Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 4 lainnya
Laporan Utama MENYELAMATKAN MANUSIA DARI PANDEMI Masa pandemi COVID-19 belum jua terlewati. Dampaknya begitu besar, baik di sisi kesehatan maupun sosial ekonomi. Agar tak terimbas kian dalam, diterbitkan serangkaian kebijakan extraordinary. Anggaran negara diprioritaskan pada tiga hal: kesehatan masyarakat, jaring pengaman sosial, dan perlindungan dunia usaha. Sebab, fokus utama pemerintah adalah menyelamatkan berbagai sisi dari manusia. Teks Reni Saptati D.I MEDIAKEUANGAN 12 K ebijakan perpajakan diarahkan untuk mendukung penanggulangan COVID-19. Demikian dituturkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama. Secara responsif, Kementerian Keuangan memberikan sejumlah insentif perpajakan, bahkan ketika pandemi baru merebak. “Pertama, insentif kepada pelayanan kesehatan. Yang kedua, terkait jaring pengaman sosial, kita mendukung upaya peningkatan daya beli masyarakat. Ketiga, dukungan kepada kegiatan usaha supaya mereka bisa menjaga UMKM untuk masa pajak April hingga September 2020. “Kenapa tidak dinolkan? Karena kita menjaga kepatuhan. Skemanya ditanggung pemerintah, tetapi mereka ada kewajiban tetap mencatat,” tegas Hestu. Sosialiasi kebijakan ini dilakukan antara lain melalui email blast kepada sekitar 2,1 juta pelaku UMKM. Dalam konteks mendukung dunia usaha, Hestu menyatakan pemerintah telah menurunkan PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2020. “Kita langsung bergerak supaya dampak penurunan tarif langsung efektif di tahun ini,” ungkapnya. Oleh sebab itu, sejak April hingga Desember, tarif PPh Badan yang diterapkan sudah di besaran 22 persen. Tak hanya itu, PMK 44/2020 juga hadir memberi insentif bagi hampir seluruh sektor usaha. Aturan tersebut menyebutkan kebijakan PPh 21 ditanggung pemerintah untuk 1.062 bidang industri, pembebasan PPh 22 impor untuk 431 bidang industri, pengurangan angsuran PPh 25 sebesar 30 persen untuk 846 bidang industri, dan restitusi PPN dipercepat untuk 431 bidang industri. Seluruhnya berlaku sejak April hingga September 2020. “Mengapa enam bulan? Insentif fiskal tidak berjalan sendiri. Kita sinkronkan dengan skema besar penanganan COVID-19 yang diterapkan sekitar enam bulan dulu.” Dukung produksi hand sanitizer Kelangkaan hand sanitizer dan disinfektan sudah terjadi sejak bulan Maret, bahkan sebelumnya. Padahal keduanya dibutuhkan dalam jumlah sangat banyak dan cepat. ”Kementerian Keuangan dalam hal ini DJBC segera merespons dengan memperluas subjek yang mendapat fasilitas pembebasan etil alkohol,” ungkap Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan keberlangsungan hidupnya dalam kondisi sulit ini,” terang pria yang meraih gelar Master of Bussiness Taxation dari University of Southern California tersebut. Namun demikian, Hestu menekankan pentingnya menjaga kepatuhan wajib pajak selama periode pemberian insentif. “Jangan kemudian muncul euforia lupakan dulu pajak lantaran kegiatan usaha melemah. Kita harus tetap menjaga tingkat kepatuhan masyarakat dan pengusaha wajib pajak.” Beragam insentif pajak Sejak awal April beragam insentif dilahirkan, sebagian termuat dalam PMK 28/2020. “PMK 28 merupakan insentif perpajakan untuk sektor kesehatan,” ungkap Hestu. Dari segi subjek, ada tiga pihak yang diberi insentif, yaitu instansi pemerintah, rumah sakit rujukan, dan pihak lain yang ditunjuk oleh instansi pemerintah atau rumah sakit tadi untuk mendukung penanganan COVID-19. Dari segi objek, barang yang dimaksud ialah obat, vaksin, peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, APD, perawatan untuk pasien, dan pendukung lainnya. “Ada juga jasa untuk penanganan COVID-19, misalnya jasa sewa tempat bagi pasien isolasi,” tambah Hestu. Atas barang dan jasa tersebut, diberikan pembebasan PPh 22 impor dan PPN-nya, pembebasan PPh 22, pembebasan PPh 21, serta pembebasan PPh 23. “Kita juga ada PMK yang bersama Ditjen Bea Cukai, yaitu PMK 34/2020. Pajak dalam rangka impor tidak dipungut dulu karena dibutuhkan kecepatan atas pengadaan barang- barang yang dalam kondisi normal juga diperlukan tapi tidak sebanyak sekarang,” ujar Hestu. Dunia UMKM tak luput dari perhatian. Pemerintah menanggung PPh final 0,5 persen bagi pelaku Kementerian Keuangan memberikan sejumlah insentif perpajakan, bahkan ketika pandemi baru merebak salah satunya fasilitas pembebasan etil alkohol untuk pembuatan hand sanitizer Foto Ilustrasi KemenkeuRI Teks Reni Saptati D.I 13 MEDIAKEUANGAN 12 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu TANGKAS MENANGGULANGI KEDARURATAN 21 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 C OVID-19 yang belum kunjung usai tidak hanya mengorbankan kesehatan masyarakat tapi juga kian berdampak pada ekonomi. Di tengah kecamuk pandemi, pemerintah terus mengadaptasi kebijakan dengan kebutuhan kondisi terkini. Kecepatan pemenuhan anggaran penanganan COVID-19 ini menjadi sebuah keharusan agar pandemi segera terbasmi dari negeri. Simak wawancara Media Keuangan dengan Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Kunta 1 Tahun 2020 memberikan fleksibilitas pada pemerintah untuk melakukan berbagai macam kebijakan atau pengelolaan alokasi anggaran supaya bisa cepat bergerak, seperti realokasi dan refocusing belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, termasuk tambahan anggaran yang difokuskan ke tiga hal kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan dunia usaha. Hal tersebut, juga didukung dengan kemungkinan untuk melakukan relaksasi defisit juga. Kita juga melakukan monitoring dan evaluasi berkala secara intensif sehingga kebutuhan di tiga fokus tadi bisa terpenuhi. Koordinasi dengan BI, OJK, dan LPS juga terus dilakukan untuk menjaga kestabilan sektor keuangan. Kebijakan anggaran apa saja yang diambil untuk mendukung sektor kesehatan dalam upaya percepatan penanganan COVID-19? Yang pertama, adalah pembentukan gugus tugas Covid-19 yang didukung pendanaan sekitar Rp3,1 triliun dari pemanfaatan cadangan APBN, yang dimanfaatkan untuk penanganan Kesehatan di masa awal darurat pandemic Covid-19. Selanjutnya, kita memberikan stimulus fiskal berupa tambahan belanja kesehatan Rp75 triliun (dari total stimulus tahap 3 sebesar Rp405 triliun) yang difokuskan pada belanja penanganan Kesehatan (antara lain peralatan, sarpras Kesehatan, dan biaya penggantian klaim perawatan pasien positif Covid-19), insentif dan santunan kematian bagi tenaga medis, dan bantuan iuran peserta BPJS Kesehatan untuk segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) Kelas 3. Lalu kita juga lakukan kebijakan realokasi dan refocusing anggaran K/L dan pemda. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan terus memantau perkembangan revisi anggaran K/L untuk penanganan COVID-19 serta pelaksanaan anggarannya. Selain itu, kita juga memberikan insentif fiskal berupa fasilitas perpajakan, khususnya untuk pengadaan peralatan kesehatan dan obat-obatan. Dengan dukungan tersebut, sekarang sudah banyak industri dalam negeri yang bisa memproduksi Alat Pelindung Diri (APD), bahkan ada juga yang bisa memproduksi ventilator pernafasan. Upaya apa yang dilakukan untuk memastikan kecukupan anggaran penanganan COVID-19? Pemerintah akan terus memantau kebutuhan anggaran, dikaitkan dengan proyeksi berapa lama pandemi ini akan terjadi. Semakin lama, dan semakin banyak korban, tentunya akan dibutuhkan lebih banyak anggaran. Sumber pendanaan ini utamanya dari pendapatan dan pembiayaan, serta realokasi dan refocusing anggaran K/L dan TKDD. Pemerintah melalui koordinasi dengan stakeholder terkait akan terus melakukan pemetaan kebutuhan anggaran penanganan Covid-19, dan memperkuat perencanaan dan keakuratan kebijakan kesehatan. Di samping itu, pemerintah akan terus mendorong refocusing anggaran K/L untuk mendukung sektor kesehatan, mengingat apabila pandemi berlangsung lebih lama, maka kegiatan K/L tidak dapat berjalan, dan anggarannya dapat direalokasi untuk mendukung intervensi kesehatan. Berapa total anggaran yang diperoleh setelah refocusing dari K/L dan pemda? Dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya, telah dilakukan kebijakan penghematan anggaran, baik belanja K/L maupun transfer ke daerah dan dana desa. Untuk penghematannya total K/L sekitar Rp145-an triliun dan untuk pemda sekitar Rp94 triliun. Uang ini digunakan sebagai salah satu sumber dana pemberian stimulus yang berfokus ke tiga hal di awal tadi. Penghematan tersebut di luar kebijakan refocusing anggaran K/L dan Pemda untuk mendukung penanganan Kesehatan. Apakah ke depan akan ada peningkatan anggaran kesehatan? Sejak 2019, rasio anggaran kesehatan terhadap APBN sebenarnya sudah lebih dari 5 persen, karena kita meng cover Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), prasarana dan sarana kesehatan, termasuk dana-dana yang di transfer ke daerah. Jadi fokusnya bukan ke persentasenya harus sekian tapi lebih kepada program apa yang mau dijalankan, lalu output dan outcome apa yang mau dituju. Tentu Covid-19 ini menjadi baseline dalam persiapan anggaran kesehatan ke depan. Misal dalam pemenuhan fasilitas kesehatan dan perbaikan JKN, baik dari segi layanan maupun sistemnya. Bagaimana dengan fokus alokasi anggaran kesehatan ke depan? Ke depan anggaran kesehatan difokuskan untuk reformasi kesehatan. Pertama, mempercepat pemulihan dampak Covid-19 melalui peningkatan dan pemerataan fasilitas kesehatan, peralatan kesehatan, dan tenaga kesehatan, serta koordinasi dengan pemda, BUMN/BUMD, dan swasta. Kedua, penguatan sistem kesehatan, baik supply maupun demand. Ketiga, penguatan health security preparedness melalui penguatan kesiapan pencegahan, deteksi, dan respons penyakit, penguatan health emergency framework, dan sistem kesehatan yang terintegrasi. Apa harapan Bapak untuk implementasi kebijakan penanganan pandemi dan ketahanan APBN? Pertama, harapan saya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, serta seluruh lapisan masyarakat terus berlanjut, termasuk sharing the pain dengan pemda itu penting. Gugus tugas penanganan pandemi sebagai implementasi kebijakan satu pintu juga penting dilanjutkan. Kemudian kita juga ingin mendukung dunia usaha untuk kesehatan, sehingga kebutuhan alat kesehatan dan farmasi dalam negeri dapat kita penuhi sendiri. Yang terakhir, dengan adanya pandemi ini seluruh sector kehidupan akan melakukan penyesuaian (yang biasa disebut new normal). Mekanisme bekerja, bentuk interaksi dalam masyarakat, dan sebagainya akan menyesuaikan. Termasuk dalam hal pengelolaan APBN. Seharusnya APBN kita dengan new normal yang kita jalani saat ini, menjadi baseline yang efektif dan efisien dalam proses recovery dan reformasi kebijakan fiskal di tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya. Wibawa Dasa Nugraha, mengenai optimalisasi anggaran kesehatan untuk atasi kedaruratan. Bagaimana APBN kita memprioritaskan kesehatan masyarakat selama ini? Anggaran Kesehatan dan anggaran Pendidikan menjadi concern Pemerintah selama ini, untuk meningkatkan kualitas SDM. Sejak 2016, Pemerintah menjaga alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN, karena kesehatan berdampak langsung ke future income orang. Kalau orang sehat, dia akan semakin produktif. Secara tidak langsung, ini juga merupakan investasi Pemerintah di bidang SDM. Dengan adanya pandemi COVID-19 bagaimana prioritas sektor kesehatan dikaitkan dengan ekonomi? Pandemi ini menimbulkan krisis kesehatan lalu berdampak ke krisis ekonomi dan akhirnya bisa berdampak ke krisis keuangan. Karena pandemik ini belum ada obatnya, maka dilakukan pembatasan- pembatasan, seperti physical distancing, work from home, dan PSBB. Maka yang paling terdampak pertama kali dari pandemi ini adalah sektor riil atau informal. Sehingga menimbulkan krisis ekonomi, kalau hal ini tidak segera diatasi akan berakibat pada krisis keuangan. Dengan kata lain, kesehatan, ekonomi dan keuangan ini saling mempengaruhi, tidak dapat dipisahkan. Untuk merespons kondisi tersebut, saat ini Pemerintah memberi stimulus fiscal tahap 3 yang berfokus pada sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan pada dunia usaha. Dengan demikian, bukan hanya kesehatan masyarakat yang tertangani, tetapi masyarakat miskin, rentan miskin, serta dunia usaha yang sosial ekonominya terdampak COVID-19 juga bisa tetap hidup. Sehingga selama masa pandemi, kebutuhan pokok setidaknya dapat terpenuhi, daya beli terjaga dan saat pandemi berakhir, kita bisa segera bangkit kembali. Apa strategi yang dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan yang begitu dinamis di masa darurat ini? Saat ini semuanya berubah serba cepat dan kita harus siap untuk mengantisipasinya. Jangan sampai telat karena risiko kedepannya sangat tinggi. Adanya Perppu Nomor
yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” tutur Masyita Crystallin, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi. Masyita menambahkan latar belakang dikeluarkannya Perppu Nomor 1/2020 adalah untuk memperkuat APBN. “Krisis saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang pernah dialami di tahun 1930, 1997 atau 2008. Di tahun- tahun tersebut, krisis dimulai dari sektor keuangan tetapi krisis sekarang langsung menyentuh sektor riil akibat keterbatasan interaksi. Untuk itu, kita berusaha membuat APBN menjadi shock absorber ,” terang Masyita. Abra Talattov, Ekonom INDEF juga berpendapat bahwa dari sisi stimulus fiskal kebijakan pemerintah saat ini sudah sejalan dengan upaya yang dilakukan negara lain. Menurutnya, penerbitan Perppu Nomor 1/2020 adalah langkah yang baik tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Jika saya lihat di dalam Perppu itu sudah lengkap instrumennya. Dari sisi anggaran itu variasinya cukup lengkap dan semua elemen masyarakat sudah tersasar mulai dari rumah tangga, industri, UMKM bahkan usaha kecil mikro. Namun, sisi efektivitas dan kecepatan ini perlu diperhatikan. Anggaran ada tetapi faktor kecepatan penyalurannya juga akan berpengaruh untuk daya beli masyarakat. Selain itu, Perpu ini memiliki risiko sebab defisit fiskal boleh lebih dari 3 persen. Perlu dijaga agar tetap dalam batas yang aman sesuai kondisi kesehatan APBN,” ujar Abra. Tangani asapnya, padamkan apinya Terkait insentif perpajakan dan bea masuk, ahli kesehatan masyarakat, Prof. Hasbullah Thabrany berpendapat bahwa kebijakan tersebut baik tetapi belum menangani akar permasalahan. “Ibarat kebakaran, ada asap dan api. Apinya itu COVID-19, panasnya adalah pelayanan kesehatan dan efek sosial ekonominya itu asap. Kebijakan insentif pajak dan bea masuk impor itu logis dan bagus tetapi baru menangani asapnya. Pembelian ventilator dan pembukaan rumah sakit itu baru menangani panasnya. Lalu apa kebijakan pemadaman apinya? Ya, PSBB”, ujar guru besar FKM UI ini. Ia menambahkan bahwa kebijakan yang diambil dari alokasi Rp405 triliun itu sifatnya lebih ke balancing . “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” jelasnya. Hal senada juga diungkap Abra. Menurutnya stimulus seperti pembebasan impor alat kesehatan baik pajak maupun bea masuk membantu tetapi dalam jangka pendek dan perlu diperhatikan target lamanya kebijakan tersebut. “Dalam satu bulan stimulus yang diberikan lumayan besar sekitar Rp170 miliar. Dikhawatirkan