PUTUSAN PUTUSAN Nomor 25/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Nama : Salamudin Tempat, tgl. Lahir : Mura, 06 April 1973 Warga Negara : Indonesia Alamat : Jalan Dusun Mura, Kecamatan Brang Ene, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat Sebagai ------------------------------------------------------------- PEMOHON I ;
Nama : Ahmad Suryono Tempat, tgl. Lahir : Jember, 24 Mei 1981 Warga Negara : Indonesia Alamat : Jalan Buncit Raya Pulo Gg. 14 RT/RW 11/5 Nomor 30 Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan Sebagai ------------------------------------------------------------- PEMOHON II ;
Nama : Ahmad Irwandi Lubis Tempat, tgl. Lahir : Medan, 18 Juni 1983 Warga Negara : Indonesia Alamat : Jalan Klambir V Gg. Ubudiyah LK II Nomor 3 Tanjung Gusta, Medan Sebagai ------------------------------------------------------------ PEMOHON III ; Dalam hal ini berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 25 Februari 2014 memberi kuasa kepada Azhar Rahim Rivai, S.H., M.H ., dan Syamsudin Slawat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 2 Pesilette, S.H. , keduanya adalah Advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa yang berkantor pada Rivai, Suryono, Pesilette – Advocates & Strategic Consultants beralamat di Menteng Square, Ruko BR-06, Jalan Matraman 30E, Jakarta Pusat, yang bertindak baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama Pemberi Kuasa; Selanjutnya disebut ----------------------------------------------------------- Para PEMOHON ; [1.2] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan; Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan ahli Presiden; Mendengar dan membaca keterangan saksi Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan; Mendengar dan membaca keterangan Bank Indonesia; Mendengar keterangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas); Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Membaca kesimpulan para Pemohon dan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan;
DUDUK PERKARA [1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 26 Februari 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 3 Maret 2014 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 64/PAN.MK/2014 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 25/PUU-XII/2014 pada tanggal 5 Maret 2014 yang telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 7 April 2014 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 April 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 3 I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi 1. Bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian ditegaskan ulang dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4236, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) adalah untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” . Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili _pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: _ a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,... .” 3. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian materiil Undang-Undang ini. II. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon 4. Mengenai kedudukan hukum/ legal standing dari Pemohon, maka mengacu pada ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan: ”Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: _a. perorangan warga negara Indonesia; _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 4 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan _Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara.” Selanjutnya Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan, “ Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” 5. Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah Pemohon memiliki legal standing dalam perkara Pengujian Undang-Undang. Syarat pertama adalah kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua adalah hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang.
Bahwa para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang sah yang status dan kedudukannya diakui dalam hukum, dibuktikan dengan memiliki KTP yang sah vide bukti P-1, bukti P-2, dan bukti P-3;
Bahwa para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang membayar pajak, dibuktikan dengan memiliki NPWP (bukti P-6);
Bahwa para Pemohon adalah pemilik rekening tabungan, yaitu: Bank Tabungan Negara (BATARA) Nomor 00048-01-50-0506996 an. Salamudin, Bank Mandiri Nomor 127-00-0596192-3 an. Ahmad Suryono, dan Bank Mandiri Nomor 106 00 0676654 0 an. Ahmad Irwandi Lubis (bukti P-7);
Bahwa mengacu pada ketentuan yang telah disebutkan, para Pemohon dengan ini menyampaikan legal standing dalam mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111). III. Pengantar 10. Bahwa ketentuan tentang Bank Sentral diatur di dalam Pasal 23D UUD 1945 dimana disebutkan bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 5 susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan Undang-Undang.
Selanjutnya ketentuan mengenai Bank Sentral kemudian diatur dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (UU Bank Indonesia) (bukti P-8).
Posisi independensi Bank Indonesia dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU Nomor 23 Tahun 1999 yang berbunyi “Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen berada di luar pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Independensi ini membawa konsekuensi yuridis logis bahwa Bank Indonesia juga mempunyai kewenangan mengatur atau membuat/menerbitkan peraturan yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang dan menjangkau seluruh bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, Bank Indonesia sebagai suatu lembaga negara yang independen dapat menerbitkan peraturan dengan disertai kemungkinan pemberian sanksi administratif”.
Selanjutnya, disebutkan bahwa “agar independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, kepada Bank Indonesia dituntut untuk transparan dan memenuhi prinsip akuntabilitas publik dalam menetapkan kebijakannya serta terbuka bagi pengawasan oleh masyarakat. Transparansi dan prinsip akuntabilitas publik tersebut dilakukan dengan cara menyampaikan rencana kebijakan untuk tahun yang akan datang dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan moneter untuk tahun sebelumnya serta perkembangan kondisi ekonomi, keuangan dan perbankan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara berkala dan terbuka kepada masyarakat disampaikan informasi yang berkaitan dengan perkembangan ekonomi, moneter dan perbankan”.
Dengan demikian kedudukan independensi Bank Indonesia adalah posisi yang sangat kuat yang merupakan pelaksanaan dari amanat UUD 1945 sehingga independensi kelembagaan dalam pengawasan bank tidak dapat diambil alih lembaga lain.
Bahwa menurut UU Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7 UU Bank Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 6 Indonesia), dimana untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian [Pasal 7 ayat (2) UU Bank Indonesia].
Selain itu untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efisien diperlukan sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat dan aman, serta pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi prinsip kehati-hatian; (sebagaiman tertera dalam konsideran bagian Menimbang huruf C UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia) 17. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta mata uang negara lain, dimana kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan perkembangan laju inflasi, sedangkan kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah dengan mata uang negara lain (Penjelasan Pasal 7 UU Bank Indonesia).
Di samping itu perlu juga diperhatikan bahwa tugas Lender of The Last Resort atau penjamin terakhir dari bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas menurut UU Bank Indonesia tetap berada di tangan Bank Sentral. Demikian pula dalam prakteknya, sangat sulit untuk Bank Sentral menjalankan fungsi Lender of The Last Resort jika pengawasan bank berada di tangan lembaga yang lain. Meskipun telah ada protokol koordinasi krisis, namun pengambilan keputusan Lender of The Last Resort untuk menyelamatkan dan/atau tidak menyelamatkan sebuah bank, tetap berada di tangan bank sentral.
Kemudian untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas antara lain, (a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; (c) mengatur dan mengawasi bank (Pasal 8 UU Bank Indonesia).
Secara khusus tugas “Mengatur dan Mengawasi Bank” diatur dalam ketentuan Pasal 24 sampai dengan Pasal 35 UU Bank Indonesia.
Bahwa UU Bank Indonesia merupakan regulasi yang dibuat untuk menggantikan regulasi yang mengatur tentang Bank Sentral sebelumnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 7 yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (bukti P-9) dimana dalam Undang-Undang tersebut disebutkan tentang dua tugas pokok bank sentral, yaitu pertama, membantu Pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dan kedua, membantu Pemerintah dalam mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas lapangan kerja; guna meningkatkan taraf hidup rakyat (Pasal 7 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 1968).
Kemudian untuk menjalankan tugas pokok tersebut, Bank Sentral menjalankannya berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah, dimana dalam menetapkan kebijaksanaan tersebut Pemerintah dibantu oleh suatu Dewan Moneter [Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968].
Terhadap salah satu tugas Bank Indonesia yaitu “mengatur dan mengawasi bank” yang termaktub dalam Pasal 8 UU Bank Indonesia, kemudian dipisahkan dan diintegrasikan kembali dengan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap Pasar Modal serta Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya dengan membentuk sebuah lembaga bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
OJK sendiri merupakan mandat yuridis Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia, dimana dinyatakan bahwa “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang”.
Mandat yuridis tersebut merupakan rencana besar IMF sebagai bagian dari paket kerja sama dengan Indonesia, dimana IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga yang terpisah dari Departemen Keuangan dan Bank Sentral yang diharapkan dapat menyiapkan industri perbankan nasional agar mampu menjadi pelaku global dengan inspirasi ( Financial Supervisory Agency ) FSA di Inggris, yang di kemudian hari diketahui bahwa FSA gagal total dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Proses lahirnya lembaga OJK mendapat dukungan sangat besar dari berbagai lembaga keuangan Internasional. Dalam buku Kudeta Putih “Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 8 Indonesia” (Salamuddin Daeng, Syamsul Hadi, PhD, Indonesia Berdikari, 2012), menyebutkan bahwa OJK adalah proyek LoI IMF 1998 - 2003 yang harus dibentuk untuk memenuhi dan memperkuat pasar keuangan. Proyek menyukseskan OJK kemudian dilanjutkan melalui Development Policy Loan (DPL) Bank Dunia, dan proyek Technical Assistance (TA) Asian Development Bank (ADB) melalui Proyek Development of Financial Services Supervisory Institution, Asian Currency Crisis Support Facility (ACCSF), Financial Governance and Social Security Reform (FGSSR) dan lain sebagainya. Dengan demikian kehadiran OJK dicurigai akan melapangkan bagi jalannya dominasi modal asing dalam sektor keuangan di negara ini. (bukti P-10).
Bahwa UU Bank Indonesia yang menjadi dasar pembentukan OJK adalah UU yang dimaksudkan untuk menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan bank dan bukan merupakan Undang-Undang yang mengatur pengawasan sektor jasa keuangan non bank dan jasa keuangan lain.
UU Bank Indonesia baik secara keseluruhan atau secara khusus melalui Pasal 34 ayat (1) tidak dapat dijadikan dasar sebagai pembuatan undang- undang yang mengatur pengawasan bank, pasar modal dan industri keuangan non bank. Sektor jasa keuangan non bank dan jasa keuangan lainnya telah diatur dalam sejumlah Undang-Undang yang secara khusus mengatur sektor dimaksud berikut pengawasannya.
Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia bukan merupakan produk hukum yang lebih tinggi kekuatannya atau lebih besar mandatnya dibandingkan dengan Undang-Undang yang secara khusus mengatur sektor jasa keuangan non bank dan jasa keuangan lain, berikut seperangkat kewenangan pengawasannya. Dengan kata lain, Undang-Undang yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan dan jasa lain memiliki dasar konstitusional yang lebih kuat tetapi dinegasikan dan dikalahkan oleh UU OJK yang sama sekali tidak memiliki landasan konstitusional.
Fungsi pengawasan dan pengaturan bank, sejatinya merupakan tugas konstitusional Bank Indonesia yang diturunkan langsung dari ketentuan Pasal 23D UUD 1945, yang diatur melalui UU Bank Indonesia, sehingga Bank Indonesia lebih memiliki LANDASAN KONSTITUSIONAL dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 9 30. OJK kemudian merangkum fungsi, tugas, kewenangan dan institusi pengaturan dan pengawasan bank (bersama dengan kegiatan jasa keuangan di Pasar Modal, dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya) ke dalam salah satu bagian dari keseluruhan fungsi, tugas dan wewenang OJK sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 UU OJK.
Padahal kegiatan jasa keuangan di Pasar Modal, dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merupakan kegiatan keuangan yang bersumber dari pengaturan peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 (yaitu UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam lingkup BAPEPAM-LK) sehingga nilai konstitusionalnya tidak setara dengan kegiatan perbankan.
Meskipun lahir dari amanat UU BI namun OJK memiliki kedudukan yang independen sama dengan BI. Jika melihat kedudukan, tugas, dan fungsi OJK dalam sektor keuangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan OJK dari sisi kelembagaan setara dengan BI.
Otoritas yang besar yang dimilikinya menjadikan OJK seperti negara dalam negara. Lembaga ini memiliki hak membuat regulasi, memberikan sanksi, dan menentukan anggaran mereka sendiri. Kekuasaan tersebut berpotensi menjadikan OJK sebagai sindikat keuangan baru yang mengeruk dana rakyat untuk kepentingan memperbesar kekuasaanya sendiri.
Selain itu pasal-pasal mengenai pendanaan melalui pungutan kepada jasa keuangan yang menggunakan model self regulating organization mengandung bahaya hilangnya amanat publik dalam OJK. Atas dasar itu, OJK dapat menjadi “tangan yang merampas” ( grabbing hand ) daripada “tangan yang membantu” ( helping hand ).
Keberadaanya justru menjadi parasit dalam ekonomi, merugikan nasabah industri keuangan melalui pemerasan sistematis dan masif terhadap ekonomi nasional dan keuangan rakyat. OJK memungut pungutan dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 10 jumlah besar kepada lembaga-lembaga keuangan perbankan, dan lembaga keuangan non bank yang didasarkan pada aset usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). III. Inkonstitusionalitas UU OJK terhadap UUD 1945 III.1. Pasal 1 angka 1 UU OJK tentang Independensi OJK 36. Bahwa frase ”independen” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK dicangkok secara bulat dari ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia, dimana disebutkan bahwa “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Bahwa frase independen atau independensi hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”.
Dengan demikian hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, dimana OJK secara konsep sangat jauh berbeda dengan bank sentral (vide Bab Pengantar permohonan a quo ), sehingga frase independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
Selain itu frase “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tidak menemukan cantolannya dalam konsideran UU OJK, dimana UU OJK mendasarkan salah satunya pada Pasal 33 UUD 1945. Pertentangan ini akan jelas nampak jika Pasal 33 UUD 1945 yang dimaksud adalah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Bahkan jika konsideran yang dimaksud adalah Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Perekenomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 11 menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”, frase “independen” tidak menemukan induknya.
Konsideran UU OJK yang menggunakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai cantolan mengharuskan OJK terintegrasi dengan sistem perekenomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu independensi OJK menjadi pertanyaan besar, untuk kepentingan siapa independensi itu dibuat? 41. Bahwa independen hanya dikenal melalui turunan regulasi yang merujuk dan mengacu pada ketentuan Pasal 23D UUD 1945, dimana dapat dimungkinkan adanya Bank Sentral yang independen. Namun entitas OJK bukan turunan dan/atau lembaga operasional dari fungsi dan tugas Bank Sentral, dimana juga OJK mencakup tugas Bapepam LK, sehingga frase “independen” bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
UUD 1945 hasil amandemen maupun UUD 1945 (asli) tidak pernah mengenal entitas lembaga yang mengatur sektor keuangan (sebagai industri jasa) sebagai turunan dan operasional fungsi dan kewenangan Bank Sentral, dimana dengan kata lain lembaga/otoritas yang tersebut sama sekali tidak dikenal oleh konsitusi dan/atau memiliki aspek konstitusionalitas. Hal tersebut dibuktikan sendiri oleh UU OJK dengan mendasarkan konsideran UU OJK pada Pasal 33 UUD 1945 [lihat konsideran “Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 UUD 1945”].
Dengan mendasarkan pada Pasal 33 UUD 1945, OJK dengan sengaja telah mereduksi fungsi dan kewenangannya dan/atau patut diduga memiliki disorientasi fungsi, dimana OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan, Pasal 1 angka 1 UU OJK setidaknya inkonstitusional terhadap ketentuan Pasal 23D UUD 1945, dan Pasal 33 UUD 1945. III.2. Pasal 5 UU OJK tentang Fungsi Pengaturan dan Pengawasan 45. Menelaah ketentuan Pasal 5 UU OJK yang berbunyi “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”, haruslah terlebih dahulu membaca ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia yang menyatakan bahwa “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dibentuklah sebuah lembaga yang berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Bahwa dalam konstruksi tersebut di atas, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk dalam sektor jasa keuangan yang pengaturan dan pengawasannya akan dilakukan secara independen dan terpisah, dimana sebelumnya menjadi domain kewenangan dari Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Bank Indonesia.
OJK sendiri memiliki dua wewenang pokok, yaitu Pengaturan dan Pengawasan terhadap hampir semua jasa keuangan. Dalam hal Pengaturan, OJK dapat melansir berbagai kebijakan dan ketentuan baru dalam sektor keuangan. Sementara dalam hal pengawasan, OJK memiliki wewenang yang luas termasuk diantaranya pemeriksaan, penyidikan, perijinan dan penegakan hukum. Dari segi isi dan cakupan, UU OJK bukan saja untuk mengawasi industri perbankan, tetapi juga mengawasi industri pasar modal dan industri keuangan non bank.
Secara konstitusional aspek Pengaturan dan Pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK (Perbankan, Pasar Modal dan Asuransi serta Industri Keuangan Non-Bank) berasal dari turunan yang asimetris. Perbankan sendiri merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945 yang mengatur tentang bank Sentral, sedangkan Pasar Modal dan Asuransi serta lembaga keuangan lainnya berasal dari Undang-Undang sektoral.
Dari sisi subtsansi, UU OJK tidak merubah konstruksi landasan operasional jasa keuangan, dimana UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 Dana Pensiun, UU Asuransi masih berlaku. Bahkan kualifikasi kejahatan dalam UU OJK juga masih mengacu kepada Undang-Undang operasional tersebut, seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Terorisme, Fraud dan Insider Trading . Namun dari sisi kewenangan dan fungsi, terdapat pelepasan kewenangan atas pengaturan dan pengawasan perbankan dari BI ke OJK, selain juga pengaturan dan pengawasan jasa keuangan yang dilakukan oleh BI dan Bapepam LK ke OJK.
Pembagian kewenangan antara OJK dan BI sebenarnya telah dijelaskan dalam UU OJK, dimana pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Sedangkan pengaturan dan pengawasan macroprudential , yaitu pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam UU OJK merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential , OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral ( moral suasion ) kepada perbankan.
Namun perlu diingat bahwa aspek microprudential dan macroprudential , memiliki koherensi yang sejatinya tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter dan pengawasan perbankan harus menjadi satu kesatuan baik dari sisi visi dan kelembagaan. Kedua aspek tersebut harus bersatu agar terjadi integrasi dalam sistem keuangan dikarenakan kebijakan moneter seperti kebijakan suku bunga dan kebijakan Rasio Cadangan Wajib ( Reserve Requirement Ratio ) sangat berkaitan dengan hidup matinya sektor keuangan perbankan. Memisahkan kebijakan moneter di tangan Bank Sentral dan kebijakan pengawasan perbankan di tangan OJK akan menimbulkan instabilitas keuangan, baik karena kebijakan yang tumpang tindih maupun karena conflict of interest antara Bank Sentral dan OJK sebagai dua lembaga yang sama-sama independen dan setara.
Fungsi OJK yang termaktub dalam ketentuan Pasal 5 merupakan upaya pemisahan pengawasan perbankan dari otoritas moneter yaitu Bank Indonesia, dimana perubahan tersebut dapat menimbulkan instabilitas dan efektivitas Bank Indonesia dalam memastikan stabilitas keuangan. Meskipun terdapat protokol koordinasi yang mapan antara Bank Indonesia Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 dan OJK dan salah satu anggota Dewan Komisioner OJK adalah ex officio Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengawasan, namun penghapusan fungsi dan supervisi mikroprudensial perbankan berpotensi besar akan mempertajam konflik kepentingan kebijakan moneter– perbankan dan menyisakan Bank Indonesia sebagai lembaga yang tidak berdaya.
Selain itu ketentuan Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu tangan dimana OJK dapat (1) Menciptakan sistem dan regulasi, (2) Melaksanakan regulasi, (3) Mengawasi regulasi, dan (4) Menjatuhkan sanksi.
Penumpukan kewenangan dalam satu tangan/badan dapat menimbulkan potensi moral hazard , dimana kemudian OJK di- setting untuk independen sehingga pengambilan keputusan, kebijakan dan akuntabilitas organisasi menjadi sulit terkontrol.
Serangkaian fungsi OJK tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 UU OJK juga berpotensi untuk menjadi bias, karena tujuan dibentuknya lembaga OJK tidak tegas dan jelas. Berbeda dengan Bank Indonesia yang bertujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, rumusan tujuan OJK terlalu umum dan tidak spesifik, dimana seharusnya OJK juga bertujuan untuk ikut serta menjaga stabilitas keuangan. Dalam UU OJK , disebutkan tujuan OJK agar seluruh kegiatan jasa keuangan (a) terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; (b) mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 5 UU OJK bertentangan dengan Pasal 23D UUD 1945. III.3. Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Tentang Penggunaan APBN dan Pungutan OJK 58. Bahwa menurut ketentuan Pasal 34 ayat (2) anggaran OJK salah satunya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 59. Aspek penggunaan APBN sendiri, terdiri dari dua aspek utama, yaitu:
Penggunaan APBN untuk pendanaan OJK, dan 2) Penggunaan APBN pada saat terjadi krisis industri keuangan.
Aspek pertama, terkait dengan pendanaan OJK, dimana sampai tahun 2016 masih akan menggunakan APBN (bukti P-14), artinya status hukum dana APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid (setidaknya dari cabang kekuasaan eksekutif), dan juga sifat OJK yang independen. Dapat dipastikan terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara yang dilakukan oleh OJK, setidaknya saat mereka menggunakan dana APBN sampai dengan saat OJK mendapat pemasukan sendiri dari pungutan industri keuangan.
Penggunaan APBN yang tidak jelas kemanfaatannya ini jelas-jelas merugikan para Pemohon dikarenakan sebagian dari unsur APBN berasal dari sumbangan pembayar pajak yang dilakukan secara patuh oleh para Pemohon.
Aspek kedua dalam penggunaan APBN adalah para Pemohon berkeyakinan bahwa jika memang benar-benar terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin (kembali) dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis, dimana para Pemohon sangat berkepentingan dengan selamatnya APBN dikarenakan sebagian dari unsur APBN berasal dari sumbangan pembayar pajak yang dilakukan secara PATUH oleh para Pemohon.
Meskipun telah terdapat protokol koordinasi saat terjadi krisis, tetapi secara substansi seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur. Hal ini menimbulkan celah yang sangat besar bagi terulangnya kejahatan perbankan yang melibatkan kekuasaan/otoritas.
Pada saat krisis terjadi siapakah otoritas yang lebih memiliki kewenangan dalam menghadapi krisis: BI atau OJK? Lebih terpenting lagi adalah, dalam situasi krisis otoritas mana yang lebih memiliki tanggung jawab jika terjadi penyelewengan kewenangan dan perampokan keuangan negara: BI atau OJK? Menjadi masalah kemudian adalah, baik BI dan OJK Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 keduanya bersifat independen, dan hanya memiliki fungsi koordinatif dalam melaksanakan protokol krisis. Lagi-lagi para Pemohon akan sangat dirugikan dalam 2 hal: pertama, tidak terjaminnya dana para Pemohon di tabungan, serta kedua, kemungkinan hilangnya dana pajak para Pemohon di APBN.
Para Pemohon sangat berkepentingan dengan pengelolaan APBN yang baik dan benar serta diwujudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dijamin oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
Selain kedua aspek pendanaan melalui APBN tersebut di atas, dalam pendanaannya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 37, OJK akan mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Perusahaan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK, dimana pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. OJK akan mengelola dan mengadministrasikan pungutan secara akuntabel dan mandiri, termasuk untuk membiayai tugas pengawasannya. Dalam hal sumber anggaran tersebut sangat terbuka peluang terjadi abuse of power . Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya? 67. Dalam hal terjadi kelebihan hasil pungutan, dikatakan akan diserahkan sebagai penerimaan negara. Namun dalam nomenklatur APBN, penerimaan OJK ini akan ditempatkan sebagai apa? Jika memang akan ditempatkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka patut dipertanyakan sejauh mana Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) akan melakukan audit? Apalagi OJK adalah lembaga independen sehingga terdapat celah yang sangat besar terjadinya penyimpangan sebagaimana dahulu pernah terjadi pada dana non budgeter Bulog .
Pasal 37 tersebut dengan kata lain akan menimbulkan dampak: (a) Mengurangi kemandirian OJK, karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) Sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan industri jasa dan keuangan.
Konstruksi pendanaan tersebut di atas bertumpu pada model dan konsep self regulation , dan dengan semakin menguatnya suara dan pengaruh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 sektor keuangan dalam pengambilan kebijakan di Indonesia, maka bahaya terjadinya pembajakan regulasi ( regulatory capture ) oleh elit-elit keuangan dominan akan menjadi semakin nyata, dimana seharusnya pengaturan dan pengawasan memerlukan penilaian oleh para pengawas dan regulator yang bertindak secara fair.
OJK cenderung menjauhkan peran negara dan memperbesar peran pasar keuangan. Akibatnya, kepentingan publik untuk adanya stabilitas keuangan, penurunan kejahatan keuangan dan perlindungan konsumen akan lebih sulit dicapai.
Selain itu para Pemohon juga mempertanyakan apa dasar pemikiran dari penentuan jumlah kutipan sebesar 0,045 % dari total aset industri keuangan serta profesi dan lembaga lain dengan jumlah yang bervariasi? (Bukti P-11) Dan yang lebih penting apa sumbangsihnya terhadap penyelamatan krisis keuangan, jikalau toh pada akhirnya ketika krisis benar-benar terjadi OJK tidak dapat menjamin institusi keuangan dapat terhindar dari krisis? 72. Bahkan secara eksplisit pelaku industri keuangan (perbankan) juga mempertanyakan kutipan OJK tersebut, dan apa nilai manfaatnya bagi mereka? (bukti P-12). Yang tidak kalah penting adalah persepsi yang mereka pahami terkait dengan siapa pihak yang sebenarnya lebih “layak” dikenakan kutipan tersebut, dimana mereka berpendapat seharusnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang lebih layak dikenai mengingat fungsi dan perannya sebagai jangkar dalam hal terjadi krisis.
Selain itu, industri perbankan yang tergabung dalam Perhimpunan Bank- Bank Nasional (PERBANAS) dan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA) juga mengkhawatirkan adanya pembebanan biaya kutipan OJK kepada nasabah, sehingga akan menimbulkan kerugian dan potensi kerugian kepada para Pemohon (bukti P-13).
Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, sebagaimana juga telah diatur oleh Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 18 75. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 23A UUD 1945. IV. Kerugian Dan Potensi Kerugian Para Pemohon 76. Bahwa menurut yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 19 Mei 2005; Nomor 010/PUU-III/2005 tanggal 19 Mei 2005; Nomor 015/PUU-III/2005 tanggal 12 Desember 2005, kerugian yang timbul karena berlakunya suatu Undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan demikian syarat kerugian konstitusional para Pemohon dapat dijelaskan sebagai berikut:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Bahwa para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang memiliki kedudukan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat ( UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
Bahwa dalam konteks kedudukan hukum tersebut, para Pemohon memiliki hak konstitusionalitas untuk berperan serta Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 19 dalam memberikan aspirasi, review konstruksi peraturan perundang-undangan serta implementasi peraturan perundang- undangan terhadap konstitusi;
Bahwa para Pemohon juga memiliki hak konstitusional, sebagai pembayar pajak yang patuh untuk mendapatkan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara terbuka dan transparan dari Pemerintah sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;
Bahwa para Pemohon melihat adanya kemungkinan pemborosan, salah arah, perampokan terselubung dan tersistem serta perbuatan sewenang-wenang dari OJK terhadap penggunaan APBN serta tumpang tindih kewenangan sebagaimana nanti akan kami jelaskan dalam paparan selanjutnya;
Dapat disimpulkan bahwa para Pemohon menilai memiliki hak konstitusional setidaknya di dua pasal dalam UUD 1945, yaitu:
Pasal 27 ayat ( dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji:
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berbunyi, “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”;
Pasal 5 UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berbunyi, “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 3) Pasal 34 UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berbunyi, (1) Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK.
Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner.
Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berbunyi, (1) OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
Serta frase “..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011.
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi:
Kerugian para Pemohon dikarenakan perbankan memungut pungutan OJK kepada nasabah;
Kerugian para Pemohon dikarenakan APBN akan digunakan untuk membiayai OJK selama fase awal sebelum pungutan akan penuh diberlakukan kepada seluruh pelaku industri keuangan;
Kerugian para Pemohon dikarenakan APBN akan digunakan untuk membiayai bailout jika terjadi krisis di industri keuangan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 d. adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji:
Diberlakukannya Pasal 34 UU Nomor 21 Tahun 2011; dan
Diberlakukannya Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011.
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi:
Dari sisi pungutan, kerugian para Pemohon tidak akan terjadi lagi jika permohonan ini dikabulkan karena industri perbankan tidak perlu memungut kepada para Pemohon yang notabene adalah nasabah perbankan.
Dari sisi penggunaan APBN, kerugian para Pemohon tidak perlu terjadi karena APBN tidak perlu membiayai OJK dan mem- bail out jika __ terjadi krisis di industri keuangan 78. Selain itu terdapat aspek kerugian lain para Pemohon, dimana dari sisi operasional OJK juga menyisakan beberapa lubang permasalahan. Dengan adanya OJK, konflik kepentingan mengenai kebijakan dan pengawasan jasa keuangan tidak berarti akan berhenti, hanya akan berpindah dari dalam BI ke dalam OJK atau antara OJK dan BI. Contoh kasus dalam kasus bank gagal, meskipun acuan dan definisi bank gagal sama sama antara berbagai lembaga (BI, OJK dan LPS), namun tindakan kepada bank tersebut kemungkinan akan bisa berbeda. Bisa saja satu pihak akan menutup, pihak lainnya akan menambahkan modal. Lagi-lagi para Pemohon sebagai konsumen perbankan yang akan dirugikan dalam keadaan ini.
Dalam UU OJK juga tidak ada petunjuk atau arah yang jelas bahwa OJK harus memberikan sumbangan ke arah tercapainya fungsi intermediasi perbankan dan meningkatnya inklusi finansial di Indonesia. Kurang dari separuh penduduk memiliki tabungan, dengan kata lain bagaimana suku bunga perbankan dan efisiensi perbankan dapat ditingkatkan agar perbankan lebih mampu merangkul dan menyediakan akses finansial. Para Pemohon sebagai konsumen perbankan tidak memiliki daya tawar apapun terhadap suku bunga perbankan dan akses finansial, sehingga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 selamanya para Pemohon sebagai konsumen perbankan akan menjadi objek yang dieksploitasi.
Dari sisi akuntabilitas, OJK juga menyisakan pertanyaan mengenai sejauh mana kinerja OJK pada tiga tujuan substansinya, yaitu: (a) pencegahan krisis finansial, (b) pengurangan kejahatan finansial dan (c) perlindungan konsumen dan perlindungan dana konsumen. Dengan demikian para Pemohon merasa sangat dirugikan dengan tidak jelasnya alur pertanggungjawaban OJK, karena selain independen, lembaga ini akan memiliki kecenderungan super body. Dengan hanya mengandalkan akuntabilitas melalui parlemen, akan sangat sulit untuk meletakkan OJK dalam kepentingan pembelaan terhadap konsumen dan dana konsumen, yang tidak lain sebagiannya adalah merupakan dana dari para Pemohon.
Selain itu dari sisi keterwakilan kepentingan publik di OJK juga perlu dipertanyakan, mengingat yang terpilih sebagai Dewan Komisioner berasal dari pelaku industri jasa keuangan. Dengan demikian bagaimana memastikan bahwa mereka dapat menjadi pengawas dan pengatur jika mereka berasal dari lembaga yang sama yang hendak diatur? Kemungkinan terjadinya moral hazard juga akan sangat besar, dan para Pemohon melihat gejala ke arah sana sudah mulai terjadi dan melihat indiasi yang sangat kuat.
Kemudian hal lain yang akan menjadi permasalahan adalah kualitas informasi yang diberikan oleh pelaku jasa keuangan. Sebagai contoh perbankan pada saat kredit macet tahun 1997, pengalaman BLBI menunjukkan bahwa jaminan yang diberikan oleh perbankan ternyata nilainya jauh sangat rendah dibanding dengan dana talangan yang diterima, sehingga negara dirugikan secara masif dan sangat besar.
Kesimpulannya, para Pemohon cukup menganggap bahwa UU OJK dan beberapa ketentuan pasal di dalamnya telah menimbulkan dan dapat menimbulkan kerugian konstitusional para Pemohon. V. Provisi Bahwa mengingat sangat penting dan fundamental kepentingan hukum, akibat dan potensi akibat yang ditimbulkan dengan beroperasinya OJK serta adanya penggunaan dan kerugian keuangan negara secara masif, para Pemohon menginginkan agar: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 1. Operasional OJK dihentikan untuk sementara, sampai ada putusan Pengadilan yang bersifat final dan mengikat;
Bank Indonesia mengambil alih sementara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sebagaimana merupakan amanah langsung dari Pasal 23D UUD 1945 sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat;
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam terkait dengan adanya kerugian keuangan negara, potensi kerugian keuangan negara, serta memberikan rekomendasi siapa saja para pemangku kebijakan yang turut serta dalam pengambilan kebijakan tersebut. VI. Petitum Dalam Provisi 1. Menerima permohonan provisi para Pemohon untuk seluruhnya;
Menghentikan untuk sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat;
Memerintahkan Bank Indonesia untuk mengambil alih sementara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat;
Memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam kepada OJK terkait dengan adanya kerugian keuangan negara, potensi kerugian keuangan negara, serta memberikan rekomendasi siapa saja para pemangku kebijakan yang yang turut serta dalam pengambilan kebijakan tersebut. Dalam Pokok Perkara 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111) khususnya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37, bertentangan dengan UUD 1945;
Menyatakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111) khususnya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 4. Menyatakan sepanjang frasa “..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111) bertentangan dengan UUD 1945;
Menyatakan sepanjang frasa “..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 , Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ) [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang telah diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14c sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Salamuddin, S.E.
Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Ahmad Suryono, S.H.
Bukti P-3 : Fotokopi Ahmad Irwandi Lubis, S.H.
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Bukti P-6a : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Salamuddin;
Bukti P-6b : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ahmad Suryono;
Bukti P-6c : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ahmad Irwandi Lubis;
Bukti P-7a : Fotokopi Kutipan Buku Tabungan Bank BTN Batara atas nama Salamudin, S.E;
Bukti P-7b : Fotokopi Kutipan Buku Tabungan Bank Mandiri atas nama Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 Ahmad Suryono, S.H;
Bukti P-7c : Fotokopi Kutipan Buku Tabungan Bank Mandiri atas nama Ahmad Irwandi Lubis, S.H;
Bukti P-8 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Bukti P-9 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral;
Bukti P-10 : Fotokopi Kutipan Buku Dengan Judul “Kudeta Putih”, Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia, Penulis Syamsul Hadi, Dkk;
Bukti P-11 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P-12a : Fotokopi berita online Kontan Online “Industri asuransi menilai iuran OJK terlalu besar”, Rabu, 09 Oktober 2013;
Bukti P-12b : Fotokopi Berita online Infobanknews.com “Iuran OJK Bebani Operasional Bank”, Selasa, 25 Februari 2014;
Bukti P-12c : Fotokopi berita online Tribunnews.com “AEI Menolak Besaran Iuran Untuk Emiten”, Senin, 17 Desember 2012;
Bukti P-12d : Fotokopi online bisnis.com “Pungutan OJK Memberatkan, Industri Keuangan Menolak”, Jum’at, 04 Oktober 2013;
Bukti P-13a : Fotokopi berita online Investor Daily “Perbanas Khawatir Iuran OJK Dibebankan ke Nasabah”, Sabtu, 19 Februari 2014;
Bukti P-13b : Fotokopi berita online di Jurnas.com “Dirut BNI: Iuaran OJK Dibebankan Pada Nasabah”, Kamis, 20 Februari 2014;
Bukti P-14a : Fotokopi berita online Bisnis.com “OJK Ketergantungan kepada APBN Sampai 2016”, Kamis, 22 November 2012;
Bukti P-14b : Fotokopi berita online Inilah.com “OJK Bakal Sedot APBN 5 Tahun”, Selasa, 17 April 2012;
Bukti P-14c : Fotokopi berita online hukum online.com, DPR Setuju Pagu Anggaran OJK Tahun 2014, Selasa, 24 Februari 2014; Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon dalam persidangan tanggal 18 September 2014, dan tanggal 8 Oktober 2014 mengajukan 3 (tiga) orang ahli, yakni Dr. Syamsul Hadi, MA., Ph.D, Prof. Dr. Sri Edi Swasono, dan Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H., yang menyampaikan keterangan lisan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Dr. Syamsul Hadi, MA., Ph.D Keterangan ahli ini terutama didasarkan pada keberadaan ahli selaku salah seorang penulis buku berjudul Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia, yang diterbitkan di Jakarta oleh Penerbit Indonesia Berdikari Tahun 2012; Dalam bab III buku tersebut berjudul "Pengaruh Asing dalam Liberalisasi Serta Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia" kami menyampaikan terkait dengan tugas dan wewenang dari OJK sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 201, yang kami nilai sangat liberal karena Undang-Undang itu cenderung mengarah pada pengurangan kontrol negara dalam sektor keuangan yang sangat vital peran dan fungsinya dalam kehidupan ekonomi masyarakat dan bangsa. Dengan adanya UU OJK ini, maka peran Bank Indonesia sebagai otoritas tunggal pengawas dan pengatur bank yang diemban sejak tahun 1953, beralih ke lembaga baru yang bernama Otoritas Jasa Keuangan atau OJK; Pengaruh asing dalam pembuatan OJK yang ahli pandang menyalahi prinsip-prinsip pengaturan ekonomi dalam UUD 1945 dapat ditelusuri dari ide pembentukan lembaga pengawasan di sektor keuangan yang sebenamya sudah mulai ada sejak krisis moneter melanda Indonesia, di saat IMF berperan sangat sentral dalam ekonomi nasional dengan cara-cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip pengaturan ekonomi yang diamanatkan UUD 1945. Dalam hal ini IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga pengawas keuangan yang terpisah dari kementerian keuangan dan bank sentral, dengan mengambil model Finansial Services Authority (FSA) di Inggris. Padahal kenyataannya, FSA sendiri justru dipandang gagal melaksanakan tugas dan wewenangnya, khususnya ketika Inggris dihadapkan kepada krisis finansial global 2008. Belakangan Inggris justru mengembalikan sistem pengawasan bank dari model otoritas jasa keuangan atau FSA ke Bank Sentral; Keinginan IMF tersebut telah diakomodasi dalam pasal 34 dari UU Nomor 23 Tahun 1999, dimana dijelaskan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Pembentukan lembaga ini dipertegas dengan adanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 komitmen Indonesia dalam Letter of Intent (Lol) tertanggal 13 Desember 2001, dimana pemeritah akan membuat timetable yang jelas bagi pembentukan OJK; Terkait dengan hal itu, Perwakilan IMF di Indonesia, David Nellor, meminta DPR untuk membantu pemerintah dalam upaya menyelesaikan pembahasan RUU OJK sesuai Lol yang disepakati 18 Maret 2003 (Syamsul Hadi, Salamuddin Daeng, _dkk, Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing di Indonesia, Jakarta: _ Indonesia Berdikari, 2012, hal. 69) . Tindak lanjut dari komitmen ini, pada tanggal 22 November 2011, telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253; Lembaga lain yang mendorong kemunculan Undang-Undang tentang OJK adalah Asian Development Bank (ADB), yang mendukung rencana pemerintah untuk membentuk lembaga OJK dalam bentuk memberi pinjaman dan menggalang dana dari negara-negara donor. Namun, syaratnya, pemerintah harus mengajukan rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Head Principal Financial Sector Specialist ADB, Michael W Ryan, bahwa ADB menyiapkan dana dalam program pinjamannya (loan) kepada pemerintah mengenai rencana pembentukan OJK. Sebagai dukungannya kepada rencana pembentukan OJK, ADB bekerjasama dengan negara-negara donor lainnya akan memastikan perencanaan dan jadwal pembentukan OJK agar terus berjalan sesuai dengan rencana. Menurut Michael W Ryan, fungsi OJK ini sangat penting guna memperbaiki sistem regulasi dan supervisi perbankan (RUU OJK Harus Segera Diajukan Ke DPR" dalam Suara Karya 18 Juni 2003 ); Dikatakan bahwa tujuan keseluruhan dari bantuan teknis yang diberikan ADB adalah untuk mengkonsolidasikan dan memperkuat kerangka peraturan dan pengawasan dengan mendukung pembentukan OJK untuk memberikan pengawasan yang efektif dan efisien di sektor keuangan. Output yang diharapkan dari bantuan teknis (TA) ADB adalah untuk mendukung transisi dari model multiagency mejadi model single agency untuk regulasi keuangan dan pengawasan. Di dalamnya termasuk penyusunan dan dukungan untuk pelaksanaan peraturan OJK, anggaran operasional awal, struktur biaya, organisasi, teknologi informasi, sumber daya manusia dan rencana pelatihan staf. Technical Assistance itu juga dirancang untuk memberikan dukungan teknis dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 saran dalam mengarahkan regulasi di tingkat parlemen dan dalam memperkenalkan fitur kunci UU ini untuk profesional di bidang industri dan pemerintahan; Selain ADB, Bank Dunia menjadi salah satu lembaga finansial internasional yang terlibat dalam proses pembentukan OJK. Undang-Undang OJK merupakan salah satu rekomendasi kebijakan yang disebutkan secara eksplisit dalam program Development Policy Loan (DPL) ketiga. Development Policy Loan edisi ketiga diluncurkan oleh Bank Dunia pada tanggal 20 November 2006 ( Bank Dunia, Program Document, On a Proposed Loan, in Amount of $ 600 Million to Republic of Indonesia for a Third Devlopment Policy Loan, 2006, hal. 32) . Nominal bantuan berkisar 600 juta dollar diberikan oleh Bank Dunia kepada Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari paket pinjaman DPL yang di dalamnya menyaratkan percepatan realisasi Undang- Undang OJK. Berikut ini merupakan kutipan yang termuat dalam dokumen program DPL edisi ketiga: "The Bank Indonesia Law No. 23/1999 was amended in 2003 with the objective of transferring the supervisory role of the banking sector from Bank Indonesia to OJK by the end of2010."* [UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia telah diubah pada tahun 2003 dengan tujuan untuk mentransfer fimgsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada OJK pada akhir tahun 2010] Karena itu ahli berpandangan bahwa terbentuknya OJK bukanlah didasarkan pada upaya untuk melaksanakan prinsip-prinsip pengaturan ekonomi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, namun lebih untuk melayani kepentingan IMF, Bank Dunia, dan negara-negara investor. OJK yang merupakan gabungan lembaga pengawasan, asuransi, pasar modal, leasing, multi finance , yang dengan demikian menjadi lembaga yang memiliki peran sangat besar atau super body yang tidak benar-benar ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan bangsa ini, namun lebih untuk memperkuat pasar keuangan yang makin terintegrasi dalam sistem yang sifatnya mengglobal sehingga cukup kuat untuk menjamin kepentingan investor yang bermain di pasar keuangan Indonesia, khususnya kalangan investor internasional. Dengan kata lain, keberadaan Undang-Undang tentang OJK merupakan sebuah bentuk dari pelembagaan kepentingan asing di Indonesia; Keterlibatan lembaga-lembaga asing seperti IMF, ADB dan Bank Dunia dalam proyek menyusunan OJK bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 perekonomian nasional sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional". Keterlibatan lembaga- lembaga asing baik dalam hal pengarahan substansi maupun pendanaan dalam proses menuju lahirnya Undang-Undang ini jelas tidak sejalan dengan amanat konsitusi bagi terlaksananya penyelenggaraan demokrasi ekonomi yang di antaranya harus didasarkan pada prinsip "kemandirian", dalam hal ini kemandirian dalam pembuatan kebijakan. Karena proses pembuatan kebijakan itu tidak didasarkan pada prinsip kemandirian sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, maka produk kebijakan yang dihasilkan berupa keberadaan OJK ini dapat menjadi perpanjangan tangan institusi keuangan global dalam rangka membuka secara luas pasar keuangan nasional bagi penguasaan asing; Ditinjau dari sisi substansi, OJK lahir di atas filosofi neoliberal yang pada prinsipnya ditujukan untuk menghilangkan peran dan campur tangan negara dalam perekonomian. Kedudukan negara secara substantif lalu digantikan oleh lembaga independen dan otonom, yang bekerja untuk melakukan liberalisasi pasar keuangan yang merupakan bagian sentral dari ideologi ekonomi neoliberal; Sebagaimana seringkali dikemukakan oleh Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, spirit neoliberal yang berupaya mengurangi peran dan campur tangan negara dalam perekonomian adalah bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan" mengamanatkan terlaksananya tata pembangunan ekonomi yang menempatkan negara pada posisi yang sentral, sebagai pelaksana asas "usaha bersama atas dasar kekeluargaan". Maka kedudukan independen lembaga OJK sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2011 adalah bertentangan dengan substansi dan semangat yang terkandung dalam UUD 1945 yang mengharuskan negara berperan aktif dalam "menyusun" ( Lihat Sri-Edi Swasono, "Sistem Ekonomi Nasional untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat", makalah seminar di BAPPENAS, 27 Desember 2007 ) perekonomian nasional dengan asas "usaha bersama atas dasar kekeluargaan" yang diabdikan kepada kepentingan rakyat, dan bukan kepentingan investor keuangan, khususnya investor asing; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 Secara konstitusional keberadaan OJK sebagai institusi keuangan superbody dan independen sebenamya juga tidak memiliki pijakan yang absah di dalam konstitusi Indonesia. Di dalam UUD 1945 hanya diatur tentang independensi Bank Indonesia (Bl) sebagai bank sentral. UU Nomor 21 tahun 2011 ini telah membuat peran Bank Indonesia sebagai otoritas tunggal pengawas dan pengatur bank yang diemban sejak tahun 1953 telah dialihkan kepada OJK sebagai sebuah lembaga yang bersifat super body ; Sebagai lembaga yang memiliki kedudukan setara dan bahkan memiliki otoritas yang lebih luas dibandingkan Bl, keberadaan OJK telah menyalahi amanat konstitusi. Fungsi pengawasan dan pengaturan bank seharusnya merupakan tugas konstitusional Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 23D UUD 1945, yang menyatakan bahwa "Negara memiliki satu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan Independensinya diatur dengan Undang-Undang". Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi bank sentral adalah melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Dengan demikian maka fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak dapat diganggu gugat atau digantikan oleh lembaga manapun. Pemisahan tugas moneter (ditangan Bank Indonesia) dengan pengawasan perbankan di tangan OJK akan menyebabkan tidak terintegrasinya sistem keuangan yang dapat berdampak pada stabilitas keuangan; Di samping itu, lembaga baru bernama OJK ini sudah pasti membutuhkan biaya yang banyak baik dari segi operasional, yang dapat menguras uang masyarakat untuk tujuan yang tidak benar-benar sesuai dengan amanat pembangunan kehidupan ekonomi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Sumber pembiayaan OJK yang berasal dari pungutan yang membebani sektor perbankan, sehingga pada akhirnya membuat beban-beban tersebut akan jatuh ke tangan masyarakat. OJK menjalankan pungutan dalam kepada lembaga-lembaga keuangan perbankan, dan lembaga keuangan non bank yang didasarkan pada aset usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Alih-alih memberikan manfaat yang nyata, keberadaan lembaga ini justru berpotensi menjadi tambahan beban ekonomi bagi masyarakat; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 2. Prof. Dr. Sri Edi Swasono URGENSI PEMBENTUKAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 ayat (1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independent. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan; Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan pihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia; OJK menjadi super-body , ibarat Leviathan yang digambarkan oleh Thomas Hobbes. Trias Politica, bahkan Penta Politika, dalam satu genggaman OJK. OJK mengemban peran yudikatif, eksekutif dan yudikatif sekaligus, bahkan peran self- auditory dan juga self-advisory . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 Catatan: Urgensi pembentukan OJK hanyalah memisahkan pengawasan bank dari Bank Indonesia (Bl) ke otoritas yang baru yang tugas dan fungsinya diperiuas ke sektor keuangan lainnya dengan kewenagan yang diperiuas untuk membuat peraturan dan menjatuhkan sangsi. Pemisahan lembaga pengawas keuangan yang super independent akan semakin membuat sektor keuangan tidak saja tidak urgent , tetapi malah kacau, terpecah-belah dan tidak terintegrasi dari sudut wawasan pembangunan nasional, di mana negara berperan sebagai agent of development, agent of progress dan agent of modernization dalam policy nasional menghadapi globalisasi liberal dan predatorik dan semakin jauh dari pencapaian tujuan nasional dalam sektor keuangan.
SEJARAH OJK DI INGGRIS: MENGAPA DIBUBARKAN? BAGAIMANA PRAKTEK OJK DI NEGARA LAIN? Pembentukan OJK merupakan rekomendasi dari International Monetary Fund (IMF) dengan mengambil contoh Finansial Services Authority (FSA) di Inggris. FSA Inggris kemudian dibubarkan karena dianggap gagal dalam mengatasi krisis keuangan 1998; Membenarkan pendapat Syamsul Hadi Ph.D, bahwa "...dalam hal ini IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga pengawas keuangan yang terpisah dari kementerian keuangan dan bank sentral, dengan mengambil model Finansial Services Authority (FSA) di Inggris. Padahal kenyataannya, FSA sendiri justru dipandang gagal melaksanakan tugas dan wewenangnya, khususnya ketika Inggris dihadapkan kepada krisis finansial global 2008. Belakangan Inggris justru mengembalikan sistem pengawasan bank dari model otoritas jasa keuangan atau FSA ke Bank Sentral..." ( Diangkat dari Syamsul Hadi, PhD, Pengajar Ekonomi Politik Internasional, Departemen ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia ). Sejarah lengkap FSA Inggris dapat dilihat dalam artikel berikut: Pada 19 Desember 2012 Financial Services Act (FSA) Inggris disetujui oleh Parlemen Inggris. Pada 1 April 2013 FSA dibubarkan dan peran regulasinya ditransfer kembali ke Bank Sentral Inggris; Selanjutnya saya kutipkan sejarah lengkap FSA Inggris sebagai berikut ini, namun tidak akan saya bacakan, saya sampaikan tertulis saja, yang saya kutipkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 dari berbagai referensi. ( _References:
FSA's chief executive Hector Sants quits._ _Telegraph UK;
The day Britain changes: welfare reforms and coalition cuts take_ _effect. The Guardian;
UK financial regulation overhauled. BBC News;
U.K._ _Shakes Up Bank Regulation. The Wall Street Journal;
FSA: Who Are We. FSA; _ _(6) JP Morgan Fined Record Amount. Financial Times;
FSA chief executive to_ _leave organization at the end of June. FSA;
Hector Sants to quit FSA in June._ Financial Times). On December 19, 2012, the Financial Sen/ices Act was approved by Parliament. On April 1, 2013, the FSA was decommissioned and its regulatory authority transferred to the Bank of England, with regulatory new architecture consisting of the Financial Conduct Authority, Prudential Regulatory Authority, and the Financial Policy Committee. The Financial Services Authority (FSA) was an independent non- governmental body that regulated the financial sen/ices industry in the UK. It was established by Gordon Brown in 1997 when the Labour party came into power.111 It was granted statutory powers by the Financial Sen/ices and Markets Act of 2000. The FSA was accountable to UK's Treasury Ministers, and through them to Parliament, though it was operationally independent of government and was funded entirely by the firms it regulates. An open and transparent organization, the FSA provided full information for firms, consumers and others about its objectives, plans, policies and rules. That includes information specifically for consumers on financial products, regulation and their rights. FSA was given a wide range of rule-making, investigatory and _enforcement powers to meet a few statutory objectives: _ • Promote efficient, orderly and fair markets; • Help retail consumers achieve a fair deal; and • Improve business capability and effectiveness. Beginning April 1, 2013, the FSA split into the Financial Conduct Authority and the Prudential Regulation Authority, both housed in the Bank of England.121 The entire banking system will now be overseen by the Financial Policy Committee (FPC), which can instruct the two new regulators.1® The new system is designed to focus on outcomes, with the power to prosecute people and throw them out of the industry, as well as to withdraw a bank's license. The Prudential Regulation Authority (PRA) ensures the stability of financial services firms. The Financial Conduct Authority (FCA) is the City's behavioral watchdog. _UK Financial Regulation Overhauled: _ City of London skyline The new structure was first planned in 2010. The UK's banking regulator, the Financial Services Authority (FSA), has been abolished and replaced with two successor organisations. The changes mark the end of the system set up by the previous Labour government. From 1 April, the Prudential Regulation Authority (PRA) will ensure the stability of financial services firms and be part of the Bank of England. The Financial Conduct Authority (FCA) is now the City's behavioural watchdog. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 The Bank of England has also gained direct supervision for the whole of the banking system through its powerful Financial Policy Committee (FPC), which can instruct the two new regulators. http: //www.bbc.com/news/business-219878293) Chancellor George Osborne first announced the changes in June of 2010, as a shake-up of the country's bank-regulatory system aiming to make it clear who is in charge of supen/ising the financial services sector and avoid a recurrence of failing banks and big state-backed bailouts. The changes give the Bank of England more power in supervising the financial sector and preventing systemic risks. The HM Treasury appoints the FSA Board, which currently consists of a chairman, a CEO, three managing directors, and nine non-executive directors. The Board sets FSA's overall policy, but day-to-day decisions and management of the staff are the responsibility of the executive. In May 1997, the Chancellor of the Exchequer announced the reform of financial services regulation in the UK and the creation of a new regulator. This involved merging banking supervision and investment services regulation into the Securities and Investments Board (SIB). The SIB formally changed its name to the Financial Sen/ices Authority in October 1997. The first stage of the reform of financial services regulation was completed in June 1998, when responsibility for banking supervision was transferred to the FSA from the Bank of England. In May 2000, the FSA took over the role of UK Listing Authority from the London Stock Exchange. The Financial Services and Markets Act, which received Royal Assent in June 2000 and was implemented in December 2001, transferred the responsibilities of several other organizations to the FSA: • Building Societies Commission • Friendly Societies Commission • Investment Management Regulatory Organization • Personal Investment Authority • Register of Friendly Societies • Securities and Futures Authority In addition, the legislation gave FSA some new responsibilities, in particular taking action to prevent market abuse. In October 2004, following a decision by the Treasury, the FSA assumed responsibility for mortgage regulation. In January 2005, the FSA also took on regulation of general insurance business/51 In early June 2010, the FSA fined JP Morgan $49 million for failing to protect billions of dollars of client money by keeping it in segregated accounts. This was the largest fine ever levied by the UK regulator and twice _as large as the previous record fine paid by Royal Dutch Shell; _ It was announced in February 2010 that CEO Hector Sants would leave the position in the summer of 2010, after three years as CEO. However, due to changing regulatory requirements in the UK, Sants was asked to stay on as CEO in order to transition the FSA from its established system of regulation to the proposed future model. Upon the completion of this transition in March 2012, Sants once again announced his resignation and his intention to leave Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 at the end of June 2012.m Selanjutnya dalam praktek pengawasan sektor keuangan di berbagai negara berbeda satu dengan lainnya, sangat tergantung pada sistem negara dan konstitusinya. Contoh di AS: Di Amerika Serikat (AS) mengenai banyak komisi yang menangani keuangan sebagai bagian dari pemerintah AS. • Securities & Exchange Commission (SEC), • Commodity Futures Trading Commission (CFTC) [160] Federal Reserve System ("Fed") • Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) • Financial Industry Regulatory Authority (FINRA) [161] • Office of the Comptroller of the Currency (OCC) • National Credit Union Administration (NCUA) • Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) Namun penanganan krisis ditangani oleh The Fed yang merupakan sistem bank sentral Amerika Serikat yang diciptakan pada tanggal 23 Desember 1913, dengan berlakunya Federal Reserve Act , terutama dalam menanggapi serangkaian krisis keuangan, khususnya panik parah pada 1907, Depresi Besar pada 1930-an. Contoh di Negeri Belanda: Di Belanda lembaga sejenis disebut The Netherlands Authority for the Financial Markets , meski otonom, kedudukannya di bawah kementrian keuangan. Contoh di Singapura: Di Singapura dikenal Monetary Authority of Singapore (MAS), menjadi semacam bank central negara tersebut. About MAS "As Singapore's central bank , the Monetary Authority of Singapore (MAS) promotes sustained, non-inflationary economic growth through appropriate monetary policy formulation and close macroeconomic surveillance of emerging trends and potential vulnerabilities. It manages Singapore's exchange rate, foreign reserves and liquidity in the banking sector. MAS is also an integrated supervisor overseeing all financial institutions in Singapore - banks, insurers, capital market intermediaries, financial advisors, and the stock exchange. With its mandate to foster a sound and progressive financial services sector in Singapore, MAS also helps shape Singapore's financial industry Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 by promoting a strong corporate governance framework and close adherence to international accounting standards. In addition, it spearheads retail investor education. MAS ensures that Singapore's financial industry remains vibrant, dynamic and competitive by working closely with other government agencies and financial institutions to develop and promote Singapore as a regional and international financial centre . Contoh di Malaysia: Di Malaysia dikenal Securities Commission Malaysia yang anggotanya ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Contoh di Korea: Di Korea dikenal Financial Services Commission (FSC), namun FSC adalah badan pemerintah pusat bertanggung jawab atas kebijakan keuangan dan pengawasan keuangan. Di Korea FSC terdiri dari sembilan commissioners termasuk Chairman dan Vice-Chairman -nya. Chairman ditunjuk oleh Presiden atas rekomendasi Perdana Menteri, sedang Vice-Chairman ditunjuk oleh Presiden atas rekomendasi Chairman FSC. "The FSC consists of nine commissioners including the Chairman and the Vice Chairman. The Chairman is appointed by the President with the recommendation of the Prime Minister. The Vice Chairman is appointed by the President with the recommendation of the Chairman of the FSC and concurrently holds chairmanship of the Securities Futures Commission (SFC) within the FSC. Two standing commissioners are appointed with the recommendation of the Chairman of the FSC. Of the five non-standing commissioners, four are ex-officio positions held by the Vice Minister of the Ministry of Strategy and Finance (MOSF), the Governor of the FSS, the Deputy Governor of the Bank of Korea, and the President of the Korea Deposit Insurance Corporation. The remaining non-standing commissioner is appointed with the recommendation of the Chairman of the Korea Chamber of Commerce and Industry. The FSC deliberates and decides on policy matters relating to the inspection and supervision of financial institutions and the securities and futures markets. Matters relating to the securities and futures markets are largely delegated to the SFC. The FSC also has the authority to issue and revoke of financial institutions. Legislation relating to the financial sector is drafted and submitted to the National Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 Assembly by the FSC ." http: //www.fsc.qo.kr/enq/new about/fsccomm.isp?menu=06 Catatan: Jadi OJK dalam contoh kasus negara-negara yang disebutkan di atas, kecuali Inggris (yang gagal dan dibubarkan), merupakan bagian dari Pemerintah, bahkan sebagian besar merupakan struktur di bawah Kementerian Keuangan;
DALAM KAITAN UU TENTANG APARATUR NEGARA Undang-Undang tentang aparatur negara ada keharusan bahwa lembaga negara harus efisien, tidak boleh tumpang tindih dan tidak boleh redundant , dalam penafsiran no big government, no redundancy , bahkan ada wacana mengurangi jumlah departemen atau kementerian. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Bab II Asas, Prinsip, Nilai Dasar, serta Kode Etik dan Kode Perilaku, Pasal 2 Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas:
kepastian hukum;
profesionalitas;
proporsionalitas;
keterpaduan;
delegasi;
netralitas;
akuntabilitas;
efektif dan efisien;
keterbukaan;
nondiskriminatif;
persatuan dan kesatuan; I. keadilan dan kesetaraan; dan
kesejahteraan. Selanjutnya dalam Pasal 5 disebutkan ayat (2) poin g disebutkan bahwa "menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien"; Pasal 28, poin c. mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif, efisien dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; Catatan: Keberadaan OJK dan aparaturnya tidak menimbulkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara dan keuangan negara. Sermentara dalam era pemerintahan baru ada wacana untuk mengurangi kementrian dan lembaga dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 rangka penghematan.
BAGAIMANA PERAN OJK DALAM MENGHADAPI KRISIS ? Dalam UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disebutkan: Pasal 45 UU OJK:
Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis;
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan, dalam kondisi tidak normal sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Ayat (5). Keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik mengikat Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 46 UU OJK:
Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat wajib ditetapkan dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Catatan: Apa yang dimaksud pencegahan dan penanganan "krisis", krisis yang bagaimana? Tidak jelas. Jika memperhatikan penjelasan pasal pasal di atas maka akibat separation power Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 di dalam sektor keuangan menyebabkan terjadi powerlessness , artinya tidak ada pihak yang akan bertanggung jawab jika krisis benar benar terjadi, tidak akan terwujud a decisive decision making dalam national contingency yang bisa datang sebagai kilat. Sebenamya keberadaan OJK bersama-sama dengan LPS, BPJS, FKSK, JPSK keseluruhannya merupakan krisis kelembagaan keuangan yang diciptakan oleh kekuatan global untuk mengkisruhkan perekonomian nasional.
CATATAN SEMANGAT KEJUANGAN Membenarkan apa yang disinyalir oleh banyak kalangan, (dan yang juga ditegaskan oleh Syamsul Hadi Ph.D dan Salamuddin Daeng dkk3 ( Syamsul Hadi, Salamuddin Daeng, dkk, Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing di Indonesia (Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012) __ – yang barangkali telah diutarakan di ruang terhormat ini) bahwa OJK dibentuk untuk memenuhi kepentingan asing dan upaya asing untuk mengatur perekonomian nasional Indonesia melalui tangan-tangan IMF, ADB dan Bank Dunia untuk membuka seluas-luasnya pasar keuangan nasional bagi kepentingan dan penguasaan asing. "Penobatan" OJK sebagai super-body adalah skenario asing terhadap kedaulatan ekonomi nasional, yang merupakan kelanjutan cerita lama menyingkirkan Pasal 33 UUD 1945 asli dalam proses amandemen. Demikian pula dapat saya tambahkan, sebagai anggota MPR-RI (No. C-651) saya (Sri-Edi Swasono) menyaksikan upaya pihak asing dan para kompradornya untuk menghilangkan Pasal 33 dari UUD 1945 dalam amandemen, yang saya tulis dalam buku saya Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan: Mutualism and Brotherhood (Jakarta: UNJ-Press, 2004). Atas semangat kejuangan gigih Pasal 33 UUD 1945 dapat dipertahankan, dengan bargaining ditambah 2 ayat, yaitu ayat (4) dan ayat (5). Kejuangan terus dilanjutkan akhirnya perkataan "efisiensi" dalam ayat (4) Pasal 33 UUD 1945 hasil amandemen [yang dapat memelintir pemaknaan semangat ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 asli], berhasil diubah menjadi "efisiensi-berkeadilan" atas usul saya. Transformasi dari efisiensi liberal kapitalistik menjadi efisiensi sosial (efisiensi berkeadilan) merupakan kemenanganan dalam perjuangan menyelamatkan kepentingan negara. Keberadaan OJK tidak selaras dengan "efisiensi sosial" ini karena menonjolnya fungsi ekonomis liberalistik yang diembannya.
PENEGASAN ULANG Sudah menjadi pemikiran integral di dalam pemerintahan negara bahwa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 pemerintah mempunyai peran sebagai agent of development, agent of progress dan agent of modernization . Dari ketiganya itu Pemerintah membangun leading sectors dalam perekonomian sebagai ujung tombak modernisasi. Untuk itu pemerintah harus mempunyai wewenang untuk memerintahkan atau mendorong sektor perbankan ke arah tujuan-tujuan di atas. Bagaimana hal ini dapat terwujud bahwa pemerintah terhalang oleh eksklusivisme atau super independensi keuangan OJK? Ini berarti Pemerintah terhambat melaksanakan peran penuhnya melaksanakan ayat-ayat Pasal 33 UUD 1945. Sesuai Pasal 27 ayat (2) " Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan " adalah suatu imperativisme sosial- politik dan sosial-humanistik yang tidak akan tersentuh oleh eksklusivisme dan independensi keuangan OJK. Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1): " perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan " yang berarti pemerintah aktif melakukan penyusunan, menata, mendesain dan mengatur perekonomian nasional, tidak membiarkan perekonomian nasional tersusun sendiri sesuai selera pasar dan kehendak pasar yang dikomandoi oleh para financial tycoons ...". Undang-Undang tentang OJK yang sangat liberal mengarah kepada peminggiran peran dan kontrol Negara terhadap sektor keuangan yang sangat menentukan kehidupan ekonomi rakyat bangsa dan negara, yang semula ada di pundak Bank Indonesia sejak tahun 1953. Tugas negara ini menjadi tidak jelas dengan adanya OJK bahkan terdistorsi oleh OJK; OJK menjadi super-body ibarat Leviathan yang digambarkan oleh Thomas Hobbes.
MENGAPA DIKATAKAN NEGARA DALAM NEGARA: OJK TIDAK PERLU ADA Dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK Bab II tentang Pembentukan Status dan Tempat Kedudukan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang OJK. Dalam Bab III UU OJK tentang Tujuan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang OJK, menyatakan dalam Pasal 6 bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh institusi keuangan seperti:
kegiatan jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 8 untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
menetapkan peraturan pelaksanaan Undang- Undang ini;
menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban ; dan
menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Selanjutnya dalam Pasal 9 poin g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan; dan point h. memberikan dan/atau mencabut:
izin usaha;
izin orang perseorangan;
efektifnya pernyataan pendaftaran;
surat tanda terdaftar;
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan;
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan. Catatan: Pertanyaannya kecil sebagai contoh bagaimana jika OJK menjatuhkan sanksi dengan mencabut ijin usaha lembaga keuangan perbankan, lalu menimbulkan dampak sistemik. siapa yang akan bertanggung jawab? Berdasarkan pasal-pasal di atas dapat disimpulkan bahwa OJK memiliki kekuasaan yang sangat besar, mulai dari membuat regulasi, mengawasinya, memungut anggaran, dan menjatuhkan sanksi. Ruang lingkup kekuasaan OJK Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 tidak dimiliki oleh lembaga manapun di negara ini termasuk Bank Indonesia. Untuk sekian kalinya saya merasa perlu mengulang bahwa OJK mengambil tiga lingkup kekuasaan sekaligus yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam satu genggaman. Adalah terlalu gegabah meletakkan nasib dan kedaulatan rakyat, bangsa dan Negara kepada suatu lembaga yang namanya OJK, yang tidak jelas posisi governmental-nya, dengan kekuasaan yang begitu besar dalam keuangan negara, sekaligus sebagai lembaga idaman kekuatan-kekuatan asing (IMF, ADB, Bank Dunia). Lebih dari itu, yang paling berbahaya, OJK sekaligus independen dalam tugas dan wewenangnya dan sekaligus bebas dari campur-tangan pihak lain. Lalu di mana posisi pemerintahan negara? Latar Belakang Dalam makalah saya "Independensi Bank Indonesia yang Terbukti Runyam" [Sri-Edi Swasono, Independensi Bl Terbukti Runyam, Makalah Internal Bappenas, Bappenas 15 Desember 2000] __ (makalah terlampir), yang ahli sampaikan pada salah satu acara, saya sampai pada kesimpulan bahwa independensi ini adalah suatu konsepsi membangun negara dalam negara. __ Itulah mengapa ketika istilah "independensi" Bank Indonesia (Bl) dikumandangkan, terus terang saya merasakan bakal terjadinya suatu konflik, paling tidak suatu inkonsistensi, antara tugas dan wewenang Bank Indonesia dengan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan negara. Kebijaksanaan moneter (secara independen). Ibaratnya, Pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Hal yang lebih mengagetkan lagi adalah berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menjadikan Bl independen tersebut, kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen yang baru dan dibentuk untuk mengurusi sektor perbankan, lembaga keuangan, asuransi, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya. Lembaga ini kemudian mengambil alih tugas Bl khususnya dalam hal pengawasan perbankan. Entah dari mana datangnya gagasan mengenai pembentukan OJK ini, namun saya menduga bahwa ini berasal dari model Financial Services Authority (FSA) Inggris yang dibuat pada tahun 1997. Di Inggris, FSA disebut sebagai non- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 governmental. Lembaga ini gagal mengatasi krisis keuangan dan Inggris kembali ke konsep bank sentral. Kerumitan yang lain adalah jika OJK disandingkan dengan Bl maka tampak kedua lembaga ini memiliki kedudukan yang setara. Padahal OJK lahir dari UU Bl dan mengambil alih salah satu tugas Bl yakni pengawasan perbankan. Anehnya, OJK tidak berkedudukan di bawah Bl, dan bahkan Lembaga OJK merupakan lembaga yang sama independen dan otonomnya dengan BL Sifat OJK sama dengan Bl yakni sangat ekslusif, menyingkirkan Pemerintah dari pengaturan masalah keuangan, perbankan, asuransi, dan pasar modal, yang notabene adalah aliran darahnya perekonomian Indonesia. Padahal sektor ekonomi yang berada di bawah pengaturan OJK merupakan sektor strategis karena berkaitan dengan ketahanan eknonomi nasional dan hajat hidup orang banyak. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah yang dipilih secara demokratis disingkirkan begitu saja dari penguasaan sektor strategis? Pertanyaan lebih jauh, bagaimana jika temlang kembali krisis keuangan, krisis perbankan sebagaimana yang terjadi pada tahun 1998? Bukankah pemerintah akan kembali diserahkan tanggungjawab untuk mengatasinya? Trias Politika dalam Satu Genggaman Melihat posisi OJK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dari segi tujuan, fungsi, tugas, dan wewenang yang dimilikinya maka dapat dikatakan bahwa OJK cenderung merupakan suatu organisasi yang fasis. Bayangkan lembaga ini secara independen dan otonom dapat membuat regulasi, mengatur, mengawasi, dan memungut anggaran dari lembaga-lembaga yang berada di bawah pengaturannya. Kewenangan dalam satu tangan semacam itu tidak hanya menjadikan OJK berpotensi melakukan abuse of power , namun juga menjadikan OJK sangat tidak inklusif dan tidak demokratis. Keadaan semacam ini menunjukkan suatu watak otoritarian dari sindikat keuangan. Sebagaimana disebutkan dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, yang dimaksud dengan:
Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 dimaksud dalam Undang-Undang ini. Kemudian diperkuat dalam Bab II tentang Pembentukan Status dan Tempat Kedudukan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang OJK. Dalam Bab HI UU OJK tentang Tujuan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang OJK, menyatakan dalam pasal 6 bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh institusi keuangan seperti:
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 8 untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang :
menetapkan peraturan pelaksanaan Undang- Undang ini;
menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Berdasarkan pasal-pasal di atas dapat disimpulkan bahwa OJK memiliki kekuasaan yang sangat besar, mulai dari membuat regulasi, mengawasinya, memungut anggaran, dan menjatuhkan sanks Ruang lingkup kekuasaan OJK tidak dimiliki oleh lembaga manapun di negara ini termasuk Bank Indonesia. OJK mengambil tiga lingkup kekuasaan sekaligus yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam satu genggaman. Keruwetan dalam Kelembagaan Negara Setelah terjadi keruwetan dalam kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945 yang melahirkan Bank Sentral (selanjutnya disebut dengan Bank Indonesia), keruwetan kembali berlanjut dengan lahirnya Otoritas Jasa Keuangan yang lahir dari rahim UU BL Anehnya, meskipun lahir dari UU Bl, namun dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 struktur kelembagaan negara, kedudukan dan kekuasaan OJK dapat dikatakan setara dengan BI; Sebagaimana kita ketahui dalam UUD 1945 amandemen yakni Pasal 23D bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang- Undang. UUD menunjuk pada pembentukan Bank Indonesia sebagai bank sentral dan sama sekali tidak menyinggung atau menyebutkan pendirian OJK; Lahirnya OJK sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh terhadap sektor keuangan menjadi pertanyaan besar. Bagaimana mungkin kewenangan yang sangat strategis tanpa dilandasi UUD dan diserahkan kepada lembaga yang dibentuk hanya dengan Undang-Undang? Sementara lembaga ini membawahi institusi keuangan lain yang dibentuk dengan Undang-Undang dan juga otonom seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan institusi lainnya yang dibentuk dengan Undang-Undang sendiri seperti perbankan, asuransi, dan pasar modal; Independensi OJK terhadap Pemerintah semakin menambah keruwetan dalam pengaturan kebijakan keuangan dan perbankan. Sementara kewenangan dalam urusan moneter masih berada di tangan BL Kedua sektor tersebut berkaitan erat satu dengan lainnya, namun diatur oleh dua lembaga yang sama-sama independen, yang keduanya tidak dapat diintervensi oleh pemerintah. Mau dibawa ke mana pengaturan negara ini? Dengan OJK yang sangat inklusif maka peran dan kewajiban Pemerintah untuk menangani gejolak ekonomi secara utuh dan integral tidak lagi terjamin jelas. Adalah sangat elementer untuk mengetahui bahwa kebijakan fiskal tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan moneter, dan tidak pula dapat dipisahkan dengan kebijakan-kebijakan non-moneter dan non-fiskal yang sering harus dilakukan melalui apa yang disebut moral-suasion di mana suatu kebijakan ( policy ) bijaksana yang sebenar-benamya dapat menjadi lengkap dan utuh. Membebani Rakyat Jika dibandingkan dengan Bl, independensi OJK tampaknya jauh lebih dalam, mengapa dikatakan demikian? Hal ini karena lembaga ini membiayai dirinya melalui pungutan kepada lembaga yang di bawah pengaturan dan diawasinya. Ini mengambil anekdot awam "jeruk makan jeruk". Bagaimana mungkin lembaga negara dapat secara efektif mengawasi lembaga yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 membiayainya? Mengenai landasan hukum pungutan dalam UU OJK diatur dalam Bab VIII tentang Rencana Kerja dan Anggaran, dalam Pasal 34 (1) Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana keija dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. Mengenai pungutan OJK diperkuat dalam Pasal 37 (1) OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. Sama seperti pajak pada umumnya, pungutan OJK terhadap perbankan, lembaga keuangan, dan asuransi sudah pasti akan dibebankan kepada nasabah/ rakyat. Pungutan ini akan semakin menambah beban yang ditanggung oleh rakyat Indonesia atas kenaikan berbagai pungutan yang bersifat memaksa seperti pajak, retribusi, dan juga iuran yang bersifat wajib lainnya seperti iuran sebagai peserta asuransi wajib yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ahli menduga bahawa pengaturan pungutan dalam UU OJK mengacu pada UUD Pasal 23A Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. ***). Pasal 23C Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang. ***). Pasal 23C Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang. ). Padahal pasal- pasal ini mewarisi spirit negara model kolonial. Jika pungutan OJK dikategorikan sebagai pungutan yang diselenggarakan oleh negara maka harus mengikuti kaidah dalam UUD 1945 yakni Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23, (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.) (2) Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 Perwakilan Daerah. ) (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.) Pungutan oleh OJK tidak hanya sebatas persetujuan DPR, namun harus dilakukan dalam mekanisme APBN, dipungut sebagai penerimaan negara oleh negara, direncanakan bersama oleh Pemerintah dan DPR, dan dialokasikan berdasarkan prinsip alokasi keuangan negara. Dengan demikian lembaga negara tentu tidak boleh memungut iuran seperti preman. Bertentangan Dengan Konstitusi Sudah menjadi pemikiran integral di dalam pemerintahan Negara bahwa pemerintah mempunyai peran sebagai agent of development agent of progress dan agent of modernization . Dari ketiganya itu Pemerintah membangun leading sectors dalam perekonomian sebagai ujung tombak modernisasi. Untuk itu pemerintah harus mempunyai wewenang untuk memerintahkan atau mendorong sektor perbankan ke arah tujuan-tujuan di atas. Bagaimana hal ini bisa terwujud bahwa pemerintah terhalang oleh eksklusivisme atau independensi OJK? Ini berarti pemerintah tidak lagi dapat melaksanakan peran penuhnya melaksanakan ayat-ayat Pasal 33 UUD 1945. Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1): " perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan " yang berarti pemerintah aktif melakukan penyusunan, menata, mendesain dan mengatur perekonomian nasional". Tugas Negara ini menjadi tidak jelas dengan adanya OJK bahkan terdistorsi oleh OJK; Demikian pula dengan sektor keuangan, perbankan, asuransi, jaminan social/BPJS, termasuk pasar modal merupakan sektor strategis, merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan demikian maka sektor-sektor tersebut mutlak harus dikuasai oleh negara. Penguasaan oleh negara merupakan amanat UUD 1945, Pasal 33 ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Penguasaan dan Kepengurusan negara atas sektor-sektor keuangan, perbankan, asuransi, jaminan sosial/BPJS, pasar modal, tidak dapat diberikan kepada lembaga non negara/lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 otonom/lembaga independen, namun mutlak di bawah kepengurusan negara melalui pemerintahan. Sebagaimana saya katakan sebelumnya bahwa FSA di Inggris disebut juga sebagai non-governmental organization . Dengan demikian, penyerahan sektor-sektor strategis lembaga non negara kepada mekanisme pasar bebas merupakan pelanggaran konstitusi; Pemberian kewenangan kepada lembaga OJK untuk melakukan pungutan kepada bank, lembaga keuangan non bank, asuransi, pasar modal, BPJS sebagai sumber pembiayaan OJK merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Pungutan yang bersifat memaksa kepada rakyat hanya boleh dilakukan oleh negara. Lembaga-lembaga non negara hanya boleh menarik iuran dari masyarakat atas dasar sukarela. Pungutan OJK kepada lembaga keuangan, bank, asuransi, pasar modal adalah pelanggaran konstitusi; Penutup OJK bukan sekedar fenomena negara dalam negara yang akan merusak konsistensi, koherensi dan konvergensi dalam tata kelola perekonomian nasional dalam konteks good governance, tetapi juga menumbuhkan kerawanan- kerawanan dalam sistem ekonomi nasional Indonesia. Pembentukan OJK bertentangan dengan UUD 1945, tidak saja penuh absurditas dan disorientasi dalam telikungan perang ideologi yang memaksakan paham liberalisme yang bertentangan dengan ideologi nasional, tetapi juga tidak mustahil merupakan upaya pelumpuhan mekanisme kelembagaan ekonomi Indonesia untuk secara kontradiktif menghancurkan kedaulatan ekonomi nasional. Di samping kehadiran OJK merupakan negara dalam negara yang menumbuhkan kejumbuhan ( redundancy ) untuk mewujudkan good governance , OJK adalah inkonstitusional; Lampiran: Independensi Bank Indonesia Yang Terbukti Runyam Mari perhatikan apa yang tersurat pada kalimat terakhir Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, yang menegaskan bahwa "Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia yangakan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-Undang". Kalimat ini pendek namun tegas dan sarat dengan substansi. Perkataan Berhubung dengan itu", sebagaimana disebutkan di atas, jelas mengkaitkan kedudukan Bank Indonesia dengan tugas penyelenggaraan pemeritahan negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 yang tercakup dalam keseluruhan isi Pasal 23 UUD 1945. Jadi sebenamya sejak awal, ketika istilah "independensi" Bank Indonesia dikumandangkan, terus terang saya merasakan bakal terjadinya suatu konflik, paling tidak suatu inkonsistensi, antara tugas dan wewenang Bank Indonesia dengan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan negara. Tentang kedudukan Bank Indonesia yang "mengeluarkan dan mengatur peredaran uang" seperti dikemukakan di atas, mengandung tanggung jawab dan konsekuensi yang sangat luas, sehingga sejak awal dapat dirasakan bahwa masalah independensi Bank Indonesia akan memerlukan suatu fleksibilitas dalam implementasinya. UU Nomor 23 Tahun 1999, yang saat ini akan di amendemen, menegaskan tujuan dan tugas Bank Indonesia melalui 3 Pasal, yaitu Pasal 7 (Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah);
Pasal 8
(Menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi Bank); dan
Pasal 9
(Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di atas. Ketika saya membaca Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 48 UU Nomor 23 Tahun 1999 itu, instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: "Ini negara di dalam negara!" Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif, bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter (secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah Undang-Undang Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa benar adanya semacam "kediktatoran" ala Jerman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi "kerunyaman" ( absurdity ) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan independensinya yang tidak dapat diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern. Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri ( self-explanatory ), bahwa sebenamya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif. Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini. Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi bank dimaksudkan untuk menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih, yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya, sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala macam campur tangan" dan juga bahwa "Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun ". Ini yang absurd sekali ! Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pemerintahan dapat pula akan baik, bersih dan berwibawa, sebagaimana reformasi mencita-citakannya. Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih, bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaannya, serba baik, dan terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya, Andaikata demikian ini yang digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada, yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan, telah menjadi "sarang penyamun" sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya. Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih berani ngawur dalam membuat pemyataan-pemyataan kebijaksanaan yang sebenamya memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam itu independensi Bank Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah, tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenamya sedang menjadi tudingan masyarakat. Mengenai Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang "otoritarian". Dengan mudah dapat dipahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan "berselisih" dengan Bank Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 independensi Bank Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara. Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara. Hal ini sempat ahli (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi reformatif yang diprakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif. Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan main kayu, mencampuradukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun kiranya sedang terjadi pada saat ini. Antara Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi integral. Indonesia menganut faham " Penta Politica ", pemisahan kekuasaan antara lima (penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA) dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya terhadap Pemerintah. Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi lebih supel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang dapat mempermainkan dan menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank Indonesia saat ini pasti akan lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight, melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap. Sementara itu ahli menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin sampai UU Nomor 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik batu). Saya pun menghargai sikap Pemerintah yang tidak menghendaki dualisme soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar terhadap Indonesia; Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian Menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independen. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 sektor jasa keuangan. Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan oihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia. Peran OJK dalam perekonomian nasional adalah sangat sektoral, yaitu menyangkut sektor jasa keuangan saja. Selanjutnya sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak dipersoalkan kaitan OJK dengan tugas nasional sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, serta masalah Sila ke-5 Pancasila, yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Tugas sektoral OJK di dalam sektor jasa keuangan yang adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat secara independen, sama sekali tidak menjamin dan bahkan dapat bertentangan dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan doktrin kebangsaan (nasionalisme) dan doktrin kerakyatan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia; Memang barangkali OJK dapat melaksanakan tugas sektoralnya secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, namun tanpa merasa terikat (misalnya) dengan masalah riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin (Gini ratio 2005 0,34% dan sekarang 2014 0,46%), makin dominannya investasi asing terhadap perekonomian nasional dan makin terdesaknya investor nasional dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (ini pun tidak terlalu tinggi), namun Indonesia makin kehilangan kedaulatan ekonomi: kita makin tidak berdaulat dalam pertanian khususnya pangan dan bibit, obat-obat dasar, teknik industri, teknologi dan energi. Dan lebih hebat lagi kita tidak berdaulat dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [ayat (3) Pasal 33 UUD 1945] karena berlakunya sistem keuangan yang liberalistik dan kapitalistik, yang OJK berdasar tugasnya malahan dapat mengukuhkan penyelewengan konstitusional ini. Sektor keuangan dapat tetap adil, transparan dan akuntabel serta tumbuh berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sesuai dengan konsideran UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, namun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 independensi yang menjadikan OJK " super body " tidak memungkinkan OJK dapat mengatasi tantangan-tantangan dan keprihatinan perekonomian di atas, bahkan dengan wewenangnya sebagai super body bisa malah mengabaikan dan membahayakan kepentingan nasional demi kestabilan sektor jasa keuangan belaka. Oleh karena itu, peran OJK hendaknya dikembalikan kepada Bank Indonesia atau ke Departemen Keuangan agar terkait dengan tugas-tugas menyelamatkan perekonomian nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Janganlah sampai dengan tugas sektoral OJK tadi yang terjadi adalah pembangunan di Indonesia, dan bukan pembangunan Indonesia artinya bangsa Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi kuli di negeri sendiri. Demikian pula jangan sampai dengan pengutamaan kestabilan dan pertumbuhan jasa keuangan maka pembangunan menjadi penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran kemiskinan;
Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. Apabila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara. Ahli ingin mengatakan bahwa Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, “Negara memiliki suatu Bank Central yang susunan kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang” , tidak dapat dan/atau tidak bermakna bahwa independensi atau Bank Indonesia atau Bank Central itu sebagian kewenangannya mesti diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi dalam Pasal 23D UUD 1945 harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antar Bank Indonesia dengan Pemerintah. Jadi, derajat relasi hukum antara fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23D UUD 1945 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya. Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 ini secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara; Ahli ingin memperkuatnya dengan mengenali beberapa atau mengungkapkan beberapa saja diantaranya sebab tidak mungkin itu diungkapkan semua karena ahli yakin betul bahwa Majelis pun memiliki penilaian yang tidak mungkin dan/atau sebagaimana yang telah terefleksi dalam risalah sidang, tampak memiliki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 kemiripan dengan apa yang ahli kemukakan; OJK dengan prinsip independensi melalui Undang-Undang ini dapat mengatur sendiri, membuat sendiri peraturan, dan melaksanakan Undang-Undang. Padahal mestinya ini dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah kecuali hal-hal lain yang memang tidak bisa diatur dan/atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Karena keadaan hukum dengan fungsi mereka membutuhkan pengaturan barulah dilakukan, tetapi ini tidak dilakukan. Apa saja yang kan diatur dapat diatur dengan sendirinya oleh mereka tanpa bisa dicampuri oleh Pemerintah, tanpa dapat dicek (dikontrol) oleh DPR. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang yang merupakan pelaksana kekuasan kehakiman pengaturan mengenai gaji pun diatur dengan Peraturan Presiden. Bagaimana OJK dapat mengatur dirinya sendiri, gaji pun diatur sendiri. Betapa luar biasanya OJK ini seperti lembaga negara di dalam negara; Menurut ahli tidak ada lembaga negara yang mempunyai 2 sumber keuangan pendanaan, namun OJK ini dibiayai dengan APBN dan pungutan yang dipungut sendiri dari bank dan jasa keuangan lainnya. Apa argumen konstitusionalnya sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut? Siapa yang berani memastikan bahwa tidak ada potensi penyalahgunaan dan bagaimana mungkin bisa dipastikan akuntabilitas dan transparansi OJK dengan kewenangan seperti itu? Padahal bukankah negara hukum yang demokratis yang di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara? Menurut ahli bahwa pengawasan oleh OJK dimaksudkan untuk perlindungan konsumen dan adanya independensi OJK tidak diperoleh titik relasi dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana dapat mengusahakan perekonomian nasional dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, kalau salah satu organ negara (lembaga negara) mempunyai fungsi yang begitu strategis tidak dapat dicek (dikontrol), dan bekerja semau-maunya karena diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian keberadaan OJK bertentangan dengan prinsip negara hukum [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUD 1945]; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 30 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Oktober 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 I. Pokok Permohonan Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945. Merujuk kepada permohonan para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan UU OJK, khususnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 yang menyatakan "OJK, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini." b. Pasal 5 yang menyatakan "OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan." c. Pasal 34 yang menyatakan: (1) “Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak lain yang melakukan kegiatan _di sektor jasa keuangan; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner." d. Pasal 37 yang menyatakan:
“ OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat . (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." e. Frasa dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 yang menyatakan "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Merujuk pada dalil-dalil dalam permohonan, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan a quo , telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, dengan alasan:
Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang ". Menurut para Pemohon hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
Pasal 33 UUD 1945, yang menurut para Pemohon berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
Secara konstitusional aspek pengaturan dan pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK berasal dari turunan yang asimetris. Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu badan sehingga dapat menimbulkan potensi moral hazard .
Penggunaan APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid dan juga sifat OJK yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 independen sehingga terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara. Selain itu, jika terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis dan seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur.
Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (a) mengurangi kemandirian OJK karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan kepada kepentingan industri jasa dan keuangan, f. Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan OJK Merupakan Opened Legal Policy Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 Sebelum menanggapi lebih lanjut mengenai materi permohonan para Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK ini telah tepat dan benar dapat diajukan pengujian konstitusional ( constitutional review ) ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai sistem perekonomian nasional maka UUD 1945 mengatur mengenai perekonomian nasional diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Bab XIV terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, mengenai pengaturan Perekonomian Nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 Sebagaimana telah diketahui bersama prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 juga telah mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan prinsip- prinsip pada Pasal 33 UUD 1945 diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara keseluruhan oleh pembentuk Undang- Undang adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil dan makmur kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang ", maka DPR bersama Pemerintah telah menyusun UU OJK sehingga pembentukan UU OJK merupakan suatu pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka ( opened legal policy ) bagi pembuat Undang-Undang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembentukan UU OJK adalah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hai ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 "Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah". Selain itu, pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon sangat tidak tepat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalil-dalil permohonan menyangkut mengenai implementasi dari norma bukan kesalahan atau pertentangan norma dengan UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arief Hidayat dalam sidang pane! pemeriksaan pendahuluan tanggal 25 Maret 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apa yang dilakukan oleh suatu lembaga negara dalam suatu pengujian Undang-Undang tetapi mengadili norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK yang diajukan oleh para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. Tinjauan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Legal Standing Sebagai Pembayar Pajak Harus Dibuktikan Oleh Pemohon Dengan Menyertakan Bukti SPT Dan Bukti Pembayaran Kewajiban Pajak Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut "UU Mahkamah Konstitusi") disebutkan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1945;
hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Undang-Undang a quo , sehingga para Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon uji materiil sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut pendapat Pemerintah, legal standing sebagai pembayar pajak yang patuh, tidak dapat diterima begitu saja dengan memiliki dan melampirkan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti. Dengan memiliki NPWP tidak secara serta merta para Pemohon telah membayar pajak, maka seharusnya para Pemohon juga turut menyertakan bukti Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan juga pembayaran kewajiban Pajak yang merupakan pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak oleh, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak Ada Hak Konstitusional Pemohon Yang Dilanggar Dengan Berlakunya Ketentuan UU OJK Yang Diuji Selain itu, Pemerintah tidak melihat adanya pelanggaran hak konstitusional para Pemohon yang sebagaimana didalilkan dalam permohonan para Pemohon yaitu dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK telah merugikan hak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 konstitusionalitasnya sebagai perserorangan warga negara Indonesia dengan didasarkan pada: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Bahwa para Pemohon dalam permohonan uji materiilnya tidak secara jelas menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan akan terjadi dikarenakan berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara in casu hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya dengan Undang-Undang mempunyai pengertian bahwa dalam penyusunan Undang-Undang APBN, haruslah mendapatkan persetujuan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Selain itu, penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji permohonan a quo sangat tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan ( equality before the law ), prinsip kewajiban menjunjung hukum tidak hanya harus dilaksanakan oleh negara, namun juga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum oleh para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional para Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebagai pembayar pajak tidak serta merta dapat dasar dalam pengajuan uji materiil suatu Undang-Undang. Permohonan Pemohon merupakan permohonan yang Obscuur Libel Selain itu, permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang obscuur libel yaitu nampak pada tidak sesuainya antara posita permohonan para Pemohon dan petitum yang dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya. Para Pemohon tidak menjelaskan mengapa frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.." bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap meminta petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga telah melakukan kesalahan yang menyebabkan permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( obscuur libel ) yaitu pada angka 2 petitum permohonannya yang meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, namun pada angka 3 para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh para Pemohon sebagai individu perseorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Para Pemohon A. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Putusan Provisi Para Pemohon Tidak Ada Alasan Yang Spesifik Dan Aktual Serta Penting Dan Mendesaknya Permohonan Provisi Pemohon Harus Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi Istilah provisionil dikenal luas dengan istilah "provisionllels vonnis", "provisoire", "voorlopige", "provisionaf, "voorlaufig", "provissorich ainstwelling", "bij vooraad' dan Iain-Iain. Istilah-istilah dimaksud pada pokoknya menjelaskan bahwa putusan provisi adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak untuk dilakukan oleh hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi hanya dikenal pada perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi". Namun demikian, dalam sejarahnya Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan permohonan provisi yang diajukan oleh Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara Nomor 133/PUUA/1I/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan provisi yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penundaan penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden yakni mengenai tindakan administratif berupa penghentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat sebagai berikut: "Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan". Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat unsur-unsur yang harus dapat dipenuhi dan dijelaskan secara spesifik dan aktual oleh para Pemohon dalam permohonannya. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan aktual terkait dengan alasan pentingnya dan mendesaknya mengapa permohonan provisi para Pemohon harus dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akibatnya apabila permohonan provisi para Pemohon tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sampai dengan saat ini, OJK telah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan serta mengadvokasi kepentingan para konsumen. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, tidak terdapat kendala yang berarti dan tidak ada hak konstitusional dari para Pemohon yang telah dilanggar atau terancam untuk dilanggar dengan adanya pelaksanaan kewenangan OJK dimaksud. Dikabulkannya permohonan provisi dapat menimbulkan kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum di sektor jasa keuangan Selain itu, dalam Putusan Nomor 133/PUU-VI1/2009 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan: "Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum". Dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batasan dikabulkannya permohonan provisi dari para Pemohon pengujian Undang-Undang yaitu apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak. Pemerintah berpendapat bahwa apabila permohonan provisi para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan dapat menimbulkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka seyogianya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dari para Pemohon dikarenakan tidak ada keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi dimaksud dan apabila dikabulkan dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. B. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 1 Angka 1 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 OJK Merupakan Lembaga Negara Yang Memiliki Sifat Constitutional Importance Secara yuridis pembentukan UU OJK dilandasi oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Undang- Undang, sedangkan Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dibentuknya UU OJK; Pembentukan UU OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia, yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara ( common virtues ) yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia, dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pada Pasal 33 UUD 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan dimaksud dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Mengingat konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia, maka berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrument untuk mencapai tujuan bernegara dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi", bahwa ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya merupakan contoh lembaga dan/atau komisi baru yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, namun tetap memiliki sifat constitutional importance . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Sifat Independensi OJK Merupakan Hal Yang Tidak Terpisahkan Dengan Pembentukan OJK Selain itu, pembentukan UU OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) yang mengamanatkan bahwa "(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang". Lebih lanjut penjelasan Pasai 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan "(1) Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat." Dengan adanya Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka sejak semula independensi OJK merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK. Namun demikian, meskipun dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah OJK tetap berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Independensi OJK merupakan suatu keharusan dan hal ini disadari oleh pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah dan DPR, dikarenakan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan OJK hams memiliki independensi. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah dengan tetap berada dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK diwujudkan dalam 2 (dua) hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otortias Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara Ex-Officio . Keberadaan Ex-Officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-Officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kedua, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang OJK mengatur seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. C. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 5 Dan Frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam posita permohonannya para Pemohon, tidak menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon tetap meminta petitum kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( Obscuur Libel ). Namun demikian Pemerintah tetap akan menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 bertentangan dengan UUD 1945 dengan digabungkan pada Penjelasan Pemerintah terkait Pasal 5 UU OJK dikarenakan memiliki keterkaitan yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruhh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan. Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan Yang Terintegrasi Merupakan Kebutuhan Untuk Meningkatkan Efektivitas Dan Efisiensi Dalam Menghadapi Globalisasi dan Konglomerasi Sektor Jasa Keuangan Secara historis pembentukan UU OJK didasarkan pada terjadinya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 berawal dari krisis nilai tukar di Thailand, krisis tersebut menjalar dengan cepat ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan serta berkembang menjadi krisis perbankan. Krisis perbankan yang melanda Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik sehingga secara keseluruhan menjadi krisis multidimensi sehingga menyebabkan krisis di Indonesia beriangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya dan menyebabkan beban fiskal yang sangat besar, mencapai Rp. 600 triliun. Tidak hanya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Global Crisis pada tahun 2008 juga memiliki peran mengapa diperlukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam sektor jasa keuangan. Pada saat krisis global tahun 2008, Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis, sehingga menyebabkan salah satu bank di Indonesia harus di- bailout untuk menghindari pengulangan akibat-akibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun 1997-1998. Krisis pada tahun 1997-1998 dan juga krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan dalam hal kelembagaan dan pengaturan pada sektor jasa keuangan bukan hanya dalam sektor perbankan saja. Reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Filosofi pembentukan UU OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, mengingat sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofis dimaksud, perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Secara filosofi, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak- pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Mengenai landasan sosiologis dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal dan industri jasa keuangan non bank; Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara subsektor jasa keuangan menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat, mengingat semakin rumitnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Pasal 23D UUD 1945 Merupakan Opened Legal Policy dari Pembuat Undang-Undang dan Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasai 65 dan Pasal 66 UU OJK Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945, menurut Pemerintah hal tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi" pada halaman 92 yang menyatakan: "Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan "Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk Undang-Undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang." maka kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang yang dibentuknya dikarenakan Pasal 23D UUD 1945 merupakan ketentuan open legal policy dari pembuat Undang-Undang. Oleh karena itu apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang diperbaharui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan suatu lembaga hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dan mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar dapat tercapainya tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka menurut Pemerintah kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi dan kewenangan tersebut menunjukkan bahwa OJK memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Apabila para Pemohon mengkhawatirkan adanya penumpukan kewenangan dalam OJK dan dapat menimbulkan potensi moral hazard , menurut pendapat Pemerintah hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur check and balances di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perlu dicatat bahwa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyatakan bahwa pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Lebih lanjut, dalam rangka check and balances, di internal OJK terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. (vide Pasal 1 angka 21). Anggota Dewan Komisioner melanggar kode etik dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (vide Pasal 17 ayat (1)). Dewan Komisioner menetapkan Peraturan Dewan Komisioner mengenai kode etik dan menegakkan kode etik OJK (vide Pasal 32). D. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Pengaturan Pungutan OJK Dimaksud Telah Sejalan Dengan Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 Pengembangan sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia ditempuh melalui usaha mewujudkan keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. UU OJK dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, namun guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah sepakat dalam hal anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, dalam Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Sebagaimana telah dijelaskan pula dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dimaksud telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan undang- undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan, pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan (3) “Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang _diberikan; _ (4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan Pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak sesuai dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Mekanisme Penganggaran Dan Pungutan OJK Telah Akuntabel Dan Sesuai Dengan Konstitusi Mengingat pada masa awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dan OJK masih dalam tahap membangun regulasi dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, maka untuk memenuhi kebutuhan OJK diberikan alternatif sumber pembiayaan OJK dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Pasal 34 UU OJK telah menentukan bahwa penetapan rencana dan anggaran OJK oleh Dewan Komisioner harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan hal tersebut, maka sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK dan harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK, serta standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas OJK telah diatur di dalam Pasal 38 UU OJK, yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Terkait laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mengenai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam UU OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Pungutan OJK Merupakan International Best Practices Agar OJK Dapat Mengimbangi Tuntutan Dan Dinamika Sektor Jasa Keuangan, Baik Secara Domestik Maupun Internasional Selain itu, dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroler of the Currency (OCC) di Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara semi-annuaily yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan, Investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu ( special examination ), pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya (kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya). Tidak terlalu berbeda dengan OCC, Office Of Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi. pungutan terhadap loan company (seperti BPR) berbasis keanggotaan. Di samping itu, OSFI juga memperoleh bantuan dari Canadian International Development Agency (CIDA) terutama untuk asistensi internasional, pendapatan dari pemerintah daerah (dalam hal OSFI membantu melakukan pengawasan terhadap beberapa institusi di Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak), dan pendapatan dari lembaga pemerintahan. Di belahan benua Asia, Financial Services Supervisory (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari Supervisory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh FSS selain Supervisory Fee , FSS juga memungut Issuer Regulatory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada Issuer ( Emiten ) sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan Exchange Act ( Capital Market ). Supervisory Fee dikenakan berdasarkan pada kewajiban ( debt liabilities ) dari institusi lembaga keuangan, sementara Issuer Regulatory Fee dikenakan berdasarkan pada jumlah dan jenis dari surat berharga/sekuritas yang diterbitkan; Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan OJKnya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Switzerland, Turki dan Inggris; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Chile, China, Costa Rica, Kazakhstan, Lebanon, Jepang dan Uruguay. IV. Dampak Jika Dikabulkannya Permohonan Para Pemohon Dikabulkannya Permohonan A Quo Dapat Mengganggu Pelaksanaan Tugas-Tugas Pengawasan Dan Pengaturan Di Sektor Jasa Keuangan Dan Akan Membahayakan Industri Perbankan Dan Kosumen Serta Perekonomian Nasional Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dan mengingat peran penting Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, apabila dikabulkannya permohonan a quo dan diterimanya argumentasi para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di perbankan dan akan membahayakan industri perbankan dan kosumen. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan menjadi terbengkalai. Selain itu berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55 UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2012 dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013. Berdasarkan hal tersebut, apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 akan menghambat tugas dan fungsi pengawasan pasar modal, lembaga keuangan dan perbankan dikarenakan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dapat menyebabkan kekosongan hukum di pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan sehingga akan berdampak sangat negatif pada perekonomian nasional dan para pelaku pasar. Selain itu, dampak dikabulkannya permohonan Pemohon akan menimbulkan konsekuensi pengawasan sektor jasa keuangan akan kembali menjadi pengawasan sektoral yang tidak terintegrasi, yang berpotensi menimbulkan risiko bagi perekenomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. Kesimpulan Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasai 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK karena permohonan para Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.
Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik terkait keadaan yang mendesak mengapa Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan provisi dalam perkara a quo . Selain itu, dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar di sektor jasa keuangan dan konsumen termasuk dalam OJK.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasai 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak Permohonan Provisi para Pemohon untuk seluruhnya;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo etbono ). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2014, tanggal 28 Oktober 2014, tanggal 12 November 2014, dan tanggal 1 Desember 2014 mengajukan 13 (tiga belas) ahli yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang memberikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Apabila hendak disederhanakan, pokok permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 perihal konstitusionalitas kehadiran/keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu lembaga atau komisi negara independen. Sebagai lembaga negara baru yang secara umum diberi tugas melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap seluruh kegiatan pada sektor jasa keuangan, kehadiran OJK dinilai Pemohon (1) tidak memiliki landasan konstitusional (karena tidak memiliki cantolan di dalam UUD 1945), (2) kehadiran OJK hanya dimandatkan dalam UU tentang Bank Indonesia, (3) fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap bank direduksi oleh OJK, (4) independensi OJK, (5) terjadinya penumpukan kewenangan pada OJK sehingga akan menjadi lembaga super-body , dan (6) kehadiran OJK dinilai merugikan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan karena adanya pungutan. Semua alasan tersebutlah yang menjadi alasan atau dasar bagi Pemohon untuk mempersoalkan konstitusionalitas keberadaan OJK; Sehubungan dengan pokok permohonan pengujian ini, secara terbatas, saya hanya akan menjelaskan sisi kelembagaan yang meliputi:
kedudukan, (2) sumber kewenangan, (3) pemindahan fungsi pengawasan bank dari Bl ke OJK, dan terakhir (4) independensi OJK. Adapun perihal pungutan yang dilakukan OJK dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana juga dipersoalkan Pemohon tidak akan diulas. Sebab, menurut ahli masalah itu hanyalah sebuah konsekuensi dari kehadiran sebuah lembaga, di mana jika UU memberi kewenangan untuk itu, maka tidak beralasan untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Lagi pula, apabila soal kelembagaan OJK telah diselesaikan, masalah kewenangan (termasuk melakukan pungutan) dengan sendirinya akan terurai; Sehubungan dengan masalah kelembagaan, saya akan menerangkan empat pokok pembahasan terkait OJK. Pertama, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara. OJK, sama halnya dengan Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam UU 21/2011 didefenisikan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Adapun Bank Indonesia didefenisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Undang-Undang ini; Dari sisi defenisi, memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dan Bank Indonesia terkait penggunaan kata "negara". Di mana, untuk defenisi Bank Indonesia digunakan frasa "lembaga negara" yang independen. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai "lembaga" yang independen. Tanpa ada kata "negara"; Hanya saja, pendefenisian seperti itu (tanpa menggunakan frasa "lembaga negara") tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai mendefenisikan lembaga- lembaga negara lain. Di antaranya, Komisi Pemilihan Umum didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Tanpa ada kata "negara". Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu dalam UU 15/2011 yang didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Hal yang sama juga ditemukan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga didefenisikan sebagai dengan frasa lembaga mandiri...dst; Pertanyaannya, apakah defenisi yang menggunakan frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" menunjukkan perbedaan status atau kedudukan lembaga tersebut? Dalam arti, hanya lembaga yang menggunakan frasa "lembaga negara" saja yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan yang menggunakan kata "lembaga" tidak berkedudukan sebagai lembaga negara? Apakah demikian? Pada dasarnya adanya frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara. Sebab, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara mengamini pendapat Hans Kelsen-, maka lembaga dimaksud adalah lembaga negara. Sejalan dengan soal itu, mengutip Jimly Asshiddiqie, baik "lembaga pemerintahan", "lembaga non-pemerintahan", "lembaga negara" atau "lembaga" saja, semuanya termasuk dalam kategori lembaga negara; Oleh karena itu, sekalipun OJK hanya didefenisikan dengan kata "lembaga" saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebab, sudah sangat tegas dinyatakan dalam UU 21/2011 bahwa salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan bagian dari fungsi negara. Adapun OJK dibentuk untuk menjalankan fungsi dimaksud, yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagai lembaga negara, sama halnya dengan Bl yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara; Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga negara, OJK dan Bank Indonesia memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Dalam hal ini, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama dengan Bank Indonesia merupakan mandat UUD 1945. Artinya, sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah UUD 1945; Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Lalu, berdasarkan ketentuan tersebut dibentuklah lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang diberi nama dengan OJK; Perbedaan dasar hukum pembentukan Bl dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Dalam arti, karena dasar pembentukan Bl berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-Undang. Jika hendak membubarkan Bl atau bank sentral, harus melalui perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan Bl menjadi kuat. Sementara kedudukan OJK tidak sekuat Bl. Sebab, kekuatan lembaga ini hanya berbasis pada Undang-Undang. Di mana, jika pembentuk Undang-Undang sepakat membubarkan OJK, maka cukup hanya melalui perubahan atau pencabutan Undang-Undang. Artinya, pembubaran OJK tidak harus melalui perubahan UUD 1945 yang jauh lebih sulit; Perbedaan sumber norma pembentukan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada. Sebab, baik lembaga yang dibentuk karena perintah UUD 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah Undang-Undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai wewenang yang dimilikinya. Jadi, perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebuah lembaga atau komisi negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Selain itu, apabila ukuran konstitusionalitas keberadaan sebuah lembaga negara hanya atas dasar ada tidaknya perintah UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, tentunya bukan hanya OJK yang akan dikatakan inkonstitusional. Sebab, banyak lembaga/komisi negara lainnya yang kehadirannya tidak diperintahkan UUD 1945, melainkan hadir melalui sebuah UU atau bahkan hanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Misalnya KPK hadir berdasarkan UU No 30/2002 dan tidak satupun norma dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukannya. Begitu juga dengan Bawaslu, tidak ditemukan adanya norma yang secara eksplit memerintahkan pembentukannya. Dua lembaga terakhir tersebut juga hadir atas dasar Undang-Undang dan bukan perintah langsung UUD 1945. Di mana, keberadaan dua lembaga tersebut adalah konstitusional. Jadi, akan menjadi sangat keliru jika dasar penilaian konstitusionalitas sebuah lembaga hanya atas kategori ada tidaknya perintah atau cantolan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar membentuknya; Selanjutnya yang Kedua, sumber kewenangan Bl dan OJK. Baik Bl maupun OJK sama-sama lembaga negara yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang, bukan UUD 1945. Terkait kewenangan bank sentral/BI, Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, ...suatu bank sentral yang kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23D UUD 1945 mendelegasikan pengaturan tentang kewenangan Bl kepada Undang-Undang. Artinya, kewenangan Bl akan diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Bl. Dengan demikian, sumber kewenangan Bl adalah Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hal ihwal ini, Bl masuk dalam kategori lembaga negara yang keberadaanya diatur di dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bl; Dalam konteks sumber kewenangan, derajat kedudukan OJK menyamai Bl. Sebab, kewenangan OJK juga berasal dari UU, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam hal ini, sekalipun pengakuan keberadaannya tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi semua hal terkait keberadaan, kedudukan dan kewenangannya bersumber dari Undang-Undang. Dalam hal sumber kewenangan inilah posisi Bl dan OJK dapat disebandingkan; Ketiga, terkait keabsahan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bl kepada OJK melalui UU Bank Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengaturan segala tugas dan wewenang Bl diserahkan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 pembentuk Undang-Undang. Terkait hal itu, pembentuk UU berwenang menentukan apa saja yang akan diatur sebagai kewenangan Bl. Karena itu, tugas, wewenang dan fungsi Bl sebagai bank sentral sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden (sebagai pembentuk Undang-Undang) menentukannya. Artinya, bila terdapat wewenang yang diberikan kepada bank sentral, lalu kemudian wewenang tersebut diambil atau dialihkan kepada lembaga lain yang juga dibentuk berdasarkan kewenangan pembentuk Undang-Undang, maka hal itu tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan keberadaan Bl dan OJK, di mana Pemohon menilai bahwa Bl lebih memiliki landasan konstitusional dibanding-kan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank adalah tidak tepat. Sebab, penentuan kewenangan bank sentral merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Apakah wewenang tertentu diberikan kepada Bl atau mungkin dicabut atau dialihkan dari Bl, berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 sepenuhnya menjadi hak DPR dan Presiden. Termasuk memindahkan sebagian kewenangan Bl kepada OJK yang dibentuk berdasarkan mandat Pasal 34 ayat (1) UU Bl; Oleh karena itu, pemindahan kewenangan tersebut konstitusional adanya. Apalagi pemindahan kewenangan dimaksud dilakukan melalui Undang-Undang. Keberadaan OJK yang dibentuk dengan Undang-Undang dan kedudukan Bl yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sama-sama konstitusional. Di mana, apapun kewenangan yang diberikan pada kedua lembaga negara tersebut tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang dilakukan sesuai kewenang Presiden dan DPR sebagai primary legislator ; Terakhir atau yang Keempat adalah persoalan independensi OJK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, OJK itu adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya...dst. Harus dipahami, bahwa frasa "independen" menunjuk pada kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang berada di luar kekuasaan Pemerintah. Dalam hal ini, independensi OJK menunjukkan lembaga ini bukan institusi yang berada di bawah Presiden, melainkan sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan menjalankan fungsi negara yang diberikan kepadanya. Independensi OJK sama dengan Bl. Dalam hal ini, misalnya Bl, jika diletakkan dalam rumpun lembaga negara, Bl berada dalam rumpun eksekutif. Upaya memberikan label " independent " dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 untuk memberikan jarak dengan pemegang kekuasaan eksektif agar terhindar dari pengaruh dinamika politik. Jimly Asshiddiqie (2007) menggambarkan hal itu dilakukan sebagai bentuk kesengajaan melepaskan Bank Sentral dari kewenangan mutlak pemegang atau kepala pemerintahan. Karenanya, dengan memberi tambahan independen, BS hadir menjadi semacam a quasi executive entity . Begitu juga OJK, kehadirannya secara konstitusional didasarkan atas ketentuan 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945. Jadi, sifat independensi bank sentral juga dapat dilekatkan kepada OJK; Kehadiran berbagai komisi negara independen bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat. Secara umum, hadirnya komisi negara independen ditujukan untuk menyempurnakan proses demo-kratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi; Di sisi lain, keberadaan lembaga negara atau komisi negara independen di berbagai negara juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan peng- klasifikasian kekuasaan pemerintah negara yang ada sebelumnya. Di mana, cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang (legislatif), kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketika cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak lagi mampu, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada; Terkait dengan hal tersebut, Asimow dalam bukunya Administrative Law (2002) menyatakan most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent . Organ negara ( state organs ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam hal ini, William F. Funk & Richard H. Seamon mengatakan, lembaga independen itu tidak jarang mempunyai kekuasan " quasi legislative ", " quasi executive " dan " quasi judicial ". Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independen karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Sebuah lembaga negara/komisi negara dikatakan independen bila dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam UUD atau Undang-Undang. Kemudian, pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Asimov, dalam teori hukum tata negara, sebuah lembaga dikatakan independen apabila pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang- Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan Ciri lainnya menurut William J Fox Junior, presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian sang pimpinan lembaga. Tidak hanya itu, Funk and Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen bila pimpinan yang kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian ( staggered terms ); Dalam konsep atau teori itulah sebetulnya indepensi OJK harus dipahami. Independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Di mana, awalnya hanya menjadi kewenangan Bl semata, sekarang sebagiannya diserahkan kepada OJK; Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas OJK juga tetap terikat dan terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah dan Bank Indonesia. Di mana, secara struktural keterkaitan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya dua Komisioner OJK secara ex-oficio oleh pejabat eleson I pada Kementerian Keuangan dan Anggota Dewan Gubernur Bl. Sedangkan 7 orang anggota Dewan Komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bl; Selanjutnya, posisi OJK sebagai sebuah lembaga negara yang independen juga memiliki konsekuensi logis terhadap kewenangan yang dimilikinya. Salah satunya, kewenangan membentuk atau menerbitkan berbagai peraturan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Di mana, peraturan- peraturan yang dibuat mengikat seluruh pihak dan berlaku ke luar dan ke dalam. Bahkan merujuk pada sistem perundang-undangan kita, lembaga negara/komisi negara mempunyai ruang untuk membentuk peraturan yang sifatnya regeling ; Lalu, bagaimana indepensi OJK jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pembentukannya? Karena terintegrasi dengan sistem perekonomian, apakah kemudian independensinya tidak akan terjaga? Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi OJK terkait erat dengan penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun bukan berarti hal itu secara serta merta akan merusak atau menghilangkan indenpendensi OJK. Harus diingat, independen adalah sifat objektif kelembagaan OJK dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hanya saja, dalam pelaksanaan fungisnya tentu saja terbuka ruang untuk terjadi penyimpangan. Walaupun demikian, persoalan ini tentu bukan masalah konstitusionalitas norma Undang-Undang OJK, melainkan soal pelaksanaan norma oleh pejabat di lembaga tersebut; Sebelum mengakhiri keterangan ini, ahli juga akan menyinggung bagaimana hubungan antara Kementerian Keuangan, Bl, dan OJK. Di mana, tiga institusi tersebut memiliki kewenangan yang saling bersinggungan satu sama lain. Lebih-lebih lagi Bl dengan OJK. Secara struktural, Bl dan Kementerian Keuangan menjadi bagian dari Dewan Komisioner OJK. Dengan demikian, kedua institusi tersebut sekalipun bukan mayoritas di OJK, tetapi tetap memiliki kewenangan untuk turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat OJK. Selain mempengaruhi, kehadiran Bl dan Kementerian Keuangan juga dapat memastikan langkah-langkah pengawasan jasa keuangan yang dilakukan OJK terintegrasi atau terkoordinasi dengan agenda-agenda urusan keuangan yang diurus oleh Pemerintah dan Bank Indonesia; Dari segi tujuan, Kementerian Keuangan bertujuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Adapun OJK hadir untuk teraturnya sektor jasa keuangan, terwujudnya sistem keuangan yang stabil serta terlindunginya kepentingan konsumen. Sedangkan Bl bertujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ketiga lembaga tersebut saling terkait satu sama lain. Di mana, semua akan mendukung pencapaian mewujudkan pemajuan kesejahteraan umum yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Dengan tujuan yang saling berhubungan serta ada jaminan terkoordinasinya tugas tiga lembaga tersebut secara struktural, maka kehadiran OJK justru akan dapat menutupi berbagai kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan begitu, pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran OJK telah mereduksi dan melemahkan peran Bl justru kehilangan relevansinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana kehadiran OJK akan dapat memperkuat pelaksanaan tugas pengawasan jasa keuangan yang ada. Pada saat bersamaan juga dapat membantu terselenggaranya urusan pemerintahan dibidang keuangan secara lebih baik;
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.HUM Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia ( finance governance ) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan, agar dapat tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi untuk melayani serta melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan secara lebih baik. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern ( moderne rechsstaat ) menurut Hughes (1994:
meliputi 7 (tujuh) macam, yaitu: 1 . _Providing economic insfrastructure;
Provision of various_ _collectieve goods and service;
The resolution and adjustment of group conflicts; _ _4. The maintanance of competititon;
Protection of natural resources;
Provision_ _for minimum access by individuals to the goods and services of the economy;
_ Stabilisation of the economy. Jika merujuk pendapat tersebut, kehadiran OJK kiranya dapat memenuhi fungsi untuk mewujudkan stabilitas ekonomi melalui tujuan dari pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat; Sesuai dengan amanah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, telah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang diawasi oleh OJK adalah Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/Pasar Modal, Modal Ventura, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertama kalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga independen tersebut mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank. Pola pembentukan institusi OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lain yang sifatnya constitutionally important. Artinya, dengan memahami hakikat makna ketentuan-ketentuan dalam konstitusi untuk mewujudkan sistem tatakelola perekonomian yang baik, maka hal itu mendasari konsiderasi pembentukan OJK. Meskipun, sama halnya dengan landasan eksistensi KPK dan beberapa state auxiliary agencies lain, tidak semua hal yang diperlukan dalam kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan harus diatur secara eksplisit dan rinci dalam konstitusi, mengingat cakupan ruang lingkup materi muatan konstitusi yang lazimnya bersifat terbatas sebagai norma dasar tertinggi dalam suatu negara. Namun, dalam suatu hal yang bersifat urgen terdapat hal-hal yang secara konstitusional dianggap penting untuk dibentuk/dilaksanakan dalam praksis ketatanegaraan; Kiranya, konsiderasi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah konsisten dengan dasar pengaturan bagi lahirnya OJK dan maksud pembentuk UUD Negara RI 1945 untuk mewujudkan tata kelola perekonomian yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU Bank Indonesia yaitu:
. untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
. berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Penjabaran kewenangan OJK dalam substansi UU OJK juga telah konsisten secara intensional maupun gramatikal dengan delegasi kewenangan yang diberikan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Urgensi OJK Krisis keuangan yang terjadi di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Hal itu menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997 dan diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada bulan November 1997. Kemudian, pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank-bank bermasalah tersebut. Kebijakan BLBI tersebut tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersebut disalahgunakan oleh sejumlah pihak. Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Bank Indonesia yang bertindak sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pada tahun 1999-2004, pemerintah melakukan program penyehatan perbankan, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan, serta pemantapan ketahanan sistem perbankan dan prinsip kehati-hatian bank, yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan Good Corporate Governance dan penyempurnaan pengaturan serta sistem pengawasan bank. Pada tahun 2004, pemerintah memulai implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang serta beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI), guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan (Herry Rocky, 2012, Perkembangan Perbankan 1990-2010 (http: //herryrocky.blogspot.com/2012/03/perkembangan-perbankan-1990- 2010.html, diakses 9 Juli 2012); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi yang berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional, memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Best Practices OJK di Beberapa Negara Lain dan Kontribusinya bagi Pembentukan OJK di Indonesia Pembentukan OJK kiranya juga merupakan hasil belajar dari best practices sistem pengawasan oleh institusi tunggal dan independen di beberapa negara lain. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini; Pada tanggal 25 Januari 2001, Menteri Keuangan Jerman, Hans Eichel mengumumkan pembentukan otoritas pengawas keuangan terintegrasi, yaitu Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2002 berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan pengawasan tunggal ( Gesetz über die integrierte Finanzdienstleistungsaufsicht ). BaFin merupakan gabungan dari lembaga pengawas terpisah untuk perbankan ( Bundesaufsichtsamt für das Kreditwesen -BAKred), asuransi ( Bundesaufsichtsamt für das VersicherungswesenB AV) dan sekuritas ( Bundesaufsichtsamt für den Wertpapierhandel -BAWe). BaFin memiliki wewenang terkait pengawasan lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan untuk menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh, dengan dua tujuan utama yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen dan investor. Setelah BaFin dibentuk, Deutsche Bundesbank (Bundesbank) bertugas sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Bundesbank merumuskan kebijakan moneter dan perbankan, menjaga nilai mata uang, mempertahankan tingkat kecukupan cadangan aset/siklus kas dan pengelolaan uang kertas, memantau perkembangan bisnis dan menganalisis spektrum yang luas dari masalah ekonomi, serta menjamin kelancaran fungsi pembayaran domestik dan asing dengan menyediakan layanan jasa kliring; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Otoritas Jasa Keuangan di Australia diperankan oleh The Australian Prudential Regulation Authorihy (APRA). Lembaga-lembaga yang diatur oleh APRA diantaranya adalah bank, asuransi, penyedia retirement saving accounts, trustee of superannuation entity. Organisasi APRA terdiri dari sebuah dewan ( board ), seorang pemimpin operasi ( chief executive officer) didukung para staf. Di Australia, APRA dibiayai dari kontribusi (levy) lembaga yang diawasi. APRA mengambil alih tugas dari Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 tersebut menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi industri dana pensiun ( superannuation Funds ); Krisis keuangan yang dialami oleh Korea pada tahun 1997-1998 mengakibatkan beberapa konglomerat bisnis besar mengalami kesulitan keuangan, kredit macet di bank-bank Korea meningkat tajam, sehingga melemahkan kesehatan keuangan lembaga perbankan domestik, yang berdampak pada ketidakstabilan keuangan Korea. Hal ini mendorong pemerintah Korea untuk melakukan reformasi kelembagaan dan kebijakan keuangan, maka dibentuklah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), Financial Supervisory Commission (FSC)/ Financial Supervisory Services (FSS) yang memiliki wewenang sebagai lembaga pengawas tunggal untuk perbankan dan non-perbankan. Dengan perubahan ini Ministry of Finance and Economy (MOFE), FSC/FSS, Bank of Korea (BOK), dan KDIC adalah empat lembaga publik yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem keuangan Korea; Masih cukup banyak negara lain yang juga membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Guna __ meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya; Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan; Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan:
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat , akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan serta Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya, lembaga yang dinisbatkan menjadi supervisory board ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait keterangan serta data makro yang diperlukan; Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang- undang Bank Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu: independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ( Good Coorporate Governance ). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Perspektif Hukum Adminstrasi Negara Fungsi OJK Fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuursbevoegdheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan dilaksanakan melalui kewenangan perijinan ( vergunning ) yang dilekatkan pada kewenangan OJK seperti yang diantaranya diatur pada Pasal 7 huruf h UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu memberikan dan/atau mencabut:
izin usaha;
izin orang perseorangan;
efektifnya pernyataan pendaftaran;
surat tanda terdaftar;
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan;
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi diiperlukan sebagai upaya pentaatan terhadap norma hukum administrasi negara; Dimensi perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) yang antara lain terdapat pada Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik ( good financial governance ). Hal itu terlihat dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011). Kewenangan tersebut ditujukan guna mewujudkan tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan tersebut selaras dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan di atas. Kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Padal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan demikian, dalam isu konstitusionalitas, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber pada Pasal 23D UUD 1945, yang mengatur bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bahkan, secara sistematik, dapat pula ditelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Atribusi kewenangan OJK dalam UU OJK dan pengaturan mengenai institusionalitas OJK merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi, khususnya dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; Fungsi utama lembaga keuangan seperti OJK bertujuan untuk mencapai empat tujuan ( goals ) secara umum. Empat tujuan tersebut meliputi:
keamanan dan ketahanan ( safety and soundness ) lembaga keuangan;
pencegahan risiko sistemik;
keadilan dan efisiensi pasar;
perlindungan terhadap konsumen Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan ( enforcements ) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Kiranya, tujuan tersebut selaras dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; Kewenangan pengaturan ( regelende bevoegdheid ) dan kewenangan pemerintahan ( besturende bevoegdheid ) yang tercermin dari kewenangan- kewenangan yang diatribusikan kepada OJK dalam teori hukum administrasi negara mencerminkan karakter hukum administrasi negara: norm (norma), instrument (sarana) dan waarborg (jaminan). Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat de Haan, dkk. (1986:
, bahwa: " Minstens zo nauw als het verband tussen norm en instrument is dat tussen norm en waarborg. Ook hier weer nemen wij achtereenvolgens de normering van het overherheidsgedraag en die van het gedrag van burgers tot uitgangspunt. De overheidsnormering vraagt primair om bestuurlijke waarborgen, terwijl de rechtsnormen die het gedrag van burgers beinvloden, rechtsbescerming noodzakelijk maken ". Pengaturan mengenai OJK dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memenuhi dimensi norma, sarana dan jaminan yang menjadi dimensi utama Hukum Administrasi Negara. Hal itu selain menjadi dasar teoretis bagi pengaturan kewenangan OJK, juga merupakan amanah konstitusi yang harus diwujudkan melalui fungsi dan kewenangan OJK. OJK dimaksudkan untuk memberikan jaminan pemerintah ( bestuurlijke waarborgen) terhadap masyarakat konsumen/pengguna OJK yang melakukan aktivitas di sektor jasa keuangan. Fungsi jaminan itu diwujudkan melalui instrumen perijinan terhadap aktivitas keuangan bagi penyelenggara jasa perbankan maupun non perbankan. Kewenangan penetapan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan merupakan salah satu fungsi penormaan pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 ( bestuursnormering ) yang diarahkan pada upaya memberikan jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborg ) untuk memberikan petlindungan hukum ( rechtsbescherming ) terhadap masyarakat pengguna jasa keuangan; Perkembangan mutakhir dalam hukum administrasi negara menunjukkan adanya arah penyelenggaraan fungsi pemerintsh yang semakin berfokus pada pengguna pelayanan/konsumen. Dikatakan oleh John McMillan (2009) bahwa: "Compliance with legal standards is the starting premise in all codes of good administration, but the newer codes go further. An emerging principle or standard is the need for agencies to be customer focus delivery of citizen-centred services … Deliver high-quality programs and services that put the citizen first’.The reason for this new emphasis is that people now interact wiath government differently, more frequently, and with heightened expectations. This is a product of the expansion in government benefits, subsidies, licences, taxes, contracts, authorisations, sanctions, penalties, services and regulatory programs. People now relate to government in many ways – as citizens, clients, consumers and customersssed – or, as Prime Minister Rudd recently described it, to engage in." Hadirnya OJK bisa diharapkan akan menjafi institusi independen yang berfokus pada perlindungan masyarakat/ konsumen jasa keuangan. Hal itu juga dinyatakan melalui tujuan pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal itu akan berimplikasi terhadap pelayanan publik pemerintah di sektor jasa keuangan yang semakin "customer focus delivery of citizen-centred services." Tujuan itu dilaksanakan melalui berbagai kewenangan pengawasan dan perijinan vide Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, termasuk kewenangan pencabutan ijin yang merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum administrasi negara, Hal itu diharapkan dapat memperkuat dan melindungi sektor keuangan Indonesia dari potensi terjadinya krisis keuangan melalui peranan OJK untuk mendorong penguatan fondasi sektor keuangan; Kedudukan Pungutan OJK Dalam Pasal 23A UUD 1945 diatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 Rumusan itu merupakan hasil dari Perubahan III UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Berkaitan dengan keuangan guna membiayai operasional kinerja darI OJK, Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 mengatur beberapa hal prinsip terkait keuangan OJK, sebagai berikut:
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan;
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK;
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri;
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah; UU OJK mengatur norma yang bersifat mandatory mengenai kewenangan OJK dalam melaksanakan kewenangan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Legalitas ( rechtsmatigheid ) pungutan tersebut dapat diukur dari sifat koherensi norma hukum UU OJK dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Kewenangan untuk melakukan pungutan tersebut merupakan implikasi pengaturan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, yang mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sifat norma hukum tersebut pada hakikatnya merupakan legal policy yang memberikan kewenangan bagi OJK untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang bisa bersifat tambahan dari keuangan yang bersumber dari APBN atau menjadi alternatif dari keuangan OJK yang diperoleh dari APBN. Jika dibandingkan dengan OJK di beberapa negara lain, sumber keuangan OJK-OJK tersebut pada umumnya bersumber dari pihak- pihak yang bergerak di sektor jasa keuangan atas konsiderasi untuk menumbuhkan kemandirian OJK; Jika Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK ditarik koherensinya secara vertikal ke atas sampai di ranah konstruksi Pasal 23A UUD 1945, maka norma hukum mengenai pungutan dalam UU OJK tersebut memenuhi syarat dan kriteria Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 dari pungutan sebagaimana diatur pada Pasal 23A UUD 1945 tersebut. Selanjutnya, apabila Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan berikutnya antara lain Pasal 38 UU OJK yang mengatur pelaporan dan akuntabilitas OJK, maka, pada hakikatnya pengaturan mengenai keuangan serta pungutan dalam UU OJK tetap memenuhi asas kelengkapan ( volledigheid , universalitas) dan asas berkala (periodisitas) sebagai asas-asas klasik yang diakui oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Asas kelengkapan ( volledigheid ) pada intinya merupakan asas yang mempertahankan hak budget parlemen secara lengkap sehingga penguasa publik tidak terlepas dari pengawasan DPR; Asas berkala (periodisitas) mengandung makna bahwa pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat dengan perantaraanwakilnya secara berkala dalam kebijaksanaan pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan periodisitas ini memungkinkan pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat berjalan secara teratur. Periodisitas ini tidak menghilangkan pengawasan rakyat, tetapi juga harus diperhatikan agar kesempatan pemerintah untuk menjalankan rencananya tetap berlaku. Kedua hal ini merupakan persyaratan pencapaian tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. Beberapa ketentuan dalam Pasal 38 UU Nomor 21 Tahun 2012 menunjukkan tetap dipenuhinya asas kelengkapan ( volledigheid ) dan asas berkala dalam pengaturan mengenai keuangan OJK;
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan;
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan;
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan;
Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat;
Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan dalam OJK baik yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari masyarakat tersebut tetap memenuhi asas-asas yang terkandung dalam Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 itu mengandung 3 (tiga) asas yang saling berkaitan secara erat, yaitu:
Asas berkala ( periodiciteit beginsel), yaitu anggaran negara tersebut dianggarkan untuk jangka waktu tertentu. 2. Asas terbuka ( openbaar beginsel), yaitu prosedur pembahasan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah dilakukan secara terbuka baik melalui sidang terbatas pemerintah dengan Komisi APBN maupun dalam sidang Pleno (mencerminkan pula asas demokrasi). 3. Asas kedaulatan ( souvereiniteit beginsel), yaitu unsur kedaulatan rakyat melalui perwakilannya merupakan syarat mutlak terciptanya rencana anggaran negara tahunan ( jaarlijke machtiging) ; Ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh OJK, baik yang bersumber dari UU APBN maupun pungutan dari pihak pengelola jasa keuangan, juga sudah memenuhi standar pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara yang didasarkan atas-asas pengelolaan keuangan negara yang merupakan pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: • akuntabilitas berorientasi pada hasil; • profesionalitas; • proporsionalitas; • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri PP Nomor 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai implementasi dari Pasal 37 ayat (6) UU OJK dimaksudkan untuk memenuhi asas-asas pengelolaan keuangan negara tersebut dalam pelaksanaan pungutan oleh OJK. Pada intinya, pungutan yang dilaksanakan dan dikelola oleh OJK tidak menyimpang dari kaidah pengelolaan keuangan negara dalam APBN, kecuali yang memang diatur secara khusus dalam UU OJK berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan OJK yang bersifat khusus, sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU OJK yang mengatur kekhususan berikut:
Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya.
Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi; Namun, kekhususan tersebut tidak menyebabkan terputusnya ikatan norma hukum tersebut dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana juga diatur pada Pasal 38 ayat (8) UU OJK yang menentukan bahwa Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, pengaturan mengenai keuangan dan pungutan dalam UU OJK tetap dilaksanakan berdasarkan sistem pengelolaan keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dr. Maruarar Siahaan, S.H I. Legal Standing Pandangan kami tentang ketidak cukupan legal standing untuk menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan, kami utarakan dalam hal-hal sebagai berikut:
Meskipun Pemohon telah mencoba menguraikan dasar argumen legal standing nya dalam permohonan pengujian ini, dapat dirasakan bahwa sesungguhnya dengan dasar bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dan aktivis yang juga melakukan advokasi di bidang APBN, tidak terlihat urgensi dan relevansinya. Dasar hukum legal standing harus dikembalikan kepada jurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dengan 5 (lima) syarat yang memuat adanya hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugiannya spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial, yang terjadi karena ada hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan undang-undang yang diuji dan adanya kemungkinan jika permohonan dikabulkan, kerugian hak konstitusional tidak akan terjadi lagi. Norma dalam Putusan tersebutlah seharusnya yang digunakan sebagai dasar pengakuan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian di MK, agar terdapat konsistensi dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 Pembayar pajak sebagai dasar hukum legal standing di MK, sesungguhnya baru berdasarkan putusan yang terbatas secara individual yang berdiri sendiri, yang masih diperdebatkan karena umumnya kedudukan demikian jikalau dikaitkan dengan jurisprudensi tetap MK soal legal standing , sesungguhnya masih diakui secara terbatas, dan belum merupakan jurisprudensi tetap yang mengikat;
Indikator bahwa standing untuk mengajukan pengujian dilihat dari aspek kerugian hak konstitusional khususnya jaminan hak atas rasa aman berdasar Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali ” , dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang __ dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kedua pasal yang dikutip tidak merujuk tentang hak konstitusional, sebagai hak yang diberikan kepada warga negara oleh konstitusi, dan dengan demikian justru memberikan kewajiban pada negara untuk memenuhi hak konstitusional;
Seandainyapun permohonan Pemohon dikabulkan maka tidak tampak bahwa kerugian hak konstitusional yang disebut mempunyai causal verband dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohon untuk diuji, karena menurut hemat kami, kerugian yang diklaim Pemohon, tetap akan terjadi jikalau persoalan tentang hak konstitusi yang disebut dalam UUD 1945, yaitu kerugian konstitutional dalam hubungan dengan hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta hak konstitusi atas “ anggaran ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”, tetap terjadi, dan Pemohon tidak dapat menjelaskan dan menguraikan hilangnya kerugian konstitusional yang terjadi jika Undang-Undang OJK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Petunjuk bahwa bukanlah para Pemohon yang seharusnya mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian atas UU OJK, dapat dilihat dari seluruh ukuran yang ditentukan dalam jurisprudensi tetap MK yang telah menjadi bagian dari hukum acara, khususnya causal verband antara kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan dengan dibentuknya OJK. MK perlu menegaskan sikap dalam pendirian tentang legal standing berdasarkan dalih tax payer tersebut; II. Permohonan Putusan Provisi Dalam tahap pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 saat ini, terlepas dari ketiadaan norma hukum acara, baik dalam UU MK maupun dalam jurisprudensi MK yang mengenal pengaturan provisionel eis , baik karena sisi urgensi kepentingan konstitusional yang harus dilindungi oleh berlakunya satu norma, maupun karena pengaturan yang ada dalam UU MK sendiri yang memuat asas presumption of constitutionality , yang menentukan bahwa semua Undang-Undang yang telah diperlakukan harus dipandang konstitusional sampai dengan dibatalkannya Undang-Undang tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak relevan lagi berbicara tentang provisi. Secara eksplisit diatur dalam Pasal 58 UU MK, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945”; _ Dengan pengaturan demikian, memang jelas bahwa kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 melalui cara bekerjanya lembaga- lembaga jasa keuangan dengan jumlah taruhan yang sungguh besar, suatu kemungkinan saja untuk menghentikan bekerjanya OJK tanpa melalui putusan provisi melainkan putusan akhir, tidak terbayangkan akibatnya, karena dapat menjadi kekacauan atau disaster yang berantai, yang dapat memicu krisis ekonomi. Jikalau lembaga baru i.c. OJK dihentikan sementara saja, akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, karena beragamnya produk jasa keuangan yang menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks dan saling terkait antara produk dan lembaga jasa keuangan, baik di bidang perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, obligasi, SUN dan lain-lain. Tanpa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, dengan jumlah dana besar yang bergulir, akan menimbulkan kekacauan besar-besaran, yang boleh jadi mengakibatkan kolapsnya sistem perekonomian dan keuangan Indonesia. Putusan yang bersifat sementara atau permanen demikian akan sangat berbahaya. Oleh karenanya, terkadang menyebabkan timbulnya pikiran bahwa dalam kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 publik dalam bentuk Undang-Undang yang menyangkut Undang-Undang dengan regulasi suatu bidang ekonomi dengan pengaruh yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kemungkinan digunakannya mekanisme pengujian suatu RUU yang telah disetujui bersama sebelum diundangkan – mekanisme yang dikenal dengan judicial preview – di mana semua pihak dapat menumpahkan pikiran dan pendapatnya tentang suatu kebijakan publik yang mendasar, tidak dibayangi ketakutan akan dampak yang timbul secara dahsyat, seandainya suatu Undang-Undang tertentu dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam suatu proses judicial review ; III. Materi Muatan Konstitusi Sebagai Grundnorm dan Constitutional Boundaries Konstitusi modern yang menjadi hukum tertinggi dan menjadi pedoman dalam politik hukum penyelenggaraan negara, bukan hanya memuat norma-norma dasar yang secara kongkrit dirumuskan, melainkan juga memuat prinsip atau asas konstitusi yang terumuskan secara umum dan hanya dalam garis besar. Lebih dari sebagai suatu dokumen yang ringkas dan supel khususnya UUD 1945 – setelah perubahanpun – dengan pembukaan yang merupakan jiwa dan filosofi di atas mana negara Republik Indonesia dibentuk serta tujuan dibentuknya negara R.I. yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa dia lebih dari sekedar dokumen juridis. Dari Pembukaan UUD 1945, yang menentukan arah dan tujuan dibentuknya negara R.I., sangat jelas bahwa tujuan tersebut didasari oleh suatu pandangan bangsa tentang suatu negara yang disebut sebagai negara kesejahteraan atau welfare state . Bertolak belakang dengan konsep negara dalam pemilikiran liberalisme, dengan peran negara yang terbatas dan bahkan dirumuskan dalam satu kurun waktu sejarah hanya sebagai penjaga malam, maka dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan menjadi sedemikian luasnya, sehingga keberadaan lembaga negara yang ada dalam organisasi kekuasaan, menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena besarnya peran negara dalam konsep negara kesejahteraan tersebut, muncul kebutuhan akan lembaga negara yang tidak dikenal dalam praktik semula, dan kemudian terbentuk dalam lembaga negara yang independen; Kebutuhan akan organ yang akan menjalankan kewenangan tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat mengalami perkembangan, sehingga untuk memenuhi hal itu berdasarkan organ-organ negara yang secara tradisional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 ada, tidak lagi memadai. Akibatnya perkembangan organ atau lembaga yang independen merupakan kecenderungan yang terjadi secara universal, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberalisme yang sangat mempraktikkan peran negara secara terbatas, justru mempelopori kelahiran lembaga-lembaga negara yang independen tersebut. Oleh karenanya, norma dasar konstitusi yang seyogianya mengatur pembentukan organ-organ negara secara ekplisit dan tegas sehingga dapat membentuk struktur organisasi kekuasaan negara dalam konstitusi sepanjang mengenai lembaga negara yang menerima kewenangannya langsung dari konstitusi, tidak lagi mampu memberi gambaran yang total tentang organ-organ yang menerima kewenangannya dari undang-undang dasar, dan berdasarkan delegated auhority of legislation dikuasakan pembentukannya dalam satu Undang-Undang. Secara analogis kita dapat melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Dasar konstitusionalitas kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam suatu negara kesejahteraan tidak selalu hanya merujuk kepada suatu norma fundamental konstitusi yang secara eksplisit ditemukan dalam UUD 1945, karena tugas, fungsi dan tujuan negara secara filosofis, sosiologis dan juridis dapat menjadi landasan pembentukan kebijakan dan peraturan perundangan yang diperlukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebut bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jikalau norma fundamental dalam UUD 1945 menjadi sumber hukum dan validitas norma hukum dibawahnya yang diperlukan dalam penyelengaraan negara, maka norma fundamental tersebut bersumber pada Grundnorm yang menjadi landasan politik hukum yang selalu menjadi orientasi kedepan, upaya memperbaharui ius constitutum kearah _ius constituendum; _ Untuk menemukan landasan politik hukum dalam pembentukan organ negara yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang tidak memadai lagi untuk diserahkan kepada lembaga yang secara tradisional ada dalam organisasi kekuasaan negara, maka untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusi ketika mandate konstitusi tidak dapat ditemukan secara tegas, maka melalui suatu naskah akademis, diperhitungkan adanya suatu ruang yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 memungkinkan diskresi pembuat kebijakan dapat terlaksana secara bebas dan baik. Dalam ruang lingkup demikian dengan batas-batas yang diperhitungkan tidak dapat dilanggar pembuat kebijakan, maka dengan konstruksi. Dapat dibangun apa yang disebut ruang dalam mana diskresi pembuat kebijakan bergerak secara bebas. Jikalau kebijakan atau politik hukum yang dipilih untuk dilaksanakan tersebut tampak melampaui batas konstitusi ( constitutional boundary) yang dirumuskan, maka kebijakan demikian dihindari, karena potensil diuji dan dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Indikator konstitusionalitas tersebut dapat dirumuskan melalui interpretasi, konstruksi dan penghalusan terhadap:
Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup bangsa dalam Pancasila;
Tujuan Bernegara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan Bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dengan pencarian makna melalui interpretasi dan konstruksi untuk membentuk ruang gerak dengan batas yang ditentukan untuk tidak dilampaui, maka dapat ditemukan suatu ruang yang bebas bagi diskresi pembuat Undang- Undang, untuk membentuk kebijakan publik berdasar politik hukum yang mengacu pada konstitusi sebagai hukum dasar. Undang-Undang OJK menurut pendapat saya masih dalam ruang yang tidak melanggar constitutional boundary tersebut; IV. Pokok Permohonan 1. Umum Setiap penyelenggara negara berhak dan wajib untuk menafsirkan konstitusi atau UUD 1945 sebelum melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan Negara, baik sebagai legislator dalam pembuatan Undang- Undang atau dalam pengujian Undang-Undang tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, menyiratkan adanya kostitusi yang tidak tertulis sebagai bagian yang dianggap tidak terpisah, yang ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, dalam filosofi kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam tujuan yang ditetapkan kearah mana suatu negara yang terbentuk itu akan berjalan. Seluruh konstitusi yang termuat dalam pembukaan dan batang tubuh tersebut juga memuat dan membentuk asas-asas konstitusi yang harus ditemukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum ( rechtsverfijning ), untuk dapat dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dipandang serasi dengan konstitusi, sebagai kebijakan yang sumber keabsahan atau validitas dan legitimasinya dapat ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945; Konsepsi negara kesejahteraan ( welfare state ) yang mewajibkan adanya state intervention dalam penyelenggaran negara untuk mencapai peningkatan kesejahteraan umum dan perlindungan segenap bangsa, merupakan hal yang sangat terbuka dalam mandat konstitusi bagi penyelenggara negara, sehingga lingkungan strategis lokal, nasional dan global harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah suatu kebijakan harus dilakukan yang perlu dalam kerangka penyelenggaraan negara bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, dan apakah kebijakan demikian masih dalam kerangka constitutional boundaries yang ditetapkan dalam UUD 1945. __ Ruang dalam kerangka constitutional boundaries tersebut akan memberi petunjuk seberapa jauh pembuat Undang-Undang boleh bergerak dalam melakukan regulasi yang diperlukan untuk menyesuaikan kondisi nasional dengan perkembangan global, yang tidak dapat dielakkan karena interdependensi bagian-bagian dari dunia dengan dunia luar, yang turut menentukan keberhasilan untuk perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Diskresi pembuat Undang-Undang harus juga digunakan untuk bergerak dalam ruang constitutional boundaries yang disebut di atas. Keberadaan dan praktik BI dalam pengawasan jasa keuangan, telah menjadi titik tolak disekresi yang berada dalam constitutional boundaries yang dimaksud; Oleh karenanya menentukan mandate konstitusi tidak cukup hanya dengan merujuk suatu pasal tertentu dalam UUD 1945 sebagai dasar dalam menentukan konstitusionalitas norma atau kebijakan yang akan dibentuk, melainkan harus menemukannya dengan tafsir, hermeneutika, konstruksi dan penghalusan. Terlebih lagi bahwa suatu norma konstitusi yang telah memuat suatu perintah secara tegas dalam konstitusi pun memerlukan kehati-hatian, karena suatu norma konstitusi yang biasanya terumuskan secara general (umum) dan hanya mengandung asas, dalam implementasinya mengalirkan norma turunan secara derivative , yang meskipun tidak secara tegas disebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 sebagai norma konstitusi, tetapi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan demikian saja sebagai bagian dari konstitusi, terutama jika ada delegated authority of legislation yang diberikan kepada pembuat Undang- Undang. Oleh karenanya apa yang disebut sebagai norma yang konstitusional tidak dapat dilihat secara tunggal melainkan harus secara integral dalam doktrin kesatuan konstitusi, dari pembukaan sampai batang tubuh secara tidak terpisah satu dengan yang lain; Pengalaman menunjukkan krisis perbankan yang terjadi bukan berasal dari perbankan, melainkan dari bidang-bidang lain yang merembet kepada perbankan. Produk-produk jasa keuangan yang sudah demikian besar (dari sisi size), dari sisi keterkaitan konglomerasi, dan terakhir dari sisi kompleksitas masalah jasa keuangan, tampaknya menyebabkan BI tidak lagi tepat dan tidak mampu melakukan hal itu semua secara sendirian. Ketidak mampuan BI merespon perkembangan yang pesat di bidang jasa keuangan sudah menjadi kenyataan yang menjadi pengalaman kita sehingga keberadaan BLBI dan lain- lainnya menjadi problem yang harus dipikul sekarang ini. Oleh karenanya membesarnya tugas yang timbul dalam penyelenggaraan negara, dibidang pengawasan dan pengaturan jasa keuangan menjadi keniscayaan.
Lembaga Negara Independen Ketika tugas negara yang terbagi dalam organisasi kekuasaan yang tradisional seperti eksekutif, legislatif dan judikatif dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dirasakan tidak mencukupi lagi, terasa kebutuhan untuk melakukan perluasan organ tersebut tetapi dengan membentuk badan- badan atau lembaga yang independen. Independensi lembaga tersebut terwujud dalam struktur yang berada di luar organisasi penyelenggara pemerintahan yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Kecenderungan untuk menetapkan organ baru yang muncul karena kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga boleh lahir dari sikap yang ingin membebaskan lembaga baru dari keterpasungan birokrasi lama, melainkan memulai sesuatu yang baru, dengan ciri yaitu adanya kewenangan regulasi dan pengawasan dalam organ yang sama tetapi dalam mekanisme checks and balance ; Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam Undang-Undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan- atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (auxiliary state organ) . Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, boleh jadi merupakan beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an ( Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8) . Akan tetapi, seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 baru ekplorasi ruang angkasa ( Kenneth F. Warren Administrative Law In The Political System,,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78) . Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi; Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang disebut juga non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara . Dalam ”Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ” memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, hal mana dengan kata-kata yang sama diulangi lagi dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik Nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, Nomor X/MPRS/1969 dan Nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi . Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya Pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ” pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ” ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga Pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang; Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat Undang-Undang untuk membentuk lembaga negara, dan mengatur hal-hal yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu Undang-Undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang, namun tetap merupakan lembaga negara yang konstitusional. Konsep Independensi Independensi suatu lembaga sesungguhnya diberikan karena dibutuhkan untuk dijadikan dasar dari suatu sikap netral ( impartial ) dan boleh membebaskan diri dari kungkungan conflict of interest diantara subjek pengawasan dan yang memiliki kepentingan lain. Independensi, merupakan prasyarat bagi terwujudnya sikap netral dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga, dengan menempatkannya tidak dibawah kekuasaan eksekutif, legislatif __ maupun yudikatif, tidak menyebabkan bahwa lembaga tersebut menjadi superbody , karena mekanisme pengawasan secara hukum pidana, maupun administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 dan tatanegara, merupakan hal yang terjadi secara mekanis dalam proses checks and balances . Baik komisioner OJK sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, independensi dirumuskan sebagai kebebasan dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri lembaga, baik sebagai intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung, maupun berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari siapapun, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lain; Mekanisme masa jabatan dan pemilihan pejabat yang duduk dalam lembaga independen tersebut umumnya menjadi metode yang sering digunakan untuk menunjukkan independensi lembaga tersebut, ysng akan terjamin jika secara konsisten dilaksanakan. Seorang yang diangkat dengan mekanisme pemilihan yang biasanya dilakukan oleh DPR, juga dijamin kedudukannya dalam masa jabatan tertentu tidak dapat dihentikan, kecuali karena adanya pelanggaran pidana yang berat menyebabkan pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, memuat seluruh persyaratan sebagai lembaga Negara yang independen; Integrasi Kewenangan Regulasi dan Pengawasan. Tampaknya integrasi kewenangan regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga merupakan ciri dari lembaga independen, di mana kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya disatukan dalam satu lembaga. Jika hal demikian terdapat pada OJK, maka menurut hemat kami, tidak mengganggu derajat independensi lembaga induk (BI), yaitu kewenangan BI yang seharusnya tidak boleh diambil tetapi diambil, sehingga berkurang sentralitasnya, dan juga tidak mengurangi kewenangan lembaga induk serta ciri dan fungsi utama lembaga induk atau BI, tidak dikurangi dalam hal sentralitas BI dalam UUD. Sistem keuangan dan perekonomian nasional, terutama berkembangnya lembaga jasa keuangan dengan fungsi utama sebagai intermediasi dengan innovasi finansial, telah menciptakan sistem yang kompleks, dan dalam perkembangannya yang pesat didorong oleh proses globalisasi. Hal tersebut telah mengakibatkan tugas tersebut tidak lagi dapat diserahkan kepada BI sebagai Bank Sentral dengan tugas pokok sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 otoritas moneter. Pengalaman masa lalu ketika BI sebagai Bank Sentral menggunakan instrument moneter berupa bantuan liquiditas untuk menyehatkan kondisi bank yang diawasi adalah disebabkan karena bank sentral keinginannya menutupi kelemahan akibat pelanggaran terhadap prudential banking [Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal. 10] . Hal ini telah mengakibatkan masalah yang tidak dapat dipandang selesai sampai saat ini; Adanya kewenangan yang meliputi fungsi regulasi dan pengawasan bahkan sering ajudikasi sebagai fungsi judikatif terjadi dalam lembaga Negara independen secara universal. Dengan kompleksitas masalah dalam bidang jasa keuangan dengan produknya yang beragam dan pemain yang meliputi asing dengan jumlah dana yang besar, menyebabkan perlunya dilakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan secara lebih terintegrasi ( ibid, hal.3) Kesewenang-wenangan yang mungkin dapat timbul dalam hal demikian, dapat dicegah dengan membangun system checks and balances baik secara internal maupun melalui lembaga lain secara eksternal dalam judicial review dan mekanisme hukum lain yang tersedia. Dampak Globalisasi Terhadap Ekonomi dan Keuangan Nasional Globalisasi, sebagai satu proses transformasi meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal itu semakin dirasakan membawa pengaruh mendalam baik dalam kehidupan pribadi secara individual maupun secara kelembagaan dalam kehidupan negara dan masyarakat, ketika gagasan, dana dan nilai-nilai kultural masuk kedalam ruang-ruang kita secara mudah menembus batas ruang dan waktu. Komunikasi yang amat mudah dengan kecepatan tinggi dan transportasi yang murah membawa proses globalisasi tersebut mentransformasi kehidupan manusia dan lembaga yang dikenal dalam negara dan masyarakat. Interaksi sosial, politik, ekonomi, finansial, ilmu pengetahuan, teknologi dan kultural antara satu bagian dunia dengan bagian dunia lain, terjadi dan berlangsung demikian saja dengan satu tekanan klik pada perangkat elektronik. Akibatnya dikatakan bahwa dunia ini telah menjadi rata ( the world is flat ) [ Thomas L. Friedman, The World is Flat, The Globalized World in the Twenty First Century, Penguin Books 2006, hal 7 ]. Globalisasi ada kaitannya dengan dalil bahwa kita sekarang hidup dalam satu dunia ( Anthony Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 Giddens, Run Away World, How Globalisation is Reshaping Our Lives,Profile Books,h. 7 ). Dibawah pengaruh globalisasi, kedaulatan negara telah menjadi semakin kabur atau tidak jelas, karena kekuatan global dapat mempengaruhi kehidupan warganegara disatu teritorial tertentu; Meskipun begitu banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1 ). Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya tercakup ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin memerlukan kreativitas untuk bertahan. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( ibid) . Satu ciri dari globalisasi ekonomi dapat ditunjuk kebebasan modal bergerak dari satu negara kenegara lain, sehingga dalam keadaan tertentu pergerakan jangka pendek modal memasuki satu negara, dan ketika kemudian tiba-tiba ditarik kembali, akan terjadi gangguan besar bagi sistem moneter negara tersebut. Meski kebijakan moneter Amerika tidak diterapkan keseluruh dunia akan tetapi mata uang dollar menjadi alat pembayaran utama dalam sistem perdagangan internasional. Sistim nilai tukar mengambang dan pusat pusat pasar modal di Amerika sangat berpengaruh pada pasar modal diseluruh dunia, sehingga fluktuasi yang terjadi secara berantai akan membawa dampak ke pasar modal negara lain ( Tetapi saat ini mata uang dollar tidak lagi perkasa, dan terutama karena krisis yang dipicu oleh prime mortgage, orang mulai beralih kemata uang euro (Harian Kompas Oktober 2007 ). Tidak ada pemerintah nasional yang dapat menjalankan dengan effektif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 tata aturan ekonomi apapun, bila tata aturan itu menyimpang dari standar internasional dan merugikan kepentingan TNC yang beroperasi diwilayahnya (Paul Hirst & Grahame Thomson, op.cit hal 19 _); _ Satu transformasi, yaitu perubahan dalam struktur, tampilan atau karakter terjadi secara luas dan besar-besaran, sebagai akibat proses globalisasi. Semua negara, wilayah, lembaga, masyarakat dan individu terkena dampaknya, yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam interaksi dan interelasi secara kelembagaan, wilayah dan antar masyarakat serta individu. Respon yang memadai terhadapnya tidak dapat diabaikan sama sekali, karena penetrasi yang terjadi secara global telah melampaui dengan mudah batas-batas negara, bahkan-batas-batas yang ingin dijaga dalam rumah keluarga-keluarga. Meskipun proses globalisasi sesungguhnya mempunyai banyak dimensi-sebagaimana telah diuraikan dibagian awal-akan tetapi sesungguhnya orang lebih banyak berbicara tentang proses dan dampaknya dalam bidang ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak globalisasi dibidang ekonomi dapat menyengsarakan rakyat diwilayah atau negara tertentu secara signifikan, karena tidak siap dan tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara global tersebut. Umumnya negara- negara yang miskin dan sedang berkembang, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang rendah tidak siap menghadapinya. Apalagi jika kebijakan yang diambil tidak dapat memperhitungkan keadaan domestik secara sosial, ekonomi dan kultural yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, diharuskan bersaing secara bebas dan terbuka dengan aktor asing yang lebih canggih. Sesungguhnya transformasi yang terjadi dengan globalisasi sekarang menyebabkan hampir seluruh dunia, sedikit banyak terhubung kedalam sistem dunia yang semakin terintegrasi, dimana parameter pasar mendominasi; Pasal 33 UUD 1945 dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi dan integrasi dunia melalui perdagangan bebas dengan filosofi pasar bebas, mau tidak sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan keuangan Indonesia. Dalam hal demikian perlindungan yang diperlukan dalam menjaga segenap bangsa semakin menjadi besar. Memang kemungkinan UU OJK merupakan salah satu yang diajukan oleh IMF sebagai persyaratan untuk bantuan membenahi ekonomi Indonesia, tetapi tidak selalu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hanya karena demikian saja UU OJK tersebut bertentangan dengan UUD 1945; UUD 1945, yang memuat konstitusi Ekonomi, yang telah beberapa kali dijadikan batu penguji terhadap kebijakan ekonomi yang tertuang dalam undang-undang yang dimohonkan review oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 yang menentukan prinsip penguasaan negara, demokrasi ekonomi dan kebersamaan, effisiensi berkeadilan, dan pembangunan yang sustainable serta berwawasan lingkungan oleh Mahkamah diartikan bahwa penguasaan itu tidak selalu dalam arti mutlak 100%, sepanjang penguasaan atas pengelolalan tersebut memberi pada negara posisi yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan, sehingga oleh karenanya juga divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN yang mengelola sumber daya alam tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [ _Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: _ “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional] , sepanjang penguasaan negara efti atas cabang produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam, dan sepanjang Negara memiliki posisi dominan dalam policy making badan usaha melalui komposisi saham. Dengan kata lain dalam tafsiran Mahkamah, privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara dalam arti posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetap, dalam tangan negara, dapat diterima dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ( Ibid, hal 336-349 _); _ Dalam krisis keuangan yang dapat menimbulkan krisis global, yang dikatakan seperti tsunami, bagi Indonesia dampak ”globalisasi” secara buruk kelihatannya berjalan satu arah. Kita tidak mampu memberi perlawanan, dan menjadi korban. Sejak era Pemerintah Orde Baru, dua kekuatan utama telah menelan Indonesia, yaitu pertama ”kekuatan deregulasi” yang memaksa keterbukaan akses pasar nasional, yang awalnya hanya meliputi perdagangan, tetapi kemudian meliputi investasi asing. Kedua, pertumbuhan perjanjian dagang regional, ternyata telah menggeser proses regulasi kearah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 skala yang berbeda ( Kami menggunakan dua kekuatan itu dari Paul Dickens, op.cit hal 427 _); _ Kritik Stiglitz, yang mengecam pendekatan IMF “ one-size-fits-all”, yang dianggap memberikan solusi dengan cara yang sama dengan tidak mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda, menyatakan l dengan cara yang lugas: ”... Especially at the International Monetary Fund , decisions were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest… While no one was happy about the suffering that often accompanied the IMF programs, inside the IMF, it was simply assumed that whatever suffering occurred was a necessary part of the pain countries had to experience on the way to becoming a successful market economy, and that the measures would, in fact reduced the pain the country would have to face in the long run. The hypocrisy of pretending to help developing countries by forcing them to open up their market to the goods of advanced industrial countries while keeping their own market protected, policies that make the rich richer and the poor more impoverished and increasingly angry (Joseph E. Stiglitz, Globalization And Its Discontents, Allen Lane Penguin Books 2002, hal xiii,xiv dan xv). Dibagian lain Siglitz menyebutkan bahwa kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna dapat disimak dari pernyataan Joseph Stiglitz : ” presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off ” ( Putusan MK op.cit hal 330-331 ) _; _ Banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1) . Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin terpengaruh. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( _ibid); _ Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat untuk mengawal konstitusi, memberi tafsiran atas pasal 33 UUD 1945 sebagai batu ujian konstitusionalitas kebijakan ekonomi yang diadopsi dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan memperhitungkan juga lingkungan strategis global yang berubah. Mahkamah Konstitusi secara khusus telah memberi pengertian ”penguasaan oleh negara” dalam putusan-putusannya sebagai berikut ini : ” ...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem...,maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah negara, pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sesesar-besar kemakmuran rakyat”. ”...pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-02-022/PUU- I/2003 ). Ini memperkuat keyakinan kita akan apa yang disebut ketidak sempurnaan pasar dan perlunya intervensi Pemerintah sebagaimana disebut Joseph Stiglitz: ” Behind the free market ideology there is a model, often attributed to Adam Smith, which argues that market forces-the profit motive-drive the economy to efficient outcomes as if by invisible hand. One of the great achievements of modern economics is to show the sense in which, and the conditions under which Smith’s conclusion is correct. It turns out that these conditions are highly restrictive. Indeed, more recent advances in economic theory-ironically occurring precisely during the period of the most relentless pursuit of the Washington consensus policies-have shown that whenever information is imperfect and market incomplete, which is to say always, and especially in developing countries, then the invisible hand works most imperfectly. Significantly, there are desirable government interventions which, in principle, can improve upon the efficiency of the market. These restrictions on the conditions under which markets result in efficiency are important-many of the key activities of government can be understood as responses to the resulting market failure” (Joseph E. Stiglitz, op.cit hal 73-74 ). __ Oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi Indonesia yang membentuk paradigma negara kesejahteraan ( Kita tidak menyebut paradigma sosialis, untuk menghindari kesan kembali mempertahankan kebijakan ekonomi yang dianut negara-negara komunisme dalam masa perang dingin, yang secara mutlak telah mengalami kekalahan dari sistem kapitalisme) , dengan tafsir mutakhir yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, kami yakini dapat diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan tingkat perkembangan kondisi sosial, kultural dan ekonomi dari Negara dan bangsa Indonesia. Dalam menata dan melaksanakan tugasnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada UUD 1945, kami melihat bahwa pemerintah pusat dan lokal dalam tugas pokoknya untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, ekonomi, dan pembangunan yang effektif dan effisien untuk mendukung terwujudnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 perekonomian nasional yang berfihak pada ekonomi kerakyatan, yang merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian Internasional harus dapat memperhatikan paradigma negara kesejahteraan ( welfare state). Pembentukan OJK hemat kami sesuai dengan konsep pengawasan dan intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi rakyat dan perekonomian Indonesia dari praktik di bidang jasa keuangan yang merugikan perekonomian masyarakat dan negara, karena sebagai lembaga negara yang independen, OJK adalah bagian dari organ negara, yang memenuhi syarat dalam tugas pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan, yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Justru dia menjadi bagian dari campur tangan negara untuk mengawasi dan mengatur jasa keuangan di Indonesia, dengan cara yang independen dan dibebaskan dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah ditasfirkan oleh Mahkamah Konstitusi; Sekali lagi kami memohon kehati-hatian Majelis yang Mulia Hakim MK, suatu putusan yang meniadakan lembaga OJK seperti yang terjadi pada BP Migas, membawa akibat yang sangat berbeda, karena akan menghilangkan kepastian hukum, kepercayaan investor asing, yang akan terdorong untuk menarik dana besar mereka secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan panik dan kekacauan secara berantai, yang boleh menjadi krisis ekonomi; Kesimpulan 1. Pemohon tidak mempunyai dasar legal standing yang memadai untuk memohon pengujian UU OJK;
Karena keterkaitan ekonomi global dengan ekonomi Indonesia, maka Putusan MK, sekalipun hanya menghentikan untuk sementara kegiatan OJK, justru dapat menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia;
UU OJK tidak melanggar constitutional boundary Dalam UUD 1945;
Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M Pada dasarnya, pengujian atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (lebih lanjut disebut UU OJK) dilakukan oleh karena Pemohon menganggap bahwa; Pertama , OJK ini bukanlah lembaga yang sah secara konstitusional dan karenanya tidak dapat disematkan sifat keindependenan padanya. Kedua , OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, padahal menurut Pemohon, hanya Bank Indonesia-lah yang memiliki sifat-sifat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sebagai bank sentral dengan segala tugas dan fungsinya sehingga tidaklah tepat jika OJK diperbolehkan untuk memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud di dalam UU OJK. Ketiga , pembentukan OJK menimbulkan banyak kerugian oleh karena OJK mengadakan pungutan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sumber pendanaan OJK. Karena ini berarti entitas yang diawasi malah menjadi sumber dana dan akan mengganggu independensi OJK, khususnya OJK akan lebih memperhatikan industri jasa dan keuangan dibanding kepentingan publik; Dalam kapasitas sebagai ahli dan untuk merespon permohonan Pemohon tersebut, akan menjelaskan hal-hal sebagai berikut; Pertama, seperti apa sesungguhnya lembaga negara independen secara teoritik dan praktik. Kedua, makna relasi OJK dengan lembaga bank sentral; Ketiga, pungutan yang dilakukan terhadap jasa keuangan apakah dengan serta merta dapat dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945; Dalam kapasitas sebagai ahli dengan menyatakan sebagai berikut; Perihal Independensi OJK dan Lembaga Negara Independen Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa OJK adalah lembaga negara independen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU OJK itu sendiri. Dapat digolongkan sebagai lembaga negara oleh karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dan dalam rangka menjalankan tugas negara di sektor pengawasan terhadap perbankan. Kemudian, diberikan sifat independen oleh karena diharapkan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, OJK kemudian dijadikan lembaga negara yang bersifat independen; Lembaga negara independen seringkali diterjemahkan menjadi lembaga negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lainnya. Lembaga yang menjadi independen atas lembaga negara lainnya dan menjalankan fungsi- fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies) , maupun yang hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies) , sehingga padanya disematkan kewenangan kelembagaan kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya ( Lihat: Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, halaman 338-339 _); _ Bahwa menurut Milakovich dan Gordon, komisi negara independen pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 hakikatnya memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Selain itu, anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya ( Michael E.Milakovich, dan George J. Gordon , Public Administration in America , Seventh Edition, USA, Wadsworth and Thomson Learning, 2001 ). Perihal independen ini, Funk dan Seamon menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol presiden, walaupun independensi itu sifatnya relatif, tidak mutlak ( William F Funk and Seamon, 2001 Administrative Law, Examples and Explanations , Aspen Law and Bussiness, New York _); _ Di samping itu, periode jabatannya bersifat ”staggered ”. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait, karena periodesasi jabatan komisioner tidak mengikuti periodesasi politik kepresidenan. Demikian juga perihal jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. Selain itu, keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan ( ibid). Dengan karakter seperti di atas, maka komisi independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak; Ditambahkan Gordon dan Milakovich, perihal nomenklatur kelembagaan bisa ditarik dalam kesimpulan penggunaan istilah regulatory agencies merujuk kepada semua jenis dependent and independent regulatory boards , commissions, law enforcemen agencies dan executive department yang memiliki kewenangan pengaturan (Op.Cit Gordon and Milakovich). __ Lebih lanjut dijelaskan bahwa: The term of regulatory agencies will refer to a regulatory bodies headed by single individual (most commonly a director); a regulatory commissions is headed by group of commissioners (or sometimes, board member) and both regulatory bodies will refer to both kinds of structures (ibid) . Dikatakan, sebagai pembedaan yang akan menunjukkan perbedaan type of regulators, in their _operational as well as their formal structures (ibid); _ Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini adalah, Pertama , dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang mengepalai agency . Kedua , tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 boleh dikuasai secara simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan partai tertentu. Ketiga , para komisionernya punya masa jabatan yang fixed dengan cara berjenjang ( staggered terms ), yang artinya mereka tidak berhenti secara bersamaan. Keempat , para anggota hanya bisa diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam dalam aturan dan tidak dengan cara yang ditentukan oleh Presiden seperti di lembaga eksekutif ( Op.Cit., Funk dan Seamon _); _ Sementara itu, Michael R. Asimov, komisi negara disebutnya sebagai administrative agencies dengan pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent ( Michael R. Asimov 2002, Administrative Law , Chicago: The BarBri Group ) . Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah tergantung pada satu cabang kekuasaan tertentu, atau bersifat independen, Asimov melihatmya dari segi mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, melalui mekanisme pengaturan yang dimiliki presiden ( _bid); _ Sementara William F. Fox, Jr mengemukakan bahwa komisi negara adalah bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress . Atau, bilamana terdapat pembatasan kewenangan presiden untuk tidak bisa secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian pimpinan komisi negara tersebut ( William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law , Danvers: Lexis Publishing, 2000 _); _ Sebuah komisi negara independen adalah lembaga publik yang memiliki independensi, otonomi dan kompetensi pengaturan dalam menjalankan ruang publik yang sensitif, seperti perlindungan persaingan, supervisi capital market , dan pengaturan pelayanan kepentingan ekonomi secara umum . Keberadaan komisi negara independen ini, dijustifikasi oleh adanya kompleksitas pengaturan hal-hal tertentu, serta tugas-tugas yang bersifat supervisory dan sangat membutuhkan keahlian khusus. Kebutuhan untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 implementasi secara cepat kewenangan publik di sektor tertentu dan juga bebas dari campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas. Bahwa dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Pertama, oleh karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan mana pun menjadi. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan perbankan secara independen. Dan oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan pengasan secara lebin independen itulah maka UU Bank Indonesia sendiri telah mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri yang independen dalam melakukan pengawasan sektor jasa keuangan; Kedua , OJK telah memiliki hampir semua ciri keindependenan yang dimaksudkan sebagai ciri penegas dari keindependenan suatu lembaga negara independen. Tentu saja tidak semua, apalagi memang tidak satupun lembaga negara independen di Indonesia yang mengikuti berbagai ciri teoritik untuk lembaga negara independen tersebut. Misalnya soal pergantian yang berjenjang ( staggered terms ). Sampai saat ini, tidak satupun lembaga negara independen yang memiliki sifat pergantian berjenjang. Lagipula, kepentingan pergantian berjenjang adalah untuk mengecilkan kemungkinan penguasaan suatu lembaga negara independen oleh partai politik tertentu. Tetapi selebihnya, OJK dapat dikatakan menjalankan penuh sifat-sifat keindependenan sebagaimana ciri teoritik; Ketiga , haruslah diingat bahwa keindependenan dapat diukur kepentingan konstitusionalnya melalui fungsi yang ingin dikerjakan. Jika ada suatu tugas yang negara ingin lakukan, sangat penting, serta adanya kemungkinan conflict of interest dengan kepentingan Pemerintah, maka disitulah lahir kepentingan konstitusional untuk mengindependenkan tugas tersebut ke suatu lembaga tersendiri dengan harapan tidak akan dipengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun. Bank Indonesia dan OJK Perihal OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, memang merupakan hal yang menarik. Sesungguhnya harus diingat beberapa hal yang melatari lahirnya UU Bank Indonesia yang mencantumkan pemisahannya dari Bank Indonesia. Salah satunya krisis yang terjadi di tahun 1997-1998, dan menimbulkan kesimpulan kala itu bahwa terjadi ketidakefektifan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karenanya, dipisahkanlah fungsi regulasi dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 pengawasannya. Pemisahan ini tentunya adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang yang melihat adanya persoalan pengawasan perbankan. Karenanya, pembentukan OJK adalah bagian dari ijtihan negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan jasa keuangan; Kedua , perihal makna terintegrasi. Makna kata terintegrasi secara hukum tidaklah dapat dikatakan bahwa terintegrasi itu haruslah dipegang oleh satu lembaga saja. Terintegrasi tentu saja bermakna dapatjuga dilakukan oleh multi-pihak, sepanjang dilakukan secara terkordinatif dengan relasi yang baik dan jelas. Sekedar mencontohkan, integrated criminal justice system menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi tidaklah berarti hanya harus ada satu lembaga yang mengerjakan penegakan hukum pidana. Tetapi dapat juga dengan beberapa lembaga yang diupayakan terformat secara terintegrasi. Inilah yang dapat dilihat dalam relasi antara Bank Indonesia dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Tidaklah harus dilakukan oleh satu lembaga saja, tetapi dapat juga dengan multi-pihak. Disinilah peran pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan legal policy apa yang akan diambil dalam artian menjelaskan sistem perekonomian yang terintegrasi tersebut. Masih perihal terintegrasi tentunya tidak dapat diterjemahkan sebagai membiarkan adanya campur tangan satu pihak atas pihak yang lain sehingga mengganggu independensi. Terintegrasi memiliki makna kuat termasuk saling kontrol. Seperti layaknya suatu _checks and balances system; _ Karenanya, seharusnya dibalik logikanya bahwa dengan kehadiran OJK bukanlah memperlemah fungsi bank sentral yang sesungguhnya yakni memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam tugas tersebut, OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah, OJK, maupun Lembaga Penjamin Simpanan yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional; Perihal Pungutan OJK Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) s.d. ayat (6) serta penjelasannya mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 kemudian juga diatur bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek; Aturan ini bermakna banyak. Pertama , pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan APBN. Dapat juga hanya menggunakan pungutan. Dapan juga dengan menggunakan keduanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dan/atau” dalam aturan sebagaimana yang dimaksud di atas. Hanya dibebankan ke APBN tentu tidak tepat oleh karena memang ada pungutan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan seperti yang diatur di atas. Hanya menggunakan pungutan juga tidak mungkin oleh karena OJK harus beroperasi dari awal dan belum memiliki pendanaan. Maka yang paling mungkin adalah dengan menggabungkan kemungkinan keduanya digunakan. Oleh karena itulah hadir kata “dan/atau”; Kedua , tidaklah dapat dikatakan dengan serta merta bahwa dengan pungutan ini akan mengganggu independensi. Mencontohkan biaya-biaya persidangan perkara yang diatur di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Hal tersebut diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2012. Dalam Perma tersebut diatur secara jelas perihal biaya-biaya yang dimaksudkan untuk membayar kepentingan pencari keadilan khususnya untuk membiayai kepaniteraan; proses peradilan itu sendiri dan biaya pemberkasan. Bahkan diatur biaya penyelesaian perkara yang berkisar antara Rp. 250.000-Rp. 10.000.000,- Dan kemudian diatur disesuaikan dengan keadaan pengadilan setempat tersebut. Bahkan di beberapa pengadilan, jika ada yang tidak mampu membayar dengan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak mampu membayar karena termasuk golongan miskin, maka pengadilan dapat membebaskan dari biaya perkara tersebut; Artinya, pada dasarnya tidaklah dapat dikatakan melakukan pembayaran untuk mengurus biaya perkara dalam proses peradilan dapat mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menegakkan keadilan. Sepanjang, hal tersebit diatur dengan jelas dan terang sehingga tidak ada lagi biaya-biaya lain selain dari biaya yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. Hal yang sama dapat dilihat ke konteks OJK. Bahwa sesungguhnya apa yang dibayarkan oleh asa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut bagian dari biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan OJK. Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur dengan detail, bahkan diguanakan untuk pembiayaan apa saja serta yang paling penting adalah transparansi penggunaannya; Ketiga , perihal pungutan ini melanggar ketentuan UUD 1945 terkhusus Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” , sesungguhnya tidak serta merta dapat dikatakan melanggar. Apalagi, aturan mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa di negara ini tidaklah diatur secara terkodifikasi dalam satu Undang- Undang yang khusus mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa. Jika dikatakan bahwa harus dengan Undang-Undang tersendiri juga akan sangat repot karena harus membuat begitu banyak Undang-Undang khusus dan tersendiri yang mengatur soal pungutan. Termasuk Undang-Undang khusus pungutan OJK maupun Mahkamah Agung, serta seluruh lembaga-lembaga lainnya yang menggunakan pungutan ataupun pajak; Karenanya, pengaturan lebih lanjut dengan menggunakan aturan pelaksana dari Undang-Undang yang membolehkan pungutan secara praktik masih dapat diterima dan menjadi open legal policy dalam besaran jumlah pungutan sepanjang, -mengutip Putusan MK No. 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy , yakni sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi). Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya serta tidak menimbulkan ketidakdilan, maka masih dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Seperti yang diatur dalam Perma untuk biaya perkara maupun Peraturan OJK untuk pungutan atas jasa keuangan; Keempat , jikalaupun dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945 yang mengamatkan harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri, maka harus dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya kodifikasi atas keseluruhan pajak dan pungutan bersifat memaksa lainnya. Atau sekurang-kurangnya semua pungutan yang terjadi di MA, LPS, Pemerintah melalui PNBP, maupun OJK dan berbagai lembaga lain haruslah dibuatkan Undang-Undang nya masing-masing. Hal yang tentu mustahil karena mengingat kompleksitas soal hal tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 5. Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., PH.D Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang-Undang Dasar 1945 ? Dengan perkataan lain pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah filosofi pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan? 2. Apakah filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank? 3. Apakah artinya independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK? 4. Bagaimanakah hubungan kelembagaan antara Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem perekonomian Indonesia? 5. Apakah filosofi pembiayaan OJK dilakukan dengan pungutan dari para pelaku pasar? Pendapat Hukum ahli atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut ini: Filosofi pemisahan kewenangan menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Hal ini juga merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah memperkirakan perkembangan transaksi sektor jasa keuangan yang tidak bisa dilakukan secara partial, namun harus secara terintegrasi dari berbagai sub sektor jasa keuangan; Filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank adalah untuk melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entititas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi pula mempengaruhi pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan- perusahaan yang go publik (sektor Pasar Modal), Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak. Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance , artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Independensi dalam arti mengatur sendiri ( self-regulatory bodies ) seperti komisi lain yang ada: Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berada dibawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari Pemerintah. Namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan OJK harus tetap memberikan laporan keuangan tahunannya serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selanjutnya OJK wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik melalui media cetak dan media elektronik; Dalam hal OJK mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank tersebut memburuk, maka OJK dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Anggota FKSSK yaitu Menteri Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan LPS melakukan pertukaran informasi terkait dengan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga; Filosofi pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan/atau pelaku pasar adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 sebagai pembiayaan bagi OJK karena bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya, dimana pelaku pasar juga akan memperoleh manfaat dari jasa pengawasan yang dilakukan oleh OJK; Berdasarkan uraian saya tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan …” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang- Undang Dasar 1945; Menurut Pendapat Hukum saya, apabila permohonan Pemohon dikabulkan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia; tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan; Akan tetapi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum akan menyebabkan investor-investor melepaskan surat- surat berharga yang dimiliknya, hal ini dapat menyebabkan penjualan surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor karena harganya yang akan terus merosot akibat adanya ketidakpastian hukum. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan ABPN yang masih dalam keadaan defisit membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutupi defisit dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara, namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku dan pemerintah dapat mengalami keadaan default dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup; Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan; Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 6. Dr. Sihabudin, S.H., M.H I. Analisis Umum Ketentuan mengenai keuangan negara pertama kali diatur di dalam Konstitusi sejak 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Namun belum ada satupun pasal yang membahas mengenai kedudukan apalagi kewenangan dari Bank Sentral maupun Bank Indonesia. Pada Pasal 23 UUD 1945 pada saat itu hanya berisi lima pasal mengenai APBN, perpajakan, mata uang, dan pembentukan lembaga tinggi Negara BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada Konstitusi RIS Bab IV mengenai Pemerintahan Pasal 165 mulai mengatur mengenai BANK SIRKULASI yang diatur dalam undang-undang Federal dan hanya dibentuk satu di ibukota negara. Kemudian pada masa pemberlakuan UUDS 1950 pengaturan mengenai bank sentral mulai diatur pada Pasal 109 ayat (4) dan Pasal 110 , meski masih menggunakan nama BANK SIRKULASI ; Bank Indonesia mulai diberikan independensi dan diakui secara konstitusional sebagaimana hasil amandemen UUD 1945 pada era reformasi dan disahkannya UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang- Undang tersebut berisi penegasan BI sebagai bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain. BI diberikan kewenangan pemberian izin usaha bank, pembinaan dan pengawasan perbankan, meski muncul perdebatan di MPR yang meminta fungsi pengawasan bank dialihkan pada lembaga terpisah dari BI (yang dalam UU BI disebut LPJK), sedangkan kewenangan perizinan dan pengaturan masih tetap di bawah BI, dan permintaan itu dikabulkan. Hal tersebut dalam pembahasan amandemen kedua UUD 1945 (6 Desember 1999) menjadi perdebatan anggota MPR, dimana saya kutip salah satu pendapat dari Jubir F-KB, Abdul Khaliq Ahmad: “sebagai Bank Sentral, BI memiliki kewenangan di bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. BI juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan bank. Dengan demikian, kedudukan BI akan menjadi lembaga tinggi Negara sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah ada.. Oleh karena itu dengan dimasukkannya pengaturan tentang BI dalam UUD, independensi BI sebagai Bank Sentral diharapkan akan semakin kukuh dan bebas dari intervensi kekuatan lain. Merebaknya kasus-kasus besar perbankan akhir- akhir ini makin menyadarkan kita bahwa saatnya sekarang meningkatkan kinerja BI dengan pengaturannya secara eksplisit dalam UUD”. Seiring dengan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan atau yang disebut konglomerasi keuangan menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi, meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomis dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi; Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
Landasan yuridis: Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan yang mencakup perbankan, lembaga keunagan non bank, perusahaan pembiayaan dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;
Landasan filsafati: pemenuhan prinsip-prinsip good governance dengan menciptakan spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar dalam pengambilan keputusan menjadi efisien dan efektif;
Landasan sosiologis: peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, dan memelihara mekanisme pasar yang sehat melalui prinsip kesetaraan ( level playing field ); II. ANALISIS BUTIR-BUTIR PERMOHONAN 1. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ”. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara yang dikenal dan diberlakukan dalam praktik peradilan umum, karena hukum acara Mahkamah Konsitusi mengandung kekhususan-kekhusuan tertentu yang tidak ditemukan dalam praktik di peradilan umum. Salah satu kekhususan dalam hukum acara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Mahkamah Konstitusi, adalah adanya syarat kerugian konstitusional bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 45. Dalam pikiran saya, konsep kerugian pada dasarnya adalah domain hukum perdata ( private law ), bukan domain hukum konstitusi. Jika dalam hukum perdata kerugian dimaknai sebagai hilang atau terganggunya hak-hak perdata seseorang yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hak tersebut atau yang melawan hukum. Sedangkan dalam hukum konstitusi Pertama , adanya hak konstitusional yang bersangkutan yang diberikan oleh UUD 45, Kedua , hak konstitusional tersebut dianggap oleh yang bersangkutan telah dirugikan oleh Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Ketiga , kerugian konstitusional tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat , adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian tersebut dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Walaupun sekilas tampak bahwa ‘penganuliran’ terhadap pasal atau materi tertentu dari suatu undang-undang merupakan remedy terhadap kerugian konstitusional yang terjadi sebagai akibat dari berlakunya pasal atau materi tertentu dari Undang-Undang tersebut, sesungguhnya ‘penganuliran’ tersebut bukanlah akibat langsung dari adanya kerugian konstitusional tersebut, melainkan akibat dari adanya pertentangan antara pasal atau materi tertentu dari undang-undang tersebut dengan UUD 45 [lihat Pasal 57 ayat (1)] Jika secara perdata, ada atau tidaknya kepentingan tersebut dapat dibuktikan secara formil berdasarkan, salah satunya, ada atau tidaknya hubungan hukum, maka bagaimana membuktikan adanya ‘kepentingan’ dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dapat disimpulkan bahwa pemohon dapat dikatakan memenuhi legal standing dalam permohonan tersebut, meski masih menimbulkan multi tafsir dalam pemaknaan kerugian secara konstitusional. Dalam permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 tersebut para penggugat juga belum menunjukkan secara jelas apa kerugian konstitusional yang mereka dapatkan, apakah unsur “kepentingan” sudah dianggap mewakili? Sehingga Pemohon hanya menjabarkan hak konstitusional yang belum sesuai dengan alasan mereka mengajukan permohonan (seperti: membayar pajak, pemberi aspirasi, kedudukan dalam hukum dan apa dasar OJK disebut melakukan pemborosan sehingga mereka mengalami kerugian secara konstitusional).
Pada angka 24 tidak perlu menyebutkan Undang-undang nomor 13 tahun 1968 khususnya di Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kewenangan Pemerintah dan Dewan Moneter yang sudah dihapuskan sejak Undang- Undang tersebut dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga tidak tepat apabila angka 24 dijadikan landasan yuridis permohonan oleh pemohon terhadap UU OJK;
Pada angka 25, memang dibentuknya OJK dalam rangka mengurangi tugas BI dan agar terjadinya distribusi tanggung jawab yang seimbang. BI sebagai Pembina jangan sekaligus menjadi pengawas. Harapannya Bank Sentral berfungsi sebagai lembaga moneter, sehingga terhindar konflik interest;
Pada angka 31, Pemohon menggunakan istilah “perkawinan” untuk memaknai konglomerasi keuangan, sehingga dalam legal drafter hal ini menyalahi interpretasi gramatikal. Pada butir ini juga menjelaskan mengenai unit link dan penggabungan produk bank dengan asuransi dan produk lembaga keuangan lain yang dikatakan belum ada dalam UU Asuransi dan RUU nya. Padahal terkait hal ini, perbankan diberikan kebebasan dengan membentuk self regulation terkait produknya akibat konglomerasi keuangan yang disebut bancassurance dan ini juga dasar dibentuknya UU OJK bukan sebaliknya. Pada ketentuan peralihan sudah diatur bahwa ‘saat OJK terbentuk, tugas dan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Usaha Perasuransian menjadi tugas dan wewenang OJK, jadi hal ini secara legalitas telah memberikan peralihan kewenangan kepada OJK terkait usaha asuransi;
Pada angka 32, angka 38 dan angka 39, dikatakan secara konstitusional, cantolan OJK tidak jelas di UUD 1945 dan berasal dari turunan yang asimetris. Dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 23D mengatur mengenai bank sentral yang tidak secara khusus menyebutkan BI atau OJK. Bunyi Pasal 23D, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang ”. Tidak ada kata “bank Indonesia” yang awalnya diperdebatkan dimasukkan atau cukup menggunakan kata “bank sentral”, dengan ketakutan apabila menggunakan langsung “bank Indonesia” apabila lembaga ini “sakit” akan terganggu kestabilan bank sentral. Jadi Pasal 23D UUD 45 memberikan kedudukan dan kewenangan bagi bank sentral yang nantinya muncul turunan dengan pengaturan di dalam UU bank sentral yang melahirkan UU Bank Indonesia. Perlu digarisbawahi juga adalah pendirian lembaga tinggi atau lembaga Negara tidak harus menggunakan konstitusi sebagai dasar pendirian atau pembentukannya, namun bisa menggunakan Undang-Undang. OJK pendiriannya didasarkan pada UU BI yang mendasarkan pada Pasal 23D UUD 194 Mengenai OJK yang berasal dari turunan yang asimetris, yaitu OJK berdasarkan PasaL 34 UU BI hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi perbankan mengambil alih kewenangan BI saja bukan Menkeu dan Bapepam- LK. Pasal 34 UU BI ayat (1) hanya berbunyi: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang . Dalam legal drafting , dalam pasal ini tidak disebutkan OJK secara langsung, tetapi karena penamaan lembaga menggunakan huruf kecil yakni “ lembaga pengawasan sector jasa keuangan ” dimaknai pembuat Undang-Undang tidak memberikan nama lembaga tertentu, sehingga penggunaan nama OJK diperkenankan. Kedua , Pasal 34 UU BI memang hanya menyebutkan bahwa pembentukan LPJK/OJK hanya untuk mengawasi bank yang awalnya kewenangan dari BI, namun di dalam penjelasan Pasal 34 UU BI ( penjelasan merupakan bagian dan satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga tidak dapat dimaknai secara terpisah ) menjelaskan mengenai kewenangan OJK tidak hanya mengawasi bank tetapi juga mengawasi lembaga keuangan lainnya dan mengenai sifat independensi OJK.
Angka 37, munculnya mandat yuridis dalam Pasal 34 UU BI merupakan big planning dari IMF dan inspirasi dari FSA inggris ( Finantial Suoervisory Agency of United Kingdom ) yang gagal. Suatu catatan bahwa gagalnya FSA-UK bukan konsepnya yang salah, konsepnya sudah benar dan bagus, hanya persoalan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 menangani krisi tidak terjadi koordinasi yang baik dari pihak terkait. Perlu ditekankan bahwa Politik Hukum pembentukan OJK bukan murni dari “permintaan”, namun dari pendekatan historis, hal ini dipengaruhi keadaan politik hukum pada masa reformasi, yaitu muncul pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie sebagai pengganti rezim Soeharto. BJ Habiibie yang menimba ilmu di Jerman tertarik dengan metode yang digunakan oleh Bundesanstalt fur finanzdienstleistungsaufsicht yang memiliki kewenangan mengawasi Bank, perusahaan asuransi, dan dealer sekuritas atas masukan dari Bundesbank (Bank sentral jerman) pada saat itu. Metode ini dikenal dengan metode integrated dengan pendekatan twin peaks . Ini juga bertujuan agar pengawasan berjalan efektif. Memang benar bahwa Financial supervisory authority (FSA) gagal di Inggris, namun percontohan model integrated di Indonesia meniru Jepang dan Korea Selatan, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen kunjungan kerja delegasi pansus RUU OJK pada tanggal 31 Oktober s.d. 6 November 2010. Secara historis munculnya Pasal 34 UU BI ini sebenarnya bukan karena desakan IMF. IMF yang mempunyai anggota 168 (seratus enam puluh delapan) negara, berperan hanya memberi saran yang sifatnya umum, dan letter of intent dibuat oleh Indonesia sendiri, dan juga atas permitaan BI sejak diberikan independensi dalam UU Nomor 23 Tahun 1999.
Angka 40, perlu menjadi catatan bahwa tidak ada Undang-Undang di bidang ekonomi yang lebih kuat antara satu dengan lainnya, kecuali memiliki strata lebih tinggi ( stuffenbaw theory Hans Kelsen dan asas lex superiori derogate legi inferiori ). Namun apabila ada UU yang lebih khusus akan mengalahkan UU yang lebih umum ( lex specialis derogate legi generalis ). Perlu diingat, bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal yang disebut dengan Undang-Undang Payung yang dapat dijadikan dasar secara umum bagi Undang-Undang khusus di bawahnya. Meski pernah dalam prolegnas akan dibentuk RUU tentang Demokrasi Ekonomi namun sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jadi antara UU Perbankan, UU Asuransi, UU Pasar Modal dan sebagainya memiliki derajat yang sama. Pasal 34 UU BI sebagai landasan yuridis BI mengawasi perbankan karena merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945 namun telah memberikan kewenangannya kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 OJK melalui UU OJK pada Pasal 6, Pasal 7 hingga ketentuan peralihan dan penjelasan sebagai satu kesatuan norma.
Angka 44, isi permohonan tersebut kurang memahami perbedaan antara makroprudensial dan mikroprudensial. Meski kewenangan BI sebagian mengenai microprudensial telah diserahkan kepada OJK melalui UU OJK, namun BI masih tetap secara konstitusional merupakan Bank Sentral Republik Indonesia berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. Sehingga dalam forum bank sentral dunia dalam hal ini Basel Committee (BI sampai sekarang bukan anggota Basel Committee namun mengikuti ketentuan Basel Committee dalam hal pengawasan mulai Basel I hingga Basel III) masih tetap dipegang Bank Indonesia sebagai pemegang kewenangan Macroprudensial sebagai Bank Sentral.
Angka 46, pada Konsideran mengingat UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan landasan yuridisnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Tidak tepat kalau pemohon menghubungkan dengan Pasal 33 ayat (1) karena berbeda sistem dengan OJK, namun Pemohon melupakan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dimana ditemukan ASAS KEMANDIRIAN, dimana kemandirian diartikan sebagai independensi. Hal ini yang dapat menjadi landasan yuridis pembentukan lembaga Negara yaitu OJK yang bersifat independen sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang ini.
Angka 51, Pemohon belum memahamii perbedaan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sistem keuangan, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Stabilitas moneter yang dipegang oleh BI merupakan kestabilan mata uang untuk mengendalikan inflasi, sedangkan stabilitas sistem keuangn yang dipegang OJK merupakan stabilitas institusi dan pasar uang untuk menghindari tekanan dan pergerakan harga yang menyebabkan guncangan ekonomi (Aspach O, et al tahun 2006 dalam searching for a metric for financial stability ). Sehingga dengan adanya pemisahan antara macro dan microprudensial mengembalikan fungsi BI sebagai otoritas moneter selaku Bank Sentral di Indonesia. Menurut Jordan (2010), tujuan dari bank sentral berfokus pada instrument makroprudensial dan moneter untuk stabilitas harga sebagaimana bagan berikut : Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan OJK tidak akan bias karena OJK berperan dalam stabilitas sistem keuangan sedangkan BI akan fokus sebagai otoritas moneter dan stabilitas moneter.
Untuk permohonan mengenai Pasal 37 UU OJK, tentang pembiayaan OJK melalui APBN dan/atau pungutan terhadap bank dan lembaga keuangan, bahwa pungutan itu dalam ilmu ekonomi merupakan hal yang wajar, dimana pungutan itu merupakan pemberian atas jasa otoritas yang telah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lembaga keuangan tersebut, apalagi sistem pungutan ini diatur dan ditentukan oleh Pemerintah, bukan OJK yang menentukan. Ada informasi, bahwa ada 100 (seratus) negara yang memungut biaya untuk operasional kegiatan seperti OJK ini.
Hal yang masih sumir juga adalah mengenai pertanyaan: siapa yang akan mengawasi OJK? Sebenarnya itu pertanyaan klasik, dimana siapa yang akan mengawasi lembaga pengawas? Padahal BI sempat diragukan hingga dibentuklah Badan Supervisi BI di dalam tubuh BI. Pengawasan akan tetap dilakukan yang merupakan fungsi BPK. Sebenarnya Hal pengawasan OJK sudah diatur Pasal 38 UU 21/2011. Hal ini sekaligus menjawab bahwa indepensi OJK bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ada tanggung jawab dan pengawasan.
Sebagai penutup tanggapan saya adalah jika pengawasan yang sudah berjalan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen dihentikan beberapa waktu saja, maka akan terjadi dampak ketidak percayaan pada lembaga-lembaga keuangan yang ada, yang berakibat terjadinya gangguan geraknya lembaga keungan dan berdampak sistemik perekonomian dan keuangan nasional. Apalagi jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan yang dibatalkan, maka akan berdampak negatif (berisiko) yang sangat besar. Microprudential Policy Capital and Liquidity Buffer Macroprudential Risk and Monetary Policy 1. __ Countercylical Capital Buffer and new instruments 2. __ Interest Rate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 7. Refly Harun, S.H., LL.M 1. Sepanjang yang dapat ahli catat, Pemohon dalam permohonan ini mempersoalkan tiga hal, yaitu (1) keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen, (2) kewenangan OJK, dan (3) sumber keuangan OJK;
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketentuan yang dipersoalkan tersebut, izinkanlah ahli mengemukakan pendapat yang terkait dengan legal standing Pemohon. Menurut ahli, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional yang nyata, baik aktual maupun potensial. Seharusnya yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang adalah lembaga atau pihak-pihak yang secara konkret merasa dirugikan dengan ketentuan a quo baik secara potensial maupun aktual. Sepanjang yang dapat ahli simak, Mahkamah terlalu longgar memberikan legal standing terhadap permohonan-permohonan seperti ini. Namun, semua itu terpulang kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ahli tidak dalam kapasitas untuk masuk terlalu jauh dalam persoalan ini;
Pemohon mempersoalkan kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang berbunyi, " Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini ";
Alasannya, antara lain, frase "independen" dan "independensi" hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ". Dengan demikian, menurut Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen;
Menurut ahli, tidak benar UUD 1945 hanya menyematkan kata "independen" kepada bank sentral. Dalam UUD 1945, kata yang maknanya setara dengan "independen" juga digunakan untuk lembaga-lembaga lain di UUD 1945, yaitu menggunakan kata "mandiri" atau "bebas" atau gabungan keduanya sebagaimana terlihat dalam pasal-pasal berikut: - Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga]; - Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) Perubahan Ketiga]; - Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga].
Dilihat dari sifatnya, lembaga-lembaga negara di luar lembaga negara utama, yang kita kenal sebagai bagian dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan negara (MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK), dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Dependent Regulatory Agencies dan Independent Regulatory Boards and Commissions (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon);
Disebut Dependent Regulatory Agencies bila lembaga yang ada merupakan bagian dari departemen atau kabinet atau struktur eksekutif lainnya, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan, Dewan Riset Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Iain-Iain;
Disebut Independent Regulatory Boards and Commissions bila lembaga yang ada memiliki ciri-ciri sebagai lembaga yang independen atau mandiri, yaitu: (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon) - Memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial; - Anggota atau para komisioner tidak melayani keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden; - Bersifat independen, relatif bebas dari kontrol presiden; - Masa jabatan komisioner biasanya definitif dan cukup panjang; - Periode jabatan bersifat " staggered '. Komisioner berganti secara bertahap sehingga presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut. - Jumlah komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. - Keanggotaan lembaga biasanya menjaga keseimbangan perwakilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 yang bersifat partisan.
Di Indonesia sejak era Reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK), dan sebagainya;
Di antara lembaga-lembaga tersebut bahkan ada yang keberadaan dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas seperti KY. Ada yang keberadaannya saja yang disebut, tetapi kewenangannya tidak jelas disebut, seperti bank sentral. Ada pula yang sebaliknya, kewenangannya disebut tetapi keberadaannya tidak disebut secara tegas, seperti KPU yang disebut dengan hurup kecil dengan frase "suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri", yang dalam praktiknya memunculnya dua lembaga, yaitu KPU dan Bawaslu;
Namun, lebih banyak lagi lembaga-lembaga independen yang baik keberadaan maupun wewenangnya tidak disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM, dan sebagainya. OJK termasuk salah satu di antaranya;
Lembaga-lembaga independen yang tidak disebut dalam UUD 1945, baik keberadaan maupun kewenangannya, tidak bisa dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, misalnya, patut dipertanyakan apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral sebagaimana disebut dalam Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ";
Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral - dari sisi original intent ada penolakan untuk mempermanenkan Bank Indonesia dalam konstitusi. Bahkan, ketika pembahasan pasal tentang bank sentral dibahas ada suara-suara untuk membubarkan Bl dan menggantikannya dengan institusi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 lain. Selain itu, UUD 1945 juga tidak mengatur kewenangan bank sentral, melainkan menyerahkannya kepada ketentuan Undang-Undang;
Merujuk pada ketentuan tentang "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga dalam praktiknya, yaitu KPU dan Bawaslu, hal yang sama bukan tidak mungkin diberlakukan pula pada ketentuan "suatu bank sentral" dalam Pasal 23D UUD 1945;
Secara teoretis dan didasarkan pada putusan Mahkamah terdahulu tentang frase "suatu komisi pemilihan umum" bisa saja fungsi bank sentral dijalankan lebih dari satu lembaga. Bisa pula bank sentral tersebut tidak bernama "Bank Indonesia". Hal-hal tersebut diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus ada bank sentral;
Munculnya lembaga-lembaga independen dalam dunia modem adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Paling tidak dua hal ini menjadi pertimbangan kuat bagi munculnya lembaga-lembaga independen tersebut, yaitu (1) karena pranata yang lama sudah tidak memuaskan kinerjanya, tidak independen, bahkan terlibat korupsi-kolusi;
Karena kebutuhan akan spesialisasi dan profesionalisme sebagai akibat bertambah kompleksnya tugas yang diemban;
Terkait dengan independensi suatu lembaga seperti OJK, terdapat dua aspek yang harus digarisbawahi, yaitu independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri;
Pentingnya independensi pengaturan dan pengawasan finansial dapat dipelajari dari kasus Korea dan Jepang. Krisis tahun 1997 yang juga melanda Korea merupakan akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial. Pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan non- bank berada di bawah kewenangan langsung dari kementerian keuangan dan ekonomi (Lindgren dkk, " Financial Sector Crisis and Restructuring : Lesson from Asia ", IMF Occasional Paper, No. 188, 1999);
Di Jepang juga terjadi permasalahan serupa. Kekuasaan Kementerian Keuangan Jepang pada tahun 1995 sangat luas, mencakup perencanaan keuangan, kewenangan membuat aturan, inspeksi keuangan, dan pemeriksaan/ pengawasan lembaga keuangan. Hal ini menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 rentan terjadinya korupsi oleh pejabatnya. Pada Juni 1998, Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Lihat Takeo Hoshi dan Takahisho Ito, Financial Regulation in Japan; Fifth Year Review of the Financial Services Agency , 2002, revised 2003 , hal 1-2);
Keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri baik dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun campur tangan politik. Hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabiltas keuangan ( Steeven Seelig and Alica Novoa, "Governance Practice at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monitory and Capital Market Departements wp/09/135, Juli 2009 , hal.10);
Otoritas yang independen di sektor keuangan akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien, dan yang lebih penting menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibandingkan ketika berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian (Kenneth Kaoma Mwenda, " Legal Aspects of Financial Services Regulation and The Concept of A United Regulator", the World Bank-Law Justice and Development Series 2006 , hal. 31);
Penting dicatat bahwa ada ketidakkonsistenan Pemohon ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan bukan bank. Menurut Pemohon, mandat yang diberikan oleh Pasal 34 UU 23/1999 yang telah diubah dengan UU 3/2004 adalah pengawasan bank. Namun, dalam bagian petitum justru pengawasan bank itulah yang diminta untuk dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat). Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 23. Dari sisi sejarah, pembentukan OJK sebenamya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-Undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan dari Bl dan DPR. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral (lihat Zulkarnain Sitompul, "Menyambut Kehadiran OJK", Pilars No. 02/Th. Vll/12-18 Januari 2004);
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, ahli menyatakan bahwa keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Untuk menutup keterangan ini, ahli ingin mengutip Direktur Finance Research Eko B. Supriyanto dalam opini di Kompas tanggal 4 Maret 2014. "Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan Pemerintah serta Bl sendiri; Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang dapat dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK." 8. Dr. Mulia P. Nasution, D.E.S.S Sehubungan dengan permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64,Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945" yang dimohonkan oleh para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pemohon, yaitu Salamuddin, dkk, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Ahli mengenai 2 hal, yaitu: pentingnya OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dan pengelolaan keuangan OJK, sebagai berikut: I. Pentingnya Otoritas Jasa Keuangan Keberadaan OJK adalah suatu keniscayaan bagi negara kita pada masa kini. Pembentukan OJK adalah hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari satu dekade (1998-2011) di negara kita. Berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional yang sangat dirasakan pada saat terjadinya Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, gagasan pembentukan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan. Pelaksanaan transformasi kelembagaan tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu dan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantanganyang semakin berat sebagai akibat dari perkembangan dan dinamika di sektor industri jasa keuangandi masa depan; Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan hanya dapat terlaksana secara profesional, apabila lembaga yang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas tersebut bersifat mandiri, tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan undang-undang suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Namun, proses pembentukan lembaga tersebut tidaklah berjalan mulus. Walaupun Undang-Undang telah mengamanatkan pembentukan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010, urgensi untuk membentuk suatu lembaga pengawas perbankan yang independen di luar Bank Indonesia tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari beragam pemangku kepentingan. Dari segi konsep, model lembaga independen yang akan dibentuk masih terus dalam pembahasan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi, maupun di lingkungan pemerintah sendiri. Secara politik, walaupun proses konsolidasi fiskal, yang berjalan sejak tahun 2000 telah berhasil membawa stabilisasi di bidang perbankan dan keuangan negara, prioritas utama pemerintahan Presiden SBY pada awal periode 2004-2009 adalah melaksanakan berbagai kegiatan yang mendesak yang dapat menggerakkan kembali roda perekonomian, setelah 5 tahun mengalami stagnasi, bahkan sempat mengalami kemunduran, melalui program Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sampai terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, konsep pembentukan OJK masih tetap dalam perdebatan. Perdebatan tersebut bukanlah mengenai perlunya independensi lembaga tersebut, karena sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang independen, tetapi terutama urgensi keberadaan lembaga baru di luar Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi sektor perbankan; Seiring dengan berjalannya waktu, sektor industri jasa keuangan semakin berkembang dan mengalami dinamika yang luar biasa. Tidak terkecuali di negara kita. Dalam kurun waktu tersebut, seiring dengan pemulihan ekonomi dan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di negara kita, produk-produk industri jasa keuangan muncul semakin beragam dan kompleks. Selain itu, sebagaimana juga di sektor industri yang lain, di sektor jasa keuangan juga terjadi konglomerasi, baik secara vertikal, maupun horizontal. Demikian pula, industri jasa keuangan mengalami proses globalisasi yang berdampak signifikan terhadap konsumen, pemilik modal, perekonomian dan publik. Proses globalisasi tersebut dipermudah terutama dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dan berlakunya norma dan standar yang bersifat internasional, terutama di sektor perbankan. Pada gilirannya, kemudahan untuk beroperasi secara global memperlancar langkah-langkah, konsolidasi, pembentukan holding company , mergers and acquisitions oleh para pelaku industri terutama yang berinduk di luar negeri untuk dapat meningkatkan efisiensi, memperbesar market share atau untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 mendominasi pasar demi meraih pertumbuhan usaha dan memaksimalkan profit perusahaan mereka di Indonesia. Pengaturan dan pengawasan yang tidak dilakukan secara terintegrasi akan dapat menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan; Sejalan dengan perkembangan tersebut, konsep pembentukan OJK mengalami dinamika, pergeseran, penyesuaian dan penyempurnaan. Menjadi penting agar seluruh sektor jasa keuangan dapat diatur dan diawasi secara terintegrasi. Agar lebih efektif, pengaturan dan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh satu lembaga, yaitu OJK. Dengan demikian, ruang lingkup OJK yang pembentukannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang berkembang menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup sektor perbankan, tetapi termasuk pengaturan dan pengawasan sektor industri jasa keuangan secara keseluruhan; Namun sampai terjadinya Global Crisis yang terutama melanda beberapa negara industri pada tahun 2008 yang berdampak terhadap sektor keuangan di Indonesia, agenda untuk menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di dalam satu lembaga belum menjadi prioritas nasional yang mendesak untuk dilaksanakan, walaupun sudah diamanatkan oleh undang-undang. Dalam dinamika proses perumusan dan penyiapan RUU OJK, pemikiran untuk tidak mengeluarkan fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudential dari Bank Indonesia memiliki alasan yang kuat. Pertama , melakukan transformasi kelembagaan sangat berisiko sehingga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena dapat berdampak terhadap industri jasa keuangan yangberperan sangat strategis dalam sistem perekonomian nasional. Kedua , menyiapkan perangkat hukum, struktur organisasi baru, sumber daya manusiaakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, perencanaan yang matang dan pelaksanaan secara seksama. Setelah lembaga baru terbentuk, perlu disusun prosedur kerja ( Standard Operating Procedure atau SOP) dan disiapkan dukungan anggaran dan logistik yang diperlukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi secara penuh. Ketiga , pengalaman di beberapa negara lain menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pengawas industri jasa keuangan yang independen di luar bank sentral atau di luar pemerintah tidaklahmenjadi jaminan tidak akan terjadi permasalahan atau kasus- kasus di sektor jasa keuangan. Contohnya, di Inggris dan di Amerika Serikat; Terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008 menyebabkan pentingnya memprioritaskan pembentukan OJK. Sementara itu, dari segi konsep, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 dalam kurun waktu 2004-2008, pembahasan mengenai kedudukan dan bentuk kelembagaan OJK telah melalui due process dan diskusi yang mendalam, baik di lingkungan pemerintah, maupun pada pertemuan-pertemuan ( public hearings ) yang diselenggarakan oleh tim pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan. Berbagai masukan telah diperoleh pemerintah untuk menyempurnakan naskah RUU OJK yang akan diajukan kepada DPR. Pertukaran informasi dan pengalaman mengenai sistem dan kelembagaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di beberapa negara juga dilakukan oleh pemerintah untuk memperkaya referensi dan menjadi bahan pertimbangandalam penyusunan organisasi OJK; Kendati demikian, pembentukan OJK baru dapat terselesaikan pada tahun 2011 setelah krisis berlalu dan melalui proses pembahasan yang panjang dan meleiahkan. Namun ada hikmah dari proses pembahasan yang cukup lama tersebut. Pembahasan Undang-Undang yang dilakukan secara terburu-buru sering kurang mendalam.Sebaliknya pembentukan UU OJK yang menjadi salah satu proses legislasi terlama di negara kita, telah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang matang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara akan suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi tersebut sangat dibutuhkan pada masa ini dan di masa yang akan datang, karena:
koordinasi otoritas fiskal, moneter dan sektor keuangan perlu diperkuat;
ii. sumber krisis semakin beragam (perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, fiskal; iii. sektor jasa keuangan saling berhubungan ( interconnected );
iv. konglomerasi keuangan semakin dominan;
struktur produk keuangan semakin kompleks ( hybrid products );
vi. fungsi pengawasan lembaga keuangan dengan fungsi pengelolaan moneter dan fiskal memiliki potensi konflik kepentingan; vii. pemisahan fungsi pengawasan sektor keuangan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal sesuai dengan trend global terkini. II. Pengelolaan keuangan OJK OJK adalah lembaga yang dibentuk dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan ( pouvoir public ) untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Pembentukan dan pelimpahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 kekuasaan tersebut tidak tercantum dalam UUD, namun dari perjalanan panjang dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, keberadaan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tersebut terbukti constitutionally important . Oleh karena itu, untuk memberikan landasan hukum yang kuat, pembentukan OJK tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang; Sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara, OJK diamanatkan untuk bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, OJK perlu diberikan kedudukan dan status hukum yang sepadan, serta kewenangan, prasarana dan sarana yang diperlukan. Salah satu sarana utama yang diperlukan oleh OJK adalah dana. Berbeda dengan bank sentral yang memiliki sumber pendapatan dari pengelolaan moneter dan sistem pembayaran, OJK tidak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Oleh karena itu, OJK memerlukan sumber pendanaan dari iuar.Dana tersebut dapat bersumber dari APBN, maupun dari luar APBN, berupa iuran yang dipungut dari sektor industri yang diawasi oleh OJK; Berkenaan dengan sumber pendanaan OJK ini, setidaknya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, manakah yang lebih baik, apakah OJK dibiayai dari APBN atau semata-mata dari pungutan.Apabila OJK dibiayai dari APBN, alokasi anggaran bagi OJK tersebut akan mengurangi dana APBN yang sudah demikian terbatas untuk membiayai penyelenggaraan tugas kementerian negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Sehingga apabila dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan dari sumber lain, seyogianya OJK tidak tergantung dari sumber penerimaan dari APBN; Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua, yaitu apabila dana tersebut bersumber dari APBN, apakah pengelolaannya oleh OJK selaku Pengguna Anggaran, harus mengikuti pengelolaan anggaran yang berlaku pada umumnya seragam bagi setiap kementerian negara. Jawabannya adalah tidak harus selalu demikian. Sebagaimana kita fahami bersama bahwa dalam pengelolaan anggaran oleh kementerian negara dan lembaga pemerintahan ditetapkan ketentuan- ketentuan yang pada umumnya seragam mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran, sampai pada pelaporan dan pertanggungjawaban. Keseragaman dalam ketentuan pengelolaan keuangan APBN tersebut merupakan penerapan dari asas-asas umum yang dianut dalam Undang-Undang di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu Asas Tahunan, Asas Universalitas, Asas Kesatuan dan Asas Spesialitas; Namun di dalam doktrin hukum perbendaharaan negara yang juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikenal asas-asas umum lainnya, yaitu Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, Asas Profesionalitas, dan Asas Proporsionalitas. Asas-asas ini pada hakekatnya memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran untuk membelanjakan danayang telah diamanatkan kepadanya untuk menghasilkan ouput yang telah ditetapkan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN kepada OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK adalah sejalan dengan semangat anggaran berbasis kinerja yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk menjalankan tugasnya secara independen dengan standar profesionalitas yang tinggi, pemberlakuan aturan dan mekanisme yang seragam dengan yang berlaku bagi kementerian negara dapat menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan operasional OJK. Oleh karena itu prinsip " let manager manages " yang menjadi semangat dalam sistem pengelolaan keuangan negara sesudah dimulai reformasi pada tahun 2003 perlu benar-benar-benar dihayati dalam pengaturan pengelolaan keuangan OJK. Sehingga dalam dokumen usulan anggaran yang diajukan oleh OJK kepada pemerintah untuk memperoleh dana APBN, rencana pengeluaran yang akan dilakukan oleh OJK tidak perlu diuraikan secara terperinci seperti halnyauraian usulan anggaran yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara. Demikian pula pada tahap pelaksanaan anggaran, pencairan anggaran yang bersumber dari APBN dapat dilakukan secara berkala berdasarkan rencana penggunaan dana dan realisasi anggaran untuk masing-masing jenis belanja. Sudah barang tentu, hal ini akan mengurangi informasi yang diperoleh Bendahara Umum Negara atas pengelolaan dana APBN tersebut oleh OJK. Oleh karena itu sangat penting peranan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan OJK. Karena dari laporan berkala yang wajib disampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 oleh OJK kepada BPK sebagai auditor negara dan laporan pertanggungjawaban tahunan oleh OJK dapat diperoleh informasi mengenai berbagai pengeluaran- pengeluaran tersebut, dan BPK pada saat memeriksa laporan keuangan OJK, dapat melakukan penelusuran rincian dan bukti-bukti dari setiap pengeluaran. Fleksibilitas dalam proses pengusulan anggaran, pencairan dana, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang demikian pada hakekatnya serupa dengan yang diterapkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan dana untuk menyelenggarakan Public Service Obligation ; Apabila OJK membiayai dirinya dari pungutan, sudah barang tentu tidak diperlukan keterikatan kepada ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kementerian negara. Penerimaan dan pengeluaran iuran dikelola oleh OJK terpisah dari APBN. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur sistem pengelolaan keuangan yang berlaku. Namun demikian, gambaran secara ringkas mengenai kondisi keuangan OJK perlu disampaikan dalam Nota Keuangan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara dan informasi kepada publik yang mencerminkan asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; Oleh karena itu, menyangkut pengenaan pungutan oleh OJK, hal utama yang perlu menjadi pertimbangan adalah kewajaran mengenai besarnya iuran tersebut, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengenaannya terhadap masing-masing sektor industri. Karena pada akhirnya setiap pungutan kepada sektor industri, akan menjadi tambahan biaya bagi industri yang dapat dialihkan menjadi beban konsumen. Penutup Sebagai ahli, berusaha untuk memberikan keterangan seobyektif mungkin. Walaupun sebagai mantan Ketua Tim Pelaksana Persiapan Pembentukan OJK, sulit bagi kami untuk tidak terpengaruh suasana hati dalam memberikan keterangan ini. Mengingat penyiapan organisasi OJK adalah tugas yang diamanahkan kepada kami menjelang akhir pengabdian di Kementerian Keuangan. Kami membayangkan, alangkah sedihnya apabila organisasi yang baru saja dibentuk harus dirombak, tanpa alasan yang kuat dan mendesak, padahal keberadaannya pada hakikatnya sejalan dengan semangat UUD untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan dapat berperan sangat positif untuk kemajuan sektor jasa keuangan di negara kita. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 Menurut ahli akan lebih baik, apabila kita memprioritaskan penuntasan proses transformasi kelembagaan dengan menyelesaikan agenda amandemen beberapa undang-undang di sektor keuanganyang sangat krusial untuk penataan dan harmonisasi pengaturan di sektor jasa keuangan. Demikian pula meiakukan secara internal, bagi OJK, menuntaskan proses transformasi kelembagaan, dengan melengkapi berbagai Peraturan OJK dan SOP yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan operasional, manajemen SDM dan keuangan, serta sistem dan teknologi informasi dan komunikasi; Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke 9 (1966-1977) pernah mengatakan: "Manusia tanpa cita-cita adalah mati, cita-cita tanpa kerja adalah mimpi dan idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagian". Proses transformasi kelembagaan tidaklah mudah dan tidak ada organisasi yang sempurna, tidak terkecuali institusi OJK yang masih baru. Namun dengan bekerja, bekerja dan bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya OJK akan dapat menjadi lembaga idaman;
Dr. Harjono, S.H., MCL Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan Dari Aspek Konstitusi OJK merupakan lembaga negara baru yang tugasnya melakukan pengaturan dan pengawasan pada lembaga keuangan, maka konstitusionalitasnya seringkali dikaitkan dengan independensi bank sentral, sebagaimana diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945. Ahli berpendapat bahwa perlu untuk dikaji posisi bank sentral yang sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena dengan diketahui posisi bank sentral, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23D UUD 1945 maka secara langsung pula dapat diketahui kedudukan OJK secara hukum. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengatur lembaga negara di dalamnya, antara lain MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, KY, KPU, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun di samping itu, disebut juga adanya lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pembentukannya diserahkan kepada Presiden, yang akan diatur oleh Undang-Undang, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memiliki sebuah bank sentral. Jadi hubungan antara bank sentral dengan negara adalah hubungan kepemilikan. Bank sentral tidak dimaksudkan sebagai lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 negara untuk melaksanakan fungsi utama kenegaraan, sebagaimana dikenal kekuasaan pembuat undang-undang legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial; Meskipun bank sentral adalah lembaga negara dalam pengertian lembaga yang dibentuk oleh kekuasaan negara, dan mempunyai kewenangan publik, namun kedudukannya berbeda dengan lembaga negara MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, KY, dan KPU. Sebagai Contoh untuk menyebut keberadaan Mahkamah Konstitusi lembaga negara yang melangsungkan fungsi utama kenegaraan lainnya, Undang-Undang Dasar tidak menggunakan kata memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagaimana digunakan untuk menyebut bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan bahwa negara memiliki Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Bank sentral lebih sebagai lembaga yang kegiatannya dalam bidang perbankan yang susunan, kedudukan dan kewenangan, tanggung jawab, dan independency-nya diatur Undang-Undang. Artinya, bank sentral adalah lembaga bentukan negara yang kewenangan dan independency - nya ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menentukan hal apa saja yang perlu diatur dalam Undang-Undang tentang lembaga bank sentral tersebut; Frasa negara memiliki satu bank sentral dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah tepat, tetapi tidak tepat untuk menyebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara memiliki MPR, DPR, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil studi dengan memperbandingkan konstitusi negara-negara lain, tidak menemukan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pengaturan bank sentral yang dicantumkan dalam pasal konstitusi. Federal Reserve Bank of New York, bank terbesar di dunia yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dunia tidak diatur dalam konstitusi Amerika Serikat. Bahkan untuk kurun waktu yang lama, Amerika Serikat tidak mempunyai bank sentral. Federal Reserve Bank of New York sebagai bank sentral Amerika Serikat baru dibentuk dengan undang-undang pada masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson tahun 1931, padahal sejak 1778 Konstitusi Amerika Serikat sudah berlaku; Dari kajian ini tampak jelas bahwa bank sensral meskipun statusnya adalah lembaga negara, artinya dibentuk oleh kewenangan publik dan untuk melaksanakan kekuasaan publik, namun bukanlah sebuah lembaga konstitusi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utama alat kelengkapan negara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Independency bank sentral dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut dalam Pasal 23D yang dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa isinya atau content -nya akan ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan ditentukan Undang- Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pilihan kata yang bervariasi untuk menggambarkan sifat kewenangan yang dimiliki oleh satu lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D digunakan kata independency untuk bank sentral. Pasal 23E digunakan kata bebas dan mandiri untuk BPK. Pasal 24, kata kekuasaan yang merdeka atau kekuasaan kehakiman . Pasal 22E dengan kata mandiri untuk KPU dan Pasal 24 digunakan kata mandiri untuk KY. Dari pilihan kata yang berbeda-beda yang digunakan itu ada makna yang sama terkandung dalam kata pilihan, yaitu bahwa satu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya wajib untuk tidak dipengaruhi oleh pihak luar manapun dan pihak luar dilarang untuk memengaruhi lembaga negara tersebut ketika lembaga negara yang bersangkutan melaksanakan kewenangan. Kewenangan yang tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar tersebut adalah kewenangan inti, yaitu kewenangan fungsional, artinya kewenangan yang ditempatkan dalam relasi dengan kewenangan fungsional yang dimiliki oleh lembaga negara yang lain; Prinsip bahwa kewenangan adalah terbatas dan prinsip kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya adalah prinsip yang mendasari good governance atau tata pemerintahan yang baik, yang tujuannya adalah untuk menghindari abuse of power pemegang kekuasaan dan untuk mempersempit moral hazard . Hal itu sangat sejalan dengan peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely ; Conselor democracy state ( negara hukum) good governance ( pemerintahan yang baik), itu semuanya adalah konsep yang di dalamnya mengandung unsur untuk menghindari konsentrasi kemenangan, yaitu dengan cara melakukan pendistribusian kewenangan fungsional sangat terbatas, serta untuk menjamin bahwa setiap produk kewenangan terhindar dari interact pihak tertentu; Apakah dari prinsip independency bank sentral, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus melekat pada kewenangan bank sentral untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank lainnya. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 konstitusional, artinya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga akan menjadi kerugian konstitusional kalau pengawasan tersebut tidak dilaksanakan. Sebagaimana telah ternyata sebelumnya bahwa independency bank sentral menurut Pasal 23D akan diatur Undang-Undang, sehingga independency bukan hak konstitusional, dalam arti hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi yang akan ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Karenanya, kalaupun seandainya kewenangan pengawasan harus melekat kepada independency , maka yang akan mengatur adalah Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945; Perbandingan Penguasaan Lembaga Keuangan Di Beberapa Negara Tentang pengaturan struktur pengawasan untuk industri keuangan, termasuk lembaga perbankan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia, Federal Reserve Bank of San Fransisco membedakan dalam 3 pendekatan, yakni:
Single agent . Pengawas tunggal untuk mengawasi industri keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal;
Separate agencies . Pengawas yang terpisah untuk setiap industri keuangan;
Pengawasan dengan struktur hybrid atau penggabungan antara pendekatan nomor 1 dan nomor 2; Dalam masing-masing pendekatan tersebut, peranan dari bank sentral negara bervariasi antara pendekatan yang satu dengan yang lain. Pendekatan pengawasan tunggal dilakukan oleh Jepang dan Singapura. Di Jepang pengawasan dilakukan oleh GPSA yang didirikan tahun 1998 setelah banyak bank besar yang gagal dan karena timbulnya ketidakpercayaan publik kepada kementerian keuangan. GPSA adalah otoritas pengawas keuangan yang utama yang berada di luar bank sentral dan kewenangannya semakin bertambah dan kuat semenjak tahun 2001; Singapura yang menganut otoritas tunggal yang dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore , namun berbeda dengan Jepang, Monetary Authority of Singapore juga melakukan fungsi bank sentral. Pendekatan pengawasan oleh otoritas yang terpisah dipraktikkan di Tiongkok dan India. Industri keuangan bank, asuransi, dan pasar modal di India dan Tiongkok diawasi oleh otoritas yang berbeda-beda. Pendekatan hybrid mengombinasikan elemen pengawasan satu otoritas dan elemen pengawasan terpisah dipraktikkan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 Malaysia diawasi oleh otoritas yang sama. Sedangkan untuk industri pasar modal diawasi oleh otoritas yang lain; Pada tahun 1999, Korea Selatan mendirikan Korean Financial Supervisory Service (KFSS) melalui sebuah Undang-Undang. Setelah adanya krisis moneter yang melanda Asia. KFSS dibentuk dari kombinasi empat otoritas pengawas yang sebelumnya ada di Korea, yakni 1) banking supervisory authority ;
security supervisory board ;
insurance supervisory board ; dan
nonbank supervisory authority . Sejak tahun 2008 setelah melakukan reorganisasi, KFSS diawasi oleh financial service commission . Kewenangan financial service commission sebelumnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan Korea. Berdasarkan KFSS, keberadaan KFSS berada di luar bank sentral; Dari uraian dan perbandingan dalam praktik negara lain dapat ditentukan fakta hukum sebagai berikut.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, bank sentral adalah suatu fungsi yang akan diatur oleh Undang-Undang;
Bank sentral adalah lembaga negara yang dimiliki oleh negara;
Sebagai lembaga negara, bank sentral kedudukannya sangat berbeda dengan lembaga negara utama yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar;
Independency bank sentral akan diatur dan ditentukan kontennya oleh Undang-Undang. Tidak terdapat ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa independency bank sentral haruslah disertai hak pengawasan oleh bank sentral kepada lembaga keuangan bank. Undang-Undanglah yang akan mengatur, apakah bank sentral diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada lembaga keuangan bank atau tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan pengawasan kepada lembaga keuangan bank; Penyatuan pengawasan atau pemisahan pengawasan terhadap lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk mengaturnya. Pembuat Undang-Undang yang terdiri atas Presiden dan DPR adalah lembaga yang tepat untuk mengatur sistem pengawasan kepada lembaga keuangan karena kedua lembaga, yaitu Presiden dan DPR terlibat secara langsung dalam urusan bidang keuangan negara. Sehingga mempunyai informasi dan data yang akurat dan mengetahui pilihan yang baik untuk mengaturnya dan bukan ditentukan oleh lembaga peradilan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 Pembuatan Undang-Undang berhak dan bahkan wajib untuk melakukan perubahan apabila ternyata dalam pelaksanaannya diperlukan perubahan pengaturan atas pengawasan lembaga keuangan agar supaya tercipta tata pengawasan yang lebih baik dalam pengelolaan lembaga keuangan demi terciptanya kestabilan keuangan dan perlindungan kepada konsumen; Perubahan tidak dapat dilakukan apabila peradilan yang menetapkan sistem pengawasan yang harus diterapkan karena dasarnya adalah sistem yang sah dan sistem yang melanggar hukum dan melakukan perubahan untuk penyempurnaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perubahan sistem pengawasan dilakukan oleh banyak negara pada saat mengalami krisis keuangan global yang pernah terjadi di sekitar tahun 1997 dan di awal tahun 2000 sekitar tahun 2008; Kesimpulan Ahli berkesimpulan bahwa keberadaan OJK tidak bertentangan secara konstitusional dengan pengaturan bank sentral yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dan keberadaannya diberlakukan untuk menciptakan lembaga keuangan yang sehat serta diperlukan bagi perlindungan konsumen lembaga keuangan di Indonesia; Isu konstitusionalitas lainnya tentang OJK menyangkut kewenangan untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ahli berpendapat bahwa ketentuan pasal ini bermaksud untuk memberi dasar hukum yang jelas dan demi kepastian hukum atas pemungutan yang dilakukan dengan alasan untuk keperluan negara. Pasal ini tidak bermaksud untuk melarang negara melakukan... yang bersifat memaksa kalau memang negara memerlukannya. Dalam praktik, pemungutan ini memang telah dilakukan oleh negara dalam berbagai bentuk, sebagai contoh adalah apa yang disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam transaksi pemindahan hak atas tanah dan bangungan, nilai BPHTB ini dapat dikatakan sangatlah besar karena 5% dari nilai transaksi; Ketentuan Pasal 23A menggunakan rumusan diatur dengan undang- undang yang ditafsirkan harus ada Undang-Undang tersendiri atau khusus yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 mengaturnya yang berbeda dengan rumusan diatur dalam Undang-Undang yang pengaturannya dapat tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Dalam kenyataannya sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Ahli berpendapat bahwa tujuan adanya Undang-Undang tersendiri tidaklah hanya bersifat membuat perbedaan formal belaka, yaitu apakah telah terpenuhinya adanya Undang-Undang tersendiri, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan substantif dari Undang-Undang tersebut; Undang-Undang OJK memungkinkan OJK untuk melakukan pungutan dan jelas bahwa pungutan digunakan untuk keperluan negara. Karena OJK dalam bernegara yang melakukan tugas negara, yaitu tugas yang tidak dapat secara hukum dilakukan oleh lembaga yang bukan lembaga negara; Dari segi kebutuhan, pungutan tersebut dibatasi jumlah yang diperlukan. Artinya, tidak memungut tanpa batas, tanpa dasar berapa jumlah yang akan dipungut. Karena jumlahnya sebatas jumlah yang diperlukan untuk anggaran tahunan yang harus disusun lebih dulu dan mendapat persetujuan DPR. Pasal 36 Undang-Undang OJK menegaskan apabila hasil pungutan melebihi kebutuhan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara. OJK sebagai lembaga negara harus membuat laporan keuangan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diharuskan oleh undang-undang; Secara substansi, aturan keuangan OJK telah mempertimbangkan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ahli berpendapat bahwa Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya perlu formalitas adanya Undang-Undang tersendiri saja, tetapi juga substansi, yaitu menyangkut pengelolaan keuangan negara yang jelas peruntukannya, artinya transparan dan akuntabel. Undang- Undang OJK yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan telah mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, serta pembatasan yang rasional, proporsional tentang jumlah yang boleh dipungut; Dengan demikian, meskipun Undang-Undang yang dimaksud oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 belum ada, namun substansi yang seharusnya terdapat pada undang-undang tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang OJK. Apabila Mahkamah menetapkan bahwa pemungutan keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan pengelolaannya bertentangan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 Undang-Undang Dasar 1945, hanya sekadar bahwa belum dibuatnya Undang- Undang secara khusus dan harus dibatalkan, maka akibatnya akan banyak pungutan-pungutan lainnya, antara lain BPHTB harus juga batal; Sebagaimana ahli uraikan di atas maka sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah dapat menambahkan hal-hal yang diperlukan agar ketentuan tentang keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK menjadi sempurna dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, atau melakukan penafsiran conditionally constitutional pada aspek substansinya. Sementara itu, Mahkamah dapat memberikan kriteria konstitusionalitas terhadap Undang-Undang yang diperlukan untuk melaksanakan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dan hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah dalam beberapa kali putusannya, termasuk mengenai BHP dan juga mengenai peradilan Tipikor;
Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. I. Ada empat isu pokok yang perlu ditanggapi terlebih dahulu, yaitu:
Pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan serta penggabungan pengawasan antara sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank;
Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK;
Pembiayaan OJK (APBN dan pungutan dari pelaku pasar);
Pelaporan dan akuntabilitas OJK. II. Mengenai isu pertama, pemisahan kewenangan, secara mendasar kita harus memahami pertumbuhan sektor perbankan dan jasa keuangan sebagai sarana kebutuhan kehidupan modern yang berada pada era globalisasi. Lebih-lebih bagi Indonesia, karena tahun depan ia bersama dengan negara-negara ASEAN lain akan memasuki ASEAN Market Community . Sementara itu lahirnya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan konglomerasi kepemilikan di sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik ( good governance ), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( fairness ). Khusus mengenai pengawasan di bidang perbankan, OJK memiliki tugas yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 berbeda dari Bank Indonesia ("Bl") sebagai bank sentral seperti diamanatkan oleh UUD 1945, sebagaimana yang telah diubah ("UUD 1945"). Dalam situasi demikian, peran sektor perbankan dan keuangan menjadi amat penting. Oleh sebab itu diperlukan satu konsep yang jelas; Apa yang dilakukan UU OJK adalah melakukan pemisahan pengawasan terhadap bank, yang tidak lagi dilakukan oleh Bl. Pengawasan oleh pihak di luar bank sendiri dimaksudkan untuk menjaga kualitas pihak yang diawasi demi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan konsumen yang berurusan dengan bank. Perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi pengawasan OJK; Selanjutnya jasa keuangan harus dibuat terintegrasi. Itulah filosofinya mengapa OJK bukan saja mengawasi bank, tetapi juga sektor-sektor non bank, dalam hal ini pasar modal asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan serta lembaga keuangan lain; Jika sektor perbankan dan sektor keuangan non bank sehat, transaksi bisnis yang lain akan lancar pula, nasional maupun transnasional. Indonesia yang berekonomi kuat hanya akan lahir, jika sektor keuangan dan perbankan juga dilandasi sistem pengawasan yang kuat; III. Dalam masalah kedua, yang berkaitan dengan independensi, menurut Para Pemohon, hanya Bl yang berhak memakai status "independen" karena ada "cantolannya" ada di Pasal 23D UUD 1945. OJK samasekali tidak memiliki "cantolan" dalam UUD 1945. Pada hemat ahli, Pemohon telah menggunakan alurpikir yang salah. Sebab "independen" bukanlah istilah yang dapat dimonopoli. Jadi dapat saja satu lembaga menyatakan dirinya "independen" tanpa harus melihat ada pegangannya dalam UUD 1945. Komisi Pengawas Pesaingan Usaha, misalnya mendeklarasikan dirinya sebagai "suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. [Pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999] Demikian juga bagi OJK, independen di sini berarti bebas dari pengaruh siapapun, terutama Pemerintah; IV. Mengenai isu Pembiayaan (Penggunaan APBN dan Pungutan OJK), OJK sebagian dibiayai oleh dana dari APBN dan selebihnya dari dana yang dipungut dari masyarakat yang merupakan pengguna jasa OJK [Pasal (2) UU OJK]. Oleh Para Pemohon, aturan dalam UU OJK ini dipersoalkan karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 mereka khawatir akan terjadi " abuse of power " Sebagai WNI mereka tidak mau APBN menjadi tergerus akibat digunakan oleh OJK. Tentang hak OJK untuk memungut, para Pemohon bertanya*. "Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya?" (butir 66 Permohonan). Mengenai APBN, Pemohon tampak bersikap a priori , padahal kalau dibaca Pasal 38 UU OJK, jelas diatur tentang masalah pertanggungjawaban — yang akan diuraikan di bawah. Otoritas di beberapa negara antara lain di Hongkong, Estonia dan Slovakia juga menerapkan pungutan kepada para pelaku kegiatan di sektor jasa keuangan dalam rangka membiayai operasionalnya; Filosofi dari pendanaan ini adalah bahwa lembaga resmi negara, yang independen 1) dapat dibiayai dari APBN dan 2) dengan kekuatan Undang- Undang dibenarkan memungut dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU OJK; Pungutan menjadi sumber dana operasional OJK, sehingga segala kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih independen, mengingat secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah. Pungutan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang dilakukan OJK sudah sejalan dengan UUD 1945 karena pungutan tersebut didasarkan pada Undang- Undang. V. Isu terakhir berkaitan dengan sistem Pelaporan dan Akuntabilitas. Secara filosofis pelaporan dan akuntabilitas ini harus diikuti dengan ketentuan- ketentuan dalam Pasal 38 UU OJK yang dijabarkan dalam 10 ayat, menyangkut mengenai: - laporan keuangan serta laporan kegiatan; - laporan ke DPR dan Presiden Rl dengan standar dan kebijakan akuntansi yang ditetapkan OJK; - audit yang dilakukan oleh BPK; dan pengumuman laporan tahunan OJK kepada publik melalui media; Pengaturan rinci itu menurut saya telah cukup menjawab kekhawatiran para Pemohon dengan sekalian memahami filosofi konsep pelaporan dan akuntabilitas OJK tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 VI. Secara umum saya ingin menyampaikan bahwa permohonan tidak ditopang argumentasi yang kuat, juga tidak didukung bukti. Berbagai pernyataan yang terdapat dalam permohonan bersifat simplistik, menggampangkan persoalan, dangkal, a priori dan kategori lain semacam itu. Dengan demikian semua tuntutan dalam permohonan sangat patut untuk ditolak.
