Pokok-Pokok Perkoperasian
Relevan terhadap
Undang-undang ini disebut "Undang-undang tentang Pokok- pokok Perkoperasian" dan mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 1967. Pd. Presiden Republik Indonesia, ttd SOEHARTO Jenderal T.N.I. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 1967 Sekretaris Kabinet Ampera, ttd LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 23 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1967 TENTANG POKOK-POKOK PERKOPERASIAN. Dengan memanjatkan syukur setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa rakyat Indonesia telah diberi kurnia dan rahmat suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbentuk Nusantara yang terletak di jalan silang antara dua benua dan dua samudera dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Bumi, air Indonesia dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu adalah kurnia Tuhan kepada rakyat Indonesia, yang menurut ketentuan Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik spiritual maupun materiil. Pemerintah dan rakyat Indonesia mempunyai kewajiban untuk menggali, mengolah dan membina kekayaan alam tersebut guna mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. Pemanfaatan kekayaan alam tersebut oleh rakyat Indonesia diselenggarakan dengan susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan kegotong-royongan. I. UMUM. Sesungguhnya Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1) beserta penjelasannya telah dengan jelas menyatakannya, bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan Koperasi adalah satu bangunan usaha yang sesuai dengan susunan perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan pada ketentuan itu dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap "ing ngarsa sung tulada, ing madya bangun karsa, tut wuri handayani". Dalam rangka kembali kepada kemurnian pelaksanaan Undang- undang Dasar 1945, sesuai pula dengan Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966, tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, maka peninjauan serta perombakan Undang-undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian merupakan suatu keharusan, karena baik isi maupun jiwanya Undang-undang tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan azas-azas pokok, landasan kerja serta landasan idiil Koperasi, sehingga akan menghambat kehidupan dan perkembangan serta mengaburkan hakekat Koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang demokratis dan berwatak sosial. Peranan… Peranan Pemerintah yang terlalu jauh dalam mengatur masalah perkoperasian Indonesia sebagaimana telah tercermin di masa yang lampau pada hakekatnya tidak bersifat melindungi, bahkan sangat membatasi gerak serta pelaksanaan strategi dasar perekonomian yang tidak sesuai dengan jiwa dan makna Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. Hal yang demikian itu akan menghambat langkah serta membatasi sifat-sifat keswadayaan, keswasembadaan serta keswakertaan yang sesungguhnya merupakan unsur pokok dari azas-azas percaya pada diri sendiri, yang gilirannya akan dapat merugikan masyarakat sendiri. Oleh karenanya sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S. No. XIX/ MPRS/1966 dianggap perlu untuk mencabut dan mengganti Undang-undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian tersebut dengan Undang-undang yang baru yang benar-benar dapat menempatkan Koperasi pada fungsi yang semestinya yakni sebagai alat pelaksana dari Undang-undang Dasar 1945. Di bidang Idiil, Koperasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah untuk menyusun perekonomian rakyat berazaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan yang merupakan ciri khas dari tata-kehidupan bangsa Indonesia dengan tidak memandang golongan, aliran maupun kepercayaan yang dianut seseorang. Koperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional dilaksanakan dalam rangka politik umum perjuangan Bangsa Indonesia. Di bidang organisasi Koperasi Indonesia menjamin adanya hak-hak individu serta memegang teguh azas-azas demokrasi. Rapat Anggota merupakan kekuasaan tertinggi di dalam tata kehidupan Koperasi. Koperasi mendasarkan geraknya pada aktivitas ekonomi dengan tidak meninggalkan azasnya yakni kekeluargaan dan gotong-royong. Dengan berpedoman kepada Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966 Pemerintah memberikan bimbingan kepada Koperasi dengan sikap seperti tersebut di atas serta memberikan perlindungan agar Koperasi tidak mengalami kekangan dari pihak manapun, sehingga Koperasi benar-benar mampu melaksanakan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. Undang-undang ini dinamakan Undang-undang tentang Pokok- pokok Perkoperasian. II. PASAL… II. PASAL DEMI PASAL. BAB 1. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Yang dimaksud dengan kuasa khusus adalah sebagian dari wewenang Menteri yang dilimpahkan kepada Pejabat untuk beberapa soal Perkoperasian. BAB II. LANDASAN-LANDASAN KOPERASI. Pasal 2.
Pancasila. Kelima Sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial harus dijadikan dasar serta dilaksanakan. dalam kehidupan Koperasi, karena sila-sila tersebut memang menjadi sifat dan tujuan Koperasi dan selamanya merupakan aspirasi anggota- anggota Koperasi. Dasar idiil ini harus diamalkan oleh Koperasi disebabkan karena Pancasila memang menjadi falsafah Negara dan bangsa Indonesia.
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1). Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 berbunyi: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan". Penjelasannya berbunyi sebagai berikut: Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah Koperasi.
Setia kawan dan kesadaran berpribadi. Koperasi adalah unsur pendidikan yang baik untuk memperkuat ekonomi dan moral, karena Koperasi berdasarkan dua landasan mental, yaitu setia kawan dan kesadaran berpribadi yang satu sama lain memperkuat. Setia kawan telah ada dalam masyarakat Indonesia yang asli dan tampak keluar sebagai gotong-royong. Akan tetapi landasan setia kawan saja hanya dapat memelihara persekutuan dalam masyarakat yang statis, dan karenanya, tidak dapat mendorong kemajuan. Kesadaran… Kesadaran berpribadi, keinsyafan akan harga diri sendiri, dan percaya pada diri sendiri, adalah mutlak untuk menaikkan derajat penghidupan dan kemakmuran. Dalam Koperasi harus bergabung kedua-dua landasan mental tadi yakni setia kawan dan kesadaran berpribadi sebagai dua unsur yang dorong-mendorong, hidup-menghidupi dan awas-mengawasi. BAB III. PENGERTIAN DAN FUNGSI KOPERASI. Bagian 1. Pengertian Koperasi. Pasal 3. Koperasi Indonesia adalah kumpulan dari orang-orang yang sebagai manusia secara bersama-sama bergotong-royong berdasarkan persamaan, bekerja untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan kepentingan masyarakat. Dari pengertian umum di atas, maka ciri-ciri seperti di bawah ini seharusnya selalu nampak:
bahwa Koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang dan bukan kumpulan modal. Pengaruh dan penggunaan modal dalam Koperasi Indonesia tidak boleh mengurangi makna dan tidak boleh mengaburkan pengertian Koperasi Indonesia sebagai perkumpulan orang-orang dan bukan sebagai perkumpulan modal. Ini berarti bahwa Koperasi Indonesia harus benar-benar mengabdikan kepada peri-kemanusiaan dan bukan kepada kebendaan;
bahwa Koperasi Indonesia bekerja sama, bergotong-royong berdasarkan persamaan derajat, hak dan kewajiban yang berarti Koperasi adalah dan seharusnya merupakan wadah demokrasi ekonomi dan sosial. Karena dasar demokrasi ini maka harus dijamin benar-benar bahwa Koperasi adalah milik para anggota sendiri dan pada dasarnya harus diatur serta diurus sesuai dengan keinginan para anggota yang berarti bahwa hak tertinggi dalam Koperasi terletak pada Rapat Anggota;
bahwa segala kegiatan Koperasi Indonesia harus didasarkan atas kesadaran para anggota. Dalam Koperasi tidak boleh dilakukan paksaan, ancaman, intimidasi dan campur tangan dari fihak-fihak lain yang tidak ada sangkut- pautnya dengan soal-soal intern Koperasi;
bahwa tujuan Koperasi Indonesia harus benar-benar merupakan kepentingan bersama dari para anggotanya dan tujuan itu dicapai berdasarkan karya dan jasa yang disumbangkan para anggota masing-masing. Ikut sertanya anggota sesuai dengan besar-kecilnya karya dan jasanya harus dicerminkan pula dalam hal pembagian pendapatan dalam Koperasi. Bagian… Bagian 2. Fungsi Koperasi. Pasal 4. Bahwa Koperasi itu berfungsi sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional, dengan jelas dapat dilihat dari azas dan sendi-sendi dasarnya. Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa disamping Koperasi ada Perusahaan Negara atau Daerah dan Swasta. Ketiga sektor ekonomi tersebut harus bekerja sama secara teratur, karena satu sama lain saling kait-mengait, sehingga perlu adanya synkhronisasi. Kedudukan ekonomi bangsa Indonesia harus diperkokoh, tata-laksana perekonomian rakyat dipersatukan dan diatur, segala itu untuk menghapuskan sisa- sisa penindasan dalam sektor perekonomian guna mempertinggi kesejahteraan rakyat. Fungsi-fungsi tersebut hanya akan tercapai bilamana Koperasi sendiri benar-benar melaksanakan pekerjaannya berdasarkan azas dan sendi-sendi dasarnya. Kelangsungan dan perkembangan demokrasi ekonomi perlu dibina, guna menjamin tidak adanya penghisapan di antara sesama manusia. Sisa-sisa penindasan dalam sektor perekonomian rakyat harus dihapuskan. Koperasi Indonesia yang berdasarkan kekeluargaan dan kegotong-royongan harus dapat mempertinggi taraf hidup anggotanya dan rakyat umumnya. Untuk mencapai tujuan ini kecerdasan rakyat harus ditingkatkan sehingga rakyat mengerti dan sadar akan perlunya berkoperasi. BAB IV. AZAS DAN SENDI DASAR KOPERASI. Bagian 3. Azas Koperasi. Pasal 5. Dengan berpegang teguh pada azas kekeluargaan dan kegotong-royongan sesuai dengan kepribadian Indonesia, ini tidak berarti, bahwa Koperasi meninggalkan sifat dan syarat-syarat ekonominya, sehingga kehilangan effisiensinya. Koperasi… Koperasi Indonesia hendaknya menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat suatu kepribadian Indonesia, sebagai pencerminan dari pada garis pertumbuhan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan dari bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh keadaan tempat lingkungan Indonesia serta suasana waktu sepanjang masa, dengan ciri-ciri Ketuhanan Yang Maha Esa, kegotong-royongan dan Kekeluargaan serta Bhineka Tunggal Ika. Bagi Koperasi azas gotong-royong berarti bahwa pada Koperasi terdapat keinsyafan dan kesadaran semangat bekerjasama dan tanggung jawab bersama terhadap akibat dari karya tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan selalu untuk kebahagiaan bersama. Dalam membagi hasil karyanya, masing-masing anggota menerima bagiannya sesuai dengan sumbangan karya/jasanya. Azas kekeluargaan mencerminkan adanya kesadaran dari budi hati nurani manusia untuk mengerjakan segala sesuatu dalam Koperasi oleh semua untuk semua, di bawah pimpinan pengurus serta penilikan dari para anggota atas dasar keadilan dan kebenaran serta keberanian berkorban bagi kepentingan bersama. Dengan demikian azas gotong-royong dan kekeluargaan dalam Koperasi harus merupakan faham dinamis yang menggambarkan suatu karya amaliyah bersama yang bersifat bantu-membantu, berdasarkan rasa keadilan dan cinta kasih yang di dalam pelaksanaannya, menempuh segala daya serta karyabudi dan hati nurani manusia untuk mempertumbuhkannya, dan dimana perlu memberanikan diri guna mengurangi hak-haknya sendiri, dalam batas-batas rasa keadilan dan cinta kasih tersebut. Bagian 4. Sendi-sendi dasar Koperasi. Pasal 6. Sendi-sendi dasar Koperasi Indonesia merupakan essensi dari dasar-dasar bekerja Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial. Dasar-dasar bekerja tersebut merupakan ciri khas dari Koperasi dan justru oleh karena itu membedakan Koperasi itu dari badan-badan ekonomi lainnya.
Sifat sukarela pada keanggotaan Koperasi mengandung pengertian bahwa setiap orang yang masuk menjadi anggota Koperasi haruslah berdasarkan kesadaran dan keyakinan untuk secara aktif turut di dalam dan dengan Koperasi bertekad untuk memperbaiki kehidupannya dan kehidupan masyarakat;
Rapat Anggota sebagai kekuasaan tertinggi dalam organisasi koperasi yang beranggotakan orang-orang tanpa mewakili aliran, golongan dan paham politik perorangan-perorangan dan hak suara yang sama/satu pada Koperasi Primer merupakan azas pokok dari penghidupan Koperasi tersebut;
Dasar… (3) Dasar ini berwatak non kapitalis, dan oleh karena Koperasi bukan merupakan perkumpulan modal, maka sisa dari hasil usaha bila dibagikan kepada anggota, dilakukan tidak berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam Koperasi tetapi berdasarkan perimbangan jasa/usaha dan kegiatannya dalam penghidupannya Koperasi itu. Jelaslah kiranya bahwa sisa hasil usaha yang berasal dari bukan anggota tidak dibagi-bagikan kepada anggota (pasal 34 ayat 4);
Modal dalam Koperasi, yang walaupun merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan sebagai faktor produksi, dipergunakan untuk kebahagiaan anggota- anggotanya dan bukan untuk sekedar mencari keuntungan uang (profit- motive), dan oleh karenanya tidak menentukan dalam pembagian sisa usaha sebagaimana lazimnya dalam bentuk dividend;
Watak sosial dari Koperasi itu diantaranya terbukti dari dasar ini, sehingga Koperasi walaupun pada pokok usahanya berupa organisasi ekonomi yang dibina oleh dan untuk anggota-anggotanya juga harus turut membangun masyarakat pada umumnya, sehingga pengabdian Koperasi itu semakin nyata adanya;
Koperasi sebagai perkumpulan orang-orang yang bergerak dalam lapangan ekonomi harus terbuka terutama untuk anggota-anggotanya, dan oleh karena itu usaha-usaha Koperasi dibina oleh anggota-anggotanya serta ketatalaksanaannya diawasi pula oleh anggota-anggotanya secara terbuka. Ini tidak berarti bahwa masyarakat tidak dapat menilai hasil-hasil Koperasi;
Sendi ini merupakan faktor pendorong bagi setiap cipta, karya dan karsa Koperasi. Tanpa modal kepercayaan/keyakinan, atas kemampuan dan kekuatan diri sendiri maka tidaklah mungkin timbul suatu kegiatan dalam Koperasi. Setiap kegiatannya mendasarkan kepada prinsip swadaya, swakerta dan swasembada yang artinya: Swadaya : kekuatan atau usaha sendiri, dari kata swa = milik sendiri. daya = sesuatu yang harus dikerjakan. Swakerta : buatan sendiri. kerta = sesuatu yang telah dikerjakan. kr. (sansekerta) = bekerja atau membuat. Swasembada : kemampuan sendiri. sembada = teman yang seikatan. BAB V… BAB V. PERANAN DAN TUGAS. Pasal 7. Peranan dan tugas Koperasi untuk membina kelangsungan dan perkembangan demokrasi ekonomi adalah bertujuan menciptakan masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu perlu ditanamkan dan ditingkatkan kesadaran berkoperasi. Pasal 8. Kerjasama dengan Perusahaan-perusahaan Negara dan Swasta termasuk modal asing, jika diperlukan oleh Koperasi dilakukan dengan tidak mengorbankan azas dan sendi dasar Koperasi sendiri, sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/1966, maka bentuk, luas serta cara-cara kerja sama itu harus segera diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan disebut Undang-undang Pokok Pertambangan. Agar… Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1967. Pd. Presiden Republik Indonesia, ttd SOEHARTO Jenderal TNI. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1967. Sekretaris Kabinet Ampera, ttd Brig. Jen. TNI. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 22 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 11 TAHUN 1967 Tentang KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN. A. PENJELASAN UMUM. Bahwa pada mulanya Undang-undang Pertambangan yang berlaku pada waktu Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan adalah Indonesische Mijnwet tahun 1907. Dalam perkembangan politik Nasional hal tersebut tidaklah dapat selaras lagi dengan cita-cita dasar Negara Republik Indonesia serta kepentingan Nasional pada umumnya, khususnya dibidang pertambangan. Dalam hubungan ini pada tanggal 2 Agustus 1951 telah diterima oleh Parlemen mosi yang menghendaki agar dibentuk sebuah Panitia Negara untuk Urusan Pertambangan antara lain untuk merencanakan suatu Undang-undang tentang Pertambangan sebagai pengganti Indonesische Mijnwet. Maka kemudian pada tanggal 14 Oktober 1960 Indonesische Mijnwet tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang Pertambangan yang baru yaitu Undang- undang No. 37 Prp tahun 1960. Undang-undang Pertambangan yang baru tersebut pada waktu itu sekedarnya sudah dapat memenuhi tuntutan dan kepentingan Nasional di bidang Pertambangan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, dirasakan bahwa Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 itu kemudian tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin berusaha dalam bidang pertambangan. Masyarakat menghendaki agar kepada pihak swasta lebih diberikan kesempatan melakukan penambangan, sedangkan tugas Pemerintah ditekankan kepada usaha pengaturan, bimbingan dan pengawasan pertambangan. Hal itu ditambah lagi dengan perkembangan politik dan pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan antara lain sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966; Maka dipandang perlu untuk lebih dipercepat penggantian Undang-undang Pokok Pertambangan yang baru. Pokok-… Pokok-pokok persoalan. Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang baru ini harus selaras dengan cita-cita dasar Negara Republik Indonesia dan dengan perkembangan kepentingan Nasional dalam pertambangan, yang secara mendalam harus diitinjau baik dari sudut politik dan ekonomis, maupun dari sudut sosial dan strategis. Pokok-pokok persoalan tersebut adalah mengenai:
pengusaan bahan-bahan galian yang berada di dalam, dibawah dan di atas wilayah hukum pertambangan Indonesia;
pembagian bahan-bahan galian dalam beberapa golongan, yang didasarkan atas pentingnya bahan galian itu;
sifat dari perusahaan pertambangan, yang pada dasarnya harus dapat diusahakan oleh semua pihak yang berminat dan sanggup dengan tetap memperhatikan segi keamanan Negara dan tetap berdasarkan azas-azas kekeluargaan;
peranan Pemerintah Daerah lebih diperkuat;
pengertian kuasa pertambangan tetap dipertahankan;
adanya peraturan peralihan untuk mencegah kekosongan (vacuum) dalam menghadapi pelaksanaan Undang-undang ini. Penjelasan pokok persoalan:
Mengenai semua bahan galian yang terkandung di dalam bumi dan wilayah hukum pertambangan Indonesia dinyatakan, bahwa bahan-bahan galian tersebut adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan dikuasi oleh Negara. Pernyataan ini adalah dasar, yang diletakkan dalam Undang- undang Pertambangan ini, sehingga dengan pernyataan ini Negara menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh- penuhnya untuk kepentingan Negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan-bahan galian tersebut adalah merupakan kekayaan Nasional. Dengan pengertian baru yang disebut dataran Continental (Continental-Shelf), maka wilayah hukum pertambangan meliputi juga daerah di luar batas-batas perairan Indonesia. Pengertian perairan Indonesia inipun adalah pengertian sesudah disesuaikan dengan Undang-undang No. 4 Prp tahun 1960, tentang Perairan Indonesia (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 22, Tambahan Lembaran-Negara No. 1942).
