antara lain informasi pasar, profil komoditas, penanaman modal, promosi komoditas, serta prakiraan cuaca dan iklim yang mendukung pengembangan budidaya tanaman. Lahan bagi budidaya tanaman merupakan salah satu faktor produksi utama. Dilain pihak tersedianya lahan sebagai petanaman untuk budidaya tanaman semakin terbatas, baik karena tekanan yang ditimbulkan oleh bertambahnya jumlah penduduk maupun meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan oleh sektor lain. Oleh karena itu penggunaan lahan untuk keperluan budidaya tanaman harus dilakukan secara efektif dan efisien serta dengan memperhatikan terpeliharanya kemampuan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan. Masalah yang timbul adalah terjadinya perubahan peruntukan atau konversi lahan budidaya tanaman menjadi lahan untuk keperluan bukan budidaya tanaman. Masalah tersebut dapat mengancam lahan budidaya tanaman terutama untuk penghasil pangan yang pada gilirannya dapat mempengaruhi ambang batas tingkat produksi secara nasional. Oleh karena itu maka apabila terjadi perubahan tata ruang yang mengakibatkan perubahan lahan budidaya tanaman guna keperluan lain di luar budidaya tanaman, perlu secara arif dan cermat mempertimbangkan ketersediaan lahan usaha budidaya tanaman. Benih tanaman, sebagai sarana produksi utama dalam budidaya tanaman perlu dijaga mutunya, sehingga mampu menghasilkan produksi dan mutu hasil sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu perlu diselenggarakan kegiatan pengumpulan plasma nutfah dan pemuliaan tanaman maupun kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya untuk menemukan jenis baru serta varietas unggul. Untuk mendorong terlaksananya hal tersebut maka kepada para penemunya dapat diberikan penghargaan oleh Pemerintah serta pemberian hak untuk memberi nama pada temuannya. Penghargaan tersebut dapat pula diberikan kepada para pemilik tanaman yang tanamannya memiliki keunggulan tertentu. Apabila di dalam negeri belum terdapat varietas unggul tertentu, maka Pemerintah untuk sementara dapat mengintroduksi varietas unggul tersebut dari luar negeri. Untuk menjamin bahwa varietas baru hasil pemuliaan tanaman maupun introduksi dari luar negeri benar-benar unggul, maka sebelum diedarkan perlu diadakan pengujian untuk kemudian apabila hasilnya memenuhi persyaratan yang ditentukan, Pemerintah melepas varietas tersebut untuk dapat diedarkan. Suatu varietas yang telah dilepas, benihnya dinyatakan sebagai benih bina, dalam pengertian produksi dan peredarannya perlu diatur dan diawasi. Mekanisme pengawasan dan pembinaan yang efektif untuk dapat menjamin benih bermutu, adalah melalui sertifikasi benih. Sertifikasi benih ini dapat dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta. Benih yang lulus sertifikasi merupakan benih yang telah dijamin mutunya baik mutu genetis, fisiologis, maupun fisik dan dapat diedarkan. Untuk menjamin bahwa benih yang diedarkan benar-benar bermutu dan dalam rangka mempermudah pengawasan mutu benih, maka benih yang lulus sertifikasi apabila akan diedarkan wajib diberi label. Hasil pemuliaan sebelum dilepas oleh Pemerintah dilarang untuk dikembangkan dan/atau diedarkan. Sarana produksi budidaya tanaman yang lain seperti pupuk, pestisida, alat dan mesin budidaya tanaman perlu terjamin efektivitasnya dan aman dalam penggunaannya baik terhadap manusia maupun lingkungan hidup. Khusus bagi pestisida, karena merupakan bahan berbahaya dan beracun, jika telah dinyatakan dilarang atau telah rusak atau tidak memenuhi standar mutu atau tidak terdaftar harus dimusnahkan. Perlindungan tanaman merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan. Kegiatan tersebut meliputi