jika terus berlanjut maka akan menjadi disinsentif bagi industri alat kesehatan dan farmasi di dalam negeri,” tambahnya. Bukan sekedar nominal tetapi efektivitas alokasi Berbicara mengenai besaran anggaran belanja kesehatan, Masyita menuturkan bahwa saat ini kesehatan menjadi prioritas pemerintah. Namun demikian, ini bukan semata soal alokasi anggaran tetapi juga soal peningkatan kualitas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan itu sendiri. “Jadi di Kemenkeu itu evidence based policy. Kita memiliki data pengeluaran K/L harian lalu data tersebut dianalisa. Kita memperhatikan kemampuan disbursement dari K/L. Saat ini, anggaran kesehatan penanganan COVID-19 sebesar 75 triliun. Jika dilihat datanya, hingga Maret belum terlihat lonjakan pengeluaran yang signifikan. Jadi, kita menunggu data April-Mei untuk melihat apakah perlu anggaran tambahan,” jelasnya. Abra juga menjelaskan “Jika dilihat, porsi belanja kesehatan APBN 2020 sebesar 5,2 persen sudah memenuhi mandat UU Kesehatan. Namun, perlu dievaluasi efektivitasnya terutama dalam mendorong kualitas pelayanan kesehatan. Saat ini, tentu ada lonjakan kebutuhan mendadak untuk penanganan COVID-19. Ke depannya, bisa dimandatorikan sebesar 1-1,5 persen terhadap belanja sebagai biaya tak terduga untuk mitigasi risiko bencana alam dan non alam,” ungkapnya. Harapan kebijakan di masa depan Pandemi COVID-19 menjadi pembelajaran dalam pengambilan kebijakan khususnya untuk sektor kesehatan di masa depan. Momentum ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi. “Saya pikir kedepannya stimulus diarahkan untuk mendorong riset dan pengembangan serta investasi sektor farmasi. Pemerintah perlu mengarahkan dana riset di lintas K/L ini agar sinergis sehingga dapat menciptakan produk alkes dan farmasi buatan Indonesia. Ini juga jadi momentum bagi BUMN di sektor farmasi untuk menggenjot daya saing. Harapannya BUMN farmasi ini bisa mulai bersaing di pasar domestik dan jangka panjang punya potensi melakukan ekspor,” harap Abra. Hal senada juga diungkap Prof. Hasbullah, ia mengakui bahwa investasi sebuah negara di bidang kesehatan berhubungan dengan keberhasilan menangani COVID-19. Ia juga menambahkan bahwa edukasi publik yang sistematis terkait kesehatan adalah kebijakan yang belum muncul namun sangat dibutuhkan. “Kalau saya lihat kebijakan yang belum muncul dan yang secara sistematik efektif adalah mass education dalam kasus ini. Saat ini yang terjadi mass education nya pada media tetapi tidak praktikal dari pemerintah ke masyrakat. Perlu komunikasi melalui kelompok-kelompok tertentu dengan tetap menjaga jarak dengan tujuan mendorong terjadinya perubahan perilaku,” ucapnya. Sementara itu, Masyita berharap pandemi ini dapat dilalui dengan baik dan masyarakat yang terdampak bisa mendapat bantuan yang dibutuhkan. Ia juga berharap setelah pandemi berakhir perekonomian akan lebih baik. “Memang tidak mudah menghadapi ini baik buat Indonesia maupun semua negara di dunia. Bahkan negara maju pun mengalami kesulitan. Sektor ekonomi berusaha kita selamatkan sebab kita tidak mau masyarakat kehilangan pekerjaan akibat sektor industri terlanjur mati. Namun, terkadang media selalu membenturkan kalau menjaga ekonomi itu tidak menjaga manusianya. Padahal jika sektor riil itu jatuh yang rugi masyarakat juga,” pungkasnya. “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” Pandemi COVID-19 ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi Foto Resha Aditya Prof. Hasbullah Thabrany ahli kesehatan masyarakat “...dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah jelas terlihat bahwa yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” Masyita Crystallin Staf Khusus Menteri Keuangan 11 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 2 lainnya
berupa peningkatan aktivitas perekonomian dapat dirasakan dalam jangka waktu menengah dan panjang. Dalam kesempatan berbeda, Direktur Riset CORE, Piter Abdullah Redjalam menilai wajar langkah pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi sebagai penyumbang terbesar kedua dan ketiga PDB nasional. Apalagi pada saat yang bersamaan, dalam dua tahun terakhir kinerja ekspor dan investasi tak begitu menggembirakan. Namun demikian, Piter menekankan perlunya menempatkan insentif fiskal dalam konteks strategi besar untuk memperbaiki struktur ekonomi agar tidak lagi bergantung pada komoditas. “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya,” ujarnya. Paradigma baru Insentif fiskal yang diberikan pemerintah beragam jenisnya. Secara garis besar, terang Rofyanto, insentif tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, fasilitas yang bersifat sektoral, antara lain tax holiday, tax allowance, investment allowance, fasilitas PPN tidak dipungut, dan pembebasan bea masuk. Fasilitas ini ditargetkan untuk sektor- sektor tertentu, misalnya tax bersama seirama. Berbenah butuh keuletan dan kesabaran. Apalagi jika banyak persoalan menumpuk sekian lama, mulai dari sisi perizinan, prosedur, hingga implementasi di lapangan. Beragam regulasi yang menghambat harus segera dirapikan. Untuk memancing masuknya investasi baru dan mendorong aktivitas dunia usaha, pemerintah memasang strategi pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal memang akan berpengaruh negatif bagi penerimaan perpajakan karena memunculkan belanja perpajakan ( tax loss ). Akan tetapi, pemberian insentif diharapkan dapat melambungkan penerimaan perpajakan karena basis perpajakan yang semakin besar akibat peningkatan aktivitas perekonomian. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Rofyanto menuturkan, sejak tahun 2018 Kementerian Keuangan telah melaporkan besarnya belanja perpajakan sebagai bentuk transparansi fiskal. Pada tahun itu, diestimasi besar belanja perpajakan mencapai Rp221,1 triliun atau sekitar 1,49 persen Produk Domestik Bruto (PDB). “Perlu disadari bahwa dampak langsung dan dampak tidak langsung dari insentif perpajakan memiliki perbedaan waktu atau time lag ,” jelas Rofyanto. Dampak langsung dapat dirasakan pada sistem perpajakan berupa penurunan pajak yang dikumpulkan, holiday untuk penanaman modal industri pionir. Kedua, fasilitas yang bersifat spatial (kawasan), misalnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan tempat penimbunan berikat. Di dalam kawasan tersebut, sarana dan prasarana untuk pengembangan industri diintegrasikan, termasuk pemberian fasilitas perpajakan. Pemberian fasilitas spasial ini diharapkan mampu menciptakan kantong-kantong ekonomi baru. “Dalam tahun 2019, pemerintah juga memperkenalkan jenis insentif baru, yaitu fasilitas super deduction tax yang merupakan activity-based incentive dan banyak diadopsi oleh negara-negara maju,” tambah Rofyanto. Insentif ini diberikan terhadap kegiatan vokasi dan R&D oleh Wajib Pajak (WP). Swasta didorong untuk turut aktif T iga puluh tiga perusahaan hengkang dari Tiongkok akibat perang dagang. Tiada satu pun berlabuh di Indonesia. Mereka lebih melirik negeri tetangga: Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Mengapa? Rumput tetangga lebih hijau bukan fatamorgana. Nyatanya, kita memang perlu berbenah diri. Namun, memacu investasi tak seringan membalik telapak tangan. Pembenahan tata kelola investasi perlu sinergi serta menyeluruh. Pusat dan daerah harus bergerak 13 MediaKeuangan 12 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Laporan Utama “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya" Piter Abdullah Redjalam Direktur Riset Center of Reform on Economic CORE Indonesia Teks Reni Saptati D.I, Laporan Utama Foto Anas Nur Huda Pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi. Berbenah Pacu Investasi
Indonesia melalui pelatihan kerja. Menariknya, pemberian insentif fiskal tersebut dibarengi dengan lahirnya dua paradigma baru. Pertama, simplicity and certainty yang menekankan pada kemudahan prosedur, tetapi aturan main dibuat sejelas mungkin. Kedua, trust and verify yang menekankan kepercayaan lebih besar kepada WP melalui kemudahan prosedur dan implementasi. “Namun, demi menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan, pemerintah akan turun untuk melakukan post audit,” Rofyanto melengkapi. Kedua paradigma baru itu sejalan dengan semangat pembenahan tata kelola investasi yang saat ini sedang dilakukan pemerintah. Melalui Inpres Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha, mulai 3 Februari 2020 kewenangan perizinan berusaha dan pemberian fasilitas investasi dari berbagai kementerian dan lembaga, termasuk insentif fiskal dari Kementerian Keuangan, didelegasikan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Terkait pendelegasian kewenangan tersebut, Rofyanto menyatakan pihaknya mendorong penggunaan Online Single Submission (OSS) yang dikelola BKPM sebagai media untuk pemrosesan pemberian insentif fiskal. Menurutnya, selain memudahkan WP, Kementerian Keuangan juga akan dimudahkan dalam mengakses data tersebut ketika dibutuhkan. “Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemudian pengalihan tersebut dapat dirumuskan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan permasalahan hukum dan ketidakpastian ke depan bagi WP,” tutur Rofyanto. Pemerintah Daerah berperan penting Upaya menarik investasi dan meningkatkan ekspor kini menjadi prioritas nasional. Berbagai kementerian dan lembaga intens berkoordinasi untuk mengangkat peringkat Ease of Doing Business Indonesia yang stagnan di urutan 73. Keterlibatan pemerintah daerah dalam proses kemudahan berinvestasi tentu sangat tak terhindarkan. Pada era desentralisasi, peran pemda sangat vital lantaran kebijakan nasional yang dirumuskan pemerintah pusat akan bersinggungan dengan kewenangan pemda. Untuk memacu pemda turut berlomba-lomba membangun iklim investasi yang kondusif di daerahnya dan meningkatkan jumlah ekspor komoditas, Kementerian Keuangan menambahkan kriteria baru dalam pengalokasian Dana Insentif Daerah (DID) 2020. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti menjelaskan selama ini DID dialokasikan kepada daerah berdasarkan kriteria utama dan kategori kinerja. Setiap tahun dilakukan riviu, termasuk penggunaan kriteria utama dan kategori kinerja sebagai dasar penilaian. “Selain reviu, perubahan kriteria dilakukan dengan mempertimbangkan target capaian dari prioritas nasional. Sebagai contoh, untuk pengalokasian DID 2020, terdapat kategori kinerja yang baru, yaitu peningkatan ekspor dan peningkatan investasi yang menjadi prioritas nasional,” ungkapnya. Astera menambahkan, ke depannya pihaknya akan terus mencari faktor-faktor apa saja yang betul-betul menjadi trigger untuk perbaikan daerah dan pembangunan daerah. Menurut Astera, skema insentif ini sangat bagus lantaran mendorong daerah melaksanakan kebijakan dengan performance terbaiknya. Ia mengatakan DID dimaksudkan untuk mendorong daerah supaya memiliki tata kelola yang semakin baik dan transparan, serta tahu posisinya dalam skala nasional. “Saya lihat dampaknya positif. Terutama buat kepala daerah yang punya passion sangat tinggi untuk mengembangkan daerahnya,” tutupnya. Kriteria Utama DID 2020 15 MediaKeuangan 14 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 MediaKeuangan 14 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemda Wajar Tanpa Pengecualian Penetapan Perda mengenai APBD tepat waktu Pelaksanaan e-government tepat waktu Ketersediaan pelayanan terpadu satu pintu
Teks Dara Haspramudilla Selama ini, kinerja transaksi berjalan Indonesia mengalami pasang naik dan pasang surut. Selama beberapa tahun defisit transaksi berjalan menjadi pekerjaan rumah yang terus diupayakan untuk dirapikan. Pemerintah pun serius berikhtiar untuk mendongkrak neraca menjadi surplus. Optimisme pun bergelora dalam membereskan masalah defisit dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Transformasi ekonomi pun menjadi jalan untuk meniadakan defisit transaksi berjalan. Laporan Utama Ragam Prakarsa Seimbangkan Neraca Foto Resha Aditya Tingginya impor bahan bakar migas menjadi penyumbang terbesar dalam defisit transaksi berjalan MediaKeuangan 8 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 S ejatinya, mengalami defisit transaksi berjalan bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia bukanlah suatu dosa. Selama dalam batasan yang aman, defisit transaksi berjalan sudah menjadi bagian dari tantangan perekonomian. Namun demikian, defisit transaksi berjalan bisa menjadi tantangan bagi tumbuhnya perekonomian sebab ia adalah cerminan tidak imbangnya penerimaan dan pengeluaran dari transaksi ekonomi lintas negara. Untuk itulah serangkaian kebijakan dirancang agar neraca menjadi setimbang. Peningkatan kinerja ekspor dan pengurangan ketergantungan impor menjadi strategi agar defisit transaksi berjalan dapat terkendali. Percepatan peningkatan masuknya aliran penanaman modal, pemberian insentif fiskal untuk peningkatan ekspor, dan penerapan energi terbarukan menjadi strategi pemungkas pemerintah menekan defisit transaksi berjalan. Akselerasi Investasi Jadi Kunci Defisit transaksi berjalan erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, melebarnya defisit transaksi berjalan tentu
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 2 lainnya
