Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Relevan terhadap
Ayat (1) Yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah isteri atau suami, keturunan sedarah dari tenaga kerja menurut garis lurus ke bawah, dan garis lurus ke atas, dihitung sampai derajat kedua termasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus ke atas dan ke bawah tidak ada, diambil garis ke samping dan mertua. Bagi tenaga kerja yang tidak mempunyai keluarga, hak atas Jaminan Kematian dibayarkan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari tenaga kerja yang bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Dalam hal magang atau murid, mereka yang memborong pekerjaan, dan narapidana meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas Jaminan Kematian. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan biaya pemakaman antara lain pembelian tanah, peti mayat, kain kafan , transportasi, dan lain-lain yang bersangkutan dengan tata cara pemakaman sesuai dengan adat-istiadat, agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta kondisi daerah masing-masing tenaga kerja yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, maka hak atas Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala, diberikan kepada janda atau duda, atau anak yatim piatu. Apabila tenaga kerja meninggal dunia sebelum hak Jaminan Hari Tua timbul, maka.hak atas Jaminan Hari Tua tersebut diberikan kepada janda atau duda, atau anak yatim piatu secara sekaligus atau berkala. Yang dimaksud dengan yatim piatu adalah anak yatim atau anak piatu, yang ada pada saat janda atau duda meninggal dunia masih menjadi tanggungan janda atau duda tersebut. Pasal 15 Yang dimaksud dengan masa kepesertaan tertentu adalah jangka waktu tenaga kerja telah mencapai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Pembayaran Jaminan Hari Tua berdasarkan masa kepesertaan tertentu dapat diberikan kepada tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Pasal 16 Ayat (1) Upaya pemeliharaan kesehatan meliputi aspek-aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara tidak terpisah-pisah. Namun demikian khusus untuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja lebih ditekankan pada aspek kuratif dan rehabilitatif tanpa mengabaikan dua aspek lain. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat pertama adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilakukan di Pelaksana Pelayanan kesehatan tingkat pertama. Huruf b Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat lanjutan adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang merupakan rujukan (lanjutan) dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat jalan tingkat pertama. Huruf c Yang dimaksud dengan rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau rumah sakit Pelaksana Pelayanan Kesehatan lain. Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat inap:
rumah sakit pemerintah pusat dan daerah;
rumah sakit swasta yang ditunjuk. Huruf d Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan. Huruf e Yang dimaksud dengan penunjang diagnostic adalah semua pemeriksaan dalam rangka menegakkan diagnosa yang dipandang perlu oleh pelaksana pengobatan lanjutan dan dilaksanakan di bagian diagnostic, rumah sakit atau di fasilitas khusus untuk itu, meliputi:
pemeriksaan laboratorium;
pemeriksaan radiologi;
pemeriksaan penunjang diagnosa lain. Huruf f Yang dimaksud dengan pelayanan termasuk perawatan khusus adalah pemeliharaan kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit tertentu serta pemberian alat-alat organ tubuh agar dapat berfungsi seperti semula, yang meliputi:
kaca mata;
prothese gigi;
alat bantu dengar;
prothese anggota gerak;
prothese mata. Huruf g Yang dimaksud dengan keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan pemeriksaan medis segera, yang apabila tidak dilakukan akan menyebabkan hal yang fatal bagi penderita. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Daftar keluarga merupakan keterangan penting sebagai bahan untuk menetapkan siapa yang berhak atas jaminan atau santunan. Hal ini untuk mencegah agar hak tersebut tidak jatuh kepada orang lain yang bukan keluarganya. Daftar upah diperlukan untuk menentukan besarnya iuran dan jaminan atau santunan yang menjadi hak tenaga kerja. Daftar kecelakaan kerja diperlukan untuk mengetahui tingkat keparahan dan frekuensi kecelakaan kerja di perusahaan yang gunanya untuk tindakan preventif dan pelaksanaan pembayaran jaminan atau santunan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Sesuai dengan tahap perkembangan pembangunan nasional yang berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat pada umumnya dan perusahaan pada khususnya dalam membiayai program jaminan sosial tenaga kerja maupun kemampuan administrasi, dipandang perlu diadakan pentahapan kepesertaan. Ayat (2) Pada prinsipnya semua tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja. Dengan adanya pentahapan kepesertaan dan tidak diberlakukannya lagi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia, maka terdapat tenaga kerja yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap risiko kecelakaan kerja. Sesuai dengan prinsip risiko pekerjaan (risque profesionnel) dimana risiko ditimpa kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan merupakan tanggung jawab pengusaha, maka pengusaha yang belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja tetap bertanggung jawab atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerjanya. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Kecelakaan kerja pada dasarnya merupakan suatu risiko yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Oleh karena itu, pembiayaan-program ini sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha, sedangkan jaminan sosial tenaga kerja lebih menekankan kepada aspek kemanusiaan, dimana pengusaha perlu memperhatikan nasib tenaga kerja serta keluarganya. Oleh karena itu, beban Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dan Jaminan Kematian (ditanggung oleh pengusaha. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal pengusaha yang telah mempunyai itikad baik untuk membayar iuran dan mengumpulkan iuran tenaga kerjanya, tetapi ternyata terlambat membayarkan kepada Badan Penyelenggara dari waktu yang ditentukan, dapat diwajibkan membayar tambahan presentase pembayaran yang diperhitungkan dengan keterlambatannya. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Dalam rangka memberikan pelayanan, acara cepat kepada tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan, maka Badan Penyelenggara perlu segera mengadakan perhitungan, dan secepatnya membayarkan jaminan dimaksud kepada yang berhak. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dalam hal ketetapan Menteri belum ada, maka untuk mempercepat dan memperlancar pemberian Jaminan Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerja, maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menetapkan sementara kecelakaan kerja, dan besarnya jaminan setelah memperoleh pertimbangan dokter penasihat, sedangkan penetapan akhir oleh Menteri. Yang dimaksud dengan dokter penasihat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atas usul dan diangkat oleh Menteri untuk keperluan pelaksanaan Undang-undang ini. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Bentuk Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud adalah Perusahaan Perseroan (PERSERO). Mengingat luasnya program dan besarnya jumlah kepesertaan maka program jaminan sosial tenaga kerja bila dipandang perlu dapat diselenggarakan oleh lebih dari satu Badan Usaha Milik Negara. Ayat (3) Mengingat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja melaksanakan program peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja yang dananya berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja, maka Badan Usaha Milik Negara yang diserahi tugas menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, sudah sewajarnya mengutamakan pelayanan kepada peserta di samping melaksanakan prinsip solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas. Dengan demikian Badan Penyelenggara dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik dan dapat membiayai kebutuhannya sendiri sebagai perusahaan, sehingga tidak akan membebani anggaran belanja Negara. Pasal 26 Yang dimaksud dengan tidak lebih dari 1 (satu) bulan adalah setelah dipenuhinya syarat-syarat teknis dan administratif oleh pengusaha dan atau tenaga kerja. Pasal 27 Pemberian peranan kepada unsur tenaga kerja, unsur pengusaha bersama-sama dengan unsur pemerintah dalam penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja akan meningkatkan rasa ikut memiliki, dan rasa ikut bertanggung jawab dalam rangka upaya menyukseskan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja, mengingat sebagian besar dari kekayaan yang dimiliki oleh Badan Penyelenggara berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja. Pasal 28 Upaya pengamanan kekayaan/asset Badan Penyelenggara dan investasinya harus memenuhi syarat aman, memberikan hasil, memenuhi kewajiban (likuid), dan diversifikasi dalam bentuk yang menguntungkan serta mencegah risiko yang tidak diinginkan. Mengingat program jaminan sosial tenaga kerja menyangkut kepentingan tenaga kerja yang sebagian besar mereka yang berpenghasilan rendah, maka upaya pengamanan kekayaan baik investasi, pengelolaan maupun penyimpanan uang harus terjamin. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas
Pajak Bumi dan Bangunan.
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tangal 27 Desember 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 68 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN I. UMUM Dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak. Sebelum berlakunya Undang-undang ini, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 dan terhadap tanah yang tunduk pada hukum barat dipungut pajak berdasarkan Ordonansi Verponding Indonesia 1923, dan Ordonansi Verponding 1928. Di samping itu terdapat pula pungutan pajak atas tanah dan bangunan yang didasarkan pada Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 serta lain-lain pungutan daerah atas tanah dan bangunan. Sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan kekayaan telah menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya sehingga mengakibatkan beban pajak berganda bagi masyarakat. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942, Pasal 14 huruf j, huruf k, dan huruf l Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), dan lain-lain peraturan perundang-undangan tentang pungutan daerah sepanjang mengenai tanah dan bangunan perlu dicabut. Peraturan Perundang-undangan lainnya terutama yang selama ini menjadi dasar bagi penyelenggaraan pungutan oleh Daerah, khususnya seperti pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor masih berlaku. Dengan mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi macam-macam pungutan atas tanah dan/atau bangunan, tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran perpajakan dari masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula. Obyek Pajak dalam Undang-undang ini adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah Republik Indonesia. Dalam mencerminkan keikutsertaan dan kegotongroyongan masyarakat di bidang pembiayaan pembangunan, maka semua obyek pajak dikenakan pajak. Dalam Undang- undang ini, bumi dan/atau bangunan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dikenakan Pajak. Penentuan Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan, maka sebagian besar hasil penerimaan pajak ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Penggunaan pajak yang demikian oleh daerah akan merangsang masyarakat untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak mereka yang sekaligus mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan. Karena Pajak Bumi dan Bangunan sebagian besar akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah maka dirasa perlu untuk menetapkan tempat-tempat pembayaran yang lebih mudah dan dekat sehingga Pemerintah Daerah yang bersangkutan dapat segera memanfaatkan hasil penerimaan pajak guna membiayai pembangunan dimasing-masing wilayahnya. Tempat yang lebih dekat tersebut adalah seperti Bank, Kantor Pos dan Giro serta tempat- tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Bagi wajib pajak dimungkinkan memperoleh pengurangan atas pembayaran pajaknya, karena sebab-sebab tertentu atau dalam hal obyek pajak ditimpa bencana alam atau sebab lain yang luar biasa, sehingga wajib pajak tidak mampu membayar hutang pajaknya. II. PASAL DEMI PASAL
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Relevan terhadap 3 lainnya
Besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat.
Besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat.
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dalam rangka melaksanakan program pemerintah dan mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau sektor keuangan.
Perubahan besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atau Dokumen dan besaran tarif tetap yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penjelasan Pasal 4 Cukup jelas. 377 Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat. Ayat (2) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat. Ayat (3) Sebagai contoh pengenaan tarif tetap yang berbeda, misalnya atas Dokumen surat berharga dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dari tarif yang berlaku berdasarkan kebutuhan pelaksanaan kebijakan sektor keuangan dalam rangka inklusi keuangan atau pendalaman pasar keuangan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah komisi yang membidangi keuangan dan perbankan.
Pajak Penghasilan
Relevan terhadap
Dalam undang-undang ini dianut pengertian penghasilan yang luas, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh seseorang atau badan merupakan ukuran yang terbaik mengenai kemampuan seseorang atau badan untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan Pemerintah guna membiayai kegiatan-kegiatannya baik yang rutin, maupun untuk pembangunan. Ini merupakan salah satu sifat dari sistem Pajak Penghasilan ini yang bertujuan untuk memeratakan beban pembangunan. Setiap tambahan kemampuan ekonomis, dari manapun datangnya, merupakan tambahan kemampuan untuk ikut memikul biaya kegiatan Pemerintah. Pengertian penghasilan dalam undang-undang ini tidak terikat lagi pada ada tidaknya sumber-sumber penghasilan tertentu seperti yang dianut oleh undang- undang lama. Penghasilan itu dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, dapat dikelompokkan menjadi: - penghasilan dari pekerjaan, yaitu pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti penghasilan dari praktek dokter, notaris, akuntan publik, aktuaris (ahli matematika asuransi jiwa), pengacara, dan sebagainya; - penghasilan dari kegiatan usaha, yaitu kegiatan melalui sarana perusahaan; - penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa harta gerak, seperti bunga, dividen, royalti, maupun penghasilan dari modal berupa harta tak gerak, sewa rumah, dan sebagainya; juga termasuk dalam kelompok penghasilan dari modal ini adalah penghasilan dari harta yang dikerjakan sendiri, misalnya penghasilan yang diperoleh dari pengerjaan sebidang, tanah, keuntungan penjualan harta atau hak yang, tidak dipakai dalam melakukan kegiatan usaha; - penghasilan lain-lain, seperti menang lotere, pembebasan hutang, dan lain-lain penghasilan yang tidak termasuk dalam kelompok lain. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung, yang selanjutnya dipakai untuk memperoleh harta yang tidak terpakai habis sebagai konsumsi dalam satu tahun. Walaupun penghasilan itu dapat dikelompokkan, namun pengertian penghasilan tidak terbatas pada yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan tertentu. Contoh-contoh yang disebut dalam undang-undang ini sekedar untuk memperjelas tentang pengertian penghasilan yang luas, dan tidak terbatas pada apa yang disebutkan oleh undang-undang ini. Ayat (1) Huruf a Semua imbalan atau pembayaran dari pekerjaan dalam hubungan kerja yang dapat berupa upah, gaji, dan sebagainya, termasuk Premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja. Pemberian gaji dalam bentuk natura tidak dimasukkan dalam pengertian penghasilan bagi penerima, seperti misalnya perumahan(kecuali di daerah terpencil, yang tidak tersedia rumah yang disewakan), kendaraan bermotor, dan sebagainya. Bagi pihak pemberi kerja, pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat(1) huruf d. Huruf b Honorarium yang dibayarkan kepada artis, olahragawan, pemberi ceramah seperti pada seminar-seminar internasional. Hadiah undian mencakup juga pengertian hadiah yang diberikan tanpa diundi. Huruf c Yang dimaksud dengan laba bruto usaha adalah penghasilan bruto yang diperoleh dari usaha. Laba bruto usaha ditambah penghasilan bruto lainnya sama dengan jumlah penghasilan bruto seluruhnya. Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan perlu dilaporkan laba bruto usaha dan pengurangan yang diperbolehkan oleh undang-undang ini. Jadi... Jadi tidak dimaksudkan, bahwa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan hanya dilaporkan penghasilan kena pajak. Penambahan penghasilan lain-lain dan pengurangan biaya lain-lain terhadap laba netto dari usaha mencerminkan adanya apa yang disebut dalam dunia perpajakan sebagai kompensasi horizontal. Baik laba netto usaha maupun penghasilan lain-lain setelah di kurangi biaya yang bersangkutan dapat menjadi negatif. Kompensasi horizontal semacam itu diperbolehkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Huruf d Apabila seorang Wajib Pajak menjual harta lebih dari harga sisa buku atau harga/nilai perolehan pada saat penjualan, maka selisih harga tersebut merupakan penghasilan. Jika harta yang dijual itu bukan merupakan harta perusahaan dan telah dimiliki sebelum berlakunya undang-undang ini, penghasilan yang diperoleh adalah selisih antara harga penjualan dengan nilai jual pada saat undang-undang ini berlaku. Demikian pula apabila sebuah badan usaha menjual kekayaan kepada pemegang saham misalnya berupa mobil dengan harga sebesar harga sisa buku Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)sedangkan di pasar harganya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), maka selisih sebesar Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah) merupakan penghasilan bagi badan usaha tersebut dan bagi pemegang saham yang membeli itu, Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah) merupakan penghasilan. Huruf e Pengembalian pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya pada saat menghitung penghasilan kena pajak, misalnya Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang setelah ditetapkan kembali ternyata kelebihan bayar, maka kelebihan bayar tersebut adalah penghasilan. Huruf f... Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, baik yang dijanjikan maupun tidak. Huruf g Ketentuan ini mengatur tentang pengertian penghasilan berupa dividen, yaitu bagian keuntungan yang diterima oleh para pemegang saham atau pemegang polis asuransi. Nama apapun yang diberikan atau dalam bentuk apa bagian keuntungan itu diterima tidak menjadi pertimbangan. Termasuk dalam pengertian dividen adalah :
pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetorkan;
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan;
pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan;
apa yang diterima atau diperoleh karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan, yang melebihi jumlah setoran sahamnya;
pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang telah disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
pembayaran atas tanda-tanda laba, termasuk apa yang diterima sebagai penebusan tanda- tanda tersebut;
laba dari obligasi yang ikut serta dalam pembagian laba;
pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Perlu... Perlu ditegaskan disini, bahwa dari apa yang disebut pada angka 1 sampai dengan angka 9 di atas dapat disimpulkan, bahwa pengertian dividen atau pembagian keuntungan perusahaan mencakup pengertian yang luas, yaitu setiap pembagian keuntungan perusahaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, Dalam praktek sering dijumpai pembagian/pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dengan pengalihan harta perusahaan kepada pemegang saham atau peserta dengan penggantian harga di bawah harga pasar. Selisih antara harga pasar dengan harga yang dibayar oleh pemegang saham adalah merupakan pembayaran dividen secara terselubung (lihat penjelasan ayat (1) huruf d). Contoh : Suatu harta PT A berupa mobil yang mempunyai harga sisa buku sebesar Rp. 1.000.000,- sedangkan harga pasar sebesar Rp. 5.000.000,- .Mobil tersebut dialihkan kepada pemegang saham B dengan penggantian sebesar harga sisa buku, yaitu Rp. 1.000.000,-. Di sini terdapat pembayaran dividen secara terselubung sebesar Rp. 4.000.000,-.Berdasarkan ketentuan ini PT A harus memotong Pajak Penghasilan sebesar 15% x Rp. 4.000.000,- = Rp. 600.000,-. Dalam pengertian dividen ini termasuk pula bagian keuntungan yang diterima oleh pengurus dari anggota koperasi.Pada tingkat koperasi, Sisa Hasil Usaha koperasi yang semata-mata berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan anggota tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, bagi pengurus dari anggota koperasi, pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi yang diterimanya merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Apabila pembayaran dari pengembalian Sisa Hasil Usaha yang diterima oleh masing-masing pengurus dan anggota koperasi tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak maka pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi tersebut tidak terkena pajak. Huruf h... Huruf h Yang dimaksud disini adalah pembayaran royalti atau apapun namanya sehubungan dengan penggunaan hak seperti: hak paten/oktroi, lisensi, merek dagang, pola atau model, rencana, rahasia perusahaan, cara pengerjaan, hak pengarang dan hak cipta mengenai sesuatu karya dibidang kesenian atau ilmiah, termasuk karya film sinematografi. Pada dasarnya pembayaran royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu pembayaran atas penggunaan:
hak atas harta tak berwujud: hak pengarang, paten merek dagang, formula atau rahasia perusahaan;
hak atas harta berwujud: hak atas alat- alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan:
jasa: pemberian informasi yang diperlukan mengenai usaha dan investasi pada umumnya, pengalaman di bidang industri, perniagaan dan ilmu pengetahuan pada khususnya; yang dimaksudkan dengan informasi di sini adalah informasi yang belum diungkapkan secara terbuka. Huruf i Ketentuan ini mengatur penghasilan uang sewa yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta, baik harta gerak misalnya sewa pemakaian mobil dan sebagainya maupun penggunaan harta tak gerak, misalnya sewa rumah. Huruf j Contoh : Tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berkala. Huruf k Pembebasan hutang oleh pihak yang berpiutang- merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berhutang. Ayat (2)... Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1) huruf f pasal ini bunga merupakan Obyek Pajak. Tabungan masyarakat merupakan pula sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan. Dengan Peraturan Pemerintah, terhadap bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dapat dibebaskan dari pengenaan pajak dengan memperhatikan perkembangan moneter serta pelaksanaan pembangunan. Ayat (3) Huruf a Harta hibahan atau bantuan yang diterima yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak termasuk penghasilan. Ini sebagai imbangan dari Pasal 9 ayat (1) huruf f yang mengatur bahwa harta hibahan atau bantuan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan pihak pemberi. Huruf b Warisan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima ahli waris tidak merupakan Obyek Pajak, walaupun warisan itu jumlahnya besar. Warisan sebagai Subyek Pajak, baru dikenakan pajak apabila warisan tersebut memberikan penghasilan, misalnya sewa yang diterima dari rumah warisan. Huruf c Pembayaran oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis misalnya karena kecelakaan, kerugian atau karena meninggalnya tertanggung, demikian juga penerimaan pembayaran bea siswa dari perusahaan asuransi tidak merupakan penghasilan. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c ditentukan, bahwa premi asuransi jiwa, kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, kecuali premi tersebut di tanggung oleh pemberi kerja. Huruf d... Huruf d Bila seorang pemberi kerja yang merupakan Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang ini memberi kenikmatan berupa natura kepada karyawan atau orang lain yang ada hubungan pekerjaan, maka kenikmatan tersebut tidak dianggap sebagai penghasilan bagi pihak penerima.Yang dimaksud dengan kenikmatan dalam bentuk natura ialah suatu tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh tidak dalam bentuk uang seperti kenikmatan mempergunakan mobil perusahaan dengan cuma- cuma, kenikmatan mendiami rumah yang disewa oleh perusahaan atau rumah milik perusahaan, pemberian beras dengan cuma-cuma, dan sebagainya. Bagi pihak pemberi kerja jumlah tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya. Kenikmatan pemakaian rumah yang diberikan oleh Pemerintah kepada pegawai Pemerintah, Pejabat Negara dan Pejabat Lembaga Pemerintah non Departemen lainnya, tidak merupakan penghasilan bagi pihak yang bersangkutan. Dalam pengertian Pemerintah termasuk Perusahaan Jawatan. Apabila yang memberi kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang ini, maka kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pihak yang menerima. Contoh: Seorang pegawai bangsa Indonesia yang bekerja di salah satu perwakilan diplomatik, memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan Diplomatik tersebut atau kenikmatan- kenikmatan lainnya, maka kenikmatan-kenikmatan tersebut harus dimasukkan sebagai penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan tidak merupakan Subyek Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong pembayaran oleh pemberi kerja kepada pegawai atau karyawannya dilakukan dalam bentuk uang, sehingga dengan demikian mempermudah pengenaan pajaknya. Huruf e Seseorang yang mengalihkan harta atau anggota persekutuan firma, perseroan komanditer, kongsi yang mengalihkan harta persekutuan untuk mendirikan Perseroan Terbatas dengan pembayaran berupa saham (inbreng). maka keuntungan berupa selisih antara harga sisa buku dengan nilai jual harta tersebut, tidak merupakan penghasilan, apabila setelah terjadinya pengalihan, pihak yang mengalihkan harta atau pihak-pihak yang mengalihkan harta secara bersama-sama, memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari seluruh nilai saham disetor dari Perseroan Terbatas yang menerima pengalihan. Syarat 90% (Sembilan puluh persen) tersebut harus dipenuhi pada saat terjadinya pengalihan yang bersangkutan. Huruf f Harta yang dialihkan kepada perseroan, persekutuan atau badan-badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal tidak dikenakan pajak pada saat pengalihan kepada perseroan itu, melainkan di kemudian hari, apabila harta itu dijual atau dialihkan lagi: Oleh karena itu penilaian harta tersebut ketika perseroan menerima pengalihan harus sama dengan harga sisa buku pada saat pengalihan. Huruf g Dividen yang diperoleh atau diterima oleh perseroan dalam negeri dari perseroan lain, tidak dianggap sebagai penghasilan, apabila perseroan yang menerima tersebut tidak sekedar membungakan uang yang sedang tidak dipakai, melainkan pada dasarnya bersifat kekal dan kedua perseroan tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan jalur usaha. Dividen sebagai hasil pembungaan uang, sementara uang itu tidak terpakai, dikenakan pajak. Contoh : Contoh : PT A pabrik tekstil, PT B pabrik benang tenun. Antara PT A dan PT B ada hubungan ekonomis dalam jalur usahanya. PT A memiliki 25%(dua puluh lima persen) dari saham yang disetor PT B, maka dividen yang diterima atau diperoleh PT A dari PT B tidak termasuk dalam pengertian penghasilan. Apabila badan yang menerima atau memperoleh dividen memiliki saham 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari nilai saham yang disetor, sedangkan kedua badan tersebut tidak mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya, maka dividen yang, diterima atau diperoleh tidak termasuk dalam pengecualian sebagai Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini. Contoh : PT X pabrik tekstil. PT Y pabrik minuman. PT X memiliki 25% (dua puluh lima persen)dari saham yang disetor dari PT Y. Antara PT X dan PT Y tidak terdapat hubungan ekonomis dalam jalur usahanya. Oleh karena itu, dividen yang diterima atau diperoleh PT X dari PT Y tidak dikecualikan sebagai Obyek Pajak. Dengan perkataan lain, dividen yang diterima atau diperoleh PT X dari PT Y merupakan Obyek Pajak. Huruf h Iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pembentukannya telah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan, baik yang dibayar secara berkala dan yang dibayar sekaligus oleh pemberi kerja maupun oleh Wajib Pajak sendiri tidak termasuk penghasilan yang dikenakan pajak. Huruf i Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum adalah kegiatan usaha yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
kegiatan...
kegiatan usaha harus semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan;
kegiatan usaha harus semata-mata bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum;
kegiatan usaha ini tidak mempunyai tujuan mencari laba. Laba yayasan yang tidak termasuk pengertian penghasilan adalah tidak lain daripada kelebihan hasil usaha yang terjadi karena realisasi penerimaan melebihi realisasi biaya yang dikeluarkan dalam tahun pajak yang bersangkutan. Laba ini tidak termasuk dalam pengertian Obyek Pajak menurut undang-undang ini, sepanjang laba tersebut semata-mata merupakan kelebihan hasil usaha sebagai diuraikan di atas, yang telah diperhitungkan untuk melakukan kegiatan sosial yayasan atau perkumpulan tersebut. Apabila pembayaran balas jasa yang diterima cukup tinggi sehingga kelebihan itu dibagikan kepada pengurus yayasan maka kegiatan yayasan itu tidak lagi semata-mata untuk kepentingan umum dan kelebihan tersebut merupakan bagian penghasilan yang dikenakan pajak. Huruf j Penghasilan yayasan dari modal yang ditanam di luar kegiatan yang semata-mata untuk kepentingan umum yang digunakan untuk membiayai kegiatan sosial yayasan, tidak merupakan Obyek Pajak. Misalnya suatu yayasan atau wakaf dalam membiayai kegiatan sosialnya menerima sumbangan. Kelebihan sumbangan yang diterima dari keperluan biaya kegiatan tersebut ditanam di luar kegiatan sosialnya. Hasil yang diperoleh dari penanaman modal ini sepanjang dipergunakan untuk membiayai kegiatan sosialnya, tidak merupakan Obyek Pajak. Huruf k... Huruf k Pembagian keuntungan yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan, tidak merupakan Obyek Pajak. Namun, undang-undang memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengenakan Pajak Penghasilan atas pembagian keuntungan tersebut di atas jika ketentuan ini disalahgunakan, sehingga dapat merugikan Keuangan Negara.
Bea Meterai
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 69 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI UMUM Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada semua Warga Negara untuk berperanserta dalam Pembangunan Nasional. Salah satu cara dalam mewujudkan peran serta masyarakat tersebut adalah dengan memenuhi kewajiban pembayaran atas pengenaan Bea Meterai terhadap dokumen-dokumen tertentu yang digunakan. Pengaturan pengenaan Bea Meterai selama ini yang terdapat dalam Aturan Bea Meterei 1921 (Zegelverordening 1921) (Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia sehingga perlu disederhanakan. Untuk itu Undang-undang ini tidak lagi mencantumkan Bea Meterai menurut luas kertas dan Bea Meterai sebanding melainkan hanya Bea Meterai tetap yang besarnya Rp. 1.000,- (seribu rupiah) dan Rp. 500,- (lima ratus rupiah). Selanjutnya untuk kesederhanaan dan kemudahan pemenuhan Bea Meterai maka pelunasannya cukup dilakukan dengan menggunakan meterai tempel dan kertas meterai, sehingga masyarakat tidak perlu lagi datang ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk memperoleh Surat Kuasa Untuk Menyetor (SKUM). Yang dikenakan Bea Meterai dibatasi pada dokumen-dokumen yang disebut dalam Undang- undang ini, yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Untuk melunasi Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar beserta dendanya (jika ada) dilakukan dengan cara pemeteraian kemudian (nazegeling). PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya tersebut, dibebani kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas surat perjanjian atau surat-surat yang dipegangnya. Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d, huruf e, dan huruf f Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d, huruf e, dan huruf f ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya maka jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas surat-surat yang semula tidak kena Bea Meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan maka lebih dahulu harus pemeteraian-kemudian. Huruf a Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk tujuan sesuatu pembuktian misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang. Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila kemudian dipakai sebagai alat pembuktian dimuka Pengadilan, maka terlebih dahulu dilakukan pemeteraian-kemudian. Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar harga barang. Daftar ini dibuat tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakan sebagai alat pembuktian, maka daftar harga barang ini terlebih dahulu dilakukan pemeteraian-kemudian. Huruf b Surat-surat yang dimaksud dalam huruf b ayat ini ialah surat-surat yang karena tujuannya tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi apabila tujuannya kemudian diubah maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai. Misalnya tanda penerimaan uang yang dibuat dengan tujuan untuk keperluan intern organisasi tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian tanda penerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka tanda penerimaan uang tersebut harus dilakukan pemeteraian-kemudian terlebih dahulu. Ayat (4) Lihat penjelasan ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Huruf a Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Yang dimaksud dengan surat-surat lainnya dalam angka 7 ini ialah surat-surat yang tidak disebut pada angka 1 sampai dengan angka 6 namun karena isi dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat-surat yang dimaksud, seperti surat titipan barang, cell gudang, manifest penumpang, maka surat yang demikian ini tidak dikenakan Bea Meterai, menurut Pasal 4 huruf a ini. Huruf b Termasuk dalam pengertian segala bentuk ijazah ini ialah surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti sesuatu pendidikan, latihan, kursus, dan penataran. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Bank yang dimaksud dalam huruf e ini adalah bank yang ditunjuk, oleh Pemerintah untuk menerima setoran pajak, bea dan cukai. Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas Pasal 5 Huruf a Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf a, adalah pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuitansi, cek, dan sebagainya. Huruf b Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf b, adalah pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut. Huruf c Cukup jelas Pasal 6 Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terhutang oleh penerima kuitansi. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terhutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terhutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak- pihak yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pada umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut tarif yang ditentukan dalam Undang-undang ini. Disamping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagi pelunasan Bea Meterai, misalnya membubuhkan tanda-tera sebagai pengganti benda meterai di atas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditentukan untuk itu. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang sejenis dengan tinta misalnya pensil tinta, balllpoint dan sebagainya. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Ayat ini menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai. Andaikata bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan besarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Jika sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi. Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia. Jika dokumen tersebut hendak digunakan di Indonesia harus dibubuhi meterai terlebih dahulu yang besarnya sesuai dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan cara pemeteraian-kemudian tanpa denda. Namun apabila dokumen tersebut baru dilunasi Bea Meterai-nya sesudah digunakan, maka pemeteraian-kemudian dilakukan berikut dendanya sebesar 200% (dua ratus persen). Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ditinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal dokumen dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) tanpa izin Menteri Keuangan, akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara Oleh karena itu harus dikenakan sanksi pidana berupa hukuman setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 3313
Pokok Pokok Perbankan.
Relevan terhadap
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 49. Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perbankan 1967". Saat mulai berlakunya Undang- undang ini ditentukan oleh Menteri Keuangan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran- Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1967. Pejabat Presiden Republik Indonesia, ttd SOEHARTO Jenderal T.N.I. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1967. Sekretaris Kabinet Ampera, ttd LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 34 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1967 TENTANG POKOK-POKOK PERBANKAN. A. PENJELASAN UMUM.
Sesuai dengan jiwa dan makna Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966, maka usaha untuk menuju ke arah perbaikan ekonomi rakyat, adalah penilaian kembali dari pada semua landasan- landasan kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan, dengan maksud untuk memperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang diusahakan dan tujuan yang hendak dicapai, yakni masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Panca Sila. Berhubung dengan itu maka kini telah tiba waktunya untuk menilai kembali tata perbankan yang sekarang berlaku dalam Negara Republik Indonesia sedemikian rupa, hingga dapat disesuaikan dan diserasikan dengan landasan- landasan yang telah ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut di atas. Pengaturan kembali tata perbankan di Indonesia wajib dilandaskan pada pembinaan sistim ekonomi Indonesia berdasarkan Pancasila yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi dan yang bertujuan menciptakan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, maka segala potensi, inisiatif dan daya kreasi rakyat wajib dimobilisasikan dan diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum, sehingga dengan demikian segala kekuatan ekonomi potensiil dapat dikerahkan menjadi kekuatan ekonomi riil bagi kemanfaatan peningkatan kemakmuran rakyat. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka pengaturan tata perbankan perlu dilandaskan pada hal-hal seperti berikut:
Tata-perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistim yang menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur seluruh perbankan di Indonesia serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter Pemerintah di bidang perbankan.
Memobilisasikan… b. Memobilisasikan dan memperkembangkan seluruh potensi Nasional yang bergerak di bidang perbankan berdasarkan azas-azas demokrasi ekonomi.
Membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut huruf b bagi kepentingan perbaikan ekonomi rakyat. II. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka tata-perbankan di Indonesia, baik mengenai organisasi maupun strukturnya dibentuk sedemikian rupa, hingga Bank Indonesia sebagai Bank Sentral membimbing pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan mengkoordinir, membina serta mengawasi semua perbankan. Bank-bank, baik milik negara ataupun swasta/koperasi, membantu Bank Sentral dalam melaksanakan tugasnya di bidang moneter. Dalam hubungan ini, maka tugas pokok dari pada perbankan di bawah bimbingan Bank Indonesia ialah untuk menghimpun segala dana-dana dari masyarrakat guna diarahkan ke bidang-bidang yang mempertinggi taraf hidup rakyat. Sesuai dengan skala/prioritas nasional sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966, maka khususnya bagi Bank-bank Pemerintah perlu ditetapkan prioritas-prioritas yang harus diutamakan dalam pengarahan penggunaan perkreditannya, agar supaya dengan demikian usaha-usaha ke arah peningkatan kapasitas produksi dapat dilaksanakan, termasuk penyediaan kredit untuk melayani kebutuhan masyarakat tani, nelayan dan industri kecil/kerajinan, di mana kredit tersebut sejauh mungkin akan disalurkan melalui koperasi-koperasi. Mengingat bahwa masyarakat tersebut diliputi golongan yang lemah ekonominya, tetapi merupakan dasar bagi ekonomi kita yang harus diperkuat dan dibina, maka suatu kebijaksanaan ter- tentu/tersendiri harus digariskan oleh Pemerintah, di mana Pemerintah kalau perlu akan memikul beban-beban tertentu sebagai akibat dari kebijaksanaan tersebut. Untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, maka perlu dihindarkan hambatan-hambatan dan birokrasi, yaitu dengan jalan dikonsentrasi management ke daerah-daerah dengan memperhatikan kondisi-kondisi daerah, guna menjamin kesatuan ekonomi dan kesatuan politik nasional. Dengan berlakunya Undang-undang tentang Pokok-pokok Perbankan ini, maka tidak ada lagi kegiatan di bidang perbankan yang menimpang dari ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. B. PENJELASAN… B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Ayat (1) :
dan (3) : Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksudkan ialah kantor cabang dan perwakilan, baik di dalam maupun di luar negeri. Pasal 6. Ayat (1) . (2) dan (3) : Cukup jelas. Ayat (4) : Sebelum memangku jabatannya, para anggota Direksi harus mengucapkan sumpah jabatan menurut peraturan yang berlaku. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Direksi, harus dipenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini:
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
Setia kepada Pancasila;
Berwibawa;
Jujur;
Cakap/ahli;
Adil;
Tidak terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam gerakan kontra Revolusi G-30S/PKI atau organisasi-organisasi terlarang lainnya. Dalam…. Dalam mengangkat seseorang menjadi Direktur, harus diperhatikan pula, agar jangan sampai ia mempunyai kepentingan-kepentingan lain di luar bank yang dapat berlawanan dengan atau merugikan kepentingan bank. Pasal 7. Ayat (1);
;
dan (4) : Cukup jelas. Pasal 8. Ayat (1) Mengingat pentingnya peranan bank dalam bidang ekonomi dan keuangan dan mengingat pula pentingnya fungsi modal dalam bank, maka untuk dapat mendirikan suatu bank diharuskan adanya modal dibayar yang cukup besar sehingga untuk biaya-biaya pembuatan/penyediaan gedung dan peralatan bank tidak dipergunakan uang simpanan para nasabah. Khususnya mengenai permodalan bank, maka syarat-syarat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan hanya berlaku bagi pendirian bank-bank baru, hingga tidak mempunyai daya surut dan tidak diberlakukan terhadap bank-bank yang sudah ada. Perizinan-perizinan sebagai yang dimaksudkan, diberikan dengan mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Disamping syarat-syarat mengenai permodalan, pemilikan saham dan pimpinan/pegawai bank, Menteri Keuangan mempunyai wewenang untuk jika perlu menetapkan syarat-syarat tambahan, antara lain dalam hubungannya dengan kehendak yang riil dan urgensi dari pendirian suatu bank pada suatu tempat/daerah menurut kondisi sosial-ekonomis dari tempat/daerah yang bersangkutan. Syarat tambahan tersebut diperlukan guna menjuruskan perbankan kepada norma- norma penyelenggaraan usaha bank secara sehat dan guna menyesuaikannya dengan kebijaksanaan moneter Pemerintah. Pasal 9. Ayat (1) : Penjelasan dalam pasal 8 berlaku pula bagi bank yang berbentuk hukum koperasi. Perbedaannya terletak terutama pada kebijaksanaan yang diambil oleh Pemerintah berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 yang menghendaki agar supaya kegorong-royongan yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk koperasi, dijadikan suatu wahana yang esensiil dalam kegiatan Rakyat di bidang ekonomi dan keuangan. Dalam hubungan dengan kebutuhan modal, kepada bank diberikan fasilitas dalam bentuk kesempatan untuk mengangsur kekurangan modalnya dalam waktu 1 (satu) tahun, sebagaimana ditetapkan dalam pasal ini. Dalam… Dalam melaksanakan ketentuan tersebut di atas seyogyanya pendirian bank umum berbentuk hukum koperasi itu dilakukan oleh badan-badan hukum koperasi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi sektor koperasi untuk mendirikan bank umum, karena sebagaimana kita maklum, pendirian bank umum yang berbentuk hukum koperasi oleh individu-individu kecil sekali kemungkinannya, disebabkan karena memang sifatnya koperasi itu ialah usaha bersama dari anggota-anggota yang pada umumnya terdiri dari fihak yang lemah keuangannya. Ayat (2);
dan (4) : Cukup jelas. Pasal 10. Cukup jelas. Pasal 11. Cukup jelas. Pasal 12. Ayat (l) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 13. Ayat (l) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Cukup jelas. Pasal 16. Ayat (1) :
dan (3) : Cukup jelas. Pasal 17. Ayat (1) dan (2) Cukup jelas. Pasal 18… Pasal 18. Ayat (1) dan (2) Cukup jelas. Pasal 19. Ayat (1) : Macam bank asing yang dimungkinkan melakukan usaha di Indonesia hanya ada dua, yaitu bank umum dan bank pembangunan. Bank koperasi, bank tabungan, bank pasar dan segala macam perbankan yang lain, tertutup bagi usaha bank asing. Dengan demikian jelas bahwa bank asing diperkenankan membuka usaha di Indonesia di dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia yang sangat membutuhkan saluran untuk modal asing, baik untuk keperluan pembiayaan biasa, maupun untuk pembiayaan investasi berjangka panjang. Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 20.
Bank asing itu dapat didirikan sebagai badan hukum Indonesia atau hanya sebagai cabang dari suatu bank asing yang berkedudukan di luar negeri.
Sebagai badan hukum Indonesia bank asing hanya dapat berbentuk suatu usaha bersama (joint venture) antara bank nasional dan suatu bank di luar negeri. Termasuk dalam pengertian bank adalah lembaga-lembaga keuangan lainnya menurut pertimbangan Menteri Keuangan setelah mendengar pendapatan Bank Indonesia. Pasal 21. Cukup jelas. Pasal 22. Pengaturan-pengaturan lebih lanjut tentang bank asing akan ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri, dengan memperhatikan pasal 46 Undang-undang ini. Pasal 23. Ayat (1);
;
;
;
;
;
;
dan (9) : Cukup jelas. Pasal 24… Pasal 24. Ayat (1) : Yang dimaksud dengan jaminan dalam ayat (1) ini adalah jaminan dalam arti luas, yaitu jaminan yang bersifat materiil maupun yang bersifat immaterial. Dalam hubungan ini perlu kiranya dikemukakan, bahwa bank-bank dalam menilai suatu permintaan kredit biasanya berpedoman kepada faktor-faktor antara lain watak, kemampuan, modal, jaminan dan kondisi-kondisi ekonomi. Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 25. Ayat (1) : Cukup jelas. Ayat (2) : Bank umum pada azasnya tidak memberikan kredit jangka panjang dan tidak mengadakan penyertaan dalam perusahaan manapun juga. Sungguhpun demikian kita wajib pula memperhatikan perkembangan ekonomi pada waktu yang akan datang, yaitu kemungkinan bahwa pada suatu saat kredit jangka panjang dan penyertaan dari bank umum dalam kegiatan produksi memang diperlukan sebagaimana pula kita lihat dalam perkembangan negara-negara lain yang sudah maju. Oleh karena itulah maka dalam ayat ini masih dibuka kemungkinan untuk memberikan kredit jangka panjang dan mengadakan penyertaan yang tidak bersifat menetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 26. Ayat (1) : Mengingat bahwa simpanan bank berasal dari penabung-penabung kecil dengan jumlah simpanan yang kecil pula,maka kebijaksanaan penanamannya terutama dilakukan dalam kertas-kertas berharga yang oleh bank dengan mudah dan tanpa risiko (atau dengan risiko yang kecil sekali) dapat diuangkan kembali, bilamana dibutuhkan. Ayat (2) : Apabila Bank Indonesia, setelah mendengar bank-bank tabungan yang bersangkutan menganggap perlu membuka kemungkinan bagi bank-bank tersebut untuk memberikan kredit maka pemberian kredit tersebut diatur oleh Bank Indonesia. Pasal 27. Agar bank tidak terlalu dibebani risiko yang besar mengenai penggunaan uang tabungan untuk pinjaman yang diberikan,maka jumlah kredit yang dapat diberikan dibatasi sampai pada suatu jumlah menurut perbandingan tertentu dengan seluruh simpanan. Pasal 28… Pasal 28. Ayat (1) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 29. Ayat (1) : Cukup jelas. Ayat (2) : Berbeda dengan keadaan pada waktu sekarang maka bank pembangunan berdasarkan Undang-undang ini diperkenankan menjalankan usaha-usaha bank umum seperti termaksud dalam ayat ini, dengan ketentuan bahwa bank tersebut hanya diperkenankan mempergunakan simpanan gironya untuk pemberian kredit jangka pendek. Dalam memberi kredit jangka pendek bank tidak boleh melupakan tujuannya sebagai bank pembangunan. Jumlah kredit yang diberikan dengan mempergunakan simpanan jangka pendek dibatasi sampai suatu jumlah menurut perbandingan dengan kewajibannya yang segera dapat ditagih. Besarnya perbandingan ini ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 30. Ayat (1). Sebagai suatu lembaga keuangan yang terutama bekerja dengan uang dari masyarakat yang dititipkan kepadanya atas dasar kepercayaan, maka bank wajib memelihara dan membina kepercayaan tersebut. Berhubung dengan itu direksi dan dewan pengawas/dewan komisaris yang diserahi pemimpin/ mengurus bank mempunyai tanggung jawab yang berat atas segala usaha yang dilakukan oleh banknya. Mereka tidak dapat begitu saja menyerahkan pengurusan bank kepada orang lain dan melepaskan segala tanggung jawab, sehingga pada hakekatnya direksi dan dewan pengawas/dewan komisaris tidak melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh para pemegang saham dan oleh Masyarakat. Kepada Bank Indonesia diberikan wewenang, untuk menetapkan kewajiban dari direksi dan dewan pengawas/dewan komisaris bank dan menetapkan pula sanksi- sanksinya. Ayat (2) : Sudah dijelaskan di atas. Pasal 31… Pasal 31. Ayat (1) : Dalam menjalankan kebijaksanaan moneter dan menjaga simpanan- simpanan masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank, maka Bank Indonesia untuk kepentingan likwiditas dan solvabilitas dapat mewajibkan bank-bank menurut bentuk Hukum bank itu masing-masing untuk memelihara suatu perbandingan tertentu antara alat-alat likwiditas yang dikuasainya dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya. Kewajiban bank untuk memelihara likwiditas sebagaimana dimaksud dalam pasal ini ialah yang secara umum dikenal dengan nama "cash ratio", "reserve requirement" atau "prosentase likwiditas" yang merupakan suatu alat kebijaksanaan di bidang moneter guna mempengaruhi kemampuan bank untuk memberikan kredit dari dana- dananya yang tersedia. Di samping itu dengan adanya kewajiban memelihara alat-alat likwiditas dimaksudkan juga untuk menjamin bahwa bank mempunyai dana-dana untuk memenuhi penarikan-penarikan yang dilakukan oleh para nasabahnya. Cash ratio tersebut ditetapkan berdasarkan suatu perbandingan tertentu antara alat- alat likwiditas yang dikuasai bank dan giro, deposito, tabungan serta kewajiban- kewajiban lainnya yang segera dapat ditagih. Kepada Bank Indonesia diberikan wewenang untuk menetapkan dan merubah cash ratio tersebut sesuai dengan kebijaksanaan Moneter yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 32. Ayat (l), (2), (3) dan (4) : Cukup jelas. Pasal 33. Cukup jelas. Pasal 34. Cukup jelas. Pasal 35. Maksud daripada ketentuan ini ialah agar supaya masyarakat mengetahui keadaan keuangan dan kegiatan usaha setiap bank dalam rangka membimbing dan mempertinggi kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank. Pasal 36… Pasal 36. Pasal 36 ini dan demikian pula pasal 37, mengatur persoalan rahasia bank. Yang dimaksudkan dengan rahasia bank ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan perlu dirahasiakan. Kerasahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat, yang menyimpan uangnya di bank. Orang hanya akan mempercayakan uangnya pada bank, apabila dari bank ada jaminan, bahwa pengetahuan bank tentang simpanan yang ada di bawah pengawasannya tidak akan disalah gunakan. Dengan adanya pasal tersebut diberi ketegasan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Walaupun demikian, untuk kepentingan umum dan negara dapat diadakan pengecualian terhadap ketentuan tersebut, tanpa mengurangi kepercayaan masyarakat, bahwa pengetahuan tentang simpanannya di bank akan disalah gunakan. Pasal 37. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak mengurangi tugas dan kewajiban Bank Indonesia tentang pengawasan dan pembinaan perbankan dan kelaziman dunia perbankan dalam tukar-menukar informasi. Ayat (1) : Sudah selayaknya bahwa untuk keperluan penetapan pajak, bank wajib memberi keterangan pula kepada pejabat dari Jawatan Pajak dengan izin dari Menteri Keuangan, asal dicantumkan nama wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. Ayat (2) : Demikian pula sudah selayaknya apabila untuk keperluan peradilan, bank dapat diwajibkan memberi keterangan kepada Hakim/Jaksa dengan izin dari Menteri Keuangan dengan syarat-syarat tersebut dalam ketentuan ini. Pasal 38. Cukup jelas. Pasal 39. Ayat (1);
;
dan (4): Cukup jelas. Pasal 40. Ayat (1) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 41. Ayat (1);
;
dan (4) : Cukup jelas. Pasal 42… Pasal 42. Ayat (1);
dan (3) : Cukup jelas. Pasal 43. Ayat (1) dan (2) dan : Cukup jelas. Pasal 44. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan agar bank-bank yang telah didirikan dengan Undang-undang, yaitu antara lain Bank Pembangunan Indonesia dan Bank Pembangunan Swasta tetap menjalankan tugasnya sambil menunggu pengaturannya lebih lanjut berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini. Pasal 45. Mulai saat berlakunya Undang-undang ini tidak ada suatu bank yang ada di luar sistim perbankan yang dimaksud dalam Undang- undang ini. Disamping itu dalam pasal ini ditegaskan, bahwa tidak seorang atau badanpun diperkenankan mengadakan pengumpulan uang dari masyarakat ramai guna kemudian dipinjamkan lagi kepada fihak ketiga dengan memungut bunga jikalau tidak mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan atas dasar syarat-syarat sebagai ditetapkan dalam Undang-undang ini. Dalam ketentuan ini tidak termasuk Koperasi Kredit/simpan- pinjam yang telah diatur berdasarkan Undang-undang Koperasi yang berlaku. Pasal 46. Cukup jelas. Pasal 47. Cukup jelas. Pasal 48. Cukup jelas. Pasal 49. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2842
Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai.