pencegahan masuknya, pengendalian dan eradikasi organisme pengganggu tumbuhan. Pelaksanaan perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah. Dalam hal terjadi eksplosi serangan organisme pengganggu tumbuhan, Pemerintah bertanggung jawab untuk menanggulanginya bersama masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut kesemuanya bertujuan untuk mengamankan tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan yang tujuan akhirnya menyelamatkan produksi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu masyarakat diharapkan berperanserta untuk melaporkan terjadinya serangan organisme pengganggu tumbuhan pada tanaman di wilayahnya, terutama yang sifatnya eksplosi dan sekaligus berusaha untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan tersebut. Mengingat bahwa dalam hal-hal tertentu kegiatan perlindungan tanaman menggunakan pestisida maka harus memperhatikan keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Usaha budidaya tanaman memerlukan lahan yang sesuai untuk budidaya tanaman yang bersangkutan. Di samping itu, pengembangan usaha budidaya tanaman harus disesuaikan dengan sasaran produksi nasional dan/atau permintaan pasar, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Usaha budidaya tanaman berskala besar memerlukan lahan yang luas dan produksinya akan sangat berpengaruh terhadap produksi budidaya tanaman secara nasional. Oleh karena itu untuk mempermudah pengawasan dan pengendalian pelaksanaan usaha budidaya tanaman berskala besar, mekanisme yang paling baik adalah melalui perizinan. Perizinan yang diberikan harus melalui pertimbangan yang cermat terhadap berbagai aspek seperti aspek ekonomi, sosial budaya, sumberdaya alam, lingkungan hidup, dan kepentingan strategis lainnya. Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta memperluas pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, Pemerintah mengambil langkah-langkah yang mendorong tumbuhnya kerjasama yang saling menguntungkan antara usaha berskala kecil dengan yang berskala besar. Dengan demikian, akan terbuka peluang bagi masyarakat petani dan usaha berskala kecil untuk turut serta dalam pemilikan dan pengelolaan usaha budidaya tanaman berskala besar. Penanganan panen dan pascapanen sebagai salah satu tahapan kegiatan dalam budidaya tanaman yang meliputi kegiatan pemungutan hasil, pembersihan, pengupasan, sortasi, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan transportasi hasil produksi perlu diatur sedemikian rupa, sehingga dapat lebih meningkatkan mutu, menekan tingkat kehilangan,memperpanjang daya simpan, meningkatkan dayaguna, dan meningkatkan nilai tambah hasil budidaya tanaman. Dengan materi seperti yang dikemukakan di atas disusunlah Undang-undang ini dengan tujuan untuk memberikan landasan hukum bagi sistem budidaya tanaman. PASAL DEMI PASAL
Usaha Perasuransian
Relevan terhadap
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan 1. Asuransi atau Pertanggungan adalah perjaniian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Obyek Asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.
Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu Undang-undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat.
Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultan Akturia, 5. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi Asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
Agen Asuransi adalah sescorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan.
Perusahaan Konsultan Akturia adalah perusahaan yang memberikan jasa akturia kepada perusahaan asuransi dan dana pensiun dalam rangka pembentukan dan pengelolaan suatu program asuransi dan atau program pensiun.
Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijaksanaan orang yang lain atau badan hukum yang lain, atau sebaliknya dengan memanfaatkan adanya kebersamaan kepemilikan saham atau kebersamaan pengelolaan perusahaan. 14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN UMUM Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ekonomi memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai yang pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari tabungan masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting peranannya, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko yang dapat mengganggu hasil pembangunan yang telah dicapai. Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian yang tangguh, yang dapat menampung kerugian yang dapat timbul oleh adanya berbagai risiko. Kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang secara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Sejauh ini kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi sebagai suatu perjanjian. Sementara itu usaha asuransi merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian merupakan bidang usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah, dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan,baik bagi gerak usaha dari perusahaan-perusahaan di bidang ini maupun bagi Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi usaha dalam jenis-jenis usaha di bidang perasuransian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha perasuransian merupakan usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis yang khusus dalam penyelenggaraannya. Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada tertanggung dalam memilih perusahaan asuransi. Dalam rangka perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini juga menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan usaha, dengan mengupayakan agar praktek usaha yang dapat menimbulkan konflik kepentingan sejauh mungkin dapat dihindarkan, serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat terselenggara atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai jasa. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia. Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat. Pasal 4 Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian hanya dapat pula menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan. Pasal 5 Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan, penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya risiko dan perancangan produk asuransi jiwa. Pasal 6 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya sehingga sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dapat menentukan sendiri perusahaan asuransi yang akan menjadi penanggungnya. Ayat (2) Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini terkandung maksud bahwa tertanggung bebas untuk menempatkan penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha di Indonesia. Ayat (3) Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan dengan perkembangan usaha perasuransian di Indonesia, maka ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan atau penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama (Mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Ayat (1) Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta. Ayat (2) Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh perusahaan perasuransian dalam negeri dan perusahaan perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang lebih profesional.Selain itu kerjasama perusahaan perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi. Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha, maka kepemilikan bersama atas perusahaan perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi dalam negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing partner dalam kepemilikan tersebut. Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:
Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan Perusahaan Reasuransi dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak diperlukan adanya izin usaha dari Menteri. Ayat (2) Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko. penilai kerugian asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Ayat (3) Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok ukur kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan selisih antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya didasarkan pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau tanggung jawab sendiri sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. Reasuransi merupakan bagian pertanggungan yang dipertanggungkan ulang pada perusahaan asuransi lain dan atau Perusahaan Reasuransi. Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi dalam menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan produktif. Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya beban kewajiban tidak menentu, maka Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis. Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan dalam bentuk polis. Sebagai suatu perjanjian atau kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis. Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan tingkat premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak bersifat diskriminatif. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh penanggung. Salah satu ketentuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha adalah mengenai pembayaran premi asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya, sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosisal sebenarnya menyelenggarakan salah satu jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari peraturan perundang-undangan yang membentuknya, Menteri sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berwenang dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi sosial tersebut, sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri teknis yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang mengatur Program Asuransi Sosial dimaksud. Pasal 15 Ayat (1) Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan usaha, sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemeriksaan dimaksud dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada perusahaan dapat diketahui sedini mungkin. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha merupakan tahapan tindakan yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal tertentu Menteri dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang diperlukan. Ayat (2) Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus dilalui sebelum dilakukan pencabutan izin usaha. Namun demikian terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal ini mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara tersebut, maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut serta peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan. Ayat (3) Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang dilakukan, Menteri dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenahan dengan memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang diikuti perkembangannya secara terus-menerus, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap perusahaan ataupun tertanggung. Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pengenaan sanksi, akan ditetapkan batas waktu maksimum yang disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk diajukan kepada Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa pembatasan kegiatan usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan tindak lanjut pengenaan sanksi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang dilakukan tidak menunjukkan perbaikan atau dalam hal perusahaan tidak melakukan usaha untuk mengupayakan perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Ayat (2) Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas
Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim ...
Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara Percetakan Negara Republik Indonesia Menjadi Perusahaan Umum (Perum) ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia;
Presiden adalah Presiden Republik Indonesia;
Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang Penerangan;
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab dalam bidang Pembinaan Pers dan Grafika;
Dewan Pengawas adalah Dewan Pengawas Perusahaan Umum (PERUM) Percetakan Negara Republik Indonesia;
Perusahaan adalah Perusahaan Umum (PERUM) Percetakan Negara Republik Indonesia;
Direksi adalah Direksi Perusahaan Umum (PERUM) Percetakan Negara Republik Indonesia;
Direktur Utama adalah Direktur Utama Perusahaan Umum (PERUM) Percetakan Negara Republik Indonesia;
Pegawai adalah Pegawai pada Perusahaan Umum (PERUM) Percetakan Negara Republik Indonesia;
Pembinaan adalah kegiatan untuk memberikan pedoman bagi Perusahaan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian dengan maksud agar Perusahaan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara berdayaguna dan berhasilguna serta dapat berkembang dengan baik;
Pengawasan adalah seluruh proses kegiatan penilaian terhadap Perusahaan, dengan tujuan agar Perusahaan melaksanakan fungsinya dengan baik dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
Pemeriksaan adalah kegiatan untuk menilai Perusahaan dengan cara membandingkan antara keadaan yang sebenarnya dengan keadaan yang seharusnya dilakukan, baik dalam bidang keuangan dan/atau dalam bidang teknik operasional;
Pengelolaan Perusahaan adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian Perusahaan sesuai dengan pembinaan yang digariskan oleh Menteri.
Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Ri-Australia
Peradilan Militer
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, khusus mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Agar… Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1997 ttd. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1997 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERATURAN MILITER UMUM Undang-undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia adalah adalah yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Hal tersebut mengandung arti bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Penegakan keadilan berdasarkan hukum harus dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan, dan setiap lembaga kemasyarakatan. Upaya pembangunan hukum nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka mendukung upaya pembangunan hukum nasional tersebut, hukum militer sebagai subsistem dari hukum nasional perlu dibina dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditetapkan bahwa salah satu penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, termasuk pengkhususannya (differensiasi/spesialisasi) yang susunan dan kekuasaan serta acaranya diatur dalam undang-undang tersendiri. Keberadaan… Keberadaan peradilan militer tersebut diperkuat lagi oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara. Undang-undang yang menjadi dasar hukum peradilan militer yang selama ini berlaku adalah:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan, sebagai Undang-undang Federal sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22 Pnps Tahun 1965, tentang Penetapan Presiden tentang Perubahan beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan Militer yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh pengadilan ketentaraan, yaitu Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi dan Pengadilan Tentara Agung, sedangkan kekuasaan kejaksaan dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh Kejaksaan Tentara, Kejaksaan Tentara Tinggi dan Kejaksaan Tentara Agung. Dalam Undang-undang tersebut Mahkamah Tentara Agung juga diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang berhubungan dengan jabatan yang dilakukan oleh:
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, jika jabatan ini dipangku oleh anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat;
Panglima Besar;
Kepala Staf Angkatan Perang;
Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Hukum Acara Pidana Pada Pengadilan Tentara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana Pada Peradilan Ketentaraan yang menyatakan bahwa hukum acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai pedoman het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan dalam Undang-undang tersebut; sedangkan yang mengatur pemeriksaan pada Mahkamah Tentara Agung dan Pengadilan Tentara Tinggi dalam tingkat kedua berpedoman pada titel 15 Strafvordering. Dengan dicabutnya HIR oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam praktek peradilan, Mahkamah Militer menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman.
Undang-… c. Undang-undang Nomor 3 Pnps Tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara Bagi Anggota-anggota Angkatan Kepolisian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 23 Pnps Tahun 1965 tentang Perubahan dan Tambahan Pasal 2 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1965 yang menyatakan Angkatan Kepolisian menyelenggarakan sendiri peradilan militer dalam lingkungannya. Peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas ternyata tidak dapat dipertahankan lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan hukum militer sebagai subsistem dari hukum nasional. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan tersebut perlu dicabut dan diatur kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982.
Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 tentang Pembentukan Pengadilan Bersama Angkatan Bersenjata dalam rangka peningkatan pelaksanaan Dwi Komando Rakyat (DWIKORA) berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai undang-undang, pada lampiran III B, menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 diserahkan kewenangannya untuk meninjau lebih lanjut dan mengaturnya kembali kepada Pemerintah dalam peraturan perundang-undangan atau dijadikan bahan bagi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan materi masing-masing. Dengan berakhirnya DWIKORA dan adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969, Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 perlu dicabut karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam rangka memenuhi kepentingan Angkatan Bersenjata untuk memelihara disiplin dan keutuhan pasukan serta penegakan hukum dan keadilan di daerah pertempuran yang bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan, yang berwenang memeriksa dan mengadili tingkat pertama dan terakhir semua tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit yang terjadi di daerah pertempuran. Peradilan militer yang merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang tata usaha Angkatan Bersenjata dan dalam soal-soal kepegawaian militer sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1953 tentang Kedudukan Hukum Anggota Angkatan Perang dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1958 tentang Undang-undang Militer Sukarela ternyata belum terlaksana sampai kedua Undang-undang tersebut dicabut dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor 1988 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan peradilan ketentaraan adalah juga termasuk kewenangan mengadili perkara Tata Usaha di lingkungan Angkatan Bersenjata dan soal-soal tentara. Sementara itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 2 huruf f, menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata termasuk kewenangan peradilan militer dan oleh karena itu perlu diatur dalam Undang-undang ini. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh:
Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang terdiri dari:
Pengadilan Militer yang merupakan pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana yang terdakwanya berpangkat Kapten ke bawah;
Pengadilan Militer Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer. Pengadilan Militer Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama untuk: a) perkara pidana yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya berpangkat Mayor ke atas; dan b) gugatan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
Pengadilan Militer Utama yang merupakan pengadilan tingkat banding untuk perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi;
Pengadilan… b. Pengadilan Militer Pertempuran yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit di daerah pertempuran, yang merupakan pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dari pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pengadilan itu merupakan organisasi kerangka yang baru berfungsi apabila diperlukan dan disertai pengisian pejabatnya. Badan-badan peradilan tersebut pada huruf a dan huruf b, semua berpuncak pada Mahkamah Agung sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Susunan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer ditetapkan seperti tersebut di atas karena yustisiabelnya adalah prajurit yang diberi pangkat sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam hirarki keprajuritan untuk menegakkan disiplin dan kehormatan prajurit. Wewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat pertama berada pada Pengadilan Militer Tinggi, karena pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata sebagai tergugat umumnya golongan perwira menengah ke atas. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata secara organisatoris dan administratif berada di bawah pembinaan Panglima. Pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, dalam Undang-undang ini tidak dikenal lagi Mahkamah Tentara Agung yang secara ex officio ketuanya dijabat oleh Ketua Mahkamah Agung. Namun fungsi pengawasan dan pembinaan teknis yustisial pengadilan dalam lingkungan peradilan militer tetap di bawah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Sementara itu Pengadilan Militer Utama diberi tugas untuk melaksanakan pengawasan sehari-hari terhadap pengadilan di bawahnya. Sesuai… Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya, serta Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan demi terselenggarakannya negara hukum Republik Indonesia. Agar pengadilan dalam lingkungan peradilan militer bebas memberikan putusannya, perlu ada jaminan bahwa baik pengadilan maupun hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh lainnya. Oleh karena itu, Hakim di lingkungan peradilan militer diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal Pengadilan memeriksa dan mengadili perkara yang memerlukan keahlian khusus, Kepala Pengadilan yang bersangkutan dapat menunjuk seorang perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai Hakim Ad Hoc untuk bertugas selaku Hakim Anggota Majelis yang akan mengadili perkara dimaksud. Bagi Hakim Ad Hoc tidak berlaku persyaratan-persyaratan tertentu seperti yang berlaku bagi Hakim Militer atau Hakim Militer Tinggi. Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan hakim serta pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, perlu juga dijaga kualitas kemampuan para hakim, dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi hakim yang diatur dalam Undang-undang ini, dan diperlukan pembinaan sebaik-baiknya dengan tidak mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Selain itu diadakan juga larangan bagi para hakim merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan pengadilan, pengusaha, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya, dan jabatan lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan prasangka keras, bahwa seorang hakim telah melakukan perbuatan tercela dipandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah melakukan kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali dalam tugas, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, setelah ia diberi kesempatan membela diri. Mengingat… Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban tugas yang harus dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, perlu adanya perhatian yang besar terhadap tata cara pelaksanaan pengelolaan administrasi pengadilan. Hal ini sangat penting karena menyangkut aspek ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi di bidang perkara yang akan mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri. Oleh karena itu penyelenggaraan administrasi perkara dan administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial) dalam Undang-undang ini dibebankan kepada Panitera. Kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata, dilaksanakan oleh Oditurat dalam lingkungan peradilan militer yang terdiri dari:
Oditurat Militer, yang merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer;
Oditurat Militer Tinggi, yang merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer Tinggi;
Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata, yang merupakan badan penuntutan tertinggi di lingkungan Angkatan Bersenjata; dan
Oditurat Militer Pertempuran, yang merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer Pertempuran. Oditurat di lingkungan peradilan militer adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum. Oditurat di lingkungan peradilan militer secara teknis yustisial, pembinaannya berada di bawah Oditur Jenderal, sedangkan organisatoris dan administratif berada di bawah Panglima. Di samping mengatur susunan, kekuasaan, tugas, dan wewenang Oditurat di lingkungan peradilan militer, Undang-undang ini menetapkan pula:
kewenangan Oditur di lingkungan peradilan militer untuk melakukan penyidikan terhadap perkara tertentu atas perintah Oditur Jenderal;
Kewenangan Oditur di lingkungan peradilan militer untuk melengkapi berkas perkara dengan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum perkara diserahkan kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum; dan
kewenangan… c. kewenangan Oditur Jenderal untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian dalam bidang penyidikan, penyerahan perkara, penuntutan dan pelaksanaan putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Untuk meneguhkan kehormatan, kewibawaan, dan keahlian teknis Oditur dalam lingkungan peradilan militer, perlu dijaga kualitas kemampuannya dengan ditetapkannya syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentiannya dalam Undang-undang ini, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Panglima. Oditur Militer, Oditur Militer Tinggi, dan Oditur Jenderal adalah pejabat fungsional yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan. Dalam Undang-undang ini diatur pula, tentang hukum acara pada peradilan militer yang berpedoman pada asas-asas yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tanpa mengabaikan asas dan ciri-ciri tata kehidupan militer sebagai berikut:
asas kesatuan komando. Dalam kehidupan militer dengan struktur organisasinya, seorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh karena itu seorang kemandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara pidana dan kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang diajukan oleh anak buahnya melalui upaya administrasi. Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut di atas, dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan. Namun dalam Hukum Acara Pidana Militer dan Hukum Acara Tata Usaha Militer dikenal adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya. Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan Bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Asas ini adalah merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando.
asas… c. asas kepentingan militer. Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum. Hukum acara pada peradilan militer yang diatur dalam Undang-undang ini disusun berdasarkan pendekatan kesisteman dengan memadukan berbagai konsepsi hukum acara pidana nasionla yang antara lain tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dan konsepsi Hukum Acara Tata Usaha Negara yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan berbagai kekhususan acara yang bersumber dari asas dan ciri-ciri tata kehidupan Angkatan Bersenjata. Berdasarkan pendekatan kesisteman ini, sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan ciri-ciri tata kehidupan Angkatan Bersenjata, berbagai konsepsi dan rumusan hukum acara pidana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun Tahun 1981 dan Hukum Acara Tata Usaha Negara yang terutang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 diakomodasikan ke dalam hukum acara pidana militer dan hukum acara tata usaha militer, yang muatannya mencakup:
Hukum Acara Pidana Militer.
Tahap penyidikan. Atasan yang Berhak Menghukum, Polisi Militer dan Oditur adalah Penyidik. Namun kewenangan penyidikan yang ada pada Atasan yang Berhak Menghukum tidak dilaksanakan sendiri, tetapi dilaksanakan oleh penyidik Polisi Militer dan/atau Oditur. Dalam Undang-undang ini tidak secara khusus diatur tentang penyelidikan sebagai salah satu tahap penyidikan, karena penyelidikan merupakan fungsi yang melekat pada komandan yang pelaksanaannya dlakukan oleh penyidik Polisi Militer. Atasan yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara mempunyai kewenangan penahanan, yang pelaksanaan penahananya hanya dilaksanakan di rumah tahanan militer, karena di lingkungan peradilan militer hanya dikenal satu jenis penahanan yaitu penahanan di rumah tahanan militer.
Tahap… 2) Tahap penyerahan perkara. Wewenang penyerahan perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan umum ada pada Perwira Penyerah Perkara. Dalam Hukum Acara Pidana Militer, tahap penuntutan termasuk dalam tahap penyerahan perkara, dan pelaksanaan penuntutan dilakukan oleh Oditur yang secara teknis yuridis bertanggung jawab kepada Oditur Jenderal, sedangkan secara operasional justisial bertanggung jawab kepada Perwira Penyerah Perkara.