dan produktif dengan fokus pada sektor informal, UMKM, petani, nelayan, sektor korporasi, dan BUMN yang memiliki peran strategis bagi masyarakat,” ujar Ubaidi. Langkah lain yang akan diterapkan yakni menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan efektivitas perlindungan sosial, memperkuat kebijakan dalam pengendalian impor khususnya pangan, serta meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN). Empat pilar kebijakan teknis perpajakan Terjadinya perlambatan aktivitas ekonomi menjadi tantangan bagi pendapatan negara. Kinerja ekspor dan impor melemah, begitu pula dengan konsumsi dan investasi yang turut menurun. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ihsan Priyawibawa mengatakan, pada tahun 2021, pemerintahan akan melakukan optimalisasi pendapatan yang inovatif dan mendukung dunia usaha untuk pemulihan ekonomi. “Dari sisi perpajakan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya perluasan basis pajak, dan perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan tax ratio ,” tutur Ihsan. Lanjutnya, penerapan Omnibus Law Perpajakan dan pemberian berbagai insentif fiskal juga diharapkan mampu mendorong peningkatan investasi dan daya saing nasional, mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, serta memacu transformasi ekonomi. “Kebijakan teknis pajak yang akan diimplementasikan pada tahun 2021 dapat dikategorikan menjadi empat pilar kebijakan besar,” ungkap Ihsan. Pertama, mendukung pemulihan ekonomi nasional melalui pemberian insentif perpajakan yang selektif dan terukur. Kedua, memperkuat sektor strategis dalam rangka transformasi ekonomi antara lain melalui terobosan regulasi, pemberian insentif pajak yang lebih terarah, dan proses bisnis layanan yang user friendly berbasis IT. Pilar ketiga ialah meningkatkan kualitas SDM dan perlindungan untuk masyarakat dan lingkungan. Sementara, pilar terakhir ialah mengoptimalkan penerimaan pajak. Langkah ini akan diimplementasikan dalam bentuk pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), serta ekstensifikasi dan pengawasan berbasis individu dan kewilayahan. Selain itu, pemerintah juga akan meneruskan reformasi perpajakan yang meliputi bidang organisasi, SDM, dan IT. Menurut Ihsan, selama ini sektor industri pengolahan dan perdagangan menjadi penyumbang utama penerimaan pajak. Terkait dengan basis pajak baru, ia menerangkan, dari sisi aspek subjek pajak, pendekatan kewilayahan menjadi fokus utama DJP. “Adapun dari aspek objek pajak, salah satunya adalah dengan meng- capture objek pajak dari aktivitas PMSE yang semakin marak seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kondisi pandemi COVID-19 sekarang ini,” pungkasnya. Pembiayaan fleksibel dan responsif Penyusunan RAPBN 2021 masih belum terlepas dari situasi pandemi. Oleh sebab itu, sektor pembiayaan harus tetap antisipatif terhadap kebutuhan APBN dalam rangka pemulihan ekonomi akibat pandemi. Hal tersebut disampaikan Direktur Strategi dan Portofolio Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Riko Amir, dalam kesempatan wawancara dengan Media Keuangan. “Untuk arah kebijakan pembiayaan tahun depan, pembiayaan tetap fleksibel dan responsif terhadap kondisi pasar keuangan, tetapi juga tetap prudent dan memperhatikan kesinambungan fiskal,” terang Riko. Pihaknya juga terus berupaya mengembangkan skema pembiayaan yang kreatif dan inovatif, yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. “Nah, yang paling penting, pada 2021 juga harus ada efisiensi terhadap biaya utang itu sendiri,” kata Riko yang merupakan alumnus Univesity of Groningen tersebut. Untuk tahun depan, pihaknya akan mendorong biaya bunga utang bisa makin efisien, seiring dengan pendalaman pasar keuangan, perluasan basis investor, penyempurnaan infrastruktur Surat Berharga Negara (SBN) itu sendiri, serta diversifikasi pembiayaan. “Indonesia tidak bisa mengelak dari pandemi ini. Oleh karena itu, pemerintah melakukan kebijakan counter cyclical di mana ketika pertumbuhan ekonominya menurun, pemerintah melakukan berbagai cara untuk membantu boosting ekonomi,” ujar Riko. Di sisi lain, Riko mengungkapkan sejumlah lembaga pemeringkat utang melihat Indonesia telah melakukan kebijakan on the right track dan mampu menjaga stabilitas makroekonominya. Pada bulan Agustus lalu, salah satu lembaga pemeringkat utang yaitu Fitch mempertahankan peringkat utang Indonesia pada posisi BBB dengan outlook stable . Fitch mengapresiasi pemerintah lantaran telah merespons krisis dengan cepat. Mereka menilai pemerintah telah mengambil beberapa tindakan sementara yang luar biasa, meliputi penangguhan tiga tahun dari plafon defisit 3 persen dari PDB dan pembiayaan bank sentral langsung pada defisit. “Penilaian tersebut menjadikan pemerintah lebih confidence dalam menjalankan peran untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah pandemi ini,” pungkas Riko Amir. Dengarkan serunya wawancara bersama para narasumber pilihan Media Keuangan
Laporan Utama MEDIAKEUANGAN 12 Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraaan pada sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR- DPD di Gedung Parlemen. Foto Dok. DPR RI MEDIAKEUANGAN 12 Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 menjadi berbeda dari biasa. Negeri masih dilanda pandemi. Sekuat tenaga upaya dikerahkan agar pandemi segera teratasi. Namun, ketidakpastian masih tinggi, bahkan di beberapa daerah pertumbuhan kasus baru terus terjadi. Pemerintah harus memantapkan langkah antisipasi untuk memitigasi dampak sosial ekonomi di tahun depan. PERCEPAT PEMULIHAN, PERKUAT REFORMASI Teks Reni Saptati D.I P ada 14 Agustus 2020 lalu, pemerintah telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN tahun anggaran 2021 dan Nota Keuangan. Kebijakan fiskal RAPBN 2021 mengambil tema Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi. Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Ubaidi S. Hamidi mengemukakan setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi pemilihan tema. “Pertama, pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia telah berdampak sangat luar biasa bagi kesehatan masyarakat dan perlambatan perekonomian dalam tahun 2020,” tutur pria kelahiran Klaten tersebut. Sumber daya fiskal perlu diarahkan untuk mendukung keberlanjutan dan akselerasi berbagai upaya strategis pemulihan kondisi kesehatan dan perekonomian nasional yang telah mulai dilakukan sejak 2020, dan akan dilanjutkan pada 2021. “Kedua, langkah menuju Visi Indonesia 2045 sebagai negara maju tetap perlu diperjuangkan bersama,” tegas Ubaidi. Guncangan perekonomian nasional tahun ini tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk tetap mewujudkan cita-cita luhur yaitu masyarakat yang semakin sejahtera, serta bagaimana berupaya untuk keluar dari middle income trap . Ia menjelaskan, pemulihan ekonomi akan bermakna jika dilengkapi dengan reformasi struktural yang konsisten. Sebaliknya, reformasi akan berjalan efektif jika didukung proses pemulihan ekonomi yang solid. “Strategi recovery ekonomi dan reformasi merupakan satu paket, two in one , yang komplementer dan saling menguatkan, agar dari sisi kesehatan-sosial-ekonomi dapat segera pulih menuju normal,” ujar Ubaidi yang sebelum bertugas di BKF, selama belasan tahun bertugas di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Program pemulihan ekonomi nasional berlanjut Reformasi yang akan dilaksanakan pada 2021 meliputi banyak sektor. Untuk mendukung pemulihan melalui penguatan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, alat kesehatan, serta mendorong health security preparedness , reformasi sektor kesehatan akan digalakkan. Di sisi lain, pemerintah juga melakukan reformasi perlindungan sosial untuk mendukung pemulihan sekaligus mempersiapkan program yang adaptif terhadap resesi ekonomi dan bencana. Ubaidi menjelaskan, fokus reformasi juga akan diarahkan ke sektor pendidikan, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), perpajakan, penganggaran, dan optimalisasi teknologi informasi melalui digitalisasi layanan publik. “Dalam rangka menjawab tantangan stuktural terkait perlunya penguatan daya saing, peningkatan kapasitas produksi dan pemanfaatan bonus demografi untuk mendukung produktivitas dan transformasi ekonomi, maka diperlukan reformasi untuk penguatan fondasi agar mampu keluar dari middle income trap ,” Ubaidi menerangkan. Tahun depan, jelasnya, pemerintah juga tetap akan melanjutkan penanganan bidang kesehatan terutama pandemi COVID-19 serta mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional. “Pemerintah akan memberikan stimulus ekonomi yang berkeadilan, tepat sasaran,
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu | Foto Dok. Media Keuangan JALAN BAGI PEMULIHAN NEGERI P antang menyerah menghadapi kesamaran situasi imbas pandemi, pemerintah memanfaatkan bencana nonalam ini sebagai momentum untuk membenahi diri dan mengakselerasi pembangunan di segala lini, demi kebaikan negeri. Semangat itu pun menggelora dalam RAPBN 2021. Simak petikan wawancara Media Keuangan dengan Direktur Jenderal Anggaran, Askolani, mengenai seluk beluk RAPBN 2021. Apa yang menjadi fokus pemerintah dalam mendesain RAPBN 2021? Dalam menyusun RAPBN 2021, tentunya pemerintah berbasis kepada kondisi dan langkah kebijakan di 2020 ini. Penanganan masalah kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi menjadi satu paket kebijakan yang harus didesain secara komprehensif dan sinergis. Upaya preventif di bidang kesehatan adalah kunci penting. Next step nya untuk kita maju adalah bagaimana kembali memulihkan ekonomi itu secara bertahap di tahun 2021. Langkah kita di Q2, Q3, dan Q4 ini sangat menentukan pijakan ke depan. Tantangan kita bagaimana supaya langkah-langkah pemulihan ekonomi, konsolidasi, dan upaya mendorong belanja pemerintah, bisa menstimulus pertumbuhan ekonomi di Q3 menjadi lebih positif. Bagaimana upaya pemerintah untuk mengejar penyerapan di Q3 dan Q4? Implementasi kombinasi adjustment pola belanja, baik melalui kebijakan realokasi dan refocusing belanja K/L dan pemda maupun tambahan belanja untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang harus dilakukan oleh semua stakeholder terkait, sangat menentukan capaian di Q2, Q3, dan Q4. Sampai dengan awal Q3 di bulan Juli, sebagian besar sudah cukup signifikan implementasinya. Tantangan kita adalah percepatan alokasi dan implementasi sisa anggaran PEN. Langkah percepatan antara lain dilakukan melalui koordinasi yang lebih intens dengan K/L dan Komite PEN untuk mendesain kebijakan implementatif PEN yang akan dilakukan ke depan. Presiden juga turut serta me review PEN bersama dengan para menteri di sidang kabinet. Presiden secara tegas mengingatkan para menterinya untuk turun langsung, membedah DIPA-nya masing masing untuk me review reformasi desain anggaran, lalu kita juga mengajak Bappenas untuk mendesain program anggaran tersebut. Jadi, format alokasi belanja K/L di tahun 2021 nanti akan meng adopt desain anggaran yang baru yang programnya lebih simpel, lebih eye catching, dan lebih mudah diterapkan. Ini kita koneksikan juga dengan target prioritas pembangunan sesuai arahan Presiden dan rencana kerja pemerintah. Penguatan reformasi lainnya yang akan pemerintah lakukan? Pandemi ini memberi banyak lesson learn pada kita, yang menjadi masukan untuk perbaikan reformasi di berbagai bidang. Contohnya, manajemen di bidang kesehatan harus bisa lebih proaktif dan antisipatif terhadap model bencana nonalam ini. Di bidang perlindungan sosial dan dukungan UMKM, perbaikan pendataan masyarakat menengah ke bawah menjadi kunci. Pemerintah juga sedang memikirkan bagaimana mensinergikan antara kebijakan subsidi dengan kebijakan perlindungan sosial yang kemudian semua di support dengan satu data yang solid dan valid. Lalu ada juga reformasi perpajakan, baik dari segi regulasi, kebijakan, dan administrasinya. Nah, on top dari semua itu, pemerintah tentunya juga akan menyiapkan reformasi mengenai penanganan bencana. Seperti apa prioritas belanja pemerintah dalam RAPBN 2021? Pemerintah tetap memprioritaskan kesehatan, perlindungan sosial, dan pendidikan. Penanganan kesehatan lanjutan diarahkan lebih sustainable seperti upaya preventif melalui penyediaan vaksin apabila nanti sudah ditemukan, dan reformasi di bidang kesehatan. Program perlindungan sosial juga tetap berjalan misalnya dalam bentuk PKH, kartu sembako, bantuan tunai, plus kartu prakerja dan program subsidi. Di sektor pendidikan, pemerintah memperkuat mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, even program beasiswa untuk S2, S3 tetap akan dilanjutkan di tahun depan. Nah, setelah tiga bidang tadi, pemerintah juga langsung satu paket mendukung untuk pemulihan ekonomi. Pertama, melalui penyiapan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang menjangkau sampai ke daerah 3T guna membangun manusia Indonesia yang lebih produktif dan kompetitif. Teknologi ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, pendidikan, serta ekonomi masyarakat, terlebih dalam kondisi kita tidak bisa bertemu fisik. Perluasan pembangunan ICT ini sudah dirancang sampai jangka menengah. Selanjutnya pembangunan infrastruktur dan ketahanan pangan. Keduanya tidak dapat dipisahkan sebab pangan ini harus didukung misalnya dengan irigasi yang cukup dan bendungan yang baik. Yang menjadi prioritas juga adalah pemulihan pariwisata karena ini salah satu andalan utama kita. Dukungan pariwisata dilakukan oleh banyak K/L dan pemda, bukan hanya Kemenpar. Kemudian yang terakhir yang kita prioritaskan juga adalah dukungan bagi dunia usaha dan UMKM, baik melalui insentif fiskal maupun skema subsidi. Apakah nantinya alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) juga akan mendukung belanja prioritas ini? Ya, kita juga mereformasi alokasi TKDD. Kebijakan belanja yang di pusat tadi kemudian di connecting kan dengan kebijakan alokasi TKDD. Dana desa misalnya diarahkan khususnya untuk perlindungan sosial dan mendukung ICT di desa. Reformasi kesehatan dan pendidikan juga dikaitkan dengan kebijakan alokasi TKDD. Jadi ini kita melihatnya sebagai satu paket. Bagaimana prioritas dari sisi pembiayaan? Dari sisi pembiayaan juga kita akan terus dukung untuk peningkatan kualitas SDM melalui pembiayaan dana abadi, baik itu untuk LPDP, beasiswa, maupun untuk universitas termasuk untuk kebudayaan. Di pembiayaan ini kita juga akan support BUMN untuk bisa mendukung penugasan pemerintah termasuk melanjutkan pemulihan ekonomi di tahun 2021. Apa implikasi dari defisit 5,5 persen di RAPBN 2021? Dengan 5,5 persen intinya adalah secara fiskal pemerintah tetap ekspansif untuk mendukung penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi. Ini pijakan kita untuk bisa menjadikan Indonesia maju dan keluar dari middle income trap . Visi kita di 2045 Indonesia masuk lima besar negara di dunia. Penurunan defisit ini juga sejalan dengan UU 2/2020 bahwa secara bertahap defisit APBN itu akan dikembalikan menjadi dibawah 3 persen di tahun 2023. Apa yang membuat pemerintah optimis mematok pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen di 2021? Tentunya efektivitas kebijakan PEN di 2020 ini menjadi pijakan ke depan ya. Kemudian dengan langkah fiskal ekspansif sebagaimana dalam RAPBN 2021, plus prediksi sejumlah lembaga internasional mengenai pemulihan ekonomi dunia di 2021, kita mendesain ekonomi kita tumbuh 4,5-5,5 persen di 2021. bagaimana mempercepat belanja sesuai alokasi anggaran mereka di APBN 2020, maupun mengoptimalkan belanja anggaran program PEN yang harus dijalankan stakeholder terkait. Adakah upaya penyempurnaan sistem penganggaran ke depan? Ada. Pertama, kita memperpendek mekanisme proses review atas usulan anggaran K/L sehingga dapat mempersingkat waktu penetapan DIPA-nya. Kedua, kita mensimplifikasi proses verifikasi kelengkapan dokumen. Jadi, kami akan meminta K/L untuk mendahulukan melengkapi dokumen yang memiliki skala prioritas tinggi. Ketiga, kami akan proaktif meminta dan mengomunikasikan kepada K/L untuk melakukan akselerasi dalam melengkapi dokumen usulan anggaran. Kita akan tuangkan ini dalam peraturan Menteri Keuangan dan SOP agar sistem ini menjadi landasan yang lebih sustainable . Kita juga akan terus melakukan evaluasi dan apabila ada modifikasi untuk lebih mempercepat mekanisme yang ada, akan kami lakukan. Bagaimana dengan reformasi bidang anggaran di 2021? Kemenkeu menyiapkan
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