Bagian Kedua
VII. Secara khusus saya mohon agar Majelis berkenan meneliti apa yang disebut sebagai "Hak Konstitusional, Kerugian dan Potensi Kerugian" para Pemohon. Para Pemohon mengutarakan "kerugian konstitusional" mereka (butir-butir 76-83 permohonan), baik yang riil maupun yang potensial. Sebagai pemiiik hak konstitusional, mereka merasa dirugikan oleh beberapa ketentuan dalam UU OJK, yakni: Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 34, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Selain itu hak konstituional mereka terganggu oleh Pasal 37 UU OJK dalam kaitan dengan pungutan oleh OJK dan tuntutan-tuntutan lain seperti yang telah dibantah oleh pihak Termohon. Selanjutnya para Pemohon menguraikan kerugian konstitusional mereka yang bersifat khusus (lihat butir 77 c. Permohonan); VIII. Saya tidak melihat hal-hal yang disampaikan oleh para Pemohon sebagai "kerugian konstitusional" mereka, apalagi yang dikatakan sebagai "spesifik (khusus)". Izinkan saya menyampaikan kritik saya, yakni terlalu mudahnya persyaratan untuk mengajukan permohonan uji-yudisial ( _judicial-review_ ) Dalam perkara _a quo_ , para Pemohon lebih dahulu menyatakan diri mereka masing-masing memiliki kualifikasi menggugat ( _legal standing_ ) sebab mereka punya KTP, bayar pajak dsb. Tidak ada istimewanya kualifikasi seperti itu sebab ada 240 juta (minus 3) WNI yang juga berkualitas demikian. Dengan adanya hak konstitusional mereka, para Pemohon kemudian menyatakan mengalami kerugian konstitusional seperti diterangkan di atas. Sejauh apa sejatinya kerugian konstitusional mereka — sebab orang lain yang berjumlah 240 juta (minus 3) juga mengalami hal yang sama? Para Pemohon yang 3 WNI itu tidak memiliki hak konstitusional yang lebih dibanding dengan penduduk Indonesia yang lain (yang berjumlah 240 juta minus 3 itu). Saya mengerti bahwa MK tidak boleh didudukkan dalam konteks pungutan suara ( _voting_ ), _referendum_ atau semacam itu. Namun yang kita saksikan sekarang adalah fakta; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 167 IX. MK adalah simbol demokrasi. MK dibuat guna menampung kebutuhan dan aspirasi setiap warga negara untuk minta dibatalkannya Undang-Undang yang menurutnya telah merugikan hak konstitusionalnya. Ini adalah salah satu capaian puncak reformasi kita. Tujuan perlindungan terhadap hak konstitusional ini amat mulia. Namun kemuliaan itu perlu dijaga atau di pagan' dengan iktikad baik, sikap tidak asal gugat demi "hak konstitusional", sikap tidak mencederai kemuliaan itu dengan ketidakpedulian pada sesama, sikap menghiraukan hak konstitusional para WNI yang lain. Walaupun tiada pembatasan dalam Undang-Undang, seyogianya Majelis Hakim yang mulia bisa melihat dan menilai ke-sejati-an permohonan pengajuan uji-yudisial ( _judicial review_ ) dalam perkara _a quo_ ; X. Kedua soal waktu. Dalam perkara _a quo_ , UU OJK sudah diundangkan sejak tahun 2011. Jika memang ada ketentuan yang merugikan hak konstitusional Para Pemohon, mengapa mereka tidak segera saja mengajukan uji yudisial ( _judicial review)_ . Sebab para Pemohon kan tahu Undang-Undang mempunyai implikasi implementatif, yang kalau dibatalkan akan berdampak amat luas, domestik maupun antarnegara yang ujung-ujungnya adalah terganggunya kepercayaan dunia terhadap konsep dan pelaksanaan kepastian hukum di Indonesia, terutama di sektor keuangan dan perbankan, tulang punggung perekonomian kita; XI. Ke depan MK misalnya dapat menentukan batas waktu pengajuan permohonan uji yudisial ( _judicial review_ ) terhitung sejak produk legislatif diundangkan atau tanggal berlaku efektifnya Undang-Undang tersebut. Apabila batas waktu telah lewat, perlu diadakan semacam tes atas kerugian konstitusional pemohon, yang misalnya memasukkan unsur-unsur tertentu seperti iktikad baik, kesadaran kebersamaan (bahwa orang lain juga punya hak konstitusional yang sama atau bahwa kerugian konstitusional juga dialami WNI yang lain) dan sikap patriotik (sadar bahwa hak konstitusionalnya tidak boleh bertentangan dengan keinginan rakyat pada umumnya atau kesadaran akan dampak dari permohonannya, jika dikabulkan).
11. Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H Dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) ini, Pemohon meminta agar Mahkamah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 168 Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hanya saja, pasal-pasal tersebut merupakan jantung UU, di mana apabila semuanya dibatalkan, keberadaan OJK akan hilang. Kesan seperti itu juga dapat dibaca dari uraian dalil-dalil yang dikemukan Pemohon dalam permohonannya; Dengan pokok permohonan seperti itu, yang dipersoalkan adalah keabsahan atau konstitusionalitas pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Di mana, menurut Pemohon keberadaan OJK inkonstitusional karena tidak diatur atau dimandatkan secara langsung oleh Undang-Undang Dasar 1945. OJK hanya dibentuk berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU 23/1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU 6/2009 tentang Penetapan Perpu 2/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU 23/1999 tentang BI menjadi Undang-Undang. Di mana, dengan dibentuknya OJK, kewenangan pengaturan dan pengawasan bank yang sebelumnya merupakan wewenang Bank Indonesia (BI) beralih menjadi kewenangan OJK; Terhadap persoalan tersebut, ahli akan mencoba menjelaskannya dalam perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan. Terkait hal ini, pertanyaan yang hendak dijawab adalah; Apakah sebuah Undang-Undang dapat memberikan delegasi pengaturan kepada Undang-Undang? Dalam hal ini, apakah UU BI yang mendelegasikan pembentukan OJK melalui sebuah Undang-Undang dapat dibenarkan berdasarkan konsep dan norma pembentukan peraturan perundang-undangan? Pada saat yang sama, ahli juga akan menerangkan tentang keabsahan dan implikasi hukum pendasaran pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 pada Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana dipersoalkan oleh Pemohon. Selain itu, ahli juga akan menyinggung bagaimana sifat independen OJK sebagai sebuah lembaga; _Pertama_ _,_ terkait delegasi pembentukan Undang-Undang tentang OJK oleh UU 23/1999 tentang Bank Indonesia. Bagaimana keabsahan delegasi pengaturan undang-undang kepada Undang-Undang dalam perspektif ilmu perundang- undangan? Persoalan ini dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu:
(1) pendekatan materi muatan Undang-Undang; dan
(2) pendekatan kewenangan pembentuk Undang-Undang sebagai legislator utama _(primary_ _legistator); _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 169 Dengan pendekatan materi muatan Undang-Undang, apa yang dipersoalkan Pemohon terkait tidak adanya cantolan pembentukan Undang- Undang OJK dalam UUD 1945 bukanlah alasan yang dapat dijadikan dasar penilaian sah atau tidaknya sebuah Undang-undang. Dalam arti, hal itu tidak dapat dijadikan tolok-ukur menentukan konstitusionalitas sebuah Undang-Undang.ebab, materi muatan Undang-Undang tidak mesti selalu merupakan perintah UUD 1945. Apabila logika sebagaimana dikemukan Pemohon yang dijadikan alat ukur, tentunya tidak akan lebih dari 40 undang-undang yang dapat dibentuk di Republik Indonesia. Faktanya ternyata tidak demikian; Hal itu juga terkonfirmasi dengan apa yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di mana, selain berasal dari perintah atau pengaturan lebih lanjut UUD 1945, materi muatan undang-undang juga dapat berasal dari :
(1) perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
(2) pengesahan perjanjian internasional;
(3) tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi;
(4) pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat; Terkait hal itu, UU OJK merupakan Undang-Undang yang dibentuk karena adanya perintah Pasal 34 ayat (1) UU 23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam ketentuan dimaksud tegas dinyatakan, _Tugas mengawasi Bank akan dilakukan_ _oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk_ _dengan Undang-undang._ Frasa “dibentuk dengan Undang-undang” menunjukan bahwa lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri.Ketentuan inilah yang menjadi legalitas atau keabsahan pembentukan UU OJK. Dengan demikian, mandat pembentukan UU OJK yang berasal dari UU BI sangat relevan dengan apa yang diatur dalam Pasal 10 UU 12/2011 sebagaimana disinggung sebelumnya; Hal itu akan semakin terang dan jelas apabila dikaitkan dengan jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan yang dapat dan sah dijadikan dasar hukum pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dapat digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Hal ini tegas dinyatakan dalam angka 41 Lampiran II UU 12/2011, _Peraturan Perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya_ _Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi._ Dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 170 konteks pembentukan UU OJK, salah satu dasar hukum pembentukannya adalah UU BI. Di mana, secara hirarkhis, dua Undang-Undang tersebut memiliki derajat yang sama, sehingga baik dijadikan dasar hukum maupun delegasi pembentukan dari yang satu kepada yang lain adalah sah; Berdasarkan uraian terkait aspek materi muatan maupun dasar hukum pembentukan sebuah undang-undang sebagaimana diuraikan di atas, jelas tidak ada persoalan dengan adanya delegasi pembentukan UU OJK dari UU BI.Menurut hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, delegasi pembentukan UU oleh UU adalah benar adanya. Sehingga, apa yang dipersoalkan Pemohon terkait dasar hukum pembentukan UU OJK sangat tidak beralasan; Selanjutnya dari pendekatan kewenangan DPR sebagai _primary legislator_ dapat dijelaskan bahwa kekuasaan pembentukan Undang-Undang yang dimiliki DPR berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 tidak terbatas hanya pada Undang- Undang yang pembentukannya diperintahkan UUD 1945, melainkan mencakup Undang-Undang apapun yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan negara. Dalam arti, materi yang akan diatur dalam undang-undang tidak saja terbatas pada penjabaran ketentuan UUD 1945, melainkan lebih luas dari itu. Prinsip inilah kemudian yang diadopsi ke dalam Pasal 10 UU 12/2011; Dalam kapasitas sebagai _primary legislator,_ kekuasaan pembentukan Undang-Undang sangat luas, yaitu mencakup semua kebutuhan hukum masyarakat.Sepanjang perkembangan masyarakat membutuhkan suatu hukum, pemegang kekuasaan legislasi berwenang membentuknya. Batasannya hanya satu, Undang-Undang yang dibuat tidak/jangan sampai bertentangan dengan UUD 1945 sebagai _staatgrundgesetz_ atau aturan dasar dalam negara; Berdasarkan kewenangan tersebut, dalil yang mengemukan bahwa ketentuan Undang-Undang yang memerintahkan sebuah persoalan diatur dengan Undang-Undang sebagai sesuatu yang tidak berdasar merupakan pemahaman yang keliru.Sebab, dari segi materi muatan, maupun dari aspek kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak satupun alasan untuk menolak hadirnya sebuah Undang-Undang karena adanya perintah dari Undang-Undang lainnya; _Kedua,_ terkait konsideran mengingat atau dasar hukum pembentukan UU OJK yang menggunakan Pasal 33 UUD 1945. Jika dibaca secara seksama, Otoritas Jasa Keuangan diartikan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 171 pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan dibidang jasa keuangan. Di mana, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Merujuk pada lingkup tugas dan fungsi yang hendak diberikan kepada OJK, tidak ada yang keliru dengan dijadikannya Pasal 33 UUD 1945 sebagai salah satu dasar hukum pembentukan UU OJK. Sebab, fungsi yang akan dilaksanakannya selain berhubungan dengan perbankan juga berhubungan langsung dengan penyelenggaraan perekonomian nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945; Dalam pembentukan sebuah Undang-Undang, dasar hukum pembentukan yang dimuat pada Konsideran Mengingat mencakup dua bagian penting, yaitu : dasar kewenangan pembentuk Undang-Undang dan peraturan perundang- undangan yang memerintahkan atau menjadi dasar pembentukan Undang- Undang. Pada konsideran mengingat angka 1 UU OJK dicantumkan tiga Pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar hukum, yaitu Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33. Di mana, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 merupakan dasar hukum kewenangan Presiden dan DPR membentuk undang-undang. Sedangkan Pasal 33 UUD 1945 dan UU 23/1999 merupakan dasar pembentukan UU OJK; Pasal 33 UUD 1945 berisi norma terkait perekonomian nasional. Sedangkan UU BI mengatur tentang tugas, fungsi dan wewenangan Bank Indonesia dan perintah pembentukan UU OJK (masuk dalam kategori perihal keuangan negara) yang diturunkan dari Pasal 23D UUD 1945. Dengan bersumber pada dua landasan hukum dimaksud, maka UU OJK sebetulnya ditujukan untuk menggabungkan dua rezim hukum yang berhubungan satu sama lain, yaitu rezim bank sentral dan rezim perekonomian nasional yang sama-sama diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, OJK akan berperan baik dalam konteks pengawasan bank sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan (Pasal 23D UUD 1945), maupun dalam konteks membangun perekonomian nasional (Pasal 33 UUD 1945). Di mana, keduanya sama-sama merupakan bagian dari kegiatan sektor jasa keuangan; Lebih jauh dapat dijelaskan, bahwa keberadaan Bank Indonesia ditumpukan pada ketentuan Pasal 23D UUD 1945. Di mana, ketika bank sentral dibentuk dengan Undang-Undang (UU BI), UU ini juga mendelegasikan secara eksplisit pembentukan satu lembaga lagi di samping Bank Indonesia. Dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 172 konteks inilah fungsi Bank Indonesia bersinggungan dengan fungsi OJK. Pada saat yang sama, OJK juga difungsikan untuk melaksanakan mandat mewujudkan perekonomian nasional secara berkelanjutan dan stabil. Dimana fungsi ini diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Dengan maksud pembentukan yang demikian, berdasarkan konsep pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak ada yang salah ketika Pasal 33 juga dijadikan dasar hukum pembentukan UU OJK; _Ketiga_ , terkait independensi OJK. Apakah dengan menggunakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hukum, OJK akan menjadi lembaga yang tidak independen, seperti dugaan yang dikemukan Pemohon? Menurut ahli, independensi sebuah lembaga yang dibentuk tidak berkorelasi langsung dengan dasar hukum pembentukannya. Dalam arti, apabila UU OJK dibentuk berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, bukan berarti OJK tidak akan independensi; Secara konsep, independensi sebuah lembaga dapat diukur dari beberapa aspek, yaitu :
(1) kemandirian lembaga tersebut dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang yang mengatur pembentukannya. Dalam hal ini, Undang-Undang menyatakan secara tegas independensi OJK;
(2) proses pengisian pimpinan lembaga tidak dilakukan oleh eksekutif saja, melainkan melibatkan lembaga legislatif. Dalam hal ini, pengisian Anggota Dewan Komisioner OJK dilakukan secara bersama oleh Presiden dan DPR.Di mana, Anggota Dewan Komisioner OJK dipilih oleh DPR dari calon anggota yang diusulkan oleh Presiden;
(3) kepemimpinan lembaga bersifat kolektif kolegial. Sehubungan dengan ciri yang ketiga ini, Pasal 10 ayat (2) UU 21/2011 secara tegas menyatakan Dewan Komisioner OJK bersifat kolektif kolegial;
(4) lembaga tersebut bebas dari pengaruh atau kontrol cabang kekuasaan eksekutif. Terkait potensi intervensi atau pengaruh eksekutif terhadap OJK salah satunya dapat dilihat dari komposisi dan hak masing-masing Anggota Dewan Komisioner.Di mana, salah satunya dijabat secara _ex-officio_ oleh pejabat setingkat Eselon 1 Kementerian Keuangan. Sekalipun satu dari sembilan anggota Dewan Komisioner OJK dijabat oleh pejabat dari lingkungan eksekutif (Kementerian Keuangan), namun ia tetap memiliki hak suara yang sama dengan Anggota Dewan Komisioner lainnya. Sehingga, sangat kecil adanya peluang intervensi eksekutif terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang OJK;
(5) kepemimpinan komisi tidak dikuasai atau mayoritas berasal dari partai politik tertentu.Ciri ini terkonfirmasi dengan kepemimpinan OJK yang diatur dan tercermin dalam UU OJK. Di mana, UU OJK mengatur mekanisme Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 173 seleksi Anggotaa Dewan Komisioner yang transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. Dari kelima ciri di atas, semuanya dipenuhi oleh OJK.Sehingga, dapat dipastikan OJK lembaga independen; Selain itu, makna independensi sebuah lembaga negara juga mesti dipahami secara proporsional. Ketika OJK dibentuk sebagai lembaga independen, lalu kemudian lembaga ini diserahi tugas yang berkenaan dengan perwujudan perekonomian nasional yang stabil dan berkelanjutan, bukan berarti tugas tersebut akan mengganggu independensinya. Independensi OJK baru akan terganggu ketika dalam pelaksanaannya, OJK terjebak pada pengaruh dan kepentingan lembaga/ pihak-pihak tertentu yang tidak sesuai dengan tujuan pembentukan yang dimandatkan UU OJK. Sementara, sesuai norma yang ada, tugas dan wewenang OJK sebagaimana diatur dalam UU OJK sama sekali tidak menempatkan lembaga ini di bawah pengaruh lembaga atau pihak mana pun, sehingga independensinya secara normatif tidak dapat/perlu dipersoalkan; Selanjutnya soal apakah Anggota Dewan Komisioner OJK dalam melaksanaan tugas dan wewenangnya melakukan penyimpangan terhadap independensi lembaga atau tidak, tentunya hal itu ada pada ranah pelaksanaan norma. Sehubungan dengan itu, kemungkinan penyimpangan pada level pelaksanaan tidak dapat dijadikan alasan untuk mempersoalkan norma. Sebab, pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah berhubungan dengan konstitusionalitas norma, bukan implementasinya. Berdasarkan keterangan di atas, apa yang dipersoalkan Pemohon terkait kemungkinan tidak independennya OJK dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tidak dapat dikualifisir sebagai alasan untuk menyatakan UU OJK bertentangan dengan UUD 1945; Lalu, bagaimana dengan kewenangan OJK menarik pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagai salah satu sumber Anggaran OJK? Tidakkah kewenangan demikian akan menyebabkan OJK tidak independen sebagaimana didalilkan Pemohon? Menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa aspek yang mesti dilihat dan dijelaskan; _Pertama,_ status OJK sebagai lembaga independen yang sifatnya lebih khas dibanding lembaga negara independen lain yang semata-mana melakukan pelayanan publik (seperti : KY, Komnas HAM, KPK, dll). Kedudukan OJK sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 174 lembaga independen memiliki kemiripan dengan Bank Indonesia, karena OJK memang dibentuk salah satunya sebagai turunan dari rezim bank sentral dalam rangka mengawasi perbankan. Dengan kemiripan demikian, kedudukan atau status OJK sebagai lembaga independen dapat dikatakan merupakan hasil kombinasi antara keberadaannya sebagai lembaga negara sekaligus juga sebagai badan hukum. Namun UU OJK tidak menyebutkan dua status tersebut (lembaga negara dan badan hukum) secara eksplisit dalam UU OJK seperti yang terdapat dalam UU BI. Dalam kapasitas seperti itulah OJK diberi kewenangan mengatur sekaligus memungut pungutan dari penyelenggara kegiatan di sektor jasa keuangan yang dinilai sebagai penerimaan OJK.Sehingga, tindakan menarik pungutan menjadi sah secara hukum dan tidak ada hubungannya dengan soal independensi lembaga; _Kedua,_ penentuan pungutan tidak ditentukan oleh OJK, melainkan diatur dengan Peraturan Pemerintah [Pasal 37 ayat (6) UU OJK].Dalam hal ini, standar pungutan ditentukan pemerintah, sementara OJK hanya melaksanakan.Dengan adanya peran yang terbagi antara pemerintah dan OJK terkait pungutan, maka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dalam penarikan pungutan tentu semakin sempit. Dengan demikian, independensi OJK tetap saja tidak akan terganggu sekalipun salah satu Anggaran OJK berasal dari pungutan kegiatan sektor jasa keuangan. Lagi pula, pungutan yang dilakukan OJK diperuntukkan bagi manfaat langsung maupun tidak langsung yang diterima oleh pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, seperti biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan lain sebagaimananya sebagaimana diatur dalam UU OJK; Jika hendak dibandingkan, dalam praktik penyelenggaraan negara, penarikan pungutan seperti yang dilakukan OJK bukanlah hal baru. Sebab, lembaga negara lain juga menerapkan hal yang sama, seperti pungutan biaya perkara oleh Mahkamah Agung terhadap siapapun yang hendak berperkara (perdata) di pengadilan. Pungutan ditujukan untuk membayar kebutuhan biaya perkara yang tidak mungkin dibebankan kepada negara.Sebab, masalah yang diadili adalah masalah privat dari pihak-pihak yang berperkara; Jika dibandingkan dasar hukum pungutan yang dilakukan OJK dan biaya perkara yang dipungut Mahkamah Agung, keduanya sama-sama diatur dalam Undang-Undang. Di mana, dalam UU Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 175 proses peradilan dilaksanakan dengan biaya murah dan atas dasar itulah kemudian Mahkamah Agung mengatur tentang biaya perkara yang mesti dibayar oleh pihak yang berperkara. Sedangkan pungutan yang dilakukan OJK diatur secara eksplisit dalam UU OJK; Dalam kaitannya dengan kemandirian atau independensi lembaga, pungutan biaya perkara oleh MA sama sekali tidak berkaitan dengan kemandirian kekuasaan kehakiman. Dalam arti, penerapan pungutan biaya perkara tidak dalam kerangka menciderai kemandirian pengadilan. Sebab, sekalipun pihak-pihak yang berperkara dibebani membayar biaya perkara, namun proses peradilan tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip peradilan yang fair; Hal yang sama sebetulnya juga berlaku bagi OJK. Sekalipun OJK diberi kewenangan menerapkan pungutan, hal itu tidak dalam kerangka mengganggu independen lembaga tersebut.Penerimaan OJK dari pungutan memiliki tujuan dan peruntukan yang jelas, sehingga bagaimana mungkin pungutan dimaksud dinilai mengganggu independensi OJK. Lagi pula, UU OJK juga memberikan batasan yang jelas tentang bagaimana pungutan dilakukan, dikelola, dilaporkan dan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara. Sehingga menggaitkan antara penarikan pungutan dengan independesi lembaga menjadi sesuatu yang sesungguhnya sangat tidak relevan; _Ketiga,_ pungutan adalah sesuatu yang membebani masyarakat.Sebagai sebuah beban, apabila negara hendak menerapkannya, harus dilakukan melalui persetujuan rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat. Dalam konteks ini, pungutan yang dilakukan OJK telah diatur secara tegas dalam UU OJK.Di mana, pembentukan UU tersebut adalah atas persetujuan DPR sebagai representasi rakyat. Oleh karena itu, penerapan pungutan pun menjadi sah dan tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Dengan tiga penjelasan di atas, kiranya norma UU OJK (yang berhubungan dengan wewenang menarik pungutan) yang dijadikan alasan oleh Pemohon untuk menilai ketidakindependenan OJK sama sekali tidaklah beralasan. Kalaupun akan ada peluang terjadinya penyimpangan, itu lebih pada bagaimana wewenang tersebut nantinya dijalankan. Apabila masalahnya seperti ini, tentu yang dipersoalkan Pemohon bukanlah norma, tetapi implementasinya. Sehubungan dengan itu, tentunya proses pengujian Undang-Undang oleh MK tidak pada ranah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 176 menilai pelaksanaan dari sebuah norma;
12. Prof. Wihana Kirana Jaya, MSOCSC., Ph.D Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah menuai kritik tajam yang berakhir pada pengajuan _judicial review_ oleh Pemohon di Mahkamah Konstitusi. Terdapat berbagai alasan yang mencuat, misalnya landasan hukum OJK yang dianggap tidak jelas dan asimetris jika dirunut dari UUD 1945. Secara substansi, OJK dipandang tidak memberikan suatu terobosan dalam konstruksi operasional jasa keuangan karena masih mengacu pada ketentuan dari Undang-Undang lain yang terkait. Wewenang terkait penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di tangan OJK dikhawatirkan memicu penyalahgunaan wewenang. Pemohon _pertama_ mempertanyakan independensi OJK, _kedua_ , persoalan jasa pungutan OJK terhadap perbankan dan IKBB, dan yang _ketiga_ OJK mengambil peran BI dalam penyelengaraan sistem pengaturan, pengawasan dan penyidikan bank dan IKBB.Dalam kapasitas saya sebagai ahli yang berasal dari akademisi dan untuk merespon Pemohon saya akan menjelaskan mulai dari filosofi, teori, kebijakan dan persoalan empiris; Dialektika dan diskursus tersebut dapat menjadi ancaman bagi kepastian penyelenggaraan sektor keuangan dan perbankan dan industri keuangan bukan bank (IKBB) di Indonesia karena aspek pengawasan begitu strategis dan subtansial. Pada tataran ini, ekononomika kelembagaan menawarkan pendekatan yang komprehensif dalam menganalisa dinamika hubungan dan desain institusi yang optimal. Oleh sebab itu, kajian kelembagaan perlu dilaksanakan demi mewujudkan hal itu; Dalam dimensi teoritik, ekonomika kelembagaan atau dikenal dengan ekonomi _rules of the game_ mengalami perkembangan signifikan dalam kerangka ilmu ekonomi. Teori ekonomi kelembagaan hadir karena mampu membuka kotak hitam ( _black box_ ) dari lemahnya aplikasi penggunaan teori ekonomi pasar neoklasik di dalam memecahkan persoalan persoalan aturan ekonomi dalam dunia nyata; Teori Model Williamson dan Institusionalisasi OJK Williamson (2000) mengenalkan empat level analisis sosial. Gambar 1 memperlihatkan level analisis sosial dalam kerangka ekonomi institusional. Garis panah penuh menunjukkan hubungan antara yang lebih tinggi dan yang lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 177 rendah di mana level yang lebih tinggi menentukan kendala pada level di bawahnya. Garis panah putus-putus menunjukkan hubungan berkebalikan yang menghubungkan level lebih rendah dengan level lebih tinggi; Ketersimpan ( _Embeddedness)_ : Institusi informal, kebiasaan, tradisi, norma, agama Lingkungan institusional: Aturan main formal – khususnya properti (politik, birokrasi, hukum) Tata kelola ( _governance_ ) Aturan main – khususnya kontrak (kedekatan struktur tata kelola dengan transaksi) Alokasi sumber daya dan kesempatan kerja: (harga dan kuantitas, insentif) Lebih sering bersifat tanpa kalkulasi, spontanitas Menuju lingkungan institusional. Ekonomisasi order 1 Menuju struktur tata kelola. Ekonomisasi order 2 Menuju kondisi marjinal. Ekonomisasi order 3 Level Frekuensi (tahun) Tujuan L1 L2 L3 L4 100 - 1000 10 - 100 1 - 10 Kontinyu Sumber: Williamson, 2000 Gambar 1. Model Williamson Empat Level Analisis Sosial dalam Struktur Ekonomi Institusional Baru Williamson (2000) menjelaskan level institusional paling awal adalah ketersimpanan ( _embeddedness_ ). Pada level ini, norma, kebiasaan, agama, tradisi dan sebagainya berada. Analisis level 1 didasarkan pada sejarah ekonomi dan ilmu pengetahuan lainnya. Pada level ini, perubahan terjadi sangat lambat, pada hitungan abad sampai milenium. Mekanisme institusi informal muncul dan menjelaskan mengapa institusi pada periode 1 berjalan sangat lambat. Sifat dari institusi ini adalah spontanitas dan evolusinya berjalan secara alamiah; Bank, Industri Keuangan Bukan Bank (IKBB) lahir dari kepercayaan seseorang untuk menitipkan bagian dari aset/kekayaannya pada suatu lembaga yang memberikan jasa tersebut. Rasa aman yang diciptakan melahirkan institusi informal yang dikenal dengan asas yang secara spesifik dalam konteks mencangkup empat prinsip. _Pertama_ , prinsip kepercayaan ( _fiduciary relation_ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 178 _principle_ ) adalah prinsip yang menegaskan bahwa setiap bank dan IKBB perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. _Kedua_ , prinsip kehati-hatian ( _prudential relation_ ) adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dan IKBB dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. _Ketiga_ , prinsip kerahasiaan ( _secrecyprinciple_ ) adalah suatu prinsip yang menekankan bahwa bank dan IKBB wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. _Keempat_ , prinsip mengenal nasabah ( _know how customer principle_ ) adalah prinsip yang diterapkan oleh bank dan IKBB untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan; Level kedua terkait dengan lingkungan institusional. Proses evolusi terjadi sementara desain oportunitas juga muncul. Aturan formal dikenal pada tahap ini. Desain instrumen pada level 2 ini yang meliputi fungsi eksekutif, legislatif, hukum maupun fungsi birokrasi pemerintahan berjalan di mana terjadi distribusi kekuasaan pada berbagai level pemerintahan; Kondisi terakhir tersebut membawa pada level 3 di mana institusi tata kelola pemerintahan menjadi diperlukan. Meskipun hak milik tetap penting, fungsi sistem hukum secara sempurna untuk mendefinisikan hukum kontrak dan perlindungan kontrak tidak dapat diabaikan. Ketiadaan biaya hukum sebagaimana pada level 2 merupakan hal fiksional. Tata kelola hubungan kontraktual merupakan fokus analisis pada level 3; Level keempat memberikan ilustrasi bagi evolusi tahap akhir dari sebuah proses institusionalisasi. Alokasi sumber daya dan lapangan kerja diharapkan mampu mendorong efisiensi dan keefektifan sistem dan kinerja institusi. Target dan arahan yang spesifik menjadi kunci keberhasilan penerapannya; Aturan formal menjadi semakin spesifik dan secara tertulis mengakomodasi aturan informal yang sebelumnya telah berkembang. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 1998. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 1998. Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A UU Nomor 10 Tahun 1998. Prinsip mengenal nasabah nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001. Keseluruhan asas menjadi objek pengawasan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 179 Bank Indonesia dalam kapasitasnya sebagai bank sentral demi menjamin stabilitas sektor keuangan; Komplesitas sistem keuangan yang semakin tinggi mendorong Bank Sentral untuk fokus pada aspek regulasi sehingga fungsi pengawasan pun dilimpahkan kepada OJK. Alasan ini kemudian menjadi pertimbangan utama bagi pembentukan OJK lewat UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan kemudian dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, berkelanjutan, stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Fungsi OJK terbatas pada penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi. Sedangkan cakupan pengaturan dan pengawasan mencangkup sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB; Aplikasi Teori Kelembagaan dan Peninjauan Kembali OJK Teori Agensi dalam persoalan Indepedensi OJK Teori Agensi adalah munculnya informasi asimetris pada hubungan antara _principal_ dan _agent_ akibat tindakan agen yang tidak bisa diamati secara langsung oleh _principal_ yang disebakan oleh mahalnya biaya _monitoring_ , dimana _principal_ adalah pihak yang mempekerjakan agen. Didalam _channel_ akuntabilitas OJK dapat dianggap sebagai prinsipal sesuai Pasal 1, UU OJK dan perbankan dan IKBB sebagai agent. Namun OJK juga menjadi _agent_ pada saat harus melaporkan anggaran yang berasal dari APBN ke DPR dan _fee_ ke bank dan IKBB. Otoritas Jasa Keuangan juga diawasi oleh komite audit eksternal yaitu BPK dan akuntan publik; Secara teori masalah _principal agent_ muncul ketika aktivitas yang dilakukan _agent_ tidak dapat dipantau oleh _principal._ Masalah _principal agent_ muncul dalam dua jenis. Padajenis yang pertama, _principal_ dapat memantau aktivitas yang menjadi kepentingannya sehingga insentif merupakan replikasi dari _outcome_ yang terbaik. Dalam kondisi tersebut, _principal_ dapat mendorong a _gent_ untuk memenuhi kepentingannya secara langsung tanpa mengeluarkan tambahan biaya; Pada jenis yang kedua, _principal_ tidak dapat memantau aktivitas _agent_ dalam memenuhi kepentingannya, melainkan hanya dapat melihat melalui aktivitas yang memiliki kaitan dengan kepentingannya. Dalam kasus ini, insentif merupakan alat untuk mengontrol _agent_ , namun pemberian insentif dalam beberapa kondisi justru Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 180 dapat menjadi _counterproductive_ sehingga mendorong _agent_ untuk, tidak melakukan kinerja yang terbaik; Persoalan _principal agent_ tak lepas dari kemunculan praktik _moral hazard_ dan _adverse selection_ . Petrie (2002) mengatakan _moral hazard_ adalah kecenderungan agen pasca kontrak, lalai atau tidak memenuhi kepentingan _principal_ , sedangkan _adverse selection_ adalah ketidakmampuan _principal_ sebelum kontrak menentukan agen yang paling memenuhi kepentingan _principal_ sehingga _principal_ akan melakukan ‘salah pilih’ dalam pengambilan keputusan; Terkait potensi _moral hazard_ , Pemohon uji materil memandang kewenangan dalam satu tangan/badan sebagai sumber persoalan OJK. Ditambah lagi dengan sifatnya yang independen, sebagaimana diamanatkan undang-undang, menjadi _barrier_ bagi akuntabilitas organisasi. Poin ini sudah diatur oleh Pasal 38 tentang pelaporan dan akuntabilitas dimana dijelaskan bahwa laporan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan; Dengan demikian, para pemangku kepentingan ( _stakeholders_ ) memperoleh akses yang lebih baik terkait data dan informasi lembaga keuangan, karena data/informasi diolah secara lebih terintegrasi dan terkonsolidasi serta transparan sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya _asymetric information_ ; Otoritas jasa keuangan memiliki independensi sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang serta bertugas membuat regulasi, mengawasi, dan melakukan _enforcement_ terhadap industri bank dan non-bank, OJK masih melaporkan keuangannya secara periodik ke DPR, BPK, dan diawasi oleh lembaga pengawas eksternal seperti BPK dan Komite Pengawas. Independensi tidak serta merta bermakna mentransformasikan OJK menjadi lembaga _superbody_ secara mutlak. _Logical fallacy_ seperti inilah yang sering kali muncul. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 telah menetapkan ruang gerak yang tercermin dari kewenangan, tugas, dan kewajiban. Kekhawatiran yang menyeruak dari konsepsi independensi yang ditengarai akan melahirkan _superbody_ tersebut sebenarnya tidak perlu bereskalasi hingga sedemikian rupa karena ada beberapa asas lain yang mengikat OJK untuk memastikan _distributive authority_ yakni asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan,asas profesionalitas, asas integritas, dan asas akuntabilitas. Bukti empiris menunjukkan bahwa kemunculan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 181 negara independen di Indonesia bukanlah hal baru dan OJK bukanlah satu- satunya lembaga negara dengan status dan kedudukan demikian. Sebelumnya telah ada KPK, KPI, PPATK, dan KPPU yang bersifat independen dengan berbasis _constitutional importance_ ; Pasal 10 ayat (4) mengatur susunan Dewan Komisioner sebagai berikut, “seorang anggota _Ex-officio_ dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia”. Dengan hadirnya _ex-officio_ dari Bank Indonesia pada jajaran OJK ekspektasi yang terbentuk adalah komunikasi dan pertukaran informasi yang lebih baik diantara keduanya karena telah adanya sejarah kerja sama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerja sama; Kontradiksi independensi pada Pasal 1 pun menyeruak dari permohonan uji materil yang disampaikan ke Mahkamah Konstitusi. Disebutkan bahwa independen berarti bebas dari segala campur tangan pihak lain, padahal OJK harus terintegrasi dengan sistem perekonomian. Termonologi independen tidak dapat dipahami secarar monolitik namun perlu menyertakan konteks yang melingkupi. Independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK tidak menegasikan komunikasi dan koordinasi karena sektor jasa keuangan memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter; Teori Biaya Transaksi dalam perihal Pungutan OJK NIE mengambarkan adanya ketidaksempurnaan informasi dan adanya biaya transaksi. Setiap pelaku ekonomi tidak dapat secara bebas keluar masuk dalam pasar karena tidak semua pelaku memiliki informasi yang sama. Informasi yang tidak sempurna menimbulkan konsekuensi biaya transaksi ( _transaction cost_ ). Semakin informasi tidak sempurna (adanya a _symmetric information_ ) semakin tinggi biaya transaksi yang dikeluarkan pelaku ekonomi; Biaya transaksi mencangkup biaya untuk mengumpulkan informasi-informasi tentang suatu barang dan jasa (harga, kualitas, dan kuantitas), informasi tentang partner transaksi (reputasi, _track record_ ), kualitas _property rights_ yang akan dipindahkan, termasuk di dalamnya kerangka legalitas dan kontrak, desain biaya, pengawasan dan penegakan aturan kontrak (North, 1996); Pasal 7 memberikan ruang wewenang OJK yang mencangkup pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, kesehatan bank, aspek kehati- hatian bank, dan pemeriksaan bank. Cakupan tersebut akan meminimasi biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 182 transaksi karena pengawasan yang kuat akan menekan kesempatan untuk melakukan tindakan penyimpangan. Demikian halnya dengan aspek perlindungan konsumen yang diatur dalam Pasal 28 hingga Pasal 31 yang menugaskan OJK untuk memberika informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait karakteristik, layanan, dan produk sektor jasa keuangan. Informasi yang terangkum akan menekan biaya transaksi yang muncul terutama dari _market transaction cost_ . _Deadweight loss_ yang ditanggung konsumen pun akan dapat dihindari; Poin penting dari UU OJK pada aspek ini adalah soal anggaran yang diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 2 yakni “Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.” Dengan adanya partisipasi berupa penyertaan setoran yang dilakukan oleh perbankan dan lembaga keuangan, tanggung jawab bersama dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan yang berbasis _micro-_ _prudential; _ Pungutan OJK sebagai _fee-based income_ bersifat resiprokal antara lembaga pengawas dan obyek pengawasan mengingat _fee_ merupakan _service charge_ yang dibayarkan atas _marginal cost_ dari kegiatan layanan bagi industri keuangan yang menjadi domain fokus kerja OJK. Objek pengawasan mendapat _marginal benefit_ dari pengawasan yang dilakukan oleh OJK berupa _training,_ pemahaman atas tingkat kesehatan industri keuangan, informasi terkait _market resilience_ dan _market_ _knowledge_ . _Fee_ sebagai komponen pembiayaan OJK telah diatur dalam Pasal 34 UU OJK dan sudah mendapatkan _consent_ dari rakyat melalui pembahasan di DPR. Dari berbagai _practices_ di tingkat internasional, implementasi operasional dari p _roperty rightframework_ dalam _public governance_ nampak dapat bersinergi dengan baik di Hogkong, Estonia, dan Slovakia. Walaupun kompenen pembiayaan yang berasal dari _fee_ ini berada di luar nomenklatur APBN, OJK akan tetap melaporkannya dalam laporan keuangan secara periodik demi menjamin keterbukaan, akuntabilitas, dan integritas; Aplikasi Teori Hak Kepemilikan dalamKewenangan Koordinasi dengan Pemerintah , BI dan OJK Bromley (1989) mendefinisikan hak kepemilikan ( _propety right)_ sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba/keuntungan secara aman ( _secure_ ) karena orang lain respek terhadap aliran laba tersebut (terkait dengan transaksi). Hak kepemilikan merupakan klaim seseorang secara eksklusif atas sesuatu untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 183 memanfaatkan ( _utilize_ ), mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak tersebut; _Scope_ yang jelas dalam kepemilikan menjadi kunci utama keberhasilan dalam mengantisipasi dan mengatasi ekseternalitas. Dalam sistem keuangan, goncangan pada suatu siklus perekonomian atau yang jamak dikenal sebagai krisis merupakan suatu eksternalitas negatif dari inefisiensi sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 45 ayat (2) dimana “krisis pada sistem keuangan” adalah kondisi sistem keuangan yang sudah gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan; Dalam Pasal 45 ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Kapasitas OJK sebagai lembaga pengawas independen akan memperkuat fungsi dan wewenang Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan. Fokus yang tertuju pada bidang pegawasan dapat menjadi basis _pool of information_ yang amat diperlukan saat krisis; Kekhawatiran lain yang muncul dalam gugatan terhadap OJK ialah tugas dan wewenang yang dileburkan dalam OJK yang mencangkup pengawasan bank, kegiatan jasa keuangan di pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga keuangan lainnya, sebagaimana dicantumlan dalam Pasal 5, akan mereduksi peran BI baik secara internal maupun eksternal. Hal tersebut bukanlah persoalan yang substantif karena aspek terpenting adalah koherensi antara desain kelembagaan badan pengawas dengan karakter target industri. Industri keuangan yang semakin terintegrasi memerlukan model pengawasan dan pengaturan yang terintegrasi di bawah OJK, bukan lagi model pengawasan institusional yang terpisah sebagaimana dulu dibawahi oleh BI untuk perbankan dan Bappepam-LK intuk lembaga keuangan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 184 Terkait pola komunikasi antara OJK dan BI, mekanisme transaksi ataupun koordinasi antara keduanya perlu diatur karena terdapat transfer informasi. Mekanisme tersebut hendaknya diatur, terutama pada penentuan indikator kesehatan perbankan. Informasi dari OJK sangat dibutuhkan dalam mendukung peran Bank Indonesia dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter; Teori Modal Sosial Parameter modal sosial yang pertama adalah kepercayaan. Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) kemudian mencatat bahwa masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif serta hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Parameter kedua adalah norma. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerja sama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995); Kepercayaan masyarakat dan pelaku sektor keuangan akan terbangun jika OJK mampu mengkomunikasikan proses dan kinerjanya. Kekhawatiran terbesar pada aspek hubungan antar lembaga ialah sinkronisasi dan harmonisasi antara OJK dengan BI. Pelimpahan wewenang pengawasan ke BI ditengarai dapat mereduksi pengaruh dan kewenangan BI sebagai otoritas moneter. _Flow of_ _information_ pun menjadi hal krusial terutama saat terjadi krisis mengingat karakter _decision making under uncertainty; _ Kesimpulan sementara Penulis sementara ini tidak setuju kalau OJK dikembalikan ke BI. Tidak setuju karena di masa transisi akan terjadi kondisi ketidakpastian ( _condition under_ _uncertainty_ ) di sektor keuangan khususnya dan perekonomian pada umumnya. Sinyal ketidakpastian yang diikuti dengan sentimen negatif para pelaku pasar tersebut akan men- _trigger_ kemunculan krisis seperti krisis keuangan di Asia tahun 1998, krisis _mortgage_ di Amerika Serikat tahun 2011, dan krisis hutang di Eropa tahun 2013. Industri keuangan, baik bank maupun bukan bank seperti dana pensiun, asuransi, pembiayaan, dan pasar modal. _Micro risk_ tersebut juga mengakibatkan kontingensi pada _macrorisk_ seperti _capitalflight_ , penurunan nilai mata uang domestik yang berimplikasi pada menggelembungnya besaran hutang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 185 luar negeri dan berakhir pada _countydefault_ . Situasi yang tidak kondusif di industri dan pasar tidak hanya membuka peluang kemunculan perilaku yang kontraproduktif seperti _moral hazard_ akibat dari adanya celah _assymetric_ _information_ dari absennya lembaga pengawas dan _lack of enforcement_ . Apalagi _nature_ dari industri keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait. Tidak adanya lembaga khusus yang menangani pengawasan dan pengaturan secara terintegrasi memperburuk lemahnya koordinasipadasektorjasa keuangan. Muara dari ketidakpastian ini ialah ketidakpercayaan antar lembaga, pelaku pasar, dan masyarakat. Terhimpitnya pemangku kebijakan, dalam hal ini BI, OJK, dan pemerintah dalam turbulensi _monetary pressure_ dan _fiscal pressure_ menciptakan persepsi _less-credible governance_ sehingga stabilitas sosial politik pun turut terdistorsi dan bukan tidak mungkin mengarah ke _social riot_ dan _multidimensional_ _crisis_ sebagaimana terjadi di tahun 1998. Kebijakan yang serta merta mengembalikan OJK ke BI akan sangat _costly_ , keefektifannya pun masih dipertanyakan, dan belum tentu menjawab persoalan mendasar dari mekanisme desain kelembagaan pengawasan keuangan;
13. Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS Menanggapi inti permohonan uji materi Para Pemohon, saya berpendapat bahwa kehadiran UU OJK pada hakekatnya adalah amanat dari UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009, selanjutnya akan disebut “UU BI“. UU BI mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang meliputi lembaga perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, lembaga pembiayaan (yang sering dicakup sebagai lembaga keuangan non bank) dan pasar modal. Lembaga yang dimaksud oleh UU BI itulah Lembaga Otoritas Jasa Keuangan ini, yang merupakan Lembaga Pengawas yang independen bebas dari campur tangan pihak manapun. OJK hanya akan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi pemegang kedaulatan rakyat Indonesia; Bahwa sebagaimana diketahui lahirnya OJK dilatarbelakangi terjadinya krisis moneter 1997/1998 yang menjalar menjadi krisis multi dimensi. Untuk mencegah terulangnya kembali krisis serupa di masa yang akan datang, pemerintah memandang perlu adanya pemisahan fungsi pengawasan pada industri sektor jasa keuangan, sebagaimana akhirnya diimplementasikan di dalam UU OJK tersebut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 186 OJK yang akan mengambil alih fungsi pengawasan perbankan dari BI dan sekaligus mengintegrasikan seluruh fungsi pengawasan di sektor jasa keuangan. Untuk itu perlu diingatkan kembali tentang falsafah dasar dalam industri keuangan yakni soal kepercayaan atau _trust_ . Pada dasarnya industri keuangan baik sektor perbankan, pasar modal, asuransi, lembaga keuangan atau _multi finance_ , dana pensiun, dan lain - lainnya merupakan lembaga-lembaga intermediasi yang menghubungkan antara masyarakat yang kelebihan dana dengan kelompok masyarakat yang membutuhkan dana. Fungsi intermediasi itu dapat berjalan normal jika ada _trust_ dari masyarakat terhadap industri keuangan itu sendiri. Banyak contoh dapat dilihat bagaimana lembaga keuangan – baik bank maupun non-bank -- kolaps akibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan tersebut. Dalam kaitan itulah, kehadiran OJK sebagai lembaga pengawas yang independen dengan segala kewenangan yang dimilikinya telah mulai meningkatkan _trust_ masyarakat terhadap industri jasa keuangan. Pola pengawasan industri keuangan oleh OJK diharapkan bisa menciptakan sistem keuangan yang lebih teratur, stabil, kompetitif dan kredibel. Independensi OJK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan prinsip _Good_ _Governance_ yang di era reformasi ini menjadi sangat mengemuka di dalam manajemen penyelenggaraan pembangunan yang solid dan bertanggung jawab demi kesejahteraan masyarakat; Good governance sendiri dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dengan mengikuti pendapat dari _OECD (Organization for Economic Co-operation_ _and Development) dan World Bank_ , _Good Governance_ adalah “penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien. Juga menghindarkan salah alokasi dan investasi yang langka serta mencegah korupsi secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran berikut penciptaan _legal and political framework_ yang kondusif bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sejalan dengan pandangan _OECD_ dan _World Bank_ , patut saya kutip pendapat _United Nations_ _Development Program_ ( _UNDP_ ), yang menyatakan bahwa _Good Governance_ adalah suatu hubungan sinergis antara Negara, sector swasta (pasar) dan masyarakat yang berlandaskan pada sembilan karakteristik, yakni partisipasi, _rule_ _of law_ , transparansi, sikap responsive, berorientasi _consencus_ , kesejahteraan atau kebersamaan, efektif dan efisien, akuntabilitas dan visi strategis; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 187 Mengacu pada pengertian _Good Governance_ sebagaimana saya kemukakan di atas, kehadiran OJK yang independen jelas telah menunjukkan betapa komitmen Pemerintah dalam menyelenggarakan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab dengan mensinergikan antara peran pemerintah, swasta dan masyarakat; Bahwa secara teoritis dapat saya kemukakan bahwa selama ini terdapat tiga pilar lembaga yang bisa dipakai sebagai sarana berinvestasi bagi masyarakat yang memiliki dana, yaitu Lembaga Perbankan, Lembaga Investasi Langsung yang sering dilakukan melalui lembaga asuransi, dana pensiun dan sebagainya dan yang ketiga adalah pasar modal. Ketiga lembaga ini dalam praktiknya telah bersinergi satu dengan lainnya. Perbankan yang handal akan mampu memberikan kredit kepada dunia usaha yang kemudian mereka akan masuk ke pasar modal, sehingga akan menambah maraknya instrumen bursa pasar modal. Di sisi lain, instrument bursa yang berkembang juga dapat dijadikan sarana investasi bagi kalangan masyarakat yang memiliki kelebihan dana di samping saran-sarana investasi yang lain. Namun sebelum ini antara ketiga lembaga di sektor jasa keuangan yang sudah saling bersinergi tersebut, masih diawasi oleh lembaga yang berbeda-beda. Dampaknya jika terdapat kerugian yang dihadapi oleh investor atau konsumen dan masyarakat pada umumya, investor dan masyarakat pada umumnya cenderung kurang mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Tidak dapat dipungkiri model-model investasi yang tidak bertanggung jawab yang menggunakan instrument-instrumen bursa pasar modal dan perbankan telah banyak merugikan masyarakat karena lembaga pengawas yang ada seperti tidak hadir melindungi masyarakat yang menderita kerugian tersebut; Oleh sebab itu kehadiran OJK yang memenuhi legalitas konstitusional karena telah diamanatkan oleh UU BI sangat tepat menjadi Otoritas Jasa Keuangan yang independen dalam mengawasi ke tiga pilar lembaga sektor jasa keuangan sebagaimana saya kemukakan di atas. Tanggapan/Pendapat Hukum ahli atas dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 1 Angka 1 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana ahli kemukakan di atas, harus diakui bahwa secara yuridis formal lahirnya UU OJK atas amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, yang menyatakan:
(1) _“Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor_ _jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-undang“_ . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 188 Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI menyatakan:
(1) _“Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan_ _pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa_ _keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal_ _ventura dan perusahaan pembiayaan serta badan-badan lain yang_ _menyelenggaakan pengelolalan dana masyarakat “._ Dasar legal kehadiran UU OJK melalui ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUBI tersebut menurut hemat saya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini juga telah sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan _(1) “Materi_ _muatan yang harus diatur dengan Undang-undang berisi: (b). perintah suatu_ _Undang-undang untuk diatur dengan Undang-undang“_ . UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah Undang-Undang yang merupakan salah satu instrumen hukum yang menjabarkan filosofi amanat Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 yang wajib dijabarkan lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan di bawahnya. UUBI mengamanatkan perlunya UU OJK yang “independen“ sebagai lembaga pengawas sektor jasa keuangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa OJK sebagai lembaga pengawas yang independen tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945; Selanjutnya ahli menanggapi dalil para Pemohon terkait dengan Ketentuan Pasal 5 UU OJK yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945 Bahwa UU OJK secara filosofis ditujukan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntable, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dasar filosofis demikian sebagaimana saya kemukakan di atas telah sejalan dengan prinsip-prinsip _good_ _governance_ yang sudah menjadi _communis opinio docturum_ atau _de heersende_ _leer_ bagi masyarakat kelimuan hukum dalam pengertian “sudah menjadi doktrin atau prinsip yang diikuti oleh masyarakat kelimuan“ di negara-negara yang berdaulat dan menjunjung tinggi demokrasi. Atas dasar pertimbangan filosofis dimaksud, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, kemudian memutuskan perlunya OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi secara terpadu, independen dan akuntabel terhadap kegiatan sektor jasa keuangan di Indonesia; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 189 Mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar tercapai tujuan konstitusional dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 UU OJK menurut hemat saya merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi. Kewenangan tersebut justru telah sejalan dengan prinsip-prinsip _Good Governance_ sebagaimana ahli kutip di atas; Terhadap dalil para pemohon yang menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, dapat ahli kemukakan sebagai berikut: Untuk mencapai tujuan OJK, diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan; Dalam Pasal 37 UU OJK diatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan Otoritas Jasa Keuangan. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa pembiayaan kegiatan Otoritas Jasa Keuangan sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besarnya pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan Otoritas Jasa Keuangan; Ahli berpendapat bahwa pendanaan OJK yang antara lain bersumber dari pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan adalah wujud dari mandat Pasal 33 ayat (1) _juncto_ ayat (4) UUD 1945 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan. Saya perlu menegaskan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono, bahwa Pasal 33 UUD 1945 memberikan ketentuan _imperatif_ bagi negara untuk mengatur perekonomian. Perkataannya perekonomian “disusun “ sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. “ Disusun” artinya tidak boleh bebas tersusun sendiri oleh pasar. Asas kekeluargaan yang menurut saya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 190 maknanya sama dengan asas gotong royong yang dijunjung tinggi sebagai ciri hidup bermasyarakat bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila tidak terkecuali dalam sektor-sektor jasa keuangan, artinya adalah _brotherhood_ (yang bukan _kinship nepotitik_ ), sebagai pernyataan adanya tanggung jawab bersama, persaudaraan untuk menjamin kepentingan, kemajuan dan kemakmuran bersama ( _mutual interest_ ) layaknya hidup dalam _broherhood_ . Dalam negara yang “ pluralistik “ seperti Indonesia ini _brotherhood_ adalah suatu _ukhuwah wathoniyah_ , demikian Prof. DR. Sri Edi Swasono menegaskan. Dengan demikian sifat kekeluargaan atau kegotongroyongan diantara pelaku usaha untuk menopang pembiayaan lembaga pengawas sektor jasa keuangan agar mampu menjalankan fungsi dan wewenangnya secara optimal, merupakan jiwa yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan integritas yang tinggi dari OJK, fungsi dan wewenang pengawasan akan dapat dijalankan secara independen dan akuntabel, sekalipun sebagian pembiayaannya ditopang oleh pelaku-pelaku usaha di sektor jasa keuangan tersebut. Oleh sebab itulah di dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, menentukan bahwa anggaran Otoritas Jasa Keuangan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan Otoritas Jasa Keuangan, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pungutan tersebut merupakan wujud konkrit dari filosofi kegotong royongan atau kekeluargaan yang sejalan dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Secara fundamental pungutan yang didasarkan atas prinsip kegotongroyongan atau kekeluargaan, juga tidak bertentangan dan bahkan sinergi atau sejalan dengan 9 (sembilan) prinsip _good governance_ yang saya kutip dari Pendapat UNDP di atas, yaitu partisipasi, _rule of law_ , transparansi, sikap _responsive_ , berorientasi _consensus_ , kesejahteran atau kebersamaan, efektif dan efisien, akuntabilitas dan visi strategis. Penetapan besarnya pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan Otoritas Jasa Keuangan. Aspek keadilan dalam pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan merupakan salah satu aspek filosofis yang sepatutnya dipertimbangkan, dalam arti pembiayaan secara adil harus dibebankan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 191 pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan; Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya di dalam UU Pasar Modal. Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan: _(3) Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan,_ _dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang diberikan; _ _(4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut_ _kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek”._ Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Pungutan pajak, pungutan retribusi dan pungutan- pungutan lain sebagaimana saya kemukakan di atas adalah wujud konkrit dari sifat kegotongroyongan masyarakat bangsa Indonesia yang dewasa ini justru cenderung “ditinggalkan“ oleh sebagian masyarakat Indonesia. Untuk tujuan agar tidak membebani APBN, kepada setiap pelaku usaha di sektor jasa keuangan diharapkan ikut berpartisipasi dalam pendanaan kelembagaan pengawasan yang dibentuk , tidak harus dipandang sebagai “membebani“ para pelaku usaha tersebut. Jika semuanya dipertanggung jawabkan secara akuntabel, transparan, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip _Good Governance_ , niscaya sistem keuangan yang mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat akan benar-benar tercapai. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar juga dalam industri jasa keuangan merupakan praktif yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945; Pengaturan pungutan Otoritas Jasa Keuangan dalam UU Otoritas Jasa Keuangan, sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan Undang-Undang. Dengan berpijak pada uraian sebagaimana saya kemukakan di atas, kehadiran OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang independen tidak perlu diragukan dan dipermasalahkan lagi; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 192 [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 5 Mei 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Juli 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: A. Ketentuan UU Otoritas Jasa Keuangan Yang Dimohonkan Pengujian Terhadap UUD 1945 Para Pemohon dalam permohonan _a quo_ mengajukan pengujian atas Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 serta pengujian sepanjang frasa _"..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..._ "yang tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23D dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. B. Hak Dan/Atau Kewenangan Konstitusional Yang Dianggap Para Pemohon Telah Dirugikan Oleh Berlakunya UU Otoritas Jasa Keuangan Para Pemohon dalam permohonan _a quo_ mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya pasal-pasal _a quo_ UU Otoritas Jasa Keuangan yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas independensi Ototitas Jasa Keuangan, Kewenangan pengaturan dan pengawasan disektor perbankan dan pungutan yang dilakukan OJK dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan dalam pokok permohonan para Pemohon. C. Keterangan DPR Terhadap pendapat Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan _a quo_ , DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum ( _legal standing_ ) Menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( _legal standing_ ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan _a quo_ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 193 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam "Penjelasan Pasal 51 ayat (1)" dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang; Menurut pandangan DPR, bahwa para Pemohon tidak menguraikan secara jelas kerugian konstitusional yang diakibatkan oleh pasal-pasal Undang- Undang _a quo_ yang dimohonkan pengujian oleh karena yang dijadikan batu uji para Pemohon terhadap Undang-Undang _a quo_ yaitu Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23D dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang sama sekali bukan merupakan norma yang mengatur hak konstitusional para Pemohon. Dengan demikian tidak ada hubungan sebab akibat antara hak konstitusional para Pemohon dengan kerugian yang diakibatkan oleh pasal-pasal Undang-Undang _a quo_ , DPR berpandangan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( _legal standing_ ). Namun demikian, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum _(legal standing_ ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007;
2. Pengujian atas Pasal-Pasal UU Otoritas Jasa Keuangan Terhadap permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 serta pengujian sepanjang frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..."yang tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Otoritas Jasa Keuangan, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: A. Pasal 1 angka 1 UU Otoritas Jasa Keuangan 1. Bahwa pembentukan UU Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, serta untuk menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia.
2. Bahwa OJK lahir sebagai hasil dari suatu proses penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 194 fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank. Penataan tersebut sejalan dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999. Berdasarkan ketentuan tersebut, telah jelas bahwa pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independensi harus dibentuk. Dan bahkan pada ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukkan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002.
3. Bahwa lahirnya UU OJK setelah dibentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Pembentukan lembaga pengawasan, akan dilaksanakan selambat- lambatnya 31 Desember 2010. Akan tetapi dalam prosesnya pada tahun 2010, perintah untuk pembentukkan OJK, masih belum terealisasi. Tetapi akhirnya pada tanggal 22 November 2011 disahkaniah UU Otoritas Jasa Keuangan, lembaga yang melakukan pengawasan di sektor jasa keuangan menggantikan fungsi pengawasan Bank Indonesia (Bl) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) agar menjadi terintegrasi dan komprehensif.
4. Bahwa terkait dengan frasa "independensi" yang dipersoalkan oleh para Pemohon, DPR berpandangan makna "independensi" yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang _a quo_ merupakan amanat dari Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang.
5. Bahwa dalam Penjelasan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dijelaskan bahwa Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 195 menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independensi dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan DPR.
6. Bahwa ketentuan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 _juncto_ Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sudah sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang menyatakan: "(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: (b) perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang".
7. Bahwa sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf b di atas maka pembentukan Undang-Undang _a quo_ merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang yang diterbitkan secara konstitusional. OJK sebagai lembaga yang independensi merupakan amanat dari Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia, sehingga dalam Undang-Undang _a quo_ , "independen" merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK.
8. Bahwa independensi yang diberikan pada Bank Indonesia dalam Pasal 23D UUD 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon dipandang perlu melihat dalam risalah pembahasan Pasal 23D UUD 1945 mengenai makna independensi untuk Bank Indonesia. Awalnya independensi Bank Indonesia mempunyai wewenang mengeluarkan dan mengedarkan mata uang. Independensi ini timbul karena adanya kekhawatiran bahwa Pemerintah bisa mendikte Bank Indonesia artinya bahwa independensi Bank Indonesia dalam Pasal 23D tersebut lebih kepada independensi dalam kebijakan moneter (Risalah Pembahasan Perubahan UUD 1945).
9. Bahwa secara umum makna independensi dapat dimaknai sebagai suatu yang tidak tergantung, bebas atau merdeka dari pengaruh lain, serta bukan bagian dari pemerintah. Sehingga lembaga yang independensi merupakan lembaga yang bebas dari pengaruh atau intervensi dari lembaga lain. Namun dengan tetap dibatasi oleh prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 196 10. Bahwa istilah independensi dalam Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia dan Pasal 1 angka 1 UU OJK adalah bermakna sama, namun tidak sama dengan pemaknaan "independensi" dalam Pasal 23D UUD 1945. Jika Pasal 23D UUD 1945 ditujukan untuk kedudukan Bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia yang bersifat independen. Sehingga dengan demikian dapat dimaknai bahwa OJK dan Bl memiliki sifat kedudukan yang sama, sesuai dengan kedudukan dan fungsi masing- masing berdasarkan Undang-Undang yang mengaturnya.
11. Bahwa menurut Prof. Jimly Ashiddiqie dalam Rapat Dengar Pendapat Umum pembahasan RUU OJK tanggal 17 Oktober 2011, soal independensi ini memang harus dikaitkan dengan prinsip _check and_ _balance_ . Independensi itu tidak ada yang mutlak, yang paling mutlak itu kekuasaan kehakiman itu, meskipun itupun masih ada _check and_ _balance_ -nya misalnya di Amerika itu, Ketua Mahkamah Agung yang mengangkat Presiden. Jadi ada _sfrare_ -nya itu dan kemudian juga konfirmasinya juga di parlemen, bahkan _impeachment_ Jadi hakim-hakim Mahkamah Agung di Amerika itu bisa diberhentikan melalui parlemen juga. Jadi ada _check and balance_ -nya. Lembaga kekuasaan kehakiman yang begitu merdeka, paling merdeka dari di antara semua-semua ini, yang paling merdeka karena ciri dari negara modern salah satunya ialah negara demokrasi itu adanya independent _sub-judistory_ . Maka dari seluruh lembaga-lembaga independen, lembaga kekuasaan kehakiman adalah lembaga yang paling independen, tetapi tetap diperlukan _check_ _and balance_ . Dalam cara pandang seperti yang dipaparkan di atas, lembaga pengawasan yang independensi ini bukan berarti dia mutlak termasuk Bank Indonesia. Jadi ada _check and balance_ -nya, bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas.
12. Bahwa OJK merupakan lembaga yang independensi fungsional. Fungsinya nanti adalah independen. Terdapat tiga pihak yang memiliki kepentingan terhadap fungsi pengawasan perbankan dan institusi keuangan, yaitu parlemen, pemerintah dan bank sentral. Independensi juga harus menunjukkan persoalan kepada perannya masing-masing. Bank Indonesia dan pemerintah tetap memiliki suara karena menjalankan secara eksekutif dan professional terhadap pelaksanaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 197 keuangan di Indonesia.
13. Bahwa independensi fungsional atau yang disebut juga _instrument_ _independence_ , dimaknai dalam independensi ini suatu lembaga bebas menentukan cara dan pelaksanaan dari instrumen kebijakan yang ditetapkannya yang dianggap penting untuk mencapai tujuannya (Fabian Amtenbrink, dalam bukunya " _The Democratic Accountability of_ _Central Banks_ ", 1999).
14. Bahwa pada prinsipnya, lembaga yang bersifat independensi memiliki fungsi campuran yang semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independensi dan berhak mengatur dirinya sendiri ( _independent and_ _self-regulatory bodies_ ) yang berkembang di berbagai negara. Seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Bahwa independensi OJK diwujudkan dengan tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena OJK memiliki keterkaitan dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara _ex-officio_ . Keberadaan _ex-officio_ ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan serta guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
15. Bahwa sifat independensi yang melekat pada OJK, sejalan dengan asas independensi yang melekat pada tugas dan kewenangan lembaga OJK yang diartikan yaitu independensi dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa sifat indenpedensi pada OJK juga dibatasi dengan prinsip _check and balances_ yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 198 termaktub dalam pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas yang terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang _a quo_ . Sehingga indepedensi OJK tidak berlaku secara absolut atau mutlak.
16. Bahwa dengan demikian sektor jasa keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang- Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Pembentukan UU OJK merupakan suatu pemenuhan terhadap tujuan dibentuknya Negara Indonesia yaitu tujuan memajukan kesejahteraan umum.
17. Bahwa terkait sifat independensi dalam OJK, perlu melihat risalah rapat dalam pembahasan UU OJK sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a. Risalah Rapat Kerja tanggal 1 Desember 2010 - OJK dibentuk berdasarkan amanat Pasal 34 UU Bl, secara teknik _legal drafting_ , UU Bl yang diatur dalam konstitusi maka UU Bl adalah setengah konstitusi.
b. Risalah Rapat Panitia Kerja tanggal 9 Juni 2011 - Keberadaan unsur Pemerintah didalam konteks pengawasan yang sifatnya independensi dan kepentingan ini tidak selamanya selalu dianggap sebagai turut campurnya pemerintah tetapi lebih membuka sebuah jembatan atau sebuah kesempatan yang dapat lebih memberikan pandangan, agar supaya keputusan-keputusan yang diambil ini lebih berimbang. Independensi peran pengawasan ini yang mewakili _stake holder_ masyarakat. - Perusahaan dan badan-badan lain penyelenggaraan pengelolaan dana masyarakat, lembaga ini bersifat independensi dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya di luar Pemerintah, apa lagi itu dan berkewajiban melaporkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan DPR, dalam melakukan tugasnya lembaga ini melakukan kordinasi dan kerjasama dengan bank Indonesia sebagai bank sentral yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan lembaga dimaksud, maka sudah jelas posisi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 199 lembaga ini diluar pemerintah - Diluar pemerintah dapat diartikan diluar kabinet. Misalnya Bl, secara lembaga posisinya memang di luar Pemerintah, tetapi tetap ada hubungannya dengan pemerintah dalam kebijakan moneter.
c. Risalah Rapat Dengar Pendapat Umum tanggal 25 Agustus 2010 - Tidak terdapat kewenangan yang dikoordinasi dalam OJK. Kewenangan merupakan otoritas sendiri. Koordinasi dilakukan pada tingkat implementasi, maka independensi lembaga dapat terjamin.
d. Risalah Rapat Dengar Pendapat tanggal 2 Maret 2011 - Jika dilihat dari sudut hukum administrasi negara suatu lembaga itu dikatakan sebagai lembaga independensi apabila lembaga tersebut bebas tidak dipengaruhi dan tidak tergantung daripada organ-organ dari adminstrasi negara yang lain. B. Pasal 5 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 1. Bahwa Pasal 5 UU OJK menyatakan OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang _a quo_ juga terdapat keterkaitan dengan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang _a quo_ .
2. Bahwa berdasarkan Pasal 23 UUD 1945 sebelum amandemen tersebut, kedudukan Bank Indonesia saat itu untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, artinya Bank Indonesia yang diamanatkan oleh UUD 1945 saat itu dibentuk dengan Undang- Undang karena kedudukan yang berfungsi dalam kebijakan moneter.
3. Bahwa terkait dengan fungsi dan wewenang Bank Indonesia dapat dilihat dalam risalah pembahasan Pasal 23D UUD 1945. Bank Indonesia memiliki fungsi dan wewenang dalam kebijakan moneter, mengeluarkan dan mengedarkan mata uang.
4. Bahwa berdasarkan Pasal 23D UUD 1945, tugas dan kewenangan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Pasal 8 UU Bank Indonesia yang meliputi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 200 a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
c. Mengatur dan mengawasi bank.
5. Bahwa terkait dengan tugas mengatur dan mengawasi bank, dalam Pasal 34 UU Bank Indonesia dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen. Namun demikian, sepanjang lembaga pengawasan tersebut belum dibentuk, menurut Pasal 35 UU Bank Indonesia, tugas pengaturan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Artinya, dengan dibentuknya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan, maka tugas pengaturan dan pengawasan bank yang awalnya dilakukan oleh Bank Indonesia beralih kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
6. Bahwa pengaturan dan pengawasan yang dilakukan secara integratif ini dilakukan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan ke seluruh lembaga yang bergerak di sektor jasa keuangan, diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional.
7. Bahwa pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK merupakan pelaksanaan fungsi _microprudential_ perbankan, sedangkan pengawasan terhadap fungsi moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia merupakan pelaksanaan fungsi _macroprudential_ perbankan. Pelaksanaan fungsi _microprudential_ dan _macroprudential_ harus dipisahkan dalam lembaga yang berbeda. Hal ini untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu tangan pada sektor keuangan, khususnya di bidang perbankan;
8. Bahwa sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 69 UU OJK Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 201 dinyatakan tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan _microprudential_ sebagaimana dimaksud Undang-Undang ini. Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait _macroprudential_ .
9. Bahwa dengan demikian kekhawatiran para Pemohon tidak cukup beralasan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur _check and balances_ di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). C. Pasal 34 dan Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 1. Bahwa kegiatan pungutan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 37 Undang-Undang _a quo_ dimaksudkan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pungutan OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan.
2. Bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang- Undang yaitu dengan persetujuan DPR.
3. Bahwa pungutan OJK dalam Undang-Undang _a quo_ , sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan Undang-Undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan. Pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 202 dan mengadministrasikan pungutan tersebut secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara.
4. Bahwa terkait dengan sumber pembiayaan OJK sebagaimana didalilkan para Pemohon, menurut DPR bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan" adalah Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Namun, pembiayaan OJK yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri, antara lain pada masa awal pembentukan OJK.
5. Bahwa adanya pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan yang bersumber dari pungutan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dikarenakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada OJK belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri, khususnya pada masa awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan. Besarnya penetapan pungutan yang dilakukan oleh OJK kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan Otoritas Jasa Keuangan.
6. Bahwa selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 37 dinyatakan yang dimaksud dengan "pungutan" antara lain pungutan untuk biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 203 perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pungutan OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan.
7. Bahwa pembiayaan OJK berupa pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, pengaturannya juga telah dilakukan oleh peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang pada intinya menyatakan bahwa Bursa Efek dapat biaya pencatatan efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang diberikan, dimana biaya dan iuran dimaksud digunakan untuk kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selanjutnya juga hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 35 juga mewajibkan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dalam Pasal 48 mewajibkan pengenaan pungutan perikanan bagi setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, juga mengenakan biaya bagi perizinan dalam Pasal 41.
8. Bahwa apabila melihat praktik lembaga otoritas jasa keuangan di beberapa negara, terkait dengan pembiayaan OJK berupa pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, juga dilakukan oleh lembaga otoritas dimaksud. Hal ini seperti yang dilakukan oleh _Office of the Comptroler of the Currency_ (OCC) di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 204 Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara _semi-_ _annually_ yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Kemudian _Office Of Superintendent Of Financial Institute_ (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Dan selanjutnya, _Financial Services Supetvisory_ (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari _Supervisory Fee_ , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS.
9. Bahwa sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 37 UU OJK yaitu pungutan OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan didasarkan kepada Bahwa pembiayaan OJK merupakan kombinasi APBN dan sumber lain yaitu pungutan. OJK sebagai regulator dari industri keuangan harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas memerlukan standar biaya umum yang berbeda. Sehingga diperlukan pungutan untuk memenuhi standar yang berbeda itu. Tetapi apabila pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. Di Australia Bapepamnya mengambil fee dari industri. Praktiknya sekarang uang yang disetor pada negara jauh lebih besar dibandingkan anggarannya Bapepam Australia (Risalah Rapat Panitia Kerja, tanggal 19 November 2010).
10. Bahwa selanjutnya pungutan yang dilakukan oleh OJK harus dilaporkan kepada DPR dan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai bentuk akuntabilitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 38 Bab IX tentang Pelaporan dan Akuntabilitas UU OJK. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 38 UU OJK dinyatakan Laporan kegiatan yang disusun OJK antara lain memuat: pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada periode sebelumnya serta rencana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 205 kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan wewenang OJK untuk periode yang akan datang. Penyampaian laporan OJK kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk menjelaskan pelaksanaan kegiatan dan kinerja OJK selama tahun berjalan.
11. Bahwa dengan adanya ketentuan mengenai pelaporan dan akuntabilitas dalam UU OJK artinya terdapat kontrol atau pengawasan oleh masyarakat melalui DPR dan adanya audit dari Badan Pemeriksa Keuangan sehingga kekhawatiran para Pemohon tidak cukup beralasan.
12. Bahwa secara konstitusional, pengaturan mengenai pembiayaan OJK berupa pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan Undang-Undang. Ketentuan pada Pasal 23A UUD 1945 sangat sesuai bila diterapkan pada OJK sebagai lembaga publik yang merupakan representasi negara dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan di bidang jasa keuangan.
13. Bahwa terkait pungutan yang dilakukan oleh OJK, perlu melihat risalah rapat dalam pembahasan UU OJK sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a. Risalah Panitia Kerja tanggal 19 November 2010 - Dalam hal pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia, pembiayaan bukan berasal dari industri perbankan. Pemasukan terbesar Bank Indonesia berasal didapat dari pengelolaan devisa. - Apabila pendanaan berasal dari industri, diharapkan akan memacu tingkat profesionalime dari OJK. OJK dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik agar industri merasakan manfaat dari adanya OJK. - Tujuan OJK adalah menciptakan _system financial_ di Indonesia yang transparan, aman, teratur, dan akuntabel yang dibutuhkan oleh semua pihak. Negara membutuhkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 206 keuangan yang seperti itu, industri juga membutuhkan sistem yang sama. Oleh karena itu pembiayaannya wajar dipikul oleh kedua pihak, negara membutuhkan keamanan sistem keuangan membutuhkan bank stabil, membutuhkan tidak adanya kecurangan-kecurangan di pasar uang sehingga negara harus keluar biaya untuk itu. Di sisi lain, industri juga membutuhkan pendidikan, pelatihan dan pengawasan, maka sewajarnya industri turut mendukung pembiayaan. - Berbeda dengan Lembaga Penjamin Simpanan, OJK tidak memiliki cadangan dana. Kelebihan dana yang didapat baik dari APBN maupun pungutan akan dikembalikan kepada negara sebagai bentuk penerimaan negara. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari konflik kepentingan karena pengelolaan dana yang lebih dan untuk mengantisipasi terjadinya _moral hazard_ di OJK. - OJK berkewajiban membuat laporan keuangan yang diserahkan kepada DPR dan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Mekanisme pelaporan ini merupakan perwujudan akuntabilitas lembaga.
b. Risalah Rapat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi tanggal 24 Oktober 2011 - Pungutan digunakan untuk membiayai operasional OJK. Apabila pungutan telah mencukupi kesulurah biaya operasional OJK, maka kemudian dapat tidak menggunakan APBN lagi. Bahkan jika pungutan tersebut sudah lebih dari apa yang dibutuhkan OJK kemudian pungutan tersebut dapat dimasukkan sebagai penerimaan negara. Demikian keterangan DPR untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus dan mengadili perkara _a quo_ dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( _legal_ _standing_ );
2. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 serta pengujian sepanjang frasa "..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 207 perbankan.."yang tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 serta pengujian sepanjang frasa ";
.tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.."yang tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. [2.6] Menimbang bahwa Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan dalam persidangan tanggal 18 September 2014 memberikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 18 September 2014 yang mengemukakan hal-hal berikut: Pembukaan 1. Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan YME, karena hanya atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya pada hari ini kita dapat bertemu dalam sidang permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disebut UU OJK;
2. Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkanlah kami atas nama Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan ucapan terima kasih kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Hakim Mahkamah Konsitusi yang telah memberi kesempatan kepada kami selaku Pihak Terkait untuk menyampaikan keterangan terkait UU OJK. Kami yakin semua proses yang akan kita lalui adalah semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara dalam membangun perekonomian untuk kemaslahatan masyarakat;
3. Berkenaan dengan pokok permohonan yang diujimaterikan, perkenankan kami menyampaikan beberapa materi yang menurut hemat kami sangat penting dan relevan dengan uji materi terhadap UU OJK ini, yaitu mengenai pembentukan OJK, independensi Bank Sentral dan OJK dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, pungutan OJK, konstitusionalitas UU OJK terhadap UUD 1945 khususnya sanggahan terhadap dalil para Pemohon atas beberapa Pasal di UU OJK. Hal ini perlu untuk kami kemukakan karena keinginan kami untuk menjaga agar lembaga Mahkamah Konstitusi yang terhormat ini, tidak dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 208 mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu dan mengabaikan kepentingan yang lebih luas, dengan mengatasnamakan konstitusi;
4. Sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, selain berfungsi untuk menangani perkara ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil; I. Pembentukan OJK 1. Latar Belakang Pembentukan OJK 1.1. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Kita semua sebagai warga negara Indonesia berkewajiban bahu-membahu melaksanakan amanat tersebut guna mewujudkan tujuan perekonomian nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
1.2. Sejalan dengan amanat konstitusi dimaksud, sebagaimana lazimnya dalam perekonomian sebuah negara, sektor jasa keuangan memainkan peranan yang sangat signifikan dalam menggerakkan roda perekonomian. Sektor jasa keuangan memegang peranan penting sebagai sumber pembiayaan pembangunan, sekaligus sebagai sarana berinvestasi bagi masyarakat dan sarana intermediasi untuk mendukung kegiatan dan pertumbuhan sektor riil. Keseluruhan kegiatan intermediasi dan investasi tersebut berinteraksi sedemikian rupa untuk mendorong dan menumbuhkan berbagai kegiatan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat;
1.3. Sektor Jasa Keuangan yang direpresentasikan oleh berbagai Lembaga Jasa Keuangan baik perbankan, pasar modal maupun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 209 industri keuangan bukan bank (perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya) yang untuk selanjutnya disebut IKNB, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembangunan ekonomi nasional. Namun, dalam perjalanannya tidak sedikit tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh sektor jasa keuangan yang senantiasa menjadi perhatian serius oleh negara;
1.4. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar sub-sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Perkembangan sistem keuangan berupa: __ a. konglomerasi bisnis, atau hubungan kepemilikan lintas sub- sektor yang meningkat di Lembaga Jasa Keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga Jasa Keuangan;
b. _hybrid product_ , atau produk keuangan gabungan lintas sub- sektor yang meningkat telah menambah dinamika transaksi di sektor keuangan; dan __ c. _regulatory arbitrage_ , atau penghindaran ketentuan di sub- sektor keuangan tertentu melalui sub-sektor keuangan lain yang lebih ringan ketentuannya. __ Demikian pula dengan banyaknya permasalahan di sektor keuangan seperti:
a. terdapatnya _moral hazard_ ;
b. belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan; dan c. terganggunya stabilitas sistem keuangan. __ 1.5. Kompleksitas yang disebabkan oleh perkembangan dan permasalahan di sektor keuangan tersebut, semakin mendorong diperlukan pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Sehubungan dengan itu, perlu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 210 dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, dan IKNB;
1.6. Penataan dimaksudkan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi;
1.7. Oleh karena itulah, pengaturan dan pengawasan perbankan yang semula dilakukan oleh Bank Indonesia serta pengaturan dan pengawasan pasar modal dan IKNB yang semula dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) Kementerian Keuangan, oleh Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) ditata kembali pengorganisasiannya dengan mengintegrasikan di dalam tugas dan fungsi lembaga yang baru dibentuk berdasarkan UU OJK;
1.8. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator dan pengawas sektor jasa keuangan mencakup perbankan, pasar modal dan IKNB adalah merupakan respon kebijakan atas kompleksitas perkembangan dan permasalahan di sektor jasa keuangan;
1.9. Dengan demikian pembentukan OJK adalah dimaksudkan untuk mewujudkan amanat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi bahwa “ _Perekonomian_ _nasional_ _diselenggarakan_ _berdasarkan_ _atas_ _demokrasi_ _ekonomi_ _dengan_ _prinsip_ _kebersaman, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan_ _lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan_ _kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional_ ”. Pembentukan OJK adalah merupakan respon kebijakan untuk membangun perekonomian nasional yang akan membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 211 2. Dasar Hukum dan Tujuan Pembentukan OJK 2.1. Pembentukan OJK dengan UU OJK disusun bersama antara Presiden (Pemerintah) sesuai kewenangan dalam Pasal 5 UUD 1945 dengan DPR-RI sesuai kewenangan dalam Pasal 20 UUD 1945;
2.2. Pembentukan OJK bertujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Hal ini juga dengan mendasarkan kepada Pasal 33 UUD 1945;
2.3. Pembentukan OJK dengan UU OJK juga merupakan salah satu pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang mengamanatkan untuk membentuk Undang-Undang yang mengatur mengenai perekonomian nasional;
2.4. Selain dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 juga telah mengamanatkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang;
2.5. Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) dijelaskan bahwa lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan- perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;
2.6. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut, kemudian dengan UU OJK disebut OJK. UU OJK tersebut pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 212 ( _governance_ ) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam Undang-Undang sektoral tersendiri, yaitu Undang- Undang tentang Perbankan, Undang-Undang tentang Pasar Modal, Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian, Undang- Undang tentang Dana Pensiun dan peraturan perundang- undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya;
2.7. Tujuan pembentukan OJK adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi;
2.8. Dengan demikian dasar hukum pembentukan OJK adalah sejalan dengan UUD 1945 yaitu untuk mewujudkan perekonomian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4), ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (5). Pembentukan OJK juga merupakan tindak lanjut dari mandat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia, yang berarti sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa materi yang harus diatur dalam Undang-Undang antara lain Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 213 berisi: pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945 dan atau perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dalam Undang-Undang;
2.9. Dengan demikian tujuan pembentukan OJK sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah untuk kepentingan perekonomian nasional dan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan pembentukan OJK untuk mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, adalah merupakan hal yang pertama kali secara eksplisit diatur dan dimuat dalam UU OJK, yang selain fokus kepada pencapaian stabilitas sistem keuangan juga pertama kali memperhatikan pengupayaan _level of playing field_ (kesetaraan dan keseimbangan) antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen atau masyarakat pengguna jasa keuangan;
3. Penguatan Fungsi Pengawasan Sektor Jasa Keuangan oleh OJK 3.1. Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU OJK, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Artinya cakupan kewenangan pengaturan dan pengawasan meliputi seluruh kelembagaan dan kegiatan jasa keuangan di perbankan, pasar modal maupun di IKNB. Sebelum OJK dibentuk, pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara terpisah oleh 2 (dua) lembaga, yaitu: perbankan oleh Bank Indonesia, sedangkan pasar modal dan IKNB oleh Bapepam LK Kementerian Keuangan;
3.2. Pengawasan _Market Conduct_ dan Perlindungan Konsumen. Dengan dibentuknya OJK maka akan terjadi koordinasi yang erat antara Bank Indonesia yang akan melakukan pengawasan _macro_ _prudential_ dalam rangka menjaga kesehatan dan keamanan sistem keuangan secara menyeluruh dengan OJK yang akan melakukan pengawasan _micro prudential_ dalam rangka menjaga kesehatan dan keamanan lembaga keuangan secara individual. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 214 Hal ini antara lain diatur dalam Pasal 40 UU OJK dan Penjelasannya. Dalam cakupan pengawasan _micro prudential_ yang dilaksanakan OJK terkandung model pendekatan _twin-_ _peaks_ (2 pilar) yaitu selain melakukan _prudential supervision_ juga melakukan _market conduct_ dan _consumer protection_ , yaitu fokus pada kesehatan dan keamanan lembaga keuangan secara individual sekaligus fokus pada _market conduct_ dan melindungi konsumen dari informasi yang tidak lengkap dan praktik yang tidak _fair_ . Hal ini diatur secara eksplisit maupun implisit dalam Pasal 4, Pasal 28 hingga Pasal 31 UU OJK dan penjelasannya. Sebelum UU OJK diberlakukan hal ini belum diatur secara eksplisit;
3.3. Penyidikan dan Pengelola Statuter. UU OJK memberikan wewenang pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yaitu:
a. kewenangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 49 hingga Pasal 51 UU OJK dan Penjelasannya; dan b. kewenangan melakukan penunjukan dan penggunaan pengelola statuter sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU OJK dan Penjelasannya.
3.4. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Pasal 44 hingga Pasal 46 UU OJK dan Penjelasannya mengatur Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), yang terdiri atas Menteri Keuangan sebagai anggota merangkap koordinator, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai anggota. FKSSK ini bertugas memantau dan mengevaluasi stabilitas sistem keuangan pada kondisi normal, dan melakukan langkah-langkah pencegahan serta melakukan penanganan krisis pada sistem keuangan pada kondisi tidak normal. Selanjutnya, dalam Pasal 69 ayat (4) UU OJK menyebutkan bahwa Pasal 44 hingga Pasal 46 tersebut hanya berlaku hingga diundangkannya Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 215 3.5. Keempat tugas dan fungsi OJK sebagaimana disebutkan pada butir 3.1. hingga butir 3.4. di atas, merupakan wewenang untuk menjawab perkembangan dan permasalahan yang dihadapi di sektor jasa keuangan, dalam rangka membangun perekonomian nasional yang berkesinambungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia;
4. Tindak Lanjut Tugas dan Fungsi OJK yang Telah dan Sedang Dilaksanakan 4.1. Pengawasan Konglomerasi Bisnis Sektor Jasa Keuangan. Sebagaimana diketahui, adanya keterkaitan antara lembaga jasa keuangan di berbagai sub-sektor karena hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi di antara lembaga-lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Keberadaan konglomerasi keuangan di Indonesia dengan aktivitas lintas sub-sektor di antara lembaga jasa keuangannya semakin signifikan. OJK mengidentifikasi dewasa ini telah terdapat 31 konglomerasi keuangan di Indonesia, yang memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap perkembangan perekonomian Indonesia. Dampak positif antara lain berupa meningkatnya daya saing lembaga jasa keuangan di Indonesia yaitu dengan meningkatnya skala ekonomi, meningkatnya efisiensi dengan pengembangan infrastruktur, _delivery_ _channel_ , promosi dan penguatan _branding_ , meningkatnya pelayanan nasabah dengan _cross selling_ dan saluran distribusi, dan meningkatnya kekokohan bisnis dengan kenaikan _fee based income_ . Dampak negatif antara lain berupa peningkatan risiko yang dapat timbul dari _regulatory arbitrage,_ _contagion risk, lack of transparency, conflict of interest,_ dan __ _abuse of economic power._ Pada tahap awal, OJK mulai memberlakukan pengawasan terintegrasi pada semester II tahun 2014 terhadap 16 (enam belas) bank yang membentuk konglomerasi keuangan. Pada tahun 2014 ini, OJK juga akan menerbitkan Peraturan OJK tentang Penerapan _Good Corporate_ _Governance_ dan Manajemen Risiko Konglomerasi Keuangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 216 yang akan diterapkan secara penuh pada tahun 2015 terhadap seluruh 31 konglomerasi keuangan;
4.2. Pengawasan Terintegrasi Sektor Jasa Keuangan. Untuk menghadapi tantangan ke depan, OJK sedang menyusun kerangka pengawasan yang holistik yang mempertimbangkan baik lembaga keuangan secara individual maupun sistem keuangan secara terintegrasi, yang dilandasi oleh filosofi _risk-_ _based_ dan _forward-looking_ yang proaktif. Pada tanggal 31 Desember 2013, OJK telah menerbitkan Peraturan Dewan Komisioner tentang Pengawasan Terintegrasi. OJK juga telah membentuk Komite Pengawasan Terintegrasi yang dituangkan dalam Keputusan Dewan Komisioner, yang beranggotakan para Kepala Eksekutif Pengawas dan Deputi Komisioner terkait dengan pengawasan perbankan, pasar modal dan IKNB;
4.3. Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia. Dengan mendasarkan pada Pasal 4 huruf c, Pasal 28 hingga Pasal 31 UU OJK dan Penjelasannya, yang antara lain mengamanatkan bahwa OJK berwenang memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik, layanan dan produk sektor jasa keuangan, maka OJK telah menyusun Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI). Strategi ini diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 19 November 2013, yang terdiri atas program, infrastruktur, dan inisiatif edukasi yang masif dan komprehensif yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan terukur. Strategi ini ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi sehingga memiliki kemampuan dan keyakinan untuk memilih dan memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan guna meningkatkan kesejahteraan. Strategi ini dikolaborasikan dengan berbagai pemangku kepentingan baik Pemerintah maupun swasta yang berkecimpung di bidang pendidikan, pelayanan konsumen, peranan perempuan dan perlindungan anak, koperasi dan UMKM serta komunikasi. Pelaksanan SNLKI akan mengakselerasi akses _to finance_ atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 217 finansial inklusif yang menjadikan masyarakat lebih mengenal dan menggunakan layanan lembaga jasa keuangan formal dan memungkinkan untuk mengentaskan tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia. Dari segi infrastruktur, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, mengoperasikan layanan konsumen yang memungkinkan menerima informasi, menjawab pertanyaan dan menerima pengaduan nasabah keuangan. OJK juga telah mengoperasikan mobil edukasi yang dalam tahun 2014 ini berjumlah 45 mobil di seluruh wilayah Indonesia. Program edukasi termasuk himbauan untuk tidak terperosok pada kegiatan investasi ilegal telah berlangsung sejak awal tahun 2013 ke seluruh kota dan pelosok wilayah Indonesia. Program- programnya juga sedang diperkuat pelaksanaannya oleh 34 Kantor OJK di daerah;
4.4. Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia. OJK telah mempersiapkan kebijakan di industry keuangan syariah dengan menyinergikan lembaga keuangan non bank syariah dengan perbankan syariah yang diharapkan akan terbit pada tahun 2014 ini. Untuk mendukung upaya tersebut, OJK telah mendapatkan komitmen pembiayaan dan bantuan teknis dari _Islamic_ _Development Bank_ (IDB) sebagai bagian dari Program _Member_ _Country Partnership Strategy_ IDB. Di samping itu, OJK juga telah menjadi anggota _Islamic Financial Services Board_ (IFSB) agar pengembangan sektor keuangan syariah dapat mengacu pada prinsip-prinsip yang berlaku dan menjadi pedoman di sektor keuangan syariah. Untuk mendukung pendalaman pasar di sektor keuangan syariah, OJK juga telah menetapkan program pengembangan asuransi mikro syariah dengan premi yang terjangkau dan manfaat yang optimal serta tersedianya saluran distribusi yang efisien. Di samping itu, produk pasar modal syariah dan perbankan syariah juga mendapatkan perhatian pengembangan dengan pendekatan sinergi antar pelaku di industri keuangan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 218 4.5. Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang antara lain mengamanahkan bahwa OJK akan melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap LKM. Undang-undang ini akan efektif berlaku pada tahun 2015. Sehubungan dengan itu, OJK telah melakukan beberapa langkah persiapan berupa pemetaan terhadap LKM di seluruh Indonesia; mempersiapkan peraturan OJK mengenai LKM; dan melakukan komunikasi dengan Pemerintah Daerah untuk koordinasi pengawasan dan pelatihan pengawasannya;
4.6. Pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyebutkan bahwa pengawas eksternal adalah lembaga pengawas independen, dan dalam Penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengawas independen adalah OJK. BPJS Kesehatan telah mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014. Untuk memastikan bahwa pengelolaan BPJS dilakukan dengan baik dengan memperhatikan kepentingan masyarakat luas, pada tanggal 31 Desember 2013 OJK telah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 5/POJK.05/2013 tentang Pengawasan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial oleh OJK. Pengawasan yang dilakukan oleh OJK tersebut antara lain mencakup aspek kesehatan keuangan, penerapan tata kelola, penerapan manajemen risiko, dan perlindungan konsumen;
4.7. Pendalaman Pasar Lintas Sektor Jasa Keuangan. Pendalaman pasar lintas sektor jasa keuangan merupakan inisiatif yang juga penting yang sedang dijalankan OJK dalam rangka memperkokoh ketahanan sistem keuangan nasional agar tidak rentan terhadap instabilitas baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Upaya pendalaman dari sisi _demand,_ dilakukan melalui program literasi keuangan masyarakat agar meningkatkan utilisasi produk dan layanan di sektor jasa keuangan. Dari sisi _supply,_ OJK sedang mengkaji Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 219 pengintegrasian produk perbankan dengan produk pasar uang dan pasar modal. Bersamaan dengan itu, OJK terus mendorong industri jasa keuangan untuk berinovasi dalam menyediakan produk dan layanan bagi seluruh lapisan masyarakat – khususnya bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Pada tanggal 17 Oktober 2013, OJK juga telah meluncurkan _grand design_ asuransi mikro Indonesia, yang bertujuan menyediakan produk yang sesuai dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, dalam rangka implementasi Pilar ke-3 SNLKI, saat ini OJK bersama dengan pelaku usaha jasa keuangan sedang mempersiapkan produk keuangan yang bersifat _bundling_ (paket) yang akan mudah dibeli dan dirasakan manfaatnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah;
4.8. Keseluruhan tindak lanjut tugas dan fungsi OJK yang telah dan sedang dilaksanakan tersebut pada butir 4.1. hingga butir 4.7. adalah contoh upaya yang sangat signifikan dan merupakan wujud konkrit dalam rangka menyelenggarakan layanan jasa sektor keuangan yang sedemikian rupa untuk mencapai stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian Indonesia yang berkesinambungan yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia; II. Independensi Bank Sentral dan OJK Dalam Menjalankan Fungsi dan Tugasnya 1. Independensi Bank Sentral 1.1. Fungsi kebanksentralan berawal dari penawaran akan uang yang menjadi elemen yang sangat penting dan dapat memberikan dampak _multiplier_ melalui operasi simpan pinjam dalam suatu sistem perbankan. Perkembangan tersebut kemudian memunculkan suatu keadaan ketidakseimbangan antara penawaran akan uang dengan tingkat produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Pada saat tingkat produksi barang dan jasa lebih rendah dibandingkan tingkat kenaikan penawaran akan uang, hampir dapat dipastikan akan terjadi kenaikan harga sehingga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 220 terjadi inflasi. Hal ini karena terjadi kenaikan pendapatan yang akan menambah jumlah uang yang dimiliki oleh seseorang, dan orang tersebut akan cenderung membelanjakan uangnya lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Sebaliknya, bila ternyata produksi barang dan jasa lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kenaikan penawaran akan uang, sehingga ketersediaan barang dan jasa melebihi tingkat permintaan, maka akan terjadi deflasi. Kondisi semacam ini pada gilirannya akan mengganggu stabilitas perekonomian, sehingga dibutuhkan pengaturan terhadap besarnya penawaran akan uang atau jumlah uang beredar. Lembaga pengatur inilah yang disebut bank sentral. Keberadaan bank sentral diawali oleh berdirinya _Swedish Riksbank_ yang beroperasi mulai tahun 1668 dan diikuti oleh berdirinya _Bank of England_ pada tahun 1694 yang mulai menerapkan fungsi kebanksentralan;
1.2. Lembaga yang melakukan pengaturan dan pengendalian jumlah uang beredar ini, seyogyanya tidak dapat dipengaruhi oleh kebijakan lain, seperti kebijakan membiayai defisit anggaran belanja pemerintah. Faham mengenai pentingnya otonomi yang dimiliki oleh bank sentral ini, untuk pertamakalinya dikemukakan oleh David Ricardo (tahun 1824) yang kemudian lebih dikenal dengan kata independensi;
1.3. Di Indonesia, ketika Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral diberlakukan untuk menggantikan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang- Undang Pokok Bank Indonesia, dalam Pasal 13 maupun dalam Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut antara lain disebut bahwa kedudukan Gubernur Bank Sentral dalam Dewan Moneter mempunyai arti khusus, disebabkan oleh karena Bank Sentral dalam struktur pemerintahan berkedudukan di luar departemen- departemen, sedangkan Gubernur Bank Sentral tidak mempunyai kedudukan sebagai Menteri;
1.4. Lebih lanjut, disebutkan antara lain bahwa kedudukan Bank Sentral di luar departemen-departemen dimaksudkan untuk dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 221 menilai kebutuhan dan kemampuan perekonomian negara secara lebih obyektif dan bertindak berdasarkan wewenang yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968. Demikian pula kedudukan Gubernur Bank Sentral dalam Dewan Moneter dimaksudkan akan membawa pandangan dan pendapat yang sesuai dengan situasi moneter yang dihadapinya, dan karena itu kepada Bank Sentral diberikan wewenang untuk mengajukan pendapat-pendapatnya secara khusus kepada Pemerintah apabila keputusan yang diambil oleh Dewan Moneter itu menurut pertimbangannya tidak atau kurang sesuai dengan situasi moneter yang dihadapinya atau prinsip-prinsip ekonomi yang objektif dan realistis;
1.5. Kebijakan mengenai kedudukan dan fungsi Bank Sentral dan Gubernur Bank Sentral dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tersebut, selain sejalan dengan prinsip kebanksentralan yang memerlukan otonomi atau kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya, juga merupakan respon atas kejadian hiperinflasi yang melanda Indonesia menjelang perpindahan pemerintahan orde lama ke pemerintahan orde barupada tahun 1965 – 1966. Saat itu tingkat inflasi mencapai lebih dari 100% karena anggaran belanja Pemerintah dibiayai dari pencetakan uang oleh Bank Sentral;
1.6. Selanjutnya dalam Undang-Undang Bank Indonesia berikutnya, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, status bank sentral lebih dipertegas dengan menggunakan kata independen. Disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2), bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam Pasal 9 Undang- Undang tersebut juga menyebutkan bahwa pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 222 mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasi bank);
1.7. Status independen Bank Indonesia tersebut telah menimbulkan polemik yang cukup tajam dengan menuduh bank sentral sebagai “Negara dalam Negara”, dan pandangan pro-kontra tersebut pun berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Padahal pada intinya status independen benar-benar tidak bergeser dari makna menjalankan fungsi kebanksentralan yang memerlukan otonomi agar tercapai kestabilan perekonomian. Polemik tersebut menurun seiring dengan dimulainya pembahasan amandemen pertama hingga keempat UUD 1945 yang dimulai pada tahun 1999-2002. Kata Bank Indonesia, pertama kali disebut dalam teks Penjelasan UUD 1945 khususnya pada Penjelasan Pasal 23 yang antara lain berbunyi sebagai berikut, “ _Juga tentang hal_ _macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-_ _undang. Ini penting karena kedudukan uang itu besar_ _pengaruhnya atas masyarakat. Uang terutama ialah alat penukar_ _dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan_ _pertukaran jual-beli dalam masyarakat. Berhubung dengan itu_ _perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh Rakyat_ _sebagai pengukur harga untuk dasar menetapkan harga masing-_ _masing barang yang dipertukarkan. Barang yang menjadi_ _pengukur harga itu, mestilah tetap harganya jangan naik-turun_ _karena keadaan uang yang teratur. Oleh karena itu, keadaan_ _uang itu harus ditetapkan dengan undang-undang. Berhubung_ _dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan_ _dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan_ _undang-undang._ ” 1.8. Dalam perubahan keempat UUD 1945 pada tahun 2002, hal mana Penjelasan telah dihapus dengan memasukkan hal-hal yang normatif ke dalam batang tubuh (pasal-pasal), dirumuskan Pasal 23D baru yang berbunyi, “ _Negara memiliki suatu bank_ _sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab,_ _dan independensinya diatur dengan undang-undang._ ” Pemuatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 223 kata independensi dalam konstitusi ini merupakan pengukuhan bahwa lembaga bank sentral atau lembaga yang melakukan fungsi kebanksentralan otomatis mempunyai otonomi atau independensi. Bentuk independensi yang seperti apa dan bagaimana akan ditentukan oleh Undang-Undang. Berhubung pada saat itu Undang-Undang yang mengatur bank sentral di Indonesia sudah ada, yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 1999, maka pengaturan lebih lanjut baik mengenai independensi, maupun mengenai susunan, kedudukan, kewenangan, dan tanggung jawab yang dimaksud dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah sebagaimana yang diatur oleh UU Bank Indonesia tersebut;
1.9. Dengan demikian independensi Bank Sentral dalam menjalankan fungsi dan tugasnya secara tegas memiliki landasan hukum dan latar belakang formal maupun material sebagaimana diuraikan pada butir 1.1. hingga butir 1.8. di atas;
2. Independensi OJK 2.1. Kewenangan dan tugas Bank Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI) adalah meliputi: menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasi bank. Masing-masing tugas dan wewenang tersebut dijalankan dengan tidak boleh dicampuri oleh pihak lain, atau dengan kata lain masing-masing tugas tersebut dilaksanakan dengan independen. Selanjutnya, pada Pasal 34 ayat (1) UU BI tersebut diatur bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang;
2.2. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI tersebut juga mengemukakan antara lain bahwa lembaga pengawasan ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 224 menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan DPR-RI;
2.3. Pasal 34 ayat (1) UU BI tersebut lah yang kemudian menjadi salah satu dasar penerbitan UU OJK. Dengan demikian dalam Pasal 2 ayat (2) UU OJK disebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini;
2.4. Selanjutnya, dalam Penjelasan Umum UU OJK disebutkan bahwa OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggung-jawaban, transparansi dan kewajaran. Asas Independensi antara lain dijabarkan sebagai independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku;
2.5. Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum UU OJK disebutkan bahwa OJK berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua Otoritas tersebut secara _ex-officio_ . Keberadaan _ex-officio_ dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan;
2.6. Untuk mewujudkan koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 225 yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2.7. Selanjutnya disebutkan juga dalam Penjelasan Umum UU OJK bahwa Independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, UU OJK mengatur mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur- unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan;
2.8. Dengan demikian, independensi OJK dalam menjalankan fungsi dan tugasnya secara tegas memiliki landasan hukum dan latar belakang formal maupun material ( _legal reasoning_ ) sebagaimana diuraikan pada butir-butir di atas; III. Pungutan OJK 1. UU OJK khususnya dalam Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) hingga ayat (6) dan Penjelasannya mengatur antara lain bahwa anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Yang dimaksud dengan pungutan antara lain pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek;
2. Lebih lanjut disebutkan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Namun, pembiayaan OJK yang bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 226 kegiatan operasional secara mandiri, antara lain pada masa awal pembentukan OJK;
3. Pembiayaan kegiatan yang bersumber dari pungutan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan ini di Indonesia merupakan hal baru. Namun, pembiayaan kegiatan regulator di sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan adalah praktek yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, _Office of_ _the Comptroller of the Currency_ (OCC) di Amerika Serikat memungut biaya dari bank secara _semi-annually_ yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut diatas, OCC memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan investasi terutama pada _US-Treasury_ , pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu, pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya dari kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya;
4. Tidak terlalu berbeda dengan OCC di Amerika Serikat , _Office Of_ _Superintendent Of Financial Institute_ (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi, dan pungutan terhadap _loan company_ berbasis keanggotaan;
5. Di belahan benua Asia, _Financial Services Supervisory_ (FSS) Korea Selatan memperoleh pendanaan dari _supervisory fee_ , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS. Selain _supervisory_ _fee_ , FSS juga memungut _issuer regulatory fee_ , yaitu pungutan yang dikenakan kepada emiten sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan _exchange act (capital market); _ 6. Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan otoritas jasa keuangannya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Australia, Singapura, Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 227 Norwegia, Luxemburg, Malta, Meksiko, Panama, Swedia, Peru, Swiss, Turki dan Inggris;
7. Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Cili, Cina, Costa Rica, Kazakhstan, Libanon, Jepang dan Uruguay;
8. Tabel Pengaturan Pungutan sektor jasa keuangan di beberapa Negara: JERMAN NORWEGIA KOREA SELATAN SWISS Pengaturan Undang-Undang _Act establishing the_ _Federal Financial_ _Supervisory_ _Authority_ ( _Bundesanstalt für_ _Finanzdienstleistun_ _gsaufsicht – BaFin_ ) Undang-Undang _Act on the_ _Supervision of_ _Financial_ _Institutions etc_ . _(Financial_ _Supervision Act)_ Undang-Undang _Act on the_ _Establishment,_ _etc. of Financial_ _Services_ _Commission_ Undang-Undang _Federal act on the swiss_ _financial market_ _supervisory authority_ ( _Financial Market_ _Supervision Act_ , FINMASA) Ketentuan yang Relevan _Section_ 14 Lembaga Pengawas dapat mengenakan biaya sampai dengan 500.000 Euro atas kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Kementerian Keuangan Federal, berdasarkan Peraturan yang diterbitkannya, dapat menjabarkan lebih lanjut kegiatan yang dilaksanakan Lembaga Pengawas dimaksud, serta menentukan jumlah biaya yang dibebankan atas dasar perhitungan tetap atau atas dasar ketentuan yang menaikkan, mengurangi dan mengecualikan kegiatan Lembaga _Section_ 9 Pengeluaran dalam rangka pengawasan dibiayai oleh pungutan dari institusi yang diawasi. Pengeluaran dimaksud didistribusikan kepada berbagai grup dari institusi- institusi yang diawasi. Kementerian Keuangan setiap tahun dapat menetapkan jumlah minimum dan maksimum yang dapat dipungut atas dasar individual institusi keuangan dari tiap-tiap grup. Pungutan dilakukan oleh _Finanstilsynet_ , namun dengan persetujuan Kementerian _Article_ 46 _The Financial_ _Supervisory_ _Service_ membiayai kegiatannya dari sumber penerimaan: kontribusi dari Pemerintah, kontribusi dari _the Bank of_ _Korea_ , kontribusi dari institusi yang diawasi, dan penerimaan lain. _Article_ 47 (2) Rasio, batasan dan hal-hal lain terkait pembayaran dari institusi yang diawasi sebagai kontribusi atas pembiayaan lembaga pengawas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden ( _Presidential_ _Article_ 15 FINMA melakukan pungutan atas dasar tindakan pengawasan yang dilakukan. Selain itu, setiap dapat pula melakukan pungutan rutin untuk membiayai pengeluaran FINMA. _The Federal Council_ dapat mengatur lebih lanjut prinsip-prinsip asesmen dan ruang lingkup pengawasan yang dikenakan pungutan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 228 JERMAN NORWEGIA KOREA SELATAN SWISS Pengawas dimaksud. Keuangan. _Decree_ ) 9. Berdasarkan UU OJK, sumber pendanaan OJK berasal dari kombinasi APBN dan pungutan yang dikenakan kepada industri jasa keuangan. Pungutan OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya. Dalam hal pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetor ke kas negara.
10. Dengan demikian, mekanisme pungutan sebagai sumber pembiayaan kegiatan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan ini memiliki dasar hukum yang jelas dengan tata kelola yang dapat dipertanggungjawabkan dan merupakan praktik yang lazim digunakan oleh regulator banyak negara lain di bidang sektor jasa keuangan; IV. Sanggahan Terhadap _Legal Standing_ Pemohon 1. Terkait permohonan uji materi terhadap UU OJK, setiap warga negara yang memenuhi kriteria tertentu, memiliki hak konstitusional untuk mengajukan uji materi suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945, tidak terkecuali uji materi terhadapUU OJK;
2. Sebagaimana tercantum dalam permohonannya pada angka 77, Pemohon mendalilkan bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Pemohon memiliki hak konstitusionalitas untuk berperan serta memberikan aspirasi, _review_ konstruksi peraturan perundang- undangan, serta implementasi peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi;
3. Selanjutnya, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional sebagai pembayar pajak untuk mendapatkan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbuka dan transparan dari Pemerintah sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945;
4. Berdasarkan kedua ketentuan UUD 1945 tersebut, Pemohon beralasan melihat adanya kemungkinan pemborosan, salah arah, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 229 perampokan terselubung dan tersistem dan perbuatan sewenang- wenang dari OJK terhadap penggunaan APBN serta tumpang tindih kewenangan;
5. Sejalan dengan keterangan yang telah disampaikan Pemerintah dan DPR-RI, sebelum masuk ke dalil-dalil yang disampaikan pemohon dalam permohonan uji materi UU OJK, kami mohon Majelis Hakim terlebih dulu memberikan putusan seadil-adilnya terkait dengan:
5.1. Kedudukan hukum Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi; dan 5.2. Ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
6. Keputusan tersebut di atas tentunya sangat penting untuk memastikan kualifikasi Pemohon dan sejalan dengan Pasal 51 ayat (1) Undang- undang tentang Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dan putusan-putusan berikutnya) yang memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
6.1. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
6.2. hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang- Undang yang diuji;
6.3. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
6.4. adanya hubungan sebab akibat _(causal verband)_ antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
6.5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 230 7. Terkait dengan kedudukan hukum Pemohon, maka sejalan dengan keterangan yang telah disampaikan Pemerintah dan DPR-RI, kami berpandangan bahwa Pemohon tidak memenuhi persyaratan di atas dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
7.1. Dalam uraian mengenai dasar permohonannya, Pemohon tidak secara jelas menguraikan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
7.2. Pemohon tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan tersebut yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak- tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
7.3. Pemohon tidak dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat _(causal_ _verband_ ) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, karena pada angka 77 permohonan, Pemohon melihat adanya kemungkinan pemborosan, salah arah, perampokan terselubung dan tersistem dan perbuatan sewenang-wenang dari OJK terhadap penggunaan APBN serta tumpang-tindih kewenangan. Hal dimaksud bukan merupakan kerugian konstitusional, namun hanya merupakan kekhawatiran para Pemohon terhadap permasalahan penerapan norma (implementasi), sehingga alasan kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon sama sekali tidak terkait dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Oleh sebab itu, alasan Pemohon tersebut tidak jelas _(obscuur libel)_ sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar kedudukan hukum/ _legal_ _standing_ bagi para Pemohon untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon.