Pembagian… 2. Pembagian (gradasi) bahan-bahan galian dalam golongan strategis, golongan vital dan golongan yang tidak termasuk dalam golongan strategis dan vital didasarkan atas sifat masing-masing bahan galian sendiri, diperlengkapi menurut pendapat-pendapat baru mengenai hal ini misalnya bahan-bahan galian yang radio aktif dan bahan galian lain yang strategis bagi pertahanan dan pembangunan Negara. Karena tetap dirasakan perlu adanya Undang-undang tersendiri bagi bahan-bahan galian strategis seperti minyak bumi, aspal, lilin bumi dan sejenisnya serta semua jenis gas mudah terbakar, dan bahan galian yang radio aktif oleh karena sifatnya yang sangat khusus, maka Undang-undang tersendiri mengenai bahan-bahan galian tersebut yang telah dibuat atas dasar Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 itu tetap dipertahankan dengan penyesuaian pada prinsip-prinsip pokok dalam Undang- undang ini. Undang-undang Pertambahan ini dianggap sebagai peraturan pokok. Dalam pembuatan peraturan lanjutan atau meneruskan berlakunya sesuatu peraturan lanjutan itu, dasar-dasar termaksud dalam Undang-undang Pertambangan ini harus diperhatikan.
Dalam memanfaatkan kekayaan alam dapat diambil cara-cara penguasaannya seperti berikut:
Dikerjakan langsung oleh suatu Instansi Pemerintah, penguasaan oleh Instansi Pemerintah itu terutama ditujukan untuk penyelidikan umum dan eksplorasi sebagai usaha inventarisasi kekayaan alam Indonesia dan tidak dalam arti pengusahaan untuk mencari keuntungan, karena usaha pertambangan untuk mencari keuntungan tersebut seyogyanya diserahkan kepada Perusahaan-perusahaan Tambang Negara atau Swasta. Begitupun bahan radio aktif perlu diusahakan oleh Instansi Pemerintah dan dalam hal ini adalah Badan Tenaga Atom Nasional;
diusahakan oleh Perusahaan Negara;
diusahakan dengan perusahaan atas dasar modal bersama oleh pihak Negara dengan Daerah;
diusahakan oleh Perusahaan Daerah;
diusahakan oleh perusahaan yang modalnya adalah modal campuran oleh Negara dan pihak Swasta, boleh pula modal campuran dengan perseorangan, asal berkewarganegaraan Indonesia dan boleh pula dengan badan swasta yang pengurusnya seluruhnya adalah warganegara Indonesia;
diusahakan oleh pihak Swasta boleh oleh perseorangan asal berkewarganegaraan Indonesia, atau boleh oleh badan Swasta yang seluruhnya berkewarganegaraan Indonesia, terutama yang mempunyai bentuk koperasi.
Pemerintah… 4. Pemerintah Daerah lebih diperkuat kedudukannya, terutama dalam pengaturan bahan galian golongan c serta pembagian atas keuntungan perusahaan pertambangan yang berusaha dalam sesuatu Daerah. Sungguhpun demikian agar jangan terjadi perlapisan-perlapisan daerah tempat melakukan usaha pertambangan perlu kerja sama yang erat dengan pihak Pemerintah Pusat.
Pengertian konsesi atas dasar Indonesiche Mijnwet memberikan hak yang terlalu kuat bagi pemegang konsesi itu. Pengertian yang sedemikian itu tidak dapat dipertahankan lagi dan oleh Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 pengertian itu telah dihapus dan ditukar dengan kuasa pertambangan. Pengertian kuasa pertambangan masih tetap dapat dipertahankan dalam Undang-undang ini.
Untuk mencegah kekosongan dalam menghadapi pelaksanaan dari Undang- undang ini masih diperlukan ketentuan Peralihan menjelang dibuatnya peraturan lanjutan. Lagi pula beberapa peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang diharapkan dikeluarkan sesudah Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 diundangkan, ternyata sampai sekarang belum dikeluarkan dengan lengkap, baru beberapa Keputusan Menteri dan suatu Peraturan Pemerintah tentang Penggolongan Bahan Galian yang sudah dikeluarkan. Sehingga dengan mulai berlakunya Undang-undang ini mengingat belum lengkapnya peraturan-peraturan pelaksanaan, maka "Mijn Ordonnantie" dan beberapa verordeningen selama tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan selama belum diganti dengan peraturan-peraturan pelaksanaan baru, masih tetap berlaku disamping peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan berdasarkan Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 itu. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Pertambangan ini, Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 dan penjelasannya telah dicabut. Namun demikian hak-hak pertambangan serta kuasa pertambangan yang telah ada (yang berdasarkan Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960) yang masih berlaku, akan tetap berlaku, dengan ketentuan bahwa para pemegang kuasa pertambangan tersebut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya harus menyesuaikan diri dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ini. B. PENJELASAN… B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL: Pasal 1. Sebagai telah tersebut dalam penjelasan umum, maka dengan pasal ini dinyatakan dengan tegas bahwa semua bahan galian yang terdapat di Indonesia yang masih merupakan letakan-letakan atau timbunan-timbunan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah kekayaan Nasional dan dikuasai oleh Negara. Pasal 2. Mengenai yang tersebut dalam huruf K, dicatat di sini bahwa dataran Continental yang diartikan oleh dunia Internasional ialah semua daerah di bawah permukaan air dari pantai ke arah laut, di mana dalamnya air masih memungkinkan penyelidikan dan pengambilan hasil sumber-sumber kekayaan alam dari dasar laut dan tanah di bawahnya. Pasal 3. Pembagian dalam tiga golongan bahan galian didasarkan pada pentingnya bahan galian yang bersangkutan bagi Negara. Bahan galian strategis dalam arti kata "strategis" untuk pertahanan/keamanan Negara ataupun strategis untuk menjamin perekonomian Negara. Bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak. Sedang yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak, baik karena sifatnya maupun karena kecilnya jumlah letakan (leposit) bahan galian itu digolongkan ke dalam golongan ketiga. Berhubung dengan kemungkinan-kemungkinan dalam perkembangan teknis dan pandangan ekonomis, yang dapat merobah nilai pentingnya suatu bahan galian dianggap lebih bijaksana penggolongan itu diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan mengadakan konsultasi kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat c.q. Komisi yang bersangkutan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6… Pasal 6 dan 9. Dengan pasal 6 dan pasal 9 ini ditegaskan pengusahaan masing-masing bahan galian. Bahan galian golongan a hanya dapat diusahakan oleh Negara atau Negara bersama Daerah; golongan b boleh oleh pihak Swasta atau dalam bentuk perusahaan yang modalnya adalah modal bersama, golongan c dan bahan-bahan galian yang tidak disebut dalam Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-undang ini diserahkan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat I. Usaha yang dilakukan oleh Negara dapat berbentuk:
Pekerjaan kedinasan atau penugasan Negara kepada salah satu Instansi Pemerintah terutama Instansi Pemerintah ini akan diberi tugas dalam inventarisasi kekayaan alam Indonesia, penyelidikan geologic penyelidikan umum, eksplorasi dan pembukaan proyek baru.
Perusahaan Negara. Usaha yang dilakukan oleh Daerah berbentuk Perusahaan Daerah, yaitu semacam Perusahaan yang dibentuk dan diadakan oleh Pemerintah Daerah, baik Daerah Tingkat I atau Tingkat II. Dalam pada itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat pula mendirikan suatu Perusahaan dengan modal bersama. Pasal 7 dan 8 Pokok pikiran ialah bahwa bahan galian golongan a hanya boleh diusahakan oleh Negara. Tetapi ada kalanya harus dilakukan penyimpangan untuk memperbolehkan pengusahaannya oleh pihak Swasta atau Rakyat setempat atas kepentingan perekonomian Negara atau perkembangan pertambangan dikalangan rakyat banyak. Tetapi bahan galian strategis yang menyangkut dengan keamanan Negara, tetap hanya akan diusahakan Negara dan tidak dapat dialihkan kepada Swasta atau pertambangan Rakyat. Pasal 10. Pasal ini menjadi dasar untuk kontrak karya baik dengan pihak modal dalam Negeri maupun dengan modal Asing. Konsultasi termaksud dilakukan dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat c.q. Komisi yang bersangkutan. Penentuan penempatan Kontrak Karya dan pelaksanaannya diatur dengan cara yang paling menguntungkan bagi Negara dan masyarakat. Pasal 11. Rakyat setempat berdasarkan hukum adat dan untuk penghidupan mereka sendiri sehari-hari telah melakukan usaha-usaha pertambangan menurut cara-cara mereka sendiri. Hal ini harus dilindungi dan dibimbing. Pasal 12… Pasal 12. Ketentuan dalam pasal ini bermaksud untuk menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya. Pendapat dari Dewan Pertambangan diperlukan dalam pemberian kuasa pertambangan eksploitasi karena janka waktunya yang panjang (± 30 tahun), sedangkan untuk kuasa pertambangan bagi usaha pertambangan lainnya karena jangka waktunya relatif pendek dan terbatas, maka tidak perlu dimintakan pendapat Dewan tersebut. Dalam pelaksanaannya akan diberikan pengutamaan kepada Badan Hukum Koperasi.
Peraturan Lalu Lintas Devisa
Relevan terhadap
Bank devisa yang telah membeli valuta asing seperti termaksud dalam pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 ayat (3) berkewajiban untuk menyerahkannya kepada Bank Indonesia.
Penggantian nilai lawan dalam Rupiah untuk devisa yang diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI. IMPOR BARANG DAN PENERIMAAN JASA DARI LUAR NEGERI ATAS BEBAN DANA DEVISA. Pasal 12. Impor barang dari luar negeri atas beban Dana Devisa hanya boleh diadakan jikalau untuk itu telah dikeluarkan izin umum atau khusus oleh Pimpinan Biro dengan syarat yang ditentukan olehnya. Pasal 13.
Barangsiapa telah mendapat izin untuk impor seperti dimaksud dalam pasal 12 berkewajiban untuk menutup kontrak-valuta dengan bank devisa untuk jumlah yang disediakan oleh Biro untuk impor barang tersebut dan harus berbunyi dalam valuta yang sama jenisnya serta menyebutkan jangka waktu pembayaran seperti telah ditentukan oleh Biro.
Pada waktu pemasukan barang dari luar negeri importir diwajibkan untuk menyampaikan kepada pejabat Bea dan Cukai setempat di mana barang impor akan dimasukkan suatu pemberitahuan tentang pemasukan barang yang bentuknya ditetapkan oleh Biro. Pemberitahuan itu harus disusun sesederhana mungkin dan disampaikan dengan disertai izin sebagaimana termaksud dalam ayat (1). Pasal 14.
Pengeluaran devisa lainnya daripada yang termaksud dalam pasal 12 atas beban Dana Devisa Negara hanya boleh dilakukan berdasarkan izin umum atau khusus yang dikeluarkan oleh Biro.
Perjanjian-perjanjian yang akan mengakibatkan beban atas Dana Devisa harus disetujui lebih dahulu oleh Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia. Jika persetujuan tidak diberikan kewajiban membayar hanya dapat dipenuhi dari devisa yang dimaksudkan dalam Bab VII. BAB VII. PENGUASAAN DEVISA YANG TIDAK DIHARUSKAN UNTUK LANGSUNG DISERAHKAN KEPADA DANA DEVISA. Pasal 15. Segala sesuatu yang bertalian dengan penggunaan, pembebanan dan pemindahan hak atas devisa yang tidak diharuskan untuk langsung diserahkan kepada Dana Devisa menurut pasal 11 diatur berdasarkan rencana penggunaan devisa dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII. KEWAJIBAN MENDAFTAR DAN MENYIMPAN EFFEK. Pasal 16.
Warga-negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berkewajiban untuk menyimpan dalam simpanan terbuka effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, yang dimilikinya pada waktu peraturan ini mulai berlaku dan yang diperolehnya sesudah waktu itu, pada bank devisa Pemerintah atau pada korespondennya di luar negeri atas nama bank devisa Pemerintah bersangkutan. Penyimpanan ini harus dilakukan dalam batas waktu enam bulan sesudah peraturan ini berlaku atau tiga bulan sesudah effek diperolehnya.
Kewajiban tersebut dalam ayat (1) berlaku pula untuk warga- negara asing dan badan hukum asing untuk:
effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah;
effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, sekedar dimiliki sebelum Undang-undang ini berlaku.
Bank tersebut dalam ayat (1) berkewajiban untuk mendaftarkan effek yang disimpan padanya menurut petunjuk Pimpinan Biro, dengan ketentuan bahwa effek yang diajukan untuk disimpan setelah lewatnya jangka waktu yang ditetapkan diatas, hanya dapat didaftarkan dengan izin Biro.
Dalam menjalankan ketentuan dalam ayat (1) ditentukan bahwa effek yang dikeluarkan sebelum 29 Desember 1949 oleh badan hukum di Indonesia baik yang berwarga-negara Indonesia maupun asing, dianggap sebagai effek yang harus disimpan dalam simpanan terbuka.
Biro berwenang untuk menentukan bilamana effek yang telah disimpan dapat dikembalikan kepada yang berhak. BAB IX. LARANGAN. Pasal 17.
Impor dan ekspor mata uang Rupiah dilarang terkecuali dengan izin Pimpinan Biro.
Ekspor dari benda yang berikut: emas uang kertas asing, effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, dilarang terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.
Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat membatasi jumlah uang kertas asing yang dapat diimpor.
Effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada rupiah dilarang diekspor oleh warga-negara Indonesia, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro. Warga-negara asing atau badan hukum asing, dilarang untuk membeli dan memperoleh dengan cara dan dalam bentuk apapun juga effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.
Warga-negara asing atau badan hukum asing dilarang untuk mengekspor effek termaksud dalam pasal 16 sub (2) (b), terkecuali dengan izin dari Biro.
Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat menentukan, bahwa warga-negara asing atau badan hukum asing tertentu dilarang untuk memperoleh kredit dari bank atau mengadakan pinjaman, termasuk mengeluarkan obligasi, saham, tanda pinjaman jangka panjang lainnya dan tanda pinjaman jangka pendek yang berbunyi dalam mata uang rupiah. BAB X. KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA DEVISA DAN HUKUM ACARA PIDANA DEVISA. Pasal 18. Terkecuali jika suatu perbuatan dengan nyata dalam Undang- undang ini disebut kejahatan atau pelanggaran pidana, semua perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya dipandang sebagai pelanggaran administratip, yang hanya dikenakan denda administratip atau pidana administratip lain menurut ketentuan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan. Denda ini setinggi-tingginya berjumlah dua puluh lima juta rupiah. Pasal 19.
Dewan mempunyai hak interpretasi yang tertinggi tentang Undang-undang ini dan tentang peraturan yang didasarkan atasnya.
Dewan berwenang mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung agar terhadap sesuatu tindak pidana berdasarkan Undang-undang ini tidak akan dilakukan penuntutan. Usul tersebut disertai dengan alasan-alasan.
Jaksa dan Hakim dalam menjalankan tugas kewajibannya berdasarkan Undang-undang Pokok Kejaksaan dan Undang- undang Pokok Kekuasaan Kehakiman wajib mengingat pada ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2). Pasal 20.
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat (6) maka pelanggaran pasal, 7, 8, 9, 10, 11, 16 dan 17 yang dibuat dengan sengaja dan dapat berakibat kerugian untuk negara yang meliputi jumlah yang besarnya lebih dari nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing untuk tiap perbuatan, dinyatakan sebagai kejahatan.
Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya tidak melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing, maka pelanggar itu dikenakan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya sepuluh juta rupiah.
Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing maka pelanggar itu diberi pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya seratusjuta rupiah.
Barang terhadap mana perbuatan tersebut dalam ayat (2) dan (3) dilakukan dapat dirampas untuk Negara.
Jika kerugian yang tersebut dalam ayat (1) tidak melampaui nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing, maka perbuatan itu dinyatakan pelanggaran administratip.
Jikalau pelanggaran pasal 7, 8, dan 9 berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun bersifat tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor, maka pelanggaran itu dipandang pelanggaran administratip.
Jika tindak pidana dilakukan tidak dengan sengaja, maka pidana tertingginya ditetapkan sepertiga dari pidana tertinggi apabila dengan sengaja. Pasal 21. Pelanggaran pasal 12 dan 13 dinyatakan sebagai pelanggaran administratip. Pasal 22.
Barangsiapa setelah mendapat perintah seperti termaksud dalam pasal 6 sub a dengan sengaja tidak memenuhi perintah itu tanpa alasan yang sah ataupun dengan sengaja menyampaikan keterangan yang tidak benar dalam memenuhi perintah itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Perbuatan ini merupakan kejahatan. Pasal 23.
Barangsiapa karena jabatannya atau pekerjaannya tersangkut dalam penyelenggaraan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya wajib merahasiakan semua yang diketahuinya karena jabatan atau pekerjaan itu, kecuali jika ia harus memberikan keterangan justru karena jabatan atau pekerjaan itu terhadap pihak ketiga.
Kewajiban ini berlaku pula untuk para ahli yang berhubung dengan penyelenggaraan Undang-undang dan peraturan yang didasarkan atasnya diminta memberikan nasehatnya atau yang diserahi melakukan sesuatu pekerjaan. Pasal 24.
Barangsiapa dengan sengaja melanggar kewajiban untuk merahasiakan sebagaimana termaksud dalam pasal 23 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Perbuatan tersebut di atas merupakan kejahatan. Pasal 25.
Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata-tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.
Suatu tindak pidana dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.
Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus, atau jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa kemuka hakim.
Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor. Pasal 26.
Untuk penyidikan tindak pidana yang tersebut dalam Undang- undang ini disamping pegawai-pegawai yang pada umumnya diberi tugas menyidik tindak pidana, ditunjuk pula:
pegawai Bea dan Cukai, b. pegawai Biro yang ditunjuk oleh Dewan.