Tahap pemeriksaan dalam persidangan. Dalam pemeriksaan perkara pidana dikenal adanya acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan cepat, acara pemeriksaan khusus, dan acara pemeriksaan koneksitas. Acara pemeriksaan cepat adalah acara untuk memeriksa perkara lalu lintas dan angkutan jalan. Acara pemeriksaan khusus adalah acara pemeriksaan pada Pengadilan Militer Pertempuran, yang merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit di daerah pertempuran yang hanya dapat diajukan permintaan kasasi. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim bebas menentukan siapa yang akan diperiksa terlebih dahulu. Pada asasnya sidang pengadilan terbuka untuk umum, kecuali untuk pemeriksaan perkara kesusilaan, sidang dinyatakan tertutup. Pada prinsipnya pengadilan bersidang dengan hakim majelis kecuali dalam acara pemeriksaan cepat. Terhadap tindak pidana militer tertentu, Hukum Acara Pidana Militer mengenal peradilan in absensia yaitu untu perkara desersi. Hal tersebut berkaitan dengan kepentingan komando dalam hal kesiapan kesatuan, sehingga tidak hadirnya prajurit secara tidak sah, perlu segera ditentukan status hukumnya.
Tahap pelaksanaan putusan. Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan oleh Kepala Pengadilan pada tingkat pertama dan khusus pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan komandan yang bersangkutan, sehingga komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana kembali menjadi prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak pidana lagi. Khusus dalam pelaksanaan putusan tentang ganti rugi akibat penggabungan gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dilaksanakan oleh Kepala Kepaniteraan sebagai juru sita.
Hukum Acara Tata Usaha Militer. Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata bagi Prajurit lebih dahulu harus diselesaikan melalui upaya administrasi. Apabila tidak ditemukan penyelesaiannya, baru kemudian dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama. Dalam pemeriksaan perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dikenal adanya pemeriksaan biasa dan acara pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat digunakan apabila kepentingan penggugat yang sangat mendesak untuk segera diperiksa dan diadili.
Tahap gugatan. Gugatan dibuat oleh seseorang termasuk Prajurit, badan hukum perdata atau kuasanya, diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi. Gugatan tersebut berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Tahap pemeriksaan dalam persidangan. Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dalam persidangan antara lain: a) hakim berperan lebih aktif guna mencari kebenaran dan keadilan; b) gugatan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak bersifat menunda palaksanaan keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata; c) atas putusan Pengadilan Militer Tinggi mengenai sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata masih dapat diadakan upaya hukum banding kepada Pengadilan Militer Utama, kasasi dan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Tahap pelaksanaan putusan. Panitera atas perintah Kepala Pengadilan Militer Tinggi mengirimkan putusan kepada para pihak yang bersengketa, supaya isi amar putusan tersebut dilaksanakan oleh tergugat/penggugat. Kekhususan lain dari Hukum Acara pada Peradilan Militer adalah tentang bantuan hukum, yaitu bahwa setiap pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa harus atas perintah atau seizin Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya. Penasihat hukum yang mendampingi Terdakwa sipil dalam perkara koneksitas yang disidangkan di lingkungan peradilan militer harus seizin Kepala Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Materi Undang-undang ini mencakup Susunan dan Kekuasaan Pengadilan dan Oditurat dalam lingkungan Peradilan Militer, Hukum Acara Pidana Militer, dan Hukum Acara Usaha Militer dengan pertimbangan sebagai berikut:
Pengadilan dan Oditurat di lingkungan peradilan militer yang merupakan sarana pembinaan prajurit secara organisatoris, administratif, dan finansial pembinaannya berada di bawah Panglima, serta tidak terlepas keberadaannya dari upaya penyelenggaraan pertahanan keamanan negara;
Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama selain mempunyai kewenangan mengadili perkara pidana juga mempunyai kewenangan mengadili perkara pidana juga mempunyai kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata sesuai dengan hukum acaranya masing-masing;
penyusunan beberapa materi dalam satu Undang-undang ini bukan merupakan kodifikasi melainkan hanya pengelompokan, sehingga tiap materi undang-undang tidak kehilangan asasnya masing-masing, serta tidak menyalahi sistem hukum nasional;
dalam Undang-undang ini, istilah Angkatan Bersenjata, Militer, dan Tentara diartikan sama, kecuali apabila diberi pengertian khusus. PASAL… PASAL DEMI PASAL
Penataan Ruang.
Relevan terhadap
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kawasan tertentu yang dimaksud adalah kawasan yang strategis dan diprioritaskan bagi kepentingan nasional berdasarkan pertimbangan kriteria strategis seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (3). Nilai strategis ditentukan antara lain oleh karena kegiatan yang berlangsung di dalam kawasan:
mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang wilayah sekitarnya;
mempunyai dampak penting, baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun terhadap kegiatan lainnya;
merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, penataan ruang kawasan tertentu dianggap perlu untuk memperoleh prioritas baik dalam hal penyusunan rencana tata ruang, pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, maupun dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang kawasan. Pemilikan, penguasaan, dan pengelolaan kawasan tertentu dilakukan oleh Pemerintah. Ayat (3) Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan perdesaan diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan perdesaan serta pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perdesaan untuk keserasian perkembangan kegiatan pertanian di kawasan perdesaan dalam menunjang pengembangan wilayah sekitarnya, mengendalikan konversi pemanfaatan ruang yang berskala besar, dan mencegah kerusakan lingkungan. Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan perkotaan diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan perkotaan serta pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan untuk keserasian perkembangan kawasan perkotaan secara administratif dan fungsional dengan pengembangan wilayah sekitarnya serta daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan tertentu diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan yang secara nasional mempunyai nilai strategis kriteria penentuan prioritas penataan ruang kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan dalam kaitannya dengan besaran kawasan, lokasi, dan kegiatan yang ditetapkan. Penyusunan rencana tata ruang kawasan tertentu dikoordinasikan oleh Menteri. Arahan pengelolaan kawasan tertentu sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Pengelolaan rencana tata ruang kawasan tertentu sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Penataan ruang kawasan perdesaan, penataan ruang kawasan perkotaan, dan penataan ruang kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) diselenggarakan sebagai bagian dari penataan ruang wilayah Nasional atau wilayah Propinsi Daerah Tingkat I atau wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Penataan ruang kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan diselenggarakan untuk:
mencapai tata ruang kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam pengembangan kehidupan manusia;
meningkatkan fungsi kawasan perdesaan dan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara perkcmbangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat;
mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial.
Penataan ruang kawasan tertentu diselenggarakan untuk:
mengembangkan tata ruang kawasan yang strategis dan diprioritaskan dalam rangka penataan ruang wilayah Nasional atau wilayah Propinsi Daerah Tingkat I atau wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
meningkatkan fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan budi daya;
mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.
pengelolaan kawasan tertentu diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (1) Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal II dan Pasal 14. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat 11 memperhatikan antara lain:
kepentingan nasional dan Daerah Tingkat I;
arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat Nasional dan Propinsi Daerah Tingkat I;
pokok permasalahan Daerah Tingkat II dalam mengutamakan kepentingan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
keselarasan dengan aspirasi masyarakat;
persediaan dan peruntukan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya;
daya dukung dan daya tampung lingkungan;
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II lainnya yang berbatasan. Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II adalah kebijaksanaan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan. Ayat (2) Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan pengelolaan lingkungan, penatagunaan air, penatagunaan tanah, dan penatagunaan udara merupakan satu kesatuan dalam Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Ayat (3) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam menetapkan ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang sudah ditetapkan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II disusun dengan perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 10 tahun. Apabila jangka waktu 10 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang dan masyarakat yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun, dan Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 10 tahun apabila strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan dinamika pembangunan. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada 10 tahun dilakukan minimal 5 tahun sekali. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran. Ayat (6) Cukup jelas
Pengesahan Persetujuan Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia