bahwa untuk meningkatkan tata kelola dan optimalisasi pengelolaan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.06/2020 tentang Pengelolaan Aset Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh Menteri Keuangan;
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6523);
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6814);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.06/2020 tentang Pengelolaan Aset Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh Menteri Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1184);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954);
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.06/2020 TENTANG PENGELOLAAN ASET EKS BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL OLEH MENTERI KEUANGAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.06/2020 tentang Pengelolaan Aset Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional Oleh Menteri Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1184) diubah sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang selanjutnya disebut Aset adalah kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan yang berasal dari kekayaan eks BPPN.
Aset Kredit adalah Aset berupa tagihan Bank Asal terhadap Debiturnya, pinjaman Pemerintah yang disalurkan melalui BPPN, tagihan yang berasal dari Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, tagihan Pemerintah dalam bentuk lainnya, dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Asset Transfer Kit yang selanjutnya disingkat ATK adalah media atau dokumen pengalihan Aset Kredit dari Bank Asal kepada BPPN dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Aset Kredit ATK adalah Aset Kredit yang didukung media atau dokumen pengalihan Aset Kredit dari Bank Asal kepada BPPN, tercatat dalam Sistem Aplikasi Pengganti Bunisys, yang dokumennya berada dalam pengelolaan Menteri Keuangan, dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Aset Kredit Non ATK adalah Aset Kredit yang tidak didukung media atau dokumen pengalihan Aset dari Bank Asal kepada BPPN, yang dokumennya berada dalam pengelolaan Menteri Keuangan, dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Aset Properti adalah Aset berupa tanah dan/atau bangunan serta hak atas satuan rumah susun yang dokumen kepemilikannya dan/atau peralihannya berada dalam pengelolaan Menteri Keuangan dan/atau tercatat dalam Daftar Nominatif dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Aset Inventaris adalah Aset berupa barang selain tanah dan/atau bangunan, termasuk kendaraan bermotor, yang semula merupakan aset milik BPPN atau milik Bank Asal, baik yang berasal dari barang modal maupun Barang Jaminan Diambil Alih (BJDA) dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Aset Saham adalah Aset berupa bukti kepemilikan suatu Perseroan Terbatas dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Aset Obligasi adalah Aset berupa surat utang jangka menengah-panjang yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pemegang obligasi dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Aset Reksadana adalah Aset berupa unit penyertaan sebagai bukti investasi dalam portofolio efek reksadana melalui manajer investasi dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Aset Nostro dan Penempatan Antarbank yang selanjutnya disebut Aset Nostro adalah Aset berupa saldo rekening giro Bank Asal, baik dalam rupiah maupun valuta asing di Bank Indonesia dan/atau bank lain dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Aset Transferable Member Club adalah Aset berupa bukti keanggotaan/member suatu klub dan/atau tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Bank Asal adalah bank yang masuk dalam program penyehatan dengan status Bank Beku Operasi (BBO), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), Bank Take Over (BTO), dan Bank Rekapitalisasi yang telah mengalihkan asetnya kepada BPPN q.q. Pemerintah Republik Indonesia.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.
Direktorat Jenderal adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.
Direktur adalah pejabat eselon II pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.
Direktorat adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal yang memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara.
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal.
Kantor Pelayanan adalah unit vertikal pelayanan pada Kantor Wilayah.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Penilai Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Penilaian, termasuk atas hasil penilaiannya secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penilai Publik adalah penilai selain Penilai Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penilai publik.
Tim Koordinasi Penanganan Penyelesaian Tugas- Tugas Tim Pemberesan BPPN, Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah, dan Penjaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut Tim Koordinasi adalah Tim yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 85/KMK.01/2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanganan Penyelesaian Tugas-Tugas Tim Pemberesan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah, dan Penjaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, dan telah dibubarkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 213/KMK.01/2008 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Tim Koordinasi Penanganan Penyelesaian Tugas-Tugas Tim Pemberesan BPPN, Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah, dan Penjaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Debitur adalah orang perorangan atau badan hukum yang berutang menurut peraturan, perjanjian, atau sebab apapun kepada Bank Asal.
Debitur Pengguna Akhir yang selanjutnya disebut End User adalah Debitur penerima kredit yang tergabung dalam SPV.
Obligor adalah pemegang saham pengendali Bank Asal yang berutang menurut peraturan, perjanjian, atau sebab apapun kepada BPPN c.q. Pemerintah Republik Indonesia.
Penilaian adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh penilai untuk memberikan suatu opini nilai yang didasarkan pada data/fakta yang objektif dan relevan dengan menggunakan metode/teknik tertentu atas objek tertentu pada saat tanggal Penilaian.
Nilai Wajar adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan Aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal Penilaian.
Nilai Limit adalah nilai minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh penjual.
Harga Dasar adalah harga terendah atas pelepasan Aset dalam penjualan tidak melalui Lelang.
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman Lelang.
Sewa adalah pemanfaatan Aset Properti oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan uang tunai.
Daftar Nominatif adalah dokumen yang dibuat oleh Bank Asal atau BPPN yang memuat daftar Aset Kredit, Aset Properti, dan Aset Inventaris.