Pegawai penyidik tersebut di atas sewaktu-waktu berwenang untuk melakukan penyitaan, begitu juga untuk menuntut penyerahan supaya dapat disita daripada segala barang yang dapat dipakai untuk mendapatkan kebenaran atau yang dapat diperintahkan untuk dirampas, dimusnahkan atau dirusakkan supaya tidak dapat dipakai lagi.
Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk menuntut pemeriksaan segala surat yang dianggap perlu untuk diperiksa guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.
Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk memasuki semua tempat yang dianggap perlu guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya. Mereka berkuasa untuk menyuruh agar dikawani oleh orang-orang tertentu yang mereka tunjuk. Jika dianggap perlu mereka memasuki tempat-tempat tersebut dengan bantuan polisi. Pasal 27.
Biro berwenang untuk memerintahkan penyerahan barang atau effek, yang diperoleh dengan jalan melanggar Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya atau dengan mana, ataupun tentang mana perbuatan itu telah dilakukan, atau yang merupakan pokok perbuatan sedemikian, dari yang melanggar, baik perseorangan maupun badan hukum.
Perintah ini dalam hal tindak pidana hanya dapat diberikan, jikalau diputuskan bahwa tidak akan diadakan tuntutan. Perintah termaksud diberikan dengan surat perintah tercatat.
Jikalau dalam batas waktu tiga bulan perintah ini tidak dipenuhi, maka Biro dapat menetapkan jumlah paksaan dalam mata uang rupiah yang harus dibayarkan kepadanya dalam batas waktu yang ditetapkan olehnya.
Jumlah paksaan yang tersebut dalam ayat (3) di atas dan denda administratip yang tersebut dalam pasal 18 dapat dipungut dengan surat paksa, yang dikeluarkan atas nama Pimpinan Biro dan dapat dilaksanakan menurut ketentuan mengenai surat paksa dalam Peraturan Pajak Berkohir. BAB XI. KETENTUAN LAIN. Pasal 28. Tiap perjanjian yang diadakan dengan melanggar Undang- undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya adalah batal dalam arti yang dipakai dalam Kitab Undang-undang Perdata. Pasal 29.
Dewan berwenang untuk mengeluarkan peraturan mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini yang dianggapnya perlu untuk mencapai maksud dan tujuan Undang-undang ini. Peraturan termaksud dalam ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Pasal 30. Dalam menjalankan Undang-undang ini, Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk- petunjuk Dewan dapat:
mengeluarkan peraturan khusus untuk Perwakilan diplomatik dan konsuler asing dan Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan-badan International semacam itu berikut pegawai-pegawainya yang berstatus diplomatik atau konsuler.
mewajibkan warga-negara asing dan badan hukum asing tertentu yang diizinkan untuk berusaha di Indonesia untuk menyerahkan valuta asing ke dalam "Dana Devisa Negara" dalam menjalankan usahanya. Pasal 31.
Surat permohonan untuk mendapat izin berdasarkan Undang- undang ini atau peraturan pelaksanaannya dan juga surat izinnya adalah bebas dari ber meterai.
Kalau satu dari dua pihak dalam melakukan sesuatu perbuatan telah mendapat izin atau pembebasan, maka pihak yang kedua tidak perlu meminta lagi izin atau pembebasan.
Dari semua ketentuan Undang-undang ini Dewan dapat memberikan pembebasan secara khusus atau umum dan dalam kedua hal dapat dietapkan syarat-syarat tertentu.
Dewan dapat mendelegasikan wewenang ini kepada Ketua Dewan atau salah seorang anggotanya. Pasal 32. PERATURAN PERALIHAN.
Pada hari mulai berlakunya Undang-undang ini:
Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dilebur sebagai badan hukum dan segala aktiva dan pasivanya beralih kepada Biro;
Segala aktiva dan pasiva "Dana Devisen" dijadikan Dana Devisa. Hubungan kerja antara Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dan para pegawainya diambil-alih oleh Biro.
Jikalau untuk sesuatu hal menurut Undang-undang ini diharuskan adanya suatu izin atau dari sesuatu kewajiban dapat diberikan pembebasan, maka izin atau pembebasan yang telah diberikan berdasarkan Deviezen-verordening 1940 dianggap sebagai berdasarkan Undang-undang ini.
Segala peraturan pelaksanaan dari Deviezen-ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 sekedar mengatur lebih lanjut hal-hal yang ditentukan dalam Undang-undang ini tetap berlaku pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, sampai ditarik kembali.
Penggunaan, pembebasan dan pemindahan hak atas valuta asing termaksud dalam Pengumuman Pimpinan L.A.A. P.L.N. No. 3 tanggal 27 Mei 1963 dan S.K.B. Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan dan Urusan Bank Sentral No. No. IE/IU/KB/32/12/SKB jo Kep. 26/UBS/64 dan Kep. 35/UBS/ No. Kep. 21/UBS/64 64 diperkenankan sampai pengumuman dan peraturan ini ditarik kembali.
Terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut Devizen- ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 merupakan tindak pidana dan tidak lagi demikian halnya menurut Undang- undang ini, berlaku peraturan yang tersebut terakhir.
Bank Swasta yang telah ditunjuk sebagai bank devisa menjalankan funksinya selama masa peralihan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 33.
Pasal 1 ayat 1e sub f dari Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang No. 7 Drt tahun 1955) dihapuskan dan diganti hingga berbunyi sebagai berikut: "Pasal 7, 8 dan 9 dari Undang-undang No. 32 tahun 1964 tentang "Peraturan Lalu-Lintas Devisa 1964", terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor".
Undang-undang No. 4 Prp tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 91). dan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1964 (Lembaran-Negara tahun 1964 No. 2) ditarik kembali. Pasal 34. PERATURAN PENUTUP. Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Devisa 1964 dan mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUKARNO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964. SEKRETARIS NEGARA, MOHD. ICHSAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN LALU-LINTAS DEVISA. I. UMUM.
Rezim devisa yang hingga kini berlaku di tanah air kita mulai diadakan pada pertengahan tahun 1940 oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan dikeluarkannya Deviezen-Ordonantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205, sebagaimana telah dirobah dan ditambah) serta Deviezen-Verordening 1940 (Staatsblad 1940 No. 291, sebagaimana telah dirobah dan ditambah), pengalaman selama lebih dari 20 tahun menunjukkan bahwa kedua peraturan ini merupakan suatu sumber rintangan-rintangan terhadap kelancaran dan perkembangan lalu-lintas perdagangan dan lalu-lintas pembayaran antara Indonesia dan luar negeri yang sangat merugikan dan menghambat pembangunan Negara.
Deviezen-Ordonantie dan Deviezen-Verordening pada hakekatnya menetapkan cara dan sistim untuk menguasai seluruh penghasilan devisa serta seluruh kekayaan devisa dari pada penduduk devisa. Cara dan sistim ini memuncak pada pengusaaan dari segala usaha, segala kegiatan dan segla hubungan disegala lapangan. yang dapat menimbulkan konsekwensi-konsekwensi finansiil terhadap luar negeri, dalam segala bentuknya dan segala detailnya.
Meskipun cita-cita untuk menguasai seluruh penghasilan devisa untuk Negara pada hakekatnya dan pada akhirnya sesuai dengan cita-cita Sosialisme Indonesia, namun sistim dan cara dari pada Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening, yang bersifat tidak konkrit dan berbelit-belit, telah menciptakan, khususnya bagi masyarakat yang bergerak di lapangan perdagangan internasional, suatu suasana yang penuh dengan perasaan takut dan kekhawatiran. Jelaslah bahwa suasana demikian melemahkan penggerakan potensi dan kekuatan Rakyat, khususnya mematikan inisiatip dari pihak produsen-produsen dan pengusaha-pengusaha kita dari kegiatan-kegiatan yang justru merupakan sumber-sumber bagi Negara untuk memupuk kekayaan devisa.
Salah satu tekhinik yang dipakai dalam Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening yang tidak dapat dipertahankan adalah pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu: - golongan "penduduk-devisa" dan - golongan "bukan penduduk-devisa". Oleh karena penarikan garis oleh Diviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening dilakukan dengan tidak memandang kebangsaan atau kewarganegaraan, maka sesama warganegara, baik Indonesia maupun asing, dapat digolongkan sebagai "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa". Dengan demikian "Deviezen-ordonnnatie menjalankan penguasaan terhadap segala hubungan-hubungan keuangan antara "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa", sehingga juga untuk transaksi-transaksi yang semata-mata bergerak di dalam negeri dan tidak menyangkut soal-soal devisa biarpun dilakukan antara warga negara Indonesia harus dimintakan izin terlebih dahulu dari pembesar-pembesar devisa, jika salah satu pihak merupakan "bukan penduduk devisa". Pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu golongan "penduduk-devisa" dan golongan "bukan penduduk Devisa" sudah terang merupakan rintangan untuk menciptakan ekonomi nasional yang sehat. Oleh karena itu dalam kehendak kita untuk menyusun ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis perlu pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan dihapuskan. Untuk mencapai maksud itu perlu diambil kewarganegaraan sebagai kriterium, agar supaya kepentingan nasional dapat diperhatikan sepenuhnya dalam lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri.
Selanjutnya sifat yang amat kaku dari Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening sangat menghambat kelancaran dalam melaksanakan hubungan finansiil antara Indonesia dan luar negeri. Sifat yang amat kaku ini yang pada hakekatnya melarang segala- galanya, terkecuali jika diizinkan secara khusus atau umum, telah menimbulkan keharusan penetapan peraturan-peraturan penyelenggaraan yang jumlahnya demikian besarnya, sehingga keseluruhan ketetapan-ketetapan yang dikenal sebagai "peraturan-peraturan devisa" menjadi sangat kompleks dan sangat ruwet. Banyaknya dan berbelit-belitnya peraturan devisa itu dan kesimpangsiuran dalam interpretasi daripada peraturan-peraturan itu telah merupakan sumber rintangan-rintangan yang sangat menghambat kelancaran dalam pembangunan Negara dibidang perekonomian.
Dalam menghadapi masalah ekonomi, kita sadar bahwa sisa-sisa kelonial dan sisa feodal dan demikian pula sifat-sifat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan dunia luar masih juga memberikan rintangan dalam pertumbuhan kearah sosialisme Indonesia. Dalam Deklarasi Ekonomi secara jelas dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Dalam melanjutkan pertumbuhan-pertumbuhan di bidang sosial dan ekonomi, maka kita harus bertitik-pangkal pada modal yang sudah kita miliki ialah:
Aktivitas ekonomi Indonesia dewasa ini kurang lebih 80% sudah berada di tangan bangsa Indonesia. Dalam tahun 1950 boleh dikatakan aktivitas ekonomi di Indonesia sebagian terbesar masih dikuasai oleh bangsa asing, sehingga baik Pemerintah maupun rakyat, tidak dapat mengadakan perencanaan secara pokok bagi pertumbuhan ekonomi secara revolusioner.
Pada waktu-waktu belakangan ini Pemerintah sudah mulai dapat secara aktif aktivitas ekonominya dalam arti konsepsionil, organisatoris dan strukturil.
Meskipun demikian kita belum dapat berkembang secara mendalam oleh karena perhatian Pemerintah dan kekuatan rakyat masih dititik-beratkan kepada penyusunan alat-alat Revolusi yang baru pada waktu sekarang ini dapat dikatakan lengkap. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa baru sekarang kita dapat menggerakkan segala usaha dan perhatian rakyat dan Pemerintah untuk menanggulangi persoalan ekonomi secara konsepsionil, organisatoris dan strukturil dalam arti keseluruhannya.
Oleh karena itu maka diperlukan suatu approach yang lebih realistis dan ketentuan-ketentuan yang tegas dan sederhana dalam mengatur lalu-lintas devisa antara Indonesia dan luar negeri, dengan memegang teguh pada prinsip- prinsip reasionalisasi selaras pula dengan prinsip-prinsip demokrasi nasional. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa di samping pengusaan devisa dengan jalan mengharuskan penytorannya dalam Dana Devisa dapat juga dipakai pengusasaan dengan menetapkan cara pemakaiannya, suatu cara yang dalam keadaan tertentu dapat berjalan dengan lebih effisen.
Rasionalisasi berarti pula bahwa pengawasan harus ditujukan kepada sumber devisa yang terpenting. Bagi Negara kita, lalu-lintas perdagangan merupakan komponen yang terpenting; lebih dari 90% dari volume lalu-lintas pembayaran dengan luar negeri merupakan lalu-lintas perdagangan. Berhubung dengan itu pengawasan lalu-lintas pembayaran berarti terutama pengawasan terhadap lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri. Dalam hubungan ini harus diawasi bahwa penerimaan devisa dari ekspor yang harus diterima oleh Negara. memang mengalir ke dalam kas Negara untuk merupakan Dana Devisa. Jumlah yang harus diterima ini harus ditentukan secara konkrit oleh Negara, supaya baik yang berwajib menyerahkan devisa (eksportir) maupun badan-badan pengawasa Pemerintah yang bersangkutan secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban itu. Syak- wasangka dari pihak badan-badan pengawas di atas atapun perasaan khawatir akan menyalahi peraturan-peraturan dari pihak ekspotir, dengan demikian dapat ditiadakan.
Pengeluaran devisa atas beban Dana Devisa untuk impor hanya dapat dilakukan menurut cara dan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam hubungan ini baik Pemerintah maupun badan Pemerintah yang ditugaskan harus menetapkan secara konkrit nilai yang dipandang layak olehnya bagi barang-barang yang diizinkan untuk dibeli dari luar negari.
Pengawasan terhadap penerimaan devisa dibidang jasa dapat dibatasi pada pos-pos yang terpenting saja. Pada umumnya dapat ditentukan bahwa devisa yang diterima dibidang jasa harus diserahkan kepada Negara, jika penerimaan devisa itu secara langsung dimungkinkan karena adanya peralatan atau fasilitas-fasilitas yang dimiliki atau dikurangi oleh perusahaan perkapalan asing. Penerimaan devisa oleh perseorangan berdasarkan jasa individual tidak perlu diawasi.
Pengawasan harus dilakukan terhadap pengeluaran devisa untuk jasa atas beban Dana Devisa, karena layak atau tidak layak pengeluaran itu seperti juga hanya dengan impor barang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah dengan mengingat keperluan akan jasa itu dalam rangka kepentingan Negara dipelbagai bidang.
Pengawasan terhadap lalu-lintas modal perlu diadakan untuk menghindarkan pemindahan (pelarian) modal keluar negeri. Pemindahan modal keluar negeri dapat dilakukan dalam bentuk investasi dana-dana di luar negeri oleh warganegara Indonesia.
Pendirian bahwa penerimaan devisa Negara meliputi jumlah-jumlah yang memang secara konkrit diwajibkan oleh Pemerintah untuk diserahkan kepada Dana Devisa, berarti bahwa pemilikan devisa tidak lagi terbatas pada Negara saja. Di samping devisa yang merupakan Dana Devisa terdapat pula devisa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, baik warga-negara Indonesia maupun warganegara asing, yang tidak diharuskan untuk diserahkan langsung kepada Dana Devisa. Dalam pada itu perlu pula diadakan penertiban tentang cara penggunaan devisa yang termaksud dan penguasaannya oleh Negara letak pada cara pemakaiannya seperti telah dinyatakan di atas sub 7.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perinsip- prinsip yang dianut dalam Undang-undang ini fundamental sangat berlainan dengan prinsip-prinsip yang diletakkan dalam Deviezen- ordonnatie dan Deviezen-verordening. Sebagai konsekwensi yang logis pada pertentangan ini maka banyak hal-hal yang dalam Deviezen-ordonnantie dan Deviezen-verordening merupakan larangan kini harus ditinggalkan. Dengan demikian, dalam sistim lalu-lintas devisa baru banyak perbuatan yang dengan sengaja tidak dilarang atau diharuskan memakai izin, misalnya: memiliki devisa, memiliki emas, mewakili warganegara Indonesia yang tidak menjadi "penduduk-devisa", mempunyai rekening bank di luar negeri, mengadakan perjanjian dengan "bukan penduduk-devisa", menerima undangan dari "bukan penduduk-devisa" untuk berkunjung ke luar negeri.
Berhubung dengan uraian di atas berbagai perbuatan yang dahulu semuanya merupakan tindak pidana kini untuk sebagian dapat dikesampingkan, hal mana akan menciptakan suatu suasana yang sehat guna perkembangan ekonomi nasional kita. Sebagian lain dari perbuatan yang dahulu dipandang bersifat pidana kini dianggap sebagai pelanggaran administratip, terkecuali jika pelanggaran itu dengan nyata mengakibatkan kerugian terhadap Negara.
Perlu ditegaskan, bahwa peraturan ini mewujudkan struktur dari pada lalu- lintas devisa antara Indonesia dengan luar negeri, yang merupakan suatu landasan untuk suatu politik devisa Pemerintah.