P erjuangan sudah menuju titik akhir. Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, tahun 1949 menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Tapi masih ada yang mengganjal. Sejumlah kesepakatan KMB tidak menguntungkan Indonesia. Menurut The Kian Wie dalam pengantar buku yang disuntingnya, Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an , ada empat masalah kontroversial yang kemudian mengganggu hubungan Indonesia- Belanda. Dua masalah politik berkaitan baru pemerintahan RIS, yang terdiri atas Republik Indonesia dan 15 negara boneka BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg ’Majelis Permusyawaratan Federal’) bentukan Belanda selama masa perang. Terbentuknya RIS mempengaruhi sistem keuangan, termasuk penggunaan mata uang. ”Mata uang RIS diberlakukan oleh De Javasche Bank pada Januari 1950 bersamaan dengan pengesahan RIS dalam KMB. Mata uang ini menggantikan ORI,” kata peneliti sejarah ekonomi Servulus Erlan de Robert kepada tim kami. Sesuai kesepakatan KMB, De Javasche Bank (DJB) berfungsi sebagai bank sirkulasi untuk RIS. Melalui DJB inilah mata uang RIS diterbitkan dan diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah. Penyeragaman mata uang Pada 1 Januari 1950 terbit uang RIS atau juga disebut ”uang federal” atau ”uang DJB” dalam pecahan Rp5 dan Rp10 dengan tanggal emisi ”Djakarta, 1 Djanuari 1950” yang ditandatangani Menteri Keuangan, Sjafruddin Prawiranegara. Uang RIS ini menampilkan gambar Sukarno, presiden RIS, sehingga juga dikenal dengan sebutan ”emisi Bung Karno”. Kendati diterbitkan 1 Januari, uang RIS baru beredar dan digunakan pada bulan-bulan sesudahnya. Hal ini bukan tanpa alasan. ”Pemerintah masih dalam proses untuk menciptakan sistem keuangan yang tunggal dengan mempersatukan beraneka ragam uang yang beredar di masyarakat,” tulis Sri Margana dkk. dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945-1953 . Pada tanggal yang sama, Sjafruddin Riwayat Uang RIS Terbit di tengah kekacauan sirkulasi uang yang beredar di tengah masyarakat. Sukses menyeragamkan mata uang tapi beredar singkat. dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan status Irian Barat (Papua). Dua masalah ekonomi menyangkut pengambilalihan utang pemerintah Belanda di Indonesia dan terus beroperasinya bisnis Belanda di Indonesia. “Mencapai kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi menghadapkan Pemerintah Indonesia pada masalah yang serius. Lantaran tidak dapat mengawasi segmen-segmen penting ekonomi Indonesia, gerak para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia sangat terbatas,” tulis The Kian Wie. Setelah KMB, dimulailah babak mengumumkan bahwa uang kertas RIS menjadi alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah RIS. Oeang Republik Indonesia (ORI) dinyatakan ditarik dari peredaran dan hilang sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah terhitung 1 Mei 1950. Selama tenggat waktu itu, ORI masih berlaku sebagai alat pembayaran hanya di daerah di mana uang tersebut diproduksi. Penyeragaman mata uang itu dilakukan untuk menghapus peredaran berbagai jenis mata uang dengan nilai tukar berbeda-beda, bahkan banyak pula yang palsu. Selain ORI dan ORIDA, beredar pula ”uang NICA”. Selain itu, Sjarifuddin mencetuskan kebijakan moneter yang terkenal dengan istilah ”Gunting Sjarifuddin”. Uang kertas lama DJB dan mata uang Hindia Belanda pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Kebijakan ini bertujuan menekan inflasi dan mendorong ekspor dari pelaku usaha dalam negeri. ”Kita potong uang Belanda menjadi dua bagian, sebelah diubah menjadi uang Republik dan sebelah lagi dikonversikan menjadi obligasi keuangan. Jadi tidak, kita dapat dituduh merampok separuh uang rakyat,” tutur Sjafruddin dalam Pelaku Berkisah . Penukaran uang Tindak lanjut dari penyeragaman mata uang dilakukan pada 27 Maret 1950. Pemerintah RIS memutuskan menukarkan ORI maupun ORI daerah dengan uang RIS. Menurut Sri Margana dkk, kurs penukarannya ” f” . 1 RIS setara Rp. 125 ORI, sedangkan untuk ORIDA disesuaikan dengan kondisi tiap mata uang. Namun, penukaran uang dari Teks Hendaru Tri Hanggoro Laporan Utama Seseorang menyiapkan uang untuk ditukar Foto Historia 37 MEDIAKEUANGAN 36 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
K ementerian Keuangan (Kemenkeu). Dari struktur organisasi hingga kebijakan-kebijakan awal keuangan Indonesia. Karena baru saja merdeka, sistem pemerintahan Jepang masih mempengaruhi berbagai lembaga di Indonesia. Gunseikanbu Zaimubu atau Departemen Keuangan Jepang juga menjadi patokan awal Kemenkeu. “Struktur organisasi Kementerian Keuangan banyak mengambil alih bentuk Gunseikanbu Zaimubu dengan berbagai perubahan agar sesuai dengan negara merdeka dan berdaulat,” tulis Tim Departemen Keuangan dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah: 45 Tahun Uang Republik Indonesia, 1946- 1991. Tak lama, sistem dan lembaga keuangan tinggalan Jepang segera dibereskan. Pada 29 September 1945, Maramis mengeluarkan dekrit yang mempreteli hak dan kewenangan Menghapus Warisan Kolonial Untuk mempertahankan kedaulatan, pemerintah membentuk berbagai lembaga keuangan. Dari kementerian hingga bank sentral. pejabat pemerintahan tentara Jepang. Baik urusan menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang, pengeluaran negara, hingga segala urusan kas negara. Hak dan kewenangan itu diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Maramis juga menyusun organisasi Kemenkeu yang pertama; terdiri dari lima penjabatan (eselon) I: umum, keuangan, pajak, resi candu dan garam, serta pegadaian. Langkah penting lainnya, demi kesatuan alat pembayaran yang sah, Maramis memerintahkan pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI). Kendati mengalami hambatan, usaha itu berhasil dengan terbitnya emisi pertama uang kertas ORI pada 30 Oktober 1946. Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946, ORI ditetapkan berlaku secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Selanjutnya, 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia. Mendirikan bank sentral Untuk mendukung kedaulatan Indonesia di sektor ekonomi, diperlukan bank sirkulasi. Pada 19 September 1945, Sukarno-Hatta menandatangani Surat Kuasa Pemerintah Republik Indonesia bertanggal 16 September 1945 sebagai landasan yuridis bagi persiapan pendirian bank sirkulasi: Bank Negara Indonesia (BNI). Menurut Sri Margana dkk dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia 1945-1953 , __ tak semua pihak yang setuju bahwa pendirian BNI merupakan jalan terbaik untuk mendirikan kebijakan moneter yang kuat. Ir. Soerachman Tjorkoadisoerjo, misalnya, menginginkan agar pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) saja. Soerachman kala itu menjabat Menteri Kemakmuran. Sementara DJB merupakan bank sirkulasi Hindia Belanda sejak 1828 sampai dilikuidasi Nanpo Kaihatsu Ginko, bank sirkulasi era pendudukan Jepang. Tapi pemerintah sudah mengambil keputusan. Untuk mewujudkan impian itu, pada 9 Oktober 1945 didirikanlah Poesat Bank Indonesia (PBI). Badan ini bertugas mempersiapkan pembentukan BNI dan menjalankan kebijakan keuangan sebagaimana bank sirkulasi bekerja. Selain itu, PBI berperan memberikan kredit dengan bunga serendah-rendahnya dan menjadi pusat penyimpanan uang masyarakat. PBI juga mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan di bidang ekonomi. “Serta merta masyarakat mulai mempercayakan dan menyimpan uang mereka pada bank tersebut. Dalam waktu singkat terkumpulah sebanyak Rp 31 juta (uang Jepang) yang digunakan sebagai modal bank,” tulis Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Teks Andri Setiawan Laporan Utama Gedung Bank Indonesia Foto Historia 43 MEDIAKEUANGAN 42 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 2 lainnya
MEDIAKEUANGAN 32 33 MEDIAKEUANGAN 32 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Keikhlasan Melako nkan Beragam Peran DIAN LESTARI Kepala Pusat Kebijakan Regional Dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal Teks Dimach Putra | Foto Anas Nur Huda P erempuan di zaman yang sarat perubahan ini harus piawai berlakon peran. Bukan untuk menyembunyikan jati diri sebenarnya. Tapi untuk mampu bertahan dan menjalankan tanggung jawab yang susah payah diperjuangkan untuk didapatkan. Hal itu yang dirasakan Dian Lestari. Salah satu Srikandi mumpuni di Kementerian Keuangan. Ibu dari dua putri ini kini dipercaya menjadi Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral pada Badan Kebijakan Fiskal. Tak mudah, memang. Tapi bagi perempuan yang akrab dipanggil Dian ini, tanggung jawab tersebut merupakan kepercayaan yang harus teguh ia jalankan. Jalan panjang telah ia lewati untuk bisa mencapai posisinya saat ini. Beragam peran pun telah berhasil Ia tunaikan dengan luwes. Dian lalu membagikan sedikit kisahnya. Ikhlas jalankan penugasan ”Saya tidak pernah menolak penugasan. Jangankan penugasan, pekerjaan apapun yang relevan kalau pimpinan meminta saya untuk mengerjakan itu, pasti akan sebisa mungkin saya lakukan,” ucapnya mengawali. Dian memutar ingatannya kembali ke akhir Agustus 2016. Ia mendapat mandat langsung dari atasannya untuk menempati posisi Senior Advisor di World Bank. Ia diminta mendampingi Andien Hadiyanto yang terlebih dulu ditunjuk menjadi Executive Director . Peran penting sebagai penasehat di multilateral development bank paling bergengsi tersebut harus diampunya per-1 November 2016. Tak ada waktu baginya untuk mencerna semua perasaan yang bercampur 33 VOL. MEDIAKEUANGAN 32 aduk. Saat menerima kabar tersebut, Ia tengah mengurus kesiapan delegasi Indonesia yang akan bertolak ke pertemuan tahunan di Washington D.C. Tanggung jawab tersebut menyita waktunya hingga pertengahan Oktober. Sampai akhirnya hanya 2 minggu tersisa bagi perempuan kelahiran Tegal ini untuk mempersiapkan keberangkatannya. Keikhlasan Dian dalam menjalankan peran yang dipercayakan padanya diuji sesampainya di negeri Paman Sam. Dian dituntut harus langsung dapat beradaptasi. Sepekan awal, Ia harus fokus pada program pendampingan dengan senior advisor sebelumnya. ”Kalau saya missed di sini, saya akan kehilangan kesempatan untuk dapat transisi yang smooth ,” ujarnya. Hal tersebut dirasa cukup menantang baginya, tapi Dian punya cara menghadapinya. Kuncinya satu, jangan dipikirin, tapi jalanin aja. Kalau ada yang dipikirin biasanya akan banyak kekhawatiran. Tapi kalau kita fokus untuk jalanin, kita nggak sempat mikir begitu,” bebernya. Kekuatan dukungan keluarga Pengalaman bertugas di World Bank tak hanya menempa Dian dalam sisi profesionalitas berkarier, tetapi juga dalam perannya sebagai istri dan ibu dalam keluarga. Begitu menerima kabar penugasannya, Ia langsung mengutarakan maksudnya untuk membawa serta dua buah hatinya yang beranjak dewasa. ”Suami gak bisa ikut karena ada tanggung jawab pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Tapi kami sepakat bahwa anak-anak butuh international exposure dan ini saatnya!” ungkapnya. Masa-masa awal kepindahannya di Amerika membuatnya berjibaku dengan beragam hal. Belum lagi menyesuaikan fisik di lingkungan baru, pekerjaan menuntutnya untuk cepat beradaptasi dengan ritme kerja yang jauh berbeda dengan di Indonesia. Sementara itu, Ia juga harus memilih lingkungan terbaik untuk mereka hidup saat kedua putrinya menyusul tiga bulan berikutnya. ”Saya memilih tinggal di Rockfiled, Maryland. Daerah suburb (pinggiran) yang punya sistem pendidikan oke dan jadi kawasan favorit komunitas internasional yang kerja di D.C buat tinggal bersama keluarga,” ucapnya. Pilihan tersebut dianggap tepat. Meskipun isu ketegangan ras, agama, dan golongan merebak karena iklim
MEDIAKEUANGAN 14 memang mengadopsi skema pembiayaan untuk pelaku usaha mikro yang disalurkan secara berkelompok kepada perempuan prasejahtera. Diantaranya ialah PNM dan Koperasi Mitra Dhuafa. Kedua penyalur tersebut mengakui perempuan lebih mampu bertahan hidup di sektor informal. Tak hanya itu, mereka juga menyebut perempuan lebih kreatif dalam memenuhi kebutuhan, cenderung lebih menggunakan pendapatannya untuk keluarga, dan lebih disiplin dalam pengembalian pinjaman. Berdasarkan best practice pada sektor microfinance pada umumnya, debitur perempuan yang disalurkan secara berkelompok memiliki performa pinjaman yang sangat baik dengan tingkat Non Performing Loan (NPL) di bawah 1 persen. “Dengan pembiayaan UMi ini, para debitur perempuan diharapkan dapat menyadari potensi kewirausahaannya dan memiliki posisi yang strategis dalam keluarga,” harap Ririn. Optimalisasi penyaluran melalui digitalisasi Desain pembiayaan UMI telah memanfaatkan teknologi informasi dari mula diluncurkan, tegas Djoko Hendratto. “Sejak awal, desainnya harus menggunakan itu supaya mampu menjangkau seluruh wilayah di Indonesia,” jelasnya. Ia menyebut penggunaan Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) UMi untuk meningkatkan aksesibilitas dan akuntabilitas penyaluran UMi sebagai tahap pertama pemanfaatan teknologi informasi. Selanjutnya, untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan ketepatan sasaran, UMi memasuki tahap kedua pemanfaatan teknologi informasi yang dikenal sebagai tahap digitalisasi. Pada akhir 2018, digitalisasi pembiayaan UMi secara resmi diluncurkan Menteri Keuangan. Kala itu, PIP menggandeng tiga platform uang elektronik dan satu platform marketplace . “Itu sangat inovatif dan kreatif. UMi dengan konsep enhancing and empowering tidak perlu membangun sistem yang begitu rumit, tetapi memanfaatkan sistem yang ada,” ucap Djoko bersemangat. Dalam perkembangan terakhirnya, Ririn menceritakan saat ini pihaknya tengah mengembangkan ekosistem ekonomi digital dalam bentuk sistem tol data/join tuntas bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, Kementerian Desa dan PDT, BLU LPDB dan BLU lainnya yang telah bekerja sama dengan PIP. “Sistem ini diharapkan dapat menciptakan big data UMKM yang pada akhirnya dapat digunakan bersama untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia,” Ririn berujar. Ia menambahkan, ke depannya, digitalisasi tidak hanya terbatas pada disbursement , tetapi juga ke arah pengembangan e-wallet. “Hal ini dilakukan untuk memudahkan debitur UMi dalam bertransaksi menggunakan uang elektronik dan memudahkan dalam melakukan analisa perilaku ekonomi debitur pembiayaan UMi,” jelasnya. Kemampuan bertahan di tengah krisis Pemerhati UMKM Dr. Asep Mulyana memberikan apresiasi terhadap program pembiayaan UMi. “Saya melihat ini sangat positif bagi perekonomian Indonesia. Apalagi kalau nanti dari usaha ultra mikro bisa naik menjadi usaha mikro,” tutur akademisi Universitas Padjadjaran tersebut. Namun, ia juga menjelaskan bahwa tidak semua usaha mikro bisa scale up . “Contoh yang paling gampang warteg. Ia tidak bisa scale up usahanya, tetapi paling tidak bisa tambah cabang,” lanjutnya. Untuk memperbesar keuntungan mereka, Ketua Pusat Inkubasi Bisnis Universitas Padjadjaran itu menyarankan para pemilik usaha mikro agar berkoperasi. “Dengan berkoperasi keuntungan akan menjadi meningkat karena dari sisi supply -nya lebih murah,” tutur Asep. Ia menilai program UMi ini menjadi insentif awal dalam membangkitkan koperasi lantaran bunganya yang murah. Mengomentasi kondisi ekonomi nasional ke depan yang kemungkinan menurun akibat wabah Covid-19, ia optimis UMKM bisa tetap bertahan. “Semua pelaku usaha dalam kondisi apapun harus selalu optimis. Mengapa? Pasar selalu ada di Indonesia,” kata Asep. Selama ini, ucap Asep, UMKM telah menjadi penopang perekonomian Indonesia. Pada saat krisis ekonomi 1998, mereka tetap mampu bertahan, bahkan menjadi penyelamat ekonomi nasional. Menurut data PIP, sejak diluncurkan pada pertengahan 2017, pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp8 triliun. Sebanyak Rp7 Triliun telah dicairkan dari APBN dan dikelola PIP untuk digulirkan kepada masyarakat, sedangkan Rp1 Triliun merupakan dana yang dialokasikan di APBN tahun 2020. Asep berharap alokasi dana untuk program pembiayaan UMi ini dapat meningkat. “Harus diperbesar. Barangkali dibuat lebih menjadi double , bahkan triple .”