Dokumen Aset adalah Dokumen Aset Kredit, Aset Properti, Aset Inventaris, Aset Saham, Aset Obligasi, Aset Reksadana, Aset Nostro, dan Aset Transferable Member Club .
Inventarisasi adalah kegiatan pendataan, pencatatan, dan pelaporan Aset.
Verifikasi adalah kegiatan pemeriksaan mengenai kebenaran hasil Inventarisasi.
Sistem Aplikasi Pengganti Bunisys yang selanjutnya disingkat SAPB adalah sistem yang memuat informasi antara lain mengenai saldo ( outstanding ) utang saat pengakhiran tugas BPPN.
Wahana Tujuan Khusus ( Special Purpose Vehicle ) yang selanjutnya disingkat SPV adalah Debitur yang menjadi induk dari End User .
Saldo ( outstanding ) Utang yang selanjutnya disebut Outstanding Utang adalah jumlah seluruh kewajiban Debitur yang belum diselesaikan.
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat PKPS adalah penyelesaian atas kredit, fasilitas, dan manfaat lainnya yang diterima oleh eks Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan grupnya ( affiliated loans ) dari Bank Dalam Penyehatan (BDP) dan/atau pembebanan seluruh/sebagian kerugian BDP kepada eks PSP.
Master Refinancing and Notes Issuance Agreement yang selanjutnya disingkat MRNIA adalah suatu perjanjian antara eks PSP BTO/BBO dan Pemerintah (diwakili oleh Menteri Keuangan dan Ketua BPPN) untuk menyelesaikan kewajiban eks PSP BTO/BBO, dengan cara penyerahan aset ( asset settlement ) dari PSP kepada BPPN yang nilainya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kewajiban yang harus diselesaikan, disertai jaminan pribadi sebesar nilai kewajiban yang harus diselesaikan oleh PSP.
Akta Pengakuan Utang yang selanjutnya disingkat APU adalah suatu perjanjian antara eks PSP BTO atau BBKU dan Ketua BPPN (atau pejabat BPPN yang mewakili) untuk menyelesaikan kewajiban PSP BTO atau BBKU disertai dengan jaminan aset.
Nominee adalah nama perorangan yang digunakan oleh Bank Asal dalam mengambil alih jaminan utang dan/atau dicantumkan dalam dokumen kepemilikan barang.
Masa Tenggang adalah jangka waktu tertentu yang diperlukan oleh penyewa untuk keperluan renovasi, perubahan, atau penambahan bangunan atas Aset Properti yang disewa sebelum dapat dimanfaatkan sesuai peruntukan Sewa.
Restrukturisasi Aset Kredit adalah upaya perbaikan terhadap kondisi Aset Kredit oleh Menteri Keuangan.
Kustodi adalah tempat penyimpanan dokumen. 49. Penghapusan Secara Bersyarat adalah kegiatan untuk menghapuskan piutang negara dari pembukuan Pemerintah Pusat dengan tidak menghapuskan hak tagih negara.
Penghapusan Secara Mutlak adalah kegiatan penghapusan piutang negara setelah Penghapusan Piutang Negara Secara Bersyarat dengan menghapuskan hak tagih negara.
Pasal 4
Aset Kredit terdiri atas ATK, Non ATK, PKPS dan Aset Kredit eks kelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
Pengelolaan Aset Kredit meliputi:
penatausahaan;
restrukturisasi;
penjualan;
penyertaan modal negara;
penyerahan pengurusan kepada Panitia Urusan Piutang Negara;
pembayaran utang dalam bentuk aset ( asset settlement );
eksekusi barang jaminan;
penyelesaian Aset Kredit dengan Outstanding Utang sampai dengan Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah);
pengajuan usulan penghapusan; dan/atau
pengamanan.
Pasal 6
Inventarisasi dan Verifikasi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a didasarkan pada:
dokumen yang dikuasai oleh Kementerian Keuangan;
Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;
data yang terdapat pada aplikasi SAPB; dan/atau
data yang tercatat dalam suatu aplikasi modul barang milik/kekayaan negara.
Pasal 6A
Usulan Hasil dari proses Inventarisasi dan Verifikasi dokumen Aset Kredit dituangkan dalam suatu berita acara.
Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
data dan informasi terkait adanya dan besarnya piutang negara;
data dan informasi terkait adanya kepastian jaminan yang diikat dengan hak tanggungan, fidusia, atau gadai; dan
rekomendasi status penyelesaian masing- masing berkas hasil Inventarisasi dan Verifikasi.
Pasal 25
Jumlah Kewajiban Pemegang Saham merupakan besaran hak tagih terhadap Obligor.
Jumlah Kewajiban Pemegang Saham ditetapkan oleh Pemerintah c.q. Kementerian Keuanganberdasarkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Penetapan jumlah kewajiban Pemegang Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mempertimbangkan tindak lanjut hasil putusan pengadilan perkara pidana terkait kewajiban Pemegang Saham berupa pelunasan uang pengganti kerugian negara ke kas negara.
Pasal 28
Dalam hal Direktorat memperoleh informasi mengenai harta kekayaan Obligor di luar jaminan yang diperjanjikan dalam MRNIA dan/atau APU, Direktorat:
meminta bantuan instansi berwenang untuk melakukan pengamanan harta kekayaan tersebut;
memerintahkan Obligor untuk menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada Direktorat; dan/atau
menyampaikan informasi tersebut kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Obligor dapat menyerahkan harta kekayaan pihak ketiga di luar jaminan yang diperjanjikan dalam MRNIA dan/atau APU.
(2a) Penyerahan harta kekayaan pihak ketiga oleh Obligor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan dokumen yang minimal terdiri atas dokumen kepemilikan dan surat kuasa menjual notariil dari pihak ketiga selaku pemilik harta kekayaan kepada Direktur.
Dalam hal Obligor menyerahkan harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau harta kekayaan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta kekayaan tersebut merupakan jaminan utang dan selanjutnya diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Penyerahan harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam suatu berita acara.
Pasal 37
Restrukturisasi Aset Kredit dengan cara konversi Aset Kredit menjadi tambahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat huruf d dapat dilakukan dalam hal Restrukturisasi Aset Kredit atas utang pokok dan kewajiban lainnya tidak dapat diselesaikan dengan cara penjadwalan kembali dan/atau perubahan persyaratan.
Restrukturisasi Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
Debitur mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dilampiri proposal, yang meliputi aspek hukum, aspek keuangan, aspek operasional, dan aspek manfaat yang akan diterima oleh Pemerintah, termasuk potensi penerimaan dividen;
proposal sebagaimana dimaksud pada huruf a dilengkapi dengan data dan dokumen pendukungnya serta didasarkan dari hasil uji tuntas ( due diligence ) oleh pihak independen;
Direktorat melakukan penelitian atas permohonan dan proposal Debitur sebagaimana dimaksud pada huruf a;
Direktur dapat meminta bantuan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah untuk mereviu permohonan dan proposal sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf c; dan
dalam hal hasil penelitian menunjukkan bahwa Debitur tidak memiliki kemampuan bayar, namun terdapat potensi pengembangan usaha termasuk perbaikan permodalan yang akan mendukung aspek manfaat, Direktur Jenderal menentukan pelaksanaan restrukturisasi dengan cara konversi Aset Kredit menjadi tambahan penyertaan modal negara.
Ketentuan Pasal 40 ditambahkan 1 (satu) ayat setelah ayat (12) yakni ayat (13), sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
Penjualan Aset Kredit dilakukan oleh Direktur Jenderal atas persetujuan Menteri.
Penjualan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara Lelang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Lelang.
Penjualan Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan atas masing-masing Debitur atau beberapa Debitur secara paket.
Direktur atas nama Direktur Jenderal menetapkan Nilai Limit atas Aset Kredit yang akan dilakukan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling sedikit sama dengan Nilai Wajar Aset Kredit berdasarkan hasil Penilaian yang dilakukan oleh:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur.
Pemilihan Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Nilai Limit yang ditetapkan oleh Direktur atas nama Direktur Jenderal berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penetapan Nilai Limit.
Dalam hal terdapat perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Kredit, masa berlaku Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat kurang dari 1 (satu) tahun.
Perubahan yang signifikan atas kondisi Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (8) antara lain:
perubahan fisik, yang antara lain disebabkan karena pelebaran jalan, longsor atau abrasi; atau
perubahan peruntukan.
Terhadap Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dilakukan Penilaian ulang untuk memperoleh Nilai Wajar terbaru atas Aset Kredit.
Direktur atas nama Direktur Jenderal menetapkan Nilai Limit paling sedikit sama dengan Nilai Wajar Aset Kredit berdasarkan hasil Penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (10).
Nilai Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (11) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penetapan.
Dalam hal setelah dilakukan penjualan Aset kredit, berdasarkan penelusuran diketahui terdapat Aset kredit berupa hak tagih beserta jaminannya yang telah dilakukan peralihan kepada pembeli hak tagih, terbukti merupakan pihak yang terafiliasi dengan Debitur, Direktur atas nama Direktur Jenderal dapat mengajukan:
permohonan pemblokiran hak; dan/atau
pembatalan peralihan dan/atau pendaftaran hak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 41
Penyertaan modal negara atas Aset Kredit dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
Ketentuan Pasal 42 ditambahkan 3 (tiga) ayat setelah ayat (3), yakni ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
Aset Kredit yang memenuhi syarat adanya dan besarnya piutang diserahkan pengurusannya oleh Direktur atas nama Direktur Jenderal kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Penyerahan kepada Panitia Urusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur atas nama Direktur Jenderal secara tertulis kepada Panitia Urusan Piutang Negara melalui Kantor Pelayanan.
Pengurusan Aset Kredit yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara.
Dalam hal setelah penyerahan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara Direktorat memperoleh informasi mengenai harta kekayaan lain Debitur di luar barang jaminan, Direktorat:
dapat meminta bantuan instansi berwenang untuk melakukan pengamanan harta kekayaan tersebut;
memerintahkan Debitur untuk menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada Direktorat; dan/atau
menyampaikan data dan dokumen harta kekayaan lain Debitur tersebut kepada Panitia Urusan Piutang Negar
Dalam hal Debitur menyerahkan harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, harta kekayaan tersebut merupakan jaminan utang dan selanjutnya diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Penyerahan harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam suatu berita acara.