8. Berdasarkan uraian di atas, sejalan dengan Keterangan yang disampaikan Pemerintah dan DPR-RI, kami mohon agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan bahwa kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan, serta Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 231 secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. V. Konstitusionalitas UU OJK Terhadap UUD 1945 dan Khususnya Sanggahan Terhadap Dalil Para Pemohon atas Beberapa Pasal di UU OJK 1. Pasal 1 angka 1 UU OJK tentang Independensi OJK.
1.1. Dalam dalil Permohonan pada angka 37 dan angka 38, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa frase “Independen” hanya dikenal melalui ketentuan Pasal 23D UUD 1945. Dengan demikian menurut para Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen, sehingga frase independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
1.2. Selanjutnya, pada angka 39 dan angka 40 Pemohon menyatakan bahwa frase “Independensi” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK (yang menyebutkan bahwa OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK) tidak menemukan cantolannya pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang berbunyi, “ _Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas_ _asas kekeluargaan_ ”, serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “ _Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar_ _atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi_ _berkeadilan,_ _berkelanjutan,_ _berwawasan_ _lingkungan,_ _kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan_ _dan kesatuan ekonomi nasional_ ”.
1.3. Pihak Terkait menyanggah dalil Pemohon tersebut diatas, dengan menunjuk uraian kami pada butir II. dan khususnya butir II.2. tentang Independensi OJK tersebut di atas. Kami berpandangan independensi OJK dalam menjalankan fungsi dan tugasnya secara tegas memiliki landasan hukum dan latar belakang formal maupun material ( _legal reasoning_ ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 232 1.4. Sebagai tambahan, dapat kami sampaikan bahwa dalam Naskah Akademik Rancangan UU OJK, telah dijelaskan perlunya independensi pada lembaga yang memiliki otoritas melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, karena lembaga atau otoritas tersebut mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan harus independen atau bebas dari intervensi pihak-pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
1.5. Selanjutnya, dalam Naskah Akademik Rancangan UU OJK dimaksud juga disebutkan bahwa independensi suatu lembaga lebih didasarkan pada adanya kebutuhan dan praktik yang lazim atas lembaga serupa di negara-negara lain. Dalam tataran global, independensi dari lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan telah menjadi prinsip utama yang dikemukakan oleh organisasi-organisasi internasional yang bertugas membuat standar internasional di masing-masing industri jasa keuangan, yang meliputi _Basel_ _Committee_ di bidang perbankan, _International Organisation of Securities Commisions_ (IOSCO) di bidang pasar modal, _Internasional Association of Insurance_ _Supervisors_ (IAIS) di bidang perasuransian, dan _Internasional_ _Organisation of Pension Supervisors_ (IOPS) di bidang dana pensiun.
1.6. Adapun tabel rincian dari prinsip independensi pada masing- masing organisasi internasional di bidang Industri Jasa Keuangan dimaksud adalah sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 233 BADAN INTERNASIONAL PRINSIP TERKAIT INDEPENDENSI _Basel Committee_ Menetapkan standar pengaturan global dan sebagai forum kerjasama dalam rangka pengawasan perbankan. Mandat organisasi ini adalah untuk memperkuat pengaturan, pengawasan, dan praktik- praktik perbankan secara luas di dunia dengan maksud untuk memajukan stabilitas keuangan. 25 (dua puluh lima) prinsip utama Basel merupakan pedoman agar suatu sistem pengawasan menjadi efektif. Dalam prinsip pertamanya menyatakan bahwa suatu sistem pengawasan perbankan yang efektif, antara lain setiap otoritas memiliki independensi operasional, proses yang transparan, _governance_ yang baik dan sumber daya yang memadai, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas-tugasnya. IOSCO Badan internasional yang diakui sebagai wadah seluruh otoritas regulasi pasar modal di dunia, yang menetapkan standar global di bidang pasar modal. IOSCO mengembangkan, mengimplementasikan, dan mendorong ketaatan dengan standar yang diakui bagi peraturan pasar modal. Prinsip yang terkait dengan regulator, antara lain regulator secara operasional independen dan akuntabel, serta memiliki kewenangan, sumber daya dan kapasitas yang memadai untuk melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Regulator seharusnya independen secara operasional dari campur tangan politik dan komersial dari pihak lain dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya dan akuntabel dalam menggunakan kewenangan dan sumber dayanya. Independensi dapat ditingkatkan dengan sumber daya keuangan yang stabil bagi regulator. IAIS Organisasi bagi pengawas dan pengatur industri perasuransian yang didasarkan atas keanggotaan yang sukarela. Prinsip pertama dari prinsip dan metode utama perasuransian, antara lain menyatakan otoritas pengawas memiliki kewenangan, perlindungan hukum dan sumberdaya keuangan yang memadai untuk melaksanakan fungsi dan kewenangannya, serta independen secara operasional dan akuntabel. IOPS Badan internasional yang independen merupakan representasi bagi pengawas di bidang dana pensiun. Prinsip kedua dari IOPS adalah independensi, menyatakan bahwa otoritas pengawas dana pensiun harus secara operasional independen, baik dari otoritas politik dan campurtangan komersial dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Untuk menjamin independensi, Otoritas pengawas dana pensiun harus memiliki pendanaan untuk memastikan independensinya dan adanya proses penganggaran yang transparan.
1.7. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, OJK harus berkoordinasi dengan Pemerintah, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan, namun tidak menghilangkan independensi dari OJK. Bahwa independensi OJK harus dimaknai sebagai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya. Dalam mengambil kebijakan atau keputusan, tidak boleh ada institusi atau lembaga lain yang dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 234 mempengaruhi OJK maupun yang berpotensi _conflict of interest_ . Namun demikian, hal ini tidak menghilangkan fungsi koordinasi dengan lembaga lain yang terkait yaitu Bank Indonesia, Kementerian Keuangan maupun Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan.
1.8. Bahwa independensi OJK adalah suatu keharusan yang tidak bisa dipungkiri karena fungsinya sebagai lembaga yang melakukan pengawasan dan pengaturan di industri sektor jasa keuangan. Namun demikian, independensi dimaksud harus pula disertai dengan mekanisme kontrol dan tidak dimaknai independensi yang sebebas-bebasnya.
1.9. Untuk menjamin independensi, maka perlu dipastikan _conflict of_ _interest_ di dalam OJK tidak terjadi. Salah satunya adalah check and balances. UU OJK telah memisahkan fungsi pengaturan dengan fungsi pengawasan sebagai unsur _check and balances_ di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner, sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas IKNB. Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dalam rangka _check and balances_ dimaksud, di internal OJK juga terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik.
1.10. Berdasarkan hal-hal di atas, kami berpandangan bahwa sifat independen pada OJK memiliki cantolan pada konstitusi yaitu pada Pasal 33 UUD 1945, dimana UU OJK lahir sebagai salah satu pelaksanaan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945, yang mengamanatkan pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional. Oleh karena itu, UU OJK Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 235 yang menetapkan OJK sebagai lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya, menurut pandangan kami sudah sesuai yang dibutuhkan, telah sejalan dengan praktik terbaik di negara- negara lain dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
1.11. Mengenai perdebatan apakah OJK termasuk lembaga independen atau lembaga negara, Prof. Dr. Jimly Assiddiqie dalam bukunya “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, menjelaskan bahwa OJK termasuk dalam lembaga negara lapis kedua. Terkait hal ini, status OJK juga telah mendapat penegasan dari Sekretariat Negara bahwa OJK juga digolongkan sebagai Lembaga Negara.
1.12. SelanjutnyaPemohon juga menyatakan pada angka 43 bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 33 UUD 1945, OJK dengan sengaja telah mereduksi fungsi dan kewenangannya dan/atau patut diduga memiliki disorientasi fungsi, dimana OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
1.13. Terhadap dalil para Pemohon pada angka 43 tersebut, OJK berpandangan bahwa untuk menetapkan suatu lembaga memiliki sifat independen dapat didasarkan pada adanya amanat yang secara tegas tercantum dalam UUD 1945 ataupun tidak tercantum dalam UUD 1945. Sebagai contoh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan merupakan suatu lembaga yang secara tegas diamanatkan pembentukannya dalam UUD 1945. Namun demikian, pada tahun 2002 DPR-RI dan Pemerintah menyepakati untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang independen melalui Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Demikian pula terhadap lahirnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya termaktub dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dan Lembaga Penjamin Simpanan yang dibentuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 236 dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, khususnya termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3).
1.14. Pandangan kami tersebut di atas, sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 79/PUU-IX/2011, yang menyatakan,“Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di dalam Undang-Undang Dasar 1945.” Menurut Mahkamah Konstitusi, baik diatur maupun tidak diatur di dalam UUD 1945, pengangkatan Wakil Menteri merupakan bagian dari kewenangan Presiden, sehingga dari sudut substansi, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini. Hal tesebut berarti bahwa bisa saja sesuatu yang tidak disebut secara tegas di dalam UUD 1945 kemudian diatur dalam Undang-Undang, sepanjang hal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945”.
1.15. Selanjutnya dalam Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut dinyatakan pula: “Undang-Undang Dasar 1945 juga tidak menentukan adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih dikenal dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun dengan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.... dst, dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, untuk menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi tertentu. Padahal di dalam tata pemerintahan kita sudah ada Kepolisian sebagai penyidik dan Kejaksaan sebagai penuntut umum perkara pidana”. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 237 2. Pasal 5 UU OJK tentang Fungsi Pengaturan dan Pengawasan 2.1. Dalam dalil Permohonan pada angka 29 sampai dengan angka 31, yang kemudian juga dijabarkan pada angka 45 sampai dengan angka 49, Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa fungsi pengawasan dan pengaturan Bank sejatinya merupakan tugas konstitusional Bank Indonesia yang diturunkan langsung dari ketentuan Pasal 23D UUD 1945, yang diatur melalui UU BI, sehingga Bank Indonesia lebih memiliki landasan konstitusional dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank. Selanjutnya Pemohon mendalilkan bahwa pengambilan kewenangan pengaturan dan pengawasan Bank dari kewenangan Bank Indonesia menjadi kewenangan OJK dan menggabungkan dengan kewenangan pengaturan dan pengawasan Pasar Modal dan IKNB menimbulkan akibat berupa tidak setaranya nilai konstitusional pengaturan dan pengawasan perbankan dengan pengaturan dan pengawasan Pasar Modal dan IKNB karena pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD1945.
2.2. Pihak Terkait menyanggah dalil Pemohon tersebut di atas, dengan menunjuk uraian kami pada butir I.1. tentang Latar Belakang Pembentukan OJK dan butir I.2. tentang Dasar Hukum dan Tujuan Pembentukan OJK tersebut di atas. Kami berpandangan bahwa tujuan pembentukan OJK adalah untuk kepentingan perekonomian nasional dan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan pembentukan OJK adalah untuk mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan ini selain fokus kepada pencapaian stabilitas sistem keuangan juga pertama kali memperhatikan pengupayaan _level of playing field_ (kesetaraan dan keseimbangan) antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen atau masyarakat pengguna jasa keuangan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 238 2.3. Selanjutnya Pihak Terkait berpandangan bahwa beralihnya kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK tidak menimbulkan ketidaksetaraan konstitusional terhadap kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang Pasar Modal dan IKNB serta tidak mengurangi tugas konstitusional Bank Indonesia selaku bank sentral. Pertimbangan OJK terhadap permasalahan tersebut adalah bahwa Pasal 23D UUD 1945 tidak mengatur bahwa pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan kewenangan bank sentral. Pasal dimaksud menyerahkan sepenuhnya kepada pembuat Undang-Undang untuk merumuskan lingkup kewenangan bank sentral.
2.4. Dalam melaksanakan Pasal 23D UUD 1945, pembuat undang- undang melalui UU BI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi Bank.
2.5. Mengingat kewenangan mengatur dan mengawasi Bank yang dimiliki oleh Bank Indonesia lahir karena Undang-Undang (bukan turunan langsung dari UUD 1945), jika kewenangan tersebut dialihkan kepada OJK berdasarkan UU OJK, maka pengalihan tersebut tidak mengurangi tugas konstitusional Bank Indonesia. Selain itu pengalihan tersebut juga tidak menimbulkan ketidaksetaraan konstitusional terhadap kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap Pasar Modal dan IKNB, mengingat kewenangan tersebut juga dilahirkan karena Undang-Undang (bukan turunan langsung dari UUD 1945).
2.6. Berbagai isu yang berkembang telah mengarahkan beberapa negara untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral. Belakangan, di beberapa negara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan telah beralih dari bank sentral ke lembaga lain yang dipandang lebih baik daripada bank sentral yang sekadar memiliki tujuan yang terlalu umum yaitu stabilitas keuangan.
2.7. Dengan demikian, dalam hal pembentuk undang-undang berpandangan bahwa pelaksanaan pengaturan dan pengawasan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 239 perbankan akan diintegrasikan ke dalam satu lembaga pengawas sektor jasa keuangan, sebagai bagian dari pengawasan terhadap sektor jasa keuangan yang lain, hal tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan dan justru sebagai bagian dari pelaksanaan ketentuan Pasal 23D UUD 1945.
2.8. Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 34 UU BI, seharusnya Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut yang menyatakan bahwa _“Dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan_ _pengawasan Bank, kepada Bank Indonesia diberikan wewenang_ _untuk menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan_ _dan kegiatan usaha Bank serta mengenakan sanksi terhadap_ _Bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”_ , harus dimaknai bahwa kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha Bank serta mengenakan sanksi terhadap Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 tersebut belum dibentuk dan kewenangan tersebut belum dialihkan dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawasan dimaksud.
2.9. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menggunakan kutipan Penjelasan Umum tanpa melihat ketentuan dalam Pasal 34 dan Pasal 35 UU BI dimaksud adalah dalil yang tidak didasarkan atas penafsiran sistematis UU BI. Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI dijelaskan bahwa lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
2.10. Berdasarkan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI dimaksud bahwa makna frase _“Lembaga pengawasan jasa keuangan”_ yaitu suatu lembaga yang akan mengawasi keseluruhan sektor jasa keuangan yaitu Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 240 sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Dengan demikian, pembentukan UU OJK memiliki landasan yuridis yang kuat yaitu sebagai perintah Pasal 34 ayat (1) UU BI.
2.11. Selanjutnya sehubungan dengan dalil para Pemohon pada angka 25 dan angka 33 yang pada pokoknya mempermasalahkan bentuk pengawasan yang terintegrasi, kami menyanggah dengan menunjuk pada uraian kami pada butir I.3. tentang Perbedaan Tugas dan Fungsi OJK yang tidak dimiliki oleh Regulator sebelumnya dan pada butir I.4. tentang Tindak lanjut Tugas dan Fungsi OJK yang telah dan sedang dilaksanakan, khususnya butir I.4.2. mengenai Pengawasan Terintegrasi.
2.12. Dapat ditambahkan bahwa pembentukan suatu Lembaga Pengawas sektor jasa keuangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 UU BI, merupakan upaya reformasi kelembagaan atas pengawasan dan pengaturan disektor jasa keuangan akibat dari terjadinya krisis yang terjadi di Asia pada 1997-1998 yang sangat berpengaruh terhadap Indonesia. Krisis tersebut di Indonesia pada awalnya merupakan krisis moneter, khususnya pada sektor perbankan, yang mengakibatkan banyaknya bank yang ditutup atau dibekukan. Hal ini membuat Pemerintah dan DPR-RI pada saat itu mempertanyakan efektivitas pengawasan perbankan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
2.13. Untuk memperbaiki kualitas pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan, termasuk perbankan, maka UU BI mengamanatkan pembentukan Lembaga Pengawas sektor jasa keuanganyang akan mengambilalih kewenangan pengawasan perbankan yang selama ini dipegang oleh Bank Indonesia, serta menyatukan pengawasan sektor jasa keuangan lain secara terintegrasi.
2.14. Pengaturan dan pengawasan terintegrasi memungkinkan OJK untuk membangun arsitektur sektor keuangan yang harmonis di Indonesia. Dalam jangka menengah, OJK akan memperjelas arah kegiatan di bidang perbankan, Pasar Modal dan IKNB, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 241 untuk meningkatkan daya saing agar dapat memanfaatkan pasar ASEAN dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN di bidang perbankan pada tahun 2020 dan di bidang pasar modal dan bidang perasuransian pada tahun 2015 untuk menjamin adanya kesetaraan dengan negara-negara lain.
2.15. Sebagai contoh reformasi sistem pengawasan sektor keuangan di Jepang menjadi sistem yang terintegrasi, dilatarbelakangi oleh reaksi atas lemahnya sistem pengaturan dan pengawasan sebelumnya yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan Jepang. Peristiwa di bidang ekonomi di Jepang adalah deflasi gradual sejak akhir tahun 1980 yang mengakibatkan stagflasi pada tahun 1990-an dan berdampak pada bangkrutnya beberapa bank, antara lain _Hokkaido Takushoku Bank_ yang mengalami kebangkrutan pada tahun 1997. Selain itu, _Yamaichi Securities_ _Co., Ltd_ salah satu dari perusahaan sekuritas terbesar di Jepang juga menutup bisnisnya pada tahun 1998, begitu pula dengan gagalnya _The Long-Term Credit Bank of Japan_ dan _The Nippon_ _Credit Bank, Ltd._ Untuk mengkonsolidasikan sistem pengawasan agar lebih efektif dan untuk menghadapi krisis perbankan, pada tahun 1998 Jepang membentuk _The Financial Supervisory_ _Agency_ (FSA), yang mengambilalih pengawasan perbankan, perusahaan sekuritas, dan perusahaan asuransi.
3. Pasal 34 dan 37 tentang Penggunaan APBN dan Pungutan OJK 3.1. Para Pemohon mengajukan dalil pada angka 57 hingga angka 60 bahwa ketentuan Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (i) mengurangi kemandirian OJK, karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR- RI; dan (ii) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan industri jasa keuangan.
3.2. Kami berpandangan bahwa mekanisme pungutan sebagai sumber pembiayaan kegiatan OJK dengan menunjuk pada uraian pada butir III tentang Pungutan OJK, memiliki dasar hukum yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 242 jelas dengan tata kelola yang dapat dipertanggungjawabkan dan merupakan praktik yang lazim digunakan oleh regulator banyak negara lain di bidang sektor jasa keuangan.
3.3. Penggunaan mekanisme pungutan kepada industri merupakan konsekuensi logis, mengingat fungsi yang akan diemban OJK pada gilirannya akan memberikan manfaat kepada industri jasa keuangan itu sendiri. Secara filosofi, hal ini memberikan kaitan langsung antara biaya dan manfaat bagi para pelaku industri, yakni bahwa mereka yang membayar pungutan adalah pihak- pihak yang menikmati manfaat pengawasan yang dilakukan Otoritas, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya dengan adanya stabilitas pasar, _market conduct_ yang baik dan teratur, kompetisi yang sehat ( _level playing field_ ), _market_ _confidence_ yang terjaga baik secara domestik maupun internasional dan manfaat positif lainnya.
3.4. Pada kesempatan ini perlu kami sampaikan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang mulia bahwa dalam kaitan dengan penyusunan anggaran OJK, Dewan Komisoner OJK telah menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Penyusunan anggaran OJK dilakukan sesuai dengan amanat UU OJK, khususnya Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK;
b. Anggaran OJK disusun dengan berbasis pada capaian indikator kinerja utama ( _key performance indicator –_ KPI OJK _wide_ ) yang jelas dan terukur ( _performance based budgeting_ );
c. Anggaran OJK disusun dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan _; _ d. Anggaran OJK juga disusun dengan prinsip efisiensi, dimana pengalokasian anggaran dilakukan secara efisien pada kegiatan-kegiatan prioritas yang mendukung pencapaian visi dan misi OJK;
e. Prinsip keseimbangan juga menjadi pertimbangan utama anggaran OJK, di mana penganggaran untuk setiap kegiatan OJK disusun dengan memperhatikan keseimbangan antara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 243 keterbatasan sumber pembiayaan dan urgensi serta kompleksitas pelaksanaan kegiatan.
3.5. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dalil Pemohon yang menyebutkan bahwa pungutan kepada industri akan mengurangi kemandirian atau menimbulkan potensi penyimpangan atas pungutan yang dilakukan oleh OJK tidaklah beralasan karena pungutan ini diatur dengan undang-undang dengan mekanisme yang wajar dan akuntabel. Selain itu, OJK juga memiliki organ internal melalui mekanisme Dewan Audit yang bertugas melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas OJK serta menyusun standar audit dan manajemen risiko OJK.
3.6. Masih terkait dengan anggaran, pada angka 61 sampai dengan angka 75 permohonan, Pemohon mendalilkan antara lain bahwa penggunaan APBN tidak jelas kemanfaatannya dan merugikan para Pemohon sebagai pembayar pajak, serta pungutan yang dilakukan OJK patut dipertanyakan akan ditempatkan sebagai apa dalam APBN, dan akan mengurangi kemandirian OJK.
3.7. Untuk melaksanakan tugas dengan baik dan mendanai kegiatannya, OJK tentu membutuhkan anggaran yang cukup. Salah satu tolok ukur independensi dari suatu lembaga pengawas jasa keuangan adalah tersedianya anggaran yang memadai, agar lembaga pengawas jasa keuangan dapat melaksanakan tugas-tugasnya tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak lain. Selain itu, lembaga pengawas jasa keuangan juga mampu mempekerjakan pegawai-pegawai yang memiliki keahlian sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan jasa keuangan.
3.8. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang OJK, pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Namun, pembiayaan OJK yang bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan tersebut belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 244 mandiri, khususnya pada masa awal pembentukan OJK. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.
3.9. Memperhatikan hal tersebut, sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Selain itu dalam Pasal 36 UU OJK ditegaskan bahwa dalam menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggarannya, OJK terlebih dahulu meminta persetujuan DPR-RI. Anggaran OJK tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya. Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional” adalah kegiatan penyelenggaraan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, antara lain pengaturan, pengawasan, penegakan hukum, edukasi dan perlindungan konsumen.
3.10. Dengan demikian, anggaran OJK yang bersumber baik dari APBN maupun pungutan, peruntukannya telah secara jelas ditentukan oleh UU OJK. Tidak seperti dalil Pemohon yang menyatakan bahwa penggunaan APBN tidak jelas kemanfaatannya dan merugikan para Pemohon sebagai pembayar pajak. Kekhawatiran Pemohon mengenai potensi penyimpangan atas pungutan yang dilakukan oleh OJK sesungguhnya tidak beralasan. Hal ini mengingat wujud akuntabilitas OJK, dalam Pasal 38 UU OJK ditegaskan bahwa OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan.
3.11. Dalam hal DPR-RI memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan. Dalam rangka pengawasan eksternal, laporan keuangan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 245 Keuangan. Dengan demikian, akuntabilitas penggunaan anggaran OJK selalu dapat dimonitor baik oleh Badan Pemeriksa Keuangan maupun oleh DPR-RI.
3.12. Dalam konteks pengawasan internal, OJK juga memiliki organ internal melalui mekanisme Dewan Audit. Dewan Audit adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas OJK serta menyusun standar audit dan manajemen risiko OJK. OJK juga memiliki Komite Etik yang diketuai Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK. Untuk menjaga profesionalitas pelaksanaan tugasnya, maka dalam Dewan Audit dan Komite Etik terdapat anggota dari eksternal OJK.
3.13. Bahwa pengaturan pungutan OJK dalam UU OJK, telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan Undang-Undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan. Pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut secara akuntabel dan mandiri. Jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara.
3.14. Konsepsi sumber pendanaan yang berasal dari kombinasi APBN dan pungutan pada hakikatnya merupakan konsep yang dapat saling melengkapi. Pada kondisi perekonomian dan pertumbuhan sektor jasa keuangan yang baik, sumber pendanaan dari pungutan diharapkan dapat menopang seluruh kebutuhan pendanaan OJK sehingga dana APBN mungkin tidak dibutuhkan. Pada kondisi ini beban APBN yang semula untuk mendanai kegiatan OJK dapat dikurangi, bahkan APBN dapat mendapatkan penerimaan Negara yang berasal dari kelebihan penerimaan OJK sesuai UU OJK. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 246 3.15. Dalam konteks pungutan, UU OJK telah memberikan panduan untuk menetapkan besaran pungutan, yaitu dengan memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengenaan pungutan yang diwajibkan kepada industri jasa keuangan oleh UU OJK dengan besaran pungutan yang selanjutnya diatur dengan peraturan pemerintah, menurut pandangan kami sudah sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.16. Berkenaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tanggal 12 Februari 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, saat ini berkembang beberapa persepsi yang dinamis terhadap pelaksanaan pengutan tersebut. Saya yakin hal ini terjadi karena belum terkomunikasinya beberapa aspek penting dalam konsep pengenaan pungutan tersebut yang telah diatur lebih detil dalam Peraturan OJK tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengutan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Surat Edaran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Mekanisme Pembayaran Pungutan Otoritas Jasa Keuangan.
3.17. Pada kesempatan ini OJK perlu untuk menyampaikan kembali bahwa pada prinsipnya, besarnya pungutan yang ditetapkan tidak akan memberatkan kondisi keuangan industri, tetapi sebaliknya akan memberikan nilai tambah bagi industri sehingga dalam proses penetapannya kami telah mengakomodir aspirasi dari industri. Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk menyampaikan tiga prinsip utama dalam melaksanakan pungutan ini yaitu fleksibilitas dalam menetapkan tarif pungutan, penciptaan nilai tambah bagi industri ( _recycle to value added creation_ ) dan penggunaan yang bertanggung jawab dan transparan.
3.18. Prinsip yang pertama, fleksibilitas. Pungutan yang akan dikenakan terhadap industri sektor jasa keuangan akan bersifat fleksibel sehingga diharapkan tidak membebani perusahaan jasa keuangan apalagi sampai mengganggu kesehatan individu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 247 lembaga keuangan. Bersifat fleksibel dalam hal ini dapat dapat dilihat dari:
a. Besarnya pungutan akan dikenakan secara bertahap dengan memperhatikan kemampuan industri. Sebagai gambaran, cara mengukurnya antara lain dengan mempertimbangkan tren pertumbuhan industri yang mencerminkan kemampuan industri untuk membayar pungutan. Jika industri mengalami pertumbuhan yang stabil dan baik, maka akan berpengaruh pada menurunnya besaran pungutan yang harus dibayar industri kepada OJK;
b. Penyesuaian tarif akan kami sesuaikan dalam hal objek pungutan sedang mengalami kesulitan keuangan atau dalam rangka penyehatan;
c. Menyesuaikan dan menghentikan pengenaan pungutan pada tahun berjalan apabila penerimaan pungutan telah mencukupi Rencana Kerja Anggaran OJK tahun berikutnya yang telah disetujui DPR-RI.
3.19. Prinsip yang kedua, penciptaan nilai tambah. Dalam prinsip ini ada proses yang disebut ‘ _recycle_ ’ dari dana pungutan yang kami himpun. Intinya pungutan yang diberikan industri akan dikembalikan kepada industri antara lain dalam bentuk pengaturan dan pengawasan yang lebih baik, literasi keuangan dan perlindungan konsumen yang lebih baik, pasar keuangan yang lebih berkembang, sehingga diharapkan sistem keuangan secara keseluruhan menjadi lebih kokoh, stabil dan tumbuh secara berkelanjutan.
3.20. Prinsip yang ketiga, penggunaan yang bertanggung jawab dan transparan. Dalam penggunaan dana hasil pungutan untuk kegiatan operasional OJK, kami akan selalu berkoridor pada penerapan prinsip-prinsip _good governance_ . Dalam memastikan dana hasil pungutan digunakan sebagaimana mestinya, mekanisme kontrol yang efektif akan ada dari dua sisi, pihak internal melalui peran audit internal dan pihak eksternal antara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 248 lain melalui fungsi kontrol dari Badan Pemeriksa Keuangan dan DPR-RI.
3.21. Bahwa pengenaan pungutan ini adalah merupakan bentuk dukungan dari perilaku industri keuangan untuk secara berama- sama mendorong terciptanya industri keuangan yang sehat, stabil, efisien dan tumbuh sehingga dapat lebih berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
3.22. Terkait dengan dalil para Pemohon pada angka 67 permohonan, yang pada pokoknya mempertanyakan dalam nomenklatur APBN penerimaan OJK ditempatkan sebagai apa, jika ditempatkan sebagai PNBP maka dipertanyakan sejauh mana Badan Pemeriksa Keuangan akan melakukan audit, menurut hemat kami merupakan pertanyaan yang sudah diantisipasi oleh UU OJK. Bahwa pungutan yang dilakukan oleh OJK telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Menurut pandangan OJK, sejalan pula dengan pandangan Pemerintah dan DPR-RI, pungutan OJK tidaklah bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Undang-Undang tentang PNBP).
3.23. Berdasarkan Undang-Undang tentang PNBP, yang dimaksud dengan PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan (vide Pasal 1 angka 1). Selanjutnya, yang dimaksud dengan PNBP Yang Terutang adalah PNBP yang harus dibayar pada suatu saat, atau dalam suatu periode tertentu menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku (vide Pasal 1 angka 6). Kelompok PNBP meliputi antara lain penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri [vide Pasal 2 ayat (1) huruf g].
3.24. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, menurut hemat kami pungutan yang dikenakan OJK kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, termasuk kelompok PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang PNBP. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang tentang PNBP Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 249 mengatur bahwa “ _Kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak_ _yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis Penerimaan_ _Negara_ _Bukan_ _Pajak_ _yang_ _tercakup_ _dalam_ _kelompok_ _sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan_ _Peraturan Pemerintah_ ”.
3.25. Dengan demikian, mengingat pungutan yang dikenakan OJK telah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka hal tersebut membuktikan bahwa pungutan yang dikenakan OJK telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang tentang PNBP.
3.26. Sebagaimana asas pengenaan tarif atas jenis PNBP yang mewajibkan untuk memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat, dalam UU OJK yang selanjutnya dituangkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014, pungutan yang dikenakan OJK harus memperhatikan “pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK” [vide Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU OJK].
3.27. Dapat kami sampaikan pula kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, bahwa didalam UU OJK telah diatur bahwa pungutan yang dikenakan OJK kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, telah ditentukan sebagai penerimaan OJK [Pasal 37 ayat (3) UU OJK]. UU OJK juga memberikan kewenangan kepada OJK untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud secara akuntabel dan mandiri. Menurut hemat kami, ketentuan dimaksud Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 250 merupakan pengaturan khusus yang mengesampingkan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang tentang PNBP yang mengatur bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara, dan seluruh PNBP dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [lex specialis derogat legi generali].
3.28. Perlu kami sampaikan pula bahwa Pasal 37 ayat (5) UU OJK juga telah mengatur bahwa dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke kas negara. Sejalan dengan hal tersebut, dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Ototitas Jasa Keuangan telah pula ditentukan bahwa dalam hal pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan sebagaimana melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke kas negara. Selanjutnya, ditentukan pula bahwa dalam melakukan penyetoran ke kas negara, OJK berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
4. Frasa “..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK Pemohon tidak menjelaskan dalam dalil-dalilnya mengenai inkonstitusional pasal-pasal _a quo_ terhadap UUD 1945, namun Pemohon dalam petitum mencantumkan pasal-pasal _a quo_ sebagai ketentuan yang inkonstitusional. Sehubungan dengan hal tersebut permohonan Pemohon mengenai pasal-pasal _a quo_ tidak mempunyai dasar. VI. Sanggahan Terhadap Provisi Para Pemohon Terkait dengan Provisi yang disampaikan oleh Pemohon, dapat kami sampaikan bahwaberdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, diatur bahwa “ _Undang-undang_ _yang diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada_ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 251 _putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan_ _dengan Undang-Undang Dasar_ ( _presumption of constitutionality)_ ”. Oleh karena itu, mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan pemberlakuan ketentuan dimaksud. Penutup VII. Permohonan Mengenai Amar Putusan 1. Sebagai penutup, kami mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan permohonan uji materi terhadap UU OJK dimaksud dengan amar:
1.1. Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau _legal standing_ .
1.2. Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
1.3. Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, serta frasa “..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
1.4. Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37, serta frasa “... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ...” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66, tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
2. Apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, _ex aequo et bono._ [2.7] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan dalam persidangan tanggal 17 Desember 2014 mengajukan 4 (empat) orang saksi yakni Eko Budiwiyono, Kornelius Simanjuntak, Robinson Simbolon, dan Pradjoto yang memberikan keterangan di bawah sumpah/janji dan menyerahkan keterangan tertulis dalam persidangan yang mengemukakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 252 1. Eko Budiwiyono Saksi adalah Ketua Umum ASBANDA (Asosiasi Bank Pembangunan Daerah) menyatakan bahwa kami mendukung keberadaan OJK; Bahwa agar seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel sehingga dapat terwujud sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat diperlukan suatu lembaga atau otoritas yang mengatur dan mengawasi secara independen; Independensi yang dimiliki oleh otoritas [dalam hal ini OJK] adalah prasyarat yang diperlukan agar OJK dapat mewujudkan visi-misi dan menjalankan program- program kerjanya dengan baik. Kekhawatiran yang timbul sebagaimana disampaikan para Pemohon bahwa dengan independensi OJK akan menjadikan pengambilan keputusan, kebijakan dan akuntabilitas organisasi menjadi sulit terkontrol kami nilai sebagai kekhawatiran yang tidak perlu. Hal ini menurut kami telah diantisipasi dengan baik antara lain melalui pengaturan komposisi Dewan Komisioner OJK yang di dalamnya tetap menempatkan perwakilan Pemerintah (Kementerian Keuangan) dan perwakilan Bank Indonesia secara ex-officio disamping telah adanya mekanisme seleksi atau _recruitmen_ Dewan Komisioner OJK secara transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan melibatkan partisipasi public; Terkait dengan Fungsi Pengaturan dan Pengawasan OJK seperti tertuang di dalam Pasal 5 UU OJK dapat kami sampaikan, bahwa Bank dan lembaga keuangan lainnya, saat ini memiliki peran yang lebih kompleks sebagaimana dibutuhkan atau dipersyaratkan oleh nasabah sehingga berdampak pada pengelolaan keuangan yang makin _sophisticated_ . Keberadaan produk yang benar- benar _single market/industry_ _an sich_ mulai kurang memiliki daya tarik yang pada akhirnya mendorong 2 (dua) atau lebih lembaga keuangan untuk bersimbiosa membuat dan/atau memasarkan produk bersama. Selain itu juga adanya kecenderungan terjadinya konglomerasi lembaga atau institusi keuangan seperti misalnya sebuah bank besar memiliki anak usaha yang bergerak di bisnis asuransi, _multifinance_ , sekuritas dan lain-lain. Perkembangan di sektor keuangan seperti ini tentu perlu diantisipasi melalui perbaikan sistem pengaturan dan pengawasan. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 253 keuangan yang terintegrasi dalam satu atap sehingga kemungkinan terjadinya silo- silo pengawasan dari berbagai otoritas dapat dihindari; Adalah Joseph E. Stiglitz dalam “The Role of the State in Financial Markets”, menyampaikan bahwa _Regulasi dan pengawasan sektor keuangan yang kuat_ _sangatlah krusial melihat perkembangan sektor tersebut. Sektor keuangan_ _merupakan “pusat” dari sistem dalam sebuah perekonomian: kegagalan sektor_ _keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem dalam perekonomian_ (Stiglitz, 1994); Sebagai regulator, keberadaan OJK sangat membantu pelaku industri, khususnya Bank Pembangunan Daerah (BPD), karena aturan-aturan yang dikeluarkan cukup _market_ _friendly_ . Sebelum merelease aturan, OJK menyampaikan _consultative paper_ untuk meminta pendapat atau masukan dari para pelaku industri. Dengan Lembaga Pengawas Sektor Keuangan bermodel _Integrated_ (yang juga diterapkan di Negara Jepang, Kanada, Qatar, Britania Raya dan Jerman) diharapkan terjadi harmonisasi regulasi lintas industri jasa keuangan; Sebagai Pengawas, OJK tidak hanya semata memposisikan diri sebagai pengawas bidang _compliance, risk management,_ akuntabilitas laporan tetapi juga sekaligus sebagai _audit partner_ . OJK tidak hanya melakukan pengawasan yang bersifat mikroprudensial untuk _safety_ dan _soundness_ _industry_ tetapi juga melakukan pengawasan atas _conduct of business_ terkait dengan perlindungan konsumen, pemantauan transaksi antarlembaga, praktik pencucian uang, _fair_ _dealing_ dan lain-lain; Bagi saksi, pelaku industri, khususnya BPD, OJK telah memberikan guidance yang baik serta saran perbaikan yang penting bagi peningkatan kualitas SDM, operasional dan daya saing. OJK juga memiliki _desk_ atau _task force_ yang secara khusus diperuntukkan bagi pengembangan BPD seluruh Indonesia; Melalui sistem Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi seperti OJK ini, kami yakini dapat mengatasi berbagai kendala yang sebelumnya dihadapi oleh Pengawas maupun pelaku industri antara lain: • Keterbatasan cakupan pemeriksaan atau pengawasan akibat Undang-Undang. • Tindak pidana yang melibatkan instrumen keuangan dengan berbagai otoritas pengawas relatif lebih sulit untuk ditelusuri. • Sinkronisasi regulasi (ketentuan) dan pemahaman ketentuan otoritas lain yang belum optimal. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 254 • Pelaku industri, khususnya Bank sebagai objek pengawasan merasa tidak efisien karena harus diperiksa berkali-kali oleh otoritas yang berbeda. • Perlindungan terhadap nasabah bank yang berinvestasi pada instrumen pasar modal yang dijual melalui perbankan relatif lemah karena ketidakjelasan otoritas yang mengawasi instrumen investasi nasabah. • Tingginya biaya koordinasi dan sulitnya melakukan _data sharing_ dan _data_ _interfacing_ yang dimiliki antar otoritas dalam rangka perumusan kebijakan pencegahan dan penanganan krisis yang bersifat _systemic_ dan lintas industri. Terkait dengan Penggunaan APBN dan Pungutan OJK seperti tertuang di dalam Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK dapat kami sampaikan bahwa Pemerintah dan DPR telah mengambil jalan yang bijak dengan melakukan kombinasi dan pentahapan kebutuhan pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan Pungutan dari pelaku industri; Rofikoh Rokhim dkk dalam studi “Alternatif Struktur OJK yang Optimum” (2010) menyampaikan fakta bahwa lembaga pengawas sebagian besar dibiayai oleh industri yang diawasi. PA Consulting Group atau PACG (2009) melaporkan bahwa sebagian besar lembaga pengawas sektor keuangan di negara yang tergabung dalam G20 dibiayai oleh industri keuangannya. APRA (Australia), AMF (Perancis), BRSA (Turki), BaFin (Jerman), SB (Afrika Selatan), FSC (Korea Selatan) dibiayai oleh industri keuangan. Proporsi pembiayaan lembaga pengawas yang diambil dari 108 sampel adalah: industri (56%), pemerintah (22%), campuran (16%), dan tidak disebutkan (6%); Teori yang dapat menjelaskan pemberlakuan pungutan atau iuran oleh OJK adalah _theory of clubs ("An Economic Theory of Clubs", Buchanan, 1965). The_ _goal of the theory was to address the question of determining the "size of the most_ _desirable cost and consumption sharing arrangement"_ ; Industri sektor jasa keuangan selain bersifat vital bagi perekonomian juga memiliki contagion risk dengan potensi _domino effect_ yang tinggi. Kegagalan satu institusi akan merembet kepada institusi-institusi lain secara cepat. Sewajarnya jika pelaku industri secara bersama-sama menanggung biaya untuk mendukung kegiatan operasional dari Otoritas yang menjadi pengawas, wasit, perumus aturan yang berkepentingan menjaga dan memastikan semua pelaku industri menjalankan _business conduct_ dengan baik, sekaligus bersama-sama memelihara _safety_ _and_ _soundness_ industri sehingga _going_ _concern_ industri dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 255 berkesinambungan; OJK selama ini sudah melaksanakan berbagai program literasi keuangan ( _financial literacy_ ) dan inklusi keuangan ( _financial inclusion_ ) yang kami nilai sebagai salah satu bentuk kewajiban OJK dalam rangka memberikan imbal balik kepada pelaku industri atas iuran yang telah dipungut. Program-program kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah membantu pelaku industri dalam rangka penetrasi pasar, edukasi nasabah dan optimalisasi penjualan. Di samping itu masyarakat juga memperoleh manfaat langsung dengan adanya Komisioner yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen. Hak-hak masyarakat konsumen sektor jasa keuangan dapat lebih terlindungi dan sengketa dengan penyedia jasa keuangan dapat terfasilitasi dengan lebih baik;
2. Kornelius Simanjuntak Saksi adalah Ketua Asosiasi Perasuransian ASEAN ( _ASEAN Insurance_ _Council_ ) yang telah bekerja di industri perasuransian selama 38 tahun dan sebagai ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Ketua Asosiasi Perasuransian Negara-negara Anggota ASEAN atau _ASEAN Insurance Council_ (AIC) pada masa pembahasan RUU OJK dan Pendirian OJK, saya memberikan keterangan sebagai saksi di Persidangan Mahkamah Konstitusi yang terhormat dan mulia ini sebagai berikut: Pada saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekarang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, saya mewakili industri perasuransian Indonesia yang selalu ikut serta secara aktif dalam diskusi dan sosialisasi RUU OJK yang telah disahkan dan diundangkan sebagai UU OJK Nomor 21 Tahun 2011; Karena itu saya mengetahui bahwa proses lahirnya UU-OJK telah melalui suatu proses yang panjang, karena telah dilakukan berbagai studi perbandingan di berbagai Negara yang sistim pengawasan industri jasa keuanganya dilakukan melalui badan yang serupa atau sejenis OJK, Naskah akademik yang mendalam telah dilakukan, _workshop_ dan diskusi kelompok kerja yang melibatkan ahli-ahli dibidang jasa keuangan, praktisi, akademisi dari universitas ternama, pejabat dan staf ahli dari pihak Pemerintah dan dari pihak DPR RI; Semua pihak mengirimkan putra-putri bangsa Indonesia yang terbaik untuk memikirkan, mengkaji secara mendalam dan selanjutnya mempersiapkan suatu konsep dan sistem baru untuk pengawasan industri jasa keuangan Indonesia yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 256 diharapkan akan memperbaiki kekurangan, kelemahan, kebobrokan yang ada dan terjadi di masa lalu, karena bentuk dan sistim pengawasan jasa keuangan Indonesia secara umum dan khususnya jasa keuangan perbankan yang telah menyengsarakan perekonomian Indonesia, rakyat Indonesia, karena sector perbankan harus diselamatkan oleh Pemerintah melalui bantuan likuiditas yang luar biasa besarnya yang nyaris membangkrutkan perekonomian Indonesia; Kesimpulan dan hasil dari semua penelitian dan usaha itu adalah terdapat urgensi untuk Bangsa Indonesia untuk segera dan secepatnya melakukan perubahan mendasar dalam sistem pengawasan dan pengaturan industri jasa keuangan Indonesia; Diperlukan suatu bentuk badan pengawas dan pengaturan yang baru, yang terintegrasi untuk semua jasa keuangan Indonesia yaitu perbankan, pasar modal, pembiayaan, Asuransi dan lain-lain jasa keuangan lainnya; Juga disimpulkan bahwa badan pengawas dan pengaturan yang baru tersebut sudah harus teruji di negara-negara yang pengawasan industri jasa keuangannya telah membuat industri jasa keuangan di negara tersebut semakin, kuat, semakin maju dan terhindar dari atau dapat menekan sekecil mungkin berbagai permainan kotor dari pelaku industri jasa keuangan seperti usaha-usaha jasa keuangan yang berada dalam suatu kelompok usaha konglomerasi. Negara- negara tersebut juga ada di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan; Oleh karena itu disimpulkan bahwa perlu segera didirikan sebuah lembaga pengawas dan pengaturan jasa keuangan Indonesia atau yang dinamakanOJK sebagai badan pengawas industri jasa keuangan Indonesia yang sifatnya terintegrasi dan independent. Dan agar OJK kuat, maka harus didirikan dengan sebuah Undang-undang yang mengaturnya, karena itulah dibuat dan diundangkan UU Nomor 21 Tahun 2011; Sebagai badan pengawas dan pengaturan jasa keuangan yang baru, OJK memerlukan banyak persiapan, karena itu OJK baru saja mulai menjalankan fungsi, tugas dan peranannya sebagai pengawas industri jasa keuangan Indonesia. Untuk tugas yang sangat besar, sangat penting, dan mulia tersebut tentu tidak dapat dinilai kinerjanya terlalu dini, karena OJK baru saja mulai menjalankan tugasnya. Seharusnya diberikan waktu yang cukup untuk OJK untuk menujukkan performa kinerjanya; Juga saya heran kalau ada warga Negara Indonesia yang telah mengajukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 257 permohonan pengujian terhadap beberapa pasal dari UU OJK Nomor 21 Tahun 2011 dengan dalil bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, saya lebih heran lagi jika warga negara tersebut adalah seorang peneliti _Justice for Global Justice_ , karena sebagai peneliti seharusnya mereka juga mengetahui rencana pendirian OJK dan pembahasan RUU OJK. Seharusnya mereka memberikan masukan secara aktif pada saat Pemerintah/ DPR membahas RUU OJK tersebut; Selanjutnya saya berpendapat bahwa hanya warga negara Indonesia yang ingatannya cepat lupa akan bencana atau malapetaka krisis perbankan dan keuangan di masa lampau yang telah nyaris membangkrutkan perekonomian bangsa Indonesia, dan telah menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan warga negara Indonesia yang menjadi kehilangan pekerjaannya karena banyak perusahaan bangkrut, gulung tikar dan terpaksa berhenti usahanya karena akibat krisis ekonomi yang sangat buruk. Atau mungkin mereka mempunyai agenda tersendiri, tidak menghendaki adanya suatu bandan dan sistim pengawasan industri jasa keuangan Indonesia yang lebih baik dan lebih kuat; PENTINGNYA PERANAN OJK DALAM PENGATURAN (REGULASI) DAN PENGAWASAN SEKTOR JASA KEUANGAN INDONESIA SESUAI UU NO 21 THN 2011 Peranan OJK sebagai badan pengawas dan Pengaturan sector jasa keuangan Indonesia adalah sangat penting karena:
1. Indonesia memerlukan badan pengawas dan pengaturan industri jasa keuangan OJK untuk pengawasan yang lebih baik, kuat dan dapat mendeteksi secara dini gejala krisis jasa keuangan Indonesia, terutama untuk pengawasan konglomerasi jasa keuangan di Indonesia yang tidak mungkin dapat dilakukan jika tidak ada badan dan sistim pengawasan yang terintegrasi.
2. Indonesia akan segera memasuki Pasar Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015, karena itu pengawasan oleh OJK adalah suatu keharusan dan urgensi, jika Indonesia ingin menjadi tuan perekonomian jasa keuangan di negeri sendiri.
3. Khusus untuk Industri perasuransian Indonesia, OJK sangat diperlukan karena dengan OJK, pengawasan industri perasuransian Indonesia akan menjadi sejajar dengan badan pengawas industri perasuransian di negara-negara lain, sehingga Industri perasuransian Indonesia tidak akan tertinggal jauh; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 258 4. Membatalkan UU OJK Nomor 21 Tahun 2011 dan/atau membubarkan OJK adalah suatu kekeliruan dan kemunduran bagi usaha pembangunan insdutri jasa keuangan Indonesia termasuk industri jasa perasuransian yang lebih baik dan sehat. Karena di berbagai negara yang industri jasa keuangannya sudah lebih besar dan lebih maju, telah meningalkan sistem pengawasan yang terkotak-kotak, dan mereka telah mempunyai sistem dan lembaga pengawas dan pengatur industri jasa keuangan yang terintegrasi yaitu FSA ( _Finansial_ _Services Authority_ ) atau OJK, dimana sistem pengawasan dan pengaturan tersebut telah membuat industri jasa keuangan mereka menjadi semakin baik dan kuat, seperti di Jepang, Korea, Australia;
5. Membubabarkan OJK juga menurunkan minat investor pihak asing untuk berivestasi di bidang industri jasa keuangan keuangan perasuransian di Indonesia, dalam hal ini akan menurunkan pemeringkatan investasi di Indonesia yang dapat menimbulkan efek domino dan keadaan keos; SISTEM PUNGUTAN ATAU IURAN UNTUK MEMBIAYAI OJK ADALAH SUDAH BAGUS, TEPAT DAN KONSTITUSIONAL DALAM RANGKA MEMBIAYA OJK DIBIDANG PENGATURAN (PENGATURAN) DAN PENGAWASAN SEKTOR JASA KEUANGAN INDONESIA Sistem pembiayaan untuk suatu badan pengawas dan pengaturan OJK atau yang dikenal di internasional sebagai FSA _(Fiancial Services Authority/Agency)_ ada dua macam, yaitu: Sistem yang pertama: pembiayaannya dibebankan kepada _State_ atau _National Budget_ yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seperti yang dianut oleh Negara Jepang. Sistem yang kedua: pembiayaannya dibebankan kepada perusahaan-perusahaan jasa keuangan yang diawasi oleh OJK atau FSA seperti yang dianut oleh Negara Australia; Sistem yang dianut OJK di Indonesia adalah kombinasi dari kedua Sistem tersebut diatas karena Pasal 34 ayat (2) UU OJK Nomor 21 Tahun 2011 mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pihak yang melakukan kegiatan di sector jasa keuangan adalah perusahaan-perusahaan jasa keuangan di Indonesia. Sistem yang diatur dalam UU OJK Nomor 21 Tahun 2011 ini adalah sudah bagus, tepat dan konstitusional karena:
1) Telah dilakukan kajian dan pembahasan yang mendalam atas sistem pembiayaan OJK dengan melihat bagaimana di negara-negara lain, dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 259 masalah pembaiayaan ini adalah hal yang juga sangat mendapatkan perhatian dan memakan waktu pada saat pembahasan dan sosialisasi RUU OJK, hingga dipilih sistem yang terbaik untuk OJK di Indonesia;
2) Mempunyai sifat yang fleksibel atau luwes, dimana dijelaskan dalam penjelasan ayat tersebut bahwa jika dana yang dihimpun dari industri atau sector jasa keuangan belum atau tidak mencukupi untuk membiayai OJK, maka dalam tahap awal pembentukan OJK pembiayaan OJK dilakukan melalui APBN;
3) Bahwa penetapan besarnya iuran ke OJK ditetapkan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan-perusahaan jasa keuangan Indonesia, hal ini berarti besaran iuran atau pungutan untuk membiayai OJK haruslah sedemikian rupa agar tidak sampai memberatkank perusahaan jasa keuangan yang diawasi;
4) Pungutan untuk membiayai OJK adalah konstitusional karena pungutan tersebut didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam UU OJK Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2);
5) Terkait independensi OJK yang diakitkan dengan system pungutan atau pembiayaan dari suatu Lembaga seperti OJK, tidak dapat dan tidak tepat jika semata-mata dilihat dan diukur dari system pembiayaan atau pihak mana yang membiayainya. Seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dibiayai oleh negara, apakah KPK menjadi tidak independen? Ternyata KPK hingga saat ini menurut saksi adalah satu lembaga negara yang tetap independen meskipun dibiayai oleh negara dari APBN karena KPK juga melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara, KPK menangkap beberapa Menteri, Anggota DPR, dan Pejabat Pemerintahan; Karena itu OJK juga tidak tepat jika OJK dikatakan menjadi tidak independen karena dibiayai oleh industri jasa keuangan yang diawasinya; MANFAAT YANG TELAH DIRASAKAN SETELAH OJK MENGAWASI INDUSTRI PERASURANSIAN INDONESIA 1. OJK telah memikirkan dan mengkaji melindungi secara lebih proporsional kepemilikan investor nasional atau dalam negeri untuk perusahaan-perusahaan perasuransian, agar perusahaan-perusahaan nasional mempunyai kesempatan yang sama untuk lebih maju dan kuat di negerinya sendiri, karena adalah suatu fakta bahwa pengusaha Indonesia yang ingin berusaha di negara-negara lain Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 260 ternyata tidak mudah karena adanya pengaturan seperti ketentuan permodalan yang kurang mendukung dan sangat memberatkan bagi investor Indonesia;
2. OJK meskipun belum lama menjalankan tugasnya, dalam berbagai Peraturan OJK yang telah dikeluarkan telah memberikan perlindungan yang jauh lebih baik bagi konsumen asuransi dari pada sebelumnya. Satu diantaranya adalah OJK mewajibkan perusahaan-perusahaan asuransi sejenis untuk mempunyai sebuah Badan Penyelesaian Sengketa atau Badan Mediasi yang dapat membantu masyarakat konsumen jika ada sengketa atas produk jasa keuangan;
3. Dalam prpses pembuatan Peraturan OJK, OJK menerapkan _rule making rule_ dimana kalau ada peraturan OJK yang mau dibuat, maka terlebih dahulu dikonsultasikan dengan industri jasa keuangan terkait dan juga meminta masukan-masukan, sehingga Peraturan OJK yang akan diberlakukan akan lebih baik untuk kemajuan insdustri jasa keuangan;
4. OJK telah melakukan pengawasan yang jauh lebih baik dalam pengaturan dan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik atau GCG;
5. OJK telah melakukan pengaturan dan pengawasan agar persaingan usaha di sector Asuransi umum selalu menekankan dan mendahulukan kepentingan konsumen Asuransi, dan persaingan harga yang berbahaya bagi semua pihak, khususnya konsumen dapat dihindari;
6. OJK mempunyai kapasitas yang jauh lebih besar daripada badan pengawas perasuransian sebelum OJK;
7. Untuk mewujudkan suatu masyarakat Indonesia yang sadar akan pentingnya Asuransi kehadiran OJK sangat diperlukan. Dan pada saat ini OJK bersama industri asuransi nasional sedang melakukan kegiatan untuk lebih memperkenalkan asuransi kepada masyarakat berpenghasilan kecil dengan meluncurkan asuransi mikro yang sangat terjangkau oleh kalangan masyarakat berpenghasilan kecil sehingga mereka juga dapat mempunyai perlindungan terhadap berbagai risiko;
8. OJK telah melakukan langkah-langkah nyata untuk mengupayakan peningkatan kapasitas daya tampung asuransi dan reasuransi nasional, sehingga akan semakin besar dana premi asuransi nasional yang dapat ditahan di dalam negeri; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 261 9. Melalui OJK transaksi Asuransi yang melibatkan berbagai jenis lembaga keuangan seperti perbankan, pembiayaan/leasing dapat dihindari praktek bisnis yang merugikan konsumen yang dikaitkan dengan pembayaran premi Asuransi; Kesimpulan dari keterangan saksi adalah bahwa industri/sektor jasa keuangan indonesia sangat memerlukan kehadiran OJK dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK;
3. Robinson Simbolon A. Otoritas Jasa Keuangan Menjawab Tantangan Perkembangan Industri Jasa Keuangan Dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak dapat dilepaskan dari pesatnya perkembangan dan dinamika yang terjadi di industri sektor jasa keuangan secara global. Indonesia sebagai negara yang memiliki sistem perekonomian terbuka tidak dapat mengelak dan bahkan dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap arus perkembangan industri sektor jasa keuangan dunia; Industri sektor jasa keuangan yang meliputi industri perbankan, ipdustri pasar modal dan industri keuangan non-bank tidak lagi merupakan industri yang dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Berkembangnya berbagai produk saja keuangan, semakin canggihnya teknologi sistem informasi serta terjadinya konglomerasi kepemilikan perusahaan-perusahaan jasa keuangan merupakan faktor-faktor utama yang mendorong saling terintegrasinya industri sektor jasa keuangan di Indonesia; Produk reksadana misalnya, yang notabene merupakan produk pasar moda! saat ini sudah dipasarkan melalui jaringan perbankan, tidak semata-mata dipasarkan oleh agen penjual reksadana. Dari sisi investor, reksadana kini tidak hanya ditujukan untuk investor ritel atau individu tetapi juga mulai dijadikan instrument investasi bagi perusahaan-perusahaan jasa keuangan seperti Asuransi maupun Dana Pensiun yang telah memasukkan produk-produk Reksadana sebagai portofolio investasi mereka; Keterkaitan antara sub sektor di industri jasa keuangan seperti digambarkan di atas pada masa mendatang bukannya semakin berkurang, melainkan semakin kompleks. Bakal terjadinya fenomena seperti itu perlu disadari sejak dini dan diantisipasi. Sebab, jika tidak diantisipasi maka kompleksitas perkembangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 262 industri sektor jasa keuangan pada masa mendatang sangat berpotensi menimbulkan dampak negatif terutama terhadap perlindungan konsumen serta terganggunya stabilitas sistem keuangan. Kompleksitas perkembangan dan permasalahan di sektor jasa keuangan tersebut, membutuhkan adanya lembaga otoritas yang terintegrasi dan memiliki kewenangan kuat dalam meiakukan pengaturan, pembinaan dan pengawasan. Di samping itu, hal yang perlu mendapat perhatian sangat serius adalah masalah koordinasi antar sektor di jasa keuangan. Jika otoritas di bidang jasa keuangan dilakukan oleh institusi yang berbeda, koordinasi akan sulit dilakukan, mengingat tingginya egoisme sektoral. Disinilah pentingnya kehadiran OJK sebagai lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi mencakup sektor perbankan, pasar modal, dan IKNB; Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa pembentukan OJK sebagai regulator di industri sektor jasa keuangan sangat tepat dan sesuai dengan kebutuhan dalam menjawab berbagai tantangan perkembangan industri jasa keuangan modern yang pada akhirnya juga akan mensejahterakan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD 1945; B. Pertumbuhan Industri Pasar Modal Era OJK Dengan beroperasinya OJK pada pertengahan Tahun 2012 sebagai lembaga yang mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan, khusus industri sektor pasar modal seperti memperoleh semangat baru dalam meiakukan berbagai inovasi dalam menumbuhkan industri pasar modal; Memasuki tahun 2013, BEI menerapkan kebijakan baru yakni dimulainya perdagangan 30 menit lebih awal dan diterapkannya _pre-cfosing_ dan _post-trading_ di akhir hari perdagangan. Pasar modal menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan yang positif. Data sampai akhir Oktober 2014 lalu memperlihatkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai indikator utama perdagangan saham di BEI telah melewati batas psikologis 5.000, persisnya 5.089,55. Diyakini IHSG bisa naik lebih tinggi lagi pada akhir 2014. Di sisi lain, nilai kapitalisasi pasar saham hingga akhir Oktober 2014 mencapai Rp 5.071,32 triliun. Itu menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan posisi akhir 2013 yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 263 masih di angka Rp 4.219 triliun. Sedangkan nilai rata-rata perdagangan saat ini mencapai Rp 6,07 triliun per hari. Pada 2013, nilai rata-rata perdagangan harian bahkan pernah mencapai Rp 6,24 triliun. Indikator-indikator tersebut di atas menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat investor di Pasar Modal Indonesia semakin meningkat dan hal ini bukan tidak mungkin merupakan respon dari mulai beroperasinya OJK; Salah satu tonggak penting lainnya di tahun 2013 adalah ketika OJK menerbitkan izin usaha PT Penyelenggara Program Perlindungan Investor Efek Indonesia (P3IEI) sebagai penyelenggara dana perlindungan pemodal di pasar modal Indonesia. Dengan berdiri dan beroperasinya P3IEI, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor dalam berinvestasi di pasar modal Indonesia; Pada bidang pengelolaan investasi, juga menunjukkan pertumbuhan yang berarti. Data sampai akhir Oktober 2014 mencatat Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana mencapai Rp 224,26 triliun. Padahal di akhir 2013 NAB reksadana masih tercatat Rp 192,54 triliun. Pertumbuhan NAV ini menunjukkan terjadinya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap reksadana sebagai instrument investasi. Dilihat dari jumlah unit penyertaan juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Jika pada akhir 2013 jumlah unit penyertaan mencapai 120,89 miliar, maka pada akhir Oktober 2014 lalu sudah mencapai 134,6 miliar; Seluruh indikator pertumbuhan di industri pasar modal tersebut di atas semakin menguatkan keyakinan kami bahwa kehadiran OJK sangat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan di industri jasa keuangan.terutama sektor, baik di pasar modal, perbankan maupun IKNB. C. Pungutan oleh OJK Pembiayaan kegiatan yang bersumber dari pungutan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan di Indonesia memang merupakan hal baru. Namun demikian, pembiayaan kegiatan regulator di sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan adalah praktek yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, _Office of the Comptroller of the Currency_ (OCC) di Amerika Serikat memungut biaya dari bank secara _semi-annually_ yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan investasi terutama pada _US-Treasury_ , pungutan atas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 264 pemeriksaan khusus/investigasi tertentu, pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya dari kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya; Tidak terlalu berbeda dengan OCC di Amerika Serikat, _Office Of_ _Superintendent Of Financial Institute_ vOSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi, dan pungutan terhadap _loan company_ berbasis keanggotaan; Di belahan benua Asia, _Financial Services Supervisory_ (FSS) Korea Selatan memperoleh pendanaan dari _supervisory fee_ , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS. Selain _supervisory fee_ , FSS juga memungut _issuer regulatory_ _fee_ , yaitu pungutan yang dikenakan kepada emiten sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan _exchange act_ ( _capital_ _market_ ); Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan otoritas jasa keuangannya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Australia, Singapura, Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Meksiko, Panama, Swedia, Peru, Swiss, Turki dan Inggris; Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Cili, Cina, Costa Rica, Kazakhstan, Libanon, Jepang dan Uruguay; Pungutan oleh otoritas Pasar Modal bukanlah hal baru bagi kami di industri pasar modal. Sejak Tahun 2007, PT BEI, PT Kustodian Sentral Ekfek Indonesia (KSEI) dan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) telah meiakukan pembayaran pungutan berdasarkan Peraturan Bapepam-LK yang besarnya 7,5% dari pendapatan usaha ketiga perusahaan tersebut; Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, kami berpendapat bahwa pungutan yang dilakukan oleh OJK adalah sesuatu yang normal di bidang industri jasa keuangan di seluruh dunia. Pungutan yang dilakukan OJK terhadap pelaku Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 265 industri jasa keuangan bukanlah untuk kepentingan orang per orang atau pihak pihak tertentu. Pungutan itu dilakukan demi terselenggaranya kegiatan OJK secara efektif sehingga pola dan mekanisme pengawasan dapat dilakukan sebaik-baiknya untuk menciptakan sistem industri keuangan yang kuat, stabil dan berkesinambungan. Terciptanya sistem industri jasa keuangan yang kuat akan memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran sesuai dengan cita- cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa sebuah lembaga tidak akan independen dalam meiakukan tugasnya jika lembaga tersebut memungut fee terhadap pihak yang diawasi. Contoh nyata yang dapat disampaikan disini, misalnya tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagaimana diketahui, seluruh kegiatan KPK dibiayai oleh negara melalui APBN. Namun hal itu tidaklah berarti KPK menjadi tidak independen terhadap pejabat- pejabat negara yang meiakukan tindak pidana korupsi; Berdasarkan uraian di atas, saksi menyimpulkan bahwa walaupun OJK melakukan pungutan terhadap industri tetapi OJK tetap sebagai otoritas yang independen, legal dan akuntabel. Eksistensi OJK perlu mendapat dukungan kuat sehingga ia dapat menjalankan tugas sesuai dengan misi yang diembannya;
4. Pradjoto A. Latar Belakang Otoritas Jasa Keuangan dibentuk berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. UU Bl tersebut lahir sebagai bagian dari restrukturisasi sistem perbankan yang porak poranda akibat krisis tahun 1997/1998. Pasal 34 UU Bl mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat; Tujuan idiil terbentuknya OJK adalah agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara stabil, berkelanjutan dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan dimaksud, Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi oleh prinsip- prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 266 pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( _fairness_ ); B. Pentingnya Keberadaan OJK Dalam Mengatur dan Mengawasi Sektor Jasa Keuangan Kompleksitas sektor dan sub-sektor keuangan adalah kompleksitas yang terjalin bagaikan sarang laba-laba. Rumit, tersebar secara tak terduga dan rentan terhadap gejolak. Satu saja jalinan itu rusak, maka akan memberikan dampak buruk yang berantai terhadap seluruh sistim; Pengalaman masa lalu, terutama krisis pada tahun 1997-1998 telah mengajarkan betapa pentingnya kehadiran otoritas pengawas yang mampu memantau dan mengawasi kegiatan jasa keuangan secara terintegrasi. Terlebih, jalinan sarang laba-laba tadi telah semakin berkembang dengan intensitas yang tinggi dipacu oleh proses globalisasi maupun kemajuan teknologi informasi yang keseluruhannya menimbulkan situasi yang saling pengaruh mempengaruhi antara satu dan lainnya. Belum lagi jika diperhatikan adanya keterkaitan yang terjalin karena hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian yang telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi di antara lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan; Ambil saja contoh keberadaan Konglomerasi Keuangan di Indonesia lengkap dengan aktivitas lintas sub-sektor yang terbentuk diantara lembaga jasa keuangan yang perannya semakin hari semakin signifikan. Saat ini terdapat 32 (tiga puluh dua) konglomerasi keuangan di Indonesia yang dapat memberikan dampak negatif jika tidak dikelola secara terintegrasi; Dampak nagatif itu antara lain adalah meningkatnya risiko yang mungkin timbul yaitu _regulatory arbitrage_ , _contagion risk, lack of transparency, conflict of_ _interest,_ dan _abuse of economic power_ . Lebih jelasnya, kegagalan salah satu anak perusahaan dapat menarik jatuh kondisi perusahaan induknya. Induk konglomerasi keuangan ini didominasi oleh 16 (enam belas) bank besar yang merupakan _Domestic Systemically Important Banks_ (DSIB) dengan total aset sebesar Rp 3.793 triliun atau 70% dari keseluruhan aset industri perbankan. Kejatuhan salah satu induk konglomerasi keuangan ini akan memicu krisis di sektor keuangan yang berpotensi sistemik, yang membuat runtuhnya sistem keuangan nasional kita. Sungguh, _contagion effect_ adalah mimpi buruk bagi setiap bankir; Sementara dampak positif adalah meningkatnya daya saing lembaga jasa keuangan di Indonesia dengan berbagai bentuknya. Dalam skala ekonomi tertentu, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 267 setiap daya saing akan senantiasa menghasilkan implikasi rasional berupa terbentuknya efisiensi yang dapat memberikan pengaruh yang luar biasa besarnya di segi pengembangan infrastruktur, _delivery channel_ , promosi maupun penguatan _branding_ . Maka, proses pelayanan nasabah dapat bekerja dengan mekanisme _cross selling_ memanfaatkan terbentuknya saluran distribusi yang pada gilirannya akan memperkokoh kenaikan _fee based income_ ; Itulah sebabnya, pengawasan yang terintegrasi baik individual institusi keuangan maupun sistem keuangan dengan berpedoman kepada filosofi _risk-_ _based_ dan _forward looking_ yang proaktif, adalah kunci yang fundamental di dalam menghadapi masa depan yang sudah pasti akan jauh lebih kompleks dibanding sarang laba-laba yang sudah diuraikan terdahulu; C. OJK adalah Lembaga _Consitutionally Importance_ Sektor jasa keuangan adalah komponen penting dalam sistem perekonomian nasional terutama sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan tujuan dibentuknya Negara Indonesia sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena fungsi dan kelahiran OJK dimaksudkan sebagai " _guardian_ _anger_ bagi sektor jasa keuangan, maka OJK dapat dikelompokan sebagai lembaga yang memiliki sifat _constitutional importance_ ; Untuk mencapai tujuan OJK, diperlukan jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan; Dalam Pasal 37 UU OJK diatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Artinya, pembiayaan kegiatan OJK bersumber dari pungutan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Persoalan yang paling hakiki di sini adalah pertanyaan dengan cara apakah pungutan itu dilakukan? Jawabannya terletak kepada adanya beban pembiayaan secara adil dan manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Bagi industri perbankan, yang paling penting adalah pengelolaan pungutan dilakukan secara transparan dan akuntabel, serta penggunaannya dikonsultasikan dengan para pelaku industri agar menghasilkan kemanfaatan yang optimal; Pada dasarnya, praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia bukan hal baru oleh karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 268 1995 tentang Pasar Modal telah menetapkan hal yang serupa sejak beberapa dekade yang lalu. D. Kesimpulan Sebagai lembaga yang penting secara konstitusi, keberadaan OJK hams dipertahankan. Kebijakan yang melemahkan eksistensi OJK dapat berakibat fatal bagi sektor keuangan dan pada gilirannya membahayakan perekonomian nasional. Lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi keuangan dan produk- produk lintas sektor jasa keuangan akan mengakibatkan perlindungan terhadap konsumen menjadi terbengkalai. Tambahan pula, masa transisi yang sedang dijalani OJK dapat berjalan dengan mulus karena tingginya kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap OJK dan sektor jasa keuangan; Sulit bagi saya untuk menakar ke arah mana keputusan akan diambil, tetapi ada satu hal yang selalu menjadi pedoman bagi hati saya. Yaitu kita bukanlah pewaris bangsa, kita semua sedang meminjam bangsa ini dari anak-cucu kita dan sebagai peminjam kita wajib mengembaiikan bangsa ini dalam keadaan yang lebih baik; [2.8] Menimbang bahwa Mahkamah dalam persidangan tanggal 22 Desember 2014 telah mendengar keterangan dari Bank Indonesia dan Persatuan Bank Nasional (Perbanas) yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. BANK INDONESIA Bank lndonesia sebagai Bank Sentral Berkedudukan Sebagai Lembaga Negara 1. Bank Indonesia adalah bank sentral yang pembentukannya diamanatkan Konsitusi.
a. Sebelum amandemen UUD 1945, amanat pembentukan Bank Indonesia diatur dalam Penjelasan Pasal 23 UUD 1945.
b. Dalam amandemen keempat UUD 1945, amanat pembentukan Bank Indonesia sebagai bank sentral dinyatakan secara tegas dalam Pasal 23D UUD 1945 yaitu, " _Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,_ _kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur_ _dengan Undang-Undang_ ".
2. Tujuan pembentukan lembaga-lembaga negara dalam konstitusi, termasuk pembentukan bank sentral, adalah untuk mendukung tercapainya tujuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 269 negara yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pencantuman dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa bank sentral merupakan organ penyelenggara negara yang utama dan keberadaannya sangat diperlukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
3. Bank sentral yang diamanatkan dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia. Tujuan, Tugas, dan Wewenang Bl 4. Sesuai Undang-Undang Bank Indonesia, Bank lndonesia mempunyai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan bagian dari prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
5. Tujuan Bl untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut ditopang oleh 3 (tiga) pilar kewenangan, yaitu kewenangan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan.
6. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bl memiliki tugas dan wewenang:
a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, c. mengatur dan mengawasi bank, d. mengeluarkan aiat pembayaran yang sah; dan
e. menjalankan fungsi sebagai penyedia likuiditas jangka pendek ( _lender of_ _the last resort_ ).
7. Di bidang moneter, Bl berwenang menetapkan kebijakan moneter, menetapkan sasaran-sasaran moneter, dan meiakukan pengendalian moneter. Pelaksanaan kebijakan moneter terutama menggunakan instrumen yang mengandalkan sistem perbankan, antara lain melalui mekanisme pasar uang. Oleh karena itu, perumusan kebijakan moneter sangat membutuhkan data dan informasi yang berasal dari perbankan;
8. Di bidana sistem pembayaran, dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang memberikan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan pelaporan, dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 270 menetapkan penggunaan alat pembayaran. Kewenangan tersebut berlaku untuk seluruh sistem pembayaran, dan seluruh institusi penyelenggara jasa sistem pembayaran, termasuk perbankan. Dalam hal ini, perbankan merupakan penyelenggara jasa sistem pembayaran yang utama;
9. Di bidang perbankan. sebelum beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan mikroprudensial perbankan kepada OJK, Bl berwenang meiakukan pengaturan, memberikan dan mencabut izin bank, meiakukan pengawasan, dan pengenaan sanksi; Kedudukan Bank Indonesia sebagai pengatur dan pengawas bank sangat mendukung efektivitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter dan sistem pembayaran mengingat:
a. pengelolaan atau manajemen likuiditas dalam sistem perbankan merupakan alat utama dalam pengendalian moneter untuk mencapai kestabilan nilai rupiah;
b. akses data dan informasi perbankan yang diperlukan dalam rangka pemantauan stabilitas sistem keuangan dan perumusan kebijakan dapat diperoleh secara cepat dan langsung;
c. produk-produk perbankan yang mendukung efektivitas kebijakan moneter dan sistem pembayaran lebih mudah dikembangkan;
d. kebijakan-kebijakan terhadap perbankan yang sifatnya terintegrasi antara kepentingan untuk menjaga stabilitas moneter, kelancaran sistem pembayaran, stabilitas sistem keuangan, dan penerapan prinsip kehati- hatian bank, lebih mudah diimplementasikan;
e. pengawasan kepatuhan terhadap kebijakan moneter dan sistem pembayaran dapat terintegrasi dengan pengawasan kepatuhan terhadap prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha bank. Independensi Bank Indonesia 10. Sesuai UU Bl, Bl adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
11. Independensi Bl tersebut didukung antara lain oleh:
a. kewenangan Bl untuk mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari APBN;
b. Bl bukan merupakan bagian dari Pemerintah;
c. dalam unsur Pimpinan Bl tidak terdapat wakil pemerintah atau wakil Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 271 lembaga lainnya (tidak terdapat anggota Dewan Gubernur _ex-officio_ ).
12. Sejalan dengan kewenangan Bl untuk mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari APBN, segala biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan tugas Bl, termasuk pengaturan dan pengawasan bank, seluruhnya menjadi beban dan tanggung jawab Bl; Pasca OJK 13. Dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan bank kepada OJK, kewenangan yang menjadi penopang pelaksanaan kebijakan Bl melalui perbankan berkurang secara signifikan yang akibatnya dapat mengganggu pelaksanaan tugas Bl secara keseluruhan karena Pasal-pasal dalam UU Bl yang mengatur kewenangan untuk pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan, serta akses data dan informasi terhadap perbankan dicabut oleh Pasal 69 Undang-Undang OJK;
14. Di bidana moneter. terdapat beberapa kebijakan OJK yang berpotensi menimbulkan gangguan transmisi kebijakan moneter yang merupakan kewenangan Bank Indonesia;
15. Di bidang sistem pembayaran. sesuai dengan UU Bank Indonesia, pengaturan, pengawasan, dan perizinan sepenuhnya menjadi kewenangan Bl. Dalam pelaksanaannya, mengingat kegiatan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran juga merupakan bagian dari kegiatan usaha bank, dan instrumen sistem pembayaran juga merupakan produk perbankan, maka sering terjadi perbedaan pandangan terkait kewenangan untuk mengatur, mengawasi, dan memberikan izin kegiatan usaha bank di bidang sistem pembayaran antara Bank Indonesia dan OJK. Sementara kewenangan Bl di bidang sistem pembayaran tetap dijamin oleh UU Bank Indonesia karena UU OJK tidak mencabut atau mengubah kewenangan Bl di bidang sistem pembayaran;
16. Di bidang _makroprudensial_ . beberapa ketentuan makroprudensial menjadi tertunda karena terdapat perbedaan pandangan mengenai lembaga yang berwenang mengeluarkan ketentuan dan/atau lembaga yang harus berperan. Kewenangan pengaturan dan pengawasan makroprudensial perbankan yang diberikan kepada Bl berdasarkan Penjelasan UU OJK, secara hukum tidak cukup jelas dan tidak cukup lengkap untuk mendukung pencapaian tujuan Bank Indonesia;
17. Dengan adanya dua Undang-Undang yang mengatur dua otoritas yang sama- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 272 sama memiliki kewenangan terhadap suatu industri, maka selalu diperlukan langkah kompromi seperti dual licensing dalam produk-produk tertentu. Oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi yang kuat untuk menghindari disharmonisasi kebijakan yang dapat menyebabkan kebingungan di industri dan menghindari potensi pemanfaatan ketentuan yang lebih ringan oleh industri ( _regulatory arbitrage_ );
18. Dengan adanya Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan, seharusnya fungsi dan kewenangan Bl untuk melakukan pengaturan, dan pengawasan di bidang perbankan, serta akses data dan informasi perbankan tetap dijamin oleh Undang-Undang untuk BI dapat melaksanakan tugasnya dalam sektor-sektor moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran;
2. PERBANAS Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) adalah pekumpulan dari bank-bank di Indonesia yang anggotanya terdiri dari bank-bank milik negara, bank swasta, bank campuran, bank milik daerah, dan bank syariat; Menurut Perbanas bahwa apa yang disampaikan oleh semua pihak tersebut pada dasarnya merupakan pengulangan dari diskusi ketika penyusunan Undang- Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan yang seharusnya hal itu sudah dapat diselesaikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang mengenai Otoritas Jasa Keuangan, namun ternyata masih ada pihak-pihak yang menyampaikan keberatan. Ini membuktikan bahwa ada persoalan yang harus dicarikan solusinya yang paling baik. Salah satu pemicu persoalan yang timbul adalah terutama mengenai persoalan pungutan. Sebelum menyampaikan mengenai pungutan oleh OJK, Perbanas menegaskan bahwa selaku asosiasi dari bank-bank di Indonesia pada dasarnya akan mematuhi apa yang menjadi keputusan dari Undang-Undang maupun peraturan yang berlaku di dalam pengaturan dan pengawasan perbankan; Diskusi mengenai independensi pengawas sektor jasa keuangan, termasuk di dalamnya mengenai perbankan dan diskusi mengenai apakah kalau ada pungutan pihak pengawas menjadi tidak independen? Ini juga sebetulnya sudah selesai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Perbanas berpendapat bahwa dengan lahirnya Undang-Undang ini (UU 21/2011) maka semua pihak seharusnya mengikuti arahan dari undang-undang yang berkaitan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 273 dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Namun demikian, Perbanas juga dapat memahami mengenai keberatan dari Pemohon terkait pungutan oleh OJK karena sebelum lahirnya Otoritas Jasa Keuangan, pengaturan dan pengawasan jasa keuangan tidak menimbulkan beban biaya apa pun namun setelah adanya Otoritas Jasa Keuangan ada beban pungutan. Perbanas berpendapat bahwa tidaklah arif dan tidak bijaksana apabila dengan adanya pungutan tersebut Pemohon mengusulkan untuk membubarkan OJK ataupun membekukan operasi dari Otoritas Jasa Keuangan. Menurut Perbanas terdapat konsekuensi yang akan timbul apabila ada usulan untuk membubarkan/menonaktifkan/membekukan operasi dari Otoritas Jasa Keuangan. Pembubaran OJK tidak sepadan dengan keberatan mengenai pungutan. Dengan adanya permohonan Pemohon ini menunjukkan bahwa terdapat pihak para pelaku di sektor jasa keuangan yang tidak puas terhadap persoalan mengenai pungutan; Perbanas sejak awal terlibat di dalam diskusi mengenai pembuatan Undang- Undang Otoritas Jasa Keuangan. Sejak awal Perbanas bersikap netral apakah pengaturan dan pengawasan perbankan berada di Bank Indonesia atau berpindah kepada otoritas yang lain karena dalam praktik yang dilakukan oleh negara-negara lain, baik mengenai pengaturan dan pengawasan bank terpusat dalam suatu lembaga maupun dipisahkan dalam beberapa lembaga yang lain. Dua-duanya menunjukkan ada yang berhasil dan ada juga yang gagal. Jadi dua pilihan ini tidak membuat pilihan untuk lembaga yang satu dengan yang lain menjadi terjamin, sehingga suatu negara yang memilih satu pilihan ini dijamin tidak ada krisis. Dalam kenyataan dipraktik negara-negara lain pelaksanaannya tergantung dari kualitas sumber daya manusia, manajeman, dan hal-hal lain yang berlaku di dalam otoritas sektor jasa keuangan tersebut. Jadi bagi Perbanad dan bagi para pelaku jasa keuangan, lahirnya Otoritas Jasa Keuangan tidak ada masalah, hanya saja Perbanas dalam diskusi-diskusi pembentukan Undang-Undang OJK menyampaikan seandainya lahir suatu otoritas jasa keuangan yang baru seharusnya kewenangan yang dilimpahkan bersamaan dengan kewenangan mengenai anggaran dari otoritas yang melakukan pengaturan dan pengawasan yang sebelumnya. Dalam hal ini anggaran untuk mengawasi sektor perbankan dan anggaran untuk mengawasi sektor jasa keuangan di luar perbankan harusnya berasal dari Bank Indonesia dan Bapepam dan bukan dibebankan kepada sektor jasa keuangan perbankan atau non perbankan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 274 Perbanas berpendapat bahwa OJK sah secara konstitusi dan untuk itu tidak bisa sertamerta dapat membubarkan/membekukan OJK, tetapi harus dicarikan solusi tentang adanya pungutan tersebut, yaitu pilihan pertama OJK tetap berdiri dan melangsungkan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang atau pilihan kedua menghilangkan kewenangan OJK untuk melakukan pungutan kepada sektor jasa keuangan. Pilihan kedua ini akan menyisakan persoalan, yaitu dari mana pembiayaan OJK kalau OJK tidak dapat melakukan pungutan kepada pelaku sektor jasa keuangan? Sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Bank Indonesia bahwa selama ini Bank Indonesia menggunakan sumber dananya sendiri tidak membebankan kepada pihak pemerintah maupun anggaran melalui APBN secara langsung. Oleh karena itu, Perbanas berpendapat perlu dipikirkan kembali penganggaran yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia. Salah satu jalan keluarnya adalah mengembalikan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan kepada Bank Indonesia; Jalan tengah yang lain yang dapat menjadi solusi adalah Otoritas Jasa Keuangan tetap mengawasi seluruh sektor jasa keuangan, termasuk perbankan, namun beberapa pasal, khususnya yang menyangkut pungutan perlu dilakukan amendemen/revisi. Pasal yang menyatakan apabila terdapat sisa dari pungutan yang digunakan tahun berjalan harus disetorkan ke kas negara, menurut Perbanas pasal ini sangat tidak adil karena seharusnya sisa dari pungutan tahun sebelumnya itu dapat digunakan untuk meringankan pungutan untuk tahun berikutnya dan tidak perlu disetorkan ke kas negara. Apabila kelebihan dari pungutan itu disetorkan ke kas negara maka berpotensi untuk menyalahgunakan pungutan _a quo,_ sehingga pasal tersebut perlu diadakan perubahan/revisi _; _ Revisi dari Undang-Undang OJK yang lain adalah terkait mengenai pertanggungjawaban OJK dalam penggunaan dana APBN dan pungutan. Perbanas dapat memahami tentang adanya ketentuan dalam Undang-Undang OJK bahwa pertangungjawaban OJK kepada DPR untuk mewakili kepentingan rakyat karena OJK menggunakan dana APBN, namun ketika OJK melakukan pungutan kepada para pelaku industri maka OJK harus juga mempertanggungjawabkan pungutan tersebut kepada pelaku di sektor jasa keuangan. Ketentuan Ini terjadi di APRA (OJK) Australia yang mempertanggungjawabkan anggaran untuk penggunaan pungutan ini kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 275 sektor industri; Usulan revisi Undang-Undang OJK yang lain adalah mengenai badan supervisi OJK. Di dalam Undang-Undang OJK ini tidak ada lembaga yang dapat mengawasi secara langsung OJK; [2.9] Menimbang bahwa Pemohon dan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan dalam persidangan tanggal 22 Desember 2014 menyerahkan kesimpulan tertulis yang pada pokoknya para pihak tetap pada pendiriannya masing-masing; [2.10] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan telah termuat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini; PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa permasalahan utama para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 serta frasa “ _...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..._ ” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011, Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, selanjutnya disebut UU OJK) yang menyatakan: Pasal 1 angka 1 UU OJK: _Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga_ _yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai_ _fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan_ _penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini._ Pasal 5 UU OJK: _OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang_ _terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan._ __ Pasal 6 UU OJK: _OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: _ _a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; _ _b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan _ _c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga_ _Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya._ __ Pasal 7 UU OJK: _Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan_ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 276 _sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang: _ _a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: _ _1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran_ _dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya_ _manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin_ _usaha bank; dan _ _2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,_ _produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; _ _b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: _ _1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal_ _minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap_ _simpanan, dan pencadangan bank; _ _2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; _ _3. sistem informasi debitur; _ _4. pengujian kredit (credit testing); dan _ _5. standar akuntansi bank; _ _c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: _ _1. manajemen risiko; _ _2. tata kelola bank; _ _3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan _ _4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan _ _d. pemeriksaan bank._ Pasal 34 UU OJK: _i._ _Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan_ _anggaran OJK._ _ii._ _Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja_ _Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor_ _jasa keuangan._ _iii._ _Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK_ _sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan_ _Komisioner._ Pasal 37 UU OJK: _(1) OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di_ _sektor jasa keuangan._ _(2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar_ _pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)._ _(3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK._ _(4) OJK_ _menerima,_ _mengelola,_ _dan_ _mengadministrasikan_ _pungutan_ _sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri._ _(5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi_ _kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut_ _disetorkan ke Kas Negara._ _(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada_ _ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah._ __ Pasal 55 UU OJK: _(1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang_ _pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar_ _Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan_ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 277 _Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan_ _Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK._ _(2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang_ _pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor_ _Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK._ __ Pasal 64 ayat (1) huruf b UU OJK: _(1) Terhitung sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana_ _dimaksud dalam Pasal 55: _ __ _a. pejabat dan/atau pegawai Badan Pengawas Pasar Modal dan_ _Lembaga Keuangan; dan _ __ _b. pejabat dan/atau pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi,_ _tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor_ _Perbankan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dialihkan_ _untuk dipekerjakan pada OJK._ Pasal 65 UU OJK: _(1) Terhitung sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana_ _dimaksud dalam Pasal 55: _ _a. Kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan Bank_ _Indonesia dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang_ _pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan; dan _ _b. Kekayaan negara dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan_ _Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan_ _Lembaga Keuangan dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas,_ _dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor Pasar_ _Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,_ _dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dapat digunakan oleh_ _OJK._ Pasal 66 UU OJK: _(1) Sejak Undang-Undang ini diundangkan sampai dengan beralihnya_ _fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal_ _55: _ _a._ _Bank Indonesia tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang_ _pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor_ _Perbankan; _ terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yaitu: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: _“Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan_ _keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan_ _dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-_ _besarnya kemakmuran rakyat.”_ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 278 Pasal 23A UUD 1945: _“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara_ _diatur dengan undang-undang.”_ Pasal 23D UUD 1945: _“Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,_ _kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-_ _undang.”_ Pasal 33 UUD 1945: _“(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas_ _kekeluargaan._ _(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang_ _menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara._ _(3) Bumi dan air dan kekayaan_ _alam_ _yang_ _terkandung_ _di dalamnya_ _dikuasai oleh_ _negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar_ _kemakmuran rakyat._ _(4) Perekonomian_ _nasional_ _diselenggarakan berdasar atas_ _demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,_ _berkelanjutan,_ _berwawasan_ _lingkungan,_ _kemandirian,_ _serta_ _dengan menjaga keseimbangan_ _kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional._ _(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan_ _pasal ini diatur_ _alam_ _undangundang”._ [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disingkat UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 279 [3.4] Menimbang bahwa oleh karena yang dimohonkan oleh Pemohon adalah pengujian Undang-Undang _in casu_ UU OJK terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ Kedudukan Hukum ( _Legal Standing_ ) Pemohon __ [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 280 b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat ( _causal verband_ ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( _legal standing_ ) para Pemohon sebagai berikut:
a. Para Pemohon dalam permohonannya mendalilkan sebagai perseorangan warga negara Indonesia (vide bukti P-1 sampai dengan bukti P-3), pembayar pajak (vide bukti P-6), dan nasabah perbankan (vide bukti P-7) yang memiliki hak konstitusional atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan tanpa pengecualian dan hak konstitusional atas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara terbuka dan transparan dari pemerintah, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Menurut para Pemohon, hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 serta frasa “... _tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan_ ...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK karena perbankan membebankan pungutan OJK kepada nasabah perbankan, APBN akan digunakan untuk membiayai OJK selama pungutan penuh oleh OJK belum diberlakukan kepada seluruh pelaku industri keuangan, dan APBN akan digunakan untuk membiayai _bailout_ jika terjadi krisis keuangan;
b. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, dihubungkan dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] , menurut Mahkamah, hak konstitusional para Pemohon sebagaimana didalilkan para Pemohon bersifat spesifik dan aktual sehingga terdapat hubungan sebab akibat ( _causal verband_ ) antara kerugian hak konstitusional dimaksud dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 281 berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dan apabila permohonan para Pemohon dikabulkan maka kerugian hak konstitusional sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dengan demikian menurut Mahkamah, para Pemohon memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, serta syarat yang dimaksud oleh putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum Pemohon; Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( _legal standing_ ) untuk mengajukan permohonan _a quo_ ; [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo_ dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum _(legal standing)_ untuk mengajukan permohonan _a quo_ maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mendalilkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa pembentukan OJK merupakan mandat yuridis Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI) hanya terkait dengan pengawasan bank, bukan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya serta bukan pula untuk melakukan fungsi, tugas, dan wewenang selain pengawasan, yakni pengaturan, pemeriksaaan, dan penyidikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 5 UU OJK;
2. Bahwa menurut para Pemohon, UU BI yang dijadikan dasar pembentukan OJK tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Undang-Undang lain yang mengatur mengenai sektor jasa non-bank dan jasa keuangan lainnya karena UU BI bukan merupakan produk hukum yang lebih tinggi kekuatannya atau lebih besar mandatnya sehingga UU OJK tidak memiliki landasan konstitusional;
3. Bahwa menurut para Pemohon, hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit dalam UUD 1945 yang boleh independen, yaitu dalam Pasal 23D Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 282 UUD 1945, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional. Selain itu berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi;
4. Bahwa menurut para Pemohon, fungsi pengawasan dan pengaturan bank merupakan tugas konstitusional Bank Indonesia yang diturunkan langsung dari ketentuan Pasal 23D UUD 1945 sehingga dengan demikian kewenangan OJK dalam fungsi pengawasan dan fungsi pengaturan bank tumpang tindih dengan fungsi yang dimiliki Bank Indonesia. Selain itu, terdapat penumpukan kewenangan pada OJK karena dapat menciptakan sistem dan regulasi, melaksanakan regulasi, mengawasi regulasi, dan menjatuhkan sanksi yang berpotensi menimbulkan _moral hazard_ ;
5. Bahwa sumber pendanaan OJK berasal dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagai penerimaan OJK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK yang menurut para Pemohon dapat mengurangi kemandirian OJK dan terkait dengan kewenangan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mengingat OJK disebut sebagai lembaga yang independen. Selain itu menurut para Pemohon, pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon mengajukan alat bukti surat yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14c, serta tiga orang ahli masing-masing bernama Dr. Syamsul Hadi, MA., Ph.D, Prof. Dr. Sri Edi Swasono, dan Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H., yang keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara; [3.10] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden memberi keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 283 1. Bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki _constitutional importance_ karena merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan negara sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945;
2. Bahwa independensi tidak dapat dipisahkan dari pembentukan OJK, karena sebagai lembaga negara yang berwenang mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis terdapat potensi benturan dan pengaruh kepentingan termasuk dengan pemerintah, sehingga independensi OJK dapat dipertanggungjawabkan secara hukum;
3. Bahwa frasa “ _tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan_ ” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK harus dikaitkan dengan Pasal 5 UU OJK, yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk sektor perbankan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam menghadapi globalisasi dan konglomerasi sektor jasa keuangan. Oleh karena itu, UU OJK telah memisahkan fungsi pengaturan dan pengawasan sebagai unsur _check dan balances_ untuk menghindarkan adanya potensi _moral hazard_ ;
4. Ketentuan mengenai pungutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 37 UU OJK bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dengan memperhatikan kemampuannya. Pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK yang kemudian dikelola dan diadministrasikan oleh OJK secara akuntabel dan mandiri. Dalam hal jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Selain itu, praktik pungutan dan nama lainnya seperti iuran atau premi telah dikenal juga dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan serta lazim dipraktikkan di banyak negara. Dengan demikian tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945;
5. Bahwa pembiayaan kegiatan OJK dari APBN bersifat alternatif, mengingat dalam tahap membangun regulasi dan standar operasional prosedur pada tahap awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dari APBN melalui Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 284 persetujuan DPR sehingga harus dipertanggungjawabkan kepada DPR dan diaudit oleh BPK;
6. Bahwa nama dan kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang karena Pasal 23D UUD 1945 merupakan _open legal policy_ sehingga penamaan dan kewenangan bank sentral sebagai Bank Indonesia merupakan urusan pembentuk Undang- Undang. Demikian pula apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang harus diperbarui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan Bank Indonesia, hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Bahwa untuk memperkuat keterangannya, Pemerintah mengajukan 13 (tiga belas) orang ahli masing-masing bernama Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara; [3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, DPR memberi keterangan yang bersesuaian dengan keterangan Presiden yang selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara; [3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait OJK memberi keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa independensi OJK harus dimaknai independen di dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Namun demikian, tidak menghilangkan fungsi koordinasi dengan lembaga lain yang terkait, yaitu Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, maupun Lembaga Penjamin Simpanan, serta disertai dengan mekanisme kontrol dan tidak dimaknai independensi yang sebebas- bebasnya;
2. Bahwa Pasal 23D UUD 1945 tidak mengatur bahwa pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan kewenangan Bank Sentral sehingga diserahkan kepada pembuat Undang-Undang untuk merumuskan lingkup kewenangan Bank Sentral; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 285 3. Bahwa mengingat kewenangan mengatur dan mengawasi bank yang dimiliki oleh Bank Indonesia lahir karena Undang-Undang, bukan turunan langsung dari UUD 1945, dalam hal kewenangan tersebut dialihkan kepada OJK berdasarkan Undang-Undang OJK maka pengalihan tersebut tidak mengurangi tugas konstitusional Bank Indonesia;
4. Bahwa pengenaan pungutan yang diwajibkan oleh UU OJK kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dengan besaran pungutan yang selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tanggal 12 Februari tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK. Jika kemudian jumlah pungutan melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan Negara. Hal tersebut merupakan praktik yang lazim di banyak negara seperti Australia, Singapura, Belgia, Bolivia, Ekuador, Jerman, Ungaria, Islandia, Ladvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Swiss, dan Turki;
5. Bahwa tiga prinsip utama dalam melaksanakan pungutan, yaitu _Pertama_ , prinsip fleksibilitas. Pungutan yang akan dikenakan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan bersifat fleksibel, sehingga diharapkan tidak membebani pelaku di sektor jasa keuangan. _Kedua_ , prinsip penciptaan nilai tambah. Intinya, pungutan yang diberikan industri akan dikembalikan kepada industri antara lain dalam bentuk pengaturan dan pengawasan yang lebih baik, literasi keuangan, perlindungan konsumen yang lebih baik, dan pasar keuangan yang lebih berkembang. _Ketiga_ , prinsip penggunaan yang bertanggungjawab dan transparan. Melalui mekanisme kontrol yang ada dari dua sisi pihak internal maupun peran audit internal dan pihak eksternal antara lain melalui fungsi kontrol dari BPK dan Dewan Perwakilan Rakyat;
6. Bahwa OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, tahunan sebagai wujud akuntabilitas. Dalam hal DPR memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan. Dalam rangka pengawasan eksternal, laporan keuangan OJK diaudit oleh BPK atau kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh BPK. Di dalam konteks pengawasan internal, OJK juga memiliki organ internal melalui mekanisme dewan audit; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 286 Bahwa untuk memperkuat keterangannya, Pihak Terkait OJK mengajukan 4 (empat) orang saksi yakni Eko Budiwiyono, Kornelius Simanjuntak, Robinson Simbolon, dan Pradjoto, yang memberikan keterangan di bawah sumpah/janji dan menyerahkan keterangan tertulis dalam persidangan, yang selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara. [3.13] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Bank Indonesia memberi keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa peralihan fungsi pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan serta akses data dan informasi perbankan yang sangat penting bagi BI kepada OJK dapat mengganggu pelaksanaan tugas BI secara keseluruhan;
2. Bahwa kebijakan OJK di bidang moneter berpotensi menimbulkan gangguan transmisi kebijakan moneter yang merupakan kewenangan BI;
3. Bahwa sering terjadi perbedaan pandangan terkait kewenangan untuk mengatur, mengawasi, dan memberikan izin kegiatan usaha bank di bidang sistem pembayaran antara OJK dan BI;
4. Bahwa ketentuan makroprudensial menjadi tertunda karena terdapat perbedaan pandangan mengenai lembaga yang berwenang mengeluarkan ketentuan dan/atau lembaga yang berperan;
5. Bahwa dengan adanya dua Undang-Undang yang mengatur dua otoritas yang sama-sama memiliki kewenangan terhadap suatu industri maka selalu diperlukan langkah kompromi dan koordinasi untuk menghindari disharmoni kebijakan yang merugikan industri perekonomian. [3.14] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Perbanas memberi keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa beban pungutan jasa keuangan timbul setelah adanya OJK, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan keberatan, akan tetapi tidak arif dan tidak bijaksana apabila dengan adanya pungutan kemudian mengusulkan pembubaran OJK atau pembekuan operasi OJK;
2. Bahwa terdapat tiga usulan mengenai keberadaan OJK. _Pertama_ , OJK tetap berdiri namun dihapus untuk melakukan pengutan kepada sektor jasa keuangan. _Kedua_ , OJK tetap mengenakan pungutan yang sisanya tidak disetorkan ke kas negara namun digunakan untuk meringankan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 287 untuk tahun berikutnya. _Ketiga_ , mengembalikan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, dalam hal ini Perbankan, kepada BI dengan membentuk Badan Supervisi BI. [3.15] Menimbang bahwa para Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait OJK mengajukan kesimpulan tertulis yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya masing-masing; Pendapat Mahkamah Dalam Provisi [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan putusan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menghentikan sementara operasional OJK, memerintahkan Bank Indonesia (BI) untuk mengambil alih sementara fungsi, pengaturan dan pengawasan Perbankan, serta memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam kepada OJK. Menurut Mahkamah, karena permohonan putusan provisi _a quo_ berkaitan erat dengan pokok permohonan, sehingga permohonan provisi para Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan, oleh karenanya permohonan provisi _a quo_ dinyatakan tidak dapat diterima; Dalam Pokok Permohonan [3.17] Menimbang bahwa isu utama permohonan para Pemohon secara umum berkaitan dengan pengaturan, wewenang, independensi OJK, koordinasi OJK dan BI, serta sumber pendanaan dan pungutan OJK; [3.17.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan OJK tidak memiliki landasan konstitusional karena hanya mendasarkan pada Pasal 34 ayat (1) UU BI sehingga bertentangan dengan UUD 1945; Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan OJK sebagai lembaga yang independen merupakan perintah dari Pasal 34 UU BI yang menyatakan bahwa, “ _Tugas mengawasi Bank akan dilakukan_ _oleh lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan_ _undang-undang_ ”. Meski tidak diperintahkan oleh UUD 1945 hal tersebut tidak serta merta pembentukan OJK adalah inkonstitusional, karena pembentukan OJK atas perintah Undang-Undang yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang. Dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 288 Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan dinyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang- Undang. Lagipula terdapat lembaga yang pembentukannya didasarkan atas perintah Undang-Undang tetapi memiliki _constitutional importance_ , seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan UU 30/2002, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk berdasarkan UU 39/1999, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan UU 32/2002, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk berdasarkan UU 5/1999, dan lain sebagainya. Mahkamah berpendapat bahwa persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekonomian dan sektor keuangan baik yang bersifat _macroprudential_ maupun _microprudential_ dengan tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi yang semula disatukan dalam kewenangan bank sentral dan saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga, _in casu_ BI dan OJK, merupakan kebijakan hukum terbuka ( _open legal policy_ ) pembentuk Undang-Undang. Dengan demikian pemisahan ataupun penggabungan kewenangan lembaga yang menyangkut _macroprudential_ dan _microprudential_ tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas; Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil para Pemohon _a quo_ tidak beralasan menurut hukum; [3.17.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan kata “ _independen_ ” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tidak ditemukan pembenarannya secara konstitusional karena hanya bank sentral yang dilekatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 yang memiliki independensi, sedangkan konsiderans UU OJK yang mendasarkan pada Pasal 33 UUD 1945 yang mengharuskan terintegrasi dengan sistem perekenomian menjadikan OJK tidak mungkin independen; Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa kata “ _independen_ ” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK merupakan amanat dari Pasal 34 ayat (1) UU BI yang merupakan penjabaran dari Pasal 23D UUD 1945 sehingga tidak menyalahi apabila pembentuk Undang-Undang melekatkan kata “ _independen_ ” kepada OJK. Selain itu, kata “ _independen_ ” yang terdapat dalam Pasal 23D UUD 1945 pada dasarnya memiliki makna dan tujuan yang sama dengan kata “ _mandiri_ ” sebagaimana yang diberikan kepada suatu komisi pemilihan umum [Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Lagi pula pada hierarki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 289 Undang-Undang, juga terdapat lembaga yang diberikan kata “ _independen_ ” tanpa dikaitkan dengan pasal dalam UUD 1945, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha [Pasal 30 ayat (2) UU 5/1999], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 3 UU 30/2002], dan Komisi Penyiaran Indonesia [Pasal 7 ayat (2) UU 32/2002]; Bahwa oleh karena independensi OJK merupakan penjabaran dari UU BI, sedangkan independensi bank sentral berasal dari Pasal 23D UUD 1945 maka untuk memahami independensi OJK harus dikaitkan dengan independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Independensi bank sentral dimaksudkan agar bank sentral memiliki kebebasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang dan keputusan-keputusan yang diambil dalam mencapai tujuannya tersebut tidak dapat diintervensi oleh pemerintah dan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Dikaitkan dengan hal tersebut maka independensi OJK bukan berarti OJK dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan pembentukan OJK telah ditentukan dalam UU OJK, di antaranya dalam Pasal 4 UU OJK disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan terselenggara dengan teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berdasarkan tujuan pembentukan OJK yang langsung berkenaan dengan bidang ekonomi, maka sudah tepat Pasal 33 UUD 1945 dijadikan sebagai dasar hukum kewenangan pembentukan UU OJK; Terkait dengan dijadikannya Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hukum kewenangan pembentukan UU OJK sehingga mengurangi independensi OJK, menurut Mahkamah, UU OJK telah mencantumkan secara jelas dan tegas aspek independensi OJK yang dimaksudkan agar setiap regulasi dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK bersifat objektif, tanpa dipengaruhi intervensi dari pihak manapun dan untuk mencegah benturan kepentingan dengan pelaku jasa industri keuangan yang diawasinya. Dengan demikian tidak relevan mempersoalkan dasar hukum kewenangan pembentukan UU OJK, khususnya Pasal 33 UUD 1945, dengan persoalan independensi OJK. Bahwa aspek independensi OJK dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Umum UU OJK dimana OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 290 transparansi, dan kewajaran. Dalam Penjelasan Umum UU OJK dinyatakan antara lain, “ _Secara_ _kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai_ _bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah._ _Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah_ _karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa_ _keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain,_ _dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan_ _keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio._ _Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan_ _harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan_ .” Menurut Mahkamah, penjelasan demikian harus dimaknai tetap ada kaitannya dengan pemerintah, sebab semua urusan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga OJK bukanlah bagian yang dipisahkan dari negara yang karenanya seakan-akan OJK merupakan negara dalam negara. Hal demikian juga terbukti dari adanya unsur- unsur perwakilan pemerintah di OJK serta koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan dengan lembaga-lembaga lain. Pasal 10 ayat (4) UU OJK menentukan susunan Dewan Komisioner OJK di antaranya terdiri atas seorang anggota _Ex-officio_ dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan seorang anggota _Ex-_ _officio_ dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. Demikian juga dalam pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), salah satu anggota merangkap koordinator adalah Menteri Keuangan [Pasal 44 ayat (1) UU OJK]. Dengan masuknya unsur pemerintah baik dalam Dewan Komisioner OJK maupun FKSSK menunjukkan independensi OJK tidak bersifat mutlak. Selain itu, pembatasan terhadap independesi OJK juga dapat dilihat dari adanya kewajiban OJK menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), laporan keuangan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK, serta adanya anggota Dewan Audit dan Komite Etik yang juga berasal dari eksternal OJK. Dengan demikian, pemaknaan “independen” bagi OJK sudah secara jelas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 291 dan tegas dinyatakan dalam UU OJK sehingga menurut Mahkamah, frasa “ _dan_ _bebas dari campur tangan pihak lain”_ yang mengikuti kata “ _independen_ ” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tidak diperlukan lagi karena maknanya sudah tercakup dalam kata “independen” sebagaimana dijelaskan di atas. Independensi OJK tidaklah bersifat mutlak dan tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK itu sendiri. Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon _a quo_ beralasan menurut hukum untuk sebagian; [3.17.3] Bahwa Pemohon mendalilkan bahwa fungsi OJK dalam mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU OJK tidak memiliki landasan konstitusional dan menimbulkan penumpukan kewenangan di dalam OJK serta menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara BI dan OJK karena adanya pemisahan aspek _microprudential_ yang menjadi wewenang OJK dan aspek _macroprudential_ yang menjadi wewenang BI. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa memang pada awalnya pengalihan fungsi pengawasan bank dari BI kepada OJK dalam Penjelasan Pasal 34 UU BI Tahun 1999 tidak termasuk fungsi pengaturan. Namun demikian dalam perkembangannya, yakni dalam Penjelasan Pasal 34 UU BI Tahun 2004, pengecualian ini tidak diatur atau dinyatakan perubahannya. Dengan kata lain pembentuk Undang-Undang bukan hanya mengalihkan fungsi pengawasan namun juga fungsi pengaturan kepada OJK karena sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 35 UU BI Tahun 1999 bahwa, “ _Sepanjang lembaga_ _pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) belum dibentuk,_ _tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia_ .” Dengan demikian tugas pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh BI pada hakikatnya bersifat sementara. Demikian juga mengenai sistem pengaturan dan pengawasan terintegrasi di dalam satu lembaga, menurut Mahkamah didasarkan pada pengalaman adanya krisis keuangan yang pernah terjadi di Indonesia, struktur dan sistem keuangan yang saat ini berlaku, dan _best practice_ di beberapa negara menjadi alasan pembentuk undang-undang menilai bahwa yang paling sesuai dengan Indonesia adalah model _unified supervisory model_ , yakni suatu sistem pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi di dalam suatu lembaga tunggal yang kemudian dinamakan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU OJK, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 292 sehingga menurut Mahkamah tidak dapat dikatakan adanya penumpukan kewenangan, akan tetapi hal tersebut semata-mata merupakan pilihan kebijakan hukum dari pembentuk Undang-Undang. Pilihan kebijakan hukum dari pembentuk Undang-Undang tersebut menurut Mahkamah justru mendapat legitimasi konstitusional dari Pasal 23D UUD 1945 karena pasal tersebut menentukan di antaranya pengaturan mengenai kewenangan bank sentral diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang sehingga pengalihan kewenangan atau fungsi bank sentral yang oleh pembentuk Undang-Undang dinamakan Bank Indonesia (BI) kepada lembaga lain merupakan _open legal policy_ dari pembentuk Undang- Undang. Adapun terkait dalil tentang adanya tumpang tindih kewenangan, menurut Mahkamah UU OJK telah menentukan secara jelas dan tegas kewenangan BI yang beralih menjadi kewenangan OJK, di antaranya dalam Pasal 7 UU OJK yang dalam Penjelasannya menentukan pembagian kewenangan antara BI dan OJK, yaitu bahwa “ _Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan,_ _aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan_ _pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun_ _lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengawasan selain_ _yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia._ _Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu_ _Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada_ _Perbankan_ .” Meskipun telah ada pembagian kewenangan tersebut, menurut Mahkamah ke depan pembentuk Undang-Undang perlu melakukan pengaturan secara jelas dan tegas atas lingkup _macroprudential_ oleh BI melalui perubahan UU BI sehingga tidak menimbulkan problem implementasi UU OJK. Selain itu, untuk menghindari tumpang tindih kewenangan pengawasan sektor Perbankan antara OJK dan BI, menurut Mahkamah perlu segera dibangun sarana pertukaran informasi secara terintegrasi oleh ketiga lembaga di sektor Perbankan (OJK, BI, dan LPS) sebagaimana diamanatkan Pasal 43 UU OJK sehingga memungkinkan setiap institusi untuk saling bertukar informasi dan mengakses informasi yang dibutuhkan setiap saat dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasian informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil Pemohon _a quo_ tidak beralasan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 293 menurut hukum; [3.17.4] Bahwa para Pemohon mendalilkan, anggaran OJK yang bersumber dari APBN adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena OJK bukan merupakan lembaga negara. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun OJK disebut dengan kata “lembaga” saja tanpa disertai kata “negara” hal itu bukan berarti kedudukan OJK merupakan lembaga yang ilegal, sehingga OJK tetap dapat melakukan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 UU OJK. Dengan demikian, karena OJK adalah sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang yang diperintahkan Undang-Undang maka sudah sewajarnya pembiayaan OJK bersumber dari APBN untuk mendanai seluruh kegiatan operasional seperti pada masa awal pembentukan OJK [vide Pasal 34 UU OJK dan Penjelasannya] karena sumber pendanaan dari APBN diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri. Pendanaan yang bersumber dari APBN adalah bersifat sementara sampai OJK dapat mendanai seluruh kegiatan operasionalnya secara mandiri. Adapun mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK, sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Dengan demikian, menurut Mahkamah, harus ada batasan waktu yang jelas sejauh mana OJK dapat menggunakan APBN sebagai sumber kegiatan operasional. Demi kemanfaatan dan kepastian penggunaan APBN, pendanaan OJK yang bersumber dari APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK diterapkan hingga OJK dapat mendanai seluruh kegiatan operasionalnya secara mandiri, dan hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk Undang- Undang untuk menilainya karena penetapan anggaran OJK dilakukan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UU OJK. Oleh karena itu, penggunaan APBN untuk biaya operasional OJK harus memuat batasan waktu yang menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menilainya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 294 [3.17.5] Bahwa Pemohon mendalilkan bahwa pungutan yang dilakukan oleh OJK bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu, pungutan tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan permasalahan pertanggungjawaban dalam hal terdapat kelebihan hasil pungutan. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa meski pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak diatur dengan Undang-Undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23A UUD 1945 namun hal itu tidaklah serta merta berarti bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam kenyatannya tidak ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa sehingga jika pungutan yang diperuntukkan untuk negara dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka akan banyak pungutan lain yang juga bertentangan dengan UUD 1945, misalnya biaya atau iuran yang digunakan untuk kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek sebagaimana ditentukan dalam UU 8/1995 tentang Pasar Modal dan iuran bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana ditentukan dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan. Secara teknis juga akan menimbulkan kerumitan jika setiap pungutan harus dengan Undang-Undang tersendiri karena akan banyak Undang-Undang yang khusus dan tersendiri yang mengatur setiap jenis pungutan. Adapun mengenai penyalahgunaan dan pertanggungjawaban pungutan, termasuk dalam hal terdapat kelebihan hasil pungutan, menurut Mahkamah Pasal 38 UU OJK telah mengantisipasi kedua hal tersebut, bahwa pungutan sebagai bagian dari laporan keuangan OJK harus diaudit oleh BPK dan/atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Sementara itu untuk seluruh kegiatan OJK dilaporkan kepada DPR dan laporan kegiatan tahunan disampaikan pula kepada Presiden. Dengan adanya ketentuan mengenai pelaporan dan akuntabilitas dalam UU OJK menurut Mahkamah telah ada pengawasan dan pertanggungjawaban dari OJK kepada negara dan masyarakat. Adapun dalam hal terdapat kelebihan hasil pungutan yang kemudian disetorkan ke Kas Negara, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak terkait dengan persoalan konstitusionalitas namun merupakan _open legal policy_ pembentuk Undang-Undang. Selain itu, ketentuan tersebut telah bersesuaian dengan Pasal 9 UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 16 UU 1/2004 tentang Perbendaharan Negara. Hal demikian juga lazim dipraktikan di beberapa negara. Dengan demikian hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 295 [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;
4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas hukum dan fakta tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo_ ; __ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( _legal standing_ ) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Dalam Provisi: Menyatakan permohonan provisi para Pemohon tidak dapat diterima. Dalam Pokok Permohonan: Menyatakan :
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1 Frasa “ _dan bebas dari campur tangan pihak lain”_ yang mengikuti kata “ _independen_ ” dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 296 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2 Frasa “ _dan bebas dari campur tangan pihak lain”_ yang mengikuti kata “ _independen_ ” dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
1.3 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011, Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) selengkapnya menjadi “ _Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya_ _disingkat OJK, adalah lembaga yang independen, yang mempunyai_ _fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan,_ _dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”._ 2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima, bulan Januari, tahun dua ribu lima belas , dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal empat, bulan Agustus, tahun dua ribu lima belas , selesai diucapkan Pukul 12.04 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 297 Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Wahiduddin Adams ttd. Maria Farida Indrati ttd. Patrialis Akbar ttd. Aswanto ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo ttd. Manahan MP Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Syukri Asy’ari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id