Akhirnya perlu dijelaskan bahwa ketentuan dalam Undang- undang ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan termaktub dalam perjanjian karya antara perusahan-perusahaan minyak Negara dan perusahaan-perusahaan minyak asing, yang telah disahkan dengan Undang-undang. II.PASAL DEMI PASAL Pasal 1 sub 1 dan 2. Cukup jelas. Pasal 1 sub 3. Yang dimaksudkan dengan mata uang emas ialah mata uang emas yang menurut Undang-undang Keuangan yang berlaku di negara yang bersangkutan merupakan uang emas yang sah; Jika tidak, maka barang yang berupa mata uang emas masuk golongan barang pakai atau barang perhiasan. Pasal 1 sub 4. Dengan sengaja bermacam-macam uang asing yang tidak dipakai untuk pembayaran internasional tidak dipandang devisa seperti juga halnya dengan mata uang asing logam bukan emas. Pasal 1 sub 5 s/d 8. Cukup jelas. Pasal 1 sub 9. Arti ekspor dalam kalimat kesatu diperluas dalam kalimat kedua. Pemerintah akan mengadakan tindakan-tindakan agar pengluasan ini tidak menimbulkan ekses-ekses dalam pelaksanaannya. Pasal 2. Yang dapat dikuasai oleh Negara Republik Indonesia dengan sendirinya hanya devisa yang ada hubungannya dengan Negara atau rakyat kita. Jadi misalnya uang US. $ yang dipegang oleh orang Amerika di negaranya dari usahanya di sana, atau uang US. $ yang merupakan hasil ekspor dari Sudan, adalah di luar penguasaan negara kita. Inilah yang dimaksudkan dengan perumusan "yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia". Siapa yang mengusahakan, bangsa asing atau bangsa Indonesia, untuk ini tidak dibedakan. Ke dalam batas-batasnya mana yang dikuasai dirumuskan dengan lebih teliti dalam pasal-pasal selanjutnya. Harus diinsafi, bahwa "penguasaan" tidak perlu senantiasa bersifat "pemilikan". Bahkan dalam banyak hal penguasaan secara pengaturan pemakaiannya adalah lebih efisien dari pada pemilikan, dengan effek sosial yang sama. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Dianggap perlu, bahwa pemupukan devisa negara yang diperlukan guna pemeliharaan ekonomi masyarakat, peninggian tingkat hidup rakyat serta pembangunan Negara ditugaskan kepada instansi yang tinggi. Dalam hal ini tugas itu diberikan kepada Dewan yang terdiri dari Menteri-menteri, diketuai oleh Perdana Menteri/Wakil-wakil Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Kompartemen Keuangan sebagai Wakil- Ketua. Pada permulaan dalam masa transisi ini barangkali belum mungkin untuk menetapkan dan mentaati suatu Anggaran Devisa yang rigid, akan tetapi kita harus berusaha keras untuk mencapai taraf itu. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Jika terhadap suatu bank diperintahkan diadakannya penyelidikan oleh satu atau beberapa orang ahli atau badan, maka diindahkan ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Prp tahun 1960. Pasal 7 ayat (1) dan (2). Dengan pasal ini ditentukan secara konkrit harga yang dikehendaki oleh Negara dalam ekspor barang dari Indonesia. Dengan penetapan demikian eksportir dapat mengetahui dengan jelas berapa besarnya jumlah devisa yang ia harus serahkan kepada Dana Devisa, sebaliknya Pemerintah secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban eksportir. Dengan cara penetapan harga demikian eskpor akan diperlancar karena tidak tergantung lagi pada perumusan yang abstrak "de ter plaatse van levering geldende marktwaarde" seperti ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) dari Deviezen-verordening dahulu. Pasal 8. Cukup jelas. Pasal 9. Dokumen-dokumen yang dimaksudkan di sini adalah antara lain: Konosemen, wesel, paktur. Pasal 10. Lihat penjelasan Umum. Pasal 11. Cukup jelas. Pasal 12. Pelaksanaan impor atas beban Dana Devisa diatur menurut rencana impor yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi yang urgent dalam rangka penetapan Anggaran Devisa untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri dibidang ekonomi. Pasal 13. Cukup jelas. Pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Dalam Peraturan Pemerintah diatur cara-cara penguasaan yang lain dari pemasukan dalam Dana Devisa. Penguasaan ditujukan pada pemakaiannya dan meliputi juga overprice, discount, komisi dan sebagainya. Pasal 16. Kewajiban ini telah ada dalam Devizen-verordening 1940. Barangsiapa telah memenuhi kewajiban ini berdasarkan peraturan lama tidak perlu mengulanginya. Pasal 17. Izin ini dapat berupa peraturan umum yang memperkenankan impor dan ekspor Rupiah dalam batas-batas tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya untuk memungkinkan melakukan pembayaran-pembayaran pada waktu masuk diwilayah Indonesia. Izin ini dapat bersifat khusus atau insidentil. Pasal 18. Ini yang disebut suatu "Banket-norm". Sebelum dirumuskan persis apa perbuatannya yang terlarang atau diharuskan, telah dinyatakan dapat dipidana. Tidak dibedakan juga apakah peraturan-peraturan itu bersifat penting dan essensiil ataukah hanya bersifat detail dan administratip saja, misalnya berapa lembar dari suatu formulir harus dibuat dan sebagainya. Semua itu dapat dipindana. Dalam sistim baru dinyatakan dengan jelas tindak mana yang diancam dengan pidana dan dipandang "strafwaardig". Jika tidak dinyatakan bahwa suatu tindak bersifat pidana, maka tindak itu masuk lapangan hukum administratip cq perdata. Pasal 19. Sebagian besar dari hukum devisa merupakan hukum administratip yang dilaksanakan di luar pengadilan pidana dan perdata. Dalam keadaan demikian dirasakan perlu bahwa interpretasi tertinggi dalam soal-soal devisa berada di tangan Dewan yang mempunyai tanggung-jawab dalam bidang tersebut dan juga berada dalam posisi yang terbaik untuk mempertimbangkan seluruh aspek finansiil, moneter dan ekonomi dari perundang- undangan devisa. Ada kemungkinan bahwa suatu tindak pidana dalam lapangan devisa oleh fihak kejaksaan diberi arti yang berlebih-lebihan, jauh di luar proporsi kalau ditinjau dalam hubungan neraca pembayaran dan lalu-lintas pembayaran luar negeri seluruhnya. Dewan dan alat-alatnya berada dalam posisi untuk meninjau hubungan dan "scope" ini dengan lebih saksama. Juga ada kemungkinan bahwa dengan dihukumnya suatu perbuatan timbul akibat-akibat lain dalam masyarakat (perdagangan) yang lebih merugikan bagi devisa Negara, sehingga menuntut berarti lebih merugikan dari pada tidak menuntut. Oleh karena itu kepada Dewan diberi wewenang untuk dalam hal-hal yang demikian mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk tidak menuntut. Pasal 20. Sesuai dengan sistim yang dijelaskan di atas mengenai pasal 18 maka dalam pasal 20 s/d 24 ditetapkan dengan teliti tindak mana yang dipandang tindak pidana, yaitu tindak yang paling merugikan saja untuk Negara dan masyarakat. Yang terpenting ialah yang biasa disebut smokkel (penyelundupan) dalam ekspor. Yaitu mengangkut barang keluar Indonesia dari peredaran dengan tidak menghiraukan pasal-pasal 7, 8, dan 9 sehingga hasil devisanya sama sekali tidak dapat dikuasai oleh Negara. Kalau ini dilakukan dengan sengaja sedang kerugian yang dapat diderita oleh Negara besarnya melebihi suatu jumlah valuta asing yang merupakan nilai lawan 8886.71 gram emas murni, yaitu pada dewasa ini misalnya US$ 10.000, DM. 40.000 atau pada umumnya Nilai Transaksi Rupiah (devisa) 2.500.000,-, pidana penjara 10 tahun, atau denda Rp. 100.juta. Kalau jumlahnya sama dengan nilai lawan 88,8671 gram emas murni (devisa ini Nilai Trasaksi Rupiah 25.000,-) ke bawah, maka tindaknya dipandang administratip. Jika semua peraturan ekspor ditaati tetapi ekspornya sebagian atau seluruhnya tidak dilangsungkan atau suatu jangka waktu tidak ditepati, tindak ini hanya merupakan pelanggaran administratip oleh karena barang ekspornya tidak hilang dan masih tersedia untuk diekspor lagi. Pelanggaran dalam pemberian jasa ke luar negeri, hanya mungkin kalau Dewan telah menetapkan jasa-jasa mana yang taripnya harus dibayar dalam devisa dan sampai mana hasilnya harus diserahkan kepada Dana Devisa. Dalam hal ini dapat dicatat bahwa industri jasa-jasa kita belum begitu berkembang sehingga dapat menghasilkan jumlah- jumlah devisa yang besar. Pasal 21. Dalam hal impor, soalnya adalah berlainan. Kalau ekspor smokkel yang berhasil berarti kehilangan devisa untuk Negara, maka impor secara selundup tidak membebani Dana Devisa, sebab tanpa izin tidak mungkin (diam-diam) devisa dikeluarkan dari Dana Devisa. Maka dari itu pelanggaran pasal 12 hanya merupakan pelanggaran administratip. Jika peraturan-peraturan Bea dan Cukai yang diselundupi dalam peraturan-peraturan itu sendiri telah cukup peraturan- peraturan pidana yang menjaganya. Pasal 22. Cukup jelas. Pasal 23. Cukup jelas. Pasal 24. Cukup jelas. Pasal 25. Peraturan-peraturan ini mengenai soal pertanggungan-jawab jika suatu tindak dilakukan oleh suatu badan hukum. Pada umumnya peraturan-peraturan ini sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Undang-undang tindak pidana ekonomi (Undang- undang No. 7 Drt tahun 1955). Pasal 26. Cukup jelas. Pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28. Mengadakan perjanjian atau membuat kontrak yang tidak atau belum disetujui oleh Menteri Urusan Bank Sentral cq Biro cq. Bank Indonesia tidak dengan sendirinya merupakan tindak pidana. Akibatnya bahwa dalam perkara perdata perjanjian itu akan diabaikan oleh hakim dan juga bahwa Dana Devisa dan Negara tidak terikat oleh Perjanjian semacam itu. Pasal 29. Cukup jelas. Pasal 30. Cukup jelas. Pasal 31. Ayat 1 : Cukup jelas. Ayat 2 : Cukup jelas. Selainnya dari itu perlu dicatat bahwa perbuatan-perbuatan yang membutuhkan izin adalah jauh lebih sedikit dari pada menurut Deviezen- ordonantie. Ayat 3: Pembebasan umum dapat berbentuk peraturan khusus yang menyimpang dari Undang-undang ini. Misalnya untuk pengeluaran atau pemasukan barang pindahan, barang hadiah dan sebagainya. Sekalipun formilnya juga merupakan ekspor dan impor Dewan dapat mengeluarkan peraturan khusus yang merupakan pembebasan- pembebasan. Ayat 4. Dalam prakteknya delegasi ini akan dilakukan kepada Menteri Urusan Bank Sentral yang dapat mendelegasikan lagi kepada Bank Indonesia dan/atau Biro. Pasal 32 s/d 34. Cukup jelas. Mengetahui : Sekretaris Negara, MOHD. ICHSAN.
Peraturan Lalu Lintas Devisa.
Relevan terhadap
Bank devisa yang telah membeli valuta asing seperti termaksud dalam pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 ayat (3) berkewajiban untuk menyerahkannya kepada Bank Indonesia.
Penggantian nilai lawan dalam Rupiah untuk devisa yang diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI. IMPOR BARANG DAN PENERIMAAN JASA DARI LUAR NEGERI ATAS BEBAN DANA DEVISA. Pasal 12. Impor barang dari luar negeri atas beban Dana Devisa hanya boleh diadakan jikalau untuk itu telah dikeluarkan izin umum atau khusus oleh Pimpinan Biro dengan syarat yang ditentukan olehnya. Pasal 13.
Barangsiapa telah mendapat izin untuk impor seperti dimaksud dalam pasal 12 berkewajiban untuk menutup kontrak-valuta dengan bank devisa untuk jumlah yang disediakan oleh Biro untuk impor barang tersebut dan harus berbunyi dalam valuta yang sama jenisnya serta menyebutkan jangka waktu pembayaran seperti telah ditentukan oleh Biro.
Pada waktu pemasukan barang dari luar negeri importir diwajibkan untuk menyampaikan kepada pejabat Bea dan Cukai setempat di mana barang impor akan dimasukkan suatu pemberitahuan tentang pemasukan barang yang bentuknya ditetapkan oleh Biro. Pemberitahuan itu harus disusun sesederhana mungkin dan disampaikan dengan disertai izin sebagaimana termaksud dalam ayat (1). Pasal 14.
Pengeluaran devisa lainnya daripada yang termaksud dalam pasal 12 atas beban Dana Devisa Negara hanya boleh dilakukan berdasarkan izin umum atau khusus yang dikeluarkan oleh Biro.
Perjanjian-perjanjian yang akan mengakibatkan beban atas Dana Devisa harus disetujui lebih dahulu oleh Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia. Jika persetujuan tidak diberikan kewajiban membayar hanya dapat dipenuhi dari devisa yang dimaksudkan dalam Bab VII. BAB VII. PENGUASAAN DEVISA YANG TIDAK DIHARUSKAN UNTUK LANGSUNG DISERAHKAN KEPADA DANA DEVISA. Pasal 15. Segala sesuatu yang bertalian dengan penggunaan, pembebanan dan pemindahan hak atas devisa yang tidak diharuskan untuk langsung diserahkan kepada Dana Devisa menurut pasal 11 diatur berdasarkan rencana penggunaan devisa dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII. KEWAJIBAN MENDAFTAR DAN MENYIMPAN EFFEK. Pasal 16.
Warga-negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berkewajiban untuk menyimpan dalam simpanan terbuka effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, yang dimilikinya pada waktu peraturan ini mulai berlaku dan yang diperolehnya sesudah waktu itu, pada bank devisa Pemerintah atau pada korespondennya di luar negeri atas nama bank devisa Pemerintah bersangkutan. Penyimpanan ini harus dilakukan dalam batas waktu enam bulan sesudah peraturan ini berlaku atau tiga bulan sesudah effek diperolehnya.
Kewajiban tersebut dalam ayat (1) berlaku pula untuk warga- negara asing dan badan hukum asing untuk:
effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah;
effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, sekedar dimiliki sebelum Undang-undang ini berlaku.
Bank tersebut dalam ayat (1) berkewajiban untuk mendaftarkan effek yang disimpan padanya menurut petunjuk Pimpinan Biro, dengan ketentuan bahwa effek yang diajukan untuk disimpan setelah lewatnya jangka waktu yang ditetapkan diatas, hanya dapat didaftarkan dengan izin Biro.
Dalam menjalankan ketentuan dalam ayat (1) ditentukan bahwa effek yang dikeluarkan sebelum 29 Desember 1949 oleh badan hukum di Indonesia baik yang berwarga-negara Indonesia maupun asing, dianggap sebagai effek yang harus disimpan dalam simpanan terbuka.
Biro berwenang untuk menentukan bilamana effek yang telah disimpan dapat dikembalikan kepada yang berhak. BAB IX. LARANGAN. Pasal 17.
Impor dan ekspor mata uang Rupiah dilarang terkecuali dengan izin Pimpinan Biro.
Ekspor dari benda yang berikut: emas uang kertas asing, effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, dilarang terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.
Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat membatasi jumlah uang kertas asing yang dapat diimpor.
Effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada rupiah dilarang diekspor oleh warga-negara Indonesia, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro. Warga-negara asing atau badan hukum asing, dilarang untuk membeli dan memperoleh dengan cara dan dalam bentuk apapun juga effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.
Warga-negara asing atau badan hukum asing dilarang untuk mengekspor effek termaksud dalam pasal 16 sub (2) (b), terkecuali dengan izin dari Biro.
Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat menentukan, bahwa warga-negara asing atau badan hukum asing tertentu dilarang untuk memperoleh kredit dari bank atau mengadakan pinjaman, termasuk mengeluarkan obligasi, saham, tanda pinjaman jangka panjang lainnya dan tanda pinjaman jangka pendek yang berbunyi dalam mata uang rupiah. BAB X. KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA DEVISA DAN HUKUM ACARA PIDANA DEVISA. Pasal 18. Terkecuali jika suatu perbuatan dengan nyata dalam Undang- undang ini disebut kejahatan atau pelanggaran pidana, semua perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya dipandang sebagai pelanggaran administratip, yang hanya dikenakan denda administratip atau pidana administratip lain menurut ketentuan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan. Denda ini setinggi-tingginya berjumlah dua puluh lima juta rupiah. Pasal 19.
Dewan mempunyai hak interpretasi yang tertinggi tentang Undang-undang ini dan tentang peraturan yang didasarkan atasnya.
Dewan berwenang mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung agar terhadap sesuatu tindak pidana berdasarkan Undang-undang ini tidak akan dilakukan penuntutan. Usul tersebut disertai dengan alasan-alasan.
Jaksa dan Hakim dalam menjalankan tugas kewajibannya berdasarkan Undang-undang Pokok Kejaksaan dan Undang- undang Pokok Kekuasaan Kehakiman wajib mengingat pada ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2). Pasal 20.
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat (6) maka pelanggaran pasal, 7, 8, 9, 10, 11, 16 dan 17 yang dibuat dengan sengaja dan dapat berakibat kerugian untuk negara yang meliputi jumlah yang besarnya lebih dari nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing untuk tiap perbuatan, dinyatakan sebagai kejahatan.
Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya tidak melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing, maka pelanggar itu dikenakan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya sepuluh juta rupiah.
Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing maka pelanggar itu diberi pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya seratusjuta rupiah.
Barang terhadap mana perbuatan tersebut dalam ayat (2) dan (3) dilakukan dapat dirampas untuk Negara.
Jika kerugian yang tersebut dalam ayat (1) tidak melampaui nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing, maka perbuatan itu dinyatakan pelanggaran administratip.
Jikalau pelanggaran pasal 7, 8, dan 9 berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun bersifat tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor, maka pelanggaran itu dipandang pelanggaran administratip.
Jika tindak pidana dilakukan tidak dengan sengaja, maka pidana tertingginya ditetapkan sepertiga dari pidana tertinggi apabila dengan sengaja. Pasal 21. Pelanggaran pasal 12 dan 13 dinyatakan sebagai pelanggaran administratip. Pasal 22.
Barangsiapa setelah mendapat perintah seperti termaksud dalam pasal 6 sub a dengan sengaja tidak memenuhi perintah itu tanpa alasan yang sah ataupun dengan sengaja menyampaikan keterangan yang tidak benar dalam memenuhi perintah itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Perbuatan ini merupakan kejahatan. Pasal 23.
Barangsiapa karena jabatannya atau pekerjaannya tersangkut dalam penyelenggaraan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya wajib merahasiakan semua yang diketahuinya karena jabatan atau pekerjaan itu, kecuali jika ia harus memberikan keterangan justru karena jabatan atau pekerjaan itu terhadap pihak ketiga.
Kewajiban ini berlaku pula untuk para ahli yang berhubung dengan penyelenggaraan Undang-undang dan peraturan yang didasarkan atasnya diminta memberikan nasehatnya atau yang diserahi melakukan sesuatu pekerjaan. Pasal 24.
Barangsiapa dengan sengaja melanggar kewajiban untuk merahasiakan sebagaimana termaksud dalam pasal 23 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Perbuatan tersebut di atas merupakan kejahatan. Pasal 25.
Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata-tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.
Suatu tindak pidana dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.
Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus, atau jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa kemuka hakim.
Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor. Pasal 26.
Untuk penyidikan tindak pidana yang tersebut dalam Undang- undang ini disamping pegawai-pegawai yang pada umumnya diberi tugas menyidik tindak pidana, ditunjuk pula:
pegawai Bea dan Cukai, b. pegawai Biro yang ditunjuk oleh Dewan.
Pegawai penyidik tersebut di atas sewaktu-waktu berwenang untuk melakukan penyitaan, begitu juga untuk menuntut penyerahan supaya dapat disita daripada segala barang yang dapat dipakai untuk mendapatkan kebenaran atau yang dapat diperintahkan untuk dirampas, dimusnahkan atau dirusakkan supaya tidak dapat dipakai lagi.
Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk menuntut pemeriksaan segala surat yang dianggap perlu untuk diperiksa guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.
Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk memasuki semua tempat yang dianggap perlu guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya. Mereka berkuasa untuk menyuruh agar dikawani oleh orang-orang tertentu yang mereka tunjuk. Jika dianggap perlu mereka memasuki tempat-tempat tersebut dengan bantuan polisi. Pasal 27.
Biro berwenang untuk memerintahkan penyerahan barang atau effek, yang diperoleh dengan jalan melanggar Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya atau dengan mana, ataupun tentang mana perbuatan itu telah dilakukan, atau yang merupakan pokok perbuatan sedemikian, dari yang melanggar, baik perseorangan maupun badan hukum.
Perintah ini dalam hal tindak pidana hanya dapat diberikan, jikalau diputuskan bahwa tidak akan diadakan tuntutan. Perintah termaksud diberikan dengan surat perintah tercatat.
Jikalau dalam batas waktu tiga bulan perintah ini tidak dipenuhi, maka Biro dapat menetapkan jumlah paksaan dalam mata uang rupiah yang harus dibayarkan kepadanya dalam batas waktu yang ditetapkan olehnya.
Jumlah paksaan yang tersebut dalam ayat (3) di atas dan denda administratip yang tersebut dalam pasal 18 dapat dipungut dengan surat paksa, yang dikeluarkan atas nama Pimpinan Biro dan dapat dilaksanakan menurut ketentuan mengenai surat paksa dalam Peraturan Pajak Berkohir. BAB XI. KETENTUAN LAIN. Pasal 28. Tiap perjanjian yang diadakan dengan melanggar Undang- undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya adalah batal dalam arti yang dipakai dalam Kitab Undang-undang Perdata. Pasal 29.
Dewan berwenang untuk mengeluarkan peraturan mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini yang dianggapnya perlu untuk mencapai maksud dan tujuan Undang-undang ini. Peraturan termaksud dalam ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Pasal 30. Dalam menjalankan Undang-undang ini, Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk- petunjuk Dewan dapat:
mengeluarkan peraturan khusus untuk Perwakilan diplomatik dan konsuler asing dan Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan-badan International semacam itu berikut pegawai-pegawainya yang berstatus diplomatik atau konsuler.
mewajibkan warga-negara asing dan badan hukum asing tertentu yang diizinkan untuk berusaha di Indonesia untuk menyerahkan valuta asing ke dalam "Dana Devisa Negara" dalam menjalankan usahanya. Pasal 31.
Surat permohonan untuk mendapat izin berdasarkan Undang- undang ini atau peraturan pelaksanaannya dan juga surat izinnya adalah bebas dari ber meterai.
Kalau satu dari dua pihak dalam melakukan sesuatu perbuatan telah mendapat izin atau pembebasan, maka pihak yang kedua tidak perlu meminta lagi izin atau pembebasan.
Dari semua ketentuan Undang-undang ini Dewan dapat memberikan pembebasan secara khusus atau umum dan dalam kedua hal dapat dietapkan syarat-syarat tertentu.
Dewan dapat mendelegasikan wewenang ini kepada Ketua Dewan atau salah seorang anggotanya. Pasal 32. PERATURAN PERALIHAN.
Pada hari mulai berlakunya Undang-undang ini:
Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dilebur sebagai badan hukum dan segala aktiva dan pasivanya beralih kepada Biro;
Segala aktiva dan pasiva "Dana Devisen" dijadikan Dana Devisa. Hubungan kerja antara Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dan para pegawainya diambil-alih oleh Biro.
Jikalau untuk sesuatu hal menurut Undang-undang ini diharuskan adanya suatu izin atau dari sesuatu kewajiban dapat diberikan pembebasan, maka izin atau pembebasan yang telah diberikan berdasarkan Deviezen-verordening 1940 dianggap sebagai berdasarkan Undang-undang ini.
Segala peraturan pelaksanaan dari Deviezen-ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 sekedar mengatur lebih lanjut hal-hal yang ditentukan dalam Undang-undang ini tetap berlaku pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, sampai ditarik kembali.
Penggunaan, pembebasan dan pemindahan hak atas valuta asing termaksud dalam Pengumuman Pimpinan L.A.A. P.L.N. No. 3 tanggal 27 Mei 1963 dan S.K.B. Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan dan Urusan Bank Sentral No. No. IE/IU/KB/32/12/SKB jo Kep. 26/UBS/64 dan Kep. 35/UBS/ No. Kep. 21/UBS/64 64 diperkenankan sampai pengumuman dan peraturan ini ditarik kembali.
Terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut Devizen- ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 merupakan tindak pidana dan tidak lagi demikian halnya menurut Undang- undang ini, berlaku peraturan yang tersebut terakhir.
Bank Swasta yang telah ditunjuk sebagai bank devisa menjalankan funksinya selama masa peralihan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 33.
Pasal 1 ayat 1e sub f dari Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang No. 7 Drt tahun 1955) dihapuskan dan diganti hingga berbunyi sebagai berikut: "Pasal 7, 8 dan 9 dari Undang-undang No. 32 tahun 1964 tentang "Peraturan Lalu-Lintas Devisa 1964", terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor".
Undang-undang No. 4 Prp tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 91). dan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1964 (Lembaran-Negara tahun 1964 No. 2) ditarik kembali. Pasal 34. PERATURAN PENUTUP. Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Devisa 1964 dan mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUKARNO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964. SEKRETARIS NEGARA, MOHD. ICHSAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN LALU-LINTAS DEVISA. I. UMUM.
Rezim devisa yang hingga kini berlaku di tanah air kita mulai diadakan pada pertengahan tahun 1940 oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan dikeluarkannya Deviezen-Ordonantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205, sebagaimana telah dirobah dan ditambah) serta Deviezen-Verordening 1940 (Staatsblad 1940 No. 291, sebagaimana telah dirobah dan ditambah), pengalaman selama lebih dari 20 tahun menunjukkan bahwa kedua peraturan ini merupakan suatu sumber rintangan-rintangan terhadap kelancaran dan perkembangan lalu-lintas perdagangan dan lalu-lintas pembayaran antara Indonesia dan luar negeri yang sangat merugikan dan menghambat pembangunan Negara.
Deviezen-Ordonantie dan Deviezen-Verordening pada hakekatnya menetapkan cara dan sistim untuk menguasai seluruh penghasilan devisa serta seluruh kekayaan devisa dari pada penduduk devisa. Cara dan sistim ini memuncak pada pengusaaan dari segala usaha, segala kegiatan dan segla hubungan disegala lapangan. yang dapat menimbulkan konsekwensi-konsekwensi finansiil terhadap luar negeri, dalam segala bentuknya dan segala detailnya.
Meskipun cita-cita untuk menguasai seluruh penghasilan devisa untuk Negara pada hakekatnya dan pada akhirnya sesuai dengan cita-cita Sosialisme Indonesia, namun sistim dan cara dari pada Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening, yang bersifat tidak konkrit dan berbelit-belit, telah menciptakan, khususnya bagi masyarakat yang bergerak di lapangan perdagangan internasional, suatu suasana yang penuh dengan perasaan takut dan kekhawatiran. Jelaslah bahwa suasana demikian melemahkan penggerakan potensi dan kekuatan Rakyat, khususnya mematikan inisiatip dari pihak produsen-produsen dan pengusaha-pengusaha kita dari kegiatan-kegiatan yang justru merupakan sumber-sumber bagi Negara untuk memupuk kekayaan devisa.
Salah satu tekhinik yang dipakai dalam Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening yang tidak dapat dipertahankan adalah pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu: - golongan "penduduk-devisa" dan - golongan "bukan penduduk-devisa". Oleh karena penarikan garis oleh Diviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening dilakukan dengan tidak memandang kebangsaan atau kewarganegaraan, maka sesama warganegara, baik Indonesia maupun asing, dapat digolongkan sebagai "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa". Dengan demikian "Deviezen-ordonnnatie menjalankan penguasaan terhadap segala hubungan-hubungan keuangan antara "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa", sehingga juga untuk transaksi-transaksi yang semata-mata bergerak di dalam negeri dan tidak menyangkut soal-soal devisa biarpun dilakukan antara warga negara Indonesia harus dimintakan izin terlebih dahulu dari pembesar-pembesar devisa, jika salah satu pihak merupakan "bukan penduduk devisa". Pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu golongan "penduduk-devisa" dan golongan "bukan penduduk Devisa" sudah terang merupakan rintangan untuk menciptakan ekonomi nasional yang sehat. Oleh karena itu dalam kehendak kita untuk menyusun ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis perlu pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan dihapuskan. Untuk mencapai maksud itu perlu diambil kewarganegaraan sebagai kriterium, agar supaya kepentingan nasional dapat diperhatikan sepenuhnya dalam lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri.
Selanjutnya sifat yang amat kaku dari Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening sangat menghambat kelancaran dalam melaksanakan hubungan finansiil antara Indonesia dan luar negeri. Sifat yang amat kaku ini yang pada hakekatnya melarang segala- galanya, terkecuali jika diizinkan secara khusus atau umum, telah menimbulkan keharusan penetapan peraturan-peraturan penyelenggaraan yang jumlahnya demikian besarnya, sehingga keseluruhan ketetapan-ketetapan yang dikenal sebagai "peraturan-peraturan devisa" menjadi sangat kompleks dan sangat ruwet. Banyaknya dan berbelit-belitnya peraturan devisa itu dan kesimpangsiuran dalam interpretasi daripada peraturan-peraturan itu telah merupakan sumber rintangan-rintangan yang sangat menghambat kelancaran dalam pembangunan Negara dibidang perekonomian.
Dalam menghadapi masalah ekonomi, kita sadar bahwa sisa-sisa kelonial dan sisa feodal dan demikian pula sifat-sifat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan dunia luar masih juga memberikan rintangan dalam pertumbuhan kearah sosialisme Indonesia. Dalam Deklarasi Ekonomi secara jelas dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Dalam melanjutkan pertumbuhan-pertumbuhan di bidang sosial dan ekonomi, maka kita harus bertitik-pangkal pada modal yang sudah kita miliki ialah:
Aktivitas ekonomi Indonesia dewasa ini kurang lebih 80% sudah berada di tangan bangsa Indonesia. Dalam tahun 1950 boleh dikatakan aktivitas ekonomi di Indonesia sebagian terbesar masih dikuasai oleh bangsa asing, sehingga baik Pemerintah maupun rakyat, tidak dapat mengadakan perencanaan secara pokok bagi pertumbuhan ekonomi secara revolusioner.
Pada waktu-waktu belakangan ini Pemerintah sudah mulai dapat secara aktif aktivitas ekonominya dalam arti konsepsionil, organisatoris dan strukturil.
Meskipun demikian kita belum dapat berkembang secara mendalam oleh karena perhatian Pemerintah dan kekuatan rakyat masih dititik-beratkan kepada penyusunan alat-alat Revolusi yang baru pada waktu sekarang ini dapat dikatakan lengkap. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa baru sekarang kita dapat menggerakkan segala usaha dan perhatian rakyat dan Pemerintah untuk menanggulangi persoalan ekonomi secara konsepsionil, organisatoris dan strukturil dalam arti keseluruhannya.
Oleh karena itu maka diperlukan suatu approach yang lebih realistis dan ketentuan-ketentuan yang tegas dan sederhana dalam mengatur lalu-lintas devisa antara Indonesia dan luar negeri, dengan memegang teguh pada prinsip- prinsip reasionalisasi selaras pula dengan prinsip-prinsip demokrasi nasional. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa di samping pengusaan devisa dengan jalan mengharuskan penytorannya dalam Dana Devisa dapat juga dipakai pengusasaan dengan menetapkan cara pemakaiannya, suatu cara yang dalam keadaan tertentu dapat berjalan dengan lebih effisen.
Rasionalisasi berarti pula bahwa pengawasan harus ditujukan kepada sumber devisa yang terpenting. Bagi Negara kita, lalu-lintas perdagangan merupakan komponen yang terpenting; lebih dari 90% dari volume lalu-lintas pembayaran dengan luar negeri merupakan lalu-lintas perdagangan. Berhubung dengan itu pengawasan lalu-lintas pembayaran berarti terutama pengawasan terhadap lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri. Dalam hubungan ini harus diawasi bahwa penerimaan devisa dari ekspor yang harus diterima oleh Negara. memang mengalir ke dalam kas Negara untuk merupakan Dana Devisa. Jumlah yang harus diterima ini harus ditentukan secara konkrit oleh Negara, supaya baik yang berwajib menyerahkan devisa (eksportir) maupun badan-badan pengawasa Pemerintah yang bersangkutan secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban itu. Syak- wasangka dari pihak badan-badan pengawas di atas atapun perasaan khawatir akan menyalahi peraturan-peraturan dari pihak ekspotir, dengan demikian dapat ditiadakan.
Pengeluaran devisa atas beban Dana Devisa untuk impor hanya dapat dilakukan menurut cara dan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam hubungan ini baik Pemerintah maupun badan Pemerintah yang ditugaskan harus menetapkan secara konkrit nilai yang dipandang layak olehnya bagi barang-barang yang diizinkan untuk dibeli dari luar negari.
Pengawasan terhadap penerimaan devisa dibidang jasa dapat dibatasi pada pos-pos yang terpenting saja. Pada umumnya dapat ditentukan bahwa devisa yang diterima dibidang jasa harus diserahkan kepada Negara, jika penerimaan devisa itu secara langsung dimungkinkan karena adanya peralatan atau fasilitas-fasilitas yang dimiliki atau dikurangi oleh perusahaan perkapalan asing. Penerimaan devisa oleh perseorangan berdasarkan jasa individual tidak perlu diawasi.
Pengawasan harus dilakukan terhadap pengeluaran devisa untuk jasa atas beban Dana Devisa, karena layak atau tidak layak pengeluaran itu seperti juga hanya dengan impor barang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah dengan mengingat keperluan akan jasa itu dalam rangka kepentingan Negara dipelbagai bidang.
Pengawasan terhadap lalu-lintas modal perlu diadakan untuk menghindarkan pemindahan (pelarian) modal keluar negeri. Pemindahan modal keluar negeri dapat dilakukan dalam bentuk investasi dana-dana di luar negeri oleh warganegara Indonesia.
Pendirian bahwa penerimaan devisa Negara meliputi jumlah-jumlah yang memang secara konkrit diwajibkan oleh Pemerintah untuk diserahkan kepada Dana Devisa, berarti bahwa pemilikan devisa tidak lagi terbatas pada Negara saja. Di samping devisa yang merupakan Dana Devisa terdapat pula devisa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, baik warga-negara Indonesia maupun warganegara asing, yang tidak diharuskan untuk diserahkan langsung kepada Dana Devisa. Dalam pada itu perlu pula diadakan penertiban tentang cara penggunaan devisa yang termaksud dan penguasaannya oleh Negara letak pada cara pemakaiannya seperti telah dinyatakan di atas sub 7.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perinsip- prinsip yang dianut dalam Undang-undang ini fundamental sangat berlainan dengan prinsip-prinsip yang diletakkan dalam Deviezen- ordonnatie dan Deviezen-verordening. Sebagai konsekwensi yang logis pada pertentangan ini maka banyak hal-hal yang dalam Deviezen-ordonnantie dan Deviezen-verordening merupakan larangan kini harus ditinggalkan. Dengan demikian, dalam sistim lalu-lintas devisa baru banyak perbuatan yang dengan sengaja tidak dilarang atau diharuskan memakai izin, misalnya: memiliki devisa, memiliki emas, mewakili warganegara Indonesia yang tidak menjadi "penduduk-devisa", mempunyai rekening bank di luar negeri, mengadakan perjanjian dengan "bukan penduduk-devisa", menerima undangan dari "bukan penduduk-devisa" untuk berkunjung ke luar negeri.
Berhubung dengan uraian di atas berbagai perbuatan yang dahulu semuanya merupakan tindak pidana kini untuk sebagian dapat dikesampingkan, hal mana akan menciptakan suatu suasana yang sehat guna perkembangan ekonomi nasional kita. Sebagian lain dari perbuatan yang dahulu dipandang bersifat pidana kini dianggap sebagai pelanggaran administratip, terkecuali jika pelanggaran itu dengan nyata mengakibatkan kerugian terhadap Negara.
Perlu ditegaskan, bahwa peraturan ini mewujudkan struktur dari pada lalu- lintas devisa antara Indonesia dengan luar negeri, yang merupakan suatu landasan untuk suatu politik devisa Pemerintah.
Akhirnya perlu dijelaskan bahwa ketentuan dalam Undang- undang ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan termaktub dalam perjanjian karya antara perusahan-perusahaan minyak Negara dan perusahaan-perusahaan minyak asing, yang telah disahkan dengan Undang-undang. II.PASAL DEMI PASAL Pasal 1 sub 1 dan 2. Cukup jelas. Pasal 1 sub 3. Yang dimaksudkan dengan mata uang emas ialah mata uang emas yang menurut Undang-undang Keuangan yang berlaku di negara yang bersangkutan merupakan uang emas yang sah; Jika tidak, maka barang yang berupa mata uang emas masuk golongan barang pakai atau barang perhiasan. Pasal 1 sub 4. Dengan sengaja bermacam-macam uang asing yang tidak dipakai untuk pembayaran internasional tidak dipandang devisa seperti juga halnya dengan mata uang asing logam bukan emas. Pasal 1 sub 5 s/d 8. Cukup jelas. Pasal 1 sub 9. Arti ekspor dalam kalimat kesatu diperluas dalam kalimat kedua. Pemerintah akan mengadakan tindakan-tindakan agar pengluasan ini tidak menimbulkan ekses-ekses dalam pelaksanaannya. Pasal 2. Yang dapat dikuasai oleh Negara Republik Indonesia dengan sendirinya hanya devisa yang ada hubungannya dengan Negara atau rakyat kita. Jadi misalnya uang US. $ yang dipegang oleh orang Amerika di negaranya dari usahanya di sana, atau uang US. $ yang merupakan hasil ekspor dari Sudan, adalah di luar penguasaan negara kita. Inilah yang dimaksudkan dengan perumusan "yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia". Siapa yang mengusahakan, bangsa asing atau bangsa Indonesia, untuk ini tidak dibedakan. Ke dalam batas-batasnya mana yang dikuasai dirumuskan dengan lebih teliti dalam pasal-pasal selanjutnya. Harus diinsafi, bahwa "penguasaan" tidak perlu senantiasa bersifat "pemilikan". Bahkan dalam banyak hal penguasaan secara pengaturan pemakaiannya adalah lebih efisien dari pada pemilikan, dengan effek sosial yang sama. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Dianggap perlu, bahwa pemupukan devisa negara yang diperlukan guna pemeliharaan ekonomi masyarakat, peninggian tingkat hidup rakyat serta pembangunan Negara ditugaskan kepada instansi yang tinggi. Dalam hal ini tugas itu diberikan kepada Dewan yang terdiri dari Menteri-menteri, diketuai oleh Perdana Menteri/Wakil-wakil Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Kompartemen Keuangan sebagai Wakil- Ketua. Pada permulaan dalam masa transisi ini barangkali belum mungkin untuk menetapkan dan mentaati suatu Anggaran Devisa yang rigid, akan tetapi kita harus berusaha keras untuk mencapai taraf itu. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Jika terhadap suatu bank diperintahkan diadakannya penyelidikan oleh satu atau beberapa orang ahli atau badan, maka diindahkan ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Prp tahun 1960. Pasal 7 ayat (1) dan (2). Dengan pasal ini ditentukan secara konkrit harga yang dikehendaki oleh Negara dalam ekspor barang dari Indonesia. Dengan penetapan demikian eksportir dapat mengetahui dengan jelas berapa besarnya jumlah devisa yang ia harus serahkan kepada Dana Devisa, sebaliknya Pemerintah secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban eksportir. Dengan cara penetapan harga demikian eskpor akan diperlancar karena tidak tergantung lagi pada perumusan yang abstrak "de ter plaatse van levering geldende marktwaarde" seperti ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) dari Deviezen-verordening dahulu. Pasal 8. Cukup jelas. Pasal 9. Dokumen-dokumen yang dimaksudkan di sini adalah antara lain: Konosemen, wesel, paktur. Pasal 10. Lihat penjelasan Umum. Pasal 11. Cukup jelas. Pasal 12. Pelaksanaan impor atas beban Dana Devisa diatur menurut rencana impor yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi yang urgent dalam rangka penetapan Anggaran Devisa untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri dibidang ekonomi. Pasal 13. Cukup jelas. Pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Dalam Peraturan Pemerintah diatur cara-cara penguasaan yang lain dari pemasukan dalam Dana Devisa. Penguasaan ditujukan pada pemakaiannya dan meliputi juga overprice, discount, komisi dan sebagainya. Pasal 16. Kewajiban ini telah ada dalam Devizen-verordening 1940. Barangsiapa telah memenuhi kewajiban ini berdasarkan peraturan lama tidak perlu mengulanginya. Pasal 17. Izin ini dapat berupa peraturan umum yang memperkenankan impor dan ekspor Rupiah dalam batas-batas tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya untuk memungkinkan melakukan pembayaran-pembayaran pada waktu masuk diwilayah Indonesia. Izin ini dapat bersifat khusus atau insidentil. Pasal 18. Ini yang disebut suatu "Banket-norm". Sebelum dirumuskan persis apa perbuatannya yang terlarang atau diharuskan, telah dinyatakan dapat dipidana. Tidak dibedakan juga apakah peraturan-peraturan itu bersifat penting dan essensiil ataukah hanya bersifat detail dan administratip saja, misalnya berapa lembar dari suatu formulir harus dibuat dan sebagainya. Semua itu dapat dipindana. Dalam sistim baru dinyatakan dengan jelas tindak mana yang diancam dengan pidana dan dipandang "strafwaardig". Jika tidak dinyatakan bahwa suatu tindak bersifat pidana, maka tindak itu masuk lapangan hukum administratip cq perdata. Pasal 19. Sebagian besar dari hukum devisa merupakan hukum administratip yang dilaksanakan di luar pengadilan pidana dan perdata. Dalam keadaan demikian dirasakan perlu bahwa interpretasi tertinggi dalam soal-soal devisa berada di tangan Dewan yang mempunyai tanggung-jawab dalam bidang tersebut dan juga berada dalam posisi yang terbaik untuk mempertimbangkan seluruh aspek finansiil, moneter dan ekonomi dari perundang- undangan devisa. Ada kemungkinan bahwa suatu tindak pidana dalam lapangan devisa oleh fihak kejaksaan diberi arti yang berlebih-lebihan, jauh di luar proporsi kalau ditinjau dalam hubungan neraca pembayaran dan lalu-lintas pembayaran luar negeri seluruhnya. Dewan dan alat-alatnya berada dalam posisi untuk meninjau hubungan dan "scope" ini dengan lebih saksama. Juga ada kemungkinan bahwa dengan dihukumnya suatu perbuatan timbul akibat-akibat lain dalam masyarakat (perdagangan) yang lebih merugikan bagi devisa Negara, sehingga menuntut berarti lebih merugikan dari pada tidak menuntut. Oleh karena itu kepada Dewan diberi wewenang untuk dalam hal-hal yang demikian mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk tidak menuntut. Pasal 20. Sesuai dengan sistim yang dijelaskan di atas mengenai pasal 18 maka dalam pasal 20 s/d 24 ditetapkan dengan teliti tindak mana yang dipandang tindak pidana, yaitu tindak yang paling merugikan saja untuk Negara dan masyarakat. Yang terpenting ialah yang biasa disebut smokkel (penyelundupan) dalam ekspor. Yaitu mengangkut barang keluar Indonesia dari peredaran dengan tidak menghiraukan pasal-pasal 7, 8, dan 9 sehingga hasil devisanya sama sekali tidak dapat dikuasai oleh Negara. Kalau ini dilakukan dengan sengaja sedang kerugian yang dapat diderita oleh Negara besarnya melebihi suatu jumlah valuta asing yang merupakan nilai lawan 8886.71 gram emas murni, yaitu pada dewasa ini misalnya US$ 10.000, DM. 40.000 atau pada umumnya Nilai Transaksi Rupiah (devisa) 2.500.000,-, pidana penjara 10 tahun, atau denda Rp. 100.juta. Kalau jumlahnya sama dengan nilai lawan 88,8671 gram emas murni (devisa ini Nilai Trasaksi Rupiah 25.000,-) ke bawah, maka tindaknya dipandang administratip. Jika semua peraturan ekspor ditaati tetapi ekspornya sebagian atau seluruhnya tidak dilangsungkan atau suatu jangka waktu tidak ditepati, tindak ini hanya merupakan pelanggaran administratip oleh karena barang ekspornya tidak hilang dan masih tersedia untuk diekspor lagi. Pelanggaran dalam pemberian jasa ke luar negeri, hanya mungkin kalau Dewan telah menetapkan jasa-jasa mana yang taripnya harus dibayar dalam devisa dan sampai mana hasilnya harus diserahkan kepada Dana Devisa. Dalam hal ini dapat dicatat bahwa industri jasa-jasa kita belum begitu berkembang sehingga dapat menghasilkan jumlah- jumlah devisa yang besar. Pasal 21. Dalam hal impor, soalnya adalah berlainan. Kalau ekspor smokkel yang berhasil berarti kehilangan devisa untuk Negara, maka impor secara selundup tidak membebani Dana Devisa, sebab tanpa izin tidak mungkin (diam-diam) devisa dikeluarkan dari Dana Devisa. Maka dari itu pelanggaran pasal 12 hanya merupakan pelanggaran administratip. Jika peraturan-peraturan Bea dan Cukai yang diselundupi dalam peraturan-peraturan itu sendiri telah cukup peraturan- peraturan pidana yang menjaganya. Pasal 22. Cukup jelas. Pasal 23. Cukup jelas. Pasal 24. Cukup jelas. Pasal 25. Peraturan-peraturan ini mengenai soal pertanggungan-jawab jika suatu tindak dilakukan oleh suatu badan hukum. Pada umumnya peraturan-peraturan ini sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Undang-undang tindak pidana ekonomi (Undang- undang No. 7 Drt tahun 1955). Pasal 26. Cukup jelas. Pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28. Mengadakan perjanjian atau membuat kontrak yang tidak atau belum disetujui oleh Menteri Urusan Bank Sentral cq Biro cq. Bank Indonesia tidak dengan sendirinya merupakan tindak pidana. Akibatnya bahwa dalam perkara perdata perjanjian itu akan diabaikan oleh hakim dan juga bahwa Dana Devisa dan Negara tidak terikat oleh Perjanjian semacam itu. Pasal 29. Cukup jelas. Pasal 30. Cukup jelas. Pasal 31. Ayat 1 : Cukup jelas. Ayat 2 : Cukup jelas. Selainnya dari itu perlu dicatat bahwa perbuatan-perbuatan yang membutuhkan izin adalah jauh lebih sedikit dari pada menurut Deviezen- ordonantie. Ayat 3: Pembebasan umum dapat berbentuk peraturan khusus yang menyimpang dari Undang-undang ini. Misalnya untuk pengeluaran atau pemasukan barang pindahan, barang hadiah dan sebagainya. Sekalipun formilnya juga merupakan ekspor dan impor Dewan dapat mengeluarkan peraturan khusus yang merupakan pembebasan- pembebasan. Ayat 4. Dalam prakteknya delegasi ini akan dilakukan kepada Menteri Urusan Bank Sentral yang dapat mendelegasikan lagi kepada Bank Indonesia dan/atau Biro. Pasal 32 s/d 34. Cukup jelas. Mengetahui : Sekretaris Negara, MOHD. ICHSAN.
Penetapan "Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan" dan " Undang_Undang ...
Relevan terhadap
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN "PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 1950 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH TINGKAT I SUMATERA SELATAN" DAN ,UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 16 TAHUN 1955 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 1950 (LEMBARAN-NEGARA TAHUN 1955 NO. 52)" SEBAGAI UNDANG-UNDANG. Pasal I. Peraturan-peraturan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 3 tahun 1950 tentang pembentukan Daerah tingkat I Sumatera Selatan dan Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1955 (Lembaran-Negara tahun 1955 No. 52) ditetapkan sebagai Undang-undang dengan beberapa perubahan dan tambahan sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB 1. KETENTUAN UMUM. Pasal 1.
Wilayah yang meliputi Keresidenen Palembang, Bengkulu, Lampung dan Bangka-Biliton dibentuk sebagai Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Untuk selanjutnya dalam Undang-undang ini "Daerah tingkat I Sumatera Selatan" disebut "Daerah". Pasal 2.
Pemerintah Daerah berkedudukan di kota Palembang.
Jika perkembangan keadaan di daerah menghendakinya, maka setelah mendengar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tempat kedudukan Pemerintah Daerah dengan keputusan Menteri Dalam Negeri dapat dipindahkan ke lain tempat dalam wilayah Daerahnya.
Dalam keadaan darurat, tempat kedudukan itu untuk sementara waktu oleh Dewan Pemerintah Daerah dapat dipindahkan ke lain tempat. Pasal 3.
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) Undang-undang No.1 tahun 1957 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdiri dari 35 orang anggota.
Jumlah anggota Dewan Pemerintah Daerah terdiri dari 5 orang, dalam jumlah mana tidak termasuk Kepala Daerahnya. BAB II. TENTANG URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH. Pasal 4. Urusan tata usaha Daerah.
Daerah dengan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, menyelenggarakan segala sesuatu yang perlu untuk melancarkan jalannya pemerintahan Daerahnya, antara lain :
menyusun dan menyelenggarakan sekretariat serta pembagiannya menurut yang diperlukan;
menyelenggarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan kepegawaian, perbendaharaan, pemeliharaan harta dan milik Daerah, serta lain-lain hal untuk melancarkan pekerjaan Daerah.
Penyusunan urusan-urusan Daerah termaksud dalam Undang-undang ini dilakukan menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Menteri-menteri yang bersangkutan.
Guna melancarkan jalannya pekerjaan, maka Daerah menjalankan atau mengusahakan supaya dijalankan semua petunjuk- petunjuk tehnis yang diberikan oleh Menteri-menteri yang bersangkutan.
Dewan Pemerintah Daerah mengusahakan agar Menteri yang bersangkutan dapat mengetahui jalannya hal-hal yang dijalanan oleh Daerah, dengan mengirimkan laporan berkala kepada Menteri yang bersangkutan tentang hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga dan kewajiban Daerah.
Dewan Pemerintah Daerah mengusahakan supaya kepala atau pemimpin dinas-dinas teknis masing-masing memenuhi panggilan dari Menteri yang bersangkutan untuk mengadakan pembicaraan bersama tentang urusan-urusan teknis yang termasuk pekerjaan kepala atau pemimpin urusan Daerah itu masing-masing. Pasal 5.
Dengan tidak mengurangi kemungkinan penambahan kewenangan pangkal Daerah, Pemerintah Daerah mengatur dan mengurus hal-hal yang telah ditetapkan dalam Peraturan-peraturan Pemerintah:
mengenai urusan pertanian (Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1951 - Lembaran-Negara tahun 1951 No. 60);
mengenai, urusan kehewanan (Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1951 - Lembaran-Negara tahun 1951 No. 61);
mengenai urusan perikanan darat (Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1951 - Lembaran-Negara tahun 1951 No. 62);
mengenai urusan bimbingan dan perbaikan sosial (Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1958 - Lembaran-Negara tahun 1958 No.
;
mengenai urusan kesehatan (Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1952 - Lembaran-Negara tahun 1952 No. 82);
mengenai urusan pekerjaan umum (Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1953 - Lembaran-Negara tahun 1953 No. 31);
mengenai urusan perindustrian-kecil (Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1954 - Lembaran-Negara tahun 1954 No. 24);
mengenai urusan perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat (Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957 -Lembaran-Negara tahun 1957 No. 169);
mengenai urusan perumahan (Peraturan Pemerintah No. 6 tahun dengan ketentuan, bahwa di mana dalam Peraturan-peraturan Pemerintah itu masih disebut "Propinsi" harus dibaca "Daerah tingkat I".
Penambahan kewenangan pangkal dari Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 31 ayat (3) dan (4) Undang-undang No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Pasal 6. A. Pengambilan benda tambang tidak tersebut dalam pasal 1 "Indische Mijnwet".
Pemerintah Daerah diberi hak menguasai benda-benda tambang (delfstoffen) yang tidak disebut dalam pasal 1 ayat (1) "Indische Mijnwet", Staatsblad 1899 No. 214jo. Staatsblad 1919 No. 4 yang terdapat di tanah-tanah Negeri bebas (Vrij Landsdo- mein).
Dalam menjalankan kewenangan yang dimaksud dalam ayat (1) di atas berlaku mutatis mutandis ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam peraturan tentang syarat-syarat umum mengenai pemberian izin mengambil benda-benda tambang dimaksud, yang dimuat dalam Staatsblad 1926 No. 219 (sejak beberapa kali diubah dan ditambah).
Semua surat-surat izin tentang pengambilan benda-benda tambang yang telah dikeluarkan sebelumnya berlaku Undang-undang ini, sepanjang dapat dipandang masih berlaku, sesudah mulai berlakunya Undang-undang ini tetap berlaku dan dapat ditarik kembali atau diganti dengan surat izin baru oleh Dewan Pemerintah Daerah.
Dewan Pemerintah Daerah tidak memberi izin tentang pengambilan benda-benda tambang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini kepada siapa saja, atau menarik kembali izin yang lama, apabila tentang hal-hal itu belum diperoleh pertimbangan dari Kepala Jawatan Pertambangan, kecuali mengenai izin yang diberikan kepada penduduk asli untuk mengambil benda-benda tambang itu dari tempat-tempat yang luasnya tidak lebih dari 3 hektare, yang dikerjakan dengan kekuatan tenaga manusia dan dipakai untuk keperluannya sendiri.
Pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini, maka bagi Daerah tidak berlaku lagi ketentuan-ketentuan tentang hal penyerahan hak-hak kekuasaan pemberian izin pengambilan benda-benda tambang dimaksud kepada "Hoofden van Gewestelijk Bestuur" di luar Jawa yang dimaksud dalam Staatsblad 1926 No. 137 dan sepanjang mengenai keputusan Gubernur Jenderal dahulu tanggal 26 Januari 1935 No. 21, dimuat dalam Staatsblad 1935 No. 42, maka peraturan ini tidak berlaku lagi bagi Daerah, sesudah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut diganti dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah yang ditetapkan oleh Daerah itu. B. Perhubungan dan lalu-lintas jalan. Pemerintah Daerah menjalankan kewenangan, hak, tugas dan kewajiban tentang urusan lalu-lintas jalan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dengan "Wegverkeersordonnantie" dan "Wegverkeers-verordening" Staatsblad 1933 No. 86 dan Staatsblad 1936 No. 431 sebagaimana bunyinya Staatsblad-Staatsblad tersebut sekarang, setelah diubah dan ditambah jo. Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1958 (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 28). C. Penangkapan ikan di pantai. Pemerintah Daerah menjalankan kewenangan, hak, tugas dan kewajiban mengenai penangkapan ikan di pantai yang menurut ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) dari "Kustvisscherijordonnantie" Staatsblad 1927 No. 144, sejak telah diubah dan ditambah, paling akhir dengan Staatsblad 1940 No. 25, dahulu dapat diatur dengan "gewestelijke keuren". D. Pengawasan yang bersangkutan dengan izin perusahaan yang menimbulkan gangguan. Dewan Pemerintah Daerah menjalankan kekuasaan yang menurut ketentuan pasal 10 ayat (2) sub b "Hinder-ordonnantie" (Staatsblad 1926), sejak telah diubah dan ditambah, dahulu dijalankan oleh "Gouverneur". E. Hal sumur boor.
Daerah diberi hak untuk mengatur hal-hal tentang pembikinan sumur boor oleh pihak lain dari Negara yang ditetapkan dalam ordonnantie tanggal 10 Agustus 1912 Staatsblad No. 430 yang sejak telah ditambah dan diubah.
Pada waktu mulai berlakunya peraturan-daerah dimaksud dalam ayat (1), maka ordonnantie Staatsblad No. 430 tahun 1912 tersebut, berhenti berkekuatan bagi wilayah Daerah yang bersangkutan.
Dewan Pemerintah Daerah tidak memberikan izin untuk pembikinan sumur boor, dengan tiada pertimbangan dari Jawatan Geologie. F. Hal penguburan mayat.
Dengan tidak mengurangi kewenangan, hak, tugas dan kewajiban daerah-daerah tingkat bawahan dalam wilayah daerahnya. Daerah diberi hak mengatur hal-hal yang dahulu telah diatur dalam ordonnantie tentang penguburan mayat, tanggal 15 Desember 1864 (Staatsblad 1864 No. 196) sebagaimana bunyinya ordonnantie ini sesudah diubah dan ditambah.
Jika Daerah mempergunakan haknya yang tercantum dalam ayat (1), maka bagi Daerah yang bersangkutan itu, ordonnantie tersebut berhenti berkekuatan pada waktu peraturan-daerah yang ditetapkan oleh Daerah itu, mulai berlaku. Pasal 7. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam pasal 5 di atas, Pemerintah Daerah dengan mengingat ketentuan yang di- maksud dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 tahun 1957 berhak pula mengatur dan mengurus hal-hal termasuk kepentingan daerahnya yang tidak diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat, kecuali apabila kemudian oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya diadakan ketentuan lain. BAB III. TENTANG HAL-HAL YANG BERSANGKUTAN DENGAN PENYERAHAN, KEKUASAAN, CAMPUR TANGAN DAN PE GAN DAN PEKERJAAN-PEKERJAAN YANG DISERAHKAN KEPADA DAERAH. Pasal 8. Tentang pegawai-pegawai Daerah.
Dengan tidak mengurangi hak untuk mengangkat pegawai Daerah termasuk dalam pasal 53 Undang-undang No.1 tahun 1957, maka untuk menyelenggarakan hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga dan kewajiban Daerah, setelah mendengar Dewan Pemerintah Daerah, dengan keputusan Menteri yang bersangkutan dapat :
diserahkan pegawai Negara untuk diangkat menjadi pegawai Daerah;
diperbantukan pegawai Negara untuk dipekerjakan kepada Daerah.
Dengan mengingat peraturan-peraturan yang ada mengenai pegawai Negara, maka dengan keputusan Menteri yang bersangkutan dapat diadakan ketentuan-ketentuan tentang kedudukan pegawai Negara yang diserahkan atau diperbantukan kepada Daerah.
Pemindahan pegawai Negara yang diperbantukan kepada Daerah ke daerah swatantra lain, diatur oleh Menteri yang bersangkutan sesudah mendengar pertimbangan Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Pemindahan pegawai Negara yang diperbantukan kepada Daerah di dalam wilayah Daerahnya, diatur oleh Dewan Pemerintah Daerah dan diberitahukan kepada Menteri yang bersangkutan.
Penetapan dan kenaikan pangkat dan gaji dari pegawai yang diperbantukan menurut ketentuan dalam ayat (1) sub b di atas diselenggarakan oleh Kementerian yang bersangkutan dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Pemerintah Daerah.
Kenaikan gaji berkala, pemberian istirahat, baik istirahat tahunan, istirahat besar maupun istirahat karena sakit/hamil dan sebagainya dari pegawai-pegawai Negara yang diperbantukan kepada Daerah diputus oleh Dewan Pemerintah Daerah menurut peraturan-peraturan yang berlaku bagi pegawai Negara dan diberitahukan kepada Menteri yang bersangkutan. Pasal 9. Tentang hal tanah, bangunan, gedung dan lain-lain sebagainya.
Tanah, bangunan, gedung dan barang-barang tidak bergerak lainnya milik Pemerintah, yang dibutuhkan oleh Daerah untuk memenuhi tugas kewajibannya menurut Undang-undang ini, diserahkan kepada Daerah dalam hak milik atau diserahkan untuk dipakai atau diserahkan dalam pengelolaan guna keperluannya.
Barang-barang inventaris, dan barang bergerak lainnya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga dan kewajiban Daerah, diserahkan kepada Daerah dalam hak milik.
Segala hutang-piutang yang bersangkutan dengan hal-hal yang diserahkan kepada Daerah, mulai saat penyerahan tersebut menjadi tanggungan Daerah, dengan ketentuan, bahwa penyelesaian soal-soal yang timbul mengenai hal itu dapat diminta pada Pemerintah Pusat.
Untuk penyelenggaraan tugas kewajiban Daerah, Kementerian yang bersangkutan, menyerahkan kepada Daerah, sejumlah uang yang ditetapkan dalam ketetapan Menteri yang bersangkutan, sekedar perbelanjaannya yang dimaksud sebelum diselenggarakan oleh Daerah termasuk dalam, anggaran belanja Kementerian yang bersangkutan itu. BAB IV. TENTANG KEUANGAN DAERAH. Pasal 10. Pemerintah Daerah mengatur keuangan daerahnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 56 sampai dengan 61 Undang-undang No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan menurut Undang-undang No. 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta aturan-aturan kelanjutan dan pelaksanaannya. BAB V. KETENTUAN PERALIHAN. Pasal 11. Semua peraturan daerah termasuk pula "Keuren en reglementen van politie" sebagai dimaksud dalam Staatsblad 1938 No. 618 jo. Staatsblad Pemerintah Daerah dan yang masih berlaku sampai saat mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang peraturan-peraturan dimaksud mengatur hal-hal yang berdasarkan Undang-undang ini termasuk tugas kewajiban Daerah, berlaku terus dalam daerah hukumnya semula sebagai peraturan Daerah, dan dapat dicabut, ditambah atau diubah oleh Pemerintah Daerah. BAB VI. KETENTUAN PENUTUP.
Puji Prasetyo ...
Relevan terhadap
1 SPECIFIC GRANT : __ REFORMASI KEBIJAKAN PEMBERIAN DANA ALOKASI UMUM KEPADA DAERAH OTONOM PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 30 Januari 2023, Penulis : Puji Prasetyo __ “Dalam rangka mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pemerintah menerbitkan kebijakan baru berupa Specific Grant dalam pengelolaan Dana Alokasi Umum“ __ Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) merupakan sebuah upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: (i) mengembangkan sistem Pajak Daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, (ii) mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan Transfer ke Daerah (TKD) dan Pembiayaan Utang Daerah (PUD), (iii) mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta (iv) harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. Sebagai upaya penguatan desentralisasi fiskal guna mewujudkan pemerataan layanan publik oleh Pemerintah Daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok wilayah NKRI, dalam UU HKPD telah diatur mengenai kebijakan baru pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Sebelum diterbitkannya UU HKPD, pemberian DAU kepada daerah provinsi/kabupaten/kota hanya bersifat block grant /tidak ditentukan penggunaanya. Pemberian DAU yang bersifat block grant, di satu sisi merupakan suatu bentuk fleksibilitas penggunaan DAU oleh Pemerintah Daerah yang selaras dengan pelaksanaan prinsip otonomi daerah, namun di sisi lain terdapat pula sisi negatif yang mengikuti kebijakan block grant tersebut. Dalam Naskah Akademik penyusunan UU HKPD, pemrakarsa UU HKPD menyampaikan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi terkait DAU adalah formulasi DAU yang masih belum optimal dalam mengatasi ketimpangan fiskal antardaerah dan belum mampu mendorong pemerataan dan peningkatan layanan publik, serta kinerja daerah dalam menjalankan tanggungjawab belanja secara efisien dan disiplin. Hal ini salah satunya tercermin dalam realisasi DAU yang sebagian besar digunakan untuk belanja birokrasi (rata-rata realisasi belanja pegawai sebesar 32,4% vs rata-rata realisasi belanja infrastruktur publik 11,5%).
BPHN
Relevan terhadap
Berita Utama Pengelolaan Surat Masuk dan Surat Keluar secara digital untuk menunjang kinerja BPHN Jakarta, BPHN.go.id – Semen jak bergulirnya masa refor masi di Indonesia, seluruh kegiatan pemerin tahan mengalami trans formasi yang dikenal dengan nama reformasi birokrasi. Salah satu program reformasi adalah pene rapan electronic government (e-govern ment) di lingkungan peme rintah. E-government adalah sis tem pemerintahan yang berbasis teknologi komunikasi yang pada prinsipnya bertujuan untuk mening katkan kualitas proses layanan dari lembaga pemerintah kepada warga masyarakat melalui sistem layanan online. Manfaat langsung dari layanan online adalah pemangkasan biaya dan waktu serta meminimalisir kemungkinan terjadinya praktik korupsi dalam pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Melalui teknologi informasi, pemerintah menyediakan berbagai informasi aktual mengenai kebi jakan-kebijakan yang akan dan sudah dibuatnya secara cepat dan melalui sistem pemerintahan elektronik, masya rakat akan bisa mengak ses dokumen-dokumen pemerintah dan semua hal bisa dilihat seca ra transparan, termasuk soal ang garan publik. Salah satu bentuk dari penggunaan E-government adalah dengan dikembangkannya sistem e-office yang meliputi tata persuratan. E-office pada prinsipnya dimaksudkan untuk memfasilitasi pemerintah dalam pengeloloaan dokumen persuratan baik itu surat masuk maupun surat keluar secara elektronik sehingga dengan sistem tersebut akan memudahkan pengelolaan surat dan juga sebagai wujud birokrasi yang modern pada instansi pemerintah. Tata kelola persuratan meru pakan salah satu unsur administrasi umum yang mencakup pengaturan tentang jenis surat seperti surat masuk, surat keluar, nota dinas, agenda dan pesan. Pengelolaan persuratan yang selama ini dila kukan secara manual seringkali menemui berbagai permasalahan, antara lain sulitnya menjajaki keberadaan suatu surat. Melihat manfaat penggunanaan teknologi infomarmasi untuk menunjang kelan caran administrasi persuratan, Kementerian Hukum dan HAM RI telah menerbitkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manu sia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.TI.03.02 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sistem Surat Masuk dan Surat Kelu ar (SISUMAKER) di lingkungan Kemen terian Hukum dan HAM. Dengan terbitnya surat keputusan tersebut, maka seluruh jajaran Kemen terian Hukum dan HAM wajib menggunakan aplikasi SISUMAKER. Aplikasi SISUMAKER kemudian dikembangkan oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), salah satu unit eselon II pada Sekterariat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Aplikasi ini dibangun untuk mendukung efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan persuratan di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana disebutkan pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-01.T!.03.02 Tahun 2018. Dalam rangka melaksanakan surat keputusan tersebut, Sekretariat Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menggelar sosialisasi aplikasi SISUMAKER, Jumat (6/7) di ruang aula lantai 4 gedung BPHN. Sosialisasi ini sekaligus dilanjutkan dengan simulasi penggunaan Aplikasi SISUMAKER oleh para staf tata usaha dan pejabat pengawas dan administrator di BPHN. Sekretaris BPHN, Audy Murfi, dalam sambutannya mengatakan, tata kelola persuratan merupakan salah satu unsur administrasi berupa pengaturan surat masuk, surat keluar, nota dinas, serta disposisi yang memiliki peran penting dalam mendukung maju atau mundurnya suatu organisasi. Selama ini, pengelolaan persuratan masih dilakukan secara manual sehingga dalam proses pelaksanaanya muncul sejumlah permasalahan, antara lain proses distribusi yang cenderung lambat bahkan surat tersebut tercecar dan hilang dalam tumpukan dokumen lain. “Penggunaan SISUMAKER diha rapkan memudahkan peman tauan terhadap keberadaan suatu surat untuk ditindaklanjuti secara efektif dan efisien serta menuju paperless . Penerapan aplikasi SISUMAKER juga sejalan dengan penerapan e-Gov yang sedang digelorakan Kementerian Hukum dan HAM untuk menuju good governance ’, kata bapak Audy. Beberapa waktu sebelum
Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap 6 lainnya
Fokus tata kelola yang baik, maka dapat membangun: (i) keyakinan para pelaku pasar untuk bertransasksi secara aktif; (ii) mendorong terbentuknya tingkat harga pasar yang wajar; dan (iii) memungkinkan para pelaku pasar mengukur dan mengelola risiko-risiko pasar atas dasar informasi-informasi yang tersedia ( full disclosures ). Sebaliknya pasar keuangan yang bergejolak dan rentan atas shock eksternal seperti COVID-19 akan berpotensi menimbulkan berbagai dampak spillover ; antara lain: (i) dapat mempengaruhi stabilitas lembaga-Iembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan yang memiliki struktur pengelolaan dana yang mismatch ; (ii) dapat menyulitkan otoritas dalam memformulasikan kebijakan makroekonomi; (iii) volatilitas harga pasar akan mempengaruhi instrumen moneter yang digunakan dalam rangka transmisi kebijakan moneter ke sektor riil, misalnya suku bunga pasar; dan (iv) dapat menimbulkan beban jika otoritas dituntut untuk mengambil tindakan pemulihan stabilitas, misalnya, dalam hal terjadi ketidakstabilan pasar valuta asing yang mengakibatkan tekanan pada nilai tukar mata uang lokal, maka kebijakan yang diambil umumnya adalah meningkatkan suku bunga. Ketiga adalah optimalisasi lembaga pengawasan, terutama dibutuhkan dalam menerapkan kebijakan yang: (i) konsisten, terintegrasi, forward looking , dan cost effective ; (ii) dapat mempertahankan tingkat kompetisi yang sehat; dan (iii) dapat mendukung inovasi pasar keuangan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sektor keuangan dapat mengakibatkan terganggunya aktivitas mobilisasi dana yang sangat diperlukan oleh sektor riil. Dengan terhambatnya aliran dana tersebut, sektor riil akan membatasi bahkan menghentikan aktivitas perekonomian. Di samping itu, kestabilan sektor keuangan, khususnya pasar keuangan, sangat diperlukan dalam menunjang proses transmisi kebijakan moneter. Beranjak dari pentingnya stabilitas keuangan bagi eksistensi lembaga keuangan secara individu maupun pertumbuhan sektor keuangan, moneter dan fiskal secara keseluruhan, maka diperlukan suatu kebijakan publik yang konsisten, terintegrasi dan tidak saling menimbulkan distorsi. Untuk mewujudkan pelaksanaan kebijakan tersebut, dibutuhkan adanya kolaborasi yang erat antara pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap stabilitas sektor keuangan, moneter, dan fiskal. Kolaborasi tersebut diperlukan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.
Fokus Pada bulan-bulan selanjutnya, terutama setelah lebaran Idul Fitri, meskipun permintaan uang meningkat nilai transaksi yang menggunakan ATMK masih tumbuh negatif hingga November 2020. Berbeda halnya dengan pembayaran yang menggunakan uang elektronik (UE) dan digital banking , yang menunjukkan pertumbuhan volume transaksi tinggi. Instrumen pembayaran digital yang mengalami penurunan pertumbuhan volume dalam periode itu hanya phone banking . Fakta ini mengindikasikan menguatnya kebutuhan transaksi ekonomi dan keuangan digital (EKD), termasuk meningkatnya akseptasi masyarakat terhadap digital payment di tengah penurunan aktivitas ekonomi selama masa pandemi dan penerapan PSBB. Penggunaan transaksi non- tunai, baik melalui internet banking , mobile banking , berarti masyarakat secara langsung menerapkan protokol COVID-19, yaitu menjaga jarak ( social/physical distancing ) karena terjaganya jarak antara pembeli dan penjual (tidak terjadi kontak fisik). Tren digitalisasi yang didukung dengan perluasan ekosistem ekonomi dan keuangan digital yang inklusif dan efisien terus diakselerasi oleh Bank Indonesia dengan memperluas merchant QRIS ( QR Code Indonesian Standard ) sebagai bagian dari upaya percepatan pemulihan ekonomi. Penurunan aktivitas ekonomi akibat dampak COVID-19 juga telah berdampak pada penurunan kebutuhan masyarakat terhadap uang tunai. Sebagai alternatif dan sekaligus sebagai bagian dari upaya memutus rantai penyebaran COVID-19 dan percepatan pemulihan ekonomi, pemerintah dan Bank Indonesia menganjurkan kepada masyarakat untuk menggunakan instrumen pembayaran non-tunai. Penggunaan instrumen non-tunai, khususnya digital banking akan membantu akselerasi ekosistem ekonomi dan keuangan digital (EKD) yang inklusif dan efisien.
Fokus listrik ke seluruh pelosok tanah air, dan (iii) peningkatan literasi keuangan. Subsidi ponsel untuk kelompok unbanked population bisa dilakukan dengan membagi beban antara pemerintah (APBN) dan dana CSR BUMN. Basis dari kiat ini adalah theories of financial inclusion funding . Beberapa studi mengatakan kepemilikan ponsel berkorelasi positif dengan peningkatan inklusi keuangan dan kinerja ekonomi. Kepemilikan ponsel memungkinkan lembaga jasa keuangan dapat melakukan ekspansi pelayanan menggunakan uang seluler ( m‐money ) atau perbankan seluler ( m‐banking ) dan asuransi seluler. Sedangkan perluasan jaringan internet dan jaringan listrik tentu membutuhkan investasi pemerintah di bidang infrastruktur. Praktik seperti ini dilakukan oleh beberapa negara di Afrika seperti Peru dan Ghana (Aker dan Mbiti, 2010). Apabila kiat tersebut dinilai mahal, maka pemerintah bisa menggunakan pendekatan yang selektif __ __ __ __ Public Good Theory of Financial Inclusion Theories of financial inclusion funding Vurnerable Group Theory of Financial Inclusion Dissatisfaction Theory of Financial Inclusion Penyampaian layanan keuangan formal ditujukan kepada seluruh penduduk ( to all ), tidak terkecuali. Inklusi keuangan harus didanai bersama oleh sektor publik dan swasta (Dashi et al, 2013; Cobb et al, 2016). Ada yang berpendapat bahwa uang publik (dari pembayar pajak) harus digunakan untuk mendanai program dan kegiatan inklusi keuangan (Marshall, 2004). Vurnerable members of society , seperti masyarakat miskin ( poor population ), penduduk usia muda ( young people ), perempuan atau ibu rumah tangga ( women ) dan orang tua ( elderly ). Mendahulukan individu yang sebelumnya tergabung dalam sektor keuangan formal, tetapi meninggalkan sektor keuangan formal karena mereka tidak puas dengan peran keterlibatan dalam sektor keuangan formal Grafik 5: Teori Cara Mencapai Inklusi Keuangan ( Dissatisfaction Theory of Financial Inclusion ), yaitu mendahulukan kelompok masyarakat yang sudah inklusif tetapi keluar dari sistem keuangan atau kembali menjadi exclusion people . Caranya pemerintah atau OJK bisa mendorong perbankan untuk memberikan insentif kepada para mantan nasabah sesuai tingkat kepusasan atau ekspektasi mereka. Pemerintah dan OJK juga bisa mendorong lembaga jasa keuangan untuk memperbaiki efisiensi operasionalnya, sehingga cost of fund bisa ditekan dan lending rate bisa lebih rendah sesuai kebutuhan. Begitu juga deposan skala mikro yang sudah menarik semua simpanannya sehingga dana simpanan nyaris nihil. Kiat lainnya, pemerintah bisa menggunakan konsep naik kelas. Ini bisa menggunakan jalur bantuan sosial yang selama ini dilakukan pemerintah setiap tahun ( Vurnerable Group Theory of
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu TANGKAS MENANGGULANGI KEDARURATAN 21 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 C OVID-19 yang belum kunjung usai tidak hanya mengorbankan kesehatan masyarakat tapi juga kian berdampak pada ekonomi. Di tengah kecamuk pandemi, pemerintah terus mengadaptasi kebijakan dengan kebutuhan kondisi terkini. Kecepatan pemenuhan anggaran penanganan COVID-19 ini menjadi sebuah keharusan agar pandemi segera terbasmi dari negeri. Simak wawancara Media Keuangan dengan Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Kunta 1 Tahun 2020 memberikan fleksibilitas pada pemerintah untuk melakukan berbagai macam kebijakan atau pengelolaan alokasi anggaran supaya bisa cepat bergerak, seperti realokasi dan refocusing belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, termasuk tambahan anggaran yang difokuskan ke tiga hal kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan dunia usaha. Hal tersebut, juga didukung dengan kemungkinan untuk melakukan relaksasi defisit juga. Kita juga melakukan monitoring dan evaluasi berkala secara intensif sehingga kebutuhan di tiga fokus tadi bisa terpenuhi. Koordinasi dengan BI, OJK, dan LPS juga terus dilakukan untuk menjaga kestabilan sektor keuangan. Kebijakan anggaran apa saja yang diambil untuk mendukung sektor kesehatan dalam upaya percepatan penanganan COVID-19? Yang pertama, adalah pembentukan gugus tugas Covid-19 yang didukung pendanaan sekitar Rp3,1 triliun dari pemanfaatan cadangan APBN, yang dimanfaatkan untuk penanganan Kesehatan di masa awal darurat pandemic Covid-19. Selanjutnya, kita memberikan stimulus fiskal berupa tambahan belanja kesehatan Rp75 triliun (dari total stimulus tahap 3 sebesar Rp405 triliun) yang difokuskan pada belanja penanganan Kesehatan (antara lain peralatan, sarpras Kesehatan, dan biaya penggantian klaim perawatan pasien positif Covid-19), insentif dan santunan kematian bagi tenaga medis, dan bantuan iuran peserta BPJS Kesehatan untuk segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) Kelas 3. Lalu kita juga lakukan kebijakan realokasi dan refocusing anggaran K/L dan pemda. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan terus memantau perkembangan revisi anggaran K/L untuk penanganan COVID-19 serta pelaksanaan anggarannya. Selain itu, kita juga memberikan insentif fiskal berupa fasilitas perpajakan, khususnya untuk pengadaan peralatan kesehatan dan obat-obatan. Dengan dukungan tersebut, sekarang sudah banyak industri dalam negeri yang bisa memproduksi Alat Pelindung Diri (APD), bahkan ada juga yang bisa memproduksi ventilator pernafasan. Upaya apa yang dilakukan untuk memastikan kecukupan anggaran penanganan COVID-19? Pemerintah akan terus memantau kebutuhan anggaran, dikaitkan dengan proyeksi berapa lama pandemi ini akan terjadi. Semakin lama, dan semakin banyak korban, tentunya akan dibutuhkan lebih banyak anggaran. Sumber pendanaan ini utamanya dari pendapatan dan pembiayaan, serta realokasi dan refocusing anggaran K/L dan TKDD. Pemerintah melalui koordinasi dengan stakeholder terkait akan terus melakukan pemetaan kebutuhan anggaran penanganan Covid-19, dan memperkuat perencanaan dan keakuratan kebijakan kesehatan. Di samping itu, pemerintah akan terus mendorong refocusing anggaran K/L untuk mendukung sektor kesehatan, mengingat apabila pandemi berlangsung lebih lama, maka kegiatan K/L tidak dapat berjalan, dan anggarannya dapat direalokasi untuk mendukung intervensi kesehatan. Berapa total anggaran yang diperoleh setelah refocusing dari K/L dan pemda? Dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya, telah dilakukan kebijakan penghematan anggaran, baik belanja K/L maupun transfer ke daerah dan dana desa. Untuk penghematannya total K/L sekitar Rp145-an triliun dan untuk pemda sekitar Rp94 triliun. Uang ini digunakan sebagai salah satu sumber dana pemberian stimulus yang berfokus ke tiga hal di awal tadi. Penghematan tersebut di luar kebijakan refocusing anggaran K/L dan Pemda untuk mendukung penanganan Kesehatan. Apakah ke depan akan ada peningkatan anggaran kesehatan? Sejak 2019, rasio anggaran kesehatan terhadap APBN sebenarnya sudah lebih dari 5 persen, karena kita meng cover Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), prasarana dan sarana kesehatan, termasuk dana-dana yang di transfer ke daerah. Jadi fokusnya bukan ke persentasenya harus sekian tapi lebih kepada program apa yang mau dijalankan, lalu output dan outcome apa yang mau dituju. Tentu Covid-19 ini menjadi baseline dalam persiapan anggaran kesehatan ke depan. Misal dalam pemenuhan fasilitas kesehatan dan perbaikan JKN, baik dari segi layanan maupun sistemnya. Bagaimana dengan fokus alokasi anggaran kesehatan ke depan? Ke depan anggaran kesehatan difokuskan untuk reformasi kesehatan. Pertama, mempercepat pemulihan dampak Covid-19 melalui peningkatan dan pemerataan fasilitas kesehatan, peralatan kesehatan, dan tenaga kesehatan, serta koordinasi dengan pemda, BUMN/BUMD, dan swasta. Kedua, penguatan sistem kesehatan, baik supply maupun demand. Ketiga, penguatan health security preparedness melalui penguatan kesiapan pencegahan, deteksi, dan respons penyakit, penguatan health emergency framework, dan sistem kesehatan yang terintegrasi. Apa harapan Bapak untuk implementasi kebijakan penanganan pandemi dan ketahanan APBN? Pertama, harapan saya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, serta seluruh lapisan masyarakat terus berlanjut, termasuk sharing the pain dengan pemda itu penting. Gugus tugas penanganan pandemi sebagai implementasi kebijakan satu pintu juga penting dilanjutkan. Kemudian kita juga ingin mendukung dunia usaha untuk kesehatan, sehingga kebutuhan alat kesehatan dan farmasi dalam negeri dapat kita penuhi sendiri. Yang terakhir, dengan adanya pandemi ini seluruh sector kehidupan akan melakukan penyesuaian (yang biasa disebut new normal). Mekanisme bekerja, bentuk interaksi dalam masyarakat, dan sebagainya akan menyesuaikan. Termasuk dalam hal pengelolaan APBN. Seharusnya APBN kita dengan new normal yang kita jalani saat ini, menjadi baseline yang efektif dan efisien dalam proses recovery dan reformasi kebijakan fiskal di tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya. Wibawa Dasa Nugraha, mengenai optimalisasi anggaran kesehatan untuk atasi kedaruratan. Bagaimana APBN kita memprioritaskan kesehatan masyarakat selama ini? Anggaran Kesehatan dan anggaran Pendidikan menjadi concern Pemerintah selama ini, untuk meningkatkan kualitas SDM. Sejak 2016, Pemerintah menjaga alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN, karena kesehatan berdampak langsung ke future income orang. Kalau orang sehat, dia akan semakin produktif. Secara tidak langsung, ini juga merupakan investasi Pemerintah di bidang SDM. Dengan adanya pandemi COVID-19 bagaimana prioritas sektor kesehatan dikaitkan dengan ekonomi? Pandemi ini menimbulkan krisis kesehatan lalu berdampak ke krisis ekonomi dan akhirnya bisa berdampak ke krisis keuangan. Karena pandemik ini belum ada obatnya, maka dilakukan pembatasan- pembatasan, seperti physical distancing, work from home, dan PSBB. Maka yang paling terdampak pertama kali dari pandemi ini adalah sektor riil atau informal. Sehingga menimbulkan krisis ekonomi, kalau hal ini tidak segera diatasi akan berakibat pada krisis keuangan. Dengan kata lain, kesehatan, ekonomi dan keuangan ini saling mempengaruhi, tidak dapat dipisahkan. Untuk merespons kondisi tersebut, saat ini Pemerintah memberi stimulus fiscal tahap 3 yang berfokus pada sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan pada dunia usaha. Dengan demikian, bukan hanya kesehatan masyarakat yang tertangani, tetapi masyarakat miskin, rentan miskin, serta dunia usaha yang sosial ekonominya terdampak COVID-19 juga bisa tetap hidup. Sehingga selama masa pandemi, kebutuhan pokok setidaknya dapat terpenuhi, daya beli terjaga dan saat pandemi berakhir, kita bisa segera bangkit kembali. Apa strategi yang dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan yang begitu dinamis di masa darurat ini? Saat ini semuanya berubah serba cepat dan kita harus siap untuk mengantisipasinya. Jangan sampai telat karena risiko kedepannya sangat tinggi. Adanya Perppu Nomor
Laporan Utama MENYELAMATKAN MANUSIA DARI PANDEMI Masa pandemi COVID-19 belum jua terlewati. Dampaknya begitu besar, baik di sisi kesehatan maupun sosial ekonomi. Agar tak terimbas kian dalam, diterbitkan serangkaian kebijakan extraordinary. Anggaran negara diprioritaskan pada tiga hal: kesehatan masyarakat, jaring pengaman sosial, dan perlindungan dunia usaha. Sebab, fokus utama pemerintah adalah menyelamatkan berbagai sisi dari manusia. Teks Reni Saptati D.I MEDIAKEUANGAN 12 K ebijakan perpajakan diarahkan untuk mendukung penanggulangan COVID-19. Demikian dituturkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama. Secara responsif, Kementerian Keuangan memberikan sejumlah insentif perpajakan, bahkan ketika pandemi baru merebak. “Pertama, insentif kepada pelayanan kesehatan. Yang kedua, terkait jaring pengaman sosial, kita mendukung upaya peningkatan daya beli masyarakat. Ketiga, dukungan kepada kegiatan usaha supaya mereka bisa menjaga UMKM untuk masa pajak April hingga September 2020. “Kenapa tidak dinolkan? Karena kita menjaga kepatuhan. Skemanya ditanggung pemerintah, tetapi mereka ada kewajiban tetap mencatat,” tegas Hestu. Sosialiasi kebijakan ini dilakukan antara lain melalui email blast kepada sekitar 2,1 juta pelaku UMKM. Dalam konteks mendukung dunia usaha, Hestu menyatakan pemerintah telah menurunkan PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2020. “Kita langsung bergerak supaya dampak penurunan tarif langsung efektif di tahun ini,” ungkapnya. Oleh sebab itu, sejak April hingga Desember, tarif PPh Badan yang diterapkan sudah di besaran 22 persen. Tak hanya itu, PMK 44/2020 juga hadir memberi insentif bagi hampir seluruh sektor usaha. Aturan tersebut menyebutkan kebijakan PPh 21 ditanggung pemerintah untuk 1.062 bidang industri, pembebasan PPh 22 impor untuk 431 bidang industri, pengurangan angsuran PPh 25 sebesar 30 persen untuk 846 bidang industri, dan restitusi PPN dipercepat untuk 431 bidang industri. Seluruhnya berlaku sejak April hingga September 2020. “Mengapa enam bulan? Insentif fiskal tidak berjalan sendiri. Kita sinkronkan dengan skema besar penanganan COVID-19 yang diterapkan sekitar enam bulan dulu.” Dukung produksi hand sanitizer Kelangkaan hand sanitizer dan disinfektan sudah terjadi sejak bulan Maret, bahkan sebelumnya. Padahal keduanya dibutuhkan dalam jumlah sangat banyak dan cepat. ”Kementerian Keuangan dalam hal ini DJBC segera merespons dengan memperluas subjek yang mendapat fasilitas pembebasan etil alkohol,” ungkap Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan keberlangsungan hidupnya dalam kondisi sulit ini,” terang pria yang meraih gelar Master of Bussiness Taxation dari University of Southern California tersebut. Namun demikian, Hestu menekankan pentingnya menjaga kepatuhan wajib pajak selama periode pemberian insentif. “Jangan kemudian muncul euforia lupakan dulu pajak lantaran kegiatan usaha melemah. Kita harus tetap menjaga tingkat kepatuhan masyarakat dan pengusaha wajib pajak.” Beragam insentif pajak Sejak awal April beragam insentif dilahirkan, sebagian termuat dalam PMK 28/2020. “PMK 28 merupakan insentif perpajakan untuk sektor kesehatan,” ungkap Hestu. Dari segi subjek, ada tiga pihak yang diberi insentif, yaitu instansi pemerintah, rumah sakit rujukan, dan pihak lain yang ditunjuk oleh instansi pemerintah atau rumah sakit tadi untuk mendukung penanganan COVID-19. Dari segi objek, barang yang dimaksud ialah obat, vaksin, peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, APD, perawatan untuk pasien, dan pendukung lainnya. “Ada juga jasa untuk penanganan COVID-19, misalnya jasa sewa tempat bagi pasien isolasi,” tambah Hestu. Atas barang dan jasa tersebut, diberikan pembebasan PPh 22 impor dan PPN-nya, pembebasan PPh 22, pembebasan PPh 21, serta pembebasan PPh 23. “Kita juga ada PMK yang bersama Ditjen Bea Cukai, yaitu PMK 34/2020. Pajak dalam rangka impor tidak dipungut dulu karena dibutuhkan kecepatan atas pengadaan barang- barang yang dalam kondisi normal juga diperlukan tapi tidak sebanyak sekarang,” ujar Hestu. Dunia UMKM tak luput dari perhatian. Pemerintah menanggung PPh final 0,5 persen bagi pelaku Kementerian Keuangan memberikan sejumlah insentif perpajakan, bahkan ketika pandemi baru merebak salah satunya fasilitas pembebasan etil alkohol untuk pembuatan hand sanitizer Foto Ilustrasi KemenkeuRI Teks Reni Saptati D.I 13 MEDIAKEUANGAN 12 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020
Opini Ilustrasi Dimach Putra Teks I Gede Githa Adhi Pramana, pegawai Direktorat Kekayaan Negara Dipisahkan, DJKN *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Risiko Resesi Ekonomi usaha. Sektor UMKM juga bisa disebut pahlawan devisa karena banyak memanfaatkan bahan baku dan sumber daya lokal serta minim bergantung pada komponen impor. Sektor UMKM juga memiliki multiplier effect yang tinggi dalam menekan ketimpangan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, UMKM berperan serta dalam pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Dari beragam kontribusi di atas, dapat kita lihat bahwa sektor UMKM berkontribusi dalam penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, sektor UMKM dapat dinyatakan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Namun demikian, berbagai tantangan dihadapi oleh sektor UMKM baik dari sisi internal maupun eksternal. Akses permodalan, pemahaman yang rendah terhadap teknologi produksi, dan pemasaran serta aspek legal dan akuntabilitas menjadi tantangan dari sisi internal. Sementara itu, hambatan yang dihadapi UMKM untuk berkembang dari sisi eksternal antara lain iklim usaha belum kondusif, keterbatasan infrastruktur, kesulitan akses bahan baku, serta aspek teknologi informasi. Dalam mengatasi tantangan di atas diperlukan sinergi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Setidaknya ada 3 hal yang perlu menjadi fokus pemerintah dalam penguatan dan pemberdayaan UMKM di Indonesia: Pertama, dukungan permodalan. Laju pertumbuhan UMKM yang tinggi tidak sebanding dengan kemudahan akses permodalan. Saat ini, UMKM banyak bergantung pada pembiayaan dari dana APBN seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), dana bergulir, dan pembiayaan ultra mikro (UMi). Pembiayaan APBN memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan modal UMKM yang tinggi. Dengan demikian perlu terobosan- terobosan baru untuk pembiayaan non APBN atau dengan menciptakan kemudahan akses pendanaan UMKM dari lembaga keuangan Kedua, dukungan pembinaan. Selain permodalan, dukungan dari sisi pembinaan juga penting dalam meningkatkan kualitas UMKM. Kementerian Keuangan menginisiasi program pembiayaan terpadu dengan pendampingan melalui program UMi. Dalam program tersebut, PIP menyalurkan pinjaman kepada mitra yakni PT PNM (Persero), PT Pegadaian (Persero) dan PT BAV. Selain menyalurkan, mitra juga diwajibkan memberikan pendampingan kepada nasabah. Program semacam ini perlu dikembangkan dengan meningkatkan peran dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, serta menguatkan peran BUMN sebagai agent of development . Alternatif lainnya adalah melalui program pendampingan UMKM oleh mahasiswa sebagai bagian program terpadu dari kampus. Dengan adanya akses pembiayaan dan kemampuan dalam mengelola bisnis yang baik, UMKM diharapkan dapat mengembangkan usahanya agar bisa naik kelas. Terakhir adalah penciptaan iklim usaha UMKM yang kondusif. Upaya untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh yang meliputi: penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha serta menjamin kepastian usaha disertai efisiensi ekonomi; pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin. Perlu adanya database nasabah penerima program pemerintah untuk meminimalisir irisan nasabah antar program. Dengan demikian, dapat memberikan kesempatan pelaku usaha lain sehingga tercipta iklim usaha UMKM yang kondusif. Dalam Global Economic Risks and Implications for Indonesia Reports yang dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia diprediksi terdampak resesi ekonomi global. Bank dunia memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia di tahun 2019 menjadi 5,1persen. Pada 2020, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 4,9 persen dan pada 2022 tumbuh 4,6 persen. Bercermin pada krisis ekonomi tahun 1998, sudah sewajarnya jika Indonesia menguatkan sektor UMKM melalui penyediaan akses permodalan, pembinaan/mentoring, dan penciptaan iklim usaha UMKM yang kondusif. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas UMKM agar berdaya saing di kancah nasional dan global terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Keberhasilan dalam penguatan dan pemberdayaan UMKM pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian Indonesia secara signifikan serta memperkuat daya tahan terhadap ancaman resesi global. Sumber: Kementerian Koperasi dan UMKM PENGUATAN UMKM DI TENGAH U saha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satunya adalah penciptaan lapangan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada tahun 2017 dari UMKM mencapai 116,7 juta tenaga kerja atau 97 persen dari total tenaga kerja yang diserap unit usaha di Indonesia. UMKM juga telah terbukti mampu bertahan pada krisis ekonomi Indonesia. Sekitar 96 persen UMKM bertahan dari goncangan krisis moneter 1997/1998 dan 2008/2009. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pasca krisis ekonomi tahun 1997-1998, jumlah UMKM di Indonesia malah menunjukan tren yang meningkat. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM (2017), populasi pelaku UMKM sebesar 62,92 juta atau 99,9 persen dari total pelaku 37 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020