Relevan terhadap
HAPUSNYA PENSIUN-PEGAWAI/PENSIUN-JANDA/DUDA (1) Hak untuk menerima pensiun-pegawai atau pensiun-janda/ duda hapus:
jika penerima pensiun-pegawai tidak seizin pemerintah menjadi anggota tentara atau pegawai negeri suatu negara asing.
jika penerima pensiun-pegawai/pensiun-janda/duda/bagian pensiun-janda menurut keputusan pejabat/Badan Negara yang berwenang dinyatakan salah melakukan tindakan atau terlibat dalam suatu gerakan yang bertentangan dengan kesetiaan terhadap Negara dan Haluan Negara yang berdasarkan Panca Sila.
Jika ternyata bahwa keterangan-keterangan yang diajukan sebagai bahan untuk penetapan pemberian pensiun-pegawai/ pensiun-janda/duda/bagian pensiun-janda, tidak benar dan bekas Pegawai Negeri atau janda/duda/anak yang bersangkutan sebenarnya tidak berhak diberikan pensiun.
Dalam hal-hal tersebut pada ayat (1) huruf a dan b pasal ini, maka surat keputusan pemberian pensiun dibatalkan, sedang dalam hal-hal tersebut huruf c, ayat itu surat keputusan termaksud dicabut. Pasal 30. JAMINAN UNTUK PINJAMAN Surat keputusan tentang pemberian pensiun menurut Undang-undang ini dapat dipergunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman dari salah satu Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pasal 31. PEMINDAHAN HAK PENSIUN-PENSIUN (1) Hak atas pensiun-pensiun menurut Undang-undang ini tidak boleh dipindahkan.
Penerima pensiun tersebut tidak boleh menggadaikan atau dengan maksud itu secara lain menguasakan haknya kepada siapapun juga.
Semua perjanjian yang bertentangan dengan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 32. HAL-HAL LUAR BIASA DAN PERATURAN PELAKSANAAN (1) Hal-hal luar biasa yang tidak/belum diatur dalam Undang-undang ini, diputus oleh Presiden.
Hal-hal yang perlu untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini diatur oleh Kepala Kantor Urusan Pegawai menurut petunjuk-petunjuk Menteri Keuangan. Pasal 33. PERATURAN PERALIHAN.
Istri (istri-istri) dan anak (anak-anak) yang telah didaftarkan sebagai yang berhak menerima pensiun-janda atau tunjangan-anak yatim/piatu berdasarkan peraturan yang berlaku sebelum Undang-undang ini, dianggap telah didaftarkan sebagai yang berhak menerima pensiun-janda menurut peraturan ini.
Anak-anak Pegawai Negeri atau penerima pensiun-pegawai yang dilahirkan sebelum waktu Undang-undang ini mulai berlaku terhadapnya dari perkawinan dengan istri/suami yang pada waktu itu telah meninggal dunia atau telah bercerai dapat didaftarkan sebagai anak yang berhak menerima pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda menurut Undang-undang ini. Pasal 34.
Pensiun-pegawai, pensiun janda/duda, bagian pensiun-janda dan tunjangan-anak yatim/piatu yang penetapannya didasarkan atas peraturan-peraturan yang berlaku sebelum tangggal mulai berlakunya Undang-undang ini, dinaikkan besarnya menjadi 150% (seratus lima puluh perseratus) dari jumlah yang ditetapkan berdasarkan peraturan-peraturan lama itu, terhitung mulai tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini, dengan ketentuan bahwa: Pensiun/tunjangan yang bersifat pensiun bagi bekas pegawai dan janda setelah dinaikkan tidak boleh kurang dari berturut-turut 100% dan 75% dari gaji pokok terendah menurut Peraturan Pemerintah tentang gaji dan pangkat Pegawai Negeri yang berlaku.
Jumlah yang dinaikkan itu ditetapkan dalam rupiah bulat, pecahan rupiah dibulatkan ke atas menjadi rupiah penuh.
Pelaksanaan kenaikan pensiun dan tunjangan yang bersifat pensiun itu diselenggarakan oleh Kantor-kantor pembayaran yang bersangkutan menurut petunjuk-petunjuk Kepala Kantor Urusan Pegawai. Pasal 35. KETENTUAN PENUTUP Undang-undang ini disebut "UNDANG-UNDANG PENSIUN PEGAWAI DAN PENSIUN-JANDA/DUDA PEGAWAI" dan mulai berlaku pada hari diundangkan serta berlaku surut mulai tanggal 1 Nopember 1966. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1969. Presiden Republik Indonesia, SOEHARTO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1969. Sekretaris Negara Republik Indonesia, ALAMSYAH. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 11 TAHUN 1969 TENTANG PENSIUN-PEGAWAI DAN PENSIUN JANDA/DUDA PEGAWAI. PENJELASAN UMUM:
Undang-undang ini diadakan sebagai pelaksanaan ketentuan dalam pasal 19 Undang-undang Pokok Kepegawaian yang menentukan bahwa jaminan hari tua pegawai negeri, yang antara lain berupa pensiun bagi pegawai sendiri dan pensiun-janda/duda, harus diatur dengan Undang-undang dengan mengingat keadaan penghodupan masyarakat Indonesia.
Karena itu maka dalam Undang-undang ini diatur hal-hal mengenai pensiun-pegawai, pensiun-janda dan pensiun-istimewa untuk janda pegawai yang tewas, yang sebelumnya berturut-turut diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 1952, Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1952 dan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1954 dan yang kesemuanya itu menjadi batal mulai berlakunya dan diganti dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini. Dalam pada itu dalam Undang-undang ini telah diadakan pula pengaturan tentang pemberian pensiun-duda, yang diprintahkan oleh pasal 19 Undang-undang Pokok Kepegawaian, agar tidak ada diskriminasi antara hak pegawai pria meupun pegawai wanita.
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kepegawaian, maka peraturan pensiun yang baru ini mempunyai sifat pokok: pensiun diberikan sebagai jaminan hari tua dan, sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai selama bekerja bertahun-tahun dalam dinas Pemerintah.
Kedua sifat dari Pensiun itu telah menentukan penyatuannya dalam pasal 19 Undang-undang ini, yang menentukan 3 syarat pokok untuk memperoleh hak pensiun-pegawai, yaitu;
telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 tahun, 2. memiliki masa-kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 tahun dan, 5. Sebagai lazimnya menurut peraturan-peraturan pensiun yang berlaku sebelumnya, maka juga Undang-undang ini diadakan perkecualian dari syarat usia dan masa-kerja termaksud di atas ini, yaitu dalam hal-hal luar biasa yang diatur pasal 9.
Bahwa untuk memperoleh hak atas jaminan hari tua, pegawai yang bersangkutan antara lain harus memenuhi syarat diberhentikan "dengan hormat" sebagai pegawai negeri adalah perlu berhubung dengan sifatnya pensiun sebagai penghargaan atas jasa-jasa dan penting untuk membina dan memelihara kestiaan pegawai terhadap Negara dan haluan Negara yang berdasarkan Panca Sila.