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @melaniiii19_ Pendampingan Usaha. Syarat ideal agar unit usaha kecil bisa naik kelas adalah dengan memberikan pendampingan. Dalam pendampingan ini, pemerintah juga dapat meningkatkan literasi keuangan mereka @cemiit Pemerataan daerah akses pembiyaan perlu segera dilaksanakan agar akselerasi pengentasan kemiskinan dapat terjadi. Masyarakat Indonesia yang berada pada garis kemiskinan bukan hanya ada di pulau Jawa tapi juga sampai ke Indonesia bagian timur. @jingga0102 Pembiayaan/Pinjaman. Karena meski sudah pegang modal, banyak juga pengusaha kecil yang perlu dibantu untuk pengelolaan modal bisnisnya, literasi keuangannya kurang., dan perlu edukasi marketing. Yang dibutuhkan ga semata mata modal doang Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Menurut kamu, dari tiga fasilitas UMi di bawah ini, mana yang harus ditingkatkan? 1. Pembiayaan/ pinjaman 2. Pendampingan usaha 3. Pemerataan daerah akses pembiayaan 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Rahmat Widiana, Pemimpin Redaksi Media Keuangan Memperkukuh Lapisan Usaha Terbawah Kerjaan num puk Suntuk N ggak boleh k eluar rum ah W ork From Hom e # SOCIAL DISTAN CIN G Pusing Kerjaan # d i r u m a h a j a Ku m undu sebulan Pejuang gratisan Deadline m asih lam a Anak Introver Pak et data sek arat Drak or m asih on going Patah Hati Butuh hiburan Internet lem ot M asak an gosong BETE Capek tidur Capek ngurus anak PR anak banyak Gabut # Tim Rebahan L Jom Tok o buk u tutup Rum ah pacar jauh A pril adalah bulan istimewa bagi perempuan Indonesia. Hari kelahiran Kartini, sang pejuang kesetaraan hak-hak perempuan, diperingati setiap tahunnya di bulan ini. Dari dulu hingga kini, daya juang kaum hawa Indonesia terbukti luar biasa. Jutaan Kartini tampil kembali memperjuangkan hal berbeda, di tiap bidang pekerjaan, di tiap lapisan ekonomi. Di sektor usaha mikro lapisan terbawah, mereka juga jamak ditemukan. Dengan segala keterbatasan modal, aset, dan omzet, mereka membuka usaha guna memperoleh tambahan pemasukan bagi keluarga. Karena segala keterbatasannya, mereka seringkali dinilai tidak layak memperoleh pinjaman dari lembaga pembiayaan formal. Untuk membantu mereka, sejumlah Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) mengadopsi skema pembiayaan untuk pelaku usaha mikro yang disalurkan secara berkelompok kepada perempuan prasejahtera. Lantaran target LKBB tersebut selaras dengan sasaran pembiayaan Ultra Mikro (UMi), Kementerian Keuangan melalui Pusat Investasi Pemerintah menjalin kerjasama dengan mereka supaya dapat menjangkau pelaku usaha mikro yang berasal dari kalangan masyarakat prasejahtera. Itulah sebabnya mengapa debitur pembiayaan UMi didominasi oleh perempuan. Angkanya bahkan mencapai 95 persen dari total debitur. Namun, sesungguhnya program pembiayaan UMi tidaklah khusus tertuju bagi perempuan Indonesia saja. UMi bertujuan memberikan fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha kecil yang tak dapat terjangkau oleh fasilitas kredit perbankan. Hal ini sejalan dengan tujuan Nawacita pemerintah, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, UMi juga berusaha menyasar para debitur di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) agar tujuan pemerataan pembangunan dapat tercapai, sekaligus menurunkan indeks gini ratio atau tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Selain itu, ekonomi nasional diprediksi akan mengalami penurunan akibat wabah Covid-19. Oleh karenanya, dukungan terhadap UMKM perlu terus ditingkatkan. UMKM memang terbukti menjadi penopang perekonomian Indonesia. Bahkan ketika krisis ekonomi 1998 mendera, merekalah sang penyelamat ekonomi nasional. Dengan dukungan pemerintah, mereka akan semakin kukuh. Sama sederhananya dengan kutipan sajak milik Joko Pinurbo, “Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: ingin
Biro KLI Kementerian keuangan
Relevan terhadap
perpajakan yang dikeluarkan. Pelaporan angka tersebut secara berkala dapat memudahkan Pemerintah dalam mengevaluasi dan memantau efektivitas insentif perpajakan. Dengan demikian, kebijakan insentif perpajakan dapat dinyatakan efektif atau tidak efektif. Berkaca pada pengalaman Belgia dalam program “ Notional Interest Program ” yang dilakukan pada tahun 2006, evaluasi kebijakan insentif perpajakan harus menjadi perhatian. Sebelum program tersebut dilakukan, Belgia memperkirakan akan kehilangan penerimaan perpajakannya senilai X. Setelah program berjalan, Belgia melakukan evaluasi dan menemukan bahwa penerimaan perpajakannya hilang 3X atau tiga kali lebih besar dari perkiraan. Hal ini memperlihatkan bahwa cost yang dihasilkan lebih besar dibandingkan benefit -nya, sehingga Belgia pun melakukan amandemen atas peraturan tersebut. Selain mengetahui efisiensi suatu kebijakan, evaluasi atas kebijakan perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas kebijakan tersebut. Jika Belgia menghadapi inefisiensi pada Opini LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN UNTUK Transparansi Fiskal dan Evaluasi Insentif P enerimaan pajak menjadi sumber utama untuk membiayai APBN. Pada tahun 2019, penerimaan pajak menyumbang 82 persen dari total penerimaan negara dan ditargetkan naik menjadi 83 persen di tahun 2020. Meskipun bergantung pada penerimaan pajak, sejumlah insentif perpajakan tetap diberikan Pemerintah sebagai bentuk komitmen dalam mendukung dunia usaha. Dari tahun ke tahun insentif perpajakan meningkat dari sebesar Rp192,6 triliun pada 2016 menjadi Rp196,8 triliun pada 2017 dan kemudian meningkat signifikan pada 2018 sebesar Rp221,1 triliun. Di Indonesia, insentif perpajakan masuk dalam kategori belanja perpajakan pada laporan belanja perpajakan. Belanja perpajakan didefinisikan sebagai pendapatan pajak yang tidak dapat dikumpulkan atau yang berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari ketentuan umum perpajakan ( benchmark tax system ) yang diberikan kepada subjek dan objek pajak yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Ketentuan khusus tersebut dapat berupa pembebasan jenis pajak ( tax exemption ), pengurangan pajak yang harus dibayar ( tax allowance ), maupun penurunan tarif pajak ( rate relief ), dan lainnya. Dalam definisi belanja perpajakan disebutkan adanya perbedaan antara ketentuan khusus dan ketentuan umum perpajakan ( benchmark tax system ). Konsekuensinya adalah Pemerintah harus menentukan ketentuan umum perpajakannya dengan tepat. Dalam laporan belanja perpajakan, Pemerintah telah menentukan kategori ketentuan umum perpajakan untuk masing-masing jenis pajak dan juga membuat positive list berisi deviasi-deviasi dari ketentuan umum perpajakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai belanja perpajakan. Selain menentukan ketentuan umum perpajakan, langkah selanjutnya yang dilakukan untuk menghitung besarnya belanja perpajakan adalah melihat ketentuan khusus apa saja yang menjadi belanja perpajakan. Apabila telah memenuhi kriteria, perhitungan belanja perpajakannya dapat dilakukan. Angka-angka yang disajikan dalam laporan belanja perpajakan membuat Pemerintah dapat memperhitungkan cost-benefit dalam kebijakan insentif kebijakannya, Indonesia menghadapi kenyataan bahwa kebijakan yang ditawarkan kurang menarik, seperti kebijakan tax holiday melalui PMK Nomor 103/PMK.010/2016. Kompleksitas administrasi dan ketidakpastian atas hasil pengajuannya meski bidang usaha tersebut memenuhi kriteria menjadikan kebijakan tersebut tidak menarik. Pemerintah pun menerbitkan peraturan baru tentang tax holiday melalui PMK Nomor 35/PMK.010/2018. Peraturan ini mengubah paradigma dalam pemberian tax holiday dari sebelumnya ‘verify before trust’ menjadi ‘ trust and verify ’. Efek positif dari penyederhanaan sistem dan kepastian pemberian fasilitas ini terbukti menghasilkan investasi sembilan kali lebih besar (per Juli 2019) dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut mencerminkan pentingnya laporan belanja perpajakan dan diharapkan laporan tersebut dapat mempermudah Pemerintah mengevaluasi kebijakan insentif perpajakan lainnya, seperti Kawasan Ekonomi Khusus. Penerbitan laporan belanja perpajakan juga menunjukkan komitmen Pemerintah dalam melaksanakan good governanc e dalam pengelolaan keuangan negara. Selain itu, penerbitan laporan juga sejalan dengan rekomendasi BPK untuk menjalankan transparansi fiskal yang merujuk pada IMF’s Fiscal Transparency Code . Meskipun transparansi fiskal merupakan komitmen global, namun tak banyak negara yang melaporkannya secara berkala. Di ASEAN, hanya Indonesia dan Filipina yang melakukannya. Melalui transparansi fiskal, Pemerintah Indonesia dapat meningkatkan akuntabilitasnya dan pada saat yang bersamaan rakyat dan Ilustrasi M. Fitrah Teks M. Rifqy Nurfauzan Abdillah & Ulfa Anggraini Analis pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. pemerintah dapat menilai cost dan benefit kebijakan insentif. Laporan Belanja Perpajakan merupakan laporan kedua yang berhasil diterbitkan. Berbagai perbaikan diupayakan Pemerintah. Salah satunya adalah perluasan cakupan pajak dari yang sebelumnya hanya tiga jenis yakni PPN, PPh, dan Bea Masuk dan Cukai menjadi empat jenis pajak yaitu ditambah PBB sektor P3. Semoga kedepannya perhitungan laporan belanja perpajakan dapat terus disempurnakan. Dengan demikian, evaluasi terhadap kebijakan insentif perpajakan dapat dilakukan dengan lebih baik. MEDIAKEUANGAN 36
Laporan Utama Perkuat Ekosistem Untuk Indonesia Sehat L ima tahun sudah program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) berjalan. Di balik defisit yang terjadi setiap tahunnya, pelayanan kesehatan yang layak untuk masyarakat tetap harus berjalan. Bukan semata amanah Undang- Undang, tetapi pada dasarnya menjadi sehat adalah hak asasi manusia. Segala upaya dilakukan pemerintah mulai dari memberikan suntikan dana hingga penyesuaian iuran JKN-KIS yang diberlakukan di awal tahun 2020. Simak petikan wawancara Media Keuangan bersama Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Fachmi Idris, seputar keberlangsungan JKN-KIS. Apa yang melatarbelakangi terjadinya defisit JKN-KIS? Konstruksi iuran JKN- KIS pada awalnya memakai asumsi minimum guna menjaga keberlangsungan kapasitas fiskal. Regulasi kemudian mengatur bahwa setiap tahun program ini harus mampu membiayai kewajiban yang ditanggungnya. Permasalahannya adalah memang terjadi ketidakseimbangan ( mismatch ) antara total pendapatan dan total pengeluaran. Akan tetapi dalam konteks program, setiap tahun kewajiban membayar ke fasilitas kesehatan selalu terpenuhi. Opsi kebijakan apa saja untuk memitigasi kondisi keuangan yang tidak seimbang tersebut? Terdapat tiga opsi, yaitu penyesuaian iuran, perasionalan manfaat, atau suntikan dana tambahan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya opsi ketiga yakni menyuntikkan dana tambahan dipilih pemerintah untuk mengatasi mismatch yang terjadi. Di akhir tahun 2018, dilakukan audit tujuan tertentu oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan sistem populasi ke seluruh rumah sakit dan fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan untuk melihat apakah ada masalah dari segi pengeluaran, kolektabilitas, atau kepesertaan. Dari segi pengeluaran, ditemukan fraud tapi angkanya di bawah satu persen. Dari segi kolektabilitas secara total bagus tetapi kolektabilitas dari peserta mandiri belum optimal. Setelah mengkaji keseluruhan hasil audit tersebut ditemukan bahwa ternyata persoalan defisit adalah karena iuran yang belum sesuai. Akhirnya dikeluarkanlah kebijakan penyesuaian iuran yang besarannya dihitung __ oleh Dewan Jaminan Sosial (DJSN). Apa yang diharapkan dengan adanya penyesuaian iuran JKN-KIS? Yang pasti dengan adanya penyesuaian iuran ini, diharapkan dalam 5 tahun ke depan tidak ada lagi defisit (dalam konteks transaksi berjalan) sehingga apabila arus kas program bagus, otomatis berdampak ke arus kas rumah sakit. Pastinya rumah sakit akan lebih nyaman dan bisa mengembangkan layanan lebih baik lagi. Dengan demikian, komitmen kita dalam kontrak juga dapat diperkuat. Bagaimana tanggapan Bapak terhadap fenomena penurunan kelas kepesertaan JKN-KIS pasca penyesuaian iuran? Kita tidak akan mempersulit peserta yang ingin turun kelas karena kita tidak ingin menyusahkan masyarakat dengan penyesuaian iuran ini. Dari segi keuangan pun hal ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena meskipun turun kelas maka tarif kelas rumah sakit akan menyesuaikan juga, tetapi perlu ditekankan bahwa mutu layanan medis semua sama di tiap kelas, tidak ada pembedaan. Kami yakin penyesuaian ini butuh proses dan nantinya akan tercipta keseimbangan baru. Perbaikan layanan apa yang diberikan oleh BPJS Kesehatan pasca penyesuaian iuran ini? Kita mencanangkan 10 komitmen perbaikan layanan, baik yang langsung di rumah sakit maupun melalui fasilitas layanan kita. Perbaikan yang langsung di rumah sakit antara lain, penguatan peran petugas BPJS Kesehatan di Rumah Sakit. Jadi kita menempatkan petugas kita dengan atribut rompi bertuliskan BPJS Satu Siap Membantu di rumah sakit mitra BPJS, utamanya yang memiliki jumlah pasien 1000 orang/hari, untuk memastikan peserta tidak mendapatkan hambatan layanan. Kedua, kita buat program PRAKTIS atau Perubahan Kelas Tidak Sulit untuk mengakomodir peserta yang ingin turun kelas pasca penyesuaian iuran. Ketiga, display ketersediaan tempat tidur pada masing-masing kelas di rumah sakit secara real-time agar masyarakat bisa melihat dengan transparan. Saat ini sudah hampir 80% rumah sakit mitra kita memiliki display tempat tidur. Selanjutnya, display tindakan operasi agar pasien yang masuk dalam waiting list operasi memiliki kepastian jadwal operasi dan alasan waiting list. Implementasi program ini masih terbatas, saat ini baru ada di RSUD Margono Soekarjo di Purwokerto. Di samping itu, kita juga ada program simplifikasi pelayanan pasien hemodialisa. Lebih dari itu, semua komitmen kita diintegrasikan online dalam bentuk mobile apps, yakni Mobile JKN. Kita juga mendorong rumah sakit mitra untuk membuat registrasi, antrian, dan rujukan secara online demi kenyamanan dan kepastian waktu layanan bagi pasien. Saat ini sudah sekitar 1000-an fasilitas kesehatan tingkat pertama yang memiliki layanan registrasi online . Kita akan tingkatkan layanan Mobile JKN ini secara masif. Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlanjutan JKN? Penyesuaian iuran yang saat ini dijalankan baru menyelesaikan permasalahan arus kas atau defisit transaksi berjalan. Setelah ini, kita perlu memikirkan bagaimana mengisi aset karena jaminan sosial yang baik adalah yang memiliki aset yang bagus. Upaya yang dapat dilakukan antara lain, pertama, pastikan dulu iuran sesuai dengan hitungan aktuaria, kemudian kontribusi dalam segi iuran ini kita buka dengan konsep gotong royong besar yang betul-betul memastikan kontribusi sosial masyarakat sesuai dengan status sosialnya. Konsep gotong-royong ini pada dasarnya yang sehat membantu yang sakit, yang mampu membantu yang tidak mampu, yang muda membantu yang tua, dan seterusnya. Selanjutnya, kita perlu duduk bersama mendefiniskan kebutuhan dasar kesehatan seperti apa dan kelas standar JKN yang bagaimana yang dijamin Undang-Undang. Jadi kita harus komprehensif. Terakhir, kita harus sama-sama membangun ekosistem yang bagus. Dari segi regulator, apakah regulasi yang dikeluarkan instansi terkait mendorong terjadinya pelayanan yang seharusnya, misal adanya pedoman nasional pelayanan kedokteran. Lalu dari segi data, bagaimana ekosistem akan membuat data itu verified dan valid. Peran daerah dalam membangun ekosistem ini penting. Dari BPJS, bagaimana membangun layanan bermutu tinggi. Yang tidak kalah penting juga yaitu kesadaran masyarakat membayar iuran karena ini pun termasuk ekosistem. Jadi program ini bisa optimal manakala semua ekosistem bisa terbentuk dengan baik. Teks CS. Purwodidhu Foto Fath Fachmi Idris, Dirut BPJS Kesehatan MEDIAKEUANGAN 20
A da hal menarik dari rilis terbaru Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tentang data kejadian bencana selama kurun 2019 kemarin. Meski terus dirundung petaka, namun intensitas bencana 2019 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017 tercatat kejadian bencana mengalami puncaknya sebanyak 2.869 kejadian, disusul 2018 sebanyak 2.573 kejadian. Tahun 2019 sendiri bencana yang terjadi sebanyak 1.315 kejadian, lebih sedikit dibandingkan tahun 2015 sebanyak 1.694 kejadian. Meski mengalami penurunan dari sisi intensitas kejadian, hal yang tak boleh dilupakan adalah skala bencana yang harus dapat dimitigasi luasannya. Yang juga wajib diwaspadai adalah dominasi jenis bencana hidrometeorologi, mengingat posisi Indonesia yang masuk di wilayah tropis antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Jenis bencana tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan kondisi iklim, cuaca, serta musim di berbagai wilayah di nusantara. dan alam berada di jalur yang tidak tepat. Laporan terbaru oleh BioScience , jurnal ilmiah peer review menguatkan statemen ini. Di level implementasi, banyak hal yang mengindikasikan dunia darurat iklim. Berulangnya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla), betul-betul menimbulkan keprihatinan yang luar biasa. Banjir bandang Jabodetabek di awal tahun 2020 menjadi indikasi lainnya. Secara ekonomi, beberapa pengamat memperkirakan dampak kerugian mencapai Rp135 miliar per hari di samping dampak kerugian nonekonomi lainnya. Terlepas dari besarnya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan, peristiwa ini juga memberikan tekanan yang besar bagi upaya mengatasi dampak perubahan iklim. Indonesia, sejatinya menjadi salah satu pemain utama dalam isu mengatasi dampak perubahan iklim ini. Tak heran jika banyak pihak menuntut agar penanganan karhutla dipimpin langsung oleh Presiden, demi mencegah berbagai tarikan kepentingan antarsektor yang terkadang justru menjadi penghambat solusi penanganan. Berubah atau Punah Besarnya dampak destruksi yang ditimbulkan, mendesak munculnya sebuah upaya kolektif bersama seluruh pemangku kepentingan global untuk mengambil langkah-langkah revolusioner. Jargon yang diusung adalah gerakan dekarbonisasi laju pertumbuhan ekonomi. Perlu disadari bahwa pendekatan konvensional dengan menempatkan target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan bangsa, menimbulkan sifat kompetisi yang mengarah pada aspek kanibalisme antarnegara. Semua negara berlomba-lomba saling mengalahkan laju ekonomi negara lainnya tanpa mempertimbangkan praktek-praktek yang dijalankan justru menembus daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dari seluruh penjelasan ini, terlihat betapa sentralnya peran negara dalam mewujudkan tujuan mengatasi dampak perubahan iklim. Negara dengan segala pranata dan kelengkapannya mampu dan memiliki kapasitas menjadi garda terdepan kelangsungan ekologi demi keberlanjutan antargenerasi. Namun demikian, segala upaya menjadi sia-sia jika pemangku kepentingan lainnya tidak mendukung apa yang dijalankan pemerintah. Ingat bahwa dunia sedang darurat iklim dan dampaknya tidak dapat diatasi hanya dengan berdiskusi atau berwacana, melainkan butuh solusi nyata. Opini Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi Ancaman ini perlu ditanggapi secara serius oleh pemerintah mengingat potensi kerusakan yang bersifat masif di berbagai sektor ditambah lagi hal ini sudah menjadi keprihatinan bersama di dunia. Economist Intelligence Unit (EIU) saja misalnya, baru merilis Indeks Ketahanan Perubahan Iklim ( Climate Change Resilience Index ) global. Hasil estimasi menunjukkan bahwa perubahan iklim di seluruh dunia secara langsung dapat menelan biaya ekonomi hingga US$ 7,9 triliun per 2050 akibat konektivitas ragam bencana yang dihasilkan baik kekeringan, banjir, gagal panen, serta jenis lainnya. Dimensi kebencanaan inilah yang dikhawatirkan akan membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan infrastruktur di seluruh dunia. Indeks juga menyebutkan bahwa berdasarkan tren yang ada saat ini, potensi pemanasan global dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) di setiap negara hingga kisaran 3 persen pada periode 2050. Meski demikian, dampak akan semakin besar di negara berkembang dimana Benua Afrika akan mengalami penurunan terbesar mencapai 4,7 persen PDB. Angola diperkirakan menjadi yang paling rentan sekitar 6,1 persen PDB nya akan tergerus, disusul Nigeria sebesar 5,9 persenPDB, Mesir mencapai 5,5 persen PDB, Bangladesh sekitar 5,4 persen PDB serta Venezuela mencapai 5,1 persen PDB. Karenanya dibutuhkan aksi nyata saat ini dan juga nanti sebagai bentuk upaya mengurangi potensi dampak yang dihasilkan. Kegiatan nyata pun tidak akan cukup jika dikerjakan dengan pola Bussiness As Usual (BAU) semata. Sebelumnya, lebih dari 11 ribu ilmuwan di 156 negara dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, juga sepakat menyebutkan bahwa dunia sedang darurat iklim. Mereka juga mengamati berbagai potensi dampak buruk yang ditimbulkan apabila manusia tidak mengubah pola perilakunya. Jika dirunut, hal tersebut bukan yang pertama kalinya karena sebelumnya tahun 2017, sekitar 16 ribu ilmuwan dari 184 negara turut serta dalam sebuah publikasi yang meyakini bahwa manusia Ilustrasi A. Wirananda *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Joko Tri Haryanto Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
29 MEDIAKEUANGAN 28 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020 Gesit Beraksi di Tengah Pandemi Teks A. Wirananda BIRO HUKUM, SEKRETARIAT JENDERAL Foto Dok. Biro Hukum Rina Widiyani dalam beberapa kegiatan D irektur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada 11 Maret 2020 menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi global. “Kami meminta negara-negara untuk melakukan tindakan yang mendesak dan agresif,” katanya dalam siaran pers di Jenewa. Dampak pandemi ini meluas ke berbagai penjuru dan menghantam sektor perekonomian, termasuk Indonesia. Pemerintah perlu meramu sejumlah jamu untuk melawan wabah ini sekaligus memulihkan segala hal yang terimbas. Berbagai kebijakan dikeluarkan semata-mata demi kelancaran penanganan wabah. Kementerian Keuangan, sebagai pengambil kebijakan di salah satu sektor yang terguncang paling hebat, mau tak mau dituntut untuk gesit bertindak. Kegentingan memaksa Sebagai respon atas suasana suram di tengah pandemi, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Perppu ini diterbitkan sebagai ikhtiar Pemerintah dalam upaya penanganan dampak akibat pandemi COVID-19 yang meluas ke berbagai sektor. Rina Widiyani Wahyuningdyah, Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan mengatakan bahwa pandemi COVID-19 di Indonesia telah berdampak pada beberapa hal antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. “Untuk itu, Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak,” ujarnya. Rina menjelaskan bahwa Penerbitan Perppu didasarkan pada kewenangan Presiden sesuai titah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Pasal 22 ayat 1 berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Pemegang gelar master dari University of Illinois ini mengatakan Perppu ini memantapkan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang diperlukan. “Dengan adanya landasan hukum setingkat undang-undang tersebut, Pemerintah mempunyai dasar yang kuat untuk dapat menerapkan kebijakan- Foto Dok. Biro KLI Gedung Djuanda Kementerian Keuangan
Opini Kebijakan Perampingan Birokrasi dan Tantangannya Ilustrasi Dimach Putra Teks Anugrah Endrawan Yogyantoro, pegawai Sekretariat Jenderal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 D ata Global Competitiveness Index (GCI) 2019 memperlihatkan daya saing Indonesia menempati urutan ke 50 dari 141 negara. Aspek kinerja sektor publik hanya meraih skor 54,6 dari skala 100. Dengan total skor GCI sebesar 64.6, kita tertinggal jauh dari Singapura yang menempati urutan pertama dengan skor 85,9 atau negara Asia lain seperti Jepang (peringkat 5, skor 82.3) atau Korsel (peringkat 13; skor 79,6). Rilis tersebut menjadi sinyal bahwa kendati agenda Reformasi Birokrasi Nasional telah berjalan satu dekade, ladang perbaikan birokrasi masih terbentang luas. Hal ini sejalan dengan arahan terkini Presiden Joko Widodo terkait perampingan birokrasi (delayering). Instruksi penyederhanaan eselonisasi birokrasi menjadi 2 layer menjadi titik akselerasi agenda reformasi birokrasi nasional. Penguatan pola kerja fungsional akan mempercepat pelayanan dan menanamkan mindset perubahan orientasi kerja ASN. Dari yang awalnya lebih berorientasi ke proses menjadi ke orientasi hasil. Di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri, sebagai salah satu pionir reformasi sektor publik, perampingan birokrasi telah diimplementasikan pada tahun 2019 dengan penghapusan eselon III dan IV di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang digantikan oleh Jabatan Fungsional Analis Kebijakan. Hal ini merupakan implementasi dari arahan Menkeu untuk menciptakan organisasi yang ramping dan tanpa sekat (flatter and boundaryless organization), SDM yang adaptive dan technology savvy dan pemanfaatan perkembangan TI. Lalu, apa sajakah tantangan yang harus dijawab dalam perampingan birokrasi? Pertama, ukuran birokrasi Indonesia yang masif dengan Jumlah ASN Indonesia sebesar 4.285.576 orang per 2019 membuat kompleksitasnya berbeda dengan Singapura yang hanya memiliki 84.000 aparatur sipil. Jumlah ASN Indonesia masih lebih besar dari Jepang dan Korsel yang sama-sama memiliki sekitar satu juta aparatur sipil. Rasio jumlah aparatur sipil dengan penduduk Korsel sebanding dengan Indonesia (sekitar 1: 60) sementara Jepang hanya separuhnya (1: 120). Kemenkeu sendiri memiliki 82.025 orang PNS dengan jumlah pejabat eselon III, IV dan V masing-masing 1.817 orang; 9.729 orang dan 2.957 orang. Tantangan berikutnya adalah tahapan peralihan jabatan struktural ke jabatan fungsional. Sesuai arahan Kemenpan-RB, delayering ditargetkan selesai pada Desember 2021 dalam 5 tahap. Tahap pertama melakukan identifikasi jabatan administrasi; kedua pemetaan jabatan dan pejabat administrasi dan selanjutnya pemetaan jabatan fungsional yang bisa ditempati. Kemudian, tahapan penyelarasan tunjangan jabatan fungsional dengan tunjangan jabatan administrasi, dan terakhir penyelarasan kelas jabatan administrasi ke jabatan fungsional. Dengan tantangan ukuran birokrasi, kompleksitas tahapan serta time constraint, diperlukan upaya yang selektif dan prudent dalam mengimplementasikan delayering . Kehati-hatian perlu menjadi prinsip utama demi memastikan kinerja ASN dan kualitas pelayanan kepada masyarakat tetap terjaga. Jika dibandingkan dengan Indonesia, Korsel memulai reformasi sektor publiknya pada tahun 1998 dan saat ini memiliki layer birokrasi ekuivalen 3 layer eselon. Reformasi sektor publik Korsel yang progresif namun cermat dan terukur telah mendukung transisi Korsel menjadi negara maju, status yang menjadi cita- cita Presiden Jokowi untuk Indonesia tahun 2045. Hal terpenting lain adalah manajemen perubahan, sebab masih ada anggapan bahwa jabatan fungsional adalah jabatan kelas dua. Oleh karena itu, salah satu prinsip delayering adalah hold harmless, yakni menjaga tingkat penghasilan demi menjaga motivasi pegawai terdampak. Tanpa manajemen perubahan yang baik keresahan pegawai akan berekses negatif. Untuk memastikan kelancaran delayering serta menjawab tantangan yang ada, terdapat sejumlah rekomendasi. Pertama, penataan ulang struktur organisasi dengan prinsip rasional dan realistis sesuai kebutuhan serta perangkat kelembagaan yang efektif agar terjadi sinergi antara jabatan struktural dan jabatan fungsional. Selain itu, diperlukan penyempurnaan jabatan fungsional khususnya jabatan fungsional core Kemenkeu, agar relevan dengan kebutuhan di lapangan. Kedua, penciptaan kualitas governance dan pelayanan yang lebih adaptif dengan perubahan dan tuntutan masyarakat. Untuk itu, desain proses bisnis jabatan fungsional harus sederhana dan jelas. Penguatan proses bisnis manajemen kinerja ASN juga perlu dirancang dari yang selama ini cenderung hierarkis menjadi lebih fleksibel. Ketiga, percepatan inisiatif transformasi digital Kemenkeu. Perampingan birokrasi harus didukung penerapan office automation yang menyeluruh demi memudahkan pekerjaan dan pengawasan output serta kualitas pekerjaan, khususnya dalam implementasi project dan knowledge management. Terakhir, implementasi strategi manajemen perubahan menyeluruh demi tercapainya delayering yang soft landing. Meskipun praktiknya top- down tetapi pokok-pokok kebijakan delayering perlu disampaikan dan pejabat terdampak dilibatkan sejak awal. Mengutip Kotter, pakar change management Harvard University, perubahan harus dikomunikasikan ke seluruh organisasi agar bisa mendapatkan dukungan dari semua pihak. Dengan demikian, diharapkan delayering dapat terlaksana tanpa kendala yang berarti. Tidak hanya demi birokrasi yang lebih sederhana, tetapi untuk mencapai percepatan pelayanan dan peningkatan kinerja sektor publik.