Ketentuan Pasal 43 diubah, sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
Dalam pengurusan Aset Kredit, Direktur atas nama Direktur Jenderal selaku penyerah piutang memiliki wewenang untuk:
memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Kantor Pelayanan terhadap permohonan penebusan dengan nilai di bawah nilai pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;
memberi persetujuan atau penolakan atas permintaan pertimbangan yang diajukan oleh Kantor Pelayanan terhadap permohonan penjualan tanpa melalui Lelang dengan nilai di bawah nilai pembebanan atau tidak ada pembebanan hak atas barang jaminan utang Aset Kredit;
melakukan koreksi atas jumlah piutang yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, dalam hal terdapat:
kekeliruan dalam pencantuman nilai penyerahan; atau
sebab lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum;
menerbitkan surat permohonan roya;
mengajukan permohonan pencabutan blokir atas pemblokiran yang sebelumnya dimohonkan oleh Bank Asal/BPPN;
mengajukan permohonan pengangkatan sita atas penyitaan yang dilakukan oleh BPPN;
bertindak selaku pembeli dalam suatu pelaksanaan Lelang jaminan Aset Kredit dalam pelaksanaan Lelang eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara;
menyerahkan data dan dokumen harta kekayaan lain milik Debitur kepada Panitia Urusan Piutang Negara;
memerintahkan Debitur untuk menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada Direktorat; dan
meminta pengembalian/penarikan berkas piutang negara yang telah diserahkan pengurusannya ke Panitia Urusan Piutang Negara.
Di antara Pasal 43 dan Pasal 44, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43A
Direktur atas nama Direktur Jenderal selaku penyerah piutang, dapat menjadi pembeli barang jaminan/harta kekayaan lainnya dalam pelaksanaan Lelang eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara terhadap Aset Kredit yang diserahkan.
Pembelian Lelang oleh Direktur atas nama Direktorat Jenderal, dilaksanakan dalam hal pelaksanaan Lelang pertama tidak laku terjual.
Pembebanan bea Lelang penjual dan bea-bea lainnya yang menjadi kewajiban Obligor/Debitur dalam pelaksanaan pembelian Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara dan di bidang Lelang.
Dalam hal bea Lelang penjual dan bea-bea lainnya yang menjadi kewajiban Obligor/Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pembayarannya menggunakan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Aset yang Timbul dari Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Tata cara pelaksanaan Lelang eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara dan di bidang Lelang.
Ketentuan Pasal 46 diubah, sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46
Terhadap Aset Kredit yang ditolak penyerahan pengurusan piutang oleh Panitia Urusan Piutang Negara, Direktorat melakukan upaya untuk memenuhi kelengkapan persyaratan adanya dan besarnya utang Debitur, dan selanjutnya Aset Kredit diserahkan kembali pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Dalam hal Direktorat tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan adanya dan besarnya utang Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset Kredit dicatat dalam daftar Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Terhadap Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat melakukan panggilan melalui media cetak atau website , dalam rangka penyelesaian kewajiban Debitur.
Dalam hal Debitur memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta setelah dilakukan wawancara/penelitian terhadap Debitur diperoleh dokumen/informasi yang dapat memastikan adanya dan besarnya utang Debitur, Direktorat menyerahkan pengurusan Aset Kredit kepada Panitia Urusan Piutang Negara.
Dalam hal Debitur tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah 30 (tiga puluh hari) sejak pengumuman, atau Debitur memenuhi panggilan tetapi tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya utang Debitur, maka Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan Aset Kredit dalam suatu keputusan Aset Kredit eks BPPN yang ada dan besarnya tidak pasti menurut hukum.
Dalam hal setelah terlampauinya jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal penetapan keputusan Aset Kredit eks BPPN yang ada dan besarnya tidak pasti menurut hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum terdapat informasi yang mendukung kepastian ada dan besarnya piutang, Direktur Jenderal mengajukan usul penghapusan atas Aset Kredit eks BPPN yang ada dan besarnya tidak pasti menurut hukum kepada pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan piutang negara.
Daftar Aset Kredit yang tidak dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Ketentuan Pasal 47 ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2), sehingga Pasal 47 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
Terhadap Aset Kredit yang dikembalikan pengurusannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara disebabkan adanya bukti baru yang menunjukkan:
adanya pelunasan atau penyelesaian tagihan Debitur di Bank Asal, BPPN, Tim Pemberesan BPPN, atau Tim Koordinasi; atau
Aset Kredit telah terjual oleh BPPN, Direktorat melakukan pengelolaan lebih lanjut atas Aset Kredit berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9.
Terhadap Aset Kredit yang dikembalikan pengurusannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara disebabkan adanya bukti baru yang menunjukkan adanya perkara pidana yang terkait dengan kewajiban Debitur, Direktorat melakukan pengelolaan lebih lanjut atas Aset Kredit berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Ketentuan ayat (5) Pasal 50 diubah, sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
Pembayaran utang dalam bentuk aset ( asset settlement ) dapat dilakukan oleh Debitur:
perorangan;
firma/ Commanditaire Vennootschap / Persekutuan Perdata;
Perseroan Terbatas/Yayasan/Koperasi;
Badan Usaha Milik Negara; atau
Badan Usaha Milik Daerah.