Selanjutnya, maka tidaklah pada tempatnya untuk memberikan pensiun kepada pegawai yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri. Peraturan Pensiun Pegawai Negeri, sekalipun hanya mengatur pemberian penghasilan kepada bekas pegawai setelah ia diberhentikan sebagai pegawai negeri, tidak dapat dilepaskan daripada hubungannya dengan tujuan utama daripada Undang-undang Pokok Kepegawaian untuk menyusun dan memelihara Aparatur Negara yang berdaya-guna sebagai alat revolusi Nasional dan organisasi harus terisi dengan korps pegawai negeri yang memenuhi syarat-syarat kepegawaian sebagai ditentukan dalam Undang-undang itu i.c. syarat kepribadian dan kesetiaan terhadap Negara dan haluan Negara yang berdasarkan Panca Sila. Maka dari itu Peraturan Pensiun Pegawai Negeri R.I., sebagaimana dikehendaki menurut Undang-undang Pokok Kepegawaian No. 18 tahun 1961, selain menjamin pemberian penghasilan atas beban keuangan Negara bagi bekas pegawai dan keluarganya untuk masa hari tua, harus pula mencerminkan penghargaan atas jasa-jasa itu dengan sendirinya terbatas pada para pegawai yang memenuhi syarat-syarat kepegawaian sebagai disebut di atas, dan tidak diberikan kepada mereka yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri karena telah melakukan perbuatan/tindakan yang tercela dan bertentangan dengan kepentingan dinas dan/atau Negara.
Jika ketentuan-ketentuan tentang hak dan besarnya pensiun pegawai, pensiun-janda dan tunjangan anak-yatim/piatu dalam peraturan-peraturan pensiun lama sangat dipengaruhi oleh cara pembiayaan pensiun oleh suatu dana pensiun dengan pelbagai iuran-iurannya, maka dalam Undang-undang ini hak dan besarya pensiun-pensiun itu dapat diatur lebih sederhana dan dengan mengutamakan proses pelaksanaan yang mudah dan cepat tanpa mengurangi penelitian bahwa pemberian dan pembayaran pensiun dilakukan kepada mereka yang benar-benar berhak menerimanya.
Akhisnya, apabila dibanding dengan peraturan-peraturan yang lama, maka berhubung dengan sifat-sifatnya dalam peraturan pensiun baru ini terdapat perubahan-perubahan penting sebagai disebut di bawah ini:
Berbeda dengan peraturan lama (Undang-undang No. 20 tahun 1952, yang tidak memuat ketentuan-ketentuan batas umur minimum untuk penentuan hak atas pensiun), di dalam peraturan baru berhubung dengan sifatnya sebagai jaminan hari tua ditetapkan batas usia minimum yang harus telah dicapai oleh pegawai untuk mendapat hak atas pensiun, yaitu umur sekurang-kurangnya 50 tahun.
Kemudian, karena pemberian pensiun dimaksudkan juga sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai selama bekerja bertahun-tahun dalam dinas Pemerintah, maka ditentukan pula jumlah minimum masa-kerja yang wajar pula jumlah minimum masa-kerja yang wajar sebagai syarat untuk dapat diberikan pensiun, yaitu sekurang-kurangnya 20 tahun. Jika pegawai di luar kemauannya sendiri harus diberhentikan sebagai pegawai negeri karena menjadi tenaga kelebihan atau karena penertiban aparatur Negara, untuk dapat diberikan pensiun-pegawai yang bersangkutan harus memiliki masa-kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun.
Selanjutnya, apabila menurut peraturan lama predikat pemberhentian sebagai pegawai negeri tidak menentukan dalam penetapan hak atas pensiun, maka dalam peraturan baru ini ditentukan pula sebagai syarat untuk dapat diberikan pensiun, bahwa pemberhentian pegawai yang bersangkutan sebagai pegawai negeri harus ada dilakukan dengan hormat.
Besarnya pensiun-pegawai sebulan telah dipertinggi agar pegawai, apabila diberikan pensiun, tidak mengalami kemunduran penghasilan yang terlampau besar. Jumlah pensiun-pegawai tertinggi sebulan dinaikkan dari 50% menjadi 75% dari dasar pensiun, dan pensiun-pegawai terendah sebulan dinaikkan dari 25% menjadi 40%. Besarnya pensiun-janda sebulan dinaikkan dari 20% menjadi 36% dari dasar-pensiun. Selanjutnya, untuk menjamin kehidupan yang cukup layak sebagai penerima pensiun, telah diadakan pula ketentuan bahwa besarnya pensiun-pegawai dan pensiun-janda sebulan berturut-turut adalah sekurang-kurangnya sama besar dengan dan 75% dari gaji-pokok terendah menurut peraturan gaji pegawai negeri yang berlaku. Dengan demikian, maka sistim penggajian pegawai negeri atau dasar prinsip "Kebutuhan Fisik Minimum" (K.F.M.) diperhatikan juga untuk pensiun.
Akhirnya ketentuan-ketentuan tentang pemberian pensiun kepada anak (anak-anak) yatim/piatu telah disederhanakan. Apabila pegawai yang tidak beristeri/bersuami atau janda/duda meninggal dunia dan meninggalkan anak (anak-anak) yang berhak diberikan pensiun, maka kepada anak (anak-anak) itu diberikan terus jumlah pensiun-janda/duda yang diterima oleh ibu/ayahnya. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL: Pasal 1. Sifat pensiun ini adalah sesuai dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Pokok Kepegawaian. Pasal 2.
Sejak keluarnya Undang-undang No. 11 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 1956 No. 23), maka pensiun-pegawai negeri telah dibiayai oleh Negara dan dibebankan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sedangkan iuran-iuran pensiun telah ditanggung pule oleh Pemerintah sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 77).
Pegawai negeri yang gajinya tidak menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah umpamanya pegawai Perusahaan-Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 19 tahun 1960. Pasal 3. Golongan-golongan pegawai yang termasuk dalam arti pegawai negeri menurut pasal ini adalah :
Pegawai Negeri Sipil Pusat, b. Pegawai Daerah Otonom, c. Pegawai Perusahaan/Bank Negara. Yang memiliki ketiga unsur kepegawaian termaksud dalam pasal 1 Undang-undang Pokok Kepegawaian. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Dengan "gaji terakhir yang berhak diterima", dimaksudkan juga gaji menurut pangkat anumerta. Pasal 6. Ayat (1). Huruf a sampai dengan c, e dan f: Cukup jelas. Huruf d: Yang dimaksud ialah masa berbakti sebagai pelajar menurut Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1949, tentang Penghargaan Pemerintah terhadap pelajar yang telah terbukti untuk Negara; Huruf g : Pegawai-pegawai dari sekolah-sekolah swasta bersubsidi tersebut pada ayat (1) huruf g, hingga sekarang masih diberi pensiun menurut peraturan lama (Pensioenreglement voor Bijzondere Leerkrechten) yang juga dibiayai oleh Pemerintah, sambil menunggu peninjauan Pensioenreglement voor Bijzondere Leerkrachten. Ayat (2). Cukup jelas. Ayat (3). Cukup jelas. Ayat (4). Peraturan Pemerintah yang kini berlaku ialah Peraturan Pemerintah No. 2O tahun 1960 (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 49) tentang masa-kerja yang dihitung untuk pensiun. Ayat (5). Cukup jelas. Pasal 7. Cukup jelas. Pasal 8. Yang dimaksud dengan "tunjangan umum dan bantuan umum" ialah tunjangan atau bantuan yang pemberiannya tidak tergantung dari jabatan/pekerjaan pegawai negeri, melainkan diberikan dalam rangka kesejahteraan c.q. jaminan sosial pegawai negeri. Pasal 9. Ayat (1). Berhubung dengan sifatnya sebagai jaminan hari tua, ditetapkan batas usia minimum yang harus telah dicapai oleh pegawai untuk mendapat hak atas pensiun, yaitu umur sekurang-kurangnya 50 tahun. Dari syarat tentang batas usia minimum tersebut dikecualikan pegawai yang harus diberhentikan sebagai pegawai negeri karena keadaan jasmani dan atau rochani. Selanjutnya, sesuai dengan tujuan dari Undang-undang Pokok Kepegawaian No. 18 tahun 1961 untuk menempatkan pegawai-pegawai pada badan-badan Pemerintah yang memenuhi syarat kepribadian dan kesetiaan, maka ditentukan pula sebagai syarat untuk mendapat hak atas pensiun bahwa pegawai yang bersangkutan diberhentikan sebagai pegawai negeri dengan sebutan "dengan hormat". Karena pemberian pensiun dimaksudkan juga sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai dalam dinas Pemerintah, maka ditentukan pula minimum masa-kerja yang wajar sebagai syarat untuk dapat diberikan pensiun, yaitu sekurang-kurangnya 20 tahun. Berhubung dengan ketentuan pada pasal 35 Undang-undang ini bahwa Undang-undang ini berlaku surut mulai tanggal 1 Nopember 1966, perlu dijelaskan, bahwa pegawai yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri setelah 1 Nopember 1966, tidak berhak akan pensiun menurut Undang-undang ini. Ayat (2). Jika pegawai di luar kemauannya sendiri diberhentikan sebagai pegawai negeri karena menjadi tenaga kelebihan atau karena penertiban aparatur Negara dan sebagainya, maka untuk dapat diberikan pensiun pegawai yang bersangkutan harus memiliki masa-kerja sekurang-kurangnya 10 tahun. Ayat (3). Bagi pegawai negeri yang pernah menjalankan tugas Negara, yaitu kewajiban Negara yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1952, untuk hak pensiun tidak lagi disyaratkan masa-kerja 10 tahun seluruhnya sebagai pegawai negeri, tetapi cukup dengan memiliki masa-kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 10 tahun dalam kedudukan apapun. Pasal 10. Untuk mempecepat pemberian/pembayaran pensiun maka:
Departemen-departemen/Lembaga-lembaga Pemerintah/Negara harus segera mulai menyusun Daftar Riwayat Pekerjaan para pegawai yang ada dalam administrasi masing-masing terutama Daftar Riwayat Pekerjaan mereka yang berusia 50 (lima puluh) tahun ke atas.
Harus diusahakan oleh masing-masing Departemen/Lembaga Pemerintah/Negara agar jauh sebelum masa peremajaan sudah tersedia bahan-bahan keterangan yang mengenai usia/tanggal lahir, masa-kerja pensiun serta nama, tanggal kelahiran isteri/anak-anak pegawai. Pasal 11. Besarnya pensiun-pegawai sebulan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari gaji-pokok, dengan maksud agar pegawai, apabila dipensiunkan tidak mengalami kemunduran penghasilan yang terlampau besar. Dalam rangka pembentukan dana pensiun, maka dengan Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 2 huruf a Undang-undang ini, dapat ditetapkan prosentase-prosentase yang tinggi daripada yang ditetapkan dalam pasal ini. Pasal 12.
berdasarkan ketentuan pasal 7 Undang-undang ini, Kepala Kantor Urusan Pegawai menetapkan pemberian pensiun-pegawai dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah menerima salinan Surat Keputusan/Pemberitahuan dari pejabat yang berhak memberhentikan pegawai negeri yang besangkutan tentang pemberhentian dengan hormat seorang pegawai negeri, tanpa menunggu surat permintaan pensiun dari yang berkepentingan apabila pada Kantor Urusan Pegawai telah terkumpul:
Daftar Riwayat Pekerjaan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
Daftar Susunan Keluarga yang disahkan oleh yang berwajib, dan c. Surat keterangan dari pegawai yang bersangkutan bahwa semua surat-surat baik yang asli maupun turunan milik Negara telah diserahkan kembali kepada yang berwajib.
Pejabat yang berhak memberhentikan pegawai berkewajiban untuk dalam waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum saat pemberhentian dengan hormat sebagai pegawai negeri dengan hak pensiun :
Menetapkan Surat Keputusan tentang pemberhentian yang bersangkutan dan menyampaikan salinannya kepada Kantor Urusan Pegawai ;
Menyampaikan kepada Kepala Kantor Urusan Pegawai, Daftar Riwayat Pekerjaan yang memuat juga tempat/tanggal kelahiran c.q. usia pegawai yang bersangkutan, yang ditanda-tangani oleh pejabat yang berhak serta Daftar Susunan Keluarga yang disahkan oleh yang berwajib yang memuat nama, tanggal kelahiran dan alamat, istri/suami dan anak-anaknya. Pasal 13 s/d pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Menurut ketentuan dalam pasal ini pensiun-pegawai harus dibatalkan jika penerima pensiun yang besangkutan diangkat lagi sebagai pegawai negeri, termasuk anggota ABRI karena pada azasnya Pemerintah untuk selanjutnya tidak lagi menghendaki kemungkinan pemberian lebih dari satu macam pensiun-pegawai ataupun pensiun-janda kepada bekas pegawai negeri atau isteri/anaknya. Ketentuan dalam pasal ini dengan sendirinya tidak berlaku lagi bagi pegawai pensiunan yang dipekerjakan kembali dalam suatu jabatan negeri dengan diberi gaji bulanan/harian di samping pensiun. Dalam hal tersebut pada pasal 15 ayat (2) kepada pegawai yang bersangkutan diberikan pensiun menurut perhitungan yang lebih menguntungkan. Pasal 16. Cukup jelas. Periksa Penjelasan Umum. Pasal 17. Ayat (1). Periksa Penjelasan Umum. Ayat (2). Ketentuan tentang batas minimum sebesar 75% dari gaji-pokok terendah hanya berlaku bagi pensiun-janda (36%) dan tidak berlaku untuk bagian-bagian pensiun-janda termaksud pada ayat (1). Ayat (3). Ketentuan pada ayat (3) menghapuskan ketentuan-ketentuan dalam peraturan lama Peratruan Pemerintah Nomor 19 tahun 1952, tentang pemberian pensiun kepada janda dan tunjangan kepada anak yatim/piatu pegawai negeri sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1954, tentang pemberian tunjangan istimewa kepada keluarga pegawai yang tewas. Ketentuan dalam ayat (3) pasal ini berlaku juga bagi calon pegawai dan pensiunan yang dipekerjakan kembali sebagai pegawai bulanan apabila ia tewas. Dalam rangka pembentukan dana pensiun, maka dengan Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 2 huruf a Undang-undang ini, dapat ditetapkan prosentase-prosentase yang lebih tinggi dari pada yang ditetapkan dalam pasal ini. Pasal 18. Ayat (1). Huruf b: Dengan satu bagian pensiun-janda dimaksud bagian pensiun-janda yang seharusnya diberikan kepada ibu atau golongan anak (anak-anak) yang bersangkutan. Ayat (2). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, dalam hal janda/duda penerima pensiun meninggal dunia dan mempunyai anak (anak-anak) yang berhak diberikan pensiun, maka pensiun janda/duda diberikan langsung kepada anak (anak-anak) itu, tanpa memerlukan penetapan surat keputusan pensiun baru. Pasal 19. Pendaftaran suami/isteri/anak sebagai yang berhak menerima pensiun-janda/duda perlu diadakan untuk menjamin hak mereka, memudahkan tata-usaha, serta pula untuk mempercepat penyelesaian pemberian pensiun. Pasal 20. Surat permintaan untuk mendapat pensiun-janda/duda ini harus disertai dengan surat keterangan dari Bupati/Walikota/ Kepala Daerah tingkat II yang bersangkutan yang menyatakan bahwa orang tua yang bersangkutan adalah orang tua kandung atau, dalam hal orang tua kandung telah meninggal dunia, orang tua yang secara sah telah mengangkat-sebagai anak-angkat pegawai yang bersangkutan. Pasal 21 s/d pasal 22. Cukup jelas. Pasal 23. Ketentuan pada pasal ini merupakan salah satu usaha untuk memperlancar penyelesaian pemberian pensiun. Pasal 24 s/d pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28. Pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda yang diberikan kepada janda/duda menurut ketentuan ayat (1) pasal 28 tidak dibatalkan jika janda/duda masih mempunyai anak. Pasal 29. Ayat (1). huruf b: Yang dimaksud dengan keputusan pejabat/badan Negara yang berwenang dalam pasal 29 ayat (1) huruf b, ialah keputusan Badan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan/atau Keputusan Presiden/Pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) huruf e dan f, Undang-undang Pokok Kepegawaian. Ayat (2). Dalam hal keputusan pemberian pensiun dicabut, termaksud pada ayat (2) pasal ini, maka pensiun yang telah dibayarkan harus ditagih kembali. Pasal 30. Cukup jelas. Pasal 31. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi penerima pensiun terhadap praktek pemberian pinjaman uang dengan memungut bunga yang tinggi. Pasal 32. Cukup jelas. Pasal 33. Hal yang dimaksud pada ayat (2) pasal ini, ialah jika pegawai yang bersangkutan, pada waktu diangkat menjadi pegawai negeri, mempunyai anak (anak-anak) sedang ibunya telah meninggal dunia atau diceraikan. Ketentuan pada ayat tersebut merupakan penyimpangan dari pasal 19 ayat (4) huruf a yang menentukan, bahwa anak yang dapat didaftar untuk hak atas pensiun, adalah hanya anak (anak-anak) dari isteri (isteri-isteri)/suami yang terdaftar. Pasal 34. Besarnya pensiun-pegawai sebulan untuk tiap-tiap tahun masa-kerja telah dipertinggi dari 1,6% menurut peraturan lama menjadi 2,5% menurut pasal 11 ayat (1) Undang-undang ini. Begitu pula minimum pensiun-pegawai yang menurut peraturan lama berjumlah 50% telah ditetapkan dalam Undang-undang ini menjadi 75%. Ini berarti, bahwa besarnya pensiun-pegawai dan maksimum pensiun-pegawai menurut Undang-undang telah dipertinggi dengan 150% jika dibandingkan dengan besarnya pensiun-pegawai dan maksimum pensiun-pegawai menurut peraturan lama. Oleh karena itu maka pensiun-pegawai yang ditetapkan berdasarkan peraturan lama dipandang perlu dinaikkan besarnya dengan 150%. Kenaikan sebesar 150% bagi pensiun-pegawai termaksud di atas sudah selayaknya diberikan pula bagi pensiun-janda dan tunjangan anak-yatim/piatu yang ditetapkan menurut peraturan lama. Dalam rangka pembentukan Dana Pensiun termaksud pasal 2 huruf a, dan apabila keadaan keuangan Negara mengizinkan maka dengan Peraturan Pemerintah dapat ditentukan prosentase-prosentase yang lebih tinggi dari yang ditentukan dalam pasal ini. Pasal 35. Cukup jelas. CATATAN Kutipan : LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1969 YANG TELAH DICETAK ULANG