BPHN
Relevan terhadap
dan Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). Dalam hal penyelenggaraan perseroan terbatas yang didasarkan pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbataspun tak pelak dari kebutuhan penyesuaian dengan kebutuhan hukum masyarakat yang semakin dinamis. Demikian halnya dengan penyelenggaraan perkoperasian yang selama ini didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Tentunya perbaikan regulasi tersebut perlu dikaji apakah akan dilakukan dengan konsep omnibus law atau dengan kodifikasi. Diharapkan dengan adanya pengaturan yang komprehensif tentang badan usaha ini akan mendorong roda perekonomian semakin cepat dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Keadilan ekonomi tidak hanya bagi para pelaku usaha yang besar saja melainkan bagi pengusaha skala menengah dan kecil. Hasil dari diskusi publik ini terdapat beberapa saran dan rekomendasi yang disampaikan oleh peserta, antara lain: a. Pembentukan Omnibus Law dalam Badan Usaha sebaiknya ditinjau kembali mengingat kebutuhan hukum yang dinamis dan telah diaturnya beberapa ketentuan terpisah mengenai PT dan Koperasi. Diusulkan pembentukannya fokus untuk mengisi kekosongan hukum atau mengatur ketentuan yang belum diatur contohnya CV, Firma dll. b. Kebutuhan hukum atas pendirian usaha perorangan untuk diatur baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Selain itu juga ketentuan mengenai badan usaha yang didirikan oleh suami/istri dan badan usaha/badan hukum. c. Masyarakat setuju atas pendirian badan hukum oleh orang perorangan sebagai solusi perlindungan kekayaan pribadi dalam berusaha. Kegiatan diskusi publik dibuka oleh Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Jawa Timur yang diwakili oleh Kepala Divisi Imigrasi. Dalam pokok sambutan dan pembukaan oleh Kepala Divisi Imigrasi disampaikan bahwa, kegiatan diskusi publik ini, dimaksudkan untuk melibatkan masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan undang undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta mendapatkan masukan yang konstruktif dalam penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha agar dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang partisipatif dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan serta aspirasi masyarakat. Pendirian perusahaan berupa persekutuan perdata, CV, maupun firma maupun dalam menjalankan usaha tersebut masih mendasarkan pada Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
Topik E-Commerce Mengemuka dalam FGD Pokja Perdagangan Lintas Negara Jakarta, BPHN.go.id - Kelompok kerja analisis dan evaluasi terkait Perdagangan Lintas Negara melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Ibis Cawang Jakarta, Senin-Selasa 30-31 Juli 2018. FGD ini bertujuan untuk sosialisasi temuan-temuan yang sudah dilakukan oleh para anggota Pokja. Hadir dalam kegiatan ini Yu Un Oposunggu (Dosen FH- UI) sebagai Ketua Pokja beserta beberapa anggota pokja diantaranya dari Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan serta Peneliti dari LIPI. Topik yang diangkat terkait perdagangan lintas negara semua dalam tujuannya untuk melaksanakan Ease of Doing Bussines (EoDB) di Indonesia. Bicara tentang perdagangan lintas negara maka tidak terlepas dari perdagangan atau transaksi e-commerce (perdagangan dengan sistem elektronik). Pada era serba digital sekarang ini, banyak proses jual beli berlangsung menggunakan akses internet. Jumlah transaksi e-commerce saat ini nilainya terus meningkat secara signifikan. Sedangkan regulasi yang mendukung untuk kegiatan tersebut belum siap, hal ini dapat membuat Indonesia tertinggal dari negara lain dan juga ada potensi pemasukan negara yang belum ditangkap karena dasar hukumnya belum kuat. Hal ini menjadi topik diskusi yang sangat mengemuka selama jalannya pelaksanaan FGD. Pelaksanaan FGD berjalan sangat menarik dengan penuh dinamika, para peserta sangat antusias memberikan pendapat serta kritisi yang cukup tajam. FGD belum menghasilkan rekomendasi karena masih terdapat beberapa materi yang harus dibahas dengan narasumber dan para pakar.
Berita Utama Pengelolaan Surat Masuk dan Surat Keluar secara digital untuk menunjang kinerja BPHN Jakarta, BPHN.go.id – Semen jak bergulirnya masa refor masi di Indonesia, seluruh kegiatan pemerin tahan mengalami trans formasi yang dikenal dengan nama reformasi birokrasi. Salah satu program reformasi adalah pene rapan electronic government (e-govern ment) di lingkungan peme rintah. E-government adalah sis tem pemerintahan yang berbasis teknologi komunikasi yang pada prinsipnya bertujuan untuk mening katkan kualitas proses layanan dari lembaga pemerintah kepada warga masyarakat melalui sistem layanan online. Manfaat langsung dari layanan online adalah pemangkasan biaya dan waktu serta meminimalisir kemungkinan terjadinya praktik korupsi dalam pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Melalui teknologi informasi, pemerintah menyediakan berbagai informasi aktual mengenai kebi jakan-kebijakan yang akan dan sudah dibuatnya secara cepat dan melalui sistem pemerintahan elektronik, masya rakat akan bisa mengak ses dokumen-dokumen pemerintah dan semua hal bisa dilihat seca ra transparan, termasuk soal ang garan publik. Salah satu bentuk dari penggunaan E-government adalah dengan dikembangkannya sistem e-office yang meliputi tata persuratan. E-office pada prinsipnya dimaksudkan untuk memfasilitasi pemerintah dalam pengeloloaan dokumen persuratan baik itu surat masuk maupun surat keluar secara elektronik sehingga dengan sistem tersebut akan memudahkan pengelolaan surat dan juga sebagai wujud birokrasi yang modern pada instansi pemerintah. Tata kelola persuratan meru pakan salah satu unsur administrasi umum yang mencakup pengaturan tentang jenis surat seperti surat masuk, surat keluar, nota dinas, agenda dan pesan. Pengelolaan persuratan yang selama ini dila kukan secara manual seringkali menemui berbagai permasalahan, antara lain sulitnya menjajaki keberadaan suatu surat. Melihat manfaat penggunanaan teknologi infomarmasi untuk menunjang kelan caran administrasi persuratan, Kementerian Hukum dan HAM RI telah menerbitkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manu sia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.TI.03.02 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sistem Surat Masuk dan Surat Kelu ar (SISUMAKER) di lingkungan Kemen terian Hukum dan HAM. Dengan terbitnya surat keputusan tersebut, maka seluruh jajaran Kemen terian Hukum dan HAM wajib menggunakan aplikasi SISUMAKER. Aplikasi SISUMAKER kemudian dikembangkan oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), salah satu unit eselon II pada Sekterariat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Aplikasi ini dibangun untuk mendukung efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan persuratan di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana disebutkan pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-01.T!.03.02 Tahun 2018. Dalam rangka melaksanakan surat keputusan tersebut, Sekretariat Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menggelar sosialisasi aplikasi SISUMAKER, Jumat (6/7) di ruang aula lantai 4 gedung BPHN. Sosialisasi ini sekaligus dilanjutkan dengan simulasi penggunaan Aplikasi SISUMAKER oleh para staf tata usaha dan pejabat pengawas dan administrator di BPHN. Sekretaris BPHN, Audy Murfi, dalam sambutannya mengatakan, tata kelola persuratan merupakan salah satu unsur administrasi berupa pengaturan surat masuk, surat keluar, nota dinas, serta disposisi yang memiliki peran penting dalam mendukung maju atau mundurnya suatu organisasi. Selama ini, pengelolaan persuratan masih dilakukan secara manual sehingga dalam proses pelaksanaanya muncul sejumlah permasalahan, antara lain proses distribusi yang cenderung lambat bahkan surat tersebut tercecar dan hilang dalam tumpukan dokumen lain. “Penggunaan SISUMAKER diha rapkan memudahkan peman tauan terhadap keberadaan suatu surat untuk ditindaklanjuti secara efektif dan efisien serta menuju paperless . Penerapan aplikasi SISUMAKER juga sejalan dengan penerapan e-Gov yang sedang digelorakan Kementerian Hukum dan HAM untuk menuju good governance ’, kata bapak Audy. Beberapa waktu sebelum
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 1 lainnya
Kolom Ekonom Ilustrasi Dimach Putra I ndonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang perekonomiannya masih bisa tumbuh relatif tinggi di tahun 2019. Perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen pada kuartal ketiga 2019, tatkala negara-negara lain di dunia mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok yang pada tahun lalu masih tumbuh 6,6 persen, pada 2019 ini mengalami penurunan. Pada kuartal ketiga 2019, Tiongkok hanya tumbuh 6,0 persen. Pelambatan juga terjadi di India, salah satu negara sumber pertumbuhan baru. Tahun lalu, India mampu tumbuh 6,8 persen. Tahun ini terus melorot bahkan di kuartal ketiga 2019 hanya mampu tumbuh 4,5 persen. Beberapa negara di dunia bahkan telah mengalami resesi atau tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut. Tahun 2019 memang bukan tahun yang mudah bagi perekonomian dunia. Hidayat Amir Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Tumbuh dalam Tekanan Berbagai tekanan dan gejolak yang terjadi membuat ekonomi dunia mengalami perlambatan yang cukup dalam, bahkan menjadi yang terburuk sejak krisis keuangan global pada 2009. Menurut proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,6 persen di 2018 menjadi 3,0 persen untuk tahun ini. Pertumbuhan volume perdagangan bahkan diperkirakan hanya tumbuh 1,1 persen di 2019, atau turun signifikan jika dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 3,6 persen. nyata apa yang sesungguhnya hanyalah metode. Refleksi Husserl itu dapat dijadikan ilham untuk melihat rasio pajak lebih dalam. Di balik rasio pajak, terdapat berbagai soal yang tak serta-merta kelihatan dalam angka. Itulah mengapa rasio pajak bukanlah satu-satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, meski secara indikatif berguna untuk mengenali gejala inefektivitas pemungutan pajak sejak dini. Ada empat faktor yang dapat menjelaskan sebab PDB Indonesia tidak berkorelasi positif dengan kinerja perpajakan, khususnya rasio pajak. Pertama, tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Program amnesti pajak sebagai bagian dari reformasi perpajakan nampaknya baru membantu menambah basis pajak baru dan belum meningkatkan rasio pajak. Meski tingkat kepatuhan pajak terus meningkat dari tahun 2015 sebesar 60 persen menjadi 71,1 persen di tahun 2018, namun angka tersebut masih tergolong rendah. Selain itu, tingkat kepatuhan tersebut pun masih terbatas pada kepatuhan yang sifatnya formal yakni menyampaikan SPT dan belum mempertimbangkan kepatuhan material yang melibatkan kebenaran isi SPT. Kedua, tingginya hard-to-tax sector , khususnya usaha rintisan atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor pertanian/perkebunan/perikanan yang berkontribusi cukup besar terhadap PDB. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, komposisi UMKM mencapai 59,2 juta unit dari total 60,01 juta unit usaha di Indonesia. Di satu sisi, UMKM menjadi penyumbang PDB terbesar namun di sisi lain kepatuhan dan literasi yang masih sangat rendah menjadi tantangan bagi pemerintah dalam memungut pajak. Dalam konteks itu, kebijakan penurunan tarif pajak UMKM sudah tepat dan layak diapresiasi, demi memperluas basis pajak dari sektor ini. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yang mewajibkan para pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha, harus dapat dimanfaatkan untuk mulai membangun basis data yang akurat dari sektor ini. Ketiga, pesatnya perkembangan ekonomi digital tidak diiringi dengan modernisasi perangkat teknologi informasi perpajakan, SDM yang mumpuni, serta regulasi. Akibatnya, potensi pajak sektor ini menjadi sulit ditangkap. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia. Pada 2016, tercatat nilai transaksi dari sektor ekonomi digital sebesar USD5,6 miliar. Dalam konteks ini, kebijakan pajak e-commerce sudah tepat demi menjamin keadilan dalam pengenaan pajak. Namun demikian, disharmoni antar-regulasi seperti penurunan tarif pajak UMKM di satu pihak dan kewajiban pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha di lain pihak selalu perlu diantisipasi. Keempat, maraknya praktik penghindaran pajak. Data-data dari tax amnesty, Swiss Leaks, Panama Papers, Paradise Papers , dan sebagainya mencerminkan banyaknya warga negara Indonesia yang berupaya menghindari pajak. Program tax amnesty pun menjadi solusi tepat di tengah kondisi tersebut. Tidak hanya meningkatkan kepatuhan, program ini juga menjadi momentum yang baik untuk mulai membangun tax culture yang sehat. Selanjutnya tax amnesty harus diikuti dengan langkah penegakan hukum yang tegas. Kendati rasio pajak bukan satu- satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, mendongkrak rasio pajak tetaplah salah satu tugas penting negara. Tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan merata hanya dapat dicapai dengan level penerimaan pajak yang optimal yang dapat mengakselerasi pembangunan. Searah dengan itu, upaya-upaya pemerintah dari sisi regulasi untuk mendongkrak rasio pajak perlu terus didukung: reinventing policy , kenaikan PTKP, tax amnesty , konfirmasi status WP, UU AEOI, Pembaruan Sistem Informasi, pemeriksaan pajak, percepatan restitusi, penurunan tarif WP UMKM, dan CRS AEOI. Semua itu tak lain adalah upaya meningkatkan rasio pajak dan basis pajak, juga secara serentak mendorong kepatuhan. Ibarat cermin, rasio pajak dapat dijadikan salah satu sarana untuk berkaca, tanpa kita harus menganggap bayangan cermin itu sebagai kenyataan sesungguhnya. Perbaikan selayaknya diarahkan pada kenyataan, bukan bayangannya. Kita sudah berada di jalur yang tepat, jangan sampai kereta perubahan ini berjalan terlampau lambat!