Pembayaran utang dalam bentuk aset ( asset settlement ) diajukan melalui permohonan secara tertulis oleh Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Permohonan yang diajukan oleh Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah memperoleh persetujuan dari:
anggota/ sekutu lainnya, untuk Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;
Rapat Umum Pemegang Saham/ Pembina/Pengawas/Rapat Anggota, untuk Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c;
Rapat Umum Pemegang Saham dan menteri pembina Badan Usaha Milik Negara, untuk Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; atau
Rapat Umum Pemegang Saham dan pembina Badan Usaha Milik Daerah, untuk Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e.
Pembayaran utang dalam bentuk aset (asset settlement) hanya dapat dilakukan dengan aset berupa tanah atau tanah berikut bangunan.
Aset berupa tanah atau tanah berikut bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
aset atas nama Debitur yang telah bersertipikat;
aset tidak terkait permasalahan hukum;
aset dalam kondisi tidak dalam penguasaan pihak ketiga secara tidak sah; dan
aset dalam kondisi tidak menjadi jaminan utang kepada kreditur yang lain.
Selain kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dalam hal Debitur berbentuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, aset yang digunakan sebagai objek pembayaran utang dalam bentuk aset (asset settlement) harus merupakan aset non-produktif yang tidak terkait dengan kegiatan usaha Debitur dan nilainya tidak signifikan terhadap nilai total aset Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang bersangkutan.
Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, huruf c, dan huruf d serta ayat (6) dinyatakan oleh Debitur dalam suatu surat pernyataan.
Pembayaran utang dalam bentuk aset (asset settlement) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diajukan dengan melampirkan proposal dan dokumen pendukungnya.
Direktorat melakukan penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan proposal serta dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
Dalam hal berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (9), permohonan Debitur telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8), Direktur menyampaikan permohonan Penilaian kepada:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur, untuk mendapatkan Nilai Wajar Aset Kredit.
Pemilihan Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan barang/jasa Pemerintah.
Setelah dilakukannya Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Direktur meminta reviu kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan persetujuan pembayaran utang dalam bentuk aset (asset settlement) berdasarkan rekomendasi dari Direktur dengan mempertimbangkan hasil reviu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (13), Direktur atas nama Menteri melaksanakan restrukturisasi Aset melalui mekanisme pembayaran utang dalam bentuk aset ( asset settlement ) dengan membuat:
perjanjian pembayaran utang dalam bentuk aset ( asset settlement ) antara Debitur dengan Direktur atas nama Menteri secara notariil;
berita acara serah terima Aset dari Debitur kepada Direktur atas nama Menteri; dan
akta pelepasan hak dari Debitur kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Nilai aset yang ditetapkan sebagai objek pembayaran utang dalam bentuk aset ( asset settlement ) diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban dari Debitur kepada Pemerintah.
Ketentuan Pasal 52 diubah, sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52
Terhadap Aset Kredit dengan Outstanding Utang sampai dengan Rp 8.000.000,00 (delapan juta rupiah):
yang telah diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, tetap dilaksanakan pengurusannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan piutang negara; dan
yang belum diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara:
Direktorat tidak menyerahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara; dan
Direktorat melakukan panggilan melalui pengumuman pada media cetak atau website, dalam rangka penyelesaian kewajiban Debitur;
dalam hal Debitur memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2 dan/atau bersedia menyelesaikan kewajibannya, maka Debitur:
melakukan penyetoran ke kas negara sebesar kewajibannya; dan
menyampaikan bukti setor kepada Direktorat;
terhadap Debitur yang melakukan penyelesaian sebagaimana dimaksud pada huruf c, Direktorat menerbitkan Surat Keterangan Pelunasan Debitur (SKPD) dan menyampaikannya kepada Debitur;
dalam hal Debitur tidak memenuhi panggilan atau Debitur memenuhi panggilan tetapi tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya, Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan keputusan Aset Kredit telah optimal dilakukan pengurusan;
dalam hal telah terlampauinya jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penetapan keputusan Aset Kredit telah optimal dilakukan pengurusan sebagaimana dimaksud pada huruf e belum terdapat penyelesaian Aset Kredit dari pihak Debitur, Direktur Jenderal mengajukan usul penghapusan atas Aset Kredit telah optimal dilakukan pengurusan kepada pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pengelolaan piutang negara.
Ketentuan ayat (2) Pasal 54 diubah, sehingga Pasal 54 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54
Usulan Penghapusan Secara Bersyarat atau usulan Penghapusan Secara Mutlak atas Aset Kredit diajukan oleh Direktur Jenderal kepada pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan piutang negara.
Dalam pengajuan usulan Penghapusan Secara Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal dapat meminta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah untuk melakukan reviu.
Setelah Bagian Kesebelas ditambahkan 1 (satu) bagian yakni Bagian Keduabelas, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Keduabelas
Pengamanan 19. Di antara Pasal 55 dan Pasal 56 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 55A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 55A
Pengamanan Aset Kredit dilakukan terhadap Dokumen Aset Kredit dan barang jaminan Aset Kredit.
Pengamanan atas Dokumen Aset Kredit dan barang jaminan Aset Kredit dilaksanakan oleh Direktur.
Pengamanan Dokumen Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal terdiri atas:
verifikasi dokumen hak atas Aset Kredit; dan
penyimpanan Dokumen Aset Kredit secara tertib dan rapi di tempat yang aman.
Direktur dapat meminta bantuan kepada unit kerja terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan/atau pihak lain guna pengamanan Dokumen Aset Kredit dan barang jaminan Aset Kredit.
Petunjuk teknis pengamanan dokumen Aset Kredit dan barang jaminan Aset Kredit berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal.
Di antara Pasal 57 dan Pasal 58, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 57A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 57A
Aset Properti merupakan kekayaan negara.
Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan daftar Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Aset Properti berupa tanah disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Kementerian Keuangan.
Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 58 diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat setelah ayat (4) yakni ayat (5), sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58
Penatausahaan Aset Properti didahului dengan kegiatan Inventarisasi dan Verifikasi dokumen.
Inventarisasi dan Verifikasi dokumen Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada:
dokumen yang dikuasai oleh Kementerian Keuangan;
Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;
data yang terdapat pada aplikasi SAPB;
data yang terdapat pada aplikasi Modul Kekayaan Negara Lain-Lain;
Daftar Nominatif; dan/atau
dokumen lain yang terkait dengan status Aset Properti.
Hasil penatausahaan Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh Direktorat dalam sistem informasi pengelolaan Aset.
Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk:
Proses verifikasi Aset Properti;
Peninjauan fisik atas Aset Properti;
Kodefikasi atas Aset Properti; dan
Pencatatan setiap perubahan jumlah Aset Properti, nilai Aset Properti, dan penerimaan hasil pengelolaan Aset Properti yang dikarenakan adanya penjualan melalui Lelang, penjualan tanpa melalui Lelang, pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi kepada Pemerintah, hibah, penetapan status penggunaan, penyertaan modal negara, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, pemusnahan, penghapusan, atau perubahan lain yang sah.
Tata cara pelaksanaan Inventarisasi dan Verifikasi dokumen Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Keputusan Direktur Jenderal.
Ketentuan Pasal 59 diubah, sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
Pemeliharaan dan pengamanan Aset Properti dilaksanakan terhadap fisik Aset Properti dan Dokumen Aset Properti.
Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 67 diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat setelah ayat (2) yakni ayat (3), sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 67
Penjualan tanpa melalui Lelang dapat dilakukan dalam hal:
berdasarkan hasil Verifikasi oleh Direktorat dan/atau rekomendasi komite penyelesaian Aset Properti yang dibentuk Direktur Jenderal, Aset Properti tidak dapat dilakukan pengelolaan dengan cara penjualan melalui Lelang karena tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang- undangan di bidang Lelang; atau
Aset Properti tidak terjual dalam dua kali penjualan melalui Lelang.
Penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan kepada:
pihak lain yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan atau orang lain yang dinyatakan sebagai pemilik berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau ahli warisnya, dan tidak termasuk Nominee;
badan hukum yang namanya tercantum dalam dokumen kepemilikan yang diwakili oleh pengurus yang masih aktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
eks Debitur terkait yang sudah tidak mempunyai kewajiban kepada BPPN q. Pemerintah Republik Indonesia;
pihak lain yang telah menguasai Aset Properti secara fisik paling sedikit 20 (dua puluh) tahun dan telah mendirikan bangunan permanen; atau
pihak selain pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal.
Dalam pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, Direktur Jenderal dapat meminta bantuan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah untuk melakukan reviu atas permohonan pembelian tanpa melalui Lelang.
Ketentuan ayat (1) Pasal 68 diubah dan diantara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a) dan ayat (3b), sehingga Pasal 68 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68
Pihak sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 ayat (2) yang berminat untuk menjadi pembeli dalam penjualan tanpa melalui Lelang atas Aset Properti harus mengajukan surat permohonan kepada Direktur Jenderal, yang paling sedikit memuat:
identitas pemohon;
uraian Aset Properti yang akan dimohonkan untuk dilaksanakan penjualan tanpa melalui Lelang; dan
nilai penawaran.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disetujui apabila nilai penawaran paling sedikit sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan laporan Penilaian.
Dalam kondisi tertentu, atas Nilai Wajar Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan faktor penyesuai.
(3a) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dengan pertimbangan tidak terpenuhinya legalitas formal subjek dan objek Lelang sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Lelang.
(3b) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan prosentase pengurangan dari nilai wajar paling tinggi sebesar 30 % (tiga puluh persen).
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Ketentuan ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 70 diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) dan ditambahkan 1 (satu) ayat setelah ayat (5) yakni ayat (6), sehingga Pasal 70 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 70
Pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi atas Aset Properti dapat dilakukan kepada Pemerintah Daerah, Badan Layanan Umum, Badan Layanan Umum Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Desa, atau badan/lembaga khusus/badan hukum publik yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan sebagian tugas dan kewenangan pemerintah.
(1a) Pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelepasan atas kepemilikan, hubungan hukum, penguasaan dan kepentingan dari negara kepada pihak ketiga yang telah memberikan pembayaran kompensasi paling sedikit sama dengan Nilai Wajar Aset Properti dan dituangkan dalam surat pelepasan hak.
Permohonan pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi atas Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Direktorat melakukan penelitian atas permohonan pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi atas Aset Properti, guna memastikan pemohon merupakan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kelayakan nilai pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi yang diajukan oleh pemohon.
Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
dalam hal pemohon dapat dipastikan merupakan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan nilai pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi yang diajukan oleh pemohon paling sedikit sama dengan Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan hasil Penilaian, Direktur menyampaikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal atas permohonan pemohon; atau
dalam hal pemohon tidak dapat dipastikan merupakan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau nilai pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi yang diajukan oleh pemohon lebih rendah dari Nilai Wajar Aset Properti berdasarkan hasil Penilaian, Direktur atas nama Direktur Jenderal menolak permohonan yang diajukan dan menyampaikan surat penolakan kepada pemohon, disertai dengan alasannya.
Berdasarkan rekomendasi Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Direktur Jenderal dapat menetapkan surat pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi kepada Pemerintah.
Surat pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit memuat:
nama pemegang hak atas Aset Properti;
nama penerima hak atas Aset properti;
objek Aset Properti; dan
nilai pelepasan Aset Properti, yang berlaku sebagai tanda penerimaan uang atau kuitansi.
Diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 72 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), ayat (4), ayat (10), dan ayat (11) diubah, serta ditambahkan 2 (dua) ayat setelah ayat (11) yakni ayat (12) dan ayat (13), sehingga Pasal 72 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 72
Hibah Aset Properti dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan yang bersifat non komersial, dan penyelenggaraan pemerintahan negara/ daerah/ desa.
(1a) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan kepada Pemerintah Daerah/Desa.
Permohonan hibah atas Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Direktorat melakukan penelitian atas permohonan hibah atas Aset Properti.
Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
dalam hal permohonan hibah dapat disetujui, Direktur Jenderal menetapkan hibah atas Aset Properti; atau
dalam hal hibah tidak dapat disetujui, Direktur Jenderal menolak permohonan yang diajukan dan menyampaikan surat penolakan kepada pemohon.
Penetapan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a paling sedikit memuat:
identitas penerima hibah;
rincian Aset Properti yang dihibahkan; dan
tujuan pemberian hibah.
Direktur Jenderal menyampaikan penetapan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a kepada Kantor Pertanahan untuk dicatatkan dalam buku tanah, termasuk menyampaikan harus adanya persetujuan Menteri dalam hal Aset Properti yang telah dihibahkan tersebut akan dipindahtangankan kepada pihak lain.
Aset Properti yang dihibahkan harus digunakan sesuai tujuan pemberian hibah, termasuk tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh pihak lain.
Penerima hibah melaporkan penggunaan Aset Properti yang telah dihibahkan sesuai tujuan pemberian hibah secara periodik setiap tahun.
Dalam hal Aset Properti tidak digunakan sesuai tujuan pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka persetujuan hibah menjadi batal dan penerima hibah mengembalikan Aset Properti yang telah dihibahkan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Dalam hal penerima hibah tidak mengembalikan Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (9), maka penerima hibah membayar kompensasi sebesar Nilai Wajar Aset Properti pada saat tidak digunakan sesuai dengan tujuan pemberian hibah.
Dalam hal penerima hibah tidak membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Direktur Jenderal menarik kembali Aset Properti yang telah dihibahkan.
Penetapan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditindaklanjuti dengan perjanjian hibah dan berita acara serah terima Aset Properti dari Direktur atas nama Direktur Jenderal kepada penerima hibah.
Perjanjian hibah dan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (12) ditandatangani paling lama 6 (enam) bulan sejak penetapan hibah.
Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 73 diubah, di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a) dan ayat (3b), dan di antara ayat (6) dan ayat (7) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (6a), sehingga Pasal 73 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73
Penetapan Status Penggunaan Aset Properti dilakukan olehDirektur Jenderal untuk pelaksanaan tugas dan fungsi pada Kementerian/Lembaga.
Penetapan Status Penggunaan Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didasarkan pada permohonan tertulis dari pimpinan Kementerian/Lembaga kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Direktorat melakukan penelitian atas permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(3a) Dalam proses penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktorat dapat memaparkan terkait kondisi Aset Properti kepada Kementerian/Lembaga.
(3b) Dalam hal setelah dilakukan pemaparan terkait kondisi aset sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) Kementerian/Lembaga bersedia menerima Aset Properti, pimpinan Kementerian/Lembaga menandatangi surat penyataan kesediaan menerima aset Properti (4) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau surat pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b):
dalam hal permohonan Penetapan Status Penggunaan disetujui, Direktur Jenderal menetapkan keputusan mengenai Penetapan Status Penggunaan; atau
dalam hal permohonan Penetapan Status Penggunaan tidak disetujui, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan Kementerian/Lembaga.
Penetapan Status Penggunaan Aset Properti dilakukan dalam kondisi fisik dan/atau dokumen sebagaimana adanya ( as is ) termasuk segala biaya tertunggak atas Aset Properti menjadi tanggung jawab pemohon.
Penetapan Status Penggunaan Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a ditindaklanjuti dengan pembuatan berita acara serah terima Aset Properti antara Direktur atas nama Direktur Jenderal dan pimpinan Kementerian/Lembaga.