Eksposur Pernak-Pernik Keramik Unik D esain, warna, dan corak yang unik menjadikan produk keramik semakin dilirik kalangan masyarakat luas. Semenjak menjamurnya kedai kopi maupun dapur-dapur dengan aksesoris lucu, kerajinan tangan yang terbuat dari tanah liat ini makin digemari oleh banyak orang. Tidaklah heran bila sekarang ini banyak pelaku usaha di Indonesia yang mulai menekuni bisnis kerajinan keramik untuk dijual baik di dalam maupun luar negeri. Teks Resha Aditya P. Foto Anas Nur Huda Eksposur
rfa Ampri, Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilareral (PKRB) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengatakan, sampai dengan 2018, pemerintah menyiapkan dana kisaran lima triliun rupiah setiap tahun untuk penanganan bencana. “Dana tanggap darurat istilahnya. Besarnya itu rata-rata itu turun naiklah, tapi kalau yang terakhir ini ya diatas 5 T (triliun), rata-rata selama 15 tahun,” ungkapnya. Irfa mengatakan dana ini diproyeksikan untuk dapat meredam dampak dari bencana yang melanda Indonesia. “Nah jadi itu sebenarnya adalah shockbreaker lah gitu ya kalau terjadi bencana besar,” katanya. Pada kesempatan terpisah, Dr Widjo Kongko dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan bahwa dana yang dialokasikan untuk penanganan bencana seyogyanya dipersiapkan secara komprehensif. Bukan hanya dana tanggap darurat, melainkan juga untuk rehabilitasi, rekonstruksi, dan mitigasi. “Bahwa bukan anggaran tanggap darurat saja, bukan rehab rekon (rehabilitasi dan rekonstruksi) saja, tetapi anggaran mitigasi yang juga harus disiapkan,” ungkapnya. Ia melanjutkan, “Yang penting terkait dengan anggaran kebencanaan itu harus detil, arsitektur kebencanaan itu anggarannya harus melibatkan keseluruhan proses mulai dari mitigasi, proses rehab rekon, tanggap darurat termasuk kesiapsiagaan.” Dana sejumlah itu tidak dapat sepenuhnya menutupi seluruh kebutuhan untuk penanganan bencana. Saat bencana besar terjadi beruntun, dana itu tentu tidak mencukupi. Tak menutup kemungkinan, kebutuhan dana untuk penanganan bencana membengkak dua sampai tiga kali lipat. Irfa mencontohkan situasi pada 2018 silam, kala Indonesia didera setidaknya dua kali gempa besar. “Nah tapi kalau bencana besar seperti terjadi di Lombok sama yang kemarin di Sulawesi Tengah, nah itu dana itu tidak cukup, ya kan. Nah contohnya yang Lombok saja itu perkiraannya itu sekitar 5 T, dananya. Nah kemudian yang Sulawesi Tengah itu double sampai 10 T,” ungkapnya. Untuk menyiasati situasi-situasi tak terduga semacam itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menyusun mekanisme baru di tahun 2019 dan tahun-tahun setelahnya. Irfa mengatakan, mulai tahun 2019, Kemenkeu mulai menyiasati alokasi anggaran bencana dengan dua hal, yakni asuransi barang milik negara dan pembentukan pooling fund . “Jadi kalau terjadi bencana, katakan gedung ini hancur ya, itu nanti yang bayar asuransi,” ia melanjutkan, “kita juga mau mempercepat pembentukan pooling fund . Nah pooling fund adalah tadi, jadi pooling fund ini harapannya adalah semua jenis pembiayaan itu bisa dilakukan oleh lembaga ini.” Hal serupa juga dikatakan oleh Kunta Wibawa Dasa Nugraha, Direktur PAPBN Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu. “Intinya ke depannya kita juga sudah mulai memikirkan bagaimana kita bisa mengatasi bencana tadi dengan lebih teroganisir dan teratur tapi bebannya tidak juga semuanya ke APBN,” katanya dalam kesempatan terpisah. Ihwal asuransi, Dr. Widjo Kongko, Ahli Tsunami dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) sependapat dengan pemerintah. “Asuransi penting terutama untuk menghitung risiko. Risiko harus bisa dihitung dan diklarifikasikan menjadi biaya yang harus ditanggung oleh pihak ketiga, dalam hal ini asuransi,” katanya. Peta zonasi untuk mitigasi Selain ihwal penyiapan dana untuk bencana, pemerintah juga mesti memikirkan lebih jauh mengenai siasat menghadapi ancaman bencana dengan lebih matang. Widjo Kongko berpendapat pemerintah perlu menyusun skala prioritas terkait penganggaran untuk penanganan bencana. “Ini Indonesia kan luas,” ia melanjutkan, “Maka yang harus dilakukan adalah skala prioritas. Nah kalau skala prioritas itu berarti kita melihat kajian- kajian yang sudah cukup lengkap untuk menjadi prioritas ke Foto Resha Aditya P 39 MEDIAKEUANGAN 38 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 " Soal penganggaran pembangunan kembali pasca bencana bukan sekedar masalah birokrasi jumlah anggaran dan penyaluran. Tetapi mesti berangkat dari konsepsi ". Kuntoro Mangkusubroto Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh- Nias 2005-2009
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda
Opini Teks Ariza Ayu Ramadhani, pegawai Biro KLI Sekretariat Jenderal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Potensi Pertumbuhan Ekonomi PELAJARAN DARI PANDEMI UNTUK S ebelum COVID-19, sejarah mencatat kemunculan empat pandemi selama abad ke-21 yaitu N1H1 atau flu burung di tahun 2009, SARS di tahun 2002, MERS di tahun 2012 dan Ebola di tahun 2013 – 2014. Dari kelima pandemi tersebut, tingkat fatalitas COVID-19 memang bukan yang tertinggi, tapi yang paling mudah menular dari manusia ke manusia sehingga persebarannya sangat cepat. Dari data WHO, sejak Desember 2019 sampai Juni 2020 tercatat 7,69 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia. Negara-negara yang terjangkit wabah COVID-19 mulanya mengalami krisis kesehatan yang selanjutnya menjalar ke krisis ekonomi dan berpotensi menuju ke krisis sektor keuangan. Adanya wabah yang sangat mudah menular dari manusia ke manusia menyebabkan negara harus membuat kebijakan pembatasan aktivitas fisik seperti bekerja, sekolah, dan rekreasi yang berarti juga menghentikan aktivitas ekonomi. Di Indonesia, pembatasan fisik ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2020 hanya sebesar 2,97%. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal yang sama di tahun 2019 adalah sebesar 5,19%. Hantaman krisis diprediksi paling berat terjadi di kuartal kedua dengan pertumbuhan ekonomi di bawah nol. Studi yang dilakukan Simon Wren- Lewis, Ekonom Universitas Oxford, menunjukkan bahwa dampak terbesar dari pandemi terhadap ekonomi diprediksi terjadi selama 3 sampai 6 bulan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi kurang lebih sebesar lima persen (5%). Setelah periode tersebut, pertumbuhan ekonomi akan kembali melaju (bounce-back) . Oleh karena itu, di samping terus menangani COVID-19 baik dari sisi kesehatan maupun dampaknya terhadap masyarakat, kita dapat bersiap untuk memetik pelajaran dari COVID-19 ini untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi di masa depan. Human Capital Studi mengenai teori Pertumbuhan Ekonomi Endogenous menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara lebih ditentukan oleh sumber daya manusia ( human capital ) dan inovasi yang dilakukan di dalam sebuah sistem perekonomian melalui research and development (R&D). Teori ini pertama kali muncul di tahun 1962 yang terus menjadi perhatian para ekonom hingga saat ini. Sebelum pandemi COVID-19, berbagai universitas terbaik di dunia telah banyak membuka kelas daring. Kita juga mengenal platform belajar seperti coursera atau udemy untuk meningkatkan kemampuan melalui kelas daring baik berbayar maupun tidak berbayar. Kelas-kelas ini memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk belajar dari para profesor atau ahli terkemuka dari universitas atau institusi terbaik di dunia dengan harapan memperkecil gap ilmu pengetahuan. Di masa pandemi COVID-19, adanya kebijakan pembatasan fisik memaksa sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan pembelajaran daring, kantor-kantor untuk tetap beroperasi dengan pegawai yang bekerja dari rumah, dan komunikasi yang dilakukan tanpa kegiatan tatap muka. Kondisi ini memaksa banyak orang untuk beradaptasi dengan cepat, menyamankan diri dengan pertemuan- pertemuan virtual termasuk webinar, briefing , dan training yang sangat berdampak pada akselerasi sharing knowledge antar manusia dan antar institusi yang seolah tanpa batas. Nyatanya, produktivitas organisasi tetap terjaga atau bahkan meningkat dengan adanya work from home (WFH) ini. CEO Twitter, misalnya, memberlakukan WFH selama-lamanya karena kinerja perusahaannya tidak terganggu dengan keterpaksaan WFH selama pandemi. Kondisi ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kesenjangan informasi dan kesempatan, misalnya antara masyarakat perkotaan- perdesaan. Program peningkatan kualitas SDM perdesaan misalnya melalui Dana Desa, dapat difokuskan untuk memberikan edukasi mengenai pelatihan-pelatihan daring yang bisa diakses. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun mendatang. Inovasi Inovasi dapat tercipta melalui sumber daya manusia yang berkualitas, seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, dan juga melalui perkembangan teknologi. Berbeda dengan inovasi berupa penemuan- penemuan baru seperti yang terjadi berabad-abad lalu, beberapa ekonom dunia mempercayai bahwa inovasi yang terjadi saat ini dapat disebut sebagai “ creative destruction ” yang berarti melakukan perbaikan dan peningkatan atas hal-hal yang sebenarnya sudah ada. Argumentasi ini pertama kali dicetuskan oleh ekonom Austria, Joseph Schumpeter (1942) dan diperbaharui oleh banyak ekonom hingga saat ini. Di Indonesia, 60 persen tenaga kerja diserap oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di masa pandemi ini, UMKM atau SME termasuk golongan yang paling terdampak COVID-19. Menurut beberapa studi, UMKM yang memanfaatkan teknologi dalam usahanya, terbukti lebih kuat dalam menghadapi guncangan eksternal. Hal ini mungkin terjadi karena penggunaan teknologi dapat berarti administrasi yang lebih tertata, pembukuan yang tertib, pemasaran melalui marketplace , sehingga memungkinkan usaha tersebut tetap bertahan di masa pembatasan fisik seperti saat ini. Setelah pandemi berakhir, perusahaan-perusahaan besar di bidang teknologi informasi dan juga start-up unicorn dapat mendukung pemulihan ekonomi dan bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui digitalisasi UMKM baik dengan memberikan dukungan berupa modal, infrastruktur atau berbagi keahlian yang spesifik untuk tujuan tersebut. Melalui UMKM yang kuat, angka pengangguran berkurang, penerimaan negara bertambah, sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Untuk menjadikan human capital dan inovasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia, diperlukan poin ketiga, yaitu perubahan pola pikir. Pola pikir bahwa akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi harus dibuka untuk semua golongan masyarakat. Upaya ini perlu mendapatkan perhatian baik dari regulator (pemerintah) maupun dari universitas-universitas terbaik dan juga perusahaan-perusahaan besar agar ketimpangan pendidikan dan keahlian tidak semakin melebar di Indonesia. Ilustrasi A. Wirananda