(6a) Berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani paling lama 6 (enam) bulan sejak Penetapan Status Penggunaan Aset Properti.
Hal lain mengenai Penetapan Status Penggunaan Aset Properti yang tidak diatur dalam Peraturan Menteri ini, berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan Barang Milik Negara.
Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Pasal 75 diubah, sehingga Pasal 75 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 75
Aset Properti dapat ditetapkan menjadi penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara atau badan hukum lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara.
Penyertaan modal negara dengan Aset Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan tertulis kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, yang diajukan oleh:
pimpinan Badan Usaha Milik Negara setelah mendapatkan surat rekomendasi dari Kementerian yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pembinaan Badan Usaha Milik Negara; atau
pimpinan badan hukum setelah mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham/pemilik/pemegang saham.
Permohonan disertai kajian yang meliputi aspek hukum, aspek keuangan, aspek operasional, dan aspek administratif.
Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat melakukan kajian.
Ketentuan Pasal 77 diubah, sehingga Pasal 77 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 77
Biaya Penilaian Aset Properti oleh Penilai Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf b menjadi beban Badan Usaha Milik Negara atau badan hukum lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara sebagai calon penerima penyertaan modal negara berupa Aset Properti.
Ketentuan Pasal 78 diubah, sehingga Pasal 78 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 78
Berdasarkan rekomendasi dari Direktur Jenderal, Menteri menyampaikan usul penyertaan modal negara kepada Presiden.
Pelaksanaan penyertaan modal negara dengan Aset Properti dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
Ketentuan Pasal 84 ditambahkan 3 (tiga) ayat setelah ayat (4) yakni ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), sehingga Pasal 84 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 84
Jangka waktu Sewa paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian dan dapat diperpanjang.
Permohonan perpanjangan jangka waktu Sewa disampaikan secara tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum jangka waktu Sewa berakhir.
Jangka waktu Sewa dapat dihitung berdasarkan periode Sewa.
Periode Sewa dikelompokkan sebagai berikut:
periode tahun; dan
periode bulan.
Terhadap perpanjangan jangka waktu Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan penilaian ulang untuk menentukan nilai Sewa riil yang harus dibayarkan penyewa.
Dalam hal periode Sewa telah berakhir namun permohonan perpanjangan jangka waktu Sewa belum mendapatkan persetujuan, penyewa dapat memanfaatkan aset terlebih dahulu.
Atas pemanfaatan aset terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenakan Sewa dengan tarif yang sama dengan periode sebelumnya ditambah dengan kekurangan pembayaran berdasarkan persetujuan perpanjangan jangka waktu Sewa.
Ketentuan ayat (1) Pasal 114 diubah, sehingga Pasal 114 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 114
Pengelolaan Aset Saham meliputi:
menghadiri dan mengambil keputusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham;
meminta pembayaran atas dividen saham atau hasil likuidasi;
penjualan;
penyertaan modal negara;
penilaian, dan/atau f. Penatausahaan.
Pengelolaan Aset Saham dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar perusahaan, perjanjian antar pemegang saham dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di antara paragraf 4 dan paragraf 5, disisipkan 1 (satu) paragraf yakni paragraf 4A sehingga berbunyi sebagai berikut: Paragraf IVA Penyertaan Modal Negara 34. Di antara Pasal 118 dan Pasal 119 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 118A, Pasal 118B dan Pasal 118C, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 118A
Aset Saham dapat ditetapkan sebagai penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara atau badan hukum lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara.
Penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan bahwa Aset Saham lebih optimal apabila dikelola Badan Usaha Milik Negara atau badan hukum lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk.
Pasal 118B
Pengajuan permohonan penyertaan modal negara yang berasal dari Aset Saham dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara atau badan hukum lainnya yang didalamnya terdapat kepemilikan negara setelah mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat meminta bantuan direktorat teknis terkait pada Direktorat Jenderal untuk melakukan analisis mengenai kelayakan penyertaan modal negara.
Dalam hal penyertaan modal negara dinilai layak berdasarkan analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat melakukan Penilaian atas Aset Saham.
Penilaian Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh:
Penilai Pemerintah; atau
Penilai Publik yang ditunjuk oleh Direktur.
Berdasarkan hasil penilaian kelayakan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hasil penilaian Aset Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur menyampaikan usulan persetujuan penyertaan modal negara yang berasal dari Aset Saham untuk ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 118C
Pelaksanaan Penyertaan Modal Negara yang berasal dari Aset Saham dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
Di antara BAB XII dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bab yakni BAB XIIA, sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XIIA
PENGOLAHAN DATA 36. Di antara Pasal 146 dan Pasal 147 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 146A, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 146A
Pengolahan data dan informasi Aset dapat menggunakan suatu aplikasi elektronik berbasis teknologi informasi.
Di antara BAB XIIA dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bab yakni BAB XIIB, sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XIIB
MONITORING DAN EVALUASI 38. Di antara Pasal 146A dan Pasal 147 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 146B, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 146B
Direktur Jenderal melakukan pemantauan dan evaluasi atas pengelolaan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyempurnakan dan mengoptimalkan pengelolaan Aset.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2022 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY